tugas kelompok per banding an pajak syariah & konvensional

Upload: yuri-arizawa

Post on 09-Jul-2015

390 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dalam istilah sehari-hari kita tentu tau dengan yang namanya Pajak, karena pajak adalah sumber penghasilan bagi Negara. Hampir seluruh sumber pendapatan berasal dari pajak. Namun baru-baru ini banyak kasus yang terkait dengan hal pajak, ini dikarenakan bahwa pajak adalah sumber yang cukup besar dan menguntungkan apabila diselewengkan. Tapi hal itu tentu sudah melewati kodrat dari tujuan pajak tersebut yang telah ditentukan oleh pemerintah. Untuk itu perlu adanya pengawasan ketat serta kesadaran dari diri sendiri akan pentingnya pajak bagi kesejahteraan rakyat. Jika kita hanya mendengar tentang adanya Pajak dalam dunia konvensional, lalu apakah ada yang namanya pajak dalam dunia Syariah islam ? Dalam islam pajak ternyata sudah ada pada zaman dulu dimana pada saat zaman khulafurrashidin berkuasa. Namun istilahnya berbeda karena sering disebut sebagai Dharibah yang artinya adalah beban. Tentu dari segala aspeknya pajak konvensional saat ini berbeda dengan system pajak syariah, dimana bila dilihat dari segi definisi dan dasar hukumnya pun sudah sangat berbeda apalagi jenis-jenis transaksinya. Untuk itu pemakalah sangat ingin mengungkap hal-hal yang menarik antara pajak konvensional dan juga pajak syaraiah ini dengan cara melakukan perbandingan antara kedua jenis pajak ini. Apakah keduanya sama-sama memiliki persamaan ? Lalu apa saja perbedaan yang mencolok antara keduanya ? dan Apakah dua-duanya bersifat baik atau tidak bagi masyarakat ? Tentu segala pertanyaan yang mengena dipikiran kami akan kami ungkap dengan mencari tau dari segala sumber yang ada saat ini baik secara pustaka maupun melalui internet. Kami juga ingin tahu mana dari kedua pajak tersebut yang paling menguntungkan bagi masyarakat baik dalam hal pembagiannya maupun dalam hal pemungutannya.1

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan kami gunakan adalah sebagai berikut : 1. Apa Perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila dilihat dari segi definisinya ? 2. Apa perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila diliahat dari segi unsure-unsur pajaknya ?3. Apa perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila dilihat dari ciri-cirinya ? 4. Apa perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila dilihat dari segi dasar

hukumnya ?5. Apa perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila dilihat dari segi Fungsinya ? 6. Apa perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila dilihat dari segi Ssyarat

pemungutannya ? 7. Apa yang ada pada pajak syariah namun tidak ada dalam pajak konvensional ?

1.3 1.

Tujuan Untuk mengetahui Perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila dilihat dari segi definisinya.2. Untuk mengetahui perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila diliahat dari

segi unsur-unsur pajaknya. 3. Untuk mengetahui perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila diliahat dari ciri-cirinya.4. Untuk mengetahui perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila dilihat dari segi

dasar hukumnya.5. Untuk mengetahui perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila dilihat dari segi

Fungsinya.2

6. Untuk mengetahui perbedaan Pajak Syariah dan Pajak Konvensional bila dilihat dari segi

Syarat pemungutannya.7. Untuk mengetahui apa yang terdapat dalam pajak syariah namun tidak ada dalam pajak

konvensional.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PAJAK KONVENSIONAL 2.1.1 Definisi Definisi atau pengertian pajak menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Undang-undang No.28 Tahun 2007 : Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1 2.1.2 Unsur-unsur Pajak

Unsur-unsur pajak Pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut: Wajib pajak (subyek pajak): pihak yang membayar pajak, bisa perseorangan atau badan usaha/perusahaan. Obyek pajak: hal yang dikenai pajak, seperti pendapatan, peristiwa/kejadian, dan lainlain.

1

Undang-Undang No.28 tahun 2007 Tentang Dasar Hukum Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan

3

Tarif pajak: besarnya pajak yang harus dibayar dalam bentuk persentase (%) atau

nominal tertentu.22.1.3

Ciri-ciri Pajak

a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang; b. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam

rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan; c. Pemungutan Pajak bersifat memaksa;d. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk.3 2.1.4

Dasar Hukum Pemungutan Pajak Di Indonesia dasar-dasar hukum pemungutan pajak terdiri dari :

UUD 1945 UU No.16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan Pajak Penghasilan (PPh) Dasar Hukum pengenaan Pajak Penghasilan adalah Undang-undang no.7 tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000. Undang-undang ini berlaku mulai tahun1984.

Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan Atas Barang MEwah (PPN & PPn BM) Dasar hukum pengenaan PPn & PPn BM adalah Undang-undang No.8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.18 Tahun 2000. Undang-unfdang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985.

Bea Materai Dasar hukum pengenaan Bea Materai adalah Undang-undang No.13 Tahun 1985. Berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

2 3

http://belajarekonomi.blogspot.com/2006/07/pajak.htmlixabriliance.blogspot.com/.../perbandingan-pajak-konvensional-dan.html

4

Dasar hukum pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No.12 tahun 1994. Berlaku mulai tanggal 1 januari 1986. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Dasar hukum pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Undang-undang No.21 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.20 Tahun 2000. Berlaku sejak tanggal 1 januari 1998. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dasar hukum pengenaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah Undang-undang No.18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.34 Tahun 2000.4 2.1.5 Fungsi Pajak Fungsi Anggaran (budgetair) Fungsi budgeteir merupakan fungsi utama pajak dan fungsi fiscal yaitu suatu fungsi dimana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perepajakan yang berlaku segala pajak untuk keperkuan negara berdasarkan undang-undang. Yang dimaksud dengan memasukkan kas secara optimal adalah sebagi berikut: Jangan sampai ada wajib pajak/subjek pajak yang tidak membayar kewajiban pajaknya Jangan sampai wajib pajak tidak melaporkan objek pajak kepada fiskus Jangan sampai ada objek pajak dai pengamatan dan perhitungan fiskkus yang terlepas Fungsi Mengatur (regulerend) Atau fungsi mengatur dan sebagainya juga fungsi pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu , dan sebagainya sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak dipakai sebagai alat kebijakan, mis : pajak atas minuman keras ditinggikan untuk mengurangi konsumsi fasilitas perpajakan sehingga perwujudan dari pajak regulerend yang terdapat dalam UU No I tahun 1967 tentang penanaman modal asing.4

Mardiasmo. Perpajakan, Edisi Revisi 2009. Penerbit ANDI. Hal 11-12

5

Fungsi regulerend atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan yaitu suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Disebut sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak, yakni fungsi budgetair. Di samping mempunyai fungsi untuk mengisi kas Negara, pajak juga mempunyai fungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat. Pajak dipergunakan sebagai alat untuk mengatur perekonomian Negara. Biasanya fungsi mengatur ini akan kontradiktif dengan fungsi anggaran. Untuk menjalankan fungsi mengatur ini, Pemerintah biasanya insentif berupa kemudahankemudahan kepada masyarakat tertentu, sehingga akan mengurangi penerimaan pajak. Untuk melaksanakan fungsi mengatur ini, Pemerintah dapat melakukannya melalui dua cara, yaitu: a. Insentif Untuk mendukung kegiatan ekonomi tertentu, pemerintah dapat memberikan insentif berupa kemudahan-kemudahan kepada wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Contohnya: 1. 2. 3. 4. 5. Untuk mendorong Ekspor, maka pemerintah mengenakan tarif PPN 0% terhadap ekspor barang. Untuk menarik investor untuk berinvestasi, pemerintah memberikan insentif Pajak Penghasilan berupa pengurangan penghasilan neto. Untuk mendorong kegiatan sektor usaha tertentu, pemerintah membebaskan PPN Impor atas impor barang modal. Untuk mendorong berkembangnya industry tertentu, pemerintah membebaskan pengenaan Bea Masuk atas impor bahan baku. Untuk menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri, pemerintah menanggung PPN atas penyerahan minyak goreng. b. Disinsentif Berlawanan dengan insentif, disinsentif ini dikenakan terhadap produk-produk tertentu yang memang diniatkan untuk dihambat perkembangannya. Misalnya: 1. Untuk menghambat kenaikan jumlah orang merokok, maka cukai atas rokok dinaikkan.

6

2.

Untuk membatasi dan mengendalikan pemakaian barang mewah tertentu, pemerintah mengenakan PPn.BM yang tinggi. Saat ini fungsi mengatur lebih banyak dilaksanakan oleh instansi Badan Kebijakan Fiskal.

Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang

berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien. Fungsi retribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk untuk membiayai pembangunan. Hubungan antara pajak dan manfaatnya sering lemah, hal ini karena keterbatasan aplikasi literal (harfiah) dari teori keuntungan perpajakan. Teori tersebut dapat menginformasikan keputusan dalam penetapan pajak. Sebagai contoh, jika diumpamakan manfaat secara menyeluruh dari pelayanan publik tidak dapat dibayarkan dengan iuran, beban dan pajak berhubungan erat dengan dimana mereka tinggal daripada dimana mereka bekerja, consumption-based sales tax atau residence-based income tax atau source-based income tax. Lebih dari itu , harmonisasi pajak yang mungkin dibutuhkan untuk mempermudah pemenuhan dan administrasi tidak memperpanjang ke pemilihan tingkat pajak. 2.1.6 Syarat Pemungutan Pajak Agar tidak menimbulkan berbagai maswalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu: Pemungutan Pajak Harus Adil Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Pengaturan Pajak Harus Berdasarkan UU

Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang".7

Pungutan Pajak Tidak Mengganggu Perekonomian Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. Pemungutan Pajak Harus Efesien Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.5 2.1.7 Macam-macam Pajak a. Pajak Penghasilan (Pph) Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak.6 b. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ) adalah pajak yang dikenakan kepada subjek pajak atas kepemilikan tanah beserta bangunan yang berdiri diatasnya. c. Bea Cukai Bea Cukai adalah pungutan pajak terhadap penggunaan barang tertentu. Contoh : rokok dan minuman keras. d. Bea Materai

5

Ika%20Cahyanti's%20%20Perbandingan%20pajak%20konvensional%20dan%20pajak %20syariah.htm 6 Berdasarkan Undang-undang No.36 Tahun 2008

8

Bea Materai adalah pungutan yang dikenakan pada dokumen resmi tertentu dengan tujuan untuk memberikan nilai hukum, sehingga menjadi surat berharga. e. Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada barang kena pajak dan jasa kena pajak. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Ppn BM) adalah pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah. f. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas peroilehan hak atas tanah dan atau bangunan. 2.2 PAJAK SYARIAH 2.2.1 Definisi Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah, yang artinya adalah beban. Ia disebut beban karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan dirasakan sebagaisebuah beban. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Adapun pengertian pajak menurut Yusuf Qaradhawi adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada Negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari Negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, social, politik dan tujuan-tujuan lain yangingin dicapai oleh Negara.7 Abdul Qadim berpendapat pajak adalah harta yang diwajibkan Allah Swt kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada uang/harta.Dari berbagai definisi tersebut, nampak bahwa definisi yang dikemukakan Abdul Qadim lebih dekat dan tepat dengan nilai-nilai Syariah, karena di dalamd e f i n i s i yang d i k e m u k a k a n n y a t e r a n g k u m l i m a u n s u r p e n t i n g p a j a k m e n u r u t Syariah, yaitu:7

Yusuf Qaradhawi, Fiqh az-Zakah (Beirut: Muasssasah al-Risalah, 1973), hal. 998.

9

1. Diwajibkan oleh Allah Swt. 2. O b y e k n y a h a r t a .

3. Subyeknya kaum muslim yang kaya.4. Tujuannya untuk membiayai kebutuhan mereka5.

Diberlakukan karena aanya kondisi darurat (khusus), yang harus segera diatasioleh Ulil Amri 2.2.2 Ciri-ciri Pajak Syariaha. P a j a k

( dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinyu, hanya boleh ( dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah yang diperlukan

dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang.b. P a j a k

kewajiban

untuk p e m b i a y a a n w a j i b t e r s e b u t , t i d a k b o l e h l e b i h .c. P a j a k ( dharibah) hanya diambil dari kaum muslim, tidak kaum non-muslim. d. P a j a k

( dharibah) h a n y a d i p u n g u t d a r i k a u m m u s l i m y a n g k a y a , ( dharibah) h a n y a d ipungut sesuai dengan jumlahpembiayaan yang

t i d a k dipungut dari selainnya.e. P a j a k

diperlukan, tidak boleh lebih.f. P a j a k ( dharibah ) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan.

2.2.3

Dasar Hukum Pemungutan Pajak Syariah Sebenarnya, perlakuan pajak syariah ini lebih tepatnya merupakan penerapan aturan

perpajakan atas transaksi yang bersifat khusus. Analoginya sama persis ketika pemerintah menerapkan aturan pajak untuk migas dan batu bara, misalnya. Untuk Pajak Penghasilan (PPh), pemerintah telah mengakomodasi aturan pajak syariah dalam UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yaitu pada Pasal 31D yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambanangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batu bara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah (PP). pada 3 Maret 2009 lalu, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Isi dari PP ini telah membedakan jenis usaha10

syariah, perlakuan pajak penghasilan yang meliputi keuntungan serta biaya dan pemotongan dan pemungutan pajaknya. Detail nya akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Direktur Jendral Pajak (Per. Dirjen Pajak), dan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak (SE Dirjen Pajak) yang diharapkan keluar secepatnya. Karena dasar syariah yang digunakan sebenarnya tidak akan mendapatkan masalah berarti. Walaupun harus diakui bahwa keluarnya PP tersebut akan menangkap sejumlah objek pajak yang secara khusus tidak diatur dalam UU Pajak Penghasilan. Adapun peraturannya sebagai berikut:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. nomor 25 Tahun 2009 tentang pajak penghasilan kegiatan usaha berbasis syariah Rancangan Undang Undang Perpajakan (RUU) tentang penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi Murabahah pada Bank Syariah. Meskipun demikian, karena RUU tersebut belum resmi diundangkan, saat ini aturan yang masih berlaku atas transaksi tersebut adalah Surat Edaran (SE) dari Dirjen Pajak yang menyatakan bahwa transaksi tersebut merupakan jual beli biasa yang dikenakan PPN.

2.2.4

Fungsi Pajak Syariaha. fungsi penerimaan (budgetair)

Beberapa fungsi pajak yaitu: Fungsi penerimaan adalah fungsi utama pajak. Pajak ditarik terutama untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik. Dua pajak penyumbang penerimaan terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan demikian, dua jenis pajak ini lebih memiliki fungsi penerimaan (budgetair) ketimbang fungsi mengatur.b. fungsi mengatur (regulair)

Selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, pajak juga memiliki fungsi mengatur. Dalam fungsi ini, pajak mengarahkan perilaku sekelompok warga negara agar bertindak sesuai yang diinginkan. Contoh, agar masyarakat Indonesia mendapatkan minyak goreng yang murah, maka terhadap ekspor CPO akan dikenakan pajak ekspor yang tinggi. Contoh lain, agar masyarakat tidak mengkonsumsi minuman beralkohol,11

maka terhadap jenis barang seperti ini dikenakan PPnBM yang tinggi. Jenis pajak yang biasanya digunakan sebagai instrumen mengatur ini adalah Pajak Ekspor, Bea Masuk dan PPnBM. c. fungsi distribusi Fungsi distribusi kekayaan di mana kelompok yang lebih mampu akan membayar pajak lebih banyak sementara kelompok yang kurang mampu akan mendapatkan manfaat lebih banyak dibandingkan dengan pajak yang dia bayar. d. berfungsi sebagai pendorong investasi dan konsumsi e. berfungsi sebagai pengatur kebijakan moneter 2.2.5 Syarat Pemungutan Pajak Syariah Pajak yang diakui dalam sejarah fiqh Islam dan sistem yang dibenarkan harus memenuhi beberapa syarat yaitu : Benar benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Sebagian ulama mensyaratkan bolehnya memungut pajak apabila Baitul Mal benar benar kosong. Para ulama benar benar sangat hati hati dalam mewajibkan pajak kepada rakyat, karena khawatir akan membebani rakyat dengan beban yang di luar kemampuannya dan keserakahan pengelola pajak dan penguasa dalam mencari kekayaan dengan cara melakukan korupsi hasil pajak. Pemungutan Pajak yang Adil. Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai, maka pengutipan pajak, bukan saja boleh, tapi wajib dengan syara. Tetapi harus dicatat, pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan. Jangan sampai menimbulkan keluhan dari masyrakat. Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan pembangunan. (Qardhawi h. 1081-1082). Distribusi hasil pajak juga harus adil, jangan tercemar unsur KKN. Jangan prioritaskan pembangunan kampung halaman pejabat itu saja, tetapi sesuaikan dengan kebutuhan, kenyataan menunjukkan, seorang pejabat hanya terpokus membangun kampung kelahirannya (nenek12

moyangnya), kurang peduli pada daerah yang lain. Sehingga terjadi kesenjangan pembangunan. Ini merupakan sebuah kezaliman. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu. Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan kelompok (partai), bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan keluarga pejabat dan orang-orang dekatnya. Karena itu, Al-Quran memperhatikan sasaran zakat secara rinci, jangan sampai menjadi permainan hawa nafsu, keserakahan atau untuk kepentingan money politic. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak. Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak,menentukan besarnya,kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat.Karena pada dasarnya, harta seseorang itu haram diganggu dan harta itu bebas dari berbagai beban dan tanggungan, namun bila ada kebutuhan demi untuk kemaslahatan umum, maka harus dibicarakan dengan para ahli termasuk ulama. Musyawarah adalah unsur pokok dalam masyarakat yang beriman, sebagai perintah langsung dari Allah SWT. Para pejabat pemerintah yang menangani pajak harus mempertimbangkan secara adil, obyektif dan seksama dan matang dalam menetapkan tarif pajak. DPR harus menyampaikan dan membawa aspirasi rakyat banyak, bukan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau golongan. 2.2.6 Transaksi Pajak Syariah Usaha Berbasis Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya, yaitu : kehalalan produk, kemaslahatan bersama, menghindari spekulasi, dan riba. Terkait dengan prinsip menghindari riba, kegiatan pemberian pinjaman yang dilakukan oleh jasa keuangan dengan mengenakan tingkatbunga tertentu tidak dapat dilakukan oleh usaha berbasis syariah. Kegiatan tersebut, dalam Usaha Berbasis Syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah b. transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna c. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik dan d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh13

2.2.7 a.

Macam-macam Pajak Syariah PPN Salah satu poin penting dalam Rancangan Undang Undang Perpajakan (RUU) adalah

penghapusan PPN atas transaksi Murabahah pada Bank Syariah. Meskipun demikian, karena RUU tersebut belum resmi diundangkan, saat ini aturan yang masih berlaku atas transaksi tersebut adalah Surat Edaran (SE) dari Dirjen pajak yang menyatakan bahwa transaksi tersebut merupakan jual beli biasa yang dikenakan PPN. Meskipun berulang kali SE ini mendapat tantangan dari kalangan perbankan syariah, termasuk Bank Indonesia melalui Deputi Gubernur Siti Chalimah Fadjrijah yang menyatakan pengenaan PPN tersebut sebagai pajak berganda (double taxation), serta adanya pemboikotan, sampai saat ini Dirjen pajak belum mencabut SE tersebut. Tulisan ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai transaksi Murabahah, pajak berganda serta layak tidaknya transaksi tersebut dikenakan PPN. PPN atas Transaksi Murabahah Bila kedua transaksi penyerahan mobil di atas dikenakan PPN sesuai dengan aturan yang berlaku saat ini (diasumsikan harga tersebut belum termasuk PPN), akan terdapat perbedaan jumlah PPN yang harus dibayar oleh Nasabah (sebagai konsumen akhir) pada kedua skema pembiayaan di atas. Nasabah yang membeli dengan pembiayaan dari bank konvensional hanya membayar PPN sebesar 10% X Rp 100 juta = Rp 10 juta. Sebaliknya, Nasabah yang membeli dengan pembiayaan Murabahah harus membayar PPN sebesar 10% X Rp 120 juta = Rp 12 juta. Bila ditelusuri lebih lanjut, selisih ini merupakan 10% dari margin penjualan bank Syariah, yaitu 10% X Rp 20 juta = Rp 2 juta. Selisih ini terjadi karena pendapatan bunga pada bank konvensional bukan merupakan obyek pajak sedangkan margin pada bank syariah merupakan obyek pajak . Selisih inilah yang menyebabkan SE Dirjen pajak ditentang habis-habisan oleh kalangan perbankan Syariah dan disebut sebagai pajak berganda, selain tentu saja kerepotan yang harus ditimbulkan dengan menjadi Pengusaha Kena pajak. Namun demikian, tidak dapat langsung disimpulkan bahwa pengenaan PPN atas produk Murabahah tersebut merupakan pajak berganda. Secara sederhana, pajak berganda dapat diartikan sebagai pengenaan pajak atas obyek yang sama lebih dari satu kali. Misalnya, pendapatan yang dikenakan PPh Final tetapi14

diperhitungkan lagi pada penghitungan Penghasilan Kena pajak (PKP). Lawan dari pajak berganda ini adalah obyek pajak yang tidak dikenakan pajak, misalnya penghasilan yang tidak dikenakan pajak bagi penerimanya tetapi dapat dibiayakan pada penghitungan PKP. Aturan perpajakan di Indonesia, dengan perbaikan yang telah dilakukan secara terus menerus, secara konsisten dilakukan dengan salah satu tujuan untuk menghindari kedua hal tersebut. Bila masih ada aturan tertentu yang tidak konsisten dengan tujuan tersebut, kemungkinan besar aturan tersebut dibuat dengan motif untuk menjalankan fungsi pengatur (regulent) untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke arah yang diinginkan. Oleh karena itu, akan sangat mengherankan bila PPN atas produk Murabahah tersebut merupakan pajak berganda tetapi tetap diberlakukan oleh Dirjen pajak. Untuk meninjau apakah PPN atas produk Murabahah merupakan pajak berganda, berikut adalah tinjauan pengenaan PPN atas ilustrasi di atas. Bank Syariah beli dari Dealer: PPN = 10% X 100 juta = Rp 10 juta (PPN masukan bagi bank Syariah) Bank Syariah jual ke Nasabah (konsumen akhir): PPN = 10% X 120 juta = Rp 12 juta (PPN keluaran bagi bank Syariah) PPN yang harus dibayar Bank Syariah = PPN Keluaran PPN Masukan = Rp 12 juta Rp 10 juta = Rp 2 juta Jadi, PPN yang harus dibayar oleh bank Syariah ke kas negara adalah Rp 2 juta, yang sebenarnya dikenakan atas margin penjualan mobilnya. Margin ini belum pernah dikenakan PPN sebelumnya karena dealer hanya mengenakan PPN atas harga jualnya, yaitu Rp 100 juta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa PPN tersebut bukan merupakan pajak berganda karena margin dari pembiayaan Murabahah hanya dikenakan PPN satu kali saja. Meskipun bukan merupakan pajak berganda, pengenaan PPN atas produk Murabahah tetap merupakan inkonsistensi peraturan. Pendapatan bunga, yang merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan konvensional, tidak dikenakan PPN sedangkan margin pembiayaan Murabahah, yang juga merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan (syariah) dikenakan PPN. Inkonsistensi aturan ini menyebabkan bank Syariah harus menjual produk Murabahah lebih mahal untuk mendapat tingkat keuntungan yang sama dengan pembiayaan bank konvensional.15

Konsekuensi dari adanya perbedaan di atas, konsumen harus membayar lebih mahal untuk memilih produk Murabahah dibanding produk bank konvensional. Dampaknya, bila masalah agama dikesampingkan, konsumen yang rasional akan memilih produk yang lebih murah untuk mendapat manfaat yang sama. Oleh karena itu, disengaja atau tidak, aturan ini akan menjalankan fungsi regulent-nya untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke arah yang mungkin kurang diinginkan yaitu: mengarahkan konsumen rasional untuk memilih produk perbankan konvensional. b. PPh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. NOMOR 25 TAHUN 2009 Tahun 2009 tentang pajak penghasilan kegiatan usaha berbasis syariah Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. 2. Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya. Perlakuan Pajak Penghasilan dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah meliputi : a. penghasilan; b. biaya; dan c. pemotongan pajak atau pemungutan pajak. Biaya dari Kegiatan Usaha Berbasis Syariah yaitu: a. hak pihak ketiga atas bagi hasil; b. margin; dan c. kerugian dari transaksi bagi hasil. Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah dilakukan terhadap : a. hak pihak ketiga atas bagi hasil; b. bonus; c. margin; dan16

d. hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis. Ketentuan mengenai penghasilan, biaya,dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam UndangUndang Pajak Penghasilan Berdasarkan pertimbangan tersebut, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal 31D memerintahkan untuk membentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur perlakuan Pajak Penghasilan atas transaksi kegiatan Usaha Berbasis Syariah dipersamakan dengan atau sebagaimana yang berlaku atas transaksi sepadan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam industri yang sama yang berdasarkan sistem konvensional. Dengan demikian, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang sama. Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga berlaku pula untuk imbalan atas penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan. Imbalan tersebut dapat berupa hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus, sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang digunakan. Pada ketentuan perpajakan secara umum, bunga merupakan penghasilan bagi pihak penerima dan merupakan pengurang penghasilan bagi pihak pembayar. Berkenaan dengan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan, pihak pembayar wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga yang dibayarkan. Pemotongan tersebut dapat dilakukan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 23, dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi. Perlakuan perpajakan tersebut juga berlaku terhadap hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus yang timbul dari penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan, sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi. Untuk Pajak Penghasilan (PPh), pemerintah telah mengakomodasi aturan pajak syariah ini dalam UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yaitu pada Pasal 31D yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batu bara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah (PP).

17

Pada 3 Maret 2009 lalu, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Isi dari PP ini telah membedakan jenis usaha syariah, perlakuan pajak penghasilan yang meliputi keuntungan (margin) serta biaya dan pemotongan dan pemungutan pajaknya. Tentunya, detailnya akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Per Dirjen Pajak), dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE Dirjen Pajak) yang diharapkan keluar secepatnya. Karena dasar syariah yang digunakan sebenarnya hanya istilah khusus saja, penerapan aturan perpajakan secara umum sebenarnya tidak akan mendapatkan masalah berarti. Walaupun harus diakui bahwa keluarnya PP tersebut akan menangkap sejumah objek pajak yang secara khusus tidak diatur dalam UU Pajak Penghasilan.

BAB III PERBANDINGAN PAJAK KONVENSIONAL DENGAN PAJAK SYARIAH 3.1 Segi Definisi Pengertian pajak (dharibah) dalam Islam berbeda dengan pajak atau tax dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Pajak dibolehkan dalam Islam karena adanya : kondisi tertentu dan juga syarat tertentu, seperti harus adil, merata dan tidak membebani rakyat. Jika melanggar ketiganya maka pajak seharusnya dihapus dan pemerintah mencukupkan diri dari sumber-sumber pendapatan yang jelas ada nashnya dan kembali kepada sistem anggaran berimbang (balance budget). pajak dibolehkan setelah zakat ditunaikan. Atau dengan kata lain, bayar zakat dulu baru kemudian pajak dipungut. Kewajiban pajak bukan karena adanya harta melainkan karena adanya kebutuhan mendesak, sedangkan baitul mal kosong atau tidak mencukupi. Pemberlakuan pajak adalah situasional, tidak harus terus menerus. Ia bisa saja dihapuskan bila baitul maal sudah terisi kembali. Pajak diwajibkan hanya kepada kaum muslimin yang kaya. 3.2 Segi Unsur-unsur Pajak18

Dalam hal unsur-unsur pajak, sebenarnya dalam pajak syariah sudah dapat dilihat pada definisi pajak syariahnya yang dikemukakan oleh slah satu ulama yaitu menurut Abdul Qadim unsure pajak syariah yaitu :-

Obyek pajaknya adalah harta. Subyeknya adalah kaum muslim yang kaya.

Sedangkan Pajak konvensional memiliki unsur-unsur yang berbeda dengan pajak syariah bila dilihat dari segi subyek dan objek pajaknya sebagai berikut:-

Wajib pajak (subyek pajak) adalah bisa perseorangan atau badan usaha/perusahaan yang sudah wajib bayar pajak.

-

Obyek pajak adalah seperti pendapatan, peristiwa/kejadian, dan lain-lain.

3.3 Segi Ciri-cirinya

Ternyata pajak syariah memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda dengan pajak konvensional. Dalam hal ini lah kita bisa membedakan secara pasti dan jelas antara kedua pajak ini yang memiliki cirri-ciri yang saling berbalik. Perbedaan dari segi ciri-cirinya dapat dibandingkan sebagai berikut :a. P a j a k

( dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinyu, hanya boleh kembali, yang maka kewajiban (mustahik). pajak bisa pajak dihapuskan. dalam perspektif

dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul mals u d a h terisi pihakb. P a j a k

Berbedadengan zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi membutuhkan Sedangkan konvensional adalah selamanya (abadi). ( dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah yang diperlukan kewajiban

untuk p e m b i a y a a n w a j i b t e r s e b u t , t i d a k b o l e h l e b i h . S e d a n g k a n p a j a k

19

dalamc. P a j a k

perspektif

konvensional

ditujukan

untuk

seluruh

warga

tanpa

membedakanagama. ( dharibah) hanya diambil dari kaum muslim, tidak kaum non-muslim. Sedangkan teori pajak konvensional tidak membedakan muslim dan nonmuslim dengan alasan tidak boleh ada diskriminasid. P a j a k

( dharibah) h a n y a d i p u n g u t d a r i k a u m m u s l i m y a n g k a y a ,

t i d a k dipungut dari selainnya. Sedangkan pajak dalam perspektif konvensional, kadangkala juga dipungut atas orang miskin, seperti PBB.e. P a j a k ( dharibah) h a n y a d ipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang

diperlukan, tidak boleh lebih. Sedangkan pajak konvensional dipungut dalam jumlah yang tetap.f. P a j a k ( dharibah ) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut teori

pajak konvensional, tidak akan dihapus karena hanya itulah sumber pendapatan.3.4 Segi Dasar Hukum

Dasar pemungutan Pajak konvensional di Indonesia terdiri dari :

UUD 1945 UU No.16/Th.2000-Ketentuan umum dan tata cara perpajakan UU No.17/Th.2000-Pajak Penghasilan(PPh) UU No.18/Th.2000-Pajak Pertambahan Nilai Barang/ Jasa dan Pajak Penjualan UU No.12/Th.1994-Pajak Bumi dan Bangunan UU No.19/Th.1997-Pajak Daerah dan Retribusi PP No.24/Th.2000-Bea Materai syariah, secara umum dasar hukumnya berdasarkan Al-quran dan

Barang atas Barang Mewah

Sedangkan dalam pajak

Hadits. Tapi di Indonesia dasar hukumnya selain berdasarkan Al-quran dan Hadits juga lebih kepada dasar hukum dalam penerapan transaksi pajak syariahnya saja, yaitu diantaranya :

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. nomor 25 Tahun 2009 tentang pajak penghasilan kegiatan usaha berbasis syariah

20

Rancangan Undang Undang Perpajakan (RUU) tentang penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi Murabahah pada Bank Syariah. Meskipun demikian, karena RUU tersebut belum resmi diundangkan, saat ini aturan yang masih berlaku atas transaksi tersebut adalah Surat Edaran (SE) dari Dirjen Pajak yang menyatakan bahwa transaksi tersebut merupakan jual beli biasa yang dikenakan PPN.3.5

Segi Fungsi Pada pajak syariah selain ada fungsi budgetair dan regulair, juga berfungsi sebagai fungsi

distribusi, pendorong investasi dan konsumsi serta pengatur kebijakan moneter. Sedangkan pajak konvensional, selain fungsi budgetair dan regulair juga terdapat fungsi stabilitas dan fungsi retribusi pendapatan.3.6

Segi Syarat Pemungutan Dalam Pajak syariah syarat pemungutannya yaitu :

Benar benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Pemungutan Pajak yang Adil. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak. Pemungutan Pajak Harus Adil Pengaturan Pajak Harus Berdasarkan UU Pungutan Pajak Tidak Mengganggu Perekonomian Pemungutan Pajak Harus Efesien Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana

Sedangkan dalam Pajak Konvensional :

Terlihat bahwa kesamaan antara syarat pemungutan pajak syariah dan pajak konvensional adalah menutamakan akan keadilan. Sisanya dalam pajak syariah syarat lainnya lebih kepada kesejahteraan dan juga pertimbangan yang benar-bennar harus diperhatikan dalam pemungutan pajak, sedangkan konvensional lebih kepada keefesienan dalam pemungutan pajak.

21

3.7 Hal-hal Yang Ada Dalam Pajak Syariah

Dalam perpajakan syariah terdapat beberapa transaksi khusus dibandingkan dengan transaksi yang terjadi dalam pajak konvensional yang hanya terjadi Transaksi Umum saja. Transaksi-transaksi yang terjadi dalam pajak syariah yang khusunya terkena pada usaha berbasis syariah yaitu dengan menggunakan pendekatan : a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah b. transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna c. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik dan d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh Dari transaksi tersebut tentu saja akan berimplikasi pada perbedaan yang menyebabkan perlakuan perpajakan yang berbeda dalam suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional. Dengan perlakuan yang berbeda tersebut, maka perlakuan perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang terlibat untuk menentukan pilihan apakah menggunakan transaksi berdasarkan prinsip syariah atau berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya terkait dengan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan bagi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan Pajak Penghasilan yang berlaku umum diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari kegiatan usaha tersebut.

22

BAB IV KESIMPULAN

Setelah kita membandingkan antara pajak konvensional dengan pajak syariah, dapat disimpulkan dalam bagan berikut ini Dilihat dari segi Pajak Konvensional Aturan perundang- UU No.17/Th.2000 undangan tentang pajak penghasilan Sumber Hukum Undang-undang Pajak Syariah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. nomor 25 Tahun 2009 Undang-undang, Al-quran, Al-hadist

23

Fungsi Pajak

Fungsi Budgeter, Fungsifungsi penerimaan (budgetair), fungsi Alokasi, Fungsi mengatur (regulair), fungsi regulasidan Fungsi Sosial distribusi, berfungsi sebagai pengatur kebijakan moneter, berfungsi sebagai pendorong investasi dan konsumsi

Unsur-unsur Pajak

Obyek Harta,

adalahSubyek pajaknya adalah bisa perseorangan atau badan usaha/perusahaan yang sudah wajib sedangkan Subyekbayar pajak. pajaknya adalah kaum Obyek pajak adalah seperti pendapatan, muslim yang Kaya peristiwa/kejadian, dan lain-lain Tidak ada Pajak Langsung, Pajak Tidak Langsung, Pajak Negara atau Pajak, Pusat,Pajak Daerah, Pajak Subjektif, Pajak Objektif Transaksi umum Ada Pajak kas, pajak persediaan, pajak piutang, pajak pangan, pajak ineffisiensi

Pajaknya

Ada tidaknya prinsip mutatis mutandis Jenis pajak

Transaksi

transaksi bagi hasil . dalam bentuk mudharabah dan musyarakah transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna

24

Syarat pemungutan

Ciri-ciri

Pemungutan pajak harus adil Pengaturan pajak harus berdasarkan UU Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian Pemungutan pajak harus efesien Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Benar benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Pemungutan Pajak yang Adil. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak Bersifat Selamanya atau Abadi Ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama. Tidak membedakan muslim dan non-muslim dengan alasan tidak boleh ada diskriminasi Kadangkala juga dipungut atas orang miskin, seperti PBB. Dipungut dalam jumlah yang tetap.

- Bersifat temporer - Hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk p e m b i a y a a n wajib tersebut, tidak boleh lebih - Hanya diambil dari kaum- Tidak Bisa dihapus muslim, tidak kaum nonmuslim - Hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya - H a n y a d ipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih - Dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan

25

DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo. 2009. Perpajakan. Yogyakarta : Penerbit ANDI Sistem Keuangan di Negara Khilafah.(Bogor: Pustaka Thariq al-Izzah,2002) Buku Panduan Hak dan Kewajiban Perpajakan, diterbitkan dalam bentuk e-book oleh Dirjen Pajak Depkeu RI, http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=765, diakses 9 Mei 2011. Yusuf Qaradhawi, Fiqh az-Zakah (Beirut: Muasssasah al-Risalah, 1973), hal. 998 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton. 2007. Hukum Pajak Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat Fungsi pajak http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2078415-fungsipajak/#ixzz1IWFiyGub, diakses tanggal 8 Mei 2011

26

http://massofa.wordpress.com/2008/02/05/pengertian-fungsi-dan-jenis-pajak/, diakses tanggal 8 mei 2011 http://www.wineto.smkn1pengasih.net/index.php?pilih=hal&id=8, diakses tanggal 9 Mei 2011 http://lazisuii.org/index.php?option=com_content&view=article&id=50:peranan-zakat-dalamtransformasi-ekonomi&catid=35:article, diakses tanggal 9 Mei ixabriliance.blogspot.com/.../perbandingan-pajak-konvensional-dan.html, diakseas tanggal 10 Mei 2011

27