universitas indonesia ketepatan glasgow...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
KETEPATAN GLASGOW COMA SCALE DALAM
MEMPREDIKSI OUTCOME PADA PASIEN DENGAN
PENURUNAN KESADARAN DI INSTALASI GAWAT
DARURAT RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
TESIS
ISMAIL HARI WAHYU
0906646504
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA
JUNI 2014
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
KETEPATAN GLASGOW COMA SCALE DALAM
MEMPREDIKSI OUTCOME PADA PASIEN DENGAN
PENURUNAN KESADARAN DI INSTALASI GAWAT
DARURAT RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
dokter spesialis Anestesiologi
ISMAIL HARI WAHYU
0906646504
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA
JUNI 2014
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas petunjuk, karunia dan
hidayah-Nya. Salawat dan Salam semoga senantiasa tercurah bagi Rasulullah
SAW, keluarga serta sahabat-sahabatnya. Tesis ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar dokter spesialis Anestesiologi pada Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah berperan dan membantu penulis dalam menyelesaikan
pendidikan spesialis sampai tersusunnya tesis ini:
(1) Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM-K, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia atas kesempatan yang diberikan kepada saya.
(2) dr. Aries Perdana, SpAn(K), selaku Kepala Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI/RSCM, dr. Ratna F. Soenarto, SpAn-KAKV, selaku
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI/RSCM dan dr. Adhrie Sugiarto, SpAn-KIC, selaku Sekretaris
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI/RSCM atas kesempatan, fasilitas dan perhatian kepada saya selama
mengikuti program studi ini hingga selesai.
(3) Dr. dr. Aida Rosita Tantri, SpAn-KAR dan dr. Riyadh Firdaus, SpAn selaku
pembimbing yang telah menyediakan waktu, ide-ide, kritikan serta masukan
sehingga tesis dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Semoga Tuhan YME
memberi balasan yang lebih besar dan kemudahan dalam segala urusan.
(4) dr. Sopiyudin Dahlan, M.Epid atas bantuannya dalam penyusunan tesis dan
pengolahan data statistik selama penelitian.
(5) Seluruh staf pengajar Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI/RSCM atas segala perhatian dan bimbingannya selama saya menjalani
pendidikan.
(6) dr. Louis Martin Christoffel teman seperjuangan selama mengumpulkan
sampel, tempat bertanya, tukar pendapat dan berbagi informasi dalam
menyusun tesis.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
v
(7) Teman-teman satu angkatan “The Altruis”: bang Faishal, Ari, mba Agnes,
mas Dedy, bang Januar, Siska, mba Evlin, mba Farah, Fikry, Jemmy, Dian,
Julian, mba Luki, Bowo dan Jaya. Terima kasih atas kebersamaan,
perjuangan dan canda tawanya selama menjalani pendidikan.
(8) Mba Nurul dan mas Eko atas segala bantuan, motivasi dan fasilitasnya selama
menjalani pendidikan.
(9) Seluruh rekan-rekan residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM
yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu.
(10) Teman-teman di kos Bluntas: Ario, Harsha, Hisar, Nikko, Jerry, Kemal, Ludi,
Alin, Barri, Apit, Pram, Subhan, Toman, Yudi, Andre dan (Alm.) Olive.
(11) Kedua orang tua, ayahanda (Alm.) Waud, BSc., ibunda Khiat Goat Lie dan
adik tercinta drg. Titian Putri Styawati atas segala doa, cinta kasih,
pengorbanan dan semangat yang tidak pernah berhenti kepada saya sejak
kecil hingga dapat mencapai gelar dokter spesialis.
(12) Bapak drs. Subakat Hadi, MSc. dan ibu dra. Nurhayati Subakat, Apt. yang
saya hormati atas segala teladan, kasih sayang, doa dan semangat untuk saya
selama ini.
(13) Istri tercinta dr. Sari Chairunnisa atas dukungan moral, kesabaran dan
cintanya. Kedua anak tersayang Sofie Mahira Ismail dan Akmal Mirza Ismail
yang selalu menjadi motivasi dan kekuatan dalam kehidupan.
(14) Kakak-kakak Harman, SSi., Ratih Savitri Ali, SE. MM., Salman Subakat, ST.
dan Dini Ardi Wardini, ST. atas segala dukungan dan bantuannya.
Akhir kata, izinkan saya memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas kesalahan
yang telah saya perbuat selama masa pendidikan ini, baik yang disengaja maupun
tidak disengaja. Saya berharap Allah SWT membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu.
Jakarta, 12 Juni 2014
Penulis
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
vii Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Ismail Hari Wahyu
Program Studi : Anestesiologi dan Terapi Intensif
Judul : Ketepatan Glasgow Coma Scale dalam Memprediksi
Outcome pada Pasien dengan Penurunan Kesadaran di Instalasi
Gawat Darurat Rumah sakit Cipto Mangunkusumo
Latar belakang Penurunan kesadaran merupakan suatu keadaan darurat medis
yang harus segera ditangani dengan tepat untuk mengurangi kerusakan lebih
lanjut. Glasgow Coma Scale (GCS) yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pada pasien penurunan kesadaran akan memberikan gambaran
keparahan dari kerusakan otak dan memprediksi outcome.
Tujuan Mengetahui ketepatan GCS dalam memprediksi outcome pada pasien
dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM.
Metode Penelitian ini merupakan studi observasional, kohort prospektif. 116
pasien usia ≥ 18 tahun dengan Glasgow Coma Scale dibawah 15 saat tiba di IGD
RSCM Jakarta. Glasgow Coma Scale sampel dinilai sebanyak 1 kali ketika pasien
pertama kali diterima di IGD RSCM. Peneliti mengevaluasi outcome pasien dua
minggu setelah masuk IGD RSCM berdasarkan kriteria Glasgow Outcome Scale.
Hasil Rerata usia pasien 51,4 ± 16,4 tahun, median GCS 9 (3- 14). Hasil Glasgow
Outcome Scale diklasifikasi menjadi bad outcome (meninggal dan disabilitas
berat) 66 pasien (56,9%) dan good outcome (disabilitas sedang dan sembuh) 50
pasien (43,1%). Skor GCS pasien kelompok bad outcome berbeda bermakna
dengan kelompok good outcome berdasarkan analisis statistik (p < 0,001). Skor
GCS-E, GCS-M dan GCS-V masing-masing pasien kelompok bad outcome
berbeda bermakna dengan kelompok good outcome berdasarkan analisis statistik
(p < 0,001). Hasil regresi logistik, komponen GCS yang memiliki nilai prediksi
terhadap outcome adalah komponen verbal dan membuka mata. Hasil uji kalibrasi
skor GCS total dan skor GCS E+V memiliki kualitas yang baik. Hasil uji
diskriminasi menunjukkan skor GCS total mempunyai nilai AUC 0,788 (IK95%
0,705-0,870). Skor GCS E+V mempunyai AUC 0,777 (IK95% 0,690-0,864). Titik
potong GCS adalah ≤ 9. Uji Kappa antara dokter dan perawat terhadap skor GCS
menunjukkan hasil yang sangat kuat Kappa 0,901 (p < 0,001).
Kesimpulan Skor Glasgow Coma Scale mampu memprediksi outcome dengan
tepat pada pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM,
karena memiliki kalibarasi dan diskriminasi yang baik.
Kata kunci Glasgow Coma Scale, penurunan kesadaran, Glasgow Outcome Scale
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
viii Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Ismail Hari Wahyu
Study Program: Anesthesiology and Intensive Care
Title : The accuracy of the Glasgow Coma Scale in Predicting Outcome
in Patients with Altered of Consciousness in Emergency
Department of Cipto Mangunkusumo Hospital
Background Altered level of consciousness is a medical emergency that must be
manage immediatly to reduce further damage. Glasgow Coma Scale (GCS) is
used to assess the level of consciousness in citically ill patients. GCS indicates the
severity of brain damage and predictor of patient outcomes.
Objective To assess accuracy of GCS in predicting outcome for patients with
altered level of consciousness in Emergency Department of Cipto Mangunkusumo
Hospital.
Method This study is a observational prospective cohort study. Samples were 116
patients aged ≥ 18 years with a Glasgow Coma Scale below 15 at the time of
admisssion in the Emergency Department of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Glasgow Coma Scale was assessed when patients first arrived in the Emergency
Department. To assess outcome, researchers used The Glasgow Outcome Scale.
Glasgow Outcome Scale was reviewed 2 weeks after admission for every sample.
Results The mean patient age was 51.4 ± 16.4 years, median GCS 9 (3-14). The
Glasgow Outcome Scale classified into bad outcome (death and severe disability)
66 patients (56.9%) and good outcome (moderate disability and good recovery) 50
patients (43.1%). The difference in GCS score between both outcome group were
statistically significant (p < 0,001). Each of patient's GCS-E, GCS and GCS-M-V
in bad outcome groups differ significantly with good outcome group (p < 0,001).
The results of logistic regression, GCS components that have predictive value to
the outcome are verbal and eye opening component. Calibration test showed that
total GCS score and GCS E+V score has good quality. The results of
discrimination test showed total GCS score has a AUC of 0.788 (IK95% from
0.705 to 0.870). GCS score E+V has AUC of 0.777 (IK95% from 0.690 to 0.864).
GCS’s cut off point was ≤ 9. Kappa Test between doctors and nurses to the GCS
score showed very strong results of Kappa 0.901 (p < 0,001).
Conclusion Glasgow Coma Scale can predict outcome in patients with altered
level of consciousness in the Emergency Department of Cipto Mangunkusumo
Hospital, because of its good calibration and discrimination.
Keywords Glasgow Coma Scale, altered of consciousness, Glasgow Outcome
Scale.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………...... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…..………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………… iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………… iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………………………..... vi
ABSTRAK…………………………………………………………………. vii
ABSTRACT………………………………………………………………... viii
DAFTAR ISI………………………………………………………...……... ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………….. xi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………..... xii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………................... 1
1.1 Latar belakang……………………………………………………. 1
1.2 Rumusan masalah………………………………………..………. 4
1.3 Tujuan penelitian……………………………………………........ 5
1.3.1 Tujuan umum……………………………………………….. 5
1.3.2 Tujuan khusus………………………………………………. 5
1.4 Manfaat penelitian……………………………………………….. 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………... 6
2.1 Kesadaran……………………………………………………........ 6
2.1.1 Anatomi……………………………………………………... 6
2.1.2 Fisiologi……………………………………………………... 9
2.2 Penurunan kesadaran…………………………………………….. 10
2.2.1 Etiologi penurunan kesadaran……...……………………...... 11
2.2.2 Penilaian tingkat kesadaran……………………….……….... 13
2.3 Glasgow Coma Scale (GCS)………………………………...…… 15
2.4 Glasgow Outcome Scale…………………………………………. 17
2.5 Kerangka teori ………………………………………………........ 19
2.6 Kerangka konsep…………………………………………………. 20
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN………………………………..... 21
3.1 Desain penelitian…………………………………………………. 21
3.2 Tempat dan waktu penelitian…………………………………...... 21
3.3 Populasi dan sampel penelitian………………………………….. 21
3.3.1 Kriteria penerimaan………………………………………..... 21
3.3.2 Kriteria penolakan……………………………………..…..... 21
3.3.3 Kriteria pengeluaran………………………………………… 22
3.4 Perkiraan besar sampel………………………………………….. 22
3.5 Metode pengambilan sampel.………………………………........ 23
3.6 Cara kerja penelitian.……………………………………………. 23
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
x Universitas Indonesia
3.7 Batasan operasional.…………………………………………….. 24
3.8 Manajemen dan analisis data…..………………………………... 25
3.9 Etik penelitian………………………………………………........ 26
3.10 Kerangka kerja penelitian……….……………………………. 27
BAB 4 HASIL PENELITIAN……………….……………………...…..... 28
4.1 Analisis deskriptif….…………………………………………….. 28
4.2 Analisis bivariat skor GCS terhadap outcome……………..…...... 32
4.3 Analisis bivariat komponen GCS terhadap ……………………... 33
4.4 Analisis multivariat skor GCS terhadap outcome……………….. 34
4.5 Uji kalibrasi…………………………………………………........ 35
4.6 Uji diskriminasi.…………………………………………………. 35
4.7 Titik potong good outcome dengan bad outcome ………………. 37
4.8 Uji kesesuaian..………………………………………………….. 38
BAB 5 PEMBAHASAN……………….………………….……………..... 39
5.1 Hubungan skor GCS dengan outcome…………………………… 41
5.2 Hubungan komponen GCS dengan outcome.……………..…....... 42
5.3 Uji kalibrasi………………………………………………………. 44
5.4 Uji diskriminasi………………...................................................... 45
5.5 Titik potong good outcome dengan bad outcome……..……......... 46
5.6 Uji kesesuaian……………………………………………………. 46
5.7 Keterbatasan…………………………………………..………….. 47
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN..………………………………...... 48
6.1 Kesimpulan………………………….…………………………… 48
6.2 Saran………………………………………....……………..…..... 48
DAFTAR REFERENSI…………………………………………………... 50
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
xi Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale………………….……………..…………… 16
Tabel 4.1 Data demografis pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM
selama bulan Maret - Mei 2014………………..…………...…….. 28
Tabel 4.2 Hasil outcome setelah 14 hari pada pasien penurunan kesadaran di
IGD RSCM selama bulan Maret - Mei 2014……………………... 30
Tabel 4.3 Hasil analisis bivariat skor GCS dengan outcome pada pasien
penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret – Mei.… 33
Tabel 4.4 Hasil analisis bivariat komponen GCS terhadap outcome pada
pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret -
Mei 2014………………………………………………………….. 33
Tabel 4.5 Hasil analisis multivariat skor GCS terhadap outcome pada pasien
penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret - Mei
2014……………………………………………………………….. 34
Tabel 4.6 Hasil uji kalibrasi skor GCS E+M+V dan GCS E+V dalam
memprediksi outcome pada pasien penurunan kesadaran di IGD
RSCM selama bulan Maret - Mei 2014….…………...…………... 35
Tabel 4.7 Hasil analisis AUC skor GCS E+M+V dan GCS E+V dalam
memprediksi outcome pada pasien penurunan kesadaran di IGD
RSCM selama bulan Maret - Mei 2014…………………………... 36
Tabel 4.8 Hasil Uji Kappa dokter dan perawat terhadap skor GCS pada
pasien dengan penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan
Maret - Mei 2014…………………………………………………. 38
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
xii Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 The ascending reticular activating system……….............……... 7
Gambar 4.1 Distribusi skor GCS pasien penurunan kesadaran di IGD
RSCM selama bulan Maret - Mei 2014………………………... 29
Gambar 4.2 Distribusi skor GCS berdasarkan outcome pada pasien
penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret - Mei
2014……………………………………………………………. 30
Gambar 4.3 Distribusi skor GCS-E (komponen membuka mata)
berdasarkan outcome pada pasien penurunan kesadaran di IGD
RSCM selama bulan Maret - Mei 2014……………………..…. 31
Gambar 4.4 Distribusi skor GCS-M (komponen motorik) berdasarkan
outcome pada pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM
selama bulan Maret - Mei 2014…………………………...…… 31
Gambar 4.5 Distribusi skor GCS-V (komponen verbal) berdasarkan
outcome pada pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM
selama bulan Maret - Mei 2014…........................................... 32
Gambar 4.6 Kurva ROC prediksi skor GCS terhadap outcome pada pasien
dengan penurunan kesadaran…………………...…………........ 36
Gambar 4.7 Kurva ROC prediksi skor GCS E+V (komponen membuka
mata dan verbal) terhadap outcome pada pasien dengan
penurunan kesadaran………………………………………....... 37
Gambar 4.8 Grafik perpotongan antara sensitifitas dan spesifisitas good
outcome dengan bad outcome pada pasien penurunan
kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret - Mei 2014......... 38
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
xiii Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Informasi penelitian………………………………………......... 54
Lampiran 2 Formulir persetujuan mengikuti penelitian…..………………... 56
Lampiran 3 Status penelitian………………………………………………... 60
Lampiran 4 Keterangan lolos kaji etik…………..…….……………………. 61
Lampiran 5 Hasil analisis AUC komponen GCS..…….……………………. 62
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penurunan kesadaran adalah perubahan tingkat kesadaran yang menggambarkan
hasil akhir dari beragam proses patofisiologi penyakit (trauma, metabolik,
vaskular, neoplasma dan infeksi) yang menyebabkan kekacauan dalam fungsi
otak.1,2,3
Penurunan kesadaran merupakan suatu keadaan darurat medis yang harus
segera ditangani dengan tepat untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut.1,2,4
Metode yang cepat dan bisa diandalkan untuk menilai fungsi otak secara
keseluruhan adalah dengan mengukur tingkat kesadaran secara klinis. Dokter
harus segera dapat menilai tingkat kesadaran, sebab hal ini akan menentukan
sumber daya dan intervensi apa saja yang diperlukan serta memberikan data dasar
untuk menilai kemajuan pemulihan atau komplikasi yang terjadi kemudian.1,2,5
Pasien dengan penyebab penurunan kesadaran yang reversibel mungkin akan
mendapat manfaat dari pengobatan yang agresif dan memiliki potensi untuk hasil
yang menguntungkan.1 Sebaliknya, pasien dengan disfungsi otak berat akan
memiliki prognosis buruk dan kegigihan tindakan resusitasi mungkin tidak
diperlukan sebab hanya akan memperpanjang penderitaan pasien dan keluarga.4
Pemeriksaan fisik adalah cara penilaian tingkat kesadaran yang paling
sederhana, tidak membutuhkan biaya mahal dan alat yang paling dapat diandalkan
untuk menilai perjalanan klinis. Sering kali dokter diminta untuk menetapkan
prognosis pasien dengan penurunan kesadaran.4
Penilaian tingkat kesadaran
pasien selain memberikan kesimpulan kondisi keparahan penyakit juga dapat
menjadi faktor yang membantu dalam mengidentifikasi prognosis.1,4
Dokter dapat
berdiskusi dan memberikan nasihat yang rasional kepada keluarga dan kerabat
pasien.4
Sistem untuk menilai kondisi penyakit dan variabel hasil pengobatan yang
objektif dan cepat telah banyak dikembangkan. Sistem penilaian yang sederhana
untuk mengevaluasi gangguan kesadaran akan memberikan penilaian klinis lebih
cepat dan dapat diulang secara akurat, selain itu dapat memberikan fasilitas
komunikasi antara tenaga medis dan memberi keuntungan bagi penelitian dengan
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
2
Universitas Indonesia
menyediakan skala penilaian yang terstandarisasi. Sistem penilaian yang ideal
untuk mengevaluasi penurunan kesadaran sebaiknya mudah dijalankan, dapat
digunakan untuk jumlah pasien yang besar, dapat menilai tingkat kesadaran secara
akurat, mengidentifikasi pasien yang memburuk secara cepat dan memprediksi
morbiditas dan mortalitas.1
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah salah satu sistem yang dikembangkan
untuk menilai pasien dengan penurunan kesadaran. Skala ini adalah yang paling
luas digunakan dan paling banyak dipelajari sampai saat ini. Pada awalnya GCS
digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien setelah cedera kepala akibat
trauma di sebuah Neurosurgical Intensive Care Unit. Skala ini dimaksudkan
menjadi sarana komunikasi antar petugas medis mengenai kondisi pasien.1
Wijdicks dkk.6 melaporkan interrater reliability antara perawat, residen neurologi
dan ahli neurointensif sangat baik pada pengukuran GCS (κ=0.82; 95% CI, 0.76-
0.87). Pada penelitian lain Iyer dkk.
7 melaporkan interclass correlation antara
perawat, fellow dan ahli intensif sangat baik pada penggukuran GCS (κ=0.98;
95% CI, 0.98-0.99).
GCS menjadi standar emas perbandingan terhadap skala-skala baru dan
telah digunakan luas oleh tenaga kesehatan pra-rumah sakit, staf Instalasi Gawat
Darurat (IGD) dan Intensive Care Unit (ICU). Sampai dengan tahun 2005, lebih
dari 4500 publikasi dibuat sebagai referensi terhadap GCS. Kemudahan
penggunaan GCS telah menyebabkan skala ini dimasukan dalam berbagai sistem
penilaian diantaranya Revised Trauma Score (RTS), the Acute Physiology and
Chronic Health Evaluation (APACHE), the Simplified Acute Physiology Score
(SAPS) dan SAPSII, the Circulation-Respiration-Abdomen-Motor-Speech Scale
(CRAMS), the Traumatic Injury Scoring System (TRISS) dan A Severity
Characterization of Trauma (ASCOT) Scale.1
Total skor GCS antara 3 sampai 15, memungkinkan untuk 120 kombinasi
yang berbeda.1 Skor diberikan dengan menilai tiga aspek tingkah laku yang diukur
secara terpisah: respon motorik, respon verbal dan membuka mata.1,8
Saat ini GCS
sudah diketahui berbagai kalangan dan hasil total skor-nya menjadi klasifikasi
dari keparahan cedera setelah mengalami kerusakan otak. Saat ini GCS digunakan
sebagai alat untuk memprediksi outcome pada pasien yang datang dengan cedera
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
3
Universitas Indonesia
kepala akibat trauma, stroke, koma non-trauma, cardiac arrest dan keracunan.
Outcome berhubungan bermakna dengan GCS awal baik pada cedera kepala dan
pasien perawatan intensif lainnya.8
Penggunaan GCS untuk menilai keparahan dan prediksi prognosis pasien
cedera kepala telah kuat kedudukannya.3
Ting dkk.5 melaporkan pada pasien
bedah syaraf angka kematian > 50% jika GCS pasien < 5. Pasien dengan GCS ≤ 5
memiliki probabilitas kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
dengan GCS > 5 (p < 0.01). Pasien dengan GCS-M (komponen motorik) ≤ 3
memiliki probabilitas kematian yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan
GCS-M > 3 (p < 0.01). Pasien dengan GCS-E (komponen membuka mata) dan
GCS-V (komponen verbal) satu memiliki probabilitas kematian lebih tinggi
dibandingan dengan pasien dengan skala > 1 (p < 0.01). Pasien memiliki
probabilitas kematian yang lebih tinggi jika skor GCS-nya adalah E1V1M3 (GCS-
E=1, GCS-V=1 dan GCS-M=3) atau kurang (p < 0.01).
Levy dkk.9 melakukan penelitian kohort prospektif terhadap 500 pasien
koma non-trauma dengan GCS ≤ E2M4V2. Hasil outcome setelah satu tahun secara
keseluruhan buruk, dari 500 pasien hanya 10% yang mengalami penyembuhan
dengan baik dan 63% tetap terbaring tanpa pernah sembuh dari koma atau
mengalami kondisi vegetatif. Menentukan skor GCS pasien pada awal stroke dan
follow up selanjutnya adalah hal klinis yang sudah rutin dipraktekan pada berbagai
institusi. Miah dkk.8 melaporkan pada pasien stroke akut, skor GCS < 8
memberikan informasi berharga mengenai angka kematian dan bisa menjadi
faktor prognostik yang penting bagi hasil akhir pasien stroke.
GCS dapat
digunakan sebagai prediktor prognosis sederhana yang berharga pada pasien
stroke akut, terutama pada negara-negara yang miskin sumber daya.
Di IGD RSCM, kunjungan pasien dewasa selama tahun 2013 tercatat
sebanyak 18046 pasien dengan total kematian akibat trauma maupun non-trauma
setelah masuk ke IGD RSCM sebanyak 660 kasus (3,66 %). Penelitian yang
dilakukan di IGD RSCM oleh Firdaus dkk.10
melaporkan pasien yang masuk ke
ruang resusitasi IGD RSCM selama bulan September-Oktober 2011 sebanyak 354
pasien. Prevalensi pasien trauma yang masuk ke ruang resusitasi sebesar 3,7%.
Sementara, Pratama Y dkk.11
mencatat terdapat 41 pasien trauma yang masuk
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
4
Universitas Indonesia
ruang resusitasi IGD RSCM selama Juni-November 2011. Skor Glascow Coma
Scale pasien-pasien trauma tersebut saat tiba di IGD RSCM yaitu 9-15 (n= 28;
68,3%) dan 3-8 (n=13; 31,7%). Angka mortalitas pasien trauma yang masuk
melalui ruang resusitasi dalam 28 hari pasca trauma dilaporkan 41,4%.
Beberapa faktor seperti derajat keparahan penyakit, jumlah pasien, lama
perawatan di IGD dan kecukupan sumber daya dapat mempengaruhi keberhasilan
penanganan dan outcome pasien di IGD. Jumlah pasien yang tinggi di IGD dan
ruang resusitasi menyebabkan pemantauan ketat dan berkelanjutan pada pasien
kritis terhambat. Keterlambatan diagnosis dan penanganan pada pasien dapat
meningkatkan risiko henti napas dan jantung yang berujung pada kematian
pasien.12
Keterbatasan jumlah kamar operasi dan ketersediaan tempat di Intensive
Care Unit juga menjadi faktor yang mempengaruhi outcome pasien. Firdaus
dkk.10
melaporkan lama perawatan di ruang resusitasi IGD lebih dari enam jam
memiliki resiko kematian sebanyak 2,02 kali (PR 2.02; 95% CI 0.8-1.76) lebih
besar dibandingkan pasien yang dirawat kurang dari enam jam.
Berdasarkan latar belakang yang menunjukan perbedaan kondisi dan
karakteristik subyek penelitian di IGD RSCM dengan jurnal-jurnal yang
melakukan penelitian di negara maju, peneliti ingin menilai bagaimana ketepatan
GCS terhadap outcome pada pasien dengan penurunan kesadaran di IGD RSCM.
1.2 Rumusan masalah
Glasgow Coma Scale (GCS) yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran akan memberikan gambaran
keparahan dari kerusakan otak dan memprediksi outcome. Penurunan kesadaran
merupakan suatu keadaan darurat medis yang harus segera ditangani dengan tepat
untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut. Jumlah pasien yang tinggi, keterbatasan
jumlah kamar operasi dan Intensive Care Unit menjadi faktor yang mempengaruhi
outcome pasien yang berobat ke RSCM. Berdasarkan latar belakang tersebut
peneliti merumuskan masalah penelitian ini adalah apakah GCS memiliki
ketepatan dalam memprediksi outcome pada pasien dengan penurunan kesadaran
di Instalasi Gawat Darurat RSCM.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
5
Universitas Indonesia
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui ketepatan GCS dalam memprediksi outcome pada pasien
dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui proporsi outcome pasien dengan penurunan kesadaran di
Instalasi Gawat Darurat RSCM berdasarkan Glasgow Outcome Scale
(GOS).
2. Mengetahui hubungan kemaknaan skor total Glasgow Coma Scale terhadap
outcome pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat
RSCM.
3. Mengetahui hubungan kemaknaan skor masing-masing komponen Glasgow
Coma Scale (motorik, verbal dan membuka mata) terhadap outcome pasien
dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM.
4. Mengetahui nilai Area Under Curve (AUC) dari kurva Receiver Operating
Characteristic (ROC) Glasgow Coma Scale dalam memprediksi outcome
pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi peneliti
Penelitian ini akan menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam
melakukan penelitian.
1.4.2 Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini diharapkan memberikan sebuah literatur tentang sistem
penilaian dalam memprediksi outcome pada pasien dengan penurunan
kesadaran yang tiba di IGD RSCM.
1.4.3 Bagi institusi pelayanan kesehatan
Apabila penelitian ini menunjukan GCS memiliki ketepatan yang tinggi
dalam memprediksi outcome pada pasien dengan penurunan kesadaran,
diharapkan dapat menjadi acuan bagi tenaga medis dalam berkomunikasi
dengan keluarga pasien, sehingga pengambilan keputusan mengenai terapi
dan pemanfaatan sumber daya menjadi lebih cepat, tepat dan rasional.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
6 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesadaran
2.1.1 Anatomi
Kesadaran adalah pengertian kompleks yang dapat didefinisikan sebagai kondisi
waspada dengan kesiagaan terus menerus terhadap diri dan lingkungannya.
Kesadaran dipertahankan oleh interaksi yang sangat kompleks dan kontinu secara
sinergis dan efektif antara hemisfer otak serta formasio retikularis.13,14,15,16
Komponen kesadaran tergantung pada batang otak bagian atas dan
diensefalon.15
Pada tahun 1853, Carpenter, seorang dokter dari Inggris telah
melaporkan tentang fungsi diensefalon pada kesadaran tetapi tidak ada yang
menyelidikinya lebih lanjut. Berger, seorang dokter dari Jerman yang menemukan
elektroensefalogram (EEG) pada tahun 1928 melihat bahwa pada keadaan tidur,
EEG tampak lebih lambat dan lebih sinkron daripada dalam keadaan terjaga.
Berger sudah memikirkan bahwa aktifitas suatu pemacu yang letaknya di luar
korteks yang mempengaruhinya secara difus.14
Pada tahun 1937, Bremer, seorang dokter dari Perancis melakukan
percobaan pada kucing dengan membandingkan efek pemotongan transversal
batang otak pada batas mesensefalon-pons dengan yang dipotong pada batas
medula oblongata-medula spinalis servikalis. Kucing yang batang otaknya
terpotong pada batas mesensefalon-pons tampak tidur dan kucing tidak dapat
dibangunkan. Pada kucing yang batang otaknya terputus pada batas medula
oblongata-medula spinalis servikalis, ternyata tetap terjaga seperti kucing normal
dan EEG-nya tidak berbeda dari yang normal.14
Pada tahun 1942, Morison dan Dempsey, dokter dari Amerika Serikat
menemukan sistem proyeksi difus dari talamus ke korteks serebri di luar sistem
sensorik primer spesifik. Kemudian pada tahun 1949, Moruzzi dan Magoun,
dokter dari Amerika Serikat menemukan daerah di dalam formasio retikularis di
batang otak yang bila dirangsang menimbulkan aktifitas korteks serebri yang tidak
spesifik dan tersebar difus.14
Mereka menamakannya ARAS (The ascending
reticular activating system) yang merupakan jaringan yang mulai dari rostral
tegmentum otak dan memancar ke talamus kemudian ke serebral korteks.15
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
7
Universitas Indonesia
Perangsangan di daerah ini mempengaruhi korteks secara difus dan EEG
menunjukan aktifitas tergugah. Bila rusak akan terjadi koma dan EEG menjadi
lambat dan sinkron.14
Formasio retikularis di dalam batang otak terdapat di bagian tengah medula
oblongata hingga diensefalon. Struktur ini terdiri atas sel-sel neuron berukuran
sedang dan kecil yang berhubungan melalui dendrit dan aksonnya satu dengan
yang lainnya. Neuron-neuron tersebut membentuk ARAS berakson panjang yang
berjalan di dalam fasikulus tegmental sentralis. ARAS mendapat kolateral dari
semua saraf-saraf sensorik yang berjalan di dalam otak.13,14,17
Gambar 2.1 The ascending reticular activating system.
Sumber: Ganong W. Buku ajar fisiologi kedokteran (Widjajakusumah D, Irawati D, Siagian M,
Moeloek D, Pendit BU, penerjemah). Edisi ke-20. Jakarta: EGC; 2003: 188.
Jaras-jaras saraf utama dari formasio retikularis yang menghantar rangsang
ke atas ada tiga buah. Jaras pertama berjalan ke nukleus retikularis talami, lalu ke
nukleus talami yang nonspesifik, kemudian berproyeksi ke seluruh korteks
serebri. Yang kedua berjalan ke hipotalamus dan selanjutnya berproyeksi ke
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
8
Universitas Indonesia
sistem limbik. Yang ketiga terdiri atas akson neuron serotonin nuklei rafe
mesensefalon dan neuron norepinefrin lokus seruleus yang juga berproyeksi difus
ke neokorteks.13,14
Perangsangan nukleus retikularis talami ternyata berpengaruh sekali
terhadap penghambatan aktifitas korteks serebri yang tampak pada aktifitasnya
yang sinkron. Stimulasi formasio retikularis di dalam mesensefalon mengurangi
atau meniadakan pengaruh inhibisi nukleus retikularis talami. Jadi ARAS
mempertahankan korteks sereberal dalam keadaan sadar dengan menurunkan
mekanisme inhibisi talamus.13,14,17
Nauta, seorang dokter dari Amerika Serikat mengajukan pendapat bahwa
selain hubungan resiprokal formasio retikularis – hipotalamus - sistem limbik -
neokorteks juga berperan penting pada kesadaran.Sementara jaras ketiga yang
berasal dari nuklei di dalam pons, nuklei rafe, lokus seruleus dan parabrakialis
mungkin pula turut berperan. Pada kucing aktifitas lokus seruleus meningkat bila
ada rangsangan yang menimbulkan perhatian pada kucing itu. Ketika kucing itu
sedang makan, jadi berada dalam keadaan sadar, lokus seruleus tidak aktif.
Tampaknya lokus seruleus berfungsi pada kewaspadaan.Perusakan nuklei rafe di
dalam pons pada kucing menimbulkan insomnia yang berlangsung 3-4 hari. Lesi
bilateral di daerah hipotalamus bagian depan menyebabkan pula pengurangan
waktu tidur yang berlangsung kurang lebih dua minggu. Formasio retikularis
bagian kaudal tampaknya berperan pula pada keadaan tidur.14
Kesadaran itu sendiri merupakan resultan dari stimulasi sensoris ARAS
yang menyebar ke hipotalamus, talamus, sampai berakhir di korteks serebral.
Neokorteks, lapisan terluar dari hemisfer serebral yang merupakan kolom-kolom
sel tegak lurus permukaan yang berlapis enam, mendapat rangsangan sensorik
umum dari formasio retikularis secara difus. Selanjutnya korteks serebral akan
mengirim balik sejumlah besar sinyal umpan balik ke nukleus retikuler yang sama
untuk mengaktivasi lebih lanjut. Karena itu korteks serebri turut berperan dalam
fungsi kesadaran. Kerusakan korteks yang luas akan mempengaruhi taraf
kesadaran. Dengan demikian cukup jelas bahwa kedua komponen tersebut (ARAS
dan korteks serebri) harus terpelihara untuk kesadaran yang normal.13,14,15,17
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
9
Universitas Indonesia
2.1.2 Fisiologi
Kesadaran merupakan suatu pengertian kompleks yang terdiri dari 2 komponen
yaitu awareness dan arousal. Awareness merupakan integrasi fungsi luhur
manusia yang berasal dari berbagai input sensorik untuk dapat menyadari
keberadaan diri dan lingkungannya. Sedangkan arousal diartikan sebagai suatu
respon primitif yang diatur oleh jaras kesadaran multi sinaptik yang disebut
ARAS (Ascending Reticular Activating System) yang dimulai di batang otak dan
diensefalon. Kesadaran dapat dipertahankan karena adanya interaksi yang sangat
kompleks dan kontinu secara sinergis dan efektif antara hemisfer otak, formasio
retikularis serta semua rangsang sensorik yang diterima tubuh.15
ARAS (Ascending Reticular Activating System) bekerja dengan cara
mengaktifkan korteks serebri secara simultan dengan sejumlah input langsung
yang berasal dari batang otak dan hipotalamus. Impuls aferen spesifik ini dapat
berupa impuls visual, auditorik maupun proprioseptif. Relay impuls ini
dihantarkan oleh berbagai neurotransmitter, antara lain noradrenalin membawa
impuls dari lokus seruleus, serotonin membawa impuls dari dorsal dan median
nuklei rafe, dopamine membawa impuls dari substansia grisea periaquaduktus
ventral serta kolinergik dan GABA-ergik dari basal forebrain. ARAS inilah yang
mengatur fungsi luhur kesadaran manusia, sehingga apabila ARAS terganggu
maka kesadaran pun akan menurun atau terganggu.13,15
Masukan impuls yang menuju sistem saraf pusat yang berperan pada
mekanisme kesadaran pada prinsipnya ada dua macam, yaitu input yang spesifik
dan non spesifik. Input spesifik merupakan impuls aferen khas yang meliputi
impuls protopatik, propioseptif dan panca indera. Penghantaran impuls ini dari
titik reseptor pada tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus medialis, jaras
genikulo-kalkarina dan sebagainya menuju suatu titik di korteks reseptif primer.
Setelah impuls aferen spesifik ini sampai di korteks akan menghasilkan kesadaran
yang spesifik yaitu perasaan nyeri di kaki atau tempat lainnya, penglihatan,
pendengaran maupun penciuman. Sebagian impuls aferen spesifik ini melalui
cabang kolateralnya akan menjadi impuls non spesifik karena penyalurannya
melalui lintasan aferen non spesifik yang terdiri dari neuron-neuron di substansia
retikularis medula spinalis dan batang otak menuju inti intralaminaris talamus.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
10
Universitas Indonesia
Neuron ini disebut sebagai neuron penggalak kewaspadaan. Kemudian impuls
berlangsung secara multisinaptik, unilateral dan lateral serta menggalakan inti
tersebut untuk memancarkan impuls yang menggiatkan korteks secara difus dan
bilateral yang dikenal sebagai diffuse ascending reticular system. Neuron di
seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen non spesifik ini
dinamakan neuron pengemban kewaspadaan. Lintasan neuron non spesifik ini
menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik di seluruh
korteks serebri.15,16
Derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh banyaknya neuron penggerak
atau neuron pengemban kewaspadaan aktif. Unsur fungsional utama neuron-
neuron ini adalah kemampuan untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan
potensial aksi. Hal tersebut juga didukung oleh proses yang memelihara
kehidupan neuron serta unsur selular otak melalui proses biokimiawi. Kesadaran
sangat bergantung pada jumlah neuron tersebut yang aktif, maka derajat kesadaran
dapat tinggi atau rendah. Adanya gangguan baik pada neuron pengemban
kewaspadaan maupun penggerak kewaspadaan dapat menimbulkan penurunan
kesadaran.15
2.2 Penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis. Tidur
adalah bentuk penurunan kesadaran yang fisiologis. Siklus sirkadian tidur-bangun
terjaga diatur oleh kelompok sel saraf yang disebut nukleus suprakiasmatikus dan
terdapat di dalam hipotalamus bagian depan, di atas persilangan saraf penglihatan.
Pusat ini berfungsi seperti jam biologis badan manusia.Pada keadaan tidur
pemakaian oksigen oleh otak tidak berubah, berbeda dengan keadaan koma
dimana pemakaian oksigen menurun. Koma merupakan bentuk penurunan
kesadaran yang patologis/ tidak normal.14,17
Penurunan kesadaran merupakan suatu kegawatdaruratan neurologi akut
dengan ciri khas adanya gangguan otak yang bermakna yang memerlukan cara
pendekatan diagnosis, evaluasi serta penatalaksanaan yang cepat. Beberapa kasus
dijumpai saat di ruang emergensi, sebagian menurun kesadarannya di ruangan
selama dalam perawatan.15
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
11
Universitas Indonesia
Para dokter yang menghadapi pasien seperti ini harus segera melakukan
pemeriksaan dan penatalaksanaan yang serentak, menyeluruh, tetapi singkat.
Dokter dituntut untuk segera memastikan etiologi penurunan kesadaran tersebut,
sehingga mereka harus mahir dalam mengartikan tanda-tanda yang diperoleh pada
pemeriksaan. Pengetahuan yang cukup mengenai anamnesis, manifestasi klinik,
pemeriksaan fisik dan neurologis akan menuntun ke arah diagnosis dan etiologi
penurunan kesadaran, sehingga tatalaksana pada penderita menjadi lebih baik dan
keputusan-keputusan yang dapat menyelamatkan kehidupan pasien selanjutnya
dapat dibuat secara cepat dan akurat.15,16
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dibantu dengan pemeriksaan penunjang yang
tepat akan menentukan diagnosis klinis, etiologi, lokasi lesi, faktor risiko,
penanganan dan prognosis yang tepat juga. Pemeriksaan fisik pasien dimulai dari
penilaian ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan penilaian tingkat kesadaran.
Pemeriksaan fisik umum berguna sebagai petunjuk menemukan etiologi
penurunan kesadaran, menjadi dasar diagnosis dan penatalaksanaan. Pemeriksaan
neurologi menggunakan prinsip dasar evaluasi neurologi, menilai beratnya
gangguan kesadaran serta adanya defisit yang lebih spesifik. Pemeriksaan pada
pasien koma biasanya dapat dilakukan dengan sangat cepat karena
keterbatasannya dalam memberikan respon.15,16
2.2.1 Etiologi penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran merupakan masalah umum dalam kedokteran. Keadaan ini
mendominasi unit gawat darurat pada berbagai pelayanan rumah sakit. Penurunan
kesadaran dapat disebabkan oleh berbagai penyakit yang mekanismenya secara
umum disebabkan oleh: 1) Lesi atau kerusakan pada ARAS atau proyeksinya; 2)
Rusaknya sebagian besar kedua hemisfer serebral; 3) Tertekannya fungsi retikulo
serebral oleh obat-obatan, toksin atau gangguan metabolik seperti hipoglikemia,
anoksia, azotemia atau kegagalan hati.16,17
Bagian formasio retikularis yang penting bagi pertahanan kesadaran
menyebar dari otak tengah kaudal menuju talamus bagian bawah. Neuron-neuron
ARAS melalui nukleus pengantar di talamik kemudian mengeluarkan dorongan
rangsang pada aktivitas korteks serebral keseluruhan.17
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
12
Universitas Indonesia
Penurunan kesadaran yang patologis dapat disebabkan oleh berbagai
etiologi yang secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu:13,14,15,17
a. Gangguan metabolik / fungsional
1. Infeksi susunan saraf pusat
Ensefalomeningitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun
jamur dapat menyebabkan gangguan kesadaran disertai dengan panas
badan.
2. Epilepsi
3. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme seperti penyakit hati, ginjal, maupun diabetes
mellitus dapat mengakibatkan penurunan kesadaran.
4. Intoksikasi (obat-obatan, makanan atau bahan kimia)
5. Gangguan elektrolit dan endokrin
b. Gangguan struktural
1. Gangguan sirkulasi darah di otak
Perdarahan, trombosis, maupun emboli dapat menyebabkan terjadinya
gangguan kesadaran.
2. Trauma kepala
3. Neoplasma otak
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat menentukan kemungkinan
penyebab penurunan kesadaran, apakah proses struktural atau karena kelainan
medikal/ metabolik. Kelainan struktural dicurigai bila kejadiannya mendadak dan
terdapat defiist neurologi yang jelas. Selain itu, pemeriksaan neurologis dapat
menetapkan pula letak proses patologik di otak maupun batang otak.15,16
Pemeriksaan penunjang juga penting untuk mengevaluasi setiap pasein
dengan penurunan kesadaran. Pemeriksaan penunjang yang berkaitan dengan
pasien penurunan kesadaran sangatlah individual sesuai dengan diagnosis klinis.
Secara umum pemeriksaan penunjang ini tentunya akan membantu menentukan
etiologi dari penyebab penurunan kesadaran tersebut. Pemeriksaan yang dilakukan
dari tes darah yang sederhana sampai yang kompleks, pemeriksaan cairan
serebrospinal, tes elektrofisiologi atau pindaian neurologis.
Sebagian besar
penyebab klinis dari penurunan kesadaran dapat diketahui tanpa pindaian
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
13
Universitas Indonesia
neurologis, namun apabila riwayat dan pemeriksaan fisik tidak menunjukan
penyebab terjadinya maka diperlukan pindaian CT atau MRI.17
Pemeriksaan
seperti pindaian CT dan MRI sangat memegang peranan penting untuk
menentukan diagnosis etiologi pada pasien koma terutama koma dengan tanda
fokal/ lesi struktural.15,16,17
2.2.2 Penilaian tingkat kesadaran
Dokter secara simultan melakukan anamnesis singkat, pemeriksaan fisik,
mengevaluasi tingkat kesadaran dan menstabilisasi fungsi-fungsi vital pasien.
Penilaian tingkat kesadaran tidak mungkin bisa dinilai langsung, tetapi hanya
dapat dilakukan dengan mengobservasi respon perilaku pasien terhadap stimuli
yang berbeda, caranya kita tentukan dahulu intensitas rangsang yang diperlukan
untuk membangkitkan respon dan kualitasnya.14,15
Untuk menilai respon mula-mula diberi stimulus suara, jika tidak berespon
dilakukan guncangan yang kuat, jika tidak berespon juga kemudian dilakukan
pemeriksaan dengan memberikan rangsang nyeri untuk menyadarkan pasien
dengan stimulus nyeri yang cukup untuk membangunkan pasien tanpa
menimbulkan kerusakan jaringan. Paling baik jika memulai stimulasi yang
sederhana pada salah satu sisi seperti kompresi pada ujung kuku, foramen
supraorbital atau sendi temporomandibuler.13,14,15
Pemeriksaan diatas dapat memberikan informasi pula mengenai lateralisasi
respon motorik, tetapi perlu diulang pada setiap sisi jika terdapat lesi fokal pada
jaras nyeri pada satu sisi otak atau medulla spinalis. Jika tidak berespon terhadap
stimulus ini, stimulasi yang lebih keras pada garis tengah harus diberikan melalui
penekanan sternum dengan ruas jari-jari ke atas dan ke bawah dada, mungkin
cukup menimbulkan stimulus nyeri untuk membangkitkan pasien yang tidak
koma dalam.15
Respon pasien dicatat dan dinilai, karena penting untuk menentukan awal
dari kedalaman gangguan kesadaran. Pasien yang gagal memberi respon sama
sekali adalah berada dalam koma yang dalam. Jika pada pemeriksaan awal
terdapat gangguan, penting untuk melanjutkan pemeriksaan lanjutan secepatnya
untuk mempertahankan kehidupan pasien.15
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
14
Universitas Indonesia
Tingkat kesadaran dapat dibagi menjadi dua yaitu tingkat kesadaran secara
kualitatif dan kuantitatif. Pembagian kesadaran secara kualitatif diantaranya
sebagai berikut:15
1. Confusional state: Gangguan atensi tapi kesadaran adekuat untuk
melakukan perintah sederhana.
2. Delirium: Bingung dengan periode agitasi bergantian dengan kesadaran
menurun.
3. Stupor : Penurunan kesadaran yang berat dengan respon terhadap stimulus
yang hebat.
4. Koma: Tidak responsif total atau hampir total.
Skala lain yang lebih sederhana yaitu skala AVPU. Skala ini adalah cara
mudah dan cepat untuk menilai tingkat kesadaran. Terdiri dari:15
1. Alert
2. Voice (Respon terhadap suara)
3. Pain (Respon terhadap nyeri)
4. Unconscious (Penurunan kesadaran)
Skala AVPU termasuk ke dalam beberapa sistem skor peringatan dini untuk
pasien-pasien kritis, namun tidak cocok untuk observasi jangka panjang.
Sedangkan pembagian kesadaran secara kuantitatif dibagi menjadi:13,14,15,17
1. Kompos mentis
Sadar penuh, orientasi mengenai diri, waktu dan tempat baik, menjawab
dengan baik dan sesuai.
2. Somnolen
Keadaan mengantuk dan bila didiamkan segera tertidur. Pasien mudah
dibangunkan dengan stimulus suara namun tertidur kembali bila stimulus
dihentikan.
3. Sopor/Stupor
Pasien hanya berespon terhadap rangsangan yang kuat seperti stimulus
nyeri, namun bila didiamkan akan segera tertidur kembali. Sopor dapat
disertai dengan perilaku motorik yang menghindarkan diri dari
ketidaknyamanan atau rangsangan yang mengganggu.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
15
Universitas Indonesia
4. Koma
Tidak adanya respon terhadap rangsangan dari luar atau tidak ada gerakan
spontan sama sekali.
Tingkat kesadaran secara kuantitatif dapat pula diukur dengan Glasgow coma
Scale (GCS) yang terdiri dari tiga komponen, yaitu: Respon membuka mata,
respon verbal dan respon motorik.14,15,16
2.3 Glasgow Coma Scale (GCS)
Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh dokter dari Inggris, Teasdale
dan Jennet, sebagai alat bantu dalam menilai klinis kondisi penurunan kesadaran.
Teasdale dan Jannet, menyusun Glasgow Coma Scale untuk menilai tingkat
kesadaran secara kuantitatif. Kemudian GCS digunakan secara luas untuk
mengukur pasien individual, membandingkan efektifitas perawatan dan faktor
yang menentukan prognosis. GCS telah digunakan pada berbagai sistem
klasifikasi trauma dan penyakit kritis.14,17
Glasgow Coma Scale terdiri dari nilai dengan kisaran 3-15, nilai terendah 3
dan tertinggi 15 yang berarti sadar. Skala dihitung dengan cara penjumlahan
semua nilai respon. Penjumlahan nilai respon merupakan tingkat kesadaran
pasien. Penurunan kesadaran akibat trauma atau nontrauma, dapat dikategorikan
tingkat penurunan kesadarannya menjadi: ringan (13-15 poin), moderat (9-12
poin) dan berat/koma (3-8 poin).14,17
Respon membuka mata spontan biasanya menghilang pada keadaan koma,
sebagai fungsi dari penurunan tingkat kesadaran seiring dengan menutupnya mata.
Sementara titik berat penilaian fungsi motorik adalah pada gerakan lengan dan
tungkai. Respon fleksi lengan biasanya menunjukan lesi serebral inkomplit
kontralateral terhadap postur. Ekstensi menunjukan lesi serebral atau lesi batang
otak yang lebih dalam. Respon postur terdiri dari beberapa postur yang stereotip
dari tulang belakang dan ekstremitas kebanyakan muncul hanya jika dirangsang
nyeri atau dengan rangsangan yang sangat kuat.15
Postur dekortikasi adalah postur fleksi lengan dengan ekstensi tungkai.
Postur ini seringkali tampak sebagian atau asimetris, mencerminkan lesi sentral
yang kecil. Dekortikasi ini umumnya disebabkan oleh kerusakan hemisfer serebri
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
16
Universitas Indonesia
bilateral dengan fungsi batang otak yang masuh baik, lesi yang meluas melibatkan
disfungsi forebrain mendorong ke midbrain. Pasien-pasien seperti ini tipikal
mempunyai gerakan mata yang normal. Pola yang sama respon motorik ini bisa
dijumpai juga pada pasien-pasien dengan bermacam-macam gangguan metabolik
atau intoksikasi.15,16
Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale
Glasgow Coma Scale Skor
Respon membuka mata Spontan 4
Atas perintah verbal 3
Atas rangsang nyeri 2
Tidak ada respon 1
Respon verbal Orientasi baik dan berbicara 5
Disorientasi dan berbicara 4
Mengucap kata-kata tak tepat, menangis 3
Mengeluarkan suara yang tidak berarti 2
Tidak ada respon 1
Respons motorik Mengikuti perintah 6
Melokalisasi rangsang nyeri 5
Fleksi terhadap rangsang nyeri 4
Fleksi abnormal terhadap nyeri 3
Ekstensi terhadap rangsang nyeri 2
Tidak ada respon 1
Telah diolah kembali dari: Jennett B. Development of Glasgow Coma and Outcome Scale. Nepal
Journal of Neuroscience 2005; 2: 24-8
Deserebrasi ditandai oleh adanya postur ekstensi pada ekstremitas atas
ataupun bawah. Lengan pada posisi adduksi dan ekstensi dengan pergelangan
tangan pronasi penuh. Beberapa pasien seperti posisi opistotonus dengan gigi
terkatup dan tulang belakang melenting. Tonic neck reflex (rotasi kepala
menyebabkan hiperekstensi lengan pada salah satu sisi searah dengan putaran
hidung dan fleksi pada lengan sebelahnya. Ekstensi kepala bisa menyebabkan
ekstensi lengan dan relaksasi tungkai, sementara fleksi kepala menyebabkan
respon sebaliknya dapat membangkitkan. Seperti halnya postur dekortikasi,
deserebrasi pun dapat timbul sebagian, yang menunjukan bahwa cedera yang
terjadi lebih ringan. Postur ini juga bisa asimetri, menunjukan asimetrinya
disfungsi batang otak.15
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
17
Universitas Indonesia
Walaupun postur deserebrasi ini biasanya tampak dengan stimulasi nyeri,
pada beberapa pasien dapat terjadi spontan, sering disertai dengan menggigil dan
hiperpnea. Postur deserebrasi menunjukan adanya kerusakan di daerah midbrain
dan pons bagian atas dan dapat juga terjadi pada kelainan metabolik berat seperti
ensefalopati hepatik atau ensefalopati hipoksik iskemik. Kebanyakan postur
deserebrasi disertai dengan gangguan gerak mata.15,16
Salah satu kekurangan GCS adalah kegagalan dalam mengukur refleks
batang otak. Pengukuran ini memiliki bias numerik dalam menghitung respon
motorik. Masalah lain yang berkembang sekarang ini adalah penggunaan GCS
pada pasien terintubasi. Sehingga berbagai cara pengukuran lain telah
dikembangkan untuk mengatasi kekurangan GCS. Kendati memiliki kekurangan,
Glasgow Coma Scale masih digunakan secara luas untuk mengukur tingkat
kesadaran.17
2.4 Glasgow Outcome Scale
Pasien dengan kerusakan otak parah yang nyawanya terselamatkan setelah
mendapatkan resusitasi dan perawatan intensif, diklaim akan mendapatkan
pemulihan yang memuaskan dan kembali bekerja secara produktif. Hal tersebut
terbukti menjadi spekulasi yang terlalu optimis karena banyak diantara pasien
yang selamat kemudian menderita kecacatan/disabilitas jangka panjang, penilaian
yang sulit karena terdiri dari defisit fisik dan mental. Publikasi asli Outcome Scale
(GOS) pada tahun 1975 mengulas istilah-istilah yang telah digunakan untuk
menggambarkan pasien cedera kepala berat yang selamat.2
The Glasgow Outcome Scale bertujuan untuk mendapatkan sejumlah
kategori eksklusif yang merangkum kapasitas sosial pasien daripada
mengelompokan berdasarkan kecacatan tertentu. Lima kategori tersebut
adalah:2,17
a. Meninggal
Satu-satunya batasan terhadap kategori ini berkaitan dengan kapan kematian
terjadi – biasanya selama periode awal di rumah sakit, tapi dapat
diperpanjang sampai dengan waktu tertentu sesudahnya.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
18
Universitas Indonesia
b. Status vegetatif persisten
Kondisi tidak sadar dengan periode membuka mata spontan dan masih
memiliki respon refleks. Pasien dapat mengunyah, batuk dan
menelan.Kategori persisten biasanya didefinisikan setelah satu bulan
mengalami status vegetatif. Namun banyak juga pasien yang telah telah
vegetatif selama satu bulan kemudian pulih ke kategori yang lebih baik,
sehingga istilah persisten saat ini mulai ditinggalkan.
c. Disabilitas berat
Kategori ini berlaku untuk pasien sadar yang bergantung kepada orang lain
untuk aktivitas sehari-harinya karena disabilitas fisik atau mental, biasanya
kombinasi keduanya.
d. Disabilitas sedang
Pasien-pasien ini memiliki beberapa disabilitas seperti disfasia, hemiparesa
atau epilepsi dan/atau defisit memori atau kepribadian, tetapi mampu
merawat diri sendiri, berbelanja dan melakukan perjalanan dengan
transportasi umum. Mereka mungkin dapat bekerja dengan pengaturan
khusus.
e. Sembuh
Ini berarti kembalinya kehidupan normal dengan kapasitas untuk bekerja
meskipun tidak tercapai kondisi seperti sebelum cedera. Beberapa pasien ini
memiliki defisit neurologis atau psikologis.
Beberapa orang mengeluhkan bahwa kategori-kategori ini terlalu luas dan
diperlukan penambahan skala yang membagi masing-masing tingkat menjadi
beberapa derajat disabilitas. Di sisi lain ketika melakukan analisis hasil untuk
tujuan prediksi dan ketika membandingkan hasil dalam uji klinis sebuah obat
biasanya hanya diperlukan kategori yang lebih sedikit. Pasien-pasien dengan
disabilitas sedang atau sembuh dianggap sebagai hasil yang memuaskan atau hasil
yang baik (good outcome), sementara disabilitas berat atau status vegetatif
merupakan hasil yang tidak memuaskan atau hasil yang buruk (bad outcome).2
Waktu yang tepat untuk melakukan penilaian outcome sangat tergantung
pada tujuan yang selama ini dilakukan. Jika mortalitas adalah ukuran utama yang
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
19
Universitas Indonesia
dicari maka cukup beralasan bila outcome dinilai pada saat keluar dari fasilitas
perawatan akut, karena sebagian besar mortalitas terjadi pada minggu pertama.2
2.5 Kerangka teori
Pemeriksaan:
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologis
Glasgow Coma Scale:
o Respon membuka mata
o Respon verbal
o Respon motorik
Pemeriksaan penunjang
Glasgow OutcomeScale:
- Sembuh
- Disabilitas ringan
- Disabilitas sedang
- Status vegetatif persisten
- Meninggal
Gangguan Metabolik/
fungsional
Infeksi susunan saraf
pusat
Epilepsi
Gangguan metabolisme
Intoksikasi (obat-obatan,
makanan atau bahan
kimia)
Gangguan elektrolit dan
endokrin
Gangguan struktural
Gangguan sirkulasi
darah di otak
Trauma kepala
Neoplasma otak
Penurunan kesadaran
Outcome
Tatalaksana
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
20
Universitas Indonesia
2.6 Kerangka konsep
Outcome
(Glasgow Outcome Scale)
Penurunan Kesadaran
(Glasgow Coma Scale)
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
21 Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain penelitian
Penelitian ini merupakan studi observasional, kohort prospektif, dengan
pengambilan data pada pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat
Darurat RSCM.
3.2 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSCM Jakarta selama bulan Maret - Mei 2014 dengan
melakukan observasi terhadap pasien yang menjalani perawatan di IGD RSCM.
Pengambilan data dilakukan setelah mendapat persetujuan lolos kaji etik dari
Panitia Tetap Etik Penelitian Kedokteran/Kesehatan FKUI RSCM.
3.3 Populasi dan sampel penelitian
Populasi target penelitian adalah semua pasien dengan Glasgow Coma Scale
dibawah 15 yang dirawat di IGD RSCM Jakarta. Sampel penelitian adalah
populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penerimaan.
3.3.1 Kriteria penerimaan
1. Pasien dewasa (usia ≥ 18 tahun)
2. Pasien yang dirawat di IGD RSCM
3. Skor Glasgow Coma Scale dibawah 15 ketika datang di IGD RSCM
4. Keluarga yang mewakili bersedia menandatangani formulir persetujuan
untuk pasien ikut serta sebagai subjek penelitian
3.3.2 Kriteria penolakan
1. Pasien dengan penurunan kesadaran lebih dari 72 jam ketika datang di
IGD RSCM
2. Pasien dengan episode penurunan kesadaran sebelumnya
3. Pasien yang mendapat terapi obat sedasi sebelum tiba di IGD RSCM
4. Pasien datang dengan ventilasi mekanik
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
22
Universitas Indonesia
3.3.3 Kriteria pengeluaran
1. Pasien dirujuk untuk perawatan keluar dari RSCM.
2. Pasien atau keluarga pasien menolak terapi, withdrawal terapi atau
menolak perawatan di ICU.
3.4 Perkiraan besar sampel
Penelitian ini merupakan penelitian analitis komparatif numerik tidak berpasangan
2 kelompok. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan simpang baku adalah
simpang baku gabungan dari kelompok yang dibandingkan. Simpang baku
diperoleh dengan rumus berikut:18
Keterangan:
Sg = Simpang baku gabungan
(Sg)2 = Varian gabungan
S1 = Simpang baku kelompok 1 (good outcome) pada penelitian sebelumnya
n1 = Besar sampel kelompok 1 (good outcome) pada penelitian sebelumnya
S2 = Simpang baku kelompok 2 (bad outcome) pada penelitian sebelumnya
N2 = Besar sampel kelompok 2 (bad outcome) pada penelitian sebelumnya
Perhitungannya sebagai berikut:3
Peneliti menentukan perbedaan klinis yang diinginkan (X1 – X2), dimana
ditetapkan perbedaan 2 nilai dari total skor Glasgow Coma Scale dianggap
bermakna. Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis satu arah sehingga
Zα = 1.645. Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10% (Zβ = 1.282).
(Sg)2
= [S12 x (n1-1) + S2
2 x (n2-1)]
n1 + n2 - 2
(Sg)2
= [(2.9)2 x (120-1) + (3.6)
2 x (101-1)]
120+ 101– 2
Sg = 3.24
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
23
Universitas Indonesia
Data-data tersebut kemudian dimasukkan ke rumus perkiraan besar sampel
yaitu:18
Keterangan:
n = Besar sampel
Zα = Derivat baku alfa
Zβ = Derivat baku beta
S = Simpang baku gabungan
X1 – X2= Perbedaan klinis minimal yang dianggap bermakna
Perhitungan besar sampel:
Dengan demikian besar sampel minimal 2 kelompok adalah 88 sampel.
3.5 Metode pengambilan sampel
Sampel diambil dari pasien yang dirawat di IGD RSCM sejak diterimanya surat
kajian lolos etik penelitian oleh peneliti. Semua pasien yang memenuhi kriteria
penerimaan diambil sebagai sampel sampai dengan jumlah sampel yang
dibutuhkan mencukupi.
3.6 Cara kerja penelitian
1. Sosialisasi dan pelatihan penggunaan Glasgow Coma Scaledilakukan kepada
perawatyang akan melakukan penilaian GCS. Cara kerja penelitian juga
disosialisasikan untuk mencegah terjadinya kesalahan prosedur dalam
pengambilan data.
2. Seleksi sampel dilakukan berdasarkan kriteria penerimaan dan penolakan.
3. Peneliti melakukan pencatatan data demografi sampel yang telah memenuhi
kriteria.
n1 = n2 = 2 x (Zα + Zβ)S2
(X1 – X2)
n1 = n2 = 2 x (1.645 + 1.282) (3.24)2
= 43.86 (dibulatkan menjadi 44)
2
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
24
Universitas Indonesia
4. Glasgow Coma Scale sampel dinilai oleh perawat dan peneliti. Kemudian
hasilnya dicatat dalam lembar penelitian. Penilaian GCS dilakukan sebanyak
1 kali ketika pasien pertama kali diterima di IGD RSCM.
5. Data yang dicatat dalam lembar penelitian terdiri dari:
a. Nama
b. Nomer rekam medis
c. Usia
d. Tanggal lahir
e. Jenis kelamin
f. Diagnosis
g. Skor Glasgow Coma Scale
h. Glasgow Outcome Scale
6. Peneliti mengevaluasi outcome pasien dua minggu setelah masuk IGD RSCM
berdasarkan kriteria Glasgow Outcome Scale.
7. Data yang terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan uji statistik
yang akan dijelaskan kemudian.
3.7 Batasan operasional
Berikut ini definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Usia
Usia adalah usia kronologis pasien berdasarkan data yang tertera dalam
rekam medis.
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien berdasarkan data yang tertera
pada rekam medis (laki-laki/perempuan).
3. Penurunan Kesadaran
Pasien dengan Glasgow Coma Scale dibawah 15.
4. Skor Glasgow Coma Scale (GCS)
Skor Glasgow Coma Scale (GCS) diperiksa saat pertama pasien tiba di
IGD RSCM. Penilaian terdiri dari respon motorik (M), respon verbal (V)
dan membuka mata (E). Nilai total skor GCS minimal 3 dan maksimal 15.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
25
Universitas Indonesia
Sample penelitian ini adalah pasien dengan skor GCS kurang dari 15 dan
lebih dari sama dengan 3.
5. Penilai skor GCS
Penilaian skor GCS akan dilakukan oleh dokter dan perawat. Perawat yang
dimaksud adalah perawat ruang resusitasi IGD RSCM yang sedang
berdinas ketika subyek pasien datang ke ruang resusitasi IGD RSCM.
Sedangkan dokter yang dimaksud adalah peneliti yang merupakan PPDS
Anestesiologi FKUI-RSCM.
6. Diagnosis pasien
Diagnosis pasien adalah diagnosis utama pasien IGD RSCM yang menjadi
penyebab penurunan kesadaran subyek penelitian.
7. Pasien dengan ventilasi mekanik
Pasien dengan ventilasi mekanik adalah pasien yang menggunakan pipa
endotrakeal dan memakai ventilator untuk bantuan usaha bernafas ketika
datang ke IGD RSCM.
8. Withdrawal terapi
Keputusan untuk menarik alat-alat penunjang kehidupan. Keputusan
tersebut merupakan kesimpulan dari konsultasi antara dokter dan keluarga
pasien, setelah mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi atau faktor
lain di luar faktor medis semata.19
9. Glasgow Outcome Scale
Glasgow Outcome Scale terdiri dari lima kategori yang bertujuan untuk
mengelompokan pasien berdasarkan disabilitas dan kapasitas sosial.
Pasien-pasien dengan disabilitas sedang atau sembuh dianggap sebagai
hasil yang memuaskan atau hasil yang baik (good outcome), sementara
disabilitas berat, status vegetatif dan meninggal merupakan hasil yang
tidak memuaskan atau hasil yang buruk (bad outcome).
3.8 Manajemen dan analisis data
Data hasil penelitian dicatat dalam lembar formulir penelitian. Proses
penyuntingan kemudian dilakukan mencakup kelengkapan pengisian formulir
penelitian, kemudian data dikoding untuk selanjutnya ditabulasi dan dianalisis.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
26
Universitas Indonesia
Deskripsi data kategorik disajikan berupa presentase (%) sedangkan data
numerik disajikan dalam bentuk rerata dengan simpangan bakunya. Uji normalitas
data dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Untuk menilai kemampuan
sistem skor GCS dalam memprediksi outcome pada pasien dengan penurunan
kesadaran digunakan beberapa metode analisis:
1. Hasil Glasgow Outcome Scale akan di analisis secara deskriptif untuk
variabel kategorik, hasilnya adalah berupa frekuensi dan presentase
(proporsi).
2. Untuk menguji hubungan kemaknaan skor total GCS dan skor masing-
masing komponen GCS (motorik, verbal dan membuka mata) terhadap
outcome pasien dengan penurunan kesadaran (Glasgow Outcome Scale
yang dinilai dua minggu setelah pasien masuk rumah sakit) dilakukan
dengan analisis uji t tidak berpasangan dengan alternatif uji Mann-
Whitney bila tidak memenuhi syarat uji parametrik.
3. Untuk menguji nilai diskriminasi GCS dalam memprediksi outcome pasien
dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM, diuji
dengan membuat kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) untuk
memperoleh nilai Area Under Curve (AUC).
Seluruh pengolahan dan analisis data akan dilakukan dengan perangkat SPSS
versi 17.
3.9 Etik penelitian
Persetujuan etik penelitian akan diperoleh dari Komite Etik Penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia sebelum subyek mulai diikutsertakan dalam
penelitian.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
27
Universitas Indonesia
3.10 Kerangka kerja penelitian
2 mingggu setelah pasien masuk IGD,
Penilaian Glasgow Outcome Scale.
Analisis data
Pencatatan identitas pasien (nama,
usia, jenis kelamin) dan diagnosis
utama
Penilaian Glasgow Coma Scale (oleh
perawat dan dokter)
Masuk kriteria pengeluaran
Pasien IGD RSCM
Kriteria penerimaan dan penolakan
Memenuhi kriteria Tidak memenuhi kriteria
Disertakan dalam penelitian Dikeluarkan dari penelitian
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
28 Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Analisis deskriptif
Penelitian ini dilakukan terhadap 116 sampel, yaitu pasien yang mengalami
penurunan kesadaran ketika masuk ke Instalasi Gawat Darurat RSCM selama
Maret-Mei 2014 dan memenuhi kriteria penelitian. Sembilan pasien dikeluarkan
karena dirujuk keluar dari RSCM, menolak terapi, withdrawal terapi atau menolak
perawatan di ICU.
Tabel 4.1 Data demografis pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM selama
bulan Maret - Mei 2014
Deskripsi n (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 58 (50%)
Perempuan 58 (50%)
Usia (tahun)
mean ± SD, tahun 51,4 ± 16,4*
Tindakan pemeriksaan
Laboratorium darah 116 (100%)
Rontgen thoraks 115 (99,1%)
CT-scan kepala 63 (54,3%)
MRI kepala 2 (1,7%)
Diagnosis
Cedera kepala 10 (8,6%)
Stroke 29 (25%)
Infeksi intrakranial 9 (7,8%)
Tumor intrakranial 8 (6,8%)
Kelainan metabolik & obat-obatan 26 (22,4%)
Sepsis 30 (25,9%)
Kardiologis 4 (3,4%)
Skor Glasgow Coma Scale
Median (min-maks) 9 (3-14)*
* Uji Kolmogorov-Smirnov
Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin didapatkan perempuan
berjumlah 58 pasien (50%) dan laki-laki 58 pasien (50%). Rerata usia pasien 51,4
± 16,4 tahun, usia termuda adalah 19 tahun sedangkan usia tertua 87 tahun.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
29
Universitas Indonesia
Data tindakan pemeriksaan terhadap pasien selama di IGD RSCM yaitu 116
pasien (100%) diperiksa laboratorium darah, 115 pasien (99,1%) diperiksa
rontgen thoraks, 63 pasien (54,3%) diperiksa CT-scan kepala dan 2 pasien (1,7%)
diperiksa MRI kepala. Proporsi diagnosis pasien yang datang dengan penurunan
kesadaran ke IGD RSCM diantaranya cedera kepala 10 kasus (8,6%), stroke 29
kasus (25%), infeksi intrakranial 9 kasus (7,8%), tumor intrakranial 8 kasus
(6,8%), kelainan metabolik dan obat-obatan 26 kasus (22,4%), sepsis 30 kasus
(25,9%) dan kardiologis 4 kasus (3,4%). Data demografis pasien dapat dilihat
pada tabel 4.1.
Gambar 4.1 menunjukkan distribusi skor GCS pasien penurunan kesadaran
di IGD RSCM. Dengan melihat histogram tersebut tampak bahwa distribusi data
cenderung miring ke kanan yang menunjukkan sebaran skor GCS tidak normal.
Tabel 4.1 menunjukkan skor Glasgow Coma Scale pada penelitian ini didapat
median 9 dengan rentang skor terkecil 3 dan tertinggi 14.
Gambar 4.1 Distribusi skor GCS pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM
selama bulan Maret - Mei 2014
Hasil outcome pasien pada 14 hari setelah masuk IGD RSCM berdasarkan
Glasgow Outcome Scale dapat dilihat pada tabel 4.2. Jumlah yang meninggal 51
pasien (44%), disabilitas berat 15 pasien (12,9%), disabilitas sedang 27 pasien
(23,3%) dan sembuh 23 pasien (19,8%). Kemudian dilakukan klasifikasi outcome
5
21
5 5
21 21
14 1412
15
1
0
5
10
15
20
25
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jum
lah
Pas
ien
Skor GCS
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
30
Universitas Indonesia
menjadi bad outcome (meninggal dan disabilitas berat) 66 pasien (56,9%) dan
good outcome (disabilitas sedang dan sembuh) 50 pasien (43,1%).
Tabel 4.2 Hasil outcome setelah 14 hari pada pasien penurunan kesadaran di IGD
RSCM selama bulan Maret - Mei 2014
Deskripasi n (%)
Glasgow Outcome Scale
Meninggal 51 (44%)
Disabilitas berat 15 (12,9%)
Disabilitas sedang 27 (23,3%)
Sembuh 23 (19,8%)
Klasifikasi Outcome
Bad outcome 66 (56,9%)
Good outcome 50 (43,1%)
Gambar 4.2 Distribusi skor GCS berdasarkan outcome pada pasien penurunan
kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret - Mei 2014
Gambar 4.2 menunjukkan sebaran skor GCS pada pasien kelompok bad
outcome dan good outcome. Pada penelitian ini didapatkan 60 pasien yang
memiliki skor GCS antara 3-9 saat masuk IGD RSCM, sebanyak 46 pasien
memiliki bad outcome. Pasien yang memiliki skor GCS antara 10-14 saat masuk
IGD RSCM berjumlah 56 pasien, dimanahanya 20 pasien memiliki bad outcome.
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Good Outcome 0 0 0 0 2 5 7 5 10 6 14 1
Bad Outcome 5 2 1 5 3 16 14 9 4 6 1 0
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Jum
lah
Pas
ien
Skor GCSGood Outcome Bad Outcome
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
31
Universitas Indonesia
Gambar 4.3 Distribusi skor GCS-E (komponen membuka mata) berdasarkan
outcome pada pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret -
Mei 2014
Gambar 4.4 Distribusi skor GCS-M (komponen motorik) berdasarkan outcome
pada pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret - Mei 2014
0
15
25
1010
33
21
2
0
5
10
15
20
25
30
35
1 2 3 4
Jum
lah
Pas
ien
Skor GCS-E
Good Oucome
Bad Outcome
02
0
8
27
13
5 5
2
2724
3
0
5
10
15
20
25
30
1 2 3 4 5 6
Jum
lah
Pas
ien
Skor GCS-M
Good Oucome
Bad Outcome
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
32
Universitas Indonesia
Gambar 4.5 Distribusi skor GCS-V (komponen verbal) berdasarkan outcome
pada pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret - Mei 2014
Gambar 4.3, gambar 4.4 dan gambar 4.5 menunjukkan sebaran skor GCS
komponen membuka mata (GCS-E), motorik (GCS-M) dan verbal (GCS-V) pada
pasien kelompok bad outcome dan good outcome. Gambar 4.3 menunjukkan
pasien yang datang ke IGD RSCM dengan skor GCS-E antara 1- 2 berjumlah 58
pasien, sebanyak 43 pasien memiliki bad outcome. Pasien yang memiliki skor
GCS-E antara 3- 4 berjumlah 58 pasien, dimana hanya 23 pasien memiliki bad
outcome. Gambar 4.4 menunjukkan pasien yang datang ke IGD RSCM dengan
skor GCS-M antara 1- 4 berjumlah 49 pasien, sebanyak 39 pasien memiliki bad
outcome. Pasien yang memiliki skor GCS-M antara 5- 6 berjumlah 67 pasien,
dimana hanya 27 pasien memiliki bad outcome. Gambar 4.5 menunjukkan pasien
yang datang ke IGD RSCM dengan skor GCS-V antara 1- 2 berjumlah 69 pasien,
sebanyak 50 pasien memiliki bad outcome. Pasien yang memiliki skor GCS-V
antara 3- 5 berjumlah 47 pasien, dimana hanya 16 pasien memiliki bad outcome.
4.2 Analisis bivariat skor GCS terhadap outcome
Hubungan skor GCS terhadap outcome didapat melalui analisis bivariat dengan
Uji Mann Whitney. Skor GCS pasien kelompok bad outcome berbeda bermakna
dengan kelompok good outcome berdasarkan analisis statistik (p < 0,001). Skor
GCS pada kelompok bad outcome memiliki median 9 dengan skor terendah 3 dan
3
16
10
19
2
16
34
11
41
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1 2 3 4 5
Jum
lah
Pas
ien
GCS-V
Good Oucome
Bad Outcome
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
33
Universitas Indonesia
tertinggi 13. Sedangkan skor GCS pasien kelompok good outcome memiliki
median 11 dengan skor terendah 7 dan tertinggi 14. (Tabel 4.3)
Tabel 4.3 Hasil analisis bivariat skor GCS dengan outcome pada pasien
penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret - Mei 2014
Variabel n Median
(min-maks)
p
Bad outcome 66 9 (3 -13) < 0,001*
Good outcome 50 11 (7 – 14)
*Uji Mann-Whitney, p signifikan bila < 0,05
4.3 Analisis bivariat komponen GCS terhadap outcome
Skor GCS terdiri atas tiga komponen yaitu membuka mata (GCS-E), motorik
(GCS-M) dan verbal (GCS-V). Tabel 4.4 menunjukkan hubungan komponen GCS
terhadap outcome melalui analisis bivariat dengan uji Mann Whitney. Skor GCS-
E, GCS-M dan GCS-V masing-masing pasien kelompok bad outcome berbeda
bermakna dengan kelompok good outcome berdasarkan analisis statistik (p <
0,001). Pada komponen membuka mata kelompok bad outcome memiliki median
2 (1- 4), sedangkan kelompok good outcome memiliki median 3 (2- 4), p < 0,001.
Komponen motorik kelompok bad outcome memiliki median 4 (1- 6), sedangkan
kelompok good outcome memiliki median 5 (2- 6), p < 0,001. Komponen verbal
kelompok bad outcome memiliki median 2 (1- 5), sedangkan kelompok good
outcome memiliki median 3 (1- 5), p < 0,001.
Tabel 4.4 Hasil analisis bivariat komponen GCS terhadap outcome pada pasien
penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret - Mei 2014
Variabel Bad outcome Good outcome p
Median (min-maks) Median (min-maks)
GCS eye 2 (1-4) 3 (2– 4) < 0,001*
GCS verbal 2 (1-5) 3 (1– 5) < 0,001*
GCS motorik 4 (1-6) 5 (2– 6) < 0,001*
*Uji Mann-Whitney, p signifikan bila < 0,05
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
34
Universitas Indonesia
4.4 Analisis multivariat skor GCS terhadap outcome
Hasil analisis bivariat digunakan untuk menyeleksi komponen mana saja yang
bisa dimasukan ke dalam analisis multivariat, syaratnya ialah nilai p pada analisis
bivariat < 0,25. Tujuan analisis multivariat adalah untuk mengetahui kualitas
komponen GCS dalam memprediksi outcome pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran. Berdasarkan tabel 4.4 komponen GCS motorik, verbal dan
membuka mata memenuhi syarat untuk masuk ke dalam analisis multivariat. Hasil
analisis multivariat dengan regresi logistik metode backward stepwise dapat diliat
pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil analisis multivariat skor GCS terhadap outcome pada pasien
penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret - Mei 2014
Variabel Koefisien P OR IK 95%
Langkah 1 GCS eye - 0,792 0,021* 0,453 0,232-0,885
GCS motorik - 0,423 0,129 0,655 0,380-1,131
GCS verbal - 0,538 0,030* 0,584 0,359-0,950
Konstanta 5,651 < 0,001
Langkah 2 GCS eye - 0,948 0,004* 0,388 0,202-0,743
GCS verbal - 0,687 0,003* 0,503 0,321-0,789
Konstanta 4,474 < 0,001
Regresi logistik (backward stepwise), * p signifikan bila < 0,05
Tabel 4.5 memberikan informasi dua langkah dalam analisis multivariat
regresi logistik. Pada langkah pertama komponen motorik tidak memenuhi nilai p
< 0,05, sehingga dieliminasi pada analisis langkah kedua. Hal tersebut
menunjukkan bahwa komponen GCS yang memiliki nilai prediksi terhadap
outcome adalah komponen verbal dan membuka mata. Kemampuan skor GCS
dalam memprediksi probabilitas outcome dengan prognosis buruk (bad outcome)
dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana:
Persamaan logistik (y) = 4,474 + [(-0,948)x GCS-E] + [(-0,687)x GCS-V]
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
35
Universitas Indonesia
4.5 Uji kalibrasi
Kualitas suatu model prognostik secara statistik dapat dinilai berdasarkan dua
cara, yaitu kalibrasi dan diskriminasi. Kalibrasi dikatakan baik apabila nilai p >
0,05 pada uji kalibrasi dengan Hosmer and Lemeshow, yang berarti tidak ada
perbedaan antara nilai observasi (observed) dengan harapan (expected). Hasil uji
kalibrasi menunjukkan skor GCS total dan skor GCS E+V (komponen membuka
mata dan verbal) memiliki kualitas yang baik dari aspek kalibrasi, dimana
outcome yang diprediksi dengan outcome aktual tidak berbeda bermakna.
Hasilnya ditampilkan pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hasil uji kalibrasi skor GCS E+M+V dan GCS E+V dalam
memprediksi outcome pada pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM selama
bulan Maret - Mei 2014
Variabel p
Skor GCS E+M+V 0,070*
Skor GCS E+V 0,525*
Uji Hosmer and Lemeshow, *p signifikan bila > 0,05
4.6 Uji diskriminasi
Hasil uji diskriminasi menggunakan analisis Receiver Operating Characteristic
(ROC). ROC adalah kurva yang dihasilkan dari tarik ulur antara sensitivitas dan
spesifisitas pada berbagai titik potong. Dengan metode ROC, akan diperoleh Area
Under Curve (AUC) serta titik potong yang direkomendasikan. Gambar 4.6
menunjukkan kurva ROC skor GCS total dan gambar 4.7 kurva ROC skor GCS
E+V (komponen membuka mata dan verbal). Dari kurva ROC tersebut didapatkan
bahwa skor GCS total mempunyai nilai AUC sebesar 0,788 (IK95% 0,705-0,870),
artinya apabila skor GCS digunakan untuk memprediksi outcome pada 100 orang
pasien maka akan didapatkan kesimpulan yang tepat pada 79 orang pasien. Skor
GCS E+V mempunyai nilai AUC sebesar 0,777 (IK95% 0,690-0,864). Nilai AUC
E+V (komponen membuka mata dan verbal) walaupun berbeda dari nilai AUC
skor GCS total, namun hanya sedikit lebih rendah. Intepretasi nilai AUC tersebut
berdasarkan klasifikasi kekuatan nilai diagnostik adalah sedang (AUC 0,700-
0,800). (Tabel 4.7)
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
36
Universitas Indonesia
Tabel 4.7 Hasil analisis AUC skor GCS E+M+V dan GCS E+V dalam
memprediksi outcome pada pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM selama
bulan Maret - Mei 2014
Variabel AUC IK 95%
Skor GCS total 0,788 0,705-0,870
Skor GCS E+V 0,777 0,690-0,864
Gambar 4.6 Kurva ROC prediksi skor GCS terhadap outcome pada pasien
dengan penurunan kesadaran
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
37
Universitas Indonesia
Gambar 4.7 Kurva ROC prediksi skor GCS E+V (komponen membuka mata dan
verbal) terhadap outcome pada pasien dengan penurunan kesadaran
4.7 Titik potong good outcome dengan bad outcome
Titik potong digunakan untuk menentukan secara statistik pada nilai berapakah
dapat dikatakan subyek akan mengalami prognosis yang buruk. Titik potong
optimal adalah pada titik dimana garis sensitifitas berpotongan dengan
spesifisitas. Hasil titik potong antara bad outcome dengan good outcome pada
penelitian ini ditunjukkan pada gambar 4.8. Nilai titik potong tidak tepat berada
pada suatu titik. Oleh karena itu terdapat dua alternatif titik potong, yaitu satu titik
sebelum dan sesudah perpotongan. Titik tersebut lebih kecil dari 10,5 dan lebih
besar dari 9,5. Bila kita memilih ≤ 9,5 sebagai titik potong, nilai sensitifitas dan
spesifisitas masing-masing 69,7% dan 72%. Namun skor GCS suatu subyek tidak
mungkin 9,5, nilai dibawah 9,5 adalah 9. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan
titik potongnya adalah ≤ 9. Titik potong ini memiliki arti apabila skor GCS
subyek maksimal 9 dapat dikatakan bahwa subyek mempunyai prognosis yang
buruk.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
38
Universitas Indonesia
Gambar 4.8 Grafik perpotongan antara sensitifitas dan spesifisitas good outcome
dengan bad outcome pada pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM selama
bulan Maret - Mei 2014
4.8 Uji kesesuaian
Uji kesesuaian antar observer dilakukan dengan membandingkan hasil penilaian
dokter dan perawat terhadap skor GCS pada pasien dengan penurunan kesadaran
di IGD RSCM. Uji kesesuaian Kappa akan mencari nilai kesesuaian murni antara
dua penilai, yaitu nilai kesesuaian yang dinilai dikurangi dengan nilai kesesuaian
karena faktor kebetulan dibandingkan dengan kesesuaian bukan karena faktor
kebetulan. Tabel 4.8 menunjukan hasil Uji Kappa antara dokter dan perawat
terhadap skor GCS menunjukkan hasil yang sangat kuat Kappa 0,901 (p< 0,001).
Hal ini menunjukkan GCS selain dapat menjadi predictor outcome juga dapat
menjadi sarana komunikasi yang sangat baik antar tenaga medis dalam
mendeskripsikan tingkat kesadaran pasien.
Tabel 4.8 Hasil Uji Kappa dokter dan perawat terhadap skor GCS pada pasien
dengan penurunan kesadaran di IGD RSCM selama bulan Maret - Mei 2014
Kappa P
Uji kesesuaian GCS
dokter dengan perawat 0,901 < 0,001
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
3.5 4.5 5.5 6.5 7.5 8.5 9.5 10.5 11.5 12.5 13.5 15Skor GCS
Sensitifitas
Spesifisitas
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
39 Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN
Penelitian ini mencari hubungan skor GCS awal pasien penurunan kesadaran
ketika pasien tiba di IGD RSCM dengan outcome pasien setelah 2 minggu
mendapat perawatan. Penetapan waktu 2 minggu diantaranya berdasarkan
pertimbangan yang mengacu pada patofisiologi edema otak pada kasus cedera
kepala, berbagai penelitian terkini menunjukkan munculnya peranan komponen
vasogenik dan sitogenik terhadap kejadian edema otak. Teknik pencitraan MRI
dapat memperlihatkan terjadinya edema vasogenik dalam beberapa jam setelah
cedera kepala, diikuti oleh edema sitogenik yang muncul lebih lambat yaitu
beberapa hari dan dapat menetap hingga 2 minggu.20
Penelitian yang menghubungkan GCS terhadap outcome setelah 2 minggu
perawatan telah dilakukan oleh Sacco dkk21
, Levy dkk9
dan Weir dkk22
. Levy
dkk.9 melakukan penelitian kohort prospektif terhadap 500 pasien koma dengan
GCS maksimal E2M4V2 di Amerika Serikat dan Inggris. Penelitian ini
mengidentifikasi empat faktor penting yang dapat membantu menentukan
prognosis, yaitu etiologi, kedalaman koma, durasi koma dan tanda klinis. Faktor
durasi koma menunjukkan bahwa semakin lama pasien berada dalam kondisi
koma maka akan semakin kecil kemungkinan pasien akan sembuh dan semakin
besar kemungkinan pasien akan mengalami status vegetatif persisten. Pada hari
ketiga koma kesempatan untuk memiliki kesembuhan atau disabilitas sedang
menurun hingga 7% dan pada hari ke-14 hanya 2%. Setelah 14 hari angka
kesembuhan sudah kurang dari 2%, sehingga waktu tersebut dijadikan acuan
untuk menetapkan outcome pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Hasil outcome pasien pada 14 hari setelah masuk IGD RSCM berdasarkan
Glasgow Outcome Scale yaitu meninggal 51 (44%) pasien, disabilitas berat 15
pasien (12,9%), disabilitas sedang 27 pasien (23,3%) dan sembuh 23 pasien
(19,8%) (tabel 4.2). Hasil ini sama dengan yang didapatkan Sacco dkk.21
dalam
penelitian di New York pada pasien koma non trauma 44,4% meninggal dan
21,5% koma setelah dua minggu perawatan. Maheswaran dkk.3 melaporkan kasus
koma non trauma 40,3% pasien meninggal dan 5,4% pasien koma dua minggu
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
40
Universitas Indonesia
setelah masuk IGD. Hasil persentase pasien yang meninggal sama pada ketiga
penelitian. Glasgow Outcome Scale dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi
dua bagian yaitu bad outcome dan good outcome. Pasien dengan bad outcome
(meninggal dan disabilitas berat) dalam penelitian ini berjumlah 66 pasien
(56,9%) dan good outcome (disabilitas sedang dan sembuh) berjumlah 50 pasien
(43,1%).
Penelitian ini dilakukan terhadap 116 sampel yang masuk ke IGD RSCM
dengan penurunan kesadaran. Perbandingan jenis kelamin sampel seimbang antara
laki-laki dan perempuan, masing-masing 58 pasien dengan rerata usia adalah 51,4
tahun (tabel 4.1). Rerata usia tersebut tidak berbeda dari rerata pasien kritis di
IGD yang didapatkan oleh Intas dkk.23
pada penelitian yang dilakukan di Athena
yaitu 57 tahun. Pasien dengan bad outcomedi IGD RSCM memiliki rerata usia
53,4 ± 14,8 tahun dan good outcome 48,8 ± 18 tahun. Maheswaran dkk.3
juga
melaporkan pasien dengan good outcome memiliki rerata usia yang lebih muda.
Pasien muda memiliki kesempatan lebih besar mendapatkan good outcome setelah
dua minggu perawatan. Maheswaran dkk.3
melakukan penelitian pada pasien
koma non trauma. Pasien muda memiliki resiko lebih rendah terhadap hipertensi,
diabetes mellitus dan penyakit jantung koroner, sehingga lebih rendah resiko
mendapat komplikasi stroke, infark miokard akut dan diabetes ketoasidosis.
Penurunan kesadaran adalah perubahan tingkat kesadaran yang
menggambarkan hasil akhir dari beragam proses patofisiologi penyakit (trauma,
metabolik, vaskular, neoplasma dan infeksi) yang menyebabkan kekacauan dalam
fungsi otak.1,2,3
Penelitian ini menunjukan diagnosis paling banyak menyebabkan
pasien datang dengan penurunan kesadaran ke IGD RSCM sesuai data tabel 4.1
yaitu stroke sebanyak 29 kasus (25%), kelainan metabolik & obat-obatan 26 kasus
(22,4%) dan sepsis 30 kasus (25,9%). Diagnosis terbanyak pada pasien dengan
good outcome adalah kelainan metabolik & obat-obatan yaitu sebanyak 18 kasus
(36%). Diagnosis terbanyak pada pasien dengan bad outcome adalah stroke
sebanyak 21 kasus (31,8%) dan sepsis sebanyak 24 kasus (36,4%). Pasien dengan
penurunan kesadaran yang diakibatkan oleh kelainan primer intrakranial dan lesi
di otak cenderung memiliki bad outcome di IGD RSCM dibandingkan dengan
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
41
Universitas Indonesia
pasien penurunan kesadaran yang diakibatkan oleh kelainan metabolik & obat-
obatan yang bersifat reversibel.24
Kelainan intrakranial berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
karena penambahan volume atau massa di otak, kerusakan pada korteks atau
batang otak yang mengatur seluruh tingkat fungsi kortikal khususnya kesadaran.25
Kelainan metabolik sistemik mengakibatkan penurunan kesadaran akibat
gangguan pada pengiriman substrat energi (hipoksia, iskemia, hipoglikemia) atau
perubahan eksitabilitas sel-sel saraf yang mengakibatkan aktivitas elektrik otak
berhenti. Penurunan kesadaran akibat kelainan metabolik paling mungkin diobati
dan bersifat reversibel bila ditangani dengan cepat dan tepat.17
Hasil penelitian
Maheswaran dkk.3
menunjukan kematian terbanyak pada pasien dengan
penurunan kesadaran setelah dua minggu perawatan adalah pada pasien yang
memiliki kelainan otak fokal maupun difus, seperti stroke iskemik dan hemoragik
(42%). Maheswaran dkk.3
mendapatkan presentase penyakit yang lebih besar dari
penelitian ini karena hanya melakukan penelitian pada pasien penurunan
kesadaran non trauma saja, sedangkan pada penelitian ini terdapat kasus cedera
kepala sebanyak 10 kasus (8,6%).
5.1 Hubungan skor GCS dengan outcome
Penelitian ini menunjukan skor GCS pasien yang masuk IGD RSCM dengan
penurunan kesadaran memiliki median 9 dengan rentang skor GCS terkecil 3 dan
tertinggi 14. Penilaian GCS bergantung pada respon serebrum terhadap
rangsangan aferen. Variasi dari nilai GCS tersebut disebabkan oleh gangguan
fungsi serebrum atau gangguan di batang otak yang mempengaruhi jalannya
rangsangan ke hemisfer serebrum.26
Hasil tersebut lebih rendah dari rerata GCS
saat tiba di IGD yang dilaporkkan Maheswaran dkk.3
yaitu 10,3.
GCS saat ini digunakan sebagai alat untuk memprediksi outcome pada
pasien yang datang dengan cedera kepala akibat trauma, stroke, koma non-trauma,
cardiac arrest dan keracunan.8
Penelitian ini ingin mengetahui kemampuan GCS
dalam memprediksi outcome pada berbagai penyakit di populasi IGD RSCM.
Hasil analisis bivariat penelitian ini menunjukan bahwa skor GCS pasien
kelompok bad outcome di IGD RSCM berbeda bermakna dengan kelompok good
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
42
Universitas Indonesia
outcome (p < 0,001). Skor GCS awal karenanya dapat digunakan untuk
memperkirakan outcome pasien setelah 14 hari perawatan. Zafonte dkk.27
dan
Poon dkk.28
juga menyatakan bahwa penilaian GCS saat pasien masuk rumah
sakit memiliki korelasi yang bermakna dengan outcome saat pasien keluar dari
rumah sakit.
Pada penelitian ini didapatkan skor GCS pada kelompok bad outcome
memiliki median 9 (3- 13), skor tersebut lebih rendah dari median skor GCS
kelompok good outcome yaitu 11 (7- 14). Pasien yang datang dengan skor GCS
rendah menunjukan kondisi penyakit yang sudah parah, kerusakan organ yang
berat dan luas, bisa diperparah oleh penanganan awal yang kurang tepat dan cepat
atau keterbatasan pelayanan lanjutan seperti ruang perawatan ICU. Penelitian
yang dilakukan Maheswaran dkk.3
melaporkan bahwa skor GCS pada saat tiba di
rumah sakit dilaporkan lebih tinggi pada pasien yang memiliki good outcome.
5.2 Hubungan komponen GCS dengan outcome
Skor GCS terdiri atas tiga komponen yaitu motorik, verbal dan membuka mata.
Pada penelitian ini dijumpai skor komponen GCS motorik, verbal dan membuka
mata pasien kelompok bad outcome di IGD RSCM berbeda bermakna dengan
kelompok good outcome. Pasien dengan good outcome memiliki skor GCS awal
motorik, verbal dan membuka mata yang lebih tinggi.3 Hal ini menunjukan pasien
dengan skor komponen GCS awal lebih tinggi berpeluang memiliki hasil baik
pada dua minggu setelah masuk rumah sakit. Pada komponen membuka mata
kelompok bad outcome memiliki median 2 (1- 4), sedangkan kelompok good
outcome memiliki median 3 (2- 4), p < 0,001. Komponen verbal kelompok bad
outcome memiliki median 2 (1- 5), sedangkan kelompok good outcome memiliki
median 3 (1- 5), p < 0,001. Komponen motorik kelompok bad outcome memiliki
median 4 (1- 6), sedangkan kelompok good outcome memiliki median 5 (2- 6), p
< 0,001 (tabel 4.4). Hasil ini serupa dengan laporan Maheswaran dkk.3 rerata
komponen GCS verbal, motorik dan membuka mata masing-masing 2,5, 4,1 dan
2,7.
Hasil analisis multivariat dimana masing-masing komponen GCS dianalisis
untuk mengetahui komponen yang paling berperan dalam memprediksi outcome
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
43
Universitas Indonesia
pasien 14 hari setelah masuk IGD, didapatkan bahwa komponen GCS yang
memiliki nilai prediksi terhadap outcome adalah komponen verbal dan membuka
mata. Respons motorik diantara ketiga komponen GCS, paling tidak berperan
dalam memprediksi outcome pasien dengan penurunan kesadaran (p= 0,129).
Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Levati dkk.,29
Jagger dkk.,30
dan McNett31
yang menyatakan bahwa komponen respons motorik paling menentukan tingkat
keparahan pasien dengan penurunan kesadaran dan memiliki tingkat prediksi
paling tinggi (p=0,03). Komponen motorik GCS disebutkan memiliki tingkat
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 80% dan 73%.26
Komponen GCS motorik menitikberatkan penilaian pada gerakan lengan
dan tungkai. Respon fleksi lengan biasanya menunjukan lesi serebral inkomplit
kontralateral terhadap postur. Respon ekstensi menunjukan lesi serebral atau lesi
batang otak yang lebih dalam. Respon postur terdiri dari beberapa postur yang
stereotip dari tulang belakang dan ekstremitas yang muncul hanya jika dirangsang
nyeri atau dengan rangsangan yang sangat kuat. Gambaran ini mungkin akan
tampak nyata pada kasus penurunan kesadaran akibat gangguan struktural.15,24
Komponen motorik dalam penelitian ini tidak berperan dalam memprediksi
outcome pasien dengan penurunan kesadaran, hal ini mungkin disebabkan
penelitian ini hanya melibatkan 56 kasus (48%) kelainan struktural. Hal lain yang
mungkin berpengaruh adalah distribusi skor GCS-M (komponen motorik)
berdasarkan outcome pada penelitian ini (gambar 4.4) menunjukkan kelompok
bad outcome masih banyak pada skor GCS-M tinggi. Hal ini telah dilaporkan oleh
Edward32
bahwa terdapat kebingungan dalam menentukan skor GCS-M 4 atau 5
pada stimulus nyeri.
Kelancaran fungsi verbal merupakan salah satu penanda berfungsinya otak,
komponen verbal GCS dalam penelitian ini menunjukkan perbedaan bermakna
antara skor komponen verbal pada pasien bad outcome dengan good outcome (p=
<0,001). Hasil ini berbeda dengan yang didapatkan Irawan dkk.26
dimana
komponen verbal GCS memiliki korelasi paling rendah (r= -0,349) dan tidak
bermakna secara statistik (p=0,059). Menurut Jeon dkk.33
komponen verbal
dipengaruhi oleh tingkat edukasi pasien, dimana pasien dengan tingkat edukasi
lebih tinggi cenderung memiliki tingkat respon verbal lebih baik dibandingkan
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
44
Universitas Indonesia
pasien dengan tingkat edukasi lebih rendah. Penelitian yang dilakukan di IGD
RSCM ini tidak mencatat tingkat edukasi pasiennya, sehingga tidak bisa
ditentukan pengaruh edukasi terhadap respon verbal. Pada penelitian selanjutnya
perlu dicatat data edukasi pasien pada data karakteristik pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh McDowell dkk.34
di Canada menunjukkan
komponen GCS verbal dan motorik adalah prediktor mortalitas terbaik. Penelitian
di IGD RSCM ini juga menunjukan komponen verbal sebagai prediktor outcome
pada pasien penurunan kesadaran. Salah satu faktor penyebabnya adalah distribusi
skor GCS-V (komponen verbal) berdasarkan outcome pada pasien penurunan
kesadaran di IGD RSCM (gambar 4.5) menunjukkan pasien dengan bad outcome
banyak pada skor GCS-V rendah dan pasien dengan good outcome banyak pada
skor GCS-V tinggi. Faktor penyebab lainnya adalah pada penelitian ini pasien
yang terintubasi dieksklusi, padahal komponen verbal paling sering tidak terukur
dengan baik pada pasien terintubasi. Skor GCS-V pada pasien terintubasi menjadi
tidak tepat dan jika dimasukan dalam perhitungan skor GCS total akan menjadi
tidak tepat pula. Penelitian ini mengeksklusi pasien terintubasi sehingga dapat
menghitung skor GCS dengan lebih tepat.
5.3 Uji kalibrasi
Hasil uji kalibrasi menunjukkan skor GCS total dan skor GCS E+V (komponen
membuka mata dan verbal) memiliki kualitas yang baik dari aspek kalibrasi,
dimana outcome yang diprediksi dengan outcome aktual tidak berbeda bermakna.
Moore dkk.35
melaporkan skor GCS total dan GCS E+V memiliki kualitas yang
baik dari aspek kalibrasi. Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian lebih
lanjut, dengan sampel yang lebih besar, periode yang lebih panjang dan jenis
kelainan yang lebih spesifik untuk dapat menguji kalibrasi skor GCS dan regresi
logistik dari komponen GCS dengan lebih baik. Faktor lain diluar GCS dan
komponennya seperti usia, tingkat edukasi, lama penurunan kesadaran sebelum
masuk rumah sakit, lama perawatan di IGD dan riwayat medis pasien, perlu di
analisis bersama skor GCS untuk mendapatkan model prognostik dengan kualitas
kalibrasi yang lebih baik.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
45
Universitas Indonesia
5.4 Uji diskriminasi
Skor GCS total mempunyai kekuatan sedang (AUC 0,700-0,800), dengan nilai
AUC sebesar 0,788 (IK95% 0,705-0,870). Nilai AUC tersebut memiliki arti
apabila skor GCS digunakan untuk memprediksi outcome pada 100 orang pasien
dengan penurunan kesadaran di IGD RSCM maka akan didapatkan kesimpulan
yang tepat pada 79 orang pasien. Skor GCS E+V (komponen membuka mata dan
verbal) memiliki nilai AUC sebesar 0,777 (IK95% 0,690-0,864). Nilai AUC E+V
(komponen membuka mata dan verbal) walaupun tanpa melibatkan komponen
motorik namun hanya sedikit dibawah nilai AUC skor GCS total.
Skor GCS total maupun skor GCS E+V dalam penelitian ini memiliki
tingkat diskriminasi sedang pada subyek penelitian yang heterogen, menunjukan
skor GCS memiliki kemampuan yang cukup untuk digunakan sebagai prediktor
outcome pada pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM. Ting dkk.5
melakukan
penelitian outcome terhadap pasien yang akan menjalani operasi bedah saraf
melaporkan AUC GCS sebesar 0,886. Nilai AUC skor GCS terhadap outcome
pada pasien yang akan menjalani operasi bedah saraf didapatkan lebih tinggi,
disebabkan GCS mampu menilai kelainan primer yang berada di otak dengan baik
dan tidak dipengaruhi kelainan metabolik.
Skor GCS pada kasus gangguan
struktural menunjukan hasil diskriminasi yang lebih tinggi. Penelitian ini dapat
dilanjutkan dengan melakukan penelitian tentang hubungan skor GCS pada pasien
penurunan kesadaran di IGD RSCM dengan gangguan yang spesifik untuk
mendapatkan hasil diskriminasi yang berbeda.
Banyak faktor-faktor lain diluar tingkat kesadaran yang dapat meningkatkan
hasil diskriminasi menjadi lebih baik dalam memprediksi outcome. Maheswaran
dkk.3
dalam penelitiannya mendapatkan terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok good outcome dan bad outcome dalam hal rerata usia (p=0,011), jumlah
leukosit (p=0,014), skor GCS total (p<0,001), skor GCS-E (p<0,001), GCS-V
(p<0,001) dan GCS-M (p<0,001).
Tanda vital merupakan komponen penting dalam pengenalan status
kegawatdaruratan dan penanganan pasien. Secara obyektif, tanda vital
menunjukkan keadaan fisiologis tubuh seorang individu. Oleh karena itu, tanda
vital dapat digunakan sebagai penilaian tingkat fungsi fisik seorang pasien.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
46
Universitas Indonesia
Keadaan tanda vital yang abnormal dapat menggambarkan derajat keparahan
penyakit seorang pasien dan hal ini yang diduga berpengaruh terhadap kematian
seorang pasien.36,37
Hong W dkk.36
mendapatkan bahwa frekuensi nadi, tekanan
darah, frekuensi napas, saturasi O2 dan tingkat kesadaran memiliki hubungan erat
terhadap kematian pasien dalam 30 hari. Hasil serupa diperoleh pula oleh Barford
C dkk.37
bahwa abnormalitas tanda vital merupakan prediktor kematian pasien
dengan keadaan kritis yang dirawat di IGD. Hipotensi, hipoksia dan peningkatan
tekanan intrakranial yang tidak terkontrol adalah prediktor independen bad
outcome. Pasien dengan cedera kepala yang mengalami hipoksia atau hipotensi
(tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg) pada awal penurunan kesadaran
akan menyebabkan pasien lebih berpeluang memiliki bad outcome.15
Namun dalam penelitian ini faktor-faktor diluar GCS tidak dihubungkan
dengan outcome. Sehingga dalam penelitian selanjutnya di IGD RSCM, selain
skor GCS, faktor-faktor lain dapat ditambahkan dalam variabel bebas untuk
mendapatkan model yang memiliki nilai diskriminasi lebih baik.
5.5 Titik potong good outcome dengan bad outcome
Hasil titik potong antara good outcome dengan bad outcome pada penelitian ini
adalah 9 (gambar 4.8). Pasien dengan nilai GCS ≤ 9 di IGD RSCM memiliki
prognosis yang buruk. Hasil titik potong yang lebih rendah dilaporkan oleh
Widjdicks dkk.6
pada pasien dengan kelainan intrakranial (stroke iskemik, stroke
hemoragik, cedera kepala, tumor otak, perdarahan subaraknoid dan infeksi
intrakranial). Widjdicks dkk.6
melaporkan titik potong skor GCS 7 dengan
sensitifitas 80% dan sensitifitas 80%. Pasien dengan kelainan struktural cenderung
mengalami kerusakan otak yang luas dan menetap, dibandingkan dengan pasien
dengan gangguan metabolik yang mengalami neuropatologi ringan dan
reversibel.17
Pasien dengan kerusakan otak yang luas dan berat akan beresiko
memiliki tingkat kesadaran yang rendah dan berhubungan dengan mortalitas
akibat lesi otaknya tersebut.24
5.6 Uji kesesuaian
Uji kesesuaian antar observer dilakukan dengan membandingkan hasil penilaian
dokter dan perawat terhadap skor GCS pada pasien dengan penurunan kesadaran
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
47
Universitas Indonesia
di IGD RSCM. Uji kesesuaian Kappa antara dokter dan perawat terhadap skor
GCS menunjukan hasil yang sangat kuat Kappa 0,901, p < 0,001 (table 4.8).
Wijdicks dkk.6 melaporkan uji kesesuaian antara perawat, residen neurologi dan
ahli neurointensif sangat baik pada pengukuran GCS (κ=0.82; 95% CI, 0.76-0.87).
Pada penelitian lain Iyer dkk.7 melaporkan keseuaian antara perawat, fellow dan
ahli intensif sangat baik pada penggukuran GCS (κ=0.98; 95% CI, 0.98-0.99).
GCS selain dapat menjadi alat untuk prediksi outcome pasien, dapat menjadi
sarana komunikasi yang sangat baik antar tenaga medis dalam mendeskripsikan
tingkat kesadaran pasien.
5.7 Keterbatasan
Penelitian ini memiliki berbagai keterbatasan diantaranya jumlah sampel yang
tidak besar dan periode penelitian yang singkat. Beberapa perbaikan yang dapat
dilakukan untuk penelitian berikutnya antara lain penelitian dapat dilakukan
dengan sampel lebih besar dan periode penelitian yang lebih panjang. Faktor-
faktor lain dapat diperhitungkan bersama GCS untuk meningkatkan ketepatan
prediksi outcome, beberapa faktor lain seperti usia, tingkat edukasi, tanda vital
(tekanan darah, laju nafas, laju nadi, saturasi O2), lama penurunan kesadaran
sebelum masuk rumah sakit, waktu tempuh transportasi pasien ke rumah sakit,
lama perawatan di IGD dan riwayat medis pasien karena dapat mempengaruhi
skor GCS awal dan outcome pasien pada tiap subjek penelitian.
Pasien yang ketika datang ke IGD RSCM telah terintubasi tidak
diikutsertakan dalam penelitian. Hal ini menjadi keterbatasan penelitian, karena
komponen verbal GCS paling sering tidak terukur dengan baik pada pasien
terintubasi. Skor GCS-V pada pasien terintubasi menjadi tidak tepat dan jika
dimasukan dalam perhitungan skor GCS total akan menjadi tidak tepat pula.
Penelitian ini mengeksklusi pasien terintubasi sehingga dapat menghitung skor
GCS dengan lebih tepat, namun hasil yang didapatkan tidak dapat
menggambarkan kelompok pasien yang ketika datang ke IGD RSCM telah
terintubasi.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
48 Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Skor Glasgow Coma Scale mampu memprediksi outcome dengan tepat
pada pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat
RSCM, karena memiliki kalibrasi dan diskriminasi yang baik.
2. Pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM
lebih banyak memiliki bad outcome dibandingkan good outcome.
3. Skor total Glasgow Coma Scale berhubungan bermakna terhadap outcome
pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM.
4. Skor komponen GCS motorik, verbal dan membuka mata berhubungan
bermakna terhadap outcome pasien dengan penurunan kesadaran di
Instalasi Gawat Darurat RSCM. Namun hanya komponen membuka mata
dan verbal yang berperan dalam memprediksi outcome pasien pada 14 hari
setelah masuk Instalasi Gawat Darurat RSCM.
5. Skor Glasgow Coma Scale memiliki nilai Area Under Curve (AUC) dari
kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) dengan kualitas sedang
dalam memprediksi outcome pasien dengan penurunan kesadaran di
Instalasi Gawat Darurat RSCM.
6.2 Saran
1. Dilakukan penelitian skor GCS pada pasien penurunan kesadaran di IGD
dalam mempredikasi outcome dengan jumlah populasi yang lebih besar
untuk mendapatkan hasil dengan interval kepercayaan yang lebih sempit.
2. Dilakukan penelitian untuk mencari faktor tambahan yang dapat
meningkatkan diskriminasi dari GCS dalam memprediksi outcome pada
pasien penurunan kesadaran. Misalnya: usia, tingkat edukasi, tanda vital
(tekanan darah, laju nafas, laju nadi, saturasi O2), lama penurunan
kesadaran sebelum masuk rumah sakit, waktu tempuh transportasi pasien
ke rumah sakit, lama perawatan di IGD dan riwayat medis pasien.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
49
Universitas Indonesia
3. Dilakukan penelitian terhadap penggunaan GCS dalam memprediksi
outcome pada diagnosis tertentu atau pada salah satu kategori saja
misalnya intrakranial atau ekstrakranial.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
50
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
1. Bhardwaj A, Kornblunth J. Evaluation of coma: a critical appraisal of
popular scoring systems. Neurocrit Care. 2010; 3: 1-10.
2. Jennett B. Development of Glasgow Coma and Outcome Scale. Nepal
Journal of Neuroscience. 2005; 2: 24-8.
3. Maheswaran M, Adnan W, Ahmad R, Rahman A, Naing N, Abdullah J.
The use of an In House Scoring System Scale versus Glasgow Coma Scale
in non-traumatic altered states of consciousness patients: Can it be used
for triaging patients in Southeast Asian developing countries? Southeast
Asian J Trop Med Public Health. 2007; 38(6): 1126-40.
4. Bates D. The prognosis of medical coma. J Neurosurg Psychiatry. 2001;
71: i20-i23.
5. Ting HW, Chen MS, Hseih TC, Chan CL. Good mortality prediction by
Glasgow Coma Scale for neurosurgical patients. J Chin Med Assoc. 2010;
73(3): 139-43.
6. Wijdicks EF, Bamlet WR, Maramattom BV, Manno EM, McClelland RL.
Validation of a new coma scale: The FOUR Score. Ann Neurol. 2005; 58:
585-93.
7. Iyer VN, Mandrekar JN, Danielson RD, Zubkov AY, Elmer JL, Wijdicks
EF. Validity of The FOUR Score coma scale in the medical Intensive Care
Unit. Mayo Clin Proc. 2009; 84(8): 694-701.
8. Miah T, Hoque A, Khan R. The Glasgow Coma Scale following acute
stroke and in-hospital outcome: an observational study. J Medicine. 2009;
10(1): 11-4.
9. Levy DE, Bates D, Caronna JJ. Prognosis in non-traumatic coma. Ann
Intern Med. 1981; 94: 293-301.
10. Firdaus R, Wijaya AA, Lunaesti C, Rahardja C. Prediktor kematian pada
pasien dengan keadaan kritis yang dirawat di Instalasi Gawat Darurat:
sebuah studi di rumah sakit rujukan nasional. Departemen Anestesiologi
dan Intensive Care FKUI-RSCM. 2011; 1-7.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
51
Universitas Indonesia
11. Pranata Y, Harjanto E, Wijaya AA. Penilaian response time penanganan
trauma di ruang resusitasi RSCM berdasarkan algoritme trauma yang
diadaptasi dari Universitas Heidelberg [Tesis]. Jakarta: Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI-RSCM; 2012.
12. Winters ME, McCurdy MT, Zilberstein J. Monitoring the critical ill
emergency department patient. Emerg Med Clin N Am. 2008; 26: 741-57.
13. Sherwood L. Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem (Pendit BU,
penerjemah). Edisi kedua. Jakarta: EGC; 2001.
14. Markam S. Pengantar neuro-psikologi. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2010.
15. Posner JB, Clifford BS, Plum F. Plum and Posner’s diagnosis of stupor
and coma. Edisi keempat. New York: Oxford University Press; 2007.
16. Ganong W. Buku ajar fisiologi kedokteran (Widjajakusumah D, Irawati D,
Siagian M, Moeloek D, Pendit BU, penerjemah). Edisi ke-20. Jakarta:
EGC; 2003.
17. Budiman. Kegawatdaruratan medik dibidang ilmu penyakit dalam:
Penatalaksanaan umum koma. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. 161-3.
18. Dahlan MS. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian
kedokteran dan kesehatan. Edisi ketiga. Jakarta: Salemba Medika; 2010.
19. Mulyono I. Etika dalam anestesia dan terapi intensif. Dalam: Soenarto RF,
Chandra S, editor. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo; 2012. 13-26.
20. Donkin JJ, Vink R. Mechanisms of cerebral edema in traumatic brain
injury: therapeutic developments. Curr Opin Neurol. 2010; 23: 293-9.
21. Sacco RL,VanGool R, Mohr JP, Hauser WA. Glasgow coma score and
coma etiology as predictors of 2-week outcome. Arch Neurol. 1990; 47:
1181-4.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
52
Universitas Indonesia
22. Weir CJ, Bradford AP, Lees KR. The prognostic value of the components
of the Glasgow Coma Scale following acute stroke. Q J Med. 2003; 96:
67-74.
23. Intas G, Stergiannis P, Chalari E, Tsoumakas K, Fildissis G. The impact of
ED boarding time, severity of illness and discharge destination on
outcome of critically ill ED pastients. Advanced Emergency Nursing
Journal. 2012; 34(2): 164-9.
24. Settervall CH, Sousa RM, Silva SC. In-hospital mortality and the Glasgow
Coma Scale in the firdt 72 hours after traumatic brain injury. Rev Latino-
Am Enfermagem. 2011; 19(6): 1337-43.
25. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. Edisi
keempat. New York: McGraw-Hill; 2006.
26. Irawan H, Setiawan F, Dewi, Dewanto G. Perbandingan Glasgow Coma
Scale dan Revised Trauma score dalam memprediksi disabilitas pasien
trauma kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Maj Kedokt Indon. 2010;
60(10): 437-42.
27. Zafonte RD, Hammond, Mann NR, Wood DL, Milis SR, Black KL.
Revised trauma score: An additive predictor of disability following
traumatic barin injury?. Am J Phys Med Rehabil. 1996; 75: 456-61.
28. Poon WS, Zhu XL, Ng SCP, Wong GKC. Predicting one year clinical
outcome in traumatic brain injury (TBI) at the beginning of rehabilitation.
Acta Neurochir. 2005; 93: 207-8.
29. Levati A, Farina ML, Vecchi G, Rossanda M, Morrubini M. Prognosis of
severe head injuries. J Neurosurg. 1982; 57: 779-83.
30. Jagger J, Jane JA, Rimel R. The Glasgow Coma Scale: To sum or not to
sum?. Lancet. 1983; 2: 97.
31. McNett M. A Review of the predictive ability of Glasgow Coma Scale
scores in head-injured patients. J Neurosci Nurs. 2007; 39: 68-75.
32. Edwards SL. Using the Glasgow Coma Scale: Analysis and limitations. Br
J Nursing. 2001; 10: 92-101.
33. Jeon IK, Kim OL, Kim MS, Kim SH, Chang CH, Bai DS. The effect of
premorbid demographic factors on the recovery of neurocognitive function
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
53
Universitas Indonesia
in traumatic brain injury patients. J Korean Neurosurg Soc. 2008; 44: 295-
302.
34. McDowell I, Al-Salamah M, Steill IG. Multicenter comparison of the
Revised Trauma Score and the Glasgow Coma Scale. Acad Emerg Med.
2003; 10: 476.
35. Moore L, Lavoie A, Camden S, Sage NL, Sampalis JS, Bergeron E,
Abdous B. Statistical validation of the Glasgow Coma Score. J Trauma.
2006; 60: 1238-44.
36. Hong W, Earnest A, Sultana P, Zhixiong K, Shahidah N, Ong ME. How
accurate are vital signs in predicting clinical outcomes in critically ill
emergency department patients. European Journal of Emergency
Medicine. 2013; 20: 27-32.
37. Barford C, Laurtizen M, Danker JK, Soletormos G, Forberg JL, Berlac
PA, dkk. Abnormal vital signs are strong predictors for intensive care unit
admission and in-hospital mortality in adults triaged in the emergency
departement – a prospective cohort study. SJTREM. 2012; 20: 1-9.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
54
Universitas Indonesia
INFORMASI PENELITIAN
KETEPATAN GLASGOW COMA SCALE DALAM MEMPREDIKSI
OUTCOME PADA PASIEN DENGAN PENURUNAN KESADARAN DI
INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT CIPTO
MANGUNKUSUMO
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI-RSCM saat ini
sedang mengadakan penelitian mengenai instrumen untuk memprediksi outcome
pada pasien dengan penurunan kesadaran di IGD RSCM. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui ketepatan suatu skala yaitu Glasgow Coma Scale (GCS) dalam
memprediksi outcome pada pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi
Gawat Darurat RSCM. Penelitian ini bermanfaat untuk menjadi dasar penggunaan
skor Glasgow Coma Scale sebagai alat untuk memprediksi outcome pasien IGD
dengan penurunan kesadaran secara rutin. Skor Glasgow Coma Scale diperlukan
dalam komunikasi dokter dengan sesama tenaga medis dan keluarga pasien agar
pengambilan keputusan mengenai terapi dan pemanfaatan sumber daya menjadi
lebih cepat dan tepat.
Penelitian ini tidak akan melibatkan intervensi dalam bentuk apapun
kepada pasien. Prosedur yang dijalani pasien yaitu penilaian skor Glasgow Coma
Scale sebanyak satu kali ketika pasien diterima di IGD RSCM yang merupakan
prosedur rutin yang harus dijalani pasien IGD dengan penurunan kesadaran.
Selain itu identitas dan diagnosis pasien juga dicatat. Selanjutnya kondisi pasien
akan ditindak lanjuti dua minggu setelah pasien masuk ke IGD RSCM dengan
Glasgow Outcome Scale. Semua pasien yang memenuhi kriteria baik yang
diikutsertakan dalam penelitian ini maupun yang tidak diikutsertakan akan
mendapat standar pelayanan yang sama.
Anda bebas untuk menyetujui maupun menolak ikut dalam penelitian ini.
Bila anda telah memutuskan untuk ikut, anda juga bebas untuk mengundurkan diri
setiap saat tanpa menyebabkan berkurangnya mutu pelayanan. Semua data
penelitian ini akan diperlakukan secara rahasia sehingga tidak memungkinkan
untuk disalahgunakan oleh orang lain. Anda memiliki kesempatan untuk
Lampiran 1 Informasi penelitian
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
55
Universitas Indonesia
menanyakan semua hal yang berhubungan dan yang belum dimengerti dalam
penelitian ini dengan cara menghubungi dr. Ismail Hari Wahyu di Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif dengan nomor HP 081386986900.
Terima Kasih
dr. Ismail Hari Wahyu
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
56
Universitas Indonesia
FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN
(FORMULIR INFORMED CONSENT)
Peneliti Utama dr. Ismail Hari Wahyu
Pemberi Informasi dr. Ismail Hari wahyu
Penerima informasi
Nama Subyek
Tanggal Lahir
(Umur)
Jenis Kelamin
Alamat
No. Telp (HP)
JENIS
INFORMASI
ISI INFORMASI TANDAI
1. Judul Penelitian KETEPATAN GLASGOW COMA
SCALE DALAM MEMPREDIKSI
OUTCOME PADA PASIEN
DENGAN PENURUNAN
KESADARAN DI INSTALASI
GAWAT DARURAT RUMAH
SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
2. Tujuan Penelitian Mengetahui ketepatan Glasgow Coma
Scale dalam memprediksi outcome
pada pasien dengan penurunan
kesadaran di IGD RSCM
3. Metodologi
Penelitian
Kohort Prospektif
4. Resiko & Efek
samping dalam
penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
pengamatan sehingga tidak ada efek
samping
5. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi
NRM :
Nama :
Jenis Kelamin :
Tanggal lahir :
(Mohon diisi atau tempelkan stiker jika ada)
Lampiran 2 Formulir persetujuan mengikuti penelitian
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
57
Universitas Indonesia
termasuk manfaat
bagi subjek
penelitian
dasar penggunaan skor GCS dalam
memprediksi outcome pada pasien
dengan penurunan kesadaran dan
menjadi acuan bagi tenaga medis
dalam berkomunikasi dengan keluarga
pasien, sehingga pengambilan
keputusan mengenai terapi dan
pemanfaatan sumber daya menjadi
lebih cepat, tepat dan rasional.
6. Prosedur Penelitian Penilaian skor Glasgow Coma Scale
sebanyak satu kali ketika pasien
diterima di IGD RSCM, selain itu
identitas dan diagnosis pasien juga
dicatat. Selanjutnya kondisi pasien
akan ditindak lanjuti dua minggu
setelah pasien masuk ke IGD RSCM
dengan Glasgow Outcome Scale.
7. Ketidaknyamanan
subyek penelitian
(potential
discomfort)
Prosedur yang dijalani pasien yaitu
penilaian skor Glasgow Coma Scale
merupakan prosedur pemeriksaan fisik
rutin pada pasien IGD dengan
penurunan kesadaran.
8. Alternatif penelitian Tidak ada
9. Penjagaan
kerahasiaan data
Semua data penelitian ini akan
diperlakukan secara rahasia sehingga
tidak memungkinkan untuk
disalahgunakan oleh orang lain
10. Kompensasi bila
terjadi efek samping
Penelitian ini adalah penelitian
pengamatan sehingga tidak ada efek
samping
11. Nama dan alamat
peneliti serta nomor
telepon yang dapat
dihubungi
dr. Ismail Hari Wahyu
Jl. Salemba Tengah III no. 18 Rt 05/
Rw 08 Kel. Paseban Kec. Senen
Jakartra Pusat 10440
HP: 081386986900
12. Jumlah subyek 88 subyek penelitian
13. Bahaya Potensial Tidak ada
14. Biaya yang timbul Pasien tidak dikenakan biaya tambahan
selain yang dibutuhkan selama
perawatan di RSCM
15. Insentif bagi subyek Tidak ada
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
58
Universitas Indonesia
Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 dan 2 mengenai penelitian yang
akan dilakukan oleh dr. Ismail Hari Wahyu dengan judul: KETEPATAN
GLASGOW COMA SCALE DALAM MEMPREDIKSI OUTCOME PADA
PASIEN DENGAN PENURUNAN KESADARAN DI INSTALASI GAWAT
DARURAT RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO, informasi tersebut
telah saya pahami dengan baik.
Dengan menandatangani formulir ini, saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam
penelitian diatas dengan suka rela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila
suatu waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun, saya berhak
membatalkan persetujuan ini.
___________________________ ________________________
Tanda Tangan Subyek atau cap Jempol Tanggal
___________________________
Nama Subyek
___________________________ ________________________
Tanda tangan saksi/wali Tanggal
___________________________
Nama saksi/wali
Ket: tanda tangan saksi/wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis,
penurunan kesadaran, mengalami gangguan jiwa, dan berusia dibawah 18 tahun.
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
59
Universitas Indonesia
Saya telah menjelaskan kepada subyek secara benar dan jujur mengenai maksud
penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, serta resiko dan
ketidaknyamanan potensial yang mungkim timbul (penjelasan terperinci sesuai
dengan hal yang Saya tandai diatas). Saya juga telah menjawab pertanyaan-
pertanyaan terkait penelitian dengan sebaik-baiknya.
___________________________ ___________________________
Tanda tangan peneliti Tanggal
___________________________
Nama peneliti
Inisial Subyek ___
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
60
Universitas Indonesia
STATUS PENELITIAN
1. Nomor urut penelitian :
2. Tanggal pemeriksaan :
3. Nama :
4. Nomer Rekam Medis :
5. Jenis kelamin :
6. Tanggal lahir / Usia :
7. Diagnosis :
8. Glasgow Coma Scale :
Respon membuka mata Respon verbal Respons motorik
Spontan 4 Orientasi baik dan
berbicara
5 Mengikuti perintah 6
Atas perintah verbal 3 Disorientasi dan
berbicara
4 Melokalisasi
rangsang nyeri
5
Atas rangsang nyeri 2 Mengucap kata-kata
tak tepat, menangis
3 Fleksi, menjauhi
rangsang nyeri
4
Tidak ada respon 1 Mengeluarkan suara
yang tidak berarti
2 Fleksi abnormal
terhadap nyeri
3
Tidak ada respon 1 Ekstensi terhadap
rangsang nyeri
2
Tidak ada respon 1
9. Glasgow Outcome Scale
1 Meninggal
2 Status vegetatif persisten
3 Disabilitas berat
4 Disabilitas sedang
5 Sembuh
Lampiran 3 Status penelitian
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
61
Universitas Indonesia
Lampiran 4 Keterangan lolos kaji etik
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014
62
Universitas Indonesia
Hasil analisis AUC komponen GCS dan variasi kombinasi skor GCS dalam
memprediksi outcome pada pasien penurunan kesadaran di IGD RSCM selama
bulan Maret - Mei 2014
Variabel AUC IK 95%
Skor GCS-E 0,723 0,631-0,815
Skor GCS-M 0,738 0,647-0,828
Skor GCS-V 0,738 0,645-0,830
Skor GCS M+V 0,769 0,684-0,854
Skor GCS M+E 0,768 0,683-0,854
Skor GCS E+V 0,777 0,690-0,864
Skor GCS E+M+V 0,788 0,705-0,870
Lampiran 5 Hasil analisis AUC komponen GCS
Ketepatan Glasgow..., Ismail Hari Wahyu, FK UI, 2014