1 bab ii kajian teori, hasil penelitian, dan analisis

48
1 1 BAB II KAJIAN TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS A. KAJIAN TEORI 1. Pengertian Restorative Justice Restorative Justice merupakan reaksi terhadap teori retributif yang berorientasi pada pembalasan dan teori neo klasik yang berorientasi pada kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dalam teori retributif, sanksi pidana bersumber pada ide “mengapa diadakan pemidanaan”. Dalam hal ini sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan (pengimbalan) yang sesungguhnya bersifat reaktif terhadap sesuatu perbuatan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Seperti dikatakan oleh J. E. Jonkers bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan. Sementara sanksi tindakan bersumber pada ide “untuk apa diadakan pemidanaan itu”. Jika dalam teori retributif sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka sanksi tindakan akan ter-arah pada upaya memberi saran dan pertolongan agar dia berubah 1 . Sanksi tindakan bertujuan lebih bersifat mendidik 2 dan berorientasi pada perlindungan masyarakat 3 . Restorative Justice adalah peradilan yang menekankan pada perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana. Restorative Justice dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak 1 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit. hal. 4. 2 Utrecht, E, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hal. 360. 3 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal. 53.

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

1

BAB II

KAJIAN TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

A. KAJIAN TEORI

1. Pengertian Restorative Justice

Restorative Justice merupakan reaksi terhadap teori retributif yang

berorientasi pada pembalasan dan teori neo klasik yang berorientasi pada

kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dalam teori retributif, sanksi

pidana bersumber pada ide “mengapa diadakan pemidanaan”. Dalam hal ini

sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan (pengimbalan) yang

sesungguhnya bersifat reaktif terhadap sesuatu perbuatan. Ia merupakan

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar.

Seperti dikatakan oleh J. E. Jonkers bahwa sanksi pidana

dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan.

Sementara sanksi tindakan bersumber pada ide “untuk apa diadakan

pemidanaan itu”. Jika dalam teori retributif sanksi pidana tertuju pada

perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang

bersangkutan menjadi jera), maka sanksi tindakan akan ter-arah pada upaya

memberi saran dan pertolongan agar dia berubah1.

Sanksi tindakan bertujuan lebih bersifat mendidik2 dan berorientasi

pada perlindungan masyarakat3.

Restorative Justice adalah peradilan yang menekankan pada perbaikan

atas kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana. Restorative

Justice dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak

1 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit. hal. 4.

2 Utrecht, E, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hal. 360.

3 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta:

Pradnya Paramita, 1986), hal. 53.

2

2

(stake holders). Patut dikemukakan beberapa pengertian Restorative Justice

berikut ini :

a. Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the

harm caused or revealed by criminal behaviour. It is best accomplished

through cooperative processes that include all stakeholders. (Keadilan

restoratif adalah teori keadilan yang menekankan perbaikan kerusakan

yang disebabkan oleh perilaku kriminal. Yang paling baik hal ini

dilakukan melalui proses kerjasama yang mencakup semua pihak yang

berkepentingan)4.

b. Restorative justice is a valued-based approach to responding to

wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the

person causing the harm, and the affected community. (Keadilan restoratif

adalah nilai / prinsip pendekatan terhadap kejahatan dan konflik, dengan

fokus keseimbangan pada orang yang dirugikan, penyebab kerugian, dan

masyarakat yang terkena dampak)5.

c. Howard Zehr : Viewed through a restorative justice lens, “crime is a

violation of people and relationships. It creates obligations to make things

right. Justice involves the victim, the offender, and the community in a

search for solutions which promote repair, reconciliation, and

reassurance. (Dilihat melalui lensa keadilan restoratif, kejahatan adalah

pelanggaran terhadap hubungan kemasyarakatan. Kejahatan menciptakan

kewajiban untuk memperbaikinya. Keadilan melibatkan korban, pelaku,

dan masyarakat dalam mencari solusi yang menawarkan perbaikan,

rekonsiliasi, dan jaminan)6.

d. Burt Galaway dan Joe Hudson : A definition of restorative justice includes

the following fundamental elements :”first, crime is viewed primarily as a

conflict between individuals that result in injuries to victims, communities,

and the offenders themselves; second, the aim of the criminal justice

process should be to create peace in communities by reconciling the

parties and repairing the injuries caused by the dispute; third, the

criminal justice should facilitate active participation by the victim,

offenders, and their communities in order to find solutions to the conflict.

(Definisi keadilan restoratif meliputi beberapa unsur pokok : Pertama,

kejahatan dipandang sebagai suatu konflik antara individu yang dapat

mengakibatkan kerugian pada korban, masyarakat, maupun pelaku sendiri;

kedua, tujuan dari proses peradilan pidana harus menciptakan perdamaian

dalam masyarakat, dengan jalan perujukan semua pihak dan mengganti

kerugian yang disebabkan oleh perselisihan tersebut; ketiga, proses

4 http//:152.118.58.226 – Powered by Mambo Open Source Generated: 7 Nopember, 2008, 18:00.

5 Kuat Puji Prayitno, Op.cit. hal. 4.

6 Howard Zehr, Changing lenses : A New Focus for Crime and justice, (Waterloo: Herald Press, 1990),

hal. 181.

3

3

peradilan pidana memudahkan peranan korban, pelaku, dan masyarakat

untuk menemukan solusi dari konflik itu)7.

e. Kevin I. Minor dan J.T. Morrison : Restorative Justice may be defined as

a response to criminal behavior that seeks to restore the loses suffered by

crime victims and facilitate peace and tranquility among opposing parties.

(Keadilan restoratif dapat digambarkan sebagai suatu tanggapan kepada

perilaku kejahatan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh para

korban kejahatan untuk memudahkan perdamaian antara pihak-pihak

saling bertentangan)8.

f. Tony Marshall : Restorative justice is a process whereby all the parties

with a stake in a particular offense come together to resolve collectively

how to deal with the offermath of the offense and its implications for the

future. (Keadilan restoratif adalah proses dimana semua pihak yang

terlibat dalam suatu pelanggaran tertentu datang bersama-sama untuk

menyelesaikan secara kolektif bagaimana menghadapi akibat dari

pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan)9.

g. B.E. Morrison : Restorative justice is a from of conflict resolution and

seeks to make it clear to the offender that the behavior is not condoned, at

the same time as being supportive and respectful of the individual.

(Keadilan restoratif merupakan bentuk penyelesaian konflik dan berusaha

untuk menjelaskan kepada pelaku bahwa perilaku tersebut tidak dapat

dibenarkan, kemudian pada saat yang sama juga sebagai langkah untuk

mendukung dan menghormati individu)10

.

h. Muladi : Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan terhadap

keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab, keterbukaan,

kepercayaan, harapan, penyembuhan, dan “inclusivenes” dan berdampak

terhadap pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan pidana dan

praktisi hukum di seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke depan

berupa sistem keadilan untuk mengatasi konflik akibat kejahatan dan

hukum yang dapat dipertanggungjawabkan serta keadilan restoratif dapat

terlaksana apabila fokus perhatian diarahkan pada kerugian akibat tindak

pidana, keprihatinan yang sama dan komitmen untuk melibatkan pelaku

dan korban, mendorong pelaku untuk bertanggungjawab, kesempatan

7Ibid.

8 Kevin Minor and J.T. Morrison, A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt

Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice : International Perspectives, (Monsey, New York:

Ceimical Justice-Press and Kugler Publications, 1996), hal. 117. 9 Tony Marshall, Restorative Justice : An Overview, (London: Home Office Research Development

and Statistic Directorate, 1999), hal. 8. 10

B.E. Morrison, The School System : Developing its capacity in the regulation of a civil society, in J.

Braithwaite & H. Strang (Eds.), Restorative Justice and Civil Society, (Cambridge University Press,

2001), hal. 195.

4

4

untuk dialog antara pelaku dan korban, melibatkan masyarakat terdampak

kejahatan dalam proses retroaktif, mendorong kerjasama dan reintegrasi11

.

i. Bagir Manan : Secara umum pengertian restorative justice adalah

penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi pelaku,

korban, maupun masyarakat12

.

2. Penerapan Restorative Justice

Dalam prosesnya restorative justice berkaitan erat dengan penerapan

Empowerment, yang terdapat beberapa pengertian, diantaranya adalah13

:

a. Barton: “the action of meeting, discussing and resolving criminal justice

matters in order to meet material and emotional needs. To him,

empowerment is the power for poeple to choose between the different

alternatives that available to resolve one’s own matter. The option to

make such decisions should be present during the whole process”

(Pemberdayaan sebagai tindakan untuk melakukan pertemuan, membahas

dan menyelesaikan masalah peradilan pidana dalam rangka memenuhi

kebutuhan materi dan emosi. Pemberdayaan adalah kekuatan bagi orang

untuk memilih antara berbagai alternatif yang tersedia untuk

menyelesaikan masalahnya sendiri, dan keputusan untuk memilih itu

tersedia dalam proses Restorative Justice).

b. Van Ness and Strong: The genuine opportuinity to participate in and

effectively influence the response of the offence. (Pemberdayaan adalah

kesempatan yang sesungguhnya / sejati untuk berpartisipasi dan secara

efektif memberi pengaruh dalam menghadapi kejahatan).

c. To Zehr: Being empowered means for victims to be heard and to have the

power to play a role in the whole process. It also means that victim have

the opportunity to define their own needs and how and when those needs

should be met. (Diberdayakan berarti korban didengar dan memiliki

kekuatan untuk berperan dalam seluruh proses. Ini juga berarti bahwa

korban memiliki kesempatan untuk mendefinisikan kebutuhan mereka

sendiri dan bagaimana serta kapan kebutuhan tersebut harus dipenuhi).

d. Larson and Zehr: Explain empowerment as the power to participle in the

case but also as the capacity to identify needed resources, to make

decision on aspects relating to one’s case and to follow through on those

decision. (Pemberdayaan sebagai kekuatan untuk berpartisipasi dalam

kasus tersebut tetapi juga sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi

11

Kesimpulan Seminar Nasional HUT Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke-59 dengan tema

“Restorative Justice dalam Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta 25 April 2012. 12

Majalah Varia Peradilan, Tahun XX. No. 247, (Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Juni 2006), hal. 3. 13

Ivo Aertsen dkk, Restorative Justice and The Active Victim :Exploring the Concept of Empowerment

(TEMIDA Journal, Maret 2011, str 5-9, ISSN : 1450-6637 DOI 10.2298/TEM 1101005A Pregledni

Rad), hal. 8-7.

5

5

sumber daya yang dibutuhkan, untuk mengambil keputusan pada aspek

yang berkaitan dengan kasus seseorang dan untuk menindak lanjuti

keputusan tersebut).

e. Toews and Zehr: Describe victim empowerment as a possibility to be

heard, to tell one’s story and to ariculate one’s needs. (Pemberdayaan

digambarkan sebagai kemungkinan korban untuk didengar, untuk

menceritakan kisahnya dan mengemukakan kebutuhannya).

f. Bush and Folger: Define empowerment as an experience of awareness of

the own self-worth and the ability to deal with difficulties. (Pemberdayaan

diartikan sebagai kesadaran terhadap pengalaman dirinya sendiri dan

kemampuan untuk mengatasi kesulitan).

3. Prinsip-Prinsip Restorative Justice

Ada tiga prinsip dasar untuk membentuk Restorative Justice yaitu: The

three principles that are involved in restorative justice include: there be a

restoration to those who have been injured, the offender has an opportunity to

be involved in the restoration if they desire and the court system’s role is to

preserve the public order and the community’s role is to preserve a just

peace14

.

Berdasarkan statement di atas, tiga prinsip dasar Restorative Justice adalah :

a. Terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita kerugian akibat

kejahatan;

b. Pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan keadaan

(restorasi);

c. Pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat

berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.

14

From Wikipedia, the free encyclopedia/http:/en.wikipedia.org/wiki/Restorative_justice.

6

6

4. Teori Sosial Berkaitan Dengan Restorative Justice

a. Teori Living Law

Istilah the living law berarti hukum yang hidup di tengah

masyarakat, dalam hal ini yaitu hukum adat, hukum islam, dan hukum

barat.

Menurut Engen Ehrlich living law adalah hukum yang hidup di

lingkungan suatu masyarakat tertentu berupa perilaku-perilaku sosial yang

tercipta berdasarkan suatu konvensi dan solidaritas sosial, biasa kita sebut

dengan istilah hukum adat.

b. Teori Kearifan Lokal

Kearifan Lokal menurut menurut Undang-Undang No. 32 Tahun

2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup BAB 1

Pasal 1 Butir 30 adalah tentang “Nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata

kehidupan masyarakat untuk antara nlain melindungi dan mengelola

lingkungan hidup secara lestari”.

Menurut Ridwan, Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom

dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal

budidaya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek,

atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.

c. Teori Hukum Adat/Hukum Kebiasaan

Hukum Adat/Hukum Kebiasaan menurut Suyono Wignjodipuro

merupakan sesuatu yang kompleks berhubungan dengan norma-norma

yang bersumber apa ada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang

7

7

serta meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari

dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat

hukum (sanksi).

d. Teori Pemidanaan

Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat

dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :

1) Teori absolut atau teori pembalasan (retributive / vergeldings

theorieen)

2) Teori relatif atau teori tujuan

3) Teori modern

Berikut merupakan pengertian dari ketiga teori diatas :

1) Teori absolut

Menyatakan bahwa pidana merupakan res absoluta ab effectu

futuro (keniscayaan yang terlepas dari dampaknya dimasa depan).

Karena dilakukan kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman, quia

peccatum (karena telah dilakukan dosa).

Menurut Kant dan Hegel, ciri khas dari teori absolut adalah

keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana, sekalipun pemidanaan

sebenarnya tidak berguna, bahkan bilapun membuat keadaan pelaku

kejahatan menjadi lebih buruk. Kejahatan adalah peristiwa yang

berdiri sendiri; ada kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan;

dengan cara ini persoalan dituntaskan. Kesalahan (dosa) hanya dapat

ditebus dengan menjalani penderitaan. Jadi pandangannya diarahkan

ke masa lalu (backward looking), bukan ke masa depan15

.

15

Jan Remmelink, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Dari KUHP Belanda dan

Padanannya Dalam KUHP Indonesia, Terjemahan T. P. Moeliono, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2003), hal. 600.

8

8

Karel O. Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok teori absolut,

yakni16

:

a) The purpose of punishment is just retribution (tujuan pidana

hanyalah sebagai balasan);

b) Just retribution is the ultimate aim, and not in itself a means to any

ather aim, as for instance social welfare which from this point of

view is without any significance whatsoever (Pembalasan adalah

tujuan utama dan didalamnya tidak meangandung sarana-sarana

untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat);

c) Moral guilt is the only qualification for punishment (kesalahan

moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan);

d) The penalty shall be proportional to the moral guilt of the offender

(Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku);

e) Punishment point into the past, it is pure reproach, and it purpose

is not to improve, correct, educate or resocialize the offender

(Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan

bertujuan untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi

pelaku).

Menurut Nigel Walker para penganut teori retributif ini dapat

pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu :

a) Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist) yang

berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan

kesalahan si pembuat.

b) Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang

dapat pula dibagi dalam17

:

1) Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting

retributivist) yang berpendapat bahwa pidana tidak harus

cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh

melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan

terdakwa.

2) Penganut teori retributif yang distributif (retribution in

distribution), disingkat dengan sebutan teori “distributive”

yang berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada

orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus

cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “tiada

pidana tanpa kesalahan” di hormati, tetapi dimungkinkan

adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”.

Terhadap pertanyaan tentang sejauh manakah pidana perlu

diberikan kepada pelaku kejahatan, teori retributif menjelaskan

sebagai berikut18

:

16

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalama Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track System dan

Implementasinya, (Jakarta: Rajawali, 2004), hal. 35. 17

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit. hal. 12-13. 18

Sholehuddin, Op.Cit, hal. 37.

9

9

a) Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas

dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan

keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak

dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum.

Tipe retributif ini disebut vindicative.

b) Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan kepada pelaku

kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman

yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari

orang lain secara tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe

retributif ini disebut fairness.

c) Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan

antara apa yang disebut dengan the gravity of the offence dengan

pidana yang dijatuhkan. Tipe retributif ini disebut dengan :

proportionality. Termasuk ke dalam kategori the gravity ini adalah

kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya

yang ada dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja

ataupun karena kelalaiannya.

Lebih lanjut Nigel Walker dalam “Sentencing in A Rational

Society” menegaskan bahwa asumsi lain yang dibangun atas dasar

retributif adalah beratnya sanksi harus berhubungan dengan besarnya

kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar. Asumsi ini dimasukkan

dalam undang-undang yang memberi sanksi-sanksi pidana maksimum

yang lebih kecil untuk usaha-usaha yang tidak berhasil daripada usaha-

usaha yang berhasil19

.

John Kaplan dalam bukunya Chriminal justice membagi teori

retributif menjadi dua:

a) The Revenge Theory (teori pembalasan).

b) The Expiation Theory (teori penebusan dosa).

Pembalasan mengandung arti, bahwa hutang si penjahat “telah

dibayarkan kembali” (the criminal is paid back), sedangkan penebusan

dosa mengandung arti bahwa si penjahat “membayar kembali

hutangnya” (the criminal pays back). Jadi pengertian tidak jauh

berbeda.

Menurut John Kaplan tergantung dari cara orang berpikir pada

saat menjatuhkan suatu sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu

karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan

“ia berhutang sesuatu kepada kita”.

Demikian pula Johannes Andenaes menegaskan bahwa

“penebusan” tidak sama dengan “pembalasan dendam” (revenge).

Pembalasan berusaha memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian

para korban atau orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan

19

Nigel Walker, Sentencing in a Rational Society, (New York: Basic Books, Inc., Publisher, 1971), hal.

8.

10

10

penebusan dosa, lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan

keadilan20

.

2) Teori relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan,

yaitu: preventif, deterrence dan reformatif21

.

Menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai “teori

perlindungan masyarakat” (the theory of social defence) atau menurut

Nigel Walker disebut aliran reduktif (the “reductive” point of view)

karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk

mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana bukanlah sekedar untuk

melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada pelaku tetapi

mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Dasar

pembenaran adanya pidana adalah terletak pada tujuan. Pidana

dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat

kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan

kejahatan). Oleh karena berorientasi pada tujuan yang bermanfaat,

maka teori ini disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Tujuan

pencegahan kejahatan dibedakan antara “special deterrence”

(pengaruh pidana terhadap terpidana) dan “general deterrence”

(pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya). Teori tujuan

pidana yang berupa “special deterrence” dikenal dengan sebutan

”Reformation atau Rehabilitation Theory”22

. Dalam teori relatif ini

dikenal dua sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam

kedudukan yang setara. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi

pidana dan sanksi tindakan ini merupakan hakekat asasi atau ide dasar

dari konsep double track system yang menjadi ciri dari teori relatif.

Sanksi pidana terkait dengan unsur pencelaan / penderitaan dan sanksi

tindakan terkait dengan unsur pembinaan. Kedua-duanya sama-sama

penting23

.

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat,

dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terpidana

telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan itu mengandung

konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban dan juga

20

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 13. 21

Khusus mengenai tujuan preventif dan deterrence, salah seorang tokoh aliran klasik, Jeremy

Bentham yang dikenal dengan ajaran „utilitarianisme’-nya pernah mengajukan empat tujuan utama

dari pidana : (1) Mencegah semua pelanggaran, (2). Mencegah pelanggaran yang paling jahat, (3).

Menekan kejahatan, dan (4) Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya (Lihat Muladi dan Barda

Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan..., Op.cit., hal. 31). 22

Lihat lebih lanjut dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, teori-teori dan ............, hal. 17-18. 23

Baca lebih lanjut M. Sholehuddin, Sistem sanksi dalam hukum pidana............, hal. 23-33.

11

11

orang lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai

teori konsekuensialisme24

.

Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok teori

relatif tersebut, yaitu25

:

a) The purpose of punishment is prevention (tujuan pidana adalah

pencegahan);

b) Prevention is not a final aim, but a means to a more suprems aim,

e.g. social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya

sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu

kesejahteraan masyarakat);

c) Only breaches of the law which are imputable to the perpretator

as intent or negligence quality for punishment (hanya pelanggaran-

pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku

saja, misalnya kesengajaan yang memenuhi syarat untuk adanya

pidana);

d) The penalty shall be determined by its utility as an instrument for

the prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasar

tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan);

e) The punishment is prospective, it points into the future; it may

contain as element of reproach, but neither reproach nor

retributive elements can be accepted if they do not serve the

prevention of crime for the benefit or social welfare. (Pidana

melihat ke depan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur

pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tak

membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan

masyarakat).

3) Teori Modern

Teori modern berorientasi pada “hukum perlindungan sosial”

yang harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Teori

modern menolak konsepsi-konsepsi tentang tindak pidana,

penjahatdan pidana serta menolak fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik

yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Atas dasar doktrin ini, teori

modern melahirkan apa yang disebut dengan istilah “Restorative

Justice”26

.

24

Ohoitimur, Yong, 1997, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

hal. 24. 25

Sholehuddin, Op.Cit, hal. 42-43. 26

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: BP Universitas Diponegoro, 1995), hal. 127-

129.

12

12

Berkaitan dengan penegak hukum peran di tingkat kepolisian

(tahap penyelidikan dan penyidikan), pendekatan restorative justice

dapat digunakan berdasarkan kewenangan diskresi (discretionary

powers). Kewenangan diskresi adalah salah satu sarana yang memberi

ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk

melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-

undang. Kewenangan diskresi diberikan kepada pemerintah (jajaran

badan-badan administrasi negara) mengingat fungsi

pemerintah/administrasi negara, yaitu menyelenggarakan

kesejahteraan umum. Penyelenggaraan kesejahteraan umum dan

mewujudkannya adalah konsekuensi logis dari konsep “Welfare State”

dan sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan di

dalam penerapan asas legalitas (“wetmatigheid van bestuur”).

Untuk itu hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengambil

kewenangan diskresi adalah27

:

a. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang

mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan. Dalam hal

ini Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf f UU No. 2 Tahun 2002,

bahwa : Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana

dimaksud dalam pasal 13 dan 14, Kepolisian Negara Republik

Indonesia secara umum berwenang :

1) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang

dapat mengganggu ketertiban umum.

2) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari

tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.

b) Tidak bertentangan nyata-nyata dengan nalar sehat.

c) Harus dipersiapkan dengan cermat; semua kepentingan, keadaan-

keadaan serta alternatif-alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.

27

Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Bahan Kuliah pada

Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang PTUN, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1992), hal.

45-46.

13

13

d) Isi kebijaksanaan harus jelas tentang hak-hak dan kewajiban-

kewajiban dari warga yang terkena peraturan.

e) Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan tentang

kebijaksanaan yang akan ditempuh harus jelas.

f) Harus memenuhi syarat-syarat kepastian hukum materiil, artinya

hak-hak yang diperoleh dari warga masyarakat yang terkena

kebijaksanaan harus dihormati, juga harapan-harapan warga yang

pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.

Untuk itu penggunaan kewenangan diskresi harus

memperhatikan hal-hal sebagai berikut28

:

a) Sesuai dengan tujuan undang-undang yang memberikan ruang

kebebasan bertindak (kewenangan diskresi).

b) Harus berlandaskan asas hukum umum yang berlaku, seperti29

:

1) Asas “equal before the law”

2) Asas kepatutan dan kewajaran

3) Asas keseimbangan

4) Asas pemenuhan kebutuhan dan harapan

5) Asas kepentingan publik dan warga masyarakat

c) Tepat guna dengan tujuan yang hendak dicapai

Berkaitan dengan kewenangan diskresi pihak kepolisian dan

kewenangan jaksa untuk menggunakan pendekatan restorative justice

sebagai tujuan dalam pemeriksaan perkara pidana, khususnya yang

dilakukan oleh anak, Philippe Nonet dan Philip Selznick

mengemukakan apa yang disebut dengan “The Souverignity of

Purpose” sebagai berikut :

The some extent purposiveness facilitates the elaboration

oflegal mandates, because it calls for inquiry into (1) substantive

outcome and (2) what is factually needed for effective discharge of

institutional responsibilities. In other words, purposive law is result-

oriented30

.

28

Markus Lukman, Disertasi: Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan

Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi

Hukum Tertulis Nasional, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1996), hal. 205. 29

Ibid, hal. 191-192. 30

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive law, (New

York, Hagerstown, San Fransisco, London: Harper and Row Publishers, 1978), hal. 83-84.

14

14

B. HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Desa Lengkong dan Karakter Masyarakat Desa

Gambaran umum Desa Lengkong merupakan salah satu desa yang

terletak di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo dengan luas wilayah

kurang lebih 1.542.541 ha, sebagian besar merupakan lahan kering atau

tegalan seluas 1.121.652 ha, sisanya diperuntukkan untuk lahan pekarangan

dan pertanian. Terletak pada ketinggian 1.100-1300 meter dari permukaan

laut. Jumlah penduduknya mencapai 1.930 orang dengan jumlah penduduk

laki-laki 948 orang sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 982

orang serta terdaftar 593 Kepala Keluarga.

Sebagian besar dari warga masyarakat Desa Lengkong berprofesi

sebagai petani sayur, disamping sebagian menjadi buruh tani, petani kebun,

tukang batu, buruh bangunan. Potensi yang paling menonjol adalah area

perkebunan sayur (petani cabai, kubis, jagung dan lain-lain).

Karakter dan sikapnya masih tergolong tradisional meskipun ada

beberapa yang sudah mulai modern karena faktor generasi, akan tetapi untuk

pendidikan sudah tergolong baik, akses desa juga ramai meskipun di area

pegunungan serta pembangunan juga berjalan dengan lancar. Untuk keadaan

ekonomi sebagian masyarakatnya sudah berkecukupan, namun tak sedikit

juga yang masih berkekurangan dalam hal ekonomi.

Untuk kasus kriminalitas di Kecamatan Garung terutama di Desa

Lengkong memang tergolong sedang, namun tingkat pencurian di lahan

15

15

pertanian masih tergolong tinggi, terlebih lagi banyak yang tak diketahui oleh

warga, namun tak sedikit juga yang tertangkap tangan.

2. Data Mengenai Tindak Pidana Pencurian Komuditas Sayur, Presentase

Kasus, Posisi/Kronologi Kasus, dan Hasil Wawancara Dari Warga

Masyarakat, Pihak Kepolisian serta Pihak Petani Terkait.

Dalam hal ini penulis akan membahas kasus penanganan tindak pidana

pencurian dengan pendekatan restorative justice, berikut adalah beberapa

kasus tindak pidana pencurian di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo

Tahun 2012 – 2015.

Data pencurian di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo pada

tahun 2013, 2014, 2015 tercatat ada 54 kasus pada tahun 2013, 67 pada tahun

2014, dan 43 pada tahun 2015, menurut presentasi tingkat pencurian tersebut

tergolong naik di tahun 2014 dan turun di tahun 2015, sebagian kasus

pencurian tersebut ada yang disidik di kantor polisi, ada yang di tindak damai,

ada juga yang tidak dilaporkan masyarakat.

Dari kasus pencurian tersebut banyak yang disidik dari pada yang

ditindak damai dan yang tidak dilaporkan oleh masyarakat. Dari beberapa

presentase kasus pencurian diatas pada tahun 2013 beberapa kasus yang

disidik ada 43 perkara, 9 kasus ditindak damai, 2 kasus yang tidak dilaporkan

oleh pihak masyarakat. Di tahun 2014 kasus yang disidik ada 41 perkara, 19

kasus ditindak damai, 7 kasus yang tidak dilaporkan oleh pihak masyarakat.

16

16

Kemudian di tahun 2015 kasus yang disidik ada 29 perkara, 14 kasus yang

ditindak damai, sedangkan kasus yang tidak dilaporkan oleh masyarakat pada

tahun tersebut tidak ada.

Dari kasus diatas penulis menjelaskan tentang pembahasan kasus

pencurian komoditas sayur di desa lengkong kecamatan garung, dari data

yang di dapat bahwa kasus pencurian komuditas sayur di desa tersebut 3 tahun

terakhir dari tahun 2013-2015 ada 11 kasus, dan diantaranya ada 3 kasus yang

ditindak damai dan 8 kasus lainnya ditindak melalui jalur hukum yang berlaku

sesuai yang peraturan perundang-undangan yang diatur dalam KUHP, dengan

alasan 8 kasus tersebut merupakan tindak pidana yang masuk dalam tindak

pidana pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam pasal 363 KUHP ayat

1 alenia ke-1 2 kasus merupakan pencurian ternak, pasal 363 KUHP ayat 1

alenia ke-2 5 kasus pencurian waktu malam dalam sebuah rumah atau

pekarangan tertutup yang ada rumahnya, selanjutnya pasal 363 KUHP ayat 1

alenia ke-5 1 kasus pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan

kejahatan atau untuk sampai kebarang yang diambilnya, dilakukan dengan

merusak barang tersebut. Oleh karena itu penulis hanya mengkaji data tindak

pidana pencurian yang diselesaikan dengan metode restorative justice saja.

Beberapa kasus tindak pidana pencurian terdapat dalam sample tabel

di bawah ini ;

17

17

Kasus pencurian di tabel diambil dari 3 kasus dari tahun 2013-2015 di

Desa Lengkong yang diselesaikan melalui metode restorative justice dengan

cara didamaikan oleh pihak masyarakat dan pihak kepolisian, sedangkan 8

kasus lainnya ditindak melalui jalur hukum yang berlaku sesuai yang

peraturan perundang-undangan yang diatur dalam KUHP sesuai dengan

keterangan diatas.

18

18

Tabel 1.1

3 Kasus Tindak Pidana Pencurian di Desa Lengkong, Kecamatan Garung,

Kabupaten Wonosobo 2013-2015 yang dilaporkan ke Polsek Garung dan diselesaikan

dengan pendekatan restorative justice.

No. Tersangka Keterangan Waktu

Kejadian TKP

1.

Sdr. Hidayat, 21

Tahun. Alamat :

Dusun Koripan,

Desa Sigedang,

Kecamatan

Kejajar,

Kabupaten

Wonosobo.

Warga yang sedang

melakukan ronda malam

mengetahui pelaku sedang

mengambil jagung milik

salah satu warga di lahan

perkebunan. Kemudian

pelaku tertangkap tangan

oleh warga setempat dan

dibawa ke balai desa.

Senin, 09

Februari

2013

Kurang

lebih Pukul

22.00

WIB.

Dusun Bugel,

Desa Lengkong,

Kecamatan

Garung,

Kabupaten

Wonosobo.

TKP di

belakang rumah

Mas Santoso.

2. Sdr. Mahmud, 24

Tahun. Alamat :

Dusun Wonojoyo,

Desa Bomerto,

Kecamatan

Wonosobo,

Kabupaten

Wonosobo.

Petani pemilik kebun

mendapati pelaku sedang

memetik/mengambil cabai.

Lalu warga dan pemilik

sawah yang mengetahui

hal tersebut langsung

membawanya ke tempat

kepala desa.

Kamis, 09

Juni 2014

Kurang

lebih Pukul

15.00

WIB.

Dusun Salaman,

Desa Lengkong,

Kecamatan

Garung,

Kabupaten

Wonosobo.

TKP di salah

satu sawah

milik Pak Seno.

3. Sdr. Saroji, 29

Tahun. Alamat :

Dusun Balong,

Desa Tambi,

Kecamatan

Kejajar,

Kabupaten

Wonosobo.

Pada saat warga sedang

melakukan ronda malam.

Warga mengetahui

tersangka sedang

mengambil hasil panen

berupa cabai yang

ditinggal di lumbung oleh

petani pemilik kebun.

Kemudian ditangkap dan

dibawa ketempat kadus

setempat.

Rabu, 20

Desember

2015

Kurang

lebih Pukul

21.00

WIB.

Dusun Bulu,

Desa Lengkong,

Kecamatan

Garung,

Kabupaten

Wonosobo.

TKP di kebun

Pak Parwo.

Sumber data : Sample kasus tindak pidana pencurian di Polsek Garung Desember

2013-2015.

19

19

Kronologi Kasus

a. Kasus Pertama

Kronologi kasus pertama terjadi pada hari senin, 09 februari 2013 kurang

lebih pukul 22.00 WIB. Pelaku yang bernama Sdr. Hidayat, usia 21 tahun,

beralamat di Dusun Koripan, Desa Sigedang, Kecamatan Kejajar, Kabupaten

Wonosobo. Tempat terjadinya perkara di Dusun Bugel, Desa Lengkong,

Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Dalam kejadian pada kasus

tersebut Sdr. Hidayat berada di TKP memetik jagung dengan membawa

peralatan berupa karung. Pada saat warga sedang melakukan ronda malam,

warga melihat tersangka sedang mengambil jagung milik Sdr. Santoso

kemudian warga menangkap dan membawanya ke balai desa setempat, tak

berselang lama ada sebagian warga yang melaporkan kejadian tersebut ke

kantor polisi dan selanjutnya di proses di kantor polisi setempat, dengan

barang bukti berupa 5 karung jagung yang sudah terisi penuh dengan jagung.

Penanganan lanjutan dari warga setempat yaitu dari penegak hukumnya

diwakilkan oleh kepala dusun setempat beserta pihak kepolisian, dengan

tersangka bernama Sdr. Hidayat dan seorang pemilik kebun yang

dirugikan/korban adalah Sdr. Santoso. Dalam kasus tersebut penegakan

hukumnya tidak sampai ke pengadilan, melainkan dengan jalur damai sesuai

dengan kesepakan dari kepala dusun, pihak kepolisian, tersangka, dan korban

dikarenakan kerugian yang diderita korban masih tergolong ringan. Dari kasus

tersebut tersangka diwajibkan mengganti semua kerugian korban sesuai

20

20

dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, selanjutnya karena perbuatan

tersangka maka pihak kepolisian memberikan penyuluhan agar tersangka

tidak mengulangi perbuatan tersebut.

Dari kasus pencurian diatas berikut adalah wawancara dengan pihak

terkait :

1). Pertama wawancara dengan pihak tersangka, dari pengakuannya ia sudah

sering mencuri jagung di daerah setempat, lebih tepatnya 3 pekan yang

lalu, satu pekan pertama di kebun milik warga Dusun Panggrungan yang

masih satu kelurahan dengan Desa Bulu, dan pekan kedua ketiga ditempat

Sdr. Santoso, pekan kedua ia mendapat 6 karung tapi tidak diketahui

warga, dan pekan terakhir ia juga akan mengambil 6 karung lagi dan baru

mendapat 5 karung aksinya sudah diketahui oleh warga setempat31

.

2). Kedua wawancara dengan pihak korban, dalam kasus ini pihak korban

adalah Sdr. Santoso tidak menuntut ganti rugi terlalu tinggi karena kasus

pencuriannya masih tergolong ringan dengan nilai nominal tak lebih dari 1

juta rupiah, korban juga menetujui keputusan warga untuk ditindak

damai32

.

3). Ketiga wawancara dengan warga masyarakat setempat, bahwa kasus

pencurian serupa sering terjadi, apabila tidak ditindak tegas maka bisa

terulang lagi dikemudian hari, maksud dari ditindak tegas tersebut adalah

31

Minggu 11 Desember 2016, Atas nama Sdr. Hidayat, Sebagai tersangka di Dusun Bugel, Desa

Lengkong. 32

Rabu 14 Desember 2016, Atas nama Sdr. Santoso, Sebagai Korban di Dusun Bugel, Desa

Lengkong.

21

21

diberikan sanksi yang membuat efek jera pada pelaku/tersangka. Menurut

warga yang memergoki aksi tersangka tersebut sebenarnya bila

memandang kerugian dari korban juga tidak terlalu segnifikan, karena aksi

terakhir pelaku tak sampai tuntas membawa barang curian dan akhirnya

disita, hitungannya pelaku hanya membawa 5 karung dari hasil curiannya

pekan lalu, dan hasil 5 karung tersebut dinominalkan menjadi 2 kali lipat

untuk mengganti pihak korban, untuk urusan memberatkan atau tidak itu

urusan si pelaku, perkara sanggup tidak sanggup tetap harus mematuhi

peraturan dan sanksi desa tersebut33

.

4). Keempat wawancara dengan pihak perangkat desa, dalam penanganan

kasus ini peran kepala dusun dan karang taruna juga sangat penting untuk

menegakkan peraturan desa, dikaitkan dari kasus tersebut, menurut kadus

setempat tersangka tidak akan dijerat hokum yang berlaku, namun tetap

akan dikenai sanksi berupa denda dua kali lipat dari nominal barang yang

telah dicuri, dan selanjutnya terangka akan dipanggil orang tuanya dan

berlanjut dibawa ke kantor polisi untuk mendapatkan penyuluhan34

.

5). Kelima wawancara dengan pihak kepolisian yang berperan sebagai humas,

dalam kasus tersebut pihak kepolisian berperan penting untuk

mendamaikan dan menengahi perkara ini, serta berperan penting untuk

memberikan penyuluhan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.

33

Sabtu 17 Desember 2016, Atas nama Sdr. Kumpul, Sebagai warga setempat di Dusun Bugel, Desa

Lengkong. 34

Selasa 20 Desember 2016, Atas nama Sdr. Yahya, Sebagai perangkat desa di Dusun Bugel, Desa

Lengkong.

22

22

Menurut salah satu sumber dari polisi, kasus tersebut tergolong sebagai

tindak pidana pencurian ringan dengan nominal dibawah 2,5 juta. Maka

dari itu bila dipandang dari sudut social kurang etis kalau dijerat dengan

pidana, sebagianjuga berpendapat kurang seimbang antara hukuman

dengan tindak pidana tersebut. Selanjutnya pihak kepolisian beserta pada

perangkat desa melakukan musyawarah terhadap korban dan tersangka

untuk mengambil jalan tengah agar permasalahan bisa terselesaikan

dengan damai35

.

b. Kasus Kedua

Kronologi kasus kedua terjadi pada hari kamis, 09 juni 2014 kurang lebih

pukul 15.00 WIB. Pelaku yang bernama Sdr. Mahmud, usia 24 tahun,

beralamat di Dusun Wonojoyo, Desa Bomerto, Kecamatan Wonosobo,

Kabupaten Wonosobo. Tempat terjadinya perkara di Dusun Salaman, Desa

Lengkong, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Tempatnya di salah

satu sawah milik Sdr. Seno.Dari kasus tersebut kejadiannya bermula pada saat

sore hari, dimana para petani beranjak pulang dan situasi sawah mulai sepi,

pelaku yang bernama Sdr. Mahmud melakukan aksinya dengan mengendap-

endap memetik cabai serta membawa karung untuk menampung cabai

tersebut. Tak berselang lama perbuatan sipelaku di ketahui oleh pemilik kebun

tersebut, singkat cerita pemilik kepun lupa akan cangkul yang dibawanya dan

kembali ke sawah untuk mengambil cangkul tersebut. Sdr. Seno yang tidak

35

Jum‟at 23 Desember 2016, Atas nama Aiptu Dalijan, Sebagai Kasat Humas di Kapolsek Garung,

Kecamatan Garung.

23

23

lain adalah petani pemilik sawah memergoki tersangka sedang

memetik/mengambil cabai. Dengan barang bukti berupa karung, dan cabai

yang sudah diambil pelaku yang kurang lebih sudah ada setengah karung,

petani membawa tersangka ke tempat kepala desa setempat, dan selanjutnya

korban melaporkan tersangka kepada pihak kepolisian. Selanjutnya dalam

kasus tersebut pihak kepolisian mendamaikan kedua belah pihak, berhubung

kerugian yang diderita oleh korban masih tergolong ringan. Karena sikap iba

dari korban, tersangka pun tidak dimintai ganti rugi. Kasus ini tidak sampai ke

pengadilan, tapi untuk memberikan efek jera pelaku diwajibkan

menandatangani surat pernyataan sertapolisimemberikan penyuluhan agar si

pelaku tidak mengulangi perbuatannya.

Dari kasus pencurian diatas berikut adalah wawancara dengan pihak

terkait :

1). Pertama wawancara dengan pihak tersangka, tak jauh beda dari kasus

pertama ia juga sering mencuri cabai di daerah setempat, tersangka telah

beberapa kali melakukan aksi tersebut lantaran faktor ekonomi serta

kesempatan yang cukup baik dikarenakan pada saat itu harga cabai

melambung tinggi, tersangka berhasil membawa kurang lebih 4 karung

dalam sepekan, dan yang terakhir dapat digagalkan warga. Alasan mencuri

adalah untuk kebutuhan ekonomi karena sulit mencari kerja dan butuh

uang untuk makan ungkap tersangka36

.

36

Senin 12 Desember 2016, Atas nama Sdr. Mahmud, Sebagai tersangka di Dusun Salaman, Desa

Lengkong.

24

24

2). Kedua wawancara dengan pihak korban, dalam kasus ini pihak korban

adalah Sdr. Seno, beliau tidak merasa dirugikan karena barang yang

diambil tersangka masih utuh dan tidak meminta ganti rugi pada pelaku

karena iba ungkap korban. Namun beberapa warga juga ada yang

dirugikan karena ulah tersangka kemarin yang sudah membawa kurang

lebih 4 karung. Korban menyerahkan tersangka kepada warga beserta

perangkat desa selanjutnya ditangani oleh humas setempat37

.

3). Ketiga wawancara dengan warga masyarakat setempat, untuk kasus ini

sebagian warga merasa iba namun ada juga yang tetap ingin meminta

ganti rugi dua kali lipat pada tersangka. Dikarenakan harga cabai pada saat

itu melambung tinggi beberapa warga juga merasa dirugikan38

.

4). Keempat wawancara dengan pihak perangkat desa, dalam penanganan

kasus ini peran kepala dusun dan karang taruna juga sangat penting untuk

menegakkan peraturan desa, dikaitkan dari kasus tersebut, menurut kadus

setempat tersangka tidak akan dijerat hukum yang berlaku, namun tetap

akan dikenai sanksi berupa denda dua kali lipat dari nominal barang yang

telah dicuri, dan selanjutnya terangka akan dibawa ke kantor polisi untuk

mendapatkan penyuluhan39

.

5). Kelima wawancara dengan pihak kepolisian yang berperan sebagai humas,

dalam kasus tersebut pihak kepolisian berperan penting untuk

37

Kamis 15 Desember 2016, Atas nama Sdr. Seno, Sebagai korban di Dusun Salaman, Desa

Lengkong. 38

Minggu 18 Desember 2016, Atas nama Sdr. Rudi, Sebagai warga di Dusun Salaman, Desa

Lengkong. 39

Rabu 21 Desember 2016, Atas nama Sdr. Dibyo, Sebagai perangkat desa di Dusun Salaman, Desa

Lengkong.

25

25

mendamaikan dan menengahi perkara ini, serta berperan penting untuk

memberikan penyuluhan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.

Menurut salah satu sumber dari polisi, kasus tersebut tergolong sebagai

tindak pidana pencurian ringan dengan nominal dibawah 2,5 juta. Maka

dari itu bila dipandang dari sudut sosial kurang etis kalau dijerat dengan

pidana, sebagian juga berpendapat kurang seimbang antara hukuman

dengan tindak pidana tersebut. Selanjutnya pihak kepolisian beserta pada

perangkat desa melakukan musyawarah terhadap korban dan tersangka

untuk mengambil jalan tengah agar permasalahan bisa terselesaikan

dengan damai40

.

c. Kasus Ketiga

Kronologi kasus ketiga terjadi pada hari rabu, 20 desember 2015 kurang lebih

pukul 21.00 WIB. Pelaku yang bernama Sdr. Saroji, usia 29 tahun, beralamat

di Dusun Balong, Desa Tambi, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.

Tempat terjadinya perkara di Dusun Bulu, Desa Lengkong, Kecamatan

Garung, Kabupaten Wonosobo. Tepatnya di kebun Pak Parwo. Pelaku

melakukan aksinya dimalam hari, dengan membawa mobil pick-up. Dalam

aksinya pelaku menyembunyikan mobilnya di samping kebun yang lokasinya

jauh dari pemukiman warga, selanjutnya pelaku melancarkan aksinya dengan

membawa satu persatu karung berisikan cabai dari lumbung petani. Sembari

pelaku melakukan aksinya ada beberapa warga yang sedang melakukan ronda

40

Jum‟at 23 Desember 2016, Atas nama Aiptu Dalijan, Sebagai Kasat Humas di Kapolsek Garung,

Kecamatan Garung.

26

26

malam dan mencurigai hal tersebut, singkat cerita warga curiga karena ada

mobil yang diparkir di samping kebun yang jauh dari pemukiman warga dan

pada saat itu mobil sudah memuat beberapa karung cabai, kecurigaan warga

pun semakin memuncak dikarenakan mobil tersebut memuat sesuatu di

malam hari tanpa ada yang menunggu di mobil sama sekali. Tak berselang

lama warga memergoki tersangka sedang mengambil hasil panen berupa cabai

yang ditinggal di lumbung oleh petani. Karena perbuatannya tersebut warga

membawa si pelaku ke tempat kepala dusun setempat. Beberapa warga yang

melaporkan hal tersebut pada pihak kepolisian. Penyelesaian kasus tersebut

pelaku dibawa ke kantor polisi setempat dengan barang bukti berupa mobil

pick-up beserta beberapa karung cabai yang telah diangkut dalam mobil

tersebut. Selanjutnya kepala dusun memanggil korban yang tidak lain adalah

pemilik lumbung yang cabainya telah dicuri oleh Sdr. Saroji, korban bernama

Sdr. Parwo. Dikarenakan pihak korban hanya meminta ganti rugi pada pelaku,

maka sesuai dengan kesepakatan pelaku tidak dipidanakan. Akan tetapi hanya

diberikan surat pernyataan untuk ditandatangani bermaksud untuk

memberikan efek jera lalu pihak kepolisian memberikan penyuluhan agar

pelaku tidak mengulangi perbuatannya.

Dari kasus pencurian diatas berikut adalah wawancara dengan pihak

terkait :

1). Pertama wawancara dengan pihak tersangka, tak jauh beda dari kasus

pertama dan kasus kedua, ia juga sering mencuri cabai di daerah setempat,

namun untuk tingkat pencuriannya tergolong sedang karena tersangka

27

27

sudah sering melakukan aksi pencurian tersebut, dengan lebih dari 10

karung cabai yang disimpan oleh petani dilumbung telang dicurinya,

beberapa kali aksinya tak diketahui warga. Sebagaian hasil panen yang

disimpan dilumbung diambil41

.

2). Kedua wawancara dengan pihak korban, dalam kasus ini pihak korban

adalah Sdr. Parwo, beliau merasa rugi besar atas perbuatan tersangka.

Cabai yang disimpan dilumbung yang akan dijualnya raib, percurian cabai

di lahan ini tak hanya sekali, beberapa pekan juga raib lebih dari 10

karung ungkapnya. Dikarenakan harga cabai yang pada saat itu

melambung tinggi, Sdr. Parwo rugi beberapa kali karena ulang tersangka,

beliau mengungkapkan dua kali sudah kemalingan, namun yang kedua

kali ini beruntung bias diketahui warga. Pihak korban menuntut ganti rugi

berupa uang yang nominalnya dua kali lipat sesuai dengan harga cabai

yang telah diambil oleh pelaku42

.

3). Ketiga wawancara dengan warga masyarakat setempat, dikarenakan harga

cabai pada saat itu melambung tinggi korban sangat dirugikan, maka

peraturan tetap harus ditegakkan untuk membuat efek jera pada pelaku.

Denda dua kali lipat diberlakukan serta sanksi berupa pembenahan

lumbung karena kerusakan yang diakibatkan oleh pelaku43

.

41

Selasa 13 Desember 2016, Atas nama Sdr. Saroji, Sebagai tersangka di Dusun Bulu, Desa

Lengkong. 42

Jum‟at 16 Desember 2016, Atas nama Sdr. Parwo, Sebagai korban di Dusun Bulu, Desa Lengkong. 43

Senin 19 Desember 2016, Atas nama Sdr. Slamet Saroji, Sebagai warga setempat di Dusun Bulu,

Desa Lengkong.

28

28

4). Keempat wawancara dengan pihak perangkat desa, dalam penanganan

kasus ini peran kepala dusun dan karang taruna juga sangat penting untuk

menegakkan peraturan desa, dikaitkan dari kasus tersebut, menurut kadus

setempat tersangka tidak akan dijerat hukum yang berlaku, namun tetap

akan dikenai sanksi berupa denda dua kali lipat dari nominal barang yang

telah dicuri, dan selanjutnya terangka akan dibawa ke kantor polisi untuk

mendapatkan penyuluhan44

.

5). Kelima wawancara dengan pihak kepolisian yang berperan sebagai humas,

dalam kasus tersebut pihak kepolisian berperan penting untuk

mendamaikan dan menengahi perkara ini, serta berperan penting untuk

memberikan penyuluhan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.

Menurut salah satu sumber dari polisi, kasus tersebut sebenarnya

tergolong agak berat karena nominal sudah diatas 2,5 juta, akan tetapi atas

musyawarah dari pihak tersangka, korban, warga serta perangkat desa

bahwa kasus ini tidak dilanjutkan ke ranah hokum maka pihak polisi pun

meng-iyakan untuk tidak memproses secara hokum. Selanjutnya

tersangkapun dibawa ke Polsek setempat untuk diberikan penyuluhan dan

pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya tersebut dan membuat

efek jera45

.

44

Kamis 22 Desember 2016, Atas nama Sdr. Miftahudin, Sebagai tersangka di Dusun Bulu, Desa

Lengkong. 45

Jum‟at 23 Desember 2016, Atas nama Aiptu Dalijan, Sebagai Kasat Humas di Kapolsek Garung,

Kecamatan Garung.

29

29

C. ANALISIS

Dalam hal ini, keadilan restorative (restorative justice) memfokuskan diri

pada kejahatan (crime) sebagai kerugian/kerusakan, dan keadilan (justice)

merupakan usaha untuk memperbaiki kerusakan dengan tujuan untuk mengangkat

peran korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat sebagai tiga pihak yang

sangat penting di dalam sistem peradilan pidana demi kesejahteraan dan

keamanan masyarakat. Dalam hal ini tujuan sistem peradilan pidana adalah

sebagai jangka pendek resosialisasi, jangka menengah pencegahan kejahatan dan

jangka panjang kesejahteraan dan keamanan masyarakat46

.

Dikarenakan adanya perkembangan gerakan sosial baru tentang

pendekatan keadilan berupa “restorative justice” atau keadilan restoratif di atas

akan berhubungan pada beberapa hal sebagai berikut47

:

1. Hakaket tujuan pemidanaan berupa penyelesaian konflik yang memiliki basis

kultural yang kuat dalam hukum adat Indonesia yang dikukuhkan dalam RUU

KUHP dan juga dihayati sama dengan masyarakat adat lain di berbagai

belahan dunia;

2. Gerakan abolisionis (abolisionism) yang merupakan pendekatan non-represif

terhadap kejahatan, dan merupakan kritik keras terhadap sisi negatif yang

berupa “coercion” yang sangat dirasakan dalam penerapan sarana penal di

penjara;

46

Muladi, Op.cit. hal. 2. 47

Ibid.

30

30

3. Berkembangnya “peacemaking criminology” dalam memahami kejahatan,

penjahat dan sistem peradilan pidana serta berusaha untuk menggantikan

pendekatan “war making on crime”;

Dari uraian di atas dijelaskan bahwa keadilan restoratif sangat peduli

untuk membangun kembali hubungan setelah terjadinya suatu tindak pidana,

daripada memperparah keretakan dan menambah konflik antara pelaku, korban

dan masyarakat yang merupakan karakter sistem peradilan pidana modern saat

ini.

Keadilan restoratif merupakan reaksi yang bersifat “victim-centered”,

terhadap kejahatan yang memungkinkan korban, pelaku, keluarga dan wakil-

wakil mayarakat untuk memperhatikan kerugian akibat terjadinya tindak pidana.

Pusat perhatian diarahkan kepada reparasi, restorasi atas kerusakan, kerugian

yang diderita akibat kejahatan dan memprakarsai serta memfasilitasi perdamaian.

Hal ini untuk menggantikan dan menjauhi keputusan terhadap yang menang atau

kalah melalui system adversarial (permusuhan). Keadilan restoratif berusaha

memfasilitasi dialog antara berbagai pihak yang terlibat atau dipengaruhi akibat

kejahatan, termasuk korban, pelaku, keluarga dan masyarakat secara

keseluruhan48

.

Pendekatan keadilan prinsip dasar keadilan restoratif sebagaimana

dirumuskan dalam “UN Resolutions and decisions adopted by ECOSOC at its

substantive session of 2002” adalah sebagai berikut49

:

48

Muladi, Loc.cit. hal. 5. 49

Muladi, Op.cit., hal. 6-7.

31

31

1. Proses restoratif adalah setiap proses, dimana korban dan pelaku, dan, apabila

perlu termasuk setiap individu atau anggota masyarakat yang dirugikan oleh

kejahatan, ikut serta bersama-sama secara aktif di dalam memecahkan

persoalan-persoalan yang timbul akibat kejahatan, dengan bantuan dari

seorang fasilitator. Proses keadilan restoratif mencakup mediasi, konsiliasi,

pertemuan (conferencing) dan pemidanaan;

2. Dengan keadilan restoratif adalah setiap ketentuan yang mendayagunakan

proses restoratif dan berusaha untuk mencapai hasil (restorative outcomes)

berupa kesepakatan sebagai hasil dari suatu proses restoratif, termasuk

tanggapan/reaksi dan program-program seperti reparasi, restitusi, dan

pelayanan masyarakat, yang sesuai dengan kebutuhan individual dan kolektif

serta tanggungjawab pihak-pihak dan ditujukan untuk mengintegrasikan

kembali korban dan pelaku;

3. Pihak-pihak adalah korban, pelaku tindak pidana, dan individu anggota

masyarakat lain yang dirugikan oleh suatu tindak pidana dan mungkin

dilibatkan dalam proses keadilan restoratif;

4. Pihak yang berwenang dalam keadilan restorasi adalah setiap orang yang

beperanan untuk memfasilitasi proses keadilan restoratif , dengan cara yang

adil dan tidak memihak.

Kaidah musyawarah tercantum dalam Pancasila, tercantum dalam sila ke-

4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan, dengen dasar ini maka musyawarah untuk

32

32

mencapai mufakat yang diliputi semangat kekeluargaan mengandung esensi

experiencing justice (mengalami atau menjalani keadilan).

Skema restorative justice :

= + +

Just Peace Principle Conferencing & Mediation

Menurut warga setempat disekitar Kecamatan Garung memang sering

terjadi tindak pidana pencurian, baik yang tertangkap tangan ataupun tidak.

Beberapa kasus tindak pidana pencurian tersebut ada yang sampai ke ranah

hokum atau sampai melibatkan pihak kepolisian dalam penyelesaiannya, namun

ada juga yang hanya sampai ke pihak kepolisian atau bahkan cukup dengan ke

ruang lingkup desa atau kelurahan tergantung bagaimana dari tanggapan pihak

korban maupun juga dari pihak masyarakat, serta besar kecilnya tindakan

pencurian. Apabila barang/benda yang dicuri nominal atau bernilai tinggi dan

mengakibatkan korban biasanya warga menuntut untuk lanjut ke ranah hokum,

akan tetapi bila barang/benda nominal atau nilainya rendah biasanya dapat

diselesaikan dengan sistem musyawarah antar pihak korban dan tersangka.

Menurut hasil wawancara dari warga Desa Bulu, Kecamatan Garung yaitu

Bapak Paino, beliau adalah petani komuditas sayur, memberikan beberapa

penjelasan bahwa di Desa Bulu tersebut masih sering terjadi pencurian, akan

Restorative

Justice Pelaku

Dampak

Perbuatan Korban

33

33

tetapi pencurian hanya meliputi lahan pertanian. Beberapa kasus sering terjadi,

akan tetapi dapat diselesaikan dengan jalur musyawarah, baik melalui perangkat

desa ataupun pihak kepolisian sebagai pihak penengah dan pendamai. Selain

peran tersebut perangkat desa juga menyerahkan tersangka kepada pihak

kepolisian, dalam hal ini peran pihak kepolisian yaitu sebagai pembimbing, jadi

tersangka diberi penyuluhan agar tidak melakukan perbuatan tersebut.

Berikutnya menurut hasil wawancara dari warga setempat yakni saudara

Hasan, dijelaskan bahwa perkara pencurian terutama dilahan pertanian masih

sering terjadi di lingkungan sekitar Desa Lengkong, beberapa komoditas panen

yang sering dijadikan sasaran pencurian adalah cabai, biasanya saat harga cabai

melambung tinggi sangat rawan dicuri. Dari beberapa kasus menurutnya juga

jarang yang sampai ke ranah hukum, karena sebagian besar yang dicuri

nominalnya juga tidak terlalu tinggi. Beberapa kasus diselesaikan dengan

musyawarah antara pihak keluarga pelaku, pihak keluarga korban, perangkat desa

dan pihak kepolisian sebagai penengah.

Selanjutnya wawancara dengan saudara Budi, petani komoditas cabai,

menurutnya kasus pencurian serupa juga sering terjadi di daerahnya, oleh karena

itu sebagian besar warga menjaga lahan pertanian di lumbung apabila harga

nominal cabai melambung tinggi dan menjelang panen. Untuk penyelesaian kasus

juga diselesaikan dengan musyawarah pihak terkait.

Selain dari wawancara diatas, untuk menambah data dilakukan wawancara

terhadap perangkat desa, Bapak Tambah sebagai Kepala Dusun Bulu. Beliau

menyatakan kasus tindak pidana pencurian terutama pencurian komuditas sayur

34

34

sering terjadi apabila harga sayur melambung tinggi, sebagian besar

pelaku/tersangka berasal dari luar desa, dan dalam penyelesaian kasus tersebut

saya sering menanganinya dan mendamaikan, sistem di desa kami apabila ada

yang mencuri tertangkap akan diberi sanksi berupa denda dua kali lipat dengan

catatan barang tersebut sudah dijual, hilang, atau rusak ungkap dari Bapak

Tambah. Namun apabila barang masih utuh maka pelaku/tersangka diwajibkan

mengembalikan barang tersebut dan diharuskan membuat surat pernyataan yang

ditandatangani perangkat desa setempat dan pihak pelaku maupun pihak keluarga.

Apabila tersangka tidak menyanggupi ketentuan persyaratan tersebut dengan

alasan tidak mampu maka tersangka akan dipekerjakan oleh pihak korban secara

cuma-cuma, maksud dari dipekerjakan dalam hal ini adalah tersangka disuruh

menggarap lahan perkebunan tanpa imbalan seperti mencangkul dan memanen

hasil pertanian sebagai tanda hukuman atas perbuatannya. Namun apabila dari

persyaratan tersebut tidak bisa disanggupi oleh tersangka maka alternative

terakhir adalah melalui jalur hukum pihak kepolisian.

Wawancara terakhir adalah dengan pihak kepolisian yakni dengan Bapak

Aiptu Dalijan selaku kasat humas Polsek Garung, beliau mengatakan kasus tindak

pidana pencurian ringan terutama pencurian yang kaitannya dengan komoditas

sayur di Kecamatan Garung ini sering terjadi, akan tetapi sebagian besar warga

masyarakat tahu bagaimana untuk menindaknya, dari kasus tersebut banyak yang

diselesaikan secara damai dikarenakan kerugian yang terlalu segnifikan dan tidak

menimbulkan korban, tak ada unsur penganiayaan juga tak menimbulkan

kerusakan yang berat. Dalam hal ini beliau juga mengemukaan bahwa tugas

35

35

aparat penegak hukum yaitu polisi sudah tertera dalam UU No 22 Tahun 2002

tentang Kepolisian Republik Indonesia, dalam hal ini peran polisi terutama yang

bertugas sebagai humas atau hubungan masyarakat adalah sebagai penyampai

informasi, mengayomi, dan melindungi masyarakat, serta melakukan pembinaan,

memantau, mengawasi dan melakukan evaluasi wilayah dengan tujuan untuk

meminimalisir kejahatan guna kesejahteraan warga masyarakat.

Berkaitan dengan kasus tersebut, peran humas untuk memberi jalan keluar

adalah dengan melakukan penyuluhan, pembinaan, serta pemantauan pada pelaku

guna membuat efek jera agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Kami bersama

perangkat desa dan warga masyarakat mengadakan musyawarah untuk

mengambil titik tengah agar perkara bisa diselesaikan secara damai. Untuk

peraturan desa akan tetap kami hargai meskipun dengan denda dua kali lipat bagi

pelaku memberatkan tapi peraturan tersebut tetap harus dipenuhi untuk memberi

efek jera, ungkap beliau. Hasil musyawarah ditampung untuk mendapatkan solusi

dari masalah tersebut, dan kesepakatan antara kedua belah pihak baik korban

maupun tersangka juga menjadi titik terang terselesaikannya perkara tersebut.

Berkaitan dengan pembahasan penanganan tindak pidana dengan

pendekatan restorative justice, maka peran Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menitikberatkan pada musyawarah untuk

mencapai mufakat dalam suatu keadilan. Kaidah musyawarah tercantum dalam

Pancasila, tercantum dalam sila ke-4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengen dasar ini maka

36

36

musyawarah untuk mencapai mufakat yang diliputi semangat kekeluargaan

mengandung esensi experiencing justice (mengalami atau menjalani keadilan).

Keadilan merupakan suatu kondisi sosial yang tercipta manakala adanya

kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Tuntutan akan keadilan berakar dalam

pertimbangan etis, bahwa dalam kehidupan sosial harus bersikap manusiawi,

layak, dan bermartabat.

Redifinisi kejahatan untuk restorative justice menjadi penting mengingat

dalam KUHP dan KUHAP orientasi kejahatan dirumuskan sebagai perbuatan

terlarang yang diatur dalam UU dan diancam pidana bagi mereka yang melanggar

larangan tersebut (Pasal 1 ayat (1) KUHP). Proses penyidikan dirumuskan

sebagai rangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang dan untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang

dengan bukti itu membuat kejelasan tentang tindak pidana yang terjadi guna

menemukan tersangka (Pasal 1 angka (2) KUHP).

Namun dalam sistem penerapan keadilan restorasi (restorative justice)

tidak selalu berpatokan pada undang-undang yang berlaku baik KUHP atau

KUHAP. Dengan kata lain restorative justice merupakan peradilan yang

menekankan pada perbaikan atas kerugian yang disebabkan oleh tersangka/pelaku

terhadap korban berkaitan dengan tindak pidana, dalam hal ini yaitu tindak pidana

pencurian ringan.

Dalam Peraturan Makhamah Konstitusi (Perma No. 2 Tahun 2012) dalam

penjelasan umum tercantum :

37

37

Bahwa banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang

kecil yang kini diadili dipengadilan cukup mendapatkan sorotan masyarakat.

Masyarakat umumnya menilai bahwasangatlah tidak adil jika perkara-perkara

tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun sebagaimana di atur

dalam Pasal 362 KUHP oleh karena tidak sebanding dengan nilai barangyang

dicurinya.

Banyaknya perkara-perkara tersebut yang masuk ke pengadilan juga telah

membebani pengadilan, baik dari segi anggaran maupun dari segi persepsi publik

terhadap pengadilan. Umumnya masyarakat tidak memahami bagaimana proses

jalannya perkara pidana sampai bisa masuk kepengadilan, pihak-pihak mana saja

yang memiliki kewenangan dalam setiap tahapan, dan masyarakat pun umumnya

hanya mengetahui ada tidaknya suatu perkara pidana hanya pada saatperkara

tersebut di sidangkan di pengadilan. Dan oleh karena sudah sampai tahap

persidangan di pengadilan sorotan masyarakat kemudian hanya tertuju ke

pengadilan dan menuntut agar pengadilan mempertimbangkan rasa keadilan

masyarakat.

Bahwa banyaknya perkara-perkara pencurian ringan sangatlah tidak tepat

di dakwa dengan menggunakan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling

lama 5 (lima) tahun. Perkara-perkara pencurian ringan seharusnya masuk dalam

kategori tindak pidana ringan (lichte misdrijven) yang mana seharusnya lebih

tepat didakwa dengan Pasal 364 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 3

(tiga) bulan penjara atau denda paling banyak Rp 250,00 (dua ratus lima puluh

38

38

rupiah). Jika perkara-perkara tersebut didakwa dengan Pasal 364 KUHP tersebut

maka tentunya berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana para

tersangka/terdakwa perkara-perkara tersebut tidak dapat dikenakan penahanan

(Pasal 21) serta acara pemeriksaan di pengadilan yang digunakan haruslah Acara

Pemeriksaan Cepat yang cukup diperiksa oleh Hakim Tunggal sebagaimana

diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP. Selain itu berdasarkan Pasal 45 A Undang-

Undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dua kali

terakhir dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 perkara-perkara tersebut tidak

dapat diajukan kasasi karena ancaman hukumannya di bawah 1 tahun penjara.

Mahkamah Agung memahami bahwa mengapa Penuntut Umum saat ini

mendakwa para terdakwa dalam perkara-perkara tersebut dengan menggunakan

Pasal 362 KUHP, oleh karena batasan pencurian ringan yang diatur dalam Pasal

364 KUHP saat ini adalah barang atau uang yang nilainya di bawah Rp 250,00

(dua ratus lima puluh rupiah). Nilai tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat

ini, sudah hamper tidak ada barang yang nilainya di bawah Rp 250,00 tersebut.

Bahwa angka Rp 250,00 tersebut merupakan angka yang ditetapkan oleh

Pemerintah dan DPR pada tahun 1960, melalui Perpu No. 16 Tahun 1960 tentang

Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang

kemudian disahkan menjadi Undang-Undang melalui UU No.1 Tahun 1961

tentang Pengesahan Semua Undang-Undang Darurat dan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang.

39

39

Bahwa untuk mengefektifkan kembali Pasal 364 KUHP sehingga

permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam perkara-perkara yang saat ini

menjadi perhatian masyarakat tersebut Pemerintah dan DPR perlu melakukan

perubahan atas KUHP, khususnya terhadap seluruh nilai rupiah yang ada dalam

KUHP. Namun mengingat sepertinya hal tersebut belum menjadi prioritas

Pemerintah dan DPR, selain itu proses perubahan KUHP oleh Pemerintah dan

DPR akan memakan waktu yang cukup lama, walaupun khusus untuk substansi

ini sebenarnya sudah, untuk itu Mahkamah Agung memandang perlu menerbitkan

Peraturan Mahkamah Agung ini untuk menyesuaikan nilai uang yang menjadi

batasan tindak pidana ringan, baik yang diatur dalam Pasal 364 KUHP maupun

pasal-pasal lainnya, yaitu Pasal 373 (penggelapan ringan), pasal 379 (penipuan

ringan), pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual), pasal 407 ayat (1) (perusakan

ringan) dan pasal 482 (penadahan ringan).

Selain itu untuk mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi

beban Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini telah banyak yang melampaui

kapasitasnya yang telah menimbulkan persoalan baru, sejauh mungkin para hakim

mempertimbangkan sanksi denda sebagai pilihan pemidanaan yang akan

dijatuhkannya, dengan tetap mempertimbangkan berat ringannya perbuatan serta

rasa keadilan masyarakat.

Selain peran dari UUD 1945 beserta KUHP Peran UU No. 2 Tahun 2002

Tentang Polri juga sagat segnifikan. Di Indonesia, keberadaan kepolisian secara

kontitusi diatur dalam pasal 30 ayat 4 UUD 1945. Di sana dinyatakan:

40

40

“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga

keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani

masyarakat serta menegakkan hukum”. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 2

Tahun 2002 menjelaskan bahwa Kepolisian adalah segala hal ihwal yang

berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-

undangan50

. Polri merupakan institusi pemerintah yang memiliki tugas dan

tanggung jawab menegakan keamanan dan ketertiban masyarakat sipil di

Indonesia.

Dalam Undang-undang RI No 2 tahun 2002 (Pasal 13), tugas pokok kepolisian

Negara republik Indonesia adalah :

• Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

• Menegakkan hukum, dan

• Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam peranannya polisi bertugas dalam mengatasi tindak pidana yang terjadi di

Indonesia.

Berkaitan dengan restorative justice penanganan polisi dalam kasus pencurian

ringan tersebut menitikbertkan pada keadilan dalam mengambil keputusan, untuk

tercapainya kesepakatan dalam musyawarah.

Dari tugas pihak polisi terkait dengan penanganan restorative justice

pengaturannya terdapat pada ketentuan hukum yakni diskresi yang diatur dalam

Pasal 15 Ayat 2 huruf k, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan

50

Undang-Undang Kepolisian Negara (UU RI NO. 2 Tahun 2002), Penerbit Sinar Grafika, Halaman 3.

41

41

peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : melaksanakan kewenangan

lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;

Dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf l : Dalam rangka menyelenggarakan tugas

dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.(ayat 2)

Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan

penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai

berikut :

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut

dilakukan;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan

e. Menghormati HAM.

Dalam Pasal 18 ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.

Dalam Pasal 18 ayat (2) bahwa “ Pelaksanaan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu

dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Indonesia”.

Selanjutnya Peraturan Desa (Perdes) Lengkong Nomor 2 tahun 2011

Tentang Keamanan dan Ketertiban Pasal 9 angka 2 Tentang Sanksi Tindak Pidana

42

42

Pencurian yang disahkan pada tanggal 9 januari 2011 mengatur tentang ketentuan

sanksi tindak pidana pencurian di lahan pertanian maupun perkebunan milik

warga akan ditindak tegas, dan akan dikenai denda dua kali lipat dari nominal

barang apabila barang tersebut telah rusak/hilang/dimanfaatkan untuk

memperoleh keuntungan. Sedangkan menurut Pasal 10 angka 1 yang mengatur

sistem musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana pencurian

dengan negosiasi antara pihak korban dan pelaku serta perangkat desa dan warga

sebagai saksi dan penegak hukum. Perdes ini didasarkan pada hokum adat/hokum

yang tidak tertulis kemudian dituangkan dalan suatu peraturan yang tertulis

bertujuan agar bisa lebih ditaati oleh warga masyarakat desa setempat.

Menurut Howard Zehr melihat dari sudut pandang keadilan restoratif,

kejahatan adalah pelanggaran terhadap hubungan kemasyarakatan. Kejahatan

menciptakan kewajiban untuk memperbaikinya. Keadilan melibatkan korban,

pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi yang menawarkan perbaikan,

rekonsiliasi, dan jaminan51

.

Burt Galaway dan Joe Hudson mendefinisikan keadilan restoratif meliputi

beberapa unsur pokok :

1. Pertama, kejahatan dipandang sebagai suatu konflik antara individu yang

dapat mengakibatkan kerugian pada korban, masyarakat, maupun pelaku

sendiri;

51

Howard Zehr, Changing lenses : A New Focus for Crime and justice, (Waterloo: Herald Press,

1990), hal. 181.

43

43

2. Kedua, tujuan dari proses peradilan pidana harus menciptakan perdamaian

dalam masyarakat, dengan jalan perujukan semua pihak dan mengganti

kerugian yang disebabkan oleh perselisihan tersebut;

3. Ketiga, proses peradilan pidana memudahkan peranan korban, pelaku, dan

masyarakat untuk menemukan solusi dari konflik itu52

.

Muladi berpendapat bahwa keadilan restoratif merupakan suatu

pendekatan terhadap keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab,

keterbukaan, kepercayaan, harapan, penyembuhan, dan “inclusivenes” dan

berdampak terhadap pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan pidana

dan praktisi hukum di seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke depan berupa

sistem keadilan untuk mengatasi konflik akibat kejahatan dan hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan serta keadilan restoratif dapat terlaksana apabila fokus

perhatian diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana, keprihatinan yang sama

dan komitmen untuk melibatkan pelaku dan korban, mendorong pelaku untuk

bertanggungjawab, kesempatan untuk dialog antara pelaku dan korban,

melibatkan masyarakat terdampak kejahatan dalam proses retroaktif, mendorong

kerjasama dan reintegrasi53

.

Bagir Manan memberikan pengertian secara umum pengertian restorative

justice adalah penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi

pelaku, korban, maupun masyarakat54

.

52

Ibid. 53

Kesimpulan Seminar Nasional HUT Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke-59 dengan tema

“Restorative Justice dalam Hukum Pidana Indonesia”, Jakarta 25 April 2012. 54

Majalah Varia Peradilan, Tahun XX. No. 247, (Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Juni 2006), hal. 3.

44

44

Jadi menurut beberapa pendapat para ahli dikaitkan dengan peraturan

perundang-undangan baik itu dari UUD 1945, KUHP, Perma No. 2 Tahun 2012

Tentang Tindak Pidana Ringan, UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Republik Indonesia, dan Peraturan Desa Lengkong Nomor 2 tahun 2011 bahwa

penanganan tindak pidana pencurian dengan metode restorative justice akan dapat

bersikap adil dan seimbang dengan perbuatan dari pelaku.

Pada intinya Peraturan Mahkamah Agung (“Perma”) No. 2 Tahun 2012

tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam

KUHP (“Perma No. 2 Tahun 2012”), dikeluarkan oleh Mahkamah Agung untuk

menyelesaikan polemik mengenai batasan nilai kerugian dalam suatu tindak

pidana ringan, yang ditetapkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (“KUHP”) pada waktu dulu dan bagaimana penerapannya pada masa kini.

Misalnya, dalam tindak pidana pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), penggelapan

ringan (Pasal 373 KUHP), penipuan ringan (Pasal 379 KUHP), dan lain-lain,

yang semula nilai kerugiannya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah dan

penyesuaian maksimum penjatuhan pidana denda, yang dahulu sebesar dua ratus

lima puluh rupiah, kini dilipatkangandakan menjadi 1000 (seribu) kali

(Vide: Pasal 3 Perma No. 2 Tahun 2012).

Penyesuaian tersebut dilakukan dengan memperhatikan nilai emas pada

saat KUHP peninggalan belanda, yang sebelumnya disesuaikan dengan Undang-

Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan nilai emas

pada saat ini. Sehingga dengan adanya penyesuaian tersebut, maka nilai barang

atau kerugian dalam tindak pidana ringan, yang semula ditetapkan tidak lebih dari

45

45

dua puluh lima puluh rupiah sekarang ditetapkan menjadi tidak lebih dari dua juta

lima ratus ribu rupiah (Pasal 2 ayat [1] Perma No. 2 Tahun 2012).

Dikaitkan dengan adanya Perma No. 2 Tahun 2012, tindak pidana

pencurian ringan dapat diselesaikan dengan Restorative Justice, maka menurut

hemat saya selaku penjawab, Perma No. 2 Tahun 2012 hanya mengatur mengenai

penyesuaian batasan nilai kerugian dan ganti rugi tindak pidana ringan, salah satu

contohnya adalah pencurian ringan, dan tidak serta-merta menerapkan Restoratif

Justice. Lalu, bagaimana jika seorang pelaku pencurian ringan tidak mempunyai

harta lagi untuk membayar denda sebagaimana dimaksud Pasal 3 Perma No. 2

Tahun 2012, karena uang hasil pencurian tersebut sudah dihabiskan maka dapat

dilakukan alternative lain, dalam fakta kasus, apabila pelaku tidak bisa membayar

atau mengganti rugi maka pelaku bisa bekerja kepada korban misal memanen

hasil sayur, mengelola kebun/sawah dengan kesepakatan kedua belah pihak

tersebut dengan catatan akan terus diawasi dan tidak akan dibayar guna

memberikan efek jera pada pelaku, hal tersebut merupakan toleransi untuk

memperingan tersangka agar tidak membayar ganti rugi dalam jumlah yang besar

yang tercatat dalam peraturan desa yaitu dua kali lipat dari barang yang dicuri.

Dalam penanganan perkara tindak pidana pencurian yang dikaitkan

dengan restorative justice, beberapa warga masyarakat, perangkat desa serta pihak

kepolisian berperaan penting untuk memberi efek jera yang efektif terhadap kasus

pencurian tersebut beserta tersangkanya. Serta konsekwensi peraturan desa yang

harus dipertanggung jawabkan oleh tersangka. Dalam hal ini warga masyarakat,

perangkat desa, dan pihak kepolisian memiliki peran masing-masing serta

46

46

bagaimana meminimalisir tingkat kasus pencurian di Kecamatan Garung sebagai

berikut :

1. Peran Warga Masyarakat, Perangkat Desa, dan Pihak Kepolisian Dalam

Penanganan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pendekatan Restorative Justice.

Untuk mewujudkan keadilan dalam suatu musyawarah peran

penengah/pendamai diantara pihak korban dengan pelaku/tersangka adalah

dari pihak warga masyarakat, perangkat desa, dan kepolisian. Agar terjalinnya

kesepakatan maka pihak penengah pun melakukan mediasi dan negosiasi

kepada tersangka untuk menyanggupi peraturan yang ada.

Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang ahli, Menurut Howard

Zehr melihat dari sudut pandang keadilan restoratif, kejahatan adalah

pelanggaran terhadap hubungan kemasyarakatan. Kejahatan menciptakan

kewajiban untuk memperbaikinya. Keadilan melibatkan korban, pelaku, dan

masyarakat dalam mencari solusi yang menawarkan perbaikan, rekonsiliasi,

dan jaminan.

Dengan demikian maka penanganan tindak pidana pencurian tersebut

terkait dengan teori modern berorientasi pada “hukum perlindungan sosial”

yang harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Teori modern

menolak konsepsi-konsepsi tentang tindak pidana, penjahat dan pidana serta

menolak fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari

kenyataan sosial.

Berkaitan dengan penegak hukum peran di tingkat kepolisian (tahap

penyelidikan dan penyidikan), pendekatan restorative justice dapat digunakan

47

47

berdasarkan kewenangan diskresi (discretionary powers). Kewenangan

diskresi adalah salah satu sarana yang memberi ruang gerak bagi pejabat atau

badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus

terikat sepenuhnya pada undang-undang. Kewenangan diskresi diberikan

kepada pemerintah (jajaran badan-badan administrasi negara) mengingat

fungsi pemerintah/administrasi negara, yaitu menyelenggarakan kesejahteraan

umum. Penyelenggaraan kesejahteraan umum dan mewujudkannya adalah

konsekuensi logis dari konsep “Welfare State” dan sebagai alternatif untuk

mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas

(“wetmatigheid van bestuur”).

2. Konsekwensi Peraturan Desa Yang Harus Dipertanggung Jawabkan Oleh

Pelaku.

Untuk hal ini ada istilah bahwa berani berbuat maka harus berani

bertanggung jawab, hal tersebut adalah konsekwensi bagi pelaku terhadap

perbuatan tindak pidananya. Dari kasus perkara tersebut, terdapat suatu aturan

yang apabila mengambil/mencuri, menghilangkan, dan merusak barang akan

dikenai sanksi denda dua kali lipat. Untuk proses keadilan hal tersebut bisa

saja memberatkan tersangka atau bahkan dapat disanggupi tersangka, namun

sudah menjadi resiko dan tanggung jawab dari tersangka, karena tujuan dari

peraturan desa tersebut adalah untuk memberikan efek jera agar pelaku tidak

mengulangi perbuatannya lagi.

Peraturan desa tersebut dapat dikaitkan dengan teori living law.

Menurut Engen Ehrlich living law adalah hukum yang hidup di lingkungan

48

48

suatu masyarakat tertentu berupa perilaku-perilaku sosial yang tercipta

berdasarkan suatu konvensi dan solidaritas sosial, biasa kita sebut dengan

istilah hukum adat.

Dalam perkara tersebut mediasi dilakukan kepada tersangka untuk

beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dan harus ditaati, dalam restorative

justice terdapat suatu sistem yaitu keadilan, kesepakatan, dan tanggung jawab

seperti yang dikemukakan oleh salah satu ahli, yaitu Muladi berpendapat

bahwa keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan terhadap keadilan atas

dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab, keterbukaan, kepercayaan,

harapan, penyembuhan, dan “inclusivenes” dan berdampak terhadap

pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan pidana dan praktisi hukum

di seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke depan berupa sistem keadilan

untuk mengatasi konflik akibat kejahatan dan hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan serta keadilan restoratif dapat terlaksana apabila

fokus perhatian diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana, keprihatinan

yang sama dan komitmen untuk melibatkan pelaku dan korban, mendorong

pelaku untuk bertanggungjawab, kesempatan untuk dialog antara pelaku dan

korban, melibatkan masyarakat terdampak kejahatan dalam proses retroaktif,

mendorong kerjasama dan reintegrasi.