Download - Tugas Akhir Final
PENGARUH TERAPI MODIFIED RADICAL MASTECTOMY
TERHADAP RENTANG GERAK SENDI BAHU DAN
DERAJAT NYERI PADA PASIEN CA MAMMAE
DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER
SKRIPSI
Oleh
Radityo Priambodo
NIM 112010101024
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
ii
PENGARUH TERAPI MODIFIED RADICAL MASTECTOMY
TERHADAP RENTANG GERAK SENDI BAHU DAN
DERAJAT NYERI PADA PASIEN CA MAMMAE
DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER
SKRIPSI
diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran
Oleh
Radityo Priambodo
NIM 112010101024
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
iii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk :
1. Allah SWT, yang senantiasa memberi karunia-Nya sehingga saya mendapat
kesempatan untuk hidup dan menuntut ilmu, beserta Nabi Muhammad SAW yang
menjadi panutan saya.
2. Kedua orang tua saya, bapak Ir. H. Adi Prasongko, MM dan ibu Dra. Hj. Herrien
Triwahyuni, M.Si yang telah memberikan do’a, cinta, nasehat, kasih sayang, dan
pengorbanan dalam mendidik dan membesarkan saya.
3. Kakak-kakakku Dimaz Anandito, S.Psi dan Dicky Pramudito, S.Kom serta
adekku tersayang Muhammad Satryo Aji Pamungkas yang telah memberikan
cinta, motivasi, perhatian, dan pengertiannya selama ini.
4. Guru-guruku sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, yang telah
memberikan ilmu dan mencurahkan segala kemampuannya untuk membimbingku
dalam menjalani perjuangan menuntut ilmu.
5. Almamater Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
iv
MOTTO
“Where there’s a will, there’s a way”
Dimana ada kemauan disitu ada jalan
“Man Jadda Wajada”
Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil
v
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Radityo Priambodo
NIM : 112010101024
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul : “Pengaruh
Terapi Modified Radical Mastectomy Terhadap Rentang Gerak Sendi Bahu dan
Derajat Nyeri Pada Pasien Ca Mammae di RSD DR. Soebandi Jember” adalah benar-
benar hasil karya sendiri kecuali kutipan yang sudah saya sebutkan sumbernya, belum
pernah diajukan pada institusi mana pun, dan bukan karya jiplakan. Saya bertanggung
jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus
dijunjung tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan dan
paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata
di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.
Jember, 28 Oktober 2014
Yang menyatakan,
Radityo Priambodo
NIM 112010101024
vi
SKRIPSI
PENGARUH TERAPI MODIFIED RADICAL MASTECTOMY
TERHADAP RENTANG GERAK SENDI BAHU DAN
DERAJAT NYERI PADA PASIEN CA MAMMAE
DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER
Oleh
Radityo Priambodo
NIM 112010101024
Pembimbing
Dosen Pembimbing Utama : dr. Duriyanto Oesman, Sp.B, FInaCS
Dosen Pembimbing Anggota : dr. M. Ihwan Narwanto, M.Sc
vii
PENGESAHAN
Skripsi berjudul “Pengaruh Terapi Modified Radical Mastectomy Terhadap Rentang
Gerak Sendi Bahu dan Derajat Nyeri Pada Pasien Ca Mammae di RSD DR. Soebandi
Jember” ini telah diuji dan disahkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Jember
pada:
Hari : Selasa
Tanggal : 28 Oktober 2014
Tempat : Ruang Sidang Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Tim Penguji
Penguji I, Penguji II,
dr. Adi Nugroho,Sp.B dr. M. Hasan, M.Kes, Sp.OT
NIP 19621230198911 1 001 NIP 19690411199903 1 001
Penguji III, Penguji IV,
dr. Duriyanto Oesman, Sp.B, FInaCS dr. M. Ihwan Narwanto, Msc
NIP 19511125198003 1 007 NIP 19800218200501 1 001
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jember
dr. Enny Suswati, M.Kes
NIP 19700214 199903 2 001
viii
RINGKASAN
Pengaruh Terapi Modified Radical Mastectomy Terhadap Rentang Gerak Sendi
Bahu dan Derajat Nyeri Pada Pasien Ca Mammae di RSD DR. Soebandi
Jember; Radityo Priambodo, 112010101024; 2014; 85 halaman; Fakultas
Kedokteran Universitas Jember.
Kanker Payudara adalah kanker yang paling umum terjadi pada wanita di
seluruh dunia. Di Indonesia kanker payudara merupakan kejadian tertinggi kedua
setelah kanker serviks.
Ada beberapa terapi untuk menangani kanker payudara tersebut dan terapi yang
dinilai paling efektif untuk menghilangkan berbagai jenis kanker adalah terapi bedah
jenis Modified Radical Mastectomy (MRM) yang merupakan standar terapi untuk
kanker payudara dimana terapi ini menawarkan keuntungan kosmetik dan fungsional
dibandingkan dengan terapi bedah yang lain
Risiko yang sering dihadapi pasien yang menjalani terapi bedah adalah
terjadinya edema pada lengan atas, mati rasa pada lengan, kesulitan menggerakkan
lengan, dan rasa nyeri yang sering timbul . Dengan adanya nyeri dan pembatasan
gerak pada lengan pasca operasi kegiatan aktivitas sehari-hari akan terganggu
sehingga menyebabkan produktivitas yang menurun. Pasien harus mengetahui
informasi tentang besarnya komplikasi MRM terhadap rentang gerak sendi bahu dan
derajat nyeri.
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian non
experimental dengan desain survey analitik melalui pendekatan cross sectional yang
dilaksanakan di Poli Bedah Umum RSD DR. Soebandi Jember.
Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien kanker payudara yang telah
menjalani terapi MRM di RSD Dr. Soebandi Jember yang ada pada saat penelitian
dilaksanakan dan memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah total sampling.
ix
Variabel bebas penelitian ini adalah lama waktu setelah terapi MRM dan
variabel terikat penelitian ini adalah rentang gerak sendi bahu dan derajat nyeri pada
pasien ca mammae pasca terapi MRM di RSD Dr. Soebandi Jember.
Data penelitian ini didapatkan melalui data primer yaitu data yang langsung
diperoleh dari responden penelitian dengan menggunakan kuesioner yang diisi
berdasarkan hasil pemeriksaan fisik langsung kepada pasien pasca terapi MRM.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel
2007 dan SPSS. Tahapan uji yang dilaksanakan yaitu Saphiro-Wilk Test untuk
mengetahui normalitas data, uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman), dan uji
regresi linear.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan terapi MRM
menurunkan besar sudut rentang gerak sendi bahu pada gerakan fleksi, abduksi,
adduksi, dan rotasi internal dalam rentang waktu tiga minggu pasca mendapat teapi
MRM dan tidak ada pengaruh signifikan antara lama waktu setelah terapi MRM
dengan peningkatan rentang gerak sendi bahu (hasil bervariasi dari p=0,109 sampai
p=0,574). Sedangkan pada gerakan ekstensi dan rotasi eksternal dalam batas normal.
Nyeri pasca operasi berbanding terbalik dengan rentang gerak sendi dalam
rentang waktu tiga minggu pasca mendapat terapi MRM. Pasien yang diamati hanya
mengalami nyeri dengan intensitas ringan. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara
lama waktu pasca operasi terhadap pengurangan rasa nyeri pasien (hasil bervariasi
dari p=0,086 sampai p=1,000)
x
PRAKATA
Segala puji bagi Allah atas segala rahmad dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Terapi Modified Radical
Mastectomy Terhadap Rentang Gerak Sendi Bahu dan Derajat Nyeri Pada Pasien Ca
Mammae di RSD DR. Soebandi Jember”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) Fakultas Kedokteran Universitas
Jember.
Karya tulis ini terselesaikan tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr.Enny Suswati, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Jember;
2. dr.Duriyanto Oesman, Sp.B, FInaCS selaku Dosen Pembimbing Utama dan dr.
M. Ihwan Narwanto, M.Sc selaku Dosen Pembimbing Anggota yang telah
meluangkan waktu, pikiran, tenaga, dan perhatiannya dalam penulisan tugas
akhir ini dan selama perkuliahan;
3. dr. Ali Santoso, Sp.PD, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis selama studi;
4. dr. Sugiyanta, M.Ked, selaku koordinator KTI yang telah menyetujui penyusunan
skripsi ini;
5. dr. Adi Nugroho, Sp.B, dr. M. Hasan, M.Kes, Sp.OT, dr.Duriyanto Oesman,
Sp.B, FinaCS, dan dr. M. Ihwan Narwanto, M.Sc sebagai dosen penguji yang
banyak memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun dalam
penulisan skripsi ini;
6. Kedua Orang tua saya, Bapak Ir. H. Adi Prasongko, MM dan ibu Dra. Hj.
Herrien Triwahyuni, M.Si yang telah memberi kasih sayang, doa, bimbingan,
dukungan, teladan, dan pengorbanan;
xi
7. Kakak-kakakku Dimaz Anandito, S.Psi dan Dicky Pramudito, S.Kom serta
adekku Muhammad Satryo Aji Pamungkas yang selama ini telah memberikan
dukungan, kasih sayang, motivasi dan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir
ini;
8. Sahabat-sahabatku, Anas, Renno, Nastiti, Vina, Thallita, Asti, Cynthia, Tya,
Adimas,Aji, Natasha, dan Chikita atas dukungan dan semangatnya selama ini;
9. Winda Galuh Pertiwi yang selalu menemani dan mendukung;
10. Senior saya yang membantu dan membimbing saya dalam melakukan penelitian
ini, Alfonsus Mario Eri, S.Ked
11. Keluargaku tercinta angkatan 2011 yang selalu saling mendukung dan berjuang
bersama-sama demi sebuah gelar Sarjana Kedokteran;
12. Semua pasien post op MRM dan pegawai Poli Bedah serta Rekam Medis Rumah
Sakit Dr. Soebandi Jember terima kasih atas menyediakan waktu dan tempat
untuk penulis dalam melakukan penelitian;
13. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
pengembang ilmu pengetahuan, dan khususnya untuk perkembangan Fakultas
Kedokteran Universitas Jember.
Jember, 28 Oktober 2014
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL............................................................................. . i
HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................... v
HALAMAN PEMBIMBINGAN .............................................................. vi
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... vii
RINGKASAN ............................................................................................ viii
PRAKATA ................................................................................................. x
DAFTAR ISI .............................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xix
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 5
2.1 Kanker Payudara ................................................................ 5
2.1.1 Etiologi dan Faktor Risiko ............................................ 5
2.1.2 Epidemiologi ................................................................. 9
2.1.3 Patofisiologi................................................................. . 9
2.1.4 Klasifikasi Stadium...................................................... . 10
2.1.5 Diagnosis...................................................................... 13
xiii
2.1.6 Penatalaksanaan............................................................ 16
2.1.7 Prognosis...................................................................... . 19
2.2 Modified Radical Mastectomy ............................................... 20
2.2.1 Indikasi MRM ............................................................... 20
2.2.2 Kontraindikasi MRM .................................................... 21
2.2.3 Pertimbangan Teknis .................................................... 21
2.2.4 Perencanaan Prosedur ................................................... 22
2.2.5 Pencegahan Komplikasi ................................................ 22
2.2.6 Teknik MRM ................................................................ 23
2.3 Range Of Motion ( Rentang Gerak Sendi ) ........................ 28
2.3.1 Jenis-jenis ROM ........................................................... 28
2.3.2 Musculus Pergerakan Sendi Bahu ................................ 29
2.4 Nyeri ....................................................................................... 30
2.4.1 Fisiologi Nyeri .............................................................. 30
2.4.2 Mekanisme Nyeri .......................................................... 32
2.4.3 Nosiseptor Nyeri (Reseptor Nyeri)............................... 34
2.4.4 Perjalanan Nyeri (Nociceptive Pathway)..................... . 35
2.4.5 Klasifikasi Nyeri ........................................................... 37
2.4.6 Penilaian Nyeri ............................................................. 40
2.4.7 Penanganan Nyeri....................................................... .. 43
2.5 Kerangka Konseptual ........................................................... 45
2.6Hipotesis .................................................................................. 45
BAB 3. METODE PENELITIAN ............................................................ 46
3.1 Jenis Penelitian ..................................................................... 46
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 46
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian.......................................... 46
3.3.1 Populasi Penelitian ........................................................ 46
3.3.2 Sampel Penelitian ......................................................... 46
xiv
3.3.3 Kriteria Inklusi .............................................................. 47
3.3.4 Kriteria Eksklusi.......................................................... . 47
3.4 Variabel Penelitian .............................................................. 47
3.4.1 Variabel Bebas .............................................................. 47
3.4.2 Variabel Terikat ............................................................ 47
3.5 Definisi Operasional ............................................................ 48
3.5.1 Rentang Gerak Sendi .................................................... 48
3.5.2 Derajat Nyeri ................................................................. 48
3.6 Instrumen Penelitian ........................................................... 48
3.7 Prosedur Pengambilan Data ............................................... 49
3.7.1 Uji Kelayakan ............................................................... 49
3.7.2 Pengambilan Data Rekam Medis .................................. 49
3.7.3 Informed Concent......................................................... 49
3.8 Prosedur Penelitian .............................................................. 50
3.8.1 Alur Penelitian .............................................................. 50
3.8.2 Pengumpulan Data Populasi dan Pengambilan Data .... 53
3.9 Analisis Data ......................................................................... 53
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 54
4.1 Hasil dan Analisis data ........................................................ 54
4.2 Pembahasan ........................................................................... 78
BAB 5. PENUTUP ..................................................................................... 81
5.1 Kesimpulan ........................................................................... 81
5.2 Saran ..................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 82
LAMPIRAN ............................................................................................... 86
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Gerakan articulatio humeri dan otot-otot penggerak...... ...................... 29
2.2 Obat Farmakologis untuk penanganan nyeri......................................... 44
4.1 Distribusi jumlah sampel inklusi dan eksklusi pada pasien ca mammae
Pasca terapi MRM.. .............................................................................. 54
4.2 Distribusi usia sampel penelitian pada pasien ca mammae pasca terapi
MRM .................................................................................................... 55
4.3 Distribusi pekerjaan sampel pada pasien ca mammae pasca terapi
MRM .................................................................................................... 55
4.4 Distribusi Waktu pemeriksaan pada pasien ca mammae pasca terapi
MRM.. .................................................................................................. 56
4.5 Distribusi Infeksi luka operasi pada pasien ca mammae pasca terapi
MRM.. .................................................................................................. 57
4.6 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan fleksi pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 57
4.7 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji
Regresi Linear gerakan fleksi.. ............................................................ 58
4.8 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan ekstensi pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 59
4.9 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji
Regresi Linear gerakan ekstensi.......................................................... 59
4.10 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan abduksi pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 60
4.11 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji
Regresi Linear gerakan abduksi.. ......................................................... 61
4.12 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan adduksi pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 62
xvi
4.13 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji
Regresi Linear gerakan adduksi.. ......................................................... 62
4.14 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi internal pada
pasien ca mammae pasca terapi MRM.. .............................................. 63
4.15 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan
Uji Regresi Linear gerakan rotasi internal.. ......................................... 64
4.16 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi eksternal pada ca
mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 65
4.17 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan
Uji Regresi Linear gerakan rotasi eksternal.. ....................................... 65
4.18 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan fleksi pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 66
4.19 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji
Regresi Linear VAS gerakan fleksi.. ................................................... 67
4.20 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan Ekstensi pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 68
4.21 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan
Uji Regresi Linear VAS gerakan ekstensi.. ......................................... 68
4.22 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan abduksi pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 69
4.23 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji
Regresi Linear VAS gerakan abduksi.. ................................................ 70
4.24 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan adduksi pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM.. .............................................................. 71
4.25 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji
Regresi Linear VAS gerakan adduksi.. ................................................ 71
4.26 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan rotasi internal pada pasien
ca mammae pasca terapi MRM.. .......................................................... 72
xvii
4.27 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan
Uji Regresi Linear VAS gerakan rotasi internal.. ................................ 73
4.28 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan rotasi eksternal pada pasien
ca mammae pasca terapi MRM.. .......................................................... 74
4.29 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan
Uji Regresi Linear VAS gerakan rotasi eksternal.. .............................. 74
4.30 Distribusi hasil pemeriksaan gerakan menyisir pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM................................................................ 75
4.31 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji
Regresi Linear gerakan menyisir.. ....................................................... 76
4.32 Distribusi hasil pemeriksaan ADL pada pasien ca mammae pasca
terapi MRM.. ........................................................................................ 77
4.33 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan
Uji Regresi Linear ADL.. ..................................................................... 77
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Penanda anatomi sebelum dilakukan mastektomi ................................. 24
2.2 Diseksi flap Superior ............................................................................. 25
2.3 Diseksi flap superior hingga fasia otot pektoralis ............................... 25
2.4 Pengangkatan payudara dari otot pectoralis dengan fasia ..................... 25
2.5 Memasuki aksila di perbatasan lateral otot pectoralis mayor ............... 26
2.6 Mempertahankan vena aksilaris dan saraf thorakalis di latisimus dorsi
dan anterior serratus dalam diseksi aksila.............................................. 27
2.7 Penempatan drain dan penutupan kulit setelah mastektomi ................. 27
2.8 Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut
akibatkerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan
atau trauma ........................................................................................... 31
2.9 Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral............................ 33
2.10 Pain pathway ....................................................................................... 37
2.11 Wong baker faces pain rating scale ..................................................... 41
2.12 Verbal rating scale............................................................................... 41
2.13 Numerical rating scale ........................................................................ 42
2.14 Visual analogue scale .......................................................................... 43
2.15 Kerangka konsep penelitian ................................................................ 45
3.1 Alur penelitian ....................................................................................... 29
4.1 Distribusi pendidikan sampel pada pasien ca mammae pasca terapi
MRM .................................................................................................... 55
4.2 Distribusi Diagnosis sampel penelitian pada pasien ca mammae pasca terapi
MRM ..................................................................................................... 56
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
A. Ethical Clearence .............................................................................. 86
B. Naskah Penjelasan ............................................................................. 87
C. Check List Pasien Post Terapi MRM ................................................ 89
D. Pemeriksaan Klinis Pasien ................................................................. 91
E. Lembaran Instrumen Skala Penilaian VAS ....................................... 92
F. Formulir Persetujuan ......................................................................... 93
G. Dokumentasi Penelitian ..................................................................... 94
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker Payudara adalah kanker yang paling umum terjadi pada wanita di
seluruh dunia. Data WHO dalam Alzufri (2011) menunjukkan 78% kanker payudara
terjadi pada wanita diatas usia 50 tahun, 6 persen pada wanita usia kurang dari 40
tahun. Data dari IARC (International Agency for Research on Cancer) dalam Efendi
(2012) kanker payudara menempati urutan pertama dari seluruh kanker pada
perempuan dengan kasus baru sebesar 22,7% dan jumlah kematian 14% per tahun.
Kanker payudara merupakan kejadian tertinggi kedua setelah kanker serviks pada
wanita di Indonesia. Kamarudin (2009) memperkirakan terdapat 113 penderita kanker
baru pada 100.000 penduduk per tahunnya, dimana lebih dari 70% penderita datang
ke dokter pada stadium yang sudah lanjut (Setyowati, 2008).
Ada beberapa terapi menurut Desen (2011) untuk menangani kanker payudara
tersebut, yaitu terapi bedah, terapi hormon, radioterapi, dan kemoterapi. Terapi yang
dinilai paling efektif untuk menghilangkan berbagai jenis kanker adalah terapi bedah.
Modified Radical Mastectomy (MRM) atau mastektomi radikal modifikasi adalah
standar terapi untuk kanker payudara dimana terapi ini menawarkan keuntungan
kosmetik dan fungsional dibandingkan dengan terapi bedah yang lain (Loukas et al.,
2011).
Terapi bedah merupakan terapi yang dihindari oleh sebagian masyarakat karena
sebagian dari mereka merasa cemas atau takut menjalani terapi operasi. Kecemasan
dapat mempengaruhi Quality of Life (QoL) atau kualitas hidup pasien, dan QoL
merupakan penilaian yang penting dalam onkologi. Menurut Brunner dan Suddarth
2
(2002), pasien preoperasi dapat mengalami berbagai ketakutan, takut terhadap
anastesi, nyeri, kematian, deformitas atau ancaman lain terhadap citra tubuh yang
dapat menyebabkan ketidaktenangan atau kecemasan.
Salah satu tindakan yang dapat dilakukan dokter untuk mengatasi atau
mengurangi kecemasan pasien preoperasi adalah dengan menyampaikan prosedur dan
informasi yang lengkap terhadap pasien dan keluarganya (Soetjiningsih, 2007).
Informasi yang dibutuhkan pasien meliputi diagnosis, tindakan yang akan
direncanakan, risiko yang timbul terhadap bentuk tubuh pasien pasca operasi, lama
pasien dapat sembuh, sakit yang dirasakan pasien, komplikasi dari terapi, dan jenis
terapi lanjutan yang perlu dilakukan oleh pasien ( Sjamsuhidayat dan Jong, 2004).
Risiko yang sering dihadapi pasien yang menjalani terapi bedah adalah
terjadinya edema pada lengan atas, sensibilitas pada lengan berkurang, kesulitan
menggerakkan lengan, dan rasa nyeri yang sering timbul (Ay, 2014). Lengan adalah
bagian tubuh yang penting bagi manusia karena sebagian besar kegiatan manusia
dilakukan menggunakan lengan. Dengan adanya nyeri dan pembatasan gerak pada
lengan pasca operasi Activity of Daily Living (ADL) atau kegiatan aktivitas sehari-
hari akan terganggu sehingga menyebabkan produktivitas yang menurun. Kondisi-
kondisi ini menimbulkan potensi untuk melakukan penelitian tentang besarnya
komplikasi MRM terhadap rentang gerak sendi dan derajat nyeri.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana
rentang gerak sendi bahu dan derajat nyeri yang dialami pasien pasca terapi MRM.
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan
bagaimana rentang gerak sendi bahu dan derajat nyeri yang dialami pasien dalam
rentang waktu tiga minggu pasca mendapat terapi MRM?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengaruh terapi MRM terhadap rentang gerak sendi bahu
pasien ca mammae dalam rentang waktu tiga minggu pasca mendapat terapi
MRM.
2. Untuk mengetahui pengaruh terapi MRM terhadap derajat nyeri yang
dialami pasien ca mammae dalam rentang waktu tiga minggu pasca
mendapat terapi MRM.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi dokter dan paramedis
a. Dapat memberi edukasi kepada pasien dengan ilmu dan informasi
yang lebih lengkap
b. Dapat memberikan informasi tentang kelebihan dan kekurangan terapi
MRM
4
2. Bagi RSD. Dr. Soebandi
a. Dapat memberikan data rentang gerak sendi bahu dan derajat nyeri
yang dialami pasien pasca mendapat terapi MRM di RSD. Dr.
Soebandi.
b. Dapat memberikan data kepada pasien tentang terapi MRM sebagai
dasar dalam memilih terapi untuk ca mammae
3. Bagi Masyarakat
a. Dapat menambah wawasan tentang ca mammae
b. Dapat menambah wawasan tentang terapi MRM
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker Payudara
Tumor adalah jaringan baru yang timbul dalam tubuh akibat pengaruh berbagai
faktor penyebab yang menyebabkan jaringan setempat pada tingkat gen kehilangan
kendali normal atas pertumbuhannya yang dapat bersifat jinak dan ganas (Desen et
al., 2011). Kanker tumbuh dengan pesat, bersifat invasif (menginfiltrasi jaringan
sekitarnya) dan bermetastasis, jika tidak mendapatkan terapi yang efektif dapat
menyebabkan kematian. American Cancer Society (2013) menyatakan bahwa kanker
payudara (cancer mammae) adalah tumor ganas yang bermula dari sel payudara pada
wanita dan pria.
2.1.1 Etiologi dan Faktor Risiko
Menurut American Cancer Society (2013) dan Desen et al. (2011), penyebab
dan faktor risiko yang dapat menimbulkan kanker payudara yakni:
a. Jenis kelamin
Wanita 100 kali lebih sering terkena daripada pria, dikarenakan pria
memiliki lebih sedikit hormon estrogen dan progesteron yang bisa memacu
pertumbuhan sel kanker.
b. Penuaan
Risiko terkena kanker payudara semakin meningkat seiring bertambahnya
usia, dimana 1 dari 8 kanker payudara invasif ditemukan pada wanita
berusia kurang dari 45 tahun sementara 2 dari 3 kanker payudara invasif
ditemukan pada wanita berusia lebih dari 55 tahun.
6
c. Genetik
Ditemukan sekitar 5-10% kejadian kanker payudara diakibatkan oleh defek
gen (mutasi) yang diturunkan dari keluarga. Biasanya terjadi pada wanita
berusia muda, dan lebih sering mengenai kedua payudara. Selain itu, wanita
dengan mutasi gen seperti ini lebih rentan terkena kanker pada bagian yang
lain, seperti kanker ovarium.
d. Riwayat keluarga
Risiko kanker payudara lebih tinggi pada wanita yang memiliki saudara
terkait hubungan darah menderita kanker payudara. Jika di antara ibu, kakak,
adik, atau anak perempuan terdapat satu orang yang menderita kanker
payudara, maka risiko terkena kanker payudara menjadi 2 kali lipat. Jika
terdapat dua orang dari antara ibu, kakak, adik, atau anak perempuan yang
menderita kanker payudara, maka risiko terkena kanker payudara adalah 3
kali lipat.
e. Riwayat personal
Wanita dengan kanker pada satu payudaranya akan berisiko 3 sampai 4 kali
lebih tinggi terkena kanker pada payudara kontralateral.
f. Reproduksi
Usia menarche dini (kurang dari 12 tahun), menopause lanjut (lebih dari 55
tahun), dan siklus haid pendek merupakan faktor risiko tinggi kanker
payudara. Wanita yang seumur hidup tidak atau belum menikah, partus
pertama berusia lebih dari 30 tahun, dan setelah partus belum menyusui
merupakan faktor risiko cukup tinggi kanker payudara.
g. Kelainan glandula mammae
Penderita kistadenoma mammae hiperplastik berat berinsiden lebih tinggi
terkena kanker payudara.
7
h. Penggunaan obat di masa lalu
Risiko kanker payudara meningkat pada penggunaan jangka panjang
reserpin, metildopa, analgesik trisiklik.
i. Ras
Wanita berkulit putih lebih berisiko terkena kanker payudara dibandingkan
wanita Afrika dan Amerika, namun wanita Afrika dan Amerika lebih sering
terjadi kasus kematian akibat kanker ini. Wanita Afrika dan Amerika
berisiko tinggi terkena kanker payudara pada usia kurang dari 45 tahun.
Wanita Asia, Hispanik, dan Native-America memiliki risiko yang lebih
rendah untuk terkena maupun meninggal akibat kanker payudara.
j. Radiasi peng-ion
Risiko menderita kanker payudara lebih tinggi jika wanita pernah terkena
radiasi peng-ion, biasanya pada wanita berusia dewasa, sedangkan tindakan
radiasi pada wanita di atas 40 tahun tidak terlalu meningkatkan risiko kanker
payudara.
k. Diet dan gizi
Diet tinggi lemak dan tinggi kalori berkaitan langsung dengan timbulnya
kanker payudara maupun mencetuskan kelebihan berat badan sebagai faktor
risiko kanker payudara.
l. Penggunaan alat kontrasepsi
1) Kontrasepsi oral
Risiko kanker payudara meningkat pada wanita yang meminum pil
kontrasepsi, dan risiko akan turun jika konsumsi pil kontrasepsi
dihentikan. Wanita yang telah berhenti konsumsi pil kontrasepsi selama
10 tahun tidak ditemukan adanya peningkatan risiko kanker payudara.
2) Depot-medroxyprogesterone acetate (DMPA; Depo-Provera)
Pemberian progesterone injeksi yang diberikan setiap 3 bulan ini akan
meningkatkan risiko terkena kanker payudara pada wanita, namun tidak
8
terjadi peningkatan risiko pada penggunaan Depo-Provera lebih dari 5
tahun yang lalu.
m. Terapi hormon setelah menopause
Terapi hormon setelah menopause banyak dipakai untuk mengurangi gejala
dari menopause dan membantu mencegah osteoporosis. Terdapat 2 jenis
terapi hormon setelah menopause yaitu:
1) Terapi hormon kombinasi
Penggunaan hormon kombinasi progesterone dan estrogen pada wanita
yang masih mempunyai uterus, dimana progesterone dibutuhkan karena
estrogen sendiri dapat mencetuskan kanker pada uterus. Terapi hormon
kombinasi ini dapat meningkatkan risiko terkena kanker payudara, dan
dapat terlihat setelah 2 tahun pemakaian terapi hormon kombinasi.
Risiko tersebut akan turun setelah 5 tahun penghentian penggunaan
terapi hormon kombinasi.
2) Terapi estrogen
Digunakan pada wanita yang tidak lagi mempunyai uterus sehingga
tidak menimbulkan kanker uterus. Terapi estrogen ini tidak
menimbulkan risiko kanker payudara.
n. Mengkonsumsi minuman beralkohol
Mengkonsumsi minuman beralkohol akan meningkatkan risiko terkena
kanker payudara maupun kanker lainnya. Dengan perbandingan wanita yang
bukan peminum minuman beralkohol, wanita yang mengkonsumsi minuman
beralkohol sebanyak 2 hingga 5 gelas sehari akan meningkatkan risiko 1,5
kali untuk terkena kanker payudara.
o. Berat badan berlebihan
Sebelum menopause ovarium akan memproduksi estrogen dan jaringan
lemak akan memproduksi sedikit estrogen, tetapi setelah menopause dimana
ovarium akan berhenti memproduksi estrogen, sebagian besar estrogen
9
dihasilkan oleh jaringan lemak. Peningkatan jaringan lemak akan
meningkatkan risiko terkena kanker payudara.
p. Kegiatan fisik
Jarang melakukan kegiatan fisik akan meningkatkan risiko terkena kanker
payudara. Kegiatan fisik yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko
terkena kanker payuda adalah berjalan kaki selama 10 jam per minggu.
q. Merokok
Merokok berat dan dalam jangka waktu lama akan meningkatkan risiko
kanker payudara terutama wanita yang mulai merokok sejak usia muda.
Bahan kimia dari rokok akan mencapai jaringan payudara dan ditemukan
pula di air susu ibu (ASI).
r. Pekerja shift malam
Risiko terkena kanker payudara meningkat pada pekerja shift malam, hal ini
karena berhubungan dengan perubahan melatonin, hormon yang produksinya
dipengaruhi oleh paparan cahaya ke tubuh manusia.
2.1.2 Epidemiologi
Menurut American Cancer Society (2013) dan Desen et al. (2011),
epidemiologi dari kanker payudara yakni:
1. Lebih banyak mengenai wanita daripada pria
2. Lebih banyak mengenai usia setengah baya dan lanjut usia
3. Lebih banyak mengenai wanita Afrika dan Amerika daripada wanita
Asia, Hispanik, dan Native-America
2.1.3 Patofisiologi
Berdasarkan etiologi dan faktor risiko, American Cancer Society (2013)
menyatakan bahwa DNA memegang peranan penting dalam pengaturan fungsi sel-sel
tubuh. Beberapa gen kontrol ketika sel tubuh tumbuh, akan berkembang menjadi sel
baru dan kemudian mati. Gen yang mempercepat perkembangan sel tubuh disebut
10
oncogenes. Gen yang memperlambat perkembangan sel tubuh atau menyebabkan sel
tubuh mati pada saat yang tepat disebut tumor suppressor genes. Mutasi pada DNA
yang menyebabkan aktifnya oncogenes atau yang menyebabkan tidak aktifnya tumor
suppressor genes akan menyebabkan sel payudara normal menjadi sel kanker.
Gen utama yang terkait dengan timbulnya kanker payudara adalah BRCA-1 dan
BRCA-2. Pada keadaan normal, kedua gen ini bersifat tumor suppresos genes yang
berfungsi untuk mencegah timbulnya kanker dengan menghasilkan protein yang
menjaga sel tetap tumbuh secara normal. Mutasi gen BRCA-1 menyebabkan risiko
kanker payudara sebanyak 55 hingga 65 persen, paling tinggi sekitar 80 persen.
Sedangkan mutasi gen BRCA-2 menyebabkan risiko yang sedikit lebih rendah, yakni
45 persen.
2.1.4 Klasifikasi stadium
Berdasarkan Perhimpunan Anti Kanker Internasional dalam Desen et al.
(2011), klasifikasi stadium kanker payudara dengan sistim TNM yakni:
a. T (tumor)
T : kanker primer
TX : tumor primer tak dapat dinilai (misal telah direseksi)
T0 : tidak ada bukti lesi primer
Tis : karsinoma in situ
T1 : diameter tumor terbesar ≤ 2 cm
Tmic : infiltrasi mikro ≤ 0,1 cm
T1a : diameter terbesar > 0,1 cm tapi ≤ 0,5 cm
T1b : diameter terbesar > 0,5 cm tapi ≤ 1 cm
T1c : diameter terbesar > 1 cm tapi ≤ 2 cm
T2 : diameter tumor terbesar > 2 cm tapi ≤ 5 cm
T3 : diameter tumor terbesar > 5 cm
T4 : berapapun ukuran tumor, menyebar langsung ke kulit
11
atau dinding thorax (termasuk costae, musculus
intercostales, dan musculus serratus anterior, tidak
termasuk musculus pectoralis)
T4a : menyebar ke dinding thorax
T4b : oedem kulit mammae (termasuk peau d’ orange) atau
ulserasi, atau nodul satelit di mammae ipsilateral
T4c : terdapat 4a dan 4b sekaligus
T4d : karsinoma mammae inflamatorik
b. N (limfe nodul)
N : kelenjar limfe regional
NX : kelenjar limfe regional tak dapat dinilai (misal sudah
diangkat sebelumnya)
N0 : tidak ada metastasis kelenjar limfe regional
N1 : di fossa axillar ipsilateral terdapat metastasis kelenjar
limfe mobil
N2 : kelenjar limfe metastatik fossa axillar ipsilateral saling
konfluen dan terfiksasi dengan jaringan lain, atau bukti
klinis menunjukkan terdapat metastasis kelenjar limfe
mammaria interna namun tanpa metastasis kelenjar
limfe axillar
N2a : kelenjar limfe axillar ipsilateral saling konfluen dan
terfiksasi dengan jaringan lain
N2b : bukti klinis menunjukkan terdapat metastasis kelenjar
limfe mammaria interna namun tanpa metastasis
kelenjar limfe axillar
N3 : metastasis kelenjar limfe infraclavicular ipsilateral,
atau bukti klinis metastasis kelenjar limfe mammaria
interna dan metastasis kelenjar limfe axillar, atau
metastasis kelenjar limfe suprclavicular ipsilateral
12
N3a : metastasis kelenjar limfe infraclavicular
N3b : bukti klinis menunjukkan terdapat metastasis kelenjar
limfe mammaria interna dan metastasis kelenjar limfe
axillar
N3c : metastasis kelenjar limfe supraclavicular
c. M (metastasis)
M : metastasis jauh
MX : metastasis jauh tak dapat dinilai
M0 : tidak ada metastasis jauh
M1 : ada metastasis jauh
Klasifikasi stadium klinis yakni:
Stadium 0 : Tis N0 M0
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium IIA : T0 N1 M0
T1 N1 M0
T2 N0 M0
Stadium IIB : T2 N1 M0
T3 N0 M0
Stadium IIIA : T0 N2 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N1-2 M0
Stadium IIIB : T4 N-apapun M0
Stadium IIIC : T-apapun N3 M0
Stadium IV : T-apapun N-apapun M1
13
2.1.5 Diagnosis
Menurut American Cancer Society (2013) dan Desen et al. (2011), kanker
payudara dapat didiagnosis dengan cara:
a. Anamnesis
Anamnesis harus mencakup status haid, perkawinan, partus, laktasi dan riwayat
kelainan payudara sebelumnya, riwayat keluarga kanker, fungsi kelenjar tiorid,
penyakit ginekologi, dll. Dalam riwayat penyakit sekarang terutama harus
perhatikan waktu timbulnya massa, kecepatan pertumbuhan, dan hubungan
dengan haid.
b. Pemeriksaan fisik:
1) Inspeksi
a) Ukuran dan kesimetrisan kedua payudara
b) Benjolan tumor pada kedua payudara
c) Perubahan patologik kulit kedua payudara
d) Perubahan patologik kedua papilla mammae
2) Palpasi, dilakukan pada payudara kanan dan kiri
a) Pasien dalam posisi berbaring, tangan pasien di sisi yang sama dengan
payudara yang akan diperiksa diletakkan di belakang kepala
b) Pemeriksa menggunakan 4 jari tangan, palpasi lembut payudara
menggunakan ujung dan bantalan jari dengan gerakan searah atau
berlawanan arah jarum jam maupun dengan gerakan vertikal dari atas ke
bawah.
c) Jika terdapat tumor, periksa dan catat secara rinci lokasi, ukuran,
konsistensi, kondisi batas, permukaan, mobilitas, dan nyeri tekan. Untuk
memeriksa apakah tumor melekat ke dasarnya harus meminta lengan
pasien sisi lesi bertolak pinggang agar musculus pectoralis major
berkerut, jika melekat maka mobilitas terkekang.
14
d) Kemudian dengan lembut pijat areola dan papilla mammae untuk
melihat apakah keluar sekret. Jika terdapat sekret, harus buat sediaan
apus untuk pemeriksaan sitologi.
e) Saat pemeriksaan kelenjar limfe regional, lebih baik pasien pada posisi
duduk.
f) Ketika memeriksa axilla kanan pasien, tangan kiri pemeriksa menopang
siku kanan pasien, dengan ujung jari kiri pemeriksa memalpasi seluruh
fossa axilla secara berurutan. Waktu memeriksa fossa axilla kiri
sebaliknya.
g) Terakhir, periksa kelenjar limfe supraclavicular.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Mammografi
a) Screening Mammogram
Untuk melihat kelainan pada payudara wanita yang tidak terdapat tanda
dan gejala pada payudara. Biasanya foto x-ray dilakukan dari 2 sisi
untuk setiap payudara.
b) Diagnostic Mammogram
Untuk mendiagnosis kelainan pada payudara wanita dimana terdapat
gejala kelainan seperti massa atau sekret papilla mammae dan hasil
abnormal dari screening mammogram. Biasanya foto x-ray lebih
diutamakan pada lokasi yang terdapat kelainan.
2) USG
Transduser frekuensi tinggi dan pemeriksaan dopler tidak digunakan untuk
screening melainkan diagnosis, lebih spesifik untuk membedakan tumor
kistik atau padat, mengetahui pasokan darah dan kondisi jaringan sekitar.
3) MRI mammae
Pada wanita dengan risiko tinggi terkena kanker payudara, screening MRI
lebih baik dilakukan setiap menjalani mammogram tahunan. Penggunaan
gelombang radio dan magnet yang kuat daripada x-ray, dapat mendeteksi
15
kelainan pada payudara karena tumor mengandung densitas mikrovaskular
abnormal.
4) Pemeriksaan laboratorium
a) Status reseptor estrogen dan progesterone
Reseptor adalah protein pada sel yang dapat mengikat hormon yang
bersirkulasi di dalam darah, sel normal payudara dan beberapa sel
kanker payudara memiliki reseptor yang mengikat estrogen dan
progesterone biasanya pada wanita berusia lanjut atau wanita berusia
muda. Kanker payudara yang memiliki reseptor estrogen disebut
sebagai Estrogen Receptor- Positive cancer (ER+), yang memiliki
reseptor progesterone disebut sebagai Progesterone Receptor- Positive
cancer (PR+), jika kedua reseptor muncul disebut sebagai Hormon
Receptor- Positive cancer yang biasanya tumbuh lebih lambat dan
berespon baik dengan pengobatan terapi hormon.
b) Status HER2/neu
Sekitar 1 dari 5 kanker payudara memiliki terlalu banyak protein
pemacu pertumbuhan yang disebut HER2/neu. Tumor dengan
peningkatan level HER2/neu disebut sebagai HER2- Positive cancer,
kanker jenis ini tumbuh dan menyebar lebih cepat daripada kanker
payudara tipe lainnya.
5) Pemeriksaan sitologi aspirasi jarum halus
Metode ini sederhana, aman, akurasi mencapai 90 persen lebih. Ketika jarum
sudah tepat pada posisi massa payudara, cairan akan keluar, jika cairan
tersebut jernih maka massa payudara kemungkinan kista benign, jika cairan
keruh atau berdarah maka kemungkinan kista benign atau bahkan kanker.
6) Biopsi dilakukan setelah mammogram, tes pencitraan, atau pemeriksaan
fisik lainnya selesai dan didapatkan kemungkinan diagnosis kanker
payudara. Cara biopsi dapat berupa biopsi eksisi atau insisi. Biopsi eksisi
yakni mengeluarkan seluruh massa abnormal yang ada di payudara,
16
sedangkan biopsi insisi yakni mengeluarkan sebagian kecil massa abnormal
karena massa tersebut terlalu besar untuk dikeluarkan. Tindakan biopsi dapat
meninggalkan luka dan jahitan sesuai besarnya jaringan yang dikeluarkan.
2.1.6 Penatalaksanaan
Menurut Desen et al. (2011), beberapa cara yang dapat dilakukan dalam
penatalaksanaan kanker payudara yakni:
a. Terapi bedah
Pasien yang pada awal terapi termasuk stadium 0, I, II, dan sebagian stadium III
disebut kanker payudara operable. Pola operasi yang sering dipakai adalah:
1) Mastektomi radikal
Lingkup reseksi mencakup kulit berjarak minimal 3 cm dari tumor, seluruh
glandula mammae, musculus pectoralis major dan minor, jaringan limfatik,
lemak subscapular, dan axillar secara kontinu direseksi. Dalam 20 tahun
terakhir penggunaan mastektomi radikal makin berkurang karena semakin
majunya terapi kombinasi.
2) Mastektomi radikal modifikasi
Lingkup reseksi sama dengan mastektomi radikal tapi mempertahankan
musculus pectoralis major dan minor (model Auchincloss) atau
mempertahankan musculus pectoralis major, mereseksi musculus pectoralis
minor (model Patey). Kelebihan cara ini adalah memacu pemulihan fungsi
pasca operasi, tapi sulit membersihkan kelenjar limfe axillar superior.
Mastektomi ini disebut mastektomi radikal standar dan banyak digunakan
secara klinis.
3) Mastektomi total
Hanya membuang seluruh glandula mammae tanpa membersihkan kelenjar
limfe, terutama untuk carcinoma in situ atau pasien lanjut usia.
17
4) Mastektomi segmental plus diseksi kelenjar limfe axillar
Disebut dengan operasi konservasi mammae, biasanya dibuat dua insisi
terpisah di mammae dan axillar. Cara ini bertujuan untuk mereseksi sebagian
jaringan glandula mammae normal di tepi tumor, di bawah mikroskop tak
ada invasi tumor di tempat irisan. Lingkup diseksi kelenjar limfe axillar juga
mencakup jaringan axilla dan kelenjar limfe axillar kelompok tengah.
5) Mastektomi segmental plus biopsi kelenjar limfe sentinel
Kelenjar limfe sentinel adalah terminal pertama metastasis limfogen dari
kanker payudara, dilakukan insisi kecil di axilla dan mengangkat kelenjar
limfe sentinel lalu dibiopsi, bila patologik negatif maka operasi dihentikan,
jika positif maka dilakukan diseksi kelenjar limfe axillar.
b. Radioterapi
1) Radioterapi murni kuratif
Terutama digunakan untuk pasien dengan kontraindikasi atau menolak
operasi. Survival 5 tahun sekitar 10 hingga 37 persen.
2) Radioterapi adjuvan
a) Pra operasi
Untuk pasien stadium lanjut. Dapat membuat sebagian kanker payudara
yang non-operable menjadi operable.
b) Pasca operasi
Radioterapi seluruh payudara maupun kelenjar limfe regional setelah
operasi konservasi payudara. Area target iradiasi harus mencakup
dinding thorax dan regio supraclavicular dengan indikasi diameter
tumor primer ≥ 5 cm, fascia pectoral ternivasi, jumlah kelenjar limfe
axillar metastatik lebih dari 4 buah, tepi irisan positif.
3) Radioterapi paliatif
Untuk terapi paliatif kasus stadium lanjut dengan rekurensi dan metastasis.
Kelebihannya yakni dapat meredakan nyeri lebih baik dari terapi lainnya.
18
c. Terapi hormon
1) Anti estrogen
a) Tamoxifen
Berikatan dengan reseptor estrogen secara kompetitif dan menyekat
transmisi informasi ke dalam sel tumor sehingga berefek terapi. Selain
berefek anti estrogen kepada sel tumor, Tamoxifen berefek mirip
estrogen kepada jaringan lain sehingga berefek samping trombosis vena
dalam, carcinoma endometrium, dan meningkatkan risiko gangguan
jantung.
2) Inhibitor aromatase
Menghambat atau mengurangi enzim aromatase di jaringan lemak sehingga
mengurangi perubahan androgen menjadi estrogen. Hanya digunakan untuk
pasien pasca menopause dengan reseptor hormon positif. Contoh inhibitor
aromatase yakni golongan nonsteroid anastrozol, letrozol, dan golongan
steroid eksemestan. Efek samping dari terapi ini adalah dapat menyebabkan
osteolisis dan osteoporosis.
3) Obat sejenis LH-RH (luteinizing hormone-releasing hormone)
a) Goserelin
Menghambat sekresi gonadotropin dan menghambat fungsi ovarium
secara keseluruhan sehingga kadar estradiol serum turun. Obat jenis ini
dapat mencapai efek ooforektomi medikamentosa secara selektif
sehingga menghambat pertumbuhan tumor.
19
4) Obat sejenis progesterone
a) Medroksiprogesterone (MPA) dan Megesterol Asetat (MA)
Digunakan pada pasien pasca menopause atau pasca ooforektomi,
melalui umpan balik hormon progestin menyebabkan inhibisi aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal, androgen menurun sehingga mengurangi
perubahan menjadi estrogen, dengan hasil akhirnya penurunan kadar
estrogen. Obat jenis ini juga berefek menambah nafsu makan sehingga
dapat memperbaiki kondisi umum pasien.
d. Kemoterapi
1) Kemoterapi neoadjuvan pra operatif
Dapat membuat sebagian kanker payudara non-operable menjadi operable.
2) Kemoterapi adjuvan pasca operasi
Diindikasikan terutama pada pasien karsinoma invasif dengan diameter
terbesar tumor ≥ 1 cm, kecuali pada pasien lanjut usia dengan ER dan PR
positif.
3) Kemoterapi terhadap kanker payudara stadium lanjut atau rekuren dan
metastatik
Memakai kemoterapi kombinasi berbasis obat golongan antrasiklin dan atau
taksan.
2.1.7 Prognosis
Tergantung penemuan gejala dini, diagnosis dini, terapi dini dan tepat. Semakin
lanjut stadiumnya, semakin terlambat penanganannya, semakin jelek prognosisnya.
20
2.2 Modified Radical Mastectomy
Modified Radical Mastectomy (MRM) adalah metode utama pengobatan
kanker payudara (Loukas et al.,2003). Walaupun pengobatan kanker payudara telah
berkembang, mastektomi masih tetap menjadi pilihan yang layak untuk wanita
dengan kanker payudara(Giuliano et al., 2011). Ada dua model dalam MRM yaitu :
a. Model Patey
Dilakukan mastektomi total dengan mereseksi kulit dengan margin
minimal 3 cm dari tumor, mengangkat seluruh jaringan payudara, kompleks
areola/puting, fasia pektoralis, sebagian besar kelenjar getah bening aksila secara
en bloc, mempertahankan otot pektoralis mayor dan mereseksi otot pektoralis
minor untuk dapat mereseksi kelenjar getah bening level III
b. Model madden dan Auchincloss
Dilakukan mastektomi total dengan mereseksi kulit dengan margin
minimal 3 cm dari tumor, mengangkat seluruh jaringan payudara, kompleks
areola/puting, fasia pektoralis, sebagian besar kelenjar getah bening aksila secara
en bloc, mempertahankan otot pektoralis mayor dan otot pektoralis minor
sehingga hanya dapat mereseksi kelenjar getah bening level I-II. Model ini
memiliki kesempatan untuk mempertahankan nervus pektoral medial lebih besar
dan mengurangi pembengkakan lengan.
2.2.1 Indikasi MRM
Menurut pedoman Nasional Comprehensive Cancer Network indikasi untuk
mastektomi adalah sebagai berikut :
a. Sebelum melakukan terapi radiasi terhadap payudara atau dinding dada
b. Pasien hamil yang dikontraindikasi menggunakan terapi radiasi (kecuali
pasien pada trimester ketiga yang dapat menerima terapi radiasi setelah
melahirkan)
c. Inflamasi yang terjadi pada kanker payudara
d. Dicurigai muncul keganasan atau mikro kalsifikasi difus
21
e. Penyakit luas yang multisenter, yang terletak di lebih dari satu kuadran, dan
tidak dapat disingkirkan melalui sayatan tunggal dengan margin negatif
f. Margin patologis yang positif setelah dilakukan re-eksisi yang berulang dan
hasil kosmetik yang belum optimal
Indikasi relatif untuk mastektomi meliputi berikut ini:
1) Penyakit jaringan ikat aktif yang melibatkan kulit (misalnya, skleroderma,
lupus)
2) Tumor yang berdiameter lebih besar dari 5 cm
3) Fokal margin positif
Pasien berusia kurang dari 35 tahun atau premenopause yang mengalami
mutasi pada BRCA 1/2 diketahui memiliki peningkatan risiko kekambuhan lokal.
Mastektomi bilateral profilaksis dapat dipertimbangkan untuk mengurangi risiko
tersebut.
2.2.2 Kontraindikasi MRM
Ada beberapa kontraindikasi untuk MRM. Untuk pasien yang memiliki
penyakit yang bermetastasis, metode utama yang digunakan tetap terapi sistemik.
MRM bukanlah terapi standart untuk pasien dengan penyakit yang telah
bermetastasis. Kontraindikasi lain adalah pasien yang tidak dapat menerima anestesi
umum (Boughey, 2009).
2.2.3 Pertimbangan Teknis
Ada perdebatan nasional baru-baru ini atas indikasi diseksi kelenjar getah
bening aksila. Indikasi saat ini untuk tingkat I atau II diseksi aksila pada pasien yang
menjalani mastektomi adalah sebagai berikut :
a) Diagnosis preoperatif positif metastasis kelenjar getah bening aksila pada
FNAB
b) Biopsi intraoperatif kelenjar getah bening sentinel positif
22
c) Kegagalan dalam memetakan biopsi kelenjar getah bening sentinel
d) Kelenjar getah bening yang secara klinis dicurigai pada saat operasi
e) Kemoterapi neoadjuvant (di luar uji klinis)
f) Kekambuhan lokal aksila
Diseksi kelenjar getah bening pasien harus dievaluasi pada setiap kasus.
Diseksi aksila mungkin tidak bermanfaat bagi pasien usia lanjut, pasien dengan
beberapa penyakit penyerta, pasien untuk siapa diseksi aksila penuh tidak akan
mempengaruhi rekomendasi mengenai pengobatan sistemik.
2.2.4 Perencanaan Prosedur
Pasien yang menjalani mastektomi memiliki pilihan untuk rekonstruksi segera
atau ditunda menggunakan jaringan autologus atau implan. Sebelum mastektomi,
pasien harus dirujuk ke dokter bedah plastik. Keputusan untuk rekonstruksi segera
atau ditunda dibuat berdasarkan kebutuhan radiasi pascamastektomi dan preferensi
dari ahli bedah.
2.2.5 Pencegahan Komplikasi
Komplikasi yang terkait dengan MRM meliputi hal-hal yang terkait dengan
penyembuhan luka, seperti hematoma, infeksi, dehiscence, seroma kronis, dan
nekrosis kulit. Risiko nekrosis kulit sering melibatkan flap superior dan tepi luka. Hal
ini sering diobati dengan hanya debridement lokal dan perawatan luka.
Pasien yang memiliki risiko komplikasi lebih tinggi pasca operasi adalah
pasien dengan diabetes, perokok, pasien dengan riwayat radiasi dinding dada
sebelumnya, dan pasien lain dengan penyakit pembuluh darah kecil difus. Setelah
diseksi aksila, bersama dengan penyembuhan luka normal, perubahan dari sistem
limfatik regional menempatkan pasien pada peningkatan risiko komplikasi.
Untuk pasien yang menjalani biopsi kelenjar getah bening sentinel sebelum
diseksi aksila, ada risiko anafilaksis yang terkait dengan agen kontras isosulfan biru.
23
Dokter anestesi dan pasien harus mewaspadai komplikasi langka ini, yang sering
sembuh intraoperatif (Albo, 2001)
Pasien yang telah menjalani diseksi aksila memiliki peningkatan risiko
terjadinya lymphedema. Hal ini juga berdampak pada peningkatan risiko mati rasa di
bawah ketiak atau hipersensitifitas dan rasa sakit kronis di daerah itu. Pasien
dianjurkan untuk menggerakkan lengan sedini mungkin dengan latihan peregangan
untuk mencegah penurunan fungsi bahu dan jaringan parut otot, yang dapat
menyebabkan sindrom nyeri kronis.
2.2.6 Teknik MRM
Batas-batas anatomi payudara dalam MRM meliputi :
a. Superior : Klavikula dan otot subclavia
b. Medial : Linea parasternal
c. Inferior : Ekstensi caudal dari payudara 2-3 cm dibawah lipatan
inframammary atau di SIC 6
d. Lateral : Batas anterior dari latissmus dorsi sepanjang fasia pektoralis
mayor
Dalam mastektomi sederhana tanpa rekonstruksi langsung, garis payudara,
titik akhir medial dan lateral payudara ditandai. Payudara kemudian ditarik ke bawah
dan garis horizontal yang menghubungkan kedua ujung ditarik untuk menandai
sayatan bagian atas. Payudara kemudian ditarik keatas dan baris kedua yang
menghubungkan titik akhir diambil untuk mengidentifikasi sayatan yang bagian
bawah. Garis-garis ini membentuk elips sekitar puting dan dapat disesuaikan untuk
menyertakan sayatan sebelumnya. Tanda-tanda ini dibuat untuk mengkonfirmasi
bahwa ada kulit yang memadai untuk penutupan dengan ketegangan minimal. Kulit
tersebut kemudian di insisi (Lihat gambar 2.1).
24
Gambar 2.1 Penanda anatomi sebelum dilakukan mastektomi (Sumber : Kuwajerwala, 2014)
Langkah selanjutnya adalah membuat flap kulit yang layak yang
meninggalkan jaringan subkutan dan pembuluh darah superfisial tetapi tidak
mengkompromi kebutuhan untuk menghapus seluruh kelenjar mammae. Ketebalan
flaps ini sekitar 5 mm . Ketebalan diidentifikasi oleh retraksi dengan hati-hati
menggunakan pengait kulit dan countertraction yang memadai, memungkinkan ahli
bedah untuk mengidentifikasi bidang avascular (fascia payudara superfisial) antara
payudara dan jaringan subkutan. Alat yang digunakan bisa menggunakan pisau,
gunting, harmonik, atau elektrokauter bergantung pada preferensi dokter bedah.
Larutan tumescent dari pengenceran epinefrin hidroklorida dalam larutan
ringer laktat umumnya digunakan dalam hubungan dengan sedot lemak. Larutan
tersebut dimasukkan ke dalam bidang avascular untuk memfasilitasi diseksi dan
meminimalkan kehilangan darah selama operasi.
Flaps yang diangkat ke perbatasan payudara seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Pektoralis fasia dibagi baik secara superior dan medial. Pektoralis fasia
diangkat bersama payudara; Otot hanya boleh dihapus ketika ada keterlibatan berat.
Diseksi berlanjut ke tepi lateral pectoralis. (Lihat gambar 2.2 dan 2.3)
25
Gambar2.2 Diseksi flap Superior (Sumber : Kuwajerwala, 2014)
Gambar 2.3 Diseksi flap superior hingga fasia otot pektoralis
(Sumber : Kuwajerwala, 2014)
Bergantung pada preferensi ahli bedah, payudara sekarang benar-benar
diangkat atau diseksi aksila dapat terus dilakukan dan memungkinkan payudara untuk
memberikan traksi dan membantu pembukaan. (Lihat gambar 2.4)
Gambar 2.4 Pengangkatan payudara dari otot pectoralis dengan fasia
(Sumber : Kuwajerwala, 2014)
26
Diseksi kelenjar getah bening aksila mengikuti batas ketiak dan termasuk
tingkat I dan II kelenjar getah bening. Aksila berbatasan dengan vena aksilaris
superior, latissimus dorsi di bagian lateral, pectoralis otot di bagian medial, dan otot
serratus di bagian anterior.
Ketika melakukan diseksi aksila dengan mastektomi sederhana, sayatan yang
terpisah tidak diperlukan. Namun, jika mastektomi kulit-sparing dilakukan, sayatan
terpisah mungkin diperlukan. Ketiak dimasuki dengan membuka fascia
klavipektoralis (Lihat Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Memasuki aksila di perbatasan lateral otot pectoralis mayor
(Sumber : Kuwajerwala, 2014)
Aksilaris vena diidentifikasi dengan menempatkan perbatasan lateral
pektoralis mayor. Vena diidentifikasi berjalan ke posterior otot pektoralis dengan
diseksi tumpul dan retraksi inferior dari isi aksila. Setelah diidentifikasi, jaringan
limfatik dapat diikat, dijepit, atau di cauter, tergantung pada preferensi ahli bedah.
Setelah vena diidentifikasi, langkah-langkah cermat dan hati-hati diambil
untuk mempertahankan cabang-cabangnya. Bundel thoracodorsal diidentifikasi
berjalan di bantalan lemak aksila dan kemudian memasuki latissimus dorsi. Saraf
torakalis harus dipertahankan, berjalan medial ke bundel thoracodorsal dan
diidentifikasi dekat dengan dinding dada posterior (Lihat gambar 2.6)
27
Gambar 2.6 Mempertahankan vena aksilaris dan saraf thorakalis di latisimus dorsi dan
anterior serratus dalam diseksi aksila (Sumber : Kuwajerwala, 2014).
Setelah saraf dan pembuluh darah diidentifikasi, isi aksila yang dibedah dari
thoracodorsal bundel superior dan medial sampai ke tingkat vena aksilaris. Isi
kemudian ditarik inferior, keterikatan medial ke otot serratus dibagi, dan spesimen
yang diletakkan.
Setelah diseksi aksila selesai, dua saluran (drain) ditempatkan, satu di ketiak
dan satu di anterior ke otot pectoralis. Saluran air harus diperpendek untuk
memungkinkan penempatan drain dalam saku untuk kenyamanan pasien dan untuk
menghindari pembekuan di pipa. Kulit tersebut kemudian ditutup dengan cara
interupted atau berjalan sesuai dengan preferensi dokter bedah (Lihat gambar 2.7)
Gambar 2.7 Penempatan drain dan penutupan kulit setelah mastektomi
(Sumber : Kuwajerwala, 2014)
28
2.3 Range Of Motion ( Rentang Gerak Sendi )
ROM (Range of Motion) adalah jumlah maksimum gerakan yang mungkin
dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, transversal,
dan frontal. Gerakan adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat dilakukan
oleh sendi yang bersangkutan (Suratun dkk, 2008). Pengertian ROM lainnya adalah
latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot,
dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik
secara aktif ataupun pasif. Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang
dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan
kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk
meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005). Latihan range of
motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan batas atau batasan gerakan
sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan ataupun
untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal (Arif, M, 2008).
Tujuan ROM adalah mempertahankan atau memelihara kekuatan otot,
memelihara mobilitas persendian, merangsang sirkulasi darah, dan mencegah
kelainan bentuk (Suratun dkk, 2008).
2.3.1 Jenis – Jenis ROM
1) ROM Aktif
Gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien) dengan menggunakan energi
sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan
pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien
aktif). Kekuatan otot yang dihasilkan sebesar 75 %. Hal ini untuk melatih kelenturan
dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif .
2) ROM Pasif
Merupakan energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain
(perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai
dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot yang dihasilkan 50%.
29
Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan
keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang
gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis
ekstermitas total (Suratun et al, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk
menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain
secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
2.3.2 Musculus Pergerakan Sendi Bahu
Tabel 2.1 Gerakan articulatio humeri dan otot-otot penggerak
Gerakan Musculus penggerak
Abduksi
Serabut tengah musculus deltoideus
Musculus suprasinatus
Adduksi Musculus pectoralis mayor
Musculus latissimus dorsi
Musculus teres major
Musculus teres minor
Fleksi Serabut anterior musculus deltoideus
Musculus pectoralis mayor
Musculus biceps brachii
Musculus coracobrachialis
Ekstensi Serabut posterior musculus deltoideus
Musculus latissimus dorsi
Musculus teres major
Rotasi Internal Musculus subscapularis
Musculus latissimus dorsi
Musculus teres major
Serabut anterior musculus deltoideus
30
Rotasi eksternal Musculus infraspinatus
Musculus teres minor
Serabut posterior musculus deltoideus
(Sumber : Snell, 2006)
2.4 Nyeri
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain
(IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan
jaringan (Morgan et al., 2006; Rawal et al., 2008).
2.4.1 Fisiologi nyeri
Nyeri tidak selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang
dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar
belakang kultural, umur, dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor
kompleks nyeri dan hanya bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes
laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat
terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua,
anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi (Stoelting et al.,2006; Bonica et
al.,1990 ; Abraham et al.,2001).
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau
pasca pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak
dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan
mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal
ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi
pasien itu sendiri, seperti (Umar, 2002; Stephen, 2000):
1. Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan
putus asa
2. Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka
31
3. Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang
difasilitasi sehingga meningkatkan kepekaan nyeri
4. Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi,
takikardi
5. Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi,
katabolisme
Gambar 2.8. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut
akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan
atau trauma (Sumber : Carr, 1999)
Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, yaitu:
1. Akibat pembedahan tersebut yang menyebabkan rangsangan nosiseptif
2. Setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar
operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin,
serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh jaringan yang rusak
dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan
pada proses transduksi dari nyeri. (Hurley et al., 2005; Woolf et al., 2004)
32
2.4.2 Mekanisme Nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius
yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari
perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri.
Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser
fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan
yang rusak.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat
perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non
noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan
menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan
menghilangkan respon inflamasi (Woolf et al., 2004; Meyer et al., 2006).
a. Sensitisasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan
lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepascan
komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+
, pH menurun, sel
inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa
komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators)
dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif
terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers) ( Meyer et al., 2006).
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi
ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara
berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang
menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya
pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi
perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam
33
meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi. (Meyer et al.,
2006).
Gambar 2.9. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. (Sumber : Larkin, 1999)
b. Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor
di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer
bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera.
Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor
ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke
medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler
neuron (transcription dependent) (Meyer et al., 2006).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf,
dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan
jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan
terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan
menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif.
Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non
34
noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri (Meyer et al., 2006).
2.4.3 Nosiseptor (Reseptor Nyeri)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot,
persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab
terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas,
dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif
sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui
ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak
(skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri (Stoelting et al.,2006; Woolf et
al., 2004).
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal
interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang
lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik
lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri
beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu
untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan
terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi
akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi
pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi
pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit (Stoelting et al.,2006;
Woolf et al., 2004).
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.
Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas
atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia,
panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like.
Serat-serat sensorik mekanoreseptor dapat diikutkan untuk transmisi sinyal yang
akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-
35
produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan
ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya
sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang
potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong,
membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur
viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme
viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan
dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan
fungsi(Stoelting et al.,2006; Woolf et al., 2004).
2.4.4 Perjalanan Nyeri (Nociceptive Pathway)
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis
kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat
proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi,
dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di
susunan saraf pusat (cortex cerebri). Empat proses dalam perjalanan nyeri, yakni
(Morgan, 2006):
1. Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf.
Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah
menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer
(nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel,
corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik
trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin,
dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-
reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin,
36
serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini
dikenal sebagai sensitisasi perifer.
2. Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses
transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla
spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke
thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus
spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan
dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan
nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut
saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter
besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan
somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3. Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla
spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen
yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu
posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh
otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat
menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu
posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi
nyeri sangat subjektif pada setiap orang.
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi,
transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses
subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada
thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.
37
Gambar 2.10 Pain Pathway
Sumber : Australian and New Zealand College of Anaesthetists and Faculty of Pain
Medicine, 2010
2.4.5 Klasifikasi Nyeri
Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika
cedera fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah,
kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu
dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan
mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri yakni berdasarkan durasi (akut, kronik),
patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan,
kanker) (Morgan, 2006; Stoelting et al.,2006).
38
a. Nyeri Akut dan Kronik
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas
setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat. Nyeri akut ini
dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan nyeri kronik bisa
dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1
– 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi
sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ
dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan mempunyai baik elemen
nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri punggung, migrain,
artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai kelainan patologis yang terdeteksi
dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal
cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala
sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas
cepat) pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang
menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan gejala
otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri.
b. Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri
nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik
dan suhu yang menyebabkan aktivasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer
(saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif
biasanya memberikan respon terhadap analgesik opioid atau non opioid.
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan
neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf
aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk.
Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik
terhadap analgesik opioid.
39
c. Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh
jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.
Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral
seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu,
obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi
otot- otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi
terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak
dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika
organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena.
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot
polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter.
Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin
iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi
berlebih dari jaringan. Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen
dan toraks menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem
saraf simpatis, dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus
dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar
melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari sistem
saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian
pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk
ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls nyeri yang
berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard. Parenkim otak, hati,
dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat
sensitif pada nyeri.
40
d. Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah
dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,
membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi
bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik.
Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri
menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal
menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi
pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis
tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya muncul
terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak.
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri
dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh,
rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada
sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri
ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya.
Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana
inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati nervus
spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi
langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah.
2.4.6 Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri pasca pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien
digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri
yang dirasakan. Terdapat beberapa skala dalam penilaian nyeri pasien yakni (Rawal
et al., 2008):
41
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda,
dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna
pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua,
pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa
lokal setempat.
Gambar 2.11 Wong Baker Faces Pain Rating Scale (Sumber : Fillingim , 2001)
2. Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanya tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala
lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Gambar 2.12 Verbal Rating Scale (Sumber : Fillingim, 2001)
42
3. Numerical Rating Scale (NRS)
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978,
dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan
menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada
nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.
Gambar 2.13. Numerical Rating Scale (Sumber : Fillingim ,2001)
4. Visual Analogue Scale (VAS)
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948
yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0)
penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien
diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri
yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih
mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya.
Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah
digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik,
dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan
beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk
juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik
kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat
menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap
sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk
43
tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat
sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat
analgesik penyelamat (rescue analgetic)
Gambar 2.14 Visual Analogue Scale (Sumber : Fillingim, 2001)
2.4.7 Penanganan Nyeri
Penanganan nyeri pasca pembedahan yang efektif harus mengetahui
patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat
dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan,
serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik non-
farmakologi (fisioterapi, psikoterapi) (Rawal et al., 2008).
a. Farmakologis
Modalitas analgetik pasca pembedahan termasuk didalamnya
analgesik oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi
lokal dan opioid intraspinal (Morgan, 2006).
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu
pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan
44
analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri pasca pembedahan (Rawal
et al., 2008).
Tabel 2.2. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri.
(Sumberr : Rawal et al., 2008)
b. Non-Farmakologis
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk
membantu penanganan nyeri pasca pembedahan, seperti menggunakan terapi fisik
(dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk nyeri
kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri kepala), terapi psikologis (musik,
hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada sistem
saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation) (Rawal et al.,
2008).
45
2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 2.15 Kerangka Konsep Penelitian
2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah terapi MRM berpengaruh terhadap rentang
gerak sendi dan derajat nyeri pada pasien ca mammae di RSD Dr. Soebandi Jember.
Ca Mammae
Post Terapi MRM
Komplikasi
ROM
Nyeri VAS
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian non experimental dengan desain
survey analitik melalui pendekatan cross sectional
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat : Poli Bedah RSD Dr. Sobandi Jember
Waktu : (19 September – 7 Oktober 2014)
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien ca mammae yang telah
menjalani terapi MRM di RSD Dr. Soebandi Jember.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien ca mammae yang telah
menjalani terapi MRM di RSD Dr. Soebandi Jember yang ada pada saat
penelitian dilaksanakan dan memenuhi kriteria inklusi.
Besar sampel yang layak adalah 116 orang, dalam penelitian ini besar
sampel yang digunakan adalah sebanyak 30 orang. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan adalah total sampling.
47
3.3.3 Kriteria Inklusi
a. Pasien dengan ca mammae yang menjalani MRM di RSD Dr.
Soebandi Jember yang ada pada saat penelitian dilaksanakan
b. Bersedia menjadi responden dan mengikuti prosedur penelitian sampai
dengan tahap akhir
c. Dapat membaca dan menulis
d. Dapat bekerja sama dengan peneliti
e. Pasien 1 minggu sampai 3 minggu pasca terapi MRM
f. Pasien yang datang pada kontrol pertama setelah terapi MRM
3.3.4 Kriteria Eksklusi
a. Pasien dalam keadaan tidak sadar atau kelemahan kondisi fisik
sehingga tidak memungkinkan untuk menjadi responden
b. Pasien lebih dari 1 bulan pasca terapi MRM
c. Pasien memiliki riwayat penyakit lain yang mempengaruhi gerakan
sendi bahu
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas penelitian ini adalah lama waktu setelah terapi MRM
3.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat penelitian ini adalah rentang gerak sendi bahu dan derajat nyeri
pada pasien ca mammae pasca terapi MRM di RSD Dr. Soebandi Jember.
48
3.5 Definisi Operasional
3.5.1 Rentang Gerak Sendi
Rentang gerak sendi adalah istilah untuk menyatakan batas atau besarnya
gerakan sendi dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan atau menyatakan
besarnya gerakan sendi yang abnormal. Dikenal beberapa gerakan pada sendi, yaitu :
abduksi, adduksi, ekstensi, fleksi, rotasi eksterna, rotasi interna, pronasi, supinasi,
fleksi lateral, dorso fleksi, plantar fleksi, inversi, dan eversi. Alat yang digunakan
untuk mengukur besarnya gerakan sendi digunakan goniometri.
3.5.2 Derajat Nyeri
Derajat nyeri adalah intensitas rasa sakit yang diukur menggunakan visual
analog scale (VAS) berupa skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0)
penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta
untuk membuat tanda di garis tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan.
Nilai VAS antara 0 - 4 dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan nilai VAS
lebih dari 4 dianggap sebagai nyeri sedang menuju berat.
3.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini adalah :
a. Informed concent
Instrumen ini digunakan sebagai tanda persetujuan untuk dilakukannya
pemeriksaan
b. Rekam medis
Instrumen ini digunakan untuk mengetahui diagnosis penyakit dan data
penderita selaku subyek penelitian
c. Kuesioner
Instrumen ini digunakan untuk mengetahui derajat nyeri pasien dan latar
belakang pasien
49
d. Goniometri
Instrumen ini digunakan untuk mengukur rentang gerak sendi bahu
3.7 Prosedur Pengambilan Data
Data penelitian ini didapatkan melalui data primer yaitu data yang langsung
diperoleh dari responden penelitian dengan menggunakan kuesioner yang diisi
berdasarkan hasil pemeriksaan fisik langsung kepada pasien pasca terapi MRM
3.7.1 Uji Kelayakan
Penelitian ini menggunakan subyek manusia sehingga untuk pelaksanaannya
harus dilakukan uji kelayakan dan telah disetujui oleh Komisi Etik Kedokteran.
3.7.2 Pengambilan Data Rekam Medis
Pengambilan data rekam medis berupa rekam medis rawat inap, dan rekam
medis rawat jalan di RSD DR. Soebandi Jember untuk mendapatkan populasi pasien
ca mammae.
3.7.3 Informed Concent
Lembar persetujuan adalah suatu formulir penyataan yang berisi tentang
kesediaan sampel untuk menjadi bahan penelitian. Lembar persetujuan ini dibuat
sebagai bukti pengakuan dari Komite Etik bahwa penelitian ini dikerjakan dengan
mengacu pada kode etik penelitian. Pada formulir ini juga akan dijelaskan bahwa
selama pengambilan data pada pasien tidak ada efek samping, baik kerugian material
ataupun spiritual yang akan dialami oleh penderita selama maupun sesudah perlakuan
dan apabila ada hal yang kurang jelas dapat ditanyakan kepada peneliti.
50
3.8. Prosedur Penelitian
3.8.1 Alur penelitian
Gambar 3.1 Alur Penelitian
Hasil penelitian
Analisis Data
Pengolahan Data
Tidak diteliti
Pengumpulan Data Sampel di Rekam Medis RSD.
Dr. Soebandi Jember
Sesuai kriteria inklusi
Sesuai kriteria eksklusi
Wawancara dan Pemeriksaan
Fisik
Rentang Gerak Sendi
Bahu
Derajat Nyeri
51
a. Pengumpulan data sampel di bagian Rekam Medis RSD DR. Soebandi
Pengambilan data rekam medis berupa data diri dan status pasien ca
mammae di ruang rekam medis RSD. Dr. Soebandi untuk mendapatkan
populasi penelitian selama tahun 2014.
b. Penjaringan Sampel
Penjaringan sampel dilakukan berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi yang sudah ditetapkan.
c. Kriteria Inklusi
Penjabaran tentang kriteria inklusi sudah dijelaskan sebelumnya.
d. Pemeriksaan fisik
Pasien diperiksa rentang gerak sendi bahunya dengan menggunakan
goniometri. Pasien diminta untuk melakukan gerakan abduksi horizontal,
adduksi horizontal, fleksi, ekstensi, rotasi internal, dan rotasi eksternal.
1. Abduksi Horizontal
Abduksi adalah gerakan menjauhi sumbu median atau menjauhi garis
sumbu lengan. Pasien memposisikan lengan sejajar dengan sumbu vertikal
tubuh. Pasien diminta menggerakkan lengannya ke samping lalu kebelakang
secara perlahan hingga mencapai sudut maksimal yang dapat dibentuk dan
diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara yang
telah diterapi. Nilai normal abduksi adalah 40° - 50°
2. Adduksi horizontal
Adduksi adalah menarik ke arah bidang median atau ke arah garis sumbu
anggota badan. Setelah melakukan gerakan abduksi pasien diminta
mengembalikan posisi lengan sejajar dengan sumbu vertikal tubuh kemudian
pasien menggerakkan lengan ke samping lalu kedepan dada hingga mencapai
sudut maksimal yang dapat dibentuk dan diukur. Pasien hanya menggerakkan
52
lengan yang sesisi dengan payudara yang telah diterapi. Nilai normal adduksi
adalah 130°
3. Fleksi
Fleksi adalah tindakan membengkokkan. Pasien diminta meluruskan
lengan sejajar dengan garis vertikal tubuh. Pasien diminta menggerakkan
lengan ke depan lalu ke atas hingga mencapai sudut maksimal dan diukur.
Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara yang telah
diterapi. Nilai normal fleksi adalah 160° - 180°
4. Ekstensi
Ekstensi adalah gerakan yang mengakibatkan dua ujung dari bagian
bersambung tertarik saling menjauhi. Pasien diminta memposisikan sejajar
dengan garis vertikal tubuh kemudian menggerakkan lengan ke belakang
menjauhi garis vertikal. Pasien menggerakkan lengan hingga mencapai sudut
maksimal yang dapat dibentuk dan diukur. Pasien hanya menggerakkan
lengan yang sesisi dengan payudara yang telah diterapi. Nilai normal ekstensi
adalah 50° - 60°
5. Rotasi Internal
Rotasi internal adalah proses berputar di sekitar sumbu dan pergerakannya
mengarah ke dalam. Pasien diminta mengangkat lengan atas dan
memposisikan abduksi 90o dan lengan bawah diarahkan lurus ke depan. pasien
diminta menggerakkan lengan bawah kebawah hingga membentuk sudut
maksimal dan diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan
payudara yang telah diterapi. Nilai normal rotasi internal adalah 60° - 100°
6. Rotasi Eksternal
Rotasi eksternal adalah proses berputar di sekitar sumbu dan
pergerakannya mengarah keluar. Pasien diminta mengangkat lengan atas dan
memposisikan abduksi 90o dan lengan bawah diarahkan lurus ke depan. pasien
diminta menggerakkan lengan bawah keatas hingga membentuk sudut
53
maksimal dan diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan
payudara yang telah diterapi. Nilai normal rotasi eksternal adalah 80° - 90°
e. Wawancara
Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan saat
melakukan gerakan abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi internal, dan
rotasi eksternal.
3.8.2 Pengumpulan Data Populasi dan Pengambilan Data
Sampel yang masuk dalam kriteria inklusi akan diperiksa secara klinis
berdasarkan lembar pemeriksaan.
3.9 Analisis Data
Data yang didapat dari hasil pemeriksaan klinis akan disajikan dalam bentuk
tabel dan diagram pie. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi
Microsoft Excel 2007 dan SPSS. Tahapan uji yang dilaksanakan yaitu Saphiro-Wilk
Test untuk mengetahui normalitas data, uji korelasi bivariat (Pearson atau
Spearman), dan uji regresi linear.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan Analisis Data
Dari penelitian ini didapatkan 7 sampel yang berdomisili di Kecamatan
Mayang, Puger, Sumbersari, Ajung, Sumberbaru, dan Mumbulsari. Sembilan sampel
lainnya masuk kedalam kriteria eksklusi. Distribusi jumlah sampel inklusi dan
eksklusi tercantum pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Distribusi jumlah sampel inklusi dan eksklusi pada pasien ca mammae pasca terapi
MRM
Sampel Jumlah Presentase
Kelompok Inklusi 7 43,75 %
Kelompok Eksklusi
1. Pasca operasi lebih dari 4 minggu 9 56,25 %
4.1.1 Latar Belakang Pasien
a. Usia Sampel
Usia sampel dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok 30-39 tahun,
40 - 49 tahun, dan 50 - 59 tahun. Distribusi usia sampel penelitian tercantum pada
Tabel 4.2.
55
Tabel 4.2 Distribusi usia sampel penelitian pada pasien ca mammae pasca terapi MRM
No Usia (Tahun) Jumlah Presentase
1 30 - 39 1 14,29%
2 40 – 49 3 42,86%
3 50 - 59 3 42,86%
b. Pekerjaan Sampel
Pekerjaan sampel dikelompokkan menjadi 1 kelompok yaitu ibu rumah tangga.
Distribusi pekerjaan sampel tercantum pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Distribusi pekerjaan sampel pada pasien ca mammae pasca terapi MRM
No Pekerjaan Jumlah Presentase
1 Ibu Rumah Tangga 7 100%
c. Pendidikan Terakhir Sampel
Pendidikan terakhir sampel dikelompokkan menjadi 4 yaitu Tidak Sekolah,
SD, SMP, dan SMA. Distribusi pendidikan terakhir sampel tercantum pada Gambar
4.1.
Gambar 4.1 Distribusi Pendidikan sampel pada pasien ca mammae pasca terapi MRM
Tidak Sekolah
14%
SD28%
SMP29%
SMA29%
Pendidikan Terakhir
56
d. Diagnosis Sampel
Diagnosis sampel dikelompokkan menjadi ca mammae Grade II, Grade III,
dan Filoides Maligna. Distribusi diagnosis sampel penelitian tercantum pada Gambar
4.2
Gambar 4.2 Distribusi Diagnosis sampel penelitian pada pasien ca mammae pasca terapi
MRM
e . Waktu Pemeriksaan Sampel
Waktu pemeriksaan dibagi menjadi menjadi 3 kelompok yaitu post op minggu
ke I , II, dan III. Distribusi waktu pemeriksaan sampel tercantum dalam Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Distribusi Waktu pemeriksaan pada pasien ca mammae pasca terapi MRM
No Post Op minggu ke Jumlah Presentase
1 I 2 28,57%
2 II 3 43,86%
3 III 2 28,57%
72%
14%
14%
DiagnosisGrade II Grade III Filoides maligna
57
f. Infeksi Luka Operasi Sampel
Infeksi luka operasi dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu Ada dan Tidak
Ada yang disebutkan jumlah dan presentase dari kelompok sampel. Distribusi infeksi
luka operasi sampel tercantum pada Tabel 4.7.
Tabel 4.5 Distribusi Infeksi luka operasi pada pasien ca mammae pasca terapi MRM
Infeksi luka operasi Jumlah Presentase
Ada - -
Tidak ada 7 100%
4.1.2 Hasil Pemeriksaan
a. Hasil Pengukuran Sudut
1) Fleksi
Hasil pemeriksaan ROM gerakan fleksi dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu skala sudut 0° - 79°, 80° - 159°, dan 160° - 180°. Sudut gerakan fleksi normal
terdapat pada kelompok 160° - 180°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik
gerakan fleksi tercantum pada Tabel 4.6 dan Tabel 4.7
Tabel 4.6 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan fleksi pada pasien ca mammae pasca
terapi MRM
No Minggu Skala Sudut Fleksi
0° - 79° Persentase 80° - 159° Persentase 160° - 180° Persentase
1 I 1 14,29% 1 14,29% - -
2 II - - 3 42,86% - -
3 III - - 2 28,57% - -
58
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan
gerakan fleksi pada skala 80°-159°, yaitu sebesar 6 sampel (85,7%). Hal ini
menunjukkan bahwa gerakan fleksi sebagian besar pasien dibawah normal.
Tabel 4.7 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi Linear
gerakan fleksi
Shapiro-
Wilk
Pearson
Correlation Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed) Konstanta
Koefisien
regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
Fleksi 0,307 0,109 76,429 22,5 0,432 1,951 0,109
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,307. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau sebaran data
normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji korelasi bivariat
Pearson diketahui p=0,109 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara waktu dalam minggu dengan skala sudut fleksi. Setelah uji korelasi dilanjutkan
uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,109 yang berarti tidak terdapat
pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut fleksi.
59
2) Ekstensi
Hasil pemeriksaan ROM gerakan ekstensi dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu skala sudut 0° - 25°, 26° - 49° dan 50° - 60°. Sudut gerakan ekstensi normal
terdapat pada kelompok 50° - 60°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik ROM
gerakan ekstensi tercantum pada Tabel 4.8 dan Tabel 4.9.
Tabel 4.8 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan ekstensi pada pasien ca mammae pasca
terapi MRM
No Minggu Skala Sudut Ekstensi
0° - 25° Persentase 26° - 49° Persentase 50° - 60° Persentase
1 I - - 1 14,29% 1 14,29%
2 II - - 2 28,57% 1 14,29%
3 III - - - - 2 28,57%
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan
gerakan ekstensi pada skala 50°-60°, yaitu sebesar 4 (57,14%). Hal ini menunjukkan
bahwa gerakan ekstensi sebagian besar pasien dalam batas normal.
Tabel 4.9 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear gerakan ekstensi
Shapiro-
Wilk
Spearman
Correlation Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed) Konstanta
Koefisien
regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
ROM
Ekstensi 0,020 0,490 39,286 2,500 0,067 0,601 0,574
60
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,523. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa distribusi data adalah tidak normal. Karena distribusi atau sebaran
data tidak normal, maka uji korelasi bivariat Spearman yang dilakukan. Pada uji
korelasi bivariat Spearman diketahui p=0,490 yang berarti tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan skala sudut ekstensi. Setelah uji
korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,574 yang berarti
tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut ekstensi.
3)Abduksi
Hasil pemeriksaan ROM gerakan abduksi dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu skala sudut 0° - 25°, 26° - 40 °, dan 40° - 50°. Sudut gerakan fleksi normal
terdapat pada kelompok 40° - 50°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik ROM
gerakan abduksi tercantum pada Tabel 4.10 dan Tabel 4.11
Tabel 4.10 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan abduksi pada pasien ca mammae
pasca terapi MRM
No Minggu Skala Sudut Abduksi
0° - 25° Persentase 26° - 39° Persentase 40° - 50° Persentase
1 I 2 28,57% - - - -
2 II 1 14,29% - - 2 28,57%
3 III - - 1 14,29% 1 14,29%
61
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan
gerakan abduksi pada skala 0°-39°, yaitu sebesar 4 (57,14%). Hal ini menunjukkan
bahwa gerakan abduksi sebagian besar pasien dibawah normal.
Tabel 4.11 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear
Shapiro-
Wilk
Pearson
Correlation Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed)
Konstant
a
Koefisie
n regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
Abduksi 0,064 0,162 7,143 10 0,35 1,641 0,162
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,064. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau sebaran data
normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji korelasi bivariat
Pearson diketahui p=0,162 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara waktu dalam minggu dengan skala sudut abduksi. Setelah uji korelasi
dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,162 yang berarti tidak
terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut abduksi.
62
4) Adduksi
Hasil pemeriksaan ROM gerakan adduksi dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu skala sudut 0° - 65°, 66° - 129°, dan 130°. Sudut gerakan fleksi normal
terdapat pada kelompok 130°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik ROM
gerakan adduksi tercantum pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13.
Tabel 4.12. Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan adduksi pada pasien ca mammae
pasca terapi MRM
No Minggu
Skala Sudut Adduksi
0° - 65° Persentase 66° - 129° Persentase 130° Persentase
1 I 1 14,29% 1 14,29% - -
2 II - - 3 42,86% - -
3 III - - 2 28,57% - -
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan
gerakan adduksi pada skala 66°-129°, yaitu sebesar 6 sampel (85,7%). Hal ini
menunjukkan bahwa gerakan adduksi sebagian besar pasien dibawah normal.
Tabel 4.13 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear gerakan adduksi
Shapiro-
Wilk
Pearson
Correlatio
n Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed)
Konstant
a
Koefisie
n regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
Adduksi 0,523 0,481 70,714 7,5 0,104 0,76 0,481
63
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,523. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau sebaran data
normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji korelasi bivariat
Pearson diketahui p=0,481 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara waktu dalam minggu dengan skala sudut adduksi. Setelah uji korelasi
dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,481 yang berarti tidak
terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut adduksi.
5) Rotasi Internal
Hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi internal dikelompokkan menjadi 3
kelompok yaitu skala sudut 0° - 30°, 31° - 59°, dan 60° - 100°. Sudut gerakan fleksi
normal terdapat pada kelompok 60° - 100°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik
ROM gerakan rotasi internal tercantum pada Tabel 4.14 dan Tabel 4.15
Tabel 4.14 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi internal pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM
No Minggu Skala Sudut Rotasi Internal
0° - 30° Persentase 31° - 59° Persentase 60° - 100° Persentase
1 I 1 14,29% 1 14,29% - -
2 II - - 2 28,57%
1 14,29%
3 III 2 28,57%
- - - -
64
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan
gerakan rotasi internal pada skala 0°-59°, yaitu sebesar 6 sampel (85,7%). Hal ini
menunjukkan bahwa gerakan rotasi internal sebagian besar pasien dibawah normal.
Tabel 4.15 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear gerakan rotasi internal
Shapiro-
Wilk
Spearman
Correlation Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed) Konstanta
Koefisien
regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
ROM Rotasi
Internal 0,026 0,504 43,571 -2,500 0,067 0,601 0,574
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,026. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa distribusi data adalah tidak normal. Karena distribusi atau sebaran
data tidak normal, maka uji korelasi bivariat Spearman yang dilakukan. Pada uji
korelasi bivariat Spearman diketahui p=0,504 yang berarti tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan skala sudut rotasi internal.
Setelah uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,682
yang berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut
rotasi internal.
65
6) Rotasi eksternal
Hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi eksternal dikelompokkan menjadi 3
kelompok yaitu skala sudut 0° - 40°, 41° - 89°, dan 80° - 90°. Sudut gerakan fleksi
normal terdapat pada kelompok 80° - 90°. Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik
ROM gerakan rotasi eksternal tercantum pada Tabel 4.16 dan Tabel 4.17.
Tabel 4.16 Distribusi hasil pemeriksaan ROM gerakan rotasi eksternal pada ca mammae
pasca terapi MRM
No Minggu Skala Sudut Rotasi Eksternal
0° - 40° Persentase 41° - 89° Persentase 80° - 90° Persentase
1 I - - 1 14,29% 1 14,29%
2 II - - 1 14,29% 2 28,57%
3 III - - - - 2 28,57%
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan
gerakan rotasi eksternal pada skala 80° - 90°, yaitu sebesar 5 (71,4%). Hal ini
menunjukkan bahwa gerakan rotasi eksternal sebagian besar pasien pada batas
normal.
Tabel 4.17 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear gerakan rotasi eksternal
Shapiro-
Wilk
Spearman
Correlation Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed) Konstanta
Koefisien
regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
ROM Rotasi Eksternal 0,005 0,346 -0,857 0,500 0,007 0,601 0,574
66
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk gerakan fleksi sebesar p=0,005. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa distribusi data adalah tidak normal. Karena distribusi atau sebaran
data tidak normal, maka uji korelasi bivariat Spearman yang dilakukan. Pada uji
korelasi bivariat Spearman diketahui p=0,346 yang berarti tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan skala sudut rotasi eksternal.
Setelah uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,574
yang berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan skala sudut
rotasi ekternal.
b. Derajat Nyeri (Visual Analog Scale)
1) Fleksi
Hasil pemeriksaan VAS ( Visual Analog Scale) pada gerakan fleksi
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).
Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan fleksi tercantum dalam Tabel
4.18 dan Tabel 4.19.
Tabel 4.18 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan fleksi pada pasien ca mammae pasca
terapi MRM
No Minggu VAS Fleksi
0 Persentase 1 – 4 Persentase
1 I - - 2 28,57%
2 II 1 14,29% 2 28,57%
3 III - - 2 28,57%
67
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi
nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 6 (85,7%).
Tabel 4.19 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear VAS gerakan fleksi
Shapiro-
Wilk
Pearson
Correlation Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed) Konstanta
Koefisien
regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
VAS
Fleksi 0,163 0,109 3,071 -0,25 0,016
-
0,284 0,788
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk derajat nyeri fleksi sebesar p=0,163. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau sebaran data
normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji korelasi bivariat
Pearson diketahui p=0,109 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri fleksi. Setelah uji korelasi
dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,788 yang berarti tidak
terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri fleksi.
68
2) Ekstensi
Hasil pemeriksaan VAS ( Visual Analog Scale) pada gerakan Ekstensi
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).
Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan ekstensi tercantum dalam
Tabel 4.20 dan Tabel 4.21.
Tabel 4.20 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan Ekstensi pada pasien ca mammae
pasca terapi MRM
No Minggu VAS Ekstensi
0 Persentase 1 - 4 Persentase
1 I 1 14,29% 1 14,29%
2 II 1 14,29% 2 28,57%
3 III 1 14,29% 1 14,29%
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi
nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 4 (57,1%).
Tabel 4.21 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear VAS gerakan ekstensi
Shapiro-
Wilk
Spearman
Correlation Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed) Konstanta
Koefisien
regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
VAS
Ekstensi 0,026 0,490 0,857 0,000 0,000 0,000 1,000
69
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk derajat nyeri ekstensi sebesar p=0,026. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa distribusi data adalah tidak normal. Karena distribusi atau
sebaran data tidak normal, maka uji korelasi bivariat Spearman yang dilakukan. Pada
uji korelasi bivariat Spearman diketahui p=0,490 yang berarti tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri ekstensi.
Setelah uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=1,000
yang berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri
ekstensi.
3) Abduksi
Hasil pemeriksaan VAS ( Visual Analog Scale) pada gerakan Abduksi
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).
Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan abduksi tercantum dalam
Tabel 4.22 dan Tabel 4.23.
Tabel 4.22 Distribusi hasil pemeriksaan VAS gerakan abduksi pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM
No Minggu VAS Abduksi
0 Persentase 1 - 4 Persentase
1 I - - 2 28,57%
2 II 1 14,29% 2 28,57%
3 III - - 2 28,57%
70
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi
nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 6 (85,7%)
Tabel 4.23 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear VAS gerakan abduksi
Shapiro-
Wilk
Pearson
Correlatio
n Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed) Konstant
a
Koefisie
n regresi
R-
squar
e
t-
hitun
g Sig.
VAS
Abduksi 0,147 0,162 2,357 -0,25 0,028
-
0,381 0,719
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk derajat nyeri abduksi sebesar p=0,147. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau
sebaran data normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji
korelasi bivariat Pearson diketahui p=0,162 yang berarti tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri abduksi. Setelah
uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,788 yang
berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri
abduksi.
71
4) Adduksi
Hasil pemeriksaan VAS ( Visual Analog Scale) pada gerakan Adduksi
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).
Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan adduksi tercantum dalam
Tabel 4.24 dan Tabel 4.25.
Tabel 4.24 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan adduksi pada pasien ca mammae pasca
terapi MRM
No Minggu
VAS Adduksi
0 Persentase 1 - 4 Persentase
1 I - - 2 28,57%
2 II 1 14,29% 2 28,57%
3 III 1 14,29% 1 14,29%
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi
nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 5 (71,43%)
Tabel 4.25 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear VAS gerakan adduksi
Shapiro-
Wilk
Pearson
Correlation Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed) Konstanta
Koefisien
regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
VAS
Adduksi 0,106 0,481 4,857 -1,5 0,477 -2,137 0,086
72
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk derajat nyeri adduksi sebesar p=0,106. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau
sebaran data normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji
korelasi bivariat Pearson diketahui p=0,481 yang berarti tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri adduksi. Setelah
uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,086 yang
berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri
adduksi.
5) Rotasi Internal
Hasil pemeriksaan VAS ( Visual Analog Scale) pada gerakan Rotasi internal
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).
Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan rotasi internal tercantum
dalam Tabel 4.26 dan Tabel 4.27.
Tabel 4.26 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan rotasi internal pada pasien ca mammae
pasca terapi MRM
No Minggu VAS Rotasi Internal
0 Persentase 1 - 4 Persentase
1 I - - 2 28,57%
2 II 1 14,29% 2 28,57%
3 III - - 2 28,57%
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi
nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 6 (85,71%)
73
Tabel 4.27 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear VAS gerakan rotasi internal
Shapiro-
Wilk
Pearson
Correlation Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed) Konstanta
Koefisien
regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
VAS Rotasi
Internal 0,31 0,682 1,5 0,25 0,018 0,302 0,775
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk derajat nyeri rotasi internal sebesar p=0,310. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi
atau sebaran data normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada
uji korelasi bivariat Pearson diketahui p=0,682 yang berarti tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri rotasi internal
Setelah uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,788
yang berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri
rotasi internal.
6) Rotasi Eksternal
Hasil pemeriksaan VAS (Visual Analog Scale) pada gerakan Rotasi Eksternal
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, 0 (tidak ada nyeri) dan 1-4 (nyeri ringan).
Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik VAS gerakan Rotasi eksternal tercantum
dalam Tabel 4.28 dan Tabel 4.29.
74
Tabel 4.28 Distribusi hasil pemeriksaanVAS gerakan rotasi eksternal pada pasien ca
mammae pasca terapi MRM
No Minggu VAS Rotasi Eksternal
0 Persentase 1 - 4 Persentase
1 I - - 2 28,57%
2 II 1 14,29% 2 28,57%
3 III - - 2 28,57%
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel memiliki sensasi
nyeri ringan (1-4) yaitu sebesar 6 (85,71%)
Tabel 4.29 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear VAS gerakan rotasi eksternal
Shapiro-
Wilk
Pearson
Correlation Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed) Konstanta
Koefisien
regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
VAS Rotasi
Eksternal 0,11 0,332 0,857 0,5 0,067 0,601 0,574
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk derajat nyeri rotasi eksternal sebesar p=0,110. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi
atau sebaran data normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada
uji korelasi bivariat Pearson diketahui p=0,332 yang berarti tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri rotasi eksternal.
75
Setelah uji korelasi dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,574
yang berarti tidak terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan derajat nyeri
rotasi eksternal.
c. Gerakan Menyisir
Hasil pemeriksaan gerakan menyisir dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu Tidak Bisa (TB), Bisa Dengan Nyeri (BDN), dan Bisa Tanpa Nyeri (BTN).
Distribusi hasil pemeriksaan dan statistik gerakan menyisir tercantum dalam Tabel
4.30 dan Tabel 4.31
Tabel 4.30 Distribusi hasil pemeriksaan gerakan menyisir pada pasien ca mammae pasca
terapi MRM
No Minggu Gerakan Menyisir
TB Persentase BDN Persentase BTN Persentase
1 I 1 14,29% 1 14,29%
2 II 1 14,29% 2 28,57%
3 III 1 14,29% 1 14,29%
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel dapat melakukan
gerakan menyisir terapi masih merasakan nyeri yaitu sebesar 5 (71,43%)
76
Tabel 4.31 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Pearson Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear gerakan menyisir
Shapiro-
Wilk
Pearson
Correlation Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed) Konstanta
Koefisien
regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
Gerakan
Menyisir 0,099 0,162 0,857 0,5 0,35 1,641 0,162
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk gerakan menyisir sebesar p=0,099. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa distribusi data adalah normal. Karena distribusi atau sebaran data
normal, maka uji korelasi bivariat Pearson yang dilakukan. Pada uji korelasi bivariat
Pearson diketahui p=0,162 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara waktu dalam minggu dengan gerakan menyisir. Setelah uji korelasi
dilanjutkan uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,162 yang berarti tidak
terdapat pengaruh antara waktu dalam minggu dengan gerakan menyisir.
d. Activity Daily of Living (ADL)
Hasil pemeriksaan ADL dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu tidak bisa
melakukan aktivitas dan bisa melakukan aktivitas ringan. Distribusi ADL dan
statistik tercantum dalam Tabel 4.32 dan Tabel 4.33
77
Tabel 4.32 Distribusi hasil pemeriksaan ADL pada pasien ca mammae pasca terapi
MRM
No Minggu ADL
Tidak Bisa Persentase Ringan Persentase
1 I 2 28,57%
2 II 2 28,57% 1 14,29%
3 III 1 14,29% 1 14,29%
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel melakukan
aktivitas ringan yaitu sebesar 5 (71,43%)
Tabel 4.33 Hasil statistik Shapiro-Wilk Test, Spearman Correlation Test, dan Uji Regresi
Linear ADL
Shapiro-
Wilk
Spearman
Correlatio
n Regresi Linear
Sig.
Sig. (2-
tailed)
Konstant
a
Koefisie
n regresi
R-
square
t-
hitung Sig.
ADL 0,001 0,398 2,071 0,250 0,146 0,924 0,398
Sebelum dilakukan uji regresi linear, data diuji terlebih dahulu dengan uji
korelasi bivariat. Jenis uji korelasi bivariat (Pearson atau Spearman) dapat ditentukan
berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk. Pada uji normalitas data diperoleh
nilai kemaknaan untuk ADL sebesar p=0,001. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa distribusi data adalah tidak normal. Karena distribusi atau sebaran data tidak
normal, maka uji korelasi bivariat Spearman yang dilakukan. Pada uji korelasi
bivariat Spearman diketahui p=0,398 yang berarti tidak terdapat hubungan yang
78
bermakna antara waktu dalam minggu dengan ADL. Setelah uji korelasi dilanjutkan
uji regresi linear. Hasil yang diketahui yaitu p=0,398, yang berarti tidak terdapat
pengaruh antara waktu dalam minggu dengan ADL.
4.2 Pembahasan
Sebagian besar usia sampel penelitian saat terjadi ca mammae adalah pasien
dengan usia kisaran 40-59 tahun sebanyak 6 orang atau 85,73% dari keseluruhan
sampel (Tabel 4.3). Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ca
mammae pada wanita.
Pekerjaan pasien didominasi oleh ibu rumah tangga sebanyak 7 orang atau
100 % dari jumlah sampel (Tabel 4.3). Wanita yang tidak bekerja umumnya kegiatan
fisiknya akan berbeda dengan wanita yang bekerja. Menurut American Cancer
Society (2013) jarang melakukan kegiatan fisik akan meningkatkan risiko terkena
kanker payudara. Kegiatan fisik yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko
terkena kanker payudara adalah berjalan kaki selama 10 jam per minggu.
Diagnosis pasien didominasi oleh pasien ca mammae derajat II dari jumlah
sampel (tabel 4.5) Pada ca mammae mulai derajat II standar terapi yang digunakan
adalah terapi MRM.
Infeksi luka operasi tidak terdapat pada semua pasien atau 100% dari jumlah
pasien (Tabel 4.7). Tidak adanya infeksi luka operasi pada pasien menandakan bahwa
tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dan paramedis lain adalah baik dalam
mencegah terjadinya infeksi yang merupakan salah satu komplikasi dari semua
tindakan bedah.
Dari enam gerakan yang diteliti didapatkan hasil uji korelasi dan regresi
p>0,05 (hasil bervariasi dari p=0,109 sampai p=o,574) sehingga dapat disimpulkan
tidak terdapat hubungan dan pengaruh yang signifikan antara waktu pasca terapi
MRM terhadap rentang gerak sendi bahu. Ada Empat gerakan yang berada dibawah
normal yaitu gerakan fleksi, abduksi, adduksi, dan rotasi internal. Dalam rentang
waktu tiga minggu pasien masih memiliki rasa cemas dan takut untuk menggerakkan
79
tangannya. Rasa takut untuk melatih tangan pasca terapi MRM menyebabkan
pengurangan jumlah sudut rentang gerak sendi bahu karena adesi otot pektoralis
mayor yang terjadi pasca operasi. Kelenjar mammae sebagian besar terletak di
anterior otot pektoralis mayor sehingga pada saat terapi MRM mengambil seluruh
kelenjar mammae otot pektoralis mayor dapat mengalami adhesi atau perlengketan
dengan kulit, pembuluh darah, jaringan subcutis dan pembuluh limfe. Otot pektoralis
mayor berfungsi untuk membantu gerakan fleksi, adduksi, dan rotasi internal,
sehingga saat otot pektoralis mengalami adesi karena operasi, fungsi dari otot
pektoralis mayor untuk menghasilkan gerakan maksimal dari gerakan-gerakan
tersebut menjadi terganggu. Adhesi yang terjadi setelah operasi biasanya adalah
bersifat sementara dan membutuhkan mobilisasi sedini mungkin. Penyebab lain
terjadinya pengurangan gerakan sendi gerakan-gerakan tersebut diduga dipengaruhi
oleh stadium dan letak dari tumor yang dalam penelitian ini.
Pada pemeriksaan derajat nyeri menggunakan VAS uji korelasi dan regresi
didapatkan hasil p>0,05 (hasil bervariasi dari p=0,086 sampai p=1,000) sehingga
dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan dan pengaruh yang signifikan antara
waktu pasca terapi MRM dengan pengurangan nyeri pada pasien. Sebagian besar
pasien masih merasakan nyeri yg ringan saat melakukan enam gerakan yang diteliti.
Adanya nyeri ringan yang dirasakan pasien ini disebabkan karena luka masih dalam
fase proliferasi ( 2 hari – 3 minggu) dan luka bekas operasi yang belum sembuh atau
kering.. Timbulnya perlengketan-perlengketan baru pasca operasi juga salah satu
penyebab nyeri yang dirasakan pasien.
Pada pemeriksaan gerakan menyisir didapatkan hasil pengaruh waktu dalam
minggu terhadap gerakan menyisir tidak memiliki pengaruh yang signifikan
(p=0,162). Pasien sebagian besar dapat dilakukan pasien dengan disertai rasa nyeri
ringan. Gerakan menyisir rambut merupakan tujuan standar untuk mengevaluasi
pasien pasca terapi MRM. Nyeri ini disebabkan oleh luka bekas operasi yang belum
sembuh dan adanya tarikan pada kulit yang dijahit.
80
Aktivitas harian pasien didapatkan hasil pengaruh waktu dalam minggu tidak
memiliki pengaruh yang signifikan. Sebagian besar menunujukkan hasil dapat
melakukan aktivitas ringan. Pasien dikatakan dapat beraktivitas normal dengan cara
memantau perkembangan ROM serta kekuatan otot. Aktivitas ringan pada pasien
dapat dilakukan tanpa memerlukan ROM yang maksimal dan kekuatan otot sampai
pada tingkat lima.
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan terapi MRM
menurunkan besar sudut rentang gerak sendi bahu pada gerakan fleksi, abduksi,
adduksi, dan rotasi internal dalam rentang waktu tiga minggu pasca mendapat terapi
MRM dan tidak ada pengaruh signifikan antara lama waktu setelah terapi MRM
dengan peningkatan rentang gerak sendi bahu (hasil bervariasi dari p=0,109 sampai
p=0,574). Sedangkan pada gerakan ekstensi dan rotasi eksternal dalam batas normal.
Nyeri pasca operasi berbanding terbalik dengan rentang gerak sendi dalam
rentang waktu tiga minggu pasca mendapat terapi MRM. Pasien yang diamati hanya
mengalami nyeri dengan intensitas ringan. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara
lama waktu pasca operasi terhadap pengurangan rasa nyeri pasien (hasil bervariasi
dari p=0,086 sampai p=1,000)
5.2 Saran
1) Perlunya dilakukan meta analisis atas hasil-hasil penelitian yang telah ada di
Indonesia agar didapatkan data yang lebih baik.
2) Perlunya peran ahli bedah untuk memberikan informasi terkait hal-hal yang bisa
mengakibatkan ROM berkurang dan terapi dalam pencegahan nyeri.
3) Perlunya penelitian lanjutan tentang pengaruh terapi MRM rentang gerak sendi
bahu dan derajat nyeri pada pasien ca mammae dengan pendekatan atau
rancangan penelitian lain seperti retrospektif.
4) Perlunya dilakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh stadium dan letak tumor
terhadap rentang gerak sendi bahu pasca terapi MRM.
5) Perlunya pencatatan rekam medis pasien yang lebih lengkap agar memudahkan
pihak rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan lebih lanjut serta dapat
memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian di RSD DR. Soebandi
DAFTAR PUSTAKA
Abraham SE, Schlicht CR. Chronic Pain Management. In : Barash PG, Cullen BF,
Stoleting RK, editors. Clinical Anesthesia, 4 th
edition. Philadelphia : Lippincott
Williams and Wilkins ; 2001. p.1453-62
Albo D, Wayne JD, Hunt KK, Rahlfs TF, Singletary SE, Ames FC, et al.
Anaphylactic reactions to isosulfan blue dye during sentinel lymph node biopsy
for breast cancer. Am J Surg. Oct 2001;182(4):393-8
Alzufri, HS. 2011. Pengembangan Electrical Capacitance Volume Tomography
(ECVT) untuk Rekonstruksi Citra dan Diagnosis Kanker Payudara. Depok:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi S1 Fisika
Peminatan Fisika Medis dan Biofisika.
Arif, M. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Australian and New Zealand College of Anaesthetists and Faculty of Pain Medicine.
In : Acute Pain Management : Scientific Evidence. Australian Government.
National Health and Medical Research Council ; 2010. p.1-8.
Ay AA, Kutun S, Cetin A. Lymphoedema after mastectomy for breast cancer:
Importance of supportive care. S Afr J Surg. 2014 Jun 6;52(2):41-44
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah, Edisi 8.,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Bonica JJ, Loeser JD. History of pain concepts and therapies. In : Loeser JD, editor.
The Management of Pain, 3rd
edition. Lippincot William Wilkins ; 1990. p.2-15
83
Boughey JC, Goravanchi F, Parris RN, Kee SS, Frenzel JC, Hunt KK, et al. Improved
postoperative pain control using thoracic paravertebral block for breast
operations. Breast J. Sep-Oct 2009;15(5):483-8.
Carr DB, Goudas LC. Acute Pain. The Lancet, volume 353 ; June 1999. p.2051-8.
Desen, W et al. Buku Ajar Onkologi Klinis. 2011. Jakarta, Balai Penerbit: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm. 366-382.
Efendi, Hamdani, William, Labeda, Ibrahim. 2012. Pengaruh Kemoterapi terhadap
Kadar CA 15-3 dan CEA dalam Darah Penderita Kanker Payudara Stadium
Lanjut. JST Kesehatan, 1 (3): 272-280.
Fillingim RB. Pain measurement in humans. In : Holcroft A, Jaggar S, editors. Core
topics in pain. Cambridge University New York:IASP Press ; 2001. p.71-7.
Giuliano AE, Hunt KK, Ballman KV, et al. Axillary dissection vs no axillary
dissection in women with invasive breast cancer and sentinel node metastasis: a
randomized clinical trial. JAMA. Feb 9 2011;305(6):569-75.Hurley RW, Wu
CL. Acute postoperative pain. In : Miller RD, editors. Anesthesia, 7th
ed.
London : Churchill Livingstone ; 2005. p.2327-41
Kamarudin, N. A. 2009. Prevalensi Komplikasi Oral akibat Kemoterapi pada Pasien
Kanker di RSUP H. Adam Malik Medan. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara.
Kuwajerwala N. K. Modified Radical Mastectomy.
http://emedicine.medscape.com/article/1830105-overview [diakses 6 november
2014]
Loukas M, Tubbs RS, Mirzayan N, Shirak M, Steinberg A, Shoja MM. The history of
mastectomy. Am Surg. May 2011;77(5):566-71
84
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pain Managament. In : Morgan GE, editor.
Clinical Anesthesiology, 4th
ed. Lange Medical Books/McGraw-Hill ; 2006. p.
359-412.
National Comprehensive Cancer Network. NCCN Guidelines for Treatment of
Cancer. http://www.nccn.org/professionals/physician_gls/f_guidelines.asp#site.
[Diakses 5 November 2014]
Meyer RA, Ringkamp M, Campbell JN. Peripheral neural mechanism of nociception.
In : McMahon SB, Koltzenburg M, editors. Textbook of Pain, 5 th
ed. China :
Churchill Livingstone ; 2006. p.8-19
Potter., Patricia A, Perry., Anne Griffin. 2005 Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses dan Praktik. Penerbit:EGC
Rawal N, Fischer HBJ, Ivani G, Andreas JD, Mogensen T, Narchi P, et al. Post
operative pain management – good clinical practice. European Society of
Regional Anaesthesia. Sweden, 2008.
Setyowati, Setiyadi, Ambarwati. 2008. Risiko Terjadinya Kanker Payudara Ditinjau
dari Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pencegahan. Surakarta: Prodi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan.
Sjamsuhidayat R dan Jong WD. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.
Soetjiningsih et al. 2008. Modul Komunikasi Pasien-Dokter : Suatu Pendekatan
Holistik. cetakan : 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm. 64
85
Stephen EA. Pain Pathway and Mechanisme. In : The Pain Clinic Manom, 2nd
edition,
2000.
Stoelting RK, Hillier SC. Pain. In : Pharmacology & Physiology in Anesthetic
Practice, 4th
ed. Lippincott Williams & Wilkins ; 2006. p.707-17.
Suratun, Heryati, Santa Manurung, Een Raenah. 2008. Asuhan Keperawatan Klien
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC Hlm 172.
Umar N. Acute pain : management strategies that work. Pertemuan Ilmiah Berkala
(PIB) IX IDSAI. Medan ; 2002. p.421-29
Woolf CJ. Pain moving from symptom control toward mechanism-spesific
pharmacologic management. Annals of Internal Medicine. 2004 ; 140 : 441-51.
86
LAMPIRAN A. ETHICAL CLEARANCE
87
LAMPIRAN B. NASKAH PENJELASAN
Pasien diperiksa rentang gerak sendi bahunya dengan menggunakan goniometri.
Pasien Pasien diminta untuk melakukan gerakan abduksi horizontal, adduksi
horizontal, fleksi, ekstensi, rotasi internal, dan rotasi eksternal.
1. Abduksi Horizontal
Pasien memposisikan lengan sejajar dengan sumbu vertikal tubuh. Pasien
diminta memposisikan lengan sejajar dengan sumbu vertikal tubuh. Pasien
diminta menggerakkan lengannya ke samping lalu kebelakang secara perlahan
hingga mencapai sudut maksimal yang dapat dibentuk dan diukur. Pasien
hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara yang telah diterapi.
Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan dalam
skala 0-10 saat melakukan gerakan abduksi
2. Adduksi Horizontal
Setelah melakukan gerakan abduksi pasien diminta mengembalikan posisi
lengan sejajar dengan sumbu vertikal tubuh kemudian pasien menggerakkan
lengan ke samping lalu kedepan dada hingga mencapai sudut maksimal yang
dapat dibentuk dan diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi
dengan payudara yang telah diterapi. Pasien diminta untuk menunjukkan
intensitas nyeri yang dirasakan dalam skala 0-10 saat melakukan gerakan
adduksi
3. Fleksi
Pasien diminta meluruskan lengan sejajar dengan garis vertikal tubuh.
Pasien diminta menggerakkan lengan ke depan lalu ke atas hingga mencapai
sudut maksimal dan diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi
dengan payudara yang telah diterapi. Pasien diminta untuk menunjukkan
intensitas nyeri yang dirasakan dalam skala 0-10 saat melakukan gerakan
fleksi
88
4. Ekstensi
Pasien diminta memposisikan sejajar dengan garis vertikal tubuh
kemudian menggerakkan lengan ke belakang menjauhi garis vertikal. Pasien
menggerakkan lengan hingga mencapai sudut maksimal yang dapat dibentuk
dan diukur. Pasien hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara
yang telah diterapi. Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri yang
dirasakan dalam skala 0-10 saat melakukan gerakan ekstensi
5. Rotasi Internal
Pasien diminta mengangkat lengan atas dan memposisikan abduksi 90o
dan lengan bawah diarahkan lurus ke depan. pasien diminta menggerakkan
lengan bawah kebawah hingga membentuk sudut maksimal dan diukur. Pasien
hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara yang telah diterapi.
Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan dalam
skala 0-10 saat melakukan gerakan rotasi internal
6. Rotasi Eksternal
Pasien diminta mengangkat lengan atas dan memposisikan abduksi 90o
dan lengan bawah diarahkan lurus ke depan. Pasien diminta menggerakkan
lengan bawah keatas hingga membentuk sudut maksimal dan diukur. Pasien
hanya menggerakkan lengan yang sesisi dengan payudara yang telah diterapi.
Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan dalam
skala 0-10 saat melakukan gerakan rotasi eksternal
89
LAMPIRAN C. CHECKLIST PASIEN POST TERAPI MRM
I Data Pribadi Pasien
1. Nama :
2. Umur :
3. Alamat :
4. Nomor Telepon :
II Latar Belakang Pasien
1. Lama waktu post terapi MRM :
a. ....... Hari
b. ....... Minggu
2. Pekerjaan Pasien
a. Ibu Rumah Tangga
b. Wiraswasta
c. PNS
d. Tidak Bekerja
e. Lain-lain............
3. Latar Belakang Pendidikan
a. SD/MI
b. SMP/MTS
c. SMA/MA
d. Perguruan Tinggi S1
e. Lain-lain..........
4. Diagnosis menurut rekam medik
a. Ca Mammae Stadium I
b. Ca Mammae Stadium II A/ II B
c. Ca Mammae Stadium III A / IIIB / IIIC
d. Ca Mammae Stadium IV
90
5. Jenis Analgesik
........................................................
6. Infeksi luka operasi
a. Ada
b. Tidak ada
7. Terapi Alternatif ( pijat )
a. Iya
b. Tidak
c. Lain-lain.......
8. Latihan
a. Jarang
b. Kadang-kadang
c. Sering
9. Aktifitas harian
a. Tidak dapat beraktivitas
b. Ringan
c. Sedang
d. Berat
91
LAMPIRAN D. PEMERIKSAAN KLINIS PASIEN
Nama Pasien :...........................................................................
Keadaan Umum :............................................................................
1. Rentang Gerak Sendi Bahu
a. Fleksi bahu : derajat (N:0°- 170°)
b. Ekstensi bahu : derajat (N:0°- 60°)
c. Abduksi bahu : derajat (N:0°- 40°)
d. Adduksi bahu : derajat (N:0°- 130°)
e. Rotasi internal bahu : derajat (N:0°- 70°)
f. Rotasi eksternal bahu : derajat (N:0°- 90°)
2. Derajat Nyeri
a. Fleksi bahu : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10
b. Ekstensi bahu : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10
c. Abduksi bahu : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10
d. Adduksi bahu : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10
e. Rotasi Internal : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10
f. Rotasi Eksternal : 0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/10
3. Melakukan gerakan menyisir rambut :
a. Bisa tanpa nyeri
b. Bisa dengan nyeri
c. Tidak bisa
92
LAMPIRAN E. LEMBARAN INSTRUMEN SKALA PENILAIAN VAS
93
LAMPIRAN F. FORMULIR PERSETUJUAN
FORMULIR PERSETUJUAN
(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :
No. Telp/Hp :
Menyatakan bersedia untuk menjadi subjek penelitian dari :
Nama : Radityo Priambodo (2011/112010101024)
Fakultas : Fakultas Kedokteran Universitas Jember
Judul Penelitian :
PENGARUH TERAPI MODIFIED RADICAL MASTECTOMY TERHADAP
RENTANG GERAK SENDI BAHU DAN DERAJAT NYERI PADA PASIEN CA
MAMMAE DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER
Prosedur penelitian ini tidak akan memberikan dampak dan resiko apapun terhadap
subjek penelitian. Semua penjelasan telah disampaikan kepada saya dan semua
pertanyaan saya telah dijawab oleh peneliti. Saya mengerti bahwa bila masih
memerlukan penjelasan, saya akan mendapat jawaban dari Radityo Priambodo.
Dengan menandatangani formulir ini, saya setuju untuk ikut dalam penelitian ini.
Jember,......................
Saksi Subjek
(____________________) (____________________)
94
LAMPIRAN G. DOKUMENTASI PENELITIAN
Pengukuran ROM
Pengukuran ROM