vitamin c

63
STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA (Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau) ALFINDA BUDIANTI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: dindarachma

Post on 13-Dec-2014

64 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

vitamin c

TRANSCRIPT

Page 1: vitamin c

STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA

(Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau)

ALFINDA BUDIANTI

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Page 2: vitamin c

RINGKASAN

ALFINDA BUDIANTI. Status Gizi dan Riwayat Kesehatan Sebagai Determinan Hiperurisemia (Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau). Di bawah bimbingan Vera Uripi dan Faisal Anwar. Hiperurisemia adalah kondisi kadar asam urat di dalam darah yang melebihi normal. Kondisi ini dapat memicu terjadinya penyakit gout. Gout merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh laki-laki usia dewasa. Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan, yaitu PT. Chevron Pacific Indonesia, memiliki ribuan karyawan laki-laki usia dewasa. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian di perusahaan tersebut.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari status gizi dan riwayat kesehatan sebagai determinan hiperurisemia. Adapun tujuan khususnya antara lain: (1) mempelajari karakteristik contoh (umur, tingkat pendidikan, asal daerah, besar pengeluaran pangan, tingkat pengetahuan gizi, dan status gizi); (2) menganalisis hubungan dan pengaruh status gizi terhadap risiko hiperurisemia dan gout contoh; (3) menganalisis hubungan dan pengaruh riwayat kesehatan contoh terhadap risiko hiperurisemia dan gout contoh; (4) menganalisis hubungan dan pengaruh riwayat kesehatan keluarga terhadap risiko hiperurisemia dan gout contoh; (5) mempelajari konsumsi energi, zat gizi, dan serat contoh; (6) menganalisis hubungan antara konsumsi pangan dengan hiperurisemia contoh; (7) menganalisis hubungan antara frekuensi konsumsi bahan pangan dalam setahun dengan hiperurisemia contoh; (8) mempelajari konsumsi obat-obatan sebelum general check up oleh contoh. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit PT. Chevron Pacific Indonesia (PT. CPI), Distrik Duri, Propinsi Riau. Pengumpulan data dilakukan dari bulan Maret hingga April 2008 dengan desain cross sectional study. Contoh pada penelitian ini berjumlah 69 orang. Kelompok kontrol terdiri dari 20 orang, kelompok hiperurisemia asimptomatik terdiri dari 21 orang, dan kelompok gout terdiri dari 28 orang. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan adalah karakteristik contoh (umur, pendidikan terakhir, daerah asal, besar pengeluaran pangan, pengetahuan gizi, dan status gizi), riwayat kesehatan contoh dan keluarga contoh, konsumsi obat-obatan, aktivitas, dan konsumsi pangan (jenis dan jumlah pangan). Data karakteristik contoh, riwayat kesehatan contoh dan keluarga contoh, konsumsi obat-obatan, dan aktivitas diperoleh dari wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Data status gizi diperoleh dari data berat badan dan tinggi badan. Data aktivitas diperoleh secara recall 2x24 jam. Data konsumsi makanan diperoleh dengan menggunakan metode food recall 2x24 jam dengan bantuan Food Model serta Food Frequently Questionnaire untuk mengetahui frekuensi konsumsi bahan pangan dalam setahun. Data sekunder meliputi hasil rekam medik (kadar asam urat, kadar kolesterol total, kadar gula darah, berat badan, dan tinggi badan) dan gambaran umum rumah sakit. Gambaran umum rumah sakit diperoleh dari kantor Public Health Rumah Sakit PT. CPI Duri, sedangkan hasil rekam medis diperoleh dari bagian Laboratory Examination. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan Microsoft Excel dan SPSS versi 16.0 for windows. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, korelasi (uji korelasi Pearson dan Spearman), dan pengaruh (uji regresi logistik).

Page 3: vitamin c

Sebagian besar contoh merupakan kelompok usia dewasa menengah (94.2%) dan berpendidikan terakhir SMA dan sederajatnya (76.81%). Rata-rata pengeluaran pangan/kapita/bulan contoh adalah Rp 804.490,00. Hampir separuh contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi yang kurang (47.83%) dan berstatus gizi overweight (44.93%). Indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi positif signifikan (p=0.016, r=0.289) dengan kadar asam urat contoh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi IMT seseorang maka semakin tinggi risiko hiperurisemia. Terdapat pengaruh yang nyata status gizi terhadap gout. Contoh yang berstatus gizi overweight dan obese berisiko 4.913 kali lebih besar untuk menderita gout (p=0.037, OR=4.913) dibandingkan dengan contoh yang berstatus gizi normal. Tidak terdapat hubungan dan pengaruh yang nyata dari riwayat hiperkolesterol dan diabetes mellitus terhadap risiko hiperurisemia asimptomatik dan gout (>0.1). Contoh yang memiliki riwayat diabetes mellitus dalam silsilah keluarganya berisiko 0.162 kali lebih rendah untuk menderita gout. Tidak terdapat hubungan dan pengaruh yang nyata dari riwayat gout dan diabetes mellitus keluarga contoh terhadap risiko hiperurisemia asimptomatik (p>0.1). Persentase konsumsi energi contoh pada kelompok normal paling tinggi (140.14%) dan pada kelompok hiperurisemia asimptomatik paling rendah (98.39%) diantara dua kelompok lainnya. Konsumsi karbohidrat contoh pada kelompok normal dan hiperurisemia asimptomatik sedikit kurang (64.73% dan 64.67%), sedangkan pada kelompok gout sudah cukup (65.04%). Konsumsi protein pada kelompok hiperurisemia asimptomatik berlebih (16.13%), sedangkan pada kelompok normal dan gout sudah cukup (14.63% dan 14.27%). Konsumsi lemak pada kelompok normal dan gout berlebih (20.64% dan 20.69%), sedangkan pada kelompok hiperurisemia asimptomatik sudah cukup (19.20%). Konsumsi vitamin C semua contoh masih kurang (<61%). Konsumsi purin kelompok hiperurisemia asimptomatik dan gout sangat tinggi dari diet yang seharusnya (>347%). Tingkat konsumsi serat semua contoh sangat kurang (<53%). Tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi energi, karbohidrat, protein, lemak, vitamin C, dan serat terhadap status gizi dan kadar asam urat contoh (p>0.1). Terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi purin (p=0.000, r=0.69) dengan kejadian gout. Frekuensi konsumsi bahan pangan berkadar purin rendah berhubungan nyata dengan hiperurisemia (p=0.046, r=0.997).

Hampir separuh contoh yang menderita gout (46.4%) mengkonsumsi obat untuk menurunkan kadar asam uratnya. Terdapat pula sebagian kecil contoh pada kelompok hiperurisemia asimptomatik (14.3%) dan kelompok normal (5%) yang juga mengkonsumsi obat asam urat ini.

Page 4: vitamin c

STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA

(Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: ALFINDA BUDIANTI

A54104075

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Page 5: vitamin c

Judul : STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN

SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA

(Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia,

Distrik Duri, Riau)

Nama Mahasiswa : Alfinda Budianti

Nomor Pokok : A54104075

Disetujui,

Diketahui,

Tanggal Lulus :

Dosen Pembimbing I

dr. Vera Uripi, S. Ked NIP. 131760855

Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS NIP. 130934378

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopiandie, M.Agr NIP. 131 124 019

Page 6: vitamin c

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 5 Juni 1986. Penulis

merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Budi Miyarso dan Ibu Purwanti,

dan memiliki tiga orang adik yang bernama Alfian Budiarmoko, Alfitta Budiastiti,

dan Alfin Ragil Budiperkasa.

Pendidikan formal penulis dimulai di TK Cendana Duri, kemudian

dilanjutkan ke SDN 083 Kerinci Duri, lalu ke SMP Cendana Duri, dan selanjutnya

ke SMA Cendana Duri. Penulis kemudian mengikuti Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2004 dan diterima di Program Studi Gizi

Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (PS GMSK), Institut Pertanian Bogor.

Selama kuliah penulis aktif sebagai panitia di berbagai kegiatan, baik

yang berlangsung di program studi, fakultas, maupun kampus IPB. Penulis juga

aktif di Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA) sebagai

anggota divisi Pers dan Media, di Forum Silaturahmi Mahasiswa Bogor (FOSMA

Bogor) alumni ESQ sebagai sekretaris divisi Sumberdaya Alumni, dan di

Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia sebagai anggota. Penulis juga

pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Dietetika Penyakit Degeneratif

dan Dietetika Penyakit Infeksi pada tahun 2008.

Page 7: vitamin c

PRAKATA

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT atas limpahan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dengan segala hormat

kepada:

1. dr. Vera Uripi, S.Ked dan Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS sebagai dosen

pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam

penyusunan skripsi ini.

2. dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked sebagai dosen pemandu seminar sekaligus

dosen penguji yang banyak memberikan masukan pada skripsi ini.

3. Yayat Heryatno, SP, MPS sebagai dosen pembimbing akademik dan

segenap staf pengajar di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya

Keluarga atas ilmu yang telah diberikan.

4. Bapak Mamat Nazil Muharrom, BSc sebagai pembimbing lapang, Bapak

Elwin F. Nasution sebagai Senior Human Resources Analyst di bagian HR-

L&SST, dan segenap staf di Training Center dan Public Health PT. CPI Duri

yang telah membantu penulis dalam pengambilan data, serta seluruh

pegawai PT. CPI Duri yang telah bersedia menjadi responden dalam

penelitian ini atas kerjasamanya.

5. Nova Sulviana dan Dewi Kusumah sebagai rekan pembahas dalam seminar.

6. Kedua orang tua dan adik-adik penulis atas doa, cinta, dan semangatnya

yang mendorong penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan sarjana ini

dengan baik.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang tidak

dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

kepada kita semua. Amin.

Bogor, Agustus 2008

Penulis

Page 8: vitamin c

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ v PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

Latar Belakang....................................................................................... 1

Tujuan .................................................................................................... 2

Kegunaan .............................................................................................. 3

TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4 Hiperurisemia dan Gout ......................................................................... 4

Status Gizi ............................................................................................. 10

Konsumsi Pangan.................................................................................. 11 Energi ......................................................................................... 12 Protein dan Purin ....................................................................... 14 Karbohidrat ................................................................................ 15 Lemak ........................................................................................ 15 Vitamin C ................................................................................... 16 Zat Besi ...................................................................................... 16 Serat .......................................................................................... 17

Penyakit-Penyakit yang Berhubungan dengan Gout ............................. 18 Hipertensi ................................................................................... 19 Hiperkolesterolemia ................................................................... 20 Diabetes Mellitus ........................................................................ 20

Obat Diuretika ........................................................................................ 21

KERANGKA PEMIKIRAN................................................................................. 22 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 24

Desain, Waktu, dan Tempat .................................................................. 24

Cara Penarikan dan Jumlah Contoh ...................................................... 24

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ....................................................... 25

Pengolahan dan Analisis Data............................................................... 28

Definisi Operasional............................................................................... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 32 Gambaran Umum Health & Medical Service PT. CPI Duri .................... 32

Sejarah ....................................................................................... 32 Visi, Misi, dan Nilai ..................................................................... 32 Gambaran Umum Mekanisme Pelaksanaan General Check Up ..................................................................... 33

Karakteristik Contoh .............................................................................. 33 Umur .......................................................................................... 33 Tingkat Pendidikan .................................................................... 34

Page 9: vitamin c

Asal Daerah ............................................................................... 35 Pengeluaran Pangan ................................................................. 35 Pengetahuan Gizi ...................................................................... 36 Status Gizi .................................................................................. 36

Riwayat Kesehatan ................................................................................ 37 Riwayat Hiperkolesterolemia Contoh ......................................... 37 Riwayat Diabetes Mellitus Contoh ............................................. 38 Riwayat Gout Keluarga Contoh ................................................. 39 Riwayat Diabetes Mellitus Keluarga Contoh .............................. 40

Konsumsi Obat-Obatan ......................................................................... 40

Frekuensi Konsumsi Bahan Pangan ..................................................... 41

Konsumsi Pangan.................................................................................. 42

Hubungan Antara Variabel dengan Hiperurisemia ................................ 46

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hiperurisemia dan Gout ................ 49 Faktor yang Mempengaruhi ....................................................... 50 Faktor yang Tidak Mempengaruhi ............................................. 50

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 54 Kesimpulan ............................................................................................ 54

Saran ..................................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 56

Page 10: vitamin c

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Kandungan purin dalam bahan makanan .............................................. 8

2. Cara menaksir kebutuhan energi menurut aktivitas dengan

menggunakan kelipatan AMB ................................................................ 13

3. Status tekanan darah berdasarkan angka sistol dan diastol ................. 19

4. Kriteria diagnostik gula darah (mg/dl) .................................................... 20

5. Bahan pangan berdasarkan grup .......................................................... 26

6. Pengkategorian beberapa variabel penelitian ....................................... 28

7. Sebaran contoh berdasarkan umur ....................................................... 33

8. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan .................................. 34

9. Sebaran contoh berdasarkan asal daerah ............................................. 35

10. Rata-rata pengeluaran pangan/ kapita/ bulan ....................................... 35

11. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ........................ 36

12. Sebaran contoh berdasarkan status gizi ............................................... 36

13. Sebaran contoh berdasarkan riwayat hiperkolesterolemia contoh ........ 37

14. Sebaran contoh berdasarkan riwayat diabetes mellitus contoh ............ 38

15. Sebaran contoh berdasarkan status gula darah .................................... 38

16. Sebaran contoh berdasarkan riwayat gout keluarga contoh ................. 39

17. Sebaran contoh berdasarkan riwayat diabetes mellitus keluarga

contoh .................................................................................................... 40

18. Kebutuhan, konsumsi, dan persentase konsumsi energi ...................... 43

19. Persentase batasan dan konsumsi zat makronutrien terhadap

konsumsi energi total ............................................................................. 43

20. Batasan dan konsumsi zat besi dan vitamin C ...................................... 44

21. Batasan dan konsumsi konsumsi purin ................................................. 45

22. Anjuran dan konsumsi konsumsi serat .................................................. 45

23. Faktor-faktor yang mempengaruhi hiperurisemia asimptomatik ........... 49

24. Faktor-faktor yang mempengaruhi gout ................................................. 50

Page 11: vitamin c

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kerangka pemikiran status gizi dan riwayat kesehatan

sebagai determinan hiperurisemia, serta faktor lain yang berhubungan dengan hiperurisemia ...................................................... 23

2. Cara penarikan contoh .......................................................................... 24

3. Sebaran contoh berdasarkan konsumsi obat-obatan ............................ 41

4. Rata-rata frekuensi konsumsi bahan pangan dalam setahun ............... 42

5. Kurva kuadratik pengaruh IMT terhadap hiperurisemia asimptomatik .. 51

6. Kurva kuadratik pengaruh IMT terhadap gout ....................................... 52

Page 12: vitamin c

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Kuesioner .............................................................................................. 60

2. Bagan Mekanisme Pelaksanaan General Check Up ............................. 68

3. Formulir Pengisian Data General Check Up .......................................... 69

4. Hasil Uji Korelasi Pearson ..................................................................... 71

5. Hasil Uji Korelasi Spearman .................................................................. 72

Page 13: vitamin c

PENDAHULUAN

Latar Belakang Pangan memiliki peranan yang penting bagi manusia. Selain dapat

mempertahankan kelangsungan hidup, pangan juga berperan dalam melindungi

dan menjaga kesehatan serta memberi energi agar seseorang dapat bekerja

secara produktif. Kesehatan merupakan hal penting bagi manusia agar dapat

menjalankan kegiatan sehari-harinya dengan baik. Status gizi berpengaruh pada

kualitas hidup dan kualitas sumberdaya manusia. Oleh karena itu, peningkatan

status gizi diarahkan pada peningkatan intelektualitas, produktivitas kerja,

prestasi belajar dan prestasi olahraga, serta penurunan angka gizi salah, baik

gizi kurang maupun gizi lebih (Muchtadi 1996).

Arus globalisasi memiliki dampak yang terlihat nyata pada perubahan

gaya hidup dalam konsumsi pangan. Perubahan ini dipicu oleh peningkatan

pendapatan, kesibukan kerja yang tinggi, dan promosi produk pangan ala barat

yang tidak diimbangi oleh peningkatan pengetahuan dan kesadaran gizi (Kodyat

1994 diacu dalam Muchtadi 1996).

Gout adalah penyakit yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi

asam urat dalam cairan tubuh (hiperurisemia) dan adanya gangguan

metabolisme protein (Spector 1993). Gangguan asam urat ini diperkirakan terjadi

pada 840 dari setiap 100.000 orang, dan mewakili sekitar 5% dari total penyakit

radang sendi. Sekitar 90% kasus diperkirakan terjadi akibat kelainan proses

metabolisme dalam tubuh (gout primer) dan umum diderita oleh laki-laki berusia

lebih dari 30 tahun. Sedangkan 10% lagi umumnya diderita oleh wanita dan

disebabkan oleh gangguan hormon (Vitahealth 2006).

Salah satu penyebab meningkatnya konsentrasi asam urat dalam tubuh

adalah tingginya konsumsi bahan pangan sumber protein, terutama purin. Purin

banyak terdapat dalam hati, jantung, otak, paru-paru, daging, bayam, kacang-

kacangan, dan sebagainya (Almatsier 2003). Konsumsi bahan pangan tersebut

tanpa pengontrolan yang tepat dapat memicu penyakit asam urat (Vitahealth

2006).

Namun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Taiwan pada

tahun 1998-1999, diet tinggi purin bukanlah faktor yang secara signifikan

menyebabkan gout. Obesitas, konsumsi alkohol yang tinggi, dan rendahnya

konsumsi serat, folat, dan vitamin C merupakan faktor risiko gout yang utama

(Lyu et al 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Herlianty (2000) memberikan

Page 14: vitamin c

hasil yang berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor risiko

hiperurisemia yang utama adalah tingginya konsumsi pangan kaya purin dan

karbohidrat, serta tingginya kadar kolesterol.

Orang dewasa memiliki risiko terkena penyakit degeneratif lebih besar

dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Hal ini disebabkan karena sudah

ausnya jaringan tubuh atau karena penumpukan zat-zat yang merugikan tubuh.

Salah satu penyakit yang sering diderita orang dewasa adalah gout. Berdasarkan

data dari Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta, terjadi

peningkatan penderita gout dari tahun ke tahun dan adanya kecenderungan

diderita pada usia yang semakin muda. Data tersebut menunjukkan bahwa

penyakit gout paling banyak diderita pada golongan usia 30-50 tahun yang masih

tergolong dalam kelompok usia produktif (Uripi et al 2002).

Penyakit gout ini dapat menurunkan produktivitas kerja jika tidak ditangani

secara tepat. Salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang perminyakan

di Propinsi Riau, yaitu PT. Chevron Pacific Indonesia, memiliki ribuan karyawan

laki-laki usia dewasa. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

terhadap karyawan di perusahaan tersebut.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari status gizi dan

riwayat kesehatan sebagai determinan hiperurisemia.

Tujuan Khusus 1. Mempelajari karakteristik contoh (umur, tingkat pendidikan, asal

daerah, pengeluaran pangan, tingkat pengetahuan gizi, dan status

gizi).

2. Menganalisis hubungan dan pengaruh status gizi terhadap

hiperurisemia dan gout contoh.

3. Menganalisis hubungan dan pengaruh riwayat kesehatan contoh

terhadap hiperurisemia dan gout contoh.

4. Menganalisis hubungan dan pengaruh riwayat kesehatan keluarga

terhadap risiko hiperurisemia dan gout contoh.

5. Mempelajari konsumsi energi, zat gizi, dan serat contoh.

6. Menganalisis hubungan antara konsumsi pangan dengan

hiperurisemia contoh.

Page 15: vitamin c

7. Menganalisis hubungan antara frekuensi konsumsi bahan pangan

dalam setahun dengan hiperurisemia contoh.

8. Mempelajari konsumsi obat-obatan sebelum general check up oleh

contoh.

Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan masukan

kepada pihak PT. CPI Duri sehubungan dengan faktor-faktor yang berhubungan

dan berpengaruh terhadap hiperurisemia pada pegawai. Informasi-informasi

yang diberikan diharapkan dapat dijadikan pertimbangan untuk kembali

mengevaluasi perencanaan dan strategi untuk meningkatkan kualitas kesehatan

karyawan PT. CPI Duri. Hal ini tentu saja berguna dalam meningkatkan kinerja

dan produktivitas karyawan sehingga tujuan perusahan dapat tercapai dengan

baik.

Page 16: vitamin c

TINJAUAN PUSTAKA

Hiperurisemia dan Gout Kadar natrium urat dalam serum darah mencerminkan jumlah asam urat

dalam tubuh. Daya larut natrium urat dalam serum pada suhu 370C adalah 7

mg/dl. Kadar natrium urat dalam serum yang melebihi daya larutnya

menyebabkan serum menjadi sangat jenuh (keadaan ini disebut hiperurisemia)

dan dapat menstimulir terbentuknya kristal natrium urat yang dapat mengendap.

Kelarutan asam urat dalam serum ini semakin rendah pada suhu yang lebih

rendah (Bondi & Rosenberg 1990 diacu dalam Uripi et al 2002). Albar (2007)

menambahkan bahwa hiperurisemia terjadi karena peningkatan produksi asam

urat dalam tubuh (overproducers) atau berkurangnya ekskresi asam urat melalui

ginjal (underexcreters). Kadar asam urat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu kadar purin dalam makanan, berat badan, jumlah alkohol yang diminum,

obat diuretik/analgetik, faal ginjal, dan volume urin per hari (Tehupeiory 1987

diacu dalam Uripi et al 2002).

Peningkatan produksi asam urat dapat terjadi karena tingginya konsumsi

bahan pangan yang mengandung purin, atau meningkatnya sintesa purin dalam

tubuh, misalnya karena adanya penyakit inborn errors of metabolism purine pada

tumor. Penurunan pengeluaran asam urat biasanya disebabkan oleh adanya

gangguan ginjal, pengaruh pemberian obat, atau pengaruh beberapa jenis zat

gizi yang dapat menghambat pengeluaran asam urat (Uripi et al 2002). Kondisi

kelaparan juga dapat meningkatkan kadar asam urat darah dan urin. Hal ini

terjadi sebagai konsekuensi dari mobilisasi cadangan protein dalam tubuh dan

hambatan ekskresi asam urat oleh asam laktat dan produk asam lainnya yang

dihasilkan pada kondisi kelaparan (Goodhart & Shils 1973).

Kenaikan kadar natrium urat serum yang berkepanjangan dapat

menyebabkan gout (Spector 1993). Gout adalah penyakit akibat kelainan

metabolisme yang dalam perkembangannya bermanifestasi terhadap

peningkatan konsentrasi asam urat dalam serum. Penyakit ini juga dikenal

dengan nama pedagra atau pirai (Uripi et al 2002). Kata gout berasal dari bahasa

Latin, gutta, yang berarti tetesan. Penyakit ini sudah dikenal sejak masa

Hippocrates sebagai ”penyakit para raja dan raja dari segala penyakit”, karena

umumnya penderita penyakit ini adalah kelompok masyarakat dengan

kemampuan sosial-ekonomi tinggi (Vitahealth 2006).

Page 17: vitamin c

Penelitian mengenai gout ini dimulai pada abad ke-18 dengan

mengisolasi asam urat dari batu ginjal. Sir Alfred Garrod menemukan kadar

asam urat yang tinggi dalam darah pada tubuh penderita gout di abad ke-19.

Oleh karena itu, tingginya kadar asam urat dalam darah (hiperurisemia) selalu

dihubungkan dengan gout (Kuntjoro 1975 diacu dalam Uripi et al 2002).

Hall et al (1967) diacu dalam Goodhart (1973) juga menemukan

hubungan antara persentase pasien gout arthritis dengan kadar asam urat

serum. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa pada kadar asam urat serum

di bawah 6,0 mg/dl, hanya 1,1% orang yang menderita gout arthritis. Pada kadar

asam urat antara 6,0-6,9 mg/dl, ada 7,3% orang yang menderita gout arthritis.

Pada kadar asam urat antara 8,0-8,9 mg/dl, ada 18,7% orang yang menderita

arthritis gout akut. Sedangkan pada kadar asam urat di atas 9,0 mg/dl, terdapat

83% orang yang menderita arthritis gout akut. Hal ini menunjukkan bahwa

penting untuk mengontrol kadar asam urat serum pada penyakit gout.

Selain itu, penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Kelley (1967)

menemukan bahwa ada kelainan sejenis enzim yang khas pada penderita gout.

Kelainan bawaan dalam proses metabolisme purin ini menyebabkan penderita

mengalami kelebihan asam urat (Uripi et al 2002). Spector (1993) menambahkan

bahwa ada suatu jenis gout langka yang disebabkan karena ketiadaan enzim

hiposantin-guanin fosforibosil transferase. Hal ini menyebabkan bertambahnya

sintesa purin karena basa purin bebas tidak lagi diubah menjadi nukleotida. Gout

jenis ini diwariskan oleh gen resesif terkait X dan disebut dengan sindrom Lesch-

Nyhan.

Terdapat dua macam gout, yaitu gout primer dan gout sekunder. Gout

primer disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Gout sekunder

disebabkan oleh adanya komplikasi dengan penyakit lain, seperti hipertensi dan

artherosklerosis (Passmore & Eastwood 1987 diacu dalam Uripi et al 2002).

Pada kasus gout primer, selain ketiadaan enzim hiposantin-guanin

fosforibosil transferase yang menyebabkan bertambahnya sintesa purin, ada juga

pengaruh faktor genetik yang dapat menyebabkan gangguan pada penyimpanan

glikogen atau defisiensi enzim pencernaan. Hal ini menyebabkan tubuh lebih

banyak menghasilkan senyawa laktat atau trigliserida yang berkompetisi dengan

asam urat untuk dibuang oleh ginjal (Vitahealth 2006).

Faktor lingkungan yang memicu terjadinya gout primer adalah konsumsi

makanan, alkohol, dan obat-obatan. Konsumsi makanan yang tinggi kandungan

Page 18: vitamin c

purinnya dapat meningkatkan kadar asam urat dalam urin antara 0,5-0,75 g/ml

purin yang dikonsumsi. Konsumsi makanan yang tinggi kadar lemaknya dapat

mengganggu pengeluaran asam urat dari ginjal, begitu juga dengan konsumsi

alkohol (Uripi et al 2002). Gout juga dapat terjadi akibat efek samping dari

mengkonsumsi obat-obatan tertentu, seperti antidiuretika, diuretika (furosemida

dan hidroklorotiazida), salisilat, etambutol, pirazinamit, dan akibat

penyalahgunaan obat pencahar (Vitahealth 2006).

Asam laktat yang diproduksi sebagai hasil dari aktivitas olahraga atau

gerakan fisik juga dapat menurunkan pengeluaran asam urat. Namun, kenaikan

tersebut akan kembali normal dalam beberapa jam kemudian (Soegih 1991 diacu

dalam Uripi et al 2002).

Pada gout sekunder, penderita hipertensi dan hiperkolesterolemia

cenderung mengalami hiperurisemia. Hal ini disebabkan karena obat

antihipertensi yang dikonsumsi (terutama thiazide) diduga secara tidak langsung

mempengaruhi metabolisme lemak. Pengaruh ini menyebabkan pengeluaran

asam urat menjadi berkurang (Kuntjoro 1975 diacu dalam Uripi et al 2002). Gout

juga dipicu oleh penyakit anemia kronis yang dapat mengganggu metabolisme

tubuh (Vitahealth 2006). Penyakit lain yang juga merupakan faktor risiko bagi

penyakit gout adalah diabetes mellitus (Herlianty 2000) dan gangguan ginjal

(Vitahealth 2006). Resistensi insulin pada sindrom metabolik dan diabetes

mellitus tipe 2 dapat meningkatkan kadar leptin dalam tubuh. Leptin merupakan

regulator konsentrasi asam urat dalam darah. Peningkatan kadar leptin ini

memicu terjadinya hiperurisemia (Hayden & Tyagi 2007).

Asam urat sebenarnya merupakan bagian yang normal dari darah dan

urin. Asam urat adalah hasil akhir dari metabolisme purin, baik purin yang

berasal dari bahan makanan maupun dari hasil pemecahan purin asam nukleat

tubuh. Namun, jika banyak sisa pembuangan hasil metabolisme purin dan

ekskresi asam urat melalui urin sedikit maka kadar asam urat dalam darah dapat

tinggi (Uripi et al 2002). Asam urat bersifat sukar larut dalam air, berbentuk

garam dalam keadaan asam (pH < 7), dan berbentuk natrium urat dalam plasma

darah. Kadar normal asam urat dalam darah adalah 2,1-8,5 mg/dl untuk pria dan

2,0-6,6 mg/dl untuk wanita. Jadi, rata-rata kadar asam urat normal dalam tubuh

adalah 3-7 mg/dl dan kadar ini sedikit lebih tinggi pada mereka yang lanjut usia.

Gangguan terjadi jika kadar asam urat lebih dari 12 mg/dl (Vitahealth 2006).

Umumnya, seseorang mengeluarkan asam urat 200-600 mg/hari melalui ginjal,

Page 19: vitamin c

sedangkan sisanya dikeluarkan melalui empedu, lambung, dan usus halus yang

kemudian dirusak oleh kuman-kuman dalam usus besar. Kadar normal asam urat

dalam urin adalah 350-590mg/24 jam. Bila terdapat lebih dari 600 mg/24 jam

asam urat dalam urin, berarti terjadi peningkatan produksi asam urat endogen

dalam tubuh. Kadar asam urat urin yang kurang dari 350mg/24 jam menunjukkan

adanya penurunan ekskresi (Herlianty 2000). Tubuh menyimpan paling sedikit

1000 mg asam urat, namun pada keadaan gout jumlahnya meningkat hingga 3

sampai 5 kali (Krause 1961).

Asam urat dengan kadar tinggi dalam darah dapat mengendap sebagai

kristal berbentuk jarum di sendi. Kristal yang dianggap benda asing oleh tubuh ini

menyebabkan terjadinya pelepasan Immunoglobulin G (Ig G) oleh sistem imun

yang memicu produksi sel darah putih. Penggumpalan sel ini pada kristal

menyebabkan pembengkakan sendi dan menimbulkan rasa nyeri (Vitahealth

2006). Manifestasi klinis gout adalah artritis gout, tofi, nefropati asam urat akut,

nefropati asam urat kronis, dan nefrolitiasis asam urat (Wibowo et al 2005). Tofi

adalah endapan kristal natrium urat. Arthritis gout akut, rematik, atau radang

sendi dapat terjadi jika tofi berada pada persendian. Semakin lama keadaan ini

akan menyebabkan kerusakan sendi dan menimbulkan arthritis gout kronis

(Isbagio 1992 diacu dalam Uripi et al 2002). Penumpukan tofi juga dapat terjadi

di telinga, tendon, bursa, ginjal, pembuluh darah, bahkan jantung. Pada ginjal,

tofi membentuk batu asam urat dan dikenal batu ginjal. Pada telinga dan jari, tofi

berukuran sangat kecil seperti ujung jarum pentul hingga besar seperti kelereng

(Uripi et al 2002).

Ada tujuh faktor yang berpengaruh sebagai penyebab gout, yaitu:

1. Faktor keturunan, yaitu adanya riwayat gout dalam silsilah keluarga

2. Diet tinggi protein dan makanan kaya senyawa purin lainnya. Makanan

tersebut antara lain daging-dagingan, sea food, kacang-kacangan,

bayam, jamur, dan kembang kol.

3. Konsumsi alkohol yang berlebihan. Alkohol merupakan salah satu sumber

purin yang dapat menghambat pembuangan purin melalui ginjal.

4. Penyakit tertentu, terutama gangguan ginjal, yang menyebabkan

terhambatnya pembuangan asam urat.

5. Penggunaan obat tertentu yang dapat meningkatkan kadar asam urat,

terutama diuretika (furosemida dan hidroklorotiazida)

Page 20: vitamin c

6. Penggunaan antibiotika berlebihan yang menyebabkan berkembangnya

jamur, bakteri, dan virus yang lebih ganas.

7. Penyakit tertentu pada darah (anemia kronis) yang menyebabkan

gangguan metabolisme tubuh

8. Faktor lain seperti stres, diet ketat, cedera sendi, darah tinggi, dan

olahraga berlebihan (Vitahealth 2006).

Tabel 1 Kandungan purin dalam bahan makanan Grup I (tinggi)

150-825 mg/ 100 g Grup II

50-150 mg/ 100 g Grup III

0-50 mg/ 100 g Jeroan (hati dan ginjal), otak, sardin, hering, ekstrak daging, kaldu daging, jamur.

Kacang-kacangan kering, daging, gandum, unggas, ikan, kerang, belut, bayam, asparagus, ercis, kembang kol.

Roti, serealia, mentega, lemak, keju, telur, buah, jus, sayur, agar-agar, susu, kacang tanah, gula, gula-gula, kopi, teh, soda

Sumber: Nelson, JK 1994 Mayo Clinic Diet Manual, 7ed, Mosby, St. Louis diacu dalam Herlianty

2000

Serangan gout bersifat rekurens, yaitu kembalinya gejala setelah

berkurangnya gejala penyakit untuk sementara waktu (Tehupeiory 1987 diacu

dalam Uripi et al 2002). Biasanya serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa ada

gejala sebelumnya, dan dimulai pada malam hari. Ada empat tahapan gout,

yaitu:

1. Asymptomatic (tanpa gejala)

Tahap ini terjadi selama beberapa tahun tanpa diketahui oleh

penderitanya. Penderita tidak mengalami gangguan apapun yang

menyebabkan penderitanya merasa kesakitan. Peningkatan kadar asam urat

tanpa disertai arthritis, tofi, maupun batu ginjal (Uripi et al 2002).

2. Akut

Serangan radang sendi disertai dengan rasa nyeri yang hebat terjadi

secara tiba-tiba pada satu atau beberapa persendian. Persendian yang

terserang terasa panas dan lunak, bengkak, merah, serta berdenyut-denyut.

Rasa sakit tersebut hilang dalam beberapa hari dan dapat muncul kembali

pada interval yang tidak tentu. Serangan susulan biasanya terjadi lebih lama.

Penderita bisa mengalami tahap yang lebih serius atau tidak akan

mengalaminya lagi (Vitahealth 2006). Interval serangan yang cukup lama dan

sendi masih dalam keadaan normal disebut arthitis gout akut (Uripi et al

2002).

Pada kasus artritis gout yang akut, kristal urat berakumulasi dalam

sinovia dan menimbulkan reaksi inflamasi secara langsung oleh iritasi kimia

Page 21: vitamin c

dan lewat pelepasan interleukin-1 oleh makrofag. Leukosit polimorfonuklear

berakumulasi dan memfagositosis mikrokristal. Ini khususnya melanjut

kepada pelepasan eksplosit enzim lisosom dan berbagai mediator inflamasi.

Seperti yang diharapkan dari keterlibatan makrofag, demam dapat

disebabkan oleh aktivitas interleukin-1. Serangan yang akut akhirnya

menyusut, barangkali disebabkan oleh ekskresi partikel-pertikel yang

menyebaban demam (Spector 1993).

3. Interkritikal

Penderita bebas dari serangan dan mengalami kesembuhan sementara

(Bondy & Rosenberg 1980).

4. Kronis

Interval serangan bertambah pendek pada satu hingga dua tahun

berikutnya. Terbentuk tofi dan terjadi perubahan bentuk pada sendi-sendi

yang tidak dapat berubah ke bentuk semula (irreversible). Hal ini disebut

dengan arthritis gout kronis (Uripi et al 2002).

Gejala penyakit ini adalah linu dan nyeri terutama di daerah persendian

tulang. Rasa sakit tersebut disebabkan karena radang pada persendian. Radang

terjadi karena penumpukan kristal di daerah persendian akibat tingginya kadar

asam urat darah (Uripi et al 2002). Asam urat dalam jumlah berlebihan

cenderung mengendap dalam sinovia persendian dan jaringan pengikat di

sekitarnya. Namun hal ini bersifat relatif karena pada kasus presipitasi urat yang

kronis dan tak diobati dapat menyebar ke jaringan pengikat, jantung, dan ginjal

(Spector 1993). Kelebihan asam urat darah dan sodium urat dapat membentuk

tofi pada sendi kecil dan jaringan di sekitarnya. Umumnya tofi ini terdapat pada

daun telinga (Krause 1961). Selain itu, penderita juga dapat mengalami demam

dengan suhu tubuh 38,30C yang tidak turun selama tiga hari, bengkak pada kaki,

peningkatan berat badan secara tiba-tiba, diare atau muntah, serta adanya ruam

kulit, sakit tenggorokan, lidah berwarna merah, dan gusi berdarah (Vitahealth

2006).

Tanda-tanda arthritis gout dalam dunia kedokteran adalah sebagai

berikut:

1. adanya hiperurisemia

2. ada kristal urat yang khas dalam cairan sendi

3. ada tofi yang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan kimiawi

4. telah terjadi lebih dari satu kali serangan arthritis akut

Page 22: vitamin c

5. ada serangan pada satu sendi, terutama pada ibu jari kaki

6. sendi terlihat kemerahan

7. pembengkakan asimetris pada satu sendi

8. tidak ada bakteri pada saat serangan dan inflamasi (Uripi et al 2002).

Penyakit gout ini dapat menyebabkan komplikasi yang berbahaya seperti

persendian menjadi rusak sehingga terjadi peradangan tulang, kerusakan

ligamen dan tendon (otot), batu ginjal, dan gagal ginjal. Bagian tubuh yang umum

diserang oleh asam urat adalah ibu jari kaki, tumit, lutut, pergelangan tangan dan

kaki, siku, dan jari tangan. Selain itu, asam urat juga dapat menyebabkan

gangguan pada daun telinga, retina mata, saluran cerna, ginjal, dan jantung

(Vitahealth 2006).

Sebagian besar gout (sekitar 75% kasus) terjadi akibat kelebihan produksi

asam urat dan ekskresi yang tidak sempurna. Peningkatan produksi asam urat ini

menyebabkan kadar asam urat serum menjadi meningkat. Kurang lebih 20-30%

kasus gout terjadi karena kelainan sintesa purin dalam jumlah besar sehingga

terjadi kelebihan asam urat dalam darah (Bennion 1979 diacu dalam Uripi et al

2002). Sekitar 10% kasus gout terjadi akibat gangguan hormon dan umumnya

dialami oleh wanita setelah menopause. Hormon estrogen pada wanita ternyata

dapat memperlancar proses pembuangan asam urat dalam ginjal (Vitahealth

2006).

Status Gizi Status gizi adalah kondisi tubuh sebagai hasil dari penggunaan zat gizi

esensial yang tersedia pada tubuh. Status gizi ini tergantung pada asupan zat

gizi, serta relatif dengan kebutuhan dan kemampuan tubuh untuk

menggunakannya (Krause 1961). Alat ukur yang digunakan untuk menilai status

gizi adalah variabel-variabel antropometri, terutama berat dan tinggi. Indeks

Massa Tubuh (IMT) digunakan sebagai ukuran kecukupan gizi (status gizi) pada

orang dewasa. IMT juga menggambarkan tingkat kegemukan atau kekurusan

yang dihitung dengan cara membagi berat badan seseorang dengan kuadrat

tinggi badannya. Rumus IMT adalah sebagai berikut:

IMT = Berat Badan (Kg) (Tinggi Badan (m))2

Status gizi dikategorikan berdasarkan nilai IMT menjadi : severe thinness,

bila IMT ≤ 16.00; moderate thinness, bila 16.00 < IMT < 16.99; mild thinness, bila

17.00 < IMT < 18.49; normal, bila 18.50 < IMT < 22.99; at risk, bila 23.00 < IMT

Page 23: vitamin c

< 24.99; pre-obese, bila 25.00 < IMT < 29.99; obese class 1, bila 30.00 < IMT <

34.99; obese class 2, bila 35.00 < IMT < 39.99; dan obese class 3, bila IMT ≥

40.00 (WHO 2008). Status gizi baik diperoleh jika seseorang memiliki asupan gizi

yang baik dan seimbang. Gizi baik dibutuhkan untuk pertumbuhan dan fungsi

organ yang normal; untuk reproduksi, pertumbuhan, dan pemeliharaan yang

normal; untuk aktivitas yang optimum dan efisiensi kerja; pencegahan infeksi;

dan kemampuan untuk tubuh dari kerusakan. Status gizi buruk diperoleh jika

seseorang tidak mampu memenuhi keseimbangan sejumlah zat gizi esensial

dalam tubuhnya (Krause 1961).

Hiperurisemia berhubungan dengan peningkatan IMT. Leptin merupakan

faktor yang diduga menjadi penghubung antara hiperurisemia dan obesitas.

Leptin adalah senyawa yang berfungsi untuk meregulasi konsentrasi asam urat

dalam darah. Resistensi insulin pada sindrom metabolik dan diabetes mellitus

tipe 2 berhubungan dengan peningkatan kadar leptin (Hayden & Tyagi 2007).

Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jenis dan jumlah pangan

yang dimakan seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah

& Martianto 1992 diacu dalam Marlina 2004). Status gizi dipengaruhi secara

langsung oleh konsumsi pangan (Suhardjo & Riyadi 1990 diacu dalam Marlina

2004). Menurut Syarief (1992) diacu dalam Marlina (2004) keadaan gizi individu,

keluarga, atau masyarakat dipengaruhi secara langsung oleh faktor jumlah dan

mutu pangan yang dikonsumsi. Selain itu, faktor langsung lainnya adalah

keadaan kesehatan yang bersangkutan.

Konsumsi pangan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:

1. Karakteristik individu

Terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi,

dan kesehatan.

2. Karakteristik pangan

Terdiri dari rasa, rupa, tekstur, harga, tipe makanan, bentuk, bumbu, dan

kombinasi makanan.

3. Karakteristik lingkungan

Terdiri dari musim, pekerjaan, mobilitas, jumlah keluarga, dan tekanan sosial

pada masyarakat (Suhardjo 1989 diacu dalam Marlina 2004).

Kebutuhan gizi adalah jumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari

konsumsi makanan (Hardinsyah & Martianto 1989 diacu dalam Marlina 2004).

Page 24: vitamin c

Sedangkan kecukupan gizi yang dianjurkan adalah jumlah masing-masing zat

gizi yang harus dipenuhi dari makanan yang dikonsumsi agar hampir semua

orang sehat (mencakup lebih dari 97.5% populasi). Kecukupan gizi pada setiap

individu dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan dan tinggi

badan, genetika, serta keadaan khusus seperti hamil dan menyusui. Sedangkan

kebutuhan gizi lebih menggambarkan banyaknya zat gizi minimal yang

diperlukan oleh setiap individu yang dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya

adalah faktor genetika.

Makanan yang dikonsumsi mengandung unsur-unsur zat gizi yang dapat

digolongkan menjadi dua jenis, yaitu makronutrien dan mikronutrien.

Makronutrien adalah zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah besar dan tidak

didaur ulang, terdiri atas karbohidrat, lemak, dan protein. Sedangkan

mikronutrien adalah zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit karena dapat

didaur ulang, terdiri atas vitamin dan mineral. Selain itu, tubuh juga

membutuhkan air, oksigen, dan serat makanan (Hartono 2002).

Penderita penyakit gout sebaiknya mengkonsumsi makanan sesuai

dengan kebutuhan dan keadaannya. Hal ini adalah salah satu cara untuk

mengatasi penyakit gout yang dideritanya. Pengaturan makanan disesuaikan

dengan tingkat hiperurisemia dan kemampuan penderita untuk mengeluarkan

kelebihan asam urat dari ginjal (Uripi et al 2002). Syarat diet bagi penderita gout

akut maupun kronis adalah sebagai berikut; pembatasan makanan berkadar

purin lebih dari 150 mg/100g; energi sesuai dengan kebutuhan tubuh; tinggi

karbohidrat, yaitu 65-75% dari kebutuhan energi total (dianjurkan untuk

menggunakan sumber karbohidrat kompleks); cukup protein, yaitu 10-15% dari

kebutuhan energi total; lemak sedang, yaitu 10-20% dari kebutuhan energi total;

cukup vitamin dan mineral; dan cairan sesuai dengan urin yang dikeluarkan

setiap hari (Almatsier 2005)

Energi

Energi dibutuhkan oleh tubuh untuk mempertahankan proses kerja tubuh

dan menjalankan kegiatan-kegiatan fisik (Suhardjo et al 1987). Energi basal

adalah energi minimal yang dibutuhkan oleh tubuh dalam keadaan istirahat,

sedikitnya 12 jam setelah makan, mental dan fisik dalam keadaan istirahat total,

berbaring namun tidak tidur, dan suhu ruangan sekitar 250C. Energi yang

dibutuhkan oleh tubuh dinyatakan dalam kilokalori atau joule (Karyadi & Muhilal

1996).

Page 25: vitamin c

Menurut Suhardjo et al (1987), total energi yang dibutuhkan oleh manusia

dipengaruhi oleh empat hal, yaitu ukuran dan komposisi badan, umur dan jenis

kelamin, kegiatan fisik, serta iklim sekitarnya. Almatsier (2005) menyatakan

bahwa komponen utama yang menentukan kebutuhan energi adalah Angka

Metabolisme Basal (AMB) atau Basal Metabolic Rate (BMR) dan aktivitas fisik.

AMB dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan. Salah

satu pengukuran AMB adalah dengan menggunakan Rumus Harris Benedict

sebagai berikut:

Laki-laki = 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) – (6,8 x U)

Perempuan = 655 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) – (4,7 x U) Keterangan: BB = berat badan dalam kg

TB = tinggi badan dalam cm

U = umur dalam tahun

Sedangkan cara menentukan kebutuhan energi untuk aktivitas fisik dinyatakan

dalam kelipatan AMB (Tabel 2).

Angka kecukupan energi seseorang pada suatu kelompok umur tertentu

adalah sama dengan sedikit lebih tinggi dari rata-rata kebutuhan energi kelompok

tersebut. Umumnya, untuk mencapai tingkat aman, energi yang ditambahkan

adalah sebesar 1-5% kebutuhan. Biasanya angka kecukupan energi dinyatakan

dalam satuan Kalori per orang per hari (Hardinsyah & Martianto 1984 diacu

dalam Hamilton et al 1982 & FAO/WHO/UNU 1983).

Tabel 2 Cara menaksir kebutuhan energi menurut aktivitas dengan menggunakan kelipatan AMB

Aktivitas Gender Laki-laki Perempuan

Sangat ringan*) 1,30 1,30 Ringan**) 1,65 1,55 Sedang**) 1,76 1,70 Berat**) 2,10 2,00

Sumber: *) Mahan, L.K. dan M.T. Arlin, 2000. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy

**) Muhilal, Fasli Jalal dan Hardinsyah, 1998, Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan.

Widya Karya Pangan dan Gizi VI

Penderita gout harus benar-benar memperhatikan jumlah konsumsi

kalorinya sesuai dengan kebutuhan yang didasarkan pada tinggi dan berat badan

individu. Kelebihan berat badan yang dialami penderita gout harus diturunkan

dengan memperhatikan jumlah konsumsi kalori. Jumlah kalori juga dijaga agar

tidak mengakibatkan kurang gizi atau berat badan di bawah normal. Kekurangan

kalori dapat meningkatkan asam urat serum karena adanya keton bodies yang

dapat mengurangi pengeluaran asam urat melalui urin (Uripi et al 2002).

Page 26: vitamin c

Konsumsi kalori dikurangi 10-15% dari total konsumsi kalori normal setiap

harinya bagi penderita gout yang gemuk. Rasa lapar akibat pembatasan kalori

dapat diatasi dengan mengkonsumsi banyak sayuran dan buah-buahan segar.

Selain mengenyangkan, kadar air yang tinggi pada buah dan sayur dapat

membantu melarutkan kelebihan asam urat dalam serum. Sayuran yang tidak

mengandung purin dikonsumsi paling sedikit 300 g/hari. Begitu juga dengan

buah-buahan segar disarankan dikonsumsi lebih dari 300 g/hari (Uripi et al

2002).

Protein dan Purin

Protein adalah zat gizi yang sangat penting karena berhubungan erat

dengan proses-proses kehidupan. Kualitas protein ditentukan dari kelengkapan

asam amino esensial yang lengkap dan dalam jumlah masing-masing yang

memenuhi kebutuhan untuk sintesa protein tubuh (Sediaoetama 2000). Fungsi

protein adalah menyediakan asam-asam amino yang diperlukan untuk berbagai

kebutuhan seperti sintesa protein tubuh, salah satu penghasil energi, dan sintesa

zat-zat organik lain yang mengandung nitrogen. Hati adalah tempat utama yang

menampung hasil pencernaan asam amino (James & Gropper 1999).

Kebutuhan protein total sebesar 15-20% pada orang normal diperlukan

dalam bentuk asam amino esensial (Klein 1993). Sumber protein terdiri dari dua

kelompok, yaitu dari produk hewani dan dari produk nabati. Produk hewani

misalnya daging, unggas, ikan, dan produk susu kecuali butter, krim asam, dan

krim keju. Produk nabati misalnya padi-padian, produk padi-padian, kacang-

kacangan, dan sayuran (James & Gropper 1999).

Protein dapat meningkatkan produksi asam urat. Oleh karena itu,

penderita gout diberi diet rendah protein, terutama protein yang berasal dari

bahan pangan hewani (Uripi et al 2002). Protein yang dapat diberikan sebesar

50-70 g/hari atau 0,8-1,0 g/kg berat badan/hari. Sumber protein yang dianjurkan

adalah protein nabati dan protein yang berasal dari susu, keju, dan telur (Krause

1984 diacu dalam Uripi et al 2002).

Purin adalah molekul di dalam sel yang berbentuk nukleotida. Pada

bahan pangan, purin terdapat dalam asam nukleat berupa nukleoprotein. Enzim

pencernaan membebaskan asam nukleat ini dari nukleoprotein. Selanjutnya,

asam nukleat tersebut dipecah lagi menjadi mononukleotida. Mononukleotida

dihidrolisis menjadi nukleosida yang secara langsung dapat diserap oleh tubuh

Page 27: vitamin c

dan sebagian dipecah lebih lanjut menjadi purin dan pirimidin. Purin lalu

teroksidasi menjadi asam urat (Uripi et al 2002).

Seseorang yang memiliki kadar asam urat serum lebih dari 10 mg/dl atau

telah terjadi pembengkakan sendi harus dibatasi makanan sumber purinnya.

Orang normal umumnya mengkonsumsi 600-1000 mg purin per hari. Oleh

karena itu, diet bagi penderita gout harus dikurangi kandungan purinnya hingga

hanya mengkonsumsi sekitar 100-150 mg purin per hari (Uripi et al 2002).

Karbohidrat

Secara normal, karbohidrat yang dibutuhkan adalah 60-75% dari

kebutuhan energi total (Almatsier 2005). Karbohidrat merupakan sumber energi

utama bagi manusia. Glukosa berperan penting dalam metabolisme karbohidrat.

Sel darah merah serta sebagian besar otak dan sistem saraf hanya memperoleh

energi dari karbohidrat. Ada dua golongan karbohidrat, yaitu karbohidrat

sederhana dan karbohidrat kompleks. Fungsi karbohidrat selain sebagai sumber

energi utama adalah pemberi rasa manis pada makanan, penghemat protein,

pengatur metabolisme lemak, dan membantu pengeluaran feses. Sumber

karbohidrat adalah serealia, umbi-umbian, kacang-kacang kering, dan gula

(Almatsier 2003).

Konsumsi karbohidrat kompleks seperti nasi, singkong, roti, dan ubi dapat

memacu pembuangan kelebihan asam urat di dalam darah melalui urin.

Penderita gout disarankan untuk mengkonsumsi karbohidrat kompleks tidak

kurang dari 100 g/hari. Karbohidrat sederhana jenis fruktosa seperti permen,

gula, arum manis, gulali, dan sirup harus dikurangi karena dapat meningkatkan

kadar asam urat serum (Uripi et al 2002).

Lemak

Kebutuhan lemak normal adalah 10-25% dari kebutuhan energi total

(Almatsier 2005). Lemak jenuh paling banyak dikonsumsi sebesar 10% dari

kebutuhan energi total, dan 3-7% dari lemak tidak jenuh ganda. Konsumsi

kolesterol yang dianjurkan adalah ≤ 300mg sehari (Almatsier 2003).

Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan, mentega,

margarin, dan lemak hewan. Selain itu juga ada kacang-kacangan, biji-bijian,

daging dan ayam gemuk, krim, susu, keju dan kuning telur, serta makanan yang

dimasak dengan lemak atau minyak. Sedangkan sumber utama kolesterol adalah

hati, ginjal, dan kuning telur. Fungsi lemak adalah sebagai sumber energi,

sumber asam lemak esensial, alat angkut vitamin larut lemak, penghemat

Page 28: vitamin c

protein, pemberi rasa kenyang dan kelezatan, pelumas, pemelihara suhu tubuh,

dan pelindung organ tubuh (Almatsier 2005).

Penderita gout harus membatasi konsumsi makanan berkadar lemak

tinggi karena lemak dapat menghambat ekskresi asam urat melalui urin.

Makanan yang digoreng, bersantan, dan yang menggunakan margarin sebaiknya

dibatasi dan dihindari. Konsumsi lemak yang dianjurkan sebesar 15% dari total

kalori (Uripi et al 2002).

Vitamin C

Vitamin C merupakan vitamin larut air yang berfungsi sebagai koenzim

dan kofaktor dalam tubuh. Vitamin ini memiliki sifat mereduksi yang diduga

berperan dalam membantu absorbsi zat besi, menghambat pembentukan

nitrosamin, membantu metabolisme obat, respons imun, sintesis steroid anti

inflamasi, dan penyembuhan luka (Setiawan & Rahayuningsih 2004).

Sumber vitamin C adalah sayur dan buah, terutama yang asam, seperti

jeruk, nanas, rambutan, dan tomat. Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan

perdarahan gusi, rambut rontok, anemia, penurunan jumlah sel darah putih,

depresi, dan sebagainya. Kelebihan vitamin C yang berasal dari makanan tidak

menimbulkan gejala (Almatsier 2003).

Angka kecukupan gizi vitamin C yang dianjurkan untuk pria kelompok

usia 30-49 tahun dan 50-64 tahun adalah 90 mg/hari. Angka Tolerable Upper

Intake Level vitamin C untuk kelompok usia 19-70 tahun adalah 2000 mg/hari

(Setiawan & Rahayuningsih 2004). Perlu dipertimbangkan juga faktor sifat

penyakit yang diderita, simpanan dalam tubuh, kehilangan melalui urin, kulit atau

saluran cerna, dan interaksi dengan obat-obatan untuk menghitung kebutuhan

tersebut (Almatsier 2003).

Berdasarkan hasil penelitian Lyu et al (2003) rendahnya konsumsi vitamin

C merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap gout. Hal ini diduga karena

vitamin C dapat membantu mengangkat lemak yang menempel pada pembuluh

darah sehingga mengurangi risiko terjadinya artherosklerosis. Artherosklerosis

merupakan salah satu faktor risiko penyebab gout sekunder (Passmore &

Eastwood 1987 diacu dalam Uripi et al 2002).

Zat Besi (Fe)

Mineral juga berperan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik

pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan dan

pada tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-

Page 29: vitamin c

enzim. Ada dua jenis mineral, yaitu mineral mikro dan mineral makro. Kebutuhan

mineral mikro kurang dari 100 mg/ hari, sedangkan kebutuhan mineral makro

lebih dari 100 mg/ hari (Almatsier 2005).

Zat besi merupakan mineral yang ada di hampir semua makanan dan

minuman bahkan wadah yang digunakan untuk menyimpan makanan. Besi

sebagai senyawa besi berfungsi sebagai hemoglobin, mioglobin, enzim yang

diperlukan dalam proses metabolisme, serta mengangkut dan menyimpan

oksigen. Jumlah besi pada tubuh wanita lebih rendah daripada pria (Kartono &

Soekatri 2004).

Zat besi banyak terdapat pada daging, jeroan, ikan, unggas, kedelai,

kacang-kacangan, sayuran berdaun hijau, dan rumput laut. Besi dari sumber

hewani (heme) memiliki bioavailabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan

besi yang berasal dari sumber nabati (non-heme) (Gibson 2000 diacu dalam

Kartono & Soekatri 2004).

Kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia gizi besi. Anemia dapat

menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan, dan menurunkan

kecerdasan dan daya tahan tubuh (IOM 2001 diacu dalam Kartono & Soekatri

2004). Anemia merupakan salah satu faktor risiko gout. Hal ini terjadi karena

pada kondisi anemia terjadi peningkatan jumlah sel darah yang rusak. Akibatnya

terjadi peningkatan produksi purin dan memicu terjadinya hiperurisemia

(Setiyohadi 2004).

Angka kecukupan gizi besi untuk pria pada kelompok usia 30-49 tahun

dan 50-64 tahun adalah 13 mg/hari. Batas atas konsumsi besi yang aman untuk

umur di atas 18 tahun adalah 45 mg/hari. Nilai batas atas yang ditetapkan oleh

IOM 2001 ini menggunakan asumsi tingkat penyerapan tinggi, yaitu sekitar 15

persen. Penetapan AKG besi WNPG menggunakan asumsi tingkat penyerapan

rendah, yaitu sebesar 8.5 persen (Kartono & Soekatri 2004).

Serat

Menurut Almatsier (2005), serat adalah polisakarida nonpati yang

terdapat dalam semua makanan nabati dan tidak dapat dicerna oleh enzim. Ada

dua jenis serat, yaitu serat larut air dan serat tidak larut air. Serat tidak larut air

terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang dapat dijumpai pada dedak

beras, gandum, sayuran, dan buah-buahan. Serat larut air terdiri dari pektin,

gum, dan mukilase yang banyak terdapat pada havermout, kacang-kacangan,

sayur, dan buah-buahan. Kanker kolon dapat dicegah oleh serat yang dapat

Page 30: vitamin c

mengikat dan mengeluarkan bahan-bahan karsinogen dalam usus. Asupan serat

yang dianjurkan WHO adalah 25-30 g/ hari.

Bahan pangan sumber serat yang juga mengandung karbohidrat

kompleks seperti beras, gandum, dan havermout sangat baik dikonsumsi oleh

penderita gout untuk memacu pembuangan asam urat melalui urin. Begitu juga

dengan sayur (kecuali asparagus, kacang polong, buncis, kembang kol, bayam,

dan jamur) dan buah-buahan yang airnya dapat membantu melarutkan kelebihan

asam urat dalam serum. Namun, konsumsi kacang-kacangan sebaiknya dibatasi

maksimum 25 g/hari karena kacang-kacangan merupakan bahan pangan sumber

protein nabati yang dapat meningkatkan produksi asam urat (Uripi et al 2002).

Selain konsumsi energi, zat gizi, dan serat, konsumsi cairan juga perlu

diperhatikan. Penderita gout sebaiknya mengkonsumsi cairan sebanyak 2,5 liter

atau 10 gelas sehari untuk membantu pengeluaran asam urat melalui urin.

Konsumsi air hangat di pagi hari atau ketika bangun pagi sangat baik bagi

penderita gout. Konsumsi cairan juga dapat diperoleh dari kuah sayuran, jus

buah, maupun buah-buahan segar yang banyak mengandung air. Penderita gout

juga sebaiknya menghindari alkohol dan makanan yang mengandung alkohol

seperti tape dan brem. Alkohol dapat meningkatkan asam laktat plasma dan

menghambat pengeluaran asam urat (Uripi et al 2002).

Penyakit-Penyakit yang Berhubungan dengan Gout Penyakit gout juga diakibatkan oleh adanya komplikasi dengan penyakit

lain. Gout jenis ini disebut dengan gout sekunder. Gangguan metabolisme pada

penderita anemia dapat memicu terjadinya gout (Vitahealth 2006). Hipertensi dan

hiperkolesterolemia dapat memicu terjadinya gout karena obat yang dikonsumsi

mempengaruhi metabolisme lemak. Hal ini menyebabkan pengeluaran asam urat

melalui ginjal menjadi berkurang (Kuntjoro 1975 diacu dalam Uripi et al 2002).

Kondisi hiperglikemia pada penderita diabetes dapat mengganggu pengeluaran

asam urat melalui ginjal sehingga berpotensi untuk memicu terjadinya gout

(Herlianty 2000).

Ginjal adalah organ yang mengatur pembuangan sisa-sisa metabolik dan

zat-zat lain yang tidak diperlukan oleh tubuh. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi pembuangan urin melalui ginjal, yaitu:

1. jumlah zat-zat sisa yang harus dibuang melalui ginjal

2. adanya zat yang merangsang atau menghambat pengeluaran atau

pembuangan air seni, seperti diuretika dan antidiuretika

Page 31: vitamin c

3. pengeluaran urin melalui jalan lain, misalnya melalui kulit, paru-paru, dan

anus pada keadaan diarrhoea

4. keadaan kesehatan ginjal itu sendiri

5. banyaknya air yang diminum (Soedarmo 1977).

Gangguan pada ginjal otomatis dapat menghambat pengeluaran asam

urat dan menyebabkan asam urat mengendap di ginjal (Vitahealth 2006).

Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah hingga melebihi normal

yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka

kematian (mortalitas). Menurut WHO, tekanan darah normal adalah kurang dari

130/85 mmHg. Ada beberapa faktor yang memicu terjadinya hipertensi, yaitu

obesitas, stres, genetik (faktor keturunan), jenis kelamin, usia, asupan garam,

dan gaya hidup yang kurang sehat. Umumnya, penderita hipertensi menunjukkan

gejala-gejala sebagai berikut: pusing, mudah marah, telinga berdengung, sukar

tidur, sesak nafas, rasa berat di tengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang,

dan mimisan (Basha 2008). Hipertensi dapat disebabkan oleh asupan natrium

yang berlebihan, terutama dalam bentuk natrium klorida. Anjuran dari WHO

(1990) konsumsi garam dapur dibatasi hingga 6 gram/ hari (Almatsier 2005).

Tabel 3 Status tekanan darah berdasarkan angka sistol dan diastol Status Tekanan Darah Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)

Hipotensi < 100 < 60 Normotensi 100-140 60-90 Hipertensi > 140 > 90

Sumber: Mursito 2001

Penurunan aliran darah renal yang disebabkan oleh hipertensi

mengakibatkan aliran darah ke glomerulus menjadi berkurang. Akibat lebih lanjut

terjadi peningkatan reabsorbsi asam urat di tubuli, sehingga tubuh mengalami

hiperurisemia (Hayden & Tyagi 2007). Selain itu, hipertensi menjadi salah satu

faktor risiko gout karena diduga obat antihipertensi yang dikonsumsi oleh pasien

dapat mempengaruhi metabolisme lemak. Akibatnya, terjadi gangguan pada

ekskresi asam urat yang menyebabkan berkurangnya pengeluaran asam urat

melalui urin (Kuntjoro 1975 diacu dalam Uripi et al 2002). Gout adalah salah satu

penyakit yang dapat menyertai dan timbul bersamaan dengan penyakit hipertensi

ini. Adanya endapan kristal urat pada ginjal yang membentuk batu ginjal dapat

menurunkan fungsi ginjal dan memperberat kelainan yang disebabkan oleh

hipertensi (Wijayakusuma 2005).

Page 32: vitamin c

Hiperkolesterolemia

Kolesterol adalah zat yang berperan dalam menjalankan fungsi dan

proses metabolisme dalam tubuh. Zat ini berasal dari makanan yang

menghasilkan kalori, terutama lemak (Alni 2006). Jumlah kolesterol yang terlalu

banyak di dalam darah (hiperkolesterolemia) dapat membentuk endapan pada

dinding pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan yang disebut dengan

artherosklerosis (Almatsier 2003). Artherosklerosis merupakan salah satu faktor

risiko penyebab gout sekunder (Passmore & Eastwood 1987 diacu dalam Uripi et

al 2002).

Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit akibat kadar gula darah dalam

tubuh tinggi karena tubuh tidak mampu menghasilkan atau menggunakan insulin

secara cukup. Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sekumpulan sel-sel

yang terdapat di dalam pankreas. Melalui peranannya dalam mengubah glukosa

menjadi glikogen di dalam hati, insulin mengatur kadar gula dalam darah

(Soedarmo 1977). Menurut data World Health Organization (WHO), Indonesia

menempati urutan ke-4 terbanyak dalam penyakit yang dijuluki The Silent Killer

ini (Soegondo 2007)

Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar

gula darah puasa lebih dari 126 mg/dl dan pada tes sewaktu lebih dari 200

mg/dl. Kadar gula darah yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya

berpuasa adalah 70-110 mg/dl darah. Kadar gula darah biasanya kurang dari

120-140 mg/dl pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung

gula maupun karbohidrat lainnya (Soegondo 2007).

Tabel 4 Kriteria diagnostik gula darah (mg/dl)

Sumber: Soegondo 2007

Tingginya kadar glukosa ini dapat menyebabkan kerusakan syaraf,

pembuluh darah, dan arteri yang menuju jantung. Kondisi ini meningkatkan risiko

serangan jantung, stroke, gagal ginjal, penyakit pembuluh darah perifer, serta

penyakit komplikasi lain. Gangguan metabolik glukosa juga mempengaruhi

Kriteria Diagnostik Gula Darah (mg/dl)

Bukan Diabetes

Pra Diabetes Diabetes

Puasa <110 110-125 ≥126 Sewaktu <110 110-199 ≥200

Page 33: vitamin c

metabolisme tubuh yang lain dan dapat menyebabkan kerusakan seluler pada

beberapa jaringan tubuh (Wijayakusuma 2005).

Menurut Herlianty (2000), diabetes merupakan salah satu faktor pemicu

hiperurisemia. Kondisi hiperglikemia diduga menyebabkan ekskresi asam urat

berkompetisi dengan ekskresi glukosa sehingga terjadi penurunan pengeluaran

asam urat dari tubuh. Hal ini terjadi karena kelebihan glukosa darah juga akan

dkeluarkan bersama urin melalui ginjal. Kadar glukosa yang terlalu tinggi

menyebabkan ginjal tidak mampu menyaring semua glukosa. Akibat lebih lanjut,

gangguan ginjal yang terjadi pada penderita diabetes juga dapat mengganggu

ekskresi asam urat. Penyakit diabetes mellitus yang disertai dengan kadar asam

urat lebih dari 6 mg/dl dapat mempermudah terjadinya perlekatan trombosit pada

pembuluh darah. Akibatnya, lubang pembuluh darah akan mengecil dan

menyebabkan penyakit kardiovaskuler atherosklerotik (Wijayakusuma 2005).

Menurut Soegondo (2007), komplikasi diabetes lebih mematikan daripada

DM itu sendiri. Sekitar 12-20% penduduk dunia diperkirakan mengidap penyakit

ini dan setiap 10 detik orang meninggal akibat komplikasi yang ditimbulkan.

Komplikasi diabetes terjadi pada semua organ tubuh yang dialiri pembuluh darah

kecil dan besar dengan penyebab kematian 50% akibat penyakit jantung koroner

dan 30% akibat gagal ginjal. DM dapat menyebabkan kecacatan dan kematian.

Menurut Herlianty (2000), diabetes merupakan salah satu faktor pemicu

hiperurisemia.

Obat Diuretika Konsumsi obat-obatan juga dapat mempengaruhi hiperurisemia, terutama

obat diuretika (furosemida dan hidroklorotiazida), salisilat, etambutol, pirazinamit,

dan akibat penyalahgunaan obat pencahar (Vitahealth 2006). Diuretika

merupakan zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih karena

pengaruhnya terhadap ginjal (Tjay & Rahardja 1978).

Obat diuretika dapat menurunkan volume plasma sehingga filtrasi melalui

glomerulus berkurang. Akibatnya, terjadi peningkatan absorbsi di tubulus yang

menyebabkan peningkatan kadar asam urat dalam darah. Keadaan ini juga

dipengaruhi dengan ada tidaknya hiponatremi (Siregar et al 1987).

Page 34: vitamin c

KERANGKA PEMIKIRAN

Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat darah akibat

peningkatan produksi asam urat dalam tubuh atau berkurangnya ekskresi asam

urat melalui ginjal (Albar 2007). Peningkatan ini dapat disebabkan oleh tingginya

konsumsi bahan pangan yang mengandung purin atau meningkatnya sintesa

purin dalam tubuh. Penurunan pengeluaran asam urat dapat terjadi karena

adanya gangguan ginjal, pengaruh pemberian obat, atau adanya beberapa jenis

zat gizi yang dapat menghambat pengeluaran asam urat melalui ginjal (Uripi et al

2002).

Herlianty (2000) menambahkan bahwa tingginya konsumsi karbohidrat

dan tingginya kadar kolesterol darah juga merupakan faktor yang dapat memicu

hiperurisemia. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi adalah konsumsi alkohol

yang tinggi, konsumsi serat dan vitamin C yang rendah, serta obesitas (Lyu et al

2003). Oleh karena itu, peneliti akan melakukan uji pada energi dan beberapa zat

gizi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin C, serta purin dan serat untuk

melihat zat apa saja yang berhubungan dengan hiperurisemia dalam penelitian

ini.

Menurut Suhardjo (1989) diacu dalam Marlina (2004) konsumsi pangan

dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu karakteristik individu, karakteristik pangan, dan

karakteristik lingkungan. Peneliti hanya melihat hubungan karakteristik individu

terhadap konsumsi pangan pada penelitian ini. Karakteristik individu yang akan

dilihat terdiri dari umur, jenis kelamin, asal daerah, pengeluaran konsumsi

pangan per kapita per bulan, dan pendidikan terakhir.

Selain tingginya asupan zat gizi tertentu, faktor lain yang juga memicu

terjadinya hiperurisemia adalah riwayat kesehatan individu, terutama jika individu

tersebut pernah atau sedang menderita hiperkolesterolemia dan diabetes

mellitus. Status gizi berpengaruh langsung terhadap obesitas dan tingkat

konsumsi pangan berpengaruh langsung terhadap status gizi. Oleh karena itu,

peneliti juga akan melihat pengaruh status gizi terhadap hiperurisemia.

Menurut Lyu et al (2003) adanya riwayat keluarga yang menderita gout

dan diabetes menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap risiko menderita

gout. Konsumsi obat-obatan juga akan dilihat hubungannya dengan

hiperurisemia dalam penelitian ini.

Page 35: vitamin c

Gambar 1 Kerangka pemikiran status gizi dan riwayat kesehatan sebagai

determinan hiperurisemia, serta faktor lain yang berhubungan dengan hiperurisemia

Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Hubungan yang diteliti Hubungan yang tidak diteliti

HIPERURISEMIA

Obat-obatan

Riwayat Kesehatan Contoh • Hiperkolesterolemia • Diabetes mellitus

Riwayat Kesehatan Keluarga • Diabetes Mellitus • Gout

Status Gizi

Konsumsi Pangan (energi, zat gizi, serat)

Karakteristik individu • Umur • Pengetahuan gizi • Asal daerah • Pengeluaran untuk konsumsi pangan • Pendidikan terakhir

Karakteristik lingkungan

Karakteristik makanan

Tingkat Konsumsi

Page 36: vitamin c

DEFINISI OPERASIONAL

Hiperurisemia : Kadar asam urat darah > 7 mg/dl

Hiperurisemia Asimptomatik : Kadar asam urat darah > 7 mg/dl dan tidak ada

gejala gout

Gout : Penyakit akibat penumpukan asam urat dalam tubuh yang menyebabkan

artrhitis (peradangan sendi) bahkan kelumpuhan.

Umur : Waktu yang dilalui oleh contoh untuk melangsungkan kehidupannya

Pendidikan terakhir : Jenjang pendidikan formal terakhir penuh

Pengetahuan gizi : Informasi dan wawasan yang dimiliki contoh mengenai zat

gizi, kandungannya dalam bahan pangan, dan hubungannya dengan kejadian

hiperurisemia dan gout.

Konsumsi pangan : Jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi

Status gizi : Keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan

penggunaan zat gizi makanan yang diukur secara antropometri berdasarkan

indikator IMT.

Indeks Massa Tubuh (IMT) : Perbandingan berat badan dalam satuan kilogram

dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter.

Aktivitas fisik : Seluruh kegiatan contoh yang melibatkan fisik (tubuh) dan

diperoleh melalui metode recall 2x24 jam selama 2 hari.

Riwayat penyakit contoh : Pengakuan tentang ada tidaknya penyakit

hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes mellitus, dan gangguan ginjal yang

pernah diderita oleh contoh

Riwayat penyakit keluarga contoh : Pengakuan tentang diketahui atau

tidaknya anggota keluarga contoh diantara ayah, ibu, kakek, nenek, dan saudara

kandung yang menderita penyakit gout dan diabetes melitus.

Page 37: vitamin c

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Health & Medical Services PT. Chevron Pacific Indonesia Distrik Duri

Sejarah Health & Medical Services PT. CPI Distrik Duri Health & Medical Services PT. CPI distrik Duri terletak di areal

perumahan PT. CPI distrik Duri dan mulai beroperasi sejak Maret 1988. Mulai

tahun 2004, Health & Medical Services PT. CPI distrik Duri menjadi satu-satunya

rumah sakit perusahaan yang melayani pasien rawat inap untuk seluruh wilayah

Sumatera, yaitu Rumbai, Minas, Duri, Dumai, dan Bekasap. Meskipun demikian,

pegawai di wilayah lain tetap mendapatkan pelayanan dalam bidang kesehatan

melalui klinik-klinik perusahaan yang tersedia di wilayah masing-masing berupa

pelayanan rawat jalan.

Visi, Misi, dan Nilai Health & Medical Services PT. CPI Distrik Duri Visi:

“ Untuk diakui sebagai tim profesional yang berharga dan dihormati dalam

mencapai misi dari PT. Chevron Pacific Indonesia”.

Misi:

1. Sebagai pemberi jasa kesehatan, medical department akan terus

memelihara dan meningkatkan status kesehatan untuk para pegawai dan

tanggungannya, kontraktor, dan masyarakat daerah sekitarnya melalui

peningkatan, pencegahan, penyembuhan, dan kegiatan rehabilitas

dengan mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia dengan berpedoman

pada standar etis tertinggi.

2. Mendorong dan meningkatkan pendidikan yang baik, penelitian, dan

kegiatan kesehatan lainnya sehubungan dengan pencegahan, diagnosa,

dan pengobatan.

3. Memelihara kerjasama yang baik dengan seluruh masyarakat sekitar dan

pemberi jasa kesehatan swasta dalam melayani para pasien.

Nilai yang dipatuhi:

1. Seluruh standar etis dalam kesehatan.

2. Seluruh peraturan dan hukum yang berlaku.

3. Seluruh peraturan dan kebijaksanaan perusahaan.

Page 38: vitamin c

Gambaran Umum Mekanisme Pelaksanaan General Check Up di Health &

Medical Services PT. CPI distrik Duri Pegawai PT. CPI melakukan general check up atau periodically physical

examination di Health & Medical Services PT. CPI setiap satu kali dalam

setahun. Berdasarkan jadwal yang telah ditentukan, masing-masing pegawai

menerima undangan dari pihak Health & Medical Services PT. CPI yang dikirim

via email untuk melakukan pemeriksaan fisik berkala di rumah sakit (Health &

Medical Services PT. CPI). Undangan kembali dikirim untuk kedua kalinya jika

pegawai yang bersangkutan berhalangan atau tidak memenuhi undangan

tersebut.

Pegawai yang datang memenuhi undangan menjalani serangkaian

pemeriksaan di laboratorium dan ruang X-ray. Selanjutnya, pegawai juga

menjalani pemeriksaan gigi, ECG, audiometric, dan visus. Hasil dari pemeriksaan

tersebut disimpan dalam bentuk hard file dan soft file. Pegawai yang

bersangkutan masih menjalani serangkaian pemeriksaan fisik dan berdiskusi

dengan dokter mengenai hasil pemeriksaan fisik tersebut. Bagan alir dari

mekanisme pelaksanaan pemeriksaan fisik berkala ini dapat dilihat pada

Lampiran 2 dan hasilnya dicatat pada formulir yang terlampir di Lampiran 3.

Karakteristik Contoh Umur Contoh pada penelitian ini memiliki kisaran umur 30 tahun hingga 56

tahun. Berdasarkan Papalia & Olds (1986), ada tiga kelompok umur dewasa,

yaitu dewasa awal (20-40 tahun), dewasa menengah (40-65 tahun), dan dewasa

akhir (> 65 tahun). Oleh karena itu, contoh berada pada kelompok dewasa awal

dan dewasa menengah. Sebaran contoh berdasarkan umur dapat diihat pada

Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan umur

Umur Contoh Kelompok

Jumlah A B C

n % n % n % n % Dewasa Awal

(20-40 thn) 0 0 2 2.9 2 2.9 4 5.8

Dewasa Menengah (40-65 thn)

20 28.98 19 27.54 26 37.68 65 94.2

Jumlah 20 28.98 21 30.44 28 40.58 69 100 Keterangan: A = Normal B = Hiperurisemia Asimptomatik C = Gout

Page 39: vitamin c

Sebagian besar contoh (94.2%) berada pada kategori umur dewasa

menengah. Hanya sebagian kecil contoh (5.8%) yang berada pada kategori umur

dewasa awal. Orang dewasa memiliki risiko terkena penyakit degeneratif lebih

besar dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Hal ini disebabkan karena

sudah ausnya jaringan atau karena penumpukan zat-zat yang merugikan tubuh

(Spector 1993).

Gangguan asam urat ini diperkirakan terjadi pada 840 dari setiap 100.000

orang. Sekitar 90 persen kasus diperkirakan terjadi akibat kelainan proses

metabolisme dalam tubuh dan umum diderita oleh laki-laki berusia lebih dari 30

tahun (Vitahealth 2006). Berdasarkan data dari Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo, Jakarta, terjadi peningkatan penderita gout dari tahun ke tahun

dan adanya kecenderungan diderita pada usia yang semakin muda. Data

tersebut menunjukkan bahwa penyakit gout paling banyak diderita pada

golongan usia 30-50 tahun yang masih tergolong dalam kelompok usia produktif

(Uripi et al 2006).

Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan contoh yang paling rendah adalah Sekolah Menengah

Atas (SMA) dan sederajatnya. Hal ini merupakan salah satu syarat agar bisa

diterima bekerja di PT. CPI. Sebagai salah satu perusahaan eksplorasi dan

eksploitasi minyak terkemuka, PT. CPI memberikan program pendidikan dan

pelatihan baik di dalam maupun di luar negeri bagi para pegawainya untuk

meningkatkan mutu dan kualitas sumberdaya manusianya.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan

Kelompok Jumlah

A B C n % n % n % n %

SMA/ sederajat 16 23.2 15 21.7 22 31.9 53 76.8 Diploma 1 1.45 2 2.9 1 1.45 4 5.8 Strata 3 4.35 4 5.8 5 7.25 12 17.4 Total 20 29 21 30.4 28 40.6 69 100

Tingkat pendidikan contoh mulai dari tingkat SMA dan sederajatnya

hingga perguruan tinggi. Tabel 8 di atas menunjukkan persentase terbesar

terdapat pada contoh yang menempuh tingkat pendidikan SMA dan sederajatnya

(76.81%), sedangkan persentase terkecil terdapat pada contoh yang menempuh

tingkat pendidikan diploma (5.80%). Hal ini kemungkinan terjadi karena sebagian

besar contoh merupakan angkatan lama saat PT. CPI masih menerima pegawai

baru yang berlatar belakang pendidikan minimal SMA.

Page 40: vitamin c

Asal Daerah Pegawai PT. CPI berasal dari suku yang sangat beraneka ragam karena

sebagian besar dari mereka berasal dari luar Propinsi Riau. Latar belakang

budaya turut mempengaruhi pola konsumsi dan selera makan seseorang serta

menjadi salah satu faktor risiko gout. Gout banyak ditemui pada suku Batak

(Sumatra Utara), Tana Toraja (Sulawesi Selatan), dan Minahasa (Sulawesi

Utara) (Tehipeiori 1990 diacu dalam Herlianty 2000).

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan asal daerah

Suku Kelompok

Jumlah A B C

n % n % n % n % Pulau Sumatera 3 4.35 11 15.9 16 23.2 30 43.5

Pulau Jawa 16 23.2 10 14.5 11 15.9 37 53.6 Lain-lain 1 1.45 0 0 1 1.45 2 2.9

Total 20 29 21 30.4 28 40.6 69 100

Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh berasal

dari daerah di Pulau Jawa (53.62%) dan terdiri dari suku Jawa dan Sunda.

Persentase contoh yang berasal dari Pulau Sumatera lebih sedikit daripada

persentase contoh yang berasal dari Pulau Jawa, yaitu hanya 43.48 persen.

Contoh yang berasal dari Pulau Sumatera ini terdiri dari suku Melayu, Batak, dan

Minang. Persentase terkecil terdapat pada contoh yang berasal dari daerah

selain dari Pulau Jawa dan Sumatera, yaitu sebesar 2.90 persen. Contoh pada

kategori ini berasal dari suku Minahasa dan Sumbawa.

Pengeluaran pangan Pengeluaran pangan contoh dihitung dengan menanyakan besarnya

uang yang dikeluarkan untuk membeli pangan keluarga dalam waktu sebulan.

Selanjutnya pengeluaran tersebut dibagi dengan jumlah anggota keluarga dan

diperoleh pengeluaran pangan per kapita per bulan.

Tabel 10 Rata-rata pengeluaran pangan/ kapita/ bulan Pengeluaran

Pangan Kelompok Rata-Rata Total

Pengeluaran A B C Rata-rata

pengeluaran pangan/ kapita/

bulan

Rp762.483,00 Rp928.952,00 Rp722.036,00 Rp804.490,00

Rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan contoh adalah

Rp804.490,00. Rata-rata pengeluaran pangan terbesar terdapat pada kelompok

hiperurisemia asimptomatik (Rp928.952,00) sedangkan rata-rata pengeluaran

terkecil terdapat pada kelompok gout (Rp722.036,00). Besarnya pengeluaran

Page 41: vitamin c

pangan ini mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah pangan yang akan

dikonsumsi.

Pengetahuan gizi Data pengetahuan gizi diperoleh melalui wawancara dengan panduan

kuesioner. Ada 15 pertanyaan seputar gizi dan hubungannya dengan asam urat

yang ditanyakan kepada contoh.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi

Tingkat Pengetahuan Gizi

Kelompok Jumlah

A B C n % n % n % n %

Kurang 12 17.4 10 14.5 11 15.9 33 47.8 Sedang 6 8.7 7 10.1 12 17.4 25 36.2

Baik 2 2.9 4 5.8 5 7.25 11 15.9 Total 20 29 21 30.4 28 40.6 69 100

Tabel 11 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh memiliki tingkat

pengetahuan gizi kurang (47.83%). Contoh yang memiliki tingkat pengetahuan

gizi baik masih sedikit, yaitu sebesar 15.94 persen. Kelompok gout memiliki

persentase jumlah contoh terbanyak pada tingkat pengetahuan gizi baik (7.25%)

dan sedang (17.39%). Kelompok normal memiliki persentase jumlah contoh

terkecil pada tingkat pengetahuan gizi baik (2.90%) dan sedang (8.70%), serta

memiliki persentase jumlah contoh terbanyak pada tingkat pengetahuan gizi

kurang (17.39%). Hal ini disebabkan karena contoh pada kelompok gout lebih

sering mendapat atau melakukan konsultasi gizi sehubungan dengan penyakit

yang mereka derita daripada kelompok normal. Selain itu, mereka juga lebih

banyak berusaha mendapatkan informasi mengenai gout, mulai dari

penyebabnya hingga makanan pantangannya.

Status Gizi Hampir separuh contoh pada penelitian ini memiliki status overweight

(44.93%). Contoh yang berada pada kategori at risk lebih dari seperempat

contoh (27.54%). Sisanya adalah contoh yang mengalami obesitas dan terdapat

dalam persentase yang sangat kecil (7.25%).

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status gizi

Indeks Massa Tubuh

Kelompok Jumlah

A B C n % n % n % n %

Normal 5 35.71 5 35.71 4 28.57 14 20.29 At risk 7 36.84 6 31.58 6 31.58 19 27.54

Overweight 7 22.58 9 29.03 15 48.39 31 44.93 Obese 1 20.00 1 20.00 3 60.00 5 7.25 Total 20 29 21 30.4 28 40.6 69 100

Page 42: vitamin c

Salah satu dampak dari arus globalisasi adalah perubahan gaya hidup

dalam konsumsi pangan. Perubahan ini dapat menimbulkan masalah jika tidak

diimbangi dengan peningkatan pengetahuan dan kesadaran gizi (Kodyat 1994

diacu dalam Muchtadi 1996). Salah satu masalah yang dihadapi oleh negara

berkembang akibat arus globalisasi ini adalah gizi lebih. Masalah gizi lebih dapat

menurunkan aktivitas dan efisiensi kerja, mengganggu fungsi organ untuk

bekerja dengan normal, dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi dan

kerusakan tubuh (Krause 1961).

Riwayat Kesehatan Riwayat Hiperkolesterolemia Contoh Kolesterol merupakan zat yang berperan dalam menjalankan fungsi dan

proses metabolisme dalam tubuh. Zat ini terdapat pada makanan yang banyak

menghasilkan kalori, terutama lemak (Alni 2006).

Hiperkolesterolemia timbul saat kadar kolesterol dalam darah melebihi

normal, yaitu lebih dari 200 mg/dl. Berdasarkan Tabel 13, hampir sebagian besar

contoh memiliki riwayat hiperkolesterolemia (72.46%). Persentase terbanyak

berasal dari kelompok gout, yaitu sebesar 33.33 persen. Sedangkan persentase

terkecil berasal dari kelompok hiperurisemia asimptomatik, yaitu sebesar 18.84

persen.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan riwayat hiperkolesterolemia contoh

Riwayat Hiperkolesterolemia

Kelompok Jumlah

A B C n % n % n % n %

Ada 14 20.3 13 18.8 23 33.3 50 72.5 Tidak Ada 6 8.7 8 11.6 5 7.25 19 27.5

Total 20 29 21 30.4 28 40.6 69 100

Kondisi hiperkolesterolemia dapat memicu terbentuknya endapan pada

dinding pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan yang disebut dengan

artherosklerosis (Almatsier 2003). Artherosklerosis merupakan salah satu faktor

risiko penyebab gout sekunder (Passmore & Eastwood 1987 diacu dalam Uripi et

al 2002). Selain itu, diduga obat hiperkolesterolemia yang dikonsumsi dapat

mempengaruhi metabolisme lemak sehingga terjadi penurunan ekskresi asam

urat melalui urin (Kuntjoro 1975 diacu dalam Uripi et al 2002).

Menurut Lubis (2008) peninggian lemak tubuh berhubungan dengan

peningkatan usia. Peninggian kadar kolesterol darah mengawali perkembangan

dari peninggian lemak tubuh. Peninggian lemak tubuh berhubungan dengan

peninggian tekanan darah (hipertensi) dan insulin.

Page 43: vitamin c

Riwayat Diabetes Mellitus Contoh Insulin merupakan hormon yang mengatur kadar gula dalam darah

melalui peranannya yang mengubah glukosa menjadi glikogen di dalam hati. Jika

tubuh tidak mampu menghasilkan atau menggunakan insulin secara cukup maka

akan terjadi peningkatan kadar gula dalam darah. Kondisi ini dapat

menyebabkan penyakit diabetes mellitus.

Kadar gula darah yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya

berpuasa adalah 70-110 mg/dl darah (Soegondo 2007). Pada pelaksanaan

general check up di PT. CPI, pegawai diwajibkan untuk berpuasa pada malam

hari sebelum dilakukan pengambilan darah pada esok harinya. Oleh karena itu,

gula darah yang diperoleh adalah gula darah puasa.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan riwayat diabetes mellitus contoh

Riwayat Diabetes Mellitus

Kelompok Jumlah

A B C n % n % n % n %

Ada 2 2.9 1 1.45 3 4.35 6 8.7 Tidak Ada 18 26.1 20 29 25 36.2 63 91.3

Total 20 29 21 30.4 28 40.6 69 100

Tabel 14 menunjukkan hampir seluruh contoh mengaku tidak memiliki

riwayat diabetes mellitus, yaitu sebesar 91.3 persen. Hanya sebagian kecil

contoh yang mengaku memiliki riwayat diabetes mellitus (8.7%) dan paling

banyak terdapat pada kelompok gout (4.35%).

Persentase yang tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh data pada Tabel 15.

Tabel tersebut menunjukkan status gula darah contoh sebagai hasil dari

pemeriksaan general check up.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan status gula darah

Status Gula Darah

Kelompok Jumlah

A B C n % n % n % n %

Hiperglikemia 2 2.9 1 1.45 2 2.9 5 7.25 Normal 18 26.1 20 29 26 37.7 64 92.8 Total 20 29 21 30.4 28 40.6 69 100

Contoh yang mengalami hiperglikemia hanya sebesar 7.25%. Angka ini

tidak jauh berbeda dengan contoh yang memiliki riwayat diabetes mellitus, yaitu

sebesar 8.7%. Hal ini menunjukkan bahwa ada contoh yang menderita diabetes

mellitus namun dapat mengontrol kadar gula darahnya sehingga tetap normal.

Contoh tersebut berada pada kelompok gout.

Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor risiko hiperurisemia.

Ekskresi glukosa dalam darah yang akan dibuang oleh ginjal berkompetisi

Page 44: vitamin c

dengan ekskresi asam urat sehingga terjadi penurunan ekskresi asam urat dari

tubuh. Kadar glukosa yang terlalu tinggi menyebabkan ginjal tidak mampu

menyaring semua glukosa. Akibatnya, gangguan ginjal yang terjadi pada

penderita diabetes juga dapat mengganggu ekskresi asam urat (Herlianty 2000).

Penyakit diabetes mellitus yang disertai dengan kadar asam urat lebih dari 6

mg/dl dapat mempermudah terjadinya perlekatan trombosit pada pembuluh

darah. Akibatnya, lubang pembuluh darah akan mengecil dan menyebabkan

penyakit kardiovaskuler atherosklerotik (Wijayakusuma 2005). Atherosklerosis

merupakan salah satu faktor risiko penyebab gout (Passmore & Eastwood 1987

diacu dalam Uripi et al 2002).

Riwayat gout keluarga contoh Adanya riwayat gout dalam silsilah keluarga seseorang dapat menjadi

salah satu faktor risiko gout. Gout yang disebabkan oleh genetik disebut dengan

gout primer. Gout ini terjadi akibat ketiadaan enzim hiposantin-guanin fosforibosil

transferase yang menyebabkan bertambahnya sintesa purin (Vitahealth 2006).

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan riwayat gout keluarga contoh

Riwayat Gout Keluarga

Kelompok Jumlah

A B C n % n % n % n %

Diketahui 7 10.14 5 7.25 13 18.84 25 36.23 Tidak Diketahui 13 18.84 16 23.19 15 21.74 44 63.77

Total 20 28.98 21 30.43 28 40.58 69 100

Berdasarkan data pada Tabel 16, lebih dari separuh contoh tidak

mengetahui adanya riwayat gout dalam silsilah keluarganya (63.77%). Hal ini

terjadi karena memang tidak ada riwayat gout atau contoh tidak mengetahui

adanya riwayat gout dalam silsilah keluarganya. Riwayat gout yang diketahui

paling banyak berasal dari kelompok gout, yaitu sebesar 18.84 persen, dan

paling sedikit terdapat pada kelompok hiperurisemia asimptomatik, yaitu sebesar

7.25 persen.

Menurut Kelley (1967) terdapat kelainan sejenis enzim yang khas pada

penderita gout. Kelainan bawaan dalam proses metabolisme purin ini

menyebabkan penderita mengalami kelebihan asam urat (Uripi et al 2002).

Spector (1993) menambahkan bahwa ada suatu jenis gout langka yang

disebabkan karena ketiadaan enzim hiposantin-guanin fosforibosil transferase.

Hal ini menyebabkan bertambahnya sintesa purin karena basa purin bebas tidak

lagi diubah menjadi nukleotida. Gout jenis ini diwariskan oleh gen resesif terkait X

dan disebut dengan sindrom Lesch-Nyhan.

Page 45: vitamin c

Selain ketiadaan enzim hiposantin-guanin fosforibosil transferase yang

menyebabkan bertambahnya sintesa purin, ada juga pengaruh faktor genetik

yang dapat menyebabkan gangguan pada penyimpanan glikogen atau defisiensi

enzim pencernaan. Hal ini menyebabkan tubuh lebih banyak menghasilkan

senyawa laktat atau trigliserida yang berkompetisi dengan asam urat untuk

dibuang oleh ginjal (Vitahealth 2006).

Riwayat diabetes mellitus keluarga contoh Diabetes mellitus merupakan penyakit yang dapat diturunkan secara

genetik. Penyakit ini juga merupakan salah satu faktor risiko penyebab

hiperurisemia.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan riwayat diabetes mellitus keluarga contoh Riwayat

Diabetes Mellitus Keluarga

Kelompok Jumlah

A B C n % n % n % n %

Diketahui 8 11.59 6 8.696 5 7.246 19 27.54 Tidak Diketahui 12 17.39 15 21.74 23 33.33 50 72.46

Total 20 28.99 21 30.43 28 40.58 69 100

Tabel 17 menunjukkan bahwa hampir sebagian besar contoh tidak

mengetahui adanya riwayat diabetes mellitus dalam silsilah keluarganya. Contoh

yang mengetahui adanya riwayat diabetes mellitus dalam keluarganya paling

banyak terdapat pada kelompok normal, yaitu sebesar 11.59 persen, dan paling

sedikit terdapat pada kelompok gout, yaitu sebesar 7.25 persen.

Resistensi insulin pada sindrom metabolik dan diabetes mellitus tipe 2

dapat meningkatkan kadar leptin dalam tubuh. Leptin merupakan regulator

konsentrasi asam urat dalam darah. Peningkatan kadar leptin ini memicu

terjadinya hiperurisemia (Hayden & Tyagi 2007).

Konsumsi Obat-Obatan

Konsumsi obat-obatan sebelum general check up dapat mempengaruhi

hasil general check up itu sendiri. Obat-obatan yang dikonsumsi digolongkan

berdasarkan penyakit yang akan diatasi.Terdapat 11 jenis kelompok obat yang

dikonsumsi, termasuk suplemen dan jamu/ obat tradisional.

Page 46: vitamin c

5.0

14.3

46.4

0.0

23.821.4

5.0

0.0

10.710.0

14.3

21.4

0.0 0.0

3.6

0.0 0.0

3.6

0.0 0.0

3.6

20.0

0.0

7.1

15.0

19.0

14.315.0 14.3

7.110.0 9.5

21.4

0.05.0

10.015.020.025.030.035.040.045.050.0

Kontrol Hiperurisemia Asimptomatik

Gout

%

Kelompok

Asam Urat

Hipertensi

Diabetes

Kolesterol

Ginjal

Alergi

Lambung

Syaraf

Lain-lain

Suplemen

Jamu/ obat tradisional

Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi obat-obatan

Gambar di atas menunjukkan persentase contoh yang mengkonsumsi

obat-obatan berdasarkan jenisnya. Hampir separuh contoh pada kelompok gout

mengkonsumsi obat asam urat (46.4%). Sebanyak 14.3 persen contoh pada

kelompok hiperurisemia asimptomatik juga mengkonsumsi jenis obat ini untuk

menurunkan kadar asam uratnya. Terdapat pula sebagian kecil contoh pada

kelompok normal (5%) yang mengkonsumsi obat asam urat sebelum general

check up.

Salah satu faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya gout primer

adalah obat-obatan. Salah satu jenis obat yang dapat memicu terjadinya gout

adalah diuretika (Uripi et al 2002). Hal ini disebabkan karena terjadi pengurangan

volume plasma sehingga filtrasi melalui glomerulus berkurang dan absorbsi asam

urat oleh tubulus meningkat (Siregar et al 1987).

Frekuensi Konsumsi Bahan Pangan Seseorang dengan kondisi normal umumnya mengkonsumsi 600-1000

mg purin per hari. Namun, bagi penderita gout konsumsi purin harus dikurangi

hingga 100-150 mg purin per hari (Uripi et al 2002). Oleh karena itu, bahan

makanan sumber protein yang memiliki kandungan purin lebih dari 150 mg/100 g

harus dihindari (Almatsier 2005).

Page 47: vitamin c

213.35 207.25

353.8

603.9 564.95

810.55

72.47

876.9

1503.275

16.95 7 28.175

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

Kontrol Hiperurisemia Asimptomatik

Gout

%

Kelompok

Grup 1

Grup 2

Grup 3

Grup 4

Gambar 4 Rata-rata frekuensi konsumsi bahan pangan dalam setahun

Gambar 4 menunjukkan bahwa kelompok gout mengkonsumsi bahan

pangan sumber purin tinggi (grup 1) dalam frekuensi tertinggi dan kelompok

hiperurisemia asimptomatik dalam frekuensi terendah. Hal ini menunjukkan

ketidakpatuhan contoh pada kelompok gout terhadap bahan pangan yang

seharusnya dihindari dalam diet rendah purin. Begitu pula dengan minuman dan

makanan yang mengandung alkohol, contoh pada kelompok gout memiliki

frekuensi konsumsi tertinggi dan kelompok hiperurisemia asimptomatik memiliki

frekuensi konsumsi terendah. Alkohol merupakan salah satu faktor yang dapat

menyebabkan gout karena dapat meningkatkan produksi asam laktat plasma

sehingga terjadi hambatan dalam ekskresi asam urat melalui urin (Uripi et al

2002). Penelitian yang dilakukan oleh Lyu et al (2002) di Taiwan juga

menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingginya konsumsi alkohol

dengan terjadinya gout.

Konsumsi pangan Konsumsi pangan memberi informasi mengenai jenis dan jumlah pangan

yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu.

Konsumsi makanan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu karakteristik individu,

karakteristik pangan, dan karakteristik lingkungan (Suhardjo 1989 diacu dalam

Marlina 2004).

Tabel 18 menunjukkan kebutuhan, konsumsi, dan persentase konsumsi

energi contoh. Persentase tertinggi terlihat pada kelompok normal (140.14%) dan

Page 48: vitamin c

persentase terendah terdapat pada kelompok hiperurisemia asimptomatik

(98.39%).

Tabel 18 Kebutuhan, konsumsi, dan persentase konsumsi energi A B C

Kebutuhan (kkal) 2078.73 2120.94 2080.73 Konsumsi (kkal) 2913.14 2086.76 2343.76

Tingkat Konsumsi (%) 140.14 98.39 112.64

Contoh pada kelompok hiperurisemia asimptomatik memiliki persentase

konsumsi energi yang paling rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hal

ini kemungkinan disebabkan karena contoh pada kelompok ini mulai membatasi

konsumsinya agar berat badan dan kadar asam uratnya tetap terkontrol. Seperti

yang telah disebutkan oleh Lyu et al (2003) obesitas merupakan salah satu faktor

risiko yang utama. Sebaliknya, kelompok normal memiliki tingkat konsumsi

energi lebih besar dari kebutuhan. Hal ini berbahaya bagi contoh pada kelompok

normal karena konsumsi energi yang lebih besar dari kebutuhan dapat memicu

terjadinya obesitas dan timbulnya penyakit degeneratif, termasuk gout. Contoh

pada kelompok gout juga memiliki tingkat konsumsi yang tinggi. Sebaiknya

contoh pada kelompok ini juga mulai mengurangi jumlah konsumsinya.

Penderita gout harus benar-benar memperhatikan jumlah konsumsi

energinya sesuai dengan kebutuhan. Kelebihan berat badan harus diturunkan

dengan memperhatikan jumlah konsumsi energi. Jumlah energi juga dijaga agar

tidak mengakibatkan kurang gizi atau berat badan di bawah normal. Kekurangan

energi dapat meningkatkan asam urat serum karena adanya keton bodies yang

dapat mengurangi pengeluaran asam urat melalui urin (Uripi et al 2002).

Makanan yang dikonsumsi mengandung unsur-unsur zat gizi yang dapat

digolongkan menjadi dua jenis, yaitu makronutrien dan mikronutrien.

Makronutrien adalah zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah besar dan tidak

didaur ulang, terdiri atas karbohidrat, lemak, dan protein. Sedangkan

mikronutrien adalah zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit karena dapat

didaur ulang, terdiri atas vitamin dan mineral. Selain itu, tubuh juga

membutuhkan air, oksigen, dan serat makanan.

Tabel 19 Persentase batasan dan konsumsi zat makronutrien terhadap konsumsi energi total

Zat gizi Batasan (%) Konsumsi (%) A B C

Karbohidrat 65-75 64.73 64.67 65.04 Protein 10-15 14.63 16.13 14.27 Lemak 10-20 20.64 19.20 20.69

Page 49: vitamin c

Tabel 19 menunjukkan karbohidrat yang dikonsumsi oleh contoh pada

kelompok hiperurisemia asimptomatik (64.67%) sedikit kurang dari rentang

konsumsi karbohidrat pada Diet Gout Artritis, sedangkan contoh pada kelompok

gout menunjukkan konsumsi karbohidrat yang sesuai dengan rentang

kebutuhannya (65.04%).

Kebutuhan karbohidrat pada orang normal adalah 60-75 persen dari

energi total, namun dalam kondisi hiperurisemia dan gout dapat diberikan lebih

banyak, yaitu sebesar 65-75 persen dari energi total. Sumber karbohidrat

kompleks dianjurkan untuk diberikan karena umumnya pasien gout memiliki berat

badan lebih (Almatsier 2005). Selain itu, karena konsumsi karbohidrat kompleks

dapat memacu pembuangan kelebihan asam urat melalui urin. Konsumsi

karbohidrat sederhana harus dikurangi karena dapat meningkatkan kadar asam

urat serum (Uripi et al 2002).

Protein yang diberikan dalam Diet Gout Artritis adalah cukup, yaitu 10-15

persen dari kebutuhan energi total (Almatsier 2005). Kebutuhan ini sama dengan

kebutuhan protein pada kondisi normal. Namun, bahan makanan sumber protein

yang memiliki kandungan purin lebih dari 150 mg/100g harus dihindari pada diet

ini. Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa contoh pada kelompok

hiperurisemia asimptomatik mengalami kelebihan konsumsi protein (16.13%).

Tingkat konsumsi protein pada kelompok normal dan gout sudah cukup, yaitu

sebesar 14.63% dan 14.27%.

Lemak diberikan 10-20 persen dari energi total pada Diet Gout Artritis,

sedikit lebih rendah daripada kondisi biasa yaitu 10-25 persen. Hal ini

disebabkan karena kelebihan lemak dapat menghambat pengeluaran asam urat

melalui urin (Uripi et al 2002). Tabel 19 menunjukkan konsumsi lemak contoh

pada kelompok normal dan gout sedikit berlebih, yaitu lebih dari 20 persen.

Contoh pada kelompok gout memiliki persentase konsumsi lemak tertinggi, yaitu

sebesar 20.69 persen. Contoh pada kelompok hiperurisemia asimptomatik sudah

mengkonsumsi lemak dalam jumlah cukup, yaitu sebesar 19.20%.

Tabel 20 Batasan dan konsumsi zat besi dan vitamin C

Zat gizi Batasan (mg) Konsumsi (mg) A B C

Besi 13-45 44.12 25.18 36.67 Vitamin C 90-2000 50.90 54.44 48.93

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004, pria yang berusia 30-64

tahun dengan status gizi normal dianjurkan untuk mengkonsumsi 13 mg zat besi

Page 50: vitamin c

setiap harinya. Tabel 20 menunjukkan jika kebutuhan zat besi untuk tiap

kelompok adalah sama, yaitu 13 mg per hari, maka jumlah konsumsi zat besi

contoh pada semua kelompok sangat berlebih. Konsumsi tertinggi ditunjukkan

oleh kelompok normal, yaitu sebanyak 44.12 gram, dan terendah ditunjukkan

oleh kelompok hiperurisemia asimptomatik, yaitu sebanyak 25.18 gram. Namun,

tingkat konsumsi zat besi yang tinggi ini masih dapat ditolerir karena batas atas

konsumsi zat besi adalah 45 mg/hari. Tingginya konsumsi zat besi disebabkan

karena tingginya konsumsi pangan hewani oleh contoh. Pangan hewani

merupakan sumber zat besi yang baik dan memiliki ketersediaan biologik yang

tinggi (Almatsier 2003).

Konsumsi vitamin C yang dianjurkan oleh AKG 2004 untuk pria berusia

30-64 tahun dengan status gizi normal adalah 90 mg per hari. Tabel 20

menunjukkan semua kelompok contoh mengalami kekurangan konsumsi vitamin

C. Konsumsi terendah ditunjukkan oleh kelompok gout, yaitu sebanyak 48.93

mg, dan tertinggi pada kelompok hiperurisemia asimptomatik, yaitu sebanyak

54.44 gram. Hal ini disebabkan karena rendahnya konsumsi pangan sumber

vitamin C, seperti buah-buahan dan sayuran.

Tabel 21 Batasan dan konsumsi purin

Zat gizi Batasan (mg) Konsumsi (mg) A B & C A B C

Purin 600-1000 100-150 597.62 577.52 520.64

Purin yang dikonsumsi oleh orang normal umumnya 600-1000 mg/hari.

Namun, pada kondisi gout dan hiperurisemia harus dikurangi asupan purinnya

sehingga hanya mengkonsumsi sekitar 100-150 mg/hari. Tabel 21 menunjukkan

jumlah konsumsi purin tertinggi terdapat pada kelompok normal (597.62 mg) dan

terendah pada kelompok gout (520.64 mg). Baik kelompok gout maupun

kelompok hiperurisemia asimptomatik menunjukkan lebih rendahnya jumlah

konsumsi purin dibandingkan dengan kelompok normal. Namun, jumlah

konsumsi ini tidak sesuai dengan diet yang seharusnya dijalani. Tingkat

konsumsi purin pada kedua kelompok tersebut menunjukkan tingkat konsumsi 3

hingga 5 kali lipat lebih besar dari yang seharusnya mereka konsumsi.

Tabel 22 Anjuran dan konsumsi serat

Zat gizi Anjuran (g) Konsumsi (g) A B C

Serat 25-30 10.85 7.68 13.10

Asupan serat yang dianjurkan oleh WHO adalah 25-30 g/hari. Jika

diasumsikan semua kelompok contoh memiliki jumlah kecukupan serat yang

Page 51: vitamin c

sama, yaitu 25-30 g/hari maka semua kelompok contoh memiliki tingkat

konsumsi serat yang cukup rendah. Tabel 22 menunjukkan konsumsi serat

terendah terdapat pada kelompok hiperurisemia asimptomatik, yaitu sebanyak

7.68 g, sedangkan tertinggi terdapat pada kelompok gout, yaitu sebanyak 13.10.

Penderita hiperurisemia asimptomatik maupun gout sebaiknya banyak

mengkonsumsi serat. Serat mampu mengeluarkan kelebihan asam urat dalam

tubuh melalui feses. Selain itu, serat juga membantu mengontrol berat badan

sehingga tidak terjadi peningkatan yang merugikan.

Hubungan Antara Variabel dengan Hiperurisemia Variabel yang diteliti pada penelitian ini terdiri dari status gizi, riwayat

kesehatan contoh (hiperkolesterolemia dan diabetes mellitus), riwayat kesehatan

keluarga contoh (gout dan diabetes mellitus), obat-obatan (asam urat, hipertensi,

hiperkolesterolemia, diabetes mellitus, ginjal, alergi, lambung, syaraf, jamu/ obat

tradisional, suplemen, dan obat lain), konsumsi pangan (energi, karbohidrat,

lemak, protein, vitamin C, purin, dan serat), dan frekuensi konsumsi pangan

sumber purin (grup 1, grup 2, grup 3, dan grup 4). Semua variabel tersebut diuji

dengan menggunakan uji korelasi Spearman dan Pearson untuk melihat

keeratan hubungannya dengan hiperurisemia. Uji korelasi Spearman digunakan

untuk jenis data kategorik, sedangkan uji korelasi Pearson digunakan untuk jenis

data nominal.

Berdasarkan Lampiran 4, terdapat hubungan antara IMT (p=0.02, r=0.24)

dengan kadar asam urat contoh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi IMT

seseorang maka semakin tinggi risiko hiperurisemia. Semakin tinggi IMT maka

semakin tinggi risiko menderita obesitas. Menurut Lyu et al (2000) obesitas

merupakan salah satu faktor risiko gout. Hal ini diduga karena terjadi

peningkatan kadar leptin, yaitu zat yang berfungsi meregulasi konsentrasi asam

urat dalam darah, sehingga memicu terjadinya hiperurisemia (Hayden & Tyagi

2007).

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat

hiperkolesterolemia dan diabetes mellitus (p>0.1) dengan hiperurisemia.

Hiperkolesterolemia dapat memicu terbentuknya endapan kolesterol di pembuluh

darah dan terjadi penyempitan yang disebut artherosklerosis. Artherosklerosis ini

merupakan salah satu penyebab gout sekunder (Passmore & Eastwood 1987

diacu dalam Uripi et al 2002). Pada penelitian ini, kemungkinan

hiperkolesterolemia yang diderita oleh contoh tidak sampai menyebabkan

Page 52: vitamin c

artherosklerosis sehingga hiperkolesterolemia bukan merupakan salah satu

faktor utama yang berhubungan dengan hiperurisemia.

Adanya penyakit diabetes mellitus diketahui dapat memicu terjadinya

hiperurisemia. Hal ini berhubungan dengan transpornya di glomerulus ginjal.

Persaingan antara ekskresi glukosa dalam jumlah tinggi dengan ekskresi asam

urat menyebabkan asam urat tidak terekskresi dengan baik. Akibatnya, terjadi

penumpukan asam urat dalam tubuh. Diabetes mellitus ini juga dapat memicu

gangguan fungsi ginjal karena ginjal bekerja terlalu berat untuk membuang

kelebihan glukosa melalui urin. Kemungkinan contoh yang memiliki riwayat

diabetes mellitus pada penelitian memiliki ginjal yang masih berfungsi dengan

baik. Selain itu, kemungkinan ginjal contoh mampu mengkompensasi kelebihan

gula darah sehingga kadarnya dalam tubuh tetap normal.

Tidak terdapat hubungan yang nyata antara riwayat gout dan diabetes

mellitus keluarga contoh (p>0.1) dengan hiperurisemia. Gout dan diabetes

mellitus merupakan penyakit yang dapat diturunkan secara genetik. Hal ini

kemungkinan disebabkan karena contoh tidak mewarisi gen gout dan diabetes

mellitus tersebut. Terdapat beberapa pengaruh genetik terhadap gout,

diantaranya adalah ketiadaan enzim hiposantin-guanin fosforibosil transferase

yang menyebabkan bertambahnya sintesa purin. Gout jenis ini diwariskan oleh

gen resesif terkait X. Ada juga faktor genetik yang menyebabkan gangguan pada

penyimpanan glikogen atau defisiensi enzim pencernaan. Hal ini menyebabkan

tubuh lebih banyak menghasilkan senyawa laktat atau trigliserida yang

berkompetisi dengan asam urat untuk dibuang oleh ginjal (Vitahealth 2006).

Terdapat hubungan negatif tidak signifikan antara konsumsi energi

(p=0.073, r=-0.218) dengan kadar asam urat. Artinya, tingginya konsumsi energi

dapat menurunkan kadar asam urat. Hal ini kemungkinan terjadi karena

konsumsi energi pada kelompok normal lebih tinggi dibandingkan kelompok

hiperurisemia asimptomatik dan gout sehingga hasilnya negatif. Kelebihan

konsumsi energi dapat menyebabkan gizi lebih dan meningkatkan risiko

obesitas. Obesitas dapat memicu terjadinya hiperurisemia akibat pengaruhnya

terhadap leptin, yaitu regulator konsentrasi asam urat dalam darah (Hayden &

Tyagi 2007). Konsumsi energi juga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan

(p>0.1) dengan IMT. Hal ini juga terjadi karena contoh yang berstatus gizi normal

memiliki tingkat konsumsi energi yang lebih tinggi dibandingkan contoh yang

berstatus gizi overweight dan obesitas.

Page 53: vitamin c

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi protein, lemak,

dan karbohidrat (p>0.1) dengan hiperurisemia dan IMT. Umumnya bahan pangan

yang kaya protein juga memiliki kadar purin yang tinggi, tetapi tidak di semua

bahan pangan. Kemungkinan bahan pangan kaya protein yang dikonsumsi oleh

contoh memiliki kadar purin rendah dan dikonsumsi dalam frekuensi yang tidak

terlalu sering sehingga tidak mempengaruhi kadar asam urat dalam darah.

Konsumsi lemak yang berlebihan diketahui dapat menurunkan ekskresi asam

urat melalui ginjal. Namun, contoh pada penelitian ini mengkonsumsi bahan

pangan kaya lemak dalam jumlah yang cukup dan tidak terlalu berlebih sehingga

tidak memberi pengaruh pada hiperurisemia. Karbohidrat sederhana dapat

meningkatkan kadar asam urat dalam darah, sebaliknya karbohidrat kompleks

dapat membantu menurunkan kadar asam urat darah dengan membantu

ekskresinya melalui ginjal (Uripi et al 2002). Konsumsi karbohidrat tidak

berhubungan dengan hiperurisemia karena contoh pada penelitian ini

mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah cukup dan tidak terlalu berlebih. Selain

itu, diduga karena contoh mengkonsumsi karbohidrat kompleks dan karbohidrat

sederhana dalam jumlah yang seimbang sehingga tidak menyebabkan

hiperurisemia.

Terdapat hubungan positif yang signifikan antara tingkat konsumsi purin

(p=0.000, r=0.69) dengan hiperurisemia. Tingginya konsumsi bahan pangan kaya

purin dapat meningkatkan sintesis asam urat dalam tubuh dan menyebabkan

hiperurisemia.

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi vitamin C dan

serat (p>0.1) dengan hiperurisemia. Konsumsi vitamin C dan serat contoh masih

sangat kurang. Lyu et al (2003) menyebutkan bahwa rendahnya konsumsi serat

dan vitamin C merupakan salah satu faktor risiko gout yang utama. Namun,

penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang serupa. Hal ini diduga karena vitamin

C dan serat tidak memiliki peranan yang penting dalam mempengaruhi

hiperurisemia. Vitamin C diketahui dapat mengurangi risiko atherosklerosis

dengan membantu mengangkat kolesterol di pembuluh darah. Serat dapat

membantu pengeluaran asam urat melalui feses.

Frekuensi konsumsi bahan pangan sumber purin digunakan untuk

mengetahui bahan pangan yang sering dikonsumsi oleh contoh. Terdapat

hubungan yang nyata antara frekuensi konsumsi bahan pangan pada grup 3

(p=0.046, r=0.997) dengan hiperurisemia. Grup 3 terdiri dari bahan pangan

Page 54: vitamin c

sumber purin rendah. Syarat pada Diet Arthritis Gout adalah menghindari

konsumsi makanan yang memiliki kadar purin tinggi. Namun, hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa konsumsi bahan pangan sumber purin rendah dengan

frekuensi sering juga berhubungan dengan hiperurisemia.

Terdapat hubungan yang nyata antara obat asam urat (p=0.000, r=0.414)

dengan hiperurisemia. Hal ini sudah jelas karena contoh yang mengkonsumsi

obat asam urat adalah hanya contoh yang memiliki kondisi hiperurisemia dan

gout. Terdapat hubungan yang tidak nyata antara obat hipertensi (p=0.072,

r=0.218) dengan hiperurisemia. Obat hipertensi dapat mengganggu ekskresi

asam urat melalui ginjal karena terjadi persaingan antara diuretikum (zat yang

akan dikeluarkan sebagai pengaruh dari konsumsi obat diuretika) dengan asam

urat. Hasil yang tidak signifikan kemungkinan disebabkan karena tidak semua

contoh yang mengalami hipertensi mengkonsumsi obat hipertensi ini. Tidak

terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi obat yang lain (p>0.1) dengan

hiperurisemia.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hiperurisemia dan Gout Faktor-faktor yang diteliti pengaruhnya terhadap hiperurisemia

asimptomatik dan gout pada penelitian ini adalah status gizi, riwayat

hiperkolesterolemia dan diabetes mellitus, serta riwayat gout dan diabetes

mellitus keluarga contoh. Faktor-faktor tersebut dibandingkan dengan faktor yang

sama pada kelompok normal.

Tabel 23 Faktor-faktor yang mempengaruhi hiperurisemia asimptomatik Peubah B S.E. Wald Sig. Exp (B)

Status Gizi 0.837 0.772 1.176 0.278 2.310Riwayat Hiperkolesterolemia 0.940 0.749 1.575 0.210 2.561

Riwayat DM -1.212 1.449 0.700 0.403 0.298Riwayat Gout Keluarga -0.219 0.782 0.078 0.780 0.803Riwayat DM Keluarga -0.650 0.776 0.702 0.402 0.522Constant -0.277 0.623 0.197 0.657 0.758

Page 55: vitamin c

Tabel 24 Faktor-faktor yang mempengaruhi gout

Peubah B S.E. Wald Sig. Exp (B) Status Gizi 1.592 0.762 4.366 0.037 4.913Riwayat Hiperkolesterolemia 0.425 0.747 0.324 0.569 1.530

Riwayat DM 0.508 1.225 0.172 0.678 1.662Riwayat Gout Keluarga 0.378 0.692 0.299 0.585 1.460Riwayat DM Keluarga -1.823 0.889 4.202 0.040 0.162

Constant -0.286 0.601 0.227 0.634 0.751

Faktor yang Mempengaruhi Status gizi berpengaruh secara signifikan terhadap gout. Faktor ini

memiliki nilai koefisien positif dan OR sebesar 4.913. Artinya, contoh yang

memiliki status gizi overweight dan obese berisiko 4.913 kali lebih besar untuk

menderita gout dibandingkan contoh yang berstatus gizi normal.

Faktor lain yang juga berpengaruh secara signifikan terhadap gout adalah

riwayat diabetes mellitus keluarga contoh. Faktor ini memiliki nilai koefisien

negatif dan OR sebesar 0.162. Artinya, contoh yang memiliki riwayat diabetes

mellitus dalam silsilah keluarganya berisiko 0.162 kali lebih besar untuk

menderita gout. Hal ini bertentangan dengan teori yang menyebutkan bahwa

diabetes mellitus merupakan salah satu faktor risiko gout. Hal ini diduga terjadi

karena lebih banyak contoh pada kelompok normal yang memiliki riwayat

diabetes mellitus dalam silsilah keluarganya. Akibatnya, terjadi kerancuan antara

teori dengan hasil pengujian data.

Menurut Herlianty (2000) kondisi hiperglikemia pada penyakit diabetes

mellitus dapat mengganggu pengeluaran asam urat melalui ginjal. Akibatnya,

terjadi penumpukan asam urat dalam darah hingga melebihi normal

(hiperurisemia).

Faktor yang Tidak Mempengaruhi Tidak terdapat faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap

hiperurisemia asimptomatik. Hasil uji regresi logistik tidak menunjukkan pengaruh

yang signifikan dari status gizi (p>0.1) terhadap hiperurisemia asimptomatik. Hal

ini diduga kelebihan berat badan contoh pada kelompok hiperurisemia

asimptomatik, baik overweight maupun obesitas, tidak terlalu tinggi sehingga

hanya menyebabkan peningkatan kadar asam urat tanpa diiringi gejala gout.

Selain itu, diduga hal ini terjadi karena ada faktor lain yang turut mempengaruhi

Page 56: vitamin c

hiperurisemia yang menyebabkan status gizi tidak berpengaruh terhadap

hiperurisemia.

Gambar 5 Kurva kuadratik pengaruh IMT terhadap hiperurisemia asimptomatik

Gambar 5 menunjukkan pengaruh IMT terhadap hiperurisemia

asimptomatik yang digambarkan dalam bentuk kurva kuadratik. Bentuk kurva

melengkung ke atas, statis pada nilai IMT 18.00-21.00, dan mulai melengkung ke

atas pada nilai IMT 21.00. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai IMT

yang lebih besar dari 21.00 meningkatkan risiko untuk mengalami hiperurisemia

asimptomatik. Sesuai dengan hasil uji korelasi Pearson, terdapat hubungan

positif yang nyata antara IMT dengan kadar asam urat. Semakin tinggi IMT maka

semakin tinggi kadar asam urat darahnya. Kondisi ini memicu terjadinya

hiperurisemia asimptomatik. Namun, berdasarkan hasil uji regresi logistik, tidak

terdapat pengaruh yang signifikan antara status gizi dengan hiperurisemia

asimptomatik. Hal ini diduga karena peningkatan IMT tidak terlalu signifikan

sehingga hanya menyebabkan peningkatan kadar asam urat tanpa adanya

gejala (asimptomatik).

Page 57: vitamin c

Gambar 6 Kurva kuadratik pengaruh IMT terhadap gout

Pengaruh IMT terhadap gout digambarkan oleh kurva kuadratik pada

Gambar 6. Kurva menunjukkan bahwa peningkatan nilai IMT diiringi dengan

peningkatan risiko untuk menderita gout. Kurva ini kemudian mulai melengkung

turun pada nilai IMT mendekati angka 32.00. Hal ini menunjukkan bahwa

peningkatan nilai IMT hingga mendekati angka 32.00 meningkatkan risiko untuk

menderita gout. Hal ini disebabkan karena nilai IMT tertinggi pada penelitian ini

adalah 32.19 sehingga kurva hanya meningkat hingga kira-kira nilai 32.

Berdasarkan hasil uji regresi logistik, terdapat pengaruh yang nyata dari status

gizi terhadap gout. Contoh yang menderita obesitas memiliki risiko tertinggi untuk

menderita gout. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lyu et al

(2003) obesitas merupakan salah satu faktor risiko gout yang utama.

Riwayat hiperkolesterolemia dan diabetes mellitus contoh juga tidak

menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap hiperurisemia asimptomatik dan

gout. Hal ini diduga faktor-faktor tersebut tidak hanya pernah diderita oleh contoh

pada kelompok hiperurisemia asimptomatik dan gout, namun juga oleh contoh

pada kelompok normal. Kelompok normal terdiri dari contoh yang berkadar asam

urat normal, namun tidak menutupi kemungkinan untuk memiliki riwayat

hiperkolesterolemia dan diabetes mellitus tersebut.

Page 58: vitamin c

Riwayat gout pada silsilah keluarga contoh tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap hiperurisemia asimptomatik dan gout. Hal ini diduga karena

gen yang membawa sifat gout tidak terwarisi oleh contoh. Salah satu sifat genetik

yang dapat menyebabkan gout adalah ketiadaan enzim hiposantin-guanin

fosforibosil transferase. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya sintesa purin

karena basa purin bebas tidak lagi diubah menjadi nukleotida. Gout jenis ini

diwariskan oleh gen resesif terkait X (Spector 1993). Contoh pada penelitian ini

seluruhnya berjenis kelamin laki-laki, sehingga kecil kemungkinan untuk terwarisi

gout jenis ini.

Riwayat diabetes mellitus pada silsilah keluarga contoh tidak berpengaruh

terhadap hiperurisemia asimptomatik. Hal ini diduga terjadi karena contoh yang

memiliki riwayat diabetes mellitus pada dirinya akibat faktor genetik tidak

memberi pengaruh yang nyata terhadap hiperurisemia. Selain itu, contoh yang

mengalami diabetes mellitus dapat mengontrol kadar gula darahnya dengan baik

sehingga tidak sampai menyebabkan komplikasi gout.

Page 59: vitamin c

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Contoh merupakan pegawai laki-laki yang bekerja di PT. Chevron Pacific

Indonesia, Distrik Duri, Riau dan telah melakukan general check up selama

setahun terakhir (Maret 2007–Maret 2008). Sebagian besar contoh

merupakan kelompok usia dewasa menengah dan berpendidikan terakhir

SMA dan sederajatnya. Rata-rata pengeluaran pangan/kapita/bulan contoh

adalah Rp804.490,00. Hampir separuh contoh memiliki tingkat pengetahuan

gizi yang kurang dan berstatus gizi overweight.

2. Indeks Massa Tubuh (IMT) berhubungan dengan kadar asam urat contoh.

Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi IMT seseorang maka semakin

tinggi risiko hiperurisemia. Status gizi berpengaruh terhadap gout. Contoh

yang berstatus gizi overweight dan obese berisiko 4.913 kali lebih besar

untuk menderita gout dibandingkan dengan contoh yang berstatus gizi

normal.

3. Riwayat hiperkolesterolemia dan diabetes mellitus tidak berhubungan dan

tidak berpengaruh terhadap risiko hiperurisemia asimptomatik dan gout.

4. Contoh yang memiliki riwayat diabetes mellitus dalam silsilah keluarganya

berisiko 0.162 kali lebih rendah untuk menderita gout. Riwayat gout dan

diabetes mellitus keluarga contoh tidak berhubungan dan berpengaruh

terhadap risiko hiperurisemia asimptomatik contoh.

5. Persentase konsumsi energi contoh pada kelompok normal paling tinggi dan

pada kelompok hiperurisemia asimptomatik paling rendah diantara dua

kelompok lainnya. Konsumsi karbohidrat contoh pada kelompok normal dan

hiperurisemia asimptomatik sedikit kurang, sedangkan pada kelompok gout

sudah cukup. Konsumsi protein pada kelompok hiperurisemia asimptomatik

berlebih, sedangkan pada kelompok normal dan gout sudah cukup.

Konsumsi lemak pada kelompok normal dan gout berlebih, sedangkan pada

kelompok hiperurisemia asimptomatik sudah cukup. Konsumsi vitamin C

semua contoh masih kurang. Konsumsi purin kelompok hiperurisemia

asimptomatik dan gout sangat tinggi dari diet yang seharusnya. Konsumsi

serat semua contoh sangat kurang.

6. Tidak terdapat hubungan antara konsumsi energi, karbohidrat, protein,

lemak, vitamin C, dan serat terhadap status gizi dan kadar asam urat

Page 60: vitamin c

contoh. Terdapat hubungan antara konsumsi purin dan frekuensi konsumsi

bahan pangan berkadar purin rendah dengan hiperurisemia contoh.

7. Hampir separuh contoh yang menderita gout telah mengkonsumsi obat

asam urat sebelum general check up. Terdapat pula sebagian kecil contoh

yang normal dan yang mengalami hiperurisemia asimptomatik yang juga

mengkonsumsi obat ini untuk menurunkan kadar asam uratnya.

Saran 1. Contoh pada kelompok normal dan gout perlu menurunkan jumlah konsumsi

energinya. Hal ini penting dilakukan agar berat badan tetap terkontrol

sehingga terhindar dari risiko obesitas dan risiko menderita penyakit gout

yang lebih parah.

2. Contoh pada kelompok hiperurisemia asimptomatik sebaiknya tetap

membatasi konsumsi energi. Pengontrolan berat badan juga perlu dilakukan

oleh contoh pada kelompok ini agar kondisi hiperurisemia yang diderita tidak

semakin parah. Konsumsi makanan sumber purin sebaiknya dihindari agar

kadar asam urat tidak semakin meningkat dan tidak memicu timbulnya

gejala gout.

3. Perlu ditingkatkan asupan makanan sumber serat tinggi. Selain membantu

menjaga berat badan, serat juga dapat membantu pengeluaran kelebihan

asam urat melalui feses.

4. Penting diperhatikan adanya penyakit degeneratif yang sedang diderita dan

riwayat penyakit gout dalam silsilah keluarga bagi seseorang tidak

mengalami hiperurisemia agar lebih berhati-hati dan terhindar dari risiko

hiperurisemia.

Page 61: vitamin c

DAFTAR PUSTAKA Albar, Z. 2007. Gout: Diagnosis and Management [Jurnal] Vol 16, No 1, January–

March. Jakarta: Rheumatology division, Departemen of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia.

Almatsier, S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama. ___________. 2005. Penuntun Diet, edisi baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama. Alni, A. 2006. Hiperkolesterol. http://www.batampos.co.id. [21 Agustus 2006]. Basha, A. 2008. Hipertensi: Faktor Risiko dan Penatalaksanaannya.

http://www.pjnhk.go.id/content/view. [24 Januari 2008]. Bondy, P.K dan Leon E. Rosenberg. 1980. Metabolic Control and Disease, eight

edition. USA: W.B. Sanders Company. Goodhart, R.S and Maurice E. Shills. 1973. Modern Nutrition in Health and

Disease, Dietotherapy, Fifth Edition. USA: Henry Kimpton Publishers. Hayden, MR dan Suresh CT. 2006. Gout Causes: List of Diet/ Food Sources

High or Low in Purine Content. http://www.dietaryfiberfood. [13 Juni 2006].

Herlianty, MP. 2000. Faktor gizi sebagai determinan hiperurisemia [Tesis].

Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Jim, E. 2002. Hipertensi Bisa Serang Ginjal. http://www.sinarharapan.co.id/iptek.

[3 Mei 2005]. Kartono, D dan Moesijanti Soekatri. 2004. Angka Kecukupan Mineral: Besi,

Iodium, Seng, Mangan, Selenium. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 17-19 Mei. Jakarta: LIPI.

Khomsan, A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor. __________. 2008. Makanan Pencetus Gout. http://www.elitha-eri.net. [1 April

2008]. Karyadi, D. dan Muhilal. 1996. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. Krause, MV. 1961. Food, Nutrition, and Diet Therapy (3rd edition). USA: W.B

Saunders Company. Lubis, EN. 2008. Penyakit Jantung pada Anak dan Pencegahannya.

http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip. [7 Juni 2008].

Page 62: vitamin c

Lyu, et al. 2003. A Case-Control Study of The Association of Diet and Obesity

with Gout in Taiwan [Volume 2003;78:690-701]. USA: American Society for Clinical Nutrition.

Marlina, L. 2004. Persepsi dan tingkat konsumsi pasien rawat inap diabetes

mellitus terhadap makanan yang disajikan di Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Muchtadi, D. 1996. Pencegahan Gizi Lebih dan Penyakit Kronis Melalui

Perbaikan Pola Konsumsi Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Papalia, D.E dan Sally Wendkos Olds. 1981. Human Development, second

edition. USA: Von Hoffman Press, Inc. Rahmawati, et al. 2001. Keragaman konsumsi pangan, aktivitas fisik, dan status

gizi pada menopause. Media gizi dan keluarga Juli XXV. Setiawan, B dan Sri Rahayuningsih. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air.

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 17-19 Mei. Jakarta: LIPI. Setiyohadi, B. 2004. Asam Urat Tinggi Jangan Dibiarkan.

http://www.republika.co.id/suplemen/cetak. [23 November 2004]. Siagian, A. 2003. Tentang Serat Makanan. http://www.kompas.com/kompas

cetak/0306/12/ilpeng/362242.htm. [12 Juni 2003]. Soedarmo, P dan Achmad Djaeni Sediaoetama. 1977. Ilmu Gizi. Jakarta:

Penerbit Dian Rakyat. Siregar, P, Wiguno P., Roemiati Oesman, dan R.P. Sidabutar. 1987. Masalah

penggunaan diuretika [Jurnal]. Cermin Dunia Kedokteran No. 47. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Ciptomangunkusumo.

Soegondo, S. 2007. Diabetes, The Silent Killer. http://www.medicastore.com/

diabetes/. [12 Juni 2007]. Spector, W.G dan T.D Spector. 1993. Pengantar Patologi Umum. Soetjipto NS,

Harsoyo, Amelia Hana, dan Pudji Astuti, Penerjemah. Terjemahan dari An Introduction To General Pathology, Third Edition. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Suhardjo, Hardinsyah, dan Hadi Riyadi. 1987. Survey Konsumsi Pangan. Bogor:

Institut Pertanian Bogor. Tjay, T.H, dan Kirana Rahardja. 1978. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan,

dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi ke-4. Jakarta: Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Page 63: vitamin c

Uripi, V, Diah Krisnatuti, dan Rina Yenrina. 2002. Perencanaan Menu untuk Penderita Gangguan Asam Urat. Jakarta: Penebar Swadaya.

Uyanto, S.S. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Penerbit

Graha Ilmu. Vitahealth. 2006. Asam Urat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. WHO. 2008. BMI Classification. http://www.who.int/bmi/index. [14 Agustus 2008]. Wibowo, C, Karema Kaparang, dan Hardianto Setiawan. 2005. Kadar asam urat

dalam serum dan urin suku Minahasa dengan artritis gout [Jurnal]. Medika 2005, Vol. XXXI, No. 2, p. 101-104.

Wijayakusuma, H dan Setiawan Dalimartha. 2005. Ramuan Tradisional untuk

Pengobatan Darah Tinggi. Jakarta: Penebar Swadaya. Winarno, F.G. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. Jakarta: Balai

Pustaka.