tk - ku fix

36
PEMANFAATAN KITOSAN SEBAGAI BAHAN PENGAWET PADA MASA SIMPAN KHUSUSNYA IKAN BELUT SAWAH (Monopterus albus) SEGAR TOPIK KHUSUS Oleh Lalu Ahmad Septiawan J1A012068 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI UNIVERSITAS MATARAM 2015

Upload: fauziwitcky

Post on 06-Nov-2015

247 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

fix

TRANSCRIPT

PEMANFAATAN KITOSAN SEBAGAI BAHAN PENGAWET PADA MASA SIMPAN KHUSUSNYA IKAN BELUT SAWAH (Monopterus albus) SEGAR TOPIK KHUSUS

Oleh

Lalu Ahmad SeptiawanJ1A012068

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI

UNIVERSITAS MATARAM

2015HALAMAN PENGESAHANJudul Topik Khusus: Kajian Pemanfaatan Kitosan Sebagai Bahan Pengawet Pada Masa Simpan Ikan Belut Sawah (Monopterus Albus) SegarNama Mahasiswa: Lalu Ahmad SeptiawanNomor Mahasiswa: J1A012068

Minat Kajian: Teknologi PengolahanProgram Studi: Ilmu dan Teknologi PanganTelah diujikan pada 2015Menyetujui :

Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Satrijo Saloko, M.P.

NIP. 19680313 199203 1 001Mengetahui,

Ketua Program Studi

Ilmu dan Teknologi Pangan

Ir. M. Abbas Zaini, M.P

NIP : 195510231982031002

Tanggal pengesahan:KATA PENGANTARPuji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya proposal yang berjudul Kajian Pemanfaatan Kitosan Sebagai Bahan Pengawet Pada Masa Simpan Ikan Belut Sawah (Monopterus Albus) Segar dapat terselesaikan tepat waktu. Proposal ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan mata kuliah Topik Khusus di Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan.

Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Bapak Dosen yang telah membimbing penulis selama melakukan penyusunan proposal dengan penuh tanggung jawab. Ucapan terimakasih pula penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pengerjaan proposal Topik Khusus.

Proposal ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang menunjang dalam penyempuran proposal ini, semoga proposal ini dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya.

Mataram, Juni 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL iHALAMAN PENGESAHANiiKATA PENGANTAR.. iiiDAFTAR ISIivDAFTAR TABEL.vDAFTAR GAMBAR.viDAFTAR LAMPIRAN.viiRINGKASAN.viiiBAB I PENDAHULUAN.1 1.1. Latar Belakang1

1.2. Tujuan dan Penggunaan3

1.2.1. Tujuan Penelitian.. 31.2.2. Kegunaan Penelitian3BAB II GAGASAN.4 2.1. Kondisi Kekinian4 2.2. Solusi Yang Pernah Ditawarkan5 2.3. Kitosan Sebagai Bahan Pengawet Alami Pada Bahan Pangan.. 7 2.4. Ikan Belut Sawah (Monopterus albus)9 2.5. Metode Yang Diterapkan122.5.1. Penentuan Kadar Air122.5.2. Penentuan Kadar Protein132.5.3. Penentuan Organoleptik13BAB II PENUTUP.14 3.1. Kesimpulan14 3.2. Saran14DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN

DAFTAR TABEL

HalamanTabel 1. Kandungan Gizi Belut.......................................12

DAFTAR GAMBAR

HalamanGambar 1. Belut Sawah (Monopterus albus).........................................11

DAFTAR LAMPIRAN

HalamanKartu Kontrol Mata Kuliah Topik Khusus......................................................... 17PEMANFAATAN KITOSAN SEBAGAI BAHAN PENGAWET PADA MASA SIMPAN KHUSUSNYA IKAN BELUT SAWAH (Monopterus albus) SEGARRINGKASAN

Penggunaan bahan pengawet merupakan hal yang penting dalam pengolahan bahan pangan yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan produk pangan. Namun , kebanyakan bahan pengawet yang digunakan adalah pengawet sintetis. Seiring perkembangan pengetahuan dan kesadaran konsumen akan dampak pengawet sistetis bagi kesehatan, sehingga masyarakat akhir-akhir ini mulai menghindarinya. Hal ini menyebabkan masyarakat banyak beralih ke pengawet alami yang aman bagi kesehatan. Salah satu bahan pengawet yang alami yaitu dapat berupa kitosan yang berasal dari hasil pengolahan limbah cangkang udang. Beberapa produk yang yang telah diaplikasikan kitosan sebagai bahan antimikroba (pengganti formalin dan boraks) adalah ikan, daging, produk bakso, produk sosis dan lain-lain. Produk perikanan merupakan produk yang mudah mengalami kerusakan, salah satunya yaitu Ikan belut sawah (Monopterus albus). Ikan belut sawah (Monopterus albus) merupakan ikan air tawar yang sering didapatkan di sawah penduduk bersama ikan tawar lainnya. Ikan belut ini kaya akan kandungan gizinya, terutama pada kandungan proteinnya. Kandungan gizi tinggi dan memiliki kadar air yang tinggi pula, memungkinkan ikan mudah mengalami kerusakan akibat pencemaran mikroorganisme sebelum diolah menjadi produk siap makan, sehingga ikan ini memiliki peluang untuk diolah lebih lanjut, guna mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpannya. Sehingga perlu untuk dilakukan beberapa penanganan seperti pengawetan dengan menggunakan pengawet alami kitosan pada produk daging ikan belut sawah (Monopterus albus) segar. Untuk mengetahui mutu dari ikan belut dengan menggunakan pengawet alami kitosan, maka dilakukan penentuan kadar air, penentuan kadar protein dan penentuan oraganoleptik berupa sifat fisik dari belut yakni aroma, tekstur dan kenampakan.BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangBahan pengawet merupakan bahan yang dapat memperpanjang masa simpan suatu produk pangan sehingga bahan pengawet memiliki peranan penting dalam industri pangan. Bahan pengawet yang digunakan dalam produk pangan dapat berupa pengawet sintesis dan pengawet alami. Pengawet sintesis saat ini telah digunakan secara luas dalam industri pangan. Hampir semua produk pangan yang kita temui di pasaran mengandung bahan pengawet sintesis. Akan tetapi, seiring perkembangan pengetahuan dan kesadaran konsumen terhadap bahaya mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan-bahan pengawet sintetis dalam waktu yang lama mengakibatkan produk makanan yang mengandung bahan pengawet sintetis mulai dihindari. Penggunaan pengawet berbahan dasar alami didasarkan atas tuntutan masyarakat yang umumnya lebih cenderung untuk beralih ke bahan-bahan yang berasal dari alam dan aman bagi kesehatan. Pengawet alami dapat kita temui dengan mudah di sekitar kita bahkan dapat berasal dari limbah seperti kitosan yang berasal dari cangkang udang. Kitosan merupakan salah satu pengawet alami yang berpotensi untuk digunakan. Hal ini karena chitosan memiliki aktivitas sebagai antimikroba. Menurut Morshed (2011) antibakteri kitosan dari kulit udang dapat menghambat bakteri pembusuk pada makanan yang mengandung bakteri pathogen. Kitosan berpotensi sebagai bahan pengawet alami yang aman digunakan sebagai bahan pengawet makanan sehingga makanan dapat disimpan lebih lama. Aplikasi penggunaan kitosan akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan, karena kitosan sendiri memiliki fungsi sebagai pengawet alami pengganti formalin, sehingga sangat cocok digunakan dalam mengawetkan bahan pangan khususnya pada produk perikanan seperti belut sawah.

Belut merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang potensial untuk dikembangkan. Permintaan belut terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Dinas Kelutan dan Perikanan (2011) menunjukkan peningkatan ekspor belut pada tahun 2007-2011 mengalami peningkatan sebesar 101,81%. Permintaan belut tidak hanya datang dari luar tetapi permintaan dalam negeri pun melimpah seperti Jakarta yang membutuhkan belut 20 ton per hari dan Yogjakarta yang membutuhkan belut 30 ton per hari (WPI 2010).

Belut merupakan salah satu sumber protein hewani yang dapat dijadikan sumber protein alternatif untuk pemenuhan gizi harian. Belut juga sangat kaya akan zat besi dimana terkandung 20 mg/100 gram. Kandungannya tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan zat besi pada telur dan daging. Oleh sebab itu, dengan mengonsumsi 125 gram daging belut per hari sudah dapat memenuhi kebutuhan akan zat besi yakni 26 mg per harinya (Almatsier, 2010). Dari sisi ekonomi, belut jauh lebih murah daripada daging sapi yang mencapai Rp. 100.000, 00, per kilogram sedangkan harga belut berkisar Rp. 28.000, 00- Rp. 35.000,00 per kilogram. Akan tetapi, belut mudah mengalami kerusakan sehingga diperlukan pengolahan yang tepat.Pengolahan belut umumnya dilakukan untuk konsumsi langsung sebagai lauk. Upaya pengolahan belut perlu dilakukan untuk mempertahankan mutu belut dalam waktu yang lama sehingga jangkauan pemasaran belut lebih luas. Salah satu penanganan yang biasa dilakukan untuk memperpanjang umur simpan belut adalah dengan cara pengawetan. Beberapa pengawetan yang biasa dilakukan adalah pengasapan, penggaraman, dan pengeringan. Akan tetapi, pengawetan belut dengan teknik-teknik tersebut mengakibatkan perubahan tekstur, warna dan citarasa belut yang dapat berdampak terhadap menurunnya penerimaan konsumen. Selain itu, pengawetan belut dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengawet. Penggunaan kitosan merupakan salah satu alternatif bahan pengawet alami untuk pengawetan belut. Hasil penelitian Sedjati, Agustini dan Surti menunjukkan kitosan dengan konsentrasi sebesar 0,5% efektif untuk menekan pertumbuhan bakteri secara signifikan pada ikan teri asin kering selama penyimpanan suhu kamar. Kajian mengenai pemanfaatan kitosan sebagai pengawet pada belut saat ini masih sangat terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih jauh mengenai pnegaruh penggunaan kitosan terhadap masa simpan belut.

1.2. Tujuan dan Kegunaan 1.2.1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan tugas topik khusus ini adalah untuk mengetahui penambahan kitosan sebagai bahan pengawet antimikroba terhadap masa simpan khususnya pada belut sawah (Monopterus albus) segar.1.2.2. Kegunaan Penelitian Manfaat dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai aplikasi kitosan sebagai bahan pengawet alami yang memberikan masa simpan lebih panjang pada ikan belut dan mampu mengurangi laju kerusakan oleh mikroorganisme pembusuk pada bahan pangan serta sebagai alternatif pengganti formalin yang berbahaya bagi kesehatan dalam mengawetkan ikan.BAB IIGAGASAN2.1. Kondisi KekinianPangan yang aman dan bermutu serta bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat (Cahyo Suparinto dan Diana Hayati, 2006 : 55). Pangan merupakan sumber gizi manusia, selain itu juga merupakan sumber pangan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya (Rokhima, 2014).

Kerusakan atau kebusukan makanan dapat terjadi akibat aktivitas mikrobia maupun aktivitas enzim yang ada pada bahan makanan tersebut, selain itu perubahan secara fisika-kimia juga dapat mempengaruhi kebusukan makanan (Bell dkk., 2005). Hal ini yang menyebabkan segala macam metode pengawetan bahan pangan dilakukan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan, yaitu salah satunya dengan penambahan bahan pengawet.

Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya. Atau dapat juga sebagai bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan. Menurut peraturan Meneteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Departemen THP FPIK-IPB secara intensif telah melakukan riset bahan aktif untuk aplikasi produk-produk perairan guna menggantikan bahan-bahan kimia seperti formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut adalah kitosan.

Bahan pengawet kitosan ini telah banyak dilakukan sebagai bahan tambahan pangan yang dapat memberikan masa simpan yang lebih lama daripada yang tidak diberikan kitosan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Fronthea Swastawati, Ima Wijayanti dan Eko Susanto (2008) menunjukkan bahwa kitosan dari kulit udang bias menjadi edible coating untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan menambah daya awet produk perikanan. Dan menurut penelitian yang dilakukan oleh Ariyani dan Yennie (2008) bahwa kitosan mempunyai potensi untuk memperpanjang daya awet pindang ikan layang (decapterus russelli), daya awet pindang yang dicelupkan kitosan adalah 3 hari pada penyimpanan suhu kamar, sedangkan daya awet pindang kontrol hanya 1 hari.

Pembusukan ikan terjadi segera setelah ikan ditangkap atau mati. Pada kondisi suhu tropik, ikan membusuk dalam waktu 12-20 jam tergantung spesies, alat atau cara penangkapan. Pengolahan ikan agar lebih awet perlu dilakukan agar ikan dapat tetap dikonsumsi dalam keadaan yang baik. Pada dasarnya pengawetan ikan bertujuan untuk mencegah bakteri pembusuk masuk ke dalam ikan (Rokhima, 2014). Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, bahwa kitosan perlu dikaji pemanfaatannya sebagai pengawet pada ikan belut sawah. Dengan adanya kitosan, sangat efektif untuk menekan pertumbuhan bakteri dan sebagai bahan pengganti bahan-bahan kimia seperti formalin dan boraks.2.2. Solusi Yang Pernah DiterapkanProduk perikanan merupakan produk yang sangat mudah mengalami kerusakan dan kebusukan, salah satu contoh produk perikanan yang mudah rusak adalah ikan belut sawah. Ikan belut merupakan salah satu dari produk perikanan yang berpotensi untuk dikembangkan. Permintaan belut terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Dinas Kelutan dan Perikanan (2011) menunjukkan peningkatan ekspor belut pada tahun 2007-2011 mengalami peningkatan sebesar 101,81%. Permintaan belut tidak hanya datang dari luar tetapi permintaan dalam negeri pun melimpah seperti Jakarta yang membutuhkan belut 20 ton per hari dan Yogjakarta yang membutuhkan belut 30 ton per hari (WPI 2010). Permintaan belut yang begitu banyak dari masyarakat, ikan belut sangat perlu diperhatikan cara pengolahannya agar ikan belut memiliki masa simpan yang lama.Masalah pengawetan bahan pangan akhir-akhir ini telah banyak dilakukan, guna memperpanjang daya simpan suatu produk pangan. Bahan pangan yang banyak mengandung nutrisi yang baik bagi kesehatan manusia, juga menjadi gizi yang baik pula bagi pertumbuhan mikroorganisme dalam pangan tersebut. Hal ini perlu ditanggulangi dengan berbagai cara penggunaan pengawetan pada bahan pangan. Bahan pengawet terbagi menjadi dua macam yaitu bahan pengawet sintetis dan bahan pengawet alami. Bahan pengawet sintetis merupakan bahan pengawet yang dibuat oleh manusia dari campuran bahan-bahan kimia. Sedangkan bahan pengawet alami merupakan bahan pengawet yang bersumber dari alam sekitar. Penggunaan bahan pengawet alami lebih banyak diterapkan karena bahan pengawet tersebut lebih aman dan sehat bagi konsumen. Sehingga sangat baik diterapkan untuk pengolahan bahan pangan berbasis sehan dan aman dikonsumsi.

Pengolahan ikan agar lebih awet perlu dilakukan agar ikan dapat tetap dikonsumsi dalam keadaan yang baik. Pada dasarnya pengawetan ikan bertujuan untuk mencegah bakteri pembusuk masuk ke dalam ikan. Nelayan biasanya memberi es sebagai pendingin agar memperpanjang masa simpan ikan sebelum sampai pada konsumen. Demikian pula dengan maraknya penggunaan bahan tambahan pangan sebagai pengawet yang tidak diijinkan untuk digunakan dalam makanan seperti formalin dan borak yang membahayakan bagi kesehatan. Penggunaan anti mikroba yang tepat dapat memperpanjang umur simpan dan menjamin keamanan produk pangan untuk itu diperlukan bahan anti mikroba alternatif lain dari bahan alami yang tidak berbahaya bila dikonsumsi serta dapat menghambat pertumbuhan mikroba dalam produk sehingga berfungsi untuk menghambat kerusakan pangan akibat aktivitas mikroba. Pada bahan yang menunjukkan aktivitas anti mikroba dibutuhkan identifikasi lebih lanjut untuk mengetahui komponen aktif anti mikrobanya, konsentrasi dan waktu yang dibutuhkan untuk hasil yang optimum yang dibutuhkan untuk menghambat atau membunuh mikroba targetnya. Dengan pengawetan maka nilai ekonomis ikan akan lebih lama dibandingkan jika tidak dilakukan pengawetan (Mahatmanti, Sugiyo dan Sunarto, 2009).

Penggunaan senyawa anti mikroba yang tepat dapat memperpanjang umur simpan suatu produk serta menjamin keamanan produk. Untuk itu dibutuhkan bahan alternatif lain sebagai anti mikroba yang alami sehingga tidak membahayakan bagi kesehatan yaitu penggunaan kitosan untuk menghambat aktifitas mikroba. Kitosan dapat disintesis dari kulit udang dan dari cangkang binatang invertebrata lainnya seperti kepiting, rajungan, dan lain sebagainya. Kulit udang yang mengandung senyawa kimia kitin dan kitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang belum termanfaatkan secara optimal (Mahatmanti, Sugiyo dan Sunarto, 2009).

2.3. Kitosan Sebagai Bahan Pengawet Alami Pada Bahan PanganUdang merupakan salah satu komoditas penting dalam perikanan Indonesia. Pabrik pembekuan udang di Indonesia mengolah udang untuk keperluan ekspor dalam bentuk udang beku, limbah dari pengolahan udang ini sebagian besar berupa kulit keras (bagian kulit dan kepala) sekitar 60-70% tidak digunakan. Limbah udang merupakan sumber potensial dalam pembuatan khitin dan kitosan (Indri Juliyarsi, 2009)

Secara umum, cangkang kulit udang mengandung 27,6% mineral, 34,9% protein, 18,1% khitin dan komponen lain seperti zat terlarut, lemak dan protein tercerna sebesar 19.4% (Suhardi, 1992 : dalam Rokhati, 2006). Oleh karena itu untuk memperoleh (isolasi) khitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan mineral (demineralisasi) dan pemisahan protein (deproteinasi). Proses deproteinasi untuk menghilangkan kandungan protein dalam bahan baku yang pada mulanya protein ini berikatan kovalen dengan khitin, menggunakan larutan basa NaOH panas dalam waktu yang relative lama. Proses demineralisasi untuk menghilangkan garam-garam inorganik atau kandungan mineral yang ada pada khitin terutama CaCO3 menggunakan larutan asam HCl encer pada suhu kamar (Rokhati, 2006).

Khitin merupakan senyawa yang stabil terhadap reaksi kimia, tidak beracun (nontoxic) dan bersifat biodegradable. Khitin tidak larut dalam air (bersifat hidrofobik), alkohol, serta tidak larut dalam asam maupun alkali encer. Khitin dapat larut dengan proses degradasi menggunakan asam-asam mineral pekat dan asam formiat anhidrous, namun tidak jelas apakah semua jenis khitin dapat larut dalam asam formiat anhidrous (Meyers dan Lee, 1989 : dalam Rokhati, 2006)

Khitin memiliki pengaturan 2,4-trans substituen dalam unit-unit monosakaridanya dan sangat stabil terhadap umumnya reagensia, termasuk larutan alkali dalam air. Khitosan diketahui sebagai khitin yang tiga dari empat gugus asetilnya dihilangkan. Perlakuan lama terhadap khitin dengan larutan NaOH pekat dan panas menghasilkan deasetilasi yang hampir sempurna tetapi produknya mengalami degradasi (Rokhati, 2006).

Dari khitin dapat dihasilkan khitosan dengan menghilangkan gugus asetil (CH3-CO) sehingga molekul dapat larut dalam larutan asam, proses ini disebut sebagai deasetilasi, yaitu menghasilkan gugus amina bebas (-NH) agar kitosan memiliki karakteristik sebagai kation. Secara umum derajat deasetilasi untuk khitosan sekitar 60 %, dan sekitar 90 100 % untuk kitosan yang mengalami deasetilasi penuh. Harga ini tergantung dari bahan baku khitin yang digunakan dan proses yang dijalankan (Suhardi,1992 : dalam Rokhati, 2006 : Hal. : 54-58)

Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin yaitu produk samping dari proses pengolahan udang dan rajungan. Kitosan memiliki muatan positif yang kuat yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain, serta mudah mengalami degrasasi secara biologis dan tidak beracun. Kitosan sebagai bahan pengawet alami yang aman digunakan dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan sehingga makanan dapat disimpan lebih lama (Indri Juliyarsi, 2009).

Reaksi pembentukan kitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh suatu basa. Khitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu kitosan (Wardaniati, dan Setyaningsih, 2009).

Reaksi Pembentukan Kitosan dari Khitin :

Kitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat kitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan kitosan. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengawetan makanan yaitu molekul kitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa pada permukaan sel bakteri kemudian teradsorbi membentuk semacam layer (lapisan) yang menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami kekurangan substansi untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel. Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga aman karena dalam prosesnya kitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer (1%) hingga membentuk larutan kitosan homogen yang relative lebih aman (Wardaniati, dan Setyaningsih, 2009).

Pemanfaatan kitosan sangat banyak diantaranya, untuk pengawet makanan (pengganti formalin dan boraks), pengolahan limbah, obat pelangsing, kosmetik, dan lain sebagainya. Kitosan mempunyai gugus aktif yang akan berikatan dengan mikroba sehingga kitosan juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Satu hal yang sangat melegakan adalah kitosan sama sekali tidak berefek buruk. Saat ini, kitosan telah diproduksi secara industri di negara-negara maju terutama Jepang dan Amerika Serikat dan mengalami peningkatan yang cukup tajam. Kitosan ini merupakan bahan yang sumbernya melimpah dan dapat diperbaharui, maka dalam situasi pengurangan sumber-sumber alam yang berkelanjutan serta perkembangan bioteknologi yang demikian pesat menjadikan pemanfaatan sumber daya alam alternatif seperti limbah kulit udang merupakan hal yang sangat diperlukan (Mahatmanti, Sugiyo dan Sunarto, 2009).

2.4. Ikan Belut Sawah (Monopterus albus)Ikan belut sawah sudah dikenal lama oleh masyarakat sejak dahulu kala. Ikan ini sangat mudah ditemukan di sawah penduduk, bersamaan dengan ikan tawar lainnya. Belut termasuk jenis ikan air tawar dari Famili Synbranchidae dan tergolong Ordo Synbranchordae, yakni jenis ikan yang tak mempunyai sirip untuk bergerak. Tubuh belut tidak bersisik, memiliki dubur yang terletak jauh dibelakang badan. Tempat hidupnya air tawar yang berlumpur, juga ditemukan di sungai atau rawa-rawa air tawar maupun payau (Sarwono, 2005).

Secara taksonomi, belut termasuk ke dalam Kelas Pisces akan tetapi ciri

fisiknya sedikit berbeda dengan Kelas Pisces lainnya. Tubuhnya hampir menyerupai ular, yaitu gilig (silindris) memanjang. Sirip duburnya telah mengalami perubahan bentuk menyerupai lipatan kulit tanpa adanya penyangga jari-jari keras atau lemah. Sirip dada dan sirip punggung hanya berbentuk semacam guratan kulit yang halus. Bentuk ekor pendek dan tirus, badan lebih panjang daripada ekornya (Roy 2009). Klasifikasi belut menurut Saanin (1968) dapat dilihat di bawah ini:

Kingdom : Animalia

Filum

: Vertebrata

Kelas

: Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo

: Synbranchoidea

Famili

: Synbranchoidae

Genus

: Monopterus

Spesies : Monopterus albus

Habitat yang disenangi ikan belut adalah sawah yang berpengairan teknis (cukup air), kaya dengan bahan organik, dan bersuhu relatif tinggi (>26 C) (Affandi et al.2003). Tubuh belut tidak bersisik, hanya dilapisi kulit yang hamper mirip dengan plastik. Umumnya warna kulit belut kuning kecoklatan ketika muda dan menjadi agak coklat gelap ketika dewasa. Warna kulit terlihat berkilau dengan gurat sisi yang tampak jelas untuk menjaga keseimbangan belut. Ukuran kepala belut biasanya lebih besar atau sedikit lebih tinggi daripada tubuhnya. Bentuknya agak membulat dan semakin meruncing ke arah mulut. Kedua matanya terlihat kecil, dilindungi keriputan kulit yang sedikit menebal pada bagian luar (Roy 2009).

Panjang tubuh belut bisa mencapai 90 cm. Panjang tubuh belut selalu sebanding dengan ukuran lingkar tubuhnya. Belut yang memiliki lingkar tubuh besar memiliki ukuran tubuh lebih panjang dibandingkan dengan belut yang memiliki lingkar tubuh kecil. Bagian mulut dilengkapi dengan gigi-gigi runcing

kecil-kecil berbentuk kerucut dengan bibir berupa lipatan kulit yang lebar disekitar mulut. Belut termasuk hewan karnivora, memiliki lambung yang besar, palsu, tebal, dan elastis (Roy 2009). Affandi et al. (2003) menyatakan bahwa hasil analisis isi lambung belut mengungkapkan bahwa ikan belut sawah termasuk ikan karnivora dengan makanan utama annelida (di persawahan dataran rendah) dan larva insekta (di persawahan dataran tinggi). Kenampakan belut disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Belut sawah (Monopterus albus)

Belut merupakan salah satu dari produk perikanan yang berpotensi untuk dikembangkan. Permintaan belut terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Dinas Kelutan dan Perikanan (2011) menunjukkan peningkatan ekspor belut pada tahun 2007-2011 mengalami peningkatan sebesar 101,81%. Permintaan belut tidak hanya datang dari luar tetapi permintaan dalam negeri pun melimpah seperti Jakarta yang membutuhkan belut 20 ton per hari dan Yogjakarta yang membutuhkan belut 30 ton per hari (WPI 2010). Permintaan belut yang begitu banyak dari masyarakat, ikan belut sangat perlu diperhatikan cara pengolahannya agar ikan belut memiliki masa simpan yang lama.

Berbagai macam cara pengolahan daging ikan belut yang umum dilakukan untuk memperpanjang masa simpannya antara lain pengasapan, penggaraman, penggorengan dan lain sebagainya. Daging ikan belut memiliki banyak kandungan nutrisi yang baik akan kesehatan Antara lain sebagai berikut.

Tabel 1. Kandungan gizi belut.

Zat GiziKandungan gizi per 100 g daging

Kalori303 kal

Protein14,0 g

Lemak27,0 g

Karbohidrat0 g

Fosfor 200 mg

Kalsium20 mg

Zat besi1,0 mg

Vitamin A1.600 S.I.

Vitamin B1010

Vitamin C2 mg

Air58,0 mg

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1989)

Kandungan nutrisi yang tinggi pada ikan belut menyebabkan belut sangat mudah ditumbuhi mikroorganisme yang dapat mengakibatkan kerusakan belut dan mempercepat pembusukan belut sehingga belut tidak layak dikonsumsi. Selain itu, kadar air yang tinggi menyebabkan belut mudah rusak, dimana kadar air yang tinggi akan mengundang banyak mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembangbiak pada belut. Oleh karena itu, dibutuhkan pengolahan yang tepat agar belut tidak mudah cepat rusak.

2.5. Metode Yang Diterapkan2.5.1. Penentuan Kadar AirPenentuan kadar air dalam hal ini yaitu menggunakan metode oven (thermogravimetri). Pada metode ini, bahan dipanaskan pada kondisi tertentu dan kehilangan berat bahan diukur sebagai kadar air. Metode pengeringan ini sangat sederhana, relative cepat dan dapat digunakan untuk jumlah sampel yang banyak. Analisis kadar air sangat perlu dilakukan baik pada bahan pangan kering maupun bahan pangan segar. Umumnya pada bahan pangan kering, kadar air sering dihubungkan dengan indeks kestabilan khususnya saat penyimpanan. Bahan pangan kering menjadi awet karena kadar airnya dikurangi sampai batas tertentu. Sedangkan pada bahan pangan segar, kadar air bahan pangan erat hubunganya dengan mutu organoleptiknya. Sehingga penentuan kadar air pada ikan belut sawah digunakan untuk menentukan pengaruh konsentrasi kitosan terhadap kadar air ikan belut sawah. Menurut Sandjaja dan Atmarita (2009) hal ini disebabkan karena kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut.

2.5.2. Penentuan Kadar ProteinKadar protein ikan belut dapat diukur dengan menggunakan metode kjedhal. Tahapan analisis protein dengan menggunakan metode kjedhal meliputi destruksi, destilasi dan titrasi. Destruksi bertujuan melepaskan unsur N dari protein yang diubah menjadi amonium sulfat. Pada tahap destilasi amonium sulfat diubah menjadi amonia yang ditangkap oleh larutan asam standar berlebih, sisa asam yang tidah bereaksi dengan amonia dititrasi sehingga dapat diketahui jumlah amonia dari N protein pada sampel. Metode kjeldahl merupakan metode yang sederhana untuk penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa yang mengandung nitrogen. Sehingga penentuan kadar protein ini untuk mengetahui pengaruh konsentrasi kitosan terhadap kandungan protein pada ikan belut. Hal ini karena belut merupakan bahan pangan yang banyak mengandung protein, sehingga perlu dilakukan analisa lebih lanjut.2.5.3. Penentuan OrganoleptikPenentuan organoleptik pada ikan belut yang ditambahkan kitosan sebagai bahan antimikroba atau sebagai bahan pengawet untuk memperpanjang masa simpan dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen atau fanelis terhadap belut yang telah dilakukan berbagai macam konsentrasi kitosan. Penentuan organoleptik ini meliputi aroma, tekstur, dan kenampakan (dapat berupa lendir). Dari hasil penentuan organoleptik dapat mempengaruhi mutu dan masa simpan pada ikan belut segar.BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :a. Produk perikanan merupakan produk yang mudah mengalami kerusakan dan kebusukan, sehingga perlu dilakukan penanganan lebih lanjut

b. Alternative penggunaan kitosan sebagai bahan pengawet alami (pengganti formalin dan boraks) mampu mempertahankan masa simpan beberpa produk perikanan yang aman dan sehat untuk dikonsumsi.

c. Penggunaan kitosan memungkinkan dapat diaplikasikan pada ikan belut untuk mempertahankan mutu orgnoleptik dan masa simpan ikan.

3.2. Saran

Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai penggunaan kitosan terhadap ikan belut segar untuk mempertahankan mutu organoleptik dan masa simpan ikan belut segar.

DAFTAR PUSTAKAAffandi R, Ernawati Y, Wahyudi S. 2003. Studi eko-biologi belut sawah (Monopterus albus) pada berbagai ketinggian tempat di kabupaten subang, jawa barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. Vol. 3 (2): 49-56.

Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Bell, C., Neaves, P., dan Williams, A. P. 2005. Food Microbiology and Laboratory Practice. Blackwell Publishing. United Kingdom

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara.

F Mahatmanti, Widhi, dkk. 2009. Sintesis Kitosan dan Pemanfaatannya Sebagai Anti Mikroba Ikan Segar. Semarang : Fakultas MIPA UNNES.

Juliyarsi, Indri,dkk. 2008. Sosialisasi Pemanfaatan Limbah Udang (Kitosan) Sebagai Food Preservatives Alami Kepada Produsen Bakso Sapi Di Kelurahan Jati Padang. DIPA Unand Program Kompetitif Universitas Andalas.

Linawati, H. 2006. Chitosan Bahan Alami Pengganti Formalin. Departemen Teknologi Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FKIK-IPB). http://www.kompas.com/kesehatan/news /0601/07/085109.htmRokhati, N. 2006. Pengaruh Derajat Deastilasi Khitosan dari kulit udang terhadap aplikasinya sebagai pengawet makanan. Reaktor, 10 (2) : 54-58.

Rokhima, Ima. 2014. Efektifitas Perendaman Ikan Segar Dalam Larutan Chitosan Dari Limbah Cangkang Udang Terhadap Sifat Fisik Ikan Segar. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang. Semarang

Roy R. 2009. Budi Daya dan Bisnis Belut. Jakarta: Agromedia Pustaka.Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I. Jakarta: Bina Cipta.Sandjaja dan Atmarita. 2009.Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta.

Sarwono B. 2005. Budidaya Belut dan Sidat. Ed ke- 24. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sedjati, Sri, dkk. 2007. Studi Penggunaan Khitosan Sebagai Anti Bakteri Pada Ikan Teri (Steleporus heterolobus) Asin Kering Selama Penyimpanan Suhu Kamar. Jurnal Pasir Laut Vol. 2, No. 2, Januari 2007

Soegiarto, R.A., L.M.E. Puswijantiningsih dan Sinung Pranata. 2013. Aplikasi Kitosan Sebagai Pengawet Alami Dari Kulit Udang Dogol (Metapenaeaus Monoceros Fab.) Pada Sosis Daging Sapi. Jurnal Ilmiah Biologi, Fakultas Teknologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta

Suparinto, Cahyo dan Diana Hayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta : Kanisius

Swastawati, F., Ima Wijayanti dan Eko Susanto. 2008. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang Menjadi Edible Coating Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. 4 (4) : 101-106.

Wardaniati , RA dan Sugiyani Setyaningsih. 2009. Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Undip Semarang. Semarang

Warta Pasar Ikan (WPI). 2010. Belut dan Sidat Permintaanya Semakin Meningkat. Edisi April Vol. 80. Jakarta: Direktorat Pemasaran Dalam Negeri.

Chitosan

Chitin

Gambar 1. Reaksi pembentukan chitosan dari chitin (Wardaniati, dan Setyaningsih, 2009)

17