tinjauan pustaka down syndrome
DESCRIPTION
Sindrom DownTRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi, karena
individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu kromosom. Mereka
mempunyai tiga kromosom 21 dimana orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan
kromosom ini akan mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan
karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh.1
Sindrom Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan perkembangan
fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.
Sindrom Down dapat disebut juga penyakit Mongoloid. Yaitu berupa kelainan pada
kromosom nomor 15 dan 21, yang biasanya kedua kromosom ini berdekatan. Karena salah
satu penyebab yang tidak seharusnya, terjadilah pemecahan yang disebut dispuntum. Karena
suatu penyebab, dapat juga keadaan ini disebut translokasi yang sifatnya sama karena
jumlahnya, tetapi pada pembentukan gamet berlainan. Kromosom ini terbentuk akibat
kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.
Sindroma Down merupakan kelainan kromosom yang paling sering terjadi. Kelainan
sindroma Down terjadi karena kelebihan jumlah kromosom pada kromosom nomor 21, yang
seharusnya dua menjadi tiga, yang menyebabkan jumlah seluruh kromosom mencapai 47
buah, sehingga disebut trisomi 21. Pada manusia normal jumlah kromosom sel mengandung
23 pasangan kromosom. Akibat proses tersebut, terjadi gangguan sistem metabolisme di
dalam sel. Kelainan kromosom itu bukan merupakan faktor keturunan.2
Anak dengan sindroma Down akan mengalami keterbatasan kemampuan mental dan
intelektual, retardasi mental ringan sampai sedang, atau pertumbuhan mental yang lambat.
Selain itu, penderita seringkali mengalami perkembangan tubuh yang abnormal, pertahanan
tubuh yang relatif lemah, penyakit jantung bawaan, Alzheimer, leukemia, dan berbagai
masalah kesehatan lain.3
1
EPIDEMIOLOGI
Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi
pada manusia. Kejadian sindroma Down diperkirakan satu per 800 sampai satu per 1000
kelahiran. Pada tahun 2006, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit memperkirakan
tingkat kejadiannya sebagai satu per 733 kelahiran hidup di Amerika Serikat (5429 kasus
baru per tahun). Sekitar 95% dari kasus ini adalah trisomi 21. Sindroma Down terjadi pada
semua kelompok etnis dan di antara semua golongan tingkat ekonomi. Kebanyakan anak
dengan Sindrom Down dilahirkan oleh wanita yang berusia di atas 35 tahun. Sindrom Down
dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan angka kejadian pada orang kulit putih lebih tinggi
dari orang hitam. Sumber lain mengatakan bahwa angka kejadian 1,5 per 1000 kelahiran,
terdapat pada penderita retardasi mental sekitar 10 %, secara statistik lebih banyak di lahirkan
oleh ibu yang berusia lebih dari 30 tahun, prematur dan pada ibu yang usianya terlalu muda.4
ETIOLOGI
Penyebab kelainan kromosom adalah terjadinya pemecahan kromosom dan pecahnya
hilang/melekat pada kromosom lain. Kejadian ini disebut translokasi. Pengaturan kembali
yang dilakukan sel dapat menghasilkan keseimbangan normal tetapi dapat juga menjadi tidak
seimbang. Jika terjadi keseimbangan normal, total materi genetik didalam sel dengan
kromosom menjadi normal. Pengaturan semacam ini biasanya tidak akan menimbulkan
sindrom klinis. Apabila terjadi ketidakseimbangan maka terjadi kelebihan atau kekurangan
materi genetik dalam barisan sel-sel tersebut. Pengaturan semacam ini biasanya menimbulkan
perubahan dalam fenotif klinis.
Dijumpai penderita Sindrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom. Individu ini
ialah penderita Sindrom Down translokasi 46.t (14q21q). Setelah kromosom dari orang
tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45
kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan 1 autosom translokasi 14q21q.
Jelaslah bahwa bahwa ibu merupakan “carrier” yang walaupun memiliki 45 kromosom
45.XX.t (14q21q) ia adalah normal. Sebaliknya, laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi
tidak dikenal dan apa sebabnya , sampai sekarang belum diketahui.1
2
KLASIFIKASI
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan mosaik.
Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan mempunyai tiga
kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe
ini.
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan berkombinasi
dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang menjadi karier kromosom
yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini
merupakan 4% dari total kasus.
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang
mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini dan
biasanya kondisi si penderita lebih ringan.
PATOFISIOLOGI
Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian dalam
nukleus. Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai struktur
tersendiri, tetapi hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang diwarnai dengan jelas.
Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya untuk membentuk
untaian kromosom. Kromosom ini mengandung banyak molekul DNA yang tersusun dalam
urutan tertentu.
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang,
merupakan susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang
kromosom seks. Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1
kromosom Y dalam setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal ditandai
dengan 46 XX, seorang pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada
setiap individu berasal dari kedua orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma normal
masing-masing mengandung 23 kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga
pembuahan menghasilkan zigot yang tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog.
Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sindrom Down yang hanya memiliki
46 kromosom. Individu ini ialah penderita Sindrom Down translokasi 46. t(14q 21q). Setelah
3
kromosom orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya
memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan satu autosom
translokasi 14q 21q. jelaslah bahwa ibu itu merupakan “carrier” yang walaupun memiliki 45
kromosom 45.xx.t (14q21q) ia adalah normal. Sebaliknya laki-laki “carrier” Sindrom Down
translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang belum diketahui.1
Pada sindrom Down trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu
pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun
kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti
perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi
ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut,
oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus sindrom Down, dalam
meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi
oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah :
a. Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia tua
b. Kandungan antibody tiroid yang tinggi
c. Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu
para ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang
lebih besar untuk mendapat anak sindrom Down Trisomi 21.
Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak pernah
ada non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan
tidak ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari
adanya trisomi 21 dalam zigot, kromosom penderita sindrom Down jenis ini mempunyai 47
kromosom (47,XX,+21 atau 47,XY,+21).
4
Gambar (1). Kariotipe Trisomi 21.
Sumber:http://www.meddean.luc.edu/lumen/MedEd/genetics/diseases/
downs_syndrome.htm
Jika pada trisomi 21 terjadi non-disjunction yang mempengaruhi seluruh sel tubuh,
pada kasus sindrom Down mosaik (46,XX/47,XX,+21), terdapat sejumlah sel yang normal
dan yang lainnya mempunyai mengalami trisomi 21. Kejadian ini dapat terjadi dengan dua
cara: non-disjunction pada perkembangan sel awal pada embryo yang normal menyebabkan
pemisahan sel dengan trisomi 21, atau embryo dengan sindrom Down mengalami non-
disjunction dan beberapa sel embryo kembali kepada pengaturan kromosom normal.
Penderita sindrom Down translokasi mempunyai 46 kromosom t(14q21q). Setelah
kromosom orang tua diselidiki, ternyata ayah normal, tetapi ibu hanya mempunyai 45
kromosom, termasuk satu autosom 21, satu autosom 14, dan satu autosom translokasi
14q21q. Ibu merupakan karier, sehingga normal walaupun kariotipenya 45,XX,t(14q21q).
Perkawinan laki-laki normal (46,XY) dengan perempuan karier sindrom Down secara teoritis
menghasilkan keturunan dengan perbandingan fenotip 2 normal : 1 sindrom Down.1 Pada
sindrom Down translokasi, susunan kromosom tidak sesuai dengan susunan kromosom
normal. Jumlah kromosom tetap 46, tetapi karena terdapat bagian tambahan dari kromosom
ke-21, anak akan memiliki fitur Down syndrome.6
5
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan
menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi
yang mengancam nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom
Down akan menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan
postnatal. Anak – anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik,
maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan fisik yang
tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali pada ekstremitas atas, dan
penyakit jantung kongenital. Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3
pada kromosom 21 bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada
penderita sindrom Down. Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi
pada regio 21q22.1-q22.2, adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi
penyebab utama retardasi mental dan defek jantung.7
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme tiroid dan
malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem imun
yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi kondisi autoimun, termasuk hipothiroidism
dan juga penyakit Hashimoto. Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita
hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap
pilocarpine dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh, anak – anak dengan sindrom
Down yang menderita leukemia sangat sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer
proses metabolik menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya
resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada
penderita Sindrom Down.
Anak – anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita leukemia, seperti
Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute Megakaryocytic Leukemia. Hampir
keseluruhan anak yang menderita sindrom Down yang mendapat leukemia terjadi akibat
mutasi hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada anak – anak
dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi GATA1, dan mutasi
ketiga yang berupa proses perubahan genetik yang belum diketahui pasti.
MANIFESTASI KLINIS
6
Anak dengan sindroma Down pada umumya memiliki berat badan lahir yang kurang
dari normal. Diperkirakan 20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gram atau kurang.7
Secara fenotip karakteristik yang terdapat pada bayi dengan sindroma Down yaitu: 1,8,9
• Sutura sagitalis yang terpisah
• Fisura palpebralis yang oblique
• Jarak yang lebar antara jari kaki I dan II
• “plantar crease” jari kaki I dan II
• Hiperfleksibilitas
• Peningkatan jaringan sekitar leher
• Bentuk palatum yang abnormal
• Tulang Hidung hipoplasia
• Kelemahan otot
• Hipotonia
• Bercak Brushfield pada mata
• Mulut terbuka
• Lidah terjulur
• Lekukan epikantus
• “single palmar crease” pada tangan kiri
• “single palmar crease” pada tangan kanan
• “Brachyclinodactily” tangan kiri
• “Brachyclinodactily” tangan kanan
• Jarak pupil yang lebar
Tangan yang pendek dan lebar
• Oksiput yang datar
• Ukuran telinga yang abnormal
• Kaki yang pendek dan lebar
• Bentuk atau struktur telinga abnormal
• Letak telinga yang abnormal (lebih rendah)
• Kelainan tangan lainnya
• Kelainan mata lainnya
• Sindaktili
• Kelainan kaki lainnya
• Kelainan mulut lainnya
7
Karakteristik dari sindroma tersebut ada yang berubah dengan bertambahnya umur
anak, misalnya lekukan epikantus atau jaringan tebal di sekitar leher akan berkurang dengan
bertambahnya umur anak. Berdasarkan atas ditemukannya karakteristik dengan frekuensi
yang tinggi pada sindroma Down, maka gejala–gejala tersebut dianggap sebagai “cardinal
sign” dan petunjuk diagnostik dalam mengidentifikasi sindroma Down secara klinis. Tetapi
yang perlu diketahui adalah tidak adanya kelainan fisik yang terdapat secara konsisten dan
patognomonik pada sindroma Down. Bentuk muka anak dengan sindroma Down pada
umumnya mirip dengan ras Mongoloid.8
Gambar (3). Neonatus dengan Sindroma Down.
Gambar 4. Penampakan klinis tangan anak dengan Sindroma Down.
Selain beberapa tampilan dari anak dengan sindroma Down terdapat juga kelainan
klinis antara lain: 9,11,12
Cacat jantung bawaan, cacat jantung kongenital yang umum (40-50%) jantung
bawaan yang paling sering endocardial cushion defect (43%), ventricular septal
8
defect (32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy Fallot cacat septum
atrium (6%), dan isolated patent ductus arteriosus (4%), lesions pada patent ductus
arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis (9%). Sekitar 70% dari semua endocardial
cushion defects terkait dengan sindroma Down.
Vision disorders
Hearing disorders
Obstructive sleep apnoea syndrome, terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran
udara bagian atas ke paru-paru yang terhambat untuk 10 detik atau lebih sehingga
sering mengakibatkan hypoxemia or hypercarbia.
Wheezing airway disorders
Congenital defek pada gastrointestinal tract
Celiac disease
Obesity dan bertubuh pendek selama remaja
Transient myeloproliferative disorder
Thyroid disorders, yaitu hipotiroidism
Atlanto-axial instability,
Anomali saluran kemih
Masalah kulit seperti Atopik eksim, Seborrhoeic eczema, Alopecia areata, Vitiligo
Syringomas, Perforans elastosis serpiginosa, Onychomycosis, Tinea corporis,
Anetoderma, Folliculitis, Chelitis, Keratosis pilaris, Psoriasis , Cutis marmorata⁄ivedo
reticularis, Xerosis, hyperkeratosis Palmar atau hiperkeratosis plantar
Behaviour problems, spontanitas alami, kehangatan, ceria, kelembutan dan kesabaran
sebagai karakteristik toleransi. Beberapa pasien menunjukkan kecemasan dan keras
kepala.
Psychiatric disorder, Prevalensi dari 17.6% gangguan kejiwaan di kalangan anak-
anak dan di antara orang dewasa adalah 27,1%. Anak-anak dan remaja berada pada
risiko tinggi untuk autisme, attention deficit hyperactivity disorder dan conduct
disorder. Obsessive-compulsive disorder, Tourette syndrome, gangguan depresi, dan
dapat terjadi selama transisi dari remaja sampai dewasa.
Gangguan Kejang 5-10 %, yaitu umumnya kejang infantil pada bayi, sedangkan-
kejang tonik klonik umumnya diamati pada pasien yang lebih tua.
9
Gambar (5). Tanda & gejala sindrom Down
Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh
Temuan Fisik5, 7, 9, 10
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek. Mereka
sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang rangka tubuh penderita sindrom
Down mempunyai ciri–ciri yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi
clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan (20%), sendi
jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan
dislokasi tulang pinggul (6%).
Bagi penderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan xerosis, lesi
hiperkeratosis yang terlokalisir, garis–garis transversal pada telapak tangan, hanya satu
lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan
infeksi pada kulit yang rekuren.
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent quatio (IQ) mereka
sering berada antara 20–85 dengan rata-rata 50. Hipotonia yang diderita akan meningkat
apabila umur meningkat. Mereka sering mendapat gangguan artikulasi.
10
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan, sikap ramah,
ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang
nakal dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada anak–anak sindrom
Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada yang dewasa. Tonus kulit
yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang
pendengaran, hal yang berhubungan dengan hipotiroidisme yang disebabkan faktor usia yang
meningkat, kejang, neoplasma, penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam
melakukan sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita
sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang–orang lanjut usia.
Penderita sindrom Down sering menderita microcephaly, dahi yang rata, occipital
yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat,
sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada sinus
maksilaris.
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting) karena
fissure palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik–titik Brushfield,
kesalahan refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%),
conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil edema, spasma
nutans dan keratoconus.
Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi tulang
hidung dan jembatan hidung yang rata.
Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil dan
mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air liur, bibir bawah yang
merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan sempurna,
pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi
serta kerusakan periodontal yang jelas.
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat. Otitis
media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering ditemukan. Kira – kira 60–80% anak
penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 – 20 dB pada satu telinga.
Hematologi
11
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia,
termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid. Diperkirakan 10% bayi
yang lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon preleukemic, yang berasal dari
progenitor myeloid pada hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang
terlokalisir pada kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient
Leukemia, Transient Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient Abnormal
Myelopoiesis (TAM).
Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom Down dengan
prevelensi 40-50%. Walaubagaimanapun kasus lebih sering ditemukan pada penderita yang
dirawat di RS (62%) dan penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua
tahun pertama kehidupan.
Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular Septal Defects
(AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion Defect (43%), Ventricular Septal
Defect (32%), Secundum Atrial Septal Defect (ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%), dan
Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering ditemukan adalah Patent
Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic Stenosis(9%). Kira - kira 70% dari endocardial
cushion defects adalah terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang
dirawat, kira – kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada jantung mereka.
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana terjadinya kelainan
anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang tidak sempurna sewaktu tahap
embrio. Kelainan yang sering dihubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus,
coarctation of the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan anomalous pulmonary
venous return. Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi. Penderita AVD selalunya
berada dalam kondisi asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula
timbul pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan
pulmonary venous return, yang akhirnya akan menjadi left-to-right shunt pada atrium dan
ventrikel. Akhirnya nanti akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara
lain takipneu dan penurunan berat badan.
12
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan ada salah satu, atau kedua
dua katup atrioventikuler. Pada penderita dengan penyakit ini, jaringan jantung pada bagian
superior dan inferior tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi komunikasi
intratrial melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal sebagai defek ostium primum. Akan
terjadi letak katup atrioventikuler yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta.
Perfusi jaringan endokardial yang tidak sempurna juga mangakibatkan lemahnya struktur
pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting. Apabila penderita
mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering terjadi melalui ostium primum pada
septum. Kalau penderita mendapat defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum
ventrikel dan juga insufisiensi valvular. Kemudian akan terjadi volume overloading pada
ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti dengan gagal jantung pada awal usia.
Sekiranya terjadi overload pulmonari, dapat terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti
dengan gagal jantung kongestif.
Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada kondisi dimana
adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel. Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali
primer, dengan atau tanpa defek kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan
seperti Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular (AV) canal defects, transposition
of great arteries, dan corrected transpositions.
Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau jalur yang
menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau sebaliknya, melalui
septum interatrial. Apabila tejadinya defek pada septum ini, darah arterial dan darah venous
akan bercampur, yang bisa atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran
darah ini juga disebut sebagai ‘shunt’. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebih
berbahaya.
Tetralogy of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada anak yang
sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah yang kaya oksigen dengan darah
13
yang kurang oksigen. Terdapat empat abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of
fallot. Pertama adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada
katup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka kearah luar dari ventrikel
kanan. Ini akan menimbulkan restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk
bekerja lebih kuat yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel. Kedua adalah
ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya lubang pada dinding yang memisahkan dua
ventrikel, akan menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen
bercampur. Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh dan
menimbulkan gejala klinis berupa sianosis. Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal.
Keempat adalah pulmonary valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang
minimal terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru. Tetapi jika stenosisnya sedang
atau berat, darah yang sampai ke paru adalah lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih
berat.
Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak gagal menutup
dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi bising jantung. Simptom yang
terjadi antara lain adalah nafas yang pendek dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat
terjadi gagal jantung kongestif. Semakin besar PDA, semakin buruk status kesehatan
penderita.
Immunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang
normal untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem imun yang rendah.
Contohnya mereka sangat rentan mendapat pneumonia.
Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang dapat
ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%), TE fistula, Meckel
divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil penelitian di Eropa
dan Amerika didapatkan prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down
adalah sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik pada human
14
leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8. Dilaporkan juga terdapat kaitan
yang kuat antara hipersensitivitas dan spesifikasi yang jelek.
Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah gangguan pada
sistem endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya sering pada usia awal sekolah,
sekitar 8 hingga 10 tahun. Insidens ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat.
Prevelensi mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid primer,
autoimun tiroiditis, dan compensated hypothyroidism atau hyperthyrotropenemia adalah
sekitar 3-54% pada penderita sindrom Down, dengan persentase yang semakin meningkat
seiring dengan bertambahnya umur.
Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan psikiatri atau
prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risiko mendapat gangguan psikis.
Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder
(ADHD), Oppositional Defiant Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan
gangguan spektrum Autisme.
Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala–gejala sindrom Down yang
sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria diagnosis awal bagi penyakit Alzheimer.
Fenotip individu yang mendapat trisomi 21 mosaik menggambarkan persentase sel–sel
trisomik yang terdapat dalam jaringan yang berbeda di dalam tubuh.
FAKTOR RISIKO
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat dengan
bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia di atas 35
tahun. Walaubagaimanapun, wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko
mendapat bayi dengan sindrom Down.
15
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom Down adalah lebih
tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan sindrom Down, atau jika adanya
anggota keluarga yang terdekat yang pernah mendapat kondisi yang sama. Walau
bagaimanapun kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapanya normal.
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down berdasarkan umur ibu
yang hamil:
- 20 tahun: 1 per 1,500
- 25 tahun: 1 per 1,300
- 30 tahun: 1 per 900
- 35 tahun: 1 per 350
- 40 tahun: 1 per 100
- 45 tahun: 1 per 30
DIAGNOSIS
Tidak ada kritera diagnosis khusus untuk sindroma Down. Namun, retardasi mental
merupakan gambaran yang menumpang tindih dengan sindroma Down. Sebagian besar orang
dengan sindroma ini mengalami retardasi mental sedang atau berat, hanya sebagian kecil
yang memiliki IQ diatas 50. Perkembangan mental tampak normal dari lahir hingga usia 6
bulan dan nilai IQ secara bertahap menurun dari hampir normal pada usia 1 tahun hingga
sekitar 30 pada usia yang lebih tua. Penurunan intelegensi dapat nyata atau jelas: uji infantil
mungkin tidak mengungkapkan tingkat defek sepenuhnya, yang mungkin tertungkap ketika
uji yang lebih canggih digunakan pada masa kanak-kanak awal.1 Derajat atau tingkat
retardasi mental diekspresikan dalam berbagai istilah. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) memberikan empat tipe
retardasi mental, yang mencerminkan tingkat gangguan intelektual antara lain: retardasi
mental ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Adapun kriteria diagnostik untuk retardasi
mental menurut DSM-IV antara lain : 13
16
a. Fungsi intelektual yang secara bermakna di bawah rata-rata: IQ kira-kira 70 atau
kurang pada tes IQ yang dilakukan secara individual (untuk bayi, pertimbangan klinis adanya
fungsi intelektual yang jelas di bawah rata-rata)
b. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang (yaitu,
efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut menurut usianya
dalam kelompok kulturalnya) pada sekurangnya dua bidang keterampilan berikut:
komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana
masyarakat, mengarahkan diri sendiri, keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, liburan,
kesehatan, dan keamanan.
c. Onset sebelum usia 18 tahun
Penulisan didasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan tingkat gangguan
intelektual:
a. Retardasi mental ringan : tingkat IQ 50-55 sampai 70
b. Retardasi mental sedang : tingkat IQ 35-40 sampai 50-55
c. Retardasi mental berat : tingkat IQ 20-25 sampai 35-40
d. Retardasi mental sangat berat : tingkat IQ dibawah 20 atau 25
e. Retardasi mental, keparahan tidak ditentukan : jika terdapat kecurigaan kuat adanya
retardasi mental tetapi inteligensi pasien tidak dapat diuji oleh tes inteligensi baku.
Untuk gangguan kromosom dan metabolik, seperti sindroma Down, sindroma X
rapuh, dan fenilketonuria (PKU) merupakan gangguan yang sering dan biasanya
menyebabkan sekurangnya retardasi mental sedang.13
Diagnosis Sindrom Down dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan
intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku anak
sekarang adalah secara bermakna di bawah tingkat yang diharapkan. Suatu riwayat penyakit
dan wawancara psikiatrik sangat berguna untuk mendapatkan gambaran longitudinal
perkembangan dan fungsi anak, sedangkan pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium dapat
digunakan untuk memastikan penyebab dan prognosis.
Pada anamnesis riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau
pengasuh, dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, kelahiran, riwayat
keluarga retardasi mental, dan gangguan herediter. Selain itu, sebagai bagian riwayat
penyakit, klinisi sebaiknya menilai latar belakang sosiokultural pasien, iklim emosional di
rumah, dan fungsi intelektual pasien.
17
Pada pemeriksaan fisik berbagai bagian tubuh mungkin memiliki karakteristik
tertentu yang sering ditemukan pada orang dengan retardasi mental seperti sindroma Down
ini dan kemungkinan memiliki penyebab pranatal. Pemeriksaan fisik pasien dengan sindroma
Down dapat dilihat dari gambaran klinis fisik pasien yang telah dijelaskan sebelumnya.13
Pemeriksaan Penunjang7
a. Pemeriksaan Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom Down.
Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test dan/atau sonogram. Uji kedua
adalah uji diagnostik yang dapat memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita
sindrom Down atau tidak.
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal Translucency (NT
test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 – 14 kehamilan. Apa yang diuji adalah jumlah
cairan di bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh daripada sepuluh bayi dengan sindrom
Down dapat dikenal pasti dengan tehnik.
Hasil uji sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil yang
disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon
human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa
mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung.
b. Amniocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang kemudiannya
diuji untuk menganalisa kromosom janin. Amniosentesis merupakan pemeriksaan yang
berguna untuk diagnosis berbagai kelainan kromosom bayi terutama sindroma Down, di
mana dengan mengambil sejumlah kecil cairan amniotik dari ruang amnion secara
transabdominal antara usia kehamilan 14-16 minggu. Amniosentesis dianjurkan untuk semua
wanita hamil di atas usia 35 tahun. Risiko keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
c. Chorionic villus sampling (CVS)
CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan
diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu
kesembilan hingga empat belas. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
18
d. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS)
PUBS adalah tehnik di mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat
kromosom janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan
sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko keguguran adalah
lebih tinggi.
e. Pemeriksaan sitogenik
Diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan studi sitogenetika. Karyotyping sangat
penting untuk menentukan risiko kekambuhan. Dalam translokasi sindrom Down,
karyotyping dari orang tua dan kerabat lainnya diperlukan untuk konseling genetik yang
tepat. 10
Gambar (6). Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 (47,XY,+21)10
Gambar (7). Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 dari lengan isochromosome arm
21q tipe [46,XY,i(21)(q10)]10
f. Interphase fluorescence in situ hybridization (FISH)
19
FISH dapat digunakan untuk diagnosis cepat. Hal ini dapat berhasil di kedua
diagnosis prenatal dan diagnosis pada periode neonatal. Mosaicism yang tersembunyi untuk
trisomi 21 sebagian dapat menerangkan hubungan yang telah dijelaskan antara sejarah
keluarga sindroma Down dan risiko penyakit Alzheimer. Skrining untuk mosaicism dengan
FISH diindikasikan pada pasien tertentu dengan gangguan perkembangan ringan dan mereka
dengan Alzheimer onset dini.
g. Echokardiografi
Tes ini harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk
mengidentifikasi penyakit jantung bawaan, terlepas dari temuan pada pemeriksaan fisik. 10
h. Skeletal Radiografi
Kelainan kraniofasial termasuk brachycephalic microcephaly, hypoplastic facial bones dan
sinuses. Tes ini diperlukan untuk mengukur jarak atlantodens dan untuk menyingkirkan
atlantoaxial instabilitas pada umur 3 tahun. Radiografi juga digunakan sebelum anesthesia
diberikan jika terdapat tanda-tanda spinal cord compression. Penurunan sudut iliac dan
acetabular juga dapat ditemukan pada bayi baru lahir.10
Diagnosis Banding Sindroma Down
Adapun diagnosis banding dari sindroma Down adalah : 14
a. Hipotiroidisme
Terkadang gejala klinis sindroma Down sulit dibedakan dengan hipotiroidisme. Secara kasar
dapat dilihat dari aktivitasnya karena anak-anak dengan hipotiroidisme sangat lambat dan
malas, sedangkan anak dengan sindroma Down sangat aktif.
b.Akondroplasia
c. Rakitis
d.Sindrom Turner
e. Penyakit Trisomi
Penyakit Angka
Kejadian
Kelainan Keterangan Prognosis
Trisomi 21 1 dari 700 bayi Kelebihan Perkembangan Biasanya bertahan
20
(Sindroma
Down)
baru
Lahir
kromosom
21
fisik & mental
terganggu,
ditemukan
berbagai
kelainan fisik
sampai usia 30-40
tahun
Trisomi 18
(Sindroma
Edwards)
1 dari
3.000 bayi
baru lahir
Kelebihan
kromosom
18
Kepala kecil,
telinga terletak
lebih rendah,
celah bibir/celah
langit-langit,
tidak memiliki
ibu jari tangan,
clubfeet, diantara
jari tangan
terdapat selaput,
kelainan jantung
& kelainan
saluran
kemihkelamin
Jarang bertahan
sampai lebih dari
beberapa bulan;
keterbelakangan
mental yg terjadi
sangat berat
Trisomi 13
(Sindroma
Patau)
1 dari
5.000 bayi
baru lahir
Kelebihan
kromosom
13
Kelainan otak &
mata yg berat,
celah bibir/celah
langit-langit,
kelainan jantung,
kelainan saluran
kemih-kelamin
& kelainan
bentuk telinga
Yang bertahan
hidup
sampai lebih dari
1
tahun, kurang dari
20%;
keterbelakangan
mental yg terjadi
sangat berat
PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk
mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Sindrom Down juga dapat
21
mengalami kemunduran dari sistim tubuhnya. Dengan demikian penderita harus
mendapatkan support maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan
sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik
maupun mentalnya.
MEDIKAMENTOSA
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada
jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya
kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita
semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta
pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.
NON MEDIKAMENTOSA
1. Fisio Terapi.
Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar
untuk mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap
perkembangan yang berkelanjutan.
Fisioterapi pada Sindrom Down adalah membantu anak belajar untuk
menggerakkan tubuhnya seperti duduk dan berjalan dengan cara/gerakan
yang tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan
Down Syndrome dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah
yang dapat mengganggu posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi.
Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome
menyesuaikan gerakannya untuk mengkompensasi otot lemah yang
dimilikinya, sehingga selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur.
Dapat dilakukan seminggu sekali
2. Terapi Bicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami
keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata.
3. Terapi Okupasi. Melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman, kemampuan
sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya anak DS tergantung
pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa ada komunikasi dan tidak
memperdulikan orang lain. Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan dan
koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
22
4. Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan
kemampuan akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran
dari sekolah biasa.
5. Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah
rangsangan / sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang mengalami
gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik
halus dll. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan terarah sehingga
kemampuan otak akan meningkat.
6. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy). Mengajarkan anak DS yang sudah berusia
lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan
norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
7. Terapi alternatif. Penaganan yang dilakukan oleh orangtua tidak hanya penanganan
medis tetapi juga dilakukan penanganan alternatif. hanya saja terapi jenis ini masih
belum pasti manfaatnya secara akurat karena belum banyak penelitian yang
membuktikan manfaatnya, meski tiap pihak mengklaim dapat menyembuhkan DS.
Terapi alternatif tersebut di antaranya adalah :
Terapi Akupuntur. Dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh
tertentu dengan jarum. Titik syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi sang
anak.
Terapi Musik. Anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat
senang dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka
dengan begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan
mengakibatkan fungsi tubuhnya yang lain juga membaik
Terapi Lumba-Lumba. Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis tapi hasil yang
sangat mengembirakan bagi mereka bisa dicoba untuk anak DS. Sel-sel saraf otak
yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika mendengar suara lumba-lumba.
Terapi Craniosacral. Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang ringan
pada syaraf pusat. Dengan terapi ini anak DS diperbaiki metabolisme tubuhnya
sehingga daya tahan tubuh lebih meningkat.
Terapi-terapi alternatif lainnya, ada yang berupa vitamin, supplemen maupun
dengan pemijatan pada bagian tubuh tertentu.
23
Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis yang sama
dengan anak yang normal. Mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan, imunisasi,
kedaruratan medis, serta dukungan dan bimbingan dari keluarga, tetapi terdapat beberapa
keadaan di mana anak dengan sindroma Down memerlukan perhatian khusus antara lain: 8
a. Pemeriksaan mata dan telinga serta pendeteksian fungsi tiroid pada bayi baru lahir
dan rutin pada anak sindroma Down
b. Penyakit jantung bawaan, intervensi dini dengan pemeriksaan kardiologi pada bayi
baru lahir
c. Status Nutrisi, perlu perhatian meliputi kesulitan menyusu pada bayi sindroma Down
dan pencegahan obesitas pada usia anak dan remaja
d. Kelainan tulang
e. Pendidikan, sebagai intervensi dini terhadap kelainan perkembangan terutama
menyangkut kemampuan kognitif dan perkembangan social
f. Monitoring pertumbuhan dan perkembangan dengan kurva spesial untuk sindroma
Down dan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak sindroma Down
g. Perawatan mulut dan gigi
h. Atlanto-axial instability screening pada usia tiga tahun
i. Konseling genetik.
PROGNOSIS
Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 50 tahun. Selain
perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan fisik.
Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan
jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk prognosis.15 Sebesar 44%
penderita sindroma Down hidup sampai 50 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun.
Meningkatnya risiko terkena leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi
normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44
tahun.14
Beberapa penderita sindroma Down mengalami hal-hal berikut:
a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.
b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.
24
c. Pada usia 30 tahun menderita dementia (berupa hilang ingatan, penurunan kecerdasan
dan kepribadian).
d. Gangguan tiroid.
Bisa terjadi kematian dini pada penderita sindroma Down meskipun banyak juga
penderita yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan kelainan jantung bawaan.
Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini yang mengakibatkan
80% kematian. Anak-anak dengan sindroma Down memiliki risiko tinggi untuk menderita
kelainan jantung dan leukemia. Jika terdapat kedua penyakit tersebut maka angka harapan
hidupnya berkurang dan jika kedua penyakit tersebut tidak ditemukan maka anak bisa
bertahan sampai dewasa.
Mortalitas/Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan. Sekitar
85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat hidup sehingga berusia lebih
dari 50 tahun. Penyakit jantung kongenital sering menjadi faktor yang menentukan usia
penderita sindrom Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa
fistula transesofageal, Hirschsprung disease, atresia duodenal dan leukemia akan
meningkatkan mortalitas.
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas yang tinggi karena
mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi seperti tonsil yang membesar dan
adenoids, lingual tonsils, choanal stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi
pada saluran nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis Media,
Alveolar Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi Arteri
Pulmonal yang disertai dengan cor pulmonale dan gagal jantung.
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital yang tidak stabil
dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan pendengaran,
visus, retardasi mental dan defek yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak–
anak dengan sindrom Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan
menghadapi masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, dan
kemampuan interpersonal.
25
KOMPLIKASI
Anak-anak dengan sindrom Down bisa mempunyai berbagai komplikasi, ada yang
menjadi lebih menonjol sesuai dengan umur yang semakin meningkat, antara komplikasi
yang timbul termasuk:
Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskular
Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai murmur, anak
penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat defek pada jantung. Apabila
resistensi pada vaskular pulmonari dapat dideteksi, kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke
kanan dapat dikurangi, sehingga dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal. Apabila
tidak dapat dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten
dengan perubahan pada vaskular yang ireversibel.
Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada jantung dilakukan
setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap operasi yang dilakukan lebih
baik. Biasanya tindakan operasi dilakukan apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini,
hasil operasi sudah lebih baik dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama.
Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal atrioventrikuler, symptom
biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai dengan shunting sistemik-pulmonari, aliran
darah pulmonari yang tinggi, disertai dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri
pulmonal. Resistensi pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan dari
shunting sistemik-pulmonal yang diikuti dengan sianosis.
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menderita
hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol pulmonal yang lebih tipis dan fungsi
endotelial yang terganggu.
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat mencegah terjadinya
kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada paru-paru. Apalagi dengan pengobatan
yang terkini (prostacyclin, endothelin, antagonis reseptor dan phosphodiesterase-5-inhibitor)
didapatkan mampu memperbaiki status klinis dan jangka hidup bagi penderita hipertensi
arteri pulmonal.
26
Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah pada penderita
sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi dimana didapatkan
rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis pada penderita sindrom Down.
Leukemia. Anak-anak dengan sindrom Down lebih cenderung menderita leukemia.
Hal ini berdasarkan pengamatan bahawa leukemia tertentu dapat berhubungan dengan
defek pada kromosom 21.
Penyakit menular. Disebabkan sistem imun yang terganggu, penderita sindrom Down
lebih mudah terkena serangan penyakit menular seperti radang paru-paru.
Demensia. Resiko untuk terkena demensia di waktu tua, tanda dan gejala demensia
sering muncul sebelum berumur 40 tahun. Mereka yang menderita demensia juga
mempunyai kecenderungan yang tinggi menderita kejang.
Apnea tidur. Disebabkan oleh perubahan pada sel jaringan dan tulang yang
menyebabkan penyempitan pada jalan pernafasan, risiko untuk terjadinya sleep apneu
tinggi.
Obesitas. Penderita sindrom Down mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk
menjadi obes daripada penduduk umum.
Lain-lain. Sindrom Down juga bisa dikaitkan dengan keadaan kesehatan yang lain,
termasuk masalah gastrointestinal, masalah tiroid, menopause awal, kehilangan
pendengaran, penuaan dini, masalah tulang dan masalah penglihatan.
Sekitar 20% janin sindrom Down mengalami abortus spontan antara masa kehamilan
10-16 minggu. Banyak janin tidak berimplantasi pada endometrium atau ibu mengalami
keguguran sebelum usia kehamilan 6-8 minggu.
PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui
amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi
ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom Down atau mereka yang hamil di
atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka
memiliki resiko melahirkan anak dengan sindrom Down lebih tinggi. sindrom Down tidak
bisa dicegah, karena sindrom Down merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan
jumlah kromosom. Deteksi dini sindrom Down dilakukan pada usia janin mulai 11 minggu
(2,5 bulan) sampai 14minggu. Dengan demikian, orangtua akan diberi kesempatan
27
memutuskan segala hal terhadap janinnya. Jika memang kehamilan ingin
diteruskan, orangtua setidaknya sudah siap secara mental.
Amniocentesis - Merupakan prosedur invasif di mana jarum melewati perut ibu
bagian bawah ke dalam rongga ketuban dalam rahim. Cairan ketuban yang cukup akan
dicapai mulai sekitar 14 minggu kehamilan. Untuk diagnosis prenatal, kebanyakan
amniocenteses dilakukan antara 14 dan 20 minggu kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) – dilakukan antara minggu 11-12 kehamilan. Dalam
prosedur ini, sebuah kateter dimasukkan melalui vagina melalui leher rahim dan masuk ke
dalam rahim ke berkembang ke plasenta di bawah bimbingan USG. Pendekatan alternatifnya
adalah transvaginal dan transabdominal. Penggunaan kateter memungkinkan sampel sel dari
chorionic vili plasenta. Sel-sel ini kemudian akan dilakukan analisis kromosom untuk
menentukan kariotipe janin.
Konseling genetik juga menjadi alternatif yang sangat baik, karena dapat menurunkan
angka kejadian sindrom down. Dengan biologi molekular misalnya Gene targeting atau
Homologous recombination gene dapat dinon-aktifkan. Sehingga suatu saat gen 21 yang
bertanggung jawab terhadap munculnya fenotip sindrom down dapat di non aktifkan.8,9,10
28
BAB III
KESIMPULAN
Sindroma Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan perkembangan
fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.
Kelainan sindroma Down terjadi karena kelebihan jumlah kromosom pada kromosom nomor
21 sehingga kelainan ini disebut trisomi 21. Anak yang menyandang sindroma Down ini akan
mengalami keterbatasan kemampuan mental dan intelektual, retardasi mental ringan sampai
sedang, atau pertumbuhan mental yang lambat. Selain itu, penderita seringkali mengalami
perkembangan tubuh yang abnormal, pertahanan tubuh yang relatif lemah, penyakit jantung
bawaan, alzheimer, leukemia, dan berbagai masalah kesehatan lain. Diagnosis sindroma
Down dapat ditegakkan melalui penelusuran riwayat penyakit dan wawancara psikiatrik,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (pemeriksaan sitogenik, amniosentesis, interphase
fluorescence in situ hybridization (FISH), ekokardiografi, dan skeletal radiografi). Penderita
sindroma Down ini biasanya bertahan sampai usia 30-40 tahun. Pada penderita sindroma
Down biasanya ditemukan adanya kelainan jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel
dan meningkatnya resiko terkena leukemia. Jika terdapat kedua penyakit tersebut, maka
angka harapan hidupnya berkurang, tetapi jika kedua penyakit tersebut tidak ditemukan maka
anak bisa bertahan sampai dewasa.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Suryo. Abnormalitas akibat kelainan kromosom dalam Genetika manusia, Universitas
Gadjah Mada press, cetakan ke 6 tahun 2001. Hal 259-270
2. Adkinson R.L, Brown M.D. Disorders of gender differentiation and sexual
development in Elsevier’s Integrated Genetics 2007. p 17-20
3. Reed E.P. medical genetics. Current medical diagnosis and treatment, McGraw-Hill
Companies. 44th ed. 2005. p 1670
4. N Heyn, Sietske. 2011. Available at: Down
Syndrome.http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.htm. [Accessed on
June 8th 2013.
5. Sherman SL, Allen EG, Bean LH, Freeman SB. Epidemiology of Down Syndrome.
Mental Retardation And Developmental Disabilities Research Reviews. 2007; 13: 221
– 227.
6. Chen H. genetics of Down syndrome. eMedicine. Feb 4, 2011. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/943216-overview#a0104. Accessed on June 6th
2013.
7. Mayo C.S Down syndrome. Available at http://www.mayoclinic.com/health/down-
syndrome/DS00182. Accessed on June 2rd 2013.
8. Sietske N.H. Down syndrome 10 July 2011. Available at
http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.html. Accessed on June 3rd
2013.
9. Down syndrome. Genetics Home Reference. 30 Aug 2010. Available at
http://www.ghr.nlm.nih.gov/condition/down-syndrome. Accessed on June 3rd 2013.
10. Care C. masalah sindrom Down. 2009. Available at http://www.childcare-
center.com/masalah/sindrom-down.html. Accessed on June 3rd 2013.
11. Saharso D. Sindroma Down. 2006. Available at http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=061214-
irky208.htm. Accessed on June 6th 2013.
30
12. Lyle R. Down syndrome. 2004. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15510164. Accessed on June 6th 2013.
13. Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Ed. 2. Jakarta: EGC, 2010:563.
14. Shin, M., Besser, Lilah M., Kucik, James E., Lu, C., Siffel, C., Correa, A. et al. 2009.
15. Prevalence of Down Syndrome Among Children and Adolescents in 10 Regions of the
United States. Official Journal of the American Academic of Pediatrics. 124:1565-
1571.
16. Sindrom Down. Available at :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31669/4/Chapter%20II.pdf. Accessed
on June 8th 2013.
31