1 pendahuluan a. latar belakang masalah 1....
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Pariwisata berkembang karena adanya pergerakan manusia di dalam
mencari sesuatu yang belum diketahui, menjelajahi wilayah baru, mencari
perubahan suasana atau untuk mendapat perjalanan baru. Kegiatan pariwisata
pada awalnya adalah untuk kesenangan belaka, kini kegiatan tersebut menjadi
sesuatu yang harus direncanakan, dilaksanakan secara serius, sehingga
menjadikannya tidak lagi sederhana. Perjalanan wisata selalu melibatkan
wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasi maupun implikasi dari
keduanya terhadap kehidupan masyarakat secara luas merupakan suatu
kesatuan yang saling berhubungan atau pengaruh-mempengaruhi.
Pariwisata menarik untuk dikaji melalui pendekatan filsafat karena
manusia melakukan perjalanan, merupakan tuntutan eksistensi manusia dan
tuntutan perkembangan gaya hidup moderen. Bagaimana wisatawan bersikap
terhadap objek wisata, terhadap masyarakat yang menerima, sebaliknya
bagaimana masyarakat penerima bersikap terhadap wisatawan dan
konsekuensi filosofis apa dalam interaksi antar wisatawan. Pemahaman
terhadap pariwisata sebagai objek kajian filsafat dapat menguak motivasi
wisatawan dan juga memberikan analisis kritis terhadap pengaruh negatif
pariwisata.
2
Pariwisata memiliki multi kepentingan: kepentingan pribadi
menyangkut gaya hidup, prestise, kesenangan (hiburan), kepuasan,
kebebasan, dan kemerdekaan, juga kepentingan publik seperti kepentingan
politik, kepentingan ekonomi, kepentingan budaya, bahkan kepentingan
ideologi.
Kepulauan nusantara, suatu negeri yang disebut Indonesia memiliki
potensi yang begitu besar. Belahan bumi Asia Pasifik, di mana Indonesia
terletak, mulai dekade ini telah secara aklamasi diakui dunia sebagai kawasan
masa depan ekonomi, industri, perdagangan dan pariwisata dunia, yang
menggeser kedudukan kawasan Eropa Atlantik. Pertemuan Asia Pacifik
Economic Convention (APEC) di Jakarta tahun 1994 telah membuka tabir
suatu kenyataan betapa pergeseran itu akan terjadi dan kini sedang mulai
terjadi.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa dengan luas
wilayah yang begitu besar, berpulau tidak kurang dari 17.510 pulau memiliki
kandungan kekayaan mineral di perut buminya, hutan belantara paling
mengagumkan, puspa dan satwa paling beraneka ragam, kekayaan alam
bahari melimpah, potensi sumber daya manusia sarat setelah lewat
pendidikan dan latihan ketrampilan, merupakan faktor-faktor pendukung
kekuatan potensi pariwisata Indonesia di mata dunia internasional. Ditambah
dengan ekosistem kebudayaan lebih dari 300 suku bangsa dengan variasi
yang tidak terduga jumlahnya, meliputi adat istiadat, bahasa, sistem
kekerabatan, arsitektur, seni tari, pahat, patung, musik, gamelan, tetabuhan,
3
pijat tradisional, bela diri tradisional, busana dan fashion tradisional, asesori,
jamu, sebagainya yang dapat mempercantik penampilan para pria dan wanita.
Manusia Indonesia merupakan fenomena yang begitu menarik, eksotik dan
unik. Kebesaran dan kekayaan serta keindahan, semuanya itu merupakan
daya tarik dan marketable dunia pariwisata.
Potensi tersebut belum maksimal digarap oleh pemerintah maupun
swasta. Core bisnis yang harus dikembangkan seharusnya industri pariwisata,
karena bisnis ini disebut sebagai ready to use, pasarnya jelas, karena
pariwisata adalah sumber devisa. 1.5 miliar manusia yang lalu lalang di dunia
ini setiap tahun, tetapi hanya 7 juta orang yang mampir ke Indonesia dan 300
ribu di Jogjakarta. Wisatawan yang datang ke Malaysia dalam rentang waktu
yang sama berjumlah 15 juta, datang ke Thailand lebih dari 20 juta.
Sisi lain perkembangan pariwisata adalah dampak yang menimbulkan
problem-problem terhadap lingkungan, misalnya polusi udara, kekurangan
air, keramaian lalu lintas dan kerusakan dari pemandangan alam yang
tradisional. Hal ini mengurangi kualitas hidup orang setempat dan wisatawan,
pada jangka panjang mengancam kelangsungan industri pariwisata itu sendiri.
Suatu isu yang penting di Indonesia adalah pengaruh perkembangan
pariwisata yang berlanjut terhadap lingkungan, moral dan budaya masyarakat
tuan rumah. Prinsip bahwa pariwisata bukan sesuatu yang jelek tetapi supaya
dapat dipandang sebagai sesuatu yang bermanfaat dan mensejahterakan
memerlukan kajian mendasar atau studi kritis terhadap persoalan pariwisata.
4
Masih terbayang dalam ingatan, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan,
klaim tentang seni batik, dan kesenian reyog serta lagu “Rasa Sayange”
adalah sebuah trik untuk mempopulerkan pariwisata. Fakta unik lain soal
pariwisata adalah pertimbangan pengadilan di Belanda untuk memenangkan
Malaysia bukanlah soal sejarah Sipadan dan Ligitan melainkan karena
Malaysia jauh lebih peduli, lebih mengurus dan mengkonservasi kedua pulau
itu sebagai kekayaan alam dan potensi wisata. Kasus tersebut dapat
disimpulkan bahwa pariwisata sebagai media politik untuk mempertahankan
wilayah (geo-politik). Indonesia dinilai menelantarkan kedua pulai itu, dan
baru terenyak saat klaim Malaysia datang. Kini kedua pulau tersebut menjadi
tambang devisa negara Jiran Malaysia.
Spillane (1994: 54) menjelaskan bahwa pariwisata merupakan gejala
insani yang bersifat semesta, taratur dan ajeg, kerap muncul tanpa ruang dan
waktu. Disadari oleh para pembuat kebijakan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan pariwisata dapat menghadirkan bisnis raksasa dan
pembangunan ramah lingkungan, di Indonesia menuntut adanya berbagai
jaminan agar lingkungan (sosial, politik, ekonomi dan budaya) senantiasa
berada dalam kondisi bersih dan terjamin keamanannya. Industry pariwisataa,
termasuk travel dan transportasi sudah menempati peringkat kelima dalam
bisnis internasional, setingkat dengan industry pertanian, dan sesudah secara
berturut-turut industry minyak bumi, telekomunikasi, peralatan kompiuter dan
otomotif (Theobald, 205: 5). Hakikat pariwisata adalah industri yang sangat
rentan akan gangguan keamanan. Faktor ekonomi memang paling
5
menentukan, akan tetapi faktor stabilitas politik dan pembangunan yang
memiliki dampak kenyamanan dan keamanan perjalanan wisatawan tadak
kalah penting. Indonesia, pariwisata merupakan sumber devisa ketiga sesudah
ekspor minyak dan gas bumi serta ekspor minyak kelapa sawit
(http//:www.budpar.go.id).
Kenyataan tersebut dipandang perlu usaha pendalaman secara ilmiah
dan metodologis terhadap gejala kepariwisataan sebagai disiplin ilmu,
termasuk lembaga pendidikan merupakan tantangan yang harus dijawab
secara cepat, tepat dan arif, serta sangat dibutuhkan. Disiplin ilmu pariwisata
pada sisi aplikasinya, segi penataan dan pengelolaan secara bersistem,
pragmatis dan fungsional demi penciptaan dan pemanfaatan peluang-peluang
bisnis. Persoalan demikian ilmu pariwisata selalu mengalami proses
pengembangan.
Dua masalah mendasar dibesarkan oleh studi pariwisata pantas
disebutkan dalam bab ini. Pertama adalah kesadaran bahwa banyak dari
pengetahuan pariwisata didominasi oleh penelitian kuantitatif dan dengan
demikian metodologi positivistik (Riley & Love, 2000; Zahra & Ryan, 2005;
1-21). Kedua, penelitian oleh Phillimore dan Goodson (2004: 4; Jamal &
Hollinshead, 2001: 82) bahwa ilmuwan pariwisata umumnya ragu-ragu dalam
mengembangkan pemahaman mereka dari proses filosofis dan teoritis yang
mendasari pengetahuan teoritis dan praktis. Ilmu pengetahuan positif tidak
dapat menjawab persoalan-persoalan tentang kehidupan, karena terlalu
terpaku pada fakta-fakta positif kuantitatif. Perhatian ilmu positif adalah
6
mencari dan menemukan hokum-hukum yang bersifat universal dari fakta-
fakta yang positif (Abidin, 2006: 157).
Tanggapan umum untuk penelitian terakhir yang terkandung dalam
bagian pertama itu diedit Phillimore dan Love’s. Hollinshead (2004: 84)
asumsi ontologis explicates yang harus dipertimbangkan sebelum penelitian
perilaku sosial (pariwisata) berpendapat bahwa masalah ontologi harus selalu
mendahului pilihan metode penelitian tertentu. ( Zahra & Ryan, 2005 : 1-21).
Landasan argumennya dalam isu-isu yang kompleks, makna dan identitas
serta mengangkat beberapa masalah penting ontologis bagi seluruh studi
pariwisata. Sementara itu, Tribe dalam edisi yang sama menawarkan analisis
yang meyakinkan dari masalah epistemologis dalam penelitian pariwisata
dengan menyoroti posisi disiplin pariwisata, problem epistemologi, ontologi
pengetahuan pariwisata di bawah pengaruh sosiologi. Patut dicatat bahwa
ilmu pariwisata ada pada ranah ilmu sosial (Tribe, 2004: 59).
Memperkuat paradigma ilmu pariwisata diperlukan landasan filsafat.
Landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis pariwisata, sebagai langkah
untuk menguak realitas pariwisata dalam upaya mendasari bangunan filsafat
pariwisata. Disiplin ilmu pariwisata pada sisi aplikasinya, segi penataan dan
pengelolaan secara bersistem, pragmatis dan fungsional demi penciptaan dan
pemanfaatan peluang-peluang bisnis. Perkembangan ilmu pariwisata tidak
sebanding dengan kemajuan cepat kepariwisataan, hal ini dikarenakan ilmu
pariwisata masih terjebak pada paradigma positivistik kapitalistik.
7
Pendekatan metode kualitatif dikesampingkan, sehingga perkembangan ilmu
pariwisata mengalami stagnan, kurang segar dan tidak bergairah.
Kelahiran ilmu pariwisata masih terbayangi oleh ilmu-ilmu yang mapan
terutama ekonomi dan sosiologi, masih didominasi ilmu vokasi dengan
pendekatan positivistik. Munculnya ilmu-ilmu baru, fungsi filsafat adalah
menyertai ilmu-ilmu tersebut. Filsafat bukan ratu ilmu-ilmu, bukan juga
abdinya, bukan penunjuk jalan dan bukan penyedia metode. Filsafat
menyertai saja, artinya memberi komentar, catatan, kritikan dan usulan-
usulan. Filsafat menawarkan wawasan yang melampaui keterbatasan metodis
masing-masing ilmu. Filsafat membuka intellectual space para ilmuwan
untuk menggagas perubahan metode, sampai ke perubahan paradigma
(Magnis-Suseno, 2005: 36).
Ilmu pariwisata sudah memiliki legalitas formal yakni dengan
keluarnya surat keputusan dari Dirjen Dikti Depdiknas No. 947/D/T/2008
dan 948/D/T/2008, yang ditujukan kepada Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata. Surat keputusan Dirjen Dikti tersebut secara eksplisit
menyebutkan bahwa Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dapat menyetujui
pembukaan jenjang program sarjana (S1) pada STP Bali dan STP Bandung.
Surat Dirjen Dikti Depdiknas No. 947/D/T/2008 menyatakan persetujuan
Dikti atas pembukaan program S1 di STP Bali dalam Program Studi Bisnis
Hospitality; sedangkan surat No. 948/D/T/2008, dengan tanggal yang sama,
mengizinkan pembukaan program S1 pada STP Bandung dalam program
studi jenjang sarjana (akademik) ini juga berarti ada pengakuan secara formal
8
bahwa pariwisata adalah sebuah disiplin ilmu yang sejajar dengan disiplin-
disiplin ilmu-ilmu lain (Pitana, 2009: 3). Melalui legalitas keilmuan pada
akhirnya dapat memungkinkan tersusun dan terarahnya ilmu pariwisata yang
dianut oleh masyarakat ilmiah pariwisata.
Pengakuan ilmu pariwisata sebagai science, bukanlah bagaikan kue
yang enak dan langsung dapat dinikmati, akan tetapi memiliki konsekuensi
ilmiah yang rumit. Pariwisata diakui sebagai ilmu mandiri, bagaikan seorang
manusia baru lahir, memerlukan perhatian dan bimbingan akademis serta
upaya pengembangan ilmu yang dinamis. Pengakuan sebagai science tersebut
menimbulkan problem terjadinya pergeseran sistem dan model pendekatan
(metodologi), yaitu semula dari ilmu yang bersifat praktis (vokasi) dan
multidisiplin, menjadi ilmu yang teoritis dan monodisiplin. Perubahan status
demikian memerlukan analisis kritis terhadap basis ontologis, epistemologis
dan aksiologis ilmu pariwisata.
Ilmu pariwisata menarik untuk dikaji secara filsafati karena meliputi
berbagai aspek yang sangat luas. Apa ilmu pariwisata hanya berupa suatu
sistem pengetahuan atau juga sekaligus sistem nilai? Apa ilmu pariwisata
lahir dari dorongan hasrat ingin tahu semata atau dirangsang oleh jenis
kepentingan dan dorongan pamrih tertentu ? Filsafat sebagai ilmu rigoris
apakah memiliki relevansi dan landasan ilmu untuk mengawal
perkembangan ilmu pariwisata?
Fokus penelitian adalah problema filsafat pariwisata yakni apa hakikat
pariwisata? Mengapa ilmu pariwisata kurang bergairah untuk berkembang
9
secara akademis dan metodologi apa yang dapat memberikan motivasi untuk
berkembang dinamis sebagai upaya untuk mempersiapkan tenaga profesional
dan landasan filsafati pengembangan ilmu pariwisata? Sumbangan apa yang
bisa diberikan untuk pengembangan ilmu pariwisata di Indonesia. Penelitian
ini mengeksplorasi aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis pariwisata?
Penelitian ini diharapkan dapat mengkonstruksikan epistemologi dan metode
dan dapat memberikan sumbangan landasan filsafati, konsep dan teori
kemapanan ilmu pariwisata dan studi filsafat pariwisata yang kokoh serta
dasar pengembangan ilmu pariwisata yang berdasarkan pada nilai filososi
bangsa, sehingga konsep dan teori tersebut dapat dijadikan landasan bagi
konsep dan teori berikutnya. Landasan demikan adalah paradigma ilmu
pariwisata yang bernilai. Penolakan terhadap eksploitasi sumber daya
pariwisata yang strategis adalah melalui penguatan dasar sebuah landasan
ilmu yang mapan dan bernilai.
2. Rumusan Masalah
Berpijak dari berbagai problem di atas, baik problem pada level realitas
empiris, maupun pada level keilmuan-akademik, serta melihat langkah-
langkah penyelesaian yang akan dilakukan secara akademis-ilmiah, maka
disertasi ini memformulasikan tiga rumusan masalah:
a. Apa hakikat pariwisata ?
b. Bagaimana landasan filsafati pariwisata ?
c. Apa sumbangan yang dapat diberikan terhadap pengembangan ilmu
pariwisata di Indonesia ?
10
3. Keaslian Penelitian
Penelitian ilmu pariwisata sudah banyak dilakukan, tinjauan dari filsafat
sudah ada yakni tinjauan filsafat ilmu. Berikut ini dipaparkan beberapa
penelitian yang berkaitan dengan ilmu pariwisata:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Kusmayadi dan Endar Sugiarto
(2000). Penelitian itu secara garis besar mengarah pada upaya metode riset
dalam bidang pariwisata, riset yang diarahkannya sangat bersifat positivistik.
Penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sama sekali tidak mengarah
pada upaya membangun dan mengembangkan ilmu pariwisata dengan
pendekatan menyeluruh, apalagi dari segi kefilsafatan.
Kedua, makalah Jujun S. Suriasumantri dengan judul “Pariwisata
sebagai Sebuah Disiplin Ilmu: Sebuah Pendekatan Kefilsafatan” (Jujun,
2002: 1-25). Makalah ini dalam rangka memenuhi permintaan Universitas
Udayana pada program studi Pengembangan Studi Ilmu Kepariwisataan.
Penjelasan mengarah pada upaya pembentukan ilmu pariwisata. Jujun
memang secara komprehensif mengulas tiga pilar filsafat ilmu (ontologi,
epistemologi dan aksiologi) untuk menjadikan pariwisata menjadi ilmu yang
mapan. Analisis landasan filsafati oleh Jujun belum maksimal karena sebatas
memenuhi makalah permintaan tersebut. Metodologi dan model
pendekatannya masih perlu diadakan kajian yang lebih kritis, selain aspek
etika pengembangan ilmu juga belum dianalisis.
Ketiga, Nyoman Pendit menyusun buku “Ilmu Pariwisata sebuah
Pengantar Perdana” (2003) tidak jauh berbeda yang dibahas Yoeti.
11
Perbedaan dengan Yoeti, Pendit memfokuskan diri pada pembahasan pusat-
pusat penelitian dan pendidikan pariwisata ganda, yakni mensinergikan antara
kepentingan ilmu teori dengan ilmu praksis dalam kepentingan untuk
menjawab permasalahan-permasalahan realitas masyarakat pariwisata.
Keempat, Pariwisata Sebagai Disiplin Ilmu Yang Mandiri Ditinjau dari
Filsafat Ilmu dan Analisis Empiris-Komparatif yang dikeluarkan oleh Badan
Pengembangan Sumber Daya Budpar Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata 2008. Objek formal filsafat ilmu dalam analisisnya masih sangat
sederhana, artinya kurang mendasar. Kajian atas landasan filsafat baik
menyengkut ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam analisisnya belum
dijelaskan secara mendasar artinya acuan referensi dan landasan teori belum
kuat secara akademis.
Kelima, Penelitian Pitana, (2009) dalam bukunya Pengantar Ilmu
Pariwisata, membahas landasan ilmu pariwisata (ontologi, epistemologi dan
aksiologi ilmu pariwisata). Penjelasan Pitana dalam buku ini sebenarnya sama
dengan makalah yang dipublikasikan oleh Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata tersebut di atas. Perbedaan dengan penelitian disertasi ini adalah
fokus pada aspek pariwisata sebagai disiplin ilmu dalam tinjauan ilmu
filsafat. Disertasi ini memberikan tawaran konsep filsafat pariwisata antara
lain analisis landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis pariwisata.
Pengembangan ilmu pariwisata berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal dan
memberikan landasan filsafati tumbuh dan berkembangnya ilmu pariwisata.
Persoalan ini yang sama sekali belum dianalisis oleh beberapa kajian di atas.
12
Penelitian beberapa literatur yang dipaparkan di atas, peneliti
berpendapat bahwa penelitian dengan judul “Pariwisata dalam perspektif ilmu
filsafat” sumbangan bagi pengembangan ilmu pariwisata di Indonesia, belum
dilakukan oleh kalangan filosof sendiri maupun dari praktisi pariwisata, juga
kalangan akademisi di lingkungan studi pariwisata, apalagi birokrat yang
berkaitan dengan kepariwisataan. Berangkat dari realitas tersebut peneliti
sebagai praktisi pariwisata mempunyai keyakinan bahwa kajian disertasi ini
belum pernah diteliti dan sangat urgen.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu
pariwisata dan praktisi pariwisata serta pemerintah. Manfaat hasil penelitian
yang diharapkan adalah sebagai berikut:
a. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian diarahkan untuk
memperluas dan mengembangkan lingkup kajian ilmu interdisipliner
filsafat dan pariwisata, terutama dalam kajian filsafat ilmu dan keilmuan
pariwisata, sehingga dapat diperoleh konstruksi filosofis Filsafat
Pariwisata.
b. Bagi studi Filsafat. Penelitian ini memberikan stimulus bahwa kajian
filsafat untuk memberikan respon pada perkembangan ilmu pengetahuan
terutama pada ilmu-ilmu praksis. Era sekarang bukanlah era yang
terkurung dalam lingkup keilmuannya, tetapi era yang berinteraksi secara
kritis dengan keilmuan lain, bahkan harus memberikan respon akademis
terhadap kelahiran ilmu-ilmu baru, termasuk ilmu pariwisata.
13
c. Bagi pemegang policy making (institusi, pemerintah) memberikan
gambaran landasan filsafat pariwisata secara menyeluruh, sebagai
sumber rujukan untuk kebijakan pembangunan pariwisata Indonesia yang
bertumpu pada nilai-nilai filosofi bangsa, pembentukan jenjang
pendidikan pariwisata dan memantapkan citra destinasi yang mengakar
pada aspek-aspek kearifan lokal.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian disertasi ini adalah untuk menemukan
jawaban-jawaban kualitatif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tersimpul
dalam rumusan masalah.
1. Menemukan secara analitis tentang hakikat pariwisata, mengapa manusia
melakukan wisata, apa yang menjadi potensi dan daya tarik pariwisata
serta bagaimana pariwisata memberikan kontribusi kesejahteraan
manusia.
2. Menemukan konsep baru secara kritis-analitis dasar filsafati pariwisata.
Memberikan tawaran konsep baru landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologis pariwisata. Memberikan dasar nilai dan etika pariwisata,
meliputi penilaian terhadap objek wisata, gambaran etika masyarakat
menerima wisatawan yang memiliki latar belakang budaya berbeda, serta
memberikan analisis pengaruh perjumpaan antar wisatawan.
3. Memberikan sumbangan konsep dan teori filsafati terhadap studi filsafat
pariwisata, landasan nilai dan etika pengembangan ilmu pariwisata serta
14
teori praksis dalam pembangunan pariwisata Indonesia. Konsep dan teori
tersebut diharapkan dapat menyelesaikan persoalan kepariwisataan.
C. Tinjauan Pustaka
Pariwisata adalah pergerakan atau perjalanan manusia (wisatawan)
baik seorang maupun beberapa orang. Perjalanan dalam arti wisata memiliki
intensitas relasi antara wisatawan dengan masyarakat baik antar wisatawan
sendiri, wisatawan dengan masyarakat yang dikunjungi, serta wisatawan
dengan objek yang dikunjungi atau destinasi (tourist destination area).
Pengertian pariwisata pada awalnya adalah pengadaan perjalanan, atau
yang disebut dengan travel atau tourism. Institut of Tourism in Britain
(sekarang Tourism in Britain) di tahun 1976 merumuskan, Pariwisata adalah
kepergian orang-orang sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-
tempat tujuan di luar tempat tinggal dan pekerjaan sehari-harinya serta
kegiatan-kegiatan selama berada di tempat tujuan-tujuan tersebut, ini
mencakup kepergian ke berbagai tempat, termasuk kunjungan seharian atau
darmawisata/ekskursi (Pendit, 2003: 33). Pengertian dasar tersebut dapat
ditarik dimensi ontologis pariwisata yaitu pergerakan manusia bentuknya
adalah “perjalanan”. Ontologi pariwisata tersebut dikembangkan pada kajian
dasar ontologi, dasar epistemologi dan dasar aksiologi pariwisata.
Pariwisata memiliki pengaruh besar pada aspek ekonomi, oleh
karenanya pariwisata dipandang sebagai sebuah industri, hal ini berimplikasi
pada pengembangan ilmu dan pendidikan pariwisata menekankan pada
15
pembelajaran aspek technical know-how, sementara sisi know what-why
masih relatif tertinggal. Smith dan Eadington dalam Pitana (2009: 2)
memberikan penjelasan bahwa pariwisata layak dikembangkan sebagai ilmu,
karena mempunyai sejarah, pustaka, dan prinsip-prinsip yang terstruktur serta
berbagai aspek keilmuan lainnya. Secara ontologis keberadaan ilmu pariwisat
sarat dengan kepentingan (ideologi), baik kepentingan bisnis, politik dan
kepentingan ilmu.
Pengertian Ilmu Pariwisata adalah ilmu yang mempelajari secara
sistematis baik yang berkaitan dengan perjalanan, gejala, interaksi dan
pengaruhnya, serta sistem pengelolaannya, agar dapat memberikan pelayanan
baik dan bermanfaat bagi wisatawan dan masyarakat. Ilmu pariwisata
sebelum diakui sebagai science berciri pembelajaran vokasi (ketrampilan),
setelah diakui sebagai ilmu pengetahuan secara akademis harus bergeser pada
ciri ilmu murni. Objek dan sistem kajian ilmu pariwisata, sebagaimana Pendit
(2003: 317) berpendapat bahwa pendidikan pariwisata mengacu pada pola
dan sistem ganda yakni memadukan antara kepentingan ilmu teoritis dan ilmu
praxis.
Ilmu pariwisata masuk pada ilmu humaniora karena focus interest-nya
adalah kehidupan masyarakat manusia. Ilmu pariwisata memiliki jawaban
yang cukup atas pertanyaan tentang kreteria keilmuan, antara lain objeknya
ada, berupa kegiatan-kegiatan praktik pariwisata (program wisata, wisatawan,
sarana, transportasi, manajemen, dsb). Ruang lingkup ilmu pada pembahasan
masalah-masalahnya secara praktik maupun teoritik. Taksonomi ilmu pada
16
ilmu sosial, budaya atau lainnya dengan metode pendekatan dengan
multidisiplin (Pitana, 2009: 13). Sistem tersebut memberikan kerangka dasar
bahwa ilmu pariwisata aspek ontologis dan epistemologisnya dapat dikaji.
Ciri dan misi ilmu pariwisata sebagaimana dimiliki perlu lahir ilmu baru
(Pitana dan Gayatri, 2005: 6).
Kebutuhan dan tuntutan akademisi pariwisata dalam pengkayaan ilmu
pariwisata harus didinamisir dengan sarana metodologi penelitian dan
pendekatan interdisipliner yang mampu merangsang lahirnya ilmu-ilmu baru
bidang kepariwisataan (Kusmayadi, 2000: 1).
Ilmu pariwisata harus memiliki kajian substantif, yaitu kajian teori dan
kajian praksis. Kajian teori atau penguasaan keilmuan meliputi pemahaman
tentang wisatawan yang berserak dalam disiplin ilmu sosiologi, antropologi,
psikologi, ekologi, budaya, ditambah ilmu-ilmu seperti ekonomi bisnis,
hukum internasional, dan ilmu tata ruang. Kajian ilmu praksis meliputi,
trampil bahasa, etika praktis, estetika, teknologi informatika dan lainnya
(Spillane, 2002: 93).
Kajian bidang keilmuan diperlukan jenjang pendidikan pariwisata
setara dan setingkat Strata 1 (S1), dengan demikian perlu dibukanya sekolah
tinggi ilmu pariwisata, dan program jurusan studi pariwisata, lebih mantap
dibukanya fakultas Ilmu Pariwisata di universitas. Pendidikan profesi ada
pada program akademi, atau program diploma dengan komposisi 40% teori
dan 60% praktek lapangan dengan sistem magang. Pelaksanaan akademisi
perlu adanya program profesi bekerjasama yang erat dan terpadu antara:
17
Federasi pengusaha yang menyediakan jasa tempat pelatihan, organisasi
perburuhan yang mengatur jadwal pelatihan dan departemen pendidikan
memberikan petunjuk bila diperlukan (Pendit, 2003: 321).
Pemahaman tentang pengembangan ilmu pariwisata dalam perspektif
filsafat akan membuka jalan bagi pendekatan falsafati guna memberikan
konsep strategi dan arah pengembanagan ilmu pariwisata Indonesia, dan
untuk memperkecil kecurigaan masyarakat terhadap keraguan manfaat dan
nilai positif pariwisata.
Pariwisata menyangkut manusia dan masyarakat, maka studi filsafat
pariwisata sangat sesuai untuk dijadikan mata kuliah wajib. Filsafat
pariwisata adalah kajian tentang kepariwisataan dengan menggunakan
perspektif filsafat, yaitu penerapan prinsip, konsep, hukum, paradigma, dan
metode filosofis di dalam mengkaji masyarakat dan fenomena pariwisata
untuk selanjutnya berusaha mengembangkan abstraksi-abstraksi yang
mengarah kepada pengembangan teori.
D. Landasan Teori
Substansi objek studi ilmu adalah kenyataan atau fakta dan kebenaran.
Kenyataan atau fakta adalah empiri yang dapat dihayati oleh manusia.
Positivisme hanya mengakui penghayatan yang empiric sensual. Sesuatu
sebagai nyata bagi positivisme apabila ada korespondensi antara yang sensual
satu dengan sensual lainnya. Data empirik sensual tersebut harus objektif,
tidak boleh masuk subjektifitas peneliti. Arah perkembangan pendekatan
18
phenomenologik ada dua, pertama menjurus ke koherensi rasional objektif,
yang kedua, menjurus kea rah koherensi moral. Phenomena bukan sekedar
data empiric sensual, melainkan data yang sudah dimaknai atau diintepretasi.
Ada subjektifitas peneliti. Subjektifitas peneliti bukan ada pada makna (sesuai
selera peneliti), melainkan dalam makna pengakuan terhadap sikap selektif
sejak pengumpulan data, analisis, sampai kesimpulan. Dasar selektivitasnya
mungkin ide, mungkin moral atau lainnya. Pemikiran phenomenologi, orang
mengamati terkait langsung dengan perhatiannya dan juga sekaligus terkait
pada konsep-konsep yang dimilikinya. Kebenaran phenomenologik
dibuktikan berdasarkan diketemukannya yang esensial, pilah dari yang non-
esensial dan sesuai dengan nilai moral tertentu (Muhajir, 2001: 11).
Sistem ‘ilmu empiris’ cenderung hanya menggambarkan satu dunia
yakni the real world or the world of our experience ‘dunia nyata’ atau dunia
pengalaman. Ide ini perlu dibuat dengan seksama dengan membedakan tiga
persyaratan yang harus dipenuhi oleh sistem teoritis empiris. Pertama, harus
sintetik, supaya dapat menggambarkan suatu dunia yang nonkontadiktoris
(contradictory), yang mungkin. Kedua, harus memenuhi kreteria demarkasi,
yaitu tidak boleh bersifat metafisik, namun harus menggambarkan dunia
pengalaman yang mungkin. Ketiga, harus merupakan sistem yang dibedakan
dengan cara tertentu dari sistem lain sebagai suatu sistem yang
menggambarkan dunia pengalaman. Sistem yang menggambarkan dunia
pengalaman pada dasarnya dibedakan melalui fakta yang telah diajukan
melalui kepada ujian-ujian, dan telah bertahan menghadapi ujian-ujian.
19
Sistem ini berarti dibedakan dengan menerapkan metode deduktif untuk
menganalisis dan melukiskan pengalaman. Pandangan ini ‘pengalaman’
tampak sebagai metode sendiri yang melaluinya sistem teoritis dapat
dibedakan dari sistem-sistem lainnya, sehingga ilmu empiris tampak dicirikan
bukan hanya oleh bentuk logisnya, tetapi selain itu oleh metodenya yang
tersendiri. Tentunya ini juga merupakan pandangan para induktivis, yang
mencoba mencirikan ilmu empiris dengan pemakaian metode induktifnya.
Teori pengetahuan yang bertugas menganalisis metode atau prosedur yang
bagi ilmu empiris, lantas dapat dilukiskan sebagai sebuah teori mengenai
metode empiris adalah suatu teori mengenai apa yang biasanya disebut
pengalaman (Popper, 1974: 39).
Cara berfikir terjadi karena bertemunya subjek dengan objek ilmu.
Suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek, objek dan
"penemuan". Apa hakikat ketiga hal itu dan bagaimana peran masing-masing
unsur tersebut dalam proses keilmuan? Pertanyaan tersebut, dalam sejarah
filsafat, merupakan persoalan kefilsafatan berkaitan dengan asumsi dasar dari
proses keilmuan itu sendiri. Landasan teori untuk membangun konsep ilmu
filsafat pariwisata dalam disertasi ini mendasarkan pada empirisme (Verhaak,
1989: 4, Keraf, 2001: 19).
Pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan.
Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu
penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan.
Dunia dan manusia sebagai objek pengenalan merupakan sistem materi dan
20
merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas
dasar hukum-hukum mekanisme (Hadiwiyono, 1980: 33). Sumber
pengetahuan yang benar menurut empirisme adalah pengalaman yakni data
dan fakta yang ditangkap oleh pancaindra. Pengalaman yang dimaksud adalah
pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan pancaindera yang
langsung dan spontan. Pengalaman, percobaan, pengamatan, penelitian
langsung di lapangan untuk mengumpulkan fakta dan data, itulah merupakan
titik tolak dari pengetahuan manusia (Keraf dan Dua, 2001: 49).
Positivisme hanya mengakui sesuatu sebagai nyata dan benar apabila
sesuatu itu dapat diamati dengan indera. Positivisme menolak yang
dinyatakan sebagai fakta tetapi tidak dapat diamati, dan tidak dapat diulang
kembali. Sesuatu akan dapat diterima sebagai fakta apabila dapat
dideskripsikan secara inderawi. Apa yang di hati, dan ada di fikiran, bila tidak
dapat dideskripsikan dalam perilaku, tidak dapat ditampilkan dalam gejala
yang teramati, tidak dapat diterima sebagai fakta, maka tidak dapat diterima
sebagai dasar untuk membuktikan bahwa sesuatu itu benar. Apa yang di hati
harus ditampilkan, senang, marah atau lainnya (Muhajir, 2001: 75).
Empirisme berpendirian bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu
didasarkan pada pengalaman, terdiri dari dua unsur yakni ‘yang mengetahui’
(subjek) dan ‘yang diketahui’ (objek), Tidak ada subjek dan objek yang
terpisah dari satu sama lain. Konsep Heidegger dalam bahasa mengada-di-
dunia (being-in-the-world) (Heidegger, 1962: 79, Large, 2008: 5). Istilah
mengada-di-dunia lebih tepat diistilahkan dengan keutamaan perhatian
21
(sorge), ketimbang tatapan. Mengada-di-dunia inilah yang sesungguhnya
mendahului refleksi. Dikarenakan padatnya makna yang terkandung dalam
mengada-di-dunia, maka disederhanakan dengan istilah hubungan subjek-
objek. Subjek melihat atau mendengar atau suatu pengalaman inderawi yang
sesuai (Katsoff, 2004: 133).
Heidegger dengan distruksi fenomenologis atau pembongkaran
metodis yang tujuannya adalah untuk membersihkan problematika metafisika
tradisional dengan fenomenologi, untuk menolak pengertian fenomena tradisi
Kantian yang artinya penampakan yang berarti objek berkesadaran.
Interpretasi Kant, relasi antara penampakan dan hal dalam dirinya sendiri
(atau dalam Kantian kosa kata atau noumenon) adalah bersifat kausal.
Heidegger hal tersebut adalah gejala yang tersembunyi (which is in fact
hidden) gejala tersembunyi tersebut pada dasarnya adalah ‘to show it self’ or
‘to bring to self to light’. Fenomena dipahami sebagai ‘that which shows it
self in it self’ (Heidegger, 1962: 14).
Tujuan itu adalah “kembali kepada gejala pertama dan sebenarnya”
yakni gejala Ada (Being) (Heidegger, 1962: 14). Fenomena disebut
“pertama” sejauh mendahului setiap asumsi atau prasangka pengamat, dan
disebut “sebenarnya” sejauh fenomena itu tetap tinggal sebagai makna,
meskipun kehadiran gejala itu kerap kali tersembunyi (Abidin, 2006: 170).
Consciousness experiences the world, and how in relating to things
these exist now as something perceived, now as something useful, and so on
(Large, 2008: 5). Konsepsi keberadaan manusia sebagai partisipan aktif
22
dalam dunia adalah persoalan kesadaran. Pemahaman tentang esensi
kesadaran dan aktivitasnya bisa dijadikan solusi guna menghadapi krisis ilmu
pengetahuan, misalnya menggunakan pemahaman tentang esensi dan aktivitas
kesadaran sebagai landasan teori-teori ilmiah. Ilmu pengetahuan akan
memperoleh landasan kokoh apabila asumsi-asumsi ontologis dan
epistemologisnya didasarkan pada pengetahuan tentang esensi kesadaran dan
aktivitas-aktivitasnya secara fenomenologis (Abidin, 2006: 168, Adian,
2010: 51).
Pariwisata adalah gejala pergerakan manusia berupa perjalanan untuk
meninggalkan tempat asal dalam waktu sementara untuk mencari sesuatu hal
yang baru untuk memulihkan potensi diri. Realitas pariwisata adalah
perjalanan manusia yang direncanakan dan dikelola secara profesional.
Pemahaman relitas tersebut bahwa pariwisata adalah persoalan empiris yaitu
relasi antara wisatawan dengan objek dan masyarakat serta hal-hal yang
timbul akibat perjalanan tersebut. Pendekatan empirisme dan metode
fenomenologi kualitatif serta hermeneutika merupakan landasan teori
disertasi dalam penelitian studi pariwisata.
Untuk menuju keilmuan setiap ilmu minimal memiliki tiga syarat
dasar landasan teori yakni: Ontologi (objek yang dikaji), Epistemologi
(metodologi untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran) dan Aksiologi
(nilai manfaat pengetahuan). Hakikat ilmu menyangkut keyakinan ontologik
yakni suatu keyakinan untuk menjawab pertanyaan tentang apakah “ada”
(objek yang akan dikaji) itu. Berdasarkan ontologi akan menentukan
23
epistemologi, yaitu cara atau metodologi yang digunakan untuk mencapai
sasaran atau membuktikan sang “ada”. Akhirnya, menentukan pilihan
aksiologi, yaitu nilai-nilai dan parameter yang digunakan untuk
mengembangkan pengetahuan dan kemampuannya bagi manusia (Wibisono,
1999: 24).
Di tingkat praxis, fakta bahwa strategi pengembangan ilmu di
Indonesia sebetulnya tidak dapat dilepaskan dari garis politik pembangunan
nasional yang aktualitasnya berupa: Pertama, visi dan orientasi filsafatinya
haruslah diletakkan pada nilai-nilai pancasila sebagai cermin budaya bangsa.
Kedua, visi dan orientasi praksisnya haruslah diletakkan pada sifat teleologis,
etis dan integratif (Wibisono, 2003: 13). Oleh karena itu landasan Ilmu dan
kerangka praxis harus dipertimbangkan secara integral dalam kajian ilmu
pariwisata.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan bersifat kualitatif filsafati.
Bahan-bahan penelitian adalah berupa buku-buku, naskah-naskah yang
diperoleh dari seminar tentang kepariwisataan, dan jurnal pariwisata.
Berhubung penelitian ini adalah penelitian pustaka kualitatif filsafati, maka
objek penelitian adalah tentang pariwisata dan filsafat ilmu. Cara atau alat
yang digunakan untuk pengumpulan data dilakukan dengan pengkajian buku-
buku kepariwisataan sebagai objek material dan ilmu filsafat sebagai objek
formal.
24
1. Sumber Data
Peneliti sebelum melakukan penelitian merinci dan menentukan
sumber-sumber data, terutama buku-buku, naskah, maupun jurnal yang
berkaitan dengan objek material (pariwisata), dan filsafat ilmu sebagai objek
formal. Objek material penelitian memprioritaskan pengumpulan data yang
bersumber dari buku:
a. Sumber Objek Material
1) Sumber Primer Objek Material:
a) Tribe, John, 2009, Philosophy Issus in Tourism, Library of
Conggress Cataloging in Publication Data.
b) Fennell, David. A, 2006, Tourism Ethics, Cambridge
University Press Cataloging in Publication Data.
c) Jenny Phillmore and Lisa Goodson, 2004, Qualitative
Research in Tourism, Ontologies, Epistemologies and
Methodologies, Library Cataloguing in Publication Data,
British
2) Sumber Sekunder Objek Material:
a) Chafid Fandeli, 2001, Dasar-Dasar Manajemen
Kepariwisataan Alam, Liberty, Yogyakarta.
b) Nyoman S. Pendit, 2003, Ilmu Pariwisata, Sebuah Pengantar
Perdana, Pradnya Paramita, Jakarta
c) Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya, Masalah dan
Solusinya, Pradnya Paramita, Jakarta
25
b. Sumber Objek Formal:
1) Sumber Primer Objek Formal:
a) Martin Heidegger, 1962, Being and Time, Translated by John
Macquarrie & Edward Robinson, Blackwell, Oxford UK &
Cambridge USA.
b) William Large, 2008, Heidegger’s Being and Time, An
Edinburgh Philosophical Guide, Edinburgh University Press.
c) Zaine Ridling, 2001, The Lightness of Being, A
Comprehensive Study of Heidegger’s Thoutht, Access
Foundation Kansas City, Missouri
2) Sumber Sekunder Objek Formal
a) Joko Siswanto, 1998, Sistem_Sistem Metafisika Barat, dari
Aristoteles samapai Derrida, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
b) Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Memahami Manusia
Melalui Filsafat, Remaja Rosdakarya, Bandung
c) Donny Gahral Adian, 2010, Pengantar Fenomenologi,
Penerbit Koekoesan, Depok.
d) Muhajir, Noeng, 2001, Filsafat Ilmu Positivisme,
Postpositivisme dan Postmodernisme, Penerbit Rake Sarasin
2. Jalan Penelitian
Tahap pertama; Tahap membaca, ada dua kegiatan yang harus
dilakukan terhadap materi pustaka primer dan sekunder. Pertama,
pemahaman, yaitu membaca untuk memahami atau membaca dengan aktif
26
untuk menangkap isi bacaan secara holistik sekaligus mempertahankan
gagasan-gagasan penting melalui argumen-argumen logis. Kedua, kritik
(dengan reduksi) atau keberanian yaitu berani memisahkan pandangan-
pandangan penting dari yang kurang (tidak) penting sekaligus menentukan
bahwa yang ini atau yang itu dapat dipertanggung jawabkan secara akal
(Woodhouse, 1984: 141).
Penelitian difokuskan pada persoalan pikiran-pikiran pakar pariwisata
tentang diskursus ilmu pariwisata, untuk dicari pikiran mereka mengenai
metodologi dan arah pemikiran berkenaan dengan status ilmu pariwisata.
Langkah demikian diterapkan juga pada pikiran-pikiran mereka pada
persoalan ilmu filsafat.
Tahap kedua, tahap pendekatan, melakukan pendekatan deskriptif
analitis, yaitu memaparkan pokok-pokok pikiran atau teori-teori ilmu dengan
pendekatan fokus kajian, paradigama dan metode ilmu sebagai titik landas
untuk membangunan ilmu pariwisata yang bernilai dan dapat diterapkan
dalam pengembangan ilmu di Indonesia.
Tahap ketiga, merupakan kesimpulan final untuk memberikan alasan
akademis persoalan body of knowledge dan strategi pengembangan ilmu
pariwisata.
3. Analisis data
Setelah menentukan sumber data dan langkah pengumpulan data,
kemudian dilakukan analisis data dengan unsur metode sebagai berikut:
27
a. Metode Hermeneutika, proses dilakukan dengan pemahaman dalam
menafsirkan teks (Ricour, 2009: 57). Proses ini dilakukan dengan
interpretasi, yaitu meliputi menerangkan, mengungkapkan maupun
menerjemahkan, (Bakker dan Zubair, 1990:41; Kaelan, 2005:79)
beberapa bahan pariwisata. Arah dari pemahaman ini dimungkinkan
pemahaman yang utuh dari berbagai literatur yang berkenaan dengan
pariwisata, terutama ketika mencoba memahami asumsi-asusmi
ontologis, epistemologis dan aksiologis pariwisata. Filsafat pariwisata
tidak dapat didekati dengan observasi, tetapi melalui pemahaman arti.
Karena itu harus diuji dengan interpretasi untuk mencapai
intersubjektifitas. Umumnya sebuah pemahaman hermeneutis didasarkan
pada pra-pengetian (Kleden, 1998: 33).
b. Analisis Sintesis. Analisis merupakan upaya mencari dan menata secara
sistimatis catatan hasil penelitian untuk meningkatkan pemahaman
tentang objek yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang
lain. Penelitian disertasi pariwisata sebagai disiplin ilmu dalam perspektif
ilmu filsafat adalah penelitian kualitatif, sehingga analisisnya merupakan
proses penyederhanaan data agar lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan. Karena data yang diprioritaskan adalah pemikiran, dan
pendapat, jumlahnya juga tidak banyak. Peneliti juga langsung
menganalisis data yang diperoleh untuk menangkap inti atau esensi
pemikiran yang terkandung dalam suatu rumusan verbal kebahasaan
(Kaelan, 2005; 166).
28
Hasil analisis dari berbagai macam pokok-pokok pikiran dan
pendapat baik persoalan pariwisata maupun ilmu filsafat yang terpisah-
pisah dan berbeda-beda ke dalam suatu keseluruhan. Gabungan dari hal-
hal (gagasan, konsep, sifat) ke dalam keseluruhan yang lebih rumit
disintesiskan (disatukan) untuk diperoleh pengertian sederhana tentang
suatu permasalahan sehingga dapat diambil kesimpulan yang jelas
(Bagus, 2005: 1014). Metode tersebut merupakan usaha sadar
menggabung-gabungkan struktur-struktur konseptual ke dalam kesatuan-
kesatuan yang lebih tinggi. Prinsip sintesis adalah menggabungkan
menjadi kesatuan aliran atau sudut pandang, baik sebagai ilmu atau
sebagai pandangan hidup.
c. Metode heuristika. Penelitian ini pada dasarnya adalah menyusun
pemikiran-pemikiran yang sudah ada, kemudian direkonstruksi untuk
menghantarkan pada penyusunan ilmu pariwisata mandiri (Peursen,
1990: 104-105). Oleh karena itu metode tersebut diterapkan untuk
menemukan suatu pemikiran atau jalan baru yang berhubungan tentang
filsafat ilmu untuk menemukan teori konstruktif sehingga diperoleh
kerangka interdisiplin ilmu pariwisata.
F. Sistematika Penelitian
Menghasilkan sebuah analisis kritis ilmiah, disertasi disusun dengan
sistematika dan format pembahasan sebagai berikut:
29
Bab I; membahas pendahuluan yang meliputi 1. Latar Belakang
masalah, diawali paparan permasalahan bahwa hakikat pariwisata adalah
pergerakan dinamis dan mendasar bagi eksistensi manusia, memiliki kekuatan
ekonomi dahsyat, kekuatan politik dan mensejahterakan manusia. Problem
pariwisata adalah kendala keberadaan ontologis, epistemologis, paradigma
dan metodologi ilmu pariwisata dan lemahnya studi pariwisata dengan
pendekatan filsafat, perspektif, kualitatif, sebaliknya semakin dominan
pendekatan positivistik kuantitatif, dan kapitalistik pragmatik, kondisi
demikian melemahkan perkembangan studi pariwisata. Analisis permasalahan
dirumuskan tiga rumusan masalah penelitian meliputi apa hakikat pariwisata
meliputi, bagaimana landasan filsafat pariwisata, untuk pengembangan ilmu
pariwisata sebagai disiplin ilmu dengan pendekatan metode yang bagaimana.
Untuk memberikan alasan otentisitas dan pentingnya penelitian ini, peneliti
memberikan argumentasi bukti keaslian penelitian dengan bukti buku yang
dianggap memiliki keterkaitan namun tidak disentuh dalam pembahasannya.
Manfaat penelitian disertasi ini diharapkan minimal tiga institusi memperoleh
nilai manfaat keilmuan. Institusi tersebut meliputi praktisi pariwisata,
pemerintah sebagai institusi perumus dan pemilik kebijakan dan Ilmu Filsafat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan landasan analisis
pengertian dasar, epistemologi dan kebenaran untuk kepentingan
pengembangan ilmu pariwisata bagi akademisi pariwisata dan ranah praktisi.
Dunia ilmu penegtahuan, penelitian ini untuk memberikan motivasi studi
30
filsafat yang mengarah pada studi ilmu praksis sebagai upaya
mengembangkan kajian ilmu interdisiplin filsafat dan pariwisata.
Pada bab dua, Pemahaman dasar ilmu filsafat meliputi pembahasan
pengertian filsafat, sifat filsafat, hubungan filsafat dengan disiplin ilmu lain,
filsafat sebagai ilmu. Sub B landasan ontologi, sub C landasan epistemologi
dan sub D landasan aksiologi, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi rumusan landasan filsafati pariwisata yakni ontologi pariwisata,
epistemologi pariwisata dan aksiologi pariwisata.
Bab tiga persoalan hakikat pariwisata meliputi pembahasan pengertian
wisatawan dalam perspektif studi kritis, teori dan pengertian wisatawan
secara filsafati serta permasalahan teori dan prinsip wisatawan secara praxis.
Sub bab berikutnya dilaporkan hasil penelitian mengenai daya tarik
kunjungan wisata dalam perspektif filsafat, pemahaman nilai-nilai filosofis
wisata alam, wisata budaya dan wisata rohani sebagai sample analisis. Sub
bab sejarah perkembangan ilmu pariwisata Indonesia sebagai pintu
pembahasan untuk menuju pembahasan bab empat dan bab lima. Keempat
sub bab tersebut dapat dijadikan pijakan yang mendasari untuk memformulasi
hakikat pariwisata, pembahasan meliputi sub bahasan: manusia dan wisata.
Bab ke empat, menjelaskan landasan filsafati pariwisata, landasan
ontologis, analisis konstruksi relasi wisatawan (subjek) dengan objek wisata
(objek), masyarakat lokal (objek) dan antar wisatawan (subjek). Dasar
analisisnya adalah relasi tersebut menggunakan pandangan eksistensialis
untuk mendekati subjek dan fenomenologis Heidegger untuk menganalisis
objek. Sub bahasan landasan epistemologis diperoleh analisis praksis yakni
31
implikasi epistemologi fenomenologis terhadap objek wisata, pelayanan
wisata dan dikotomi epistemologis dalam pariwisata. Pembahasan bab empat
diakhiri dengan kajian landasan aksiologis, meliputi pembahasan segi
keindahan (beauty), seni dan kebajikan (virtue) antara lain pembahasan
masalah etika yakni pembahasan teori etika dan aplikasinya dalam etika
pariwisata meliputi; teleologi (eudaimonisme, hedonisme dan utilitarianisme),
deontologi, Keadilan dan Hak dalam pariwisata diakhiri. Sub bahasan nilai
meliputi pembahasan teori-teori nilai dan aplikasi prakis dalam pariwisata
Indonesia.
Bab kelima memberikan refleksi filsafat pariwisata mendasarkan pada
pembahasan dominasi kuantitatif-positivistik dalam ilmu pariwisata, konstruk
nilai paradigma kualitatif ilmu pariwisata; pembahasan meliputi sifat realitas,
hubungan peneliti dan objek penelitian, mengutamakan proses daripada hasil,
dan peranan makna dan nilai dalam penelitian pariwisata. Sub bab bahasan
metode ilmu pariwisata mendasarkan pada fenomenologi dan hermeneutika.
Sumbangan ilmu filsafat tersebut merupakan komponen dasar dalam
konstruksi filsafat pariwisata Indonesia. Berdasarkan pada objek formal dan
analisis dengan objek material diperoleh konstruksi tentang filsafat pariwisata
Indonesia.
Bab ke enam berisi penutup dan kesimpulan, diperoleh kesimpulan
bahwa dalam mempercepat pengembangan ilmu pariwisata diperlukan
paradigma perspektif filsafati. Paradigma tersebut merupakan landasan
bangunan filsafat pariwisata. Memperkokoh landasan filsafat pariwisata
diperlukan studi dan penelitian lanjutan yang konstruktif, sistematis dan
evaluatif.