05.2-bab-213 pancasila.pdf
TRANSCRIPT
11
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Intensi Menvontek
1. Pengertian Menyontek
Masalah menyontek bukan lagi menjadi masalah baru dalam dunia pendidikan,
baik di sekolah maupun di perguruan tinggi. Permasalahan tersebut sudah menjadi
masalah nasional bahkan mternasional. Pada awalnya perilaku menyontek termasuk
dalam kategori perilaku tidak jujur dalam pendidikan. Ketidakjujuran dalam
pendidikan semakin hari semakin berkembang, sehingga ketidakjujuran memiliki
pengertian yang cukup luas. Menyontek vang pada awalnya merupakan bagian
perilaku ketidakjujuran dalam pendidikan, sekarang mendapat perhatian tersendiri.
Ketidakjujuran dalam pendidikan merupakan suatu aktivitas mendapatkan keuntungan
yang tidak sah dalam akademis yang dipergunakan untuk dirinya sendiri atau beberapa
pelajar lain. Perbuatan tersebut termasuk, berbohong, menyontek atau tingkah laku
tidakjujur yang berhubungan dengan akademis (Case,1999).
Penelitian pertama kali terhadap perilaku menyontek dimulai tahun 1941, yakni
terhadap mahasiswa yang belum menyelesaikan studinya. Penelitian tersebut
menemukan sebanvak 23 persen mahasiswa pernah menyontek dalam masa studinya
(Davis dalam Case, 1999). Jumlah tersebut terus meningkat menjadi 89 persen pada
tahun 1996 (CNN, 1996) dan bahkan tahun 1999-2000 dari 163 pelajar, 105
diantaranya mengaku menyontek (Stewart,2000). Menurut Lauderdale (Niel, 2001)
12
perbandingannya sudah mencapai 4 : 5, maksudnya setiap lima orang siswa yang di
survei, terdapat empat orang mengaku menyontek.
Menyontek dapat diartikan sebagai suatu tindakan kecurangan yang dilakukan
dalam mengerjakan test melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara
tidak sail (Sujana dan Wulan, 1994). Informasi dari luar tersebut bisa berasal dari
buku, catatan, buku pelajaran, lembar jawaban orang lain, tulisan yang ditulis pada
kertas kecil, sapu tangan, atau telapak tangan dan bentuk contekan lain yang equivalen
dengan lembar contekan (Biehler 1971; Sujana,1993). Pendapat lain menjelaskan
bahwa menyontek merupakan aktivitas memberikan atau meminta bantuan informasi
yang dilarang (haram) dalam beberapa urusan akademik termasuk ujian, bantuan
tersebut dengan tidak menggunakan pikiran sendiri atau dengan kata lain dengan
menggunakan informasi dari teman atau dari buku (Dufee, 2001; Dewi, 2000).
Pengertian yang lebih luas mengenai perilaku menyontek adalah sebagai tindakan
negatif, tidak jujur, bohong, pengecut, dan tercela, curang dalam tugas akademik atau
menggunakan alat bantu lain yang dilarang dalam konteks mengerjakan ujian atau
peraturan akademis (Seta, 1999) dan (Ardiani, 1999)
Berdasarkan beberapa pengertian dan penjelasan mengenai perilaku menyontek di
atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa menyontek adalah suatu bentuk perbuatan
tidak jujur, tidak legal, curang, tidak sah dengan memanfaatkan informasi yang berasal
dari luar dengan berbagai cara, baik dengan tulisan, lisan atau bekerja sama, berkolusi
dengan mahasiswa lain atau pihak luar, serta cara-cara lain yang tidak sah yang
dilakukan seseorang selama masa ujian berlangsung agar tujuannya bisa tercapai.
13
2. Intensi Menyontek.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), intensi perilaku (behavioral intention)
diartikan sebagai probability yang bersifat subjektif pada diri seseorang untuk
melakukan suatu perilaku. Intensi perilaku merupakan determinan yang paling dekat
dengan perilaku yang dimaksud dan merupakan prediktor tunggal terbaik bagi perilaku
yang akan dilakukan oleh seseorang. Ancok (1992) memberikan pengertian bahwa
intensi adalah niat untuk melakukan suatu perilaku.
Selanjutnya Fishbein dan Ajzen (Sujana, 1993) mengemukakan model hubungan
antara pengetahuan, sikap, niat dan perilaku. Niat seseorang untuk melakukan suatu
perilaku didasari oleh sikap orang tersebut terhadap perilaku itu sendiri. Sikap di sini
merupakan hasil keyakinan subjek terhadap akibat dari perilaku tersebut, sedangkan
norma subjektif terbentuk berdasarkan keyakinan normatif subjek akan akibat perilaku
tersebut. Keyakinan akan akibat perilaku dan keyakinan normatif akan akibat perilaku
tersebut terbentuk berdasarkan umpan balik yang diberikan oleh perilaku itu sendiri .
Secara skematis model hubungan antara komponen tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
t
Gb. 1 Kerangka konseptual untuk meramalkan suatu niat atau perilaku tertentu
(Fishbein dan Ajzen dalam Sujana 1993)
14
Keyakinan akan akibat perilaku X merupakan komponen yang berisikan aspek
pengetahuan subjek tentang perilaku X dan tentang akibat negatif maupun positif dari
perilaku X. Semakin banyak segi positif yang diperoleh subjek tentang akibat perilaku
X akan semakin positif pula sikap subjek terhadap perilaku X, dan demikian pula
sebaliknya. Apabila mengambil contoh dalam konteks menyontek, seseorang yang
hendak menyontek ketika ujian, harus mengetahui akibat yang harus ia terima
mungkin setelah melakukan perbuatan tersebut. Akibat positif yang akan ia terima
berupa, meningkatnya nilai ujian atau Indeks Prestasi, dan akibat negatifnya, jika ia
ketahuan menyontek maka kemungkinan ia akan mcndapatkan nilai 'F ' atau nilai '0 '
pada mata ujian tersebut (PoJ^es) . Pertimbangan ini akan mempengaruhi sikap
seseorang terhadap perilaku menyontek, apakah ia memutuskan untuk menyontek atau
tidak.
Komponen lain yang berpengaruh terhadap pembentukan intensi adalah
keyakinan normatif mengenai perilaku X. Komponen ini merupakan aspek
pengetahuan tentang X yang berisi pandangan subjek tentang harapan dari orang lain
atau sekelompok orang yang berpengaruh dalam kehidupannya mengenai keharusan
atau ketidakharusan bagi dirinya untuk melakukan perilaku X. Keyakinan normatif ini
akan membentuk norma subjektif tentang perilaku X, yaitu komponen yang berisi
keputusan subjek setelah mempertimbangkan pandangan atau harapan dari orang lain
atau sekelompok orang yang berpengaruh tersebut. Orang yang berpengaruh pada
perilaku subjek tersebut seperti, ayah, ibu, kakak, adik, dosen, teman sebaya, atau
siapa saja yang berpengaruh terhadap dirinya. Subjek dapat terpengaruh oleh harapan
atau pandangan orang tersebut, namun dapat pula tidak terpengaruh. Seseorang yang
sebelum ujian telah mendengar tatatertib ujian yang berisi diantaranya tentang sanksi
15
untuk para penyontck, tatatertib tempat duduk, pakaian dan sebagainya. Kemudian
kctika ujian dimulai bisa saja peraturan yang sudah didcngar nya tidak dihiraukan lagi
dan menyontek tetap dilakukan, sebaliknya seseorang yang telah memutuskan untuk
menyontek ketika ujian menjadi berkurang keinginannya setelah membaca atau
mendengar sanksi yang akan ia terima.
Mencermati penjelasan di atas, dapat ditarik satu kesimpulan untuk
mendefenisikan intensi menyontek. Intensi menyontek merupakan mat yang bersifat
subjektif pada diri seseorang termasuk sikap dan norma-norma subjektif yang
dimilikinya untuk melakukan perilaku menyontek. Perilaku menyontek adalah
perbuatan tidak jujur, tidak legal, tidak sah dengan memanfaatkan informasi yang
berasal dari luar dengan berbagai cara, baik dengan tulisan, lisan atau bekerja sama,
berkolusi dengan mahasiswa lain atau pihak luar, serta cara-cara lain yang tidak sah
yang dilakukan seseorang selarna masa ujian berlangsung dengan maksud tujuannya
bisa tercapai.
3. Kriteria Perilaku Menyontek
Perilaku yang menyimpang dan bersifat negatif cenderung sulit untuk diakui
seeara langsung dengan alasan kekhawatiran mendapat ancaman yang tidak nyaman
bagi dirinya. Agar memperoleh kenyaman, seseorang cenderung untuk tidak mengakui
perbuatannva, dengan demikian agak sulit mengetahui perbuatan curang seseorang
apabila ditanyakan seeara langsung. Menurut Edward (Azwar, 1997), orang akan
mengemukakan pendapat dan jawaban yang sebenarnya seeara terbuka hanya apabila
situasi dan kondisi memungkinkan, artinya apabila situasi dan kondisi
memungkinkannya untuk mengatakan hal yang sebenarnya tanpa rasa takut terhadap
16
konsekuensi langsung maupun tidak langsung yang dapat terjadi. Jndividu yang berada
dalam situasi tanpa tekanan dan bebas dari rasa takut, tidak terlihat adanya kcinginan
untuk berkata lain, barulah individu memberikan jawaban yang sebenarnya sesuai
dengan apa yang dirasakannya. Seseorang mahasiswa yang menyontek disaat ujian,
kemudian suatu saat ditanya oleh dosen apakah ia menyontek ketika ujian, maka ada
kecenderungan mahasiswa tersebut untuk berbohong, karena ketakutan akan
konsekuensi hukuman dari dosen tersebut, berupa nilai F atau nol. Adapun cara yang
dilakukan untuk mengungkap kejujuran mahasiswa tersebut, tanpa ada rasa takut ada
perasaan tertekan adalah dengan melihat intensi seseorang terhadap menyontek, yailu
dengan mengetahui persepsi seseorang terhadap pandangan orang tentang perilaku
menyontek, serta sikapnya terhadap perilaku menyontek tersebut. Mengetahui
seseorang mempunyai intensi menyontek atau tidak, dapat dilihat dari indikator atau
kriteria yang membagun perilaku menyontek.
Menurut Newstead dkk (1996) perilaku menyontek terdiri dari 21 kriteria.,
sementara itu menurut Student Academic Dishonesty (1999) ada delapan kriteria yaitu
mengopi atau menerima kopian dari siswa lain selama ujian atau dalam mengerjakan
lugas, mengkomunikasikan jawaban dengan orang lain selama ujian, membuat
program di dalam kalkulator yang berisi jawaban ujian atau infomiasi lain yang tidak
sah untuk ujian, menggunakan tanpa ijin alat bantu, atau menvediakan jawaban,
catatan (kepean) atau menyembunyikan informasi selama ujian, mengijinkan orang
lain mengerjakan tugas atau bagian tugas untuk dirinya sendiri termasuk
mcnggunakannya untuk diperdagangkan, menyerahkan beberapa tugas untuk lebih dari
satu mata kuliah tanpa persetujuan dari dosen, bekerjasama dalam mengerjakan ujian
atau tugas dengan orang lain tanpa ijin dari dosen, mengambil soal ujian untuk orang
V
lain atau menerima soal dari seseorang untuk
menurut (UMC Student Conduct, 1999) ada enan
vaitu menyalin jawaban dari tes siswa lain baik dengar.
sepengetahuan mereka, memiliki atau memakai alat selama
yang memberikan tes, bekerjasama atau melihat jawaban siswa i,
seijin instruktur, memakai atau membeli, menjual, mencuri seluruh
yang dilarang dalam tes, mengganti nama siswa lain atau minta ijin a
tugas atau ujiannya digunakan untuk keuntungan diri sendiri atau memberh
pada orang lain agar mau melanggar perturan tes. Senada dengan pet.
sebelumnya Kibler (1998) menambahkan bahwa menyontek dapat berupa menguba
nilai raport dan menyogok atau menerima sogok dalam komunitas perguruan tinggi.
Kriteria-kriteria menyontek yang telah di kemukakan oleh peneliti-peneliti
tersebut dapat di bagi menjadi dua kategori besar. Kategori pertama menyontek
kctika ujian yang terdiri dari mengambil jawaban dari orang lam baik dengan
sepengetahuan mereka ataupun tidak, menggunakan catatan atau beberapa bentuk
bantuan lain yang dilarang oleh dosen, bekerjasama dan berkomunikasi dengan teman-
temannya lain dalam mengerjakan ujian, mendapatkan informasi yang tidak diijinkan
oleh peraturan, membuat program dengan kalkulator yang berisi jawaban tidak sah
untuk ujian, menggunakan alat, menyediakan jawaban, menulis catatan (kecil), atau
menyembunyikan informasi selama ujian, mengijinkan orang lain mengerjakan tugas
atau bagian dari tugas seseorang untuk diri sendiri termasuk membeli atau
mcmperdagangkanya, menyerahkan beberapa tugas untuk di berikan pada lebih dan
satu mata kuliah tanpa sepengetahuan dosen atau guru, mengambil soal ujian untuk
orang lain atau menerima dari orang lain untuk diri sendiri. Kategori kedua yaitu
18
ipa seijin
\ dosen,
isen.
\kan
ta
17
lain alau menerima soal dari seseorang untuk keuntungannya sendiri. Sementara itu
menurut (UMC Student Conduct, 1999) ada enam kriteria dari perilaku menyontek
vaitu menyalin jawaban dari tes siswa lain baik dengan sepengetahuan maupun tanpa
sepengetahuan mereka, memiliki atau memakai alat selama ujian tanpa ijin dari orang
yang memberikan tes, bekerjasama atau melihat jawaban siswa lain selama ujian tanpa
seijin instruktur, memakai atau membeli, menjual, mencuri seluruh atau sebagian isi
yang dilarang dalam tes, mengganti nama siswa lain atau minta ijin dari siswa lain
tugas atau ujiannya digunakan untuk keuntungan diri sendiri atau memberikan sogok
pada orang lain agar mau melanggar perturan tes. Senada dengan pendapat
sebelumnya Kibler (1998) menambahkan bahwa menyontek dapat berupa mengubah
nilai raport dan menyogok atau menerima sogok dalam komunitas perguruan tinggi.
Kriteria-kriteria menyontek yang telah di kemukakan oleh peneliti-peneliti
tersebut dapat di bagi menjadi dua kategori besar. Kategori pertaina menyontek
ketika ujian yang terdiri dari mengambil jawaban dan orang lam baik dengan
sepengetahuan mereka ataupun tidak, menggunakan catatan atau beberapa bentuk
bantuan lain yang dilarang oleh dosen, bekerjasama dan berkomunikasi dengan teman-
temannya lain dalam mengerjakan ujian, mendapatkan informasi yang tidak diijinkan
oleh peraturan, membuat program dengan kalkulator yang berisi jawaban tidak sah
untuk ujian, menggunakan alat, menyediakan jawaban, menulis catatan (kecil), atau
menyembunyikan informasi selama ujian, mengijinkan orang lain mengerjakan tugas
atau bagian dari tugas seseorang untuk diri sendiri termasuk membeli atau
memperdagangkanya, menyerahkan beberapa tugas untuk di berikan pada lebih dari
satu mata kuliah tanpa sepengetahuan dosen atau guru, mengambil soal ujian untuk
orang lain atau menerima dari orang lain untuk diri sendiri. Kategori kedua yaitu
18
menyontek dalam tugas kuliah terdiri dari menerima bantuan naskah tanpa seijin
dosen, bekerjasama dengan orang lam dalam mengerjakan tugas tanpa seijin dosen,
dan mengajukan beberapa tugas kepada lebih dari satu mata kuliah tanpa seijin dosen.
Penelitian ini akan memfokuskan pada perilaku menyontek yang di ditemukan
di dalam ujian yang kemudian di telah sesuaikan dengan kondisi penelitian serta
ditambah dengan kriteria yang dikemukakan oleh peneliti sebelumnya. Kriteria-kriteria
tersebut adalah:
a. Menyalin jawaban dari orang lain selama ujian tanpa sepengetahuan mereka, yaitu
Suatu aktivitas untuk mendapatkan jawaban ujian dengan menyal in jawaban dari
temannya, tanpa sepengetahuan temannya dan tanpa sepengetahuan pengawas
ujian.
b. Menyalin jawaban dari orang lain selama ujian dengan sepengetahuan mereka,
yaitu suatu aktivitas untuk mendapatkan jawaban ujian dengan menyalin jawaban
ujian dari temannya dengan sepengetahuannya atau seijinya, dan aktivitas untuk
memberikan jawaban kepada temannya yang membutuhkan dengan berbagai cara
yang tidak ketahuan pengawas ujian.
c. Metigkomunikasikan jawaban dengan orang lain dengan berbagai cara, yaitu
mengkomunikasikan jawaban yang di dapat saat ujian kepada teman-temannya
dengan berbagai cara seperti melempar kertas yang sudah ditulisi jawaban,
memberikan simbol- simbol atau dengan langsung bertanya kepada temannya
yang lain yang dianggap bisa, termasuk meneocokkan jawaban ujian.
d. Membuat program dengan kalkulator yang berisi jawaban tidak sah untuk ujian,
yaitu mempersiapkan program di dalam kalkulator sebelum ujian di mulai dan
19
kemudian dilihat disaat ujian berlangsung, biasanya berupa ramus atau kata-kata
asing atau berupa catatan materi yang di ujikan.
e. Menyediakan jawaban berupa menulis catatan kecil (kepe 'cm), yaitu membuat
catatan kecil yang berisi materi yang akan di ujikan, yang sudah di tulis pada kertas
kecil, atau memfotokopi catatan yang sudah di perkecil sehingga bisa dilihat
ketika ujian berlangsung tanpa ketahuan oleh pengawas.
f. Menyembunyikan informasi selama ujian, yaitu membawa informasi kedalam
ruang ujian berupa membawa catatan, modul, buku, dinding dan sebagainya yang
berhubungan dengan ujian untuk dapat dilihat ketika ujian berlangsung.
g. Mengambil soal ujian untuk orang lain atau menerima dari orang lain untuk diri
sendiri, yaitu mengambil soal ujian tanpa ijin pengawas, atau memberi tahu soal-
soal ujian kepada teman-temannya yang beium ujian dan akan mengikuti ujian
yang sama dengan mereka atau berusaha mencari bocoran-bocoran soal pada kelas
sebelumnya yang paralel
h Memberikan sogok kepada pengawas yang ditunjuk atau pihak lembaga agar mau
melanggar peraturan yang berkaitan dengan ujian, yaitu berusaha memberikan
sogok kepada pengawas ujian atau pencetak soal agar mau membocorkan soal
ujian atau pengawas ujian, membiarkan seseorang menyontek ketika ujian.
(Kibler, 1998; Student Academic Dishonesty, 1999; UMC Student Conduct, 1999)
4. Faktor yang Menyebabkan Perilaku Menyontek
Ada suatu ungkapan, tidak mungkm ada asap kalaa tidak ada apinya. Apabila
menyontek dikatakan sebagai asap tentunya ada api yang menyulutnya sehingga
menyebabkan munculnya perilaku menyontek tersebut. Kondisi tersebut sesuai
20
dengan leori kausalilas yang menjelaskan bahwa tidak akan mungkin ada akibat kalau
tidak ada sebab yang menimbulkan akibat tersebut tcrjadi. Menyontek yang
dilakukan oleh seseorang adalah suatu akibat yang terjadi karena adanya sebab yang
menimbulkannya. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti
sebelumnya, menemukan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan dan
memotivasi seseorang untuk menyontek yaitu:
a. Mendapatkan Nilai yang Baik.
Keinginan untuk mendapatkan nilai yang baik merupakan alasan seseorang
untuk menyontek. Menurut Sukadji (1987) ada beberapa hal yang menyebabkan
seseorang siswa menyontek yakni karena terlalu sulitnya tugas yang diberikan, terlalu
menekankan pada nilai atau kurangnya menekankan pada pemahaman. Penelitian yang
dilakukan oleh Newstead dkk (1996) terhadap 943 mahasiswa dari 19 fakultas
ditemukan sebanyak 20 persen dari mereka menyontek karena alasan keinginan untuk
mcmngkatkan nilai. Sementara itu menurut Keller (Case, 1999) menyatakan hasil
penelitianya bahwa 69 persen dari partisipannya menyontek dilakukan dengan harapan
untuk memperoleh nilai baik. Ligon (2000) menambahkan dari hasil surveinya bahwa
menyontek dilakukan untuk menjaga nilai minimum yang telah mereka miliki, dengan
harapan nilai yang telah mereka miliki tidak turun lagi serta untuk memelihara
pemberian hadiah yang akan mereka terima.
Tuntutan untuk memperoleh nilai yang baik selalu menghantui mereka, salah
satunya disebabkan oleh sistem pendidikan yang mengukur keberhasilan seseorang
dari nilai akhir (IP) atau raport, tanpa melihat bagaimana proses studi yang mereka
lakukan. Menurut Danarko (1999), menyontek dianggap menjadi suatu hal yang wajar
karena mereka dituntut mendapatkan nilai yang bagus tidak perduli apakah mereka
21
memaliami materi atau tidak, dan juga dosen tidak ambil pusing dengan perilaku anak
didiknya. Kenyataan yang sering dilihat dalam dunia kerja adalah banyaknya
lowongan pekerjaan yang mencari sarjana yang mempunyai IP yang baik. Menurut
Walker (2000), salah satu alasan untuk menyontek adalah karena persaingan di pasar
kctja lebih mementingkan nilai (GPA), dimana tenaga kerja yang memiliki IP yang
baik di pakai serta akan meneapai sukses.
Ada satu keinginan untuk memperoleh nilai yang baik yakni berupa pengakuan
dari pihak luar yang memperhatikan mereka. Pengakuan tersebut bisa berupa pujian
ataupun bisa berupa hadiah barang yang telah dijanjikan. Menurut Lobel & Levanon
(1988) siswa dengan kebutuhan akan pengakuan yang tinggi, lebih sering menyontek
bila dibandingkan dengan siswa yang kebutuhan akan pengakuannya rendah.
Sementara itu Gibson (Sujana, 1993) menyatakan bahwa menyontek lebih sering
dilakukan bila prestasi akademis bukan dipandang sebagai alat bantu bagi siswa untuk
dapat memberikan penghargaan terhadap dirinya sendiri, melainkan sebagai alat untuk
memamerkan kemampuan superior yang diarahkan pada usaha untuk mandapatkan
posisi yang bergengsi pada kelompok teman sebaya (peer group). Kembali Lobel dan
Levanon (1998) menjelaskan bahwa siswa yang di beri janji akan mendapatkan hadiah
yang dapat diraba berupa barang atau uang (tangible incentives) akan lebih banyak
menyontek dibandingkan dengan siswa yang diberi janji akan mendapatkan pujian,
kepuasan dan terhindar dari ejekan yang disebut juga sebagai intangible incentives.
b. Ketakutan pada Kegagalan
Pitt (2001) dalam bukunya Educational Psychology Literature menjelaskan
menyontek terjadi karena seseorang merasa ketakutan terhadap kegagalan terutama
dialami oleh siswa yang kemampuannya dibawah teman-temannya. Pendapat senada
menyatakan bahwa ketakutan untuk gagal merupakan alasan utarna bagi siswa untuk
menyontek kemudian diikuti oleh alasan kemalasan untuk memuaskan tuntutan orang
tua untuk memperoleh nilai baik, serta anggapan bahwa menyontek merupakan cara
yang paling mudah dilakukan untuk menghindari kegagalan. Alasan lain yang sering
di kemukakan oleh siswa adalah sulitnya soal yang di berikan dan adanya kebutuhan
untuk dapat melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
Thornburg (1982).
Menurut Gage dan Berliner (Sujana, 1993), siswa merasa takut terhadap
kegagalan di dalam test karena adanya respons negatifyang akan menyertai kegagalan
seperti misalnya ejekan atau tertawaan dan hukuman dari orang tua. Pengaruh dari
pengalaman akan keberhasilan atau kegagalan yang dialami siswa sebelumnya. Vitro
dan Scoer (Houston, 1978) menunjukkan bahwa kegagalan dalam suatu tes lebih
sering diikuti oleh tindakan menyontek pada test berikutnya bila di bandingkan dengan
keberhasilan pada suatu tes. Hasil penelitian Houston (1978) menunjukkan adanya
hubungan antara keberhasilan dengan perilaku menyontek. Siswa dengan tingkat
keberhasilan sedang pada suatu test paling sering menyotek pada saat tes berikutnya
bila dibandingkan dengan siswa yang mempunyai tingkat keberhasilan rendah clan
tinggi. Kondisi ini di sebabkan karena siswa dengan tingkat keberhasilan tinggi dan
rendah lebih memiliki perkiraan yang pasti terhadap hasil dari tes yang akan di hadapi.
Menyontek pada siswa dengan tingkat keberhasilan sedang di pandang sebagai sarana
untuk menjamin atau memastikan keberhasilan yang masih belum pasti.
Pada siswa dengan tingkat keberhasilan tinggi, menyontek dilakukan untuk
memastikan bahwa mereka akan terhindar dari bahaya kegagalan yang dirasakan tidak
menyenangkan. Bagi mereka kegagalan yang dialami setelah keberhasilan akan lebih
23
memalukan dibandingkan dengan kegagalan yang diikuti kembali oleh kegagalan pada
pada tes berikutnya. Siswa dengan tingkat keberhasilan rendah, menyontek dilakukan
untuk menghindari terulangnya kembali kegagalan yang dirasakannya tidak
menyenangkan (Houston dan Ziff dalam Sujana, 1993).
c. Menyontek dipandang sebagai suatu hai yang wajar.
Menurut Me Cabe & Trevino (1993) ada lima faktor yang mempengaruhi pada
perilaku ketidakjujuran dalam akademik yaitu perilaku teman sebaya, peraturan yang
diakui keberadaannya, kerasnya hukuman, kepastian adanya laporan dan mengerti
terhadap kebijakan akademik. Variabel teman sebaya memegang peran cukup penting
dalam mempengaruhi seseorang untuk berbuat tidak jujur. Teman sebaya akan
mendukung dan mensugesti perilaku ketidakjujuran dalam akademik, tidak hanya
dalam belajar tetapi dalam mendukung perilaku menyontek. Pendapat lain menyatakan
bahwa siswa lebih cenderung untuk menerima si penyontek, karena berangggapan
bahwa mereka adalah temannya, dan juga karena mereka telah mengenai siswa yang
menyotek, dan bahkan ada yang berfikir mereka dapat menemukan teman baru dalam
situasi tersebut (Whitley & Kost dalam Harding, 2001). Persepsi dan penilaian
seseorang terhadap perilaku menyontek berpengaruh juga terhadap munculnya
perilaku menyontek. Seseorang akan menyontek apabila tidak merasa khawatir akan
melakukan perbuatan tersebut. Delapan puluh lima persen siswa menganggap bahwa
menyontek merupakan suatu hal yang normal (Barid dalam Harding, 2001). Kondisi
yang demikian sangat mendukung sekali bagi mereka yang ingin menyontek, karena
teman-teman sebayanya tidak menjauh dari mereka, dengan dalih mereka berbuat
wajar. Seorang siswa yang pada awalnya tidak menyontek bisa muncul keinginan
untuk menyontek karena melihat siswa yang lain menyontek, atau jika mereka merasa
24
menyontek merupakan suatu hal yang bisa diterima diantara teman-teman mereka
(Spiller dalam Gerdeman, 1999), dan bisa juga karena mereka ingin diakui diantara
teman-teman nva. (Harding, 2001).
d. Menyontek karena Kebiasaan
Menurut teori freud ada yang dikenal dengan pleasure prinsiple, dimana sesuatu
yang menyenangkan itu akan cenderung diulangi kembali. Seseorang yang berhasil
menyontek dan merasa tujuannya tercapai dengan perbuatan tersebut maka ada
kecenderungan untuk mengulangi lagi perbuatannya. Menurut Abriel (1999) ketika
melakukan survei terhadap mahasiswa ilmu pendidikan (1K1P) menemukan bahwa,
mereka yang menjadi calon guru tersebut ditemukan menyontek dengan alasan sudah
menjadi kebiasaan. Tentunya kebiasaan tersebut kebiasaan yang pernah mereka
lakukan pada pendidikan sebelumnya. Kemungkinan untuk terulang kembali perbuatan
tersebut bisa dikatakan cukup besar. Pada tahun 1964 Bower (Harding
2001).menemukan bahwa 64 persen dari siswa menyontek di sekolah juga menyontek
di perguruan tinggi dan 67 persen yang tidak menyontek disekolah tidak menyontek di
perguruan tinggi.
e. Soal Ujian Susah dan Alasan lain.
Soal ujian yang ujian terlalu sukar membuat siswa terpancing untuk menyontek,
apalagi bila waktu yang di sediakan terbatas, jumlah kredit mata kuliah yang besar,
dan bahan ujian yang terlalu banyak dapat mempengaruhi seseorang untuk menyontek.
Newstead dkk (1996) menemukan bahwa seseorang banyak melakukan perilaku
menyontek karena terbatasnya waktu yang disediakan bagi mereka ketika
mengerjakan ujian. Arlina (1999) menambahkan, menyontek terjadi karena susahnya
mata pelajaran atau matakuliah, bahan ujian yang sangat banyak, tidak sesuainya
maleri yang dipelajari dengan materi yang keluar disaat ujian, dan soal-soal yang
diberikan oleh dosen terlalu susah Arlina (1999) dan (Mc Cabe, Trevino & Butterficld
dalam Harding, 2001). Faktor-faktor tersebut muncul karena kelemahan mereka dalam
memanagemen waktu, sehingga waktu yang telah disediakan terasa kurang (Davis,
Ludzvigson dan Baird dalam Aldriek dkk) Munculnya perilaku belajar semalam
suntuk atau yang dikenal sebagai " Sistem Kebut Semalam' sebagai metode belajar
(Bayan, 2001) merupakan satu bukti kurangnya kemampuan seseorang di dalam
mengelola waktunya untuk belajar.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Menyontek
Sebagian besar masyarakat mengakui bahwa menyontek merupakan perbuatan
tercela, akan tetapi tetap saja masih banyak ditemukan perbuatan tersebut, terutama di
dalam dunia pendidikan. Seseorang yang lelah memutuskan pada dirinya untuk tidak
menyontek bisa saja terpengaruh oleh kondisi-kondisi lingkungan atau dinamika
pikologis yang terjadi di dalam dirinya. Adapun faktor faktor yang mempengaruhi
seseorang untuk menyontek antara lain karena :
a. Jenis Keiamin
Perbedaan jenis keiamin pada diri seseorang dapat mempengaruhi pandangannya
mengenai perilaku menyontek. Menurut Davis (Newstead dkk, 1996) siswa laki-laki
lebih banyak menyontek dari pada siswa perempuan, penelitian tersebut dilakukan
terhadap 6000 siswa. Besarnya presentase menyontek pada laki-laki berjumlah 28 %
dan perempuan 18 % (Newstead dkk, 1996). Sementara itu penelitian Bum, Davis,
lloshino & Miller (Athanasou, 2001) terhadap mahasiswa Jepang yang merupakan
negara Asia, menemukan mahasiswa laki-laki lebih banyak menyontek daripada yang
26
perempuan dengan proporsi 45 persen laki-laki clan 37 persen perempuan. Anak
perempuan menyontek terutama karena tidak cukupnya waktu untuk belajar dan
tekanan yang berasal dari teman-teman mereka, sementara itu siswa laki-laki
menyontek karena alasan tidak cukupnya waktu untuk belajar, memenuhi tuntutan
syarat kelulusan dari sekolah, memuaskan harapan orang tua, serta untuk
menyenangkan hati instruktur atau dosen (Ginder dalam Sujana, 1993). Lain halnya
dengan Kalavik (Lobel & Levanon, 1988) menurutnya anak laki-laki lebih
mengiiarapkan sukses dalam tugas akademik daripada anak perempuan dan kalaupun
menyonlek itu disebabkan karena takut pada kegagalan. Wanita lebih banyak
menyontek karena keinginan untuk membantu temannya (Calabrese & Cochran,
dalam Newstead dkk, 1996). Munculnya perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan
adanya perlakuan lingkungan dan tuntutan peran berbeda antara laki-laki dan
perempuan yang tampak dalam masyarakat, sehingga memunculkan stereotip sosial
sebagai penentu bagaimana laki-laki dan perempuan bertindak (Rais dalam Dewi,
2000). Karena itulah laki-laki cenderung menunjukkan identitasnva melalui kenaikan
prestasi (Hudgson dan Fisher dalam Dewi, 2000). Adanya perbedaan kecenderungan
menyontek antara laki-laki dan perempuan seperli tersebut diatas terjadi karena fakta
menunjukkan bahwa perempuan memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar
daripada laki-laki seandainya melakukan perbuatan menyontek (Thomas dalam
Newstead dkk, 1996).
b. Umur
Tidak cukup hanya dengan perbedaan jenis keiamin yang mampu mempengaruhi
seseorang dalam menyontek, umurpun juga demikian. Beberapa hasil penelitian
menemukan bahwa siswa beruinur diatas 25 tahun lebih jarang menyontek daripada
27
yang berumur 2 1 - 2 4 tahun atau 1 8 - 2 0 tahun (Newstead dkk, 1996). Pelajar yang
berumur diatas 25 tahun berpandangan menyontek merupakan perilaku tidak bermoral
sedangkan yang berumur dibawahnya berpendapat bahwa menyontek dilakukan untuk
menaikkan nilai. Kemudian apabila melihat perbedaan masa studi maka juga terdapat
perbedaan. Pelajar pada masa-masa awal lebih banyak menyontek dari pada pelajar
pada masa-masa akhir masa studi mereka. Menurut Diekhoff & Newstead (Newsead
dkk, 1996) menyatakan bahwa siswa yang lebih senior dan sekolah non tradisional
lebih jarang menyontek daripada siswa yang lebih muda.
c. Orientasi Religius
Seberapa besar agama yang dianut oleh seseorang telah di internalisasikannya
kedalam kehidupannya, sedikit banyak tentunya akan berpengaruh pada perilaku
moralnya. Seseorang yang mempunyai orientasi keagamaan yang baik tentunya akan
meneenninkan sikapnya dalam bentuk perbuatan moral yang sesuai dengan nilai-nilai
agamanya atau norrma-norma yang berlaku di lingkungannya. Perbuatan tersebut akan
terlihat dari aktivitasnya sehari-hari didalam mengintemalisasikan nilai-nilai
agamanya. Azwar (1997) memberikan penjelasan seeara nyata bahwa peran agama dan
moral berpengaruh terhadap perilaku yang dimunculkan oleh seseorang, artinya
seseorang yang mempunyai pemahaman agama yang baik dan sudah tercermin dalam
kehidupannya, maka sebelum memutuskan diri melakukan sesuatu ia akan melihat
dulu bagaimana dengan pandangan agama tentang perilaku yang akan ia lakukan, di
perbolehkan atau tidak. Konsekuensi yang akan diterima apabila melanggar aturan
agama adalah dosa, yang merupakan siksa akhirat.
Menyontek merupakan satu bentuk perbuatan tidak jujur, curang, tercela yang
bertentangan dengan nilai-nilai moral yang terdapat dalam agama. Nilai-nilai moral
28
tidak bisa dipisahkan dari agama Darajat (1991), artinya apabila seseorang sudah
seeara totalitas mengamalkan nilai ajaran agamanya, kecil kemungkinan untuk
menyontek. Perlu di perhatikan dismi adalah sudah sejauh mana seseorang tersebut
mengapliksikan agamanya dalam kehidupannya sehari-hari. Apakah agama hanya
sekedar untuk melengkapi tanda pengenal pada dirinya dalam artian agama sebagai
simbol, atau agama memang sebagai kebutuhan bagi seseorang untuk menjalin
hubungan transendental dengan tuhan.
d. Harga Diri dan Kepercayaan diri
Pengertian harga diri mencakup konsep dasar pada individu mengenai diri
sendiri, gagasan dan opini mengenai diri sendiri, kesadaran terhadap apa dan siapakah
dirinya, serta perbandingan antara dirinya dengan orang lain dan dengan gambaran
ideal yang telah dikembangkanya Fuhnnann (1990). Pelajar yang memiliki harga diri
rendah lebih sering menyontek dibandingkan dengan pelajar yang memiliki harga diri
tinggi (Lobel dan Levanon, 1988). Harga diri yang tinggi di tunjukkan oleh rasa puas
dan kepercayaan terhadap diri sendiri (Martaniah dkk dalam Dewi, 2000). Menurut
Dewi (2000) ada hubungan negatif antara kcpercayaan diri dengan kecenderungan
menyontek (rxy = 0,48 p < 0,01) yang berarti bahwa semakin tinggi kepercayaan diri
seseorang semakin rendah kecenderungan mereka untuk menyontek dan demikian pula
sebaliknya.
e. Inteligensi
Inteligensi adalah kemampuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang langsung dihadapinya dan kemampuan untuk mengantisipasi
masalah-masalahnya tersebut (Goddard dalam Azwar, 1996). Pengertian ini
29
menjelaskan bahwa orang yang memiliki inteligensi tinggi akan mampu
mcnyclesaikan masalah-masalahnya ataupun menghadapi masalah-masalah yang akan
dihadapinya. Seseorang yang mempunyai inteligensi yang baik tentunya mampu
menemukan solusi dan jalan keluar dari masalahnya. Monks dan Fergusson, (1983),
menemukan bahwa orang yang memiliki inteligensi tinggi menunjukkan kepercayaan
diri yang lebih besar, lebih mandiri, ambisius, tekun, kecemasan yang rendah, serta
lebih senang meraih sesuatu yang diinginkan dengan memanfaatkan cara-cara yang
mencenninkan adanya kemandirian daripada cara-cara yang mengandalkan pada
ketergantungan, konformitas, atau saluran sosial. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Shaffer dkk (Sujana, 1993) Menunjukkan bahwa 21 persen dari kelompok siswa
dengan taraf inteligensi tinggi menyontek, sedangkan dari kelompok siswa dengan
taraf inteligensi sedang dan rendah masing- masing 42 persen dan 82 persen. Hasil
penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa inteligensi berpengaruh terhadap
keinginan seseorang untuk menyontek. Siswa yang memiliki inteligensi tinggi
tentunya tidak akan mengambil jalan pintas dengan cara menyontek ketika
menemukan permasalahan ketika ujian, lain halnya dengan siswa yang memiliki
inteligensi sedang atau pun dibawah rata- rata.
f. Motivasi
Menurut Gerugan, (1991) motivasi atau motiv adalah suatu pengertian yang
melingkupi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri
inanusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Seseorang yang mempunyai motivasi
yang tinggi lebih menyukai menyontek daripada motivasi yang rendah. (Malinowski
dan Smith, 1985). Kemudian Crown & Spiller (1998) membuktikannya dengan hasil
30
penelitian bahwa ada hubungan negatif antara menyontek dengan Indeks Prestasi (IP)
dan begitu pula halnya dengan motivasi berprestasi. Harapan yang besar untuk
memperoleh nilai yang baik membuat orang menjadi gelap mata dan menghalalkan
segala cara, agar tujuan yang diinginkannya tercapai. Anderman, Griesinger dan
Westerfield (1998) menemukan bahwa siswa yang menyukai perilaku menyontek di
dalam kelas mempunyai motivasi ekstrinsik seperti nilai ujian dan juga kondisi dalam
kelas yang memandang menyontek merupakan suatu hal yang bisa di terima. Disisi
lain menyontek terjadi karena siswa yang melakukan perbuatan tersebut memiliki
motivasi belajar yang rendah, hal ini terbukti dari perilaku malas-malasan yang
ditunjukkan oleh mereka seperti perilaku malas belajar, malas kesekolah/ kampus,
malas mengerjakan tugas, mengatuk dalam kelas, tidak memiliki catatan dan tidak
memperhatikan guru atau dosen yang mengajar (Dewi, 2000). Penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya juga menemukan bahwa siswa yang menyontek terhadap siswa
yang berorientasi pada hasil dibandingkan dengan siswa yang berorientasi pada
belajar maka siswa yang menyontek lebih banyak di temukan pada siswa yang
berorientasi pada hasil.
g. Kebijakan fakuitas dan perangkat- perangkat didalamnya.
Setiap lembaga pendidikan tentunya memiliki berbagai perangkat agar proses
belajar mengajar dapat berjalan dengan baik, serta terciptanya lingkungan belajar yang
kondusif. Perangkat-perangkat tersebut mulai dari peraturan-peraturan berupa
kebijakan fakuitas, ruang kelas, alat- alat yang diperlukan sampai dengan pengajar dan
stafnya. Apabila memandang dari segi instruktur atau pengajar (Ashworth, Annister &
Thome, (1997); Kerkviet & Sigmund, (1999) dalam Gerdeman, 2000) menyatakan
bahwa siswa yang merasa guru atau dosen memberikan perhatian pada mereka dan
31
aktif dalam proses belajar, sedikit keinginan mereka untuk menyontek ketika ujian dan
demikian pula sebaliknya. Sementera itu apabila dihubungkan dengan ruang kelas
siswa, menyontek lebih banyak terjadi dalam ruang kelas yang instrukturnya
membiarkan saja ketika melihat anak didiknya menyontek. Menurut Mc Cabe (Sander,
1999), menemukan bahwa dari 800 fakuitas 16 kampus tahun 1992 dilaporkan bahwa
bnayak pengawas mengabaikan siswa yang menyontek, sikap yang demikian membuat
siswa mencari-cari peluang agar mereka dapat menyontek. Kelas yang lebih besar dan
test berbentuk objektif selalu memberikan lingkungan yang menarik dalam menyalin
jawaban selama ujian, menerima atau mengirim pesan, karena kelas yang lebih besar
dengan jumlah pengawas yang lebih sedikit, kemungkinan untuk menangkap siswa
yang menyontek menjadi kecil (Davis dalam Harding, 2001).
Selanjutnya apabila di hubungkan dengan peluang dan ancaman untuk
tertangkap, ada satu penjelasan yang cukup baik untuk di cermati. Carrol (Ancok,
1995) berpandangan bahwa suatu tindakan kejahatan adalah realisasi dari keputusan
yang telah diambil. Faktor-faktor yang di pertimbangkan didalam pengambilan
keputusan untuk berbuat kejahatan dirumuskan dalam fonnulasi
SU = { [ P (S) X G ] - [ P (F) X L ] }
Menurut rumus diatas, tindakan korupsi (baca menyontek) mudah terjadi
apabila kemungkinan sukses dalam melakukannya lebih besar dari kemungkinan
gagal. Sistem administrasi yang kurang baik, kesan bahwa petugas hukum dapat
disogok dengan uang dan adanya penyelesaian kekeluargaan di dalam menyelesaikan
kasus tersebut. Sama halnya dengan menyontek, perbuatan tersebut akan dilakukan
apabila peluang berhasil lebih besar dan kemudian perangkat-perangkat aturan tidak
berjalan dengan baik akhirnya menyontek akan semakin meningkal jumlahnya Fungsi
peraturan yang dijalankan sesuai dengan ketetapannya mempunyai peran cukup besar
untuk mengurangi perilaku tidak jujur dalam akademik, dan itu sudah di gunakan
hampir semua lembaga pendidikan. Penelitian yang dilakukan Aoron (Gerdeman,
2000) menemukan bahwa lebih dari 90 % siswa dalam sampel nasional memiliki
kebijakan dan hampir 98 % memiliki prosedur berkaitan dengan tingkah laku
menyimpang pada siswa. Hasil survei tersebut dapat suatu cerminan betapa pentingnya
peraturan untuk mengurangi perilaku tidak jujur atau menyimpang dalam akademis,
dan ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Me Cabe & Drinan (1999)
bahwa 7 dari 14 siswa angkatan 95-96 yang di survey mengakui menyontek dalam
ujian pada sekolah yang ada peraturan dan I dari 6 siswa menyontek pada sekolah
tanpa peraturan.
Iklim akademik terhadap peraturan yang di terima/tidak oleh siswa penting
sebagai faktor situasi (Harding, 2001). Ada beberapa penelitian percaya bahwa iklim
dan peraturan sangat penting untuk mengikis penvontek, dimana penvontek biasanya
menganggap remeh hukuman, staf pengajar memberikan perhatian yang kurang
terhadap ketidakjujuran dalam akademik (Me Cabe dan Drinan, 1999).
h. Tekanan dari lingkungan
Keputusan untuk menyontek juga dipengaruhi oleh kondisi psikologis yang
sedang dialami oleh seseorang. Seseorang yang merasa dirinya tertekan di saat ujian
akan lebih besar kecenderungan mereka untuk menyontek. Ada dua kategori besar
yang mencntukan munculnya perilaku menyontek yaitu situasi dan watak, stress dan
tekanan menempati posisi paling banyak Davis, Grover, Becker dan Mc Gregor (Case
1999). Tekanan yang sering ditemui biasanya berasal dari orang tua dan dari teman
sebaya mereka.
Menurut Bernadib (Kedaulatan Rakyat, 1992) tanpa di sadan hampir semua orang
tua memang sering menuntut anak-anaknva untuk selalu mendapatkan nilai tinggi. Hal
ini dapat menyebabkan anak merasa bahwa sekolah yang ditempuh nya dan nilai yang
diperolehnya adalah untuk orang tuanya. Seeara rutin orang tua akan menerima
laporan dan pihak sekolah mengenai nilai yang dicapai oleh anaknya dalam bentuk
buku rapor. Anak biasanya akan mendapat pujian atau hadiah bila nilai rapornya naik,
dan sebaliknya bila nilai rapor mengalami penurunan seringkali anak menjadi sasaran
kemarahan orang tuanya Nuryoto (Kedaulatan Rakyat, 1992). Tuntutan orang tua
akan nilai pada anaknya sangat mungkin menimbulkan stress pada anak. Bagi anak
yang pandai dan mampu hal tersebut memang bukan merupakan masalah, namun bagi
anak yang tidak mampu memenuhi tuntutan orang tua justru akan menyebabkan
frustrasi Prawitasari (Kedaulatan Rakyat Minggu, 1992).
Munculnya perilaku menyontek bisa jadi karena dalam kondisi persaingan dan
ingin mempertimbangkan hasil yang terbaik, beberapa guru pendidikan berbuat curang
untuk membantu siswa dan mereka yang menyontek agar terlihat baik (Ligon, 2000).
Persaingan tersebut tidak hanya mereka rasakan pada masa studi saja, akan tetapi ini
berlanjut dan mereka rasakan setelah mereka lulus nanti. Menurut Walker (2000)
persaingan di pasar keija lebih mementingkan nilai (IP) dimana kebutuhan yang akan
dipakai adalah yang mempunyai IP yang baik yang akan mencapai sukses. Melihat
kondisi yang demikian menyontek dijadikan sebagai penyelamat nilai mereka, dan
juga menurut (Sander, 1999) biaya untuk mendapatkan keuntungan ini rendah, siswa
yang berfikir bahwa mereka belajar tidak masalah, tetapi siswa lebih mudah
34
menyontek daripada belajar dan di tambah lagi dengan peluang yang kecil untuk
tcrtangkap.
Menurut Lindgren (Sujana, 1993) pihak sekolah sendiri sering menciptakan
iklim yang kondusif bagi siswa untuk menyontek dengan memberikan penekanan yang
berlebihan pada aspek kompetisi, nilai dan bukti yang dangkal (.superficial) mengenai
kompetisi akademis siswa. Sistem peringkat (rangking) merupakan cerminan dari
kultur budaya modern bahkan seolah-olah merupakan konsekuensi logis. Sistem
peringkat memang memiliki tujuan yang baik yaitu memacu siswa untuk mencapai
prestasi maksimal, nainun dalam keyataannya terjadi penyimpangan makna karena
kemudian justru orang tualah yang berambisi agar anaknya mampu berprcstasi tinggi
atau masuk peringkat atas. Sering orang tua hanya menuntut anaknya untuk meraih
nilai tinggi tetapi tidak memberikan dorongan atau cara bagaimana memperolehnya
(Kedaulatan Rakyat Minggu, 1992).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, faktor yang mempengaruhi perilaku
menyontek dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pertama faktor internal yang
merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang terdiri dari Jenis
keiamin, umur, harga diri, inteligensi, orientasi religius dan motivasi, sedangkan yang
kedua yaitu faktor eksternal merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang
berperilkau menyontek karena pengaruh dari luar dirinya seperti kebijakan fakuitas,
pengaruh instruktur (dosen) dan tekanan yang berasal dari lingkungan.
35
B. Orientasi Religius
1. Pengertian Religi dan Religius
Menjelaskan pengertian religi, Bagus (1996) memberikan pengertian bahwa
agama di dalam bahasa inggris berasal dari kata religion sedangkan dalam bahasa latin
religio. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata ini berhubungan dengan kata
kerja latin religare yang berarti mengikat dengan kencang atau kata kerja relegere
yang berarti membaca kembali atau membaca berulang-ulang dan penuh perhatian
(Bagus, 1996) dan (Nasution, 1985).
Pengertian agama menyangkut dua unsur. Pertama, orang membalikkan diri terus
menerus dan berkali-kali, mempertimbangkan sesuatu seeara amat berhati-hati. Objek
yang diperhatikan dalam agama merupakan objek yang istimewa dan agung, karena itu
objek itu harus diberi perhatian khusus dan istimewa. Pengertian kedua adalah bahwa
agama memberi indikasi tentang sifat 'terikat kepada', dalam hal ini terikat kepada
asal usul pertama dan tujuan terakhir, karena yang pertama dan terakhir ini mendapat
kepentingan lebih besar daripada semua yang lain, pantas diberikan pertimbangan dan
perhatian khusus daripada semua yang lain. (Bagus, 1996)
Menurut Dasuki dkk (1994) agama dalam bahasa Indonesia berarti sama dengan
kata din dalam bahasa Arab dan Semit, atau religion dalam bahasa Eropa dan Inggris.
Seeara bahasa, perkataan "agama" berasal dari bahasa sanskerta berarti 'tidak pergi'
tctap di tempat dan diwarisi turun temurun. Nasution (1985) menguraikan pengertian
tersebut dari kata 'A' yang berarti tidak dan 'Gam' yang berarti pergi. Lain halnya
menurut pendapat Latif dkk (1998) agama berasal dari kata 'A ' yang berarti tidak dan
'Gama' yang berarti kacau, maka agama di artikan 'tidak kacau' atau teratur, yang
36
apabila didefenisikan, akan menjadi aturan yang mengatur manusia agar kehidupannya
menjadi teratur. Ada yang menyatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci.
Agama memang mempunyai kitab suci, selanjutnya dikatakan lagi 'gam' berarti
tuntunan. Memang agama mengandung ajaran- ajaran yang menjadi tuntunan hidup
bagi pengautnya (Nasution, 1985).
Menurut Anshari ( 1986) Agama, religi dan din adalah satu sislema credo (tata
keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia dan
satu sistema ritus (tata peribadatan ) manusia kepada yang dianggapnya Yang Mutlak,
serta sislema norma (tata kaidah ) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama
manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadatan .
Chalil (Rahardjo, 1996) melanjutkan bahwa din yang berasal dari bahasa arab
merupakan bentuk mashdar dari kata kerja dana, yadinu. Menurut lughah atau segi
bahasanya, kata tersebut mengandung banyak arti, antara lain (1) cara atau adat
kebiasaan, (2) peraturan, (3) undang- undang, (4) taat atau patuh, (5) menunggalkan
ketuhanan, (6) pembalasan, (7) perhitungan, (8) hari kiamat, (9) nasihat, dan (10)
agama. Pendapat senada menurut Latif dkk (1998) menambahkan bahwa agama dalam
bahasa Alquran dan hadist, bisa disebut dun atau millah atau syariah. Kata diin
artinya pembalasan, adat kebiasaan, peraturan atau hari kiamat. Kata millah berarti
undang- undang atau peraturan, .dan kata syariah berarti jalan yang harus di lalui atau
hukum.
Seorang tokoh ilmu psikologi, Fromm, (1988) mendefenisikan agama sebagai
suatu sistem pemikiran dan tindakan yang dilaksanakan seeara bersama oleh suatu
kelompok, yang memberikan kepada individu kerangka orientasi dan objek
37
pengabdian. Menurut Fromm (Rahardjo, 1992) dalatn memandang tuhan, agama
tersebut terbagi dua macam yaitu agama otoriter dan agama humanis. Pada agama
otoriter tuhan menjadi pemilik satu-satunya terhadap manusia yang sesungguhnya,
termasuk cinta manusia dan penalaran manusia sendiri, karena itu dalam proses
keagamaan otoriter ini, makin sempurna tuhan dan makin tidak sempurna manusia.
Agama humanis memandang tuhan adalah citra manusia dalam perkembangan
kepribadian yang lebih tinggi, sebuah simbol dari potensi manusia sesungguhnya atau
manusia yang seharusnya.
Rerangkat dari kenyataan itu, religi dapat di defenisikan sebagai suatu sistem
pemikiran, keyakinan dan peribadatan yang berisi aturan-aturan yang dilakukan
manusia untuk mengikat dirinya terhadap tuhannya atau objek istimewa yang dianggap
mutlak seeara turun temurun serta mengatur hubungannya antar sesama manusia, dan
alam lainnya.
Menurut Salim (1990), ada pengertian yang berbeda antara religion atau religi,
Religious dan Religiousity. Religi yang berasal dari kata benda berarti agama,
sedangkan Religious yang berfungsi sebagai kata sifat berarti berkenaan dengan agama
serta Religiuousity yang berarti pengabdian yang besar kepada agama, diambil dari
bahasa latin. Sedangkan menurut Salim dan Salim (1991) religius tersebut berasal dari
kata benda yang berarti taat beragama dan Pei (1971) mengartikannya menjadi
seseorang yang melakukan pengabdian kepada agamanya dengan tulus ikhlas.
Meneermati pengertian- pengertian tersebut dapat di simpulkan bahwa religius adalah
seseorang yang melakukan suatu aktivitas yang berkenaan atau berkaitan dengan
pengabdiannya kepada agamanya.
38
2. Islam Sebagai Agama
Manusia mempunyai kemampuan yang terbatas didalam menghadapi persoalan
kehidupan yang kompleks. Realitas ini memaksa manusia untuk mencari potensi lam
untuk menyelesaikan persolan-persoalan hidupnya. Potensi tersebut adalah agama
Allah atau religie atau dienullah, karena memang dalam kehidupannya manusia itu
pada dasarnya sudah mempunyai kecenderungan kepada ketaatan kepada yang
pencipta Tuhan rabbul 'alamin.
Islam merupakan dienullah atau agama Allah yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw sebagai pedoman hidup umat manusia agar selamat dalam
mengarungi bahtera kehidupan di dunia dan akhirat (Muslich, 1992). Islam menurut
Latif dkk (1998) dari segi bahasanya berasal dari bahasa arab yang mempunyai
berbagai macam arti, sal ah satu diantaranya As lama berarti menyerah atau masuk
Islam, yakni agama yang mengajarkan penyerahan diri kepada Allah, tunduk dan taat
kepada hukum Allah tanpa tawar-menawar.
Hawwa memberikan pengertiannya bahwa Islam itu bermakna menerima segala
perintah dan larangan Allah SWT, yang terdapat dalam wahyu yang dituntunkan
kepada Nabi. Barangsiapa yang menghadapkan wajah dan hatinya dalam semua
persolan hidup kepada Allah, maka ia adalah seorang muslim. Pendapat tersebut dapat
di artikan bahwa, orang yang semua aktivitas dan perbuatannya ditujukan kepada
Allah berarti dia dianggap sebagai ummat Islam atau muslim.
Agama seeara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian besar (Muslich,
1992)., yang pertama agama ihabii yang berarti agama bumi atau agama budaya dan
yang kedua agama samawi yang berarti agama langit atau agama wahyu. Islam adalah
agama satu- satunya agama samawi yang merupakan agama langit yang dirdhoi oleh
39
Allah. Allah mengatakan dalam Alquran Surat Ali Imron ayat 19, 'Sesungguhnya
agama yang di ridhoi oleh Allah adalah Islam'' Dasuki dkk (1994) menegaskan lagi
bahwa Islam itu adalah agama samawi terakhir yang di wahyukan oleh Allah SWT
kepada utusanNya, Muhammad SAW, untuk di sampaikan kepada seluruh ummat
manusia di dunia. Agama Islam bersifat universal dan menjadi rahmat bagi seluruh
alam ( rahmah li al- alamin).
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa Islam merupakan
agama langit atau ajaran illahi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk
dijadikan pedoman ummatnya dunia dan akhirat. Orang-orang yang mematuhi
pcrintah Allah dan menjauhi larangan nya, serta menghadapkan semua persoalan
hidupnya kepada Allah disebut sebagai muslim.
3. Pengertian Orientasi Religius
Robert Nuttin (Jalaluddm,1998) menjelaskan bahwa dorongan beragama
merupakan salah satu dorongan yang bekerja dalam diri manusia sebagaimana
dorongan-dorongan lainnya, seperti makan, minum, intelek dan sebagainya. Sejalan
dengan itu maka dorongan beragama menuntut untuk dipenuhi sehingga pribadi
manusia itu mendapat kepuasan dan ketenangan. Dorongan beragama juga merupakan
suatu kebutuhan insaniah yang tumbuhnya dari gabungan berbagai faktor penyebab
yang bersumber dari rasa keagamaan seseorang.
Menurut Fromm (Muthahari, 1989) tidak seorang pun yang tidak membutuhkan
agama dan tidak membutuhkan aturan- aturan sebagai penuntunnya dan pengatur cinta
dan kepentingan-kepentingannya. Bisa jadi ia tidak sadar akan keyakinan-keyakinan
keagamaan sebagai sesuatu yang berbeda dari keyakinan-keyakinan totalnya dan
40
berpikir bahwa ia tidak memiliki agama dan menganggap cinta dan kepentingannya
adalah sesuatu yang nyata-nyata tidak bersifat religius, seperti kekuasaan,
kemakmuran dan kebahagiaan, sebagai tanda-tanda dari ketertarikanya pada peristiwa
peristiwa praktis dan sesuai dengan kesempatan-kesempatan yang dipunyainya.
Masalahnya bukan pada seseorang menganut agama atau tidak menganut suatu agama,
mclainkan agama apakah yang dia praktekan.
Pemikiran tersebut menjelaskan bahwa semua orang membutuhkan agama,
agama apa saja baik itu Islam, Kristen, Budha , Hindu dan masih banyak lagi yang lain
seperti batu, pohon dan patung. Permasalahanya sekarang bukan pada jenis agama
apa yang akan dianut oleh seseorang sebagai implementasi kepercayaan pada tuhan,
akan tetapi permasalahannya adalah apakah seseorang tersebut sudah memprektekkan
agamanya atau belum.
Orientasi religius atau keagamaan yang dimiliki seseorang merupakan cerminan
pada diri manusia akan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya untuk berinteraksi
dengan alam sekitar. Manusia menyadari akan segala macam bentuk keterbatasannya
dalam menghadapi cobaan dan musibah-musibah hidup, untuk itu manusia
membutuhkan agama. Freud ( Dister, 1992) menambahkan salah satu yang memotivasi
seseorang ntuk memeluk suatu agama adalah karena keinginan untuk mcngatasi
frustrasi yang disebabkan oleh kesusahan jasmani. Selain dorongan kebutuhan
tersebut, ada sisi lain yang perlu di perhatikan yakni naluri beragama atau naluri
keagamaan yaitu merupakan suatu dorongan didalam diri manuisa untuk mangakui
adanya suatu zat yang adikodrati (supernaluaral) Jalaluddin (1998). Manusia
dimanapun berada dan bagaimanapun mereka hidup, baik seeara kelompok atau
sendiri-sendiri terdorong untuk berbuat memperagakan diri dalam bentuk pengabdian
41
kepada zat Yang Maha Tinggi itu. Naluri keagamaan tersebut mampu memberikan
kontribusi pada dirinya untuk tabah dan sabar menghadapi segala macam cobaan dan
musibah dengan berdoa atau meminta pertolongan kepada zat yang telah diakumya
mempunyai kekuatan Maha Besar. Naluri keagamaan dapat digambarkan dengan
mengatakan bahwa setiap orang sekalipun tanpa disadari, cenderung tnengarah ke
pusat, dan menuju pusatnya sendiri, dimana ia akan menemukan hakikat yang utuh
yaitu rasa kesucian (Mircea Eliade dalam Madjid, 1997). Keinginan yang begitu
mendalam berakar dalam dirinya untuk menemukan dirinya pada inti wujud hakiki itu
yang berada dipusat alam, tempat komunikasi dengan langit. Keinginan yang begitu
mendalam, seringkali muncul dalam bentuk legenda-legenda, dongeng-dongeng dan
mitologi-mitologi. (Madjid, 1997)
Melanjutkan dari penjelasan tentang naluri keagamaan yang dimiliki manusia,
Madjid (1997) menyebutnya sebagai naluri religiusitas atau naluri untuk
berkepercayaan. Naluri itu muncul bersamaan dengan hasrat untuk memperoleh
kejelasan tentang hidup dan alam raya yang menjadi lingkungan hidupnya sendiri.
Oleh karena itu setiap manusia dalam hidup yang lebih besar yaitu masyarakat mesti
memiliki keinsyafan tentang apa yang dianggap "makna hidup". Seeara antropologis-
kultural, makna hidup itu seingkali teraktualisasikan dalam berbagai legenda, dongeng,
dan mitologi yang cenderung semu, maka fungsi dan kegunaannya pun bersifat
sementara, tidak hakiki. Makna hidup yang hakiki dan sejati itu adalah agama.
Agama sebagai sistem keyakinan menyediakan konsep tentang hakikat dan makna
hidup itu, tetapi ia tidak terdapat pada segi segi formal atau bentuk lahiriah
keagamaan. Ia berada di baliknya, karena itu formalitas harus " ditembus", batas-batas
lahiriah harus "diseberangi". Kemampuan melampaui segi-segi itu (niscaya) akan
42
bcrdampak pada tumbuhnya sikap-sikap religius individu maupun mayarakat yang
lebih sejalan dengan makna dan maksud hakiki ajaran agama.
Dister (1992), setiap kelakuan manusia, termasuk kelakuan beragama,
merupakan buah hasil dari hubungan timbal balik antara tiga faktor. Ketiga-tiganya
memainkan peranan dalam melahirkan tindakan insani, meskipun dalam suatu
perbuatan , faktor yang satu lebih besar perannya di bandingkan dengan tindakan yang
lain, atau sebaliknya. Ketiga faktor tersebut terdiri dan, pertama sebuah gerak atau
dorongan yang seeara spontan dan alamiah terjadi pada manusia. Faktor kedua adalah
keakuan manusia sebagai inti pusat kepribadian nya serta faktor yang terakhir yaitu
situasi manusia atau lingkungan hidupnya.
Ketiga faktor tersebut yang pertama adalah sebuah gerak atau dorongan yang
seeara spontan dan alamiah, artinya dorongan- dorongan ini timbul dengan sendirinya
dan tidak di timbulkan manusia dengan sengaja. Dorongan semacam itu bersifat
alamiah dan bekerja otomatis. Tidak dikerjakan manusia sendiri dengan " tahu dan
mau". Faktor kedua merupakan lanjutan dari faktor yang pertama, artinya dorongan
yang seeara spontan 'terjadi' pada diri manusia dijadikan sebagai miliknya sendiri,
jika ia menaggapi positif terhadap perbuatan tersebut dan begitu sebaliknya. Situasi
lingkungan hidup seseorang yang merupakan faktor terakhir yang dikemukakannya.
Faktor ini menjelaskan bahwa manusia tidak bisa terlepas dari lingkungan hidup
seseorang yang mempengaruhi keputusan seseorang dalam berbuat.
4. Aspek- aspek Orientasi Religius.
Orientasi keagamaan yang di miliki oleh seseorang tidak dapat di ukur
berdasarkan keseringan seseorang tersebut melakukan ibadah kepada Allah, akan
43
tetapi harus di lihat dan di ukur seeara menyeluruh dari berbagai aspek. Menurut
Allport (Rakhmat, 1994) religiusitas harus diukur dengan Comprehensive Comitmenl
yang menyeluruh dalam seluruh ajaran agama. Seorang muslim yang sering
melakukan sholat kemesjid belum dapat dikatakan bahwa orang tersebut mempunyai
orientasi keagamaan yang baik. Boleh jadi seseorang sering datang kemesjid karena
ada maksud lain, bukan semata-mata beribadah seperti datang kemesjid untuk
mendapat penghargaan dari orang lain supaya dikatakan orang alim, dan mungkin
dalam rangka memperoleh banyak kenalan sehingga bisa memasarkan barang
dagangannya dengan mudah.
Orientasi keagamaan (orientasi religius) yang dimiliki oleh seseorang dapat
diketahui dengan melihat motivasi dan visi psikologis yang melatarbelakangi
seseorang untuk taat menjalankan ajaran agamanya. Bisa jadi seseorang taat
menjalankan agamanya karena ada satu motivasi untuk mencari perhatian calon
mertua, agar dipandang sebagai anak yang baik-baik, dan ada yang taat menjalankan
ajaran agamanya karena semata- mata termotivasi untuk mendapatkan kecintaan dari
tuhannya. Menurut Allport dan Ross (1977) orientasi religius pada diri seseorang dapat
dibagi menjadi dua kutub, yaitu kutub Intrinsik dan ekstrinsik. Individu yang
termotivasi seeara intrinsik akan 'menghidupi agamanya' dan sebaliknya individu
yang termotivasi ekstrinsik maka ia akan 'memanfaatkan agamanya'. Orientasi
keagamaan ekstrinsik cenderung memanfaatkan agama derni kepentingan sendiri.
Istilah tersebut diambil alih dari aksiologi untuk menunjukkan suatu kepentingan yang
dilakukan semata-mata demi melayani kepentingan-kepentingan lain, yang bagi
individu itu bersifat lebih pokok. Individu yang menganut orientasi keagamaan
ekstrinsik akan memandang agama dalam rangka kegunaan untuk berbagai hal, antara
44
lain untuk memperoleh rasa aman, penghiburan, pembenaran diri, keyakinan yang
dipcluknya cenderung dianut atau dilambangkan seeara selektif agar cocok dengan
kebutuhan- kebutuhan yang lebih primer. Bagi mereka agama berguna untuk
mendukung kepercayaan diri, memperbaiki satus, bertahan melawan kenyataan atau
memberi sanksi pada suatu cara hidup. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
individu tersebut diatas "memanfaatkan " agamanya.
Sementara itu individu yang memiliki orientasi keagamaan intrinsik
menunjukkan motivasi kehidupan keagamaannya dalam agama yang dianutnya.
Kebutuhan- kebutuhan lain., sekuat apapun juga, dianggap kurang begitu berarti dan
sedapat mungkin diintergrasikan dalam keselarasan dengan keyakinan dan ajaran
agama atau ajaran-ajaran Tuhan. Setelah memeluk suatu keyakinan individu yang
bersangkutan berusaha menginternalisasikan dan mengikuti ajaran agama seeara
penuh. Dalam pengertian demikian, dapat dikatakan bahwa individu tersebut "
menghidupi" agamanya.
Berdasarkan penafsiran Hunt dan King (1977) terhadap Intrinsik/Ekstrinsik
Seale dan Allport Feagin (yang dikembangakan dari hasil sebuah seminar di Harvard
di bawah pimpinan Allport sendiri), beberapa aspek sikap berkaitan dengan masing-
masing orientasi kehidupan keagamaan adalah sebagai benkut:
Pertama, Personal Vs Institusional: membatinkan seeara personal nilai-nilai
ajaran agama sebagai hal yang vital dan berupava mengusahakan tingkat penghayatan
yang lebih dalam vs penghayatan agama yang bersifat institusional atau dalam konteks
kelembagaan.
45
Kedua, Unselfish Vs Selfish berusaha mentransendensikan kebutuhan-
kebutuhan yang terpusat kepada diri sendiri vs pemuasan diri sendiri, pemanfaatan
protektif untuk kepentingan pribadi.
Ketiga, Relevansi terhadap kesciuruhan kcpribadian memenuhi
kehidupannya dengan memotivasi dan makna religius vs terpilahkan atau tidak
tenntegrasikan kedalam keseluruahn pendangan hidupnya.
Keempat, Kepenuhan penghayatan keyakinan: beriman dengan sungguh-
sungguh dan menerima keyakinan agamanya seeara penuh tampa syarat vs iman dan
kepercayaan dihayati seeara dangkal; keyakinan dan ajaran agama tidak dihayali
seeara penuh
Kelima, Pokok dan instrumental : keyakinan agama sebagai tujuan akhir vs
keyakinan agama sebagai sarana ( intrinsik vs eksrinsik seeara aksiologis).
Keenam, Assoslasional vs komunal , keterlibatan religius demi pencarian nilai
religius yang lebih dalam vs affihasi demi sosiabilitas dan status.
Ketujuh, Keteraturan penjagaan perkembangan iman ; penjagaan iman yang
konsisten dan teratur vs ketidakteraturan penjagaan perkembangan iman atau perhatian
terhadap perkembangan iman yang bersifat peri feral.
Penjelasan ketujuh aspek orientasi keagamaan tersebut, dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa, individu yang memiliki orientasi keagamaan intrinsik akan
memandang agama dengan persepekti f yang bersifat personal, unselfish, maknawi,
penuh penghayatan, pokok assets iasional, serta mengusahakan imannya seeara
konsisten. Individu yang berorientasi instrinsik akan menghayati dan merealisasikan
dalam wujud tingkah laku ajaran-ajaran agama yang dipahaminya seeara sungguh-
46
sungguh dan tidak akan terjebak untuk memanfaatkan agamanya demi kepentingan-
kepentingan pribadi.
Sementara itu individu yang memiliki orientasi ekstirinsik akan mempersepsi
dengan prespektif yang institusionalselfish, agama tidak terintegrasikan dalam
keseluruhan pandangan hidupnya, penghayatan yang dangkal, keyakinan agama
sebagai sarana, komunal serta ketidakteraturan pemeliharaan dan perkembangan iman.
Orientasi religius yang di maksud di dalam penelitian ini adalah orientasi religius
intrinsik.
C. Hubungan Orientasi Religius. Jenis Keiamin dan Intensi Menyontek
Mencermati penjelasan diatas, dapat di pahami bahwa seseorang yang
menjalankan agamanya seeara sungguh-sungguh untuk mendapatkan kecintaan
tuhannya, tentunya tidak akan melanggar perintah agama, termasuk menyontek.
Idealnya demikian, namun bisa jadi ada variabel lain yang cukup berperanan seperti
dalam penelitian ini yakni jenis keiamin. Seseorang yang mempunyai orientasi religius
intrinsik yang lebih tinggi bisa jadi di pengaruhi oleh jenis kelaminnya, sehingga
intensi menyonteknya sedang atau rendah berdasarkan orientasi religiusnya yang lebih
intrinsik, akan tetapi karena ia berjenis keiamin laki-laki justru intensi menyonteknya
tetap saja menjadi tinggi, itu semua baru dugaan sementara yang harus di buktikan
dalam penelitian ini.
Berdasarkan perbedaan jenis keiamin, Davis (Newstead dkk, 1996) siswa laki-
laki lebih banyak menyontek dari pada siswa perempuan, penelitian tersebut
dilakukan terhadap 6000 siswa. Sementara itu penelitian Burn, Davis, Hoshino dan
47
Miller (Athanasou, 2001) terhadap mahasiswa Jepang yang merupakan negara asia,
menemukan mahasiswa laki-laki lebih banyak menyontek daripada yang perempuan
dengan proporsi 45 persen laki-laki dan 37 persen perempuan. Anak perempuan
menyontek terutama karena tidak cukupnya waktu untuk belajar dan tekanan yang
berasal dari teman-teman mereka, sementera itu siswa laki-laki menyontek karena
alasan tidak cukupnya waktu untuk belajar, memenuhi tuntutan syarat kelulusan dari
sekolah, memuaskan harapan orang tua, serta untuk menyenangkan hati instruktur atau
dosen (Cinder dalam Sujana, 1995). Sementara itu, Kalavik (Lobel & Levanon, 1988)
menjelaskan bahwa anak laki-laki lebih mengharapkan sukses dalam tugas akademik
daripada anak perempuan dan kalaupun menyontek di sebabkan karena takut pada
kegagalan. Wanita lebih banyak menyontek karena keinginan untuk membantu teman
(Calabrese & Cochran dalam Newstead dkk, 1996).
Hasil survei yang lain telah membuktikan bahwa sebanyak 20 % siswa yang
tidak menyontek mempunyai pandangan bahwa menyontek merupakan perilaku tidak
bermoral dan tidak jujur (Newstead dkk, 1996). Survei tersebut memberikan cerminan
bahwa menyontek berhubungan dengan moral yang dimiliki oleh seseorang
Selanjutnya Malinowski & Smith (1985) menjelaskan bahwa perkembangan moral
pada diri seseorang berkorelasi negatif dengan menyontek. Artinya seseorang yang
mempunyai perkembangan moral yang baik maka intensi untuk menyonteknya
berkurang dan demikian pula sebaliknya.
Konsep moral yang dimiliki oleh seseorang dalam dataran formal berasal dari
lingkungan pendidikan dan lembaga agama. Lembaga tersebut mempunyai pengaruh
dalam pembentukan sikap pada diri seseorang. Pemahaman akan baik dan buruk, garis
pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
48
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran ajarannya. Sistem moral didalam
diri seseorang tebentuk karena konsep moral dan ajaran agama tersebut, maka tidak
mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut itu berperanan dalam
menentukan sikap individu terhadap sesuatu (Azwar, 1997).
Menurut Darajat (1991) kehidupan moral tidak bisa dipisahkan dari agama.
Agama memberikan seperangkat nilai tertinggi yang mendasari moralitas masyarakat.
Agama memberikan dukungan moral, mensucikan norma-norma dan nilai-nilai
mavarakat yang telah terbentuk, memberikan standar nilai terhadap norma-norma yang
sudah ada dan mengkajinya seeara kritis. Moral tidak bisa dilepaskan begitu saja
dengan agama. Moral yang terpisah dengan agama ataupun sebaliknya akan
mendatangkan kehancuran bagi suatu bangsa, menurut Odea (Jamaluddm, 1995) jika
moral telah dipisahkan dari agama maka akan terjadi kerusakan dan kezaliman pada
kehidupan manusia.
Azwar (1997) memberikan penjelasan seeara nyata tentang bagaimana peran
agama dan moral berpengaruh terhadap perilaku yang dimunculkan oleh seseorang.
Apabila terdapat suatu hal yang bersifat I'controversial, pada posisi sikapnya atau
mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Ajaran agama sering
dijadikan sebagai determinan untuk menentukan sikapnya. Apabila kita mengambil
eontoh pada perilaku menyontek maka mereka yang melihat memandang menyontek
sebagai hal yang wajar tidak berkaitan dengan masalah moral dan agama, akan
mempunyai sikap yang bermacam-macam tergantung pada latar belakang
pengalamannya yang relevan dengan masalah menyontek tersebut, yang tergantung
pada lingkungan akademik, peraturan akademik, karaktenstik individu dan lam
sebagainya. Sebaliknya, bagi mereka yang memandang menyontek merupakan
49
perbuatan yang tidak bermoral bertentangan dengan ajaran agama tidak akan ada
keraguan untuk bersikap antipati dan menolak.
Memperhatikan uraian tersebut, peran agama berperan cukup besar terhadap
munculnya perilaku tidak bermoral, karena sinergisitas antara moral dan agama
seolah-olah tidak dapat dipisahkan. Pada penelitian ini akan melihat hubungan antara
orientasi religius yang dimiliki oleh seseorang dengan intensi menyontek. Allport dan
Ross (1977) membagi orientasi religius tersebut menjadi dua bagian, yaitu orientasi
religius yang bersifat intrinsik dan orientasi religius yang bersifat ekstrinsik. Orientasi
keagamaan yang ekstrinsik cenderung memanfaatkan agamanya untuk kepentingan
sendiri, seperti untuk memperoleh rasa aman, penghiburan, pembenahan diri, untuk
memperbaiki status dan agar lebih percaya diri. Sementara itu yang bersifat intrinsik
adalah seseorang yang mengikuti ajaran agamanya dengan motivasi untuk menghidupi
agamanya (Nashori, 1998). Mereka memandang segala macam bentuk kebutuhan tidak
mempunyai arti apa-apa bila tidak di integrasikan dalam keyakinan beragama, dengan
kata lain nilai-nilai agama termternalisasi didalam kehidupannya. Ajaran agama
eenderung diamalkan sesuai dengan ketentuan, aturan dan kewajiban-kewajiban yang
telah di tetapkan, sehingga mempunyai akhlak, moral dan kepribadian yang sesuai
dengan ajaran agamanya.
Intensi menyontek merupakan niat yang bersifat subjektif pada diri seseorang
termasuk sikap dan norma-norma subjektif yang dimilikinya terhadap perilaku
menyontek. Seseorang yang mempunyai intensi menyontek akan cenderung
memandang menyontek merupakan hal yang biasa dan akan bersikap membiarkan
temannya melakukan perbuatan tersebut, dan termasuk dirinya sendiri. Menyontek
merupakan satu perbuatan yang tidak jujur, bohong, menipu yang nilai-nilai
50
terkandung didalamnya bertentangan dengan ajaran agama. Apabila melihat penjelasan
dan Allport & Ross (1977), dapat diketahui bahwa seseorang yang mempunyai
orientasi instrinsik tidak akan menyontek karena memandang perbuatan tersebut tidak
sesuai dengan nilai ajaran agamanya dan begitu pula sebaliknya.
D. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori di atas, maka diajukan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
I Ada korelasi negatif antara orientasi religius dengan intensi menyontek. Semakin
intrinsik orientasi religiusnya maka semakm rendah intensinya untuk menyontek,
dan begitu sebaliknya.
2. Ada perbedaan intensi terhadap menyontek antara laki-laki dan perempuan.
l.aki-laki lebih tinggi intensi untuk menyontek daripada perempuan.