tesis tinjauan hukum tindak lanjut laporan hasil...

171
TESIS TINJAUAN HUKUM TINDAK LANJUT LAPORAN HASIL ANALISIS PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DI TINGKAT PENYIDIKAN Disusun dan diajukan oleh : MUHAMMAD FADLI P0902211009 PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Upload: others

Post on 27-Jan-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    TESIS

    TINJAUAN HUKUM TINDAK LANJUT LAPORAN HASIL ANALISIS PUSAT PELAPORAN DAN

    ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DI TINGKAT PENYIDIKAN

    Disusun dan diajukan oleh :

    MUHAMMAD FADLI

    P0902211009

    PROGRAM PASCASARJANA

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR

    2013

  • iii

  • iv

  • v

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

    memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat

    menyelesaikan tesis yang berjudul: Tinjauan Hukum Tindak Lanjut

    Laporan Hasil Analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

    di Tingkat Penyidikan

    .Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi tesis ini masih sangat

    sederhana, dimana terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan yang

    tidak dapat penulis hindari. Selama proses penyelesaian tesis ini mulai

    dari persiapan hingga selesai sangat banyak pihak yang telah

    memberikan dukungan, motivasi, doa, saran dan kritik yang bersifat

    membangun sehingga tesis ini dapat dirampungkan. Oleh karena itu,

    dengan segala kerendahan hati mengucapkan penghargaan dan rasa

    terima kasih yang sedalam-dalamnya diperuntukkan kepada :

    1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda H. Abdul Hamid, S.Pd. dan

    Ibunda Hj. Salamang, S.Pd. dengan cinta dan kasih sayang beliau

    memberikan segala perhatian, dukungan moril dan materiil serta

    doa restu tanpa pamrih kepada penulis selama ini.

    2. Adik-adikku tercinta, Nur Rafi’ah dan Elly Nur Laeli yang selalu

    memberikan dukungan motivasi dan doanya selama ini, semoga

    kelak menjadi dokter yang baik.aamiin

  • vi

    3. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.B., Sp.BO. selaku Rektor

    Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H, M.S, DFM.

    selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak

    Prof. Dr. Ir. Mursalim selaku Direktur Program Pascasarjana

    Universitas Hasanuddin dan Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, S.H,

    M.H. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas

    Hasanuddin yang telah memberikan izin, kesempatan dan fasilitas

    kepada penulis selama mengikuti pendidikan Pascasarjana

    Magister Ilmu Hukum.

    4. Bapak Prof. Dr. H. M. Djafar Saidi, S.H, M.H. selaku Ketua Komisi

    Penasihat dan Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H, M.Si. selaku anggota

    Komisi Penasihat, terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala

    arahan, waktu, bimbingan dan saran kepada Penulis selama ini.

    5. Bapak Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H, MS, Bapak Prof. Dr. Andi

    Sofyan, S.H., M.H., dan Prof. Dr. Muh. Guntur, S.H, M.H. terima

    kasih yang sebesar-besarnya atas kesediannya menjadi penguji

    yang memberikan masukan serta saran-saran yang membangun

    sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir.

    6. Seluruh Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

    Hasanuddin terkhusus Dosen Bagian Hukum Pidana, terima kasih

    atas segala ilmu yang telah diberikan kepada Penulis, semoga

    Allah SWT membalasnya dengan limpahan pahala. Aamiin.

  • vii

    7. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., Prof. Dr. Bagir Manan, SH,

    MCL., Ibu Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H., Bapak Dr. Yunus Husein,

    S.H., LL.M, Bapak Johan Budi Sapto Prabowo, Bapak Komisaris

    Besar Polisi Agung Setya, SIK, S.H., M.Si., Bapak Wirzal Yanuar,

    Ibu AKBP Rachmawati, Ibu Ina Purwantini Rahayu, S.H., M.Si.,

    Bapak Haryono Budhi Pamungkas, S.H., M.H., Bapak Ferdy Nizar

    Falumi, Bapak Wiwin Suwandi, S.H., Bapak Imran Malik Djunur,

    terima kasih atas waktu, masukan dan bantuannya kepada penulis

    selama ini.

    8. Seluruh Staf Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,

    Komisi Pemberantasan Korupsi, Bareskrim Mabes Polri, Direktorat

    Jenderal Pajak, Sekertariat Jenderal DPR-RI atas segala

    bantuannya.

    9. Sahabat dari Penulis Program Magister, terkhusus teman-teman

    Program Magister Hukum Kepidanaan, Ikatan Alumni SMU Negeri

    02 Tinggimoncong Wilayah Jabodetabek, kakanda Amaliyah, S.H.,

    M.H., Andi Aina Ilmi S.H., M.H., Kanda Dudi Sahupala, S.H., M.H.

    Kanda Kadarudin Al Anshari, S.H., M.H., DFM., Nur Alim, S.H.,

    M.Hkes. serta teman-teman yang tidak sempat saya sebutkan

    namanya satu persatu, terima kasih atas doa dan motivasi yang

    selalu diberikan kepada Penulis.

  • viii

    10. Para pegawai serta staf Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

    terima kasih atas segala bantuan dan kemudahannya dalam

    menjalankan tugas selama ini.

    11. Seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian

    tesis ini, Penulis menghaturkan banyak terima kasih.

    Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.

    Untuk itu dengan segala kerendahan hati Penulis sangat mengharapkan

    kritikan dan masukan yang sifatnya membangun guna perbaikan dan

    penyempurnaan tesis ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita

    semua kelak. Aamiin.

    Makassar, 19 Mei 2013

    Penulis,

    Muhammad Fadli

  • ix

    ABSTRAK

    MUHAMMAD FADLI. Tinjauan Hukum Tindak Lanjut Laporan Hasil

    Analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan di Tingkat

    Penyidikan (dibimbing oleh M. Djafar Saidi dan Muhadar)

    Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) tindak lanjut laporan hasil analisis

    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di penyidik,

    (2) faktor-faktor yang mempengaruhi tindak lanjut laporan hasil analisis

    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan di penyidik.

    Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif empiris dengan objek

    kajiannya meliputi ketentuan perundang-undangan, bahan pustaka, dan

    penerapan pada peristiwa hukum. Pengumpulan data dilakukan melalui

    observasi, dokumentasi, dan kajian pustaka. Data dianalisis dengan

    metode kualitatif.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) penerusan laporan hasil analisis

    PPATK kepada penyidik belum optimal karena adanya perbedaan

    signifikan antara jumlah penerusan dan tindak lanjut laporan hasil analisis

    oleh penyidik. Bentuk tindak lanjut laporan hasil analisis PPATK di

    Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu dengan

    terlebih dahulu dilakukan pengkajian dan telaah serta pengumpulan bukti

    permulaan yang cukup. (2) terdapat dua faktor yang mempengaruhi tindak

    lanjut laporan hasil analisis PPATK di penyidik yaitu faktor yuridis dan

    faktor nonyuridis. Faktor yuridis diantaranya belum cukup bukti yang

    ditemukan oleh penyidik dan masih terdapat kelemahan dalam Undang-

    Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

    Tindak Pidana Pencucian Uang. Faktor nonyuridis yaitu adanya kendala

    waktu penyerahan laporan hasil analisis PPATK, adanya ketidakjelasan

    data yang disampaikan PPATK kepada penyidik, masih kurangnya

    koordinasi antara lembaga PPATK dan penyidik, dan pemberitaan media

    yang dapat mengganggu proses penyidikan.

    Kata Kunci: tindak lanjut laporan hasil analisis, analisis transaksi

    keuangan.

  • x

    ABSTRACT

    MUHAMMAD FADLI. A Legal Review of the Follow-Up Actions of the

    Analysis of the Financial Transaction Analysis and Report Center at the

    Stage of Investigation (Supervised by M. Djafar Saidi and Muhadar)

    This study aims to find out and understand: (1) the follow-up actions

    of the analysis of the Financial Transaction Analysis and Report Center

    (PPATK) at the stage of investigation; and (2) the factors affecting the

    follow-up actions. The Research was conducted as an empirical normative

    study. It used regulations, other written materials, and the implementation

    in legal cases as the objects of study.

    The results reveal that, firstly, the forwarding of the result of PPATK

    Analysis to investigators is not optimal yet. There is a significant difference

    between the total number of forwarding and the number of investigator’s

    follow-up actions. Police institution and Anti-Corruption Commission

    conducted follow-up actions in the forms of analysis and the collection of

    sufficient evidences. Secondly, it is found that two factors, juridical and

    non juridical factors, influence investigators’ follow-up actions. Two

    examples of juridical factors are the limitation of evidences collected by the

    investigators and the weakness of The Regulation Number 8 of 2010

    about Prevention and Eradication of Money Laundering. Non-juridical

    factors include problems with the time of report forwarding, unclear data,

    lack of coordination between PPATK and investigators, and the news of

    mass media that can interfere with the process of investigation.

    Keywords: follow-up actions of analysis report, the analysis of financial

    transaction.

  • ix

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL .......................................................................... i

    LEMBAR PENGESAHAN ............................................................... ii

    KATA PENGANTAR ....................................................................... iii

    ABSTRAK BAHASA INDONESIA ................................................... vii

    ABSTRAK BAHASA INGGRIS ........................................................ viii

    DAFTAR ISI ..................................................................................... ix

    DAFTAR TABEL .............................................................................. x

    DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1 B. Rumusan Masalah ......................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ........................................................... 6 D. Kegunaan Penelitian ...................................................... 7

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    A. Konsep Negara Hukum .................................................. 8 B. Teori Kewenangan ......................................................... 14 C. Teori Politik Hukum ........................................................ 20 D. Penegakan Hukum ......................................................... 24 E. Penyidikan ..................................................................... 26 F. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) ..... 30

    1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ............. 30 2. Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang ............... 33

    G. Tinjauan Umum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ........................................................ 34 1. Sejarah Pembentukan PPATK ................................ 34 2. PPATK sebagai Lembaga Independen ................... 37 3. Struktur Organisasi PPATK .................................... 38

    H. Kewenangan PPATK ..................................................... 45 I. Laporan Transaksi Keuangan ........................................ 49

    1. Transaksi Keuangan Mencurigakan ......................... 49 2. Transaksi Keuangan Tunai ...................................... 51

  • x

    3. Transaksi Keuangan Transfer Dana dari dan ke luar negeri ........................................................... 52

    4. Laporan Transaksi oleh Penyedia Barang dan Jasa ........................................................................ 53

    5. Laporan Pembawaan Uang Tunai ............................ 53 J. Laporan Hasil Analisis PPATK ....................................... 55

    1. Pengertian Laporan Hasil Analisis PPATK ................ 55 2. Jenis Hasil Analisis Laporan Transaksi Keuangan

    PPATK ...................................................................... 57 K. Kerangka Pikir ................................................................ 59

    1. Kerangka Pemikiran Teoritis .................................... 59 2. Bagan Kerangka Pikir .............................................. 62

    L. Definisi Operasional ....................................................... 63

    BAB III METODE PENELITIAN

    A. Lokasi Penelitian ........................................................... 65 B. Bentuk dan Pendekatan ................................................. 65 C. Jenis dan Sumber Data .................................................. 66 D. Populasi dan Sampel ..................................................... 66 E. Teknik Pengumpulan Data ............................................. 67 F. Metode Analisis Data ..................................................... 68

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Tindak Lanjut Laporan Hasil Analisis PPATK ................. 70 1. Penerusan Laporan Hasil Analisis PPATK

    Kepada Penyidik ...................................................... 70 2. Bentuk Tindak Lanjut terhadap Laporan Hasil

    Analisis PPATK ........................................................ 80 B. Faktor yang Mempengaruhi Tindak Lanjut laporan Hasil Analisis PPATK di Penyidik ................................... 105

    1. Faktor Yuridis ......................................................... 109 2. Faktor non-Yuridis .................................................. 137

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ................................................................... 150 B. Saran ............................................................................ 151

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • xi

    DAFTAR TABEL

    Nomor halaman

    1 Hasil Analisis PPATK Berdasarkan Tindak Pidana

    Asal Tahun 2012 75

    2 Jumlah Kumulatif LHA yang disampaikan ke Penyidik 76

    3 Jumlah Hasil Analisis PPATK Tahun 2008-2012 78

    4 Tindak Lanjut LHA Subdit TPPU Mabes Polri 2012 98

    5 Jumlah Tindak Lanjut Hasil Analisis PPATK

    oleh Penyidik 104

    6 Penerimaan LHA PPATK Tahun 2006 Mabes Polri 120

  • xii

    DAFTAR GAMBAR

    Nomor halaman

    1 Flow Analisis Pusat Pelaporan dan Analisis 72

    Transaksi Keuangan

    2 Format Laporan Hasil Analisis PPATK 83

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

    diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

    Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU). UU

    PPTPPU ini mengatur tentang transaksi keuangan mencurigakan dengan

    sejumlah uang yang dinilai tidak wajar yang merupakan salah satu objek

    analisis dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

    PPATK merupakan lembaga yang dibentuk dalam rangka mencegah dan

    memberantas tindak pidana pencucian uang. PPATK dalam menjalankan

    kewenangannya terikat pada UU PPTPPU yang dijabarkan ke dalam

    Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2011 tentang Tata Cara

    Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

    Keuangan (Perpres No. 50/ 2011).

    Keberadaan PPATK sangat penting dalam menghubungkan

    instansi atau lembaga yang terlibat dalam upaya penegakan pencegahan

    dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

    International Narcotics Control Strategic Report (INCSR) Tahun 2003 yang

    dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menjelaskan

  • 2

    bahwa semakin majunya sistem keuangan suatu negara, semakin menarik

    para pelaku kejahatan untuk melakukan aksi kejahatan. Pemanfaatan

    lembaga keuangan dalam kejahatan pencucian uang dapat berupa

    menginvestasikan dan memindahkan dana dari hasil tindak pidana seperti,

    uang hasil korupsi, suap, penipuan, kejahatan di bidang perbankan, pasar

    modal dan lainnya ke dalam bentuk deposito, pembelian traveler cheque

    (cek perjalanan), saham, obligasi, reksadana dan instrumen keuangan

    lainnya.1

    Berdasarkan Laporan Statistik PPATK periode Juli 2012, transaksi

    keuangan yang mencurigakan selama tahun 2012 mencapai 2.054 (dua

    ribu lima puluh empat) transaksi per bulan. Jumlah tersebut meningkat

    dibandingkan tahun 2010 sebanyak 1.445 (seribu empat ratus empat

    puluh lima) transaksi per bulan dan tahun 2011 sebanyak 1.685 (seribu

    enam ratus delapan puluh lima) per bulan.2 Adapun Pada Tahun 2012

    PPATK menerima 108.145 laporan transaksi keuangan mencurigakan dari

    381 Penyedia Jasa Keuangan. Laporan paling banyak berasal dari

    Penyedia Jasa Keuangan Bank sebesar 54,5 (lima puluh empat koma

    lima) persen dan selebihnya 45,5 (empat puluh lima koma lima) persen

    Penyedia Jasa Keuangan non-bank. Khusus pada tahun 2012, sebanyak

    1 Yunus Husein, 2006, Pembangunan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia dan

    Implikasinya terhadap Profesi Akuntan, Makalah Disampaikan pada Forum Ilmiah Ekonomi Study Akuntansi (FIESTA 2006) dan Temu Nasional Jaringan Mahasiswa Akuntansi Indonesia (TN-JMAI), Fakultas Ekonomi Universitas Bung Hatta, Padang, 8 Mei 2006.

    2 Ana. Pemberantasan Korupsi, Pencucian Uang Meningkat, Harian Kompas Rabu 12

    September 2012, Hal. 1.

  • 3

    276 transaksi sudah diteruskan ke penegak hukum, seperti Kepolisian,

    Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Nasional

    Narkotika, dan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Dengan jumlah uang

    yang dianalisis sepanjang Tahun 2012 mencapai lebih dari Rp 100 triliun

    yang ada pada 1.700 rekening dan 115 Penyedia Jasa Keuangan.3

    PPATK melakukan proses analisis dan pemeriksaan terhadap

    laporan atau informasi transaksi keuangan yang dilaporkan oleh pihak

    pelapor atau penyedia jasa keuangan sebagai tugas utama PPATK.

    Sesuai dengan tugas yang diemban tersebut, produk utama yang

    dihasilkan adalah berupa Hasil Analisis dan Hasil Pemeriksaan yang

    diharapkan dapat dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum dalam

    melakukan proses penegakan hukum sesuai dengan tugas dan

    kewenangannya dan ketentuan yang berlaku dalam mencegah dan

    memberantas tindak pidana pencucian uang. Dalam rangka

    melaksanakan tugas mencegah dan memberantas tindak pidana

    pencucian uang sebagaimana dalam Pasal 39 UU PPTPPU, PPATK

    mempunyai fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi

    transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang atau

    tindak pidana lain sebagaimana dalam Pasal 40 huruf (d) UU PPTPPU.

    Dalam melaksanakan fungsi tersebut PPATK memiliki kewenangan

    meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan terhadap laporan hasil

    3 Sabrina Asril, 2012, Nilai Transaksi Mencurigakan Capai Rp 100 Triliun,

    http://nasional.kompas.com/read/2013/01/02/17384835/Nilai.Transaksi.Mencurigakan.2012.Capai.Rp.100.Triliun?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp, Diakses 3 januari 2012.

    http://nasional.kompas.com/read/2013/01/02/17384835/Nilai.Transaksi.Mencurigakan.2012.Capai.Rp.100.Triliun?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwphttp://nasional.kompas.com/read/2013/01/02/17384835/Nilai.Transaksi.Mencurigakan.2012.Capai.Rp.100.Triliun?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

  • 4

    analisis atau pemeriksaan laporan transaksi keuangan mencurigakan

    yang dihasilkan kepada penyidik yang diatur dalam Pasal 44 Ayat (1)

    huruf (l) UU PPTPPU.

    Laporan hasil analisis PPATK yang berindikasi tindak pidana

    pencucian uang atau tindak pidana lain wajib ditindaklanjuti oleh penyidik

    sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 48

    Perpres No. 50/ 2011). Akan tetapi Laporan Hasil Analisis yang

    disampaikan oleh PPATK kepada penyidik tidak semuanya ditindak lanjuti.

    Sebagaimana dikemukakan ketua PPATK M. Yusuf yaitu:

    “salah satu program yang akan diprioritaskan adalah menagih tindak lanjut atas Laporan Hasil Analisa (LHA) yang telah disampaikan PPATK kepada penegak hukum. Apa penyebabnya sehingga laporan hasil analisis tidak ditindaklanjuti.4

    Tindak Lanjut Laporan Hasil Analisis yang telah disampaikan

    kepada penegak hukum selama tahun laporan belum begitu signifikan bila

    dibandingkan dengan kasus yang diteruskan ke proses penegakan hukum

    selanjutnya.5

    Penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum diawali

    dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana. sumber bahan

    masukan suatu tindak pidana berupa pengetahuan atau persangkaan

    telah terjadinya suatu perbuatan pidana dapat diperoleh penyidik dari

    4 Inu, 2011, M. Yusuf: PPATK Ibarat Memberi Umpan ke Pemancing,

    http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ec61a217fea1/ppatk-ibarat-memberi-umpan-ke-pemancing, diakses 3 Januari 2013.

    5 PPATK, 2011, Laporan Tahunan, Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

    Keuangan, Hal. 58.

    http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ec61a217fea1/ppatk-ibarat-memberi-umpan-ke-pemancinghttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ec61a217fea1/ppatk-ibarat-memberi-umpan-ke-pemancing

  • 5

    berbagai sumber, yaitu dari adanya laporan, pengaduan, tertangkap, atau

    diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari hasil penyidikan.6

    Selanjutnya kewajiban penyidik untuk mencari atau mengumpulkan bukti

    yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi. Peran

    penting masukan dan laporan tentang terjadinya suatu tindak pidana juga

    harus didukung dengan alat bukti yang berkaitan dengan terjadinya tindak

    pidana. Karena proses pembuktian memiliki peranan yang penting dalam

    pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan adanya laporan hasil analisis

    yang diberikan oleh PPATK diharapkan dapat membantu aparat penegak

    hukum dalam memperoleh dokumen alat bukti yang diperlukan sehingga

    nantinya dapat lebih mempermudah proses pembuktian terjadinya suatu

    tindak pidana.7

    Laporan Hasil analisis merupakan hasil analisis yang diperoleh

    dengan menggabungkan berbagai informasi dari berbagai sumber

    termasuk baik atas profil terlapor, sumber pendanaan, tujuan penggunaan

    dana, setiap transaksi yang dilakukan, kesesuaian antara nilai transaksi

    dengan profil terlapor serta hal-hal lainnya yang dipandang perlu untuk

    dapat dijadikan informasi ataupun data pendukung. Dengan adanya

    laporan hasil analisis yang disampaikan PPATK kepada penyidik

    6 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT Citra

    Aditya bakti, Hal. 60-61.

    7 Ni Komang Wiska Ati Sukariyani, 2010, Peranan Hasil Analisis Pusat Pelaporan dan

    Analisis Transaksi Keuangan Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta: Program Pasca Sarjana, www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131167...Peranan%20hasil...pdf, diakses 28 April 2012, Hal. 62.

  • 6

    diharapkan kerjasama dari penyidik yang merupakan kewajiban untuk

    menindaklanjuti laporan hasil analisis PPATK tersebut. Kewajiban tindak

    lanjut Laporan Hasil Analisis tersebut diatur dalam Pasal 106 KUHAP dan

    Pasal 48 Ayat (3) Perpres N0. 50/ 2011. Akan tetapi tindak lanjut

    penyidikan terhadap laporan hasil analisis yang dihasilkan PPATK dari

    proses analisis dan pemeriksaan laporan pihak pelapor masih belum

    optimal dan menemui berbagai kendala. Sehingga produk utama PPATK

    berupa hasil analisis dan informasi banyak yang menumpuk di instansi

    penegak hukum.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan

    diatas, maka rumusan masalah penelitian yang penulis dapat rumuskan

    adalah sebagai berikut :

    1. Bagaimanakah tindak lanjut Laporan Hasil Analisis PPATK yang

    dilakukan oleh penyidik?

    2. Faktor yang mempengaruhi tindak lanjut penyidikan Laporan Hasil

    Analisis PPATK?

    C. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan permasalahan di atas, adapun tujuan yang

    disesuaikan dengan melandasi penelitian ini yaitu :

  • 7

    1. Untuk mengetahui dan memahami tindak lanjut laporan hasil

    analisis PPATK yang dilakukan oleh penyidik.

    2. Untuk mengetahui dan memahami faktor yang mempengaruhi

    tindak lanjut penyidikan Laporan Hasil Analisis PPATK.

    D. Kegunaan Penelitian

    Adapun Kegunaan dari penelitian ini adalah :

    a. Memberi pemahaman mengenai tindak lanjut Laporan Hasil

    Analisis yang disampaikan oleh PPATK kepada penyidik dan faktor

    apa sajakah yang menjadi kendala penyidik dalam menindaklanjuti

    Laporan Hasil Analisis yang disampaikan oleh PPATK.

    b. Memberikan tambahan referensi hukum yang dapat digunakan

    sebagai acuan bagi penelitian di masa yang akan datang dalam

    lingkup yang lebih jelas dan mendalam lagi. Khususnya dalam

    penanganan tindak pidana pencucian uang.

    c. Diharapkan menghasilkan penelitian yang aplikatif yang dapat

    memberi sumbangsih pemikiran bagi Penyidik dan PPATK dalam

    menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan yang dimiliki.

    d. Menjadi solusi dan rekomendasi yang dapat menjadi acuan bagi

    pembuat peraturan perundang-undangan dan penentu kebijakan

    dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang

    memenuhi kepastian hukum dalam penanganan tindak pidana

    pencucian uang di masa yang akan datang.

  • 8

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Konsep Negara Hukum

    Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwa, “Negara Indonesia

    adalah negara hukum”. Indonesia merupakan negara hukum yang berarti

    Indonesia menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan hukum. Kekuasaan

    hukum terletak diatas segala kekuasaan yang ada dalam negara dan

    kekuasaan hukum terletak diatas segala kekuasaan yang ada dalam

    negara dan kekuasaan itu harus tunduk pada hukum yang berlaku.

    Hakikatnya adalah segala tindakan atau perbuatan tidak boleh

    bertentangan dengan hukum yang berlaku, termasuk untuk

    merealisasikan keperluan atau kepentingan negara maupun keperluan

    warganya dalam bernegara.8

    Aristoteles berpendapat bahwa, yang dimaksud dengan negara

    hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan

    kepada warga negaranya.9 Suatu negara yang baik ialah negara yang

    8 Muhammad Djafar Saidi, 2007. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam

    Penyelesaian Sengketa Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 1.

    9 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara

    Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, Hal. 153.

  • 9

    diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.10 Indonesia

    sebagai negara hukum yang bercirikan negara kesejahteraan modern

    (welfare state modern) berkehendak mewujudkan keadilan bagi segenap

    rakyat Indonesia. Indonesia sebagai negara hukum maupun negara

    kesejahteraan modern tidak terlepas dari pilar paham kedaulatan dan

    paham kedaulatan rakyat. Paham kedaulatan hukum berarti kekuasaan

    tertinggi terletak pada hukum atau tidak ada kekuasaan lain apa pun

    terkecualihanya kekuasaan hukum. Sedangkan paham kedaulatan rakyat

    berarti kekuasaan yang tertinggi bersumber dari kehendak rakyat yang

    berdaulat dan dilaksanakan berdasarkan UUD NRI 1945.11

    Indonesia merupakan Negara hukum pancasila yang bercirikan

    Negara kesejahteraan sebagaimana dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD

    NRI 1945 menyatakan sebagai berikut:

    “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

    10 Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

    Hal. 2.

    11 Muhammad Djafar Saidi, Op.Cit., Hal. 4.

  • 10

    Alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 diatas mengartikan bahwa,

    dengan diembannya tugas negara dalam menyelenggarakan

    kesejahteraan umum maka pembentukan berbagai peraturan di Negara

    Republik Indonesia menjadi sangat penting, peran negara dalam

    mengurusi kesejahteraan rakyat dalam bidang hukum, sosial, politik,

    ekonomi, budaya, lingkungan hidup, pertahanan keamanan serta

    mewujudkan keadilan sosial diselenggarakan melalui pembentukan

    peraturan-peraturan negara. Dalam negara kesejahteraan (welfare state/

    verzorngingsstaat), tugas pemerintah tidak hanya terbatas untuk

    melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh legislatif. Dalam

    persfektif welfare state, pemerintah dibebani kewajiban untuk

    menyelenggarakan kepentingan umum (bestuurszorg) atau

    mengupayakan kesejahteraan sosial, yang dalam menyelenggarakan

    kewajiban itu pemerintah diberi kewenangan untuk campur tangan

    (staatsbemoeienis) dalam kehidupan masyarakat, dalam batas-batas yang

    diperkenankan oleh hukum.12 Sehingga campur tangan pemerintah

    tersebut dapat dilaksanakan melalui kewenangan yang diberikan oleh

    undang-undang dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam bidang

    hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, pertahanan

    keamanan serta mewujudkan keadilan sosial.

    Salah satu asas penting dalam negara hukum adalah asas

    legalitas. Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar

    12 Ridwan HR, 2007, Op.Cit., Hal. 138.

  • 11

    setiap tindakan badan atau pejabat administrasi berdasarkan undang-

    undang. Tanpa dasar undang-undang badan atau pejabat administrasi

    negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah

    atau memengaruhi keadaan hukum warga masyarakat.13 Selain itu

    jaminan kepastian hukum dipertegas pula dalam Pasal 28 D Ayat (1) UUD

    NRI 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas

    pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

    perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Dalam mewujudkan tugas yang

    diemban oleh pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka

    diperlukan kepastian hukum dalam menjalankan tugas yang diemban

    tersebut.

    Menurut Indroharto, penerapan asas legalitas akan menunjang

    berlakunya kepastian hukum dan berlakunya kesamaan perlakuan.14 Asas

    kepastian hukum merupakan asas dalam negara hukum yang

    menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan

    keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.15 Asas

    kepastian hukum dalam terminologi hukum ditemukan dalam dua

    pengertian. Asas kepastian hukum dalam bahasa Inggris the principle of

    legal security dan dalam bahasa Belanda disebut rechtszekerheid

    13 Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo

    Persada, Hal. 78.

    14 Ibid, Hal. 78-79.

    15

    M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition, Surabaya: Reality Publisher.

  • 12

    beginsel. Asas kepastian hukum adalah asas untuk mengetahui dengan

    tepat aturan apa yang berlaku dan apa yang berlaku padanya.16

    Tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas

    dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga

    dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

    dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.17 Maka dari itu

    pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan

    hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan

    hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak

    pidana.

    Konsep negara hukum yang banyak dikenal di berbagai Negara

    adalah rechstaat dan rule of law.18 Dalam perspektif teori dikenal

    beberapa konsep negara hukum sebagai berikut:

    a. Rechtsstaat;

    b. Rule of Law;

    c. Socialist Legality;

    d. Nomokrasi Islam;

    e. Negara Hukum Pancasila.

    Oemar Senoadji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia

    memiliki ciri-ciri khas Indonesia karena Pancasila harus diangkat sebagai

    16 Saifullah Bombang, Asas Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan

    Pemerintahan Yang Baik, Bilancia, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2008, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2208125136.pdf, diakses pada tanggal 3 Juli 2012, hal. 126.

    17 Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

    Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    18 Bintan R. Saragih, 2010, 70

    th Prof. Dr. Bintan R. Saragih, S.H. Percikan Pemikiran

    Hukum, Ketatanegaraan, dan Kebijakan Publik. Jakarta: Wildan Akademika dan Universitas Ekasakti Press. Hal. 28.

    http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2208125136.pdf

  • 13

    dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat

    pula dinamakan negara hukum pancasila.19 Indonesia sebagai negara

    hukum pancasila yang bercirikan negara kesejahteraan juga dipengaruhi

    oleh konsep negara hukum Rechstaat dan The Rule of Law, kedua

    konsep ini mengarahkan dirinya pada satu sasaran utama yaitu

    pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam

    tataran historis unsur-unsur negara hukum (rechstaat) menurut Friedrich

    Julius Stahl, sebagai berikut: 20

    a. Hak-hak asasi manusia b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-

    hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental disebut trias politica)

    c. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur)

    d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

    Sedangkan unsur-unsur negara hukum dalam konsep negara

    hukum (the rule of law) menurut Albert Venn Dicey dalam Introduction to

    the law of the Constitution sebagai berikut:21

    a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.

    b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat.

    19 Muhammad Tahir Azhary, 2010, Negara Hukum (Suatu Studi Tentang Prinsip-

    Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini). Jakarta: Kencana, Hal. 93.

    20 Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, Hal. 57-

    58.

    21 Ibid.

  • 14

    c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.

    Jadi sebagai konsekuensi dari negara hukum Indonesia yang

    berlandaskan pancasila dan bercirikan negara kesejahteraan wajib

    menjamin terciptanya kepastian hukum dalam rangka mewujudkan

    kesejahteraan rakyat yang berlandaskan pancasila sebagai dasar negara.

    B. Teori Kewenangan

    Teori ini penulis kemukakan dengan tujuan untuk membahas dan

    menganalisis tentang kewenangan PPATK dalam menjalankan

    kewenangan terhadap laporan hasil analisis yang dihasilkan terhadap

    laporan transaksi keuangan yang dilaporkan oleh pihak pelapor. Pilar

    utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het

    beginsel van wetmatigheid van bestuur), Negara hukum yang

    menempatkan asas legalitas sebagai sendi utama penyelenggaraan

    pemerintahan, Wewenang pemerintahan (bestuursbevoegdheid) itu

    berasal dari peraturan perundang-undangan. R.J.H.M. Huisman

    menyatakan pendapat berikut:

    “Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen. Slechts de wet kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet allen attribueren aan een bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspecteurs, inspecteur voor het milieu enz.) of aan special colleges (bijvoorbeeld de kiesraad, de pachtkamer), of zelfs aan privaatrechtelijke rechtspersonen”.(Organ pemerintah tidak dapat menganganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada

  • 15

    organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai {misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya} atau terhadap badan khusus {seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap badan hukum privat.22

    Prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari

    peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi

    pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang

    bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui

    tiga cara yaitu, atribusi, delegasi, dan mandat.23 Mengenai atribusi,

    delegasi, dan mandat H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt

    mendefinisikan sebagai berikut:24

    a. Attributie: toekenning van een bestuursbevoegdheid door een

    wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian

    wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada

    organ pemerintahan).

    b. Delegatie: overdracht van een bevoegdheid van het ene

    bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan

    wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada

    organ pemerintahan lainnya).

    c. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegdheid namens

    hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ

    pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh

    22 Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara edisi revisi, Jakarta: PT

    RajaGrafindo Persada, Hal. 100.

    23 Ibid., Hal. 101.

    24

    Ibid., Hal. 102.

  • 16

    organ lain atas namanya). Dalam hal mandat tidak ada sama

    sekali pengakuan kewenangan atau pengalih-tanganan

    kewenangan. Hanya menyangkut jannji kerja intern antara

    penguasa dan pegawai.25

    Delegasi merupakan “het overdragen door een bestuurorgaan van

    zijn bevoegdheid tot het nemen van besuiten aan een ander die deze

    onder eigen verantwoordelijkheid uitoefent” sedangkan mandat adalah

    “het door een bestuursorgaan aan een ander verlenen van de

    bevoegdheid in zijn naam besluiten te nemen” Delegasi merupakan

    pemberian, pelimpahan, atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ

    pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas

    tanggung jawab sendiri. Sedangkan mandat merupakan kewenangan

    yang diberikan oleh suatu organ pemerintahan kepada organ lain untuk

    atas nama atau tanggung jawabnya sendiri mengambil keputusan.26

    Apabila suatu kewenangan dimandatkan kepada suatu lembaga lain untuk

    melaksanakannya atas nama pemberi mandat, maka lembaga pemberi

    mandat atau mandator dapat menarik kembali mandat yang diberikan dari

    lembaga penerima mandat. Dalam teori tentang pendelegasian

    pelimpahan kewenangan dari suatu lembaga kepada lembaga lain

    berakibat terjadinya perpindahan kewenangan secara mutlak.

    Kewenangan tersebut tidak dapat ditarik kembali oleh lembaga pemberi

    25 Philipus M. Hadjon dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Indonesia

    (Introduction To The Indonesian Administrative Law), Yogyakarta: Gadjah Nada University Press, Hal. 131.

    26 Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers, Hal. 264.

  • 17

    delegasi.27 Kewenangan yang dimiliki oleh PPATK sebagaimana dalam

    UU PPTPPU merupakan kewenangan yang diberikan oleh pembuat

    undang-undang kepada PPATK untuk menjalankan wewenangnya dalam

    upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

    Adapun syarat-syarat pelimpahan wewenang pemerintahan melalui

    delegasi, sebagai berikut:28

    1. delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak

    dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah

    dilimpahkan itu;

    2. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

    undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada

    ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

    3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan

    hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

    4. kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya

    delegans berhak untuk meminta penjelasan tentang

    pelaksanaan wewenang tersebut;

    5. peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans

    memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan

    wewenang tersebut.

    27 Ibid.

    28

    Ridwan HR, 2007, Op.Cit., Hal. 107-108.

  • 18

    H.D. Stout mengatakan bahwa:

    “Bevoegheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, watkan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heft op de verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer”. (wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik).29

    H.D. Stout mengutip pula pendapat Verhey, mengemukakan bahwa

    het beginsel van wetmatigheid van bestuur mengandung tiga aspek, yakni

    aspek negatif (het negatieve aspect), aspek formal,-positif (het formeel-

    positieve aspect), dan aspek materiil-positif (het materiel-positieve aspect).

    Aspek negatif menentukan bahwa tindakan pemerintahan tidak boleh

    bertentangan dengan undang-undang. Tindakan pemerintah adalah tidak

    sah jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

    tinggi. Aspek formal positif menetukan bahwa pemerintah hanya memiliki

    kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-

    undang. Aspek materiil-positif menentukan bahwa undang-undang

    memuat aturan umum yang mengikat tindakan pemerintah. Hal ini berarti

    kewenangan itu harus memiliki dasar perundang-undangan dan juga

    bahwa kewenangan itu isinya ditentukan normanya oleh undang-

    undang.30

    29 Ridwan HR., Op.Cit., Hal. 98.

    30

    Ibid., Hal. 91-92.

  • 19

    F.P.C.L. Tonnaer menyatakan bahwa:

    “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om positief recht vast te stellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen” (Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara).31

    Hans Kelsen mengemukakan hanya perilaku manusia yang

    diberikan wewenang oleh tatanan hukum. Perilaku individu tersebut

    diberikan wewenang hukum dirinya yakni, kapasitas untuk menciptakan

    norma hukum. Kapasitas untuk bertindak pada dasarnya merupakan

    kapasitas untuk melakukan transaksi hukum. Kapasitas untuk melakukan

    transaksi hukum yaitu kapasitas untuk menciptakan kewajiban dan hak,

    juga merupakan wewenang hukum karena kewajiban hukum dan hak

    ditetapkan oleh norma-norma hukum dan norma-norma itu diciptakan

    dengan transaksi hukum. 32

    Kewenangan merupakan kapasitas untuk bertindak yang diberikan

    kepada suatu individu oleh tatanan hukum untuk melakukan tindakan

    tertentu. Jadi dapat dikatakan bahwa kewenangan untuk melakukan

    tindakan hanya diberikan pada individu tertentu yang diberikan oleh

    tatanan hukum untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan hukum itu

    sendiri. Dalam hal ini kewenangan melakukan analisis dan pemeriksaan

    terhadap transaksi keuangan mencurigakan yang dimiliki oleh lembaga

    31 Ibid., Hal. 98-99

    32

    Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung: Nusa Media, Hal. 165-167.

  • 20

    negara seperti PPATK merupakan kewenangan yang diatur oleh

    peraturan perundang-undangan.

    C. Teori Politik Hukum

    Upaya pencegahan maupun pemberantasan tindak pidana

    pencucian uang tidak terlepas dari politik hukum yang ada. Secara

    etimologis istilah politik hukum berasal dari Bahasa Belanda rechtspolitiek

    yang merupakan bentukan dati kata recht dan politiek. Menurut Moh.

    Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi

    tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum

    baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai

    tujuan negara. Sehingga politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-

    hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum

    yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuaannya

    dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam

    Pembukaan UUD NRI 1945.33

    Menurut Padmo Wahjono, politik hukum merupakan kebijakan

    penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah,

    bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang

    dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu. Dengan demikian politik

    hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius

    33 Moh. Mahfud MD, 2010, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, Hal. 1.

  • 21

    constituendum).34 Berbeda dengan Padmo Wahjono Teuku Mohammad

    Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak

    penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan

    mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Definisi ini

    mencakup ius constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah negara

    pada saat ini dan ius constituendum atau hukum yang akan atau

    seharusnya diberlakukan di masa mendatang.35

    Pengertian politik hukum menurut Soedarto yaitu, usaha untuk

    mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan

    situasi pada suatu waktu. Adapun pengertian politik hukum menurut

    Sartjipto Rahardjo yaitu sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak

    dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam

    masyarakat.36 Menurut Sartjipto Rahardjo terdapat beberapa pertanyaan

    mendasar yang muncul dalam studi politik hukum yaitu:37

    a. Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang

    ada

    b. Cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk

    bisa dipakai mencapai tujuan tersebut

    c. Kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara

    bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan, dan

    34 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2011, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta:

    Rajawali Pers. Hal. 26.

    35 Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,

    Jakarta: Rajawali Pers, Hal. 13.

    36 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.Cit, Hal. 27-28.

    37

    Ibid., Hal. 29.

  • 22

    d. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang

    bisa membantu kita memutuskan proses pemilihan tujuan serta

    cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.

    Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara politik hukum nasional

    secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang

    hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu

    pemerintahan negara tertentu. Pengertian politik hukum juga dikemukakan

    Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. Menurut Imam Syaukani dan A.

    Ahsin Thohari, politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara

    negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang

    bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

    tujuan negara yang dicita-citakan.38

    Menurut Sunaryati Hartono, faktor-faktor yang akan menentukan

    politik hukum tidak semata-mata ditentukan ditentukan oleh apa yang

    dicita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi

    atau para teoritisi belaka, akan tetapi ikut ditentuakan pula oleh kenyataan

    serta perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan

    hukum internasional.39

    Kebijakan politik hukum juga meliputi kebijakan politik hukum

    pidana. Mengenai kebijakan atau politik hukum pidana tersebut,

    38 Ibid., Hal. 30-32.

    39

    Ibid., Hal. 33.

  • 23

    sebagaimana yang dikemukakan oleh A. Mulder tentang

    “strafrechtspolitiek” yaitu garis kebijakan untuk menentukan:40

    a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan tindak pidana yang berlaku

    perlu diubah atau diperbaharui;

    b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak

    pidana;

    c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan

    pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

    Begitupula dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang,

    upaya pemerintah dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan

    tindak pidana pencucian uang terlihat dari dengan dibentuknya Undang-

    Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

    sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun

    2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002

    tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian digantikan

    dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan

    Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Upaya perubahan dan

    pergantian undang-undang tersebut dalam rangka memperbaiki peraturan

    perundang-undangan yang mengatur tentang pencegahan dan

    pemberantasan tindak pidana pencucian uang agar sesuai dengan kondisi

    dan hukum yang dicita-citaka oleh masyarakat sekaligus merupakan

    40 Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta:

    Rajawali Pers, Hal. 27.

  • 24

    kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai bukti keseriusan

    dalm pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

    D. Penegakan Hukum

    Permasalahan penyidikan tindak pidana pencucian uang oleh

    penyidik tindak pidana asal tidak lain merupakan bagian dari pelaksanaan

    tugas dan fungsinya dalam rangka penegakan hukum pemberantasan

    tindak pidana pencucian uang. Maka dalam hal ini penulis menggunakan

    teori dari Lawrence M. Friedman yang mengemukakan bahwa, efektif

    dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung dari unsur sistem

    hukum, yakni struktur hukum (structure of law), substansi hukum

    (substance of law), dan budaya hukum (legal culture).

    Struktur hukum yang dimaksudkan adalah bagaimana hukum itu

    ditata, sedangkan substansinya lebih difokuskan pada apa yang

    dijalankan oleh sistem hukum itu, dan bagaimana sistem hukum itu

    dijalankan dan kita nantinya pasti akan sadar terhadap budaya hukum

    tentang pemikiran dan kekuatan diluar mesin hukum yang membuat

    sistem hukum itu berhenti dan bergerak.41 Jadi struktur adalah kerangka

    atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi

    semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Struktur dalam

    sistem hukum di Indonesia termasuk didalamnya struktur institusi institusi

    penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Misalnya,

    kita berbicara tentang hirarki peradilan umum di Indonesia, mulai dari yang

    41 Lawrence M Friedman, 1984, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, Terjemahan

    Wishnu Basuki, Jakarta: PT.Tata Nusa, Hal. 7.

  • 25

    terendah adalah pengadilan negeri, hingga yang terpuncak adalah

    Mahkamah Agung Republik Indonesia. Juga termasuk unsur struktur;

    jumlah dan jenis pengadilan, yurisdiksinya (yaitu jenis kasus yang

    berwenang mereka periksa, serta bagaimana serta mengapa), jumlah

    hakim agung dan hakim lainnya . Jelasnya struktur bagaikan foto diam

    yang menghentikan gerak “a kind of still photograph, which freezes the

    action”.42

    Substansi hukum menurut Friedman adalah aturan, norma, dan

    pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga

    berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem

    hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru

    yang mereka susun.Substansi juga mencakup living law (hukum yang

    hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang

    atau law in books. 43 Adapun kultur hukum menurut Freidman adalah

    sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai

    pemikiran serta harapannya.44

    Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak

    menjadi penentu jalannya proses hukum. Jadi, dengan kata lain, kultur

    hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang

    menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau

    disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak

    berdaya seperti ikan mati yang terkapar dikeranjang dan bukan seperti

    42 Achmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom & Artikel Pilihan

    Dalam Bidang Hukum, Jakarta: Kencana, Hal.9.

    43 Lawrence M Friedman, 1984, Op.Cit. Hal.7.

    44

    Ibid., Hal. 8.

  • 26

    ikan hidup yang berenang dilautnya.45 Secara singkat cara lain untuk

    menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah:46

    1. Struktur diibaratkan sebagai mesin.

    2. Substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh

    mesin itu.

    3. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang

    memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu,

    serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.

    E. Penyidikan

    Pengertian Penyidikan dinyatakan dalam Pasal 1 Butir 2 kitab

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

    (KUHAP) yakni dalam Bab I mengenai penjelasan umum, yaitu:

    “Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan

    pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-

    undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan

    bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi

    sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak

    pidananya.”

    Unsur-Unsur yang terkandung dalam rumusan Pasal 1 Butir (2)

    KUHAP:

    a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang berarti

    tindakan-tindakan saling berkaitan satu sama lainnya.

    b. Penyidikan dilakukan oleh penyidik

    45 Achmad Ali , 2008, Op.Cit. Hal .11.

    46

    Ibid.

  • 27

    c. Penyidikan dilakukan dengan cara yang diatur dalam undang-

    undang

    d. Penyidikan bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti,

    dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak

    pidana yang terjadi sekaligus menemukan tersangkanya atau

    pelaku tindak pidananya.

    Pengertian Penyidik dijelaskan dalam rumusan Pasal 1 Butir 1

    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu: “Penyidik adalah

    pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri

    sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk

    melakukan penyidikan.” Penyidikan diawali dengan adanya bahan

    masukan suatu tindak pidana. sumber bahan masukan suatu tindak

    pidana berupa pengetahuan atau persangkaan telah terjadinya suatu

    perbuatan pidana dapat diperoleh penyidik dari berbagai sumber, yaitu

    dari:47

    a. laporan b. pengaduan c. tertangkap tangan d. diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari hasil

    penyelidikan

    Penyidik berkewajiban untuk segera melakukan tindakan

    penyidikan apabila mengetahui, menerima laporan, atau pengaduan

    tentang terjadinya suatu peristiwa pidana yang patut diduga sebagai suatu

    47 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT Citra

    Aditya bakti, Hal. 60-61.

  • 28

    perbuatan pidana, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 106

    KUHAP.

    “Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.”

    Apabila penyidik mengetahui sendiri bahwa telah terjadi suatu

    perbuatan pidana, dengan sendirinya ia wajib melakukan tindakan

    penyidikan yang diperlukan, seperti melakukan tindakan pertama di

    tempat kejadian, menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa

    tanda pengenalnya, melakukan penangkapan, penahanan, dan

    sebagainya sesuai dengan kewenangan penyidik yang tertuang dalam

    ketentuan Pasal 7 Ayat (1) KUHAP, sebagai berikut:

    Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :

    a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

    b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

    c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

    d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

    e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

    tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam

    hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

    bertanggung jawab.

    Penerimaan laporan atau pengaduan bahwa telah terjadi suatu

    peristiwa yang diduga sebagai suatu perbuatan pidana, maka sebelum

  • 29

    dilakukan tindakan hukum berupa pemanggilan atau upaya paksa,

    hendaknya penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti terlebih

    dahulu untuk meyakinkan bahwa peristiwa tersebut merupakan perbuatan

    pidana. selain laporan atau pengaduan seseorang atau masyarakat

    tentang adanya tindak pidana, sumber bahan masukan lain dapat berasal

    dari hasil pengetahuan aparat penegak hukum itu sendiri, yaitu dari

    penyelidikan oleh penyelidik.48

    Pasal 7 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara, Pidana

    Penyidik pegawai negeri sipil tertentu mempunyai wewenang sesuai

    dengan undang-undang hukumnya masing-masing dan dalam

    pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan

    penyidik Polri. Adapun Penyidik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

    2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

    Uang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 74, yaitu:

    “Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.”

    Penjelasan ketentuan Pasal 74 dalam Undang-Undang Nomor 8

    Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

    Pencucian Uang menjelaskan bahwa:

    “Yang dimaksud dengan "penyidik tindak pidana asal" adalah

    pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan

    untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik

    Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

    48 Ibid., Hal. 61.

  • 30

    Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak

    dan. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan

    Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan

    penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan

    bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian

    Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai

    kewenangannya.”

    Tindak pidana pencucian uang mempunyai tindak pidana asal

    (predicate crime) sehingga dalam ketentuan Pasal 74 dan penjelasannya

    penyidik merupakan penyidik tindak pidana asal yang berasal dari instansi

    yang ditentukan oleh Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

    Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu, penyidik dari,

    Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan

    Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal

    Pajak dan. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan

    Republik Indonesia.

    F. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

    1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

    Pencucian uang atau Money Laundering merupakan kejahatan

    yang berupa upaya untuk menyembunyikan asal-usul uang sehingga

    dapat dipergunakan sebagai uang yang diperoleh secara legal.49

    Dalam Black’s Law Dictionary, money laundering diartikan sebagai

    berikut:

    49 Iman Sjahputra, 2006, Money Laundering (Suatu Pengantar), Jakarta: Harvarindo,

    Hal. 2.

  • 31

    “term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that it’s original sources can not be traced. Money laundering is a federal crime; 18 USCA 1956.” Hal tersebut menunjukkan bahwa pencucian uang atau (money

    laundering) adalah penyetoran/ penanaman uang atau bentuk lain dari

    pemindahan/ pengalihan uang yang berasal dari pemerasan, transaksi

    narkotika, dan sumber-sumber lain yang ilegal melalui saluran legal,

    sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat diketahui/dilacak. Dari

    terminologi dalam Black’s Law Dictionary tersebut dapat diketahui

    bahwa berbagai bentuk dana “uang kotor” berasal dari kegiatan-

    kegiatan atau transaksi menyimpang, seperti hasil pemerasan,

    penghindaran pajak, bisnis perjudian, korupsi, komisi, pungli, sogokan,

    penyelundupan, serta perdagangan gelap narkotika dan obat

    terlarang.50

    Bambang Setijoprodjo mengutip pendapat dari M. Giovanoli dan

    Mr. J. Koers masing-masing berpendapat sebagai berikut:51

    a. Money laundering merupakan suatu proses dan dengan cara seperti itu, maka asset yang diperoleh dari tindak pidana dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga asset tersebut seolah berasal dari sumber yang sah (legal).

    b. Money laundering merupakan suatu cara untuk mengedarkan hasil kejahatan ke dalam suatu peredaran uang yang sah dan menutupi asal-usul uang tersebut.

    50 Juni Sjafrien Jahja, 2012, Melawan Money laundering (mengenal, mencegah, &

    memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang), Jakarta: Visimedia, Hal. 3-4.

    51 Arief Amrullah, 2004, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, Malang:

    Bayumedia Publishing, Hal. 9-10.

  • 32

    Adapun ketentuan mengenai tindak pidana pencucian uang

    diatur dalam UU PPTPPU yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, dan

    Pasal 5 UU PPTPPU. Ketentuan Pasal 3 sebagai berikut:

    “Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

    Pasal 4 UU PPTPPU, menyatakan sebagai berikut:

    “Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hakhak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

    Pasal 5 UU PPTPPU, menyatakan sebagai berikut:

    “Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan basil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

  • 33

    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

    bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan

    sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.52

    2. Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang

    Pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke

    dalam tiga tahap kegiatan yaitu placement, layering. dan integration.

    Ketiga tahapan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:53

    1. Placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain : (a) menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan; (b) menyetorkan uang pada PJK sebagai pemba-yaran kredit untuk mengaburkan adit trail; (c) menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain; (d) membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan; dan (e) membeli barangbarang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghar-gaan/hadiah kepada pihak lain yang pemba-yarannya dilakukan melalui PJK.

    2. Layering adalah upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain: (a) transfer dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara; (b) penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk

    52 Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

    Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    53 Muhammad Yusuf dkk. 2011. Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan

    Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reports Program (NLPR), Hal. 15-16.

  • 34

    mendukung transaksi yang sah; dan (c) memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company.

    3. Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.

    Transaksi keuangan mencurigakan merupakan salah satu

    indikasi tahapan layering yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana

    pencucian uang. Pelaku melakukan transaksi dengan memindahkan

    sejumlah uang atau placement. Transaksi keuangan tersebut patut

    dicurigai apabila menyimpang dari profil, karakteristik, ataupun

    kebiasan pola transaksi dari penguuna jasa bersangkutan atau apabila

    transaksi tersebut memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 Angka (5) UU

    PPTPPU.

    G. Tinjauan Umum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

    Keuangan (PPATK)

    1. Sejarah Pembentukan PPATK

    PPATK pada awalnya dibentuk berdasarkan Undang-Undang

    Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

    sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun

    2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002

    tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan diadakan pergantian

    dengan UU PPTPPU. Undang-Undang ini memiliki kaitan dengan

    upaya pemberantasan korupsi karena upaya untuk menyembunyikan

  • 35

    atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari

    tindak pidana yang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002

    tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. PPATK dalam Pasal 1 angka

    2 UU PPTPPU adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

    Keuangan yang disingkat PPATK adalah lembaga independen yang

    dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana

    pencucian uang.

    Adapun sejarah pembentukan PPATK sebagai berikut: 54

    Pada Tahun 1988, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan Konvensi tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Ilegal Narkotika, Obat-obatan Berbahaya dan Psikotropika (The United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substance of 1988). Konvensi ini merupakan konvensi pertama yang pertama kali mendefinisikan money laundering sehingga dianggap sebagai tonggak berdirinya rezim hukum internasional anti pencucian uang.

    Pada Tahun 1990 Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) mengeluarkan 40 recommendations sebagai suatu kerangka yang komprehensif untuk memerangi kejahatan money laundering. Pada Tahun 1995, Sejumlah Unit Intelijen Keuangan (Financial Intelligence Unit) dalam pertemuan di Egmont Arenberg Palace, Brussel memutuskan untuk mendirikan sebuah kelompok informal yang bertujuan untuk memfasilitasi kerja sama internasional. Saat ini dikenal sebagai Egmont Group of Financial Inteligence Unit (FIUs). Egmont Group bertemu secara teratur untuk menemukan cara untuk bekerja sama, terutama di bidang informasi, pelatihan pertukaran dan berbagi keahlian.

    Pada Tahun 1997 Didirikan The Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) yang merupakan organisasi internasional otonom dan kolaboratif di Bangkok, Thailand. Saat ini memiliki 41 personil dan sejumlah international and regional observers. Indonesia meratifikasi The UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of

    54 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (Indonesian Financial

    Transaction Reports And Analysis Centre), 2012, Sejarah PPATK, http://www.ppatk.go.id/pages/view/13, Diakses pada tanggal 4 Juli 2012.

    http://www.ppatk.go.id/pages/view/13

  • 36

    1988 yang kemudian melalui UU No.7 Tahun 1997. Setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-Iangkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius.

    Pada Tahun 2000 Indonesia menjadi personil Asia Pasific Group on Money Laundering. Pada Tahun 2001 Pada tanggal 18 Juni 2001 Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Know Your Customer yang mewajibkan lembaga keuangan untuk melakukan identifikasi nasabah, memantau profil transaksi dan mendeteksi asal-usul dana.

    Sejak bulan Juni 2001 Indonesia bersama sejumlah negara lain dinilai kurang kooperatif dan dimasukkan ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Predikat sebagai NCCTs diberikan kepada suatu negara atau teritori yang dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global memerangi kejahatan money laundering. Pada bulan Oktober 2001 FATF mengeluarkan 8 Special Recommendations untuk memerangi pendanaan terorisme atau yang dikenal dengan counter terrorist financing. Pada Tahun 2002 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang secara tegas mengamanatkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

    Tahun 2005 Februari 2005, Indonesia berhasil keluar dari daftar hitam Non Cooperative Countries and Territories oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Tahun 2006 Pada tanggal 8 November 2006, Yunus Husein diangkat kembali sebagai Kepala PPATK untuk masa jabatan 2006-2010. Kepala PPATK Yunus Husein, terpilih sebagai Co-Chair (Ketua Bersama) APG menggantikan Mr. Nobuyoshi Chihara (President JAFIO) Jepang. Yunus Husein secara aklamasi menjabat sebagai Co-Chair APG periode 2006-2008 bersama-sama dengan Mr Mick Keelty, Kepala Kepolisian Federal Australia (Australian Federal Police/AFP).

    Tahun 2010 Pada tanggal 13 Januari 2010 Initial draft dan naskah akademik Rancangan Undang-undang Pendanaan Terorisme telah disampaikan oleh Kepala PPATK kepada Menkumham

    Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003,

  • 37

    disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2010. Undang-undang ini mengakomodir berbagai ketentuan dan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme atau yang dikenal “FATF Revised 40+9 Recommendations”.

    Tahun 2011 Kepala PPATK Yunus Husein, Wakil Kepala bidang Administrasi Wahyu Hidayat, Wakil Kepala bidang Riset Analisis dan Kerjasama Antar Lembaga Gunadi, dan Wakil Kepala bidang Teknologi Informasi Erman Suherman berakhir masa tugas dan pengabdiannya. berdasarkan Keputusan Presiden nomor 160/M tahun 2011 tanggal 20 Oktober 2011. Berdasarkan Keppres tersebut pula, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Muhammad Yusuf sebagai Kepala PPATK dan menunjuk Agus Santoso sebagai Wakil Kepala PPATK. Sesuai dengan Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK dipimpin oleh seorang kepala dan seorang wakil kepala, sedangkan menurut undang-undang yang lama kepala PPATK dibantu dengan empat orang wakil kepala.

    Berdasarkan kedudukannya, PPATK dalam melaksanakan

    tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur

    tangan dan pengaruh kekuasaan manapun.55 PPATK bertanggung

    jawab kepada presiden.56 PPATK wajib menolak dan/atau

    mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam

    rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya.57

    2. PPATK sebagai Lembaga Independen

    Berdasarkan kedudukannya, PPATK dalam melaksanakan

    tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur

    tangan dan pengaruh kekuasaan manapun.58 PPATK bertanggung

    55 Pasal 37 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

    Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    56 Ibid., Pasal 37 Ayat (2).

    57

    Ibid., Pasal 37 Ayat (4).

    58 Ibid., Pasal 37 Ayat (1).

  • 38

    jawab kepada presiden.59 PPATK wajib menolak dan/atau

    mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam

    rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya.60 Sebagaimana visi

    PPATK yaitu, “menjadi lembaga independen di bidang informasi

    keuangan yang berperan aktif dalam pencegahan dan pemberantasan

    tindak pidana pencucian dan pendanaan teroris”.

    PPATK sebagai lembaga independen melaksanakan tugas dan

    kewenangannya secara bebas dari intervensi dan pengaruh dari pihak

    manapun dalam rangka mencegah dam memberantas tindak pidana

    pencucian uang dan pendanaan teroris. Setiap pihak tidak boleh

    melakukan segala bentuk campur tangan yang mengakibatkan

    berkurangnya independensi PPATK dalam melaksanakan tugas dan

    kewenangannya. Sebagai lembaga independen di bidang informasi

    keuangan, PPATK diharapkan dapat meningkatkan efektifitas

    pengelolaan informasi di bidang keuangan yang bersifat rahasia terkait

    dengan dugaan adanya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan

    teroris untuk kepentingan penegakan hukum.

    3. Struktur Organisasi PPATK

    PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya

    sebagaimana lembaga lainnya memiliki susunan organisasi yang diatur

    dalam UU PPTPPU dan Peraturan Presiden Republik Indonesia

    Nomor 48 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat

    59 Ibid., Pasal 37 Ayat (2).

    60

    Ibid., Pasal 37 Ayat (4).

  • 39

    Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sebagai peraturan

    pelaksanaan. Adapun susunan organisasi yang terdiri dari Kepala

    PPATK, Wakil Kepala PPATK, Sekretariat Utama, Deputi Bidang

    Pencegahan, Deputi Bidang Pemberantasan, Pusat Teknologi

    Informasi, Inspektorat, Jabatan Fungsional.61

    Susunan organisasi PPATK, dapat dijabarkan sebagai berikut:

    a. Kepala PPATK adalah penanggung jawab yang memimpin

    dan mengendalikan pelaksanaan tugas, fungsi, dan

    wewenang PPATK. Kepala PPATK mewakili PPATK di

    dalam dan di luar pengadilan. Kepala PPATK dapat

    menyerahkan kewenangan mewakili kepada Wakil Kepala

    PPATK, seseorang atau beberapa pegawai PPATK,

    dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk itu.62

    b. Wakil PPATK bertugas membantu Kepala PPATK. Wakil

    Kepala PPATK dalam melaksanakan tugas tersebut

    bertanggung jawab kepada Kepala PPATK. Dalam hal

    Kepala PPATK berhalangan Wakil Kepala PPATK

    bertanggung jawab memimpin dan mengendalikan

    pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang PPATK.63

    c. Sekretariat Utama adalah unsur pembantu Kepala PPATK

    yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

    61 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2012 tentang Organisasi

    dan Tata Kerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Pasal 5.

    62 Ibid., Pasal 6.

    63

    Ibid., Pasal 7

  • 40

    Kepala PPATK. Sekretariat Utama dipimpin oleh Sekretaris

    Utama.64 Sekretariat Utama mempunyai tugas

    melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan

    dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit

    organisasi di lingkungan PPATK.65 Dalam melaksanakan

    tugas tersebut Sekretariat Utama menyelenggarakan

    fungsi:66

    1) Koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi seluruh kegiatan di

    lingkungan PPATK;

    2) Koordinasi dan penyusunan rencana dan program di

    lingkungan PPATK;

    3) Pembinaan dan pemberian dukungan administrasi yang

    meliputi ketatausahaan, sumber daya manusia,

    keuangan, organisasi dan ketatalaksanaan,

    kerumahtanggaan, arsip dan dokumentasi di lingkungan

    PPATK;

    4) Penyelenggaraan pengelolaan barang milik/kekayaan

    negara; dan

    5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala

    PPATK.

    64 Ibid., Pasal 8.

    65

    Ibid., Pasal 9.

    66 Ibid., Pasal 10.

  • 41

    Sekretariat Utama terdiri atas paling banyak 3 (tiga)

    Biro. (2) Biro terdiri atas paling banyak 3 (tiga) Bagian.67

    d. Deputi Bidang Pencegahan adalah unsur pelaksana

    sebagian tugas dan fungsi PPATK yaitu di bidang

    pencegahan tindak pidana pencucian uang dan di bidang

    hukum yang berada di bawah bertanggung jawab kepada

    Kepala PPATK. Deputi Bidang Pencegahan dipimpin oleh

    Deputi.68 Deputi Bidang Pencegahan mempunyai tugas

    merumuskan, melaksanakan, dan mengoordinasikan

    pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan tindak pidana

    pencucian uang dan di bidang hukum.69 Dalam

    melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Deputi

    Bidang Pencegahan menyelenggarakan fungsi:70

    1) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pencegahan

    tindak pidana pencucian uang dan di bidang hukum;

    2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan

    tindak pidana pencucian uang dan di bidang hukum;

    3) Pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan tindak

    pidana pencucian uang dan di bidang hukum; dan

    4) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala

    PPATK.

    67 Ibid., Pasal 11.

    68

    Ibid., Pasal 12.

    69 Ibid., Pasal 13.

    70

    Ibid., Pasal 14.

  • 42

    Deputi Bidang Pencegahan terdiri atas paling banyak 3

    (tiga) Direktorat. Direktorat terdiri atas kelompok jabatan

    fungsional yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan.71

    e. Deputi Bidang Pemberantasan adalah unsur pelaksana

    sebagian tugas dan fungsi PPATK yaitu di bidang

    pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang berada

    di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala PPATK

    Deputi Bidang Pemberantasan dipimpin oleh Deputi.72

    Deputi Bidang Pemberantasan mempunyai tugas

    merumuskan, melaksanakan, dan mengoordinasikan

    pelaksanaan kebijakan di bidang pemberantasan tindak

    pidana pencucian uang.73 Dalam melaksanakan tugas

    tersebut. Deputi Bidang Pemberantasan menyelenggarakan

    fungsi:74

    1) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang

    pemberantasan tindak pidana pencucian uang;

    2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang

    pemberantasan tindak pidana pencucian uang;

    3) Pelaksanaan kebijakan di bidang pemberantasan tindak

    pidana pencucian uang; dan

    71 Ibid., Pasal 15.

    72

    Ibid., Pasal 16.

    73 Ibid., Pasal 17.

    74

    Ibid., Pasal 18.

  • 43

    4) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala

    PPATK.

    Deputi Bidang Pemberantasan terdiri atas paling

    banyak 3 (tiga) Direktorat. Direktorat terdiri atas kelompok

    jabatan fungsional yang jumlahnya disesuaikan dengan

    kebutuhan.75

    f. Inspektorat adalah unsur pengawasan di lingkungan PPATK

    yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

    Kepala PPATK. Inspektorat dipimpin oleh Inspektur.76

    Inspektorat mempunyai tugas melaksanakan pengawasan

    intern di lingkungan PPATK.77 Dalam melaksanakan tugas

    tersebut Inspektorat menyelenggarakan fungsi:78

    1) Penyiapan perumusan kebijakan pengawasan intern;

    2) Pelaksanaan pengawasan intern terhadap kinerja dan

    keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan

    kegiatan pengawasan lainnya;

    3) Pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas

    penugasan Kepala PPATK;

    4) Penyusunan laporan hasil pengawasan; dan

    5) Pelaksanaan administrasi Inspektorat.

    75 Ibid., Pasal 19.

    76

    Ibid., Pasal 20.

    77 Ibid., Pasal 21.

    78

    Ibid., Pasal 22.

  • 44

    Inspektorat terdiri atas 1 (satu) Subbagian Tata Usaha

    dan kelompok jabatan fungsional auditor.79

    g. Pusat Teknologi Informasi adalah unsur penunjang tugas

    dan fungsi PPATK yang berada di bawah dan bertanggung

    jawab kepada Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis

    Transaksi Keuangan. Pusat Teknologi Informasi dipimpin

    oleh Kepala PPATK.80 Pusat Teknologi Informasi

    mempunyai tugas melaksanakan pengembangan dan

    pengelolaan data serta menyelenggarakan sistem informasi

    di lingkungan PPATK.81 Dalam melaksanakan tugas

    tersebut, Pusat Teknologi Informasi menyelenggarakan

    fungsi:82

    1) Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program di

    bidang pengembangan, pengelolaan data, dan

    penyelenggaraan sistem informasi;

    2) Pelaksanaan tugas di bidang pengembangan,

    pengelolaan data, dan penyelenggaraan sistem

    informasi;

    3) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan

    tugas di bidang pengembangan, pengelolaan data, dan

    penyelenggaraan sistem informasi; dan

    79 Ibid., Pasal 23.

    80

    Ibid., Pasal 24.

    81 Ibid., Pasal 25.

    82

    Ibid., Pasal 26.

  • 45

    4) Pelaksanaan administrasi Pusat Teknologi Informasi.

    Pusat Teknologi Informasi terdiri atas 1 (satu)

    Subbagian Tata Usaha, 2 (dua) Bidang, dan kelompok

    jabatan fungsional.83

    h. Kepala PPATK dapat mengangkat Tenaga Ahli paling

    banyak 5 (lima) orang untuk memberikan pertimbangan

    mengenai masalah tertentu sesuai dengan bidang

    keahliannya. Tenaga Ahli berada di bawah dan bertanggung

    jawab kepada Kepala PPATK.84

    H. Kewenangan PPATK

    PPATK dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan

    pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang, PPATK mempunyai

    kewenangan sebagai berikut:85

    1) Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf (a), PPATK berwenang: a. Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi

    pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/ atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;

    b. Menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan;

    c. Mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait;

    d. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang;

    83 Ibid., Pasal 27.

    84

    Ibid., Pasal 28.

    85 Pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

    Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

  • 46

    e. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;

    f. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang; dan

    g. Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.

    2) Penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf (a) dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.

    3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta. sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf (a) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Dala