urbanisasi dan ekonomi di kotadepok_compiled
TRANSCRIPT
1
URBANISASI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
DI KOTA DEPOK1
C H O T I B2 dan BETA Y. GITAHARIE3
1. Perkembangan Kota dalam Konteks Global
Kota adalah sebuah permukiman yang dihuni secara permanent, yang jelas batas-batas
wilayahnya. Penduduk kota bukan hanya sebuah kelompok kerabat, klen atau marga,
atau sebuah kelompok sukubangsa yang merupakan penduduk asli kota setempat.
Penduduk kota terdiri atas keturunan dari penduduk asli setempat dan penduduk
pendatang yang berasal dari berbagai sukubangsa. Penduduk kota ditandai oleh
jumlahnya yang besar dan tingkat kepadatannya yang tinggi. Jumlah penduduk yang
besar disebabkan oleh adanya arus migrasi dari perdesaan ke perkotaan dan pertumbuhan
alamiah (selisih antara angka kelahiran dan angka kematian) penduduk kota itu sendiri.
Ciri lain dari kota adalah kegiatan utama ekonomi penduduknya bertumpu pada
sektor industri dan pelayanan jasa-jasa. Hal ini disebabkan perekonomian kota tidak
tidak tergantung pada memungut atau mengolah hasil alam. Sebuah kota menjadi besar
karena adanya pranata-pranata pelayanan, organisasi-organisasi industri, bisnis dan
pasar. Karena itu, di daerah perkotaan uang menjadi amat penting dalam kehidupan
masyarakatnya. Di perkotaan, uang tidak hanya sebagai alat tukar tetapi juga sebagai
komoditi. Tanpa peredaran uang dalam rangka tukar menukar uang, jasa dan barang-
barang, suatu kota tidak mungkin dapat berkembang. Perkembangan kota biasanya
meluas ke daerah hinterland-nya sehingga secara administratif, kota makin meluas.
Dalam konteks global, proyeksi yang dibuat oleh United Nations (UN)
memperlihatkan bahwa penduduk dunia akan meningkat dari 6,1 miliar menjadi 7,8
miliar antara tahun tahun 2000 dan 2025. Pangsa peningkatan tersebut 90 persen
diantaranya disumbang oleh penduduk perkotaan di negara-negara berkembang 1 Disampaikan pada acara Seminar “Depok 2007: Quo Vadis Depok?…Peluang dan Tantangan,” diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Universitas Indonesia, Depok 5 September 2007. 2 Staf Peneliti Lembaga Demografi FEUI dan Staf Pengajar Fakultas Ekonomi UI, Depok. Alamat Email: [email protected]; [email protected]. 3 Staf Peneliti Lembaga Demografi FEUI dan Staf Pengajar Fakultas Ekonomi UI, Depok. Alamat Email: [email protected].
2
(Brockerhoff, 2000). Bahkan menjelang tahun 2020, mayoritas penduduk negara-negara
berkembang akan tinggal di wilayah yang dikatakan sebagai wilayah perkotaan.
Sementara itu, UN (2001) memproyeksikan bahwa penduduk perkotaan di
negara-negara berkembang terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,4 persen per
tahun. Angka ini merupakan dua kali lipat angka pertumbuhan penduduk total negara-
negara berkembang pada umumnya, yakni sekitar 1,2 persen. Meski penduduk perkotaan
di negara-negara maju juga meningkat dengan angka pertumbuhan yang lebih besar
daripada angka pertumbuhan penduduk totalnya, dan juga angka urbanisasinya jauh
lebih besar daripada negara-negara berkembang, pertumbuhan perkotaan di negara-
negara berkembang tetap lebih cepat disertai dengan meningkatnya penduduk perkotaan
secara absolut.
Pada 30 tahun mendatang, penduduk perkotaan di negara-negara berkembang
diproyeksikan meningkat dua kali lipat, dari sekitar 2 miliar di tahun 2000 menjadi
sekitar 4 miliar menjelang tahun 2030. Sebaliknya penduduk perkotaan di negara-negara
maju diproyeksikan hanya bertambah dari 900 juta di tahun 2000 menjadi 1 miliar di
tahun 2030. Sementara itu angka urbanisasi di negara-negara maju saat ini sudah
mencapai 75 persen.
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduknya, jumlah kota-kota besar di
negara-negara berkembang juga akan meningkat secara substansial. Di tahun 2000
terdapat 388 kota di dunia dengan 1 juta atau lebih penduduknya. Namun menjelang
tahun 2015 diperkirakan akan terdapat 554 kota, lebih dari dua per tiga di antaranya (426
kota) akan terdapat di negara-negara berkembang.
United Nations juga memperkenalkan istilah “megacities” untuk menjelaskan
kota-kota dengan jumlah penduduk 8 juta orang atau lebih. Institusi ini juga
memperkenalkan ambang batas (treshold) untuk status megacity sebesar 10 juta
penduduk. Saat ini, ada sekitar 17 megacity yang terdaftar di UN, dengan 4 di antaranya
terletak di negara-negara berkembang. Menjelang 2015, proyeksi yang dibuat oleh UN
tersebut memperkirakan akan terdapat 21 kota-kota yang memiliki paling sedikit 10 juta
penduduk yang tinggal di kota-kota tersebut. (Lihat Tabel 1).
3
Tabel 1. Jumlah Megacity di Masa Lalu, Sekarang dan Masa Depan Kota-kota dengan 10 juta atau lebih penduduk: 1950, 1975, 2001, dan 2015 (Jumlah penduduk dalam jutaan)
1950 1975 2001 2015 Kota Pend. Kota Pend. Kota Pend. Kota Pend. 1 New York 12,3 Tokyo 19,8 Tokyo 26,5 Tokyo 27,2 2 New York 15,9 Sao Paulo 18,3 Dhaka 22,8 3 Shanghai 11,4 Mexico City 18,3 Mumbai 22,6 4 Mexico City 10,7 New York 16,8 Sao Paulo 21,2 5 Sao Paolo 10,3 Mumbai 16,5 Delhi 20,9 6 Los Angeles 13,3 Mexico
City 20,4
7 Kolkata 13,3 New York 17,9 8 Dhaka 13,2 Jakarta 17,3 9 Delhi 13,0 Kolkata 16,7 10 Shanghai 12,8 Karachi 16,2 11 Buenos
Aires 12,1 Lagos 16,0
12 Jakarta 11,4 Los Angeles
14,5
13 Osaka 11,0 Shanghai 13,6 14 Beijing 10,8 Buenos
Aires 13,2
15 Rio de Jeneiro
10,8 Metro Manila
12,6
16 Karachi 10,4 Beijing 11,7 17 Metro
Manila 10,1 Rio de
Jeneiro 11,5
18 Cairo 11,5 19 Istanbul 11,4 20 Osaka 11,0 21 Tianjin 10,3 Total 12,3 68,1 238,6 340,5
Sumber: Population Reports (2003)
2. Teori Perkembangan Kota
Urbanisasi bukanlah fenomena kependudukan semata, namun ia juga terkait dengan
berbagai dimensi sosio-ekonomi. Terlebih lagi urbanisasi terkait dengan perkembangan
perkotaan. Teori klasik menyatakan bahwa kota-kota berkembang karena peningkatan
efisiensi kegiatan pertanian yang mengakibatkan dislokasi tenaga kerja pertanian (Davis,
1969). Teori ini mengisyaratkan terdapatnya kaitan antara industrialisasi dan
perkembangan perkotaan. Perkembangan industri perkotaan akan memicu migrasi desa-
kota yang akhirnya mendorong lebih jauh ke arah urbanisasi.
Teori klasik, seperti central-place theory yang dikemukakan oleh Christaller
mengilhami model perkembangan kota. Dari sudut pandang geografi, teori ini memiliki
dua konsep yaitu: threshold (jarak jangkauan minimal untuk dapat bertahan) dan range
4
(jarak jangkauan sesungguhnya yang dapat dicapai). Jika dalam sebuah pasar treshold
lebih besar dibanding range, maka ia akan mati, dan sebaliknya jika range lebih besar
daripada threshold, maka pasar itu akan berkembang dan bahkan tumbuh menjadi daerah
perkotaan.
Teori klasik yang cukup banyak dianut di kalangan geografi ini sebenarnya belum
dapat memberikan gambaran yang memadai mengenai urbanisasi kontemporer. Teori
klasik umumnya hanya ‘melihat ke dalam’ ketika menjelaskan faktor-faktor penyebab
perkembangan perkotaan. Peran proses (ekonomi) global yang memunculkan fenomena
kota-kota global (global cities) tidak mendapat perhatian. Padahal, internasionalisasi
produksi, jasa dan kapital yang dimotori oleh perusahaan transnasional amat besar
peranannya dalam mempengaruhi perkembangan kota-kota yang terlibat dalam proses
tersebut.
Menurut McGee (1995) dan Douglass (1995), sebagaimana dikutip oleh Firman
(1996), proses urbanisasi yang terjadi di Asia dewasa ini pada dasarnya mencerminkan
integrasi kota-kota ke dalam sistem ekonomi global, yang digerakkan oleh akumulasi
kapital pada skala dunia. Proses ini disebut pula sebagai mega-urbanization, yang
tampaknya akan menjadi kecenderungan (trends) urbanissi di Asia, termasuk di
Indonesia.
Lebih jauh lagi Armstrong dan McGee (1985) mengajukan teori tentang
pembentukan kota-kota berdasarkan penelitiannya di Asia dan Amerika Latin. Mereka
mengemukakan bahwa kota-kota pada dasarnya merupakan “teater dari akumulasi
kapital” yang mengalami penetrasi ke negara-negara berkembang. Meskipun urbanisasi
yang terjadi di negara berkembang merupakan bagian integrasi dari akumulasi kapital di
negara maju, namun dalam proses perkembangannya terdapat banyak perbedaan.
Perbedaan itu bertitik tolak dari kenyataan demografi dan ekonomi yang terjadi di negara
berkembang. Itu sebabnya urbanisasi yang terjadi di negara berkembang dikatakan
sebagai “pseudo urbanization”, daripada “true urbanization” di negara maju.
Teori yang menekankan adanya interaksi antara sistem produksi dan regulasi pada
tingkat nasional, perspektif globalisai dan modernisasi dikembangkan dalam sebuah
model perkembangan perkotaan yang lebih komprehensif, yaitu teori regulasi
(Prabatmodjo, 2000). Model tersebut mencakup faktor-faktor struktural pada tingkat
5
internasional maupun nasional/regional serta faktor sosial-demografi. Perkembangan
perkotaan dan urbanisasi merupakan resultante bekerjanya faktor-faktor tersebut (Gambar
1).
Internasional Nasional/regional Sistem Produksi Sistem Regulasi Perkembangan Perkotaan Faktor Sosial Demografi Urbanisasi Gambar 1. Model Komprehensif Perkembangan Perkotaan Sumber: Prabatmodjo, 2000 3. Pengukuran Urbanisasi di Indonesia
Pertumbuhan penduduk perkotaan yang sangat pesat secara substansial yang
terjadi di negara-negara berkembang pada hakekatnya mencerminkan tiga faktor
mendasar, yaitu: (1) migrasi dari daerah perdesaan ke perkotaan; (2) pertumbuhan
penduduk alamiah (selisih antara jumlah kelahiran dan jumlah kematian) di wilayah
perkotaan; dan (3) reklasifikasi wilayah yang semula daerah perdesaan menjadi daerah
perkotaan sebagai akibat dari pembangunan wilayah.
Proses Ekonomi Global
6
Untuk perkembangan penduduk perkotaan dapat dilihat dari angka urbanisasi,
yaitu angka yang mencerminkan persentase penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan.
Di Indonesia, untuk melihat persentase penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan, BPS
(1988) melakukan scoring system dalam penentuan wilayah perkotaan. Ada tiga kriteria
suatu daerah (lokalitas) dijadikan sebagai daerah perkotaan yaitu:
1. Kepadatan penduduk 5000 orang atau lebih per km persegi.
2. Jumlah rumah tangga pertanian 25 persen atau lebih kecil.
3. Memiliki delapan atau lebih jenis fasilitas perkotaan.
Kriteria desa perkotaan di atas telah digunakan sejak Sensus Penduduk 1980
hingga 1999, yang merupakan penyempurnaan dari kriteria desa perkotaan 1971.
Namun demikian, BPS (2000) kini tengah melakukan penyempurnaan kriteria desa
perkotaan tahun 2000. Penyempurnaan tersebut meliputi aspek metodologi guna
memberikan landasan statistik yang lebih kuat dalam pemberian skor dan penentuan
batas skor. Beberapa aspek dalam metodologi 1980 yang memerlukan penyempurnaan
dan landasan statistik yang lebih kuat antara lain:
1. Klasifikasi variabel (indikator) dan sistem pemberian skornya.
2. Hanya memperhitungkan keberadaan fasilitas (belum memperhitungkan akses)
sehingga desa-desa yang secara praktis tidak memiliki masalah untuk mencapai akses
urban menjadi underscored.
3. Beberapa fasilitas yang digunakan perlu ditinjau kembali, karena tidak lagi sensitif
(sebagai contoh: bangunan SD).
Indikator utama dalam penentuan kriteria perkotaan 2000 pada dasarnya sama
dengan tahun 1980. Dua indikator utama 1980, yaitu kepadatan penduduk (KPD) dan
persentase rumah tangga pertanian (PRT) tetap digunakan meski dengan sistem
pemberian skor dan klasifikasi yang berbeda. Sedangkan indikator ketiga, jenis fasilitas
urban (JFU) dimodifikasi untuk mengakomodir akses ke fasilitas urban (AFU).
Berdasarkan kriteria 2000, sebagian desa perkotaan hasil kriteria 1980 ternyata
terkategori perdesaan (614 desa, atau sekitar 0,9% dari seluruh desa, atau 8,26% dari
seluruh desa perkotaan 1980). Sementara itu, muncul desa perkotaan baru sebanyak 7430
desa (10,87%), yang merupakan desa-desa yang karena perkembangannya sejak 1980,
7
pada tahun 1999, berdasarkan kriteria 2000 sudah dapat dikategorikan sebagai daerah
perkotaan.
Beberapa desa perkotaan 1980 yang terkategori perdesaan pada kriteria 2000,
tetap dipertimbangkan sebagai daerah perkotaan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan di
samping jumlahnya yang relatif kecil, juga karena daerah-daerah tersebut memiliki
perkembangan wilayah yang cukup pesat, sehingga 2-3 tahun lagi, desa-desa tersebut
akan memiliki peluang yang besar untuk menjadi daerah perkotaan.
3.1. Kriteria Desa Perkotaan 1980
Kriteria desa perkotaan yang selama ini digunakna adalah kriteria 1980, yang merupakan
penyempurnaan kriteria desa perkotaan 1971. Indikator yang digunakan dalam criteria
1980 meliputi: Kepadatan Penduduk (KPD), persentase rumah tangga pertanian (PRT),
dan jumlah fasilitas urban (JFU). Masing-masing indicator tersebut diberi skor secara
linear dengan pedoman sebagai berikut: Tabel 2. Perhitungan Nilai Skor Desa Perkotaan Tahun 1980
KRITERIA KPD PRT JFU
NILAI SKOR
< 500 >95 - 1 500-999 91 – 95 0 2
1000 - 1499 86 – 90 1 3 1500 - 1999 76 – 85 2 4 2000 – 2499 66 – 75 3 5 2500 – 2999 56 – 65 4 6 3000 – 3499 46 – 55 5 7 3500 – 3999 36 – 45 6 8 4000 – 4999 26 – 35 7 9
≥5000 ≤25 8 10 Sumber: BPS (2000) Kriteria desa perkotaan tahun 1980 adalah:
1. Desa-desa dengan total skor 21 ke atas
2. Desa-desa dengan total skor 19-20 yang memenuhi syarat (1) atau (2):
(1). a. Jarak ke perkotaan terdekat kurang dari 5 km
b. Menurut pengamatan team klasifikasi adalah perkotaan
c. Prospek perkembangan desa adalah sedang
(2) a. Jarak ke daerah perkotaan terdekat kurang dari 5 km
b. Menurut team klasifikasi adalah mendekat perkotaan
8
c. Prospek perkembangan desa adalah cepat
3.2. Kriteria Desa Perkotaan 2000 Secara rinci, indicator dan sistem pemberian skor disajikan pada table berikut. Terlihat dari table, bahwa sebuah desa dapat memiliki total skor (dari KPD, PRT, atau AFU) bervariasi dari 2 (minimum) sampai dengan 26 (maksimum). Hasil pengujian menunjukkan bahwa skor batas yang paling akurat adalah 10. Jadi kriteria perkotaan 2000 adalah sebagai berikut: Desa Perkotaan: Desa yang memiliki total skor 10 atau lebih. Ta bel 3. Variabel, Klasifikasi dan Skor Metode 1998 (Final)
Variabel/Klasifikasi Skor (1) (2)
Total Skor • Skor Minimum • Skro Maksimum
2
26
1. Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) • < 500 • 500 – 1 249 • 1 250 – 2 499 • 2 500 – 3 999 • 4 000 – 5 999 • 6 000 – 7 499 • 7 500 – 8 499 • 8 500 +
1 2 3 4 5 6 7 8
2. Persentase Rumah Tangga Pertanian • 70.00 + • 50.00 – 69.99 • 30.00 – 49.99 • 20.00 – 29.99 • 15.00 – 19.99 • 10.00 – 14.99 • 5.00 – 9.99 • < 5.00
1 2 3 4 5 6 7 8
3. Akses Fasilitas Umum 0,1,2,….,10 A) Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK)
• Ada atau <= 2.5 Km • > 2.5 Km
1 0
B) Sekolah Menengah Pertama • Ada atau <= 2.5 Km • > 2.5 Km
1 0
C) Sekolah Menengah Umum • Ada atau <= 2.5 Km • > 2.5 Km
1 0
D) Pasar • Ada atau <= 2.5 Km
1
9
• > 2 Km 0 E) Bioskop
• Ada atau <= 2.5 Km • > 5 Km
1 0
F) Pertokoan • Ada atau <= 2.5 Km • > 2.5 Km
1 0
G) Rumah Sakit • Ada atau <= 2.5 Km • > 5 Km
1 0
H) Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti pijat/Salon • Ada • Tidak ada
1 0
I) Persentase Rumah Tangga Telepon • >= 8.00 • < 8.00
1 0
J) Persentase Rumah Tangga Listrik • >= 90.00 • <90.00
1 0
Sumber: BPS (2000) 4. Reklasifikasi di Kota Depok
Salah satu faktor yang mempengaruhi urbanisasi adalah adanya reklasifikasi desa
perdesaan menjadi desa perkotaan. Berdasarkan pengolahan data PODES (Potensi Desa)
tahun 1983, 1986, 1990, 1993, 1996, 2000, 2003 dan 2006, maka perkembangan jumlah
desa perkotaan di kota Depok dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu: (1) Periode
sebelum adanya kampus UI Depok; (2) Periode setelah adanya kampus UI Depok; dan
(3) Periode setelah menjadi Kota Depok.
Pada periode pertama, sebelum pembangunan kampus UI Depok, jumlah desa
perkotaan di Depok hanya berjumlah 4 desa dari 20 desa yang tersebar di tiga kecamatan
(Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji). Keempat desa tersebut adalah Rangkapan Jaya
Baru, Rangkapan Jaya dan Mampang yang terletak di Kecamatan Pancoran Mas; dan
desa/kelurahan Kalimulia di Kecamatan Sukmajaya. Pada periode ini pada dasarnya
tidak perubahan atau penambahan jumlah desa perkotaan antara tahun 1983 dan 1986.
Selama periode ini, yang terjadi adalah munculnya desa/kelurahan baru di tahun 1986,
yaitu Cisalak dan Bakti Jaya di Kecamatan Sukmajaya; dan desa/kelurahan Tanah Baru
di Kecamatan Beji.
Yang menarik adalah desa-desa di Kecamatan Beji tidak memiliki satupun desa
yang berkategori perkotaan. Seperti diketahui desa-desa di kecamatan ini merupakan
10
desa-desa yang terletak mengelilingi Kampus UI. Pada perkembangan lebih lanjut, desa-
desa tersebut berpotensi untuk menjadi desa perkotaan setelah adanya pembangunan
Kampus UI sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 4. Tipe Desa Tahun 1983 dan 1986
(1) Periode Sebelum Ada Kampus UI Depok Kecamatan Desa/Kelurahan Tipe 1983 Tipe 1986 PANCORAN MAS: 3 Urban Desa dari 6 desa/kelurahan 020 RANGKAPAN JAYA BARU K K 020 RANGKAPAN JAYA K K 020 MAMPANG K K 020 PANCORAN MAS D D 020 DEPOK JAYA D D 020 DEPOK D D SUKMAJAYA: 1 Urban Desa dari 8 desa/kelurahan 030 KALIMULYA K K 030 KALIBARU D D 030 SUKAMAJU D D 030 SUKMAJAYA D D 030 MEKAR JAYA D D 030 ABADIJAYA D D 030 BAKTI JAYA - D 030 CISALAK - D BEJI: 0 Urban Desa dari 6 desa/kelurahan 050 BEJI D D 050 BEJI TIMUR D D 050 KEMIRIMUKA D D 050 PONDOK CINA D D 050 KUKUSAN D D 050 TANAH BARU - D
Keterangan: D = Desa Perdesaan; K=Desa Perkotaan - = Belum ada data
Sumber: Pengolahan data PODES 1983 dan 1986
Pada periode setelah adanya kampus UI, semua desa/kelurahan di Kecamatan Beji
berubah secara drastis, yang tadinya terkategori sebagai desa perdesaan semuanya
menjadi desa perkotaan. Dari sini jelas, pembangunan kampus UI memiliki pengaruh
11
yang signifikan dalam proses perubahan klasifikasi desa perdesaan menjadi desa
perkotaan.
Di Kecamatan Pancoran Mas, terjadi perubahan jumlah desa perkotaan dari 3
menjadi 5 dari 6 desa yang ada. Dari keenam desa tersebut, hanya Rangkapan Jaya yang
berkategori desa perdesaan. Padahal sebelumnya sudah terkategori sebagai desa
perkotaan. Hal ini dapat dipahami karena penilaian kriteria desa perkotaan pada periode
ini menggunakan kriteria 2000 yang berbeda dengan periode sebelumnya dengan
menggunakan kriteria 1980. Hal yang sama juga terjadi di Kecamatan Sukmajaya, yaitu
desa Kalimulia merupakan satu-satunya desa yang berkategori perdesaan, padahal pada
periode sebelumnya sudah berkategori perkotaan.
Pada periode ini juga ditampilkan beberapa desa yang meski masih dalam wilayah
Kabupaten Bogor (Kecamatan Bojonggede), namun pada perkembangan berikutnya
menjadi wilayah Kota Depok, yaitu Cipayung Jaya, Bojong Pondok Terong, Pondok
Jaya, Ratu Jaya dan Cipayung. Terdapat 2 desa yang berkategori perdesaan dari lima
desa, yaitu Cipayung Jaya dan Pondok Jaya.
Tabel 5. Tipe Desa Tahun 1990, 1993 dan 1996
(2) Periode setelah ada Kampus UI
Kecamatan Desa/Kelurahan Tipe 1990
Tipe 1993
Tipe 1996
BOJONGGEDE (Kab. Bogor): 3 Urban Desa dari 5 desa/kelurahan
Bjg Gede CIPAYUNG JAYA D D D
Bjg Gede BOJONG PONDOK TERONG K K K
Bjg Gede PONDOK JAYA D D D Bjg Gede RATUJAYA K K K Bjg Gede CIPAYUNG K K K
PANCORAN MAS: 5 Urban Desa dari 6 desa/kelurahan
020 RANGKAPAN JAYA BARU K K K 020 RANGKAPAN JAYA D D D 020 MAMPANG K K K 020 PANCORAN MAS K K K 020 DEPOK JAYA K K K 020 DEPOK K K K
12
SUKMAJAYA: 7 Urban Desa dari 8 desa/kelurahan 030 KALIMULYA D D D 030 KALIBARU K K K 030 SUKAMAJU K K K 030 SUKMAJAYA K K K 030 MEKAR JAYA K K K 030 ABADIJAYA K K K 030 BAKTI JAYA K K K 030 CISALAK K K K BEJI: 6 Urban Desa dari 6 desa/kelurahan 050 BEJI K K K 050 BEJI TIMUR K K K 050 KEMIRIMUKA K K K 050 PONDOK CINA K K K 050 KUKUSAN K K K 050 TANAH BARU K K K
Keterangan: D = Desa Perdesaan; K=Desa Perkotaan Sumber: Pengolahan data PODES 1990, 1993 dan 1996
Pada periode setelah Depok menjadi sebuah kota yang terpisah dari Kabupaten
Bogor, sub-wilayah kota Depok jauh lebih berkembang menjadi 6 kecamatan dan 63
kelurahan. Keenam kecamatan tersebut adalah Sawangan, Pancoran Mas, Sukmajaya,
Cimanggis, Beji dan Limo. Dari 63 kelurahan, hanya ada 2 kelurahan yang masih
terkategori sebagai perdesaan, yaitu Bedahan dan Pasir Putih di Kecamatan Sawangan.
Pola ini merupakan kelanjutan dari pola tahun 2003, karena tidak ada perubahan selama
periode 2003-2006.
Beberapa kelurahan yang mengalami perubahan klasifikasi dari perdesaan di
tahun 2000 menjadi perkotaan di tahun 2003 adalah Duren Seribu, Pengasinan,
Sawangan Lama, Curug, Serua dan Cinangka di Kecamatan Sawangan; Kelurahan
Bojong Pondok Terong, Pondok Jaya dan Rangkapan Jaya di Kecamatan Pancoran Mas;
Kelurahan Kalimulya di Kecamatan Sukmajaya; Kelurahan Leuwinanggung dan Jatijajar
di Kecamatan Cimanggis; serta Meruyung, Grogol dan Limo di Kecamatan Limo.
Sementara itu kelurahan-kelurahan di sekitar Kampus UI tetap tidak ada perubahan
sebagai desa perkotaan selama periode 2000-2006.
13
Tabel 6. Tipe Desa Tahun 2000, 2003 dan 2006
(3) Periode Setelah jadi Kota Depok
Kecamatan Desa/Kelurahan Tipe 2000
Tipe 2003
Tipe 2006
1 SAWANGAN: dari 6 menjadi 12 Urban Desa dari 14 desa/kelurahan 010 DUREN MEKAR K K K 010 DUREN SERIBU D K K 010 PENGASINAN D K K 010 BEDAHAN D D D 010 PASIR PUTIH D D D 010 SAWANGAN BARU K K K 010 SAWANGAN LAMA D K K 010 BOJONGSARI LAMA K K K 010 BOJONGSARI BARU K K K 010 CURUG D K K 010 PONDOK PETIR K K K 010 SERUA D K K 010 KEDAUNG K K K 010 CINANGKA D K K
2 PANCORAN MAS: dari 8 menjadi 11 Urban Desa dari 11 desa/kelurahan
020 CIPAYUNG JAYA K K K 020 BOJONG PONDOK TERONG D K K 020 PONDOK JAYA D K K 020 RATUJAYA K K K 020 CIPAYUNG K K K 020 RANGKAPAN JAYA BARU K K K 020 RANGKAPAN JAYA D K K 020 MAMPANG K K K 020 PANCORAN MAS K K K 020 DEPOK JAYA K K K 020 DEPOK K K K 3 SUKMAJAYA: dari 10 menjadi 11 Urban Desa dari 11 desa/kelurahan 030 KALIMULYA D K K 030 JATIMULYA K K K 030 KALIBARU K K K 030 CILODONG K K K 030 SUKAMAJU K K K 030 SUKMAJAYA K K K 030 TIRTAJAYA K K K 030 MEKAR JAYA K K K 030 ABADIJAYA K K K 030 BAKTI JAYA K K K 030 CISALAK K K K
14
4 CIMANGGIS: dari 11 menjadi 13 Urban Desa dari 13 desa/kelurahan 040 CILANGKAP K K K 040 CIMPAEUN K K K 040 TAPOS K K K 040 LEUWINAGGUNG D K K 040 JATIJAJAR D K K 040 SUKAMAJU BARU K K K 040 CURUG K K K 040 SUKATANI K K K 040 HARJAMUKTI K K K 040 CISALAK PASAR K K K 040 MEKARSARI K K K 040 TUGU K K K 040 PASIR GUNUNG SELATAN K K K 5 BEJI: 6 Urban Desa dari 6 desa/kelurahan 050 BEJI K K K 050 BEJI TIMUR K K K 050 KEMIRIMUKA K K K 050 PONDOK CINA K K K 050 KUKUSAN K K K 050 TANAH BARU K K K 6 LIMO: dari 5 menjadi 8 Urban Desa dari 8 desa/kelurahan 060 MERUYUNG D K K 060 GROGOL D K K 060 KRUKUT K K K 060 LIMO D K K 060 CINERE K K K 060 GANDUL K K K 060 PANGKALANJATI BARU K K K 060 PANGKALANJATI K K K
Keterangan: D = Desa Perdesaan; K=Desa Perkotaan Sumber: Pengolahan data PODES 2000, 2003 dan 2006
5. Migrasi Masuk ke Kota Depok
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya urbanisasi adalah migrasi. Sumber data migrasi
yang dapat diolah secara nasional adalah Sensus Penduduk dan Survei Penduduk antar
Sensus (SUPAS). Makalah ini menggunakan data SUPAS 1995 dan SUPAS 2005
sebagai sumber data yang dapat diperbandingkan. Data SUPAS 1995 merepresentasikan
keadaan Depok sebelum menjadi Kota dan data SUPAS 2005 merepresentasikan keadaan
Depok pada perkembangan terakhir ini setelah menjadi sebuah Kota.
15
Data migrasi yang dieksplorasi dari kedua sumber tersebut adalah migrasi risen 5
tahun yang lalu. Yaitu jenis migrasi yang memperlihatkan perbedaan tempat tinggal 5
tahun sebelum survei dan tempat tinggal pada saat survei. Jika tempat tinggal berbeda,
maka responden terkategori sebagai migran; jika tempat tinggal sama, maka responden
terkategori sebagai non migran.
Menurut data SUPAS 1995, jumlah migran masuk ke kota Depok adalah 75.639
orang . atau sekitar 13 persen dari 578.572 orang penduduk kota Depok berusia 5 tahun
ke atas . Jumlah migran tahun 1995 ini kebanyakan berasal dari DKI Jakarta (54,4
persen) dan Jawa Barat (28 persen). Daerah-daerah lain yang menjadi daerah asal migran
di Kota Depok tahun 1995 adalah, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Kalimantan
Barat.
Tabel 7. Persentase Daerah Asal Migran Masuk ke Kota Depok: 1995
Provinsi Asal Jumlah Migran PersentaseLampung 1327 1.75DKI Jakarta 41137 54.39Jawa Barat 21232 28.07Jawa Tengah 5308 7.02Jawa Timur 5308 7.02Kalimantan Barat 1327 1.75Total 75639 100.00
Sumber: Pengolahan Data SUPAS 2005
Data SUPAS 2005 memperlihatkan sekitar 14 persen penduduk kota Depok yang
berusia 5 tahun ke atas adalah migran. Jumlah migran di Kota Depok adalah 168.509
jiwa dari 1.233.490 jiwa penduduk berusia 5 tahun ke atas. Daerah asal migran relatif
lebih beragam dibanding migran tahun 1995, walaupun DKI Jakarta dan Jawa Barat
masih tetap mendominasi sebagai daerah asal migran, yaitu masing-masing 56,6 persen
dan 19 persen. Daerah lain yang cukup mendominasi adalah Jawa Tengah (10,5 persen).
Tabel 8. Daerah Asal Migran Risen: Depok, 2005
Provinsi Asal Jumlah Persen Nanggroe Aceh Darussalam 598 0.35Sumatera Utara 3004 1.78
16
Sumatera Barat 598 0.35Sumatera Selatan 486 0.29Lampung 1127 0.67Kepulauan Riau 493 0.29DKI Jakarta 95358 56.59Jawa Barat 32172 19.09Jawa Tengah 17654 10.48DI Yogyakarta 1262 0.75Jawa Timur 2497 1.48Banten 8989 5.33Bali 493 0.29Nusa Tenggara Timur 972 0.58Kalimantan Tengah 980 0.58Sulawesi Utara 303 0.18Sulawesi Selatan 1030 0.61Maluku 493 0.29Total 168509 100.00
Sumber: Pengolahan Data Supas 2005
Jika migran yang berasal dari Jawa Barat dipilah kembali menurut kabupaten/kota
asal, maka akan tampak bahwa beberapa kabupaten/kota merupakan pengirim utama
migran ke kota Depok, yaitu Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota
Bekasi dan Kabupaten Bandung. Dari sini tampak bahwa faktor kedekatan lokasi dengan
Kota Depok menjadi penentu dalam besar-kecilnya volume migrasi.
Tabel 9. Kabupaten Daerah Asal Migran Dari Jawa Barat: Depok, 2005 Kabupaten Asal Jumlah PersenBogor 4256 13.23Sukabumi 507 1.58Bandung 3384 10.52Garut 310 0.96Tasikmalaya 992 3.08Ciamis 1066 3.31Kuningan 1196 3.72Cirebon 1501 4.67Majalengka 493 1.53Sumedang 1879 5.84Indramayu 682 2.12Bekasi 1518 4.72Kota Bogor 4332 13.47Kota Sukabumi 5109 15.88Kota Bandung 575 1.79Kota Bekasi 3463 10.76
17
Kota Tasikmalaya 909 2.83Total 32172 100.00
Sumber: Pengolahan Data Supas 2005
Jika dilihat menurut alasan pindahnya, maka umumnya para migran adalah karena
alasan keluarga, yaitu ikut sumia/istri/anak/orang tua. Hal ini terutama tampak pada
migran yang berasal dari DKI Jakarta. Alasan lainnya adalah karena pindah pekerjaan,
dan terutama pada migran yang berasal dari non DKI Jakarta. Alasan lain yang cukup
mendominasi adalah karena mencari pekerjaan, terutama pada migran dari non DKI
Jakarta. Alasan lain yang cukup menonjol adalah karena perumahan, terutama pada
migran dari DKI Jakarta.
Tabel 10. Alasan Pindah para Migran menurut Daerah Asal: Depok, 2005
Total Alasan Pindah
Dari non DKI Dari DKI Jumlah Persen
Pekerjaan 22.23 7.45 23724 13.95 Mencari pekerjaan 19.03 2.15 16273 9.57 Pendidikan 3.80 2838 1.67 Perubahan status kawin 4.25 8.27 11066 6.51 Ikut suami/istri/orang tua/anak 41.91 55.35 84099 49.44 Ikut saudara kandung/famili lain 4.25 4.83 7785 4.58 Perumahan 3.35 14.65 16477 9.69 Keamanan 5.05 4820 2.83 Lainnya 1.18 2.24 3021 1.78 100.00 100.00 170103 100.00
6. Urbanisasi dan Pembangunan Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri bahwa urbanisasi sangat terkait erat dengan tingkat kemajuan
ekonomi suatu negara atau wilayah. Negara-negara yang telah berkembang, seperti
Australia, Jepang, New Zealand, dan negara-negara industri baru seperti Korea Selatan,
mempunyai proporsi penduduk urban yang tinggi. Sebaliknya, negara-negara yang
sedang berkembang memiliki proporsi jumlah penduduk perkotaan yang relatif rendah
(lihat Tabel 10).
18
Tabel 10. Indikator Urbanisasi di Berbagai Negara di Asia dan Pasifik, 1970-1999
1970 1980 1990 1999*) Negara Jumlah
Penduduk (jutaan)
Persentase Urban
Jumlah Penduduk
(jutaan
Persentase Urban
Jumlah Penduduk (jutaan)
Persentase Urban
Jumlah Penduduk (jutaan)
Persentase Urban
ASEAN Brunei Darussalam
0.1 61.7 0.2 59.9 0.3 57.7 0.3 67
Indonesia 120.3 17.1 146.8 23.4 179.3 30.9 211.8 38 Malaysia 10.9 27.0 13.8 34.6 17.6 43.0 22.7 57 Filipina 37.5 33.0 48.3 37.4 62.4 42.6 74.7 47 Thailand 35.7 13.3 46.7 17.3 55.7 22.6 61.8 31 Negara Lain di Asia Tenggara
Myanmar 27.1 22.8 33.8 24.0 41.7 24.8 48.1 26 Kamboja 6.9 11.7 6.4 10.3 8.2 11.6 11.9 16 Laos 2.7 9.6 3.2 13.4 4.1 18.6 5.0 17 Vietnam 42.7 18.3 53.7 19.3 66.7 21.9 79.5 20 ASIA Cina 830.7 17.4 996.1 19.6 1,139.1 33.4 1,254.1 30 India 554.9 19.8 688.9 23.1 853.1 27.0 986.6 28 Afghanistan 13.6 11.0 16.1 15.6 16.6 18.2 25.8 20 Bangladesh 66.7 7.6 88.2 11.3 115.6 16.4 125.7 20 Pakistan 65.7 24.9 85.3 28.1 122.6 31.0 146.5 32 Korea Selatan 31.5 50.1 37.4 68.8 43.4 79.8 46.9 79 Negara Maju Australia 12.5 85.2 14.7 85.8 16.9 85.5 19.0 85 Jepang 104.3 71.2 116.9 76.2 123.5 77.0 126.7 79 Selandia Baru 2.8 81.1 3.1 83.3 3.4 84.0 3.8 85
Sumber: Firman (1996) *) World Population Data Sheet (1999)
Demikian juga seperti yang disajikan oleh Perlman (1993) berdasarkan temuan
dari USAID (1989) yang memperlihatkan korelasi yang positif antara tingkat urbanisasi
dan tingkat pembangunan ekonomi yang diukur dengan GNP per kapita.
19
Gambar 3. Hubungan antara Urbanisasi dan GNP per Kapita; Sumber: Perlman (1993)
Di samping itu, negara-negara yang sedang berkembang juga menghadapi
masalah distribusi urbanisasi, dalam arti bahwa perkembangan jumlah penduduk
perkotaan sangat terkonsentrasi pada beberapa kota-kota tertentu, khususnya pada kota-
kota besar atau kota-kota utama saja. Tingginya konsentrasi penduduk di suatu daerah
perkotaan ternyata juga diikuti oleh tingginya pangsa ekonomi daerah tersebut terhadap
output nasionalnya (Tabel 7). Tabel 7. Urbanisasi dan Output Ekonomi di Daerah Perkotaan Terpilih Daerah Perkotaan Pangsa Penduduk Ukuran Output (dalam %) Brazil: Greater Sao Paulo (1970) 8,6 36,0 dari NDP Cina: Shanghai (1980) 1,2 12,5 dari GIP Haiti: Semua perkotaan (1976) 24,2 57,6 dari NI India: Semua perkotaan (1970/71) 19,9 38,9 dari NDP Kenya: Semua perkotaan (1976) 11,9 30,3 dari NI Meksiko: Semua perkotaan (1976) 60,0 79,7 dari PI Pakistan: Karachi (1974/75) 6,1 16,1 dari GDP Peru: Lima (1980) 28,0 43,0 dari GDP Filipina: Metro-Manila (1970) 12,0 25,0 dari GNP Thailand: Metro-Bangkok (1972) 10,9 37,4 dari GDP Turki: Semua perkotaan (1981) 47,0 70,0 dari GNP Sumber: AID (1989:13) dalam Perlman (1993: 28) Keterangan: NDP = Net Domestic Product GIP = Gross Industrial Product NI = National Income PI = Personal Income GDP = Gross Domestic Product GNP = Gross National Product
20
7. Perkembangan Ekonomi Kota Depok
Urbanisasi tentunya berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi, tak terkecuali
dengan kota Depok. Uraian berikut mencoba menelaah perkembangan ekonomi kota
Depok selama periode 2000-2005. Berbagai indikator dapat digunakan untuk melihat
perkembangan ekonomi kota Depok, mulai dari struktur perekonomian, potensi daerah,
dan posisi relatif yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor strategis. Tulisan
ini juga mencoba secara deskriptif melihat apakah terjadi pergeseran sektor strategis di
Kota Depok selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2000-2005). Perkembangan ekonomi
juga dapat dilihat dari perkembangan keuangan daerah, yang dalam hal ini dilihat dari sisi
penerimaannya. Perkembangan ekonomi bersama unsur-unsur lain seperti faktor
kelembagaan; keamanan, politik, dan sosbud; tenaga kerja; dan infrastruktur fisik
mempengaruhi daya tarik investasi daerah yang pada akhirnya mempengaruhi dinamika
kehidupan masyarakat.
7.1 Struktur Perekonomian
Salah satu indikator untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan
ekonomu suatu daerah dengan mengetahui struktur perekonomian daerah tersebut.
Struktur perekonomian dapat dilihat melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
daerah tersebut yang biasanya dikelompokan atas sektor lapangan usaha. Untuk
mengetahui struktur perkonomian, lapangan usaha yang terdapat dalam pembentukan
PDRB dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu sektor primer, sekunder, dan tersier.
Sektor primer adalah sektor yang tidak mengolah bahan mentah atau bahan baku
melainkan hanya mendayagunakan sumber-sumber alam seperti tanah dan deposit di
dalamnya. Yang termasuk kelompok ini adalah sektor pertanian serta sektor
pertambangan dan penggalian.
Sektor sekunder adalah sektor yang mengolah bahan mentah atau bahan baku baik
berasal dari sektor primer maupun dari sektor sekunder menjadi barang yang lebih tinggi
nilainya. Sektor ini mencakup sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air
minum, dan sektor konstruksi.
21
Sektor tersier, atau dikenal sebagai sektor jasa, merupakan sektor yang tidak
memproduksi dalam bentuk fisik malainkan dalam bentuk jasa. Sektor yang tercakup
adalah perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, bank dan
lembaga keuangan lainnya.
Dengan melihat perkembangan sektor tersebut dalam kurun waktu tertentu dan
memperhatikan peranan sektor tersebut dalam PDRB secara keseluruhan kita dapat
mengetahui struktur perekonomian suatu daerah. Struktur perekonomian kota Depok
berdasarkan lapangan usahanya didominasi oleh sektor industri pengolahan dan
sektor perdagangan terutama perdagangan besar dan eceran.
Peran sektor primer selama kurun waktu 2004-2005 mengalami penurunan, dari
3,24% menjadi hanya 3%, dan dengan laju penurunan sebesar 7.41 persen. Penurunan
kontribusi sektor ini karena beralih ke sektor sekunder dan tersier. Peralihan sektor ini
diduga kuat karena faktor urbanisasi. Urbanisasi mengakibatkan terjadinya peralihan
lahan pertanian menjadi permukiman penduduk, sehingga dari tahun ke tahun sektor
pertanian semakin menurun. Sebaliknya, peran sektor sekunder dan tersier mengalami
peningkatan meskipun tidak berarti.
Bila dilihat dari Tabel 8 di bawah, sektor sekunder mengalami perubahan yang
tidak terlalu signifikan dalam kurun waktu 2004-2005, dari 48,73% menjadi 48,70%,
dengan laju penurunan hanya sebesar 0.06 persen. Keadaan ini dipengaruhi oleh
penurunan sektor industri pengolahan dari 38,63 persen menjadi 38,59 persen dan
penurunan peranan sektor konstruksi dari 6,00 persen menjadi 5,29 persen. Sedangkan
sektor listrik, gas dan air minum (LGAM) mengalami peningkatan dari 4,10 persen
menjadi 4,82 persen dengan perubahan sebesar 17,56 persen.
Pada kelompok tersier terjadi peningkatan peranan yaitu 48,03 persen menjadi
48,30 persen dengan perubahan 0,56 persen. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran
peranannya menurun dari 30,68 persen menjadi 30,15 persen, sektor pengangukutan dan
komunikasi meningkat dari 5,66 persen menjadi 6,83 persen. Sektor bank dan lembaga
keuangan lainnya turun sedikit dari 3,67 persen menjadi 3,59 persen dan sektor jasa-jasa
menurun dari 8,02 persen menjadi 7,73 persen.
22
Tingginya peran sektor sekunder dan tersier di kota Depok selain disebabkan oleh
terjadinya urbanisasi, yang menyebabkan sektor pertanian semakin tergeser oleh sektor
industri dan jasa, juga disebabkan oleh keberadaan kota Depok sebagai daerah satelit,
yaitu daerah pinggir kota yang menjadi penyangga perekonomian di pusat kota dan
sehingga banyak industri didirikan di pinggir kota. Fenomena bermunculannya sektor
industri di daerah pinggir kota juga disebabkan oleh femomena pergerakan sektor
perekonomian yang mendekati permukiman penduduk.
Tabel 8 Distribusi Sektoral Kota Depok, 2000-2005 (dalam %)
LAPANGAN USAHA 2000 2001 2002 2003 2004 2005**A. Primer 4.02 3.84 3.92 3.59 3.24 3.00 1. PERTANIAN 4.02 3.84 3.92 3.59 3.24 3.00 a. Tanaman Bahan Makanan 0.66 0.64 0.65 0.60 0.55 0.51 b. Tanaman Perkebunan 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 2.92 2.75 2.79 2.55 2.28 2.12 d. Kehutanan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 e. Perikanan 0.44 0.44 0.48 0.44 0.40 0.37 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
B. Sekunder 48.52 47.93 48.15 48.60 48.73 48.70 3. INDUSTRI PENGOLAHAN 38.45 38.24 38.38 38.37 38.63 38.59 a. Industri Migas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 b. Industri Tanpa Migas 38.45 38.24 38.38 38.37 38.63 38.59 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 3.47 3.37 3.97 4.35 4.10 4.82 a. Listrik 3.31 3.21 3.82 4.20 3.95 4.64 b. Gas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 c. Air Bersih 0.16 0.16 0.14 0.15 0.15 0.19 5. BANGUNAN 6.60 6.33 5.81 5.88 6.00 5.29C. Tersier 47.45 48.23 47.93 47.81 48.03 48.30 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 30.49 30.61 30.54 30.50 30.68 30.15 a. Perdagangan Besar & Eceran 24.90 24.99 24.95 24.88 24.98 24.75 b. Hotel 0.14 0.14 0.13 0.12 0.11 0.10 c. Restoran 5.45 5.48 5.45 5.50 5.58 5.30 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 5.04 5.48 5.72 5.67 5.66 6.83
a. Pengangkutan 4.74 5.13 5.34 5.27 5.22 6.39 1. Angkutan Rel 0.22 0.24 0.23 0.22 0.21 0.20 2. Angkutan Jalan Raya 3.72 4.04 4.27 4.26 4.28 5.49 3. Angkutan Laut 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
23
5. Angkutan Udara 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6. Jasa Penunjang Angkutan 0.80 0.85 0.84 0.79 0.74 0.70 b. Komunikasi 0.30 0.35 0.38 0.40 0.43 0.43 1. Pos dan Telekomunikasi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2. Jasa Penunjang Komunikasi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 3.80 3.82 3.65 3.65 3.67 3.59
a. Bank 0.09 0.10 0.11 0.10 0.09 0.10 b. Lembaga Keuangan tanpa Bank 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 c. Jasa Penunjang Keuangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 d. Sewa Bangunan 3.19 3.20 3.04 3.07 3.12 3.06 e. Jasa Perusahaan 0.51 0.51 0.49 0.47 0.46 0.42 9. JASA-JASA 8.12 8.32 8.02 7.99 8.02 7.73 a. Pemerintahan Umum 3.87 4.15 3.91 3.97 4.07 4.03 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 3.87 4.15 3.91 3.97 4.07 4.03 2. Jasa Pemerintah lainnya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 b. Swasta 4.24 4.16 4.12 4.02 3.96 3.70 1. Sosial Kemasyarakatan 1.28 1.27 1.32 1.33 1.35 1.33 2. Hiburan & Rekreasi 0.07 0.08 0.08 0.08 0.07 0.06 3. Perorangan & Rumahtangga 2.88 2.82 2.71 2.62 2.54 2.30
PDRB TANPA MIGAS 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00Sumber: Data diolah
7.2 Potensi Daerah
Potensi daerah antara lain dapat dilihat dari perkembangan pertumbuhan ekonomi dan
PDRB per kapitanya.
7.2.1 Pertumbuhan Ekonomi 2000-05
Laju pertumbuhan PDRB suatu daerah merupakan indikator untuk mengukur
perkembangan ekonomi suatu daerah. Indikator ini menunjukkan naik tidaknya produk
ataupun output yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi suatu daerah tersebut.
Dilihat dari kelompok sektor, dalam kurun waktu 2000-05 semua sektor kegiatan
mengalami peningkatan. Sektor yang mengalami peningkatan terbesar adalah sektor
pengangkutan dan komunikasi yaitu sebesar 8,10 persen diikuti oleh sektor industri
pengolahan sebesar 7,82 persen dan sektor keuangan, persewaan, jasa dan perusahaan
sebesar 6,69 persen.
24
Ketiga sektor tersebut menjadi potensi utama kota Depok sebagai dampak dari
keberadaan Kota Depok sebagai daerah sub-urban (daerah pinggir kota yang sebagian
besar penduduknya bekerja di pusat kota).
Tabel 9 Pertumbuhan Sektoral Kota Depok, 2000-2005 (dalam %) Pertumbuhan
LAPANGAN USAHA 00-01 01-02 02-03 03-04 04-05 00-05
1. PERTANIAN 3.04 3.58 2.23 4.24 4.70 3.55 a. Tanaman Bahan Makanan 7.70 9.52 2.79 0.76 2.00 4.50 b. Tanaman Perkebunan 4.37 4.19 6.03 3.32 1.00 3.77 c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1.58 1.82 2.19 5.57 5.63 3.34 d. Kehutanan na na na na na na e. Perikanan 5.78 5.70 1.55 1.56 3.00 3.50 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN na na na na na na 3. INDUSTRI PENGOLAHAN 7.04 8.57 7.21 7.27 9.00 7.82 a. Industri Migas na na na na na na b. Industri Tanpa Migas 7.04 8.57 7.21 7.27 9.00 7.82 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 4.20 3.87 5.62 5.66 7.86 5.43 a. Listrik 3.82 3.49 5.59 5.63 6.00 4.90 b. Gas na na na na na na c. Air Bersih 12.15 11.35 6.17 6.22 40.90 14.69 5. BANGUNAN 6.64 3.84 5.54 5.58 2.00 4.71 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 5.59 2.67 5.87 5.91 6.07 5.21 a. Perdagangan Besar & Eceran 5.36 2.43 5.90 5.95 7.00 5.32 b. Hotel 10.45 6.17 0.58 0.59 2.00 3.89 c. Restoran 6.51 3.69 5.87 5.92 2.00 4.78 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 3.73 15.38 6.95 6.83 7.95 8.10 a. Pengangkutan 2.03 15.51 6.49 6.32 7.94 7.57 1. Angkutan Rel 7.80 9.92 8.21 3.58 3.00 6.47 2. Angkutan Jalan Raya 1.19 17.61 6.74 6.79 8.80 8.10 3. Angkutan Laut na na na na na na 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. na na na na na na 5. Angkutan Udara na na na na na na 6. Jasa Penunjang Angkutan 4.36 7.64 4.76 4.80 5.00 5.30 b. Komunikasi 30.31 13.75 12.61 12.70 8.00 15.23 1. Pos dan Telekomunikasi na na na na na na 2. Jasa Penunjang Komunikasi na na na na na na 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 5.04 6.69 7.99 8.07 5.69 6.69
a. Bank 27.54 17.56 6.18 6.23 8.00 12.80
25
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank 11.40 4.78 6.21 6.26 5.00 6.70 c. Jasa Penunjang Keuangan na na na na na na d. Sewa Bangunan 4.65 6.59 8.64 8.71 6.00 6.91 e. Jasa Perusahaan 3.20 4.97 4.33 4.37 3.00 3.97 9. JASA-JASA 4.77 5.21 4.78 4.83 3.94 4.71 a. Pemerintahan Umum 5.33 7.79 4.68 4.72 5.00 5.50 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 5.33 7.79 4.68 4.72 5.00 5.50 2. Jasa Pemerintah lainnya na na na na na na b. Swasta 4.26 2.82 4.89 4.94 2.91 3.96 1. Sosial Kemasyarakatan 1.26 2.82 6.75 6.80 5.00 4.50 2. Hiburan & Rekreasi 19.20 18.45 3.80 3.83 2.00 9.19 3. Perorangan & Rumahtangga 5.22 2.36 4.12 4.15 2.00 3.56
PDRB TANPA MIGAS 5.89 6.10 6.29 6.41 6.93 6.32Sumber: Data diolah
7.2.2 PDRB Per Kapita
Nilai PDRB per kapita diperoleh dari nilai PDRB dibagi jumlah penduduk
pertengahan tahun. Dengan penduduk pada tahun 2000 sebanyak 1.143.403 jiwa dan
pada tahun 2005 sebanyak 1.374.900 jiwa, maka PDRB per kapita kota Depok atas dasar
harga konstan 2000 masing-masing adalah sebesar Rp. 3,051,691.68 dan Rp.
3,448,155.25. Dari kalkulasi tersebut, terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan PDRB per
kapita dalam kurun waktu 2000-05 sebesar 2,47 persen.
7.3 Posisi Relatif Kota Depok
7.3.1 Posisi Relatif Kota Depok Terhadap Propinsi Jawa Barat
Peran perekonomian Kota Depok terhadap keseluruhan Jawa Barat cukup kecil—
hanya sekitar 2%. Meskipun demikian peran tersebut cenderung meningkat sejak tahun
2000 hingga 2004 dan mengalami penurunan pada tahun 2005. Dari peran yang tidak
besar ini, sektor bangunan merupakan sektor yang berkontribusi terbesar dalam
pembentukan PDRB kota Depok terhadap PDRB Jawa Barat. Sektor pertanian kota
Depok mengindikasikan peran yang cenderung menurun terhadap Jawa Barat.
Sebaliknya sektor perdagangan, hotel dan restoran menunjukkan kecenderungan yang
meningkat, kecuali pada tahun 2005. Sedangkan sektor pengangkutan dan komunikasi;
26
sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan sektor jasa-jasa menunjukkan
kecenderungan yang konstan selama periode 2000-2005.
Tabel 10 Posisi Relatif Kota Depok terhadap Propinsi Jawa Barat (%)
LAPANGAN USAHA 2000 2001 2002 2003 2004 2005** 1. PERTANIAN 0.45 0.48 0.53 0.53 0.50 0.49 a. Tanaman Bahan Makanan 0.10 0.10 0.12 0.12 0.12 0.12 b. Tanaman Perkebunan 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 2.55 2.96 3.00 2.87 2.49 2.59 d. Kehutanan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 e. Perikanan 1.06 1.19 1.05 0.89 0.77 0.74 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3. INDUSTRI PENGOLAHAN 1.62 1.67 1.83 1.79 1.87 1.68 a. Industri Migas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 b. Industri Tanpa Migas 1.67 1.72 1.90 1.85 1.94 1.75 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 2.86 2.54 2.98 2.85 2.67 3.22 a. Listrik 3.17 2.81 3.38 3.11 2.91 3.47 b. Gas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 c. Air Bersih 2.05 1.98 1.47 1.99 2.07 3.04 5. BANGUNAN 4.38 4.43 4.32 4.58 4.47 3.47 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 2.76 3.06 3.12 3.36 3.67 3.05 a. Perdagangan Besar & Eceran 2.69 3.01 3.02 3.30 3.68 2.96 b. Hotel 0.76 0.67 0.75 0.67 0.62 0.48 c. Restoran 3.42 3.64 4.01 4.09 3.97 4.06 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 2.41 2.59 2.61 2.34 2.24 2.49 a. Pengangkutan 2.91 3.17 3.17 2.81 2.72 2.80 1. Angkutan Rel 6.31 7.22 5.65 5.53 5.69 5.32 2. Angkutan Jalan Raya 2.79 3.03 3.09 2.73 2.66 2.78 3. Angkutan Laut 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5. Angkutan Udara 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6. Jasa Penunjang Angkutan 6.87 7.85 8.13 7.73 6.25 5.29 b. Komunikasi 0.65 0.71 0.75 0.74 0.72 0.96 1. Pos dan Telekomunikasi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2. Jasa Penunjang Komunikasi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 2.48 2.49 2.50 2.55 2.55 2.61 a. Bank 0.34 0.32 0.35 0.37 0.31 0.36 b. Lembaga Keuangan tanpa Bank 0.11 0.11 0.11 0.10 0.10 0.08 c. Jasa Penunjang Keuangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 d. Sewa Bangunan 3.94 4.22 4.17 4.16 4.36 4.23
27
e. Jasa Perusahaan 1.58 1.58 1.64 1.62 1.44 1.83 9. JASA-JASA 2.34 2.13 2.13 2.09 2.04 2.05 a. Pemerintahan Umum 1.92 1.63 1.60 1.67 1.59 1.61 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 3.10 2.63 2.58 2.69 2.57 2.59 2. Jasa Pemerintah lainnya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 b. Swasta 2.92 3.07 3.11 2.78 2.89 2.94 1. Sosial Kemasyarakatan 5.36 5.69 5.26 5.20 5.81 5.80 2. Hiburan & Rekreasi 2.29 2.56 2.58 2.45 2.19 2.13 3. Perorangan & Rumahtangga 2.44 2.55 2.61 2.25 2.30 2.31
PDRB TANPA MIGAS 1.78 1.88 2.01 2.03 2.10 1.94Sumber: Data diolah
7.3.2 Sektor Basis dan Non-Basis
Untuk mengetahui perbandingan peran suatu sektor di Kota Depok dengan peran
sektor tersebut di tingkat propinsi, estimasi LQ (location quotient) dapat dilakukan. Bila
koefisien LQi > 1 berarti proporsi nilai tambah sektor ke i di Kota Depok lebih besar
daripada nilai tambah sector yang sama di tingkat propinsi. Ini mengimplikasikan bahwa
sektor ke i mempunyai surplus, sehingga sektor ke i tersebut dapat meng”ekspor” produk
dari sektor ke i ke daerah lain. Dengan demikian, sector ke i dapat dinyatakan sebagai
sektor basis. Bila koefisien LQi =1 berarti proporsi nilai tambah sector ke i di Kota
Depok sama dengan nilai tambah sector yang sama di tingkat propinsi. Ini mempunyai
implikasi bahwa sektor ke i adalah self suffiencient—tidak harus meng”impor” dari atau
meng”ekspor” ke daerah lain. Bila koefisien LQi < 1 berarti proporsi nilai tambah sektor
ke i lebih kecil daripada nilai tambah sektor yang sama di tingkat propinsi. Ini
mengimplikasikan bahwa sector ke i mengalami defisit sehingga sector ke i tersebut
harus meng”impor” produk sector ke i dari daerah lain. Dengan demikian sector ke i
dapat dinyatakan sebagai sector non basis.
Berdasarkan hasil perhitungan LQ, di sektor pertanian Kota Depok hanya unggul
pada peternakan dan hasil olahannya. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran,
hanya unggul pada sektor perdagangan kecil dan besar dan restoran. Sektor
pengangkutan dan komunikasi unggul pada sektor pengangkutan rel dan jalan raya.
Sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan unggul terutama disektor sewa
bangunan dan swasta. Selain itu, sektor banguanan juga menjadi salah satu sektor
28
unggulan Kota Depok. Jika diamati lebih mendalam, hampir semua dari sektor unggulan
Kota Depok dipengaruhi oleh keberadaan kota ini sebagai daerah sub-urban.
Tabel 11 LQ Kota Depok
LAPANGAN USAHA 2000 2001 2002 2003 2004 2005** 1. PERTANIAN 0.24 0.24 0.25 0.25 0.23 0.24 a. Tanaman Bahan Makanan 0.05 0.05 0.06 0.06 0.06 0.06 b. Tanaman Perkebunan 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1.35 1.50 1.43 1.35 1.13 1.27 d. Kehutanan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 e. Perikanan 0.56 0.60 0.50 0.42 0.35 0.36 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3. INDUSTRI PENGOLAHAN 0.86 0.85 0.87 0.84 0.85 0.82 a. Industri Migas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1. Pengilangan Minyak Bumi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2. Gas Alam Cair na na na Na Na na b. Industri Tanpa Migas 0.88 0.87 0.91 0.87 0.89 0.86 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 1.51 1.29 1.41 1.34 1.22 1.58 a. Listrik 1.68 1.43 1.61 1.46 1.33 1.70 b. Gas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 c. Air Bersih 1.08 1.00 0.70 0.94 0.94 1.49 5. BANGUNAN 2.32 2.25 2.05 2.16 2.03 1.70 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 1.46 1.55 1.48 1.58 1.67 1.50 a. Perdagangan Besar & Eceran 1.43 1.53 1.43 1.55 1.68 1.45 b. Hotel 0.40 0.34 0.36 0.32 0.28 0.24 c. Restoran 1.81 1.85 1.91 1.93 1.81 1.99 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 1.27 1.31 1.24 1.10 1.02 1.22 a. Pengangkutan 1.54 1.61 1.50 1.32 1.24 1.37 1. Angkutan Rel 3.34 3.66 2.69 2.61 2.59 2.61 2. Angkutan Jalan Raya 1.48 1.53 1.47 1.29 1.21 1.36 3. Angkutan Laut 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5. Angkutan Udara 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6. Jasa Penunjang Angkutan 3.64 3.98 3.86 3.64 2.85 2.59 b. Komunikasi 0.34 0.36 0.36 0.35 0.33 0.47 1. Pos dan Telekomunikasi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2. Jasa Penunjang Komunikasi na na na Na na na 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 1.31 1.26 1.19 1.20 1.16 1.28 a. Bank 0.18 0.16 0.16 0.17 0.14 0.18 b. Lembaga Keuangan tanpa Bank 0.06 0.06 0.05 0.05 0.04 0.04 c. Jasa Penunjang Keuangan na na na Na na na
29
d. Sewa Bangunan 2.09 2.14 1.98 1.96 1.99 2.08 e. Jasa Perusahaan 0.84 0.80 0.78 0.76 0.66 0.90 9. JASA-JASA 1.24 1.08 1.01 0.98 0.93 1.01 a. Pemerintahan Umum 1.02 0.83 0.76 0.79 0.72 0.79 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 1.64 1.33 1.23 1.27 1.17 1.27 2. Jasa Pemerintah lainnya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 b. Swasta 1.55 1.55 1.48 1.31 1.32 1.44 1. Sosial Kemasyarakatan 2.84 2.88 2.50 2.45 2.65 2.85 2. Hiburan & Rekreasi 1.21 1.30 1.23 1.15 1.00 1.04 3. Perorangan & Rumahtangga 1.29 1.29 1.24 1.06 1.05 1.13
7.4 Sektor Strategis
Dengan menggunakan indikator-indikator di atas, identifikasi sektor strategis
dapat dilakukan. Salah satu indikator adalah membandingkan pertumbuhan sektoral di
daerah dengan pertumbuhan PDRBnya—apakah lebih kecil atau lebih besar. Apabila
pertumbuhan sektoral di daerah lebih besar daripada pertumbuhan PDRB daerah secara
keseluruhan, maka sektor tersebut mempunyai peluang untuk menjadi sektor strategis.
Indikator kedua adalah perbandingan pertumbuhan sektor i di daerah terhadap
pertumbuhan sektor i di propinsi. Apabila angka pertumbuhan sektor i di daerah relatif
lebih besar daripada angka pertumbuhan sektor i di propinsi, maka sektor i tersebut
berpeluang untuk menjadi sektor strategis.
Indikator ketiga adalah kontribusi sektoral. Apabila kontribusi sektor i lebih besar
daripada 10%, maka sektor i kemungkinan dapat menjadi sektor strategis.
Indikator keempat adalah koefisien LQ, apabila sektor i merupakan sektor basis
maka sektor tersebut berpeluang untuk menjadi sektor strategis. Indikator kelima adalah
koefisien proportional shift (PS) dan dfferential shift (DS). Proportional shift (PS)
menunjukkan perubahan aktivitas ekonomi daerah pada sektor i dibandingkan dengan
total perubahan aktivitas ekonomi propinsi. Angka ini juga dapat mengindikasikan
pertumbuhan relatif ekonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi propinsi. Jika PS
bernilai positif maka pertumbuhan ekonomi lebih cepat daripada rata-rata pertumbuhan
aktivitas ekonomi propinsi. Sedangkan differential shift (DS) menunjukkan kinerja
kompetitif ekonomi di suatu daerah dengan ekonomi propinsi untuk sektor yang sama.
Jika koefisien DS positif, maka angka tersebut menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi
wilayah pada suatu sektor lebih kompetitif daripada di tingkat propinsi. Indikator
30
keenam adalah multiplier effect, yang merupakan rasio antara aktivitas sektor non basis
terhadap aktivitas sektor basis. Tabel 12 di bawah menunjukkan keenam indikator
tersebut.
Tabel 12 Sektor Strategis Kota Depok
LAPANGAN USAHA Gir>Gr Gir>Gip KS>10% LQ>1 PS&DS>0 ME>0 Jumlah 2000-20005 <2000
1. PERTANIAN 0 1 0 0 0 0 1.00 KS S
a. Tanaman Bahan Makanan 0 1 0 0 0 0 1.00
b. Tanaman Perkebunan 0 0 0 0 0 0 0.00
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 0 0 0 1 0 1 2.00
d. Kehutanan Na na na na na na Na na
e. Perikanan 0 0 0 0 0 0 0.00
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN na na na na na na Na na na
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 1 1 1 0 0 0 3.00 S KS
a. Industri Migas na na na na na na Na na
b. Industri Tanpa Migas 1 1 1 0 0 0 3.00
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 0 0 0 1 1 1 3.00 S KS
a. Listrik 0 0 0 1 1 1 3.00 S
b. Gas na na na na na na Na na
c. Air Bersih 1 1 0 1 0 1 4.00
5. BANGUNAN 0 0 0 1 0 1 2.00 KS KS
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 0 1 1 1 0 1 4.00 S KS
a. Perdagangan Besar & Eceran 0 1 1 1 0 1 4.00
b. Hotel 0 0 0 0 0 0 0.00
c. Restoran 0 1 0 1 0 1 3.00
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 1 1 0 1 1 1 5.00 SS KS
a. Pengangkutan 1 1 0 1 0 1 4.00
1. Angkutan Rel 1 1 0 1 0 1 4.00
2. Angkutan Jalan Raya 1 1 0 1 0 1 4.00
6. Jasa Penunjang Angkutan 0 1 0 1 0 1 3.00
b. Komunikasi 1 1 0 0 0 0 2.00
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 1 0 0 1 0 1 3.00 S SS
a. Bank 1 0 0 0 0 0 1.00
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank 1 0 0 0 0 0 1.00
c. Jasa Penunjang Keuangan na na na na na na Na na
d. Sewa Bangunan 1 1 0 1 0 1 4.00
e. Jasa Perusahaan 0 1 0 0 0 0 1.00
9. JASA-JASA 0 0 0 1 0 1 2.00 KS S
a. Pemerintahan Umum 0 0 0 0 0 1 1.00
31
1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 0 0 0 1 0 1 2.00
2. Jasa Pemerintah lainnya na na na na na na Na na
b. Swasta 0 0 0 1 0 1 2.00
1. Sosial Kemasyarakatan 0 0 0 1 0 1 2.00
2. Hiburan & Rekreasi 1 0 0 1 0 0 2.00
3. Perorangan & Rumahtangga 0 0 0 1 0 1 2.00
Sumber: RTRW Kota Depok dan Hasil Olahan
Jika dibandingkan dengan kondisi sebelum tahun 2000 dan periode 2000-2005
terlihat bahwa terjadi pergeseran sektor strategis di Kota Depok. Sektor pertanian
sebelum tahun 2000 merupakan sektor strategis, tetapi selama periode 2000-05 sektor
tersebut telah bergeser menjadi sektor yang kurang strategis. Ini diduga terkait dengan
terjadinya perubahan peruntukan tanah—dari tanah pertanian menjadi permukiman atau
perdagangan. Demikian pula yang dialami sektor jasa, khususnya pemerintahan umum.
Untuk pemerintahan umum, indikator yang berperan adalah indikator multiplier effect.
Sektor industri pengolahan; LGAM; dan perdagangan, hotel, dan restoran
bergeser dari yang semula merupakan sektor yang kurang strategis menjadi sektor yang
strategis dalam periode 2000-20005. Sektor pengangkutan dan komunikasi bahkan
terlihat bergeser dari kurang strategis menjadi sangat strategis. Hal ini diduga tidak
terlepas dari proses urbanisasi yang terjadi di Kota Depok dan semakin banyaknya
penduduk Kota Depok, sehingga permintaan dan penawaran akan barang/jasa dari sektor-
sektor tersebut meningkat.
Sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dapat dikatakan masih
merupakan sektor strategis, meskipun terlihat terjadi pergeseran dari kategori sangat
strategis menjadi strategis saja. Sedangkan sektor bangunan tetap merupakan sektor yang
kurang strategis. Peran dan pertumbuhan sektor bangunan dalam perekonomian Kota
Depok tidak terlalu besar.
7.5 PAD
Salah satu komponen pendapatan daerah adalah pendapatan asli daerah (PAD).
Jenis-jenis pendapatan asli daerah dapat dilihat melalui tabel 13 di bawah. Pada periode
2001-2003 PAD Kota Depok mengalami rata-rata penurunan sebesar 19,2 persen. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya penurunan di beberapa pos, yaitu: pos pajak daerah, retribusi
32
daerah, retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, retribusi perijinan tertentu, bagi hasil
pajak, dana alokasi umum dan penerimaan lainnya.
Tabel 13 Pendapatan Asli Daerah Periode 2001-2003 (Rp)
Pendapatan Asli Daerah 2001 2002 2003
Pajak Daerah 28.295.000 18.989.798 11.468.125
Retribusi Daerah 11.297.300 1.1843.536 8.111.033
Retribusi Jasa Umum 4.984.800 3.981.160 2.794.311
Retribusi Jasa Usaha 1.180.500 1.452.518 1.116.871
Retribusi Perijinan Tertentu 5.132.000 6.409.858 4.199.851
Bagian Laba Usaha Daerah 9.894 252.610 66.724
Penerimaan PAD Lainnya 747.615 2.047.673 1.518.940
Dana Perimbangan 150.090.996 217.787.529 154.772.881
Bagi Hasil Pajak 34.672.289 41.610.998 29.066.714
Bagi Hasil Bukan Pajak 7.250.682 8.936.531 3.468.877
Dana Alokasi Umum 108.168.025 167.240.000 122.237.290
Dana Alokasi Khusus - - -
Penerimaan Lainnya 46.684.203 1.368.022 14.434.232
Pinjaman Pemerintah Daerah - 9.500.000 -
Total 40.349.809 33.133.617 21.164.822
7.6 Iklim Investasi
Era otonomi daerah mengakibatkan iklim usaha bukan hanya dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah pusat namun pemerintah daerah turut memberikan kontribusi
dalam penciptaan iklim invesatasi yang baik. Dalam era tersebut persaingan antar daerah
untuk menarik investor terjadi. Namun, tidak setiap daerah akan didatangi oleh investor,
hanya daerah yang mempunyai daya saing yang baik dan kompetitif yang memiliki
peluang lebih besar untuk didatangi investor.
33
Terdapat beberapa faktor yang diyakini sebagai faktor pembentuk daya saing
investasi suatu negara atau daerah, yaitu faktor ekonomi, infrastruktur, politik,
kelembagaan, sosial, dan budaya (KPPOD 2005).
Di bawah ini disajikan diagram faktor-faktor pembentuk daya tarik investasi
daerah, di antaranya terdapat: faktor kelembagaan yang mencakup kepastian hukum,
aparatur dan pelayanan lembaga di daerah, kebijakan daerah dan performa kepempinan
lokal; faktor keamanan, politik dan budaya; faktor ekonomi daerah yang terdiri dari
potensi ekonomi daerah dan struktur ekonominya; faktor tenaga kerja yang meliputi
berapa banyak ketersediaan tenaga kerja, kualitas dan biaya dari tenaga kerja di daerah;
dan terakhir adalah faktor infrastruktur fisik yang meliputi ketersediaan dan kualitas dari
infrastruktur tersebut.
Diagram 1 Faktor-faktor Penentu Daya Tarik Investasi Daerah
KPPOD telah melakukan pemeringkatan faktor-faktor di atas di setiap daerah
untuk menilai seberapa besar daya tarik daerah. Hasil pemeringkatan untuk kota Depok
dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
Info 1 Profil Kota Depok Menurut KPPOD
34
Tahun 2005 kota Depok memiliki peringkat kelembagaan C. Untuk faktor
kepastian hukum dan kepemimpinan lokal berada di peringkat C. Pemimpin lokal perlu
melakukan hubungan baik dengan para pengusaha. Aparatur daerah dan pelayanannya
berada pada di peringkat B dan peraturan daerah di peringkat A.
Keamanan, politik dan sosial budaya memiliki peringkat B. Namun, faktor politik
masih berada di peringkat D. Untuk meningkatkan daya tarik investasi, pemerintah Kota
Depok perlu melakukan perbaikan di bidang politik baik perbaikan hubungan legislatif-
eksekutif maupun hubungan antar partai politik. Perselisihan di antara partai politik
seringkali menciptakan kondisi yang tidak kondusif dan tidak aman untuk berinvestasi.
Faktor ekonomi daerah Kota Depok cukup memprihatinkan. Faktor ini
menduduki peringkat D. Potensi ekonomi, yang mencakup unsur PDRB per kapita,
pertumbuhan ekonomi, dan indeks kemahalan konstruksi berada di peringkat B; namun
struktur ekonomi yang dilihat dari pertumbuhan sektor primer, sekunder, dan tersier
masih berada di peringkat D. Ini mengindikasikan bahwa Kota Depok perlu bekerja
keras untuk meningkatkan pertumbuhan sektoralnya.
Faktor tenaga kerja terlihat cukup baik dalam menarik investasi daerah. Faktor
ini menduduki peringkat B. Namun faktor biaya tenaga masih sangat memprihatinkan
dengan menduduki peringkat E.
Faktor infrastruktur, yang mencakup ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik,
telah menunjukkan kinerja yang baik dengan menduduki peringkat A. Meskipun
demikian, Kota Depok tetap perlu memperhatikan terjadinya kemacetan lalu lintas dan
kondisi jalan yang rusak karena hal ini berpotensi untuk menurunkan daya saing investasi
daerah.
35
Dengan demikian ada beberapa pekerjaan rumah (PR) yang harus dikerjakan
pemerintah kota Depok untuk meningkatkan daya saing daerahnya, yaitu: Perlunya
kepastiaan hukum dengan adanya konsistensi peraturan, penegakan keputusan peradilan,
kecepatan aparat keamanan dan masalah pungutan liar di luar birokrasi dan peningkatan
performa pemimpin daerah yang tercermin dalam inisiatif Kepala Daerah dan hubungan
Kepala Daerah dengan pengusaha. Untuk menjaga kestabilan politik dapat dilakukan
dengan menjaga hubungan eksekutif dan legislatif serta hubungan antar partai politik.
Perbaikan struktur ekonomi dengan meningkatkan pertumbuhan ditiap sektor yaitu:
sektor primer, sekunder dan tersier. Dan penentuan biaya tenaga kerja yang dapat
menarik para pelaku usaha.
36
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, Aris and Evi Nurvidya Anwar, 1995. Projection of Indonesian Population and
Labor Force: 1995-2025. Population Projection Series no. 5. Jakarta: Demographic Institute Faculty of Economics University of Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 1988. Klasifikasi Urban-Rural Berdasarkan PODES-SE 1986.
Jakarta. ------. 2000. Kriteria Desa Perkotaan 2000: Penjelasan Ringkas. (Draft Sangat
Sementara). Jakarta. Brockerhoff, Martin P. 2000. “An Urbanizing World”. Population Bulletin. Vol. 55, no.
3. Washington DC: Population Reference Bureau. Firman, Tommy. 1996. “Pola Urbanisasi di Indonesia: Kajian Data Sensus Penduduk
1980 dan 1990”. Dalam Aris Ananta dan Chotib (ed.). Mobilitas Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN.
KPPOD, Daya Saing Investasi 228 Kabupaten/Kota di Indonesia, Tahun 2005. McGee, Terry G. 1981. “Southeast Asian Urbanization: Three Decades of Change”.
Prisma, 51: 3-16. Perlman, Janice E. 1993. “Mega-Cities: Global Urbanization and Innovation”. In G.
Shabbir Cheema. (ed.). Urban Management: Policies and Innovations in Developing Countries. Westport: Praeger Publisher.
Prabatmodjo, Hastu. 2000. “Perkotaan Indonesia Pada Abad ke-21: Menuju Urbanisasi
Menyebar?”. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol. 11. No. 1. Maret. Population Reports. 2003. Meeting the Urban Challenge. Series M, No. 16. United Nation. 2001. World Urbanization Prospects: The 2001 revision. New York. Population Reference Bureau. 1999. World Population Data Sheet 1999.