upaya arab saudi dalam memberikan bantuan luar...
TRANSCRIPT
UPAYA ARAB SAUDI DALAM MEMBERIKAN
BANTUAN LUAR NEGERI KEPADA ALIRAN SUNNI
DI SURIAH PADA KONFLIK SURIAH 2011-2016
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Sarah Rahayu
1110113000058
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ABSTRAK
Penelitian skripsi ini menganalisa Upaya Arab Saudi dalam Memberikan Bantuan
Luar Negeri Kepada Aliran Sunni Di Suriah pada Konflik Suriah 2012-2016. Di
Suriah terjadi konflik antara pemerintah dengan rakyatnya, yang merasa
terpinggirkan. Hal ini memicu protes dengan membentuk gerakan yang
mengatasnamakan anti-pemerintahan. Sehingga pihak pemerintahan Suriah
melakukan aksi penembakan secara brutal kepada rakyatnya, yang diduga
tergabung dalam gerakan anti pemerintah. Hal ini menimbulkan respon dari Arab
Saudi yang mencekal pemerintahan Assad atas tindakannya tidak manusiawi.
Kerangka teoritis yang digunakan dalam skripsi ini adalah Kebijakan Luar Negeri,
Kepentingan Nasional dan Konsep Bantuan Luar Negeri. Metode penelitian yang
digunakan yaitu metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analisis.
Penelitian menggunakan data-data yang relevan melalui studi pustaka seperti
media cetak dan elektronik, baik internet, artikel maupun jurnal dan buku-buku
dari lembaga yang tersedia (perpustakaan umum UIN dan Freedom Institute)
termasuk buku koleksi pribadi.
Dari hasil analisa dengan menggunakan ketiga konsep tersebut dapat disimpulkan
bahwa Arab Saudi, memberikan bantuan luar negeri dalam kerangka good-
neighbor policy. Bantuan yang diberikan berupa bantuan kemanusian, militer dan
politik. Adapun bantuan Arab Saudi tersebut diberikan kepada kelompok oposisi
yaitu Free Syrian Army dan Islamic Front. Selain memberikan bantuan, upaya
Arab Saudi dalam konflik Suriah yaitu mendukung dan bergabung dengan koalisi
Amerika dalam memerangi keberadaan ISIS di Suriah.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Mendengar dan Maha Kuasa yang
telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga
penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tidak lupa shalawat beriring
salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW yang
telah membawa cahaya kebenaran kepada seluruh umat manusia. Penulisan
skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional. Dalam penulisan skripsi ini, tentunya banyak pihak yang telah
memberikan bantuan yang bermanfaat bagi penulis. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada:
1. Ibundaku Ellis Kustiana yang selalu memberikan do’a, semangat dan
terutama ibu yang sangat mengerti saat penulis sedang mengalami
kejenuhan ketika menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih pula untuk
(Alm) Ayahanda Eddi Sutardi, meski 11 tahun telah tiada akan tetapi
banyak pelajaran dan nasehat yang hingga kini masih bisa diambil
manfaatnya, terutama untuk tetap semangat dalam proses pengerjaan
skripsi ini. Kemudian juga untuk teh Diana Sofia dan ka Yadi Aditiya
yang selama ini telah membantu membiayai kuliah serta memenuhi
kebutuhan penulis. Terimakasih pula untuk aa Purnama Nugraha dan adik
Gandanish Ruhayya yang selama ini selalu memberikan bantuan materi
maupun nasehat untuk penulis dalam proses kuliah sampai penyelesaian
skripis ini. Dan terimakasih pula untuk teh Dewi Julia, teh Muthia, aa
Ilham Dasa Maulana dan aa Yudha Permana yang selama ini mendukung
penulis selama perkuliahan.
2. Bapak Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof. Dr.
Dede Rosyada, MA selaku pimpinan universitas yang telah memberikan
bantuan kepada penulis dalam banyak hal.
iii
3. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof.Dr. Dzulkifli,
MA serta segenap jajaran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah
memberikan kelancaran bagi penulis selama kuliah di Fakultas Hukum
4. Bapak Muhamad Adian Firnas, S.IP, M.Si selaku Ketua Program Studi
Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
5. Ibu Eva Mushoffa, M.A yang telah meluangkan waktunya dalam
memberikan pengarahan, petunjuk serta nasehat yang sangat bermanfaat
bagi penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
6. Bapak Robi Sugara M. Sc selaku penguji I dan Ibu Inggrid Galuh
Mustikawati MHSPS selaku Penguji II yang telah memberikan arahan
serta koreksi yang bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini.
7. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional yang telah
memberikan pendidikan dan pengajaran bagi penulis yang tentunya akan
sangat berguna pada masa yang akan datang.
8. Seluruh Civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang
telah membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah.
9. Bapak Tantan Hermansyah selaku dosen pembimbing KKN 2013 yang
sangat telah menyediakan waktunya untuk memberikan masukan dan
mendukung program KKN kami ketika berada di desa Cilame, Cigudeg-
Bogor.
10. Teman-teman KKN PEKA 2013, yang namanya tidak dapat disebutkan
satu persatu namun kalian sangat berkesan bagi penulis dalam pelaksanaan
program KKN. Teman-teman yang awalnya tidak saling mengenal hingga
akhirnya menjadi begitu dekat di akhir-akhir KKN dalam berbagi cerita,
tawa, dan pengalaman yang tak terlupakan bagi penulis.
11. Sahabat terbaik Rahmi Fitri, Laili Rahmawati, Restia Gustiana dan
Miqdad Albarra yang telah menyisakan waktunya bersedia menemani
penulis ketika bimbingan, selalu mendengarkan keluh kesah penulis,
membantu penulis ketika kesulitan dalam proses mengerjakan skripsi dan
yang selalu menghibur ketika penulis merasa jenuh.
iv
12. Teman-teman Prodi Ilmu Hubungan Internasional angkatan 2010 kelas HI
B, terima kasih telah menjadi teman berdiskusi dan bercanda selama
penulis menyelesaikan kuliahnya. Dan terimakasih pula untuk Fini
Rubianti, Dede Rif’atul Mahmudah, ka Annisa, Fahmi Ramdhani, Eko
Nordiansyah dan Hasna Harahap yang selama perkuliahan dan proses
pengerjaan skripsi selalu membantu penulis dengan baik.
13. Serta terakhir sahabat terlama sedari SMP; Halimatu Sa’diyah, Umi
Salamah, Asyifa Utami dan Khoirunnisa yang selalu mendukung penulis
dan mendoakan dari jauh untuk kelancaran penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi
penyempurnaan selanjutnya.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua urusan dan semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para
pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT meridhoi dan dicatat sebagai
ibadah disisi-Nya, Amin.
Jakarta, 17 Mei 2017
Hormat Penulis
Sarah Rahayu
v
DAFTAR TABEL
Tabel II. 1 Profil Free Syrian Army ..................................................................... 27
Tabel II. 2 Profil Islamic Front ............................................................................ 29
Tabel II. 3 Profil The Islamic State ...................................................................... 34
Tabel IV. 4 Bantuan Kemanusian Arab Saudi Kepada Warga Suriah ................. 78
Tabel IV. 5 Bantuan Militer Arab Saudi ke Oposisi Suriah................................. 80
vi
DAFTAR GRAFIK
Gambar III. I Ekspor-Impor Suriah dan Arab Saudi 2008-2011 ………............. 63
vii
DAFTAR SINGKATAN
IF Islamic Front
FSA Free Syrian Army
ISIS The Islamic State of Iraq and Syria
IM Ikhwanul Muslimin
SNC Syrian National Council
NPF National Progressive Front
PBB Perserikatan Bangsa – Bangsa
OPEC Organization of the Petroleum Exporting Countries
SDA Sumber Daya Alam
AS Amerika Serikat
HNC High Negotiations Committee
NATO North Atlantic Treaty Organization
SAW Shalallah Alaihi Wassalam
PYD Partiya Yekitiya Demokrat
PKK Partiya Karkeren Kurdistane
YPG Yekineyen Parastina Gel
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................. v
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat.................................................................. 6
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 7
E. Kerangka Teori ........................................................................ 9
Konsep Kebijakan Luar Negeri ............................................... 9
Konsep Kepentingan Nasional ............................................... 12
Konsep Bantuan Luar Negeri ................................................. 13
F. Metode Penelitian ................................................................... 17
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 18
BAB II KONFLIK SURIAH DAN PERPECAHAN SUNNI-SYI’AH
A. Kronologis Konflik Suriah ..................................................... 20
B. Pemetaan Kelompok – Kelompok di Suriah .......................... 24
C. Pemerintahan Bashar Al-Assad dan Dominasi Kelompok
Syia’ah di Suriah .................................................................... 39
ix
BAB III HUBUNGAN BILATERAL ARAB SAUDI DAN SURIAH
SEBELUM KONFLIK 2011
A. Arah dan Orientasi Kebijakan Luar Negeri Arab Saudi ........ 46
a. Orientasi Kebijakan Luar Negeri Arab Saudi .................. 46
b. Struktur Pemerintahan ...................................................... 53
c. Faktor Pendukung ............................................................ 55
B. Hubungan Bilateral Arab Saudi dan Suriah Sebelum Konflk
Suriah .................................................................................... 60
a. Hubungan Bilateral Politik ............................................... 61
b. Hubungan Bilateral Ekonomi ........................................... 64
BAB IV ANALISIS BANTUAN LUAR NEGERI ARAB SAUDI
TERHADAP KELOMPOK OPOSISI DI SURIAH 2011-2016
A. Kebijakan Arab Saudi Terhadap Sengketa Konflik Suriah .... 69
a. Kebijakan Arab Saudi Terhadap Kelompok Oposisi yang
Beraliran Sunni di Suriah ................................................. 70
b. Dukungan Arab Saudi Terhadap Koalisi Amerika Serikat
dan Barat di Suriah ........................................................... 77
B. Bantuan Luar Negeri Arab Saudi Terhadap Kelompok Oposisi
di Suriah yang Beraliran Sunni 2011-2015 ............................ 80
a. Bantuan Kemanusian ....................................................... 80
b. Bantuan Militer ................................................................ 82
c. Bantuan Politik ................................................................. 84
x
BAB V PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan di kawasan Timur Tengah memberikan banyak hal yang dapat
dijadikan sebagai suatu pengalaman bagi negara-negara lain yang rawan konflik.
Terlebih lagi pada konflik Suriah yang saat ini sedang bergejolak. Krisis Suriah
telah dipengaruhi dengan adanya keterlibatan konspirasi dan intervensi dari
banyak kepentingan.
Dari aspek sumber daya ekonomi, Suriah bukan negara kaya minyak, gas,
atau sumber daya alam lain yang dapat menjadi incaran negara-negara konsumen
di Eropa, AS, Cina, Jepang, atau Korea Selatan. Produksi minyaknya mencapai
379 ribu barel per hari, yang sebagiannya di ekspor dan menghasilkan sekitar 25
persen pendapatan negara. Hal tersebut membuat kekayaan minyak Suriah terus
menipis dan dalam satu dasawarsa ke depan negara ini diprediksi menjadi
pengimpor minyak. Dengan kekayaan alam yang tidak seberapa, Suriah lebih
banyak bersandar pada pertanian dan pariwisata. Meski Suriah dalam beberapa
tahun terakhir dapat memenuhi kebutuhan pokok melalui pengembangan
pertaniannya, kekeringan dan kelangkaan air menghalangi ekspansi pertanian
(Republika, 2012).
Secara geografis Suriah merupakan Negara yang memiliki letak strategis
berdekatan dengan laut tengah. Laut tengah biasanya disebut dengan laut
Mediterania, yang memiliki pelabuhan-pelabuhan penting dalam rute
perdagangan. Salah satunya rute dari pelabuhan Ugarit di Suriah yang melewati
2
Antakya (Antiokia) menuju ke Adana di Turki (Sudrajat, Jurnal UNY, Vol 01, No
02, 2006 : h 7). Letak geografis Suriah ini juga cukup menguntungkan bagi negara
tetangganya. Laut Tengah sendiri merupakan jalur perdagangan bagi Negara-
negara di Afrika khususnya yang secara geografis juga tersambung dengan Timur
Tengah untuk menuju ke benua Eropa. Beberapa negara di benua Afrika ini
merupakan penghasil minyak terbesar di dunia. Sesuai hasil data dari Energy
Information Administration (IEA) pada tahun 2011, dua negara di Afrika , yaitu
Libya dan Nigeria merupakan dua dari sepuluh negara yang menyumbang 63%
dari total produksi minyak dunia (whichcountry, 2014).
Karena itu, situasi keamanan yang terjadi di Suriah akan memberikan
dampak yang besar terhadap jalur-jalur perdagangan regional dan internasional.
Pemberontakan Suriah yang dimulai pada Maret 2011 (Benedetta dan Yoel, 2014:
h26) dipicu oleh faktor internal yang merujuk kepada memburuknya hubungan
antar kelompok.1
Konflik internal Suriah pada hakekatnya adalah konflik kepentingan dan
ideologis yang melibatkan berbagai macam aktor baik Negara (state) maupun
non-negara (non-state). Konflik ini terjadi karena rezim penguasa yakni Bashar
alAssad telah kehilangan legitimasi politiknya, hal tersebut di sebabkan oleh
rezim pemerintahan alAssad yang menggunakan kekuasaan yang dimilikinya
secara otoriter untuk menindas rakyat. Akibat dari penyalah-gunaan kekuasaan
ini, masyarakat mulai merasa tidak senang atas tindakan represif dari penguasa
1 Selain itu, secara external pemberontakan ini juga merupakan efek spillover dari revolusi yang
sebelumnya terjadi di beberapa negara di Timur Tengah. Karena itu, pengamat internasional
seringkali merujuk kekerasan di Suriah sebagai rangkaian dari Arab Spring (Darwisheh Housam,
2013)
3
tersebut yang akhirnya menimbulkan pergerakan pada level masyarakat yang
menuntut agar Bashar alAssad turun dari jabatannya sebagai presiden Suriah
(Primus Adeodatus, eJournal Ilmu Hubungan Internasional No 03, 2014: h 776).
Munculnya konflik Suriah cukup menyita perhatian media dan negara-
negara di dunia. Baik negara maju maupun negara berkembang. Ada pun negara -
negara yang merespon atas terjadinya konflik tersebut yaitu, Amerika Serikat,
negara-negara Arab seperti Saudi Arabia, Rusia, Lebanon dan negara-negara lain
yang dimungkinkan memiliki kepentingan tersendiri dalam upayanya merespon
konflik Suriah tersebut.
Arab Saudi sebagai salah satu negara yang paling berpengaruh di Timur
Tengah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap isu Suriah. Arab Saudi
pun tak ragu untuk memberikan bantuannya kepada rakyat Suriah. Terlebih lagi
mayoritas dari rakyat Suriah mempunyai kesamaan ideology dan identitas dengan
Arab Saudi yaitu, menganut aliran Islam Sunni. Adapun upaya Arab Saudi dalam
membantu para korban yaitu memberikan bantuan kemanusian senilai US$ 125
juta atau sekitar Rp 1.2 triliun pada 02 Agustus 2012 (English Alarabiya, 2012)
Selain bantuan kemanusian pada tahun berikutnya tepatnya tahun 2013,
Arab Saudi kembali memberikan bantuan militer berupa pengiriman rudal anti-jet
untuk para pejuang Sunni di Suriah. Sebuah sumber menyebutkan, bahwa bantuan
persenjataan tersebut dikirimkan untuk pasukan Jenderal Salim Idriss, pemimpin
Dewan Tinggi Militer di Pasukan Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army
(FSA) (English Al-Akhbar, 2015). Pasukan Free Syrian Army ini dibentuk pada,
Agustus 2011 oleh tentara pemberontak yang berbasis di Turki, yang dipimpin
4
oleh Kolonel Riad al-Asaad (British Broadcasting Cooperation, 2016). Dengan
bantuan-bantuan tersebut, Arab Saudi kemudian dikenal sebagai negara yang
berada di garis depan dalam upaya menghentikan kekerasan di Suriah.
Arab Saudi sebagai negara yang ikut merespon konflik suriah merupakan
salah satu negara yang picik di Timur Tengah. Hal ini disebabkan latarbelakang
Arab Saudi yang ketika muncul merupakan negara yang terbelakang, namun saat
ini menjadi negara terkaya dikawasan berkat sumber daya minyak yang
melimpah. (British Broadcasting Cooperation, 206). Adapun pengaruh Arab Saudi
terhadap konflik suriah didasari oleh beberapa hal, yaitu pengaruh dalam
pemahaman Ideologi Islam dan persaingan ekonomi. (Deutch welle, 2014)
Dalam perbedaan pengaruh pemahaman Arab Saudi yang menganut Islam
Sunni terutama ingin memperkuat pengaruh faham wahabisme, sebuah aliran
Islam yang sangat konservatif yang menjadi ideologi negara. Sementara di Iran,
Islam Syiah menjadi agama negara dan haluan politiknya ditentukan oleh para
mullah dan pimpinan tertinggi agama. Rezim di Arab Saudi merasa terancam
dengan adanya ideologi Islam alternatif yang diwakili oleh Iran. Mereka khawatir
ada kelompok oposisi yang mencontoh model ini dan kemudian menggoyahkan
kekuasaan keluarga kerajaan Al Saud. Sedangkan apabila dilihat secara ekonomi,
dengan berpatok terhadap Suriah yang juga punya peranan penting bagi Iran dan
Arab. Sebab Suriah punya akses langsung ke Laut Tengah. Posisi ini membuat
Suriah sangat penting bagi Iran dan kelompok Hizbullah di Libanon. Melihat Iran
dan Arab Saudi merupakan negara minyak terpenting dunia. Arab Saudi memiliki
5
simpanan minyak terbesar, sedangkan Iran memiliki simpanan minyak ketiga
terbesar di dunia (Deutch Welle, 2014).
Keterlibatan Arab Saudi dalam ketegangan antara Suni dan Syiah didasari
oleh kebijakan-kebijakan yang dilakukan Iran, yang mulai terlihat serta mencoba
menyaingi kekuatannya dengan Arab Saudi. Hal ini memberikan sinyal negative
bagi Arab Saudi. Melihat pengaruh Iran terhadap negara di kawasan satu per satu
diambil alih. Raja Salman yang baru saja naik takhta menggantikan Raja Abdullah
bergegas mengambil langkah. Ia mencoba membangun koalisi baru. Dalam
waktu dua pekan pada Februari 2015, Raja bertemu dengan tiga pemimpin negara
Suni Arab, di antaranya Yordania, Mesir, dan Turki. Seorang diplomat Teluk
mengatakan bahwa Salman mencoba mengonsolidasikan negara Suni dan
menjadikan syiah Iran sebagai lawan politik bersama. Bahkan, Raja rela
mengendurkan sikap keras Saudi terhadap Ikhwanul Muslimin (IM) yang sejak
tahun lalu dicap teroris oleh Riyadh (Republika, 2012).
2. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana Upaya Arab Saudi dalam memberikan bantuan luar negeri kepada
Aliran Sunni di Suriah dalam Konflik Suriah tahun 2012-2015?
3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) menganalisa hubungan bilateral antara Arab Saudi dengan Suriah
b) Mengetahui kebijakan Arab Saudi dalam pemberian bantuan terhadap
kelompok Sunni di Suriah terkait Konflik Suriah 2012-2015.
6
c) Mengetahui latar belakang Negara Arab Saudi sebagai Negara pemberi
bantuan
d) Mengetahui seberapa besar pengaruh Islam Sunni di Arab Saudi dan
Suriah
e) Mengetahui latar belakang kepentingan Arab Saudi dalam pemberian
bantuan luar negeri.
f) Mengetahui perkembangan konflik Suriah
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
A. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi untuk para
peneliti selanjutnya khususnya pada progam studi Ilmu Hubungan
Internasional yang tertarik terhadap kerjasama antar negara.
B. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan sekaligus informasi
bagi masyarakat luas. Penelitian ini pun diharapkan dapat bermanfaat
untuk memperkaya literature baik dalam kajian Timur Tengah maupun
Arab Spring.
4. Tinjauan Pustaka
Guna tinjauan pustaka pada penelitian ini untuk menjadikan acuan dalam
penulisan penelitian ini. Ada beberapa tinjauan pustaka yang juga menjadi
referensi dalam penelitian ini. Pada tinjauan pustaka pertama yaitu, Annual Report
dari Royal Embassy of Saudi Arabia yang berjudul “Saudi Arabia received 2.5
million Syrians since beginning of Syrian conflict” diterbitkan pada September
11, 2015. Laporan tahunan ini menjelaskan apabila Arab Saudi telah menjadi
7
salah satu penyedia bantuan terbesar kepada orang-orang Suriah. Adapun tindakan
yang telah dilakukan oleh Arab Saudi dalam upaya membantu Suriah yaitu:
Kerajaan telah menerima sekitar 2,5 juta warga Suriah sejak awal konflik.
Dalam rangka untuk menjamin martabat dan keselamatan mereka,
Kerajaan mengadopsi kebijakan untuk tidak memperlakukan mereka
sebagai pengungsi atau menempatkan mereka di kamp-kamp pengungsi.
Mereka telah diberi kebebasan untuk menetap di Arab Saudi.
Upaya Arab Saudi tidak terbatas pada penerima imigran Suriah saja
namun adanya bantuan kemanusian berupa dana dalam bentuk uang dan
barang.
Bantuan yang diberikan oleh Arab Saudi untuk rakyat Suriah sekitar $700
juta, menurut statistik dari Third International Humanitarian Pledging
Conference for Syria, yang berlangsung di Kuwait pada tanggal 31 Maret,
2015.
Bantuan kemanusiaan yang diberikan kepada Suriah oleh Arab Saudi
terdiri dari makanan dan medis, akademik, dan perlengkapan perumahan,
dan termasuk pembentukan klinik khusus Saudi di kamp-kamp pengungsi,
yang paling penting Zaatari Camp di Yordania. Arab Saudi mampu
memberikan perawatan medis dalam bentuk imunisasi, perawatan
preventif dan prosedur medis. Selain itu, Arab Saudi mensponsori
sejumlah besar keluarga Suriah yang tinggal di Lebanon dan Suriah
(khusus membayar untuk sewa dan biaya hidup).
8
Adapun laporan tahunan yang dibahas pada penelitian ini fokus terhadap
usaha-usaha pemerintahan Arab Saudi dalam membantu meringankan para rakyat
Suriah, baik yang telah meninggalkan negaranya sebagai imigran dinegara lain,
maupun yang masih menetap di Suriah. Hal ini membuktikan bahwa Arab Saudi
telah banyak membantu Suriah melebihi para negara donatur lainnya yang ikut
serta dalam membantu para korban Suriah. Bahkan para imigran Suriah yang
masuk ke negaranya turut diberikan hak-haknya untuk bekerja dan sekolah bagi
para anak dibawah umur.
5. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis membahas tentang “Upaya Arab Saudi dalam
Memberikan Bantuan Luar Negeri Kepada Kelompok Sunni Di Suriah pada
Konflik Suriah 2012-2015”. Karena itu beberapa konsep relevan digunakan untuk
menganalisa tema ini. Konsep-konsep tersebut adalah:
(a) Konsep Kebijakan Luar Negeri dan Kepentingan Nasional
Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri merupakan salah satu konsep turunan dari teori
Neorealisme. Dimana negara membutuhkan kebijakan luar negeri sebagai alat
untuk merespon kebijakan negara lain. Berjalannya kebijakan luar negeri ini
bersifat sistemik dan lebih terstruktur. Hal ini berguna agar negara dalam
merealisasikan kepentingan nasionalnya berjalan sesuai dengan keinginannya.
Adapun beberapa ahli memberikan pernyataannya mengenai kebijakan
luar negeri ini untuk mencapai kepentingan nasional. James N. Rosenau juga
mengeluarkan pemikirannya mengenai kebijakan luar negeri. Namun sedikit
9
berbeda dari Plano yang hanya menjelaskan apabila kebijakan luar negeri adalah
upaya dalam mencapai kepentingan negara saja sedangkan Rosenau lebih kepada
factor atau sumber-sumber sehingga membuat suatu negara mengeluarkan
kebijakan luar negrinya.
Penjelasan lebih lanjut James N. Rosenau mengatakan bahwa kebijakan
luar negeri yaitu, upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya
untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya.
Kebijakan luar negeri menurutnya ditujukan untuk memelihara dan
mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Lebih lanjut, menurut
Rosenau, apabila kita mengkaji kebijakan luar negeri suatu negara maka kita akan
memasuki fenomena yang lebih luas dan kompleks, meliputi kehidupan internal
dan kebutuhan eksternal termasuk di dalamnya adalah kehidupan internal dan
eksternal seperti aspirasi, atribut, nasional, kebudayaan, konflik, kapabilitas,
institusi, dan aktivitas rutin yang ditujukan untuk mencapai dan memelihara
identitas sosial, hukum dan geografi suatu negara sebagai negara –bangsa
(Perwita, Anak Agung & Yanyan 2006: h 49).
Kebijakan luar negeri tidak semata-mata timbul dengan sendirinya tetapi
ada unsur atau sumber yang datang dari suatu negara, baik itu internal maupun
eksternal. Adapun internal biasanya dorongan dari masyarakat atau nilai-nilai
yang terdapat dari pemimpin negara sehingga negara melakukan atau
mengeluarkan suatu kebijakan. Sementara eksternal lebih kepada paksaan negara
lain yang membuat suatu negara pada akhirnya merespon kebijakan negara lain.
Pada dasarnya Kebijakan luar negeri suatu negara tidak selalu bersifat selamanya
10
tetapi ada beberapa kebijakan yang justru digunakan untuk jangka waktu
sementara.
Selanjutnya, James N. Rosenau mengkategorikan sumber-sumber politik
luar negeri melalui dua kontinum, yakni dengan menempatkan sumber-sumber itu
pada konten waktu dan konten agregasi sistemik (Perwita, Anak Agung & Yanyan
2006: h 56-57). Kesimpulan dari kebijakan luar negeri tidak terlepas dari tujuan
atas kepentingan nasional suatu negara itu sendiri, baik untuk merespon suatu
negara maupun melakukan kerjasama kepada negara lain. Kebijakan luar negeri
juga sangat penting untuk negara karena konsep ini yang menentukan seberapa
jauh kebijakan suatu negara dalam menanggapi situasi internasional dan seberapa
jauh negara lain menanggapi kebijakannya.
Apabila dikaitkan dengan permasalahan pada penelitian ini, maka Arab
Saudi memiliki caranya sendiri dalam membuat kebijkan luar negeri. Adapun
faktor yang mendorong munculnya kebijakan luar negeri Arab Saudi yaitu dugaan
penggunaan senjata kimia oleh rezim Bashar al Assad dan serangan gas beracun
yang menewaskan 1429 orang. Hal inilah yang membuat pemerintahan Arab
Saudi mengeluarkan Kebijakan Luar Negerinya dengan menyatakan penentangan
dan kecaman terhadap aksi militer ke Suriah.
Kepentingan Nasional
Konsep Kepentingan nasional termasuk konsep turunan dari teori neorealisme.
Kepentingan nasional merupakan suatu hal yang penting untuk menjelaskan dan
memahami perilaku aktor internasional. Karena untuk kepentingan nasional
negara diperlukan kebijakan luar negeri sebagai proses mencapai tujuan.
11
Konsep kepentingan nasional itu sendiri merupakan dasar dalam
pembentukan kebijakan luar negeri. Pemerintah memproyeksikan kepentingan
nasionalnya melalui kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri berisi tertentu
untuk membantu negara-negara mencapai kepentingan nasionalnya.
Apabila dilihat dari sisi realis mengatakan kepentingan Nasional adalah
menyamakan kepentingan nasional sebagai upaya negara untuk mengejar power,
dimana power adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara
kontrol suatu negara terhadap negara lain. Hubungan kekuasaan atau
pengendalian ini dapat melalui teknik pemaksaan atau kerjasama. Karena itu
kekuasaan dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan
dari tindakan suatu negara untuk bertahan hidup (survival) dalam politik
Internasional (Perwita, Anak Agung & Yanyan, 2006: h 35).
Pada pembahasan ini penulis akan mencoba menganalisis dengan
menggunakan Konsep Kepentingan Nasional menurut Paul Seabury, kepentingan
Nasional adalah ide yang mungkin mengacu pada serangkaian tujuan ideal yang
seharusnya diusahakan untuk diwujudkan oleh suatu bangsa dalam tindak
hubungan luar negerinya. Dengan istilah yang lebih baik, kita mungkin dapat
menyebutkannya konsep kepentingan yang normatif dan kewarganegaraan. Arti
kedua yang sama pentingnya mungkin dapat disebut kepentingan yang bersifat
deskriptif. Dalam arti ini kepentingan nasional mungkin dapat dianggap sebagai
tujuan yang ingin dicapai melalui kepemimpinannya dengan perjuangan yang
gigih (Holsti, 1988: h137).
12
Kembali lagi kepada pembahasan sebelumnya yaitu mengenai Kebijakan
Luar Negeri, apabila setiap negara yang mengeluarkan Kebijakan Luar Negeri
memungkinkan negara tersebut memiliki Kepentingan Nasional. Sama halnya
dengan yang dilakukan Arab Saudi dengan mengeluarkan Kebijakan Luar Negeri
karena memiliki kepentingan Nasional. Seperti kepentingan nasional menurut
pandangan realis, kepentingan nasional sebagai upaya negara untuk mengejar
power. Power adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara
kontrol suatu negara terhadap negara lain. Adapun Kepentingan Nasional Arab
Saudi yaitu, melihat masyarakat yang berkembang di Suriah merupakan pengikut
Islam Sunni. Serta beberapa pihak oposisi pada rezim Suriah juga beranggotakan
Islam Sunni seperti di Arab Saudi. Dari sini Arab Saudi mempunyai kesempatan
dalam mengejar power atau kekuasaan untuk mengalahkan rivalnya Iran dengan
pengaruh Syiah yang berkembang dikalangan pemerintahan Suriah. Selain itu
dapat menjadikan Suriah sebagai negara yang berdasarkan Syariah seperti di Arab
Saudi.
(b) Konsep bantuan luar negeri
Konsep Bantuan Luar Negeri arab Saudi
Bantuan luar negeri merupakan salah satu instrument kebijakan yang sering
digunakan dalam hubungan luar negeri. Secara umum bantuan luar negeri dapat
didefinisikan sebagai transfer sumber daya dari satu pemerintahan ke
pemerintahan lain yang dapat berbentuk barang atau keuangan (Perwita, Anak
Agung & Yanyan, 2006: h 8)
13
Program bantuan luar negeri ini biasanya saling menguntungkan kedua
belah pihak. Pihak penerima memperoleh pinjaman keuangan, perlengkapan,
pengetahuan yang diharapkan mampu mengikuti dinamika ekonomi modern,
stabilitas politik dan keamanan militrer. Sedangkan pihak pemberi atau donor
tanpa memperhitungkan jenis-jenis persyaratannya selalu mengharapkan
keuntungan politik dan ekonomi baik langsung maupun jangka panjang, yang
tidak bias diperoleh sepenuhnya melalui diplomasi, propaganda atau kebijakan
militer (Holsti, 1992: h 321-328).
Dalam sebuah riset "Saudi Arabia as a Humanitarian Donor: High
Potential, Little Institutionalization" yang ditulis oleh Khalid al-Yahya dan
Nathalie Fustier, bahwa negara kerajaan ini merupakan negara donor bantuan
kemanusiaan terbesar di dunia serta merupakan anggota dari OECD Development
Assistance Committee. Sebagai contoh banyak dari beberapa bencana alam yang
terjadi di beberapa negara sehingga membutuhkan bantuan luar negeri dari
negara-negara lain, disinilah kontribusi Arab Saudi dapat dianggap menjadi
negara pendonor yang jauh lebih tinggi bantuannya dibandingkan dengan negara
pendonor lainnya. Pada tahun 2007, dalam menanggapi Topan Sidr di
Bangladesh, yang menewaskan lebih dari 3.000 orang dan meninggalkan jutaan
tunawisma, Arab Saudi memberi Bangladesh sebesar $158.000.000 untuk tujuan
kemanusiaan, dibandingkan dengan Amerika yang hanya memberikan bantuan
dengan nominal $20.000.000. Menyusul gempa Haiti pada tahun 2010, Arab
Saudi memberikan dana kemanusian dengan jumlah $50.000.000 yang disebut
sebagai Emergency Response Fund, sebuah mekanisme dalam pengumpulan dana
14
yang didirikan oleh PBB (Khalid al-Yahya dan Nathalie Fustier, GPPi Research
Paper No. 14, 2011: h 4).
Jika dianalisis apabila bantuan luar negeri Arab Saudi bersifat
Humanitarian, menurut Schraeder, Hook dan Taylor (1998) mengidentifiaksi
bantuan luar negeri dalam motif Humanitarian Need. Motif Humanitarian Need
dapat dipahami sebagai upaya pembuat kebijakan untuk mengurangi kemiskinan
dan memberikan kemudahan bagi negara yang mengalami penderitaan dan
kesusahan. Motif ini adalah salah satu yang dapat diterima. Schraeder, Hook dan
Taylor (1998) berpendapat bahwa jika Humanitarian Need adalah landasan
pembuatan kebijakan luar negeri dalam alokasi bantuan asing; bantuan akan
disalurkan terutama untuk negara-negara yang mengalami penderitaan, harapan
hidup rendah dan dengan tingkat asupan gizi yang rendah (Maria Andersson,
2009: 10).
Penderitaan yang dimaksud baik disebabkan oleh alam maupun hasil dari
perbuatan manusia/konflik atau peperangan. Dalam beberapa kasus, dengan
situasi yang krisis di negara yang mengalami penderitaan, hal ini mengakibatkan
pengungsi baru yang mencari suaka di luar negaranya (Lancaster, 2008: 14).
Dengan demikian pemberian bantuan luar negeri juga dimaksudkan untuk
memperbaiki atau menunjukan citra (showing compassion) yang positif di negara
penerima (Maria Andersson, 2009: 19).
Secara khusus dalam penelitian ini Arab Saudi turut membantu negara-
negara yang mengalami konflik. Adapun salah satu dari negara tersebut adalah
Suriah, yang saat ini sedang mengalami konflik antara pemerintahan yang
15
berkuasa dengan rakyatnya. Arab Saudi telah memberikan bantuan kemanusian
senilai US$ 125 juta atau sekitar Rp 1.2 triliun, kemudian memberikan bantuan
militer berupa pengiriman rudal anti-jet untuk para pejuang Sunni. Dengan
negaranya yang saat ini telah porak poranda, akibat rezim yang berkuasa di
negaranya membuat para imigran Suriah mencari beberapa negara untuk dijadikan
suaka baginya, salah satu negara tersebut adalah Arab Saudi yang memberikan
tempat tinggal para imigran Suriah untuk tinggal di negaranya dengan total 2,5
juta imigran sejak awal mula konflik berlangsung.
Meskipun bantuan ini bersifat Humanitarian namun pada kenyataanya hal
ini tak menghalangi sebuah negara pendonor memiliki kepentingan dalam konteks
politis dalam keadaan tertentu. Seperti Arab Saudi sebagai negara pendonor bagi
Suriah memiliki motif tersendiri dalam memberikan bantuannya. Pertama, dengan
bantuannya yang melimpah ke Suriah memungkinkan citra Arab Saudi di Suriah
dan Internasional menunjukan hal yang positif. Kedua, Arab Saudi dapat dengan
mudah menyalurkan dan menyebarkan pengaruh Sunni ke Suriah melihat
pemerintahan yang berkuasa di Suriah merupakan aliran Syia‟ah yang berhaluan
terhadap rival Arab Saudi yaitu Iran.
6. Metode Penelitian
Kualitatif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia metode penelitian adalah cara mencari
kebenaran dan asas-asas gejala alam, masyarakat, atau kemanusiaan berdasarkan
disiplin ilmu yg bersangkutan (Kamus Bahasa Indonesia). Metode penelitian yang
penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yakni menggambarkan,
16
mencatat, menganalisis serta menginterpretasikan kondisi-kondisi atau peristiwa-
peristiwa yang terkait dengan permasalahan. Sedangkan dalam mengumpulkan
data, yaitu dengan cara pengumpulkan data dan informasi yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti baik berupa buku, artikel, dokumen, internet dan
lain-lain.
Adapun penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif. Data
kualitatif yaitu teknik data yang bersifat konstruktivis, naturalistik, interpretatif,
postpositivist seperti yang dikemukakan oleh Dithey, Kant, Wittgenstein (yang
terakhir), Foucault, Miles dan Huberman ( Clarke, R. J, 2005, h 9 ). Penulis
menggunakan kualitatif yaitu berusaha menampilkan beberapa fakta yang terjadi
dari beberapa sumber yang menggambarkan upaya Arab Saudi dalam memberikan
banuan kepada pihak oposisi di konflik Suriah, melalui data yang ada serta
mencari kaitan keduanya melalui analisis terhadap fakta dan data yang tersedia.
7. Sistematika Penulisan
1. Bab 1 : Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
1.2.Pertanyaan Penelitian
1.3.Kerangka Teori
1.4.Tujuan Dan Manfaat
1.5.Tinjauan Pustaka
1.6.Metodologi Penelitian
1.7.Sistematika Penulisan
2. Bab 2 : Konflik Suriah dan Perpecahan Sunni-Syi‟ah
17
2.1. Kronologis Konflik Suriah
2.2. Pemetaan Kelompok Oposisi di Suriah
2.3. Pemerintahan Bassar al-Assad dan dominasi kelompok Syi‟ah di
Suriah
3. Bab 3: Hubungan Bilateral Arab Saudi dan Suriah Sebelum Konflik 2011.
3.1. Arah dan Orientasi Kebijakan Luar Negeri Arab Saudi
3.2. Kerjasama Bilateral Arab Saudi dan Suriah
3.2.1. Ekonomi
3.2.2. Politik
4. Bab 4: Analisis Bantuan Luar Negeri Arab Saudi Terhadap Kelompok
Oposisi di Suriah 2012-2016.
4.1. Respon Arab Saudi terhadap Sengketa Konflik Suriah.
4.1.1. Kelompok Oposisi yang Beraliran Sunni di Suriah
4.1.2. Kebijakan Arab Saudi Terhadap Kelompok Oposisi di
Suriah
4.1.3. Dukungan Arab Saudi Terhadap Koalisi Amerika Serikat
dan Barat di Suriah
4.2. Bantuan Luar Negeri Arab Saudi Terhadap Kelompok-kelompok
Oposisi di Suriah 2012-2016
4.2.1. Kemanusian
4.2.2. Militer
4.2.3. Politik
5. Bab 5: Kesimpulan
18
BAB II
KONFLIK SURIAH DAN PERPECAHAN SUNNI-SYI’AH
Bagian ini memaparkan konflik Suriah dan perpecahan Sunni - Syi‟ah. Penjelasan
diawali dengan membahas kronologis dari konflik Suriah di bawah rezim Bashar
al-Assad, yang merupakan aliran Syiah dari partai Baa‟th. Pada Bab ini pula
mengidentifikasi pemetaan kelompok-kelompok di Suriah baik yang pro terhadap
rezim Assad maupun yang kontra. Bagian selanjutnya menjelaskan bagaimana
gaya kepemimpinan Bashar al-Assad selaku presiden di Suriah dibandingkan oleh
ayahnya Hafez al-Assad dan bagaimana posisi syiah dan partai Ba‟ath di Suriah.
2.1. Kronologis Konflik Suriah
Fenomena Arab Spring yang melanda Timur Tengah, yang ditandai dengan
tumbangnya sejumlah pemimpin otoriter seperti Presiden Ben Ali di Tunisia,
Hosni Mubarak di Mesir, maupun Muammar Khadafi di Libya akhirnya juga
melanda Suriah (Hazran 2012: 116). Suriah merupakan salah satu negara di
kawasan Timur Tengah, yang sudah merdeka pada tahun 1946, setelah
sebelumnya berada dibawah Liga Bangsa–Bangsa melalui mandate2kepada
Perancis. Suriah dihuni oleh mayoritas etnis Arab, yakni 90% dari seluruh
populasi. Etnis lainnya adalah Kurdi sekitar 9% serta 1% berasal dari etnis
Armenia, Circasia, dan Turk. Selain itu di Suriah terdapat juga beberapa sekte
agama, dengan mayoritas 70% populasi adalah Muslim Sunni, 12% muslim Syiah
khususnya Alawi, 10%Kristen dan 4% Druze. Perbedaan sekte keagamaan ini
2Perancis diberikan mandat oleh PBB untuk mengatur negara Syria sampai penduduk Syria
mampu berdiri sendiri dan dengan berdirinya sendri Suriah maka, mandat yang diberikan kepada
perancis pun berhenti. Sehingga dengan berhentinya mandat tersebut, Suriah menjadi sebuah
negara yang merdeka dan bebas dari campur tangan Perancis (Bentwich, 1930: 172)
19
juga berpengaruh terhadap perpolitikan Suriah, karena pemerintahan dan militer
Suriah di masa Presiden Hafiz Al-Assad, dikuasai oleh sekte Alawi, dan keluarga
Al-Assad pun juga berasal dari sekte ini (Dockal, 2012:2-3).
Konflik Suriah ini masuk dalam kategori perang saudara antara
pemerintahan dengan rakyatnya. Kecil kemungkinan bagi rakyatnya dapat
mengungguli kekuatan pemerintahan yang memiliki angkatan bersenjata yang
mempuni. Karena jauh sebelum Assad diangkat menjadi kepala negara,
pendahulunya telah lama merancang sistem militer sedemikian kuatnya. Militer
Suriah telah menjadi tulang punggung perlawanan melawan segala bentuk apa
pun yang mengancam eksistensi Rezim Alawiyyin. Berbeda dengan rakyatnya,
meskipun memiliki aturan wajib militer namun mereka tidak memiliki
persenjataan yang mempuni (Islampost, 2015). Oleh sebab itu banyak respon dari
dunia Internasional yang mengecam dengan aksi pemerintahan Suriah terutama
Bashar al-Assad. Meskipun kecaman dari negara-negara lain tidak kunjung reda
tetapi hal itu tidak membuat Bashar al-Assad menghentikan aksinya untuk tetap
melakukan penyerangan terhadap rakyatnya.
Menurut Trias Kuncahyono dalam bukunya Musim Semi di Suriah,
konflik Suriah dimulai pada tanggal 16 Maret 2011 ketika itu pergolakan mulai
pecah setelah 35 orang ditahan karena menggelar protes yang diberi nama “Day of
Dignity” di Damaskus. Para demonstran menuntut pembebasan para tahanan
politik. Di Deraa, sebuah kota di dekat perbatasan dengan Yordania, pasukan
keamanan menembak dan membunuh sejumlah demonstran yang tergabung dalam
demonstrasi yang di beri nama “Day of Rage”. Sementara dihari berikutnya
20
tepatnya 27 Maret efek dari protes para demonstran, membuat para pasukan suriah
secara membabi-buta menembaki ratusan para demonstaran yang menyerukan
pencabutan undang-undang darurat. Paling tidak 16 orang tewas dalam 10 hari
pertama demonstrasi. (Trias Kuncahyono, 2012: 247).
Tidak hanya menembak para demonstran, pihak keamanan Suriah juga
melakukan penyerangan bersenjata terhadap masyarakat di masjid. Salah satunya
Masjid Omari di kota Deraa, masjid ini merupakan tempat para aktivis Suriah
yang anti pemerintahan Assad. Masjid inilah tempat mereka berdiskusi guna
meminta Hak Asasi mereka kepada pemerintah. Dan ditempat ini pula korban
berjatuhan setidaknya ada empat sampai dua belas korban. Insiden ini juga telah
mendatangkan arus demonstrasi yang lebih besar, terutama saat pemakaman
masyarakat yang tewas dalam insiden Masjid Omari ini (British Broadcasting
Corporation, 2011).
Konflik Suriah yang berlangsung saat itu memang tidak dapat dihindari,
banyak sekali korban yang berjatuhan. Hal ini membuat pemerintahan sedikit
gusar akan para demonstran yang tak berhenti untuk melakukan penyerangan
balik. Sebelum konflik mulai memanas banyak upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintahan khususnya bagi presiden Bashar al-Assad untuk meredakan para
demonstran yang mulai berkecamuk.
Kebijakan yang dikeluarkan Bashar al-Assad guna meredam aksi
masyarakat atau para demonstran, yaitu pencabutan undang-undang Darurat yang
telah diberlakukan sejak tahun 1963, pemotongan pajak, kenaikan gaji pegawai
negeri sipil, pembentukan pemerintahan baru, maupun pencabutan undang-
21
undang darurat. Namun kebijakan ini tidak pula menghentikan perlawanan
masyarakat. Dilain pihak keamanan Suriah pun tak pernah berhenti untuk
menembaki masyarakat yang berdemosntrasi, mereka juga seringkali
menggeledah rumah masyarakat dan bahkan menembak langsung masyarakat
yang dicurigai terlibat dalam aksi melawan pemerintah (Al-Saleh dan Loren,
2013:4).
Apapun yang dilakukan Assad saat konflik berlangsung akan selalu salah
kecuali apabila Assad mengundurkan dirinya sebagai kepala negara Suriah.
Melihat konflik ini terjadi akibat banyak dari masyarakat, yang ingin agar mereka
memiliki hak berpendapat secara bebas. Selain itu banyaknya diskriminasi yang
didapat oleh masyarakat mayoritas Islam Sunni, seperti halnya, hampir
sepenuhnya kursi pemerintahan diduduki oleh minoritas Syiah. Hal ini melihat
Bashar Al-Assad yang merupakan penganut Islam Syiah.
Berbeda halnya dengan masyarakat Islam Sunni dalam menanggapi
konflik Suriah, sebagai konflik ideologi, justru Mufti Agung3 Suriah, Ahmad
Badruddin Hassun, menanggapi konflik Suriah kini terjadi antara teroris
keagamaan dengan pemerintah sekuler.
[Perang di Suriah bukan perang antaragama ataupun perang untuk
menumbangkan Assad. Ini adalah perang untuk menghancurkan Suriah sebagai
pemerintah sekuler terakhir di Timur Tengah. Negara-negara Timur Tengah lain
menjadi negara dengan tatanan religius tertentu sejak waktu lama. Bahkan
Lebanon juga demikian. Jelas ini terbagi berdasarkan agama di beberapa
3Mufti Agung merupakan penasehat agama atau bisa juga disebut sebagai ulama, yang fatwanya
hanya merupakan anjuran bagi umatnya.
22
bagian: mantan presiden adalah seorang Maronite, juru bicara parlemen adalah
seorang Syiah, dan hanya keseimbangan yang dapat membantu mempertahankan
perdamaian. Di Yordania, raja haruslah seorang Hashemite. Di Arab Saudi,
dinasti yang berkuasa merupakan pemeluk Sunni dan harus berisi anggota
keluarga Saudi. Di Irak, presiden harus beragama Islam Sunni dan perdana
menteri seorang Syiah. Sementara di Turki, presiden harus beragama Islam.
Hanya Suriah satu-satunya negara yang presiden dan perdana menterinya boleh
Kristen, Syiah, Alawi, Sunni, atau bahkan ateis] (Rusia Beyond the Headlines,
2015).
Seperti yang umumnya terjadi, konflik kekerasan menimbulkan berbagai
persoalan yang memerlukan kerjasama maupun bantuan internasional. Kekerasan
yang hingga saat ini masih berlangsung di Suriah, telah menimbulkan penderitaan
rakyat. Menurut data PBB, sekitar 6.8 juta orang di Suriah memerlukan bantuan
yang mendesak dan membutuhkan perlindungan. Warga sipil menjadi korban
konflik tersebut, mereka telah tewas, terluka dan terisolasi dari bantuan yang
mereka butuhkan. Hal ini termasuk 4.25 juta orang yang terlantar di dalam
negerinya sendiri, sebuah angka yang melonjak naik menjadi dua kali lipat sejak
awal 2013 (Office for the Coordination of Humanitarian Affairs, 2013). Menurut
Observatorium Suriah yang berbasis di Inggris untuk Hak Asasi Manusia turut
mengatakan apabila pada akhir tahun 2013 juga telah melahirkan lebih dari 2 juta
pengungsi dan hampir 130.000 kematian (Freedomhouse, 2014).
2.2. Pemetaan Kelompok-Kelompok di Suriah
23
Terjadinya konflik ini telah menciptakan beberapa kelompok di Suriah, yaitu
kelompok yang pro dan kontra terhadap rezim Assad. Pertama, kelompok pro
Assad yang terdiri dari pihak internal Suriah dan pihak eksternal Suriah.
Kelompok ini berupaya untuk selalu melindungi Assad dan melakukan
penyerangan terhadap kelompok atau pihak-pihak yang anti-Assad. Kedua,
kelompok yang kontra dengan Assad atau kelompok oposisi yang kemudian
terbelah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok oposisi sunni dan kelompok
oposisi yang independen atau tidak berpihak kepada aliran apapun. Kelompok
oposisi inipun berupaya untuk menjatuhkan rezim Assad. Adapun kelompok yang
termasuk pro Assad yaitu;
Shabiha
Tidak jelas persis siapa mereka dan kepada siapa mereka dipimpin, tetapi istilah
"Shabiha" telah berulang kali digunakan untuk menggambarkan mereka. Mungkin
berasal dari kata bahasa Arab untuk "hantu" (shabh), namun dijaman modern ini
disebut sebagai “preman”. Istilah ini diyakini pertama kali muncul berkaitan
dengan pemberontakan terhadap Presiden Bashar al-Assad, setelah tindakan keras
diluncurkan di kota pelabuhan Latakia. Kota tersebut terkenal dengan sindikat
kejahatan yang terorganisir, yang sudah ada sejak tahun 1970-an (British
Broadcasting Corporation, 2012)
Hizbullah
Sejak awal tahun 2013, Hizbullah telah beroperasi secara terbuka dan dalam
jumlah yang signifikan di seberang perbatasan bersama rekan-rekan mereka
Suriah dan Irak. Hizbullah mengizinkan rezim Assad untuk mendapatkan kembali
24
kontrol dari wilayah yang dikuasai pemberontak di Suriah tengah dan telah
meningkatkan efektivitas pasukan pro-rezim. Dampak keterlibatan Hizbullah di
Suriah telah dirasakan bukan hanya di medan perang, di mana rezim sekarang
memiliki momentum di banyak daerah (Marisa Sullivan, 2014: 4)
Sedangkan kelompok kontra dengan Assad :
a. Kelompok Oposisi yang beraliran Sunni
1. Soft Power
Syrian National Council (SNC)
Syrian National Council (SNC) yang didirikan di Istanbul, Turki pada
Oktober 2011 dan dipelopori oleh para aktivis yang berada di luar Suriah.
Sebagian besar anggotanya merupakan anggota Ikhwanul Muslimin dan mayoritas
berasal dari komunitas Sunni (Dockal, 2012:5). Tujuannya adalah untuk
mendukung revolusi dalam mencapai kebebasan dan demokrasi untuk Suriah.
Melindungi kedaulatan nasional, dan melindungi kemerdekaan nasional (National
Coalition of Syria, 2016).
Free Syrian Army (FSA)
Tabel II. A. 1. Profil Free Syrian Army
Pemimpin kelompok: Abdul Illah Bashir
Tujuan: Mengakhiri Rezim Assad dan Negara Demokrasi
Anggota Kelompok: Supreme Military Council, Syrian Revolutionary
Front (SRF),
Euphrates Islamic Liberation Front,
Ideologi: Sekuler, Termasuk didalamnya Islam Sunni
25
Sumber: Elliot Friedland. 2014.
Tak berbeda jauh dengan SNC yang dibentuk di Turki dan sama-sama merupakan
aktivis dari luar Suriah, pasukan Free Syrian Army (FSA) ini dibentuk pada
Agustus 2011 oleh tentara pemberontak yang berbasis di Turki, yang dipimpin
oleh Kolonel Riad al-Asaad (British Broadcasting Corporation, 2013). Kelompok
ini banyak mendapatkan bantuan baik persenjataan maupun bantuan kemanusian.
Diawali pada akhir Febuari 2012, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Saud bin
Faisal berinisiatif memberikan bantuan berupa persenjataan kepada FSA. Dengan
tujuan apabila FSA memiliki kewajiban untuk melindungi diri mereka sendiri dan
warga Suriah (Global Security, 2013)
Islamic Front (IF)
Tabel II. A. 2. Profil Islamic Front
Pemimpin: Ahmed Issa Al Sheik
Tujuan: Menyingkar rezim Assad dan membentuk Negara Islam dan Jihad
Ideologi: Sunni, Islam
Anggota Kelompok: Ahrar as Sham, Suquor al, Sham Brigades, The Tawhid Brigade,
The Haq Brigade, The Ansar al Sham Battalions, The Islam Army
Kekuatan Pasukan: 40.0 – 70.000
Sumber: Elliot Friedland. 2014.
Seiring berjalannya waktu Arab Saudi semakin gencar dalam memainkan
perannya di konflik Suriah, dapat dikatakan apabila situasi Arab Saudi saat itu
mengalami perubahan. Bermula melancarkan banyak bantuan terhadap kelompok
26
FSA di Suriah baik berupa bantuan persenjataan maupun bantuan kemanusiaan,
namun diakhir 2013 Arab Saudi lebih memilih untuk membentuk sendiri
kelompok oposisi yang diberi nama Isamic Front (IF) (Al Monitor. 2013) ini
merupakan penggabungan dari 74 kelompok oposisi yang mulai dibentuk pada
November 2013. Meskipun dapat dikatakan sebagai kelompok yang baru
terbentuk, namun anggota pasukan Islamic Front atau IF sudah mencapai 45.000
ribu pada 2013. Dengan penggabungan ini pun IF memiliki tujuan untuk
menggulingkan Assad dan membangun Suriah menjadi sebuah negara yang
berdasarkan Islam, dimana kedaulatan tertinggi hanya kepada Allah yang Maha
Kuasa (Al-Monitor, 2013).
2. Hard Power
Ahrar al-Sham
Sebelum bergabung dengan IF kelompok ini menamakan dirinya sebagai Ahrar
al-Sham (Harakat Ahrar al-Sham al-Islamiyya, atau the Islamic Movement of the
Free Men of the Levant) yang dibentuk pada Desember 2011. Serangan pertama
yang dilakukan kelompok ini terjadi pada November 2012, Ahrar al-Sham dan al-
Nusra menyerang sebuah pos militer, yang menewaskan beberapa tentara dan
merebut senjata dan kendaraan. Serangan terakhir 6 Januari 2014, Ahrar al-Sham
dikoordinasikan dengan al-Nusra, dan berafiliasi dengan Supreme Military
Council untuk mendorong ISIS dari Raqqa (Stanford, 2015).
Nusra Front
Tabel II. A. 3 Profile Nusra Front
4 Ahrar al-Sham, Jaysh al-Islam, Suqour al-Sham, Liwa al-Tawhid, Liwa al-Haqq, Ansar al-Sham
dan the Kurdish Islamic Front
27
Pemimpin Kelompok Abu Mohammed Al Joulani
Latar Belakang; Afiliansi Resmi Al-Qaeda di Suriah
Tujuan: Jihad dan menjadikan Suriah Kekhalifahan Islam Global
Ideology: Sunni, Islam
Kekuatan Pasukan: 15.000-20.000
Taktik Berperang: Bom Bunuh Diri
Sumber: Elliot Friedland. 2014.
Masih dibawah pihak anti Assad, Nusra Front merupakan oposisi suriah sebagai
dalang dari pemboman bunuh diri yang telah mengguncang Suriah sejak
pemberontakan dimulai pada Maret 2011. Adapun tokoh Nusra Front, Abu
Mohammed al-Jawani, mengklaim bahwa al-Nusra tidaklah bergabung dengan al-
Qaeda yang sebelumnya. Al-Nusra ini disebut-sebut sebagai oposisi yang
didukung dan bekerjasama dengan al-Qaeda. (British Broadcasting Corporation,
2013).
The Islamic State
Tabel II. A. 4 Profil The Islamic State
Pemimpin
Kelompok:
Abu Bakar Al-Baghdadi
Latar Belakang: Terbentuk dari Negara Islam Irak dan Kelompok Teroris
Ideologi: Sunni, Islam
28
Tujuan: Membangun Negara Islam di Irak dan Suriah dan
Membangun Kekhalifahan Islam Global
Taktik Berperang: Sesuai Syariah dan Radikal
Sumber: Elliot Friedland. 2014.
The Islamic State kelompok yang namanya mulai terdengar pada tahun 2014.
Kelompok ini merupakan kelompok paling ekstrim karena dikenal dengan aksi
kebrutalan, pembunuhan massal dan pemenggalan. The Islamic State atau yang
dikenal sebagai ISIS perlahan telah merebut sebagian besar wilayah-wilayah di
Suriah dan Irak (British Broadcasting Corporation, 2015).
b. Kelompok Oposisi yang independen
Kurdish Democratic Unity Party (PYD)
Kurdish Democratic Unity Party (PYD) merupakan afiliansi Suriah dari militan
Kurdistan Workers‟ Party (PKK). Partai ini merupakan salah satu oposisi paling
penting di Suriah, yang masuk dalam anggota piagam National Coordination
Body for Democratic Change dan the People‟s Council of Western Kurdistan.
Langkah yang dilakukan dari partai ini pun pada Juli 2011 melakukan perjanjian
dengan Kurdish National Council kedua belah pihak berkomitmen untuk
membangun komite keamanan dan pasukan pertahanan sipil tak bersenjata untuk
melindungi daerah Kurdi (Carnegie Endowment, 2013)
Popular Protection Units YPG
Popular Protection Units YPG (Yekîneyên Parastina Gel = YPG) merupakan
milisi sekuler yang hampir keseluruhan merupakan pejuang Kurdish yang
29
berafiliasi dengan PYD, sebagai gantinya YPG ikut berafiliasi dengan PKK, yang
dibuat oleh US (Foreign Terrorist Organization). Pejuang YPG ini tidak menentu
namun dapat diperkirakan sekitar 50.000 termasuk pejuang Assyrian, Armenian,
Circassisan, dan Arab. Adapun langkah dan peran YPG di Suriah yaitu dengan
menolak keberadaan Islamic State (Christopher, Carla dan Mary.,2015)
The National Coalition for Syian Revolutionary and Opposittion
Forces
The National Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces adalah
kelompok oposisi yang dibentuk pada bulan November 2012 di Doha, Qatar. Dan
Mouaz al-Khatib, mantan imam Masjid Umayyah di Damaskus, terpilih sebagai
presiden walaupun 6 bulan kemudian mengundurkan diri. Tujuan utama
kelompok ini adalah membentuk kelompok yang mampu mendapatkan pengakuan
internasional yang lebih luas dan peningkatan dukungan finansial dan material
(Carniegie Endowment, 2013)
The National Coordination Body for Democratic Change
The National Coordination Body for Democratic Change merupakan koalisi
partai-partai oposisi non-bersenjata yang berbasis di Suriah. The National
Coordination Body didirikan pada Juni 2011 untuk menyatukan tuntutan oposisi
dan mengatur dialog politik. Adapun isi dari dialog tersebut antara lain;
pembebasan para tahanan politik, penarikan tentara dari kota, pembatalan Pasal 8
konstitusi (mengakhiri monopoli Partai Baath yang berkuasa dan memungkinkan
pihak lain untuk bersaing secara bebas mendapatkan jabatan), meningkatkan
keadaan darurat, yang memungkinkan wartawan asing untuk masuk Suriah, dan
30
menuntut mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan. Tiga prinsip dari The
National Coordination Body: ““No” to foreign military intervention, “No” to
religious and sectarian instigation, and “No” to violence and the militarization of
the revolution” (Carnegie Endowment, 2013).
2.2. Pemerintahan Bassar al-Assad dan dominasi kelompok Syi’ah di Suriah
Suriah merupakan negara yang menganut system demokrasi parlementer, dimana
struktur pemerintahan dibagi menjadi tiga bagian, yakni presiden sebagai kepala
negara, perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, sedangkan lembaga
legislative adalah dewan rakyat (Majlis Al-Shaab). Calon presiden dipilih oleh
parlemen untuk selanjutnya ditentukan melalui referendum dengan periode
jabatan selama tujuh tahun. Presiden merupakan sekretaris jenderal Partai Baath
dan pemimpin dari National Progressive Front (NPF) Presiden juga memiliki
wewenang untuk menunjuk menteri termasuk perdana menteri dan deputi perdana
menteri, mendeklarasikan perang dan keadaan darurat, membuat hukum,
memberikan amnesti, melakukan amandemen terhadap konstitusi, dan
mengangkat pegawai negeri sipil serta personil militer (European Forum, 2009).
Namun meskipun Suriah menganut sistem demokrasi parlementer dan
bukan monarki, ini tidak menjadi pengaruh bagi ayah dari Bashar al-Assad yaitu,
Hafez al-Assad, sebagai penguasa suriah sejak tahun 1970 untuk menyiapkan
anak laki-laki tertuanya, Basil sebagai penggantinya kelak. Namun rencana itu
tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan, karena Basil tewas dalam
kecelakaan mobil pada tahun 1994. Bashar Al-Assad yang saat itu sedang berada
di London untuk mempelajari oftalmologi dan memimpin Syrian Computer
31
Society akhirnya, dipanggil kembali ke Suriah (Merdeka, 2012). Dari sinilah
Hafez tak mempunyai banyak pilihan lain untuk memilih Bashar al-Assad sebagai
penggantinya.
Adapun pertanda bahwa Bashar al-Assad akan ditunjuk untuk
menggantikan posisi Basil mulai terlihat sejak ia dilibatkan dalam kepengurusan
Partai Ba‟ath yang berkuasa dan diberikan banyak kekuasaan (Trias Kuncahyono,
2012: 35). Setelah melalui banyak proses dan pendekatan – pendekatan dengan
terjun ke dalam dunia perpolitikan, ketika sepeninggalan ayahnya, Bashar al-
Assad resmi menjadi pemimpin di Suriah. Diangkatnya Bashar Al-Assad menjadi
kepala negara di Suriah bukan berarti gaya kepemimpinan yang akan dilakukan
akan sama oleh mendiang ayahnya. Melihat latar belakang Bashar Al-Assad yang
fokus mempelajari tentang ilmu kedokteran dan lama tinggal di London, yang
merupakan negara Demokrasi. Kecil kemungkinan dengan latar belakang yang
seperti itu, menjadi suatu perbedaan antara kepemimpinan Bashar dan Hafedz
ayahnya.
Gaya pemerintahan Bashar al-Assad yang dikemukakan oleh Trias
Kuncahyonno memiliki beberapa perbedaan oleh ayahnya, yaitu (69-71):
1. Militer
Kebijakan wajib militer selama dua setengah tahun bagi kaum muda
terpelajar, diperbarui. Sebelumnya, setiap laki-laki Suriah yang pada usia
18 tahun tidak mendaftarkan diri ke universitas dipanggil untuk mengikuti
wajib militer. Kebijakan itu diberlakukan di zaman Hafez al-Assad.
Tetapi, di zaman Bashar al-Assad dikeluarkan undang-undang baru yang
32
menyatakan apabila telah bekerja selama 5 tahun, mereka dapat membayar
$5.000 AS sebagai penganti wajib militer.
2. Politik
Bashar al-Assad juga melancarkan reformasi politik. Misalnya, para
pemimpin Persaudaraan Muslim (Ikhwanul Muslimin), yang pada tahun
1982 oleh Hafez al-Assad pernah dianggap membahayakan eksistensi
pemerintah karena itu ditangkap dan dipenjara, dibebaskan oleh Bashar al-
Assad. Ia juga mengampuni para tahanan politk.
3. Hak Rakyat
Kebebasan berbicara, hak istimewa rakyat Suriah yang hilang pada tahun
1958, secara bertahap dipulihkan. Apapun dan siapa pun diperbolehkan,
yang menurut istilah Bashar al-Assad, menyampaikan “kritik
membangun”. Apapun istilahnya, inilah bentuk dari “keterbukaan”.
Presiden Suriah, Bashar al-Assad, merupakan salah satu penganut Islam
Nushairiyah atau Alawite (Cable News Nework, 2016). Islam Nushairiyah
merupakan agama sinkretis dengan afinitas Syiah, yang pengikutnya hidup
sebagian besar di Suriah dan Turki tenggara. Di Suriah, mereka merupakan
minoritas terbesar di negara itu, yang berjumlah lebih dari satu juta (Meir M. Bar-
Asher, 2003). Walaupun syiah menjadi minoritas di Suriah tetapi bukan hal yang
sulit ketika ingin mengeluarkan pendapat dan sebaliknya ketika Sunni merupakan
mayoritas di Suriah mereka kesulitan untuk mendapatkan hak kebebasan
berpendapat. Hal ini didorong oleh kepala negara setempat yaitu Bashar Al-Assad
yang memang penganut Islam Syiah. Terlebih lagi Bashar Al-Assad memiliki
33
dukungan oleh Iran, yaitu Negara yang baik pemerintah maupun rakyatnya
merupakan Islam Syiah.
Syiah sendiri memiliki banyak perbedaan dalam kepercayaan dan ibadah
dibandingkan dengan Sunni. Sehingga kebanyakan aliran Syiah dianggap sebagai
ajaran Islam yang melenceng, sebab mereka tidak mengakui sahabat-sahabat Nabi
Muhammad yang merupakan Khulafaur Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin
Khatab dan Usman bin Affan kecuali Ali bin Abi Thalib. Kontras sekali dengan
pemikiran Sunni yang mempercayai semua para sahabat Nabi Muhammad SAW
dan menjalankan ajarannya sesuai dengan al-Quran dan Sunnah Rasul.
Dominasi Syiah di Suriah terlihat dengan munculnya Partai Baath sebagai
partai yang memegang kekuasaan penuh di Suriah. Partai Ba‟ath sendiri
merupakan partai yang mengusung ideologi Baath‟isme, yang berintikan nilai-
nilai Nasionalisme dan Sosialisme Arab, atau bisa dikatakan pula ideologi
sosialisme „khas‟ Arab motto partai ini adalah Wahdah, Hurriyah, Ishtirrakiyah
berarti “Persatuan, Kebebasan, Sosialisme”. Ideologi ini dirancang oleh seorang
intelektual Suriah beragama Kristen, Michel Aflaq (Islampos: 2013). Berdasarkan
ideologi Ba‟athisme, kepentingan partai Ba‟ath di Suriah adalah untuk
membentuk gerakan pan-Arab sekuler yang independen dari Barat (Harvard.
2016).
Memang tidak aneh kalau sekarang Partai Ba‟ath begitu kuat di tanah
Suriah karena secara historis Hafez al-Assad, bapaknya Bassar Assad merupakan
anggota pendiri Partai Ba‟ath, partai ini mengekspansi pengaruhnya mulai dari
lintas agama sampai pada keturunan Ahlul Sunnah waljamma‟ah. Wajar Partai
34
Ba‟ath berkembang pesat karena penguasa atau kepala negara setempat berpegang
teguh dengan dasar-dasar ideologi dari Partai Ba”ath. Semasa Partai Ba‟ath
berkuasa di Suriah sampai sekarang, pemerintahannya dibawa ke dalam
pemerintahan diktator militer. Para pemimpinnya bertindak represif terhadap
kelompok gerakan Islam yang dianggap Partai Ba‟ath, mengancam kepentingan
partainya seperti kelompok Islam yang militan dengan pemikirannya (Islampos,
2013).
Adapun hubungan partai Baath dengan Syiah yaitu, melihat Hafez, ayah
dari Bashar Al-Assad merupakan penganut Islam Syiah. Sedangkan Hafez juga
menjadi salah satu pendiri partai Baath di Suriah, dan merupakan kepala negara
dari Suriah. Hal ini jelas apabila Syiah dan Partai Baath sangat mendominasi
dalam kepemerintahan di Suriah, dibandingkan Sunni sebagai mayoritas di
Suriah. Bukan hal yang aneh apabila hubungan Syiah dan Sunni saat ini menjadi
suatu konflik yang berkepanjangan hingga saat ini.
Hubungan syiah dan Sunni sebelum konflik secara kebetulan memang telah
diatur oleh Perancis, agar menjadi republik Alawite. Adapun diskriminasi yang
dilakukan oleh Syiah terhadap mayoritas Sunni sudah dilakukan sejak era
Perancis. Perancis sendiri mengutamakan minoritas alawite terutama untuk
menjadi tentara karena memang lebih friendly terhadap Eropa. Ketika Perang
Salib, alawite telah menjadi pendukung utama tentara salib. Beda halnya dengan
kelompok Arab Sunni yang tidak disukai karena mereka pendukung utama
nasionalisme arab yg anti penjajahan Perancis.Ketika Suriah merdeka kemudian
35
struktur kolonial inilah yang tetap bertahan dimana kemudian minoritas Alawite
memberangus mayoritas sunni (Budi Kurniawan, 2016).
Jelas sekiranya hubungan Syiah dan Sunni di Suriah, baik setelah maupun
ketika konflik terjadi sampai saat ini, memang sangat buruk. Syiah yang pro
dengan Barat dan Sunni yang memilki rasa Nasionalisme tinggi menjadi suatu
benteng pemisah. Hingga menjadi suatu kesempatan bagi pihak-pihak yang
sekiranya memiilki kepentingan untuk memperburuk keadaan. Selain perbedaan
pendapat dan ideologi yang menjadi faktor mereka tidak bersahabat, hubungan
mereka turut diperburuk oleh campur tangan negara lain yaitu Perancis.
Meskipun posisi Sunni merupakan kelompok mayoritas di Suriah namun,
mereka tidak memiliki tempat untuk mengeluarkan pendapat yang bebas. Terlebih
lagi melihat kepala negara Suriah merupakan kelompok minoritas Syiah Alawite,
semenjak Suriah resmi menjadi sebuah negara yang merdeka hingga saat ini.
Wajar rasanya apabila konflik yang terjadi di Suriah saat ini dilatar belakangi oleh
perbedaan ideologi antara Syiah dari segi pemerintahan dan Sunni dari segi
rakyat.
36
BAB III
HUBUNGAN BILATERAL ARAB SAUDI DAN SURIAH SEBELUM
KONFLIK 2011
Bab ini membahas arah dan orientasi kebijakan luar negeri Arab Saudi. Bagian
pertama menjelaskan bagaimana dan apa yang menjadi pertimbangan Arab Saudi
ketika mengeluarkan kebijakan luar negeri. Melihat Arab Saudi merupakan negara
yang menggunakan hukum Islam atau hukum syariah. Serta apa yang mendasari
Arab Saudi ketika mengeluarkan kebijakan luar negeri. Selain itu Bab ini
membahas tentang hubungan bilateral Arab Saudi dan Suriah sebelum terjadi
konflik di Suriah. Selanjutnya Bab ini juga akan menjelaskan hubungan bilateral
keduanya di bidang ekonomi maupun politik.
3.1. Arah dan Orientasi Kebijakan Luar Negeri Arab Saudi
A. Orientasi Kebijakan Arab Saudi.
Kebijakan luar negeri Arab Saudi memiliki kerangka besar, salah satu yang paling
penting adalah good-neighbor policy, non interference dalam urusan internal
negara lain, mempererat hubungan dengan negara-negara teluk dan negara-negara
semenanjung Arab, memperkuat hubungan antar negara Arab dan negara Islam
guna kepentingan bersama, mengadopsi kebijakan non alignment, membangun
hubungan dengan negara-negara sahabat, dan memainkan peran efektif dalam
organisasi-organisasi internasional dan regional. (Ministry of Foreign Affair,
2016)
Pada dasarnya Arab Saudi berusaha untuk tidak mencari konflik terhadap
negara-negara tetangganya. Sebaliknya, Arab Saudi berupaya mempererat
37
hubungannya dengan negara-negara lain terutama negara-negara yang mayoritas
muslim seperti Qatar, Indonesia, Turki dan negara-negara Islam lainnya.
Meskipun hubungan Arab Saudi dengan beberapa negara tetangga dan negara
Islam terjalin cukup baik, tidak membuat Arab Saudi ikut andil ataupun ikut
mengurusi urusan masalah dalam negerinya. Selain itu pula Arab Saudi berusaha
untuk turut aktif dalam organisasi-organisasi internasional seperti menjadi salah
satu anggota PBB, Liga Arab, OPEC dan lain-lain. Arab Saudi juga rutin dalam
membantu negara-negara yang sekiranya membutuhkan bantuan, seperti negara
berkonflik dan terkena bencana alam baik negara yang mayoritas muslim maupun
tidak.
Adapun tujuan fundamental dari kebijakan luar negeri Arab Saudi ialah
melindungi negara dari dominasi atau invansi asing, serta menjaga stabilitas
domestik dari rezim Al-Saud. Kemudian bagaimana cara Arab Saudi dalam
mencapai tujuannya tersebut, pertama Arab Saudi secara intens menjaga
aliansinya dengan Amerika dengan memainkan perannya sebagai negara minyak
terbesar, kedua dikawasan timur tengah sendiri Arab Saudi menjaga
keseimbangannya diantara tetangganya yang lebih luas secara geografi dan
kekuatan militer, ketiga di jazirah Arab, Arab Saudi memainkan peran yang
hegemoni berhadapan dengan Yaman dan tetangga monarki yang lebih kecil.
(Gregory Gause, 2012: 193)
Melihat Arab Saudi merupakan negara yang menghasilkan minyak
terbesar di dunia dan sebagai negara Islam yang mempunyai dua kota Suci, hal ini
menjadikan Arab Saudi sangat rentan terhadap kritik dari para peneliti yang fokus
38
terhadap masalah di Tmur Tengah. Terlebih lagi hubungan timbal balik antara
Amerika dan Arab Saudi yang cukup signifikan, sehingga memicu timbulnya
banyak kritik. Selain itu sebagai negara yang hegemoni dikawasan, Arab Saudi
mencoba menyeimbangkan kekuatan militernya melalui bantuan Amerika.
Bantuan yang diberikan berupa berbagai persenjataan canggih yang dibutuhkan
oleh Arab Saudi.
Terdapat perbedaan pendapat yang dikeluarkan oleh Ministry of foreign
Affair dengan pendapat Gause, yang mana tidak semua kebijakan yang
dikemukakan oleh Ministry of Foreign Affair adalah mutlak kebijakan Arab
Saudi. Mungkin dari segi non intervensi dan good neighbor policy, Arab Saudi
memang menjalankannya sesuai dengan kebijakan tersebut. Namun disisi lain
dalam hal kebijakan non alignment, Arab Saudi tidak bisa mengimplementasi
sesuai dengan kebijakan tersebut. Melihat Arab Saudi mencoba melindungi
keamanan negaranya kepada Amerika, dengan menempatkan pangkalan Amerika
di Dahran. Hal ini lah yang menjadi suatu kritik bagi Arab Saudi, yang hanya
membuat suatu retorika tanpa adanya implementasi.
Faktor Penentu Kebijakan Luar Negeri Arab Saudi
Faktor penentu kebijakan luar negeri Arab Saudi dilihat dari 4 faktor, yaitu;
a. Sistem Internasional
Arab Saudi tergabung dalam ekonomi dunia dan sistem strategis melalui perannya
sebagai penghasil minyak utama dunia. Ini memungkinkan Arab Saudi untuk
bertindak sebagai “Swing Producer” yaitu mengatur kestabilan harga minyak
dunia. Pendapatan yang didapat melalui minyak menjadikan Arab Saudi sebagai
39
importir utama dari persenjataan militer dari Amerika. Minyak adalah dasar dari
hubungan startegis antara Arab Saudi dengan Amerika, yang telah berkembang
menjadi sebuah jalinan yang erat dalam hubungan ekonomi, militer dan politik.
Memiliki hubungan dengan Amerika kadang bertentangan dengan kepentingan
keamanan Arab Saudi di tingkat regional. Sementara dalam sistem Internasional
minyak adalah jalan utama bagi Arab Saudi. Arab Saudi juga memainkan peran
penting dalam arena lain dari sistem internasional yang bebas berafiliasi dengan
kelompok dari negara-negara Muslim (Gregory Gause, 2002: 194).
Meskipun Arab Saudi merupakan penghasil minyak terbesar, bukan berarti
dapat mengendalikan serta memilki sepenuhnya. Hal ini dibatasi oleh kebijakan
Amerika, sebagai eksportir persenjataan terbesar di Arab Saudi, guna melindungi
Arab Saudi dari hegemoni negara tetangganya. Arab Saudi pun kesulitan dalam
menjalankan pilihan kebijakan luar negeri dan ekonominya, melihat Arab Saudi
memiliki peran otonomi yang sangat kecil dalam sistem Internasional di
negaranya. Arab Saudi juga dipaksa untuk mengikuti kebijakan Amerika, karena
kestabilan ekonomi dan politiknya sangat tergantung pada dukungan Amerika.
b. Sistem Regional
Arab Saudi dan Timur Tengah
Dalam regional Timur Tengah yang luas, Arab Saudi adalah negara dengan
militer yang lemah yang mencari perlindungan kekuatan dengan mempertahankan
independensi dan otonominya dengan cara mencegah timbulnya kekuatan
hegemoni regional. Sulitnya kebijakan luar negeri Arab Saudi di Timur Tengah
ditandai adanya identitas politik transnasional dari Arabisme dan Islam. Adanya
40
identitas politik ini menimbulkan gerakan politik yang mengancam kekuasaan
Arab Saudi di wilayah Timur Tengah. Hal ini membuat Saudi harus bertindak
tidak hanya untuk pergesaran dalam kekuatan militer dan ekonomi di kawasan ini,
tetapi juga dari ancaman politik yang mempertanyakan legitimasi politik dan
keamanan (Gregory Gause, 2002: 196). Pada dasarnya Arab Saudi cenderung
merasa terancam akan gerakan transnasional tersebut. Meskipun Saudi sendiri
bukanlah suatu ancaman bagi negara-negara lainnya di Timur Tengah. Namun
sentimen Arabisme dan Islamis menghalangi kebijakan luar negeri Arab Saudi.
Arab Saudi dengan Semenanjung Arab
Perilaku Arab Saudi di semananjung Arab menerapkan prinsip sederhana yaitu,
hegemoni kawasan, dari kekuatan lain. Tujuannya Arab Saudi berupaya menjadi
mitra asing, yang dominan bagi negara-negara monarki kecil yang berbatasan ke
timur dan tenggara seperti Kuwait, Bahrain, UAE, Oman dan Yaman (Greogory
Gause, 2002: 198). Pada intinya Arab Saudi berusaha untuk menjadi pemimpin
yang berpengaruh bagi negara-negara disemenanjung Arab.
c. Formasi Negara dan Politik Domestik
Negara modern Arab Saudi dibentuk akibat penaklukan, terdiri dari empat area
geografi yang dijadikan satu oleh Nabi Muhammad SAW. Warisan dari keluarga
al-Saud adalah najd (Arab Tengah), jantung wilayah dari kerajaan Arab Saudi
yang dibangun pada abad 18 dan 19 oleh generasi pertama keluarga ini.
Kemudian pada abad 20 pendiri dari kerajaan modern Abd Al Azis mengambil
alih kontrol Najd. Pada 1913, ia mengekspansi wilayah ke arah timur dengan
mengambil alih al-Ahsa, sekarang sebagai provinsi timur Arab Saudi, al-Ahsa
41
memberikan akses bagi Abd al-Aziz akses ke teluk Arab yang merupakan
wilahyah dengan sumber minyak yang sangat besar (Greogory Gause, 2002: 199).
Adapun Arab saudi khawatir tentang kekuatan regional ikut campur dalam urusan
luar negeri mereka, sepeti Hashemite Yordania dan Irak di Hijaz, Yaman di Asir
dan Iran dengan sesama Syiah dalam al-Ahsa, atau Nasser Mesir dengan
nasionalis Arab yang bergolak diseluruh kerajaan. Hal itu membuat mereka sadar
kebutuhan untuk menyeimbangkan pengaruh kekuatan-kekuatan besar di tanah
Arab.
d. Aturan Kebijakan Luar Negeri
Negara yang menerapkan sistem Islam menjadi peraturan dalam negeri dan dalam
menjalankan kebijakan luar negerinya. Sebagai rumah bagi dilaksanakannya
ibadah haji, Arab Saudi setidaknya menerima satu juta orang setiap tahunnya.
Lewat pelaksanaan haji ini membuat hubungan Arab Saudi dengan negara muslim
lainnya lebih intens, dengan melaksanakan islam sebagai peraturan domestiknya,
di interpretasikan oleh Arab Saudi sebagai pemimpin bagi negara-negara muslim
lainnya (Greogory Gause, 2002: 202-203)
Dari beberapa penjelasan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat ditarik
kesimpulan, apabila dilihat dari segi keamanan, Saudi yang memiliki kapabilitas
militer yang kecil tidak merasa terancam dengan negara-negara Arab lainnya,
bahkan dengan Yaman dan atau Iran sekalipun, karena Saudi berada dibawah
perlindungan Amerika sebagai sekutunya. Kedekatan dengan Amerika ini
menyebabkan ketergantungan yang sangat signifikan bagi Saudi. Selain itu,
ketergantungan ini menyebabkan kebijakan ekonomi dan politik yang diambil
42
Saudi tidaklah bebas dari campur tangan Amerika. Sehingga seringkali
mengalami dilema dalam menentukan sikap atau kebijakannya diperpolitikan
global. Dipihak lain, Amerika sangat diuntungkan dengan kedekatannya dengan
Saudi tersebut karena selain mendapatkan akses yang besar pada minyak bumi
Saudi, Amerika juga dapat menjaga hegemoninya di Timur Tengah.
Arab Saudi sendiri memiliki peranan penting yang cukup signifikan dalam
kawasan Timur Tengah sebagai sekutu terdekat Amerika di kawasan tersebut.
Namun keamanan dan kemakmuran yang disediakan oleh Amerika untuk Saudi
membuat negara ini mengalami ketergantungan yang besar pada Amerika dan
terpaksa harus mengorbankan kebebasannya dalam mengambil kebijakan agar
sesuai dengan kepentingan Amerika. Padahal, pemerintahan yang mandiri adalah
salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh Saudi, di samping keamanan regionalnya
dan penyebaran hegemoni. Sehingga sangatlah wajar apabila terdapat banyak
pihak yang mengkritisi Saudi, yang tidak pernah bisa lepas dari pengaruh
Amerika. Hal inilah yang juga menimbulkan gerakan fundamentalis yang
menggunakan cara-cara kekerasan, dengan menyuarakan aspirasinya untuk
menentang pengaruh dan kekuasaan negara adidaya.
B. Struktur Pemerintahan
Arab Saudi merupakan negara yang berdasarkan dengan monarki yaitu, kekuasaan
secara turun menurun. Pemasukan terbesar Arab Saudi berasal dari minyak,
melihat Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar dunia. Meski Arab Saudi
merupakan negara yang pemasukan pendapatan ekonominya cukup besar, namun
dari kapabilitas keamanan negaranya sangat riskan. Terlebih lagi beberapa negara
43
tetangganya di Timur Tengah merupakan negar-negara yang memilliki
kapabillitas militernya sangat kuat. Hal ini membuat Arab Saudi harus cermat
ketika mengeluarkan kebijakan luar negeri terutama dalam bekerjasama atau
beraliansi dengan negara-negara lain.
Struktutr pemerintahan Arab Saudi dibagi menjadi 3, yaitu; (Helen Ziegler
& Associates, 2016).
a. Eksekutif
Raja sebagai perdana menteri, kepala negara, kepala pemerintahan, dan
Panglima militer di Arab Saudi. Arab Saudi menganut sistem monarki,
sehingga tidak ada pemilu. Kabinet Raja, atau Dewan Menteri, ditunjuk
oleh Raja setiap empat tahun. Ada 22 kementerian pemerintah yang
merupakan bagian dari Kabinet.
b. Legislatif
Ini terdiri dari Dewan Konsultatif (juga dikenal sebagai Majlis as-Syura
atau Dewan Syura) menyarankan Raja pada isu-isu yang penting bagi
Arab Saudi.
c. Yudisial
Arab Saudi diatur sesuai dengan hukum Islam.
Adapun dalam pengambilan kebijakan luar negeri, keputusan Arab Saudi
secara politik bersifat independen. Namun dalam pengambilan kebijakan raja pun
selalu berkonsultasi dengan Putra Mahkota, Deputi Putra Mahkota dan anggota
senior lainnya dari keluarga kerajaan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar
negeri. Raja juga berkonsultasi ke berbagai badan sebelum membuat keputusan.
44
Badan yang dimaksud yaitu seperti, Kementerian Luar Negeri, Kementerian
Pertahanan, Kementerian urusan internal, Dewan Keamanan Intelijen Nasional
Saudi dan Majlis Ash Shura, semua memainkan peran penting dalam memberikan
kontribusi kepada Raja dan deputinya dengan masukan yang sekiranya
diperlukan, baik itu saran ataupun kritik (Fahad M. Alsultan, 2013: 3)
Sistem pemerintahan monarki, raja sebagai satu-satunya yang memimpin
tetapi pihak kerajaan Arab Saudi tetap mendiskusikan kebijakan-kebijakan
tersebut ke beberapa badan pemerintahan serta ke keluarga kerajaan lainnya.
Pihak kerajaan pun cukup terbuka untuk saran dan kritik menyangkut kebijakan-
kebijakan yang akan dikeluarkannya. Pada prakteknya kadang pihak kerajaan
Arab Saudi tetap menghalalkan apapun kebijakan yang akan dikeluarkannya,
meski hal itu bertentangan dengan hukum Islam dan pihak-pihak yang dimintai
pendapat.
C. Faktor Pendukung
a. Internal
Majelis Syuro’
Majelis Syuro (Majlis al-Shura) atau Dewan Konsultatif, adalah badan legislatif
yang menyarankan atau sebagai penasehat Raja, pada isu-isu yang penting bagi
Arab Saudi. Majelis Syuro ini merupakan versi modern dari konsep Islam
tradisional. Dewan Konsultatif saat ini terdiri dari 150 anggota yang ditunjuk oleh
Raja untuk jangka empat tahun. Berdasarkan pengalaman mereka, anggota yang
ditugaskan untuk komite, terdapat 12 komite yang berhubungan dengan hak asasi
manusia, pendidikan, budaya, informasi, kesehatan dan sosial, pelayanan dan
45
utilitas umum, urusan luar negeri, keamanan, administrasi, urusan Islam, ekonomi
dan industri, dan keuangan (The Shura Council, 2016).
Adapun Majelis Syuro ini dapat dikatakan sebagai kumpulan para Ulama
Arab Saudi, yang masih menekankan nilai-nilai fundamental atau Islam
Tradisional. Sebagai negara yang memiliki dua kota Islam yaitu Madinah dan
Mekkah, para Ulama menginginkan apabila kebijakan Arab Saudi disarankan
tidak condong pada kebijakan Barat. (Baghat dan moataz, 344. 2008)
Pengaruh langsung Ulama terhadap proses pengambilan kebijakan dapat
melalui tiga aspek, yaitu; (Baghat dan moataz, 359. 2008)
1. Akses langsung terhadap pembuat kebijakan
2. Mereka dapat memonopoli beberapa kementerian dan area –area kebijakan
yang akan dibuat.
3. Popular Mobilization, seperti mengajak masa atau para pengikutnya untuk
melegitimasi sebuah kebijakan.
Selain itu proses Ummah5 juga merupakan bagian dari Majelis Syuro,
yang tidak dapat dipisahkan dari identitas religious Arab Saudi. Oleh karena itu
kebijakan – kebijakan Arab Saudi seringkali stagnan6, sebab banyaknya pendapat
serta masukan-masukan para Ulama yang berbeda-beda untuk berkontribusi
dalam pengambilan proses kebijakan.
5 Ummah atau umat yaitu jika para penguasa tidak menegakkan keadilan, umat yang berada di
majelis Syuro harus memberikan peringatan kepada mereka, dan jika diabaikan maka raja dapat
diberhentikan. Al-Juwayni berpendapat bahwa Islam adalah tujuan dari ummat, sehingga setiap
penguasa yang menyimpang dari tujuan ini harus diberhentikan (Center for Muslim-Jewish
Engagement) 6 Adapun yang dimaksud dengan stagnan, dimana kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Arab
Saudi mengalami kendala atau bahkan terhenti.
46
Royal Family
Saudi merupakan sebuah negara yang tidak memiliki kapabilitas militer yang
cukup kuat dan wilayah yang relatif sedang namun dianugerahi dengan
kepemilikan SDA minyak bumi terbesar di dunia dan kekuatan SDA tersebut
merupakan penunjang perekonomian negara tersebut. Saudi sendiri dalam setiap
kebijakan luar negeri yang dikeluarkannya selalu didasari oleh setidaknya dua hal,
yaitu menjaga kedaulatan negara dari campur tangan dan dominasi pihak luar
serta menjaga keberlangsungan kekuasaan feudal/keluarga kerajaan, dalam hal ini
adalah keluarga Bani Saud (Greogory Gause, 2002: 193). Hal ini dapat terlihat
dari kekayaan Saudi yang dihasilkan oleh kegiatan ekspor minyak bumi dimana
kekayaan tersebut digunakan untuk menjaga kestabilan dalam negeri atau menjaga
posisi keluarga Bani Saud dalam pemerintahan (Gregory Gause, 2002: 195).
Terbentuknya Saudi sebagai sebuah kerajaan tidak dapat dilepaskan dari
adanya sejarah penaklukan dimana pendiri Kerajaan Saudi mengalahkan kerajaan
Hashemite pada 1926 yang berkekuasan di sepanjang Irak dan Yordania,
termasuk juga wilayah Hijaz yang merupakan wilayah Saudi sekarang (Gregory
Gause, 2002: 197). Kemudian, salah seorang keturunan Bani Saud yang
berkuasa, yaitu Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud melakukan konsolidasi
pada 1913 dan perluasan wilayah hingga ke wilayah Al Ahsa yang strategis dan
kaya akan minyak (Gregory Gause, 2002: 199). Perluasan wilayah ini terus
dilakukan hingga 1926 dimana Abdul Aziz Al Saud berhasil menguasai seluruh
wilayah Hijaz yang menyebabkan dirinya dan negara Saudi dikenal dengan penuh
47
hormat sebagai penjaga dua tanah suci. Ekspansi terus dilakukan sampai pada
akhirnya Al Saud berhasil merebut wilayah Asir dari tangan Yaman pada 1932
(Gregory Gause, 2002: 199-200).
Wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukan oleh Al Saud tersebut pada
kenyataannya memiliki karakteristik geografis yang berbeda-beda. Seperti
misalnya, Hijaz yang merupakan bekas wilayah Kerajaan Hasemite dan Asir yang
dulunya milik Yaman. Selain itu, terdapat pula pengaruh Syiah yang kuat di
wilayah Ahsa dimana sebelumnya minoritas Syiah disana berdemonstrasi
menentang Al Saud. Kesemua hal ini, termasuk penyebaran ide Pan-Arabisme
oleh Mesir dianggap sebagai ancaman bagi keberlangsungan pemerintahan
keluarga Al Saud. Abdul Aziz sendiri menyadari bahwa keberadaan strategi
politik dan kekuatan ekonomi sangatlah dibutuhkan untuk menjaga kestabilan
kerajaan yang baru dibentuknya. Salah satu cara untuk menjaga kestabilan
tersebut adalah dengan cara mendekatkan diri pada kaum ulama puritan yang
mendukung ide-ide pemurnian agama Islam yang dikenal dengan Wahabi
(Gregory Gause, 2002: 200).
Kaum Wahabi kemudian membantu Al Saud untuk mendapatkan
dukungan rakyat di seluruh wilayah taklukan dan mendirikan kerajaan. Bahkan,
tokoh pendiri utama dari Wahabi yaitu Muhammad bin Abdul wahab memberi
pembenaran atas strategi-strategi yang dilakukan oleh Abdul Aziz dalam
membentuk kerajaan baru tersebut. Sebagai imbalannya, Al Saud mendukung
gerakan Wahabi dan menempatkan tokoh-tokoh ulama Wahabi sebagai pejabat
pemerintah di wilayah-wilayah yang berhasil dimenangkan oleh Abdul Aziz Al
48
Saud (Turki Al- Hamad, 1986: 28-40). Bayang-bayang kekuasaan Wahabi dan
pengaruh kuat mereka tetap dapat dijumpai hampir di berbagai bidang kehidupan
di Saudi hingga masa modern ini (Ayman Al-Yasini, 1985).
b. Eksternal
Kondisi Negara di Timur Tengah Terhadap Pola Kebijakan Arab
Saudi
Kondisi negara di Timur Tengah memang banyak mengalami konflik dan kudeta.
Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi stabilitas Arab Saudi dengan
ketidakstabilan di kawasan. Kondisi politik dan militer yang terjadi di negara
Timur Tengah secara tidak langsung mempengaruhi Arab Saudi. Adapun efek
yang didapat Arab Saudi, seperti stabilitas ekonomi atau pengungsi dari korban
negara yang berkonflik.
Negara-negara tetangga Arab Saudi di Timur Tengah beberapa sudah
mengalami konflik, seperti Suriah yang telah mengalami 3 kali kudeta ditahun
1949, Mesir yang pemerintahannya digulingkan militer pada 1952, Irak 1958,
Yemen 1962 (Baghat dan moataz, 353. 2008). Hal ini memunculkan kondisi
bagaimana Orientasi Arab Saudi dalam pengambilan kebijakan mengingat negara-
negara tetangganya banyak yang berkonflik. Salah satu kebijakan Arab Saudi
dalam mengurangi efek konflik di negara tetangganya dengan memberikan
bantuan kemanusian. Karena efek konflik biasanya memunculkan banyak para
pengungsi yang datang ke negaranya.
Dengan demikian kebijakan Arab Saudi dalam memberikan bantuan
kemanusian kepada negara-negara tetangganya merupakan pertimbangan yang
49
sangat penting. Bantuan kemanusian ini mengurangi efek negative yang
kemungkinan lebih besar kedepannya. Karena pada dasarnya sebuah negara
memberikan bantuannya kepada negara yang memerlukan, mereka melihat dari
efek jangka panjangnya.
Dari sub Bab yang dijelaskan diatas bahwasannya memang faktor-faktor
inilah yang menjadi dominan dalam proses pembuatan kebijakan Arab Saudi. Dan
faktor-faktor ini pula turut menjadi pengaruh hubungan diplomatik antara Arab
Saudi dengan Suriah. Selain itu faktor-faktor diatas merupakan bagian penting
dari pembuatan kebijakan luar negeri Arab Saudi. Hal ini disebabkan baik internal
maupun eksternal saling berkaitan satu sama lainnya.
Selain itu Arab Saudi terkenal dengan kebijakan dalam negerinya yaitu
berdasarkan Islam, yang disebut sebagai Shari‟ah. Akan tetapi dalam
mengaplikasikan dan mengeluarkan suatu kebijakan luar negeri, sering kali Arab
Saudi mengesampingkan hukum Sharia‟ah. Meskipun kebijakan luar negeri tidak
sesuai dengan hukum Sharia‟ah, Arab Saudi tetap mempertimbangkan baik-
buruknya untuk kerajaan, baik itu secara internal maupun eksternal.
3.2. Hubungan Bilateral Arab Saudi dan Suriah Sebelum Konflik Suriah.
Pada sub Bab ini menjelaskan tentang hubungan bilateral Arab Saudi dengan
Suriah sebelum konflik Suriah. Adapun hubungan keduanya sebelum dan konflik
Suriah berlangsung, mengalami beberapa dinamika yang cukup signifikan. Hal ini
menunjukan keberpihakan Arab Saudi dengan kelompok oposisi. Sebelum ketika
konflik Suriah muncul, hubungan keduanya memang tidak bisa dikatakan dekat
akan tetapi hubungan mereka cukup baik.
50
3.2.1. Hubungan Bilateral Politik
Hubungan bilateral Arab Saudi dengan Suriah terlihat kompak ketika keduanya
menjadi bagian dari pendiri Liga Arab. Suriah dan Arab Saudi bersama-sama
dengan pendiri lainnya, mempunyai pemikiran yang sama untuk membentuk dan
menandatangani berdirinya Liga Arab. Adapun Liga Arab didirikan pada Maret
1945 oleh 22 negara Arab, termasuk Palestina, yang misinya cukup luas yaitu
untuk meningkatkan kordinasi di antara para anggotanya mengenai hal-hal yang
menjadi kepentingan bersama. Liga Arab diresmikan sebagai tanggapan atas
keprihatinan tentang divisi kolonial pasca perang wilayah, serta oposisi yang kuat
terhadap munculnya sebuah negara Yahudi di Palestina (Master dan Jonathan,
2014).
Pada umumnya hubungan antara Arab Saudi dengan Suriah, memang tidak
pernah sepenuhnya baik dan tidak sepenuhnya buruk. Sikap mereka yang tidak
hangat ini disebabkan oleh faktor perbedaan pemikiran, serta pengaruh ideologi.
Hubungan Arab Saudi dan Suriah sebelum terjadinya konflik cukup buruk, ketika
terjadi permasalahan pada tahun 2005, dengan adanya pembunuhan mantan
perdana menteri Lebanon, Rafic Hariri. Pada kasus ini Arab Saudi sebagian besar
menyalahkan Suriah dalam pembunuhan politik tersebut. Dengan demikian bukan
hal yang tidak mungkin apabila Arab Saudi bereaksi dengan mengambil sikap
terbuka yaitu, anti-Suriah (Benedetta, 2012). Sikap Arab Saudi yang anti-Suriah
ini mengakibatkan hubungan keduanya kembali diperburuk meskipun keduanya
memang tak pernah berhubungan secara baik. Adapaun latar belakang Arab Saudi
51
menyalahkan Suriah sebagai tersangka pembunuhan pada Perdana Menteri
Lebanon, melihat keluarga Rafic Hariri berasal dari kelompok atau aliran Sunni.
Setelah pembunuhan yang terjadi pada Perdana Menteri Lebanon. Assad
melakukan perjalanan ke Riyadh untuk bertemu dengan pimpinan Saudi. Assad
dan menteri luar negerinya, Farouk Charaa, bertemu dengan Abdullah dan menteri
luar negeri Saudi, Pangeran Saud Faisal. Kemungkinan kedatangan Assad ke
Riyadh untuk menjelaskan secara pribadi atas pembunuhan Hariri. Melihat Hariri
dan keluarga merupakan kerabat dekat dengan penguasa Arab Saudi (Scott
Wilson. 2005). Kendati demikian, setelah pertemuannya dengan Assad, Arab
Saudi mengeluarkan statement dan membantah jika negaranya mendukung
kesepakatan untuk membantu Assad dan menghindari dari interogasi oleh
penyidik PBB. Akan tetapi Arab Saudi justru memberikan masukan untuk
meyakinkan Assad, agar bekerjasama dengan baik kepada penyidik dan
mengurangi ketegangan yang terjadi antara Suriah dan Lebanon (Tony Badran,
2006). Menyusul pada oktober 2009 (Walter A McDougall, 2012) Presiden
Bashar al-Assad mengadakan kunjungan ke Lebanon, setelah terjadinya peristiwa
pembunuhan Perdana Menteri Rafik Hariri ditahun 2005. Adapun ketika itu Assad
didampingi oleh pimpinan Arab Saudi yaitu, Raja Abdullah (Deutsche Welle,
2010).
Hubungan politik antara Arab Saudi dan Suriah mengalami dinamika yang
cukup signifikan. Setelah sebelumnya sama-sama menjadi pendiri Liga Arab dan
keduanya juga melakukan pertemuan untuk menyelesaikan masalah antara Suriah.
Hal ini sangat kontras melihat sebelumnya Arab Saudi telah mengeluarkan
52
statement yang mengatakan anti-Assad dalam masalah pembunuhan Hariri
sebagai Perdana Menteri Lebanon. Selain itu dari adanya permasalahan ini Arab
Saudi semakin terbuka terhadap Suriah, keduanya melakukan perjalanan ke
Lebanon dengan tujuan, memperbaiki citra Suriah dimata Lebanon dan pandangan
dunia.
Selanjutnya pada tahun 2008 dan 2009, hubungan antara Arab Saudi dan
Suriah secara perlahan mulai membaik. Pada tahun 2008 pihak Arab Saudi dan
Suriah sama-sama mentransfer Duta Besar masing-masing negara. Upaya ini
dilakukan agar Suriah dapat keluar dalam pengaruh Iran serta hubungan keduanya
membaik. Melihat hubungan antara Suriah dan Arab Saudi selalu terlihat tegang
(Sorin Alex, 2009). Sebelumnya dibulan yang sama Arab Saudi yang dipimpin
oleh Raja Abdullah melakukan perjalanan ke Damaskus. Kunjungan ini sebagai
bentuk mengembalikan nama baik Suriah yang sebelumnya dituduh terlibat dalam
pembunuhan Perdana Menteri Lebanon (Andrew L Butters, 2009). Dan
kunjungan ini pula dirasa dapat menjadi tanda apabila hubungan keduanya cukup
baik.
Dari hubungan Arab Saudi dan Suriah dapat dilihat apabila hubungan
keduanya bersifat Asimetris7. Hal ini dilatarbelakangi prilaku dari Syria yang
meminta kepada Arab Saudi untuk mengembalikan nama baiknya di mata dunia
terkait pembunuhan perdana menteri Lebanon. Meminta mengembalikan nama
baik ke Arab Saudi bukan berarti masalah tersebut adalah kesalahan Arab Saudi,
akan tetapi melihat Arab Saudi berteman dekat dengan perdana menteri Lebanon
7 Pada hubungan asimetris, suatu variabel atau variabel-variabel bebas berhubungan dengan
variabel atau variabel-variabel terikat (Anwar Hidayat. 2012)
53
dan sebagai negara hegemoni di Timur Tengah. Posisi Arab Saudi sebagai negara
yang hegemoni di Timur Tengah merasa perlu untuk membantu Suriah, guna
meredakan ketegangan antara Suriah dan Lebanon. Adapun Arab Saudi mencoba
memberikan saran kepada Suriah agar mengikuti proses hukum dengan baik,
seerta melakukan kunjungan ke Lebanon besama Assad sebagai presiden Suriah.
Meskipun Arab Saudi berupaya memperbaiki citra Suriah dimata Lebanon dan
dunia, namun Arab Saudi tidak mendapatkan timbal balik yang mungkin dapat
menguntungkan negaranya dari pihak Suriah. Oleh karena itu dapat dianalisis
apabila hubungan keduanya masuk kedalam hubungan asimetris.
3.2.2. Hubungan Bilateral Ekonomi
Pada April 1972 Arab Saudi dan Suriah melakukan beberapa perjanjian
perdagangan. Melihat sebelumnya hubungan keduanya terputus dengan adanya
kemenangan pada partai Baath (1963) yang mengisolasi Suriah (Joseph Man,
2006). Langkah baru bagi Arab Saudi dan Suriah, keduanya menandatangani
kesepakatan 20 Februari 2001, untuk mendirikan kawasan perdagangan bebas
antara kedua negara. Kesepakatan, yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri
Saudi, Saud Al-Faisal dan sejawatnya dari Suriah, Faruq Al-Shara, merencanakan
kesepakatan tersebut mulai berlakunya pada 1 Januari 2003 (albawaba, 2001).
Salah satu bentuk perdagangan yang berjalan yaitu minyak zaitun dan keramik
antara Riyadh dan Damaskus.
Isi kesepakatan perdagangan bebas antara kedua negara yaitu, dengan
menghapus berbagai hambatan dalam impor/ekspor dan berkomitmen untuk
berkoordinasi serta berkonsultasi mengenai berbagai hal, ditingkat apapun selama
54
menyangkut kedua belah negara tersebut. Adapun volume kesepakatan ini hanya
berkisar dua Milyar Dollar pertahun. Tetapi kesepakatan ini tidak berlangsung
lama, karena hubungan Saudi dan Syria kian memburuk. Hal ini dilatarbelakangi
oleh adanya invasi Irak pada 2003 dan terbunuhnya Rafiq Hariri di tahun 2005
(Business Intelligence Middle East, 2009).
Meskipun zona perdagangan bebas ini tidak berlangsung secara mulus dan
tidak sesuai rencana, tetapi terlihat hubungan Arab Saudi tidak seburuk
pandangan negara-negara lain pada saat ini. Hubungan perekonomian Arab-Syria
sebelum konflik, cukup bagus melihat keduanya aktif dalam impor dan ekspor.
Pembentukan zona perdangan bebas ini pun bertujuan untuk saling menguatkan
hubungan ekonomi mereka masing-masing. Kemungkinan hal ini tidak menjadi
masalah yang paling penting di Timur Tengah, tetapi berfungsi sebagai barometer
untuk perubahan iklim politik di wilayah tersebut.
Adapun dalam hal investasi Arab Saudi merupakan investor tunggal
terbesar di Suriah dalam pembangunan Four Seasons Hotel di Damaskus, yang
merupakan wujud dari investor Arab Saudi dengan memakan biaya $100 juta.
Investasi Arab Saudi di Suriah pun meningkat di tahun 2009 sebesar $ 1 Miliar,
sebelumnya di tahun 2007 hanya sebesar $750 juta (Phill Sand. 2009). Adapun
volume perdagangan export dan impor antara Arab Saudi dengan Suriah
digambarkan dalam bentuk diagram (The Observatory of Economic Complexity,
2008-2011).
a. Ekspor Suriah ke Arab Saudi (2008-2011)
55
Gambar III. 1. Ekspor Suriah ke Arab Saudi 2008
Sumber: The Observatory of Economic Complexity. 2008-2011
Gambar III. 2. Ekspor Suriah ke Arab Saudi 2009
Sumber: The Observatory of Economic Complexity. 2008-2011
56
Gambar III. 3. Ekspor Suriah ke Arab Saudi 2010
Sumber: The Observatory of Economic Complexity. 2008-2011
Gambar III. 4. Ekspor Suriah ke Arab Saudi 2011
Sumber: The Observatory of Economic Complexity. 2008-2011
57
b. Ekspor Arab Saudi ke Suriah (2008-2011)
Gambar III. 5. Ekspor Arab Saudi ke Suriah 2008
Sumber: The Observatory of Economic Complexity. 2008-2011
Gambar III. 6. Ekspor Arab Saudi ke Suriah 2009
Sumber: The Observatory of Economic Complexity. 2008-2011
58
Gambar III. 7. Ekspor Arab Saudi ke Suriah 2010
Sumber: The Observatory of Economic Complexity. 2008-2011
2011
Tidak ada ekspor dari Arab Saudi ke Suriah.
Dari volume perdagangan diantara keduanya mengalami fluktuasi yang
signifikan ketika konflik saudara di Suriah dimulai. Adapun ekspor dan impor
yang dilakukan Arab Saudi dan Suriah dari diagram diatas dari tahun 2008 hingga
2011 terlihat jelas apabila Arab Saudi sangat mengungguli perdagangan tersebut.
Sebelum konflik terjadi pun hubungan perdagangan ekspor dan impor keduanya
mengalami kenaikan secara terus menerus setiap tahunnya, baik itu dari pihak
Arab Saudi maupun dari pihak Suriah. Akan tetapi begitu konflik terjadi pada
tahun 2011 ekspor yang dilakukan Suriah ke Arab Saudi mengalami kemorosotan,
dari total pendapatan sebesar $642 Milyar pada tahun 2010 menjadi $485 Milyar
pada tahun 2011. Bahkan dari pihak Arab Saudi pada tahun 2011 ketika konflik
terjadi, tidak ada sama sekali barang yang diekspor ke Suriah. Padahal ditahun
59
2010 Arab Saudi mendapatkan total hasil pendapat sebesar $790 Milyar dari
ekspornya ke Suriah.
Melihat dari sisi ekonomi hubungan antara Arab Saudi dengan Suriah
tidak terjadi masalah yang sangat penting. Hal ini terlihat jelas pada diagram
perdagangan ekspor dan impor antara keduanya yang sempat stabil sebelum
terjadi konflik. Dalam perdagangan ini pun sebenarnya Arab Saudi sangat
diuntungkan karena mendapatkan total produksi lebih besar dibandingkan Suriah.
Tetapi munculnya konflik yang terjadi di Suriah membuat hubungan perdagangan
antara keduanya mengalami kendala.
Dari hubungan bilateral baik politik maupun ekonomi pada dasarnya
hubungan antara Arab Saudi dan Suriah tidak banyak mengalami ketegangan.
Hubungan keduanya pun cukup terjalin baik sebelum terjadinya konflik. Namun
pada pertengahan tahun tepatnya Agustus 2011 Arab Saudi mengubah haluannya
ke Suriah dengan menentang rezim Assad. Saudi menyatakan bahwa kekerasan di
Suriah tidak dapat diterima oleh Arab Saudi, dan menuntut Assad dengan
sebutan“stop the killing machine” (Adrian Blomfield, 2011). Adapun reaksi Arab
Saudi disebabkan terjadinya perang saudara di Suriah, antara pemerintah Suriah
dengan para oposisi negara.
Menurut Simon Mabon8, hubungan Saudi dengan krisis Suriah saat ini
sangat kompleks karena adanya prioritas kawasan dan domestik. Di kawasan,
Arab Saudi menginginkan penggulingan Assad dan melemahkan pengaruh Iran.
Akan tetapi untuk urusan domestik, Saudi menerapkan kebijakan yang reaksionis
8 Simon Mabon adalah pakar hubungan internasional dari Universitas Lancaster dikutip The
Conversation.
60
dan konservatif. Selama ini pula Assad hanya mengandalkan dukungan Iran dan
Hizbullah yang berbasis di Lebanon. Aliansi itu didukung “4+1” yakni Rusia,
Iran, Irak dan Suriah. “1” adalah Hizbullah (The Conversation, 2015).
Dari penjelasan diatas sekiranya jelas apabila hubungan Arab Saudi dan
Suriah sebelum konflik, berbanding terbalik ketika konflik mulai muncul. Konflik
yang terjadi pun dipengaruhi oleh banyak pihak dan aktor politik yang
menginginkan keuntungan di Suriah. Sehingga munculnya konflik saudara di
Suriah maka berhenti pula hubungan baik diantara Suriah dan Arab Saudi.
61
BAB IV
ANALISIS BANTUAN LUAR NEGERI ARAB SAUDI TERHADAP
KELOMPOK OPOSISI DI SURIAH 2012-2015
Bab ini menganalisa kebijakan luar negeri Arab Saudi terhadap sengketa konflik
Suriah. Secara spesifik, bagian pertama membahas kebijakan Arab Saudi terhadap
sengketa konflik Suriah yang pembahasannya meliputi; kelompok oposisi yang
beraliran Sunni di Suriah, kebijakan Arab Saudi terhadap kelompok oposisi di
Suriah dan dukungan Arab Saudi terhadap koalisi Amerika Serikat dan Barat di
Suriah. Bagian selanjutnya menganalisa bantuan luar negeri Arab Saudi terhadap
kelompok oposisi di Suriah yang beraliran Sunni 2012-2015. Adapun bantuan
tersebut meliputi bantuan kemanusian, bantuan ekonomi dan bantuan politik.
4.1. Kebijakan Arab Saudi terhadap Sengketa Konflik Suriah.
Bab sebelumnya telah menjelaskan beberapa kelompok yang mengatasnamakan
dirinya sebagai oposisi Suriah yang berlatar belakang Sunni, Syiah dan
independen atau tidak berpihak ke Sunni atau Syiah. Namun pada sub bab ini
akan berfokus kepada kelompok-kelompok oposisi yang beraliran Sunni, yang
muncul sebagai respon dari pecahnya konflik Suriah. Sebagian besar kelompok-
kelompok ini murni beranggotakan warga Suriah. Meskipun ada beberapa
kelompok seperti ISIS, yang sebagian anggotanya dari warga Suriah dan
sebagiannya lagi warga di luar Suriah. Orang-orang asing yang bergabung dengan
ISIS biasanya mereka yang krisis identitas (seperti mualaf) dan orang-orang yang
ingin mengambil jalan cepat menuju surga dengan melakukan jihad, sehingga
bergabung dengan ISIS (Public Broadcasting Service, 2014). Terbentuknya
62
kelompok opisisi ini, secara umum bertujuan untuk menjatuhkan rezim Assad
yang dianggap sudah tidak demokratis sebagai pemimpin negara.
Melihat kompleksitas konflik Suriah dan semakin banyaknya korban dari
masyarakat sipil yang tewas, membuat Arab Saudi sebagai salah satu negara yang
memiliki peran di Timur Tengah tidak tinggal diam. Arab Saudi justru mengecam
keras atas tindakan Assad yang sudah tidak bisa ditolerir, dalam melakukan
penyerangan terhadap masyarakat sipil. Oleh karena itu, Arab Saudi berupaya
melakukan beberapa tindakan seperti menolong korban-korban konflik Suriah,
serta melakukan pendekatan kepada kelompok-kelompok oposisi yang
menginginkan berhentinya kekerasan terhadap masyarakat sipil di Suriah. Adapun
beberapa kelompok yang berafiliasi dengan Arab Saudi dengan tujuan mengecam
rezim Assad, yaitu FSA dan IF.
Selain bergabung dengan kelompok oposisi di Suriah, Arab Saudi juga
turut mendukung koalisi Amerika dan Barat. Koalisi Amerika dan Barat terbentuk
guna memerangi keberadaan kelompok ISIS, yang selama ini cukup meresahkan
bagi Suriah dan negara-negara lain. Bagi Arab Saudi dukungan yang diberikan
terhadap koalisi ini, bertujuan agar negaranya terhindar dan bebas dari pengaruh
ISIS.
4.1.1. Kelompok Oposisi yang beraliran Sunni di Suriah
Semenjak terjadinya konflik, terdapat beberapa kelompok yang menjadi oposisi
Suriah. Sebagian besar merupakan mayoritas penganut Islam Sunni yang merasa
hak kekuasaannya telah direbut oleh Partai Ba‟ath, dengan mengubah struktur
kekuasaan tradisional dari kaum elite perkotaan Sunni yang sebelumnya telah
63
menguasai kehidupan politik, ekonomi, dan sosial hingga keseluruhannya jatuh ke
tangan Partai Ba‟ath (Trias Kuncahyono, 2012 : 71).
Selain itu Alawi memegang posisi dominan di layanan keamanan dan
militer, serta dalam gerakan Republican Guard and the 4th Armored Division
(Thomas Pierret, 2014: 01) Salah satunya beberapa wakil kepala staf dari tentara
Suriah dan mantan kepala intelijen militer seperti Assef Shawkat, merupakan
penganut alawi dari partai Ba‟ath (Al-Arabiya News, 2012). Hal ini mendorong
kelompok oposisi dari Suriah untuk menggulingkan kekuasaan Bashar al-Assad.
Terbentuknya kelompok-kelompok oposisi di Suriah pada dasarnya bukan
merupakan jalan keluar yang tepat bagi masyarakat Suriah. Meskipun beberapa
kelompok oposisi ini mengumumkan bahwa mereka merupakan penganut Islam
Sunni dengan membawa kedamaian. Hal ini justru membuat masyarakat Suriah
yang menganut Islam Sunni merasa tidak aman. Rasa tidak aman ini semakin
menguat ketika kelompok oposisi yang radikal mulai menduduki kota-kota di
Suriah, seperti kelompok ISIS ataupun Nusra Front. Kelompok-kelompok radikal
dan ektsrim seperti ISIS dan Nusra Front ini banyak melakukan upaya
ekstrimisme, dengan sebutan jihad. Kemunculan ISIS dan Nusra Front membuat
sebagian besar masyarakat yang terdiri dari penganut Kristen, Sunni, dan Alawi
meninggalkan lokasi yang dikuasai oleh mereka. Menariknya, mereka lebih
memilih mencari perlindungan ke lokasi yang dikuasai tentara Suriah.
Akan tetapi munculnya kelompok oposisi ini membuka peluang positif
bagi Suriah maupun di luar Suriah. Melihat sebagian dari anggota kelompok ini
merupakan warga negara di luar Suriah, hal ini memudahkan negara-negara lain
64
mendapatkan banyak informasi dan memudahkan para donatur untuk memberikan
bantuan-bantuan yang sangat dibutuhkan oleh para korban Suriah. Berikut
merupakan kelompok oposisi Suriah yang sebagian dari anggotanya merupakan
warga negara Suriah yang berlatar belakang Sunni:
1. Syrian National Council
Syrian National Council (SNC), didirikan sekitar enam hingga tujuh bulan setelah
pemberontakan melawan rezim Assad pada Maret 2011. Kelompok ini merupakan
kelompok oposisi terbesar dan paling signifikan. SNC berdiri dilatarbelakangi
oleh kelompok dan individu seperti Ikhwanul Muslimin, partai politik, kordinasi
komite lokal, dan beberapa tokoh independen. Namun pada November 2012 SNC
melakukan koalisi dengan bergabung National Coalition of Syrian Revolutionary
dan Opposition Forces (Carnegie, 2013). Adapun Ikhwanul Muslimin mulai
masuk ke Suriah setelah terjadinya perang dunia ke II. Ketika itu Ikhwanul
Muslimin merupakan bagian dari partai resmi di Suriah. Ikhwanul Muslim Mesir
dan Suriah pun sempat bekerjasama, untuk membentuk United Arab Republic
akan tetapi mengalami beberapa kendala (Wright Robin, 2008: 241).
Dewan Nasional Suriah membentuk front politik untuk mendukung hak-hak
rakyat Suriah. Tujuannya untuk mendukung revolusi dalam mencapai kebebasan
dan demokrasi untuk Suriah. Peran SNC saat ini adalah untuk menggulingkan
rezim dan pembentukan sistem demokrasi pluralis. Adapun upaya yang dilakukan
SNC selama ini untuk warga Suriah dalam menentang rezim Assad yaitu;
(National Coalition of Syrian, 2012)
65
Berusaha mengumpulkan dukungan, khususnya dukungan politik untuk revolusi
Suriah dimulai dengan Liga Arab dan kemudian meningkatkan dukungan dengan
menjangkau ke Uni Eropa, Amerika Serikat, PBB, dan negara-negara lain di
seluruh dunia. Dewan Nasional Suriah bertujuan untuk menciptakan hubungan
positif dengan Liga Arab dan PBB demi membangun kepercayaan politik di
Suriah yang baru, yang akan stabil dan aman dengan pemerintah sipil yang
terpilih secara demokratis
Selain mengatur struktur politik Suriah, SNC turun membuka beberapa biro
seperti; Administrasi dan Organisasi, Urusan Tenaga Asing, Ekonomi Keuangan
dan Hak Asasi Manusia, Hubungan Internasional, Hukum, Media dan Humas,
Militer, Kebijakan dan Perencanaan dan lain-lain (Carneige Endowment, 2013)
2. Free Syrian Army
Kelompok Free Syrian Army atau FSA merupakan kelompok oposisi terbesar
yang dibentuk pada akhir Juli 2011. Sebagian besar anggota FSA adalah
kumpulan dari pembelot tentara Suriah dan warga sipil lokal yang bertujuan untuk
menggulingkan rezim Assad. Anggota dari kelompok FSA pada 2013 telah
mencapai 50.000 lebih, melebihi kelompok oposisi manapun. Penempatan tentara
FSA pertama kali yaitu di daerah pegunungan dengan sistem gerilya dalam
menghadapi tentara Suriah. (Global Security, 2013). Sebagai oposisi yang
menentang rezim Bashar al-Assad, pasukan FSA ini melakukan banyak latihan
baik fisik maupun persenjataan
Diawal-awal tebentuknya FSA persenjataan mereka belum memadai,
mengingat sebagian besar anggotanya merupakan warga sipil lokal yang belum
66
memiliki kemampuan bertempur. Selain itu, selama konflik berlangsung
kebutuhan komoditas lainnya belum terpenuhi untuk memenuhi kehidupan selama
konflik berlangsung. Hal ini yang mengundang rasa simpati para negara-negara di
dunia khususnya sejumlah negara tetangga Suriah untuk membantu korban
konflik Suriah dan tentara FSA.
3. Islamic Front
Islamic Front (IF) merupakan gabungan dari tujuh kelompok oposisi9. IF juga
merupakan perpaduan dari kelompok Salafist jihadist Islamist10
yang secara
terbuka menyerukan pemerintahan Suriah menjadi negara Islam Syari‟ah, bukan
demokrasi sekuler. Namun demikian IF bukanlah kelompok ekstrimis, justru IF
adalah kelompok moderat (Al-Monitor, 2013). Tergabungnya IF dengan Salafist
jihadist Islamist, bertujuan untuk bekerjasama meruntuhkan rezim Assad di
Suriah. Hal ini menunjukan bahwa perpaduan IF dengan Salafist Jihadist Islamist
hanya dalam persamaan tujuan dan tidak mempengaruhi IF untuk menjadi
kelompok oposisi yang radikal.
Terbentuknya IF berbeda dengan ideologi oposisi lainnya seperti ISIS dan
Nusra Front yang merupakan kelompok oposisi yang bersifat ekstrim dan radikal,
dengan melakukan penyerangan melalui bom bunuh diri. Dan juga berbeda
dengan kelompok FSA yang memiliki orientasi ideologi ke Barat. Selain itu pula
kelompok IF ini dibentuk dengan tujuan memberikan pendidikan terutama dalam
9 7 kelompok yang tergabung dengan IF yaitu, Ahrar al-Sham, Jaysh al-Islam, Suqour al-Sham,
Liwa al-Tawhid, Liwa al-Haqq, Ansar al-Sham dan the Kurdish Islamic Front 10
Kelompok yang memiliki ideologi agama-politik antar bangsa yang berdasarkan pada keyakinan
jihadisme. Kelompok ini juga dapat dikatan sebagai kelompok yang radikal dan bahkan sebagian
orang menyebutnya sebagai kelompok teroris (Jones, 2014: 2). kelompok ini turut melakukan
pemberontakan terhadap pemerintahan Mesir pada tahun1992-1998 (Jamestown Foundation,
2012)
67
hal keagamaan terhadap anak-anak kecil yang membutuhkan pendidikan dan
memberikan pelatihan militer kepada orang dewasa.
4. Nusra Front
Kelompok milisi Suriah, Jabhat Al-Nusra atau yang juga dikenal dengan Front Al-
Nusra atau Nusra Front, mengumumkan berpisah dari Al-Qaeda. Pengumuman itu
disuarakan pemimpin Al-Nusra, Abu Mohammed al-Julani. Dalam rekaman video
yang beredar, dia juga mengutarakan perubahan nama Jabhat Al-Nusra menjadi
Jabhat Fateh Al-Sham atau Front Penaklukan Suriah. Langkah itu, menurutnya,
diperlukan untuk mengubah dalih yang digunakan Amerika Serikat dan Rusia
selama ini untuk mengebom warga muslim Suriah. Meski demikian, Departemen
Luar Negeri Amerika Serikat bersih keras bahwa kelompok tersebut tetap
merupakan organisasi teroris. Transformasi Jabhat Al-Nusra menjadi Jabhat Fateh
Al-Sham, tambah Deplu AS, hanya pengubahan nama belaka (British
Broadcasting Corporation, 2013)
Meskipun pada mulanya Nusra Front merupakan bagian dari Al-Qaeda
namun kelompok ini memutuskan untuk berpisah dari Al-Qaeda. Tujuan dari
keluarnya Nusra Front terhadap Al Qaeda yaitu ingin membentuk suatu gerakan
baru di Suriah. Dan ingin menghilangkan nama buruk organisasinya terhadap
Amerika dan Suriah, karena selama ini disebut sebagai organisasi teroris. Namun
penggantian nama hingga keluar dari Al-Qaeda pun, kelompok ini tetap
berpotensi radikal dan berbahaya.
Adapun beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Nusra Front dalam
menggulingkan rezim Assad; (Standford, 2016)
68
23 Desember 2011, dua pemboman bunuh diri menyerang fasilitas Intelijen
Militer di kota damaskus, ini merupakan serangan resmi pertama dari Nusra
Front.
6 Januari 2012, seorang pembom dari anggota Nusra Front melakukan bom bunuh
diri dan meledakannya di bus yang membawa polisi anti huru hara untuk ke
kelompok anti-pemerintah di Damaskus ( 26 tewas dan 63 luka-luka)
17 Maret 2012, pemboman bunuh diri di kantor gubernur Damaskus.
3 Oktober 2012, anggota Nusra Front meledakan bom bunuh diri sebanyak tiga
kali di Aleppo dengan menargetkan pasukan pemerintah.
5 November 2012, Nusra Front meledakan bom bunuh di Hama
24 Januari 2013, Nusra Front meledakan kembali bom bunuh diri dengan target
markas Intelijen Militer Suriah di Damaskus
10 Februari 2013, Nusra Front bekerjasama dengan pasukan oposisi yang lain
dengan mengambil alih perkemahan tentara pemerintah di Tabqa, dengan
mengamankan sejumlah amunisi.
5. The Islamic State
ISIS atau Islamic State memproklamirkan diri bahwa mereka merupakan gerakan
militan Sunni yang sebelumnya telah menaklukkan wilayah di Irak barat, Suriah
timur, dan Libya, yang bertujuan membangun kekhalifahan atas nama Muslim di
dunia (Council Foreign Relation, 2016). Kelompok ini memiliki asal-usul yang
diawali pada tahun 2000-an, ketika Abu Musab al-Zarqawi mulai melatih pasukan
ekstimis. Pasukan al-Zarqawi menjadi peserta utama dalam pemberontakan Irak
selama diduduki oleh Amerika, di bawah kepemimpinan kelompok Jamaat al
69
Tawhid Wa‟al –Jihad yang kemudian melakukan sumpah setia terhadap
kelompok Al-Qaeda dan menjadi bagian dari Al- Qaeda di Irak. ISIS telah ikut
campur tangan ke konflik Suriah dimulai pada 2011 namun tidak menghasilkan
capaian signifikan. Kelompok ini justru mendapatkan serangan dari Amerika dan
masyarakat Suriah. Pada tahun 2013 dan 2014, ISIS mulai mengalami pergerakan
yang cepat dengan mengambil alih wilayah Suriah (Standford, 2016).
Selain itu kelompok ini juga banyak menjadi perbincangan media
Internasional atas kasus pemenggalan terhadap warga Asing. Dalam pertempuran
di Suriah, ISIS tidak hanya melakukan penyerangan terhadap pemerintahan
Suriah, akan tetapi beberapa kelompok oposisi Suriah juga menjadi target
kelompok ini. Adapun upaya yang dilakukan Islamic State yaitu pada 14
September 2013, ISIS menguasai pangkalan pertahanan udara di Hama, Suriah
dan Juli 2014 ISIS mengambil kendali dan menguasai daerah Raqqa, Suriah.
(Standford, 2016)
Kelompok-kelompok oposisi di Suriah ini bergabung didalam naungan
High Negotiations committee (HNC) kecuali ISIS dan Nusra Front. HNC
didukung oleh Arab Saudi dan dibentuk sebagai wadah untuk melakukan dialog
dengan perwakilan Bashar Al-Assad secara terbuka. Pertemuan ini
diselenggarakan di Jenewa dihadiri oleh negara-negara yang memiliki
kepentingan di Suriah, yaitu Arab Saudi, Amerika, Qatar, Turki, Rusia (Aron
Lund, 2015) dan PBB selaku mediator dalam pertemuan tersebut guna mencapai
transisi politik, termasuk pemilihan presiden dan parlemen pada september 2017
mendatang. Menurut juru bicara HNC, Salem Al-Meslet, kelompok oposisi akan
70
tetap berkomitmen penuh untuk proses politik dan membangun perdamaian
melalui diplomasi. Sementara dari pihak pemerintahan Assad mengusulkan
“broad-based-government” (Deutsche Welle, 2016).
4.1.2. Kebijakan Arab Saudi Terhadap Kelompok Oposisi yang Beraliran
Sunni di Suriah.
Setelah disebutkan beberapa kelompok oposisi Suriah di bahasan sebelumnya,
kita melihat hanya ada beberapa kelompok saja yang berafiliasi dengan Arab
Saudi untuk melawan rezim Assad. Dalam hal ini Arab Saudi melakukan
beberapa pendekatan-pendekatan kepada kelompok oposisi yang beraliran Sunni
di Suriah. Bagi Arab Saudi, kelompok-kelompok ini cukup berpengaruh
keberadaannya dalam konflik Suriah. Selain memiliki persamaan ideologi, Arab
Saudi juga mendapatkan desakan dari negara lain untuk terjun langsung berafiliasi
dengan kelompok oposisi ini. Berikut merupakan kelompok yang berafiliasi
dengan Arab Saudi;
1. Free Syrian Army
Berdasarkan paparan yang sudah dijelaskan sebelumnya, Free Syrian Army (FSA)
merupakan kelompok oposisi paling strategis dalam menggulingkan rezim Bashar
Al-Assad. Kelompok ini hadir dan terbentuk oleh para militer Bashar Al-Assad
yang menolak untuk menyerang para demostran saat itu. FSA sebagai salah satu
kelompok oposisi yang mendapatkan banyak dukungan dari beberapa negara di
Timur Tengah.
Dalam proses penyerangan melawan Assad, FSA banyak menerima
bantuan persenjataan dari negara-negara Teluk salah satunya yaitu Arab Saudi.
71
Meskipun pemerintahan Arab Saudi menolak dalam membantu persenjataan
kepada oposisi Suriah, akan tetapi kegiatan bantuan ini mulai terlacak dalam
beberapa pemberitaan. Pada Mei 2012 Arab Saudi memasok senjata ke FSA
melalui wilayah selatan Turki. Menyusul di bulan berikutnya, pada Juni 2012
Arab Saudi mengirim senjata-senjata ringan ke oposisi Suriah. Dan terakhir
ditemukannya senjata Arab Saudi di basis kelompok oposisi Syria di Allepo,
senjata ini berasal dari Ukraina dengan tujuan Arab Saudi, akan tetapi senjata ini
justru berada di basis oposisi Suriah (Fadhly Ikhsan, 2016: hal 9-10).
Tidak hanya bantuan persenjataan, akan tetapi Arab Saudi turut andil
dalam masalah keuangan di FSA. Arab Saudi turut membantu kelompok oposisi
FSA dari segi keuangan, dengan menggaji para anggota FSA guna mendorong
dan menyerang pasukan Bashar Al-Assad. Pembayaran gaji ini pun dibayar
dengan menggunakan Dollar atau Euro melihat mata uang Suriah mulai turun
secara signifikan sejak konflik terjadi ( Al-Arabiya News, 2012).
Bantuan-bantuan yang diberikan oleh Arab Saudi sekiranya sangat
berguna bagi anggota FSA dalam menggulingkan rezim Assad. Adapun bantuan
yang diberikan Arab Saudi kepada FSA bukan saja pemberi bantuan secara
prosedural saja, melainkan Arab Saudi mencoba memberikan porsi lebih dalam
mendukung FSA. Seperti halnya yang telah disebutkan sbelumnya, yaitu
pemberian senjata dan pemberian gaji kepada para anggota FSA. Karena
pemberian senjata sangat dibutuhkan oleh para anggota FSA, melihat anggota
FSA semakin bertambah jumlahnya (Deutsche Welle, 2015). Serta pemberian gaji
ini pun dimaksud untuk kesejahteraan anggota FSA yang memiliki keluarga atau
72
untuk biaya hidupnya masing-masing. Secara ideologi juga bantuan-bantuan yang
diberikan Arab Saudi ini, dapat membuat keterikatan dan kedekatan antara Arab
Saudi dengan FSA.
Adapun alasan Arab Saudi membantu FSA secara intens, dibagi menjadi
dua pengaruh, antara lain; pengaruh internal dimana sebagian besar dari anggota
FSA merupakan penganut Islam Sunni Arab (Aron Lund, 2012: 15), selain itu
adanya dukungan dari Ulema Committee to Aid Syria ke FSA dengan
mengumpulkan dana dari beberapa ulama Saudi melalui jalur resmi pemerintahan
(Aron Lund, 2012: 19). Sedangkan secara eksternal, disebabkan adanya tekanan
atau campur tangan dari Amerika yang meminta Arab Saudi merubah kebijakan
luar negerinya terhadap suriah. Sehingga hal ini membuat Arab saudi merevisi
arah kebijakannya terhadap konflik Suriah, dengan bergabung bersama Qatar,
Turki dan Amerika untuk membantu kebutuhan persenjataan pihak oposisi Suriah.
Kerjasama ini terberntuk untuk membantu FSA dalam menggulingkan rezim
Assad di Suriah (Lina Khatib, 2014: 14)
Namun bantuan dan kontribusi Arab Saudi terhadap FSA tidak berjalan
lancar sesuai dengan keinginannya. Keberadaan kekuatan lain seperti Qatar
menimbulkan perbedaan pemikiran dan pendapat. Masalah ini dimulai ketika
Arab Saudi dan Qatar sebagai pensuplai senjata bagi pemberontak FSA memiliki
kebijakan yang berbeda terkait pensuplaian senjata kepada FSA. Qatar
menghendaki untuk mensuplai senjata kepada semua pihak dalam wilayah dewan
militer di bawah naungan FSA. Tetapi, Arab Saudi justru hanya menghendaki
73
mensuplai kepada beberapa grup tertentu yang ada di dalam wilayah dewan
militer tersebut dan tidak kepada pihak lainnya (Claude Moniquet, 2013: 11-12)
Selain perbedaan pendapat antara Arab Saudi dengan Qatar, dalam tubuh
FSA sendiri terdapat gejolak yang terjadi. Gejolak ini muncul akibat banyak
kepentingan aktor yang berkontribusi terhadap internal FSA. Sehingga sebagian
dari anggota kelompok oposisi FSA lebih memilih untuk keluar dari FSA. Mereka
keluar dari FSA dan membentuk kelompok baru, yang bernama Syria
Liberalitation Front (SFL), mereka berupaya apabila kelompok ini dapat
menandingi FSA sebagai kelompok oposisi di Suriah (Aron Lund, 2013:11).
Banyaknya aktor yang tergabung di FSA, memungkinkan Arab Saudi
kesulitan dalam mengeluarkan kebijakannya terhadap kelompok oposisi FSA ini.
Sebab dengan banyaknya aktor ini setiap kebijakan yang akan dikeluarkan akan
terhalang oleh kepentingan-kepentingan aktor lain, seperti kepentingan Qatar,
Turki dan Amerika. Masing-masing aktor memiliki kepentingan yang berbeda
dalam membantu kelompok FSA. Selain itu pula gejolak yang terjadi dalam
internal FSA, yaitu keluarnya anggota kelompok mereka dan membuat kelompok
tandingan. Dua faktor tersebut sekiranya cukup kuat untuk Arab Saudi
mengeluarkan kebijakannya, dengan berpindah haluan dari kelompok FSA ke
kelompok lain.
Tentu kelompok oposisi manapun yang bergabung dan berafiliasi dengan
Arab Saudi akan mendapatkan banyak bantuan, baik bantuan persenjataan
maupun keuangan. Keluarnya Arab Saudi terhadap FSA tidak ada pengaruh yang
signifikan terhadap kelompok oposisi FSA sendiri. Melihat FSA masih berafiliasi
74
kepada beberapa negara sebelumnya yang membantu menyuplai senjata seperti
Amerika, Qatar dan Turki. Meskipun tak lagi berkontribusi kepada FSA, Arab
Saudi justru membentuk kelompok oposisi yang tergabung oleh beberapa
kelompok oposisi. Kelompok oposisi ini disebut sebagai Islamic Front (IF).
2. Islamic Front
Di pembahasan sebelumnya telah di bahas awal mula pembentukan IF (Islamic
Front). Kelompok ini terbentuk pada 2013 yang tergabung oleh 7 kelompok
oposisi Suriah di Suriah yang bersatu dan membuat satu kelompok. Terbentuk
kelompok ini dilatarbelakangi oleh Arab Saudi sebagai aktor utama. Adapun
peran utama Arab Saudi dalam IF yaitu sebagai pendukung dan penyalur dana,
dengan memiliki persamaan tujuan utama yaitu, membatasi pengaruh Iran di
Timur Tengah. Meskipun pada dasaranya mereka memiliki satu tujuan yang sama,
yaitu ingin membentuk pemerintahan Suriah sebagai negara yang berdasarkan
Syariah (Al-Monitor, 2013).
Hubungan IF dengan Arab Saudi tidak luput dari ikut campur pihak
kerjaan Arab Saudi dan Wahabi. Hubungan antara IF dengan wahabi atau salafi
radikal di Arab Saudi dilihat dari adanya tumpang tindih kepentingan kelompok.
Yakni Ahrar Al-Sham sebagai salah satu bagian dari kelompok IF, merupakan
afiliasi dari kelompok Al-Qaeda (ISIS dan AL-Nusra) (The Daily Beast, 2012).
Antara Wahabi dan Al-Qaeda memiliki persamaan ideologi, yaitu ideologi salafi
ektrimis. Ideologi ini menolak demokrasi dan sekulerisme dengan tujuan ingin
membangun negara yang berlandaskan hukum syari‟ah. Persamaan ideologi ini
75
lah yang menjadi acuan bagi Arab Saudi khususnya kelompok wahabi, untuk ikut
campur dalam konflik Suriah melalui kelompok IF.
Meskipun IF dengan Salafi Jihadis memiliki tujuan yang sama, namun ada
beberapa ideologi mereka yang berbeda. Salah satunya dimana Salafis Jihadis
membenarkan segala tindakan anggotanya dengan kekerasan dan terorisme demi
tercapainya tujuan politiknya (Bruce Livesey, 2005), sedangkan IF lebih moderate
yaitu, menginginkan agar kelompoknya terhindar dari kejahatan perang dan hal-
hal yang berkaitan dengan terorisme, seperti pola pikir yang dibenarkan oleh
Salafis Jihadis (Al-Monitor, 2013)
Hal lain yang membuat IF dikatakan moderate, dikarenakan IF didukung
oleh pihak kerajaan Arab Saudi, yang secara efektif mengecualikan IF dari label
terorisme (Al-Monitor, 2014). IF juga memposisikan dirinya ditengah-tengah
kelompok moderat dan radikal. Sehingga IF dapat disebut juga sebagai “Swing
Voter” yang mampu mempengaruhi kelompok-kelompok oposisi seperti FSA dan
Nusra Front (Carniege, 2014).
Pada dasarnya terbentuknya kelompok IF memudahkan Arab Saudi untuk
mengatur strategi dan mengeluarkan kebijakannya terhadap konflik Suriah. Serta
memudahkan Arab Saudi dalam melancarkan kepentingannya tanpa harus
berkompromi dengan aktor lain. Sebab Arab Saudi merupakan aktor utama yang
berkontribusi kepada kelompok oposisi IF, sehingga tidak adanya tumpang tindih
kepentingan. Berbeda ketika bergabung bersama kelompok oposisi FSA, yang
berafiliasi dengan banyak aktor, maka banyak pula lah kepentingan terhadap FSA.
76
Kebutuhan dari kelompok oposisi IF ini juga mendapatkan bantuan Arab Saudi,
baik bantuan militer maupun kemanusiaan.
Pada penjelasan diatas maka sekiranya jelas apabila sebelum Arab Saudi
berafiliasi dengan IF, terlebih dahulu berafiliasi dengan FSA. Namun dengan
beberapa alasan Arab Saudi merasa sudah tidak cocok lagi berada di FSA,
sehingga memutuskan untuk bergabung dengan IF pada akhir 2013. Kedekatan
antara Arab Saudi dengan IF pun berlagsung hingga saat ini.
4.1.3. Dukungan Arab Saudi Terhadap Koalisi Amerika Serikat dan Barat di
Suriah
Situasi dan kondisi Suriah semakin kompleks akibat konflik yang terus menerus
berlangsung, ditambah dengan kehadiran kelompok oposisi radikal yaitu ISIS.
Kehadiran ISIS di Suriah mendapatkan kecaman oleh dunia internasional. Melihat
upaya-upaya yang telah dilakukan ISIS cukup ekstrim seperti halnya melakukan
bom bunuh diri atau menculik warga sipil. Hal ini yang membuat pihak Amerika
Serikat dan barat melakukan berbagai cara guna menghentikan tindak dan tanduk
ISIS di Suriah. Salah satu dari upaya Amerika dalam menghentikan dan
membubarkan kelompok tersebut yaitu dengan membuat suatu koalisi.
Adapun diakhir tahun 2014 pada acara puncak NATO, Amerika hadir dan
sekaligus mengumpulkan 10 negara yang mau bergabung melawan ISIS. Pada
saat pertemuan berlangsung, Amerika meresmikan pembentukan koalisi barat
tersebut. Dihadirkan oleh 10 negara Inggris, Prancis, Australia, Jerman, Kanada,
Turki, Italia, Polandia, Denmark dan termasuk Amerika. Terbentuknya koalisi ini
bertujuan untuk melawan dan menghentikan kelompok oposisi Suriah yang telah
77
mengambil wilayah Suriah. Amerika meminta dukungan kepada perwakilan
negara yang hadir, untuk memberikan bantuan baik berupa militer (senjata atau
tentara) maupun keuangan (Time, 2014).
Koalisi yang telah dibentuk oleh Amerika dan Barat ini sebagai respon
dari tingkah laku ISIS yang selama ini tidak saja mengganggu kestabilan dan
meresahkan pergerakan oposisi Suriah saja, melainkan dunia internasional.
Berbagai ancaman yang dibuat oleh oposisi Suriah ini membuat negara-negara
tetangga maupun barat khawatir akan kehadiran kelompok ISIS ke negaranya.
Tidak hanya ancaman namun kelompok Islam militan ini telah beberapa kali
melakukan eksekusi terhadap warga sipil Suriah maupun orang asing, dan yang
sedang ramai dibicarakan tempo lalu yaitu, penculikan wartawan Amerika yang
menjadi korban dalam eksekusi maut tersebut.
Kehadiran koalisi Amerika dan barat ini mendapatkan respon yang sangat
baik oleh negara-negara lain termasuk Arab Saudi. Kurang lebih 62 negara ikut
serta dalam mendukung koalisi Amerika dan barat ini (Kathleen J Mclnnis, 2016).
Arab Saudi selama ini ikut andil dalam konflik Suriah melalui kelompok oposisi
Assad dengan mempersenjatai mereka dan memberikan bantuan kemanusiaan.
Namun kemunculan koalisi Amerika dan barat ini membuat Arab Saudi tertarik
untuk ikut mendukung dengan mendatangi pertemuan Global Coalition to Counter
the Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) di Brussels, Belgium (US
Departement of State, 2014).
Adapun alasan Arab Saudi mendukung koalisi Amerika, dilatarbelakangi
oleh agresi militer Amerika ke beberapa negara di Timur Tengah, seperti yang
78
terjadi pada negara Afghanistan dan Irak (Barbara S. Torreon, 2016 : 7-8). Sebab
dengan menyebarnya pengaruh ISIS, maka dapat mengancam keamanan Arab
Saudi dan pemerintahannya mengalami ketidakstabilan. Kemungkinan terbesar
yaitu, Arab Saudi menjadi target selanjutnya bagi koalisi Amerika dengan
melakukan penyerangan ke negaranya. Hal ini lah yang membuat Arab Saudi
merasa tidak aman, apabila nantinya menjadi giliran dari aksi agresi militer
Amerika
Sementara itu, terkait hubungan antara ISIS dan AL-Qaeda dengan
kelompok Wahabi di Arab Saudi, keduanya memiliki koneksi yang baik. Hal ini
jelas karena adanya hubungan timbal balik antara ISIS dengan Salafi radikal atau
Wahabi di Arab Saudi (Geopolitical Monitor, 2016). Selain itu adanya persamaan
ideologi, antara ISIS dan Al-Qaeda dengan kelompok Wahabi yang berada di
Arab Saudi. Persamaan ideologi ini disebut dengan Salafi yaitu pemurnian agama
Islam Sunni atau mengembalikan tradisi teologis pramodern. Pemahaman tentang
Salafi ini secara signifikan berasal dari kelompok Wahabi (Cole Bunzel, 2015: 8).
Mereka juga menyebarkan pengaruh pemikirannya dengan sebutan Jihad. Sebutan
Jihad ini pula yang menjadi pola pikir utama sebagian kelompok di Arab Saudi
termasuk anggota kelompok Wahabi, mereka berbondong-bondong keluar dari
Arab Saudi, untuk bergabung dengan Al-Qaeda/ISIS (The Daily Beast, 2012).
Meskipun kelompok Wahabi di Arab Saudi mendukung gerakan ISIS dan
Al- Qaeda, namun pemerintahan Arab Saudi justru mengecam siapapun yang
berkaitan dengan ISIS. Sebab hal ini membuat Arab Saudi merasa terancam akan
negaranya sehingga ikut mendukung koalisi Amerika. Oleh karena itu, dengan
79
memberikan dukungan kepada Amerika dalam penyerangan kelompok teroris
seperti ISIS, ada kemungkinan posisi ISIS tidak akan bertahan lama di dunia
internasional. Dengan berakhirnya ideologi ISIS di berbagai negara termasuk
Arab Saudi, maka berakhir pula hubungan kelompok Wahabi di Arab Saudi
dengan ISIS.
4.1. Bantuan Luar Negeri Arab Saudi Terhadap Kelompok Oposisi di Suriah
yang Beraliran Sunni 2012-2015
Pada sub bab ini menjelaskan tentang bantuan luar negeri Arab Saudi ke Suriah
pada konflik Suriah. Akan tetapi konflik yang sudah berlangsung selama 5 tahun,
dimulai pada tahun 2011 sampai tahun 2017 saat ini belum juga usai. Karena itu,
skripsi ini membatasi analisa dari tahun 2011 hingga 2016 saja. Bantuan yang
diberikan Arab Saudi kepada Suriah pun bermacam-macam dimulai dengan
bantuan pesenjataan hingga bantuan dana kemanusian. Hal ini menunjukan pihak
Arab Saudi yang tidak bersahabat dengan pemerintahan Suriah karena bantuan-
bantuan yang diberikan ditujukan kepada pihak oposisi.
4.2.1. Bantuan Kemanusian
Arab Saudi merupakan negara dengan jumlah pendapatan ekonomi yang cukup
tinggi, dari penghasilan minyak yang diproduksinya dengan diekspor hampir
keseluruh belahan dunia. Hal ini yang membuat Arab Saudi merupakan salah satu
negara maju dan sebagai negara pendonor. Cukup banyak bantuan-bantuan yang
diberikan Arab Saudi, beberapa negara yang telah diberikan bantuan diantaranya;
pada tahun 2007 Arab Saudi memberikan bantuan kepada korban Topan Sidr di
80
Bangladesh sebesar $158.000.000, menyusul 2010 gempa di Haiti sebesar
$50.000.000 (Khalid al-Yahya dan Nathalie Fustier, 2011: 4) dan saat ini Arab
Saudi mencoba membantu Suriah yang mengalami konflik antar saudara di
negaranya. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh Arab Saudi terhadap negara
yang membutuhkan bantuannya pun tidak tanggung-tanggung sejumlah jutaan
Dollar.
Pada pembahasan ini difokuskan pada bantuan kemanusian Arab Saudi ke
Suriah. Bantuan yang telah diberikan oleh Arab Saudi sangat banyak terutama
untuk para korban dan pihak oposisi pemerintahan Suriah. Bantuan luar negeri
Arab Saudi kepeada Suriah telah berlangsung sejak pertama kali konflik mulai
terdengar atau ramai dibicarakan di dunia Internasional. Hingga detik inipun Arab
Saudi masih melancarkan dan mengalirkan bantuan demi alasan kemanusiaan di
Suriah.
TABEL IV. 5. Bantuan Kemanusian Arab Saudi kepada Warga Suriah 2011-
2016
No Negara Bentuk Bantuan Tahun Jumlah
1. Arab Saudi Menerima pengungsi dari
Suriah
2011-
2015
2,5 juta warga
Suriah
2. Arab Saudi Menerima dan membuka
sekolah umum untuk siswa
Suriah di Arab Saudi
2012 100.000 Siswa
Suriah
3. Arab Saudi Perbaikan Rumah di
Damaskus
2015 4650 Rumah
4. Arab Saudi Bantuan untuk pengunsi 2015 23.250 Orang
81
Suriah di Arab Saudi
5. Arab Saudi Pembentukan kampanye
untuk membantu Suriah
2016 $. 27 Juta
6. Arab Saudi - Obat – obatan
- Perlengkapan sekolah dan
rumah tangga
- Klinik
- Makanan
- Dan lain – lain
2011-
2016
$ 700 Juta
Sumber : Disarikan dari data Royal Embassy of Saudi Arabia (Washington
D.C) tersedia di https://www.saudiembassy.net/saudi-arabia-received-25-million-
syrians-beginning-conflict
Selain para korban yang mendapatkan berupa bantuan dana oleh Arab
Saudi, para pejuang FSA (oposisi Suriah) turut menerima pembayaran gaji
(periode 2011-2013) dalam mata uang dollar atau euro. Gaji tentara pemberontak
lebih tinggi dari gaji rata-rata pegawai pemerintah. Dengan pembayaran itu, Arab
Saudi berharap akan lebih banyak pegawai negeri Suriah yang beralih mendukung
kelompok pemberontak (Deutsche Welle, 2015).
Tidak hanya dari kalangan pemerintahan Arab Saudi yang turut membantu
Suriah tetapi dari pihak organisasi pun ikut berkecimpung dalam membantu
korban Suriah. Salah satunya organisasi khusus yang dibuat untuk fokus
membantu korban di Suriah yaitu Saudi National Campaign to Support Brothers
in Syria. Mereka telah mengirimkan secara bersama-sama untuk membantu 28
warga sipil yang mengungsi di Suriah selatan. Menurut direktur regional Saudi
82
National Campaign to Support Brothers di Suriah, Dr. Badr Al-Samhan
mengatakan bahwa konvoi bantuan terdiri dari 10 truk yang berisi 41,6 ton
pasokan bantuan senilai $512.000. Konvoi bantuan diharapkan dapat memasuki
Suriah di perbatasan Yordania di bawah lindungan U.N. Security Council
Resolution 2191 (Royal Embassy of Saudi Arabia (Washington D.C), 2015).
4.2.2. Bantuan Militer
Selain bantuan kemanusian, Arab Saudi juga turut membantu oposisi Suriah
dalam segi militer. Adanya bantuan militer ini sangat membantu pihak oposisi,
yang sebelumnya mereka hanya mengandalkan beberapa persenjataan dan kualitas
maupun kuantitasnya pun tidak sebanding dengan yang dimiliki pihak militer
Assad. Hal itu membuat Arab Saudi membeli beberapa persenjataan dari negara-
negara yang memproduksi persenjataan. Perlu diketahui apabila Arab Saudi
bukanlah negara yang dapat memproduksi senjata. Oleh sebab itu Arab Saudi
memilih untuk bekerjasama dengan beberapa negara tetangganya yang memiliki
taraf perekonomiannya tinggi untuk membeli pesenjataan yang kemudian dikirim
kepada pihak oposisi Suriah.
Sebagai negara dengan tingkat ekonomi yang maju, Arab Saudi adalah
salah satu pendukung terpenting bagi kelompok oposisi di Suriah. Arab Saudi
mengirimkan bantuan senjata dan alat-alat berat untuk kelompok oposisi. Kiriman
kendaraan lapis baja dan senapan mesin secara resmi diterima oleh kelompok
pemberontak Free Syrian Army, FSA (Deutsche Welle, 2015). Selain sebagai
pendukung, Arab Saudi juga merupakan penyedia utama bantuan keuangan
militer dan beberapa kelompok pemberontak Suriah seperti IF
83
TABEL IV. 6. Bantuan Militer Arab Saudi ke Oposisi Suriah
No NEGARA BENTUK BANTUAN TAHUN JUMLAH
1. 1. Arab Saudi
(Termasuk
Qatar)
Granat
Senjata Kecil
Senjata Ringan
Roket
Senapan AK-47
2012
3500 Ton atau
160 Unit
Pesawat Kargo
2. 2. Arab Saudi
(Termasuk
Jordan)
Peralatan Senjata dan
Amunisi
2013
3000 Ton atau
75 Unit Pesawat
Kargo
Sumber: Disarikan dari data Melanie De Groof 2013. “Arms Transfers to
the Syrian Arab Republic: Pratice and Legality”. Les Rapports Du Grip: no: 9.
Bantuan militer Arab Saudi tidak berhenti begitu saja, kerajaan Arab Saudi
beserta negara-negara yang berada di Teluk Arab telah meningkatkan pasokan
senjata mereka untuk kelompok pemberontak Suriah. Hal ini menanggapi
bertambahnya dukungan kepada pemerintahan Suriah, yaitu Rusia sebagai salah
satu negara pendukung rezim Assad (Aljazeera. 2015). Meskipun Arab Saudi
telah berusaha menyediakan senjata kepada berbagai faksi di oposisi Suriah.
Namun, Arab Saudi bukan satu-satunya negara Teluk yang telah mempersenjatai
pasukan pemberontak (Simon Mabon, 2013)
4.2.3. Bantuan Politik
Konflik Suriah hingga saat ini masih belum dapat terselesaikan, bahkan korban
sipil semakin banyak berjatuhan. Konflik ini pun menimbulkan warga pengungsi
84
yang akhirnya meminta suaka kepada negara-negara tetangga terutama Arab
Saudi. Arab Saudi selama ini telah membantu para korban perang saudara di
Suriah. Bantuan yang diberikan pun bermacam-macam mulai dari tempat tinggal,
keuangan, makanan hingga bantuan amunisi kepada pihak oposisi Suriah.
Tak hanya bantuan materi akan tetapi dalam bentuk bantuan politik, Arab
Saudi juga turut andil. Arab Saudi ikut serta dalam membicarakan perdamaian
perang saudara di Suriah dengan anggota PBB yang akan dilaksanakan di Jenewa,
untuk menghentikan konflik dan sebagai usaha untuk membuat transisi
pemerintahan di Suriah (Voxmuda, 2015). Arab Saudi untuk pertama kalinya
melakukan pertemuan yang disebut Group of Friends of the Syrian People (“the
Friends‟ Group”), yang diadakan di Tunis pada tanggal 24 Februari 2012.
Pertemuan ini diikuti oleh lebih dari 60 negara dan perwakilan dari PBB, League
of Arab States, European Union, Organisation of Islamic Cooperation, Arab
Maghreb Union dan Cooperation Council for the Arab Gulf States yang bertujuan
untuk membahas situasi yang memburuk di Suriah (Carnegie Endowment, 2012).
Selain ikut serta dalam pertemuan damai untuk Suriah, Arab Saudi pun
memberikan kontribusinya kepada media dalam negeri maupun internasional
terhadap situasi dan kondisi di Suriah. Arab Saudi mencoba meberikan informasi-
informasi tentang kebenaran dilapangan yang terjadi di Suriah dan memantau
setiap kejadian-kejadian yang berlangsung di negara tersebut (Carnegie
Endowment, 2013). Menteri Luar negeri Arab Saudi Al-Jubair dalam
wawancaranya dengan der Spiegel menjelaskan tentang upaya Arab Saudi dalam
mempersenjatai Suriah, adapun kutipannya yaitu; (Tyler Rogoway, 2016)
85
[Kami percaya bahwa rudal di permukaan udara Suriah akan mengubah keseimbangan
kekuasaan di tanah Suriah. Hal ini akan memungkinkan kelompok oposisi moderat, dapat
menetralisir helikopter dan pesawat, yang akan menjatuhkan bahan kimia dan bom,
seperti rudal di permukaan udara Afghanistan, yang mampu mengubah keseimbangan
kekuasaan di sana. Sehingga ini harus dipelajari dengan sangat hati-hati, karena
tentunya kami tidak ingin senjata tersebut jatuh ke tangan yang salah.]
Dengan demikian, skripsi ini menilai bahwa banyak aktor yang
memainkan perannya masing-masing untuk menjatuhkan rezim Assad, salah
satunya Arab Saudi. Banyak upaya yang Arab Saudi jalankan dalam perannya di
konflik Suriah, mulai dengan bergabung dan melakukan pendekatan ke beberapa
kelompok oposisi Suriah seperti FSA dan IF, mendukung koalisi Amerika dengan
tujuan memberantas keberadaan ISIS, hingga memberikan beberapa bantuan
terhadap korban Suriah, baik bantuan militer, bantuan politik dan bantuan
kemanusian.
86
Bab V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis penelitian “Upaya Arab Saudi dalam Memberikan
Bantuan Luar Negeri Kepada Kelompok Sunni Di Suriah pada Konflik Suriah
2012-2015”, skripsi ini mengambil kesimpulan bahwa upaya Arab Saudi memiliki
tiga kebijakan terkait bantuan luar negeri di konflik Suriah. Adapun poin-poin
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Upaya Arab Saudi terhadap kelompok oposisi Sunni di Suriah
Dalam pemaparan Bab IV, dijelaskan bahwa terdapat beberapa kelompok
oposisi di Suriah yang beraliran Sunni. Kelompok-kelompok oposisi ini
muncul sebagai respon terhadap rezim Assad pada konflik Suriah.
Terlepas dari banyaknya kelompok oposisi Sunni di Suriah, terdapat dua
kelompok yang menjadi fokus Arab Saudi untuk mengintervensi konflik
Suriah dengan sejumlah pendekatan secara intensif. Kelompok tersebut
yaitu FSA (Free Syrian Arny) dan IF (Islamic Front). FSA dan IF
merupakan dua kelompok oposisi yang banyak menerima bantuan militer
dari Arab Saudi.
Dalam memberikan bantuan, terdapat beberapa alasan mengapa
Arab Saudi ingin membantu kelompok FSA dan IF. Apabila dilihat dari
segi kelompok FSA antara lain; sebagian besar anggota kelompok FSA
merupakan penganut Sunni Arab, selain itu adanya dukungan dari para
87
ulama di Arab Saudi untuk memberikan dana kepada pihak FSA dan
adanya campur tangan dari Amerika yang meminta Arab Saudi untuk
bergabung kepada FSA bersama negara lain, seperti Turki dan Qatar.
Sedangkan dari segi IF, IF merupakan gabungan kelompok-kelompok
oposisi yang diindikasi memiliki afiliasi dengan Al-Qaeda. Afiliasi
kelompok ini terhadap Al-Qaeda membuat tertarik kerajaan dan wahabi di
Arab Saudi sehingga bersedia menjadi penyokong utama kelompok IF.
Hal ini disebabkan antara Al-Qaeda dan Wahabi memiliki persamaan
ideologi yaitu salafi ekstrimis, yang menolak aturan demokrasi dan
sekulerisme dengan tujuan membangun suatu negara yang berlandaskan
hukum Syari‟ah.
2. Upaya Arab Saudi dalam mendukung koalisi Amerika dan Barat
Koalisi Amerika dibentuk dengan tujuan melakukan penyerangan dan
melawan keberadaan ISIS di Suriah. ISIS merupakan kelompok oposisi
radikal dan termasuk bagian dari jaringan terorisme. Koalisi ini disambut
dan diterima baik oleh Arab Saudi, dengan cara memberikan dukungan
dan membantu jalannya misi dari koalisi tersebut. Apa yang membuat
Arab Saudi mendukung koalisi?. Hal ini disebabkan adanya rasa tidak
aman pada Arab Saudi. Apabila pergerakan ISIS telah menyebar ke
negaranya, maka koalisi Amerika ini tidak akan segan untuk turut
melakukan agresi militer kepada Arab saudi. Mengapa Arab Saudi merasa
perlu mendukung koalisi ini?. Karena adanya persamaan ideologi dan
keterikatan antara wahabi di Arab Saudi dengan ISIS dan Al-Qaeda.
88
Maksud dari persamaan ideologi, yaitu mengenai hukum syari‟ah untuk
suatu negara dan mengenai Jihad atau orang-orang yang berani mati untuk
berjuang demi agama serta Tuhannya. Oleh sebab itu, untuk memutuskan
hubungan keduanya, Arab Saudi mencoba ikut serta dalam koalisi
tersebut. Apabila koalisi ini berhasil memberantas ISIS, maka putus pula
lah hubungan antara wahabi dan ISIS/Al-Qaeda.
3. Upaya Arab Saudi dalam memberi bantuan terhadap kelompok
oposisi Sunni pada konflik Suriah
Dalam memberikan bantuan luar negeri, Arab Saudi mencoba untuk selalu
membantu sejumlah negara yang sekiranya membutuhkan bantuan dan hal
ini murni merupakan bentuk bantuan. Seperti pada konflik Suriah ini,
terlepas Arab Saudi memberikan bantuan militernya hanya ke beberapa
kelompok saja. Namun dalam hal kemanusiaan siapapun yang menjadi
korban rezim Assad, Arab Saudi tidak mngecualikannya. Termasuk dalam
hal politik, Arab Saudi selalu mengikutsertakan negaranya dalam berbagai
pertemuan internasional, yang bertujuan untuk perdamaian di Suriah.
Terlepas dari segala kepentingan Arab Saudi, skripsi ini tetap
menilai bahwasannya konflik Suriah memang membutuhkan aktor seperti
Arab Saudi untuk membantu korban-korban dengan tujuan kemanusian,
ikut membantu menurunkan rezim Assad yang tidak demokratis sebagai
kepala pemerintahan dan ikut memberantasan kelompok-kelompok radikal
seperti ISIS, yang tidak hanya mengganggu pihak oposisi namun juga
menganggu keamanan warga sipil Suriah dan negara-negara di dunia.
89
V.2. Kelemahan dan kritik pada Skripsi
1. Dalam mencari data penulis tidak ada wawancara dan hanya menggunakan
data sekunder yaitu melalui buku, jurnal dan internet
2. Penelitian ini hanya memiliki jangka waktu dari 2011-2016, sehingga
tidak bisa menjelaskan situasi dan kondisi di tahun 2017 dan ditahun
berikutnya.
V.3. Rekomendasi Untuk Penelitian Selanjutnya
Sebagai sebuah keberlanjutan dari pembelajaran akademis, skripsi ini
merekomendasikan kepada penelitian selanjutnya sebagai berikut:
1. Dapat meneruskan atau melengkapi peneltian ini dengan menambahkan
jangka waktu penelitian dan menambahkan data wawancara.
2. Dapat melihat bagaimana upaya Arab Saudi dalam menyelesaikan konflik
Suriah, melalui kelompok-kelompok yang berafiliasi kepadanya. Melihat
konflik Suriah hingga saat ini masih berlangsung dan belum menemukan
jalan keluar.
90
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Rix, Alan. 1993. “Japan‟s Foreign Aid Challenge: Policy Reform and Aid
Leadership”. New Jersey: Prentice Hall.
Al- Hamad, Turki. 1986. “The Unification of the Arabian Peninsula: The Role of
Ideology and Organization in Overcoming the Socio-Economic
Structure Preventing Unity”. Al-Mustaqbal Al-Arabi.
Al-Yasini, Ayman. 1985. “Religion and State in the Kingdom of Saudi Arabia”.
Boulder, CO: Westview Press.
Korany, Babgat dan Moataz A. Fatah. 2008. “Irreconcilble Role-Partners? Saudi
Foreign Policy Between The Ulama and The US “. Cairo: American
University Press in Cairo.
Bentwitch, Norman. 1930. “The Mandates System”. University of California:
Longmans, Green.
Gause, Gregory. 2002. “The foreign Policy of Saudi Arabia”. United State of
America: Lynne Rienner Publisher.
Holsti, K.J. 1988. “Politik Internasional: Kerangka untuk Analisi”. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Holsti, K.J. 1992. “Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis”. Bandung:
Bina Cipta.
Khatib, Lina. 2014. “Qatar And The Recalibration of Power in The Gulf”.
Washington, D.C: Carnegie Endowment for International Peace.
Kuncahyono, Trias. 2012. “Musim Semi di Suriah”. Jakarta: PT Kompas
Nusantara.
Lancaster, Carol. 2008. “Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic
Politics”. London: University of Chicago Press.
Perwita, Anak Agung Banyu, & Yanyan Mochamad Yani. 2006. “Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
R.J, Clarke. 2005. “Research Methodologies”, Oklahoma: Faculty of Commerce
Skripsi/Artikel/Jurnal :
Adeodatus, Primus. 2014. “Intervensi Militer Amerika Serikat Dalam Konflik
Politik Di Suriah Tahun 2011”, Universitas Mulawarman: eJournal
Ilmu Hubungan Internasional Vol 2, No 3.
Al-Yahya, Khalid dan Nathalie Fustier. 2011. “Saudi Arabia as a Humanitarian
Donor: High Potential, Little Institutionalization” GPPi Research
Paper No. 14.
Al-Saleh dan Loren. 2013. “Dissecting an Evolving Conflict: The Syrian Uprising
and the Future of the Country” Report: Institute for Social Policy and
Understanding dan The New America Foundation.
Andersson, Maria. 2009. “Motives behind the Allocation of Aid - A Case Study
Regarding Swedish Motives for Aid Allocation”. Swedia: University
of Gothenburg.
91
Asultan, M Fahad. 2013. “The Saudi King: Power and Limitation in the Saudi
Arabian Foreign Policy Making” International Journal of Social
Science and Humanity, Vol. 3, No.5.
Badran, Tony. 2006. “Saudi-Syrian Relations after Hariri”. Mideast Monitor: Vol
01. No 01.
Bar-Asher, Meir. 2003. “NOṢAYRIS”. Encyclopaedia Iranica. ISSN 2330-4804
Berti, Benedetta and Yoel, Guzansky. 2014. “Saudi Arabia‟s Foreign Policy on
Iran and the Proxy War in Syria: Toward a New Chapter?”. Israel
Journal of foreign Affairs VIII: 3. Tel Aviv: Institute For National
Security Studies.
Berti, Benedetta and Yoel, Guzansky. 2012. “The Syrian Crisis and the Saudi-
Iranian Rivalry”.Philadelphia: The Foreign Policy Research Institute.
Bunzel, Cole. 2015.” From Paper State to Caliphate: The Ideology of the Islamic
State”. Washington, D. C: The Brookings Project on U.S. Relations
with the Islamic World Analysis Paper.
Christopher, Carla dan Mary. 2015. “Armed Conflict in Syria: Overview and U.S.
Response”. Congressional Research Service
Claude, Moniquet. 2013. “The Involvement of Salafism/Wahhabism in The
Support and Supply of Arms to Rebel Groups Around The World”.
European Union: European Parliament's Committee on Foreign
Affairs.
Dockal, Ondrej. 2012. “Current Crisis in Syiria. NATO Background
Report”. New York: Association for International Affairs for the
XVIII Year of Prague Student Summit.
Friedland, Elliot. 2014. “Fact Sheet: Who‟s WHO In The Syrian Civil War”. The
Clarion Project.
Groof, De Melanie. 2013. “Arms Transfers to the Syrian Arab Republic: Pratice
and Legality”. Les Rapports Du Grip: no: 9.
Harvard .2016. “The Ba'ath Party in Syria”. Tersedia di
http://rlp.hds.harvard.edu/faq/baath-party-syria diakses pada 08
November 2016.
Hazran, Y. 2012. „The Arab Revolutions: A Preliminary Reading‟, Middle East
Policy. Vol. 29. No. 3.
Ikhsan, Fadhly. 2016. “Kepentingan Arab Saudi Menekan Syria Melalui Politik
Luar Negerinya Terkait Krisis Syria (2011-2014)”. Jurnal
Transnasional, Vol. 7, No. 1, Juli 2015.
Kurniawan, Budi. 2016. “Perang Syria: Akar Sejarah dan Motif Ekonomi
Politik”. Lampung: Universitas Lampung. Tersedia di
http://staff.unila.ac.id/budikurniawan/2016/04/30/diskusi-tentang-
perang-sipil-di-syria/. Diakses pada 08 November 2016.
Lund, Aron. 2013. “Syria‟s Salafi Insurgents: The Rise Of The Syrian Islamic
Front”. Swedish Institute of Intenational Affairs : No 17
Lund, Aron. 2012. “Syrian Jihadism”. Swedish Institute of Intenational Affairs :
No 13.
92
Lund Aron. 2015. “Riyadh, Rumeilan, and Damascus: All You Need to Know
About Syria‟s Opposition Conferences”. Swedish Institute of
Intenational Affairs.
Mabon, Simon. 2013. “FPC Briefing: The Middle Eastern “Great Game”. The
Foreign Policy Centre.
Mann, Joseph. 2006. “The Syrian Neo-Ba„th regime and the Kingdom of Saudi
Arabia, 1966–70” Middle Eastern Studies: Volume 42, Issue 5.
Master dan Jonathan. 2014. “Arab League”. Tersedia di
http://www.cfr.org/middle-east-and-north-africa/arab-league/p25967
diakses pada 20 Maret 2016.
McDougall, Walter A. 2012. “President Nixon‟s Historical Legacy” Philadelphia:
The Foreign Policy Research Institute.
Mclnnis, J. Kathleen. 2016. “Coalition Contributions to Countering the Islamic
State”. Congressional Research Service
Morgenthau, H. 1962. “A Political Theory of Foreign Aid. The American Political
Science Review”, LVI (2).
Pierret, Thomas. 2014. “The Syrian Baath Party and Sunni Islam: Conflicts and
Connivance”. Brandeis university : Grown Center for Middle East
Studies : No 77
Rizka, Novi. 2012. “Kegagalan Liga Arab dalam Penanganan Konflik Suriah
2011”. Skripsi: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Sudrajat, Ajat. 2006. “Koneksi Mediterania: Interaksi Dunia Islam Dan Eropa
Pada Abad Pertengahan”. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta. Vol 01, No 02.
Sullivan, Marisa. 2014. “Middle East Security Report 19: Hezbollah In Syria”.
United State of America: Institute for the Study of War
Torreon, Barbara. 2016. “U.S. Periods of War and Dates of Recent Conflicts”.
Congressional Research Service.
Internet :
Azra, Azyumardi. 2012. “Quo Vadis Suriah?”. Jakarta: Republika. tersedia di
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/06/21/m5ydjw-
quo-vadis-suriah diakses pada tanggal 19 Nov 2014.
Al-Akhbar English. 2014. “ISIS and al-Qaeda: Similarities and differences”.
Tersedia di http://english.al-akhbar.com/node/21352. Diakses pada 20
Desember 2016.
Al- Akhbar English. 2013. “Saudi Arabia, France sending Syria rebels anti-
aircraft guns: source”. Tersedia http://english.al-
akhbar.com/node/16147 diakses pada 19 Maret 2015.
Al-Arabiya News. 2012. “Bomb kills Syria defense minister, Assad‟s brother-in-law and
key aides”. Tersedia di
https://english.alarabiya.net/articles/2012/07/18/227035.html. Diakses pada 01
April 2017.
Al-Arabiya News. 2012. “Saudi Arabia to Pay Salaries of Syrian Opposition Fighters”.
Tersedia di
93
https://english.alarabiya.net/articles/2012/06/23/222214.html. Diakses
pada 01 Agustus 2016.
Albawaba. 2001. “Syria, Saudi Arabia sign free trade accord”. Tersedia di
http://www.albawaba.com/business/syria-saudi-arabia-sign-free-
trade-accord diakses pada 15 Maret 2016
Al Monitor. 2013. “Rise of Islamic Front a disaster for Syria”. Tersedia di
http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2013/12/syria-lebanon-
islamic-front-political-transition-conflict.html#ixzz4TZODoJTr.
Diakses pada 01 Agustus 2016.
Al Monitor. 2013. “Rise of Islamic Front a disaster for Syria”. Tersedia
dihttp://www.al-monitor.com/pulse/originals/2013/12/syria-lebanon-
islamic-front-political-transition-conflict.html#ixzz4TZODoJTr.
Diakses pada 01 Agustus 2016.
Al Monitor. 2013. “Syrian FSA fades in shadow of Saudi-backed opposition
front”. Tersedia di http://www.al-
monitor.com/pulse/originals/2013/12/syria-fsa-islamic-front-geneva-ii-
jarba.html#ixzz4VKphslV4. Diakses pada 02 November 2016.
British Broadcasting Corporation. 2011. “Syria unrest: 'Protesters killed' at
Omari mosque” tersedia di http://www.bbc.com/news/world-middle-
east-12827542. Diakses pada tanggal 10 September 2015.
British Broadcasting Corpotarion. 2012. “Syria unrest: Who are the shabiha?”.
Tersedia di http://www.bbc.com/news/world-middle-east-14482968
diakses pada 18 Desember 2016.
British Broadcasting Corporation. 2013 “Profile: Syria's al-Nusra Front”.
Tersedia di http://www.bbc.com/news/world-middle-east-18048033.
Diakses pada 04 Oktober 2015.
British Broadcasting Corporation. 2015 “What is 'Islamic State'?”. Tersedia di
http://www.bbc.com/news/world-middle-east-29052144. Diakses pada
04 Oktober 2015.
British Broadcasting Corporation. 2016. “Saudi Arabia profile – Overview”.
Tersedia di: www.bbc.com/news/world-middle-east-14702705.
Diakses 20 Juni 2015
Blomfield, Adrian. 2011. “Syria unrest: Saudi Arabia calls on 'killing machine' to
stop”.
http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/syria/8687912
/Syria-unrest-Saudi-Arabia-calls-on-killing-machine-to-stop.html
diakses pada 15 MAret 2016.
Butters, Andrew L. 2009. “A Rapprochement Between Syria and Saudi Arabia?”.
Tersedia di
http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1929072,00.html
diakses pada 15 Maret 2016.
Cable News Network, 2016. “Bashar al-Assad Fast Facts”. Tersedia di
http://edition.cnn.com/2012/12/06/world/meast/bashar-al-assad---fast-
facts/ . diakses pada 20 Maret 2017.
94
Carnegie. 2014. “The Politics of the Islamic Front, Part 1: Structure and
Support”. Tersedia di http://carnegie-mec.org/diwan/54183?lang=en .
diakses pada 17 Maret 2017.
Carnegie Endowment. 2012. “Group of Friends of the Syrian People: 1st
Conference”. Tersedia di
http://carnegieendowment.org/syriaincrisis/?fa=48418 diakses pada 02
April 2016.
Carnegie Endowment. 2013. “The Syrian National Council”. Tersedia di
http://carnegieendowment.org/syriaincrisis/48334. Diakses pada
tanggal 01 Agustus 2016.
Carnegie. Endowment. 2013. “Syria in Crisis; The Syrian National Council”.
Tersedia di http://carnegie-mec.org/diwan/48334?lang=en diakses
pada 22 Maret 2016.
Center for Muslim-Jewish Engagement. “AL-AHZAB (THE CLANS, THE
COALITION, THE COMBINED FORCES)” tersedia di
http://www.usc.edu/org/cmje/religious-texts/quran/verses/033-
qmt.php#033.067 diakses pada 19 November 2016
Council Foreign Relation. 2016. “The Islamic State”. edia di
http://www.cfr.org/iraq/islamic-state/p14811. Diakses pada 20 Agustus
2016.
Deutsche Welle. 2010 “Didampingi Raja Arab Saudi, Presiden Suriah Kunjungi
Libanon”. Tersedia di http://www.dw.com/id/didampingi-raja-arab-
saudi-presiden-suriah-kunjungi-libanon/a-5852613 diakses pada 15
Maret 2016.
Deutsche Welle. 2015. “Kepentingan Arab Saudi Dalam Perang Suriah” tersedia
di http://www.dw.com/id/kepentingan-arab-saudi-dalam-perang-
suriah/a-17385172 diakses pada 15 Juni 2015
Deutsche Welle. 2016. “Syrian Opposition Suspends Participation in Geneva
Peace Talks”. Tersedia di http://www.dw.com/en/syrian-opposition-
suspends-participation-in-geneva-peace-talks/a-19197274. Diakses
pada 20 Agustus 2016.
European Forum. 2009. “Syrian Arab Republic”. Tersedia di
http://www.europeanforum.net/country/syrian_arab_republic. Diakses
pada tanggal 10 September 2015.
Freedom House. 2014. “Syria”. Tersedia di:
https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2014/syria. Diakses
pada tanggal 02 September 2015.
Gen. Brig. 2013. “Supreme Military Coucil of the Free Syrian Army”. BBC
News. Tersedia http://www.bbc.com/news/world-middle-east-
24403003 Diakses pada 22 Maret 2015.
Geopolitical Monitor. 2016. “Wahhabism, ISIS, and the Saudi Connection”.
Tersedia di https://www.geopoliticalmonitor.com/wahhabism-isis-and-
the-saudi-connection/. Diakses pada 15 Desember 2016
Global Security. 2013. “Free Syrian Army” tersedia di
http://www.globalsecurity.org/military/world/para/fsa.htm. Diakses pada
01 Agustus 2016.
95
Hidayat, Anwar. 2012, “Variabel Penelitian”. Tersedia di
http://www.statistikian.com/2012/10/variabel-penelitian.html. Diakses
pada 20 November 2016.
Housam, Darwisheh. 2013. “Syria and the Arab Spring: Unraveling the Road to
Syria‟s Protracted Conflict”, THE ASIAN INSTITUTE FOR POLICY
STUDIES. Tersedia http://en.asaninst.org/contents/issue-brief-no-44-
syria-and-the-arab-spring-unraveling-the-road-to-syrias-protracted-
conflict/
Islam Post, 2013. “Sejarah Kelam Partai Ba‟ath di Suriah”. Tersedia di
https://www.islampos.com/sejarah-kelam-partai-baath-di-suriah-79085/.
Diakses pada tanggal 03 September 2016.
Islam Post. 2015. “Mengapa Assad Kuat?”. Tersedia di
https://www.islampos.com/mengapa-assad-kuat-211131/. Diakses pada
tanggal 07 November 2016.
Kamus Bahasa Indonesia Online. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Tersedia
http://kamusbahasaindonesia.org/metode%20penelitian diakses pada 20
November 2014.
Merdeka. 2012. “Profil Bashar Al-Assad” tersedia di
http://profil.merdeka.com/mancanegara/b/bashar-al-assad/. Diakses pada
08 November 2016.
National Coalition of Syria. “Syrian National Council”. Tersedia di
http://en.etilaf.org/coalition-components/syrian-national-council.html.
Diakses pada 01 Agustus 2016
Office for the Coordination of Humanitarian Affairs. 2013. “Syria: 8 things you
need to know about the Syrian humanitarian crisis”, tersedia
http://www.unocha.org/cap/syria-8-things-you-need-know-about-syrian-
humanitarian-crisis diakses pada 22 Maret 2015
Public Broadcasting Servie. 2014. “Why do foreign fighters join the Islamic
State?” tersedia di http://www.pbs.org/newshour/bb/foreign-fighters-
join-islamic-state/. Diakses pada 20 Februari 2017.
Republika. 2015. “Babak baru Saudi – Yaman”. Tersedia di:
http://www.republika.co.id/berita/koran/internasional-
koran/15/03/20/nli0t43-babak-baru-saudiyaman Diakses 20 Juni 2015
Reuters. 2012. “Saudi aid convoy for Syrian refugees leaves Riyadh” Al-arabiya News.
Tersedia http://english.alarabiya.net/articles/2012/08/02/230044.html diakses pada
20 Maret 2015.
Rogoway, Tyler. 2016. “Saudis Want To Arm Syrian Rebels With Anti-Air
Missiles To Counter Russia”. Tersedia di
http://foxtrotalpha.jalopnik.com/saudis-want-to-arm-syrian-rebels-with-
anti-air-missiles-1760629284. Diakses pada 02 April 2016
Royal Embassy of Saudi Arabia. 2015. “Saudi Arabia received 2.5 million Syrians
since beginning of Syrian conflict”. Washington, D.C. Tersedia di
https://www.saudiembassy.net/saudi-arabia-received-25-million-syrians-
beginning-conflict Diakses pada 15 Januari
Royal Embassy of Saudi Arabia. 2015. “Saudi National Campaign sends 41 tons
of relief materials to southern Syria”. Washington, D.C. Tersedia di
96
https://www.saudiembassy.net/saudi-national-campaign-sends-41-tons-
relief-materials-southern-syria. Diakses pada 15 Januari
Russia Beyond The Headlines. 2015. “Mufti Suriah: Mereka Ingin Memecah
Kami Menjadi Beberapa Negara-Semu”. Tersedia di
https://indonesia.rbth.com/politics/2015/11/10/mufti-suriah-mereka-
ingin-memecah-kami-menjadi-beberapa-negara-semu_539095 diakses
pada 08 November 2016.
Sand, Phil. 2009. “Syria and Saudi end tariff war”. Tersedia di
http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/syria-and-saudi-end-
tariff-war diakses pada 15 Maret 2016
Sorin, Alex. 2009 “Saudi Arabia appoints ambassador to Syria”. The Jerusalem
Post tersedia di http://www.jpost.com/Middle-East/Saudi-Arabia-
appoints-ambassador-to-Syria. Diakses pada 20 Maret 2016
Standford. 2016. “Jabhat Fatah al-Sham (Formerly Jabhat al-Nusra)” tersedia di
http://web.stanford.edu/group/mappingmilitants/cgi-bin/groups/view/493
diakses pada 30 agustus 2016
Standford. 2016. “The Islamic State”. Tersedia di
http://web.stanford.edu/group/mappingmilitants/cgi-bin/groups/view/1.
Diakses pada 20 Agustus 2016.
Standford. 2015. “Jabhat Fatah al-Sham (Formerly Jabhat al-Nusra)” tersedia di
http://web.stanford.edu/group/mappingmilitants/cgi-bin/groups/view/493
diakses pada 20 agustus 2016
The conversation. 2015. “Why Saudi Arabia is having such trouble with its
Syria policy” tersedia di http://theconversation.com/why-saudi-arabia-is-
having-such-trouble-with-its-syria-policy-47309 diakses pada 30
November 2015
The Daily Beast. 2012. “EXTREMISM:Syria‟s Saudi Jihadist Problem”.
Tersedia di http://www.thedailybeast.com/articles/2013/12/16/syria-s-
saudi-jihadist-problem.html. Diakses pada 20 Desember 2016.
The Shura Council. “Shura in the Kingdom of Saudi Arabia: A Historical
Background”.
Tersediahttps://www.shura.gov.sa/wps/wcm/connect/ShuraEn/internet/H
istorical+BG/ diakses pada 20 November 2016
Time. 2014. “U.S. Forms Anti-ISIS Coalition at NATO Summit” tersedia di
http://time.com/3273185/isis-us-nato/ diakses pada 20 Juli 2016.
U.S. Energy Information Administration. 2014. “SYRIA”, Annual Report.
Tersedia http://www.eia.gov/countries/cab.cfm?fips=sy diakses pada
tanggal 20 april 2015
Which Country. “Top 10 Largest Oil Producing Countries in the World”, 2014;
tersedia http://www.whichcountry.co/top-10-largest-oil-producing-
countries-in-the-world/#sthash.ckYQkusL.dpuf diakses 20 Maret 2015
Wilson, Scott. 2005. “Saudis Tell Syria To Leave Lebanon Pressure Is Building
Among Arab Nations” tersedia di http://www.washingtonpost.com/wp-
dyn/articles/A4500-2005Mar3.html diakses pada 20 Maret 2016.
97
Vox Muda. 2016. “Kendala Pembicaraan Damai Suriah”. Tersedia di
http://www.voxmuda.com/kendala-pembicaraan-damai-suriah/. Diakses
pada 02 April 2016
_. 2009. “Saudi, Syria in agreement to boost trade and investment”. Business
Intelligence Middle East. Tersedia di http://www.bi-
me.com/main.php?id=40931&t=1. Diakses pada 20 November 2016.
___ 2016. “The Political System of Saudi Arabia”. Helen Ziegler & Associates
tersedia di https://www.hziegler.com/articles/political-system-of-
saudi-arabia.html diakses pada 20 November 2016