tugas p kn

25
TUGAS PKn EFEKTIVITAS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUSKAN SENGKETA PEMILU Dosen Pengampu : Natal Kristiono Nama : Rofiqoh Ratna Cahyaningtyas NIM : 6411413014

Upload: natal-kristiono

Post on 22-Jun-2015

212 views

Category:

Education


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas p kn

TUGAS PKn

EFEKTIVITAS MAHKAMAH KONSTITUSI

DALAM MEMUTUSKAN SENGKETA PEMILU

Dosen Pengampu : Natal Kristiono

UNNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Nama : Rofiqoh Ratna Cahyaningtyas

NIM : 6411413014

Rombel: 48

Page 2: Tugas p kn

2014

ABSTRAK

Penanganan sengketa pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, sejak

dialihkan dari Mahkamah Agung, menimbulkan tekanan beban kerja yang cukup

besar terhadap Sembilan hakim konstitusi. Tekanan ini terjadi karena banyaknya

perkara yang masuk dan singkatnya waktu penyelesaian yang menurut Undang-

Undang hanya 14 hari kerja sehingga memunculkan pertanyaan tentang efektifitas

penyelesaian sengketa pemilukada yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pada sebuah penelitian, yang merupakan penelitian hukum doktrin atau

normatif, mengkaji tiga pertanyaan, yaitu : Apakah dengan struktur, prosedur dan

kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sekarang ini berpengaruh

terhadap efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada, apa saja kendala yang

dihadapi dan rekomendasi apa yang dibutuhkan agar Mahkamah Konstitusi bisa

berperan lebih baik di masa yang akan datang. Melalui pendekatan desktriptif

kualitatif penelitian ini menemukan bahwa beberapa persoalan yang

mempengaruhi efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada di Mahkamah Konstitusi

adalah sifat Mahkamah Konstitusi yang sentralistik menimbulkan masalah access to

justice, mengingat wilayah Negara Keastuan Republik Indonesia yang sangat

luas dan jumlah hakim yang hanya sembilan orang dengan waktu penyelesaian

yang sangat singkat serta perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi melalui

Page 3: Tugas p kn

putusannya. Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulankan bahwa

penyelesaian sengketa pemilukada di Mahkamah Konstitusi tidak berjalan efektif.

Pemilu adalah proses memilih seorang untuk mengisi jabatan - jabatan politik

tertentu yang sangat beranekaragam seperti, pemilihan jabatan presiden dan wakil

presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, dari DPR sampai kepala

desa.

Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara

persuasif dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa,

lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi

sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik

propaganda banyak juga dipakai oleh para kandidat atau politikus selalu komunikator

politik.

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-

sama dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga

yang dibentuk pada masa reformasi. Setelah amandemen UUD 1945 Mahkamah

Konstitusi diatur didalam BAB kekuasaan kehakiman.

A. Sengketa Pemilu

Jumlah sengketa pemilu semakin meningkat pada saat ini. Hal ini dapat

dilihat dari semakin banyaknya gugatan sengketa yang diajukan ke Mahkamah

Konstitusi pada tahun 2014 ini. Peningkatannya sangat jelas dapat dilihat jika

Page 4: Tugas p kn

dibandingkan dengan jumlah sengketa pemilu tahun 2009 yang lalu. Para politisi

mengajukan gugatan karena menilai ada kecurangan yang kebanyakan terjadi,

sehingga gugatan ke Mahkamah Konstitusi membludak dan naik sebesar 22,13

persen walaupun jumlah peserta pemilu hanya 15 partai politik dibanding 2009

yang diikuti oleh 35 partai politik. Sengketa yang terjadi pada tahun 2014 ini

berbeda dengan tahun 2009 yang lalu. Jika tahun 2009 lalu sengketa yang terjadi

adalah persengketaan antar partai, kalau pada tahun 2014 ini sengketa terjadi

antar calon legislator dalam satu partai.

Hamdan Zoelva, ketua Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa ada

767 perkara yang disengketakan pada tahun 2014 ini, yang diajukan oleh partai

politik sebanyak 735 perkara dan yang 32 perkara diajukan oleh calon anggota

Dewan Perwakilan Daerah. Hamdan Zoelva mengakui bahwa perkara ini

mengalami perubahan dari pengumuman Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya

hanya menyebut 702 perkara.

B. Peranan Mahkamah Konstitusi

Fungsi dan peran utama Mahkamah Konstitusi adalah untuk menjaga

konstitusi guna tegaknya konstitusionalitas hukum. Selain itu Mahkamah

Konstitusi juga mempunyai fungsi dan peran lain yang telah diatur didalam UUD

1945 yaitu Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan dan satu

kewajiban. Empat kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah:

1.      Menguji undang-undang terhadap UUD 1945

2.      Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara

Page 5: Tugas p kn

yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

3.      Memutus pembubaran partai politik.

4.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Pada pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,

peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi termasuk

salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah

Konstitusi menjadi suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif

yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya

berdasarkan ketentuan UUD 1945.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali

dalam Pasal 10 ayat (1) dari a sampai d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah

Konstitusi adalah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945,

memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran partai politik, dan

memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan

Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang

ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah

Page 6: Tugas p kn

Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela,

atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

C. Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Pemilu

Kewenangan yang terkait dengan memutuskan perselisihan hasil pemilu

oleh Mahkamah Konstitusi semula merupakan pemilihan umum presiden, DPR,

DPRD, dan DPD. Namun dalam perkembangan kewenangan tersebut bertambah

dengan memutuskan perselisihan hasil pemilukada, semenjak pengertian

“pilkada” diubah menjadi “pemilukada” berdasarkan undang-undang nomor 22

tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil

pemilukada (PHPU.D) terdapat putusan-putusan yang kontroversial. Mahkamah

Konstitusi dengan putusannya seolah-olah telah memperluas kewenangannya

yang semula hanya terkait perselisihan hasil saja dan sekarang juga dapat

memeriksa proses-proses selama penyelenggaraan pemilukada. Mahkamah

Konstitusi harus menegakkan keadilan dan demokrasi dalam proses pemilukada

sehingga apabila dalam prosesnya terdapat pelanggaran yang telah mencederai

nilai demokrasi yang telah mempengaruhi hasil Mahkamah Konstitusi dapat

memeriksa perkara. Peran Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan demokrasi

adalah hal yang baik, namun dalam menegakkannya diperlukan dasar-dasar yang

jelas.

Page 7: Tugas p kn

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil

Pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah Sengketa hasil pemilihan umum

kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dulunya merupakan wewenang

Mahkamah Agung sekarang sudah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi.

Pemindahan wewenang ini berdasarkan pada Undang – Undang Nomor 22

Tahun 2007 yaitu tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang mengubah

pengertian Pilkada menjadi pemilihan umum kepala dan wakil kepala daerah

(Pemilukada). Sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 22

Tahun 2007 pasal 1 (4), yaitu “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara

langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Didalam UUD 1945 pasal 24 C yang isinya memberikan kewenangan

kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilu.

Sehingga sejak pilkada dimasukkan dalam pengertian “pemilu”, maka

berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua

atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

penanganan hasil pemilihan umum Daerah dialihkan dari Mahkamah Agung ke

Mahkamah Konstitusi.

Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi dalam

perkembangannya mengenai perkara hasil pemilihan umum daerah (PHPU.D)

tidak selalu menimbulkan kontroversi. Terdapat beberapa putusan yang menjadi

Page 8: Tugas p kn

kontroversi terkait dengan Mahkamah Konstitusi yang memutus untuk

dilakukannya pemungutan suara ulang atas dasar terjadinya pelanggaran dalam

penyelenggaraan pemilukada yang mencederai demokrasi. Contohnya saja

putusan yang memerintahkan agar dilakukan pemungutan suara ulang

diantaranya pada perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan

wakil kepala daerah (PHPU.D) Jawa Timur pada tahun 2008 dengan putusan 

Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 dan perkara perselisihan

hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Tangerang Selatan

pada tahun 2010 dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

209-210/PHPU.D-VIII/2010.

Pada perkara PHPU.D Jawa Timur, Mahkamah Konstitusi mengabulkan

sebagian permohonan dengan membatalkan dan menyatakan tidak mengikat

secara hukum keputusan KPUD Jawa Timur, namun pembatalan tersebut hanya

mengenai hasil rekapitulasi penghitungan suara di kabupaten Bangkalan,

Sampang, dan Pamekasan. Mahkamah Konstitusi tidak menetapkan hasil

penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah Konstitusi. Namun justru

memerintahkan kepada KPU Provinsi Jawa Timur untuk melaksanakan

pemungutan suara ulang di kabupaten Bangkalan dan Sampang, dan

penghitungan suara ulang di kabupaten Pamekasan dengan menghitung kembali

secara berjenjang surat suara yang sudah dicoblos.

Dan pada perkara PHPU.D Tangerang Selatan, Mahkamah Konstitusi

mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan dan menyatakan tidak

Page 9: Tugas p kn

mengikat secara hukum keputusan KPU Tangerang Selatan tersebut. Pemohonan

yang dikabulkan adalah permohonan yang terbukti beralasan. Selain itu

Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan pemohonan pemohon berupa

pemungutan suara ulang.

Putusan yang memerintahkan pemungutan suara ulang ini menjadi suatu

kontroversi, karena Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara ini telah

melampaui kewenangannya sebagaimana yang telah diatur dalam hukum acara

Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Dalam pasal 4 PMK Nomor.15 tahun 2008

menyatakan :

Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan

oleh termohon yang mempengaruhi :

1. Penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua

pemilukada; atau

2. Terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala

daerah”

Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi menafsirankan

secara luas dalam mengadili sengketa pemilukada. Mahkamah Konstitusi

berpendapat dalam mengadili sengketa Pemilukada tidak hanya membedah

permohonan dengan melihat hasil perolehan suara, melainkan Mahkamah

Konstitusi juga meneliti lebih dalam adanya pelanggaran yang bersifat

terstruktur, sistematis yang memengaruhi hasil perolehan suara tersebut. Dari

pandangan tersebut terlihat seolah-olah ada perluasan objek sengketa perselisihan

Page 10: Tugas p kn

hasil pemilihan umum yang tidak hanya melihat dari hasilnya tetapi juga

prosesnya.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya baik dalam perkara PHPU.D

Jawa Timur maupun PHPU.D Tangerang Selatan telah menerapkan doktrin

judicial activism. Pada perkara PHPU.D di Jawa timur Mahkamah Konstitusi

memberikan pandangan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan

aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) mengesampingkan

keadilan substantif (substantive justice) , karena fakta-fakta hukum yang telah

terbukti dalam perkara tersebut merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan Pemilihan Kepala Daerah

dilakukan secara demokratis, dan tidak melanggar asas-asas pemilihan umum

yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi mengutip salah satu prinsip hukum dan keadilan

yang dianut secara universal menyatakan bahwa : “tidak seorang pun boleh

diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan

tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang

dilakukan oleh orang lain”. Dengan demikian, tidak ada kecurangan dalam

pemilihan umum. Terlepas dari penanganan penegak hukum yang akan

memproses semua tindak pidana dalam Pemilukada secara cepat dan adil untuk

menjadi alat bukti dalam sengketa pemilukada di hadapan Mahkamah yang

dalam pengalaman empiris Pemilukada tampaknya kurang efektif, maka

Page 11: Tugas p kn

Mahkamah memandang perlu menciptakan terobosan baru guna memajukan

demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik pelanggaran sistematis,

yang terstruktur.

Kemudian Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa dalam memutuskan

perselisihan hasil Pemilukada, Mahkamah Konstitusi tidak hanya menghitung

kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi

juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan

yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung saja sebenarnya bisa

dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah pengawasan

Panwaslu dan aparat kepolisian atau cukup oleh pengadilan biasa.

Atas alasan-alasan tersebutlah Konstitusi dapat memasuki proses mengadili

dan dalam putusannya memerintahkan pemungutan suara ulang apabila telah

terjadi pelanggaran yang mempunyai sifat terstruktur,sistematis dan massif

karena Mahkamah Konstitusi tidak mungkin menetapkan versi perhitungan yang

tepat menurut Mahkamah Konstitusi apabila dalam prosesnya diwarnai dengan

pelanggaran-pelanggaran.

D. Putusan PHPU

Selain ketentuan yang ada di luar putusan tidak dapat diterima, Mahkamah

Konstitusi juga dapat memutuskan permohonan ditolak atau permohonan

diterima. Apabila dalam persidangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, maka putusan menyatakan

kalau permohonan ditolak. Dan sebaliknya, jika Majelis Hakim Mahkamah

Page 12: Tugas p kn

Konstitusi berpendapat bahwa permohonan terbukti beralasan, maka putusan

menyataka bahwa permohonan dapat dikabulkan dan selanjutnya Mahkamah

Konstitusi akan menyatakan pembatalan hasil penghitungan suara yang

diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.

Intisari dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tentang sengketa pemilu

(kepala daerah), yang mempengaruhi hasil pemilu bukan hanya kesalahan

penghitungan, tetapi juga kesalahan dalam proses sehingga hal itu juga

berpengaruh pada bentuk putusan lainnya.

Putusan bukan hanya: (1) tidak dapat diterima dan (2) dikabulkan, dalam arti

membatalkan Keputusan KPUD dan menetapkan perhitungan yang benar; serta

(3) ditolak, yaitu jika permohonan tidak beralasan. Akan tetapi, kini putusan bisa

memerintahkan penghitungan suara ulang dan pemungutan suara ulang. Hal ini,

menurut Mahkamah Konstitusi, bermaksud untuk menegakkan keadilan

substantif dan untuk memberi manfaat dalam penegakan demokrasi dan

konstitusi.

Pada beberapa putusannya, Mahkamah Konstitusi melihat telah terjadi

pelanggaran-pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif. Pada putusannya juga

disinggung adanya pelanggaran yang signifikan dan terstruktur sehingga

mencederai konstitusi, demokrasi, dan hak-hak warga negara [Pasal 18 ayat (4)

dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945], serta peraturan perundang-undangan lainnya

yang tidak dibenarkan terjadi di negara hukum Republik Indonesia. Mahkamah

Konstitusi menyatakan bahwa dalam mengadili perkara, Mahkamah Konstitusi

Page 13: Tugas p kn

tidak hanya merujuk pada objek formal perselisihan pemilu saja, tetapi

Mahkamah Konstitusi juga harus menggali dan menemukan kebenaran hukum

dan keadilan sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam upaya

mewujudkan keadilan prosedural dan keadilan substantif, serta asas manfaat

demi supremasi konstitusi, hukum, dan demokrasi, Mahkamah Konstitusi telah

menilai seluruh keterangan para pihak, bukti-bukti surat, dan saksi-saksi di

persidangan sesuai dengan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai

penanganan sengketa pemilu pengawal konstitusi dan demokrasi serta pelindung

HAM.

Dalam beberapa kasus sengketa pemilu, ada beberapa dasar lain yang

coba diajukan sebagai dasar gugatan, antara lain terjadinya kesalahan dalam

pendaftaran pemilih, adanya kecurangan (khususnya money politics,

penyimpangan birokrasi dan intimidasi), atau adanya keputusan KPUD yang

merugikan. Dasar gugatan dalam perselisihan hasil pemilu cukup terbatas.

Dasar untuk mengajukan keberatan hasil pemilu adalah adanya kesalahan

dalam keputusan mengenai hasil pemilu yang dikeluarkan oleh KPU. Dasar

gugatan ini pada akhirnya akan menentukan sejauh mana pengadilan akan

memutuskan kasus tersebut, apakah hanya pembatalan penghitungan dan

perintah untuk menghitung ulang, atau menyatakan batal suatu hasil pemilu dan

dilakukan pemilihan ulang. Apa yang bisa diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi

dalam suatu perselisihan hasil pemilu? Apa batasan bagi Mahkamah Konstitusi

dalam memutuskan sengketa yang diajukan? Jawabannya tentu terkait dengan

Page 14: Tugas p kn

apa yang dapat dimohonkan dalam suatu sengketa atau perselisihan pemilihan.

Baik untuk pemilu legislatif, presiden, maupun pemilihan kepala daerah, sudah

ditegaskan dasar gugatan maupun putusannya secara jelas. Putusan berisi

perintah untuk mengadakan pemilihan ulang atau penghitungan ulang tidak ada

dalam hukum acara penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia. Hal itu berlaku

dalam pemilu legislatif maupun presiden yang ditangani oleh Mahkamah

Konstitusi. Dalam praktiknya, untuk mencari kebenaran, Mahkamah Konstitusi

melakukan pemeriksaan ke lapangan dan memerintahkan kepada penyelenggara

KPUD dan jajarannya untuk membuka kotak suara dan menghitung ulang. Hal

itu dilakukan untuk menguatkan bukti-bukti dan menjadi pertimbangan dalam

membuat putusan. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi tidak pernah

memerintahkan kepada KPU untuk melakukan pemilihan ulang. Adanya perintah

pemilihan ulang ini juga tidak selaras dengan konsep bahwa penyelesaian

sengketa pemilu berada di jalur cepat (fast track). Keputusan di sini tentu yang

dimaksud adalah apakah permohonan tidak diterima, ditolak, atau diterima, dan

bukan suatu perintah pemilihan ulang yang akan memperpanjang proses

pemilihan itu sendiri.

Page 15: Tugas p kn

DAFTAR PUSTAKA

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/1-

Penelitian%20Efektifitas-upload.pdf

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/1-

Penelitian%20Efektifitas-upload.pdf

http://regafelix.wordpress.com/2011/05/25/peran-mahkamah-konstitusi-dalam-

menyelesaikan-sengketa-pemilukada-dalam-rangka-menegakkan-demokrasi-

berdasarkan-konstitusi/

www.gresnews.com/berita/tips/31194-peran-mahkamah-konstitusi-untuk-sengketa-

pemilu/

http://pshk.law.uii.ac.id/index.php?

option=com_content&task=view&id=37&Itemid=126