vulnus morsum serpentis bangsal e
TRANSCRIPT
Presentasi Kasus
VULNUS SARPENTIS
Disusun oleh :
BAHRUN 1102009053CECEP SAEFUL HUDA 1102009061
Pembimbing:
Dr. H. Herry Setya Yudha Utama, Sp.B, MHKes, FinaCs,ICS
KEPANITRAAN KLINIK ILMU BEDAHRSUD ARJAWINANGUN
PRESENTASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama :Ny.K
Usia :62 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Danamulya kab: cirebon
Tanggal Masuk : 12 april 2013
Tanggal Keluar : 20 april 2013
CM : 73 14 09
ANAMNESIS (Autoanamnesis)
A. Keluhan Utama : luka pada kaki kanan
B. Keluhan Tambahan : bengkak
C. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD Arjawinangun dengan luka pada kaki kanan
yang di sebabkan karena tergigit ular 1 minggu SMRS sebelum di bawa ke rs
pasien sempat di bawa ke pawang ular dan setelah di lakukan penghisapan
oleh pawang ular kaki pasien bengkak, kemerahan, nyeri dan sulit di bawa
berjalan, dari luka keluar nanah dan berbau, demam naik, mual (-) muntah (-).
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat sakit kencing manis (-)
- Riwayat hipertensi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Suhu : 36.5o c
1
Frekuensi Nadi : 92 kali/menit
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Tekanan darah : Sistolik : 100 mmHg
Diastolik : 80 mmHg
A. Status Generalis
- Kulit : Warna kulit hitam,
tidak ikterik, turgor cukup
- Kepala : Simetris, mesochepal,
distribusi rambut merata
- Mata : Konjungtiva anemis
(+/+), sklera ikterik (-/-),
- Hidung : Deviasi septum (-),
discharge (-)
- Mulut/Gigi : Bibir tidak kering,
lidah tidak kotor, carries (-)
- Telinga : Simetris, serumen
kanan kiri (-)
Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Deviasi trakea (+)
- Palpasi : Tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid dan kelenjar limfe
Pemeriksaan Thorax
- Jantung
Inspeksi : Simetris, ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bj I-II reguler, murmur (-),
Gallop (-)
- Paru
Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
2
Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri,
ketinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler normal
Suara tambahan : (-)
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut tidak membuncit, darm contour (-), sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, defans
muskular (-), massa abdomen (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Pemeriksaan Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada oedem di keempat
ekstremitas
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
LAB RESULT FLAGS UNIT NORMAL
WBC 11.1 10^3/μl 4.0-12.0
LYM 1.3 10^3/ μl 1.0-5.0
MON 0.5 10^3/ μl 0.1-1.0
GRANUL 9.1 H 10^3/ μl 2.0-8.0
LYM % 11.6 L % 25.0-50.0
MON% 95.6 % 2.0-10.0
GRANUL% 81.6 H % 50.0-80.0
RBC 2.91 L 10^6/ μl 4.0-6.20
HGB 9.3 L g/dl 11.0-17.0
HCT 27.5 L % 35.0-55.0
MCV 90.6 μm^3 80.0-100.0
MCH 29.8 Pg 26.0-34.0
MCHC 32.9 g/dl 31.0-35.0
ROW 11.9 % 10.0-16.0
3
PLT 502 H 10^3/ μl 150.0-400.0
MPV 7.7 μm^3 7.0-11.0
PCT 0.261 % 0.200-0.50
POW 14.6 % 10.0-18.0
BT :2’30”CT :4’30”GDS :145mg/dlDIAGNOSIS KERJA
- Vulnus sarpentisDIAGNOSIS BANDING
1. Scorpion Sting
2. Sengatan serangga
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah rutin
2. GDS
PENGOBATAN
IVFD Nacl 0,9% ~ 20 tetes per menit
Ketorolac 3x30 mg
Ranitidine 2x50 mg
Metronidazol
PROGNOSIS :
Dubia ad bonam
4
TINJAUAN PUSTAKA
VULNUS MORSUM SARPENTIS
Epidemiologi
Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak berbisa maupun
gigitan ular berbisa. Di seluruh dunia setiap tahunnya ditemukan ribuan orang yang
meninggal dunia akibat gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat ditemukan 8000
kasus gigitan ular berbisa per tahunnya dengan 98% gigitan tejadi di daerah
ekstremitas dan 70% disebabkan oleh Rattlesnake. Di bagian emergensi RSUP dr.
Hasan Sadikin Bandung dalam kurun waktu 1996-1998 dilaporkan sejumlah 180
kasus gigitan ular berbisa. Sementara di RSUD dr. Saiful Anwar Malang dalam
kurun waktu satu tahun (2004) dilaporkan sejumlah 36 kasus gigitan ular berbisa.
Kepada semua kasus gigitan ular tersebut diberikan terapi antiveom dan
menunjukkan hasil yang baik kecuali pada satu kasus yang dibawa ke rumah sakit
sudah dalam keadaan koma dan apnoe. Hal ini sejalan dengan laporan Auerbach
(2005) bahwa angka kematian ditemukan kurang dari 1% pada kasus gigitan ular
berbisa yang diberi terapi antivenom. Estimasi global menunjukkan sekitar 30.000-
40.000 kematian akibat gigitan ular berbisa.
Jenis-Jenis Ular Berbisa
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari
kira – kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan
dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. 4
5
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang
berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu:
1. Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan
ular cabai
2. Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan
puspo
3. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
4. Familli Colubridae, misalnya ular pohon
Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat
dipakai rambu – rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan
sebagai berikut:
Ciri – ciri ular tidak berbisa:
1. Bentuk kepala segi empat panjang
2. Gigi taring kecil
3. Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
Ciri – ciri ular berbisa:
1. Kepala segi tiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak
dijumpai di Indonesia adalah jenis ular :
1. Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon
rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae
menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan
memicu kaskade pembekuan)
2. Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular
kobra, ular laut.
6
Neurotoksin pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada
reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti β-
bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang
mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction. Beberapa spesies
Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies
yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.
Gambar 3.1 Bekas gigitan ular (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular
berbisa dengan bekas taring.
Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein.
Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia
ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur.2
Secara mikroskop elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein
yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah,
sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma.2
Komponen peptida bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang
ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah sebagian hasil
reaksi yang terjadi akibat bisa ular. Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya
Larginine esterase menyebabkan pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa
7
nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat
yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan berbagai
variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari
membran sel darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari
jaringan ikat. Amino acid esterase menyebabkan terjadi KID.
Pada kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen,
gangguan fungsi bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas. Bisa ular dari
famili Crotalidae/Viperidae bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan,
kebocoran vaskular dan terjadi koagulopati. Komponen dari bisa ular jenis ini
mempunyai dampak hampir pada semua sistem organ.2
Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae terutama bersifat sangat
neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang memblok neurotransmiter
pada neuromuscular junction. Aliran dari bisa ular di dalam tubuh, tergantung dari
dalamnya taring ular tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh.2
Manifestasi Klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan
hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding
sebesar luka, edema, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan.
Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat
karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular
tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra
dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul
karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada
pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya
terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga
menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan
sementara.4
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau
luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut : 5
8
1. Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit –
24 jam)
2. Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,
hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
3. Gejala khusus gigitan ular berbisa :
a. Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,
peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie,
ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID).
b. Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis
oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma.
c. Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma.
d. Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain, pallor,
paresthesia, paralysis pulselesness).
Menurut Schwartz, gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/ Eritem Tanda sistemik0 0 + +/- <3cm/12> 0I +/- + + 3-12 cm/12 jam 0II + + +++ >12-25 cm/12 jam +
Neurotoksik,Mual, pusing, syok
III ++ + +++ >25 cm/12 jam ++Syok, petekia, ekimosis
IV +++ + +++ >ekstrimitas ++Gangguan faal ginjal,Koma, perdarahan
Tabel 3.1 Klasifikasi gigitan ular
Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :
9
1. Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular,
riwayat penyakit sebelumnya.
2. Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular, yaitu : 3
1. Gigitan Elapidae
a. Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa
sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat
gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan
gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan
melebar.
b. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut,
kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada
lapisan luar mata.
c. Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian
dalam bentuk paralisis dari urat – urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan
sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan,
otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa
di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga
lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan
tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat.
Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala – gejala
neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
2. Gigitan Viperidae
a. Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak
dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan,
rasa sakit dekat gigitan
b. Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa
muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan
luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan
tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa
hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan,
10
kerusakan ginjal, edema paru, kadang – kadang tekanan darah rendah dan
nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan
lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
3. Gigitan Hidropiidae
a. Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat dan
muntah
b. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot
ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan
urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak,
henti jantung
4. Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae
a. Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri
pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan
untuk memberian poli valen crotalidae antivenin
b. Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting
5. Gigitan Coral Snake
Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus
fulvius antivenin).
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji
faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang
2. Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
3. EKG
4. Foto dada
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :
1. Scorpion Sting
11
2. Sengatan serangga
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
1. Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
2. Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
3. Mengatasi efek lokal dan sistemik
Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas
masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian dilakukan pengisapan
mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa
mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan.
Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas
tusukan gigi taring, dengan jarak ½ cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia
otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket
beberapa centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang
terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah
dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya
aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang
tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena
atau intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen
ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di
daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih
dahulu karena bahaya bisa lebih besar dari pada bahaya syok anafilaksis.
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian
vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk
memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian
kortikosteroid.
12
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan
memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan
vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan
fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk
mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian
jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit. Bila ragu – ragu mengenai
jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena kadang efek
keracunan bisa timbul lambat. Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan
khusus, kecuali pencagahan infeksi. 4,7
3.7.1 Tindakan Pelaksanaan
1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah
a. Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
b. Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung
alkohol
c. Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat
daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang
berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan
adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.
2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai
berikut:
a. Penatalaksanaan jalan napas
b. Penatalaksanaan fungsi pernapasan
c. Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
d. Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka,
imobilisasi (dengan bidai)
e. Ambil 5 – 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer,
fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama
K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan
kemungkinan adanya koagulopati
13
f. Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
g. Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahkan), polivalen
1 ml berisi:
i. 10-50 LD50 bisa Ankystrodon
ii. 25-50 LD50 bisa Bungarus
iii. 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
iv. Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 100 ml NaCl 0,9% atau
Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial).
Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada
bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way3,4,6
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Derajat Beratnya evenomasi
Taring atau gigi
Ukuran zona edema/ eritemato kulit (cm)
Gejala sistemik
Jumlah vial venom
0 Tidak ada + <2 - 0I Minimal + 2-15 - 5II Sedang + 15-30 + 10III Berat + >30 ++ 15IV Berat + <> +++ 15
Tabel 3.2 Pedoman terapi SABU menurut Luck
Pedoman terapi SABU menurut Luck
1. Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
14
a. Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu
pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi
pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.
b. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan
menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk
memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi
kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan
Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
3. Terapi suportif lainnya pada keadaan :
a. Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
b. Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen,
vitamin K, tranfusi trombosit
c. Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
d. Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
e. Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
f. Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
g. Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan
sulfas atropin
h. Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
i. Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan
obat – obatan narkotik depresan
4. Terapi profilaksis
15
a. Pemberian antibiotika spektrum luas. Kuman terbanyak yang dijumpai adalah
P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
b. Beri toksoid tetanus
c. Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi
3.7.2 Fasciotomy
Tujuan dari terapi sindrom kompartemen dalah mengurangi defisit fungsi
neurogis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah local, biasanya dengan
bedah dekompresi. Tindakan nonoperatif tertentu mungkin bias berhasil seperti
menghilangkan selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan
operasi dekompresi perlu dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi
dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom kompartemen
memiliki individualitas yang berpengaruh pada cara untuk menindakinya.
Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom sederhana yaitu
fasciotomi kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai
terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua
ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasciotomi. Penanganan sindroma kompartemen meliputi :
1. Terapi Medikal/non operatif.
Pemilihan secara medical terapi digunakan apabila masih menduga suatu sindroma
kompartemen, yaitu :
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang
minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih
memperberat iskemia.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi
dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen.
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
16
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi
tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali
energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari
radikal bebas.
2. Terapi operatif untuk sindroma kompartemen apabila tekanan intrakompartemen
lebih dari 30mmHg memerlukan tindakan yang cepat dan segera dilakukan fasciotomi.
Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya
kurang dari 30mmHg, tungkai dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam
berikutnya, kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang dilanjutkan
hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau kalau tekanan
kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan.
Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Ada dua teknik dalam
fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisiganda. Tidak ada keuntungan yang utama dari
kedua teknik ini. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih
aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas
dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal.
Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti membuka ke empat kompartemen, kalau perlu
dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis
otot,dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit ( tanpa regangan ), atau
dilakukan pencangkokan kulit Terapi untuk sindrom kompartemen akut maupun kronik
biasanya adalah operasi. Insisi panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang
meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan
ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis otot, dapat
dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan ), atau skin graft
mungkin diperlukan untuk menutup luka ini.
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi antara lain:
1. Adanya tanda-tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat
2. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi (pasien koma, pasien dengan
masalah psikiatrik, dan dibawah pengaruh narkotik) dengan tekanan jaringan lebih dari
30mmHg pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan jaringan yang normal. Bila ada
indikasi, operasi dekompresi harus segera dilakukan karena penundaan akan meningkatkan
17
kemungkinan kerusakan jaringan intrakompartemen sebagaimana terjadinya
komplikasi. Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen. Kerusakan
nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi intrakompartemen.
Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran tekanan dan konsultasi yang
diperlukan harus segera dilakukan secepatnya. Beberapa teknik telah diterapkan untuk
operasi dekompresi untuk semua sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan
tanpa torniket untuk mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan
operator juga dapat memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi.
Setiap yang berpotensi membatasi ruang, termasuk kulit,dibuka di sepanjang
daerah kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah prosedur selesai.
Debridemant otot harus seminimal mungkin selama operasi dekompresi kecuali
terdapat otot yang telah nekrosis.
Prognosis
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang
berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala.
Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan
mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu
memerlukan skin graft.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Egmansjoer.arif.2000.kapita selekta kedokteran edisi 3.jakrta :EGC
2. Nelson. 1999.ilmu kesehatan anak.edisi 14. Jakarta : EGC
3. Purwadianto A, Sampurna B. Retensio urin, dalam : Kedaruratan medi
“pedoman penatalaksanaan praktis” Ed revisi, binarupa aksara, jakarta,2013
4. Sumiardi. Bedah minor.1995. hipocrates :jakarta
5. Anonim. Bedah minor availabe at www.bedahminor.com
6. Supriadi.edi. luka gigitan availble at www.edisupriadi5.blogspot.com
7. Suprayanto. Luka available at www.drsuprayanto.blogspot.com
18
19