tp dr. triyasa

25
TINJAUAN PUSTAKA ASMA BRONKIAL Oleh: Yoga Anindita, S.Ked (1070121005) Pembimbing: dr. Putu Tri Yasa, Sp. A BAGIAN SMF ILMU PENYAKIT ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SANJIWANI GIANYAR 1

Upload: yoga-anindita

Post on 08-Nov-2015

224 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

1

TINJAUAN PUSTAKA

ASMA BRONKIAL

Oleh:Yoga Anindita, S.Ked(1070121005)

Pembimbing:dr. Putu Tri Yasa, Sp. A

BAGIAN SMF ILMU PENYAKIT ANAKRUMAH SAKIT UMUM DAERAH SANJIWANI GIANYAR

ASMA BRONKIAL

Oleh : Yoga Anindita, S.KedPembimbing : dr. Putu Triyasa, Sp.AKompetensi : 4A (Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter)

BAB IPENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas dan sering terjadi pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang, Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan.1,2 Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Mengacu pada data epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari seluruh populasi asma. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6-12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Selain karena jumlahnya yang banyak, pasien asma anak dapat terdiri dari bayi , anak, dan remaja, serta mempunyai permasalahan masing-masing dengan implikasi khusus pada penatalaksanaannya. Angka kejadian yang meningkat tidak bisa dijelaskan secara genetik semata sehingga muncul dugaan adanya peranan faktor lingkungan. Faktor risiko asma antara lain jenis kelamin, usia, riwayat atopi, lingkungan, ras, asap rokok, polusi, dan infeksi respiratorik. 2,3 Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal 60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga harus dapat mencegah terjadinya remodeling. Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan asma (eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek kronis). 1,3 Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan pada anak yang perlu mendapat perhatian serius.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi AsmaAsma adalah mengi atau batuk dengan karakteristik timbul secara episodik atau kronik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien atau keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Asma memiliki ciri-ciri obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada saat ekspirasi dan inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.1,2 Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Proses dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka obat-obat antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas. Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi maupun sistemik.1,2

2.2 Patofisiologi AsmaPencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3,4 Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. 2,4,5 Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2

2.3 Faktor Risiko AsmaFaktor risiko yang mempengaruhi asma yakni:1,21. Faktor Genetika. Atopi/alergiHal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. b. Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.c. Jenis kelamin Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.d. Ras/etnike. ObesitasObesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.2. Faktor lingkungana. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

3. Faktor Laina. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan. b. Alergen obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain. c. Bahan yang mengiritasi Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.d. Ekspresi emosi berlebihStres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasifAsap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangang. Exercise-induced asthmaPada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.h. Perubahan cuacaCuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).i. Status ekonomi

2.4 Klasifikasi Asma Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi b-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Derajat penyakit asma dibagi menjadi asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.1,2

Tabel 1. Penilaian Derajat Serangan AsmaParameterRinganSedangBeratAncaman gagal napas

Sesak Berjalan Bayi: menangis keras Berbicara Bayi: tangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan Istirahat Bayi: tidak mau minum/makan

Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk bertopang lengan

Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata

Kesadaran Mungkin irritable Biasanya irritable Biasanya irritable Kebingungan

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata

Mengi Sedang, sering hanya akhir inspirasi Nyaring, sepanjang inspirasi inspirasi Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepan-jang ekspirasi dan inspirasi Sulit/tidak terdengar

Penggunaan otot bantu respiratorik Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradoks torako-abdomina

Retraksi Dangkal, interkostal Sedang, ditambah suprasternal Dalam, ditambah napas cuping hidung Dangkal/hilang

Frekuensi napas Takipne Takipne Takipne Bradipne

Usia< 2 bulan2-12 bulan1-5 tahun6-8 tahunFrekuensi napas normal< 60 x/menit< 50 x/menit< 40 x/menit< 30 x/menit

Pulsus paradoksus Tidak ada ( < 10 mmHg) Ada (10-20 mmHg) Ada ( > 20 mmHg) Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

PEER atau FEV1 *Pra-bronkodilator >60% 40-60% 80% 60-80% 95% 91-95% 90%

PaO2 Normal (biasanya tidak perlu diperiksa) >60 mmHG 80%PEF/FEV1 60-80%PEF/FEV1< 60%Variabilitas 20-30%

8Variabilitas faal paru (bila ada serangan)*Variabilitas> 15%Variabilitas > 30%Variabilitas > 50%

2.6 Diagnosis AsmaDiagnosis pasien dengan asma memiliki ciri khas suara paru yakni mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.2,3

2.7 Anamnesis Pasien AsmaAda beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung sering ingusan atau pilek (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksema atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari. Pada riwayat keluarga didapatkan adanya riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya, Dilingkungan pasien ada yang memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.1,3

2.8 Pemeriksaan KlinisUntuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.1,4

Pemeriksaan Penunjang1,2,31. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism). 5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset. 6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.

2.9 PenatalaksanaanTatalaksana asma anak dibagi menjadi beberapa hal yaitu tatalaksana komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pada penderita dan keluarganya, penghindaran terhadap faktor pencetus, dan medikamentosa. Pada KIE perlu ditekankan bahwa keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung pada kerjasama yang baik antara keluarga (penderita) dan dokter yang menanganinya. Keluarga penderita asma perlu dijelaskan mengenai asma secara detail dengan bahasa awam agar keluarga mengetahui apa yang terjadi pada asma, kapan harus pergi ke dokter, penanganan pertama apabila terjadi serangan, dan sebagainya. Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik.1,2,5 Penatalaksanaan medikamentosa asma dibedakan menjadi penatalaksanaan jangka pendek untuk mengatasi serangan asma dan penatalaksanaan jangka panjang untuk mencegah serangan asma. Pada saat serangan pemberian -2 agonis pada awal serangan dapat mengurangi gejala dengan cepat. Bila diperlukan dapat diberikan kortikosteroid sistemik pada serangan sedang dan berat. GINA merekomendasikan pemberian -2 agonis kerja cepat dengan penambahan garam fisiologis secara nebulisasi yang dapat diulang dengan selang 20 menit. Bila tidak ada perbaikan maka nebulisasi ketiga menggunakan obat antikolinergik. Tata laksana awal ini sekaligus sebagai penapis derajat serangan karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.5,6 Tatalaksana jangka panjang (aspek kronis) pada asma anak diberikan pada asma episodik sering dan persisten, sedangkan pada asma episodik jarang tidak diperlukan. Proses inflamasi kronis yang terjadi pada asma bersamaan dengan proses remodelling yang ditandai dengan disfungsi epitel. Pemberian Kortikosteroid ditujukan sebagai antiinflamasi dalam proses remodelling. Pemberian kortikosteroid secara topikal (inhalasi) dalam jangka panjang dengan dosis dan cara yang tepat tidak menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak. Penggunaan kortikosteroid inhalasi telah dibuktikan keuntungan dan keamanannya selama digunakan dengan cara yang benar.2,6 Pada tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikan dimulai dengan dosis rendah (pada anak > 12 tahun setara dengan budesonide 200-400 mg, sedangkan pada anak < 12 tahun 100-200 mg) dan dipertahankan untuk beberapa saat (6-8 minggu) apabila keadaan asmanya stabil. Bila gejala asma sudah stabil dosis dapat diturunkan secara perlahan sampai akhirnya tidak menggunakan obat lagi. Dikatakan asma stabil apabila tidak ditemukan/minimal gejala asmanya. Penderitadapat tidur dengan baik, aktivitas tidak terganggu, dan kualitas hidup cukup baik.1,6 Apabila dengan pemberian kortikosteroid dosis rendah hasilnya belum memuaskan, dapat dikombinasi dengan long acting beta-2 agonist (LABA) atau dengan theophylline slow release (TSR), atau dengan antileukotrien, atau meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium (setara dengan budesonide 200-400 g). Pemberian kortikosteroid secara inhalasi tidak mempunyai efek samping terhadap tumbuh kembang anak selama dosis yang diberikan < 400 g dan dengan cara yang benar. Pada anak dianjurkan tidak melebihi 800 g, karena dengan penambahan dosis kortikosteroid tersebut tidak akan menambah manfaatnya, tetapi justru meningkatkan efek sampingnya.3,6 PNAA membuat pedoman tentang tatacara dan langkah-langkah untuk penggunaan obat controller. Setelah ditentukan klasifikasi asma sebagai asma episodic sering atau asma persisten, maka penggunaan controller sudah harus dijalankan. Pertama berikan kortikosteroid dosis rendah. Evaluasi gejala klinis sampai 6-8 minggu. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya stabil, maka dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap yang pada akhirnya dapat dihentikan tanpa kortikosteroid. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil yaitu masih sering terjadi serangan, maka harus menggunakan tahap kedua yaitu berupa kortikosteroid dosis rendah ditambahkan LABA, atau dengan penambahan TSR, atau dengan penambahan antileukotrien, atau dosis kortikosteroid dinaikkan menjadi double dose. Setelah tahap kedua ini, harus dievaluasi ulang keadaan stabilitas asma. Apabila asma stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka pengobatan dapat diturunkan secara bertahap sampai pada kortikosteroid dosis rendah yang pada akhirnya dapat tanpa obat-obat controller. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil, maka tatalaksana meningkat pada tahap ketiga yaitu meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium ditambah LABA, atau TSR, atau antileukotrien, atau ditingkatkan dosis kortikosteroidnya menjadi dosis tinggi. Apabila dengan dosis ini asmanya stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka diturunkan secara bertahap ke tahap dua, ke satu dan akhirnya tanpa controller. Apabila dengan cara tersebut di atas asmanya belum stabil, maka penggunaan kortikosteroid secara oral boleh digunakan. Penggunaan kortikosteroid oral (sistemik) merupakan langkah terakhir tatalaksana asma pada anak. 6

BAB IIIPENUTUP

3.1 SimpulanAsma merupakan penyakit respiratorik kronis yang ditandai adanya proses inflamasi yang disertai proses remodeling. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu yang berhubungan dengan pola hidup dan polusi. Faktor risiko yang dapat menimbulkan asma yakni faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor lain. Klasifikasi asma adalah asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten. Diagnosis asma berdasarkan anamnesis berupa sesak episodik dengan riwayat atopi, pemeriksaan fisik berupa napas cepat dan wheezing, dan pemeriksaan penunjang penurunan SaO2. Pada asma episodik jarang hanya diberikan obat reliever saja tanpa controller, sedangkan pada asma episodik sering dan persisten diperlukan terapi jangka panjang (controller). Pada terapi jangka panjang setelah diberikan kortikosteroid dosis rendah kurang memuaskan dapat diberikan terapi kombinasi kortikosteroid dosis rendah dan LABA, atau TSR, atau antileukotrien. Terapi kombinasi tersebut dapat memperbaiki uji fungsi paru, gejala asma, dan aktivitas sehari-hari yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup anak asma.

3.2 SaranKeberhasilan terapi atau tatalaksana asma sangat bergantung pada kerjasama yang baik antara keluarga penderita asma dan dokter yang menanganinya. Keluarga penderita asma perlu dijelaskan mengenai asma secara detail untuk mengetahui apa yang terjadi pada asma, kapan harus pergi ke dokter, penanganan pertama apabila terjadi serangan. Keluarga pasien diharapkan meminimalkan terjadinya serangan asma dengan menghindari pencetus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis I. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon. 2008. 58(11). 444-4512. Meiyanti, dan Mulia JI. Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma Bronkial. J Kedokter Trisakti. 2000; 19(3):125-132.3. Siregar SP. Faktor Atopi dan Asma Bronkial pada Anak. Sari Pediatri. 2000. 2(1): 23-28.4. Ardinata D. Eosinofil dan Patogenesa Asma. Maj Kedokt Nus. 2008. 41(4): 268-273.5. Susanti N, Barlianto W, Kalim H, dan Kusuma HMSC. Asthma Clinical Improvement and Reduction in The Number of CD4+CD25+foxp3+Treg and CD4+IL-10+ Cells After Administration of Immunotherapy House Dust Mite and Adjuvant Probiotics and/ or Nigella Sativa Powder in Mild Asthmatic Children. Journal of Dental and Medical Science. 2013. 7(3):50-59.6. Supriyatno HB. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma Pada Anak. Maj Kedokt Indon. 2005. 55(3):237-243.

1