1. bab i pendahuluan revisi chudiel.doc

11
PKBI Sumatera Barat Pendahuluan Modul Manajemen Penanggulangan Bencana Untuk Puskesmas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman Nabi-Nabi dulu, bencana dianggap sebagai kejadian akibat manusia mendapat murka Tuhan. Akan tetapi saat ini kita bisa mengkonstruksikan bencana secara lebih rasional, memahami bahwa bencana tersebut sebagai jalinan “enviro sosial” yang melibatkan masyarakat dan lingkungan. Bencana tersebut pada umumnya dapat diperkirakan dan dapat dibuat rencana untuk pencegahan, kesiapsiagaan, tanggapan dan pemulihan. Sebuah bencana akan melibatkan banyak pihak terutama pihak kesehatan, dan secara tiba-tiba akan terjadi peningkatan kebutuhan akan peralatan dan tenaga. Respon petugas kesehatan harus dikelola dan dikoordinasikan, petugas perlu dikoordinir selama memberikan respon dan saat pemulihan. Rangkaian bencana yang diakibatkan oleh gempa bumi yang terjadi di Sumatera Barat dan beberapa tempat di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan telah memberikan gambaran bahwa Negara Republik Indonesia belum juga siap dalam menghadapi ancaman bencana, terutama bencana alam sebagai ancaman utama masyarakat Indonesia. Puncaknya adalah bencana besar gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang melumpuhkan Propinsi Aceh dan menewaskan ratusan ribu orang. Dampak dari tsunami tersebut juga dirasakan oleh beberapa negara tetangga seperti Thailand, Sri Lanka, Malaysia, dan Somalia. Bencana besar tersebut diikuti oleh beberapa bencana besar lainnya yaitu gempa di Pulau Nias, gempa di Jogja, gempa di Sumatera Barat dan beberapa tempat lain di Indonesia. Rangkaian bencana tersebut telah menyadarkan berbagai pihak akan pentingnya kesiapsiagaan di berbagai pihak, baik pemerintahan, swasta, LSM dan masyarakat. Semua pihak telah menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang sangat rawan terhadap bencana. Secara geografis letak Indonesia merupakan pertemuan empat 1 Rekaman Titik Gempa di

Upload: milyasari

Post on 06-Dec-2015

235 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

PKBI Sumatera Barat

Pendahuluan

Modul Manajemen Penanggulangan Bencana Untuk Puskesmas

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di zaman Nabi-Nabi dulu, bencana dianggap sebagai kejadian akibat manusia mendapat murka Tuhan. Akan tetapi saat ini kita bisa mengkonstruksikan bencana secara lebih rasional, memahami bahwa bencana tersebut sebagai jalinan “enviro sosial” yang melibatkan masyarakat dan lingkungan. Bencana tersebut pada umumnya dapat diperkirakan dan dapat dibuat rencana untuk pencegahan, kesiapsiagaan, tanggapan dan pemulihan. Sebuah bencana akan melibatkan banyak pihak terutama pihak kesehatan, dan secara tiba-tiba akan terjadi peningkatan kebutuhan akan peralatan dan tenaga. Respon petugas kesehatan harus dikelola dan dikoordinasikan, petugas perlu dikoordinir selama memberikan respon dan saat pemulihan.

Rangkaian bencana yang diakibatkan oleh gempa bumi yang terjadi di Sumatera Barat dan beberapa tempat di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan telah memberikan gambaran bahwa Negara Republik Indonesia belum juga siap dalam menghadapi ancaman bencana, terutama bencana alam sebagai ancaman utama masyarakat Indonesia. Puncaknya adalah bencana besar gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang melumpuhkan Propinsi Aceh dan menewaskan ratusan ribu orang. Dampak dari tsunami tersebut juga dirasakan oleh beberapa negara tetangga seperti Thailand, Sri Lanka, Malaysia, dan Somalia. Bencana besar tersebut diikuti oleh beberapa bencana besar lainnya yaitu gempa di Pulau Nias, gempa di Jogja, gempa di Sumatera Barat dan beberapa tempat lain di Indonesia. Rangkaian bencana tersebut telah menyadarkan berbagai pihak akan pentingnya kesiapsiagaan di berbagai pihak, baik pemerintahan, swasta, LSM dan masyarakat.

Semua pihak telah menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang sangat rawan terhadap bencana. Secara geografis letak Indonesia merupakan pertemuan empat lempeng tektonik yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Philipina. Selain lempeng ada juga segmen di sumatera barat yaitu segmen Sumani sianok yang panjangnya 150 km dan segmen Suliti yang panjangnya 90 Km Kenyataan ini telah menggambarkan bahwa sampai kapanpun Indonesia tidak akan berhenti mangalami gempa bumi. Hal ini terbukti dari catatan dari BMKG bahwa setiap hari telah terjadi ratusan kali gempa dengan skala kecil sehingga getarannya tidak dirasakan oleh manusia.

1

Rekaman Titik Gempa di indonesia

PKBI Sumatera Barat

Pendahuluan

Modul Manajemen Penanggulangan Bencana Untuk Puskesmas

Pada bagian barat, selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera – Jawa - Nusa Tenggara – Sulawesi, yang isinya berupa pegunungan vulkanik tua aktif, seperti, Gunung Sinabung di Sumatera Utara, Gunung Kerinci di Jambi, Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Gunung Bromo, Gunung Merapi dan beberapa gunung di Pulau Jawa.

Di Sumatera Barat ada 8 gunung api dan 4 diantaranya aktif yaitu Gunung Merapi, Gunung Talang, Tandikek dan Talamau. Semua gunung api tersebut termasuk dalam kategori gunung teraktif di dunia. Sejarah purba juga mencatat bahwa Proses Vulknologi tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di Indonesia seperti letusan mega vulkanik Gunung Toba, Gunung

Tambora dan Gunung Krakatau yang menewaskan jutaan orang di jamannya. Belum lagi bencana geologi seperti angin puting beliung, kekeringan di bagian timur Indonesia, serta banjir yang selalu secara rutin datang menghampiri masyarakat dihampir semua tempat di negeri ini.

Setelah hampir 5 tahun berlalu pasca Tsunami Aceh, pada tanggal 30 September 2009 terjadi gempa besar

yang melanda Sumatera Barat. Dampaknya dirasakan hampir di seluruh wilayah Sumatera Barat terutama wilyah pesisir pantai barat Pulau Sumatera. Ketidaksiapan dalam merespon bencana langsung dirasakan oleh semua pihak terutama oleh masyarakat yang terkena dampak. Berbagai media memberitakan bahwa pemerintah kembali gagap dalam merespon darurat bencana yang berakibat pada terlambatnya bantuan dan pelayanan kepada korban, baik itu bantuan logistik makanan, tenda, serta bantuan kesehatan. Hal ini diakibatkan oleh

kurangnya koordinasi, rumitnya birokrasi dan beratnya medan bancana.

Salah satu pelayanan yang berperan penting yang segara harus didapatkan oleh korban bencana dalam penanggulangan darurat bencana adalah pelayanan kesehatan, mengingat akan banyaknya korban yang akan terkena dampak langsung yang membutuhkan bantuan medis, seperti korban tertimpa bangunan. Setelah itu, dampak sekunder yang akan timbul banyak masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan, baik kesehatan mental ataupun kesehatan fisik lainnya karena harus tinggal di pengungsian atau di tenda-tenda darurat, terutama kelompok rentan (perempuan, bayi dan balita, lansia dan orang cacat)

Pengalaman gempa 30 September 2009 memperlihatkan bahwa unit pelayanan kesehatan ditingkat paling bawah seperti puskesmas mengalami masalah dalam memberikan pelayanan kepada korban. Hal ini disebabkan karena puskesmas juga menjadi korban gempa, misalnya bangunan puskesmas, pustu, dan poskesri yang rusak berat sehingga tidak bisa dimanfaatkan untuk memberikan pelayanan. Petugas puskesmas dan keluarganya juga harus menyelamatkan diri dari bencana. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh SATKORLAK

2

Longsor akibat gempa 30 September 2009 yang menimbun ratusan orang di Gunung Tigo, Kabupaten Padang Pariaman

PKBI Sumatera Barat

Pendahuluan

Modul Manajemen Penanggulangan Bencana Untuk Puskesmas

Propinsi Sumatera Barat, tercatat 238 unit fasilitas kesehatan yang mengalami kerusakan ; didalamnya termasuk rumah sakit, puskesmas, pukesmas pembantu (pustu), dan poskesri.

Disamping kerusakan yang dialami, petugas puskesmas juga tidak mempunyai acuan atau prosedur opersional standar dalam penanggulangan bencana di tingkat puskesmas, sehingga petugas tidak tahu harus melakukan tindakan apa dalam merespon keadaan darurat bencana. Akibatnya puskesmas hanya melakukan pelayanan seperti dalam keadaan normal.

Menteri kesehatan sebagai pengambil kebijakan tertinggi di sektor kesehatan telah membuat Keputusan dalam bentuk KEPMENKES RI No. 145 tahun 2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana di bidang Kesehatan yang dikonkritkan dengan membentuk PPK (Pusat Penanggulangan Krisis). Di dalam KEPMENKES tersebut, dijelaskan tentang fungsi dan peran element kesehatan, mulai dari tingkat pusat, daerah, hingga tingkat Puskesmas dalam penanggulangan bencana.

Di dalam KEPMENKES RI No. 145 tahun 2007 dikatakan bahwa Puskesmas adalah sebagai pelaksana tugas pelayanan kesehatan dalam penanggulangan bencana di lokasi bencana. Akan tetapi, tugas dan peran tersebut belum tersosialisasikan sampai ke tingkat puskesmas sehingga dari pengamatan dan diskusi dengan pihak puskesmas, banyak puskesmas bingung dalam merespon keadaan darurat sesaat setelah bencana. Meskipun setelah berfungsi kembali, Puskesmas cenderung melakukan pelayanan seperti dalam keadan normal, padahal tugas dan tanggung jawab puskesmas yang diamanatkan dalam KEPMENKES RI No. 145 tahun 2007 harus bisa menjadi pusat pelayanan kesehatan lapangan (Pusyankeslap) yang harus lebih aktif dalam memberikan pelayanan

B. Puskesmas Sebagai Komando Insiden Saat Bencana

Pada kondisi darurat pasca bencana Puskesmas tetap diharapkan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat. Puskesmas dalam keadaan normal memiliki peran yang sedikit berbeda dengan puskesmas dalam keadaan becana. Puskesmas dituntut untuk bisa bertransformasi dengan cepat menjadi Pusyankeslap (Pusat Pelayanan Kesehatan Lapangan) segera setelah terjadi bencana.

Pengalaman menunjukkan bahwa, bila terjadi bencana di suatu wilayah kerja Puskesmas, kegiatan pelayanan reguler di sebagian puskesmas cenderung lumpuh. Berikut ini beberapa pengalaman atau peristiwa ketika bencana terjadi :

1. Di puskesmas belum ada tim penanggulangan bencana walaupun sudah mendapat pelatihan manajemen bencana, akibatnya para petugas di sebagian puskesmas panik, bingung, tak tahu harus berbuat apa,

2. Sebagian puskesmas akan kekurangan obat-obatan, peralatan, dan bahan habis pakai, karena tidak punya “Buffer stock”.

3. Sebagian puskesmas langsung merasa kekurangan tenaga / petugas yang bisa diandalkan.

3

PKBI Sumatera Barat

Pendahuluan

Modul Manajemen Penanggulangan Bencana Untuk Puskesmas

4. Tidak ada komandan insiden yang bisa mengendalikan situasi kesehatan di wilayah kerja sebagian puskesmas.

5. Sebagian puskesmas bingung harus berkoordinasi dengan siapa dalam penanganan korban terdampak bencana, karena berbagai pihak terkaitpun tidak tahu harus bertindak apa.

6. Berbagai pihak yang berkepentingan terkesan saling menyalahkan.7. Sebagian puskesmas terkesan lebih banyak menunggu bantuan dari Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, atau berbagai lembaga lain.8. Sebagian puskesmas tidak tahu harus melapor ke mana, apa yang mesti dilaporkan, dan

bagaimana tata cara pelaporan.9. Pengendalian penanganan korban bencana ( mati, luka dan sakit, Post Traumatic

Stress, dll ) tidak berada di tangan Puskesmas, padahal puskesmaslah yang punya wilayah kerja.

10. Penanganan kesehatan pengungsi (gizi, air bersih, sanitasi lingkungan, surveilans penyakit menular, pengendalian vektor, dll) seringkali terabaikan.

11. Sebagian puskesmas tidak punya pelayanan informasi dan data (peta dampak bencana, jumlah korban yang dirujuk, jumlah korban yang ditangani di tempat, jumlah korban selamat, jumlah pengungsi, tempat pengungsian, pola penyakit pasca bencana, dll).

12. Hampir semua Puskesmas belum punya system komunikasi/alat komunikasi seperti radio komunikasi.

13. Sebagian Lembaga-lembaga yang datang memberikan bantuan kesehatan bekerja tanpa koordinasi dengan puskesmas, karena puskesmas tidak diberi wewenang yang jelas dan juga tidak tahu bagaimana cara mengkoordinir mereka.

Situasi tersebut di atas menyebabkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat korban bencana tidak terorganisir dengan baik sehingga merugikan korban terutama yang terkena dampak langsung bencana seperti korban luka, tertimpa gedung dan lain sebagainya. Selain hal-hal di atas, sebenarnya puskesmas juga mempunyai tanggung jawab untuk mengurangi dampak kesehatan pasca bencana seperti :

1. Mengurangi kematian dan keadaan tidak sehat [morbidity] akibat malaria, diare, ISPA, campak, dll.

2. Mengurangi [tingkat] kematian saat bersalin dan pasca bersalin (ingat, diantara korban juga banyak ibu-ibu yang sedang hamil).

3. Mengurangi [tingkat] kematian dan kesakitan akibat kurang gizi.4. Mengurangi [tingkat] keadaan tidak sehat akibat penyakit berbasis lingkungan.5. Mengurangi [tingkat] kematian akibat infeksi luka.6. Mengurangi keadaan tidak sehat akibat stres.

Tugas dan tanggung jawab ini harus terintegrasi ke dalam tindakan yang harus diambil puskesmas sehingga ketika terjadi keadaan darurat yang diakibatkan oleh bencana, puskesmas dapat langsung berfungsi sebagaimana yang diamanatkan oleh KEPMENKES RI No. 145 tahun 2007.

4

PKBI Sumatera Barat

Pendahuluan

Modul Manajemen Penanggulangan Bencana Untuk Puskesmas

Amanat yang tertuang di dalam KEPMENKES RI No. 145 tahun 2007 sangat komprehensif, dimulai dari peran puskesmas pada saat pra bencana (Kesiapsiagaan), saat terjadi bencana (respon darurat) maupun setelah terjadi bencana (rehabilitasi).

Dalam masa pra bencana, puskesmas harus mempersiapkan segala sesuatu guna mengurangi dampak risiko bencana, baik itu di lingkungan puskesmas ataupun di lingkungan wilayah kerja puskesmas seperti, menyiapkan prosedur dan peta evakuasi di puskesmas mengingat puskesmas adalah salah satu unit pelayanan masyarakat yang paling banyak diakses oleh masyarakat dan petugas puskesmas juga rawan menjadi korban sehingga perlu untuk mempersiapkan prosedur evakuasi di tingkat puskesmas. Puskesmas juga perlu menyiapkan system peringatan dini, membentuk tim kesehatan bencana, mulai dari tim reaksi cepat (TRC), tim assessment kesehatan (TRAH), tim bantuan kesehatan, tim logistik dan berbagai kebutuhan lainnya yang diperlukan pada saat darurat. Semua tim tersebut juga harus mempunyai pola kerja sehingga ketika terjadi darurat bencana, masing-masing tim dapat bekerja sesuai dengan pola yang telah disepakati. Disamping itu petugas kesehatan perlu melakukan koordinasi dengan berbagai stake holder di lingkungan kerja puskesmas.

Pada saat terjadi bencana, puskesmas sebagai pelaksana tugas pelayanan kesehatan dalam penanggulangan bencana di wilayah kerjanya harus bisa melaksanakan tugas dan fungsi sesuai dengan yang telah disiapkan pada saat pra bencana, baik itu pelayanan di lingkungan puskesmas maupun kepada masyarakat di wilayah kerja puskesmas. Tugas dan fungsi tersebut dijalankan oleh tim-tim yang sudah dibentuk sebelumnya seperti TRC dan TRHA yang harus segera melakukan triase dan memberikan pertolongan pertama, melakukan Initial Rapid Health Assessment (penilaian cepat masalah kesehatan awal), melakukan rujukan bagi korban dengan kondisi yang parah, berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, dan melaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten tentang bencana yang terjadi, mengatur alur bantuan terutama bantuan kesehatan, dan berbagai aktifitas lain yang tujuannya mengurangi resiko bagi masyarakat atau dampak bencana.

Sambil menunggu selesainya hunian sementara yang dikerjakan oleh pihak lain dan pasca tanggap darurat bencana, puskesmas harus berperan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di pengungsian dengan mendirikan pusat pelayanan kesehatan lapangan, melaksanakan pemerikasaan kualitas air bersih dan pengawasan sanitasi lingkungan, melaksanakan surveilans penyakit menular dan gizi buruk yang mungkin timbul, melakukan konseling untuk mengurangi gangguan stress pasca trauma dan selalu berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.

Untuk menyiapkan puskesmas agar siap dalam penanggulangan bencana dibutuhkan seperangkat persiapan diantaranya persiapan bangunan puskesmas yang kuat dan tahan gempa, peralatan dan fasilitas pendukung, dan komitmen dari tenaga kesehatan yang diikuti dengan adanya berbagai persiapan dalam penanggulangan bencana. Untuk itu dibutuhkan alat bantu dan panduan yang baik dan aplikatif agar semua puskesmas siap dalam penanggulangan bencana.

C. Modul Pelatihan Manajemen Penggulangan Bencana Untuk Puskesmas5

PKBI Sumatera Barat

Pendahuluan

Modul Manajemen Penanggulangan Bencana Untuk Puskesmas

PKBI Sumatera Barat sebagai LSM yang bergerak di bidang kesehatan atas dukungan dari Coffey international mencoba mengembangkan modul/bahan ajar yang bisa dipakai dalam menyiapkan puskesmas dalam penanggulangan bencana.

Tujuan umum pengembangan modul ini adalah untuk menyiapkan sebuah acuan dalam pelatihan penanggulangan resiko bencana di tingkat Puskesmas.

Diharapkan dengan adanya modul pelatihan ini, puskesmas dapat: 1. Mempunyai pegangan dan acuan dalam materi pelatihan pegurangan risiko bencana. 2. Puskesmas memiliki Standard Operating Prosedure (SOP) evakuasi saat terjadi

bencana.3. Puskesmas punya kemampuan bertransformasi dengan cepat dari Puskesmas dalam

situasi normal menjadi Puskesmas Bencana.4. Puskesmas mampu menjadi komando insiden di wilayah kerjanya, sehingga bisa

mengatasi semua permasalahan kesehatan yang terjadi akibat bencana.

Modul ini dikembangkan berdasarkan pengalaman PKBI Sumatera Barat dalam merespon keadaan darurat akibat bencana dan juga pengalaman dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana diantaranya:

1. Peningkatan Gizi bayi , balita dan ibu hamil korban bencana gempa melalui Revitalisasi Posyandu dan melakukan penangan trauma pasca bencana bekerjasama dengan Puskesmas Nagari Singgalang, Kabupaten Tanah datar dalam respon bencana gempa bumi 26 maret 2007

2. Pelayanan kesehatan keliling dan pemulihan trauma pasca bencana di Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang dan Kabupaten Pesisir untuk korban bencana gempa 30 September 3009

3. Program Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi di saat Bencana bekerjasama dengan puskesmas maninjau kabupaten agam

4. Pelatihan Pertolongan Pertama dan Kesiapsiagaan Bencana kepada 233 orang staff di jajaran Dinas Kesehatan dan Puskesmas Kota Payakumbuh. Seluruh staff Puskesmas di Kabupaten 50 Kota 30 orang staff dan kader posyandu di Puskesmas Lubuak Aluang dan Puskesmas

Sikabu Masyarakat umum, siswa, mahasiswa guru dan pegawai diberbagai jajaran diseluruh

Propinsi Sumatera Barat.

Modul ini juga berdasarkan pada pengalaman relawan-relawan PKBI dalam merespon bencana yang terjadi di berbagai daerah di seluruh Indonesia seperti bencana tsunami Aceh, gempa Nias, gempa bumi dan tsunami 26 September 2010 di Mentawai.

Modul ini juga merujuk ke berbagai bahan acuan yang telah dipakai di beberapa tempat dalam penanggulangan bencana, baik itu yang dikembangkan oleh pemerintah, BNPB, Dinas Kesehatan dan LSM baik itu LSM lokal maupun LSM International.

6

PKBI Sumatera Barat

Pendahuluan

Modul Manajemen Penanggulangan Bencana Untuk Puskesmas

Malcolm S. Knowles (1913 – 1997) pernah menjadi direktur eksekutif Adult Education Association of the United States of America. Knowles mengadaptasi teori Andragogy dalam proses pembelajaran dan terkenal karena pengaruhnya dalam perkembangan Humanist Learning Theory.

PSYCHO

MOTOR(action)

AFFECTIVE

(Feelling)

COGNITIVE

(knowledge)

Bahan ajar dalam modul ini dikembangkan demikian rupa, sehingga mudah digunakan dan bisa diadopsi di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Materi disiapkan se komprehensif mungkin agar bisa menjadi acuan bagi puskesmas dalam menyiapkan diri menjadi puskesmas yang siap dalam penanggulangan bencana, mulai dari pra bencana (kesiapsiagaan), pada saat bencana (respon darurat) dan pasca bencana. Setiap materi dilengkapi dengan :

1. Panduan pengajaran2. Bahan bacaan3. Catatan alat bantu pengajaran

D. Metode Pembelajaran

Hasil dari pelatihan penanggulangan bencana untuk puskesmas diharapkan dapat melahirkan berbagai aspek keterampilan dan pengetahuan dalam menghadapi bencana. Untuk mencapai tujuan tersebut metode yang paling cocok adalah menggunakan prinsip pendidikan andragogi atau pendidikan orang dewasa.

Menurut Malcolm Knowles (1980), empat faktor penting mengenai pendidikan orang dewasa adalah :

1. Penghargaan (respect): terkait dengan suasana yang ditumbuhkan (dalam proses pembelajaran)

2. Segera (immediacy): sesuatu yang dapat langsung digunakan/diterapkan

3. Relevansi (relevance): menarik motivasi dan berkaitan langsung dengan minat dan kepentingan

4. Orang dewasa mengingat 20% dari apa yang mereka dengar, 40% dari apa yang mereka dengar dan lihat; dan 80% dari apa yang mereka lakukan dan temukan sendiri.

Dalam proses pembelajaran orang dewasa, proses belajar harus melibatkan 3 aspek diantaranya:

1. Pengetahuan (kognitif)2. Psychomotorik (keterampilan/skill)3. Affective (sikap)1

Ketiga Aspek ini saling berhubungan satu sama lain. Proses belajar yang efektif bagi orang dewasa harus melibatkan ketiga aspek ini secara bersamaan.

Dengan kata lain, proses belajar tidak akan berjalan degan baik jika hanya melibatkan satu atau dua aspek saja, misalnya aspek pengetahuan dan sikap saja sedangkan peserta tidak pernah melakukan atau mempraktekkan hal yang dipelajari. Jika hanya aspek pengetahuan dan keterampilan tanpa dibangun dengan sikap, maka proses belajar juga akan menjadi sia-sia.

7

PKBI Sumatera Barat

Pendahuluan

Modul Manajemen Penanggulangan Bencana Untuk Puskesmas

Untuk menjadikan puskesmas sebagai pukesmas yang siap dalam penanggulangan bencana, semua puskesmas harus siap baik dari segi sikap/mental, pengetahuan dan keterampilan agar bisa menjalankan tugas sebagaimana yang telah diamanatkan di dalam KEPMENKES RI No. 145 tahun 2007.

E. Sasaran

Pada tahap awal, modul ini dibuat sebagai bahan ajar untuk staff Puskesmas yang gedungnya dibangun oleh PPHFR – Coffey International, dengan melibatkan sebagian masyarakat di wilayah kerjanya. Jumlah puskesmas tersebut ada delapan buah yang rusak parah akibat bencana gempa 30 september 2009, yaitu :

1. Puskesmas Koto Bangko 2. Puskesmas Padang Alai 3. Puskesmas Batu Basa4. Puskesmas Sikabu5. Puskesmas Sungai Geringging6. Puskesmas Pauh Kambar7. Puskesmas Kayu Tanam8. Puskesmas Kampung Dalam

Puskesmas-puskesmas diatas telah melakukan pelatihan Manajemen Pananggulangan Bencana Untuk Puskesmas dalam rangka Uji Coba Modul Penanggulangan Bencana untuk Puskesmas. Pelatihan ini dilakukan pada bulan April, Mei dan Juni 2011 dan diikuti oleh lebih kurang 30 Peserta terdiri dari 20 orang peserta dari petugas puskesmas dan 10 orang dari perwakilan masyarakat. Perwakilan dari masyarakat diharapkan bisa menjadi bagoan dalam Tim Penanggulangan Bencana di Puskesmas tersebut. Setiap rangkaian pelatihan dilakukan selama tiga hari dengan materi-materi yang sudah disusun di dalam modul. Pelatihan ini dilaksanakan di gedung puskesmas yang baru kecuali dua puskesmas yaitu kampung dalam dan Kayu Tanam dilakukan di lokasi lain karena bangunan puskesmas belum bisa ditempati.

Pada akhirnya modul ini diharapkan bisa dipakai sebagai acuan di semua puskesmas dalam mempersiapkan diri untuk menjadi puskesmas yang siap dalam penanggulangan bencana.

8

Puskesmas Sikabu yang hancur akibat gempa 30 September 2009