pendahuluan a. latar belakang masalah (2000) yang bahwa...

23
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Buku Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya (2000) yang disusun oleh Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan (KDI-Keolahragaan) merupakan referensi berbahasa Indonesia terbaru dan paling awal yang dapat ditemui setelah adanya Deklarasi Surabaya 1998 tentang ilmu keolahragaan. Nilai penting buku ini bila dilihat dari konstruksi bangunan ilmu keolahragaan di Indonesia adalah bahwa landasan filsafat yang secara umum memuat landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis telah dipaparkan sebagai basis meta teoritis ilmu keolahragaan sebagai ilmu mandiri. Beberapa buku berbahasa Indonesia yang terbit setelah itu, sejauh yang dapat dilacak, tidak lagi berpusat pada landasan filsafati ini. Proyek-proyek penelitian dan pengembangan ilmu keolahragaan dengan dasar kefilsafatan di Indonesia, tentu saja penting untuk dilakukan sesuai relevansi kompetensi penulisnya. Peneliti menganggap bahwa buku KDI- Keolahragaan merupakan referensi berbahasa Indonesia yang harus dikritisi dan diinterpretasikan secara tepat dan kontekstual dalam rangka pelandasan filosofis pengembangan ilmu keolahragaan. Pelandasan filosofis di sini berarti pengkajian yang mendasar tentang ciri khas ilmu keolahragaan dilihat dari bangunan ilmu pendukungnya. KDI- Keolahragaan sebenarnya sudah memformulasikan landasan filsafati ini, namun

Upload: trinhtuyen

Post on 03-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Permasalahan

Buku Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya (2000) yang

disusun oleh Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan (KDI-Keolahragaan) merupakan

referensi berbahasa Indonesia terbaru dan paling awal yang dapat ditemui setelah

adanya Deklarasi Surabaya 1998 tentang ilmu keolahragaan. Nilai penting buku

ini bila dilihat dari konstruksi bangunan ilmu keolahragaan di Indonesia adalah

bahwa landasan filsafat yang secara umum memuat landasan ontologis,

epistemologis, dan aksiologis telah dipaparkan sebagai basis meta teoritis ilmu

keolahragaan sebagai ilmu mandiri. Beberapa buku berbahasa Indonesia yang

terbit setelah itu, sejauh yang dapat dilacak, tidak lagi berpusat pada landasan

filsafati ini. Proyek-proyek penelitian dan pengembangan ilmu keolahragaan

dengan dasar kefilsafatan di Indonesia, tentu saja penting untuk dilakukan sesuai

relevansi kompetensi penulisnya. Peneliti menganggap bahwa buku KDI-

Keolahragaan merupakan referensi berbahasa Indonesia yang harus dikritisi dan

diinterpretasikan secara tepat dan kontekstual dalam rangka pelandasan filosofis

pengembangan ilmu keolahragaan.

Pelandasan filosofis di sini berarti pengkajian yang mendasar tentang ciri

khas ilmu keolahragaan dilihat dari bangunan ilmu pendukungnya. KDI-

Keolahragaan sebenarnya sudah memformulasikan landasan filsafati ini, namun

2

masih bersifat umum dan perlu penelitian lebih lanjut. Format penelitian untuk

landasan pengembangan ilmu keolahragaan ini oleh karenanya harus muncul dari

filsafat sebagai bidang kajian yang diakui secara luas (world wide) bertanggung

jawab untuk mengajukan analisis kritis dan memberikan landasan teoritis bagi

ilmu-ilmu lain (misalnya diulas dalam Schick, 1997). Klarifikasi dan justifikasi

adalah dua proses utama peran filsafat dalam bidang-bidang kajiannya (Hardman

dan Jones, 2010: 2), di mana penelitian ini mengoperasionalkan keduanya sebagai

upaya merekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan.

Rekonstruksi melalui klarifikasi dan justifikasi ini melibatkan pemahaman

yang baik tentang “sistem” filsafat yang hendak direkonstruksikan. Rekonstruksi

berarti tindakan atau proses merekonstruksi atau direkonstruksi. Istilah ini tidak

dimaksudkan sebagai kesan, model masa lalu sebagaimana tergambar dalam

rekonstruksi suatu tindak kriminal, namun mengarah pada makna membangun

kembali apa yang sudah rusak atau hancur. Secara singkat, rekonstruksi berarti

penyusunan/penggambaran kembali (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008:

1189). Proses rekonstruksi dalam penelitian ini mempertahankan nilai-nilai primer

seperti objek material dan formal ilmu keolahragaan (ontologi) atau kajian muatan

ilmu keolahragaan (epistemologi), meskipun bisa jadi ada beberapa modifikasi

(penambahan/pengurangan) dalam aktivitas membangun kembali landasan filsafat

ilmu keolahragaan.

Salah satu peran rekonstruksi dalam filsafat ditunjukkan oleh Mario Bunge

(2001: 220-224) dengan menyebut rangkaian 13 konsep berkebalikan arah makna

(misalnya otentik/palsu atau berguna/tak berguna) untuk menunjuk “filsafat” atau

3

“ilmu” yang sesungguhnya pseudo-filsafat atau pseudo-ilmu. Keterbukaan

terhadap kritik-(re)konstruktif adalah harga mati sistem/aliran filsafat (dan ilmu)

apapun. Sebagaimana ditekankan Mario Bunge (2001: 10), rekonstruksi dalam

filsafat adalah keniscayaan sejarah kefilsafatan ketika suatu sistem filsafat

mengalami krisis. Krisis yang dimaksud Bunge mengarah pada “filsafat yang

buruk” yang memblokir pandangan suatu gagasan-gagasan atau apapun, dengan

mengklaim bahwa “sistem” filsafat tertentu itu dapat dipahami tanpa bantuan

argumentasi atau pengalaman lain. Mengadopsi penegasan Bunge ini, apa yang

terdokumentasikan di buku KDI-Keolahragaan jika itu dianggap sebagai suatu

“sistem” filsafat, maka tergolong “filsafat yang buruk” ketika menolak kehadiran

penalaran argumentatif selain yang tertera di buku itu. Tentu saja, para penyusun

buku tersebut tidak memaksudkannya demikian. Namun fakta menunjukkan

bahwa persoalan landasan filsafat ilmu keolahragaan – di Indonesia, namun bisa

jadi juga global – tidak memperoleh pembaruan sama sekali semenjak “sistem”

filsafat (landasan filsafat) itu dituliskan terakhir kalinya. Hal ini mengarah pada

terciptanya “filsafat yang buruk”, suatu alasan mendasar dan tak terbantahkan

bagi penelitian ini untuk diajukan sebagai suatu usaha urgen: rekonstruksi.

Penelitian untuk filsafat ilmu keolahragaan ini diarahkan pada pengenalan

dan pemetaan wilayah-wilayah ilmu keolahragaan dilihat dari perspektif holistik,

radikal, komprehensif, sinoptik-diakronik, dan sekaligus mampu mencerminkan

implementasi kebijakan publik keolahragaan, terutama sistem pembinaan

olahraga, baik di lingkungan formal maupun non-formal. Penelitian seperti ini

tentu cukup sulit untuk ditangkap urgensinya, apalagi untuk bidang budaya praktis

4

seperti olahraga, kecuali apabila ada kesadaran kritis bahwa besar kokohnya

bangunan suatu ilmu, tetap tidak bisa lepas dari landasan/basement filosofinya,

baik filosofi dalam arti filsafat yang diterapkan untuk bidang praktis (misalnya

filsafat olahraga atau filsafat ilmu) maupun filosofi dalam arti hidden philosophy.

Sebagaimana filsafat pendidikan, filsafat hukum, dan lain-lainnya, filsafat

olahraga muncul sebagai sub-disiplin filosofis yang khas. Sejumlah persoalan

filosofis utama dalam sub-disiplin ini menarik untuk digeluti oleh mayoritas

ilmuwan. Ketertarikan utama tersebut adalah isu hakikat etis di mana perilaku dan

semua atmosfir moral di dalamnya diperiksa dan dievaluasi. Pembaca karya-karya

filsafat olahraga akan lebih familier dengan debat-debat etis tentang benar-salah

terkait substansi-substansi yang meningkatkan penampilan, nilai penting fair play,

dan persoalan keadilan/kesamaan dalam partisipasi olahraga (Hardman dan Jones,

2010: 3). Filsafat olahraga, dengan demikian lebih didominasi dengan perdebatan

nilai-nilai (terutama nilai etis) dalam analisisnya terhadap olahraga sebagai salah

satu fenomena sosial. Istilah “filsafat olahraga” lebih menunjuk pada salah satu

bidang teori dalam bidang ilmu keolahragaan, dan tidak berwenang untuk

menggambarkan dan menjustifikasi secara komprehensif teoritis-konseptual

keberadaan ilmu keolahragaan sebagai disiplin ilmiah yang menjadi wilayah

kajian “filsafat ilmu keolahragaan” (Pramono, 2004: 1). Kedua sub-disiplin

tersebut, baik filsafat olahraga (filsafat tentang olahraga) maupun filsafat ilmu

keolahragaan (ilmu keolahragaan ditinjau dari sudut pandang filsafat ilmu)

dipergunakan dalam penelitian ini dengan titik awal berupa kajian “ontologi

tubuh” yang diimplementasikan ke dalam landasan filosofis ilmu keolahragaan.

5

Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain

merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari

ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Dimensi

ontologi ilmu keolahragaan dengan demikian terkait dengan kajian filosofis

terkait permasalahan apa objek studi ilmu keolahragaan yang dianggap unik dan

tidak dikaji oleh disiplin ilmu lainnya, serta memetakan medan kajian ilmu

keolahragaan sebagai suatu rincian objek formalnya, dan pembahasan tentang

maksud dan sasaran ilmu keolahragaan yang merupakan persoalan atau fokus

penting dalam membangun dasar-dasar teoritis ilmu keolahragaan dari aspek

ontologis ini (KDI Keolahragaan, 2000: 6, 9; Haag, 1994: 9).

Gerak manusia sebagai objek material ilmu keolahragaan (KDI

Keolahragaan, 2000: 6), mensyaratkan konsep tubuh sebagai wahana gerak itu.

Tidak ada olahraga tanpa tubuh. Mengonstruksi konsep keolahragaan, berarti juga

harus dilandasi konstruksi konsep tubuh yang kongruen. Filsafat berperan penting

untuk memberikan landasan di tingkat prareflektif tentang tubuh ini dan sekaligus

memberikan evaluasi kritis atas bangunan konsep reflektifnya. Tinjauan ontologis

tentang tubuh dengan demikian merupakan tinjauan ontologis terhadap salah satu

aspek konseptual dari objek material ilmu keolahragaan, yang pada gilirannya

secara konstruktif memperkokoh landasan filosofis ilmu keolahragaan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti menganggap penting penelitian

untuk mengupayakan rekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan melalui kajian

ontologis tubuh sebagai komponen penting olahraga. Hal ini akan dieksplorasi

peneliti dengan menelaah salah satu pandangan filosofis tentang tubuh, yakni

6

konsep tubuh-subjek, pandangan Maurice Merleau-Ponty yang terkenal dengan

paham tubuh-subjek, yang menganggap tubuh tidak sekedar objek, tetapi sebagai

subjek. Pandangan tubuh-subjek Merleau-Ponty dipilih peneliti untuk dieksplorasi

dalam penelitian ini disebabkan oleh dua alasan.

Alasan pertama bercorak objektif: bahwa Merleau-Ponty adalah salah

seorang filsuf orisinil dan paling menarik di abad ke-20, di mana karya-karyanya

mencakup spektrum luas yang melibatkan berbagai bidang disiplin dan subjek

yang senantiasa mendudukkan gagasan-gagasan Merleau-Ponty dengan cara yang

terbedakan dari gagasan-gagasan tokoh lain, dengan referensi “kekal” tentang

ketubuhan, perseptual, dan tema eksistensial yang secara orisinil diinspirasikan

Merleau-Ponty (Carman, 2008: 1 dan 3). Kekuatan dimensi baru pemikirannya

bahkan menawarkan solusi bagi permasalahan-permasalahan filsafat tradisional

(Hass, 2008: 2). Gail Weiss (2008: 1) menyebut spektrum luas pemikiran

Merleau-Ponty sebagai “interdisciplinary scholar” yang mengkaji secara standar

kontemporer berbagai disiplin: neurofisiologi, psikologi gestalt dan

perkembangan, teori politik, teori sastra dan estetika, antropologi, dan linguistik.

Pengembangan deskripsi fenomenologisnya tentang persepsi, bahasa, kehidupan

politik, seni, literatur, dan sejarah, secara aktif dikuatkan oleh berbagai disiplin

tersebut yang dielaborasikan dengan cara yang sungguh-sungguh orisinil dan

berbeda, dari keutamaan tubuh yang hidup dalam pengalaman keseharian. Tidak

mengherankan jika filsafat Merleau-Ponty berpengaruh luas tidak hanya terhadap

para filsuf kontinental, namun juga terhadap para pakar kesusastraan, ilmuwan

kognitif, arsitek, antropologis, teoris feminis, psikoanalitik, kritikus ras, dan

7

kebudayaan. Filsafat tubuh Merleau-Ponty penting dikaji secara ontologis untuk

memberikan landasan bagi filsafat (dan juga ilmu), dalam mengembangkan

berbagai proyek pemikiran. Penelitian ini juga menjadi salah satu tema bidang

keilmuan yang terinspirasi kuat pandangan fenomenologi tubuh Merleau-Ponty

terhadap disiplin yang relatif baru: Ilmu Keolahragaan.

Alasan kedua lebih subjektif: setelah membaca beberapa pemikiran filsafat

(terbanyak dari filsuf Barat), peneliti berkesimpulan bahwa tubuh cenderung

dianggap sebagai sesuatu yang kehadirannya acapkali tidak sepenting jiwa (atau

juga roh), dan ini mengindikasikan kurang dihargainya tubuh dalam proyek-

proyek filsafat. Kurang dihargainya tubuh ini menjadi pemicu keresahan

intelektual peneliti, khususnya karena posisi keterlibatan profesi peneliti di bidang

pengembangan ilmu keolahragaan yang mensyaratkan wawasan komprehensif

tersendiri terhadap tubuh. Merleau-Ponty dengan ontologi tubuhnya, menjadi

“titik terang” yang sejak tahun 2003 membantu peneliti menjawab berbagai

permasalahan mendasar baik dalam kaitannya dengan kebertubuhan maupun ilmu

keolahragaan.

Filsafat tidak dimaksudkan sebagai penyedia solusi langsung persoalan

praktis sehari-hari. Penelitian ini meskipun hendak merekonstruksi landasan

filsafat ilmu keolahragaan berdasarkan ontologi tubuh Merleau-Ponty, memang

juga tidak berorientasi pemaksaan filsafat sebagai solusi berbagai permasalahan

olahraga (dan ilmu keolahragaan), tetapi menekankan pada suatu hubungan tak

langsung yang diandaikan antara pandangan kefilsafatan yang dianut dengan

orientasi konsep/tindakan di ranah keilmuan dan praktek olahraga keseharian.

8

2. Rumusan Masalah

a) Apa hakikat tubuh menurut Merleau-Ponty?

b) Bagaimana perspektif ontologi terhadap fenomenologi tubuh?

c) Apa sumbangan kajian ontologi tubuh Merleau-Ponty dalam rangka

rekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan?

3. Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian ini: dari segi isu-isu persoalan filsafat cabang keilmuan

khusus, penelitian ini menawarkan hal yang baru yakni kajian filsafat di ranah

ilmu keolahragaan yang bukan semata-mata persoalan etika, tetapi juga persoalan

ontologi, epistemologi dan filsafat manusia.

Hampir tidak ada karya pemikiran/penelitian akademisi Indonesia yang

membahas tentang tema ontologi atau bahkan filsafat ilmu keolahragaan. Tesis S2

penulis terkait dengan tema disertasi ini, namun lebih banyak mengupas

pengembangan ilmu keolahragaan dalam koridor epistemologi keilmuan, belum

ditujukan untuk mengonstruksi ulang filsafat ilmu keolahragaan:

Made Pramono, 2003, Peran Fenomenologi Tubuh dalam Pengembangan Ilmu Keolahragaan, Tesis, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta, tidak diterbitkan.

Peneliti memang bermaksud memperdalam materi kebertubuhan dalam ilmu

keolahragaan sebagai suatu ”road map” yang lazim dilakukan di dunia akademik,

sehingga tesis peneliti merupakan rangkaian tanggung jawab kompetensi peneliti

untuk diteruskan di tingkat disertasi S3.

Tenggang waktu antara tesis (2003) sebagai usaha awal peneliti, hingga

pembuatan disertasi ini (2013) dengan tema tubuh dalam kerangka filsafat sebagai

9

pusat pembahasannya, sudah dikembangkan dan dipublikasikan peneliti ke

berbagai karya buku, artikel jurnal, maupun prosiding pertemuan ilmiah. Sitasi

berbagai karya pihak lain terhadap tulisan peneliti juga sudah banyak (bisa

diperiksa melalui browsing pencarian di internet). Disertasi ini hendak

mengangkat tema yang serupa namun lebih intensif dan ekstensif, untuk

menemukan teori baru tentang tema-tema terkait (baik itu tema tubuh, filsafat

olahraga, dan lain-lain secara mandiri maupun integral).

Skripsi Agrita Widiasari (Universitas Indonesia, 2012) berjudul “Tubuh dan

Persepsi sebagai Sarana Epistemologis: Diskursus Tubuh Difabel Dalam

Kerangka Pikir Merleau-Ponty” merupakan salah satu tulisan ilmiah yang

mendeskripsikan aplikasi pemikiran tubuh dari Merleau-Ponty ke wilayah

difabilitas. Pada 13 November 2013, ringkasan disertasi doktoral Sumaryanto di

Fakultas Filsafat UGM berjudul “Eksistensi Olahraga dalam Perspektif Filosofis

dan Kebermaknaannya dalam Kehidupan” disampaikan penulisnya dalam pidato

pengukuhan Guru Besar di Universitas Negeri Yogyakarta. Meskipun tesis Made

Pramono juga disitasi, namun disertasi tersebut lebih bermuara pada aspek

aksiologis olahraga. Intisari aksiologis disertasi Sumaryanto (ditulis bersama Joko

Siswanto dan Achmad Dardiri) juga pernah dipublikasikan dalam bentuk artikel

jurnal, yakni dalam Cakrawala Pendidikan Jurnal Ilmiah Pendidikan, Mei 2011,

Th XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY, dengan judul “Dimensi Aksiologis

dalam Olahraga: Relevansinya dengan Pembentukan Karakter Bangsa”.

10

4. Manfaat Penelitian

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Analisis Tubuh-Subjek secara kritis diharapkan mampu menjadi pandangan

filsafat tubuh yang baru sebagai basis rekonstruksi, evaluasi kritis, dan

analisis wacana dalam bidang olahraga baik dalam arti pra-konsepsi pelatihan

olahraga, pendidikan jasmani, olahraga rekreasi, dan rehabilitasi olahraga,

maupun dalam arti strategi pengembangan ilmu keolahragaan.

b. Bagi Filsafat

Dimensi baru pemikiran Merleau-Ponty, terutama dalam kaitannya dengan

penghargaan ultimate dan total terhadap tubuh, merupakan gagasan tak

terbantahkan tentang nilai penting tubuh untuk tidak diremehkan dalam

berbagai wacana filsafat. Penelitian-penelitian filsafat yang berkaitan dengan

hakikat manusia pada akhirnya perlu mempertimbangkan konsep tubuh tidak

semata-mata sebagai objek yang bisa diabaikan.

c. Bangsa Indonesia

Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya sebagai salah satu pilar tujuan

pembangunan, mensyaratkan kebijakan yang tepat dalam membentuk

manusia yang sehat dan bugar jasmaninya. Analisis kritis dan evaluasi

kebijakan kelembagaan melalui kajian ontologi tubuh ini, menemukan

argumentasi fundamentalnya.

B. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui makna tubuh dalam konsep tubuh-subjek Merleau-Ponty.

11

2. Analisis kritis konsep tubuh-subjek Merleau-Ponty dengan mempergunakan

perspektif ontologi.

3. Refleksi kajian ontologi tubuh Merleau-Ponty dalam rangka rekonstruksi

filsafat ilmu keolahragaan.

C. Tinjauan Pustaka

Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulai

muncul pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan melalui

Deklarasi Ilmu Keolahragaan tahun 1998 pada Seminar dan Lokakarya Nasional

Ilmu Keolahragaan di Surabaya. Beberapa akademisi dan masyarakat awam

memang masih pesimis terhadap eksistensi ilmu keolahragaan, khususnya di

Indonesia, terutama dengan melihat kajian dan wacana akademis yang masih

sangat terbatas dan kurang integral. Sebagai suatu ilmu baru yang diakui secara

luas, ilmu keolahragaan berkembang seiring kompleksitas permasalahan yang ada

dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai bergairah menunjukkan

eksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan (Pramono, 2004: 3).

Kajian terhadap fenomena keolahragaan bisa didekati dari berbagai aliran

dan/atau cabang filsafat sesuai penekanan pemikiran tentang objek tersebut.

Khusus dalam hal dimensi keilmuan keolahragaan, tinjauan ontologis,

epistemologis, dan aksiologis adalah tiga landasan penelaahannya (Tim Dosen

Filsafat Ilmu UGM, 2001: 90). Penelitian ini berangkat dari kajian ontologi

tentang tubuh dalam kerangka olahraga, untuk direfleksikan ke dalam tiga

landasan penelaahan ilmu keolahragaan tersebut.

12

Pembahasan dari aspek ontologi berusaha menjawab persoalan apa objek

studi ilmu keolahragaan yang dianggap unik dan tidak dikaji oleh disiplin ilmu

lainnya. Selain itu, perlu juga memetakan medan kajian ilmu keolahragaan

sebagai suatu rincian objek formalnya, serta pembahasan tentang maksud dan

sasaran ilmu keolahragaan yang merupakan persoalan atau fokus penting dalam

membangun dasar-dasar teoritis ilmu keolahragaan dari aspek ontologis ini (KDI

Keolahragaan, 2000: 6, 9; Haag, 1994: 9). Gerak manusia merupakan objek

material dari ilmu keolahragaan (KDI Keolahragaan, 2000: 6), dan ini

mengindikasikan betapa vitalnya kajian tentang tubuh sebagai syarat mutlak yang

harus selalu diandaikan keberadaannya untuk mengkaji objek material tersebut.

Olahraga, dengan demikian, secara hakiki berurusan dengan tubuh.

Konsekuensinya, ilmu keolahragaanpun juga berurusan dengan konsep tubuh.

Oxford English Dictionary mendefinisikan tubuh sebagai ‘kerangka atau

struktur fisik atau material manusia atau hewan; seluruh organisme material ini

dilihat sebagai sebuah entitas organik’ (Synnott, 2003: 23). Opini yang muncul

terhadap pendefinisian tubuh seperti rumusan di atas beraneka ragam. Namun

setidaknya, satu hal yang tentu semua orang sepakat, satu-satunya entitas yang

mampu berpikir tentang tubuh, pasti juga memiliki jiwa.

Filsafat tubuh setelah masa-masa Yunani Kuno bergantian antara pandangan

metafisik yang monistik dengan dualistik, antara yang idealistik dengan yang

materialistik, antara yang mengutamakan jiwa dengan yang mengutamakan tubuh.

Di sini bisa ditemukan aliran idealisme dan materialisme di masa-masa Romawi,

arus pemikiran Yahudi, di masa dominasi gereja atau di masa renaissance, dan

13

juga di jaman modern. Kekayaan tersembunyi pemikiran di daerah Asia tentang

tubuh juga penting maknanya, yang pada awal-awal abad ke-21 ini menjadi

fenomena tersendiri (Capra, 1997; Chopra, 1996).

Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga cukup “serius” untuk

diangkat ke tingkat penghargaan budaya yang lebih tinggi (Hatab, 1998: 106),

sehingga filsafat mau tak mau harus berani mengkaji ulang “tradisinya” sendiri

yang menekankan jiwa atas tubuh, harmoni atas konflik, dan mengakui bahwa

olahraga memiliki kandungan nilai-nilai fundamental bagi keberadaan manusia.

Begitulah, di dunia Yunani Kuno, lokus asal muasal pemikiran filsafat Barat,

olahraga tak hanya populer, tetapi menempati penghargaan kultural terhormat

(Pramono, 2003: 32).

Salah satu arus pemikiran filsafat tubuh yang gemanya sampai sekarang

masih sangat terasa dan merasuki hampir segala sendi kemanusiaan adalah

pandangan Descartes tentang tubuh sebagai mesin. Pernyataannya yang terkenal

“cogito, ergo sum” menjadi lambang penekanan rasionalitas di dunia Barat saat

ini. Pemisahan substansi tubuh (res extensa) dengan jiwa (res cogitans)

menelurkan konsep dunia mekanis yang saat ini masih menjadi dasar bagi

sebagian besar ilmu, dan memengaruhi secara luar biasa banyak aspek kehidupan

(Capra, 1997: 32).

Pengaruh fisiologi mekanistik Cartesian terhadap pemahaman kontemporer

tentang olahraga (termasuk ranah kajian filsafat olahraga) juga luar biasa. Filsafat

olahraga penuh dengan penegasan dan pernyataan kembali (baik secara implisit

maupun eksplisit) dualisme Cartesian, meskipun kadang-kadang ada juga yang

14

menegaskan sebaliknya. Tingkat penerimaan yang terorganisir dari masyarakat

olahraga terhadap kerangka kerja ilmu-ilmu alam serta penerapan skema

behavioristik dan stimulus-respon merupakan bukti yang jelas untuk hal ini, yang

meneguhkan pemahaman bahwa perwujudan manusia (atlet) lebih sering

diobjektivikasi dan direduksi sedemikian rupa (Meier, dalam Morgan dan Meier

(ed.), 1995: 91).

Pro dan kontra terhadap pandangan dualistik-dikotomis tubuh dan jiwa yang

diasalkan pada Descartes bertengger di salah satu puncak diskusi kefilsafatan,

misalnya yang paling gencar adalah apa yang disuarakan oleh Maurice Marleau-

Ponty dengan fenomenologi tubuh. Fenomenologi eksistensial pada umumnya,

dan konsepsi Merleau-Ponty pada khususnya, didasarkan pada doktrin bahwa

“kekhasan paling final dari kesadaran manusiawi, yang mewarnai seluruh

manifestasinya, adalah kesadaran menubuh”. Kontingensi manusia,

keterbatasannya, dan “berada-dalam-dunia”-nya sebagai subjek, dianggap sebagai

titik awalnya. Konsekuensinya, kategori-kategori Cartesian ditentang sebagai

persangkaan yang lemah dan salah arah (Lawrence dan O’Connor, 1967: 10).

Dillon (1988: ix) menyebut kekhususan tema pemikiran Merleau-Ponty

yang diinterpretasikan dalam keterjalinannya dengan pemikiran para filsuf lain,

adalah tema ontologi. Apa yang disuguhkan Dillon dalam ontologi Merleau-Ponty

bisa menjadi dasar bagi tema besar lainnya, yakni fenomenologi tubuh. Dualisme

ontologis menjadi pusat permasalahan ontologi yang dieksplorasi Merleau-Ponty.

Pendekatan yang diambil Merleau-Ponty menghadapi permasalahan tersebut,

adalah pendekatan fenomenologi di mana fenomena dibebaskan dari kekangan

15

tradisional ke tataran imanensi, mengembalikan transendensinya, dan kembali

pada opini manusia sebagai ukuran kebenarannya (Dillon, 1988: xi).

Tubuh dan subjek tidak merupakan dua hal, tetapi tubuh itu sendiri adalah

subjek. Pendirian tentang tubuh-subjek Merleau-Ponty ini mengatasi dualisme

Cartesian. Tubuh dan jiwa bagi Descartes merupakan dua faktor tersendiri. “Aku”

yang sebenarnya adalah jiwa, dan tubuh adalah objek atau mesin yang digunakan

oleh jiwa (Bertens, 2001: 140). Oleh karena itu, pemahaman eksistensi yang

terpisah, secara empatik ditolak. “Tubuh-subjek” adalah entitas atau realitas

tunggal yang bukan mental bukan pula fisik, tetapi serempak keduanya (Meier,

dalam Morgan dan Meier (ed.), 1995: 91). Tegasnya, pendapat ini menganggap

tubuh tidak sekadar objek, tetapi sebagai subjek. Konsep ini, disebut dengan

konsep “tubuh-subjek”.

Apa yang difilsafatkan Merleau-Ponty bisa dikatakan merupakan alternatif

dari tradisi Cartesian yang mendominasi pemikiran, ilmu, dan kultur Barat

sebagaimana yang ditulis Husserl sebagai krisis, dan alternatif dari

ketidakcukupan filsafat kontemporer untuk menyediakan resolusi permasalahan

kehidupan dari krisis tersebut. Merleau-Ponty menyadarkan pembacanya terhadap

kesesatan praanggapan yang menjadi dasar berpikir dan bertindak (Dillon, 1988:

6-7). “Kesesatan praanggapan” inilah yang memicu peneliti menggunakan

perspektif fenomenologi tubuh Merleau-Ponty dalam menelaah olahraga, untuk

dikonstruksikan pembahasannya pada pelandasan filsafat ilmu terhadap ilmu

keolahragaan (filsafat ilmu keolahragaan).

16

Perspektif Merleau-Ponty adalah perspektif alternatif dalam rangka

rekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan yang berangkat dari persoalan tubuh.

Namun rekonstruksi itu sendiri bersifat niscaya, mengingat posisi stagnan

intelektualitas keolahragaan dalam mengupayakan tinjauan ulang maupun

pembaharuan atau pengayaan terhadap filsafat ilmu keolahragaan. Mario Bunge

(2001: 10) menegaskan hal ini “Every time philosophy seemed to hit a dead end,

attempts were made to reconstruct it”. Berbagai pandangan dalam sejarah

kefilsafatan seperti Cartesianisme, Leibnizisme, Kantianisme, Empirisme Klasik,

Materialisme Dialektis, Pragmatisme, Fenomenologi, dan sebagainya

menunjukkan jejak keniscayaan bahwa ketika sistem-sistem filsafat tersebut mulai

stagnan atau “dicukupkan”, maka muncul pemikir-pemikir pembaharu yang

menawarkan alternatif pemikiran entah dalam arti modifikasi, pengayaan, bahkan

penolakan terhadap sistem filsafat yang direkonstruksinya. Apalagi filsafat ilmu

keolahragaan yang bisa dikatakan masih baru dan jelas perlu upaya rekonstruksi

agar tidak menggumpal menjadi krisis filsafat, sebagaimana disebutkan Bunge.

D. Landasan Teori

Salah satu tugas ontologi adalah refleksi atas realitas sebagai fakta, atau,

menemukan secara konkrit makna yang-ada. Lebih khusus, tugas ontologi

material adalah apakah dalam yang-ada terdapat keumuman, keajegan dan isi

hakiki yang umum yang selanjutnya dapat berdeferensiasi. Tugas ontologi formal

adalah menyelidiki struktur-struktur paling atas, ketentuan-ketentuan dan

keajegan yang dimiliki sesuatu yang-ada sebagai adanya (Siswanto, 2004: 44, 58).

17

Peneliti mempersamakan metafisika dengan ontologi sebagaimana

dieksplisitkan oleh Joko Siswanto (2004: 4-6) untuk menggeneralisir pandangan

kontemporer yang mengabaikan skema Wolff tentang metafisika umum dan

metafisika khusus. Peneliti mempertahankan istilah ontologi untuk mempersempit

pembahasan dengan pengkhususan pada suatu metafisika umum, dan menghindari

kosmologi metafisik, psikologi rasional, dan teologi natural sebagai pembidangan

objek formal penelitian ini. Tubuh sebagai “yang dikaji secara ontologis”, dengan

demikian, dibahas dalam kerangka “tubuh dalam keumumannya”, “tubuh sebagai

yang-ada” yang dilihat dalam keumumannya, tanpa bergantung pada adanya

observasi ilmiah dan eksperimen.

Olahraga mensyaratkan tubuh, karena tubuh inilah yang menjadikan gerak

itu mungkin. Refleksi atas realitas tubuh, dalam penelitian ini berarti mengkaji

tubuh sebagai fakta gerak olahraga secara ontologis. Realitas olahraga yang

multidimensional berakar pada pemahaman prareflektif tentang substansi

kebertubuhan, gerak, maupun interrelasinya dengan aspek kejiwaan. Pandangan

tentang tubuh ini menempati posisi penting dalam sejarah pemikiran manusia,

sehingga analisis kritis kefilsafatan tentang itu perlu diketengahkan dengan

menelaah terutama aliran-aliran dominan tentang tubuh, dalam hal ini konsep

tubuh-subjek yang diketengahkan Merleau-Ponty.

Tubuh yang dikaji dalam penelitian ini adalah tubuh sebagai yang-ada

dalam keumumannya, bukan tubuh yang dikaji hanya dalam keterkaitan terbatas

dengan hakikat manusia dalam arti filsafat manusia (atau merujuk pada Wolff:

psikologi rasional). Peneliti menggunakan perspektif ontologi sebagai objek

18

formal penelitian ini dalam rangka mengarahkan proses konstruksi filsafat tubuh

yang paling mendasar atau mengakar, sekaligus paling umum atau universal,

darinya kajian-kajian terapan seperti filsafat ilmu, filsafat sosial, atau filsafat

manusia dikonstitusikan (Coffey, 2011: 33).

Berbagai konsep dan penjelasan tentang tubuh dalam kerangka ilmu

keolahragaan ditelaah dan diklarifikasi secara kritis. Penelaahan dan

pengklarifikasian ini menurut Parson (2007: 2) bersifat self-referential, reflective,

dan melampaui (“meta”, cenderung “parasitical”), karena bergantung pada

konsep-konsep lain sebelum adanya penjelasan konvensional kebertubuhan.

Dengan demikian urutan kedua ilmu keolahragaan (dalam hal ini tentang tubuh)

tidak hendak memberi penjelasan tentang olahraga itu sendiri, namun dapat dan

akan memberi penjelasan serta berbagai pendekatan tentang ilmu keolahragaan.

Upaya menjelaskan tubuh dalam olahraga perlu – secara implisit maupun

eksplisit – untuk menggunakan pandangan ontologis tertentu tentang apa saja

yang mungkin dikonsepsikan dari tubuh dalam realitas olahraga. Konsepsi tubuh

tersebut dalam sejarah filsafat cenderung didominasi oleh pandangan ontologis

yang mendudukkan tubuh sebagai objek dan menegaskan posisi dualistik dalam

melihat problem tubuh dan jiwa. Berbagai varian pandangan ini mengikutsertakan

posisi materialisme, spiritualisme, idealisme, realisme, fenomenalisme,

empirisme, rasionalisme/intelektualisme, dan seterusnya yang secara ontologis

menghadapkan tubuh sebagai hal yang harus diperbedakan dengan jiwa. Posisi

monisme dalam mengkaji permasalahan tubuh mencakup berbagai pemikiran

yang melihat ketunggalan tubuh dan jiwa. Konsep tubuh-subjek Merleau-Ponty

19

dalam penelitian ini menawarkan salah satu pandangan ontologis tersebut, dengan

dimensi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan filsafat tradisional yang

sudah ada.

E. Metode Penelitian

1. Bahan Penelitian

Objek material penelitian ini adalah konsep tubuh-subjek Merleau-Ponty,

sedangkan objek formalnya adalah perspektif ontologi. Penelitian ini dapat

dikategorikan sebagai penelitian historis-faktual (Bakker dan Zubair, 1990: 61),

atau sebagai penelitian tentang problema filosofis (Kaelan, 2005: 255). Materi

penelitian ini adalah referensi pustaka yang diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Sumber data primer:

1) Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, Ilmu Keolahragaan dan Rencana

Pengembangannya (2000). Buku sederhana ini (belum ada daftar

pustakanya) sangat penting posisinya, karena merupakan referensi satu-

satunya di Indonesia yang berbicara filsafat ilmu maupun strategi dasar

pengembangan ilmu keolahragaan, sebelum Made Pramono menerbitkan

buku Filsafat Olahraga pada tahun 2004. Konstruksi awal dimensi

ontologis ilmu keolahragaan dalam penelitian ini, diketengahkan oleh buku

tersebut.

2) Referensi tentang Tubuh-Subjek atau Fenomenologi Tubuh, misalnya M.

Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception (1962), The Visible and the

Invisible (1968), atau The Incarnate Subject: Malebranche, Maine De

20

Biran, And Bergson On The Union Of Body And Soul (2001), termasuk

buku-buku pembahas Merleau-Ponty bertema fenomenologi tubuh seperti

M.C. Dillon, Merleau-Ponty's Ontology (1988).

b. Sumber data sekunder:

1) Buku-buku terkait dimensi ontologi (elementer), seperti misalnya buku

Joko Siswanto, Metafisika Sistematik (2004), atau Poli, Roberto dan Seibt,

Johanna (eds.), Theory and Applications of Ontology: Philosophical

Perspectives, (2010).

2) Buku-buku terkait dimensi ontologi keolahragaan dan kebertubuhan,

seperti misalnya William J. Morgan dan Klause V. Meier, Philosophic

Inquiry in Sport, (1995) atau Anthony Synnott, Tubuh Sosial: Simbolisme,

Diri, dan Masyarakat (2003).

c. Sumber data tersier:

Buku-buku, artikel, esai, hasil seminar, lokakarya, diskusi (online maupun

offline) dan eksplorasi internet terkait tema-tema antropologi

fenomenologis, ontologi, filsafat ilmu, olahraga dengan multidimensinya,

serta referensi filsuf-filsuf terkait kajian ini.

2. Jalan Penelitian

Penelitian ini mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

a) Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data mengenai konstruksi

dimensi ontologis ilmu keolahragaan yang sudah ada, dan juga data

mengenai konsep tubuh-subjek, baik dari sumber primer maupun

sekunder.

21

b) Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data sesuai dengan kategori

yang ditetapkan secara sistematis. Sesuai maksud penelitian ini, maka

data diklasifikasikan dalam dua kategori utama: konsep tubuh (tinjauan

umum kefilsafatan maupun khusus secara ontologis) dan konsep filsafat

ilmu keolahragaan.

c) Analisis data guna memperoleh makna dari konsep yang diteliti

berdasarkan landasan teori.

d) Interpretasi data hasil analisis untuk memperoleh pemahaman yang jelas

tentang konsep tubuh, lalu diarahkan pada pemahaman yang tepat

tentang rekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan.

e) Menyusun laporan hasil penelitian.

3. Analisis Hasil

Rencana tahapan analisisnya sebagai berikut:

a) Kesinambungan historis

Pemikiran Merleau-Ponty tentang tubuh adalah objek kajian penelitian

ini yang menurut Koren (dalam Kaelan, 2005: 46) mensyaratkan kajian

kepustakaan intensif menyangkut aspek historis. Tahap analisis

kesinambungan historis melacak pandangan filsafati mengenai tubuh

yang bermuara dan terkonsentrasi pada pandangan tubuh-subjek

Merleau-Ponty, serta relevansinya dengan wacana filsafat ilmu

keolahragaan untuk memperoleh benang merah pemahaman lengkap

filsafat ilmu keolahragaan dengan berfokus pada konsep ontologis

tubuh.

22

b) Hermeneutik

Prinsip kerja hermeneutika adalah untuk menangkap objective geist

(makna terdalam, hakikat nilai) yang terkandung dalam objek penelitian

(Schleiermacher, dalam Kaelan, 2005: 80), dalam hal ini fenomenologi

tubuh Merleau-Ponty. Konsep tubuh-subjek diterjemahkan konteks

pikiran zaman dahulu itu (konteks pemikiran Maurice Merleau-Ponty)

ke dalam terminologi dan pemahaman yang sesuai dengan cara berpikir

aktual (terutama relevansinya dengan pengembangan ilmu

keolahragaan).

c) Heuristik

Penelitian ini diupayakan untuk dapat membuka jalan baru dalam

merekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan dengan menganalisis

pandangan tubuh-subjek secara ontologis. Heuristika digunakan peneliti

dalam rangka rekonstruksi ini, sebagai metode untuk menemukan dan

mengembangkan metode baru (jalan baru bagi rekonstruksi) dalam

suatu ilmu dan juga filsafat (Peursen, dalam Kaelan, 2005: 96).

Pendeskripsian sistem kerja metode (context of justification) yang

melahirkan dualisme Cartesian adalah langkah awal menuju proses

kritik terhadap paradigma tersebut untuk menemukan jalan atau

alternatif baru dengan mengetengahkan cara berfilsafat Merleau-Ponty

(context of discovery) dalam mengupayakan sistem filsafat tubuh,

sehingga keterbukaan dan dinamika refleksi filsafat tentang tubuh tetap

terjaga.

23

F. Sistematika Penulisan

Disertasi ini dibagi dalam enam bab. Pendahuluan sebagai bab pertama ini

berisi enam sub pokok bahasan mencakup latar belakang penelitian, tujuan

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika

penulisan. Bab kedua menjelaskan diskursus ontologi, dalam arti mengemukakan

berbagai penjelasan tentang ontologi, persoalan-persoalan ontologi, aliran-aliran

ontologi, penjelasan singkat metode ontologi, serta landan ontologis ilmu dan

ontologi tubuh sebagai relevansi penelitian.

Bab ketiga membahas tentang objek material penelitian, yakni tubuh-subjek

Merleau-Ponty. Bab keempat adalah tentang fenomenologi tubuh yang ditelaah

secara ontologis. Tubuh sebagai kajian ontologi menjadi pembahasan di subbab

pertama, dilanjutkan dengan eksplorasi rediscovery of the body melalui daging,

lalu tubuh, dunia, dan kesadaran, dan ditutup dengan evaluasi kritis. Bab kelima

membahas tentang upaya implementatif penelitian ini, yakni filsafat ilmu

keolahragaan berbasis ontologi tubuh. Bab ini mencakup lima subbab yang

semuanya bermuara pada konstruksi filsafat ilmu keolahragaan yang mengkaji

pengembangan ilmu keolahragaan dengan berbasis ontologi tubuh. Subbab

tersebut adalah filsafat ilmu keolahragaan bukan filsafat olahraga, landasan

filsafat ilmu keolahragaan, landasan ontologis ilmu keolahragaan, landasan

epistemologis ilmu keolahragaan, dan landasan aksiologis ilmu keolahragaan.

Muara dari semua bab sebelumnya adalah pada bab keenam, penutup, yang

terbagi dalam kesimpulan dan saran-saran.