tugas filsafat hukum uas
TRANSCRIPT
TUGAS AKHIR SEMESTER
FILSAFAT HUKUM
RIANDA DIRKARESHZA
1606846440
KEADILAN MENURUT ARISTOTELES DAN PLATO
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya
filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari
yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang
yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan dan
kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu
saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari
bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda
yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair
(sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum
atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman
(sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak
menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan
(sinonimnya judge, jurist, magistrate).1
Sedangkan kata “adil” dalam bahasa Indonesia bahasa Arab “al ‘adl” yang
artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak
seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.2 Untuk
menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata yang lain (sinonim)
1 http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, diakses tanggal 6 November 2002.2 http://orb.rhodes.edu/ Medieval_Terms.html, diakses tanggal 6 November 2002.
1
seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata ‘adl dalam berbagai
bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi
keadilan itu (misalnya “ta’dilu” dalam arti mempersekutukan Tuhan dan
‘adldalam arti tebusan).3
Beberapa kata yang memiliki arti sama dengan kata “adil” di dalam Al-
Qur’an digunakan berulang ulang. Kata “al ‘adl” dalam Al qur’an dalam berbagai
bentuk terulang sebanyak 35 kali. Kata “al qisth” terulang sebanyak 24 kali. Kata
“al wajnu” terulang sebanyak kali, dan kata “al wasth” sebanyak 5 kali.4
Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan
merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan
dengan aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan
pendistribusian menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan.
Namun tentu tidak demikian halnya jika ingin memainkan peran menegakkan
keadilan.5
Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran
hukum dan teori-teori sosial lainnya. Dua titik ekstrim keadilan, adalah keadilan
yang dipahami sebagai sesuatu yang irasional dan pada titik lain dipahami secara
rasional. Tentu saja banyak varian-varian yang berada diantara kedua titik ekstrim
tersebut.6
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Aristoteles dan Plato ?
2. Bagaimana pandangan Aristoteles dan Plato mengenai Keadilan ?
3. Bagaimana keadilan dimasa sekarang menurut pandangan Aristoteles dan
Plato ?
3 Abdurrahman Wahid, Konsep-Konsep Keadilan, www.isnet.org/~djoko/Islam/Paramadina/00index, diakses pada tanggal 6 November 2002.
4 Nurjaeni, Kosep Keadilan Dalam Al-Qur’an, www.duriyat.or.id/artikel/keadilan.htm, diakses pada tanggal 6 November 2002.
5 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 137.
6 Berbagai macam permasalahan keadilan dan kaitannya dengan hukum yang berkembang dari berbagai aliran pemikiran dapat dibaca pada buku: W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan II, (Legal Theory), diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, cetakan Kedua, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1994.
2
II. RIWAYAT HIDUP
BIOGRAFI PLATO
Plato lahir pada tahun 428/7 SM dalam suatu keluarga terkemuka di
Athena. Ayahnya bernama Ariston7 seorang bangsawan keturunan raja Kodrus,
raja terakhir Athena yang hidup sekitar 1068 SM yang sangat dikagumi rakyatnya
oleh karena kecakapan dan kebijaksanaannya memerintah Athena, dan ibunya
bernama Priktione. Keturunan Solon, tokoh legendaris dan negarawan agung
Athena yang hidup sekitar seratus tahun lebih awal dari Priktione.8 Sesudah
Ariston meninggal, Priktione dinikahi pamannya yang bernama Pyrilampes.9 Plato
meninggal di Athena pada tahun 347 SM dalam usia 80 thun. Plato berasal dari
keluarga aristokrasi yang turun temurun memegang peranan penting dalam politik
Athena.10 Sebuah keluarga bangsawan Athena yang kayaraya, yang hidup ketika
Yunani menjadi pusat kebudayaan besar selama empat abad. Generasi orang tua
dan kakeknya sudah hidup selama setengah abad kebangkitan Athena menuju
kebesaran dan kekuasaannya yang paling hebat, dan secara langsung keluarga
Plato terlibat aktif dalam kehidupan politik di kotanya.11
Masa keemasan Athena, masa Pericles, yang bertahan antara 445-431 SM
muncul sebagai citra kesempurnaan dalam kehidupan peradaban manusia. Bisa
dikatakan bahwa dunia Barat telah memiliki kisah cinta yang panjang dengan
Athena, sebagai teladan dan model, dibandingkan kota-kota lain dalam sejarah
manusia, kecuali mungkin Yerusalem. Hubungan dengan Yerusalem di sini bukan
sebagai kota ideal, melainkan hanya dalam hal penghargaan kepada orang besar
yang hidup di Yerusalem dan kejadian-kejadian suci di sana. Kenapa Athena
dianggap kota kuno yang memiliki kisah cinta yang panjang? Athena adalah
teladan demokrasi pertama, Athena adalah kota yang dianugrahi keunggulan
pikiran dan tubuh manusia, filsafat, seni dan ilmu pengetahuan, serta berseminya
7 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1976, hlm. 958 J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Jakarta: Rajawali, 1988, hlm. 419 K. Bertens, Op.cit., hlm. 9510 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas, cet. 3, 1986, hlm. 8711 David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002,
hlm. 1
3
seni kehidupan.12 Plato pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang
Negara. Tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan
padanya untuk mengkuti jalan hidup yang diinginkannya itu.
Nama Plato yang sebenarnya ialah Aristokles, kemudian ia diberi nama
baru oleh guru pelatih senamnya "Plato". Plato dalam bahasa Yunani berasal dari
kata benda "platos" (kelebarannya/lebarnya) yang dibentuk dari kata sifat "platus"
yang berarti (lebar). Dengan demikian, nama "Plato" berarti "si lebar". Julukan
yang diberikan pelatih senamnya itu begitu cepat populer dan menjadi
panggilannya sehari-hari, bahkan kemudian menjadi nama resmi yang
diabadikannya lewat seluruh karyanya.13 Plato memperoleh nama baru itu
berhubungan dengan bahunya yang lebar, sepadan dengan badannya yang tinggi
dan tegap. Raut mukanya, tubuh serta parasnya yang elok bersesuaian benar
dengan ciptaan klasik tentang manusia yang cantik. Bagus dan harmoni meliputi
seluruh perawakannya. Tubuh yang besar dan sehat itu bersarang pula pikiran
yang dalam dan menembus. Pandangan matanya menunjukkan seolah-olah Plato
mau mengisi dunia ini dengan cita-citanya.
1. Pendidikan Plato
Pelajaran yang diperoleh ketika masa kecilnya, selain pelajaran umum
ialah menggambar dan menulis, disambung dengan belajar musik dan puisi.
Sebelum dewasa Plato sudah pandai membuat karangan yang bersajak.
Sebagaimana biasanya dengan anak orang baik-baik di masa itu Plato mendapat
didikan dari guru-guru filosofi. Pelajaran filosofi mula-mula diperolehnya dari
Kratylos. Kratylos dahulunya murid Herakleitos yang mengajarkan "semuanya
berlalu" seperti air. Rupanya ajaran semacam itu tidak hinggap di kalbu anak
Aristokrat yang terpengaruh oleh tradisi keluarganya. Sejak berumur 20 tahun
Plato mengikuti pelajaran Sokrates. Pelajaran itulah yang memberi kepuasan
baginya. Pengaruh Sokrates semakin mendalam padanya. Plato menjadi murid
Sokrates yang setia, sampai pada akhir hidupnya Sokrates tetap menjadi
12 T.Z. Lavine, Dari Socrates Ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 2002, hlm. 413 Lavine T.Z., Dari Socrates Ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 2002
4
pujaannya.14 Bahkan segala karyanya seolah-olah merupakan monumen yang
sengaja dibangun untuk gurunya.
Tak lama sesudah Sokrates meninggal, Plato pergi dari Athena. Itulah
permulaan Plato mengembara 12 tahun lamanya, dari tahun 399 SM-387 SM.
Mula-mula Plato pergi ke Megara, tempat Euklides mengajarkan filosofnya.
didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos. Sekolah ini
dirancangkannya sebagai pusat penyelidikan ilmiah. Pendirian suatu sekolah
sebetulnya tidak merupakan sesuatu yang baru di Athena pada waktu itu, sebab
tidak lama sebelumnya sudah ada sekolah yang diadakan oleh Sokrates. 10
"Akademia" didirikan pada tahun 385 SM. Semua ilmu yang diajarkan oleh Plato
di Akademia selama kira-kira 40 tahun itu diberi nama "filsafat".11 Di situlah
Plato, sejak berumur 40 tahun, pada tahun 387 SM sampai meninggalnya dalam
usia 80 tahun, mengajarkan filosofinya dan mengarang tulisan-tulisan yang
tersohor sepanjang masa.
2. Karya-karya Plato
Dapat disimpulkan, bahwa karya-karya Plato terdapat dalam dialogdialog.
Dialog-dialog Plato tersebut dapat dibagi atas tiga periode:15
I. Apologia, Krition, Eutyphron, Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias, Minor,
Menon, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion.
(beberapa ahli menyangka bahwa salah satu dari dialog-dialog ini sudah
ditulis sebelum kematian Sokrates, tetapi kebanyakan berpikir bahwa dialog
pertama ditulis tidak lama sesudah kematian Sokrates).
II. Politeia, Phaidros, Parmanides, Theaitetos. (Theaitetos dan Parmanides
ditulis tidak lama sebelum perjalanan kedua ke Sisilia, thun 367).
III. Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi, (dialogdialog ini
ditulis sesudah perjalanan ketiga ke Sisilia, ketika urusannya dengan
kesulitan-kesulitan politik di Sisilia sudah selesai).
BIOGRAFI ARISTOTELES14 Schmandt j. Henry, Filsafat Politik Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai ZamanModern, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet. I, 2002
15 Palto, Jalan Menuju Pengetahuan Yang Benar, Yogyakarta: Kanisius, cet. 7, 2002, hlm. 19
5
A. Masa Di Akademia
Aristoteles lahir di Stageira, Semenanjung Kalkidike, Trasia (Balkan),
Yunani Utara pada tahun 384 SM. Ayahnya bernama Machaon, dia adalah
seorang dokter pribadi istana raja Makedonia Amyntas II di kota Pella. Sejak kecil
dia mendapat pelajaran dari ayahnya sendiri sampai berumur 18 tahun. Minatnya
dalam ilmu pengetahuan sudah muncul, terutama dalam ilmu pengetahuan empiris
dan ilmu alam yaitu biologi. Setelah ayahnya meninggal, Aristoteles dikirim ke
Athena untuk belajar di akademia Plato. Disana dia menjadi murid Plato selama
dua puluh tahun. Dia rajin membaca dan mengumpulkan buku-buku, juga
menyusun suatu bibliotik dirumahnya, dan itu menjadi bibliotik pertama di
Athena. Melihat hal itu, Plato memberi penghargaan kepada muridnya dan
memberi nama rumah itu dengan sebutan “rumah pembaca”. Pada awal kuliahnya
kepada Plato, ia sebagai mahasiswa biasa. Namun setelah beberapa waktu,
Aristoteles sering diundang Plato untuk menjadi koleganya. 16
Aristoteles sangat memuja gurunya dan menyerap semua doktrin platonic
yang diajarkan di Akademia, sehingga filsafatnya pun memiliki dasar dari prinsip-
prinsip ajaran itu. Akan tetapi Aristoteles terlalu cemerlang untuk menjadi siswa
dan pengikut siapapun, termasuk menjadi pengikut Plato. Ketika Aristoteles
menyadari adanya kontradiksi yang nampak pada karya gurunya itu, dia tersadar
dan tidak bisa tinggal diam dan harus segera di ungkapkan. Kebiasaan Aristoteles
itu membuat gurunya terganggu. Meskipun dari dalam academia mereka tidak
menunjukkan adanya permusuhan, namun bukti menunjukkan kedua otak terhebat
pada zaman itu penting adanya menjaga jarak.17
Aristoteles memiliki minat yang luar biasa terhadap kepraktisan dan
keilmiahan. Hal inilah yang membuatnya memandang gagasan-gasan Plato dari
sudut pandang yang semakin realistis. Plato percaya bahwa dunia tertentu yang
kita serap hanyalah penampakan-penampakan saja. Realitas sebenarnya terletak
pada dunia idea-idea yang berupa bentukbentuk dengan kita berperan serta dalam
dunia idea-idea tersebut. Apabila pendekatan Plato bersifat religius, maka
16 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani. Edisi revisi th 1975 (Yogyakarta: KANISIUS. 1999) h. 154
17 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: UI-Press dan Tintamas. 1986) h. 115
6
pendekatan Aristoteles cenderung ilmiah. Hal inilah yang membuatnya ragu untuk
mengatakan dunia di sekitar kita sebagai suatu yang tidak nyata. Walau begitu,
tetap saja ia meneruskan pembedaan terhadap segala sesuatunya sebagai substansi
primer dan sekunder. Baginya, substansi primer adalah objek tertentu yang ada di
dunia. Sedangkan substansi sekunder adalahyang terdapat di dalam dunia idea-
idea atau bentuk-bentuk. 18
Awalnya ia bersikukuh untuk menentukan manakah di antara substansi-
substansi itu yang merupakan realitas yang sebenarnya. Perlahan-lahan
keyakinannya tumbuh bahwa ia hidup di dalam dunia nyata dan membuatnya
berseberangan dengan pandangan Plato. Selama bertahun-tahun Aristoteles benar-
benar menentang filsafat Plato secara mendasar. Namun, teori metafisikanya
mengadaptasi dari metafisika Plato. Plato memandang bentuk-bentuk sebagai
idea-idea yang memiliki keberadaan sendiri, sedangkan Aristoteles menganggap
bentukbentuk lebih sebagai esensi-esensi yang mewujud dalam substansi dunia
dan bentuk-bentuk tersebut tidak memiliki keberadaannya sendiri.
Aristoteles mengajukan sejumlah argument yang menghantam habis teori
idea Plato, tapi ia tak menyadari kritikannya juga menghantam habis teori
universalnya sediri. Akibatnya, teori-teori Plato yang telah dimodifikasi dalam
bentuk doktrin Aristotelian menjadi begitu dominan di dalam perkembangan
filsafat abad pertengahan.19
B. Masa pra Akademia
Pada tahun 347 SM, Plato meninggal dunia. Jabatan kepala di Akademia
menjadi kosong. Setengah lusin kolega Plato yang paling menonjol pun
memutuskan bahwa hanya ada satu orang yang cocok untuk menduduki jabatan
terhormat tersebut. Namun, masing-masing orang memiliki pilihan yang berbeda,
yang membuat mereka menjagokan diri mereka sendiri-sendiri. 20
Akhirnya keponakan Plato Speusippos yang menggantikan Plato sebagai
kepala di akademia. Speusippos dikenal karena perangainya yang begitu buruk,
sehingga konon ia pernah melemparkan anjingnya sendiri ke sumur karena
18 Paul Strathern, 90 Menit Bersama Aristoteles. (Jakarta: Erlangga. 2001) h. 7-919 Ibid., Hlm 1020 Ibid., Hlm 11 - 12
7
menyalak ketika ia sedang memberikan kuliahnya. Akhirnya, ketika pengangkatan
Speusippos berlangsung, Aristoteles meninggalkan Athena dengan kemuakannya
yang sangat luar biasa. Hal ini dimungkinkan karena tidak setuju dengan
anggapan Speusippos tentang filsafat, yang mempunyai kecendurang untuk
menyetarakan filsafat dengan matematika. Sebenarnya bukan itu alasan yang
membuat dia pergi dari akademia, tetapi dia ingin berkeliling dunia untuk
mendalami ilmu yang dipelajarinya di akademia dan mengembangkannya.
Aristoteles tidak pergi sendiri, dia ditemani murid Plato yang bernama
Xenokrates yang beranggapan bahwa dia akan ditunjuk menjadi kepala akademia,
karena dia adalah murid Plato yang setia. Ternyata yang ditunjuk sebagai kepala
academia adalah Speusippos, dimana pengetahuan dan kecerdasannya jauh
dibawahnya.
Aristoteles dan Xenokrates pergi ke kota Atarneus atas undangan dari
Hermeias, penguasa kota itu. Mereka disambut dengan gembira. Disini Aristoteles
menikah dengan Pythyas, keponakan dan anak angkat Hermeias. Namun mereka
tidak lama tinggal di kota itu, hanya sekitar 3 tahun saja, karena kota itu direbut
oleh tentara kerajaan Persia. Kemudian pada tahun 345, Hermeas ditangkap
dibawa ke ibu kota Persia, dan dibunuh oleh tentara Persia. 21
Aristoteles di undang oleh raja Phillipos dari Makedonia yang merupakan
anak dari Amyntas II, hal ini bertujuan untuk menanggung pendidikan anaknya
Amyntas II yang bernama Alexander, yang pada saat itu usianya sekitar 13 tahun.
Banyak legenda diceritakan dalam tradisi kuno Kees bartens. Sejarah filsafat
yunani mengenai hubungan antara guru dengan muridnya dua tokoh yang menjadi
tersohor dalam sejaraah dunia tetapi tidak mempunyai datadata yang dapat
dipercayai.
21 Kees bartens. Sejarah filsafat yunani (Yogyakarta: Kanisius. 1999) h. 155
8
III. PEMBAHASAN
PLATO
Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui
kekuatan-kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional
masuk dalam filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan, Plato
berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa.
Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat.
Masyarakat memiliki elemen- elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:
1. Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi oleh
para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan
domba manusia.
2. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian khusus
terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya,
aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan
pengawasan yang ketat serta kolektivisasi kepentingan-kepentingan
anggotanya.
Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainnya dapat
diturunkan, misalnya berikut ini:
1. Kelas penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti keuntungan dan
latihan militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua bentuk
pendidikan, tetapi kelas penguasa ini tidak diperkenankan berpartisipasi
dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam usaha mencari penghasilan,
2. Harus ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa, dan
propaganda terus- menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan
pikiran-pikiran mereka. Semua inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan
agama harus dicegah atau ditekan.
3. Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient).
9
Negara harus bertujuan pada autarki ekonomi, jika tidak demikian, para
penguasa akan bergantung pada para pedagang, atau justru para penguasa itu
sendiri menjadi pedagang. Alternatif pertama akan melemahkan kekuasaan
mereka, sedangkan alternatif kedua akan melemahkan persatuan kelas penguasa
dan stabilitas negaranya.22 Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus
dikembalikan pada struktur aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi
penggembala. Tugas ini adalah tugas negara untuk menghentikan perubahan.
Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan antara individu
melainkan hubungan individu dan negara. Bagaimana individu melayani negara.
Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau
fungsi makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia.
Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar
pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada
cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang
tidak dapat diduga.23 Oleh karena inilah Plato mengungkapkan bahwa yang
memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the king ofphilosopher.24
ARISTOTELES
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5
buku Nicomachean Ethics. Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan
harus dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah
tersebut, (2) apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim apakah keadilan
itu terletak.25
1. Keadilan Dalam Arti Umum
22 Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, (The Open Society and Its Enemy), diterjemahkan oleh: Uzair Fauzan, Cetakan I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hal. 110
23 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theori), Susunan I, diterjemahkan oleh Mohamad Arifin, Cetakan kedua, Jakarta (PT RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 117.
24 Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi, Bandung, Pustaka Mizan, 1997, hal. 1-15.
25 Aristotle, “The Nichomachean Ethics of Aristotle”, trans. F.H. Peters, M.A 5th edition, London: Kegan Paul, Trench, Truebner & Co., 1893 http://oll.libertyfund.org/titles/903 (diakses November 23, 2016)
10
Keadilan sering diartikan sebagai ssuatu sikap dan karakter. Sikap dan
karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan
adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan
berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan. Pembentukan sikap dan karakter
berasal dari pengamatan terhadap obyek tertentu yang bersisi ganda. Hal ini bisa
berlaku dua dalil, yaitu; 1. jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga
diketahui; 2. kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi
“baik” Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih,
diperlukan pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk menentukan
secara jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yang lain juga
ambigu.
Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang
tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair),
maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan
fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua
tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah
adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan
masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan
mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil. Dengan demikian keadilan
bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan
hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain.
Keadilan yang dimaknai sebagai tindakan pemenuhan kebahagiaan diri sendiri
dan orang lain, adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai.
Keadilan dan tata nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi
yang berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan orang lain adalah keadilan,
namun sebagai suatu sikap khusus tanpa kualifikasi adalah nilai. Ketidakadilan
dalam hubungan sosial terkait erat dengan keserakahan sebagai ciri utama
tindakan yang tidak fair. Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna
yang amat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dedengan hukum
sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu
kesalahan. Namun apabila 6 hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa
disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan
11
merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidak adilan. Sebagai contoh, seorang
pengusaha yang membayar gaji buruh di bawah UMR, adalah suatu pelanggaran
hukum dan kesalahan. Namun tindakan ini belum tentu mewujudkan
ketidakadilan. Apabila keuntungan dan kemampuan membayar perusahaan
tersebut memang terbatas, maka jumlah pembayaran itu adalah keadilan.
Sebaliknya walaupun seorang pengusaha membayar buruhnya sesuai dengan
UMR, yang berarti bukan kejahatan, bisa saja menimbulkan ketidakadilan karena
keuntungan pengusaha tersebut sangat besar dan hanya sebagian kecil yang
diambil untuk upah buruh.
Ketidakadilan ini muncul karena keserakahan. Hal tersebut di atas adalah
keadilan dalam arti umum. Keadilan dalam arti ini terdiri dari dua unsur yaitu fair
dan sesuai dengan hukum, yang masing-masing bukanlah hal yang sama. Tidak
fair adalah melanggar hukum, tetapi tidak semua tindakan melanggar hukum
adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat dengan kepatuhan
terhadap hukum
2. Keadilan Particuler
Keadilan particuler atau lebih mudah disebut dalam arti khusus terkait
dengan beberapa pengertian berikut ini, yaitu: a. Sesuatu yang terwujud dalam
pembagian penghargaan atau uang atau hal lainnya kepada mereka yang memiliki
bagian haknya. Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam
suatu tindakan bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara
“yang lebih” dan “yang kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah titik tengan
atau suatu persamaan relatif (arithmetical justice)26. Dasar persamaan antara
anggota masyarakat sangat tergantung pada sistem yang hidup dalam masyarakat
tersebut. Dalam sistem demokrasi, landasan persamaan untuk memperoleh titik
tengah adalah kebebasan manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam
sistem oligarki dasar persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan
saat kelahiran. Sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya adalah
keistimewaan (excellent). Dasar yang berbeda tersebut menjadikan keadilan lebih
pada makna persamaan sebagai proporsi. Ini adalah satu spesies khusus dari
26 Aristotle, “Politics”, trans. C. D. C. Reeve (called “Politics”). Indianapolis: Hackett, 1998
12
keadilan, yaitu titik tengah (intermediate) dan proporsi. b. Perbaikan suatu bagian
dalam transaksi Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan
(rectification). Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara orang dengan
orang yang dilakukan secara sukarela. 27
Hubungan tersebut adalah sebuah keadilan apabila masing-masing
memperoleh bagian sampai titik tengah (intermediate), atau suatu persamaan
berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity). Jadi keadilan adalah persamaan,
dus ketidakadilan adalah ketidaksamaan. Ketidakadilan terjadi jika satu orang
memperoleh lebih dari yang lainnya dalam hubungan yang dibuat secara sederajat.
Untuk menyamakan hal tersebut hakim atau mediator melakukan tugasnya
menyamakan dengan mengambil sebagian dari yang lebih dan memberikan
kepada yang kurang sehingga mencapai titik tengah. Tindakan hakim ini
dilakukan sebagai sebuah hukuman.
Hal ini berbeda apabila hubungan terjalin bukan atas dasar kesukarelaan
masing-masing pihak. Dalam hubungan yang tidak didasari ketidaksukarelaan
berlaku keadilan korektif yang memutuskan titik tengah sebagai sebuah proporsi
dari yang memperoleh keuntungan dan yang kehilangan. Tindakan koreksi tidak
dilakukan dengan semata-mata mengambil keuntungan yang diperoleh satu pihak
diberikan kepada pihak lain dalam arti pembalasan. Seseorang yang melukai tidak
diselesaikan dengan mengijinkan orang yang dilukai untuk melukai balik Timbal
balik dalam konteks ini dilakukan dengan pertukaran atas nilai tertentu sehingga
mencapai taraf proporsi. Untuk kepentingan pertukaran inilah digunakan uang.
Keadilan dalam hal ini adalah titik tengah antara tindakan tidak adil dan
diperlakukan tidak adil. Keadilan dan ketidakadilan selalui dilakukan atas
kesukarelaan. Kesukarelaan tersebut meliputi sikap dan perbuatan. Pada saat
orang melakukan tindakan secara tidak sukarela, maka tindakan tersebut tidak
dapat dikategorikan sebagai tidak adil ataupun adil, kecuali dalam beberapa cara
khusus.
Melakukan tindakan yang dapat dikategorikan adil harus ada ruang untuk
memilih sebagai tempat pertimbangan. Sehingga dalam hubungan antara manusia
ada beberapa aspek untuk menilai tindakan tersebut yaitu, niat, tindakan, alat, dan
27 F. W. Fitzpatrick, “Justice”. The Monist, Vol. 14, No. 4 (July, 1904), pp. 541-561. http://www.jstor.org/stable/27899507 (diakses November 23, 2016)
13
hasil akhirnya. Ketika (1) kecideraan berlawanan deengan harapan rasional,
adalah sebuah kesalahansasaran (misadventure), (2) ketika hal itu tidak
bertentangan dengan harapan rasional, tetapi tidak menyebabkan tindak kejahatan,
itu adalah sebuah kesalahan. (3) Ketika tindakan dengan pengetahuan tetapi tanpa
pertimbangan, adalah tindakan ketidakadilan, dan (4) seseorang yang bertindak
atas dasar pilihan, dia adalah orang yang tidak adil dan orang yang jahat.
Melakukan tindakan yang tidak adil adalah tidak sama dengan melakukan sesuatu
dengan cara yang tidak adil. Tidak mungkin diperlakukan secara tidak adil apabila
orang lain tidak melakukan sesuatu secara tidak adil. Mungkin seseorang rela
menderita karena ketidakadilan, tetapi tidak ada seorangpun yang berharap
diperlakukan secara tidak adil. 28
Dengan demikian memiliki makna yang cukup luas, sebagian merupakan
keadilan yang telah ditentukan oleh alam, sebagian merupakan hasil ketetapan
manusia (keadilan hukum). Keadilan alam berlaku universal, sedangkan keadilan
yang ditetapkan manusia tisak sama di setiap tempat. Keadilan yang ditetapkan
oleh manusia inilah yang disebut dengan nilai. Akibat adanya ketidak samaan ini
maka ada perbedaan kelas antara keadilan universal dan keadilan hukum yang
memungkinkan pembenaran keadilan hukum. Kedua macam keadilan dalam arti
khusus ini kemudian banyak disebut sebagai keadilan distributi dan keadilan
konstitutif. Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Bisa jadi semua hukum adalah
universal, tetapi dalam waktu tertentu tidak mungkin untuk membuat suatu
pernyataan universal yang harus benar. Adalah sangat penting untuk berbicara
secara universal, tetapi tidak mungkin melakukan sesuatu selalu benar karena
hukum dalam kasus-kasus tertentu tidak terhindarkan dari kekeliruan. Saat suatu
hukum memuat hal yang universal, namun kemudian suatu kasus muncul dan
tidak tercantum dalam hukum tersebut. Karena itulah persamaan dan keadilan
alam memperbaiki kesalahan tersebut.
Keadilan Politik menurut Aristoteles:
28 Gianfrancesco Zanetti, ”Problematic Aspects of Aristotle's Philosophy of Law”. Archives for Philosophy of Law and Social Philosophy, Vol. 81, No. 1 (1995), pp. 47-64. http://www.jstor.org/stable/23680087 (diakses November 23, 2016)
14
- Aristoteles membagi menjadi dua bagian yaitu, distributive justice yang
membagi keuntungan dan beban yang adil di antara anggota masyarakat, dan
justice requires mengaharuskan kita dalam beberapa keaadaan mencoba untuk
mengembalikan keseimbangan yang adil di dalam hubungan interpersonal
yang telah hilang. Dan jika anggota dari komunitas telah tidak adil dalam
mendapatkan keuntungan atau terbebani dengan lebih atau kurang dari yang
semestinya, maka keadilan korektif dapat diperlukan misalnya oleh
pengadilan.29
- Seperti semua kebajikan moral, Aristoteles mengartikan keadilan berarti
rasional antara perbedaan yang buruk. Kesetaraan yang proporsional atau
keadilan melibatkan posisi ditengah-tengah antara seseorang yang tidak adil
mendapatkan “kekurangan” dari pada yang pantas dia terima dan
ketidakadilan dalam mendapatkan “lebih” pada pengeluaran orang lain.
Pengertian keadilan terletak di antara sifat buruk (keburukan) dari
mendapatkan terlalu banyak dan terlalu sedikit, dibandingkan dengan apa
yang layak. Hal ini menjadi 2 tipe ketidakadilan yang berlawanan, salah
satunya “kelebihan” yang tidak proporsional, dan yang lain dari
“kekurangan” yang tidak proporsional.30
- Dalam politik, Aristoteles memperhitungkan lebih lanjut keadilan politik dan
hubungannya dengan kesetaraan. Kita dapat mengakui bahwa pendahulu
melibatkan terakhir tapi harus hati-hati menentukan dengan mempertahankan
bahwa keadilan melibatkan kesetaraan “tidak untuk semua orang, hanya
untuk yang setara”. Dia setuju dengan Plato bahwa demokasi politik secara
intrinstik tidak adil karena, pada dasarnya ia mencoba untuk memperlakukan
ketidaksetaraan seolah-olah mereka sederajat. Keadilan lebih membutuhkan
ketidaksetaraan bagi orang-orang yang tidak setara. Tetapi kemudian, oligarki
juga secara intristik tidak adil sejauh melibatkan perlakuan yang sama sebagai
tidak sama karena beberapa perbedaan keastuan dari kelahiran, kekayaan dan
lain-lain31
29 E. W. VIERDAG, “Non-discrimination and Justice”. Archiv für Rechts- und Sozialphilosophie / Archives for Philosophy of Law and Social Philosophy, Vol. 57, No. 2 (1971), pp. 187-204. http://www.jstor.org/stable/23679284 (diakses November 23, 2016)
30 Ibid.,31 Thornton C, Lockwood, Jr., “Ethical Justice and Political Justice”. Phronesis, Vol. 51,
No. 1 (2006), pp. 29-48, http://www.jstor.org/stable/4182793 (diakses November 23, 2016)
15
- Dengan demikan keadilan politik harus dilihat sebagai suatu fungsi dari
kepentinggan umum dari masyarakat. Keadilan tersebut adalah upaya untuk
menentukan kesetaraan atau ketidaksetaraan antara orang-orang. Dan dia
mengakui bahwa yang merupakan kunci masalah dari filsafat politik. Dia
berfikir kita semua bisa langsung menyetujui bahwa keadilan politik
membutuhkan proporsional daripada kesetaraan numeric/jumlah. Tapi
Inferiors (bawahan) memiliki kepentingan dalam berpikir bahwa mereka yang
sama dalam beberapa hal harus sama dalam semua hal, sementara superiors
(atasan) berat sebelah, dalam arah yang berlawanan, membayangkan bahwa
mereka yang tidak setara(sama) di dalam beberapa hal(cara) haruslah tidak
sama di dalam semua hal. Jadi, misalnya,mereka yang sama-sama warga
Negara tidak selalu sama dalam kebajikan politik, dan orang-orang yang
secara finansial kaya tidak selalu secara moral dan mental sebagai superior
(atasan). Apa yang relevan disini adalah “kesetaraan menurut jasa32
- Sementara Plato menerima perbudakan sebagai lembaga social yang sah
tetapi berpendapat untuk kesempatan yang sama bagi perempuan, di dalam
politiknya, Aristoteles menerima ketidaksetaraan seksual saat aktif membela
perbudakan. Siapa pun yang lebih rendah secara intelektual dan moral adalah
benar-benar secara poolitik lebih rendah dalam (well-ordered polis). Seorang
manusia dapat secara alami mandiri atau tidak, “seorang budak alami”
menjadi cacat dalam rasionalitas dan moralitas, dan dengan demikian secara
alami cocok untuk menjadi milik seorang atasan (superior), seperti mansuia
dapat dengan tepat dianggap sebagai “serpihan property” atau alat orang lain
untuk tindakannya.
- Mengingat ketidaksetaraan alami manusia, itu diduga tidak pantas bahwa
semua harus memerintah atau berbagi dalam pemerintahan/kekuasaan.
Aristoteles menyatakan bahwa beberapa telah ditandai sebagai superior dan
cocok untuk memerintah sejak lahir, sementara yang lain lebih rendah dan
ditandai sejak lahir untuk dikuasai oleh orang lain. Ini seharusnya tidak hanya
berlaku untuk kelompok etnis, tetapi juga untuk jenis kelamin, dan ia dengan
tegas menyatakan bahwa laki-laki sudah “alami menjadi superior” dan wanita
32 Ibid.,
16
“alami mejadi inferior”. Pendahulu cocok untuk memerintah, dan pendatang
untuk dikuasai. Klaim nya adalah bahwa secara alami lebih baik bagi
perempuan untuk diperintah oleh laki-laki, karena itu lebih baik untuk “budak
alami”, bahwa mereka haruslah diperintah oleh orang-orang yang “secara
alami bebas”
- Aristoteles (seperti Plato) percaya bahwa orang-orang Yunani lahir untuk
bebas dan pemerintahan sendiri yang rasional, tidak seperti non-Yunani
(barbar), yang secara alami rendah(inferior) dan tidak mampu untuk itu. Jadi
fakta bahwa manusia dikalahkan atau ditangkap tidak ada jaminan bahwa
mereka cocok untuk perbudakan, seperti perang yang tidak adil telah
diberlakukan kepada masyarakat yang lebih mulia dengan yang lebih
primitive. Sementara pemerian pada orang yunani dan non-yunani, serta pria
dan wanita, semuanya adalah manusia, Aristoteles membenarkan dugaan
ketimpangan antara mereka berdasarkan apa yang disebutnya “deliberative”
kapasitas jiwa rasional mereka.33
33 Ibid.,
17
IV. KESIMPULAN
Jika kita merasa bahwa itu tidak adil untuk melakukan diskriminasi
terhadap orang hanya karena jenis kelamin mereka dan/atau asal etnis, sebagai
filsuf, kami mencoba untuk mengidentifikasi akar rasional dari masalah. Jika
intuisi moral kita sudah benar terhadap Aristoteles (dan beberapa bahkan akan
memanggil pandangannya ini seksis dan rasis), ia mungkin keliru tentang soal
fakta atau tentang nilai keadilan ataupun keduanya. Tentunya ia salah tentang
semua perempuan dan non-Yunani, seperti yang pada dasarnya lebih rendah
daripada laki-laki Yunani dalam cara yang relevan, pada sejarah budaya telah
menunjukan bahwa ketika diberikan kesempatan, perempuan dan non- Yunani
telah menunjukkan diri mereka sama secara signifikan. Tetapi tampaknya
Aristoteles mungkin juga telah salah dalam mengklaim fakta
ketimpangan(ketidaksetaraan) pada nilai keadilan yang menyatakan benar bahwa
bawahan harus secara social, hukum, politik dan ekonomi yang dibawah, seperti
Plato dan yang lainnya dari kebudayaan yang sama ( yang dimana dia ada seorang
pembela disini). Aristoteles tampaknya tidak memiliki konsepsi HAM seperti itu.
Seperti Plato, ia berdebat teori tujuan keadilan pribadi dan social lebih baik
sebagai alternative ke relativistic dari Sofis. Meskipun ada sesuatu yang menarik
tentang empiris Aristoteles (yang berlawanan dengan idealis Plato) pendekatan
keadilan, ia menyalahkan dirinya pada posisi yang meragukan untuk perlu
mendapatkan klaim tentang bagaimana hal-hal seharusnya dari fakta klaoim
tentang cara sesuatu yang seharusnya. Hal ini juga meninggalkan Aristoteles
dengan sedikit sarana yang layak dalam membangun perspektif yang universal
yang akan menghormati martabat yang sama dari semua manusia. Jadi teorinya,
seperti Plato, gagal memadai untuk menghormati semua orang dengan bebas,
seseorang yang rasional. Mereka begitu terfokus pada cara-cara dimana orang
18
tidak sama, bahwa mereka tidak bisa menghargai persamaan moral mendasar yang
mungkin menyediakan tempat untuk hak asasi manusia alami.
REFRENSI
BUKU
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama, 1995, hal. 137.
David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, Jogjakarta: Bentang Budaya,
2002, hal. 1
Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi,
Bandung, Pustaka Mizan, 1997, hal. 1-15.
J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Jakarta: Rajawali, 1988, hlm. 41
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1976, hlm. 95
_________, Sejarah Filsafat Yunani. Edisi revisi th 1975 (Yogyakarta:
KANISIUS. 1999) h. 154
Lavine T.Z., Dari Socrates Ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 2002
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: UI-Press dan Tintamas. 1986)
h. 115
19
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas, cet. 3, 1986, hlm. 87
Schmandt j. Henry, Filsafat Politik Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Zaman Modern, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet. I, 2002
T.Z. Lavine, Dari Socrates Ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 2002, hlm. 4
Palto, Jalan Menuju Pengetahuan Yang Benar, Yogyakarta: Kanisius, cet. 7,
2002, hlm. 19
Paul Strathern, 90 Menit Bersama Aristoteles. (Jakarta: Erlangga. 2001) h. 7-9
JURNAL
E. W. VIERDAG, “Non-discrimination and Justice”. Archiv für Rechts- und
Sozialphilosophie / Archives for Philosophy of Law and Social Philosophy,
Vol. 57, No. 2 (1971), pp. 187-204. http://www.jstor.org/stable/23679284
(diakses November 23, 2016)
Thornton C, Lockwood, Jr., “Ethical Justice and Political Justice”. Phronesis, Vol.
51, No. 1 (2006), pp. 29-48, http://www.jstor.org/stable/4182793 (diakses
November 23, 2016)
Aristotle, “Politics”, trans. C. D. C. Reeve (called “Politics”). Indianapolis:
Hackett, 1998
F. W. Fitzpatrick, “Justice”. The Monist, Vol. 14, No. 4 (July, 1904), pp. 541-561.
http://www.jstor.org/stable/27899507 (diakses November 23, 2016)
Gianfrancesco Zanetti, ”Problematic Aspects of Aristotle's Philosophy of Law”.
Archives for Philosophy of Law and Social Philosophy, Vol. 81, No. 1
(1995), pp. 47-64. http://www.jstor.org/stable/23680087 (diakses November
23, 2016)
20
Aristotle, “The Nichomachean Ethics of Aristotle”, trans. F.H. Peters, M.A 5th
edition, London: Kegan Paul, Trench, Truebner & Co., 1893
http://oll.libertyfund.org/titles/903 (diakses November 23, 2016)
Karl R. Popper, “Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, (The Open Society
and Its Enemy)”, diterjemahkan oleh: Uzair Fauzan, hal. 110
W. Friedmann, “Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theori)”, Susunan I,
diterjemahkan oleh Mohamad Arifin , hal. 117.
W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan II, (Legal Theory),
diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, hal. 25.
WEBSITE
http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, (diakses November 23, 2016).
http://orb.rhodes.edu/ Medieval_Terms.html, (diakses November 23, 2016).
Abdurrahman Wahid, Konsep Keadilan,
www.isnet.org/~djoko/Islam/Paramadina/00index, (diakses November 23,
2016).
Nurjaeni, Kosep Keadilan Dalam Al-Qur’an,
www.duriyat.or.id/artikel/keadilan.htm, (diakses November 23, 2002).
21