unsuri.ac.id · web vieworganisasi internasional dalam hal ini pbb segera mengambil tindakan yaitu...

32
PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER DALAM TINDAKAN AGRESI (Studi Kasus; Agresi Israel ke Lebanon Tahun 2006) Levina Yustitianingtyas Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya Abstract: Israel aggression to Lebanon happening on July 2006 is actually a series of sequence of Middlle East crisis in 1982. The reason behind laying on the aggression is that Hezbollah soldiers catch two Israel soldiers and eight civilians. This aggression emerges a state responsibility. One state will receive in the state responsibility if the state breaks the international treaty, violates other state sovereignty, attacks other state, injures diplomatic representatives, and treats foreigners haphazardly. Therefore, the problem of this research is how Israel is responsible for its military aggression to Lebanon according to International Humanitarian Law. Research method uses the secondary data and documentary study. The result of the research is that Israel can be charged the responsibility based on international Law, because the aggression has impacted many demages in Lebanon and many civilian victims. Thus, the weak awareness of many state to implement international humanitarian law and of punishment from international agency, and more dominant political factor make legal protection for civilians less optimal. Keywords: state responsibility, international humanitarian law, civilian protection Abstrak: Agresi Israel ke Lebanon pada bulan Juli Tahun 2006 merupakan lanjutan dari krisis Timur Tengah yang terjadi sejak tahun 1982. Latar belakang dari Israel melakukan agraesi ke Lebanon pada tanggal 12 Juli 2006 adalah karena pasukan Hezbollah menangkap dua tentara Israel dan delapan masyarakat sipil. Akibat dari serangan militer Israel tersebut menimbulkan pertanggngjawaban negara. Suatu negara dapat dibebankan pertanggungjawaban jika negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan negara lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan diplomatik serta memperlakukan warga asing dengan semena-mena. Adapun yang dijadikan permasalahan dalam penelitian ini adalah bahwa dalam tindakan agresi yang dilakukan Israel terhadap Lebanon pada bulan Juli 2006, bagaimana negara Israel bertanggungjawab atas pelanggaran 33

Upload: doanthu

Post on 03-Jul-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER DALAM TINDAKAN AGRESI

(Studi Kasus; Agresi Israel ke Lebanon Tahun 2006)

Levina YustitianingtyasFakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya

Abstract: Israel aggression to Lebanon happening on July 2006 is actually a series of sequence of Middlle East crisis in 1982. The reason behind laying on the aggression is that Hezbollah soldiers catch two Israel soldiers and eight civilians. This aggression emerges a state responsibility. One state will receive in the state responsibility if the state breaks the international treaty, violates other state sovereignty, attacks other state, injures diplomatic representatives, and treats foreigners haphazardly. Therefore, the problem of this research is how Israel is responsible for its military aggression to Lebanon according to International Humanitarian Law. Research method uses the secondary data and documentary study. The result of the research is that Israel can be charged the responsibility based on international Law, because the aggression has impacted many demages in Lebanon and many civilian victims. Thus, the weak awareness of many state to implement international humanitarian law and of punishment from international agency, and more dominant political factor make legal protection for civilians less optimal. Keywords: state responsibility, international humanitarian law, civilian protection

Abstrak: Agresi Israel ke Lebanon pada bulan Juli Tahun 2006 merupakan lanjutan dari krisis Timur Tengah yang terjadi sejak tahun 1982. Latar belakang dari Israel melakukan agraesi ke Lebanon pada tanggal 12 Juli 2006 adalah karena pasukan Hezbollah menangkap dua tentara Israel dan delapan masyarakat sipil. Akibat dari serangan militer Israel tersebut menimbulkan pertanggngjawaban negara. Suatu negara dapat dibebankan pertanggungjawaban jika negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan negara lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan diplomatik serta memperlakukan warga asing dengan semena-mena. Adapun yang dijadikan permasalahan dalam penelitian ini adalah bahwa dalam tindakan agresi yang dilakukan Israel terhadap Lebanon pada bulan Juli 2006, bagaimana negara Israel bertanggungjawab atas pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Metode Penelitian yang dipakai dalam tulisan ini menggunakan data sekunder dan alat penelitian yang digunakan adalah studi dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Israel dapat dikenai pertanggungjawaban menurut ketentuan Hukum Internasional (Draft Responsibi-lity of State for Internationally Wrongful Act), karena serangan Israel tersebut telah meng-akibatkan kerugian yang cukup besar bagi Lebanon dan penduduk sipil yang menjadi korban. Kesadaran yang lemah dari setiap negara untuk mengimplementasikan hukum humaniter, sanksi yang tidak tegas dari organisasi internasional, faktor hukum yang lemah, dan faktor politis yang lebih dominan menyebabkan perlindungan terhadap penduduk sipil tidak optimal.

Kata kunci: tanggungjawab negara, hukum humaniter, perlindungan penduduk sipil

33

Page 2: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….

PendahuluanDari waktu ke waktu, tensi hubu-

ngan antar negara semakin meningkat. Tidak jarang dalam mengadakan hubung-an dengan negara lain baik disengaja maupun tidak disengaja, suatu negara te-lah menyinggung atau menimbulkan ke-rugian pada negara lain. Sudah merupa-kan sifat alami jika dalam kehidupan di masyarakat (internasional) pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain timbul keinginan untuk minta pertanggung-jawaban pada pihak yang merugikan. Tanggungjawab negara muncul sebagai akibat dari prinsip persamaan dan kedau-latan negara yang terdapat dalam hukum internasional. Prinsip ini kemudian mem-berikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya untuk menuntut respirasi.1 Suatu negara dapat dikatakan bertanggungjawab apabila negara terse-but melakukan pelanggaran atas perjanji-an internasional, melanggar kedaulatan negara lain, menyerang negara lain, men-cederai perwakilan diplomatik negara lain serta memperlakukan warga asing dengan seenaknya.

Pertanggungjawaban negara (State Responsibility) merupakan seperangkat aturan internasional yang mengatur me-ngenai konsekuensi hukum pelanggaran kewajiban internasional negara-negara. Kewajiban internasional ini bersumber dari traktat, hukum kebiasaan inrter-nasional, keputusan pengadilan, dan hal lainnya. Jadi pertanggungjawaban negara di sini adalah tindakan-tindakan yang di-nyatakan salah secara internasional. Mak-sudnya bahwa analisa terakhir pertang-gungjawaban negara ditentukan oleh nor-ma-norma internasional dan tergantung

1 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Komtemporer, PT. Refika Adhitama, Bandung, 2006, hal. 193

pada hukum internasional, sejauh mana tindakan atau kelalaian negara dianggap melanggar hukum.2

Keadaan di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini sering terjadi pertikaian atau sengketa antarnegara. Salah satu sengketa antarnegara yang pernah ber-langsung dalam masyarakat internasional adalah ’Pertikaian antara Israel dan Lebanon’. Agresi Israel ke Lebanon me-rupakan konflik krisis Timur Tengah yang terjadi sejak tahun 1982. Kete-gangan antara Israel dan Lebanon dimulai ketika terjadi bentrokan di perbatasan tanggal 12 Juli 2006 dengan disusul pasukan Hezbollah menangkap 2 tentara Israel dan membunuh 8 orang lainnya. Hal ini tentu saja membuat tentara Israel menjadi marah dan bersiap melakukan serangan balasan. Serangan Israel ke Lebanon diawali dengan menjatuhkan bom di bandara Internasional Lebanon Rafiq Al-Hariri tanggal 13 Juli 2006 pada pagi hari pukul 06.00 dan telah menewas-kan 45 orang warga sipil. Serangan ini merupakan serangan terbesar Israel ke Lebanon dalam 24 tahun terakhir. Se-rangan itu sudah jelas merupakan pelang-garan atas kedaulatan Lebanon.3 Serang-an Israel ke Lebanon terus berlanjut, seperti pada tanggal 14 Juli 2006 pesawat tempur Israel mengebom jalan raya Bairut – Damaskus, memperketat blokade laut, darat, dan udara atas Lebanon.

Dalam setiap konflik bersenjata pasti timbul banyak korban dari berbagai pihak. Untuk itu, hukum humaniter inter-nasional menetapkan adanya prinsip asas pembedaan (distinction principle) yang merupakan suatu asas yang membedakan

2 JG Starke, Introduction to International Law, Butterworths, London, 1989, hal. 293-2943 www.kompas.com. Bandara Internasional Dibom, Kompas Cyber Media, 14 Juli 2006.

34

Page 3: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52

penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau yang sedang terlibat da-lam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan, yaitu kombatan (Combatant) dan penduduk sipil (Civilians). Perlin-dungan korban pertikaian bersenjata mendapat pengaturan dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949 berikut Protoko Tambahan I dan II Tahun 1977.

Dalam tulisan Jaka Triyana, Hukum Internasional mengenal prinsip-prinsip pertanggungjawaban negara da-lam suatu konflik bersenjata yang me-langgar kewajiban internasional atau per-janjian internasional.4 Tanggungjawab negara dalam Hukum Humaniter Inter-nasional tercermin dalam Konvensi Jenewa tahun 1949, Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 Konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV, yang me-nentukan bahwa:

”Tiada Pihak Peserta Agung diper-kenankan membebaskan dirinya atau Pihak Peserta Agung lain manapun dari tanggungjawab apa-pun yang disebabkan olehnya sen-diri atau Pihak Peserta Agung Pe-nandatangan lain berkenaan dengan pelanggaran-pelanggaran yang ter-maktub dalam Pasal-Pasal ter-dahulu.” 5

Memperhatikan kondisi yang de-

mikian sangatlah pantas jika Israel harus bertanggung jawab atas semua kesengsa-raan yang terjadi di Lebanon. Karena aki-bat serangannya yang membabi buta, para penduduk sipil banyak yang menjadi korban. Sesuai kenyataan tersebut, aksi

4 H. Jaka Triyana, “Relevansi Penerapan Prinsip Pembedaan (Distincion Principle) dan Penerapan saksi DK PBB terhadap Upaya Perlindungan Penduduk Sipil Pada Pelanggaran Berat HHI”, Mimbar Hukum UGM, Yogyakarta, 2000.5 Lihat isi Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 Konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Konvensi Jenewa 1949.

militer yang dilakukan Israel ke Lebanon tidak dapat memilah antara obyek sipil dan obyek militer, karena banyak serang-an yang dilakukan salah sasaran di mana menimpa pemukiman penduduk sipil yang mengakibatkan mereka (balita, anak-anak, orang dewasa, orang lanjut usia) tewas, hanya karena Israel ingin memenuhi ambisinya yaitu menghancur-kan musuh bebuyutannya Hezbollah.6

Karena aksi militernya tersebut, muncul konsekuensi bagi Israel, berupa pertanggung jawaban negara. Dalam hal pertanggung jawaban negara ini ada tiga karakteristik penting yang bergantung pada faktor-faktor dasar, yaitu: pertama, adanya suatu kewajiban hukum inter-nasional yang berlaku antar dua negara tertentu; kedua, adanya suatu perbuatan atau kelalain yang melanggar kewajiban internasional tersebut yang melahirkan pertanggung jawaban negara; dan ketiga, adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian7.

Jika melihat pada faktor-faktor ter-sebut, maka apa yang terjadi di Lebanon, tindakan yang dilakukan oleh Israel telah melanggar prinsip kemanusiaan dan ke-tentuan hukum humaniter internasional dan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan prinsip umum pertanggung jawaban negara menurut hukum internasional. Oleh sebab itu, sehubungan dengan tin-dakan agresi yang dilakukan Israel terha-dap Lebanon pada bulan Juli tahun 2006, penting untuk dikaji bagaimana per-tanggung jawaban negara Israel terhadap Lebanon atas pelanggaran hukum huma-niter internasional. Penelitian ini meng-6 Kompas, Israel Alami Kerugian Besar, 14 Agustus 2006, hal. 15.7 Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 174.

35

Page 4: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….

analisis bentuk pertanggungjawaban Is-rael terhadap Lebanon sebagai akibat dari aksi militernya yaitu Agresi Israel ke Lebanon pada bulan Juli 2006 dan bentuk-bentuk atau tindakan perlindung-an yang diberikan kepada penduduk sipil sebagai korban perang.

Metode PenelitianPenelitian hukum adalah suatu

proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.8 Penelitian ini ter-golong penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Dengan demikian, data yang dibutuhkan adalah data se-kunder, meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu

bahan-bahan hukum yang mengikat, se-perti: Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang; Protokol I Tahun 1977

Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindung-an Korban Perang dalam Sengketa Bersenjata secara internasional;

Protokol II tahun 1977 Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindung-an Korban Perang dalam Sengketa Bersenjata Non-internasional;

Resolusi Dewan Keamanan No-mor 1559 tentang

8 Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 35.

Penghentian Pelucutan Senjata di Lebanon;

Resolisi Dewan Keamanan No-mor 1701 tentang Penghentian Pe-rang; ILC Draft Articles Responsibility of State for Internationally Wrong-ful Acts tahun 2001; Resolusi Majelis Umum PBB No-mor 56/83 12 Desember 2001; Keputusan Mahkamah Inter-nasional; Konvensi-Konvensi Internasional yang terkait.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberi-kan penjelasan mengenai bahan hu-kum primer yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang terkait, tulisan-tulisan atau karya-karya dari kalangan hukum.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hu-kum primer maupun sekunder yang berupa kamus ataupun ensiklope-dia.Pengumpulan data dilakukan

dengan penelitian kepustakaan (library reseach) dengan mempelajari dan meng-kaji bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang dirumuska dalam penelitian. Dilakukan analisis terhadap data yang terkumpul dengan analisis yang bersifat kualitatif berdasarkan permasa-lahan konflik bersenjata antara Israel-Lebanon. Data-data yang diperoleh di-susun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisa berdasarkan kualitas data sehingga menghasilkan klasifikasi ter-tentu tentang tanggungjawab negara.

36

Page 5: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52

Selanjutnya data sekunder yang diperoleh kemudian dikelompokkan me-nurut variabelnya masing-masing men-jadi:a. Kelompok data yang berhubungan

dengan tanggungjawab Israel terha-dap Lebanon atas tindakan agresi yang dilakukan Israel;

b. Kelompok data yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dan teo-ri-teori mengenai hukum dan cara-cara atau bentuk-bentuk dari pertang-gungjawaban negara;

c. Kelompok data yang berhubungan dengan sanksi yang diberikan kepada negara atas pelanggaran tersebut, khususnya sengketa antara Lebanon dengan Israel.

Setelah dikelompokkan, maka data tersebut dianalisis menggunakan:a. Metode induksi, yaitu dengan

mema-parkan fakta-fakta mengenai bentuk atau tindakan dari tanggungjawab negara dan cara-cara pertanggung-jawaban tersebut.

b. Metode deduksi, yaitu dengan mema-parkan kaitan antara ketentuan-keten-tuan dan teori-teori hukum mengenai pertanggungjawaban negara dan da-lam hal memberikan perlindungan kepada penduduk sipil pada kasus Agresi Israel ke Lebanon

Hasil dan PembahasanTanggung Jawab Negara Menurut Hu-kum Internasional1. Prinsip Umum Pertanggungjawab-

an NegaraTimbulnya tanggungjawab negara

dalam hukum internasional adalah bahwa tidak ada satu negarapun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghor-mati hak-hak negara lain. Oleh sebab itu,

setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan suatu negara wajib untuk memperbaiki atau bertanggung-jawab atas pelanggaran hak itu.9 Tang-gungjawab negara umumnya diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan pe-mulihan kerugian (duty to make repara-tion), yang timbul dari akibat adanya tin-dakan (act or ommission) yang dapat di-persalahkan (wrongful act), karena me-langgar kewajiban internasional.10

Dalam hal pertanggungjawaban negara terdapat dua istilah yang harus diperhatikan, yaitu responsibility dan liability. Kedua istilah ini memiliki arti yang berbeda tetapi mempunyai hubung-an yang erat. Istilah responsibility di-gunakan untuk menunjukkan pada ke-wajiban (duty). Sedangkan istilah liability digunakan untuk menunjuk pada suatu konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan suatu ke-wajiban atau untuk memenuhi standar tertentu yang telah ditetapkan. 11

Menurut Shaw, yang menjadi ka-rakteristik adanya pertanggungjawaban negara tergantung pada faktor-faktor se-bagai berikut: 1. Adanya suatu kewajiban dalam hu-

kum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu;

2. Adanya duatu perbuatan atau ke-lalaian yang melanggar kewajiban

9 Huala Adolf, op.cit., hal. 17310 Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, Tanggungjawab Negara terhadap dampak Komersial Ruang Angkasa, PT. Refika Aditama, hal. 55. Bandingkan dengan pendapat Brownlie: ” breach of duty denotes an illegal act or ommission, an injury in the broad sense. Damage denote loss, damnum, whether this is a financial quantification of phisichal injury or damage, or of other consequences of breach of duty”. 11 Marsudi Triatmodjo, “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan Internasional”, Mimbar Hukum Fakultas Hukum UGM No. 33/X/99, 1999, hal. 173.

37

Page 6: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….

hukum internasional yang melahirkan tanggungjawab negara;

3. Adanya kerusakan atau kerugian se-bagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian12.

Menurut Sharon Williams, dalam menetapkan adanya pertanggungjawaban negara dikenal ada 4 (empat) kriteria se-bagai dasar, yaitu subjective fault crite-ria, objective fault criteria, strict liability, dan absolute liability. Konsep subjective fault criteria menentukan arti penting dari kesalahan (baik dolus maupun culpa) pelaku. Sedangkan konsep objective fault criteria menentukan adanya pertanggung-jawaban negara yang timbul dari adanya pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Jika suatu negara dapat menunjukkan adanya force majeure atau adanya tindakan dari pihak ketiga, maka ia dapat dibebaskan dari pertanggung-jawaban tersebut. Dalam konsep strict liability, negara dibebani pertanggung-jawaban terhadap perbuatan atau tidak berbuat yang terjadi di wilayahnya yang mengakibatkan kerugian yang diderita negara lain. Sedang konsep yang terakhir adalah absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang dapat digunakan seperti dalam konsep strict liability. 13

2. Status Draf Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001 dalam Masyarakat Interna-sional

Berkaitan dengan pertanggung-jawaban negara akhir-akhir ini sudah ada suatu upaya dari masyarakat internasional untuk membentuk suatu ketentuan yang mengaturnya, yang kemudian melahirkan sebuah draf mengenai State Responsibi-lity yang dihasilkan oleh International

12 Huala Adolf, op.cit., hal. 256-257.13 Marsudi Triatmodjo, op.cit., hal. 176-178.

Law Comission (ILC) pada tahun 2001. Draf ini telah disetujui oleh Majelis Umum PBB dengan dikeluarkannya Re-solusi Majelis Umum PBB Nomor 56/83 tanggal 12 Desember 200114 tentang Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001. Pada dasarnya, draf Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001 belum mempunyai kekuatan mengikat. Namun, apabila ne-gara ingin menggunakan draf tersebut sebagai pedoman juga tidak salah. Re-solusi merupakan salah satu bentuk keputusan yang dapat dikeluarkan oleh suatu organisasi internasional.

Tidak semua resolusi yang dike-luarkan oleh organisasi internasional ter-sebut mengikat secara hukum bagi semua anggotanya, hal itu tergantung dari in-strumen pokok dari organisasi inter-nasional tersebut. Keputusan atau resolusi yang tidak mempunyai kekuatan hukum pada umumnya bersifat rekomendatif dan hanya bersifat moral dan politis saja. Bagi keputusan-keputusan atau resolusi-resolusi yang mempunyai kekuatan me-ngikat secara hukum seperti DK PBB, agar negara dapat melaksanakannya, in-strumen pokok atau Piagam PBB telah mencantumkan ketentuan mengenai sank-si seperti penangguhan keanggotaannya, mengeluarkan dari keanggotannnya da-lam organisasi inetrnasional tersebut, pe-ngenaan sanksi ekonomi sampai kepada pengenaaan sanksi militer.

Kekuatan hukum dari resolusi-resolusi Majelis Umum PBB dapat digo-longkan dalam dua kategori:a. Interna corporis

14 Dengan dikeluarkannya resolusi tersebut akan menjadikan Draft Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001 mempunyai kekuatan mengikat secara moral, paling tidak bagi negara anggota PBB.

38

Page 7: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52

Resolusi-resolusi yang terkait de-ngan lingkungan dalam badan-badan PBB sendiri, apabila tidak ditentukan lain maka bersifat non-rekomndatif atau me-ngikat. Contoh, resolusi yang ditetapkan untuk memasukkan mata acara ke dalam agenda sidang Majelis Umum PBB, ma-salah-masalah yang berkaitan dengan per-ubahan piagam, fungsi elektif, fungsi keuangan dan fungsi administratif seperti masuknya negara baru sebagai anggota PBB, pemilihan sekjen PBB, pemilihan-pemilihan keanggotan badan-badan PBB seperti Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian dan keanggotaan tidak tetap Dewan Keamanan, Presiden dan para Wakil Presiden Majelis Umum PBB serta para hakim Mahkamah Interna-sional.b. Eksterna corporis

Resolusi-resolusi yang berhubung-an dengan lingkungan luar dari badan-badan PBB pada umumnya hanya bersifat rekomendatif, seperti yang ditentukan dalam Pasal 10-14 dan Pasal 18 Piagam.

Sekalipun resolusi itu pada dasarnya bersifat rekomendatif, namun terdapat be-berapa resolusi mengikat secara hukum, seperti:1. Resolusi Majelis Umum PBB

yang menciptakan adanya fakta-fakta dan situasi hukum yang kongkrit (ke-nyataan hukum dan fakta dan situasi-situasi tertentu), seperti Resolusi Majelis Umum PBB 1542 (XV).

2. Resolusi Majelis Umum PBB mes-kipun tidak membentuk hukum inter-nasional, tetapi menegaskan kembali adanya aturan-aturan hukum kebiasa-an internasional dan menyatakan prinsip-prinsip hukum secara umum yang dapat menjadi sumber hukum internasional dalam kerangka Pasal 38 Statuta Mahkamah

Internasional. Sebagai contoh adalah Resolusi Majelis Umum PBB 95 (I) mengenai Nuremberg Principles on War Crime.

3. Resolusi-resolisi tertentu dari Majelis Umum PBB mengenai perdamaian dan keamanan internasional. Seperti Resolusi Majelis Umum PBB 377 (V) yang ternyata menimbulkan perubah-an hukum karena keperluan politis se-hingga ditafsirkan bahwa Majelis Umum PBB mempunyai kemampuan hukum (legal capacity) untuk bertin-dak di masa mendatang.

4. Resolusi Majelis Umum PBB yang menyatakan adanya persetujuan dari kalangan anggotanya (multilateral executive agreement). Misalnya, Re-solisi 1962 (XVIII) tentang Declara-tion of Legal Principles Governing the Activities of State in the Explora-tion and Use Outer Space.

5. Resolusi Majelis Umum PBB yang memuat tentang kekuatan mengikat-nya instrument lainnya di luar Piagam. Misalnya tentang Resolusi tentang Declaration of Human Right.

6. Resolusi Nomor 289 (IV) mengenai Koloni Italia (Libya, Erithrea dan Somalia) yang diambil dari Italian Peace Treaty 1947, yang antara lain menyatakan:

“Powers concerned agreed to accept the Assembly’s recommend-ations, in case of non-agreement among themselves about the future of these colonies”.15

International Law Commission (ILC) adalah salah satu badan PBB yang tugasnya megurus dan membahas ke-

15 Ibid. hal. 92-95

39

Page 8: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….

tentuan-ketentuan dan hukum interna-sional. Salah satunya yang sampai seka-rang masih dilakukan adalah merumus-kan dan membahas draf tentang keten-tuan tanggung jawab negara, sebagai pelaksanaan 13 ayat 1 Piagam PBB.

Draf Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001 pada dasarnya merupakan himpunan kodifikasi dan progressive development mengenai aturan State Responsibility yang tertuang dalam bentuk ILC Draft dan akan men-jadi aturan sekunder (secondary rules) hukum internasional, mendampingi atur-an primernya yang tertuang dalam traktat, hukum kebiasaan internasional dan sum-ber hukum lainnya.16

Menurut Pasal 1 ILC Draft, Res-ponsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001, adanya tanggung-jawab negara sebagai suatu kewajiban yang timbul setalah adanya tindakan salah.17 Kemudian dalam Pasal 2 ILC Draft, Responsibility of State for Inter-nationally Wrongful Acts 2001, dinyata-kan bahwa tindakan salah atau tindakan tidak sah secara internasional dapat timbul apabila: 18

a. Perbuatan tersebut terdiri atas suatu tindakan atau kelalaian negara me-nurut hukum internasional;

b. Perbuatan tersebut merupakan suatu pelanggaran kewajiban internasio-nal. Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal

3 ILC Draft Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001,

16 Artikel Muhammad Mova Al Afghani, ”Konsep Kealpaan dalam Hukum Pertanggungjawaban Negara”, 2005.17 Article 1 ILC Draft, ....every internationally wrongful act of a state entails the international responsibility of that State...18 Lihat Article 2 ILC Draft Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001.

bahwa tindakan yang salah adalah tindak-an (act or ommision) yang secara hukum dapat dikaitkan dengan negara, dan merupakan pelanggaran terhadap kewa-jiban internasional.19 Jadi dalam hal ini untuk timbulnya pertanggung jawaban, ILC mengkategorikannya ke dalam dua cara, action dan omission. Action adalah pertanggung jawaban yang timbul se-bagai akibat dari perbuatannya. Sedang-kan ommision adalah pertanggungjawab-an yang timbul karena kegagalan negara karena tidak melakukan hal yang se-harusnya dilakukan dalam hukum inter-nasional.

Walaupun tidak secara eksplisit memasukkan kerugian sebagai unsur tanggungjawab, ILC tidak bermaksud untuk memandang unsur tersebut sebagai unsur yang terpisahkan, bahkan ILC me-mandang unsur itu sebagai unsur tak terpisahkan. Unsur kerugian adalah un-sur implisit dari suatu tanggung jawab. Unsur kerugian menurut ILC merupakan unsur alamiah suatu tanggungjawab.20

Timbulnya State Responsibility menurut ILC Draft adalah adanya tin-dakan salah (wrongful act) oleh negara. Untuk membuktikan negara wrongful act, maka harus menggunakan pembuktian dengan teori subyektif dan obyektif.

Dalam draf Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001, ada beberapa keadaan yang membuat suatu tindakan salah (wrongful act) tidak menimbulkan tanggungjawab negara, yaitu: 21

19 Article 3 ILC Draft, …...the characterization of an act of a State as internationally wrongful is governed by international law. Such characterization is not affected by the characterization of the same act as lawful by internal Law. 20 Ida Bagus Wyasa Putra, op.cit., hal. 57-58 21 Lihat Article 20-23, article 25 ILC Draft Responsibility of State of Internationally

40

Page 9: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52

a. Tindakan tersebut dilakukan dengan persetujuan negara yang dirugikan (Pasal 20);

b. Tindakan yang dilakukan merupakan tindakan membela diri (Pasal 21);

c. Tindakan-tindakan balasan yang di-perkenankan dalam hukum interna-sional (Pasal 22);

d. Force majeure (Pasal 23); e. Tindakan yang sangat diperlukan

(Pasal 25). Jika dilihat pada kategori penen-

tuan pertanggungjawaban yang diberikan oleh ILC pada drafnya tahun 2001, maka tindakan agresi yang dilakukan oleh Israel terhadap Lebanon merupakan per-tanggungjawaban yang mutlak (elemen obyektif), karena Israel pada faktanya terbukti telah melanggar kewajiban inter-nasional dan kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban negara menurut hu-kum internasional.

Perlindungan Penduduk Sipil dalam Hukum Humaniter Internasional1. Prinsip-Prinsip Umum Perlindung-

an terhadap Penduduk SipilPerlindungan penduduk sipil se-

bagai akibat pertikaian bersenjata menda-patkan pengaturan dalam Hukum Humaniter Internasional22. Dalam mem-

Wrongfull Acts 2001.22 Menurut Pictet, Hukum Humaniter diartikan sebagai seperangkat ketentuan hukum inter-nasional yang menjamin penghormatan individu dan mendorong kemajuannya. Sedangkan menu-rut Haryomataram, Hukum Humaniter Inter-nasional terbagi menjadi dua aturan pokok, yaitu: a). Hukum yang mengatur tentang cara dan alat yang boleh dipergunakan dalam konflik ber-senjata (Hukum Den Haag/The Hague Laws); b). Hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat konflik bersenjata (Hukum Jenewa/The Genewa Laws). F. Sugeng Istanto, Bahan Ajar Hukum Humaniter Internasional, tidak diterbitkan, hal. 1; Arlina Permanasari, et all, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, hal. 5.

berikan perlindungan kepada penduduk sipil, hukum humaniter mengenal bebe-rapa prinsip yaitu:1). Prinsip Kemanusiaan, prinsip ini me-

nentukan bahwa pihak yang ber-perang diwajibkan untuk bertindak dengan mengutamakan aspek kema-nusiaan;

2). Prinsip Pembedaan adalah prinsip yang membedakan antara kombatan dan penduduk sipil dalam wilayah negara yang sedang terjadi konflik;

3). Prinsip Proporsional adalah prinsip yang mempunyai tujuan untuk me-nyeimbangkan antara kepentiangan militer dan resiko yang akan diderita oleh penduduk sipil. Prinsip ini diatur dalam Protokol Tambahan I 1977 Sub Bagian II;23

4). Prinsip Larangan untuk Menyebabkan Penderitaan yang Berlebihan, pada prinsip ini erat kaitannya dengan prin-sip kemanusiaan;

5). Prinsip Kepentingan Militer, dalam prinsip ini ditentukan mengenai ke-wajiban para pihak dalam meng-gunakan kekuatan militer haruslah sesuai hukum24.

23 F. Sugeng Istanto, Bahan Ajar Hukum Humaniter, op.cit. hal. 10.24 Dalam penggunaan prinsip harus melalui lima tahap yang kesemuanya haruslah dipenuhi tanpa terkecuali, yaitu:a. Tindakan yang dilakukan tidak melanggar

ketentuan Hukum Humaniter Internasional;b. Harus benar-benar ada keharusan untuk me-

lakukan tindakan tersebut;c. Tindakan yang dilakukan dalah paling tepat

untuk meraih keuntungan yang diharapkan pada saat itu;

d. Akibat dari tindakan tersebut telah memenuhi prinsip proporsionalitas;

e. Cara yang diambil sudah melalui pertimbang-an segala aspek yang terkait. Sri S. Suwardi, “Serangan Israel Terhadap Lebanon Dikaitkan Dengan Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter”, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 4, Nomor I, 2006, hal. 12.

41

Page 10: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….

2. Pengaturan Internasional Terha-dap Perlindungan Penduduk Sipil

Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, perlindungan terhadap penduduk sipil memang sudah disinggung dalam Konvensi Den Haag, namun masih kurang lengkap dan hanya mengatur per-lindungan penduduk sipil di wilayah yang diduduki. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pengaturan perlindungan pendu-duk sipil dalam Konvensi Jenewa IV merupakan suatu pengaturan yang baru. Perlindungan penduduk sipil ditemukan dalam berbagai instrumen hukum inter-nasional, seperti:a). Instruksi Lieber Tahun 1863

Menurut instruksi ini, orang sipil dibedakan atas:i. orang sipil yang in-offensive, ii. orang sipil yg ikut serta langsung

dalam permusuhan ( levee en masse) iii. orang sipil yg terkait aktif dalam

pelaksanaan tugas Angkatan Bersenjata 25.

b). Konvensi Jenewa Tahun 1864Konvensi ini mengatur tingkah

laku orang sipil dalam pertikaian bersen-jata berikut perlindungannya26.c). Deklarasi St. Petersburg Tahun 1868

Dalam deklarasi secara implisit menetapkan perlindungan bagi orang si-pil. Perlindungan diberikan dengan men-cantumkan prinsip pembedaan dalam konsideran deklarasi tersebut. Mereka yang bukan anggota angkatan bersenjata musuh tergolong orang sipil27.d). Konvensi Den Haag Tahun 1899 dan

Tahun 1907 (Konvensi Den Haag)25 Sugeng Istanto, 1997, Penerapan Hukum Humaniter Internasional Pada Orang Sipil dan Perlindungannya dalam Pertikaian Bersenjata, dalam , Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Pusat Studi Hukum Humaniter FH – Universitas Trisakti, Jakarta, hal.43.26 Ibid.27 Ibid., hal. 44.

Dalam Konvensi Den Haag diatur tentang Belligerents (istilah sekarang Kombatan), yaitu mereka yang ikut aktif dalam permusuhan, oleh karenanya ia tunduk pada hukum perang. Sedangkan mereka yang tidak tergolong belligerents, yaitu orang-orang yang tidak ikut dalam permusuhan adalah orang sipil. Orang sipil yang berada di wilayah pendudukan harus dilindungi dari tindakan kesewe-nang-wenangan pihak musuh yang men-dudukinya28.e). Konvensi Jenewa 1949

Perlindungan terhadap penduduk sipil utamanya diatur dalam Konvensi IV. Konvensi IV dalam mengatur perlindung-an terhadap penduduk sipil dikelompok-kan atas perlindungan umum dan perlin-dungan khusus. Perlindungan umum di-maksudkan bahwa perlindungan yang diberikan terhadap penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Sedangkan perlindungan khusus, yaitu ditujukan pada penduduk sipil yang ter-gabung dalam suatu organisasi sosial atau kemanusiaan. f). Protokol Tambahan 1977, Konvensi Jenewa 1949

Secara umum, perlindungan ter-hadap penduduk sipil dan orang sipil be-rupa larangan penyerangan terhadap

28 Secara garis besar bentuk perlindungan terhadap orang sipil itu antara lain:a. Orang sipil tidak bisa dipaksa untuk mem-

berikan informasi tentang angkatan ber-senjata pihak lawan yang bertikai, termasuk perlengkapan pertahanannya;

b. Mereka tidak boleh dipaksa bersumpah un-tuk setia kepad musuh yang menguasai;

c. Penghormatan hak-hak pribadi dan harta orang sipil;

d. Larangan penjarahan pada penduduk sipil;e. Larangan pemungutan pajak dan pungutan

yang sejenis secara sewenang-wenang;f. Larangan penghukuman kolektif pada orang

sipil;g. Larangan pencabutan hak milik orang sipil

secara sewenang-wenang.

42

Page 11: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52

mereka. Mereka menikmati perlindungan dari bahaya yang timbul dari operasi mili-ter.

Latar Belakang Agresi Israel ke Leba-non

Konflik antara Israel dan Lebanon ini sebenarnya memiliki akar sejarah yang panjang. Tahun 1975, sebenarnya telah muncul konflik dengan adanya perang saudara yaitu orang Palestina penganut Islam Shiah melawan kelompok Kristen Maronit yang menimbulkan kor-ban sekitar 400.000 orang mati dan 100.000 orang luka-luka.29 Tingkah laku orang Palestina ini menyebabkan pende-katan kelompok Kristen dengan Israel, masuklah serangan Israel atas kantong-kantong pengungsi basis gerilya Palestina di Lebanon. Usaha AS mendamaikan sampai tahun 1982 belum berhasil, bah-kan ketika Presiden Lebanon Bashir Gemayel terbunuh oleh bom yang mele-dak menghancurkan markas milisi Kris-ten Phalangis, semakin menggila pula perang antara antara milisi itu. Tiga hari kemudian, kamp-kamp pengungsi Pales-tina Shatilla dan Sabra diserbu sehingga menimbulkan korban besar. Dunia ter-kejut maka, PBB lalu mengirimkan pasu-kan perdamaian yang terdiri atas pasukan AS, Inggris, Italia dan Prancis. Tahun 1984, Israel masuk ke Lebanon ini de-ngan alasan untuk mencari orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan Dubes Israel di London, kelompok yang dianggap bertanggungja-wab adalah kelompok garis keras Abu Nidal. Pada saatu, dengan kekuatan mili-ter penuh, Israel menggempur wilayah Lebanon dan menghancurkan kamp pejuang-pejuang militan, ribuan orang

29 www. Assyaukanie.com, Sejarah itu Berulang Lagi di Lebanon, 27 Juli 2006.

tewas dan puluhan ribu orang luka-luka. PBB kemudian mengirimkan pasukan perdamaian multi nasional dari berbagai negara. Namun sebelum masa tugasnya berakhir, pasukan perdamaian tersebut sudah ditarik dan Israel kembali melaku-kan serangan-serangan ke wilayah-wila-yah Lebanon30.

Agresi militer Israel kedua, tang-gal 12 Juli 2006 tersebut dipicu oleh ter-tawannya serdadu-serdadu Israel oleh para pejuang Palestina dan Hezbullah. Sebenarnya banyak orang yang sudah tahu bahwa alasan Israel melakukan agre-si tersebut adalah bukan alasan tersebut. Invasi Ariel Sharon 1982 ke Lebanon juga menggunakan legitimasi propaganda yang serupa, juga didasarkan atas justifi-kasi rencana percobaan bom syahid Abu Nidals di keduataan Israel di Inggris. Pada saat ini, kasus Hezbullah dijadikan dalih yang sama. Agenda utama lain yaitu, memaksa Hezbullah keluar dari Lebanon selatan dan berusaha untuk menghancurkan sebanyak mungkin per-alatan militer Hezbullah.

Menteri Pertahanan Israel, Amir Perets secara terbuka mengatakan Israel ingin mengusir dari Lebanon. Bahkan pada tanggal 23 Juli 2006 lalu, Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert mengisyarat-kan bahwa krisis di Lebanon akan me-makan waktu yang lama hingga infra-struktur Hezbullah di Lebanon dapat dihancurkan. Israel juga secara tegas menolak usul utusan PBB untuk gencatan senjata dalam waktu segera. Mereka ber-alasan, penghancuran infrastruktur ke-lompok teroris tidak mengenal upaya diplomasi.

30 Kasiyanto, MJ, 1995, Masalah Sospol dalam Pembangunan Kharismatik, Fundamentalis. Revolusi Gagal Membangun Jakarta, Yayasan Tri Mawar, hal. 35.

43

Page 12: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….

Seorang pengamat masalah Timur Tengah asal Inggris, Patrick Seal me-ngatakan ada beberapa faktor yang me-nyebabkan Israel sedemikian beringas menghadapi Hezbullah. Di antara alasan itu adalah historis konflik Hezbullah-Israel31.

Dari kalangan umat Islam di be-berapa negara Arab termasuk Ikhwanul Muslimin menanggapi Israel sebagai ba-gian dari upaya bangsa Yahudi untuk mewujudkan eksistensi negeri Israel Raya. Aksi ini juga implementasi dari agenda AS untuk mewujudkan The Greater Middle East yang dilontarkan AS sebelum menginvasi Irak.

Selain itu, sinyal skenario dukungan politik dari negara sekutu semisal Prancis juga terekan pada peristiwa-peristiwa sebelumnya. Dalam pertemuan dengan Bashar Al-Assad sepeninggal mendiang ayahnya, Chirac sempat menyampaikan pesan bahwa satu-satunya solusi konflik Timur Tengah adalah di-tariknya tentara Suriah dari Lebanon. Pada awal tahu 2004 semakin kuat du-kungan Prancis dan AS dalam menuntut terwujudnya demokratisasi di Lebanon. Tak lama berselang, September 2004 muncul resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1559 yang menuntut dilucuti-nya persenjataan Hezbullah dan desakan mundur tentara Suriah dan Lebanon. Kemudian terjadilah peristiwa tewasnya Rafiq Hariri salah satu penggagas resolusi PBB 1559 dalam ledakan bom bunuh diri pada 14 Februari 2005. Tak lama kemudian, pada 27 April tentara Suriah berhasil dipaksa menarik diri dari Lebanon. Pada tanggal 17 Mei 2006, Prancis masih mengusulkan resolusi

31 www.kompas.com., Laknatullah Teroris, Faq, Israel Raya : Agenda Tersembunyi di Balik Kekejaman Israel, 6 Agustus 2006.

Dewan Keamanan PBB yang menuntut Damaskus untuk meninjau kembali garis perbatasannya dengan Lebanon dan melakukan pertukaran duta besarnya. Perubahan sikap Prancis ini tidak terlepas dari kompensasi Amerika Serikat atas dukungannya terhadap kasus sengketa Prancis dengan tetangganya di pesisir pantai.32

Agresi Israel ke Lebanon sudah berdampak amat serius tidak hanya bagi Lebanon akan tetapi juga dunia. Sikap arogan Israel telah menyebabkan harga minyak mentah dunia melambung sampai US$ 78 dollar per barel, bahkan bisa menembus US$ 100 barel bila perang tak cepat reda33. Selain itu, hal yang lebih urgen, agresi Israel sendiri pada saat yang sama menciptakan serius bagi perdamai-an global. Semangat permusuhan dan yang menyeret isu agama dan rasial akan muncul di mana-mana, sehingga akan menciptakan ancaman internal di negara-negara yang terkait isu agama dan rasial sekaligus menciptakan ketegangan di ta-tanan global.

Ketentuan-Ketentuan Hukum Inter-nasional dalam Sengketa Israel–Lebanon

Sengketa Israel–Lebanon yang ter-jadi pada beberapa tahun lalu, apabila diperhatikan dari aspek hukum inter-nasional terdapat adanya kejahatan ag-resi, yang masuk dalam kategori keja-hatan yang berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (Inter-national Criminal Court)34, dan pelang-garan HAM Berat (HAM Berat). Ruang lingkup Pelanggaran HAM Berat (gross

32 Kamil, Lutfi, Agresi Israel dan Ancaman Global, Kompas, 28 Juli 2006.33 www. Assyaukanie.com, Sejarah itu Berulang Lagi di Lebanon, 27 Juli 2006.34 Pasal 5 ayat 2 Statuta Roma.

44

Page 13: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52

violation of human rights) pada haki-katnya sangat luas, mencakup pula pe-langgaran terhadap hukum humaniter35.

1. Berlakunya Hukum Humaniter da-lam Konflik Bersenjata

Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Humaniter Internasional (HHI) atau International Humanitarian Law merupakan bagian dari Hukum Perang, dan hukum perang sendiri merupakan bagian dari Hukum Internasional. Hukum perang merupakan bagian hukum tertua dari hukum internasional dan sebagian besar dari hukum perang merupakan hukum tertulis atau telah terkodifikasi.

Secara sederhana HHI dapat diberi pengertian sebagai hukum yang mengatur tentang perlindungan korban perang36. Dari pengertian yang sederhana ini ada dua aktifitas bisa diperhatikan, yaitu aktifitas perang dan aktifitas perlindung-an korban perang. Hukum Humaniter Internasional memberikan perlindungan

35 Muladi, Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, Dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol.1 No.1, Mei-Agustus, 2000, hal. 43-44.36 Beberapa pengertian Hukum Humaniter Internasional sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum humaniter adalah bagian dari hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan Korban Perang. Berlainan dengan bagian Hukum Perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang. Lebih lanjut Beliau mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa adalah identik dengan hukum humaniter. Sedangkan hukum perang identik dengan hukum den haag. Menurut Jean Pictet, bahwa hukum humaniter trmasuk di dalamnya hukum den haag, hukum jenewa, dan hak asasi manusia. Pendapat lain dikemukakan oleh Geza Herczegh, bahwa hukum humaniter internasional hanya sebatas pada hukum Geneva saja. Apabila hukum den haag dimasukkan maka akan mengurangi sifat humaniter yang begitu diutamakan. Lihat Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 18 – 22.

kepada korban perang atau mereka yang terlibat dalam pertempuran secara garis besar dapat dikategorikan menjadi; Pertama, perlindungan yang di-berikan kepada Kombatan (Combatant), yaitu mereka yang terlibat aktif dalam per-tempuran. Bentuk perlindungan yang diberikan kepadanya yaitu status sebagai tawanan perang bila ternyata berada di tangan pihak lawan. Sebagai tawanan perang mereka harus diperlakukan secara manusiawi dan dijamin hak-hak dan ke-wajibannya37. Kedua, perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil (Civi-lian population)38, yaitu penduduk dari pihak yang bertikai yang tidak terlibat aktif dalam pertempuran. Bentuk per-lindungan yang diberikan kepadanya berupa larangan untuk menjadikan mere-ka sebagai obyek atau sasaran serangan39. Ketiga, perlindungan yang diberikan ke-pada orang yang karena pekerjaanya harus dihormati dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan40. 37 Perlindungan terhadap tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa III.38 Perlu ditegaskan di sini tentang istilah Penduduk sipil (civilan population), yaitu semua orang yang tergolong orang sipil; Orang sipil (civilian) adalah orang yang tidak termasuk dalam orang-orang yang dilindungi oleh Pasal 4 A (1, 2, 3, dan 6) Konvensi III, yang menyatakan bahwa: a). anggota angkatan bersenjata dari pihak yang bertikai dan anggota-anggota milisi atau korps sekarela yang merupakan bagian dari angkatan bersenjata, b). anggota-anggota milisi lain, korps sukarela, termasuk gerakan perlawanan yang terorganisir yang tergolong pada suatu pihak yang bertikai dan beroperasi di luar atau di wilayah sendiri, sepanjang mereka memenuhi syarat-syarat tertentu, c). Anggota angkatan bersenjata reguler yang menyatakan kesetiaannya pada pemerintah yang tidak diakui oleh negara penahan, d). Levee en masse, apabila jatuh ketangan musuh akan memperoleh status sebagai tawanan Perang. Sedangkan Obyek sipil semua objek yang bukan sasaran militer.39 Perlindungan terhadap Penduduk Sipil diatur dalam Konvensi Jenewa IV. 40 Pasal 25 Konvensi Jenewa I dan Pasal 36 Konvensi Jenewa II.

45

Page 14: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….

Adanya bentuk-bentuk perlin-dungan yang demikian tentunya terkait dengan salah satu prinsip atau asas dalam hukum humaniter, yaitu Prinsip Pem-bedaan (Distinction Principle). Prinsip ini menegaskan bahwa penduduk suatu negara yang terlibat dalam suatu per-tikaian bersenjata atau berperang dibeda-kan atas Kombatan (Combatant)41 dan Penduduk Sipil (Civilian Population). Latar belakang munculnya prinsip ini, untuk mengetahui siapa yang boleh turut aktif dalam pertikaian bersenjata atau perang dan siapa yang tidak; juga untuk menentukan siapa yang dapat dijadikan sasaran obyek serangan dan siapa yang tidak. Oleh karena itu, dalam situasi per-tikaian bersenjata atau perang seseorang harus menentukan pilihan dia akan masuk kedalam golongan mana, seseorang pada saat yang sama tidak dapat masuk ke-dalam dua golongan.

Berdasarkan Konvensi Jenewa, per-lindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Terhadap mereka tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 Konvensi IV42. 41 Kombatan diartikan sebagai anggota angkatan bersenjata yang terlibat langsung dalam sebuah konflik bersenjata. Mereka mempunyai hak untuk terlibat langsung dalam konflik bersenjata yang bertindak atas nama negara atau kelompok. Dan mereka mendapat perlindungan jika jatuh ke tangan musuh, dalam kondisi sakit, luka atau dalam kapal karam sesuai dengan cara/metode yang ditetapkan dalam perang.42 Dalam rangka melakukan perlindungan terhadap penduduk sipil dilarang: a) Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan;b) Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani;c) Menjatuhkan hukuman kolektif;d) Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan;e) Melakukan pembalasan (reprisal);f) Menjadikan mereka sebagai sandera;

2. Hukum HAM dan Hukum Hukum Humaniter

Keterkaitan antara Hukum HAM dan Hukum Humaniter

Guna mengetahui hubungan antara hukum HAM dengan hukum humaniter dapat digunakan tiga teori atau pendekat-an:1) Teori integrasionist. Menurut teori

ini, keberadaan suatu sistem hukum berasal dari hukum yang lain, sehing-ga terdapat dua kemungkinan yaitu:a) Keberadaan HHI didasarkan pada

HAM; b) HHI menjadi dasar dari HAM.

2) Teori Separatis. Teori ini melihat bahwa HHI dan HAM adalah dua sistem hukum yang berbeda. Letak perbedaannya ada pada:a) Obyeknya; b) Sifatnya;

HHI bersifat mandatory, sedang-kan HAM bersifat declaratory;

c) Saat berlakunya. Sedangkan menurut Marion

Mushat, perbedaan antara HHI dengan HAM nampak pada:a) HHI berhubungan dengan akibat

sengketa bersenjata, sedangkan HAM berkaitan dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu di dalam negara yang bersangkutan;

b) Hukum humaniter mulai berlaku pada saat hak asasi manusia tidak berlaku lagi;

c) HHI melindungi mereka yang tidak mampu atau tidak turut bertempur, dan penduduk sipil. Sedangkan HAM tidak ada dalam sengketa bersenjata, karena fungsinya telah diambil oleh HHI.

g) Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani, atau permusuhan terhadap orang-orang yang dilindungi.

46

Page 15: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52

3). Teori KomplemetarisTeori ini memandang bahwa antara

HHI dan HAM melalui proses yang bertahap berkembang secara pararel dan saling melengkapi. Dalam banyak hal teori Komplementaris ini lebih sesuai dengan kebutuhan bagi jaminan perlin-dungan dan penghormatan atas hak-hak individu. Karena teori ini tidak menge-depankan perbedaan yang ada 43.

Pelanggaran HAM Berat dan Pelang-garan Hukum Humaniter

Baik dalam hukum HAM maupun dalam Hukum Humaniter dikenal adanya Pelanggaran Berat (gross violation of human rights). Dalam hukum HAM pe-langgaran berat terjadi bila pelanggaran tersebut melibatkan atau difasilitasi oleh pemerintah, dilakukan secara sistematis dan meluas44 serta merupakan bagian dari

43 Arlina Permanasari, dkk., op. cit. hal. 337 – 339.; Anne Sophie Gindroz, 1997, Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia, dalam, Hukum Humaniter suatu Prespektif, Pusat Studi Hukum Humaniter FH-Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 92.44 Istilah (me) luas dan sistematis menurut M. Cherif Bassiouni memandang bahwa istilah-istilah (me)luas dan sistematis tersebut memiliki dua maksud yang jelas, pertama, untuk mengeliminasi konflik kelompok yang spontan atautidak terkontrol dari cakupan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kedua, guna merefleksikan eksistensi aksi atau kebijakan negara tersebut yang dilakukan oleh aktor-aktor negara dan elemen kebijakan tersebut bagi pelaku-pelaku non-negara. Sedangkan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) mengintepretasikan makna sistematis sebagai tindakan secara menyeluruh terorganisir dan mengikuti pola teratur atas dasar suatu kebijakan umum yang menyangkut atau melibatkan sumber daya publik atau privat yang substansial. Sedangkan suatu kejahatan bersifat meluas atau dilakukan dalam skala yang besar dengan efek kumulatif atas serangkaian tindakan-tindakan tidak manusiawi atau efek tunggal dari suatu tindakan tidak manusiawi yang besarnya luar biasa. Erikson Hasiholan Gultom, 2006, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam Peradilan Kejahatan Terhadap

kebijakan negara45. Sedangkan dalam hukum humaniter, pelanggaran berat (grave breaches) terjadi karena tindakan tersebut termasuk tindakan yang ditentu-kan dalam Konvensi Jenewa 194946 atau dalam Protokol I Konvensi Jenewa 1949. Pelanggaran berat dalam hukum humani-ter termasuk kejahatan perang47.

Berkaitan dengan kejahatan perang atau pelanggaran berat hukum hmaniter, Statuta Roma juga menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan Perang merupakan kejahatan yang berada di bawah yuris-diksi ICC. Adapun jenis kejahatan ter-

Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta, hal. 54-59.45 Menurut Frank E Hagan, pelanggaran HAM berat mempunyai nuansa khusus yakni penyalah-gunaan kekuasaan dalam arti para pelaku berbuat dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah. Dalam pelanggaran HAM berat terdapat beberapa unsur:1) Adanya abuse of power dalam kerangka asosiasi dengan pemerintah. Termasuk didalamnya apa yang disebut dengan delik omisi (violation by ommision).2) Kejahatan tersebut dianggap merendahkan martabat manusia dan melanggar asas-asas kemanusiaan yang mendasar.3) Perbuatan tersebut dikutuk secara internasional.4) Dilakukan secara sistemik dan meluas. Muladi, 2000. Op. Cit., hal. 41. ; Muladi, Prinsip-Prinsip pembentukan Pengadilan HAM di Indonesia dan Pengadilan Pidana Internasional, Paper Seminar, Jakarta, hal.11; Article 7 Statute of ICC, 1998.46 Pengertian Grave breaches dalam Konvensi Jenewa 1949 di samping diatur dalam Pasal 50 Konvensi I juga diatur dalam Pasal 51 Konvensi Jenewa II, Pasal 130 Konvensi Jenewa III, dan Pasal 147 Konvensi Jenewa IV, juga Protokol I. Konvensi Jenewa 1949. 47 Kejahatan perang sendiri dirumuskan sebagai kejahatan yang melanggar hukum dan kebiasaan perang yang dilakukan dalam waktu perang baik oleh warga negara dari negara musuh maupun orang asing yang bertugas pada musuh. Haryomataram, “Masalah Kejahatan Perang, Penjahat Perang, dan Penanganan Penjahat Perang”, Jurnal Hukum Humaniter, Vol.1 dan 2, April 2006, Pusat Studi Hukum Humaniter FH-Universitas Trisakti, Jakarta, 2006, hal. 213.

47

Page 16: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….

sebut sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 248.

Adanya pelanggaran HAM berat dan pelanggaran berat dalam hukum humaniter tersebut bila dikaitkan dengan pertikaian antara Israel dan Lebanon, maka tindakan Israel telah memenuhi unsur adanya pelanggaran berat hukum humaniter. Karena Tindakan Israel telah mengakibatkan terbunuhnya ribuan pen-duduk sipil serta hancurnya sarana dan prasarana sipil atau peribadatan.

3. Agresi dalam Konteks Hukum Internasional

Sampai saat ini, belum ada definisi dan konsep yang tegas mengenai agresi. Bahkan Mahkamah Internasional dalam Statuta Roma tidak dapat menetapkan yurisdiksinya atas agresi. Statuta Roma hanya mencantumkan tentang kejahatan agresi tanpa pengertian lebih lanjut49. Dari sudut pandang psikologi dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku yang dimaksudkan untuk membuat objeknya mengalami bahaya atau kesakitan. Agresi dapat dilakukan secara verbal atau fisik. Pengrusakan barang dan perilaku destruktif lainnya juga termasuk dalam definisi agresi. Agresi tidak sama dengan ketegasan50. Menurut Hanurawan, hal utama yang menyebabkan munculnya perilaku agresi adalah frustrasi.51 Pengertian tentang agresi tersebut bila dikaitkan dengan pe-ristiwa pertikaian antara Israel dan

48 Tindakan yang termasuk kejahatan perang sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 2 Statuta Roma.49 Pasal 5 ayat 2 Statuta Roma.50 Id.wikipedia.org/wiki/agresi.51 Hadrianus Wahyudi, “Prilaku Agresi Ternyata Menular”, Universitas Sanata Dharma. 26 November 2008. Http://m.kompas.com/news/read/data/2008.11.26.22565170?fs=s.

Lebanon, dapat dikatakan bahwa telah terjadi tindakan agresi oleh Israel ter-hadap Lebanon.

Tanggungjawab Negara Israel dalam Tindakan Agresi di Lebanon pada Bulan Juli 2006 1. Hakekat Tanggungjawab Negara

Jika kita membicarakan mengenai tanggungjawab, maka yang ada dalam fikiran bahwa telah terjadi suatu kesalah-an. Tidak akan ada tanggungjawab jika tidak ada kesalahan.

Agresi Israel yang dilakukan ter-hadap Lebanon telah menimbulkan banyak pertentangan dari berbagai pihak dan pelanggaran dalam hukum interna-sional yaitu terkait dengan pertanggung-jawaban negara. Karakteristik esensial dari pertanggungjawaban tergantung dari beberapa faktor. Pertama, terdapatnya eksistensi akan sebuah kewajiban interna-sional. Kedua, telah terjadinya sebuah tindakan (commision) atau kelalaian (omission) yang menyebabkan terjadinya pelanggaran. Ketiga, adalah terdapatnya kerugian yang diakibatkan oleh tindakan yang melawan hukum. Faktor-faktor ini telah diakui dalam beberapa kasus, misal-nya dalam kasus the Spanish Zone of Morocco52. Pasal 1 ILC Draft53

menyatakan bahwa setiap perbuatan salah yang berdimensi internasional dari suatu negara dengan sendirinya memiliki kon-sekuensi bagi pertanggungjawaban. Lebih lanjut ditegaskan bahwa suatu tindakan salah secara internasional bila merupakan tindakan negara dibawah hukum interna-

52 Thontowi Jawahir dan Iskansar Pranoto, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 19753 Article 1 Draft Article Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001 ”Every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that State”.

48

Page 17: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52

sional, dan merupakan pelanggaran hukum internasional54. Sedangkan menu-rut Crawford dan Olleson, perbuatan salah yang berdimensi internasional me-miliki syarat, yaitu:a. dapat ditujukan pada sebuah negara;b. mengandung pelanggaran atas kewa-

jiban internasional yang dimiliki oleh negara55.

Oleh karena itu, elemen untuk adanya pertanggungjawaban negara ada-lah adanya atribusi dan pelanggaran. Namun terhadap tindakan negara dalam rangka membela diri atau dalam keadaan darurat merupakan pengecualian untuk timbulnya tanggung jawab negara. 2. Tindakan Individu yang Dapat

Menimbulkan Tanggungjawab Ne-gara

Negara dalam bertindak adalah melalui individu yang bertindak sebagai organ atau perwakilan atau pejabat negara. Tindakan ndividu yang bertindak atas nama negara tersebut dapat menim-bulkan tanggungjawab negara, jika:a. tindakan tersebut merupakan pelang-

garan terhadap hukum internasional;b. menurut hukum internasional, pelang-

garan tersebut dapat dilimpahkan ke-pada negara.

Dalam Pasal 4 ILC Draft diatur tindakan organ negara yang dapat me-nimbulkan pertanggungjawaban negara yaitu bagian dari organ negara dan status-nya diakui oleh hukum nasionalnya. Demikian juga beberapa tindakan yang dapat dilimpahkan pada negara untuk me-nimbulkan pertanggungjawaban negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 – 10 ILC Deaft.

54 Lihat Article 2 Draft article responsibility, 2001.55 Ibid., hal.169.

3. Penegakan Hukum dalam Perlin-dungan terhadap Penduduk Sipil

Dalam rangka penegakan hukum berkaitan dengan pertikaian antara Israel dan Lebanon beberapa pihak yang terlibat dalam penegakan hukum, seperti Dewan Keamanan dan Organisasi Palang Merah Internasional. Dewan Keamanan sebagai pihak yang mempunyai kewenangan mengeluarkan instrumen sebagai upaya untuk meminta bahkan memaksa pihak-pihak yang melakukan pelanggaran ter-hadap perdamaian dan keamanan inter-nasional untuk menghentikan kegiatan-nya. Sedangkan organisasi Palang Merah internasional, sebagai organisasi yang independen berperan membantu pena-nganan korban pertikaian bersenjata, baik pihak sipil maupun kombatan. Bahkan, organisasi ini dapat bertindak sebagai mediator bagi pihak-pihak yang bertikai.

Peran Dewan Keamanan dalam per-tikaian antara Israel dan Spanyol ditunjukkan dengan berhasil dikeluarkan-nya Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1559 dan Resolusi Nomor 1701. Sedang-kan peran organisasi Palang Merah Inter-nasional, ditunjukkan pada penangan-penangan medis yang dilakukan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban per-tikaian, dengan jalan melakukan perawat-an dan evakuasi ke tempat yang aman. Juga organisasi ini mendorong dan meng-ingatkan pada para pihak yang bertikai untuk memperhatikan prinsip-prinsip ke-manusiaan dan hukum humaniter inter-nasional.

Dalam kaitannya dengan penegakan hukum disini diperlukan kesadaran para pihak untuk tetap memperhatikan kewa-jiban-kewajiban internasional, baik yang bersumber pada pertanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional,

49

Page 18: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….

untuk dalam melakukan tindakannya mengindahkan aturan-aturan yang ber-laku dalam pertikaian bersenjata.

Kesimpulan dan SaranKesimpulan

Berdasarkan uraian tentang pem-bahasan permasalahan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa, agresi Israel ke Lebanon pada bulan Juli tahun 2006 telah berdampak sangat hebat di dunia internasional dan telah menimbul-kan kesengsaraan bagi rakyat Lobanon. Sampai saat ini kondisi dalam negeri Lebanon belum sepenuhnya pulih sebagai akibat aksi militer Israel tersebut. Bila diperhatikan tindakan Israel telah me-lakukan pelanggaran dalam kaidah atau norma-norma hukum internasional yang dalam hal ini pelanggaran terhadap hukum humaniter, hukum hak asasi manusia. Perlindungan terhadap pendu-duk sipil dalam agresi Israel ke Lebanon tidak dapat berjalan secara maksimal dan menyeluruh, karena dominannya faktor-faktor politis di bandingkan faktor hukum dalam upaya penyelesaian konflik. Selain itu, terdapat kelemahan-kelemahan dalam upaya penerapan maupun penegakan hukum humaniter internasional, diantara-nya:a. Lemahnya ketentuan

mengenai prosedur-prosedur internasional yang menetukan efektifitas hukum inter-nasional dapat diberlakukan apabila telah diimplementasikan dalam hu-kum nasional setiap negara;

b. Lemahnya kesadaran dari setiap negara untuk mengimplementasikan kaidah-kaidah hukum humaniter internasional dalam hukum nasional setiap negara;

c. Lemahnya sanksi dari organisasi internasional atas pelanggaran terha-dap hukum humaniter internasional sehingga menyebabkan pelaku dapat dengan leluasa semakin memperluas seragannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka seharusnya Israel bertanggungjawab ter-hadap tindakan-tindakannyayang dilaku-kan terhadap Lebanon. Adapun bentuk pertanggunjawabannya dapat berupa:a. Restitusi

Suatu tindakan untuk mengembalikan keadaan dengan segala yang mungkin sehingga tercapai keadaan seperti se-mula seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

b. Kompensasi Berupa pembayaran sejumlah uang yang sebanding dengan kerugian yang diderita. Kompensasi harus meliputi semua kerugian yang ditimbulkan.

c. Pemuasan (Satisfaction)Upaya pelunasan kerugian yang tidak bisa dibayar dengan uang seperti kehormatan atau prestice negara. Pemuasan dapat dilakukan dengan permintaan maaf resmi, pengakuan bersalah secara resmi dan lain-lain.

Namun demikian, penulis meman-dang bahwa Israel belum bertanggung-jawab atas perbuatan yang dilakukan dalam pertikaiannya dengan Lebanon.

SaranHendaknya Pemerintah Israel sege-

ra bertanggung jawab atas kerusakan struktur dan infrastruktur yang terjadi di Lebanon akibat perang yang ditimbul-kannya, baik berupa permintaan maaf secara resmi kepada pemerintah Lebanon melalui media massa, pemberian bantuan kepada para korban perang terutama para

50

Page 19: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52

penduduk sipil maupun ganti rugi atas segala kerugian yang diderita Lebanon.

Organisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan yang dilakukan Israel.

Daftar Bacaan Anne Sophie Gindroz, 1997, Hukum Hu-

maniter Internasional dan Hak Asasi Manusia, dalam, Hukum Humaniter suatu Prespektif, Pusat Studi Hukum Humaniter FH-Uni-versitas Trisakti, Jakarta.

Arlina Permanasari, et all, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.

Erikson Hasiholan Gultom, 2006, Kompetensi mahkamah Pidana Internasional dalam Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta.

H. Jaka Triyana, 2000, Relevansi Penerapan Prinsip Pembedaan (Distincion Principle) dan Penerapan saksi DK PBB terhadap Upaya Perlindungan Penduduk Sipil Pada Pelanggaran Berat HHI, Mimbar Hukum UGM, Yogyakarta.

Hadrianus Wahyudi, Prilaku Agresi Ternyata Menular, Universitas Sanata Dharma. 26 November 2008.

Haryomataram, 2006, Masalah Kejahatan Perang, Penjahat Perang, dan Penanganan Penjahat Perang, dalam Jurnal Hukum Humaniter, Vol.1 dan 2, April 2006, Pusat Studi Hukum Humaniter FH-Universitas Trisakti, Jakarta.

Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, Tanggungjawab Negara terhadap dampak Komersial Ruang Angkasa, PT. Refika Aditama.

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Komtemporer, PT. Refika Adhitama, Bandung.

JG Starke, 1989, Introduction to International Law, Butterworths, London.

Kamil, Lutfi, Agresi Israel dan Ancaman Global, Kompas, 28 Juli 2006.

Kasiyanto, MJ, 1995, Masalah Sospol Dalam Pembangunan Kharismatik, Fundamentalis. Revolusi Gagal Membangun Jakarta, Yayasan Tri Mawar.

Kompas, Israel Alami Kerugian Besar, 14 Agustus 2006,

Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Marsudi Triatmodjo, Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan Internasional, Mimbar Hukum Fakultas Hukum UGM No. 33/X/99, 1999.

Muhammad Mova Al Afghani, 2005, ”Konsep Kealpaan dalam Hukum Pertanggungjawaban Negara”, tp. ttp.

Muladi, Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, Dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol.1 No.1, Mei-Agustus, 2000.

---------, Prinsip-Prinsip pembentukan Pengadilan HAM di Indonesia dan Pengadilan Pidana Internasional, Paper Seminar, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2000, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Sri S. Suwardi, Serangan Israel Terhadap Lebanon Dikaitkan Dengan Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter, Jurnal Hukum

51

Page 20: unsuri.ac.id · Web viewOrganisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan

Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….

Internasional Vol. 4, Nomor I, 2006.

Sugeng Istanto, 1997, Penerapan Hukum Humaniter Internasional Pada Orang Sipil dan Perlindungannya dalam Pertikaian Bersenjata, dalam Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Pusat Studi Hukum Humaniter FH – Universitas Trisakti, Jakarta.

--------, Bahan Ajar Hukum Humaniter Internasional, tidak diterbitkan.

www. Assyaukanie.com, Sejarah itu Berulang Lagi di Lebanon, 27 Juli 2006.

www.kompas.com. Bandara Internasional Dibom, Kompas Cyber Media, 14 Juli 2006.

www.kompas.com., Laknatullah Teroris, Faq, Israel Raya: Agenda Tersembunyi Di Balik Kekejaman Israel, 6 Agustus 2006.

52