wongkentir magazine vol 1
DESCRIPTION
ExploreTRANSCRIPT
ContentsJuli 2013
6RANU KUMBOLORanu Kumbolo, salah satu surga di bumi Indonesia. Terletak diketinggian 2400 mdpl, Ranu Kumbolo menawarkan pemandanganspektakuler bagi siapa saja yang mengunjunginya
13MAHAMERUPuncak Semeru yang konon katanya tempatbersemayam para dewa. Tanah tertinggi dipulau Jawa yang merupakan impian parapendaki gunung nusantara
18THE PORTERSang pembawa barang yang membantu parapendaki menggapai puncak. Seringterlupakan tapi perannya tak tergantikan
2 | Wongkentir Magazine
Editor Note
CoverRanu Kumbolo di sebuah pagi yang cerah
Photo by Surya Hardhiyana Putra
Alhamduli l lah, akhirnya kelar juga wongkentir magazine edisi yang
pertama. Majalah digital ini melengkapi catatan perjalananku
setelah sebelumnya selama lebih dari tiga tahun berkecimpung di
dunia blog melalui wongkentir.blogdetik.com
Memil iki majalah sendiri adalah impianku sejak kecil . Maklumlah
banyak artikel yang kukirim ke majalah ditolak alias gagal cetak,
sehingga satu-satunya cara untuk bisa membagi tul isanku ke para
pembaca sekalian ya mempunyai majalah sendiri .
Di Edisi perdana ini, semua berkisah tentang cerita perjalananku bersama rekan-rekan dari
Paguyuban Jepret Brantas menjelajahi hutan rimba Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
(TNBTS) untuk mencapai ranu kumbolo. Sebagian rekan melanjutkan perjalanan hingga
Puncak Mahameru. Sebuah perjalanan yang seru dan mengesankan.
Total hanya 22 halaman di edisi perdana ini. Tapi 22 halaman itu bagiku cukup untuk sebuah
permulaan. Selanjutnya diperlukan semangat dan konsistensi agar edisi selanjutnya bisa
terbit.
Keseluruhan cerita di wongkentir magazine edisi perdana ini semuanya sudah pernah
termuat di blog wongkentir.blogdetik.com. Di edisi mendatang diharapkan ada kontributor
baik tul isan maupun foto yang bisa menyumbangkan tul isan dan foto2nya sehingga
kelangsungan majalah ini bisa terus terjaga.
Dan akhirnya, selamat membaca edisi perdana.
Pemimpin Redaksi
Surya Hardhiyana Putra
Wongkentir Magazine
Pemimpin Perusahaan
Dewi Wara Shinta
Pemimpin Redaksi
Surya Hardhiyana Putra
Editor
Surya Hardhiyana Putra
Design dan Layout
Surya Hardhiyana Putra
Photo Editor
Surya Hardhiyana Putra
Publisher
Hardhiyana Corp
Office
Surabaya
Contact
surya00[at]gmail[dot]com
Wongkentir Magazine | 3
Location : Ranu Kumbolo, Lumajang
Contributors
IMRON FAUZI
Forografer asli Ponorogo yang menyukai landscape dan nature.Hobinya jalanjalan, mendaki gunung, menjelajah pantai danmenulis buku. Selain sebagai tukang foto yang handal, dia jugamenjadi salah satu pengajar di sebuah akademi pembangkitantenaga listrik
BAMBANG WAHYU JATMIKO
Pria Tulung Agung yang sangat menggilai fotografi. Sejakmengenal fotografi sekitar pertengahan tahun 2011, dialangsung menekuni dunia seni ini. Meskipun sampai sekarangbelum terjun secara professional, tetapi karyakaryanya sudahtidak perlu diragukan. Obsesinya adalah memotret pergerakanbintang di kala malam dan berburu Milky Way.
DONI WICAKSONO
Seorang penjelajah ulung yang sudah menjejaki hampir seluruhpuncak tertinggi di Pulau Jawa. Semeru, Welirang, Arjuno, Lawuadalah beberapa contohnya. Tubuhnya yang kurus membuatnyabegitu lincah bergerak menembus hutan belantara, meskisebuah ransel berat tersandar di pundaknya
4 | Wongkentir Magazine
Journey
Mataku mendadak terbuka. Kurasakan
semil ir belaian lembut menyentuh wajahku.
Membawa serasa hawa yang sudah lama
tidak pernah kujumpa. Aku ingin bergerak.
Tapi tak bisa. Aku terbujur beku. Tak ada lagi
ruang kosong.
Kugerakkan kepalaku perlahan-lahan. Aku
pandang tubuhku sendiri . Semuanya
terbungkus rapat. Jaket, kantung tidur, kaus
tangan, topi kupluk hingga kaus kaki. Tapi
tampaknya itu semua belum cukup. Tubuhku
masih menggigi l . Jari tangan terasa kaku.
Samar-samar lalu kuamati sekeli l ingku.
Sebuah ruang sempit berbentuk seperti
piramida dari kain memenuhi garis pandang.
Ruangan itu tidak gelap, bahkan cukup
terang. Sepercik sinar yang menyala dari
lampu senter menjadi lenteranya. Kuperjap-
perjap mata untuk sedikit menghilangkan
samar itu.
“Ah, ternyata sebuah tenda,” batinku.
Perlahan anganku melayang, terkenang akan
masa perjalanan dua hari yang lalu. Sebuah
jalan setapak yang panjang dan berbahaya.
Di satu sisinya adalah jurang, dan di sisi
lainnya adalah tebing curam. Pepohonan
tumbuh subur dan liar di sepanjang
perjalanan. Tinggi dan besar. Banyak
diantara pohon-pohon itu, aku tidak bisa
melihat akarnya, karena nun jauh di bawah
jurang dalam sana. Di beberapa titik, daun-
daun menghijau dengan rimbunnya. Tapi di
titik lain tampak dahan dan batang
menghitam seperti bekas terbakar.
Dengan gontai, ku paksa kakiku untuk terus
berjalan dan berjalan menyusuri jalan
setapak itu. Kadang menanjak, turun,
berbelok. Ransel di punggung menambah
tekanan pada bahu, punggung serta sendi-
sendi lutut dan engkel.
6 | Wongkentir Magazine
Aku tidak sendiri menjalaninya. Perjalanan ini
terlalu indah dan berbahaya untuk dijalani
sendirian. Ada Imron Fauzi, Bambang Wahyu
Jatmiko, Farikh Ardiansyah, Imam Subeki,
Rahmad Adriansyah, Doni Wicaksono, Heru
Sutjahjono, Satria Yuwana, Arif Biantoero,
Fajar Kurniawan dan Fendhito Pratama Putra
di sampingku. Mereka bukan hanya rekan
sejalan, tapi juga pembangkit semangat dan
pemberi inspirasi.
Ketika nafas memang sudah memburu dan
kaki sudah tak sanggup lagi melangkah, aku
berhenti sejenak. Aku biarkan oksigen
mengisi penuh kembali paru-paru sambil
menikmati seteguk, dua teguk air.
Menghilangkan dahaga sekaligus
mengurangi beban.
Kata orang, j ika sering-sering berhenti ketika
mendaki, maka lelahnya akan makin terasa.
Tapi bagiku, ini lebih baik daripada
kehilangan konsentrasi yang bisa berakibat
fatal.
Aku memang belum pernah mendaki gunung
sebelumnya. Rekor terbaikku hanyalah
mencapai pos kokopan, sebuah pos
peristirahatan dalam perjalanan menuju
puncak Gunung Arjuno ataupun Welirang.
Wongkentir Magazine | 7
Perlahan-lahan dengan ditemani sisa-sisa
nafas yang ada, akhirnya tibalah aku di Ranu
Kumbolo. Total l ima setengah jam waktu yang
kubutuhkan untuk menempuh jarak sekitar 9
km dari Ranu Pani hingga Ranu Kumbolo.
“Perjalanan yang menyenangkan,” gumamku
mengakhiri lamunan.
Dengan susah payah aku bangkit dari
pembaringan. Awalnya mengangkat badan
saja aku tak sanggup. Lalu kumanfaatkan
kedua siku lenganku untuk menumpu
punggungku. Dan hap, aku berhasil duduk.
Mataku kembali menjelajah isi tenda. Tampak
tiga orang yang berbagi tenda denganku
tengah menikmati mimpinya dengan badan
yang juga terbungkus kantung tidur. Di setiap
sudut tenda, berbagai tas tergolek bisu,
memenuhi isi ruang tenda yang sudah penuh
oleh empat orang manusia.
Tubuhku kaku. Aku gerakkan badanku ke kiri
kanan untuk mengusirnya. Tampaknya
selama beberapa jam tertidur, posisi tubuhku
tidak berubah, terlentang.
8 | Wongkentir Magazine
Kubuka kaus tanganku. Seketika itu pula
angin berebut menyapa pori-pori kul itku.
BrrrA
Aku raba kantung tidurku. Basah. Jaket, kaus
tangan, kaus kaki. Semuanya basah.
Hujankah semalam? Bocorkah tenda ini?
Dan kemudian aku melihat titik-titik embun
yang membasahi pori-pori kain tenda.
Ingin rasanya aku kembali berbaring, tapi
ternyata Fendhito dan Farikh sudah
mengambil tempatku. Ruang yang beberapa
detik yang lalu kutinggalkan ternyata
memberikan kelegaan bagi mereka untuk
bergerak. Kedua wajah yang tersembul dari
kantung tidur tampak nyaman dan damai. Tak
tega rasanya membangunkan mereka untuk
mengambil lagi ruang tidurku.
Hmm, mungkin tampaknya sudah waktunya
bagiku untuk mengakhiri jam tidur.
Kabut tipis bersambut riang ketika aku
menyembulkan wajahku dari dalam tenda.
Langit masih gelap. Hening. Sunyi. Sungguh
berbeda dengan beberapa jam yang lalu
ketika suara denting gitar dan suara sumbang
beradu dengan tarian api unggun.
Percakapan bergantian dengan tawa renyah.
Lebih dari tiga ratusan orang memenuhi
camp ground Ranu Kumbolo
Waktu memang masih menunjuk angka jam 3
lebih 1 0 pagi tapi aku memaksakan diri untuk
keluar dari tenda. Wuusshh, sebuah asap
tipis keluar dari mulutku bersamaan dengan
nafas yang kuhembuskan. Wah, keren,
batinku, seperti yang pernah kulihat di
adegan fi lm-fi lm bersetting musim salju.
Sepanjang mata memandang, yang ada
hanyalah hitam. Tenda-tenda yang
bertebaran di sekeil ingku seolah-olah hilang
ditelan kegelapan. Yang ada hanyalah kabut
tipis yang menari-nari di atas air danau. Tapi
tunggu dulu, apa yang tampak berkilauan di
atas sana.
Ternyata ada pesta di angkasa malam ini.
Ribuan bintang saling berkilauan,
memamerkan cahaya terbaiknya ke muka
bumi. Tiada awan, tak ada kabut, sehingga
perjalanan cahaya mereka bisa sampai
Wongkentir Magazine | 9
dengan selamat hingga permukaan kornea
mataku.
“Milky Way!! ! ”
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang.
Entah sejak kapan Bambang Wahyu Jatmiko
sudah keluar dari tendanya dengan kamera
yang terhunus lengkap dengan tripod.
Beberapa detik kemudian dia sudah
menghilang di kegelapan sebelum aku
sanggup menyapanya. Bambang, salah satu
sahabatku yang berdedikasi tinggi pada
dunia fotografi. Keahlian memotretnya
berkembang sangat pesat, padahal dia baru
saja mengenal kamera sekitar dua tahun
yang lalu. Peralatannya tergolong yang paling
banyak diantara kami mulai dari lensa, fi l ter
hingga remote shutter.
Dia juga mempunyai persiapan yang baik
sebelum melakukan hunting foto, seperti
membawa baterei cadangan, menyediakan
plastik untuk membungkus kamera dan
menghindarkan serangan embun, serta tak
lupa membawa serta tripod. (salah satu foto
bambang bisa dil ihat di postingan ini).
Sedangkan aku hanya bisa memandangnya
lesu. Kali ini kameraku tidak bisa beraksi.
Kapasitas batereiku hanya tinggal kurang dari
30 % saja dan aku tidak membawa baterei
cadangan. Sisa-sisa itu rencananya
kugunakan untuk mengabadikan sunrise pagi
ini setelah kemarin gagal total karena kabut
yang turun. Ya mungkin untuk kali ini aku
hanya bisa merekam pesta bintang ini lewat
mata dan memori otakku saja. Tapi itu sudah
merupakan rahmat yang harus disyukuri
karena tidak semua orang bisa
menikmatinya. Apalagi bagi orang yang
tinggal di kota. Gemerlapan lampu, asap,
debu telah membentuk perisai yang
meredupkan sinar sang bintang.
Aku merasakan tangan dan kakiku semakin
menggigi l . Kaus tangan yang basah bukan
melindungi kul itku, tapi malah membuat
kul itku makin mengingsut. Kukorek abu kayu
sisa api unggun sore tadi. Tapi rupanya tidak
ada lagi bara yang tersisa disana.
Bantuan datang di saat yang tepat.
Tampaknya teriakan Bambang tadi telah
membangunkan satu orang lagi, mas Eko,
salah satu kenalan di perjalanan. Seseorang
yang istimewa di mataku. Penakluk hampir
semua puncak tertinggi di nusantara. Mulai
dari Kerinci di Sumatera, Mahameru dan
Lawu di Jawa hingga Rinjani di Nusa
Tenggara. Tinggal satu puncak di Indonesia
yang belum digapainya. Sebuah gunung
yang telah menjadi impiannya sejak lama.
Cartens Pyramid, puncak tertinggi Papua,
sekaligus di Indonesia.
Melihatku menggigi l , dia langsung bereaksi
mengambil kompor portablenya yang
tergeletak di depan tendanya. Peralatannya
mendakinya yang lengkap menunjukkan
sudah betapa banyak asam garamnya dalam
dunia pendakian. Semua peralatan mulai dari
tenda, kompor, kantung tidur, matras dan
ransel carrier adalah mil ik pribadi dan bukan
sewa.
Dengan cekatan, dia menuangkan dua
sendok spirtus ke dalam tungku kompornya.
Menyalakan api. Meletakkan panci di
10 | Wongkentir Magazine
atasnya. Terakhir dituangkannya beberapa
mil i l i ter air kedalam panci tersebut.
“Dingin sekali ya mas, kira-kira berapa
derajat ya?” tanyaku sambil menghangatkan
tanganku di atas panci.
“Hmm, berapa ya kira-kira? Sebentar aku
ambil termometer, ”
Mas Eko lalu menghilang, masuk kedalam
tendanya. Tak berselang lama, dia keluar
dengan membawa sebuah arloj i yang
mempunyai fitur termometer digital .
“Sebentar, diukur dulu ya,”
Beberapa menit kemudian, mas Eko
memperl ihatkan jajaran angka yang tampil di
termometer digital mil iknya, tiga koma lima
derajat celcius.
--
Detik demi detik berlalu, gelap pun mulai
tersibak. Segaris warna tergurat nun jauh di
ufuk timur sana. Fajar menyingsing. Sudah
waktunya Subuh.
Ku langkahkan kakiku mendekati bibir danau.
Perlahan-lahan, aku benamkan dia ke dalam
air yang berkabut itu. Hmm, ada rasa hangat
menjalar ke seluruh tubuh. Segera kuambil
wudhu.
Tidak ada hal yang lebih indah ketika
bersujud pada-Nya di tengah-tengah alam
yang terhampar. Beratapkan langit yang
bermandikan cahaya bintang dan ditemani
semil ir kabut tipis. Mengakui betapa kecilnya
kita di semesta raya ini.
Setelah menunaikan sholat subuh, aku
bersi la menatap langit timur. Secangkir teh
hangat dan keripik singkong menjadi
penghangat suasana bersanding dengan
kamera yang sudah terpasang gagah pada
tripod. Sesekali ku tekan shutter kamera dan
satu lukisan-Nya pun terekam sempurna.
Disampingku, Fendhito tengah sibuk dengan
panci-panci. Dipi l ihnya panci-panci yang
terl ihat bersih. Lalu ditumpuknya satu persatu
hingga setinggi sekitar 40 sentimeter.
Setelahnya diletakkan kamera di atas
tumpukan itu. Tak ada tripod, panci pun jadi.
Semakin siang, suara shutter yang terdengar
semakin banyak, berirama, beradu dengan
riuhnya para pendaki yang telah terbangun
dari lelapnya mimpi. Tanpa dikomando,
mereka memenuhi bibir danau. Membawa
kamera, tetapi bukan untuk memotret,
melainkan dipotret. Nasib kurang mujur bagi
mereka yang terpaksa harus memotret.
Bagi yang beruntung, ekspresi terbaikpun
dipasang. Tersenyum simpul, tertawa lebar,
ataupun juga berlagak dingin penuh misteri.
Tangan pun tak luput untuk ikut bergaya,
mulai dari gaya jempol, victory ataupun
metal. Matahari terbit diatas air danau
menjadi latar belakang favorit. Sebagai bukti
nyata telah menjejakkan kaki di lereng
Semeru. Sebagai kebanggan untuk
ditunjukkan kepada kawan-kawan bahwa
Ranu Kumbolo sudah digapainya.
Aku dan teman-teman pun turut bernarsis ria.
Hanya saja di tim kami tidak ada yang tidak
beruntung karena semuanya bisa masuk
frame. Lalu siapa pemotretnya? Tripod.
Pekatnya kegelapan perlahan memudar,
berganti dunia yang penuh warna. Matahari
memancarkan sinarnya yang keemasan.
Langit membiru dengan gugusan awan putih
yang menggumpal. Menghijaunya air danau
ranu kumbolo. Serta aneka warna dari tenda
para pendaki yang berdiri tegak di camping
ground. Sebuah keajaiban pagi di salah satu
tempat terindah di muka bumi.
Semuanya itu kini terabadikan dalam bingkai
frame kameraku dan terekam indah di salah
satu tempat terdalam diantara l ipatan-l ipatan
otakku. Dan rekaman itu tak henti-hentinya
mengirimkan impuls kepada saraf-saraf di
kepalaku agar aku bisa sesegera mungkin
kembali ke sana. Semoga.
Wongkentir Magazine | 11
Journey
Wongkentir Magazine | 13
Kaki-kaki gontai berjalan beriringan dipekatnya malam. Gelap berpacu dengan
dingin dan debu. Dua tiga langkah kaki maju
diikuti satu langkah mundur. Nafas memburu
terengah-engah. Paru-paru menjerit,
meronta, mendamba oksigen yang kian
menipis.
Badan sudah tidak sanggup berdiri tegak.
Tongkat menjadi tumpuan, menggantikan
lutut yang sudah seperti mati rasa. Bahkan
beberapa sudah ada yang ambruk dan musti
berjalan merangkak.
Kerongkongan terasa kering, tetapi
persediaan air harus dihemat. Tetes demi
tetes sangat berharga.
Ditengah itu semua, fokus dan konsentrasi
harus tetap terjaga. Meski mata terasa berat,
meski badan sudah remuk redam. Sudah
sekitar tiga jam yang lalu pos Arcopodo kami
tinggalkan. Puncak masih menunggu nun
jauh di atas sana sedang kiri kanan jurang
menganga.
Mahameru, puncak para dewa. Sosok hitam
itu menjulang angkuh menantang angkasa.
Pesonanya menawan.
Kedamaiannya dirindukan. Dan kini, kami
disini. Diantara bebatuan dan pasir, disekitar
tebing 45 derajat yang terbentang, ditengah
rasa keputusasaan, kami mencoba
menggapai kemolekan itu.
Banyak orang bilang, j ika sesuatu itu
didapatkan dengan mudah, maka dengan
mudah pula sesuatu itu akan pergi. Tidak
akan ada sebuah kesan yang tertinggal.
Sebaliknya, j ika sesuatu itu didapatkan
dengan sulit, maka akan sulit pula sesuatu itu
akan pergi. Dan sesuatu itu pastinya akan
memberikan kesan yang sangat dalam dan
membekas.
Hanya itu lah keyakinan kami saat ini.
Perjuangan yang berat ini , pasti nantinya
akan setimpal dengan apa yang kami raih
nantinya.
Fajar menyingsing di ufuk timur, tetapi kami
masih disini. Di punggungan Semeru, tanah
tertinggi di pulau jawa. Kami berhenti sesaat.
Membiarkan mata menangkap salah satu
momen terindah di muka bumi sambil
memberikan waktu untuk nafas kami.
Sungguh sempurna matahari terbit pagi ini .
Sebuah nikmat yang sangat luar biasa dari
14 | Wongkentir Magazine
Sang Pencipta. Jadi nikmat Allah mana yang
kau dustakan.
Istirahat bukan berarti berhenti. Perjalanan
masih di lanjutkan. Puncak sudah melambai di
atas sana. Meminta segera dijejaki. Beberapa
rekan sudah mengibarkan bendera putih.
Cukup disini perjuangan kali ini bagi mereka.
Respect! Kami tahu, mereka berhenti bukan
karena menyerah, bukan karena kalah. Tapi
karena mereka tahu keselamatan adalah
yang utama. Perjalanan yang sesungguhnya
adalah perjalanan pulang. Kembali
berkumpul bersama keluarga. Akan sia-sia
j ika kita meraih puncak, tetapi pada akhirnya
tidak bisa pulang. Tidak akan ada
kegembiraan. Yang ada hanyalah kegetiran
dan air mata.
Semakin ke atas, tebing semakin curam.
Empat puluh l ima derajat, perlahan-lahan
berubah menjadi enam puluh derajat.
Stamina makin terkuras, tetapi konsentrasi
harus makin fokus.
Dan, akhirnya sampailah kami di puncak.
Benar-benar sebuah perasaan yang luar
bisa. Membuncah penuh kegembiraan. Kami
terpekur memandang semua yang tersaji
disana. Langit biru. Gugusan awan yang
berarak-arak. Bukit-bukit kehijauan yang
menjulang. Sungguh, manusia ini memang
sangat kecil dihadapan-Nya. Sungguh,
sebuah perjuangan yang sulit, akan meraih
sesuatu yang sulit untuk dilupakan. Dan kami
pasti tidak akan lupa dengan apa yang kami
l ihat pagi ini di sepanjang usia kami. Dengan
penuh kerendahan hati, kami bersujud pada-
Nya. Bersyukur penuh haru telah diberi
kesempatan menikmati keindahan ini.
Tiba-tiba terasa puncak itu berguncang.
Terdengar suara gemuruh dari dalam perut
bumi. Tubuh kami bergetar. Nyali menciut.
Pasir dan batu di puncak berderak.
DanAwhuzzz. . sebuah gumpalan asap
menggelegak ke angkasa. I tulah awan panas
yang tersembur dari kawah Jongring Saloka.
Bentuknya seperti jamur dan sangat
mematikan.
Wongkentir Magazine | 15
Awan itulah yang diperkirakan membunuh
Soe Hok Gie dan Idhan Lubis di tahun 1 969,
dua orang pecinta alam dari Universitas
Indonesia.
Saat ini awan tersebut belum terlalu
membahayakan, karena arah angin masih
menuju ke selatan. Tetapi di atas jam 1 0 pagi,
arah angin berubah ke utara, menuju puncak
yang saat ini kami jejak. Untuk itulah, kami
harus segera turun sebelum jam 1 0 pagi.
Satu jam berlalu, akhirnya kami pun turun.
Perjalanan turun jauh lebih mudah
dibandingkan ketika mendaki. Kami seperti
bermain ski pasir. Tapi justru disini lah
kewaspadaan diperlukan. Banyak data yang
menunjukkan bahwa banyak pendaki hi lang
di Semeru justru pada saat turun dari puncak.
Euforia yang berlebihan dan disorientasi arah
menjadi penyebabnya. Hanya ada satu jalan
dari Arcopodo menuju Puncak Mahameru.
Dari situlah kami berangkat, dan menuju
situlah kami pulang kembali ke Arcopodo dan
lanjut ke camp ground Kali Mati. Sisanya
adalah jurang menganga yang siap
menerkam. Oleh tim SAR, area jurang ini
disebut Blank75.
Tak sampai setengah jam, kami sudah
sampai di pos Arcopodo. Disini kami
memandang sekali lagi semeru yang
menawan itu. Kelak, suatu hari nanti , kami
pasti akan kembali disini . Dalam suasana dan
kesempatan yang berbeda. Mereguk lagi
keindahan dan kedamaian yang
ditawarkannya.
16 | Wongkentir Magazine
“Mas, tunggu! ! , ” panggilku memecah
kesunyian sore dengan nafas yang tersengal.
Posisiku sudah setengah merangkak.
Tanganku berpegang erat pada sebuah
batang pohon. Peluh membasahi wajah,
tubuh hingga kakiku.
Seseorang yang berjarak sekitar 5 meter di
depanku menghentikan langkahnya, seraya
kemudian memalingkan wajahnya. Tubuhnya
kurus. Rambutnya hitam pendek. Kumisnya
tipis menghiasi mukanya. Sebuah kacamata
membingkai sepasang matanya.
Dengan ringan dia melangkah ke arahku.
Wajahnya tampak tenang dengan nafas yang
stabil , seolah tak merasakan kelelahan.
Padahal di bahunya terpanggul ransel
seberat 20 kg. Aku sendiri hanya membawa
beban ransel sekitar 1 2 kg.
“Istirahat dulu ya mas,” ajakku padanya.
Tanpa menjawab, dia mengambil posisi
duduk dengan ransel masih tertambat
dipunggungnya. Dibuka kacamatanya.
Sejurus kemudian dia mengeluarkan pisau
kecil yang terbungkus kertas dari bal ik saku
celananya. Diambil kertas pembungkus itu,
di letakkan pisaunya dan mulai lah dia melihat-
l ihat kertas pembungkus yang sudah lusuh
serta kumal tersebut. Matanya tampak
menekuni tul isan dan gambar yang tercetak,
sambil sesekali menatap ke langit, seperti
memikirkan sesuatu.
Namanya Hartono, salah satu dari dua porter
yang kami sewa untuk mendampingi kami
mendaki lereng Semeru. Usianya masih
sangat muda, 1 6 tahun, tapi wajahnya terl ihat
sedikit lebih tua dibanding usianya. Tapi
diantara rekan sesama porter, penampilan
Hartono terl ihat berbeda. Dengan hoodie
warna hijau, kacamata hitam dengan kaca
merah serta rambut yang klimis dan kaku,
Hartono tampak sangat modis.
Ketika aku dan teman-teman memintanya
mengambil foto, dia tanpa ragu
melakukannya. Ketika banyak rekan sesama
porter yang menolak dengan alasan tidak
bisa ataupun takut merusakkan, Hartono
cukup percaya diri menerima amanah itu.
Bahkan mengoperasikan kamera DSLR,
dimana untuk memotret harus mengintip ke
lubang kamera, dia pun bisa. Hasilnya pun
relatif oke.
Tingkahnya yang dari tadi membaca kertas
pembungkus pisau membuatku penasaran.
Hampir setiap istirahat dia selalu melakukan
hal itu. Sangat berbeda dengan porter lainnya
yang lebih memil ih menghisap tembakau
ataupun sekedar berbincang-bincang dengan
tamu yang diantarnya. Kertas
pembungkusnya pun bukan cuman 1 lembar
saja, tapi 4 lembar. Tapi sepanjang perjalanan
dari Ranu Pani hingga sampai ke Ranu
Kumbolo, aku belum bisa menuntaskan rasa
penasaran itu.
Malam pun tiba. Setelah membantu
menyiapkan makan, Hartono dan Wirrohman,
kedua porter kami, mohon diri untuk
berkumpul bersama rekan-rekan porter yang
Profile
SEORANG PORTERBERNAMA HARTONO
Text by Surya Hardhiyana PutraPhoto By Doni Wicaksono
18 | Wongkentir Magazine
lain. Mereka berdua menolak ketika kami
menawari mereka makan.
Tempat para porter berkumpul biasanya
adalah sebuah bangunan berbentuk rumah
yang merupakan satu-satunya bangunan
permanen di Ranu Kumbolo. Tapi keduanya
tidak berkumpul disana, melainkan di sebuah
tempat terbuka di bibir ranu, yang kebetulan
tidak jauh dari tempatku dan teman-teman
mendirikan tenda. Tidak ada tenda disana.
Mereka tidur beralas rumput dan beratap
langit penuh bintang. Sarung dan kobaran api
unggun menjadi andalan untuk mengusir
dingin.
Ditengah ji latan api yang berjoget, Hartono
kembali mengeluarkan pisaunya. Lagi-lagi dia
buka kertas pembungkusnya dan tak lama
kemudian membaca. Tapi kal i ini dia tak
sendiri membacanya. Ada porter lain yang
menemani. Mereka tampak berdiskusi serius.
Sesekali kawan Hartono ini terl ihat
mengeluarkan ekspresi kegeraman sambil
menepuk bahu ataupun punggung Hartono.
Penasaran, aku mendekati mereka. Aku coba
mencuri dengar pembicaraan mereka.
Ayo, Jowo kuwi nduwe pirang propinsi?
Sik, tak mikir disek.
Satu detik, dua detik, sepuluh detik berlalu,
belum ada jawaban. Ketika sampai satu
menit terlewati, belum juga ada jawaban,
sang kawan ini mulai kehilangan kesabaran.
Wes mbok woco rung bukune
Uwis, ro, iki kertase tak gawe bungkusan
lading.
Kok jik ga iso?
Woconanku rung tekan kono. Aku jik tekan
halaman loro.
Yo gak mungkin, ngapusi kowe. Lha
pelajaran kuwi lho ning halaman sij i kok.
Hartono meringis.
Yo wes, tak wocone ulang maneh.
Yap misteri sedikit terkuak. Ternyata
pembungkus pisau itu bukan kertas biasa.
Juga bukan kertas mantra aji-aj i biar bisa
kuat mendaki.
--
Pagi-pagi sekali , Hartono sudah mendatangi
tenda kami. Dia mau meminta botol kosong
air mineral untuk mengambil air. Sebenarnya
kami bisa saja mengambil sendiri airnya. Tapi
Hartono menawari untuk mengambil di
tempat agak jauh dari perkemahan agar lebih
bersih.
Dengan dua buah botol kosong di tangan kiri ,
dia melenggang menuju sisi selatan ranu.
Sedangkan tangan kanannya? Lagi-lagi,
kertas pembungkus itu, dan matanya tak bisa
lepas dari kertas itu.
Ketika akhirnya dia kembali ke tenda kami,
akupun tak kuasa bertanya.
Sampeyan arep ujian tah mas?
Wajahnya terl ihat kaget.
Lho, kok ngerti njenengan. Iyo mas, sesuk
senin arep ujian.
Ngerti lah. Sakti. Uj ian opo mas?
IPS mas.
Oalah, sampeyan jik sekolah to. Kelas piro
mas?
Aku gak sekolah mas. Cuma melu kejar
paket B mas.
Oalah. Lha koncomu sing wingi bengi
mbedek’I kuwi sopo mas?
Hartono menatap curiga kepadaku.
Lho, kok sampeyan ngerti nek aku wingi
bedek2an karo kuro?
Kan wes tak kandani, awakndewe sakti.
Kuro? Koncomu kuwi jenenge kuro?
Jenenge ibrahim mas. Tapi celukane kuro.
De’e guruku mas.Dekne mahasiswa ning
Malang. Dekne di kongkon ngajari arek-arek
porter koyok aku ngene mas.
Opo’o kok melu kejar paket B mas.
Yo ben pinter mas, koyok kuro. Koyok
sampeyan ambek konco-koncone sampeyan.
Aku tersipu.
Tak dongakno ben ndang pinter mas.
Amiin mas. Sakjane aku pengen banget isok
boso inggris mas. Saiki akeh bule bule sing
munggah ning Semeru. Nek aku iso boso
inggris, aku iso ngancani bule-bule kuwi.
Duite pasti akeh mas, he he he. Aku yo
pengen belajar moto. Pengen nduwe kamera
apik koyok nggone sampeyan.
Jleb, tak terasa mata ini berkaca-kaca.
Sebuah kontemplasi diantara barisan bukit
dan sejuknya hawa Ranu Kumbolo. Sungguh
ajaib. Ternyata bukan pemandangannya saja
yang membuatku menangis di Ranu
Kumbolo.
Sayang, hanya semalam saja
kebersamaanku bersama Hartono.
Wongkentir Magazine | 19
Siang hari itu, Hartono mengawal empat
orang temanku, Imron Fauzi, Heru
Sutjahjono, Doni Wicaksono dan Fajar
Kurniawan melanjutkan perjalanan ke
Kalimati lanjut puncak Mahameru.
Sedangkan aku dan ketujuh rekan lainnya
bertahan di Ranu Kumbolo. Meski hanya
semalam, perjumpaan dengan Hartono akan
menjadi salah satu pengalaman yang tak
terlupakan di sepanjang hidupku.
Semoga sukses selalu mas Hartono. Kejar
terus cita-citamu. Semoga Allah
memudahkan langkahmu, Amiin.
NB : Kamus bahasa jawa
Lading = pisau
Ngapusi = bohong
Mbedek’I = memberi pertanyaan
Ngancani = menemani
Woconanku = bacaanku
20 | Wongkentir Magazine