tugas afdal

13
Tugas !!! APANAGE DAN BEKEL SERTA KEESAHAN DALAM PEDESAAN D I S U S U N Oleh: Afdal Adani Dosen pembimbing : Usman Sp.d FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Upload: sara-long

Post on 30-May-2017

216 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas afdal

Tugas !!!

APANAGE DAN BEKEL SERTA KEESAHAN DALAM PEDESAAN

D

I

S

U

S

U

N

Oleh:Afdal Adani

Dosen pembimbing : Usman Sp.d

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH

BANDA ACEH

Page 2: Tugas afdal

A. Latar Belakang Sosial Ekonomi

Abad XIX di Jawa merupakan periode eksploitasi agraris. Pada tahun 1830 dimulai

Tanam Paksa dan tahun 1870 dikeluarkan Undang-Undang Agraria oleh Pemerintah Kolonial.

Undang-Undang Agraria memberikan kebebasan perusahaan swasta untuk menanamkan

modalnya. Sejak tahun 1830 di Vorstenlanden berkembang perusahaan perkebunan

(orderneming). Baik Tanam Paksa maupun perusahaan perkebunan memerlukan lahan yang luas.

Di keresidenan Surakarta lahan yang luas dan subur adalah tanah apanage. Kepemimpinan

seorang bekel diperlukan sekali bagi kehidupan sosial di tanah apanage. 

Dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755, berdirilah 2 kerajaan yaitu: Kerajaan Surakarta dan

Yogyakarta. Surakarta adalah bagian dari Vorstenlanden, wilayahnya meliputi daerah seluas

6215 km2. Letak keresidenan Surakarta sangat strategis,dan mudah dijangkau dari berbagai

penjuru. Sepanjang jalan besar dari Semarang dan Yogyakarta banyak didirikan pos dan benteng

untuk memudahkan pengawasan dan komunikasi. Demikian pula jalan kereta api Semarang-

Vorstenlanden yang dipasang sejak tahun 1864 dan jalan trem yang menghubungkan pusat-pusat

perkebunan di pedalaman sudah membentuk jaringan transportasi yang efektif dengan kota-kota

pada akhir abad XIX.

Page 3: Tugas afdal

B.Sistem Apanage

Peranan tanah dan mekanismenya menciptakan timbulnya interaksi sosial dalam

masyarakat. Dengan kata lain, system apanage menentukan dan mengatur pola hubungan sosial

politik masyarkat agraris. Berdasarkan teori milik raja (vorstendomein) dari Rouffaer, raja adalah

pemilik tanah seluruh kerajaan dan dalam pemerintahannya ia dibantu oleh para birokat yang

terdiri dari sentana dan narapraja. Mereka diangkat oleh raja berdasarkan orientasi kepada status

dan askripsi.

Mereka diberi tanah apanage atau tanah lungguh sebagai gaji yang merupakan imbalan

jasanya.teori domein ini dimanfaatkan oleh para ahli hukum adat yang melihat hal seperti yang

digambarkan oleh Rouffaer itu sebagai hasil proses userpasi kekuasaan raja yang semakin kuat. 

Mengikuti pendapat bahwa hak atas tanah tertinggi ada pada raja, maka di samping raja

menggunakan tanah untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tanah-tanah itu juga diberikan

sementara kepada sentana dan narapraja sebagai siti atau bumi gadhuhan. Menurut fungsinya

tanah-tanah di Kasunanan dan Mangkunegaran dibedakan menjadi: pertama, Bumi narawita,

yaitu tanah yang menghasilkan sesuatu (barang) yang ditentukan dan diperlukan oleh raja. Para

patuh diberi hak untuk memungut sebagian hasil tanah apanagenya. Karena mereka bertempat

tinggal di kuthagara, maka penggarapan apanagenya dilakukan oleh seorang bekel. 

Selain mewakili patuh, para bekel juga dipercaya memungut hasil bumi dari petani.

Dalam arti sempit tugas seorang bekel adalah pengumpul pajak dari petani di desa-desa, dan

dalam arti luas ia harus mengawasi keamanan desa, termasuk menyediakan tanah dan tenaga

kerja. Oleh karena itu, meskipun patuh membebani bekel dengan berbagai tugas dan kewajiban,

tugas itu dikerjakannya dengan baik karena bekel dengan mudah mengarahkan petani di

Page 4: Tugas afdal

kebekelannya. Bekel yang diangkat dikukuhkan dengan surat pengangkatan yang disebut piagem

yang di dalamnya tercantum tugas, kewajiban dan sangsinya. Sebelum seorang bekel diangkat, ia

harus mendapat persetujuan dahulu dari gunung, yaitu seorang penguasa distrik yang

membawahi bekel.

C. Struktur Apanage

Dilihat dari strukturnya, tanah apanage dapat dibedakan menjadi tanah narawita

(kroondomein) di satu pihak dan tanah apanage untuk sentana dan narapraja di pihak lain.

Tanah-tanah narawita menghasilkan bahan pangan, kudapan dan bahan-bahan yang diperlukan

oleh istana. Raja dan patuh menyerahkan penggarapan tanah itu kepada bekel.

Untuk desa-desa besar bekel-bekel ada di bawah pengawasan demang. Seperti yang sudah lazim

berlaku, pembagian hasil tanah dilakukan dengan maro, 2/5 bagian untuk raja atau patuh, 2/5

untuk sikep, dan yang 1/5 untuk bekel. Pola hubungan ke bawah dari raja atau patuh kepada

bekel dan sikep baik di tanah narawita maupun di tanah apanage merupakan pola tetap. Selain

itu, hubungan ke bawah berasal dari parapejabat tinggi dan rendah istana yang semuanya adalah

para patuh.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua golongan sosial besar, yaitu

golongan sosial besar, yaitu golongan priyayi di satu pihak dan wong cilik di pihak lain.

Golongan priyayi yang terdiri dari para sentana dan narapraja merupakan sebagian kecil

penduduk terdiri dari golongan penguasa yang berada di atas golongan sosial besar. Golongan

besar ini terdiri dari sikep dan kuli-kuli lainnya yang disebut wong cilik. Priyayi mengawasi para

sikep karena ia memberi tanah garapan kepada mereka. Golongan sikep menyediakan tenaga

kerja untuk menggarap tanah-tanah apanage. Dengan demikian, dilihat dari struktur sosial yang

berlaku, tampak adanya dominasi dan eksploitasi oleh golongan sosial di atas suasana desa. 

Page 5: Tugas afdal

D.Bekel Dalam Masyarakat Tradisional

Peranan bekel timbul karena system apanage yang mempercayai bekel sebagai penebas

pajak yang dibayarkan secara teratur maupun okasional. Tertib tidaknya penarikan pajak dari

petani sangat bergantung pada para bekel sebagai penanggung jawab. Rupanya tidak diragukan

lagi bahwa sering terjadi kebocoran dalam pembayarannya sehingga sejumlah pajak yang

diharapkan tidak sampai kepada patuh. Diperkirakan sikep tidak dapat memenuhi pasokan

sehingga jumlah pemasukan pajak berkurang, tetapi juga sangat besar kemungkinannya pasokan

itu sebelum sampai pada patuh diambil sebagian oleh kepala-kepala di atas bekel. Selain itu,

berkurangnya pemasukan pajak diperkirakan berasal dari sikep yang tidak sanggup

membayarnya.

Oleh karena itu, sikep harus diawasi sehingga bekel diberi tugas baru sebagai pengawas

penarikan pajak dan sekaligus sebagai penjaga keamanan desa. Tugas tambahan menjadi

pengawas penarikan pajak ini secara tidak sengaja memunculkan peranan bekel sebagai

penguasa desa, artinya ia mempunyai kekuasaan sebagai kepala desa. Sejak terjadinya perluasan

perkebunan, peranan bekel sebagai penguasa dsa menjadi makin jelas. Perubahan itu terjadi pada

tahun 1848, pada waktu itu dikeluarkannya peraturan tentang tugas kepala-kepala desa. Namun,

setelah tahun itu masih selalu terjadi kesalahan dalam menyebut bekel sebagai penebas pajak

ataukah bekel sebagai pemegang kekuasaan desa atau kepala desa. Rupanya setelah pertengahan

abad XIX jelas ada kecenderungan menyebut bekel sebagai kepala desa.

Page 6: Tugas afdal

Didalam sistem apanage, bekel ditempatkan sebagai penghubung ke atas dank ke bawah.

Hubungan ke atas menempatkan bekel sebagai penebas tanah apanage sebagai siti gadhuhan dari

raja, dan ia bertanggung jawab dalam pembayaran sejumlah pajak seperti yang disebutkan dalam

piagem. Dalam hal ini kedudukan patuh sangat kuat karena ia berkuasa untuk memaksa bekel

agar memenuhi tuntutannya. Jadi, dengan kata lain bekel harus loyal kepada patuh. Sedangkan

hubungan ke bawah antara bekel dengan sikep dan kuli-kuli lainnya menempatkan bekel sebagai

pelindungnya sehingga para kuli itu sangat tergantung pada bekel. Loyalitas kuli kepada bekel

tidak diragukan lagi dalam hubungannya dengan pengerahan tenaga untuk mengerjakan sawah.

Kuduran atau sambatan wajib juga berlaku pada petani jika bekel memerlukan tenaga kuli di

kabekelannya. 

Perubahan kedudukan tanah apanage dan peranan bekel mempunyai dampak luas dan

sangat kompleks dalam masyarakat. Reorganisasi agraria merupakan dasar pembaharuan karena

ekstrasi colonial selama ini belum memperoleh keuntungan maksimal. Oleh karena itu, ekstrasi

hasil bumi dan tenaga kerja petani ditingkatkan, khususnya dengan mengubah kedudukan tanah

dan membentuk pemerintahan desa. Dengan demikian ekstraksi lama tetap berjalan disatu pihak,

dan intensifikasi ekstraksi berlangsung sesuai dengan kemajuan penetrasi colonial dan

komersialisasi di pihak lain. Perubahan-perubahan itu mempercepat runtuhnya kelembagaan

desa. Dukungan dari beberapa teori perlu dicocokan kebenarannya terutama korelasi antara

perubahan kedudukan tanah dan pemerintahan desa dengan proses komersialisasi dan

monetisasi.

Page 7: Tugas afdal

Proses reorganisasi adalah salah satu cara untuk memperbaiki keadaan di pedesaan.

Reorganisasi peradilan yang dilakukan sebelumnya guna menunjang keamanan bagi usaha-usaha

swasta ternyata belum cukup menjamin. Oleh karena itu, diperlukan reorganisasi agraria, yaitu

dengan menghapus tanah apanage agar ada kepastian usaha bagi modal swasta, termasuk

penyederhanaan manajemennya.

E.Kekuasaaan Bekel

Perubahan kekuasaan bekel secara resmi baru dilakukan bersamaan dengan reorganisasi

tanah dan pembentukan pemerintahan desa pada tahun 1912 untuk desa kejawen, tahun 1917

untuk desa perkebunan. Desa-desa kejawen yang terdiri dari beberapa kabekelan dihapus, dan

dibentuk kelurahan yang dikepalai oleh seorang lurah desa atau kepala desa. 

Pada dasarnya terdapat persamaan wewenang bekel denagn lurah, tetapi wewenang lurah

dipersempit pada urusan administrasi dan pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah

colonial mempunyai pegangan kuat terhadap desa-desa dalam rangka mengubah system apanage

ke industrialisasi agraris. Dengan kata lain, kelurahan mempunyai wewenang nyata untuk

mengatur desa-desa guna mendapatkan tanah dan tenaga kerja melalui persewaan dan kontrak

individual.

F.Transportasi Dan Mobilisasi

Transportasi dan mobilisasi merupakan dampak dari peningkatan agro-industri.

Mobilisasi mencakup perpindahan secara geografis dari satu tempat ke tempat lain yang

ditunjang oleh transportasi modern yaitu kereta api, sedangkan perpindahan secara sosial berupa

Page 8: Tugas afdal

perubahan status sosial ke atas. Kedua bentuk mobilitas itu tidak dapat dilakukan sepenuhnya

oleh petani karena ada beberapa hambatan. Mobilitas geografis petani terbatas pada territorialnya

dan kemampuan finansialnya, sedangkan mobilitas ke atas sengaja ditekan agar tetap tersedia

tenaga kerja guna memperoleh ekstraksi secara maksimal.

G. Keresahan Di Pedesaan

Menurut lokasi kejadiannya, keresahan sosial dapat dibedakan menjadi 2, yaitu di pusat

kerajaan dan di pedesaan. Sungguhpun demikian, kedua lokasi itu tidak dapat dipisahkan karena

keresahan yang mula-mula timbul di istana, setelah meletus sebagai gerakan, beralih kepada

dukungan priyayi di pusat kerajaan. Oleh karena itu, kerusuhan-kerusuhan seperti perkecuan,

pencurian, pembegalan, pembakaran, dan pembunuhan, serta gerakan sosial keagamaan

mengambil tempat di pedesaan karena petani meupakan sebagian besar korban modernisasi

sehingga gerakan yang timbul selalu didukung oleh petani. Kasus-kasus gerakan sosial, yaitu :

Gerakan Mangkuwijoyo tahun 1865

Gerakan Srikaton tahun 1888

Page 9: Tugas afdal

DAFTAR PUSTAKA

Suhartono. 1989. APANAGE dan BEKEL ( Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta

1830-1920 ). Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.

http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/04/apanage-dan-bekel.html

http://books.google.co.id/books/about/Apanage_dan_bekel.html?

id=nBIrAAAAIAAJ&redir_esc=y

http://hasbymarwahid.blogspot.com/2011/05/apanage-dan-bekel-perubahan-sosial-di.html