uin syarif hidayatullah jakarta pengaruh sediaan...
TRANSCRIPT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH SEDIAAN GEL KOMBINASI EKSTRAK DAUN
PETAI CINA (Leucaena leucocephala) DAN EKSTRAK LIDAH
BUAYA (Aloe vera) TERHADAP AKTIVITAS LUKA BAKAR
PADA TIKUS (Rattus norvegicus)
SKRIPSI
NELLY NAILUL HIKMAH
11141020000005
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2018
ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH SEDIAAN GEL KOMBINASI EKSTRAK DAUN
PETAI CINA (Leucaena leucocephala) DAN EKSTRAK LIDAH
BUAYA (Aloe vera) TERHADAP AKTIVITAS LUKA BAKAR
PADA TIKUS (Rattus norvegicus)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
NELLY NAILUL HIKMAH
11141020000005
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2018
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Nelly Nailul Hikmah
Program Studi : Farmasi
Judul : Pengaruh Sediaan Gel Kombinasi Ekstrak Daun Petai
Cina (Leucaena leucocephala) Dan Ekstrak Lidah Buaya
(Aloe vera) Terhadap Aktivitas Luka Bakar Pada Tikus
(Rattus norvegicus).
Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk kasus trauma kritis dengan angka
mortalitas tinggi, dan hampir semua luas luka bakar adalah deep dermal (Derajat 2)
dan full thickness (Derajat 3) dengan berbagai macam kasus trauma lainnya. Oleh
sebab itu, perlu penanganan khusus untuk pengobatan luka bakar. Daun petai cina
(Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) masing-masing diketahui
mempunyai kandungan senyawa-senyawa yang berperan dalam penyembuhan
luka, seperti flavonoid, tanin, alkaloid dan saponin. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji pemberian kombinasi ekstrak petai cina dan ekstrak lidah buaya terhadap
penyembuhan luka bakar. Kedua ekstrak dibuat dengan maserasi menggunakan
etanol 70%. Penelitian ini menggunakan hewan uji tikus putih jantan galur Sprague
Dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok kombinasi ekstrak petai
cina dan lidah buaya uji konsentrasi tinggi (15%:0,5%), (7,5%:0,5%),
(3,75%:0,5%), kontrol negatif diberikan basis gel NaCMC 3%, dan kontrol positif
diberikan Bioplasenton. Metode pembuatan luka bakar derajat II dangkal
menggunakan metode (Akhoondinasab, Akhoondinasab, & Saberi, 2014).
Pemberian gel ekstrak dilakukan sehari dua kali pagi dan sore selama 21 hari.
Parameter yang diamati meliputi penurunan luas luka bakar, dan presentase
penurunannya. Hasil analisis statistik uji menggunakan metode One-Way ANOVA
dan Kruskal-Wallis menunjukkan hasil antar kelompok tidak berbeda secara
signifikan, namun dalam nilai presentase penurunan tertinggi pada hari ke 21 yang
tertinggi adalah kelompok uji konsentrasi tinggi (15%,0,5%) yaitu 98,75%
sedangkan nilai presentase kontrol positif 93,02%. Berdasarkan literatur, daun
ekstrak petai cina secara tunggal dapat mengobati luka bakar selama 11,14 hari.
Dan untuk ekstrak lidah buaya tunggal dapat menyembuhkan luka bakar selama
15,9 hari, namun penggunaan kedua ekstrak tersebut secara kombinasi dapat
mempercepat waktu sembuh luka bakar menjadi 11 hari.
Kata Kunci : Petai Cina, Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit, Lidah Buaya,
Aloe vera (L.) Burm.f, Luka Bakar
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Nelly Nailul Hikmah
Program Study : Pharmacy
Title : The Efficacy of Combination Gel of Lead Tree Leaf
Extract (Leucaena leucocephala) and Aloe vera Extract
for Healing Burn Wounds in Rats (Rattus norvegicus).
Burns are a form of critical trauma cases with high mortality rates, and
almost all areas of burns are deep dermal (degree 2) and full thickness (degree 3)
with various other trauma cases. Therefore, special treatment is needed for the
treatment of burns. Leadtree leaves (Leucaena leucocephala) and (Aloe vera) are
known to have compounds that play a role in wound healing, such as anthraquinone,
flavonoids, tannins, alkaloids and saponins. This study aims to examine the
combination of Leadtree extract and aloe vera extract to cure burns. Both extracts
were made by maceration using 70% ethanol. This study used Sprague Dawley
strain male white rats that were divided into 5 groups, namely the combination
group of Leadtree extract and high concentration of aloe vera (15%:0.5%),
(7.5%:0.5%), (3.75%:0.5%). Negative control was given 3% NaCMC gel base, and
positive control was given by Bioplacenton. The method of making superficial
second-degree burns uses the method (Akhoondinasab, Akhoondinasab, & Saberi,
2014). Giving extract gel was carried out twice a day every morning and evening
for 21 days. Parameters observed included a decrease in burn area and its reduction
percentage. The results of statistical analysis using the One-Way ANOVA and
Kruskal-Wallis methods showed that the results between groups were not
significantly different, but the highest percentage reduction in the 21st day was the
high concentration test group (15%, 0.5%) namely 98.75% while the positive
control percentage value is 93.02%. Based on the literature, Leadtree extract leaves
single can treat burns for 11.14 days. And for single Aloe vera extract can cure
burns for 15.9 days, but the use of both extracts in combination can accelerate the
healing time of burns to 11 days.
Keywords: Leadtree, Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit, Aloe Vera (Aloe
vera (L.) Burm.f, Burns
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia serta
nikmat Iman dan Islam yang tak terhingga. Shalawat serta salam senantiasa
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur atas limpahan cinta dan
kasih-Nya sehingga penulis dapat menjalani masa perkuliahan dan penelitian
hingga akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh
Sediaan Gel Kombinasi Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena leucocephala)
Dan Ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) Terhadap Aktivitas Luka Bakar Derajat
II Pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley” yang
bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi di
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya
kepada :
1. Kedua orang tua penulis, ayah Drs.H. Khoirul Anwar MM dan ibu Tikulin
Ni’mah S,Ag yang selalu menjadi orang tua terhebat dalam doa, dukungan
moril dan materil sekaligus menjadi sahabat terbaik dalam bercerita
kesenangan, kesedihan dan ketegangan yang dihadapi penulis. Mereka
adalah sebuah titipan terindah yang diberikan oleh Allah SWT, semoga
berkah hidup, kesenangan, kebahagian dan kesehatan selalu mengiringi
kehidupannya di dunia dan akhirat
2. Bapak Dr.Muhammad Yanis Musdja M.Sc., Apt dan Bapak Dr.Andria
Agusta. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu,
tenaga, kesabaran dalam membimbing, memberikan saran, dukungan,
kesempatan untuk penulis menuangkan ide, dan kepercayaannya selama
penelitian berlangsung hingga tersusunnya skripsi ini.
3. Dr. H. Arif Sumatri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan banyak motivasi dan bantuan.
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Ibu Dr. Nurmeilis M.Si, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi sekaligus
pembimbing yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya.
5. Ibu Yuni Anggraeni M.Farm, Apt, sekalu Penasehat Akademik yang telah
memberikan waktu dan saran dalam membantu perbaikan skripsi ini.
6. Saudara perempuan tersayang Icha Roichatul Jannah dan Ima Muhimmah
Falasifa yang tetap selalu memberikan waktu, perhatian dan dukungannya.
7. M.Sunnihaq Al Faaz yang telah memberikan warna kehidupan selama
belajar di Ciputat. Susah, senang, sedih, nangis, tertawa, bersama
terimakasih atas segala dukungan dan dorongannya selama ini. semoga
kami bisa memakai toga bereng kelak.
8. Keluarga besar Bani Ishaq yang selalu memberikan motivasi agar cepat
menyelesaikan tugas akhir dan dapat segera lanjut ke jenjang berikutnya.
9. Temen seperkuliahanku dari Geng “Kita berenam”, “Tarekat Jancukiyah”
(Apun, Khoi, Nehta, Ayu, Ririn, Yetika, Idho, Suhelmi, Deli), “ Lambe
Farma” terimakasih atas dukungan dan semangat kalian yang memotivasi
penulis. Teman seangkatan Farmasi 2014 terutama AC yang telah menjadi
sahabat selama 4 tahun perkuliahan, sahabat seperjuangan dan menjadi
sahabat bermetamorfosis.
10. Lazvizard Jobedetabek “LVID Jabodetabek”, especially Abdul Basith
Kamaludin semoga cepet LULUS dari Farmasi UI,Panji, EENG, Jueng,
Tenga, Jet A, Inot, Inul, mbak Alfi, Kiya Bang Syar, Yahya,dan Rozil.
Teman seperantauan yang selalu memberikan warna hidup.
11. “Kontrakan CANCI” teman satu atap Tenga,Wafi , dan Inul. Semoga
kedepannya diberi kesuksesan bersama.
12. Serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kesempurnaan adalah milik Allah SWT maka tentunya skripsi ini masih
perlu peyempuraan. Namun, besar harapan penulis agar hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat untuk banyak pihak dan memberikan kontribusi
dalam ilmu pengetahuan. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan
membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam
penelitian ini.
Ciputat, 24 September 2018
Penulis
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. III
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... IV
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... V
ABSTRAK ............................................................................................................. V
ABSTRACT ....................................................................................................... VII
KATA PENGANTAR ...................................................................................... VIII
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................ XI
DAFTAR ISI ..................................................................................................... XII
DAFTAR TABEL .............................................................................................. XV
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ XVI
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... XVII
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................... 4
1.3 TUJUAN PENELITIAN ................................................................................ 4
1.3.1. Tujuan Umum ..................................................................................... 4
1.3.2. Tujuan Khusus .................................................................................... 4
1.4. HIPOTESIS ................................................................................................ 4
1.5. MANFAAT PENELITIAN ............................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 6
2.1 DAUN PETAI CINA ........................................................................................ 6
2.1.1 Taksonomi ........................................................................................... 6
2.1.2 Nama Lain ........................................................................................... 6
2.1.3 Deskripsi Tumbuhan ........................................................................... 7
2.1.4 Khasiat dan Manfaat ........................................................................... 7
2.1.5 Kandungan Petai cina .......................................................................... 8
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2 TANAMAN LIDAH BUAYA (ALOE VERA). ..................................................... 9
2.2.1 Taksonomi ........................................................................................... 9
2.2.2 Nama Lain ........................................................................................ 10
2.2.3 Deskripsi Tanaman............................................................................ 10
2.2.4 Khasiat dan Manfaat ......................................................................... 11
2.2.5 Kandungan Lidah Buaya ................................................................... 12
2.3 TINJAUAN HEWAN PERCOBAAN ................................................................. 14
2.3.1 Klasifikasi Tikus Putih ...................................................................... 14
2.3.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus) ......................................... 15
2.4 KULIT ......................................................................................................... 16
2.4.1 Stuktur Kulit ...................................................................................... 17
2.4.2 Fungsi Kulit ....................................................................................... 19
2.4.3 Peran Kulit Dalam Termoregulasi .................................................... 20
2.5 LUKA BAKAR ............................................................................................. 20
2.5.1 Definisi .............................................................................................. 20
2.5.2 Klasifikasi Luka Bakar ...................................................................... 21
2.5.3 Luas Luka Bakar ............................................................................... 24
2.5.4 Kategori Penderita ............................................................................. 25
2.5.5 Patofisiologi Luka Bakar................................................................... 26
2.6 EKSTRAKSI ................................................................................................. 30
2.6.1 Definisi .............................................................................................. 30
2.6.2 Metode Ekstraksi ............................................................................... 31
2.6.3 Parameter Ekstrak ............................................................................. 33
2.7 GEL ............................................................................................................ 34
BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 35
3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ......................................................... 35
3.2 ALAT DAN BAHAN ................................................................................. 35
3.2.1 Alat Penelitian ................................................................................... 35
3.2.2 Bahan Penelitian................................................................................ 35
3.3 HEWAN UJI ............................................................................................ 35
3.4 PROSEDUR PENELITIAN .......................................................................... 35
3.4.1 Pengumpulan Bahan.......................................................................... 35
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.2 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi) ............................................... 36
3.4.3 Penyiapan Simplisia .......................................................................... 36
3.4.4 Pembuatan Ekstrak ............................................................................ 36
3.4.5 Standarisasi Ekstrak (DepKes, 2000) ................................................ 37
3.4.6 Pembuatan Sediaan Gel..................................................................... 38
3.5 PERSIAPAN HEWAN UJI ............................................................................... 39
3.5.1 Pembuatan Luka Bakar Pada Punggung Tikus ................................. 40
3.5.2 Pengujian Efek Penyembuhan Luka Bakar Gel ekstrak daun Petai
cina dan Lidah Buaya .................................................................................... 40
3.5.3 Pengamatan Penyembuhan Luka ...................................................... 41
3.6 ANALISIS DATA ............................................................................................ 41
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 42
4.1 HASIL DETERMINASI TUMBUHAN .............................................................. 42
4.2 HASIL EKSTRAKSI .................................................................................. 42
4.3 HASIL PEMERIKSAAN PARAMETER EKSTRAK ......................................... 43
4.4 HASIL EVALUASI SEDIAAN GEL ................................................................. 44
4. 5 HASIL PENGUKURAN BERAT BADAN TIKUS ........................................... 45
4.6 HASIL PENGAMATAN LUKA BAKAR ........................................................... 47
4.6. Hasil Pengamatan Patologi Anatomi ............................................... 47
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 55
5.1 KESIMPULAN .............................................................................................. 55
5.2 SARAN........................................................................................................ 55
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Komponen Lidah Buaya ...................................................................... 14
Tabel 2. 2 Lund dan Browder (untuk anak)(Moenadjat, 2009) ............................ 25
Tabel 3. 1 Pembagian kelompok perlakuan .......................................................... 40
Tabel 4. 1 Tabel Pemeriksaan Parameter Ekstrak ................................................. 43
Tabel 4. 2 Tabel Evaluasi Sediaan Gel ................................................................. 44
Tabel 4. 3 Pengamatan Keropeng ......................................................................... 49
Tabel 4. 4 Hasil Pengukuran Presentase Penurunan Luas Luka Bakar ................ 51
xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Skema Anotomi Kulit....................................................................... 17
Gambar 2. 2 Potongan Normal Dan Kedalaman Luka Bakar ............................... 21
Gambar 2. 3 Luka Bakar Derajat Satu. Terjadi kerusakan epidermis bagian
superfisial sementara dermis tetap utuh (Moenadjat, 2009) ................................. 22
Gambar 2. 4 Luka bakar derajat dua dangkal adanya bula (lepuh/blister).yang
merupakan epidermolisis yang menjadi karateristik luka bakar derajat dua dangkal
............................................................................................................................... 23
Gambar 2. 5 Luka Bakar Derajat Dua Dalam (Moenadjat, 2009) ........................ 23
Gambar 2. 6 Luka Bakar Derajat Tiga .................................................................. 24
Gambar 2. 7 Diagram Rule of Nine dari Wallaceuntuk dewasa ........................... 24
Gambar 4. 1 Grafik Rata-Rata Berat Badan Tikus Selama Aklimatisasi ............. 45
Gambar 4. 2 Grafik Rata-Rata Berat Badan Tikus Selama Perlakuan .................. 46
Gambar 4. 3 Grafik Persentase Penyembuhan Luka Bakar .................................. 52
xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Alur Penelitian ................................................................................... 59
Lampiran 2 Determinasi Tanaman ........................................................................ 60
Lampiran 3 Surat Keterangan Kesehatan Hewan ................................................. 61
Lampiran 4 Kode Etik ........................................................................................... 62
Lampiran 5 Hasil Perhitungan Rendemen ............................................................ 63
Lampiran 6 Hasil Perhitungan Kadar Air ............................................................. 63
Lampiran 7 Hasil Perhitungan Kadar Abu ............................................................ 64
Lampiran 8 Tahap Pengukuran Luka Bakar Dengan Menggunakan Image J ...... 65
Lampiran 9 Gambar Pengamatan Perubahan Luas Luka Bakar ........................... 66
Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian ................................................................... 71
Lampiran 11 Rata-rata Penurunan Luas Luka Bakar Derajat II ........................... 73
Lampiran 12 Rata-rata Presentase Penyembuhan Luas Luka Bakar Derajat II .... 73
Lampiran 13 Hasil Analisis Statistik Presentase Penyembuhan Luka Bakar
Derajat Dua ........................................................................................................... 74
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kulit merupakan organ tubuh paling luar dan membatasi bagian dalam tubuh
dari lingkungan luar. Luas kulit pada orang dewasa sekitar 1,5m2 dan beratnya
sekitar 15% dari berat badan secara keseluruhan. Sistem integumen yang berarti
penutup organ terbesar tubuh berperan dalam homeostatis, proteksi, pengatur suhu,
reseptor sintesis biokimia dan penyerapan zat. Kulit terdiri atas tiga bagian utama,
yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis/ subdermis. (Majid & Sarwo, 2013).
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak
langsung atau terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict),
zat kimia (chemical), atau radiasi (radiation). Luka bakar merupakan penyebab
kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok umur. Laki-laki
cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita, terutama pada
orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 tahun) (Rahayuningsih, 2012).
Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain terbakar/tersiram air
panas/bahan kimia, radiasi, terbakar dan lainnya dimana dari hasil prevalensi
penyebab luka bakar mencapai 0,7 % rata-rata disetiap provinsi di Indonesia selama
2013. Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Papua (2.0%) dan Bangka
Belitung (1.4%), sedangkan prevalensi di DKI Jakarta sebesar 0,8%. (DepKes,
2013). Data studi dari Unit Luka Bakar RSCM selama tahun 2011-2012 terdapat
275 pasien, 203 diantaranya dewasa. Jumlah kematian pada pasien dewasa yaitu 76
pasien (27.6%). Diantara pasien yang meninggal, 78% disebabkan oleh api, luka
bakar listrik (14%), air panas (4%), kimia (3%), dan metal (1%). Hampir semua
luas luka bakar adalah deep dermal (Derajat 2) dan full thickness (Derajat 3).
Penyebab kematian yaitu septicaemia (42.1%), kegagalan organ multipel (31.6%),
systemic inflammatory response syndrome (17.6%), dan acute respiratory distress
syndrome (87.6%). (Martina & Wardhana, 2013).
Salah satu pengobatan luka pada kulit termasuk luka bakar adalah dengan
menggunakan obat secara topikal dimana penggunaan topikal dapat dirancang
dengan baik untuk efek lokal dan absorpsi sistemik. Bentuk sediaan gel baik untuk
2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
obat luka bakar pada kulit karena gel merupakan sediaan semisolid dengan
pembawa berair seperti jeli sehingga akan menimbulkan efek dingin pada daerah
luka. Gel mempunyai sifat yang menyejukkan, melembabkan, mudah
penggunaannya, mudah berpenetrasi pada kulit sehingga memberikan efek
penyembuhan (Ansel H. , 2010).
Menurut undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan
bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
bahan tersebut yang secara turun menurun telah digunakan berdasarkan
pengalaman. Selain itu juga pengggunaan obat tradisional di Indonesia menrupakan
bagian dari budaya bangsa yang banyak dimanfaatkan masyarakat sejak berabad-
abad yang lalu. (Anonim, 2007).
Dalam rencana strategis kementrian Kesehatan tahun 2015-2019 dengan
meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dan tenaga kesehatan tentang
pentingnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional dan alat kesehatan dalam
negeri yang berkualitas dan terjangkau, maka perlu adanya peningkatan penelitian
dan pengembangan tanaman obat dan obat tradisional. (Anonim, 2015) Sehingga
dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian dan pengembangan obat
tradisional sangat penting untuk menunjang kesehatan masyarakat Indonesia.
Beberapa bahan alam dapat digunakan dalam pengobatan luka bakar, salah
satunya adalah daun petai cina. Menurut dua penelitian yang dilakukan untuk
menunjukan efektifitas ekstrak daun petai cina dalam penyembuhan luka bakar
lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak daun pegagan (Kurnianto, Kusnanto, &
Padoli, 2017) dan ekstrak daun jarak pagar. (Ni'matur, Zakiyyatul, & Wahyu,
2016). Kandungan yang terdapat pada daun petai cina (Leucaena leucocephala)
yaitu Alkaloid sebesar 11,2% yang mana mempunyai daya antiseptik, kandungan
Flavonoid sebesar 12,5% yang berfungsi sebagai analgesik dan antiinflamasi,
saponin 6,74%, lektin 7,92%, dan Tanin 13,34% yang berfungsi sebagai
pembentukan kolagen dengan adanya protein didalamnya sehingga dapat
mempercepat penyembuhan luka (Ni'matur, Zakiyyatul, & Wahyu, 2016). Aktivitas
ekstrak daun petai cina disebabkan adanya kandungan kimia yang dimilikinya yaitu
tanin dan saponin untuk merangsang pembentukan epitel baru, selain itu juga dapat
3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
merangsang terjadinya angiogenesis (Kurnianto, Kusnanto, & Padoli, 2017). Dalam
beberapa penelitian menunjukkan bahwa senyawa flavonoid sangat berpengaruh
dalam penyembuhan luka karena dia mempunyai efek antiinflamasi melalui
penghambatan siklooksigenase dan lipooksigenase menyebabkan terjadi
pembatasan jumlah sel inflamasi yang bermigrasi ke jaringan perlukaan. reaksi
inflamasi akan berlangsung lebih singkat dan kemampuan proliferatif dari TGF-β
tidak terhambat. Proses ini mengakibatkan fase proliferasi dapat segera terjadi.
(Retno & Sugihartini, 2015).
Selain daun petai cina yang dapat digunakan sebagai pengobatan luka bakar,
menurut beberapa studi literatur menunjukkan bahwa lidah buaya juga dapat
digunakan sebagai obat luka bakar, panas dalam, asam urat serta afrodisiak dan
malnutrisi karena kandungan asam amino dan vitaminnya. (Winarti & Nurjannah,
2005). Secara tradisional penggunaan lidah buaya sebagai obat luka bakar yaitu
dengan jalan dioleskan bagian daun yang berlendir pada luka sampai lendir
menutupi seluruh bagian luka.
Lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu dari 10 tanaman terlaris di
dunia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman obat dan
bahan baku industri. Lidah buaya merupakan tanaman yang fungsional karena
semua bagian dari tanaman dapat dimanfaatkan. (Wardhanu, 2009). Dalam
penelitian lain tentang aktivitas lidah buaya terhadap luka bakar lebih baik dari
Silver Sulfadiazine(SSD) kandungan glikoprotein yang terdapat dapa Aloe vera
dapat menstimulasi poliferasi sehingga terjadi percepatan penyembuhan. Dan
selain itu pada penelitian ini menunjukkan pada pengobatan luka bakar Lidah
Buaya terdapat perbedaan yang lebih baik dari penggunaan SSD. Proses re-
epitalisasi lebih cepat pada kulit yang di treatment menggunakan Aloe vera dari
pada menggunakan treatment SSD. (Khorasani, 2009)
Selain itu pemilihan kedua tumbuhan ini peneliti juga didasari oleh pengalaman
empiris yang ada didaerah Jawa Timur. Dari beberapa pernyataan diatas mendorong
peneliti untuk mengetahui pengaruh aktivitas gel kombinasi ekstrak daun Petai cina
dan ektrak Lidah Buaya dalam penyembuhan luka bakar derajat II yang
diaplikasikan pada punggung tikus yang sudah diinduksi luka bakar.
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah sediaan gel kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena
leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) dapat mempengaruhi waktu
penyembuhan luka bakar pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague
Dawley?
2. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi gel kombinasi, pada ekstrak daun
petai cina (Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) dapat
mempengaruhi waktu penyembuhan luka bakar pada tikus (Rattus norvegicus)
jantan galur Sprague Dawley?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui aktivitas gel kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena
leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) dapat mempengaruhi waktu
penyembuhan luka bakar pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague
Dawley melalui pengamatan patologi anatomi.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi gel kombinasi, pada ekstrak daun
petai cina (Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) terhadap
aktivitas luka bakar pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague
Dawley.
2. Mengetahui waktu proses penyembuhan luka bakar oleh gel kombinasi ekstrak
dun petai cina (Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) pada tikus
(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.
1.4. Hipotesis
Pemberian gel kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) dan
lidah buaya (Aloe vera) yang dioleskan secara topikal dapat mempercepat waktu
penyembuhan luka bakar derajat II.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Menambah pengetahuan serta wawasan tentang perawatan luka bakar dari
gel kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) dan lidah
buaya (Aloe vera) dan prosedur penelitian.
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dapat memberikan informasi pada masyarakat mengenai khasiat gel
kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) dan lidah buaya
(Aloe vera) sebagai alternatif terapi untuk perawatan luka bakar.
3. Sebagai dasar penelitian lain untuk mengembangkan dan melakukan
penelitian tentang variasi sediaan dari gel kombinasi ekstrak daun petai cina
(Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) terhadap luka bakar
pada khususnya dan berbagai jenis luka pada umumnya.
6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daun Petai Cina
Tanaman Leucaena termasuk Leguminoseae dan tergolong subfamili
mimosaceae, merupakan tanaman multiguna karena seluruh bagian tanaman dapat
dimanfaatkan baik untuk kepentingan manusia maupun hewan. Disamping itu,
tanaman ini mempunyai kemampuan pertumbuhan yang cepat pada berbagai
macam tipe iklim dan tingkat kesuburan tanah. Beberapa jenis Leucaena antara lain
adalah petai cina biasa (Leucaena diversifolia) dan petai cina gung (Leucaena
leucocephala) (Purwanto, 2007).
2.1.1 Taksonomi
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplantae
Infrakingdom : Streptophyta
Superdivision : Embyophyta
Division : Tracheophyta
Subdivision : Spermatophyta
Class : Magnoliopsida
Superorder : Rosanae
Order : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Leucaena
Species : Leucaena leucocephala (Lam.)
2.1.2 Nama Lain
Petai cina, petai cina gung atau Petai cina hibrida (Indonesia ), Petai cina,
pete selong (Melayu), Peuteuy Selong, Palanding (Sunda), Kemlandingan, Petai
cina, Metir (Jawa) , Kalandingan (Madura). (Thomas, 1992) dan (Purwanto, 2007)
petai cina juga mempunyai nama lain asing yaitu Wild tamarin (Inggris), Yin he
huan (China). (Hariana, 2013).
7 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.3 Deskripsi Tumbuhan
Tanaman ini merupakan tanaman perdu pohon yang pertumbuhannya
mampu mencapai tinggi 5-15 m. Tanaman ini berasal dari Amerika Latin, sudah
sejak lama diimpor ke Indonesia. Leucaena leucocephala masuk ke Indonesia pada
awal tahun 80-an berkaitan dengan serangan hama kutu loncat pada tanaman
Leucaena diversifolia. Tanaman tumbuh tegak dengan sudut pangkal antara batang
dengan cabang 45o , apabila sudah dipangkas cabangnya akan menyerupai bertuk
garpu. Daunnya kecil, tulang daun menyirip ganda tua (bipeianantus) dengan
jumlah pasangan 4-8 pasang, tiap sirip tangkai daun mempunyai 11-22 helai anak
daun. Bunganya merupakan bunga bangkol atau membulat (eappitullum), bunga
mejemuk menyerupai cawan tetapi tanpa daun pembalut, berbentuk bola, dan
berwarna putih, serta mampu menyerbuk sendiri. (Purwanto, 2007).
Petai cina (Leucaena leucocephala) adalah tumbuhan yang memiliki batang
pohon keras dan berukuran tidak besar. Daunnya majemuk terurai dalam tangkai
berbilah ganda. Bunganya yang berjambul warna putih sering disebut cengkaruk.
Buahnya mirip dengan buat petai (Parkia speciosa) tetapi ukurannya jauh lebih
kecil dan berpenampang lebih tipis. Buah petai cina termasuk buah polong, berisi
biji-biji kecil yang jumlahnya cukup banyak. Petai cina cocok hidup didataran
rendah sampai dataran ketinggian 1500 meter diatas permukaan laut. Petai cina di
Indonesia hampir musnah setelah terserang hama wereng. Perkembangbbiakannya
selain dengan penyebaran biji yang sudah tua juga dapat dilakukan dengan cara stek
batang. (Thomas, 1992)
2.1.4 Khasiat dan Manfaat
Petai cina dapat digunakan sebagai pengobatan tradisional seperti sebagai
obat Diabetes Mellitus yaitu biji petai cina yang sudah tua dan kering digoreng
tanpa minyak dan ditumbuk halus sehingga menjadi bubuk kemudian diseduh
dengan air panas (seperti membuat kopi), dengan cara pemakaiannya satu kali
sehari satu gelas dan dilakukan secara teratur. Untuk pengobatan dengan
menggunakan daun petai cina sebagai pengobatan luka dan bengkak dengan
menumbuk daun tipis halus atau dikunyah-kunyah lalu ditempelkan pada bagian
yang luka/bengkak. Selain itu daun petai cina yang masih muda juga dapat
digunakan sebagai pengobatan Tlusuben (benda-benda yang masuk kedalam daging
8 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
seperti kayu, bambu) yaitu dengan menumbuk halus daun muda petai cina dan
tambahkan terasi dapur secukupnya dan aduk merata, lalu tempelkan pada yang
terkena tlusuben (Thomas, 1992) .
Pemanfaatan tanaman petai cina untuk berbagai macam pengobatan seperti
untuk mengobati absesparu, bisul, luka terpukul, patah tulang, dan susah tidur
karena gelisah dapar diobat dengan merebus bagian tumhuhan petai cina dengan
tiga gelas air sampai tersisa 1 gelas. Minum sekaligus satu kali sehari saat hangat.
Selain itu, tanaman petai cina juga dapat digunakan untuk pengobatan cacingan,
bengkak (oedem), dan radang ginjal dengan merebus serbuk biji petai cina kering
dengan 1 cangkir air panas, lalu minum air rebusan atau seduhannya. Lakukan
pengobatan tiga kali sehari dengan dosis sama. Dan masih banyak lagi beberapa
penyakit yang dapat diatasi dengan memanfaatkan tanaman petai cina seperti
kencing manis peningkat gairah seks, dan meluruhkan haid. (Hariana, 2013).
2.1.5 Kandungan Petai cina
Petai cina memiliki rasa agak pahit dan bersifat netral. Beberapa bahan
kimia yang terkandung dalam daun petai cina, diantaranya protein, lemak, kalsium,
fosfor, besi, serta vitamin (A, B1, dan C). Sementara itu, bijinya mengandung
mimosin, leukanin, protein, dan leukanol. Efek farmakologis petai cina diantaranya
peluh kencing (diuretik), obat cacing, susah tidur karena gelisah, luka terpuku,
patah tulang, abses paru, dan bisul. Bijinya untuk mengobati cacingan, bengkak
(oedem), radang ginjal, dan kencing manis. Sementara itu, akarnya digunakan
sebagai peluruh haid. (Hariana, 2013).
Daun petai cina dapat dimanfaatkan sebagai makanan ikan karena
kandungan protein tinggi, pengadaan relatif mudah, dan murah. Dengan kandungan
senyawa yang ada pada daun petai cina presentasinya protein 23%, lemak 2,4%,
serat kasar 20,10%, dan energi metabolisme (ME) 1.140 kcal/kg. Selain itu,
kandngan daun petai cina memiliki asam amino yang dapat larut air yang disebut
Leucinol. Leucinol ini identik dengan Mimosin. Kandungan mimosin dua kali lipat
lebih besar pada daun petai cina muda dari pada daun petai cina tua. (Agus, 2001).
Dan selain itu, dapat dilihat dari sisi kandungan hara pupuk organik dalam daun
petai cina mempunyai kandungan nitrogen 2,0 - 4,3%, fosfor 0,2 - 0,4%, dan kalium
1,3 - 4,0%. (Sutanto, 2002).
9 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kandungan senyawa yang terdapat dalam ekstrak daun petai cina adalah
senyawa flavonoid, saponin, dan tanin. Dimana kandungan senyawa-senyawa
tersebut sudah berdasarkan hasil uji fitokimia. (Retno & Sugihartini, 2015). Selain
itu pada pelitian yang lain identifikasi senyawa aktif dalam ekstrak daun petai cina
melalui uji tabung dan uji KLT menunjukkan ekstrak daun petai cina mengandung
senyawa saponin, alkaloid, tanin, dan flavonid. (Becatami & Sugihartini, 2015)
2.2 Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera).
Tumbuhan liar ditempat yang berhawa panas atau ditanam orang dipot dan
pekarangan rumah sebagai tanaman hias. Daunnya agak runcing berbentuk taji,
tebal, getas tepinya bergerigi/berduri kecil, permukaan berbintik-bintik, panjang
15-36 cm, lebar 2-6 cm, bunga bertangkai yang panjangnya 60-90 cm, bunga
berwarna kuning kemerahan (jingga), banyak di Afrika bagian Utara, Hindia Barat
(Satya, 2013).
Lidah buaya adalah tumbuhan sekulen dengan tinggi 30-120 cm yang tumbuh
dengan liar didaerah padang pasir yang kering. Tumbuhan ini menyukai tempat
yang berhawa panas dan biasa ditanam di pot. Selain itu itu lidah buaya juga berasal
dari Semenanjung Arab bagian barat daya hingga Mediterania dan kini telah
tersebar diseluruh dunia. (Wahyuni, 2016).
2.2.1 Taksonomi
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplantae
Infrakingdom : Streptophyta
Superdivision : Embyophyta
Division : Tracheophyta
Subdivision : Spermatophyta
Class : Magnoliopsida
Superorder : Lilianae
Order : Asparagales
Family : Xanthorrhoeaceae
Genus : Aloe
Species : Aloe vera (L.) Burm. F
(Grace, M, Klopper, Figueiredo, & Smith, 2010)
10 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.2 Nama Lain
Sinonim atau nama lain yang dimiliki lidah buaya seperti : Sunda (letah
buaya), Jawa (ilat boyo), Bengali (kumari), China (lu hui), Inggris (aloe), Malaysia
(jadam), Spanyol (savila) (Satya, 2013)
2.2.3 Deskripsi Tanaman
Lidah buaya merupakan tumbuhan sekulen dengan tinggi 30-120 cm , akar
serabut, warna kuning kecoklatan. Batangnya berbentuk bulat, tidak berkayu dan
berwarna putih karena terlindung daun, selanjutnya setelah daun rontok menjadi
hijau, dan akhirnya cokelat. Daun tunggal dan termasuk daun yang tidak lengkap
karena hanya terdiri atas helaian saja, tanpa ada pelepah dan tangkai daun. Daun
tersusun dari roset akat, helaian daun terbentuk pedang, ujung runcing, pangkal
tumpul, tepi daun bergerigi (berduri), panjang 30-60 cm, lebar 3-7 cm, berdaging
tebalgetah kuning, berwarna hijau, permukaan atas dan bawah licin tertutup lapisan
ilin, pertulangan daun sejajar. Bunga majemuk, bentuk malai, panjai sampai 90 cm,
muncul diujung batang (bunga terminal), panjang daun pelindung 8-15 mm. Bunga
banci (benang sari dan putik dalam satu bunga), bentuk tabung, panjang 2-3 cm,
warna jingga atau merah, benang sari berjumlah 6, putik menyembul keluar atau
melekat pada pangkal kelapa sari, tangkai putik berbentuk benang, kepala putik
berukuran kecil. Buah kotak berkatup warna keputihan. Biji berukuran kecil warna
hitam. (Wahyuni, 2016).
Tumbuhan liar ditempat yang berhawa panas atau ditanam orang dipot dan
pekarangan rumah sebagai tanaman hias. Daunnya agak runcing berbentuk taji,
tebal, getas tepinya bergerigi/berduri kecil, permukaan berbintik-bintik, panjang
15-36 cm, lebar 2-6 cm, bunga bertangkai yang panjangnya 60-90 cm, bunga
berwarna kuning kemerahan (jingga), banyak di Afrika bagian Utara, Hindia Barat.
Batang tanaman Aloe vera berbatang pendek. Batangnya tidak kelihatan karena
tertutup oleh daun-daun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah. Melalui
batang ini akan muncul tunas-tunas yang selanjutnya menjadikan anakan. Aloe vera
yang bertangkai panjang juga muncul dari batang melalui celah-celah atau ketik
daun. Batang Aloe vera juga dapat distek untuk perbanyakan tanaman. Peremajaan
tanaman ini dilakukan dengan memangkas habis daun dan batangnya, kemudian
dari sisa tunggul batang ini akan muncul tunas-tunas baru atau anakan. Daun
11 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tanaman Aloe vera berbentuk pita dengan helaian yang memanjang. Daunnya
berdaging tebal, tidak bertulang, berwarna hijau keabu-abuan, bersifat sukulen
(banyak mengandung air) dan banyak mengandung getah atau lendir (gel) sebagai
bahan baku obat. Tanaman lidah buaya tahan terhadap kekeringan karena didalam
daun banyak tersiman cadangan air yang dapat dimanfaatkan pada waktu
kekurangan air. Bentuk daunnya menyerupai pedang dengan ujung meruncing,
permukaan daun dilapisi lilin, dengan duri lemas dipinggirannya. Panjang daun
dapat mencapai 50-75 cm, dengan berat ½ kg – 1 kg, daun melingkar disekeliling
batang bersap-sap. Bunga Aloe vera berwarna kuning atau kemerahan berupa pipa
yang mengumpul keluar dari ketiak daun. Bunga berukuran kecil, tersusun dalam
rangkaian berbentuk tandan, dan panjangnya bisa mencapai 1 meter. Bunga
biasanya muncul bila ditanam dipegunungan. Akar tanaman Aloe vera berupa akar
serabut yang pendek dan berada dipermukaan tanah. Panjang akar berkisar antara
50-100 cm. Untuk pertumbuhannya tanaman menghendaki tanah yang subur dan
gembur dibagian atasnya. Bagian yang dipakai adalah daun, bunga, akar, dengan
pemakaian yang segar (Satya, 2013).
2.2.4 Khasiat dan Manfaat
Dalam buku koleksi tumbuhan berkhasiat oleh Bayu Satya DS, menyatakan
bahwa khasiat dari tumbuhan lidah buaya sangat banyak termasuk untuk
pemanfaatan pemakaian luar pada tubuh manusia yaitu seperti pada luka bakar atau
tersiram air panas dengan mengaplikasikan bagian dalam daun lidah buaya yang
ditempelkan pada bagian tubuh yang terkena api/air panas. Selain sebagai luka
bakar lidah buaya juga bermanfaat untuk penyuburan rambut dengan mengambil
bagian dalam daun lidah buaya yang menyerupai agar-agar digosokkan kekulit
kepala sesudah mandi sore dan dingkus dengan kain lalu keesokan hariya rambut
dicuci dan penggunaan lidah buaya seperti ini selama 3 bulan akan menghasilkan
hasil yang memuaskan. Selain untuk pemanfaatan pemakaian lidah buaya untuk
luar tubuh juga dapat dilakukan untuk pemakaian dalam tubuh seperti untuk
pengobatan kencing manis (diabetes mellitus) dengan meminum rebusan lidah
buaya sehabis makan, batuk rejan dengan meminum rebusan lidah buaya dengan
tambahan gula atau madu, syphillis dengan merebus bunga dan daging lidah buaya
lalu diminum, cacingan dan susah buang air kecil dengan meminum rebusan akar
12 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
lidah buaya, wasir atau ambeien dengan meminum daun batang lidah buaya yang
telah diparut dan dicampu madu dengan diminum 3 kali sehari, sebagai pengobatan
sembelit dengan meminum seduhan batang daun lidah buaya dengan campuran
madu dan masih banyak lagi khasiat-khasiat yang telah dipakai sebagai pengobatan
tradisional. (Satya, 2013).
Lidah buaya dapat dipergunakan untuk pengobatan luka bakar karena api atau
terkena minyak goreng panas dengan mencuci daun lidah buaya, membuang
pangkal daunnya, lalu buka kulit daunnya. Tempelkan bagian daun yang berlendir
pada luka sampai lendirnya menutupi seluruh bagian luka. Pelakuan ini dapat
dilakukan secara teratur selama ½ jam sekali. Selain itu lidah buaya juga dapat
mengobati luka terpukul dan luka dalam (mutah darah) dengan merebus 10-15 gram
bunga lidah buaya kering dengan 3 gelas air putih hingga tersisa 1 ½ gelas. Saring
air rebusannya, lalu diminum secara teratur tiga kali sehari masing-masing 1 ½
gelas. (Hariana, 2008).
Lidah buaya terbukti bermanfaat dalam masalah dermatologis dan membantu
dalam warna kulit yang baik dengan meningkatkan aktivitas fibroblas. Fibroblas ini
menghasilkan kolagen dan serat elastis dan memberi kulit strukturnya. Efek
melembabkan lidah buaya karena komponen polisakarida menyediakan dan
mempertahankan kelembaban dalam jaringan. (Sujatha & all, 2014).
Gula berasal dari lapisan lendir tanaman, yang mengelilingi parenkim atau gel
bagian dalam. Mereka membentuk 25 persen dari fraksi padat dan terdiri dari mono
dan polisakarida. Yang paling penting adalah polisakarida rantai panjang, yang
terdiri dari glukosa dan mannose, yang dikenal sebagai gluco-mannans. Penelitian
Yaron tahun 1991 mengenai viskositas gel dan reologi menunjukkan bahwa gluko-
manan pada lidah jarang ditemukan di tanaman lain dan memberikan sifat plastik
gel yang mirip dengan sifat cairan tubuh manusia. Lidah buaya gel polysaccharide
acemannan menunjukkan bahwa diaktif terhadap makrofag, sehingga
meningkatkan efek pada penyembuhan luka. (Kathuria & all, 2010)
2.2.5 Kandungan Lidah Buaya
Getah lidah buaya yang mengandung aloin, aloe-emodin, dan barbaloin.
Yang berkhasiat sebagai laksatif. Kandungan polisakarida daun lidah buaya dapat
mempercepat penyembuhan luka dan mengurangi reaksi peradangan. Selain itu,
13 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
lidah buaya mengandung saponin yang berkhasiat membunuh kuman. Gel lidah
buaya mengandung lignin yang mampu menembus dan meresap kedalam kulit. Gel
ini akan menahan hilangnya cairan tubuh dari permukaan kulit sehingga kulit tidak
kering. Tumbuhan ini juga mengandung senyawa yang dapat merangsang
pertumbuhan sel kulit baru. (Latief, 2012).
Lidah buaya memiliki rasa pahit dan bersifat dingin. Beberapa bahan kimia
yang terkandung dalam lidah buaya diantaranya aloin, barbaolin, iso-barbaloin
aloe-imodin, aloenin dan aloesin. Bahan kimia yang terkandung dalam tanaman
akan masuk ke meridian jantung, hati, dan pankreas. Efek farmakologis lidah buaya
diantaranya rasa anti-inflamasi, pencahar (laksatif), parasiticide, dan memperbaiki
pankreas. Untuk megobati sakit kepala, pusing, sembelit (constipation) kejang pada
anak, kurang gizi (malnutrisi), batuk rejan (pertussis), muntang darah, kecig manis,
wasir, meluruhkan haid, dan menyuburkan rambut. (Hariana, 2008)
14 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2. 1 Komponen Lidah Buaya
Sumber : (Lyon, 2013)
Golongan Komponen
Antrakuinon
Aloe-emodin, asam aloetic , anthranol, aloin A and B (atau
dikenal sebagai barbaloin), isobarbaloin, emodin, ester dari
asam cinnamic
Karbohidrat
Mannan murni, mannan asetilasi, glukomanan asetilasi,
glucogalactomannan, galactan,
galactogalacturan,arabinogalactan,
galactoglucoarabinomannan, zat pectic, xylan, selulosa
Chromones / 1,4-
benzopyrone
8-C-Glucosyl-(2′-O-cinnamoyl)-7-O-methylaloediol A, 8-C-
glucosyl-(S)-aloesol, 8-C-glucosyl-7-O-methyl-(S)-aloesol, 8-
C-glucosyl-7-O-methylaloediol, 8-C-glucosyl-noreugenin,
isorabaichromone, neoaloesin A
Enzim
Alkalin fosfatase, amilase, carboxypeptidase, katalase,
siklooksidase, siklooksigenase, lipase, oksidase,
fosfoenolpiruvat karboksilase, superoksida dismutase
Mineral Kalsium, klorin, kromium, tembaga, besi, magnesium, mangan,
kalium, fosfor, natrium, zinc
Lipid dan senyawa organik
lainnya
Asam arachidonic , asam γ-linolenat, steroid (campestrol,
kolesterol, β-sitosterol), trigliserida, triterpenoid, giberelin,
lignin, potasium sorbat, asam salisilat, asam uric
Asam amino
Alanine, arginine, asam aspartat, asam glutamat, glisin, histidin,
hidroksiprolin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin,
prolin, treonin, tirosin, valin
Protein Lektin, subtansi lektin
Sakarida Mannose, glukosa, L-rhamnose, aldopentose
Vitamin B1, B2, B6, C, β-carotene, choline, folic acid, α-tocopherol
2.3 Tinjauan Hewan Percobaan
2.3.1 Klasifikasi Tikus Putih
Menurut Integrated Taxonomic Information System klasifikasi tikus putih
(Rattus norvegicus) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Infrakingdom : Deuterostomia
Phylum : Chordata
15 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Subphylum : Vertebrata
Infraphylum : Gnathostomata
Superclass : Tetrapoda
Class : Mammalia
Subclass : Theria
Infraclass : Eutheria
Order : Rodentia
Suborder : Myomorpha
Superfamily : Muridae
Subfamily : Murinae
Genus : Rattus
Species : Rattus norvegicus
2.3.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Etika penggunaan hewan coba menurut Deklarasi Helsinki oleh Worid
Medical Association 1975 dan Proposal International Guidelines for Biomedical
Research Involving Human Subjects 1982 suatu zat atau alat baru tidak boleh
digunakan untuk pertama kali pada manusia, kecuali bila sebelumnya telah diuji
pada hewan dan diperoleh kesan yang cukup mengenai keamanannya. (Syamsudin,
2011).
Hewan coba atau sering disebut dengan hewan laboratorium adalah hewan
khusus diternakkan untuk keperluan penelitian farmakologi. Hewan laboratorium
tersebut digunakan sebagai model utnuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat
pada manusia. Syarat hewan penelitian farmakologi adalah harus jelas fisiologinya,
bebas dari penyakit, didapat dari Breeding Centre yang baik atau dikembang
biakkan sendiri. Sebelum digunakan hewan harus memalui tahap aklimatisasi
terlebih dahulu. Kandang hewan harus memenuhi syarat : suhu, kelembapan,
cahaya, bunyi, nutrisi, dan kebersihan. Pemilihan strain, jenis kelamin, berat badan,
dan umur harus tepat. Beberapa jenis hewan dari yang ukurannya terkecil dan
sederhana sampai ukuran yang lebih besar dan lebih kompleks digunakan untuk
keperluan penelitian seperti mencit, tikus, kelinci, dan kera. (Syamsudin, 2011).
Tikus (Rattus norvegicus) mempunyai sifat fisik antara lain : ukurannya
lebih besar dari mencit, lebih cerdas, tenang, mudah digarap dengan perlakuan
16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
wajar, kurang suka berkumpul. Dengan data normal biologi tikus dapat
mengkonsumsi pakan 5 g/100 g bb, konsumsi air minum perhati 8-11 ml/ 100 gram
bb, bobot badan hewan betina antara 250-300 gram sedangkan unutk jantan 300-
400 gram, lama hidup 2,5-3 tahun. (Syamsudin, 2011).
Menurut Adiyati (2011), hewan coba merupakan hewan yang dikembang
biakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada
berbagai macam penelitian medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus
memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah serta
mudah untuk mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang melakukan
aktivitasnya pada malam hari (nocturnal).
Tikus yang sudah menyebar keseluruh dunia dan digunakan secara luas
untuk penelitian laboratorium ataupun sebagai hewan kesayangan adalah tikus
putih (Rattus norvegicus) yang berasal dari Asia Tengah. Tikus laboratorium
pertama-tama dikembangkan di Amerika Serikat antara tahun 1877 dan 1893.
Tikus putih (Rattus norvegicus) yang memiliki nama lain Norway rat,
termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini
yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan
pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling
terlihat adalah ekornya yang panjang. Bobot badan tikus jantan pada umur dua belas
minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus
memiliki lama hidup berkisar antara 4-5 tahun dengan berat badan umum tikus
jantan berkisar antara 267-500 gram dan betina 225-325 gram . Terdapat beberapa
galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-galur tersebut antara
lain: Wistar, Sprague Dawley, Long Evans, dan Holdzman. Dalam penelitian ini
digunakan galur Sprague Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil
dan ekornya lebih panjang dari badannya. Tikus Sprague Dawley merupakan jenis
albino serbaguna secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah
ketenangan dan kemudahan penanganannya. (Syamsudin, 2011)
2.4 Kulit
Kulit merupakan sistem integumen yang membentuk lapisan terluar pada tubuh,
dimana kulit adalah organ terbesar tubuh yang beratnya kurang lebih 4,5 kg dan
17 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menutupi area seluas 18 kaki persegi (1,67 m2) pada laki-laki dengan berat badan
75 kg. (Sloane, 2003).
Kulit merupakan pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari
pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas
ukurannya, yaitu 15 persen dari berat tubuh dan luasnya 1,50-1,75 m2. Rata-rata
tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6 mm) terdapat ditelapak tangan dan kaki yang
paling tipis (0,5 mm) terdapat dipenis. (Harahap, 2000).
Gambar 2. 1 Skema Anatomi Kulit
(Sloane, 2003) : Modifikasi
2.4.1 Stuktur Kulit
1. Lapisan epidermis, adalah bagian terluar kulit. Bagian ini tersusun dari
jaringan epitel skuamosa bertingkat yang mengalami keratinisasi, jaringan ini
tidak memiliki pembuluh darah dan sel-selnya sangat rapat. Bagian epidermis
yang paling tebal dapat ditemukan pada telapak tangan dan telapak kaki yang
mengalami stratifikasi menjadi lima lapisan berikut :
a) Stratum corneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar
dan terdiri dari 25-30 lapisan sisik tidak hidup yang sangat terkeratinisasi
dan semakin gepeng saat mendekati permukaan kulit. Epidermis tipis yang
melapisi seluruh tubuh. Kecuali pada telapak tangan dan telapak kaki,
tersusun hanya dari lapisan basalis dan korneum.
Permukaan terbuka dari stratum korneum mengalami proses
pergantian ulang yang konstan atau deskuamasi.
18 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ada pembaharuan yang konstan pada sel terdeskuamasi melalui
pembelahan sel dilapisan basalis. Sel tersebut bergerak melalui keatas
ke arah permukaan, mengalami keratinisasi dan kemuian mati.
Dengan demikian, seluruh permukaan tubuh terbuka ditutup oleh
lembaran sel epidermis mati.
Keseluruhan lapisan epidermis akan diganti dari dasar keatas setiap
15 sampai 30 hari.
b) Stratum lusidum (daerah sawar/lapisan jernih) adalah lapisan jernih
dan tembus cahaya dari sel-sel gepeng tidak bernukleus yang mati atau
hampir mati dengan ketebalan empat sampai tujuh lapisan sel.
c) Stratum granulosumterdiri dari tiga atau lima lapisan atau berisan sel
dengan granula-granula keratohialin yang merupakan prekursor
pembentukan kreatin.
Keratin adalah protein keras dan resilien, anti air serta
melindungipermukaan kulit yang terbuka.
Keratin pada lapisan epidermis merupakan keratin lunak yang
berkadar sulfur rendah, berlawanan dengan keratin yang ada pada
kuku dan rambut.
Saat keratohialin dan keratin berakumulasi, maka nukleus sel
berdisintegrasi, menyebabkan kematian sel.
d) Stratum spinosum (lapisan malphigi) adalah lapisan sel spina atau
tanduk, disebut demikian karena sel-sel tersebut disatukan tonjolanyang
menyerupai spina. Spina adalah bagian penghubung intraseluler yng
disebut dermosom.
e) Stratum germinativum (lapisan basal) adalah lapisan terbawah
epidermis. Lapisan tunggal sel sel yang melekat pada jaringan ikat dari
lapisan ikat dari lapisan kulit dibawahnya dermis. Tempat pembelahan sel
tercepat pada lapisan ini, sehingga sel baru didorong masuk ke lapisan
berikutnya.
2. Lapisan Dermis dipisahkan dari lapisan epidermis dengan adanya membran
dasar atau lamina. Membran ini tersusun dari dua lapisan jaringan ikat.
19 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a) Lapisan papilar adalah jaringan ikat areolar renggang dengan fibroblas, sel
mast, dan makrofag. Lapisan ini mengandung banyak pembuluh darah,
yang memberi nutrisi pada epidermis diatasnya.
b) Lapisan retikular terletak lebih dalam dari lapisan pailar. Lapisan ini
tersusun dari jaringan ikat ireguler yang rapat, kolagen dan serat elastik.
Sejalan dengan penambahan usia, deterlorasi normal pada simpul kolagen
dan serat slastik mengakibatkan pengeriputan kulit.
3. Lapisan subkutan atau hipodermis (fisia superfisial) mengikat kulit secara
longgar dengan organ-organ yang terdapat dibawahnya. Lapisan ini
mengandung jumlah sel lemak yang yang beragam. Bergantung pada area
tubuh dan nutrisi individu, serta berisi banyak pembuluh darah dan ujung saraf.
(Sloane, 2003)
2.4.2 Fungsi Kulit
1. Perlindungan.
Kulit melindungi tubuh dari mikroorganisme, penarikan atau kehilangan
cairan, dan dari zat iritan kimia maupun mekanik pigmen melanin yang terdapat
pada kulit memberikan perlindungan selanjutnnya terhadap sinar ultraviolet
matahari.
2. Pengaturan suhu tubuh.
Pembuluh darah dan kelenjar keringat dalam kulit berfungsi untuk
mempertahankan dan mengatur suhu tubuh.
3. Ekskresi.
Zat berlemak, air dan ion-ion, seperti Na+ dieksresi melalui kelenjar-kelenjar
pada kulit.
4. Metabolisme.
Dengan bantuan radiasi sinar matahari atau sinar ultraviolet, proses sintesis
vitamin D yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang, dimulai dari
sebuah molekul prekursor (dehidrokolesterol-7) yang ditemui dikulit.
20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Komunikasi.
Semua stimulus dari lingkungan diterima oleh kulit melalui sejumlah reseptor
khusus yang mendeteksi sensasi yang berkaitan dengan suhu, sentuhan, tekanan,
dan nyeri. Kulit merupakan media ekspresi wajah dan refleksi vaskular yang
penting dalam komunikasi. (Sloane, 2003)
2.4.3 Peran Kulit Dalam Termoregulasi
Panas tubuh dihasilkan dari aktivitas metabolik dan pergerakan otot. Panas
seperti ini harus dikeluarkan, atau suhu tubuh akan naik diatas batas normal, pada
lingkungan bersuhu dingin, panas harus dipertahankan, atau suhu tubuh akan turun
dibawah batas normal.
a) Pengeluaran panas dikulit berlangsung melalui proses evaporasi air yang
disekresi oleh kelenjar keringat dan juga melalui proses perspirasi tak kasat
mata (difusi molekul air melalui kulit).
b) Retensi panas adalah salah satu fungsi dari kulit dan jaringan adiposa dalam
lapisan subkutan. Lemak marupakan insulator panas untuk tubuh dan derajat
insulasi bergantung pada jumlah jaringan adiposa.
c) Pembuluh darah dalam papila dermal juga dikendalikan oleh sistem saraf.
Jika pembuluh darah berdilatasi, alisan darah ke permukaan kulit meningkat,
sehingga konduksi panas pada bagian eksterior dapat terjadi. Dan pembuluh
darah berkontriksi untuk menurunkan aliran darah ke permukaan kulit dapat
upaya mempertahankan panas tubuh sentral. (Sloane, 2003)
2.5 Luka Bakar
2.5.1 Definisi
Luka bakar (Combustio) adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan
jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan sumber yang memiliki suhu sangat
tinggi (misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi) atau suhu yang
sangat rendah . (Moenadjat, 2009)
Seperti yang didefinisikan oleh International Society of Burn Injuries, luka
bakar adalah luka pada kulit atau jaringan organik lainnya yang terutama
disebabkan oleh trauma akut atau akut lainnya. Luka bakar terjadi ketika beberapa
atau semua sel di kulit atau jaringan lainnya dihancurkan oleh cairan panas (scalds),
padatan panas (contact burns), flames (flame burns). Cedera pada kulit atau
21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
jaringan organik lainnya karena radiasi, radioaktivitas, listrik, gesekan atau kontak
dengan bahan kimia juga diidentifikasi sebagai luka bakar. (Peck, 2011)
Menurut WHO, luka bakar adalah cedera pada kulit atau jaringan organik
lainnya terutama disebabkan oleh panas atau karena radiasi, radioaktivitas, listrik,
gesekan atau kontak dengan bahan kimia. Luka kulit akibat radiasi ultraviolet,
radioaktivitas, listrik atau bahan kimia, serta kerusakan saluran pernapasan akibat
menghirup asap, juga dianggap luka bakar.
Gambar 2. 2 Potongan Normal Dan Kedalaman Luka Bakar
(Moenadjat, 2009)
2.5.2 Klasifikasi Luka Bakar
2.5.2.1 Berdasarkan Penyebab
Sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa luka bakar
disebabkan oleh beberapa kontak dengan sumber thermis, tidak hanya api. Untuk
membedakan atau menjelaskan perlu diketahui beberapa klasifikasi penyebabnya
antara lain : (Moenadjat, 2009)
1. Luka bakar karena api atau benda panas lainnya (pada literatur disebut dengan
istilah burn)
2. Luka bakar karena minyak panas
3. Luka bakar karena air panas (scald)
4. Luka bakar karena bahan kimia yang bersifat asam kuat atau basa kuat
(chemical burn)
5. Luka bakar karena listrik atau petir (electric burn)
6. Luka bakar karena radiasi
22 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Luka bakar karena ledakan
2.5.2.2 Berdasarkan Kedalaman Kerusakan Jaringan (Luka) (Moenadjat,
2009)
a. Luka bakar derajat I
Kerap diberi simbol 10. Kerusakan jaringan terbatas pada bagian permukaan
(superfisial) yaitu epidermis. Kulit kering, hiperemik memberikan eflorensi berupa
eritema. Tidak dijumpai bula. Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari. Contohnya adalah
luka bakar karena sengatan matahari.
Gambar 2. 3 Luka Bakar Derajat Satu. Terjadi kerusakan epidermis bagian superfisial sementara
dermis tetap utuh (Moenadjat, 2009)
b. Luka bakar derajat II
Kerap diberi simbol 20. Kerusakan meliputi epidermis & sebagian dermis,
respon yang timbul berupa reaksi inflamasi akut dan proses eksudasi. Terasa nyeri
karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Luka derajat II dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1) Derajat dua dangkal
Kerusakan mengenai epidermis dan sebagian (sepertiga bagian superfisial)
dermis
Terjadi epidermolisis yang diikuti terbentuknya lepuh (bula) yang merupakan
karakteristik luka bakar derajat II dangkal.
Bila epidermis terkelupas, terlihat dasar luka berwarna kemerahan, kadang
pucat, edematus dan eksudatif
23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari
Gambar 2. 4 Luka bakar derajat dua dangkal adanya bula (lepuh/blister).yang merupakan
epidermolisis yang menjadi karateristik luka bakar derajat dua dangkal
(Moenadjat, 2009)
2) Derajat dua dalam
Kerusakan mengenai hampir seluruh (duapertiga bagian superfisial)
dermis
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
sebagian utuh.
Gambar 2. 5 Luka Bakar Derajat Dua Dalam (Moenadjat, 2009)
24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Luka bakar derajat III
Kerusakan meliputi seluruh ketebalan kulit (epidermis dan dermis) serta
lapisan yang lebih dalam. Apendises kulit seperti kelenjar keringat, kelenjar
sebasea, folikel rambut mengalami kerusakan. Tidak dijumpai bula. Kulit yang
terbakar berwarna pucat atau lebih putih karena terbentuk eksar. Tidak dijumpai
rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung serabut saraf sensorik
mengalami kerusakan atau kematian. Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada
proses epitelisasi spontan baik dari tepi luka (membran basalis), maupun apendises
kulit.
Gambar 2. 6 Luka Bakar Derajat Tiga
(Moenadjat, 2009)
2.5.3 Luas Luka Bakar
Luas luka bakar pada dewasa dihitung menggunakan rumus sembilan (Rule
of Nine) yang diprovokasi oleh Wallace; didasari atas perhitungan kelipatan 9,
dimana 1% luas permukaan tubuh adalah luas telapak tangan penderita. Pada anak-
anak menggunakan tabel dari Lund dan Browder yang mengacu pada ukuran bagian
tubuh terbesar pada seorang bayi/anak (yaitu kepala). (Moenadjat, 2009)
Gambar 2. 7 Diagram Rule of Nine dari Wallaceuntuk dewasa
(Moenadjat, 2009)
25 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2. 2 Lund dan Browder (untuk anak)(Moenadjat, 2009)
2.5.4 Kategori Penderita
2.5.4.1 Luka Bakar Ringan
a. Luka bakar derajat dua dan tiga <10% pada kelompok usia <10 tahun dan <50
tahun
b. Luka bakar derajat dua dan tiga <15% pada kelompok usia lain
c. Luka bakar derajat dua dan tiga <10% pada semua kelompok usia; tanpa cedera
pada tangan, kaki dan perineum
2.5.4.2 Luka Bakar Sedang
a. Luka bakar derajat dua dan tiga 10-20% pada kelompok usia <10 tahun dan
>50 tahun
b. Luka bakar derajat dua dan tiga 15-25% pada kelompok usia lain, dengan luka
bakar derajat tiga <10%
c. Luka bakar derajat tiga <10% pada semua kelompok usia; tanpa cedera pada
tangan, kaki dan perineum (Moenadjat, 2009)
2.5.4.3 Luka bakar Kritis, Luka Bakar Berat, Luka Bakar Masif
a. Luka bakar derajat dua dan tiga>20% pada kelompok usia <10 tahun dan >50
tahun
b. Luka bakar derajat dua dan tiga >25% pada kelompok usia lain
c. Trauma inhalasi
d. Luka bakar multiple
e. Luka bakar pada populasi risiko tinggi
f. Luka bakar listrik tegangan tinggi
g. Luka bakar tangan, kaki dan perineum
Usia (tahun) 0 1 5 10 15 Dewasa
Kepala (muka-belakang) 9,5 8,5 6,5 5,5 4,5 3,5
1 Paha (muka-belakang) 2,5 3,5 4 4,25 4,5 4,75
1 Kaki (muka-belakang) 2,5 2,5 2,75 3 3,25 2,5
26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5.5 Patofisiologi Luka Bakar
2.5.5.1 Faktor-Faktor Yang Berperan
Faktor-faktor yang berperan pada luka bakar dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu:
a) faktor penderita
Kondisi Umum:
• Usia
• Gender
• Status Gizi
Faktor Premorbid:
• Kelainan Kardiovaskular
• Kelainan Neurologik
• Kelainan Paru
• Kelainan Metabolisme
• Kelainan Ginjal
• Kelainan Psikiatrik
• Kehamilan
b) faktor trauma
• Jenis Luka Bakar
• Luas Luka Bakar
• Kedalaman Luka Bakar
• Lokasi
• Trauma Penyerta
• Respons Individu
c) faktor penatalaksanaan.
• Penatalaksanaan pada Fase Awal (Fase akut, Fase syok)
• Penatalaksanaan pada Fase setelah fase akut (fase kedua)
• Perawatan Luka (Moenadjat, 2009)
Meski banyak faktor yang berpengaruh dalam prognosis dan indikator-
indikator terhadap derajat keparahan telah diketahui sebagaimana dijelaskan (faktor
pasien, faktor trauma, dan faktor penatalaksanaan) respon individu terhadaptrauma
maupun terapi merupakan faktor yang harus diperhitungkan. Hal ini menjelaskan
27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengapa seseorang dengan mortality probability (MP) 0,1 bukan berarti kehilangan
kemungkinan hidupnya.
2.5.5.2 Permasalahan Pada Luka Bakar
Permasalahan pada luka bakar sangat kompleks. Bila dibandingkan dengan
fase-fase penyembuhan pada luka sayat, bisa dikatakan pada setiap fase yang
dialami luka bakar disertai ‘deviasi’ atau ‘distorsi’. Dan pada setiap fase luka bakar
mempunyai karateristik tersendiri. Dalam perjalanan penyakitnya luka bakar
dibedakan menjadi tiga fase yaitu : (Moenadjat, 2009).
a. Fase awal, fase akut, fase syok
Fase ini adalah permasalahan yang utama, terganggunya respon tubuh akibat
trauma. Yaitu masalah yang utama adalah pada gangguan respon ABC (Airway
Breating mechanism, Circulation) kondisi ini menyebabkan terganggunya
pengiriman logistik yang dibutuhkan oleh sel seperti oksigen dan lainnya, sehingga
sel tidak dapat melakukan metabolisme secara normal.
b. Fase setelah syok berakhir, pasca syok, fase sub akut
Bermulanya dari kerusakan jaringan akibat fase pertama sehingga
menimbulkan masalah yang umum dijumpai pada fase ini yaitu suatu entitas klinik
yang disebut Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang diikuti oleh
Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). SIRS yang sebelumnya
dikenal dengan ‘Sepsis’ adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik
dan eksageratif (tak terkendali) terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat
infeksi ataupun non-infeksi seperti trauma (termasuk luka bakar), reaksi auto imun,
sirosis, pankreatitis, dan lain-lain. Ada lima hal yang menjadi aktivasi SIRS, yaitu
infection, injury, inflammation, inadequate blood flow yang mana kelimanya dapat
dijumpai pada luka bakar, maka tak heran SIRS dan MODS lazim dijumpai pada
luka bakar.
c. Fase lanjut
Fase ini berlangsung sejak proses epitelialisasi sempurna hingga maturasi
jaringan. Masalah yang sering dihadapi pada fase ini adalah proses epiteliaslisasi
yang berlangsung lamban (lebih lama dibandingkan proses epitelialisasi luka lain
seperti luka sayat, dan lain-lain). Adanya penyulit dala penyembuhan luka bakar
28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
seperti parut hipertrofik, kontraktur, dan deformitas juga dapat menjadi masalah
dalam fase ini.
2.5.5.3 Zona Kerusakan Jaringan
Jackson membedakan tiga area pada luka sebagaimana diuraikan berikut:
1) Zona koag ulasi, zona nekrosis
Daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat
pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis
beberapa saat setelah kontak; karenanya disebut juga sebagai zona nekrosis.
2) Zona statis
Daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di daerah ini
terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan
leukosit sehingga terjadi gangguan perfusi (no flow phenomena), diikuti
perubahan permeabilitas kapiler, trombosis dan respon inflamasi lokal. Proses ini
berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera, dan mungkin berakhir dengan
nekrosis jaringan.
3) Zona hiperemi
Daerah di luar zona statis ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa
banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang
diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan; atau berubah
menjadi zona kedua bahkan zona pertama. (Moenadjat, 2009)
2.5.5.4 Penyembuhan Luka Bakar
Mengingat sifat kulit sebagai penyimpan panas yang terbaik (heat restore)
maka pada pasien yang mengalami luka bakar, tubuh masih menyimpan energi
panas sampai beberapa menit setelah terjadinya trauma panas. Oleh karena itu,
tindakan pendinginan luka perlu dilakukan untuk mencegah pasien berada pada
zona luka bakar lebih dalam. Tindakan ini juga dapat mengurangi perluasan
kerusakan fisik sel, mencegah dehidrasi dan membersihkan luka sekaligus
mengurangi nyeri (Effendy, 1999). Proses penyembuhan luka bakar terbagi menjadi
tiga bagian yaitu :
29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1) Fase Inflamasi
Adalah fase yang berentang dari terjadinya luka bakar hingga 3-4 hari pasca luka
bakar. Dalam fase ini terjadi perubahan vaskular dan proliferasi seluler. Daerah luka
mengalami agregasi trombosit dan mengeluarkan serotonin. Mulai timbul
epitelisasi. (Effendy, 1999)
2) Fase Fibroblastik
Trauma termal menyebabakan kerusakan pada sel sehingga dapat menyebabkan
terlepasnya epidermis dari dermis (epidermolisis) yang disertai dengan proses
eksudasi yang kemudian terakumulasi dan terperangkap membentuk lepuh (bula,
blister). Bila dilepaskan akan membentuk luka berwarna kemerahan rata dengan
permukaan kulit sekitar dan bersifat eksudatif. Luka seperti ini menimbulkan nyeri
karena iritasi ujung-ujung saraf yang terletak di dermis. Angiogenesis akan terjadi
untuk membangun jaringan pembuluh darah baru. Kapiler baru yang terbentuk akan
terlihat pada kemerahan (ruddy), jaringan granulasi tidak rata atau bergelombang
(bumpy). Migrasi sel epitel terjadi diatas dasar luka yang bergranulasi. Sel epitel
bergranulasi dari tepi sekitar luka atau dari folikel rambut, kelenjar keringat atau
kelenjar sebasea dalam luka. Sel tersebut nampak tipis, mengkilap (translucent
film) melewati luka serta sangat rapuh dan mudah rusak. Migrasi berhenti ketika
luka menutup dan mitosis epitelium menebal ke lapisan ke 4 hingga 5 yang
diperlukan untuk membentuk epidermis. (Moenadjat, 2009)
Fase yang dimulai dari hari ke 4-20 pascaluka bakar. Pada fase ini timbul sebukan
fibroblas yang membentuk kolagen yang tampak secara klinis sebagai jaringan
granulasi yang berwarna kemerahan. (Effendy, 1999). Proses fibroblas pada luka
bakar derajat dua dangkal tidak terlalu terhambat selama epitelialissi spontan
berlangsung baik (10-14 hari) dan tidak dijumpai infeksi. (Moenadjat, 2009).
3) Fase Maturasi
Terjadi proses pematangan kolagen pada fase ini terjadi pula penurunan aktivitas
seluler dan vaskular. Berlangsung hingga 8 bulan sampai lebih dari 1 tahun dan
berakhir jika sudah tidak ada tanda-tanda radang. Bentuk akhir dari fase ini berupa
jaringan parut yang berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri atau gatal.
(Effendy, 1999)
30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tindakan yang dapat dilakukan pada luka bakar adalah dengan memberikan terapi
lokal dengan tujuan mendapatkan kesembuhan secepat mungkin, sehingga jumlah
jaringan fibrosis yang terbentuk akan sedikit dan dengan demikin mengurangi
jaringan parut. Diusahakan pula pencegahan terjadinya peradangan yang
merupakan hambatan paling besar terhadap kecepatan penyembuhan (Ansel H. ,
2005)
2.6 Ekstraksi
2.6.1 Definisi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dengan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakuan sedemikian hingga memenuhi baku yang
ditetapkan sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat
secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan
pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (DepKes, 1995)
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke
dalam senyawa minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan
diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Karena senyawa yang terkandung
simplisia tidak hanya senyawa aktif saja dan terdapat banyak senyawa-senyawa lain
yang terkandung didalamnya seperti protein, lemak, karbohidrat, dan gula yang
mana senyawa ini akan memengaruhi tingkat kejenuhan pelarut sehingga
diperlukan perlakuan standarisasi pada simplisia tersebut. Standarisasi dalam
kefarmasian adalah serangkaian parameter prosedur dan cara pengukuran yang
hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, dalam artian
memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan fisika), termasut jaminan (batas-
batas) stabilitas dalam produk kefarmasian umumnya. Parameternya sendiri terdiri
dari parameter umun dan parameter spesifik. (DepKes, 2000)
31 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6.2 Metode Ekstraksi
2.6.2.1 Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut
a) Cara dingin
1. Maserasi
Suatu metode ekstrak menggunakan pelarut dengan beberapa kali
pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi
termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus
menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
2. Perkolasi
Proses ekstraksi dengan pelarut yang baru sampai sempurna (exhaustive
extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari
tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak
(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bertahan.
b) Cara panas
1) Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya
selama waktu tertentu dan dalam jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi
sempurna.
2) Soxhlet
Proses ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3) Digesti
Proses maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang
lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan
pada temperatur 40–50℃.
32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4) Infus
Proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus
tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC selama
waktu tertentu (15 – 20 menit).
5) Dekok
Proses infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30℃) dan temperatur sampai titik
didih air. (DepKes, 2000)
2.6.2.2 Destilasi Uap
Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri)
dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan
partial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinu
sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa
kandungan menguap ikut destilasi) menjadi destilat air bersama senyawa
kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian. Destilasi uap, bahan
(simplisia) benar-benar tidak dicelupkan keair yang mendidih, namun dilewati uap
air sehingga senyawa kandungan menguap ikut destilasi. Destilasi uap dan air,
bahan (simplisia) bercampur sempurna atau sebagian dengan air mendidih,
senyawa kandungan menguap tetap kontinu ikut terdestilasi.
2.6.2.3 Cara Ekstraksi Lainnya
a. Ekstraksi Berkesinambugan
Proses ekstraksi yang dilakukan berulangkali dengan pelarut yang berbeda
atau resirkulasi cairan pelarut dan prosesnya tersusun berurutan beberapa kali.
proses ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi (jumlah pelarut) dan dirancang
untuk bahan dalam jumlah besar yang terbagi dalam beberapa bejana ekstraksi.
b. Superkritikal Karbodioksida
Penggunaan prinsip superkritik untuk ekstraksi serbuk simplisia, dan
umumnya digunakan gas karbondioksida. Dengan variabel tekanan dan
temperaturakan diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang sesuai untuk
melarutkan golongan senyawa kandungan tertentu. Penghilangan cairan pelarut
dengan mudah dilakukan karena karbondioksida menguap dengan mudah, sehingga
hampir langsung diperoleh ekstrak.
33 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Ekstraksi Ultrasonik
Getaran ultrasonik (>20.000 Hz.) memberikan efek pada proses ekstrak
dengan prinsip meningkatkan permiabilitas dinding sel, menimbulkan gelembung
spontan (cavitation) sebagai stres dinamik serta menimbulkan fraksi interfase. Hasil
ekstraksi tergantung pada frekuensi getaran, kapasitas alat dan lama proses
ultrasonikasi.
d. Ekstraksi Energi Listrik.
Energi listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet “electric-
discharges” yang dapat mempercepat proses dan meningkatkan hasil dengan prinsip
menimbulkan gelembung spontan dan menyebarkan gelombang tekanan
berkecepatan ultrasonik.
2.6.3 Parameter Ekstrak
2.6.3.1 Parameter Non Spesifik
1. Susut Pengeringan dan Bobot Jenis
a. Parameter Suhu Pengeringan
Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105℃ selama 30
menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai porsen.
Bertujuan memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa
yang hilang pada proses pengeringan.
b. Parameter Bobot Jenis
Yaitu massa persatuan volume pada suhu kamar tertentu (25℃) yang
ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Dengan tujuan
memberikan batasan tentang besarnya masa persatuan volume yang merupakan
parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat
dituang.memberikan gambaran kandungan kiia terlarut
2. Kadar Air
Parameter kadar air yaitu mengukur kandungan air yang berada didalam bahan,
dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara filtrasi, destilasi atau gravimatri.
Dengan tujuan memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya
kandungan air didalam bahan.
34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Kadar Abu
Parameter kadar abu yaitu bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa
organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral
an anorganik. Yang bertujuan memberikan gambaran kandungan mineral internal
dan eksernal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. (DepKes,
2000)
2.6.3.2 Parameter Spesifik
1. Identitas
Yaitu mendeskripsikan tata nama ekstrak, latin, dan tumbuhan yang digunakan
selain itu juga mendeskripsikan suatu ekstrak mempuyai senyawa identitas, yaitu
sebagai petunjuk spesifik dengan metode tertentu. Tujuannya untuk memberikan
identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.
2. Organoleptik
Penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa untuk
pengenalan awal yang sederhana seobyektif mungkin.
3. Senyawa terlarut Dalam Pelarut Tertentu
Melarutkan ekstrak dengan pelarut untuk menentukan jumlah solut yang identik
dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri, akan memberikan gambaran
awal jumlah senyawa kandungan.
2.7 Gel
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV menyatakan bahwa Gel atau Jeli
adalah suatu sistem dispersi semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel
anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu
cairan.
Sediaan gel memiliki kandungan air yang bersifat mendinginkan,
menyejukkan, melembabkan, mudah penggunaannya, mudah berpenetrasi pada
kulit, sehingga memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat sesuai dengan
basis yang digunakan (Ansel H. , 2005)
35 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian berlangsung pada bulan April 2018 di Laboratorium Kimia Obat
(PMC), Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia (PNA), Laboratorium Penelitian 1
(PDR), Laboratorium Penelitian 2 (PBB), dan Laboratorium Animal House
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini yaitu, penggaris, timbangan
analitik (AND GH-202 dan Wiggen Hauser), timbangan hewan (Ohauss), rotary
evaporator, blender (National), kandang tikus beserta tempat makan dan minum, ,
wadah pembiusan, plat besi berukuran 4x2 cm, pH meter (HANA Instruments),
viskometer (HAAKE), gelas beaker (ukuran 50 ml, 100 ml dan 1000 ml) merk
pyrex, gelas ukur (ukuran 5 ml, 10 ml, 50 ml, 100 ml) merk pyrex, mortar, alu,
corong, cawan porselen, batang pengaduk, pinset, spatula, alumunium foil, sudip,
kapas, kertas saring.
3.2.2 Bahan Penelitian
Bahan uji yang digunakan untuk penelitian ini adalah ekstrak daun Petai
cina dan lidah buaya bahan lain yang digunakan yaitu aqua destilat, pelarut etanol
70%, gel bioplasenton, alcohol swab, eter, Na CMC, propilen glikol, gliserin, dan
nipagin.
3.3 Hewan Uji
Hewan percobaan, tikus putih jantan (Rattus novergicus) jantan galur Sprague
Dawley berusia 2-3 bulan dengan bobot 100-150 gram diperoleh dari Laboratorium
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB).
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Pengumpulan Bahan
Daun Petai cina (Leucaena leucocephala) dan daun Lidah buaya (Aloe vera)
yang didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO)
Bogor Jawa Barat.
36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.2 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi)
Determinasi Daun Petai Cina dan Lidah Buaya dilakukan di LIPI Cibinong
Bogor. Determinasi dilakukan untuk memastikan kebenaran simplisia yang akan
digunakan.
3.4.3 Penyiapan Simplisia
Simplisia adalah bahan alam atau tumbuhan yang telah dikeringkan dengan
suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60oC (Anonim, 2009).
Tumbuhan Petai cina didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat (Balittro) Bogor. Bagian tumbuhan yang dipakai Petai cina (Leucaena
leucocephala) adalah daun. Pengambilan sampel tumbuhan dilakukan dengan
golok dan dipilih tumbuhan yang segar dan masih dalam keadaan baik.Tumbuhan
Petai cina (Leucaena leucocephala) yang telah dipilih disortasi basah (dicuci
dengan air mengalir) dan dikering anginkan (tidak terkena paparan matahari
langsung) sampai batang daun dan daun mengering hingga mudah untuk
dipisahkan. Daun Petai cina (Leucaena leucocephala) timbang berat bersih
daunnya, setelah itu, dihaluskan dengan blender untuk mendapatkan serbuk
simplisia. Serbuk simplisia tersebut disimpan diwadah tertutup dan terhindar dari
sinar matahari.
Sedangkan untuk pembuatan gel lidah buaya tumbuhan lidah buaya yang
didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor.
Bagian tumbuhan yang dipakai Lidah Buaya (Aloe vera) adalah daging daun.
Pengambilan sampel tumbuhan dilakukan dengan golok dan dipilih tumbuhan yang
segar dan masih dalam keadaan baik.
Kemudian Lidah Buaya (Aloe vera) disortasi basah dan dikupas kulit
daunya, kemudian ditimbang dan selanjutnya diteruskan dengan metode maserasi
ekstraksi.
3.4.4 Pembuatan Ekstrak
Metode ekstraksi yang digunakan untuk mengekstraksi tumbuhan Petai cina
(Leucaena leucocephala) dan Lidah Buaya (Aloe vera)adalah metode ekstraksi cara
dingin yakni maserasi.
37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.4.1 Ekstraksi daun Petai cina
Daun petai cina yang sudah menjadi serbuk simplisia ditambahkan pelarut
etanol 70% sampai terendam. Maserat dituang dan diperas. Ampas dimaserasi lagi
dengan cairan pelarut yang baru sampai terendam. Remaserasi dilakukan sebanyak
3 kali maserasi, lalu hasil maserat di evaporasi pada rotary evaporator hingga
diperoleh ekstrak kental daun petai cina yang kemudian ditimbang untuk
mengetahui beratnya.
3.4.4.2 Ekstraksi Daun Gel Lidah Buaya
Daun lidah buaya dikupas dahulu sehingga mendapatkan gel lidah buaya
sebanyak 500 gram dihaluskan dengan blender kemudian direndam dengan 1000
ml pelarut etanol 70%, setelah itu didiamkan selama 2-3 hari dalam toples tertutup.
Lalu saring ekstrak cair dengan penyaring kain kasa dan tampung ekstrak dalam
botol. Hasil ekstrak diuapkan selama menggunakan rotary evaporator. Hasil
ekstrak kental Lidah Buaya dikeringkan dengan metode Freeze Dry.
Hitung hasil rendemen ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) dengan rumus:
% Rendemen = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑜𝑙𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑔𝑒𝑙 𝑙𝑖𝑑𝑎ℎ 𝑏𝑢𝑎𝑦𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑎𝑙𝑢𝑠𝑘𝑎𝑛x % kemurnian
3.4.5 Standarisasi Ekstrak (DepKes, 2000)
3.4.5.1 Penentuan Parameter Spesifik
1. Deskrispsi tata nama :
a) Nama Ekstrak (generik, datang, paten)
b) Nama latin tumbuhan (sistematika botani)
c) Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb)
d) Nama Indonesia tumbuhan
2. Organoleptik
a) Bentuk : Padat, serbuk-kering, kental, cair
b) Warna : kuning, coklat, dll
c) Bau : aromatik, tidak berbau, dll
d) Rasa : pahit, manis, kelat, dll
3.4.5.2 Penentuan Parameter Non Spesifik
a. Kadar Abu
Sampel ditimbang sebanyak 1 gram , dimasukkan, ke dalam krus silikat yang
telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Dipijarkan perlahan-lahan selama ± 1 jam
38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
danpemijaran disempurnakan dengan tanur bersuhu tinggi 600o ± 20o C.Sampai
diperoleh abu berwarna abu-abu. Didinginkan dalamdesikator, kemudian
ditimbang serta dicatat pengurangan beratnya (DepKes, 2000)
Kadar abu =berat awal − berat akhir
berat awal x 100%
b. Kadar Air
Sampel ditimbang sebanyak 1 gram dimasukkan dalam wadah yang telah ditara.
Simplisia dikeringkan pada oven suhu 105oC selama 5 jam dan ditimbang.
Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara
2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,001 g (DepKes, 2000).
Kadar air =berat sebelum pengeringan − berat akhir
berat sebelum pengeringan x 100%
3.4.6 Pembuatan Sediaan Gel
Gel dibuat dengan formula:
Na CMC 3%
Propilen glikol 3,75%
Gliserin 7,5%
Nipagin 0,05%
Aquadest ad 100 (Erlia, 2014)
Na-CMC dikembangkan dengan cara ditaburkan di atas air panas 60℃ dan
dibiarkan selama 30 menit hingga mengembang. Dalam wadah lain, nipagin
dilarutkan dengan aquades dan dimasukan perlahan kedalam basis Na-CMC, serta
gliserin dan propilenglikol, aduk hingga homogen diatas hotplate dan diaduk
dengan homoginizer kemudian masukkan aquades perlahan kemudian aduk secara
kontinyu hingga terbentuk gel. Setelah gel homogen, ekstrak daun Petai cina dan
ekstrak Lidah Buaya dilarutkan kedalam air hangat. Setelah larut, kedua ekstrak
ke dalam gel dan aduk kembali hingga homogen. Gel dibuat menjadi konsentrasi
ekstrak daun Petai cina dan Lidah Buaya (15% : 0,5%), (7,5% : 0,5% ) dan (3,75%
: 0,5% ).
39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Evaluasi Sediaan Gel
1. Pemeriksaan organoleptis
Uji organoleptik dengan menggunaan pancaindera mendeskripsikan
bentuk, warna, bau, dan rasa. Sebagai contoh bentuk (serbuk kering), warna
(kuning), bau (aromatik), rasa (pahit). (DepKes, 2000)
2. Pemeriksaan homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah sediaan yang telah
dibuat homogen atau tidak. Gel diuji homogenitasnya dengan mengoleskan
pada sekeping kaca atau bahan transparan yang cocok, dimana sediaan
diambil 3 bagian yaitu atas, tengah dan bawah. Homogenitas ditunjukkan
dengan tidak adanya butiran kasar (DepKes, 2000)
3. Pengukuran viskositas
Viskositas diukur dengan menggunakan viskometer Brookfield, spindel
no. 7 dengan kecepatan 60 putaran per menit (rpm).
4. Pemeriksaan pH gel
Uji pH dilakukan untuk melihat tingkat keasaman sediaan gel untuk
menjamin sediaan gel tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Pemeriksaan pH
dilakukan dengan alat pH meter. Sebelum dilakukan pengujian, elektroda
pada pH meter dicuci dengan air suling dan dikeringkan dengan kertas tisu.
Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan mencelupkan elektroda ke dalam
sediaan lalu ditunggu hingga muncul angka pada pH meter. Angka yang
tertera pada pH meter menunjukkan pH sediaan gel (Utami, 2015). pH
sediaan yang memenuhi kriteria pH kulit yaitu dalam interval 4,5 – 6,5
(Mappa, 2013)
3.5 Persiapan Hewan Uji
Hewan percobaan yang digunakan tikus putih jantan (Rattus novergicus)
jantan galur Sprague Dawley berusia 2-3 bulan dengan bobot 100-150 gram. Hewan
tersebut diaklimatisasi terlebih dahulu selama 1 minggu agar dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan dan selama proses adaptasi dilakukan pengamatan kondisi
umum serta dilakukan penimbangan berat badan setiap hari. Hewan uji yang sakit,
dengan ciri-ciri aktivitas berkurang, lebih banyak diam, dan bulunya berdiri, tidak
40 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
akan diikutsertakan dalam penelitian. Pengelompokkan hewan uji yang sehat
dilakukan sebelum melaksanakan penelitian.
3.5.1 Pembuatan Luka Bakar Pada Punggung Tikus
Pembuatan luka bakar dilakukan berdasarkan jurnal yang telah dilakukan
oleh Akhoondinasabet al. (2014). Pengujian efek penyembuhan luka bakar
dilakukan terhadap 30 ekor tikus. Masing-masing tikus dianastesi menggunakan
pelarut eter. Hewan uji dicukur bulu pada daerah dorsal sekitar 3 cm dari telinga
tikus. Pencukuran dilakukan dengan mengoleskan Veet® cream pada daerah uji
selama 3-5 menit, kemudian dicukur dengan alat pencukur bulu, lalu induksi luka
bakar dilakukan dengan menggunakan plat besi berukuran 4x2 cm yang dipanaskan
selama 5 menit di dalam air mendidih lalu ditempelkan pada kulit punggung selama
10 detik dengan tekanan yang sama.
3.5.2 Pengujian Efek Penyembuhan Luka Bakar Gel ekstrak daun Petai
cina dan Lidah Buaya
Tabel 3. 1 Pembagian kelompok perlakuan
Kelompok Jumlah
tikus Perlakuan Keterangan
A 5 Gel dengan kombinasi ekstrak daun Petai cina
dan Lidah Buaya dosis tinggi (15% : 0,5%) 21 hari
B 5 Gel dengan kombinasi ekstrak daun Petai cina
dan Lidah Buaya dosis sedang (7,5% : 0,5%) 21 hari
C 5 Gel dengan kombinasi ekstrak daun Petai cina
dan Lidah Buaya dosis rendah (3,75% : 0,5%) 21 hari
D 5 Kontrol negatif, basis gel (tanpa ekstrak) 21 hari
E 5 Kontrol positif, diberi gel Bioplasenton® 21 hari
Luka yang terjadi diamati dan diukur, setelah itu diolesi obat sesuai
kelompok masing-masing, yaitu kontrol negatif dengan basis gel, kontrol positif
dengan obat komersil (Bioplasenton®) serta tiga kelompok dengan ekstrak daun
Petai cina dan Lidah Buaya dengan konsentrasi (15% : 0,5%), (7,5% : 0,5% ) dan
(3,75% : 0,5% ).
Pemberian gel dilakukan secara topikal sebanyak 0,2 g untuk 1x pengolesan
dengan cara mengoleskannya di bagian luka pada masing-masing kelompok tikus
41 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
perlakuan. Pemberian gel dilakukan setiap hari, dari hari ke-1 sampai hari ke 21
setelah perlukaan sebanyak 2 kali sehari pada waktu pagi dan sore hari.
3.5.3 Pengamatan Penyembuhan Luka
Pengamatan secara patologi anatomi dilakukan setiap hari mulai dari hari
ke-1 sampai hari ke-21 setelah perlukaan pada semua tikus perlakuan. Pengamatan
dilakukan dengan cara melihat langsung pada bagian luka. Untuk menilai
penyembuhan luka, diambil foto kulit tikus yang terkena luka bakar setiap hari
kemudian diolah dengan software Image J dan dihitung persentase
penyembuhannya (Akhoondinasab, Akhoondinasab, & Saberi, 2014)
Waktu dan presentase penyembuhan luka bakar.
% penyembuhan luka = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 x 100%
3.6 Analisis Data
Data hasil pengujian dianalisis menggunakan software pengolah data dan
disajikan dalam bentuk mean dan standar deviasi dari masing-masing kelompok.
Data diolah menggunakan analisis statistik dengan uji normalitas, uji homogenitas,
One Way ANOVAdan Kruskal-Wallis Test.
42 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Determinasi Tumbuhan
Determinasi tumbuhan daun petai cina dan lidah buaya dilakukan di
laboratorium Herbarium Bogoriense LIPI Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi
menunjukan bahwa sampel petai cina Leucaena leucoccephala (Lam.) de Wit dari
famili Leguminosae dan lidah buaya Aloe vera (L.) Burm.f. dari famili
Xanthorrhoeaceae. (Lampiran 2)
4.2 Hasil Ekstraksi
Daun petai cina (Leucaena leucephala) yang didapatkan di Balittro Bogor,
sebanyak 3 kg disortasi basah dibersihkan dengan menggunakan air mengalir,
pengeringan simplisia dengan menggunakan metoda kering angin dan tidak
dikenakan sinar matahari secara langsung. Setelah mengering dilakukan pemisahan
antara tulang daun dan daging daun, sehingga mendapatkan berat simplisia 1150
gram dan dihaluskan dengan menggunakan blender. Setelah mendapatkan simplisia
kering proses maserasi dimulai dengan merendam simplisia dan pelarut etanol 70%
1:3. Setelah dimaserasi sebanyak 3 kali berulang, disaring menggunakan bantuan
kapas dan kertas saring. Kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary
evaporator, sehingga mendapatkan ekstrak kental sebanyak 144,97 gram. Proses
selanjutnya ekstrak kental petai cina di Freezedry di LIPI Cibinong Bogor selama
3 hari agar mendapatkan ekstrak yang lebih padat dan untuk menghilangkan sisa
pelarut yang masih tertinggal diekstrak kental. Hasil ekstrak setelah perlakuan
Freezedry mendapatkan berat 109,64 gram dengan rendemen 9,53%. Perhitungan
rendemen dapat dilihat pada (lampiran 5).
Dan penyiapan pembuatan ekstrak lidah buaya (Aloe vera) yang didapatkan
dari Balittro Bogor sebanyak 2 kg dibersihkan dan dikupas kulit daunnya, agar
dapat dipisahkan dengan daging daun lidah buaya. Daging daun lidah buaya yang
akan digunakan sebagai ekstrak yang diperoleh sebanyak 1500 gram berat basah
daging daun lidah buaya, lalu dihaluskan dengan blender dan dimaserasi dengan
menggunakan etanol 70% 1:2. Kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary
evaporator. Proses selanjutnya ekstrak lidah buaya di Freezedry di LIPI Cibinong
43 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bogor selama 8 hari agar mendapatkan ekstrak yang lebih padat dan untuk
menghilangkan sisa pelarut yang masih tertinggal. Sehingga mendapatkan ekstrak
padat menyerupai kapas seberat 9,9283 gram dengan rendemen 0.662%.(lampiran
5)
4.3 Hasil Pemeriksaan Parameter Ekstrak
Hasil pengujian parameter spesifik dan non spesifik ekstrak daun petai cina
(Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) dapat dilihat ditabel.
Tabel 4. 1 Tabel Pemeriksaan Parameter Ekstrak
Parameter
Hasil
Ekstrak Daun Petai
Cina
Ekstrak Lidah
Buaya
Parameter
spesifik
Identitas ekstrak
a. Nama latin tumbuhan
b. Bagian tumbuhan
yang digunakan
c. Nama indonesia
tumbuhan
Leucaena
leucocephala
Daun
Petai Cina
Aloe vera
Daging daun
Lidah buaya
Organoleptik
a. Bentuk
b. Warna
c. Aroma
Kental
Coklat
Khas
Gel
Kuning kehijauan
Khas
Parameter non
spesifik
Kadar air 9,7% 21,3%
Kadar abu 28,4% 2,84%
Pengujian kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau
rentang besarnya kandungan air dalam bahan karena jumlah air yang tinggi dapat
menjadi media bagi tumbuhnya bakteri dan jamur yang dapat merusak senyawa
yang terkandung didalamnya (DepKes, 2000). Uji kadar air kedua ekstrak tersebut
menggunakan metode gravimetri. Dari hasil pengujian diperoleh hasil kadar air dari
ekstrak daun petai cina 9,7%. Sedangkan untuk kadar air lidah buaya
21,3%.(lampiran 6)
Penetapan kadar abu total dilakukan dengan tujuan untuk memberikan
gambaran kandungan mineral yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya
ekstrak. Kadar abu total berkaitan dengan mineral baik senyawa organik maupun
44 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
anorganik (DepKes, 2000). Nilai kadar abu ekstrak petai cina adalah 28,4% dan
kadar abu ekstrak lidah buaya 2,84%.(lampiran 7)
4.4 Hasil Evaluasi Sediaan Gel
Hasil evaluasi sediaan gel ekstra daun petai cina (Leucaena leucocephala)
dan lidah buaya (Aloe vera) meliputi uji organoleptik, homogenitas, pH dan
viskositas. Hasil evaluasi sediaan gel kombinasi ekstrak petai cina dan lidah buaya
dapat dilihat pada tabel.
Tabel 4. 2 Tabel Evaluasi Sediaan Gel
Setelah dilakukan parameter ekstrak daun petai cina dan lidah buaya,
kemudian diformulasikan kedalam bentuk sediaan gel. Sediaan gel dipilih karena
memiliki kandungan air yang bersifat mendinginkan, menyejukkan, melembabkan,
mudah penggunaannya, mudah berpenetrasi pada kulit, sehingga memberikan efek
penyembuhan yang lebih cepat sesuai dengan basis yang digunakan (Ansel H. ,
2010). Sehingga hal ini sesuai dengan prinsip penanganan utama luka bakar ringan
yaitu mendinginkan luka yang terbakar dengan air, dimana kandungan gel sebagian
besar terdiri dari air (Sjamsuhidajat & Jong, 1997). Gambar sediaan gel dapat
dilihat pada (lampiran 10).
Karakteristik
Hasil
Formula I Formula II Formula III Formula IV
gel ekstrak
daun petai
cina 3,75%
dan ekstrak
lidah buaya
0,5%
gel ekstrak
daun petai cina
7,5% dan
ekstrak lidah
buaya 0,5%
gel ekstrak
daun petai
cina 15% dan
ekstrak lidah
buaya 0,5%
gel tanpa
ekstrak basis
polimer
NaCMC 3%
Organoleptik
Warna Coklat Muda Coklat Muda Coklat Bening
transparan
Bentuk Semisolid Semisolid Semisolid Semisolid,
transparan
Bau Khas Khas Khas Khas
Homogenitas Homogen Homogen Homogen Homogen
pH 5,726 5,697 5,714 6,658
Viskositas 48300 50900 53100 27800
45 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan data hasil evaluasi sediaan gel pada tabel , secara organoleptis
terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak petai cina maka warna gel akan
terlihat lebih gelap akibat warna yang ditimbulkan oleh ekstrak petai cina, bentuk
sediaan yang dihasilkan semisolid, dan menimbulkan bau khas ekstrak petai cina
dan ekstrak lidah buaya karena konsentrasinya lebih sedikit sehingga pengaruh
warna dan bau tidak terlihat dengan jelas. Dari evaluasi homogenitas yang
dilakukan diatas objek glass terlihat bahwa ketiga sediaan gel yang dihasilkan
homogen. Kemudian dari data viskositas, diketahui bahwa semakin tinggi
konsentrasi ekstrak pada sediaan gel umumnya memiliki viskositas lebih tinggi. Hal
ini menunjukkan bahwa ekstrak petai cina cenderung meningkatkan viskositas
basis. Nilai pH pada sediaan gel kombinasi ekstrak petai cina dan ekstrak lidah
buaya mempunyai kisaran pH normal kulit yaitu 4,5-6,5 (Tranggono, 2007).
4. 5 Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus
Hasil pengukuran berat badan tikus selama aklimatisasi dan selama
perlakuan dapat dilihat pada
a. Berat Badan Tikus Selama Aklimatisasi
Gambar 4. 1 Grafik Rata-Rata Berat Badan Tikus Selama Aklimatisasi
0
20
40
60
80
100
120
140
160
H-1 H-2 H-3 H-4 H-5 H-6 H-7
Be
rat
Bad
an (
g)
Hari
Berat Badan Tikus Aklimatisasi
KELOMPOK A
KELOMPOK B
KELOMPOK C
KELOMPOK D
KELOMPOK E
46 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Berat Badan Tikus Selama Perlakuan
Gambar 4. 2 Grafik Rata-Rata Berat Badan Tikus Selama Perlakuan
Keterangan :
Kelompok A : PC 15%:0,5%
Kelompok B : PC 7,5%:0,5%
Kelompok C : PC 3,75%:0,5%
Kelompok D : Kontrok Negatif
Kelompok E : Kontrok Positif
PC : Petai Cina LB : Lidah Buaya
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah 25 ekor tikus putih
jantan (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley berusia 2-3 bulan dengan
bobot 100-150 gram. Tikus betina tidak digunakan untuk menghindari pengaruh
faktor hormonal (estrogen dan progesteron) dalam penyembuhan luka. Tikus yang
digunakan adalah galur Sprague Dawley karena keuntungan utamanya adalah
ketenangan dan kemudahan penanganannya. Hewan tersebut diaklimatisasi terlebih
dahulu selama 1 minggu agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selama
proses aklimatisasi penimbangan berat badan setiap hari hingga mencapai bobot
yang diinginkan untuk kriteria pengujian luka bakar (Gambar 4.1). Pada saat
aklimatisasi tidak ada hewan uji yang sakit, dengan ciri-ciri aktivitas berkurang,
lebih banyak diam, dan bulunya berdiri. Pakan yang diberikan selama penelitian
adalah pakan jenis CP 511B dengan analisa gizi.
Dari gambar grafik diketahui bahwa berat badan tikus selama aklimatisasi
maupun selama perlakuan mengalami kenaikan berat badan dan tidak mengalami
penurunan berat badan. Hal ini menunjukkan bahwa hewan uji dalam keadaan sehat
dimana salah satu cirinya adalah tidak terjadinya penurunan berat badan secara
signifikan. Sama halnya setelah perlakuan berat badan hewan uji tidak mengalami
0
50
100
150
200
250
H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 H-15 H-18 H-21
Be
rat
Bad
an (
g)
HARI
Berat Badan Tikus Perlakuan
KELOMPOK A
KELOMPOK B
KELOMPOK C
KELOMPOK D
KELOMPOK E
47 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penurunan, sehingga tikus dalam percobaan dalam keadaan baik. Hasil surat
kesehatan hewan uji terdapat pada (Lampiran 3).
4.6 Hasil Pengamatan Luka Bakar
Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas gel kombinasi ekstrak daun petai
cina dan ekstrak lidah buaya terhadap penyembuhan luka bakar. Uji ini dilakukan
secara eksperimental terhadap hewan uji berupa tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan galur Sprague Dawley. Parameter yang diamati meliputi pembentukan
keropeng, penurunan luas luka, dan persentase penyembuhan luka bakar. Kode etik
tentang perlakuan hewan uji terdapat pada (Lampiran 4).
Desain penelitian dilakukan dengan membagi 25 tikus menjadi 5 kelompok
perlakuan yaitu kontrol positif yang diberikan gel bioplasenton, kelompok kontrol
negatif yang diberikan basis gel Na CMC tanpa ekstrak, serta tiga kelompok dengan
kombinasi ekstrak daun petai cina dan ekstrak lidah buaya (15%:0,5%),
(7,5%:0,5%), dan (3,75%:0,5%).
Penelitian ini menggunakan gel bioplacenton® sebagai kontrol positif yang
mengandung ekstrak plasenta 10% yang bekerja memicu pembentukan jaringan
baru dan untuk penyembuhan luka, sedangkan neomisin sulfat 0,5% untuk
mencegah atau mengatasi infeksi bakteri gram negatif pada area luka.
Proses induksi luka bakar dilakukan dengan cara masing-masing tikus
dicukur bulunya pada daerah punggung sekitar 3 cm dari telinga tikus
menggunakan Veet® cream dan diberi anastesi dengan pelarut eter, untuk
mengurangi rasa sakit akibat induksi luka bakar dan memudahkan penangannnya.
Induksi luka bakar dilakukan dengan menggunakan plat besi berukuran 4x2 cm
yang dipanaskan selama 5 menit di dalam air mendidih lalu ditempelkan pada kulit
punggung selama 10 detik dengan tekanan yang sama.
Pemberian gel dilakukan secara topikal sebanyak 0,2 g dengan cara
mengoleskannya di bagian luka sesuai dengan kelompok perlakuan. Pemberian gel
dilakukan setiap hari, dari hari ke-1 sampai hari ke 21 setelah perlukaan sebanyak
2 kali sehari pada waktu pagi dan sore hari.
4.6. Hasil Pengamatan Patologi Anatomi
Pengamatan secara patologi anatomi dilakukan dengan mengamati awal
terbentuknya keropeng dan saat lepasnya keropeng serta persentase penyembuhan
48 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
luka bakar. Dilakukan dengan menguunakan software Image J, dengan tahap
penggunaannya dapat dilihat pada (Lampiran 8).
a. Pengamatan Keropeng
Pembentukan keropeng menunjukkan proses penyembuhan luka memasuki
fase proliferasi tahap awal (Effendy, 1999). Untuk mengamati pembentukan
keropeng, pada luka akan terlihat adanya jaringan granulasi yang ditandai dengan
munculnya keropeng. Keropeng ini berfungsi untuk menutup luka dan mencegah
luka dari kontaminasi lebih lanjut oleh mikroba. Pelepasan keropeng menandakan
sudah terjadinya pertumbuhan sel-sel baru pada kulit sehingga membantu
mempercepat lepasnya keropeng dan merapatnya tepi luka.
Pada kelompok konsentrasi tinggi (15%:0,5%) rata-rata terbentuknya
keropeng pada hari ke 2 dan lepas pada hari ke 11. Pada kelompok konsentrasi
Sedang (7,5%:0,5%) rata-rata terbentuknya keropeng pada hari ke 3 dan lepas pada
hari ke 12. Pada kelompok konsentrasi rendah (3,75%:0,5%) rata-rata terbentuknya
keropeng pada hari ke 3 dan lepas pada hari ke 13. Pada kelompok kontrol negatif,
terbentuknya keropeng rata-rata terjadi pada hari ke 3 dan lepas pada hari ke 14.
kontrol positif, terbentuknya keropeng rata-rata terjadi pada hari ke 2 dan lepas pada
hari ke 12. Gambar pengamatan perubahan luka bakar dapat dilihat pada (lampiran
9).
49 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4. 3 Pengamatan Keropeng
Rerata hari ke-
Uji Konsentrasi
Tinggi
(15%:0,5%)
Uji
Konsentrasi
Sedang
(7,5%:0,5%)
Uji
konsentrasi
rendah
(3,75%:0,5%)
Kontrol
negatif
Kontrol
positif
Terbentuk
nya
keropeng
2 3 3 3 2
Lepasnya
keropeng
11 12 13 14 12
Berdasarkan pengamatan terbentuknya keropeng, terlihat bahwa kelompok
uji konsentrasi tinggi (15%:0,5%) berpotensi mempercepat waktu penyembuhan
luka karena pembentukan keropeng paling cepat terbentuk, yaitu pada hari ke-2 dan
terlepas pada hari ke-11 selanjutnya uji konsentrasi sedang (7,5%:0,5%) dan
kontrol positif mempunyai waktu lepas keropeng yang sama, lalu disusul dengan
konsentrasi rendah (3,75%:0,5%) dan kontrol negatif. Pada uji konsentrasi rendah
(3,75%:0,5%) pada awalnya dapat mempercepat pengeringan pada daerah luka
namun pengeringan ini memicu pembentukan keropeng atau jaringan mati yang
sangat keras dan tebal dan menempel erat pada permukaan luka. Jaringan mati ini
dapat menghambat distribusi zat aktif dan absorbsi obat sehingga luka lebih lama
sembuh. Lamanya proses pembentukan jaringan baru mengakibatkan lamanya
masa penyembuhan. Oleh sebab itu kelompok uji konsentrasi rendah (3,75%:0,5%)
memiliki waktu pengelupasan keropeng yang paling lama. Selain itu, dapat diamati
bahwa kelompok kontrol negatif mengalami proses penyembuhan luka yang lama
dilihat dari waktu terbentuknya keropeng dan waktu lepasnya keropeng. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian basis gel saja tidak mempengaruhi percepatan
penyembuhan luka.
50 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Hasil Pengukuran Penurunan Luas Luka Bakar
Pada parameter persentase penyembuhan luka, dilakukan dengan cara
melihat langsung pada bagian luka lalu diukur luas luka bakar dengan aplikasi
imageJ dan dihitung persentase penyembuhan luka bakar (Tabel 4.4). persentase
penyembuhan luka dihitung dengan rumus:
% penyembuhan luka = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 x 100%
Luas luka awal luas luka sehari setelah pembuatan luka dan luas luka akhir
adalah luas luka pada hari dilakukan pengamatan.
Luas luka awal yang menjadi perhitungan persentase penyembuhan luka
adalah luas luka sehari setelah tikus dilukai, karenan setelah 24 jam terjadi
kestabilan luas luka. Suatu luka dapat dikatakan sembuh apabila daerah luka
tersebut telah mengalami epitelisasi secara menyeluruh dan tidak lagi
membutuhkan perawatan.
Hasil pengukuran penurunan luas luka bakar pada seluruh kelompok
perlakuan pada hari ke-1 hingga hari ke-21 menggunakan metode perlukaan
(Akhoondinasab, Akhoondinasab, & Saberi, 2014) dapat dilihat pada tabel 4.4
51 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4. 4 Hasil Pengukuran Presentase Penurunan Luas Luka Bakar
Kelompok
Perlakuan
Hari ke
6 9 12 15 18 21
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
K1 (PC
15% : LB
0,5%)
16,75 ±
13,80
29,22 ±
19,06
75,47 ±
20,94
86,67 ±
18,43
97,21 ±
3,52
98,75 ±
2,22
K2 (PC
7,5% : LB
0,5%)
23,67 ±
16,67
49,34 ±
19,59
71,69 ±
12,65
85,54 ±
6,19
94,18 ±
5,73
98,34 ±
1,65
K3 (PC
3,75% :
LB 0,5%)
24,42 ±
9,98
36,43 ±
6,04
71,02 ±
16,81
81,86 ±
19,32
85,61 ±
19,13
88,81 ±
18,53
K4 Kontrol
(-)
30,24 ±
16, 10
32,70 ±
14, 81
58,08 ±
8,95
74,63 ±
13,85
83,63 ±
13,84
90,36 ±
12,69
K5 Kontrol
(+)
15,91 ±
2,07
26,83 ±
8,42
47,57 ±
14,70
73,71 ±
17,12
83,67 ±
16,76
93,02 ±
6,22
Pemberian gel kombinasi ekstrak daun petai cina dan ekstrak lidah buaya
dengan berbagai tingkatan konsentrasi memberikan pengaruh terhadap waktu dan
persentase penyembuhan luka bakar (Tabel 4.4). Persentase penyembuhan luka
bakar yang terbesar pada hari ke-12 terlihat pada kelompok uji konsentrasi tinggi
(15%:0,5%) yaitu 75,47% diikuti oleh kelompok uji konsentrasi sedang
(7,5%:0,5%) yaitu 71,69%. Berdasarkan uji statistik kelompok uji konsentrasi
tinggi (15%:0,5%) tidak berbeda signifikan dengan kelompok uji konsentrasi
sedang (7,5%:0,5%) dan uji konsentrasi rendah (3,75%:0,5%) yaitu 71,02%.
Sedangkan kontrol positif dan kontrol negatif masih dalam nilai presentase sedang
dihari ke 12, yaitu kontrol negatif dengan 58,08% dan kontrol positif 47,57%.
52 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Persentase penyembuhan luka bakar yang terbesar pada hari ke-21 uji
konsentrasi tinggi (15%:0,5%) yaitu 98,75% diikuti oleh kelompok uji konsentrasi
sedang (7,5%:0,5%) yaitu 98,34 %. Kontrol positi 93,02% dan kontrol negatif
90,36%. Nilai presentase penyembuhan terendah pada hari ke-21 adalah uji
konsentrasi rendah yaitu 88,81%. Hal ini menunjukkan bahwa gel kombinasi
ekstrak petai cina dan ekstrak lidah buaya pada kelompok uji konsentrasi tinggi
(15%:0,5%) dan kelompok uji konsentrasi sedang (7,5%:0,5%) memiliki aktivitas
yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol positif dalam persentase penyembuhan
luka bakar derajat dua.
Gambar 4. 3 Grafik Persentase Penyembuhan Luka Bakar
Keterangan :
Kelompok A : PC 15%:0,5%
Kelompok B : PC 7,5%:0,5%
Kelompok C : PC 3,75%:0,5%
Kelompok D : Kontrok Negatif
Kelompok E : Kontrok Positif
PC : Petai Cina LB : Lidah Buaya
Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 9, 12, dan 15
terdistribusi homogen, sedangkan data pada hari ke 6, 18 dn 21 tidak terdistribusi
homogen.
Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas, data presentase
penyembuhan luka bakar pada hari ke 9, 12, dan ke 15 dilanjutkan dengan uji one-
way ANOVA. Sedangkan data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 6,
18, dan 21 dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis. Data analisis statistik dapat
dilihat di (lampiran 11 dan 12).
0
20
40
60
80
100
120
A B C D E
98,75 98,34 88,82 90,37 93,03
2,22 1,65 18,53 12,69 6,22
Rata-Rata Penyembuhan Luka Bakar Derajat II H-21
rata-rata penyembuhan H-21 SD
53 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari nilai data statistik yang ada pada lampiran menunjukkan bahwa penurunan
luka bakar derajat II antar kelompok tidak berbeda secara signifikan. Pemberian
gel kombinasi ekstrak petai cina dan ekstrak lidah buaya dengan konsentrasi
bertingkat tidak memberikan perbedaan secara bermakna dengan kontrol positif
maupun kontrol positif.
Penyembuhan luka melibatkan proses biologis seperti peradangan dan
pembentukan jaringan granulasi. Kolagen adalah protein utama dalam matriks
ekstraseluler dan memberikan kekuatan dan integritas ke dermis dan jaringan
pendukung lainnya.
Pada penelitian ini aktivitas kombinasi ekstrak petai cina dan lidah buaya
dengan kelompok konsentrasi tinggi (15%:0,5%) dan kelompok konsentrasi sedang
(7,5%:0,5% ) menunjukkan nilai presentase penyembuhan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol positif yang mengandung ekstrak plasenta 10%. Dan
dari nilai presentase tersebut juga dapat menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah
penambahn konsentrasi pada ekstrak petai cina akan meningkatkan waktu
penyembuhan luka bakar derajat II. Dan menurut penelitian (Retno & Sugihartini,
2015) menggunakan ekstrak daun petai cina dengan konsentrasi 30% memberikan
aktifitas sama besarnya dengan kontrol positif (Bioplasenton), sedangkan dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak petai cina dan lidah buaya
memberikan aktivitas daya penyembuhan yang lebih tinggi dari bioplasenton,
meskipun nilai konsentrasi ekstrak petai cinanya lebih rendah.
Penambahan ekstrak aloe vera meningkatkan produksi kolagen. Fraksi
Glikoprotein adalah komponen utama lidah buaya untuk terlibat dalam
penyembuhan luka dengan sel proliferasi dan migrasi. Fraksi glikoprotein terisolasi
dapat meningkatkan pertumbuhan fibroblas dermal. Mekanisme utama lidah buaya
terletak pada bagaimana ia bertindak pada proliferasi sel dari komponen dermal.
Fraksi glikoprotein dari lidah buaya merangsang proliferasi sel, mempercepat
pemulihan luka buatan pada monolayer keratinosit normal, dan meningkatkan
penebalan lapisan epidermal. Fraksi ini menstimulasi baik fibroblas dan keratinosit
untuk menghasilkan fibronektin dan reseptornya. Penelitian lain menemukan
bahwa lidah buaya meningkatkan kandungan kolagen dari jaringan granulasi serta
tingkat keterkaitan silang. Diperkirakan bahwa kandungan kolagen yang
54 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ditingkatkan mendorong stimulasi oleh aloe dalam sintesis kolagen atau
meningkatkan proliferasi fibroblast sintesis kolagen, atau keduanya.
Antiinflamasi efek dari aloe berkontribusi pada proses inflamasi diinduksi oleh
pembakaran. (Khorasani, 2009).
Studi terkait efektivitas dun petai cina (Leucaena leucocephala) terhadap
proses waktu penyembuhan luka bakar derajat II dangkal pada tikus jantan galur
Sprague Dawley dalam penelitian (Kurnianto, Kusnanto, & Padoli, 2017)
menunjukkan hasil uji waktu penyembuhan luka bakar oleh ekstrak daun petai cina
dengan konsentrasi 30% adalah 11,14 hari . Sedangkan dalam penelitian yang telah
dilakukan oleh (Retno & Sugihartini, 2015) hasil uji waktu penyembuhan luka
bakar menunjukkan bahwa pemberian gel ekstrak daun petai cina dengan
konsentrasi 10% mempunyai waktu penyembuham rata-rata 31,5 hari, dengan
konsentrasi 15% mempunyai waktu penyembuhan luka bakar 30 hari dan untuk
konsentrasi 30% mempunnyai waktu penyembuhan luka 28,5 hari.
Studi literatur terkait efektivitas lidah buaya dalam waktu penyembuhan luka
bakar dalam (Khorasani, 2009) menunjukan hasil waktu penyembuhan luka bakar
oleh lidah buaya adalah 15,9 hari sedangkan untuk SSD (Silver Sulfadiazine)
menunjukan waktu yang lebih lama 3 hari yaitu 18,73 hari. Sedangakan dalam
(Hosseinimeh, SJ;Khorasani, G;Azadbakht, M;Zamani, P;Ghasemi,M;Ahmadi,A ,
2010) proses penyembuhan aloe vera dalam hari ke 25 adalah mencapai nilai luas
permukaan 0,78 cm2, sedangkan SSD (Silver Sulfadiazine) dalam hari ke 25
mempunyai nilai permukaan 4,1 cm2 .
Sehingga dalam penjabaran studi literatur diatas yang menunjukkan waktu
penyembuhan antara ekstrak daun petai cina dan ekstrak lidah buaya secara tunggal
mempunyai waktu penyembuhan yang lebih lama daripada, jika keduanya
dikombinasikan karena diduga keduanya saling bersinergis dalam proses
penyembuhan luka bakar, sehingga mempercepat waktu penyembuhannya.
55 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian aktivitas gel kombinasi ekstrak daun petai cina
(Leucaena leucocephala) dan ekstrak lidah buaya (Aloe vera) terhadap
penyembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
Sprague-Dawley diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Gel kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) dan ekstrak
lidah buaya (Aloe vera) pada kelompok uji konsentrasi (15%:0,5%),
(7,5%:0,5%), dan (3,75%:0,5%) tidak terdapat perbedaan yang signifikan
terhadap penurunan luas luka dan peningkatan persentase penyembuhan
luka bakar derajat dua yang diberikan secara topikal pada pengamatan
secara patologi anatomi.
2. Kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) dan ekstrak
lidah buaya (Aloe vera) dapat mempercepat waktu penyembuhan luka
bakar, daripada ekstrak tunggal.
5.2 Saran
Adapun saran untuk penelitian lebih lanjut adalah:
1. Perlu dilakukan uji stabilitas sediaan obat gel kombinasi ekstrak daun petai
cina dan ekstrak lidah buaya.
2. Perlu dilakukan penambahan parameter histopatologi untuk pengamatan
secara mikroskopis.
3. Perlu dilakukan pengamatan histopatologi pada beberapa interval waktu
yang mewakili fase inflamasi, proliferasi dan fase maturasi.
56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Agus, B. M. (2001). Pedoman Meramu Pakan Ikan. Yogyakarta: Kanisius.
Akhoondinasab, M., Akhoondinasab, M., & Saberi, M. (2014). Comparison of
Healing Effect of Aloe Vera Extract and Silver Sulfadiazine in Burn Injuries
in Experimental Rat Model. World J Plast Surg, 29-34.
Anonim. (2007). Keputusan Menteri Kesehatan RI Tentang Kebijakan Obat
Tradisional Nasional No.381 Tahun 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI.
Anonim. (2009). Keputusan Menteri Kesehatan RI Tentang Farmakope Herbal
Indonesia Edisi Pertama. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Anonim. (2015). Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015-2019.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Ansel, H. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi 4 . Jakarta: UI Press.
Ansel, H. (2010). Bentuk Sediaan Farmasi dan Sistem Penghantaran Obat Edisi 9.
Buku Kedokteran EGC.
Becatami, O., & Sugihartini, N. (2015). Uji Sifat Fisik dan Aktivitas Ekstrak Daun
Petai Cina (Leucaena glauca, Benth) Dalam Berbagai Tipe Basis Salep
Sebagai Obat Luka Bakar. Media Farmasi Vol.12 No.2 , 186-198.
DepKes. (1995). Farmakope Indonesia Edisi 4. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI.
DepKes. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
DepKes. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
DepKes. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Kesehatan RI.
Effendy, C. (1999). Perawatan Pasien Luka Bakar. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Erlia, E. e. (2014). Pengaruh Pemberian Gel Kuersetin Terhadap Jumlah Neutrofil
dan Limfosit dalam Proses Penyembuhan Luka Bakar Derajat II A Pada
Tikus Jantan Galur Wistar. Jurnal Pharmascience Vol. 1 No. 2, 38-45.
57 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Grace, M, O., Klopper, R. R., Figueiredo, E., & Smith, G. F. (2010). Integrated
Taxonomic Information System. Dipetik 20 Maret Selasa. Pukul 16.11,
2018, dari https://itis.gov.
Harahap, M. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates.
Harbone, J. (1987). Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB.
Hariana, A. (2008). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya seri 2. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Hariana, A. (2013). 262 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Hosseinimeh, SJ;Khorasani, G;Azadbakht, M;Zamani, P;Ghasemi,M;Ahmadi,A .
(2010). Effect of Aloe Cream Versus Silver Sulfadiazine for Healing Burn
Wounds in Rats. Acta Dermatovenerol.
Kathuria, N., & all, e. (2010). Biologic Effects of Aloe vera Gel. The Internet
Journal of Microbiology Vol.9 No.2 .
Khorasani, G. e. (2009). Aloe Versus Silver Sulfadiazine Creams for Second-
Degree Burns: A Randomized Controlled Study. Surgery Today, 587-591.
Kurnianto, S., Kusnanto, & Padoli. (2017). Penyembuhan Luka Bakar Pada Tikus
Putih Dengan Menggunakan Ekstrak Daun Pegagan (Centella aslatica) 25%
dan Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena leucocephala) 30% . Jurnal Ilmuah
Kesehatan, Vol.10 No.2, 250-255.
Latief, A. (2012). Obat Tradisional. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Lyon, F. (2013). Some Drugs and Herbal Products . Switzerland : IARC Working
Group on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans.
Majid, A., & Sarwo, A. P. (2013). Buku Pintar Perawatan Pasien Luka Bakar.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Mappa, T. e. (2013). Formulsi Gel Ekstrak Daun Sasaladahan (Peperomia pellucida
(L) H.B.K) dan Uji Efektivitasnya Terhadap Luka Bakar pada Kelinci.
PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol.2 No.2.
Martina, N. R., & Wardhana, A. (2013). Mortality Analysis of Adult Burn Patients
. Jurnal Plastik Rekonstruksi.
Moenadjat, Y. (2009). Luka Bakar Masalah dan Tatalaksana Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
58 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ni'matur, S. R., Zakiyyatul, D. F., & Wahyu, P. R. (2016). Efektifitas Daun Petai
Cina (Leucaena leucocephala) dan daun jarak Pagar (Jatropha curcas)
Terhadap Proses Penyembuhan Luka Bakar Grade II Pada Tikus Putih.
Jurnal Ilmu Keperawatan Vol.4 No.1.
Peck, M. D. (2011). Epidemiology of Burns Thoughout the World. Part I :
Distribution and Risk Factors. Elsevier Ltd and ISBI.
Purwanto, I. (2007). Mengenal Lebih Dekat Leguminoseae. Yogyakarta: Kanisius.
Rahayuningsih, T. (2012). Penatalaksanaan Luka Bakar (Combustio). Jurnal
Profesi Akper Peltekes Bhakti Mulia Sukoharjo.
Retno, D., & Sugihartini, N. (2015). Formulasi dan Uji Aktivitas Gel Daun Petai
Cina (Leucaena glauca, Benth) Sebagai Sediaan Obat Luka Bakar. Fakultas
Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Retno, D., & Sugihartini, N. (2015). Formulasi dan Uji Aktivitas Gel Daun Petai
Cina (Leucaena glauca, Benth) Sebagai Sediaan Obat Luka Bakar. Fakultas
Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Satya, B. D. (2013). Koleksi Tumbuhan Berkhasiat. Yogyakarta: Rapha Publishing.
Sjamsuhidajat, R., & Jong, W. d. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Sloane, E. (2003). Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Sujatha, G., & all, e. (2014). Aloe vera in Dentistry. Journal of Clinical and
Diagnostic Research vol.8.
Sutanto, R. (2002). Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta: Kanisius.
Syamsudin. (2011). Farmakologi Eksperimental. Jakarta: UI-Press.
Thomas, A. (1992). Tanaman Obat Tradisional vol.2. Yogyakarta: Kanisius.
Tranggono. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengantar Kosmetik. Jakarta: Gramedia.
Wahyuni, D. K. (2016). Toga Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.
Wardhanu, A. (2009). Potensi Lidah Buaya Pontianak (aloe vera Chinansis,Linn)
Sebagai Bahan Baku Industri Berbasis Sumber Daya Lokal. Paper
Universitas Brawijaya Malang.
Winarti, C., & Nurjannah, N. (2005). Peluang Tanaman Rempah dan Obat Sebagai
Sumber Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian .
59 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1 Alur Penelitian
Hewan uji : tikus jantan
galur Sprague Dawley
Tikus diaklimatisasi
selama 1 minggu
Hewan uji dikelompokkan
secara acak berdasarkan
perlakuan (@perlakuan 5
ekor ):
Kelompok A (gel
kons. Tinggi PC 15%:
LB0,5%)
Kelompok B (gel
kons.sedang PC
7,5%:LB 0,5%)
Kelompok C (gel
Kons rendah PC
3,75%: LB 0,5%)
Kelompok D (kontrol
negatif/gel tanpa
ekstrak)
Kolompok E (kontrol
positf/Bioplasenton)
Pembuatan luka bakar
daun petai cina
dikering anginkan dan
dihaluskan menjadi
serbuk simplisia
Maserasi dengan pelarut
etanol 70%
Ekstrak cair
Ekstrak kental
Ekstrak padat
Sediaan gel ekstrak
Pemberian perlakuan dan pengamatan
pada tikus secara topikal selama 21 hari
Perhitungan presentase penurunan luka
bakar
Daun Petai cina (Leucaena
leucocephala) dan daun lidah buaya
(Aloe vera) yang telah diambil dari
BALITTRO didisortasi basah.
Determinasi
Daun lidah buaya
dikupas dari kulitnya
dan gel lidah buaya di
blender
freezedry
Dipekatkan
dengan rotary
evaporator
Uji parameter
spesifik non
spesifik
63 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5 Hasil Perhitungan Rendemen
1. Rendemen Petai Cina
% rendemen = bobot isolat yang diperoleh
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑥 100%
% rendemen = 109.64 g
1150 𝑔 𝑥 100%
= 9.53%
2. Rendemen Lidah Buaya
% rendemen = bobot isolat yang diperoleh
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑥 100%
% rendemen = 9.9283g
1500 𝑔 𝑥 100%
=0.662%
Lampiran 6 Hasil Perhitungan Kadar Air
1. Kadar Air Petai Cina
Kadar air = 𝑊𝑜−𝑊1
𝑊𝑜 x 100%
Berat ekstrak dalam g sebelum dimasukkan oven (Wo) = 1,0658 g
Berat ekstrak setelah dimasukkan oven (W1) = 0,9624 g
Kadar air = 1,0658 g−0,9624 g
1,0658 g x 100%
= 9.7 %
2. Kadar Air Lidah Buaya
Kadar air = 𝑊𝑜−𝑊1
𝑊𝑜 x 100%
Berat ekstrak dalam g sebelum dimasukkan oven (Wo) = 1,2014g
Berat ekstrak setelah dimasukkan oven (W1) = 0,9448 g
Kadar air = 1,2014 g−0,9448 g
1,2014 g x 100%
= 21,3%
64 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7 Hasil Perhitungan Kadar Abu
1. Kadar Abu Petai Cina
Kadar abu = 𝑊1
𝑊𝑜 x 100%
Berat ekstrak dalam g sebelum dimasukkan oven (Wo) = 1,092 g
Berat ekstrak setelah dimasukkan oven (W1) = 0,3103 g
Kadar abu = 0,3103 g
1,092 g x 100%
=28,4 %
2. Kadar Abu Lidah Buaya
Kadar abu = 𝑊1
𝑊𝑜 x 100%
Berat ekstrak dalam g sebelum dimasukkan oven (Wo) = 1,1250 g
Berat ekstrak setelah dimasukkan oven (W1) = 0,0319 g
Kadar abu = 0,0319 g
1,1250g x 100%
=2,84%
65 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8 Tahap Pengukuran Luka Bakar Dengan Menggunakan Image J
71 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian
Daun petai cina basah
Hasil ekstrak petai cina
setelah freezedry
Hasil Lidah buaya
setelah dipetik
Ekstrak lidah buaya
setelah freezedry
Plat besi berukuran 4x2 cm
Basis gel NaCMC 3%
Gel konsentrasi
(15%:0,5%)
Gel konsentrasi
(7,5%:0,5%)
Gel konsentrasi
(3,75%:0,5%)
Homogenitas gel
(15%:0,5%)
Homogenitas gel
(7,5%:0,5%)
Homogenitas gel
(3,75%:0,5%)
73 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11 Rata-rata Penurunan Luas Luka Bakar Derajat II
Kelompok
Perlakuan
Hari ke
6 9 12 15 18 21
Rata-rata
penurunan
luas luka
(dalam
cm2) ± SD
Rata-rata
penurunan
luas luka
(dalam
cm2) ± SD
Rata-rata
penurunan
luas luka
(dalam
cm2) ± SD
Rata-rata
penurunan
luas luka
(dalam
cm2) ± SD
Rata-rata
penurunan
luas luka
(dalam
cm2) ± SD
Rata-rata
penurunan
luas luka
(dalam
cm2) ± SD
K1 (PC 15% :
LB 0,5%)
0,73 ±
0,58
1,27 ±
0,87
3,18 ±
0,59
3,47 ±
9,18
4,31 ±
1,13
4,40 ±
1,21
K2 (PC 7,5% :
LB 0,5%)
1,37 ±
0,91
2,69 ±
1,25
4,10 ±
1,35
5,03 ±
1,85
5,49 ±
1,88
5,78 ±
2,09
K3 (PC 3,75% :
LB 0,5%)
1,40 ±
0,79
1,94 ±
0,65
3,94 ±
1,90
4,53 ±
2,11
4,72 ±
2,15
4,86 ±
2,09
K4 Kontrol (-) 1,60 ±
1,19
1,71 ±
1,16
2,82 ±
0,91
3,57 ±
0,93
3,95 ±
0,72
4,27 ±
0,65
K5 Kontrol (+) 0,74 ±
0,17
1,23 ±
0,39
2,20 ±
0,75
3,48 ±
1,11
3,95 ±
1,21
4,31 ±
0,82
Lampiran 12 Rata-rata Presentase Penyembuhan Luas Luka Bakar Derajat
II
Kelompok
Perlakuan
Hari ke
6 9 12 15 18 21
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
Rata-rata
presentase
penyembu
han luas
luka
(dalam %)
± SD
K1 (PC 15% :
LB 0,5%)
16,75 ±
13,80
29,22 ±
19,06
75,47 ±
20,94
86,67 ±
18,43
97,21 ±
3,52
98,75 ±
2,22
K2 (PC 7,5% :
LB 0,5%)
23,67 ±
16,67
49,34 ±
19,59
71,69 ±
12,65
85,54 ±
6,19
94,18 ±
5,73
98,34 ±
1,65
K3 (PC 3,75% :
LB 0,5%)
24,42 ±
9,98
36,43 ±
6,04
71,02 ±
16,81
81,86 ±
19,32
85,61 ±
19,13
88,81 ±
18,53
K4 Kontrol (-)
30,24 ±
16, 10
32,70 ±
14, 81
58,08 ±
8,95
74,63 ±
13,85
83,63 ±
13,84
90,36 ±
12,69
K5 Kontrol (+)
15,91 ±
2,07
26,83 ±
8,42
47,57 ±
14,70
73,71 ±
17,12
83,67 ±
16,76
93,02 ±
6,22
74 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13 Hasil Analisis Statistik Presentase Penyembuhan Luka Bakar
Derajat Dua
1. Uji Normalitas
Tujuan : untuk distribusi normal data persentase penyembuhan luka bakar
Hipotesis :
Ho = data persentase penyembuhan luka bakar terdistribusi normal
Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak terdistribusi normal
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
H6 H9 H12 H15 H18 H21
N 25 25 25 25 25 25
Normal Parametersa,b Mean 22,2027 34,9077 64,7704 80,4871 88,8630 93,8615
Std.
Deviation 12,96200 15,62886 17,58648 15,37858 13,46291 10,44018
Most Extreme
Differences
Absolute ,097 ,089 ,082 ,137 ,261 ,278
Positive ,097 ,089 ,080 ,102 ,204 ,278
Negative -,091 -,068 -,082 -,137 -,261 -,271
Test Statistic ,097 ,089 ,082 ,137 ,261 ,278
Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d ,200c,d ,200c,d ,200c,d ,000c ,000c
Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 6, 9, 12, dan 15
terdistribusi normal. Sedangkan data pada hari ke 18 dan 21 tidak terdistribusi
normal.
2. Uji Homogenitas
Tujuan : untuk melihat data persentase penyembuhan luka bakar homogen
atau tidak
Hipotesis :
Ho = data persentase penyembuhan luka bakar terdistribusi homogen
Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak terdistribusi homogen
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
75 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
H6 3,044 4 20 ,041
H9 1,297 4 20 ,305
H12 1,263 4 20 ,317
H15 1,412 4 20 ,266
H18 3,158 4 20 ,036
H21 4,369 4 20 ,011
Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 9, 12, dan 15
terdistribusi homogen, sedangkan data pada hari ke 6, 18 dn 21 tidak terdistribusi
homogen.
Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas, data presentase
penyembuhan luka bakar pada hari ke 9, 12, dan ke 15 dilanjutkan dengan uji one-
way ANOVA. Sedangkan data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 6,
18, dan 21 dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis
A. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada
Hari Ke 6
Uji Kruskal-Wallis
Tujuan : untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data penyembuhan
luka bakar seluruh kelompok perlakuan
Hipotesis :
Ho = data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara bermakna
Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara
bermakna
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
Test Statisticsa,b
H6
Chi-Square 4,025
df 4
Asymp. Sig. ,403
76 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara signifikan,
dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney test
Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok
signifikan dengan kelompok lainnya.
Hipotesis :
Ho: data presentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda signifikan
Ha: data presentase penyembuhan luka bakar berbeda signifikan
Pengambikan keputusan:
Jika nilai signifikansi > 0,05 : Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 : Ho ditolak
Test Statisticsa
H6
Mann-Whitney U 9,000
Wilcoxon W 24,000
Z -,731
Asymp. Sig. (2-tailed) ,465
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K2 (PC 7,5% : LB 0,5%)
Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H6
Mann-Whitney U 9,000
Wilcoxon W 24,000
Z -,731
Asymp. Sig. (2-tailed) ,465
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b
K2 (PC 7,5% : LB 0,5%) , Kontrol (-)
Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H6
Mann-Whitney U 8,000
Wilcoxon W 23,000
Z -,940
Asymp. Sig. (2-tailed) ,347
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,421b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K3 (PC 3,75% : LB 0,5%)
Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H6
Mann-Whitney U 10,000
Wilcoxon W 25,000 Z -,522 Asymp. Sig. (2-tailed) ,602
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,690b
K2 (PC 7,5% : LB 0,5%) , Kontrol (+)
Tidak berbeda secara signifikant .
Test Statisticsa
H6
Mann-Whitney U 5,000
Wilcoxon W 20,000
Z -1,567
Asymp. Sig. (2-tailed) ,117
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,151b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (-)
Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H6
Mann-Whitney U 10,000
Wilcoxon W 25,000
Z -,522
Asymp. Sig. (2-tailed) ,602
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,690b
K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (-)
Tidak berbeda secara signifikant
77 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Test Statisticsa
H6
Mann-Whitney U 10,000
Wilcoxon W 25,000
Z -,522
Asymp. Sig. (2-tailed) ,602
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,690b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (+)
Tidak berbeda secara signifikant.
Test Statisticsa
H6
Mann-Whitney U 5,000
Wilcoxon W 20,000
Z -1,567
Asymp. Sig. (2-tailed) ,117
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,151b
K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (+)
Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H6
Mann-Whitney U 11,000
Wilcoxon W 26,000
Z -,313
Asymp. Sig. (2-tailed) ,754
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,841b
K2 (PC 7,5% : LB 0,5%) , K3 (PC 3,75% : LB 0,5%)
Tidak berbeda secara signifikant.
Test Statisticsa
H6
Mann-Whitney U 5,000
Wilcoxon W 20,000
Z -1,567
Asymp. Sig. (2-tailed) ,117
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,151b
Kontrol (-) , Kontrol (+)
Tidak berbeda secara signifikant
B. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada
Hari Ke 9
Uji one-way ANOVA
Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok
signifikan dengan kelompok lainnya.
Hipotesis :
Hipotesis :
Ho = data penurunan luas luka bakar tidak berbeda secara signifikan
Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda secara signifikan
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
H9 Between Groups 1564,620 4 391,155 1,820 ,165
Within Groups 4297,649 20 214,882 Total 5862,269 24
Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 9 tidak berbeda
signifikan
78 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
C. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada
Hari Ke 12
Uji one-way ANOVA
Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok
signifikan dengan kelompok lainnya.
Hipotesis :
Hipotesis :
Ho = data penurunan luas luka bakar tidak berbeda secara signifikan
Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda secara signifikan
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 12 berbeda
signifikan, dilanjutkan dengan uji Least Significant Different (LSD)
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
H12 Between Groups 2710,370 4 677,592 2,876 ,049
Within Groups 4712,452 20 235,623
Total 7422,821 24
Multiple Comparisons
Dependent Variable: H12
LSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
Mean
Difference
(I-J)
Std.
Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower
Bound
Upper
Bound
A. PC 15%:LB 0,5% B. PC 7,5%:LB 0,5% 3,7792 9,70819 ,701 -16,4718 24,0301
C. PC 3,75%:LB 0,5% 4,4455 9,70819 ,652 -15,8054 24,6964
D. Kontrol (-) Basis
Gel 17,3908 9,70819 ,088 -2,8601 37,6417
E. Kontrol (+)
Bioplasenton 27,8988* 9,70819 ,009 7,6479 48,1498
B. PC 7,5%:LB 0,5% A. PC 15%:LB 0,5% -3,7792 9,70819 ,701 -24,0301 16,4718
C. PC 3,75%:LB 0,5% ,6663 9,70819 ,946 -19,5846 20,9173
D. Kontrol (-) Basis
Gel 13,6116 9,70819 ,176 -6,6393 33,8626
E. Kontrol (+)
Bioplasenton 24,1197* 9,70819 ,022 3,8687 44,3706
79 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
D. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada
Hari Ke 15
Uji one-way ANOVA
Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok
signifikan dengan kelompok lainnya.
Hipotesis :
Hipotesis :
Ho = data penurunan luas luka bakar tidak berbeda secara signifikan
Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda secara signifikan
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
H15 Between Groups 729,370 4 182,342 ,737 ,578
Within Groups 4946,645 20 247,332 Total 5676,015 24
Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 15 tidak berbeda
signifikan
C. PC 3,75%:LB 0,5% A. PC 15%:LB 0,5% -4,4455 9,70819 ,652 -24,6964 15,8054
B. PC 7,5%:LB 0,5% -,6663 9,70819 ,946 -20,9173 19,5846
D. Kontrol (-) Basis
Gel 12,9453 9,70819 ,197 -7,3056 33,1962
E. Kontrol (+)
Bioplasenton 23,4533* 9,70819 ,025 3,2024 43,7043
D. Kontrol (-) Basis
Gel
A. PC 15%:LB 0,5% -17,3908 9,70819 ,088 -37,6417 2,8601
B. PC 7,5%:LB 0,5% -13,6116 9,70819 ,176 -33,8626 6,6393
C. PC 3,75%:LB 0,5% -12,9453 9,70819 ,197 -33,1962 7,3056
E. Kontrol (+)
Bioplasenton 10,5080 9,70819 ,292 -9,7429 30,7590
E. Kontrol (+)
Bioplasenton
A. PC 15%:LB 0,5% -27,8988* 9,70819 ,009 -48,1498 -7,6479
B. PC 7,5%:LB 0,5% -24,1197* 9,70819 ,022 -44,3706 -3,8687
C. PC 3,75%:LB 0,5% -23,4533* 9,70819 ,025 -43,7043 -3,2024
D. Kontrol (-) Basis
Gel -10,5080 9,70819 ,292 -30,7590 9,7429
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 235,623.
*. The mean difference is significant at the 0,05 level.
80 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
E. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada
Hari Ke 18
Uji Kruskal-Wallis
Tujuan : untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data penyembuhan
luka bakar seluruh kelompok perlakuan
Hipotesis :
Ho = data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara bermakna
Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara
bermakna
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
Test Statisticsa,b
H18
Chi-Square 7,710
df 4
Asymp. Sig. ,103
Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara signifikan,
dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney test
Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok
signifikan dengan kelompok lainnya.
Hipotesis :
Ho: data presentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda signifikan
Ha: data presentase penyembuhan luka bakar berbeda signifikan
Pengambikan keputusan:
Jika nilai signifikansi > 0,05 : Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 : Ho ditolak
Test Statisticsa
H18
Mann-Whitney U 8,000
Wilcoxon W 23,000
Z -,970
Asymp. Sig. (2-tailed) ,332
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,421b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K2 (PC 7,5% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H18
Mann-Whitney U 7,000
Wilcoxon W 22,000
Z -1,152
Asymp. Sig. (2-tailed) ,249
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,310b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K3 (PC 3,75% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant
81 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Test Statisticsa
H18
Mann-Whitney U 4,000
Wilcoxon W 19,000
Z -1,781
Asymp. Sig. (2-tailed) ,075
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,095b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H18
Mann-Whitney U ,000
Wilcoxon W 15,000
Z -2,619
Asymp. Sig. (2-tailed) ,009
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,008b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (+) Berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H18
Mann-Whitney U 9,000
Wilcoxon W 24,000
Z -,733
Asymp. Sig. (2-tailed) ,463
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b
K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), K3 (PC 3,75% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H18
Mann-Whitney U 6,000
Wilcoxon W 21,000
Z -1,362
Asymp. Sig. (2-tailed) ,173
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,222b
K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant.
Test Statisticsa
H18
Mann-Whitney U 5,000
Wilcoxon W 20,000
Z -1,571
Asymp. Sig. (2-tailed) ,116
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,151b
K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), Kontrol (+) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H18
Mann-Whitney U 9,000
Wilcoxon W 24,000
Z -,731
Asymp. Sig. (2-tailed) ,465
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b
K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H18
Mann-Whitney U 8,000
Wilcoxon W 23,000
Z -,940
Asymp. Sig. (2-tailed) ,347
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,421b
K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (+) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H18
Mann-Whitney U 12,000
Wilcoxon W 27,000
Z -,104
Asymp. Sig. (2-tailed) ,917
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000b
Kontrol (+),Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant
Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara
signifikan, kecuali data K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (+) menunjukkan
perbedaan secara signifikan.
82 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
F. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada
Hari Ke 21
Uji Kruskal-Wallis
Tujuan : untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data penyembuhan
luka bakar seluruh kelompok perlakuan
Hipotesis :
Ho = data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara bermakna
Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara
bermakna
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak
Test Statisticsa,b
H21
Chi-Square 3,964
df 4
Asymp. Sig. ,411
Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara signifikan,
dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney test
Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok
signifikan dengan kelompok lainnya.
Hipotesis :
Ho: data presentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda signifikan
Ha: data presentase penyembuhan luka bakar berbeda signifikan
Pengambikan keputusan:
Jika nilai signifikansi > 0,05 : Ho diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 : Ho ditolak
83 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Test Statisticsa
H21
Mann-Whitney U 10,000
Wilcoxon W 25,000
Z -,557
Asymp. Sig. (2-tailed) ,577
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,690b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K2 (PC 7,5% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H21
Mann-Whitney U 10,500
Wilcoxon W 25,500
Z -,471
Asymp. Sig. (2-tailed) ,638
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,690b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K3 (PC 3,75% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H21
Mann-Whitney U 6,500 Wilcoxon W 21,500 Z -1,293 Asymp. Sig. (2-tailed) ,196 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,222b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H21
Mann-Whitney U 3,000 Wilcoxon W 18,000 Z -2,009 Asymp. Sig. (2-tailed) ,045 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,056b
K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (+) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H21
Mann-Whitney U 12,000
Wilcoxon W 27,000
Z -,111
Asymp. Sig. (2-tailed) ,911
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000b
K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), K3 (PC 3,75% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H21
Mann-Whitney U 9,000
Wilcoxon W 24,000
Z -,740
Asymp. Sig. (2-tailed) ,459
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b
K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), Kontrol (-)
Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H21
Mann-Whitney U 6,000
Wilcoxon W 21,000
Z -1,362
Asymp. Sig. (2-tailed) ,173
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,222b
K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), Kontrol (+) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H21
Mann-Whitney U 9,500
Wilcoxon W 24,500
Z -,647
Asymp. Sig. (2-tailed) ,518
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b
K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H21
Mann-Whitney U 9,000
Wilcoxon W 24,000
Z -,740
Asymp. Sig. (2-tailed) ,459
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b
K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (+) Tidak berbeda secara signifikant
Test Statisticsa
H21
Mann-Whitney U 12,000
Wilcoxon W 27,000
Z -,104
Asymp. Sig. (2-tailed) ,917
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000b
Kontrol (+) , Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant.
Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara
signifikan