tugas higine pangan
DESCRIPTION
rigor mortisTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih
diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan
terjadinya kekakuan pada otot. Padas sat kekakuan otot itulah disebut sebagai
terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada
jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia
terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati.
Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat
menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga
proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada
saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh
enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH
daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya
rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu
yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan
menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak
bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.
Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai
terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar
perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan
penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan
mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark
firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold
shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).
1
Secara ilmiah otot baru dapat dikatakan daging jika proses rigor mortis telah
terbentuk dan dilanjutkan dengan proses pematangan otot (aging) sehingga otot
menjadi lebih ekstensibel dan mebrikan kualitas yang lebih baik dibanding pada
saat prarigor.
1.2 TUJUAN
1. Untuk mengetahui tentang rigor mortis.
2. Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap waktu rigor
mortis.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 RIGOR MORTIS
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih
diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan
terjadinya kekakuan pada otot. Padas sat kekakuan otot itulah disebut sebagai
terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada
jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia
terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati.
Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat
menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga
proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada
saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh
enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH
daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya
rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu
yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan
menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak
bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.
a. Fase Rigor Mortis
Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor
mortis dan fase pascarigor. Pada fase prarigor dibedakan atas fase penundaan
dan fase cepat seperti terlihat pada gambar 2.
Pada gambar 2 terlihat waktu pascamerta yang dibutuhkan untuk proses
rigor mortis pada otot yang berasal dari ternak kelinci. Pada grafik a
memperlihatkan waktu proses rigor mortis yang berlangsung sempurna; fase
penundaan membutuhkan waktu 8 jam dan fase cepat 3 jam. Waktu yang
dibutuhkan terbentuknya rigor mortis adalah 11 jam. Pada grafik b
memperlihatkan waktu rigor mortis pada kelinci yang mengalami
3
kecapaian/kelelahan dimana waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor
mortis adalah 5 jam. Pada grafik c adalah proses rigor mortis yang terjadi
sangat cepat kurang dari 1 jam (30 menit) yang terjadi pada ternak kelinci yang
sudah sangat kelelahan (kehabisan sumber energi). Ketiga grafik ini (a, b, c)
menunjukkan bahwa waktu terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada
jenis ternak dan kondisi ternak sebelum mati; makin terkuras energi maka
makin cepat terbentuknya rigor mortis
Waktu pascamerta (jam)
Gambar 2. Proses rigor mortis pada kelinci (a=normal, b=kecapaian/kelelahan,
c=sangat terkuras stamina)
b. Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis
Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan
miofilamen tipis (aktin) pada organisasi miofibriler otot (Modul Struktur
Otot) dan mengakibatkan terjadinya kekakuan otot. Pada saat ternak masih
hidup maka pertautan kedua miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung
secara reversible (ulang alik) yakni kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua
miofilamen bergesek maka dikatakan terjadi kontraksi dan sarkomer (panjang
serat) akan memenedek sebaliknya pada saat kedua miofilamen saling
melepas (tidak terjadi pergesekan) maka disebut terjadi relaksasi ditnadai
dengan sarkomer memanjang.
4
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai
ATP habis dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang
mayat) dan tidak ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak
daging karena akan sangat terasa alot.
c. Perubahan Karakter Fisikokimia
1. Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis
mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak
dikonsumsi. Kekakuan ini secara perlahan akan kembali menjadi
ekstensibel akibat kerja sejumlah enzim pencerna protein diantaranya
cathepsin (lihat proses maturasi).
2. Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih
berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini
disebut sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai
40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak
cairan pada saat dimasak (lihat modul V). Pada saat prarigor, otot masih
dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak
sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena
adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain yang
berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion
Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa
pascakontraksi otot.
3. pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah rigor mortis terbentuk
secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah
terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 –
5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk
memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam
pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat
prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam
pengolahan. pH asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding
capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan
memberikan daya ikat air yang tinggi.
5
4. Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik
isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya
longgar (mudah terurai). Hal ini bisa terjadi pada ternak babi atau ayam
yang mengalami stress sangat berat menjelang disembelih dan akibatnya
proses rigor mortis berlangsung sangat cepat; bisa beberapa menit pada
ternak babi.
5. Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir
normal (5.5 – 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.
2.2 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB VARIASI WAKTU
TERBENTUKNYA RIGOR MORTIS
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi
dan tergantung pada:
1. Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor
mortis lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus
PSE (pale soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan
waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis sempurna. Dikatakan sempurna jika
rigor mortis terjadi selama 24 jam pada ternak dengan kondisi cukup istirahat
dan full glikogen sebelum disembelih dan suhu ruangan sekitar 15°C.
2. Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu
berbeda dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak
cukup istirahat sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih
cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat
dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.
3. Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot
yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada
ternak yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat
merah. Pada otot dengan serat merah yang lebih banyak memperlihatkan pH
awal lebih tinggi dengan aktivitas ATP ase yang lebih rendah. Aktivitas ATP
ase yang lemah akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
menghabiskan ATP. Dengan demikian pada otot merah membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk terbentuknya rigor mortis.
6
4. Pengaruh umur
Dapat disimpulkan secara umum, bahwa keempukan menurun dengan
bertambahnya umur . Namun demikian perbaikan pakan (pemberian pakan
enersi tinggi) pada ternak sapi perah afkir sebelum penyembelihan untuk
memperbaiki kondisinya berdampak terhadap perbaikan keempukan, lebih
empuk dari sapi yang berumur muda dengan kondisi puberitas. Perbaikan
kualitas kolagen melalui terbentuknya kolagen baru (neo kolagen) yang
ditandai dengan sifat kolagen tersebut kembali seperti pada kolagen anak sapi
(sapi muda) yakni ikatan silang yang labil terhadap panas, dapat menjelaskan
fenomena tersebut.
5. Pengaruh suhu
Waktu rigor mortis cukup bervariasi dan tergantung pada konteks
(misalnya suhu) dan kondisi hewan (misalnya kondisi metabolik dan penyebab
kematian). Misalnya, rigor mortis ketika suhu hangat (37 º C) daripada saat
dingin (25 º C). Dalam kasus apapun, berikut adalah perbedaaan. Krompecher
(1981) meneliti rigor mortis pada tikus pada temperatur yang berbeda:
Pada 37 º C (98 º F) kekakuan sepenuhnya dikembangkan oleh 3 jam
setelah kematian, dan diselesaikan pada 6 jam setelah kematian.
Pada 24 º C (75 º F) kekakuan sepenuhnya dikembangkan oleh 5 jam
setelah kematian, dan diselesaikan pada 16 jam setelah kematian.
Pada 6 º C (42 º F) kekakuan sepenuhnya dikembangkan oleh 48-60
jam setelah kematian, dan diselesaikan pada 168 jam setelah kematian.
6. Kadar pH
Kondisi pH daging akan berpengaruh kepada struktur, pengembangan
(swelling) dan daya larut protein. Kondisi protein ini akan berpengaruh
terhadap daya ikat air (WHC) dan juiciness, daya emulsi, kemampuan
membentuk gel, kekerasan, warna dan umur simpan.
Water-holding Capacity (WHC) atau daya ikat air adalah satu dari
beberapa sifat daging yang sangat penting untuk membentuk mutu teknologi
daging. WHC adalah kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan
7
air (bebas)nya pada saat diberikan tekanan dari luar (seperti pemanasan,
penggilingan atau pengepressan).
7. Pembentukan ATP
Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP
yang terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi
otot sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis
ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi). Produksi ATP dari
glikogen melalui tiga jalur (Gambar 1) yakni:
Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau
melalui pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob)
kemudian menjadi asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3
mol ATP
Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil
perombakan glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan
masuk kedalam siklus asam trikarboksilat yang menghasilkan CO2 dan atom
H. Atom H kemudian masuk ke rantai transport elektron dalam
mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.
Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron
dalam mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan
H2O dan 4 mol ATP.
8
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih
diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri
dengan terjadinya kekakuan pada otot.
2. Faktor faktor yang memepengaruhi waktu terbentuknya rigor mortis
adalah spesies, individu, jenis serat, pengaruh umur, pengaruh suhu,
kadar ph,dan pembentukan ATP.
9