umi faridhoh -fu.pdf
TRANSCRIPT
PEREMPUAN ADALAH AURAT
(Kajian Otentisitas dan Pemahaman Hadis)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Umi Faridhoh NIM. 1112034000144
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
i
ABSTRAK
Umi Faridhoh
Perempuan adalah Aurat, (Kajian Otentisitas dan Pemahaman Hadis).
Dalam agama Islam, perdebatan tentang aurat telah ramai dibicarakan oleh
para ulama, aurat yang berarti celah dan aib merupakan kewajiban bagi setiap
orang untuk menutupnya supaya tidak menimbulkan rasa malu pada diri seorang
itu sendiri. Para ulama telah membatasi apa saja yang menjadi aurat bagi seorang
perempuan dan laki-laki, sehingga sudah semestinya yang menjadi aurat bagi
dirinya wajib ditutup. Permasalahan mengenai aurat sejak dahulu hingga saat ini,
tidak pernah lepas pada perempuan, dan menjadi perdebatan bagi para ulama
mengenai batasan aurat perempuan. Mengapa hanya pada diri perempuan yang
menjadi perdebatan?.
Zaman pra Islam, perempuan dianggap sebagai sumber bencana dan
malapetaka untuk kaum laki-laki bahkan disebut sebagai penggoda, namun setelah
Islam datang, perempuan mempunyai posisi dan dihormati keberadaannya yaitu
sebagai pendamping hidup seorang laki-laki. Namun, disamping itu ada hadis
Rasulullah yang bermakna perempuan adalah aurat apabila dia keluar maka
setan akan mengawasinya…, hadis ini apabila dipahami secara harfiyah akan
membatasi gerak dan aktivitas kaum perempuan di luar rumah terutama di ranah
publik. Karena itu perlu dilakukan kajian ulang terhadap hadis tersebut, sehingga
tidak merugikan pihak perempuan.
Penelitian ini diawali dengan melakukan takhrij pada hadis tersebut,
setelah hadis-hadis dengan makna yang sama ditemukan, kemudian analisis sanad
dan matn dilakukan untuk mengetahui keotentikan hadis. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode analisis deskriptif. Adapun hasil dari penelitian tersebut,
yaitu kualitas hadis “perempuan adalah aurat” hasan dan hadis ini termasuk pada
kategori gharib karena tidak memiliki syawahid di kalangan sahabat. Sedangkan
pada kritik matn, penelitian menggunakan metode pemahaman tela’ah ma’āni al-
hadīs yang dilihat dari maksud dan tujuan hadis. Adapun hasilnya yang dimaksud
hadis tersebut yaitu bukan perempuan dilarang keluar rumah dan melalukan
aktivitas di luar rumah, tetapi perempuan harus menjaga kesopanan serta menutup
aurat ketika hendak berada di luar rumah.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmānirrahīm
Assalāmu’alaikum Warahmatullāhi Wabarakātuh
Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam yang telah memberikan
kenikmatan jasmani dan rohani, serta rahmat dan hidayah-Nya, dan kemudahan
serta kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan sehingga saya bisa
menyelesaikan skripsi ini berkat pertolongan-Nya. Shalawat dan salam saya
haturkan kepada idola umat islam, manusia paling sempurna, yakni baginda Nabi
Muhammad Saw, beliaulah Nabi akhir zaman, yang telah memberikan cahaya dan
tuntunan petunjuk jalan yang lurus kepada umat islam untuk mendapatkan
kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat, serta doa untuk keluarganya, sahabatnya
dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir yang harus saya selesaikan
untuk menamatkan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana Strata-1 pada Jurusan
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Melalui upaya yang melelahkan dan berbagai kesulitan yang saya hadapi
dengan hidayah dan pertolongan-Nya akhirnya saya bisa menyelesaikan skripsi
ini, penulisan skripsi ini juga terasa sulit bagi saya sendiri jikalau tanpa bantuan,
dukungan dan semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya ucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Terlebih dahulu saya sembahkan bakti do’a dan rasa terima kasih kepada
kedua orang tua saya ayahanda Ajid Rahmat dan ibunda Siti Aisyah yang telah
iii
bersabar dalam mengasuh, mendidik, memberikan kasih sayang dan selalu ikhlas
mendoakan serta memberikan dukungan moril maupun materil selama saya
menuntut ilmu hingga akhirnya saya bisa menyelesaikan pendidikan sampai
jenjang S-1 ini. Semoga Allah Swt mengampuni dan memaafkan segala khilaf dan
kesalahan serta memberikan kasih sayang-Nya dan menempatkan derajat
keduanya pada derajat yang tinggi. Aamiin.
Selanjutnya saya menyampaikan ungkapan rasa terima kasih kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Dede Rosyada, MA (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansyur, MA (Dekan
Fakultas Ushuluddin), Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Ketua Jurusan
Tafsir Hadis) dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd (Sekretaris Jurusan
Tafsir Hadis).
2. Bapak Dr. Isa HA Salam, MA., selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberikan arahan, dan meluangkan waktunya untuk
membimbing saya dalam penulisan skripsi ini.
3. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis yang telah
mendidik, memberikan ilmu, pengalaman serta pengarahan kepada saya
selama masa perkuliahan.
4. Terimakasi kepada Team Panitia Ujian Skripsi, Ibu. Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd (Ketua Sidang), Bpk. Najib, S.Th.I (Sekretaris
Sidang), Ibu. Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag (Dosen Penguji I), dan Dr. Harun
Rasyid, MA (Dosen Penguji II), yang telah memberikan koreksian
iv
terhadap skripsi penulis supaya menjadi lebih baik, dan memberikan
pengalaman yang akan selalu penulis ingat pada hari itu.
5. Segenap pimpinan dan karyawan, Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
melayani dan menyediakan buku-buku yang dapat membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Pimpinan pondok Pesantren Al-Inayah Cibeber-Cilegon Bpk. KH. Abdul
Rozak Junaedi, S.Pd.I., dan para Ustadz-Ustadzah, yang telah banyak
memberikan ilmu sehingga saya bisa melanjutkan study di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Untuk kakaku tercinta Ahmad Fadil Yaqin yang telah banyak memberikan
motivasi dan semangat dalam berbagai kesulitan dan kebingungan yang
saya hadapi. Dan juga adik-adikku tercinta Jalil Efendi dan Arif Efendi
yang telah memberikan semangat serta doa untuk teteh.
8. Seluruh teman-teman seperjuangan TH angkatan 2012 TH A, TH B, TH
C, TH D, dan TH E, dan kepada Neng Ayu, Farhanah, Fatkhiyah, Siti
Umi, Lina, Yuli, Inayah, Kiki, Suherman, Anisul Fahmi, Abil Ash, Rudini,
Arif Hidayat, serta teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan
semuanya. Dan kepada Ban Mobil (Hana, Mba Ima, Yayah, dan
Khalimah) yang telah menemani berjuang disaat susah dan senang selama
kuliah. Semoga kita semua tetap dalam ikatan silaturrahmi dan jalinan
persahabatan yang indah.
v
9. Teman-teman KKN INFIJAR 2015 (Anshar, Aan, Kang Anis, Barkah,
Iqbal, Diyas, Topik, Puteri, Iin, Mulki, Imas, Teh Ayu, Isa, Tika) terima
kasih atas kebersamaan dan warna baru dalam perjalanan kuliah serta
pengabdian di masyarakat, semoga selama kita KKN menjadi jembatan
ukhuwah antara kita di masa yang akan datang.
10. Teman-teman Keluarga Mahasiswa Cilegon (KMC Jakarta) yang telah
sama-sama berjuang menuntut ilmu dari daerah sampai ke Ibu Kota,
terima kasih atas pengalaman dan kebersamaan yang terjalin selama saya
kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Serta teman-teman semua yang sudah bisa menghadiri sidang skripsi,
menemani di saat gelisah dan bahagiaku. Terkhusus kepada Aping dan
Nanik sebagai sesama penghuni rumah kuning yang telah memberikan
kebahagiaan baru di kosan meski kita baru beberapa bulan kenal..hehehe
Semoga kebaikan dan pengorbanan yang telah kalian lakukan untuk saya
serta bantuan untuk menyelasikan skripsi ini, dibalas oleh Allah Swt dengan
balasan yang lebih. Akhirnya saya sebagai penulis skripsi ini berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya dan
bagi penulis khususnya. Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.
Ciputat, 04 Februari 2016
Umi Faridhoh
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Permasalahan............................................................................. 9
C. Tujuan dan Manfaat ................................................................ 11
D. Kajian Pustaka ......................................................................... 12
E. Metodologi Penelitian ............................................................. 16
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 18
BAB II DISKURSUS SEPUTAR AURAT PEREMPUAN
A. Definisi Kata Perempuan ........................................................ 20
B. Definisi Kata Aurat ................................................................. 22
C. Perdebatan Seputar Aurat Perempuan ..................................... 23
D. Batas-batas aurat perempuan................................................... 26
1. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Allah .................... 27
2. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Mahram ............... 28
3. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Bukan Mahram .... 30
4. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Perempuan
Muslimah dan Non Muslimah. .......................................... 31
E. Hukum menutup aurat ............................................................. 33
BAB III OTENTISITAS HADIS “PEREMPUAN ADALAH AURAT"
A. Teks Hadis dan Terjemahnya .................................................. 37
B. Takhrij Hadis ........................................................................... 37
C. I’tibar Sanad ............................................................................ 41
D. Analisis Sanad Hadis .............................................................. 42
E. Kesimpulan (Natijah) .............................................................. 53
BAB IV KONTRADIKSI ANTARA PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN
KONTEKSTUAL HADIS PEREMPUAN ADALAH AURAT
A. Afirmasi Pemahaman Tekstual Hadis “Perempuan Adalah
Aurat” ...................................................................................... 57
B. Penolakan Terhadap Hadis “Perempuan Adalah Aurat” Melalui
Pemahaman Kontekstual. ........................................................ 63
vii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 74
B. Saran-saran .............................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78
LAMPIRAN……………………………………………………………………..82
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada
Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali
diterbitkan pada tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan
Library Congress (LC).
A. Konsonan Tunggal dan Vokal
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
Ṭ Ṭ ط A A ا
Ẓ Ẓ ظ B B ب
ʻ ‘ ع T T ت
Gh Gh غ Ts Th ث
F F ف J J ج
Q Q ق Ḥ Ḥ ح
K K ك Kh Kh خ
L L ل D D د
M M م Dz Dh ذ
N N ن R R ر
W W و Z Z ز
H H ه S S س
’ ’ ء Sy Sh ش
Y Y ي Ṣ Ṣ ص
H H ة Ḍ Ḍ ض
Vocal Panjang
Ū Ū أو Ā Ā ا
Ī Ī إي
B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah.
Mu’assasah مؤسسة
Muta‘addidah متعددة
ix
C. Tā’ Marbūṭah.
ṣalāh Bila dimatikan صالة
Mir’āt al-zamān Bila Iḍāfah مرأةالزمان
D. Singkatan.
Swt : Subḥānahū wa ta‘ālā
Saw : Ṣallā Allāhu ‘alayh wa sallam
M : Masehi
H : Hijriyah
QS : Qur’ān Surat
HR : Hadis Riwayat
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belakangan ini studi tentang perempuan semakin ramai dibicarakan.
Banyak para intelektual, ilmuan, dan para ulama yang tertarik untuk mengkaji
mengenai masalah perempuan, bahkan media cetak maupun elektronik yang
mempublikasikan isu ini. Diskusi-diskusipun sering dilakukan baik yang bertaraf
nasional maupun internasional untuk mendiskusikan permasalahan yang
berhubungan dengan perempuan.
Sebelum Agama Islam datang ke dunia, kaum perempuan tidak
mempunyai posisi dalam kehidupan bermasyarakat. Keberadaan kaum perempuan
pada saat itu hanya sebagai simbol penderitaan kaum laki-laki. Demikian juga
perempuan dalam konsep Kristen, dianggap sebagai “penggoda” yang harus
bertanggung jawab terhadap jatuhnya martabat Adam. Pada zaman Yunani kuno,
perempuan dianggap sebagai sumber bencana dan malapetaka sehingga kaum
perempuan dianggap layak hanya menjadi “makhluk kedua” yang statusnya
berada dibawah laki-laki.1 Dalam kebudayaan Romawi wanita diperhatikan,
namun perhatian yang diberikan kepada wanita hanya karena wanita itu
dibutuhkan untuk bersenang-senang dan untuk memancing kewibawaan di
kalangan masyarakat.2
1 Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita. Penerjemah Samson Rahman (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2003), h. viii. 2 Abbas Mahmoud al-‘Aqqad, Wanita Dalam Al-Qur’an. Penerjemah Chadidjah Nasution
(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 82.
2
Setelah Agama Islam ditetapkan sebagai Agama bagi umat manusia dan
Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul pembawa risalah untuk umat
manusia. Pandangan kepada wanita sedikit demi sedikit mulai berubah menjadi
pandangan yang positif. Pandangan melecehkan menjadi pandangan yang hormat.
Islam juga menganggap bahwa wanita adalah pasangan laki-laki dalam
mengarungi hidup ini.3
Islam menawarkan misi sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamīn
(memberikan kerahmatan bagi seluruh alam). Para mufasir tidak ada yang
memiliki pemahaman yang berbeda tentang hal ini. Tetapi problem muncul ketika
para mufassir (ulama) memahami ayat-ayat lain dalam al-Qur’an dan hadis-hadis
Nabi Saw. Begitu juga dengan hadits-hadits yang berhubungan dengan kaum
perempuan. Mayoritas memahami ayat-ayat ataupun hadis-hadis dengan
perspektif “kelelakiannya” yang membuat wanita berada pada kelompok second
class.
Penciptaan wanita telah banyak dibahas oleh para ulama dalam QS. al-
Nisā’ ayat 14 Ibn Katsir memberikan penjelasan bahwa wanita adalah sebagai
mahluk kedua yang diciptakan dari tubuh (tulang rusuk) Adam bagian belakang
sebelah kiri.5 Dalam pandangan yang seperti ini banyak kalangan yang melihat
3 Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita. penerjemah Samson Rahman (Jakarta:
Pustala al-Kautsar, 2003), h. Viii. اتقواللا الذي 4 نس اءو االك ثيراو ارج من هم ب ث او ه ج و از من ه ل ق خ احد ةو ن ف سو من ل ق كم بكمالذيخ االناساتقوار ي اأ يه
ع ل ي كم ك ان للا إن ام ح األر بهو لون قيبات س اء ر . Artinya:“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya;
dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu”. 5 Muhammad Nasib al-Rifa’i, Tafsir Ibn Katsir, penerjemah Syihabuddin (Jakarta: Gema
Insani, 1999), h. 646.
3
wanita rendah dan berada dibawah laki-laki derajatnya. Kemudian, terkadang
wanita juga sering tidak sadar telah memperlihatkan auratnya di depan kaum laki-
laki dan bertingkah laku yang membuat perhatian kaum laki-laki tertuju kepada
dirinya. Sehingga dibalik semua itu bisa saja menimbulkan aib dan kejelekan pada
diri perempuan.
Masalah pelik mengenai aurat perempuan pada zaman modern ini memang
tidak bisa dihindarkan. Jika ditelusuri dalam sejarah, pada zaman dahulu di tanah
Arab sebelum turunnya Agama Islam dan diutusnya Nabi Muhammad Saw,
masalah aurat ini belum muncul karena masyarakat Arab kala itu masih jahiliyah.
Perempuan di zaman yang disebut “Zaman Jahiliyah” bebas namun tidak dalam
arti yang sering terlihat pada zaman sekarang. Melainkan bebas yang mempunyai
arti yaitu dalam pergaulan mereka tidak terpisah atau dibatasi oleh ketentuan dan
norma Agama.6
Berkenaan dengan pembahasan aurat di atas, kata aurat diartikan secara
bahasa berarti malu, aib dan buruk. Kata “aurat” berasal dari kata ‘’‘awira”
artinya hilang perasaan. Jika makna ‘awira dipakai untuk mata, maka mata ,(عور)
itu hilang cahayanya dan lenyap pandangannya (buta).7 Pada umumnya, kata ini
memberi arti yang tidak baik dipandang, memalukan dan mengecewakan. Dalam
pandangan pakar hukum Islam, aurat adalah bagian dari tubuh manusia yang tidak
6 A.N. Rani, Jilbab itu Wajib! (Jakarta: PT. Arista Brahmatyasa, 1996), h. 4-5. 7 Ibnu Manzur, Lisān al-‘Arab (al-Qahira: Dar al-Ma’arif, t.t, jilid 5, h. 3164-3167.
4
patut kelihatan di hadapan orang lain, kecuali dalam keadaan darurat atau
kebutuhan yang mendesak.8
Disamping pembahasan tentang masalah aurat di atas, kaum perempuan
terkadang tidak ingin dibatasi dalam berpenampilan dan berprilaku, mereka
menginginkan dirinya terlihat lebih cantik di mata orang lain terutama di mata
kaum laki-laki. Banyak fashion dan pakaian-pakaian yang membuat perempuan
menjadi tampil lebih cantik namun tidak memperhatikan bahan yang dipakai,
bahkan ada pula pakaian yang tertutup tapi masih memperlihatkan bentuk lekuk
tubuh dan menerawang dipakai oleh perempuan. Yang dianjurkan dalam Islam,
sebenarnya adalah pakaian yang bisa menutupi aurat dirinya, yaitu pakaian yang
tidak tipis dan tidak terlihat lekuk tubuhnya. Karena hal-hal tersebut sangat rawan
bagi kaum perempuan, dan sesuatu yang rawan itu dinamakan aurat. Kewajiban
menghindari hal-hal yang rawan tesebut melahirkan adanya pembatasan tentang
aurat wanita dan pria. Hal itu juga menimbulkan adanya batasan dalam pandangan
antara pria dan wanita atau ketika sedang berbicara satu sama lain.
Pada permasalahan tentang batasan aurat perempuan yang telah banyak
dibahas oleh para Ulama, batas aurat perempuan dengan lelaki asing (ajnabi)
adalah seluruh badannya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalam riwayat
Aisyah RA dijelaskan di sana bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke dalam
rumah Nabi Saw dengan memakai pakaian tipis lalu Nabi berpaling darinya
seraya bersabda:
ه ذ ا ه ذ او اإال ىمن ه ير أ ن لح ت ص ل م حيض إذ اب ل غ تال م أ ة ر ال م 9إن
8 M. Quraish Shihab, Jilbab:pakaian wanita muslimah ( Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 58.
5
“…sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak lagi wajar terlihat
darinya kecuali ini dan ini” (sambil beliau menunjuk ke wajah dan kedua telapak
tangan beliau).”
Banyak ulama yang berpendapat seperti halnya Abū Dāwud10 mengatakan
bahwa hadis ini bernilai ḍa’īf11. Namun hadis ḍa’īf juga dapat diamalkan secara
mutlak baik dalam faḍāil al-a’māl atau dalam masalah hukum (ahkām), pendapat
Abū Dāwud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadis ḍa’īf lebih kuat
daripada pendapat para ulama.12
Adapun dalam ayat al-Qur’an dijelaskan bahwa jika perempuan hendak
keluar maka harus mengenakan pakaian luar yaitu kerudung (khimar) dan jilbab,
firman Allah Swt:
لل م قل إالو زين ت هن اليب دين و هن فروج ن ف ظ ي ح و ارهن أ ب ص من ن من اتي غ ضض ؤ ع ل ىجيوبهن بخمرهن رب ن ل ي ض او من ه ر اظ ه م
13….
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.”
Kewajiban memakai jilbab sebagai penutup aurat pun dijelaskan dalam al-
Qur’an, Firman Allah Swt:
9 Abū Dāwud Sulaimān bin al-Asy’ats, Sunan Abī Dāwud (Beirut: al-Maktabah al-
‘Aṣriyyah, tt), juz 6, nomor hadis 4104, h. 62. 10 Alasannya, karena Abū Dāwud yang telah meriwayatkan hadis inipun menilai mursal
(hadis yang karena sanadnya ada yang terlepas atau gugur yakni di kalangan sahabat atau tabi’in.
Lihat. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), h. 169), karena Khālid ibn
Durayk yang dalam sanad-nya menyebut nama istri Nabi yaitu ‘Ā’isyah Ra sebagai sumbernya,
namun tidak mengenal ‘Ā’isyah secara pribadi, serta tidak pula semasa dengan beliau. 11 Hadis ḍa’īf adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis ṣaḥīḥ dan syarat-syarat
hadis ḥasan. Namun bisa dijadikan 12 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), h. 165 13 QS. Al-Nūr ayat 31.
6
ذ لك البيبهن ج من ل ي هن ع يد نين منين نس اءال مؤ و ب ن اتك و اجك و ألز قل االنبي ي اأ يه
ك ان و ذ ي ن ف اليؤ ف ن يع ر أ د ن ىأ ن حيماللا 14غ فورار “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi
Maha penyayang.”
Jelaslah dari ayat-ayat di atas bahwa Allah Swt telah mewajibkan kepada
perempuan yang beriman supaya menggunakan jilbab atau kerudungnya. Jika
ingin keluar rumah tidak boleh satupun yang memperlihatkan bagian dari dirinya,
tujuannya agar mereka tidak dikenali dan tidak diganggu oleh orang-orang yang
ingin berbuat jahat kepadanya.
Berkaitan dengan masalah pembatasan aurat terhadap kaum perempuan di
atas, Ulama telah sepakat bahwa selain wajah, kedua telapak tangan dan kedua
telapak kaki dari seluruh badan wanita adalah aurat, tidak halal dibuka apabila
berhadapan dengan laki-laki asing (ajnabi),15 selain dijelaskan oleh ayat-ayat di
atas hadis Nabi yang diriwayatkan oleh imam al-Tirmidzī bahwa Nabi Saw
bersabda:
قع ن ر مو ع ن ق ت اد ة امع ن دث ن اه م روب نع اصمح دث ن اع م دب نب شارح م دث ن امح ح
أ ة ر ال م ق ال لم س و ل ي ه ع لىللا ص النبي ع ن للا ع ب د صع ن و ف إذ اأ بياأل ح ة ر ع و
االشي ط ان ف ه ر ت ش اس ت ج ر 16خ
“Telah menceritakan kepada kamu Muḥammad bin Basysyār, telah
menceritakan kepada kamu ‘Amr bin ‘Āṣim telah menceritakan kepada kami
Hammām dari Qatādah dari Muwarriq dari Abu al-Ahwaṣ dari Abdullah dari
Nabi Saw bersabda: “Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan
mengawasinya.”
14 QS. Al-Ahzāb ayat 59. 15 Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer (Jakarta: al-Mawardi Prima,
2001), h. 20. 16 Muhammad bin ‘Īsa bin Saurah bin Mūsa bin al-ḍahāk al-Tirmidzī (W. 279 H), al-Jāmi’
al-Kabīr Sunan al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Gharib al-Islamī, 1998), Juz 2, no. hadis 1173, h. 467.
7
Hadis di atas menjadi dasar beberapa ulama yang menyatakan bahwa
seluruh badan perempuan adalah aurat dan menetapkan keharusan menutup
seluruh tubuhnya, tanpa terkecuali; termasuk wajah dan tangannya. Akan tetapi,
karena adanya proses penghimpunan hadis yang memakan waktu yang lama
setelah Nabi Saw wafat, ditambah lagi dengan adanya kitab hadis yang banyak
dengan metode penyusunan yang beragam dan terjadinya periwayatan secara
makna serta banyaknya hadis yang dipalsukan demi kepentingan kelompok
tertentu, mengakibatkan hadis masih diperdebatkan dan mengandalkan perlunya
penelitian hadis, baik sanad maupun matan. Mengingat kualitas sangat erat
hubungannya dengan otoritas sebagai kekuatan pegangan atau hujjah dalam
menentukan dan membentuk suatu hukum dalam Islam, maka dengan sendirinya
kajian tentang kualitas sebuah hadis menuntut ketekunan yang sangat mendalam
dan maksimal bagi seorang peneliti hadis. Oleh karena itu pula, penulis perlu
melakukan penelitian ulang akan otentisitas hadis ini, apakah hadis ini ṣahīh dan
bisa dijadikan hukum syara’ atau tidak.
Disamping pemaparan di atas, hadis ini jika dipahami menggunakan
pemahaman tekstual yang merujuk kepada Syarah Hadis Imam al-Tirmidzī bahwa
seorang perempuan itu dirinya telah dijadikan sebagai aurat, karena sesungguhnya
apabila nampak terlihat dari dirinya maka akan menimbulkan malu, sebagaimana
aurat yang menimbulkan malu apabila ia terlihat. Kemudian jika perempuan itu
keluar rumah dan menampakkan perhiasannya, maka tidak menutup kemungkinan
setan akan menggodanya dan perempuan itu tidak lepas dari godaan tersebut.17
17 Abū al-A’lā Muḥammad ‘Abdurraḥman bin ‘Abdurraḥim al-Mubarakfūrī (w.1353 H),
Tuhfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t.), juz 4, h. 283.
8
Bahkan selain itu Imam al-Syāfi’ī berpendapat mengenai hadis ini bahwa suara
wanita adalah termasuk aurat dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya (laki-
laki ajnabi) baik itu dikhawatirkan timbul fitnah ataupun tidak.18 Sehingga dari
tekstualitas hadis ini timbul pemahaman sementara ulama yang melarang
perempuan keluar dari rumah, banyak pula pendapat para ulama yang
membenarkan bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah.
Akan tetapi hadis tersebut tidak bisa dipahami sesempit itu. Karena
pemahaman sempit seperti itu berakibat pada kaum perempuan. Sebagai kaum
perempuan tentu akan merasa terbatasi ruang geraknya di ranah publik, sehingga
kaum perempuan tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah, di antaranya;
menuntut ilmu dengan dosen laki-laki tidak boleh, dan bahkan dalam salat
berjamaah bersama kaum laki-laki di masjid juga tidak diwajibkan, sebab hal
tersebut akan dapat menimbulkan fitnah. Namun berbeda jika dilihat pada zaman
sekarang, banyak perempuan yang aktifitasnya di luar rumah sama seperti laki-
laki, seperti perempuan yang mempunyai kegiatan sosial di masyarakat, bekerja,
mengajar, dan juga ada yang mempunyai profesi sebagai penyanyi, dan
menjadikan profesi menyanyinya untuk menafkahi kehidupannya dan
keluarganya. Sedangkan berbeda pendapat dengan M.Quraish Shihab yang
menurutnya, bahwa hadis ini bukan semata-mata tidak membolehkan perempuan
untuk keluar rumah tetapi mengharuskan perempuan agar lebih menjaga
kesopanan saat keluar rumah.19 Perbedaan pendapat mengenai perempuan tidak
18 Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa, Risalah Fiqih Wannita (Surabaya: Terbit Terang, t.t.), h.
138. 19 M. Quraish Shihab, Jilbab: pakaian wanita muslimah ( Jakarta: Lentera Hati, 2004), h.
58.
9
boleh keluar rumah ini muncul di kalangan para ulama. Jika demikian bukankah
perempuan adalah sumber dosa jika berada di luar rumah?.
Berangkat dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas maka
dalam penelitian ini, penulis bermaksud mengkaji kualitas sanad dan melakukan
kajian pemahaman ulang terhadap matan hadis perempuan adalah aurat. Oleh
karena itu penulis dalam penelitian ini mengambil judul Skripsi, “Perempuan
adalah Aurat”. (Kajian Otentisitas dan Pemahaman Hadis).
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas adanya hadis yang menjelaskan tentang
perempuan adalah aurat yang masih bersifat umum menjadi perdebatan diantara
para ulama yang melarang dan membolehkan perempuan untuk keluar rumah.
Bagaimana tidak, sekarang banyak perempuan yang mempunyai aktifitas di luar
rumah seperti bekerja, menuntut ilmu, dan lain-lain. Terlebih ada perempuan yang
mempunyai kewajiban menafkahi keluarganya. Dari sinilah Penulis
mengidentifikasi beberapa masalah diantaranya sebagai berikut:
Pertama: secara bahasa aurat adalah aib dan kejelekan, sedangkan menurut
M. Quraish Shihab aurat adalah bagian dari tubuh manusia yang tidak patut
kelihatan dihadapan orang lain, kecuali dalam keadaan darurat. Jika aurat (aib)
adalah kejelekan dalam diri semua orang, tanpa memperdulikan agama dan jender
yang memiliki keniscayaan untuk menutupnya. Berbeda dengan asumsi ini aurat
10
dalam pandangan umat Islam lebih menitik beratkan kewajiban untuk kaum
perempuan.
Kedua, aurat perempuan, batasan-batasan aurat perempuan, dan kewajiban
menutup aurat itu semua terdapat dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw.
Persoalannya adalah terdapat satu hadis yang sangat umum mengatakan
perempuan dilarang untuk keluar rumah dan merupakan aib bagi dirinya jika ia
keluar terlihat oleh orang lain yang bukan mahram.
Ketiga, persoalan selanjutnya adalah hadis imam al-Tirmidzī yang
menyebutkan, sabda Nabi Saw: “Perempuan adalah aurat apabila dia keluar
maka setan akan menggodanya”. Yang memerlukan analisa untuk dapat diketahui
keotentikan sanad hadis karena makna teks hadis ini berpotensi membatasi ruang
gerak dan aktualisasi perempuan dalam ranah publik, dan melarang perempuan
untuk keluar rumah, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa suara perempuan
juga termasuk aurat.
2. Batasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, saya akan membahas persoalan ketiga,
dalam riwayatnya imam al-Tirmidzī hadis ke 1173 bahwa perempuan adalah
aurat apabila dia keluar maka setan akan menggodanya. Persoalan ini saya bahas
karena hadis ini secara tekstual berpotensi melarang perempuan melakukan
aktivitas di luar rumah, bahkan dalam beribadah juga perempuan diwajibkan
untuk tetap di rumahnya. Oleh karena itu hadis ini tidak bisa dipahami secara
tekstual namun juga memerlukan pemahaman ulang supaya jelas maksud dari
11
hadis tersebut. Namun sebelumnya tentu akan diteliti keotentikan sanad hadis
untuk meneliti dan memahami lebih jauh matan hadis tersebut.
3. Rumusan Masalah
Untuk memahami hadis ini tidak bisa dipahami hanya menggunakan
makna dari matan teks hadis saja, karena akan menimbulkan banyak pertanyaan
dan ketidakpuasan pemaknaan terhadap teks hadis tersebut, sehingga penulis
bermaksud untuk melakukan pemaknaan ulang dilihat dari segi tekstual hadis dan
kontekstual hadisnya. Dari batasan masalah yang dikemukakan di atas, penulis
merumuskan permasalahan menjadi: Bagaimana peneliti ingin memahami teks
hadis tentang perempuan adalah aurat secara tepat?.
Untuk menjelaskan pertanyaan ini, penulis akan menggunakan dua
pertanyaan bantuan.
a. Bagaiamana otentisitas hadis Nabi tentang Perempuan adalah Aurat?
b. Apa pemahaman yang tepat dari hadis ini apabila dikontekskan dengan
masa sekarang?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui otentisitas hadis Nabi tentang perempuan adalah aurat.
b. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai hadis tentang
perempuan adalah aurat serta mengetahui pemahaman yang baru sesuai
dengan masa sekarang.
12
2. Manfaat Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapakan mampu memberikan penjelasan mengenai hadis
Nabi tentang perempuan adalah aurat, baik dari segi sanad maupun matan-nya.
Selain itu penelitian ini diharapkan bisa menambah ilmu pengetahuan dalam ilmu
kajian hadis, terutama yang berkaitan mengenai hadis perempuan adalah aurat.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini mempunyai kegunaan praktis yakni untuk memberikan
sebuah bahan pertimbangan untuk melakukan pengkajian secara mendalam
terhadap hadis yang diterima dengan melakukan kritik sanad dan pemahaman
matan hadis, agar ditemukan sebuah kesimpulan yang komprehensif. Penelitian
ini juga diharapakan mampu memberikan pengetahuan kepada masyarakat
terutama wanita untuk menjalankan kewajiban menutup aurat mereka dari
siapapun dan di saat keluar rumah. Dan juga diharapkan penelitian ini bisa
menambah database perpustakaan UIN Syarif Hidyatullah Jakarta sebagai bahan
pertimbangan untuk mahasiswa yang akan mengambil tema yang sama.
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pembahasan ini adalah banyak merujuk kepada literature-
literatur review, artikel dan jurnal atau berasal dari skripsi, tesis dan disertasi.
Sebelum al-Qur’an turun perempuan pada masa itu dipahami sebagai
seseorang yang diciptakan dari tulang rusuk Adam, bukan dari diri yang satu,
dalam skripsi karya Ita Miftahul Jannah yang berjudul Penciptaan Wanita Dalam
al-Qur’an tahun 2002, dalam skripsi ini menjelaskan perbandingan penafsiran
13
antara Ibnu Katsir dan Muhammad Abduh mengenai penciptaan wanita, yang
berkesimpulan bahwa mereka memiliki persamaan dalam mengambil dalil
penciptaan wanita yaitu merujuk kepada QS. al-Nisā’ ayat 1, namun dalam
memahami ayat ini mereka berbeda pendapat, ibnu katsir mengatakan bahwa
wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam bukan dari diri yang satu, sedangkan
Muhammad Abduh mengatakan bahwa wanita juga diciptakan dari unsur yang
sama seperti Adam bukan dari tulang rusuk Adam,20.
Karya Siti Fatimah Zahro yang berjudul Hadis Perempuan Sebagai
Sumber Fitnah tahun 2014, dalam skripsi ini ingin membuktikan bahwa
perempuan bukan sebagai sumber fitnah yang selalu membuat kaum Adam
tergoda, dengan melakukan pemaknaan ulang terhadap hadis ini menggunakan
metode ma’ani al-hadis, dan berkesimpulan bahwa makna hadis ini kata fitnah
diartikan cobaan dan ujian yang dihadapkan bagi kaum laki-laki. Dikatakan
sebagai sumber fitnah yaitu akibat dari perbuatan perempuan itu sendiri, bukan
semua perempuan yang dimaksud sebagai sumber fitnah.21
Karya Mabrur yang berjudul Jilbab Dalam al-Qur’an tahun 2014 dan
Skripsi karya Sobrun yang berjudul Aurat Perempuan Dalam Perspektif
Muhammad Syaḥrūr, telaah surat al-Ahzab ayat 53, 59 dan surat al-Nūr ayat 31
tahun 2006, dua skripsi ini sama-sama membahas tentang telaah surat al-Ahzab
ayat 53, 59 dan surat an-Nūr ayat 31 namun berbeda metode, dalam karyanya
Mabrur menganalisa penafsiran ulama kontemporer antara Muhammad Syahrur
dan Wahbah Zuhaili sedangkan dalam Karya Sobrun hanya menjelaskan
20 Ita Miftahul Jannah,Penciptaan Wanita Dalam al-Qur’an (Studi Perbandingan Antara
Penafsiran Ibnu Katsir dan Muhammad Abduh Tentang QS. al-Nisā’ ayat 1), (Skripsi Mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014). 21 Siti Fatimah Zahro, Hadis Perempuan Sebagai Sumber Fitnah (Studi Ma’ani al-Hadis),
(Skripsi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014).
14
mengenai penafsiran Muhammad Syahrur dan saya mengambil kesimpulan dari
kedua skripsi ini bahwa wanita harus memakai pakaian yang tertutup ketika akan
berpergian keluar rumah, seperti Jilbab, Khimar dan Hijab yaitu menutup seluruh
badannya sampai ke dada.
Dalam sebuah jurnal karya Riri Fitria yang berjudul Batas Aurat Muslimah
dalam Pandangan al-Bāniy, dalam karya ini menjelaskan pemahaman al-Bāniy
pada kualitas matan dan sanad pada batasan aurat dalam hadis tentang Asmā’, dan
berkesimpulan bahwa hadis tersebut menurut al-Bāniy hadis mursal22 namun
masih tetap bisa dijadikan hujjah karena ia didukung oleh sejumlah hadis dan
atsar yang memperkuat posisi baik dari segi sanad maupun matan, dan kandungan
hadis tentang Asmā’ dinilai tidak bertentangan dengan akal sehat ataupun al-
Qur’an karena suatu hal yang rasional Rasulullah menyuruh kepada setiap
muslimah yang sudah haid untuk menutup aurat karena muslimah yang sudah
baligh jika telah haid mengalami perubahan fisik, maka dari itu Rasulullah
menganjurkan untuk menutup aurat bagi kaum wanita karena untuk kemaslahatan
muslimah itu sendiri.23
Memang permasalahan tentang aurat perempuan sangat pelik, bukah hanya
ketika ingin keluar saja perempuan menutup aurat, bahkan dalam salat pun harus
menutup aurat, Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam bukunya Fiqih Muslimah
Ibadat-Mu’amalat menjelaskan bahwa menutup aurat adalah syarat bagi
keabsahan salat, sedangkan batas aurat dalam salat ialah seluruh badan hingga
22 Hadis Mursal adalah hadis yang karena sanadnya ada yang terlepas atau gugur yakni di
kalangan sahabat atau tabi’in. Lihat. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), h.
169 23 Riri Fitria, Batas Aurat Muslimah dalam Pandangan al-Bāniy, (Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang, 2012), Vol.8 No.2.
15
rambutnya yang menjulur dari kedua telinganya, kecuali wajah dan kedua telapak
tangan.24
Murtadha Muthahhari dalam bukunya Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam
buku ini menjelaskan tentang hijab bagi seorang perempuan, dalam pemaparan
buku ini perempuan wajib menggunakan hijab dan menutup seluruh tubuhnya,
kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Kedua bagian itu tidak wajib ditutup;
dalam al-Qur’an dan hadis tidak ada petunjuk bahwa wanita wajib menutup wajah
dan kedua telapak tangannya. Akan tetapi, tentang boleh atau tidaknya kaum laki-
laki memandang perempuan, dalam buku ini dijelaskan bahwa Imam Ridha
mengatakan “laki-laki boleh memandang wajah atau tangan perempuan bila
pandangannya itu tidak bernafsu atau tidak ada kekhawatiran akan terjadinya
perbuatan yang menyeleweng”.25
Salah satu buku fiqih yang membahas tentang auratnya suara wanita
adalah buku karya Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa yang berjudul “Risalah Fiqih
Wanita, Pedoman Ibadah Kaum Wanita Muslimah dengan Berbagai
permasalahan”. Di dalam buku ini dibahas tentang menghukumi suara wanita.
Disana dipaparkan pendapat dari masing-masing madzhab sampai dengan
pendapat atau kesimpulan dari penulis. Di dalam buku ini penulis tidak
menyebutkan hadis, baik sanad maupun matannya. Ia hanya menjelaskan saja
paparan dari para tokoh madzhab dan mengambil kesimpulan setelahnya.26
24 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadah-Mu’amalat (Jakarta: Pustaka
Amani, 1999), h. 75. 25 Murtadha Muthahhari, Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam (Bandung: Mizan, 1995), h. 114. 26 Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa, Risalah Fiqih Wanita (Surabaya: Terbit Terang, t.t.), h.
138-145.
16
Dari kajian buku dan literatur di atas telah dijelaskan mengenai perempuan
menjelaskan penciptaan perempuan, kewajiban perempuan untuk menutup aurat
dari laki-laki yang bukan muhrim, batasan-batasan aurat perempuan, dan
menjelaskan aurat suara perempuan dari berbagai mazhab, sedangkan dalam
skripsi ini akan memfokuskan pada kajian hadis Nabi Saw yang mengatakan
“perempuan adalah aurat” sehingga kemudian ada yang mengatakan perempuan
dibolehkan dan tidak dibolehkan untuk keluar rumah. Menurut saya judul ini
belum ada yang membahas dan penting untuk diteliti agar tidak menimbulkan
permasalahan di kalangan masyarakat terutama perempuan.
E. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber primer kitab Sunan al-
Tirmidzī merujuk kepada hadis nomor 1173, Ṣahīh Ibn Khuzaimah hadis nomor
1686, dan Ṣahīh Ibn Ḥibān hadis nomor 329. Adapun untuk makna hadis
perempuan adalah aurat penulis menggunakan kitab Syarh al-Hadis yaitu Tuhfat
al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī syarah hadis Sunan al-Tirmidzī, dan lain-
lain.
Sumber pendukung yang lain penulis menggunakan sumber-sumber
rujukan lain sebagai penunjang dalam pembahasan topik tersebut diantaranya
yaitu buku yang berjudul Jilbab pakaian wanita muslimah karya M. Quraish
Shihab, Fikih Perempuan Kontemporer karya Huzaimah Tahido Yanggo, Aurat
dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam karya Mohd Fuad Fachruddin, Tafsir
Wanita karya Syaikh Imad Zaki Al-Barudi,, karya Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa
17
yang berjudul “Risalah Fiqih Wanita, Pedoman Ibadah Kaum Wanita Muslimah
dengan Berbagai permasalahan”dan sumber-sumber pendukung yang lain-lain.
2. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data ini adalah dengan mengumpulkan hadis-hadis
yang membahas mengenai hadis perempuan adalah aurat dalam kitab-kitab hadis,
cara pengumpulannya yaitu dengan Takhrīj Ḥadis yaitu mencari akar kata, yang
dimaksud akar kata adalah kata yang terdapat dalam matan hadis. Metode
pencarian ini menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīts al-
Nabawī.27 dan dibantu dengan Aplikasi Maktabah Syamilah dan kitab-kitab
takhrīj hadis lain yaitu Mausū’at Atraf al-Ḥadis al-Nabawī al-Syarīf dan Miftāḥ
Kunūz al-Sunnah.
3. Analisis Data
Setelah data terkumpul penulis akan menganalisis data tersebut sehingga
penelitian ini dapat terlaksana secara rasional, sistematis, dan terarah. Penelitian
ini menggunakan metode analisis sanad dan matan berdasarkan rujukan dari M.
Syuhudi Ismail dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Hadis Nabi
Saw dan buku berjudul Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Tela’ah
Ma’āni al-Hadis) untuk metode memahami matan hadis tersebut.
Adapun teknik operasional penelitian ini meliputi sebagai berikut:
1. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) dari data yang telah
diperoleh, untuk kemudian menentukan kedudukan hadis.
27 al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīts al-Nabawī adalah kitab yang disusun oleh
sebuah tim yang beranggotakan pakar orientalis. Salah satu dari tim penyusunnya bernama A.J
Wensinck (w.1939), seorang guru besar Bahasa Arab di Universitas Leiden. al-Mu’jam al-
Mufahras memuat indeks kata yang terdapat dalam 9(Sembilan) sumber koleksi hadis, yaitu al-
Kutub al-Sittah, Muwatta’, Musnad Aḥmad dan Musnad al-Dārimī.
18
2. Melakukan penelitian matn, yaitu mengkaji makna teks hadis tersebut,
dan secara kontekstual mengumpulkan informasi tentang makna yang
dimaksud dari teks hadis tersebut yang merujuk kepada metode
memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya,
situasi dan kondisinya ketika diucapkan, serta tujuannya. Sumber-
sumber yang dipakai adalah yang dinilai otoritatif seperti al-Qur’an,
Hadis, syarh hadis, dan karya-karya yang terkait dengan perbincangan
seputar tema ini.
4. Teknik penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Akademik Program
Strata 1 2012-2013 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. dan transliterasi yang
dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Romanisasi Standar
Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali diterbitkan pada tahun
1991 dari American Library Association (ALA) dan Library Congress (LC).
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan pembahasan yang utuh maka diperlukan adanya
sistematika penulisan. Dalam sistematika penulisan ini, dibagi menjadi lima bab,
dan masing-masing bab memiliki sub pokok bahasan.
Bab pertama adalah pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, dan rumusan masalah, tujuan penelitian
dan manfaat penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui bagaimana latar belakang masalah tentang judul yang
19
saya ambil dan metodologi penulisan yang digunakan untuk meneruskan
penelitian skripsi ini.
Bab kedua memaparkan penjelasan definisi perempuan dan definisi aurat,
menurut bahasa dan istilah, kemudian mengemukakan pendapat beberapa ulama
tentang aurat perempuan, lalu saya akan menjelaskan batasan-batasan aurat
perempuan baik dihadapan Allah, dihadapan mahram dan yang bukan mahram
(lelaki ajnabi), dan berhadapan dengan perempuan muslimah dan non muslimah,
kemudian menjelaskan hukum menutup aurat dalam Islam. Hal ini dilakukan
untuk dapat diketahui perdebatan aurat perempuan itu fisiknya seluruh tubuh atau
hanya sebagian saja.
Bab ketiga adalah mencantumkan hadis tentang perempuan adalah aurat
dan terjemahnya kemudian menganalisis sanad hadis tersebut. Hal ini dilakukan
untuk dapat mengetahui otentisitas sanad hadis tersebut.
Bab keempat merupakan penjelasan makna tekstual dan kontekstual hadis
permpuan adalah aurat, hal ini dilakukan supaya orang yang membaca hadis ini
tidak salah memahami, hanya dengan melihat teks hadisnya saja, tanpa
mengetahui makna konteks yang terdapat dalam matan hadis tersebut dan untuk
mendapatkan informasi tentang suara wanita.
Bab kelima adalah kesimpulan dari seluruh uraian yang telah dikemukakan
jawaban atas permasalahan yang diteliti disertai dengan saran-saran yang dapat
disumbangkan sebagai rekomendasi untuk kajian lebih lanjut dari penelitian ini,
sekaligus merupakan penutup rangkaian dari pembahasan ini.
20
BAB II
DISKURSUS SEPUTAR AURAT PEREMPUAN
A. Definisi Kata Perempuan
Makna manusia tidak terbatas pada jenis dan golongan manusia tertentu,
tetapi ia mencakup seluruh jenis manusia, baik pria maupun perempuan semuanya
sama. Dan ketika al-Qur’an berbicara mengenai perempuan dan pria, ia
mengatakan bahwa keduanya tidak dapat dilihat dari sisi kepriaan atau
keperempuanan. Hakikat keduanya terletak pada sisi ruhaninya, bukan
jasmaninya, bukan pula gabungan antara jasmani dan ruhani.1 Namun dalam
skripsi ini perempuan yang dimaksud adalah perempuan (al-mar’ah) lawan dari
laki-laki (al-rajul), bukan lawan dari suami (al-zauj). Namun bila membahas
mengenai aurat, perempuan tentunya dilihat pada sisi jasmaninya, begitupun juga
laki-laki.
Di dalam hadis pula, Rasulullah Saw banyak menyebutkan perempuan
menggunakan lafaẓ Mar’ah, Bint, Zaujah, Umm dan yang terakhir menggunakan
kata Nisā’. Masing-masing mempunyai makna dan penempatan sendiri-sendiri
ketika Nabi Muhammad menggunakan lafaẓ tersebut, yaitu:
a. Mar’ah, yang artinya perempuan. Biasanya Nabi memakai kata mar’ah
ketika berbicara tentang topik yang berkaitan dengan bidang fikih, dan
perempuan yang menggunakan lafaẓ Mar’ah disitu bisa berdiri sendiri
tanpa adanya pasangan atau pelengkap.
1Ayatullah Jawadi Amuli, Keindahan dan keagungan perempuan (Jakarta: Lentera, 2005),
h. 2.
21
b. Bint dan Ibnatun mempunyai satu makna yang sama yakni anak
perempuan, dan Nabi Muhammad sering menggunakan lafaẓ ini ketika
membicarakan tentang akhlak dan objeknya anak kecil.
c. Zaujah, lafaẓ zaujah mempunyai makna yang sama dengan mar’ah yang
artinya perempuan (sebagai objek pembicaraan), akan tetapi zawjah hanya
khusus sebagai pasangan laki-laki (zauj), dan kebanyakan dipakai hanya
untuk ruang lingkup keluarga atau perkawinan. Nabi pun sering
menggunakan lafaẓ Zaujah ketika berbicara di topik keluarga dan
pernikahan.
d. Umm, lafaẓ Umm mempunyai makna perempuan, yakni perempuan yang
sudah mempunyai anak (Ibu), dalam bahasa Arab lafaẓ Umm mempunyai
dua jamak yaitu al-Ummahāt dan al-Ummāt, lafaẓ al-Ummahāt bermakna
beberapa Ibu khusus digunakan untuk manusia, dan lafaẓ al-Ummātu yang
bermakna ibu-ibu untuk para binatang.2 Nabi sering menggunakan lafaẓ
al-Ummahāt/al-Umm ketika lagi berbicara tentang akhlak dan kebanyakan
untuk memulyakan posisi atau kedudukan seorang ibu.
e. Nisā, lafaẓ nisā’ yang artinya sama yaitu perempuan. Akan tetapi lafaẓ
nisā’ sering digunakan Nabi ketika perempuan itu sebagai orang yang
diajak bicara atau sebagai orang yang dibicarakan, dan ketika Nabi
menceritakan perempuan yang ada di akhirat kebanyakan beliau memakai
Nisā’.
Dengan demikian, dari keterangan dan makna lafadz yang berkaitan
dengan perempuan, skripsi ini membicarakan perempuan menggunakan lafadz
2 Ibn Manẓur, Lisān al-‘Arab (Beirūt: Dār al-Ihyā, 1882), jilid 1, h. 216.
22
mar’ah, hal ini dikarenakan pembahasan hanya berfokus pada permasalahan
tentang perempuan itu sendiri, tanpa diperlukan adanya bahasan tentang
pasangan (laki-laki).
B. Definisi Kata Aurat
Aurat dalam hal ini berkaitan dengan bentuk fisik atau tubuh seseorang,
yang dimaksud skripsi ini adalah aurat dari fisik perempuan. Aurat secara bahasa
berarti malu, aib dan buruk. Kata “aurat” dalam bahasa Arab berasal dari kata-
kata sebagai berikut:
1. Kata “aurat” berasal dari kata“’awira” ) عور (, artinya hilang perasaan,
kalau dipakai untuk mata, maka mata itu hilang cahayanya dan lenyap
pandangannya.3 Pada umumnya, kata ini memberi arti yang tidak baik dan
dipandang memalukan dan mengecewakan.
2. kata “aurat” juga berasal dari kata “’āra” (عار), artinya menutup dan
menimbun, seperti menutup mata air dan menimbunnya.4 Ini berarti pula,
bahwa aurat itu adalah sesuatu yang ditutup sehingga tidak dapat dilihat
dan dipandang.
3. kata “aurat” bisa pula berasal dari kata “a’wara” (اعور), yakni sesuatu
yang jika dilihat, akan mencemarkan.5 Jadi aurat adalah sesuatu yang
harus ditutup dan dijaga hingga tidak menimbulkan kekecewaan dan
malu.6
Sedangkan menurut istilah, aurat ialah sesuatu yang menimbulkan birahi
atau syahwat, membangkitkan nafsu angkara murka sedangkan ia mempunyai
kehormatan dibawa oleh rasa malu supaya ditutup rapi dan dipelihara agar tidak
3 Ibnu Manẓur, Lisān al-‘Arab (al-Qahira: Dar al-Ma’arif, t.t,), jilid 5, h. 3164-3167. 4 Manẓur, Lisān al-‘Arab, jilid 5, h. 3165. 5 Manẓur, Lisān al-‘Arab, jilid 5, h. 3166. 6 Al-Husainiy, kifayat al-Akhyar (al-Qahira: Isa Halaby, t.t.), jilid I, h. 92.
23
mengganggu manusia lainnya serta menimbulkan kemurkaan, padahal
ketentraman hidup dan kedamaian hendaklah dijaga sebaik-baiknya.7
Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal aurat ialah sesuatu yang buruk dan
bagian tubuh yang tidak patut kelihatan dihadapan orang lain.8
Dengan demikian makna aurat dalam bahasa Arab memang secara literal
berarti “celah, kekurangan, dan merupakan sesuatu yang memalukan atau sesuatu
yang apabila aurat itu terbuka maka akan menimbulkan rasa malu dan cela pada
diri sendiri. Apabila disandingkan dengan perempuan المراة() berarti aurat ini
adalah membicarakan tentang perempuan dari semua aspek jasmani perempuan,
bukan masalah rohani.
C. Perdebatan Seputar Aurat Perempuan
Semua ulama sepakat bahwa menutup bagian anggota badan berdasarkan
sunah fi’liyah hukumnya wajib baik bagi laki-laki maupun perempuan. Yang
menjadi perdebatan adalah sampai manakah batasan-batasan aurat laki-laki dan
perempuan? Dan apakah batasan aurat di dalam salat berbeda dengan batasan
aurat di luar salat?.
Mazhab Ḥanāfi, sebagaimana diterangkan al-Samarkandi di dalam Tuhfat
al-Fuqahāt, memperkenalkan dua macam aurat, yaitu aurat di dalam dan di luar
salat. Di dalam salat, aurat perempuan batasannya adalah seluruh anggota badan
7 Fuad Mohd Facruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam (Jakarta: Yayasan
al-Amin, 1984), h. 1. 8 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadah-Mu’amalat (Jakarta: Pustaka
Amani, 1999), h. 71
24
kecuali muka, telapak tangan, dan telapak kaki. Sedangkan di luar salat berlaku
ketentuan lain; yaitu tentang tatakrama pergaulan keluarga.9
Menurut mazhab Mālikī, sebagaimana diterangkan Khalil ibn Ishaq al-
Jundi dalam al-Mukhtaṣar, batasan aurat perempuan adalah semua anggota badan
kecuali muka dan telapak tangan; kaki tidak termasuk pengecualian.
Sedangkan pandangan mazhab Syāfi’ī hampir sama dengan mazhab
sebelumnya, yakni bahwa batasan aurat perempuan adalah seluruh badannya
kecuali muka, telapak tangan dan telapak kaki. Hanya saja, mazhab ini lebih
terperinci membedakan kedudukan aurat di dalam atau di luar lingkungan
keluarga dekat (mahram).
Menurut mazhab Aḥmad ibn Ḥanbal, sebagaimana diungkapkan Mansur
al-Bahuti dalam Kasysyāf al-Qina’ ‘an Matn al-Qina’, aurat perempuan dewasa
adalah seluruh badannya kecuali muka dan telapak tangan, baik di dalam maupun
di luar salat. Sedangkan Mazhab imam dalam Syi’ah, agaknya lebih ketat
dibandingkan dengan semua imam mazhab di atas. Mungkin, ini ada kaitannya
dengan Iran yang turun temurun menjadi kota penting dalam tradisi Sasania-
Persia yang memiliki sejarah panjang tentang penggunaan jilbab (cadar). Imam al-
Khu’i dalam Minhaj al-Ṣālihin, dan Imam Khomaeni dalam Taḥrīr al-Waṣīla,
berpendapat bahwa perempuan diharuskan menutup seluruh anggota badan tanpa
pengecualian; termasuk muka, terkecuali di depan suami atau mahramnya. Imam
Khomaeni menambahkan, tidak boleh seorang berlawanan jenis berjabat tangan
selain mahram.
9 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA,
2010), h. 15.
25
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Saw Rasul pun tidak menjabat wanita
yang bukan mahram:
ب ن د م مح دث ن اسف ي ان،ع ن :ح نق ال م ح الر دث ن اع ب د :ح ب نب شارق ال د م ن امح ب ر أ خ فيال لم س و ل ي ه ع لىهللا ص النبي أ ت ي ت : ق ال ت ا أ نه رق ي ق ة بن ت ة ي م أم ع ن من ك در،
ش ي ئا بالل نش رك ال ع ل ىأ ن ،نب ايعك للا سول ارنب ايعه،ف قل ن ا:ي ار األ ن ص ةمن و ،نس
ن س ال فيو ن ع صيك ال جلن ا،و أ ر أ ي دين او ت انن ف ت ريهب ي ن ببه تي ن أ ال ،و ني ن ز ال ،و رق
: ع روف،ق ال ق تن»م أ ط ،و ت ط ع تن ااس بن ا،ه لم«.فيم م ح أ ر سوله ر و :قل ن اللا ق ال ت
سول ر ي ا نب ايع ك : لم س و ل ي ه ع هللا لى ص للا سول ر ف ق ال ، افح»للا أص ال إن ي
احد ةالن س اء أ ةو ر ليالم مث لق و احد ة،أ و أ ةو ر ليالم أ ةك ق و ر ليلمائ ةام اق و 10«،إنم
“Muhammad bin Basyar mengabarkan kepada kami dari Abdurrahman,
dari Sufyan, dari Muhammad bin al-Munkadir bahwa Umaimah binti Ruqaiqah
berkata,”Aku ikut dalam rombongan wanita Anshar yang datang menemui Nabi
Saw untuk membaiatnya, lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami
membaiatmu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak mencuri,
tidak berzina, tidak mengatakan kebohongan yang kami buat-buat di antara
tangan dan kaki kami, serta tidak mendurhakaimu dalam kebaikan.’ Beliau
berkata, ‘Sebisa dan semampu kalian.’” Umaimah melanjutkan, “Kami berkata,
‘Betapa Allah dan Rasul-Nya lebih mengasihi kita (daripada kita sendiri). Mari
kami baiat engkau, wahai Rasulullah.’ Rasulullah berkata, ‘Sungguh, aku tidak
menjabat tangan wanita. Perkataanku (untuk membaiat) kepada seratus wanita
sama dengan perkataanku kepada seorang wanita atau seperti perkataanku
kepada seorang wanita.”
Perbedaan pendapat mengenai aurat ini berakar pada perbedaan penafsiran
terhadap surat al-Ahzāb ayat 13, dan surat al-Nūr ayat 31 dan 58. Dalam surat al-
Ahzāb ayat 13, kata aurat diartikan oleh mayoritas ulama tafsir sebagai “celah
yang terbuka terhadap musuh, atau celah yang memungkinkan orang lain
mengambil kesempatan untuk menyerang.” Sedangkan dalam surat al-Nūr ayat 31
dan 58, kata aurat diartikan sebagai “sesuatu dari anggota tubuh manusia yang
membuat malu bila dipandang ataupun dianggap buruk bila diperlihatkan.”11
10 Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alī al-Kharāsānī al-Nasā’I (w.303H), Sunan
al-Nasa’i (t.tp, Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmiyah, 1986), juz vii, h.149. 11 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT SERAMBI ILMU
SEMESTA, 2010), h. 14.
26
Mayoritas ulama mutaqaddimin menafsirkan surat al-Nūr ayat 31,
khususnya penggalan ayat ا من ه ر ظ ه ا م sebagai (apa yang tampak darinya) إال
yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus tampak. Namun
kebiasaan yang dimaksud apakah kebiasaan perempuan pada masa turunnya ayat
ini atau kebiasaan perempuan disetiap masyarakat muslim dalam masa yang
berbeda-beda. Ulama tafsir memahami kebiasaan yang dimaksud sebagai
kebiasaan pada masa turunnya al-Qur’an. Muḥammad Ṭahir ibn ‘Asyur, ulama
besar Tunisia. Dalam Maqāṣid al-Syarī’ah berpendapat bahwa adat satu kaum
tidak boleh, dalam kedudukannya sebagai adat dipaksakan terhadap kaum lain
atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.12
Dengan demikian perempuan pada zaman Nabi sampai zaman sekarang
adalah masa yang berbeda-beda, jadi wajar apabila para ulama berbeda pendapat
mengenai aurat perempuan. Dan dari pendapat para ulama di atas perempuan
mempunyai batasan tertentu tidak semua jasmani perempuan adalah aurat, ada
bagian tertentu dan batasan-batasan aurat darinya yang harus ditutup sehingga
perempuan tetap terjaga kesucian dan kehormatannya.
D. Batas-batas aurat perempuan
Agama Islam telah menetapkan batas-batas tertentu untuk aurat laki-laki
dan perempuan, dalam istilah syariat, aurat adalah bagian anggota tubuh yang
wajib ditutup. Islam telah menetapkan aurat laki-laki antara pusat sampai lutut.
Mereka diperintahkan untuk tidak membuka aurat dihadapan orang lain, dan
12Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA,
2010), h. 18.
27
dilarang pula melihat aurat orang lain.13 Sedangkan batas-batas aurat wanita lebih
luas dibandingkan dengan aurat laki-laki. Setiap wanita diwajibkan menutup
seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan, dan pandangan laki-laki
bukan muhrim.14
Batas aurat perempuan berbeda-beda, perbedaannya tergantung pada
dengan siapa perempuan tersebut berhadapan. Secara umum, perbedaan itu dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Allah
Aurat perempuan ketika berhadapan dengan Allah (dalam salat) yaitu
seluruh tubuhnya harus ditutup kecuali muka dan telapak tangan. Karena menutup
aurat merupakan syarat bagi keabsahan salat.15
Hal ini ditegaskan pula oleh hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a.:
: ق ال أ نه، لم س ل ي هو لىهللاع ص ع ائش ة ،ع نالنبي ائض»ع ن ة ح ال ص ي ق ب لللا ال
ار بخم 16«إال
“…Dari ‘Aisyah r.a. dari Nabi Saw bersabda bahwa: Allah tidak
menerima salat wanita yang sudah haid (baligh) kecuali dengan memakai
kerudung.” (al-Khumur (kerudung) merupakan jamak dari khimar yang berarti
sesuatu yang digunakan untuk menutupi kepala dan yang suka disebut oleh orang
dengan mukena.)17
Maksud hadis di atas dijelaskan kembali oleh lafal al-Ṭabrāni dalam
Mu’jam al-Ṣaghīr al-Ṭabrāni sebagai berikut:
13 Husein Sahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bandung: Mizan 1995). h. 43. 14 Sahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, h. 44. 15 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadah-Mu’amalat (Jakarta: Pustaka
Amani, 1999), h. 74. 16 Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy’ats ibn Ishāq ibn Basyīr (w.275H), Sunan Abī Dāwud
(Beirūt: al-Maktabah al-‘Ashriyah, t.t.), Juz. 1, h. 173. 17 Muhammad Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibn Katsir, Penerjemah Syihabudin (Jakarta: Gema
Insani Press, 1999), h. 490
28
لم س آلهو ل ي هو ع لىللا ص سولللا ر :ق ال أ بيهق ال ب نأ بيق ت اد ة ،ع ن ع ب دللا :ع ن
اريزين ت ه » تىتو ةح أ ةص ال ر ام من ي ق ب لللا ال حيض اري ةب ل غ تال م ج من ال ا,و
ت مر تىت خ 18«ح
“…Dari ‘Abdillah ibn Abī Qatādah dari Bapaknya, Rasulullah Saw
bersabda: Allah tidak menerima salat seorang wanita hingga ia menutupi
perhiasannya, dan tidak menerima salat anak perempuan yang sudah haid hingga
ia memakai kerudung.”
al-Syaukani menyatakan bahwa hadis itu dijadikan dalil kewajiban
menutup kepala wanita ketika salat.19
2. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Mahram
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat:
a. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aurat perempuan ketika
berhadapan dengan mahramnya adalah antara pusat dan lutut, sama
dengan aurat kaum laki-laki atau aurat perempuan berhadapan
dengan perempuan.
b. al-Malikiah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa aurat perempuan
ketika berhadapan dengan mahramnya yang laki-laki adalah
seluruh badannya, kecuali muka, kepala, leher, dan kedua
kakinya.20
Masalah mahram ini dijelaskan dalam firman Allah Swt sebagai berikut:
الي و هن فروج ن ف ظ ي ح و ارهن أ ب ص من ن من اتي غ ضض لل مؤ قل إالو زين ت هن ب دين
أ و إاللبعول تهن زين ت هن اليب دين و ع ل ىجيوبهن بخمرهن رب ن ل ي ض او من ه ر اظ ه م انهن و إخ أ و أ ب ن اءبعول تهن أ و أ ب ن ائهن أ و آب اءبعول تهن أ و آب ائهن أ و انهن و ب نيإخ أ و
18 Sulaimān ibn Ahmad ibn Ayūb ibn Mathīr al-Lahmī al-Syāmī Abū al-Qasim al-Ṭabrānī
(w.360H), al-Mu’jam al-Ṣaghīr (Beirūt: al-Maktab al-Islamī, 1985M), Juz. 2, h. 138. 19 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadah-Mu’amalat (Jakarta: Pustaka
Amani, 1999), h. 74. 20Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010), h. 12.
29
من ب ة أولياإلر غ ي ر التابعين أ و انهن أ ي م ل ك ت م ا م أ و نس ائهن أ و اتهن و ب نيأ خ
جل بأ ر رب ن ي ض ال و الن س اء ات ر ع و ع ل ى روا ه ي ظ ل م الذين الط ف ل أ و ال ج الر هن
توبواإل ى و زين تهن من فين ايخ م ل م ليع تف لحون للا ل ع لكم منون اال مؤ ميعاأ يه ج 21
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-
laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
jadi adapun yang dimaksud mahram adalah22:
Suami
Ayah
Ayah suami
Putranya yang laki-laki
Putra suami
Saudara
Putra dari saudara
Putra dari saudari
Perempuan
Budaknya
Laki-laki yang menyertainya, tapi laki-laki itu tidak mempunyai kebutuhan
lagi kepada perempuan
21 QS. al-Nūr Ayat 31. 22 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, h. 12
30
Anak kecil yang belum mengetahui aurat perempuan
Paman (saudara ayah)
Paman (saudara ibu).
3. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Bukan Mahram
Ulama telah sepakat bahwa menutup seluruh tubuh perempuan adalah
wajib. tidak halal dibuka apabila berhadapan dengan laki-laki asing (ajnabi).
Berdasarkan firman Allah Swt. Dalam al-Qur’an Surat al-Ahzab ayat 59:
ذ لك البيبهن ج من ل ي هن ع يد نين منين نس اءال مؤ و ب ن اتك و اجك و ألز قل االنبي ي اأ يه
حيما غ فورار للا ك ان و ذ ي ن ف اليؤ ف ن يع ر أ د ن ىأ ن 23
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi
Maha penyayang.”
Ayat di atas terlihat jelas bahwa Allah memerintahkan kepada kaum
perempuan untuk menutup auratnya, kemudian disamping itu berdasarkan hadis
Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud dikatakan:
لى ص سولللا ع ل ىر ل ت ر،د خ أ بيب ك بن ت اء م أ س ا،أ ن ع ن ه للا ضي ع ائش ة ر ع ن
ن ه ع ض اثي ابرق اق،ف أ ع ر ل ي ه ع و لم س ل ي هو لم ،هللاع س ل ي هو لىهللاع ص سولللا ار
: ق ال ه ذ ا»و إال ا ىمن ه ير أ ن لح ت ص ل م حيض ال م ب ل غ ت إذ ا أ ة ر ال م إن اء، م أ س ي ا
ه ذ ا 24«و
“…Dari ‘Aisyah RA dijelaskan disana bahwa Asma binti Abu Bakar
masuk ke dalam rumah Nabi Saw dengan memakai pakaian tipis lalu Nabi
berpaling darinya seraya bersabda: Hai Asma’, sesungguhnya perempuan jika
telah haid, tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini” (sambil beliau
menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan beliau).”
23 QS. al-Ahzāb Ayat 59. 24 Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy’ats ibn Ishāq ibn Basyīr (w.275H), Sunan Abī Dāwud
(Beirūt: al-Maktabah al-‘Ashriyah, t.t.), juz. 4, h. 62.
31
Namun demikian, Ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah
wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki termasuk aurat atau tidak,
tentang hal ini ada beberapa pendapat sebagai berikut25:
a. Wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat, ini adalah pendapat madzhab
jumhur, antara lain Imam Malik, Ibn Hazm dari golongan Zahiriah dan
sebagian Syi’ah Zaidiah dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari
keduanya, Hanafiyah dan Syi’ah Imamiah dalam satu riwayat, para shabat
Nabi dan Tabi’in antara lain Ali, Ibn Abas, ‘Aisyah, ‘Atha, Mujahid, al-
Hasan, dan lain-lain.
b. Wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki tidak termasuk aurat,
ini adalah pendapat al-Tsauri dan al-Muzanni, al-Hanafiah, dan Syi’ah
Imamiah menurut riwayat yang shahih.
c. Seluruh badan perempuan adalah aurat, ini adalah pendapat Imam Ahmad
dalam salah satu riwayat, pendapat Abu Bakar dan Abu Rahman dari
kalangan Tabi’in.
d. Hanya wajah saja yang tidak termasuk aurat, ini juga pendapat Imam
Ahmad dalam satu riwayat dan penadapat Daud al-Dzahiri serta sebagian
Syi’ah Zaidiah.
4. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Perempuan Muslimah dan
Non Muslimah.
Adapun aurat perempuan terhadap sesama perempuan adalah sama dengan
aurat laki-laki terhadap sesama laki-laki, dan sama dengan aurat perempuan
25Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010), h. 13.
32
terhadap muhrim lainnya, yakni dari lutut sampai pusat. Jadi telinga, leher,
rambut, dada, tangan dan betis bukan merupakan aurat di hadapan mereka.
Alasannya adalah:
a. Firman Allah di dalam surat al-Nūr ayat 31 “ para mujahid ”نس ائهن
menafsirkan dengan wanita-wanita muslim, bukan wanita-wanita
musyrik.26
b. Sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Zaid Ibn Aslam dari
‘Abdurrahman ibn ‘Abī Sa’īd al-Khudrī dari bapaknya:
لى ص هللا سول ر أ بيه،أ ن ع ن ، ال خد ري أ بيس عيد ب ن ن م ح الر ع ب د ل ي هع ن ع هللا
: ق ال لم س »و ال أ ة،و ر ال م ة ر أ ةإل ىع و ر ال م ال جل،و الر ة ر جلإل ىع و ي ن ظرالر ال
ب أ ةفيالثو ر أ ةإل ىال م ر تف ضيال م ال احد،و بو جلفيث و جلإل ىالر يف ضيالر
احد 27«ال و
“…Dari ‘Abdurrahman ibn ‘Abī Sa’īd al-Khudrī dari bapaknya
sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Laki-laki tidak boleh melihat aurat
laki-laki lain, dan perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain, dan laki-
laki tidak boleh bercampur dengan laki-laki lain dalam satu pakaian, dan begitu
juga perempuan tidak boleh bercampur dengan perempuan lain dalam satu
pakaian”
Sedangkan apabila perempuan muslimah berhadapan dengan perempuan
non muslimah, maka auratnya adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak
tangan (sama dengan ketika perempuan muslimah berhadapan dengan laki-laki
yang bukan muhrim) karena mereka akan menceritakannya kepada suami dan
saudara mereka. Tetapi masalah menampakkan zinah (perhiasan) dan kecantikan
26 Muhammad Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibn Katsir, Penerjemah Syihabudin (Jakarta: Gema
Insani Press, 1999), h. 491. 27 Muslim ibn al-Ḥajjāj Abū al-Ḥasan al-Qusayrī al-Naisābūrī (w.261H), Ṣahīh Muslim
(Beirūt: Dār ihyā’ al-Turāts al-‘Arabī, t.t.), juz 1, h. 266.
33
seorang muslimah di hadapan perempuan-perempuan tersebut tidak ditegaskan
keharamannya, namun para fuqaha menilai hanya sebatas makruh.28
Meskipun perempuan muslimah dilarang memperlihatkan perhiasannya
atau auratnya kepada perempuan non muslimah, namun dalam hal ini pelarangan
memperlihatkan aurat kepada perempuan dzimmi lebih keras, karena mereka
dapat melakukan apa yang mereka inginkan, dan perempuan muslimah
mengetahui bahwa hal itu haram. Maka dia harus menghindarinya,29 Dalam hadis
dikatakan sebagai berikut:
أ ة ر ال م أ ة ر ال م تب اشر ال : لم س و ل ي ه ع لىللا ص هللا سول ر ق ال : ق ال هللا، ع ب د ع ن
ا اي ن ظرإل ي ه أ نم اك جه و الز تىت صف ه 30ح
“Dari ‘Abdillah, Rasulullah Saw bersabda: “janganlah wanita menyifat-
nyifati wanita lain kepada suaminya, sehingga seolah-olah suaminya melihatnya.
Sa’id bin Mansur pun mengemukakan hadits senada dalam sunannya dari
Umar bin Khattab. Umar menulis surat kepada Abu ‘Ubaidah, “Amma ba’du,
telah sampai informasi kepadaku bahwa di wilayah anda ada sebagian wanita
muslim yang masuk ke pemandian bersama kaum wanita musyrik. Tidak halal
bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melihat auratnya kecuali
wanita yang seagama.31
E. Hukum Menutup Aurat
Apabaila diteliti nash-nash yang berkaitan dengan hukum menutup aurat,
seperti yang terdapat dalam Surat al-Ahzab ayat 59 dan al-Nūr ayat 31, maka akan
28 Shahab, Jilbab menurut al-Qur’an dan As-Sunnah, h. 56. 29 al-Rifa’i, Tafsir Ibn Katsir, h. 491. 30 Muhammad ibn ‘Īsa ibn Saurah ibn Mūsa ibn al-Ḍahāk al-Tirmidzī (w.279), al-Jāmi’ al-
Kabīr Sunan al-Tirmidzī, (Brirūt: Dār al-Gharb al-Islāmī), juz 4, h. 406. 31 al-Rifa’i, Tafsir Ibn Katsir, h. 491.
34
dijumpai bahwa semuanya berbentuk amar (perintah) atau nahi (larangan) yang
menurut ilmu ushul fiqh, akan dapat memproduk wajib ‘aini ta’abbudi, yaitu
suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, tanpa harus
bertanya alasannya. Namun demikian, apabila diteliti lebih jauh, kewajiban
menutup aurat ini ada hubungannya dengan kewajiban yang lain yang
diperintahkan Allah demi kemaslahatan manusia, seperti ini:
1. Menutup aurat itu merupakan faktor penunjang dari kewajiban menahan
pandangan sebagaimana diperintahkan Allah Swt. Dalam firmannya:
ف ظواف ي ح و ارهم أ ب ص ي غضوامن منين لل مؤ روقل هم ك ذ ج أ ز لك إن بيرخ للا ىل هم
ن عون اي ص بم
إال زين ت هن اليب دين و هن فروج ن ف ظ ي ح و ارهن أ ب ص من ن من اتي غ ضض لل مؤ قل و اظ م أ و إاللبعول تهن زين ت هن اليب دين و ع ل ىجيوبهن بخمرهن رب ن ل ي ض او من ه ر ه
و ب نيإخ أ و انهن و إخ أ و أ ب ن اءبعول تهن أ و أ ب ن ائهن أ و آب اءبعول تهن أ و آب ائهن أ و انهن
من ب ة أولياإلر غ ي ر التابعين أ و انهن أ ي م ل ك ت م ا م أ و نس ائهن أ و اتهن و ب نيأ خ
جلهن بأ ر رب ن ي ض ال و الن س اء ات ر ع و ع ل ى روا ه ي ظ ل م الذين الط ف ل أ و ال ج الر
فين ايخ م ل م ليع زين تهن من توبواإل ىللا تف لحون و ل ع لكم منون اال مؤ ميعاأ يه ج 32
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-
laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
32 QS. al-Nūr Ayat 30-31.
35
2. Menutup aurat sebagai faktor penunjang dari larangan berzina yang lebih
terkutuk, sebagaimana firman Allah Swt:
س بيال س اء ف احش ةو ن اإنهك ان بواالز الت ق ر و 33
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
3. Menutup aurat hukumnya menjadi wajib karena alasan sad al-dzara’i,
yaitu menutup pintu kepada dosa yang lebih besar.
Oleh karena itu, para ulama telah sepakat mengatakan bahwa menutup
aurat merupakan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki dalam ajaran islam.34
Dalam buku Fiqih Wanita. Menutup aurat hukumnya wajib, berlaku bagi
wanita yang masih muda yakni yang telah tiba masa haidhnya hingga masa
terhentinya haid. Sedangkan wanita yang telah melampaui masa ini, mendapatkan
keringanan hukum. Dijelaskan dalam Firman Allah Swt sebagai berikut:
ثي اب هن ع ن ي ض جن احأ ن ل ي هن ع نك احاف ل ي س جون الن س اءالالتيالي ر اعدمن ال ق و و
ي رل هن خ ت ع فف ن ي س أ ن اتبزين ةو ج مت ب ر غ ي ر للا ليمس ميعو 35ع “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Berdasar ayat di atas, alasan bagi pengecualian di atas tampaknya
berkaitan dengan surutnya gairah dan daya tarik seksual pada wanita usia lanjut.
33 QS. al-Isrā’ Ayat 32. 34Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, h. 14-15. 35 QS. al-Nūr Ayat 60.
36
Sementara, faktor seksual tersebut justru merupakan dasar bagi perintah menutup
aurat sebagai diuraikan dalam pembahasan di atas.36
Dengan demikian, dari pemaparan di atas pada bab ini, diketahui bahwa
hadis perempuan adalah aurat ini adalah bukan menunjukkan bahwa seluruhnya
aurat, tetapi hadis ini adalah hadis umum yang kemudian di takhsis dengan
keterangan-keterangan batasan aurat perempuan di atas, dan merupakan
kewajiban perempuan untuk menjaga kehormatan dan kesucian dirinya apabila
hendak bertemu dengan orang lain yang bukan mahram. Yang kemudian pada bab
selanjutnya akan dipaparkan pemahaman dari teks asli hadis tentang perempuan
adalah aurat dan pemahaman kontekstual berdasarkan informasi yang diperoleh
dari kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan hadis dan konteks masa
sekarang, namun sebelumnya akan dibahas mengenai keotentikan hadis tersebut.
36 Shahab, Jilbab menurut al-Qur’an dan As-Sunnah, h. 61-62.
37
BAB III
OTENTISITAS HADIS “PEREMPUAN ADALAH AURAT”
A. Teks Hadis dan Terjemahnya
قع ن ر مو ع ن ق ت اد ة امع ن دث ن اه م روب نع اصمح دث ن اع م دب نب شارح م دث ن امح ح
ف إذ ا ة ر أ ةع و ر ال م ق ال لم س و ل ي ه ع لىللا ص النبي ع ن للا ع ب د صع ن و أ بياأل ح
االشي ط ان ف ه ر ت ش اس ت ج ر 1خ
“Telah menceritakan kepada kamu Muḥammad bin Basysyār, telah
menceritakan kepada kamu ‘Amr bin ‘Āṣim telah menceritakan kepada kami
Hammām dari Qatādah dari Muwarriq dari Abī al-Ahwaṣ dari Abdullah dari
Nabi Saw bersabda: “Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan
mengawasinya.”
B. Takhrij Hadis
Takhrīj hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab
sebagai sumber asli dari kitab hadis yang bersangkutan, yang mana di dalam
sumber itu dikemukakan secara lengkap matn dan sanad hadis yang bersangkutan.
Kegiatan takhrīj hadis bagi seorang peniliti hadis sangatlah penting, tanpa
melakukanmya maka akan sulit diketahui asal usul riwayat hadis yang akan
diteliti. Dengan demikian, ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan
takhrij hadis dalam melaksanakan penelitian hadis,2 yaitu:
1. Untuk mengetahui asal-usul hadis yang akan diteliti
2. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti
1 Muḥammad bin ‘Īsa bin Saurah bin Mūsa bin al-ḍaḥāk al-Tirmidzī (W. 279 H), al-Jāmi’
al-Kabīr Sunan al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Gharib al-Islamī, 1998), Juz 2, no. hadis 1173, h. 467. 2 M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), cet ke-2, h.
42.
38
3. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya Syahid dan Mutabi’ pada
sanad yang akan diteliti.
Ada empat metode dalam melakukan kegiatan takhrīj, yaitu: Pertama,
melalui nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, Kedua, melalui awal
matan hadis, Ketiga, melalui kata-kata fi’il atau terambil dari fi’il yang jarang
digunakan, dan Keempat, melalui tema.3 Namun di sini penulis hanya
menggunakan tiga metode dari empat tersebut.
1. Melalui awal matan
Dalam melakukan penelitian awal matan, penulis menggunakan referensi
kitab Mausū’at Atraf al-Ḥadis al-Nabawī al-Syarīf karya Abū Hājr Muḥammad
al-Sa’īd ibn Basyūnī Zaghlūl. Dari kitab tersebut penulis dapatkan informasi
sebagai berikut:
االشي ط ان ف ه ر ت ش اس ت ج ر ةف إذ اخ ر أ ةع و ر ال م
:5منثور–1:298نصب–45045كنز–1686خزيمة–329حب–1173ت
1964
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh pada keterangan di atas, jelas
bahwa matan hadis tersebut terdapat pada:
a. Sunan al-Tirmidzī terdapat pada hadis nomor 1173
b. Muwārid al-Ẓamān ila Zawā’id ibn Ḥibān terdapat pada juz 1 nomor hadis 329
c. Ṣahīh Ibn Khuzaimah terdapat pada juz 3 nomor hadis 1686
d. Kanz al-‘Ummāl terdapat pada hadis nomor hadis 45045
3 Bustamin, dan M.Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2004), cet ke-1, h. 28. 4 Abū Hājr Muḥammad al-Sa’īd ibn Basyūnī Zaghlūl, Mausū’at Atraf al-Ḥadits al-Nabawī
al-Syarīf (Beirūt: Dār al-Fikr, 1989), jilid 8, h. 667.
39
e. Naṣab al-Rāyah terdapat pada juz 1 halaman 298
f. al-Dar al-Mantsūr li Suyuṭī terdapat pada juz 5 halaman 196
2. Melalui fi’il pada matan
Dalam menelusuri lafadz hadis yang terdapat pada matan, di sini penulis
menggunakan kitab kamus hadis Mu’jam al-Mufahras li alfāẓ al-Ḥadīts al-
Nabawī karangan A.J. Wensinck. Dan penggalan kata yang ditelusuri adalah :
استشرف شرف، penulis hanya menemukan hadis tersebut pada satu ,عور،
periwayatan yaitu:
185رضاعت
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh pada keterangan di atas, jelas
bahwa matan hadis tersebut terdapat pada: Hadis Imam al-Tirmidzī kitab al-Raḍā’
bab ke 18.
3. Penelusuran hadis melalui tema
Untuk men-takhrij hadis melalui tema, penulis menggunakan rujukan kitab
Miftāḥ Kunūz al-Sunnah karangan Muḥammad Fu’ād al-Bāqi.6 Dan dari
penelitian yang dilakukan penulis tidak menemukan hadis yang diteliti.
Berdasarkan penelitian di atas jelas bahwa matan perempuan adalah aurat
terdapat dalam kitab-kitab hadis diantaranya:
a. Sunan al-Tirmidzī terdapat pada hadis nomor 1173
قع ن ر مو ع ن ق ت اد ة امع ن دث ن اه م روب نع اصمح دث ن اع م دب نب شارح م دث ن امح ح
ع ل لىللا ص النبي ع ن للا ع ب د صع ن و ف إذ اأ بياأل ح ة ر أ ةع و ر ال م ق ال لم س و ي ه
االشي ط ان ف ه ر ت ش اس ت ج ر 7خ
5 A.J. Wensinck, Mu’jam al-Mufahras li alfāẓ al-Ḥadīts al-Nabawī (Breil: Leiden, 1936),
juz 3, h. 103. 6 Muḥammad Fu’ād al-Bāqi, Miftāḥ Kunūz al-Sunnah (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadis, 1991), cet
ke-1, h. 351.
40
“Telah menceritakan kepada kamu Muḥammad bin Basysyār, telah
menceritakan kepada kamu ‘Amr bin ‘Āṣim telah menceritakan kepada kami
Hammām dari Qatādah dari Muwarriq dari Abī al-Ahwaṣ dari Abdullah dari
Nabi Saw bersabda: “Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan
mengawasinya.”
b. Muwārid al-Ẓamān ila Zawā’id ibn Ḥibān terdapat pada juz 1 nomor hadis
329
ة ي م خز ب ن اق إس ح ب ن د م مح ن ا ب ر دث ن اأ خ ح : ق ال ال مث نى، ب ن د م مح دث ن ا ح : ق ال ،
أ بي ع ن ، لي ال عج ق ر مو ع ن ق ت اد ة ، ع ن ام، ه م دث ن ا ح : ق ال ع اصم، ب ن رو ع م
لم س ل ي هو ع لىللا ص ،ع نالنبي ع ب دللا ص،ع ن و :األ ح ة،ف إذ ا»ق ال ر أ ةع و ر ال م
ا فيق ع رب ي ته اإذ اهي ب ه ر ات كونمن بم أ ق ر االشي ط ان،و ف ه ر ت ش تاس ج ر 8«خ “Telah menceritakan Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah, ia berkata:
telah menceritakan Muḥammad bin al-Mutsanna, ia berkata: telah menceritakan
‘Amr bin ‘Āṣim, ia berkata: telah menceritakan Hammām, dari Qatādah, dari
Muwarriq al-Ijliy, dari Abī al-Ahwaṣ, dari Abdullah, dari Nabi Saw bersabda:
“sesungguhnya wanita itu aurat. Apabila ia keluar dari rumah, maka setan pasti
akan menyertainya. Sedangkan tempat yang terdekat bagi wanita dengan
Tuhannya adalah di dalam rumah.”
c. Ṣahīh Ibn Khuzaimah terdapat pada juz 3 nomor hadis 1686
ق ع ن ث، د يح أ بي س مع ت : ق ال ال مع ت مر ثنا ال مق د ام، ب ن د م أ ح أ بينا ع ن ت اد ة ،
: ق ال أ نه لم س ل ي هو ع لىهللا ص سولللا ر عود،ع ن س ب نم ع ب دللا ص،ع ن و األ ح
« هللا ج ت كونإل ىو اال إنه االشي ط ان،و ف ه ر ت ش تاس ج ر اإذ اخ إنه ة،و ر أ ةع و ر ال م
ا افيق ع رب ي ته من ه ب 9«أ ق ر
“Telah menceritakan Aḥmad bin al-Miqdām, telah menceritakan al-
Mu’tamir, ia berkata: aku mendengar hadis dari ayahku, ia menceritakan dari
Qatādah, dari Abī al-Ahwaṣ, dari Abdullah bin Mas’ūd, dari Ralullah Saw
bahwasannya Rasulullah bersabda: sesungguhnya wanita itu adalah aurat,
apabila ia keluar dari rumah, maka setan pasti akan menyertainya. Dan wanita
itu akan dapat dekat dengan Tuhannya manakala ia berada di dalam rumahnya.”
d. Kanz al-‘Ummāl terdapat pada hadis nomor 45045
7 Muḥammad bin ‘Īsa bin Saurah bin Mūsa bin al-ḍaḥāk al-Tirmidzī (W. 279 H), al-Jāmi’
al-Kabīr Sunan al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Gharib al-Islamī, 1998), Juz 2, h. 467. 8 Abū al-Ḥasan Nūruddīn ‘Alī bin Abī Bakr al-Ḥaitsamī (w.807H), Muwārid al-Ẓamān ila
Zawā’id ibn Ḥibān (T.tp.:Dār al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t.), juz. 1, h. 103. 9 Abū Bakr Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah (w.311H), Ṣahīh Ibn Khuzaimah (Beirūt:
al-Maktab al-Islāmī, t.t.), Juz, 3, h. 93.
41
10عنابنمسعود"-المرأةعورة،فإذاخرجتاستشرفهاالشيطان."ت
“sesungguhnya wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar dari rumah,
maka setan pasti akan menyertainya.” “Sunan al-Tirmidzī-dari Ibn Mas’ūd”
e. Naṣab al-Rāyah terdapat pada juz 1 halaman 298
مذي هالت ر ج ر ة"،قل ت:أ خ تور س ةم ر أ ةع و ر عليهالسالم:"ال م ابع:ق ال ديثالر ال ح
فب ن ع و صع ن و أ بياأل ح قع ن ر مو ع ن ق ت اد ة امع ن ه م اعع ن ض فيآخرالر
للا ع ب د ع ن الك ب م النبي ع ن س عود م أ ة ن ر "ال م : ق ال أ نه لم س و ل ي ه ع للا لى ص
ديث ح : ق ال و ان ت ه ى. الشي ط ان"، ا ف ه ر ت ش اس ت ج ر خ ف إذ ا ة، ر حيحع و ص س ن ح
11غ ريب
(Hadits Hasan ṣahīh Gharīb: hadis ini memiliki dua sanad, yang shahih dan
hasan, lalu hadis ini tidak memiliki syahid dari jalur lain oleh karenanya hadis ini
berkualitas gharib). Lihat. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah,
2010), h. 162.
f. al-Dar al-Mantsūr li Suyuṭī terdapat pada juz 6 halaman 600
ل ي هو ضيهللاع نهع نالنبيصلىهللاع س عودر ارع ناب نم ال ب ز و مذي أخرجالت ر
تكونمن ا أقربم الشي ط انو ف إذاخرجتاستشرفها ة ع ور أ ة ر ال م إن ق ال سلم و
ا هيفيق ع رب يته او به ةر م ح ر 12
C. I’tibār Sanad
Kata al-I’tibār (االعتبار) merupakan maṣdar dari kata (اعتبر) yang
menurut bahasa adalah: peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk
dapat diketahui sesuatunya yang jelas. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, al-
i’tibār berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu,
yang hadis itu pada bagian sanad-nya tampak hanya seorang perawi saja; dan
10 ‘Ala’uddīn ‘Alī ibn Hisām al-Dīn ibn Qāḍī Khān al-Qādirī al-Syādzilī al-Hindī (w.975H),
Kanz al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl (Beirūt: Mu’assasah al-Risālah, 1981.), cet ke 5,
Juz 16, h. 369. 11 Jamāluddīn Abū Muḥammad ‘Abdillah bin Yūsuf (w.762H), Naṣab al-Rāyah al-Ẓīla’ī
(Beirūt: Dār al-Qilabah, 1997), juz. 1, h. 298. 12 ‘Abdurraḥman bin Abī Bakr Jalaluddīn al-Suyūṭī (w.911), al-Dar al-Mantsūr (Beirūt:
Dār al-Fikr, t.t.), juz. 6, h. 600.
42
dengan menyertakan sanad-sanad lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada
periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang
dimaksud.13 Melalui i’tibār ini pula, akan diketahui apakah hadis yang diteliti ini
memiliki syahīd14 atau mutabi’15 dari jalur lain.
Dalam hal ini hadis-hadis “perempuan adalah aurat”, i’tibār sanad akan
jelas terlihat pada skema sanad yang tertera pada lampiran. Namun disini akan
diuraikan terlebih dahulu keadaan sanad dari hadis Sunan al-Tirmidzī. Ṣahīh Ibn
Khuzaimah dan Ṣahīh Ibn Ḥibān di atas secara rinci.
Melalui penelitian yang telah dilakukan pada kitab-kitab induk hadis dan
seperti hasil yang didapat pada keterangan hadis di atas. Nampak bahwa
Rasulullah Saw meriwayatkan hadis “perempuan adalah aurat jika ia keluar
rumah maka setan akan mengawasinya” memiliki satu riwayat yang berakhir
pada jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud, sehingga hadis ini jelas tidak memiliki
syahīd. Namun pada jalur kedua sampai ke tujuh hadis ini memiliki mutabi’.
D. Analisis Sanad Hadis
Adapun riwayat yang akan penulis cantumkan terdapat dalam table berikut ini:
13 Syuhudi Isma’īl, Metodologi Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), h. 49. 14 Syahid dalam istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawahīd ialah periwayat
yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi. 15 Mutabi’ biasa juga disebut tabi’ dengan jamak tawabi’ ialah periwayat yang berstatus
pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi.
رويةالحديث
الترمذي صحيحابنحبان صحيحابنخزيمة
دب نال مق د ام م م أ ح ب نخمح اق ة ي ز دب نإس ح دب نب شار م م مح
43
Dilihat dari keterangan di atas, menunjukkan bahwa terdapat riwayat yang
berakhir pada jalur yang sama yaitu sahabat Abdullah bin Mas’ūd. Adapun uraian
periwayat hadis tersebut ialah sebagai berikut:
Jalur sanad dari Imam al-Tirmidzī
1. Abdullah bin Mas’ūd
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ūd bin Ghafīl bin Habīb bin
Syamḥ bin Fār bin Makhzūm, beliau adalah seorang sahabat, beliau mempunyai
kuniyah Abū ‘Abd al-Raḥman al-Ḥudzlī, semasa hidupnya beliau tinggal di
Kuffah. Kemudian menurut al-Bukhari beliau meninggal di Madinah, dan
menurut Abū Nu’aim beliau wafat pada tahun 32 H, beliau meriwayatkan hadis
dari Rasulullah Saw, Sa’d bin Mu’ādz, ‘Umar, dan lain-lain. Dan meriwayatkan
hadis kepada ‘Abd Al-Rahman bin Abī Lailī, ‘Ubaidah bin ‘Amr al-Salmānī, Abū
al-Ahwaṣ, Abū ‘Usmān al-Hindi, Abu Maysarah ‘Amr bin Syarhabīl dan lain-
دب نال مث نى ال مع ت مر م روب نع اصم مح ع م
روب نع اصم أ بي ام ع م ه م
ام ق ت اد ة ق ت اد ة ه م
ص و ق ق ت اد ة أ بياأل ح ر مو
ع س ب نم دوع ب دللا ق ر مو ص و أ بياأل ح
ص و أ بياأل ح ع ب دللا
ع ب دللا
44
lain.16 Tentang kualitasnya tidak banyak komentar dari ulama, oleh karena itu
kembali kepada prinsip keadilah sahabat.
2. Abī al-Ahwaṣ
Abī al-Ahwaṣ adalah Kuniyah dari seseorang yang bernama ‘Auf bin
Mālik bin Naẓolah al-Asyja’ī, beliau adalah seorang tabi’in dari kalangan
pertengahan, dan negeri semasa hidupnya adalah Kuffah. Beliau meriwayatkan
hadis dari ‘Abdullah bin Mas’ūd, ‘Urwah bin al-Mughīrah ibn Syu’bah, ‘Alī bin
Abī Ṭālib, dan lain-lain, dan meriwayatkan hadis kepada Ibrāhīm bin Muslim,
Ibrāhīm bin Muhājir, ‘Abd al-Malik bin ‘Umair, Muwariq al-‘Ijliy, Abū Fazārah,
dan lain-lain.
Tentang kritikan para kritikus hadis kepadanya dikatakan; menurut Isḥaq
bin Manṣūr dari Yaḥya bin Ma’īn beliau adalah seorang yang tsiqah dan
disebutkan pula oleh Ibn Ḥibbān di dalam kitan al-Tsiqāh.17
3. Muwarriq
Nama lengkap beliau adalah Muwarriq bin Misymaraj, orang-orang
Bashrah menyebutnya dengan Abū al-Mu’tamir. Dan beliau wafat pada tahun 105
H. Beliau meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik, Salman al-Farisi, ‘Abdullah
bin ‘Abbās, Abī al-Ahwaṣ al-Jisymī, dan lain-lain. Kemudian beliau
meriwayatkan kepada Ismā’īl bin Abī Khālid, Jamīl bin Murrah, Qatādah, Muslim
bin Muslim, Mūsa bin Tsarwān, Abū al-Tiyāh, dan lain-lain.
16 Abū al-Faḍl Aḥmad bin ‘Alī bin Muḥammad bin Aḥmad bin Ḥajar al-Asqalānī (w.852H),
Tahdzīb al-Tahdzīb (al-Hindi: Maṭba’ah Dāirah al-Ma’ārif, 1326H), juz 6, h. 27-28. 17 Yūsuf bin Abd al-Raḥman bin Yūsuf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl
(Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980), juz 22, h. 45.
45
Tentang kritikan para kritikus hadis kepadanya dikatakan; menurut al-
Nasā’i beliau adalah seorang yang tsiqah, kemudian disebutkan pula oleh Ibn
Hibban dalam karyanya al-Tsiqāh.18
4. Qatādah
Nama lengkap beliau adalah Qatādah bin Da’āmah bin Qatādah, beliau
berasala dari kalangan biasa dan mempunyai kuniyah Abū al-Khaththābah, negeri
semasa beliau hidup adalah Bashrah dan beliau wafat pada tahun 117 H,
sedangkan menurut Abū ‘Urūbah beliau wafat pada Tahun 200 H19. Beliau
meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik, Abi Sa’id al-Khudri, Muwarriq, Abi
Sa’id al-Azda, Abi Sa’id al-Khudri, Abi ‘Usman al-Nahdi, Abi Marrah al-Ghafari,
‘Amru bin Dīnār, Muḥammad bin Sirrīn, dan lain-lain. Dan beliau meriwayatkan
hadis kepada Jarīr bin Hazam, Syubah, Yazīd Ibn Ibrāhīm al-Tastari, Hammām
bin Yaḥya, ‘Amru bin Ḥaris, ‘Umar bin Ibrāhīm al-`Abdi, Qurrah bin Khālid, dan
lain-lain.20
Tentang kritikan para kritikus hadis kepadanya dikatakan oleh Yaḥya bin
Ma’īn beliau adalah tsiqah, sedangkan Muḥammad bin Sa’īd mengatakan bahwa
beliau adalah tsiqah ma’mun. sedangkan dalam kitab Lisān al-Mīzān karya Ibn
Hajar terdapat perbedaan tentang keterangan atas ketsiqahannya.21
5. Hammām bin Yaḥya
Nama lengkapnya adalah Hammām bin Yaḥya bin Dīnār al-‘Audzī al-
Mahlamī, beliau adalah seorang tabi’in namun tidak berjumpa dengan sahabat,
dan beliau memiliki kuniyah Abū ‘Abdullah, negeri semasa hidupnya yaitu di
18 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 29, h. 17. 19 al-Asqalānī (w.852H), Tahdzīb al-Tahdzīb, juz 8, h. 357. 20 al-Asqalānī (w.852H), Tahdzīb al-Tahdzīb, Juz 8, h. 351-357. 21 Abū al-Faḍl Aḥmad bin ‘Alī bin Muḥammad bin Aḥmad bin Ḥajar al-Asqalānī (w.825
H), Lisān al-Mīzān (Dār al-Basyāir al-Islāmiyah, 2002), juz 9, hlm. 395.
46
Bashrah. Pada keterangan tentang wafatnya beliau banyak perbedaan pendapat,
diantaranya al-Bukhari mengatakan dari Muḥammad bin Maḥbūb Hammām wafat
pada tahun 163 H, sedangkan menurut Ibn Ḥibbān beliau wafat pada bulan
Ramadhan tahun 164 H, dan menurut Abū al-Ḥasan dari Aḥmad bin Ḥanbal
Hammām meninggal antara tahun 164 dan 165 H.22 dan beliau meriwayatkan
hadis dari Qatādah, Ishāq bin Abī Ṭalhah, Yazid bin Aslan, Muḥammad bin
Zuhadah, Anas bin Syarin, Ziyad bin Sa’īd, dan lain-lain. Kemudian beliau
meriwayatkan hadis kepada Aḥmad bin Ishāq al-Hadzaramī, Ḥiban bin Hilāl,
Yazīd bin Harun, Abdullah bin Razaq, ‘Amr bin ‘Āṣim, dan lain-lain.23 Tentang
kritikan para kritikus hadis kepadanya dikatakan; Yazid bin Harun mengatakan
bahwa Hammām bin Yaḥya adalah seorang yang Qawi’ fi hadits, sedangkan
Yaḥya bin Ma’īn dan Abu Khatim al-Razi mengatakan beliau sebagai orang
yang tsiqah.
6. ‘Amr bin ‘Āṣim
Nama Lengkapnya adalah ‘Amr bin ‘Āṣim bin ‘Ubaidillah bin al-Wāzi’ al-
Kilābī al-Qiyasī, beliau mempunyai kuniyah yaitu Abū ‘Utsmān al-Baṣrī, beliau
berasal dari Tabi’ut Tabi’in kalangan biasa, semasa hidupnya beliau tinggal di
Bashrah. Dan beliau wafat pada tahun 213 H. beliau meriwayatkan hadis dari
Ishāq bin Yaḥya bin Ṭalhah, Hubban, Abdul Waḥid bin Ziyād, Hammām bin
Yaḥya, Mu`tamar bin Sulaimān, Qarīb bin Abdul Malik, dan lain-lain. Dan beliau
meriwayatkan hadis kepada al-Bukhārī, Ibrāhīm bin al-Mustamir, Ibrāhīm bin
22 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 30, h. 310. 23 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 30, h. 302-303.
47
Maktūm, Ibrāhīm bin Ya`kub, Ishāq bin Sayār, Muḥammad bin Basysyār,
Muḥammad bin Abdullah al-Zuḥri.24
Pendapat para kritikus tentangnya adalah, Yaḥya bin Ma’īn mengatakan
dia adalah seorang yang ṣāliḥ dan Muḥammad bin Sa’īd mengatakan tsiqah, al-
Nasā’i mengatakan laisa bihi ba’sa, dan Ibn Ḥibbān menyebutkan dalam
karyanya al-Tsiqāh.25
7. Muḥammad bin Basysyār
Nama lengkap beliau adalah Muḥammad bin Basysyār bin ‘Utsman bin
Dāwud bin Kaisān al-‘Abdī, semasa hidupnya beliau tinggal di Kota Bashrah, dan
beliau wafat pada tahun 252 H. Beliau meriwayatkan hadis dari Ibrāhīm bin
‘Umar bin Abī al-Wazīr, Azhar ibn Sa’ad al-Samāni, Ja’far bin ‘Aun, Ḥajjāj bin
Minhāl, Sālim bin Nūḥ, ‘Amr bin ‘Āṣim, ‘Utsman bin ‘Umar bin Fāris, dan lain-
lain. Dan meriwayatkan kepada al-Jamā’ah, Ibrāhīm bin Ishāq, Abū Bakar Aḥmad
bin ‘Alī, Isḥāq bin Ibrāhīm, Isḥāq bin Abī ‘Imrān, Ismā’īl bin Nafīl, dan lain-lain.
Pendapat para kritikus tentangnya adalah, menurut al-‘Ijliy Muḥammad
bin Basysyār adalah seorang yang tsiqah, Abu Ḥātim mengatakan bahwa ia adalah
ṣadūq, dan menurut al-Nasā’i beliau adalah seorang ṣāliḥ. Sedangkan menurut Ibn
Ḥibbān beliau menghafalkan hadisnya dan membacakan apa yang dia hafalkan.26
Begitu juga imam al-Daruqutnī mengkategorikannya sebagai seorang hāfiẓ dan
tsabat.27
24 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 22, h. 88. 25 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 22, h. 89. 26 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 24, h. 511-518. 27 al-Asqalānī (w.852H), Tahdzīb al-Tahdzīb, juz 5, h. 497.
48
8. al-Tirmidzī
Nama aslinya adalah Muḥammad ibn ‘Isa ibn Surah ibn Musa ibn al-
Daḥḥak al-Sulami al-Tirmidzī, beliau merupakan salah satu dari para imam ahli
hadis yang enam (al-Bukārī, Muslim, Abū Dāwud, al-Tirmidzī, al-Nasā’i, Ibn
Mājah). Beliau adalah pengarang al-Jami’ al-Kabīr (Sunan al-Tirmidzī), beliau
tergolong tabaqah 12, beliau wafat pada tahun 279 H. Beliau banyak berpindah-
pindah tempat dalam perjalan intelektualnya, yang diantaranya adalah, Khurasan,
Iraq, Hijaj dan lain sebagainya.28 Beliau banyak meriwayatkan hadis dari:
Qutaibah ibn Sa’id, Muḥammad ibn Basysyār, Ali bin Ḥajar dan lain sebagainya.
Beliau banyak meriwayatkan hadis kepada: Aḥmad bin Yūsuf al-Nasafiy, Robi’
ibn Ḥayyan al-Baḥili, dan lain sebagainya.29
Sebagaimana saya sebutkan di atas bahwa al-Tirmidzī adalah salah satu
Imam dalam hadis, karyanya al-Jami’ al-Kabīr menjadi salah satu karya yang
fenomenal di bidang hadis dan menjadi rujukan para ulama-ulama hadis pasca
beliau. Nampaknya tidak ada satupun ulama yang mempertanyakan kapasitas
keilmuan beliau di dalam bidang hadis. Ibn Ḥibbān, selain mencantumkan nama
besar al-Tirmidzī di dalam al-Tsiqatnya, juga berkomentar bahwa al-Tirmidzī
adalah seorang Imām, Hāfiẓ, pengarang kitab, penghimpun hadis, dan juga
manusia yang jenius.30
Dalam periwayatan al-Tirmidzī terdapat salah seorang perawi yang masih
bersifat ṣadūq menurut Abu Ḥātim dan menurut al-Nasā’i beliau adalah ṣāliḥ ia
28 Jamaluddīn Abi al-Hajjāj Yūsuf al-Maziy, Tahdzīb al-Kamāl (Beirut: Muassasah ar-
Risalah, 1403 H.) juz 26 h. 251. 29 al-Maziy, Tahdzīb al-Kamāl, juz 26 h. 251. 30 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz. 26, h. 252.
49
adalah Muḥammad bin Basysyār, juga ‘Amr bin ‘Āṣim seorang ṣāliḥ menurut al-
Nasā’i yang berarti bahwa hafalannya (ḍabitnya) belum sempurna, sehingga hadis
ini berada pada tingkatan hadis ḥasan li dzatih.
Jalur sanad dari Imam Ibn Ḥibbān
1. Abdillah bin Mas’ūd (telah dijelaskan di halaman 46)
2. Abī al-Ahwaṣ (telah dijelaskan di halaman 46)
3. Muwarriq al-‘Ijliy (telah dijelaskan di halaman 47)
4. Qatādah (telah dijelaskan di halaman 47)
5. Hammām (telah dijelaskan di halaman 48)
6. ‘Amr bin ‘Āṣim (telah dijelaskan di halaman 49)
7. Muḥammad bin al-Mutsanna
Nama lengkap beliau adalah Muḥammad bin al-Mutsanna bin ‘Ubais bin
Qais bin Dīnār al-‘Inzī, Abū mūsa al-Baṣri, beliau semasa hidupnya tinggal di
Bashrah. Beliau wafat pada tahun 252 H. Meriwayatkan hadis dari Abī Ishāq
Ibrāhīm bin Ishāq, Ibrāhīm bin Ṣālih bin Dirham, Basysyār bin ‘Umar al-Jahrāni,
Ḥajjāj bin Minhāl, Sahl bin Yūsuf, ‘Abd al-A’la, Mu’tamir bin Sulaimān, ‘Amr
bin ‘Aṣim al-Kilābi, dan lain-lain. Dan beliau meriwayatkan hadis kepada al-
Jamā’ah, Abū Ya’la Aḥmad bin ‘Alī, Zakaria bin Yaḥya al-Sājī, Abdullah bin
50
Muḥammad ibn Nājiyah, Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah, Muḥammad bin
Hārūn, dan lain-lain.31
Pendapat kritikus tentangnya yaitu menurut Abū Ḥātim ia adalah seorang
ṣaliḥ al-ḥadīts dan ṣadūq, menurut abū ‘Urūbah al-Harānī mengatakan aku tidak
melihat seorangpun di Bashrah yang lebih tsabit dari Abu Musa dan menurut al-
Nasā’i la ba’sa bihi, menurut Abū Bakar al-Khaṭib ia adalah seorang yang ṣadūq,
wara’, faẓal, ‘āqalan (bijaksana).32
8. Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah
Nama asli beliau adalah Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah Abū Bakar al-
Salami al-Naisābūri, beliau meninggal pada malam sabtu setelah isya pada bulan
Dzul Qa’dah tahun 311 H. beliau meriwayatkan hadis dari Ishāq, ‘Ali bin Ḥajar,
Aḥmad bin ‘Abdūs, dan lain-lain. Dan beliau adalah seorang yang ṣadūq dan
tsiqah. dan meriwayatkan hadis kepada Ḥasan bin Sufyan, dan juga Abū Ḥāmid
al-Syarqī, dan lain-lain.33
9. Ibn Ḥibbān
Nama lengkapnya adalah Muḥammad bin Ḥibbān bin Aḥmad bin Ḥibbān
bin Mu’adz bin Ma’bud bin Sa’īd bin Syahīd. Beliau wafat pada tahun 354 H.
Meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin Muḥammad bin Salim, Abī Bakar bin
Khuzaimah, Abī al-Abbas al-Siraj, Muḥammad bin Al-Ḥasan bin Qutaibah,
Muḥammad bin Idrīs al-Anṣari, dan lain-lain. Dan meriwayatkan hadis kepada al-
31 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 26, h. 362. 32 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz. 26, h. 364. 33 Abū al-Fidā’ Zainuddin Qāsim bin Qutlubagha, al-Tsiqat Mimman Lam Yaqa’ fi al-Kitab
al-Sittah (Yaman: Dār al-Islamiyah, 2011), juz 8, h. 173-174.
51
Ḥākim Abū ‘Abdullah al-Ḥafiẓ, Abū ‘Ali Manṣur bin Abdullah bin Khalid, Abū
Mu’adz ‘Abdurraḥman bin Muḥammad, Abu al-Ḥasan bin Aḥmad bin
Muḥammad, dan lain-lain.34
Pendapat kritikus tentangnya adalah menurut Abū Sa’ad al-Idrīs beliau
adalah seorang hakim di kota Samarkan, juga seorang dari ahli fiqih agama, dan
seorang hafiẓ, seorang ilmuan dalam bidang kedokteran, astronomi, dan ilmu seni,
menurut al-Ḥākim beliau adalah seorang ulama tertinggi dalam bidang fiqih,
bahasa, hadis, dan seorang khatib, menurut al-Khatīb beliau adalah seorang
tsiqah, terhormat dan faham.35
Jalur sanad dari Imam Ibn Khuzaimah
1. Abdillah bin Mas’ūd (telah dijelaskan di halaman 46)
2. Abī al-Ahwaṣ (telah dijelaskan di halaman 46)
3. Qatādah (telah dijelaskan di halaman 47)
4. Abī
Nama aslinya adalah Sulaimān bin Ṭarhān al-Taymiy Abū al-Mu’tamir al-
Baṣriy, beliau wafat di Bashrah pada bulan Dzul Qa’dah tahun 143 H. beliau
meriwayatkan hadis kepada Anas bin Mālik, Barkah Abi al-Walīd, Sa’īd bin Abī
al-Ḥasan al-Baṣri, Sulaimān al-A’masy, Qatādah bin Da’āmah, ‘Abdurraḥman bin
Adam, Abī Tamīmah al-Hajīmī, dan lain-lain. Dan meriwayatkan hadis kepada
34 Abū al-Qāsim ‘Alī bin al-Ḥasan, Tārīkh Damasyqi (Dār al-Fikr, 1996), juz 52, h. 249-
253. 35 Syamsuddin Abū ‘Abdullah Muḥammad bin Aḥmad, Tarīkh al-Islami wa Wafiyat al-
Masyāhiru wa al-A’lām (Dār al-Gharbi al-Islamī, 2003), juz 8, h. 73.
52
Ibrāhīm bin Sa’ad, Asbaṭ bin Muḥammad, Ismā’īl bin ‘Uliyah, Sufyan bin Ḥabīb,
Sufyan bin ‘Uyaynah, ‘Abdullah bin al-Mubārak, Mu’adz bin Mu’adz, dan
anaknya Mu’tamir bin Sulaimān, Yazid bin Sufyan, dan lain-lain. Pendapat
kritikus tentangnya adalah menurut ‘Ali bin al-Madini dia adalah seorang Mu’ṭi
al-ḥadis, menurut Aḥmad bin Ḥanbal beliau seorang tsiqah, dan menurut Yaḥya
bin Ma’īn dan an-Nasā’i adalah tsiqah, dan Aḥmad bin ‘Abdullah al-‘Ijliy dia
seorang yang tsiqah, begitu juga menurut Muḥammad bin Sa’ad.36
5. al-Mu’tamir
Nama lengkap beliau adalah Mu’tamir bin Sulaimān bin Ṭarhān al-Taymī,
Abū Muhammad al-Baṣriy. Beliau tinggal di Bashrah dan wafat pada bulan
Muharram tahun 187 H. Beliau meriwayatkan hadis dari Ayahnya, Ibrāhīm bin
Yazīd al-Hauzī, Ishāq bin Sawīd, Ismā’īl bin Hamād, Iyās bin Daghfil, Khālid al-
Ḥidzā’i, Yūnus bin ‘Ubaid, dan lain-lain, beliau meriwayatkan hadis kepada
Aḥmad bin Ḥanbal, Aḥmad bin ‘Abdah, Abū al-Asy’ats Aḥmad bin al-Miqdām
al-‘Ijliy, Ḥāmid bin ‘Umar al-Bukrāwī, Ḥajjāj bin Minhāl, Hamīd bin Mas’adah,
Khalīfah bin Khiyāṭ, dan lain-lain. Pendapat para kritikus tentangnya adalah,
menurut Yaḥya bin Ma’īn ia seorang yang tsiqah, menurut Abū Ḥātim ia adalah
seorang yang tsiqah ṣadūq, dan menurut Muḥammad bin Sa’ad ia adalah seorang
yang tsiqah.37
36 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz. 12, h. 5-7. 37 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz. 28, h. 254.
53
6. Aḥmad bin al-Miqdām al-Ijliy
Nama lengkap beliau adalah Aḥmad bin al-Miqdām bin Sulaimān bin al-
Asy’ats ibn Aslam bin Suwaid bin al-Aswad bin Rabī’ah bin Sanān al-Ijlī, Abū al-
Asy’ats, semasa hidupnya beliau tinggal di Bashrah, dan wafat pada tahun 253 H.
Beliau meriwayatkan dari Umiyah bin Khāid, Basyr bin al-Mufaḍḍal, Hazm bin
Abī al-Alqaṭ’ī, Ḥammād bin Zaid, Khālid bin al-Ḥārits, Muḥammad bin Abī
‘Adiy, Mu’tamar bin Sulaimān, dan lain-lain. Dan beliau meriwayatkan hadis
kepada al-Bukharī, al-Tirmidzī, al-Nasā’i, Ibn Mājah, Abū ‘Abdullah Ahmad bin
‘Alī al-‘Ala’, Ḥusain bin Ismā’īl, Abū ‘Urūbah al-Ḥusain bin Muḥammad al-
Ḥarānī, ‘Abdullah bin Ja’far bin Aḥmad bin Khasyīsy, Abū Zur’ah ‘Ubaidillah,
dan lain-lain. Pendapat kritikus tentangnya adalah menurut Abū Hātim ia adalah
seorang yang ṣāliḥ al-ḥadīts dan ṣadūq. Menurut Ṣāliḥ bin Muḥammad al-
Baghdādiy beliau seorang yang tsiqah, Abu Bakar bin Khuzaimah berpendapat
dia adalah seorang ahli hadis. Dan menurut al-Nasā’i adalah laisa bihi ba’sa.38
7. Ibn Khuzaimah (telah dijelaskan di halaman 52)
D. Kesimpulan (Natijah)
Kesimpulan yang didapat setelah melakukan penelitian di atas, bahwa
hadis “perempuan adalah aurat” semua hadis di atas bersandar pada Rasulullah
artinya semua berkategori marfu’. Dan merupakan hadis aḥad dan ditinjau dari
jumlah perawi yang meriwayatkan hadis di atas, hanya diriwayatkan oleh sahabat
‘Abdullah bin Mas’ūd bahkan hingga tabi’-tabi’in diriwayatkan oleh satu perawi
saja oleh karena itu hadis tersebut dinilai sebagai hadis gharib.
38 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 1, h. 488-490.
54
Dalam periwayatan Imam al-Tirmidzī terdapat salah seorang perawi yang
masih bersifat ṣadūq menurut Abu Ḥātim dan menurut al-Nasā’i beliau adalah
ṣāliḥ ia adalah Muḥammad bin Basysyār, juga ‘Amr bin ‘Āṣim seorang ṣāliḥ
menurut al-Nasā’i yang berarti bahwa hafalannya (ḍabitnya) belum sempurna,
sehingga hadis ini berada pada tingkatan hadis ḥasan li dzātih. Dalam periwayatan
Ibn Ḥibān dapat disimpulkan bahwa dalam periwayatannya masih ada salah
seorang perawi yang masih bersifat ṣadūq dan menurut al-Nasā’i laisa bihi ba’sa
yaitu, Muḥammad bin al-Mutsanna yang berarti bahwa hafalannya (ḍabitnya)
belum sempurna sehingga hadis ini berada pada tingkatan hadis ḥasan li dzātih.
Begitu juga dalam periwayatan Ibn Khuzaimah terdapat perawi yaitu Aḥmad bin
al-Miqdām al-Ijliy menurut Abū Ḥātim ia adalah seorang yang ṣāliḥ al-ḥadīts dan
ṣadūq, dan menurut al-Nasā’i adalah laisa bihi ba’sa yang artinya jalur sanad Ibn
Khuzaimah pun tidak mencapai tingkatan ṣahīh hanya berada pada tingkatan
hadis ḥasan li dzātih. Kemudian dapat disimpulkan bahwa hadis imam al-
Tirmidzī yang mulanya berkualitas ḥasan li dzātih, terdapat hadis yang memiliki
satu lafadz dan satu makna dari jalur Ibn Ḥibān yang berkualitas ḥasan li dzātih
dan jalur Ibn Khuzaimah berkualitas ḥasan lin dzātih maka status hadis tersebut
derajatnya naik menjadi ṣahīh li ghairih39.
39 Ṣahīh li ghairih adalah hadis hasan li dzātih ketika ada periwayatan melalui jalan yang
sama atau lebih kuat dari padanya. Lihat abdul majid khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah,
2010), h. 155
55
BAB IV
KONTRADIKSI ANTARA PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN
KONTEKSTUAL HADIS PEREMPUAN ADALAH AURAT
Sejak Islam datang, kedudukan kaum perempuan mulai dihormati, karena
Islam membawa dan mengajarkan persamaan (al-Musāwah) di antara sesama
makhluk Tuhan. Islam mengikrarkan bahwa semua manusia yang ada di muka
bumi ini setara di hadapan Tuhan. Dengan demikian, tidak ada kekuatan yang
mampu mengambil kebebasan individu, baik itu dengan harta, pangkat, derajat,
atau bahkan Negara. Semua manusia memiliki nilai dan perlakuan yang sama,
tidak ada yang lebih istimewa juga tidak ada yang lebih hina, hanya tingkat
ketaqwaan yang membedakan manusia di hadapan Tuhannya.1 Dan al-Qur’an
telah menjadikan laki-laki dan perempuan itu berdampingan mengemban
tanggung jawab islam, yakni tanggung jawab amar ma’rūf nahī munkar.
ع ن ن و ي ن ه و ع روف بال م ي أ مرون ب ع ض لي اء أ و ب ع ضهم من ات ال مؤ و منون ال مؤ و
ل ال من ك ر الص يقيمون ك ة وو الز تون يؤ ة وو يطيعون أول للا و سول ه ر مهمو ح س ي ر ئك
كيمللا إنللا 2ع زيزح “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”
Oleh karena itu para ulama sepakat bahwa perempuan muslimah dalam
makna al-Qur’an di atas maka ia wajib menuntut ilmu untuk meluruskan akidah
dan ibadahnya. Begitu pula, untuk memperbaiki perilakunya yang sesuai dengan
1 Lihat QS. al-Hujurat ayat 13. 2 QS. al-Taubah ayat 71.
56
etika islam dalam berpakaian, berdandan, dan lain-lain, mengetahui yang halal
dan yang haram, hak dan kewajibannya. Boleh jadi ia meningkatkan ilmunya
hingga tingkatan mujtahid.
Terlepas hal-hal di atas, dalam hadis Rasulullah Saw terdapat beberapa
informasi yang bertentangan dengan hal tersebut yaitu hadis tentang larangan
perempuan keluar dari rumah tanpa mahram dan tanpa seizin suaminya, dan hadis
yang menerangkan tentang perempuan adalah sumber fitnah. Hadis-hadis tersebut
merupakan larangan yang dipahami secara harfiah (tekstual). Terdapat pula hadis
tentang “perempuan adalah aurat…..” sebagai berikut:
االشي ط ان ف ه ر ت ش اس ت ج ر ةف إذ اخ ر أ ةع و ر اإذ اهي و ال م ب ه ر ات كونمن بم فيأ ق ر
ا .ق ع رب ي ته
“Perempuan adalah aurat apabila ia keluar maka setan akan
mengawasinya, sedangkan tempat yang terdekat bagi wanita dengan Tuhannya
adalah di dalam rumahnya.
Hadis-hadis tersebut disamping populer juga membawa dampak yang
tidak baik terhadap ajaran Islam yang dikenal mempunyai ajaran rahmatan lil
‘alamīn (rahmat bagi seluruh alam). Kalau hadis ini dipahami secara tekstual
terasa bahwa Islam adalah agama yang mendiskriditkan posisi perempuan
terutama di ranah publik. Salah satu penyebab ini semua adalah adanya beberapa
hadis yang dinilai bias gender yang menyudutkan perempuan yang menuntut para
peniliti hadis untuk meneliti seberapa besar hubungan antara degenerasi
perempuan Islam dengan kodifikasi hadis. Sehingga banyak para sarjana baik
klasik ataupun modern melakukan pemahaman terhadap hadis melalui
pemahaman secara tekstual dan kontekstual.
57
A. Afirmasi Pemahaman Tekstual Hadis “Perempuan adalah Aurat”
Jika ditelaah lebih jauh hadis ini membutuhkan pemahaman yang lebih
mendalam terhadap makna teks hadis tersebut dan makna konteks yang dimaksud
dalam hadis tersebut. Berikut beberapa penggalan lafadz yang akan dibahas:
pertama; ةال ر ع و أ ة ر م , kedua; ت ج ر خ ر ;ketiga .ف إذ ا ت ش ااس ف ه , keempat;
kemudian kelima adalah tambahan lafadz dari hadis Ibn Ḥibān dan Ibn .الشي ط ان
Khuzaimah yaitu; فيق اإذ اهي ب ه ر ات كونمن بم أ ق ر او ع رب ي ته .
Pertama, dalam hadis di atas diawali dengan lafadz ة ر ع و أ ة ر ال م
(perempuan adalah aurat) yang mengandung pengertian yakni seorang
perempuan terlihat buruk apabila menampakkan dirinya dihadapan seorang laki-
laki.3 Seorang perempuan itu dirinya telah dijadikan sebagai aurat, karena
sesungguhnya apabila nampak terlihat dari dirinya maka akan menimbulkan malu,
sebagaimana aurat yang menimbulkan malu apabila ia terlihat.4 Perempuan juga
dalam dirinya telah disifati dengan sifat ini (aurat), dan karena sifat ini maka
seharusnya ia menutupnya.5
Dikatakan pula dalam kitab Syarah Ṣaghīr sesuai madzhab Imam Malik
pada Juz Awwal: “bahwa aurat menurut aslinya adalah celah yang terdapat dalam
tempat khusus dan lainnya, dan sesuatu yang dimungkinkan menimbulkan bahaya
dan kerusakan.” Diantara kata aurat ialah Aurūl Makāni artinya terjadinya bahaya
dan kerusakan dari tempat itu, dan firman Allah Ta’ala: Sesungguhnya rumah-
rumah kami adalah aurat, artinya sepi dari sarana pertahanan yang bisa
menyebabkan jatuhnya kerusakan di dalamnya. Dan wanita adalah aurat, karena
3 Zain al-dīn Muhammad al-Mad’ū bi ‘Abd al-Raūf al-Qāhirī (w. 1031 H), al-Taysīr Bi
Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr (al-Riyaḍ: Maktabah al-Imam al-Syafi’i, 1988 M), Juz 2, h. 455. 4 Abū al-A’lā Muḥammad ‘Abdurraḥman bin ‘Abdurraḥim al-Mubarakfūrī (w.1353 H),
Tuhfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t.), juz 4, h. 283. 5 Zain al-dīn Muḥammad al-Mad’ū bi ‘Abd al-Raūf al-Qāhirī (w.1031 H), Faiḍ al-Qadīr
Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr (Mesir: al-Maktabah al-Tajāriyah al-Kubra, 1356), juz 6, h. 266.
58
dimunginkan terjadinya kerusakan pada orang yang melihatnya atau mendengar
ucapannya, bukan dari kata aur yang memiliki arti jelek (buruk) karena tidak bisa
dinyatakan dalam kecantikan wanita dan yang demikian itu karena cenderungnya
jiwa kepadanya. Dan terkadang, dikatakan bahwa yang dimaksudkan buruk disini
adalah sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, meskipun secara naluri ia
disenangi.6
Berdasarkan makna dzahir hadits perempuan adalah aurat, sebagian
kalangan ulama fiqih menyimpulkan bahwa semua bagian dari wanita adalah
aurat termasuk suaranya.
Namun lafadz ة ر أ ةع و ر adalah hadits umum yang menginformasikan ال م
secara umum bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, yang kemudian
ditakhsis (dibatasi) dengan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa wajah, telapak
tangan dan termasuk suara adalah yang dikecualikan. Sebagaimana telah
dijelaskan pada Bab II mengenai batasan aurat perempuan.
Kedua, lafadz hadis selanjutnya yaitu الشي ط ان ا ف ه ر ت ش اس ت ج ر خ ف إذ ا
(apabila ia keluar maka syetan akan mengawasinya). Dan apabila perempuan itu
menampakkan perhiasannya kepada laki-laki dan laki-laki memandang kepada
perempuan maka salah satunya akan terjatuh dalam fitnah syetan.7 Menurut
syarah hadis imam al-Tirmidzī apabila perempuan itu keluar rumah dan
menampakkan perhiasannya, maka tidak menutup kemungkinan setan akan
menggodanya dan perempuan itu tidak lepas dari godaan tersebut.8
6 Musa Shalih Syaraf, fatwa-fatwa kontemporer tentang problematika wanita (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997), h. 58-59. 7 ‘Abd al-Raūf al-Qāhirī, al-Taysīr Bi Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, Juz 2, h. 455. 8 al-Mubarakfūrī (w.1353 H), Tuhfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī, juz 4, h. 283.
59
Ketiga, lafadz ا ف ه ر ت ش makna asli dari lafadz tersebut adalah اس
mengangkat pandangan untuk melihat kepada sesuatu, dan membuka telapak
tangannya di atas orang yang berhijab.9 Dan dalam kitab Faiḍ al-Qadīr Syarh al-
Jāmi’ al-Ṣaghīr lafadz استشرفها yakni mengangkat pandangan kepada seorang
perempuan untuk menggodanya, yaitu bisa jadi setan yang menggodanya atau
perempuan itu sendiri yang sengaja menggoda dengan dirinya, oleh karena itu
tidak dapat dihindarkan salah satu dari mereka atau keduanya akan terjatuh dalam
fitnah.10 Fitnah itu adalah fitnah perempuan dengan laki-laki, dan laki-laki dengan
perempuan yang bisa menimbulkan pembunuhan dan perang diantara kaum
muslimin. Bahkan bisa saja menyeret pada syirik kepada Allah.11
Keempat, Lafadz الشي ط ان maksudnya setan yang dimaksud adalah setan
yang menyerupai manusia, karena prilaku dan sikap manusia yang sama dengan
setan.12 Yaitu seorang yang fasik, apabila ia melihat apa yang menarik dari
seorang perempuan maka mereka memandang ke arah perempuan itu dengan
penuh hasrat, dan pekerjaan mereka itu disandarkan kepada setan atas apa yang
mengalir dalam hati mereka untuk melakukan perbuatan keji.13
Dalam buku Mawā’id al-Syaiṭān (hidangan-hidangan setan) karya
Masyhur ditemukan peringatan bahwa perempuan adalah perangkat paling
penting dan paling berbahaya yang digunakan setan untuk menjerumuskan, beliau
9 al-Mubarakfūrī (w.1353 H), Tuhfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī, juz 4, h. 283. 10 ‘Abd al-Raūf al-Qāhirī (w.1031 H), Faiḍ al-Qadīr Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, juz 6, h.
266. 11 Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita. Penerjemah Samson Rahman (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2003), h. 445. 12 al-Mubarakfūrī (w.1353 H), Tuhfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī, juz 4, h. 283. 13 ‘Abd al-Raūf al-Qāhirī (w.1031 H), Faiḍ al-Qadīr Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, juz 6, h.
266.
60
sambil menyebutkan riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi dan hadisnya yang
sudah dijelaskan di atas.14
Dijelaskan pula dalam keterangan hadis sebagai berikut:
(568/1)معجمابنعساكر 15والنساءحبائلالشيطان
“Wanita adalah tali temali yang menyambung godaan setan dengan
manusia.”
Ketika berbicara tentang siapa setan, M.Quraish Shihab mengemukakan
bahwa kata setan tidak selalu berarti sosok pelaku, tetapi juga dapat berarti
sesuatu yang buruk atau tidak menyenangkan.16
Pada penggalan hadis selanjutnya yang ditambahkan oleh Ibn Ḥibān
dengan lafadz اإذ اهي ب ه ر ات كونمن بم أ ق ر او فيق ع رب ي ته (Sedangkan tempat
yang terdekat bagi wanita dengan Tuhannya adalah di dalam rumah), lafadz
ا ب ه ر ات كونمن بم أ ق ر Sedangkan tempat yang terdekat bagi wanita dengan) و
Tuhannya) maknanya adalah perempuan ketika hendak shalat dan mendekatkan
dirinya kepada Allah ا ب ي ته ق ع ر في .adalah lebih baik di dalam rumahnya هي
Maksudnya ialah perempuan tidak wajib mengikuti shalat berjama’ah di masjid
sebagaimana halnya laki-laki, karena tempat mereka shalat dan dekat dengan
Tuhannya adalah di dalam rumah mereka.17
Dan apabila diterapkan berbagai tolak ukur penilitian matan, maka
kandungan matan-matan hadis tersebut dapat dinyatakan sebagai maqbul (dapat
diterima) dengan alasan:
14 M.Quraish Shihab, Setan Dalam Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 177. 15Abu al-Qasim ‘Ali bin al-Hasan bin Hibatullah al-Ma’rūf ibn ‘Asākir (571H), Mu’jam Ibn
‘Asākir (Damaskus, Dār al-Basyā’ir, 2000M), Juz 1, h. 568. 16 Quraish Shihab, Setan Dalam Al-Qur’an, h. 181. 17 Ibn Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri Syarah Ṣahīh al-Bukhari Penerjemah Amirudin
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jilid 4, h. 774
61
1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
Kandungan hadis yang diteliti tidak bertentangan dengan ayat al-Qur’an.
Ada beberapa ayat yang mendukung diantaranya:
اهل ال ج ج ت ب ر ن ج الت ب ر و فيبيوتكن ن ق ر ل و الص ن أ قم ك ويةاألول ىو الز ة وة وآتين
إ سول ه ر و للا أ طع ن و كم ر يط ه و ال ب ي ت أ ه ل س ج الر ن كم ع ليذ هب للا يريد ا نم
هيرا 18ت ط
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
اليب و هن فروج ن ف ظ ي ح و ارهن أ ب ص من ن من اتي غ ضض لل مؤ قل و إال زين ت هن دين
ا من ه ر اظ ه م 19
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.”
Ayat-ayat di atas jelas sekali memerintahkan agar perempuan tetap berada
di dalam rumahnya, dan isyarat dilarangnya ikhtilaṭ yaitu bercampurnya lawan
jenis yang bukan mahram.
2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.
Hadis yang diteliti juga tidak bertentangan dengan riwayat hadis Nabi
Saw, seperti yang penulis temukan dalam hadis-hadis di bawah ini:
أ بي1. ع ن ق ت اد ة ، ع ن ث، د يح أ بي س مع ت : ق ال ت مر ال مع ثنا ال مق د ام، ب ن د م أ ح ناعود،ع ن س ب نم ع ب دللا ص،ع ن و :األ ح ق ال أ نه لم س ل ي هو ع لىهللا ص سولللا ر
18 QS. al-Ahzab ayat 33. 19 QS. al-Nūr ayat 31.
62
« هللا ج ت كونإل ىو اال إنه االشي ط ان،و ف ه ر ت ش تاس ج ر اإذ اخ إنه ة،و ر أ ةع و ر ال م
ا افيق ع رب ي ته من ه ب 20«أ ق ر
“Telah menceritakan Aḥmad bin al-Miqdām, telah menceritakan al-
Mu’tamir, ia berkata: aku mendengar hadis dari ayahku, ia menceritakan dari
Qatādah, dari Abī al-Ahwaṣ, dari Abdullah bin Mas’ūd, dari Ralullah Saw
bahwasannya Rasulullah bersabda: sesungguhnya wanita itu adalah aurat,
apabila ia keluar dari rumah, maka setan pasti akan menyertainya. Dan wanita
itu akan dapat dekat dengan Tuhannya manakala ia berada di dalam rumahnya.”
ق ا2. ال مث نى، ب ن د م مح دث ن ا ح : ق ال ة ، ي م خز ب ن اق إس ح ب ن د م مح ن ا ب ر دث ن اأ خ ح : ل
أ بي ع ن ، لي ال عج ق ر مو ع ن ق ت اد ة ، ع ن ام، ه م دث ن ا ح : ق ال ع اصم، ب ن رو ع م
: ق ال لم س ل ي هو ع لىللا ص ،ع نالنبي ع ب دللا ص،ع ن و ة،ف إذ ا»األ ح ر أ ةع و ر ال م
تاس ج ر اخ فيق ع رب ي ته اإذ اهي ب ه ر ات كونمن بم أ ق ر االشي ط ان،و ف ه ر 21«ت ش “Telah menceritakan Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah, ia berkata:
telah menceritakan Muḥammad bin al-Mutsanna, ia berkata: telah menceritakan
‘Amr bin ‘Āṣim, ia berkata: telah menceritakan Hammām, dari Qatādah, dari
Muwarriq al-Ijliy, dari Abī al-Ahwaṣ, dari Abdullah, dari Nabi Saw bersabda:
“sesungguhnya wanita itu aurat. Apabila ia keluar dari rumah, maka setan pasti
akan menyertainya. Sedangkan tempat yang terdekat bagi wanita dengan
Tuhannya adalah di dalam rumah.”
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan juga sejarah.
Hadis yang diteliti juga tidak bertentangan dengan akal sehat, karena
dalam keterangan hadis tentang perempuan adalah aurat yang apabila mereka
keluar dari rumahnya maka setan akan mengawasinya di atas adalah semata-mata
untuk menjaga kesucian dan kehormatan perempuan dari pandangan orang lain
dan menghindarkan mereka dari timbulnya fitnah. Kemudian berdasarkan sejarah
yang diceritakan oleh al-Syafi’iy riwayat hadis dari sa’id Ibn Abi Hilal dari
Muhammad Ibn ‘Abdillah Ibn Qais bahwa ada beberapa orang para sahabat
datang kepada Nabi dan bertanya sesungguhnya para istri kami mereka meminta
izin untuk ke masjid, Nabi kemudian bersabda, “Tahanlah mereka itu”.
20 Abū Bakr Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah (w.311H), Ṣahīh Ibn Khuzaimah (Beirūt:
al-Maktab al-Islāmī, t.t.), Juz, 3, h. 93. 21 Abū al-Ḥasan Nūruddīn ‘Alī bin Abī Bakr al-Ḥaitsamī (w.807H), Muwārid al-Ẓamān ila
Zawā’id ibn Ḥibān (T.tp.:Dār al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t.), juz. 1, h. 103.
63
Kemudian para istri tersebut kembali kepada suami mereka. Kemudian para
sahabat bertanya lagi ya Rasulullah istri kami meminta izin kepada kami sehingga
kami keluar bersama mereka ke masjid, maka Nabipun bersabda, “Apabila kamu
mengutus mereka maka utuslah mereka dengan pendampingnya (mahramnya).”
Hadis ini dimaksudkan bahwa wanita adalah aurat yang harus dijaga, namun
boleh keluar apabila diizinkan oleh suami mereka atau ada mahram yang
mendampingi mereka sehingga tidak terjadi fitnah. Alasan mengapa salat di
tempat yang tersembunyi lebih utama, adalah karena rasa aman dari fitnah di
tempat terbuka. Hal ini semakin dipertegas setelah muncul prilaku yang tidak baik
dari sebagian wanita, seperti menampakkan perhiasan dan berdandan.22
4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Hadis yang diteliti ini kata-kata yang terdapat pada matan tidak berbelit-
belit dan merupakan susunan dari kata-kata yang mempunyai faedah. Pada matan
hadis tentang perempuan adalah aurat juga terdapat suatu peringatan dalam matan
hadis tersebut yaitu apabila perempuan itu keluar maka setan akan menggodanya.
B. Penolakan Terhadap Hadis “Perempuan adalah Aurat” Melalui
Pemahaman Kontekstual.
Penulis kemudian melakukan penelitian terhadap hadis ini dari sudut
pemahaman kontekstual yaitu melalui penggalian informasi dan pesan pendukung
lain dari luar teks tersebut sehingga dapat menyempurnakan informasi atau pesan
yang diharapkan oleh sang Mutakallim (Nabi Saw).
22 Ibn Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri Syarah Ṣahīh al-Bukhārī, jilid 4, h. 774.
64
Hadis di atas tidak bisa dipahami secara teks saja, meski hadis tersebut
dinilai ṣahīh, tidaklah menunjukkan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat,
karena makna kata “perempuan adalah aurat” dalam hadis tersebut bukan
menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, namun maknanya dapat
berarti bagian-bagian tertentu dari badan atau geraknya yang rawan menimbulkan
rangsangan. M. Quraish Shihab memberikan keterangan bahwa hadis ini juga
tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang wanita keluar rumah, paling tinggi,
hadis tersebut hanyalah merupakan peringatan agar wanita menutup auratnya
dengan baik dan bersikap sopan sesuai dengan tuntunan agama, terlebih jika
perempuan keluar rumah, supaya tidak merangsang kehadiran setan jin. Puluhan
hadis yang menunjukkan bahwa banyak wanita pada zaman Nabi yang justru
diperbolehkan keluar rumah untuk melakukan aneka kegiatan positif.23
Seperti dalam hadis Rasulullah Saw tentang perempuan mengikuti
peperangan:
الدب نذ ك دث ن اخ ل،ح رب نالمف ض دث ن ابش ،ح ب نع ب دللا دث ن اع لي ب ي عح ،ع نالر ان و
: ق ال ت ذ، مع و ى،»بن ت ح ر ند اويالج قيو ن س لم س و ل ي ه ع لىهللا ص النبي ع م كنا
دين ة الق ت ل ىإل ىالم ن رد 24«و “Telah menceritakan ‘Ali bin Abdullah, telah menceritakan Basyar bin al-
Mufaḍḍol, telah menceritakan Khāid bin Dzakwān, dari Rubayyii’ binti
Mu’awwidz ia berkata: dahulu kami para wanita (ikut berperang) bersama Nabi
Saw, kami memberi minum dan mengobati orang yang terluka dan mengurusi
jenazah untuk dipulangkan ke Madinah.”
Hadis di atas jelas bahwa Nabi Saw tidak melarang para perempuan ikut
berperang bersama di medan perang, mereka juga membantu Nabi dan para
23 M.Quraish Shihab, Jilbab; Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h.
125. 24 Muḥammad bin Ismā’īl Abū ‘Abdullah al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī (Dār Thūq al-
Najjāh, 1422 H), juz 4, h. 34.
65
sahabat untuk memberi minum dan obat-obatan. Pada hadis ini pula terdapat
keterangan yang membolehkan wanita mengobati laki-laki yang bukan
mahramnya dalam keadaan darurat.25 Sehingga jelas pada zaman Nabi perempuan
pun tidak dilarang untuk keluar rumah untuk melakukan kegiatan yang baik.
Perbedaan pemahaman terhadap konteks hadis ini adalah tergantung
situasi dan kondisi zaman perempuan saat hadis tersebut muncul, sebagian ulama
melarang perempuan untuk keluar rumah dan mereka berharap perempuan tetap
menetap di dalam rumah mereka. Alasan mereka demikian adalah karena rasa
kekhawatiran Islam pada perempuan, karena pada zaman dahulu masih kurangnya
keamanan seperti harta, kekayaan, dan bahkan jiwa manusia tak pernah terjamin
keamanannya, orang harus menyembunyikan uang dan kekayaan mereka, dan
juga perempuan-perempuan yang mereka miliki.26 Alasan lain juga untuk
memberikan rasa aman dari fitnah di tempat terbuka. Salah satu firman Allah
menjelaskan kepada perempuan bahwa perempuan dianjurkan untuk tetap tinggal
di rumah-rumah mereka. Sebagai berikut:
األول ىو اهلية ال ج ج ت ب ر ن ج الت ب ر و بيوتكن في ن ق ر ك اة و الز وآتين الصالة ن أ قم
كم ر يط ه و ال ب ي ت أ ه ل س ج الر ن كم ع ليذ هب للا يريد ا إنم سول ه ر و للا أ طع ن و
هيرا 27ت ط
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
25 Ibn Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri Syarah Ṣahīh al-Bukhārī, jilid 16, h. 243 26 Murtadha Muthahhari, Teologi dan Falsafah Hijab (Yogyakarta: Rusyanfikr Institute,
2015), h. 35. 27 QS. al-Ahzab ayat 33.
66
Para mufassir berbeda pendapat mengenai pemahaman kata وقرن yang
menjadi kata kunci ayat ini. Ulama Madinah dan sebagian Ulama Kufah
membacanya sebagai waqarna yang berarti “tinggallah di rumah kalian dan
tetaplah berada di sana”. Sementara Ulama-ulama Bashrah dan sebagian Ulama
Kufah membaca waqirna dalam arti “tinggallah di rumah kalian dengan tenang
dan hormat”. Pengertian pertama terkesan lebih tegas daripada pengertian kedua.28
Menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya, makna ayat ini adalah perintah
untuk senantiasa tinggal di rumah. Walaupun seruan ayat itu untuk istri-istri
Rasulullah, namun selain mereka juga tercakup di dalamnya. Dimana syariat telah
dengan tegas mewajibkan kaum perempuan untuk senantiasa berada di rumahnya,
dan tidak keluar darinya kecuali dalam keadaan darurat. Allah telah
memerintahkan istri-istri Rasulullah untuk senantiasa berada di rumah, dan
menyerukan kepada mereka sebagai bentuk penghormatan pada diri mereka.
Allah melarang mereka untuk tabarruj dan memberitahukan bahwa pekerjaan ini
adalah perbuatan orang-orang jahiliyah terdahulu.29
Sebelum ini, penulis telah mengemukakan pendapat segelintir ulama yang
menyatakan bahwa ayat di atas ditujukan secara khusus kepada istri-istri Nabi
Muhammad Saw, bukan kepada semua wanita muslimah. Tetapi dalam arti di
samping menutup seluruh tubuh juga menutup diri sehingga perempuan
menggunakan tabir di dalam rumah jika ada yang hendak berbicara dengannya
28 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010),
h. 146. 29 Syaikh Imam al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurṭubi. penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Jilid 14, h. 450-451.
67
atau kubah dan semacamnya kalau di luar rumah untuk menghalangi pandangan
orang lain yang bukan mahramnya.30
Bagi Ibn Katsīr, ayat di atas mengandung arti perempuan tidak dibenarkan
keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan oleh Agama. Itupun dengan
syarat dapat memelihara kesucian dan kehormatannya. Dari kelompok mufasir
kontemporer yang seperti pandangan di atas di antaranya Wahbah al-Zuhaili yang
menyatakan: “hendaklah perempuan tetap tinggal di rumah, jangan sering keluar
rumah tanpa ada keperluan yang dibolehkan agama.31
Sedangkan di antara pemikir muslim kontemporer adalah al-Maudūdī yang
berpandangan seperti di atas. Dalam bukunya al-Hijab seperti yang dikutip oleh
M. Quraish Shihab al-Maudūdī menyatakan:
“Tempat perempuan adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari
pekerjaan luar rumah agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang
dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah
tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh
saja keluar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan
memelihara rasa malu.”32
Dengan demikian, setelah kita baca bahwa ayat di atas dijadikan dasar
oleh sementara ulama untuk menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah
aurat, walau wajah dan telapak tangannya. Bahkan lebih dari itu, bukan hanya
bentuk badannya, namun sosoknya pun harus tertutup, sehingga kalau mereka di
30 M.Quraish Shihab, Jilbab; Pakaian Wanita Muslimah, h. 80 31 Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik; Kedudukan dan Peran Perempuan
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012), h. 77 32 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), h.402
68
dalam rumah dan ada yang hendak berbicara dengannya, harus ada tabir, dan
kalau di luar harus ada semacam kubah yang menghalangi pandangan orang lain
yang bukan mahram.
Berbeda dari tokoh-tokoh mufasir tersebut, Muḥammad Sayyid Quthb
beranggapan bahwa ayat di atas bukan berarti larangan terhadap perempuan untuk
bekerja, karena Islam tidak melarang perempuan bekerja. Hanya saja Islam tidak
mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja karena darurat dan
bukan menjadikannya dasar. Makna darurat disini ialah pekerjaan-pekerjaan yang
sangat perlu, yang dibutuhkan masyarakat atau dasar kebutuhan pribadi, karena
tidak ada yang membiayai hidupnya dan atau menanggung biaya hidupnya tidak
mampu mencukupi kebutuhannya.33
Terlepas dari term ini, dari penelusuran terhadap sejarah didapati praktik
hidup kaum perempuan pada masa Rasulullah Saw, ternyata banyak yang terlibat
dalam aktivitas-aktivitas sosial, istri-istri Nabi sendiri aktif dalam bidang ekonomi
dalam beragam profesi seperti Khadijah, konglomerat yang berhasil dalam
bidangnya usaha ekspor-impor; shafiyah bint Huyay, perias pengantin, dan Zainab
bint Jahsy, bekerja dalam bidang Home Industry pada proses menyamak kulit
binatang. Berbeda pula dengan zaman sekarang yang sudah berubah dan
kesejahteraan hidup tidak lagi bertumpu pada keluarga tetapi pada individu. Oleh
karena itu, dengan sendirinya, perempuan mendapatkan kesempatan untuk
melakukan kegiatan sebagaimana halnya laki-laki, berprofesi, berkarir dan lain-
33 Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, h. 147.
69
lain. Tentu dengan mempertahankan nilai-nilai agama, baik laki-laki maupun
perempuan.34
Sementara itu, sebagian ulama yang membolehkan keluar rumah berbicara
hanya karena apabila ada kebutuhan yang dibenarkan oleh Agama, seperti
menuntut ilmu, bekerja, berdagang, dan lain-lain. Dalam keterangan pun
perempuan justru diperbolehkan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya,
sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
ع ن أ بيه، ع ن هش ام، ع ن هر، مس ب ن ع لي دث ن ا ح اء، غ ر الم أ بي ب ن ة و ف ر دث ن ا ح
د ةبن ت س و ت ج ر :خ ع ائش ة ،ق ال ت للا :إنكو ا،ف ق ال ف ه رف ع ر آه اعم ل ي ال،ف ر ع ة م ز
ل ه، ذ لك ت ف ذ ك ر لم س ل ي هو لىهللاع ص إل ىالنبي ع ت ج ل ي ن ا،ف ر ع ف ي ن ات خ د ةم ي اس و
ق ل ع ر ي ده في إن و ي ت ع شى، تي ر حج في هو و هو و ع ن ه ف رفع ل ي ه، ع للا ل ف أ ن ز ا،
ائجكن»ي قول: و لح ن رج ت خ أ ن ل كن للا 35«ق د أ ذن
“Dari Aisyah dia berkata, Saudah binti Za’mah keluar, dia adalah
seorang wanita yang mudah dikenal dan saat itu dilihat oleh ‘Umar, maka dia
berkata: Demi Allah kau tidak bisa bersembunyi dari kami, maka pikirkan
bagaimana kau keluar rumah, Aisyah berkata: maka dia kembali, kepada Nabi
Saw Saudah masuk dan berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya saya keluar untuk
menunaikan hajat saya, maka’Umar berkata pada saya, demikian dan demikian.”
Aisyah berkata, maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi, lalu wahyu itu
selesai dan tulang itu masih ada di tangannya dan belum dia sempat letakkan
dari tangannya.” maka Rasulullah berkata: “sesungguhnya Allah telah
mengizinkan pada kalian keluar untuk hajat-hajat kalian.”
Selain daripada itu, perempuan dan laki-laki mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran
sosial dalam masyarakat, tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum
perempuan aktif di dalamnya. Sebaliknya, al-Qur’an dan hadis banyak
34 Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, h. 153 35 al-Bukhārī, Ṣaḥīh al-Bukhārī, juz 7, h. 38 nomor hadis 5237.
70
mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi. Dalam al-
Qur’an dinyatakan36:
ب ع لي اء أ و ب ع ضهم من ات ال مؤ و منون ال مؤ ع نو ن و ي ن ه و ع روف بال م ي أ مرون ض
مهمللا ح س ي ر سول هأول ئك ر للا و يطيعون و ك اة الز تون يؤ و الصالة يقيمون ال من ك رو
كيم ع زيزح للا 37إن
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”
Dari keterangan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Saw di atas jelas bahwa
perempuan tidak dilarang keluar rumah. Allah memberikan keringanan atas
perempuan, memberikan izin terhadap perempuan untuk keluar rumah hanya
untuk memenuhi kebutuhannya seperti beribadah, bekerja, menuntut ilmu, dan
lain-lain. Karena ajaran Agama Islam tidak menghalangi partisipasi aktif
perempuan dalam masyarakat.38 Tetapi mereka juga harus menjaga sopan santun
dan tidak boleh bertabarruj (dandan berlebihan) ketika hendak berada di luar
rumah.
Dengan demikian apabila kita lihat dari beberapa konteks perempuan pada
zaman Nabi seperti istri Nabi yang mempunyai kegiatan sosial dan berperan
dalam masyarakat dan dilihat dari beberapa ayat dan hadis yang berbicara tentang
kebolehan perempuan berperan dalam masyarakat sosial, itu artinya perempuan
bukanlah suatu aurat yang mengharuskan mereka selalu berada di dalam rumah
yang apabila ada seseorang hendak berbicara dengannya, harus ada tabir, dan
36 Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, h. 154. 37 QS. al-Taubah ayat 71. 38 Murtadha Muthahhari, Teologi dan Falsafah Hijab (Yogyakarta: Rusyanfikr Institute,
2015), h. 160
71
kalau pun di luar harus ada semacam kubah yang menghalangi pandangan orang
lain yang bukan mahram juga adanya darurat dan kebutuhan yang mendesak
apabila ia hendak keluar rumah.
Sedangkan, pandangan-pandangan yang membatasi atau bahkan melarang
perempuan untuk memberikan kontribusinya dalam kehidupan sosial masyarakat
adalah sebuah pandangan yang kontra produktif dengan ajaran Islam secara
keseluruhan. Islam memerintahkan kepada setiap pemeluknya tentu saja termasuk
perempuan untuk berusaha memberikan yang terbaik bagi kemaslahatan orang
banyak. Hal ini berarti mengharuskan perempuan untuk dapat berperan aktif
dalam memberikan sumbangan pikiran dan tenaganya dalam kehidupan
bermasyarakat. Membatasi atau melarang mereka berkiprah di masyarakat berarti
telah mengabaikan paling tidak separuh potensi anugerah Allah Swt.
Pada akhir bab ini penulis mencantumkan beberapa adab sopan santun
yang harus dilakukan oleh seorang perempuan jika dia keluar rumah:39
1. Meninggalkan wewangian (yang bisa menggoda) jika dia akan keluar
rumah. Ini sesuai dengan sabda Nabi Saw dalam hadits riwayat Muslim
daari hadits Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah bersabda:
ي ى دث ن اي ح ي ب ة ،ح رب نأ بيش دث ن اأ بوب ك دع ل ق طان،اعيدس نب ح م مح ن ال ،ب نع ج ن
بس ،ع ن دث نيبك ي رب نع ب دهللاب ناأل ش ج ز نس عرب ح أ ةع ب ديد،ع ن ر ،ام هللا،ي ن ب
س ل و ل ي ه ع لىهللا ص هللا سول ر ل ن ا ق ال : ق ال ت : ش »م إح إذ ا هد ت ف ال جد س ال م د اكن
طيبات م س
“Siapa saja dari perempuan yang memakai wewangian, maka janganlah
dia ikut salat isya’ bersama kami”. (HR. Muslim No.Hadits: 444)
39 al-Barudi, Tafsir Wanita, h. 447-448.
72
2. Berjalan di sisi jalan (bukan di tengah jalan untuk mencari perhatian).
3. Hati-hati dengan menutupi diri jika perempuan memasuki rumah
seseorang yang didalamnya banyak laki-laki.
4. Hendaknya perempuan keluar dengan menutup auratnya. Hendaknya dia
memakai pakaian yang tidak menggambarkan lekuk tubuhnya dan tidak
menampakkan lekuk-lekuk auratnya. Hendaknya dia menutup semua
auratnya.
5. Wajib bagi seorang perempuan untuk menghiasi dirinya dengan adab
sopan santun.
6. Wajib bagi seorang perempuan untuk menghiasi dirinya perasaan malu.
Sebagaimana difirmankan Allah,
ي اء تح ل ىاس شيع ات م د اهم ت هإح اء ،،،ف ج
“Maka datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita
itu berjalan kemalu-maluan,,” (Al-Qashash ayat 25).
7. Wajib bagi seorang perempuan untuk tidak bercampur baur dengan para
lelaki, dan jangan sampai dia berhias dan bertingkah laku sebagaimana
perilaku orang-orang jahiliyah terdahulu. Sebagaimana dalam firman
Allah,
ول ى اهليةاأل ال ج ج ت ب ر ن ج ت ب ر ال ،،،و
“Dan janganlah kamu berhias serta bertingkah laku seperti orang-
orang jahiliyah terdahulu. (QS. Al-Ahzab ayat 33).
73
8. Dan jika dia terpaksa harus berbicara dengan seorang lelaki atau untuk
meminta sesuatu, misalnya, maka wajib baginya untuk tidak merendahkan
(mendesahkan) suaranya dengan mendayu-dayu. Sebagaimana dalam
firman Allah,
ر الذيفيق ل بهم ع م لف ي ط بال ق و ع ن ض ت خ ع قل ن و ضف ال الم ،،،روفاق و
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik. (QS. Al-Ahzab ayat 32).
9. Jangan memakai pakaian yang glamour yang akan membuat pandangan
orang terfokus padanya.
74
BAB V
PENUTUP
Pada akhirnya saya mengakhiri penelitian dengan menampilkan
kesimpulan dan saran pada bab terakhir ini. Kesimpulan di bab ini merupakan
jawaban dari rumusan masalah yang diteliti. Sedangkan saran dalam bab ini
memuat berbagai rekomendasi yang ditemukan dalam penelitian ini yang bisa
ditindak lanjuti.
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian serta pemahaman ulang terhadap hadis
“perempuan adalah aurat” akhirnya saya mendapatkan jawaban yang kemudian
disimpulkan sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi kualitas, hadis “perempuan adalah aurat” dapat
disimpulkan bahwa keseluruhan sanad hadis tersebut tidak sampai
memenuhi persyaratan hadis ṣahīh, melainkan hanya pada derajat ḥasan
saja. Karena terdapat periwayat yang tingkat ke-ḍabiṭ-annya lemah atau
kurang sempurna (tamm), yaitu; Muḥammad bin Basysyār pada jalur
sanad Sunan al-Tirmidzī. Tetapi hadis tersebut bisa berubah naik tingkatan
kualitasnya menjadi ṣahīh li ghairih karena diperkuat dengan jalur sanad
lain, yaitu pada jalur sanad Ṣahīh ibn Ḥibān yang berkualitas ḥasan, dan
pada jalur sanad Ṣahīh ibn Khuzaimah yang berkualitas ḥasan. Kemudian
ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi Saw, artinya
termasuk kategori hadis qauli. Semua hadis tersebut bersandar kepada
Rasulullah Saw, artinya semua berkategori marfu’, lebih spesifikasinya
75
yaitu marfu’ qauli. Dan ditinjau dari jumlah periwayat yang terdapat
dalam sanad, hadis-hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh sahabat
‘Abdullah bin Mas’ud bahkan hingga tabi’-al-tabi’īn diriwayatkan oleh
satu periwayat saja, oleh karena itu hadis tersebut dinilai sebagai hadis
gharib bagian dari hadis ahad.
2. Tentang maksud dan kandungan hadis tersebut ialah, pemahaman awal
hadis ini yaitu; seutuhnya perempuan adalah aurat dan dianjurkan
perempuan agar tetap berada di dalam rumahnya, dengan alasan karena
rasa aman dari fitnah di tempat terbuka. Sedangkan pemahaman baru yang
diperoleh dari informasi-informasi umum yang berkaitan dengan hadis
tersebut ialah, bahwa perempuan bukan seluruhnya aurat, hanya bagian
tertentu yang wajib untuk ditutup, dengan alasan karena hadis tersebut
merupakan hadis umum yang telah di takhsis oleh beberapa hadis dan
pendapat ulama yang menyatakan bahwa perempuan yang telah haid, tidak
halal dan tidak wajar menampakkan selain wajah dan kedua telapak
tangannya. Dan perempuan juga tidak dilarang keluar rumah apabila
hendak melakukan kegiatan yang baik dan kegiatan yang dibenarkan
Agama Islam seperti; beribadah, bekerja, menuntut ilmu, karena
perempuan pun mempunyai hak sama seperti kaum laki-laki. Dengan
syarat ia harus menjaga kehormatan dan kesucian dirinya, serta menutup
aurat dan menjaga sopan santun.
76
B. Saran-saran
Setelah saya melakukan penelitian dan menulis beberapa kesimpulan di
atas, tentunya manusia tidak ada yang sempurna begitu juga dengan saya. Oleh
karena itu, masih membutuhkan kritik konstruktif dari berbagai pihak yang
memiliki konsen di bidang kajian tafsir dan hadis Nabi Saw. Selebihnya penulis
kemudian memberikan saran-saran kepada pembaca skripsi ini serta para pengkaji
yang berminat dalam kajian hadis:
1. Bahwa kritik hadis merupakan salah satu upaya untuk mengetahui
kualitas dan keotentikan suatu hadis. upaya ini agar kita berhati-hati
dalam mengambil suatu hukum dalam hadis, serta sebagai upaya
memahami hadis dengan tepat dalam mengamalkan isi dari hadis
tersebut.
2. Dalam memahami hadis Nabi Saw hendaknya kita perlu melihat
konteks yang dikaji pada hadis tersebut, karena hadis Nabi Saw tidak
bisa dipahami hanya dengan tekstual saja, ada beberapa hadis yang
memerlukan pemahaman konteks. Supaya tidak salah memahami
terhadap isi kandungan hadis.
3. Seorang muslimah hendaknya menjaga kehormatan dan kesucian
dirinya ketika beraktivitas di luar rumah, dan hendaknya menutup
aurat serta menjaga sopan santun dalam bersikap ataupun berbicara
dengan lawan jenis, karena seorang perempuan jika tidak menjaga
semua itu maka setan akan menggodanya dan akhirnya terjerumus
dalam perbuatan maksiat. Na’udzubillah semoga kita dijauhkan dari
perbuatan maksiat tersebut.
77
4. Penulis skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, bagi yang hendak
melakukan kegiatan kritik dan pemahaman dengan tema yang sama
penulis berharap agar bisa lebih mengembangkan kembali bahasan
skripsi ini.
Akhirnya, kepada Allah Swt penulis berharap agar skripsi ini menjadi
setitik sumber pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca, masyarakat dan
khususnya bagi penulis sendiri.
Wallahu a’lam..
78
DAFTAR PUSTAKA
Abū al-Fidā’, Zainuddin Qāsim bin Qutlubagha. al-Tsiqat Mimman Lam Yaqa’ fi
al-Kitab al-Sittah. Yaman: Dār al-Islamiyah, 2011.
Ahnan, Mahtuf dan Ulfa, Maria. Risalah Fiqih Wanita. Surabaya: Terbit Terang,
t.t.
A.J. Wensinck, Mu’jam al-Mufahras li alfāẓ al-Ḥadīts al-Nabawī. Breil: Leiden,
1936.
‘Alī bin al-Ḥasan, Abū al-Qāsim. Tārīkh Damasyqi. T.tp: Dār al-Fikr, 1996.
Amuli, Ayatullah Jawadi. Keindahan dan Keagungan Perempuan. Jakarta:
Lentera, 2005.
al-‘Aqqad, Abbas Mahmoud. Wanita Dalam Al-Qur’an. Penerjemah Chadidjah
Nasution. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
al-Asqalānī, Abū Al-Faḍl Aḥmad bin ‘Alī bin Muḥammad bin Aḥmad bin Hajar.
Fatḥ al-Bāri Syarah Ṣahīh al-Bukhārī. Penerjemah Amirudin. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.
al-Asqalānī, Abū Al-Faḍl Aḥmad bin ‘Alī bin Muḥammad bin Aḥmad bin Ḥajar.
Tahdzīb al-Tahdzīb. al-Hindi: Maṭba’ah Dāirah al-Ma’ārif, 1326.
______. Lisān al-Mīzān. T.tp.: Dār al-Basyāir al-Islāmiyah, 2002.
al-Barudi, Syaikh Imad Zaki. Tafsir Wanita. Penerjemah Samson Rahman.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003.
al-Bukhārī, Muḥammad bin Ismā’īl Abu Abdillah. Ṣaḥīh Bukhārī. al-Qahirah: Dār
Ṭuq al-Najah, 1422H.
79
Bustamin, dan Salam, M.Isa H.A.. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
al-Buty, Muhammad Ramadhan. Perempuan: dalam Pandangan Hukum Barat
dan Islam. Yogyakarta: Suluh Press, 2005.
Fachruddin, Mohd Fuad. Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam.
Jakarta:Yayasan al-Amin, 1984.
Guindi, Fadwa El. Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan.
Penerjemah Mujiburohman. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003.
al-Husainiy, kifayat al-Akhyār. al-Qahira: Isa Halaby, t.t.
Ibnu Taimiyah, Syaikh. dkk. Jilbab dan Cadar dalam al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994.
Ismail, M. Syuhudi. Metode Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.
al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah Ibadah-Mu’amalat. Jakarta:
Pustaka Amani, 1999.
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik; Kedudukan dan Peran
Perempuan. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012.
Manẓur, Ibnu. Lisān al-‘Arab. al-Qahira: Dār al-Ma’ārif, t.t.
al-Maziy, Jamaluddīn Abi al-Ḥajjāj Yūsuf. Tahdzīb al-Kamāl. Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1403.
al-Mizzī, Yūsuf bin Abd āl-Raḥman bin Yūsuf. Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-
Rijāl. Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980.
al-Mubārakfūri, Abu al-‘Alā Muḥammad ‘Abd al-Raḥman bin ‘Abd al-Raḥīm.
Tuḥfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī. Beirut: Dār al-Kitab al-
‘Ilmiyah, t.t.
80
Muhammad, Husen. Fiqih Perempuan. Yogyakarta: LKis. 2001.
Mulhandy Ibn. Haj. Kusumayadi, Amir Taufik. Enam Puluh Satu Tanya Jawab
Tentang Jilbab, Bandung: Press Bandung. 1992.
Muthahhari, Murtadha. Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam. Bandung: Mizan, 1995.
______, Teologi dan Falsafah Hijab. Yogyakarta: Rusyanfikr Institute, 2015.
al-Naisābūrī, Abū Bakar Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah. Ṣaḥīh Ibn
Khuzaimah. Beirūt: al-Maktab al-Islāmī, t.t.
al-Naisābūrī, Muslim al-Ḥajjāj. Ṣaḥīh Muslīm. Beirut: Dār Ihyā al-Turāts al-
‘Arabī, t.t.
al-Nasā’i, Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alī al-Kharāsānī (w.303H).
Sunan al-Nasa’i. t.tp,: Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmiyah. 1986.
al-Qāhirī, Zain al-dīn Muḥammad al-Mad’ū bi ‘Abd al-Raūf. al-Taysīr Bi Syarh
al-Jāmi’ al-Ṣaghīr. al-Riyaḍ: Maktabah al-Imam al-Syāfi’ī, 1988.
_____. Faiḍ al-Qadīr Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr. Mesir: al-Maktabah al-Tajāriyah
al-Kubra, 1356.
al-Qurṭubi, Syaikh Imam. Tafsir al-Qurṭubi. penerjemah Fathurrahman Abdul
Hamid. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Rani, A.N. Jilbab Itu Wajib!. Jakarta: PT. Arista Brahmatyasa, 1996.
al-Rifa’i, Muhammad Nasib. Tafsir Ibn Katsīr. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Shihab, M. Quraish. Jilbab: pakaian wanita muslimah. Jakarta: Lentera Hati.
2004.
_____. Setan Dalam al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2010.
_____. Wawasan al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013
81
Shahab, Husein. Jilbab Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Bandung: Mizan,
1989.
al-Sijistāni, Abū Dāwud Sulaimān bin al-Asy’ats. Sunan Abī Dāwud. Beirut: al-
Maktabah al-’Aṣriyyah, t.t.
Syaraf, Musa Shalih. Fatwa-fatwa Kontemporer Tentang Problematika Wanita.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
al-Suyūṭī, ‘Abdurraḥman bin Abī Bakr Jalaluddīn. al-Dar al-Mantsūr. Beirūt: Dār
al-Fikr, t.t.
al-Tamimi, Muḥammad bin Ḥibān bin Aḥmad bin Ḥibān bin Mu’ādẓ bin Ma’bad.
Ṣahīh Ibn Ḥibān, Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1998.
al-Ṭabrānī, Sulaimān bin Aḥmad bin Ayūb bin Maṭīr al-Lakhimī al-Syāmī Abu
al-Qāsim. al-Mu’jam al-Kabīr. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, 1994.
______. al-Mu’jam al-Ṣaghīr. Beirūt: al-Maktab al-Islamī, 1985.
al-Tirmidzī, Muḥammad bin ‘Īsa bin Saurah bin Mūsa bin al-Ḍahāk. al-
Jāmi’al-Kabīr Sunan al-Tirmidzī. Beirut: Dār al-Gharib al-Islamī, 1998.
Umar, Nasaruddin. Fikih Wanita Untuk Semua. Jakarta: PT SERAMBI ILMU
SEMESTA, 2010.
Yanggo, Huzaimah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 2010.
Zaghlūl, Abū Hājr Muḥammad al-Sa’īd ibn Basyūnī. Mausū’at Atraf al-Ḥadīts al-
Nabawī al-Syarīf. Beirūt: Dār al-Fikr, 1989.
82
LAMPIRAN
Lampiran I
Skema Sanad Hadis Riwayat Imam Al-Tirmidzī
ع ن
ع ن
ع ن
ع ن
ع ن
ث ن ا
ث ن ا
ث ن ا
Lampiran II
Skema Sanad Hadis Riwayat Ibn Hibān
ل ع لىللا ص لم النبي س ي هو
س ب نم عودع ب دللا
ق ت اد ة
ام ه م
روب نع اصم ع م
ص و أ بياأل ح
ق ر مو
دب نب شا م رمح
الترمذي
ل ع لىللا ص لم النبي س ي هو
83
ع ن
ع ن
ع ن
ع ن
ع ن
ث ن ا
ث ن ا
ث ن ا
ن ا ب ر أ خ
Lampiran III
Skema Sanad Hadis Riwayat Ibn Khuzaimah
ع ن
س ب نم عودع ب دللا
ق ت اد ة
ام ه م
ص و أ بياأل ح
ق ر مو
روب نع اصم ع م
دب نال مث ن م ىمح
ب ن اق دب نإس ح م مح
ة ي م خز
ابنحبان
س ب نم عودع ب دللا
ص ل النبي ع لم لىللا س ي هو
84
ع ن
ع ن
ع ن
س مع ت
ث ن ا
نا
Lampiran IV
Skema Seluruh Sanad Hadis Tentang Perempuan Adalah Aurat
ع ن
ع ن
سليمانبن
طرحان
ال مع ت مر
ص و أ بياأل ح
ق ت اد ة
دب نال مق د م امأ ح
ة ي م إب نخز
س ب نم عودع ب دللا
صأ بي و األ ح
ل ع لىللا ص لم النبي س ي هو
85
ع ن
ع
ع ن ع ن
ع ن س مع ت
ث
ث ن ا ثنا
ث ن ا ثنا اخبرنا
ثنا ث ن ا
ن ا ب ر أ خ
ق ت اد ة
ام ه م
روب نع اصم ع م
ق ر مو
دب نب شار م مح
ق ت اد ة
سليمانبن
طرحان
ال مع ت مر
دب نال مق د م امأ ح
ة ي م إب نخز
ب ن الترمذي اق دب نإس ح م مح
ي ة خز م
ابنحبان
دب نال مث ن م ىمح