urbanisasi dan kualitas penduduk di kota semarang

9
Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan 1 Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang Saratri Wilonoyudho, PSKLH Universitas Negeri Semarang Ringkasan Eksekutif Pertumbuhan ekonomi di Kota Semarang telah membawa akibat samping berupa terjadinya kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas, meningkatnya sektor informal dan pengangguran, kriminalitas, serta berbagai konflik sosial politik lainnya. Fenomena ini menjadi kajian bahwa Kota Semarang tengah mengalami urbanisasi berlebih yakni ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonominya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mempelajari dinamika proses urbanisasi di Kota Semarang dengan mengidentifikasi determinan pokok urbanisasi serta mengidentifikasi dampak dan kaitan urbanisasi dengan kualitas hidup yang diidentifikasi dari faktor-faktor sosial, ekonomi, dan demografi. Metode penelitian ini adalah melalui survei yang menggunakan data sekunder dari BPS (Biro Pusat Statistik) dan instansi lainnya, data hasil wawancara, Focus Group Discussion dan observasi lapangan. Lingkupnya adalah studi kependudukan yang menggabungkan antara variabel demografis dan variabel non-demografis. Dengan kata lain ini adalah penelitian kualitatif yang digabung dengan penelitian kuantitatif. Penelitian menyimpulkan bahwa : 1). Proses urbanisasi di Kota Semarang berlangsung sejak jaman kolonial hingga proses kapitalisasi yang terkait dengan pasar global; 2). Determinan utama urbanisasi di Kota Semarang adalah gabungan simultan antara tekanan perdesaan dan daya tarik kota yang dipandang selalu dapat menyediakan lapangan kerja; 3). Dampak urbanisasi di Kota Semarang adalah involusi perkotaan yang ditandai pertumbuhan sektor jasa dan sektor informal, dan sektor informal seakan selalu bisa dimasuki oleh pekerja baru. Sektor industri dan pertanian menurun perannya, sebaliknya sektor informal semakin meningkat. Dampak lain adalah menurunnya mutu atau kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas dan tingginya angka kejahatan. Saran yang disampaikan adalah isu megapolitan sudah terlampaui, sehingga yang perlu menjadi perhatian adalah gejala megaregional. Hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah mengusahakan keterkaitan antara lokalitas dengan sistem produksi dan ekonomi global di wilayah tersebut untuk menyejahterakan penduduk dan mencegah arus migrasi ke kota-kota besar. Variabel ”daya dukung lingkungan” dan variabel ”daya tampung sosial” perlu ditambahkan untuk mengukur terjadinya urbanisasi. Isu Masalah Sejak tahun 1990-an Kota Semarang terus berkembang termasuk daerah di belakangnya. Perkembangan tersebut ditandai dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta pertumbuhan ekonominya. Permasalahan yang muncul adalah bahwa apakah pertumbuhan jumlah penduduk juga diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang

Upload: dwi-ary-sutantri

Post on 08-Dec-2015

50 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Jurnal terkait urbanisasi

TRANSCRIPT

Page 1: Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

1

Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang Saratri Wilonoyudho, PSKLH Universitas Negeri Semarang

Ringkasan Eksekutif

Pertumbuhan ekonomi di Kota Semarang telah membawa akibat samping berupa

terjadinya kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas, meningkatnya sektor informal

dan pengangguran, kriminalitas, serta berbagai konflik sosial politik lainnya. Fenomena ini

menjadi kajian bahwa Kota Semarang tengah mengalami urbanisasi berlebih yakni

ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonominya.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mempelajari dinamika proses urbanisasi

di Kota Semarang dengan mengidentifikasi determinan pokok urbanisasi serta

mengidentifikasi dampak dan kaitan urbanisasi dengan kualitas hidup yang diidentifikasi

dari faktor-faktor sosial, ekonomi, dan demografi. Metode penelitian ini adalah melalui

survei yang menggunakan data sekunder dari BPS (Biro Pusat Statistik) dan instansi

lainnya, data hasil wawancara, Focus Group Discussion dan observasi lapangan.

Lingkupnya adalah studi kependudukan yang menggabungkan antara variabel demografis

dan variabel non-demografis. Dengan kata lain ini adalah penelitian kualitatif yang

digabung dengan penelitian kuantitatif.

Penelitian menyimpulkan bahwa : 1). Proses urbanisasi di Kota Semarang berlangsung

sejak jaman kolonial hingga proses kapitalisasi yang terkait dengan pasar global; 2).

Determinan utama urbanisasi di Kota Semarang adalah gabungan simultan antara

tekanan perdesaan dan daya tarik kota yang dipandang selalu dapat menyediakan

lapangan kerja; 3). Dampak urbanisasi di Kota Semarang adalah involusi perkotaan yang

ditandai pertumbuhan sektor jasa dan sektor informal, dan sektor informal seakan selalu

bisa dimasuki oleh pekerja baru. Sektor industri dan pertanian menurun perannya,

sebaliknya sektor informal semakin meningkat. Dampak lain adalah menurunnya mutu

atau kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti kerusakan lingkungan,

kemacetan lalu lintas dan tingginya angka kejahatan.

Saran yang disampaikan adalah isu megapolitan sudah terlampaui, sehingga yang perlu

menjadi perhatian adalah gejala megaregional. Hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut

adalah mengusahakan keterkaitan antara lokalitas dengan sistem produksi dan ekonomi

global di wilayah tersebut untuk menyejahterakan penduduk dan mencegah arus migrasi

ke kota-kota besar. Variabel ”daya dukung lingkungan” dan variabel ”daya tampung

sosial” perlu ditambahkan untuk mengukur terjadinya urbanisasi.

Isu Masalah

Sejak tahun 1990-an Kota Semarang terus berkembang termasuk daerah di belakangnya.

Perkembangan tersebut ditandai dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta

pertumbuhan ekonominya. Permasalahan yang muncul adalah bahwa apakah

pertumbuhan jumlah penduduk juga diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang

Page 2: Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang

2

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

mencukupi untuk memberikan kesempatan kerja yang layak bagi sebagian besar

penduduknya agar kualitas hidupnya semakin baik ?

Fakta historis menunjukkan bahwa proses urbanisasi sudah berlangsung sejak

kedatangan kolonial Belanda. Pertumbuhan Kota Semarang makin pesat setelah

dibangun pelabuhan udara dan laut, serta berbagai sarana industri dan jasa. Hal yang

pasti bahwa sampai saat ini urbanisasi berlebih di Kota Semarang masih tetap membawa

berbagai persoalan, baik masalah sosial, ekonomi, dan politik.

Berbagai hasil studi memang telah banyak menunjukkan bahwa dampak urbanisasi

berlebih sangat banyak, misalnya masalah kemiskinan, pengangguran, kriminalitas,

polusi, ketimpangan antardaerah, gejala urban primacy, dan seterusnya.

Gejala dan dampak urbanisasi berlebih juga masih terus diperdebatkan apakah sebagai

penghambat pembangunan atau sebaliknya. Pertanyaan seperti apakah benar masalah

kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pembangunan, kriminalitas, polusi,

pertumbuhan kawasan kumuh, dan sebagainya sebagai sebuah gejala dan dampak

urbanisasi berlebih juga perlu dijawab dengan jelas. Kesemua dampak tersebut

dianggap sebagai hal yang dapat menghambat pembangunan kota.

Gejala urban primacy misalnya masih diperdebatkan apakah kota besar akan berperilaku

sebagai parasit bagi kota-kota kecil di sekitarnya atau sebaliknya malah mendorong atau

generatif. Perdebatan tentang dampak ini terus berlanjut sejak dari konsep dependensi

Andre Gunder Frank, teori Gilbert dan Gugler, Hirschman, Friedman, sampai yang

optimistik seperti Terry McGee yang menyatakan bahwa urbanisasi akan menjadi

pertanda kemajuan sebuah kota.

Hal yang jelas dapat diamati, pertumbuhan ekonomi di Kota Semarang telah

menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan seperti banjir, rob, tanah longsor,

berkurangnya resapan air, berkurangnya taman terbuka. Demikian pula kriminalitas

juga meningkat, kemacetan lalu lintas, meningkatnya sektor informal dan gejala

pengangguran lainnya, konflik sosial, banyaknya aksi unjuk rasa, dan berbagai krisis

lainnya.

Hal lain yang masih menjadi persoalan adalah teori tentang urbanisasi berlebih

didasarkan atas pengalaman negara-negara maju, dengan tingkat urbanisasi yang

sebanding dengan tingkat industrialisasinya. Di negara-negara maju telah terjadi

transformasi ketenagakerjaan yang relatif evolutif dan linier, yakni dari sektor pertanian

ke sektor industri baru muncul sektor jasa. Sebaliknya di negara-negara berkembang

seperti Indonesia, transformasi tersebut tidak linier, karena langsung melompat dari

sektor pertanian ke sektor jasa tanpa melalui sektor industri.

Latar Belakang Masalah

Semarang tengah mengalami pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang

sangat pesat. Sebagai ibukota Propinsi Jawa Tengah, Semarang terletak pada posisi

strategis di jalur pantai utara dan sebagai simpul regional dan nasional. Kota Semarang

Page 3: Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang

3

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

memiliki “hinterland” atau daerah belakang yang meliputi kawasan Kedungsepur

(Kendal, Demak, Ungaran, dan Purwodadi). Daerah Kedungsepur tersebut merupakan

simpul strategis. Mulai kaburnya garis batas non-administratif tersebut seakan

menyatukan wilayah Semarang dengan kota-kota di sekitarnya sehingga membentuk

suatu “megapolitan”. Sudah pasti, banyak akibat yang harus ditanggung oleh Kota

Semarang, terutama berkaitan dengan semakin besarnya kota ini, diantaranya masalah

lingkungan, lalu lintas, permukiman, sampai ke masalah-masalah sosial lainnya.

Persoalan yang lain yang menyertai pertumbuhan kota-kota besar seperti Semarang

adalah sebagaimana telah disinggung oleh McGee (1971) yang meneliti tentang

pertumbuhan kota-kota besar di Dunia Ketiga.

Menurut McGee persoalan pokok kota-kota di negara-negara Dunia Ketiga adalah :

Pertama, kota-kota di negara-negara Dunia Ketiga tumbuh luar biasa; Kedua,

pertumbuhan kota-kota itu tidak disertai pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat guna

memberikan peluang kerja bagi penduduknya. Todaro dan Stilkind (1981) menyebutnya

sebagai “urbanisasi berlebih”, yakni suatu ketidakseimbangan antara urbanisasi dan

pertumbuhan kota.

Pertumbuhan Kota Semarang yang terjadi saat ini diduga tidak diikuti dengan

perencanaan strategis guna menunjang pembangunan kota yang berkelanjutan. Ada

dugaan bahwa rencana tata ruang kota hanya merupakan kelengkapan administratif

belaka sehingga tidak dapat digunakan sebagai pedoman pembangunan kota. Dugaan ini

juga diperkuat oleh hasil evaluasi yang dilakukan oleh Soedradjat (2000). Menurut

Soedradjat, pada tahun 1997 telah dilakukan evaluasi terhadap kinerja pelaksanaan

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Dari sejumlah 214 kabupaten yang

dievaluasi, 30 % kinerjanya buruk dalam arti rencana tata ruang tidak dapat dijadikan

sebagai acuan pembangunan, 50 % masih memerlukan perbaikan, dan 20 % masih dapat

digunakan sebagai acuan pembangunan.

Padahal kini Kota Semarang bersama dengan daerah belakangnya telah tumbuh dengan

ciri sebagai “region based urbanization” (menurut istilah McGee), yakni suatu wilayah

perkotaan yang menjalar ke daerah pinggiran. Namun karena pertumbuhan Kota

Semarang tidak didukung oleh perencanaan yang strategis, dan tidak diantisipasi dengan

rencana tata ruang kota yang baik, maka yang terjadi adalah pertumbuhan kota yang

banyak membawa masalah, baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik. Hasil

penelitian Sutomo (1994) misalnya menunjukkan bahwa telah terjadi aglomerasi

spontan di sepanjang jalur regional Semarang berupa kegiatan komersial dan ditandai

oleh restrukturisasi internal, dengan ciri utama adanya pergeseran fungsi kota inti dari

pusat manufaktur menjadi pusat-pusat kegiatan bisnis dan jasa. Pada sisi lain, kegiatan

manufaktur bergeser ke pinggiran kota. Secara fisik restrukturisasi ini ditandai dengan

perubahan penggunaan lahan secara besar-besaran karena munculnya perumahan-

perumahan baru dan lokasi pabrik.

Perkembangan urbanisasi tersebut tetap menyisakan pertanyaan singkat, yakni apakah

telah terjadi gejala “over urbanization” (urbanisasi berlebih) di Kota Semarang atau tidak

? Demikian pula apakah keuntungan pertumbuhan ekonomi di Semarang dijalarkan ke

Page 4: Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang

4

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

wilayah-wilayah di belakangnya (hinterland) atau muncul apa yang disebut Rondinelli

(1984) sebagai sebuah innovation and the benefits or urban economic growth? Demikian

pula apakah juga telah terjadi trickle down effect atau tetesan ke bawah dan spread effect

atau efek menyebar dari pusat-pusat pertumbuhan tersebut ?

Kepentingan Organisasi Terhadap Isu

Isu urbanisasi dan kualitas penduduk harus menjadi perhatian penting pemerintah Kota

Semarang karena akan menyangkut keberlanjutan kehidupan di kota ini. Jika arus

urbanisasi tidak terbendung dan pada sisi yang lain tidak diikuti penciptaan lapangan

kerja yang mencukupi, maka akan muncul dampak yang sangat kompleks. Di bidang fisik

yang jelas akan terjadi degradasi lingkungan karena daya dukung lahan merosot. Lahan

kota banyak dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis yang tidak sebanding dengan

kemampuan lahan yang ada. Akibatnya banjir, rob, longsor dan sebagainya akan terjadi.

Di bidang sosial ekonomi akan terjadi konflik yang semakin tajam baik antara

pemerintah dengan masyarakat (miskin) dan antara masyarakat miskin dengan yang

kaya. Penggusuran dan penertiban pedagang kaki lima sudah sering terjadi. Demikian

pula meningkatnya angka kejahatan, kecelakaan lalu lintas, penyakit menular dan

sebagainya jelas merupakan akibat dari tidak memadainya daya dukung lahan dan daya

tampung sosial. Fakta inilah yang harus menjadi perhatian dan Kota Semarang harus

memiliki strategi yang baik untuk mengatasi urbanisasi dan meningkatkan kualitas

penduduknya.

Kebijakan Saat Ini

Kebijakan saat ini menunjukkan bahwa peraturan tentang Tata Ruang yang dibuat oleh

Pemerintah Kota Semarang cenderung untuk melegitimasi kebijakan yang lebih berpihak

pada kekuatan pasar (market driven), misalnya melegalkan kawasan-kawasan yang

semestinya dikonservasi atau dilindungi untuk pengembangan permukiman-

permukiman penduduk, pendidikan, perindustrian, perhotelan, dan kegiatan ekonomi

lainnya (Lisdiono, 2007). Dampaknya harga tanah makin tidak terjangkau, sehingga yang

terjadi adalah konflik-konflik kepentingan yang berimbas menjadi benturan antara

masyarakat dengan pihak pemerintah kota, bahkan berujung kepada tindakan kekerasan

fisik dan anarkisme seperti yang pernah terjadi pada kasus di Kampung Cakrawala atau

Jayenggaten Kota Semarang.

Ada tujuh kampung di pusat kota yang hilang akibat digusur untuk kepentingan

pendirian mal dan pusat bisnis lainnya. Pelanggaran tata ruang sering terjadi seperti di

Semarang Atas sehingga banjir dan rob di bagian bawah semakin menjadi. Transportasi

massal belum terbangun secara baik, bahkan pembangunan terminal induk Mangkang

kini nyaris “mangkrak” tidak berguna.

Page 5: Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang

5

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

Opsi Kebijakan

Urbanisasi berlebih akan tidak mudah dibendung di masa mendatang karena hal ini tidak

hanya terkait dengan masalah internal di Kota Semarang, namun terkait dengan

kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan regional. Fakta bahwa arus migrasi

terus dapat ditampung di Kota Semarang tidak hanya dapat dipahami bahwa kota ini

mampu berperan sebagai ”pull factor”, namun juga akibat adanya ”push factor” dari

wilayah perdesaan. Dengan kata lain, kebijakan untuk mengurangi arus migrasi harus

dilakukan secara simultan, baik antara kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan

regional, maupun antara perdesaan dan perkotaan.

Selanjutnya dari sisi internal di Kota Semarang, pemerintah kota harus mulai serius

untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan di wilayahnya dengan cara yang

benar. Artinya rencana kota yang dibuat harus didasarkan atas studi yang mendalam

sehingga dapat ditentukan mana saja kawasan budidaya dan mana saja kawasan yang

harus dilindungi. Dengan cara seperti ini, rencana kota bukan hanya sekadar pelengkap

administratif, melainkan benar-benar dapat digunakan sebagai acuan pembangunan. Jika

hal ini dapat dipenuhi maka pemerintah kota akan dapat menghitung seberapa besar

daya dukung lingkungan masih dapat diusahakan untuk mencukupi daya tampung sosial.

Kota Semarang masih memiliki peluang untuk menata ulang rencana kotanya karena

kota ini relatif belum ”overpopulated” seperti Jakarta misalnya, karena ruang terbuka di

kota ini masih cukup luas.

Pemerintah Kota Semarang harus mampu meningkatkan produktivitas masyarakat

miskin dengan memperbaiki kehidupan, meningkatkan akses kepada infrastruktur dan

fasilitas jasa sosial. Untuk menuju ke arah ini ada beberapa cara yang harus ditempuh,

yakni : 1). Melakukan pelatihan untuk meningkatkan mutu dan skill ; 2). Menjamin akses

golongan miskin terhadap fasilitas jasa-jasa sosial dan infrastruktur; 3). Dalam jangka

pendek memberikan proyek untuk mengamankan nasib masyarakat miskin.

Selanjutnya terkait dengan permasalahan di tingkat regional, implikasi kebijakan yang

diambil pemerintah kota dan kabupaten di wilayah Kedungsepur ini ialah, bagaimana

meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang memiliki inovasi untuk bekerja secara

mandiri. Pada satu sisi memang satu hal yang menggembirakan tumbuhnya jiwa

kewirausahaan ini, namun di sisi lain, merosotnya daya tarik sektor pertanian juga harus

mendapat perhatian serius. Idealnya industrialisasi atau pertumbuhan sektor jasa terkait

erat dengan pertumbuhan dan peningkatan produksi di sektor pertanian.

Demikian pula dengan tumbuhnya semangat kewirausahaan juga tidak sertamerta

disambut gembira karena masyarakat tidak tergantung kepada majikan di pabrik, namun

juga harus ditelusuri sampai seberapajauh mereka mengalami peningkatan

kesejahteraan. Artinya jangan sampai tumbuhnya sektor-sektor pekerjaan non-pertanian

hanya sekadar sebuah involusi, atau pengrumitan bentuk dan jumlah jenis-jenis

pekerjaan non-pertanian, namun hanya kecil tingkat produktivitasnya.

Page 6: Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang

6

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

Manfaat dan Kelemahan dari Setiap Opsi Kebijakan.

Manfaat opsi kebijakan membuat tata ruang yang mengakomodir kalangan bawah akan

dapat diciptakan lapangan kerja yang memadai dan kualitas kehidupan juga akan lebih

baik. Namun kelemahannya, hal ini akan menjadi daya tarik penduduk di sekitar

Semarang untuk berdatangan ke kota ini karena lapangan kerja tersedia. Hal ini terjadi

jika kehidupan di desa terus memburuk akibat sektor pertanian tidak dapat

dikembangkan.

Demikian pula opsi kebijakan untuk melakukan pelatihan untuk meningkatkan mutu dan

skill serta jaminan akses golongan miskin terhadap fasilitas jasa-jasa sosial dan

infrastruktur, juga akan berdampak semakin menariknya Semarang dijadikan tujuan

migrasi. Namun hal ini dapat diatasi jika ada koordinasi kebijakan yang erat antara

Semarang dan daerah pinggiran. Hanya masalahnya dalam era desentralisasi ini egoisme

sektoral masih nyata sehingga usulan ini tidak mudah dilakukan kecuali gubernur diberi

kewenangan untuk memimpin koordinasi dan diberi kewenangan menerapkan sanksi

bagi kabupaten/kota yang tidak taat aturan main.

Pilihan Opsi Kebijakan yang Disarankan

1. Strategi pengembangan kota sebaiknya diarahkan untuk lebih memperjelas hirarkhi

kota dengan menghindari dominasi Kota Semarang terhadap daerah di belakangnya

tersebut dan diharapkan dapat lebih menyebarkan hasil-hasil pembangunan (spread

effect and trickle down effect);

2. Kerjasama yang erat diantara wilayah tersebut harus diwujudkan dalam visi, misi, dan

tindakan nyata di lapangan karena pengembangan dan pertumbuhan kota seakan

tidak mengenal batas wilayah administratif. Harus ada semacam joint planning untuk

menuju satu integrated regional development program yang jelas dan reasonable

dalam segala aspek. Oleh karena itu setidaknya ada lima hal yang harus diperhatikan

dalam kerjasama tersebut, yakni : efisiensi dan optimalisasi manfaat, keterpaduan

antarwilayah, keserasian dan keseimbangan, upaya saling membantu dan saling

ketergantungan, serta kerjasama yang saling menguntungkan;

3. Masing-masing wilayah harus mampu menginventarisir dan mengidentifikasi

masalah, untuk kemudian didiskusikan dalam “satu meja” dan “satu bahasa” yang

koordinatif, kooperatif dan komprehensif guna mencari pemecahannya. Dari hasil ini

baru merumuskan langkah nyata bersama untuk memecahkan masalahnya. Dari titik

ini satu clearing house bagi semua informasi dan hasil studi atau penelitian

pembangunan antarwilayah tersebut perlu dilaksanakan;

4. Dalam koordinasi ini juga perlu dibedakan antara istilah administratif perencanaan

dan istilah administratif pembangunan. Artinya untuk hal-hal yang bersifat detil, tiap-

tiap wilayah memiliki otoritasnya sendiri, karena mereka memiliki kekhasan sendiri

dan paling paham terhadap masalahnya sendiri. Dengan kata lain, kerjasama

sebaiknya hanya di tingkat perencanaan dan implementasi program yang memiliki

implikasi kewilayahan bersama;

Page 7: Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang

7

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

5. Pengembangan ekonomi makro yang merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah

Kedungsepur juga perlu dilakukan misalnya kerjasama di bidang perdagangan,

industri, pertanian, dan sebagainya, serta menciptakan iklim yang merangsang para

investor menanamkan modalnya dengan tetap memperhatikan keseimbangan

lingkungan dan pemerataan hasil pembangunan. Usaha seperti penetapan suku

bunga, perpajakan, insentif-insentif serta berbagai sanksi yang tegas bagi yang

melanggar, perlu dibicarakan pada lingkup regional;

6. Manajemen pengelolaan kota dan daerah harus menjadi perhatian bersama, misalnya

peningkatan mutu kelembagaan dan mutu para aparatur pengelola kota atau daerah,

pola perencanaan pengembangan kota, pola pembiayaan, sistem informasi,

pengembangan infrastruktur kota, pola pengelolaan lingkungan, dan sebagainya;

7. Kerjasama antar kota dan kabupaten ini perlu ditegaskan karena diduga kuat,

urbanisasi dengan pola menyebar di wilayah Kedungsepur akan memicu kompetisi

yang kuat, yang boleh jadi berkembang tidak sehat;

8. Sudah saatnya kebijakan pembangunan pusat-pusat industri yang padat modal

ditinjau kembali. Industri kecil dan menengah yang berbasis pertanian perlu

dikembangkan agar para petani dan buruh tani turut menikmati hasilnya. Tuntutan ini

dikedepankan karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani, petani dan

pekerja tidak terampil lainnya, sangat kecil penghasilannya;

9. Kebijakan pengembangan kewirausahaan dan koperasi perlu diprioritaskan. Usaha

yang dapat dilakukan diantaranya : program pelatihan dan keterampilan manajemen,

kredit murah tanpa agunan, perluasan informasi pasar, dan pelibatan wirausahawan

dan koperasi di pasar global dengan bantuan instansi/lembaga pemerintah dan

Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya.

Referensi

Bappeda Kota Semarang. 2000. Rancangan Permulaan Agenda Kebijakan Pengembangan

Perkotaan Kota Semarang 2001-2004

Bappeda Kota Semarang. 2008. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang

2010-2020

Douglass, M.1995.”Global Interdependence and Urbanization : Planning for the Bangkok

Megaurban Regions” in McGee,T.G and I.M.Robinson (eds) The Megaurban Regions

of Southeast Asia. Vancouver, The University of British Columbia Press pp. 45-77

---------------.1998. “Urban and Regional Policy After the Era of Native Globalism”. Paper

presented at the Global Forum on Regional Policy United Nations Center for

Regional Development. Nagoya, December 1-4

---------------,2000. “Megaurban Regions and World City Formation : Globalization, the

Economic Crisis and Urban Policy Issues in Pasific Asia. Urban Studies 37 (12). pp.

15-36

Page 8: Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang

8

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

Frank, A.G. 1967. Capitalism and Underdevelopment in Latin America : Historical Studies

of Chile-Brazil. Monthly Review Press

Friedmann, J.P. 1966. Regional Development Policy : a Case Study of Venezuela. MIT

Press

Friedmann, John and Douglas, Mike.1978. “Agropolitan Development : Towards a New

Strategy for Regional Planning”. Dalam Fu Chen Lo dan Kamal Salih (eds) Growth

Pole Strategy and Regional Development Policy. Toronto Pergamon Press pp. 163-

192

Gordon, GL. 1993. Strategic Planning for Local Government. Practical Management Series

Gugler,Josef. 1982. “Overurbanization Reconsidered”. Economic Development and

Cultural Change. Vol.30. pp. 173-189

Jones,Gavin W.2000.Megacities in The Asia Pasific Region. Paper Delivered at the X

Biennial Conference of the Australian Population Association. Melbourne

28 – 1 December. http://www.apa.org.au/upload/2000.P1.Jones.pdf

-------, 2001. Studying Extended Metropilitan Regions in South-East Asia. Paper

Presented at the XXIV General Conference of the IUSSP. Salvador Brazil 18-24

August. http://www.iussp.org/Brazil 2001/s40/s42.02. Jones.pdf

--------. 2003. “The Fifth Asian and Pacific Population Conference : Towards A

Repositioning of Population in the Global Development Agenda ?”.Asia-Pacific

Population Journal Vol.18. No.2. June. pp.21-39

Lisdiono, Edi. 2007. “Aspek Legislasi Tata Ruang Kota Semarang”. Disertasi. Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Tidak Dipublikasikan

McGee, Terry. 1971. The Urbanization Process in the Third World Exploration in Search

of Theory. London : G.Bell and Son Ltd

-----------------. 1991. “The Emergence of Desa Kota Regions in Asia”. in N.Ginsburg,

B.Koppel and TG McGee (Eds) The Extended Metropolis : Settlement Transition in

Asia. Honolulu : University Of Hawaii Press

Rondinelli. 1984. “Small Towns in Developing Countries : Potential Centers of Growth,

Transformation, and Integration” Dalam HD. Kammeir and PJ Swan (Eds)

Equity With Growth ? Planning Perspectives for Small Towns in Developing

Countries. Bangkok : AIT

-------------------, 1985. Applied Methods of Regional Analysis : The Spatial Dimension of

Development Policy. pp.1-22

Santos, M. 1971. The Shared Space : the Two Circuits of the Urban Economy in

Underdevelop Countries. New York : Methuen

Soedradjat, I. 2000. “Mekanisme Penataan Ruang”. Makalah Pelatihan Penataan Ruang

Bagi Eksekutif dan Legislatif Pemerintah Kota Semarang. Semarang 5-6 September

Page 9: Urbanisasi Dan Kualitas Penduduk Di Kota Semarang

9

Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan

Sutomo, Sugiyono. 1994. “Ruang Semi Urban dalam Proses Pemekaran”. Makalah

Seminar Kota Menengah dan Kecil dalam Pembangunan. Universitas Diponegoro

Semarang 20 Juli 1994

Todaro, Michael P and Jerry Stilkind. 1981. The Urbanization Dilemma. New York : The

Population Council

-----------------------. 1981. City Bias and Rural Neglect : The Dilemma of Urban

Development. New York : The Population Council

Policy Brief ini ditulis oleh Saratri Wilonoyudho, peneliti pada Pusat Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup –

Universitas Negeri Semarang Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis

Policy Brief ini disampaikan pada acara Diseminasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Kependudukan - BKKBN di Hotel Horison Bekasi, 16-18 Desember 2011.