miftahudinalbarbasy.files.wordpress.com · web viewsemua itu memberikan pengaruh yang sangat besar...
TRANSCRIPT
BAB II
BIOGRAFI
A. Biografi dan Perjalanan Intelektual K.H.M. Hasyim Asy’ari
K.H.M. Hasyim Asy’ari lahir di desa Nggedang sekitar dua kilometer
sebelah timur Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa Kliwon, tanggal
24 Dzulhijjah 1287 H atau bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama
lengkapnya adalah Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul
Halim (Pangeran Benawa) bin Abdul Rahman (Jaka Tingkir, Sultan Hadiwijaya)
bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin Maulana Ishak dari Raden Ain
al-Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.1
Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka
Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI.2 Jadi K.H.M. Hasyim Asy’ari
juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan.3
1 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim fîmâ yahtâj ilaih al-muta’allim fî Akhwâl ta’allumih wa mâ yatawaqqaf ‘alaih al-mu’allim fî maqâmât ta’lîmih, ed. Muhamad Isham Hadziq (Jombang: Turâts al-Islâmiy, 1415), 3; A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia (Yogyakarta: Kutub, 2008), 210; Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 152.2 Sedangkan garis silsilah Hasyim dari ibu adalah sebagai berikut: Muhamad Hasyim Asy’ari bin Halimah binti Layyinah binti Sichah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Banawa bin Jaka Tingkir bin Prabu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahwa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Darmawulan yang dari perkawinannya dengan putri Champa, lahir Lembu Peteng (Brawijaya VII), lihat. Muhamad Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947, ed. Ari Hendri (Yogyakarta: Garasi, 2009), 15-17.3 Ibid.,17-18; Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama; Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKiS, 2000), 17; Masyhuri, 99 Kiai, 210; Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama Dan Tradisi, ed. M. Faisol Fatawi ( Yogyakarta: LKiS, 2004 ), 197.
13
K.H.M. Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara,4
pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Ibunya, Halimah adalah putri dari kiai
Ustman, guru Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Sedangkan ayahnya,
Asy’ari5 adalah santri pandai yang mondok di kiai Ustman, hingga akhirnya
karena kepandaian dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu.
Sementara Kiai Ustman sendiri adalah kiai terkenal dan juga pendiri pesantren
Nggedang yang didirikannya pada akhir abad ke-19.6
Dari lingkungan pesantren inilah K.H.M. Hasyim Asy’ari mendapat
didikan awal tentang berbagai hal yang berkaitan dengan ke-Islaman. Hingga usia
lima tahun, K.H.M. Hasyim Asy’ari mendapat tempaan dan asuhan dari orangtua
dan kakeknya di pesantren Nggedang.7
Mula-mula K.H.M. Hasyim Asy’ari belajar pada ayahnya sendiri, lalu
bergabung bersama santri lain untuk memperdalam ilmu agama. Di dalam
pesantren itu para santri mengamalkan ajaran agama dan belajar berbagai cabang
ilmu agama Islam. Suasana ini tidak diragukan lagi mempengaruhi karakter
K.H.M. Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar. Minat bacanya sangat
tinggi, hingga yang dibaca bukan hanya buku-buku pelajaran dengan literatur-
4 Saudara-saudaranya adalah Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan. Lihat. Khuluq, Fajar Kebangunan, 18.5 Bernama Muhamad Asy’ari yang berasal dari Demak Jawa Tengah.6 Khuluq, Fajar Kebangunan, 16.7 Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, 21.
14
leteratur Islam, tetapi juga buku-buku lain dan umum. Bakat kepemimpinan
K.H.M. Hasyim Asy’ari sudah tampak sejak masa kanak-kanak.8
Pada tahun 1877 M, tepatnya ketika berumur 6 tahun, K.H.M. Hasyim
Asy’ari bersama kedua orang tuanya pindah ke desa Keras (Diwek), sekitar 8
kilometer ke selatan Kota Jombang. Ayahnya (Kiai Asy’ari) kemudian
mendirikan sebuah pondok pesantren di kota tersebut. Suatu pengalaman yang di
masa mendatang mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan pesantren
sendiri.
K.H.M. Hasyim Asy’ari juga menyaksikan secara langsung cara dan
metode Kiai Asy’ari membina dan mendidik para santri. K.H.M. Hasyim Asy’ari
hidup menyatu bersama santri. Beliau mampu menyelami kehidupan santri yang
penuh kesederhanaan dan kebersamaan.
Dari sini dapat dilihat bahwa kehidupan masa kecilnya di lingkungan
pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu
pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan
baik. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa
dan pembentukan wataknya di kemudian hari.
Pada usia 13 tahun, K.H.M. Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru
pengganti (badal) di pesantren tersebut untuk mengajar santri-santri yang tidak
8 Diceritakan bahwa, ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, beliau akan menegurnya. Beliau menyatakan bahwa tindakan bermain curang itu tidak boleh karena kalau pelaku curang suatu saat dicurangi, tentu juga tidak mau. Beliau membuat temannya senang bermain karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama. Lihat. Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, 19; Masyhuri, 99 Kiai, 210-21.
15
jarang lebih tua dari umurnya sendiri.9 Beliau juga dikenal rajin bekerja. Watak
kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk berusaha
memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu
sebabnya, K.H.M. Hasyim Asy’ari selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk
belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian
dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.10
Pada usia 15 tahun, K.H.M. Hasyim Asy’ari remaja meninggalkan kedua
orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula beliau
menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo
Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis
Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, K.H.M. Hasyim Asy’ari
melanjutkan menuntut ilmu ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di
bawah asuhan K.H. Kholil yang dikenal sangat alim.11
Terakhir sebelum belajar ke Makkah, beliau sempat nyantri dan tinggal
selama lima tahun di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan Kiai
Ya’qub, sampai akhirnya diambil menantu oleh Kiai Ya’qub, dan dinikahkan
dengan anaknya yang bernama Khadijah tahun 1892 M / 1303 H.12 Tidak berapa
9 Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan K.H.M. Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama (14 bulan ) dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Lihat. Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, 18; Masyhuri, 99 Kiai, 210. 10 “KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Pembaharu Pesantren”, http://www.khabarislam.com, 29 Juni 2009 diakses tanggal 14 Juli 2009.11 Mengenahi biografinya K.H. Kholil, lihat. Masyhuri, 99 Kiai, 123.12 K.H.M. Hasyim Asy’ari menikah pada usia 21 tahun. Ibid., 211.
16
lama kemudian beliau beserta istri dan mertuanya berangkat haji ke Makkah yang
dilanjutkan dengan belajar di sana selama tujuh bulan.
Modal pengetahuan agama selama nyantri di tanah air memudahkan
K.H.M. Hasyim Asy’ari memahami pelajaran selama di Makkah. Akan tetapi
setelah isterinya meninggal karena melahirkan, menyebabkannya kembali ke
tanah air.13 Rasa haus yang tinggi akan ilmu pengetahuan membawa K.H.M.
Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke tanah suci Makkah tahun berikutnya (1893 M).
Kali ini beliau ditemani saudaranya yang bernama Anis, dan beliau menetap di
sana kurang lebih tujuh tahun.14
Selama di Makkah, beliau berguru kepada sejumlah ulama besar, di
antaranya Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Mahfudzh al-Tirmasi (Tremas,
Pacitan),15 Syekh Khatib al-Minangkabawi,16 Syekh Ahmad Amin al-Athar,
Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh
Bafaddhal.
Sejumlah Sayyid juga menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-
Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi,
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar
Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di
Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan
13 Anak pertama K.H.M. Hasyim Asy’ari bernama Abdullah dan meninggal setelah 40 hari sepeninggal ibunya. Ibid., 212.14 Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, 23.15 Mengenahi biografinya Syekh Mafudzh, lihat Masyhuri, 99 Kiai, 100.16 Mengenahi biografinya Syekh Khatib, lihat. Muhamad Ulul Fahmi, Ulama Besar Indonesia: Biografi dan Karyanya ( Kendal: Pondok Pesantren al-Itqôn, 2007), 56-57.
17
keilmuan K.H.M. Hasyim Asy’ari, yaitu: Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf,
Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Tirmasi.17
Pada saat tinggal di Makkah ini, K.H.M. Hasyim Asy’ari dipercaya untuk
mengajar di Masjid al-Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti
Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selama di
Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari berbagai negara. Di
antaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh
Umar Hamdan (ahli hadits di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria),
K.H. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), K.H. R. Asnawi
(Kudus), K.H. Dahlan (Kudus), K.H. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan
K.H. Shaleh (Tayu).18
Minatnya begitu tinggi terhadap ilmu pengetahuan, terutama ilmu hadits
dan tasawuf. Hal ini yang membuat K.H.M. Hasyim Asy’ari di kemudian hari
senang mengajarkan hadits dan tasawuf. Pada masa-masa akhir di Makkah beliau
sempat memberikan pengajaran kepada orang lain yang memerlukan
bimbingannya, dan ini yang menjadi bekal tersendri yang kemudian hari
diteruskan setelah kembali ke tanah air. Pada tahun 1899/1900 M beliau kembali
ke Indonesia dan mengajar di pesantren ayah dan kakeknya, hingga berlangsung
beberapa waktu.
17 Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, 23-34.18 “KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Pembaharu Pesantren”.
18
Masa berikutnya K.H.M. Hasyim Asy’ari menikah lagi dengan putri Kiai
Ramli dari Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah, setelah sekian lama
menduda. Mulai itu beliau diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya di
Kemuning,19 baru kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah sekitar Cukir,
Jombang.
Pesantren tersebut didirikan pada tanggal 6 Pebruari 1906 M. Pesantren
yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang menjadi pesantren
yang terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat menggodok kader-kader ulama
wilayah Jawa dan sekitarnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, K.H.M. Hasyim Asy’ari sejak
masih di pondok, beliau telah dipercaya untuk membimbing dan mengajar santri
baru. Ketika di Makkah, beliau juga sempat mengajar. Demikian pula ketika
kembali ke tanah air, diabdikannya seluruh hidupnya untuk agama dan ilmu.
Kehidupannya banyak tersita untuk para santrinya. Beliau terkenal dengan
disiplin waktu (istiqâmah). Tidak banyak para ulama dari kalangan tradisional
yang menulis buku. Akan tetapi tidak demikian dengan K.H.M. Hasyim Asy’ari,
tidak kurang dari sepuluh kitab disusunnya.20
Di samping bergerak dalam dunia pendidikan, K.H.M. Hasyim Asy’ari
menjadi perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdhatul Ulama),21
19 Sekitar tahun 1903-1906 M. lihat. Khuluq, Fajar Kebangunan, 20.20 Habibah, “Hasyim Asy’ari”, http://habibah-kolis.blogspot.com, 13 Januari 2008 diakses tanggal 14 Juli 2009.21 NU berdiri pada tahun 1926 M, yang di dirikan bersama Syekh Abdul Wahab dan Syekh Bisri Syansuri. Khuluq, Fajar Kebangunan, 6.
19
sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian lain, beliau juga bersikap konfrontatif
terhadap penjajah Belanda. Beliau, misalnya menolak menerima penghargaan dari
pemerintah Belanda.
Bahkan pada saat revolusi fisik, beliau menyerukan jihad melawan penjajah
dan menolak bekerja sama dengannya. Sementara pada masa penjajahan Jepang,
beliau sempat ditahan dan diasingkan ke Mojokerto.22
K.H.M. Hasyim Asy’ari adalah seorang kiai yang pemikiran dan sepak
terjangnya berpengaruh dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu.
Santri-santrinya ada yang dari Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan
Aceh, bahkan ada beberapa santri dari Kuala Lumpur. Beliau terkenal orang yang
alim dan adil, selalu mencari kebenaran, baik kebenaran dunia maupun kebenaran
akhirat.23
K.H.M. Hasyim Asy’ari meninggal dunia sekitar pukul 03.45 WIB dini hari
pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan tanggal 25 Juli 1947 M di
Tebuireng, Jombang dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi.
Hal ini terjadi setelah beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan
Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah
kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang)
dengan meminta banyak korban dari rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan
22 Nizar, Filsafat, 54.23 Habibah, “Hasyim Asy’ari”.
20
peristiwa itu, sehingga terkena serangan stroke yang menyebabkannya meninggal
dunia.24
B. Pemikiran K.H.M. Hasyim Asy’ari
1. Pemikiran Etika
K.H.M. Hasyim Asy’ari tidak menyebutkan secara pasti tentang
pengertian dari etika, akan tetapi beliau memandang bahwa sebuah etika itu
sangat penting. Mengutip dari hadits Nabi SAW dan pendapat para ulama di
dalam kitabnya Adâb al-’Âlim wa al-Muta’allim, K.H.M. Hasyim Asy’ari
menyatakan bahwa kedudukan etika itu sangat tinggi (mulia) di dalam ajaran
agama Islam.25
Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa tanpa etika, maka apa pun amal
ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan diterima disisi Allah SWT, baik
menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan),
maupun fi’liyah (perbuatan).26
Mengutip dari pendapat sebagian ulama, K.H.M. Hasyim Asyari
menyatakan bahwa dalam bertauhid mengharuskan adanya keimanan, iman
mengharuskan adanya syari’at, syariat mewajibkan adanya etika. Barang siapa
yang tidak memiliki etika berarti ia tidak mempunyai syari’at, tidak beriman,
dan tidak bertauhid kepada Allah SWT.27 24 Khuluq, Fajar Kebangunan, 25.25 Hasyim Asy’ari, Adâb al-’âlim wa al-muta’allim, 11.26 Ibid. 27 Ibid.
21
Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu indikator amal
ibadah seseorang diterima atau tidak disisi Allah SWT, adalah melalui sejauh
mana aspek etika disertakan dalam amal perbuatan yang dilakukannya.
2. Pemikiran Pendidikan
K.H.M. Hasyim Asy’ari dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan
pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di
dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Semua yang
dialami dan dirasakan oleh beliau selama itu menjadi sebuah pengalaman dan
sabgat mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam masalah-masalah
pendidikan.28
Salah satu karya monumental K.H.M. Hasyim Asy’ari yang berbicara
tentang pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adâb Al-’Âlim Wa Al-
Muta’allim: Fîmâ Yahtâj Ilaih Al-Muta’allim Fî Akhwâl Ta’allumih Wa Mâ
Yatawaqqaf ‘Alaih Al-Mu’allim Fî Maqâmât Ta’lîmih. Kitab ini selesai disusun
pada hari ahad tanggal 22 Jumad al-Tsâniyyah 1343 H.
Kitab Adâb al-’Âlim wa al-Muta’allim ini, secara keseluruhan terdiri atas
delapab bab yang masing-masing membahas tentang keutamaan ilmu dan
ilmuwan dan serta pembelajaran, etika yang mesti dicamkan ketika belajar,
etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal
yang harus dipedomani bersama guru, etika yang harus diperhatikan bagi guru,
28 Habibah, “Hasyim Asy’ari”.
22
etika guru ketika dan akan mengajar, etika guru terhadap murid-muridnya,
etika menggunakan literatur, dan alat-alat yang digunakan dalam belajar.29
K.H.M. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwasanya pendidikan itu
penting bagi siapa saja. Karena pendidikan itu sebagai sarana mencapai
kemanusiaannya, sehingga menyadari siapa sesungguhnya penciptanya, untuk
apa diciptakan, melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-
Nya, untuk berbuat baik di dunia dengan menegakkan keadilan. Sehingga layak
disebut makhluk yang lebih mulia dibanding makhluk-makhluk lain yang
diciptakan Tuhan.30
Lebih lanjut lagi, K.H.M. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa tujuan
utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkan.31 Hal itu dimaksudkan agar
ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan
akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu,
yaitu: pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu,
jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya
atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya
meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata.32
Pemikiran K.H.M. Hasyim Asy’ari tentang hal tersebut di atas,
dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf). Yaitu salah
29 Masyhuri, 99 Kiai, 228-229.30 Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, 75.31 Hasyim Asy’ari, Menjadi Orang Pintar dan Bener, ter. M. Lukman Hakim (Yogyakarta: Qirtas, 2003), 8.32 Udhiexz, “Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari”, http: //udhiexz.wordpress.com, 12 Mei 2009 diakses tanggal 14 Juli 2009.
23
satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau
adalah “niat yang baik dan lurus”.33
Belajar menurut K.H.M. Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk
mencari ridha Allah SWT, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar
menghilangkan kebodohan.34
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju
kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya
mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-
norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam
harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan
sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
3. Pemikiran Tasawuf
Latar belakang pemikiran tasawuf K.H.M. Hasyim Asy’ari adalah
munculnya banyak aliran kebatinan, pengakuan kewalian seseorang atas
dirinya sendiri, dan kristenisasi. Jadi, tujuan beliau didasarkan pada bagaimana
melihat fenomena tasawuf dengan pilihan antara yang sesat dan yang benar.35
33 Habibah, “Hasyim Asy’ari”. Masyhuri, 99 Kiai, 231.34 Nizar, Filsafat, 155-157.35 Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, 81.
24
Menurut K.H.M. Hasyim Asy’ari, sebab penyimpangan ajaran sufi
adalah penyimpangan para sufi sendiri yang terlalu mengagungkan para
sesepuh dan para guru mereka.36 Hal ini menjadikan individu tersebut menjadi
lupa daratan atau menjadikan dia merasa tak mungkin melakukan kesalahan
karena ia jembatan yang menghubungkan manusia dan Tuhan.
Oleh karena itu, K.H.M. Hasyim Asy’ari juga melarang anak cucu beliau
untuk merayakan ulang tahun kematian beliau (khaul), suatu tradisi yang
dipraktikkan oleh sebagian pesantren untuk memperingati ulang tahun
kematian seorang figur penting.37
Disamping itu, K.H.M. Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa ada
delapan persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi: 1) “niat baik”
(qasd sahih), artinya bahwa seseorang harus memiliki niat yang tulus dan
ibadah yang benar (’ubudiyah) sebelum mengikuti jalan sufi; 2) “kejujuran
yang tulus” (sidq al-syârif), artinya bahwa seorang murid harus mengetahui
kemampuan khusus (sirr al-khushûshiyah) gurunya yang akan membantu
membawa si murid lebih dekat pada hadirat Tuhan (al-hadrah al-ilahiyyah); 3)
“budi yang luhur” (mardihiyyah), artinya bahwa mereka yang mengikuti
ajaran-ajaran agama dengan jalan misalnya mengasihi orang yang lebih rendah
36 Ibid., 82; K.H.M. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa seorang guru tarekat harus memiliki kriteria tertentu, seperti, pertama, mendalami ilmu Tauhid. Kedua, keimanannya harus sejalan dengan keyakinan Ahl al-Haq dan mayoritas muslim, yakni Ahlu al-Sunnah. Ketiga, dia harus memahami betul-betul hukum Allah SWT yang berhubungan dengan kondisi spiritual dan fisik seseorang. Keempat, dia harus mengetahui segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala hal-hal yang dilarang-Nya. Lihat. Masyhuri, 99 Kiai, 285.37 Khuluq, Fajar Kebangunan, 66.
25
statusnya dan menghormati semua orang tanpa membedakan status, bersikap
adil pada diri sendiri dan menghindari dari bersikap membantu orang lain
karena pamrih pribadi; 4) “kebersihan jiwa” (ahwâl zakiyyah), artinya bahwa
seseorang harus mengikuti aturan yang telah digariskan oleh Nabi Muhamad
SAW dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari; 5) “menjaga
kehormatan” (hifzh al-hurmah), artinya bahwa pengikut suatu tariqah harus
mengikuti guru ataupun saudara seagama mereka baik di dunia kini maupun di
alam akhirat, tabah menghadapi sikap permusuhan orang lain, menghormati
mereka yang lebih tinggi statusnya dan mencintai mereka yang lebih rendah; 6)
“semangat baik” (husn al-himmah), artinya bahwa pengikut tariqah harus
menjadi pelayan yang baik bagi para guru mereka, sesama muslim dan Allah
SWT dengan jalan melakukan semua perintah-perintahNya dan menghindari
segala larangan-laranganNya; 7) “meningkatkan semangat” (raf al- himmah),
persyaratan bagi para murid untuk menjaga usaha mereka untuk mencapai
pengetahuan yang khusus mengenai Allah SWT, karena hanya dengan usaha
sunguh-sungguh mereka akan mendapatkan kesuksesan; 8) “jiwa yang agung”
(nufus al-’azimah), karena orang mengikuti jalan sufi untuk memperoleh
pengetahuan khusus (ma’rifat al-khashshah).38
Disamping itu, K.H.M. Hasyim Asy’ari memberikan tambahan empat
syarat lagi untuk bisa disebut murid tarekat yang hakiki, yaitu: 1) mengambil
jarak terhadap penguasa yang tidak melaksanakan keadilan; 2) menghormati
38 Ibid., 67-69.
26
mereka yang dengan sungguh-sungguh berusaha meraih kebahagiaan di
akhirat; 3) menolong orang-orang miskin; 4) melaksanakan sholat
berjama’ah.39
Dari sini tampak jelas, betapa gigihnya K.H.M. Hasyim Asy’ari untuk
membentengi Islam dan umatnya dari pengaruh-pengaruh luar yang
dikhawatirkan menyimpang dari sumber-sumber Islam yang murni, yaitu al-
Qur’an dan al-Sunnah.
Kritik keras K.H.M. Hasyim Asy’ari terhadap persoalan diatas, yakni
tarekat, konsep kewalian, dan haul adalah semata-mata beliau ingin
mendudukan posisi tasawuf pada tempat yang semestinya. Beliau ingin melihat
tasawuf dari aspek substansinya dan bukan aspek kulturalnya, agar tasawuf
tidak lepas kendali ataupun berjalan secara liar, yang lepas dari syariat.
Apa yang digagas oleh beliau tentang konsep tasawuf adalah mencoba
mengurangi akibat negatif dari praktik sufi dengan menekankan adanya
persyaratan-persyaratan tertentu bagi orang yang ingin mempraktikkan ajaran
tasawuf. Jika hal ini tidak dilakukan, pengultusan seseorang kalau dia seorang
wali, bisa dimanfaatkan kepentingan tertentu, entah itu jabatan, kekuasaan,
ataupun materi.
Bagaimanapun sakti atau ampuhnya seorang wali, ia tetap saja seorang
manusia. Oleh sebab itu, bukan saja ajaran itu menyimpang dari ajaran dasar
39 Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, 85.
27
Islam itu sendiri, tapi juga membingungkan umat bawah dengan kesederhanaan
pemahaman mereka, bahkan bisa memperuncing dan menimbulkan konflik.
4. Pemikiran Fiqih
Pemikiran K.H.M. Hasyim Asy’ari tentang fiqih sejalan dengan
pemikiran kaum Islam Tradisional tempo dulu, yang menganggap bahwa
mengikuti salah satu empat mazhab sunni adalah sangat penting.40 Dalam kitab
Muqaddimat Al-Qanun Al-Asasi Nahdat Al-Ulama (Pengantar terhadap
Aturan-Aturan Dasar Nahdhatul Ulama), kitab ini menurut Van Bruinessen
bisa dikatakan sebagai hasil ijtihad.41
K.H.M. Hasyim Asy’ari mencoba memurnikan hukum fiqih dari
pendapat-pendapat yang meremehkan argumentasi mazhab-mazhab hukum.
Beliau menyatakan bahwa perbedaan pendapat diperkenankan selama masih
dalam bingkai syariah dan tidak keluar dari ajaran-ajaran Islam. Sebagaimana
yang beliau nyatakan sebagai berikut:
“Mengikuti salah satu dari empat mazhab fiqih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) sungguh akan membawa kesejahteraan (maslahah) dan kebaikan yang tak terhitung. Sebab ajaran-ajaran Islam (syariah) tidak dapat dipahami kecuali dengan pemindahan (naql) dan pengambilan hukum dengan cara-cara tertentu (istinbath). Pemindahan tidak akan benar dan murni, kecuali dengan jalan setiap generasi memperoleh ajaran langsung dari generasi sebelumnya.”
Dari sinilah beliau kemudian menyatakan bahwa mengikuti selain empat
mazhab Sunni, seperti Syi’ah Imamiyah dan Zaidiyah adalah salah dan sesat.
40 Ibid., 87. 41 Martin Van Bruinessen, NU; Tradisi; Relasi-Relasi Kuasa; Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LkiS, 2008), 32.
28
Oleh karena itu, beliau melarang kaum muslim mengikuti mazhab-mazhab
tersebut dan mengajak mereka untuk mengikuti pendapat mayoritas yang
diwakili empat mazhab Sunni.
Keempat mazhab ini disetujui oleh K.H.M. Hasyim Asy’ari karena
integritas mereka dalam menjaga keauntetikan ajaran yang diwariskan dari
generasi-generasi sebelumnya dalam kitab-kitab yang dikenal dan dibawa oleh
orang-orang yang sangat berkompeten.42
Menurut K.H.M. Hasyim Asy’ari, berpegang teguh pada salah satu
empat mazhab Sunni bisa memudahkan untuk memahami hakikat agama,
memudahkan pengertian dan bisa mendorong seseorang untuk lebih mendalami
secara detail masalah-masalah syari’at.43.
5. Pemikiran Nasionalisme
Khuluq mengatakan bahwa kesadaran politik awal K.H.M. Hasyim
Asy’ari muncul karena kondisi kolonialisme di Indonesia dan di Timur Tengah.
Perlawanan bersenjata kaum muslimin paruh kedua abad ke-19, sebagaimana
yang terjadi pada perang Paderi di Minangkabau (1821-1837), Perang
Diponegoro di Jawa (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1904).44
Pemikiran nasionalisme K.H.M. Hasyim Asy’ari bisa dilihat pertama kali
dalam sikap politiknya untuk mengajak umat Islam seluruh Indonesia bersatu 42 Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, 87-88. 43 Hasyim Asy’ari, Konsep Aswaja ala Mbah Hasyim Asyari, terj. Saefudin Zuhri (Jombang: Maktabah Pustaka Warisan Islam, 2009), 33.44 Khuluq, Fajar Kebangunan, 90-91.
29
dalam aksi bersama. Ajakan beliau untuk persatuan umat Islam di Indonesia
dalam berbagai kesempatan didasari oleh kondisi umat Islam Indonesia sendiri
yang terpecah belah. Di lain pihak, penjajahan Belanda sudah mulai dirasakan
mencampuri urusan agama mereka.45
K.H.M. Hasyim Asy’ari mengakui bahwa masyarakat Muslim telah
gagal bersatu sejak era Khalifah Abu Bakar, ketika Muhajirun dan Anshar
berebut supremasi politik. Oleh karenanya, beliau mengajak umat Islam untuk
selalu berusaha menyatukan diri sendiri.
Ajakan persatuan ini beliau kemukakan kembali setelah deklarasi
kemerdekaan Indonesia dengan menyatakan bahwa: “Persaudaraan Muslim
sepertinya telah menghilang dari masyarakat. Buktinya, walaupun banyak
sesama saudara (seagama) dalam kelaparan, tidak ada oang yang tergerak untuk
membantu.”
Selain itu, K.H.M. Hasyim Asy’ari juga peduli pada kondisi politik umat
Islam di Indonesia. Selama masa kemerdekaan Indonesia, beliau sedih karena
beberapa orang berusaha menggunakan Islam sebagai alat untuk mencapai
tujuan-tujuan mereka.46
Lebih jauh K.H.M. Hasyim Asy’ari menyatakan, “Kita, masyarakat
Islam Indonesia tidak ingin memperebutkan posisi kepemimpinan, kita hanya
ingin mereka yang menduduki dan memegang kepemimpinan negeri ini
45 Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari, 94. 46 Ibid., 95-96.
30
melaksanakan ajaran Islam yang telah diperintahkan oleh Allah SWT Yang
Maha Suci dan Agung.”
Di dalam salah satu pidato beliau yang disampaikan pada muktamar NU
ke-11 di Banjarmasin, K.H.M. Hasyim Asy’ari berusaha mendamaikan
perselisihan antara kaum modernis dan tradisionalis. Keduanya yang jelas-jelas
sama-sama Islamnya, menuduh satu sama lain sebagai pihak yang telah keluar
dari Islam. Beliau menyatakan:
“Manusia harus bersatu…agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan agar terhindar dari kehancuran dan bahaya. Jadi, kesamaan dan keserasian pendapat mengenai penyelesaian beberapa masalah adalah prasyarat terciptanya kemakmuran. Ini juga akan dapat mengokohkan rasa kasih sayang. Adanya persatuan dan kesatuan telah menghasilkan kebajikan dan keberhasilan.
Pemikiran nasionalisme K.H.M. Hasyim Asy’ari juga dapat dilihat pada
beberapa sikap beliau yang nonkooperatif pada penjajah. Contohnya, beliau
menolak sumbangan finansial dari pemerintah Belanda kepada Pesantren
Tebuireng. Beliau mampu melakukannya karena beliau telah bersiap untuk
menghadapi hal tersebut, di mana beliau melakukan sikap kemandirian dalam
pembiayaan pesantrennya dengan cara bertani.47
Secara garis besar, apa yang dipikirkan oleh K.H.M. Hasyim Asy’ari
tentang nasionalisme adalah penolakan terhadap penjajah yang telah
melakukan pemaksaan, baik segi ekonomis, sosial, budaya, politik, terutama
melanggar (mengganggu) kebebasan pemeluk agama Islam dalam melakukan
tata peribadatannya.
47 Ibid., 97.
31
32