dalam pembangunan hukum pidana nasional … · dr. ahmad rofiq, ma (penguji eksternal) 4. prof. dr....
TRANSCRIPT
PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA
NASIONAL BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT
DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
RINGKASAN DISERTASI
Disusun Guna Memenuhi Syarat
untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum
Oleh:
ACHMAD IRWAN HAMZANI
NIM 1101011500001
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
ii
TIM PEMBIMBING DISERTASI
Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum
Promotor
Dr. Rohidin, M.Ag
Co Promotor
iii
SUSUNAN MAJELIS PENGUJI
PADA SIDANG UJIAN PROMOSI DOKTOR
Ketua : Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH, MH, CN.
Sekretaris : Prof. Dr. Rahayu, SH, M.Hum
Anggota :
1. Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum (Promotor)
2. Dr. Rohidin, M.Ag (Co Promotor)
3. Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA (Penguji Eksternal)
4. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH (Penguji)
5. Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH, MH (Penguji)
6. Dr. R.B. Sularto, SH, M.Hum (Penguji)
7. Dr. Pujiyono, SH, M.Hum (Penguji)
iv
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur ke hadiran Allah Swt. penulis panjatkan,
shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah
Muhammad Saw. Atas pertolongan Yang Maha Menolong-lah
penulisan disertasi ini dapat selesai dengan berbagai kesulitan
dan rintangan tentunya.
Pemilihan tema disertasi ini terdorong untuk ikut
memberikan sumbangan konsep profil hukum pidana nasional
ke depan dengan mengkontribusikan hukum pidana Islam.
Ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana Islam seperti qişâş-
diyat secara filosofis lebih menjanjikan dapat memberikan
manfaat dan kepastian keadilan sebagaimana tujuan utama
dalam hukum pidana. Menurut hukum yang berlaku di
Indonesia, yang berhak melaksanakan proses pemidanaan
adalah penguasa, korban tidak dilibatkan. Akibat korban tidak
dillibatkan, dalam pelaksanaan pidana banyak menimbulkan
masalah bagi korban, misalnya korban merasa tidak mendapat
perlindungan dari Negara dan tidak puas karena kerugian yang
diderita korban tidak tergantikan. Untuk tindak pidana
menghilangkan nyawa orang lain/penganiayaan, proses hukum
tanpa melibatkan korban atau keluarganya tentu tidak akan
memberikan keadilan kepada korban atau keluarganya.
v
Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan dan
menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama dengan
keadilan menurut korban. Model pemidanaan demikian perlu
untuk dikaji kembali. Sebab untuk tindak pidana terhadap
nyawa, keadilan tidak dapat terwujud tanpa memperhatikan
korban atau keluarganya, dan harmoni dalam masyarakat tidak
dapat dikembalikan. Penyelesaian perkara pidana yang lebih
adil adalah dengan cara melibatkan semua orang yang terkait
dengan tindak pidana tersebut. Model seperti ini di Indonesia
telah dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu
musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku
untuk tindak pidana qişâş-diyat melalui perdamaian (şulh) dan
mirip dengan pendekatan restorative justice yang saat ini
menjadi wacana global untuk diterapkan dalam menyelesaikan
perkara pidana.
Penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini tidak
akan selesai tanpa adanya bantuan baik secara langsung
maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh karena ini,
dengan kerendahan dan ketulusan hati, penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah
memberikan Beasiswa BPPS kepada penulis.
vi
2. Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)
Kementerian Keuangan RI yang telah memberikan hibah/
beasiswa disertasi kepada penulis.
3. Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah yang telah
memberikan rekomendasi kepada penulis untuk
mendapatkan Beasiswa BPPS.
4. Rektor Universitas Diponegoro, Direktur Program
Pascasarjana Universitas Dipoengoro, dan Dekan Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
5. Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, Prof. Dr. Fx. Adji Samekto, SH, M.Hum, dan
segenap pengelola yang yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi dan
memberikan layanan akademik dan administrasi dengan
baik.
6. Tim pembimbing disertasi; Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum,
selaku Promotor, dan Dr. Rohidin, M.Ag, selaku Co
Promotor yang telah berkenan meluangkan waktunya
untuk memberikan arahan, masukan dan koreksi dalam
penulisan disertasi ini.
vii
7. Tim Penguji Disertasi; Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH,
MH, CN., Prof. Dr. Rahayu, SH, M.Hum, Prof. Dr. Ahmad
Rofiq, MA, Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Prof. Dr.
Nyoman Serikat Putra Jaya, SH, MH, Dr. R.B. Sularto,
SH, M.Hum, Dr. Pujiyono, SH, M.Hum, yang telah
memberikan masukan dan koreksi untuk penyempurnaan
disertasi ini.
8. Semua dosen di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro yang telah memberikan ilmunya dan
pencerahan kepada penulis.
9. Rektor Universitas Pancasakti, Prof. Dr. Wahyono, SH,
M.Hum, dan mantan Rektor, Prof. Dr. Tri Jaka Kartana,
M.Si, yang telah memberikan tugas belajar kepada penulis.
10. Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti, Nuridin,
SH, MH, dan mantan Dekan, Dr. Hamidah Abdurrachman,
SH, M.Hum, dan Mukhidin, SH, MH, yang telah
memberikan ijin belajar kepada penulis.
11. Para imforman yang tidak dapat disebutkan satu persatu
12. Semua pihak yang ikut membantu khususnya Dr. Ahwan
Fanani, M.Ag, selaku praktisi mediasi, yang berkenan
meluangkan waktunya untuk berdiskusi terkait dengan
tema restorative justice dan pemaafan dalam hukum pidana
Islam juga meminjamkan kitab-kitab “langka” untuk dicopi
viii
sebagai bahan penulisan disertasi, M. Abdul Kholiq, SH,
MH, yang telah berkenan meluangkan waktu untuk
berdiskusi dan memberikan masukan pada penulis, dan
juga rekan-rekan yang telah membantu memberikan
informasi yang dibutuhkan dalam disertasi ini.
13. Keluarga; isteri penulis, Nur Khasanah, dan putra-putri;
Haidar M. Nijad, Nabila A. Manahil, yang selalu menjadi
penyemangat, dan juga kedua orang tua dan mertua yang
selalu memberikan dorongan doa pada penulis.
Semoga bantuan yang diberikan dapat menjadi amal
shaleh danmendapatkan balasan yang berlipat dari Allah Swt.,
dengan iringan doa jazakumullah ahsanal jaza wa
jazakumullah khairan katsira.
Penulis menyadari, disertasi ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan masukan dan saran untuk perbaikan disertasi ini
menjadi karya yang lebih baik lagi. Namun demikian, penulis juga
berharap agar disertasi ini dapat memberi manfaat.
Semarang, Juli 2015
Penulis,
Achmad Irwan Hamzani
ix
DAFTAR ISI
Hal
Halaman Judul ............................................................. i
Halaman Tim Pembimbing ................................................ ii
Halaman Majelis Penguji ................................................... iii
Halaman Kata Pengantar dan Ucapan Terima Kasih ......... iv
Halaman Daftar Isi ............................................................. ix
A. Latar Belakang ............................................................. 1
B. Permasalahan ............................................................. 3
C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian ................................. 4
D. Proses Penelitian .......................................................... 5
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan ................................. 7
1. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber
Materiil dalam Pembangunan Hukum Pidana
Nasional ............................................................... 7
2. Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum
Pidana Islam terhadap Pembangunan Hukum
Pidana Nasional .................................................... 16
3. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam
Pembangunan Hukum Pidana Nasional Berbasis
Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana
Islam ..................................................................... 32
x
F. Penutup ........................................................................ 49
1. Simpulan ............................................................... 49
2. Saran ..................................................................... 51
3. Implikasi Studi ...................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA
BIODATA PENULIS
1
A. Latar Belakang
Sejak merdeka, bangsa Indonesia mempunyai
keinginan untuk memiliki produk hukum pidana sendiri
mengganti hukum peninggalan Belanda. Berbagai kegiatan
ilmiah yang berskala lokal maupun nasional guna
merumuskan pembentukan hukum nasional sering
dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga
pendidikan tinggi. Para pakar hukum pun banyak yang
telah mengusulkan tentang profil hukum pidana nasional
ke depan.
Pemerintah Indonesia juga telah berupaya membuat
hukum pidana nasional produk sendiri dengan menyusun
Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (RUU KUHP) yang hingga sekarang belum final
dan terus dilakukan perbaikan. Pembangunan sistem
hukum tidak bisa lepas dari politik hukum. Arah politik
hukum di Indonesia dalam pembangunan hukum
cakupannya menyederhanakan pada daftar rencana materi
hukum yang akan dibuat. Rencana pembangunan materi
hukum termuat di dalam Program Legislasi Nasional yang
disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama
Pemerintah.
2
Hukum pidana Islam sebagai bagian dari hukum
Islam penting untuk diperhitungkan sebagai sumber
pembangunan hukum pidana nasional. Secara faktual
hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup (the living
law) dalam masyarakat Indonesia sejak masuknya Islam ke
Nusantara. Hukum pidana Islam dapat diserap sebagai
sumber materiil dalam pembangunan hukum pidana
nasional meskipun tidak semuanya. Untuk ketentuan tindak
pidana pembunuhan dan pelukaan atau penganiayaan dapat
diserap delik maupun sanksinya. Sanksi ganti kerugian
(diyat) yang di dalamnya ada proses perdamaian lebih
sesuai kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Apalagi
masyarakat Indonesia dikenal pemaaf, mengedepankan
kekeluargaan dan musyarawarah dalam menyelesaikan
sengketa. Banyak kasus hukum khususnya yang dalam
KUHP disebut sebagai kelalaian sehingga menyebabkan
nyawa orang lain hilang, dapat diselesaikan secara
kekeluargaan dengan mengganti kerugian. Penyelesaian
tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain dengan
cara perdamaian mirip dengan ketentuan qişâş-diyat dalam
hukum pidana Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa
hukum pidana Islam sedikit banyak telah membentuk
kesadaran hukum masyarakat.
3
Sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia saat
ini hanya berorientasi pada pelaku, sehingga jika
diterapkan untuk tindak pidana terhadap nyawa orang lain,
tidak memberikan keadilan kepada korban atau
keluarganya. Seiring berkembangnya wacana global
tentang perlunya pendekatan restorative justice, maka
pendekatan tersebut perlu diatur dalam RUU KUHP.
Pendekatan restorative justice memberikan perhatian dan
perlindungan terhadap korban atau keluarganya. Pelaku
tindak pidana dapat bertanggung jawab atas perbuatannya
dan mengganti kerugian, korban atau keluarganya
memaafkan serta menerima ganti kerugian, dan hubungan
ke dapan dapat dipulihkan. Hal ini juga ada kemiripan
dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam.
Pidana qişâş (setimpal) dan diyat (ganti rugi) menjadi hak
korban atau ahli warisnya, sehingga dapat memberikan
amnesti (pemaafan) kepada pelaku. Apabila memaafkan,
gugurlah pidana qişâş, diganti dengan diyat (ganti rugi),
bahkan tanpa diyat sama sekali. Ketentuan qişâş-diyat
berorientasi pada perhatian dan perlindungan pada korban,
dan penyelesaiannya melalui perdamaian (şulh).
4
B. Permasalahan
Permasalahan dalam disertasi ini adalah:
1. Bagaimanakah posisi hukum pidana Islam dalam
pembangunan hukum pidana nasional?
2. Bagaimanakah kontribusi ketentuan qişâş-diyat
terhadap pembangunan hukum pidana nasional?
3. Bagaimanakan konstruksi pendekatan restorative
justice dalam pembangunan hukum pidana nasional
berbasis ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana
Islam?
Tiga permasalahan tersebut memiliki lingkup
pembahasan dan analisis yang saling terkait secara
hirarkhis.
C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripkan posisi hukum pidana Islam
dalam pembangunan hukum pidana nasional.
2. Untuk mendeskripsikan kontribusi ketentuan qişâş-
diyat dalam hukum pidana Islam terhadap
pembangunan hukum pidana nasional.
5
3. Untuk mendeskripsikan konstruksi pendekatan
restorative justice dalam pembangunan hukum pidana
nasional berbasis ketentuan qişâş-diyat dalam hukum
pidana Islam.
Penelitian ini signifikan dan dapat memberikan
kontribusi secara praktis dan teoritis.
1. Kontribusi praktis
a. Memberikan dorongan kepada pemerintah,
legislatif, pakar hukum, pakar hukum Islam,
akademisi fakultas hukum dan fakultas syari‟ah
tentang pentingnya mempercepat realisasi
pembentukan hukum pidana nasional.
b. Memberikan masukan kepada pemerintah khususnya
tim perumus RUU KUHP tentang perlunya
pendekatan restorative justice berbasis ketentuan
qişâş-diyat dirumuskan dalam hukum pidana
nasional ke depan.
2. Kontribusi teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan teori bagi
tersusunnya hukum pidana nasional yang memuat
nilai-nilai yang dianut masyarakat khususnya nilai-
nilai agama yang telah menjadi living law.
6
b. Dapat menambah khasanah keilmuan di bidang
ilmu hukum dan hukum Islam.
D. Proses Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang
secara fundamental bergantung dari pengamatan pada
manusia1. Paradigma yang digunakan adalah
konstruktivisme yang operasionalnya menggunakan cara
pandang relativisme dan realitas dilihat sebagai konstruksi
sosial2. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologis
sehingga penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian
hukum sosiologis3. Spesifikasinya termasuk deskriptif-
analitis yaitu untuk membuat pencandraan tentang siatuasi
atau kejadian4 yang disajikan secara naratif. Data dalam
penelitian dikelompokkan sebagai data primer (yang
diperoleh dari pengamatan dan wawancara) dan sekunder
1Lexy J. Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001, hlm. 4.
2Norman K. Denzim dan Yvonna S. Lincoln, Hanbook of Qualitative
Research, Terjemaha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 134-135.
3Zamroni, Pengembangan Pengantar Teori Sosial, Yogyakarta: Tiara
Yoga, 1992, hlm. 80-81.
4Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid II, Yogyakarta: Andi Offset,
1995, hlm. 10.
7
(yang diperoleh melalui penelaahan bahan-bahan pustaka).
Metode analisis5 yang digunakan adalah induksi-
interpretasi-konseptualisasi yaitu dengan melakukan
penyusunan, pengkategorian dalam tema, validasi,
rekonstruksi dan analisis secara induktif kualitatif.
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil
dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional
Pembangunan secara sederhana mengandung
pengertian upaya melakukan perbaikan dari kondisi yang
kurang baik menuju ke arah yang lebih baik. Menurut
pengertian ini pembangunan semakna dengan
pembaharuan (reform)6. Sedangkan hukum pidana nasional
merupakan bagian sistem hukum nasional yang memuat
peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan
larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan
5Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif,
Jakarta: UI Press, 1992, hlm. 22.
6Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana;
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2010,
hlm. 28-29.
8
hukuman berupa siksa badan7. Hukum pidana nasional
adalah hukum yang didasarkan pada landasan ideologi dan
konstitusi negara, yakni Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945)8
yang berlaku secara nasional. Pembangunan hukum pidana
merupakan suatu proses memperbarui hukum positif yang
saat ini berlaku. Prosesnya hingga saat ini masih
berlangsung yang dikemas melalui legislasi.
Memiliki hukum pidana produk sendiri bagi bangsa
Indonesia merupakan upaya menampakkan jati diri bangsa
sesuai dengan harapan dan cita-cita kemerdekaan.
Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
berdasarkan Pancasila. Hal ini merupakan garis kebijakan
umum yang menjadi landasan dan tujuan politik hukum di
Indonesia9.
Teori prasarat fungsional (imperatif-fungsional)
Talcott Parsons dan pengembangannya oleh pemikir lain
dapat menjelaskan tentang urgensi pembangunan hukum
7P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung:
Sinar Baru, 1999, hlm. 2.
8M. Sularno, “Syari‟at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di
Indonesia”, dalam Jurnal al-Mawardi, Edisi XVI, 2006, hlm. 215.
9Qodri Abdillah Azizy, Membangun Integritas Bangsa, Jakarta:
Renaisan, 2004, hlm. 20-21.
9
serta tujuannya yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia. Parsons merumuskan bahwa masyarakat
mencakup sebuah sistem yang luas dan elemen-elemennya
mengisi empat fungsi dasarnya yaitu adaptasi (Adaptation),
melanjutkan tujuan (Goal), integrasi (Integration) dan
memelihara norma-norma (Laten Pattern Maintenance)
atau pendekatan AGIL. AGIL yang dikembangkan Parsons
merupakan nomoteknis dalam mempertimbangkan fungsi-
fungsi sistem sosial. Masing-masing fungsi ini terkait
dengan sebuah sub sistem. Sub sistem ekonomi bertujuan
untuk melakukan adaptasi; sub sistem politik bertanggung
jawab memberi definisi tujuan akhir; sub sistem kultural
(agama dan sekolah) bertugas untuk mendefinisikan dan
memelihara norma-norma dan nilai; sub sistem sosial
(termasuk hukum) bertugas sebagai integrasi sosial10
.
Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-
sistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Hukum
menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama
(rule of the game).
Harry C. Bredemeier mengembangkan teori yang
dirumuskan Parsons tersebut. Hukum menurut Bredemeier
10
Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, Homewood
Illinois: The Dorsey Press, 1975, hlm. 38-39.
10
dapat digunakan sebagai pengintegrasi sosial di dalam
masyarakat. Keserasian antara warga masyarakat dengan
norma yang mengaturnya menciptakan suatu keserasian
dalam hubungan di dalam masyarakat yang bersangkutan11
.
Menjadi hal yang tidak logis apabila hukum pidana yang
diberlakukan di Indonesia adalah hukum yang tidak sesuai
dengan norma-norma atau nilai-nilai yang yang dianut
bangsa Indonesia. KUHP yang merupakan peninggalan
Belanda banyak yang tidak sesuai dengan nilai dan budaya
yang dianut bangsa Indonesia. Apabila hal ini terus
dipaksakan berarti terjadi ketidakserasian dalam hubungan
bermasyarakat. Diperlukan hukum baru yang sesuai
dengan nilai yang dianut bangsa Indonesia yang dapat
disebut hukum Pancasila yang di dalamnya
mengakomodasi hukum-hukum yang berasal dari agama.
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa Indonesia
perlu diimplementasikan khususnya postulat moral kalimat
”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam setiap usaha
pembangunan perundang-undangan nasional. Demikian
halnya dalam pembangunan hukum pidana nasional yang
mendasarkan pada filsafat Pancasila, dalam
11
Bernard T. Tanya, dkk., Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 152-153.
11
pengejawantahannya harus dijiwai nilai-nilai Pancasila
termasuk keseimbangan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa yang dapat digali dari hukum-hukum agama. Perlu
dilakukan penggalian terhadap nilai-nilai hukum agama
yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat
Indonesia. Hukum-hukum dari agama dapat dijadikan
sumber dalam pembangunan hukum pidana nasional.
Hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama
Islam, dan sebagai salah satu dari tiga sistem hukum yang
berlaku di Indonesia, di samping hukum adat dan hukum
Barat, mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam
pembangunan hukum pidana nasional. Sepanjang sejarah
perjalanan hukum di Indonesia, hukum Islam selalu
memperteguh eksistensinya sebagai hukum tertulis maupun
tidak tertulis. Hukum Islam dalam pembangunan hukum
nasional mempunyai dua fungsi; 1) Sebagai hukum positif
yang berlaku hanya bagi pemeluk Islam saja. 2) Sebagai
ekspresi nilai-nilai yang akan berlaku bagi semua warga
negara12
.
12
Muhammad Julijanto, “Implementasi Hukum Islam di Indonesia;
Sebuah Perjuangan Politik Konstitusionalisme”, dalam Makalah
“Conference Procedings Annual International Conference on Islamic
Studies”, Mataram, September 2013, hlm. 78.
12
Dari sisi pelaksanaannya, hukum Islam dapat
digolongkan tiga macam; 1) Dapat dilaksanakan oleh
individu secara langsung tanpa bantuan Negara, seperti
hukum-hukum di bidang peribadatan ritual. 2)
Pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara
dalam kerangka administratif atau pelayanan, seperti
hukum keluarga. 3) Tidak mungkin dapat dilaksanakan
kalau tidak ada campur tangan negara, seperti hukum
pidana13
.
Hukum pidana Islam merupakan bagian dari hukum
Islam yang membahas tentang perbuatan-perbuatan
manusia yang tidak boleh dilakukan (terlarang) dan yang
harus dilakukan, ancaman pidananya, dan
pertanggungjawabannya. Perbuatan-perbuatan yang
termasuk tindak pidana menurut hukum pidana Islam dapat
berbeda penggolongan dan cara peninjauannya. Dilihat dari
segi berat-ringannya ancaman pidana, tindak pidana dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu tindak pidana yang
diancam pidana had (jarimah hudud), tindak pidana yang
diancam pidana qişâş-diyat (jarimah qişâş-diyat) dan
tindak pidana yang diancam pidana ta‟zir (jarimah ta‟zir).
13
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM.
Books, 2007, hlm. 14.
13
Ditinjau berdasarkan karakter khusus tindak pidana, dapat
dibagi menjadi tindak pidana masyarakat (jaraim al-
jama‟ah), tindak pidana perseorangan (jaraim al-afrad),
tindak pidana biasa (jaraim „adiyah) dan tindak pidana
politik (jaraim siyasah)14
.
Hukum pidana Islam pernah diterapkan secara
formal di Nusantara pada zaman kerajaan-kerajaan Islam,
hingga akhirnya dianulir oleh penjajah Belanda. Sepanjang
abad ke-19 di kalangan ahli hukum Hindia Belanda
berkembang pendapat bahwa di Indonesia berlaku hukum
Islam seperti dikemukakan oleh Salomon Keyzer (1823-
1868) dan dikuatkan oleh Lodewijk Williem Christian van
den Berg (1845-1927). Menurut Berg, hukum mengikuti
agama yang dianut seseorang. Jika telah memeluk agama
Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya15
. Orang
Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam
dalam keseluruhan bidangnya sebagai satu kesatuan atau
receptio in complexu.
14
Abd al-Qâdir Audah, al-Tasyrî‟i al-Jinâ‟î al-Islâmî; Muqâranân bi al-
Qânun al-Wadh‟î, Jilid I, Beirut: Muasasah al-Risâlah Litibâah wa al-Nasyr
wa al-Tauzi‟î, 1992, hlm. 79-99.
15Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-11,
2004, hlm. 242.
14
Hukum pidana Islam sangat penting untuk
diperhitungkan dalam pembangunan hukum pidana
nasional sebagai sumber. Karena hukum pidana di
Indonesia menganut unifikasi, yakni hanya satu hukum,
maka hukum pidana Islam posisinya sebagai sumber
materiil atau bahan yang disandingkan dengan sumber atau
bahan lain. Berbeda dengan hukum perdata khususnya
hukum keluarga yang menganut pluralisme hukum, hukum
Islam di bidang perdata dapat menjadi sumber formil.
Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang belum
memiliki bentuk tertentu atau masih berupa bahan sehingga
belum bisa diterapkan. Sedangkan sumber hukum formil
adalah sumber hukum yang telah memiliki bentuk tertentu
sehingga bisa langsung diterapkan16
.
Sebagai sumber materiil, ketentuan-ketentuan yang
ada di dalam hukum pidana Islam dapat diserap meskipun
tidak semuanya, dapat deliknya, pidananya, atau untuk
bagian tertentu keduanya. Untuk tindak pidana
menghilangkan nyawa, dapat diserap deliknya maupun
pidananya. Pidana ganti rugi (diyat) untuk tindak pidana
terhadap nyawa dan penganiayaan, lebih diterima
16
Moh. Mahfud MD., “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari‟ah”,
dalam Jurnal Hukum, No. 1 Vol. 14, Januari 2007, hlm. 15.
15
masyarakat Indonesia dibanding pidana penjara. Secara
metodologis hukum pidana Islam sebagai sumber materiil,
merupakan corak hukum Islam yang menekankan pada
aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ada sebuah kaidah
dalam uşl fiqh; ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu
(apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak boleh
ditinggalkan semuanya)17
. Apabila hukum pidana Islam
tidak dapat menjadi sumber formil, maka menjadi sumber
materiil merupakan posisi yang dapat diterima.
Namun demikian, posisi hukum pidana Islam
sebagai sumber materiil, akan menemui problem internal
maupun eksternal. Problem internalnya adalah apabila
posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil
bersamaan dengan sumber-sumber lain, hukum pidana
tersebut bukan lagi sebagai hukum pidana Islam. Posisi ini
tentu akan sulit diterima oleh umat Islam yang
menghendaki hukum pidana Islam sebagai sumber formiil
dan diterapkan secara total. Tidak ada keterikatan teologis
bagi orang untuk tunduk terhadap hukum tersebut.
Sedangkan problem eksternalnya adalah memungkinkan
17
Muhammad Khayr Haykal, al-Jihâd wa al-Qitâl fi al-Siyâsah al-
Syar‟iyyah, Juz I, Beirut: Dâr al-Bayariq, Cet. II, 1996, hlm. 735.
16
adanya anggapan akan menjadikan hukum pidana Islam
sebagai hukum positif, dan masalah pergumulan antara
hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat dalam wacana
akademik di kalangan pakar hukum, maupun dalam
pergumulan sejarah eksistensinya. Tidak sedikit pandangan
pakar hukum yang tidak mengetahui eksistensi hukum
pidana Islam, dan ada pula yang memandangnya sebagai
subsistem dari hukum adat sehingga harus disesuaikan
dengan hukum adat.
2. Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum
Pidana Islam terhadap Pembangunan Hukum Pidana
Nasional
Tindak pidana (jarimah) qişâş-diyat dalam hukum
pidana Islam merupakan tindak pidana yang diancam
pidana qişâş (setimpal) dan diyat (ganti rugi), untuk tindak
pidana terhadap nyawa dan penganiayaan (pelukaan).
Penentuan pidananya menjadi hak korban atau ahli
warisnya. Korban atau ahli warisnya dapat membatalkan
pidana tersebut dengan memberikan amnesti (pemaafan)
kepada pelaku. Apabila memaafkan, gugurlah pidana qişâş,
diganti dengan diyat (ganti rugi), bahkan tanpa diyat sama
sekali. Apabila pemaafan tersebut tanpa diyat, pemerintah
17
masih berhak menjatuhkan pidana ta‟zir kepada pelaku.
Tindak pidana qişâş-diyat bersifat perseorangan dan lebih
banyak menyentuh kehidupan serta fisik korban daripada
menyentuh kehidupan masyarakat, sehingga penentuan
pidananya menjadi hak korban18
.
Untuk mempermudah penjelasan tentang pidana
qişâş-diyat dan jenis pidananya dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Tabel 1
Tindak Pidana Qişâş-Diyat dan Sanksi Pidananya
18
Audah, Jilid I, op.cit., hlm. 613.
No
Tindak
Pidana Sanksi Pidana Hak Pidana
Pokok Pengganti Tambahan
1 Pembunuhan
Sengaja
Qişâş Diyat
Ta‟zir
(Tanpa
Diyat)
Pencabutan hak
waris dan wasiat
Ahli Waris
Korban
2 Pembunuhan
Menyerupai
Sengaja
Diyat
Kifarat
Ta‟zir
(Tanpa
Diyat)
Pencabutan hak
waris dan wasiat
Ahli Waris
Korban
3 Pembunuhan
karena
Kesalahan
Diyat
Kifarat
- Pencabutan hak
waris dan wasiat
Ahli Waris
Korban
4 Pelukaan
Sengaja
Qişâş Diyat
Ta‟zir
(Tanpa
Diyat)
- Korban
5 Pelukaan
karena
Kesalahan
Diyat - - Korban
18
Proses penentuan pidana qişâş-diyat melibatkan
pelaku, pihak ketiga dan korban atau ahli warisnya melalui
proses şulh (perdamaian). Dari perdamaian akan diketahui
sikap korban atau keluarganya atas sanksi yang akan
dijatuhkan kepada pelaku, apakah qişâş ataukah dimaafkan.
Penegak hukum hanyalah sebagai legitimator dan
pelaksana saja dari sanksi yang telah ditentukan melalui
proses perdamaian.
Pidana qişâş-diyat mengandung unsur perlindungan
hukum terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Pelaku
tindak pidana akan dikenai pidana mati, tetapi disepakati
terlebih dahulu oleh keluarga korban. Apabila pelaku
dimaafkan oleh keluarga korban, pelaku bebas dari qişâş,
sebagai gantinya harus membayar diyat (ganti rugi), yang
diberikan pada keluarga korban. Diyat yang harus
dibayarkan pelaku sejumlah 100 ekor unta. Apabila
sekarang harga unta tiap ekornya Rp 15.000.000,00 denda
yang harus dibayarkan Rp 1.500.000.000,00. Seandainya
yang dibunuh meninggalkan seorang istri dan empat anak,
maka dengan uang Rp 1.500.000.000,00 akan dapat
membiayai kehidupan keluarga korban termasuk biaya
pendidikan anak-anaknya. Dapat dibandingkan jika dalam
kasus tersebut digunakan KUHP, pelaku dipidana 15 atau
19
20 tahun penjara. Tentu saja keluarga korban akan kecewa
karena tidak pernah diajak bicara. Bahkan yang lebih
sengsara lagi, dia kehilangan hak nafkahnya. Secara
psikologis, dendam keluarga korban juga tidak akan hilang
dengan penjara 15 tahun.
Penjatuhan pidana qişâş-diyat lebih manusiawi dan
lebih adil. Esensi dari pidana qişâş ialah memberi hak
kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada yang
merugikannya dengan kadar yang seimbang (setara).
Esensi diyat adalah sebagai social security (perlindungan
social) bagi keluarga korban. Sedangkan esensi melalui
perdamaian (şulh) adalah untuk menghilangkan dendam
dan potensi korban selanjutnya. Ketentuan qişâş-diyat
sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat yang lebih
mengedepankan musyawarah mufakat dalam
menyelesaikan perkara.
Setiap tindak pidana dapat menyentuh eksistensi
masyarakat, namun terkadang tidak sampai mengancam
sistem dasarnya secara langsung. Tindak pidana terhadap
nyawa dan penganiayaan/pelukaan tidak mempengaruhi
keamanan dan ketentraman masyarakat meskipun sangat
berbahaya bagi keselamatan perseorangan. Setiap orang
tidak takut terhadap pembunuhan atau pelukaan orang lain
20
karena mengetahui bahwa pembunuhan atau pelukaan
hanya didorong oleh motif perseorangan seperti dendam
pribadi.
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RUU KUHP), yang terbaru konsep
2014/2015 terdiri atas 2 ( dua) Buku, yaitu Buku I tentang
Ketentuan Umum, terbagi dalam VI Bab terdiri atas 219
Pasal, dan Buku II tentang Tindak Pidana, terbagi dalam
XXXIX Bab terdiri atas 786 Pasal. Beberapa pasal dalam
RUU KUHP tersebut mencantumkan pedoman
pemidanaan, hak korban dan keluarganya, tentang
pembayaran ganti kerugian, dan pengampunan oleh hakim.
Hal ini merupakan terobosan baru dalam perkembangan
hukum pidana di Indonesia ke depan, karena sebelumnya
tidak ada ketentuan tersebut.
Ada beberapa hal baru dalam RUU KUHP sebagai
hasil pembaharuan yang akomodatif terkait dengan tujuan
pemidanaan yang disebutkan dalam Buku I Bab III Bagian
Pertama Pemidanaan, Tujuan Pemidanaan, Pasal 55 ayat
(1) dan (2), yaitu:
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
21
b. Memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat
manusia.
Konsep tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP
mengesankan prinsip tentang syarat dapat dipidananya
seseorang yang bertolak dari pilar paling fundamental
dalam hukum pidana, yaitu “asas legalitas” sebagai asas
kemasyarakatan dan “asas culpabilitas/kesalahan” yang
merupakan asas kemanusiaan perorangan19
. Secara
substantif juga mencerminkan diikutinya teori
utilitarianisme yang menetapkan target-target pemidanaan.
Orientasi pemidanaan menurut teori utilitarianisme adalah
kemanfaatan bagi korban kejahatan yang bersifat
individual (korban langsung), korban yang bersifat
sosial/masyarakat (korban tidak langsung) maupun bagi
pelaku pidana.
19
Barda Nawai Arief, Bunga Rampai ... op.cit., hlm. 98-99.
22
RUU KUHP juga memuat adanya ketentuan tentang
pedoman pemidanaan yang akan sangat membantu dan
memudahkan hakim dalam menetapkan ukuran
pemidanaan dan mempertimbangkan berat ringannya
pidana yang akan dijatuhkan, di antaranya pemaafan dari
korban/keluarganya. Disebutkan dalam Buku I, Paragraf 2,
Pedoman Pemidanaan, Pasal 56 ayat (1) huruf … j.
Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya. Pasal (2)
Perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada
waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian,
dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Terkait dengan sanksi pidana, dalam RUU KUHP
memperlihatkan perubahan yang signifikan dibanding
dengan KUHP lama. Disebutkan dalam Buku I Bab III
Bagian Kedua, Pidana, Paragraf 1, Jenis Pidana sebagai
berikut:
Pasal 66
(1) Pidana pokok terdiri atas:
1. Pidana penjara;
2. Pidana tutupan;
3. Pidana pengawasan;
4. Pidana denda; dan
5. Pidana kerja sosial.
23
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menentukan berat ringannya pidana.
Pasal 67
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat
khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 68
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. Pencabutan hak tertentu;
b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. Pengumuman putusan hakim;
d. Pembayaran ganti kerugian; dan
e. Pemenuhan kewajiban adat setempat atau
kewajiban menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat.
(2) …
Bab III Bagian Kedua Paragraf 2 Pidana Penjara,
Pasal 72:
Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 55 dan Pasal
56 pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan
jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut :
…
d. Terdakwa telah membayar ganti kerugian
kepada korban;
Bab III Paragraf 12 Pidana Tambahan Pasal 101:
(1) Dalam putusan hakim dapat ditetapkan
kewajiban terpidana untuk melaksanakan
pembayaran ganti kerugian kepada korban atau
ahli warisnya.
24
(2) Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana
penjara pengganti pidana denda.
Bab III Bagian kelima, faktor-faktor yang
memperingan dan memperberat Pidana, Pasal 139: Faktor-
faktor yang memperingan pidana meliputi: … e.
Pembertian ganti kerugian yang layak atau perbaikan
kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana
yang dilakukan. … h. Faktor-faktor lain yang bersumber
dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bab IV Gugurnya kewenangan penuntutan dan
pelaksanaan pidana, bagian kesatu, gugurnya kewenangan
penuntutan, Pasal 153 huruf d, kewenangan penuntutan
gugur, jika: “… penyelesaian di luar proses ...”.
Buku II tentang Tindak Pidana Bab XXIII Tindak
Pidana terhadap Nyawa Bagian Kesatu, Pembunuhan,
Pasal 584:
(1) Setiap orang yang merampas nyawa seorang lain,
dipidana karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2) …
Pasal 585
Setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena
25
pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun.
Bab XXIV Tindak Pidana Penganiayaan, Bagian
Kesatu, Penganiayaan terhadap Badan, Pasal 594:
(1) Setiap orang yang melakukan penganiayaan,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
paling banyak Kategori II.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan luka berat, maka
pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan matinya orang, maka
pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana
penjara paling paling lama 7 (tujuh) tahun.
(4) …
Bab XXV Tindak Pidana yang Mengakibatkan Mati
atau Luka karena Kealpaan, Pasal 604:
Pasal 604
(1) Setiap orang yang karena kealpaannya
mengakibatkan orang lain luka sehingga timbul
penyakit atau halangan menjalankan jabatan,
profesi, atau mata pencaharian selama waktu
tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak Kategori III.
(2) ...
26
Delik pembunuhan dan pelukanaan secara prinsip
ada kesamaan antara hukum pidana Islam dengan RUU
KUHP karena merupakan kejahatan yang universal.
Sedangkan sanksinya berbeda, KUHP yang ada dan RUU
KUHP menentukan pidana penjara, sedangkan dalam
hukum pidana Islam menentukan pidana qişâş-diyat.
Ketentuan qişâş-diyat yang esensinya memberikan
perhatian dan perlindungan hukum kepada keluarga
korban, mewujudkan keadilan, kebaikan dan kemaslahatan.
Secara umum korban atau keluarga korban pembunuhan,
penganiayaan atau pelukaan, menghendaki agar pelaku
dihukum yang setimpal dengan perbuatannya, meskipun
sebagai ungkapan spontan. Sanksi dengan pidana
“setimpal‟, dalam hukum pidana Islam disebut qişâş.
Sanksi diyat, (ganti rugi) juga dapat diterima oleh
masyarakat Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia
dikenal sebagai masyarakat pemaaf dan selalu
mengedepankan kebersamaan dan musyarawarah dalam
menyelesaikan persoalan. Banyak kasus hukum yang
dalam KUHP sebagai kelalaian sehingga menyebabkan
orang lain mati (Pasal 359) dapat diselesaikan secara
kekeluargaan, saling memaafkan dan mengganti kerugian.
27
Tiga kasus yang dijadikan obyek penelitian ini dapat
menjadi fakta, yaitu kasus; 1) Tabrakan dua sepeda motor
yang mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di
Demak. 2) Kasus tabrakan dua sepeda motor yang
mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di
Semarang. 3) Kasus mobil Suzuki Cary menabrak sepeda
motor yang mengakibatkan pengendara sepeda motor
meninggal dunia, di Pekalongan. Ketiga kasus tersebut
diselesaikan secara kekeluargaan dengan berdamai dan
pemberian ganti kerugian. Penyelesaian perkara tindak
pidana menghilangkan nyawa orang lain melalui
musyawarah mirip dengan ketentuan qişâş-diyat dalam
hukum pidana Islam. Hal ini menunjukkan bahwa hukum
pidana Islam sedikit banyak telah menjadi hukum yang
hidup (the living law).
Rumusan yang terdapat dalam RUU KUHP
khususnya terkait dengan pedoman pemidanaan, pidana
mati, hak korban, pembayaran ganti rugi dan
pengampunan, tentunya masih dapat berubah untuk
disempurnakan. Hal ini memberikan peluang terhadap
hukum pidana Islam agar khususnya ketentuan qişâş-diyat
untuk dapat dikontribusikan. Harapannya konsep hukum
28
yang dihasilkan juga memberikan manfaat dan maslahat
seperti halnya tujuan utama dari hukum Islam.
Apabila disandingkan dengan hukum pidana Islam,
sanksi pidana dalam RUU KUHP ada kemiripan. Misalnya
tentang orientasi tujuan pemidanaan, pedoman
pemidanaan, kewenangan hakim dalam penerapan sanksi
pidana, dan ganti rugi. Apabila tujuan pemidanaan dalam
RUU KUHP mencakup pandangan-pandangan yang
menggabungkan kepentingan semuanya, dalam konsep
Islam juga sama20
. Hanya saja, dalam hubungannya dengan
aspek utilitas (kemanfaatan) pemidanaan khususnya yang
dapat dirasakan oleh korban kejahatan secara individu
(individual victim), hukum pidana Islam memiliki
komitmen yang lebih kuat dibandingkan RUU KUHP. Hal
ini dapat dilihat dari ketentuan qişâş-diyat yang merupakan
hak korban atau ahli warisnya. Konsep ini sangat
viktimologis seperti yang dikembangkan sebagai ilmu
bantu hukum pidana dewasa ini, dan ternyata telah ada dan
menjadi perhatian dalam hukum pidana Islam. Begitu juga
20
Menurut Muladi rumusan dalam RUU KUHP tentang tujuan
pemidanaan, pedoman pemidanaan, kewenangan hakim dalam penerapan
sanksi pidana, pemaafan, dan ganti rugi juga mengadopsi dari ketentuan
dalam hukum pidana Islam. Hasil wawancara tanggal 25 Nopember 2013,
jawaban via email.
29
aspek kemanfaatan, hukum pidana Islam jauh lebih
terdepan dalam menekankan bahkan hukum harus memberi
manfaat.
Hukum “Islam” diadakan untuk menciptakan
kemaslahatan manusia selaku individu maupun
masyarakat. Maşlahat berarti menarik manfaat dan
menolak madharat. Maşlahat merupakan unsur utama
bangunan hukum “Islam” yang mengikat unsur-unsur lain.
Bahkan maşlahat merupakan inti dan substansi dari hukum
Islam21
. Menurut al-Syathibi, hukum Islam bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan umum (maslalah al-
„ammah) dengan cara menjadikan aturan hukum yang
paling utama dan sekaligus shalih li kuli zaman wa makan
(kompatibel dengan kebutuhan ruang dan waktunya) untuk
sebuah kehidupan manusia yang adil, bermartabat, dan
bermanfaat. Al-Syathibi memberikan rambu-rambu untuk
mencapai tujuan-tujuan syari‟at yang bersifat dharuriyyah,
hajjiyyah, dan tahsiniyyah, dan berisikan lima asas hukum
syara‟22
. Teori maşlahat yang diperkenalkan al-Syathibi
21
Abû Hamid al-Ghâzali, Al-Muştaşfa min „Ilm al-Uşul, Beirut: Dâr al-
Ihya al-Turats al-Arabi, Jilid I, t.th., hlm. 281-282.
22Abî Ishâq Ibrâhim bin Musâ al-Syathibî, al-Muwâfaqât fî Uşûl al-
Ahkâm, Jilid II, Beirut: al-Maktabah al-„Aşiriyah, 2011, hlm. 5.
30
dalam konsep maqashid al-syari‟yah ini tampaknya
relevan untuk menjawab persoalan hukum di masa depan.
Hukum menurut Savigny bukan hanya sekadar
ungkapan yang terdiri atas sekumpulan peraturan (judicial
precedent). Ada suasana dialogis antara hukum dengan
kondisi sosial masyarakat yang ada23
. Berbicara tentang
hukum, harus membicarakan tentang masyarakat, karena
tidak mungkin hukum tersebut terlepas dari masyarakat.
Savigny menyatakan “Das recht wird nicht gemacht, est ist
und wird mit dem volke” (hukum itu tidak dibuat
melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat24
.
Memandang hukum, berarti memandang masyarakat yang
bersangkutan. Apabila hukum tidak dapat dipisahkan
dengan masyarakat, maka hukum pidana Islam yang
berasal dari ajaran agama Islam juga bagian dari
masyarakat. Apalagi di Indonesia, praktek penyelesaian
perkara pidana dengan musyawarah untuk berdamai yang
sejalan dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana
Islam membentuk kesadaran hukum masyarakat.
23
Roger Cotterrell, The Sociologi of Law an Introduction, London:
Butterwoths, 1984, hlm. 2.
24Darji Darmodiharjo dan B. Arief Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat
Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama 2008, hlm. 124
31
Ketentuan qişâş-diyat menjanjikan maşlahat bagi
korban dan keluarganya, dan juga masyarakat bersifat riil.
Dengan diserapnya ketentuan qişâş-diyat aspek
kemaslahatan dapat terpenuhi dalam pemidanaan,
meskipun sebagai sumber materiil simbolnya tidak lagi
menyebut hukum pidana Islam. Kebijakan hukum yang
memberikan hak penuh kepada korban kejahatan untuk
menentukan ada tidaknya proses hukum terhadap pelaku
kejahatan, merupakan perhatian dan perlindungan kepada
korban. Apabila korban atau ahli warisnya mengambil
sikap memaafkan pelaku kejahatan, maka proses
penyelesaian perkara secara hukum tidak boleh diteruskan.
Sebaliknya, apabila korban atau walinya menghendaki
proses penyelesaian perkara secara hukum, maka institusi
peradilan tidak boleh mengupayakan cara lain yang tidak
menjadi kehendak korban/keluarga korban.
Logika hukum demikian karena korban kejahatan
merupakan pihak yang langsung mengalami penderitaan
dibanding pihak lain seperti masyarakat luas ataupun
negara, sehingga wajar hukum berpihak kepadanya.
Apabila korban mengalami penderitaan psikologis maupun
material hingga meluapkan perasaan emosional untuk balas
dendam, maka diaturlah keinginan balas dendamnya
32
tersebut agar proporsional/tidak berlebihan melalui
hukuman yang setimpal. Apabila korban dapat memahami
penderitaan akibat suatu kejahatan melalui nasehat-nasehat
keagamaan sehingga akhirnya lebih menempuh sikap yang
bijak, yakni dengan memaafkan pelaku, maka institusi
peradilan tidak dibenarkan memaksakan proses hukum
yang dapat berujung pada pemidanaan.
3. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam
Pembangunan Hukum Pidana Nasional Berbasis
Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam
Restorative justice telah menjadi wacana global dan
dipandang sebagai filosofi pemidanaan baru yang sifatnya
berbeda dari pidana konvensional yang menempatkan
pelaku melawan negara. Kejahatan tidak hanya dilihat
sebagai pelanggaran undang-undang negara, melainkan
pelanggaran orang terhadap orang. Pendekatan restorative
justice prinsipnya untuk membangun partisipasi bersama
antara pelaku, korban, dan masyarakat dalam
menyelesaikan suatu tindak pidana untuk mencapai win-
win solutions serta implikasinya ke masa depan. Setiap
lima tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang
disebut ”Congress on Crime Prevention and The
33
Treatment of Offenders”. Kongres PBB ke-12 di Brasil, 12-
19 April 2010, merekomendasikan untuk mengevaluasi dan
mengadakan pembaharuan kebijakan peradilan pidana
dengan pengembangan strategi komprehensif termasuk
restorative justice25
.
Masyarakat Indonesia juga sudah familier dengan
pendekatan yang mirip restorative justice dalam
menyelesaikan perkara pidana menghilangkan nyawa
dengan bermusyawarah. Bahkan di dalam Pancasila
sebagai core philosopy bangsa Indonesia, restorative
justice juga dapat diurai. Sila ke-4 Pancasila menyebutkan
“Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Sila ini dapat
menjadi panduan dalam menentukan sebuah pilihan
melalui cara musyawarah dan mengutamakannya dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat
kebersamaan sehingga jika dibreakdown menjadi kata
kunci dalam restorative justice26
.
25
Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justice untuk Peradilan dan Indonesia
(Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakkan Hukum In Conreto)”, dalam
Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12, Nomor 3, September 2012, hlm. 423.
26 Ibid., hlm. 414.
34
Menurut perkembangan hukum Barat modern,
termasuk di Indonesia, yang berhak melaksanakan proses
pemidanaan adalah negara, oleh karena itu pelaku tindak
pidana berhadapan dengan negara. Akibat korban tidak
dilibatkan untuk menentukan pidana yang dijatuhkan
kepada pelaku, banyak menimbulkan masalah bagi korban
atau keluarganya karena kerugian yang diderita tidak
diganti. Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa orang
lain atau yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain,
pelukaan atau penganiayaan, proses hukum tanpa
melibatkan korban atau keluarganya tidak akan
memberikan keadilan kepada korban atau keluarganya.
Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan
dan menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama
dengan keadilan menurut korban. Fokus perhatian
pemidanaan hanya pada upaya bagaimana agar pelaku
menjadi orang baik, pelaku menjadi orang yang berguna
kembali di masyarakat setelah menjalani hukuman, dan
sedapat mungkin dipidana seringan-ringannya. Sedangkan
pihak korban atau keluarganya yang dirugikan dan
terganggu keharmonisannya tidak mendapatkan perhatian.
Model pemidanaan demikian perlu dikaji kembali.
Harus dilihat apa yang menjadi penyebab terjadinya tindak
35
pidana. Proses penyelesainnya harus dengan cara
melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana.
Proses ini akan jauh lebih efektif dan lebih diterima oleh
masyarakat karena pihak yang berhubungan dengan tindak
pidana secara bersama-sama mencari alternatif
pemecahannya. Model seperti ini di Indonesia telah dikenal
dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu musyawarah
mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku untuk
tindak pidana qişâş-diyat melalui perdamaian (şulh).
Evaluasi untuk mendesain kembali model
pemidanaan agar lebih efektif dan memberikan keadilan
untuk semua pihak perlu dilakukan. Hukum pidana yang
ada sekarang, hanya berorientasi pada rehabilitasi pelaku
tindak pidana saja, sedangkan perlindungan terhadap
korban atau keluarganya tidak menjadi perhatian.
Diperlukan rumusan agar pendekatan restotarive justice ke
depan dapat dirumuskan dalam RUU KUHP sebagai model
penyelesaian perkara pidana dengan mengakomodir
ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Qişâş-
diyat berorientasi pada perlindungan korban (victim
oriented) dan masyarakat. Pemaafan/pengampunan sangat
dianjurkan daripada pelaksanaan qişâş, dan pemaafan baru
akan terjadi setelah adanya şulh dengan kebersihan hati
36
kedua belah pihak. Şulh mengandung dimensi
pemberdayaan diri oleh para pihak melalui upaya dialog,
negosiasi, dan rekonsiliasi sehingga dimensi hubungan
dapat mengalami proses pemulihan.
Perkara pidana pada umumnya diselesaikan melalui
jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi). Jalur ini
terkenal dengan istilah in court system. Secara teori, ada
tiga hal yang hendak dicapai dari hasil final yang akan
dikeluarkan suatu lembaga peradilan tersebut, yaitu;
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum27
. Meskipun
demikian, dalam praktek sangat sulit ketiganya dapat
terpenuhi sekaligus. Hasil yang akan tercipta dari proses
penyelesaiannya dikenal dengan istilah win lose solution,
yaitu akan ada pihak yang menang dan ada pihak yang
kalah.
Penegakan hukum pidana yang tersedia di Indonesia
dilaksanakan oleh instrumen-instrumen yang diberi
wewenang oleh Undang-undang. Pelaksanaan kewenangan
dan kekuasaannya dilakukan dalam suatu upaya yang
sistematis. Upaya yang sistematis ini dilakukan dengan
mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya
27
Sudikno Mertokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 1997, hlm. 98.
37
sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi),
serta saling mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang
demikian diwujudkan dalam sebuah sistem yang bertugas
menjalankan penegakan hukum pidana yaitu Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem) yang pada
hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan
hukum pidana”28
.
Sistem peradilan pidana di Indonesia identik dengan
penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum
pidana ini sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, dilaksanakan oleh 4 (empat) sub sistem yaitu:
a. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga kepolisian.
b. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum
atau kejaksaan.
c. Kekuasaan mengadili oleh badan peradilan atau
hakim.
28
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Adtya Bakti, 2001, hlm. 28.
38
d. Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat
pelaksana eksekusi (jaksa dan lembaga
pemasyarakatan)29
.
Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan
proses peradilan pidana adalah dilakukannya satu proses
yang sama bagi semua jenis perkara (one for all
mechanism). Selain itu, dalam sistem peradilan pidana
posisi korban dan keluarga korban tidak mendapat
perhatian. Hal ini berimplikasi pada dua hal yang
fundamental, yaitu tidak adanya perlindungan hukum bagi
korban, dan putusan hakim tidak akan memenuhi rasa
keadilan bagi korban30
. Kenyataan ini pula yang
mendorong sejumlah pakar hukum untuk mencari alternatif
penyelesaian perkara hukum di luar mekanisme peradilan.
Salah satu instrumen restorative justice adalah
mediasi yang untuk perkara pidana diistilahkan dengan
29
Keempat subsistem itu sebagai satu kesatuan sistem penegakan hukum
pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal
justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. M. Hatta, “Sistem
Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi); Kapita
Selecta”, Yogyakarta: Galang Press, 2008, hlm: 47. 30
Angkasa, dkk., “Kedudukan Korban Tindak Pidana dalam Sistem
Peradilan Pidana (Kajian Tentang Model Perlindungan Hukum Bagi Korban
Serta Pengembangan Model Pemidanaan dengan Mempertimbangkan
Peranan Korban)” dalam Jurnal Penelitian Hukum Supremasi Hukum, Vol.
12 Nomor 2, Agustus 2007, hlm. 119
39
mediasi penal, yang dikenal dengan istilah victim offender
mediation (mediasi antara korban dan pelaku). Mark
Umbreit, salah seorang pakar mediasi penal memakai
istilah humanistic mediation (pendekatan mediasi yang
manusiasi)31
. Dikenal pula istilah victim offender meeting
dan victim offender conferencing. Istilah penal mediation
(mediasi penal) juga dipakai karena mediasi digunakan
untuk mendamaikan perekara pidana, bukan perkara
perdata yang biasanya menjadi fungsi mediasi. Mediasi
penal di Belanda diistilahkan strafbemiddeling dan di
Prancis diistilahkan dengan de mediation penale32
.
Penelitian yang dilakukan oleh Umbreit menemukan
bahwa mediasi penal memberikan tingkat kepuasan yang
31
Mark Umbreit, “Humanistic Mediation; A Transformative Journey of
Peacemaking”, dalam Mark Umbreit, (Ed.), In the Handbook of Victim
Offender Mediation; An Essential Guide to Practice and Research, San
Fransisco, 2001, hlm. 9.
32Mediasi penal pertama kali dikenalkan di Kitchener-Ontario, Kanada
pada tahun 1974. Program ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat,
Inggris dan negara Eropa lainnya. Amerika Serikat pertama kali
mempraktekkan mediasi penal di Elkhart-Indiana pada tahun 1979, dan di
Inggris dipraktekkan oleh The Exeter Youth Support Team, juga pada tahun
1979. Setelah itu, program mediasi penal tersebar ke banyak negara di
dunia, dan yang paling berkembang adalah negara-negara di Eropa seperti
Austria, Jerman, Belgia, Perancis, Polandia, Slovenia, Norwegia, Denmark,
dan Finlandia. DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal:
Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak, Depok: Indie
Publishing, 2011, hlm. 66.
40
tinggi dan adil bagi para pihak dan menghasilkan lebih dari
90% kesepakatan yang sukses diraih untuk mengompensasi
korban. Penelitian lain yang dilakukan oleh Umbreit dan
Armour mencatat tingkat keberhasilan yang cukup tinggi,
yaitu 40%-60% di mana para pihak mengikuti proses
mediasi penal33.
Mediasi penal memberikan manfaat yang besar bagi
kedua belah pihak, yaitu korban dan pelaku yang dapat
digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 2
Manfaat Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Pidana34
No. Bagi Korban Bagi Pelaku
1 Mengenali dan
mempelajari pelaku
Mengenali korban atau
keluarga korban
2 Mencurahkan perasaan
dan kebutuhan akibat
kejahatan
Mengetahui akibat
perbuatannya dan kerugian
yang diderita korban atau
keluarganya
3 Menerima atau menolak
permintaan maaf, dan
ganti rugi
Meminta maaf, menawarkan
ganti rugi
4 Menyelesaikan konflik Introspeksi
5 Melupakan kejahatan di
masa yang akan datang
Tidak akan mengulangi
perbuatan
33
Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice
Dialogue: An Essential Guide for Research and Practive, New York:
Springer Publishing, 2010, hlm. 129. 34
Ibid., telah dimodifikasi oleh penulis.
41
Sebagai sebuah menakisme penyelesaian tindak
pidana, mediasi penal juga memiliki kelemehan-
kelemahan. Seperti disebutkan oleh Umbreit dan Coates
dari hasil penelitian, ditemukan beberapa faktor kelemahan
mediasi penal yang membuat pihak korban mengalami
kekecewaan, yaitu:
a. Kurangnya tindak lanjut pelaku terhadap kesepakatan
yang telah dibuat.
b. Penundaan antara perbuatan kriminal yang telah
dilakukan dan solusinya karena proses mediasi penal.
c. Banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk
berpartisipasi dalam proses mediasi penal, apabila
menggunakan shuttle mediation (mediator bertemu
kedua belah pihak di tempat yang terpisah) atau
indirect mediation (mediasi tidak langsung).
d. Sering kali pelaku yang melakukan tindak kriminal
karena miskin tidak mampu membayar ganti rugi yang
diajukan oleh korban yang mengakibatkan gagal
tercapainya kesepakatan.
e. Banyak pelaku yang hanya memanfaatkan mediasi
penal sebagai cara untuk menghindar dari peradilan
42
pidana, setelah tercapainya kesepakatan perdamaian,
mereka tidak mau melaksanakannya35
.
Potensi pendekatan restorative justice melalui
pelembagaan mediasi penal ke depan sudah termuat dalam
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (RUU KUHP) seperti disebutkan dalam Buku I Bab
IV Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan
Pidana, Bagian Kesatu, Gugurnya Kewenangan Penuntutan
Pasal 153 hurup d. bahwa kewenangan penuntutan gugur
jika … penyelesaian di luar proses ….36
. Namun ketentuan
tersebut perlu dipertegas atau diperjelas untuk jenis tindak
pidana apa dan di luar proses yang seperti apa, sehingga
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak
dan aparat penegak hukum.
Sesuai dengan perkembangan internasional, dengan
syarat-syarat tertentu asas restorative justice (peacefully
solution) dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dari
retributive justice. Hal ini (diversi) sudah diwajibkan
dalam Undang-undang RI Nomor 11 tahun 2012 tentang
35
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, op.cit., hlm. 83-89.
36Menurut Barda Nawawi Arief, rumsuan tersebut belum menyebutkan
penyelesaian di luar proses secara spesifik dan dapat dikembangkan dalam
RUU KUHAP atau Undang-undang tersendiri. Hasil wawancara Tanggal 11
Pebruari 2015.
43
Sistem Peradilan Pidana Anak, dan dapat dikembangkan
dalam RUU KUHAP yang sudah termuat yaitu
keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban dan
masyarakat.
Dengan memperjelas “penyelesaian di luar proses”,
maka mediasi penal dalam sistem peradilan pidana ke
depan menjadi terlembagakan dan memiliki payung
hukum. Maksud “penyelesaian di luar proses” dapat
diperjelas dengan menyerap ketentuan perdamaian yang
ada dalam hukum pidana Islam.
Hukum pidana Islam menekankan penyelasaian
perkara dengan cara perdamaian (şuhl). Bukan hanya
perdata, tetapi juga pidana. Bahkan tindak pidana yang
sangat berat yaitu pembunuhan dan pelukaan yang diancam
pidana qişâş-diyat. Segala sengketa pada prinsipnya dapat
didamaikan apabila ada kesepakatan, meskipun ada
pengecualian. Perdamaian (şulh) mengasumsikan bahwa
kejahatan yang berkaitan dengan hubungan pribadi antara
orang dengan orang tertentu bukanlah sebuah masalah
yang berkaitan dengan publik (private). Peran negara harus
sebagai penjamin terlaksananya hasil perdamaian. Bukan
sebaliknya, mengambil alih atas nama korban yang justru
yang keputusannya bertentangan dengan yang dibutuhkan
44
dan dikehendaki korban37
. Proses penyelesaian perkara
pidana melalui şulh dimaksudkan agar dapat lebih
fleksibel. Hasil dari proses şuhl dapat berbeda tergantung
dari tingkat kejahatannya, kerusakan yang disebabkan,
yaitu dapat berupa pemaafan dengan ganti kerugian dan
pemaafan tanpa ganti kerugian. Bagi korban atau
keluarganya dapat menghasilkan kebesaran hati untuk
memaafkan dan menerima ganti kerugian38
.
Seandainya korban atau keluarganya tetap tidak mau
memaafkan, dapat membuat pelaku merasakan apa yang
dirasakannya. Hal yang seperti ini dinamakan dengan qişâş
atau yang biasa disebut dengan pembalasan sistematis.
Namun qişâş sedapat mungkin dihindari seperti disebutkan
dalam Q.S. al-Baqarah ayat 178: “… maka barang siapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
37
Seperti disebutkan oleh ND yang lebih memilih menyelesaikan perkara
pidana terhadap nyawa melalui musyawarah di Pekalongan, dengan salah
satu pertimbangan lebih baik biaya yang akan dikeluarkan oleh TMD
(pelaku yang menabrak isterinya ND hingga meninggal) jika menempuh
jalur hukum, disumbangkan untuk perawatan jenazah, mitoni dan uang
duka. Hasil wawancara tanggal 30 Nopember 2013.
38Mumtaz M. Qafisheh, “Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A
Contribution to the Global System”, dalam International Journal of
Criminal Justice Sciences, Volume 7, Issue 1, January – June 2012, hlm.
488.
45
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat)
kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula)
…”39
. Disebutkan pula dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ashab al-
Sunnah: “Setiap perkara yang dilaporkan kepada
Rasulullah yang berkaitan dengan hukuman qişâş,
Rasulullah Saw. selalu memerintahkan pemaafan”40
.
Sedangkan pelaku mendapatkan kesempatan untuk
meminta maaf secara langsung pada korban atau ahli
warisnya, mengungkapkan penyesalan, dan bertanggung
jawab dengan mengganti kerugian.
Konstruksi restorative justice berbasis qişâş-diyat
adalah sebagai pengganti proses peradilan pidana di mana
perkara dialihkan (diverted) ke proses mediasi.
Kesepakatan yang berhasil diraih akan disahkan oleh
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Putusan pengadilan sebagai legitimator saja atas
kesapakatan damai setelah ganti rugi dibayar oleh pelaku,
atau atas jaminan ganti rugi akan segera dibayar. Hal ini
39
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an, dan
Terjemahnya, Medinah: Mujamma‟ al-Malik Fadh li Thiba‟at al-Mushaf al-
Syarif, 1418 H., hlm. 43.
40 Audah, Jilid II, op.cit., hlm. 287.
46
sesuai dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana
Islam, dan juga pengembangan yang sudah termuat dalam
RUU KUHP tentang penyelesaian di luar proses.
Konstruksi ini juga merujuk pada praktek masyarakat
dalam menyelesaikan tindak pidana, dan juga dalam
rangka menguruangi beban sistem peradilan pidana. Peran
mediator menjadi sangat penting, sehingga perlu dibentuk
komisi atau lembaga pemaafan (al-işlah wa al-afwun) atau
dengan istilah lain yang bertindak sebagai mediator sangat
diperlukan yang ada di setiap kabupaten-kota.
Agar mengikat dan menjadi sistem dalam
penyelesaian perkarana pidana ke depan, maka harus
termuat di dalam KUHP dengan mengubah rumusan Pasal
153 bahwa kewenangan penuntutan gugur jika … d.
penyelesaian di luar proses melalui lembaga perdamaian
atau pemaafan.
Rumusan pasal-pasal dalam Buku II tentang Tindak
Pidana khususnya Bab XXIII Tindak Pidana terhadap
Nyawa Bagian Kesatu, Pembunuhan, Pasal 585 juga
diubah seperti contoh berikut:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja, atau dengan
rencana terlebih dahulu merampas nyawa
seorang lain, diancam karena pembunuhan
47
berencana, dipidana dengan pidana mati atau
pidana seumur hidup.
(2) Pidana mati atau pidana seumur hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
gugur jika ahli waris korban memaafkan.
(3) Jika ahli waris korban memaafkan, pidana mati
atau pidana seumur hidup diganti dengan pidana
ganti rugi yang diberikan kepada ahli waris
korban yang besarannya disepakati antara ahli
waris korban dengan pelaku dengan prinsip
kebaikan, perhatian dan perlindungan.
(4) Proses pemaafan dan penentuan jumlah ganti
rugi dilakukan melalui lembaga pemaafan yang
hasilnya akan dilegitimasi oleh pengadilan
sebagai jaminan bahwa kesapakatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) akan
dilaksanakan.
Mekanisme kerja lembaga pemaafan adalah di luar
proses peradilan, namun masih terintegrasi dalam sistem
peradilan sebagai pintu/kamar tersendiri. Untuk melihat
alur penyelsaian perkara pidana melalui lembaga pemaafan
sebagai konstruksi pendekatan restorative justice berbasis
qişâş-diyat dapat dilihat dalam ragaan berikut:
48
Ragaan
Konstruksi Pendekatan Restorative Justice
Berbasis Qişâş-Diyat
Lembaga pemaafan berfungsi agar perdamaian bisa
tercapai dan nilai ganti kerugian disepakati dengan prinsip
bi al-ma‟ruf (kebaikan) dan menghindari tuntutan ganti
rugi yang melampaui batas atau komersialisasi ganti rugi.
Sedangkan legitimasi pengadilan diperlukan sebagai
jaminan bahwa pelaku telah memberikan ganti kerugian
PELAKU LAPORAN/TANPA
LAPORAN
KORBAN
LEMBAGA
PEMAAFAN PENYIDIK POLISI
JAKSA PENUNTUT
UMUM PROSES
PERDAMAIAN
LEGITIMASI
PENGADILAN KESEPAKATAN
PERDAMAIAN
49
kepada korban atau ahli warisnya atau ada jaminan bahwa
ganti kerugian akan terbayar. Legitimasi pengadilan juga
sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan
perhatian dan perlindungan terhadap pihak-pihak.
F. Penutup
1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut: 1) Hukum pidana Islam adalah sebagai
sumber materiil dalam pembangunan hukum pidana
nasional. Posisi hukum pidana Islam sebagai sumber
materiil merupakan corak hukum Islam yang menekankan
aspek subtansi, bukan legal formalnya. Posisi hukum
pidana Islam sebagai sumber materiil, akan menemui
problem internal dan eksternal. Problem internalnya akan
sulit diterima oleh kalangan umat Islam yang menghendaki
hukum pidana Islam diterapkan secara formal. Problem
eksternalnya dimungkinkan adanya anggapan akan
menjadikan hukum pidana Islam sebagai hukum positif,
dan tidak sedikit pandangan pakar hukum yang tidak
mengetahui eksistensi hukum pidana Islam dan
memandangnya sebagai subsistem dari hukum adat
sehingga harus sesuai dengan hukum adat. 2) Ketentuan
50
qişâş-diyat dapat dikontribusikan untuk menyermpurnakan
RUU KUHP. Rumusannya tidak harus persis, namun
esensinya sama, yaitu memberi hak kepada keluarga
korban untuk ikut menentukan hukuman, memberikan
perhatian dan perlindungan kepada korban atau
keluargannya. 3) Pendekatan restorative justice perlu
diterapkan agar orientasi pemidanaan tidak hanya
memperhatikan pelaku tindak pidana saja, melainkan juga
korban atau ahli warisnya. Rumusannya berbasis ketentuan
qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam, karena memiliki
komitmen kuat dalam memberikan perhatian dan
perlindungan kepada korban atau ahli warisnya dan tetap
melibatkan peran negara. Diperlukan payung hukum agar
pendekatan restotarive justice dapat diterapkan, yaitu
diatur dalam KUHP baru. Konstruksinya melalui lembaga
pemaafan yang mekanisme di luar proses peradilan pidana
tetapi masih terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai
pintu atau kamar tersendiri.
51
2. Saran
Setelah dilakukan pembahasan menyeluruh, peneliti
memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Hukum pidana Islam dijadikan sumber materiil dalam
pembangunan hukum pidana nasional, karena telah
menjadi hukum yang hidup dan membentuk kesadaran
hukum masyarakat. Hukum pidana Islam juga pernah
diterapkan di Nusantara pada zaman kerajaan-kerajaan
Islam.
2. Ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam
dikontribusikan dalam pembangunan hukum pidana
nasional dengan menyempurnakan ketentuan yang
sudah diatur dalam RUU KUHP.
3. Pendekatan restorative justice yang berbasis qişâş-diyat
agar diatur dalam RUU KUHP, dan penyelesaian
perkara pidana pembunuhan dan penganiayaan atau
perkara pidana lainnya yang merugikan korban,
diseselaikan di luar proses peradilan melalui lembaga
pemaafan. Pengadilan nantinya hanya melegitimasi saja
hasil perdamaian yang telah dicapai.
52
3. Implikasi Studi
Hasil studi ini dapat memberikan implikasi teoritis
dan praktis. Secara teoritis hasil studi ini sebagai
sumbangan teori bagi tersusunnya hukum pidana nasional
yang memuat nilai-nilai agama yang dianut oleh
masyarakat. Hukum pidana Islam telah menjadi hukum
yang hidup di masyarakat, karena dalam sejarahnya pernah
diterapkan secara formal di kesultanan yang ada di
Nusantara. Dengan studi ini, dapat memberikan warna
dalam studi ilmu hukum khususnya hukum pidana, dan ke
depan hukum pidana Islam mendapat tempat yang
proporsional dalam kajian teoritis ilmu hukum di hadapan
hukum Barat dan hukum adat.
Sedangkan secara praktis hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan penting dalam pembangunan hukum pidana
nasional khususnya penyempurnaan RUU KUHP. Hukum
pidana Islam kaya dengan asas-asas maupun teori-teori
pemidanaan yang menjadi diskursus hukum Barat modern.
Ketentuan yang sudah termuat dalam RUU KUHP dapat
disempurnakan dengan ketentuan qişâş-diyat, sehingga
menjadi pendekatan restorative justice berbasis qişâş-
diyat.
53
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghâzali, Abû Hamid, Al-Muştaşfa min „Ilm al-Uşul, Beirut:
Dâr al-Ihya al-Turats al-Arabi, Jilid I, t.th..
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, Cet. ke-11, 2004.
Al-Syathibî, Abî Ishâq Ibrâhim bin Musâ, al-Muwâfaqât fî Uşûl
al-Ahkâm, Jilid II, Beirut: al-Maktabah al-„Aşiriyah, 2011.
Angkasa, dkk., “Kedudukan Korban Tindak Pidana dalam
Sistem Peradilan Pidana (Kajian Tentang Model
Perlindungan Hukum Bagi Korban Serta Pengembangan
Model Pemidanaan dengan Mempertimbangkan Peranan
Korban)” dalam Jurnal Penelitian Hukum Supremasi
Hukum, Vol. 12 Nomor 2, Agustus 2007.
Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta:
RM. Books, 2007.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru,
Jakarta: Kencana, 2010.
Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan
Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra
Adtya Bakti, 2001.
Audah, Abd al-Qâdir, al-Tasyrî‟i al-Jinâ‟î al-Islâmî;
Muqâranân bi al-Qânun al-Wadh‟î, Jilid I, Beirut:
Muasasah al-Risâlah Litibâah wa al-Nasyr wa al-Tauzi‟î,
1992.
Azizy, Qodri Abdillah, Membangun Integritas Bangsa, Jakarta:
Renaisan, 2004.
54
Cotterrell, Roger, The Sociologi of Law an Introduction,
London: Butterwoths, 1984.
Darmodiharjo, Darji, dan B. Arief Shidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2008.
Denzim, Norman K., dan Yvonna S. Lincoln, Hanbook of
Qualitative Research, Terjemaha, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Dewi, DS., dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal:
Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak, Depok:
Indie Publishing, 2011.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid II, Yogyakarta:
Andi Offset, 1995.
Hatta, M., “Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam
Konsepsi dan Implementasi); Kapita Selecta”, Yogyakarta:
Galang Press, 2008.
Haykal, Muhammad Khayr, al-Jihâd wa al-Qitâl fi al-Siyâsah
al-Syar‟iyyah, Juz I, Beirut: Dâr al-Bayariq, Cet. II, 1996.
Julijanto, Muhammad, “Implementasi Hukum Islam di
Indonesia; Sebuah Perjuangan Politik Konstitusionalisme”,
dalam Makalah “Conference Procedings Annual
International Conference on Islamic Studies”, Mataram,
September 2013.
Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Bandung: Sinar Baru, 1999.
Mahfud MD., Moh., “Politik Hukum dalam Perda Berbasis
Syari‟ah”, dalam Jurnal Hukum, No. 1 Vol. 14, Januari
2007.
55
Mertokusumo, Sudikno, Ilmu Hukum Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Liberty, 1997.
Miles, Mattew B., dan A. Michael Huberman, Analisis Data
Kualitatif, Jakarta: UI Press, 1992.
Moeleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001.
Prayitno, Kuat Puji, “Restorative Justice untuk Peradilan dan
Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakkan
Hukum In Conreto)”, dalam Jurnal Dinamika Hukum,
Volume 12, Nomor 3, September 2012..
Qafisheh, Mumtaz M., “Restorative Justice in the Islamic Penal
Law: A Contribution to the Global System”, dalam
International Journal of Criminal Justice Sciences,
Volume 7, Issue 1, January – June 2012.
Sularno, M., “Syari‟at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum
Positif di Indonesia”, dalam Jurnal al-Mawardi, Edisi
XVI, 2006.
Tanya, Bernard T., dkk., Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010.
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an, dan
Terjemahnya, Medinah: Mujamma‟ al-Malik Fadh li
Thiba‟at al-Mushaf al-Syarif, 1418 H.
Turner, Jonathan H., The Structure of Sociological Theory,
Homewood Illinois: The Dorsey Press, 1975.
Umbreit, Mark, “Humanistic Mediation; A Transformative
Journey of Peacemaking”, dalam Mark Umbreit, (Ed.), In
the Handbook of Victim Offender Mediation; An Essential
Guide to Practice and Research, San Fransisco, 2001.
56
Umbreit, Mark, dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative
Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and
Practive, New York: Springer Publishing, 2010.
Zamroni, Pengembangan Pengantar Teori Sosial, Yogyakarta:
Tiara Yoga, 1992.
57
BIODATA PENULIS
Identitas Diri
Nama Lengkap Achmad Irwan Hamzani
Jenis Kelamin Laki-laki
Tempat dan Tanggal
Lahir
Pemalang, 15 Juni 1976
Pekerjaan Dosen Tetap Fakultas Hukum
Universitas Pancasakti
NIDN 0615067604
Jabatan Fungsional Lektor
Alamat Kantor Jln. Halmahera Km. 1 Tegal Jawa
Tengah, Telp. (0283) 358745
Alamat Rumah Karangjati RT 02 RW 01 Wiradesa
Pekalongan
Nomor HP 0816647283 / 08122564208
E-Mail [email protected]
Nama Isteri Nur Khasanah
Nama Anak Haidar Mahdi Niejad
Nabila Afrah Manahil
Pengalaman Pekerjaan/Aktivitas Lain
Jabatan/Pekerjaan Tahun
Dosen Tidak Tetap Universitas Pekalongan,
STMIK Himsya Semarang, STIT Pemalang
2005-2013
Ketua Gugus Penjamin Mutu Fakultas Hukum
Universitas Pancasakti
2011-2013
Pengurus Bidang Dakwah Yayasan Pendidikan
dan Pengembangan Sumber Daya Insani Al-
Ummah Kota Pekalongan
2012-Sekarang
Tim Seleksi Calon Anggota KPU Kota
Pekalongan
2013
Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Pekalongan 2015
2015
58
Riwayat Pendidikan Tinggi
Jenjang Fakultas/Progdi Perguruan Tinggi Tahun
S1 Fakultas
Syari‟ah/Siyasah
Jinayah
IAIN Walisongo 1999-2003
S2 Program
Magister/Hukum
Islam
IAIN Walisongo 2003-2005
S3 Doktor Ilmu
Hukum
Universitas
Diponegoro
2011-2015
Pengalaman Organisasi
No. Organisasi Tahun
1 BEM Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo 2002
2 HMI Cabang Semarang 1999-2003
3 Ikatan Da‟i Indonesia Jawa Tengah 2007-2011
4 Presidium KAHMI Pekalongan 2015-2018
Buku
No. Judul
1 Perkembangan Hukum Wakaf di Indonesia
2 Hukum Islam di Indonesia
59
Publikasi dalam Jurnal Ilmiah 5 Tahun Terakhir
No. Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/
Nomor/Tahun
1 Towards Indonesia As A
State Law Happiest
People
International
Journal of
Bisiness,
Economics and
Law
Vol. 6/April/
2015, ISSN
No. 2289-1552
2 Nasab Anak Luar Kawin
Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-
VIII/2010
Jurnal
Konstitusi
Vol. 12/No. 1/
2015/, ISSN
No. 2338-5413
Terakreditasi
3 Kontekstualitas Hukum
Islam di Indonesia; Studi
terhadap Hukum Wakaf
Jurnal
Masalah-
masalah
Hukum
Jilid 43 No. 3/
Juli 2014
Terakreditasi
4 Hubungan Rule of Law
dan Hak Asasi Manusia
dalam Negara Demokrasi
Jurnal Diktum Vol. 1/No. 2/
2013, ISSN
No. 2338-5413
5 Menggagas
Pembangunan Hukum
Nasional Berbasis
Religius
Jurnal Hukum
Islam
Vol. 10/No.
2012, ISSN
No. 1829-7382
6 Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Luar
Pengadilan
Jurnal
Sosekhum
Vol. 7/No. 1/
2011, ISSN
No. 1858-4500
7 Pembagian Peran Suami
Isteri dalam Keluarga
Islam Indonesia
Jurnal
Sosekhum
Vol. 6/No.
2/2010, ISSN
No. 1858-4500
8 Menggagas Ilmu Hukum
Khas Indonesia
Jurnal Cermin Vol. 46/No.
1/2010, ISSN
No. 0852-8357
60
Pengalaman Penelitian 5 Tahun Terakhir
No. Judul Penelitian Sumber
Dana
Tahun
1
Pengembangan Model Perlindungan
Hukum terhadap Aset Publik Berbasis
Kearifan Lokal (Kajian Sosio Yuridis
terhadap Pengadministrasian Harta
Benda Wakaf di Kecamatan Wiradesa
Kabupaten Pekalongan)
Dikti 2015
2
Implikasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
terhadap Nasab Anak Luar Kawin
Ditinjau menurut Hukum Islam
Universitas
Pancasakti
2013
3
Hibah / Beasiswa Disertasi LPDP
Kementerian
Keuangan
2013-
2015
4
Kontekstualitas Hukum Islam di
Indonesia; Studi terhadap Hukum
Wakaf
Universitas
Pancasakti
2012
5
Persepsi Masyarakat terhadap
Efektivitas Menyalakan Lampu
Sepeda Motor di Siang Hari untuk
Mengurangi Resiko Kecelakaan di
Kota Tegal
Universitas
Pancasakti
2012
6
Penyelesaian Sengketa Konsumen di
Luar Pengadilan menurut Undang-
undang RI Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen;
Tinjauan Hukum Islam
Universitas
Pancasakti
2011
7
Pembangian Peran Suami Isteri dalam
Keluarga Islam di Indonesia; Kajian
Normatif dan Sosiologis
Universitas
Pancasakti
2011
8
Kajian Gender terhadap Hak-hak
Perempuan dalam Kompilasi Hukum
Islam
Departemen
Agama RI
2010
61
Pengalaman Pengabdian Masyarakat 5 Tahun Terakhir
No. Judul Pengabdian Sumber
Dana
Tahun
1 Pendampingan Pendaftaran Etiket
Merek bagi Pengusaha Batik
Tegalan
Universitas
Pancasakti
2012
2
Pelatihan Pembuatan Etiket Merek
bagi Pengusaha Batik Tegalan
Universitas
Pancasakti
2011
3 Membangun Budaya Tertib Huum di
Masyarakat
Universitas
Pancasakti
2010
Pemakalah Seminar (Oral Presentation) 5 Tahun Terakhir
No. Nama Pertemuan
Ilmiah/Seminar
Judul Artikel Waktu dan
Tempat
1
Sosialisasi Rencana
Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia dalam
Konstruksi Hukum di
Indonesia
19-21 Nop
2013, Pemkot
Tegal
2
Pembangunan
Berbasis Hak Asasi
Manusia
Perlindungan Hak Asasi
Manusia; Antara Wacana
dan Aksi
26 Juni 2013,
Bahari Inn
Tegal
3
Seminar Nasional
dan Call for Papers
“Perkembangan
Hukum Islam dan
Permasalahan
Penegakannya di
Indonesia”
Memposisikan Hukum
Islam dalam Arah
Pembangunan Hukum
Nasional
29 Nop 2012,
Fakultas Hukum
Universitas
Diponegoro
4
Seminar Smart
Women
Menjadi Perempuan
Cerdas dalam Pilihan
Politik
29 Mei 2011,
Hotel Syari‟ah
Pekalongan
5
Penyuluhan
Menciptakan Budaya
Politik bagi Kaum
Marginal
Akses Politik for All 16 Mar 2011,
Gedung
Pramuka Batang
62