tugas filsafat hukum uas

34
TUGAS AKHIR SEMESTER FILSAFAT HUKUM RIANDA DIRKARESHZA 1606846440 KEADILAN MENURUT ARISTOTELES DAN PLATO I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia. Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang 1

Upload: rianda-dirkareshza

Post on 16-Apr-2017

32 views

Category:

Law


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas filsafat hukum uas

TUGAS AKHIR SEMESTER

FILSAFAT HUKUM

RIANDA DIRKARESHZA

1606846440

KEADILAN MENURUT ARISTOTELES DAN PLATO

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya

filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari

yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang

yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan dan

kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu

saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.

Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari

bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda

yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair

(sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum

atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman

(sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak

menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan

(sinonimnya judge, jurist, magistrate).1

Sedangkan kata “adil” dalam bahasa Indonesia bahasa Arab “al ‘adl” yang

artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak

seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.2 Untuk

menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata yang lain (sinonim)

1  http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, diakses tanggal 6 November 2002.2 http://orb.rhodes.edu/ Medieval_Terms.html, diakses tanggal 6 November 2002.

1

Page 2: Tugas filsafat hukum uas

seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata ‘adl dalam berbagai

bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi

keadilan itu (misalnya “ta’dilu” dalam arti mempersekutukan Tuhan dan

‘adldalam arti tebusan).3

Beberapa kata yang memiliki arti sama dengan kata “adil” di dalam Al-

Qur’an digunakan berulang ulang. Kata “al ‘adl” dalam Al qur’an dalam berbagai

bentuk terulang sebanyak 35 kali. Kata “al qisth” terulang sebanyak 24 kali. Kata

“al wajnu” terulang sebanyak kali, dan kata “al wasth” sebanyak 5 kali.4

Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan

merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan

dengan aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan

pendistribusian menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan.

Namun tentu tidak demikian halnya jika ingin memainkan peran menegakkan

keadilan.5

Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran

hukum dan teori-teori sosial lainnya. Dua titik ekstrim keadilan, adalah keadilan

yang dipahami sebagai sesuatu yang irasional dan pada titik lain dipahami secara

rasional. Tentu saja banyak varian-varian yang berada diantara kedua titik ekstrim

tersebut.6

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana riwayat hidup Aristoteles dan Plato ?

2. Bagaimana pandangan Aristoteles dan Plato mengenai Keadilan ?

3. Bagaimana keadilan dimasa sekarang menurut pandangan Aristoteles dan

Plato ?

3 Abdurrahman Wahid, Konsep-Konsep Keadilan, www.isnet.org/~djoko/Islam/Paramadina/00index, diakses pada tanggal 6 November 2002.

4 Nurjaeni, Kosep Keadilan Dalam Al-Qur’an, www.duriyat.or.id/artikel/keadilan.htm, diakses pada tanggal 6 November 2002.

5 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 137.

6 Berbagai macam permasalahan keadilan dan kaitannya dengan hukum yang berkembang dari berbagai aliran pemikiran dapat dibaca pada buku: W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan II, (Legal Theory), diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, cetakan Kedua, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1994.

2

Page 3: Tugas filsafat hukum uas

II. RIWAYAT HIDUP

BIOGRAFI PLATO

Plato lahir pada tahun 428/7 SM dalam suatu keluarga terkemuka di

Athena. Ayahnya bernama Ariston7 seorang bangsawan keturunan raja Kodrus,

raja terakhir Athena yang hidup sekitar 1068 SM yang sangat dikagumi rakyatnya

oleh karena kecakapan dan kebijaksanaannya memerintah Athena, dan ibunya

bernama Priktione. Keturunan Solon, tokoh legendaris dan negarawan agung

Athena yang hidup sekitar seratus tahun lebih awal dari Priktione.8 Sesudah

Ariston meninggal, Priktione dinikahi pamannya yang bernama Pyrilampes.9 Plato

meninggal di Athena pada tahun 347 SM dalam usia 80 thun. Plato berasal dari

keluarga aristokrasi yang turun temurun memegang peranan penting dalam politik

Athena.10 Sebuah keluarga bangsawan Athena yang kayaraya, yang hidup ketika

Yunani menjadi pusat kebudayaan besar selama empat abad. Generasi orang tua

dan kakeknya sudah hidup selama setengah abad kebangkitan Athena menuju

kebesaran dan kekuasaannya yang paling hebat, dan secara langsung keluarga

Plato terlibat aktif dalam kehidupan politik di kotanya.11

Masa keemasan Athena, masa Pericles, yang bertahan antara 445-431 SM

muncul sebagai citra kesempurnaan dalam kehidupan peradaban manusia. Bisa

dikatakan bahwa dunia Barat telah memiliki kisah cinta yang panjang dengan

Athena, sebagai teladan dan model, dibandingkan kota-kota lain dalam sejarah

manusia, kecuali mungkin Yerusalem. Hubungan dengan Yerusalem di sini bukan

sebagai kota ideal, melainkan hanya dalam hal penghargaan kepada orang besar

yang hidup di Yerusalem dan kejadian-kejadian suci di sana. Kenapa Athena

dianggap kota kuno yang memiliki kisah cinta yang panjang? Athena adalah

teladan demokrasi pertama, Athena adalah kota yang dianugrahi keunggulan

pikiran dan tubuh manusia, filsafat, seni dan ilmu pengetahuan, serta berseminya

7 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1976, hlm. 958 J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Jakarta: Rajawali, 1988, hlm. 419 K. Bertens, Op.cit., hlm. 9510 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas, cet. 3, 1986, hlm. 8711 David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002,

hlm. 1

3

Page 4: Tugas filsafat hukum uas

seni kehidupan.12 Plato pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang

Negara. Tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan

padanya untuk mengkuti jalan hidup yang diinginkannya itu.

Nama Plato yang sebenarnya ialah Aristokles, kemudian ia diberi nama

baru oleh guru pelatih senamnya "Plato". Plato dalam bahasa Yunani berasal dari

kata benda "platos" (kelebarannya/lebarnya) yang dibentuk dari kata sifat "platus"

yang berarti (lebar). Dengan demikian, nama "Plato" berarti "si lebar". Julukan

yang diberikan pelatih senamnya itu begitu cepat populer dan menjadi

panggilannya sehari-hari, bahkan kemudian menjadi nama resmi yang

diabadikannya lewat seluruh karyanya.13 Plato memperoleh nama baru itu

berhubungan dengan bahunya yang lebar, sepadan dengan badannya yang tinggi

dan tegap. Raut mukanya, tubuh serta parasnya yang elok bersesuaian benar

dengan ciptaan klasik tentang manusia yang cantik. Bagus dan harmoni meliputi

seluruh perawakannya. Tubuh yang besar dan sehat itu bersarang pula pikiran

yang dalam dan menembus. Pandangan matanya menunjukkan seolah-olah Plato

mau mengisi dunia ini dengan cita-citanya.

1. Pendidikan Plato

Pelajaran yang diperoleh ketika masa kecilnya, selain pelajaran umum

ialah menggambar dan menulis, disambung dengan belajar musik dan puisi.

Sebelum dewasa Plato sudah pandai membuat karangan yang bersajak.

Sebagaimana biasanya dengan anak orang baik-baik di masa itu Plato mendapat

didikan dari guru-guru filosofi. Pelajaran filosofi mula-mula diperolehnya dari

Kratylos. Kratylos dahulunya murid Herakleitos yang mengajarkan "semuanya

berlalu" seperti air. Rupanya ajaran semacam itu tidak hinggap di kalbu anak

Aristokrat yang terpengaruh oleh tradisi keluarganya. Sejak berumur 20 tahun

Plato mengikuti pelajaran Sokrates. Pelajaran itulah yang memberi kepuasan

baginya. Pengaruh Sokrates semakin mendalam padanya. Plato menjadi murid

Sokrates yang setia, sampai pada akhir hidupnya Sokrates tetap menjadi

12 T.Z. Lavine, Dari Socrates Ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 2002, hlm. 413 Lavine T.Z., Dari Socrates Ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 2002

4

Page 5: Tugas filsafat hukum uas

pujaannya.14 Bahkan segala karyanya seolah-olah merupakan monumen yang

sengaja dibangun untuk gurunya.

Tak lama sesudah Sokrates meninggal, Plato pergi dari Athena. Itulah

permulaan Plato mengembara 12 tahun lamanya, dari tahun 399 SM-387 SM.

Mula-mula Plato pergi ke Megara, tempat Euklides mengajarkan filosofnya.

didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos. Sekolah ini

dirancangkannya sebagai pusat penyelidikan ilmiah. Pendirian suatu sekolah

sebetulnya tidak merupakan sesuatu yang baru di Athena pada waktu itu, sebab

tidak lama sebelumnya sudah ada sekolah yang diadakan oleh Sokrates. 10

"Akademia" didirikan pada tahun 385 SM. Semua ilmu yang diajarkan oleh Plato

di Akademia selama kira-kira 40 tahun itu diberi nama "filsafat".11 Di situlah

Plato, sejak berumur 40 tahun, pada tahun 387 SM sampai meninggalnya dalam

usia 80 tahun, mengajarkan filosofinya dan mengarang tulisan-tulisan yang

tersohor sepanjang masa.

2. Karya-karya Plato

Dapat disimpulkan, bahwa karya-karya Plato terdapat dalam dialogdialog.

Dialog-dialog Plato tersebut dapat dibagi atas tiga periode:15

I. Apologia, Krition, Eutyphron, Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias, Minor,

Menon, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion.

(beberapa ahli menyangka bahwa salah satu dari dialog-dialog ini sudah

ditulis sebelum kematian Sokrates, tetapi kebanyakan berpikir bahwa dialog

pertama ditulis tidak lama sesudah kematian Sokrates).

II. Politeia, Phaidros, Parmanides, Theaitetos. (Theaitetos dan Parmanides

ditulis tidak lama sebelum perjalanan kedua ke Sisilia, thun 367).

III. Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi, (dialogdialog ini

ditulis sesudah perjalanan ketiga ke Sisilia, ketika urusannya dengan

kesulitan-kesulitan politik di Sisilia sudah selesai).

BIOGRAFI ARISTOTELES14 Schmandt j. Henry, Filsafat Politik Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai ZamanModern, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet. I, 2002

15 Palto, Jalan Menuju Pengetahuan Yang Benar, Yogyakarta: Kanisius, cet. 7, 2002, hlm. 19

5

Page 6: Tugas filsafat hukum uas

A. Masa Di Akademia

Aristoteles lahir di Stageira, Semenanjung Kalkidike, Trasia (Balkan),

Yunani Utara pada tahun 384 SM. Ayahnya bernama Machaon, dia adalah

seorang dokter pribadi istana raja Makedonia Amyntas II di kota Pella. Sejak kecil

dia mendapat pelajaran dari ayahnya sendiri sampai berumur 18 tahun. Minatnya

dalam ilmu pengetahuan sudah muncul, terutama dalam ilmu pengetahuan empiris

dan ilmu alam yaitu biologi. Setelah ayahnya meninggal, Aristoteles dikirim ke

Athena untuk belajar di akademia Plato. Disana dia menjadi murid Plato selama

dua puluh tahun. Dia rajin membaca dan mengumpulkan buku-buku, juga

menyusun suatu bibliotik dirumahnya, dan itu menjadi bibliotik pertama di

Athena. Melihat hal itu, Plato memberi penghargaan kepada muridnya dan

memberi nama rumah itu dengan sebutan “rumah pembaca”. Pada awal kuliahnya

kepada Plato, ia sebagai mahasiswa biasa. Namun setelah beberapa waktu,

Aristoteles sering diundang Plato untuk menjadi koleganya. 16

Aristoteles sangat memuja gurunya dan menyerap semua doktrin platonic

yang diajarkan di Akademia, sehingga filsafatnya pun memiliki dasar dari prinsip-

prinsip ajaran itu. Akan tetapi Aristoteles terlalu cemerlang untuk menjadi siswa

dan pengikut siapapun, termasuk menjadi pengikut Plato. Ketika Aristoteles

menyadari adanya kontradiksi yang nampak pada karya gurunya itu, dia tersadar

dan tidak bisa tinggal diam dan harus segera di ungkapkan. Kebiasaan Aristoteles

itu membuat gurunya terganggu. Meskipun dari dalam academia mereka tidak

menunjukkan adanya permusuhan, namun bukti menunjukkan kedua otak terhebat

pada zaman itu penting adanya menjaga jarak.17

Aristoteles memiliki minat yang luar biasa terhadap kepraktisan dan

keilmiahan. Hal inilah yang membuatnya memandang gagasan-gasan Plato dari

sudut pandang yang semakin realistis. Plato percaya bahwa dunia tertentu yang

kita serap hanyalah penampakan-penampakan saja. Realitas sebenarnya terletak

pada dunia idea-idea yang berupa bentukbentuk dengan kita berperan serta dalam

dunia idea-idea tersebut. Apabila pendekatan Plato bersifat religius, maka

16 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani. Edisi revisi th 1975 (Yogyakarta: KANISIUS. 1999) h. 154

17 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: UI-Press dan Tintamas. 1986) h. 115

6

Page 7: Tugas filsafat hukum uas

pendekatan Aristoteles cenderung ilmiah. Hal inilah yang membuatnya ragu untuk

mengatakan dunia di sekitar kita sebagai suatu yang tidak nyata. Walau begitu,

tetap saja ia meneruskan pembedaan terhadap segala sesuatunya sebagai substansi

primer dan sekunder. Baginya, substansi primer adalah objek tertentu yang ada di

dunia. Sedangkan substansi sekunder adalahyang terdapat di dalam dunia idea-

idea atau bentuk-bentuk. 18

Awalnya ia bersikukuh untuk menentukan manakah di antara substansi-

substansi itu yang merupakan realitas yang sebenarnya. Perlahan-lahan

keyakinannya tumbuh bahwa ia hidup di dalam dunia nyata dan membuatnya

berseberangan dengan pandangan Plato. Selama bertahun-tahun Aristoteles benar-

benar menentang filsafat Plato secara mendasar. Namun, teori metafisikanya

mengadaptasi dari metafisika Plato. Plato memandang bentuk-bentuk sebagai

idea-idea yang memiliki keberadaan sendiri, sedangkan Aristoteles menganggap

bentukbentuk lebih sebagai esensi-esensi yang mewujud dalam substansi dunia

dan bentuk-bentuk tersebut tidak memiliki keberadaannya sendiri.

Aristoteles mengajukan sejumlah argument yang menghantam habis teori

idea Plato, tapi ia tak menyadari kritikannya juga menghantam habis teori

universalnya sediri. Akibatnya, teori-teori Plato yang telah dimodifikasi dalam

bentuk doktrin Aristotelian menjadi begitu dominan di dalam perkembangan

filsafat abad pertengahan.19

B. Masa pra Akademia

Pada tahun 347 SM, Plato meninggal dunia. Jabatan kepala di Akademia

menjadi kosong. Setengah lusin kolega Plato yang paling menonjol pun

memutuskan bahwa hanya ada satu orang yang cocok untuk menduduki jabatan

terhormat tersebut. Namun, masing-masing orang memiliki pilihan yang berbeda,

yang membuat mereka menjagokan diri mereka sendiri-sendiri. 20

Akhirnya keponakan Plato Speusippos yang menggantikan Plato sebagai

kepala di akademia. Speusippos dikenal karena perangainya yang begitu buruk,

sehingga konon ia pernah melemparkan anjingnya sendiri ke sumur karena

18 Paul Strathern, 90 Menit Bersama Aristoteles. (Jakarta: Erlangga. 2001) h. 7-919 Ibid., Hlm 1020 Ibid., Hlm 11 - 12

7

Page 8: Tugas filsafat hukum uas

menyalak ketika ia sedang memberikan kuliahnya. Akhirnya, ketika pengangkatan

Speusippos berlangsung, Aristoteles meninggalkan Athena dengan kemuakannya

yang sangat luar biasa. Hal ini dimungkinkan karena tidak setuju dengan

anggapan Speusippos tentang filsafat, yang mempunyai kecendurang untuk

menyetarakan filsafat dengan matematika. Sebenarnya bukan itu alasan yang

membuat dia pergi dari akademia, tetapi dia ingin berkeliling dunia untuk

mendalami ilmu yang dipelajarinya di akademia dan mengembangkannya.

Aristoteles tidak pergi sendiri, dia ditemani murid Plato yang bernama

Xenokrates yang beranggapan bahwa dia akan ditunjuk menjadi kepala akademia,

karena dia adalah murid Plato yang setia. Ternyata yang ditunjuk sebagai kepala

academia adalah Speusippos, dimana pengetahuan dan kecerdasannya jauh

dibawahnya.

Aristoteles dan Xenokrates pergi ke kota Atarneus atas undangan dari

Hermeias, penguasa kota itu. Mereka disambut dengan gembira. Disini Aristoteles

menikah dengan Pythyas, keponakan dan anak angkat Hermeias. Namun mereka

tidak lama tinggal di kota itu, hanya sekitar 3 tahun saja, karena kota itu direbut

oleh tentara kerajaan Persia. Kemudian pada tahun 345, Hermeas ditangkap

dibawa ke ibu kota Persia, dan dibunuh oleh tentara Persia. 21

Aristoteles di undang oleh raja Phillipos dari Makedonia yang merupakan

anak dari Amyntas II, hal ini bertujuan untuk menanggung pendidikan anaknya

Amyntas II yang bernama Alexander, yang pada saat itu usianya sekitar 13 tahun.

Banyak legenda diceritakan dalam tradisi kuno Kees bartens. Sejarah filsafat

yunani mengenai hubungan antara guru dengan muridnya dua tokoh yang menjadi

tersohor dalam sejaraah dunia tetapi tidak mempunyai datadata yang dapat

dipercayai.

21 Kees bartens. Sejarah filsafat yunani (Yogyakarta: Kanisius. 1999) h. 155

8

Page 9: Tugas filsafat hukum uas

III. PEMBAHASAN

PLATO

Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui

kekuatan-kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional

masuk dalam filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan, Plato

berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa.

Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat.

Masyarakat memiliki elemen- elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:

1. Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi oleh

para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan

domba manusia.

2. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian khusus

terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya,

aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan

pengawasan yang ketat serta kolektivisasi kepentingan-kepentingan

anggotanya.

Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainnya dapat

diturunkan, misalnya berikut ini:

1. Kelas penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti keuntungan dan

latihan militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua bentuk

pendidikan, tetapi kelas penguasa ini tidak diperkenankan berpartisipasi

dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam usaha mencari penghasilan,

2. Harus ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa, dan

propaganda terus- menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan

pikiran-pikiran mereka. Semua inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan

agama harus dicegah atau ditekan.

3. Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient).

9

Page 10: Tugas filsafat hukum uas

Negara harus bertujuan pada autarki ekonomi, jika tidak demikian, para

penguasa akan bergantung pada para pedagang, atau justru para penguasa itu

sendiri menjadi pedagang. Alternatif pertama akan melemahkan kekuasaan

mereka, sedangkan alternatif kedua akan melemahkan persatuan kelas penguasa

dan stabilitas negaranya.22 Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus

dikembalikan pada struktur aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi

penggembala. Tugas ini adalah tugas negara untuk menghentikan perubahan.

Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan antara individu

melainkan hubungan individu dan negara. Bagaimana individu melayani negara.

Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau

fungsi makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia.

Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar

pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada

cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang

tidak dapat diduga.23 Oleh karena inilah Plato mengungkapkan bahwa yang

memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the king ofphilosopher.24

ARISTOTELES

Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5

buku Nicomachean Ethics. Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan

harus dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah

tersebut, (2) apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim apakah keadilan

itu terletak.25

1. Keadilan Dalam Arti Umum

22 Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, (The Open Society and Its Enemy), diterjemahkan oleh: Uzair Fauzan, Cetakan I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hal. 110

23 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theori), Susunan I, diterjemahkan oleh Mohamad Arifin, Cetakan kedua, Jakarta (PT RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 117.

24 Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi, Bandung, Pustaka Mizan, 1997, hal. 1-15.

25 Aristotle, “The Nichomachean Ethics of Aristotle”, trans. F.H. Peters, M.A 5th edition, London: Kegan Paul, Trench, Truebner & Co., 1893 http://oll.libertyfund.org/titles/903 (diakses November 23, 2016)

10

Page 11: Tugas filsafat hukum uas

Keadilan sering diartikan sebagai ssuatu sikap dan karakter. Sikap dan

karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan

adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan

berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan. Pembentukan sikap dan karakter

berasal dari pengamatan terhadap obyek tertentu yang bersisi ganda. Hal ini bisa

berlaku dua dalil, yaitu; 1. jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga

diketahui; 2. kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi

“baik” Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih,

diperlukan pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk menentukan

secara jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yang lain juga

ambigu.

Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang

tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair),

maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan

fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua

tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah

adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan

masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan

mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil. Dengan demikian keadilan

bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan

hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain.

Keadilan yang dimaknai sebagai tindakan pemenuhan kebahagiaan diri sendiri

dan orang lain, adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai.

Keadilan dan tata nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi

yang berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan orang lain adalah keadilan,

namun sebagai suatu sikap khusus tanpa kualifikasi adalah nilai. Ketidakadilan

dalam hubungan sosial terkait erat dengan keserakahan sebagai ciri utama

tindakan yang tidak fair. Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna

yang amat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dedengan hukum

sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu

kesalahan. Namun apabila 6 hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa

disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan

11

Page 12: Tugas filsafat hukum uas

merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidak adilan. Sebagai contoh, seorang

pengusaha yang membayar gaji buruh di bawah UMR, adalah suatu pelanggaran

hukum dan kesalahan. Namun tindakan ini belum tentu mewujudkan

ketidakadilan. Apabila keuntungan dan kemampuan membayar perusahaan

tersebut memang terbatas, maka jumlah pembayaran itu adalah keadilan.

Sebaliknya walaupun seorang pengusaha membayar buruhnya sesuai dengan

UMR, yang berarti bukan kejahatan, bisa saja menimbulkan ketidakadilan karena

keuntungan pengusaha tersebut sangat besar dan hanya sebagian kecil yang

diambil untuk upah buruh.

Ketidakadilan ini muncul karena keserakahan. Hal tersebut di atas adalah

keadilan dalam arti umum. Keadilan dalam arti ini terdiri dari dua unsur yaitu fair

dan sesuai dengan hukum, yang masing-masing bukanlah hal yang sama. Tidak

fair adalah melanggar hukum, tetapi tidak semua tindakan melanggar hukum

adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat dengan kepatuhan

terhadap hukum

2. Keadilan Particuler

Keadilan particuler atau lebih mudah disebut dalam arti khusus terkait

dengan beberapa pengertian berikut ini, yaitu:  a. Sesuatu yang terwujud dalam

pembagian penghargaan atau uang atau hal lainnya kepada mereka yang memiliki

bagian haknya. Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam

suatu tindakan bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara

“yang lebih” dan “yang kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah titik tengan

atau suatu persamaan relatif (arithmetical justice)26. Dasar persamaan antara

anggota masyarakat sangat tergantung pada sistem yang hidup dalam masyarakat

tersebut. Dalam sistem demokrasi, landasan persamaan untuk memperoleh titik

tengah adalah kebebasan manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam

sistem oligarki dasar  persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan

saat kelahiran. Sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya adalah

keistimewaan (excellent). Dasar yang berbeda tersebut menjadikan keadilan lebih

pada makna persamaan sebagai proporsi. Ini adalah satu spesies khusus dari

26 Aristotle, “Politics”, trans. C. D. C. Reeve (called “Politics”). Indianapolis: Hackett, 1998

12

Page 13: Tugas filsafat hukum uas

keadilan, yaitu titik tengah (intermediate) dan proporsi. b. Perbaikan suatu bagian

dalam transaksi Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan

(rectification). Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara orang dengan

orang yang dilakukan secara sukarela. 27

Hubungan tersebut adalah sebuah keadilan apabila masing-masing

memperoleh bagian sampai titik tengah (intermediate), atau suatu persamaan

berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity). Jadi keadilan adalah persamaan,

dus ketidakadilan adalah ketidaksamaan. Ketidakadilan terjadi jika satu orang

memperoleh lebih dari yang lainnya dalam hubungan yang dibuat secara sederajat.

Untuk menyamakan hal tersebut hakim atau mediator melakukan tugasnya

menyamakan dengan mengambil sebagian dari yang lebih dan memberikan

kepada yang kurang sehingga mencapai titik tengah. Tindakan hakim ini

dilakukan sebagai sebuah hukuman.

Hal ini berbeda apabila hubungan terjalin bukan atas dasar kesukarelaan

masing-masing pihak. Dalam hubungan yang tidak didasari ketidaksukarelaan

berlaku keadilan korektif yang memutuskan titik tengah sebagai sebuah proporsi

dari yang memperoleh keuntungan dan yang kehilangan. Tindakan koreksi tidak

dilakukan dengan semata-mata mengambil keuntungan yang diperoleh satu pihak

diberikan kepada pihak lain dalam arti pembalasan. Seseorang yang melukai tidak

diselesaikan dengan mengijinkan orang yang dilukai untuk melukai balik Timbal

balik dalam konteks ini dilakukan dengan pertukaran atas nilai tertentu sehingga

mencapai taraf proporsi. Untuk kepentingan pertukaran inilah digunakan uang.

Keadilan dalam hal ini adalah titik tengah antara tindakan tidak adil dan

diperlakukan tidak adil. Keadilan dan ketidakadilan selalui dilakukan atas

kesukarelaan. Kesukarelaan tersebut meliputi sikap dan perbuatan. Pada saat

orang melakukan tindakan secara tidak sukarela, maka tindakan tersebut tidak

dapat dikategorikan sebagai tidak adil ataupun adil, kecuali dalam beberapa cara

khusus.

Melakukan tindakan yang dapat dikategorikan adil harus ada ruang untuk

memilih sebagai tempat pertimbangan. Sehingga dalam hubungan antara manusia

ada beberapa aspek untuk menilai tindakan tersebut yaitu, niat, tindakan, alat, dan

27 F. W. Fitzpatrick, “Justice”. The Monist, Vol. 14, No. 4 (July, 1904), pp. 541-561. http://www.jstor.org/stable/27899507 (diakses November 23, 2016)

13

Page 14: Tugas filsafat hukum uas

hasil akhirnya. Ketika (1) kecideraan berlawanan deengan harapan rasional,

adalah sebuah kesalahansasaran (misadventure), (2) ketika hal itu tidak

bertentangan dengan harapan rasional, tetapi tidak menyebabkan tindak kejahatan,

itu adalah sebuah kesalahan. (3) Ketika tindakan dengan pengetahuan tetapi tanpa

pertimbangan, adalah tindakan ketidakadilan, dan (4) seseorang yang bertindak

atas dasar pilihan, dia adalah orang yang tidak adil dan orang yang jahat.

Melakukan tindakan yang tidak adil adalah tidak sama dengan melakukan sesuatu

dengan cara yang tidak adil. Tidak mungkin diperlakukan secara tidak adil apabila

orang lain tidak melakukan sesuatu secara tidak adil. Mungkin seseorang rela

menderita karena ketidakadilan, tetapi tidak ada seorangpun yang berharap

diperlakukan secara tidak adil. 28

Dengan demikian memiliki makna yang cukup luas, sebagian merupakan

keadilan yang telah ditentukan oleh alam, sebagian merupakan hasil ketetapan

manusia (keadilan hukum). Keadilan alam berlaku universal, sedangkan keadilan

yang ditetapkan manusia tisak sama di setiap tempat. Keadilan yang ditetapkan

oleh manusia inilah yang disebut dengan nilai. Akibat adanya ketidak samaan ini

maka ada perbedaan kelas antara keadilan universal dan keadilan hukum yang

memungkinkan pembenaran keadilan hukum. Kedua macam keadilan dalam arti

khusus ini kemudian banyak disebut sebagai keadilan distributi dan keadilan

konstitutif. Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Bisa jadi semua hukum adalah

universal, tetapi dalam waktu tertentu tidak mungkin untuk membuat suatu

pernyataan universal yang harus benar. Adalah sangat penting untuk berbicara

secara universal, tetapi tidak mungkin melakukan sesuatu selalu benar karena

hukum dalam kasus-kasus tertentu tidak terhindarkan dari kekeliruan. Saat suatu

hukum memuat hal yang universal, namun kemudian suatu kasus muncul dan

tidak tercantum dalam hukum tersebut. Karena itulah persamaan dan keadilan

alam memperbaiki kesalahan tersebut.

Keadilan Politik menurut Aristoteles:

28 Gianfrancesco Zanetti, ”Problematic Aspects of Aristotle's Philosophy of Law”. Archives for Philosophy of Law and Social Philosophy, Vol. 81, No. 1 (1995), pp. 47-64. http://www.jstor.org/stable/23680087 (diakses November 23, 2016)

14

Page 15: Tugas filsafat hukum uas

- Aristoteles membagi menjadi dua bagian yaitu, distributive justice yang

membagi keuntungan dan beban yang adil di antara anggota masyarakat, dan

justice requires mengaharuskan kita dalam beberapa keaadaan mencoba untuk

mengembalikan keseimbangan yang adil di dalam hubungan interpersonal

yang telah hilang. Dan jika anggota dari komunitas telah tidak adil dalam

mendapatkan keuntungan atau terbebani dengan lebih atau kurang dari yang

semestinya, maka keadilan korektif dapat diperlukan misalnya oleh

pengadilan.29

- Seperti semua kebajikan moral, Aristoteles mengartikan keadilan berarti

rasional antara perbedaan yang buruk. Kesetaraan yang proporsional atau

keadilan melibatkan posisi ditengah-tengah antara seseorang yang tidak adil

mendapatkan “kekurangan” dari pada yang pantas dia terima dan

ketidakadilan dalam mendapatkan “lebih” pada pengeluaran orang lain.

Pengertian keadilan terletak di antara sifat buruk (keburukan) dari

mendapatkan terlalu banyak dan terlalu sedikit, dibandingkan dengan apa

yang layak. Hal ini menjadi 2 tipe ketidakadilan yang berlawanan, salah

satunya “kelebihan” yang tidak proporsional, dan yang lain dari

“kekurangan” yang tidak proporsional.30

- Dalam politik, Aristoteles memperhitungkan lebih lanjut keadilan politik dan

hubungannya dengan kesetaraan. Kita dapat mengakui bahwa pendahulu

melibatkan terakhir tapi harus hati-hati menentukan dengan mempertahankan

bahwa keadilan melibatkan kesetaraan “tidak untuk semua orang, hanya

untuk yang setara”. Dia setuju dengan Plato bahwa demokasi politik secara

intrinstik tidak adil karena, pada dasarnya ia mencoba untuk memperlakukan

ketidaksetaraan seolah-olah mereka sederajat. Keadilan lebih membutuhkan

ketidaksetaraan bagi orang-orang yang tidak setara. Tetapi kemudian, oligarki

juga secara intristik tidak adil sejauh melibatkan perlakuan yang sama sebagai

tidak sama karena beberapa perbedaan keastuan dari kelahiran, kekayaan dan

lain-lain31

29 E. W. VIERDAG, “Non-discrimination and Justice”. Archiv für Rechts- und Sozialphilosophie / Archives for Philosophy of Law and Social Philosophy, Vol. 57, No. 2 (1971), pp. 187-204. http://www.jstor.org/stable/23679284 (diakses November 23, 2016)

30 Ibid.,31 Thornton C, Lockwood, Jr., “Ethical Justice and Political Justice”. Phronesis, Vol. 51,

No. 1 (2006), pp. 29-48, http://www.jstor.org/stable/4182793 (diakses November 23, 2016)

15

Page 16: Tugas filsafat hukum uas

- Dengan demikan keadilan politik harus dilihat sebagai suatu fungsi dari

kepentinggan umum dari masyarakat. Keadilan tersebut adalah upaya untuk

menentukan kesetaraan atau ketidaksetaraan antara orang-orang. Dan dia

mengakui bahwa yang merupakan kunci masalah dari filsafat politik. Dia

berfikir kita semua bisa langsung menyetujui bahwa keadilan politik

membutuhkan proporsional daripada kesetaraan numeric/jumlah. Tapi

Inferiors (bawahan) memiliki kepentingan dalam berpikir bahwa mereka yang

sama dalam beberapa hal harus sama dalam semua hal, sementara superiors

(atasan) berat sebelah, dalam arah yang berlawanan, membayangkan bahwa

mereka yang tidak setara(sama) di dalam beberapa hal(cara) haruslah tidak

sama di dalam semua hal. Jadi, misalnya,mereka yang sama-sama warga

Negara tidak selalu sama dalam kebajikan politik, dan orang-orang yang

secara finansial kaya tidak selalu secara moral dan mental sebagai superior

(atasan). Apa yang relevan disini adalah “kesetaraan menurut jasa32

- Sementara Plato menerima perbudakan sebagai lembaga social yang sah

tetapi berpendapat untuk kesempatan yang sama bagi perempuan, di dalam

politiknya, Aristoteles menerima ketidaksetaraan seksual saat aktif membela

perbudakan. Siapa pun yang lebih rendah secara intelektual dan moral adalah

benar-benar secara poolitik lebih rendah dalam (well-ordered polis). Seorang

manusia dapat secara alami mandiri atau tidak, “seorang budak alami”

menjadi cacat dalam rasionalitas dan moralitas, dan dengan demikian secara

alami cocok untuk menjadi milik seorang atasan (superior), seperti mansuia

dapat dengan tepat dianggap sebagai “serpihan property” atau alat orang lain

untuk tindakannya.

- Mengingat ketidaksetaraan alami manusia, itu diduga tidak pantas bahwa

semua harus memerintah atau berbagi dalam pemerintahan/kekuasaan.

Aristoteles menyatakan bahwa beberapa telah ditandai sebagai superior dan

cocok untuk memerintah sejak lahir, sementara yang lain lebih rendah dan

ditandai sejak lahir untuk dikuasai oleh orang lain. Ini seharusnya tidak hanya

berlaku untuk kelompok etnis, tetapi juga untuk jenis kelamin, dan ia dengan

tegas menyatakan bahwa laki-laki sudah “alami menjadi superior” dan wanita

32 Ibid.,

16

Page 17: Tugas filsafat hukum uas

“alami mejadi inferior”. Pendahulu cocok untuk memerintah, dan pendatang

untuk dikuasai. Klaim nya adalah bahwa secara alami lebih baik bagi

perempuan untuk diperintah oleh laki-laki, karena itu lebih baik untuk “budak

alami”, bahwa mereka haruslah diperintah oleh orang-orang yang “secara

alami bebas”

- Aristoteles (seperti Plato) percaya bahwa orang-orang Yunani lahir untuk

bebas dan pemerintahan sendiri yang rasional, tidak seperti non-Yunani

(barbar), yang secara alami rendah(inferior) dan tidak mampu untuk itu. Jadi

fakta bahwa manusia dikalahkan atau ditangkap tidak ada jaminan bahwa

mereka cocok untuk perbudakan, seperti perang yang tidak adil telah

diberlakukan kepada masyarakat yang lebih mulia dengan yang lebih

primitive. Sementara pemerian pada orang yunani dan non-yunani, serta pria

dan wanita, semuanya adalah manusia, Aristoteles membenarkan dugaan

ketimpangan antara mereka berdasarkan apa yang disebutnya “deliberative”

kapasitas jiwa rasional mereka.33

33 Ibid.,

17

Page 18: Tugas filsafat hukum uas

IV. KESIMPULAN

Jika kita merasa bahwa itu tidak adil untuk melakukan diskriminasi

terhadap orang hanya karena jenis kelamin mereka dan/atau asal etnis, sebagai

filsuf, kami mencoba untuk mengidentifikasi akar rasional dari masalah. Jika

intuisi moral kita sudah benar terhadap Aristoteles (dan beberapa bahkan akan

memanggil pandangannya ini seksis dan rasis), ia mungkin keliru tentang soal

fakta atau tentang nilai keadilan ataupun keduanya. Tentunya ia salah tentang

semua perempuan dan non-Yunani, seperti yang pada dasarnya lebih rendah

daripada laki-laki Yunani dalam cara yang relevan, pada sejarah budaya telah

menunjukan bahwa ketika diberikan kesempatan, perempuan dan non- Yunani

telah menunjukkan diri mereka sama secara signifikan. Tetapi tampaknya

Aristoteles mungkin juga telah salah dalam mengklaim fakta

ketimpangan(ketidaksetaraan) pada nilai keadilan yang menyatakan benar bahwa

bawahan harus secara social, hukum, politik dan ekonomi yang dibawah, seperti

Plato dan yang lainnya dari kebudayaan yang sama ( yang dimana dia ada seorang

pembela disini). Aristoteles tampaknya tidak memiliki konsepsi HAM seperti itu.

Seperti Plato, ia berdebat teori tujuan keadilan pribadi dan social lebih baik

sebagai alternative ke relativistic dari Sofis. Meskipun ada sesuatu yang menarik

tentang empiris Aristoteles (yang berlawanan dengan idealis Plato) pendekatan

keadilan, ia menyalahkan dirinya pada posisi yang meragukan untuk perlu

mendapatkan klaim tentang bagaimana hal-hal seharusnya dari fakta klaoim

tentang cara sesuatu yang seharusnya. Hal ini juga meninggalkan Aristoteles

dengan sedikit sarana yang layak dalam membangun perspektif yang universal

yang akan menghormati martabat yang sama dari semua manusia. Jadi teorinya,

seperti Plato, gagal memadai untuk menghormati  semua orang dengan bebas,

seseorang yang rasional. Mereka begitu terfokus pada cara-cara dimana orang

18

Page 19: Tugas filsafat hukum uas

tidak sama, bahwa mereka tidak bisa menghargai persamaan moral mendasar yang

mungkin menyediakan tempat untuk hak asasi manusia alami.

REFRENSI

BUKU

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka

Utama, 1995, hal. 137.

David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, Jogjakarta: Bentang Budaya,

2002, hal. 1

Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi,

Bandung, Pustaka Mizan, 1997, hal. 1-15.

J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Jakarta: Rajawali, 1988, hlm. 41

K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1976, hlm. 95

_________, Sejarah Filsafat Yunani. Edisi revisi th 1975 (Yogyakarta:

KANISIUS. 1999) h. 154

Lavine T.Z., Dari Socrates Ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 2002

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: UI-Press dan Tintamas. 1986)

h. 115

19

Page 20: Tugas filsafat hukum uas

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas, cet. 3, 1986, hlm. 87

Schmandt j. Henry, Filsafat Politik Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno

Sampai Zaman Modern, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet. I, 2002

T.Z. Lavine, Dari Socrates Ke Sartre, Yogyakarta: Jendela, 2002, hlm. 4

Palto, Jalan Menuju Pengetahuan Yang Benar, Yogyakarta: Kanisius, cet. 7,

2002, hlm. 19

Paul Strathern, 90 Menit Bersama Aristoteles. (Jakarta: Erlangga. 2001) h. 7-9

JURNAL

E. W. VIERDAG, “Non-discrimination and Justice”. Archiv für Rechts- und

Sozialphilosophie / Archives for Philosophy of Law and Social Philosophy,

Vol. 57, No. 2 (1971), pp. 187-204. http://www.jstor.org/stable/23679284

(diakses November 23, 2016)

Thornton C, Lockwood, Jr., “Ethical Justice and Political Justice”. Phronesis, Vol.

51, No. 1 (2006), pp. 29-48, http://www.jstor.org/stable/4182793 (diakses

November 23, 2016)

Aristotle, “Politics”, trans. C. D. C. Reeve (called “Politics”). Indianapolis:

Hackett, 1998

F. W. Fitzpatrick, “Justice”. The Monist, Vol. 14, No. 4 (July, 1904), pp. 541-561.

http://www.jstor.org/stable/27899507 (diakses November 23, 2016)

Gianfrancesco Zanetti, ”Problematic Aspects of Aristotle's Philosophy of Law”.

Archives for Philosophy of Law and Social Philosophy, Vol. 81, No. 1

(1995), pp. 47-64. http://www.jstor.org/stable/23680087 (diakses November

23, 2016)

20

Page 21: Tugas filsafat hukum uas

Aristotle, “The Nichomachean Ethics of Aristotle”, trans. F.H. Peters, M.A 5th

edition, London: Kegan Paul, Trench, Truebner & Co., 1893

http://oll.libertyfund.org/titles/903 (diakses November 23, 2016)

Karl R. Popper, “Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, (The Open Society

and Its Enemy)”, diterjemahkan oleh: Uzair Fauzan, hal. 110

W. Friedmann, “Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theori)”, Susunan I,

diterjemahkan oleh Mohamad Arifin , hal. 117.

W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan II, (Legal Theory),

diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, hal. 25.

WEBSITE

http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, (diakses November 23, 2016).

http://orb.rhodes.edu/ Medieval_Terms.html, (diakses November 23, 2016).

Abdurrahman Wahid, Konsep Keadilan,

www.isnet.org/~djoko/Islam/Paramadina/00index, (diakses November 23,

2016).

Nurjaeni, Kosep Keadilan Dalam Al-Qur’an,

www.duriyat.or.id/artikel/keadilan.htm, (diakses November 23, 2002).

21