tugas akhir final

113
PENGARUH TERAPI MODIFIED RADICAL MASTECTOMY TERHADAP RENTANG GERAK SENDI BAHU DAN DERAJAT NYERI PADA PASIEN CA MAMMAE DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER SKRIPSI Oleh Radityo Priambodo NIM 112010101024 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2014

Upload: thallita-rahma-ziharviardy

Post on 15-Jan-2016

54 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

htdyf

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Akhir Final

PENGARUH TERAPI MODIFIED RADICAL MASTECTOMY

TERHADAP RENTANG GERAK SENDI BAHU DAN

DERAJAT NYERI PADA PASIEN CA MAMMAE

DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER

SKRIPSI

Oleh

Radityo Priambodo

NIM 112010101024

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2014

Page 2: Tugas Akhir Final

ii

PENGARUH TERAPI MODIFIED RADICAL MASTECTOMY

TERHADAP RENTANG GERAK SENDI BAHU DAN

DERAJAT NYERI PADA PASIEN CA MAMMAE

DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER

SKRIPSI

diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat

untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran (S1)

dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran

Oleh

Radityo Priambodo

NIM 112010101024

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2014

Page 3: Tugas Akhir Final

iii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk :

1. Allah SWT, yang senantiasa memberi karunia-Nya sehingga saya mendapat

kesempatan untuk hidup dan menuntut ilmu, beserta Nabi Muhammad SAW yang

menjadi panutan saya.

2. Kedua orang tua saya, bapak Ir. H. Adi Prasongko, MM dan ibu Dra. Hj. Herrien

Triwahyuni, M.Si yang telah memberikan do’a, cinta, nasehat, kasih sayang, dan

pengorbanan dalam mendidik dan membesarkan saya.

3. Kakak-kakakku Dimaz Anandito, S.Psi dan Dicky Pramudito, S.Kom serta

adekku tersayang Muhammad Satryo Aji Pamungkas yang telah memberikan

cinta, motivasi, perhatian, dan pengertiannya selama ini.

4. Guru-guruku sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, yang telah

memberikan ilmu dan mencurahkan segala kemampuannya untuk membimbingku

dalam menjalani perjuangan menuntut ilmu.

5. Almamater Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

Page 4: Tugas Akhir Final

iv

MOTTO

“Where there’s a will, there’s a way”

Dimana ada kemauan disitu ada jalan

“Man Jadda Wajada”

Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil

Page 5: Tugas Akhir Final

v

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Radityo Priambodo

NIM : 112010101024

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul : “Pengaruh

Terapi Modified Radical Mastectomy Terhadap Rentang Gerak Sendi Bahu dan

Derajat Nyeri Pada Pasien Ca Mammae di RSD DR. Soebandi Jember” adalah benar-

benar hasil karya sendiri kecuali kutipan yang sudah saya sebutkan sumbernya, belum

pernah diajukan pada institusi mana pun, dan bukan karya jiplakan. Saya bertanggung

jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus

dijunjung tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan dan

paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata

di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 28 Oktober 2014

Yang menyatakan,

Radityo Priambodo

NIM 112010101024

Page 6: Tugas Akhir Final

vi

SKRIPSI

PENGARUH TERAPI MODIFIED RADICAL MASTECTOMY

TERHADAP RENTANG GERAK SENDI BAHU DAN

DERAJAT NYERI PADA PASIEN CA MAMMAE

DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER

Oleh

Radityo Priambodo

NIM 112010101024

Pembimbing

Dosen Pembimbing Utama : dr. Duriyanto Oesman, Sp.B, FInaCS

Dosen Pembimbing Anggota : dr. M. Ihwan Narwanto, M.Sc

Page 7: Tugas Akhir Final

vii

PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Pengaruh Terapi Modified Radical Mastectomy Terhadap Rentang

Gerak Sendi Bahu dan Derajat Nyeri Pada Pasien Ca Mammae di RSD DR. Soebandi

Jember” ini telah diuji dan disahkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Jember

pada:

Hari : Selasa

Tanggal : 28 Oktober 2014

Tempat : Ruang Sidang Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

Tim Penguji

Penguji I, Penguji II,

dr. Adi Nugroho,Sp.B dr. M. Hasan, M.Kes, Sp.OT

NIP 19621230198911 1 001 NIP 19690411199903 1 001

Penguji III, Penguji IV,

dr. Duriyanto Oesman, Sp.B, FInaCS dr. M. Ihwan Narwanto, Msc

NIP 19511125198003 1 007 NIP 19800218200501 1 001

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jember

dr. Enny Suswati, M.Kes

NIP 19700214 199903 2 001

Page 8: Tugas Akhir Final

viii

RINGKASAN

Pengaruh Terapi Modified Radical Mastectomy Terhadap Rentang Gerak Sendi

Bahu dan Derajat Nyeri Pada Pasien Ca Mammae di RSD DR. Soebandi

Jember; Radityo Priambodo, 112010101024; 2014; 85 halaman; Fakultas

Kedokteran Universitas Jember.

Kanker Payudara adalah kanker yang paling umum terjadi pada wanita di

seluruh dunia. Di Indonesia kanker payudara merupakan kejadian tertinggi kedua

setelah kanker serviks.

Ada beberapa terapi untuk menangani kanker payudara tersebut dan terapi yang

dinilai paling efektif untuk menghilangkan berbagai jenis kanker adalah terapi bedah

jenis Modified Radical Mastectomy (MRM) yang merupakan standar terapi untuk

kanker payudara dimana terapi ini menawarkan keuntungan kosmetik dan fungsional

dibandingkan dengan terapi bedah yang lain

Risiko yang sering dihadapi pasien yang menjalani terapi bedah adalah

terjadinya edema pada lengan atas, mati rasa pada lengan, kesulitan menggerakkan

lengan, dan rasa nyeri yang sering timbul . Dengan adanya nyeri dan pembatasan

gerak pada lengan pasca operasi kegiatan aktivitas sehari-hari akan terganggu

sehingga menyebabkan produktivitas yang menurun. Pasien harus mengetahui

informasi tentang besarnya komplikasi MRM terhadap rentang gerak sendi bahu dan

derajat nyeri.

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian non

experimental dengan desain survey analitik melalui pendekatan cross sectional yang

dilaksanakan di Poli Bedah Umum RSD DR. Soebandi Jember.

Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien kanker payudara yang telah

menjalani terapi MRM di RSD Dr. Soebandi Jember yang ada pada saat penelitian

dilaksanakan dan memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah total sampling.

Page 9: Tugas Akhir Final

ix

Variabel bebas penelitian ini adalah lama waktu setelah terapi MRM dan

variabel terikat penelitian ini adalah rentang gerak sendi bahu dan derajat nyeri pada

pasien ca mammae pasca terapi MRM di RSD Dr. Soebandi Jember.

Data penelitian ini didapatkan melalui data primer yaitu data yang langsung

diperoleh dari responden penelitian dengan menggunakan kuesioner yang diisi

berdasarkan hasil pemeriksaan fisik langsung kepada pasien pasca terapi MRM.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel

2007 dan SPSS. Tahapan uji yang dilaksanakan yaitu Saphiro-Wilk Test untuk

mengetahui normalitas data, uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman), dan uji

regresi linear.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan terapi MRM

menurunkan besar sudut rentang gerak sendi bahu pada gerakan fleksi, abduksi,

adduksi, dan rotasi internal dalam rentang waktu tiga minggu pasca mendapat teapi

MRM dan tidak ada pengaruh signifikan antara lama waktu setelah terapi MRM

dengan peningkatan rentang gerak sendi bahu (hasil bervariasi dari p=0,109 sampai

p=0,574). Sedangkan pada gerakan ekstensi dan rotasi eksternal dalam batas normal.

Nyeri pasca operasi berbanding terbalik dengan rentang gerak sendi dalam

rentang waktu tiga minggu pasca mendapat terapi MRM. Pasien yang diamati hanya

mengalami nyeri dengan intensitas ringan. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara

lama waktu pasca operasi terhadap pengurangan rasa nyeri pasien (hasil bervariasi

dari p=0,086 sampai p=1,000)

Page 10: Tugas Akhir Final

x

PRAKATA

Segala puji bagi Allah atas segala rahmad dan karunia-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Terapi Modified Radical

Mastectomy Terhadap Rentang Gerak Sendi Bahu dan Derajat Nyeri Pada Pasien Ca

Mammae di RSD DR. Soebandi Jember”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat

untuk menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) Fakultas Kedokteran Universitas

Jember.

Karya tulis ini terselesaikan tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu,

penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. dr.Enny Suswati, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Jember;

2. dr.Duriyanto Oesman, Sp.B, FInaCS selaku Dosen Pembimbing Utama dan dr.

M. Ihwan Narwanto, M.Sc selaku Dosen Pembimbing Anggota yang telah

meluangkan waktu, pikiran, tenaga, dan perhatiannya dalam penulisan tugas

akhir ini dan selama perkuliahan;

3. dr. Ali Santoso, Sp.PD, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

membimbing penulis selama studi;

4. dr. Sugiyanta, M.Ked, selaku koordinator KTI yang telah menyetujui penyusunan

skripsi ini;

5. dr. Adi Nugroho, Sp.B, dr. M. Hasan, M.Kes, Sp.OT, dr.Duriyanto Oesman,

Sp.B, FinaCS, dan dr. M. Ihwan Narwanto, M.Sc sebagai dosen penguji yang

banyak memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun dalam

penulisan skripsi ini;

6. Kedua Orang tua saya, Bapak Ir. H. Adi Prasongko, MM dan ibu Dra. Hj.

Herrien Triwahyuni, M.Si yang telah memberi kasih sayang, doa, bimbingan,

dukungan, teladan, dan pengorbanan;

Page 11: Tugas Akhir Final

xi

7. Kakak-kakakku Dimaz Anandito, S.Psi dan Dicky Pramudito, S.Kom serta

adekku Muhammad Satryo Aji Pamungkas yang selama ini telah memberikan

dukungan, kasih sayang, motivasi dan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir

ini;

8. Sahabat-sahabatku, Anas, Renno, Nastiti, Vina, Thallita, Asti, Cynthia, Tya,

Adimas,Aji, Natasha, dan Chikita atas dukungan dan semangatnya selama ini;

9. Winda Galuh Pertiwi yang selalu menemani dan mendukung;

10. Senior saya yang membantu dan membimbing saya dalam melakukan penelitian

ini, Alfonsus Mario Eri, S.Ked

11. Keluargaku tercinta angkatan 2011 yang selalu saling mendukung dan berjuang

bersama-sama demi sebuah gelar Sarjana Kedokteran;

12. Semua pasien post op MRM dan pegawai Poli Bedah serta Rekam Medis Rumah

Sakit Dr. Soebandi Jember terima kasih atas menyediakan waktu dan tempat

untuk penulis dalam melakukan penelitian;

13. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan

skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi

kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca,

pengembang ilmu pengetahuan, dan khususnya untuk perkembangan Fakultas

Kedokteran Universitas Jember.

Jember, 28 Oktober 2014

Penulis

Page 12: Tugas Akhir Final

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL............................................................................. . i

HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... iii

HALAMAN MOTTO ............................................................................... iv

HALAMAN PERNYATAAN ................................................................... v

HALAMAN PEMBIMBINGAN .............................................................. vi

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... vii

RINGKASAN ............................................................................................ viii

PRAKATA ................................................................................................. x

DAFTAR ISI .............................................................................................. xii

DAFTAR TABEL ..................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xviii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xix

BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 3

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 5

2.1 Kanker Payudara ................................................................ 5

2.1.1 Etiologi dan Faktor Risiko ............................................ 5

2.1.2 Epidemiologi ................................................................. 9

2.1.3 Patofisiologi................................................................. . 9

2.1.4 Klasifikasi Stadium...................................................... . 10

2.1.5 Diagnosis...................................................................... 13

Page 13: Tugas Akhir Final

xiii

2.1.6 Penatalaksanaan............................................................ 16

2.1.7 Prognosis...................................................................... . 19

2.2 Modified Radical Mastectomy ............................................... 20

2.2.1 Indikasi MRM ............................................................... 20

2.2.2 Kontraindikasi MRM .................................................... 21

2.2.3 Pertimbangan Teknis .................................................... 21

2.2.4 Perencanaan Prosedur ................................................... 22

2.2.5 Pencegahan Komplikasi ................................................ 22

2.2.6 Teknik MRM ................................................................ 23

2.3 Range Of Motion ( Rentang Gerak Sendi ) ........................ 28

2.3.1 Jenis-jenis ROM ........................................................... 28

2.3.2 Musculus Pergerakan Sendi Bahu ................................ 29

2.4 Nyeri ....................................................................................... 30

2.4.1 Fisiologi Nyeri .............................................................. 30

2.4.2 Mekanisme Nyeri .......................................................... 32

2.4.3 Nosiseptor Nyeri (Reseptor Nyeri)............................... 34

2.4.4 Perjalanan Nyeri (Nociceptive Pathway)..................... . 35

2.4.5 Klasifikasi Nyeri ........................................................... 37

2.4.6 Penilaian Nyeri ............................................................. 40

2.4.7 Penanganan Nyeri....................................................... .. 43

2.5 Kerangka Konseptual ........................................................... 45

2.6Hipotesis .................................................................................. 45

BAB 3. METODE PENELITIAN ............................................................ 46

3.1 Jenis Penelitian ..................................................................... 46

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 46

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian.......................................... 46

3.3.1 Populasi Penelitian ........................................................ 46

3.3.2 Sampel Penelitian ......................................................... 46

Page 14: Tugas Akhir Final

xiv

3.3.3 Kriteria Inklusi .............................................................. 47

3.3.4 Kriteria Eksklusi.......................................................... . 47

3.4 Variabel Penelitian .............................................................. 47

3.4.1 Variabel Bebas .............................................................. 47

3.4.2 Variabel Terikat ............................................................ 47

3.5 Definisi Operasional ............................................................ 48

3.5.1 Rentang Gerak Sendi .................................................... 48

3.5.2 Derajat Nyeri ................................................................. 48

3.6 Instrumen Penelitian ........................................................... 48

3.7 Prosedur Pengambilan Data ............................................... 49

3.7.1 Uji Kelayakan ............................................................... 49

3.7.2 Pengambilan Data Rekam Medis .................................. 49

3.7.3 Informed Concent......................................................... 49

3.8 Prosedur Penelitian .............................................................. 50

3.8.1 Alur Penelitian .............................................................. 50

3.8.2 Pengumpulan Data Populasi dan Pengambilan Data .... 53

3.9 Analisis Data ......................................................................... 53

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 54

4.1 Hasil dan Analisis data ........................................................ 54

4.2 Pembahasan ........................................................................... 78

BAB 5. PENUTUP ..................................................................................... 81

5.1 Kesimpulan ........................................................................... 81

5.2 Saran ..................................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 82

LAMPIRAN ............................................................................................... 86

Page 15: Tugas Akhir Final

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Gerakan articulatio humeri dan otot-otot penggerak...... ...................... 29

2.2 Obat Farmakologis untuk penanganan nyeri......................................... 44

4.1 Distribusi jumlah sampel inklusi dan eksklusi pada pasien ca mammae

Pasca terapi MRM.. .............................................................................. 54

4.2 Distribusi usia sampel penelitian pada pasien ca mammae pasca terapi

MRM .................................................................................................... 55

4.3 Distribusi pekerjaan sampel pada pasien ca mammae pasca terapi

MRM .................................................................................................... 55

4.4 Distribusi Waktu pemeriksaan pada pasien ca mammae pasca terapi

MRM.. .................................................................................................. 56

4.5 Distribusi Infeksi luka operasi pada pasien ca mammae pasca terapi

MRM.. .................................................................................................. 57

4.6 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan fleksi pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 57

4.7 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji

Regresi Linear gerakan fleksi.. ............................................................ 58

4.8 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan ekstensi pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 59

4.9 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji

Regresi Linear gerakan ekstensi.......................................................... 59

4.10 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan abduksi pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 60

4.11 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji

Regresi Linear gerakan abduksi.. ......................................................... 61

4.12 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan adduksi pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 62

Page 16: Tugas Akhir Final

xvi

4.13 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji

Regresi Linear gerakan adduksi.. ......................................................... 62

4.14 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi internal pada

pasien ca mammae pasca terapi MRM.. .............................................. 63

4.15 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan

Uji Regresi Linear gerakan rotasi internal.. ......................................... 64

4.16 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi eksternal pada ca

mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 65

4.17 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan

Uji Regresi Linear gerakan rotasi eksternal.. ....................................... 65

4.18 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan fleksi pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 66

4.19 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji

Regresi Linear VAS gerakan fleksi.. ................................................... 67

4.20 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan Ekstensi pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 68

4.21 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan

Uji Regresi Linear VAS gerakan ekstensi.. ......................................... 68

4.22 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan abduksi pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 69

4.23 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji

Regresi Linear VAS gerakan abduksi.. ................................................ 70

4.24 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan adduksi pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 71

4.25 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji

Regresi Linear VAS gerakan adduksi.. ................................................ 71

4.26 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan rotasi internal pada pasien

ca mammae pasca terapi MRM.. .......................................................... 72

Page 17: Tugas Akhir Final

xvii

4.27 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan

Uji Regresi Linear VAS gerakan rotasi internal.. ................................ 73

4.28 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan rotasi eksternal pada pasien

ca mammae pasca terapi MRM.. .......................................................... 74

4.29 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan

Uji Regresi Linear VAS gerakan rotasi eksternal.. .............................. 74

4.30 Distribusi hasil pemeriksaan gerakan menyisir pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM................................................................ 75

4.31 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji

Regresi Linear gerakan menyisir.. ....................................................... 76

4.32 Distribusi hasil pemeriksaan ADL pada pasien ca mammae pasca

terapi MRM.. ........................................................................................ 77

4.33 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan

Uji Regresi Linear ADL.. ..................................................................... 77

Page 18: Tugas Akhir Final

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Penanda anatomi sebelum dilakukan mastektomi ................................. 24

2.2 Diseksi flap Superior ............................................................................. 25

2.3 Diseksi flap superior hingga fasia otot pektoralis ............................... 25

2.4 Pengangkatan payudara dari otot pectoralis dengan fasia ..................... 25

2.5 Memasuki aksila di perbatasan lateral otot pectoralis mayor ............... 26

2.6 Mempertahankan vena aksilaris dan saraf thorakalis di latisimus dorsi

dan anterior serratus dalam diseksi aksila.............................................. 27

2.7 Penempatan drain dan penutupan kulit setelah mastektomi ................. 27

2.8 Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut

akibatkerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan

atau trauma ........................................................................................... 31

2.9 Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral............................ 33

2.10 Pain pathway ....................................................................................... 37

2.11 Wong baker faces pain rating scale ..................................................... 41

2.12 Verbal rating scale............................................................................... 41

2.13 Numerical rating scale ........................................................................ 42

2.14 Visual analogue scale .......................................................................... 43

2.15 Kerangka konsep penelitian ................................................................ 45

3.1 Alur penelitian ....................................................................................... 29

4.1 Distribusi pendidikan sampel pada pasien ca mammae pasca terapi

MRM .................................................................................................... 55

4.2 Distribusi Diagnosis sampel penelitian pada pasien ca mammae pasca terapi

MRM ..................................................................................................... 56

Page 19: Tugas Akhir Final

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

A. Ethical Clearence .............................................................................. 86

B. Naskah Penjelasan ............................................................................. 87

C. Check List Pasien Post Terapi MRM ................................................ 89

D. Pemeriksaan Klinis Pasien ................................................................. 91

E. Lembaran Instrumen Skala Penilaian VAS ....................................... 92

F. Formulir Persetujuan ......................................................................... 93

G. Dokumentasi Penelitian ..................................................................... 94

Page 20: Tugas Akhir Final

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker Payudara adalah kanker yang paling umum terjadi pada wanita di

seluruh dunia. Data WHO dalam Alzufri (2011) menunjukkan 78% kanker payudara

terjadi pada wanita diatas usia 50 tahun, 6 persen pada wanita usia kurang dari 40

tahun. Data dari IARC (International Agency for Research on Cancer) dalam Efendi

(2012) kanker payudara menempati urutan pertama dari seluruh kanker pada

perempuan dengan kasus baru sebesar 22,7% dan jumlah kematian 14% per tahun.

Kanker payudara merupakan kejadian tertinggi kedua setelah kanker serviks pada

wanita di Indonesia. Kamarudin (2009) memperkirakan terdapat 113 penderita kanker

baru pada 100.000 penduduk per tahunnya, dimana lebih dari 70% penderita datang

ke dokter pada stadium yang sudah lanjut (Setyowati, 2008).

Ada beberapa terapi menurut Desen (2011) untuk menangani kanker payudara

tersebut, yaitu terapi bedah, terapi hormon, radioterapi, dan kemoterapi. Terapi yang

dinilai paling efektif untuk menghilangkan berbagai jenis kanker adalah terapi bedah.

Modified Radical Mastectomy (MRM) atau mastektomi radikal modifikasi adalah

standar terapi untuk kanker payudara dimana terapi ini menawarkan keuntungan

kosmetik dan fungsional dibandingkan dengan terapi bedah yang lain (Loukas et al.,

2011).

Terapi bedah merupakan terapi yang dihindari oleh sebagian masyarakat karena

sebagian dari mereka merasa cemas atau takut menjalani terapi operasi. Kecemasan

dapat mempengaruhi Quality of Life (QoL) atau kualitas hidup pasien, dan QoL

merupakan penilaian yang penting dalam onkologi. Menurut Brunner dan Suddarth

Page 21: Tugas Akhir Final

2

(2002), pasien preoperasi dapat mengalami berbagai ketakutan, takut terhadap

anastesi, nyeri, kematian, deformitas atau ancaman lain terhadap citra tubuh yang

dapat menyebabkan ketidaktenangan atau kecemasan.

Salah satu tindakan yang dapat dilakukan dokter untuk mengatasi atau

mengurangi kecemasan pasien preoperasi adalah dengan menyampaikan prosedur dan

informasi yang lengkap terhadap pasien dan keluarganya (Soetjiningsih, 2007).

Informasi yang dibutuhkan pasien meliputi diagnosis, tindakan yang akan

direncanakan, risiko yang timbul terhadap bentuk tubuh pasien pasca operasi, lama

pasien dapat sembuh, sakit yang dirasakan pasien, komplikasi dari terapi, dan jenis

terapi lanjutan yang perlu dilakukan oleh pasien ( Sjamsuhidayat dan Jong, 2004).

Risiko yang sering dihadapi pasien yang menjalani terapi bedah adalah

terjadinya edema pada lengan atas, sensibilitas pada lengan berkurang, kesulitan

menggerakkan lengan, dan rasa nyeri yang sering timbul (Ay, 2014). Lengan adalah

bagian tubuh yang penting bagi manusia karena sebagian besar kegiatan manusia

dilakukan menggunakan lengan. Dengan adanya nyeri dan pembatasan gerak pada

lengan pasca operasi Activity of Daily Living (ADL) atau kegiatan aktivitas sehari-

hari akan terganggu sehingga menyebabkan produktivitas yang menurun. Kondisi-

kondisi ini menimbulkan potensi untuk melakukan penelitian tentang besarnya

komplikasi MRM terhadap rentang gerak sendi dan derajat nyeri.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana

rentang gerak sendi bahu dan derajat nyeri yang dialami pasien pasca terapi MRM.

Page 22: Tugas Akhir Final

3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan

bagaimana rentang gerak sendi bahu dan derajat nyeri yang dialami pasien dalam

rentang waktu tiga minggu pasca mendapat terapi MRM?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui pengaruh terapi MRM terhadap rentang gerak sendi bahu

pasien ca mammae dalam rentang waktu tiga minggu pasca mendapat terapi

MRM.

2. Untuk mengetahui pengaruh terapi MRM terhadap derajat nyeri yang

dialami pasien ca mammae dalam rentang waktu tiga minggu pasca

mendapat terapi MRM.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi dokter dan paramedis

a. Dapat memberi edukasi kepada pasien dengan ilmu dan informasi

yang lebih lengkap

b. Dapat memberikan informasi tentang kelebihan dan kekurangan terapi

MRM

Page 23: Tugas Akhir Final

4

2. Bagi RSD. Dr. Soebandi

a. Dapat memberikan data rentang gerak sendi bahu dan derajat nyeri

yang dialami pasien pasca mendapat terapi MRM di RSD. Dr.

Soebandi.

b. Dapat memberikan data kepada pasien tentang terapi MRM sebagai

dasar dalam memilih terapi untuk ca mammae

3. Bagi Masyarakat

a. Dapat menambah wawasan tentang ca mammae

b. Dapat menambah wawasan tentang terapi MRM

Page 24: Tugas Akhir Final

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Payudara

Tumor adalah jaringan baru yang timbul dalam tubuh akibat pengaruh berbagai

faktor penyebab yang menyebabkan jaringan setempat pada tingkat gen kehilangan

kendali normal atas pertumbuhannya yang dapat bersifat jinak dan ganas (Desen et

al., 2011). Kanker tumbuh dengan pesat, bersifat invasif (menginfiltrasi jaringan

sekitarnya) dan bermetastasis, jika tidak mendapatkan terapi yang efektif dapat

menyebabkan kematian. American Cancer Society (2013) menyatakan bahwa kanker

payudara (cancer mammae) adalah tumor ganas yang bermula dari sel payudara pada

wanita dan pria.

2.1.1 Etiologi dan Faktor Risiko

Menurut American Cancer Society (2013) dan Desen et al. (2011), penyebab

dan faktor risiko yang dapat menimbulkan kanker payudara yakni:

a. Jenis kelamin

Wanita 100 kali lebih sering terkena daripada pria, dikarenakan pria

memiliki lebih sedikit hormon estrogen dan progesteron yang bisa memacu

pertumbuhan sel kanker.

b. Penuaan

Risiko terkena kanker payudara semakin meningkat seiring bertambahnya

usia, dimana 1 dari 8 kanker payudara invasif ditemukan pada wanita

berusia kurang dari 45 tahun sementara 2 dari 3 kanker payudara invasif

ditemukan pada wanita berusia lebih dari 55 tahun.

Page 25: Tugas Akhir Final

6

c. Genetik

Ditemukan sekitar 5-10% kejadian kanker payudara diakibatkan oleh defek

gen (mutasi) yang diturunkan dari keluarga. Biasanya terjadi pada wanita

berusia muda, dan lebih sering mengenai kedua payudara. Selain itu, wanita

dengan mutasi gen seperti ini lebih rentan terkena kanker pada bagian yang

lain, seperti kanker ovarium.

d. Riwayat keluarga

Risiko kanker payudara lebih tinggi pada wanita yang memiliki saudara

terkait hubungan darah menderita kanker payudara. Jika di antara ibu, kakak,

adik, atau anak perempuan terdapat satu orang yang menderita kanker

payudara, maka risiko terkena kanker payudara menjadi 2 kali lipat. Jika

terdapat dua orang dari antara ibu, kakak, adik, atau anak perempuan yang

menderita kanker payudara, maka risiko terkena kanker payudara adalah 3

kali lipat.

e. Riwayat personal

Wanita dengan kanker pada satu payudaranya akan berisiko 3 sampai 4 kali

lebih tinggi terkena kanker pada payudara kontralateral.

f. Reproduksi

Usia menarche dini (kurang dari 12 tahun), menopause lanjut (lebih dari 55

tahun), dan siklus haid pendek merupakan faktor risiko tinggi kanker

payudara. Wanita yang seumur hidup tidak atau belum menikah, partus

pertama berusia lebih dari 30 tahun, dan setelah partus belum menyusui

merupakan faktor risiko cukup tinggi kanker payudara.

g. Kelainan glandula mammae

Penderita kistadenoma mammae hiperplastik berat berinsiden lebih tinggi

terkena kanker payudara.

Page 26: Tugas Akhir Final

7

h. Penggunaan obat di masa lalu

Risiko kanker payudara meningkat pada penggunaan jangka panjang

reserpin, metildopa, analgesik trisiklik.

i. Ras

Wanita berkulit putih lebih berisiko terkena kanker payudara dibandingkan

wanita Afrika dan Amerika, namun wanita Afrika dan Amerika lebih sering

terjadi kasus kematian akibat kanker ini. Wanita Afrika dan Amerika

berisiko tinggi terkena kanker payudara pada usia kurang dari 45 tahun.

Wanita Asia, Hispanik, dan Native-America memiliki risiko yang lebih

rendah untuk terkena maupun meninggal akibat kanker payudara.

j. Radiasi peng-ion

Risiko menderita kanker payudara lebih tinggi jika wanita pernah terkena

radiasi peng-ion, biasanya pada wanita berusia dewasa, sedangkan tindakan

radiasi pada wanita di atas 40 tahun tidak terlalu meningkatkan risiko kanker

payudara.

k. Diet dan gizi

Diet tinggi lemak dan tinggi kalori berkaitan langsung dengan timbulnya

kanker payudara maupun mencetuskan kelebihan berat badan sebagai faktor

risiko kanker payudara.

l. Penggunaan alat kontrasepsi

1) Kontrasepsi oral

Risiko kanker payudara meningkat pada wanita yang meminum pil

kontrasepsi, dan risiko akan turun jika konsumsi pil kontrasepsi

dihentikan. Wanita yang telah berhenti konsumsi pil kontrasepsi selama

10 tahun tidak ditemukan adanya peningkatan risiko kanker payudara.

2) Depot-medroxyprogesterone acetate (DMPA; Depo-Provera)

Pemberian progesterone injeksi yang diberikan setiap 3 bulan ini akan

meningkatkan risiko terkena kanker payudara pada wanita, namun tidak

Page 27: Tugas Akhir Final

8

terjadi peningkatan risiko pada penggunaan Depo-Provera lebih dari 5

tahun yang lalu.

m. Terapi hormon setelah menopause

Terapi hormon setelah menopause banyak dipakai untuk mengurangi gejala

dari menopause dan membantu mencegah osteoporosis. Terdapat 2 jenis

terapi hormon setelah menopause yaitu:

1) Terapi hormon kombinasi

Penggunaan hormon kombinasi progesterone dan estrogen pada wanita

yang masih mempunyai uterus, dimana progesterone dibutuhkan karena

estrogen sendiri dapat mencetuskan kanker pada uterus. Terapi hormon

kombinasi ini dapat meningkatkan risiko terkena kanker payudara, dan

dapat terlihat setelah 2 tahun pemakaian terapi hormon kombinasi.

Risiko tersebut akan turun setelah 5 tahun penghentian penggunaan

terapi hormon kombinasi.

2) Terapi estrogen

Digunakan pada wanita yang tidak lagi mempunyai uterus sehingga

tidak menimbulkan kanker uterus. Terapi estrogen ini tidak

menimbulkan risiko kanker payudara.

n. Mengkonsumsi minuman beralkohol

Mengkonsumsi minuman beralkohol akan meningkatkan risiko terkena

kanker payudara maupun kanker lainnya. Dengan perbandingan wanita yang

bukan peminum minuman beralkohol, wanita yang mengkonsumsi minuman

beralkohol sebanyak 2 hingga 5 gelas sehari akan meningkatkan risiko 1,5

kali untuk terkena kanker payudara.

o. Berat badan berlebihan

Sebelum menopause ovarium akan memproduksi estrogen dan jaringan

lemak akan memproduksi sedikit estrogen, tetapi setelah menopause dimana

ovarium akan berhenti memproduksi estrogen, sebagian besar estrogen

Page 28: Tugas Akhir Final

9

dihasilkan oleh jaringan lemak. Peningkatan jaringan lemak akan

meningkatkan risiko terkena kanker payudara.

p. Kegiatan fisik

Jarang melakukan kegiatan fisik akan meningkatkan risiko terkena kanker

payudara. Kegiatan fisik yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko

terkena kanker payuda adalah berjalan kaki selama 10 jam per minggu.

q. Merokok

Merokok berat dan dalam jangka waktu lama akan meningkatkan risiko

kanker payudara terutama wanita yang mulai merokok sejak usia muda.

Bahan kimia dari rokok akan mencapai jaringan payudara dan ditemukan

pula di air susu ibu (ASI).

r. Pekerja shift malam

Risiko terkena kanker payudara meningkat pada pekerja shift malam, hal ini

karena berhubungan dengan perubahan melatonin, hormon yang produksinya

dipengaruhi oleh paparan cahaya ke tubuh manusia.

2.1.2 Epidemiologi

Menurut American Cancer Society (2013) dan Desen et al. (2011),

epidemiologi dari kanker payudara yakni:

1. Lebih banyak mengenai wanita daripada pria

2. Lebih banyak mengenai usia setengah baya dan lanjut usia

3. Lebih banyak mengenai wanita Afrika dan Amerika daripada wanita

Asia, Hispanik, dan Native-America

2.1.3 Patofisiologi

Berdasarkan etiologi dan faktor risiko, American Cancer Society (2013)

menyatakan bahwa DNA memegang peranan penting dalam pengaturan fungsi sel-sel

tubuh. Beberapa gen kontrol ketika sel tubuh tumbuh, akan berkembang menjadi sel

baru dan kemudian mati. Gen yang mempercepat perkembangan sel tubuh disebut

Page 29: Tugas Akhir Final

10

oncogenes. Gen yang memperlambat perkembangan sel tubuh atau menyebabkan sel

tubuh mati pada saat yang tepat disebut tumor suppressor genes. Mutasi pada DNA

yang menyebabkan aktifnya oncogenes atau yang menyebabkan tidak aktifnya tumor

suppressor genes akan menyebabkan sel payudara normal menjadi sel kanker.

Gen utama yang terkait dengan timbulnya kanker payudara adalah BRCA-1 dan

BRCA-2. Pada keadaan normal, kedua gen ini bersifat tumor suppresos genes yang

berfungsi untuk mencegah timbulnya kanker dengan menghasilkan protein yang

menjaga sel tetap tumbuh secara normal. Mutasi gen BRCA-1 menyebabkan risiko

kanker payudara sebanyak 55 hingga 65 persen, paling tinggi sekitar 80 persen.

Sedangkan mutasi gen BRCA-2 menyebabkan risiko yang sedikit lebih rendah, yakni

45 persen.

2.1.4 Klasifikasi stadium

Berdasarkan Perhimpunan Anti Kanker Internasional dalam Desen et al.

(2011), klasifikasi stadium kanker payudara dengan sistim TNM yakni:

a. T (tumor)

T : kanker primer

TX : tumor primer tak dapat dinilai (misal telah direseksi)

T0 : tidak ada bukti lesi primer

Tis : karsinoma in situ

T1 : diameter tumor terbesar ≤ 2 cm

Tmic : infiltrasi mikro ≤ 0,1 cm

T1a : diameter terbesar > 0,1 cm tapi ≤ 0,5 cm

T1b : diameter terbesar > 0,5 cm tapi ≤ 1 cm

T1c : diameter terbesar > 1 cm tapi ≤ 2 cm

T2 : diameter tumor terbesar > 2 cm tapi ≤ 5 cm

T3 : diameter tumor terbesar > 5 cm

T4 : berapapun ukuran tumor, menyebar langsung ke kulit

Page 30: Tugas Akhir Final

11

atau dinding thorax (termasuk costae, musculus

intercostales, dan musculus serratus anterior, tidak

termasuk musculus pectoralis)

T4a : menyebar ke dinding thorax

T4b : oedem kulit mammae (termasuk peau d’ orange) atau

ulserasi, atau nodul satelit di mammae ipsilateral

T4c : terdapat 4a dan 4b sekaligus

T4d : karsinoma mammae inflamatorik

b. N (limfe nodul)

N : kelenjar limfe regional

NX : kelenjar limfe regional tak dapat dinilai (misal sudah

diangkat sebelumnya)

N0 : tidak ada metastasis kelenjar limfe regional

N1 : di fossa axillar ipsilateral terdapat metastasis kelenjar

limfe mobil

N2 : kelenjar limfe metastatik fossa axillar ipsilateral saling

konfluen dan terfiksasi dengan jaringan lain, atau bukti

klinis menunjukkan terdapat metastasis kelenjar limfe

mammaria interna namun tanpa metastasis kelenjar

limfe axillar

N2a : kelenjar limfe axillar ipsilateral saling konfluen dan

terfiksasi dengan jaringan lain

N2b : bukti klinis menunjukkan terdapat metastasis kelenjar

limfe mammaria interna namun tanpa metastasis

kelenjar limfe axillar

N3 : metastasis kelenjar limfe infraclavicular ipsilateral,

atau bukti klinis metastasis kelenjar limfe mammaria

interna dan metastasis kelenjar limfe axillar, atau

metastasis kelenjar limfe suprclavicular ipsilateral

Page 31: Tugas Akhir Final

12

N3a : metastasis kelenjar limfe infraclavicular

N3b : bukti klinis menunjukkan terdapat metastasis kelenjar

limfe mammaria interna dan metastasis kelenjar limfe

axillar

N3c : metastasis kelenjar limfe supraclavicular

c. M (metastasis)

M : metastasis jauh

MX : metastasis jauh tak dapat dinilai

M0 : tidak ada metastasis jauh

M1 : ada metastasis jauh

Klasifikasi stadium klinis yakni:

Stadium 0 : Tis N0 M0

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium IIA : T0 N1 M0

T1 N1 M0

T2 N0 M0

Stadium IIB : T2 N1 M0

T3 N0 M0

Stadium IIIA : T0 N2 M0

T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N1-2 M0

Stadium IIIB : T4 N-apapun M0

Stadium IIIC : T-apapun N3 M0

Stadium IV : T-apapun N-apapun M1

Page 32: Tugas Akhir Final

13

2.1.5 Diagnosis

Menurut American Cancer Society (2013) dan Desen et al. (2011), kanker

payudara dapat didiagnosis dengan cara:

a. Anamnesis

Anamnesis harus mencakup status haid, perkawinan, partus, laktasi dan riwayat

kelainan payudara sebelumnya, riwayat keluarga kanker, fungsi kelenjar tiorid,

penyakit ginekologi, dll. Dalam riwayat penyakit sekarang terutama harus

perhatikan waktu timbulnya massa, kecepatan pertumbuhan, dan hubungan

dengan haid.

b. Pemeriksaan fisik:

1) Inspeksi

a) Ukuran dan kesimetrisan kedua payudara

b) Benjolan tumor pada kedua payudara

c) Perubahan patologik kulit kedua payudara

d) Perubahan patologik kedua papilla mammae

2) Palpasi, dilakukan pada payudara kanan dan kiri

a) Pasien dalam posisi berbaring, tangan pasien di sisi yang sama dengan

payudara yang akan diperiksa diletakkan di belakang kepala

b) Pemeriksa menggunakan 4 jari tangan, palpasi lembut payudara

menggunakan ujung dan bantalan jari dengan gerakan searah atau

berlawanan arah jarum jam maupun dengan gerakan vertikal dari atas ke

bawah.

c) Jika terdapat tumor, periksa dan catat secara rinci lokasi, ukuran,

konsistensi, kondisi batas, permukaan, mobilitas, dan nyeri tekan. Untuk

memeriksa apakah tumor melekat ke dasarnya harus meminta lengan

pasien sisi lesi bertolak pinggang agar musculus pectoralis major

berkerut, jika melekat maka mobilitas terkekang.

Page 33: Tugas Akhir Final

14

d) Kemudian dengan lembut pijat areola dan papilla mammae untuk

melihat apakah keluar sekret. Jika terdapat sekret, harus buat sediaan

apus untuk pemeriksaan sitologi.

e) Saat pemeriksaan kelenjar limfe regional, lebih baik pasien pada posisi

duduk.

f) Ketika memeriksa axilla kanan pasien, tangan kiri pemeriksa menopang

siku kanan pasien, dengan ujung jari kiri pemeriksa memalpasi seluruh

fossa axilla secara berurutan. Waktu memeriksa fossa axilla kiri

sebaliknya.

g) Terakhir, periksa kelenjar limfe supraclavicular.

c. Pemeriksaan penunjang

1) Mammografi

a) Screening Mammogram

Untuk melihat kelainan pada payudara wanita yang tidak terdapat tanda

dan gejala pada payudara. Biasanya foto x-ray dilakukan dari 2 sisi

untuk setiap payudara.

b) Diagnostic Mammogram

Untuk mendiagnosis kelainan pada payudara wanita dimana terdapat

gejala kelainan seperti massa atau sekret papilla mammae dan hasil

abnormal dari screening mammogram. Biasanya foto x-ray lebih

diutamakan pada lokasi yang terdapat kelainan.

2) USG

Transduser frekuensi tinggi dan pemeriksaan dopler tidak digunakan untuk

screening melainkan diagnosis, lebih spesifik untuk membedakan tumor

kistik atau padat, mengetahui pasokan darah dan kondisi jaringan sekitar.

3) MRI mammae

Pada wanita dengan risiko tinggi terkena kanker payudara, screening MRI

lebih baik dilakukan setiap menjalani mammogram tahunan. Penggunaan

gelombang radio dan magnet yang kuat daripada x-ray, dapat mendeteksi

Page 34: Tugas Akhir Final

15

kelainan pada payudara karena tumor mengandung densitas mikrovaskular

abnormal.

4) Pemeriksaan laboratorium

a) Status reseptor estrogen dan progesterone

Reseptor adalah protein pada sel yang dapat mengikat hormon yang

bersirkulasi di dalam darah, sel normal payudara dan beberapa sel

kanker payudara memiliki reseptor yang mengikat estrogen dan

progesterone biasanya pada wanita berusia lanjut atau wanita berusia

muda. Kanker payudara yang memiliki reseptor estrogen disebut

sebagai Estrogen Receptor- Positive cancer (ER+), yang memiliki

reseptor progesterone disebut sebagai Progesterone Receptor- Positive

cancer (PR+), jika kedua reseptor muncul disebut sebagai Hormon

Receptor- Positive cancer yang biasanya tumbuh lebih lambat dan

berespon baik dengan pengobatan terapi hormon.

b) Status HER2/neu

Sekitar 1 dari 5 kanker payudara memiliki terlalu banyak protein

pemacu pertumbuhan yang disebut HER2/neu. Tumor dengan

peningkatan level HER2/neu disebut sebagai HER2- Positive cancer,

kanker jenis ini tumbuh dan menyebar lebih cepat daripada kanker

payudara tipe lainnya.

5) Pemeriksaan sitologi aspirasi jarum halus

Metode ini sederhana, aman, akurasi mencapai 90 persen lebih. Ketika jarum

sudah tepat pada posisi massa payudara, cairan akan keluar, jika cairan

tersebut jernih maka massa payudara kemungkinan kista benign, jika cairan

keruh atau berdarah maka kemungkinan kista benign atau bahkan kanker.

6) Biopsi dilakukan setelah mammogram, tes pencitraan, atau pemeriksaan

fisik lainnya selesai dan didapatkan kemungkinan diagnosis kanker

payudara. Cara biopsi dapat berupa biopsi eksisi atau insisi. Biopsi eksisi

yakni mengeluarkan seluruh massa abnormal yang ada di payudara,

Page 35: Tugas Akhir Final

16

sedangkan biopsi insisi yakni mengeluarkan sebagian kecil massa abnormal

karena massa tersebut terlalu besar untuk dikeluarkan. Tindakan biopsi dapat

meninggalkan luka dan jahitan sesuai besarnya jaringan yang dikeluarkan.

2.1.6 Penatalaksanaan

Menurut Desen et al. (2011), beberapa cara yang dapat dilakukan dalam

penatalaksanaan kanker payudara yakni:

a. Terapi bedah

Pasien yang pada awal terapi termasuk stadium 0, I, II, dan sebagian stadium III

disebut kanker payudara operable. Pola operasi yang sering dipakai adalah:

1) Mastektomi radikal

Lingkup reseksi mencakup kulit berjarak minimal 3 cm dari tumor, seluruh

glandula mammae, musculus pectoralis major dan minor, jaringan limfatik,

lemak subscapular, dan axillar secara kontinu direseksi. Dalam 20 tahun

terakhir penggunaan mastektomi radikal makin berkurang karena semakin

majunya terapi kombinasi.

2) Mastektomi radikal modifikasi

Lingkup reseksi sama dengan mastektomi radikal tapi mempertahankan

musculus pectoralis major dan minor (model Auchincloss) atau

mempertahankan musculus pectoralis major, mereseksi musculus pectoralis

minor (model Patey). Kelebihan cara ini adalah memacu pemulihan fungsi

pasca operasi, tapi sulit membersihkan kelenjar limfe axillar superior.

Mastektomi ini disebut mastektomi radikal standar dan banyak digunakan

secara klinis.

3) Mastektomi total

Hanya membuang seluruh glandula mammae tanpa membersihkan kelenjar

limfe, terutama untuk carcinoma in situ atau pasien lanjut usia.

Page 36: Tugas Akhir Final

17

4) Mastektomi segmental plus diseksi kelenjar limfe axillar

Disebut dengan operasi konservasi mammae, biasanya dibuat dua insisi

terpisah di mammae dan axillar. Cara ini bertujuan untuk mereseksi sebagian

jaringan glandula mammae normal di tepi tumor, di bawah mikroskop tak

ada invasi tumor di tempat irisan. Lingkup diseksi kelenjar limfe axillar juga

mencakup jaringan axilla dan kelenjar limfe axillar kelompok tengah.

5) Mastektomi segmental plus biopsi kelenjar limfe sentinel

Kelenjar limfe sentinel adalah terminal pertama metastasis limfogen dari

kanker payudara, dilakukan insisi kecil di axilla dan mengangkat kelenjar

limfe sentinel lalu dibiopsi, bila patologik negatif maka operasi dihentikan,

jika positif maka dilakukan diseksi kelenjar limfe axillar.

b. Radioterapi

1) Radioterapi murni kuratif

Terutama digunakan untuk pasien dengan kontraindikasi atau menolak

operasi. Survival 5 tahun sekitar 10 hingga 37 persen.

2) Radioterapi adjuvan

a) Pra operasi

Untuk pasien stadium lanjut. Dapat membuat sebagian kanker payudara

yang non-operable menjadi operable.

b) Pasca operasi

Radioterapi seluruh payudara maupun kelenjar limfe regional setelah

operasi konservasi payudara. Area target iradiasi harus mencakup

dinding thorax dan regio supraclavicular dengan indikasi diameter

tumor primer ≥ 5 cm, fascia pectoral ternivasi, jumlah kelenjar limfe

axillar metastatik lebih dari 4 buah, tepi irisan positif.

3) Radioterapi paliatif

Untuk terapi paliatif kasus stadium lanjut dengan rekurensi dan metastasis.

Kelebihannya yakni dapat meredakan nyeri lebih baik dari terapi lainnya.

Page 37: Tugas Akhir Final

18

c. Terapi hormon

1) Anti estrogen

a) Tamoxifen

Berikatan dengan reseptor estrogen secara kompetitif dan menyekat

transmisi informasi ke dalam sel tumor sehingga berefek terapi. Selain

berefek anti estrogen kepada sel tumor, Tamoxifen berefek mirip

estrogen kepada jaringan lain sehingga berefek samping trombosis vena

dalam, carcinoma endometrium, dan meningkatkan risiko gangguan

jantung.

2) Inhibitor aromatase

Menghambat atau mengurangi enzim aromatase di jaringan lemak sehingga

mengurangi perubahan androgen menjadi estrogen. Hanya digunakan untuk

pasien pasca menopause dengan reseptor hormon positif. Contoh inhibitor

aromatase yakni golongan nonsteroid anastrozol, letrozol, dan golongan

steroid eksemestan. Efek samping dari terapi ini adalah dapat menyebabkan

osteolisis dan osteoporosis.

3) Obat sejenis LH-RH (luteinizing hormone-releasing hormone)

a) Goserelin

Menghambat sekresi gonadotropin dan menghambat fungsi ovarium

secara keseluruhan sehingga kadar estradiol serum turun. Obat jenis ini

dapat mencapai efek ooforektomi medikamentosa secara selektif

sehingga menghambat pertumbuhan tumor.

Page 38: Tugas Akhir Final

19

4) Obat sejenis progesterone

a) Medroksiprogesterone (MPA) dan Megesterol Asetat (MA)

Digunakan pada pasien pasca menopause atau pasca ooforektomi,

melalui umpan balik hormon progestin menyebabkan inhibisi aksis

hipotalamus-hipofisis-adrenal, androgen menurun sehingga mengurangi

perubahan menjadi estrogen, dengan hasil akhirnya penurunan kadar

estrogen. Obat jenis ini juga berefek menambah nafsu makan sehingga

dapat memperbaiki kondisi umum pasien.

d. Kemoterapi

1) Kemoterapi neoadjuvan pra operatif

Dapat membuat sebagian kanker payudara non-operable menjadi operable.

2) Kemoterapi adjuvan pasca operasi

Diindikasikan terutama pada pasien karsinoma invasif dengan diameter

terbesar tumor ≥ 1 cm, kecuali pada pasien lanjut usia dengan ER dan PR

positif.

3) Kemoterapi terhadap kanker payudara stadium lanjut atau rekuren dan

metastatik

Memakai kemoterapi kombinasi berbasis obat golongan antrasiklin dan atau

taksan.

2.1.7 Prognosis

Tergantung penemuan gejala dini, diagnosis dini, terapi dini dan tepat. Semakin

lanjut stadiumnya, semakin terlambat penanganannya, semakin jelek prognosisnya.

Page 39: Tugas Akhir Final

20

2.2 Modified Radical Mastectomy

Modified Radical Mastectomy (MRM) adalah metode utama pengobatan

kanker payudara (Loukas et al.,2003). Walaupun pengobatan kanker payudara telah

berkembang, mastektomi masih tetap menjadi pilihan yang layak untuk wanita

dengan kanker payudara(Giuliano et al., 2011). Ada dua model dalam MRM yaitu :

a. Model Patey

Dilakukan mastektomi total dengan mereseksi kulit dengan margin

minimal 3 cm dari tumor, mengangkat seluruh jaringan payudara, kompleks

areola/puting, fasia pektoralis, sebagian besar kelenjar getah bening aksila secara

en bloc, mempertahankan otot pektoralis mayor dan mereseksi otot pektoralis

minor untuk dapat mereseksi kelenjar getah bening level III

b. Model madden dan Auchincloss

Dilakukan mastektomi total dengan mereseksi kulit dengan margin

minimal 3 cm dari tumor, mengangkat seluruh jaringan payudara, kompleks

areola/puting, fasia pektoralis, sebagian besar kelenjar getah bening aksila secara

en bloc, mempertahankan otot pektoralis mayor dan otot pektoralis minor

sehingga hanya dapat mereseksi kelenjar getah bening level I-II. Model ini

memiliki kesempatan untuk mempertahankan nervus pektoral medial lebih besar

dan mengurangi pembengkakan lengan.

2.2.1 Indikasi MRM

Menurut pedoman Nasional Comprehensive Cancer Network indikasi untuk

mastektomi adalah sebagai berikut :

a. Sebelum melakukan terapi radiasi terhadap payudara atau dinding dada

b. Pasien hamil yang dikontraindikasi menggunakan terapi radiasi (kecuali

pasien pada trimester ketiga yang dapat menerima terapi radiasi setelah

melahirkan)

c. Inflamasi yang terjadi pada kanker payudara

d. Dicurigai muncul keganasan atau mikro kalsifikasi difus

Page 40: Tugas Akhir Final

21

e. Penyakit luas yang multisenter, yang terletak di lebih dari satu kuadran, dan

tidak dapat disingkirkan melalui sayatan tunggal dengan margin negatif

f. Margin patologis yang positif setelah dilakukan re-eksisi yang berulang dan

hasil kosmetik yang belum optimal

Indikasi relatif untuk mastektomi meliputi berikut ini:

1) Penyakit jaringan ikat aktif yang melibatkan kulit (misalnya, skleroderma,

lupus)

2) Tumor yang berdiameter lebih besar dari 5 cm

3) Fokal margin positif

Pasien berusia kurang dari 35 tahun atau premenopause yang mengalami

mutasi pada BRCA 1/2 diketahui memiliki peningkatan risiko kekambuhan lokal.

Mastektomi bilateral profilaksis dapat dipertimbangkan untuk mengurangi risiko

tersebut.

2.2.2 Kontraindikasi MRM

Ada beberapa kontraindikasi untuk MRM. Untuk pasien yang memiliki

penyakit yang bermetastasis, metode utama yang digunakan tetap terapi sistemik.

MRM bukanlah terapi standart untuk pasien dengan penyakit yang telah

bermetastasis. Kontraindikasi lain adalah pasien yang tidak dapat menerima anestesi

umum (Boughey, 2009).

2.2.3 Pertimbangan Teknis

Ada perdebatan nasional baru-baru ini atas indikasi diseksi kelenjar getah

bening aksila. Indikasi saat ini untuk tingkat I atau II diseksi aksila pada pasien yang

menjalani mastektomi adalah sebagai berikut :

a) Diagnosis preoperatif positif metastasis kelenjar getah bening aksila pada

FNAB

b) Biopsi intraoperatif kelenjar getah bening sentinel positif

Page 41: Tugas Akhir Final

22

c) Kegagalan dalam memetakan biopsi kelenjar getah bening sentinel

d) Kelenjar getah bening yang secara klinis dicurigai pada saat operasi

e) Kemoterapi neoadjuvant (di luar uji klinis)

f) Kekambuhan lokal aksila

Diseksi kelenjar getah bening pasien harus dievaluasi pada setiap kasus.

Diseksi aksila mungkin tidak bermanfaat bagi pasien usia lanjut, pasien dengan

beberapa penyakit penyerta, pasien untuk siapa diseksi aksila penuh tidak akan

mempengaruhi rekomendasi mengenai pengobatan sistemik.

2.2.4 Perencanaan Prosedur

Pasien yang menjalani mastektomi memiliki pilihan untuk rekonstruksi segera

atau ditunda menggunakan jaringan autologus atau implan. Sebelum mastektomi,

pasien harus dirujuk ke dokter bedah plastik. Keputusan untuk rekonstruksi segera

atau ditunda dibuat berdasarkan kebutuhan radiasi pascamastektomi dan preferensi

dari ahli bedah.

2.2.5 Pencegahan Komplikasi

Komplikasi yang terkait dengan MRM meliputi hal-hal yang terkait dengan

penyembuhan luka, seperti hematoma, infeksi, dehiscence, seroma kronis, dan

nekrosis kulit. Risiko nekrosis kulit sering melibatkan flap superior dan tepi luka. Hal

ini sering diobati dengan hanya debridement lokal dan perawatan luka.

Pasien yang memiliki risiko komplikasi lebih tinggi pasca operasi adalah

pasien dengan diabetes, perokok, pasien dengan riwayat radiasi dinding dada

sebelumnya, dan pasien lain dengan penyakit pembuluh darah kecil difus. Setelah

diseksi aksila, bersama dengan penyembuhan luka normal, perubahan dari sistem

limfatik regional menempatkan pasien pada peningkatan risiko komplikasi.

Untuk pasien yang menjalani biopsi kelenjar getah bening sentinel sebelum

diseksi aksila, ada risiko anafilaksis yang terkait dengan agen kontras isosulfan biru.

Page 42: Tugas Akhir Final

23

Dokter anestesi dan pasien harus mewaspadai komplikasi langka ini, yang sering

sembuh intraoperatif (Albo, 2001)

Pasien yang telah menjalani diseksi aksila memiliki peningkatan risiko

terjadinya lymphedema. Hal ini juga berdampak pada peningkatan risiko mati rasa di

bawah ketiak atau hipersensitifitas dan rasa sakit kronis di daerah itu. Pasien

dianjurkan untuk menggerakkan lengan sedini mungkin dengan latihan peregangan

untuk mencegah penurunan fungsi bahu dan jaringan parut otot, yang dapat

menyebabkan sindrom nyeri kronis.

2.2.6 Teknik MRM

Batas-batas anatomi payudara dalam MRM meliputi :

a. Superior : Klavikula dan otot subclavia

b. Medial : Linea parasternal

c. Inferior : Ekstensi caudal dari payudara 2-3 cm dibawah lipatan

inframammary atau di SIC 6

d. Lateral : Batas anterior dari latissmus dorsi sepanjang fasia pektoralis

mayor

Dalam mastektomi sederhana tanpa rekonstruksi langsung, garis payudara,

titik akhir medial dan lateral payudara ditandai. Payudara kemudian ditarik ke bawah

dan garis horizontal yang menghubungkan kedua ujung ditarik untuk menandai

sayatan bagian atas. Payudara kemudian ditarik keatas dan baris kedua yang

menghubungkan titik akhir diambil untuk mengidentifikasi sayatan yang bagian

bawah. Garis-garis ini membentuk elips sekitar puting dan dapat disesuaikan untuk

menyertakan sayatan sebelumnya. Tanda-tanda ini dibuat untuk mengkonfirmasi

bahwa ada kulit yang memadai untuk penutupan dengan ketegangan minimal. Kulit

tersebut kemudian di insisi (Lihat gambar 2.1).

Page 43: Tugas Akhir Final

24

Gambar 2.1 Penanda anatomi sebelum dilakukan mastektomi (Sumber : Kuwajerwala, 2014)

Langkah selanjutnya adalah membuat flap kulit yang layak yang

meninggalkan jaringan subkutan dan pembuluh darah superfisial tetapi tidak

mengkompromi kebutuhan untuk menghapus seluruh kelenjar mammae. Ketebalan

flaps ini sekitar 5 mm . Ketebalan diidentifikasi oleh retraksi dengan hati-hati

menggunakan pengait kulit dan countertraction yang memadai, memungkinkan ahli

bedah untuk mengidentifikasi bidang avascular (fascia payudara superfisial) antara

payudara dan jaringan subkutan. Alat yang digunakan bisa menggunakan pisau,

gunting, harmonik, atau elektrokauter bergantung pada preferensi dokter bedah.

Larutan tumescent dari pengenceran epinefrin hidroklorida dalam larutan

ringer laktat umumnya digunakan dalam hubungan dengan sedot lemak. Larutan

tersebut dimasukkan ke dalam bidang avascular untuk memfasilitasi diseksi dan

meminimalkan kehilangan darah selama operasi.

Flaps yang diangkat ke perbatasan payudara seperti yang dijelaskan

sebelumnya. Pektoralis fasia dibagi baik secara superior dan medial. Pektoralis fasia

diangkat bersama payudara; Otot hanya boleh dihapus ketika ada keterlibatan berat.

Diseksi berlanjut ke tepi lateral pectoralis. (Lihat gambar 2.2 dan 2.3)

Page 44: Tugas Akhir Final

25

Gambar2.2 Diseksi flap Superior (Sumber : Kuwajerwala, 2014)

Gambar 2.3 Diseksi flap superior hingga fasia otot pektoralis

(Sumber : Kuwajerwala, 2014)

Bergantung pada preferensi ahli bedah, payudara sekarang benar-benar

diangkat atau diseksi aksila dapat terus dilakukan dan memungkinkan payudara untuk

memberikan traksi dan membantu pembukaan. (Lihat gambar 2.4)

Gambar 2.4 Pengangkatan payudara dari otot pectoralis dengan fasia

(Sumber : Kuwajerwala, 2014)

Page 45: Tugas Akhir Final

26

Diseksi kelenjar getah bening aksila mengikuti batas ketiak dan termasuk

tingkat I dan II kelenjar getah bening. Aksila berbatasan dengan vena aksilaris

superior, latissimus dorsi di bagian lateral, pectoralis otot di bagian medial, dan otot

serratus di bagian anterior.

Ketika melakukan diseksi aksila dengan mastektomi sederhana, sayatan yang

terpisah tidak diperlukan. Namun, jika mastektomi kulit-sparing dilakukan, sayatan

terpisah mungkin diperlukan. Ketiak dimasuki dengan membuka fascia

klavipektoralis (Lihat Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Memasuki aksila di perbatasan lateral otot pectoralis mayor

(Sumber : Kuwajerwala, 2014)

Aksilaris vena diidentifikasi dengan menempatkan perbatasan lateral

pektoralis mayor. Vena diidentifikasi berjalan ke posterior otot pektoralis dengan

diseksi tumpul dan retraksi inferior dari isi aksila. Setelah diidentifikasi, jaringan

limfatik dapat diikat, dijepit, atau di cauter, tergantung pada preferensi ahli bedah.

Setelah vena diidentifikasi, langkah-langkah cermat dan hati-hati diambil

untuk mempertahankan cabang-cabangnya. Bundel thoracodorsal diidentifikasi

berjalan di bantalan lemak aksila dan kemudian memasuki latissimus dorsi. Saraf

torakalis harus dipertahankan, berjalan medial ke bundel thoracodorsal dan

diidentifikasi dekat dengan dinding dada posterior (Lihat gambar 2.6)

Page 46: Tugas Akhir Final

27

Gambar 2.6 Mempertahankan vena aksilaris dan saraf thorakalis di latisimus dorsi dan

anterior serratus dalam diseksi aksila (Sumber : Kuwajerwala, 2014).

Setelah saraf dan pembuluh darah diidentifikasi, isi aksila yang dibedah dari

thoracodorsal bundel superior dan medial sampai ke tingkat vena aksilaris. Isi

kemudian ditarik inferior, keterikatan medial ke otot serratus dibagi, dan spesimen

yang diletakkan.

Setelah diseksi aksila selesai, dua saluran (drain) ditempatkan, satu di ketiak

dan satu di anterior ke otot pectoralis. Saluran air harus diperpendek untuk

memungkinkan penempatan drain dalam saku untuk kenyamanan pasien dan untuk

menghindari pembekuan di pipa. Kulit tersebut kemudian ditutup dengan cara

interupted atau berjalan sesuai dengan preferensi dokter bedah (Lihat gambar 2.7)

Gambar 2.7 Penempatan drain dan penutupan kulit setelah mastektomi

(Sumber : Kuwajerwala, 2014)

Page 47: Tugas Akhir Final

28

2.3 Range Of Motion ( Rentang Gerak Sendi )

ROM (Range of Motion) adalah jumlah maksimum gerakan yang mungkin

dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, transversal,

dan frontal. Gerakan adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat dilakukan

oleh sendi yang bersangkutan (Suratun dkk, 2008). Pengertian ROM lainnya adalah

latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot,

dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik

secara aktif ataupun pasif. Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang

dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan

kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk

meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005). Latihan range of

motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan batas atau batasan gerakan

sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan ataupun

untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal (Arif, M, 2008).

Tujuan ROM adalah mempertahankan atau memelihara kekuatan otot,

memelihara mobilitas persendian, merangsang sirkulasi darah, dan mencegah

kelainan bentuk (Suratun dkk, 2008).

2.3.1 Jenis – Jenis ROM

1) ROM Aktif

Gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien) dengan menggunakan energi

sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan

pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien

aktif). Kekuatan otot yang dihasilkan sebesar 75 %. Hal ini untuk melatih kelenturan

dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif .

2) ROM Pasif

Merupakan energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain

(perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai

dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot yang dihasilkan 50%.

Page 48: Tugas Akhir Final

29

Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan

keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang

gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis

ekstermitas total (Suratun et al, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk

menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain

secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.

2.3.2 Musculus Pergerakan Sendi Bahu

Tabel 2.1 Gerakan articulatio humeri dan otot-otot penggerak

Gerakan Musculus penggerak

Abduksi

Serabut tengah musculus deltoideus

Musculus suprasinatus

Adduksi Musculus pectoralis mayor

Musculus latissimus dorsi

Musculus teres major

Musculus teres minor

Fleksi Serabut anterior musculus deltoideus

Musculus pectoralis mayor

Musculus biceps brachii

Musculus coracobrachialis

Ekstensi Serabut posterior musculus deltoideus

Musculus latissimus dorsi

Musculus teres major

Rotasi Internal Musculus subscapularis

Musculus latissimus dorsi

Musculus teres major

Serabut anterior musculus deltoideus

Page 49: Tugas Akhir Final

30

Rotasi eksternal Musculus infraspinatus

Musculus teres minor

Serabut posterior musculus deltoideus

(Sumber : Snell, 2006)

2.4 Nyeri

Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain

(IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan

dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan

jaringan (Morgan et al., 2006; Rawal et al., 2008).

2.4.1 Fisiologi nyeri

Nyeri tidak selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang

dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar

belakang kultural, umur, dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor

kompleks nyeri dan hanya bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes

laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat

terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua,

anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi (Stoelting et al.,2006; Bonica et

al.,1990 ; Abraham et al.,2001).

Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau

pasca pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak

dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan

mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal

ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi

pasien itu sendiri, seperti (Umar, 2002; Stephen, 2000):

1. Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan

putus asa

2. Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka

Page 50: Tugas Akhir Final

31

3. Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang

difasilitasi sehingga meningkatkan kepekaan nyeri

4. Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi,

takikardi

5. Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi,

katabolisme

Gambar 2.8. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut

akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan

atau trauma (Sumber : Carr, 1999)

Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, yaitu:

1. Akibat pembedahan tersebut yang menyebabkan rangsangan nosiseptif

2. Setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar

operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin,

serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh jaringan yang rusak

dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan

pada proses transduksi dari nyeri. (Hurley et al., 2005; Woolf et al., 2004)

Page 51: Tugas Akhir Final

32

2.4.2 Mekanisme Nyeri

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan

jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius

yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari

perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri.

Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser

fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan

yang rusak.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat

perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non

noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan

menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan

menghilangkan respon inflamasi (Woolf et al., 2004; Meyer et al., 2006).

a. Sensitisasi Perifer

Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan

lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepascan

komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+

, pH menurun, sel

inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa

komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators)

dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif

terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers) ( Meyer et al., 2006).

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi

ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara

berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang

menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya

pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi

perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam

Page 52: Tugas Akhir Final

33

meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi. (Meyer et al.,

2006).

Gambar 2.9. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. (Sumber : Larkin, 1999)

b. Sensitisasi Sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor

di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer

bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera.

Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor

ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke

medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler

neuron (transcription dependent) (Meyer et al., 2006).

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf,

dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan

jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan

terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan

menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif.

Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non

Page 53: Tugas Akhir Final

34

noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih

sensitif terhadap rangsangan nyeri (Meyer et al., 2006).

2.4.3 Nosiseptor (Reseptor Nyeri)

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot,

persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab

terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas,

dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif

sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui

ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak

(skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri (Stoelting et al.,2006; Woolf et

al., 2004).

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal

interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang

lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik

lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri

beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu

untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan

terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi

akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi

pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi

pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit (Stoelting et al.,2006;

Woolf et al., 2004).

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.

Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas

atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia,

panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like.

Serat-serat sensorik mekanoreseptor dapat diikutkan untuk transmisi sinyal yang

akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-

Page 54: Tugas Akhir Final

35

produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan

ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.

Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya

sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang

potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong,

membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur

viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme

viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan

dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan

fungsi(Stoelting et al.,2006; Woolf et al., 2004).

2.4.4 Perjalanan Nyeri (Nociceptive Pathway)

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis

kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat

proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi,

dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di

susunan saraf pusat (cortex cerebri). Empat proses dalam perjalanan nyeri, yakni

(Morgan, 2006):

1. Proses Transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf.

Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah

menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer

(nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel,

corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik

trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin,

dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-

reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin,

Page 55: Tugas Akhir Final

36

serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini

dikenal sebagai sensitisasi perifer.

2. Proses Transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses

transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla

spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke

thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus

spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan

dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan

nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut

saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter

besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan

somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

3. Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla

spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen

yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu

posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh

otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat

menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu

posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls

nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi

nyeri sangat subjektif pada setiap orang.

4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi,

transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses

subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada

thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.

Page 56: Tugas Akhir Final

37

Gambar 2.10 Pain Pathway

Sumber : Australian and New Zealand College of Anaesthetists and Faculty of Pain

Medicine, 2010

2.4.5 Klasifikasi Nyeri

Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika

cedera fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah,

kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu

dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan

mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat

dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri yakni berdasarkan durasi (akut, kronik),

patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan,

kanker) (Morgan, 2006; Stoelting et al.,2006).

Page 57: Tugas Akhir Final

38

a. Nyeri Akut dan Kronik

Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas

setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat. Nyeri akut ini

dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan nyeri kronik bisa

dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1

– 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi

sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ

dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan mempunyai baik elemen

nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri punggung, migrain,

artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai kelainan patologis yang terdeteksi

dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal

cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit.

Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala

sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas

cepat) pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang

menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan gejala

otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri.

b. Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik

Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri

nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik

dan suhu yang menyebabkan aktivasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer

(saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif

biasanya memberikan respon terhadap analgesik opioid atau non opioid.

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan

neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf

aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk.

Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik

terhadap analgesik opioid.

Page 58: Tugas Akhir Final

39

c. Nyeri Viseral

Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh

jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.

Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral

seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu,

obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.

Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi

otot- otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi

terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak

dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika

organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena.

Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot

polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter.

Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin

iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi

berlebih dari jaringan. Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen

dan toraks menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem

saraf simpatis, dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus

dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar

melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari sistem

saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian

pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk

ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls nyeri yang

berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard. Parenkim otak, hati,

dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat

sensitif pada nyeri.

Page 59: Tugas Akhir Final

40

d. Nyeri Somatik

Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah

dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,

membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi

bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik.

Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri

menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal

menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi

pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis

tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya muncul

terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak.

Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri

dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh,

rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada

sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri

ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya.

Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana

inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati nervus

spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi

langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah.

2.4.6 Penilaian Nyeri

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi

nyeri pasca pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien

digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini

mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri

yang dirasakan. Terdapat beberapa skala dalam penilaian nyeri pasien yakni (Rawal

et al., 2008):

Page 60: Tugas Akhir Final

41

1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda,

dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna

pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua,

pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa

lokal setempat.

Gambar 2.11 Wong Baker Faces Pain Rating Scale (Sumber : Fillingim , 2001)

2. Verbal Rating Scale (VRS)

Pasien ditanya tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala

lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Gambar 2.12 Verbal Rating Scale (Sumber : Fillingim, 2001)

Page 61: Tugas Akhir Final

42

3. Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978,

dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan

menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada

nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.13. Numerical Rating Scale (Sumber : Fillingim ,2001)

4. Visual Analogue Scale (VAS)

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948

yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0)

penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien

diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri

yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih

mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya.

Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah

digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik,

dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan

beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk

juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik

kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat

menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap

sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk

Page 62: Tugas Akhir Final

43

tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat

sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat

analgesik penyelamat (rescue analgetic)

Gambar 2.14 Visual Analogue Scale (Sumber : Fillingim, 2001)

2.4.7 Penanganan Nyeri

Penanganan nyeri pasca pembedahan yang efektif harus mengetahui

patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat

dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan,

serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik non-

farmakologi (fisioterapi, psikoterapi) (Rawal et al., 2008).

a. Farmakologis

Modalitas analgetik pasca pembedahan termasuk didalamnya

analgesik oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi

lokal dan opioid intraspinal (Morgan, 2006).

Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu

pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan

Page 63: Tugas Akhir Final

44

analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri pasca pembedahan (Rawal

et al., 2008).

Tabel 2.2. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri.

(Sumberr : Rawal et al., 2008)

b. Non-Farmakologis

Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk

membantu penanganan nyeri pasca pembedahan, seperti menggunakan terapi fisik

(dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk nyeri

kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri kepala), terapi psikologis (musik,

hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada sistem

saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation) (Rawal et al.,

2008).

Page 64: Tugas Akhir Final

45

2.5 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.15 Kerangka Konsep Penelitian

2.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah terapi MRM berpengaruh terhadap rentang

gerak sendi dan derajat nyeri pada pasien ca mammae di RSD Dr. Soebandi Jember.

Ca Mammae

Post Terapi MRM

Komplikasi

ROM

Nyeri VAS

Page 65: Tugas Akhir Final

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian non experimental dengan desain

survey analitik melalui pendekatan cross sectional

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat : Poli Bedah RSD Dr. Sobandi Jember

Waktu : (19 September – 7 Oktober 2014)

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien ca mammae yang telah

menjalani terapi MRM di RSD Dr. Soebandi Jember.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien ca mammae yang telah

menjalani terapi MRM di RSD Dr. Soebandi Jember yang ada pada saat

penelitian dilaksanakan dan memenuhi kriteria inklusi.

Besar sampel yang layak adalah 116 orang, dalam penelitian ini besar

sampel yang digunakan adalah sebanyak 30 orang. Teknik pengambilan

sampel yang digunakan adalah total sampling.

Page 66: Tugas Akhir Final

47

3.3.3 Kriteria Inklusi

a. Pasien dengan ca mammae yang menjalani MRM di RSD Dr.

Soebandi Jember yang ada pada saat penelitian dilaksanakan

b. Bersedia menjadi responden dan mengikuti prosedur penelitian sampai

dengan tahap akhir

c. Dapat membaca dan menulis

d. Dapat bekerja sama dengan peneliti

e. Pasien 1 minggu sampai 3 minggu pasca terapi MRM

f. Pasien yang datang pada kontrol pertama setelah terapi MRM

3.3.4 Kriteria Eksklusi

a. Pasien dalam keadaan tidak sadar atau kelemahan kondisi fisik

sehingga tidak memungkinkan untuk menjadi responden

b. Pasien lebih dari 1 bulan pasca terapi MRM

c. Pasien memiliki riwayat penyakit lain yang mempengaruhi gerakan

sendi bahu

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel Bebas

Variabel bebas penelitian ini adalah lama waktu setelah terapi MRM

3.4.2 Variabel Terikat

Variabel terikat penelitian ini adalah rentang gerak sendi bahu dan derajat nyeri

pada pasien ca mammae pasca terapi MRM di RSD Dr. Soebandi Jember.

Page 67: Tugas Akhir Final

48

3.5 Definisi Operasional

3.5.1 Rentang Gerak Sendi

Rentang gerak sendi adalah istilah untuk menyatakan batas atau besarnya

gerakan sendi dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan atau menyatakan

besarnya gerakan sendi yang abnormal. Dikenal beberapa gerakan pada sendi, yaitu :

abduksi, adduksi, ekstensi, fleksi, rotasi eksterna, rotasi interna, pronasi, supinasi,

fleksi lateral, dorso fleksi, plantar fleksi, inversi, dan eversi. Alat yang digunakan

untuk mengukur besarnya gerakan sendi digunakan goniometri.

3.5.2 Derajat Nyeri

Derajat nyeri adalah intensitas rasa sakit yang diukur menggunakan visual

analog scale (VAS) berupa skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0)

penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta

untuk membuat tanda di garis tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan.

Nilai VAS antara 0 - 4 dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan nilai VAS

lebih dari 4 dianggap sebagai nyeri sedang menuju berat.

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini adalah :

a. Informed concent

Instrumen ini digunakan sebagai tanda persetujuan untuk dilakukannya

pemeriksaan

b. Rekam medis

Instrumen ini digunakan untuk mengetahui diagnosis penyakit dan data

penderita selaku subyek penelitian

c. Kuesioner

Instrumen ini digunakan untuk mengetahui derajat nyeri pasien dan latar

belakang pasien

Page 68: Tugas Akhir Final

49

d. Goniometri

Instrumen ini digunakan untuk mengukur rentang gerak sendi bahu

3.7 Prosedur Pengambilan Data

Data penelitian ini didapatkan melalui data primer yaitu data yang langsung

diperoleh dari responden penelitian dengan menggunakan kuesioner yang diisi

berdasarkan hasil pemeriksaan fisik langsung kepada pasien pasca terapi MRM

3.7.1 Uji Kelayakan

Penelitian ini menggunakan subyek manusia sehingga untuk pelaksanaannya

harus dilakukan uji kelayakan dan telah disetujui oleh Komisi Etik Kedokteran.

3.7.2 Pengambilan Data Rekam Medis

Pengambilan data rekam medis berupa rekam medis rawat inap, dan rekam

medis rawat jalan di RSD DR. Soebandi Jember untuk mendapatkan populasi pasien

ca mammae.

3.7.3 Informed Concent

Lembar persetujuan adalah suatu formulir penyataan yang berisi tentang

kesediaan sampel untuk menjadi bahan penelitian. Lembar persetujuan ini dibuat

sebagai bukti pengakuan dari Komite Etik bahwa penelitian ini dikerjakan dengan

mengacu pada kode etik penelitian. Pada formulir ini juga akan dijelaskan bahwa

selama pengambilan data pada pasien tidak ada efek samping, baik kerugian material

ataupun spiritual yang akan dialami oleh penderita selama maupun sesudah perlakuan

dan apabila ada hal yang kurang jelas dapat ditanyakan kepada peneliti.

Page 69: Tugas Akhir Final

50

3.8. Prosedur Penelitian

3.8.1 Alur penelitian

Gambar 3.1 Alur Penelitian

Hasil penelitian

Analisis Data

Pengolahan Data

Tidak diteliti

Pengumpulan Data Sampel di Rekam Medis RSD.

Dr. Soebandi Jember

Sesuai kriteria inklusi

Sesuai kriteria eksklusi

Wawancara dan Pemeriksaan

Fisik

Rentang Gerak Sendi

Bahu

Derajat Nyeri

Page 70: Tugas Akhir Final

51

a. Pengumpulan data sampel di bagian Rekam Medis RSD DR. Soebandi

Pengambilan data rekam medis berupa data diri dan status pasien ca

mammae di ruang rekam medis RSD. Dr. Soebandi untuk mendapatkan

populasi penelitian selama tahun 2014.

b. Penjaringan Sampel

Penjaringan sampel dilakukan berdasarkan kriteria inklusi dan

eksklusi yang sudah ditetapkan.

c. Kriteria Inklusi

Penjabaran tentang kriteria inklusi sudah dijelaskan sebelumnya.

d. Pemeriksaan fisik

Pasien diperiksa rentang gerak sendi bahunya dengan menggunakan

goniometri. Pasien diminta untuk melakukan gerakan abduksi horizontal,

adduksi horizontal, fleksi, ekstensi, rotasi internal, dan rotasi eksternal.

1. Abduksi Horizontal

Abduksi adalah gerakan menjauhi sumbu median atau menjauhi garis

sumbu lengan. Pasien memposisikan lengan sejajar dengan sumbu vertikal

tubuh. Pasien diminta menggerakkan lengannya ke samping lalu kebelakang

secara perlahan hingga mencapai sudut maksimal yang dapat dibentuk dan

diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara yang

telah diterapi. Nilai normal abduksi adalah 40° - 50°

2. Adduksi horizontal

Adduksi adalah menarik ke arah bidang median atau ke arah garis sumbu

anggota badan. Setelah melakukan gerakan abduksi pasien diminta

mengembalikan posisi lengan sejajar dengan sumbu vertikal tubuh kemudian

pasien menggerakkan lengan ke samping lalu kedepan dada hingga mencapai

sudut maksimal yang dapat dibentuk dan diukur. Pasien hanya menggerakkan

Page 71: Tugas Akhir Final

52

lengan yang sesisi dengan payudara yang telah diterapi. Nilai normal adduksi

adalah 130°

3. Fleksi

Fleksi adalah tindakan membengkokkan. Pasien diminta meluruskan

lengan sejajar dengan garis vertikal tubuh. Pasien diminta menggerakkan

lengan ke depan lalu ke atas hingga mencapai sudut maksimal dan diukur.

Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara yang telah

diterapi. Nilai normal fleksi adalah 160° - 180°

4. Ekstensi

Ekstensi adalah gerakan yang mengakibatkan dua ujung dari bagian

bersambung tertarik saling menjauhi. Pasien diminta memposisikan sejajar

dengan garis vertikal tubuh kemudian menggerakkan lengan ke belakang

menjauhi garis vertikal. Pasien menggerakkan lengan hingga mencapai sudut

maksimal yang dapat dibentuk dan diukur. Pasien hanya menggerakkan

lengan yang sesisi dengan payudara yang telah diterapi. Nilai normal ekstensi

adalah 50° - 60°

5. Rotasi Internal

Rotasi internal adalah proses berputar di sekitar sumbu dan pergerakannya

mengarah ke dalam. Pasien diminta mengangkat lengan atas dan

memposisikan abduksi 90o dan lengan bawah diarahkan lurus ke depan. pasien

diminta menggerakkan lengan bawah kebawah hingga membentuk sudut

maksimal dan diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan

payudara yang telah diterapi. Nilai normal rotasi internal adalah 60° - 100°

6. Rotasi Eksternal

Rotasi eksternal adalah proses berputar di sekitar sumbu dan

pergerakannya mengarah keluar. Pasien diminta mengangkat lengan atas dan

memposisikan abduksi 90o dan lengan bawah diarahkan lurus ke depan. pasien

diminta menggerakkan lengan bawah keatas hingga membentuk sudut

Page 72: Tugas Akhir Final

53

maksimal dan diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan

payudara yang telah diterapi. Nilai normal rotasi eksternal adalah 80° - 90°

e. Wawancara

Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan saat

melakukan gerakan abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi internal, dan

rotasi eksternal.

3.8.2 Pengumpulan Data Populasi dan Pengambilan Data

Sampel yang masuk dalam kriteria inklusi akan diperiksa secara klinis

berdasarkan lembar pemeriksaan.

3.9 Analisis Data

Data yang didapat dari hasil pemeriksaan klinis akan disajikan dalam bentuk

tabel dan diagram pie. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi

Microsoft Excel 2007 dan SPSS. Tahapan uji yang dilaksanakan yaitu Saphiro-Wilk

Test untuk mengetahui normalitas data, uji korelasi bivariat (Pearson atau

Spearman), dan uji regresi linear.

Page 73: Tugas Akhir Final

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Analisis Data

Dari penelitian ini didapatkan 7 sampel yang berdomisili di Kecamatan

Mayang, Puger, Sumbersari, Ajung, Sumberbaru, dan Mumbulsari. Sembilan sampel

lainnya masuk kedalam kriteria eksklusi. Distribusi jumlah sampel inklusi dan

eksklusi tercantum pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi jumlah sampel inklusi dan eksklusi pada pasien ca mammae pasca terapi

MRM

Sampel Jumlah Presentase

Kelompok Inklusi 7 43,75 %

Kelompok Eksklusi

1. Pasca operasi lebih dari 4 minggu 9 56,25 %

4.1.1 Latar Belakang Pasien

a. Usia Sampel

Usia sampel dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok 30-39 tahun,

40 - 49 tahun, dan 50 - 59 tahun. Distribusi usia sampel penelitian tercantum pada

Tabel 4.2.

Page 74: Tugas Akhir Final

55

Tabel 4.2 Distribusi usia sampel penelitian pada pasien ca mammae pasca terapi MRM

No Usia (Tahun) Jumlah Presentase

1 30 - 39 1 14,29%

2 40 – 49 3 42,86%

3 50 - 59 3 42,86%

b. Pekerjaan Sampel

Pekerjaan sampel dikelompokkan menjadi 1 kelompok yaitu ibu rumah tangga.

Distribusi pekerjaan sampel tercantum pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Distribusi pekerjaan sampel pada pasien ca mammae pasca terapi MRM

No Pekerjaan Jumlah Presentase

1 Ibu Rumah Tangga 7 100%

c. Pendidikan Terakhir Sampel

Pendidikan terakhir sampel dikelompokkan menjadi 4 yaitu Tidak Sekolah,

SD, SMP, dan SMA. Distribusi pendidikan terakhir sampel tercantum pada Gambar

4.1.

Gambar 4.1 Distribusi Pendidikan sampel pada pasien ca mammae pasca terapi MRM

Tidak Sekolah

14%

SD28%

SMP29%

SMA29%

Pendidikan Terakhir

Page 75: Tugas Akhir Final

56

d. Diagnosis Sampel

Diagnosis sampel dikelompokkan menjadi ca mammae Grade II, Grade III,

dan Filoides Maligna. Distribusi diagnosis sampel penelitian tercantum pada Gambar

4.2

Gambar 4.2 Distribusi Diagnosis sampel penelitian pada pasien ca mammae pasca terapi

MRM

e . Waktu Pemeriksaan Sampel

Waktu pemeriksaan dibagi menjadi menjadi 3 kelompok yaitu post op minggu

ke I , II, dan III. Distribusi waktu pemeriksaan sampel tercantum dalam Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Distribusi Waktu pemeriksaan pada pasien ca mammae pasca terapi MRM

No Post Op minggu ke Jumlah Presentase

1 I 2 28,57%

2 II 3 43,86%

3 III 2 28,57%

72%

14%

14%

DiagnosisGrade II Grade III Filoides maligna

Page 76: Tugas Akhir Final

57

f. Infeksi Luka Operasi Sampel

Infeksi luka operasi dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu Ada dan Tidak

Ada yang disebutkan jumlah dan presentase dari kelompok sampel. Distribusi infeksi

luka operasi sampel tercantum pada Tabel 4.7.

Tabel 4.5 Distribusi Infeksi luka operasi pada pasien ca mammae pasca terapi MRM

Infeksi luka operasi Jumlah Presentase

Ada - -

Tidak ada 7 100%

4.1.2 Hasil Pemeriksaan

a. Hasil Pengukuran Sudut

1) Fleksi

Hasil pemeriksaan ROM gerakan fleksi dikelompokkan menjadi 3 kelompok

yaitu skala sudut 0° - 79°, 80° - 159°, dan 160° - 180°. Sudut gerakan fleksi normal

terdapat pada kelompok 160° - 180°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik

gerakan fleksi tercantum pada Tabel 4.6 dan Tabel 4.7

Tabel 4.6 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan fleksi pada pasien ca mammae pasca

terapi MRM

No Minggu Skala Sudut Fleksi

0° - 79° Persentase 80° - 159° Persentase 160° - 180° Persentase

1 I 1 14,29% 1 14,29% - -

2 II - - 3 42,86% - -

3 III - - 2 28,57% - -

Page 77: Tugas Akhir Final

58

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan

gerakan fleksi pada skala 80°-159°, yaitu sebesar 6 sampel (85,7%). Hal ini

menunjukkan bahwa gerakan fleksi sebagian besar pasien dibawah normal.

Tabel 4.7 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi Linear

gerakan fleksi

Shapiro-

Wilk

Pearson

Correlation Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed) Konstanta

Koefisien

regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

Fleksi 0,307 0,109 76,429 22,5 0,432 1,951 0,109

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,307. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau sebaran data

normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji korelasi bivariat

Pearson diketahui p=0,109 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara waktu dalam minggu dengan skala sudut fleksi. Setelah uji korelasi dilanjutkan

uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,109 yang berarti tidak terdapat

pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut fleksi.

Page 78: Tugas Akhir Final

59

2) Ekstensi

Hasil pemeriksaan ROM gerakan ekstensi dikelompokkan menjadi 3 kelompok

yaitu skala sudut 0° - 25°, 26° - 49° dan 50° - 60°. Sudut gerakan ekstensi normal

terdapat pada kelompok 50° - 60°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik ROM

gerakan ekstensi tercantum pada Tabel 4.8 dan Tabel 4.9.

Tabel 4.8 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan ekstensi pada pasien ca mammae pasca

terapi MRM

No Minggu Skala Sudut Ekstensi

0° - 25° Persentase 26° - 49° Persentase 50° - 60° Persentase

1 I - - 1 14,29% 1 14,29%

2 II - - 2 28,57% 1 14,29%

3 III - - - - 2 28,57%

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan

gerakan ekstensi pada skala 50°-60°, yaitu sebesar 4 (57,14%). Hal ini menunjukkan

bahwa gerakan ekstensi sebagian besar pasien dalam batas normal.

Tabel 4.9 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear gerakan ekstensi

Shapiro-

Wilk

Spearman

Correlation Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed) Konstanta

Koefisien

regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

ROM

Ekstensi 0,020 0,490 39,286 2,500 0,067 0,601 0,574

Page 79: Tugas Akhir Final

60

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,523. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa distribusi data adalah tidak normal. Karena distribusi atau sebaran

data tidak normal, maka uji korelasi bivariat Spearman yang dilakukan. Pada uji

korelasi bivariat Spearman diketahui p=0,490 yang berarti tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan skala sudut ekstensi. Setelah uji

korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,574 yang berarti

tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut ekstensi.

3)Abduksi

Hasil pemeriksaan ROM gerakan abduksi dikelompokkan menjadi 3 kelompok

yaitu skala sudut 0° - 25°, 26° - 40 °, dan 40° - 50°. Sudut gerakan fleksi normal

terdapat pada kelompok 40° - 50°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik ROM

gerakan abduksi tercantum pada Tabel 4.10 dan Tabel 4.11

Tabel 4.10 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan abduksi pada pasien ca mammae

pasca terapi MRM

No Minggu Skala Sudut Abduksi

0° - 25° Persentase 26° - 39° Persentase 40° - 50° Persentase

1 I 2 28,57% - - - -

2 II 1 14,29% - - 2 28,57%

3 III - - 1 14,29% 1 14,29%

Page 80: Tugas Akhir Final

61

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan

gerakan abduksi pada skala 0°-39°, yaitu sebesar 4 (57,14%). Hal ini menunjukkan

bahwa gerakan abduksi sebagian besar pasien dibawah normal.

Tabel 4.11 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear

Shapiro-

Wilk

Pearson

Correlation Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed)

Konstant

a

Koefisie

n regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

Abduksi 0,064 0,162 7,143 10 0,35 1,641 0,162

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,064. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau sebaran data

normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji korelasi bivariat

Pearson diketahui p=0,162 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara waktu dalam minggu dengan skala sudut abduksi. Setelah uji korelasi

dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,162 yang berarti tidak

terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut abduksi.

Page 81: Tugas Akhir Final

62

4) Adduksi

Hasil pemeriksaan ROM gerakan adduksi dikelompokkan menjadi 3 kelompok

yaitu skala sudut 0° - 65°, 66° - 129°, dan 130°. Sudut gerakan fleksi normal

terdapat pada kelompok 130°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik ROM

gerakan adduksi tercantum pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13.

Tabel 4.12. Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan adduksi pada pasien ca mammae

pasca terapi MRM

No Minggu

Skala Sudut Adduksi

0° - 65° Persentase 66° - 129° Persentase 130° Persentase

1 I 1 14,29% 1 14,29% - -

2 II - - 3 42,86% - -

3 III - - 2 28,57% - -

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan

gerakan adduksi pada skala 66°-129°, yaitu sebesar 6 sampel (85,7%). Hal ini

menunjukkan bahwa gerakan adduksi sebagian besar pasien dibawah normal.

Tabel 4.13 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear gerakan adduksi

Shapiro-

Wilk

Pearson

Correlatio

n Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed)

Konstant

a

Koefisie

n regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

Adduksi 0,523 0,481 70,714 7,5 0,104 0,76 0,481

Page 82: Tugas Akhir Final

63

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,523. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau sebaran data

normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji korelasi bivariat

Pearson diketahui p=0,481 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara waktu dalam minggu dengan skala sudut adduksi. Setelah uji korelasi

dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,481 yang berarti tidak

terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut adduksi.

5) Rotasi Internal

Hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi internal dikelompokkan menjadi 3

kelompok yaitu skala sudut 0° - 30°, 31° - 59°, dan 60° - 100°. Sudut gerakan fleksi

normal terdapat pada kelompok 60° - 100°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik

ROM gerakan rotasi internal tercantum pada Tabel 4.14 dan Tabel 4.15

Tabel 4.14 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi internal pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM

No Minggu Skala Sudut Rotasi Internal

0° - 30° Persentase 31° - 59° Persentase 60° - 100° Persentase

1 I 1 14,29% 1 14,29% - -

2 II - - 2 28,57%

1 14,29%

3 III 2 28,57%

- - - -

Page 83: Tugas Akhir Final

64

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan

gerakan rotasi internal pada skala 0°-59°, yaitu sebesar 6 sampel (85,7%). Hal ini

menunjukkan bahwa gerakan rotasi internal sebagian besar pasien dibawah normal.

Tabel 4.15 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear gerakan rotasi internal

Shapiro-

Wilk

Spearman

Correlation Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed) Konstanta

Koefisien

regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

ROM Rotasi

Internal 0,026 0,504 43,571 -2,500 0,067 0,601 0,574

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,026. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa distribusi data adalah tidak normal. Karena distribusi atau sebaran

data tidak normal, maka uji korelasi bivariat Spearman yang dilakukan. Pada uji

korelasi bivariat Spearman diketahui p=0,504 yang berarti tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan skala sudut rotasi internal.

Setelah uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,682

yang berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut

rotasi internal.

Page 84: Tugas Akhir Final

65

6) Rotasi eksternal

Hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi eksternal dikelompokkan menjadi 3

kelompok yaitu skala sudut 0° - 40°, 41° - 89°, dan 80° - 90°. Sudut gerakan fleksi

normal terdapat pada kelompok 80° - 90°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik

ROM gerakan rotasi eksternal tercantum pada Tabel 4.16 dan Tabel 4.17.

Tabel 4.16 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi eksternal pada ca mammae

pasca terapi MRM

No Minggu Skala Sudut Rotasi Eksternal

0° - 40° Persentase 41° - 89° Persentase 80° - 90° Persentase

1 I - - 1 14,29% 1 14,29%

2 II - - 1 14,29% 2 28,57%

3 III - - - - 2 28,57%

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan

gerakan rotasi eksternal pada skala 80° - 90°, yaitu sebesar 5 (71,4%). Hal ini

menunjukkan bahwa gerakan rotasi eksternal sebagian besar pasien pada batas

normal.

Tabel 4.17 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear gerakan rotasi eksternal

Shapiro-

Wilk

Spearman

Correlation Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed) Konstanta

Koefisien

regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

ROM Rotasi Eksternal 0,005 0,346 -0,857 0,500 0,007 0,601 0,574

Page 85: Tugas Akhir Final

66

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,005. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa distribusi data adalah tidak normal. Karena distribusi atau sebaran

data tidak normal, maka uji korelasi bivariat Spearman yang dilakukan. Pada uji

korelasi bivariat Spearman diketahui p=0,346 yang berarti tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan skala sudut rotasi eksternal.

Setelah uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,574

yang berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut

rotasi ekternal.

b. Derajat Nyeri (Visual Analog Scale)

1) Fleksi

Hasil pemeriksaan VAS ( Visual Analog Scale) pada gerakan fleksi

dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).

Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan fleksi tercantum dalam Tabel

4.18 dan Tabel 4.19.

Tabel 4.18 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan fleksi pada pasien ca mammae pasca

terapi MRM

No Minggu VAS Fleksi

0 Persentase 1 – 4 Persentase

1 I - - 2 28,57%

2 II 1 14,29% 2 28,57%

3 III - - 2 28,57%

Page 86: Tugas Akhir Final

67

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi

nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 6 (85,7%).

Tabel 4.19 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear VAS gerakan fleksi

Shapiro-

Wilk

Pearson

Correlation Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed) Konstanta

Koefisien

regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

VAS

Fleksi 0,163 0,109 3,071 -0,25 0,016

-

0,284 0,788

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk derajat nyeri fleksi sebesar p=0,163. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau sebaran data

normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji korelasi bivariat

Pearson diketahui p=0,109 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri fleksi. Setelah uji korelasi

dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,788 yang berarti tidak

terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri fleksi.

Page 87: Tugas Akhir Final

68

2) Ekstensi

Hasil pemeriksaan VAS ( Visual Analog Scale) pada gerakan Ekstensi

dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).

Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan ekstensi tercantum dalam

Tabel 4.20 dan Tabel 4.21.

Tabel 4.20 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan Ekstensi pada pasien ca mammae

pasca terapi MRM

No Minggu VAS Ekstensi

0 Persentase 1 - 4 Persentase

1 I 1 14,29% 1 14,29%

2 II 1 14,29% 2 28,57%

3 III 1 14,29% 1 14,29%

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi

nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 4 (57,1%).

Tabel 4.21 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear VAS gerakan ekstensi

Shapiro-

Wilk

Spearman

Correlation Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed) Konstanta

Koefisien

regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

VAS

Ekstensi 0,026 0,490 0,857 0,000 0,000 0,000 1,000

Page 88: Tugas Akhir Final

69

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk derajat nyeri ekstensi sebesar p=0,026. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa distribusi data adalah tidak normal. Karena distribusi atau

sebaran data tidak normal, maka uji korelasi bivariat Spearman yang dilakukan. Pada

uji korelasi bivariat Spearman diketahui p=0,490 yang berarti tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri ekstensi.

Setelah uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=1,000

yang berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri

ekstensi.

3) Abduksi

Hasil pemeriksaan VAS ( Visual Analog Scale) pada gerakan Abduksi

dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).

Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan abduksi tercantum dalam

Tabel 4.22 dan Tabel 4.23.

Tabel 4.22 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan abduksi pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM

No Minggu VAS Abduksi

0 Persentase 1 - 4 Persentase

1 I - - 2 28,57%

2 II 1 14,29% 2 28,57%

3 III - - 2 28,57%

Page 89: Tugas Akhir Final

70

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi

nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 6 (85,7%)

Tabel 4.23 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear VAS gerakan abduksi

Shapiro-

Wilk

Pearson

Correlatio

n Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed) Konstant

a

Koefisie

n regresi

R-

squar

e

t-

hitun

g Sig.

VAS

Abduksi 0,147 0,162 2,357 -0,25 0,028

-

0,381 0,719

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk derajat nyeri abduksi sebesar p=0,147. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau

sebaran data normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji

korelasi bivariat Pearson diketahui p=0,162 yang berarti tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri abduksi. Setelah

uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,788 yang

berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri

abduksi.

Page 90: Tugas Akhir Final

71

4) Adduksi

Hasil pemeriksaan VAS ( Visual Analog Scale) pada gerakan Adduksi

dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).

Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan adduksi tercantum dalam

Tabel 4.24 dan Tabel 4.25.

Tabel 4.24 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan adduksi pada pasien ca mammae pasca

terapi MRM

No Minggu

VAS Adduksi

0 Persentase 1 - 4 Persentase

1 I - - 2 28,57%

2 II 1 14,29% 2 28,57%

3 III 1 14,29% 1 14,29%

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi

nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 5 (71,43%)

Tabel 4.25 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear VAS gerakan adduksi

Shapiro-

Wilk

Pearson

Correlation Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed) Konstanta

Koefisien

regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

VAS

Adduksi 0,106 0,481 4,857 -1,5 0,477 -2,137 0,086

Page 91: Tugas Akhir Final

72

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk derajat nyeri adduksi sebesar p=0,106. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau

sebaran data normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji

korelasi bivariat Pearson diketahui p=0,481 yang berarti tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri adduksi. Setelah

uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,086 yang

berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri

adduksi.

5) Rotasi Internal

Hasil pemeriksaan VAS ( Visual Analog Scale) pada gerakan Rotasi internal

dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).

Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan rotasi internal tercantum

dalam Tabel 4.26 dan Tabel 4.27.

Tabel 4.26 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan rotasi internal pada pasien ca mammae

pasca terapi MRM

No Minggu VAS Rotasi Internal

0 Persentase 1 - 4 Persentase

1 I - - 2 28,57%

2 II 1 14,29% 2 28,57%

3 III - - 2 28,57%

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi

nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 6 (85,71%)

Page 92: Tugas Akhir Final

73

Tabel 4.27 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear VAS gerakan rotasi internal

Shapiro-

Wilk

Pearson

Correlation Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed) Konstanta

Koefisien

regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

VAS Rotasi

Internal 0,31 0,682 1,5 0,25 0,018 0,302 0,775

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk derajat nyeri rotasi internal sebesar p=0,310. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi

atau sebaran data normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada

uji korelasi bivariat Pearson diketahui p=0,682 yang berarti tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri rotasi internal

Setelah uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,788

yang berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri

rotasi internal.

6) Rotasi Eksternal

Hasil pemeriksaan VAS (Visual Analog Scale) pada gerakan Rotasi Eksternal

dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).

Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan Rotasi eksternal tercantum

dalam Tabel 4.28 dan Tabel 4.29.

Page 93: Tugas Akhir Final

74

Tabel 4.28 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan rotasi eksternal pada pasien ca

mammae pasca terapi MRM

No Minggu VAS Rotasi Eksternal

0 Persentase 1 - 4 Persentase

1 I - - 2 28,57%

2 II 1 14,29% 2 28,57%

3 III - - 2 28,57%

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi

nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 6 (85,71%)

Tabel 4.29 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear VAS gerakan rotasi eksternal

Shapiro-

Wilk

Pearson

Correlation Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed) Konstanta

Koefisien

regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

VAS Rotasi

Eksternal 0,11 0,332 0,857 0,5 0,067 0,601 0,574

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk derajat nyeri rotasi eksternal sebesar p=0,110. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi

atau sebaran data normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada

uji korelasi bivariat Pearson diketahui p=0,332 yang berarti tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri rotasi eksternal.

Page 94: Tugas Akhir Final

75

Setelah uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,574

yang berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri

rotasi eksternal.

c. Gerakan Menyisir

Hasil pemeriksaan gerakan menyisir dikelompokkan menjadi 3 kelompok

yaitu Tidak Bisa (TB), Bisa Dengan Nyeri (BDN), dan Bisa Tanpa Nyeri (BTN).

Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik gerakan menyisir tercantum dalam Tabel

4.30 dan Tabel 4.31

Tabel 4.30 Distribusi hasil pemeriksaan gerakan menyisir pada pasien ca mammae pasca

terapi MRM

No Minggu Gerakan Menyisir

TB Persentase BDN Persentase BTN Persentase

1 I 1 14,29% 1 14,29%

2 II 1 14,29% 2 28,57%

3 III 1 14,29% 1 14,29%

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan

gerakan menyisir terapi masih merasakan nyeri yaitu sebesar 5 (71,43%)

Page 95: Tugas Akhir Final

76

Tabel 4.31 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear gerakan menyisir

Shapiro-

Wilk

Pearson

Correlation Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed) Konstanta

Koefisien

regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

Gerakan

Menyisir 0,099 0,162 0,857 0,5 0,35 1,641 0,162

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk gerakan menyisir sebesar p=0,099. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau sebaran data

normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji korelasi bivariat

Pearson diketahui p=0,162 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara waktu dalam minggu dengan gerakan menyisir. Setelah uji korelasi

dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,162 yang berarti tidak

terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan gerakan menyisir.

d. Activity Daily of Living (ADL)

Hasil pemeriksaan ADL dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu tidak bisa

melakukan aktivitas dan bisa melakukan aktivitas ringan. Distribusi ADL dan

statistik tercantum dalam Tabel 4.32 dan Tabel 4.33

Page 96: Tugas Akhir Final

77

Tabel 4.32 Distribusi hasil pemeriksaan ADL pada pasien ca mammae pasca terapi

MRM

No Minggu ADL

Tidak Bisa Persentase Ringan Persentase

1 I 2 28,57%

2 II 2 28,57% 1 14,29%

3 III 1 14,29% 1 14,29%

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel melakukan

aktivitas ringan yaitu sebesar 5 (71,43%)

Tabel 4.33 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji Regresi

Linear ADL

Shapiro-

Wilk

Spearman

Correlatio

n Regresi Linear

Sig.

Sig. (2-

tailed)

Konstant

a

Koefisie

n regresi

R-

square

t-

hitung Sig.

ADL 0,001 0,398 2,071 0,250 0,146 0,924 0,398

Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji

korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan

berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh

nilai kemaknaan untuk ADL sebesar p=0,001. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa distribusi data adalah tidak normal. Karena distribusi atau sebaran data tidak

normal, maka uji korelasi bivariat Spearman yang dilakukan. Pada uji korelasi

bivariat Spearman diketahui p=0,398 yang berarti tidak terdapat hubungan yang

Page 97: Tugas Akhir Final

78

bermakna antara waktu dalam minggu dengan ADL. Setelah uji korelasi dilanjutkan

uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,398, yang berarti tidak terdapat

pengaruh antara waktu dalam minggu dengan ADL.

4.2 Pembahasan

Sebagian besar usia sampel penelitian saat terjadi ca mammae adalah pasien

dengan usia kisaran 40-59 tahun sebanyak 6 orang atau 85,73% dari keseluruhan

sampel (Tabel 4.3). Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ca

mammae pada wanita.

Pekerjaan pasien didominasi oleh ibu rumah tangga sebanyak 7 orang atau

100 % dari jumlah sampel (Tabel 4.3). Wanita yang tidak bekerja umumnya kegiatan

fisiknya akan berbeda dengan wanita yang bekerja. Menurut American Cancer

Society (2013) jarang melakukan kegiatan fisik akan meningkatkan risiko terkena

kanker payudara. Kegiatan fisik yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko

terkena kanker payudara adalah berjalan kaki selama 10 jam per minggu.

Diagnosis pasien didominasi oleh pasien ca mammae derajat II dari jumlah

sampel (tabel 4.5) Pada ca mammae mulai derajat II standar terapi yang digunakan

adalah terapi MRM.

Infeksi luka operasi tidak terdapat pada semua pasien atau 100% dari jumlah

pasien (Tabel 4.7). Tidak adanya infeksi luka operasi pada pasien menandakan bahwa

tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dan paramedis lain adalah baik dalam

mencegah terjadinya infeksi yang merupakan salah satu komplikasi dari semua

tindakan bedah.

Dari enam gerakan yang diteliti didapatkan hasil uji korelasi dan regresi

p>0,05 (hasil bervariasi dari p=0,109 sampai p=o,574) sehingga dapat disimpulkan

tidak terdapat hubungan dan pengaruh yang signifikan antara waktu pasca terapi

MRM terhadap rentang gerak sendi bahu. Ada Empat gerakan yang berada dibawah

normal yaitu gerakan fleksi, abduksi, adduksi, dan rotasi internal. Dalam rentang

waktu tiga minggu pasien masih memiliki rasa cemas dan takut untuk menggerakkan

Page 98: Tugas Akhir Final

79

tangannya. Rasa takut untuk melatih tangan pasca terapi MRM menyebabkan

pengurangan jumlah sudut rentang gerak sendi bahu karena adesi otot pektoralis

mayor yang terjadi pasca operasi. Kelenjar mammae sebagian besar terletak di

anterior otot pektoralis mayor sehingga pada saat terapi MRM mengambil seluruh

kelenjar mammae otot pektoralis mayor dapat mengalami adhesi atau perlengketan

dengan kulit, pembuluh darah, jaringan subcutis dan pembuluh limfe. Otot pektoralis

mayor berfungsi untuk membantu gerakan fleksi, adduksi, dan rotasi internal,

sehingga saat otot pektoralis mengalami adesi karena operasi, fungsi dari otot

pektoralis mayor untuk menghasilkan gerakan maksimal dari gerakan-gerakan

tersebut menjadi terganggu. Adhesi yang terjadi setelah operasi biasanya adalah

bersifat sementara dan membutuhkan mobilisasi sedini mungkin. Penyebab lain

terjadinya pengurangan gerakan sendi gerakan-gerakan tersebut diduga dipengaruhi

oleh stadium dan letak dari tumor yang dalam penelitian ini.

Pada pemeriksaan derajat nyeri menggunakan VAS uji korelasi dan regresi

didapatkan hasil p>0,05 (hasil bervariasi dari p=0,086 sampai p=1,000) sehingga

dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan dan pengaruh yang signifikan antara

waktu pasca terapi MRM dengan pengurangan nyeri pada pasien. Sebagian besar

pasien masih merasakan nyeri yg ringan saat melakukan enam gerakan yang diteliti.

Adanya nyeri ringan yang dirasakan pasien ini disebabkan karena luka masih dalam

fase proliferasi ( 2 hari – 3 minggu) dan luka bekas operasi yang belum sembuh atau

kering.. Timbulnya perlengketan-perlengketan baru pasca operasi juga salah satu

penyebab nyeri yang dirasakan pasien.

Pada pemeriksaan gerakan menyisir didapatkan hasil pengaruh waktu dalam

minggu terhadap gerakan menyisir tidak memiliki pengaruh yang signifikan

(p=0,162). Pasien sebagian besar dapat dilakukan pasien dengan disertai rasa nyeri

ringan. Gerakan menyisir rambut merupakan tujuan standar untuk mengevaluasi

pasien pasca terapi MRM. Nyeri ini disebabkan oleh luka bekas operasi yang belum

sembuh dan adanya tarikan pada kulit yang dijahit.

Page 99: Tugas Akhir Final

80

Aktivitas harian pasien didapatkan hasil pengaruh waktu dalam minggu tidak

memiliki pengaruh yang signifikan. Sebagian besar menunujukkan hasil dapat

melakukan aktivitas ringan. Pasien dikatakan dapat beraktivitas normal dengan cara

memantau perkembangan ROM serta kekuatan otot. Aktivitas ringan pada pasien

dapat dilakukan tanpa memerlukan ROM yang maksimal dan kekuatan otot sampai

pada tingkat lima.

Page 100: Tugas Akhir Final

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan terapi MRM

menurunkan besar sudut rentang gerak sendi bahu pada gerakan fleksi, abduksi,

adduksi, dan rotasi internal dalam rentang waktu tiga minggu pasca mendapat terapi

MRM dan tidak ada pengaruh signifikan antara lama waktu setelah terapi MRM

dengan peningkatan rentang gerak sendi bahu (hasil bervariasi dari p=0,109 sampai

p=0,574). Sedangkan pada gerakan ekstensi dan rotasi eksternal dalam batas normal.

Nyeri pasca operasi berbanding terbalik dengan rentang gerak sendi dalam

rentang waktu tiga minggu pasca mendapat terapi MRM. Pasien yang diamati hanya

mengalami nyeri dengan intensitas ringan. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara

lama waktu pasca operasi terhadap pengurangan rasa nyeri pasien (hasil bervariasi

dari p=0,086 sampai p=1,000)

5.2 Saran

1) Perlunya dilakukan meta analisis atas hasil-hasil penelitian yang telah ada di

Indonesia agar didapatkan data yang lebih baik.

2) Perlunya peran ahli bedah untuk memberikan informasi terkait hal-hal yang bisa

mengakibatkan ROM berkurang dan terapi dalam pencegahan nyeri.

3) Perlunya penelitian lanjutan tentang pengaruh terapi MRM rentang gerak sendi

bahu dan derajat nyeri pada pasien ca mammae dengan pendekatan atau

rancangan penelitian lain seperti retrospektif.

4) Perlunya dilakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh stadium dan letak tumor

terhadap rentang gerak sendi bahu pasca terapi MRM.

5) Perlunya pencatatan rekam medis pasien yang lebih lengkap agar memudahkan

pihak rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan lebih lanjut serta dapat

memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian di RSD DR. Soebandi

Page 101: Tugas Akhir Final

DAFTAR PUSTAKA

Abraham SE, Schlicht CR. Chronic Pain Management. In : Barash PG, Cullen BF,

Stoleting RK, editors. Clinical Anesthesia, 4 th

edition. Philadelphia : Lippincott

Williams and Wilkins ; 2001. p.1453-62

Albo D, Wayne JD, Hunt KK, Rahlfs TF, Singletary SE, Ames FC, et al.

Anaphylactic reactions to isosulfan blue dye during sentinel lymph node biopsy

for breast cancer. Am J Surg. Oct 2001;182(4):393-8

Alzufri, HS. 2011. Pengembangan Electrical Capacitance Volume Tomography

(ECVT) untuk Rekonstruksi Citra dan Diagnosis Kanker Payudara. Depok:

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi S1 Fisika

Peminatan Fisika Medis dan Biofisika.

Arif, M. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem

Muskuloskeletal. Jakarta : EGC

Australian and New Zealand College of Anaesthetists and Faculty of Pain Medicine.

In : Acute Pain Management : Scientific Evidence. Australian Government.

National Health and Medical Research Council ; 2010. p.1-8.

Ay AA, Kutun S, Cetin A. Lymphoedema after mastectomy for breast cancer:

Importance of supportive care. S Afr J Surg. 2014 Jun 6;52(2):41-44

Brunner dan Suddarth. 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah, Edisi 8.,

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Bonica JJ, Loeser JD. History of pain concepts and therapies. In : Loeser JD, editor.

The Management of Pain, 3rd

edition. Lippincot William Wilkins ; 1990. p.2-15

Page 102: Tugas Akhir Final

83

Boughey JC, Goravanchi F, Parris RN, Kee SS, Frenzel JC, Hunt KK, et al. Improved

postoperative pain control using thoracic paravertebral block for breast

operations. Breast J. Sep-Oct 2009;15(5):483-8.

Carr DB, Goudas LC. Acute Pain. The Lancet, volume 353 ; June 1999. p.2051-8.

Desen, W et al. Buku Ajar Onkologi Klinis. 2011. Jakarta, Balai Penerbit: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm. 366-382.

Efendi, Hamdani, William, Labeda, Ibrahim. 2012. Pengaruh Kemoterapi terhadap

Kadar CA 15-3 dan CEA dalam Darah Penderita Kanker Payudara Stadium

Lanjut. JST Kesehatan, 1 (3): 272-280.

Fillingim RB. Pain measurement in humans. In : Holcroft A, Jaggar S, editors. Core

topics in pain. Cambridge University New York:IASP Press ; 2001. p.71-7.

Giuliano AE, Hunt KK, Ballman KV, et al. Axillary dissection vs no axillary

dissection in women with invasive breast cancer and sentinel node metastasis: a

randomized clinical trial. JAMA. Feb 9 2011;305(6):569-75.Hurley RW, Wu

CL. Acute postoperative pain. In : Miller RD, editors. Anesthesia, 7th

ed.

London : Churchill Livingstone ; 2005. p.2327-41

Kamarudin, N. A. 2009. Prevalensi Komplikasi Oral akibat Kemoterapi pada Pasien

Kanker di RSUP H. Adam Malik Medan. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara.

Kuwajerwala N. K. Modified Radical Mastectomy.

http://emedicine.medscape.com/article/1830105-overview [diakses 6 november

2014]

Loukas M, Tubbs RS, Mirzayan N, Shirak M, Steinberg A, Shoja MM. The history of

mastectomy. Am Surg. May 2011;77(5):566-71

Page 103: Tugas Akhir Final

84

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pain Managament. In : Morgan GE, editor.

Clinical Anesthesiology, 4th

ed. Lange Medical Books/McGraw-Hill ; 2006. p.

359-412.

National Comprehensive Cancer Network. NCCN Guidelines for Treatment of

Cancer. http://www.nccn.org/professionals/physician_gls/f_guidelines.asp#site.

[Diakses 5 November 2014]

Meyer RA, Ringkamp M, Campbell JN. Peripheral neural mechanism of nociception.

In : McMahon SB, Koltzenburg M, editors. Textbook of Pain, 5 th

ed. China :

Churchill Livingstone ; 2006. p.8-19

Potter., Patricia A, Perry., Anne Griffin. 2005 Buku Ajar Fundamental Keperawatan:

Konsep, Proses dan Praktik. Penerbit:EGC

Rawal N, Fischer HBJ, Ivani G, Andreas JD, Mogensen T, Narchi P, et al. Post

operative pain management – good clinical practice. European Society of

Regional Anaesthesia. Sweden, 2008.

Setyowati, Setiyadi, Ambarwati. 2008. Risiko Terjadinya Kanker Payudara Ditinjau

dari Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pencegahan. Surakarta: Prodi Kesehatan

Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan.

Sjamsuhidayat R dan Jong WD. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.

Soetjiningsih et al. 2008. Modul Komunikasi Pasien-Dokter : Suatu Pendekatan

Holistik. cetakan : 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm. 64

Page 104: Tugas Akhir Final

85

Stephen EA. Pain Pathway and Mechanisme. In : The Pain Clinic Manom, 2nd

edition,

2000.

Stoelting RK, Hillier SC. Pain. In : Pharmacology & Physiology in Anesthetic

Practice, 4th

ed. Lippincott Williams & Wilkins ; 2006. p.707-17.

Suratun, Heryati, Santa Manurung, Een Raenah. 2008. Asuhan Keperawatan Klien

Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC Hlm 172.

Umar N. Acute pain : management strategies that work. Pertemuan Ilmiah Berkala

(PIB) IX IDSAI. Medan ; 2002. p.421-29

Woolf CJ. Pain moving from symptom control toward mechanism-spesific

pharmacologic management. Annals of Internal Medicine. 2004 ; 140 : 441-51.

Page 105: Tugas Akhir Final

86

LAMPIRAN A. ETHICAL CLEARANCE

Page 106: Tugas Akhir Final

87

LAMPIRAN B. NASKAH PENJELASAN

Pasien diperiksa rentang gerak sendi bahunya dengan menggunakan goniometri.

Pasien Pasien diminta untuk melakukan gerakan abduksi horizontal, adduksi

horizontal, fleksi, ekstensi, rotasi internal, dan rotasi eksternal.

1. Abduksi Horizontal

Pasien memposisikan lengan sejajar dengan sumbu vertikal tubuh. Pasien

diminta memposisikan lengan sejajar dengan sumbu vertikal tubuh. Pasien

diminta menggerakkan lengannya ke samping lalu kebelakang secara perlahan

hingga mencapai sudut maksimal yang dapat dibentuk dan diukur. Pasien

hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara yang telah diterapi.

Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan dalam

skala 0-10 saat melakukan gerakan abduksi

2. Adduksi Horizontal

Setelah melakukan gerakan abduksi pasien diminta mengembalikan posisi

lengan sejajar dengan sumbu vertikal tubuh kemudian pasien menggerakkan

lengan ke samping lalu kedepan dada hingga mencapai sudut maksimal yang

dapat dibentuk dan diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi

dengan payudara yang telah diterapi. Pasien diminta untuk menunjukkan

intensitas nyeri yang dirasakan dalam skala 0-10 saat melakukan gerakan

adduksi

3. Fleksi

Pasien diminta meluruskan lengan sejajar dengan garis vertikal tubuh.

Pasien diminta menggerakkan lengan ke depan lalu ke atas hingga mencapai

sudut maksimal dan diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi

dengan payudara yang telah diterapi. Pasien diminta untuk menunjukkan

intensitas nyeri yang dirasakan dalam skala 0-10 saat melakukan gerakan

fleksi

Page 107: Tugas Akhir Final

88

4. Ekstensi

Pasien diminta memposisikan sejajar dengan garis vertikal tubuh

kemudian menggerakkan lengan ke belakang menjauhi garis vertikal. Pasien

menggerakkan lengan hingga mencapai sudut maksimal yang dapat dibentuk

dan diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara

yang telah diterapi. Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri yang

dirasakan dalam skala 0-10 saat melakukan gerakan ekstensi

5. Rotasi Internal

Pasien diminta mengangkat lengan atas dan memposisikan abduksi 90o

dan lengan bawah diarahkan lurus ke depan. pasien diminta menggerakkan

lengan bawah kebawah hingga membentuk sudut maksimal dan diukur. Pasien

hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara yang telah diterapi.

Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan dalam

skala 0-10 saat melakukan gerakan rotasi internal

6. Rotasi Eksternal

Pasien diminta mengangkat lengan atas dan memposisikan abduksi 90o

dan lengan bawah diarahkan lurus ke depan. Pasien diminta menggerakkan

lengan bawah keatas hingga membentuk sudut maksimal dan diukur. Pasien

hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara yang telah diterapi.

Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan dalam

skala 0-10 saat melakukan gerakan rotasi eksternal

Page 108: Tugas Akhir Final

89

LAMPIRAN C. CHECKLIST PASIEN POST TERAPI MRM

I Data Pribadi Pasien

1. Nama :

2. Umur :

3. Alamat :

4. Nomor Telepon :

II Latar Belakang Pasien

1. Lama waktu post terapi MRM :

a. ....... Hari

b. ....... Minggu

2. Pekerjaan Pasien

a. Ibu Rumah Tangga

b. Wiraswasta

c. PNS

d. Tidak Bekerja

e. Lain-lain............

3. Latar Belakang Pendidikan

a. SD/MI

b. SMP/MTS

c. SMA/MA

d. Perguruan Tinggi S1

e. Lain-lain..........

4. Diagnosis menurut rekam medik

a. Ca Mammae Stadium I

b. Ca Mammae Stadium II A/ II B

c. Ca Mammae Stadium III A / IIIB / IIIC

d. Ca Mammae Stadium IV

Page 109: Tugas Akhir Final

90

5. Jenis Analgesik

........................................................

6. Infeksi luka operasi

a. Ada

b. Tidak ada

7. Terapi Alternatif ( pijat )

a. Iya

b. Tidak

c. Lain-lain.......

8. Latihan

a. Jarang

b. Kadang-kadang

c. Sering

9. Aktifitas harian

a. Tidak dapat beraktivitas

b. Ringan

c. Sedang

d. Berat

Page 110: Tugas Akhir Final

91

LAMPIRAN D. PEMERIKSAAN KLINIS PASIEN

Nama Pasien :...........................................................................

Keadaan Umum :............................................................................

1. Rentang Gerak Sendi Bahu

a. Fleksi bahu : derajat (N:0°- 170°)

b. Ekstensi bahu : derajat (N:0°- 60°)

c. Abduksi bahu : derajat (N:0°- 40°)

d. Adduksi bahu : derajat (N:0°- 130°)

e. Rotasi internal bahu : derajat (N:0°- 70°)

f. Rotasi eksternal bahu : derajat (N:0°- 90°)

2. Derajat Nyeri

a. Fleksi bahu : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10

b. Ekstensi bahu : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10

c. Abduksi bahu : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10

d. Adduksi bahu : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10

e. Rotasi Internal : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10

f. Rotasi Eksternal : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10

3. Melakukan gerakan menyisir rambut :

a. Bisa tanpa nyeri

b. Bisa dengan nyeri

c. Tidak bisa

Page 111: Tugas Akhir Final

92

LAMPIRAN E. LEMBARAN INSTRUMEN SKALA PENILAIAN VAS

Page 112: Tugas Akhir Final

93

LAMPIRAN F. FORMULIR PERSETUJUAN

FORMULIR PERSETUJUAN

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Alamat :

No. Telp/Hp :

Menyatakan bersedia untuk menjadi subjek penelitian dari :

Nama : Radityo Priambodo (2011/112010101024)

Fakultas : Fakultas Kedokteran Universitas Jember

Judul Penelitian :

PENGARUH TERAPI MODIFIED RADICAL MASTECTOMY TERHADAP

RENTANG GERAK SENDI BAHU DAN DERAJAT NYERI PADA PASIEN CA

MAMMAE DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER

Prosedur penelitian ini tidak akan memberikan dampak dan resiko apapun terhadap

subjek penelitian. Semua penjelasan telah disampaikan kepada saya dan semua

pertanyaan saya telah dijawab oleh peneliti. Saya mengerti bahwa bila masih

memerlukan penjelasan, saya akan mendapat jawaban dari Radityo Priambodo.

Dengan menandatangani formulir ini, saya setuju untuk ikut dalam penelitian ini.

Jember,......................

Saksi Subjek

(____________________) (____________________)

Page 113: Tugas Akhir Final

94

LAMPIRAN G. DOKUMENTASI PENELITIAN

Pengukuran ROM

Pengukuran ROM