tinjauan pustaka vbac dr

12
 TINJAUAN PUSTAKA 1. F akt or - f a ktor yan g mempen g aruhi kondisi  parut uterus. Dike tahu i bahw a kond isi parut uter us beka s SS terga ntung pada riwa yat SS seb elu mny a. Ind ika si SS sud ah ber var ias i sem aki n ban yak sam pai pa da kas us infertilitas, sedangkan teknik insisi uterus tampaknya tetap pada 3 jenis yang telah lama dikenal yaitu : transversal rendah (Kerr), vertikal rendah (Kronig) dan klasik. Adalah sulit untuk menentukan keadaan bekas insisi uterus SS terdahulu. Williams mengemukakan bahwa proses penyembuhan insisi uterus terjadi dengan regenerasi otot- otot uterus tersebut. Akan tetapi hal ini berbeda dengan pendapat Schwarz dkk., yang menyatakan bahwa penyembuhan luka uterus berdasarkan proliferasi fibroblas dan pembentuan jaringan ikat. Walaupun demikian aposisi otot yang baik pada penyembuhan luka memperkecil kemungkinan pembentukan jaringan ikat . Poidevin menunjukkan adanya defek pada penyembuhan luka uterus dengan pem er iks aa n his ter ogr afi ya ng dil aku kan 3 bu lan set ela h SS. Sed ang kan se car a histerografi dapat dijumpai defek penyembuhan luka seperti aposisi yang tidak baik, yang dapat menyebabkan ruptura uteri. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi parut pasca SS adalah : 1. 1. J enis s ek sio sesarea Sifat parut SS klasik dimana insisi SS klasik tersebut adalah di korpus berbeda dengan parut pada segmen bawah uterus (SBU) untuk kehamilan berikutnya. Pertama, kemung kinan rup tur parut SS kla sik bebe rapa kali leb ih be sar dibandin gka n par ut pada SBU karena menempati bagian yang berkontraksi. Yang kedua, jika terjadi ruptur  ada kemu ng kinan pada saat seb elum pe rsa linan (1/ 3 kas us) . Rup tur tidak jarang terjadi pada beberapa minggu sebelum aterm, sehingga SS primer tak mencegah kejadian tersebut. Pada SS dengan insisi di SBU transperitoneal profunda dimana parutnya terletak pada bagian yang tak kontraktil dari uterus; apabila ruptur, jarang terjadi sebelum persalinan . 1.2. Indikasi seksio sesar ea Salzmann men jum pai insiden ter tin ggi ru ptu r pa rut SBU pad a kasus -ka sus dengan SS atas indikasi perdarahan, misalnya plasenta previa dan solusio plasenta. Ped owi tz & Schwartz me nge mu kak an hal yan g sama. Pada pe nelitiann ya ditemukan insiden ruptura uteri terjadi lebih banyak pada kasus-kasus SS yang dahulu dikerjakan dengan indikasi perdarahan antepartum (plasenta previa dan solusio [Type text]

Upload: chandra-wijaya-s

Post on 07-Jul-2015

107 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 1/12

TINJAUAN PUSTAKA

1. Faktor - faktor yang mempengaruhi kondisi parut uterus.

Diketahui bahwa kondisi parut uterus bekas SS tergantung pada riwayat SS

sebelumnya. Indikasi SS sudah bervariasi semakin banyak sampai pada kasus

infertilitas, sedangkan teknik insisi uterus tampaknya tetap pada 3 jenis yang telah lama

dikenal yaitu : transversal rendah (Kerr), vertikal rendah (Kronig) dan klasik.

Adalah sulit untuk menentukan keadaan bekas insisi

uterus SS terdahulu. Williams mengemukakan bahwa proses

penyembuhan insisi uterus terjadi dengan regenerasi otot-

otot uterus tersebut. Akan tetapi hal ini berbeda denganpendapat Schwarz dkk., yang menyatakan bahwa penyembuhan

luka uterus berdasarkan proliferasi fibroblas dan pembentuan jaringan ikat. Walaupun

demikian aposisi otot yang baik pada penyembuhan luka memperkecil kemungkinan

pembentukan jaringan ikat .

Poidevin menunjukkan adanya defek pada penyembuhan luka uterus dengan

pemeriksaan histerografi yang dilakukan 3 bulan setelah SS. Sedangkan secara

histerografi dapat dijumpai defek penyembuhan luka seperti aposisi yang tidak baik,

yang dapat menyebabkan ruptura uteri.

Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi parut pasca SS adalah :

1.1. Jenis seksio sesarea

Sifat parut SS klasik dimana insisi SS klasik tersebut adalah di korpus berbeda

dengan parut pada segmen bawah uterus (SBU) untuk kehamilan berikutnya. Pertama,

kemungkinan ruptur parut SS klasik beberapa kali lebih besar dibandingkan parut

pada SBU karena menempati bagian yang berkontraksi. Yang kedua, jika terjadi ruptur 

ada kemungkinan pada saat sebelum persalinan (1/3 kasus). Ruptur tidak jarang

terjadi pada beberapa minggu sebelum aterm, sehingga SS primer tak mencegah

kejadian tersebut.

Pada SS dengan insisi di SBU transperitoneal profunda dimana parutnya terletak pada

bagian yang tak kontraktil dari uterus; apabila ruptur, jarang terjadi sebelum persalinan .

1.2. Indikasi seksio sesarea

Salzmann menjumpai insiden tertinggi ruptur parut SBU pada kasus-kasus

dengan SS atas indikasi perdarahan, misalnya plasenta previa dan solusio plasenta.

Pedowitz & Schwartz mengemukakan hal yang sama Pada penelitiannya

[Type text]

Page 2: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 2/12

Pedowitz & Schwartz mengemukakan hal yang sama. Pada penelitiannya

plasenta). Mereka berpendapat bahwa hal ini mungkin terjadi akibat pembentukan

parut yang buruk akibat teknik penjahitan pada saat operator dihadapkan pada

keadaan perdarahan, kerusakan myometrium karena perdarahan interstitial, dan

ketebalan myometrium yang diinsisi .

1.3. Usia kehamilan saat seksio sesarea

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Salzmann bahwa kemungkinan

insisi pada uterus tidak pada SBU yang sudah terbentuk sempurna sehingga insisi

akan mengenai bagian yang lebih tinggi sampai di korpus, yang mungkin akan sama

keadaannya dengan insisi SS klasik.

1.4. Teknik seksio sesarea

Pedowitz & Schwartz mengatakan teknik SS adalah yang terpenting pada

integritas parut uterus di kemudian hari.

Akan tetapi hal ini pula yang sulit dievaluasi dari data yang ada. Tanpa

memandang metode dan materi yang digunakan untuk menutup/menjahit insisi

uterus, yang biasanya berbeda di tiap institusi, maka ada 2 hal penting ialah

penyatuan kembali dan hemostasis.

1.5. Komplikasi seksio sesarea

Komplikasi SS adalah infeksi pasca operasi yang mengenai luka bekas sayatan

uterus. Hal ini perlu diwaspadai bila ada metritis perperalis yang mungkin dapat disertai

dengan nekrosis dan dehisen luka uterus tersebut.

Pedowitz dan Schwartz mencatat adanya sedikit peningkatan kemungkinan

ruptura uteri pada pasien yang mengalami febris pasca operasi, yaitu 13,1% dibanding

8,5% yang tanpa riwayat febris. Akan tetapi hal ini tak dapat dibuktikan bermakna secara

statistik. Sedangkan Nielsen dap kawan-kawan dari penelitiannya terhadap 209 pasien

dengan riwayat infeksi tidak menemukan ruptura uteri dan hanya mendapatkan 3,9 %dehisen yang tak berbeda dengan pasien yang tanpa

infeksi pasca SS. Mereka menyimpulkan bahwa adanya infeksi

perperalis tak berpengaruh terhadap kemungkinan ruptur .

1.6. Jumlah seksio sesarea

Pedowitz dan Schwartz mengemukakan bahwa resiko ruptura uteri akan

meningkat dengan peningkatan jumlah SS sebelumnya, akan tetapi mereka belum

dapat membuktikan hipotesis ini secara statistik.

Novac dan kawan-kawan sebaliknya mengemukakan bahwa setelah 2 atau lebih

Page 3: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 3/12

Novac dan kawan-kawan sebaliknya mengemukakan bahwa setelah 2 atau lebih

lebih yang diperbolehkan partus pervaginam berhasil partus pervaginam dengan

keluaran yang baik.

1.7. Faktor lain yang mempengaruhi penyembuhan

Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas perlu diketahui pula bahwa

problema utama suatu hasil pembedahan adalah mengenai penyembuhan

luka. Oleh karena itu harus pula mendapat perhatian mengenai faktor faktor 

yang mempengaruhi proses penyembuhan luka.

Beberapa faktor lokal yang mempengaruhi penyembuhan luka adalah:

• Kebutuhan oksigen jaringan, bahan yang merangsang pertumbu- han lokal,

suhu, adanya proses infeksi, kerusakan jaringan, antiseptik dan germidisida.

sirkulasi darah dan limfe, tempat yang bergerak.

• Masalah yang kerap kali dijumpai seorang ahli bedah adalah infeksi.

Tindakan aseptik sendiri bukanlah jaminan untuk mencegah timbulnya infeksi,

tetapi lebih dari itu persiapan tindak bedah yang baik, keadaan umum dan

imunitas penderita, pencegahan perdarahan dan syok, serta seleksi penderita

yang memadai turut mempengaruhi keberhasilan.

Beberapa kondisi pasien yang menjadi predisposisi timbulnya infeksi adalah:

1. Kerusakan jaringan atau sel.

2. Sirkulasi dan nutrisi jaringan yang buruk.3. Faktor sistemik :

a. Starvasi, asidosis, ketosis

b. Kekurangan protein dan vitamin

c. Gangguan hormonal ( misalnya karena terapi kortikosteroid)

d. Pansitopenia atau depresi sumsum tulang.

e. Superinfeksi karena gangguan keseimbangan flora normal.

2. Usaha untuk mengetahui kondisi parut uterus

2.1. Klinis

Kondisi parut uterus dapat dilihat secara langsung pada saat dilakukan SS ulang.

Saat persalinan, adanya nyeri dan nyeri tekan yang menetap didaerah SBU dapat

diduga sebagai ancaman ruptur.

Dapat pula dilakukan eksplorasi secara manual segera setelah persalinanpervaginam dengan palpasi langsung parut yang ada. Menurut Baker informasi yang

Page 4: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 4/12

apakah ada ruptur atau tidak sebelum pasien menjadi syok karena memang terjadi

ruptur. Juga sebagai penilaian keadaan parut untuk pertimbangan persalinan

mendatang .

Akan tetapi beberapa penulis tidak melakukan prosedur di atas, mereka hanya

melakukan observasi secara cermat akan kemungkinan perdarahan atau tanda-tanda

syok.

Phelan dan kawan-kawan mengemukakan bahwa pemeriksaan parut transervikal

setelah suatu persalinan pervaginam lebih sulit dan kurang bisa mendeteksi adanya

dehisen

2.2. Ultrasonografi (USG)

2.3. Histerografi

2.4. Histeroskopi

3. Penatalaksanaan Persalinan

3.1. Rawat Inap Pra Persalinan

Beberapa tulian tidak memberikan batasan secara jelas perlunya rawat inap pra

persalinan, khususnya bagi kasus-kasus yang direncanakan partus pervaginam.Dahulu Riva dan Teich menganjurkan rawat inap 10 sampai 14 hari sebelum taksiran

persalinan karena kekhawatiran terjadinya ruptur uteri. Bila kasus dalam perawatan

sebelumnya, maka tindakan medik dapat segera dilakukan.

Sedangkan penulis lainnya berpendapat bahwa rawat inap pra persalinan tidak

diperlukan tetapi mereka menganjurkan agar pasien datang ke rumah sakit sesegera

mungkin sete- lah ada tanda-tanda persalinan mulai.

3.2. Persalinan

Dibedakan menjadi 2, yang boleh pervaginam dan yang tidak boleh pervaginam

atau direncanakan SS primer. Semua penulis mengatakan bahwa SS klasik

seharusnya SS pada persalinan berikutnya karena resiko terjadinya ruptur jauh lebih

besar dibanding SS transversal rendah. Mortalitas dan morbiditas bagi ibu maupun

 janin juga lebih besar.

Lavin mengemukakan persyaratan untuk persalinan pervaginam sebagai berikut:

a. Tak ada indikasi untuk dilakukan SS.

Catatan operasi/ SS terdahulu harus ada dan menerangkan jenis insisinya

Page 5: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 5/12

b Catatan operasi/ SS terdahulu harus ada dan menerangkan jenis insisinya

d. Tersedia darah dan "Cross Matched" sudah

dilakukan.

e. Pengawasan selama persalinan oleh ahli obstetri.

f. Pasilitas dan perawatan untuk SS segera harus

siap.

g. Konseling pada pasien tentang resiko dan keuntungan serta "Informed Consent".

4. Ruptura uteri pada persalinan bekas SS

Pedowitz dan Perrel mengemukakan bahwa ruptura uteri pada bekas SS klasik

dapat terjadi di luar persalinan dan pada usia kehamilan belum aterm

Kejadian ruptura uteri pada persalinan yang pernah SS dengan insisi uterus

transversal rendah umumnya kecil, Lavin dkk. menyebutkan 0-2,8% dengan mortalitas

perinatal 0,93 per 1000 kelahiran tanpa dijumpai kematian ibu .

Horowitz dkk. mencatat 0-7% kejadian ruptura uteri simtomatik pada yang pernah

SS, yang diperkenankan partus pervaginam di beberapa negara di Asia, Eropa, Afrika

dan Amerika, sedangkan kejadian dehisen 0,4-4,6%. Mortalitas perinatal tercatat 15-

44% dan mortalitas maternal 0-2%. Sebanyak 63% ruptura uteri dapat dilakukan

reparasi dan 37% dilakukan histerektomi.Menurut Clark pemisahan parut bekas SS transversal rendah jarang terjadi,

kebanyakan asimtomatis dan dijumpai saat SS ulang, dapat disertai keadaan gawat

 janin.

Secara umum tanda dan gejala ruptura uteri yang dijumpai di RSUPNCM yang

terbanyak adalah hilangnya tanda kehidupan janin (79%) kemudian berturut turut

perdarahan pervaginam, nyeri perut bawah, bagian janin teraba di bawah kulit, presyok

dan syok, nyeri segmen bawah uterus dan hematuria.

Page 6: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 6/12

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Telah dilakukan penelitian terhadap 155 pasien pernah SS yang direncanakan

partus pervaginam selama periode setahun, sejak Oktober 1993 hingga September 

1994. Diperoleh tingkat risiko ruptura uteri yang relatif rendah yaitu sebesar 1,9% tanpa

mortalitas ibu.

Dari penelitian ini diperoleh beberapa masukan yang terutama ditujukan untuk

evaluasi penatalaksanaan pasien pernah SS di RSUPNCM:

1. Hanya 30,3% yang menjalani perawatan pra persalinan

2. Kasus ruptura uteri yang dijumpai merupakan kasus rujukan bidan dari luar 

RSUPNCM, tidak melalui perawatan sebelum persalinan

3. Satu kasus terjadi pada bekas SS korporal tanpa dike tahui jenis insisi uterus

terdahulu sebelum persalinan

4. Tidak ada diagnosis ruptura uteri sebelum partus kala II. Risiko ruptura uteri

cenderung meningkat pada partus kala II 25 menit atau lebih.

5. Tidak dijumpai komplikasi dan mortalitas ibu karena ruptura uteri.

6. Satu dari ketiga neonatus pada kasus ruptura uteri mengalami asfiksia

sedang.

7. Hanya 31% pasien yang memiliki data atau catatan medik tentang SS

sebelumnya, 43% dari pasien-pasien yang dahulu SS di RSUPNCM.

8. Pasien yang sampai di kamar bersalin pada partus kala I aktif dan partus kala

II adalah 39,4% dan 5,2%.

9. SS ulang terjadi pada 30,3% kasus dan yang terbanyak disebabkan oleh

distosia.

Page 7: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 7/12

SARAN

1. Perlunya evaluasi kembali kebijakan perawatan sebelum persalinan pada pasien

yang pernah SS dengan pertimba- gan rendahnya persentase kasus ruptura

uteri dan ruptura uteri terjadi pada partus kala II.

2. Beri pengertian kepada pasien untuk bersalin di rumah sakit dan datang pada partus

kala I.

3. Pasien pernah SS korporal sebaiknya dilakukan SS ulang elektif.

4. Evaluasi persalinan harus dilakukan dengan partograf untuk deteksl dini distosia.

5. Pasien pernah SS dengan insisi di segmen bawah uterus masih layak untuk

direncanakan partus pervaginam.

6. Sebaiknya pasien yang pernah SS tidak terlalu lama dalam partus kala II karena

kemungkinan ruptura uteri menjadi lebih besar. Anjuran pengakhiran

persalinan dengan ekstraksi bila kala II sudah lebih dari 20 menit.

7. Merupakan keharusan untuk memberikan data atau catatan medik ringkas berisikan

hal-hal penting mengenai SS. Dapat berupa kartu atau bentuk lainnya yang

tidak mudah rusak dan menarik sehingga selalu tersimpan baik.

Page 8: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 8/12

DAFTAR PUSTAKA

1. Nielsen TF, Ljungblad U, Hagberg H. Rupture and dehic- sence of 

cesarean section scar during pregnancy and delivery. Am J Obstet

Gynecol 1989; 160: 569 - 73.

2. Lavin JP, Stephens RJ, Miodovnik M, Barden TP. Vaginal delivery in

patien with a prior cesarean section. Obstet Gynecol 1982; 59 : 135-48.

3. Sastrowardoyo AW, Muchsin LH, Wiknyosastro GH. Penanga- nan

kehamilan bekas seksio sesarea transperitonealis profunda. Bagian

Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM. Disampaikan pada KOGI VII,

Semarang 1987.

4. Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF. Williams Obstetrics 18 th ed.

Connecticut : Appleton & Lange, 1989: 405-14.

5. Catatan medik di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, (tidak

dipublikasikan) .

6. Horowitz BJ, Edelstein SW, Lippman L. Once a cesarean always a

cesarean. Obstet Gynecol Survey 1981; 36: 592-8.

7. Ratnam SS, Rao B, Arulkumaran S. Obstetric and gynecology for 

postgraduates. Madras : Orient Longman Ltd, 1992: 134-42.

8. Phelan JP, Clark SL, eds. Cesarean delivery. New York : Elsevier Science

Publishing Co Inc, 1988: 201-18.

Page 9: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 9/12

9. Tenney B, Little B. Clinical obstetrics. Philadelphia | W.B. Saunders

Company, 1961; 256 - 7.

10. Baker K. Vaginal delivery after lower uterine cesarean section. Surg

Gynecol Obstet 1955; 100: 690-6.

11. Schwarz OH, Paddock R, Bortnick AR. The cesarean scar. Am J

Obstet Gynecol 1938; 36: 962*74.

12. Poidevin LOS. The value of hystarography in the prediction of cesarean

section wound defects. Am J Obstet Gynecol 1961; 81: 67-72.

13. Salzmann B. Rupture of low - segment cesarean section scars. Obstet

Gynecol 1964; 23: 460-6.

14. Pedowitz P, Schwartz R. The true incidence of silent rupture of cesarean

section scars. Am J Obstet Gynecol 1957; 74: 1071-80.

15. Novas J, Myers SA, Gleicher N. Obstetric outcome of patients with more than

one previous cesarean section. Am J Obstet Gynecol 1989; 160: 569-7.

16. Farmakides G, Duvivier R, Schulman H, Schneider B, Biordi J. Vaginal birth

after two or more previous cesarean sections. Am J Obstet Gynecol 1987;

156: 565-6,

17. Davis HA. Principle of surgical physiology. New York : Medical Book

Department of Harper & Brother, 1957: 147-60.

18. Greenhill JP. Obstetrics 13 th ed. Philadelphia : WB Saunders Company,

1965: 1087-9.

Page 10: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 10/12

19. Pulaski EJ. Infections and antibiotics. In : Zimmerman LM, Levine R, eds,

Physiologic priciples of surgery Philadelphia : WB Saunders Company, 1957:

36-54.

20. Phelan JP, Clark SL, Diaz F, Paul RH. Vaginal birth after cesarean. Am J

Obstet Gynecol 1987; 157i 1510-5*

21. Gross BH, Call en pw. Ultrasound of the uterus, In : Call en PW ed,

Ultrasonography in obstetrics and gynecology. Philadelphia WB

Saunders Conqpany, 1983: 227-47

22. Martin JN, Morrison JC, Wiser WL. Vaginal birth after cesarean section :

the demise of routine repeat abdominal delivery. Obstet Gynecol Clin of 

North America 1988; 15: 719-36.

23. Hadisaputra W. Histeroskopi pada pemeriksaan klinik infertilitas wanita. Skripsi.

Bagian Obsteri dan Gine- kologi FKUI RSCM Jakarta, 1983.

24. Sciarra JJ, Valle RF. Hysteroscopy : a clinical experience With 320 patients. Am

J Obstet Gynecol 1977; 127: 340-8.

25. Riva HL, Teich JC. Vaginal delivery after cesarean section. Am J Obstet

Gynecol 1961; 81: 501-10

26. Pedowitz P, Perrel A. Rupture of the uterus. Am J Obstet Gynecol 1958; 76:

161-71.

27. Clark SL. Ruptured of the scarred uterus. Obstet Gynecol Clin of North America

1988; 15: 737-44.

28. Harahap KM, Sukirna HTM, Reksoprodjo M. Ruptura uteri di RSCM Jakarta

tahun 1980. Bagian Obstetri dan Gine- kologi FKUI/RSCM. Disampaikan pada

Page 11: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 11/12

29. Leung AS, Leung EK, Paul RH. Uterine rupture after previous cesarean delivery:

Maternal and fetal conse - quences. Am J Obstet Gynecol 1993; 169: 945-50.

30. Yetman TJ, Nolan TE. Vaginal birth after cesarean sec - tion : A reappraisal of 

risk. Am J Obstet Gynecol 1989; 161: 1119-23.

Page 12: Tinjauan Pustaka Vbac Dr

5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 12/12