Download - Document
SISTEM SENSORI*A. Tujuan:
1. Mengetahui letak reseptor sensorik pada organ sensorik.2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja reseptor sensorik.B. Dasar teori
Alat indra adalah alat-alat tubuh yang berfungsi mengetahui keadaan luar. Alat indra manusia sering disebut panca indra, karena terdiri dari lima indra yaitu indra penglihat (mata), indra pendengar (telinga), indra pembau/pencium (hidung), indra pengecap (lidah) dan indra peraba (kulit) (Chambell, 2004).
1. Indra Penglihat (Mata).Mata adalah indera yang digunakan untuk melihat lingkungan sekitarnya dalam bentuk gambar sehingga mampu dengan mengenali benda-benda yang ada di sekitarnya dengan cepat.Mata merupakan indra penglihat yang menerima rangsang berupa cahaya (fotooreseptor).
2. Indra Pendengar (Telinga)Telinga adalah alat indra yang memiliki fungsi untuk mendengar suara yang ada di sekitar kita.Telinga merupakan indra pendengaran yang menerima rangsang berupa suara (fonoreseptor). Selain berungsi sebagai indra pendengaran, telinga juga sebagai alat keseimbangan.
3. Indra Pembau (Hidung)Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Serabut-serabut saraf penciuman terdapat pada bagian atas selaput lendir hidung. Serabut-serabut olfaktori berfungsi mendeteksi rangsang zat kimia dalam bentuk gas di udara (kemoreseptor).
4. Indra Pengecap (Lidah)Lidah adalah alat indera yang berfungsi untuk merasakan rangsangan rasa dari makanan yang masuk ke dalam mulut kita. Bagian lidah yang berbintil-bintil disebut papila adalah ujung saraf pengecap. Setiap bintil-bintil saraf pengecap tersebut mempunyai kepekaan terhadap rasa tertentu berdasarkan letaknya pada lidah. Pangkal lidah dapat mengecap rasa pahit, tepi lidah mengecap rasa asin dan asam serta ujung lidah dapat mengecap rasa manis.
5. Indra Peraba (Kulit)Kulit adalah alat indera kita yang mampu menerima rangsangan temperatur suhu, sentuhan, rasa sakit, tekanan, tekstur, dan lain sebagainya. Pada kulit terdapat reseptor yang peka terhadap rangsang fisik (mekanoreseptor). Kulit berfungsi sebagai alat pelindung bagian dalam, misalnya otot dan tulang; sebagai alat peraba dengan dilengkapi bermacam reseptor yang peka terhadap berbagai rangsangan; sebagai alat ekskresi; serta pengatur suhu tubuh.
Terdapat berbagai bentuk impuls yang dapat diterima oleh indra, yaitu:1. Rangsang Kimia diterima oleh Kemoreseptor
Pada proses penerimaan rangsang kimia (kemoresepsi), terjadi interaksi antara bahan kimia dengan kemoreseptor membentuk kompleks bahan kimia-kemoreseptor. Kompleks tersebut mengawali proses pembentukan potensial generator pada reseptor, yang akan segera menghasilkan potensial aksi pada sel saraf sensoris dan sel berikutnya sehingga akhirnya timbul tanggapan (Villee,1999).
2. Rangsang Mekanik diterima oleh Mekanoreseptor
Proses peneriman rangsang mekanik dinamakan mekanoresepsi. Mekanisme mekanoresepsi adalah sebagai berikut; Rangsang mekanik yang menekan reseptor menyebabkan membrane mekanoreseptor meregang. Peregangan membrane mekanopreseptor tersebut menimbulkan perubahan konformasi protein penyusun pintu ion Na+. Pintu ion Na+ terbuka diikuti terjadinya perubahan elektrokimia yang mendepolarisasikan mekanoreseptor (campbell, 2004).
Mekanoresepsi memiliki reseptor untuk menerima rangsang tekanan, suara, dan gerakan. Bahkan insekta juga mempunyai mekanoreseptor pada permukaan tubuhnya, yang dapat memberikan informasi mengenai arah angin, orientasi tubuh saat berada dalam ruangan, serta kecepatan gerakan dan suara. Variasai reseptor akan akan tampak semakin jelas apabila kita mengalami mekanoreseptor pada vertebrata (Subowo, 1992).
3. Rangsangan Suhu diterima oleh TermoreseptorTermoresepsi adalah proses mengenali suhu tinggi dan rendah serta perubahan suhu
lingkungan. Peningkatan suhu secara ekstrem akan mempengaruhi struktur protein dan enzim sehingga tidak dapat berfungsi secara maksimal. Hal ini dapat mengganggu penyelenggaraan berbagai reaksi metabolik yang penting dalam tubuh spesies. (Wijaya, 2007)
4. Rangsang Cahaya diterima oleh fotoreseptorTanpa adanya cahaya kehidupan akan gelap gulita. Ini sama pentingnya dengan
keberadaan inra untuk menangkap cahaya. Mulai mikroorganisme dan makroorganisme ternyata juga dapat mendeteksi cahaya. Struktur fotoreseptor berfariasi, dari yang paling sederhana berupa eye-spot hingga struktur yang rumit dan terorganisasi dengan baik seperti yang dimiliki vertebrata (Dellmann & Esther, 1992)..
C. Alat, Bahan dan Cara KerjaPada praktikum ini, terdapat empat kelompok yang melakukan serangkaian uji sistem
sensori yang berbeda pada tiap kelompoknya. Pembagian uji ini sebagai berikut:a. Kelompok 1 (Satu)1.1 Pengecap
I. Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah cotton bud, cawan petri, gelas kimia, sapu tangan,
tissue/ kapas dan bahan-bahan yang digunakan, yaitu larutan NaCl (asin), larutan asam, larutan glukosa (manis), larutan kopi tanpa gula (pahit), larutan masako/royco (gurih), air putih.
II. Cara KerjaPeta rasa pada lidah
1) Gusi dan lidah dibersihkan terlebih dahulu dari sisa-sisa makanan dengan berkumur, kemudian lidah dibersihkan dengan tissue/ kapas agar tidak basah oleh air ludah.
2) Cairan dituangkan pada cawan petri dan cotton bud direndam pada tiap larutan.3) Mata praktikan ditutup, agar praktikan tidak mengetahui larutan apa yang dipergunakan.4) Cotton bud disentuhkan disentuhkan pada tempat-tempat pusat pengecap. Tanyakan: apakah
pada daerah yang disentuh merasakan rasa larutan tertentu (sesuai atau tidak dengan macam larutan yang dicobakan).
5) Bila jawaban praktikan sesuai dengan larutan yang dicobakan, maka pada gambar lidah diberi tanda + dan bila tidak sesuai diberi tanda –
6) Intensitas rasa ditentukan pada setiap tempat mana yang disentuhkan dengan tanda – (tidak terasa), + (kurang terasa), ++ (terasa), dan +++ (sangat terasa).
7) Percobaan diulangi dengan cotton bud yang lai sesuai larutannya.
8) Percobaan diulangi pada orang lain dengan cotton bud yang berbeda. Kemudian dibandingkan hasilnya.
9) Peta rasa pada pada lidah dibuat sesuai dengan pecobaan yang dilakukan.Pengaruh suhu pada kepekaan reseptor rasa.
1) Cotton bud disentuhkan pada tempat tertentu dilidah. Dicatat waktu yang diperlukan untuk merasakan rasa.
2) Kumur-kumur dengan air putih. Ambil es batu dan kulum selama 5 detik.3) Cotton bud disentuhkan pada tempat yang sama , dicatat waktu yang diperlukan untuk
merasakan rasa tersebut.
1.2 Pembau I. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah syringe 2,5 ml , sapu tangan, kapas dan bahan-bahan yang digunakan, yaitu bawang merah/bawang putih, jahe, kencur, minyak cengkih.
II. Cara Kerja1) Praktikan tidak boleh flu/pilek2) Mata yang bersangkutan ditutup3) Bahan uji yang telah dipotong salah satu sisinya diambil untuk sensor pembau.4) Didekatkan bahan ke lubang hidung satu sisi, sedangkan sisi lubang hidung yang lain ditutup
dengan kapas, agar yang membau hanya satu sisi saja. Kemudian praktikan membau/menghirup. Tanyakan bau apa yang dibaunya. Hasilnya dicatat, setelah itu posisikan sisi potongan dibalik dan disuruh menghirup lagi. Tanyakan bau apa yang dibaunya dan mana yang lebih bau pada posisi pertama atau posisi kedua. Dibandingkan dan dicatat hasilnya.
5) Percobaan diatas diulangi dengan bahan yang lain.6) Lubang hidung yang satu ditutup dengan kapas dan yang satu tetap terbuka.7) Bahan uji diambil yang telah dipotong ujungnya8) Bahan uji didekatkan dengan sisi potongan dekat pada hidung yang terbuka.9) Diulangi hal ini berkali-kali sampai tidak lagi membau bahan tersebut.10) Nilai Olfactory Fatigue Time (OFT) dihitung, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
ketidakpekaan (kelelahan) pembau, artinya sampai tidak lagi dapat membau sesuatu. Ulangi 3X, kemudian hitung reratanya.
11) Dihitung Olfactory Recovery Times (ORT), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk kesembuhan pembau, artinya sampai dapat membau kembali. Ulangi 3X, kemudian hitung rata-ratanya
12) Semua percobaan diulangi diatas dengan praktikan yang lain dan dibandingkan hasilnya.
b. Kelompok 2 (Dua)2.1 Hubungan Pengecap dan Pembau
I. Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah tusuk gigi, pisau, kapas/tissue, sapu tangan dan
bahan-bahan yang digunakan, yaitu bengkoang, kentang, apel, air putih. II. Cara Kerja
1) Mata praktikan ditutup dan hidungnya ditutup dengan sapu tangan.2) Lidah dibersihkan dengan kapas atau tissue.3) Letakkan sekerat bahan, secara bergantian. Tanyakan, apa yang dirasakan setiap kali bahan
diletakkan di lidah, dan tanyakan juga apakah ia dapat membau atau mengecap.4) Diulangi percobaan 2X pada praktikan yang sama dan ulangi percobaan untuk praktikan
yang lain. Dibandingkan !
2.2 Reseptor Panas Dingin I. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah penggaris, jarum pentul, gelas kimia, spidol dan bahan-bahan yang digunakan, yaitu air hangat dan air dingin.
II. Cara Kerja1) Kotak sepanjang 28mm dibuat dan dibagi dalam 14 kotak pada tangan bagian dorsal.2) Jarum dimasukkan ke dalam gelas kimia yang berisi air hangat dan jarum lain pada air
dingin.3) Ditunggu lima menit, sentuhkan sebentar masing-masing jarum itu ke dalam kotak bujur
sangkar pada praktikan secara berurutan.4) Untuk mempertahankan suhu jarum, dimasukkan lagi jarum ke gelas kimia.5) Hasilnya dicatat, tanda + untuk kotak yang merasakan dan tanda – untuk kotak yang tidak
merasakan.6) Percobaan diulangi untuk tangan bagian ventral pada praktikan yang sama.
c. Kelompok 3 (Tiga)3.1 Pengaruh Dingin Terhadap Rasa Sakit
I. Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah jam/stopwatch, tissue dan bahan yang digunakan
adalah es batu II. Cara Kerja
1) Praktikan duduk dan telapak tangannya medatar diatas meja.2) Telapak tangannya dicubit dengan intensitas sedang hingga dia mulai sakit dan meneruskan
hingga dia tidak merasakan sakit/nyeri.3) Cubitan diulangi pada tempat yang tadi setelah membiarkan praktikan beberapa saat.4) Diusap es dengan gerakan memutar sekitar daerah itu dan keringkan dengan tissue.5) Dicatat waktu begitu ia tidak merasakan sakit.6) Es diusap tetapi pada daerah terdekat dengan area cubitan tadi7) Dilakukan pada telapak tangan yang lain.8) Dilakukan pada praktikan yang lain. Dibandingkan !3.2 Kepekaan Sentuhan
I. Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah sapu tangan, spidol, penggaris, jangka.
II. Cara Kerja1) Praktikan ditutup matanya dan salah satu lengannya diletakkan di atas meja.2) Kaki jangka diletakkan pada jarak 3 cm dan sentuhkan dengan tekanan ringan kedua kaki
jangka tadi secara bersama-sama pada bagian ventral lengan bawah praktikan. Jika ia merasakan dua titik maka jarak kedua kaki jangka diperkecil, sebaliknya bila praktikan bila praktikan merasakan satu titik maka jarak kedua kaki diperbesar.
3) Dilakukan sedikit-demi sedikit hingga memperoleh jarak terpendek yang masih dirasakan dua titik oleh praktikan.
4) Data yang diperoleh dicatat5) Ulangi pada praktikan yang lain.6) Ulangi kegiatan di atas pada lengan bawah bagian dorsal, telapak tangan bagian ventral dan
dorsal, ujung jari tangan kiri dan tangan kanan, dahi, pipi, tengkuk dan bibir.
d. Kelompok 4 (Empat)4.1 Bintik Buta
I. Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah mata uang logam 5 buah, kertas karton, penggaris.
II. Cara Kerja1) 5 buah mata uang logam disusun berdiri lurus ke belakang dengan jarak masing-masing
8mm.2) Salah satu mata ditutup dengan karton tebal. Sedangkan mata yang satunya tertuju pada
bagian tengah dari uang logam yang terdepan.3) Ditanyakan, berapa banyak uang logam yang tampak? Uang logam yang tidak kelihatan?
Jarak mata uang itu ke mata merupakan jarak benda yang bayangannya jatuh pada bintik buta.
4) Dicoba mengubah (diperbesar/diperkecil) jarak antar mata uang logam itu, bagaimana hasilnya? dibandingkan!
5) Mata yang sebelah lagi diuji juga! dan diulangi pada praktikan yang lain.4.2 Reflek Pupil Terhadap Intensitas Cahaya
I. Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan adalah penggaris, sapu tangan, senter
II. Cara Kerja1) Diameter pupil praktikan diukur dan dicatat, dengan meletakkan penggaris dibawah salah
satu matanya.2) Praktikan diminta untuk memejamkan mata dan ditutup dengan tangan atau saputangan
sedang penggaris tetap dipegang.3) Praktikan diminta membuka matanya secara mendadak, hasilnya dibandingkan.4) Praktikan diminta kembali untuk memejamkan matanya. Akan lebih baik hasilnya apabila
praktikan berada di tempat gelap.5) Praktikan disuruh membuka matanya, secara mendadak mata diterangi dengan senter,
diameter pupil diukur6) Cahaya lampu senter diarahkan sesaat ke mata praktikan. Keadaan pupil dicatat. dicatat
seberapa cepat pupil melebar? Seberapa cepat pupil kembali ke keadaan semula?7) Percobaan diulangi pada praktikan yang lain dan dibandingkanhasilnya.
4.3 Reflek Pupil Terhadap Akomodasi Mata I. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah penggaris. II. Cara Kerja
1) Ukur diameter pupil pada keadaan normal praktikan, dengan meletakkan penggaris dibawah salah satu matanya
2) Praktikan di minta melihat benda-benda yang jauh letakknya ukur diameter pupilnya.3) Praktikan diminta melihat benda-benda yang dekat letaknya, ukur diameter pupilnya4) Ulangi percobaan pada praktikan yang lain dan bandingkan hasilnya.
D. Hasil dan Pembahasan1. Hasil Pengamatan1.1 Kelompok 1
i. Pengecap
No. Rasa Ujung Tepi Pangkal
1 Manis 8 9 5
2 Asin 9 10 7
3 Pahit 6 6 10
4 Gurih 9 7 7
5 Asam 11 12 11
i. Pembau
No. Nama Bahan Posisi OFT (s) ORF (s)
1 JaheI: +++II: ++
48,5 27,5
2 KencurI: +++II:++
57 40,5
3 Bawang merahI: +++II: ++
51 22
4 Bawang putihI: +++II: ++
36,5 14
5 Minyak cengkeh I: +++II: ++
45,5 24
*I: posisi bahan yang sudah diiris*II: posisi bahan yang belum diiris
1.2 Kelompok 2
i. Hubungan Pengecap dan Pembau
Praktikan
Sekerat bahanApel Bengkuang kentang
Hidungdi
buka
Hidungdi
tutup
Hidung di
buka
Hidung di
tutup
Hidungdi buka
Hidungdi tutup
1
Mengecap Membau - - - - - -
Rasa Manis(+++)
Kurangmanis(++)
Kurang manis(++)
SangatKurangmanis
(+)
tawar tawar
2
Mengecap Membau - - - - - -
Rasa Manis(+++)
Kurangmanis(++)
Kurangmanis(++)
SangatKurangmanis
(+)
Sangatkurangmanis
(+)
Sangatkurangmanis
(+)
3
Mengecap Membau - - - - - -
Rasa Manis(+++)
Kurangmanis(++)
Kurangmanis(++)
pahit Hambar-pahit
Pahit
4
Mengecap Membau - - - - - -
Rasa Manis(+++)
Kurangmanis(++)
Kurangmanis(++)
Kurangmanis(++)
tawar tawar
Keterangan : = bisa mengecap, -- =tidak berbau, (+++)= Manis, (++)=kurang manis, (+)= Sangat kurang manis
i. Reseptor Panas Dingin
Reseptor Box
PraktikanI
PanasII
DinginDorsal Ventral Dorsal Ventral
1 + + + +2 + + + +3 + + + +4 + + + +5 + - + +6 + - + -7 + - + +8 + - + +9 + - + +10 + - + +
11 + - - +12 + + + +13 + - - +14 + + + +
Hasil 14/14 6/14 12/14 13/14
2) Keterangan, (+)= merasakan, (-) = tidak merasakan3) NB: praktikan I untuk perlakuan air panas (hangat) dan praktikan II untuk perlakuan air
dingin.1.3 Kelompok 3
i. Pengaruh Dingin Terhadap Rasa Sakit
namaLengan bawah
Lengan
bawah dorsal
Telapak tangan ventral
Telapak tangan dorsal
Ujung jari
tangan kiri
Ujung jari
tangan kanan
dahi pipitengku
kbibir
A (cwe)
10 mm 25 mm 1 mm 15 mm 1 mm 1 mm 10 mm
25 mm
25 mm 1 mm
B(cwe )
20 mm 10 mm 1 mm 10 mm 1 mm 1 mm 20 mm
30 mm
30 mm 1 mm
C 20 mm 20 mm 5 mm 25 mm 10 mm 5 mm 5 mm 20 mm
21 mm 5 mm
Rata- rata cwe
15 mm 17,5 mm
1 mm 12 mm 1 mm 1 mm 15 mm
1 mm
27,5 mm
1 mm
ii. Kepekaan Sentuhan
NamaSebelum dikasih es Sesudah dikasih es
sakit biasa sakit BiasaA (cow) 10,85 s 22,11 s 11,36 s 17,58 sB (cew) 6,82 s 9,11 s 13,91 s 11,66 sC (cew) 7,01 s 5,99 s 14,61 s 4,59 s
1.4 Kelompok 41. Bintik buta
No Praktikan Jarak (cm) Koin yang hilang1 Praktikan 1 73 Koin ke-42 Praktikan 2 104 Koin ke-43 Praktikan 3 149,5 Koin ke-2
2. Refleks pupil terhadap intensitas cahayaa. Tempat gelap
Praktikan 1 Diameter pupil mata normal: 0,3 cm Diameter pupil mata setelah dipejamkan: 0,5cm ; waktu: 5 detik Diameter pupil mata setelah disinari : 0,4 cm ; waktu : 6 detik
Praktikan 2 Diameter pupil mata normal : 0,4 cm Diameter pupil mata setelah dipejamkan : 0,4 cm ; waktu : 11 detik Diameter pupil mata setelah disinari : 0,5 cm ; waktu : 5 detikb. Tempat terang
Praktikan 1 Diameter pupil mata normal : 0,4 cm Diameter pupil mata setelah dipejamkan : 0,5 cm ; waktu : 11 detik Diameter pupil mata setelah disinari : 0,3 cm ; waktu : 7 detik
Praktikan 2 Diameter pupil mata normal : 0,5 cm Diameter pupil mata setelah dipejamkan: 0,4 cm ; waktu : 7 detik Diameter pupil mata setelah disinari: 0,3 cm ; waktu : 6 detik3. Refleks pupil terhadap akomodasi mataa. Praktikan 1 Diameter pupil mata normal : 0.5 cm Diameter pupil mata melihat benda jarak dekat : 0.4 cm; waktu 8 detik Diameter pupil mata melihat benda jarak jauh : 0,3 cm ; waktu 8 detikb. Praktikan 2 Diameter pupil mata normal : 0,5 cm Diameter pupil mata melihat benda jarak dekat: 0,4 cm; waktu : 6 detik Diameter pupil mata melihat benda jarak jauh : 0.3 cm ; waktu: 10 detikc. Praktikan 3 Diameter pupil mata normal : 0.4 cm Diameter pupil mata melihat benda jarak dekat : 0.3 cm ; waktu: 8 detik Diameter pupil mata melihat benda jarak jauh : 0.2 cm ; waktu: 6 detik
1. Pembahasan Pengecapan adalah sensasi yang dirasakan oleh kuncup kecap, yaitu reseptor yang terutama terletak pada lidah (terdapat kurang lebih 10.000 kuncup kecapa pada lidah manusia) dan dalam jumlah yang lebih kecil pada polatum mole dan permukaan laringeal dari epiglottis. Kuncup kecap terbenam dari epitel berlapis dari papilla sirkumvalata, papilla foliota, papilla fungiformis. Bahan kimia masuk melalui pori pengecap, yaitu lubang kecil menuju ke sel-sel reseptor. Kuncup kecap terdiri atas sekurang-kurangnya 4 jenis sel, yang dapat dikenali dengan mikroskop electron. Sel tipe 1 dan sel tipe 2 panjang dengan mikrovili pada permukaannya. Walaupun fungsinya belom diketahui, mereka dapat membantu aktivitas sel tipe 3. Sel tipe 3 juga merupakan sel tipe panjang dicirikan oleh terdapatnya banyak vesikel yang menyerupai versikel sinaps. Tipe sel ke 4 adalah suatu sel basal pra-kembang yang mungkin merupakan precursor dari sel-sel yang lebih spesifik dalam kuncup kecap.
Tonjolan dendritik dari saraf sensorik yang paling dekat dengan kumpulan vesikel sinaptik ini adalah dasar untuk penempatan penerimaan pengecapan pada sel tipe 3 (Junqueira, 1995). Dalam percobaan indra pengecap ini, letak rasa pada lidah sebagian tidak sesuai dengan teori, karena disebabkan oleh beberapa factor, antara lain kondisi tubuh yang kurang sehat (sakit) sehingga biasanya semua rasa akan terasa pahit, dan sisa rasa makanan yang sebelumnya masih tertinggal dilidah sehingga rasa bercampur dengan rasa makanan sebelumnya. Cunkup rasa manis, asam, asin, gurih, pahit memang ada disemua bagian lidah, tapiu intensitasnya banyaknya kuncup rasa berberda-beda. Dalam percobaan ini cunkup rasa pada lidah praktikan yang paling banyak adalah kuncup rasa, rasa asam. Indra pembau berfungsi untuk menerima bau suatu zat terlarut dalam udara atau air. Reseptor pembau terletak pada langit-langit rongga hidung, pada bagian yang disebut epitelium olfaktori. Epitelium olfaktori terdiri dari sel-sel reseptor dan sel-sel penyokong. Sel resptor olfaktori berbentuk silindris dan mempunyai filamen-filamen seperti rambut pada permukaan bebasnya. Akson sel olfaktorius berjalan menuju bulbus olfaktorius pada sistem saraf pusat. Sel-sel olfaktorius didampingi oleh sel-sel penunjang yang berupa sebaris sel-sel epitel silindris berlapis banyak semu. Dalam praktikum pembau ini, menghitung berapakah watu yang dibutuhkan oleh praktikan untuk ketidak pekaan (kelelahan) pembabau atau yang disebut dengan Olfactor Fatigue Times (OFT) dan waktu yang dibutuhkan oleh praktikan untuk kesembuhan pembau atau yang disebut Olfactor Recovery Times (ORT). Dengan sumber bau dari jahe, bawang putih, bawang merah, kencur dan minyak cengkih. Pembau dan pengecap saling bekerja sama, sebab rangsangan bau dari makanan dalam rongga mulut dapat mencapai rongga hidung dan diterima oleh reseptor olfaktori. Keadaan ini akan terganggu ketika kita sakit pilek, di mana hubungan antara rongga hidung dan rongga mulut terganggu, sehingga uap makann dari makanan di mulut tidak dapat mencapai rongga hidung dan makanan seakan-akan kehilangan rasanya. Dalam percobaan ini, menggunakan buah apel, bengkoang dan kentang sebagai sumber bau rasa, dan hasilnya praktikan tidak bisa membau jenis makanan tersebut, tapi bisa merasakannya, hal ini mungkin dikarenakan sedang sakit dank arena buah yang dipakai sebagai percobaan baunya kurang menyengat. Di dalam bola mata, persisnya pada bagian retina, yaitu bagian bola mata sebelah belakang, terdapat bintik buta yang merupakan bagian dari retina yang tidak memiliki sel-sel penangkapcahaya Sehingga cahaya yang kebetulan jatuh pada daerah bintik buta atau blind spot ini,tidak akan menghasilkan gambar Bagian mata yang tidak menagndung sel reseptor disebut bintik buta. Jika cahaya jatuh pada bintik buta, maka tidak ada pesan yang akan dikirim ke otak. Untuk mengetahui jarak bintik buta seseorang, serta menemukan letak proyeksi bintik buta. Dilakukan percobaan danmenghasilkan bahwa bintik buta hamper sama antara mata kiri dan mata kanan. Rumus nodaadalah jarak objek hilang ± jarak objek munul kembali. Jarak normal bintik buta adalah, untuk benda kabur 40 cm dan untuk muncul kembali 28 cm, atau hasil dari keseluruhan lebih dari 14cm. Refleks cahaya pada pupil adalah refleks yang mengontrol diameter pupil, sebagai tanggapan terhadap intensitas (pencahayaan) cahaya yang jatuh pada retina mata. Refleks pupil dapat dilihat dari mengecil dan membesarnya pupil. Akomodasi adalah perubahan dalam lekukan lensa mata dalam menanggapi satu perubahan dalam melihat jarak dan kemampuan berakomodasi disebut tempo akomodasi. Dalam percobaan ini dapat dilihat bahwa semakin jauh jarak pandang maka pupil mata akan semakin kecil, hal ini karena daya akomodasi mata diatur melalui syaraf
parasimpatis, perangsangan syaraf parasimpatis menimbulkan kontraksi otot siliaris yang selanjutnya akan mengendurkan gligamen lensa dan meningkatkan daya bias. Dengan meningkatkan daya bias, mata mampu melihat objek lebih dekat dibanding waktu daya biasnya rendah. Akibatnya dengan mendekatnya objek kearah mata frekuensi impuls parasimpatis kedotsiliaris progresif ditingkatkan agar objek tetap dilihat dengan jelas.
E. Kesimpulan Sistem sensori berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem saraf pusat mengenai lingkungan sekitarnya. Pemeriksaan fisik pada sistem sensori ini sangat kompleks karena harus melibatkan pemeriksaan pada kelima sistem indra tubuh yaitu penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, dan peraba. Gangguan pada sistem sensori disebabkan oleh adanya lesi pada saraf yang mengatur sensori tubuh. Lesi-lesi tersebut dapat menghambat hantaran impuls saraf. Pemeriksaan fisik sensori dapat dilakukan pada berbagai usia dan dilakukan untuk dapat menentukan atau mengetahui apakan pasien tersebut mengalami gangguan pada saraf sensorinya. Benda yang bayangannya jatuh pada bintik buta suatu mata, bayangannya tidak akan jatuh pada bintik buta mata sebelahnya. Orang tidak memperoleh kesan penglihatan dari bayangan yang jatuh pada tempat yang tidak mengandung sel batang dan sel kerucut.
DAFTAR PUSTAKA
Bevelander, Gerrit & Judith A. Ramaley. 1988. Dasar-Dasar Histologi. Ed ke-8 Terjemahan Wisnu Gunarso. Erlangga. Jakarta.
Champbell. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta : Penerbit ErlanggaDellmann, Dieter & Esther M. Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Ed ke-3. Terjemahan Hartono. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Subowo. 1992. Histologi Umum. Bumi Aksara. Jakarta.
Villee, Claude A., dkk. 1999. Zoologi Umum. Jilid I. Ed ke-6. Terjemahan Nawangsari
sugiri.
Erlangga. Jakarta.Wijaya, Jati. 2007. Aktif Biologi 2A. Jakarta : Penerbit Ganeca Exact
* praktikum fisiologi hewan @laboratorium integrated UIN SuKa
PEMERIKSAAN FISIK SISTEM SENSORI
Gallery
KEPERAWATAN KLINIK IV B
PEMERIKSAAN FISIK SISTEM
SENSORI
MAKALAH
diajukan guna melengkapi tugas perkuliahan
Program Studi Ilmu Keperawatan
oleh
Rahma Yunita 102310101034
Mafa Afnes Sukowati 102310101050
Iput Hardianti 102310101096
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Swt. Atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemeriksaan Fisik Sistem
Sensori”.Makalah ini disusun dalam rangka melengkapi tugas perkuliahan Program
Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember.
Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:1. Ns. Ratna Sari Hardiani, M. Kep selaku Penanggung Jawab Mata Kuliah
Keperawatan Klinik IV B yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengerjakan tugas makalah ini;
2. Gigih Permana Kusuma P., Rona Gita Yanti, Roikhatul Jannah, dan Yudha Wahyu Jatmika, selaku Koordinator Mata KuliahKeperawatan Klinik IV B yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi mengenai pengerjaan tugas ini;
3. seluruh teman-teman angkatan 2010 yang telah banyak mendukung penulis.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran sari smeua pihak demi kesempurnaan
makalah ini.Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Jember, 10 Januari 2012 Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….. iv
BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………. 1
1.2 Tujuan ………………………………………………………………………….. 1
1.3 Implikasi Keperawatan………………………………………………….. 2
BAB 2. TINJAUAN TEORI……………………………………………………………. 3
2.1 Pengertian……………………………………………………………………… 3
2.2 Jenis Pemeriksaan Fisik Sensori …………………………………….7
BAB 5. PENUTUP………………………………………………………………………… 27
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………………. 27
5.2 Saran………………………………………………………………………….. 27
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………. 28
LAMPIRAN………………………………………………………………………………… 29
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan persepsi sensori merupakan permasalahan yang sering ditemukan seiring
dengan perubahan lingkungan yang terjadi secara cepat dan tidak terduga.
Pertambahan usia, variasi penyakit, dan perubahan gaya hidup menjadi faktor penentu
dalam penurunan sistem sensori. Seringkali gangguan sensori dikaitkan dengan
gangguan persepsi karena persepsi merupakan hasil dari respon stimulus (sensori)
yang diterima.
Persepsi merupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus eksternal, juga
pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang diinterpretasikan oleh stimulus
yang diterima (Nasution, 2003). Persepsi juga melibatkan kognitif dan emosional
terhadap interpretasi objek yang diterima organ sensori (indra). Adanya gangguan
persepsi mengindikasikan adanya gangguan proses sensori pada organ sensori, yaitu
penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Untuk itu, perlu
adanya pemeriksaan fisik sistem sensori untuk mengukur derajat gangguan sistem
sensori tersebut.
Adanya makalah ini diharapkan pembaca bisa sedikit mengetahui berbagai macam dan
teknik pemeriksaan sistem sensori. Dengan mengetahui pemeriksaan fisik sistem
sensori diharapkan permasalahan yang muncul dari hasil pemeriksaan tersebut dapat
teridentifikasi secara akurat sehingga dapat menentukan asuhan keperawatan yang
berkualitas.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini, yaitu untuk mengetahui berbagai macam dan
teknik pemeriksaan fisik sistem sensori pada dewasa dan anak.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui definisi sistem sensori
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sistem sensori
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala gangguan sistem sensori
4. Untuk mengetahui definisi sistem sensori
5. Untuk mengetahui bentuk perubahan sensori
6. Untuk mengetahui tujuan pemeriksaan fisik sistem sensori
7. Untuk mengetahui jenis pemeriksaan fisik sistem sensori beserta masalah yang ditemukan.
1.3 Implikasi Keperawatan
Peran perawat dalam melakukan pemeriksaan fisik pada sistem sensori disini yaitu
sebagai care giver, educator, advokasi, konselor dan peneliti. Care giver disini perawat
berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan yang didasarkan pada hasil temuan
masalah yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sistem sensori. Perawat sebagai
educator yaitu sebagai pendidik yang dapat mengajarkan pihak pasien atau keluarga
tentang penanganan masalah secara mandiri yang berfokus pada pemanfaatan potensi
individu maupun keluarga untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Peran perawat
sebagai advokasi yaitu perawat sebagai pelindung hak-hak pasien dari pihak-pihak yang
dapat merugikan pasien. Konselor yaitu perawat memberikan konseling pada pihak
keluarga atau pasien mengenai terapi maupun penyelesaian masalah gangguan sensori
yang ditemui. Peran peneliti yaitu perawat dapat menemukan penanganan yang baik
dan maksimal mengenai gangguan sistem sensori melalui penelitian sehingga
dihasilkan kualitas asuhan yang optimal.
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Sensori merupakan stimulus, baik secara internal maupun eksternal yang masuk melalui
organ sensori berupa indra. Sistem sensori berperan penting dalam hantaran informasi
ke sistem saraf pusat mengenai lingkungan sekitarnya (Wilson & Hartwig, 2002 dalam
Price & Wilson, 2002). Sistem sensori lebih kompleks dari sistem motorik karena modal
dari sensori memiliki perbedaan traktus, lokasi yang berbeda pada medulla spinalis
(Smeltzer & Brenda, 1996) sehingga pengkajiannya dilakukan secara subyektif dan
penguji dituntut untuk mengenali penyebaran saraf perifer dari medulla spinalis.
Pengkajian sistem sensori difokuskan pada bentuk subyektif dikarenakan sistem sensori
memiliki hubungan erat dengan persepsi. Persepsi merupakan kemampuan
mengidentifikasi sesuatu melalui proses mengamati, mengetahui, dan mengartikan
stimulus yang diterima melalui indra. Untuk itu, data subyektif yang diterima berdasarkan
persepsi individu dapat menentukan kenormalan dari sistem sensori tersebut. Adanya
abnormalitas (penurunan/gangguan) sensori mengindikasikan gangguan neuropati
perifer dan kerusakan otak akibat lesi yang luas sehingga menyebabkan hilangnya
sensasi yang dapat mengganggu seluruh sisi tubuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sensori1. Usia
a) bayi memiliki jalur saraf yang belum matang sehingga tidak bisa membedakan
stimulus sensori.
b) Lansia mengalami perubahan degeneratif pada organ sensori dan fungsi
persyarafan sehingga mengalami penurunan fungsi pada organ sensori, yaitu
penurunan penglihatan, pendengaran, kesulitan persepsi, penurunan diskriminatif rasa
dan sensitivitas bau, perubahan taktil, gangguan keseimbangan, dan disorientasi tempat
dan waktu.1. Medikasi
a) Beberapa antibiotik seperti streptomisin, gentamisin dapat merusak syaraf
pendengaran.
b) Kloramfenikol mengiritasi syaraf optik.
c) Obat analgesik, narkotik, sedatif dan antidepresan dapat mengubah persepsi
stimulus.1. Lingkungan
a) Stimulus lingkungan yang terlalu ramai dan bising dapat membuat kebingungan,
disorientasi dan tidak mampu mebuat keputusan.
b) Stimulus lingkungan yang terisolasimengarah pada deprivasi sensori.
c) Kualitas lingkungan yang buruk dapat memperparah kerusakan sensori.1. Tingkat kenyamanan
Nyeri dan kelelahan dapat merubah persepsi seseorang dan bagaimana dia bereaksi
terhadap stimulus.1. Penyakit yang diderita
a) Katarak menurunkan fungsi penglihatan.
b) Infeksi telinga menurunkan fungsi pendengaran.
c) Penyakit vascular perifer menyebabkan penurunan sensasi pada ekstrimitas dan
kerusakan kognisi
d) Penyakit diabetes kronik menurunkan penglihatan, kebutaan, maupun neuropati
perifer
e) Penyakit stroke menimbulkan penurunan kemampuan verbal, kerusakan fungsi
motorik, dan penerimaan sensori.1. Merokok
Penggunaan tembakau mengakibatkan atrofi pada saraf pengecap sehingga
menurunkan persepsi rasa.1. Tindakan medis
Intubasi endotrakea menyebabkan kehilangan berbicara sementara.1. Tingkat kebisingan
Paparan kostan pada tingkat kebisingan tinggi mengakibatkan penurunan pendengaran.
Tanda dan gejala seseorang yang mengalami gangguan sistem sensorik bermacam-
macam tergantung dari saraf yang mengalami gangguan. Tanda dan gejala yang umum
timbul antara lain:1. Tidak dapat merasakan dan membedakan berbagai macam sensasi yang diberikan
pada tubuh.
2. Munculnya tanda romberg yaitu mengalami ketidakseimbangan tubuh pada saat menutup mata.
Sedangkan beberapa bentuk perubahan sensori yang diketahui ada 3 jenis, yaitu deficit
sensori, deprivasi sensori, dan beban sensori berlebih1. Defisit Sensori.
Adalah suatu kerusakan dalam fungsi normal penerimaan dan pesepsi sensori. Individu
tidak mampu menerima stimulus tertentu (misalnya kebutaan atau tuli), atau stimulus
menjadi distorsi (misalnya penglihatan kabur karena katarak). Kehilangan sensori
secara tiba-tiba dapat menyebabkan ketakutan, marah, dan perasaan
tidak berdaya.Pada awalnya individu bersikap menarik diri dengan menghindari
komunikasi atau sosialisasi dengan orang lain dalam suatu usaha untuk mengatasi
kehilangan sensori. Klien yang mengalami deficit sensori dapat mengubah perilaku
dalam cara-cara yang adaptif atau maladaptif
2. Deprivasi Sensori.
Sistem pengaktivasi reticular dalam batang otak menyebabkan semua stimulus sensori
ke korteks serebral, sehingga meskipun saat tidur yang nyenyak, klien mampu
menerima stimulus. Jika seseorang mengalami suatu stimulasi yang tidal adekuat
kualitas dan kuantitasnya seperti stimulus yang monoton atau tidakl bermakna maka
akan terjadi deprivasi sensori. Tiga jenis deprivasi sensori adalah kurangnya input
sensori (karena kehilangan penglihatan dan pendengaran ), Eliminasi perintah atau
makna dari input ( misal terpapar pada lingkungan asing ) dan Restriksi dari lingkungan (
misalnya tirah baring atau berkuranya variasi lingkungan ) yang menyebabkan monoton
dan kebosanan.
Efek dari deprivasi sensori adalah :
1. KognitifPenurunan kapasitas belajar, ketidakmampuan berpikir atau menyelesaikan masalah, penampilan tugas buruk, disorientasi, berpikir aneh, regresi.
2. Afektif.Kebosanan, kelelahan, peningkatan kecemasan, kelabilan emosi, dan peningkatan kebutuhan untuk stimulasi fisik.
3. Persepsi.Disorganisasi persepsi terjadi pada koordinasi visual, motorik, persepsi warna, pergerakan nyata, keakuratan taktil, kemampuan untuk mempersepsikan ukiran dan bentuk, penilaian mengenai ruang dan waktu.
4. Beban Sensori yang berlebihan
Adalah suatu kondisi dimana individu menerima banyak stimulus sensori dan tidak dapat
secara perceptual tidak menghiraukan beberapa stimulus. Pada kondisi ini dapat
mencegah otak untuk berespon secara tepat atau mengabaikan stimulus tertentu.
Sehingga individu tidak lagi mempersepsikan lingkungan secara rasional. Kelebihan
sensori mencegah respon yang bermakna oleh otak, menyebabkan respon yang
berpacu, perhatian bergerak pada banyak arah dan menjadi lelah.
Kelebihan sensori adalah individual, karena jumlah stimulus yang dibutuhkan untuk
berfungsi sehat bervariasi. Toleransi seseorang pada bebab sensori yang berlebihan
dapat bervariasi oleh tingkat kelelahan, sikap, dan kesehatan emodional dan fisik.
Perubahan perilaku yang berhubungan dengan beban sensori yang berlebihan dapat
dengan mudah menjadi bingung atau disorientasi sederhana.
Pemeriksaan fisik pada sistem sensori berfokus pada fungsi neurologisnya klasifikasi
dari pemeriksaan fisik sistem sensori didasarkan pada organ sensori berupa sistem
indra. Sistem indra yang dikenal berupa pancaindra, yaitu:1. Indra penglihatan (visual)
2. Indra pendengaran (auditori)
3. Indra perabaan (taktil)
4. Indra penciuman (olfaktori)
5. Indra pengecap (gustatory)
Adanya pemeriksaan fisik sistem sensori bertujuan sebagai berikut.1. Menentukan derajat gangguan sensori dalam hubungannya dengan gangguan gerak
2. Sebagai acuan untuk re-edukasi sensori
3. Mencegah terjadinya komplikasi sekunder
4. Menyusun sasaran dan rencana terapi (Pudjiastuti & Utomo, 2002)
1.2 Jenis Pemeriksaan Fisik Sensori
Pemeriksaan sistem sensori dilakukan dengan memeriksa kondisi kelima sistem indra
yaitu penglihatan, pendengaran, pembau, pengecap, dan peraba.
1.2.1 Pemeriksaan Fisik Indra Penglihatan
Pemeriksaan fisik mata dapat dilakukan dengan beberapa cara. Berikut ini akan
dijelaskan cara melakukan pemeriksaan mata yaitu:1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan (pemeriksaaan visus)
Mata merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai indera penglihatan sehingga
pemeriksaan ketajaman mata sangat penting untuk bisa mengetahui fungsi mata.
Pemeriksaan ketajaman mata dilakukan paling awal sebelum melakukan pemeriksaan
mata lebih lanjut.
Ketajaman penglihatan dituliskan dalam rasio perbandingan jarak penglihatan normal
seseorang dengan jarak penglihatan yang dapat dilihat oleh orang seseorang. Misalnya
ketajaman penglihatan 20/30 yang berarti seseorang dapat melihat dengan jarak 20 kaki
sedangkan pada penglihatan normal dapat dilihat dengan jarak 30 kaki. Orang dengan
mata normal memiliki nilai ketajaman mata 20/20.1. Alat:
1) Kartu Snellen
2) Lampu senter
3) Karton untuk menutup mata1. Indikasi: pada pasien yang diduga mengalami gangguan sensori.
2. Kontraindikasi: –
3. Cara:
1) Pemeriksaan menggunakan kartu snellen standar
Cara melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan menggunakan kartu snellen ini
yaitu:1. Pasien berdiri sejauh 6 meter (20 kaki) dari kartu snellen.
2. Minta pasien untuk menutup salah satu mata dengan karton.
3. Minta pasien untuk membaca huruf yang ada pada kartu sampai pasien tidak dapat membaca lagi huruf tersebut.
2) Menilai pasien dengan penglihatan buruk
Jika pasien tidak dapat membaca huruf yang ada pada kartu snellen, maka pasien harus
diperiksa menggunakan kemampuan membaca jari tangan. Cara pemeriksaan
menggunakan kemampuan membaca jari tangan yaitu:
1. Tutup salah satu mata pasien.
2. Perawat berdiri di depan pasien dengan menunjukkan angka pada jari perawat.
3. Jika pasien tidak dapat melihat jari perawat maka dilakukan pemeriksaan menggunakan cahaya.
Namun seringkali pemeriksaan sistem penglihatan menghadapi kendala pada pasien
anak-anak, orang dengan gangguan mental, dan orang yang berpura-pura tidak melihat
karena pemeriksaan ini berfokus pada subyektif,yaitu interpretasi dari respon yang
dirasakan pasien. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu teknik pemeriksaan
yang berfokus pada objektif dan memiliki korelasi dengan daya penglihatannya melalui
alat yang disebut nystagmometer.
Gambar: Kartu Snellen
Nystagmometer merupakan alat pemeriksaan visus secara objektif yang
disasarkan pada gejala faal yang dikenal dengan nama “pursuit eye movement”, yaitu
bahwa mata seseorang akan bergerak mengikuti suatu benda yang menjadi
perhatiannya, apabila benda tersebut bergerak (Sarwono: 1982). Peristiwa tersebut
disebut sebagai optokinetik nystagmus. Intinya, seseorang akan mengikuyi objek
penyebab nystagmug-nya tersebut. Semakin kecil objek yang dapat menimbulkan
gerakan bola mata akibat mata yang mengikuti gerakan objek tersebut, semakin baik
daya penglihatan orang tersebut.
Kelainan pada mata:1. Astigmatis
Astigmatis atau yang sering dikenal dengan mata silindris merupakan suatu kelainan
mata yang menyebabkan mata penderitanya menjadi kabur. Gangguan ini terjadi akibat
penderita tidak dapat melihat garis horizontal dan vertical secara bersamaan. Kornea
pada penderita astigmatis berbentuk abnormal. Kornea normal berbentuk bulat seperti
bola, tetapi pada gangguan ini kornea mata memiliki lengkungan yang terlalu besar
pada salah satu sisinya. Cara menangani astigmatis ini adalah dengan menggunakan
kacamata silinder atau lensa kontak.
1. Miopi
Miopi atau rabun jauh merupakan kelainan mata yang menyebabkan penderitanya tidak
dapat melihat dalam jarak jauh. Penyebab dari miopi adalah bola mata yang terlalu
panjang dan bayangan benda yang jatuh di depan bintik kuning. Cara menangani miopi
yaitu dengan menggunakan kacamata cekung (negative).1. Hipermetropi
Hipermetropi atau rabun dekat merupakan gangguan pada mata yang ditandai dengan
penderita tidak dapat melihat dengan jelas dalam jarak dekat. Penyebab dari
hipermetropi ini yaitu adanya kelainan bola mata yang terlalu pendek dan bayangan
jatuh di belakang bintik kuning. Cara menangani gangguan ini adalah dengan memakai
kacamata lensa cembung (positif).1. Presbiopi
Presbiopi atau rabun dekat dan jauh merupakan gangguan mata yang ditandai dengan
penderita tidak dapat melihat dalam jarak dekat dan jauh. Penyebab dari gangguan ini
adalah semakin berkurangnya daya akomodasi dari mata. Cara mengatasi gangguan ini
adalah dengan memakai kacamata berlensa rangkap (atas negative, bawah positif).1. Rabun senja
Gangguan ini ditandai dengan penderitanya tidak dapat melihat dengan baik saat malam
hari atau kurang cahaya. Penyebab dari gangguan ini adalah kurangnya vitamin A. cara
mencegah dan mengatasi masalah ini adalah dengan mengkonsumsi makanan kaya
vitamin A.1. Keratomalasi
Gangguan ini ditandai dengan kornea mata yang keruh yang penyebabnya kekurangan
vitamin A yang sangat parah sehingga penyakit ini merupakan tingkat lanjut dari rabun
senja. Apabila hal ini tidak segera diatasi akan menyebabkan kebutaan.
1. Katarak
Kelainan pada lensa mata karena lensa mata menjadi kabur dan keruh yang
menyebabkan cahaya yang masuk tidak dapat mencapai retina. Katarak dapat diatasi
dengan cara operasi.1. Juling
Kelainan ini sebagai akibat ketidakserasian kerja otot penggerak bola mata kanan dan
kiri. Penyakit ini bisa diatasi dengan cara operasi pada otot mata.1. Glaukoma
Gangguan ini ditandai dengan peningkatan tekanan di dalam bola mata karena danya
sumbatan pada saluran di dalam bola mata dan pembentukan cairan berlebih dalam
bola mata. Gangguan ini bisa diatasi dengan cara pembedahan atau obat-obatan yang
diminum seumur hidup.1. Buta Warna
Penderita umumnya tidak dapat membedakan warna tertentu misal hijau dan biru.
Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang tidak dapat disembuhkan akan tetapi
ada juga penyebab lainnya misalkan saja karena kecelakaan atau trauma pada mata.
1. Pemeriksaan lapangan pandangan
Cara yang paling mudah dalam melakukan pemeriksaan lapangan pandangan adalah
menggunakan metode uji telunjuk.1. Indikasi: pasien yang diduga mengalami gangguan sensori.
2. Kontraindikasi: –
3. Cara:
1) Pasien dan perawat duduk berhadapan.
2) Minta pasien untuk menutup salah satu matanya.
3) Perawat juga ikut menutup salah satu matanya. Misalnya jika pasien menutup
mata kirinya, maka perawat menutu mata kanannya.
4) Minta pasien memandang hidung perawat.
5) Minta pasien menghitung jumlah jari yang ada pada bagian superior dan inferior
lirikan temporal dan nasal.1. Pemeriksaan buta warna (tes isihara)
Salah satu gangguan mata yang bersifat herediter, yaitu buta warna. Buta warna
merupakan penglihatan warna-warna yang tidak sempurna, seringkali disebut sebagai
cacat penglihatan warna. Cacat penglihatan warna bersifat didapat, terkadang
merupakan gejala dini kerusakan mata. Untuk mengetahui adanya cacat penglihatan
mata perlu dilakukan tes isihara.
Tes isihara merupakan gambar-gambar pseudoisokromatik yang disusun oleh titik dan
kepadatan warna yang berbeda, berasal dari warna primer yang didasarkan warna yang
hamper sama. Titik-titik warna tersebut disusun dengan bentuk dan pola tertentu tanpa
adanya kelainan persepsi warna.1. Alat dan bahan:
Gambar pseudoisokromatik
b. Teknik:1. Kartu isihara diletakkan di tempat dengan penerangan baik
2. Pasien diminta menyebutkan gambar atau angka pada kartu tersebut dalam 10 detik
c. Penilaian
Bila lebih dari 10 detik berarti terdapat kelainan penglihatan warna buta warna merah
hijau terdapat atrofi saraf optik, buta warna biru kuning terdapat pada retinopati
hipertensif, retinopati diabetic dan degenerasi macula senile dini. Degenerasi pada
macula stargardts dan fundus lamikulatus memberikan gangguan penglihatan warna
merah-hijau.
d.Petunjuk Pengisian Gambar
No 1 : semua orang baik normal atau buta warna dapat membaca dengan benar angka
12. Bagian ini biasanya digunakan pada awal test.
No 2 : pada orang normal terbaca “8” dengan defisiensi merah-hijau “3”.
No 3 : pada orang normal terbaca “5” dengan defisiensi merah-hijau “2”.
No 4 : pada orang normal terbaca “29” dengan defisiensi merah-hijau “70”.
No 5 : pada orang normal terbaca “74” dengan defisiensi merah-hijau “21”.
No 6-7 : pada orang normal dapat membaca dengan benar tetapi pada orang dengan
defisiensi merah hijau, susah atau tidak dapat membacanya.
No 8 : pada orang normal dengan jelas “2” tetapi bagi defisiensi merah-hijau tidak jelas.
No 9 : pada orang normal susah atau tidak terbaca tetapi kebanyakan pada orang
dengan defisiensi merah hijau melihat “2”.
No 10 : pada orang normal angka terbaca “16” tetapi bagi defisiensi merah hijau tidak
dapat membaca.
No 11 : gambar garis yang melilit diantara 2 xs. Pada orang normal, dapat mengikuti
garis ungu-hijau. Tetapi pada orang buta warna tidak dapat mengikuti atau dapat
mengikuti tapi berbeda dengan orang normal.
No 12 : pada orang normal dan defesiensi merah hijau melihat angka “35” tetapi pada
protanopia dan protanomali berat hanya dapat membaca angka “5” dan pada
deuteranopia dan deuteranopia berat terbaca angka “3”.
No 13 : pada orang normal dan defesiensi merah hijau ringan melihat angka “96” tetapi
pada protonopia dan protonopia berat hanya terbaca “6”.
No 14 : pada orang normal dapat mengikuti garis yang melilit 2 xs, ungu dan merah;
pada protanopia dan protanomali berat hanya mengikuti garis ungu dan pada
protanomali ringan kedua garis diikuti tetapi garis ungu kurang terlihat untuk diikuti; pada
deuteranopia dan deuteranomalia berat hanya garis merah yang diikuti; pada
deuteranomalia ringan kedua garis dapat diikuti tetapi garis merah kurang terlihat untuk
diikuti.
Gambar: ishihara test
3.2.2 Pemeriksaan Fisik Indra Pendengaran
Sama halnya dengan pemeriksaan mata, dalam melakukan pemeriksaan telinga juga
dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:1. Tes ketajaman auditorius
Tes ini akan dapat mengetahui kemampuan pasien dalam mendengarkan bisikan
kata(voice test) atau detakan jam tangan.1. Alat: bel kecil
2. Indikasi: dapat dilakukan pada semua usia yang diduga mengalami gangguan sensori.
3. Kontraindikasi: –
4. Cara:
1)Bayi:
a) Perawat berdiri di belakang anak.
b) Bunyikan sebuah bel kecil, bunyikan jari-jari atau tepuk tangan.
c) Hasilnya: pada bayi yang kurang dari 4 bulan menunjukkan reflek terkejut. Bayi
yang berusia 6 bulan/lebih mencoba mencari suara dengan menggerakkan mata atau
kepala mereka.
2)Anak usia prasekolah:
a) Perawat berdiri 0,6 sampai 0,9 meter di depan anak.
b) Berikan instruksi tertentu pada anak.
c) Hasil: anak dengan pendengaran normal akan melakukan instruksi.
3)Anak usia sekolah
a) Berdiri kira-kira 0,3 m di belakang anak.
b) Perintahkan anak untuk menutup telinganya.
c) Bisikkan angka pada anak.
d) Perintahkan anak untuk menirukan angka yang dibisikkan.
e) Lakukan pada telinga lainnya.
1. Uji garputala
2.1 Uji weber1. Alat: garputala.
2. Tujuan: untuk membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural.
3. Indikasi: bisa digunakan pada anak-anak dan dewasa.
4. Kontraindikasi: –
5. Cara:
1)Pukulkan garputala pada telapak tangan.
2)Letakkan garputalapada garis tengah kepala pasien.
3)Tanyakan pada pasien letak suara yang terdengar paling keras.1. Hasil: pada pasien sensorineural, suara terdengar pada telinga yang tidak
terganggu. Ssedangkan pada tuli konduktif, suara terdengar lebih jelas pada telinga yang terganggu.
Gambar: tes weber
2.2 Uji rinne1. Alat: garputala.
2. Tujuan: untuk membandingkan hantaran udara dan tulang.
3. Indikasi: dapat dilakukan pada anak dan dewasa.
4. Kontraindikasi:
5. Cara:
1)Pukulkan garputala pada telapak tangan.
2)Letakkan batang garputala ke tulang mastoideus pasien.
3)Ketika pasien menunjukkan bahwa suara tidak terdengar lagi, dekatkan gigi garputala
ke meatus eksternus salah satu telinga.
4)Lakukan cara yang sama pada telinga lainnya.
Gambar: rinne test
2.3 uji Scwabach1. Alat: garputala.
2. Tujuan: untuk membandingkan hantaran bunyi dari 2 subyek.
3. Indikasi: dapat dilakukan pada anak dan dewasa.
4. Kontraindikasi: –
5. Cara:
1. Getarkan garputala yang dipegang
2. Letakkan ujung garputalapada lubang telinga pasien
3. Ketika pasien menunjukkan bahwa suara tidak terdengar lagi,
4. Lakukan cara yang sama pada telinga subyek kedua atau pemeriksa
5. Bandingkan hasilnya dari kedua subyek tersebut
6. Hasil:
1)Normal: anak akan mendengar suara garputala di meatus eksternus setelah tidak
terdengar di prosesus mastoideus dan suara dapat terdengar sama baiknya.
2)Abnormal: pada kehilangan pendengaran sensorineural memungkinkan suara yang
dihantarkan lewat udara lebih baik dari pada lewat tulang dan segala suara diterima
seperti sangat jauh dan lemah.
3.2.3 Pemeriksaan Fisik Pengecap.
Pada hakekatnya, lidah mempunyai hubungan erat dengan indera khusus pengecap.
Zat yang memberikan impuls pengecap mencapai sel reseptor lewat pori pengecapan.
Ada empat kelompok pengecap atau rasa yaitu manis, asin, asam, dan pahit.
Gangguan indera pengecap biasanya disebabkan oleh keadaan yang mengganggu
tastants atau zat yang memberikan impuls pengecap pada sel reseptor dalam taste bud
(gangguan transportasi) yang menimbulkan cedera sel reseptor (gangguan sensorik)
atau yang merusak serabut saraf aferen gustatorius serta lintasan saraf sentral
gustatorius (gangguan neuron).
Manifestasi klinis dari indera pengecap apabila dilihat dari sudut pandang psikofisis,
gangguan pada indera pengecap dapat digolongkan menurut keluhan pasien atau
menurut hasil pemeriksaan sensorik yang objektif missal sebagai berikut.1. Ageusia total adalah ketidakmampuan untuk mengenali rasa manis, asin, pahit, dan
asam.
2. Ageusia parsial adalah kemampuan mengenali sebagian rasa saja.
3. Ageusia spesifik adalah ketidakmampuan untuk mengenali kualitas rasa pada zat tertentu.
4. Hipogeusia total adalah penurunan sensitivitas terhadap semua zat pencetus rasa.
5. Hipogeusia parsial adalah penurunan sensitivitas terhadap sebagian pencetus rasa.
6. Disgeusia adalah kelainan yang menyebabkan persepsi yang salah ketika merasakan zat pencetus rasa.
Pasien dengan keluhan hilangnya rasa bisa dievaluasi secara psikofisis untuk fungsi
gustatorik selain menilai fungsi olfaktorius. Langkah pertama melakukan tes rasa
seluruh mulut untuk kualitas, intensitas, dan persepsi kenyamanan dengan sukrosa,
asam sitrat, kafein, dan natrium klorida. Tes rasa listrik (elektrogustometri) digunakan
secara klinis untuk mengidentifikasi defisit rasa pada kuadran spesifik dari lidah. Biopsi
papilla foliate atau fungiformis untuk pemeriksaan histopatologik dari kuncup rasa masih
eksperimental akan tetapi cukup menjanjikan mengetahui adanya gangguan rasa.
3.2.4 Pemeriksaan Fisik Peraba.
Pemeriksaan fisik indra perabaan didasarkan pada sensibilitas. Pemeriksaan fisik
sensori indra perabaan (taktil) terbagi atas 2 jenis, yaitu basic sensory
modalitiesdan testing higher integrative functions. Basic sensory
modalities (pemeriksaan sensori primer) berupa uji sensasi nyeri dan sentuhan, uji
sensasi suhu, uji sensasi taktil, uji propiosepsi (sensasi letak), uji sensasi getar
(pallestesia), dan uji sensasi tekanan. Sedangkan testing higher integrative functions (uji
fungsi integratif tertinggi) berupa stereognosis, diskriminasi 2 titik, persepsi figure kulit
(grafitesia), ekstinksi, dan lokalisasi titik.
Sensasi raba dihantarkan oleh traktus spinotalamikus ventralis. Sedangkan sensasi
nyeri dan suhu dihantarkan oleh serabut saraf menuju ganglia radiks dorsalis dan
kemudian serabut saraf akan menyilang garis tengah dan akan masuk menuju traktus
spinotalamikus lateralis kontralateral yang akan berakhir di talamus sebelum
dihantarkan ke korteks sensorik dan diinterpretasi. Adanya lesi pada traktus-traktus
tersebutlah yang dapat menyebabkan gangguan sensorik tubuh.
1. Basic sensory modalities(pemeriksaan sensori primer)
1. Uji sensasi nyeri dan sentuhan
Uji sensasi nyeri dan sentuhan terbagi menjadi 2 macam, yaitu nyeri superficial (tajam-
tumpul) dan nyeri tekan.
1) Nyeri superficial
Merupakan metode uji sensasi dengan menggunakan benda yang memiliki 2 ujung,
yaitu tajam dan tumpul. Benda tersebut dapat berupa peniti terbuka maupun jarum pada
reflek hammer. Pasien dalam keadaan mata terpejam saat dilakukan uji ini dan
dilakukan pengkajian respon melalui pertanyaan “apa yang anda rasakan?” dan
membandingkan sensasi 2 stimulus yang diberikan. Apabila terjadi keraguan respon
maupun kesulitandan ketidakmampuan dalam membedakan sensasi, maka hal ini
mengindikasikan adanya deficit hemisensori berupa analgesia, hipalgesia, maupun
hiperalgesia pada sensasi nyeri. Sedangkan gangguan pada sensasi sentuhan berupa
anestesia dan hiperestesia.
2) Nyeri tekan
Merupakan metode uji sensori dengan mengkaji nyeri melalui penekanan pada tendon
dan titik saraf. Metode ini sering digunakan dalam uji sensori protopatik (nyeri
superficial, suhu, dan raba) dan uji propioseptik (tekanan, getar, posisi, nyeri tekan).
Misalnya, berdasarkan Abadie sign pada daerah dorsalis, tekanan ringan yang diberikan
pada tendon Achilles normalnya adalah ‘hilang’. Dengan kata lain tidak dapat dirasakan
sensasi nyeri bila diberikan tekanan ringan pada tendon Achilles.1. Uji sensasi suhu
Uji sensasi suhu pada dasarnya lebih direkomendasikan apabila pasien terindikasi
gangguan sensasi nyeri. Hal ini dikarenakan pathways dari indra nyeri dan suhu saling
berbuhungan. Metode ini menggunakan gelas tabung yang berisi air panas dan dingin.
Pasien diminta untuk membedakan sensasi suhu yang dirasakan tersebut. Apabila
pasien tidak dapat membedakan sensasi,maka pasien dapat diindikasikan mengalami
kehilangan “slove and stocking” (termasuk dalam gangguan neuropati perifer).1. Uji sensasi taktil
Uji sensasi taktil dilakukan dengan menggunakan sehelai dawai (senar) steril atau dapat
juga dengan menggunakan bola kapas. Pasien yang dalam keadaan mata terpejam
akan diminta menentukan area tubuh yang diberi rangsangan dengan memberikan
hapusan bola kapas pada permukaan tubuh bagian proksimal dan distal. Perbandingan
sensitivitas dari tubuh proksimal dan distal akan menjadi tolak ukur dalam menentukan
adanya gangguan sensori. Indikasi dari gangguan sensori pada uji sensasi taktil ini
berupa hyperestetis, anastetis, dan hipestetik.1. Uji propiosepsi (sensasi letak)
Uji ini dilakukan dengan menggenggam sisi jari pada kedua tungkai yang disejajarkan
dan menggerakkannya ke arah gerakan jari. Namun yang perlu diperhatikan adalah
menghindari menggenggam ujung dan pangkal jari atau menyentuh jari yang
berdekatan karena lokasi sensasinya mudah ditebak (memberikan isyarat sentuh).
Pasien yang dalam keadaan mata terpejam diminta untuk menentukan lokasi jari yang
digerakkan.
Selain itu, uji ini juga dapat dilakukan dengan menguji posisi sensasi di sendi
metakarpalia palangeal untuk telapak kaki besar. Orang muda normal memiliki derajat
diskriminasi sebesar 1 sampai 2 derajat untuk gerakan sendi distal jari dan 3 sampai 5
derajat untuk kaki besar.1. Uji sensasi vibrasi (pallestesia)
Uji sensasi vibrasi dilakukan menggunakan garpu tala frekuensi rendah (128 atau 256
Hertz) yang diletakkan pada bagian tulang yang menonjol pada tubuh pasien. Kemudian
pasien diminta untuk merasakan sensasi yang ada dengan memberikan tanda bahwa ia
dapat merasakan sensasi getaran. Apabila pasien masih tidak bisa merasakan sensasi
getaran, maka perawat menaikkan frekuensi garputala sampai pasien dapat merasakan
sensasi getaran tersebut. Pasien muda dapat merasakan getaran selama 15 detik di ibu
jari kaki dan 25 deti di sendi distal jari. Sedangkan pasien usia 70 tahun-an merasakan
sensasi getaran masing-masing selama 10 detik dan 15 detik.1. Uji sensasi tekanan
Uji sensasi tekanan menerapkan kemampuan pasien dalam membedakan tekanan dar
sebuah objek pada ujung jari. Uji ini dilakukan dengan cara menekan aspek tulang sendi
dan subkutan untuk mempersepsikan tekanan. Rekomendasi untuk uji tekanan ini
diutamakan pada penderita diabetes dan dilakukan minimal sekali setahun.1. Testing higher integrative functions(uji fungsi integratif tertinggi)
1. Stereognosis
Stereognosis merupakan kemampuan untuk mengenali objek dengan perasaan. Uji ini
merupakan identifikasi benda yang dikenal dan diletakkan di atas tangan pasien
sehingga pasien dapat mengidentifikasi benda yang berada di tangannya. Adanya
kesulitan identifikasi benda (gangguan stereognosis) mengindikasikan adanya lesi pada
kolumna posterior atau korteks sensori.1. Diskriminasi 2 titik
Diskriminasi 2 titik merupakan metode identifikasi sensasi 2 titk dari penekanan 2 titik
pin yang berada pada permukaan kulit. Uji ini terus dilakukan berulang hingga pasien
tidak dapat mengidentifikasi sensasi 2 titik yang terpisah. Lokasi yang sering digunakan
untuk uji ini adalah ujung jari, lengan atas, paha, dan punggung. Adanya gangguan
identifikasi 2 titik mengindikasikan adanya lesi pada kolumna posterior atau korteks
sensori.1. Identifikasi angka (grafitesia)
Grafitesia merupakan metode penggambaran angka di mana nantinya pasien diminta
untuk mengidentifikasi angka yang tergambar pada telapak tangan. Metode grafitesia
dapat menggunakan ujung tumpul pulpen sebagai media stimuli. Kesulitan pada
identifikasi angka menunjukkan adanya glesi pada kolumna posterior atau korteks
sensori.1. Ekstinksi
Ekstinksi merupakan salah satu uji sensori yang menggunakan metode sentuhan pada
kedua sisi tubuh. Uji ini dilakukan pada saat yang sama dan lokasi yang sama pada
kedua sisi tubuh, misalnya lengan bawah pada kanan dan kiri lengan. Apabila pasien
tidak bisa menggambarkan jumlah titik lokasi sentuhan (biasanya psien hanya
merasakan satu sensasi), maka dapat dipastikan pasien teridentifikasi adanya lesi
sensoris.1. Lokalisasi titik
Lokalisasi titik merupakan metode didentifikasi letak lokasi sensasi stimulus. Metode ini
dilakukan dengan cara memberikan sensasi sentuhan ringan pada permukaan kulit dan
meminta pasien untuk menyebutkan atau menunjukkan letak sensasi yang dirasakan.
Adanya penurunan sensasi sensori dibuktikan dengan adanya ketidak-akuratan
identifikasi lokalisasi. Hal ini disebabkan adanya lesi pada korteks sensori sehingga
terjadi penurunan maupun hilangnya sensasi sentuhan pada sisi tersebut.
2.2.5 pemeriksaan Fisik Indra Penciuman
Indra penciuman merupakan penentu dalam identifikasi aroma dan cita rasa makanan-
minuman yang dihubungkan oleh saraf trigeminus sebagai pemantau zat kimia yang
terhirup. Indra penciuman dianggap salah satu sistem kemosensorik karena sebagian
besar zat kimia menghasilkan persepsi olfaktorius, trigeminus, dan pengecapan. Hal ini
dikarenakan sensasi kualitatif penciuman ditangkap neuroepitelium olfaktorius sehingga
menimbulkan sensibilitas somatic berupa rasa dingin, hangat, dan iritasi melalui serabut
saraf aferen trigeminus, glosofaringeus, dan vagus dalam hidung, kavum oris, lidah,
faring, dan laring.
Adanya gangguan penciuman (osmia) dapat diakibatkan oleh proses patologis
sepanjang olfaktorius yang hampir serupa dengan gangguan pendengaran berupa defek
konduktif maupun defek sensorineural. Defek konduktif (transport) terjadi akibat adanya
gangguan transisi stimulus bau menuju neuroepitel, sedangkan defek sensorineural
cenderung melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Namun penyebab utama dari
gangguan penciuman, yaitu penyakit rongga hidung maupun sinus, sebelum terjadi
infeksi saluran nafas atas, dan trauma kepala (Kris, 2006).
Gangguan penciuman (osmia) memiliki sifat total (seluruh bau), parsial (sejumlah bau),
atau spesifik (satu atau sejumlah kecil bau). Jenis-jenis gangguan penciuman, yaitu:1. Anosmia merupakan ketidak-mampuan mendeteksi bau
2. Hiposmia merupakan penurunan kemampuan mendeteksi bau
3. Disosmia merupakan distorsi identifikasi bau (tidak bisa membedakan bau)
4. Parosmia merupakan perubahan persepsi pembauan
5. Phantosmia merupakan persepsi bau tanpa adanya sumber bau
6. Agnosia merupakan ketidakmampuan menyebutkan maupun membedakan bau, meski pasien dapat mendeteksi bau.
Etiologi dari gangguan penciuman adalah sebagai berikut.1. Defek konduktif
1. Proses inflamasi
Proses inflamasi dapat menyebabkan gangguan pembauan akibat rintitis dan sinus
kronik. Rintitis dan sinus kronik mengakibatkan inflamasi mukosa nasal sehingga terjadi
abnormalitas sekresi mucus. Sekreai mucus yang berlebihan mengakibatkan silia
olfaktorius tertutup mucus sehingga sensitivitas olfaktorius menurun/menghilang.1. Massa/tumor
Adanya massa pada rongga hidung mengakibatkan perubahan structural dalam kavum
nasi berupa polip, neoplasma, maupun deviasi septum nasi sehingga dapat
menghalangi aliran odoran (zat yang menimbulkan bau) ke epitel olfaktorius.1. Abnormalitas developmental
Amnormalitas developmental dapat berupa ensefalokel maupun kista dermoid yang
mengakibatkan obstruksi pada roingga hidung sehingga menghalangi aliran odoran ke
epitel olfaktori.
1. Defek sensorineural
1. Proses inflamasi
Proses inflamasi dapat diakibatkan infeksi virus yang merusak neuroepitel, sarkoidosis
yang mempengaruhi struktur saraf, maupun sklerosis multiple. Inflamasi ini berakibat
pada destruksi neuroepitelium olfaktorius yang dapat mengganggu transmisi sinyal
(stimulus odoran) ke epitel olfaktorius.1. Penyebab congenital
Congenital dapat menjadi faktor penentu gangguan penciuman. Hal ini dikarenakan
kelainan yang bersifat congenital berakibat pada hilangnya struktur saraf. Misalnya,
Kallman syndrome mengakibatkan anosmia akibat gagalnya ontogenesis struktur
olfaktorius dan hipogonadisme hipogonadotropik.1. Gangguan endokrin
Gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, hipotiroidisme, maupun hipoadrenalisme
dapat mempengaruhi fungsi pembauan berupa gangguan persepsi bau.1. Trauma kepala
Trauma kepala pada basis fossa kranii anterior atau lamina kribiformis maupun akibat
proses pembedahan kepala atau saraf dapat menyebabkan regangan, kerusakan,
maupun terputusnya fila olfaktori halus sehingga menyebabkan anosmia.
1. Toksisitas obat sistemik
Obat-obatan yang dapat mengubah sensitivitas bau yaitu obat neurotoksik (etanol,
amfetamin, kokain tropical, aminoglikosida, tetrasiklin, asap rokok).
1. Defisiensi gizi
Defisiensi gizi berupa vitamin A, thiamin, maupun zink terbukti dapat mempengaruhi
fungsi pembauan.1. Penurunan jumlah serabut bulbus olfaktorius
Penurunan serabut bulbus olfaktorius sebesar 1% per tahun akibat penurunan sel-sel
sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi kognitif di susunan saraf pusat.1. Proses degenerative.
Proses degenerative pada sistem saraf pusat berupa penyakit Parkinson, Alzheimer,
dan proses penuaan normal dapat mengakibatkan hiposmia. Pada Alzheimer, hilangnya
fungsi pembauan merupakan gejala pertama proses penyakitnya. Sedangkan proses
penuaan, terjadi penurunan penciuman yang lebih pesat daripada pengecapan dan
penurunan paling pesat terjadi pada usia 70an.
Untuk mengidentifikasi adanya gangguan penciuman diperlukan pemeriksaan fisik untuk
menentukan sensasi kualitatif dan ambang batas deteksi.1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif
Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif yang paling sederhana dapat
menggunakan bahan-bahan odoran berbeda. Contohnya kopi, vanilla, selai kacang,
jeruk, limun, coklat, dan lemon. Pasien diminta untuk mengidentifikasi bau dengan mata
tertutup dan kemudian mencium aroma dari bahan-bahan odoran tersebut.
Sedangkan saat ini terdapat beberapa metode yang tersedia untuk pemeriksaan
penciuman, yaitu:1. Tes odor stix
Uji ini menggunakan pena penghasil bau-bauan. Penba ini dipegang dalam jarak sekitar
3-6 inci dari hidung pasien untuk mengkaji persepsi bau pasien secara kasar.1. Tes alkhohol 12 inci
Merupakan metode pemeriksaan persepsi bau secara kasar dengan menggunakan
paket alkhohol isopropil yang dipegang pada jarak 12 inci.1. Scratch and sniff card
Metode ini menggunakan kartu yang memiliki 3 bau untuk menguji penciuman secara
kasar1. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)
Merupakan metode paling baik untuk menguji penciuman dan paling direkomendasikan.
Uji ini menggunakan 40 item pilihan ganda berisi bau-bauan berbentuk kapsul mikro.
Orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya memiliki skor kisaran 1-7 dari skor
maksimal 40. Untuk anosmia total, skor yang dihasilkan lebih tinggi karena terdapat
adanya sejumlah bau-bauan yang bereaksi terhadap rangsangan terminal.1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan ambang batas
Penentuan ambang deteksi bau menggunakan alkhohol feniletil yang ditetapkan dengan
menggunakan rangsangan bertingkat. Masing-masing lubang hidung harus diuji
sensitivitasnya melalui ambang deteksi untuk fenil-etil metil etil karbinol.
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sistem sensori berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem saraf pusat
mengenai lingkungan sekitarnya. Pemeriksaan fisik pada sistem sensori ini sangat
kompleks karena harus melibatkan pemeriksaan pada kelima sistem indra tubuh yaitu
penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, dan peraba.
Gangguan pada sistem sensori disebabkan oleh adanya lesi pada saraf yang mengatur
sensori tubuh. Lesi-lesi tersebut dapat menghambat hantaran impuls saraf.
Pemeriksaan fisik sensori dapat dilakukan pada berbagai usia dan dilakukan untuk
dapat menentukan atau mengetahui apakan pasien tersebut mengalami gangguan pada
saraf sensorinya.
4.2 Saran
Perawat hendaknya dapat mempraktikkan dan menguasai teknik dalam pemeriksaan
fisik sistem sensori agar dapat menentukan tindakan asuhan keperawatan secara
efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2006. Critical Care Concept: Neuro Assesment Handout.
Brickley, Linn S. 2007. Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat
KesehatanBates.Edisi 5.Terjemahan oleh Esty Wahyuningsih. 2008. Jakarta: EGC.
Engel, Joyce. 1998. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Horison. 1995. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol I. Edisi 13. Jakarta: EGC.
Juwono, T. 1996. Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta: EGC.
Kris. 2005. Info Kesehatan THT-Bedah Kepala Leher: Gangguan
Penciuman/Penghidu. http://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-
penciumanpenghindu/ [13 Februari 2012].
Nasution, Siti saidah. 2003. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Perubahan
Persepsi Sensori: Halusinasi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Price, Sylvia A. & Wilson, Lorraine M. 2002. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6.Volume 2. Jakarta: EGC.
Pudjiastuti, Sri Surini & Utomo, Budi. 2002. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta: EGC.
Sarwono, Djoko. 1982. Penilaian Daya Penglihatan Anak Di Bawah Umur 1 Tahun.
Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth.Edisi 8.Volume 3.Terjemahan oleh Andry Hartono. 2002. Jakarta:
EGC.
http://www.scribd.com/doc/45883660/SGD-1-Pemeriksaan-fisik
bsp; e)��a>�� �span>Makalah adalah hasil kerja orisinil dari kelompok (bukan
plagiat).
1. Daftar pustaka harus jelas sumbernya dan tidak berasal dari sebuah blog (untuk
rujukan online).
2. Makalah diketik diatas kertas HVS A4 dengan batas kiri 4 cm, kanan 3 cm, atas 3 cm, bawah 3 cm. Huruf Times New Roman 12 dengan spasi 1,5.
3. Makalah dijilid rapi dengan bufalo warna biru muda, sebelum diserahkan ke dosen.
4. 6. Makalah harus sudah dikumpulkan ke dosen pendamping/fasilitator maksimal (paling lambat) 3 hari sebelum presentasi/perkuliahan atau H-3.
lampiran 3
Format penilaian tugas kelompok
Format Penilaian makalah
kelompok :
semester/tahun ajaran :
Dosen :No Aspek yang dinilai Nilai maksimal
1.
Aspek teoritis kasus1. Ketepatan pengertian kasus yang diambil
(lebih dari 2 pengertian menurut berbagai pakar/ahli)
2. Ketepatan pembuatan patofisiologi atau perjalanan penyakit dan secara skematik
3. Ketepatan penatalaksanaan dan Komplikasi
10
10
10
2.
Aspek teoritis keperawatan1. Ketepatan dalam pengkajian secara
umum yang didapatkan dari pustaka/teori
2. Kemampuan pemuatan tujuan dan criteria hasil
3. Ketepatan dalam rencana tindakan
4. Kemampuan merasionalkan rencana tindakan
10
10
10
10
3.
Penggunaan referensi1. Ketepatan referensi yang digunakan
2. Tahun referensi yang digunakan
3. Kemampuan merangkum referensi10
10
10
Total 100
Mengetahui
Dosen
………………………..
NIP
lampiran 4
Format penilaian
Peran serta selama diskusi
No Aspek yang dinilai Bobot
1. Persiapan untuk conferment 10
2. Mempersiapkan rencana askep 10
3.Mengemukakan issu untuk diskusi kelompok 10
4. Memberikan ide selama conferment 10
5.Mensintesis pengetahuan dan memakainya dalam penyelesaian masalah 10
6. Menerima ide orang lain 10
7. Menstimulasi strategi keperawatan 10
8. Mengontrol emosi sendiri 10
9.
Mampu bekerjasama dalam kelompok
10
Total nilai 100
Mengetahui
Dosen
………………………
NIP
12.� ���ght:150%;font-family:”Times New Roman”,”serif”;mso-fareast-font-family:
“Times New Roman”;mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;mso-bidi-theme-font:
minor-bidi;mso-ansi-language:IN;mso-fareast-language:IN’>Anjurkan makan pada posisi
duduk tegak
1. Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak
1. keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan
2. adanya pembesaran hepar dapat menekan saluran gastro intestinal dan menurunkan kapasitasnya.
3. akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah bau dan rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan.
4. menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan
5. glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap/dimetabolisme sehingga akan membebani hepar
Dx 3: kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui
muntahan
Tujuan: Mempertahankan hidrasi adekuat.
Kriteria hasil : Turgor kulit baik, haluaran urine sesuai, tanda vital stabil.
Intervensi Rasional1. Awasi masukan dan haluaran,
bandingkan dengan BB harian. Catat kehilangan melalui usus seperti muntah, diare.
2. Kaji tanda vital, nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa.
3. tanda perdarahan seperti hematuria, melena, perdarahan gusi atau bekas injeksi.
4. Memberika informasi tentang kebutuhan penggantian / efek terapi.
1. Indikator volume sirkulasi / perfusi.
1. Kadar protombin dan waktu koagulasi menunjang bila observasi vitamin K terganggu pada traktus G1 dan sentesis protombin menurun karena mempengaruhi hati.
Dx 5: Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang
mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
Intervensi Rasional1. kaji intensitas nyeri pasien
1. berikan posisi myaman pada pasien
1. ajarkan teknik relaksasi pada klien
1. diskusikan dengan tim kesehatan lain tentang pemberian analgesic pada pasien yang tidak mengandung hepatotoksi
1. mengetahui tingkat keparahan dari nyeri yang dirasakan pasien
2. posisi yang nyaman akan membuat nyeri pasien semakin berkurang
3. teknik relaksasi dilakukan dengan tujuan mengurangi nyeri yang dirasakan pasien
4. pemberian analgesik non hepatotoksi dilakukan supaya dapat mengurangi nyeri tanpa merusak lebih parah fungsi hati
4.4 Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang ada
4.5 Evaluasi1. Pasien akan menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai
laboratorium dan bebas tanda malnutrisi.
2. Pasien akan menunjukkan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan/mempertahankan berat badan yang sesuai.
3. Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri yakni tidak meringis kesakitan.
4. Tidak terjadi peningkatan suhu
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan
oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan
kimia. Penyakit Hepatitis A adalah golongan penyakit Hepatitis yang ringan dan jarang
sekali menyebabkan kematian, Virus hepatitis A (HAV=Virus Hepatitis A)
penyebarannya melalui kotoran/tinja penderita yang penularannya melalui makanan dan
minuman yang terkomtaminasi, bukan melalui aktivitas sexual atau melalui darah.
Sedangkan hepatitis B (HBV) yang dahulu disebut hepatitis serum adalah suatu proses
nekroinflamatorik yang mengenai sel-sel hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B
(HBV).
Gejala hepatitis Abiasanya muncul akut, seperti gejala flu, mual, demam pusing yang
terus menerus.Namun pada anak-anak kadang kala tidak timbul gejala yang mencolok
hanya demam tiba-tiba, hilang nafsu makan.Pada pasien hepatitis B dapat mengalami
penurunan selera makan, dispepsia, nyeri abdomen, pegal-pegal yang menimbulkan
tidak enak badan dan demam. Biasanya suhu tubuh sedikit meninggi tapi jarang sampai
39,50C lebih. Gejala ikterus dapat terlihat atau kadang-kadang tidak tampak. Apabila
terjadi ikterus gejala ini akan disertai dengan tinja yang berwarna cerah dan urin yang
berwarna gelap. Hati penderita hepatitis B mungkin terasa nyeri saat ditekan dan
menbesar hingga panjangnya mencapai 12-14 cm. Limpa membesar dan pada
sebagian kecil pasien dapat diraba.Kelenjar limfe servikal posterior juga dapat
membesar.Smeltzer (2002:1174)
5.2 Saran
Hepatitis merupakan penyakit yang menimpa hamir seluruh belahan dunia. Maka untuk
menjaga tubuh kita agar tidak terserang penyakit ini maka kita perlu melakukan
pencegahan secara dini, dengan cara:1. Menjaga kebersiha lingkungan
2. Menjaga kebersihan personal
3. Melakukan vaksinasi atau imunisasi sejak kecil
DAFTAR PUSTAKA
Anderson S, dan Lorraine C. W. 1993. Hepatitis Virus, dalam Patofisiologi Konsep klinis
Proses-proses Penyakit, edisi 2.Jakarta: EGC
Behrmen, Richard E., Kliegmen, Robert M., dan Arvin, Ann M. 2000. Ilmu Kesehatan
anak Nelson Vol. 2, Edisi 15alih bahasa: A. Samik Wahab. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3. Jakarta: EGC
Gallo, Huda. 1995.Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
Hadi.2000. Hepatologi. Bandung: Penerbit Mandar Maju
Harrison. 1999. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC
Isselbacher, et al, Harrison. 2000. Hepatitis A sampai E, dalam Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam, Volume 4, Edisi 13. Jakarta : EGC
Moectyi, Sjahmien, 1997. Pengaturan Makanan dan Diit untuk
Ranuh, I.G.N. 2001.Buku Imunisasi Di Indonesia, Edisi I. Jakarta: Satgas Imunisasi IDAI
Price, Sylvia A., dan Wilson, Lorraine M. 2006.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Vol. 1, Edisi 6, alih bahasa: Braham U Pendit [et al]. Jakarta: EGC
Pujiarto, P. S. 2000. Kebijakan Tatalaksana Hepatitis Virus A, B, C pada Anak bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM, Tinjauan Lengkap Hepatitis Virus pada Anak.
Jakarta: FK UI
Sjaifoellah Noer,H.M. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth Vol. 2, Edisi 8, alih bahasa: agung Waluyo [et al]. Jakarta EGC
Soemoharjo, S. 2002. Vaksinasi Hepatitis B, dalam Simposium Sehari Hepatitis B dan
C. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada