ulumul hadits

16
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hadis merupakan salah satu sumber hukum islam yang ke dua setelah Al-Qur’an. Namun, sebelum seseorang mempelajari hadis atau sebelum seseorang mengadakan penelitian hadis. Maka terlebih dahulu harus mengerti istilah-istilah yang dipakai ulama dalam mempelajari hadis. Istilah-istilah itu merupakan simbol-simbol yang disepakati bersama secara terminologi untuk mengidentifikasi masalah dengan tujuan memudahkan pembahasan berikutnya untuk menunjuk sesuatu yang dimaksud secara sederhana, sehingga sampai kepada tujuan yang dimaksud. Dalam mempelajari hadis Nabi SAW, seseorang harus mengetahui dua unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas hadis tersebut, yaitu al- sanad dan al-matan. Kedua unsur hadis tersebut begitu penting dan antara yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan erat, sehingga apabila salah satunya tidak ada, maka akan berpengaruh terhadap kualitas dari suatu hadis. Suatu berita yang tidak memiliki sanad menurut para alim ulama tidak dapat disebut 1

Upload: mizanadli

Post on 23-Oct-2015

6 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ulumul Hadits

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis merupakan salah satu sumber hukum islam yang ke dua

setelah Al-Qur’an. Namun, sebelum seseorang mempelajari hadis atau

sebelum seseorang mengadakan penelitian hadis. Maka terlebih dahulu

harus mengerti istilah-istilah yang dipakai ulama dalam mempelajari

hadis. Istilah-istilah itu merupakan simbol-simbol yang disepakati bersama

secara terminologi untuk mengidentifikasi masalah dengan tujuan

memudahkan pembahasan berikutnya untuk menunjuk sesuatu yang

dimaksud secara sederhana, sehingga sampai kepada tujuan yang

dimaksud.

Dalam mempelajari hadis Nabi SAW, seseorang harus mengetahui

dua unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas hadis

tersebut, yaitu al-sanad dan al-matan. Kedua unsur hadis tersebut begitu

penting dan antara yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan

erat, sehingga apabila salah satunya tidak ada, maka akan berpengaruh

terhadap kualitas dari suatu hadis.

Suatu berita yang tidak memiliki sanad menurut para alim ulama

tidak dapat disebut sebagai suatu hadis, dan kalaupun disebut juga dengan

hadis maka ia dinyatakan sebagai hadis palsu (Maudhu’).1

Demikian juga halnya dengan matan, sebagai materi atau

kandungan yang dimuat oleh hadis. Sangat menetukan keberadaan sanad

karena tidak akan ada suatu sanad atau rangkaian perawi apabila tidak ada

matan atau materi hadisnya yang terdiri atas perkataan perbuatan dan

ketetapan (taqrir) Rasulullah SAW.

1 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). h. 23

1

Page 2: Ulumul Hadits

Untuk mengetahui otentisitas dan orisinalitas hadis semacam ini

diperlukan penelitian matan maupun sanad. Dari sini dapat dilihat bahwa

selain rawi , matan dan sanad merupakan tiga unsur terpenting dalam

hadis nabi.

Untuk itu dalam pembahasan makalah ini kami akan menyajikan

bahan diskusi tentang pengertian sanad dan matan, peranan sanad dan

sebab-sebab terjadinya perbedaan kandungan matan.

B. Permasalahan

Apakah yang menjadi tolak ukur keshahihan sanad hadis?

apa

apa

C. Maksud dan Tujuan

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadis

Agar pembaca tahu istilah-istilah penting sebelum mempelajari

hadis

Agar menambah wawasan kita dalam materi ulumul hadis

2

Page 3: Ulumul Hadits

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sanad

Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad, yaitu yang diperpegangi

(yang kuat) atau yang bisa dijadikan pegangan.2 Atau dapat juga diartikan,

Martafa’a minal Ardhi3 yaitu sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah.

sedangkan secara terminologi, sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah

para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumber-

sumbernya yang pertama.

At-Tahanawi mengemukakan definisi yang hampir senada yaitu,

sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada matan hadis, yaitu nama-

nama perawinya secara berurutan.4

Jalan matan tersebut dinamakan sanad karena musnid berpegang

kepadanya ketika menyandarkan matan ke sumbernya. Demikian juga para

huffazh menjadikannya sebagai pegangan dalam menilai suatu hadis,

apakah shahih atau dhaif .

Sebagai contoh dari sanad adalah seperti yang terlihat dalam hadis

yang artinya:

Imam Bukhari meriwayatkan, ia berkata “Telah menceritakan

kepada kami Muhammad ibn al-Mutsanna, ia berkata, ‘Telah

menceritakan kepada kami ‘Abd al Wahhab al Tsaqafi, ia berkata ‘ telah

menceritakan kepada kami Ayyub,, dari Abi Qilabah, dari Anas, dari Nabi

SAW, beliau bersabda, ‘Ada tiga hal yang apabila seseorang memilikinya

maka ia akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-

Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya, bahwa ia mencintai

2 Mahmud al-Thahhan, Tafsir Mushthalah al-Hadis (Beirut: Dar Al-Qur’an al-Karim, 1979), h. 20.

3 M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ullumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 32.

4 Zafar Ahmad ibn Lathif al-’Utsmani al-Tahanawi, Qawa’id fi ‘Ulum al-Hadis, ed. ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Maktabat al-Nah’ah, 1404H/1984 M), h. 26.

3

Page 4: Ulumul Hadits

seseorang hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia benci kembali kepada

kekafiran sebagaimana ia benci masuk ke dalam api neraka.”5

Pada hadis diatas terdapat adanya silsilah para perawi yang

membawa kita sampai kepada matan hadis, yaitu Bukhari, Muhammad ibn

al-Mutsanna, ‘Abd Al Wahhab al Tsaqafi, Ayyub, Abi Qilabah, dan Anas

r.a. Rangkaian nama-nama itulah yang disebut dengan sanad dari hadis

tersebut, karena merekalah yang menjadi jalan bagi kita untuk sampai ke

matan hadis dari sumbernya yang pertama.

Masing-masing orang yang menyampaikan hadis diatas secara

sendirian disebut dengan rawi (perawi/periwayati), yaitu orang yang

menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab tentang apa yang

pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya).6

Ada beberapa istilah yang erat hubungannya dengan sanad, yaitu

isnad, musnad dan musnid.

a. Isnad

Isnad secara etimologi berarti menyandarkan sesuatu kepada yang

lain.7 Sedangkan menurut isltilah, isnad berarti:

Mengangkat hadis kepada yang mengatakannya (sumbernya),

yaitu menjelaskan jalan matan dengan meriwayatkan hadis secara

musnad.8

Disamping itu, isnad dapat juga diartikan dengan menceritakan

jalannya matan.9

b. Musnad

Musnad adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja asnada, yang

berarti sesuatu yang disandarkan kepada yang lain.10

5 M. Al-‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h.32.6 M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung : Angkasa, 1991), h. 17.7 T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits I (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 43.

8 M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 32; Mahmud al-Thahhan. Taisir, h. 15; Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits I, h. 23.

9 Zhafar at-Tahanawi, Qawa’id fi ‘Ulum al-Hadits, h.2610 Mahmud at-Thahan, Taisir, h. 15.

4

Page 5: Ulumul Hadits

Secara terminologi, musnad mengandung tiga pengertian,11 yaitu:

1. Hadis yang bersambung sanad-nya dari perawinya (dalam

contoh sanad diatas adalah Bukhari) sampai kepada akhir

sanad-nya (yang biasa adalah Sahabat, dan dalam contoh

adalah Anas r.a).

2. Kitab yang menghimpun hadis-hadis Nabi SAW yang

diriwayatkan oleh sahabat, seperti hadis-hadis yang

diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a dan lainnya.

3. Sebagai mashdar (mashdar mimi) mempunyai arti sama

dengan sanad.

c. Musnid

Kata musnid adalah isim fa’il dari asnada-yusnidu, yang

berarti orang yang menyandarkan sesuatu kepada yang lainnya. sedangkan

pengertiannya dalam istilah ilmu hadis adalah :

Hadis dengan menyebutkan sanad-nya apakah ia mempunyai

pengetahuan tentang sanad tersebut, atau tidak mempunyai pengetahuan

tentang sanad tersebut, tetapi hanya sekedar meriwayatkan saja.12

B. Peranan Sanad dalam Pendokumentasian Haidis dan Penentuan

Kualitas Hadis

1. Peranan Sanad dalam Pendokumentasian Hadis

Kegiatan pendokumentasian hadis, terutama pengumpulan dan

penyimpanan hadis-hadis Nabi SAW, baik melalui hafalan maupun

melalui tulisan yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’I al-tabi’in

dan mereka yang datang sesudahnya, yang rangkaian mereka itu disebut

dengan sanad, sampai pada generasi yang membukukan hadis-hadis

tersebut.

11 Zhafar al-Tahanawi, Qawa’id fi ‘Ulum al-Hadits. h. 26; Mahmud al-Thahhan. Taisir, h. 16.12 Zhafar al-Tahanawi, Ibid; Mahmud al-Thahhan. Ibid.

5

Page 6: Ulumul Hadits

Seperti Malik ibn Anas, Ahmad ibn Hambal, Bukhari, Muslim dan

yang lainnya, tekah menyebabkan terperliharanya hadis-hadis Nabi SAW

sampai ke tangan kita sekarang ini.

Menurut Al-Azami, pada tingkatan sahabat pengumpulan dan

pemeliharaan hadis dilakukan dengan tiga cara,13 yaitu:

a) Learning by Memorizing, yaitu dengan cara mendengarkan

setiap perkataan Nabi SAW secara hati-hati dan

menghafalkannya;

b) Learning trough writing, yaitu mempelajari hadis dan

menyimpannya dalam bentuk tulisan;

c) Learning by practice, yaitu para sahabat mempraktikan setiap

apa yang mereka pelajari mengenai hadis, yang diterimanya

baik melalui hafalan maupun melalui tulisan.

Ada delapan metode mempelajari hadis yang dikenal dikalangan

para ulama hadis, yaitu:

1. Sama’, yaitu bacaan guru untuk murid-muridnya

2. ‘Ardh, yaitu bacaab oleh para murid kepada guru.

3. Ijazah, yaitu member izin kepada seseorang untuk

meriwayatkan sebuah hadis atau buku yang bersumber darinya

tanpa terlebih dahulu hadis tau buku tersebut dibaca

dihadapannya.

4. Munawalah, yaitu memberikan kepada seseorang sejumlah

hadis tertulis untuk diriwayatkan atau disebrluaskan.

5. Kitabah, yaitu menuliskan hadis untuk seseorang yang

selanjutnya untuk diriwayatkan kepada orang lain.

6. I’lam, yaitu memberi tahu seseorang tentang kebolehan untuk

meriwayatkan hadis dari buku tertentu berdasarkan atas otoritas

ulama tertentu.

13 M.M Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publication, 1413 H/1992 M), h. 13-14

6

Page 7: Ulumul Hadits

7. Washiyyat, yaitu seseorang mewasiatkan sebuah buku atau

catatan tentang hadis kepada oraang lain yang dipercayainya

dan dibolehkannya untuk meriwayatkan kepada orang lain.

8. Wajadah, yaitu mendapatkan buku atau catatan seseorang

tentang hadis tanpa mendapatkan izin dari yang bersangkutan

untuk meriwayatkan hadis tersebut kepada orang lalin. Dan

cara yang seperti ini dipandang oleh para ulama sebagai cara

untuk menerima atau mempelajari hadis.

Pendokumentasian hadis dengan cara-cara diatas merupakan suatu

kontribusi besar bagi keterpeliharaan dan kesinambngan ajatan agama

islam yang telah disumbangkan oleh para sanad hadis.

2. Peranan Sanad dalam Penetuan Kualitas Hadis

Status dan kualaitas suatu hadis apakah dapat diterima atau ditolak

tergantung kepada sanad dan matan hadis tersebut. Apabila syaratnya

tidak terpenuhi maka hadis tersebut ditolak dan tidak dapat dijadikan

hujjah.

Kualitas hadis yang dapat diterima sebagai dalil atau hujjah adalah

shahih dan hasan, dan keduanya disebut juga sebagai hadis maqbul (hadis

yang dapat diterima sebagai dalil atau dasar penetapan suatu hokum).

Diantara syarat qabul suatu hadis adalah berhubungan erat dengan sanad

hadis tersebut, yaitu:

a. Sanad-nya bersambung;

b. Bersifat adil; dan

c. Dhabith

Dan syarat selanjutnya berhubungan erat dengan matan hadis,

yaitu:

d. Hadisnya tidak syadz, dan

e. Tidak terdapat padanya ‘illat.

7

Page 8: Ulumul Hadits

C. Matan Hadis

Matan secara bahasa berarti:

Maashaluba wartafa’a minal ardhi yaitu sesuatu yang keras dan

tinggi (terangkat) dari bumi (tanah).14

Secara terminologi, matan berarti :

Maayantahii ilaihissanadu minalkalami yaitu sesuatu yang terakhir

padanya terletak sesudah sanad yaitu berupa perkataan.15

D. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Kandungan Matan

Yang dimaksud degan ‘kadungan matan’ disini adalah teks yang

terdapat di dalam matan suatu hadis mengenai suatu peristiwa, atau

pernyataan yang disandarkan kepada Rasul SAW atau tegasnya kadnungan

matan adalah redaksi dari matan suatu hadis.

1. Periwayatan Hadis Secara Makna (Riwayat bil Ma’na)

Periwayatan hadis secara makna adalah penyebab terjadinya

perbedaan kadungan atau redaksi matandari suatu hadis. Suatu hal yang

perlu dipahami, bahwa tidak seluruh hadis ditulis oleh para sahabat pada

masa nabi SAW masih hidup sampai akhirnya inisatif penulisan dan

pembukuan hadis secara resmi diambil oleh khalifah ‘Umar ibn ‘Abdul

‘Aziz di penghujung abad pertama hijriah dan awal abad ke dua hijriah.

Dalam periwayatan hadis tersebut, yang memungkinkan untuk

diriwayatkan oleh para sahabat sebagai saksi pertama sesuai/ sebagaimana

menurut lafadz atau redaksi yang disabdakan Rasulullah SAW (riwayat bil

Lafdzi), hanyalah hadis dalam bentuk sabda (aqwal al-rasul). Sedangkan

hadis dalam benyuk perkataan, seperti hadis af’al (perbuatan-perbuatan)

dan hadis taqrir (Pengakuan dan ketetapan) Rasul SAW, hanya dimungkin

kan diriwaykan secara makna (riwayat bil ma’na).

2. Beberapa Ketentuan dalam Periwayatan Hadis secara Makna

Diantara ketentuan yang disepakati oleh para ulama hadis adalah:

14 Mahmud al-Thahhan, Taisir, h. 15; ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h.32.15 Mahmud al-Thahhan, Ibid.

8

Page 9: Ulumul Hadits

a. Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah

mereka yang benar-benar memiliki pengetahuan bahasa Arab

yang mendalam.

b. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa,

mislanya karena lupa susunan secara harfiah.

c. Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam

bentuk bacaan yang sifatnya ta’abbudi seperti bacaan dzikir,

do’a, adzan, takbir dan syahadat dan bukan juga Nabi dalam

bentuk jawami’ al kalim.

d. Periwayat yang meriwayatkan hadis secara makna, atau yang

mengalami kerauan akan susunan matan hadis yang

diriwayatkannya agar menambahkan kata-kata awkamaa qaala

atau awnahwa haadzaa atau yang semakna dengannya, setelah

menyatakan matan hadis yang bersangkutan.

e. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas

pada masa sebelum dibukukannya hadis-hadis secra resmi.

Sesudah masa pembukuan (kodofikasi)-nya, maka periwayatan

hadis harus secra lafadz.

3. Meringkas dan Menyederhanakan Matan Hadis

Sebagian ulama ada yang mutlak tidak membeolehkan meringkas

dan menyederhanakan matan hadis. Hal itu sejalan dengan mereka yang

menolak periwayatan hadis secara makna.Sebagia lagi ada yang

membolehkan secara mutlak. Syarat-syarat yang membolehkan untuk

meringkas dan menyederhanakan matan hadis, sebagaiman yang telah

dirangkum oleh Syuhudi adalah sebagai berikut.

a. Yang melakukan peringkasan itu bukanlah periwayata hadis

yang bersangkutan;

b. Apabila peringkasan dilakukan oleh periwayat hadis, maka

harus telah ada hadis yang telah dikemukakannya secara

sempurna;

9

Page 10: Ulumul Hadits

c. Tidak terpenggal kalimat yang mengandung kata pegecualian

(al-istisna’), syarat, penghinggaan (al-ghayah) dan yang

semcamnya;

d. Peringkasan itu tidak merusak petunjuk dan penjelasan yang

terkandung dalam hadis yang bersangkutan;

e. Yang melakukan peringkasan haruslah orang yang benar-benar

telah mengetahui kandungan hadis yang bersangkutan.16

16 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, h. 73; Bandingkan al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi. h. 302-303; Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits, h. 192-194.

10

Page 11: Ulumul Hadits

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

11