web viewsekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian ... siswa...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin pesat sangat membantu proses perkembangan disemua aspek
kehidupan bangsa. Salah satunya pada aspek pendidikan. Pendidikan
sebagai suatu proses untuk menyiapkan generasi masa depan sehingga
pelaksanaan pendidikan harus berorientasi pada wawasan kehidupan
mendatang. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan masalah yang harus
diselesaikan secara berkesinambungan. Hal tersebut dapat dipahami karena
sekolah ditentukan oleh berbagai faktor yang berkaitan. Faktorfaktor
tersebut antara lain adalah faktor guru, murid, lingkungan, sarana dan
prasarana belajar.
Anggapan bahwa matematika adalah mata pelajaran yang sulit dan
membosankan, sering menjadi alasan mengapa sebagian orang tidak
menyukai matematika. Karena matematika merupakan ilmu pasti, tidak
lepas dari angka dan rumus, maka sebagai orang yang berada dalam
lingkungan pendidikan, sangat diperlukan trobosan inovasi yang dapat
membangun minat masyarakat terhadap matematika. Sehingga matematika
bukan lagi mata pelajaran yang menjenuhkan, tetapi pelajaran yang ringan
dan menyenangkan. Diperlukan sebuah strategi, pendekatan, metode dan
teknik pembelajaran yang menarik dan tepat untuk mengubah image
matematika menjadi pelajaran yang menyenangkan. Semuanya itu
terangkum dalam model pembelajaran yang merupakan konsepsi untuk
mengajarkan materi dalam mencapai tujuan tertentu.
Belajar matematika merupakan suatu proses membangun konsep
sehingga matematika tidak statis, namun dinamis. Karena itu, untuk
memahami matematika, siswa perlu mengkonstruksi konsep atau prinsip
matematika menurut konstruksinya sendiri (Herman Hudojo, 2002:427).
Mastuhu (2003:77) dalam bukunya Menata Ulang Pemikiran Sistem
Pendidikan Nasional Abad 21 mengemukakan bahwa paradigma baru
diantaranya memiliki ciri : mementingkan proses metodologi pembelajaran
yang terus berkembang dan semakin canggih, metode pembelajaran tersebut
harus memenuhi dua hal yaitu kesesuaian antara metode pembelajaran
dengan materi ajar dan kesesuaian antara metode belajar dengan
kemampuan peserta didik.
Pendekatan pembelajaran mempunyai andil yang cukup besar dalam
kegiatan belajar mengajar. Kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki
anak didik akan ditentukan oleh kerelevansian penggunaan suatu
pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan. Hal ini berarti tujuan
pembelajaran akan dicapai dengan menggunakan pendekatan yang tepat,
sesuai dengan standar keberhasilan yang terpatri di dalam suatu tujuan.
Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran bermacam-
macam, penggunaan tergantung dari rumusan tujuan. Dengan bergairahnya
belajar, anak didik tidak sukar untuk mencapai tujuan pembelajaran, karena
bukan guru yang memaksakan anak didik untuk mencapai tujuan tetapi anak
didiklah dengan sadar untuk mencapai tujuan (Syaiful Bahri& Aswan Zain,
2006:45).
Tujuan proses belajar mengajar secara ideal yaitu agar semua peserta
didik dapat menguasai bahan belajar secara maksimal. Hal inilah yang
disebut “mastery learning” atau belajar tuntas, artinya sebuah pola
pembelajaran yang mengharuskan pencapaian siswa secara tuntas, terhadap
setiap unit pembahasan dan pemberian tes formatif pada setiap
pembelajaran baik sebelum maupun sesudahnya untuk mengukur tingkat
penguasaan siswa terhadap bahan pelajaran yang telah mereka pelajari serta
penguasaan minimal 80% dari isi kurikulum (Ellis, 1993:108 dalam
Syafruddin Nurdin, 2005:xiii).
Salah satu faktor penghambat dalam proses pencapaian tujuan
pendidikan yaitu pendekatan pembelajaran yang masih didominasi peran
guru (teacher centered) yang meletakkan guru sebagai pemberi pengetahuan
bagi siswa dan cara penyampaian pengetahuan cenderung masih didominasi
dengan metode ceramah, yang mana siswa kurang diberi kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan berfikir holistik (menyeluruh), kreatif,
obyektif, dan logis. Penggunaan metode ceramah yang dominan tersebut
menyebabkan partisipasi rendah, kemajuan siswa, perhatian dan minat siswa
tidak dapat dipantau (Mukhtar dan Yamin, 2002:25).
Beberapa cara untuk menumbuhkan motivasi adalah melalui cara
mengajar yang bervariasi, mengadakan pengulangan informasi, memberikan
stimulus baru misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan kepada peserta didik,
memberi kesempatan peserta didik untuk menyalurkan keinginan
belajarnya, menggunakan media dan alat Bantu yang menarik perhatian
peserta didik, seperti gambar, foto, diagram, dan sebagainya. secara umum
peserta didik akan terangsang untuk belajar (terlibat aktif dalam pengajaran)
apabila ia melihat bahwa situasi pengajaran cenderung memuaskan dirinya
sesuai dengan kebutuhannya (Ahmad Rohani, 2004:12).
Pembelajaran untuk mengaktifkan siswa salah satunya adalah dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran problem based learning (PBL).
PBL adalah pendekatan pendidikan yang mendorong siswa untuk mengenal
cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian
masalah-masalah di dunia nyata. Penerapan pendekatan pembelajaran
problem based learning (PBL) siswa dituntut bertanggungjawab atas
pendidikan yang mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu
tergantung pada guru.
Problem Based Learning (PBL) membentuk siswa mandiri yang dapat
melanjutkan proses belajar pada kehidupan dan karir yang akan dijalaninya.
Seorang guru lebih berperan sebagai fasilitator atau tutor yang memandu
siswa menjalani proses pendidikannya. Guru dalam pengajaran berbasis
masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan
memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Pengajaran berbasis masalah tidak
dapat dilaksanakan jika guru tidak mengembangkan lingkungan kelas yang
memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Intinya, siswa
dihadapkan situasi masalah yang otentik yang bermakna yang dapat
menantang siswa untuk memecahkannya (Nurhadi, 2004:109).
Proses belajar Problem Based Learning (PBL) dibentuk dari
ketidakteraturan dan kompleksnya masalah yang ada di dunia nyata. Hal ini
digunakan sebagai pendorong bagi siswa untuk belajar mengintegrasikan
dan mengorganisasi informasi yang diperoleh, sehingga nantinya dapat
selalu diingat dan diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapi. Masalah-masalah yang didesain dalam PBL memberi tantangan
pada siswa untuk lebih mengembangkan ketrampilan berfikir kritis dan
mampu menyelesaikan masalah secara efektif, sehingga diharapkan
penerapan pendekatan PBL dapat mengatasi kesulitan atau memecahkan
masalahmasalah yang berkaitan dengan materi yang diajarkan, akibatnya
dapat mencapai kriteria ketuntasan minimal.
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut di atas terdapat beberapa masalah
yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Apakah pembelajaran berbasis masalah (PBL) itu?
2. Mengapa menggunakan PBL ?
3. Bagimana mengimplementasikan PBL dalam pembelajaran ?
4. Ciri-ciri model pembelajaran berbasis masalah (PBL) ?
5. Teori belajar yang mendukung pembelajaran berbasis masalah (PBL) ?
C. Tujuan
Dari identifikasi masalah tersebut di atas terdapat beberapa tujuan
yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
D. Manfaat
1. Manfaat teoritisSecara umum penelitian ini memberikan sumbangan kepada dunia
pendidikan untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran
matematika. Bila kualitas pembelajaran baik tidak bisa sipungkiri lagi
prestasi belajar matematika peserta didikpun juga baik. Prestasi belajar
dapat dijadikan pendorong bagi peserta didik dalam meningkatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta berperan sebagai umpan balik
dalam dunia pendidikan.
2. Manfaat praktis
Secara praktis, studi ini dapat dimanfaatkan
(a) sebagai masukan bagi pengajar (guru) dan sekolah untuk
menggunakan pendekatan Problem Based Learning pada proses
pembelajaran matematika untuk meningkatkan persepsi,
motivasi serta imajinasi siswa sehingga hasil prestasi belajarnya
juga baik,
(b) sebagai bahan acuan, perbandingan ataupun referensi bagi para
peneliti yang melakukan penelitian yang sejenis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Problem Based Learning (PBL)
Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli
pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran
konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan perubahan
paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari
belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata
lain, ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi
lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa
belajar, atau memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif
mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya. Kondisi belajar dimana
siswa/mahasiswa hanya menerima materi dari pengajar, mencatat, dan
menghafalkannya harus diubah menjadi sharing pengetahuan, mencari
(inkuiri), menemukan pengetahuan secara aktif sehingga terjadi peningkatan
pemahaman (bukan ingatan). Untuk mencapai tujuan tersebut, pengajar dapat
menggunakan pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran
inovatif.
Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning),
selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran
inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL
adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan
suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat
mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan
sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002;
Stepien, dkk.,1993). Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty(1997)
menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan
membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-
masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus
dalam belajar.
PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
1. belajar dimulai dengan suatu masalah,
2. memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia
nyatasiswa/mahasiswa,
3. mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin
ilmu,
4. memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam
membentuk danmenjalankan secara langsung proses belajar mereka
sendiri,
5. menggunakan kelompok kecil,
6. menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka
pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja.
Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pembelajaran
dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh
siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa
yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk
memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap
menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam
belajar.
Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat
diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi
pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama
dan interaksi dalam kelompok, disamping pengalaman belajar yang
berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis,
merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data,
menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan,
berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa
model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya kepada siswa. Dengan
kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang
apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya
dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.
B. Kegunaan Problem Based Learning (PBL)
PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada
kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus
pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pebelajar tidak saja
mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga
metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu,
pembelajar tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah
yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar
yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam
pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau
masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan
kognitif pada diri pebelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu
sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan disekitar masalah
seperti “apa yang dimaksud dengan….”, “mengapa bisa terjadi….”,
“bagaimana mengetahuinya…” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan
tersebut telah muncul dalam diri pebelajar maka motivasi intrinsik mereka
untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru
sebagai fasilitator untuk mengarahkan pebelajar tentang “konsep apa yang
diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau
“bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat
diketahi bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong
siswa/mahasiswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri.
Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana
berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada
bagaimana dia membelajarkan dirinya.
Lebih lanjut Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar
(outcomes) yang diperoleh pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu:
1. inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah,
2. belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan
3. ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning). Inkuiri dan
ketrampilan proses dalam pemecahan masalah telah dipaparkan
sebelumnya.
Siswa yang melakukan inkuiri dalam pempelajaran akan
menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill)
dimana mereka akan melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi,
klasifikasi, dan reasoning. PBL juga bertujuan untuk membantu pebelajar
siswa/mahasiswa belajar secara mandiri.
Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan
belajar yang konstruktivistik. Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup
beberapa faktor yaitu (Jonassen dalam Reigeluth (Ed), 1999:218): kasus-
kasus berhubungan, fleksibelitas kognisi, sumber-sumber informasi, cognitive
tools, pemodelan yang dinamis, percakapan dan kolaborasi, dan dukungan
sosial dan kontekstual.
Kasus-kasus berhubungan, membantu pebelajar untuk memahami
pokok-pokok permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat
membantu siswa/mahasiswa belajar mengidentifikasi akar masalah atau
sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya masalah yang lain.
Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu pebelajar meningkatkan
kemampuan berpikir kritis yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Fleksibelitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya
memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan.
Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi
pebelajar untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan
pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat
menumbuhkan kreativitas berpikir divergen didalam mempresentasikan
masalah. Dari masalah yang siswa/mahasiswa tetapkan, mereka dapat
mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah, mereka dapat
mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide tersebut dapat
didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.
Sumber-sumber informasi, bermanfaat bagi pebelajar dalam
menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan
perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang
permasalahan. Dalam konteks belajar sains (kimia), pengetahuan sains yang
dimiliki siswa terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai
acuan awal dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah
yang mereka pecahkan.
Cognitive tools, merupakan bantuan bagi pelajar untuk
meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools
membantu pebelajar untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa
yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian
tugas-tugas.
Pemodelan yang dinamis, adalah pengetahuan yang memberikan
cara-cara berpikir dan menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara
untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena.
Pemodelan membantu mahasiswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan,
“apa yang saya ketahui” dan “apa artinya”.Percakapan dan kolaborasi,
dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara
tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi yang intensif
dimana terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta
diskusi dapat membatu siswa mengembangkan komunikasi ilmiah,
argumentasi yang logis, dan sikap ilmiah. Dukungan sosial dan kontekstual,
berhubungan dengan bagaimana masalah yang menjadi fokus pembelajaran
dapat membuat pebelajar termotivasi untuk memecahkannya. Dukungan
sosial dalam kelompok, adanya kondisi yang saling memotivasi antar
pebelajar dapat menumbuhkan kondisi ini. Suasana kompetitif antar
kelompok juga dapat mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan
kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh para guru/dosen untuk
mensukseskan pelaksanaan pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa PBL
sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena:
1. Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa/mahasiswa
yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan
pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan
yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi
konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika
siswa/mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan;
2. Dalam situasi PBL, siswa/mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan
ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks
yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan
nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu
konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran
berlangsung; dan
3. PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan
inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar,
dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja
kelompok.
Gejala umum yang terjadi pada siswa dan mahasiswa pada saat ini
adalah “malas berpikir” mereka cenderung menjawab suatu pertanyaan
dengan cara mengutip dari buku atau bahan pustaka lain tanpa
mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila
keadaan ini berlangsung terus maka siswa atau mahasiswa akan mengalami
kesulitan mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan
kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran di kelas adalah untuk
memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan dengan
tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model PBL mungkin dapat
menjadi salah satu solusi untuk mendorong siswa/mahasiswa berpikir dan
bekerja ketimbang menghafal dan bercerita.
C. Mengimplementasikan PBL dalam Pembelajaran
Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara
umum penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang diharus
dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa/mahasiswa. Masalah
tersebut dapat berasal dari siswa/mahasiswa atau mungkin juga diberikan oleh
pengajar. Siswa/mahasiswa akan memusatkan pembelajaran di sekitar
masalah tersebut, dengan arti lain, siswa belajar teori dan metode ilmiah agar
dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-
langkah metode ilmiah. Dengan demikian siswa/mahasiswa belajar
memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu,
penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja
ilmiah yang sangat baik kepada siswa/mahasiswa.
1. Langkah-Langkah dalam Problem Based Learning (PBL)
Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa
terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih
dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-
permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang
siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas
guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi,
dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.
a. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman
belajar
Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di
berbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga,
dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan
kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa
keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan
wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman
langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar
merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam
rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar
dan materi pembelajaran.
b. Memberikan aktivitas kelompok
Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas
perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk
berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok
terdiri dari tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat
kesulitan penugasan.
c. Membuat aktivitas belajar mandiri
Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan
menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan
guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan
bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi
pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah
mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus
mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup,
dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru
supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri
(independent learning).
d. Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat
Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua
siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal
ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara
langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan
pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan
institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman
kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.
e. Menerapkan penilaian autentik
Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat
membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan
kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan
tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik
memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa
yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun
bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah
portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.
Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa
dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan
untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka
memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga
memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta
memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian
angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar
aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survey
mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.
Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk
pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai
tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar,
minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek
akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu
tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai contoh,
siswa diminta membentuk kelompok proyek untuk menyelidiki
penyebab pencemaran sungai di lingkungan siswa.
Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta
menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai
kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat
memberikan evaluasi pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa
diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan
mementaskannya dalam pertunjukan drama.
Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis.
Bentuk laporan tertulis dapat berupa surat, petunjuk pelatihan teknis,
brosur, essai penelitian, essai singkat. Menurut Brooks&Brooks
dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik
dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan
ketrampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu
memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas,
kurikulum berbasis kompetensi perlu dikembangkan supaya dapat
diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai
pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran
kontekstual supaya dapat memberikan bentuk pengalaman belajar.
Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki kecakapan untuk
memecahkan permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang
mengarahkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam konteks rumah,
masyarakat maupun tempat kerja.
Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu
melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, penulis menyarankan supaya
pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya
beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan
guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di
masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi
sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model
pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan
masyarakat perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-
materiil untuk menunjang keberhasilan proses belajar siswa.
2. Langkah-Langkah Pemecahan Masalah dalam PBL
Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL
paling sedikit ada delapan tahapan (Pannen, 2001), yaitu:
(1) mengidentifikasi masalah
(2) mengumpulkan data
(3) menganalisis data
(4) memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada
(5) memilih cara untuk memecahkan masalah
(6) merencanakan penerapan pemecahan masalah
(7) melakukan uji coba terhadap rencana yang ditetapkan
(8) melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah
Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai
kategori tingkat berfikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai
bila pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berfikir
tingkat tinggi (higher order thinking skills). Dalam proses pemecahan
masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan
sendirinya, demikian pula keterampilan seseorang harus mencapai
seluruh tahapan tersebut.
Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang
sangat penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat
memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali
menjadi ”masalah” bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah
yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran,
atau suatu masalah yang sangat menyeimpang dengan tingkat berpikir
siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh
sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru/dosen pada
tahap ini. Walaupun guru/dosen tidak melakukan intervensi terhadap
masalah tetapi dapat memfokuskan masalah melalui pertanyaan-
pertanyaan agar siswa/mahasiswa melakukan refleksi lebih dalam
terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru/dosen harus berperan
sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang
direncanakan.
Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam PBL
adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how. Oleh karena itu,
setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan mahasiswa dalam
tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi
kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan
dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan
sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBL.
Namun yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah
kemampuannya untuk memahami permasalahan dan alasan timbulnya
permasalahan tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam
tatanan sistem yang sangat luas. Apalagi jika PBL digunakan untuk
proses pembelajaran di perguruan tinggi
3. Prinsip-Prinsip dalam Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Pembelajaran berbasis masalah secara khusus melibatkan siswa
bekerja pada masalah dalam kelompok kecil yang terdiri dari lima orang
dengan bantuan asisten sebagai tutor. Masalah disiapkan sebagai konteks
pembelajaran baru. Analisis dan penyelesaian terhadap masalah itu
menghasilkan perolehan pengetahuan dan keterampilan pemecahan
masalah. Permasalahan dihadapkan sebelum semua pengetahuan relevan
diperoleh dan tidak hanya setelah membaca teks atau mendengar
ceramah tentang materi subjek yang melatarbelakangi masalah tersebut.
Hal inilah yang membedakan antara PBL dan metode yang berorientasi
masalah lainnya.
Tutor berfungsi sebagai pelatih kelompok yang menyediakan
bantuan agar interaksi siswa menjadi produktif dan membantu siswa
mengidentifikasi pengetahuan yang dibutuhkan untuk memecahkan
masalah. Hasil dari proses pemecahan masalah itu adalah, siswa
membangun pertanyaan-pertanyaan (isu pembelajaran) tentang jenis
pengatahuan apa yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah? Setelah
itu, siswa melakukan penelitian pada isu-isu pembelajaran yang telah
diidentifikasi dengan menggunakan berbagai sumber. Untuk ini siswa
disediakan waktu yang cukup untuk belajar mandiri. Proses PBL akan
menjadi lengkap bila siswa melaporkan hasil penelitiannnya (apa yang
dipelajari) pada pertemuan berikutnya. Tujuan pertama dari paparan ini
adalah untuk menunjukkan hubungan antara pengetahuan baru yang
diperoleh dengan masalah yang ada ditangan siswa. Fokus yang kedua
adalah untuk bergerak pada level pemahaman yang lebih umum,
membuat kemungkinan transfers pengetahuan baru. Setelah melengkapi
siklus pemecahan masalah ini, siswa akan memulai menganalisis masalah
baru, kemudian diikuti lagi oleh prosedur: analisis- penelitian- laporan
4. Ciri-Ciri Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Berbagai pengembang pembelajaran berbasis masalah telah
menunjukkkan ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut.
a. Pengajuan masalah atau pertanyaan
Pengajaran berbasis masalah bukan hanya
mengorganisasikan prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik
tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan
pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya
secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.
Mereka dihadapkan situasi kehidupan nyata yang autentik ,
menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya
berbagai macam solusi untuk situasi itu. Menurut Arends (dalam
Abbas, 2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah
memenuhi criteria sebagai berikut.
(1) Autentik
yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan
dunia nyata siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin
ilmu tertentu.
(2) Jelas
yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti
tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya
menyulitkan penyelesaian siswa.
(3) Mudah dipahami
yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah
dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai
dengan tingkat perkembangan siswa.
(4) Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran
yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya
bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi
pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan
sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun
tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.
(5) Bermanfaat
yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan
haruslah bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah
maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang
bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan
kemampuan berfikir memecahkan masalah siswa, serta
membangkitkan motivasi belajar siswa.
b. Penyelidikan autentik
Pengajaran berbasis masalah siswa melakukan penyelidikan
autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.
Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah,
mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan
dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika
diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan.
Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang
sedang dipelajari.
c. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk
menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak
dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian
masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkip
debat, laporan, model fisik, video atau program komputer (Ibrahim
& Nur, 2000:5-7 dalam Nurhadi, 2003:56)
d. Kerjasama
Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa
yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan
atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi
untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan
memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk
mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
5. Tahapan Pengajaran Berbasis Masalah
Pengajaran berbasis masalah terdiri dari lima tahapan utama
(menurut Nurhadi, 2003:58-59). Kelima tahapan itu dimulai dengan guru
memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan
penyajian dan analisis hasil kerja siswa :
Lebih lanjut Arends (2004) merinci langkah-langkah
pelaksanaan PBL dalam pengajaran. Arends mengemukakan ada 5 fase
(tahap) yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Fase-
fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang dilakukan dalam
kegiatan pembelajaran dengan PBL sebagaimana disajikan pada :
a. Fase Aktivitas Guru
Fase 1: Mengorientasikan siswa/mahasiswa pada masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan
pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam
penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana guru/dosen
harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh
siswa/mahasiswa dan juga oleh dosen. Disamping proses yang akan
berlangsung, sangat penting juga dijelaskan bagaimana guru/dosen
akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting
untuk memberikan motivasi agar siswa dapat engage dalam
pembelajaran yang akan dilakukan.
Fase 2: Mengorganisasikan siswa/mahasiswa untuk belajar
Disamping mengembangkan ketrampilan memecahkan
masalah, pembelajaran PBL juga mendorong siswa/mahasiswa
belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat
membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota. Oleh sebab itu,
guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan
membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing
kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda.
Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif
dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus
heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang
efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru/dosen sangat
penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing
kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama
pembelajaran.
Setelah mahasiswa diorientasikan pada suatu masalah dan
telah membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan mahasiswa
menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas
penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini
adalah mengupayakan agar semua mahasiswa aktif terlibat dalam
sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini
dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.
Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok
Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi
permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun
pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni
pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan
memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi
merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus
mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan
eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul
memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar
mahasiswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan
membangun ide mereka sendiri. Pada fase ini seharusnya lebih dari
sekedar membaca tentang masalah-masalah dalam buku-buku. Guru
membantu mahasiswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-
banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan
pertanyaan pada mahasiswa untuk berifikir tentang massalah dan
ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan
masalah yang dapat dipertahankan.
Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan
mempamerkannya
Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak
(hasil karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis,
namun bisa suatu videotape (menunjukkan situasi masalah dan
pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari
situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian
multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat dipengaruhi
tingkat berfikir mahasiswa. Langkah selanjutnya adalah
mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator
pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan
mahasiswa-mahasiswa lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya
yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.
Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah
Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini
dimaksudkan untuk membantu mahasiswa menganalisis dan
mengevaluasi proses mereka sendiri dan kete-rampilan penyelidikan
dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta
mahasiswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah
dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama
kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah?
Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka
dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa
mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi
pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran
tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa
penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara
berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi
pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan
menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL untuk pengajaran.
D. Tujuan dan Hasil Belajar
Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk memberikan
informasi sebanyak-banyaknya pada siswa. PBL dikembangkan untuk
mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir, mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan memecahan masalah dan keterampilan
intelektual, belajar berbagi peran orang dewasa melalui pelibatan mereka
pada pengalaman nyata, mengembangkan keterampilan belajar pengarahan
sendiri yang efektif (effective self directed learning) (Barraws; 1996: Ibrahim
dan Nur, 2004).
1. Keterampilan Berpikir dan Keterampilan Memecahkan Masalah
Pembelajaran berbasis masalah ditujukan untuk
mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Keterampilan
berpikir tingkat tinggi tidak sama dengan keterampilan yang
berhubungan dengan pola-pola tingkah laku rutin. Larson (1990) dan
Lauren Resnick (Ibrahim dan Nur, 2004) menguraikan cirri-ciri berpikir
tingkat tinggi seperti berikut.
a. Tidak bersifat algoritmik (noalgoritmic), yakni alur tindakan tidak
sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya.
b. Cenderung kompleks, keseluruihan alurnya tidak dapat diamati dari
satu sudut pandang.
c. Seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan
keuntungan dan kerugian, dari pada yang tunggal.
d. Melibatkan pertimbangan dan interpretasi.
e. Melibatkan banyak kriteria, yang kadang-kadang bertentangan satu
sama lain.
f. Seringkali melibatkan ketidakpastian. Tidak selalu segala sesuatu
yang berhubungan dengan tugas diketahui.
g. Melibatkan pengaturan diri (self regulated) tentang proses berpikir.
h. Melibatkan pencarian makna menemukan struktur pada keadaan
yang tampaknya tidak teratur.
i. Berpikir tingkat tinggi adalah kerja keras. Ada pengerahan kerja
mental besar,besaran saat melakukan elaborasi dan pertimbangan
yang dibutuhkan.
2. Pemodelan Peranan Orang Dewasa
Resnick ( Ibrahim dan Nur, 2004) mengemukakan bahwa bentuk
pembelajaran berbasis masalah penting menjembatani gap antara
pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis
yang dijumpai di luar sekolah. Aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah
yang dapat dikembangkan adalah:
a. PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas.
b. PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini mendorong
pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga siswa secara
bertahap dapat memahami peran yang diamati tersebut.
c. PBL melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang
memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan
fenomena dunia nyata dan membangun femahamannya tentang
fenomena itu.
3. Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning)
Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada siswa. Siswa
harus dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana
informasi harus diperoleh, dibawah bimbingan guru (Barrows, 1996).
Dengan bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan
mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan mencari
penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, siswa belajar
untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam kehidupan
kelak (Ibrahim dan Nur, 2004).
E. Teori Belajar yang Mendukung Pembelajaran Berbasis Masalah
Ada berbagai definisi tentang belajar. Dari berbagai definisi yang
dikemukakan para ahli secara singkat dapat dinyatakan: ” apabila seseorang
pada kurun waktu tertentu telah terjadi perubahan tingkah laku dan memiliki
nilai tambah, dari yang tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak terampil
menjadi terampil, maka dia telah belajar sesuatu”. Belajar dan pembelajaran
merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Menurut konsep komunikasi, pembelajaran adalah proses komunikasi
fungsional antara siswa denagn guru dan siswa dengan siswa, dalam rangka
perubahan sikap dan pola piker yang akan menjadi kebaiasaan bagi siswa
yang bersangkutan. Dalam pembelajaran komunikasi yang diharapkan adalah
komunikasi dua arah yaitu antara guru dengan siswa dan sebaliknya, serta
antara siswa denagn siswa.
Ada banyak teori belajar yang dikemukakan para ahli, berikut
disajikan beberapa teori belajar yang mendukung pembelajaran berbasis
masalah dan pada umumnya dijadikan landasan metode pembelajaran dalam
sistem pendidikan.
1. Teori Belajar yang dikemukakan oleh Ausubel
Menurut Ausubel belajar bermakna timbul jika siswa mencoba
menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Hal itu terjadi, jika siswa belajar konsep yang ada.
Akibatnya, struktur konsep/pengetahuan yang telah dimiliki siswa
mengalami perubahan. Namun demikian, jika pengetahuan baru tidak
berhubungan dengan pengetahuan yang ada, maka pengetahuan baru itu
akan dipelajari siswa melalui belajar hafalan. Artinya, siswa hanya
menerima selanjutnya menghafalkan materi yang sudah diperolehnya.
Hal ini disebabkan pengetahuan yang baru tidak dikembangkan dengan
keadaan lain atau pengetahuan yang ada. Tetapi pada belajar bermakna
materi yang telah diperoleh dikembangkan dengan keadaan lain sehingga
belajarnya lebih dimengerti.
2. Teori Belajar yang dikemukakan oleh Piaget
Menurut Piaget, perkembangan kognitif seseorang melalui
beberapa tahapan, yaitu sensorimotor ( sampai dengan usia 2 tahun),
Concreteoperations(usia 2-11 tahun), dan formal–operations(setelah usia
11 tahun). Pada tahap sensorimotor pengetahuan yang diperoleh masih
sangat terbatas sejalan dengan perkembangan fisik dari anak yang
bersangkutan. Pada tahap Concrete-operationsanak sudah mulai belajar
simbol yang merupakan representasi dari obyek tertentu. Anak mulai
belajar menghubungkan suatu obyek dengan simbol tertentu.
Sedangkan pada tahap formal–operations pengetahuan yang
diperoleh anak semakin kompleks. Karena anak telah banyak
perbendaharaan kata dan memahami arti serta dapat mengasosiasikan
dengan kata-kata lainnya. Dalam tahap ini anak sudah dapat merangkum
atau mengkombinasikan dua konsep atau lebih untuk membentuk suatu
aturan. Kombinasi dari dua aturan atau lebih itu sudah dapat mereka
gunakan untuk memecahkan suatu masalah. Contoh, untuk menghitung
luas sisi kubus berbeda caranya dengan menghitung luas sisi balok,
meskipun prinsip dasar aturannya sama.
Piaget (dalam Ibrahim, 2000:17) mengemukakan bahwa siswa
dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi
dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis
tetapi secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa
menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan
memodifikasi pengetahuan awal mereka. Pemanfaatan teori Piaget dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut :
a. Memusatkan pada proses berfikir dan bukan pada sekedar hasilnya.
b. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan
keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas,
pemberian pengetahuan jadi tidak mendapat penekanan, melainkan
anak didorong menemukan sendiri melalui interaksi spontan dengan
lingkungannya.
c. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan
perkembangan.
Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh
melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu
berlangsung pada kecepatan berbeda.