tugas ilmu reproduksi ternak

Upload: roediansyah1

Post on 09-Jul-2015

337 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TUGAS ILMU REPRODUKSI TERNAK NAMA : RUDIANSYAH NIM : 085421110220

REPRODUKSI1. Reproduksi Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium sebelum dan sesudah permulaan siklus reproduksi. Hewan betina harus menghasilkan ovum yang hidup dan di ovulasikan pada waktu yang tepat. Ia harus memperlihatkan estrus atau keinginan untuk kawin dekat waktu ovulasi sehingga kemungkinan penyatuan sel kelamin jantan dengan sel telur dan kemungkinan pembuahan lebih tinggi. Ia harus menyediakan lingkungan intra uterin yang sesuai untuk konseptus sejak pembuahan sampai partus, demikian lingkungan yang baik pula untuk anaknya sejak lahir sampai waktu disapih Jadi, reproduksi normal melingkupi penyerentakan dan penyesuaian banyak mekanisme fisiologik : A. Pubertas (Dewasa Kelamin) Dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu dimana organ organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembang biakan dapat terjadi. Pada hewan jantan, pubertas ditandai oleh kesanggupan berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahan perubahan kelamin skunder lain. Pada hewan betina pubertas dicerminkan oleh terjadinya estrus dan ovulasi. Sebelum pubertas, saluran reproduksi betina dan ovarium perlahan lahan bertambah ukuran dan tidak menunjukkan aktivitas fungsional. Pertumbuhan yang lambat ini sejajar dengan pertumbuhan berat badan sewaktu hewan berangsur dewasa. B. Hormone dan Pubertas Pertumbuhan dan perkembangan organ organ kelamin betina sewaktu pubertas dipengaruhi oleh hormone hormone gonadotropin dan hormone hormone gonadal. Pelepasan FSH ke adalam aliran darah menjelang pubertas menyebabkan pertumbuhan folikel folikel pada ovarium. Sewaktu folikel folikel itu tumbuh dan menjadi matang, berat ovarium eninggi

1

dan estrogen diekskresikan di dalam ovaroium untuk di lepaskan ke dalam aliran darah. Estrogen menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan saluran kelamin betina. Apabila folikel folikel menjadi matang, ova dilepaskan dan turun ke tuba fallopii. Bukti bukti menunjukkan bahwa permulaan pubertas pada hewan betina disebabkan oleh pelepasan tiba tiba hormone gonadotropin dari kelenjar adenohypophysa ke dalam saluran darah dan bukan di mulainya secara tiba tiba produksi hormone tersebut. Mekanisme neurohomoral yang menyebabkan pelepasan gonadotropin dari kelenjar adenohypophisa telah diisolir dari hypothalamus. Ransangan ransangan neural tertentu dapat mempercepat timbulnya pubertas pada beberapa hewan betina. Hal ini mungkin berarti bahwa ransangan ransangan neural menyebabkan hypothalamus menghasilkan atau melepaskan factor factor pelepa yang sebaliknya menyebabkan pelepasan gonadotropin ke dalam lairan darah. C. Umur dan Berat Badan Pubertas Terjadinya estrus pertama pada hewan betina muda sangat menyolok karena timbul secara tiba tiba. Tampak seolah olah thermostat fisiologik telah disentakkan untuk menimbulkan aktivitas reproduksi. Pubertas, kecuali pada pada hewan hewan yang bermusim, umumnya terjadi apabila berat dewasa hamper tercapai dan kecepatan pertumbuhan mulai mennurun. Hal ini berarti bahwa timbulnya pubertas mungkin berhubungan melalui beberapa jalan dengan suatu perubahan keseimbangan antara pengeluaran gonadotropin dan hormone pertumbuhan oleh kelenjar adenohypophisa. Umur dan berat hewan sewaktu timbulnya pubertas berbeda beda menurut species. Sesudah perkawinan ternak dara tingkatan makanan selama kebuntingan pertama haruslah cukup untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangannya agar supaya menjelang waktu partu tidak terjadi komplikasi seperti distoksia.

2

2. Kegagalan Reproduksi A. Kelainan anatomi saluran reproduksi Kelainan anatomi dapat bersifat genetik maupun nongenetik. Kelainan anatomi saluran reproduksi ini ada yang mudah diketahui secara klinis dan ada yang sulit untuk dideteksi, sehingga sulit didiagnosa. Termasuk pada kelompok kedua yang sulit didiagnosa adalah :

Tersumbatnya tuba falopii Adanya adhesio antara ovarim dengan bursa ovarium Lingkungan dalam uterus yang kurang serasi Fungsi yang menurun dari saluran reproduksi Yang paling sering dijumpai pada kelompok ini adalah adanya penyumbatan pada tuba

falopii. Penyumbatan ini menyebabkan sel telur yang diovulasaikan dari ovarium gagal mencapai tempat pembuahan yaitu di ampula dan sel mani juga terhalang untuk mencapai tempat pembuahan, sehingga proses pembuahan gagal. Tuba falopii yang buntu dapat berbentuk :

Adhesio dinding tuba Adhesio antara ovarium dengan bursa ovarii Salpingitis baik akut maupun kronis Hidrosalping Kista pada saluran tuba Piosalping Hipoplasia tuba falopii yang bersifat genetik Populasi m.o yang terlalu banyak di dalam uterus, serviks atau vagina

B. Gangguan hormonal Adanya gangguan pada sekresi hormon gonadotropin (FSH dan LH) dan hormon estrogen akan menyebabkan terjadinya kegagalan fertilisasi. Kasus-kasus seperti silent heat (birahi tenang) dan subestrus (birahi pendek) disebabkan oleh rendahnya kadar hormon estrogen,

3

sedangkan untuk kasus delayed ovulasi (ovulasi tertunda), anovulasi (kegagalan ovulasi) dan sista folikuler disebabkan oleh rendahnyanya kadar hormon gonadotropin (FSH dan LH). a. Kadar estrogen yang rendah Rendahnya kadar estrogen dalam darah karena defisiensi nutrisi : karotin, P, Co dan berat badan yang rendah akan menyebabkan kejadian silent heat dan subestrus padi sapi. Kejadian in sering terjadi pada sapi post partus. Pada kasus silent heat, proses ovulasi berjalan secara normal dan bersifat subur, tetapi tidak disertai dengan gejala birahi atau tidak ada birahi sama sekali. Diantara hewan ternak, silent heat sering dijumpai pada hewan betina yang masih dara, hewan betina yang mendapat ransum dibawah kebutuhan normal, atau induk yang sedang menyusui anaknya atau diperah lebih dari dua kali dalam sehari. Sedang pada kejadian sub estrus, proses ovulasinya berjalan normal dan bersifat subur, tetapi gejala birahinya berlangsung singkat / pendek (hanya 3-4 jam). Sebagai predisposisi dari kasus silent heat dan sub estrus adalah genetik. Hormon LH pada kejadian silent heat dan sub estrus mampu menumbuhkan folikel pada ovarium sehingga terjadi ovulasi, tetapi tidak cukup mampu dalam mendorong sintesa hormon estrogen oleh sel granulosa dari folikel de Graaf sehingga tidak muncul birahi. b. Kadar hormon gonadotropin yang rendah (FSH dan LH) Rendahnya kadar hormon LH dalam darah dapat menyebabkan terjadinya delayed ovulasi (ovulasi tertunda) dan sista folikuler. Karena rendahnya kadar LH, fase folikuker diperpanjang sehingga yang seharusnya folikel mengalami ovulasi dan memasuki fase luteal tertunda waktunya atau tidak terjadi sama sekali. Gejala yang nampak dari kasus ini adalah kawin berulang (repeat bredeeer). Pada kasus anovulasi (kegagalan ovulasi), folikel de Graaf yang sudah matang gagal pecah karena ada gangguan sekresi hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH.

4

C. Abnormalitas sel telur Ketidakseimbangan hormon-hormon reproduksi dapat mengganggu proses ovulasi. Ovulasi yang tidak normal dapat menghasilkan sel telur yang tidak normal. Beberapa bentuk abnormal dari sel telur adalah :

Degenerasi sel telur Zona pelusida yang sobek atau robek Sel telur yang muda Sel telur yang bentuknya gepeng, oval (lonjong) Mini egg cell dan giant egg cell Adanya abnormalitas pada sel telur akan menyebabkan kegagalan pada proses fertilisasi

sehingga sapi yang telah di IB tidak bunting. 3. Pemeriksaan Kebuntingan Sapi yang diduga tidak berahi setelah dikawinkan kemungkinan bunting. Pemeriksaan kebuntingan sapi dilakukan satu sampai satu setengah bulan setelah inseminasi terakhir. Pemeriksaan dilakukan dengan cara palpasi rektal yaitu memasukkan tangan pada bagian rektal, jika ovarium terasa asimetris atau adanya pembesaran di salah satu ovari, bisa dikatakan sapi tersebut bunting. Selain itu perabaan dapat dilakukan pada bagian fetal membran (percabangan uteri) yang terasa membesar, pemeriksaan ini dilakukan oleh dokter hewan atau veteriner yang mempunyai keahlian dalam hal reproduksi. Umur kebuntingan 1,5 bulan sangat muda dan dapat mengakibatkan pecahnya embrio yang masih sangat kecil. Jika sapi tersebut positif bunting maka diberi tanda dengan chalking green pada pangkal ekor. Sejarah perkawinan sapi yang bersangkutan termasuk tanggal melahirkan, tanggal dan jumlah IB yang dilakukan pada seekor sapi harus tercatat dengan baik sehingga dapat dipelajari terlebih dahulu. Catatan perkawinan dan reproduksi yang lengkap sangat bermanfaat untuk menentukan umur kebuntingan secara tepat dan cepat (Toelihere, 1985). 5

Pemeriksaan kebuntingan dilakukan pada pagi hari saat sapi kembali ke kandang setelah diperah. Ini dapat membantu seorang veteriner untuk memeriksanya, karena sapi dapat di lock up (jepit) pada bagian kepala, sehingga mudah untuk di palpasi. Sebelum melakukan palpasi tangan dibungkus dengan gloves plastic, dan mengambil sebagian feses yang ada sebagai pelicin. Mulanya memasukkan satu jari, dua jari dan seterusnya hingga semua bagian masuk kedalam rektum. Jika kotoran terlalu banyak dapat dikeluarkan sebagian, tidak perlu sampai habis. Saat tangan sudah masuk sapi akan berkontraksi (merejan), tangan didiamkan beberapa saat, kemudian dapat dilanjutkan kembali. A. Proses pembentukan dan perkembangan ovum Differensiasi ova terjadi dalam 2 tahap yaitu tahap mitosis dan tahap meiosis : Mitosis (Multiplikasi) : Oogania berproliferasi dari germ sel (primordia) menghasilkan beberapa generasi sel yang identik. Oogonia memasuki profase pada pembelahan meiosis I setelah menjadi oosit primer. Oosit primer berhenti pada profase sampai dewasa kelamin terjadi. Pembelahan meiosis I menyebabkan terjadinya perubahan oosit primer ke oosit sekunder. Pada umumnya terjadi sebelum ovulasi, kecuali pada kuda dan anjing pembentukan oosit sekunder terjadi pasca ovulasi. Pada saat ovulasi oocit pada stadium metafase II dari meiosis II. Pembelahan meiosis II berlanjut bila spermatozoon menembus zona pelusida dan mengaktifkan oosit sekunder ( Anonim, 2009 ). 1. Ovulasi Ovulasi adalah proses terlepasnya sel ovum dari ovarium sebagai akibat pecahnya folikel yang telah masak. Waktu yang dibutuhkan oleh seluruh proses ovulasi tergantung pada lokasi sel telur dalam folikel. Waktu ovulasi akan singkat apabila sel telur berada di dasar folikel dan akan lama apabila sel telur berada dekat pada stigma yang menonjol dipermukaan ovarium ( Anonim, 2009) Mekanisme terjadinya ovulasi a. Hormonal : Setelah folikel-folikel tumbuh karena pengaruh hormon FSH dari pituitari anterior,maka sel-sek folikel mampu menghasilkan estrogen dan progesteron. Kedua hormon ini dalam dosis kecil akan menyebabkan terlepasnya hormon LH. Hormon LH memegang peranan penting dalam

6

menggertak terjadinya ovulasi. Pecahnya folikel terjadi adanya tekanan dari dalam folikel yang bertambah besar dan persobekan pada daerah stigma yang pucat karena daerah ini kurang memperoleh darah. b. Neural : Rangsangan pada luar servik, baik pada saat kopulasi atau kawin buatan akan diteruskan oleh saraf ke susunan saraf pusat yang akan diterima oleh hipotalamus. Nantinya akan disekresikan LH realising hormon dan kadar LH dalam darah akan meningkat sehingga mengakibatkan ovulasi ( Anonim, 2009 ). Dari sisa-sisa folikel yang telah mengalami ovulasi akan terbentuk bermacam-macam tenunan yaitu :

Korpus haemoragikum Setelah ovulasi akan diikuti pemberian darah yang lebih pada sisa-sisa folikel. Terjadi hipertropi dan hiperplasi pada tenunan sehingga tebentuk benda yang bulat menonjol dipermukaan ovarium,kenyal,dan berwarna merah b. Korpus Luteum Sebagai akibat dari proses luteinasi dari korpus haemoragikum oleh pengaruh hormon LTH, terjadilah pertumbuhan lebih lanjut dari sel-sel tersebut. Tenenuan baru akan berubah warna menjadi kuning dan menghasilkan progesteron yang lama-lama akan tinggi pada puncak siklus birahi. c. Korpus Albikansia Berhentinya aktivitas korpus luteum dalam menghasilkan progesteron akan menyebabkan degenerasi dari sel-selnya karena sudah tidak memperoleh suplai darah maka bentuknya menjadi sangat kecil dan berwarna pucat. Ovulasi pada sapi terjadi sekitar 10-12 jam setelah estrus berakhir. Adanya gangguan pada saat ovulasi dapat menyebabkan tidak terjadinya fertilisasi dan atau gangguan perkembangan embrio. Gangguan ovulasi dapat terjadi karena defisiensi atau ketidakseimbangan endokrin dan faktor mekanik ( Anonim, 2009 ).

7

4.Fertilisasi Pertemuan / penyatuan sel sperma dengan sel telur inilah yang disebut sebagai pembuahan atau fertilisasi. Dalam keadaan normal in vivo, pembuahan terjadi di daerah tuba Falopii umumnya di daerah ampula / infundibulum. Spermatozoa bergerak cepat dari vagina ke dalam rahim, masuk ke dalam tuba. Gerakan ini mungkin dipengaruhi juga oleh peranan kontraksi miometrium dan dinding tuba yang juga terjadi saat sanggama ( Yosemite, 2009 ). Kemudian spermatozoa mengalami peristiwa : 1. reaksi kapasitasi : selama beberapa jam, protein plasma dan glikoprotein yang berada dalam cairan mani diluruhkan. 2. reaksi akrosom : setelah dekat dengan oosit, sel sperma yang telah menjalani kapasitasi akan terpengaruh oleh zat-zat dari corona radiata ovum, sehingga isi akrosom dari daerah kepala sperma akan terlepas dan berkontak dengan lapisan corona radiata. Pada saat ini dilepaskan hialuronidase yang dapat melarutkan corona radiata, trypsinelike agent dan lysine-zone yang dapat melarutkan dan membantu sperma melewati zona pellucida untuk mencapai ovum. Sekali sebuah spermatozoa menyentuh zona pellucida, terjadi perlekatan yang kuat dan penembusan yang sangat cepat. Sekali telah terjadi penembusan zona oleh satu sperma, terjadi reaksi khusus di zona pellucida (zonereaction) yang bertujuan mencegah terjadinya penembusan lagi oleh sperma lainnya (Yosemite, 2009 ). Hasil utama pembuahan 1. penggenapan kembali jumlah kromosom dari penggabungan dua paruh haploid dari ayah dan dari ibu menjadi suatu bakal individu baru dengan jumlah kromosom diploid. 2. penentuan jenis kelamin bakal individu baru, tergantung dari kromosom X atau Y yang dikandung sperma yang membuahi ovum tersebut. 3. permulaan pembelahan dan stadium-stadium pembentukan dan perkembangan embrio (embriogenesis) ( Yosemite, 2009 ).

8

5. Implantasi Pada akhir minggu pertama (hari ke-5 sampai ke-7) zigot mencapai cavum uteri. Pada saat itu uterus sedang berada dalam fase sekresi lendir di bawah pengaruh progesteron dari korpus luteum yang masih aktif. Sehingga lapisan endometrium dinding rahim menjadi kaya pembuluh darah dan banyak muara kelenjar selaput lendir rahim yang terbuka dan aktif. Kontak antara zigot stadium blastokista dengan dinding rahim pada keadaan tersebut akan mencetuskan berbagai reaksi seluler, sehingga sel-sel trofobas zigot tersebut dapat menempel dan mengadakan infiltrasi pada lapisan epitel endometrium uterus (terjadi implantasi). Setelah implantasi, sel-sel trofoblas yang tertanam di dalam endometrium terus berkembang , membentuk jaringan bersama dengan sistem pembuluh darah maternal untuk menjadi PLASENTA, yang kemudian berfungsi sebagai sumber nutrisi dan oksigenasi bagi jaringan embrioblas yang akan tumbuh menjadi janin ( Yosemite, 2009 ). 6. Embriogenesis Zigot mulai menjalani pembelahan awal mitosis sampai beberapa kali. Sel-sel yang dihasilkan dari setiap pembelahan berukuran lebih kecil dari ukuran induknya, disebut blastomer. Sesudah 3-4 kali pembelahan : zigot memasuki tingkat 16 sel, disebut stadium morula (kira-kira pada hari ke-3 sampai ke-4 pascafertilisasi). Morula terdiri dari inner cell mass (kumpulan sel-sel di sebelah dalam, yang akan tumbuh menjadi jaringan-jaringan embrio sampai janin) dan outer cell mass (lapisan sel di sebelah luar, yang akan tumbuh menjadi trofoblas sampai plasenta). Kira-kira pada hari ke-5 sampai ke-6, di rongga sela-sela inner cell mass merembes cairan menembus zona pellucida, membentuk ruang antar sel. Ruang antar sel ini kemudian bersatu dan memenuhi sebagian besar massa zigot membentuk rongga blastokista. Inner cell mass tetap berkumpul di salah satu sisi, tetap berbatasan dengan lapisan sel luar. Pada stadium ini zigot disebut berada dalam stadium blastula atau pembentukan blastokista. Inner cell mass kemudian disebut sebagai embrioblas, dan outer cell mass kemudian disebut sebagai trofoblas ( Yosemite, 2009 ).

9

7. Kelahiran Parturisi merupakan suatu proses kelahiran. Di sini fetus bertanggung jawab terhadap inisiasi kelahiran, proses endokrin cukup berbeda dari satu spesies dengan yang lainnya, pada beberapa spesies proses tersebut belum secara rinci dapat dijelaskan. Peningkatan produksi kortisol fetus terjadi sebagai akibat dari perubahan dan kedewasaan aksi hipotalamus-pituitariadrenal fetus. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh stress fetus yang berkembang karena plasenta tidak mampu lagi menyuplai kebutuhan untuk pertumbuhan dan tuntutan fetus ( Hary, 2009 ). Kejadian endokrin yang mendahului kelahiran antara lain ;

Peningkatan produksi corticotropin-releasing hormone (CRH) oleh otak fetus. Peningakatan produksi hormonr adenocrticotropic (ACTH) oleh glandula pituitari anterior fetus. Peningkatan produksi kortisol oleh galndula adrtenal fetus Perubahamn plasenta progerteron ke estrogen Estrogen menstimuli myometrium untuk memproduksi prostlagladin F2a (PGF2a) dan juga menyebabkan relaksasi cervix PGF2a menyebabkan kontraksi myometrium yang akan menyebabkan tekan intra uterin dan memndorong fetus ke arah cervic.

Oksitosin akan dikeluarkan oleh galandula pituitari posterior induk dan fetus memacu dilatasi cervic. Oksitocin menyebabakn kontrakasi myometrium. Hormon peptida relaxin diproduksi oleh plasenta atau oleh maternal korpus luteum pada kebuntingan awal. Relaxin juga berperan pada relaksasi maternal cervix menjelang kelahiran dan mempengaruhi efisiensi kontraksi myometrium (Hary, 2009)

A. Menjelang kelahiran Tanda-tanda mendekati kelahiran dapat diperhatikan selama akhir bulan kebuntingan, tanda- tanda tersebut antara lain :

10

Rotasi posisi lahir

Selama kebuntingan, fetus akan rebah pada punggung dengan kaki menghadap ke atas. Sesudah rotasi ke posisi lahir, fetus akan rebah pada thorax atau abdomen dengan kaki depan ke diposisikan pada ujung kornu dekat cervix dan hidungnya terletak di antara kaki depan. Dengan posisi ini, kelahiran lebih mudah.

Perubahan gl.mammae

Pertumbuhan gl.mammae dapat terlihat selama akhir kebuntingan. Ini disebabkan oleh kerjasama estrogen dan progesteron yang merangsang perkembangan duktus-duktus dan jaringan-jaringan sekresi gld.mammae. Mendekati kelahiran gl.mammae akan membesar dan berisi air susu. Sintesis susu merupakan fungsi prolactin dalam kerjasamanya dengan hormon lain. Ketika oxytocin dilepaskan selama kelahiran, terjadilah milk let down sehingga menyebabkan air susu keluar dari puting susu ( Hary, 2009 ).

Perubahan lain

Makin mendekati kelahiran maka Relaxin bekerjasama dengan estrogen yang akan menyebabkan relaksasi ligamentum pelvis dan perluasan saluran cervix. Relaksasi lig pelvis di sekitar pangkal ekor akan menyebabkan pangkal ekor lebih menonjol. Vulva menjadi lunak dan membengkak. Mukus terlihat seperti leleran dari vulva ketika estrogen menyebabkan sel2 epithel cervix mensekresikan mukus baru, sehingga mencairkan sumbat mukus. Domba akan mencoba meninggalkan kelompoknya. Domba akan mencari tempat sembunyi selama kelahiran ( Hary, 2009 ). Stadium-stadium pada kelahiran : a. Tahap pertama kelahiran Tahap ini dipercya berlangsung selama 6-12 jam. Domba betina akan memisahkan diri dari kelompoknya dan terlihat gelidah dan mencakar tanah. Beberapa domba betina tidak menunjukkan tanda apapun pada tahap pertama kelahiran. b. Tahap kedua kelahiran Tahap ini berlangsung -1 jam dan mungkin sedikit lebih lama pada domba betina yang baru pertama kali melahirkan. Mayoritas anak domba memasuki saluran peranakan pada

11

presentasi longitudinal anterior dengfan postur yang sama seperti anak sapi. Beberapa anak domba lahir dengan presentasi posteriore dengan kaki-kaki belakang yang menjulur memasuki saluran peranakan. Anak domba yang kecil pada presentasi anterior kadang-kadang dapat lahir dengan satu kaki depan pada fleksi bahu. Normalnya domba betina akan berbaring untuk melahirkan, mengejan dengan kuat dan menengadahkan kepalanya ke atas dan mengembik. Banyak domba betina memilih berbaring dengan posisi belakangnya. Melawan tembok atau pagar selama melahirkan.tahap kedua diulangi sewaktu anak domba berikutnya lahir. Kira-kira 50% anak domba terlahir dengan amnion utuh ( Hary, 2009 ). c. Tahap ketiga kelahiran Plasenta normalnya lepas dalam waktu 3-4 jam setelah kemahiran anak domba yang terakhir. 8. Peroses Kelahiran A. Inisiasi hormon Pola hormon selama bagian akhir kebuntingan mengatur stadium kelahiran. Kadar estrogen, progesteron, dan relaksin terlihat tinggi sehingga dapat diketahui bahwa mekanisme yang menginisiasi kelahiran adalah pelepasan cortisol oleh fetus. Kenaikan cortisol menyebabkan produksi dan pelepasan yang lebih besar dari estrogen oleh plasenta yang menginisiasi pelepasan PGF2a dari uterusPGF2a yang menyebabkan regresi CL dan turunnya progesteron. Plasenta merupakan sumber utama Progesteron pada domba selama 2/5 akhir kebuntingan ( Hary, 2009 ). Tampaknya kenaikan cortisol fetus menyebabkan perubahan dalam enzim plasenta yang menghasilkan konversi Progesteron menjadi Estrogen. Estrogen plasenta menyebabkan pelepasan PGF2a dari uterus domba tetapi penurunan progesteron terlihat sebelum kenaikan PGF2a. Oxytocin terlepas ketika gerakan fetus merangang syaraf sensoris cervix dan vagina. Konsenjtrasi Oxytocin yang tertinggi terlihat selama pengeluaran fetus. Lonjakan kecil terlihat selama pengeluaran plasenta Pelepasan PGF2a yang lebih besar disebabkan oleh oxytocin. Suatu peningkatan cortisol induk menjelang kelahiran mungkin disebabkan oleh stres parturisi dan

12

tidak terlibat dalam regulasi parturisi. Lonjakan prolactin terkait dengan sintesis susu dan bukan dengan parturisi. Kejadian fisiologis utama dalam parturisi : 1. Dilatasi cervix untuk lintasan fetus Inisiasi dilatasi cervix disebabkan oleh relaxin yang bekerja sama dengan estrogen yang meningkat. Kerjasama hormon-hormon ini melunakkan cervix dan menyebabkan sel-sel epithelnya mensekresikan mukus. Dilatasi selanjutnya terjadi ketika kontraksi uterus mendorong allanto-chorion dan kemdian amnion ke arah cervix. Allanto-chorion mungkin pecah selama proses ini. Amnion biasanya tidak pecah sampai fetus memasuki cervix ( Hary, 2009 ). Sejumlah faktor ikut dalam inisiasi dan kontinuasi kontraksi uterus yang terjadi bersamaan dengan dilatasi cervix dan kemudian melanjut selama beberapa jam sesudah pengeluaran fetus. Progerteron yg rendah, kemudian estrogen yg meningkat menyebakan hilangnya hambatan teerhadap kontraksi dari myometrium dan membuatnya lebih aktif terhadap agenagen yang sifatnya merangsang. Kontraksi uterus yg mengeluarkan fetus dan plasenta ( Hary, 2009 ). Kontraksi awal uterus mungkin disebabkan oleh PGF2a ketika dilepas dari endometrium dengan naiknya estrogen. Kontraksi awal ini lemah, ireguler, terjadi kira2 dengan interval 15 menit Ketika fetus terdorong ke dalam cervix rangsangan syaraf sensoris menyebabkan pelepasan oxytoxin dari hipofisis posterior. Meningkatnya pelepasan oxytocin ini disertai oleh pelepasan PGF2a yg lebih besar. Oxytoxin bekerja langsung pada myometrium atau secara tidak langsung lewat rangsangan pelepasan PGF2a yang lebih besar, menyebabkan kontraksi uterus akan lebih kuat, lebih ritmik dan lebih frekuen PGF2a dan Oxytoxin mencapai puncak selama pelepasan fetus Mortalitas fetus disebabkan oleh anoxia mungkin faktor lain yang menyebabkan kontraksi labih kuat mendekati berakhirnya stadium ketika fetus dikeluarkan. Ketika uterus berkontraksi menyebabkan berkurangnya aliran darah ke fetus, suplai oksigen menipis, yang menyebabkan meningkatnya aktivitas yang terkait dengan anoxia. Gerakan mekanik dari fetus yang mendorong ke arah kontraksi uterus menyebabkan kontraksi lebih kuat.

13

Sesaat seblum pengeluaran fetus, kontraksi uetrus menjadi reguler, kuat dan frekuen, yang terjadi kira2 dengan interval 2 menit yang berlangsung selama kira2 1 menit. Kontraksi otot abdomen akan membantu akhir pengeluaran fetus. Sesudah pengeluaran fetus kontraksi uterus berkurang. Pengurangan ini akan menlanjut selama 1-2 hari. Kontraksi yg kontinyu bertanggung jawab untuk pengeluaran membran plasenta maupun cairan dan fragmen-fragmen jaringan plasenta yang masih tinggal dalam uterus. Lonjakan oxytosin kedua terkait dengan pengeluaran plasenta ( Murti, 2009 ).

14