document

50
SISTEM SENSORI* A. Tujuan: 1. Mengetahui letak reseptor sensorik pada organ sensorik. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja reseptor sensorik. B. Dasar teori Alat indra adalah alat-alat tubuh yang berfungsi mengetahui keadaan luar. Alat indra manusia sering disebut panca indra, karena terdiri dari lima indra yaitu indra penglihat (mata), indra pendengar (telinga), indra pembau/pencium (hidung), indra pengecap (lidah) dan indra peraba (kulit) (Chambell, 2004). 1. Indra Penglihat (Mata). Mata adalah indera yang digunakan untuk melihat lingkungan sekitarnya dalam bentuk gambar sehingga mampu dengan mengenali benda-benda yang ada di sekitarnya dengan cepat.Mata merupakan indra penglihat yang menerima rangsang berupa cahaya (fotooreseptor). 2. Indra Pendengar (Telinga) Telinga adalah alat indra yang memiliki fungsi untuk mendengar suara yang ada di sekitar kita.Telinga merupakan indra pendengaran yang menerima rangsang berupa suara (fonoreseptor). Selain berungsi sebagai indra pendengaran, telinga juga sebagai alat keseimbangan. 3. Indra Pembau (Hidung) Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Serabut-serabut saraf penciuman terdapat pada bagian atas selaput lendir hidung. Serabut-serabut olfaktori berfungsi mendeteksi rangsang zat kimia dalam bentuk gas di udara (kemoreseptor). 4. Indra Pengecap (Lidah) Lidah adalah alat indera yang berfungsi untuk merasakan rangsangan rasa dari makanan yang masuk ke dalam mulut kita. Bagian lidah yang berbintil-bintil disebut papila adalah ujung saraf pengecap. Setiap bintil-bintil saraf pengecap tersebut mempunyai kepekaan terhadap rasa tertentu berdasarkan letaknya pada lidah. Pangkal lidah dapat mengecap rasa pahit, tepi lidah mengecap rasa asin dan asam serta ujung lidah dapat mengecap rasa manis. 5. Indra Peraba (Kulit)

Upload: zhafira-drianta

Post on 16-Jan-2016

30 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww

TRANSCRIPT

Page 1: Document

SISTEM SENSORI*A.  Tujuan:

1.      Mengetahui letak reseptor sensorik pada organ sensorik.2.      Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja reseptor sensorik.B.  Dasar teori

Alat indra adalah alat-alat tubuh yang berfungsi mengetahui keadaan luar. Alat indra manusia sering disebut panca indra, karena terdiri dari lima indra yaitu indra penglihat (mata), indra pendengar (telinga), indra pembau/pencium (hidung), indra pengecap (lidah) dan indra peraba (kulit) (Chambell, 2004).

1.   Indra Penglihat (Mata).Mata adalah indera yang digunakan untuk melihat lingkungan sekitarnya dalam bentuk gambar sehingga mampu dengan mengenali benda-benda yang ada di sekitarnya dengan cepat.Mata merupakan indra penglihat yang menerima rangsang berupa cahaya (fotooreseptor).

2.   Indra Pendengar (Telinga)Telinga adalah alat indra yang memiliki fungsi untuk mendengar suara yang ada di sekitar kita.Telinga merupakan indra pendengaran yang menerima rangsang berupa suara (fonoreseptor). Selain berungsi sebagai indra pendengaran, telinga juga  sebagai alat keseimbangan.

3.   Indra Pembau (Hidung)Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Serabut-serabut saraf penciuman terdapat pada bagian atas selaput lendir hidung. Serabut-serabut  olfaktori berfungsi mendeteksi rangsang zat kimia dalam bentuk gas di udara (kemoreseptor).

4.     Indra Pengecap (Lidah)Lidah adalah alat indera yang berfungsi untuk merasakan rangsangan rasa dari makanan yang masuk ke dalam mulut kita. Bagian lidah yang berbintil-bintil disebut papila adalah ujung saraf pengecap. Setiap bintil-bintil saraf pengecap tersebut mempunyai kepekaan terhadap rasa tertentu berdasarkan letaknya pada lidah. Pangkal lidah dapat mengecap rasa pahit, tepi lidah mengecap rasa asin dan asam serta ujung lidah dapat mengecap rasa manis.

5.   Indra Peraba (Kulit)Kulit adalah alat indera kita yang mampu menerima rangsangan temperatur suhu, sentuhan, rasa sakit, tekanan, tekstur, dan lain sebagainya.  Pada kulit terdapat reseptor yang peka terhadap rangsang fisik (mekanoreseptor). Kulit berfungsi sebagai alat pelindung bagian dalam, misalnya otot dan tulang; sebagai alat peraba dengan dilengkapi bermacam reseptor yang peka terhadap berbagai rangsangan; sebagai alat ekskresi; serta pengatur suhu tubuh.

Terdapat berbagai bentuk impuls yang dapat diterima oleh indra, yaitu:1.      Rangsang Kimia diterima oleh Kemoreseptor

Pada proses penerimaan rangsang kimia (kemoresepsi), terjadi interaksi antara bahan kimia dengan kemoreseptor membentuk kompleks bahan kimia-kemoreseptor. Kompleks tersebut  mengawali proses pembentukan potensial generator pada reseptor, yang akan segera menghasilkan potensial aksi pada sel saraf sensoris dan sel berikutnya sehingga akhirnya timbul tanggapan (Villee,1999).

2.      Rangsang Mekanik diterima oleh Mekanoreseptor

Page 2: Document

Proses peneriman rangsang mekanik dinamakan mekanoresepsi. Mekanisme mekanoresepsi adalah sebagai berikut; Rangsang mekanik yang menekan reseptor menyebabkan membrane mekanoreseptor meregang. Peregangan membrane mekanopreseptor tersebut menimbulkan perubahan konformasi protein penyusun pintu ion Na+. Pintu ion Na+ terbuka diikuti terjadinya perubahan elektrokimia yang mendepolarisasikan mekanoreseptor (campbell, 2004).

Mekanoresepsi memiliki reseptor untuk menerima rangsang tekanan, suara, dan gerakan. Bahkan insekta juga mempunyai mekanoreseptor pada permukaan tubuhnya, yang dapat memberikan informasi mengenai arah angin, orientasi tubuh saat berada dalam ruangan, serta kecepatan gerakan dan suara. Variasai reseptor akan akan tampak semakin jelas apabila kita mengalami mekanoreseptor pada vertebrata (Subowo, 1992).

3.      Rangsangan Suhu diterima oleh TermoreseptorTermoresepsi adalah proses mengenali suhu tinggi dan rendah serta perubahan suhu

lingkungan. Peningkatan suhu secara ekstrem akan mempengaruhi struktur protein dan enzim sehingga tidak dapat berfungsi secara maksimal. Hal ini dapat mengganggu penyelenggaraan berbagai reaksi metabolik yang penting dalam tubuh spesies. (Wijaya, 2007)

4.      Rangsang  Cahaya diterima oleh fotoreseptorTanpa adanya cahaya kehidupan akan gelap gulita. Ini sama pentingnya dengan

keberadaan inra untuk menangkap cahaya. Mulai mikroorganisme dan makroorganisme ternyata juga dapat mendeteksi cahaya. Struktur fotoreseptor berfariasi, dari yang paling sederhana berupa eye-spot hingga struktur yang rumit dan terorganisasi dengan baik seperti yang dimiliki vertebrata (Dellmann & Esther, 1992)..

C.  Alat, Bahan dan Cara KerjaPada praktikum ini, terdapat empat kelompok yang melakukan serangkaian uji sistem

sensori yang berbeda pada tiap kelompoknya. Pembagian uji ini sebagai berikut:a.       Kelompok 1 (Satu)1.1  Pengecap

                               I.         Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah cotton bud, cawan petri, gelas kimia, sapu tangan,

tissue/ kapas dan bahan-bahan yang digunakan, yaitu larutan NaCl (asin), larutan asam, larutan glukosa (manis), larutan kopi tanpa gula (pahit), larutan masako/royco (gurih), air putih.

                            II.         Cara KerjaPeta rasa pada lidah

1)      Gusi dan lidah dibersihkan terlebih dahulu dari sisa-sisa makanan dengan berkumur, kemudian lidah dibersihkan dengan tissue/ kapas agar tidak basah oleh air ludah.

2)      Cairan dituangkan pada cawan petri dan cotton bud direndam pada tiap larutan.3)      Mata praktikan ditutup, agar praktikan tidak mengetahui larutan apa yang dipergunakan.4)      Cotton bud disentuhkan disentuhkan pada tempat-tempat pusat pengecap. Tanyakan: apakah

pada daerah yang disentuh merasakan rasa larutan tertentu (sesuai atau tidak dengan macam larutan yang dicobakan).

5)      Bila jawaban praktikan sesuai dengan larutan yang dicobakan, maka pada gambar lidah diberi tanda  + dan bila tidak sesuai diberi tanda –

6)      Intensitas rasa ditentukan pada setiap tempat mana yang disentuhkan dengan tanda – (tidak terasa), + (kurang terasa), ++ (terasa), dan +++ (sangat terasa).

7)      Percobaan diulangi dengan cotton bud yang lai sesuai larutannya.

Page 3: Document

8)      Percobaan diulangi pada orang lain dengan cotton bud yang berbeda. Kemudian dibandingkan hasilnya.

9)      Peta rasa pada pada lidah dibuat sesuai dengan pecobaan yang dilakukan.Pengaruh suhu pada kepekaan reseptor rasa.

1)      Cotton bud disentuhkan pada tempat tertentu dilidah. Dicatat waktu yang diperlukan untuk merasakan rasa.

2)      Kumur-kumur dengan air putih. Ambil es batu dan kulum selama 5 detik.3)      Cotton bud disentuhkan pada tempat yang sama , dicatat waktu yang diperlukan untuk

merasakan rasa tersebut.

1.2  Pembau                            I.         Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah syringe 2,5 ml , sapu tangan, kapas dan bahan-bahan yang digunakan, yaitu bawang merah/bawang putih, jahe, kencur, minyak cengkih.

                         II.         Cara Kerja1)      Praktikan tidak boleh flu/pilek2)      Mata yang bersangkutan ditutup3)      Bahan uji yang telah dipotong salah satu sisinya diambil untuk sensor pembau.4)      Didekatkan bahan ke lubang hidung satu sisi, sedangkan sisi lubang hidung yang lain ditutup

dengan kapas, agar yang membau hanya satu sisi saja. Kemudian praktikan membau/menghirup. Tanyakan bau apa yang dibaunya. Hasilnya dicatat, setelah itu posisikan sisi potongan dibalik dan disuruh menghirup lagi. Tanyakan bau apa yang dibaunya dan mana yang lebih bau pada posisi pertama atau posisi kedua. Dibandingkan dan dicatat hasilnya.

5)      Percobaan diatas diulangi dengan bahan yang lain.6)      Lubang hidung yang satu ditutup dengan kapas dan yang satu tetap terbuka.7)      Bahan uji diambil yang telah dipotong ujungnya8)      Bahan uji didekatkan dengan sisi potongan dekat pada hidung yang terbuka.9)      Diulangi hal ini berkali-kali sampai tidak lagi membau bahan tersebut.10)  Nilai Olfactory Fatigue Time (OFT) dihitung, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

ketidakpekaan (kelelahan) pembau, artinya sampai tidak lagi dapat membau sesuatu. Ulangi 3X, kemudian hitung reratanya.

11)  Dihitung Olfactory Recovery Times (ORT), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk kesembuhan pembau, artinya sampai dapat membau kembali. Ulangi 3X, kemudian hitung rata-ratanya

12)  Semua percobaan diulangi diatas dengan praktikan yang lain dan dibandingkan hasilnya.

b.      Kelompok 2 (Dua)2.1  Hubungan Pengecap dan Pembau

                            I.         Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah tusuk gigi, pisau, kapas/tissue, sapu tangan dan

bahan-bahan yang digunakan, yaitu bengkoang, kentang, apel, air putih.                         II.         Cara Kerja

1)      Mata praktikan ditutup dan hidungnya ditutup dengan sapu tangan.2)      Lidah dibersihkan dengan kapas atau tissue.3)      Letakkan sekerat bahan, secara bergantian. Tanyakan, apa yang dirasakan setiap kali bahan

diletakkan di lidah, dan tanyakan juga apakah ia dapat membau atau mengecap.4)      Diulangi percobaan 2X pada praktikan yang sama dan ulangi percobaan untuk praktikan

yang lain. Dibandingkan !

Page 4: Document

2.2  Reseptor Panas Dingin                            I.         Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah penggaris, jarum pentul, gelas kimia, spidol dan bahan-bahan yang digunakan, yaitu air hangat dan air dingin.

                         II.         Cara Kerja1)      Kotak sepanjang 28mm dibuat dan dibagi dalam 14 kotak pada tangan bagian dorsal.2)      Jarum dimasukkan ke dalam gelas kimia yang berisi air hangat dan jarum lain pada air

dingin.3)      Ditunggu lima menit, sentuhkan sebentar masing-masing jarum itu ke dalam kotak bujur

sangkar pada praktikan secara berurutan.4)      Untuk mempertahankan suhu jarum, dimasukkan lagi jarum ke gelas kimia.5)      Hasilnya dicatat, tanda + untuk kotak yang merasakan dan tanda – untuk kotak yang tidak

merasakan.6)      Percobaan diulangi untuk tangan bagian ventral pada praktikan yang sama.

c.       Kelompok 3 (Tiga)3.1  Pengaruh Dingin Terhadap Rasa Sakit

                            I.         Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah jam/stopwatch, tissue dan bahan yang digunakan

adalah es batu                         II.         Cara Kerja

1)      Praktikan duduk dan telapak tangannya medatar diatas meja.2)      Telapak tangannya dicubit dengan intensitas sedang hingga dia mulai sakit dan meneruskan

hingga dia tidak merasakan sakit/nyeri.3)      Cubitan diulangi pada tempat yang tadi setelah membiarkan praktikan beberapa saat.4)      Diusap es dengan gerakan memutar sekitar daerah itu dan keringkan dengan tissue.5)      Dicatat waktu begitu ia tidak merasakan sakit.6)      Es diusap tetapi pada daerah terdekat dengan area cubitan tadi7)      Dilakukan pada telapak tangan yang lain.8)      Dilakukan pada praktikan yang lain. Dibandingkan !3.2  Kepekaan Sentuhan

                                  I.      Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah sapu tangan, spidol, penggaris, jangka.

                               II.      Cara Kerja1)      Praktikan ditutup matanya dan salah satu lengannya diletakkan di atas meja.2)      Kaki jangka diletakkan pada jarak 3 cm dan sentuhkan dengan tekanan ringan kedua kaki

jangka tadi secara bersama-sama pada bagian ventral lengan bawah praktikan. Jika ia merasakan dua titik maka jarak kedua kaki jangka diperkecil, sebaliknya bila praktikan bila praktikan merasakan satu titik maka jarak kedua kaki diperbesar.

3)      Dilakukan sedikit-demi sedikit hingga memperoleh jarak terpendek yang masih dirasakan dua titik oleh praktikan.

4)      Data yang diperoleh dicatat5)      Ulangi pada praktikan yang lain.6)      Ulangi kegiatan di atas pada lengan bawah bagian dorsal, telapak tangan bagian ventral dan

dorsal, ujung jari tangan kiri dan tangan kanan, dahi, pipi, tengkuk dan bibir.

Page 5: Document

d.      Kelompok 4 (Empat)4.1  Bintik Buta

                                  I.      Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah mata uang logam 5 buah, kertas karton, penggaris.

                               II.      Cara Kerja1)   5 buah mata uang logam disusun berdiri lurus ke belakang dengan jarak masing-masing

8mm.2)   Salah satu mata ditutup dengan karton tebal. Sedangkan mata yang satunya tertuju pada

bagian tengah dari uang logam yang terdepan.3)   Ditanyakan, berapa banyak uang logam yang tampak? Uang logam yang tidak kelihatan?

Jarak mata uang itu ke mata merupakan jarak benda yang bayangannya jatuh pada bintik buta.

4)   Dicoba mengubah (diperbesar/diperkecil) jarak antar mata uang logam itu, bagaimana hasilnya? dibandingkan!

5)   Mata yang sebelah lagi diuji juga! dan diulangi pada praktikan yang lain.4.2  Reflek Pupil Terhadap Intensitas Cahaya

                                  I.      Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah penggaris, sapu tangan, senter

                               II.      Cara Kerja1)      Diameter pupil praktikan diukur dan dicatat, dengan meletakkan penggaris dibawah salah

satu matanya.2)      Praktikan diminta untuk memejamkan mata dan ditutup dengan tangan atau saputangan

sedang penggaris tetap dipegang.3)      Praktikan diminta membuka matanya secara mendadak, hasilnya dibandingkan.4)      Praktikan diminta kembali untuk memejamkan matanya. Akan lebih baik hasilnya apabila

praktikan berada di tempat gelap.5)      Praktikan disuruh membuka matanya, secara mendadak mata diterangi dengan senter,

diameter pupil diukur6)      Cahaya lampu senter diarahkan sesaat ke mata praktikan. Keadaan pupil dicatat. dicatat

seberapa cepat pupil melebar? Seberapa cepat pupil kembali ke keadaan semula?7)      Percobaan diulangi pada praktikan yang lain dan dibandingkanhasilnya.

4.3  Reflek Pupil Terhadap Akomodasi Mata                                     I.         Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah penggaris.                                  II.         Cara Kerja

1)      Ukur diameter pupil pada keadaan normal praktikan, dengan meletakkan penggaris dibawah salah satu matanya

2)      Praktikan di minta melihat benda-benda yang jauh letakknya ukur diameter pupilnya.3)      Praktikan diminta melihat benda-benda yang dekat letaknya, ukur diameter pupilnya4)      Ulangi percobaan pada praktikan yang lain dan bandingkan hasilnya.

Page 6: Document

D.    Hasil dan Pembahasan1.      Hasil Pengamatan1.1  Kelompok 1

                                i.   Pengecap

No. Rasa Ujung Tepi Pangkal

1 Manis 8 9 5

2 Asin 9 10 7

3 Pahit 6 6 10

4 Gurih 9 7 7

5 Asam 11 12 11

                             i.      Pembau

No. Nama Bahan Posisi OFT (s) ORF (s)

1 JaheI: +++II: ++

48,5 27,5

2 KencurI: +++II:++

57 40,5

3 Bawang merahI: +++II: ++

51 22

4 Bawang putihI: +++II: ++

36,5 14

5 Minyak cengkeh I: +++II: ++

45,5 24

*I: posisi bahan yang sudah diiris*II: posisi bahan yang belum diiris

1.2  Kelompok 2

Page 7: Document

                             i.      Hubungan Pengecap dan Pembau

Praktikan

Sekerat bahanApel Bengkuang kentang

Hidungdi

buka

Hidungdi

tutup

Hidung di

buka

Hidung di

tutup

Hidungdi buka

Hidungdi tutup

1

Mengecap Membau - - - - - -

Rasa Manis(+++)

Kurangmanis(++)

Kurang manis(++)

SangatKurangmanis

(+)

tawar tawar

2

Mengecap Membau - - - - - -

Rasa Manis(+++)

Kurangmanis(++)

Kurangmanis(++)

SangatKurangmanis

(+)

Sangatkurangmanis

(+)

Sangatkurangmanis

(+)

3

Mengecap Membau - - - - - -

Rasa Manis(+++)

Kurangmanis(++)

Kurangmanis(++)

pahit Hambar-pahit

Pahit

4

Mengecap Membau - - - - - -

Rasa Manis(+++)

Kurangmanis(++)

Kurangmanis(++)

Kurangmanis(++)

tawar tawar

Keterangan        : = bisa mengecap, -- =tidak berbau, (+++)= Manis, (++)=kurang manis, (+)= Sangat kurang manis

i.        Reseptor Panas Dingin

Reseptor Box

PraktikanI

PanasII

DinginDorsal Ventral Dorsal Ventral

1 + + + +2 + + + +3 + + + +4 + + + +5 + - + +6 + - + -7 + - + +8 + - + +9 + - + +10 + - + +

Page 8: Document

11 + - - +12 + + + +13 + - - +14 + + + +

Hasil 14/14 6/14 12/14 13/14

2)      Keterangan, (+)= merasakan, (-) = tidak merasakan3)      NB: praktikan I untuk perlakuan air panas (hangat) dan praktikan II untuk perlakuan air

dingin.1.3  Kelompok 3

                             i.      Pengaruh Dingin Terhadap Rasa Sakit

namaLengan bawah

Lengan

bawah dorsal

Telapak tangan ventral

Telapak tangan dorsal

Ujung jari

tangan kiri

Ujung jari

tangan kanan

dahi pipitengku

kbibir

A (cwe)

10 mm 25 mm 1 mm 15 mm 1 mm 1 mm 10 mm

25 mm

25 mm 1 mm

B(cwe )

20 mm 10 mm 1 mm 10 mm 1 mm 1 mm 20 mm

30 mm

30 mm 1 mm

C 20 mm 20 mm 5 mm 25 mm 10 mm 5 mm 5 mm 20 mm

21 mm 5 mm

Rata- rata cwe

15 mm 17,5 mm

1 mm 12 mm 1 mm 1 mm 15 mm

1 mm

27,5 mm

1 mm

                           ii.      Kepekaan Sentuhan

NamaSebelum dikasih es Sesudah dikasih es

sakit biasa sakit BiasaA (cow) 10,85 s 22,11 s 11,36 s 17,58 sB (cew) 6,82 s 9,11 s 13,91 s 11,66 sC (cew) 7,01 s 5,99 s 14,61 s 4,59 s

1.4  Kelompok 41.      Bintik buta

No Praktikan Jarak (cm) Koin yang hilang1 Praktikan 1 73 Koin ke-42 Praktikan 2 104 Koin ke-43 Praktikan 3 149,5 Koin ke-2

Page 9: Document

2.      Refleks pupil terhadap intensitas cahayaa.       Tempat gelap

Praktikan 1  Diameter pupil mata normal: 0,3 cm  Diameter pupil mata setelah dipejamkan: 0,5cm ; waktu: 5 detik  Diameter pupil mata setelah disinari : 0,4 cm ; waktu : 6 detik

Praktikan 2  Diameter pupil mata normal : 0,4 cm  Diameter pupil mata setelah dipejamkan : 0,4 cm ; waktu : 11 detik  Diameter pupil mata setelah disinari : 0,5 cm ; waktu : 5 detikb.      Tempat terang

Praktikan 1  Diameter pupil mata normal : 0,4 cm  Diameter pupil mata setelah dipejamkan : 0,5 cm ; waktu : 11 detik  Diameter pupil mata setelah disinari : 0,3 cm ; waktu : 7 detik

Praktikan 2  Diameter  pupil mata normal : 0,5 cm  Diameter pupil mata setelah dipejamkan: 0,4 cm ; waktu : 7 detik  Diameter pupil mata setelah disinari: 0,3 cm ; waktu : 6 detik3.      Refleks pupil terhadap akomodasi mataa.       Praktikan 1  Diameter pupil mata normal : 0.5 cm  Diameter pupil mata melihat benda jarak dekat : 0.4 cm; waktu 8 detik  Diameter pupil mata melihat benda jarak jauh : 0,3 cm ; waktu 8 detikb.      Praktikan 2  Diameter pupil mata normal : 0,5 cm  Diameter pupil mata melihat benda jarak dekat: 0,4 cm; waktu : 6 detik  Diameter pupil mata melihat benda jarak jauh : 0.3 cm ; waktu: 10 detikc.       Praktikan 3  Diameter pupil mata normal : 0.4 cm  Diameter pupil mata melihat benda jarak dekat : 0.3 cm ; waktu: 8 detik  Diameter pupil mata melihat benda jarak jauh : 0.2 cm ; waktu: 6 detik

1.      Pembahasan                Pengecapan adalah sensasi yang dirasakan oleh kuncup kecap, yaitu reseptor yang terutama terletak  pada lidah (terdapat kurang lebih 10.000 kuncup kecapa pada lidah manusia) dan dalam jumlah yang lebih kecil pada polatum mole dan permukaan laringeal dari epiglottis. Kuncup kecap terbenam dari epitel berlapis dari papilla sirkumvalata, papilla foliota, papilla fungiformis. Bahan kimia masuk melalui pori pengecap, yaitu lubang kecil menuju ke sel-sel reseptor. Kuncup kecap terdiri atas sekurang-kurangnya 4 jenis sel, yang dapat dikenali dengan mikroskop electron. Sel tipe 1 dan sel tipe 2 panjang dengan mikrovili pada permukaannya. Walaupun fungsinya belom diketahui, mereka dapat membantu aktivitas sel tipe 3. Sel tipe 3 juga merupakan sel tipe panjang dicirikan oleh terdapatnya banyak vesikel yang menyerupai versikel sinaps. Tipe sel ke 4 adalah suatu sel basal pra-kembang yang mungkin merupakan precursor dari sel-sel yang lebih spesifik dalam kuncup kecap.

Page 10: Document

Tonjolan dendritik dari saraf sensorik yang paling dekat dengan kumpulan vesikel sinaptik ini adalah dasar untuk penempatan penerimaan pengecapan pada sel tipe 3 (Junqueira, 1995).            Dalam percobaan indra pengecap ini, letak rasa pada lidah sebagian tidak sesuai dengan teori, karena disebabkan oleh beberapa factor, antara lain kondisi tubuh yang kurang sehat (sakit) sehingga biasanya semua rasa akan terasa pahit, dan sisa rasa makanan yang sebelumnya masih tertinggal dilidah sehingga rasa bercampur dengan rasa makanan sebelumnya. Cunkup rasa manis, asam, asin, gurih, pahit memang ada disemua bagian lidah, tapiu intensitasnya banyaknya kuncup rasa berberda-beda. Dalam percobaan ini cunkup rasa pada lidah praktikan yang paling banyak adalah kuncup rasa, rasa asam.             Indra pembau berfungsi untuk menerima bau suatu zat terlarut dalam udara atau air. Reseptor pembau terletak pada langit-langit rongga hidung, pada bagian yang disebut epitelium olfaktori. Epitelium olfaktori terdiri dari sel-sel reseptor dan sel-sel penyokong. Sel resptor olfaktori berbentuk silindris dan mempunyai filamen-filamen seperti rambut pada permukaan bebasnya. Akson sel olfaktorius berjalan menuju bulbus olfaktorius pada sistem saraf pusat. Sel-sel olfaktorius didampingi oleh sel-sel penunjang yang berupa sebaris sel-sel epitel silindris berlapis banyak semu.                Dalam praktikum pembau ini, menghitung berapakah watu yang dibutuhkan oleh praktikan untuk ketidak pekaan (kelelahan) pembabau atau yang disebut dengan Olfactor Fatigue Times (OFT) dan waktu yang dibutuhkan oleh praktikan untuk kesembuhan pembau atau yang disebut Olfactor Recovery Times (ORT). Dengan sumber bau dari jahe, bawang putih, bawang merah, kencur dan minyak cengkih.                Pembau dan pengecap saling bekerja sama, sebab rangsangan bau dari makanan dalam rongga mulut dapat mencapai rongga hidung dan diterima oleh reseptor olfaktori. Keadaan ini akan terganggu ketika kita sakit pilek, di mana hubungan antara rongga hidung dan rongga mulut terganggu, sehingga uap makann dari makanan di mulut tidak dapat mencapai rongga hidung dan makanan seakan-akan kehilangan rasanya.                Dalam percobaan ini, menggunakan buah apel, bengkoang dan kentang sebagai sumber bau rasa, dan hasilnya praktikan tidak bisa membau jenis makanan tersebut, tapi bisa merasakannya, hal ini mungkin dikarenakan sedang sakit dank arena buah yang dipakai sebagai percobaan baunya kurang menyengat.             Di dalam bola mata, persisnya pada bagian retina, yaitu bagian bola mata sebelah belakang, terdapat bintik buta yang merupakan bagian dari retina yang tidak memiliki sel-sel penangkapcahaya Sehingga cahaya yang kebetulan jatuh pada daerah bintik buta atau blind spot ini,tidak akan menghasilkan gambar Bagian mata yang tidak menagndung sel reseptor disebut bintik buta. Jika cahaya jatuh pada bintik buta, maka tidak ada pesan yang akan dikirim ke otak. Untuk mengetahui jarak bintik buta seseorang, serta menemukan letak proyeksi bintik buta. Dilakukan percobaan danmenghasilkan bahwa bintik buta hamper sama antara mata kiri dan mata kanan. Rumus nodaadalah jarak objek hilang ± jarak objek munul kembali. Jarak normal bintik buta adalah, untuk  benda kabur 40 cm dan untuk muncul kembali 28 cm, atau hasil dari keseluruhan lebih dari 14cm.             Refleks cahaya pada pupil adalah refleks yang mengontrol diameter pupil, sebagai tanggapan terhadap intensitas (pencahayaan) cahaya yang jatuh pada retina mata. Refleks pupil dapat dilihat dari mengecil dan membesarnya pupil. Akomodasi adalah perubahan dalam lekukan lensa mata dalam menanggapi satu perubahan dalam melihat jarak dan kemampuan berakomodasi disebut tempo akomodasi.            Dalam percobaan ini dapat dilihat bahwa semakin jauh jarak pandang maka pupil mata akan semakin kecil, hal ini karena daya akomodasi mata diatur melalui syaraf

Page 11: Document

parasimpatis, perangsangan syaraf parasimpatis menimbulkan kontraksi otot siliaris yang selanjutnya akan mengendurkan gligamen lensa dan meningkatkan daya bias. Dengan meningkatkan daya bias, mata mampu melihat objek lebih dekat dibanding waktu daya biasnya rendah. Akibatnya dengan mendekatnya objek kearah mata frekuensi impuls parasimpatis kedotsiliaris progresif ditingkatkan agar objek tetap dilihat dengan jelas.

E.     Kesimpulan          Sistem sensori berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem saraf pusat mengenai lingkungan sekitarnya. Pemeriksaan fisik pada sistem sensori ini sangat kompleks karena harus melibatkan pemeriksaan pada kelima sistem indra tubuh yaitu penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, dan peraba.          Gangguan pada sistem sensori disebabkan oleh adanya lesi pada saraf yang mengatur sensori tubuh. Lesi-lesi tersebut dapat menghambat hantaran impuls saraf. Pemeriksaan fisik sensori dapat dilakukan pada berbagai usia dan dilakukan untuk dapat menentukan atau mengetahui apakan pasien tersebut mengalami gangguan pada saraf sensorinya.          Benda yang bayangannya jatuh pada bintik buta suatu mata, bayangannya tidak akan jatuh pada bintik buta mata sebelahnya. Orang tidak memperoleh kesan penglihatan dari bayangan yang jatuh pada tempat yang tidak mengandung sel batang dan sel kerucut.

DAFTAR PUSTAKA

Bevelander, Gerrit & Judith A. Ramaley. 1988. Dasar-Dasar Histologi. Ed ke-8 Terjemahan Wisnu Gunarso. Erlangga. Jakarta.

Champbell. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta : Penerbit ErlanggaDellmann, Dieter & Esther M. Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Ed ke-3. Terjemahan Hartono. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Subowo. 1992. Histologi Umum. Bumi Aksara. Jakarta.

Villee, Claude A., dkk. 1999. Zoologi Umum. Jilid I. Ed ke-6. Terjemahan Nawangsari

sugiri.

Erlangga. Jakarta.Wijaya, Jati. 2007. Aktif Biologi 2A. Jakarta : Penerbit Ganeca Exact

* praktikum fisiologi hewan @laboratorium integrated UIN SuKa

PEMERIKSAAN FISIK SISTEM SENSORI

Page 12: Document

Gallery 

 

 

 

 

 

 

 

KEPERAWATAN KLINIK IV B

PEMERIKSAAN FISIK SISTEM

SENSORI

 

 

MAKALAH

diajukan guna melengkapi tugas perkuliahan

Program Studi Ilmu Keperawatan

 

 

 

oleh

Rahma Yunita                       102310101034

Mafa Afnes Sukowati           102310101050

Iput Hardianti                       102310101096

 

 

 

 

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2012

 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur ke hadirat Allah Swt. Atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemeriksaan Fisik Sistem

Sensori”.Makalah ini disusun dalam rangka melengkapi tugas perkuliahan Program

Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember.

Page 13: Document

Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena

itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:1. Ns. Ratna Sari Hardiani, M. Kep selaku Penanggung Jawab Mata Kuliah

Keperawatan Klinik IV B yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengerjakan tugas makalah ini;

2. Gigih Permana Kusuma P., Rona Gita Yanti, Roikhatul Jannah, dan Yudha Wahyu Jatmika, selaku Koordinator Mata KuliahKeperawatan Klinik IV B yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi mengenai pengerjaan tugas ini;

3. seluruh teman-teman angkatan 2010 yang telah banyak mendukung penulis.

Penulis juga menerima segala kritik dan saran sari smeua pihak demi kesempurnaan

makalah ini.Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

 

Jember, 10 Januari 2012                                                                      Penulis

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………….. ii

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………  iii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….. iv

BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………. 1

1.1  Latar Belakang………………………………………………………………. 1

1.2  Tujuan ………………………………………………………………………….. 1

1.3  Implikasi Keperawatan………………………………………………….. 2

BAB 2. TINJAUAN TEORI……………………………………………………………. 3

2.1  Pengertian……………………………………………………………………… 3

2.2  Jenis Pemeriksaan Fisik Sensori …………………………………….7

BAB 5. PENUTUP………………………………………………………………………… 27

              5.1 Kesimpulan…………………………………………………………………. 27

              5.2 Saran………………………………………………………………………….. 27

 

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………. 28

LAMPIRAN…………………………………………………………………………………  29

 

 

Page 14: Document

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 1. PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Gangguan persepsi sensori merupakan permasalahan yang sering ditemukan seiring

dengan perubahan lingkungan yang terjadi secara cepat dan tidak terduga.

Pertambahan usia, variasi penyakit, dan perubahan gaya hidup menjadi faktor penentu

dalam penurunan sistem sensori. Seringkali gangguan sensori dikaitkan dengan

gangguan persepsi karena persepsi merupakan hasil dari respon stimulus (sensori)

yang diterima.

Persepsi merupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus eksternal, juga

pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang diinterpretasikan oleh stimulus

yang diterima (Nasution, 2003). Persepsi juga melibatkan kognitif dan emosional

terhadap interpretasi objek yang diterima organ sensori (indra).  Adanya gangguan

persepsi mengindikasikan adanya gangguan proses sensori pada organ sensori, yaitu

penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Untuk itu, perlu

adanya pemeriksaan fisik sistem sensori untuk mengukur derajat gangguan sistem

sensori tersebut.

Adanya makalah ini diharapkan pembaca bisa sedikit mengetahui berbagai macam dan

teknik pemeriksaan sistem sensori. Dengan mengetahui pemeriksaan fisik sistem

sensori diharapkan permasalahan yang muncul dari hasil pemeriksaan tersebut dapat

teridentifikasi secara akurat sehingga dapat menentukan asuhan keperawatan yang

berkualitas.

 

1.2  Tujuan

1.2.1        Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan makalah ini, yaitu untuk mengetahui berbagai macam dan

teknik pemeriksaan fisik sistem sensori pada dewasa dan anak.

 

1.2.2        Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

Page 15: Document

1. Untuk mengetahui definisi sistem sensori

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sistem sensori

3. Untuk mengetahui tanda dan gejala gangguan sistem sensori

4. Untuk mengetahui definisi sistem sensori

5. Untuk mengetahui bentuk perubahan sensori

6. Untuk mengetahui tujuan pemeriksaan fisik sistem sensori

7. Untuk mengetahui jenis pemeriksaan fisik sistem sensori beserta masalah yang ditemukan.

 

1.3  Implikasi Keperawatan

Peran perawat dalam melakukan pemeriksaan fisik pada sistem sensori disini yaitu

sebagai care giver, educator, advokasi, konselor dan peneliti. Care giver disini perawat

berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan yang didasarkan pada hasil temuan

masalah yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sistem sensori. Perawat sebagai

educator yaitu sebagai pendidik yang dapat mengajarkan pihak pasien  atau keluarga

tentang penanganan masalah secara mandiri yang berfokus pada pemanfaatan potensi

individu maupun keluarga untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Peran perawat

sebagai advokasi yaitu perawat sebagai pelindung hak-hak pasien dari pihak-pihak yang

dapat merugikan pasien. Konselor yaitu perawat memberikan konseling pada pihak

keluarga atau pasien mengenai terapi maupun penyelesaian masalah gangguan sensori

yang ditemui. Peran peneliti yaitu perawat dapat menemukan penanganan yang baik

dan maksimal mengenai gangguan sistem sensori melalui penelitian sehingga

dihasilkan kualitas asuhan yang optimal.

 

 

BAB 2. TINJAUAN TEORI

 

2.1 Pengertian

Sensori merupakan stimulus, baik secara internal maupun eksternal yang masuk melalui

organ sensori berupa indra. Sistem sensori berperan penting dalam hantaran informasi

ke sistem saraf pusat mengenai lingkungan sekitarnya (Wilson & Hartwig, 2002 dalam

Price & Wilson, 2002). Sistem sensori lebih kompleks dari sistem motorik karena modal

dari sensori memiliki perbedaan traktus, lokasi yang berbeda pada medulla spinalis

(Smeltzer & Brenda, 1996) sehingga pengkajiannya dilakukan secara subyektif dan

penguji dituntut untuk mengenali penyebaran saraf perifer dari medulla spinalis.

Pengkajian sistem sensori difokuskan pada bentuk subyektif dikarenakan sistem sensori

memiliki hubungan erat dengan persepsi. Persepsi merupakan kemampuan

Page 16: Document

mengidentifikasi sesuatu melalui proses mengamati, mengetahui, dan mengartikan

stimulus yang diterima melalui indra. Untuk itu, data subyektif yang diterima berdasarkan

persepsi individu dapat menentukan kenormalan dari sistem sensori tersebut. Adanya

abnormalitas (penurunan/gangguan) sensori mengindikasikan gangguan neuropati

perifer dan kerusakan otak akibat lesi yang luas sehingga menyebabkan hilangnya

sensasi yang dapat mengganggu seluruh sisi tubuh.

Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sensori1. Usia

a)      bayi memiliki jalur saraf yang belum matang sehingga tidak bisa membedakan

stimulus sensori.

b)      Lansia mengalami perubahan degeneratif pada organ sensori dan fungsi

persyarafan sehingga mengalami penurunan fungsi pada organ sensori, yaitu

penurunan penglihatan, pendengaran, kesulitan persepsi, penurunan diskriminatif rasa

dan sensitivitas bau, perubahan taktil, gangguan keseimbangan, dan disorientasi tempat

dan waktu.1. Medikasi

a)      Beberapa antibiotik seperti streptomisin, gentamisin dapat merusak syaraf

pendengaran.

b)      Kloramfenikol mengiritasi syaraf optik.

c)      Obat analgesik, narkotik, sedatif dan antidepresan dapat mengubah persepsi

stimulus.1. Lingkungan

a)      Stimulus lingkungan yang terlalu ramai dan bising dapat membuat kebingungan,

disorientasi dan tidak mampu mebuat keputusan.

b)      Stimulus lingkungan yang terisolasimengarah pada deprivasi sensori.

c)      Kualitas lingkungan yang buruk dapat memperparah kerusakan sensori.1. Tingkat kenyamanan

Nyeri dan kelelahan dapat merubah persepsi seseorang dan bagaimana dia bereaksi

terhadap stimulus.1. Penyakit yang diderita

a)      Katarak menurunkan fungsi penglihatan.

b)      Infeksi telinga menurunkan fungsi pendengaran.

c)      Penyakit vascular perifer menyebabkan penurunan sensasi pada ekstrimitas dan

kerusakan kognisi

d)     Penyakit diabetes kronik menurunkan penglihatan, kebutaan, maupun neuropati

perifer

e)      Penyakit stroke menimbulkan penurunan kemampuan verbal, kerusakan fungsi

motorik, dan penerimaan sensori.1. Merokok

Page 17: Document

Penggunaan tembakau mengakibatkan atrofi pada saraf pengecap sehingga

menurunkan persepsi rasa.1. Tindakan medis

Intubasi endotrakea menyebabkan kehilangan berbicara sementara.1. Tingkat kebisingan

Paparan kostan pada tingkat kebisingan tinggi mengakibatkan penurunan pendengaran.

 

Tanda dan gejala seseorang yang mengalami gangguan sistem sensorik bermacam-

macam tergantung dari saraf yang mengalami gangguan. Tanda dan gejala yang umum

timbul antara lain:1. Tidak dapat merasakan dan membedakan berbagai macam sensasi yang diberikan

pada tubuh.

2. Munculnya tanda romberg yaitu mengalami ketidakseimbangan tubuh pada saat menutup mata.

 

Sedangkan beberapa bentuk perubahan sensori yang diketahui ada 3 jenis, yaitu deficit

sensori, deprivasi sensori, dan beban sensori berlebih1. Defisit Sensori.

Adalah suatu kerusakan dalam fungsi normal penerimaan dan pesepsi sensori. Individu

tidak mampu menerima stimulus tertentu (misalnya kebutaan atau tuli), atau stimulus

menjadi distorsi (misalnya penglihatan kabur karena katarak). Kehilangan sensori

secara tiba-tiba dapat menyebabkan ketakutan, marah, dan perasaan

tidak berdaya.Pada awalnya individu bersikap menarik diri dengan menghindari

komunikasi atau sosialisasi dengan orang lain dalam suatu usaha untuk mengatasi

kehilangan sensori. Klien yang mengalami deficit sensori dapat mengubah perilaku

dalam cara-cara yang adaptif atau maladaptif

2. Deprivasi Sensori.

Sistem pengaktivasi reticular dalam batang otak menyebabkan semua stimulus sensori

ke korteks serebral, sehingga meskipun saat tidur yang nyenyak, klien mampu

menerima stimulus. Jika seseorang mengalami suatu stimulasi yang tidal adekuat

kualitas dan kuantitasnya seperti stimulus yang monoton atau tidakl bermakna maka

akan terjadi deprivasi sensori. Tiga jenis deprivasi sensori adalah kurangnya input

sensori (karena kehilangan penglihatan dan pendengaran ), Eliminasi perintah atau

makna dari input ( misal terpapar pada lingkungan asing ) dan Restriksi dari lingkungan (

misalnya tirah baring atau berkuranya variasi lingkungan ) yang menyebabkan monoton

dan kebosanan.

 

 

Efek dari deprivasi sensori adalah :

Page 18: Document

1. KognitifPenurunan kapasitas belajar, ketidakmampuan berpikir atau menyelesaikan masalah, penampilan tugas buruk, disorientasi, berpikir aneh, regresi.

2. Afektif.Kebosanan, kelelahan, peningkatan kecemasan, kelabilan emosi, dan peningkatan kebutuhan untuk stimulasi fisik.

3. Persepsi.Disorganisasi persepsi terjadi pada koordinasi visual, motorik, persepsi warna, pergerakan nyata, keakuratan taktil, kemampuan untuk mempersepsikan ukiran dan bentuk, penilaian mengenai ruang dan waktu.

4. Beban Sensori yang berlebihan

Adalah suatu kondisi dimana individu menerima banyak stimulus sensori dan tidak dapat

secara perceptual tidak menghiraukan beberapa stimulus. Pada kondisi ini dapat

mencegah otak untuk berespon secara tepat atau mengabaikan stimulus tertentu.

Sehingga individu tidak lagi mempersepsikan lingkungan secara rasional. Kelebihan

sensori mencegah respon yang bermakna oleh otak, menyebabkan respon yang

berpacu, perhatian bergerak pada banyak arah dan menjadi lelah.

Kelebihan sensori adalah individual, karena jumlah stimulus yang dibutuhkan untuk

berfungsi sehat bervariasi. Toleransi seseorang pada bebab sensori yang berlebihan

dapat bervariasi oleh tingkat kelelahan, sikap, dan kesehatan emodional dan fisik.

Perubahan perilaku yang berhubungan dengan beban sensori yang berlebihan dapat

dengan mudah menjadi bingung atau disorientasi sederhana.

 

 

 

 

Pemeriksaan fisik pada sistem sensori berfokus pada fungsi neurologisnya klasifikasi

dari pemeriksaan fisik sistem sensori didasarkan pada organ sensori berupa sistem 

indra. Sistem indra yang dikenal berupa pancaindra, yaitu:1. Indra penglihatan (visual)

2. Indra pendengaran (auditori)

3. Indra perabaan (taktil)

4. Indra penciuman (olfaktori)

5. Indra pengecap (gustatory)

 

Adanya pemeriksaan fisik sistem sensori bertujuan sebagai berikut.1. Menentukan derajat gangguan sensori dalam hubungannya dengan gangguan gerak

2. Sebagai acuan untuk re-edukasi sensori

3. Mencegah terjadinya komplikasi sekunder

Page 19: Document

4. Menyusun sasaran dan rencana terapi (Pudjiastuti & Utomo, 2002)

 

 

1.2    Jenis Pemeriksaan Fisik Sensori

Pemeriksaan sistem sensori dilakukan dengan memeriksa kondisi kelima sistem indra

yaitu penglihatan, pendengaran, pembau, pengecap, dan peraba.

 

1.2.1        Pemeriksaan Fisik Indra Penglihatan

Pemeriksaan fisik mata dapat dilakukan dengan beberapa cara. Berikut ini akan

dijelaskan cara melakukan pemeriksaan mata yaitu:1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan (pemeriksaaan visus)

Mata merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai indera penglihatan sehingga

pemeriksaan ketajaman mata sangat penting untuk bisa mengetahui fungsi mata.

Pemeriksaan ketajaman mata dilakukan paling awal sebelum melakukan pemeriksaan

mata lebih lanjut.

Ketajaman penglihatan dituliskan dalam rasio perbandingan jarak penglihatan normal

seseorang dengan jarak penglihatan yang dapat dilihat oleh orang seseorang. Misalnya

ketajaman penglihatan 20/30 yang berarti seseorang dapat melihat dengan jarak 20 kaki

sedangkan pada penglihatan normal dapat dilihat dengan jarak 30 kaki. Orang dengan

mata normal memiliki nilai ketajaman mata 20/20.1. Alat:

1)      Kartu Snellen

2)      Lampu senter

3)      Karton untuk menutup mata1. Indikasi: pada pasien yang diduga mengalami gangguan sensori.

2. Kontraindikasi: –

3. Cara:

1)        Pemeriksaan menggunakan kartu snellen standar

Cara melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan menggunakan kartu snellen ini

yaitu:1. Pasien berdiri sejauh 6 meter (20 kaki) dari kartu snellen.

2. Minta pasien untuk menutup salah satu mata dengan karton.

3. Minta pasien untuk membaca huruf yang ada pada kartu sampai pasien tidak dapat membaca lagi huruf tersebut.

2)      Menilai pasien dengan penglihatan buruk

Jika pasien tidak dapat membaca huruf yang ada pada kartu snellen, maka pasien harus

diperiksa menggunakan kemampuan membaca jari tangan. Cara pemeriksaan

menggunakan kemampuan membaca jari tangan yaitu:

Page 20: Document

1. Tutup salah satu mata pasien.

2. Perawat berdiri di depan pasien dengan menunjukkan angka pada jari perawat.

3. Jika pasien tidak dapat melihat jari perawat maka dilakukan pemeriksaan menggunakan cahaya.

Namun seringkali pemeriksaan sistem penglihatan menghadapi kendala pada pasien

anak-anak, orang dengan gangguan mental, dan orang yang berpura-pura tidak melihat

karena pemeriksaan ini berfokus pada subyektif,yaitu interpretasi dari respon yang

dirasakan pasien. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu teknik pemeriksaan

yang berfokus pada objektif dan memiliki korelasi dengan daya penglihatannya melalui

alat yang disebut nystagmometer.

Gambar: Kartu Snellen

            Nystagmometer merupakan alat pemeriksaan visus secara objektif yang

disasarkan pada gejala faal yang dikenal dengan nama “pursuit eye movement”, yaitu

bahwa mata seseorang akan bergerak mengikuti suatu benda yang menjadi

perhatiannya, apabila benda tersebut bergerak (Sarwono: 1982). Peristiwa tersebut

disebut sebagai optokinetik nystagmus. Intinya, seseorang akan mengikuyi objek

penyebab nystagmug-nya tersebut. Semakin kecil objek yang dapat menimbulkan

gerakan bola mata akibat mata yang mengikuti gerakan objek tersebut, semakin baik

daya penglihatan orang tersebut.

Kelainan pada mata:1. Astigmatis

Astigmatis atau yang sering dikenal dengan mata silindris merupakan suatu kelainan

mata yang menyebabkan mata penderitanya menjadi kabur. Gangguan ini terjadi akibat

penderita tidak dapat melihat garis horizontal dan vertical secara bersamaan. Kornea

pada penderita astigmatis berbentuk abnormal. Kornea normal berbentuk bulat seperti

bola, tetapi pada gangguan ini kornea mata memiliki lengkungan yang terlalu besar

pada salah satu sisinya. Cara menangani astigmatis ini adalah dengan menggunakan

kacamata silinder atau lensa kontak.

 

 1. Miopi

Miopi atau rabun jauh merupakan kelainan mata yang menyebabkan penderitanya tidak

dapat melihat dalam jarak jauh. Penyebab dari miopi adalah bola mata yang terlalu

panjang dan bayangan benda yang jatuh di depan bintik kuning. Cara menangani miopi

yaitu dengan menggunakan kacamata cekung (negative).1. Hipermetropi

Hipermetropi atau rabun dekat merupakan gangguan pada mata yang ditandai dengan

penderita tidak dapat melihat dengan jelas dalam jarak dekat. Penyebab dari

Page 21: Document

hipermetropi ini yaitu adanya kelainan bola mata yang terlalu pendek dan bayangan

jatuh di belakang bintik kuning. Cara menangani gangguan ini adalah dengan memakai

kacamata lensa cembung (positif).1. Presbiopi

Presbiopi atau rabun dekat dan jauh merupakan gangguan mata yang ditandai dengan

penderita tidak dapat melihat dalam jarak dekat dan jauh. Penyebab dari gangguan ini

adalah semakin berkurangnya daya akomodasi dari mata. Cara mengatasi gangguan ini

adalah dengan memakai kacamata berlensa rangkap (atas negative, bawah positif).1. Rabun senja

Gangguan ini ditandai dengan penderitanya tidak dapat melihat dengan baik saat malam

hari atau kurang cahaya. Penyebab dari gangguan ini adalah kurangnya vitamin A. cara

mencegah dan mengatasi masalah ini adalah dengan mengkonsumsi makanan kaya

vitamin A.1. Keratomalasi

Gangguan ini ditandai dengan kornea mata yang keruh yang penyebabnya kekurangan

vitamin A yang sangat parah sehingga penyakit ini merupakan tingkat lanjut dari rabun

senja. Apabila hal ini tidak segera diatasi akan menyebabkan kebutaan.

 

 

 1. Katarak

Kelainan pada lensa mata karena lensa mata menjadi kabur dan keruh yang

menyebabkan cahaya yang masuk tidak dapat mencapai retina. Katarak dapat diatasi

dengan cara operasi.1. Juling

Kelainan ini sebagai akibat  ketidakserasian kerja otot penggerak bola mata kanan dan

kiri. Penyakit ini bisa diatasi dengan cara operasi pada otot mata.1. Glaukoma

Gangguan ini ditandai dengan peningkatan tekanan di dalam bola mata karena danya

sumbatan pada saluran di dalam bola mata dan pembentukan cairan berlebih dalam

bola mata. Gangguan ini bisa diatasi dengan cara pembedahan atau obat-obatan yang

diminum seumur hidup.1. Buta Warna

Penderita umumnya tidak dapat membedakan warna tertentu misal hijau dan biru.

Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang tidak dapat disembuhkan akan tetapi

ada juga penyebab lainnya misalkan saja karena kecelakaan atau trauma pada mata.

 1. Pemeriksaan lapangan pandangan

Page 22: Document

Cara yang paling mudah dalam melakukan pemeriksaan lapangan pandangan adalah

menggunakan metode uji telunjuk.1. Indikasi: pasien yang diduga mengalami gangguan sensori.

2. Kontraindikasi: –

3. Cara:

1)      Pasien dan perawat duduk berhadapan.

2)      Minta pasien untuk menutup salah satu matanya.

3)        Perawat juga ikut menutup salah satu matanya. Misalnya jika pasien menutup

mata kirinya, maka perawat menutu mata kanannya.

4)        Minta pasien memandang hidung perawat.

5)        Minta pasien menghitung jumlah jari yang ada pada bagian superior dan inferior

lirikan temporal dan nasal.1. Pemeriksaan buta warna (tes isihara)

Salah satu gangguan mata yang bersifat herediter, yaitu buta warna. Buta warna

merupakan penglihatan warna-warna yang tidak sempurna, seringkali disebut sebagai

cacat penglihatan warna. Cacat penglihatan warna bersifat didapat, terkadang

merupakan gejala dini kerusakan mata. Untuk mengetahui adanya cacat penglihatan

mata perlu dilakukan tes isihara.

Tes isihara merupakan gambar-gambar pseudoisokromatik yang disusun oleh titik dan

kepadatan warna yang berbeda, berasal dari warna primer yang didasarkan warna yang

hamper sama. Titik-titik warna tersebut disusun dengan bentuk dan pola tertentu tanpa

adanya kelainan persepsi warna.1. Alat dan bahan:

Gambar pseudoisokromatik

b. Teknik:1. Kartu isihara diletakkan di tempat dengan penerangan baik

2. Pasien diminta menyebutkan gambar atau angka pada kartu tersebut dalam 10 detik

c. Penilaian

Bila lebih dari 10 detik berarti terdapat kelainan penglihatan warna buta warna merah

hijau terdapat atrofi saraf optik, buta warna biru kuning terdapat pada retinopati

hipertensif, retinopati diabetic dan degenerasi macula senile dini. Degenerasi pada

macula stargardts dan fundus lamikulatus memberikan gangguan penglihatan warna

merah-hijau.

d.Petunjuk Pengisian Gambar

No 1 : semua orang baik normal atau buta warna dapat membaca dengan benar angka

12. Bagian ini biasanya digunakan pada awal test.

No 2 : pada orang normal terbaca “8” dengan defisiensi merah-hijau “3”.

No 3 : pada orang normal terbaca “5” dengan defisiensi merah-hijau “2”.

Page 23: Document

No 4 : pada orang normal terbaca “29” dengan defisiensi merah-hijau “70”.

No 5 : pada orang normal terbaca “74” dengan defisiensi merah-hijau “21”.

No 6-7 : pada orang normal dapat membaca dengan benar tetapi pada orang dengan

defisiensi merah hijau, susah atau tidak dapat membacanya.

No 8 : pada orang normal dengan jelas “2” tetapi bagi defisiensi merah-hijau tidak jelas.

No 9 : pada orang normal susah atau tidak terbaca tetapi kebanyakan pada orang

dengan defisiensi merah hijau melihat “2”.

No 10 : pada orang normal angka terbaca “16” tetapi bagi defisiensi merah hijau tidak

dapat membaca.

No 11 : gambar garis yang melilit diantara 2 xs. Pada orang normal, dapat mengikuti

garis ungu-hijau. Tetapi pada orang buta warna tidak dapat mengikuti atau dapat

mengikuti tapi berbeda dengan orang normal.

No 12 : pada orang normal dan defesiensi merah hijau melihat angka “35” tetapi pada

protanopia dan protanomali berat hanya dapat membaca angka “5” dan pada

deuteranopia dan deuteranopia berat terbaca angka “3”.

No 13 : pada orang normal dan defesiensi merah hijau ringan melihat angka “96” tetapi

pada protonopia dan protonopia berat hanya terbaca “6”.

No 14 : pada orang normal dapat mengikuti garis yang melilit 2 xs, ungu dan merah;

pada protanopia dan protanomali berat hanya mengikuti garis ungu dan pada

protanomali ringan kedua garis diikuti tetapi garis ungu kurang terlihat untuk diikuti; pada

deuteranopia dan deuteranomalia berat hanya garis merah yang diikuti; pada

deuteranomalia ringan kedua garis dapat diikuti tetapi garis merah kurang terlihat untuk

diikuti.

Gambar: ishihara test

 

3.2.2        Pemeriksaan Fisik Indra Pendengaran

Sama halnya dengan pemeriksaan mata, dalam melakukan pemeriksaan telinga juga

dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:1. Tes ketajaman auditorius

Tes ini akan dapat mengetahui kemampuan pasien dalam mendengarkan bisikan

kata(voice test) atau detakan jam tangan.1. Alat: bel kecil

2. Indikasi: dapat dilakukan pada semua usia yang diduga mengalami gangguan sensori.

3. Kontraindikasi: –

4. Cara:

1)Bayi:

a)      Perawat berdiri di belakang anak.

b)      Bunyikan sebuah bel kecil, bunyikan jari-jari atau tepuk tangan.

Page 24: Document

c)      Hasilnya: pada bayi yang kurang dari 4 bulan menunjukkan reflek terkejut. Bayi

yang berusia 6 bulan/lebih mencoba mencari suara dengan menggerakkan mata atau

kepala mereka.

2)Anak usia prasekolah:

a)      Perawat berdiri 0,6 sampai 0,9 meter di depan anak.

b)      Berikan instruksi tertentu pada anak.

c)      Hasil: anak dengan pendengaran normal akan melakukan instruksi.

3)Anak usia sekolah

a)      Berdiri kira-kira 0,3 m di belakang anak.

b)      Perintahkan anak untuk menutup telinganya.

c)      Bisikkan angka pada anak.

d)     Perintahkan anak untuk menirukan angka yang dibisikkan.

e)      Lakukan pada telinga lainnya.

 1. Uji garputala

2.1  Uji weber1. Alat: garputala.

2. Tujuan: untuk membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural.

3. Indikasi: bisa digunakan pada anak-anak dan dewasa.

4. Kontraindikasi: –

5. Cara:

1)Pukulkan garputala pada telapak tangan.

2)Letakkan garputalapada garis tengah kepala pasien.

3)Tanyakan pada pasien letak suara yang terdengar paling keras.1. Hasil: pada pasien sensorineural, suara terdengar pada telinga yang tidak

terganggu. Ssedangkan pada tuli konduktif, suara terdengar lebih jelas pada telinga yang terganggu.

 

Gambar: tes weber

 

2.2  Uji rinne1. Alat: garputala.

2. Tujuan: untuk membandingkan hantaran udara dan tulang.

3. Indikasi: dapat dilakukan pada anak dan dewasa.

4. Kontraindikasi:

5. Cara:

1)Pukulkan garputala pada telapak tangan.

2)Letakkan batang garputala ke tulang mastoideus pasien.

Page 25: Document

3)Ketika pasien menunjukkan bahwa suara tidak terdengar lagi, dekatkan gigi garputala

ke meatus eksternus salah satu telinga.

4)Lakukan cara yang sama pada telinga lainnya.

Gambar: rinne test

2.3  uji Scwabach1. Alat: garputala.

2. Tujuan: untuk membandingkan hantaran bunyi dari 2 subyek.

3. Indikasi: dapat dilakukan pada anak dan dewasa.

4. Kontraindikasi: –

5. Cara:

1. Getarkan garputala yang dipegang

2. Letakkan ujung garputalapada lubang telinga pasien

3. Ketika pasien menunjukkan bahwa suara tidak terdengar lagi,

4. Lakukan cara yang sama pada telinga subyek kedua atau pemeriksa

5. Bandingkan hasilnya dari kedua subyek tersebut

6. Hasil:

1)Normal: anak akan mendengar suara garputala di meatus eksternus setelah tidak

terdengar di prosesus mastoideus dan suara dapat terdengar sama baiknya.

2)Abnormal: pada kehilangan pendengaran sensorineural memungkinkan suara yang

dihantarkan lewat udara lebih baik dari pada lewat tulang dan segala suara diterima

seperti sangat jauh dan lemah.

 

3.2.3        Pemeriksaan Fisik Pengecap.

Pada hakekatnya, lidah mempunyai hubungan erat dengan indera khusus pengecap.

Zat yang memberikan impuls pengecap mencapai sel reseptor lewat pori pengecapan.

Ada empat kelompok pengecap atau rasa yaitu manis, asin, asam, dan pahit.

Gangguan indera pengecap biasanya disebabkan oleh keadaan yang mengganggu

tastants atau zat yang memberikan impuls pengecap pada sel reseptor dalam taste bud

(gangguan transportasi) yang menimbulkan cedera sel reseptor (gangguan sensorik)

atau yang merusak serabut saraf aferen gustatorius serta lintasan saraf sentral

gustatorius (gangguan neuron).

Manifestasi klinis dari indera pengecap apabila dilihat dari sudut pandang psikofisis,

gangguan pada indera pengecap dapat digolongkan menurut keluhan pasien atau

menurut hasil pemeriksaan sensorik yang objektif missal sebagai berikut.1. Ageusia total adalah ketidakmampuan untuk mengenali rasa manis, asin, pahit, dan

asam.

2. Ageusia parsial adalah kemampuan mengenali sebagian rasa saja.

Page 26: Document

3. Ageusia spesifik adalah ketidakmampuan untuk mengenali kualitas rasa pada zat tertentu.

4. Hipogeusia total adalah penurunan sensitivitas terhadap semua zat pencetus rasa.

5. Hipogeusia parsial adalah penurunan sensitivitas terhadap sebagian pencetus rasa.

6. Disgeusia adalah kelainan yang menyebabkan persepsi yang salah ketika merasakan zat pencetus rasa.

Pasien dengan keluhan hilangnya rasa bisa dievaluasi secara psikofisis untuk fungsi

gustatorik selain menilai fungsi olfaktorius. Langkah pertama melakukan tes rasa

seluruh mulut untuk kualitas, intensitas, dan persepsi kenyamanan dengan sukrosa,

asam sitrat, kafein, dan natrium klorida. Tes rasa listrik (elektrogustometri) digunakan

secara klinis untuk mengidentifikasi defisit rasa pada kuadran spesifik dari lidah. Biopsi

papilla foliate atau fungiformis untuk pemeriksaan histopatologik dari kuncup rasa masih

eksperimental akan tetapi cukup menjanjikan mengetahui adanya gangguan rasa.

3.2.4        Pemeriksaan Fisik Peraba.

Pemeriksaan fisik indra perabaan didasarkan pada sensibilitas. Pemeriksaan fisik

sensori indra perabaan (taktil)  terbagi atas 2 jenis, yaitu basic sensory

modalitiesdan testing higher integrative functions. Basic sensory

modalities (pemeriksaan sensori primer) berupa uji sensasi nyeri dan sentuhan, uji

sensasi suhu, uji sensasi taktil, uji propiosepsi (sensasi letak), uji sensasi getar

(pallestesia), dan uji sensasi tekanan. Sedangkan testing higher integrative functions (uji

fungsi integratif tertinggi) berupa stereognosis, diskriminasi 2 titik, persepsi figure kulit

(grafitesia), ekstinksi, dan lokalisasi titik.

Sensasi raba dihantarkan oleh  traktus spinotalamikus ventralis. Sedangkan sensasi

nyeri dan suhu dihantarkan oleh serabut saraf menuju ganglia radiks dorsalis dan

kemudian serabut saraf akan menyilang garis tengah dan akan masuk menuju traktus

spinotalamikus lateralis kontralateral yang akan berakhir di talamus sebelum

dihantarkan ke korteks sensorik dan diinterpretasi.  Adanya lesi pada traktus-traktus

tersebutlah yang dapat menyebabkan gangguan sensorik tubuh.

 1. Basic sensory modalities(pemeriksaan sensori primer)

1. Uji sensasi nyeri dan sentuhan

Uji sensasi nyeri dan sentuhan terbagi menjadi 2 macam, yaitu nyeri superficial (tajam-

tumpul) dan nyeri tekan.

1)      Nyeri superficial

Merupakan metode uji sensasi dengan menggunakan benda yang memiliki 2 ujung,

yaitu tajam dan tumpul. Benda tersebut dapat berupa peniti terbuka maupun jarum pada

reflek hammer. Pasien dalam keadaan mata terpejam saat dilakukan uji ini dan

dilakukan pengkajian respon melalui pertanyaan “apa yang anda rasakan?” dan

membandingkan sensasi 2 stimulus yang diberikan. Apabila terjadi keraguan respon

Page 27: Document

maupun kesulitandan ketidakmampuan  dalam membedakan sensasi, maka hal ini

mengindikasikan adanya deficit hemisensori berupa analgesia, hipalgesia, maupun

hiperalgesia pada sensasi nyeri. Sedangkan gangguan pada sensasi sentuhan berupa

anestesia dan hiperestesia.

2)      Nyeri tekan

Merupakan metode uji sensori dengan mengkaji nyeri melalui penekanan pada tendon

dan titik saraf. Metode ini sering digunakan dalam uji sensori protopatik (nyeri

superficial, suhu, dan raba) dan uji propioseptik (tekanan, getar, posisi, nyeri tekan).

Misalnya, berdasarkan Abadie sign pada daerah dorsalis, tekanan ringan yang diberikan

pada tendon Achilles normalnya adalah ‘hilang’. Dengan kata lain tidak dapat dirasakan

sensasi nyeri bila diberikan tekanan ringan pada tendon Achilles.1. Uji sensasi suhu

Uji sensasi suhu pada dasarnya lebih direkomendasikan apabila pasien terindikasi

gangguan sensasi nyeri. Hal ini dikarenakan pathways dari indra nyeri dan suhu saling

berbuhungan. Metode ini menggunakan gelas tabung yang berisi air panas dan dingin.

Pasien diminta untuk membedakan sensasi suhu yang dirasakan tersebut. Apabila

pasien tidak dapat membedakan sensasi,maka pasien dapat diindikasikan mengalami

kehilangan “slove and stocking” (termasuk dalam gangguan neuropati perifer).1. Uji sensasi taktil

Uji sensasi taktil dilakukan dengan menggunakan sehelai dawai (senar) steril atau dapat

juga dengan menggunakan bola kapas.  Pasien yang dalam keadaan mata terpejam

akan diminta menentukan area tubuh yang diberi rangsangan dengan memberikan

hapusan bola kapas pada permukaan tubuh bagian proksimal dan distal. Perbandingan

sensitivitas dari tubuh proksimal dan distal akan menjadi tolak ukur dalam menentukan

adanya gangguan sensori. Indikasi dari gangguan sensori pada uji sensasi taktil ini

berupa hyperestetis, anastetis, dan hipestetik.1. Uji propiosepsi (sensasi letak)

Uji ini dilakukan dengan menggenggam sisi jari pada kedua tungkai yang disejajarkan

dan menggerakkannya ke arah gerakan jari. Namun yang perlu diperhatikan adalah

menghindari menggenggam ujung dan pangkal jari atau menyentuh jari yang

berdekatan karena lokasi sensasinya mudah ditebak (memberikan isyarat sentuh). 

Pasien yang dalam keadaan mata terpejam diminta untuk menentukan lokasi jari yang

digerakkan.

Selain itu, uji ini juga dapat dilakukan dengan menguji posisi sensasi di sendi

metakarpalia palangeal untuk telapak kaki besar. Orang muda normal memiliki derajat

diskriminasi sebesar 1 sampai 2 derajat untuk gerakan sendi distal jari dan 3 sampai 5

derajat untuk kaki besar.1. Uji sensasi vibrasi (pallestesia)

Page 28: Document

Uji sensasi vibrasi  dilakukan menggunakan garpu tala frekuensi rendah (128 atau 256

Hertz) yang diletakkan pada bagian tulang yang menonjol pada tubuh pasien. Kemudian

pasien diminta untuk merasakan sensasi yang ada dengan memberikan tanda bahwa ia

dapat merasakan sensasi getaran. Apabila pasien masih tidak bisa merasakan sensasi

getaran, maka perawat menaikkan frekuensi garputala sampai pasien dapat merasakan

sensasi getaran tersebut. Pasien muda dapat merasakan getaran selama 15 detik di ibu

jari kaki dan 25 deti di sendi distal jari. Sedangkan pasien usia 70 tahun-an merasakan

sensasi getaran masing-masing selama 10 detik dan 15 detik.1. Uji sensasi tekanan

Uji sensasi tekanan menerapkan kemampuan pasien dalam membedakan tekanan dar

sebuah objek pada ujung jari. Uji ini dilakukan dengan cara menekan aspek tulang sendi

dan subkutan untuk mempersepsikan tekanan. Rekomendasi untuk uji tekanan ini

diutamakan pada penderita diabetes dan dilakukan minimal sekali setahun.1. Testing higher integrative functions(uji fungsi integratif tertinggi)

1. Stereognosis

Stereognosis merupakan kemampuan untuk mengenali objek dengan perasaan. Uji ini

merupakan identifikasi benda yang dikenal dan diletakkan di atas tangan pasien

sehingga pasien dapat mengidentifikasi benda yang berada di tangannya. Adanya

kesulitan identifikasi benda (gangguan stereognosis) mengindikasikan adanya lesi pada

kolumna posterior atau korteks sensori.1. Diskriminasi 2 titik

Diskriminasi 2 titik merupakan metode identifikasi sensasi 2 titk dari penekanan 2 titik

pin yang berada pada permukaan kulit. Uji ini terus dilakukan berulang hingga pasien

tidak dapat mengidentifikasi sensasi 2 titik yang terpisah. Lokasi yang sering digunakan

untuk uji ini adalah ujung jari, lengan atas, paha, dan punggung. Adanya gangguan

identifikasi 2 titik mengindikasikan adanya lesi pada kolumna posterior atau korteks

sensori.1. Identifikasi angka (grafitesia)

Grafitesia merupakan metode penggambaran angka di mana nantinya pasien diminta

untuk mengidentifikasi angka yang tergambar pada telapak tangan. Metode grafitesia

dapat menggunakan ujung tumpul pulpen sebagai media stimuli. Kesulitan pada

identifikasi angka menunjukkan adanya glesi pada kolumna posterior atau korteks

sensori.1. Ekstinksi

Ekstinksi merupakan salah satu uji sensori yang menggunakan metode sentuhan pada

kedua sisi tubuh. Uji ini dilakukan pada saat yang sama dan lokasi yang sama pada

kedua sisi tubuh, misalnya lengan bawah pada kanan dan kiri lengan. Apabila pasien

tidak bisa menggambarkan jumlah titik lokasi sentuhan (biasanya psien hanya

Page 29: Document

merasakan satu sensasi), maka dapat dipastikan pasien teridentifikasi adanya lesi

sensoris.1.  Lokalisasi titik

Lokalisasi titik merupakan metode didentifikasi letak lokasi sensasi stimulus. Metode ini

dilakukan dengan cara memberikan sensasi sentuhan ringan pada permukaan kulit dan

meminta pasien untuk menyebutkan atau menunjukkan letak sensasi yang dirasakan.

Adanya penurunan sensasi sensori dibuktikan dengan adanya ketidak-akuratan

identifikasi lokalisasi. Hal ini disebabkan adanya lesi pada korteks sensori sehingga

terjadi penurunan maupun hilangnya sensasi sentuhan pada sisi tersebut.

 

2.2.5 pemeriksaan Fisik Indra Penciuman

Indra penciuman merupakan penentu dalam identifikasi aroma dan cita rasa makanan-

minuman yang dihubungkan oleh saraf trigeminus sebagai pemantau zat kimia yang

terhirup. Indra penciuman dianggap salah satu sistem kemosensorik karena sebagian

besar zat kimia menghasilkan persepsi olfaktorius, trigeminus, dan pengecapan. Hal ini

dikarenakan sensasi kualitatif penciuman ditangkap neuroepitelium olfaktorius sehingga

menimbulkan sensibilitas somatic berupa rasa dingin, hangat, dan iritasi melalui serabut

saraf aferen trigeminus, glosofaringeus, dan vagus dalam hidung, kavum oris, lidah,

faring, dan laring.

Adanya gangguan penciuman (osmia) dapat diakibatkan oleh proses patologis

sepanjang olfaktorius yang hampir serupa dengan gangguan pendengaran berupa defek

konduktif maupun defek sensorineural. Defek konduktif (transport) terjadi akibat adanya

gangguan transisi stimulus  bau menuju neuroepitel, sedangkan defek sensorineural

cenderung melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Namun penyebab utama dari

gangguan penciuman, yaitu penyakit rongga hidung maupun sinus, sebelum terjadi

infeksi saluran nafas atas, dan trauma kepala (Kris, 2006).

Gangguan penciuman (osmia) memiliki sifat total (seluruh bau), parsial (sejumlah bau),

atau spesifik (satu atau sejumlah kecil bau). Jenis-jenis gangguan penciuman, yaitu:1. Anosmia merupakan ketidak-mampuan mendeteksi bau

2. Hiposmia merupakan penurunan kemampuan mendeteksi bau

3. Disosmia merupakan distorsi identifikasi bau (tidak bisa membedakan bau)

4. Parosmia merupakan perubahan persepsi pembauan

5. Phantosmia merupakan persepsi bau tanpa adanya sumber bau

6. Agnosia merupakan ketidakmampuan menyebutkan maupun membedakan bau, meski pasien dapat mendeteksi bau.

 

Etiologi dari gangguan penciuman adalah sebagai berikut.1. Defek konduktif

Page 30: Document

1. Proses inflamasi

Proses inflamasi  dapat menyebabkan gangguan pembauan akibat rintitis dan sinus

kronik. Rintitis dan sinus kronik mengakibatkan inflamasi mukosa nasal sehingga terjadi

abnormalitas sekresi mucus. Sekreai mucus yang berlebihan mengakibatkan silia

olfaktorius tertutup mucus sehingga sensitivitas olfaktorius menurun/menghilang.1. Massa/tumor

Adanya massa pada rongga hidung mengakibatkan perubahan structural dalam kavum

nasi berupa polip, neoplasma, maupun deviasi septum nasi sehingga dapat

menghalangi aliran odoran (zat yang menimbulkan bau) ke epitel olfaktorius.1. Abnormalitas developmental

Amnormalitas developmental dapat berupa ensefalokel maupun kista dermoid yang

mengakibatkan obstruksi pada roingga hidung sehingga menghalangi aliran odoran ke

epitel olfaktori.

 1. Defek sensorineural

1. Proses inflamasi

Proses inflamasi dapat diakibatkan infeksi virus yang merusak neuroepitel, sarkoidosis

yang mempengaruhi struktur saraf, maupun sklerosis multiple. Inflamasi ini berakibat

pada destruksi neuroepitelium olfaktorius yang dapat mengganggu transmisi sinyal

(stimulus odoran) ke epitel olfaktorius.1. Penyebab congenital

Congenital dapat menjadi faktor penentu gangguan penciuman. Hal ini dikarenakan

kelainan yang bersifat congenital berakibat pada hilangnya struktur saraf. Misalnya,

Kallman syndrome mengakibatkan anosmia akibat gagalnya ontogenesis struktur

olfaktorius dan hipogonadisme hipogonadotropik.1. Gangguan endokrin

Gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, hipotiroidisme, maupun hipoadrenalisme

dapat mempengaruhi fungsi pembauan berupa gangguan persepsi bau.1. Trauma kepala

Trauma kepala pada basis fossa kranii anterior atau lamina kribiformis maupun akibat

proses pembedahan kepala atau saraf  dapat menyebabkan regangan, kerusakan,

maupun terputusnya fila olfaktori halus sehingga menyebabkan anosmia.

 

 

 1. Toksisitas obat sistemik

Obat-obatan yang dapat mengubah sensitivitas bau yaitu obat neurotoksik (etanol,

amfetamin, kokain tropical, aminoglikosida, tetrasiklin, asap rokok).

Page 31: Document

1. Defisiensi gizi

Defisiensi gizi berupa vitamin A, thiamin, maupun zink terbukti dapat mempengaruhi

fungsi pembauan.1. Penurunan jumlah serabut bulbus olfaktorius

Penurunan serabut bulbus olfaktorius sebesar 1% per tahun akibat penurunan sel-sel

sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi kognitif di susunan saraf pusat.1. Proses degenerative.

Proses degenerative pada sistem saraf pusat berupa penyakit Parkinson, Alzheimer,

dan proses penuaan normal dapat mengakibatkan hiposmia. Pada Alzheimer, hilangnya

fungsi pembauan merupakan gejala pertama proses penyakitnya. Sedangkan proses

penuaan, terjadi penurunan penciuman yang lebih pesat daripada pengecapan dan

penurunan paling pesat terjadi pada usia 70an.

 

Untuk mengidentifikasi adanya gangguan penciuman diperlukan pemeriksaan fisik untuk

menentukan sensasi kualitatif dan ambang batas deteksi.1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif

Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif yang paling sederhana dapat

menggunakan bahan-bahan odoran berbeda. Contohnya kopi, vanilla, selai kacang,

jeruk, limun, coklat, dan lemon. Pasien diminta untuk mengidentifikasi bau dengan mata

tertutup dan kemudian mencium aroma dari bahan-bahan odoran tersebut.

 

 

 

Sedangkan saat ini terdapat beberapa metode yang tersedia untuk pemeriksaan

penciuman, yaitu:1. Tes odor stix

Uji ini menggunakan pena penghasil bau-bauan. Penba ini dipegang dalam jarak sekitar

3-6 inci dari hidung pasien untuk mengkaji persepsi bau pasien secara kasar.1. Tes alkhohol 12 inci

Merupakan metode pemeriksaan persepsi bau secara kasar dengan menggunakan

paket alkhohol isopropil yang dipegang pada jarak 12 inci.1. Scratch and sniff card

Metode ini menggunakan kartu yang memiliki 3 bau untuk menguji penciuman secara

kasar1. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)

Merupakan metode paling baik untuk menguji penciuman dan paling direkomendasikan.

Uji ini menggunakan 40 item pilihan ganda berisi bau-bauan berbentuk kapsul mikro.

Orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya memiliki skor kisaran 1-7 dari skor

Page 32: Document

maksimal 40. Untuk anosmia total, skor yang dihasilkan lebih tinggi karena terdapat

adanya sejumlah bau-bauan yang bereaksi terhadap rangsangan terminal.1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan ambang batas

Penentuan ambang deteksi bau menggunakan alkhohol feniletil yang ditetapkan dengan

menggunakan rangsangan bertingkat. Masing-masing lubang hidung harus diuji

sensitivitasnya melalui ambang deteksi untuk fenil-etil metil etil karbinol.

 

 

 

 

BAB 4. PENUTUP

 

4.1 Kesimpulan

Sistem sensori berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem saraf pusat

mengenai lingkungan sekitarnya. Pemeriksaan fisik pada sistem sensori ini sangat

kompleks karena harus melibatkan pemeriksaan pada kelima sistem indra tubuh yaitu

penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, dan peraba.

Gangguan pada sistem sensori disebabkan oleh adanya lesi pada saraf yang mengatur

sensori tubuh. Lesi-lesi tersebut dapat menghambat hantaran impuls saraf.

Pemeriksaan fisik sensori dapat dilakukan pada berbagai usia dan dilakukan untuk

dapat menentukan atau mengetahui apakan pasien tersebut mengalami gangguan pada

saraf sensorinya.

 

4.2 Saran

Perawat hendaknya dapat mempraktikkan dan menguasai teknik dalam pemeriksaan

fisik sistem sensori agar dapat menentukan tindakan asuhan keperawatan secara

efektif.

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Anonym. 2006. Critical Care Concept: Neuro Assesment Handout.

Brickley, Linn S. 2007. Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat

KesehatanBates.Edisi 5.Terjemahan oleh Esty Wahyuningsih. 2008. Jakarta: EGC.

Engel, Joyce. 1998. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Horison. 1995. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol I. Edisi 13. Jakarta: EGC.

Juwono, T. 1996. Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta: EGC.

Kris. 2005. Info Kesehatan THT-Bedah Kepala Leher: Gangguan

Penciuman/Penghidu. http://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-

penciumanpenghindu/  [13 Februari 2012].

Page 33: Document

Nasution, Siti saidah. 2003. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Perubahan

Persepsi Sensori: Halusinasi. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Price, Sylvia A. & Wilson, Lorraine M. 2002. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit. Edisi 6.Volume 2. Jakarta: EGC.

Pudjiastuti, Sri Surini & Utomo, Budi. 2002. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta: EGC.

Sarwono, Djoko. 1982. Penilaian Daya Penglihatan Anak Di Bawah Umur 1 Tahun.

Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran.

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner & Suddarth.Edisi 8.Volume 3.Terjemahan oleh Andry Hartono. 2002. Jakarta:

EGC.

http://www.scribd.com/doc/45883660/SGD-1-Pemeriksaan-fisik

 

Page 34: Document

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 35: Document

bsp; e)��a>�� �span>Makalah adalah hasil kerja orisinil dari kelompok (bukan

plagiat).

 1. Daftar pustaka harus jelas sumbernya dan tidak berasal dari sebuah blog (untuk

rujukan online).

2. Makalah diketik diatas kertas HVS A4 dengan batas kiri 4 cm, kanan 3 cm, atas 3 cm, bawah 3 cm. Huruf Times New Roman 12 dengan spasi 1,5.

3. Makalah dijilid rapi dengan bufalo warna biru muda, sebelum diserahkan ke dosen.

4. 6.         Makalah harus sudah dikumpulkan ke dosen pendamping/fasilitator maksimal (paling lambat) 3 hari sebelum presentasi/perkuliahan atau H-3.  

lampiran 3

Format penilaian tugas kelompok

 

Format Penilaian makalah

kelompok                    :

semester/tahun ajaran  :

Dosen                          :No Aspek yang dinilai Nilai maksimal

1.

Aspek teoritis kasus1. Ketepatan pengertian kasus yang diambil

(lebih dari 2 pengertian menurut berbagai pakar/ahli)

2. Ketepatan pembuatan patofisiologi atau perjalanan penyakit dan secara skematik

3. Ketepatan penatalaksanaan dan Komplikasi

10

10

10

2.

Aspek teoritis keperawatan1. Ketepatan dalam pengkajian secara

umum yang didapatkan dari pustaka/teori

2. Kemampuan pemuatan tujuan dan criteria hasil

3. Ketepatan dalam rencana tindakan

4. Kemampuan merasionalkan rencana tindakan

10

10

10

10

3.

Penggunaan referensi1. Ketepatan referensi yang digunakan

2. Tahun referensi yang digunakan

3. Kemampuan merangkum referensi10

10

10

Page 36: Document

Total 100

 

 

Mengetahui

Dosen

 

 

 

 

………………………..

NIP

 

 

 

lampiran 4

Format penilaian

Peran serta selama diskusi

No Aspek yang dinilai Bobot

1. Persiapan untuk conferment 10

2. Mempersiapkan rencana askep 10

3.Mengemukakan issu untuk diskusi kelompok 10

4. Memberikan ide selama conferment 10

5.Mensintesis pengetahuan dan memakainya dalam penyelesaian masalah 10

6. Menerima ide orang lain 10

7. Menstimulasi strategi keperawatan 10

8. Mengontrol emosi sendiri 10

9.

Mampu bekerjasama dalam kelompok

10

Total nilai 100

Mengetahui

Dosen

 

 

 

 

 

………………………

NIP

Page 37: Document

 

 

12.� ���ght:150%;font-family:”Times New Roman”,”serif”;mso-fareast-font-family:

“Times New Roman”;mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;mso-bidi-theme-font:

minor-bidi;mso-ansi-language:IN;mso-fareast-language:IN’>Anjurkan makan pada posisi

duduk tegak

 

 1. Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak

1. keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan

2. adanya pembesaran hepar dapat menekan saluran gastro intestinal dan menurunkan kapasitasnya.

3. akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah bau dan rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan.

4. menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan

5. glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap/dimetabolisme sehingga akan membebani hepar

 

Dx 3: kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui

muntahan

Tujuan: Mempertahankan hidrasi adekuat.

Kriteria hasil : Turgor kulit baik, haluaran urine sesuai, tanda vital stabil.

Intervensi Rasional1. Awasi masukan dan haluaran,

bandingkan dengan BB harian. Catat kehilangan melalui usus seperti muntah, diare.

2. Kaji tanda vital, nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa.

3. tanda perdarahan seperti hematuria, melena, perdarahan gusi atau bekas injeksi.

4. Memberika informasi tentang kebutuhan penggantian / efek terapi.

1. Indikator volume sirkulasi / perfusi.

1. Kadar protombin dan waktu koagulasi menunjang bila observasi vitamin K terganggu pada traktus G1 dan sentesis protombin menurun karena mempengaruhi hati.

 

Dx 5: Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang

mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.

Intervensi Rasional1. kaji intensitas nyeri pasien

Page 38: Document

1. berikan posisi myaman pada pasien

1. ajarkan teknik relaksasi pada klien

1. diskusikan dengan tim kesehatan lain tentang pemberian analgesic pada pasien yang tidak mengandung hepatotoksi

1. mengetahui tingkat keparahan dari nyeri yang dirasakan pasien

2. posisi yang nyaman akan membuat nyeri pasien semakin berkurang

3. teknik relaksasi dilakukan dengan tujuan mengurangi nyeri yang dirasakan pasien

4. pemberian analgesik non hepatotoksi dilakukan supaya dapat mengurangi nyeri tanpa merusak lebih parah fungsi hati

 

4.4  Implementasi

Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang ada

4.5 Evaluasi1. Pasien akan menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai

laboratorium dan bebas tanda malnutrisi.

2. Pasien akan menunjukkan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan/mempertahankan berat badan yang sesuai.

3. Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri yakni tidak meringis kesakitan.

4. Tidak terjadi peningkatan suhu

 

 

 

 

BAB 5. PENUTUP

 

5.1  Kesimpulan

Page 39: Document

Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan

oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan

kimia. Penyakit Hepatitis A adalah golongan penyakit Hepatitis yang ringan dan jarang

sekali menyebabkan kematian, Virus hepatitis A (HAV=Virus Hepatitis A)

penyebarannya melalui kotoran/tinja penderita yang penularannya melalui makanan dan

minuman yang terkomtaminasi, bukan melalui aktivitas sexual atau melalui darah.

Sedangkan hepatitis B (HBV) yang dahulu disebut hepatitis serum adalah suatu proses

nekroinflamatorik yang mengenai sel-sel hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B

(HBV).

Gejala hepatitis Abiasanya muncul akut, seperti gejala flu, mual, demam pusing yang

terus menerus.Namun pada anak-anak kadang kala tidak timbul gejala yang mencolok

hanya demam tiba-tiba, hilang nafsu makan.Pada pasien hepatitis B dapat mengalami

penurunan selera makan, dispepsia, nyeri abdomen, pegal-pegal yang menimbulkan

tidak enak badan dan demam. Biasanya suhu tubuh sedikit meninggi tapi jarang sampai

39,50C lebih. Gejala ikterus dapat terlihat atau kadang-kadang tidak tampak. Apabila

terjadi ikterus gejala ini akan disertai dengan tinja yang berwarna cerah dan urin yang

berwarna gelap. Hati penderita hepatitis B mungkin terasa nyeri saat ditekan dan

menbesar hingga panjangnya mencapai 12-14 cm. Limpa membesar dan pada

sebagian kecil pasien dapat diraba.Kelenjar limfe servikal posterior juga dapat

membesar.Smeltzer (2002:1174)

5.2  Saran

Hepatitis merupakan penyakit yang menimpa hamir seluruh belahan dunia. Maka untuk

menjaga tubuh kita agar tidak terserang penyakit ini maka kita perlu melakukan

pencegahan secara dini, dengan cara:1. Menjaga kebersiha lingkungan

2. Menjaga kebersihan personal

3. Melakukan vaksinasi atau imunisasi sejak kecil

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anderson S, dan Lorraine C. W. 1993. Hepatitis Virus, dalam Patofisiologi Konsep klinis

Proses-proses Penyakit, edisi 2.Jakarta: EGC

Behrmen, Richard E., Kliegmen, Robert M., dan Arvin, Ann M. 2000. Ilmu Kesehatan

anak Nelson Vol. 2, Edisi 15alih bahasa: A. Samik Wahab. Jakarta: EGC

Doenges, Marilynn E. 2000.  Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman untuk

perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3. Jakarta: EGC

Gallo, Huda. 1995.Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

Hadi.2000. Hepatologi. Bandung: Penerbit Mandar Maju

Harrison. 1999. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC

Page 40: Document

Isselbacher, et al, Harrison. 2000. Hepatitis A sampai E, dalam Prinsip-Prinsip Ilmu

Penyakit Dalam, Volume 4, Edisi 13. Jakarta : EGC

Moectyi, Sjahmien, 1997. Pengaturan Makanan dan Diit untuk

Ranuh, I.G.N. 2001.Buku Imunisasi Di Indonesia, Edisi I. Jakarta: Satgas Imunisasi IDAI

Price, Sylvia A., dan Wilson, Lorraine M. 2006.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit Vol. 1, Edisi 6, alih bahasa: Braham U Pendit [et al]. Jakarta: EGC

Pujiarto, P. S. 2000. Kebijakan Tatalaksana Hepatitis Virus A, B, C pada Anak bagian

Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM, Tinjauan Lengkap Hepatitis Virus pada Anak.

Jakarta: FK UI

Sjaifoellah Noer,H.M. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ketiga. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &

Suddarth Vol. 2, Edisi 8, alih bahasa: agung Waluyo [et al]. Jakarta EGC

Soemoharjo, S. 2002. Vaksinasi Hepatitis B, dalam Simposium Sehari Hepatitis B dan

C. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada