uin syarif hidayatullah jakarta pengaruh sediaan...

100
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PENGARUH SEDIAAN GEL KOMBINASI EKSTRAK DAUN PETAI CINA (Leucaena leucocephala) DAN EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP AKTIVITAS LUKA BAKAR PADA TIKUS (Rattus norvegicus) SKRIPSI NELLY NAILUL HIKMAH 11141020000005 FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA SEPTEMBER 2018

Upload: vothu

Post on 30-Apr-2019

243 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENGARUH SEDIAAN GEL KOMBINASI EKSTRAK DAUN

PETAI CINA (Leucaena leucocephala) DAN EKSTRAK LIDAH

BUAYA (Aloe vera) TERHADAP AKTIVITAS LUKA BAKAR

PADA TIKUS (Rattus norvegicus)

SKRIPSI

NELLY NAILUL HIKMAH

11141020000005

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

SEPTEMBER 2018

ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENGARUH SEDIAAN GEL KOMBINASI EKSTRAK DAUN

PETAI CINA (Leucaena leucocephala) DAN EKSTRAK LIDAH

BUAYA (Aloe vera) TERHADAP AKTIVITAS LUKA BAKAR

PADA TIKUS (Rattus norvegicus)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

NELLY NAILUL HIKMAH

11141020000005

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

SEPTEMBER 2018

iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN PENGESAHAN

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRAK

Nama : Nelly Nailul Hikmah

Program Studi : Farmasi

Judul : Pengaruh Sediaan Gel Kombinasi Ekstrak Daun Petai

Cina (Leucaena leucocephala) Dan Ekstrak Lidah Buaya

(Aloe vera) Terhadap Aktivitas Luka Bakar Pada Tikus

(Rattus norvegicus).

Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk kasus trauma kritis dengan angka

mortalitas tinggi, dan hampir semua luas luka bakar adalah deep dermal (Derajat 2)

dan full thickness (Derajat 3) dengan berbagai macam kasus trauma lainnya. Oleh

sebab itu, perlu penanganan khusus untuk pengobatan luka bakar. Daun petai cina

(Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) masing-masing diketahui

mempunyai kandungan senyawa-senyawa yang berperan dalam penyembuhan

luka, seperti flavonoid, tanin, alkaloid dan saponin. Penelitian ini bertujuan untuk

mengkaji pemberian kombinasi ekstrak petai cina dan ekstrak lidah buaya terhadap

penyembuhan luka bakar. Kedua ekstrak dibuat dengan maserasi menggunakan

etanol 70%. Penelitian ini menggunakan hewan uji tikus putih jantan galur Sprague

Dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok kombinasi ekstrak petai

cina dan lidah buaya uji konsentrasi tinggi (15%:0,5%), (7,5%:0,5%),

(3,75%:0,5%), kontrol negatif diberikan basis gel NaCMC 3%, dan kontrol positif

diberikan Bioplasenton. Metode pembuatan luka bakar derajat II dangkal

menggunakan metode (Akhoondinasab, Akhoondinasab, & Saberi, 2014).

Pemberian gel ekstrak dilakukan sehari dua kali pagi dan sore selama 21 hari.

Parameter yang diamati meliputi penurunan luas luka bakar, dan presentase

penurunannya. Hasil analisis statistik uji menggunakan metode One-Way ANOVA

dan Kruskal-Wallis menunjukkan hasil antar kelompok tidak berbeda secara

signifikan, namun dalam nilai presentase penurunan tertinggi pada hari ke 21 yang

tertinggi adalah kelompok uji konsentrasi tinggi (15%,0,5%) yaitu 98,75%

sedangkan nilai presentase kontrol positif 93,02%. Berdasarkan literatur, daun

ekstrak petai cina secara tunggal dapat mengobati luka bakar selama 11,14 hari.

Dan untuk ekstrak lidah buaya tunggal dapat menyembuhkan luka bakar selama

15,9 hari, namun penggunaan kedua ekstrak tersebut secara kombinasi dapat

mempercepat waktu sembuh luka bakar menjadi 11 hari.

Kata Kunci : Petai Cina, Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit, Lidah Buaya,

Aloe vera (L.) Burm.f, Luka Bakar

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRACT

Name : Nelly Nailul Hikmah

Program Study : Pharmacy

Title : The Efficacy of Combination Gel of Lead Tree Leaf

Extract (Leucaena leucocephala) and Aloe vera Extract

for Healing Burn Wounds in Rats (Rattus norvegicus).

Burns are a form of critical trauma cases with high mortality rates, and

almost all areas of burns are deep dermal (degree 2) and full thickness (degree 3)

with various other trauma cases. Therefore, special treatment is needed for the

treatment of burns. Leadtree leaves (Leucaena leucocephala) and (Aloe vera) are

known to have compounds that play a role in wound healing, such as anthraquinone,

flavonoids, tannins, alkaloids and saponins. This study aims to examine the

combination of Leadtree extract and aloe vera extract to cure burns. Both extracts

were made by maceration using 70% ethanol. This study used Sprague Dawley

strain male white rats that were divided into 5 groups, namely the combination

group of Leadtree extract and high concentration of aloe vera (15%:0.5%),

(7.5%:0.5%), (3.75%:0.5%). Negative control was given 3% NaCMC gel base, and

positive control was given by Bioplacenton. The method of making superficial

second-degree burns uses the method (Akhoondinasab, Akhoondinasab, & Saberi,

2014). Giving extract gel was carried out twice a day every morning and evening

for 21 days. Parameters observed included a decrease in burn area and its reduction

percentage. The results of statistical analysis using the One-Way ANOVA and

Kruskal-Wallis methods showed that the results between groups were not

significantly different, but the highest percentage reduction in the 21st day was the

high concentration test group (15%, 0.5%) namely 98.75% while the positive

control percentage value is 93.02%. Based on the literature, Leadtree extract leaves

single can treat burns for 11.14 days. And for single Aloe vera extract can cure

burns for 15.9 days, but the use of both extracts in combination can accelerate the

healing time of burns to 11 days.

Keywords: Leadtree, Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit, Aloe Vera (Aloe

vera (L.) Burm.f, Burns

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia serta

nikmat Iman dan Islam yang tak terhingga. Shalawat serta salam senantiasa

terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur atas limpahan cinta dan

kasih-Nya sehingga penulis dapat menjalani masa perkuliahan dan penelitian

hingga akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Sediaan Gel Kombinasi Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena leucocephala)

Dan Ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) Terhadap Aktivitas Luka Bakar Derajat

II Pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley” yang

bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi di

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari

berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya

kepada :

1. Kedua orang tua penulis, ayah Drs.H. Khoirul Anwar MM dan ibu Tikulin

Ni’mah S,Ag yang selalu menjadi orang tua terhebat dalam doa, dukungan

moril dan materil sekaligus menjadi sahabat terbaik dalam bercerita

kesenangan, kesedihan dan ketegangan yang dihadapi penulis. Mereka

adalah sebuah titipan terindah yang diberikan oleh Allah SWT, semoga

berkah hidup, kesenangan, kebahagian dan kesehatan selalu mengiringi

kehidupannya di dunia dan akhirat

2. Bapak Dr.Muhammad Yanis Musdja M.Sc., Apt dan Bapak Dr.Andria

Agusta. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu,

tenaga, kesabaran dalam membimbing, memberikan saran, dukungan,

kesempatan untuk penulis menuangkan ide, dan kepercayaannya selama

penelitian berlangsung hingga tersusunnya skripsi ini.

3. Dr. H. Arif Sumatri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan banyak motivasi dan bantuan.

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Ibu Dr. Nurmeilis M.Si, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi sekaligus

pembimbing yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya.

5. Ibu Yuni Anggraeni M.Farm, Apt, sekalu Penasehat Akademik yang telah

memberikan waktu dan saran dalam membantu perbaikan skripsi ini.

6. Saudara perempuan tersayang Icha Roichatul Jannah dan Ima Muhimmah

Falasifa yang tetap selalu memberikan waktu, perhatian dan dukungannya.

7. M.Sunnihaq Al Faaz yang telah memberikan warna kehidupan selama

belajar di Ciputat. Susah, senang, sedih, nangis, tertawa, bersama

terimakasih atas segala dukungan dan dorongannya selama ini. semoga

kami bisa memakai toga bereng kelak.

8. Keluarga besar Bani Ishaq yang selalu memberikan motivasi agar cepat

menyelesaikan tugas akhir dan dapat segera lanjut ke jenjang berikutnya.

9. Temen seperkuliahanku dari Geng “Kita berenam”, “Tarekat Jancukiyah”

(Apun, Khoi, Nehta, Ayu, Ririn, Yetika, Idho, Suhelmi, Deli), “ Lambe

Farma” terimakasih atas dukungan dan semangat kalian yang memotivasi

penulis. Teman seangkatan Farmasi 2014 terutama AC yang telah menjadi

sahabat selama 4 tahun perkuliahan, sahabat seperjuangan dan menjadi

sahabat bermetamorfosis.

10. Lazvizard Jobedetabek “LVID Jabodetabek”, especially Abdul Basith

Kamaludin semoga cepet LULUS dari Farmasi UI,Panji, EENG, Jueng,

Tenga, Jet A, Inot, Inul, mbak Alfi, Kiya Bang Syar, Yahya,dan Rozil.

Teman seperantauan yang selalu memberikan warna hidup.

11. “Kontrakan CANCI” teman satu atap Tenga,Wafi , dan Inul. Semoga

kedepannya diberi kesuksesan bersama.

12. Serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah

memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kesempurnaan adalah milik Allah SWT maka tentunya skripsi ini masih

perlu peyempuraan. Namun, besar harapan penulis agar hasil penelitian ini

dapat memberikan manfaat untuk banyak pihak dan memberikan kontribusi

dalam ilmu pengetahuan. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan

membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam

penelitian ini.

Ciputat, 24 September 2018

Penulis

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. III

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... IV

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... V

ABSTRAK ............................................................................................................. V

ABSTRACT ....................................................................................................... VII

KATA PENGANTAR ...................................................................................... VIII

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................ XI

DAFTAR ISI ..................................................................................................... XII

DAFTAR TABEL .............................................................................................. XV

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ XVI

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... XVII

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................... 4

1.3 TUJUAN PENELITIAN ................................................................................ 4

1.3.1. Tujuan Umum ..................................................................................... 4

1.3.2. Tujuan Khusus .................................................................................... 4

1.4. HIPOTESIS ................................................................................................ 4

1.5. MANFAAT PENELITIAN ............................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 6

2.1 DAUN PETAI CINA ........................................................................................ 6

2.1.1 Taksonomi ........................................................................................... 6

2.1.2 Nama Lain ........................................................................................... 6

2.1.3 Deskripsi Tumbuhan ........................................................................... 7

2.1.4 Khasiat dan Manfaat ........................................................................... 7

2.1.5 Kandungan Petai cina .......................................................................... 8

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2 TANAMAN LIDAH BUAYA (ALOE VERA). ..................................................... 9

2.2.1 Taksonomi ........................................................................................... 9

2.2.2 Nama Lain ........................................................................................ 10

2.2.3 Deskripsi Tanaman............................................................................ 10

2.2.4 Khasiat dan Manfaat ......................................................................... 11

2.2.5 Kandungan Lidah Buaya ................................................................... 12

2.3 TINJAUAN HEWAN PERCOBAAN ................................................................. 14

2.3.1 Klasifikasi Tikus Putih ...................................................................... 14

2.3.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus) ......................................... 15

2.4 KULIT ......................................................................................................... 16

2.4.1 Stuktur Kulit ...................................................................................... 17

2.4.2 Fungsi Kulit ....................................................................................... 19

2.4.3 Peran Kulit Dalam Termoregulasi .................................................... 20

2.5 LUKA BAKAR ............................................................................................. 20

2.5.1 Definisi .............................................................................................. 20

2.5.2 Klasifikasi Luka Bakar ...................................................................... 21

2.5.3 Luas Luka Bakar ............................................................................... 24

2.5.4 Kategori Penderita ............................................................................. 25

2.5.5 Patofisiologi Luka Bakar................................................................... 26

2.6 EKSTRAKSI ................................................................................................. 30

2.6.1 Definisi .............................................................................................. 30

2.6.2 Metode Ekstraksi ............................................................................... 31

2.6.3 Parameter Ekstrak ............................................................................. 33

2.7 GEL ............................................................................................................ 34

BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 35

3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ......................................................... 35

3.2 ALAT DAN BAHAN ................................................................................. 35

3.2.1 Alat Penelitian ................................................................................... 35

3.2.2 Bahan Penelitian................................................................................ 35

3.3 HEWAN UJI ............................................................................................ 35

3.4 PROSEDUR PENELITIAN .......................................................................... 35

3.4.1 Pengumpulan Bahan.......................................................................... 35

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.2 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi) ............................................... 36

3.4.3 Penyiapan Simplisia .......................................................................... 36

3.4.4 Pembuatan Ekstrak ............................................................................ 36

3.4.5 Standarisasi Ekstrak (DepKes, 2000) ................................................ 37

3.4.6 Pembuatan Sediaan Gel..................................................................... 38

3.5 PERSIAPAN HEWAN UJI ............................................................................... 39

3.5.1 Pembuatan Luka Bakar Pada Punggung Tikus ................................. 40

3.5.2 Pengujian Efek Penyembuhan Luka Bakar Gel ekstrak daun Petai

cina dan Lidah Buaya .................................................................................... 40

3.5.3 Pengamatan Penyembuhan Luka ...................................................... 41

3.6 ANALISIS DATA ............................................................................................ 41

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 42

4.1 HASIL DETERMINASI TUMBUHAN .............................................................. 42

4.2 HASIL EKSTRAKSI .................................................................................. 42

4.3 HASIL PEMERIKSAAN PARAMETER EKSTRAK ......................................... 43

4.4 HASIL EVALUASI SEDIAAN GEL ................................................................. 44

4. 5 HASIL PENGUKURAN BERAT BADAN TIKUS ........................................... 45

4.6 HASIL PENGAMATAN LUKA BAKAR ........................................................... 47

4.6. Hasil Pengamatan Patologi Anatomi ............................................... 47

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 55

5.1 KESIMPULAN .............................................................................................. 55

5.2 SARAN........................................................................................................ 55

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Komponen Lidah Buaya ...................................................................... 14

Tabel 2. 2 Lund dan Browder (untuk anak)(Moenadjat, 2009) ............................ 25

Tabel 3. 1 Pembagian kelompok perlakuan .......................................................... 40

Tabel 4. 1 Tabel Pemeriksaan Parameter Ekstrak ................................................. 43

Tabel 4. 2 Tabel Evaluasi Sediaan Gel ................................................................. 44

Tabel 4. 3 Pengamatan Keropeng ......................................................................... 49

Tabel 4. 4 Hasil Pengukuran Presentase Penurunan Luas Luka Bakar ................ 51

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Skema Anotomi Kulit....................................................................... 17

Gambar 2. 2 Potongan Normal Dan Kedalaman Luka Bakar ............................... 21

Gambar 2. 3 Luka Bakar Derajat Satu. Terjadi kerusakan epidermis bagian

superfisial sementara dermis tetap utuh (Moenadjat, 2009) ................................. 22

Gambar 2. 4 Luka bakar derajat dua dangkal adanya bula (lepuh/blister).yang

merupakan epidermolisis yang menjadi karateristik luka bakar derajat dua dangkal

............................................................................................................................... 23

Gambar 2. 5 Luka Bakar Derajat Dua Dalam (Moenadjat, 2009) ........................ 23

Gambar 2. 6 Luka Bakar Derajat Tiga .................................................................. 24

Gambar 2. 7 Diagram Rule of Nine dari Wallaceuntuk dewasa ........................... 24

Gambar 4. 1 Grafik Rata-Rata Berat Badan Tikus Selama Aklimatisasi ............. 45

Gambar 4. 2 Grafik Rata-Rata Berat Badan Tikus Selama Perlakuan .................. 46

Gambar 4. 3 Grafik Persentase Penyembuhan Luka Bakar .................................. 52

xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Alur Penelitian ................................................................................... 59

Lampiran 2 Determinasi Tanaman ........................................................................ 60

Lampiran 3 Surat Keterangan Kesehatan Hewan ................................................. 61

Lampiran 4 Kode Etik ........................................................................................... 62

Lampiran 5 Hasil Perhitungan Rendemen ............................................................ 63

Lampiran 6 Hasil Perhitungan Kadar Air ............................................................. 63

Lampiran 7 Hasil Perhitungan Kadar Abu ............................................................ 64

Lampiran 8 Tahap Pengukuran Luka Bakar Dengan Menggunakan Image J ...... 65

Lampiran 9 Gambar Pengamatan Perubahan Luas Luka Bakar ........................... 66

Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian ................................................................... 71

Lampiran 11 Rata-rata Penurunan Luas Luka Bakar Derajat II ........................... 73

Lampiran 12 Rata-rata Presentase Penyembuhan Luas Luka Bakar Derajat II .... 73

Lampiran 13 Hasil Analisis Statistik Presentase Penyembuhan Luka Bakar

Derajat Dua ........................................................................................................... 74

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kulit merupakan organ tubuh paling luar dan membatasi bagian dalam tubuh

dari lingkungan luar. Luas kulit pada orang dewasa sekitar 1,5m2 dan beratnya

sekitar 15% dari berat badan secara keseluruhan. Sistem integumen yang berarti

penutup organ terbesar tubuh berperan dalam homeostatis, proteksi, pengatur suhu,

reseptor sintesis biokimia dan penyerapan zat. Kulit terdiri atas tiga bagian utama,

yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis/ subdermis. (Majid & Sarwo, 2013).

Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak

langsung atau terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict),

zat kimia (chemical), atau radiasi (radiation). Luka bakar merupakan penyebab

kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok umur. Laki-laki

cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita, terutama pada

orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 tahun) (Rahayuningsih, 2012).

Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain terbakar/tersiram air

panas/bahan kimia, radiasi, terbakar dan lainnya dimana dari hasil prevalensi

penyebab luka bakar mencapai 0,7 % rata-rata disetiap provinsi di Indonesia selama

2013. Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Papua (2.0%) dan Bangka

Belitung (1.4%), sedangkan prevalensi di DKI Jakarta sebesar 0,8%. (DepKes,

2013). Data studi dari Unit Luka Bakar RSCM selama tahun 2011-2012 terdapat

275 pasien, 203 diantaranya dewasa. Jumlah kematian pada pasien dewasa yaitu 76

pasien (27.6%). Diantara pasien yang meninggal, 78% disebabkan oleh api, luka

bakar listrik (14%), air panas (4%), kimia (3%), dan metal (1%). Hampir semua

luas luka bakar adalah deep dermal (Derajat 2) dan full thickness (Derajat 3).

Penyebab kematian yaitu septicaemia (42.1%), kegagalan organ multipel (31.6%),

systemic inflammatory response syndrome (17.6%), dan acute respiratory distress

syndrome (87.6%). (Martina & Wardhana, 2013).

Salah satu pengobatan luka pada kulit termasuk luka bakar adalah dengan

menggunakan obat secara topikal dimana penggunaan topikal dapat dirancang

dengan baik untuk efek lokal dan absorpsi sistemik. Bentuk sediaan gel baik untuk

2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

obat luka bakar pada kulit karena gel merupakan sediaan semisolid dengan

pembawa berair seperti jeli sehingga akan menimbulkan efek dingin pada daerah

luka. Gel mempunyai sifat yang menyejukkan, melembabkan, mudah

penggunaannya, mudah berpenetrasi pada kulit sehingga memberikan efek

penyembuhan (Ansel H. , 2010).

Menurut undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan

bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran

bahan tersebut yang secara turun menurun telah digunakan berdasarkan

pengalaman. Selain itu juga pengggunaan obat tradisional di Indonesia menrupakan

bagian dari budaya bangsa yang banyak dimanfaatkan masyarakat sejak berabad-

abad yang lalu. (Anonim, 2007).

Dalam rencana strategis kementrian Kesehatan tahun 2015-2019 dengan

meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dan tenaga kesehatan tentang

pentingnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional dan alat kesehatan dalam

negeri yang berkualitas dan terjangkau, maka perlu adanya peningkatan penelitian

dan pengembangan tanaman obat dan obat tradisional. (Anonim, 2015) Sehingga

dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian dan pengembangan obat

tradisional sangat penting untuk menunjang kesehatan masyarakat Indonesia.

Beberapa bahan alam dapat digunakan dalam pengobatan luka bakar, salah

satunya adalah daun petai cina. Menurut dua penelitian yang dilakukan untuk

menunjukan efektifitas ekstrak daun petai cina dalam penyembuhan luka bakar

lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak daun pegagan (Kurnianto, Kusnanto, &

Padoli, 2017) dan ekstrak daun jarak pagar. (Ni'matur, Zakiyyatul, & Wahyu,

2016). Kandungan yang terdapat pada daun petai cina (Leucaena leucocephala)

yaitu Alkaloid sebesar 11,2% yang mana mempunyai daya antiseptik, kandungan

Flavonoid sebesar 12,5% yang berfungsi sebagai analgesik dan antiinflamasi,

saponin 6,74%, lektin 7,92%, dan Tanin 13,34% yang berfungsi sebagai

pembentukan kolagen dengan adanya protein didalamnya sehingga dapat

mempercepat penyembuhan luka (Ni'matur, Zakiyyatul, & Wahyu, 2016). Aktivitas

ekstrak daun petai cina disebabkan adanya kandungan kimia yang dimilikinya yaitu

tanin dan saponin untuk merangsang pembentukan epitel baru, selain itu juga dapat

3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

merangsang terjadinya angiogenesis (Kurnianto, Kusnanto, & Padoli, 2017). Dalam

beberapa penelitian menunjukkan bahwa senyawa flavonoid sangat berpengaruh

dalam penyembuhan luka karena dia mempunyai efek antiinflamasi melalui

penghambatan siklooksigenase dan lipooksigenase menyebabkan terjadi

pembatasan jumlah sel inflamasi yang bermigrasi ke jaringan perlukaan. reaksi

inflamasi akan berlangsung lebih singkat dan kemampuan proliferatif dari TGF-β

tidak terhambat. Proses ini mengakibatkan fase proliferasi dapat segera terjadi.

(Retno & Sugihartini, 2015).

Selain daun petai cina yang dapat digunakan sebagai pengobatan luka bakar,

menurut beberapa studi literatur menunjukkan bahwa lidah buaya juga dapat

digunakan sebagai obat luka bakar, panas dalam, asam urat serta afrodisiak dan

malnutrisi karena kandungan asam amino dan vitaminnya. (Winarti & Nurjannah,

2005). Secara tradisional penggunaan lidah buaya sebagai obat luka bakar yaitu

dengan jalan dioleskan bagian daun yang berlendir pada luka sampai lendir

menutupi seluruh bagian luka.

Lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu dari 10 tanaman terlaris di

dunia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman obat dan

bahan baku industri. Lidah buaya merupakan tanaman yang fungsional karena

semua bagian dari tanaman dapat dimanfaatkan. (Wardhanu, 2009). Dalam

penelitian lain tentang aktivitas lidah buaya terhadap luka bakar lebih baik dari

Silver Sulfadiazine(SSD) kandungan glikoprotein yang terdapat dapa Aloe vera

dapat menstimulasi poliferasi sehingga terjadi percepatan penyembuhan. Dan

selain itu pada penelitian ini menunjukkan pada pengobatan luka bakar Lidah

Buaya terdapat perbedaan yang lebih baik dari penggunaan SSD. Proses re-

epitalisasi lebih cepat pada kulit yang di treatment menggunakan Aloe vera dari

pada menggunakan treatment SSD. (Khorasani, 2009)

Selain itu pemilihan kedua tumbuhan ini peneliti juga didasari oleh pengalaman

empiris yang ada didaerah Jawa Timur. Dari beberapa pernyataan diatas mendorong

peneliti untuk mengetahui pengaruh aktivitas gel kombinasi ekstrak daun Petai cina

dan ektrak Lidah Buaya dalam penyembuhan luka bakar derajat II yang

diaplikasikan pada punggung tikus yang sudah diinduksi luka bakar.

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah sediaan gel kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena

leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) dapat mempengaruhi waktu

penyembuhan luka bakar pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague

Dawley?

2. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi gel kombinasi, pada ekstrak daun

petai cina (Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) dapat

mempengaruhi waktu penyembuhan luka bakar pada tikus (Rattus norvegicus)

jantan galur Sprague Dawley?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui aktivitas gel kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena

leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) dapat mempengaruhi waktu

penyembuhan luka bakar pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague

Dawley melalui pengamatan patologi anatomi.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi gel kombinasi, pada ekstrak daun

petai cina (Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) terhadap

aktivitas luka bakar pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague

Dawley.

2. Mengetahui waktu proses penyembuhan luka bakar oleh gel kombinasi ekstrak

dun petai cina (Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) pada tikus

(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.

1.4. Hipotesis

Pemberian gel kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) dan

lidah buaya (Aloe vera) yang dioleskan secara topikal dapat mempercepat waktu

penyembuhan luka bakar derajat II.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Menambah pengetahuan serta wawasan tentang perawatan luka bakar dari

gel kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) dan lidah

buaya (Aloe vera) dan prosedur penelitian.

5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dapat memberikan informasi pada masyarakat mengenai khasiat gel

kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) dan lidah buaya

(Aloe vera) sebagai alternatif terapi untuk perawatan luka bakar.

3. Sebagai dasar penelitian lain untuk mengembangkan dan melakukan

penelitian tentang variasi sediaan dari gel kombinasi ekstrak daun petai cina

(Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) terhadap luka bakar

pada khususnya dan berbagai jenis luka pada umumnya.

6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Petai Cina

Tanaman Leucaena termasuk Leguminoseae dan tergolong subfamili

mimosaceae, merupakan tanaman multiguna karena seluruh bagian tanaman dapat

dimanfaatkan baik untuk kepentingan manusia maupun hewan. Disamping itu,

tanaman ini mempunyai kemampuan pertumbuhan yang cepat pada berbagai

macam tipe iklim dan tingkat kesuburan tanah. Beberapa jenis Leucaena antara lain

adalah petai cina biasa (Leucaena diversifolia) dan petai cina gung (Leucaena

leucocephala) (Purwanto, 2007).

2.1.1 Taksonomi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Viridiplantae

Infrakingdom : Streptophyta

Superdivision : Embyophyta

Division : Tracheophyta

Subdivision : Spermatophyta

Class : Magnoliopsida

Superorder : Rosanae

Order : Fabales

Family : Fabaceae

Genus : Leucaena

Species : Leucaena leucocephala (Lam.)

2.1.2 Nama Lain

Petai cina, petai cina gung atau Petai cina hibrida (Indonesia ), Petai cina,

pete selong (Melayu), Peuteuy Selong, Palanding (Sunda), Kemlandingan, Petai

cina, Metir (Jawa) , Kalandingan (Madura). (Thomas, 1992) dan (Purwanto, 2007)

petai cina juga mempunyai nama lain asing yaitu Wild tamarin (Inggris), Yin he

huan (China). (Hariana, 2013).

7 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.1.3 Deskripsi Tumbuhan

Tanaman ini merupakan tanaman perdu pohon yang pertumbuhannya

mampu mencapai tinggi 5-15 m. Tanaman ini berasal dari Amerika Latin, sudah

sejak lama diimpor ke Indonesia. Leucaena leucocephala masuk ke Indonesia pada

awal tahun 80-an berkaitan dengan serangan hama kutu loncat pada tanaman

Leucaena diversifolia. Tanaman tumbuh tegak dengan sudut pangkal antara batang

dengan cabang 45o , apabila sudah dipangkas cabangnya akan menyerupai bertuk

garpu. Daunnya kecil, tulang daun menyirip ganda tua (bipeianantus) dengan

jumlah pasangan 4-8 pasang, tiap sirip tangkai daun mempunyai 11-22 helai anak

daun. Bunganya merupakan bunga bangkol atau membulat (eappitullum), bunga

mejemuk menyerupai cawan tetapi tanpa daun pembalut, berbentuk bola, dan

berwarna putih, serta mampu menyerbuk sendiri. (Purwanto, 2007).

Petai cina (Leucaena leucocephala) adalah tumbuhan yang memiliki batang

pohon keras dan berukuran tidak besar. Daunnya majemuk terurai dalam tangkai

berbilah ganda. Bunganya yang berjambul warna putih sering disebut cengkaruk.

Buahnya mirip dengan buat petai (Parkia speciosa) tetapi ukurannya jauh lebih

kecil dan berpenampang lebih tipis. Buah petai cina termasuk buah polong, berisi

biji-biji kecil yang jumlahnya cukup banyak. Petai cina cocok hidup didataran

rendah sampai dataran ketinggian 1500 meter diatas permukaan laut. Petai cina di

Indonesia hampir musnah setelah terserang hama wereng. Perkembangbbiakannya

selain dengan penyebaran biji yang sudah tua juga dapat dilakukan dengan cara stek

batang. (Thomas, 1992)

2.1.4 Khasiat dan Manfaat

Petai cina dapat digunakan sebagai pengobatan tradisional seperti sebagai

obat Diabetes Mellitus yaitu biji petai cina yang sudah tua dan kering digoreng

tanpa minyak dan ditumbuk halus sehingga menjadi bubuk kemudian diseduh

dengan air panas (seperti membuat kopi), dengan cara pemakaiannya satu kali

sehari satu gelas dan dilakukan secara teratur. Untuk pengobatan dengan

menggunakan daun petai cina sebagai pengobatan luka dan bengkak dengan

menumbuk daun tipis halus atau dikunyah-kunyah lalu ditempelkan pada bagian

yang luka/bengkak. Selain itu daun petai cina yang masih muda juga dapat

digunakan sebagai pengobatan Tlusuben (benda-benda yang masuk kedalam daging

8 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

seperti kayu, bambu) yaitu dengan menumbuk halus daun muda petai cina dan

tambahkan terasi dapur secukupnya dan aduk merata, lalu tempelkan pada yang

terkena tlusuben (Thomas, 1992) .

Pemanfaatan tanaman petai cina untuk berbagai macam pengobatan seperti

untuk mengobati absesparu, bisul, luka terpukul, patah tulang, dan susah tidur

karena gelisah dapar diobat dengan merebus bagian tumhuhan petai cina dengan

tiga gelas air sampai tersisa 1 gelas. Minum sekaligus satu kali sehari saat hangat.

Selain itu, tanaman petai cina juga dapat digunakan untuk pengobatan cacingan,

bengkak (oedem), dan radang ginjal dengan merebus serbuk biji petai cina kering

dengan 1 cangkir air panas, lalu minum air rebusan atau seduhannya. Lakukan

pengobatan tiga kali sehari dengan dosis sama. Dan masih banyak lagi beberapa

penyakit yang dapat diatasi dengan memanfaatkan tanaman petai cina seperti

kencing manis peningkat gairah seks, dan meluruhkan haid. (Hariana, 2013).

2.1.5 Kandungan Petai cina

Petai cina memiliki rasa agak pahit dan bersifat netral. Beberapa bahan

kimia yang terkandung dalam daun petai cina, diantaranya protein, lemak, kalsium,

fosfor, besi, serta vitamin (A, B1, dan C). Sementara itu, bijinya mengandung

mimosin, leukanin, protein, dan leukanol. Efek farmakologis petai cina diantaranya

peluh kencing (diuretik), obat cacing, susah tidur karena gelisah, luka terpuku,

patah tulang, abses paru, dan bisul. Bijinya untuk mengobati cacingan, bengkak

(oedem), radang ginjal, dan kencing manis. Sementara itu, akarnya digunakan

sebagai peluruh haid. (Hariana, 2013).

Daun petai cina dapat dimanfaatkan sebagai makanan ikan karena

kandungan protein tinggi, pengadaan relatif mudah, dan murah. Dengan kandungan

senyawa yang ada pada daun petai cina presentasinya protein 23%, lemak 2,4%,

serat kasar 20,10%, dan energi metabolisme (ME) 1.140 kcal/kg. Selain itu,

kandngan daun petai cina memiliki asam amino yang dapat larut air yang disebut

Leucinol. Leucinol ini identik dengan Mimosin. Kandungan mimosin dua kali lipat

lebih besar pada daun petai cina muda dari pada daun petai cina tua. (Agus, 2001).

Dan selain itu, dapat dilihat dari sisi kandungan hara pupuk organik dalam daun

petai cina mempunyai kandungan nitrogen 2,0 - 4,3%, fosfor 0,2 - 0,4%, dan kalium

1,3 - 4,0%. (Sutanto, 2002).

9 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kandungan senyawa yang terdapat dalam ekstrak daun petai cina adalah

senyawa flavonoid, saponin, dan tanin. Dimana kandungan senyawa-senyawa

tersebut sudah berdasarkan hasil uji fitokimia. (Retno & Sugihartini, 2015). Selain

itu pada pelitian yang lain identifikasi senyawa aktif dalam ekstrak daun petai cina

melalui uji tabung dan uji KLT menunjukkan ekstrak daun petai cina mengandung

senyawa saponin, alkaloid, tanin, dan flavonid. (Becatami & Sugihartini, 2015)

2.2 Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera).

Tumbuhan liar ditempat yang berhawa panas atau ditanam orang dipot dan

pekarangan rumah sebagai tanaman hias. Daunnya agak runcing berbentuk taji,

tebal, getas tepinya bergerigi/berduri kecil, permukaan berbintik-bintik, panjang

15-36 cm, lebar 2-6 cm, bunga bertangkai yang panjangnya 60-90 cm, bunga

berwarna kuning kemerahan (jingga), banyak di Afrika bagian Utara, Hindia Barat

(Satya, 2013).

Lidah buaya adalah tumbuhan sekulen dengan tinggi 30-120 cm yang tumbuh

dengan liar didaerah padang pasir yang kering. Tumbuhan ini menyukai tempat

yang berhawa panas dan biasa ditanam di pot. Selain itu itu lidah buaya juga berasal

dari Semenanjung Arab bagian barat daya hingga Mediterania dan kini telah

tersebar diseluruh dunia. (Wahyuni, 2016).

2.2.1 Taksonomi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Viridiplantae

Infrakingdom : Streptophyta

Superdivision : Embyophyta

Division : Tracheophyta

Subdivision : Spermatophyta

Class : Magnoliopsida

Superorder : Lilianae

Order : Asparagales

Family : Xanthorrhoeaceae

Genus : Aloe

Species : Aloe vera (L.) Burm. F

(Grace, M, Klopper, Figueiredo, & Smith, 2010)

10 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2.2 Nama Lain

Sinonim atau nama lain yang dimiliki lidah buaya seperti : Sunda (letah

buaya), Jawa (ilat boyo), Bengali (kumari), China (lu hui), Inggris (aloe), Malaysia

(jadam), Spanyol (savila) (Satya, 2013)

2.2.3 Deskripsi Tanaman

Lidah buaya merupakan tumbuhan sekulen dengan tinggi 30-120 cm , akar

serabut, warna kuning kecoklatan. Batangnya berbentuk bulat, tidak berkayu dan

berwarna putih karena terlindung daun, selanjutnya setelah daun rontok menjadi

hijau, dan akhirnya cokelat. Daun tunggal dan termasuk daun yang tidak lengkap

karena hanya terdiri atas helaian saja, tanpa ada pelepah dan tangkai daun. Daun

tersusun dari roset akat, helaian daun terbentuk pedang, ujung runcing, pangkal

tumpul, tepi daun bergerigi (berduri), panjang 30-60 cm, lebar 3-7 cm, berdaging

tebalgetah kuning, berwarna hijau, permukaan atas dan bawah licin tertutup lapisan

ilin, pertulangan daun sejajar. Bunga majemuk, bentuk malai, panjai sampai 90 cm,

muncul diujung batang (bunga terminal), panjang daun pelindung 8-15 mm. Bunga

banci (benang sari dan putik dalam satu bunga), bentuk tabung, panjang 2-3 cm,

warna jingga atau merah, benang sari berjumlah 6, putik menyembul keluar atau

melekat pada pangkal kelapa sari, tangkai putik berbentuk benang, kepala putik

berukuran kecil. Buah kotak berkatup warna keputihan. Biji berukuran kecil warna

hitam. (Wahyuni, 2016).

Tumbuhan liar ditempat yang berhawa panas atau ditanam orang dipot dan

pekarangan rumah sebagai tanaman hias. Daunnya agak runcing berbentuk taji,

tebal, getas tepinya bergerigi/berduri kecil, permukaan berbintik-bintik, panjang

15-36 cm, lebar 2-6 cm, bunga bertangkai yang panjangnya 60-90 cm, bunga

berwarna kuning kemerahan (jingga), banyak di Afrika bagian Utara, Hindia Barat.

Batang tanaman Aloe vera berbatang pendek. Batangnya tidak kelihatan karena

tertutup oleh daun-daun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah. Melalui

batang ini akan muncul tunas-tunas yang selanjutnya menjadikan anakan. Aloe vera

yang bertangkai panjang juga muncul dari batang melalui celah-celah atau ketik

daun. Batang Aloe vera juga dapat distek untuk perbanyakan tanaman. Peremajaan

tanaman ini dilakukan dengan memangkas habis daun dan batangnya, kemudian

dari sisa tunggul batang ini akan muncul tunas-tunas baru atau anakan. Daun

11 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tanaman Aloe vera berbentuk pita dengan helaian yang memanjang. Daunnya

berdaging tebal, tidak bertulang, berwarna hijau keabu-abuan, bersifat sukulen

(banyak mengandung air) dan banyak mengandung getah atau lendir (gel) sebagai

bahan baku obat. Tanaman lidah buaya tahan terhadap kekeringan karena didalam

daun banyak tersiman cadangan air yang dapat dimanfaatkan pada waktu

kekurangan air. Bentuk daunnya menyerupai pedang dengan ujung meruncing,

permukaan daun dilapisi lilin, dengan duri lemas dipinggirannya. Panjang daun

dapat mencapai 50-75 cm, dengan berat ½ kg – 1 kg, daun melingkar disekeliling

batang bersap-sap. Bunga Aloe vera berwarna kuning atau kemerahan berupa pipa

yang mengumpul keluar dari ketiak daun. Bunga berukuran kecil, tersusun dalam

rangkaian berbentuk tandan, dan panjangnya bisa mencapai 1 meter. Bunga

biasanya muncul bila ditanam dipegunungan. Akar tanaman Aloe vera berupa akar

serabut yang pendek dan berada dipermukaan tanah. Panjang akar berkisar antara

50-100 cm. Untuk pertumbuhannya tanaman menghendaki tanah yang subur dan

gembur dibagian atasnya. Bagian yang dipakai adalah daun, bunga, akar, dengan

pemakaian yang segar (Satya, 2013).

2.2.4 Khasiat dan Manfaat

Dalam buku koleksi tumbuhan berkhasiat oleh Bayu Satya DS, menyatakan

bahwa khasiat dari tumbuhan lidah buaya sangat banyak termasuk untuk

pemanfaatan pemakaian luar pada tubuh manusia yaitu seperti pada luka bakar atau

tersiram air panas dengan mengaplikasikan bagian dalam daun lidah buaya yang

ditempelkan pada bagian tubuh yang terkena api/air panas. Selain sebagai luka

bakar lidah buaya juga bermanfaat untuk penyuburan rambut dengan mengambil

bagian dalam daun lidah buaya yang menyerupai agar-agar digosokkan kekulit

kepala sesudah mandi sore dan dingkus dengan kain lalu keesokan hariya rambut

dicuci dan penggunaan lidah buaya seperti ini selama 3 bulan akan menghasilkan

hasil yang memuaskan. Selain untuk pemanfaatan pemakaian lidah buaya untuk

luar tubuh juga dapat dilakukan untuk pemakaian dalam tubuh seperti untuk

pengobatan kencing manis (diabetes mellitus) dengan meminum rebusan lidah

buaya sehabis makan, batuk rejan dengan meminum rebusan lidah buaya dengan

tambahan gula atau madu, syphillis dengan merebus bunga dan daging lidah buaya

lalu diminum, cacingan dan susah buang air kecil dengan meminum rebusan akar

12 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

lidah buaya, wasir atau ambeien dengan meminum daun batang lidah buaya yang

telah diparut dan dicampu madu dengan diminum 3 kali sehari, sebagai pengobatan

sembelit dengan meminum seduhan batang daun lidah buaya dengan campuran

madu dan masih banyak lagi khasiat-khasiat yang telah dipakai sebagai pengobatan

tradisional. (Satya, 2013).

Lidah buaya dapat dipergunakan untuk pengobatan luka bakar karena api atau

terkena minyak goreng panas dengan mencuci daun lidah buaya, membuang

pangkal daunnya, lalu buka kulit daunnya. Tempelkan bagian daun yang berlendir

pada luka sampai lendirnya menutupi seluruh bagian luka. Pelakuan ini dapat

dilakukan secara teratur selama ½ jam sekali. Selain itu lidah buaya juga dapat

mengobati luka terpukul dan luka dalam (mutah darah) dengan merebus 10-15 gram

bunga lidah buaya kering dengan 3 gelas air putih hingga tersisa 1 ½ gelas. Saring

air rebusannya, lalu diminum secara teratur tiga kali sehari masing-masing 1 ½

gelas. (Hariana, 2008).

Lidah buaya terbukti bermanfaat dalam masalah dermatologis dan membantu

dalam warna kulit yang baik dengan meningkatkan aktivitas fibroblas. Fibroblas ini

menghasilkan kolagen dan serat elastis dan memberi kulit strukturnya. Efek

melembabkan lidah buaya karena komponen polisakarida menyediakan dan

mempertahankan kelembaban dalam jaringan. (Sujatha & all, 2014).

Gula berasal dari lapisan lendir tanaman, yang mengelilingi parenkim atau gel

bagian dalam. Mereka membentuk 25 persen dari fraksi padat dan terdiri dari mono

dan polisakarida. Yang paling penting adalah polisakarida rantai panjang, yang

terdiri dari glukosa dan mannose, yang dikenal sebagai gluco-mannans. Penelitian

Yaron tahun 1991 mengenai viskositas gel dan reologi menunjukkan bahwa gluko-

manan pada lidah jarang ditemukan di tanaman lain dan memberikan sifat plastik

gel yang mirip dengan sifat cairan tubuh manusia. Lidah buaya gel polysaccharide

acemannan menunjukkan bahwa diaktif terhadap makrofag, sehingga

meningkatkan efek pada penyembuhan luka. (Kathuria & all, 2010)

2.2.5 Kandungan Lidah Buaya

Getah lidah buaya yang mengandung aloin, aloe-emodin, dan barbaloin.

Yang berkhasiat sebagai laksatif. Kandungan polisakarida daun lidah buaya dapat

mempercepat penyembuhan luka dan mengurangi reaksi peradangan. Selain itu,

13 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

lidah buaya mengandung saponin yang berkhasiat membunuh kuman. Gel lidah

buaya mengandung lignin yang mampu menembus dan meresap kedalam kulit. Gel

ini akan menahan hilangnya cairan tubuh dari permukaan kulit sehingga kulit tidak

kering. Tumbuhan ini juga mengandung senyawa yang dapat merangsang

pertumbuhan sel kulit baru. (Latief, 2012).

Lidah buaya memiliki rasa pahit dan bersifat dingin. Beberapa bahan kimia

yang terkandung dalam lidah buaya diantaranya aloin, barbaolin, iso-barbaloin

aloe-imodin, aloenin dan aloesin. Bahan kimia yang terkandung dalam tanaman

akan masuk ke meridian jantung, hati, dan pankreas. Efek farmakologis lidah buaya

diantaranya rasa anti-inflamasi, pencahar (laksatif), parasiticide, dan memperbaiki

pankreas. Untuk megobati sakit kepala, pusing, sembelit (constipation) kejang pada

anak, kurang gizi (malnutrisi), batuk rejan (pertussis), muntang darah, kecig manis,

wasir, meluruhkan haid, dan menyuburkan rambut. (Hariana, 2008)

14 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 2. 1 Komponen Lidah Buaya

Sumber : (Lyon, 2013)

Golongan Komponen

Antrakuinon

Aloe-emodin, asam aloetic , anthranol, aloin A and B (atau

dikenal sebagai barbaloin), isobarbaloin, emodin, ester dari

asam cinnamic

Karbohidrat

Mannan murni, mannan asetilasi, glukomanan asetilasi,

glucogalactomannan, galactan,

galactogalacturan,arabinogalactan,

galactoglucoarabinomannan, zat pectic, xylan, selulosa

Chromones / 1,4-

benzopyrone

8-C-Glucosyl-(2′-O-cinnamoyl)-7-O-methylaloediol A, 8-C-

glucosyl-(S)-aloesol, 8-C-glucosyl-7-O-methyl-(S)-aloesol, 8-

C-glucosyl-7-O-methylaloediol, 8-C-glucosyl-noreugenin,

isorabaichromone, neoaloesin A

Enzim

Alkalin fosfatase, amilase, carboxypeptidase, katalase,

siklooksidase, siklooksigenase, lipase, oksidase,

fosfoenolpiruvat karboksilase, superoksida dismutase

Mineral Kalsium, klorin, kromium, tembaga, besi, magnesium, mangan,

kalium, fosfor, natrium, zinc

Lipid dan senyawa organik

lainnya

Asam arachidonic , asam γ-linolenat, steroid (campestrol,

kolesterol, β-sitosterol), trigliserida, triterpenoid, giberelin,

lignin, potasium sorbat, asam salisilat, asam uric

Asam amino

Alanine, arginine, asam aspartat, asam glutamat, glisin, histidin,

hidroksiprolin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin,

prolin, treonin, tirosin, valin

Protein Lektin, subtansi lektin

Sakarida Mannose, glukosa, L-rhamnose, aldopentose

Vitamin B1, B2, B6, C, β-carotene, choline, folic acid, α-tocopherol

2.3 Tinjauan Hewan Percobaan

2.3.1 Klasifikasi Tikus Putih

Menurut Integrated Taxonomic Information System klasifikasi tikus putih

(Rattus norvegicus) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Bilateria

Infrakingdom : Deuterostomia

Phylum : Chordata

15 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Subphylum : Vertebrata

Infraphylum : Gnathostomata

Superclass : Tetrapoda

Class : Mammalia

Subclass : Theria

Infraclass : Eutheria

Order : Rodentia

Suborder : Myomorpha

Superfamily : Muridae

Subfamily : Murinae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus

2.3.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Etika penggunaan hewan coba menurut Deklarasi Helsinki oleh Worid

Medical Association 1975 dan Proposal International Guidelines for Biomedical

Research Involving Human Subjects 1982 suatu zat atau alat baru tidak boleh

digunakan untuk pertama kali pada manusia, kecuali bila sebelumnya telah diuji

pada hewan dan diperoleh kesan yang cukup mengenai keamanannya. (Syamsudin,

2011).

Hewan coba atau sering disebut dengan hewan laboratorium adalah hewan

khusus diternakkan untuk keperluan penelitian farmakologi. Hewan laboratorium

tersebut digunakan sebagai model utnuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat

pada manusia. Syarat hewan penelitian farmakologi adalah harus jelas fisiologinya,

bebas dari penyakit, didapat dari Breeding Centre yang baik atau dikembang

biakkan sendiri. Sebelum digunakan hewan harus memalui tahap aklimatisasi

terlebih dahulu. Kandang hewan harus memenuhi syarat : suhu, kelembapan,

cahaya, bunyi, nutrisi, dan kebersihan. Pemilihan strain, jenis kelamin, berat badan,

dan umur harus tepat. Beberapa jenis hewan dari yang ukurannya terkecil dan

sederhana sampai ukuran yang lebih besar dan lebih kompleks digunakan untuk

keperluan penelitian seperti mencit, tikus, kelinci, dan kera. (Syamsudin, 2011).

Tikus (Rattus norvegicus) mempunyai sifat fisik antara lain : ukurannya

lebih besar dari mencit, lebih cerdas, tenang, mudah digarap dengan perlakuan

16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

wajar, kurang suka berkumpul. Dengan data normal biologi tikus dapat

mengkonsumsi pakan 5 g/100 g bb, konsumsi air minum perhati 8-11 ml/ 100 gram

bb, bobot badan hewan betina antara 250-300 gram sedangkan unutk jantan 300-

400 gram, lama hidup 2,5-3 tahun. (Syamsudin, 2011).

Menurut Adiyati (2011), hewan coba merupakan hewan yang dikembang

biakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada

berbagai macam penelitian medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus

memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah serta

mudah untuk mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang melakukan

aktivitasnya pada malam hari (nocturnal).

Tikus yang sudah menyebar keseluruh dunia dan digunakan secara luas

untuk penelitian laboratorium ataupun sebagai hewan kesayangan adalah tikus

putih (Rattus norvegicus) yang berasal dari Asia Tengah. Tikus laboratorium

pertama-tama dikembangkan di Amerika Serikat antara tahun 1877 dan 1893.

Tikus putih (Rattus norvegicus) yang memiliki nama lain Norway rat,

termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini

yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan

pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling

terlihat adalah ekornya yang panjang. Bobot badan tikus jantan pada umur dua belas

minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus

memiliki lama hidup berkisar antara 4-5 tahun dengan berat badan umum tikus

jantan berkisar antara 267-500 gram dan betina 225-325 gram . Terdapat beberapa

galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-galur tersebut antara

lain: Wistar, Sprague Dawley, Long Evans, dan Holdzman. Dalam penelitian ini

digunakan galur Sprague Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil

dan ekornya lebih panjang dari badannya. Tikus Sprague Dawley merupakan jenis

albino serbaguna secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah

ketenangan dan kemudahan penanganannya. (Syamsudin, 2011)

2.4 Kulit

Kulit merupakan sistem integumen yang membentuk lapisan terluar pada tubuh,

dimana kulit adalah organ terbesar tubuh yang beratnya kurang lebih 4,5 kg dan

17 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menutupi area seluas 18 kaki persegi (1,67 m2) pada laki-laki dengan berat badan

75 kg. (Sloane, 2003).

Kulit merupakan pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari

pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas

ukurannya, yaitu 15 persen dari berat tubuh dan luasnya 1,50-1,75 m2. Rata-rata

tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6 mm) terdapat ditelapak tangan dan kaki yang

paling tipis (0,5 mm) terdapat dipenis. (Harahap, 2000).

Gambar 2. 1 Skema Anatomi Kulit

(Sloane, 2003) : Modifikasi

2.4.1 Stuktur Kulit

1. Lapisan epidermis, adalah bagian terluar kulit. Bagian ini tersusun dari

jaringan epitel skuamosa bertingkat yang mengalami keratinisasi, jaringan ini

tidak memiliki pembuluh darah dan sel-selnya sangat rapat. Bagian epidermis

yang paling tebal dapat ditemukan pada telapak tangan dan telapak kaki yang

mengalami stratifikasi menjadi lima lapisan berikut :

a) Stratum corneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar

dan terdiri dari 25-30 lapisan sisik tidak hidup yang sangat terkeratinisasi

dan semakin gepeng saat mendekati permukaan kulit. Epidermis tipis yang

melapisi seluruh tubuh. Kecuali pada telapak tangan dan telapak kaki,

tersusun hanya dari lapisan basalis dan korneum.

Permukaan terbuka dari stratum korneum mengalami proses

pergantian ulang yang konstan atau deskuamasi.

18 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ada pembaharuan yang konstan pada sel terdeskuamasi melalui

pembelahan sel dilapisan basalis. Sel tersebut bergerak melalui keatas

ke arah permukaan, mengalami keratinisasi dan kemuian mati.

Dengan demikian, seluruh permukaan tubuh terbuka ditutup oleh

lembaran sel epidermis mati.

Keseluruhan lapisan epidermis akan diganti dari dasar keatas setiap

15 sampai 30 hari.

b) Stratum lusidum (daerah sawar/lapisan jernih) adalah lapisan jernih

dan tembus cahaya dari sel-sel gepeng tidak bernukleus yang mati atau

hampir mati dengan ketebalan empat sampai tujuh lapisan sel.

c) Stratum granulosumterdiri dari tiga atau lima lapisan atau berisan sel

dengan granula-granula keratohialin yang merupakan prekursor

pembentukan kreatin.

Keratin adalah protein keras dan resilien, anti air serta

melindungipermukaan kulit yang terbuka.

Keratin pada lapisan epidermis merupakan keratin lunak yang

berkadar sulfur rendah, berlawanan dengan keratin yang ada pada

kuku dan rambut.

Saat keratohialin dan keratin berakumulasi, maka nukleus sel

berdisintegrasi, menyebabkan kematian sel.

d) Stratum spinosum (lapisan malphigi) adalah lapisan sel spina atau

tanduk, disebut demikian karena sel-sel tersebut disatukan tonjolanyang

menyerupai spina. Spina adalah bagian penghubung intraseluler yng

disebut dermosom.

e) Stratum germinativum (lapisan basal) adalah lapisan terbawah

epidermis. Lapisan tunggal sel sel yang melekat pada jaringan ikat dari

lapisan ikat dari lapisan kulit dibawahnya dermis. Tempat pembelahan sel

tercepat pada lapisan ini, sehingga sel baru didorong masuk ke lapisan

berikutnya.

2. Lapisan Dermis dipisahkan dari lapisan epidermis dengan adanya membran

dasar atau lamina. Membran ini tersusun dari dua lapisan jaringan ikat.

19 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

a) Lapisan papilar adalah jaringan ikat areolar renggang dengan fibroblas, sel

mast, dan makrofag. Lapisan ini mengandung banyak pembuluh darah,

yang memberi nutrisi pada epidermis diatasnya.

b) Lapisan retikular terletak lebih dalam dari lapisan pailar. Lapisan ini

tersusun dari jaringan ikat ireguler yang rapat, kolagen dan serat elastik.

Sejalan dengan penambahan usia, deterlorasi normal pada simpul kolagen

dan serat slastik mengakibatkan pengeriputan kulit.

3. Lapisan subkutan atau hipodermis (fisia superfisial) mengikat kulit secara

longgar dengan organ-organ yang terdapat dibawahnya. Lapisan ini

mengandung jumlah sel lemak yang yang beragam. Bergantung pada area

tubuh dan nutrisi individu, serta berisi banyak pembuluh darah dan ujung saraf.

(Sloane, 2003)

2.4.2 Fungsi Kulit

1. Perlindungan.

Kulit melindungi tubuh dari mikroorganisme, penarikan atau kehilangan

cairan, dan dari zat iritan kimia maupun mekanik pigmen melanin yang terdapat

pada kulit memberikan perlindungan selanjutnnya terhadap sinar ultraviolet

matahari.

2. Pengaturan suhu tubuh.

Pembuluh darah dan kelenjar keringat dalam kulit berfungsi untuk

mempertahankan dan mengatur suhu tubuh.

3. Ekskresi.

Zat berlemak, air dan ion-ion, seperti Na+ dieksresi melalui kelenjar-kelenjar

pada kulit.

4. Metabolisme.

Dengan bantuan radiasi sinar matahari atau sinar ultraviolet, proses sintesis

vitamin D yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang, dimulai dari

sebuah molekul prekursor (dehidrokolesterol-7) yang ditemui dikulit.

20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Komunikasi.

Semua stimulus dari lingkungan diterima oleh kulit melalui sejumlah reseptor

khusus yang mendeteksi sensasi yang berkaitan dengan suhu, sentuhan, tekanan,

dan nyeri. Kulit merupakan media ekspresi wajah dan refleksi vaskular yang

penting dalam komunikasi. (Sloane, 2003)

2.4.3 Peran Kulit Dalam Termoregulasi

Panas tubuh dihasilkan dari aktivitas metabolik dan pergerakan otot. Panas

seperti ini harus dikeluarkan, atau suhu tubuh akan naik diatas batas normal, pada

lingkungan bersuhu dingin, panas harus dipertahankan, atau suhu tubuh akan turun

dibawah batas normal.

a) Pengeluaran panas dikulit berlangsung melalui proses evaporasi air yang

disekresi oleh kelenjar keringat dan juga melalui proses perspirasi tak kasat

mata (difusi molekul air melalui kulit).

b) Retensi panas adalah salah satu fungsi dari kulit dan jaringan adiposa dalam

lapisan subkutan. Lemak marupakan insulator panas untuk tubuh dan derajat

insulasi bergantung pada jumlah jaringan adiposa.

c) Pembuluh darah dalam papila dermal juga dikendalikan oleh sistem saraf.

Jika pembuluh darah berdilatasi, alisan darah ke permukaan kulit meningkat,

sehingga konduksi panas pada bagian eksterior dapat terjadi. Dan pembuluh

darah berkontriksi untuk menurunkan aliran darah ke permukaan kulit dapat

upaya mempertahankan panas tubuh sentral. (Sloane, 2003)

2.5 Luka Bakar

2.5.1 Definisi

Luka bakar (Combustio) adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan

jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan sumber yang memiliki suhu sangat

tinggi (misalnya api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi) atau suhu yang

sangat rendah . (Moenadjat, 2009)

Seperti yang didefinisikan oleh International Society of Burn Injuries, luka

bakar adalah luka pada kulit atau jaringan organik lainnya yang terutama

disebabkan oleh trauma akut atau akut lainnya. Luka bakar terjadi ketika beberapa

atau semua sel di kulit atau jaringan lainnya dihancurkan oleh cairan panas (scalds),

padatan panas (contact burns), flames (flame burns). Cedera pada kulit atau

21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

jaringan organik lainnya karena radiasi, radioaktivitas, listrik, gesekan atau kontak

dengan bahan kimia juga diidentifikasi sebagai luka bakar. (Peck, 2011)

Menurut WHO, luka bakar adalah cedera pada kulit atau jaringan organik

lainnya terutama disebabkan oleh panas atau karena radiasi, radioaktivitas, listrik,

gesekan atau kontak dengan bahan kimia. Luka kulit akibat radiasi ultraviolet,

radioaktivitas, listrik atau bahan kimia, serta kerusakan saluran pernapasan akibat

menghirup asap, juga dianggap luka bakar.

Gambar 2. 2 Potongan Normal Dan Kedalaman Luka Bakar

(Moenadjat, 2009)

2.5.2 Klasifikasi Luka Bakar

2.5.2.1 Berdasarkan Penyebab

Sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa luka bakar

disebabkan oleh beberapa kontak dengan sumber thermis, tidak hanya api. Untuk

membedakan atau menjelaskan perlu diketahui beberapa klasifikasi penyebabnya

antara lain : (Moenadjat, 2009)

1. Luka bakar karena api atau benda panas lainnya (pada literatur disebut dengan

istilah burn)

2. Luka bakar karena minyak panas

3. Luka bakar karena air panas (scald)

4. Luka bakar karena bahan kimia yang bersifat asam kuat atau basa kuat

(chemical burn)

5. Luka bakar karena listrik atau petir (electric burn)

6. Luka bakar karena radiasi

22 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

7. Luka bakar karena ledakan

2.5.2.2 Berdasarkan Kedalaman Kerusakan Jaringan (Luka) (Moenadjat,

2009)

a. Luka bakar derajat I

Kerap diberi simbol 10. Kerusakan jaringan terbatas pada bagian permukaan

(superfisial) yaitu epidermis. Kulit kering, hiperemik memberikan eflorensi berupa

eritema. Tidak dijumpai bula. Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.

Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari. Contohnya adalah

luka bakar karena sengatan matahari.

Gambar 2. 3 Luka Bakar Derajat Satu. Terjadi kerusakan epidermis bagian superfisial sementara

dermis tetap utuh (Moenadjat, 2009)

b. Luka bakar derajat II

Kerap diberi simbol 20. Kerusakan meliputi epidermis & sebagian dermis,

respon yang timbul berupa reaksi inflamasi akut dan proses eksudasi. Terasa nyeri

karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Luka derajat II dibedakan menjadi

dua, yaitu:

1) Derajat dua dangkal

Kerusakan mengenai epidermis dan sebagian (sepertiga bagian superfisial)

dermis

Terjadi epidermolisis yang diikuti terbentuknya lepuh (bula) yang merupakan

karakteristik luka bakar derajat II dangkal.

Bila epidermis terkelupas, terlihat dasar luka berwarna kemerahan, kadang

pucat, edematus dan eksudatif

23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea

Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari

Gambar 2. 4 Luka bakar derajat dua dangkal adanya bula (lepuh/blister).yang merupakan

epidermolisis yang menjadi karateristik luka bakar derajat dua dangkal

(Moenadjat, 2009)

2) Derajat dua dalam

Kerusakan mengenai hampir seluruh (duapertiga bagian superfisial)

dermis

Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea

sebagian utuh.

Gambar 2. 5 Luka Bakar Derajat Dua Dalam (Moenadjat, 2009)

24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Luka bakar derajat III

Kerusakan meliputi seluruh ketebalan kulit (epidermis dan dermis) serta

lapisan yang lebih dalam. Apendises kulit seperti kelenjar keringat, kelenjar

sebasea, folikel rambut mengalami kerusakan. Tidak dijumpai bula. Kulit yang

terbakar berwarna pucat atau lebih putih karena terbentuk eksar. Tidak dijumpai

rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung serabut saraf sensorik

mengalami kerusakan atau kematian. Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada

proses epitelisasi spontan baik dari tepi luka (membran basalis), maupun apendises

kulit.

Gambar 2. 6 Luka Bakar Derajat Tiga

(Moenadjat, 2009)

2.5.3 Luas Luka Bakar

Luas luka bakar pada dewasa dihitung menggunakan rumus sembilan (Rule

of Nine) yang diprovokasi oleh Wallace; didasari atas perhitungan kelipatan 9,

dimana 1% luas permukaan tubuh adalah luas telapak tangan penderita. Pada anak-

anak menggunakan tabel dari Lund dan Browder yang mengacu pada ukuran bagian

tubuh terbesar pada seorang bayi/anak (yaitu kepala). (Moenadjat, 2009)

Gambar 2. 7 Diagram Rule of Nine dari Wallaceuntuk dewasa

(Moenadjat, 2009)

25 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 2. 2 Lund dan Browder (untuk anak)(Moenadjat, 2009)

2.5.4 Kategori Penderita

2.5.4.1 Luka Bakar Ringan

a. Luka bakar derajat dua dan tiga <10% pada kelompok usia <10 tahun dan <50

tahun

b. Luka bakar derajat dua dan tiga <15% pada kelompok usia lain

c. Luka bakar derajat dua dan tiga <10% pada semua kelompok usia; tanpa cedera

pada tangan, kaki dan perineum

2.5.4.2 Luka Bakar Sedang

a. Luka bakar derajat dua dan tiga 10-20% pada kelompok usia <10 tahun dan

>50 tahun

b. Luka bakar derajat dua dan tiga 15-25% pada kelompok usia lain, dengan luka

bakar derajat tiga <10%

c. Luka bakar derajat tiga <10% pada semua kelompok usia; tanpa cedera pada

tangan, kaki dan perineum (Moenadjat, 2009)

2.5.4.3 Luka bakar Kritis, Luka Bakar Berat, Luka Bakar Masif

a. Luka bakar derajat dua dan tiga>20% pada kelompok usia <10 tahun dan >50

tahun

b. Luka bakar derajat dua dan tiga >25% pada kelompok usia lain

c. Trauma inhalasi

d. Luka bakar multiple

e. Luka bakar pada populasi risiko tinggi

f. Luka bakar listrik tegangan tinggi

g. Luka bakar tangan, kaki dan perineum

Usia (tahun) 0 1 5 10 15 Dewasa

Kepala (muka-belakang) 9,5 8,5 6,5 5,5 4,5 3,5

1 Paha (muka-belakang) 2,5 3,5 4 4,25 4,5 4,75

1 Kaki (muka-belakang) 2,5 2,5 2,75 3 3,25 2,5

26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.5.5 Patofisiologi Luka Bakar

2.5.5.1 Faktor-Faktor Yang Berperan

Faktor-faktor yang berperan pada luka bakar dibagi menjadi tiga kelompok,

yaitu:

a) faktor penderita

Kondisi Umum:

• Usia

• Gender

• Status Gizi

Faktor Premorbid:

• Kelainan Kardiovaskular

• Kelainan Neurologik

• Kelainan Paru

• Kelainan Metabolisme

• Kelainan Ginjal

• Kelainan Psikiatrik

• Kehamilan

b) faktor trauma

• Jenis Luka Bakar

• Luas Luka Bakar

• Kedalaman Luka Bakar

• Lokasi

• Trauma Penyerta

• Respons Individu

c) faktor penatalaksanaan.

• Penatalaksanaan pada Fase Awal (Fase akut, Fase syok)

• Penatalaksanaan pada Fase setelah fase akut (fase kedua)

• Perawatan Luka (Moenadjat, 2009)

Meski banyak faktor yang berpengaruh dalam prognosis dan indikator-

indikator terhadap derajat keparahan telah diketahui sebagaimana dijelaskan (faktor

pasien, faktor trauma, dan faktor penatalaksanaan) respon individu terhadaptrauma

maupun terapi merupakan faktor yang harus diperhitungkan. Hal ini menjelaskan

27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengapa seseorang dengan mortality probability (MP) 0,1 bukan berarti kehilangan

kemungkinan hidupnya.

2.5.5.2 Permasalahan Pada Luka Bakar

Permasalahan pada luka bakar sangat kompleks. Bila dibandingkan dengan

fase-fase penyembuhan pada luka sayat, bisa dikatakan pada setiap fase yang

dialami luka bakar disertai ‘deviasi’ atau ‘distorsi’. Dan pada setiap fase luka bakar

mempunyai karateristik tersendiri. Dalam perjalanan penyakitnya luka bakar

dibedakan menjadi tiga fase yaitu : (Moenadjat, 2009).

a. Fase awal, fase akut, fase syok

Fase ini adalah permasalahan yang utama, terganggunya respon tubuh akibat

trauma. Yaitu masalah yang utama adalah pada gangguan respon ABC (Airway

Breating mechanism, Circulation) kondisi ini menyebabkan terganggunya

pengiriman logistik yang dibutuhkan oleh sel seperti oksigen dan lainnya, sehingga

sel tidak dapat melakukan metabolisme secara normal.

b. Fase setelah syok berakhir, pasca syok, fase sub akut

Bermulanya dari kerusakan jaringan akibat fase pertama sehingga

menimbulkan masalah yang umum dijumpai pada fase ini yaitu suatu entitas klinik

yang disebut Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang diikuti oleh

Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). SIRS yang sebelumnya

dikenal dengan ‘Sepsis’ adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik

dan eksageratif (tak terkendali) terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat

infeksi ataupun non-infeksi seperti trauma (termasuk luka bakar), reaksi auto imun,

sirosis, pankreatitis, dan lain-lain. Ada lima hal yang menjadi aktivasi SIRS, yaitu

infection, injury, inflammation, inadequate blood flow yang mana kelimanya dapat

dijumpai pada luka bakar, maka tak heran SIRS dan MODS lazim dijumpai pada

luka bakar.

c. Fase lanjut

Fase ini berlangsung sejak proses epitelialisasi sempurna hingga maturasi

jaringan. Masalah yang sering dihadapi pada fase ini adalah proses epiteliaslisasi

yang berlangsung lamban (lebih lama dibandingkan proses epitelialisasi luka lain

seperti luka sayat, dan lain-lain). Adanya penyulit dala penyembuhan luka bakar

28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

seperti parut hipertrofik, kontraktur, dan deformitas juga dapat menjadi masalah

dalam fase ini.

2.5.5.3 Zona Kerusakan Jaringan

Jackson membedakan tiga area pada luka sebagaimana diuraikan berikut:

1) Zona koag ulasi, zona nekrosis

Daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat

pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis

beberapa saat setelah kontak; karenanya disebut juga sebagai zona nekrosis.

2) Zona statis

Daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di daerah ini

terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan

leukosit sehingga terjadi gangguan perfusi (no flow phenomena), diikuti

perubahan permeabilitas kapiler, trombosis dan respon inflamasi lokal. Proses ini

berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera, dan mungkin berakhir dengan

nekrosis jaringan.

3) Zona hiperemi

Daerah di luar zona statis ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa

banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang

diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan; atau berubah

menjadi zona kedua bahkan zona pertama. (Moenadjat, 2009)

2.5.5.4 Penyembuhan Luka Bakar

Mengingat sifat kulit sebagai penyimpan panas yang terbaik (heat restore)

maka pada pasien yang mengalami luka bakar, tubuh masih menyimpan energi

panas sampai beberapa menit setelah terjadinya trauma panas. Oleh karena itu,

tindakan pendinginan luka perlu dilakukan untuk mencegah pasien berada pada

zona luka bakar lebih dalam. Tindakan ini juga dapat mengurangi perluasan

kerusakan fisik sel, mencegah dehidrasi dan membersihkan luka sekaligus

mengurangi nyeri (Effendy, 1999). Proses penyembuhan luka bakar terbagi menjadi

tiga bagian yaitu :

29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1) Fase Inflamasi

Adalah fase yang berentang dari terjadinya luka bakar hingga 3-4 hari pasca luka

bakar. Dalam fase ini terjadi perubahan vaskular dan proliferasi seluler. Daerah luka

mengalami agregasi trombosit dan mengeluarkan serotonin. Mulai timbul

epitelisasi. (Effendy, 1999)

2) Fase Fibroblastik

Trauma termal menyebabakan kerusakan pada sel sehingga dapat menyebabkan

terlepasnya epidermis dari dermis (epidermolisis) yang disertai dengan proses

eksudasi yang kemudian terakumulasi dan terperangkap membentuk lepuh (bula,

blister). Bila dilepaskan akan membentuk luka berwarna kemerahan rata dengan

permukaan kulit sekitar dan bersifat eksudatif. Luka seperti ini menimbulkan nyeri

karena iritasi ujung-ujung saraf yang terletak di dermis. Angiogenesis akan terjadi

untuk membangun jaringan pembuluh darah baru. Kapiler baru yang terbentuk akan

terlihat pada kemerahan (ruddy), jaringan granulasi tidak rata atau bergelombang

(bumpy). Migrasi sel epitel terjadi diatas dasar luka yang bergranulasi. Sel epitel

bergranulasi dari tepi sekitar luka atau dari folikel rambut, kelenjar keringat atau

kelenjar sebasea dalam luka. Sel tersebut nampak tipis, mengkilap (translucent

film) melewati luka serta sangat rapuh dan mudah rusak. Migrasi berhenti ketika

luka menutup dan mitosis epitelium menebal ke lapisan ke 4 hingga 5 yang

diperlukan untuk membentuk epidermis. (Moenadjat, 2009)

Fase yang dimulai dari hari ke 4-20 pascaluka bakar. Pada fase ini timbul sebukan

fibroblas yang membentuk kolagen yang tampak secara klinis sebagai jaringan

granulasi yang berwarna kemerahan. (Effendy, 1999). Proses fibroblas pada luka

bakar derajat dua dangkal tidak terlalu terhambat selama epitelialissi spontan

berlangsung baik (10-14 hari) dan tidak dijumpai infeksi. (Moenadjat, 2009).

3) Fase Maturasi

Terjadi proses pematangan kolagen pada fase ini terjadi pula penurunan aktivitas

seluler dan vaskular. Berlangsung hingga 8 bulan sampai lebih dari 1 tahun dan

berakhir jika sudah tidak ada tanda-tanda radang. Bentuk akhir dari fase ini berupa

jaringan parut yang berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri atau gatal.

(Effendy, 1999)

30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tindakan yang dapat dilakukan pada luka bakar adalah dengan memberikan terapi

lokal dengan tujuan mendapatkan kesembuhan secepat mungkin, sehingga jumlah

jaringan fibrosis yang terbentuk akan sedikit dan dengan demikin mengurangi

jaringan parut. Diusahakan pula pencegahan terjadinya peradangan yang

merupakan hambatan paling besar terhadap kecepatan penyembuhan (Ansel H. ,

2005)

2.6 Ekstraksi

2.6.1 Definisi

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dengan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakuan sedemikian hingga memenuhi baku yang

ditetapkan sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat

secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan

pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (DepKes, 1995)

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut

cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke

dalam senyawa minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan

diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah

pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Karena senyawa yang terkandung

simplisia tidak hanya senyawa aktif saja dan terdapat banyak senyawa-senyawa lain

yang terkandung didalamnya seperti protein, lemak, karbohidrat, dan gula yang

mana senyawa ini akan memengaruhi tingkat kejenuhan pelarut sehingga

diperlukan perlakuan standarisasi pada simplisia tersebut. Standarisasi dalam

kefarmasian adalah serangkaian parameter prosedur dan cara pengukuran yang

hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, dalam artian

memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan fisika), termasut jaminan (batas-

batas) stabilitas dalam produk kefarmasian umumnya. Parameternya sendiri terdiri

dari parameter umun dan parameter spesifik. (DepKes, 2000)

31 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.6.2 Metode Ekstraksi

2.6.2.1 Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut

a) Cara dingin

1. Maserasi

Suatu metode ekstrak menggunakan pelarut dengan beberapa kali

pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi

termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada

keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus

menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah

dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

2. Perkolasi

Proses ekstraksi dengan pelarut yang baru sampai sempurna (exhaustive

extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari

tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak

(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bertahan.

b) Cara panas

1) Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya

selama waktu tertentu dan dalam jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses

pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi

sempurna.

2) Soxhlet

Proses ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya

dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan

jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

3) Digesti

Proses maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang

lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan

pada temperatur 40–50℃.

32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4) Infus

Proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus

tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC selama

waktu tertentu (15 – 20 menit).

5) Dekok

Proses infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30℃) dan temperatur sampai titik

didih air. (DepKes, 2000)

2.6.2.2 Destilasi Uap

Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri)

dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan

partial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinu

sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa

kandungan menguap ikut destilasi) menjadi destilat air bersama senyawa

kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian. Destilasi uap, bahan

(simplisia) benar-benar tidak dicelupkan keair yang mendidih, namun dilewati uap

air sehingga senyawa kandungan menguap ikut destilasi. Destilasi uap dan air,

bahan (simplisia) bercampur sempurna atau sebagian dengan air mendidih,

senyawa kandungan menguap tetap kontinu ikut terdestilasi.

2.6.2.3 Cara Ekstraksi Lainnya

a. Ekstraksi Berkesinambugan

Proses ekstraksi yang dilakukan berulangkali dengan pelarut yang berbeda

atau resirkulasi cairan pelarut dan prosesnya tersusun berurutan beberapa kali.

proses ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi (jumlah pelarut) dan dirancang

untuk bahan dalam jumlah besar yang terbagi dalam beberapa bejana ekstraksi.

b. Superkritikal Karbodioksida

Penggunaan prinsip superkritik untuk ekstraksi serbuk simplisia, dan

umumnya digunakan gas karbondioksida. Dengan variabel tekanan dan

temperaturakan diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang sesuai untuk

melarutkan golongan senyawa kandungan tertentu. Penghilangan cairan pelarut

dengan mudah dilakukan karena karbondioksida menguap dengan mudah, sehingga

hampir langsung diperoleh ekstrak.

33 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Ekstraksi Ultrasonik

Getaran ultrasonik (>20.000 Hz.) memberikan efek pada proses ekstrak

dengan prinsip meningkatkan permiabilitas dinding sel, menimbulkan gelembung

spontan (cavitation) sebagai stres dinamik serta menimbulkan fraksi interfase. Hasil

ekstraksi tergantung pada frekuensi getaran, kapasitas alat dan lama proses

ultrasonikasi.

d. Ekstraksi Energi Listrik.

Energi listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet “electric-

discharges” yang dapat mempercepat proses dan meningkatkan hasil dengan prinsip

menimbulkan gelembung spontan dan menyebarkan gelombang tekanan

berkecepatan ultrasonik.

2.6.3 Parameter Ekstrak

2.6.3.1 Parameter Non Spesifik

1. Susut Pengeringan dan Bobot Jenis

a. Parameter Suhu Pengeringan

Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105℃ selama 30

menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai porsen.

Bertujuan memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa

yang hilang pada proses pengeringan.

b. Parameter Bobot Jenis

Yaitu massa persatuan volume pada suhu kamar tertentu (25℃) yang

ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Dengan tujuan

memberikan batasan tentang besarnya masa persatuan volume yang merupakan

parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat

dituang.memberikan gambaran kandungan kiia terlarut

2. Kadar Air

Parameter kadar air yaitu mengukur kandungan air yang berada didalam bahan,

dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara filtrasi, destilasi atau gravimatri.

Dengan tujuan memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya

kandungan air didalam bahan.

34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Kadar Abu

Parameter kadar abu yaitu bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa

organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral

an anorganik. Yang bertujuan memberikan gambaran kandungan mineral internal

dan eksernal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. (DepKes,

2000)

2.6.3.2 Parameter Spesifik

1. Identitas

Yaitu mendeskripsikan tata nama ekstrak, latin, dan tumbuhan yang digunakan

selain itu juga mendeskripsikan suatu ekstrak mempuyai senyawa identitas, yaitu

sebagai petunjuk spesifik dengan metode tertentu. Tujuannya untuk memberikan

identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.

2. Organoleptik

Penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa untuk

pengenalan awal yang sederhana seobyektif mungkin.

3. Senyawa terlarut Dalam Pelarut Tertentu

Melarutkan ekstrak dengan pelarut untuk menentukan jumlah solut yang identik

dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri, akan memberikan gambaran

awal jumlah senyawa kandungan.

2.7 Gel

Menurut Farmakope Indonesia edisi IV menyatakan bahwa Gel atau Jeli

adalah suatu sistem dispersi semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel

anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu

cairan.

Sediaan gel memiliki kandungan air yang bersifat mendinginkan,

menyejukkan, melembabkan, mudah penggunaannya, mudah berpenetrasi pada

kulit, sehingga memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat sesuai dengan

basis yang digunakan (Ansel H. , 2005)

35 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian berlangsung pada bulan April 2018 di Laboratorium Kimia Obat

(PMC), Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia (PNA), Laboratorium Penelitian 1

(PDR), Laboratorium Penelitian 2 (PBB), dan Laboratorium Animal House

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini yaitu, penggaris, timbangan

analitik (AND GH-202 dan Wiggen Hauser), timbangan hewan (Ohauss), rotary

evaporator, blender (National), kandang tikus beserta tempat makan dan minum, ,

wadah pembiusan, plat besi berukuran 4x2 cm, pH meter (HANA Instruments),

viskometer (HAAKE), gelas beaker (ukuran 50 ml, 100 ml dan 1000 ml) merk

pyrex, gelas ukur (ukuran 5 ml, 10 ml, 50 ml, 100 ml) merk pyrex, mortar, alu,

corong, cawan porselen, batang pengaduk, pinset, spatula, alumunium foil, sudip,

kapas, kertas saring.

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan uji yang digunakan untuk penelitian ini adalah ekstrak daun Petai

cina dan lidah buaya bahan lain yang digunakan yaitu aqua destilat, pelarut etanol

70%, gel bioplasenton, alcohol swab, eter, Na CMC, propilen glikol, gliserin, dan

nipagin.

3.3 Hewan Uji

Hewan percobaan, tikus putih jantan (Rattus novergicus) jantan galur Sprague

Dawley berusia 2-3 bulan dengan bobot 100-150 gram diperoleh dari Laboratorium

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB).

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pengumpulan Bahan

Daun Petai cina (Leucaena leucocephala) dan daun Lidah buaya (Aloe vera)

yang didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO)

Bogor Jawa Barat.

36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.2 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi)

Determinasi Daun Petai Cina dan Lidah Buaya dilakukan di LIPI Cibinong

Bogor. Determinasi dilakukan untuk memastikan kebenaran simplisia yang akan

digunakan.

3.4.3 Penyiapan Simplisia

Simplisia adalah bahan alam atau tumbuhan yang telah dikeringkan dengan

suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60oC (Anonim, 2009).

Tumbuhan Petai cina didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Rempah

dan Obat (Balittro) Bogor. Bagian tumbuhan yang dipakai Petai cina (Leucaena

leucocephala) adalah daun. Pengambilan sampel tumbuhan dilakukan dengan

golok dan dipilih tumbuhan yang segar dan masih dalam keadaan baik.Tumbuhan

Petai cina (Leucaena leucocephala) yang telah dipilih disortasi basah (dicuci

dengan air mengalir) dan dikering anginkan (tidak terkena paparan matahari

langsung) sampai batang daun dan daun mengering hingga mudah untuk

dipisahkan. Daun Petai cina (Leucaena leucocephala) timbang berat bersih

daunnya, setelah itu, dihaluskan dengan blender untuk mendapatkan serbuk

simplisia. Serbuk simplisia tersebut disimpan diwadah tertutup dan terhindar dari

sinar matahari.

Sedangkan untuk pembuatan gel lidah buaya tumbuhan lidah buaya yang

didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor.

Bagian tumbuhan yang dipakai Lidah Buaya (Aloe vera) adalah daging daun.

Pengambilan sampel tumbuhan dilakukan dengan golok dan dipilih tumbuhan yang

segar dan masih dalam keadaan baik.

Kemudian Lidah Buaya (Aloe vera) disortasi basah dan dikupas kulit

daunya, kemudian ditimbang dan selanjutnya diteruskan dengan metode maserasi

ekstraksi.

3.4.4 Pembuatan Ekstrak

Metode ekstraksi yang digunakan untuk mengekstraksi tumbuhan Petai cina

(Leucaena leucocephala) dan Lidah Buaya (Aloe vera)adalah metode ekstraksi cara

dingin yakni maserasi.

37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.4.1 Ekstraksi daun Petai cina

Daun petai cina yang sudah menjadi serbuk simplisia ditambahkan pelarut

etanol 70% sampai terendam. Maserat dituang dan diperas. Ampas dimaserasi lagi

dengan cairan pelarut yang baru sampai terendam. Remaserasi dilakukan sebanyak

3 kali maserasi, lalu hasil maserat di evaporasi pada rotary evaporator hingga

diperoleh ekstrak kental daun petai cina yang kemudian ditimbang untuk

mengetahui beratnya.

3.4.4.2 Ekstraksi Daun Gel Lidah Buaya

Daun lidah buaya dikupas dahulu sehingga mendapatkan gel lidah buaya

sebanyak 500 gram dihaluskan dengan blender kemudian direndam dengan 1000

ml pelarut etanol 70%, setelah itu didiamkan selama 2-3 hari dalam toples tertutup.

Lalu saring ekstrak cair dengan penyaring kain kasa dan tampung ekstrak dalam

botol. Hasil ekstrak diuapkan selama menggunakan rotary evaporator. Hasil

ekstrak kental Lidah Buaya dikeringkan dengan metode Freeze Dry.

Hitung hasil rendemen ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) dengan rumus:

% Rendemen = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑜𝑙𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑔𝑒𝑙 𝑙𝑖𝑑𝑎ℎ 𝑏𝑢𝑎𝑦𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑎𝑙𝑢𝑠𝑘𝑎𝑛x % kemurnian

3.4.5 Standarisasi Ekstrak (DepKes, 2000)

3.4.5.1 Penentuan Parameter Spesifik

1. Deskrispsi tata nama :

a) Nama Ekstrak (generik, datang, paten)

b) Nama latin tumbuhan (sistematika botani)

c) Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb)

d) Nama Indonesia tumbuhan

2. Organoleptik

a) Bentuk : Padat, serbuk-kering, kental, cair

b) Warna : kuning, coklat, dll

c) Bau : aromatik, tidak berbau, dll

d) Rasa : pahit, manis, kelat, dll

3.4.5.2 Penentuan Parameter Non Spesifik

a. Kadar Abu

Sampel ditimbang sebanyak 1 gram , dimasukkan, ke dalam krus silikat yang

telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Dipijarkan perlahan-lahan selama ± 1 jam

38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

danpemijaran disempurnakan dengan tanur bersuhu tinggi 600o ± 20o C.Sampai

diperoleh abu berwarna abu-abu. Didinginkan dalamdesikator, kemudian

ditimbang serta dicatat pengurangan beratnya (DepKes, 2000)

Kadar abu =berat awal − berat akhir

berat awal x 100%

b. Kadar Air

Sampel ditimbang sebanyak 1 gram dimasukkan dalam wadah yang telah ditara.

Simplisia dikeringkan pada oven suhu 105oC selama 5 jam dan ditimbang.

Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara

2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,001 g (DepKes, 2000).

Kadar air =berat sebelum pengeringan − berat akhir

berat sebelum pengeringan x 100%

3.4.6 Pembuatan Sediaan Gel

Gel dibuat dengan formula:

Na CMC 3%

Propilen glikol 3,75%

Gliserin 7,5%

Nipagin 0,05%

Aquadest ad 100 (Erlia, 2014)

Na-CMC dikembangkan dengan cara ditaburkan di atas air panas 60℃ dan

dibiarkan selama 30 menit hingga mengembang. Dalam wadah lain, nipagin

dilarutkan dengan aquades dan dimasukan perlahan kedalam basis Na-CMC, serta

gliserin dan propilenglikol, aduk hingga homogen diatas hotplate dan diaduk

dengan homoginizer kemudian masukkan aquades perlahan kemudian aduk secara

kontinyu hingga terbentuk gel. Setelah gel homogen, ekstrak daun Petai cina dan

ekstrak Lidah Buaya dilarutkan kedalam air hangat. Setelah larut, kedua ekstrak

ke dalam gel dan aduk kembali hingga homogen. Gel dibuat menjadi konsentrasi

ekstrak daun Petai cina dan Lidah Buaya (15% : 0,5%), (7,5% : 0,5% ) dan (3,75%

: 0,5% ).

39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

a. Evaluasi Sediaan Gel

1. Pemeriksaan organoleptis

Uji organoleptik dengan menggunaan pancaindera mendeskripsikan

bentuk, warna, bau, dan rasa. Sebagai contoh bentuk (serbuk kering), warna

(kuning), bau (aromatik), rasa (pahit). (DepKes, 2000)

2. Pemeriksaan homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah sediaan yang telah

dibuat homogen atau tidak. Gel diuji homogenitasnya dengan mengoleskan

pada sekeping kaca atau bahan transparan yang cocok, dimana sediaan

diambil 3 bagian yaitu atas, tengah dan bawah. Homogenitas ditunjukkan

dengan tidak adanya butiran kasar (DepKes, 2000)

3. Pengukuran viskositas

Viskositas diukur dengan menggunakan viskometer Brookfield, spindel

no. 7 dengan kecepatan 60 putaran per menit (rpm).

4. Pemeriksaan pH gel

Uji pH dilakukan untuk melihat tingkat keasaman sediaan gel untuk

menjamin sediaan gel tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Pemeriksaan pH

dilakukan dengan alat pH meter. Sebelum dilakukan pengujian, elektroda

pada pH meter dicuci dengan air suling dan dikeringkan dengan kertas tisu.

Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan mencelupkan elektroda ke dalam

sediaan lalu ditunggu hingga muncul angka pada pH meter. Angka yang

tertera pada pH meter menunjukkan pH sediaan gel (Utami, 2015). pH

sediaan yang memenuhi kriteria pH kulit yaitu dalam interval 4,5 – 6,5

(Mappa, 2013)

3.5 Persiapan Hewan Uji

Hewan percobaan yang digunakan tikus putih jantan (Rattus novergicus)

jantan galur Sprague Dawley berusia 2-3 bulan dengan bobot 100-150 gram. Hewan

tersebut diaklimatisasi terlebih dahulu selama 1 minggu agar dapat menyesuaikan

diri dengan lingkungan dan selama proses adaptasi dilakukan pengamatan kondisi

umum serta dilakukan penimbangan berat badan setiap hari. Hewan uji yang sakit,

dengan ciri-ciri aktivitas berkurang, lebih banyak diam, dan bulunya berdiri, tidak

40 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

akan diikutsertakan dalam penelitian. Pengelompokkan hewan uji yang sehat

dilakukan sebelum melaksanakan penelitian.

3.5.1 Pembuatan Luka Bakar Pada Punggung Tikus

Pembuatan luka bakar dilakukan berdasarkan jurnal yang telah dilakukan

oleh Akhoondinasabet al. (2014). Pengujian efek penyembuhan luka bakar

dilakukan terhadap 30 ekor tikus. Masing-masing tikus dianastesi menggunakan

pelarut eter. Hewan uji dicukur bulu pada daerah dorsal sekitar 3 cm dari telinga

tikus. Pencukuran dilakukan dengan mengoleskan Veet® cream pada daerah uji

selama 3-5 menit, kemudian dicukur dengan alat pencukur bulu, lalu induksi luka

bakar dilakukan dengan menggunakan plat besi berukuran 4x2 cm yang dipanaskan

selama 5 menit di dalam air mendidih lalu ditempelkan pada kulit punggung selama

10 detik dengan tekanan yang sama.

3.5.2 Pengujian Efek Penyembuhan Luka Bakar Gel ekstrak daun Petai

cina dan Lidah Buaya

Tabel 3. 1 Pembagian kelompok perlakuan

Kelompok Jumlah

tikus Perlakuan Keterangan

A 5 Gel dengan kombinasi ekstrak daun Petai cina

dan Lidah Buaya dosis tinggi (15% : 0,5%) 21 hari

B 5 Gel dengan kombinasi ekstrak daun Petai cina

dan Lidah Buaya dosis sedang (7,5% : 0,5%) 21 hari

C 5 Gel dengan kombinasi ekstrak daun Petai cina

dan Lidah Buaya dosis rendah (3,75% : 0,5%) 21 hari

D 5 Kontrol negatif, basis gel (tanpa ekstrak) 21 hari

E 5 Kontrol positif, diberi gel Bioplasenton® 21 hari

Luka yang terjadi diamati dan diukur, setelah itu diolesi obat sesuai

kelompok masing-masing, yaitu kontrol negatif dengan basis gel, kontrol positif

dengan obat komersil (Bioplasenton®) serta tiga kelompok dengan ekstrak daun

Petai cina dan Lidah Buaya dengan konsentrasi (15% : 0,5%), (7,5% : 0,5% ) dan

(3,75% : 0,5% ).

Pemberian gel dilakukan secara topikal sebanyak 0,2 g untuk 1x pengolesan

dengan cara mengoleskannya di bagian luka pada masing-masing kelompok tikus

41 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

perlakuan. Pemberian gel dilakukan setiap hari, dari hari ke-1 sampai hari ke 21

setelah perlukaan sebanyak 2 kali sehari pada waktu pagi dan sore hari.

3.5.3 Pengamatan Penyembuhan Luka

Pengamatan secara patologi anatomi dilakukan setiap hari mulai dari hari

ke-1 sampai hari ke-21 setelah perlukaan pada semua tikus perlakuan. Pengamatan

dilakukan dengan cara melihat langsung pada bagian luka. Untuk menilai

penyembuhan luka, diambil foto kulit tikus yang terkena luka bakar setiap hari

kemudian diolah dengan software Image J dan dihitung persentase

penyembuhannya (Akhoondinasab, Akhoondinasab, & Saberi, 2014)

Waktu dan presentase penyembuhan luka bakar.

% penyembuhan luka = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟

𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 x 100%

3.6 Analisis Data

Data hasil pengujian dianalisis menggunakan software pengolah data dan

disajikan dalam bentuk mean dan standar deviasi dari masing-masing kelompok.

Data diolah menggunakan analisis statistik dengan uji normalitas, uji homogenitas,

One Way ANOVAdan Kruskal-Wallis Test.

42 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Determinasi Tumbuhan

Determinasi tumbuhan daun petai cina dan lidah buaya dilakukan di

laboratorium Herbarium Bogoriense LIPI Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi

menunjukan bahwa sampel petai cina Leucaena leucoccephala (Lam.) de Wit dari

famili Leguminosae dan lidah buaya Aloe vera (L.) Burm.f. dari famili

Xanthorrhoeaceae. (Lampiran 2)

4.2 Hasil Ekstraksi

Daun petai cina (Leucaena leucephala) yang didapatkan di Balittro Bogor,

sebanyak 3 kg disortasi basah dibersihkan dengan menggunakan air mengalir,

pengeringan simplisia dengan menggunakan metoda kering angin dan tidak

dikenakan sinar matahari secara langsung. Setelah mengering dilakukan pemisahan

antara tulang daun dan daging daun, sehingga mendapatkan berat simplisia 1150

gram dan dihaluskan dengan menggunakan blender. Setelah mendapatkan simplisia

kering proses maserasi dimulai dengan merendam simplisia dan pelarut etanol 70%

1:3. Setelah dimaserasi sebanyak 3 kali berulang, disaring menggunakan bantuan

kapas dan kertas saring. Kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary

evaporator, sehingga mendapatkan ekstrak kental sebanyak 144,97 gram. Proses

selanjutnya ekstrak kental petai cina di Freezedry di LIPI Cibinong Bogor selama

3 hari agar mendapatkan ekstrak yang lebih padat dan untuk menghilangkan sisa

pelarut yang masih tertinggal diekstrak kental. Hasil ekstrak setelah perlakuan

Freezedry mendapatkan berat 109,64 gram dengan rendemen 9,53%. Perhitungan

rendemen dapat dilihat pada (lampiran 5).

Dan penyiapan pembuatan ekstrak lidah buaya (Aloe vera) yang didapatkan

dari Balittro Bogor sebanyak 2 kg dibersihkan dan dikupas kulit daunnya, agar

dapat dipisahkan dengan daging daun lidah buaya. Daging daun lidah buaya yang

akan digunakan sebagai ekstrak yang diperoleh sebanyak 1500 gram berat basah

daging daun lidah buaya, lalu dihaluskan dengan blender dan dimaserasi dengan

menggunakan etanol 70% 1:2. Kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary

evaporator. Proses selanjutnya ekstrak lidah buaya di Freezedry di LIPI Cibinong

43 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bogor selama 8 hari agar mendapatkan ekstrak yang lebih padat dan untuk

menghilangkan sisa pelarut yang masih tertinggal. Sehingga mendapatkan ekstrak

padat menyerupai kapas seberat 9,9283 gram dengan rendemen 0.662%.(lampiran

5)

4.3 Hasil Pemeriksaan Parameter Ekstrak

Hasil pengujian parameter spesifik dan non spesifik ekstrak daun petai cina

(Leucaena leucocephala) dan lidah buaya (Aloe vera) dapat dilihat ditabel.

Tabel 4. 1 Tabel Pemeriksaan Parameter Ekstrak

Parameter

Hasil

Ekstrak Daun Petai

Cina

Ekstrak Lidah

Buaya

Parameter

spesifik

Identitas ekstrak

a. Nama latin tumbuhan

b. Bagian tumbuhan

yang digunakan

c. Nama indonesia

tumbuhan

Leucaena

leucocephala

Daun

Petai Cina

Aloe vera

Daging daun

Lidah buaya

Organoleptik

a. Bentuk

b. Warna

c. Aroma

Kental

Coklat

Khas

Gel

Kuning kehijauan

Khas

Parameter non

spesifik

Kadar air 9,7% 21,3%

Kadar abu 28,4% 2,84%

Pengujian kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau

rentang besarnya kandungan air dalam bahan karena jumlah air yang tinggi dapat

menjadi media bagi tumbuhnya bakteri dan jamur yang dapat merusak senyawa

yang terkandung didalamnya (DepKes, 2000). Uji kadar air kedua ekstrak tersebut

menggunakan metode gravimetri. Dari hasil pengujian diperoleh hasil kadar air dari

ekstrak daun petai cina 9,7%. Sedangkan untuk kadar air lidah buaya

21,3%.(lampiran 6)

Penetapan kadar abu total dilakukan dengan tujuan untuk memberikan

gambaran kandungan mineral yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya

ekstrak. Kadar abu total berkaitan dengan mineral baik senyawa organik maupun

44 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

anorganik (DepKes, 2000). Nilai kadar abu ekstrak petai cina adalah 28,4% dan

kadar abu ekstrak lidah buaya 2,84%.(lampiran 7)

4.4 Hasil Evaluasi Sediaan Gel

Hasil evaluasi sediaan gel ekstra daun petai cina (Leucaena leucocephala)

dan lidah buaya (Aloe vera) meliputi uji organoleptik, homogenitas, pH dan

viskositas. Hasil evaluasi sediaan gel kombinasi ekstrak petai cina dan lidah buaya

dapat dilihat pada tabel.

Tabel 4. 2 Tabel Evaluasi Sediaan Gel

Setelah dilakukan parameter ekstrak daun petai cina dan lidah buaya,

kemudian diformulasikan kedalam bentuk sediaan gel. Sediaan gel dipilih karena

memiliki kandungan air yang bersifat mendinginkan, menyejukkan, melembabkan,

mudah penggunaannya, mudah berpenetrasi pada kulit, sehingga memberikan efek

penyembuhan yang lebih cepat sesuai dengan basis yang digunakan (Ansel H. ,

2010). Sehingga hal ini sesuai dengan prinsip penanganan utama luka bakar ringan

yaitu mendinginkan luka yang terbakar dengan air, dimana kandungan gel sebagian

besar terdiri dari air (Sjamsuhidajat & Jong, 1997). Gambar sediaan gel dapat

dilihat pada (lampiran 10).

Karakteristik

Hasil

Formula I Formula II Formula III Formula IV

gel ekstrak

daun petai

cina 3,75%

dan ekstrak

lidah buaya

0,5%

gel ekstrak

daun petai cina

7,5% dan

ekstrak lidah

buaya 0,5%

gel ekstrak

daun petai

cina 15% dan

ekstrak lidah

buaya 0,5%

gel tanpa

ekstrak basis

polimer

NaCMC 3%

Organoleptik

Warna Coklat Muda Coklat Muda Coklat Bening

transparan

Bentuk Semisolid Semisolid Semisolid Semisolid,

transparan

Bau Khas Khas Khas Khas

Homogenitas Homogen Homogen Homogen Homogen

pH 5,726 5,697 5,714 6,658

Viskositas 48300 50900 53100 27800

45 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Berdasarkan data hasil evaluasi sediaan gel pada tabel , secara organoleptis

terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak petai cina maka warna gel akan

terlihat lebih gelap akibat warna yang ditimbulkan oleh ekstrak petai cina, bentuk

sediaan yang dihasilkan semisolid, dan menimbulkan bau khas ekstrak petai cina

dan ekstrak lidah buaya karena konsentrasinya lebih sedikit sehingga pengaruh

warna dan bau tidak terlihat dengan jelas. Dari evaluasi homogenitas yang

dilakukan diatas objek glass terlihat bahwa ketiga sediaan gel yang dihasilkan

homogen. Kemudian dari data viskositas, diketahui bahwa semakin tinggi

konsentrasi ekstrak pada sediaan gel umumnya memiliki viskositas lebih tinggi. Hal

ini menunjukkan bahwa ekstrak petai cina cenderung meningkatkan viskositas

basis. Nilai pH pada sediaan gel kombinasi ekstrak petai cina dan ekstrak lidah

buaya mempunyai kisaran pH normal kulit yaitu 4,5-6,5 (Tranggono, 2007).

4. 5 Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus

Hasil pengukuran berat badan tikus selama aklimatisasi dan selama

perlakuan dapat dilihat pada

a. Berat Badan Tikus Selama Aklimatisasi

Gambar 4. 1 Grafik Rata-Rata Berat Badan Tikus Selama Aklimatisasi

0

20

40

60

80

100

120

140

160

H-1 H-2 H-3 H-4 H-5 H-6 H-7

Be

rat

Bad

an (

g)

Hari

Berat Badan Tikus Aklimatisasi

KELOMPOK A

KELOMPOK B

KELOMPOK C

KELOMPOK D

KELOMPOK E

46 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Berat Badan Tikus Selama Perlakuan

Gambar 4. 2 Grafik Rata-Rata Berat Badan Tikus Selama Perlakuan

Keterangan :

Kelompok A : PC 15%:0,5%

Kelompok B : PC 7,5%:0,5%

Kelompok C : PC 3,75%:0,5%

Kelompok D : Kontrok Negatif

Kelompok E : Kontrok Positif

PC : Petai Cina LB : Lidah Buaya

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah 25 ekor tikus putih

jantan (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley berusia 2-3 bulan dengan

bobot 100-150 gram. Tikus betina tidak digunakan untuk menghindari pengaruh

faktor hormonal (estrogen dan progesteron) dalam penyembuhan luka. Tikus yang

digunakan adalah galur Sprague Dawley karena keuntungan utamanya adalah

ketenangan dan kemudahan penanganannya. Hewan tersebut diaklimatisasi terlebih

dahulu selama 1 minggu agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selama

proses aklimatisasi penimbangan berat badan setiap hari hingga mencapai bobot

yang diinginkan untuk kriteria pengujian luka bakar (Gambar 4.1). Pada saat

aklimatisasi tidak ada hewan uji yang sakit, dengan ciri-ciri aktivitas berkurang,

lebih banyak diam, dan bulunya berdiri. Pakan yang diberikan selama penelitian

adalah pakan jenis CP 511B dengan analisa gizi.

Dari gambar grafik diketahui bahwa berat badan tikus selama aklimatisasi

maupun selama perlakuan mengalami kenaikan berat badan dan tidak mengalami

penurunan berat badan. Hal ini menunjukkan bahwa hewan uji dalam keadaan sehat

dimana salah satu cirinya adalah tidak terjadinya penurunan berat badan secara

signifikan. Sama halnya setelah perlakuan berat badan hewan uji tidak mengalami

0

50

100

150

200

250

H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 H-15 H-18 H-21

Be

rat

Bad

an (

g)

HARI

Berat Badan Tikus Perlakuan

KELOMPOK A

KELOMPOK B

KELOMPOK C

KELOMPOK D

KELOMPOK E

47 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

penurunan, sehingga tikus dalam percobaan dalam keadaan baik. Hasil surat

kesehatan hewan uji terdapat pada (Lampiran 3).

4.6 Hasil Pengamatan Luka Bakar

Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas gel kombinasi ekstrak daun petai

cina dan ekstrak lidah buaya terhadap penyembuhan luka bakar. Uji ini dilakukan

secara eksperimental terhadap hewan uji berupa tikus putih (Rattus norvegicus)

jantan galur Sprague Dawley. Parameter yang diamati meliputi pembentukan

keropeng, penurunan luas luka, dan persentase penyembuhan luka bakar. Kode etik

tentang perlakuan hewan uji terdapat pada (Lampiran 4).

Desain penelitian dilakukan dengan membagi 25 tikus menjadi 5 kelompok

perlakuan yaitu kontrol positif yang diberikan gel bioplasenton, kelompok kontrol

negatif yang diberikan basis gel Na CMC tanpa ekstrak, serta tiga kelompok dengan

kombinasi ekstrak daun petai cina dan ekstrak lidah buaya (15%:0,5%),

(7,5%:0,5%), dan (3,75%:0,5%).

Penelitian ini menggunakan gel bioplacenton® sebagai kontrol positif yang

mengandung ekstrak plasenta 10% yang bekerja memicu pembentukan jaringan

baru dan untuk penyembuhan luka, sedangkan neomisin sulfat 0,5% untuk

mencegah atau mengatasi infeksi bakteri gram negatif pada area luka.

Proses induksi luka bakar dilakukan dengan cara masing-masing tikus

dicukur bulunya pada daerah punggung sekitar 3 cm dari telinga tikus

menggunakan Veet® cream dan diberi anastesi dengan pelarut eter, untuk

mengurangi rasa sakit akibat induksi luka bakar dan memudahkan penangannnya.

Induksi luka bakar dilakukan dengan menggunakan plat besi berukuran 4x2 cm

yang dipanaskan selama 5 menit di dalam air mendidih lalu ditempelkan pada kulit

punggung selama 10 detik dengan tekanan yang sama.

Pemberian gel dilakukan secara topikal sebanyak 0,2 g dengan cara

mengoleskannya di bagian luka sesuai dengan kelompok perlakuan. Pemberian gel

dilakukan setiap hari, dari hari ke-1 sampai hari ke 21 setelah perlukaan sebanyak

2 kali sehari pada waktu pagi dan sore hari.

4.6. Hasil Pengamatan Patologi Anatomi

Pengamatan secara patologi anatomi dilakukan dengan mengamati awal

terbentuknya keropeng dan saat lepasnya keropeng serta persentase penyembuhan

48 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

luka bakar. Dilakukan dengan menguunakan software Image J, dengan tahap

penggunaannya dapat dilihat pada (Lampiran 8).

a. Pengamatan Keropeng

Pembentukan keropeng menunjukkan proses penyembuhan luka memasuki

fase proliferasi tahap awal (Effendy, 1999). Untuk mengamati pembentukan

keropeng, pada luka akan terlihat adanya jaringan granulasi yang ditandai dengan

munculnya keropeng. Keropeng ini berfungsi untuk menutup luka dan mencegah

luka dari kontaminasi lebih lanjut oleh mikroba. Pelepasan keropeng menandakan

sudah terjadinya pertumbuhan sel-sel baru pada kulit sehingga membantu

mempercepat lepasnya keropeng dan merapatnya tepi luka.

Pada kelompok konsentrasi tinggi (15%:0,5%) rata-rata terbentuknya

keropeng pada hari ke 2 dan lepas pada hari ke 11. Pada kelompok konsentrasi

Sedang (7,5%:0,5%) rata-rata terbentuknya keropeng pada hari ke 3 dan lepas pada

hari ke 12. Pada kelompok konsentrasi rendah (3,75%:0,5%) rata-rata terbentuknya

keropeng pada hari ke 3 dan lepas pada hari ke 13. Pada kelompok kontrol negatif,

terbentuknya keropeng rata-rata terjadi pada hari ke 3 dan lepas pada hari ke 14.

kontrol positif, terbentuknya keropeng rata-rata terjadi pada hari ke 2 dan lepas pada

hari ke 12. Gambar pengamatan perubahan luka bakar dapat dilihat pada (lampiran

9).

49 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4. 3 Pengamatan Keropeng

Rerata hari ke-

Uji Konsentrasi

Tinggi

(15%:0,5%)

Uji

Konsentrasi

Sedang

(7,5%:0,5%)

Uji

konsentrasi

rendah

(3,75%:0,5%)

Kontrol

negatif

Kontrol

positif

Terbentuk

nya

keropeng

2 3 3 3 2

Lepasnya

keropeng

11 12 13 14 12

Berdasarkan pengamatan terbentuknya keropeng, terlihat bahwa kelompok

uji konsentrasi tinggi (15%:0,5%) berpotensi mempercepat waktu penyembuhan

luka karena pembentukan keropeng paling cepat terbentuk, yaitu pada hari ke-2 dan

terlepas pada hari ke-11 selanjutnya uji konsentrasi sedang (7,5%:0,5%) dan

kontrol positif mempunyai waktu lepas keropeng yang sama, lalu disusul dengan

konsentrasi rendah (3,75%:0,5%) dan kontrol negatif. Pada uji konsentrasi rendah

(3,75%:0,5%) pada awalnya dapat mempercepat pengeringan pada daerah luka

namun pengeringan ini memicu pembentukan keropeng atau jaringan mati yang

sangat keras dan tebal dan menempel erat pada permukaan luka. Jaringan mati ini

dapat menghambat distribusi zat aktif dan absorbsi obat sehingga luka lebih lama

sembuh. Lamanya proses pembentukan jaringan baru mengakibatkan lamanya

masa penyembuhan. Oleh sebab itu kelompok uji konsentrasi rendah (3,75%:0,5%)

memiliki waktu pengelupasan keropeng yang paling lama. Selain itu, dapat diamati

bahwa kelompok kontrol negatif mengalami proses penyembuhan luka yang lama

dilihat dari waktu terbentuknya keropeng dan waktu lepasnya keropeng. Hal ini

menunjukkan bahwa pemberian basis gel saja tidak mempengaruhi percepatan

penyembuhan luka.

50 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Hasil Pengukuran Penurunan Luas Luka Bakar

Pada parameter persentase penyembuhan luka, dilakukan dengan cara

melihat langsung pada bagian luka lalu diukur luas luka bakar dengan aplikasi

imageJ dan dihitung persentase penyembuhan luka bakar (Tabel 4.4). persentase

penyembuhan luka dihitung dengan rumus:

% penyembuhan luka = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟

𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 x 100%

Luas luka awal luas luka sehari setelah pembuatan luka dan luas luka akhir

adalah luas luka pada hari dilakukan pengamatan.

Luas luka awal yang menjadi perhitungan persentase penyembuhan luka

adalah luas luka sehari setelah tikus dilukai, karenan setelah 24 jam terjadi

kestabilan luas luka. Suatu luka dapat dikatakan sembuh apabila daerah luka

tersebut telah mengalami epitelisasi secara menyeluruh dan tidak lagi

membutuhkan perawatan.

Hasil pengukuran penurunan luas luka bakar pada seluruh kelompok

perlakuan pada hari ke-1 hingga hari ke-21 menggunakan metode perlukaan

(Akhoondinasab, Akhoondinasab, & Saberi, 2014) dapat dilihat pada tabel 4.4

51 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4. 4 Hasil Pengukuran Presentase Penurunan Luas Luka Bakar

Kelompok

Perlakuan

Hari ke

6 9 12 15 18 21

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

K1 (PC

15% : LB

0,5%)

16,75 ±

13,80

29,22 ±

19,06

75,47 ±

20,94

86,67 ±

18,43

97,21 ±

3,52

98,75 ±

2,22

K2 (PC

7,5% : LB

0,5%)

23,67 ±

16,67

49,34 ±

19,59

71,69 ±

12,65

85,54 ±

6,19

94,18 ±

5,73

98,34 ±

1,65

K3 (PC

3,75% :

LB 0,5%)

24,42 ±

9,98

36,43 ±

6,04

71,02 ±

16,81

81,86 ±

19,32

85,61 ±

19,13

88,81 ±

18,53

K4 Kontrol

(-)

30,24 ±

16, 10

32,70 ±

14, 81

58,08 ±

8,95

74,63 ±

13,85

83,63 ±

13,84

90,36 ±

12,69

K5 Kontrol

(+)

15,91 ±

2,07

26,83 ±

8,42

47,57 ±

14,70

73,71 ±

17,12

83,67 ±

16,76

93,02 ±

6,22

Pemberian gel kombinasi ekstrak daun petai cina dan ekstrak lidah buaya

dengan berbagai tingkatan konsentrasi memberikan pengaruh terhadap waktu dan

persentase penyembuhan luka bakar (Tabel 4.4). Persentase penyembuhan luka

bakar yang terbesar pada hari ke-12 terlihat pada kelompok uji konsentrasi tinggi

(15%:0,5%) yaitu 75,47% diikuti oleh kelompok uji konsentrasi sedang

(7,5%:0,5%) yaitu 71,69%. Berdasarkan uji statistik kelompok uji konsentrasi

tinggi (15%:0,5%) tidak berbeda signifikan dengan kelompok uji konsentrasi

sedang (7,5%:0,5%) dan uji konsentrasi rendah (3,75%:0,5%) yaitu 71,02%.

Sedangkan kontrol positif dan kontrol negatif masih dalam nilai presentase sedang

dihari ke 12, yaitu kontrol negatif dengan 58,08% dan kontrol positif 47,57%.

52 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Persentase penyembuhan luka bakar yang terbesar pada hari ke-21 uji

konsentrasi tinggi (15%:0,5%) yaitu 98,75% diikuti oleh kelompok uji konsentrasi

sedang (7,5%:0,5%) yaitu 98,34 %. Kontrol positi 93,02% dan kontrol negatif

90,36%. Nilai presentase penyembuhan terendah pada hari ke-21 adalah uji

konsentrasi rendah yaitu 88,81%. Hal ini menunjukkan bahwa gel kombinasi

ekstrak petai cina dan ekstrak lidah buaya pada kelompok uji konsentrasi tinggi

(15%:0,5%) dan kelompok uji konsentrasi sedang (7,5%:0,5%) memiliki aktivitas

yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol positif dalam persentase penyembuhan

luka bakar derajat dua.

Gambar 4. 3 Grafik Persentase Penyembuhan Luka Bakar

Keterangan :

Kelompok A : PC 15%:0,5%

Kelompok B : PC 7,5%:0,5%

Kelompok C : PC 3,75%:0,5%

Kelompok D : Kontrok Negatif

Kelompok E : Kontrok Positif

PC : Petai Cina LB : Lidah Buaya

Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 9, 12, dan 15

terdistribusi homogen, sedangkan data pada hari ke 6, 18 dn 21 tidak terdistribusi

homogen.

Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas, data presentase

penyembuhan luka bakar pada hari ke 9, 12, dan ke 15 dilanjutkan dengan uji one-

way ANOVA. Sedangkan data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 6,

18, dan 21 dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis. Data analisis statistik dapat

dilihat di (lampiran 11 dan 12).

0

20

40

60

80

100

120

A B C D E

98,75 98,34 88,82 90,37 93,03

2,22 1,65 18,53 12,69 6,22

Rata-Rata Penyembuhan Luka Bakar Derajat II H-21

rata-rata penyembuhan H-21 SD

53 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari nilai data statistik yang ada pada lampiran menunjukkan bahwa penurunan

luka bakar derajat II antar kelompok tidak berbeda secara signifikan. Pemberian

gel kombinasi ekstrak petai cina dan ekstrak lidah buaya dengan konsentrasi

bertingkat tidak memberikan perbedaan secara bermakna dengan kontrol positif

maupun kontrol positif.

Penyembuhan luka melibatkan proses biologis seperti peradangan dan

pembentukan jaringan granulasi. Kolagen adalah protein utama dalam matriks

ekstraseluler dan memberikan kekuatan dan integritas ke dermis dan jaringan

pendukung lainnya.

Pada penelitian ini aktivitas kombinasi ekstrak petai cina dan lidah buaya

dengan kelompok konsentrasi tinggi (15%:0,5%) dan kelompok konsentrasi sedang

(7,5%:0,5% ) menunjukkan nilai presentase penyembuhan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kontrol positif yang mengandung ekstrak plasenta 10%. Dan

dari nilai presentase tersebut juga dapat menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah

penambahn konsentrasi pada ekstrak petai cina akan meningkatkan waktu

penyembuhan luka bakar derajat II. Dan menurut penelitian (Retno & Sugihartini,

2015) menggunakan ekstrak daun petai cina dengan konsentrasi 30% memberikan

aktifitas sama besarnya dengan kontrol positif (Bioplasenton), sedangkan dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak petai cina dan lidah buaya

memberikan aktivitas daya penyembuhan yang lebih tinggi dari bioplasenton,

meskipun nilai konsentrasi ekstrak petai cinanya lebih rendah.

Penambahan ekstrak aloe vera meningkatkan produksi kolagen. Fraksi

Glikoprotein adalah komponen utama lidah buaya untuk terlibat dalam

penyembuhan luka dengan sel proliferasi dan migrasi. Fraksi glikoprotein terisolasi

dapat meningkatkan pertumbuhan fibroblas dermal. Mekanisme utama lidah buaya

terletak pada bagaimana ia bertindak pada proliferasi sel dari komponen dermal.

Fraksi glikoprotein dari lidah buaya merangsang proliferasi sel, mempercepat

pemulihan luka buatan pada monolayer keratinosit normal, dan meningkatkan

penebalan lapisan epidermal. Fraksi ini menstimulasi baik fibroblas dan keratinosit

untuk menghasilkan fibronektin dan reseptornya. Penelitian lain menemukan

bahwa lidah buaya meningkatkan kandungan kolagen dari jaringan granulasi serta

tingkat keterkaitan silang. Diperkirakan bahwa kandungan kolagen yang

54 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ditingkatkan mendorong stimulasi oleh aloe dalam sintesis kolagen atau

meningkatkan proliferasi fibroblast sintesis kolagen, atau keduanya.

Antiinflamasi efek dari aloe berkontribusi pada proses inflamasi diinduksi oleh

pembakaran. (Khorasani, 2009).

Studi terkait efektivitas dun petai cina (Leucaena leucocephala) terhadap

proses waktu penyembuhan luka bakar derajat II dangkal pada tikus jantan galur

Sprague Dawley dalam penelitian (Kurnianto, Kusnanto, & Padoli, 2017)

menunjukkan hasil uji waktu penyembuhan luka bakar oleh ekstrak daun petai cina

dengan konsentrasi 30% adalah 11,14 hari . Sedangkan dalam penelitian yang telah

dilakukan oleh (Retno & Sugihartini, 2015) hasil uji waktu penyembuhan luka

bakar menunjukkan bahwa pemberian gel ekstrak daun petai cina dengan

konsentrasi 10% mempunyai waktu penyembuham rata-rata 31,5 hari, dengan

konsentrasi 15% mempunyai waktu penyembuhan luka bakar 30 hari dan untuk

konsentrasi 30% mempunnyai waktu penyembuhan luka 28,5 hari.

Studi literatur terkait efektivitas lidah buaya dalam waktu penyembuhan luka

bakar dalam (Khorasani, 2009) menunjukan hasil waktu penyembuhan luka bakar

oleh lidah buaya adalah 15,9 hari sedangkan untuk SSD (Silver Sulfadiazine)

menunjukan waktu yang lebih lama 3 hari yaitu 18,73 hari. Sedangakan dalam

(Hosseinimeh, SJ;Khorasani, G;Azadbakht, M;Zamani, P;Ghasemi,M;Ahmadi,A ,

2010) proses penyembuhan aloe vera dalam hari ke 25 adalah mencapai nilai luas

permukaan 0,78 cm2, sedangkan SSD (Silver Sulfadiazine) dalam hari ke 25

mempunyai nilai permukaan 4,1 cm2 .

Sehingga dalam penjabaran studi literatur diatas yang menunjukkan waktu

penyembuhan antara ekstrak daun petai cina dan ekstrak lidah buaya secara tunggal

mempunyai waktu penyembuhan yang lebih lama daripada, jika keduanya

dikombinasikan karena diduga keduanya saling bersinergis dalam proses

penyembuhan luka bakar, sehingga mempercepat waktu penyembuhannya.

55 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian aktivitas gel kombinasi ekstrak daun petai cina

(Leucaena leucocephala) dan ekstrak lidah buaya (Aloe vera) terhadap

penyembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague-Dawley diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Gel kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) dan ekstrak

lidah buaya (Aloe vera) pada kelompok uji konsentrasi (15%:0,5%),

(7,5%:0,5%), dan (3,75%:0,5%) tidak terdapat perbedaan yang signifikan

terhadap penurunan luas luka dan peningkatan persentase penyembuhan

luka bakar derajat dua yang diberikan secara topikal pada pengamatan

secara patologi anatomi.

2. Kombinasi ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) dan ekstrak

lidah buaya (Aloe vera) dapat mempercepat waktu penyembuhan luka

bakar, daripada ekstrak tunggal.

5.2 Saran

Adapun saran untuk penelitian lebih lanjut adalah:

1. Perlu dilakukan uji stabilitas sediaan obat gel kombinasi ekstrak daun petai

cina dan ekstrak lidah buaya.

2. Perlu dilakukan penambahan parameter histopatologi untuk pengamatan

secara mikroskopis.

3. Perlu dilakukan pengamatan histopatologi pada beberapa interval waktu

yang mewakili fase inflamasi, proliferasi dan fase maturasi.

56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

Agus, B. M. (2001). Pedoman Meramu Pakan Ikan. Yogyakarta: Kanisius.

Akhoondinasab, M., Akhoondinasab, M., & Saberi, M. (2014). Comparison of

Healing Effect of Aloe Vera Extract and Silver Sulfadiazine in Burn Injuries

in Experimental Rat Model. World J Plast Surg, 29-34.

Anonim. (2007). Keputusan Menteri Kesehatan RI Tentang Kebijakan Obat

Tradisional Nasional No.381 Tahun 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan

RI.

Anonim. (2009). Keputusan Menteri Kesehatan RI Tentang Farmakope Herbal

Indonesia Edisi Pertama. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Anonim. (2015). Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015-2019.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Ansel, H. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi 4 . Jakarta: UI Press.

Ansel, H. (2010). Bentuk Sediaan Farmasi dan Sistem Penghantaran Obat Edisi 9.

Buku Kedokteran EGC.

Becatami, O., & Sugihartini, N. (2015). Uji Sifat Fisik dan Aktivitas Ekstrak Daun

Petai Cina (Leucaena glauca, Benth) Dalam Berbagai Tipe Basis Salep

Sebagai Obat Luka Bakar. Media Farmasi Vol.12 No.2 , 186-198.

DepKes. (1995). Farmakope Indonesia Edisi 4. Jakarta: Kementerian Kesehatan

RI.

DepKes. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

DepKes. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

DepKes. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kementerian Kesehatan RI.

Effendy, C. (1999). Perawatan Pasien Luka Bakar. Jakarta: Buku Kedokteran

EGC.

Erlia, E. e. (2014). Pengaruh Pemberian Gel Kuersetin Terhadap Jumlah Neutrofil

dan Limfosit dalam Proses Penyembuhan Luka Bakar Derajat II A Pada

Tikus Jantan Galur Wistar. Jurnal Pharmascience Vol. 1 No. 2, 38-45.

57 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Grace, M, O., Klopper, R. R., Figueiredo, E., & Smith, G. F. (2010). Integrated

Taxonomic Information System. Dipetik 20 Maret Selasa. Pukul 16.11,

2018, dari https://itis.gov.

Harahap, M. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates.

Harbone, J. (1987). Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB.

Hariana, A. (2008). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya seri 2. Jakarta: Penebar

Swadaya.

Hariana, A. (2013). 262 Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Penebar

Swadaya.

Hosseinimeh, SJ;Khorasani, G;Azadbakht, M;Zamani, P;Ghasemi,M;Ahmadi,A .

(2010). Effect of Aloe Cream Versus Silver Sulfadiazine for Healing Burn

Wounds in Rats. Acta Dermatovenerol.

Kathuria, N., & all, e. (2010). Biologic Effects of Aloe vera Gel. The Internet

Journal of Microbiology Vol.9 No.2 .

Khorasani, G. e. (2009). Aloe Versus Silver Sulfadiazine Creams for Second-

Degree Burns: A Randomized Controlled Study. Surgery Today, 587-591.

Kurnianto, S., Kusnanto, & Padoli. (2017). Penyembuhan Luka Bakar Pada Tikus

Putih Dengan Menggunakan Ekstrak Daun Pegagan (Centella aslatica) 25%

dan Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena leucocephala) 30% . Jurnal Ilmuah

Kesehatan, Vol.10 No.2, 250-255.

Latief, A. (2012). Obat Tradisional. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Lyon, F. (2013). Some Drugs and Herbal Products . Switzerland : IARC Working

Group on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans.

Majid, A., & Sarwo, A. P. (2013). Buku Pintar Perawatan Pasien Luka Bakar.

Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Mappa, T. e. (2013). Formulsi Gel Ekstrak Daun Sasaladahan (Peperomia pellucida

(L) H.B.K) dan Uji Efektivitasnya Terhadap Luka Bakar pada Kelinci.

PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol.2 No.2.

Martina, N. R., & Wardhana, A. (2013). Mortality Analysis of Adult Burn Patients

. Jurnal Plastik Rekonstruksi.

Moenadjat, Y. (2009). Luka Bakar Masalah dan Tatalaksana Edisi 4. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI.

58 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ni'matur, S. R., Zakiyyatul, D. F., & Wahyu, P. R. (2016). Efektifitas Daun Petai

Cina (Leucaena leucocephala) dan daun jarak Pagar (Jatropha curcas)

Terhadap Proses Penyembuhan Luka Bakar Grade II Pada Tikus Putih.

Jurnal Ilmu Keperawatan Vol.4 No.1.

Peck, M. D. (2011). Epidemiology of Burns Thoughout the World. Part I :

Distribution and Risk Factors. Elsevier Ltd and ISBI.

Purwanto, I. (2007). Mengenal Lebih Dekat Leguminoseae. Yogyakarta: Kanisius.

Rahayuningsih, T. (2012). Penatalaksanaan Luka Bakar (Combustio). Jurnal

Profesi Akper Peltekes Bhakti Mulia Sukoharjo.

Retno, D., & Sugihartini, N. (2015). Formulasi dan Uji Aktivitas Gel Daun Petai

Cina (Leucaena glauca, Benth) Sebagai Sediaan Obat Luka Bakar. Fakultas

Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Retno, D., & Sugihartini, N. (2015). Formulasi dan Uji Aktivitas Gel Daun Petai

Cina (Leucaena glauca, Benth) Sebagai Sediaan Obat Luka Bakar. Fakultas

Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Satya, B. D. (2013). Koleksi Tumbuhan Berkhasiat. Yogyakarta: Rapha Publishing.

Sjamsuhidajat, R., & Jong, W. d. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Sloane, E. (2003). Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Sujatha, G., & all, e. (2014). Aloe vera in Dentistry. Journal of Clinical and

Diagnostic Research vol.8.

Sutanto, R. (2002). Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta: Kanisius.

Syamsudin. (2011). Farmakologi Eksperimental. Jakarta: UI-Press.

Thomas, A. (1992). Tanaman Obat Tradisional vol.2. Yogyakarta: Kanisius.

Tranggono. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengantar Kosmetik. Jakarta: Gramedia.

Wahyuni, D. K. (2016). Toga Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.

Wardhanu, A. (2009). Potensi Lidah Buaya Pontianak (aloe vera Chinansis,Linn)

Sebagai Bahan Baku Industri Berbasis Sumber Daya Lokal. Paper

Universitas Brawijaya Malang.

Winarti, C., & Nurjannah, N. (2005). Peluang Tanaman Rempah dan Obat Sebagai

Sumber Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian .

59 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 1 Alur Penelitian

Hewan uji : tikus jantan

galur Sprague Dawley

Tikus diaklimatisasi

selama 1 minggu

Hewan uji dikelompokkan

secara acak berdasarkan

perlakuan (@perlakuan 5

ekor ):

Kelompok A (gel

kons. Tinggi PC 15%:

LB0,5%)

Kelompok B (gel

kons.sedang PC

7,5%:LB 0,5%)

Kelompok C (gel

Kons rendah PC

3,75%: LB 0,5%)

Kelompok D (kontrol

negatif/gel tanpa

ekstrak)

Kolompok E (kontrol

positf/Bioplasenton)

Pembuatan luka bakar

daun petai cina

dikering anginkan dan

dihaluskan menjadi

serbuk simplisia

Maserasi dengan pelarut

etanol 70%

Ekstrak cair

Ekstrak kental

Ekstrak padat

Sediaan gel ekstrak

Pemberian perlakuan dan pengamatan

pada tikus secara topikal selama 21 hari

Perhitungan presentase penurunan luka

bakar

Daun Petai cina (Leucaena

leucocephala) dan daun lidah buaya

(Aloe vera) yang telah diambil dari

BALITTRO didisortasi basah.

Determinasi

Daun lidah buaya

dikupas dari kulitnya

dan gel lidah buaya di

blender

freezedry

Dipekatkan

dengan rotary

evaporator

Uji parameter

spesifik non

spesifik

60 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 2 Determinasi Tanaman

61 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 3 Surat Keterangan Kesehatan Hewan

62 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 4 Kode Etik

63 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 5 Hasil Perhitungan Rendemen

1. Rendemen Petai Cina

% rendemen = bobot isolat yang diperoleh

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑥 100%

% rendemen = 109.64 g

1150 𝑔 𝑥 100%

= 9.53%

2. Rendemen Lidah Buaya

% rendemen = bobot isolat yang diperoleh

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑥 100%

% rendemen = 9.9283g

1500 𝑔 𝑥 100%

=0.662%

Lampiran 6 Hasil Perhitungan Kadar Air

1. Kadar Air Petai Cina

Kadar air = 𝑊𝑜−𝑊1

𝑊𝑜 x 100%

Berat ekstrak dalam g sebelum dimasukkan oven (Wo) = 1,0658 g

Berat ekstrak setelah dimasukkan oven (W1) = 0,9624 g

Kadar air = 1,0658 g−0,9624 g

1,0658 g x 100%

= 9.7 %

2. Kadar Air Lidah Buaya

Kadar air = 𝑊𝑜−𝑊1

𝑊𝑜 x 100%

Berat ekstrak dalam g sebelum dimasukkan oven (Wo) = 1,2014g

Berat ekstrak setelah dimasukkan oven (W1) = 0,9448 g

Kadar air = 1,2014 g−0,9448 g

1,2014 g x 100%

= 21,3%

64 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 7 Hasil Perhitungan Kadar Abu

1. Kadar Abu Petai Cina

Kadar abu = 𝑊1

𝑊𝑜 x 100%

Berat ekstrak dalam g sebelum dimasukkan oven (Wo) = 1,092 g

Berat ekstrak setelah dimasukkan oven (W1) = 0,3103 g

Kadar abu = 0,3103 g

1,092 g x 100%

=28,4 %

2. Kadar Abu Lidah Buaya

Kadar abu = 𝑊1

𝑊𝑜 x 100%

Berat ekstrak dalam g sebelum dimasukkan oven (Wo) = 1,1250 g

Berat ekstrak setelah dimasukkan oven (W1) = 0,0319 g

Kadar abu = 0,0319 g

1,1250g x 100%

=2,84%

65 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 8 Tahap Pengukuran Luka Bakar Dengan Menggunakan Image J

66 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 9 Gambar Pengamatan Perubahan Luas Luka Bakar

67 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

68 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

69 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

70 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

71 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian

Daun petai cina basah

Hasil ekstrak petai cina

setelah freezedry

Hasil Lidah buaya

setelah dipetik

Ekstrak lidah buaya

setelah freezedry

Plat besi berukuran 4x2 cm

Basis gel NaCMC 3%

Gel konsentrasi

(15%:0,5%)

Gel konsentrasi

(7,5%:0,5%)

Gel konsentrasi

(3,75%:0,5%)

Homogenitas gel

(15%:0,5%)

Homogenitas gel

(7,5%:0,5%)

Homogenitas gel

(3,75%:0,5%)

72 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Analisa gizi pakan tikus

Viskometer

pH meter

73 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 11 Rata-rata Penurunan Luas Luka Bakar Derajat II

Kelompok

Perlakuan

Hari ke

6 9 12 15 18 21

Rata-rata

penurunan

luas luka

(dalam

cm2) ± SD

Rata-rata

penurunan

luas luka

(dalam

cm2) ± SD

Rata-rata

penurunan

luas luka

(dalam

cm2) ± SD

Rata-rata

penurunan

luas luka

(dalam

cm2) ± SD

Rata-rata

penurunan

luas luka

(dalam

cm2) ± SD

Rata-rata

penurunan

luas luka

(dalam

cm2) ± SD

K1 (PC 15% :

LB 0,5%)

0,73 ±

0,58

1,27 ±

0,87

3,18 ±

0,59

3,47 ±

9,18

4,31 ±

1,13

4,40 ±

1,21

K2 (PC 7,5% :

LB 0,5%)

1,37 ±

0,91

2,69 ±

1,25

4,10 ±

1,35

5,03 ±

1,85

5,49 ±

1,88

5,78 ±

2,09

K3 (PC 3,75% :

LB 0,5%)

1,40 ±

0,79

1,94 ±

0,65

3,94 ±

1,90

4,53 ±

2,11

4,72 ±

2,15

4,86 ±

2,09

K4 Kontrol (-) 1,60 ±

1,19

1,71 ±

1,16

2,82 ±

0,91

3,57 ±

0,93

3,95 ±

0,72

4,27 ±

0,65

K5 Kontrol (+) 0,74 ±

0,17

1,23 ±

0,39

2,20 ±

0,75

3,48 ±

1,11

3,95 ±

1,21

4,31 ±

0,82

Lampiran 12 Rata-rata Presentase Penyembuhan Luas Luka Bakar Derajat

II

Kelompok

Perlakuan

Hari ke

6 9 12 15 18 21

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

Rata-rata

presentase

penyembu

han luas

luka

(dalam %)

± SD

K1 (PC 15% :

LB 0,5%)

16,75 ±

13,80

29,22 ±

19,06

75,47 ±

20,94

86,67 ±

18,43

97,21 ±

3,52

98,75 ±

2,22

K2 (PC 7,5% :

LB 0,5%)

23,67 ±

16,67

49,34 ±

19,59

71,69 ±

12,65

85,54 ±

6,19

94,18 ±

5,73

98,34 ±

1,65

K3 (PC 3,75% :

LB 0,5%)

24,42 ±

9,98

36,43 ±

6,04

71,02 ±

16,81

81,86 ±

19,32

85,61 ±

19,13

88,81 ±

18,53

K4 Kontrol (-)

30,24 ±

16, 10

32,70 ±

14, 81

58,08 ±

8,95

74,63 ±

13,85

83,63 ±

13,84

90,36 ±

12,69

K5 Kontrol (+)

15,91 ±

2,07

26,83 ±

8,42

47,57 ±

14,70

73,71 ±

17,12

83,67 ±

16,76

93,02 ±

6,22

74 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 13 Hasil Analisis Statistik Presentase Penyembuhan Luka Bakar

Derajat Dua

1. Uji Normalitas

Tujuan : untuk distribusi normal data persentase penyembuhan luka bakar

Hipotesis :

Ho = data persentase penyembuhan luka bakar terdistribusi normal

Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak terdistribusi normal

Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima

Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

H6 H9 H12 H15 H18 H21

N 25 25 25 25 25 25

Normal Parametersa,b Mean 22,2027 34,9077 64,7704 80,4871 88,8630 93,8615

Std.

Deviation 12,96200 15,62886 17,58648 15,37858 13,46291 10,44018

Most Extreme

Differences

Absolute ,097 ,089 ,082 ,137 ,261 ,278

Positive ,097 ,089 ,080 ,102 ,204 ,278

Negative -,091 -,068 -,082 -,137 -,261 -,271

Test Statistic ,097 ,089 ,082 ,137 ,261 ,278

Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d ,200c,d ,200c,d ,200c,d ,000c ,000c

Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 6, 9, 12, dan 15

terdistribusi normal. Sedangkan data pada hari ke 18 dan 21 tidak terdistribusi

normal.

2. Uji Homogenitas

Tujuan : untuk melihat data persentase penyembuhan luka bakar homogen

atau tidak

Hipotesis :

Ho = data persentase penyembuhan luka bakar terdistribusi homogen

Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak terdistribusi homogen

Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima

Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak

75 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

H6 3,044 4 20 ,041

H9 1,297 4 20 ,305

H12 1,263 4 20 ,317

H15 1,412 4 20 ,266

H18 3,158 4 20 ,036

H21 4,369 4 20 ,011

Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 9, 12, dan 15

terdistribusi homogen, sedangkan data pada hari ke 6, 18 dn 21 tidak terdistribusi

homogen.

Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas, data presentase

penyembuhan luka bakar pada hari ke 9, 12, dan ke 15 dilanjutkan dengan uji one-

way ANOVA. Sedangkan data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 6,

18, dan 21 dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis

A. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada

Hari Ke 6

Uji Kruskal-Wallis

Tujuan : untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data penyembuhan

luka bakar seluruh kelompok perlakuan

Hipotesis :

Ho = data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara bermakna

Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara

bermakna

Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima

Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak

Test Statisticsa,b

H6

Chi-Square 4,025

df 4

Asymp. Sig. ,403

76 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara signifikan,

dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney test

Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok

signifikan dengan kelompok lainnya.

Hipotesis :

Ho: data presentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda signifikan

Ha: data presentase penyembuhan luka bakar berbeda signifikan

Pengambikan keputusan:

Jika nilai signifikansi > 0,05 : Ho diterima

Jika nilai signifikansi < 0,05 : Ho ditolak

Test Statisticsa

H6

Mann-Whitney U 9,000

Wilcoxon W 24,000

Z -,731

Asymp. Sig. (2-tailed) ,465

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K2 (PC 7,5% : LB 0,5%)

Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H6

Mann-Whitney U 9,000

Wilcoxon W 24,000

Z -,731

Asymp. Sig. (2-tailed) ,465

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b

K2 (PC 7,5% : LB 0,5%) , Kontrol (-)

Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H6

Mann-Whitney U 8,000

Wilcoxon W 23,000

Z -,940

Asymp. Sig. (2-tailed) ,347

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,421b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K3 (PC 3,75% : LB 0,5%)

Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H6

Mann-Whitney U 10,000

Wilcoxon W 25,000 Z -,522 Asymp. Sig. (2-tailed) ,602

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,690b

K2 (PC 7,5% : LB 0,5%) , Kontrol (+)

Tidak berbeda secara signifikant .

Test Statisticsa

H6

Mann-Whitney U 5,000

Wilcoxon W 20,000

Z -1,567

Asymp. Sig. (2-tailed) ,117

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,151b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (-)

Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H6

Mann-Whitney U 10,000

Wilcoxon W 25,000

Z -,522

Asymp. Sig. (2-tailed) ,602

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,690b

K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (-)

Tidak berbeda secara signifikant

77 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Test Statisticsa

H6

Mann-Whitney U 10,000

Wilcoxon W 25,000

Z -,522

Asymp. Sig. (2-tailed) ,602

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,690b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (+)

Tidak berbeda secara signifikant.

Test Statisticsa

H6

Mann-Whitney U 5,000

Wilcoxon W 20,000

Z -1,567

Asymp. Sig. (2-tailed) ,117

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,151b

K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (+)

Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H6

Mann-Whitney U 11,000

Wilcoxon W 26,000

Z -,313

Asymp. Sig. (2-tailed) ,754

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,841b

K2 (PC 7,5% : LB 0,5%) , K3 (PC 3,75% : LB 0,5%)

Tidak berbeda secara signifikant.

Test Statisticsa

H6

Mann-Whitney U 5,000

Wilcoxon W 20,000

Z -1,567

Asymp. Sig. (2-tailed) ,117

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,151b

Kontrol (-) , Kontrol (+)

Tidak berbeda secara signifikant

B. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada

Hari Ke 9

Uji one-way ANOVA

Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok

signifikan dengan kelompok lainnya.

Hipotesis :

Hipotesis :

Ho = data penurunan luas luka bakar tidak berbeda secara signifikan

Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda secara signifikan

Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima

Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

H9 Between Groups 1564,620 4 391,155 1,820 ,165

Within Groups 4297,649 20 214,882 Total 5862,269 24

Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 9 tidak berbeda

signifikan

78 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

C. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada

Hari Ke 12

Uji one-way ANOVA

Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok

signifikan dengan kelompok lainnya.

Hipotesis :

Hipotesis :

Ho = data penurunan luas luka bakar tidak berbeda secara signifikan

Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda secara signifikan

Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima

Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak

Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 12 berbeda

signifikan, dilanjutkan dengan uji Least Significant Different (LSD)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

H12 Between Groups 2710,370 4 677,592 2,876 ,049

Within Groups 4712,452 20 235,623

Total 7422,821 24

Multiple Comparisons

Dependent Variable: H12

LSD

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean

Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower

Bound

Upper

Bound

A. PC 15%:LB 0,5% B. PC 7,5%:LB 0,5% 3,7792 9,70819 ,701 -16,4718 24,0301

C. PC 3,75%:LB 0,5% 4,4455 9,70819 ,652 -15,8054 24,6964

D. Kontrol (-) Basis

Gel 17,3908 9,70819 ,088 -2,8601 37,6417

E. Kontrol (+)

Bioplasenton 27,8988* 9,70819 ,009 7,6479 48,1498

B. PC 7,5%:LB 0,5% A. PC 15%:LB 0,5% -3,7792 9,70819 ,701 -24,0301 16,4718

C. PC 3,75%:LB 0,5% ,6663 9,70819 ,946 -19,5846 20,9173

D. Kontrol (-) Basis

Gel 13,6116 9,70819 ,176 -6,6393 33,8626

E. Kontrol (+)

Bioplasenton 24,1197* 9,70819 ,022 3,8687 44,3706

79 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

D. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada

Hari Ke 15

Uji one-way ANOVA

Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok

signifikan dengan kelompok lainnya.

Hipotesis :

Hipotesis :

Ho = data penurunan luas luka bakar tidak berbeda secara signifikan

Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda secara signifikan

Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima

Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

H15 Between Groups 729,370 4 182,342 ,737 ,578

Within Groups 4946,645 20 247,332 Total 5676,015 24

Keputusan : data presentase penyembuhan luka bakar pada hari ke 15 tidak berbeda

signifikan

C. PC 3,75%:LB 0,5% A. PC 15%:LB 0,5% -4,4455 9,70819 ,652 -24,6964 15,8054

B. PC 7,5%:LB 0,5% -,6663 9,70819 ,946 -20,9173 19,5846

D. Kontrol (-) Basis

Gel 12,9453 9,70819 ,197 -7,3056 33,1962

E. Kontrol (+)

Bioplasenton 23,4533* 9,70819 ,025 3,2024 43,7043

D. Kontrol (-) Basis

Gel

A. PC 15%:LB 0,5% -17,3908 9,70819 ,088 -37,6417 2,8601

B. PC 7,5%:LB 0,5% -13,6116 9,70819 ,176 -33,8626 6,6393

C. PC 3,75%:LB 0,5% -12,9453 9,70819 ,197 -33,1962 7,3056

E. Kontrol (+)

Bioplasenton 10,5080 9,70819 ,292 -9,7429 30,7590

E. Kontrol (+)

Bioplasenton

A. PC 15%:LB 0,5% -27,8988* 9,70819 ,009 -48,1498 -7,6479

B. PC 7,5%:LB 0,5% -24,1197* 9,70819 ,022 -44,3706 -3,8687

C. PC 3,75%:LB 0,5% -23,4533* 9,70819 ,025 -43,7043 -3,2024

D. Kontrol (-) Basis

Gel -10,5080 9,70819 ,292 -30,7590 9,7429

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 235,623.

*. The mean difference is significant at the 0,05 level.

80 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

E. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada

Hari Ke 18

Uji Kruskal-Wallis

Tujuan : untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data penyembuhan

luka bakar seluruh kelompok perlakuan

Hipotesis :

Ho = data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara bermakna

Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara

bermakna

Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima

Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak

Test Statisticsa,b

H18

Chi-Square 7,710

df 4

Asymp. Sig. ,103

Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara signifikan,

dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney test

Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok

signifikan dengan kelompok lainnya.

Hipotesis :

Ho: data presentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda signifikan

Ha: data presentase penyembuhan luka bakar berbeda signifikan

Pengambikan keputusan:

Jika nilai signifikansi > 0,05 : Ho diterima

Jika nilai signifikansi < 0,05 : Ho ditolak

Test Statisticsa

H18

Mann-Whitney U 8,000

Wilcoxon W 23,000

Z -,970

Asymp. Sig. (2-tailed) ,332

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,421b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K2 (PC 7,5% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H18

Mann-Whitney U 7,000

Wilcoxon W 22,000

Z -1,152

Asymp. Sig. (2-tailed) ,249

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,310b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K3 (PC 3,75% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant

81 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Test Statisticsa

H18

Mann-Whitney U 4,000

Wilcoxon W 19,000

Z -1,781

Asymp. Sig. (2-tailed) ,075

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,095b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H18

Mann-Whitney U ,000

Wilcoxon W 15,000

Z -2,619

Asymp. Sig. (2-tailed) ,009

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,008b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (+) Berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H18

Mann-Whitney U 9,000

Wilcoxon W 24,000

Z -,733

Asymp. Sig. (2-tailed) ,463

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b

K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), K3 (PC 3,75% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H18

Mann-Whitney U 6,000

Wilcoxon W 21,000

Z -1,362

Asymp. Sig. (2-tailed) ,173

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,222b

K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant.

Test Statisticsa

H18

Mann-Whitney U 5,000

Wilcoxon W 20,000

Z -1,571

Asymp. Sig. (2-tailed) ,116

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,151b

K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), Kontrol (+) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H18

Mann-Whitney U 9,000

Wilcoxon W 24,000

Z -,731

Asymp. Sig. (2-tailed) ,465

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b

K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H18

Mann-Whitney U 8,000

Wilcoxon W 23,000

Z -,940

Asymp. Sig. (2-tailed) ,347

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,421b

K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (+) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H18

Mann-Whitney U 12,000

Wilcoxon W 27,000

Z -,104

Asymp. Sig. (2-tailed) ,917

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000b

Kontrol (+),Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant

Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara

signifikan, kecuali data K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (+) menunjukkan

perbedaan secara signifikan.

82 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

F. Analisis Statistik Data Presentase Penyembuhan Luka Bakar Pada

Hari Ke 21

Uji Kruskal-Wallis

Tujuan : untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data penyembuhan

luka bakar seluruh kelompok perlakuan

Hipotesis :

Ho = data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara bermakna

Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara

bermakna

Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima

Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak

Test Statisticsa,b

H21

Chi-Square 3,964

df 4

Asymp. Sig. ,411

Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara signifikan,

dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney test

Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar abnormal kelompok

signifikan dengan kelompok lainnya.

Hipotesis :

Ho: data presentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda signifikan

Ha: data presentase penyembuhan luka bakar berbeda signifikan

Pengambikan keputusan:

Jika nilai signifikansi > 0,05 : Ho diterima

Jika nilai signifikansi < 0,05 : Ho ditolak

83 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Test Statisticsa

H21

Mann-Whitney U 10,000

Wilcoxon W 25,000

Z -,557

Asymp. Sig. (2-tailed) ,577

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,690b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K2 (PC 7,5% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H21

Mann-Whitney U 10,500

Wilcoxon W 25,500

Z -,471

Asymp. Sig. (2-tailed) ,638

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,690b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , K3 (PC 3,75% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H21

Mann-Whitney U 6,500 Wilcoxon W 21,500 Z -1,293 Asymp. Sig. (2-tailed) ,196 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,222b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H21

Mann-Whitney U 3,000 Wilcoxon W 18,000 Z -2,009 Asymp. Sig. (2-tailed) ,045 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,056b

K1 (PC 15% : LB 0,5%) , Kontrol (+) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H21

Mann-Whitney U 12,000

Wilcoxon W 27,000

Z -,111

Asymp. Sig. (2-tailed) ,911

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000b

K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), K3 (PC 3,75% : LB 0,5%) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H21

Mann-Whitney U 9,000

Wilcoxon W 24,000

Z -,740

Asymp. Sig. (2-tailed) ,459

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b

K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), Kontrol (-)

Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H21

Mann-Whitney U 6,000

Wilcoxon W 21,000

Z -1,362

Asymp. Sig. (2-tailed) ,173

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,222b

K2 (PC 7,5% : LB 0,5%), Kontrol (+) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H21

Mann-Whitney U 9,500

Wilcoxon W 24,500

Z -,647

Asymp. Sig. (2-tailed) ,518

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b

K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H21

Mann-Whitney U 9,000

Wilcoxon W 24,000

Z -,740

Asymp. Sig. (2-tailed) ,459

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b

K3 (PC 3,75% : LB 0,5%), Kontrol (+) Tidak berbeda secara signifikant

Test Statisticsa

H21

Mann-Whitney U 12,000

Wilcoxon W 27,000

Z -,104

Asymp. Sig. (2-tailed) ,917

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000b

Kontrol (+) , Kontrol (-) Tidak berbeda secara signifikant.

Keputusan : data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara

signifikan