bab i. pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88060/potongan/s3-2015... · urbanisasi dan...

33
1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintahan Daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (telah diamandemen dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah), pemerintah daerah dengan kewenangannya dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui kewenangannya. Salah satu kewenangan yang diberikan kepada daerah adalah wewenang dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana termuat dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota, pemerintah daerah mempunyai wewenang yang meliputi: (a) perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota; (b) pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan (c) pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. Pemerintah daerah diharapkan bisa menyusun perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota yang baik sehingga dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pelaksanaan pemanfaatan ruang itu sendiri memerlukan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang di Indonesia dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi (UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 Pasal 35). Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang dan disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Penerapan peraturan zonasi di wilayah kabupaten/kota ditetapkan terlebih dahulu dengan peraturan daerah. Pengertian kata peraturan dan zonasi dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata zonasi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata

Upload: phungtuyen

Post on 06-Apr-2019

230 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerintahan Daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diamanatkan

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (telah diamandemen

dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah), pemerintah

daerah dengan kewenangannya dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui kewenangannya.

Salah satu kewenangan yang diberikan kepada daerah adalah wewenang

dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana termuat dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota, pemerintah daerah

mempunyai wewenang yang meliputi: (a) perencanaan tata ruang wilayah

kabupaten/kota; (b) pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan (c)

pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. Pemerintah daerah

diharapkan bisa menyusun perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota yang

baik sehingga dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan

pengendalian pemanfaatan ruang. Pelaksanaan pemanfaatan ruang itu sendiri

memerlukan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai upaya untuk mewujudkan

tertib tata ruang.

Pengendalian pemanfaatan ruang di Indonesia dilakukan melalui penetapan

peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan

sanksi (UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 Pasal 35). Peraturan zonasi

disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang

dan disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Penerapan

peraturan zonasi di wilayah kabupaten/kota ditetapkan terlebih dahulu dengan

peraturan daerah.

Pengertian kata peraturan dan zonasi dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Kata zonasi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata

2

benda dan mempunyai arti sebagai pembagian atau pemecahan suatu areal

menjadi beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan.

Sementara itu, peraturan merupakan kata benda dan mempunyai arti sebagai

tataan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur.

Peraturan zonasi di Indonesia merupakan instrumen pengendalian

pemanfaatan ruang yang relatif masih baru sejak diberlakukannya UU Penataan

Ruang Nomor 26 Tahun 2007. Peraturan zonasi yang digunakan Indonesia saat ini

mengadopsi peraturan zonasi dari negara lain yaitu Amerika Serikat. Ada

keraguan apakah peraturan zonasi Indonesia dalam bentuknya sekarang ini

mampu berjalan baik karena kondisi negara Indonesia (sistem pemerintahan dan

penataan ruang) berbeda dengan kondisi Amerika Serikat. Keraguan ini

mengemuka karena sesuai dengan pendapat Korten (1996, dalam Sadyohutomo,

2008: 78-79) bahwa aspek penting yang sebaiknya diperhatikan dalam pendekatan

perencanaan dan pengeloaan kota adalah ekonomi, sosial, politik dan budaya.

Keempat aspek ini sangat berkaitan erat dengan sistem pemerintahan yang pada

gilirannya nanti akan berpengaruh pada penataan ruang di kabupaten/kota. Korten

berpandangan, tindakan perencanaan dan pengelolaan kota yang dilakukan

pemerintah akan berhasil bila secara ekonomi akan menguntungkan (economically

viable), secara sosial dan politik dapat diterima masyarakat (socially and

politically acceptable) dan sensitif terhadap budaya setempat (culturally

sensitive). Dapat dikatakan, peraturan zonasi di Amerika Serikat saat ini berjalan

baik karena secara ekonomi, sosial, politik dan budaya telah diterima

masyarakatnya dan berada dalam sistem pemerintahan federalnya. Namun untuk

Indonesia, belum bisa diketahui peraturan zonasi dalam bentuknya saat ini mampu

berjalan baik atau tidak karena sistem pemerintahan dan penataan ruang berbeda

dengan Amerika Serikat. Dalam artian, belum bisa diketahui peraturan zonasi

Indonesia saat ini dapat diterapkan dengan baik atau tidak. Selain itu, di Indonesia

ada indikasi ketidaklengkapan institusi yang mendukung pelaksanaan peraturan

zonasi misalkan: board of zoning adjustment. Untuk itu perlu dilakukan penelitian

mengenai model konseptual peraturan zonasi seperti apa yang efektif sesuai

kondisi di Indonesia supaya bisa diakomodasi dalam penyusunan dan penerapan

3

peraturan zonasi sebagai perangkat pengendalian pemanfaatan ruang. Penelitian

ini mengembangkan model konseptual zonasi yang efektif sesuai sistem

pemerintahan di Indonesia.

Zonasi modern mulai dikembangkan di Jerman pada akhir abad ke-19 dan

menyebar ke negara lain seperti Amerika Serikat dan Kanada pada awal abad ke-

20. Zonasi ini muncul sebagai respon atas industrialisasi dengan adanya revolusi

industri di Eropa dan meningkatnya pengaduan masyarakat yang merasa

kehidupannya terganggu akibat dampak negatif kegiatan industri tersebut (Leung,

1989: 158, Listokin, 1974: 4, Jayadinata, 1992 dalam Hariyono, 2010: 47,

Sudaryono, 2012: 2). Gangguan ini juga diakibatkan dampak buruk dari

urbanisasi dan pertumbuhan populasi penduduk yang meningkat pesat sehingga

pemerintah harus segera bertindak mencari cara penyelesaian. Zonasi sebagai

bagian dari modern planning, dan teori-teori modern planning lainnya antara lain

teori garden city (1898), teori city development (1904), teori planning the modern

city (1916) dan teori the city of tomorrow and its planning (1929), menyebar

keluar dari Eropa ke belahan dunia lainnya melalui kolonialisme (Sudaryono,

2012: 2-3). Selain dengan cara ini, zonasi menyebar dan juga digunakan negara-

negara lainnya di luar Eropa atas keinginan sendiri, sebagai contoh: pada awal

abad 20 negara Jepang mengirim sejumlah pemuda ke Benua Eropa (Jerman,

Inggris dan Perancis) dan Amerika untuk yang mempelajari perkembangan ilmu

perencanaan termasuk mempelajari zonasi. Hasil pembelajaran ini, Jepang dapat

mengembangkan sistem perencanaannya dengan memberlakukan The 1919 City

Planning System yang terdiri dari lima materi utama dan salah satunya adalah

land use zoning system (Sorensen, 2002: 114). Pada beberapa negara peraturan

zonasi (zoning regulation) dikenal juga dengan istilah land development code,

zoning code, zoning ordinance, zoning resolution, zoning by-law, urban code dan

planning act.

Zonasi yang berkembang saat ini berkaitan dengan fungsi dan peran peraturan

zonasi, faktor-faktor pendorong perkembangan peraturan zonasi, kedudukan

peraturan zonasi, materi dan variasi peraturan zonasi. Beberapa konsep berkaitan

dengan fungsi dan peran peraturan zonasi antara lain: peraturan zonasi merupakan

4

alat bagi pemerintah selaku pemegang hak dan kewenangan (police power) untuk

melindungi kepentingan umum dan mewujudkan kesehatan, keamanan, moral dan

kesejahteraan publik (Gallion dan Eisner, 1963: 203, Babcock, 1979: 416,

Listokin, 1974: 4, Sizemore, 2007: 348). Sementara itu, Gallion dan Eisner

(1965) dan Lang (1994: 85) mengemukakan bahwa peraturan zonasi telah diakui

sebagai salah satu cara untuk mengatur penggunaan lahan, tidak hanya di Amerika

Serikat tetapi juga hampir pada setiap negara di dunia. Selanjutnya, Lai dan

Schultz (dalam Lang, 1994: 3), peraturan zonasi merupakan salah satu peraturan

yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan kota terkait dengan kepentingan

publik. Peraturan zonasi fokus pada penyehatan lingkungan, pengaturan distribusi

peruntukan lahan dan menciptakan pola sirkulasi yang efisien (Lang, 1994).

Babcock (1979: 416) mengatakan zonasi merupakan pembagian wilayah menjadi

beberapa kawasan dengan aturan-aturan hukum yang ditetapkan lewat peraturan

zonasi, dan prinsipnya bertujuan memisahkan pembangunan kawasan industri dan

komersial dari kawasan perumahan. Berikutnya Hiroshi (dalam Okata 1980,

dalam Sorensen, 2002: 115), zonasi dibuat bukan untuk mengontrol pemanfaatan

lahan secara ketat namun untuk menggambarkan struktur kota secara jelas dengan

menentukan zona-zona pemanfaatan lahan secara baik dalam menghadapi

kemajuan urbanisasi.

Zonasi yang berkaitan dengan faktor-faktor pendorong perkembangan

peraturan zonasi antara lain meningkatnya kesadaran masyarakat kota akan

pentingnya kualitas lingkungan, ikut mendorong penerapan peraturan zonasi dan

memperlihatkan bahwa pemerintah serius dalam mengendalikan pembangunan

(Shirvani, 1985: 168). Zonasi telah menjadi dasar dari banyak kasus pengadilan di

Amerika Serikat dengan keputusan-keputusan pengadilan yang mendukung dan

memperkuat zonasi tersebut (Gallion dan Eisner, 1963: 204, Listokin, 1974: 4).

Zonasi berkaitan dengan kedudukan peraturan zonasi antara lain

dikemukakan Alexander (1986: 71), dalam pengelompokkan model perencanaan,

peraturan zonasi bersama dengan master plan dikelompokkan dalam model

perencanaan instrumental kategori regulatory planning. Kemudian Branch (1985:

143-153), beberapa bentuk pengendalian penggunaan ruang meliputi: (1)

5

peraturan bangunan (building code); (2) pembagian persil (subdivision control);

dan (3) peraturan zonasi (zoning regulation). Berkaitan dengan variasi dan materi

peraturan zonasi dikemukakan Gallion dan Eisner (1963: 204) dan Levy (1997:

117), peraturan zonasi terdiri dari teks peraturan zonasi (zoning text) dan peta

zonasi (zoning map). Unsur-unsur utama yang diatur dalam peraturan zonasi

diuraikan Babcock (1979: 421-431), Branch (1985: 157), Mandelker (1993: 248-

250), Patterson (1979: 53-55) dan Sizemore (2007: 364).

Sejauh ini, beberapa negara telah berhasil dalam melaksanakan pengendalian

pemanfaatan ruang dengan menggunakan zonasi. Amerika Serikat adalah salah

satu negara yang menggunakan peraturan zonasi sebagai instrumen pengendalian

pemanfaatan ruang. Negara ini telah mengembangkan peraturan zonasi sejak akhir

abad ke 19 dan awal abad ke 20 dengan mengadopsi zonasi dari Jerman (Leung,

1989: 158) dan pertama kali peraturan zonasi komprehensif diterapkan di kota

New York pada tahun 1916. Pengendalian pemanfaatan ruang di Amerika Serikat

pada umumnya menganut regulatory system kecuali kota Houston Texas. Dalam

sistem ini, peraturan zonasi digunakan sebagai instrumen pengendalian

pemanfaatan ruang dan secara hukum bersifat mengikat pemerintah dan

masyarakat.

Inggris sebagai negara yang juga berhasil dengan sistem pengendalian

pembangunannya (development control system). Sistem ini mulai dibentuk dengan

pemberlakuan Town and Country Planning Act 1947. Pada intinya, dengan sistem

seperti ini, Inggris merupakan negara yang menganut discretionary system sebagai

sistem pengendalian pemanfaatan ruang di negaranya. Rencana zonasi sudah

tercakup di dalam development plans (structure plan dan local plan). Pengajuan

permohonan perencanaan (planning permission) dari masyarakat akan diputuskan

oleh otoritas lokal dengan mengacu kepada development plans dan

mempertimbangkan beberapa aspek lainnya yang dianggap penting. Development

plans ini tidak bersifat mengikat secara hukum sehingga dapat dijadikan acuan

atau dapat diabaikan jika dianggap tidak sesuai dalam menjawab permohonan

perizinan pemanfaatan ruang dari masyarakatnya (Alder, 1989: 1-2). Negara

berikutnya Perancis dengan rencana zonasinya Plan d’Occupation des Sols (POS).

6

Semua commune dengan populasi 50.000 penduduk diharuskan memiliki satu

rencana zonasi POS. Pembuatan rencana ini bukan suatu kewajiban tetapi dapat

membantu dalam perizinan pemanfaatan lahan. POS merupakan rencana zonasi

yang ketat. POS kemudian menjadi dasar untuk pembuatan PLU (Plan Local

d’urbanisme) atau zoning regulation.

Denmark memberikan kewenangan kepada pemerintah kota untuk membuat

rencana struktur kota (kommuneplan) dengan mengacu kepada pedoman regional.

Rencana ini merupakan rencana komprehensif yang mencakup semua wilayah

kota, merencanakan guna lahan kota, spesifikasi alih guna lahan antar zona dan

menyediakan kerangka bagi pembuatan rencana lokal. Ketentuan dasar

perencanaan di Denmark adalah pembagian semua wilayah negara dalam tiga

zona yaitu: (1) zona rural; (2) zona urban; dan (3) zona rekreasi (recreational).

Swedia dengan pemberlakuan Planning and Building Act 1987 mengharuskan

semua pemerintah kota membuat rencana komprehensif (oversiktsplan) yang

menggambarkan rencana guna lahan dan pembangunan di masa datang. Rencana

komprehensif ini tidak mengikat secara individual akan tetapi menyediakan

kerangka untuk penyusunan rencana rinci dan koordinasi kegiatan sektor publik.

Instrumen perencanaan yang paling penting di Swedia adalah rencana rinci

(detaljplan) dan secara hukum bersifat mengikat. Rencana rinci juga dapat

berisikan aturan desain, bahan konstruksi, lot sizes, floor areas, lanskap, area

parkir dan area konservasi.

Zonasi di Australia merupakan bagian dari town and country planning (Brown

dan Sherrad, 1951 dalam Thompson, 2007: 18). Kemudian negara Jepang

mempunyai sistem zonasi yang merupakan bagian paling penting dalam

perencanaan perkotaan. Urban city planning area dibagi menjadi dua yaitu urban

promotion area (UPA) dan urban control area (UCA). UPA merupakan daerah

yang direkomendasikan pemerintah lokal sebagai daerah urbanisasi dan daerah

sisanya sebagai daerah urbanisasi yang dikontrol dengan UCA. Zonasi dibuat

hanya untuk dilaksanakan pada UPA dan tidak dibuat untuk UCA. Pembangunan

pada daerah yang tidak melaksanakan zonasi memerlukan izin dari pemerintah.

7

Pada UCA, pembangunan pada prinsipnya dilarang kecuali untuk peruntukan

lahan pertanian dan kehutanan.

Peraturan zonasi di Singapura bagian dari Master Plan. Master Plan

merupakan rencana fisik yang komprehensif dengan penekanan pada penataan

penggunaan lahan dengan tujuan untuk mengatur pembangunan fisik baik yang

dilakukan oleh pihak swasta maupun oleh pemerintah melalui peraturan zonasi.

Sejak tahun 1973 Singapura memiliki Micro-Zoning Plan untuk daerah-daerah

tertentu. Micro-Zoning Plan memberikan gambaran lebih terperinci daripada

Master Plan dengan maksud memberikan arahan yang lebih kuat dan jelas

mengenai kepadatan, bentuk dan tinggi bangunan supaya sesuai dengan kondisi

yang ada. Filipina memberi kewenangan kepada pemerintah lokal untuk

menyiapkan comprehensive land use plans dan zoning ordinance yang akan

menjadi pedoman utama dan penting dalam perencanaan pemanfaatan lahan.

Pemerintah lokal dibantu oleh Housing and Urban Development Coordinating

Council (HUDCC) melalui Key Housing Agencies yang menyiapkan bantuan bagi

pemerintah lokal seperti formulation of zoning and land use control standards and

guidelines dan bantuan teknis dalam pembuatan town and land use plan.

Zonasi di Indonesia sendiri sudah berkembang tahun 2003 dan secara legal

diatur pada tahun 2007 dengan pemberlakuan UU No. 26 tahun 2007. Pada tahun

yang sama, pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Penataan Ruang

Departemen Pekerjaan Umum (Departemen PU) menerbitkan buku pedoman

Konsep Dasar Panduan Penyusunan Peraturan Zonasi Wilayah Perkotaan.

Peraturan zonasi yang diperkenalkan Departmen PU ini mengadopsi peraturan

zonasi model Amerika Serikat. Selanjutnya dengan terbitnya buku pedoman

peraturan zonasi ini, pemerintah daerah (kota dan kabupaten) diharapkan segera

menyusun dan menerapkan peraturan zonasi di daerahnya masing-masing,

mengingat peraturan zonasi ini sangat diperlukan sebagai salah satu instrumen

pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam penerapan peraturan zonasi akan

menghadapi hambatan karena konsep peraturan zonasi ini di Indonesia merupakan

konsep baru yang sejauh ini belum teruji keberhasilan penerapannya. Belum

diketahui apakah zonasi yang telah digagas pemerintah Indonesia sesuai dengan

8

system pemerintahan di Indonesia. Pemikiran selanjutnya adalah bagaimana

pemerintah daerah menyusun suatu peraturan zonasi yang bisa efektif diterapkan

di daerahnya.

Kota dan kabupaten yang sudah menyusun peraturan zonasi atau dokumen

dengan isi materi mirip peraturan zonasi antara lain Kota Batam (2006), Kota

Palembang (2006), Kota Cimahi Bandung (2003), Kawasan Bandung Utara, DKI

Jakarta, Kabupaten Lombok Tengah, Sebagian Kawasan Aglomerasi Perkotaan

Yogyakarta (2010), Kawasan Pesisir Muncar Kabupaten Banyuwangi, Kota

Surakarta, Kawasan Legian, Seminyak dan Kuta Kabupaten Badung Bali (2006),

Kota Sofifi Maluku Utara, Kota Bogor (2011), Kota Pekalongan (2011),

Kabupaten Wonogiri (2011) dan Kabupaten Pemalang (2011).

Kota Cimahi adalah kota di Indonesia yang sudah lebih dulu menyusun suatu

petunjuk teknis dengan substansi mirip peraturan zonasi selain DKI Jakarta. Kota

Cimahi sudah menyusun dan menerapkan suatu dokumen dengan isi materi teknis

hampir sama dengan peraturan zonasi yang diperkenalkan oleh Departemen PU

RI saat ini melalui buku pedoman penyusunan peraturan zonasinya. Peraturan

zonasi Kota Cimahi ini berupa Petunjuk Teknis RTRW Kota Cimahi 2003-2013

dan sudah diterapkan sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang sejak

tahun 2003 hingga sekarang.

Hasil penelusuran yang dilakukan peneliti dapat diketahui bahwa rencana rinci

tata ruang di kota ini masih kurang operasional untuk digunakan sebagai acuan

dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Masih ada beberapa aspek dan materi

yang belum diatur dalam rencana rinci ini sehingga peraturan zonasi sangat

diharapkan segera bisa diberlakukan dan adanya peraturan zonasi ini dipandang

akan efektif membantu kelancaran dan kemudahan dalam pengendalian

pemanfaatan ruang di kedua kota ini. Dalam tataran sistem pengendalian

pemanfaatan ruang dan praktek pengendalian pemanfataan ruang di Indonesia

masih terjadi dualisme. Pada tataran sistem pengendalian pemanfaatan ruang,

Indonesia cenderung menganut regulatory system seperti Amerika Serikat.

Adanya UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 yang mengatur RTRW

Kota/Kabupaten dan peraturan zonasi diberlakukan dengan peraturan daerah

9

(perda), akan mengikat masyarakat dan pemerintah daerah secara hukum. Hal ini

menggambarkan Indonesia cenderung mengarah ke regulatory system. Namun

dalam praktek pengendalian pemanfaatan ruang, Indonesia mengarah ke

discretionary system.

Pada praktek pengendalian pemanfaatan ruang, sistem perizinan yang selama

ini berjalan di Indonesia memiliki kemiripan dengan development control Inggris

yang jelas menganut discretionary system. Dalam sistem ini, rencana tata ruang

(RTRWK, RDTRK dan peraturan zonasi) bukanlah dokumen yang secara mutlak

dijadikan acuan dalam menjawab permohonan perizinan namun bisa diabaikan

ketika pihak berwenang menganggap rencana tata ruang tersebut tidak sesuai

dengan kondisi yang ada dan perlu mengambil kebijakan (discretion) tersendiri

dengan mempertimbangkan berbagai aspek penting lainnya. Saat ini, peraturan

zonasi masih dipahami sebagai salah satu bentuk rencana rinci tata ruang sama

halnya dengan rencana rinci tata ruang lainnya (RDTRK dan RTRK). Peraturan

zonasi tidak dipandang sebagai peraturan, yaitu tidak memerlukan izin pemerintah

daerah untuk penerapan isi peraturan zonasi itu sendiri selayaknya yang terjadi di

negara asalnya, Amerika Serikat, yang peraturan zonasinya Indonesia adopsi.

Adanya dualisme dalam tataran sistem dan praktek pengendalian pemanfaatan

ruang di Indonesia yaitu mengadopsi regulatory system (peraturan zonasi) gaya

Amerika Serikat dan discretionary system gaya Inggris, menggambarkan

Indonesia telah mengkombinasikan regulatory system dan discretionary system.

Kombinasi ini disebut moderate system, yaitu sistem pengendalian pemanfaatan

ruang yang mengkombinasikan regulatory system dan discretionary system dan

berupaya mengambil dan menggabungkan keunggulan dari masing-masing sistem

ini.

Sejalan dengan kondisi empiri ini, Ernawi (2012) mengemukakan bahwa

untuk operasional Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota dan Kabupaten

maka perlu diterjemahkan ke dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan

selanjutnya RDTR akan dilengkapi dengan peraturan zonasi yang memberikan

ketentuan pembangunan kota/kabupaten (diperbolehkan, tidak diperbolehkan,

diperbolehkan bersyarat dan dengan pengecualian). Lebih lanjut Ernawi

10

mengatakan, RDTR dan peraturan zonasi merupakan satu kesatuan upaya

pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang dan merupakan dokumen

referensi dalam pemberian izin, insentif dan disinsentif serta sanksi bagi para

pelaku publik dan privat. Jelas dimaksudkan oleh Ernawi, peraturan zonasi sama

halnya dengan RDTR yakni dijadikan acuan dalam pemberian izin untuk

pemanfaatan ruang. Pendapat Ernawi ini menegaskan bahwa peraturan zonasi di

Indonesia masih dipahami dan digunakan sebagai bentuk rencana rinci tata ruang

bukan sebagai peraturan sebagaimana yang dikembangkan negara yang peraturan

zonasinya Indonesia adopsi, Amerika Serikat.

Sampai saat ini, zonasi yang ada berkaitan dengan perkembangan zonasi di

negara-negara maju dan zonasinya telah mapan sesuai dengan kondisi sistem

pemrintahan dan penataan ruang negara tersebut dan sejauh ini belum ada yang

berkaitan model konseptual peraturan zonasi Indonesia. Untuk Indonesia sendiri,

penerapan peraturan zonasi merupakan hal baru bila dibandingkan dengan negara

lain yang telah menerapkan peraturan zonasi sejak akhir abad 19 dan awal abad 20.

Berdasarkan kondisi ini, penting untuk melakukan kajian yang lebih mendalam

mengenai model konseptual peraturan zonasi seperti apa yang dapat dikembangkan

sesuai dengan kondisi sistem pemerintahan dan penataan ruang di Indonesia dan

dapat diakomodasi dalam pengembangan peraturan zonasi di Indonesia. Penelitian

ini dilakukan untuk mengisi kekosongan pengetahuan mengenai model peraturan

zonasi yang sesuai sistem pemerintahan di Indonesia.

11

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kualitas lingkungan, Shirvani, 1985

Zonasi menjadi dasar banyak kasus pengadilan di Amerika Serikat dengan keputusan pengadilan yang mendukung dan memperkuat zonasi. Listokin, 1974, Gallion dan Eisner, 1963

Respon atas industrialisasi dan meningkatnya pengaduan masyarakat yang terganggu ampak negatif kegiatan industri. Leung, 1989 Listokin, 1974

peraturan zonasi dan master plan: kelompok model perencanaan instrumental kategori regulatory planning. Alexander (1986)

Bentuk pengendalian penggunaan ruang meliputi (1) peraturan bangunan (building code), (2) pembagian persil (subdivision control), dan (3) peraturan zonasi (zoning regulation). Branch, 1985

Unsur-unsur utama yang diatur dalam peraturan zonasi. Babcock (1979) Branch (1985) Mandelker (1993) Patterson (1979)

Fungsi dan peran peraturan zonasi Faktor-faktor pendorong perkembangan peraturan zonasi

Kedudukan peraturan zonasi

Materi dan variasi peraturan zonasi

Bentuk land use control

teks zonasi (zoning text) dan peta zonasi (zoning map). Levy (1997)

Penyusunan sistem zonasi perlu dialog dengan stakeholder. Tora Gunawan Purba, 2009

Pelaksanaan Rencana Zonasi akan optimal dengan adanya: komunikasi; keaktifan, koordinasi & dukungan pelaksana zonasi; sosialisasi zonasi kepada stakeholder & masyarakat. Heriasman , 2006

Penyusunan Zonasi perlu mempertimbangkan perlindungan ekosistem & kepentingan sosial, ekonomi & budaya masyarakat. Nuryadi, 2005

Mencegah konflik pada zona mixed uses dengan memperhatikan perbaikan kondisi lingkungan perkotaan. Mandelker, 1974

Alat pemerintah (police power) untuk melindungi kepentingan publik & mewujudkan kesehatan, keamanan, moral, kesejahteraan publik. Babcock, 1979, Listokin, 1974, Gallion & Eisner, 1963, Sizemore, 2007.

Cara mengatur penggunaan lahan di USA dan mayoritas negara di dunia. Gallion & Eisner (1994), Lang (1994)

Mengatur pertumbuhan dan perkembangan kota terkait dengan kepentingan publik. Lai dan Schultz (dalam Lang, 1994: 3)

Fokus pada penyehatan lingkungan, pengaturan distribusi peruntukan lahan dan menciptakan pola sirkulasi yang efisien. Lang, 1994

Membagi wilayah menjadi beberapa zona dengan aturan hukum dan prinsipnya bertujuan memisahkan kawasan industri dan komersial dari perumahan. Babcock (1979)

Bukan mengontrol pemanfaatan lahan secara ketat tapi menggambarkan struktur kota dengan menentukan zona-zona lahan. Ikeda Hiroshi, 1918

Faktor-faktor pertimbangan dalam penyusunan & pelaksanaan peraturan zonasi

Gambar 1. Perkembangan Pengetahuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Zonasi

Akhir abad 19/awal abad 20 - 2000 2001-2012

Procedural Planning & Implementation theory Faludi, 1973

Subdivision control Listokin, 1974 Branch, 1985

Zoning Regulation akhir abad 19

Development Permit Branch, 1985

Incentive & Disincentiv Branch, 1985

Sanction Branch, 1985

Growth management 1970an

12

1.2. Permasalahan Penelitian

Zonasi yang berkembang di negara-negara maju pada akhir abad 19 dan awal

abad 20 hingga saat ini banyak berhubungan dengan fungsi dan peran peraturan

zonasi, kedudukan peraturan zonasi, faktor-faktor pendorong perkembangan

peraturan zonasi, materi dan variasi peraturan zonasi. Sampai saat ini, belum ada

zonasi yang berkaitan dengan zonasi sesuai sistem pemerintahan di Indonesia.

Pada umumnya, peraturan zonasi yang dibuat oleh banyak kota dan kabupaten

saat ini mengikuti pedoman penyusunan peraturan zonasi yang diterbitkan

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum RI. Peraturan

zonasi model ini mengadopsi peraturan zonasi yang berkembang di Amerika

Serikat. Dalam penerapan peraturan zonasi di Indonesia, tidak tertutup

kemungkinan adanya hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya mengingat

konsep peraturan zonasi ini merupakan konsep yang diadopsi dari negara lain

yaitu Amerika Serikat yang memiliki sistem pemerintahan dan penataan ruang

berbeda dengan Indonesia. Saat ini zonasi yang berkembang masih memandang

peraturan zonasi sebagai salah satu bentuk rencana rinci tata ruang bukan sebagai

peraturan pengendalian pemanfaatan ruang seperti yang diterapkan di negara

asalnya, Amerika Serikat. Selain itu sebagaiman telah disampaikan di bagian latar

belakang, di Indonesia ada indikasi ketidaklengkapan institusi yang mendukung

pelaksanaan peraturan zonasi misalkan: board of zoning adjustment.

Kesenjangan antara zonasi yang ada dengan empiri zonasi di Indonesia

menimbulkan permasalahan model konseptual peraturan zonasi seperti apa yang

baik bagi Indonesia. Sampai saat ini belum ada penelitian model konseptual

peraturan zonasi seperti apa yang bisa diakomodasi dalam penyusunan dan

penerapan peraturan zonasi sebagai perangkat pengendalian pemanfaatan ruang di

Indonesia. Berdasarkan permasalahan ini, maka perlu dilakukan penelitian

mengenai model konseptual peraturan zonasi seperti apa yang efektif sesuai

sistem pemerintahan di Indonesia supaya bisa diakomodasi dalam penyusunan

dan penerapan peraturan zonasi sebagai perangkat pengendalian pemanfaatan

ruang.

13

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasar pada permasalahan penelitian maka muncul pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

A. Pertanyaan utama:

Seperti apakah model konseptual peraturan zonasi di Indonesia supaya bisa

diakomodasi dalam penyusunan dan penerapan peraturan zonasi sebagai

perangkat pengendalian pemanfaatan ruang di Indonesia?

B. Pertanyaan rinci:

1. Bagaimana perbandingan zonasi dan konteks sistem pemerintahan dan

penataan ruang di beberapa negara lain (Amerika Serikat, Jepang, Jerman

dan negara lainnya)?

2. Bagaimana zonasi yang telah digagas oleh pemerintah Indonesia dan

dilaksanakan di beberapa kota saat ini?

3. Bagaimana perbandingannya dengan zonasi di beberapa negara tersebut di

atas?

4. Model konseptual peraturan zonasi seperti apa yang dapat dikembangkan

sesuai dengan sistem pemerintahan di Indonesia?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini merupakan untuk menjawab

pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya. Adapun tujuan

penelitian ini sebagai berikut:

A. Tujuan utama:

Membangun suatu model konseptual peraturan zonasi di Indonesia.

B. Tujuan rinci:

1. Mengkaji perbandingan peraturan zonasi dan konteks sistem pemerintahan

dan penataan ruang di beberapa negara lain (Amerika Serikat, Jepang, Jerman

dan negara lainnya).

2. Mengkaji peraturan zonasi yang telah digagas oleh pemerintah Indonesia dan

dilaksanakan di beberapa kota saat ini dan mengkaji perbandingannya dengan

peraturan zonasi di beberapa negara tersebut di atas.

14

3. Mengembangkan model konseptual peraturan zonasi yang sesuai dengan

sistem pemerintahan di Indonesia.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan pada tataran teoritis adalah hasil

penelitian model konseptual peraturan zonasi di Indonesia ini dapat berkontribusi

teoritik untuk pengkayaan teori perencanaan khususnya pada teori hukum

pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, teori implementasi,

teori administrasi pembangunan dan teori pemerintahan. Pada tataran praxis

diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi praktisi

perencana dan pelaksana pembangunan dalam menyusun dan menerapkan

peraturan zonasi yang efektif di daerahnya masing-masing dalam upaya

mewujudkan tertib tata ruang. Adanya peraturan zonasi yang efektif diharapkan

akan menjadi instrumen pengendalian pemanfaatan ruang bagi pemerintah kota

dalam melaksanakan pembangunan di wilayahnya.

1.6. Keaslian Penelitian

Peraturan zonasi merupakan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang

sudah cukup lama digunakan di negara maju namun relatif masih baru diterapkan

di Indonesia. Walaupun masih baru, sudah ada beberapa peneliti yang melakukan

penelitian terkait zonasi di Indonesia. Sama halnya dengan model konseptual,

penelitian berkaitan dengan model konseptual juga sudah pernah dilakukan

beberapa peneliti. Penelitian-penelitian berkaitan dengan zonasi dan model

konseptual ini dari berbagai bidang ilmu yang berbeda, yaitu bidang ilmu

arsitektur dan perencanaan, bidang ilmu kehutanan, bidang ilmu lingkungan dan

bidang ilmu geografi.

Penelitian-penelitian mengenai zonasi di Indonesia yang telah dilakukan para

peneliti mencakup zonasi untuk skala kawasan antara lain: zonasi untuk kawasan

taman nasional, gunung, kawasan pesisir, kawasan konservasi dan permukiman

padat. Aspek-aspek yang dikaji oleh beberapa penelitian ini mengenai persepsi

masyarakat terhadap penetapan zonasi, efektifitas implementasi rencana zonasi

15

pada wilayah penelitian dan diakhir penelitiannya, mayoritas peneliti merumuskan

dan merekomendasikan zonasi optimal untuk kawasan yang diteliti. Penelitian

zonasi untuk skala nasional telah ada dengan kajian komparasi zonasi Indonesia

dan Amerika Serikat (Zikri, 2010) dan Direktorat Jenderal Penataan Ruang

Departemen Pekerjaan Umum RI dengan Buku Pedoman Penyusunan Peraturan

Zonasi.

Penelitian-penelitian model konseptual yang ada dilakukan pada skala

kota/kabupaten. Pada akhir penelitiannya, para peneliti mengusulkan model

konseptual berkaitan dengan pengembangan teknologi informatika untuk

mendukung proses perencanaan, pemantauan dan partisipasi masyarakat, serta

pengelolaan sarana publik dan pengawasan pemanfaatan ruang. Dari semua

penelitian yang telah disampaikan, belum ada penelitian yang mengkaji mengenai

model konseptual peraturan zonasi yang sesuai sistem pemerintahan di Indonesia.

1.6.1. Bidang ilmu arsitektur dan perencanaan

Tahun 2007 Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan

Umum RI menerbitkan Buku Pedoman Penyusunan Peraturan Zonasi. Buku ini

menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun dan menerapkan

peraturan zonasi di daerahnya masing-masing.

Penelitian mengenai zonasi dilakukan Adi Rusmanto (1999) dengan tesisnya

Kajian Kebutuhan Data dan Informasi Berbasis Sistem Informasi Geografi (SIG)

Untuk Menunjang Perencanaan Zonasi Wilayah Pesisir Studi Kasus Kabupaten

Gianyar Bali menggunakan teknik analisis spasial pembobotan dengan fasilitas

SIG. Penelitian ini menemukan bahwa data/peta untuk mendukung perencanaan

wilayah pesisir belum memenuhi standar baku, fungsi integrasi perencanaan

belum berjalan dengan baik, data instansi belum terkontrol, data eksisting bisa

digunakan walau belum optimal dan proses penyusunan rencana zonasi dengan

mempertimbangkan lima komponen analisis merupakan model optimal karena

bisa dirubah sesuai hasil negosiasi stakeholder yang berkepentingan di wilayah

pesisir dan laut.

Abdul Hanan tahun 2006 meneliti tentang Persepsi Petani Rumput Terhadap

Penetapan Zonasi Dalam Taman Nasional Gunung Merapi Yogyakarta dengan

16

metode penelitian kualitatif dan paradigma fenomenologi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa aktifitas merumput di kawasan TNGM Dusun Kalitengah

Lor merupakan suatu strategi hidup (livelihood) yang bertumpu pada ketersediaan

dan keterbatasan alam dan masyarakat berhubungan erat dengan lingkungan alam

sekitarnya. Peneliti menyarankan implementasi TNGM sebaiknya

mempertimbangkan konsep sebagai berikut: (1) ketergantungan yang terbentuk

dari pemahaman petani rumput terhadap hutan dan isinya demi memenuhi

kebutuhan hidup; (2) kesederhanaan petani rumput dengan menerima kehidupan

apa adanya; (3) penghargaan, rasa syukur dan terima kasih terhadap pencipta

melalui perbuatan dan upacara; (4) strategi merumput di hutan menjadi sebuah

pilihan untuk bertahan hidup; (5) kearifan lokal dalam memandang dan mengelola

lingkungan; dan (6) kehidupan yang selaras dengan lingkungan dengan

memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya untuk kehidupan.

Heriasman (2006) meneliti tentang zonasi dalam tesisnya Evaluasi

Implementasi Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT):

Kasus Rencana Zonasi Kawasan TNBT di Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Tujuan

penelitian ini untuk mengetahui efektifitas implementasi rencana zonasi kawasan

TNBT di Kabupaten Indragiri Hulu dan mengkaji faktor-faktor yang

mempengaruhi efektifitas rencana zonasi tersebut dengan metode penelitian

kualitatif dengan pendekatan rasionalistik deduktif dan analisis deskriptif empiris.

Peneliti menemukan bahwa pelaksanaan rencana zonasi TNBT tidak optimal

karena disebabkan beberapa faktor, yaitu tidak efektifnya komunikasi, kurang

aktif dan kurang koordinasi pihak pengelola dalam implementasi rencana zonasi,

kurangnya sosialisasi rencana zonasi TNBT kepada semua stakeholder dan

masyarakat serta adanya sikap dan komitmen pengelola yang kurang mendukung

implementasi rencana zonasi TNBT.

Tahun 2009, seorang peneliti bernama Tengku Saugi Zikri dengan skripsinya

yang berjudul Kajian Konsep Zoning Regulation di Indonesia: Komparasi Dengan

Konsep Zoning Regulation di Amerika Serikat. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui korelasi atau kesamaan zoning yang diterapkan pada kota di Indonesia

dengan di Amerika Serikat dan ingin mengetahui apakah peraturan zonasi di

17

Indonesia mengadopsi peraturan zonasi Amerika Serikat. Penelitian ini juga

melakukan komparasi peraturan zonasi Indonesia dan Amerika Serikat dengan

tinjauan aspek komponen pemanfaatan ruang dalam peraturan zonasi, badan

pelaksana peraturan zonasi dan prosedur perubahan peraturan zonasi. Penelitian

ini menggunakan metode deduksi dengan obyek penelitian adalah Indonesia

dengan perhatian pada Buku Panduan Penyusunan Peraturan Zonasi yang disusun

oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum RI.

Penelitian ini menemukan bahwa peraturan zonasi di Indonesia mempunyai dua

indikator yang berkorelasi dengan peraturan zonasi di Amerika Serikat, yaitu

pertama pada pemanfaatan lahan yang membaginya dalam zona-zona peruntukan

lahan dan kedua pada aturan perubahan peraturan zonasi yang harus melalui

lembaga legislatif. Penelitian ini menemukan perbedaan, yaitu Indonesia belum

memiliki badan peradilan khusus yang menangani perubahan peruntukan lahan

dalam peraturan zonasi, sedangkan Amerika Serikat sudah memiliki badan

peradilan yaitu Board of Appeals yang memutuskan perubahan peruntukan lahan.

Wahyuning Hapsari (2009) melakukan penelitian mengenai Arahan

Perencanaan Tata Ruang Kawasan Karst Melalui Pendekatan Prinsip Ekowisata:

Studi Kasus Kawasan Karst Gunung Sewu di Gunung Kidul DIY. Dalam tesisnya

ini, peneliti ingin mengetahui faktor-faktor dan pengaruhnya terhadap

perencanaan tata ruang kawasan karst dan juga manajemen atraksinya yang

berfungsi sebagai alat pengontrol alur kunjungan pada tata ruang. Penelitian ini

menggunakan paradigma rasionalistik dengan metode analisis theoritical

descriptive dan aspek yang ditinjau adalah aspek produk, aspek pasar, aspek

kondisi eksisting tata ruang dan aspek kriteria-kriteria yang diinginkan pasar

dalam suatu manajemen atraksi di Kawasan karst Gunung Sewu. Selanjutnya

penelitian ini menghasilkan temuan bahwa produk ekowisata kawasan ini

tergolong dalam intermediate ecoutourism, pasar ekowisata berkarakteristik eco-

generalist dengan mayoritas jenis wisatawan rough specialist, eksisting tata ruang

kurang memberikan perlindungan terhadap kawasan dan berpengaruh terhadap

wisatawan dan masyarakat. Dari temuan ini, peneliti merekomendasikan

perencanaan tata ruang (zonasi) Kawasan Karst Gunung Sewu dengan

18

membaginya dalam tiga zona, yaitu zona pelestarian, zona pemanfaatan dan zona

pembangunan.

1.6.2. Bidang ilmu kehutanan

Penelitian yang berkaitan dengan peraturan zonasi juga dilakukan pada

bidang ilmu kehutanan antara lain penelitian oleh Nuryadi (2005) yang melakukan

penelitian mengenai Kajian Penentuan Zonasi Pada Taman Nasional Gunung

Merapi (TNGM). Penelitian ini dilandasi pemikiran bahwa guna menjembatani

kepentingan ekologi dengan kepentingan ekonomi sosial masyarakat sekitar

kawasan maka penentuan zonasi dalam kawasan taman nasional harus tepat.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan zonasi di kawasan TNGM dan

mengkaji zona tersebut dari aspek sosial ekonomi, kondisi fisik kawasan, flora

fauna dan pemanfaatan wisata dengan metode overlay peta kawasan TNGM.

Penelitian ini merekomendasikan beberapa zona yang dapat diterapkan di TNGM

yaitu zona inti, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi, zona pemanfaatan

wisata alam dan zona rimba. Peneliti juga menyarankan sebaiknya pembuatan

zonasi mempertimbangkan kepentingan perlindungan ekosistem dan kepentingan

ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.

Tora Gunawan Purba (2009) mengkaji proses perumusan sistem zonasi

dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) di Taman Nasional Gunung

Merapi (TNGM) dan kendala-kendala implementasinya dalam penelitiannya yang

berjudul Proses Perumusan dan Implementasi Sistem Zonasi di Taman Nasional

Gunung Merapi (TNGM): Studi Implementasi Kebijakan Deliberatif. Penelitian

ini menggunakan metode studi kasus dengan lokus Dusun Palemsari Desa

Umbulharjo Sleman Yogyakarta. Penemuan dalam penelitian ini adalah proses

penyusunan sistem zonasi dalam RTPN tidak mengikuti persyaratan kebijakan

deliberatif, yaitu tidak adanya dialog autentik (partisipan dialog, proses dialog dan

isi dialog). RPTN Gunung Merapi dibuat oleh Balai Konservasi Sumber Daya

Alam (KSDA) dan Pusat Studi Agroekologi UGM tanpa proses dialog dengan

stakeholder lainnya sehingga proses perumusan sistem zonasi dipandang gagal

dan sistem zonasi ini belum dapat diimplementasikan. Masyarakat masih

19

melakukan aktivitasnya seperti biasa di kawasan TNGM dan RTPN sulit

diimplementasikan oleh Balai TNGM.

Ida Rohaida (2011) dengan tesisnya Optimalisasi Penetapan Zonasi Pada

Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian ini

dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa Penetapan Zonasi (Zoning Regulation)

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) diupayakan untuk

mengoptimalkan fungsi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya berupa pelestarian tipe-tipe vegetasi hutan, satwa

langka beserta habitatnya, sebagai tempat penelitian, pendidikan dan wisata alam

serta sumber kehidupan masyarakat sekitar. Penetapan zonasi secara tepat

dipandang akan dapat menjembatani berbagai kepentingan tersebut. Penelitian ini

bertujuan untuk menentukan alokasi luas masing-masing zona taman nasional

yang optimal dalam menjembatani berbagai kepentingan pengelolaannya. Metoda

analisis yang digunakan adalah analisis spasial dengan Sistem Informasi

Geografis (SIG) dan menggunakan analisis Program Tujuan Ganda (PTG) untuk

merumuskan alokasi zonasi optimal. Ida Rohaida menemukan bahwa kombinasi

alokasi luas zona optimal TNGGP hasil analisis PTG untuk zona inti, zona rimba,

zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, dan zona tradisional. Dengan kombinasi zona

seperti ini, membuat TNGGP dapat optimal dalam mendukung pelestarian tipe-

tipe hutan pegunungan, menampung kehidupan satwa flag species dalam jumlah

optimal, mengundang jumlah pengunjung optimal, memberikan kontribusi bagi

negara dan masyarakat secara optimal.

Penelitian zonasi dalam ilmu kehutanan lainnya adalah Pemodelan Zonasi

Taman Nasional Menggunakan Sistem Informasi Geografis yang dilakukan oleh

Novie Trionoadi (2011). Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan data

spasial berdasarkan pedoman zonasi (zoning guidance) taman nasional, menyusun

Model Builder zonasi taman nasional dan menganalisis zonasi Taman Nasional

Bali Barat dengan hasil analisis menggunakan Model Builder. Peneliti melakukan

identifikasi data spasial yang dapat mempresentasikan persyaratan zona

berdasarkan pedoman zonasi taman nasional dan dikelompokkan menjadi dua

faktor, yaitu data spasial sebagai faktor utama penyusun model zonasi dan data

20

spasial sebagai faktor pembentuk faktor utama. Selanjutnya model disusun

berdasarkan kedua faktor tersebut dan analisis keluaran model dilakukan dengan

cara overlay zonasi tata batas dan zonasi model. Hasil penelitian ini menemukan

bahwa data spasial model adalah batas luar taman nasional, lereng, penutupan

lahan, sebaran satwa endemik dan sebaran flora dan fauna langka lainnya.

Sedangkan data spasial iklim, jenis tanah, ketinggian, penutupan lahan dan lokasi

yang membentuk data spasial satwa endemik dan potensi flora dan fauna

dilindungi lainnya adalah data spasial sebagai faktor pembentuk faktor utama.

Model Builder yang dibuat dalam penelitian ini adalah model sebaran satwa

endemik, model potensi flora dan fauna lainnya di TNBB, model zonasi taman

nasional dan model analisis keluaran zonasi taman nasional. Ditemukan juga

bahwa luasan optimal untuk zona inti, zona rimba, zona budaya, dan zona

pemanfaatan.

1.6.3. Bidang ilmu lingkungan

Penelitian zonasi dalam bidang ilmu lingkungan dilakukan oleh Rochtri

Agung Bawono (2003) dengan tesisnya Zonasi Kerawanan Terhadap Kerusakan

dan Upaya Konservasi Situs Trowulan di Mojokerto Jawa Timur. Rochtri

berpandangan situs trowulan sekarang ini mengalami kerusakan akibat aktifitas

perajin batubata sehingga perlu dikonservasi dengan upaya yang tepat. Penelitian

ini bertujuan mengetahui upaya konservasi situs trowulan secara menyeluruh

dengan orientasi kawasan berdasarkan konsep pemintakatan (zonasi) kerawanan

situs dan pemberdayaan masyarakat terutama dari aktifitas perajin batubata yang

dilaksanakan secara partisipatoris. Metode penelitian dengan skoring dan analisis

Sistem Informasi Geografis. Penelitian ini menunjukkan pola sebaran temuan di

situs trowulan adalah pola memusat, linear dan menyebar dan pola ini

menggambarkan adanya sistem pemerintahan yang sentralistis dan terpusat di

pusat kota. Terdapat tiga zona di kawasan ini yaitu zona kerawanan tinggi, sedang

dan rendah.

Evi Aguswandi Harahap (2008) dengan tesisnya Pendekatan Geoekosistem

Untuk Zonasi Daerah Rawan Tsunami di Wilayah Kepesisiran Johan Pahlawan

Kabupaten Aceh Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji zonasi daerah

21

rawan bencana tsunami dengan pendekatan satuan geoekosistem pada wilayah

kepesisiran Johan Pahlawan, mengkaji kesesuaian RTRW Kabupaten Aceh Barat

dengan zonasi daerah rawan bencana tsunami dan mengkaji persepsi masyarakat

tentang efektifitas rehabilitasi pembangunan permukiman kembali (resettlement)

di wilayah kepesisiran yang terkena tsunami. Metode penelitian yang digunakan

adalah metode survei dengan analisis kuantitatif, kualitatif dan analisis spasial.

Temuan penelitian ini adalah terdapat tiga zona (zona aman, zona rawan dan zona

sangat rawan) di wilayah pesisir ini dan pembangunan di wilayah ini harus

dibatasi dan struktur bangunan disesuaikan dengan kondisi yang ada. Kemudian

RTRW sesuai dengan pendekatan satuan geoekosistem namun tidak dilaksanakan

oleh pemerintah daerah dan masyarakat memiliki persepsi bahwa pembangunan

kembali permukiman sangat efektif.

Astekita Ardi Aristo (2012) dengan tesisnya Evaluasi Lingkungan Zonasi

Taman Nasional Teluk Cendrawasih Pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional

Wilayah V Rumberpon, meneliti kesesuaian zonasi Taman Nasional Teluk

Cendrawasih pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Rumberpon

terhadap kriteria dalam pedoman zonasi taman nasional dari aspek lingkungan dan

kemudian akan membuat srategi pengelolaan lingkungan berdasarkan kajian

kesesuaian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode survei berdasarkan unit

zonasi untuk mengevaluasi kondisi lingkungan dan analisis kesesuaian dilakukan

dengan mencocokkan kriteria zonasi taman nasional dengan kondisi eksisting.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa zona eksisting yang sesuai adalah zona

pemanfaatan umum, zona pemanfaatan tradisional dan zona pemanfaatan

pariwisata. Kemudian zona yang sesuai terbatas adalah zona inti, zona

perlindungan bahari, zona rimba dan zona khusus. Strategi pengelolaan

lingkungan yang dikemukakan dari hasil penelitian ini adalah pengembangan

sistem informasi, peningkatan perlindungan kawasan, penyadartahuan zonasi dan

pengelolaan kolaboratif.

1.6.4. Bidang ilmu geografi

Penelitian zonasi yang berkaitan dengan bidang ilmu geografi dilakukan oleh

Lili Somantri (2008) dalam tesisnya Pemanfaatan Citra Quickbird dan Sistem

22

Informasi Geografis untuk Zonasi Kerentanan Kebakaran Permukiman Kasus di

Kota Bandung Bagian Barat. Lili dalam penelitiannya, memetakan zonasi tingkat

kerentanan kebakaran permukiman dengan bantuan data dari citra quickbird Kota

Bandung Bagian Barat dan sistem informasi geografi dengan metode penelitian

interpretasi visual citra penginderaan jauh. Diketahui bahwa permukiman yang

rawan terhadap kebakaran dengan karakteristik permukiman padat, pola bangunan

tidak teratur, lokasi jauh dari jalan utama, jalan masuk permukiman sempit,

bangunan terbuat dari bahan mudah terbakar, banyak rumah tidak berlangganan

listrik PLN, tidak dilengkapi fasilitas Alat Pemadam Kebakaran Ringan (APAR)

dan Alat Pemadam Kebakaran Berat (APAB) dan jauh dari sumber air.

1.6.5. Penelitian model Konseptual

Penelitian yang berkaitan dengan model konseptual sudah pernah dilakukan

oleh Suprajaka (1999) dengan Tesis berjudul Model Konseptual Dukungan Data

Digital Dalam Proses Pemantauan Perkembangan Kota Yogyakarta. Penelitian ini

berangkat dari permasalahan bahwa umumnya pengelola kota tidak dapat segera

mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam wilayah perkotaan.

Pengelola sulit untuk melakukan analisa permasalahan karena data informasi

spasial dan non spasial yang sangat banyak. Oleh karena itu perlu adanya data

atau informasi yang bersifat indikatif. Penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi indikator-indikator cerdas (intelligence) yang menurut pustaka

biasa dipakai dalam pemantauan terhadap perkembangan kota dengan pengolahan

data/informasi sekunder yang tersedia di Pemerintah Daerah Kotamadya

Yogyakarta. Kemudian penelitian ini ingin mengetahui bagaimana cara

menggunakan indikator-indikator tersebut untuk melaksanakan pemantauan

terhadap perkembangan Kotamadya Yogyakarta dan selanjutnya mengusulkan

Model Konseptual Dukungan data Digital Dalam Proses Pemantauan

Perkembangan Kota. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

delphi konvensional atau delphi exercise atau juga delphi versi paper dan pencil.

Penelitian ini menemukan bahwa teknik presentasi data dan informasi keruangan

belum disusun dengan hirarki dan struktur yang baik dan masih tersebar secara

sektoral dengan format yang berbeda-beda. Model konseptual yang diusulkan

23

peneliti Suprajaka dapat diterapkan dengan syarat data dan informasi

dikelompokkan secara fungsional, yaitu data aspek manusia (human aspect), data

infrastruktur, data sumber daya alam, data sumber dana dan data lain. Data ini

disusun dan disimpan mengikuti prinsip modern pengelolaan basis data

(meminimalkan manipulasi, bisa diperbaharui, penggunaan definisi data

berorientasi pada pemakaian sistem dan pendefinisian model data sesuai dengan

kebutuhan yang diinginkan pemakai sistem).

Agung Priyo Utomo (2005) dengan penelitiannya Model (Konseptual)

Berbasis TI Untuk Memperlancar Dukungan Data BPS Dalam Perencanaan

Pembangunan Daerah di Bapeda Provinsi Studi Kasus Provinsi Daerah Istimewa

Yogayakarta mengusulkan model konseptual yang dapat digunakan oleh Pemda

Provinsi DIY di masa datang. Rumusan model konseptual diuji dengan teknik

delphi sebanyak tiga kali hingga dicapai konsensus.

Penelitian selanjutnya berkaitan dengan model konseptual dilakukan oleh

Endinovelly (2006) dengan Tesis yang berjudul Model Konseptual Web Badan

Perencanaan Daerah Untuk Mewadahi Partisipasi Masyarakat Dalam Proses

Perencanaan Pembangunan Kasus Uji Model: Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Penelitian ini melihat terdapat permasalahan dalam perkembangan

partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di Provinsi DIY

masih mempunyai hambatan dalam penyediaan wadah bagi partisipasi

masyarakat. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (e-government)

belum berjalan sesuai dengan harapan. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun

model konseptual web Bapeda yang dapat mewadahi partisipasi masyarakat

dalam proses perencanaan pembangunan melalui teknologi informasi dan

komunikasi di Provinsi DIY. Metode penelitian ini menggunakan model analisis

deskriptif naratif dengan pendekatan rasionalistik dan uji model menggunakan

teknik delphi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk mewadahi partisipasi

masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, web Bapeda harus memiliki

kemudahan untuk berinteraksi, memiliki kemampuan dalam memberikan respon

yang baik dan cepat kepada masyarakat, mudah dalam penggunaan serta memiliki

kelengkapan data dan informasi terkait dengan perencanaan. Untuk mencapai

24

kondisi ini, model konseptual web Bapeda akan ditentukan oleh terintegrasinya

tiga model, yaitu pertama, model interaksi yang meliputi interaksi dalam

memenuhi kebutuhan untuk mencari data atau informasi, berpartisipasi dan

berkomunikasi. Kedua, model pengelolaan yang dilakukan secara terpadu suatu

manajemen back office dan terkahir, model tampilan situs web Bapeda harus dapat

menjamin kemudahan dalam penggunaannya.

Muhammad Ridwan Somad (2006) meneliti tentang Model Konseptual

Pengelolaan Air Kotor (Sewage) di Permukiman Padat Wilayah Perkotaan

Kartamantul dari Aspek Kelestarian Lingkungan Studi Kasus di Kelurahan

Sosromenduran Kecamatan Gedongtengen Kota Yogyakarta. Pada akhir

penelitiannya, peneliti mengusulkan Proposed Model untuk kawasan kota

permukiman padat, kawasan pusat perdagangan dan jasa, kawasan sempadan

sungai/pantai yang telah beralih fungsi, kawasan lahan yang memadai dan

kawasan lahan pertanian dan diharapkan model ini dapat menjadi solusi terhadap

permasalahan lingkungan.

Mody Pustika Sinaga (2008) melakukan penelitian mengenai Alternatif Model

Konseptual Pengawasan Pemanfaatan Lahan Dalam Bidang Pengendalian Tata

Guna Lahan di Kabupaten Sleman. Penelitian ini berupaya merumuskan alternatif

model konseptual pengawasan pemanfaatan lahan yang dapat direkomendasikan

di masa yang akan datang guna meminimalisir penyimpangan tata guna lahan di

Kabupaten Sleman Yogyakarta. Metode penelitian adalah metode kualitatif

dengan teknik pengujian terhadap alternatif model yang diusulkan melalui Forum

Group Discussion (FGD) sebanyak tiga kali putaran sampai tercapai konsensus

bersama dalam FGD tersebut. Selanjutnya penelitian ini memperoleh empat

model pengawasan pemanfaatan lahan, yaitu Model Pengawasan melalui Forum

Komunikasi Masyarakat Pengawasan Tata Guna Lahan, Model Pengawasan oleh

Masyarakat dengan Pendampingan BPPD, Model Pengawasan dengan

Pendampingan LSM dan Model Pengawasan Ombudsman. Model Pengawasan

yang diusulkan peneliti kepada pemerintah Kabupaten Sleman adalah Model

Pengawasan Pemanfaatan Lahan yang melibatkan unsur eksternal (masyarakat,

swasta, LSM dan lembaga pengawas independent ombudsman) yang memiliki

25

kapasitas lebih besar, lebih obyektif, independen dan tidak terkait dengan fungsi

operasional maupun secara individual dalam lingkungan pemerintahan dalam

memberikan penilaian terhadap pelanggaran agar pengawasan bebas dari

kepentingan pribadi.

26

Bidang Ilmu Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

PENELITIAN PERATURAN ZONASI Ilmu Arsitektur dan Perencanaan

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum RI (2007)

Buku Konsep Panduan Penyusunan Peraturan Zonasi

Pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun dan menerapkan peraturan zonasi di daerahnya masing-masing

Adi Rusmanto (1999)

Kajian Kebutuhan Data dan Informasi Berbasis Sistem Informasi Geografi (SIG) Untuk Menunjang Perencanaan Zonasi Wilayah Pesisir Studi Kasus Kabupaten Gianyar Bali

Teknik analisis spasial pembobotan dengan fasilitas SIG.

1. Data atau peta eksisting belum memenuhi standar baku dan belum optimal untuk digunakan.

2. Proses penyusunan rencana zonasi dengan mempertimbangkan lima komponen analisis merupakan model optimal karena bisa dirubah sesuai negosiasi stakeholder yang berkepentingan di wilayah pesisir dan laut.

Heriasman (2006)

Evaluasi Implementasi Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT): Kasus Rencana Zonasi Kawasan TNBT di Kabupaten Indragiri Hulu Riau.

Mengetahui efektifitas implementasi rencana zonasi kawasan TNBT di Kabupaten Indragiri Hulu dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas rencana zonasi tersebut.

Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan rasionalistik deduktif dan analisis deskriptif empiris.

Pelaksanaan rencana zonasi TNBT tidak optimal karena diseBabkan beberapa faktor, yaitu tidak efektifnya komunikasi, kurang aktif dan kurang koordinasi pihak pengelola dalam implementasi rencana zonasi, kurangnya sosialisasi rencana zonasi TNBT dan pengelola kurang mendukung implementasi rencana zonasi tersebut.

Abdul Hanan (2006) Persepsi Petani Rumput Terhadap Penetapan Zonasi Dalam Taman Nasional Gunung Merapi Yogyakarta

Metode penelitian kualitatif dan paradigma fenomenologi

1. Aktifitas merumput di kawasan TNGM merupakan suatu strategi hidup (livelihood).

2. Mengusulkan enam konsep dalam implementasi TNGM.

Tabel 1. Penelitian Berkaitan dengan Peraturan Zonasi dan Model Konseptual

(Bersambung)

27

Bidang Ilmu Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Tengku Saugi Zikri (2009)

Kajian Konsep Zoning Regulation di Indonesia: Komparasi Dengan Konsep Zoning Regulation di Amerika Serikat.

Mengetahui korelasi zoning Indonesia dan Amerika Serikat dan mengetahui apakah Indonesia mengadopsi peraturan zonasi Amerika Serikat ditinjau dari aspek komponen pemanfaatan ruang, badan pelaksana dan prosedur perubahan peraturan zonasi.

Metode deduksi dengan obyek penelitian Buku Panduan Penyusunan Peraturan Zonasi yang disusun oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum RI.

1. Ada dua indikator korelasi peraturan zonasi Indonesia dan Amerika Serikat (pemanfaatan lahan yang membagi zona-zona peruntukan lahan dan aturan perubahan peraturan zonasi yang harus melalui lembaga legislatif).

2. Menemukan perbedaan, yaitu Indonesia belum memiliki badan peradilan khusus yang menangani perubahan peruntukan lahan sedangkan Amerika Serikat memiliki badan peradilan (Board of Appeals).

Wahyuning Hapsari (2009)

Arahan Perencanaan Tata Ruang Kawasan Karst Melalui Pendekatan Prinsip Ekowisata: Studi Kasus Kawasan Karst Gunung Sewu di Gunung Kidul DIY.

Mengetahui faktor-faktor dan pengaruhnya terhadap perencanaan tata ruang kawasan karst dan juga manajemen atraksinya yang berfungsi sebagai alat pengontrol alur kunjungan pada tata ruang.

Paradigma rasionalistik dengan metode analisis theoritical descriptive tinjauan aspek produk, aspek pasar, aspek kondisi eksisting tata ruang dan aspek yang diinginkan pasar.

Mengusulkan perencanaan tata ruang (zonasi) Kawasan Karst Gunung Sewu dalam tiga zona, yaitu zona pelestarian, zona pemanfaatan dan zona pembangunan.

Ilmu Kehutanan Nuryadi (2005)

Kajian Penentuan Zonasi Pada Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).

Menentukan zonasi di kawasan TNGM dan mengkaji zona tersebut dari aspek sosial ekonomi, kondisi fisik kawasan, flora fauna dan pemanfaatan wisata.

Metode overlay peta kawasan TNGM.

1. Mengusulkan beberapa zona yang dapat diterapkan di TNGM.

2. Pembuatan zonasi sebaiknya mempertimbangkan kepentingan perlindungan ekosistem dan kepentingan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.

Tabel 1 (lanjutan)

(Bersambung)

28

Bidang Ilmu Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Tora Gunawan Purba (2009)

Proses Perumusan dan Implementasi Sistem Zonasi di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM): Studi Implementasi Kebijakan Deliberatif.

Mengkaji proses perumusan sistem zonasi dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) di TNGM dan kendala-kendala implementasinya.

Metode studi kasus dengan lokus Dusun Palemsari Desa Umbulharjo Sleman Yogyakarta.

1. Proses penyusunan sistem zonasi RTPN tidak mengikuti persyaratan kebijakan deliberatif (tidak adanya dialog autentik).

2. Proses perumusan sistem zonasi dipandang gagal sehingga sistem zonasi ini belum dapat diimplementasikan.

Ida Rohaida (2011) Optimalisasi Penetapan Zonasi Pada Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Menentukan alokasi luas masing-masing zona taman nasional yang optimal dalam menjembatani berbagai kepentingan pengelolaannya.

Analisis spasial dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan menggunakan analisis Program Tujuan Ganda (PTG) untuk merumuskan alokasi zonasi optimal.

Menemukan kombinasi zonasi optimal untuk alokasi luas zona TNGGP dari hasil analisis PTG.

Novie Trionoadi (2011)

Pemodelan Zonasi Taman Nasional Menggunakan Sistem Informasi Geografis

1. Memformulasikan data spasial berdasarkan pedoman zonasi (zoning guidance) taman nasional.

2. Menyusun ModelBuilder zonasi taman nasional dan menganalisis Zonasi Taman Nasional Bali Barat dengan hasil analisis menggunakan ModelBuilder.

Analisis keluaran model dilakukan dengan cara overlay zonasi tata batas dan zonasi model.

1. Menemukan data spasial sebagai faktor utama penyusun model zonasi dan data spasial sebagai faktor pembentuk faktor utama.

2. Membuat ModelBuilder berupa model sebaran satwa endemik, model potensi flora dan fauna lainnya di TNBB, model zonasi taman nasional dan model analisis keluaran zonasi taman nasional.

Tabel 1. Lanjutan Tabel 1 (lanjutan)

(Bersambung)

29

Bidang Ilmu Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Ilmu Lingkungan Rochtri Agung Bawono (2003)

Zonasi Kerawanan Terhadap Kerusakan dan Upaya Konservasi Situs Trowulan di Mojokerto Jawa Timur.

mengetahui upaya konservasi situs trowulan secara menyeluruh dengan orientasi kawasan berdasarkan konsep pemintakatan (zonasi) kerawanan situs dan pemberdayaan masyarakat terutama dari aktifitas perajin batubata yang dilaksanakan secara partisipatoris.

Skoring dan analisis Sistem Informasi Geografis.

1. Mengetahui pola sebaran temuan di situs trowulan dan pola ini menggambarkan adanya sistem pemerintahan yang sentralistis dan terpusat di pusat kota.

2. Membuat zonasi dengan tiga zona di kawasan penelitian yaitu zona kerawanan tinggi, sedang dan rendah.

Evi Aguswandi Harahap (2008)

Pendekatan Geoekosistem Untuk Zonasi Daerah Rawan Tsunami di Wilayah Kepesisiran Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

1. Mengkaji zonasi daerah rawan bencana tsunami dengan pendekatan satuan geoekosistem.

2. Mengkaji kesesuaian RTRW Kabupaten Aceh Barat dengan zonasi daerah rawan bencana tsunami.

3. Mengkaji persepsi masyarakat tentang efektifitas rehabilitasi pembangunan permukiman kembali di wilayah kepesisiran yang terkena tsunami.

Metode survei dengan analisis kuantitatif, kualitatif dan analisis spasial.

1. Terdapat tiga zona (zona aman, zona rawan dan zona sangat rawan) di wilayah pesisir ini dan pembangunan di wilayah ini harus dibatasi dan struktur bangunan disesuaikan dengan kondisi yang ada.

2. RTRW sesuai dengan pendekatan satuan geoekosistem namun tidak dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

3. Masyarakat memiliki persepsi pembangunan permukiman kembali sangat efektif.

Tabel 1 (lanjutan)

(Bersambung)

30

Astekita Ardi Aristo (2012)

Evaluasi Lingkungan Zonasi Taman Nasional Teluk Cendrawasih Pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Rumberpon.

1. Meneliti kesesuaian zonasi Taman Nasional Teluk Cendrawasih terhadap kriteria pedoman zonasi taman nasional dari aspek lingkungan .

2. Membuat srategi pengelolaan lingkungan berdasarkan kajian kesesuaian tersebut.

Metode survei dengan unit zonasi untuk mengevaluasi kondisi lingkungan dan analisis kesesuaian dengan mencocokkan kondisi eksisting dengan kriteria zonasi taman nasional.

1. Diketahui zona eksisting yang sesuai dan tidak sesuai dengan kriteria pedoman zonasi taman nasional.

2. Mengusulkuan strategi pengelolaan lingkungan yaitu pengembangan sistem informasi, peningkatan perlindungan kawasan, penyadartahuan zonasi dan pengelolaan kolaboratif.

Ilmu Geografi Lili Somantri (2008) Pemanfaatan Citra Quickbird dan Sistem Informasi Geografis untuk Zonasi Kerentanan Kebakaran Permukiman Kasus di Kota Bandung Bagian Barat.

Memetakan zonasi tingkat kerentanan kebakaran permukiman dengan bantuan data dari citra quickbird Kota Bandung Bagian Barat dan sistem informasi geografi.

Interpretasi visual citra penginderaan jauh.

Mengetahui karakteristik permukiman yang rawan terhadap kebakaran.

Tabel 1 (lanjutan)

(Bersambung)

31

MODEL KONSEPTUAL

Suprajaka (1999) Model Konseptual Dukungan Data Digital Dalam Proses Pemantauan Perkembangan Kota Yogyakarta.

1. Mengidentifikasi indikator-indikator yang dipakai dalam pemantauan terhadap perkembangan kota.

2. Merumuskan Model Konseptual Dukungan Data Digital Dalam Proses Pemantauan Perkembangan Kota.

Pemodelan dengan teknik pengujian delphi konvensional.

Mengusulkan Model Konseptual Dukungan Data Digital Dalam Proses Pemantauan Perkembangan Kota yang dapat diterapkan dengan syarat data dan informasi dikelompokkan secara fungsional, yaitu data aspek manusia (human aspect), data infrastruktur, data sumber daya alam, data sumber dana dan data lain.

Agung Priyo Utomo (2005)

Model (Konseptual) Berbasis TI Untuk Memperlancar Dukungan Data BPS Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah di Bapeda Propinsi Studi Kasus Propinsi Daerah Istimewa Yogayakarta

Merumuskan dan membuat model konseptual yang dapat digunakan oleh Pemda Propinsi DIY di masa datang.

Rumusan model konseptual diuji dengan teknik delphi sebanyak tiga kali hingga dicapai konsensus.

Model (Konseptual) Berbasis TI Untuk Memperlancar Dukungan Data BPS Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah di Bapeda Propinsi DIY

Endinovelly (2006) Model Konseptual Web Badan Perencanaan Daerah Untuk Mewadahi Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Pembangunan Kasus Uji Model: Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menyusun model konseptual web Bapeda yang dapat mewadahi partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan melalui teknologi informasi dan komunikasi di Provinsi DIY.

Model analisis deskriptif naratif dengan pendekatan rasionalistik dan uji model menggunakan teknik delphi.

Mengusulkan model konseptual web Bapeda yang merupakan integrasi tiga model, yaitu Model interaksi, Model pengelolaan dan Model tampilan situs web Bapeda.

Tabel 1 (lanjutan)

(Bersambung)

32

Muhammad Ridwan Somad (2006)

Model Konseptual Pengelolaan Air Kotor (Sewage) di Permukiman Padat Wilayah Perkotaan Kartamantul dari Aspek Kelestarian Lingkungan Studi Kasus di Kelurahan Sosromenduran Kec.Gedongtengen Kota Yogyakarta.

Mengusulkan Model Konseptual Pengelolaan Air Kotor (Sewage).

Mengusulkan Proposed Model untuk kawasan kota permukiman padat, kawasan pusat perdagangan dan jasa, kawasan sempadan sungai/pantai yang telah beralih fungsi, kawasan lahan yang memadai dan kawasan lahan pertanian dan dihrapkan model ini dapat menjadi solusi terhadap permasalahan lingkungan.

Mody Pustika Sinaga (2008)

Alternatif Model Konseptual Pengawasan Pemanfaatan Lahan Dalam Bidang Pengendalian Tata Guna Lahan di Kabupaten Sleman.

Merumuskan alternatif model konseptual pengawasan pemanfaatan lahan yang dapat direkomendasikan di masa yang akan datang guna meminimalisir penyimpangan tata guna lahan di Kabupaten Sleman Yogyakarta.

Metode kualitatif dengan teknik pengujian Forum Group Discussion (FGD) terhadap alternatif model yang diusulkan.

Mengusulkan Model Pengawasan Pemanfaatan Lahan yang melibatkan unsur eksternal (masyarakat, swasta, LSM dan lembaga pengawas independent ombudsman).

Tabel 1 (lanjutan)

33

1.6.6. Sistematika Isi Disertasi

Penulisan disertasi mengikuti sistematika sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III. BEST PRACTICES DAN KOMPARASI ZONASI DI BEBERAPA

NEGARA

BAB IV. METODE DAN PROSES PENELITIAN

BAB V. KONSEP DAN SISTEM ZONASI DI INDONESIA SAAT INI

BAB VI. STRUKTUR PERMASALAHAN SISTEM ZONASI

6.1. Temuan Masalah

6.2. Daftar Permasalahan

6.3. Struktur Permasalahan

BAB VII. PENGEMBANGAN MODEL AWAL

7.1. Model Konseptual Eksisting

7.2. Asumsi Ruang Gerak Alternatif

7.3. Kerangka Solusi Terhadap Permasalahan Saat Ini

7.4. Model Awal

BAB VIII. PENGUJIAN MODEL

8.1. Pengujian Model Pertama (FGD 1)

8.2. Pengujian Model Kedua (FGD 2)

8.3. Model Akhir

BAB IX. PEMBAHASAN MODEL DAN SUMBANGAN TEORITIK

BAB X. KESIMPULAN DAN SARAN