tinjauan yuridis terhadap pembuktian tindak...

71
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA INTIMIDASI MELALUI INTERNET (CYBERBULLYING) SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo OLEH: DICKY REFLIYANTO H1A1 12 080 BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016

Upload: tranthuy

Post on 10-Apr-2018

248 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK

PIDANA INTIMIDASI MELALUI INTERNET

(CYBERBULLYING)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum

Universitas Halu Oleo

OLEH:

DICKY REFLIYANTO

H1A1 12 080

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2016

iii

iii

iii

ABSTRAK

DICKY REFLIYANTO (H1A112080) “Tinjauan Yurudis Terhadap

Pembuktian Tindak Pidana Intimidasi Melalui Internet (CyberBullying)”.

Dibawah bimbingan Bapak Prof. Dr. H. Muntaha, S.H.,M.H. sebagai pembimbing

I dan Bapak Rustam Ukkas, S.H.,M.Si.,M.H. sebagai pembimbing II

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, pengaturan perbuatan

Cyberbullying serta untuk mengetahui bagaimana sistem pembuktian terhadap

tindak pidana intimidasi yang dilakukan melalui media internet berdasarkan

sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Undang-undang (statue

approach) dan pendekatan konseptual (konseptual approach) dengan mengkaji

berdasarkan pendekattan yang berasal dari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Bahan hukum dalam penelitian ini

adalah dengan sumber bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan, bahwa Pengaturan

Tindak Pidana Cyberbullying, Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah terdapat

beberapa ketentuan perundang-undangan yang berhubungan dengan pemanfaatan

dan penyalahgunaan teknologi informasi yang diatur dalam KUHP dan beberapa

undang-undang di luar KUHP, Namun Kebijakan formulasi terhadap Tindak

pidana Cyberbullying baik dalam hal kriminalisasinya, jenis sanksi pidana,

perumusan sanksi pidana, subjek dan kualifikasi tindak pidana berbeda-beda dan

belum mengatur secara tegas dan jelas terhadap tindak pidana tersebut.

Sistem pembuktian terhadap Tindak pidana, Cyberbullying, masih di dasari oleh

KUHAP, secara lagalitas belum mengatur tentang ketentuan mengenai alat bukti

dan data elektronik, hal ini bertentangan dengan ketentuan Undang-undang

Nomor 11 tahun 2008 yang telah mengakui, pembuktian berdasarkan alat bukti

dan data elektronik. Namun mengingat dalam sistem hukum di Indonesia dalam

hal pembuktian, seorang Hakim diberikan kewenangan untuk memutus suatu

perkara walaupun ketentuannya masih belum jelas.

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah

Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan Hidayah-Nya, limpahan rezeki,

kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat melaksanakan dan

menyelesaikan skripsi ini, selawat serta salam semoga selalu tercurah kepada

junjungan kita Nabi Besar Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam, beserta

seluruh keluarganya, sahabatnya dan kita umat muslim sampai akhir hayat.

Penelitian ini berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembuktian Tindak

Pidana Intimidasi Melalui Internet (Cyberbullying)”

Dalam penyusunan Hasil ini banyak hambatan dan tantangan yang penulis

dapatkan, namun atas bantuan dan bimbingan serta motivasi yang tiada henti,

disertai harapan yang optimis dan tekad yang kuat sehingga penulis dapat

mengatasi semua itu.

Ucapan terima kasih, penghormatan, dan penghargaan yang setinggi-

tingginya pula kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda tercinta Mustafa dan

Ibunda tercinta Marwartin S.Si yang telah susah payah melahirkan,

membesarkan dan memberikan seluruh cinta dan kasih sayang, juga memberikan

bantuan, serta dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan studi. serta semua

keluarga besar yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

v

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini

banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan ucapan terima kasih tidak terhingga, penghargaan dan

penghormatan kepada Bapak Prof. Dr. H. Muntaha, S.H.,M.H., selaku

Pembimbing I dan Bapak Rustam Ukkas, S.H.,M.Si.,M.H. selaku Pembimbing II

yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., sebagai Rektor Universitas Halu

Oleo Kendari.

2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, S.H., M.S., sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.

3. Ibu Heryanti, S.H., M.H., sebagai Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.

4. Dosen pengajar dan staf Fakultas Hukum yang telah banyak memberikan

dukungan dan bimbingan selama mengikuti pendidikan.

5. Ibu Dr. H. Sabrina Hidayat S.H., M.H. Bapak Lade Sirjon S.H., LL.M., dan

Bapak Ramadan Tabiu S.H., LL.M., selaku penguji yang telah memberikan

masukan dan saran yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini.

6. Kepada rekan-rekan Kelas A Reguler 2012 Fakultas Hukum Universitas

Halu Oleo, Abu Anas, Andi Dangkang Marifatullah Joenoes, Dzulkifli

Jumardi, Fandy Achmad Tawakal, Firman Sam, Galih Candra Kirana, Hafid

Febrianto, Helisa Setiawati, Herman Saputra, Jessi Sisdayanti, Jumadil,

Limit Hardianus, Muhammad Iryansyah Nasir, Muhammad Nurkhairil Sam,

vi

Nopan, Riswan Hanafyah Harahap, Sarif Rahmatullah, Sasligus, Tri

Hermawan, Wa Ode Melia, Zahren Zukri Alyafie serta teman-teman yang

tidak sempat penulis tuliskan namanya satu persatu terima kasih atas semua

bantuannya, motivasi, dukungan moril, kekompakan, dan kenangannya.

7. Kepada rekan-rekan KKN kelurahan, Alangga juga, sekecamatan, Andoolo

dan juga seluruh kalangan yang terlibat, yang telah memberikan bantuan

selama kegiatan KKN penulis di Kelurahan Alangga, Kecamatan Andoolo,

Kabupaten Konsel.

Akhirnya penulis berdoa semoga Allah, SWT selalu melindungi dan

melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dan

semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembangunan ilmu pengetahuan,

bangsa dan agama. Amin.

Wasalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kendari, September 2016

Penulis

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii

ABSTRAK ........................................................................................................ iii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv

DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana ............................................................................. 6

1. Pengertian Tindak Pidana .................................................... 6

2. Unsur-Unsur Tidak Pidana .................................................. 11

B. Internet dan Cyber Bullying ....................................................... 15

1. Pengertian Internet ............................................................... 15

2. Pengertian Bullying ............................................................. 16

3. Pengertian Cyber Bullying ................................................... 17

4. Pengaturan Cyber Bullying Menurut Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi

Elektronik ........................................................................... 21

C. Pembuktian, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti ....................... 25

1. Pengertian Pembuktian ......................................................... 25

2. Sistem Pembuktian ............................................................... 29

viii

3. Alat Bukti Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana ..................................... 34

4. Alat Bukti menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi, dan Transaksi Elektronik .............. 35

BAB III METODE PENULISAN

A. Jenis Penelitian .......................................................................... 38

B. Pendekatan Penelitian ............................................................... 38

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum .............................................. 39

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 39

E. Analisis Bahan Hukum ............................................................. 40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Tindak Pidana Cyberbullying Dalam Sistem

Hukum Positif Di Indonesia ....................................................... 41

B. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Cyberbullying Dalam

Sistem Hukum Di Indonesia ...................................................... 46

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................. 59

B. Saran .......................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 61

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi dan informasi yang kian mutakhir, telah

membuat manusia berada dalam keadaan dimana segala kegiatan yang

dilakukan mendapatkan kemudahan karena adanya bantuan dari segala macam

teknologi dan informasi tersebut, salah satu bentuk perkembangan teknologi

dan informasi yang telah memberikan banyak manfaat bagi manusia di seluruh

dunia adalah internet.

Munculnya internet merupakan salah satu penemuan yang berharga,

karena dengan menggunakan internet bisa mendapatkan informasi-informasi

yang dibutuhkan, dan seseorang dapat berkomunikasi dengan menggunakan

internet walaupun jaraknya jauh, seiring berjalannya waktu, akses internet

menjadi semakin mudah, hal ini didukung dengan banyaknya tempat-tempat

dengan fasilitas wi-fi serta kartu provider yang menawarkan paket internet

lewat handphone dengan harga yang terjangkau. Jadi, mereka dapat

mengakses situs-situs apapun termasuk media sosial dengan mudah.

Adanya media sosial di kalangan remaja membuat mereka dapat

berhungan dengan teman-teman lamanya. Namun dengan munculnya media

sosial di kalangan remaja juga membawa dampak negatif.

Salah satu dampak negatifnya adalah bullying. Bullying Penindasan

(bahasa Inggris: Bullying) adalah pengguna kekerasan, ancaman, atau paksaan

untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain.

2

Perilaku ini dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidak

seimbangan kekuasaan sosial atau fisik, ini dapat mencakup pelecehan secara

lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan dapat diarahkan berulang

kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras, agama, gender,

seksualitas, atau kemampuan. Tindakan penindasan terdiri atas empat jenis,

yaitu secara emosional, fisik, verbal dan cyber. Budaya penindasan dapat

berkembang dimana saja selagi terjadi interaksi antar manusia, dari mulai di

sekolah, tempat kerja, rumah tangga, dan lingkungan.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi kini aksi

penindasan fisik tersebut mulai beralih, penindasan fisik melalui media

informasi dan teknologi atau sering disebut cyber bullying, adalah segala

bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan teman seusia

mereka melalui dunia cyber atau internet. Cyber bullying merupakan kejadian

manakala seorang anak atau remaja diejek, dihina, diintimidasi, atau

dipermalukan oleh anak atau remaja lain melalui media internet, teknologi

digital atau telepon seluler.

Cyber bullying dapat menjadi masalah yang kompleks, terutama

korban cyber bullying adalah anak-anak. Permasalahan yang dapat timbul dari

anak-anak yang menjadi korban cyber-bullying adalah orang tua yang tidak

terbiasa dan kurang memahami penggunaan internet, instant messenger, atau

chat rooms seperti yang dilakukan anak-anak mereka. Kurang perdulinya

orang tua terhadap aktivitas berinternet anak-anak mereka dapat membuat

3

anak-anak terjerat dari dampak cyber bullying yang berkelanjutan atau bahkan

menjadi pelaku.1

Melihat fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat ini, dampak

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah disalah gunakan

sebagai sarana kejahatan ini menjadi teramat penting untuk diantisipasi

bagaimana kebijakan hukumnya, sehingga Cyber Bullying yang merupakan

suatu tindak pidana, dapat dilakukan upaya penanggulangannya dengan

hukum pidana, termasuk dalam hal ini adalah mengenai sistem

pembuktiannya.

Dikatakan teramat penting karena dalam penegakan hukum pidana

dasar pembenaran seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak melakukan

tindak pidana, di samping perbuatannya dapat dipersalahkan atas kekuatan

Undang-undang yang telah ada sebelumnya (asas legalitas), juga perbuatan

mana didukung oleh kekuatan bukti yang sah dan kepadanya dapat

dipertanggungjawabkan (unsur kesalahan). Pemikiran demikian telah sesuai

dengan penerapan asas legalitas dalam hukum pidana (KUHP) kita, yakni

sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP “ Nullum

delictum nulla poena sine praevia lege poenali” atau dalam istilah lain dapat

dikenal, “ tiada pidana tanpa kesalahan”.

Berdasarkan pernyataan sebagaimana diuraikan di atas, jika dikaitkan

dengan Cyber Bullying, maka unsur membuktikan dengan kekuatan alat bukti

yang sah dalam hukum acara pidana merupakan masalah yang tidak kalah

1 Feri Sulianta, 2009, Cyberbullying: Perilaku Tradisional Yang Merambah Dunia Maya.

Bandung, Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer LIKMI, hlm.8.

(http://www.slideshare.net/ferisulianta/cyberbullying-14882025), diakses 10 Mei 2016)

4

pentingnya untuk diantisipasi di samping unsur kesalahan dan adanya

perbuatan pidana. Akhirnya dengan melihat pentingnya persoalan

pembuktikan dalam suatu tindakan bullyiing, penelitian ini hendak

mendeskripsikan pembahasan dalam fokus masalah Hukum Pembuktian

terhadap tindakan Bullying di internet dalam Hukum Pidana Indonesia.

Oleh karena alasan-alasan tersebut di atas, bagaimana pembuktian-

pembuktian dalam tindakan bullying cukup sulit dilakukan mengingat, bahwa

hukum di Indonesia yang mengatur masalah ini masih banyak cacat hukum

yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku Cyber Bullying untuk lepas dari

proses pemidaan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis

mencoba meneliti dan membahas lebih jauh lagi masalah tersebut dalam

bentuk karya ilmiah (skripsi) dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap

Pembuktian Tindak Pidana Intimidasi Melalui Internet (Cyberbullying)”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana Cyberbullying dalam sistem

hukum positif Indonesia

2. Bagaimana sistem pembuktian terhadap tindak pidana Cyberbullying

dalam sistem hukum positif Indonesia

5

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tentang pengaturan perbuatan cyberbullying dalam

sistem hukum positif indonesia

2. Untuk mengetahui sistem pembuktian tindak pidana cyberbullying dalam

sistem hukum positif indonesia

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Praktis

Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan pengetahuan kepada

masyarakat untuk mengetahui pelaksanaan tindak pidana Cyberbullying.

2. Manfaat Teoritis

Sebagai referensi dan informasi di fakultas hukum dan diharapkan sebagai

sumbangan pemikiran yang positif serta memberikan kontribusi untuk

ilmu pengetahuan hukum, agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang

khususnya tentang tindak pidana Cyberbullying.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINDAK PIDANA

1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tentang Tindak pidana dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam

kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik,

sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang

mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak

pidana.

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-

peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak

pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas

untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam

kehidupan masyarakat2.

Sementara para pakar asing Hukum Pidana menggunakan istiah

Tindak Pidana atau Perbuatan Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah:

1. Strafbaar Feit, adalah peristiwa pidana;

2. Strafbare Handlung, diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana, yang

digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan

3. Criminal Act, diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal.

2 Amir Ilyas, 2012, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta dan Pukap

Indonesia, Yogyakarta, hlm. 18

7

Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas

tiga kata, yaitu straf, baar dan feit.Yang masng-masing memiliki arti:

a. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum,

b. Baar diartikan sbagai dapat dan boleh,

c. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan

perbuatan.

Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau

perbuatan yang dapat dipidana.Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut

delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman

(pidana).

Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana memberikan

defenisi mengenai delik, yakni:3

Delik adalah “suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam

dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).”

Lanjut Moeljatno, mengartikan Strafbaarfeit sebagai berikut:4 Strafbaarfeit

itu sebenarnya adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh

peraturan perundang-undangan.”

Sementara Jonkers merumuskan bahwa:5

Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai “suatu

perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan

kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan.”

Strafbaarfeit juga diartikan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku

karya Lamintang, sebagai:6

3 Andi Hamzah, 1994. Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 72, hlm. 88. 4 Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori

Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 72. 5 Ibid., hlm. 75.

8

Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan

sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum.

Adapun menurut P.Simons masih dalam buku yang sama merumuskan

strafbaarfeit adalah:7

Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

Simons memandang semua syarat untuk menjatuhkan pidana sebagai

unsur tindak pidana dan tidak memisahkan unsur yang melekat pada

perbuatannya (crime act) tindak pidana dengan unsur yang melekat pada

aliran tindak pidana (criminal responsibility atau criminal liability atau

pertanggung jawaban pidana). Kemudian dia menyebut unsur unsur tindak

pidana, yaitu perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum,

dilakukan dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

S.R. Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana jelasnya

Sianturi memberikan perumusan sebagai berikut:8

Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada,tempat,waktu,dan keadaan

tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh

undang-undang bersifat melawan hukum,serta dengan kesalahan di lakukan

oleh seseorang (yang bertanggung jawab).

Sianturi berpendapat bahwa istilah tindak adalah merupakan singkatan dari

kata ”tindakan” artinya pada orang yang melakukan tindakan dinamakan

sebagai penindak. Tindakan apa saja dilakukan semua orang,akan tetapi dalam

6 P.A.F Lamintang, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, hlm. 34. 7 Ibid.,hlm. 35.

8 Sianturi, S.R, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta:

Alumni, hlm 211.

9

banyak hal suatu tindakan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu,

misalnya menurut golongan dalam pekerjaan dan menurut golongan kelamin.

Sianturi menjelaskan bahwa menurut golongan kelamin misalnya wanita atau

pria sedangkan menurut golongan dalam pekerjaan misalnya seperti buruh,

pegawai dan lain-lain sebagainya, jadi status/klasifikasi seorang penindak

menurut Sianturiharuslah dicantumkan unsur”barang siapa”.9

Penggunaan terhadap istilah “tindak pidana” ini dikomentari oleh

Moeljatno sebagai berikut:10

Meskipun kata tindak lebih pendek dari pada kata ”perbuatan” tapi

”tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan,tapi hanya

menyatakan keadaan konkrit sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan

perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan,tingkah laku,gerak-gerik,sikap

jasmani seseorang,lebih dikenal dalam tindak tanduk,tindakan dan bertindak

dan belakangan di pakai ”ditindak” oleh karena itu tindak sebagai kata tidak

begitu di kenal,maka perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak

pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri maupun dalam penjelasannya

hampir selalu di pakai kata ”perbuatan”.

Andi Zainal Abidin mengemukakan pada hakikatnya istilah yang

paling tepat adalah ”delik” yang berasal dari bahasa latin ”delictum delicta”

karena:11

9 Ibid, Hlm, 209

10 Moeljatno. 1984. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Bina Aksara, hlm. 55.

11 Abidin, Andi Zainal, 1987, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana dan Beberapa Pengupasan

tentang Delik-delik Khusus). Prapanca, Jakarta, hlm. 146.

10

1. Bersifat universal, semua orang di dunia ini mengenalnya;

2. Bersifat ekonomis karena singkat;

3. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti ”peristiwa pidana”, ”perbuatan

pidana” (bukan peristiwa perbuatan yang di pidana, tetapi pembuatnya);

4. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan

oleh korporasi orang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi

Indonesia.

Dari beberapa istilah yang dipergunakan oleh sarjana-sarjana tersebut

sebagai terjemahan delik (Strafbaarfeit) menurut Amir Ilyas,12

dalam bukunya

tidak mengikat. Untuk istilah mana yang ingin dipergunakan asalkan tidak

merubah makna strafbaarfeit, merupakan hal yang wajar-wajar saja

tergantung dari pemakaiannya, misalnya saja Wirjono Prodojikoro

menggunakan istilah peristiwa pidana dalam bukunya Hukum Acara Pidana

Indonesia cetakan ke V 1962, sedangkan selama kurang lebih dua puluh tahun

beliau menggunakan istilah ”tindak pidana”.

Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda di sebut starfbaarfeeit di

mana setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh beberapa sarjana

hukum diartikan secara berlain-lainan sehingga otomatis pengertiannya

berbeda.

12

Amir Ilyas, Op.cit, hlm. 24.

11

2. Unsur Tindak Pidana

Untuk mengetahui unsur-unsur dari suatu tindak pidana untuk itu

harus terlebih dahulu mengetahui pengertian dari unsur. Unsur adalah semua

syarat-syarat yang harus di penuhi bagi sutu perbuatan untuk dapat

dikategorikan sebagai perbuatan/tindakan yang melawan/melanggar hukum.

Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi sebagaimana dikutip dari oleh Amir

Ilyas bahwa tindak pidana mempunyai 5 ( lima) unsur-unsur, yaitu :13

1. Subjek;

2. Kesalahan;

3. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang

dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;

5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).

Menurut Moeljatno, unsur atau elemen perbuatan pidana adalah:14

1. Kelakuan dan akibat perbuatan;

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

4. Unsur melawan hukum yang objektif;

5. Unsur melawan hukum subjektif.

13

Kanter E.Y & S.R. Sianturi, 2002. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia Dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, hlm. 211. 14

Moeljatno, Op.cit. Hal 69.

12

Menurut Amir Ilyas , tindak pidana adalah setiap perbuatan yang

mengandung unsur-unsur sebagai berikut:15

1. Perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-undang (Mencocoki rumusan

delik);

2. Memiliki sifat melawan hukum;

3. dan Tidak ada alasan pembenar.

Sedangkan menurut Van Bemelen, unsur-unsur dari suatu tindak

pidana diantaranya ialah adanya unsur-unsur kesalahan, kemampuan

bertanggung jawab dan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut.

Unsur-unsur dari tindak pidana menurut Van Hamel meliputi :

a. Perbuatan;

b. Perbutan itu ditentukan oleh hukum pidana tertulis (asas legalitas)

merupakan perbuatan melawan hukum;

c. Bernilai atau patut dipidana.

Unsur tindak pidana menurut Simons .Tindak pidana memuat

beberapa unsur yakni :16

a. Perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undan-

undang;

c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung

jawabkan.

15

Amir Ilyas, Op.cit, hlm. 28. 16

Leden Marpaung, 1991, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Di Hukum. Sinar Grafika.jakarta

Hlm. 9.

13

Unsur-unsur dari tindak pidana adalah jelas berbeda-beda tergantung

dari bentuk tindak pidana. Walaupun unsur-unsur setiap delik/tindak pidana

berbeda namun pada dasarnya mempunyai unsur-unsur yang sama, yakni:17

a. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif;

b. Akibat yang terjadi;

c. Melawan hukum fomil yang berkaitan dengan asas legalitas, dan

melawan hukum materiil, dan;

d. Tidak adanya alasan pembenar.

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat

dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur

objektif.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah :18

a. Kesengajaan (dolus)atau ketidaksengajaan (culpa);

b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti

yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan

lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau Voorbedachteraad yang terdapat

dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e. Perasaan takut yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana

menurut Pasal 308 KUHP.

17

Andi Zainal Abidin Farid, 1995. Hukum Pidana I. Sinar Grafika : Jakarta, hlm 221 – 222. 18

P.A.F. Lamintang, Op.cit , hlm 193-194.

14

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut :

a. Sifat melawan hukum atau Wederrechttelijkheid;

b. Kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai

negeri;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Di dalam Pasal-pasal KUHP ada unsur-unsur delik yang disebutkan

secara tegas (Expressis Verbis) didalam pasal itu sendiri. namun disamping

itu ada juga unsur-unsur dari delik yang tidak disebutkan dalam Pasal-pasal

KUHP tersebut, walaupun demikian tetap diakui sebagai unsur-unsur

delik/tindak pidana, misalnya unsur melawan hukum dan tidak adanya alasan

pembenar.

Unsur-unsur yang tidak dicantumkan secara tegas dalam Pasal-pasal

KUHP tersebut di namakan unsur diam-diam dan, diterima sebagai asumsi.

Selain dari pada itu ada juga beberapa pasal dari KUHP yang hanya

merumuskan perbuatan yang melawan hukum saja, sedangkan akibat dari

perbutan itu tidak disyaratkan adanya untuk dapat menjatuhkan pidana bagi

orang yang mewujutkan perbuatan tersebut. Hal ini disebutkan dengan delik

fomil atau delik yang dirumuskan secara formil.19

Dengan mencermati pengertian di atas, maka unsur-unsur tindak

pidana berhubungan dengan unsur-unsur kesalahan yang mencakup beberapa

hal yang penting yaitu, unsur-unsur tindak pidana yang dilihat dari segi

19

M. Sudrajat Bassar. 1984. Tindak-tindak Pidana Tertentu Didalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana. CV. Remaja Jaya, Bandung hlm.5.

15

adanya perbuatan melawan hukum, perbuatan tersebut dapat dipertanggung

jawabkan adanya unsur kesalahan, memenuhi rumusan undang-undang dan

tidak adanya alasan pembenaran dan pemaaf.

B. INTERNET DAN CYBER BULLYING

1. Pengertian Internet

Internet (kependekan dari interconnection-networking) adalah seluruh

jaringan komputer yang saling terhubung menggunakan standar sistem global

Transmission Control Protocol/Internet Protocol Suite (TCP/IP) sebagai

protokol pertukaran paket (packet switching communication protocol) untuk

melayani miliaran pengguna di seluruh dunia.Rangkaian internet yang terbesar

dinamakan Internet. Cara menghubungkan rangkaian dengan kaidah ini

dinamakan internetworking ("antar jaringan")20

.

Internet merupakan jaringan luas dari komputer yang lazim disebut

dengan Worldwide network. Internet merupakan jaringan komputer yang

terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti kabel telepon,

serat optik, satelit ataupun gelombang frekuensi. Jaringan komputer ini dapat

berukuran kecil seperti Lokal Area Network (LAN) yang biasa dipakai secara

intern di kantor-kantor, bank atau perusahaan atau biasa disebut dengan

intranet, dapat juga berukuran superbesar seperti internet21

.

The Federal Networking Council (FNC) memberikan definisi

mengenai internet dalam resolusinya tanggal 24 Oktober 1995 sebagai berikut:

20

https://id.wikipedia.org/wiki/internet, diakses 9 mei 2016

21 Agus Raharjo, 2002, Cybercrime, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 59.

16

“Internet refers to the global information system that –is logically linked

together by a globally unique address space based in theInternet Protocol

(IP) or its subsequent extensions/follow-ons is able to support

communications using the Transmission ControlProtocol/Internet Protocol

(TCP/IP) suite or its subsequent extension/followons,and/or other Internet

Protocol )IP)-compatible protocols; and Providers, uses or makes

accessible, either publicly or privately, high levelservices layered on the

communications and related infrastructure described herein.”22

Artinya, internet merupakan sistem informasi global yang secara logis

dihubungkan dengan alamat yang unik secara global yang didasarkan pada

internet protocol (ip), yang dapat mendukung komunikasi dengan

menggunakan standart transmission control, protocol internet atau (ip) lain

yang kompatibel dan memudahkan publik dan individu melakukan akses

komunikasi tingkat tinggi serta berkaitan dengan infrastruktur.

2. Pengertian Bullying

Menurut Oxford Dictionary, kata bully memiliki arti:

“a person who uses strength or influence to harm or intimidate those who

are weaker.”23

Dengan kata lain, bully berarti perbuatan yang menggunakan kekuatan

atau pengaruh untuk menyakiti atau mengintimidasi seseorang yang lebih

lemah. Bullying mencakup sejumlah perlakuan kasar-kejam yang ditujukan

pada seseorang atau kelompok tertentu secara berulang-ulang untuk menyakiti

perasaan atau fisiknya.

Definisi bullying menurut Ken Rigby adalah sebuah hasrat untuk

menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang

22

Ibid, hlm. 60. 23

http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/bully?q=bully#bully-4, diakses 9 mei

2016

17

menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau

sekelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan

dilakukan dengan perasaan senang.24

Professor Dan Olweus pada tahun 1993 telah mendefinisikan bullying

yang mengandung tiga unsur mendasar perilaku bullying, yaitu:

a) Bersifat menyerang (agresif) dan negatif.

b) Dilakukan secara berulang kali.

c) Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat.

Sedangkan jenis-jenis perilaku bullying menurut Astuti antara lain:

a) Kekerasan fisik (mendorong, menendang, memukul, menampar).

b) Secara verbal (misalnya panggilan yang bersifat mengejek atau

celaan).

c) Secara non-verbal (misalnya memanipulasi pertemanan, menatap

dengan muka mengancam, mengasingkan, dan menakuti)25

3. Pengertian Cyber Bullying

Istilah cyber bullying dikenalkan oleh Bill Belsey dari Kanada, dan

istilah ini berkembang begitu cepat. Cyber bullying memiliki definisi yang

beda-beda. Berikut adalah definisi cyber bullying menurut para ahli :

Menurut Oxford Dictionary, Cyber Bullying memiliki arti:

“the use of electronic communication to bully a person, typically by

sending messages of an intimidating or threatening nature.”26

24

Ponny Retno Astuti, Meredam Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi K.P.A. Jakarta, PT.

Grasindo, 2008, hlm. 3 25

Ibid, hlm, 22 26

http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/cyberbullying?q=CYBER+BULLYING,

diakses 10 mei 2016

18

Yang artinya, Cyber Bullying adalah apabila seseorang menggunakan

alat komunikasi elektronik untuk mem-bully seseorang, khususnya

mengirimkan pesan yang berisi intimidasi atau ancaman.

Cyber Bullying adalah bentuk bullying yang menggunakan alat-alat bantu,

seperti:

a) Telepon Genggam

b) Klip Gambar/Video

c) E-mail

d) Website

e) Game Online.27

Dari definisi-definisi diatas tentang Cyber Bullying, dapat disimpulkan

bahwa Cyber Bullying merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu

orang atau lebih dan bertujuan untuk menyakiti dan/atau menghina orang lain

baik yang tidak dapat membela diri secara verbal ataupun non-verbal dan

dilakukan secara terus-menerus dengan menggunakan media

elektronik/teknologi digital.

Cyber Bullying dapat dikategorikan sebagai Cyber crime berdasarkan

definisi dari bullying itu sendiri.

Perbedaan antara Bullying biasa dengan Cyber Bullying adalah sebagai

berikut:

27

Andri Priyatna, 2010, Let’s End Bullying: Memahami, Mencegah, dan Mengatasi Bullying.

Jakarta, PT Elex Media Komputindo, hlm. 32

(http//books.google.co.id/books?id=ewhQu2DfhxwC&pg=PA90&dq) , diakses 12 mei 2016

19

a) Dalam Cyber Bullying korban tidak punya peluang untuk

bersembunyi, dan dapat menerima “serangan” kapan pun dan saat

berada dimanapun.

b) Cyber Bullying itu dapat menjangkau area yang sangat luas-seluas

jaringan internet.

c) Pelaku Cyber Bullying relatif lebih aman karena terlindungi berkat

anonimitas dari bentuk kontak elektronik yang dipergunakannya,

sehingga mereka lebih sulit untuk “ditangkap”.28

Ada berbagai macam tindakan Cyber Bullying yang dirangkum oleh Willard.29

a) Pertama, Flaming:

“Online fights using electronic messages with angry and vulgar

language.”

Yaitu mengirimkan pesan teks yang isinya merupakan kata-kata yang

penuh amarah dan frontal. Istilah „flame‟ ini pun merujuk pada kata-kata

di sebuah pesan yang berapi-api.

b) Kedua, Harassment:

“Repeatedly sending nasty, mean, and insulting messages.”

Merupakan cyber bully yang berisikan pesan-pesan gangguan pada email,

sms, maupun pesan teks di jejaring sosial yang dilakukan secara terus

menerus. Dalam model harassment ini, biasanya si pelaku hendak

28

Ibid. 29

Nancy E. Willard, 2007, Cyberbullying and Cyberthreats: Responding to the Challenge of

Online Aggression, Threats, and Distress. United States, Research Press, hlm. 255.

(http://books.google.co.id/books?id=VyTdG2BTnl4C&printsec=frontcover#v=onepage&q=fl

aming&f=false), diakses 12 mei 2016

20

menjatuhkan mental dan psikis korbannya. Dengan menggunakan kata-

kata kotor dan juga ancaman-ancaman yang menteror jiwa korban.

c) Ketiga, Denigration:

“Dissing someone online. Sending or posting gossip or rumors about a

person to damage his or her reputation or friendships.”

Yakni proses mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud

merusak reputasi dan nama baik orang tersebut.. Intinya adalah si pelaku

hendak mencemarkan nama baik seseorang, dan biasanya korbannya

adalah orang-orang yang memiliki sisi „lebih‟ dari orang lain, baik dalam

hal jabatan, harta, dan juga popularitas.

d) Keempat, Impersonation:

“Pretending to be someone else and sending or posting material to get that

person in trouble or danger or to damage that person’s reputation or

friendships.”

Adalah berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan-pesan

atau status yang tidak baik, agar teman korban mengira bahwa status atau

pesan tersebut adalah asli dari si korban dengan maksud mencemarkan

reputasi atau pertemanan si korban.

e) Kelima, Outing:

“Sharing someone’s secrets or embarassing information or images

online.”

Yaitu menyebarkan rahasia orang lain, atau foto-foto pribadi orang lain

dengan maksud mengumbar keburukan atau privasi orang lain tersebut.

Bedanya dengan denigration di atas adalah terletak pada jenis objek

medianya; outing lebih menggunakan pada foto-foto dan video pribadi,

21

sedangkan denigration lebih pada pendeskripsian melalui tulisan. Akan

tetapi, tujuannya adalah sama-sama menjatuhkan harga diri seseorang.

4. Pengaturan Cyber Bullying Menurut Undang-Undang No.11 Tahun

2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Menanggapi masalah cyberbullying, Indonesia telah memiliki

peraturan perundang‑undangan yang cukup untuk menindak tindak pidana

cyberbullying ini.

Secara umum, cyberbullying dapat saja diinterprestasikan terhadap

berbagai delik yang diatur dalam hukum pidana umum di Indonesia, yaitu

yang termuat dalam Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal-pasal KUHP yang relevan dalam mengatur delik cyberbullying

ini adalah yang tercantum dalam Bab XVI mengenai penghinaan, khusunya

Pasal 310 ayat (1) dan (2).

Pasal 310 ayat (1) menyatakan bahwa “Barang siapa dengan sengaja

menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan

sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam

karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Sedangkan Pasal

310 ayat (2) menyatakan bahwa “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau

gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan dimuka umum,

maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama

satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah.

22

Dari kedua pasal di atas, maka pasal 310 ayat (2) dinilai lebih cocok

untuk menuntut para pelaku cyberbullying. Namun disini memang tidak

ditegaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “muka umum”.

Pertanyaan mengenai apakah dunia maya termasuk dalam kategori

“muka umum” sudah dijawab dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

50/PUU‑VI/2008, dimana Mahkamah berpendapat bahwa “Penghinaan yang

diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik

penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia cyber

(penghinaan on line) karena ada unsur di muka umum”.

Mahkamah Konstitusi juga menambahkan bahwa “memasukkan dunia

maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum” dan

“disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai,

sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata

“mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat

diakses”.

Pada dasarnya, KUHP memang dibentuk jauh sebelum perkembangan

teknologi dunia maya dicetuskan. Maka, dalam rangka mengakomodasi

pengaturan mengenai dunia maya dan segala hal yang berkaitan dengannya,

dibentuklah Undang‑Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik. Dalam undang‑undang ini, terdapat pasal‑pasal tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam undang‑undang ini, terdapat pasal‑pasal yang lebih sesuai

untuk menjerat para pelaku cyberbullying.

23

Undang‑undang ini menerapkan larangan dan sanksi pidana antara lain bagi:

1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

muatan yang melanggar kesusilaan (Pasal 27 ayat 1), muatan

penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3), muatan

pemerasan dan/atau pengancaman (Pasal 27 ayat 4).

2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi

yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan

individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas

suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), (Pasal 28 ayat 2).

3. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman

kekerasan atau menakut‑nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal

29).

Hukuman yang bisa diterima oleh mereka yang telah melanggar adalah:

1. Undang‑Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE Pasal 45 ayat 1:

setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal

27 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dipidana penjara paling lama 6 (enam)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar

rupiah).

24

2. Undang‑Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE Pasal 45 ayat 2:

setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 28

ayat (2) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

3. Undang‑Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE Pasal 45 ayat 1:

setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 29

dipidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp.2.000.000.000 (dua milyar rupiah).

25

C. PEMBUKTIAN, SISTEM PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI

1. Pengertian Pembuktian

Jika ditinjau dari segi hukum acara pidana, maka arti pembuktian

mengandung makna yaitu:30

a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari

dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum,

terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata

cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang.

Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam

menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa

mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang

telah digariskan undang-undang.

Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat

menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan

selama pemeriksaan di persidangan. Jika majelis hakim hendak

meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan

dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan

kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan.

Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang

tidak bersalah akan mendapat hukuman.

30

R. Soepomo. 2002, Hukum Acara Pidana Pjjengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita,

hlm.13

26

b. Harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang

secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.

Pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas

fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya.31

Karena pembuktian merupakan sebuah sistem, maka pembuktian

tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan,

merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana dan tidak dapat

dipisahkan antara satu sama lainnya.32

Dengan demikian membuktian adalah suatu cara yang diajukan oleh

pihak yang berperkara dimuka persidangan atau pengadilan untuk

memberikan dasar keyakinan bagi hakim tentang kepastian kebenaran suatu

peristiwa yang terjadi.

Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam pembuktian,

diuraikan sebagai berikut33

1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan

pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden);

2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan

gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau

(bewijsmiddelen);

3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada

hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering);

31

Wiryono Prodjodikoro.1980, Hukum Acara Pidana, Bandung: Sumur, hlm. 13-14. 32

Andi Hamzah (II).2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 245. 33

Bambang Poernomo. Tanpa tahun, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Jogjakarta:

Liberty jurnal, hlm. 39.

27

4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam

rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht);

5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk

membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan

(bewijslast); dan 6. Bukti minimum yang diperlukan dalam

pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum).

Sumber hukum pembuktian adalah undang-undang, doktrin atau

ajaran, dan jurisprudensi. Karena hukum pembuktian bagian dari hukum

acara pidana, maka sumber hukum yang pertama adalah Undang-undang

nomor 8 Tahun 1981, Tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan

penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3209.

Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya

atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka

dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.

Alat bukti adalah segala seuatu yang ada hubungannya dengan

suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat

dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menbimbulkan keyakinan

hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan

oleh terdakwa.

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat

bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-

28

cara bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan dan dengan cara

bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam

proses pemeriksaan persidangan adalah :

a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk

meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar

menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau

catatan dakwaan.

b. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha

sebaliknya, untuk meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti

yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari

tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau

penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang

menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut

di sebut bukti kebalikan.

c. Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-

alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut

umum atau penasehat hukum/terdakwa dibuat dasar untuk membuat

keputusan.

Bahwa pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum

penyelesaian perkara pidana, sejak penyidikan sampai putusan akhir

diucapkan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan

29

yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan.34

Walaupun hukum pembuktian perkara pidana terfokus pada proses kegiatan

pembuktian di sidang pengadilan, tetapi sesungguhnya proses membuktikan

sudah ada dan dimulai pada saat penyidikan. Bahkan, pada saat penyelidikan,

suatu pekerjaan awal dalam menjalankan proses perkara pidana oleh negara.

Menurut Adami Chazawi, yang dimaksud dengan mencari bukti

sesungguhnya adalah mencari alat bukti, karena bukti tersebut hanya terdapat

atau dapat diperoleh dari alat bukti dan termasuk barang bukti. Bukti yang

terdapat pada alat bukti itu kemudian dinilai oleh pejabat penyelidik untuk

menarik kesimpulan, apakah bukti yang ada itu menggambarkan suatu

peristiwa yang diduga tindak pidana ataukan tidak. Bagi penyidik, bukti yang

terdapat dari alat bukti itu dinilai untuk menarik kesimpulan, apakakah dari

bukti yang ada itu sudah cukup untuk membuat terang tindak pidana yang

terjadi dan sudah cukup dapat digunakan untuk menemukan tersangkanya.

2. Sistem Pembuktian

Pada hakekatnya, pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa

hukum. Apabila ada unsur-unsur pidana (bukti awal telah terjadinya tindak

pidana) maka barulah dari proses tersebut dilakukan penyelidikan

(serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu

peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau

tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini), dan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

34

Adami Chazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, hlm 13

30

Kepolisian dalam pasal 1 angka 13, penyidikan ialah serangkaian tindakan

penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

“Menurut M.Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan

yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan

undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa”.35

Ilmu pengetahuan hukum, mengenal empat sistem pembuktian, yang akan

diuraikan sebagai berikut :

1. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka (Conviction in

Time).

Suatu sistem pembuktian yang bersifat subjektif, yakni untuk

menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa hanya berdasarkan keyakinan

hakim semata. Putusan hakim tidak didasarkan kepada alat-alat bukti yang

diatur oleh undangundang, hakim hanya mengikuti hati nuraninya saja.

Keyakinan hakim dapat diperoleh dan disimpulkan hakim dari alat-alat

bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Hakim dapat juga

mengabaikan hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu, dan langsung menarik

keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini seolah-

olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim

35

Yahya Harahap, 1988 dan 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I

dan II, Pustaka Kartini, Jakarta, hlm. 273

31

sepenuhnya. “Menurut Yahya Harahap, keyakinan hakimlah yang

menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini”.36

Menurut Andi Hamzah, sistem pembuktian ini dianut oleh

peradilan jury di Perancis. ”Praktek peradilan jury di Perancis membuat

pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya

putusan yang aneh”.37

”Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa sistem

pembuktian ini pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik

dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa

saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan dukun”.38

2. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif

(Positief Wettelijk Bewijstheorie).

”Suatu sistem pembuktian yang berkembang pada zaman

pertengahan yang ditujukan untuk menentukan bersalah atau tidaknya

terdakwa harus berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat

bukti yang ditentukan undang-undang”.39

Sistem ini berbanding terbalik

dengan Conviction in Time, dimana keyakinan hakim disampingkan dalam

sistem ini. Menurut sistem ini, undang-undang menetapkan secara limitatif

alat-alat bukti yang mana yang boleh dipakai hakim. Jika alat-alat bukti

tersebut telah dipakai secara sah seperti yang ditetapkan oleh undang-

undang, maka hakim harus menetapkan keadaan sah terbukti, meskipun

36

Yahya Harahap, Ibid, hlm. 797 37

Andi Hamzah, Ibid, hlm. 230 38

Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana dalam teori dan

praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 104 39

Edmon Makarim, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.

421

32

hakim ternyata berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak

benar.

Menurut D. Simmon, sistem ini berusaha untuk menyingkirkan

semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim dengan

peraturan pembuktian yang keras. ”Sistem ini disebut juga dengan teori

pembuktian formal (formele bewijstheorie)”.40

Teori ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di

Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran

selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal

kebenaran itu, lagipula keyakinan seorang hakim yang jujur dan

berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan

masyarakat”41

3. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan

yang Logis (La Conviction Raisonee).

Menurut sistem pembuktian ini, hakim memegang peranan yang

penting disini. Hakim baru dapat menghukum seorang terdakwa apabila ia

telah meyakini bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti

kebenarannya.

Keyakinan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan yang

berdasarkan atas suatu rangkaian pemikiran (logika). “Hakim wajib

40

Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta hlm. 247 41

op.cit, hlm. 247

33

menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang menjadi dasar

keyakinannya atas kesalahan terdakwa”.42

Sistem pembuktian ini mengakui adanya alat bukti tertentu tetapi tidak

ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang.

4. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif

(Negatief Wettelijk Bewijstheorie).

Sistem ini merupakan penggabungan antara sistem pembuktian

menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian

berdasarkan keyakinan hakim semata. Hasil penggabungan ini dapat

dirumuskan : “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh hakim

yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang”.

”Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini

merupakan suatu keseimbangan antara sistem yang saling bertolak

belakang secara ekstrim”.43

Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan

undangundang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) ini,

pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en

grondslag, menurut D. Simmons), yaitu pada peraturan perundang-

undangan dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang,dasar

keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan undang-undang.44

42

Edmon Makarim,2003, Kompilasi Hukum Telematika, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.422 43

Yahya Harahap,1988 dan 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I

dan II, Pustaka Kartini, Jakarta, hlm. 799 44

Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta hlm. 250

34

3. Pengertian Alat Bukti Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana .

Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat bukti,

namun secara umum yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti

yang tercantum dalam Pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut:

1) Alat bukti yang sah ialah:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah

benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa

harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.45

Apabila berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang

dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada alat

bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang No 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan kata lain, sifat dari alat

45

M. Yahya Harahap, 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan penuntutan). Sinar Grafika. Jakarta. hal. 285.

35

bukti menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja.

Urutan dalam pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana bukan merupakan urutan kekuatan pembuktian.

Kekuatan pembuktian diatur pada Pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan asas unus testis nullus testis.

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua

alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Ketentuan Pasal 183 Undang-

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah sebagai

berikut:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

4. Pengertian Alat Bukti Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

Dan Transaksi Elektronik Pasal 5 ayat 1 dan 2 mendeskripsikan bahwa

Dokumen elektronik dan Informasi Elektronik adalah merupakan alat

bukti yang sah. Selain dalamPasal 44 Undang-undang yang sama

mengatakan :

“Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan

menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :

36

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-

undangan; dan

b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4

serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).”

Adapun yang dimaksud bukti elektronik tersebut adalah berupa:

1. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,

diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,

digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,

ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem

Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,

peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,

simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat

dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 Angka 4

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik);

2. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur

elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,

menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan,

mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik (Pasal 1

Angka 5 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik);

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengakui hasil

cetak dari informasi elektronik maupun dokumen elektronik sebagai alat bukti

yang sah. Hal ini dapat dilihat dalam pengaturan Pasal Ayat (1) yang menentukan

37

bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dan informasi elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dinyatakan sah apabila menggunakan

Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang

Informasi dan Transaksi Elektronik ini.

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang

pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.46

46

Ibid, hlm.273

38

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif. Hukum normatif merupakan suatu proses untuk menemukan

aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi demi menghasilkan argumentasi, teori

dan konsep baru sebagi preskripsi dalam menyelesaikan masalh yang

dihadapi.47

B. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum

terdapat beberapa pendekatan yaitu:48

A. pendekatan undang-undang (statue approach), yaitu dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan ilmu hukum.

Adapun pendekatan perundang-undangan dalm penelitian ini meliputi:

Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi

Elektronik, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU‑VI/2008,

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana.

47

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, hlm.35 48

Ibid, hlm.237

39

B. Pendekatan Konseptual, yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang

terkait dengan isu hukum yang akan ditelaah sebagai berikut:49

a. Bahan Hukum Primer : Yaitu bahan hukum yang bersifat autoriatif,

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang

undangan dan putusan –putusan hakim.

b. Bahan Sekunder : yaitu berupa Publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi. Sebagai bahan hukum sekunder

yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, disertasi

hukum, dan jurnal-jurnal hukum. Publikasi tentang hukum meliputi buku-

buku teks, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan

penelitian ini menggunakan:

1. Mengumpulkan bahan hukum yang menggunakan pendekatan perundang-

undangan (statue approach) dilakukan dengan mencari peraturan

perundang-undangan atau yang berkaitan dengan maslah yang diteliti.50

49

Ibid, hlm.181

40

2. Mengumpulkan bahan hukum yang menggunakan pendekatan konseptual,

yaitu penelusuran buku-buku hukum (Treatises), yang dimana buku-buku

yang mengandung konsep-konsep hukum.51

3. Melakukan Penelusuran bahan pustaka dengan mengumpulkan buku-buku,

laporan penelitian, baik itu skripsi, tesis, maupun disertai bahan acuan

lainnya yang digunakan untuk penyusunan laporan penelitian yang di

bahas.52

E. Analisis Bahan Hukum

Menggunakan teknik content analysis, yaitu pengumpulan bahan

bahan hukum dan diinterpretasi, dan untuk ketentuan hukum dipakai

interpretasi teleologis yaitu berdasar pada tujuan norma. Selain itu juga

digunakan pendekatan Undang-undang baru terkait dengan cyber bullying,

yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan

Transaksi Elektronik (UU ITE).

50

Ibid, hlm.237 51

Ibid, hlm.239. 52

Soerjono Soekanto, 2013, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm.28

41

BAB VI

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Terhadap Tindak Pidana Cyberbullying Dalam Sistem

Hukum Indonesia

Pengaturan terhadap tindak pidana cyberbullying yang merupakan

bagian dari kegiatan cybercrime, tidak saja hanya diatur di dalam peraturan

Perundang-undangan Nomor 11 Tahun 2008, melainkan jauh sebelum adanya

peraturan tersebut, tindak pidana yang berkaitan dengan suatu penghinaan,

pelecehan, maupun intimidasi, yang dilakukan melalui media elektronik telah

diatur dalam beberapa peraturan perundang undangan lainnya.

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

a. Pasal 282:

(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di

muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya

melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk

disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin

tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam

negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki

persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan

mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau

menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana

penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling

tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di

muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan,

ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan

atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam

negeri, meneruskan mengeluarkannya dan negeri, atau memiliki

persediaan ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan

mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai

bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga

bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan

42

pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak

empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat

pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana

penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling

banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.

Pasal ini dapat dikaitkan dengan cyber bullying karena

besarnya kemungkinan unsur yang terdapat pasal ini untuk mengatur

secara langsung sebuah perbuatan yang dilakukan di dunia cyber.

Dalam hal ini, unsur yang dapat dikaitkan secara langsung adalah

dalam hal perbuatan penyebaran informasi yang melanggar kesusilaan

tersebut.

Pasal 282 KUHP dapat dikaitkan dengan cyber bullying,

namun penggunaan Pasal ini untuk melakukan dalam penindakan

terhadap perbuatan yang terkait dengan cyber bullying itu bukanlah hal

yang mudah, hal ini disebabkan karena adanya pengaturan juridiksi

dalam pasal 282 tersebut yang dimana harus terjadi di dalam negara

Indonesia.

b. Pasal 310:

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik

seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang

supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan

pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling

banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,

dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam

karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu

tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima

ratus rupiah.

43

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika

perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena

terpaksa untuk membela diri.

c. Pasal 311 ayat (1):

“Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis

dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak

membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa

yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana

penjara paling lama empat tahun.

Baik Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP memiliki keterkaitan yang

sama terhadap cyber crime, yaitu bahwa pengaturan mengenai

pencemaran nama baik tersebut dapat dapat dikenakan untuk kasus

pencemaran nama baik dengan menggunakan media Internet.

d. Pasal 335 KUHP

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda

paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain

supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan

sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain

maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan

memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain

maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap

orang itu sendiri maupun orang lain

2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak

melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman

pencemaran atau pencemaran tertulis

(2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya

dituntut atas pengaduan orang yang terkena.

Pasal 335 KUHP dapat dikaitkan dengan cyber crime apabila

perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan dalam lingkup jaringan

komputer. Misalkan saja tindakan pengancaman atau pemerasan

tersebut dilakukan melalui e-mail.

44

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

merupakan Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai

komunikasi. Karena yang diatur adalah komunikasi, maka dalam

pengaturannya terdapat keterkaitan secara tidak langsung dengan dunia

cyber yang dimana dari hal tersebut terkait pula cyber crime. Beberapa

contoh pasal yang dapat dikaitkan antara lain adalah sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka (1) menjelaskan tentang pengartian telekomunikasi.

Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman,

dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda,

isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik,

radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.

Dengan melihat pengertian tersebut, dapat terlihat bahwa

komputer dan jaringannya dapat dikaitkan dengan komunikasi karena

bisa ditafsirkan sebagai alat untuk melakukan komunikasi.

b. Pasal 22, menjelaskan mengenai penyalahgunaan komunikasi.

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa pihak, tidak

sah atau memanipulasi :

a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau

b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau

c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.

Karena komputer dan jaringannya dapat ditafsirkan sebagai alat

komunikasi, maka penyalahgunaan komunikasi juga ditafsirkan

sebagai penyalahgunaan komputer dan jaringannya. Penyalahgunaan

ini bisa dianggap sebagai cyber crime karena adanya keterkaitan

dengan komputer dan jaringannya.

45

Dengan kata lain, ketika seseorang melakukan tindakan

hacking pada sebuat website, maka dia dapat dikatakan telah

melakukan perbuatan tanpa pihak, tidak sah atau memanipulasi akses

ke sebuah jaringan telekomunikasi.

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik

a. Pasal 27

1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

muatan yang melanggar kesusilaan.

2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

muatan perjudian.

3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

b. Pasal 28

1) Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita

bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen

dalam Transaksi Elektronik.

2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan

informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau

permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu

berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

46

c. Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi

ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara

pribadi.

Penggunaan Pasal 27 tidak dapat dilepaskan dengan Pasal 45 ayat

(1) Undang-Undang ITE yang dimana bunyinya:

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

B. Sistem Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Cyberbullying Dalam

Sistem Hukum Indonesia

1. Sistem pembuktian tindak pidana cyberbullying

Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana Indonesia

adalah sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif atau

Negatief Wettelijke, yaitu hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana

berdasarkan dua alat bukti yang sah menurut Undang-undang dan berdasarkan

kedua alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bersalah atau tidaknya

terdakwa, Hakim tidak boleh menggunakan alat bukti selain yang diatur dalam

Undang-undang.

Setelah mengawali uraian singkat tentang batasan pembuktian tersebut

di atas, perlu dikemukakan pula apa itu Cyber Crime? Dalam kaitannya

dengan Tindak pidana Cyber Bullying.

47

Menurut Barda Nawawi Arief,53

Cyber Crime adalah merupakan salah

satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat

perhatian luas di dunia internasional. Beberapa julukan/sebutan lainnya yang

cukup sering diberikan kepada jenis kejahatan baru ini di dalam berbagai

tulisan, antara lain sebagai “kejahatan dunia maya” (cyber space/virtualspace

offence), dimensi baru dari “hi‐tech crime”, dimensi baru dari ”transnational

crime”, dan dimensi baru dari “White collar crime” Dalam pernyataan lain

Beliau menjelaskan bahwa bentuk atau dimensi baru kejahatan masa kini ini,

dalam “background paper” untuk lokakarya di kongres PBB X/2000 “

Workshop on crimes related to the computer network” digunakan istilah

Cyber Crime (disingkat CC) (dokumen A/CONF.187/10).

Dalam dokumen ini dijelaskan, bahwa “CC” dapat di bagi dalam dua

kategori, yaitu “CC dalam arti sempit” (in a narrow sense) disebut “Computer

Crime” dan “CC” dalam arti luas (in a broader sense) disebut “Computer

related crime” (CRC). Dijelaskan dalam dokumen itu, bahwa :

a) Cyber crime (CC) in a narrow sense (“computer crime”)

‐ any illegal behavior directed by means of electronic operations that

targets the security of computer system and the data processed by them ;

b) CC in a broader sense (“ computer‐related crime”)

‐ any illegal behaviour comitted by means of, or in relation to, a

computer system or network,including such crimes as illegal pos session,

53

Barda nawawi arief, 2001 Antisipasi Penanggulangan “Cyber Crime” Dengan Hukum

Pidana, Seminar Nasional CyberLaw, Bandung.

48

offering or distributing information by means of a computer system or

network.

Ditegaskan dalam dokumen itu, bahwa CC meliputi kejahatan yang

dilakukan :

a. dengan menggunakan sarana‐sarana dari sistem/jaringan komputer

(by means of a computer system or network)

b. dalam sistem/jaringan komputer (“in a computer system or

network)

c. terhadap system/jaringan kompter (“against a computer system or

network”).

Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa jenis “CC” jenis

ke (1) dan (2) merupakan “CC” dalam arti luas, sedangkan jenis ke (3)

merupakan “CC” dalam arti sempit.

Memperhatikan teori pembuktian tersebut di atas, maka nampak

dengan jelas rumusan Pasal 183 KUHAP didasarkan pada suatu teori

pembuktian berdasarkan undang‐undang secara negatif (Negatief Wettelijk).

Dengan berdasarkan teori inilah perkara “Cyber Crime” bila dikaitkan dengan

Pasal 1 ayat (1) KUHP jucnto perintah undang‐undang sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 3 KUHAP, yang selengkapnya berbunyi “ Peradilan

dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang‐undang ini”, maka

penerapan sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP secara legalitas

tidak dapat mengakomodir alat bukti (terutama yang mirip dengan bukti surat)

49

sebagai kemungkinan dipergunakan dalam bentuk kejahatan yang dinamakan

Cyber Crime.

Pendapat demikian setidaknya didasarkan alasan sebagai berikut :

Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga

pengertian, yaitu :

1. tidak ada perbuatan yang dilarang dan di ancam dengan pidana

kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan

undang‐undang

2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan

analogi (kiyas)

3. Aturan‐aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Sedangkan menurut Groenhuijsen, ada empat makna yang terkandung

dalam pasal ini. Dua dari yang pertama ditujukan kepada pembuat

undang‐undang (de wetgevende macht), dan dua yang lainnya merupakan

pedoman bagi hakim. Pertama, bahwa pembuat tidak boleh memberlakukan

suatu ketentuan pidana berlaku mundur, Kedua bahwa semua perbuatan yang

dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas‐jelasnya. Ketiga, hakim

dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan

pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan, dan Keempat terhadap

peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.54

54 M.S. Groenhuijsen, Straf en wet, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Hukum Pidana dan

Hukum Acara Pidana pada Universitas Katolik Brabant, Jum’at, 6 November 1987, Goude

Quint Amhem, hlm.15

50

Dikatakan selanjutnya bahwa asas ini dikenal dengan “Nullum

delictum noella poena praevia sine lege peonali “. Secara singkat nullum

crimen sine lege berarti tidak ada tindak pidana tanpa undang‐undang dan

nulla poena sine lege berarti tidak ada pidana tanpa undang‐undang. Jadi

undang‐undang menetapkan dan membatasi perbuatan mana dan pidana

(sanksi) mana yang dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya.55

Bertolak dari pendapat tersebut bahwa pokok pikiran dalam asas

legalitas ini terkandung makna mewujudkan perlindungan hukum terhadap

tindakan kesewenang‐wenangan penguasa/penyelenggara negara terhadap

kepentingan hukum bagi masyarakyat dan hak asasi manusia. Perwujudan

demikian dalam penegakan hukum pidana (hukum pidana materiel, hukum

Acara pidana, dan hokum pelaksanaan pidana) merupakan hal yang sangat

penting karena sekali melanggar asas legalitas berimplikasi pelanggaran

terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian asas legalitas ini member

pembatasan bahwa penguasa/penyelenggara negara tidak dapat menentukan

sesuatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dengan disertai ancaman

pidana apabila tidak ditentukan terlebih dahulu oleh aturan hukum pidana.

Kelemahan Pembuktian berdasarkan KUHAP terhadap “Cyber Crime”

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP secara tegas dirumuskan

bahwa” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali

apabila dengan sekurang‐kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

55

Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Airlangga,

Jakarta, 2009, hlm.9

51

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar‐benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dengan demikian dalam hukum acara pidana Indonesia secara tegas

memberikan legalitas bahwa di samping berdasarkan unsur keyakinan hakim,

pembuktian dengan sekurang‐kurangnya dua alat bukti yang sah adalah sangat

diperlukan untuk mendukung unsur kesalahan dalam hukum pidana untuk

menentukan seseorang benar‐benar terbukti melakukan tindak pidana atau

tidak.

Kemudian praktik yang berkembang, bahwa modus operandi kejahatan

dibidang Cyber Crime tidak saja dilakukan dengan alat canggih tetapi

kejahatan ini benar‐benar sulit menentukan secara cepat dan sederhana siapa

sebagai pelaku tindak pidananya, ketika perangkat hukum dalam penegakan

hukum pidana masih banyak memiliki keterbatasan. Hal demikian dapat

dirasakan apabila kejahatan yang terjadi aparat penegak hukumnya belum siap

bahkan tidak mampu (gagap teknologi) untuk mengusut pelaku Cyber

Bullying ini atau karena kejahatan ini dilakukan dengan melibatkan berbagai

pelaku dari suatu negara yang masing‐masing negara memiliki kedaulatan

hukum sendiri‐sendiri.

Fenomena hukum dalam upaya penanggulangan Cyber Bullying ini

juga tampak memiliki kendala khususnya bila dikaitkan dengan sistem

pembuktian menurut hukum pidana Indonesia, sebab sebagaimana dalam

Pasal 184 KUHAP, bahwa alat‐alat bukti mana secara legalitas tidak dapat

diterapkan sebagai dasar pembuktian apabila kejahatan yang dilakukan dalam

52

konteks “Cyber Crimes” secara nyata bukti‐buktinya tidak mencocoki (tidak

tergolong) rumusan alat bukti sebagai mana dikehendaki menurut KUHAP.

Dengan demikian sudah sepatutnya sistem pembuktian dan alat-alat

bukti sebagaimana dalam KUHAP perlu dilakukan penyempurnaan atau

pembaharuan sesuai dengan kenyataan hukum yang berkembang pada masa

kini khususnya berkaitan dengan Cyber Bullying.

2. Alat Bukti Informasi dan Data Elektronik

Konsep Rancangan Undang-Undang KUHP 2000, dimana konsep

ini mengalami perubahan sampai dengan 2008 telah mengatur alat bukti

elektronik yaitu:56

Dalam Buku I (Ketentuan Umum) Dibuat Ketentuan

mengenai alat bukti:

1. Pengertian “barang” (Pasal 174/178) yang di dalamnya termasuk

benda tidak berwujud berupa data dan program komputer, jasa telepon

atau telekomunikasi atau jasa komputer.

2. Pengertian “anak kunci” (Pasal 178/182) yang di dalamnya termasuk

kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetic, sinyal yang

telah deprogram untuk membuka sesuatu.

Menurut Agus Raharjo, 208 maksud dari anak kunci ini

kemungkinannya adalah password atau kode-kode tertentu seperti privat

atau public key infrastructure.

56 Agus Raharjo, CyberCrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi,

PTCitra Aditya Bakti, Bandung,2002, hlm.236

53

3. Pengertian “surat” (Pasal 188/192) termasuk data tertulis atau

tersimpan dalam disket, pita magnetic, media penyimpanan komputer

atau penyimpanan data elektronik lainnya.

4. Pengertian “ruang” (Pasal 189/193) termasuk bentangan atau terminal

komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu. Maksud dari

ruang ini kemungkinan termasuk pula dunia maya atau mayantara atau

cyberspace atau virtual reality.

5. Pengertian “masuk” (Pasal 190/194) termasuk mengakses komputer

atau masuk ke dalam sistem komputer.

Pengertian masuk menurut Agus Raharjo di sini adalah masuk ke

dalam sistem jaringan informasi global yang disebut internet dan

kemudian baru masuk ke sebuah situs atau website yang di dalamnya

berupa server dan komputer yang termasuk dalam pengelolaan situs. Jadi

ada 2 pengertian masuk, yaitu masuk ke internet dan masuk ke situs.

6. Pengertian “jaringan telepon” (Pasal 191/195) termasuk jaringan

komputer atau sistem komunikasi komputer.

Dengan meningkatnya aktivitas elektronik, maka alat pembuktian

yang dapat digunakan secara hukum harus juga meliputi informasi atau

dokumen elektronik untuk memudahkan pelaksanaan hukumnya. Selain

itu hasil cetak dari dokumen atau informasi tersebut juga harus dapat

dijadikan bukti yang sah secara hukum. Untuk memudahkan pelaksanaan

penggunaan bukti elektronik (baik dalam bentuk elektronik atau hasil

cetak), maka bukti elektronik dapat disebut sebagai perluasan alat bukti

54

yang sah, sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia,

sebagaimana tertulis dalam Pasal 5 UU ITE:

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakny

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti

yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah

apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam Undan-undang ini Namun bukti elektronik tidak dapat digunakan

dalam hal-hal spesifik sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 5 ayat (4) UU

ITE menyatakan: Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk

tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus

dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat

pembuat akta.

Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis seperti dalam

pembuatan dan pelaksanaan surat-surat terjadinya perkawinan dan putusnya

perkawinan, surat-surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam

bentuk tertulis, perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak

55

bergerak, dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan dan juga dokumen

lainnya yang menurut peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya

pengesahan notaris atau pejabat yang berwenang.

Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan

sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya

dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses dan

dapat ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang yang

mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menunjukan bahwa informasi

yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU ITE, informasi elektronik memiliki

kekuatan hokum sebagai alat bukti yang sah, bila informasi elektronik ini

dibuat dengan menggunakan system elektronik yang dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.

Bahkan secara tegas, Pasal 6 UU ITE menentukan bahwa “Terhadap

semua ketentuan hokum yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus

berbentuk tertulis atau asli selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4),

persyaratan tersebut telah terpenuhi berdasarkan undang-undang ini jika

informasi elektronik tersebut dapat terjamin keutuhannya dan dapat

dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dapat ditampilkan sehingga

menerangkan suatu keadaan.

56

Penegasan terhadap informasi elektronik dan dokumen elektronik

dapat dijadikan menjadi alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di

sidang pengadilan tertulis didalam Pasal 44 UU ITE yang isinya:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan;

dan

b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5

ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Sesungguhnya pandangan yang mengatakan alat bukti elektronik tidak

dapat menjadi alat bukti tertulis tidaklah mutlak, karena sangat tidak relevan

di jaman teknologi tetap memandang alat bukti tertulis hanya yang berbentuk

konvensional. Disinilah Hakim dituntut untuk berani melakukan terobosan

hukum, karena dia yang paling berkuasa dalam memutuskan suatu perkara dan

karena dia juga yang dapat memberi suatu vonnis van de rechter (keputusan

hakim) yang tidak langsung dapat didasarkan atas suatu peraturan hukum

tertulis atau tidak tertulis. Dalam hal ini, Hakim harus membuat suatu

peraturan sendiri (eigen regeling).57

Tindakan seperti ini, menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman, dibenarkan karena seorang Hakim

tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu

perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang tidak

menyebutkan, tidak jelas, atau tidak lengkap (asas ius curia novit). Bila

57

E.Utrecht dan Moh Saleh Djindang, Pengantar dalam hukum Indonesia, cetakan kesebelas,

P.T ichtiar baru dan sinar harapan, Jakarta, 1989, hlm.121

57

keputusan Hakim yang memuat eigen regeling ini dianggap tepat dan dipakai

berulang-ulang oleh Hakim-hakim lainnya, maka keputusan ini akan menjadi

sebuah sumber hukum bagi peradilan (rechtspraak).58

Dengan dasar-dasar di atas, seorang Hakim diberikan keleluasan untuk

menemukan hukum (rechtsvinding), baik dengan cara melakukan interpretasi

hukum (wetinterpretatie), maupun dengan menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Metoda

interpretasi yang dapat digunakan dalam pencarian kekuatan hukum dari akta

elektronik dan tanda tangan elektronik khususnya adalah interpretasi analogi,

interpretasi ekstensif dan interpretasi sosiologis.59

Metoda interpretasi analogis dilakukan dengan memberi ibarat

terhadap suatu kata-kata sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu

peristiwa yang pada awalnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai

dengan ketentuan peraturan tersebut, misalnya menyambung aliran listrik

dianggap mencuri/mengambil aliran lisrik sebagaimana yang ditegaskan

dalam yurisprudensi tetap Hoge Raad der Nederlanden (pengadilan tertinggi

di Belanda). Berdasarkan asas konkordansi, pengadilan Indonesia

menggunakan yurisprudensi ini untuk menjawab kebingungan Hakim dalam

menyelesaikan kasus penyalahgunaan/pencurian listrik.60

Di Indonesia sendiri terdapat putusan pengadilan yaitu putusan

MARI.Nomor.9/KN/1999, yang dalam putusannya hakim menerima hasil

print out sebagai alat bukti surat. Kemudian kasus pidana yang diputus di

58

Ibid, hlm. 121 59

Ibid, hlm.203 60

Ibid, hlm.127

58

Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengetengahkan bukti e-mail (elektronic

mail) sebagai salah satu alat bukti. Setelah mendengar keterangan ahli bahwa

dalam transfer data melalui e-mail tersebut tidak terjadi tindakan manipulatif,

hakim memvonis terdakwa dengan hukuman satu tahun penjara karena

terbukti telah melakukan tindakan cabul berupa penyebaran tulisan dan

gambar.61

61

http://www.hukumonline.com/artikel-detail-data-elektronik-sebagai-alat-bukti-masih

dipertanyakan, diakses 30 agustus 2016

59

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diperoleh

kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan Tindak Pidana Cyberbullying, Sebelum diundangkannya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik terdapat beberapa ketentuan perundang-undangan yang

berhubungan dengan pemanfaatan dan penyalahgunaan teknologi

informasi yang diatur dalam KUHP dan beberapa undang-undang di luar

KUHP, Namun Kebijakan formulasi terhadap Tindak pidana

Cyberbullying baik dalam hal kriminalisasinya, jenis sanksi pidana,

perumusan sanksi pidana, subjek dan kualifikasi tindak pidana berbeda-

beda dan sampai saat ini belum mengatur secara tegas dan jelas terhadap

tindak pidana tersebut.

2. Sistem pembuktian terhadap Tindak pidana, Cyberbullying,yang masih di

dasari oleh KUHAP, secara lagalitas belum mengatur tentang ketentuan

mengenai alat bukti dan data elektronik, hal ini tentunya bertentangan

dengan ketentuan Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 yang telah

mengakui, pembuktian berdasarkan alat bukti dan data elektronik. Namun

mengingat dalam sistem hukum di Indonesia dalam hal pembuktian,

seorang Hakim diberikan kewenangan untuk memutus suatu perkara

walaupun ketentuannya masih belum jelas.

60

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka saran yang dapat diberikan

oleh penulis ialah:

1. Terhadap aparat penegak hukum harus mampu mengikuti perkembangan

teknologi yang semakin pesat agar setiap tindak kejahatan khususnya

cyber bullying dapat ditanggulangi secara efektif dan pelakunya tidak

dapat lepas dari jerat hukum.

2. Perlunya sebuah aturan khusus yang mendefinisikan secara mendetail

khususnya pada fenomena cyber bullying. Pada negara yang telah maju,

dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek

kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju.

3. Kesadaran dari masyarakat dalam menanggapi fenomena Cyber Bullying

juga sangat diperlukan, dilihat dari interaksi sosial yang mayoritas

menggunakan fasilitas internet, maka tingkat kesadaran masyarakat akan

hukum yang mengatur tindakan pencemaran nama baik atau penghinaan

perlu ditingkatkan.

61

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Arief, Barda Nawawi, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif

Kajian Perbandingan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Astuti, Ponny Retno. 2008, Meredam Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi K.P.A.

Jakarta, PT: Grasindo.

Bassar, M.Sudrajad, 1984. Tidak-tindak Pidana Tertentu Didalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana. CV Remaja Jaya.

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana,

Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum

Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo.

______________, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: PT

Raja Grafindo.

Eddy O.S Hiariej, 2009, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum

Pidana, Jakarta, Airlangga.

Hamzah, Andi. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

___________, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: SinarGrafika.

Harahap, M. Yahya, 2006, Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan

Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika

Ilyas, Amir. 2012, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rangkang Education

dan Pukap Indonesia.

Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Bandung: Citra

Aditya Bakti.

Makarim, Edmon, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta, Rajagrafindo

Persada.

Marzuki, Peter Mahmud. 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group.

62

Poernomo, Bambang. Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Yogjakarta:

Liberty Jurnal.

Prodjodikoro, Wiryono. 1980, Hukum Acara Pidana, Bandung: Sumur.

Raharjo, Agus. 2002, Cybercrime, Bandung, PT Citra Aditya Bakti.

Soepomo, R. 2002, Hukum Acara Pidana Pengedilan Negeri, Jakarta, Pradya

Paramita.

Soekanto, Soerjono. 2013, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta, Raja Grafindo

Persada.

Utrecht. E, dan Djindang, Saleh Moh, Pengantar Dalam Hokum Indonesia 1989,

Jakarta, PT Ichtiar Baru dan Sinar Harapan.

Internet :

Priyatna, Andri. 2010, Let’s End Bullying: Memahami, Mencegah, dan

Mengatasi Bullying. Jakarta, PT Elex Media Komputindo,

http://www.slideshare.net/ferisulianta/cyberbullying14882025),

diakses 10 Mei 2016

https://id.wikipedia.org/wiki/internet, diakses 9 mei 2016

http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/bully?q=bully#bully-4,

diakses 9 mei 2016

http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/cyberbullying?q=CYBER+

BULLYING, diakses 10 mei 2016

Nancy E. Willard, 2007, Cyberbullying and Cyberthreats: Responding to the

Challenge of Online Aggression, Threats, and Distress. United States,

Research Press

http://books.google.co.id/books?id=ewhQu2DfhxwC&pg=PA90&dq),

diakses 12 mei 2016

http://www.hukumonline.com/artikel_detail-data-elektronik-sebagai-alat-bukti-

masih-dipertanyakan, diakses 30 agustus 2016