bab 1 pendahuluan 1.1. latar belakang masalah penelitian 1...

14
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian 1.1.1. Budaya Lokal dalam Perkembangan Globalisasi Globalisasi adalah suatu fenomena global yang tidak dapat dihindari dan akan mengubah perilaku manusia. John Naisbit (1994) telah memperkirakan trend-trend yang muncul dari globalisasi ini dengan istilah global paradox. Salah satu fenomena globalisasi adalah perubahan konsep ruang dan waktu. Perubahan konsep ruang dan waktu diakibatkan berkembangnya teknologi informasi yang dapat meminimalisasi ruang dan waktu, manusia dapat berinteraksi dengan mudah, kapan saja dan di mana saja dengan manusia lainnya. Gelombang globalisasi menciptakan perubahan pola-pola substantif dan kreatif dalam masyarakat di seluruh belahan bumi (Hardiman,2003;72). Giddens (1990, dalam Sutrisno, 2005; 188) mengungkapkan bahwa pergerakan modernisasi melalui gelombang globalisasi mengakibatkan adanya proses perubahan sosial kontemporer dan pengaruhnya pada individu. Kondisi perubahan yang mengakibatkan runtuhnya asas keselarasan yang dahulu mempersatukan manusia dengan lingkungannya. Ada suatu upaya hilangnya konsepsi humanistik dalam diri manusia akibat globalisasi (Hossein Nasr, 1994). Hilangnya konsepsi humanistik menggiring rasionalisasi dalam pemikiran manusia global. Rasionalisasi yang menekankan materialistik untuk kepentingan kelompok tertentu. Rasionalisasi terjadi pula dalam kebijakan ruang perkotaan. Fenomena ini terlihat dari wajah kota yang “modern” (sarat dengan bangunan perumahan mewah, pusat perbelanjaan, perkantoran). Wajah kota yang memunculkan keserakahan kaum mapan (Eko Budihardjo dan Sudanti Hardjohubojo;1993;40). Keserakahan kaum mapan dan kebijakan pengelola pembangunan memberi indikasi hilangnya humanisme akibat tekanan globalisasi. Tekanan globalisasi tidak dapat dihindari akan tetapi harus segera dicegah melalui internalisasi budaya lokal. Penggalian nilai-nilai budaya harus terus diupayakan hingga dapat dijadikan pedoman kehidupan bangsa Indonesia. Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon INA HELENA AGUSTINA Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: dinhkhanh

Post on 23-Aug-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian

1.1.1. Budaya Lokal dalam Perkembangan Globalisasi

Globalisasi adalah suatu fenomena global yang tidak dapat dihindari dan

akan mengubah perilaku manusia. John Naisbit (1994) telah memperkirakan

trend-trend yang muncul dari globalisasi ini dengan istilah global paradox. Salah

satu fenomena globalisasi adalah perubahan konsep ruang dan waktu. Perubahan

konsep ruang dan waktu diakibatkan berkembangnya teknologi informasi yang

dapat meminimalisasi ruang dan waktu, manusia dapat berinteraksi dengan

mudah, kapan saja dan di mana saja dengan manusia lainnya. Gelombang

globalisasi menciptakan perubahan pola-pola substantif dan kreatif dalam

masyarakat di seluruh belahan bumi (Hardiman,2003;72). Giddens (1990, dalam

Sutrisno, 2005; 188) mengungkapkan bahwa pergerakan modernisasi melalui

gelombang globalisasi mengakibatkan adanya proses perubahan sosial

kontemporer dan pengaruhnya pada individu. Kondisi perubahan yang

mengakibatkan runtuhnya asas keselarasan yang dahulu mempersatukan manusia

dengan lingkungannya. Ada suatu upaya hilangnya konsepsi humanistik dalam

diri manusia akibat globalisasi (Hossein Nasr, 1994).

Hilangnya konsepsi humanistik menggiring rasionalisasi dalam pemikiran

manusia global. Rasionalisasi yang menekankan materialistik untuk kepentingan

kelompok tertentu. Rasionalisasi terjadi pula dalam kebijakan ruang perkotaan.

Fenomena ini terlihat dari wajah kota yang “modern” (sarat dengan bangunan

perumahan mewah, pusat perbelanjaan, perkantoran). Wajah kota yang

memunculkan keserakahan kaum mapan (Eko Budihardjo dan Sudanti

Hardjohubojo;1993;40). Keserakahan kaum mapan dan kebijakan pengelola

pembangunan memberi indikasi hilangnya humanisme akibat tekanan globalisasi.

Tekanan globalisasi tidak dapat dihindari akan tetapi harus segera dicegah

melalui internalisasi budaya lokal. Penggalian nilai-nilai budaya harus terus

diupayakan hingga dapat dijadikan pedoman kehidupan bangsa Indonesia.

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

Pendapat Kartono mengatakan bahwa adat istiadat dan kebudayaan mempunyai

nilai pengontrol dan nilai sanksional terhadap tingkah laku anggota masyarakat

(dalam Sujarwa; 2005). Dengan demikian maka penangkalan globalisasi

diupayakan melalui internalisasi nilai lokal dan budaya bangsa dalam kebijakan

pembangunan termasuk penataan ruang.

1.1.2. Pengembangan Perencanaan Berbasis Lokalitas dan Kawasan

Dalam konteks ilmu perencanaan, mengindikasikan adanya

perkembangan pemikiran perencanaan. Perkembangan pemikiran berawal pada

abad ke 19. Pemikiran yang diawali oleh konsep pendekatan pengembangan

wilayah dan kota. Konsep pemikiran tersebut dianggap dapat memberikan konsep

yang lebih bermanfaat bagi pengembangan wilayah dan kota. Selanjutnya konsep

pemikiran perencanaan utopia (Utopia Planning) muncul pada tahun 1925, yang

dipelopori oleh 3 pemikiran, yaitu : Lewis Munford, Howard Odum, Thomas

Adam. Inti dari konsep ini adalah ingin menciptakan keadaan yang akan

membentuk suatu hubungan yang harmonis antara makhluk hidup dan alam, juga

dalam rangka menyesuaikan diri menghadapi perkembangan peradaban industri.

Didasari oleh kegagalan yang dialami perencanaan utopia yang menganut dasar

pemikiran dari aliran filsafat utopianiame idealisme, maka muncul teori-teori

perencanaan baru seperti Positive Planning, Normative Planning, dan Blue Print

Planning, yang kesemuanya mengandung dasar pemikiran filsafat aliran

positivisme.

Pada era selanjutnya mulai berkembang teori-teori perencanaan lainnya

yang dipayungi oleh aliran filsafat rasionalisme yaitu seperti, Procedural

Planning, Rational Comprehensive Planning. Dengan melihat beberapa

kelemahan pada era sebelum, muncullah teori perencanaan lain seperti Plural

Planning, Politics of Planning, Social Planning, Implementation and Policy

Pragmatisme Planning, The New Humanism, Political Economy Empowerment.

Sampai tahun 1980an, teori perencanaan lebih banyak menekankan pada aspek

demokrasi dalam pendekatan kapitalisme, aplikasi teknik sesuai perkembangan

teknologi atau perencanaan modern sebagai suatu proses sosial dan politis yang

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

harus mempertimbangkan isu-isu seputar berbagai kepentingan. Gambaran ini

merupakan gambaran perencanaan berdasarkan teori Comprehensive Planning

atau pendekatan komprehensif rasional.

Perencanaan dengan dan pendekatan komprehensif rasional ini ternyata

memiliki keterbatasan. Ini diungkapkan dari hasil studi tentang Chicago Housing

Authority oleh Meyerson dan Banfield (1959 dalam Faludi 1973;143). Mereka

berpendapat bahwa praktek dan teori terjadi perbedaan. Praktek bukan merupakan

kegiatan rasional dengan menggunakan pengetahuan ilmiah akan tetapi

merupakan proses irrasional yang didominasi peran politisi. (Altshuler, 1965

dalam Faludi, 1973;209). Sebagai akibatnya terjadi persoalan masyarakat yang

tersingkirkan, degradasi lingkungan, hilangnya bangunan bersejarah karena

kepentingan-kepentingan politis, sehingga perencana dipersepsikan sebagai

keputusan politik. Banfield (1959 dalam Faludi, 1973;140) juga mengatakan

bahwa perencanaan adalah “oppurtunistic decision making”. Ini semakin

menegaskan keputusan perencanaan sangat didasarkan pada pemikiran

rasionalitas yang berbeda antara teori dan prakteknya. Dukungan pernyataan

kesenjanganan antara praktek dan teori ditegaskan pula oleh pendapat Lindblom

yang mengatakan ukuran benar tidaknya suatu sasaran perencanaan tidak pernah

ada pengujiannya (Lindblom,1959 dalam Faludi, 1973;159). Pada akhir abad ke

19 dan awal abad ke 20 kondisi ini dipertentangkan karena munculnya peran serta

masyarakat dan isu plurarisme.

Selanjutnya berkembang paradigma postmodernisme. Postmodernisme

merupakan suatu fenomena yang banyak ragamnya sehingga sulit menemukan

makna spesifik. Beberapa penulis mencoba mendefinisikan postmodern sebagai

pernyataan kebebasan dalam perbedaan dan kebenaran. Salah satu karakter utama

postmodernisme adalah kepedulian pada “yang lain” dengan demikian

postmodernisme mengangkat kembali isu pluralisme yang dibungkam oleh

modernitas. Postmodernisme adalah suatu realitas yang tidak terdefinisikan karena

penuh dengan aspek yang kontradiksi. Dalam perencanaan memunculkan

pendekatan collaborative/communicative planning (Healey; 1997) dan rasional

komunikatif dari Habermas yang menjadi pilihan dalam proses perencanaan.

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

Pendekatan ini lebih pada upaya membangun kapasitas masyarakat, sehingga isu

pemberdayaan dan proses pengambilan keputusan lebih sering diterapkan dalam

proses perencanaan.

Postmodern planning membuka peluang terhadap : adanya kemungkinan

penerimaan terhadap transrasional dalam pendekatan perencanaan. Juga

menyediakan pengembangan teori-teori lokal yang beragam dan unik. Kerangka

indigenous planning atau perencanaan adat dibangun dari perspektif teori sosial

dan exogenous theory (Allmendinger ; 2001). Dengan demikian perkembangan

perencanaan berbasis lokalitas akan berkembang seiring perkembangan

perencanaan ruang.

Penggalian nilai-nilai lokal akan semakin berkembang mengingat di

Indonesia sangat beragam budaya lokal yang dapat digali. Seiring dengan

berkembangnya globalisasi maka nilai-nilai lokal menjadi penting untuk

dipertahankan dan menjadi ciri jati diri bangsa. Sementara nilai-nilai lokal saat ini

tidak terangkum dalam teks yang dapat dijadikan referensi. Dengan demikian

penggalian nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) perlu didokumentasikan

sebagai bahan acuan untuk perencanaan ruang masa yang akan datang.

Indonesia adalah negara hukum yang menjadikan peraturan hukum

sebagai acuan yang mengatur kehidupan. Demikian pula dengan perencanaan

ruang maka peraturan menjadi sarana acuan praktek perencanaan ruang di

Indonesia. Praktek perencanaan ruang di Indonesia diatur melalui UU No. 26

Tahun 2007 tentang penataan ruang. UU tersebut mengatur substansi perencanaan

dalam lingkup nasional hingga lingkup Kota/Kabupaten. UU tersebut menjadi

acuan penting dalam praktek perencanaan di Indonesia

Undang-undang penataan ruang cenderung mengatur substansi

perencanaan kawasan. Pembuktiannya bisa dilihat pada penjelasan ketentuan

umum UU tersebut di mana terdapat kategorisasi untuk sembilan kawasan.

Artinya lingkup kawasan menjadi fokus penataan ruang dan mengabaikan batasan

administratif daerah. Salah satunya adalah kawasan strategis nasional. Kawasan

strategis nasional mengatur substansi kawasan budaya, karena dinilai memiliki

pengaruh sangat penting terhadap kedaulatan negara.

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mendetilkan substansinya

melalui buku pedoman perencanaan ruang kawasan strategis nasional. Salah satu

substansi perencanaan kawasan mengatur perwujudan suatu kawasan budaya.

Berdasarkan buku pedoman tersebut, substansi untuk mewujudkan kawasan

budaya masih belum memasukkan substansi pluralisme budaya di tingkat lokal.

Dengan demikian maka pluralitas budaya lokal tidak tercipta dalam substansi

perencanaan ruang. Pernyataan ini seperti yang diungkapkan Sudaryono (2006)

“Perencanaan belum mampu mengakomodasikan pluralisme dalam skala

komunitas lokal”.

Perencanaan ruang kawasan budaya membutuhkan substansi yang

mengakomodasi pluralisme dalam skala lokal. Usulan Sudaryono (2006) dalam

penguatan perencanaan keruangan pluralisme budaya lokal adalah: (1) radius

keunikan, (2) eksistensi spasial/ruang lokal, (3) ketahanan spasial/ruang lokal, (4)

penguatan komunitas lokal, (5) solusi lokal. Usulan tersebut belum terakomodasi

dalam pedoman perencanaan kawasan budaya. Pedoman tersebut hanya

mengeneralisasi kawasan budaya menjadi kawasan inti dan kawasan penyangga

saja. Dengan demikian substansi keunikan dalam skala lokal belum menjadi

substansi yang diatur. Untuk itu membutuhkan upaya yang dapat mengisi

substansi keunikan dalam skala lokal.

1.1.3. Keraton Sebagai Pusat Budaya

Keraton adalah tempat tinggal Raja dan keluarganya. Pada masa lalu

keraton berperan pula sebagai pusat pemerintahan raja, kini keraton hanyalah

suatu tempat cagar budaya. Keraton sebagai tempat cagar budaya dilindungi oleh

negara melalu UU No 5 Tahun 1992 karena memiliki nilai-nilai pengetahuan dan

kebudayaan. Dengan demikian peran keraton sangat penting sebagai wahana

warisan budaya bangsa dan pilar kedaulatan bangsa. Artinya keraton berperan

dalam pertahanan kebudayaan bangsa Indonesia dari serangan budaya-budaya

asing terutama globalisasi.

Selain melalui UU No 5 Tahun 1992, pemerintah mengupayakan

perwujudan eksistensi budaya bangsa melalui berbagai upaya. Salah satu upaya

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

pemerintah dalam mewujudkan eksistensi budaya tersebut dengan penerbitan

peraturan. Peraturan yang mengupayakan perwujudan eksistensi budaya bangsa

adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No 39 Tahun 2007 tentang pedoman

fasilitasi organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan dan kelembagaan adat

dalam pelestarian dan pengembangan budaya daerah. Berdasarkan peraturan

tersebut semakin menguatkan bahwa pemerintah menyadari peran penting

kebudayaan melalui peran kelembagaan termasuk keraton sebagai entitas

pelestari budaya daerah atau lokal.

Akan tetapi pada realisasinya peraturan tersebut belum mampu menjadi

pilar untuk mempertahankan eksistensi dan adaptasi zaman bagi suatu keraton.

Kondisi ini dapat dilihat dari pernyataan Wakil Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan yaitu WN yang mengatakan bahwa ratusan keraton di Indonesia

kondisinya sangat memprihatinkan dengan struktur dan keberadaan yang tidak

jelas. Maksudnya tidak jelas adalah wujud keberadaan suatu keraton yang tidak

ada raja atau sebaliknya. Setelah melakukan pendataan terdapat 189 keraton

yang terdapat di Indonesia. Keraton tersebut membutuhkan bantuan pendanaan

untuk kelangsungan eksistensinya (http://microsite.metrotvnews.com). Eksistensi

keraton sebagai pusat budaya dan identitas bangsa membutuhkan campur tangan

pemerintah yang lebih dari sekedar suatu peraturan yang mengatur eksistensinya

seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 39 Tahun 2007

tersebut tetapi juga memerlukan dukungan peratururan-peraturan lainnya bagi

kelangsungan eksistensinya. Salah satunya adalah pelestarian dalam sistem

keruangan keraton yang merupakan wujud fisik dari keberadaan suatu keraton.

1.1.4. Budaya Lokal dan Komunitas dalam Perwujudan Eksistensi Ruang

Keraton Kasepuhan

Kawasan Keraton Kasepuhan di Kota Cirebon merupakan ruang yang

eksistensinya hingga kini masih tetap terjaga. Walaupun keraton-keraton di

Cirebon tidak lagi memiliki otoritas dalam sistem pemerintahan daerah karena

telah lama dicabut oleh pemerintahan Hindia Belanda, termasuk Keraton

Kasepuhan. Akan tetapi eksistensi keraton masih berlangsung hingga saat ini.

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

Salah satu bukti eksistensinya masih terjaga adalah kunjungan pejabat termasuk

Gubernur Jawa Barat AH ke Keraton Kasepuhan pada saat kunjungan kerja ke

Kuningan dan juga pada saat perayaan Muludan (panjang jimat tahun 2013).

Selain itu upacara caos yaitu pemberian upeti hasil bumi dari petani-petani yang

tersebar di Pulau Jawa seperti : Indramayu, Subang, Brebes, Bekasi, Kuningan,

Majalengka dan lainnya kepada Gusti Sepuh XIV (Sultan Keraton Kasepuhan).

Fenomena tersebut menunjuk masih adanya suatu pengakuan terhadap eksistensi

Keraton Kasepuhan.

Eksistensi Keraton Kasepuhan di Kota Cirebon sangat penting dalam

membantu kaum marginal. Peran penting ini ditunjukkan dari fenomena ruang

sebagai wadah tradisi budaya maupun fenomena ruang untuk para pedagang kaki

lima. Masyarakat marginal tersebut berasal dari berbagai daerah di luar Kota

Cirebon. Umumnya mereka bekerja di sektor informal. Mereka masih meyakini

bahwa ruang-ruang keraton masih menyimpan tata nilai yang bersifat

transrasional. Salah satunya adalah keyakinan “keberkahan” dari keraton.

Keyakinan tersebut menunjukkan peran penting Keraton Kasepuhan untuk

kehidupan ekonomi maupun spiritual mereka.

Keraton Kasepuhan mampu menjaga eksistensinya walaupun dalam

tekanan globalisasi. Faktanya menunjukkan setting ruang maupun budaya yang

terjalin antara raja-abdi dalem serta komunitas masih tetap berlangsung. Fakta

lainnya ditunjukkan dari kawasan alun-alun dan Magersari yang masih utuh

menjadi satu kesatuan ruang Kawasan Keraton Kasepuhan. Bagian selatan

Kawasan Keraton dibatasi oleh Sungai Kriyan. Sungai merupakan cikal bakal

pertumbuhan perkotaan diawali dari sekelompok permukiman kecil (Boechari,

2011). Keraton Kasepuhan dibangun dengan dasar filosofis kosmologis. Dasar

kosmologis masih tetap bertahan hingga saat ini. Raja berperan sebagai layaknya

dewa-raja atau wakil Tuhan. Bentukan sistem keruangan tercermin dari simbol

ruang keraton yang merupakan bagian integral dari makrokosmos atau jagat

raya. Dengan filosofis itu menjadikan ruang-ruang keraton memiliki sistem

keruangan yang peletakkannya sesuai ketentuan simbol kosmologis tersebut.

Simbol kosmologis masih tetap terjaga di Keraton Kasepuhan

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

1.1.5. Gejala Pergeseran Makna dalam Mempertahankan Wujud

Eksistensi Ruang Keraton Kasepuhan

Gejala perubahan ruang yang terjadi mengindikasikan adanya pergeseran

makna di Keraton Kasepuhan. Salah satunya realitas perubahan ruang yang terjadi

adalah pendirian sekolah umum setingkat SMK ( Sekolah Menengah Kejuruan) di

dalam benteng Keraton Kasepuhan. Perubahan–perubahan ini mulai menggejala

di dalam benteng keraton maupun di luar benteng keraton. Perubahan ruang

seperti itu tentunya menarik untuk diteliti. Gejala perubahan ruang tersebut

memberi indikasi adanya pergeseran makna ruang.

Pergeseran makna berkonotasi pada adanya suatu gerak dari makna.

Pembahasan tentang makna akan berkait pada sesuatu yang bersifat abstrak.

Abstrak karena makna terletak di alam mental manusia. Dengan demikian

pergeseran makna adalah adanya gerak yang terjadi di alam mental. Gerak alam

mental yang memunculkan suatu kesadaran spiritual seperti pendapat Robert E.

Ornstein (1972) menyatakan bahwa dimensi kesadaran dibagi menjadi dua, yaitu

dimensi verbal yang bersifat eksoterik (berkaitan dengan rasional) dan dimensi

nonverbal yang bersifat esoterik (berkaitan dengan emosi dan kemampuan

intuitif). Bukti yang lainnya muncul dari pernyataan Ken Wilber (2012;295)

menegaskan bahwa di dalam ruang (alam dan lingkungan) terdapat garis

perkembangan kesadaran spiritual yang termanifestasikan. Dengan demikian

maka gerak makna adalah gerak di alam mental akibat kesadaran spiritual yang

dapat mewujud dalam realitas di dalam ruang.

Kata makna memiliki pemahaman yang berhubungan dengan ciri-ciri di

luar bahasa atau penalaran. Selain itu kata makna memberi pengertian arti yang

berkaitan dengan intepretasi dan manfaat, nilai (value) dan juga mempunyai

pengertian yang berkaitan dengan sistem pengukuran, hierarki, dan kualitas.

(Bagus, 2000). Wujud realitas ruang keraton adalah simbol suatu kekuasaan pada

masa lalu. Makna yang melekat pada ruang keraton memiliki keterhubungan

dengan rasa/emosi dari simbol masa lalu tersebut. Masa kini ruang keraton

memiliki masalah dalam upaya mempertahankan eksistensi keruangannya.

Tekanan globalisasi akan terus menghantam eksistensi keraton. Sebagai akibatnya

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

sebagian besar keraton/ kerajaan-kerajaan masa lalu banyak yang hilang

eksistensinya karena ketidak mampuan mempertahankan ruang eksistensi

tersebut. Untuk mempertahankan eksistensi ruang keraton tentunya membutuhkan

upaya-upaya kerja keras dari pelaku ruangnya. Demikian pula dengan pelaku

Keraton Kasepuhan membutuhkan upaya-upaya yang bersifat pragmatis.

Demikian halnya di Keraton Kasepuhan, mengindikasikan adanya pergeseran

makna ruang simbolik ke makna ruang pragmatis. Wujud perubahan ruang terjadi

terutama ketika masa kepemimpinan Gusti Sepuh XIV. Dengan demikian ada

suatu gejala pergeseran makna ruang yang yang menarik untuk diteliti di Kawasan

Keraton Kasepuhan.

1.2. Keaslian Penelitian

Dalam upaya melihat keaslian penelitian maka dilakukan dengan

menginventarisasi penelitian pada lokus yang sama yaitu Keraton Kasepuhan di

Cirebon. Hasil inventarisasi terhadap lokus penelitian di Kawasan Keraton

Kasepuhan Cirebon menghasilkan substansi penelitian yang beraneka ragam.

Akan tetapi keanekaragaman materi tersebut pada dasarnya dapat diklasifikasikan

menjadi empat substansi materi saja. Keempat substansi materi tersebut adalah :

agama, sejarah, arsitektur dan pariwisata. Untuk substansi materi penelitian pada

kontek agama antara lain : Naskah Sattariyah Cirebon ( Mahrus El Mawa , 2010),

Respon Masyarakat Modern Terhadap Eksistensi Tradisi Panjang Jimat Keraton

(Tholibin, 2009), Pluralisme Agama Dalam Warisan Kerajaan (Ali Rahman

,2007).

Konteks materi penelitian untuk substansi sejarah antara lain : Peranan

Pangeran Walangsang Dalam Merintis Kesultanan Cirebon 1445-1529 (Darkum,

2007). Situasi Politik Kesultanan Cirebon Abad 17-18. (Nina H Lubis , 2009).

Lahir, Perkembangan, dan Perpecahan Kesultanan Cirebon Tahun 1677-1803.

(Asep Surya Sumantri, 2010). Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan

Kaitannya dengan Mistisisme dan Budaya. (Sumiah, 2007). Perubahan Sistem

Pemerintahan Kotamadya Cirebon dari Stadsgemeente sampai Kotamadya Daerah

Tinggkat II Tahun 1926-1974 (Ukon Budiaman, 1996). Kesultanan Cirebon

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

Studi Tentang Terpecahnya Cirebon Atas Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman

Tahun 1677 (R. Subagdja, 1990). Sedangkan untuk substansi bidang arsitektur

merupakan kajian yang terbanyak di antara keempat bidang kajian lainnya.

Penelitian bidang arsitektur yang pernah dilakukan di Keraton Kasepuhan Cirebon

antara lain : Kajian Konsep dan Bentuk Arsitektur Masjid Agung Kasepuhan

Masa Kesultanan Cirebon (Hermawan, Ibrahim, 2001), Perbedaan Elemen

Arsitektur Hasil Akulturasi Budaya, antara Keraton Kanoman dan Keraton

Kacirebonan, Cirebon, (Susan Hanuningrum Krisanti , 2011), Konservasi Keraton

Kaprabonan Cirebon bagi Pertumbuhan Pariwisata (Marianne Tjitromuljo, 2009),

Perpaduan dan Penyesuaian Bentuk Arsitektur Masjid Merah Panjunan, Cirebon

(Audrey Famush, 2007), Pusat Promosi Kerajinan di Keraton Kasepuhan Cirebon,

Transformasi Arsitektur Tradisional (R. Intan P. Lestari , 2001), Arsitektur Islam

Cirebon Studi Kasus Pusat Syi’ar Islam di Kotamadya Cirebon (Hardy Suhardy,

1991), Pusat Kesenian di Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon (Pramuka W. D

Hardjodiprodjo, 1990). Sedangkan substansi pariwisata antara lain Daya Tarik

Objek Wisata Budaya Keraton Kasepuhan Cirebon terhadap Arus Kunjungan

Wisatawan (Hestri Hurhayati, 2006), Tata Cara Upacara Panjang Jimat di Objek

Wisata Budaya Keraton Kasepuhan Cirebon (Mutiara Andiarini, 2005). Dari

beberapa hasil penetian tersibut walaupun memiliki lokus yang sama tetapi

tidaklah memiliki konteks substansi penelitian yang sama dengan penelitian yang

dilakukan oleh peneliti. Dengan demikian penelitian pergeseran makna ruang

simbolik ke ruang pragmatis kebermanfaatan di Keraton Kasepuhan Cirebon

merupakan penelitian yang masih asli.

Ada beberapa penelitian yang memiliki fokus yang sama tentang makna

ruang tetapi keaslian penelitian tentang pergeseran makna ruang simbolik ke

ruang kebermanfaatan Keraton Kasepuhan di Cirebon tetap terjaga. Hal ini bisa

dilihat dari beberapa penelitian yang mengkaji pada makna dan nilai ruang seperti

penelitian dengan judul “Nilai Ruang di Kawasan Ampel Surabaya” (Rimadewi

Supriharjo, 2004). Walaupun fokusnya sama tentang makna ruang akan tetapi

memiliki perbedaan yang sangat prinsip karena setting ruang yang berbeda antara

Keraton Kasepuhan dan Kawasan Ampel Surabaya. Demikian juga untuk judul

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

“Toleransi Keruangan dalam permukiman Padat Rumah Kontrakan di Kampung

Pajeksan Jogonegaran, Yogyakarta (Dermawati Djoko Santoso,2006). Makna

ruang toleransi tidak terkonstruksi di Kawasan Keraton Kasepuhan. Sama halnya

dengan judul penelitian “Rukun Kota : Ruang Perkotaan Berbasis Budaya Guyub

Poros Tugu Pal Putih Sampai dengan Alun-alun Utara Yogyakarta” (Edi

Purwanto,2007) konstruksi makna ruang guyub tidak terkonstruksi di Kawasan

Keraton Kasepuhan. Penelitian dengan judul “Permufakatan dan Desakralisasi

Ruang Di Permukiman Kauman Yogyakarta (Suastiwi Trihatmojo, 2010) yang

menemukan konstruksi makna ruang permukatan dan desakralisasi sebagai hasil

penelitian di Kampung Kauman Yogyakarta tidak sama makna ruangnya dengan

makna ruang Kawasan Keraton Kasepuhan. Demikian pula dengan judul

penelitian “Konsep Saged: Spirit Arsitektur Kota Kecil (Djoko Wijono, 2011)

menunjukkan konsep Saged tidak terkonstruksi di Kawasan Keraton Kasepuhan.

Dengan demikian menegaskan penelitian ini terbukti orisinalitasnya.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Peristiwa berubahnya atau bertambahnya ruang di Kawasan Keraton

Kasepuhan tentunya memiliki tujuan ke arah makna tertentu. Peristiwa ini sangat

menarik untuk dipelajari. Dengan demikian maka penelitian ini akan

berkonsentrasi pada pertanyaan utama : Bagaimanakah makna ruang kekinian di

Kawasan Keraton Kasepuhan dengan adanya pergeseran makna ruang yang

terjadi? Pertanyaan penelitian lanjutan

fenomena apa yang dapat diungkap dari pergeseran makna ruang di Kawasan

Keraton Kasepuhan?

hakikat apa yang mengakibatkan pergeseran makna ruang di Kawasan

Keraton Kasepuhan ?

1.4. Tujuan Penelitian

Secara teoritis tujuan penelitian adalah membangun teori lokal mengenai

makna ruang akibat dari pergeseran makna ruang di Kawasan Keraton Kasepuhan.

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah :

Menambah khazanah bangunan pengetahuan terutama dalam bangunan

pengetahuan teori-teori lokal, khususnya teori lokal di kawasan keraton.

Indigenous planning melalui paradigma postmodern planning terbuka untuk

menemukan teori lokal keruangan yang baru.

Memberikan bahan pertimbangan dalam upaya perencanaan, khususnya

eksistensi ruang kawasan budaya lokal. Terutama pertimbangan substansi

kawasan budaya di Keraton Kasepuhan. Substansi kawasan budaya telah diatur

dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, akan tetapi masih

bersifat umum. Hasil temuan penelitian ini dapat mengisi substansi yang lebih

spesifik terutama untuk Kawasan Keraton Kasepuhan.

1.6. Batasan Penelitian

1.6.1. Batasan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian mengambil lokasi di Kawasan Keraton Kasepuhan.

Batasan lingkup kawasan adalah keraton sebagai tempat tinggal dan aktivitas dari

Gusti Sepuh serta Astana Gunung Jati. Kedua lokasi ini berbeda letak posisinya.

Keduanya terpisah oleh jarak sepanjang 7 km antara lokasi Keraton Kasepuhan

dengan lokasi Astana. Kedua tempat ini berada di wilayah administrasi yang

berbeda, Keraton Kasepuhan terletak di Kota Cirebon sedangkan Astana Gunung

Jati terletak di Kabupaten Cirebon. Dengan demikian maka lingkup wilayah

penelitian disebut kawasan karena merupakan ruang yang memiliki fungsi yang

sama yaitu kawasan aktifitas Keraton Kasepuhan. Karena lingkupnya adalah suatu

kawasan maka ruang kajian merupakan ruang meso. Berikut ini wilayah studi

sebagai lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 1.1.

Substansi penelitian dibatasi pada lingkup substansi bidang keilmuan

perencanaan/planning. Khususnya pada substansi perencanaan kawasan budaya

sesuai UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Berdasarkan ketentuan

umumnya membahas tentang kawasan strategis nasional warisan budaya sebagai

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

salah satu kawasan strategis nasional. Kawasan Keraton Kasepuhan menjadi

substansi kawasan strategis budaya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No 8

tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cirebon Tahun 2011-

2031.

Substansi materi penelitiannya meliputi nilai budaya dalam

mempertahankan eksistensi ruang lokal Kawasan Keraton Kasepuhan. Substansi

yang dikaji dari pergeseran makna ruang. Dimana pergeseran makna lebih dilihat

dari perspektif kesadaran (konsep mental) yang dimunculkan dari para pelaku

ruang di Kawasan Keraton Kasepuhan pada saat ini ( 2011-2014). Persepsi Ruang

Simbolik dan Ruang Pragmatis juga merupakan persepsi kesadaran mereka bukan

dalam pemahaman wujud struktur keruangannya (fisik) semata. Wujud fisik

struktur keruangan hanya merupakan implikasi (realitas) dari adanya pergeseran

makna dalam tatanan persepsi pelaku ruang.

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

Batasan Substansi Penelitian

Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian

Sumber : Hasil Grand Tour, tahun 2012

Deliniasi Astana Sunan Gunung

Jati sebagai lokasi penelitian

Deliniasi Keraton Kasepuhan

Jati sebagai lokasi penelitian

Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/