tugas 2 pbpam desi ratna komala (0910941014)

24
MAKALAH PERENCANAAN BANGUNAN PENGOLAHAN AIR MINUM KLASIFIKASI DAN KRITERIA KELAS MUTU AIR BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 82 TAHUN 2001 OLEH : DESI RATNA KOMALA BP. 0910941014 DOSEN: ESMIRALDA, MT

Upload: desi-ratna-komala

Post on 31-Jul-2015

334 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

MAKALAH

PERENCANAAN BANGUNAN PENGOLAHAN AIR MINUM

KLASIFIKASI DAN KRITERIA KELAS MUTU AIR BERDASARKAN

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 82 TAHUN 2001

OLEH :

DESI RATNA KOMALA

BP. 0910941014

DOSEN:

ESMIRALDA, MT

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2012

Page 2: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

KOAGULASI DAN KRITERIA DESAIN METODE PENGADUKAN MEKANIS

1.1 Koagulasi

Pengertian koagulasi adalah penambahan dan pengadukan cepat (flash mixing) koagulan yang

bertujuan untuk mendestabilisasi partikel-partikel koloid dan suspended solid (Reynolds,

1982). Sedangkan menurut Kawamura (2001) koagulasi didefinisikan sebagai proses

destabilisasi muatan koloid dan padatan tersuspensi termasuk bakteri dan virus, dengan suatu

koagulan. Pengadukan cepat (flash mixing) merupakan bagian integral dari proses koagulasi.

Tujuan pengadukan cepat adalah untuk mempercepat dan menyeragamkan penyebaran zat

kimia melalui air yang diolah. Pengadukan cepat yang efektif sangat penting ketika

menggunakan koagulan logam seperti alum dan ferric chloride, karena proses hidrolisisnya

terjadi dalam hitungan detik dan selanjutnya terjadi adsorpsi partikel koloid. Waktu yang

dibutuhkan untuk zat kimia lain seperti polimer (polyelectrolites), chlorine, zat kimia alkali,

ozone, dan potasium permanganat, tidak optimal karena tidak mengalami reaksi hidrolisis

(Kawamura, 1991).

Menurut Kawamura (1991), keefektifan pengadukan cepat dipengaruhi :

1. Tipe koagulan yang digunakan;

2. Jumlah zat kimia yang diberikan dan karakteristiknya masing-masing;

3. Kondisi lokal, misalnya kondisi daerah, temperatur, kelayakan suplai energi dan

sebagainya;

4. Karakteristik air baku;

5. Tipe pengaduk zat kimia;

6. Kehilangan tekanan (headloss) yang tersedia untuk pengadukan cepat;

7. Variasi aliran pada instalasi;

8. Jenis proses selanjutnya;

9. Biaya;

10. Dan lain-lain.

Kawamura (1991) menyebutkan bahwa pemilihan koagulan sangat penting untuk

menentukan desain kriteria pengadukan cepat dan untuk proses flokulasi dan sedimentasi agar

berjalan efektif. Koagulan yang sering digunakan adalah koagulan garam logam seperti :

alumunium sulfat, ferric chloride, dan ferric sulfate. Polimer buatan seperti polydiallyl

dimethyl ammonium (PDADMA) dan polimer kation alam seperti chitosan (terbuat dari kulit

udang) juga dapat digunakan. Perbedaan antara koagulan logam dengan polimer kation adalah

pada reaksi hidrolisnya dengan air. Garam logam mengalami hidrolisis ketika dimasukkan ke

Page 3: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

dalam air sedangkan polimer tidak. Reaksi hidrolisis ini menghasilkan hydroxocomplex

seperti:

Al( H2 )63+ , Fe ( H2 O)3

3+ , AlOH 2 +

dan Fe(OH )2+

.

Selain koagulan, biasanya dalam pengolahan air bersih ada penambahan zat kimia yang

dibubuhkan dalam pencampuran cepat. Zat kimia yang sering digunakan adalah alum, polimer

kationik, potasium permanganat, chlorine, powerded activated carbon (PAC), amonia, kapur

soda, serta anionic dan nonionic polymers. Pemilihan zat kimia yang tepat sangat penting

khususnya pada air baku yang tidak memiliki alkalinitas yang cukup (Kawamura, 1991).

Jenis koagulan yang sering dipakai (Reynolds, 1982) adalah :

1. Alumunium Sulfat (Alum)

Alum [Al2(SO4)3.18H2O] adalah salah satu koagulan yang umum digunakan karena

harganya murah dan mudah didapat. Alkalinitas yang ada di dalam air bereaksi dengan

alumunium sulfat (alum) menghasilkan alumunium hidroksida sesuai dengan persamaan :

Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(HCO3)2 → 3CaSO4 + 2Al(OH)3 + 6CO2 + 14 H2O

Bila air tidak mengandung alkalinitas untuk bereaksi dengan alum, maka alkalinitas perlu

ditambah. Biasanya alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida yaitu berupa kalsium

hidroksida (Ca(OH)2) dengan reaksi :

Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2 → 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14 H2O

Alkalinitas bisa juga ditambahkan dalam bentuk ion karbonat dengan penambahan natrium

karbonat. Kebanyakan perairan memiliki alkalinitas yang cukup sehingga tidak ada

penambahan zat kimia selain alumunium sulfat. Nilai pH optimum untuk alum sekitar 4,5–

8,0.

2. Ferrous Sulfate (FeSO4)

Ferrous sulfate membutuhkan alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida agar menghasilkan

reaksi yang cepat. Senyawa Ca(OH)2 biasanya ditambahan untuk meningkatkan pH

sampai titik tertentu dimana ion Fe2+ diendapkan sebagai Fe(OH)3. Reaksinya adalah :

2FeSO4. 7H2O + 2Ca(OH)2 + ½ O2 → 2Fe(OH)3 + 2CaSO4 + 13 H2O

Agar reaksi di atas terjadi, pH harus dinaikkan hingga 9,5. Selain itu, ferrous sulfate

digunakan dengan mereaksikannya dengan klorin dengan reaksi :

3FeSO4.7H2O + 1,5Cl2 → Fe2(SO4)3 + FeCl3 + 21H2O

Reaksi ini terjadi pada pH rendah sekitar 4,0.

Page 4: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

3. Ferric Sulfate dan Ferric Chloride

Reaksi sederhana ferric sulfate dengan alkalinitas bikarbonat alam membentuk ferric

hydroxide dengan reaksi :

Fe2(SO4)3 + 3Ca(HCO3)2 → 2Fe(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2

Sedangkan reaksi ferric chloride dengan alkalinitas bikarbonat alami yaitu :

2FeCl3 + 3Ca(HCO3)2 → 2Fe(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2

Apabila alkalinitas alami tidak cukup untuk reaksi, Ca(OH)2 ditambahkan untuk

membentuk hidroksida. Reaksinya adalah :

2FeCl3 + 3Ca(OH)2 → 2Fe(OH)3 + 3CaCl2

Menurut Kawamura (1991), pengadukan cepat bisa dilakukan dengan sistem difusi secara

hidrolis, mekanis maupun dengan pompa. Tipe pengadukan cepat yang umum digunakan,

berdasarkan keefektifan, kemudahan pemeliharaan serta biaya, urutan pilihannya adalah

sebagai berikut :

1. Diffusion mixing dengan water jet bertekanan (Gambar 1.1)

Keuntungan dari sistem ini adalah bahwa air baku tanpa penambahan zat kimia atau sudah

mengalami destabilisai sebagian bisa digunakan dalam sistem injeksi zat kimia. Valve

yang dipasang pada pompa bisa digunakan untuk mengontrol kecepatan pemompaan dan

variasi energi input untuk aliran yang bervariasi dan berjenis-jenis zat kimia koagulasi.

Sistem ini mempunyai durasi pengadukan sekitar 0,5 detik dan nilai G sekitar 1000 detik-

1 (AWWA, 1997).

Gambar 1.1. Jet Injection Sistem Pengadukan CepatSumber : Montgomery, 1985

Page 5: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

2. In-line static mixing (Gambar 1.2.)

Pengaduk ini dikenal dengan pengaduk statis tidak bergerak. Pengaduk ini cukup efektif

dalam proses koagulasi. Kelebihan pengaduk ini adalah (1) tidak adanya bagian yang

bergerak, (2) tidak membutuhkan energi luar untuk menjadi input (masukan) ke dalam

sistem, (3) lebih sedikit terjadinya penyumbatan daripada tipe pengadukan difusi dengan

pompa. Kekurangannya adalah bahwa tingkat dan waktu pengadukannya merupakan

fungsi debit aliran. Panjang pengadukan biasanya 1,5 – 2,5 diameter pipa. Dalam

penerapannya, maksimum headloss yang melintasi unit koagulasi adalah 0,6 m. Desain

instalasi pegolahannya harus mempunyai screen pada intake di bagian hulu dari pengaduk

statis sehingga sampah-sampah besar tidak merusak pengaduk statis (Kawamura, 1991).

Gambar 1.2. In-line Static MixerSumber : Montgomery, 1985

Nilai G dirumuskan sebagai berikut :

G=( Pμ .V )

0 . 5

Untuk pengadukan cepat dengan static mixer besarnya P dapat diperoleh melalui persamaan

(Kawamura, 1991) :

P=Qwh

h=( 0 , 009( N−1)Q2Sμ0,1

D4 )N

Dimana :

P = energi pengadukan, (Watt = N.m/s) = viskositas absolut air (N.s/m2) = 1,336.10-3 N.s/m2 pada 10° CV = volume zone pengadukan (m3)Q = debit aliran (m3/s)

Page 6: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

w = berat air = 1000,15615 kg/m3h = tekanan jatuh (m)S = specific gravity = 1,00N = jumlah elemen pengadukan

Pengadukan cepat dengan in-line static mixer mempunyai kriteria desain tersendiri yaitu

(Kawamura, 1991) :

G x t = 350 – 1700 (rata-rata 1000)

t = 1 – 5 detik

3. Mechanical mixing (Gambar 1.3)

Pengaduk mekanis secara umum merupakan tipe pengaduk paddle atau propeller. Lebih

dari satu set blade propeller atau paddle tersedia pada sebuah shaft. Pengaduk mekanis

sering dirancang dengan penggerak shaft vertikal dengan sebuah penurun kecepatan dan

motor elektrik. Nilai desain untuk kebanyakan sistem pengaduk cepat secara mekanis

yaitu waktu detensi 10 – 60 detik dan nilai G sebesar 600 – 1000 detik-1 (AWWA, 1997).

Menurut Reynolds, 1982:

Gradien kecepatan : G2 = P

μ . v

Menurut Fair & Geyer, 1986:

Daya pengadukan yang dibutuhkan

- Untuk single blade :

P = 5.74 x 10-4. Cd . . (1 – K )3 n3 r3 A

- Untuk multiple blade :

P = 1.44 x 10-4 CD . . (1 – K )3 n3 b (r4 - r04 )

Cd = Koefisien Drag , harganya ditentukan sbb :

Tabel 1.1. Harga Koefisien Drag

No Panjang : Lebar Cd1 5 1,22 20 1,53 1,9

Sumber: Reynolds, 1982

Keterangan : P : Daya pompa (watt) n : jumlah putaran permenit (rpm) : viskositas dinamis (Ns/m2) r : jari-jari blade/impeller (m)

v : volume (m3) A : luas blade/impeller (m2) Cd: koefisien drag b : lebar blade/impeler (m)

: berat jenis air (kg/m3) td : waktu tinggal (jam) G : gradien kecepatan (1/dt) k : ratio kecepatan fluida terhadap kecepatan blade/impeller

Page 7: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

Gambar 1.3. Mechanical MixerSumber : Montgomery, 1985

4. In-line mechanical mixing (Gambar 1.4)

Tipe pengaduk ini menghasilkan pengadukan cepat yang lebih efisien walaupun letaknya

tetap. Keuntungan menggunakan tipe ini adalah bisa mencapai dispersi atau penyebaran

zat kimia yang cepat. Pengaduk ini beroperasi pada watu detensi yang pendek (kurang dari

satu detik) dan pada nilai G yang tinggi. Namun, hal tersebut menjadi pertimbangan

penting karena menjadi kelemahan alat ini dalam air yang membutuhkan waktu reaksi

yang lebih lama dan lebih dari satu zat kimia untuk pembentukan flok (AWWA, 1997).

Gambar 1.4. In-line Mechanical MixerSumber : Montgomery, 1985

5. Hydraulic mixing dengan terjunan (Gambar 1.5)

Pengadukan hidrolis dapat dilakukan dengan menggunakan V-notch, saluran air, orifice,

aliran turbulen sederhana yang disebabkan oleh kecepatan dalam pipa, fitting atau saluran.

Total headloss untuk pengadukan zat kimia koagulan tidak lebih dari 3,2 m. Energi dari

suatu terjunan efektif setinggi 30 cm menyediakan nilai G sebesar 1000 s-1 pada suhu 20°

C (AWWA, 1997).

Gradien kecepatan (G) : 400-1000 /dt

Waktu detensi (td) : 60 detik (untuk kekeruhan tinggi)

G x td : 20.000 – 30.000

Page 8: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

G=[ g .hυ .td ]

12

(2-11)

dimana, G =gradien kecepatan (1/detik)

g =percepatan gravitasi (m/s2)

h =tinggi terjunan

=viskositas kinematis

Gambar 1.5. Koagulasi Tipe Terjunan

6. Diffusion dengan pipe grid (Gambar 1.6)

Tipe pengadukan cepat ini tergantung pada turbulensi yang diciptakan oleh pipa grid.

Koagulan atau zat kimia lainnya ditambahkan ke dalam aliran melaui injeksi orifice di

dalam grid. Masalah yang umum terjadi adalah tersumbatnya orifice setelah beberapa

bulan hingga satu tahun instalasi beroperasi. Di bawah kondisi normal, pengaduk ini tidak

direkomendasikan (Kawamura, 1991).

Gambar 1.6. Diffusion Flash MixerSumber : Montgomery, 1985

Salah satu jenis pengadukan cepat tipe hidrolis adalah pengadukan dalam pipa. Panjang pipa

yang diperlukan untuk pengadukan cepat berdasarkan kecepatan aliran dan waktu

pencampuran, dengan rumus perhitungan sebagai berikut (Darmasetiawan, 2001) :

Page 9: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

td=Lv

L= g Hf v

υ G2

V= Q / A

Dimana : L = panjang pipa (m) V = kecepatan aliran dalam pipa (m/detik) = 2.5 – 4 m/detik Q = kapasitas pengolahan (m3/detik) td = waktu pencampuran (detik) A = luas penampang pipa (m) = ¼ π D2 G = gradien kecepatan (/dt)υ

= viskositas kinematik (1,306x10-6 m/s pada suhu 10°C)

Gradient kecepatan 350-1700 /dt /detik. Dengan rumus sebagai berikut :

G=( g Hfυ td )

0.5

Dimana :

G = gradient kecepatan (per detik) g = percepatan gravitasi (9,81 m/det2) Hf = kehilangan tinggi tekanan sepanjang aliran (m) td = waktu pencampuran υ

= viskositas kinematis ( 1,306 x 10-6 m2/det pada temperatur 10 °C)

Peavy (1985) menjelaskan bahwa parameter desain untuk pengadukan cepat adalah waktu

pengadukan (t) dan gradien kecepatan (G). Untuk mendapatkan flok yang baik dilakukan

pengadukan yang bertahap dan gradien kecepatannya makin lama makin menurun.

Tabel 1.2. Kriteria Desain Unit Koagulasi

No Keterangan UnitKawamura (1)

Al-Layla (2)

Reynolds (3)

Darmasetiawan (4)

Peavy (5)

Montgomery (6)

1G

dtk-1 300700 - 1000

700 - 1000600 - 1000

1000

2 Td dtk 10 - 30 30 - 60 20 - 60 20 - 40 10 - 603 G x Td 300 - 1600 20000 - 30.000 1000 - 20004 pH alum opt. 4 4,5 - 8,0 5,0 - 7,5

Sumber: 1.Kawamura, 1991; 2.Al-Layla, 1980; 3.Reynolds, 1982; 4.Darmasetiawan, 2001; 5.Peavy, 1985; 6. Montgomery, 1985

Page 10: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

1.2 Metode Pengadukan Mekanis

1.2.1 Tipe Mekanis yang Digunakan.

Banyak tipe mekanis yang dapat digunakan dalam operasi mixing dan agitasi ini.

Diantaranya:

1. Paddle

Impeller paddle bervariasi dalam desain. Dari paddle tunggal dan datar pada shaft

vertikal sampai flokulator banyak blade yang dipasang pada shaft horizontal yang

panjang seperti terlihat pada gambar 2.5 berikut ini.

Gambar 1.7 Impeller Paddle Shaft Horizontal

Paddle dapat berjalan pada kecepatan rendah sampai sedang (2 sampai 150 rpm)

dan terutama digunakan sebagai agitator untuk melarutkan suspensi atau sebagai

pencampur pada aplikasi viskositas tinggi. Arus utama yang diperoleh merupakan

radial dan tangensial terhadap rotating paddle.

2. Turbine

Turbine impeller merupakan istilah yang digunakan untuk berbagai macam bentuk

impeller. Yang banyak digunakan adalah turbine impeller jenis yang terlihat pada

gambar 2.6. jenis ini terdiri dari beberapa blade lurus yang terpasang vertikal pada

suatu piringan datar. Rotasi berlangsung pada kecepatan sedang dan aliran fluida

terbentuk pada arah radial dan tangensial.

Page 11: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

Gambar 1.8 Turbine Impeller

3. Propeller

Impeler tipe marine propeller merupakan yang berukuran kecil namun

berkecepatan tinggi (400 rpm untuk propeller beerdiameter besar sampai 175 rpm

untuk yang berdiameter kecil) dan digunakan secara luas dalam aplikasi viskositas

rendah. Impeller ini mempunyai laju pemindahan aliran tinggi dan menghasilkan

arus kuat pada arah aksial.

Gambar 1.9 Propeller

1.2.2 Hal-hal yang perlu diperhitungkan dalam mendesain pengadukan menggunakan

alat mekanis

Dalam operasi pengadukan dengan mekanis beberapa hal yang perlu diperhitungkan

diantaranya:

1. Baffling

Komponen aliran tangensial yang diinduksi oleh rotating impeller memberikan

pergerakan rotasi yang lebih dikenal dengan vorteks disekitar tiang impeller.

Vorteks menghalangi operasi pengadukan dengan cara mengurangi kecepatan

impeller relatif terhadap cairan. Sehingga lebih lanjutnya konsumsi daya yang

Page 12: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

dibutuhkan menjadi lebih sulit dihitung. Karenanya vorteks dapat dikurangi dengan

baffling yang tepat. Pembatas vertikal ditempatkan sepanjang dinding tangki untuk

memecah pergerakan rotasi dengan mengalihkan cairan kembali terhadap tiang

impeller. Untuk operasi turbin impeller, kelebaran baffle harus lebih kecil 1/10

sampai 1/12 diameter tangki.sedangkan pada operasi propeller, lebar yang lebih

kecil dapat digunakan.

2. Fluid Regime

Rotating impeller terjadi di dalam suatu pola aliran massa fluida yang terbentuk

tidak hanya akibat bentuk, ukuran dan kecepatan impeller tetapi juga karena

karakteristik kontainer fluida dan adanya baffling. Jika aliran bersifat viskos, tidak

ada mixing yang terjadi di dalam akibat difusi. Namun jika aliran turbulen, partikel

fluid bergerak dalam semua arah dan pengadukan terjadi terutama akibat dari

penempatan konveksi. Transfer moment yang berhubungan dengan penempatan ini

menghasilkan tegangan geser yang kuat di dalam fluida. Biasanya aliran massa dan

turbulensi atau hasilnya berupa tegangan fluida penting dalam operasi pengadukan.

Kebanyakan turbulensi dihasilkan dari adanya kontak antara aliran fluida

berkecepatan tinggi dengan yang berkecepatan rendah. Aliran sepanjang sisi

kontainer, blade impeller dan sepanjang baffle memberikan turbulensi dalam

tingkat yang lebih rendah. Desain operasi pengadukan mecakup dua hal:

- Identifikasi fluida regime tertentu yang diperlukan dengan melihat: pertama,

hubungan yang ada antara gaya-gaya yang terlibat dalam regime. Hal ini tentu

harus komplit dan menghasilkan kesamaan geometrik, kinematik dan dinamik

pada operasi scaling up. Kedua, dari beberapa hal lainnya seperti input daya per

unit volume cairan untuk menghasilkan proses tertentu. Walaupun hasilnya

kurang lengkap karena hanya menghasilkan kesamaan geometrik dan kinematik

saja;

- Sintesa suatu operasi untuk menghasilkan regime.

3. Kurva Daya

Fluida regime yang terjadi akibat rotating impeller, sehingga gaya-gaya mayor

yang terjadi dalam fluida adalah:

-Gaya inersia yang ditandai dengan Power Number

N P=P .gc

ρ .n3 . D5

-Gaya viskos yang digambarkan dalam Bilangan Reynold

Page 13: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

NRe=n. D2 . ρ

μ

Gaya gravitasi yang dideskripsikan dengan Bilangan Froude

N Fr=D .n2

g

Dimana : gc = faktor konversi hukum newton, 32,17 ft.lb massa/dt2.lb.massa

Hubungan yang dapat disimpulkan dari ketiga gaya tersebut adalah :

N P=K .NRep . N

Fr q

Dimana : qqK = konstantaqp, q = Eksponennilai K,p dan q tergantung situasi pengadukan.

Gaya gravitasi yang digambarkan dalam bilangan Froude menjadi efektif hanya

jika aliran turbulen dan oleh karenanya jika vorteks terbentuk disekitar impeller.

Plotting logaritmik persamaan (2.15) untuk impeller tertentu diperlihatkan pada

gambar 2.8 berikut. Disini bilangan Reynold diplotkan terhadap fungsi daya:

Gambar 1.10 Karakteristik Daya Mixing Impeller

Untuk kontainer baffle tanpa vorteks:

φ=N P=P . gc

ρ .n3 . D5

Kurva ABCD menggambarkan hubungan fungsi daya dan bilangan Reynold Jika

vorteks tidak terbentuk. Dan jika vorteks terbentuk:

φ=NP

NFr q

=P . gc

ρ .n3 .D5 (D .n2

g )−q

Page 14: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

Kurva ABE memberikan hubungan jika terjadi vorteks.

Pada bilangan reynold rendah, kedua kurva bertemu, menunjukkan eksponen q sama

dengan nol dan :

φ=N P=K . NRep

Berlaku untuk kedua kurva diatas.

Sampai pada bilangan reynold 10, kemiringan kurva daya mendekati sama dengan –1.

Substitusi nilai ini untuk p pada persamaan (2.18)

N P=P .gc

ρ . n3 . D5=K ( μ

D .2 .n . ρ )P= K

gc

. μ .n2 . D3

Jika kondisi turbulen sepenuhnya terjadi di dalam kontainer dimana vorteks

dihilangkan (dari C ke D pada kurva ABCD) nilai eksponen p adalah nol.

φ=N P=K

P= Kgc

.ρ .n3 . D5

Dalam sistem diatas, turbulensi terjadi pada bilangan reynold = 100.000.

Bagian kurva ABE yang terjadi pada daerah aliran turbulen adalah irregular.

Konsekuensinya, tidak ada persamaan yang dapat dibuat untuk input daya jika aliran

turbulen dan adanya pembentukkan vorteks. Nilai konstanta K tergantung pada

bentuk, ukuran impeller serta jumlah baffle dan variabel lainnya yang tidak termasuk

dalam persamaan daya. Berikut tabel nilai konstanta K pada beberapa jenis impeller:

Tabel 1.3 Viskos Range dan Turebulent Range Beberapa Impeller

IMPELLER VISKOS RANGE (PERS. 2.20)

TURBULENT RANGE (PERS. 2.22)

Propeller, square pitch, 3 bladePropeller, 2 pitch, 3 bladeTurbine, 6 flat bladeTurbine, 6 curved bladeTurbine, 6 arrowhead bladeFan turbine, 6 bladeFlat paddle, 2 bladeShrouded turbine, 6 curved bladeShrouded turbine, with stator (no baffle)

41.043.571.070.071.070.036.597.5172.5

0.321.006.304.804.001.651.701.081.12

Sumber: Unit Operation Of Sanitary Engineering, Rich, 1961

Kecepatan impeller adalah sebesar:

Page 15: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

v i=2 π . r . n

Sedangkan kecepatan relatif yang terjadi akibat pergerakan impeller dan perlawanan

air (va) adalah :

v=v i−v a

Sehingga gaya yang dibutuhkan untuk pengadukan adalah sebesar:

FD=12

. ρ . CD . A . v2

Power yang dibutuhkan dalam mendesain mekanis sebagaimana disebutkan diatas

adalah sebesar:

P = FD . v

4. Scale up

Hanya sedikit informasi yang ada hubungannya dengan operasi pengadukan pada

kinerja proses. Maka konsekuensinya, identifikasi fluid regime optimum untuk

mencapai hasil proses yang diinginkan. Sehingga harus didapatkan informasi

berdasarkan percobaan laboratorium atau pilot-plant. Jika fluid regime optimum

teridentifikasi, metode scaling up untuk operasi skala kecil dapat digunakan untuk

mendesain operasi dengan ukuran yang diinginkan yang memiliki dinamika yang

sama. Dua sistem yang sama secara geometrik jika rasio dimensi dalam satu sistem

sama dengan rasio pada sistem yang lainnya kesamaan kinematik tercapai jika gerakan

fluida sama pada kedua sistem yang secara geometrik sama. Sistem-sistem akan

memiliki kesamaan dinamik jika selain sama secara geometrik dan dinamik, juga

mempunyai rasio-rasio gaya yang sama pada titik tertentu di dalam sistem. Jadi sejauh

ini scale up akan tepat tercapai hanya di dalam sistem yang secara dinamik sama.

Untuk pemakaian daya tertentu, rasio aliran massa-intensitas geser dapat divariasikan

dengan menggunakan impeller dengan ukuran berbeda dan secara geometrik sama.

Sehingga pada tingkat pilot plant, pertimbangkan dengan baik rasio diameter impeller-

tangki yang memberikan hasil proses optimum. Pengaruh ukuran impeller terhadap

laju reaksi pada dua jenis proses dapat dilihat pada grafik berikut:

Page 16: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

Gambar 1.11 Grafik Pengaruh Ukuran Impeller terhadap Laju Reaksi pada Input Daya

yang Sama

Karena rasio aliran massa terhadap intesitas geser dapat divariasikan pada input daya

sama dengan menggunakan impeller berbeda ukuran yang secara geometrik sama,

hanya sedikit justifikasi yang diperoleh dengan berbagai variasi bentuk impeller.

Seperti telah disinggung sebelumnya, bilangan Reynold berhubungan dengan

intensitas geser yang terjadi pada fluida turbulen. Jadi, data laju reaksi yang

tergantung pada ketebalan film cairan dapat dikorelasikan dengan bilangan Reynold.

Korelasi ini didemonstrasikan oleh Ruhton. Jika impeller dirotasikan pada kecepatan

berbeda dalam kisaran aliran yang sepenuhnya turbulen (dari C ke D gambar 2.5), data

yang diperoleh akan memberikan hubungan seperti pada gambar 2.10 berikut:

Gambar 1.12 Korelasi Koefisien Laju, Sifat Fluida dan Gerakan Fluida

Bilangan Reynold diplot terhadap ψ:

Ψ =h . Dk ( cP . μ

k )−w

Dimana : h = koefisien Transfer panas (BTU)/(ft2)(jam)(oF) K= kondukrivita termal (BTU)(ft)/(ft2)(jam)(oF) cp= panas spesifik pada tekanan konstan (BTU)/(lb)(oF) w= eksponen

Dalam bentuk persamaan hubungannya adalah:

Page 17: Tugas 2 Pbpam Desi Ratna Komala (0910941014)

h .Dk

=K '( D2 .n . ρμ )m( cP .μ

k )w

Dimana : m = kemiringan kurva korelasi

Untuk menghasilkan nilai tertentu dari koefisien transfer h dalam sistem secara

geometris sama untuk ukuran berbeda, hubungan scale up dapat diperoleh dengan

membagi hubungan pada persamaan (2.24) yang diekspresikan dalam perbandingan

ukuran yang satu terhadap yang lain, jika fluida tidak berubah:

n2

n1

=( D1

D2)

(2 m−1 )/m)

Dimana : 1 dan 2 merujuk pada ukuran yang berbeda.

kebutuhan daya yang harus dipenuhi pada scale up ditentukan dari hubungan yang

dikembangkan dengan mengkombinasikan persamaan (2.22) dan (2.25):

P2

P1

=( D2

D2)

( 3−m ) /m

nilai m tergantung pada geometrik khas tangki serta bentuk, ukuran dan lokasi

impeller serta kelengkapan lain di dalam tangki. Plot eksponen ini terhadap rasio daya

input persatuan volume di dalam sistem yang secara geometris sama sebagai fungsi

ukuran tangki dapat dilihat pada gambar 2.8 berikut ;

Gambar 1.13 Hubungan Daya –Volume Terhadap Skala Eksponen

Terlihat dari kurva bahwa secara umum input daya persatuan volume bervariasi

dengan scale up. Selain itu, rasio bervariasi terhadap nilai m.