wongkentir magazine vol 1

22

Upload: rocky-saputro

Post on 01-Feb-2016

250 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Explore

TRANSCRIPT

Page 1: Wongkentir Magazine Vol 1
Page 2: Wongkentir Magazine Vol 1

ContentsJuli 2013

6RANU KUMBOLORanu Kumbolo, salah satu surga di bumi Indonesia. Terletak diketinggian 2400 mdpl, Ranu Kumbolo menawarkan pemandanganspektakuler bagi siapa saja yang mengunjunginya

13MAHAMERUPuncak Semeru yang konon katanya tempatbersemayam para dewa. Tanah tertinggi dipulau Jawa yang merupakan impian parapendaki gunung nusantara

18THE PORTERSang pembawa barang yang membantu parapendaki menggapai puncak. Seringterlupakan tapi perannya tak tergantikan

2 | Wongkentir Magazine

Page 3: Wongkentir Magazine Vol 1

Editor Note

CoverRanu Kumbolo di sebuah pagi yang cerah

Photo by Surya Hardhiyana Putra

Alhamduli l lah, akhirnya kelar juga wongkentir magazine edisi yang

pertama. Majalah digital ini melengkapi catatan perjalananku

setelah sebelumnya selama lebih dari tiga tahun berkecimpung di

dunia blog melalui wongkentir.blogdetik.com

Memil iki majalah sendiri adalah impianku sejak kecil . Maklumlah

banyak artikel yang kukirim ke majalah ditolak alias gagal cetak,

sehingga satu-satunya cara untuk bisa membagi tul isanku ke para

pembaca sekalian ya mempunyai majalah sendiri .

Di Edisi perdana ini, semua berkisah tentang cerita perjalananku bersama rekan-rekan dari

Paguyuban Jepret Brantas menjelajahi hutan rimba Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

(TNBTS) untuk mencapai ranu kumbolo. Sebagian rekan melanjutkan perjalanan hingga

Puncak Mahameru. Sebuah perjalanan yang seru dan mengesankan.

Total hanya 22 halaman di edisi perdana ini. Tapi 22 halaman itu bagiku cukup untuk sebuah

permulaan. Selanjutnya diperlukan semangat dan konsistensi agar edisi selanjutnya bisa

terbit.

Keseluruhan cerita di wongkentir magazine edisi perdana ini semuanya sudah pernah

termuat di blog wongkentir.blogdetik.com. Di edisi mendatang diharapkan ada kontributor

baik tul isan maupun foto yang bisa menyumbangkan tul isan dan foto2nya sehingga

kelangsungan majalah ini bisa terus terjaga.

Dan akhirnya, selamat membaca edisi perdana.

Pemimpin Redaksi

Surya Hardhiyana Putra

Wongkentir Magazine

Pemimpin Perusahaan

Dewi Wara Shinta

Pemimpin Redaksi

Surya Hardhiyana Putra

Editor

Surya Hardhiyana Putra

Design dan Layout

Surya Hardhiyana Putra

Photo Editor

Surya Hardhiyana Putra

Publisher

Hardhiyana Corp

Office

Surabaya

Contact

surya00[at]gmail[dot]com

Wongkentir Magazine | 3

Location : Ranu Kumbolo, Lumajang

Page 4: Wongkentir Magazine Vol 1

Contributors

IMRON FAUZI

Forografer asli Ponorogo yang menyukai landscape dan nature.Hobinya jalan­jalan, mendaki gunung, menjelajah pantai danmenulis buku. Selain sebagai tukang foto yang handal, dia jugamenjadi salah satu pengajar di sebuah akademi pembangkitantenaga listrik

BAMBANG WAHYU JATMIKO

Pria Tulung Agung yang sangat menggilai fotografi. Sejakmengenal fotografi sekitar pertengahan tahun 2011, dialangsung menekuni dunia seni ini. Meskipun sampai sekarangbelum terjun secara professional, tetapi karya­karyanya sudahtidak perlu diragukan. Obsesinya adalah memotret pergerakanbintang di kala malam dan berburu Milky Way.

DONI WICAKSONO

Seorang penjelajah ulung yang sudah menjejaki hampir seluruhpuncak tertinggi di Pulau Jawa. Semeru, Welirang, Arjuno, Lawuadalah beberapa contohnya. Tubuhnya yang kurus membuatnyabegitu lincah bergerak menembus hutan belantara, meskisebuah ransel berat tersandar di pundaknya

4 | Wongkentir Magazine

Page 5: Wongkentir Magazine Vol 1
Page 6: Wongkentir Magazine Vol 1

Journey

Mataku mendadak terbuka. Kurasakan

semil ir belaian lembut menyentuh wajahku.

Membawa serasa hawa yang sudah lama

tidak pernah kujumpa. Aku ingin bergerak.

Tapi tak bisa. Aku terbujur beku. Tak ada lagi

ruang kosong.

Kugerakkan kepalaku perlahan-lahan. Aku

pandang tubuhku sendiri . Semuanya

terbungkus rapat. Jaket, kantung tidur, kaus

tangan, topi kupluk hingga kaus kaki. Tapi

tampaknya itu semua belum cukup. Tubuhku

masih menggigi l . Jari tangan terasa kaku.

Samar-samar lalu kuamati sekeli l ingku.

Sebuah ruang sempit berbentuk seperti

piramida dari kain memenuhi garis pandang.

Ruangan itu tidak gelap, bahkan cukup

terang. Sepercik sinar yang menyala dari

lampu senter menjadi lenteranya. Kuperjap-

perjap mata untuk sedikit menghilangkan

samar itu.

“Ah, ternyata sebuah tenda,” batinku.

Perlahan anganku melayang, terkenang akan

masa perjalanan dua hari yang lalu. Sebuah

jalan setapak yang panjang dan berbahaya.

Di satu sisinya adalah jurang, dan di sisi

lainnya adalah tebing curam. Pepohonan

tumbuh subur dan liar di sepanjang

perjalanan. Tinggi dan besar. Banyak

diantara pohon-pohon itu, aku tidak bisa

melihat akarnya, karena nun jauh di bawah

jurang dalam sana. Di beberapa titik, daun-

daun menghijau dengan rimbunnya. Tapi di

titik lain tampak dahan dan batang

menghitam seperti bekas terbakar.

Dengan gontai, ku paksa kakiku untuk terus

berjalan dan berjalan menyusuri jalan

setapak itu. Kadang menanjak, turun,

berbelok. Ransel di punggung menambah

tekanan pada bahu, punggung serta sendi-

sendi lutut dan engkel.

6 | Wongkentir Magazine

Page 7: Wongkentir Magazine Vol 1

Aku tidak sendiri menjalaninya. Perjalanan ini

terlalu indah dan berbahaya untuk dijalani

sendirian. Ada Imron Fauzi, Bambang Wahyu

Jatmiko, Farikh Ardiansyah, Imam Subeki,

Rahmad Adriansyah, Doni Wicaksono, Heru

Sutjahjono, Satria Yuwana, Arif Biantoero,

Fajar Kurniawan dan Fendhito Pratama Putra

di sampingku. Mereka bukan hanya rekan

sejalan, tapi juga pembangkit semangat dan

pemberi inspirasi.

Ketika nafas memang sudah memburu dan

kaki sudah tak sanggup lagi melangkah, aku

berhenti sejenak. Aku biarkan oksigen

mengisi penuh kembali paru-paru sambil

menikmati seteguk, dua teguk air.

Menghilangkan dahaga sekaligus

mengurangi beban.

Kata orang, j ika sering-sering berhenti ketika

mendaki, maka lelahnya akan makin terasa.

Tapi bagiku, ini lebih baik daripada

kehilangan konsentrasi yang bisa berakibat

fatal.

Aku memang belum pernah mendaki gunung

sebelumnya. Rekor terbaikku hanyalah

mencapai pos kokopan, sebuah pos

peristirahatan dalam perjalanan menuju

puncak Gunung Arjuno ataupun Welirang.

Wongkentir Magazine | 7

Page 8: Wongkentir Magazine Vol 1

Perlahan-lahan dengan ditemani sisa-sisa

nafas yang ada, akhirnya tibalah aku di Ranu

Kumbolo. Total l ima setengah jam waktu yang

kubutuhkan untuk menempuh jarak sekitar 9

km dari Ranu Pani hingga Ranu Kumbolo.

“Perjalanan yang menyenangkan,” gumamku

mengakhiri lamunan.

Dengan susah payah aku bangkit dari

pembaringan. Awalnya mengangkat badan

saja aku tak sanggup. Lalu kumanfaatkan

kedua siku lenganku untuk menumpu

punggungku. Dan hap, aku berhasil duduk.

Mataku kembali menjelajah isi tenda. Tampak

tiga orang yang berbagi tenda denganku

tengah menikmati mimpinya dengan badan

yang juga terbungkus kantung tidur. Di setiap

sudut tenda, berbagai tas tergolek bisu,

memenuhi isi ruang tenda yang sudah penuh

oleh empat orang manusia.

Tubuhku kaku. Aku gerakkan badanku ke kiri

kanan untuk mengusirnya. Tampaknya

selama beberapa jam tertidur, posisi tubuhku

tidak berubah, terlentang.

8 | Wongkentir Magazine

Page 9: Wongkentir Magazine Vol 1

Kubuka kaus tanganku. Seketika itu pula

angin berebut menyapa pori-pori kul itku.

BrrrA

Aku raba kantung tidurku. Basah. Jaket, kaus

tangan, kaus kaki. Semuanya basah.

Hujankah semalam? Bocorkah tenda ini?

Dan kemudian aku melihat titik-titik embun

yang membasahi pori-pori kain tenda.

Ingin rasanya aku kembali berbaring, tapi

ternyata Fendhito dan Farikh sudah

mengambil tempatku. Ruang yang beberapa

detik yang lalu kutinggalkan ternyata

memberikan kelegaan bagi mereka untuk

bergerak. Kedua wajah yang tersembul dari

kantung tidur tampak nyaman dan damai. Tak

tega rasanya membangunkan mereka untuk

mengambil lagi ruang tidurku.

Hmm, mungkin tampaknya sudah waktunya

bagiku untuk mengakhiri jam tidur.

Kabut tipis bersambut riang ketika aku

menyembulkan wajahku dari dalam tenda.

Langit masih gelap. Hening. Sunyi. Sungguh

berbeda dengan beberapa jam yang lalu

ketika suara denting gitar dan suara sumbang

beradu dengan tarian api unggun.

Percakapan bergantian dengan tawa renyah.

Lebih dari tiga ratusan orang memenuhi

camp ground Ranu Kumbolo

Waktu memang masih menunjuk angka jam 3

lebih 1 0 pagi tapi aku memaksakan diri untuk

keluar dari tenda. Wuusshh, sebuah asap

tipis keluar dari mulutku bersamaan dengan

nafas yang kuhembuskan. Wah, keren,

batinku, seperti yang pernah kulihat di

adegan fi lm-fi lm bersetting musim salju.

Sepanjang mata memandang, yang ada

hanyalah hitam. Tenda-tenda yang

bertebaran di sekeil ingku seolah-olah hilang

ditelan kegelapan. Yang ada hanyalah kabut

tipis yang menari-nari di atas air danau. Tapi

tunggu dulu, apa yang tampak berkilauan di

atas sana.

Ternyata ada pesta di angkasa malam ini.

Ribuan bintang saling berkilauan,

memamerkan cahaya terbaiknya ke muka

bumi. Tiada awan, tak ada kabut, sehingga

perjalanan cahaya mereka bisa sampai

Wongkentir Magazine | 9

Page 10: Wongkentir Magazine Vol 1

dengan selamat hingga permukaan kornea

mataku.

“Milky Way!! ! ”

Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang.

Entah sejak kapan Bambang Wahyu Jatmiko

sudah keluar dari tendanya dengan kamera

yang terhunus lengkap dengan tripod.

Beberapa detik kemudian dia sudah

menghilang di kegelapan sebelum aku

sanggup menyapanya. Bambang, salah satu

sahabatku yang berdedikasi tinggi pada

dunia fotografi. Keahlian memotretnya

berkembang sangat pesat, padahal dia baru

saja mengenal kamera sekitar dua tahun

yang lalu. Peralatannya tergolong yang paling

banyak diantara kami mulai dari lensa, fi l ter

hingga remote shutter.

Dia juga mempunyai persiapan yang baik

sebelum melakukan hunting foto, seperti

membawa baterei cadangan, menyediakan

plastik untuk membungkus kamera dan

menghindarkan serangan embun, serta tak

lupa membawa serta tripod. (salah satu foto

bambang bisa dil ihat di postingan ini).

Sedangkan aku hanya bisa memandangnya

lesu. Kali ini kameraku tidak bisa beraksi.

Kapasitas batereiku hanya tinggal kurang dari

30 % saja dan aku tidak membawa baterei

cadangan. Sisa-sisa itu rencananya

kugunakan untuk mengabadikan sunrise pagi

ini setelah kemarin gagal total karena kabut

yang turun. Ya mungkin untuk kali ini aku

hanya bisa merekam pesta bintang ini lewat

mata dan memori otakku saja. Tapi itu sudah

merupakan rahmat yang harus disyukuri

karena tidak semua orang bisa

menikmatinya. Apalagi bagi orang yang

tinggal di kota. Gemerlapan lampu, asap,

debu telah membentuk perisai yang

meredupkan sinar sang bintang.

Aku merasakan tangan dan kakiku semakin

menggigi l . Kaus tangan yang basah bukan

melindungi kul itku, tapi malah membuat

kul itku makin mengingsut. Kukorek abu kayu

sisa api unggun sore tadi. Tapi rupanya tidak

ada lagi bara yang tersisa disana.

Bantuan datang di saat yang tepat.

Tampaknya teriakan Bambang tadi telah

membangunkan satu orang lagi, mas Eko,

salah satu kenalan di perjalanan. Seseorang

yang istimewa di mataku. Penakluk hampir

semua puncak tertinggi di nusantara. Mulai

dari Kerinci di Sumatera, Mahameru dan

Lawu di Jawa hingga Rinjani di Nusa

Tenggara. Tinggal satu puncak di Indonesia

yang belum digapainya. Sebuah gunung

yang telah menjadi impiannya sejak lama.

Cartens Pyramid, puncak tertinggi Papua,

sekaligus di Indonesia.

Melihatku menggigi l , dia langsung bereaksi

mengambil kompor portablenya yang

tergeletak di depan tendanya. Peralatannya

mendakinya yang lengkap menunjukkan

sudah betapa banyak asam garamnya dalam

dunia pendakian. Semua peralatan mulai dari

tenda, kompor, kantung tidur, matras dan

ransel carrier adalah mil ik pribadi dan bukan

sewa.

Dengan cekatan, dia menuangkan dua

sendok spirtus ke dalam tungku kompornya.

Menyalakan api. Meletakkan panci di

10 | Wongkentir Magazine

Page 11: Wongkentir Magazine Vol 1

atasnya. Terakhir dituangkannya beberapa

mil i l i ter air kedalam panci tersebut.

“Dingin sekali ya mas, kira-kira berapa

derajat ya?” tanyaku sambil menghangatkan

tanganku di atas panci.

“Hmm, berapa ya kira-kira? Sebentar aku

ambil termometer, ”

Mas Eko lalu menghilang, masuk kedalam

tendanya. Tak berselang lama, dia keluar

dengan membawa sebuah arloj i yang

mempunyai fitur termometer digital .

“Sebentar, diukur dulu ya,”

Beberapa menit kemudian, mas Eko

memperl ihatkan jajaran angka yang tampil di

termometer digital mil iknya, tiga koma lima

derajat celcius.

--

Detik demi detik berlalu, gelap pun mulai

tersibak. Segaris warna tergurat nun jauh di

ufuk timur sana. Fajar menyingsing. Sudah

waktunya Subuh.

Ku langkahkan kakiku mendekati bibir danau.

Perlahan-lahan, aku benamkan dia ke dalam

air yang berkabut itu. Hmm, ada rasa hangat

menjalar ke seluruh tubuh. Segera kuambil

wudhu.

Tidak ada hal yang lebih indah ketika

bersujud pada-Nya di tengah-tengah alam

yang terhampar. Beratapkan langit yang

bermandikan cahaya bintang dan ditemani

semil ir kabut tipis. Mengakui betapa kecilnya

kita di semesta raya ini.

Setelah menunaikan sholat subuh, aku

bersi la menatap langit timur. Secangkir teh

hangat dan keripik singkong menjadi

penghangat suasana bersanding dengan

kamera yang sudah terpasang gagah pada

tripod. Sesekali ku tekan shutter kamera dan

satu lukisan-Nya pun terekam sempurna.

Disampingku, Fendhito tengah sibuk dengan

panci-panci. Dipi l ihnya panci-panci yang

terl ihat bersih. Lalu ditumpuknya satu persatu

hingga setinggi sekitar 40 sentimeter.

Setelahnya diletakkan kamera di atas

tumpukan itu. Tak ada tripod, panci pun jadi.

Semakin siang, suara shutter yang terdengar

semakin banyak, berirama, beradu dengan

riuhnya para pendaki yang telah terbangun

dari lelapnya mimpi. Tanpa dikomando,

mereka memenuhi bibir danau. Membawa

kamera, tetapi bukan untuk memotret,

melainkan dipotret. Nasib kurang mujur bagi

mereka yang terpaksa harus memotret.

Bagi yang beruntung, ekspresi terbaikpun

dipasang. Tersenyum simpul, tertawa lebar,

ataupun juga berlagak dingin penuh misteri.

Tangan pun tak luput untuk ikut bergaya,

mulai dari gaya jempol, victory ataupun

metal. Matahari terbit diatas air danau

menjadi latar belakang favorit. Sebagai bukti

nyata telah menjejakkan kaki di lereng

Semeru. Sebagai kebanggan untuk

ditunjukkan kepada kawan-kawan bahwa

Ranu Kumbolo sudah digapainya.

Aku dan teman-teman pun turut bernarsis ria.

Hanya saja di tim kami tidak ada yang tidak

beruntung karena semuanya bisa masuk

frame. Lalu siapa pemotretnya? Tripod.

Pekatnya kegelapan perlahan memudar,

berganti dunia yang penuh warna. Matahari

memancarkan sinarnya yang keemasan.

Langit membiru dengan gugusan awan putih

yang menggumpal. Menghijaunya air danau

ranu kumbolo. Serta aneka warna dari tenda

para pendaki yang berdiri tegak di camping

ground. Sebuah keajaiban pagi di salah satu

tempat terindah di muka bumi.

Semuanya itu kini terabadikan dalam bingkai

frame kameraku dan terekam indah di salah

satu tempat terdalam diantara l ipatan-l ipatan

otakku. Dan rekaman itu tak henti-hentinya

mengirimkan impuls kepada saraf-saraf di

kepalaku agar aku bisa sesegera mungkin

kembali ke sana. Semoga.

Wongkentir Magazine | 11

Page 12: Wongkentir Magazine Vol 1
Page 13: Wongkentir Magazine Vol 1

Journey

Wongkentir Magazine | 13

Page 14: Wongkentir Magazine Vol 1

Kaki-kaki gontai berjalan beriringan dipekatnya malam. Gelap berpacu dengan

dingin dan debu. Dua tiga langkah kaki maju

diikuti satu langkah mundur. Nafas memburu

terengah-engah. Paru-paru menjerit,

meronta, mendamba oksigen yang kian

menipis.

Badan sudah tidak sanggup berdiri tegak.

Tongkat menjadi tumpuan, menggantikan

lutut yang sudah seperti mati rasa. Bahkan

beberapa sudah ada yang ambruk dan musti

berjalan merangkak.

Kerongkongan terasa kering, tetapi

persediaan air harus dihemat. Tetes demi

tetes sangat berharga.

Ditengah itu semua, fokus dan konsentrasi

harus tetap terjaga. Meski mata terasa berat,

meski badan sudah remuk redam. Sudah

sekitar tiga jam yang lalu pos Arcopodo kami

tinggalkan. Puncak masih menunggu nun

jauh di atas sana sedang kiri kanan jurang

menganga.

Mahameru, puncak para dewa. Sosok hitam

itu menjulang angkuh menantang angkasa.

Pesonanya menawan.

Kedamaiannya dirindukan. Dan kini, kami

disini. Diantara bebatuan dan pasir, disekitar

tebing 45 derajat yang terbentang, ditengah

rasa keputusasaan, kami mencoba

menggapai kemolekan itu.

Banyak orang bilang, j ika sesuatu itu

didapatkan dengan mudah, maka dengan

mudah pula sesuatu itu akan pergi. Tidak

akan ada sebuah kesan yang tertinggal.

Sebaliknya, j ika sesuatu itu didapatkan

dengan sulit, maka akan sulit pula sesuatu itu

akan pergi. Dan sesuatu itu pastinya akan

memberikan kesan yang sangat dalam dan

membekas.

Hanya itu lah keyakinan kami saat ini.

Perjuangan yang berat ini , pasti nantinya

akan setimpal dengan apa yang kami raih

nantinya.

Fajar menyingsing di ufuk timur, tetapi kami

masih disini. Di punggungan Semeru, tanah

tertinggi di pulau jawa. Kami berhenti sesaat.

Membiarkan mata menangkap salah satu

momen terindah di muka bumi sambil

memberikan waktu untuk nafas kami.

Sungguh sempurna matahari terbit pagi ini .

Sebuah nikmat yang sangat luar biasa dari

14 | Wongkentir Magazine

Page 15: Wongkentir Magazine Vol 1

Sang Pencipta. Jadi nikmat Allah mana yang

kau dustakan.

Istirahat bukan berarti berhenti. Perjalanan

masih di lanjutkan. Puncak sudah melambai di

atas sana. Meminta segera dijejaki. Beberapa

rekan sudah mengibarkan bendera putih.

Cukup disini perjuangan kali ini bagi mereka.

Respect! Kami tahu, mereka berhenti bukan

karena menyerah, bukan karena kalah. Tapi

karena mereka tahu keselamatan adalah

yang utama. Perjalanan yang sesungguhnya

adalah perjalanan pulang. Kembali

berkumpul bersama keluarga. Akan sia-sia

j ika kita meraih puncak, tetapi pada akhirnya

tidak bisa pulang. Tidak akan ada

kegembiraan. Yang ada hanyalah kegetiran

dan air mata.

Semakin ke atas, tebing semakin curam.

Empat puluh l ima derajat, perlahan-lahan

berubah menjadi enam puluh derajat.

Stamina makin terkuras, tetapi konsentrasi

harus makin fokus.

Dan, akhirnya sampailah kami di puncak.

Benar-benar sebuah perasaan yang luar

bisa. Membuncah penuh kegembiraan. Kami

terpekur memandang semua yang tersaji

disana. Langit biru. Gugusan awan yang

berarak-arak. Bukit-bukit kehijauan yang

menjulang. Sungguh, manusia ini memang

sangat kecil dihadapan-Nya. Sungguh,

sebuah perjuangan yang sulit, akan meraih

sesuatu yang sulit untuk dilupakan. Dan kami

pasti tidak akan lupa dengan apa yang kami

l ihat pagi ini di sepanjang usia kami. Dengan

penuh kerendahan hati, kami bersujud pada-

Nya. Bersyukur penuh haru telah diberi

kesempatan menikmati keindahan ini.

Tiba-tiba terasa puncak itu berguncang.

Terdengar suara gemuruh dari dalam perut

bumi. Tubuh kami bergetar. Nyali menciut.

Pasir dan batu di puncak berderak.

DanAwhuzzz. . sebuah gumpalan asap

menggelegak ke angkasa. I tulah awan panas

yang tersembur dari kawah Jongring Saloka.

Bentuknya seperti jamur dan sangat

mematikan.

Wongkentir Magazine | 15

Page 16: Wongkentir Magazine Vol 1

Awan itulah yang diperkirakan membunuh

Soe Hok Gie dan Idhan Lubis di tahun 1 969,

dua orang pecinta alam dari Universitas

Indonesia.

Saat ini awan tersebut belum terlalu

membahayakan, karena arah angin masih

menuju ke selatan. Tetapi di atas jam 1 0 pagi,

arah angin berubah ke utara, menuju puncak

yang saat ini kami jejak. Untuk itulah, kami

harus segera turun sebelum jam 1 0 pagi.

Satu jam berlalu, akhirnya kami pun turun.

Perjalanan turun jauh lebih mudah

dibandingkan ketika mendaki. Kami seperti

bermain ski pasir. Tapi justru disini lah

kewaspadaan diperlukan. Banyak data yang

menunjukkan bahwa banyak pendaki hi lang

di Semeru justru pada saat turun dari puncak.

Euforia yang berlebihan dan disorientasi arah

menjadi penyebabnya. Hanya ada satu jalan

dari Arcopodo menuju Puncak Mahameru.

Dari situlah kami berangkat, dan menuju

situlah kami pulang kembali ke Arcopodo dan

lanjut ke camp ground Kali Mati. Sisanya

adalah jurang menganga yang siap

menerkam. Oleh tim SAR, area jurang ini

disebut Blank75.

Tak sampai setengah jam, kami sudah

sampai di pos Arcopodo. Disini kami

memandang sekali lagi semeru yang

menawan itu. Kelak, suatu hari nanti , kami

pasti akan kembali disini . Dalam suasana dan

kesempatan yang berbeda. Mereguk lagi

keindahan dan kedamaian yang

ditawarkannya.

16 | Wongkentir Magazine

Page 17: Wongkentir Magazine Vol 1
Page 18: Wongkentir Magazine Vol 1

“Mas, tunggu! ! , ” panggilku memecah

kesunyian sore dengan nafas yang tersengal.

Posisiku sudah setengah merangkak.

Tanganku berpegang erat pada sebuah

batang pohon. Peluh membasahi wajah,

tubuh hingga kakiku.

Seseorang yang berjarak sekitar 5 meter di

depanku menghentikan langkahnya, seraya

kemudian memalingkan wajahnya. Tubuhnya

kurus. Rambutnya hitam pendek. Kumisnya

tipis menghiasi mukanya. Sebuah kacamata

membingkai sepasang matanya.

Dengan ringan dia melangkah ke arahku.

Wajahnya tampak tenang dengan nafas yang

stabil , seolah tak merasakan kelelahan.

Padahal di bahunya terpanggul ransel

seberat 20 kg. Aku sendiri hanya membawa

beban ransel sekitar 1 2 kg.

“Istirahat dulu ya mas,” ajakku padanya.

Tanpa menjawab, dia mengambil posisi

duduk dengan ransel masih tertambat

dipunggungnya. Dibuka kacamatanya.

Sejurus kemudian dia mengeluarkan pisau

kecil yang terbungkus kertas dari bal ik saku

celananya. Diambil kertas pembungkus itu,

di letakkan pisaunya dan mulai lah dia melihat-

l ihat kertas pembungkus yang sudah lusuh

serta kumal tersebut. Matanya tampak

menekuni tul isan dan gambar yang tercetak,

sambil sesekali menatap ke langit, seperti

memikirkan sesuatu.

Namanya Hartono, salah satu dari dua porter

yang kami sewa untuk mendampingi kami

mendaki lereng Semeru. Usianya masih

sangat muda, 1 6 tahun, tapi wajahnya terl ihat

sedikit lebih tua dibanding usianya. Tapi

diantara rekan sesama porter, penampilan

Hartono terl ihat berbeda. Dengan hoodie

warna hijau, kacamata hitam dengan kaca

merah serta rambut yang klimis dan kaku,

Hartono tampak sangat modis.

Ketika aku dan teman-teman memintanya

mengambil foto, dia tanpa ragu

melakukannya. Ketika banyak rekan sesama

porter yang menolak dengan alasan tidak

bisa ataupun takut merusakkan, Hartono

cukup percaya diri menerima amanah itu.

Bahkan mengoperasikan kamera DSLR,

dimana untuk memotret harus mengintip ke

lubang kamera, dia pun bisa. Hasilnya pun

relatif oke.

Tingkahnya yang dari tadi membaca kertas

pembungkus pisau membuatku penasaran.

Hampir setiap istirahat dia selalu melakukan

hal itu. Sangat berbeda dengan porter lainnya

yang lebih memil ih menghisap tembakau

ataupun sekedar berbincang-bincang dengan

tamu yang diantarnya. Kertas

pembungkusnya pun bukan cuman 1 lembar

saja, tapi 4 lembar. Tapi sepanjang perjalanan

dari Ranu Pani hingga sampai ke Ranu

Kumbolo, aku belum bisa menuntaskan rasa

penasaran itu.

Malam pun tiba. Setelah membantu

menyiapkan makan, Hartono dan Wirrohman,

kedua porter kami, mohon diri untuk

berkumpul bersama rekan-rekan porter yang

Profile

SEORANG PORTERBERNAMA HARTONO

Text by Surya Hardhiyana PutraPhoto By Doni Wicaksono

18 | Wongkentir Magazine

Page 19: Wongkentir Magazine Vol 1

lain. Mereka berdua menolak ketika kami

menawari mereka makan.

Tempat para porter berkumpul biasanya

adalah sebuah bangunan berbentuk rumah

yang merupakan satu-satunya bangunan

permanen di Ranu Kumbolo. Tapi keduanya

tidak berkumpul disana, melainkan di sebuah

tempat terbuka di bibir ranu, yang kebetulan

tidak jauh dari tempatku dan teman-teman

mendirikan tenda. Tidak ada tenda disana.

Mereka tidur beralas rumput dan beratap

langit penuh bintang. Sarung dan kobaran api

unggun menjadi andalan untuk mengusir

dingin.

Ditengah ji latan api yang berjoget, Hartono

kembali mengeluarkan pisaunya. Lagi-lagi dia

buka kertas pembungkusnya dan tak lama

kemudian membaca. Tapi kal i ini dia tak

sendiri membacanya. Ada porter lain yang

menemani. Mereka tampak berdiskusi serius.

Sesekali kawan Hartono ini terl ihat

mengeluarkan ekspresi kegeraman sambil

menepuk bahu ataupun punggung Hartono.

Penasaran, aku mendekati mereka. Aku coba

mencuri dengar pembicaraan mereka.

Ayo, Jowo kuwi nduwe pirang propinsi?

Sik, tak mikir disek.

Satu detik, dua detik, sepuluh detik berlalu,

belum ada jawaban. Ketika sampai satu

menit terlewati, belum juga ada jawaban,

sang kawan ini mulai kehilangan kesabaran.

Wes mbok woco rung bukune

Uwis, ro, iki kertase tak gawe bungkusan

lading.

Kok jik ga iso?

Woconanku rung tekan kono. Aku jik tekan

halaman loro.

Yo gak mungkin, ngapusi kowe. Lha

pelajaran kuwi lho ning halaman sij i kok.

Hartono meringis.

Yo wes, tak wocone ulang maneh.

Yap misteri sedikit terkuak. Ternyata

pembungkus pisau itu bukan kertas biasa.

Juga bukan kertas mantra aji-aj i biar bisa

kuat mendaki.

--

Pagi-pagi sekali , Hartono sudah mendatangi

tenda kami. Dia mau meminta botol kosong

air mineral untuk mengambil air. Sebenarnya

kami bisa saja mengambil sendiri airnya. Tapi

Hartono menawari untuk mengambil di

tempat agak jauh dari perkemahan agar lebih

bersih.

Dengan dua buah botol kosong di tangan kiri ,

dia melenggang menuju sisi selatan ranu.

Sedangkan tangan kanannya? Lagi-lagi,

kertas pembungkus itu, dan matanya tak bisa

lepas dari kertas itu.

Ketika akhirnya dia kembali ke tenda kami,

akupun tak kuasa bertanya.

Sampeyan arep ujian tah mas?

Wajahnya terl ihat kaget.

Lho, kok ngerti njenengan. Iyo mas, sesuk

senin arep ujian.

Ngerti lah. Sakti. Uj ian opo mas?

IPS mas.

Oalah, sampeyan jik sekolah to. Kelas piro

mas?

Aku gak sekolah mas. Cuma melu kejar

paket B mas.

Oalah. Lha koncomu sing wingi bengi

mbedek’I kuwi sopo mas?

Hartono menatap curiga kepadaku.

Lho, kok sampeyan ngerti nek aku wingi

bedek2an karo kuro?

Kan wes tak kandani, awakndewe sakti.

Kuro? Koncomu kuwi jenenge kuro?

Jenenge ibrahim mas. Tapi celukane kuro.

De’e guruku mas.Dekne mahasiswa ning

Malang. Dekne di kongkon ngajari arek-arek

porter koyok aku ngene mas.

Opo’o kok melu kejar paket B mas.

Yo ben pinter mas, koyok kuro. Koyok

sampeyan ambek konco-koncone sampeyan.

Aku tersipu.

Tak dongakno ben ndang pinter mas.

Amiin mas. Sakjane aku pengen banget isok

boso inggris mas. Saiki akeh bule bule sing

munggah ning Semeru. Nek aku iso boso

inggris, aku iso ngancani bule-bule kuwi.

Duite pasti akeh mas, he he he. Aku yo

pengen belajar moto. Pengen nduwe kamera

apik koyok nggone sampeyan.

Jleb, tak terasa mata ini berkaca-kaca.

Sebuah kontemplasi diantara barisan bukit

dan sejuknya hawa Ranu Kumbolo. Sungguh

ajaib. Ternyata bukan pemandangannya saja

yang membuatku menangis di Ranu

Kumbolo.

Sayang, hanya semalam saja

kebersamaanku bersama Hartono.

Wongkentir Magazine | 19

Page 20: Wongkentir Magazine Vol 1

Siang hari itu, Hartono mengawal empat

orang temanku, Imron Fauzi, Heru

Sutjahjono, Doni Wicaksono dan Fajar

Kurniawan melanjutkan perjalanan ke

Kalimati lanjut puncak Mahameru.

Sedangkan aku dan ketujuh rekan lainnya

bertahan di Ranu Kumbolo. Meski hanya

semalam, perjumpaan dengan Hartono akan

menjadi salah satu pengalaman yang tak

terlupakan di sepanjang hidupku.

Semoga sukses selalu mas Hartono. Kejar

terus cita-citamu. Semoga Allah

memudahkan langkahmu, Amiin.

NB : Kamus bahasa jawa

Lading = pisau

Ngapusi = bohong

Mbedek’I = memberi pertanyaan

Ngancani = menemani

Woconanku = bacaanku

20 | Wongkentir Magazine

Page 21: Wongkentir Magazine Vol 1
Page 22: Wongkentir Magazine Vol 1