05.2 bab 213 pancasila

80
1 maupu n di perguruan tinggi. Permasala l bahka n mternasional. Pada awalny a p perilaku tidak juju r dalam pendidik makin hari semakin berkembang , sehing cuku p luas. Menyontek van g pad a kjujura BA B II TELAA H PUSTAK A A. Intens i Menvont e k 1. Pengertian Menyonte k Masalah menyontek buka n lagi menjad i masalah bar u dala m dunia pendidikan, baik di sekolah ha n tersebut sudah menjad i masalah nasiona erilaku menyontek termasuk dalam kategori an. Ketidakjujura n dalam pendidikan se ga ketidakjujura n memilik i pengertian yang awalny a merupaka n bagian perilaku ketida ndapa t perhatian tersendiri. Ketidakjujuran as mendapatka n keuntungan yang tidak sah d dirinya sendiri atau beberap a pelajar lain. P enyonte k atau tingkah laku tidakjujur yang ). Penelitian pertam a kali terhada p perilaku menyonte k dimulai tahu n 1941, yakni terhadap mahasisw a yang belu m menyelesaika n studinya. Penelitian tersebut menemukan sebanvak 23 persen mahasisw a pernah menyonte k dala m mas a studinya (Davis dalam Case,

Upload: ayu-rozalia-widyaningrum

Post on 05-Jan-2016

53 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

makalah pancasila

TRANSCRIPT

Page 1: 05.2 Bab 213 Pancasila

1

maupu n di perguruan tinggi.

Permasala l bahka n mternasional. Pada

awalny a p

perilaku tidak juju r dalam

pendidik makin hari semakin

berkembang , sehing

cuku p luas. Menyontek van g pad a

kjujura n dalam pendidikan, sekarang

me dalam pendidikan merupaka n suatu

aktivit alam akademi s yang dipergunaka n

untuk erbuatan tersebut termasuk ,

BA B II

TELAA H PUSTAK

A

A. Intens i Menvont e k

1. Pengertian Menyonte k

Masalah menyontek buka n lagi menjad i masalah bar u dala m dunia

pendidikan, baik di sekolah ha n tersebut

sudah menjad i masalah nasiona erilaku

menyontek termasuk dalam kategori an.

Ketidakjujura n dalam pendidikan se ga

ketidakjujura n memilik i pengertian yang

awalny a merupaka n bagian perilaku ketida

ndapa t perhatian tersendiri. Ketidakjujuran

as mendapatka n keuntungan yang tidak sah d

dirinya sendiri atau beberap a pelajar lain. P

enyonte k atau tingkah laku tidakjujur yang

).

Penelitian pertam a kali terhada p perilaku menyonte k dimulai tahu n 1941,

yakni terhadap mahasisw a yang belu m menyelesaika n studinya. Penelitian

tersebut menemukan sebanvak 23 persen mahasisw a pernah menyonte k dala m mas

a studinya (Davis dalam Case, 1999). Jumla h tersebut terus meningka t menjad i 89

persen pada tahun 1996 (CNN , 1996) dan bahka n tahun 1999-2000 dari 163

pelajar , 105 diantaranya mengak u menyonte k (Stewart,2000). Menuru t Lauderdal

e (Niel, 2001 )

Page 2: 05.2 Bab 213 Pancasila

contekan (Biehler 1971; Sujana,1993)

. tek merupaka n aktivitas memberika n

atau (haram ) dalam beberap a urusa n

akadem

tidak menggunaka n pikiran sendiri

ata nformasi dari tema n atau dari buk

u ( lebih luas mengenai perilaku

menyonte

ujur , bohong , pengecut, dan tercela,

curan lat bant u lain yan g dilarang dala

m kont

1

perbandingannya sudah mencapai 4 : 5, maksudny a setiap lim a orang siswa yang

di survei, terdapat empat orang mengak u menyontek .

Menyontek dapat diartikan sebagai suatu tindaka n kecuranga n yan g

dilakukan dalam mengerjakan test melalui pemanfaata n informasi yang berasal dari

luar secara tidak sail (Sujana dan Wulan , 1994). Informas i dari luar tersebut bisa

berasal dari buku, catatan, buku pelajaran , lembar jawaba n oran g lain, tulisan yan

g ditulis pada kertas kecil, sapu tangan, atau telapak tangan dan bentu k conteka n lain

yang equivalen dengan lembar Pendapat

lain menjelaska n bahwa menyon memint a

bantua n informasi yang dilarang i k

termasu k ujian , bantua n tersebut dengan u

denga n kata lain dengan menggunakan i

Dufee , 2001; Dewi, 2000). Pengertian yang

k adalah sebagai tindakan negatif, tidak j

g dala m tugas akademi k atau menggunakan a

ek s mengerjaka n ujia n atau peraturan akad

Berdasarka gena i perilaku menyontek di

atas dapat diambil suatu kesimpula n bahw a menyonte k adalah suatu bentu k

perbuatan tidak jujur, tidak legal, curang, tidak sah dengan memanfaatka n informasi

yan g berasal dari luar dengan berbagai cara, baik dengan tulisan, lisan atau bekerj a

sama, berkolusi dengan mahasiswa lain atau pihak luar, serta cara-cara lain yan g

tidak sah yang dilakukan seseorang selama mas a ujian berlangsun g agar tujuanny a

bisa tercapai.

Page 3: 05.2 Bab 213 Pancasila

1

tnya Fishbein dan Ajze n (Sujana , 1993)

m tahuan, sikap, niat dan perilaku. Niat

sese sari oleh sikap orang tersebut terhada

p per asil keyakina n subjek terhada p

akibat dar

tif terbentu k berdasarka n keyakinan

norma akina n akan akibat perilaku dan

keyakinan ntuk berdasarka n umpa n balik

yan g diberi atis model hubunga n

antara kompone n ut:

2. Intensi Menyontek .

Menurut Fishbein dan Ajze n (1975), intensi perilaku (behavioral

intention) diartikan sebagai probability yang bersifat subjektif pada diri

seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Intensi perilaku merupaka n determina n

yang paling dekat dengan perilaku yang dimaksu d dan merupakan prediktor tunggal

terbaik bagi perilaku yang akan dilakukan oleh seseorang. Ancok (1992)

memberika n pengertian bahw a

intensi adalah

Selanju

niat untuk melakuka n suatu perilaku.

engemukaka n model hubungan

antara penge orang untuk melakukan suatu

perilaku dida ilaku itu sendiri. Sikap di sini

merupakan h i perilaku tersebut, sedangkan

norma subjek ti f subjek akan akibat perilaku

tersebut. Key normatif akan akibat perilaku

tersebut terbe kan oleh perilaku itu sendiri .

Secara skem tersebut dapat digambarkan

sebagai berik

t

Gb. 1 Kerangk a konseptual untuk meramalka n suatu niat atau perilaku tertentu

(Fishbein dan Ajzen dalam Sujan a 1993)

Page 4: 05.2 Bab 213 Pancasila

ngkatnya nilai ujian atau Indeks Prestasi,

nyontek mak a kemungkina n ia akan

mcnd jian tersebut (PoJ^es ) .

Pertimbangan hada p perilaku menyontek ,

apakah ia mem

nen lain yang berpengaru h terhadap

ormatif mengena i perilaku X.

Komp entang X yan g berisi pandanga n

subjek t pok orang yan g berpengaru h

dalam kehi arusan bagi dirinya untuk

1

Keyakinan akan akibat perilaku X merupaka n kompone n yang berisikan

aspek pengetahuan subje k tentang perilak u X dan tentan g akibat negatif maupu n

positif dari perilaku X. Semaki n banya k segi positif yan g diperole h subjek tentan g

akibat perilaku X akan semakin positif pula sikap subjek terhada p perilaku X, dan

demikian pula sebaliknya. Apabila mengambi l contoh dalam kontek s menyontek ,

seseorang yan g hendak menyontek ketika ujian , harus mengetahui akibat yan g

harus ia terima mungkin setelah melakuka n perbuatan tersebut. Akibat positif yan

g akan ia terima berupa, meni dan akibat

negatifnya, jik a ia ketahuan me apatka n

nilai 'F ' atau nilai '0 ' pada mata u ini

akan mempengaruh i sikap seseorang ter

utuska n untuk menyonte k atau tidak.

Kompo pembentuka n intensi

adalah keyakinan n one n ini merupaka

n aspek pengetahuan t entang harapa n dari

orang lain atau sekelom dupanny a mengenai

keharusan atau ketidakh aku X. Keyakinan

normatif ini akan membentuk norma subjektif tentan g perilaku X, yaitu kompone n

yan g berisi keputusan subjek setelah mempertimbangka n pandanga n atau harapan

dari orang lain atau sekelompok orang yan g berpengaru h tersebut. Oran g yang

berpengaru h pada perilaku subjek tersebut seperti, ayah, ibu, kakak , adik, dosen,

teman sebaya, atau siapa saja yang berpengaru h terhada p dirinya. Subjek dapat

terpengaruh oleh harapan atau pandangan orang tersebut, namu n dapat pula tidak

terpengaruh. Seseoran g yang sebelum ujian telah mendenga r tataterti b uji an yang

berisi diantaranya tentan g sanksi

Page 5: 05.2 Bab 213 Pancasila

ada diri seseorang termasuk sikap

dan ntuk melakuka n perilaku

menyontek.

dak jujur , tidak legal, tidak sah dengan

uar dengan berbagai cara, baik dengan

tu ngan mahasisw a lain atau pihak luar,

serta n seseorang selarna masa ujian

berlangs

1

untuk para penyontck, tatatertib tempat duduk , pakaian dan sebagainya. Kemudia

n kctika ujian dimulai bisa saja peraturan yan g sudah didcngar nya tidak dihiraukan

lagi dan menyontek tetap dilakukan, sebaliknya seseorang yan g telah memutuska n

untuk menyontek ketika ujian menjad i berkuran g keinginannya setelah membac

a atau mendengar sanksi yang akan ia terima.

Mencermati penjelasa n di atas, dapat ditarik satu kesimpula n

untuk mendefenisikan intensi menyontek . Intensi menyonte k merupaka n mat yang

bersifat subjektif p norma-norm a

subjektif yang dimilikinya u Perilaku

menyontek adalah perbuatan ti

memanfaatka n informasi yang berasal dari l

lisan, lisan atau bekerj a sama, berkolusi de

cara-cara lain yang tidak sah yang dilakuka

un g dengan maksud tujuannya bisa tercapai.

3. Kriteria

Perilaku cenderun g sulit untuk diakui

seeara langsung dengan alasan kekhawatira n mendapa t ancama n yan g tidak nyama

n bagi dirinya. Agar memperole h kenyaman , seseorang cenderun g untuk tidak

mengakui perbuatannva, dengan demikia n agak sulit mengetahui perbuatan curan g

seseorang apabila ditanyakan seear a langsung. Menuru t Edwar d (Azwar, 1997),

oran g akan mengemukakan pendapat dan jawaba n yan g sebenarny a seeara terbuka

hanya apabila situasi dan kondisi memungkinkan , artinya apabila situasi

dan kondisi memungkinkannya untuk mengataka n hal yang sebenarnya tanp a rasa

takut terhada p

Page 6: 05.2 Bab 213 Pancasila

tuk mengungka p kejujura n mahasisw a

ters ekan adalah dengan melihat intensi

seseor getahui persepsi seseorang terhada

p pand serta sikapnya terhada p

perilaku men empunya i intensi

menyontek atau tidak, d

embagu n perilaku menyontek.

Newstea d dkk (1996 ) perilaku

menyon menuru t Student Academic

Dishonesty (199 menerim a kopian dari

1

konsekuensi langsung maupu n tidak langsung yan g dapat terjadi. Jndividu yang

berada dalam situasi tanpa tekanan dan beba s dari rasa takut, tidak terlihat adanya

kcinginan untuk berkata lain, barulah individu memberika n jawaba n yang

sebenarnya sesuai dengan apa yang dirasakannya. Seseorang mahasisw a yang

menyontek disaat ujian, kemudian suatu saat ditanya oleh dosen apakah ia

menyontek ketika ujian, maka ada kecenderungan mahasisw a tersebut untuk

berbohong , karen a ketakutan akan konsekuensi hukuma n dari dosen tersebut,

berup a nilai F atau nol. Adapu n cara yang dilakukan un

ebut, tanpa ada rasa takut ada perasaan tert

ang terhada p menyontek, yailu dengan men

angan oran g tentan g perilaku menyontek,

yonte k tersebut. Mengetahui seseorang m

apat dilihat dari indikator atau kriteria yang

Menurut tek terdiri dari 21 kriteria.,

sementara itu 9 ) ada delapan kriteria yaitu

mengopi atau ujian atau dalam mengerjaka n

lugas, meng lain selama ujian, membuat

program di dalam kalkulator yan g berisi jawaba n ujian atau infomias i lain yan g

tidak sah untuk ujian, menggunaka n tanp a ijin alat bantu, atau menvediakan

jawaban , catatan (kepean) atau menyembunyika n informasi selama ujian,

mengijinka n orang lain mengerjakan tugas atau bagian tugas untuk dirinya sendiri

termasuk mcnggunakannya untuk diperdagangkan , menyerahka n beberap a tugas untuk

lebih dari satu mata kuliah tanpa persetujua n dari dosen, bekerjasam a dalam

mengerjaka n ujian atau tugas dengan oran g lain tanpa ijin dari dosen, mengambil

soal ujian untuk orang

Page 7: 05.2 Bab 213 Pancasila

iannya digunaka n untuk keuntunga n diri

s lain agar mau melangga r perturan

tes ibler (1998 ) menambahka n bahw a

menyo n menyogo k atau menerim a sogok

dala m

a-kriteria menyontek yan g telah di ke

di bagi menjad i dua kategori besar.

K

yang terdiri dari mengambi l

jawaba n merek a ataupun tidak,

menggunaka n

V

18

lain atau menerima soal dari seseorang untuk

menurut (UMC Student Conduct , 1999) ada

enan

vaitu menyalin jawaba n dari tes siswa lain baik dengar.

sepengetahuan mereka, memiliki atau memaka i alat

selama

yang memberikan tes, bekerjasam a atau melihat jawaba n siswa i,

seijin instruktur, memakai atau membeli , menjual , mencuri

seluruh

yang dilarang dalam tes, mengganti nam a siswa lain atau mint a ijin a

tugas atau uj endiri atau member h

ip a seijin

\ dosen

, isen.

\kan

ta

pada orang . Senad a dengan pet.

sebelumnya K nte k dapat berup a

mengub a nilai raport da komunita s

perguruan tinggi.

Kriteri mukaka n oleh peneliti-

peneliti tersebut dapat ategori pertama

menyontek kctika ujian dari orang lam

baik dengan sepengetahuan catatan atau

beberap a bentuk bantuan lain y

berkomunikasi dengan teman- temannya lain

informasi yan g tidak diijinkan oleh peraturan, membua t program denga n kalkulator

yan g berisi jawaba n tidak sah untuk ujian, menggunaka n alat, menyediaka n

jawaban , menuli s catatan (kecil), atau menyembunyikan informasi selam a ujian,

mengijinka n oran g lain mengerjaka n tugas atau bagian dari tugas seseorang

untuk diri sendiri termasuk membeli atau mcmperdagangkanya, menyerahka n

beberap a tugas untuk di berika n pada lebih da n satu mata kuliah tanpa

Page 8: 05.2 Bab 213 Pancasila

sepengetahuan dosen atau guru, mengambi l soal ujian untuk orang lain atau

menerim a dari orang lain untuk diri sendiri. Kategori kedua yaitu

Page 9: 05.2 Bab 213 Pancasila

1

jiannya digunakan untuk keuntunga n diri

s lain agar ma u melangga r perturan

tes ibler (1998) menambahka n bahw a

meny

n menyogo k atau menerim a sogok dala m

a-kriteria menyontek yang telah di ke

di bagi menjad i dua kategori besar.

K

yang terdiri dari mengambi l

jawaba n merek a ataupun tidak,

lain alau menerima soal dari seseorang untuk keuntunganny a sendiri. Sementara

itu menurut (UMC Student Conduct, 1999) ada enam kriteria dari perilaku

menyontek vaitu menyalin jawaba n dari tes siswa lain baik dengan sepengetahuan

maupu n tanpa sepengetahuan mereka, memiliki atau memakai alat selama ujian tanpa

ijin dari orang yang memberikan tes, bekerjasam a atau melihat jawaba n siswa lain

selama ujian tanpa seijin instruktur, memakai atau membeli , menjual , mencuri

seluruh ata u sebagian isi yang dilarang dalam tes, mengganti nam a siswa lain atau

minta ijin dari siswa lain tugas atau u

endiri atau memberika n sogok pada orang

. Senada dengan pendapat sebelumnya K

onte k dapat berup a menguba h nilai raport da

komunita s perguruan tinggi.

Kriteri mukaka n oleh peneliti-peneliti

tersebut dapat ategori pertaina menyontek

ketika ujian da n oran g la m baik

dengan sepengetahuan catatan atau beberap a

bentuk bantuan lain y berkomunikasi dengan

teman- temannya lain informasi yan g tidak

diijinkan oleh peraturan, membua t program denga n kalkulator yan g berisi jawaba n

tidak sah untuk ujian, menggunaka n alat, menyediaka n jawaban , menuli s catatan

(kecil), atau menyembunyikan informasi selam a ujian, mengijinka n oran g lain

mengerjaka n tugas atau bagian dari tugas seseorang untuk diri sendiri

termasuk membeli atau memperdagangkanya, menyerahka n beberap a tugas untuk

di berika n pada lebih dari satu mata kuliah tanpa sepengetahuan dosen atau guru,

mengambi l soal ujian untuk orang lain atau menerim a dari orang lain untuk diri

sendiri. Kategori kedua yaitu

Page 10: 05.2 Bab 213 Pancasila

jawaba n dari oran g lain selama ujian

tan tivitas untuk mendapatka n jawaba n

ujia n

, tanpa sepengetahua n temanny a dan t

jawaba n dari oran g lain selama ujian

u aktivitas untuk mendapatka n jawaba n

u temanny a denga n sepengetahuanny a

ata kan jawaba n kepad a temanny a yan g

mem

1

menyontek dalam tugas kuliah terdiri dari menerim a bantuan naskah tanpa seijin

dosen, bekerjasama denga n oran g lam dalam mengerjaka n tugas tanp a seijin

dosen, dan mengajukan beberap a tugas kepad a lebih dari satu mat a kuliah tanpa seijin

dosen.

Penelitian ini akan memfokuska n pada perilaku menyontek yan g di ditemuka

n di dalam ujian yang kemudia n di telah sesuaikan dengan kondisi penelitian

serta ditambah dengan kriteria yan g dikemukaka n oleh peneliti sebelumnya. Kriteria-

kriteria tersebut adalah:

a. Menyalin pa sepengetahuan mereka, yaitu

Suatu ak dengan menyal in jawaban dari

temannya anpa sepengetahuan pengawa s

ujian.

b. Menyalin dengan sepengetahuan mereka,

yaitu suat jian dengan menyalin jawaba n

ujian dari u seijinya, dan aktivitas untuk

memberi butuhka n dengan berbagai cara

yang tida

c. Metigko dengan berbagai cara, yaitu

mengkomunikasika n jawaba n yang di dapat saat ujian kepad a teman-temanny

a dengan berbaga i cara seperti melempa r kertas yang sudah ditulisi

jawaban , memberika n simbol- simbol atau dengan langsung bertany a kepad a

temanny a yang lain yan g diangga p bisa , termasuk meneocokka n jawaba n ujian.

d. Membua t progra m denga n kalkulator yang berisi jawaba n tidak sah untuk

ujian, yaitu mempersiapka n progra m di dalam kalkulato r sebelum ujia n di

mulai dan

Page 11: 05.2 Bab 213 Pancasila

n berup a membaw a catatan, modul , buku

gan dengan ujia n untuk dapat dilihat ketika

mbil soal ujia n untuk oran g lain atau

mener

aitu mengambi l soal ujian tanp a ijin

peng kepada teman-temanny a yan g

beium uj

a dengan merek a atau berusah a mencari

b ya yang paralel

ikan sogok kepad a pengawa s yang

ditunju peraturan yang berkaitan

1

kemudian dilihat disaat ujian berlangsung, biasanya berup a ramus atau kata-

kata asing atau berup a catatan materi yan g di ujikan.

e. Menyediakan jawaba n berup a menuli s catatan kecil (kepe 'cm), yaitu membua

t catatan kecil yan g berisi materi yang akan di ujikan , yan g sudah di tulis pada

kertas kecil, atau memfotokop i catatan yang sudah di perkecil sehingga bis a

dilihat ketika ujian berlangsun g tanp a ketahua n ole h pengawas.

f. Menyembunyikan informas i selama ujian, yaitu membaw a informasi

kedalam ruang ujia , dinding dan

sebagainya yan g berhubun ujian berlangsung.

g. Menga im a dari orang lain untuk

diri sendiri, y awas , atau member i tahu

soal- soal ujian ian dan akan mengikuti

ujian yang sam ocoran-bocora n soal pada

kelas sebelumn

h Member k atau pihak lembag a agar ma

u melanggar , yaitu berusah a

memberika n sogok ke agar mau

membocorka n soal ujian atau pengawa s ujian , membiarka n seseorang menyonte k

ketika ujian.

(Kibler, 1998; Student Academi c Dishonesty, 1999; UM C Student Conduct , 1999)

4. Faktor yang Menyebabka n Perilaku Menyonte k

Ada suatu ungkapan , tidak mungkm ada asap kalaa tidak ada apinya.

Apabila menyontek dikatakan sebagai asap tentuny a ada api yan g menyulutny a

sehingga menyebabkan munculny a perilaku menyontek tersebut. Kondisi

tersebut sesuai

Page 12: 05.2 Bab 213 Pancasila

2

inan untuk mendapatka n nilai yan g

baik ontek. Menuru t Sukadji (1987)

ada beb wa menyonte k yakni karen a

terlalu sulitny

ad a nilai atau kurangny a menekanka n

pad h Newstea d dkk (1996) terhada p

94 3 banyak 20 persen dari mereka

menyontek

nilai. Sementar a itu menuru t Keller

( ahw a 69 persen dari partisipannya

menyo role h nilai baik. Ligon (2000 )

dengan leori kausalilas yan g menjelaska n bahw a tidak akan mungki n ad a akibat

kalau tidak ada sebab yang menimbulka n akibat tersebut tcrjadi. Menyontek

yang dilakukan oleh seseorang adalah suatu akibat yang terjadi karen a adanya sebab

yang menimbulkannya. Hasil penelitian yang telah dilakuka n oleh beberapa

peneliti sebelumnya, menemuka n bahw a ada beberap a faktor yang

menyebabka n dan memotivasi seseorang untuk menyonte k yaitu:

a. Mendapatka n Nilai yan g Baik.

Keing merupakan alasan seseorang

untuk meny erap a hal yan g menyebabka

n seseorang sis a tugas yan g diberikan,

terlalu menekankan p a pemahaman .

Penelitian yang dilakukan ole mahasisw a

dari 19 fakultas ditemukan se karen a

alasan keinginan untuk mcmngkatkan Case,

1999) menyataka n hasil penelitianya b nte k

dilakukan dengan harapan untuk mempe ka n

dari hasil surveinya bahw a menyontek di ng

telah merek a miliki, dengan harapan nilai yan g tela h merek a miliki tidak turun

lagi serta untuk memelihar a pemberian hadia h yan g akan merek a terima.

Tuntuta n untuk memperole h nilai yang baik selalu menghantu i mereka,

salah satunya disebabka n oleh sistem pendidikan yan g menguku r keberhasila n

seseorang dari nilai akhir (IP) ata u raport, tanp a melihat bagaiman a proses studi

yang merek a lakukan. Menuru t Danark o (1999), menyonte k diangga p menjad i suatu

hal yang waja r karena merek a dituntut mendapatka n nilai yang bagu s tidak perduli

apaka h merek a

Page 13: 05.2 Bab 213 Pancasila

uar yang memperhatika n mereka.

Pengaku berup a hadiah baran g yang

telah dijanjik denga n kebutuha n akan

pengakua n yang ingkan dengan siswa

yang kebutuha n

u Gibso n (Sujana , 1993) menyatakan

b a prestasi akademi s buka n dipandan g

seba erikan penghargaan terhada p dirinya

sendiri kemampua n superior yan g

diarahkan p ergengsi pada kelompo k

tema n sebaya (p

2

memaliami materi atau tidak, dan jug a dosen tidak ambil pusing dengan perilaku anak

didiknya. Kenyataan yan g sering dilihat dalam dunia kerj a adalah banyakny

a lowongan pekerjaan yang mencar i sarjan a yang mempunya i IP yan g baik.

Menuru t Walker (2000), salah satu alasan untuk menyontek adalah karena persaingan

di pasar kctja lebih mementingkan nilai (GPA) , diman a tenag a kerj a yan g

memiliki IP yang baik di pakai serta akan meneapa i sukses.

Ada satu keinginan untuk memperole h nilai yang baik yakni berup a

pengakuan dari pihak l an tersebut bisa

berupa pujian ataupun bisa an. Menurut

Lobel & Levanon (1988) siswa tinggi, lebih

sering menyontek bila diband akan

pengakuanny a rendah. Sementara it ahw a

menyontek lebih sering dilakukan bil gai

alat bantu bagi siswa untuk dapat memb ,

melainka n sebagai alat untuk memamerkan ad

a usaha untuk mandapatka n posisi yang b

eer group). Kembali Lobel dan Levanon (19

janj i akan mendapatkan hadiah yang dapat diraba berup a baran g atau uang

(tangible incentives) akan lebih banyak menyontek dibandingka n dengan siswa yan g

diberi janj i akan mendapatka n pujian , kepuasan dan terhindar dari ejeka n yang

disebut jug a sebagai intangible incentives.

b. Ketakuta n pada Kegagalan

Pitt (2001) dala m bukuny a Educational Psychology Literature menjelaska

n menyontek terjad i karen a seseorang meras a ketakuta n terhada p kegagala n

terutam a dialami oleh siswa yan g kemampuanny a dibawa h teman-temannya .

Pendapa t senada

Page 14: 05.2 Bab 213 Pancasila

Gag e dan Berliner (Sujana , 1993),

dalam test karena adanya respons negatify

nya ejeka n atau tertawaan dan hukuma n

kan keberhasilan atau kegagalan yan g dia

Houston, 1978) menunjukka n bahw a

keg oleh tindakan menyontek pada test

berikut ada suatu tes. Hasil penelitian

Houston tara keberhasilan dengan

perilaku menyo edan g pada suatu test

paling sering men gkan dengan siswa

yang mempunya i tin

menyatakan bahw a ketakutan untuk gagal merupaka n alasan utarna bagi siswa

untuk menyontek kemudia n diikuti oleh alasan kemalasa n untuk memuaska n tuntutan

orang tua untuk memperole h nilai baik , serta anggapan bahw a menyonte k

merupaka n cara yang paling muda h dilakukan untuk menghindari kegagalan. Alasan

lain yang sering di kemukakan oleh siswa adalah sulitnya soal yang di berikan dan

adanya kebutuha n untuk dapat melanjutka n studi ke jenjan g pendidika n

yang lebih tinggi Thornburg (1982).

Menurut siswa merasa takut terhadap

kegagalan di an g akan menyertai kegagalan

seperti misal dari orang tua. Pengaru h dari

pengalaman a lami siswa sebelumnya.

Vitro dan Scoer ( agalan dalam suatu tes

lebih sering diikuti nya bila di bandingka n

dengan keberhasilan p (1978) menunjukka n

adanya hubungan an ntek. Siswa dengan

tingkat keberhasilan s yotek pada saat tes

berikutnya bila dibandin gkat keberhasilan

rendah clan tinggi. Kondisi ini di sebabkan karen a siswa dengan tingkat

keberhasilan tinggi dan rendah lebih memiliki perkiraan yang pasti terhada p hasil dari

tes yang akan di hadapi. Menyontek pada siswa dengan tingkat keberhasilan sedang di

pandan g sebagai sarana untuk menjamin atau memastika n keberhasilan yang masi h

belu m pasti.

Pada siswa dengan tingkat keberhasilan tinggi, menyonte k dilakukan

untuk memastikan bahw a merek a akan terhindar dari bahaya kegagala n yan g

dirasakan tidak menyenangkan. Bagi merek a kegagalan yan g dialami setelah

keberhasilan akan lebih

Page 15: 05.2 Bab 213 Pancasila

2

radaannya, kerasnya hukuman , kepastian

bijakan akademik. Variabel tema n sebaya

m pengaruhi seseorang untuk berbua t

tida dan mensugesti perilaku

ketidakjujura n

tetapi dala m mendukun g perilaku

menyo lebih cenderun g untuk menerim

a si pe

a adalah temannya , dan jug a karen a

mer n bahka n ad a yang berfiki r merek a

dapat but (Whitley & Kost dala m

memalukan dibandingkan dengan kegagala n yan g diikuti kembal i oleh kegagalan

pada pada tes berikutnya. Siswa dengan tingkat keberhasilan rendah, menyontek

dilakukan untuk menghindari terulangnya kembali kegagala n yang

dirasakanny a tidak menyenangkan (Houston dan Zif f dalam Sujana , 1993).

c. Menyontek dipandan g sebagai suatu hai yan g wajar .

Menurut Me Cab e & Trevin o (1993 ) ada lima fakto r yang mempengaruh i

pada perilaku ketidakjujuran dalam akademi k yaitu perilaku tema n sebaya, peraturan

yang diakui kebe adanya laporan dan

mengerti terhadap ke emegan g peran cuku

p penting dalam mem k jujur . Tema n

sebaya akan mendukung dalam akademik ,

tidak hanya dalam belajar ntek. Pendapat lain

menyatakan bahwa siswa nyontek, karen a

berangggapa n bahwa merek ek a telah

mengena i siswa yang menyotek, da

menemuka n tema n bar u dalam situasi terse

001). Persepsi dan penilaian seseorang t

h jug a terhada p munculnya perilaku menyontek. Seseoran g aka n menyonte k

apabila tidak merasa khawatir akan melakukan perbuatan tersebut. Delapa n puluh

lima persen siswa mengangga p bahw a menyontek merupaka n suatu hal yan g normal

(Barid dalam Harding, 2001). Kondisi yang demikian sangat mendukun g sekali bagi

merek a yan g ingin menyontek , karena teman-teman sebayanya tidak menjau h dari

mereka , denga n dalih merek a berbuat wajar. Seorang siswa yan g pada awalnya

tidak menyonte k bisa muncul keinginan untuk menyontek karena melihat siswa yang

lain menyontek , atau jik a merek a merasa

Page 16: 05.2 Bab 213 Pancasila

n untuk mengulangi lagi perbuatannya.

urvei terhadap mahasiswa ilmu

pendidika menjadi calon guru tersebut

ditemuka n m iasaan. Tentunya kebiasaa

n tersebut ke pendidikan sebelumnya.

Kemungkina n unt isa dikatakan cuku p

besar. Pada ta

mukan bahw a 64 persen dari siswa

menyont tinggi dan 67 persen yan g tidak

menyonte k ggi.

2

menyontek merupakan suatu hal yan g bis a diterima diantara teman-tema n

mereka (Spiller dalam Gerdeman, 1999), dan bisa juga karen a merek a ingin diakui

diantara teman-teman nva. (Harding, 2001).

d. Menyontek karena Kebiasaan

Menurut teori freud ada yan g dikenal dengan pleasure prinsiple, dimana

sesuatu yang menyenangkan itu akan cenderun g diulangi kembali. Seseorang yang

berhasil menyontek dan merasa tujuannya tercapai dengan perbuatan tersebut

mak a ada kecenderunga Menurut Abriel

(1999) ketika melakukan s n (1K1P)

menemuka n bahwa , mereka yang enyonte k

denga n alasan sudah menjadi keb biasaan

yan g pernah merek a lakukan pada uk

terulan g kembali perbuatan tersebut b

hun 1964 Bowe r (Hardin g

2001).mene e k di sekolah jug a

menyontek di perguruan disekolah tidak

menyontek di perguruan tin

e. S

Soal ujian yang ujian terlalu sukar membua t siswa terpancin g untuk menyontek

, apalagi bila waktu yang di sediakan terbatas, jumlah kredit mata kuliah yang

besar, dan bahan ujian yang terlalu banyak dapa t mempengaruh i seseorang untuk

menyontek. Newstead dkk (1996) menemuka n bahw a seseorang banyak

melakukan perilaku menyontek karena terbatasnya wakt u yang disediaka n

bagi merek a ketika mengerjakan ujian. Arlina (1999 ) menambahkan , menyontek

terjadi karena susahnya mata pelajaran atau matakuliah, bahan ujian yan g sangat

banyak, tidak sesuainya

Page 17: 05.2 Bab 213 Pancasila

aktunya untuk belajar.

r-fakto r yan g Mempengaruh i Perilaku

n besar masyaraka t mengaku i bahw a

me etapi tetap saja masi h banyak

ditemuka n endidikan. Seseorang yang

lelah memutu isa saja terpengaru h oleh

kondisi-kondi g terjadi di dalam dirinya.

Adapun fakto r uk menyonte k antara lain

karena :

maleri yang dipelajari dengan materi yan g keluar disaat ujian, dan soal-soal

yang diberikan oleh dosen terlalu susah Arlina (1999 ) dan (M c Cabe , Trevin o &

Butterficld dalam Harding, 2001). Faktor-fakto r tersebut muncu l karena kelemaha n

merek a dalam memanagemen waktu, sehingga waktu yan g telah disediaka n terasa

kuran g (Davis, Ludzvigson dan Baird dalam Aldriek dkk ) Munculny a perilaku

belaja r semalam suntuk atau yang dikenal sebagai " Sistem Kebut Semalam'

sebagai metod e belaja r (Bayan, 2001) merupaka n satu bukti kurangny a

kemampua n seseorang di dalam mengelola w

5. Fakto Menyonte k

Sebagia nyontek merupaka n perbuatan

tercela, akan t perbuatan tersebut, terutama

di dalam dunia p ska n pada dirinya untuk

tidak menyontek b si lingkungan atau

dinamika pikologis yan faktor yang

mempengaruh i seseorang unt

a. J

Perbedaan jeni s keiami n pad a diri seseorang dapa t mempengaruh i

pandanganny a mengenai perilaku menyontek . Menuru t Davi s (Newstea d dkk,

1996) siswa laki-laki lebih banyak menyontek dari pada siswa perempuan ,

penelitian tersebut dilakukan terhadap 6000 siswa. Besarnya presentase menyontek

pada laki-laki berjumla h 28 % dan perempuan 18 % (Newstea d dkk, 1996).

Sementar a itu penelitian Bum , Davis, lloshino & Miller (Athanasou , 2001 )

terhada p mahasisw a Jepan g yan g merupaka n negara Asia, menemuka n mahasisw a

laki-laki lebih banyak menyontek daripad a yang

Page 18: 05.2 Bab 213 Pancasila

2

n sukses dalam tugas akademi k daripada

tu disebabkan karena takut pada

kega arena keinginan untuk membant u

teman tead dkk, 1996). Munculny a

perbedaa n ters akuan lingkungan dan

tuntutan peran

ang tampak dalam masyarakat,

sehingga entu bagaiman a laki-laki dan

perempua n

a itulah laki-laki cenderun g menunjukka

perempuan dengan proporsi 45 persen laki-laki clan 37 persen perempuan. Anak

perempuan menyontek terutam a karena tidak cukupny a wakt u untuk belaja r

dan tekanan yang berasal dari teman-tema n mereka , sementara itu siswa

laki-laki menyontek karena alasan tidak cukupny a waktu untuk belajar, memenuh i

tuntutan syarat kelulusan dari sekolah, memuaska n harapan orang tua,

serta untuk menyenangkan hati instruktur atau dosen (Ginder dalam Sujana , 1993).

Lain halnya dengan Kalavik (Lobel & Levanon , 1988) menurutny a anak laki-

lak i lebih mengiiarapka anak perempua n

dan kalaupun menyonlek i galan. Wanita

lebih banyak menyontek k ny a

(Calabres e & Cochran , dalam News ebut

kemungkina n disebabkan adanya perl

berbeda antara laki-laki dan perempuan y

memunculka n stereotip sosial sebagai pen

bertindak (Rais dalam Dewi ,

2000). Karen identitasnva melalui kenaikan

prestasi (Hu anya perbedaan kecenderungan

menyontek a but diatas terjadi karena fakta

menunjukkan bahwa perempua n memiliki tanggun g jawa b moral yan g lebih

besar daripada laki-laki seandainya melakuka n perbuatan menyontek (Thoma s

dalam Newstead dkk, 1996).

b. Umu r

Tidak cukup hanya dengan perbedaa n jeni s keiamin yan g mamp u

mempengaruh i seseorang dalam menyontek, umurpu n jug a demikian . Beberap a

hasil penelitian menemukan bahwa siswa beruinur diatas 25 tahun lebih jaran g

menyontek daripada

Page 19: 05.2 Bab 213 Pancasila

enyontek daripad a siswa yang lebih muda

rientasi Religius

a besar agam a yan g dianut oleh

seseoran hidupannya, sedikit banya k

tentuny a aka eseorang yang mempunya i

orientasi keaga n sikapnya dalam bentu k

perbuatan moral

u norrma-norm a yang berlak u di

lingkunga aktivitasnya sehari-hari

didala m m

2

yang berumur 2 1 - 2 4 tahun atau 1 8 - 2 0 tahun (Newstea d dkk, 1996). Pelaja r

yang berumur diatas 25 tahun berpandangan menyonte k merupaka n perilaku tidak

bermoral sedangkan yang berumur dibawahny a berpendapa t bahw a menyonte k

dilakukan untuk menaikkan nilai. Kemudian apabila melihat perbedaan mas a studi

mak a jug a terdapat perbedaan. Pelajar pada masa-mas a awal lebih banyak

menyontek dari pada pelajar pada masa-masa akhir masa studi mereka. Menurut

Diekhof f & Newstea d (Newsea d dkk, 1996) menyatakan bahw a siswa yang lebih

senior da n sekolah non tradisional lebih jarang m

.

c.

Seberap g telah di internalisasikannya

kedalam ke n berpengaru h pad a

perilaku moralnya. S maa n yang baik

tentunya akan meneenninka yan g sesuai

dengan nilai-nilai agamanya ata nnya.

Perbuata n tersebut akan terlihat dari

engintemalisasika n nilai-nilai agamanya. A

nyata bahw a peran agam a dan moral berpe

lka n oleh seseorang, artinya seseorang yang mempunya i pemahama n agam a yan g

bai k dan sudah tercermi n dalam kehidupannya, mak a sebelum memutuska n diri

melakuka n sesuatu ia akan melihat dulu bagaimana dengan pandanga n agam a

tentang perilaku yan g akan ia lakukan, di perbolehkan atau tidak. Konsekuens i yan

g akan diterima apabila melanggar aturan agama adalah dosa, yan g merupaka n

siksa akhirat.

Menyontek merupaka n satu bentuk perbuatan tidak jujur , curang, tercela

yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yan g terdapat dalam agama. Nilai-nila i

moral

Page 20: 05.2 Bab 213 Pancasila

2

arga Diri dan Kepercayaa n diri

n harga diri mencaku p konse p dasar

p n dan opini mengenai diri sendiri,

kesadar perbandingan antara dirinya

dengan oran g h dikembangkanya

Fuhnnan n (1990). Pela

ering menyontek dibandingka n dengan

pela an Levanon, 1988). Harga diri yang

tingg

tidak bisa dipisahkan dari agam a Daraja t (1991), artinya apabila seseorang

sudah seeara totalitas mengamalkan nilai ajara n agamanya , kecil kemungkina n

untuk menyontek. Perlu di perhatikan dismi adalah sudah sejauh man a seseorang

tersebut mengapliksikan agamanya dalam kehidupanny a sehari-hari . Apakah agam

a hanya sekedar untuk melengkapi tanda pengenal pada dirinya dalam artian agam

a sebagai simbol, atau agama meman g sebagai kebutuha n bagi seseorang untuk

menjali n hubungan transendental dengan tuhan.

d. H

Pengertia ada individu mengenai diri

sendiri, gagasa an terhadap apa dan siapakah

dirinya, serta lain dan dengan gambaran

ideal yang tela ja r yan g memiliki harga

diri rendah lebih s ja r yang memilik i harga

diri tinggi (Lobel d i di tunjukka n oleh rasa

puas dan kepercayaa dalam Dewi , 2000).

Menurut Dewi (2000) a diri denga n

kecenderunga n menyontek (rx makin tinggi

kepercayaa n diri seseorang semakin rendah kecenderunga n merek a untuk menyontek

dan demikia n pula sebaliknya.

e. Inteligensi

Inteligensi adalah kemampua n pengalama n seseorang untuk

menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapiny a dan kemampua n untuk

mengantisipasi masalah-masalahnya tersebut (Goddard dalam Azwar, 1996).

Pengertian ini

Page 21: 05.2 Bab 213 Pancasila

adanya kemandirian daripada cara-

car n, konformitas , atau saluran sosial.

Menu kk (Sujana , 1993) Menunjukka n

bahw a 2 nteligensi tinggi menyontek ,

sedangkan

i sedang dan rendah masing- masin g

42 sebut memberikan gambara n bahw a

intel seorang untuk menyontek. Siswa

yan g

k akan mengambi l jalan pintas

deng ermasalahan ketika ujian, lain

2

menjelaskan bahwa orang yang memiliki inteligensi tinggi akan mamp

u mcnyclesaikan masalah-masalahnya ataupun menghadapi masalah-masalah yang

akan dihadapinya. Seseorang yang mempunya i inteligensi yang baik tentunya

mamp u menemukan solusi dan jala n keluar dari masalahnya. Monk s dan Fergusson,

(1983), menemukan bahwa orang yan g memiliki inteligensi tinggi menunjukka n

kepercayaan diri yang lebih besar, lebih mandiri, ambisius, tekun , kecemasa n yan g

rendah, serta lebih senang meraih sesuatu yang diinginkan dengan memanfaatka n

cara-cara yang mencenninkan a yang

mengandalka n pada ketergantunga rut

penelitian yang dilakukan oleh Shaffer d 1

persen dari kelompo k siswa dengan taraf i

dari kelompo k siswa dengan taraf inteligens

persen dan 82 persen. Hasil penelitian ter

igensi berpengaru h terhadap keinginan se

memiliki inteligensi tinggi tentunya tida

an cara menyontek ketika menemukan p

engan siswa yan g memiliki inteligensi sed

f. Motivasi

Menurut Gerugan , (1991 ) motivasi atau motiv adalah suatu pengertian

yang melingkupi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-doronga n dalam

diri inanusia yang menyebabka n ia berbua t sesuatu. Seseorang yang mempunya i

motivasi yang tinggi lebih menyuka i menyonte k daripada motivasi yang rendah.

(Malinowski dan Smith, 1985). Kemudia n Crow n & Spiller (1998 ) membuktikanny

a dengan hasil

Page 22: 05.2 Bab 213 Pancasila

3

tek terjadi karena siswa yan g

melakuka ajar yan g rendah, hal ini

terbukti dari oleh merek a seperti

perilaku malas belaj erjakan tugas,

mengatu k dalam kelas, tida

n guru atau dosen yang mengaja r

(Dewi belumnya jug a menemuka n bahw a

siswa y ntasi pada hasil dibandingka n

denga n

a siswa yan g menyonte k lebih

banya k ada hasil.

penelitian bahwa ada hubunga n negatif antara menyontek dengan Indeks Prestasi

(IP) dan begitu pula halnya denga n motivasi berprestasi. Harapa n yang besar

untuk memperoleh nilai yang baik membua t orang menjad i gelap mata dan

menghalalka n segala cara, agar tujua n yan g diinginkanny a tercapai. Anderman ,

Griesinger dan Westerfield (1998) menemuka n bahw a siswa yang menyukai

perilaku menyontek di dalam kelas mempunya i motivasi ekstrinsik seperti nilai ujian

dan jug a kondisi dalam kelas yang memandan g menyonte k merupaka n suatu hal

yan g bis a di terima. Disisi lain menyon n

perbuatan tersebut memiliki motivasi bel

perilaku malas-malasa n yang ditunjukkan

ar , malas kesekolah/ kampus , malas meng

k memiliki catatan dan tidak memperhatika ,

2000). Penelitian yang telah dilakukan se

ang menyonte k terhada p siswa yang berorie

siswa yan g berorientasi pada belajar mak

di temuka n pad a siswa yang berorientasi

g. K gkat didalamnya .

Setiap lembag a pendidika n tentunya memilik i berbagai perangka t agar

proses belajar mengajar dapat berjala n dengan baik, serta terciptanya lingkungan

belaja r yang kondusif. Perangkat-perangkat tersebut mulai dari peraturan-

peraturan berupa kebijakan fakuitas, ruang kelas, alat- alat yang diperluka n sampai

dengan pengaja r dan stafnya. Apabila memandan g dari segi instruktur atau pengaja r

(Ashworth, Annister & Thome, (1997); Kerkvie t & Sigmund , (1999) dala m

Gerdeman , 2000 ) menyataka n bahwa siswa yan g meras a guru atau dosen

memberika n perhatian pad a merek a dan

Page 23: 05.2 Bab 213 Pancasila

objektif selalu memberika n

lingkungan ma ujian, menerim a atau

mengirim pesan,

h pengawas yan g lebih sedikit,

kemungk tek menjad i kecil (Davis dala m

Harding , 2 tnya apabila di hubungka n

dengan p a satu penjelasa n yan g cuku

p baik untu

dangan bahw a suatu tindakan kejahata n

a iambil. Faktor-fakto r yan g di

pertimba uk berbuat kejahata n dirumuska

3

aktif dalam proses belajar, sedikit keinginan merek a untuk menyontek ketik a ujia n

dan demikian pula sebaliknya. Sementer a itu apabila dihubungka n denga n ruang

kelas siswa, menyontek lebih banya k terjad i dala m ruan g kela s yan g

instrukturnya membiarkan saja ketika melihat anak didiknya menyontek . Menuru t Mc

Cab e (Sander,

1999), menemukan bahw a dari 800 fakuita s 16 kampu s tahun 1992 dilaporkan bahw

a bnayak pengawas mengabaika n siswa yang menyontek , sikap yan g demikia n

membua t siswa mencari-cari peluang agar merek a dapat menyontek. Kela s yan g

lebih besar dan test berbentuk yang menarik

dalam menyalin jawaban sela karen a kela s

yang lebih besar dengan jumla ina n untuk

menangka p siswa yang menyon 001).

Selanju eluan g dan ancama n

untuk tertangkap, ad k di cermati. Carrol

(Ancok,

1995) berpan dalah realisasi dari keputusan

yang telah d ngka n didalam

pengambila n keputusan unt nnulas i

(F ) X L ] }

Menurut rumu s diatas, tindakan korupsi (baca menyontek ) muda h

terjadi apabila kemungkinan sukses dalam melakukanny a lebih besa r dari

kemungkina n gagal. Sistem administrasi yang kuran g baik , kesa n bahw a

petugas huku m dapat disogok dengan uan g dan adanya penyelesaia n kekeluargaa n

di dalam menyelesaika n kasus tersebut. Sam a halnya denga n menyontek , perbuata

n tersebut akan dilakukan apabila peluang berhasil lebih besa r dan kemudia n

perangkat-perangka t aturan tidak

Page 24: 05.2 Bab 213 Pancasila

k mengurangi perilaku tidak juju r atau m

ukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

14 siswa angkatan 95-96 yang di survey

kolah yang ada peraturan dan I dari 6

si

.

kademik terhadap peraturan yan g di

teri situasi (Harding, 2001). Ada beberap a

pe sangat penting untuk mengiki s

penvontek emeh hukuman , staf pengaja r

berjalan dengan baik akhirnya menyontek akan semakin meningkal jumlahny a

Fungsi peraturan yang dijalankan sesuai dengan ketetapannya mempunya i peran cuku

p besar untuk mengurangi perilaku tidak juju r dalam akademik , dan itu sudah di

gunakan hampir semua lembaga pendidikan. Penelitian yang dilakukan Aoron

(Gerdeman ,

2000) menemukan bahw a lebih dari 90 % siswa dalam sampel nasional

memiliki kebijakan dan hampir 98 % memiliki prosedur berkaitan dengan

tingkah laku menyimpang pada siswa. Hasil survei tersebut dapat suatu cerminan

betapa pentingnya peraturan untu enyimpan g

dalam akademis, dan ini di d Me Cab e

& Drinan (1999) bahwa 7 dari mengaku i

menyonte k dalam ujian pada se swa

menyontek pada sekolah tanpa peraturan

Iklim a ma/tidak oleh siswa penting

sebagai faktor nelitian percaya bahw a iklim

dan peraturan , diman a penvontek biasany

a menganggap r ka n perhatian yang

kurang terhadap ketid rinan, 1999).

h. Tekanan dari lingkungan

Keputusan untuk menyontek jug a dipengaruhi oleh kondisi psikologis

yang sedang dialami oleh seseorang. Seseoran g yan g merasa dirinya tertekan di saat

ujian akan lebih besar kecenderungan merek a untuk menyontek. Ada du a kategori

besar yang mencntukan munculny a perilaku menyonte k yaitu situasi dan watak ,

stress dan tekanan menempati posisi paling banyak Davis, Grover , Becker dan Mc

Gregor (Case

Page 25: 05.2 Bab 213 Pancasila

nak biasanya akan mendapa t pujian atau

a bila nilai rapor mengalami penurunan

s rang tuanya Nuryot o (Kedaulata n

Rakyat ada anaknya sangat mungkin

menimbulka

an mamp u hal tersebut meman g bukan

m idak mamp u memenuh i tuntutan

orang witasari (Kedaulatan Rakyat Minggu

, 1992)

lnya perilaku menyontek bisa jadi karen a

rtimbangkan hasil yang terbaik, beberapa g

1999). Tekanan yang sering ditemui biasany a berasal dari orang tua dan dari

teman sebaya mereka.

Menurut Bernadib (Kedaulatan Rakyat, 1992) tanp a di sada n hampir semu a

orang tua memang sering menuntut anak-anaknv a untuk selalu mendapatka n nilai

tinggi. Hal ini dapat menyebabkan anak meras a bahw a sekolah yang ditempu h nya

dan nilai yang diperolehnya adalah untuk orang tuanya. Seeara rutin oran g tua

akan menerim a laporan dan pihak sekolah mengena i nilai yang dicapai oleh anakny

a dalam bentuk buku rapor. A hadiah bila

nilai rapornya naik, dan sebalikny eringkali

anak menjadi sasaran kemarahan o ,

1992). Tuntutan orang tua akan nilai p n

stress pada anak. Bagi anak yang pandai d

erupaka n masalah , namu n bagi anak yang t

tua justr u akan menyebabka n frustrasi Pra

.

Muncu dalam kondisi persaingan dan

ingin mempe uru pendidikan berbuat curang

untuk memb gar terlihat baik (Ligon, 2000).

Persaingan tersebut tidak hanya merek a rasakan pada mas a studi saja, akan tetapi ini

berlanjut dan merek a rasakan setelah merek a lulus nanti. Menuru t Walke r

(2000) persaingan di pasar keij a lebih mementingka n nilai (IP) diman a kebutuha n

yan g akan dipakai adalah yan g mempunya i IP yan g baik yang akan mencapai

sukses. Melihat kondisi yang demikia n menyonte k dijadika n sebagai penyelama t

nilai mereka , dan juga menurut (Sander , 1999) biaya untuk mendapatka n keuntunga

n ini rendah, siswa yang berfikir bahw a merek a belajar tidak masalah , tetapi

siswa lebih mudah

Page 26: 05.2 Bab 213 Pancasila

3

mang memilik i tujua n yang baik yaitu

m simal, nainun dalam keyataanny a

terjadi

tru orang tualah yan g berambis i agar

anak eringkat atas. Sering oran g tua hany

a me etapi tidak memberika n doronga n

atau ca akyat Minggu , 1992).

rkan uraian tersebut diatas, fakto r

y apat dibagi menjad i dua bagian

yaitu aktor yan g berasal dari dalam

diri sese

menyontek daripada belaja r dan di tamba h lagi dengan peluang yan g kecil

untuk tcrtangkap.

Menurut Lindgren (Sujana , 1993) pihak sekolah sendiri sering menciptaka

n iklim yang kondusif bagi siswa untuk menyonte k dengan memberika n penekana n

yang berlebihan pada aspek kompetisi, nilai dan bukti yang dangkal (. superficial )

mengena i kompetisi akademis siswa. Sistem peringkat (rangking) merupaka n

cerminan dari kultur budaya moder n bahka n seolah-olah merupaka n konsekuens i

logis. Sistem peringkat me emac u siswa

untuk mencapai prestasi mak

penyimpangan makn a karen a kemudian jus

ny a mamp u berprcstasi tinggi atau masuk p

nuntu t anaknya untuk meraih nilai tinggi t

ra bagaiman a memperolehny a (Kedaulatan

Berdasa an g mempengaruh i

perilaku menyontek d pertam a faktor

internal yang merupakan f orang yan g

terdiri dari Jenis keiamin, umur dan

motivasi, sedangkan yang kedua yaitu fakto r eksternal merupaka n faktor yan g

mempengaruh i seseorang berperilkau menyontek karen a pengaruh dari luar dirinya

seperti kebijaka n fakuitas, pengaruh instruktur (dosen ) dan tekana n yang berasal dari

lingkungan.

Page 27: 05.2 Bab 213 Pancasila

membac a kembali atau membac a

berula dan (Nasution, 1985).

n agam a menyangku t dua unsur.

Pertama berkali-kali, mempertimbangka

n sesuatu tikan dalam agam a merupaka n

obje k yang

us diberi perhatian khusu s dan istimewa.

P beri indikasi tentan g sifat 'terika t

kepada' tama dan tujua n terakhir, karen a

yang pert ebih besar daripada semu a yang

lain, pant usus daripad a semu a yang lain.

3

B. Orientas i Religiu s

1. Pengertian Religi dan Religiu s

Menjelaskan pengertian religi, Bagus (1996) memberika n pengertian bahw

a agama di dalam bahas a inggris berasal dari kata religion sedangkan dalam bahas a

latin religio. Ada pendapat yang mengataka n bahw a kata ini berhubunga n

dengan kata kerja latin religare yan g berarti mengika t dengan kencan g atau kata

kerj a relegere yang berarti ng-ulan g dan

penuh perhatian (Bagus, 1996)

Pengertia , orang membalikka n diri

terus menerus dan seeara amat berhati-hati.

Objek yang diperha istimew a dan agung,

karen a itu objek itu har engertian kedu a

adalah bahw a agama mem , dalam hal ini

terikat kepada asal usul per am a dan

terakhir ini mendapa t kepentingan l as

diberikan pertimbangan dan perhatian kh 6)

Menurut Dasuk i dkk (1994 ) agam a dalam bahas a Indonesia berarti sama

dengan kata din dalam bahas a Arab dan Semit, atau religion dalam bahas a Erop a dan

Inggris. Seeara bahasa, perkataan "agama " berasal dari bahas a sanskerta berarti

'tida k pergi' tctap di tempat dan diwarisi turun temurun. Nasutio n (1985 )

menguraika n pengertian tersebut dari kata 'A' yang berarti tidak dan 'Gam' yang

berarti pergi. Lain halnya menurut pendapat Latif dkk (1998 ) agam a berasal dari

kata 'A ' yan g berarti tidak dan

'Gama' yang berarti kacau, mak a agam a di artikan 'tida k kacau ' atau teratur, yang

Page 28: 05.2 Bab 213 Pancasila

ritus (tata peribadatan ) manusi a kepad a

ya norma (tata kaidah ) yan g mengatur

hub hubungan manusi a dengan alam

lainnya, tata peribadatan .

Rahardjo, 1996) melanjutka n bahw a

din entuk mashdar dari kat a kerj a dana,

yadi ata tersebut mengandun g banya k

arti, a

peraturan, (3) undang- undang , (4) taat

(6) pembalasan , (7) perhitungan, (8) har

3

apabila didefenisikan, akan menjad i aturan yan g mengatu r manusi a agar

kehidupannya menjadi teratur. Ada yan g menyataka n bahw a agam a berarti teks

atau kitab suci. Agama memang mempunya i kita b suci, selanjutnya dikatakan

lagi 'gam' berarti tuntunan. Memang agam a mengandun g ajaran - ajara n yang

menjad i tuntuna n hidup bagi pengautnya (Nasution, 1985).

Menurut Anshari ( 1986) Agama , religi dan din adalah satu sislema credo

(tata keimanan atau tata keyakinan ) atas adanya sesuatu yan g mutlak di luar manusi

a dan satu sistema n g dianggapny a Yang

Mutlak, serta sislema unga n manusia

dengan sesama manusia dan sesuai dan

sejalan dengan tata keimanan dan

Chalil ( yang berasal dari bahas a

arab merupakan b nu. Menurut lughah atau

segi bahasanya, k ntara lain (1) cara atau

adat kebiasaan, (2) atau patuh, (5)

menunggalka n ketuhanan, i kiamat, (9)

nasihat, dan (10) agama. Pend mbahka n

bahw a agam a dalam bahasa Alquran dan hadist, bisa disebut dun atau millah

atau syariah. Kata diin artinya pembalasan, adat kebiasaan, peraturan atau hari

kiamat. Kata millah berarti undang- undang atau peraturan, .dan kata syariah berarti

jala n yan g harus di lalui atau hukum.

Seorang tokoh ilm u psikologi, Fromm , (1988 ) mendefenisika n agam a

sebagai suatu sistem pemikiran dan tindakan yan g dilaksanaka n seeara bersam a

oleh suatu kelompok, yang memberika n kepad a individu kerangka orientasi

dan obje k

Page 29: 05.2 Bab 213 Pancasila

g seharusnya.

gkat dari kenyataan itu, religi dapat di

de keyakinan dan peribadatan yan g

berisi tuk mengikat dirinya terhada p

tuhannya ata ara turun temuru n serta

mengatu r hubunga

.

rut Salim (1990), ad a pengertian yang

ber an Religiousity. Religi yan g berasal

dar eligious yang berfungs i sebagai kata

sifat uousity yang berarti pengabdian

3

pengabdian. Menurut From m (Rahardjo , 1992) dalatn memandan g tuhan,

agama tersebut terbagi dua maca m yaitu agam a otoriter dan agam a humanis. Pad

a agam a otoriter tuhan menjadi pemilik satu-satunya terhada p manusi a yan g

sesungguhnya, termasuk cinta manusi a dan penalaran manusi a sendiri, karena

itu dalam proses keagamaan otoriter ini, maki n sempurn a tuhan dan makin tidak

sempurn a manusia. Agama humanis memandan g tuhan adalah citra manusi a

dalam perkembanga n kepribadian yang lebih tinggi, sebuah simbol dari potensi

manusi a sesungguhnya atau manusia yan

Reran fenisika n sebagai suatu sistem

pemikiran, aturan-aturan yan g

dilakukan manusia un u objek istimew a

yang diangga p mutlak see nny a antar

sesam a manusia, dan alam lainnya

Menu bed a antara religion atau

religi, Religious d i kat a bend a berarti

agama, sedangkan R berarti berkenaan

dengan agam a serta Religi ar kepada

agama , diambil dari bahasa latin. Sedangkan menuru t Salim dan Salim (1991 )

religius tersebut berasal dari kata benda yang berarti taat beragam a dan Pei

(1971 ) mengartikanny a menjad i seseorang yang melakuka n pengabdia n kepada

agamany a denga n tulus ikhlas. Meneermati pengertian- pengertian tersebut dapat

di simpulkan bahw a religius adalah seseorang yang melakuka n suatu aktivitas yan

g berkenaa n atau berkaitan dengan pengabdiannya kepada agamanya .

Page 30: 05.2 Bab 213 Pancasila

merupaka n dienullah atau agam a

All sa w sebagai pedoma n hidu p

umat m ahter a kehidupa n di dunia dan

akhirat (

998) dari segi bahasany a berasal

dari ca m arti, sal ah satu diantaranya

As lama agam a yan g mengajarka n

penyerahan diri m Allah tanp a tawar-

menawar .

memberika n pengertianny a bahw a

Islam larangan Allah SWT , yan g

3

2. Islam Sebagai Agam a

Manusia mempunya i kemampua n yan g terbatas didala m menghadap i

persoalan kehidupan yang kompleks . Realita s ini memaks a manusi a untuk mencar i

potensi lam untuk menyelesaikan persolan-persoala n hidupnya. Potensi tersebut

adalah agam a Allah atau religie atau dienullah, karen a meman g dalam

kehidupanny a manusi a itu pada dasarnya sudah mempunya i kecenderunga n

kepad a ketaatan kepada yang pencipta Tuhan rabbul 'alamin.

Islam ah yang dibaw a oleh

Nabi Muhammad anusi a agar selamat

dalam mengarungi b Muslich, 1992). Islam

menurut Latif dkk (1 bahas a arab yan g

mempunya i berbagai ma berarti menyera h

atau masuk Islam, yakni kepad a Allah,

tunduk dan taat kepada huku

Haww a itu bermakn a menerim a

segala perintah dan lam wahy u yan g

dituntunkan kepada Nabi. h dan hatinya

dalam semua persolan hidu p kepad a Allah, mak a ia adalah seorang muslim .

Pendapat tersebut dapat di artikan bahwa , orang yan g semu a aktivitas dan

perbuatanny a ditujuka n kepada Allah berarti dia diangga p sebagai umma t Islam atau

muslim.

Agam a seeara garis besa r dapat dibagi menjad i dua bagian besa r (Muslich,

1992)., yang pertam a agam a ihabii yan g berarti agam a bumi atau agam a buday a

dan yang kedua agam a samawi yan g berarti agam a langit atau agam a wahyu. Islam

adalah agama satu- satuny a agam a samaw i yan g merupaka n agam a langit yan g

dirdhoi oleh

Page 31: 05.2 Bab 213 Pancasila

atau ajaran illahi yang dibaw a oleh

N doman ummatny a duni a dan

akhirat. O h dan menjauh i larangan

nya, serta me ada Allah disebut sebagai

muslim.

tian Orientasi Religius

Nuttin (Jalaluddm,1998 ) menjelaska n

alah satu dorongan yan g bekerj a dala

ongan lainnya, seperti makan , minum ,

int maka dorongan beragam a menuntut

3

Allah. Allah mengatakan dalam Alquran Surat Ali Imron ayat 19, ' Sesungguhny

a agama yang di ridhoi oleh Allah adalah Islam'' Dasuki dkk (1994 ) menegaska n

lagi bahwa Islam itu adalah agam a samaw i terakhir yan g di wahyuka n oleh Allah

SW T kepada utusanNya, Muhamma d SAW , untuk di sampaika n kepada seluruh

umma t manusia di dunia. Agam a Islam bersifa t universal dan menjad i rahma t

bagi seluruh alam ( rahmah li al- alamin).

Berdasarkan uraian-uraia n tersebut dapat dinyatakan bahw a Islam merupaka

n agama langit abi Muhamma d SAW

untuk dijadikan pe rang-oran g yang

mematuhi pcrintah Alla nghadapka n semua

persoalan hidupnya kep

3. Penger

Robert bahw a dorongan beragam

a merupakan s m diri manusi a

sebagaimana dorongan-dor elek dan

sebagainya. Sejalan dengan itu k

dipenuhi sehingga pribadi manusia itu mendapat kepuasa n dan ketenangan. Doronga

n beragam a jug a merupaka n suatu kebutuhan insaniah yang tumbuhny a dari

gabungan berbagai fakto r penyeba b yang bersumber dari rasa keagamaa n seseorang.

Menurut Fromm (Muthahari , 1989) tidak seorang pun yang tidak membutuhka

n agama dan tidak membutuhka n aturan- aturan sebagai penuntunny a dan pengatur

cinta dan kepentingan-kepentingannya. Bis a jad i ia tidak sadar akan keyakinan-

keyakina n keagamaan sebagai sesuatu yan g berbed a dari keyakinan-keyakina n

totalnya dan

Page 32: 05.2 Bab 213 Pancasila

4

a baik itu Islam, Kristen, Budh a , Hindu

d pohon dan patung. Permasalahany a

sek n dianut oleh seseorang sebagai

impleme ermasalahannya adalah apakah

seseorang

u belum.

i religius atau keagamaa n yang dimiliki

s nusia akan keterbatasan kemampua n yan

g sekitar. Manusi a menyadari akan segala

m ghadapi cobaa n dan musibah-musiba

berpikir bahwa ia tidak memiliki agam a dan mengangga p cinta dan

kepentingannya adalah sesuatu yan g nyata-nyata tidak bersifat religius,

seperti kekuasaan , kemakmuran dan kebahagiaan , sebagai tanda-tand a dari

ketertarikanya pad a peristiwa peristiwa praktis dan sesuai denga n kesempatan-

kesempata n yang dipunyainya. Masalahnya bukan pada seseorang menganu t agam a

atau tidak menganu t suatu agama, mclainkan agama apaka h yan g dia praktekan.

Pemikiran tersebut menjelaska n bahw a semu a oran g membutuhka n

agama, agama apa saj an masi h banyak lagi

yan g lain seperti batu, arang buka n pada

jeni s agam a apa yang aka ntas i kepercayaa

n pad a tuhan , akan tetapi p tersebut sudah

memprektekka n agamanya ata

Orientas eseorang merupakan cerminan

pada diri ma dimilikinya untuk berinteraksi

dengan alam aca m bentuk keterbatasanny

a dalam men hidup, untuk itu

manusia membutuhkan a n salah satu yang

memotivasi seseorang ntuk memelu k suatu agam a adalah karena keinginan

untuk mcngatasi frustrasi yang disebabka n oleh kesusahan jasmani . Selain

dorongan kebutuhan tersebut, ada sisi lain yan g perlu di perhatikan yakni naluri

beragam a atau naluri keagamaan yaitu merupaka n suatu doronga n didala m diri

manuis a untuk mangakui adanya suatu zat yan g adikodrati (supernaluaral)

Jalaluddin (1998). Manusi a dimanapun berada da n bagaimanapu n merek a

hidup, baik seeara kelompo k atau sendiri-sendiri terdoron g untuk berbua t

memperagaka n diri dalam bentuk pengabdian

Page 33: 05.2 Bab 213 Pancasila

rakar dalam dirinya untuk menemuka n diri

ipusat alam, tempat komunikasi dengan

eringkali muncu l dala m bentuk legenda-

le

ologi. (Madjid , 1997)

utkan dari penjelasa n tentan g naluri keaga

97) menyebutny a sebagai naluri

religi an. Naluri itu muncu l bersamaa n

denga tang hidu p dan alam raya yan g

menjad i

4

kepada zat Yang Mah a Tinggi itu. Naluri keagamaa n tersebut mamp u

memberikan kontribusi pada dirinya untuk tabah dan sabar menghadap i segala maca m

cobaan dan musibah dengan berdoa atau memint a pertolongan kepad a zat yan g

telah diakumy a mempunyai kekuatan Mah a Besar. Naluri keagamaa n dapat

digambarka n dengan mengatakan bahwa setiap orang sekalipun tanpa disadari,

cenderun g tnengarah ke pusat, dan menuju pusatnya sendiri, diman a ia akan

menemuka n hakikat yan g utuh yaitu rasa kesucian (Mirce a Eliad e dalam Madjid ,

1997). Keingina n yang begitu mendalam be

nya pada inti wuju d hakiki itu yang berada d

langit. Keinginan yang begitu mendalam, s

genda, dongeng-dongen g dan mitologi-mit

Melanj maa n yang dimiliki

manusia, Madjid (19 usitas atau

naluri untuk berkepercaya n hasrat untuk

memperole h kejelasan ten lingkungan

hidupny a sendiri. Oleh karena it besar yaitu

masyaraka t mesti memiliki kei hidup" .

Seeara antropologis - kultural, makna hidup itu seingkali teraktualisasikan dalam

berbagai legenda, dongeng, dan mitologi yang cenderun g semu, mak a fungsi dan

kegunaanny a pun bersifat sementara, tidak hakiki. Makn a hidup yan g hakiki

dan sejati itu adalah agama. Agama sebagai sistem keyakinan menyediaka n konse

p tentan g hakikat dan makna hidup itu, tetapi ia tidak terdapat pada segi segi

formal atau bentuk lahiriah keagamaan. Ia berada di baliknya, karen a itu formalita s

haru s " ditembus" , batas-batas lahiriah harus "diseberangi". Kemampua n melampau

i segi-segi itu (niscaya) akan

Page 34: 05.2 Bab 213 Pancasila

g seeara spontan dan alamiah terjadi

pada nusia sebagai inti pusat kepribadian

nya s sia atau lingkungan hidupnya.

faktor tersebut yan g pertam a adalah

sebu n dan alamiah, artinya dorongan -

doronga

timbulkan manusi a dengan sengaja.

Do bekerja otomatis. Tida k dikerjaka n

manu kedua merupaka n lanjutan dari

fakto r ya pontan 'terjadi ' pad a diri

manusi a dijad ggapi positif terhada p

4

bcrdampak pada tumbuhnya sikap-sikap religius individu maupu n mayaraka t

yang lebih sejalan dengan makn a dan maksu d hakiki ajara n agama.

Dister (1992), setiap kelakuan manusia , termasu k kelakua n

beragama , merupakan buah hasil dari hubunga n timbal balik antara tiga faktor.

Ketiga-tiganya memainkan peranan dalam melahirkan tindakan insani, meskipu n

dalam suatu perbuatan , faktor yang satu lebih besar perannya di bandingka n dengan

tindakan yang lain, atau sebaliknya. Ketig a fakto r tersebut terdiri dan , pertam a

sebuah gerak atau dorongan yan manusia.

Faktor kedu a adalah keakuan ma erta faktor

yang terakhir yaitu situasi manu

Ketiga ah gerak atau dorongan yang

seeara sponta n ini timbul dengan sendirinya

dan tidak di ronga n semaca m itu

bersifat alamiah dan si a sendiri dengan "

tahu dan mau". Faktor n g pertama , artinya

dorongan yang seeara s ika n sebagai

miliknya sendiri, jika ia mena dan begitu

sebaliknya. Situasi lingkungan hidup seseorang yan g merupaka n fakto r terakhir

yan g dikemukakannya . Faktor ini menjelaskan bahw a manusi a tidak bisa

terlepas dari lingkungan hidup seseorang yang mempengaruh i keputusan seseorang

dala m berbuat.

4. Aspek- aspek Orientasi Religius.

Orientasi keagamaa n yang di miliki oleh seseorang tidak dapat di

ukur berdasarkan keseringan seseorang tersebut melakuka n ibadah kepad a Allah,

akan

Page 35: 05.2 Bab 213 Pancasila

memperole h banyak kenalan sehing

dengan mudah .

i keagamaa n (orientasi religius) yan g

d ngan melihat motivasi dan visi

psiko ntuk taat menjalanka n ajara n

agamanya

agamany a karen a ada satu motivasi

un dipandan g sebagai anak yang baik-

baik, d ny a karen a semata- mat a

termotivasi untu nuru t Allport dan Ross

(1977) orientasi rel di dua kutub , yaitu

4

tetapi harus di lihat dan di ukur seeara menyeluru h dari berbagai aspek.

Menurut Allport (Rakhmat , 1994) religiusitas haru s diukur denga n Comprehensive

Comitmenl yang menyeluruh dala m seluruh ajara n agama . Seorang musli m

yan g sering melakukan sholat kemesji d belu m dapat dikatakan bahw a oran g

tersebut mempunya i orientasi keagamaa n yan g baik. Boleh jadi seseorang sering

datan g kemesji d karena ada maksud lain, buka n semata-mat a beribadah seperti

datang kemesji d untuk mendapat penghargaa n dari orang lain supaya dikatakan

oran g alim, dan mungkin dalam rangka ga

bisa memasarka n barang dagangannya

Orientas imiliki oleh seseorang dapat

diketahui de logis yan g melatarbelakangi

seseorang u . Bisa jad i seseorang taat

menjalankan tuk mencari perhatian calon

mertua, agar an ada yan g taat menjalanka

n ajaran agama k mendapatka n kecintaan

dari tuhannya. Me igius pad a diri seseoran g

dapat dibagi menja an ekstrinsik. Individu

yang termotivasi seeara intrinsik aka n 'menghidup i agamanya ' dan sebaliknya

individu yang termotivasi ekstrinsik mak a ia akan 'memanfaatka n agamanya' .

Orientasi keagamaan ekstrinsik cenderun g memanfaatka n agam a derni kepentingan

sendiri. Istilah tersebut diambil alih dari aksiologi untuk menunjukka n suatu

kepentingan yang dilakukan semata-mata demi melayani kepentingan-kepentinga n

lain, yang bagi individu itu bersifa t lebih pokok . Individu yan g menganu t

orientasi keagamaa n ekstrinsik akan memandan g agam a dalam rangka kegunaa n

untuk berbagai hal, antara

Page 36: 05.2 Bab 213 Pancasila

motivasi kehidupan keagamaanny a

dal ebutuhan lain., sekuat apapun juga ,

diang ngkin diintergrasikan dalam

keselarasan d ajaran-ajaran Tuhan.

Setelah memelu k su berusaha

menginternalisasikan dan men

m pengertian demikian , dapat

dikatakan agamanya.

arkan penafsiran Hunt dan King (1977

) llport Feagin (yang dikembangaka n dari

has mpinan Allport sendiri), beberap a

4

lain untuk memperoleh rasa aman, penghiburan, pembenaran diri, keyakinan yang

dipcluknya cenderung dianut atau dilambangka n seeara selektif agar cocok

dengan kebutuhan- kebutuhan yang lebih primer. Bagi merek a agam a

berguna untuk mendukung kepercayaan diri, memperbaiki satus, bertahan melawa n

kenyataan atau memberi sanksi pada suatu cara hidup. Dengan demikian , dapat

dikatakan bahwa individu tersebut diatas "memanfaatka n " agamanya.

Sementara itu individu yang memiliki orientasi keagamaa n

intrinsik menunjukkan am agam a yang

dianutnya. Kebutuhan- k ga p kuran g

begitu berarti dan sedapat mu engan

keyakinan dan ajaran agama atau atu

keyakina n individu yang bersangkutan

gikuti ajaran agam a seeara penuh. Dala

bahw a individu tersebut " menghidupi"

Berdas terhada p

Intrinsik/Ekstrinsik Seale dan A il sebuah

seminar di Harvard di bawah pi kap

berkaitan dengan masing- masing orientasi kehidupan keagamaa n adalah sebagai

benkut :

Pertama, Persona l Vs Institusional: membatinka n seeara personal nilai-

nilai ajaran agama sebagai hal yang vital dan berupava mengusahaka n tingkat

penghayatan yang lebih dalam vs penghayatan agam a yang bersifa t institusional atau

dalam kontek s kelembagaan.

Page 37: 05.2 Bab 213 Pancasila

menerim a keyakinan agamany a seeara

pe dihayati seeara dangkal; keyakinan

dan

Pokok dan instrumental : keyakina n

a ama sebagai sarana ( intrinsik vs

eksrinsik

, Assoslasional vs komunal ,

keterlibatan lebih dalam vs affihasi demi

sosiabilitas da

4

Kedua, Unselfish Vs Selfish berusah a mentransendensikan

kebutuhan- kebutuhan yang terpusat kepad a diri sendiri vs pemuasa n diri sendiri,

pemanfaata n protektif untuk kepentingan pribadi.

Ketiga, Relevansi terhada p kesciuruhan kcpribadian memenuh

i kehidupannya dengan memotivasi dan makna religius vs terpilahkan atau tidak

tenntegrasikan kedalam keseluruahn pendangan hidupnya.

Keempat, Kepenuha n penghayata n keyakinan: berima n dengan

sungguh- sungguh dan nuh tamp a syarat vs

iman dan kepercayaan ajaran agama tidak

dihayali seeara penuh

Kelima, gam a sebagai tujua n akhir

vs keyakinan ag seeara aksiologis).

Keenam religius demi pencarian nilai

religius yang n status.

Ketujuh, iman ; penjagaa n iman

yang konsisten dan embanga n iman atau

perhatian terhadap per

Penjelasan ketuju h aspek orientasi keagamaa n tersebut, dapat diambil

sebuah kesimpulan bahwa, individu yang memiliki orientasi keagamaa n

intrinsik akan memandang agama dengan persepekti f yang bersifa t personal,

unselfish, maknawi , penuh penghayatan, pokok assets iasional, serta mengusahaka

n imannya seeara konsisten. Individu yan g berorientasi instrinsik akan

menghayati dan merealisasikan dalam wujud tingkah lak u ajaran-ajara n agam a

yang dipahaminy a seeara sungguh-

Page 38: 05.2 Bab 213 Pancasila

bunga n Orientas i Religius . Jeni s Keiami

n mati penjelasa n diatas, dapat di

pah

agamany a seeara sungguh-sungguh u

ntunya tidak akan melanggar perintah

mikian, namun bis a jadi ada variabel lain

y

4

sungguh dan tidak akan terjebak untuk memanfaatka n agamany a demi

kepentingan- kepentingan pribadi.

Sementara itu individu yan g memiliki orientasi ekstirinsik akan memperseps

i dengan prespektif yan g institusionalselfish, agam a tidak terintegrasikan

dalam keseluruhan pandangan hidupnya , penghayata n yang dangkal , keyakina n

agam a sebagai sarana, komunal serta ketidakteraturan pemeliharaa n dan perkembanga

n iman. Orientasi religius yan g di maksu d di dalam penelitian ini adalah orientasi

religius intrinsik.

C . Hu da n Intens i Menyonte k

Mencer ami bahwa seseorang yang

menjalankan ntuk mendapatka n kecintaan

tuhannya, te agama , termasuk

menyontek. Idealnya de ang cuku p

berperana n seperti dalam penelit g

mempunya i orientasi religius intrinsik yang

h jenis kelaminnya , sehingga intensi meny

rientasi religiusnya yan g lebih intrinsik, akan tetapi karen a ia berjeni s keiamin laki-

laki justr u intensi menyontekny a tetap saja menjadi tinggi, itu semua baru dugaan

sementara yang harus di buktikan dalam penelitian ini.

Berdasarkan perbedaa n jeni s keiamin, Davis (Newstea d dkk, 1996) siswa

laki- laki lebih banyak menyontek dari pada siswa perempuan , penelitian

tersebut dilakukan terhadap 600 0 siswa. Sementar a itu penelitian Burn, Davis,

Hoshino dan

Page 39: 05.2 Bab 213 Pancasila

r dalam Sujana , 1995). Sementar a itu,

Kal bahwa anak laki-lak i lebih

mengharapka n

k perempuan dan kalaupu n menyontek

d anita lebih banya k menyonte k karen a

kei Cochran dalam Newstea d dkk,

1996).

urvei yang lain telah membuktika n bah

ntek mempunya i pandanga n bahw a

menyo tidak juju r (Newstea d dkk, 1996).

Survei yontek berhubunga n denga n

4

Miller (Athanasou, 2001 ) terhada p mahasisw a Jepan g yang merupaka n negara

asia, menemukan mahasiswa laki-laki lebih banyak menyonte k daripad a yang

perempua n dengan proporsi 45 persen laki-laki dan 37 persen perempuan . Anak

perempua n menyontek terutama karena tidak cukupny a wakt u untuk belaja r dan

tekanan yang berasal dari teman-teman mereka , sementera itu siswa laki-laki

menyontek karena alasan tidak cukupnya wakt u untuk belajar , memenuh i tuntutan

syarat kelulusan dari sekolah, memuaskan harapa n orang tua, serta untuk

menyenangka n hati instruktur atau dosen (Cinde

avik (Lobel & Levanon, 1988) menjelaskan

sukses dalam tugas akademik daripada ana i

sebabka n karena takut pada kegagalan. W

nginan untuk membant u teman (Calabrese &

Hasil s w a sebanyak 20 % siswa

yang tidak menyo nte k merupaka n perilaku

tidak bermoral dan tersebut memberika n

cerminan bahwa men ng dimiliki oleh

seseorang Selanjutnya n bahw a

perkembanga n moral pada diri seseorang berkorelas i negatif dengan menyontek.

Artinya seseorang yan g mempunyai perkembanga n moral yang baik mak a

intensi untuk menyontekny a berkurang dan demikian pula sebaliknya.

Konsep moral yan g dimiliki oleh seseorang dalam dataran formal berasal

dari lingkungan pendidikan dan lembag a agama. Lembag a tersebut mempunya i

pengaruh dalam pembentukan sikap pad a diri seseorang. Pemahama n akan baik dan

buruk , garis pemisah antara sesuatu yan g boleh dan yang tidak boleh dilakukan,

diperoleh dari

Page 40: 05.2 Bab 213 Pancasila

ang telah terbentuk, memberika n standar ni

an mengkajinya seeara kritis. Moral tid

ama. Moral yang terpisah denga n

aga n kehancuran bagi suatu bangsa ,

menuru t

dipisahkan dari agam a mak a akan

terjadi anusia.

(1997) memberika n penjelasan seeara

n oral berpengaruh terhada p perilaku

yan g

4

pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajara n ajarannya. Sistem moral

didalam diri seseorang tebentuk karena konse p moral dan ajara n agam a tersebut,

mak a tidak mengherankan kalau pada gilirannya kemudia n konse p tersebut itu

berperana n dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu (Azwar, 1997).

Menurut Darajat (1991) kehidupan moral tidak bis a dipisahkan dari

agama. Agama memberikan seperangkat nilai tertinggi yan g mendasari moralitas

masyarakat. Agama memberikan dukungan moral, mensucika n norma-norm a

dan nilai-nilai mavarakat y lai terhadap

norma-norm a yang sudah ada d ak bisa

dilepaskan begitu saja dengan ag m a

ataupu n sebaliknya akan mendatangka

Odea (Jamaluddm , 1995) jik a moral telah

kerusakan dan kezaliman pada

kehidupan

Azwar yata tentan g bagaiman a

peran agama dan m dimunculka n oleh

seseorang. Apabila ter al, pada posisi

sikapnya atau mungkin jug emihak. Ajara n

agama sering dijadikan sebagai determinan untuk menentuka n sikapnya. Apabila

kita mengambil eontoh pada perilaku menyontek mak a mereka yan g melihat

memandan g menyontek sebagai hal yang waja r tidak berkaitan dengan masalah

moral dan agama, akan mempunyai sikap yan g bermacam-maca m tergantung

pad a latar belakan g pengalamannya yang relevan dengan masalah menyonte k

tersebut, yan g tergantung pada lingkungan akademik , peraturan akademik ,

karaktensti k individu dan lam sebagainya. Sebaliknya, bagi merek a yang

memandan g menyontek merupaka n

Page 41: 05.2 Bab 213 Pancasila

g bersifat intrinsik dan orientasi religius

ya yang ekstrinsik cenderun g

memanfaatka n erti untuk memperole h

rasa aman , penghi

status dan agar lebih percaya diri.

Seme orang yang mengikuti ajaran

agamany a den Nashori, 1998). Merek a

memandan g segala arti apa-apa bila tidak

di integrasikan dala ilai-nilai agam a

termternalisasi didalam iamalkan sesuai

dengan ketentuan, aturan apkan, sehingga

4

perbuatan yang tidak bermoral bertentangan dengan ajara n agam a tidak akan

ada keraguan untuk bersikap antipati dan menolak .

Memperhatikan uraian tersebut, peran agam a berperan cuku p besa r terhada

p munculnya perilaku tidak bermoral, karen a sinergisitas antara moral dan agam

a seolah-olah tidak dapat dipisahkan. Pad a penelitian ini akan melihat hubunga n

antara orientasi religius yang dimiliki oleh seseorang denga n intensi menyontek .

Allport dan Ross (1977) membagi orientasi religius tersebut menjad i dua bagian ,

yaitu orientasi religius yan n g bersifat

ekstrinsik. Orientasi keagamaan agamany a

untuk kepentingan sendiri, sep buran ,

pembenaha n diri, untuk memperbaiki ntar a

itu yan g bersifa t intrinsik adalah sese ga n

motivasi untuk menghidupi agamanya (

maca m bentu k kebutuha n tidak mempunyai

m keyakina n beragama , dengan kata lain n

kehidupannya . Ajara n agam a eenderung d

dan kewajiban-kewajiba n yang telah di tet

l dan kepribadian yan g sesuai dengan ajaran agamanya.

Intensi menyontek merupaka n niat yang bersifa t subjektif pada diri

seseorang termasuk sikap dan norma-norm a subjektif yan g dimilikiny a terhada

p perilaku menyontek. Seseorang yan g mempunya i intensi menyonte k aka n

cenderun g memandang menyontek merupaka n hal yan g biasa dan aka n bersika p

membiarka n temannya melakukan perbuata n tersebut, dan termasu k dirinya

sendiri. Menyonte k merupakan satu perbuatan yan g tidak jujur , bohong ,

menip u yan g nilai-nilai

Page 42: 05.2 Bab 213 Pancasila

5

orelasi negatif antara orientasi religius

denga orientasi religiusnya mak a semak

m renda

gitu sebaliknya.

erbedaan intensi terhada p menyontek

ant i lebih tinggi intensi untuk

menyontek dar

terkandung didalamnya bertentangan dengan ajaran agama. Apabila melihat penjelasan

dan Allport & Ross (1977), dapat diketahui bahw a seseorang yang mempunya

i orientasi instrinsik tidak akan menyontek karen a memandan g perbuatan tersebut

tidak sesuai dengan nilai ajaran agamanya dan begitu pula sebaliknya.

D. Hipotesi s

Berdasarkan landasan teori di atas, mak a diajuka n hipotesis penelitian

sebagai berikut:

I Ada k n intensi menyontek. Semakin

intrinsik h intensinya untuk menyontek ,

dan be

2. Ada p ara laki-laki dan

perempuan. l.aki-lak ipada perempuan.