tutorial anak hernia - down syndrome 2015
DESCRIPTION
djhfjhfhfhhfkhfkkj ohlhlkcbs,b,cbmnbSNBCMNahdvHMSVDMHVmdvmhADHVAhvdhaDadADadaDAADTRANSCRIPT
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik Tumbuh KembangFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman
SINDROM DOWN DENGAN HERNIA SCROTALIS RAPONIBEL PADA ANAK
Disusun oleh:Lili WidiantoM. Irwan Aziz
Alif Via Saltika Putri
Pembimbing:dr. Diane M. Supit, Sp. A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMANSAMARINDA
Maret 2015
Tutorial Klinik
SINDROM DOWN DENGAN HERNIA SCROTALIS RAPONIBEL PADA ANAK
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase AnakLILI WIDIANTOM. IRWAN AZIZ
ALIF VIA SALTIKA PUTRI
Menyetujui,
dr. Diane M. Supit, Sp. A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMANSAMARINDA
Maret 2015
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
yang berjudul “Sindrom Down Dengan Hernia Scrotalis Raponibel Pada
Anak”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Diane M. Supit, Sp. A., sebagai dosen pembimbing klinik selama stase anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2014 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Samarinda, Maret 2015
Penulis
3
BAB 1
RESUME
Pasien MRS pada tanggal 20 Maret 2015 melalui Poliklinik Anak RSU
A.W. Sjahranie Samarinda. Dirawat inap di Ruang Melati.
1. Identitas Pasien:
Nama : An. RY
Umur : 11 tahun 8 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Kemakmuran RT 20, Kelurahan Sungai Pinang Dalam
Tanggal masuk : 20 Maret 2015
No. RM : 2015 822964
2. Identitas Ayah Pasien:
Nama : Bpk. S
Umur : 40 tahun
Pekerjaan : Petani
Pendidikan terakhir : SMA
Alamat : Jl. Kemakmuran RT 20, Kelurahan Sungai Pinang Dalam
3. Identitas Ibu Pasien:
Nama : Ibu. N
Umur : 41 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan terakhir : SMA
Alamat : Jl. Kemakmuran RT 20, Kelurahan Sungai Pinang Dalam
4. Anamnesis:
a. Keluhan Utama
Benjolan yang nyeri pada kantung zakar
4
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan nyeri pada benjolan di kantung zakar sejak tiga bulan
yang lalu dan semakin bertambah nyeri sebulan terakhir ini. Benjolan bertambah
nyeri dan semakin membesar saat pasien teriak atau menangis. Benjolan mulai
dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, awal mulanya benjolan dapat mengecil sendiri
terutama ketika pasien sedang berbaring. Beberapa bulan terakhir benjolan baru
dapat mengecil dengan cara ibu pasien mendorongnya ke dalam dengan jari
tangan.
Menurut pengakuan ibu pasien, selama setahun terakhir pasien sering
mengalami demam, namun tidak diperiksakan ke dokter dan hanya diobati sendiri
di rumah menggunakan parasetamol. Selain keluhan nyeri pada benjolan tersebut,
pasien juga mengeluhkan lemas dan nafsu makan berkurang selama beberapa hari
terakhir SMRS. Muntah disangkal, buang air besar dan buang air kecil dalam
batas normal.
Pada tanggal 20 Maret 2015 pasien dirujuk dari Puskesmas ke Poliklinik
Bedah Anak lalu dari Poliklinik Bedah Anak ke Poliklinik Anak RSUD AW
Sjahranie Samarinda. Pasien dirawat inap di ruangan Melati untuk perbaikan
keadaan umum, dimana didapatkan anemia dari hasil pemeriksaan darah.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Pasien pernah mengalami ikterik pada umur 1 bulan namun hilang setelah
dijemur dibawah sinar matahari.
2. Pasien pernah dirawat inap di RS pada usia 9 bulan karena diare.
3. Ibu pasien mengaku bahwa pada usia 1 tahun pasien diperiksakan ke dokter
karena mengalami keterlambatan perkembangan dan didiagnosis oleh dokter
dengan Sindrom Down.
4. Pasien pernah menjalani pemeriksaan IQ (dengan hasil <50) dan terapi untuk
gangguan perkembangannya di RSJ X Samarinda.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa pada anggota keluarga disangkal.
5
e. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal di daerah yang cukup padat penduduknya. Pasien tinggal
dengan kedua orang tua dan kedua adik kandungnya. Daerah endemik kekurangan
yodium disangkal.
f. Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Post Persalinan
Ibu rutin melakukan pemeriksaan ANC ke bidan terdekat. Ibu pasien
hamil pada umur 30 tahun. Selama hamil ibu tidak mengalami permasalahan,
demam tidak ada, hipertensi tidak ada, diabetes tidak ada, trauma tidak ada,
mengkonsumsi jamu tidak ada, mengkonsumsi alkohol dan rokok tidak pernah.
Ibu pasien rutin mengonsumsi sumplemen penambah darah yang rutin diberikan
oleh bidan. Ibu pasien mengaku selama hamil trimester 1 mengalami hiperemesis
gravidarum sehingga intake makanan berkurang, hanya memakan lauk pauk dan
buah.
Pasien anak pertama dari tiga bersaudara, lahir spontan ditolong oleh
bidan. Pasien lahir aterm dengan BB 2400 gram, langsung menangis kuat, biru
atau kuning disangkal. Ibu pasien mengaku bahwa sebulan pertama kelahiran,
pasien sering sakit-sakitan, seperti demam, batuk, dan pilek. Pada usia 1 bulan,
pasien diantar berobat ke dokter spesialis anak oleh orangtuanya dan saat itu
dokter menyampaikan bahwa pasien dalam keadaan kuning.
Pasien memiliki riwayat pertumbuhan yang lebih lambat dibanding kedua
saudaranya. Saat lahir juga diakui ubun-ubun pasien lebih besar sehingga
penutupannya lebih lama.
g. Riwayat Makanan & Minuman
ASI eksklusif dari lahir sampai umur 3 bulan. MPASI mulai umur 6 bulan
berupa susu formula dan bubur. Riwayat makan dan minum yang aneh (pika)
disangkal.
h. Riwayat Imunisasi
Imunisasi wajib lengkap
6
1. Hepatitis B : 3 kali
2. BCG : 1 kali
3. Polio : 4 kali
4. DPT : 3 kali
5. Campak : 1 kali
i. Pertumbuhan dan perkembangan anak
BB Lahir : 2400 gram
PB Lahir : 50 cm
BB sekarang : 19,5 kg
TB sekarang : 107 cm
Gigi keluar : 9 bulan Berdiri : 24 bulan
Tersenyum : 3 bulan Berjalan : 32 bulan
Miring : 3 bulan Berbicara 2 suku kata : 26 bulan
Tengkurap : 4 bulan Masuk TK : -
Duduk : 12 bulan Masuk SD : 7 tahun (SLB)
Merangkak : 14 bulan Sekarang kelas : 5 SD (SLB)
5. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda-tanda vital
1. Tekanan darah : 100/60 mmHg
2. Frekuensi nadi : 88x/menit
3. Frekuensi nafas : 20x/menit
4. Suhu : 36,3oC
Status Gizi
Berat Badan :19,5 kg
Tinggi Badan :107 cm7
TB/U : < percentile 5 (Pendek)
BB/U : Persentile 50-75 (Gizi Baik)
BB/TB : BB ideal untuk anak dengan sindrom down usia 11 tahun
8 bulan adalah 20 kg. Sedangkan BB pasien adalah 19,5
kg.
19,5 kg x 100% = 97,5 % -> interpretasi gizi baik.
20 kg
Lingkar kepala : 44 cm < -2 SD (mikrosepali)
LiLa : 15 cm
8
9
Sindrom Down : Laki - Laki
Status generalisata
Kepala
Bentuk : Brakhichepali, Microchepali, Mongolian face
10
Rambut : Hitam, tipis, tidak mudah dicabut
Mata : Lipatan Epikantus bilateral, konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks cahaya (+/+)
Hidung : Tulang hidung hipoplastik, jembatan hidung datar, nafas
cuping hidung -|- , sekret (-)
Telinga : Ukuran telinga kecil dan letak rendah, Tidak nampak
lekukan pada daun telinga, overfolded helix
Mulut : makroglosia, scrotal tongue, ukuran gigi kecil, mukosa
basah, tidak pucat, faring tidak hiperemis,, tonsil dalam
batas normal
Leher
KGB : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax
Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : vokal fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : sonor di semua lapangan paru, batas jantung normal
Auskultasi : suara nafas vesikuler, wheezing (-/-), Ronchi (-/-), bunyi
jantung I & II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : bentuk normal, simetris, distended (+) (diastasis recti),
scar (-), protruding mass / hernia umbilikalis (-)
Palpasi : soefl, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus normal
Ekstremitas
Superior : Simian crease (+), Jari pendek (+), clinodactili (+), akral
hangat, CRT <2 detik, tidak edema
Inferior : Jarak antara jari 1 dan 2 jauh, akral hangat, CRT <2 detik,
tidak edema, jarak antara digiti I dan II melebar
11
Perawakan pendek
Genitalia
Massa (+) pada scortum, konsistesnsi kenyal, nyeri (+), transiluminasi
(-),BU (+).
Ukuran penis kecil, testis kecil, meatus uretra (+) letak normal
Kelainan Kongenital pada penis (-)
Kulit
Xerosis (+)
6. Diagnosa Kerja Sementara:
Hernia Skrotalis Reponibel + Sindrom Down
7. Pemeriksaan Penunjang:
1. Pemeriksaan Foto Polos Abdomen
Hasil foto polos dalam batas normal. Perforasi (-), lumen terisi oleh feses
dan gas.
2. Pemeriksaan EKG
12
Tidak ditemukan kelainan pada hasil EKG pasien.
3. Pemeriksaan laboratorium
Lab Value
20/3/2015 23/3/2015 Normal
Haemoglobin 9,2 13,7 11-16,5 g/dl
Leukosit 10.600 17.900 4000-10000/µ
Trombosit 355.000 271.000 150000-450000/µ
Hematokrit 29,3 41 37,0-54,0 %
GDS 166 50-150 mg/dl
Ur 25,1 10-40 mg.dl
Cr 0,5 0,5-1,5 mg.dl
Na 122 143 135-155 mmol/L
K 4,7 4,2 3,6-5,5 mmol/L
Cl 114 104 95-108 mmol/L
13
14
20 Maret 2015 (Hari I) 23 Maret 2015 (Hari IV)
S Lemas (+), benjolan di kantung
zakar (+)
Lemas (-), benjolan di kantung zakar
(+), nyeri perut (+)
O Composmentis
HR: 90x/menit
RR: 20x/menit
T: 36,20C
BB: 20 kg
Kepala: ane (+/+), ikt (-), sianosis
(-), napas cuping hidung (-) tonsil
dan faring dbn
Thorax: retraksi (-), whe (-), rho (-),
s1s2 tunggal reguler
Abdomen:nyeri tekan (-), BU (+)N
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2
detik
Composmentis
HR: 100x/menit
RR: 28x/menit
T: 36,50C
Kepala: ane (+/+), ikt (-), sianosis
(-), napas cuping hidung (-) tonsil
dan faring dbn
Thorax: retraksi (-), whe (-), rho (-),
s1s2 tunggal reguler
Abdomen:nyeri tekan (+) diseluruh
kuadran, BU (+)N
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2
detik
A Sindrom Down + Hernia Skrotalis +
Anemia
Sindrom Down + Hernia Skrotalis
Reponibel
P 1. IVFD D5 ½ NS 8 tpm
2. Transfusi PRC 200 cc
1. IVFD D5 ½ NS 8 tpm
2. Konsul bedah anak
3. Foto polos abdomen
4. Cek lab post transfusi dan
elektrolit
8. Penatalaksanaan:
1. IVFD D5 ½ NS 8 tpm
2. Paracetamol Syr 3 x 1 ½ cth
3. Inj. Ceftriaxone 2 x 800 mg
9. Prognosa
Dubia ad bonam
BAB 215
24 Maret 2015 (Hari V) 25 Maret 2015 (Hari VI)
S Demam tadi malam, pilek (+),
benjolan di kantung zakar (+)
Pilek (-), demam tadi subuh, benjolan
di kantung zakar (+)
O Composmentis
HR: 112x/menit
RR: 20x/menit
T: 36,60C
Kepala: ane (+/+), ikt (-), sianosis (-),
napas cuping hidung (-) tonsil dan
faring dbn
Thorax: retraksi (-), whe (-), rho (-),
s1s2 tunggal reguler
Abdomen:nyeri tekan (-), BU (+)N
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2
detik
Composmentis
HR: 80x/menit
RR: 20x/menit
T: 37,50C
Kepala: ane (-/-), ikt (-), sianosis (-),
napas cuping hidung (-) tonsil dan faring
dbn
Thorax: retraksi (-), whe (-), rho (-),
s1s2 tunggal reguler
Abdomen:nyeri tekan (-), BU (+)N
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik
A Sindrom Down + Hernia Skrotalis
Reponibel
Sindrom Down + Hernia Skrotalis
Reponibel
P 1. IVFD D5 ½ NS 8 tpm
2. Paracetamol 3 x 1 ½ cth
3. Inj. Ceftriaxone 2 x 800 mg
4. ACC operasi
1. IVFD D5 ½ NS 8 tpm
2. Paracetamol 3 x 1 ½ cth
3. Inj. Ceftriaxone 2 x 800 mg
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SINDROM DOWN
2.1.1 Definisi
Sindrom Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas
perkembangan kromoson kelainan sindrom down karena kelebihan jumlah
kromosom pada kromosom nomor 21, yang seharusnya dua menjadi tiga, yang
menyebabkan jumlah seluruh kromoson menjadi 47 buah, sehingga disebut
trisomi 21 (Adkinson & Brown, 2007).
2.1.2 Epidemiologi
Sindrom down merupakan kelainan autosomal yang paling banyak terjadi
pada manusia. Kejadian sindrom down diperkirakan 1 per 800 sampai 1000
kelahiran. Lebih jarang terjadi pada kehamilan wanita usia yang lebih muda dan
lebih sering terjadi pada wanita diatas usia 35 tahun (Meadow & Newell, 2005).
Gambar Grafik Peningkatan Risiko Terjadinya Sindrom Down Pada
Peningkatan Umur Ibu Saat Hamil (David, 2000)
Usia ibu pada saat hamil merupakan faktor risiko yang penting untuk
menentukan kemungkinan bayi lahir dengan sindrom down, yaitu:
16
Usia ibu 35 tahun: 1/385
Usia ibu 40 tahun: 1/106
Usia ibu 45 tahun: 1/30
Walaupun banyak pendapat menyatakan bahwa peningkatan usia ibu saat
hamil berbanding lurus dengan peningkatan risiko terjadinya sindrom down pada
bayi yang dikandung, 80% anak dengan sindrom down sebaliknya dilahirkan oleh
ibu yang berusia lebih muda dari 35 tahun (Christopher, 2014).
2.1.3 Etiopatogenesis
Sindroma Down disebabkan oleh trisomi 21, autosomal trisomi yang
paling sering pada bayi baru lahir. Tiga tipe abnormalitas sitogenik pada fenotipe
Sindroma Down adalah: trisomi 21 (47, +21), di mana terdapat sebuah salinan
tambahan pada kromosom 21, diperkirakan 94%. Translokasi Robertsonian pada
kromosom 21, sekitar 3-4%. Translokasi Robertsonian adalah penyusunan seluruh
lengan pada kromosom akosentrik (kromosom manusia 13-15, 21, dan 22) dan
juga bisa berupa sebuah translokasi antara kromosom 21 (atau ujung 21q saja) dan
sebuah kromosom nonakrosentrik. Trisomi 21 mosaikisme (47, +21/46), terjadi
pada 2-3% kasus. Pada bentuk ini, terdapat dua kelompok sel: sebuah sel normal
dengan 46 kromosom dan kelompok lain dengan trisomi 21 (Christopher, 2014).
Salinan tambahan pada kromosom 21 biasanya disebabkan oleh
nondisjunction, sebuah kesalahan selama meosis. Nondisjunction adalah
kegagalan kromosom homolog untuk pemisahan selama meosis I atau meosis II.
Oleh karena itu, satu anak sel menurunkan tiga kromosom pada kromosom yang
terkena dan menjadi trisomi, sedangkan anak sel lainnya menurunkan satu
kromosom yang menyebabkan monosomi. Kesalahan dalam meosis yang
menyebabkan nondisjunction sebagian besar diturunkan dari ibu; hanya sekitar
5% terjadi selama spermatogenesis. Kesalahan pada meosis meningkat seiring
dengan pertambahan usia ibu. Kesalahan yang diturunkan dari ibu paling sering
terjadi pada meosis I (76-80%) dan terjadi pada 67-73% pada kasus trisomi 21.
Kesalahan yang diturunkan dari ibu lainnya terjadi pada meosis II dan mungkin
diakibatkan oleh kegagalan pemisahan pasangan kromatid. Mereka terjadi pada
17
18-20% kasus trisomi 21. Nondisjunction yang diturunkan dari ayah biasanya
terjadi pada meosis II (Harold, 2014).
Gambar Mekanisme Non-Disjunction (NDDS, nd)
Gambar Mekanisme Mosaik (NDDS, nd)
2.1.4 Manifestasi Klinis
Walaupun tidak memiliki ciri-ciri sindrom down yang patognomonik, dan
dapat timbul pada anak normal, gabungan dari beberapa ciri seringkali
memastikan diagnosis klinis. Pengenalan bayi preterm yang sangat kecil lebih
sulit. Ciri-cirinya antara lain:
18
Tegkorak brakisefalik; wajah dan oksiput datar. Saat kelahiran dapat
timbul ubun-ubun ketiga, terletak tepat di depan ubun-ubun belakang.
Hipotonisitas dan hiperekstensibilitas. Semua neonatus dengan sindrom
down terkulai.
Fisura palpebral sedikit miring dengan lipatan epikantus yang menonjol
(sering disebut mongol). Bintik-bintik pucat kecil (bintik Brushfield)
terlihat pada iris seriring dengan semakin terpigmentasi, membentuk
cincin konsentris di sekitar pupil. Bulu mata jarang/tipis. Juling, katarak,
dan nistagmus sering terjadi.
Mulut kecil dan kendor. Setelah masa bayi, lidah menjadi besar dan
berlajur dan seringkali menjulur keluar. Pinna mungkin memiliki bentuk
abnormal.
Leher pendek dan lebar dengan kelebihan kulit di bagian posterior.
Tangan dan jari-jari pendek. Sering terdapat sebuah lipatan transversa
pada telapak tangan (simian crease), juga jari yang kecil dan pendek yang
tidak melengkung (klinodaktili). Sering memiliki jarak yang lebar antara
jari kaki pertama dan kedua, dengan lipatan plantar longitudinal, menjalar
dari antara kedua kaki tersebut.
Perawakan pendek
Perkembangan terlambat pada segala aspek
Sering terdapat kelainan kongenital lain yang berhubungan, khususnya
penyakit jantung kongenital (seperti VSD) (Meadow & Newell, 2005).
19
Gambar Anak dengan Sindrom Down (kanan), dan garis tangan ‘Simian crease’
khas pada penderita Sindrom Down (kiri) (Meadow & Newell, 2005; Suryo, 2010).
2.1.5 Diagnosis
Anamnesis:
Pengakuan dari keluarga mengenai keterlambatan pertumbuhan, gangguan
pendengaran, penglihatan, dan bicara.
Riwayat sering menderita ISPA.
Muntah sekunder karena atresia duodenal dan gangguan buang air besar
karena Hirschprung’s Disease.
Riwayat kelainan jantung kongenital seperti sianosis, pucat, berdebar.
Kejang (5-10%).
Pemeriksaan Fisik:
1. Pertumbuhan: tumbuh pendek dan obesitas terjadi selama masa remaja
2. Sistem saraf pusat: retardasi mental sedang sampai berat, dengan IQ 20-85
(ratarata 50). Hipotonia meningkat sejalan dengan umur. Gangguan artikulasi.
Sleep apnea terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran napas atas ke paru
20
mengalami hambatan selama 10 detik atau lebih. Hal itu sering mengakibatkan
hipoksemia atau hiperkarbia.
3. Tingkah laku: spontanitas alami, sikap yang hangat, menyenangkan, lemah
lembut, sabar, dan toleransi. Hanya sedikit pasien yang mengalami kecemasan dan
keras kepala.
4. Gangguan kejang: spasme infantil sering terjadi pada masa bayi, sedangkan
kejang tonik-klonik sering pada pasien yang lebih tua.
5. Penuaan dini: berkurangnya tonus kulit, kerontokan atau pemutihan rambut
lebih awal, hipogonadisme, katarak, kehilangan pendengaran, hipotiroidisme yang
berkaitan dengan umur, kejang, keganasan, penyakit vaskular degeneratif,
hilangnya kemampuan adaptasi, dan meningkatnya demensia tipe Alzheimer.
6. Tulang tengkorak: brachycephaly, microcephaly, kening melandai, oksiput
datar, fontanela besar dengan penutupan yang lambat, patent metopic suture, tidak
adanya sinus frontalis dan sfenoidalis, dan hipolplasia sinus maksilaris.
7. Mata: fisura palpebra yang condong ke depan, lipatan epikantus bialteral,
brushfield spots (iris yang berbintik), gangguan refrakter (50%), strabismus
(44%), nistagmus (20%), blepharitis (31%), konjungtivitis, kongenital katarak
(3%), pseudopapiledema, kekeruhan lensa yang didapat (30-60%), dan
keratokonus pada orang dewasa.
8. Hidung: tulang hidung hipoplastik dan jembatan hidung yang datar.
9. Mulut dan gigi: mulut terbuka dengan penonjolan lidah, lidah yang bercelah,
pernapasan mulut dengan pengeluaran air liur, bibir bawah yang merekah, angular
cheilitis, anodonsia parsial (50%), agenesis gigi, malformasi gigi, erupsi gigi yang
terlambat, mikroodonsia (35-50%) pada pertumbuhan gigi primer dan sekunder,
hipoplastik dan hipokalsifikasi gigi, dan maloklusi.
10. Telinga: telinga kecil dengan lipatan heliks yang berlebihan. Otitis media
kronis dan hilang pendengaran sering terjadi.
21
11. Leher: atlantoaksial tidak stabil (14%) dapat menyebabkan kelemahan
ligamen transversal yang menyangga proses odontoid dekat dengan atlas yang
melengkung. Kelemahan itu dapat menyebabkan proses odontoid berpindah ke
belakang, mengakibatkan kompresi medula spinalis.
12. Penyakit jantung bawaan: penyakit jantung bawaan sering terjadi (40-50%);
hal itu biasanya diobservasi pada pasien dengan Sindroma Down yang berada di
rumah sakit (62%) dan penyebab kematian yang sering terjadi pada kasus ini pada
2 tahun pertama kehidupan. Penyakit jantung bawaan yang sering terjadi adalah
endocardial cushion defect (43%), ventricular septal defect (32%), secundum
atrial septal defect (10%), tetralogy of Fallot (6%), dan isolated patent ductus
arteriosus (4%). Sekitar 30% pasien mengalami cacat jantung yang berat. Lesi
yang paling sering adalah patent ductus arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis
(9%). Sekitar 70% dari semua endocardial cushion defects berhubungan dengan
Sindroma Down.
13. Abdomen: rektum diastasis dan hernia umbilikalis dapat terjadi.
14. Sistem saluran cerna (12%): atresia atau stenosis duodenum. Penyakit
Hirschprung (<1%), fistula trakeoesofagus, divertikulum Meckel, anus
imperforata, dan omfalokel juga dapat terjadi.
15. Saluran urin dan kelamin: malformasi ginjal, hipospadia, mikropenis, dan
kriptorkoidisme.
16. Skeletal: tangan pendek dan lebar, klinodaktil pada jari ke lima dengan lipatan
fleksi tunggal (20%), sendi jari hiperekstensi, meningkatnya jarak antara dua jari
kaki pertama dan dislokasi panggul yang didapat.
17. Sistem endokrin: tiroiditis Hashimoto yang menyebabkan hipotiroidisme
adalah gangguan tiroid yang paling sering didapat pada pasien Sindroma Down.
Diabetes dan menurunnya kesuburan juga dapat terjadi.
18. Sistem hematologi: anak dengan Sindroma Down memiliki risiko untuk
mengalami leukemia, termasuk leukemia limfoblastik akut dan leukemia mieloid.
22
Risiko relatif leukemia akut pada umur 5 tahun 56 kali lebih besar daripada anak
tanpa Sindroma Down. Transient Myeloproliferative Disease (TMD) adalah
abnormalitas hematologi yang sering mengenai bayi Sindroma Down yang baru
lahir. TMD dikarakteristikkan dengan proliferasi mieoblas yang berlebihan di
darah dan sumsum tulang. Diperkirakan 10% bayi dengan Sindroma Down
mengalami TMD.
19. Imunodefisiensi: pasien Sindroma Down memiliki risiko 12 kali untuk terkena
penyakit infeksi, terutama pneumonia, karena kerusakan imunitas seluler.
20. Kulit: xerosis, lesi hiperkeratotik terlokalisasi, serpiginosa elastosis, alopesia
areata, vitiligo, dan infeksi kulit berulang (Tarek, 2005).
Gambar Upslanted Fisura Palpebra (Harold, 2014)
Gambar hidung yang datar, makroglosia, lipatan epicantus, overload helix
(Harold, 2014)
23
Gambar Simian Crease (Harold, 2014)
Gambar Hipodontia (Harold, 2014)
Gambar Overfolded Helix (Harold, 2014)
Gambar Hernia Umbilikalis (Harold, 2014)
24
Gambar Jarak Melebar Pada Digiti I dan II (Harold, 2014)
2.1.6 Diagnosis Banding
1. Hipotiroid Kongenital
Hipotiroid kongenital merupakan salah satu penyebab retardasi mental
yang dapat dicegah bila ditemukan dan diobati sebelum usia 1 bulan. Sekilas
Nampak seperti sindrom down, tetapi pada sindrom down bayi lebih aktif.
Hipotiroid kongenital lebih sering terjadi pada bayi dengan berat badan lahir
kurang dari 2000 g atau lebih dari 4000 g (Rudolph, 2006; IDAI, 2009).
Dari anamnesa kita dapat menanyakan mengenai riwayat berasal dari
daerah endemik, riwayat struma pada keluarga. Pada bayi yang baru lahir sampai
usia 8 minggu keluhan tidak spesifik. Retardasi perkembanan, gagal tumbuh,
letargi, kurang aktif, konstipasi, malas menetek, suara menangis serak. Selain itu
bayi dilahirkan didaerah yang kurang yodium dan kadang umurnya lebih bulan.
Riwayat gangguan titoid dalam keluarga, juga perlu ditanyakan. Penyakit ibu saat
hamil, obat antitiroid yang sedang diminum, atau terapi sinar.
Penampilan fisik keduanya mirip, namun anak dengan sindrom down akan
lebih aktif. Untuk memastikan diagnosis, maka perlu dilakukan pemeriksaan
fungsi tiroid T4 dan TSH. Apabila ditemukan kadar TSH > 50∪U/ml dianggap
25
abnormal. Diagnosis ditegakkan apabila TSH meningkat dan T4 turun. Skrining
hipotiroid kongenital dapat dilakukan dengan:
1. Mengambilsampel darah kapiler dari permukaan lateral kaki bayi atau bagian
medial tumit, pada hari ke 2 sampai 4 setelah lahir.
2. Darah kapiler diteteskan ke kertas saring khusus.
3. Kertas saring tersebut dikirim ke laboratoriumyang memiliki fasilitas
pemeriksaan Thyroid-Stimulating Hormone (TSH).
Bayi dengan hasil uji skrining positif segera dipanggil kembali untuk
pemeriksaan TSH dan T4 serum. Bila hasil TSH tinggi dan FT4 rendah atau hasil
FT4 rendah dan berapapun TSH, segera berikan tiroksin. Bila memungkinkan,
lakukan pemeriksaan skintigrafi/sidik tiroid dan ultrasonografi (USG) tiroid. Bila
memungkinkan untuk melakukan kedua pemeriksaan tersebut tetapi secara teknis
sulit dikerjakan pada neonatus, berikan tiroksin dahulu sampai usia 3 tahun.Bila
tidak memungkinkan karena lokasi bayi terlalu jauh dari RS rujukan, tiroksin
diberikan dahulu sampai usia 3 tahun kemudian dilakukanretesting off
treatment (obat dihentikan kemudian dilakukan pemeriksaan skintigrafi/sidik
tiroid dan USG tiroid) (DEPKES RI, 2012).
Selain itu dapat juga digunakan skoring apgar pada hipotiroid kongenital.
Apabila didapatkan skoring >5 maka ada kemungkinan hipotiroid kongenital.
Namun diagnostic definitive yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan TSH dan T4.
26
Tabel Skor Apgar Hipotiroid Kongenital
2. Trisomi 18
2.1.7 Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk menentukan diagnosis sindrom down dibagi menjadi
pemeriksaan sebelum lahir dan saat lahir. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
selama masa kehamilan yaitu berupa : pemeriksaan serum maternal ditandai
dengan menunrunnya alfa fetoprotein dan estriol yang tidak terkonjugasi
(Rebecca, 1999; Meadow & Newell, 2005). Sedangkan kadar beta human
koriogenik gonadotropin akan lebih tinggi dari normal. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan pada kehamilan trimester kedua. Pemeriksaan ini sering disebut “triple
screen” (Graves, 2002). Selain itu, penggunaan ultrasonografi juga dapat
mendeteksi kelainan jantung bawaan, atresia duodenal, femur yang pendek,
translusi nuchal. Meskipun tidak secara langsung menunjukkan diagnosis sindrom
down, namun dengan USG dapat diketahui anomaly kongenital yang terjadi.
sedangkan pada wanita diatas 35 tahun yang memiliki risiko memiliki bayi
27
dengan kelainan genetic dapat menggunakan pemeriksaan sample vili chorionic
pada masa gestasi minggu ke 9 sampai dengan minggu ke 11, atau amniosintesis
pada masa gestasi minggu ke 16 sampai 18 (Rebecca, 1999).
Gambar Hasil Pemeriksaan Sitogenik Pasien Sindrom Down (Harold, 2014)
Pemeriksaan pada saat setelah kelahiran yaitu berupa pemeriksaan fisik
dengan mencari kelainan kongenital yang tampak dan dikorfirmasi menggunakan
karyotyping genetic. Selain untuk konfirmas, pemeriksaan ini dapat mengetahui
seberapa besar risiko untuk mendapatkan keturunan dengan kelainan yang sama
(Rebecca, 1999).
2.1. 8 Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif
untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down
syndrom juga dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran
maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan
demikian penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup
serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan
28
dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Walaupun
secara jumlah meningkat, namun penderita down syndrome lebih banyak yang
berprestasi dan hidup lebih lama dibanding orang dengan kehidupan yang lebih
berkecukupan. Dengan kata lain, harapan hidup dan mutu kehidupan para
penderitadown syndrome jauh meningkat beberapa tahun terakini. Perbaikan
kualitas hidup pengidap down sindrom dapat terjadi berkat perawatan kesehatan,
pendekatan pengajaran, serta penanganan yang efektif. Tatalaksana dilakukan
secara komprensif, dapat dibagi menjadi stimulasi dini, tata laksana bedah untuk
koreksi kelainan kongenital, fisioterapi, serta perawatan medis.
2.1.9 Prognosis
Dalam beberapa dekade terakhir terlihat peningkatan angka kehidupan dan
kualitas pasien dengan sindrom down dikarenakan kemajuan teknologi. Five year
survival rate pasien dengan sindrom down mencapai lebih dari 90% dengan angka
perkiraan usia hidup mencapai lebih dari usia 60 tahun. Sebagian anak dapat
berpartisipasi penuh disekolah luar biasa serta ikut dalam kegiatan komunitas
(Christopher, 2014).
2.2 HERNIA
Hernia merupakan penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah
dari dinding rongga bersangkutan. Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas
hernia bawaan atau kongenital dan hernia dapat atau akuisita. Berdasarkan
letaknya, hernia diberi nama sesuai dengan lokasi anatominya, seperti hernia
diafragma, inguinal, umbilikalis, femoralis, dll. Sekitar 75% hernia terjadi di
sekitar lipat paha, beruap hernia inguinal direk, inderik, serta hernia femoralis.
Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia (Sjamsihidajat & Jong, 2010).
Menurut sifatnya, hernia disebut reponibel bila isi hernia dapat keluar
masuk. Usus keluar ketika berdiri atau mengedan, dan masuk lagi ketika berbaring
atau bila didorong masuk perut. Selama hernia masih reponibel, tidak ada keluhan
nyeri atau gejala obstruksi usus. Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke
29
dalam rongga perut, hernia disebut ireponibel. Ini biasanya disebabkan oleh
perlekatan isi kantong kepada peritoneum kantong hernia, disebut juga hernia
akreta. Masih tidak ada keluhan nyeri, tidak juga tanda sumbatan usus. Hernia
disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya terjepit oleh cincin
hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam
rongga perut (Sjamsihidajat & Jong, 2010).
2.2.1 Hernia Skrotalis
Hernia skrotalis disebut juga dengan hernia inguinalis lateralis, menonjol
dari perut di lateral pembuluh epigastrika inferior, dan disebut juga indirek karena
keluar melalui dua pintu dan saluran annulus dan kanalis inguinalis. Pada bayi dan
anak, hernia ini disebabkan oleh kelainan bawaan berupa tidak menutupnya
prosesus vaginalis peritoneum sebagai akibat proses turunnya testis ke skrotum.
Hernia tergelincir dapat terjadi di sebelah kanan atau kiri. Hernia yang di kanan
biasanya berisi sekum dan sebagian kolon asendens, sedangkan di kiri berisi
sebagian kolon desendens. Pada bayi dan anak, adanya benjolan yang hilang
timbul di lipat paha biasanya diketahui oleh orangtua. Benjolan dapat timbul pada
waktu mengedan, mengangis, ataupun batuk. Penatalaksanaannya harus selalu
dilakukan operasi kecuali ada kontraindikasi (keadaan pasien terlalu lemah untuk
operasi atau risiko operasi terlalu tinggi) (Sjamsihidajat & Jong, 2010).
30
BAB 3
ANALISA KASUS
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An. RY usia 11
tahun 8 bulan datang bersama orang tuanya ke Poliklinik Anak RSU AWS
Samarinda pada 20 Maret 2015 dengan keluhan utama benjolan yang nyeri pada
skrotum. Diagnosis masuk dan diagnosis kerja pasien ini adalah Sindrom Down
dengan Hernia Skrotalis. Diagnosa diruangan adalah Hernia Skrotalis Reponibel
pada Sindrom Down. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
TEORI KASUS
ANAMNESIS
Menurut sifatnya, hernia
disebut reponibel bila isi hernia
dapat keluar masuk. Usus
keluar ketika berdiri atau
mengedan, dan masuk lagi
ketika berbaring atau bila
didorong masuk perut. Selama
hernia masih reponibel, tidak
ada keluhan nyeri atau gejala
obstruksi usus. Bila isi kantong
tidak dapat direposisi kembali
ke dalam rongga perut, hernia
disebut ireponibel. Masih tidak
ada keluhan nyeri, tidak juga
tanda sumbatan usus. Hernia
disebut hernia inkarserata atau
hernia strangulata bila isinya
terjepit oleh cincin hernia
sehingga isi kantong
Terdapat massa yang awalnya
hilang timbul dan saat ini menetap
Nyeri pada benjolan di kantung
zakar
Massa masih dapat dimasukkan
dengan dorongan
BAB dan BAK dalam batas
normal
Lemas
Demam
Pilek
31
terperangkap dan tidak dapat
kembali ke dalam rongga perut
(Sjamsihidajat & Jong, 2010).
Mengalami retardasi mental.
Pertumbuhan lambat.
Terkait dengan hamil pada usia
tua.
Riwayat infeksi berulang
Terdapat kelainan kongenital
lainnya
Pasien sekolah di SLB
dengan IQ dibawah 50
Pasien tumbuh lebih lambat
dibandingkan kedua saudara
kandungnya.
Sejak kecil pasien sering
demam, batuk, dan pilek
Ukuran ubun-ubun besar dan
menutup dengan lambat
PEMERIKSAAN FISIK
o (sesuai dengan manifestasi klinis
yang telah dibahas pada bab 2)
oPerawakan pendek, mongolian
face
oBranchichepali, mikrochephali
oEpikantus bilateral, upslanted
fisura palpebral,
oUkuran telinga kecil, letak
rendah, overfolded heliks dan
hipoplasi
oHidung datar
oMakroglosis, scrotal tongue,
ukuran gigi kecil, hipodontia.
oSimian crease, ukuran jari
pendek dan melebar,
klinodaktili. Digiti I dan II pada
kaki jaraknya melebar.
32
oDistasia rekti
oXerosis
oMikropenis, ukuran testis kecil.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
oPemeriksaan T4 dan TSH untuk
membedakan dengan anak hipotiroid
kongenital
oPemeriksaan darah lengkap
oPemeriksan foto polos abdomen
oPemeriksaan penunjang lain sesuai
kelainan kongenital
o Laboratorium: leukositosis
o Interpretasi dari darah lengkap
terjadi penurunan Hb 9,2 (tanggal
20 Maret 2015) dan setelah
mendapat transfusi PRC Hb
menjadi 13,7 (23 Maret 2015);
peningkatan leukosit.
o Foto polos abdomen.
o Hasil EKG dalam batas normal
DIAGNOSIS
Hernia Skrotalis Reponibel
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pencitraan
Sindrom Down
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Penunjang
Massa yang masih dapat kembali
dengan dorongan
Bising usus (+), transiluminasi
(-)
Foto polos abdomen masih
dalam batas normal, belum
terjadi perforasi
Riwayat SLB, keterlambatan
tumbuh kembang.
Riwayat terapi
Pemeriksaan fisik yang khas
33
pada pasien syndrome down
Belum dilakukan pemeriksaan
T4 dan TSH
Belum dilakukan pemeriksaan
genetik
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana dilakukan secara
komprensif, dapat dibagi menjadi
stimulasi dini, tata laksana bedah untuk
koreksi kelainan kongenital,
fisioterapi, serta perawatan medis.
Pemberian cairan dan nutrisi yang
adekuat.
Tatalaksana hernia skrotalis dengan
pembedahan.
1. IVFD D5 ½ NS 8 tpm
2. Paracetamol Syr 3 x 1 ½ cth
3. Inj. Ceftriaxone 2 x 800 mg
4. Koreksi kelainan kongential
dengan tindakan bedah yaitu
ligasi dilakukan oleh TS Sp. BA
DAFTAR PUSTAKA
34
Adkinson R.L & Brown M.D. (2007). Disorders of gender differentiation and
sexual development in Elsevier’s ntegrated Genetics, p 17-20.
Chirstopher, W. (2014). Role of the Family hysician in the Care of Children with
Down Syndrome. Am Fam Physician, 90 (12), 821-858.
David, S. (2000). Down Syndrome: Prenatal Risk Assesment and Diagnosis. Am
Fam Physician, 62(4), 825-832.
Graves, J. C. (2002). Maternal Serum Triple Analyte Screening in Pregnancy. Am
Fam Physician, 65(9), 915-921.
Harold, C. (2014). Down Syndromes. Di akses tanggal 26/5/2015 dari
http://emedicine.medscape.com/article/943216-overview.
IDAI. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
IDAI.
Kementerian Kesehatan RI Indonesia. (2012). Pedoman Skrining Hipotiroid
Kongenital.
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak. Keputusan Menteri Kesehatan RI, 5-20.
Meadow, R. & Newell, S. (2005). Sindrom Down. Lecture Notes Pediatrika.
Jakarta: EMS.
NDDS. (nd). What is Down Syndrome ? Diakses tanggal 26/3/2015 dari
http://www.ndss.org/Down-Syndrome/What-Is-Down-Syndrome/.
Rebecca, B. (1999). Primary Care of Infants and Young Children with Down
Syndrome. Am Fam Physician, 59 (2), 381-390.
Saharso, Darto. (2008). Sindrom Down. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Surabaya: Universitas Airlangga.
Sjamsihidajat, R & Jong, D. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Hernia Inguinalis.
Jakarta: EGC.
Suryo. (2010). Abnormalitas Akibat Kelainan Kromosom. Genetika Manusia.
Gadjah Mada University Press, 253-265
35