prof. dr. hartiwiningsih, sh, m.hum lushiana primasari, sh, mh

648

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH
Page 2: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.1

Modul 1

FUNGSI DAN PERAN HUKUM SERTA ARAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI

INDONESIA

Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.HumLushiana Primasari, SH, MH

Sebagai langkah awal mempelajari hukum tindak pidanaekonomi di Indonesia, pada modul pertama ini akandiperkenalkan materi secara singkat yang terdapat dalamkegiatan belajar 1 yang membahas tentang Tinjauan DasarFungsi dan Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi diIndonesia dan Arah Kebijakan Pembangunan EkonomiIndonesia;. Pada kegiatan belajar 2 akan disajikan materi yangmembahas Hukum Pidana dan Subjek Hukum Pidana. Keduamateri tersebut sangatlah penting, hal ini dikarenakan sebelummembahas jenis tindak pidana ekonomi di Indonesia, perlulahdiketahui dasar fungsi dan peran hukum terhadap ekonomibeserta arah kebijakan pembangunan di Indonesia. Hal inidimaksudkan untuk nantinya sebagai dasar mengetahui hal-halapa sajakah yang dilarang dan dapat dikenakan sanksi terhadapkegiatan yang dapat merusak stabilitas ekonomi dan cita-citabangsa dan negara dalam mensejahterakan Rakyat Indonesia.

Dengan modul 1 yang berisikan dua kegiatan belajar inidiharapkan mahasiswa mengetahui dan memahami fungsi danperan hukum dalam pembangunan ekonomi di Indonesia sertaarah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia besertamemahami Hukum Pidana dan Subjek Hukum Pidana.

Page 3: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.2

Kegiatan Belajar 1

Tinjauan Dasar Fungsi dan Peran Hukum dalamPembangunan Ekonomi di Indonesia dan Arah KebijakanPembangunan Ekonomi Indonesia

1. Tinjauan Dasar Fungsi dan Peran Hukum dalamPembangunan Ekonomi di Indonesia

Apakah yang dimaksud dengan pembangunan itu?Pembangunan dapat diartikan sebagai perubahan yangpositif. Perubahan itu direncanakan dan arahnya tertujupada kemajuan. Perubahan yang berkonotasikemunduran tidak termasuk pembangunan. 1

Oleh karena itu, pembangunan bertujuan untukmengubah sesuatu yang belum ada menjadi ada. Yangjelek diubah menjadi baik, dan yang kekurangan menjadikecukupan. Di sini pembangunan dilakukan bukan darisegi fisik atau materi saja, melainkan juga membangunkualitas manusia. Jadi, pembangunan bukan hanyamembangun gedung, jalan, bendungan, penghijauan,tetapi membangun orang menjadi pintar, terampil,disiplin, berbudi luhur, dan sebagainya. Denganmengadakan pembangunan segi kuantitas dan kualitasdimaksudkan supaya terjadi perubahan yang seimbang,

1Gatot Supramono, 1997, Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkreditan, Bandung : Alumni,halaman 1

Page 4: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.3

sehingga kesejahteraan yang dicita-citakan dapattercapai.2

Dalam melaksanakan pembangunan, kenyataandilapangan tidak semuanya dapat dilaksanakan dengansebaik mungkin. Sampai sekarang masih ditemukanhambatan-hambatan, terutama dari perbuatan manusiayang kurang atau tidak mendukung pembangunan untukmencari keuntungan pribadi.3

Keadaan seperti itu terjadi dimana-mana, artinyaterjadi di semua bidang kehidupan, perbuatan sepertiuang semir, suap-menyuap, membuat data fiktif sudahbanyak kita dengar dan bukan merupakan hal baru.4

Perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji sering muncul.Munulnya perbuatan-perbuatan itu banyak disebabkanoleh pendapat yang tidak sebanding dengan kebutuhanhidup, juga karena masa sekarang masyarakat cenderungbersifat materialistis dan ingin hidup kaya. Orang yanghartanya banyak selain hidupnya senang, juga dipandangsebagai orang yang berhasil dalam hidupnya.5

Adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadisehingga mengakibatkan kerugian dalam pembangunan,tidak dapat dibiarkan dan harus ditanggulangi. Pada

2Gatot Supramono, 1997, Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkreditan, Bandung : Alumni,halaman 13Gatot Supramono, 1997, Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkreditan, Bandung : Alumni,halaman 34Gatot Supramono, 1997, Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkreditan, Bandung : Alumni,halaman 35Gatot Supramono, 1997, Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkreditan, Bandung : Alumni,halaman 3

Page 5: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.4

zaman pembangunan ini, kurva kejahatan harusberbanding terbalik dengan kurva pembangunan. Kalaupembangunan meningkat, tidak boleh ikut meningkat,karena negara kita tidak membangun kejahatanmelainkan membangun keamanan, membangunketertiban dan membangun ketenteraman. Jadi kalaupembangunan meningkat, sebaliknya kejahatan harusmenurun.6

Untuk dapat menurunkan kejahatan tersebut,penyelesaiannya harus melalui saluran hukum, karenanegara kita adalah negara hukum. Semua perbuatanharus selali dilandaskan pada hukum. Hukum selainberfungsi mengatur, juga berfungsi untuk memperlancarhubungan masyarakat. Oleh karena itu, hukum dalamzaman pembangunan ini adalah sebagai saranamemperlancar perubahan masyarakat.7

Pada era orde baru, para pakar ekonomi, pelakuekonomi, dan penguasa memandang hukum sebagaipenghambat bagi kelangsungan terselenggaranyakegiatan ekonomi. Pada waktu itu, hukum tidakdijadikan sebagai landasan, pemandu, dan penegakaktivitas dalam bidang ekonomi. Keberadaan hukumdirusak oleh penguasa hanya untuk membela politikekonomi Orde Baru yang mengabdi pada kepentinganekonomi negara-negara maju dan konglomerat sertaMulti National Corporation (MNC). Namun setelah

6Gatot Supramono, 1997, Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkreditan, Bandung : Alumni,halaman 47Gatot Supramono, 1997, Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkreditan, Bandung : Alumni,halaman 5

Page 6: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.5

adanya krisis moneter yang meluluhlantahkanperekonomian beberapa negara di berbagai belahandunia, mereka baru sadar akan arti pentingnyakewibawaan hukum untuk menciptakan iklim ekonomiyang kondusif dan untuk menarik inventasi.8

Dalam upaya menempatkan hukum sebagai instrumenyang berwibawa untuk mendukung pembangunanekonomi, tampaknya perlu diketahui peran apa yangdikehendaki oleh bidang ekonomi dari keberadaanhukum di masyarakat. Beberapa pakar ekonomimengharapkan agar pembangunan hukum ekonomi harusdiarahkan untuk menampung dinamika kegiatanekonomi9, dengan menciptakan kegiatan yang efisien danproduktif10, dan mengandung daya prediktabilitas11.

8Harian Kompas, Kamis 23 september 2004, menyajikan data di mana World Investment Report2004 menempatkan Indonesia pada urutan ke-139 dari 144 negara yang pada saat ini menjaditujuan investasi di dunia. Indonesia hanya lebih baik dari beberapa Negara Amerika Tengah danSuriname, dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi SebagaiPanglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, halaman. 17.9Lihat Djunaedi Hadisumarto, Sambutan Seminar Sehari Implikasi Reformasi Hukum BisnisTerhadap Perekonomian Indonesia, Penyelenggara Program Studi Magister ManajemenUniversitas Indonesia, 8 Desember 1993 dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji,Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, halaman. 1810Menurut Hernado de Soto, hukum yang baik adalah hukum yang menjamin bahwa kegiatanekonomi dan sosial yang diaturnya dapat berjalan dengan efisien, sedangkan hukum yang burukadalah hukum yang mnengacaukan atau justru menghalangi kegiatan usaha sehingga menjaditidak efisien. Lihat Hernado de Soto, Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi di NegaraKetiga, terjemahan oleh Masri Maris, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991, dalam AdiSulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Masmedia BuanaPustaka, Sidoarjo, 2009, halaman. 1811Djunaedi Hadisumarto, Op.cit. Setiawan, Perdagangan dan Hukum: Beberapa PemikiranTentang Reformasi Hukum Bisnis, (Makalah dalam Seminar Implikasi Reformasi Hukum BisnisTerhadap Perekonomian Indonesia, tanggal 8 Desember 1993) Program Studi MagisterManajemen, Universitas Indonesia, Lihat Charles Himawan, Mercusuar Hukum Bagi PelakuEkonomi, (Kompas, 21 April 1998), dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, HukumEkonomi Sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, halaman. 18

Page 7: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.6

Douglass C. North, seorang pemenang hadiah nobeltahun 1993 dalam bidang Ilmu Ekonomi, dalam esselyang berjudul Institutions and Economic Growth: AnHistorical Introduction mengatakan bahwa kuncimemahami peranan hukum dalam mengembangkan ataubahkan menekan pertumbuhan ekonomi terletak padapemahaman konsep ekonomi “transaction cost”12 ataubiaya-biaya transaksi. Transaction cost dalam kontek ini,adalah biaya-biaya nonproduktif yang harus ditanggunguntuk mencapai suatu transaksi ekonomi. Secara lebihspesifik terdapat tiga komponen dasar biaya transaksi13

yang mencakup:

1. Ongkos untuk menggunakan pasar (markettransaction costs) dan

12Literatur ekonomi memberikan definisi yang beragam tentang biaya transaksi, sebagian besarpenulis menggantungkan pada definisi-definisi yang sesuai dengan konseptualisasi teoritisdan/atau yang relevan dengan kasus empirisnya. Oleh karena itu, apa yang pada awalnyadiidentifikasi oleh Coase sebagai ‘biaya mengorganisasi transaksi’, telah diuji dan dikonsepulang untuk merefleksikan ongkos yang terjadi dalam situasi yang spesifik. Williamson, bahwabiaya transaksi adalah ‘biaya untuk menjalankan sistem ekonomi’ (the costs of running theeconomic system) dan ‘biaya untuk menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan’ (the costs toa changein circumstances) (Dorfman, 1981; Challen, 2000; seperti dikutip oleh Mburu, 2002:41). Selanjutnya, (North) 1991b: 203 mendefinisikan biaya transaksi sebagai ongkos untukmenspesifikasi dan memaksakan (enforcing) kontrak yang mendasari pertukaran, sehinggadengan sendirinya mencakup semua biaya organisasi politik dan ekonomi yang memungkinkankegiatan ekonomi mengutip laba dari perdagangan (pertukaran). Ringkasnya, biaya transaksiadalah biaya untuk melakukan negosiasi, mengukur, dan memaksakan pertukaran (exchange).Adapun menurut Mburu (2002:42), biaya transaksi dapat juga diartikan untuk memasukkan tigakategori yang lebih luas, yaitu: (1) biaya pencarian informasi, (2) biaya negosiasi (bargaining)dan keputusan atau mengeksekusi kontrak, dan (3) biaya pengawasan (monitoring), pemaksaan,dan pemenuhan/pelaksanaan (compliance). Lihat Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan,Definisi, Teori, & Strategi, (Bayumedia Publishing, Malang, 2006) dalam Adi Sulistiyono danMuhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo,2009, halaman. 1913Lihat Furubotn dan Ricther (Seperti dikutip oleh Benham dan Benham, 2000: 368). LihatAhmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan, Definisi, Teori, & Strategi, (BayumediaPublishing, Malang, 2006) dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum EkonomiSebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, halaman. 19

Page 8: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.7

2. Biaya melakukan hak untuk memberikan pesanan(orders) di dalam perusahaan (managerialtransaction costs).

Di samping itu, komponen yang ketiga mencakupjuga rangkaian biaya yang diasosiasikan untukmenggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangkapolitik kelembagaan (political transaction costs).Dengan demikian, transaction cost yang tinggiberdampak pada peningkatan harga jual produk,sehingga membebani masyarakat konsumen.

Peranan lain dari hukum yang sangat penting dalamkehidupan ekonomi adalah kemampuannya untukmempengaruhi tingkat kepastian dalam hubunganantarmanusia di dalam masyarakat. Seperti dikatakanoleh H.W. Robinson, ekonomi modern semakinberpandangan bahwa pengharapan individu-individumerupakan determinan-determinan tindakan-tindakanekonomi dan oleh karenanya merupakan faktor-faktoryang merajai ketika orang yang menentukan ekuilibriumekonomi dan stabilitas ekuilibrium yang telah dicapai itu.Si pengusaha, si pemberi kapital, si pemilik tanah,pekerja, dan semua konsumen berbuat sesuai rencanayang diperkirakannya akan memberikan hasil yangmaksimum. Di dalam suasana kompleks dunia modernsebagian besar dari hasil-hasil itu sitentukan oleh

Page 9: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.8

seberapa tepatnya kejadian-kejadian mendatang yangdapat diramalkan sebelumnya14.

Menurut studi yang dilakukan Burg’s mengenaihukum dan pembangunan, terdapat 5 (lima) unsur yangharus dikembangkan supaya hukum tidak menghambatekonomi, yaitu stabilitas (stability), prediksi(predictability), keadilan (fairness), pendidikan(education), dan pengembangan khusus dari sarjanahukum (the special development abilities of thelawyer)15. Selanjutnya Burg’s mengemukakan bahwaunsur pertama dan kedua di atas ini merupakanpersyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini,“stabilitas” berfungsi untuk mengakomodasi danmenghindari kepentingan-kepentingan yang salingbersaing. Adapun prediksi merupakan kebutuhan untukbisa memprediksi ketentuan-ketentuan yangberhubungan dengan ekonomi suatu negara.16

Pandangan Burg’s di atas sesuai dengan pemikiranJ.D. Ny Hart yang juga mengemukakan konsep hukumsebagai dasar pembangunan ekonomi. Ny Hartmengemukakan adanya enam konsep dalam ilmu hukum

14Djunaedi Hadisumarto, Op.cit. Setiawan, Perdagangan dan Hukum: Beberapa PemikiranTentang Reformasi Hukum Bisnis, (Makalah dalam Seminar Implikasi Reformasi Hukum BisnisTerhadap Perekonomian Indonesia, tanggal 8 Desember 1993) Program Studi MagisterManajemen, Universitas Indonesia, Lihat Charles Himawan, Mercusuar Hukum Bagi PelakuEkonomi, (Kompas, 21 April 1998), dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, HukumEkonomi Sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, halaman. 1915Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, Journal of International Law andPolicy (Vol.9, 1980), hal. 232, dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, HukumEkonomi Sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, halaman. 2016Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, Journal of International Law andPolicy (Vol.9, 1980), hal. 232, dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, HukumEkonomi Sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, halaman. 20

Page 10: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.9

yang mempunyai pengaruh bagi pengembanganekonomi17. Adapun keenam konsep tersebut adalahsebagai berikut.

Pertama, prediktabilitas. Hukum harus mempunyaikemampuan untuk memberikan gambaran pasti di masadepan mengenai keadaan atau hubungan-hubungan yangdilakukan pada masa sekarang.

Kedua, kemampuan procedural. Pembinaan di bidanghukum acara memungkinkan hukum material itu dapatmerealisasikan dirinya dengan baik ke dalam pengertianhukum acara ini termasuk tidak hanya ketentuan-ketentuan hukum perundang-undangan, melainkan jugasemua prosedur penyelesaian yang disetujui oleh parapihak yang bersengketa, misalnya bentuk-bentukarbitrasi, konsiliasi, dan sebagainya. Apabila diharapkan,kesemua lembaga tersebut hendaknya dapat bekerjadengan efisien. Bahwa kehidupan ekonomi itu inginmencapai tingkatannya yang maksimum.

Ketiga, kodifikasi tujuan-tujuan. Perundang-undangandapat dilihat sebagai suatu kodifikasi tujuan sertamaksud sebagaimana dikehendaki oleh negara. Misalnyadi bidang ekonomi, kita akan dapat menjumpai tujuan-tujuan itu seperti dirumuskan di dalam beberapaperundang-undangan yang secara langsung atau tidak

17Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Penerbit Angkasa, 1980, dalam AdiSulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Masmedia BuanaPustaka, Sidoarjo, 2009, halaman. 20

Page 11: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.10

langsung mempunyai pengaruh terhadap bidangperekonomian.

Keempat, faktor penyeimbangan. Sistem hukum harusdapat menjadi kekuatan yang memberikan keseimbangandi antara nilai-nilai yang bertentangan di dalammasyarakat. Sistem hukum memberikan “kesadaran akankeseimbangan” dalam usaha-usaha negara melakukanpembangunan ekonomi.

Kelima, akomodasi, perubahan yang cepat sekali padahakikatnya akan menyebabkan hilangnya keseimbanganyang lama, baik dalam hubungan antarindividu maupunkelompok di dalam masyarakat. Keadaan ini dengansendirinya menghendaki dipulihkannya keseimbangantersebut melalui satu dan lain jalan. Di sini sistem hukumyang mengatur hubungan antara individu baik secaramaterial maupun formal memberi kesempatan kepadakeseimbangan yang terganggu itu untuk menyesuaikandiri kepada lingkungan yang baru sebagai akibatperubahan tersebut. Pemulihan kembali inidimungkinkan oleh karena di dalam kegoncangan inisistem hukum memberikan pegangan kepastian melaluiperumusan-perumusan yang jelas dan definitive,membuka kesempatan bagi dipulihkannya keadilanmelalui prosedur yang tertib dan sebagainya.

Keenam, definisi dan kejernihan tentang status. Disamping fungsi hukum yang memberikan prediktabilitas,dapat ditambahkan bahwa fungsi hukum juga

Page 12: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.11

memberikan ketegasan mengenai status orang-orang danbarang-barang di masyarakat.

Selama ini kelemahan utama bidang hukum yangsering dihadapi oleh pelaku ekonomi di Indonesia adalahmasalah ketidakpastian hukum. Padahal kepastianhukum juga dibutuhkan untuk memperhitungkan danmengantisipasi risiko. Bahkan bagi suatu negara,kepastian hukum merupakan salah satu faktor yangsangat menunjang daya tahan ekonomi suatu negara18.

Agar hukum mampu memainkan peranannya untukmemberikan kepastian hukum pada pelaku ekonomi,maka pemerintah bertanggung jawab menjadikan hukumberwibawa dengan jalan merespon dan menindaklanjutipendapat dan keinginan pakar-pakar ekonomidi atas.Sehingga ke depan diharapkan hukum mampumemainkan peranannya sebagai faktor pemandu,pembimbing, dan menciptakan iklim kondusif padabidang ekonomi.

Di samping kepastian hukum, peningkatan efisiensi19

secara terus menerus merupakan dalah satu perhatian

18Menurut evaluasi dari IMF mengenai Singapura disebutkan bahwa Singapura, dinilai berhasilmembendung guncangan moneter disebabkan karena fundamental ekonomi dan manajemenSingapura kuat. Ditambah ada dua faktor lagi, yaitu: adanya transparansi dan kepastian hukumyang tinggi. Lihat Charles Himawan, Mercusuar Hukum Bagi Pelaku Ekonomi, Kompas, 21April 1998, dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi SebagaiPanglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, halaman. 2219Konsep efisiensi adalah cara untuk mencapai kesejahteraan secara maksimal. Kesejahteraandikatakan sudah mencapai tingkat maksimal apabila barang dan jasa yang didistribusikan untukkesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (yang diukur dengan kemauan individu untukmembayar barang dan jasa), tidak dapat ditingkatkan lagi. Chatamarrasjid, Pendekatan EkonomiTerhadap Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Yarsi, 4 Oktober 2003, Jakarta,UI-Press, dalam Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi SebagaiPanglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, halaman. 22.

Page 13: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.12

sistem ekonomi. Oleh karena itu, hukum juga harussenantiasa diusahakan agar dapat menamupung berbagaigagasan baru serta disesuaikan dengan kondisi-kondisiyang berubah apabila hendak memperoleh tingkatefisiensi yang setinggi-tingginya. Kinerja lembaga-lembaga yang tidak sesuai bagi peningkatan efisiensiharus segera dapat dioptimalkan agar tidak menjadihambatan bagi aktivitas ekonomi. Guna menampungkebutuhan-kebutuhan ini maka suatu lembaga hukumharus dapat memainkan peranan pentingnya di dalampenyesuaian keadaan ide-ide dan kondisi yang cepatberkembang.

Walaupun banyak pakar yang telah memosisikanpentingnya hukum dalam pembangunan ekonomi suatubangsa, namun sampai sekarang presiden belum tentumenjadikan pembangunan hukum sebagai prioritasutama untuk menopang pembangunan ekonomi. Saat ini,pembangunan yang dilakukan sepertinya dibiarkanmengalir begitu saja tanpa orientasi. Boleh jadi, kondisiini adalah reaksi negative atas “arah besar” tujuanpembangunan Orde Baru yang akhirnya berantakan.Orientasi jangka pendek para elit politik, jugamempersulit pencapaian consensus bersama sebagaibasis bagi pencarian orientasi pembangunan. Sementaraitu, fenomena global berupa “kelesuan teori secara laten”turut memperkuat kecenderungan hilangnya orientasipembangunan20.

20Kelesuan teori ini mengandung bahaya yang tak terhindarkan. Semua yang berbau ideologiditinggalkan, sehingga dengan tanpa dasar, kita tidak mempunyai pegangan. Hal yang bisa

Page 14: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.13

Dalam kaitan ini, Imanuel Kant—sebagaimanadikutip oleh Achmad Ali21 — beberapa abad yang silampernah mengatakan, bahwa “noch suchen die juristeneine definition zu ihrem begriffe von rech” (tidak adaseorang yuris pun yang mampu membuat satu definisihukum yang tepat). Demikian Lioyd22 mengemukakanbahwa “....although much juristie ink has been used inan attempt to provide a universally acceptable definitionof law” (....meskipun telah banyak tinta pada yuris yanghabis digunakan di dalam usaha untuk membuat suatudefinisi hukum yang dapat diterima di seluruh dunia,namun hingga kini hanya jejak kecil dari niat itu dapatdicapai). Penyebab lain sulitnya memberi definisi hukumyang tepat ialah selain karena sifatnya yang abstrak, jugakarena yang diatur oleh hukum itu sangat luas, yaknihampir seluruh segi kehidupan manusia.Definisi hukumdari Oxford english Dictionary,23 yaitu “law is the bodyof role, whether formally enacted or customary, whish astate or comunity recognises as binding on its membersor subjects” (hukum adalah kumpulan aturan,perundang-undangan atau hukum kebiasaan, di manasuatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu

dilakukan sekadar mengibarkan bendera kecil dalam pusaran wind of change usai PerangDingin. Diskusi lebih lanjut soal ini, lihat Ivan A. Hadar, Utang, Kemiskinan, dan GlobalisasiPencarian Solusi Alternatif, Yogyakarta, Pustaka Utama Lapera, dalam Adi Sulistiyono danMuhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo,2009, halaman. 22.21 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis, ChandraPratama, Jakarta, 1996, halaman. 22. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam PembangunanEkonomi, Prenada Media Group, 2014, halaman. 522 Ibid. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada MediaGroup, 2014, halaman. 523 E. Utrecht & Muh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ikhiar, Jakarta, 1983,halaman. 42. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, PrenadaMedia Group, 2014, halaman. 5

Page 15: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.14

yang mempunyai kekuatan mengikat terhadapwarganya). Utrecht memandang hukum tidak sekedarsebagai kaidah, melainkan juga sebagai gejala sosial dansebagai segi kebudayaan. Dan jika hukum dilihat sebagaikaidah ia memberikan definisi hukum sebagai himpunanpetunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan-laranganyang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, danseharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yangbersangkutan. Oleh karena pelanggaran petunjuk hiduptersebut dapat menimbulkan kerugian kepadamasyarakat, maka diperlukan tindakan oleh pemerintahatau penguasa untuk menegakkan hukumtersebut.Walaupun diantara para ahli hukum belummendapat suatu kesatuan mengenai pengertian hukum,tetapi dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum meliputibeberapa unsur antara lain : pertama, hukum merupakanperaturan mengenai tingkah laku manusia dalampergaulan masyarakat; kedua, peraturan itu bersifatmengikat dan memaksa; ketiga, peraturan itu diadakanoleh badan-badan resmi; keempat, pelanggaran terhadapperaturan tersebut dikenakan sanksi yang tegas; kelima,hukum dapat juga berbentuk tidak tertylis berupakebiasaan yang berlaku dalam masyarakat; dan keenam,tujuan hukum adalah untuk mengadakan keselamatan,kebahagiaan, dan ketertiban dalam kehidupanmasyarakat.

Sebagaimana ilmu hukum, ilmu ekonomi juga tidakada kesamaan para ahli ekonomi dalam memberi definisiyang konkret. Menurut M. Manulang — sebagaimanadikutip oleh Elsi Kartika Sari dan Advendi

Page 16: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.15

Simanungsong 24— mengatakan bahwa yang dimaksuddengan ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yangmempelajari masyarakat dalam usahanya untukmencapai kemakmuran. Kemakmuran adalah suatukeadaan di mana manusia dapat memenuhikebutuhannya, baik barang-barang maupun jasa.Adapun yang dimaksud dengan hukum ekonomi,menurut Rachmad Soemitro25 adalah sebagian darikeseluruhan norma yang dibuat oleh pemerintah ataupenguasa sebagai satu personifikasi dari masyarakatyang mengatur kehidupan kepentingan ekonomimasyarakat yang saling berhadapan. Dengan demikian,dapat diketahui bahwa hukum ekonomi tidak dapatdiaplikasikan sebagai satu bagian dari salah satu cabangilmu hukum, melainkan merupakan kajian secaraindisipliner dan multidimensional.26

Hukum ekonomi lahir disebabkan karena semakinpesatnya pertumbuhan dan perkembangan ekonominasional maupun internasional. Seluruh negara di duniaini menjadikan hukum sebagai alat untuk mengatur danmembatasi kegiatan-kegiatan ekonomi, dengan tujuanagar perkembangan perekonomian tersebut tidakmerugikan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Dengademikian, dapat dikatakan bahwa hukum itu tidak hanya

24 Elsi Kartika Sari & Advendi Simanungsong, Hukum dalam Ekonomi, PT GramediaWidiasarana Indonesia, Jakarta, 2007, halaman. 4. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalamPembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014, halaman. 6.25 Ibid., halaman. 5 Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, PrenadaMedia Group, 2014, halaman. 726 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 6

Page 17: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.16

berupa pengaturan terhadap aktivitas ekonomi, tetapijuga bagaimana pengaruh ekonomi terhadap hukum.27

Hubungan hukum dengan ekonomi bukan hubungansatu arah, tetapi hubungan timbal balik dan salingmemengaruhi. Kegiatan ekonomi yang tidak didukungoleh hukum akan mengakibatkan terjadi kekacauan,sebab apabila para pelaku ekonomi dalam mengejarkeuntungan tidak dilandasi dengan norma hukum, makaakan menimbulkan kerugian salah satu pihak dalammelakukan kegiatan ekonomi. Ada sementara ahli hukummengatakan, bahwa hukum selalu berada di belakangkegiatan ekonomi, setiap kegiatan ekonomi dilakukanoleh seseorang pasti kegiatan itu diikuti oleh normahukum yang menjadi rambu pelaksananya. Hukum yangmengikuti kegiatan ekonomi ini merupakan seperangkatnorma yang mengatur hubungan kegiatan ekonomi danini selalu dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang dianutoleh suatu negara. Untuk Indonesia dasar kegiatanhukum ekonomi itu terletak pada Pasal 33 UUD 1945dan beberapa peraturan derivatif lainnya. 28

Hukum dan ekonomi ibarat dua sisi mata uang yangtidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi. Di negara-negara maju (misalnya Singapura) sebelum produk-produk ekonomi diterjunkan ke pasar bebas, terlebihdahulu dibuat aturan hukum untuk melindungipenggunaan produk-produk ekonomi tersebut oleh

27 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 728 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 8

Page 18: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.17

masyarakat. Misalnya dalam bidang produk handphone,masyarakat dilarang keras menggunakan handphone ditempat-tempat umum yang memerlukan ketenanganseperti di perpuatakaan, di rumah sakit, dan juga dilarangkeras menggunakan handphone dikala menyetir mobil.Apabila hal ini dilakukan, maka dihukum denganhukuman berat. Di Indonesia, hal ini belum dilakukan,banyak produk ekonomi telah diluncurkan, hukum belumdibuat menyertai produk ekonomi tersebut. Orang-orangbebas menggunakan handphone semaunya, di sbarangtempat dan situasi. Demikian juga dengan produk-produkekonomi lain, seperti komputer dan penggunaan alat-alatelektronik dalam bidang ekonomi, sebagian besarproduk-produk itu belum ada hukum yang mengaturnyauntuk menuju kepada ketertiban dan kedamaian.29

Indonesia sebagai negara berkembang yangmerupakan salah satu negara yang tergabung dalamkelompok negara-negara Asia Tenggara (Association ofSoutheast Asian Nations) merupakan negara yang dalamtingkat perkembangan ekonominya belum begitu mapan.Bahkan ada para ahli ekonomi mengatakan, negaraIndonesia sebagai salah satu negara anggota ASEANyang lain. Sebelum 1997, sebenarnya banyak pihakmemuji prestasi pembangunan ekonomi indonesiasebagai salah satu High Performing Asian EconomyCoutries yang memiliki kinerja perekonomian yangsangat mengagumkan, bahkan ada yang menganggapnyasebagai miracle, tetapi karena hantaman krisis ekonomi

29 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 8

Page 19: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.18

yang berawal dari depresi rupiah pada Juli 1997, semuakeajaiban itu menjadi sirna dan terseok-seok dalam krisiekonomi yang berkepanjangan, sampai sekarang belumpulih kembali.30

Krisis ekonomi yang terjadi saat ini telah berkembangmenjadi krisis yang rumit dan kompleks yang terkadangmenimbulkan pesimisme tentang jayanya ekonomiindonesia dimasa yang akan datang. Saat ini indonesiaberada dalam transisi, yang belum terbayangkan berapalama masa transisi itu akan berlangsung. Meskipunsemula krisis ini hanya merupakan contagion effect daridepresi mata uang bath Thailand terhadap dollar AS pada1997, tetapi karena fundamental perekonomian Indonesiayang rapuh, maka dampak krisis ini terkena negaraindonesia sangat dahsyat, sementara proses economiceecovery-nya berjalan sangat lamban. Prestasiperekonomian Indonesia yang semula cukup baik,berubah menjadi negatif. Banyak pengamat ekonomiIndonesia mengatakan, bahwa pembangunan ekonomiIndonesia ialah semu dengan fundamental yang tidakkuat. Di samping itu, para pengamat juga mengatakan,bahwa perekonomian Indonesia tidak didukung olehsumber daya domestik yang tangguh, tetapi karenadidukung oleh investasi asing, bahkan berjangka pendekyang sewaktu-waktu mereka dapat keluar dari Indonesia.Pembangunan nasional juga dibangun dengan utang luarnegeri yang bersifat pasif, sehingga justru

30 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 1

Page 20: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.19

memberatkankondisi perekonomian Indonesia untukbangkit kembali.31

Kondisi perekonomian Indonesia sebagaimanatersebut di atas telah menimbulkan berbagai problemsosial yang kompleks, misalnya tingkat pengangguranyang tinggi, bertambahnya angka kemiskinan,produktivitas dan kualitas tenaga kerja yang rendah, danhancurnya usaha kecil dan menengah yang menjaditumpuan rakyat. Di samping itu, perkembangan ekonomidunia saat ini menjurus kepada aktivitas ekonomi globalyang bergerak dari satu negara ke negara lain secarabebas, sehingga ketidakpastian akses pasar ekonomidunia. Kondisi perekonomian dunia seperti ini membawakecenderungan pada peningkatan perjanjian bilateral danmultilateral antar negara selaku pelaku ekonomi di duniainternasional yang pada akhirnya berdampak padatimbulnya hukum baru pada masing-masing negara.32

Para ahli ekonomi Indonesia telah memberikanpendapatnya tentang solusi terbaik untuk menyelesaikanberbagai problem yang menyangkut perbaikan ekonomiIndonesia. Ada yang menganjurkan agar ditingkatkankerja sama ekonomi dengan dunia internasional,khususnya dengan negara-negara yang tergabung dalamASEAN. Hal ini perlu dilaksanakan guna menyelaraskanperkembangan ekonomi negara-negara ASEAN yangpenuh persaingan. Ada juga yang berpendapat bahwa

31 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 132 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 2

Page 21: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.20

pembangunan ekonomi Indonesia selama ini tidakberpihak kepada ekonomi rakyat. Solusi untuk masalahini, selain perlunya membangun ekonomi Indonesiadengan konsep ekonomi kerakyatan, juga perlumenciptakan strategi pembangunan dengan lebih banyakmelibatkan rakyat dalam berbagai bidang ekonomi danperdagangan. Selain dari itu, desentralisasi pembangunandan otonomi daerah dipandang sebagai salah satulangkah yang mendesak untuk dilaksanakannya.33

Globalisasi ekonomi dewasa ini telah melahirkanberbagai kejadian baru dalam perkembangan ekonomidunia, yaitu terjadinya era pasar bebas internasional,interdependensi sistem baik dalam bidang politikmaupun ekonomi, lahirnya berbagai lembaga ekonomiinternasional, pengelompokan negara dalam kawasanekonomi regional, maju pesatnya pelaku ekonomitransnasional corporation, dan lahirnya militaryindustrial complex. Hal ini tidak dapat dilaksanakandalam kevakuman hukum dan kaidah-kaidah hukumsangat diperlukan untuk mengatur mekanisme hubunganagar tidak menjadi konflik kepentingan dalampembangunan ekonomi suatu bangsa. Seandainya konflikbetul-betul terjadi, maka pranata hukumlah yang dapatdigunakan aebagai alat untuk menyelesaikannya. Hukumdi samping untuk menjaga ketertiban masyarakat, jugadapat digunakan sebagai rambu-rambu dalampembangunan ekonomi sehingga ada kepastian hukum

33 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 3

Page 22: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.21

dan rasa keadilan bagi pelaku ekonomi di manapunmereka berada.34

2. Hubungan Hukum Dengan Ekonomi

Sampai sekarang belum ada kesamaan para ahlihukum memberikan definisi tentang hukum. Perbedaanitu disebabkan karena para ahli hukum memberikandefinisi hukum dengan sudut pandang yang berlainandan titik beratnya yang berbeda. Presepsi orang tentanghukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut manamereka memandangnya. Hakim memandang hukumsesuai dengan profesi yang diembannya, kalanganilmuwan memandang hukum dari sudut pandang profesikeilmuwannya, rakyat kecil memandang hukum darisudut pandangmereka sehari-hari yang berupa kebiasaan-kebiasaan. Bagi masyarakat yang religius,hukum itudianggap sesebagai hukum Tuhan, ketika undang-undangdiagungkan oleh masyarakat maka hukum diidentikkandengan undang-undang, dan lain sebagainya.35

Dari sudut pandang yang berbeda ini, maka sangatmustahil untuk membuat satu definisi hukum yang dapatditerima oleh semua pihak. Dalam kaitan ini, ImanuelKant—sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali36 —beberapa abad yang silam pernah mengatakan, bahwa

34 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 335 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 436 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis, ChandraPratama, Jakarta, 1996, halaman. 22. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam PembangunanEkonomi, Prenada Media Group, 2014, halaman. 5

Page 23: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.22

“noch suchen die juristen eine definition zu ihrembegriffe von rech” (tidak ada seorang yuris pun yangmampu membuat satu definisi hukum yang tepat).Demikian Lioyd37 mengemukakan bahwa “....althoughmuch juristie ink has been used in an attempt to providea universally acceptable definition of law” (....meskipuntelah banyak tinta pada yuris yang habis digunakan didalam usaha untuk membuat suatu definisi hukum yangdapat diterima di seluruh dunia, namun hingga kinihanya jejak kecil dari niat itu dapat dicapai). Penyebablain sulitnya memberi definisi hukum yang tepat ialahselain karena sifatnya yang abstrak, juga karena yangdiatur oleh hukum itu sangat luas, yakni hampir seluruhsegi kehidupan manusia.38

Definisi hukum dari Oxford english Dictionary,39

yaitu “law is the body of role, whether formally enactedor customary, whish a state or comunity recognises asbinding on its members or subjects” (hukum adalahkumpulan aturan, perundang-undangan atau hukumkebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakatmengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatanmengikat terhadap warganya). Utrecht memandanghukum tidak sekedar sebagai kaidah, melainkan jugasebagai gejala sosial dan sebagai segi kebudayaan. Danjika hukum dilihat sebagai kaidah ia memberikan definisi

37 Ibid. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada MediaGroup, 2014, halaman. 538 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 539 E. Utrecht & Muh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ikhiar, Jakarta, 1983,halaman. 42. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, PrenadaMedia Group, 2014, halaman. 5

Page 24: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.23

hukum sebagai himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengatur tata tertibdalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati olehanggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenapelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkankerugian kepada masyarakat, maka diperlukan tindakanoleh pemerintah atau penguasa untuk menegakkanhukum tersebut.

Walaupun diantara para ahli hukum belum mendapatsuatu kesatuan mengenai pengertian hukum, tetapi dapatditarik kesimpulan bahwa hukum meliputi beberapaunsur antara lain : pertama, hukum merupakan peraturanmengenai tingkah laku manusia dalam pergaulanmasyarakat; kedua, peraturan itu bersifat mengikat danmemaksa; ketiga, peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi; keempat, pelanggaran terhadap peraturantersebut dikenakan sanksi yang tegas; kelima, hukumdapat juga berbentuk tidak tertylis berupa kebiasaan yangberlaku dalam masyarakat; dan keenam, tujuan hukumadalah untuk mengadakan keselamatan, kebahagiaan,dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.40

Sebagaimana ilmu hukum, ilmu ekonomi juga tidakada kesamaan para ahli ekonomi dalam memberi definisiyang konkret. Menurut M. Manulang — sebagaimanadikutip oleh Elsi Kartika Sari dan Advendi

40 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 6

Page 25: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.24

Simanungsong 41— mengatakan bahwa yang dimaksuddengan ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yangmempelajari masyarakat dalam usahanya untukmencapai kemakmuran. Kemakmuran adalah suatukeadaan di mana manusia dapat memenuhikebutuhannya, baik barang-barang maupun jasa.Adapun yang dimaksud dengan hukum ekonomi,menurut Rachmad Soemitro42 adalah sebagian darikeseluruhan norma yang dibuat oleh pemerintah ataupenguasa sebagai satu personifikasi dari masyarakatyang mengatur kehidupan kepentingan ekonomimasyarakat yang saling berhadapan. Dengan demikian,dapat diketahui bahwa hukum ekonomi tidak dapatdiaplikasikan sebagai satu bagian dari salah satu cabangilmu hukum, melainkan merupakan kajian secaraindisipliner dan multidimensional.

Hukum ekonomi lahir disebabkan karena semakinpesatnya pertumbuhan dan perkembangan ekonominasional maupun internasional. Seluruh negara di duniaini menjadikan hukum sebagai alat untuk mengatur danmembatasi kegiatan-kegiatan ekonomi, dengan tujuanagar perkembangab perekonomian tersebut tidakmerugikan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Dengademikian, dapat dikatakan bahwa hukum itu tidak hanya

41 Elsi Kartika Sari & Advendi Simanungsong, Hukum dalam Ekonomi, PT GramediaWidiasarana Indonesia, Jakarta, 2007, halaman. 4. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalamPembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014, halaman. 6.42 Ibid., halaman. 5 Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, PrenadaMedia Group, 2014, halaman. 7

Page 26: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.25

berupa pengaturan terhadap aktivitas ekonomi, tetapijuga bagaimana pengaruh ekonomi terhadap hukum.43

Hubungan hukum dengan ekonomi bukan hubungansatu arah, tetapi hubungan timbal balik dan salingmemengaruhi. Kegiatan ekonomi yang tidak didukungoleh hukum akan mengakibatkan terjadi kekacauan,sebab apabila para pelaku ekonomi dalam mengejarkeuntungan tidak dilandasi dengan norma hukum, makaakan menimbulkan kerugian salah satu pihak dalammelakukan kegiatan ekonomi. Ada sementara ahli hukummengatakan, bahwa hukum selalu berada di belakangkegiatan ekonomi, setiap kegiatan ekonomi dilakukanoleh seseorang pasti kegiatan itu diikuti oleh normahukum yang menjadi rambu pelaksananya. Hukum yangmengikuti kegiatan ekonomi ini merupakan seperangkatnorma yang mengatur hubungan kegiatan ekonomi danini selalu dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang dianutoleh suatu negara. Untuk Indonesia dasar kegiatanhukum ekonomi itu terletak pada Pasal 33 UUD 1945dan beberapa peraturan derivatif lainnya. 44

Hukum dan ekonomi ibarat dua sisi mata uang yangtidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi. Di negara-negara maju( misalnya Singapura ) sebelum produk-produk ekonomi diterjunkan ke pasar bebas, terlebihdahulu dibuat aturan hukum untuk melindungipenggunaan produk-produk ekonomi tersebut oleh

43 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 744 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 7-8

Page 27: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.26

masyarakat. Misalnya dalam bidang produk handphone,masyarakat dilarang keras menggunakan handphone ditempat-tempat umum yang memerlukan ketenanganseperti di perpuatakaan, di rumah sakit, dan juga dilarangkeras menggunakan handphone dikala menyetir mobil.Apabila hal ini dilakukan, maka dihukum denganhukuman berat. Di Indonesia, hal ini belum dilakukan,banyak produk ekonomi telah diluncurkan, hukum belumdibuat menyertai produk ekonomi tersebut. Orang-orangbebas menggunakan handphone semaunya, di sbarangtempat dan situasi. Demikian juga dengan produk-produkekonomi lain, seperti komputer dan penggunaan alat-alatelektronik dalam bidang ekonomi, sebagian besarproduk-produk itu belum ada hukum yang mengaturnyauntuk menuju kepada ketertiban dan kedamaian.45

Caoter dan Ulen — sebagaimana dikutip oleh FajarSugianto46 — mengatakan, bahwa interaksi antara ilmuhukum dan ilmu ekonomu tidak dapat dipisahkan, karenakeduanya mempunyai persamaan dan keterkaitan didalam teori-teori keilmuan tentang perilaku (scientifictheories of behavior). Menurutnya, ilmu ekonomumenyediakan acuan normatif untuk mengevaluasi hukumdan kebijakan, sementara hukum bukan hanya berupamisteri rahasia, argumen-argumen teknikal, namunberupa alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang

45 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 846 Fajar Sugianto, Economic Analysis of Law, Seri Analisis Keekonomian tentang Huum, Seri I,Pranadamedia Group, Jkarta, 2013, halaman. 19. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalamPembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014, halaman. 8

Page 28: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.27

penting, ilmu ekonomi memproteksi terhadap efisiensikebijakan.

Richard A. Panser menjelaskan bahwa teori-teorihukum telah mengasimilasi banyak konsep ekonomi,misalnya incentive cost, opportunity cost, risk oversion,transaction, cost, free ridring, credible commitment,adverse selection, dan lain sebagainya, terutamakeberadaan hukum kontrak di dalam pertumbuhanekonomi. Di sisi lain, konsep-konsep ekonomi telahmelahirkan pri sip-prinsip hukum seperti litigations cost,property rules, strict leability, mon monetery sanctions,efficiency, dan breach. Sebagai contoh penerapan ilmuekonomi terhadap hukum kontrak antara lain teori tawarmenawar ( bargaining theory ) yang menjadi jembatanpenghubung keinterdependensian antara ilmu hukum danilmu ekonomi, dari sudut pandang ekonomi kontrakmerupakan transaksi hukum yang menyatakanpencapaian peningkatan kesejahteraan (wealthmaximinization). Untuk mencapai hak ini diharapkantransaksi hukum dapat dituangkan ke dalam kontraksecara sukarela, namun memiliki pengaturan yang ketatuntuk melindungi proses pertukaran hak dankewajiban.47

Menurut Fajar Sugianto48 dari uraian diatas, makadapat diketahui bahwa ilmu ekonomi dapat membantuuntuk mengamati hukum dan ilmu hukum dengan cara-

47 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 948 Ibid., halaman 22-23 Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi,Prenada Media Group, 2014, halaman. 9

Page 29: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.28

cara baru, misalnya dalam mencermati keberadaankontrak. Cara pandang ekonomi terhadap hukum dapatmembantu hukum dan ilmu hukum tidak saja menjadialat untuk mencaoau tujuan hukum atay hanya berperansebagai penyedia keadilan, tetapi sebagai subjek hukummencapai sasaran dan cita-cita hukum.

Ilmu hukum dan ilmu ekonomi sebagai inti disiplinermenyarankan kepada para pengguna hukum, khususnyapraktisi hukum dan akademisi ilmu hukum, agar samasekali tidak mengecilkan disiplin ilmu ekonomi.Demikian juga sebaliknya, para ekonom wajibmempelajari hukum dan ilmu hukum yang memilikiandil besar dalam mengatur kegiatan ekonomi, baikorang perorangan, korporasi, maupun oleh suatunegara.49

Era globalisasi yang melanda dunia saat ini telahmembuat pergaulan masyarakat dunia semakin terbuka,batas-batas negara dalam pengertian ekonomi dan hukumsemakin erat. Kedua hal ini selalu berjalan secarabersamaan. Oleh karena itu, segala hal yangberhubungab dengan kegiatan ekonomi yang telahdibahas dalam GATT, WTO, dan lembaga ekonomiinternasional lainnya harus menjadi pertimbangan seriusdalam membangun hukum ekonomi Indonesia. Hal inipenting karena prinsip management accros berbeda saatini tidak bisa dibendung lagi dan bergerak terus ke arahsatu pemahaman bagaimana meratakan ekonomi dunia.

49 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 10

Page 30: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.29

Negara-negara yang mengasingkan diri dari pergaulanekonomi dunia, tidak meratifikasi hukum ekonomiinternasional menjadi hukum ekonomi nasional, makanegara tersebut akan ketinggalan zaman.50

3. Arah Kebijakan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Konstitusi menyatakan bahwa pembangunan ekonomiIndonesia harus dilaksanakan dengan mengikutsertakanperan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 33ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi : Perekonomiannasional diselenggarakan berdasar atas demokrasiekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensiberkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkingan,kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangankemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dalam tataranperundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dariUUD 1945, kehendak untuk melaksanakanpembangunan nasional dengan segenap dana dan dayayang dimiliki digambarkan dengan lebih nyata. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang SistemPerencanaan Pembangunan Nasional denga jelasmenyebutkan bahwa pembangunan nasional di Indonesiamerupakan upaya yang dilaksanakan oleh segenapkomponen bangsa Indonesia dalam rangka mencapaitujuan bernegara.51

50 Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 1051 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group,2014, halaman. 21

Page 31: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.30

Makna dari prinsip kebersamaan yang tercantum padaPasal 33 ayat (4) UUD 1945 tersebut harus dilihat dalamcakupan yang lebih luas. Masyarakat harus menyadaribahwa pemerintah mempunyai keterbatasan dana dandaya untuk melaksanakan pembanhunan ekonomi karenapembangunan itu sendiri sangat kompleks, sehinggadiharapkan dapat tercipta saling isi mengisi antarapemerintah dan masyarakat untuk keberhasilanpembangunan nasional. Prinsip kebersamaan yangdikanding Pasal 33 ayat (4) UUd 1945 pada dasarnyameletakkan tanggung jawab pembanhunan nasionalbukan hanya dipundak pemerintah, tetapi bersamamasyarakat juga.52

Sejalan dengan pemikiran para ahli uang telahdikemukankan diatas, Sondang siagian menyebutkanbahwa pembangunan nasional mempunyai maknasebagai berikut;53

a. Pembangunan itu merupakan sebuahproses.Pembangunan pada dasarnya merupakanrangkaian kegiatan yang beelangsung secaraberkelanjutan dan terdiri dari tahap-tahap yang disatu pihak bersifat independen, tetapi dipihak lainmerupakan bagian dari sesuatu yang bersifat tanpaakhir (never- ending).

52 Jonker Sihombing, Peran dan Aspek Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Alumni , Bandun,halaman. 74. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, PrenadaMedia Group, 2014, halaman. 2253 Sondang Siagian, Administrasi Pembangunan : Konsep, Dimensi, dan Strateginya, Cetakanke-4, Bumi Aksara, Jakarta, 2005, halaman. 4-5. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalamPembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014, halaman. 22

Page 32: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.31

b. Pembangunan merupakan upaya yang secara sadarditetapkan sebagai sesuatu intuk dilaksanakan.

c. Pembangunan dilakukan secara tterencana baikdalam arti jangka panjang, jangka sedang, dan jangkapendek. Dan seperti dimaklumi merencanakan berartimengambil keputusan sekarang tentang hal-hal yangakan dilakukan pada jangka waktu tertentu di masadepan.

d. Rencana pembangunan mengandung maknapertumbuhan dan periubahan.

e. Pembangunan mengarah kepada modernitas.f. Modernitas yang ingin dicapai melalui berbagai

kegiatan pembangunan per definisi bersifatmultidimensional. Artinya, modernitas tersebutmencakup seluruh kehidupan berbangsa danbernegara, uang bisa mengejawantah dalam bidangpolitik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dankeamanan.

Secara khusus Mochtar Kusumaatmadja54

menyebutkan bahwa hakikat dari pembangunan nasionalterletak pada masalah pembaruan cara berfikir dan sikaphidup. Mochtar Kusumaatmadja mengaitkan perlunyaperubahan sikap mental seluruh rakyat Indonesia intukmengantisipasi pembanhunan nasional, karenapembangunan nasional selalu mengandung hal-hal yangbaru. Sebagai bangsa yang pernah dijajah selama ratusantahun, masa peralihan dari sebuah masyarakat yang

54 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, PT Alumni,Bandung, 2002, halaman. 10. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam PembangunanEkonomi, Prenada Media Group, 2014, halaman. 23

Page 33: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.32

tertutup ke arah yang terbuka, dinamis, dan maju masihtersisa sebagian besar masyarakat. Nilai-nilai yangmerupakan warisan dari masal lampau sudah tidak sesuailagi untuk mendukung keberhasilan pembangunannasional, sehingga perlu adanya sebuah perubahan.Tentunya pendapat Mochtar Kusumaatmadja tentanghakikat pembangunan nasional uang disebutkan di atassesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang barumerdeka pada waktu itu.

Pada kesempatan ini dirasa perlu merujuk kembalipendapat Sunaryati Hartono55 yang menyebutkanpembangunan nasional sebagai berikut: “...pembangunanitu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah...ataukepuasan batiniah..., melainkan keselarasan, keserasian,dan keseimbangan antara keduanya sehinggapembangunan itu merata di seluruh Tanah Air...”

Pada hakikatnya, pembangunan nasional merupakanpembangunan di segala bidang yang harus dilakukansecara berkesinambungan. Untuk itu, Satjipto Rahardjo56

memyebutkan mengenai pembangunan ekonomi yangberkelanjutan dengan menyatakan bahwa:“...pembangunan bukan merupakan suatu perubahanyang bersifat sepotong-sepotog. Sekalipun misalnya, kitadapat menunjukkan industrialisasi sebagai inti dari

55 Sunaryati Hartono, Hukum Pembangunan Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta,Bandung, 1988, halaman. 3. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi,Prenada Media Group, 2014, halaman. 2356 Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, halaman. 130. DalamAbdul Manan, Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenada Media Group, 2014,halaman. 24

Page 34: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.33

perubahan itu, tetapi ia pada akhirnya bukan hanyamerupakan kasus penambahan jumlah industri secarakuantitatif. Dihubungkan dengan struktur kehidupanmasyarakat, industrialisasi ini mengundang terjadinyaperubahan secara kualitatif pula.” Selain dimaksudkanuntuk melanjutkan program pembangunan nasional yangdinilai baik dan berhasil pada waktu yang lau,pembangunan nasional di era Reformasi dewasa iniditunjukan untuk membangun suatu sistem ekonomikerakyatan dalam rangka penanggulangan kemiskinan,penciptaan lapangan kerja, pengembangan sistemjaminan sosial, pemberdayaan usaha kecil, menengahdan koperasi. Hal ini sejalan dengan arah pembangunannasional yang teekandung dalam UUD 1945 yang padadasarnya sejalan dengan tujuan dari sebuah negarakesejahteraan (welfare state).Pembangunan ekonomipada zaman jajahan Belanda diarahkan segala potensiuntukmendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnyadari Hindia Belanda, terutama barang mentah untukdihgunakan sebagai barang baku bahan industri diBelanda. Dengan bantuan pasal 163 dan 131 indischestaatsregeling yang dinyatakan berlaku bagi orang-orangTimur Asing, Belanda lebih mudah mendapatkan bahan-bahan mentah yang diperlukannya untuk industri dinegerinya dengan menjadikan orang-orang Timur Asingini sebagai pedagang perantara, yakni perantara antaragolongan Bumiputra sebagai penghasil barang-barangmentah di satu pihak dan pihak pedagang besar Eropa(the big five) di lain pihak. Dengan semboyanmembiarkan masyarakat Bumiputra dalam suasana

Page 35: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.34

hukum adatnya sendiri, terciptalah suatu keadaan dimanabangsa Indonesia tetap sebagai kaum tani miskinsepanjang hidupnya.

Setelah proklamasi kemerdekaan, kondisi hukumekonomi mulai ditata kembali dengan cara mengubah cirihukum ekonomi dari kaidah hukum yang membatasihukum perdata (Droit economique) menjadi Droit deI’economie, yakni menjadikan kaidah hukum yangberserakan dalam hukum perdata, hukum dagang, hukumtata negara, hukum internasional, hukum administrasinegara dalam kaidah hukum ekonomi. Dengan demikian,kaidah hukum ekonomi bertambah jumlahnya danmempunyai ciri sendiri yang berbeda dengan kaidahhukum lain. Secara kualitatif, hukum ekonomi pada awalkemerdekaan Republik Indonesia mengalami perubahandalam perkembangannya. Prses ini berjalan terussehingga menjadi disiplin ilmu tersendiri, meskipunmasih ada saling tarik-menarik antara ilmu hukum danilmu ekonomi. Pada masa Orde Lama belum banyakperkembangan dalam bidang pembangunan ekonomi,pada waktu itu peran pemerintah lebih menonjol dalambidang pembangunan politik daripada pembangunanekonomi. Pada masa Orde Lama, Indonesia menerapkankebijaksanaan ekonomi yang tertutup (inword oriented).Prinsip berdiri diatas kaki sendiri (berdikari) dankebijakan untuk tidak menerima bantuan dari pihak luarmengakibatkan ekonomi nasional mengalami stagnasi.Perekonomian Indonesia di masa Orde Lama terisolasidari dunia luar karena pemerintah menerapkan systemekonomi tetutup, sehingga praktis tidak ada kemajuan di

Page 36: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.35

bidang pembangunan karena ketiadaan sumber danauntuk pembiayaan.57

1) Jelaskan hubungan antara hukum dan ekonomi dalam

konteks pembangunan ekonomi?

2) Jelaskan fungsi hukum sebagai kristalisasi dari tata nilai

yang tumbuh dalam dinamika masyarakat!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Hukum dan Ekonomi berkaitan erat dimana yang satudengan lainnya saling mempengaruhi. Sejarah pertumbuhanekonomi dan perkembangan hukum, diseluruh duniamenunjukkan hal itu.Suatu perkembangan Ekonomi akanmempengaruhi peta hukum sebaliknya perubahan hukumjuga akan memberikan dampak yang luas terhadapekonomi.Hukum dan Ekonomi merupakan dua subsistemdari suatu sistem kemasyarakatan yang saling berinteraksisatu sama lain.

2) Maksud dari fungsi hukum sebagai kristalisasi dari tata nilaiyang tumbuh dalam dinamika masyarakat adalah hukummenangkap dan merumuskan aspirasi yang berkembangsebelumnya di masyarakat.

57 Sudarga Gautama, Segi-segi Hukum Internasional pada Masa Nasionalisasi di Indonesia, PTAlumni, Bandung, 1975, halaman. 6. Dalam Abdul Manan, Peran Hukum dalam PembangunanEkonomi, Prenada Media Group, 2014, halaman. 27

LATIHANUntuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 37: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.36

1. Pembangunan bertujuan untuk mengubah sesuatu yangbelum ada menjadi ada. Yang jelek diubah menjadi baik,dan yang kekurangan menjadi kecukupan. Pembangunandilakukan bukan dari segi fisik atau materi saja, melainkanjuga membangun kualitas manusia. Jadi, pembangunanbukan hanya membangun gedung, jalan, bendungan,penghijauan, tetapi membangun orang menjadi pintar,terampil, disiplin, berbudi luhur, dan sebagainya.

2. Indonesia telah melaksanakan pembangunan nasionalsejak tahun 1969 yang dilakukan secara bertahap selamalima tahunan, dan sekarang telah memasuki PembangunanLima Tahun (Pelita) VI. Dalam Garis-Garis Besar HaluanNegara (GBHN) 1993-1998, tujuan mengadakanpembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatumasyarakat adil makmur yang merata materiel danspiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesiayang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyatdalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram,tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yangmerdeka, bersahabat, tertib dan damai.

3. Hubungan antara hukum dan ekonomi merupakanhubungan yang berlawanan, ekonomi berjalan dengansangat cepat dan fleksibel sedangkan hukum berkembanglambat dan cenderung kaku. Antara Hukum dan Ekonomiberkaitan erat dimana yang satu dengan lainnya salingmempengaruhi. Sejarah pertumbuhan ekonomi danperkembangan hukum, diseluruh dunia menunjukkan halitu.Suatu perkembangan Ekonomi akan mempengaruhi

RANGKUMAN

Page 38: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.37

peta hukum sebaliknya perubahan hukum juga akanmemberikan dampak yang luas terhadap ekonomi.Hukumdan Ekonomi merupakan dua subsistem dari suatu sistemkemasyarakatan yang saling berinteraksi satu samalain.Dalam pendekatan demikian hukum tidak hanyadipandang sebagai perangkat norma-norma yang bersifatotonom, tetapi juga sebagai institusi sosial yang secaranyata berkaitan erat dengan berbagai segi sosial dimasyarakat.

4. Ditinjau dari segi fungsinya, maka fungsi hukum terdapat2, yakni, sebagai kristalisasi dari tata nilai yang tumbuhdalam dinamika masyarakat dan Sebagai rambu-rambuyang menentukan arah perkembangan masyarakat yangingin dicapai.

1. Indonesia telah melakukan proses pembangunan nasionalyang dimulai pada tahun ...1. 19692. 19703. 19714. 1972

2. Tujuan mengadakan pembangunan nasional adalah untukmewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang meratamateriel dan spiritual berdasarkan…………1. Pancasila saja2. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 19453. Kepentingan Nasional4. Perkembangan Masyarakat Global

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 39: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.38

3. Berikut ini merupakan langkah-langkah hukum untukmencapai efisiensi Ekonomi, Kecuali adalah …A. Pengurangan /menghilangkan hambatan yuridis dalam

transaksi ekonomi.

B. Pengurangan biaya transaksi dengan aturan yang baku.

C. Penerapan sanksi secara tegas terhadap setiap

pelanggaran aturan di bidang ekonomi.

D. Peningkatan proses penyelesaian sengketa secara efektif

dan efisien secara litigasi

4. Campur tangan Negara di bidang Ekonomi di Indonesiasalah satunya dilakukan melalui …A. Politik Praktis legislasi

B. Melalui kebijakan organisasi internasional

C. Melalui tindakan represif

D. Politik Fiskal/Pajak

5. Arti fungsi hukum sebagai rambu-rambu yang menentukanarah perkembangan masyarakat yang ingin dicapai adalah…….A. Sebagai bentuk tindakan represif aparatur ngara dalam

mengatur pembangunan.

B. Sebagai bentuk tindakan persuasif aparatur ngara dalam

mengatur pembangunan

Page 40: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.39

C. Hukum yang menentukan kemana nilai-nilai masyarakat

akan diarahkan dalam arti kata dapat memberikan

kepastian hukum dan keadilan

D. Hukum yang menentukan kemana nilai-nilai masyarakat

akan diarahkan dalam arti kata dapat memberikan

kepastian hukum.

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban TesFormatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini.Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumusberikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadapmateri Kegiatan Belajar1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Andadapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jikamasih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi KegiatanBelajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 41: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.40

Kegiatan Belajar 2

Hukum Pidana dan Subjek Hukum Pidana

1) Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidanaserta Unsur-Unsurnya

Hukum pidana adalah peraturan hukummengenai pidana. Kata “Pidana” berarti hal yang“dipindahkan”, yaitu oleh instansi yang berkuasadilimpahkan kepada seorang oknum sebagai halyang tidak emak dirasakannya dan juga hal yangtidak sehari-hari dilimpahkan. Tentunya adaalasan untuk melimpahkan pidana ini, dan adabalasan ini selayaknya ada hubungan dengansuatu keadaan, yang ada di dalamnya seorangoknum yang bersangkutan bertindak kurang baik.Maka unsur “hukuman” sebagai suatupembalasan tersirat dalam kata “pidana”. 58

Pembentuk Undang-Undang dalam berbagaiperundang-undangan menggunakan perkataan“tindak pidana” sebagai terjemahan dari“strafbaar feit”tanpa memberikan sesuatupenjelasan mengenai apa yang sebenarnyadimaksud dengan perkataan “tindakpidana”tersebut. Perkataan “feit” itu sendiri didalam bahasa belanda berarti “sebagian dari suatu

58Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung :

Refika Aditama

Halaman1

Page 42: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.41

kenyataan”atau “een gedeelte van dewerkelijkheid” sedang “strafbaar” berarti “dapatdihukum”, hingga secara harfiah perkataan“tindak pidana”dapat diterjemahkan sebagai“sebagian dari suatu kenyataan yang dapatdihukum”,Yang sudah barang tentu tidak tepat,oleh karena kelak kita ketahui bahwa yang dapatdihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagaipribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupuntindakan. 59(P.A.F. Lamintang, 2013: 181)

Istilah tindak pidana sebenarnya berasal dariistilah yang terdapat dalam hukum Belanda yaituStrafbaar Feit. Istilah ini merupakan istilah resmidalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belandadengan demikian berdasarkan asas konkordasi.istilah ini juga terdapat dalam WvS HindiaBelanda yang sekarang lebih kita kenaldenganKitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP). Di samping itu dikenal juga istilahdelict yang berasal dari bahasa latin, yaknidelictum, dalam bahasa Jerman disebut delict,dan dalam bahasa Perancis disebut delit, dandalam bahasa Belanda disebut delict. Sedangkandalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delict

59P.A.F. Lamintang, 2013, Dasar-DasarHUKUM PIDANA INDONESIA, Bandung;

Citra Aditya Bakti, halaman 181

Page 43: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.42

diberi batasan sebagai berikut, “perbuatan yangdapat dikenakan hukuman karena merupakanpelanggaran terhadap Undang-Undang tindakpidana” 60

a) Unsur Tindak Pidana

Perbuatan dikategorikan tindak pidana ataubukan bisa dilihat dari unsur-unsur. Karenaapabila tidak memenuhi unsur-unsur tindakpidana, maka suatu perbuatan tidak bisadikategorikan sebagai tindak pidana. AdamiChazawi menyebutkan rumusan-rumusantindak pidana tertentu dalam KUHP makadiketahui delapan unsur tindak pidana yaitu:61

(1) Unsur tingkah laku;(2) Unsur melawan hukum;(3) Unsur kesalahan;(4) Unsur akibat konstitutif;(5) Unsur keadaan yang menyertai;(6) Unsur syarat tambahan untuk dapat

dituntut tindak pidana;(7) Unsur syarat tambahan memperberat

pidana;(8) Unsur tambahan untuk dapat dipidana.

60 Adami Chazawi, 2001,Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: Raja GrafindoPersada.halaman 6761 Adami Chazawi, 2001,Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: Raja GrafindoPersada.halaman 81

Page 44: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.43

Unsur melawan hukum yang subyektifPAF Lamintang menyatakan seorang dapatdijatuhi pidana apabila orang itu telahmemenuhi unsur-unsur tindak pidana yangtelah dirumuskan dalam KUHP, karena padaumumnya Pasal-Pasal dalam KUHP terdiridari unsur-unsur tindak pidana yang padadasarnya dapat dibagi menjadi dua macamunsur, yakni unsur subjektif dan unsur-unsurobjektif. Unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif dapat dijelaskan sebagaiberikut62:(1) Unsur-unsur subjektif adalah unsur-

unsur yang melekat pada diri si pelakuatau yang berhubungan dengan dirisipelaku, dan termasuk kedalam yaitusegala sesuatu yang terkandung didalamhatinya. Adapun yang termasuk dariunsur subjektif antara lain:(a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan

(Dolus atau Culpa)(b) Maksud atau voornemen pada suatu

percobaan (poeging), seperti yangdimaksud dalam Pasal 53 ayat (1)KUHP.

(c) Macam-macam maksud atauoogmerk.

62 P.A.F. Lamintang, 2013, Dasar-DasarHUKUM PIDANA INDONESIA, Bandung;Citra Aditya Bakti, halaman 193

Page 45: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.44

(d) Merencanakan terlebih dahulu.(e) Perasaan takut.

(2) Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsuryang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaanmana tindakan-tindakan dari si pelaku ituharus dilakukan. Adapun unsur obyektiftindak pidana, antara lain :(a) Sifat melanggar hukum atau

ederrechtilijkheid.(b) Kualitas diri si pelaku.(c) Kausalitas yaitu hubungan antara

tindakan sebagai penyebab dengankenyataan sebagai suatu akibat .63

Menurut Wirjono Prodjodikoro terdapat duaunsur dari hukum pidana. Pertama, adanya suatunorma, yaitu suatu larangan atau suruhan(kaidah). Kedua, adanya sanksi (sanctie) ataspelanggaran norma itu berupa ancaman denganhukum pidana. Norma-norma ini ada pada salahsatu dari bidang-bidang hukum lain, yaitu bidanghukum tata negara (staatsrecht), bidang hukumtata usaha negara (administratief recht), danbidang hukum perdata (privaatrecht atauburgerlijk recht)64

63 P.A.F. Lamintang, 2013, Dasar-DasarHUKUM PIDANA INDONESIA, Bandung;Citra Aditya Bakti, halaman 194

64Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung :

Refika Aditama

Page 46: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.45

b) Jenis Tindak Pidana

Jenis-jenis tindak pidana menurut AndiHamzah dibedakan atas dasar-dasar tertentu,sebagai berikut(Andi Hamzah, 2001: 25-27) :(1) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) dibedakan antara lainkejahatan yang dimuat dalam Buku II danPelanggaran yang dimuat dalam Buku III.Pembagian tindak pidana menjadi“kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukanhanya merupakan dasar bagi pembagianKUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku keIII melainkan juga merupakan dasar bagiseluruh sistem hukum pidana di dalamperundang-undangan secara keseluruhan.

(2) Menurut cara merumuskannya, dibedakandalam tindak pidana formil (formeel Delicten)dan tindak pidana materil (Materiil Delicten).Tindak pidana formil adalah tindak pidanayang dirumuskan bahwa larangan yangdirumuskan itu adalah melakukan perbuatantertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitutentang pencurian. Tindak Pidana materil intilarangannya adalah pada menimbulkan akibatyang dilarang, karena itu siapa yang

Halaman 13

Page 47: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.46

menimbulkan akibat yang dilarang itulahyang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

(3) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidanadibedakan menjadi tindak pidana sengaja(dolus delicten) dan tindak pidana tidaksengaja (culpose delicten). Contoh tindakpidana kesengajaan (dolus) yang diatur didalam KUHP antara lain sebagai berikut:Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengansengaja menyebabkan hilangnya nyawa oranglain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengajamelukai orang lain. Pada delik kelalaian(culpa) orang juga dapat dipidana jika adakesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yangmenyebabkan matinya seseorang, contohlainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188dan Pasal 360 KUHP.

(4) Menurut macam perbuatannya, tindak pidanaaktif (positif), perbuatan aktif juga disebutperbuatan materil adalah perbuatan untukmewujudkannya diisyaratkan dengan adanyagerakan tubuh orang yang berbuat, misalnyaPencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan(Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasifdibedakan menjadi tindak pidana murni dantidak murni. Tindak pidana murni, yaitutindak pidana yang dirumuskan secara formilatau tindak pidana yang pada dasarnya unsur

Page 48: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.47

perbuatannya berupa perbuatan pasif,misalnya diatur dalam Pasal 224, Pasal 304dan Pasal 552 KUHP. Tindak Pidana tidakmurni adalah tindak pidana yang padadasarnya berupa tindak pidana positif, tetapidapat dilakukan secara tidak aktif atau tindakpidana yang mengandung unsur terlarangtetapi dilakukan dengan tidak berbuat,misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP.

Menurut Adami Chazawi Jenis-Jenis tindakpidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu,yaitu sebagai berikut65:

(1) Menurut sistem KUHP, dibedakan antarakejahatan (misdrijven) dimuat dalam bukuII dan pekanggaran (overtredunggen)dimuat dalam buku III;

(2) Menurut cara merumuskannya, dibedajanantara tindak pidana formil (formeddelicten) dan tindak pidana materiil(materiel delicten);

(3) Berdasarkan bentuk kesalahannya,dibedakan antara tindak pidana sengaja(doleus delicten) dan tindak pidana tidakdengan sengaja (culpose delicten);

(4) Berdasarkan macam perbuatannya, dapatdibedakan anatara tindak pidana

65 Adami Chazawi, 2001,Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: Raja Grafindo

Persada.halaman 121

Page 49: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.48

aktf/positif dapat juga disebut tindakpidana komisi (delicta commissionis) dantindak pidana pasif/negatif), disebut jugatindak pidana omisi (delicta omissionis);

(5) Berdasarkan saat dan jangka waktuterjadinya, maka dapat dibedakan antaratindak pidana terjadi seketika dan tindakpidana terjadi dalam waktu lama atauberlangsung lama/berlangsung terus;

(6) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakanantara tindak pidana umum dan tindakpidan khusus;

(7) Dilihat dari sudut subjek hukumnya,dapat dibedakan antara tindak pidanacommunia (delicta communia, yang dapatdilakukan oleh siapa saja), dan tindakpidana proporia (dapat dilakukan hanyaoleh orang memiliki kualitas pribaditertentu);

(8) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduandalam hal penentutan, maka dibedakanantara tindak pidana biasa (grownedelicten) dan tindak pidana aduan (klachtdelicten);

(9) Berdasarkan berat-ringannya pidana yangdiancamkan, maka dapat dibedakan antaratindak pidana bentuk pokok (eenvoudigedelicten), tindak pidana yang diperberat(gequalificeerde delicten) dan tindakpidana yang diperingan (gepriviligieerdedelicten);

Page 50: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.49

(10) Berdasarkan kepentingan hukum yangdilindungi, maka tindak pidana tidakterbatas macamnya bergantung darikepentingan hukum yang dilindungi,seperti tindak pidana terhadap nyawa dantubuh, terhadap harta benda, tindakpidana pemalsuan, tindak pidana terhadapnama baik, terhadap kesusilaan dan lainsebagainya;

(11) Dari sudut berapa kali perbuatan untukmenjadi suatu larangan, dibedakan antaratindak pidana tunggal (enklelvoudigedelicten) dan tindak pidana berangkai(samegestelde delicten).

Berikut pendapat para ahli mengenai tindakpidana dan disebutkan mengenai unsur-unsurnya.Golongan pertama adalah mereka yangdikategorikan dalam “aliran monolistik”, hal inidiungakapkan D. Simons dikutip oleh Sudartodalam bukunya (Sudarto, 2013: 67-70). Sudartomengungkapkan bahwa strafbaar feit adalah “eenstrafbar gestelde, onrechmatige, met schuldverband staande handeling van eentoerekeningsvatbaar person”. Artinya suatutindakan atau perbuatan yang diancam denganpidana oleh undang-undang, bertentangan denganhukum dan dilakukan dengan kesalahan olehseseorang yang mampu bertanggungjawab).

Kemudian Van Hamel juga mengungkapkanbahwa strafbaar feit adalah “een weetelijkamschreven menschelijke gedraging,

Page 51: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.50

onrechmatig, starwardig en aan schuld tewijten”. Artinya perbuatan manusia yangdirumuskan dalam undang-undang yang melawanhukum, dilakukan dengan kesalahan, dan patutdipidana.

Sedangkan menurut Moeljanto sebagaimanadikutip oleh Sudarto (Sudarto, 2013: 67-70)mengungkapkan perbuatan yang oleh suatuaturan hukum dilarang dan diancam pidana, asalsaja dalam pada itu diingat bahwa laranganditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaanatau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuanorang. Sedangkan ancaman pidananya ditujukankepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

Pandangan dualistis, membedakan pemisahanantara dilarangnya suatu perbuatan dengan sanksiancaman pidana (criminal act atau actus reus)dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat(criminal responsibility atau adanya mens rea).

Agar suatu pebuatan memenuhi syarat-syaratuntuk disebut sebagai tindak pidana, maka harusmemenuhi beberapa unsur. Dalam setiap tindakpidana atau perbuatan pidana pada umumnyadapat kita jabarkan menjadi dua macam unsur,yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsursubjektif adalah unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segalasesuatu yang terkandung didalam hatinya.Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur

Page 52: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.51

yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaanyang didalamnya harus dilakukan oleh sipelaku66. Dalam KUHP juga sudah disebutkanmengenai unsur objektif dan subjektif.

(1) Unsur Objektif

Dalam buku Leden Merpaung mengenai asas

teori praktik hukum pidanamenguraikan

mengenai unsur-unsur objektif sebagai

berikut:

(a) Perbuatan manusia yang termasuk unsur

pokok objektif adalah sebagai berikut:

(i) Act adalah perbuatan aktif yang

disebutdengan perbuatan positif;

dan

(ii) Ommision adalah tidak aktif

berbuat dan disebut juga perbuatan

negatif.

(b) Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan

manusia.

66 P.A.F. Lamintang, 2013, Dasar-DasarHUKUM PIDANA INDONESIA, Bandung;

Citra Aditya Bakti, halaman 193

Page 53: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.52

Erat hubungannya dengan kausalitas,

akibat yang dimaksud adalah

membahayakan atau menghilangkan

kepentingan-kepentingan yang

dipertahankan oleh hukum, misalnya

nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik

atau harta benda, atau kehormatan.

(c) Keadaan-keadaan.

Pada umumnya keadaan-keadaan ini

dibedakan atas:

(i) Keadaan pada saat perbuatan

dilakukan; dan

(ii) Keadaan setelah perbuatan

dilakukan.

(d) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan

hukum.

Berkenaan dengan alasan-alasan yang

membebaskan terdakwa dari hukuman.

Sifat melwan hukum bertentangan

Page 54: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.53

dengan hukum, yakni berkenaan dengan

larangan atau perintah67

(2) Unsur subjektif

Mengutip pendapat Leden Marpaung dalam

bukunya asas teori praktik hukum pidana

yang menguraikan unsur-unsur subjektif

sebagai berikut:

(a) Kesengajaan.

Menurut para pakar, ada tiga bentuk

kesengajaan, yaitu:

(i) Kesengajaan sebagai maksud;

(ii) Kesengajaan dengan sadar

kepastian; dan

(iii) Kesadaran dengan sadar

kemungkinan (dolus eventualis).

(b) Kealpaan.

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang

lebih ringan daripada kesengajaan. Ada

dua bentuk kealpaan, yaitu:

(i) Tidak berhati-hati; dan

67Leden Marpaung, 2009, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, cetakan ke enam,Jakarta Sinar Grafika, halaman 7

Page 55: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.54

(ii) Tidak menduga-duga akibat

perbuatan itu68

c) Unsur Sifat Melawan Hukum

Salah satu unsur utama tindak pidana yangbersifat objektif adalah sifat melawan hukum. Halini dikaitkan dengan asas legalitas yang tersiratpada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam bahasaBelanda melawan hukum itu adalahwederrechtlijk. Dalam menentukan perbuatan itudapat dipidana, pembentuk undang-undangmenjadikan sifat melawan hukum sebagai hukumtertulis69

Untuk dapat dipidananya seorang yang telahmelakukan tindak pidana ada ketentuan di dalamhukum acara yaitu:

(1) Tindak pidana yang dituduhkan atau

didakwakan harus dibuktikan; dan

(2) Tindak pidana itu hanya dikatakan

terbukti jika memenuhi semua unsur yang

terdapat didalam rumusannya tertulis 70

68Leden Marpaung, 2009, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, cetakan ke enam,Jakarta Sinar Grafika, halaman 769Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung : Penerbit NusaMedia, halaman 6770Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung : Penerbit NusaMedia, halaman 67-68

Page 56: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.55

Dikatakan selanjutnya bahwa jika unsurmelawan hukum dengan tegas terdapat didalamrumusan delik, maka unsur ini harus dibuktikan,sedangkan jika dengan tegas unsur melawanhukum tidak dicantumkan maka tidak perbudibuktikan.

Berdasarkan paham-paham sifat melawanhukum, doktrin membedakan sifat melawanhukum sebagai berikut:

(1) Sifat melawan hukum formil, yaitu suatu

perbuatan melawan hukum apabila

perbuatan tersebut sudah diatur dalam

undang-undang. Jadi, menggunakan

literatur hukum yang tertulis; dan

(2) Sifat melawan hukum materiil, yaitu

terdapat suatu perbuatan melawan hukum

walaupun belum diatur dalam undang-

undang. Sandarannya memakai asas

umum yang terdapat dalam lapangan

hukum71

71Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung : Penerbit NusaMedia, halaman 71-72

Page 57: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.56

d) Unsur Kesalahan

Unsur kesalahan dalam bahasa Belandadisebut dengan schuld juga merupakan unsurutama suatu tindak pidana, yang berkaitan denganpertanggungjawaban pelaku terhadapperbuatannya, termasuk perbuatan pidana atautindak pidana. Unsur kesalahan demikianpentingnya sehingga ada adagium terkenal, yaitu“tiada pidana tanpa kesalahan” yang dalambahasa Belanda adalah “geen strarf zonderschuld”. Terdapat juga adagium “actus nonfactim reum, nisi mens sit rea” yang artinyaperbuatan tidak membuat orang bersalah, kecualijika terdapat sikap batin yang salah, jadi batinyang salah atau quality mind atau mens rea inilahkesalahan yang merupakan sifat subjektif daritindak pidana, karena berada dalam diri pelaku 72

Dibawah ini akan dijelaskan pendapat daripakar hukum pidana tentang kesalahan (schuld)yang pada hakikatnya adalahpertanggungjawaban pidana, yaitu:

(1) Metzger

Kesalahan adalah keseluruhan syarat

yang memberikan dasar untuk adanya

72Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung : Penerbit NusaMedia, halaman 77

Page 58: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.57

pencelaan pribadi terhadap pelaku

hukum pidana.

(2) Simons

Kesalahan adalah terdapatnya keadaan

psikis tertentu pada seseorang yang

melakukan tindak pidana dan adanya

hubungan antara keadaan tersebut

dengan perbuatan yang dilakukan, yang

sedemikian rupa hingga orang itu dapat

dicela karena melakukan perbuatan

pribadi.

(3) Van Hamel

Kesalahan dalam suatu delik merupakan

pengertian psikologis, berhubungan

antara keadaan jiwa pelaku dan

terwujudnya unsur-unsur delik karena

perbuatannya. Kesalahan adalah

pertanggungjawaban dalam hukum.

(4) Pompe

Pada pelanggaran norma yang dilakukan

karena keslahan, biasanya sifat melawan

Page 59: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.58

hukum itu merupakan segi luarnya. Yang

bersifat melawan hukum adalah

perbuatannya. Segi dalamnya, yang

berhubungan dengan kehendak pelaku

adalah keslahan.

(5) Moeljatno

Orang dikatakan memiliki kesalahan,

jika daia pada waktu melakukan

perbuatan pidana, dilihat dari segi

masyarakat dapat dicela karenanya yaitu

mengapa melakukan perbuatan yang

merugikan masyarakat, padahal mampu

mengetahui makna jelek perbuatan

tersebut 73

2) Tinjauan Mengenai Subjek Hukum TindakPidana

a) Manusia Sebagai Subjek Tindak Pidana

Manusia adalah pendukung hak dankewajiban. Lazimnya dalam hukum dan

73Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung : Penerbit NusaMedia, halaman 78-80

Page 60: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.59

pergaulan hukum dikenal dengan istilah subjekhukum dan pergaulan hukum dikenal denganistilah subjek hukum (subjectum juris) (ChidirAli, 2005: 4). Subjek hukum merupakan salahsatu pengertian pokok dan bentuk dasar yangdapat dipelajari oleh teori hukum, karena itupertanyaan apa itu subjek hukum merupakanpersoalan teori hukum yaitu teori hukum positif,artinya teori yang hanya dapat diuraikan bertaliandengan hukum positif. Teori hukum tersebuttidak menghendaki penggambaran tentang isi darisesuatu hukum positif dan tidakmempersoalkandasar dari isi hukum itu tetapiberhasrat memahami bentuk-bentuknya,kemudian membuat gambaran tentang fakta-faktadan unsur-unsuryang akan dijadikan bahan olehhukum dan ilmu pengetahuan untuk membangaunsistemnya (Chidir Ali, 2005: 5).

Menurut Paul Schelton yang dikutip olehChidir Ali mengungkapkan bahwa manusiaadalah orang (persoon) dalam hukum, kata-kataini mengandung dua pengertian yaitu:

(1) Manusia dalam hukum sewajarnya diakui

sebagai yang berhak atas hak-hak

subjektif dan sewajarnya diakui sebagai

pihak atau pelaku dalam hukum objektif.

Page 61: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.60

Di sini perkataan “manusia” bagi hukum

memiliki nilai etis. Yang menjadi

persoalan ialah suatu sollen dan juga

dinyatakan sebagai suatu asas hukum.

Dengan demikian hal ini yang juga

menjadi dasar arti pengertian yang kedua;

(2) Dalam hukum positif manusia merupakan

persoon adalah subjek hukum,

mempunyai wewenang. Dalil ini

mengandung petunjuk dimana tempat

manusia dalam sistem hukum dan dengan

demikian dinyatakan suatu kategori

hukum (Chidir Ali. 2005: 5).

Maka dapat disimpulkan bahwa pertama,subjek hukum itu adalah yang berhak atas hak-hak subjektif dan pelaku dalam hukum objectifdan yang kedua, subjek hukum dalam hukumpositifadalah orang (persoon).

Rumusan tindak pidana dalam buku kedua danketiga KUHP biasanya dimilai dengan kata“barang siapa”. Hal ini mengandung arti bahwayang dapat melakukan tindak pidana atau subjektindak pidana pada umumnya adalah manusia.

Page 62: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.61

Juga dari ancaman pidana yang dapat dijatuhkansesuai dengan pasal 10 KUHP, seperti pidanamati, pidana penjara, pidana kurungan, pidanadenda dan pidana tambahan mengenaipencabutan hak, dan sebagainya menunjukkanbahwa yang dapat dikenai pada umumnyamanusia atau persoon74

Memang pandangan klasik berpendapat bahwasubjek tindak pidana adalah orang pribadi,meskipun ia berkedudukan sebagai pengurus ataukomisaris suatu badan hukum. Namun, menurutperkembangan zaman subjek tindak pidanadirasakan perlu diperluas termasuk badan hukum.Tentu saja bentuk pidana terhadap pribadi tidakdapat diterapkan kepada badan hukum, kecualijika yang harus dipidana adalah pribadi pengurusatau komisaris badan hukum75

Jika mencermati ketentuan KUHP yang masihmenganut asas umum bahwa suatu tindak pidanahanya dapat dilakukanoleh manusia ataunaturlijke persoon, sehingga apabila ada badanhukum atau korporasi melakukan perbuatanpidana, maka yang berkedudukan sebagai pelaku

74Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung : Penerbit NusaMedia, halaman 5475Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung : Penerbit NusaMedia, halaman 55

Page 63: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.62

atau dader adalah pengurus korporasi (manusia).Hal tersebut dapat diketemukan dalam ketentuanpasal 59 KUHP yang menetukan bahwa:

“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaranditentukan pidana terhadap pengurus,anggota-anggota pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus atau komisarisyang ternyata tidak ikut campur melakukanpelanggaran tidak dipidana”.

Dengan demikian dalam ketentuan KUHPpada rumusan Pasal 59 dapat dikatakan bahwapara penyusun KUHP dahulu dipengaruhi atas“societas delinquere non potest” yaitu badan-badan hukum tidak dapat melakukan perbuatanpidana. Oleh sebab itu, korporasi atau badanhukum tidak dapat ditetapkan sebagai (dader)tindak pidana, sehingga kesalahan yang ada padakorporasi menjadikan kesalahan para penguruskorporasi. Hal ini terjadi karena KUHP masihberpedoman kepada bahwa (dader) tindak pidanahanya dapat dilakukan oleh manusia.

b) Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana

Pengakuan korporasi (rechts persoon) sebagaisubjek hukum pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek

Page 64: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.63

hukum pidana pada manusia. Terdapat dua alasanmengapa kondisi tersebut dapat terjadi. Pertama,begitu kuatnya pengaruh teori fiksi yangdicetuskan oleh Von Savigny, yakni kepribadianhukumsebagai kesatuan-kesatuan dari manusiamerupakan hasil suatu khayalan. Kepribadiansebenarnya hanya ada pada manusia (HamzahHatrik, 1996: 30). Kedua, masih dominannya asassocietas delinquere non potest yang berartibahwa badan-badan hukum tidak dapatmelakukan tindak pidana. Asas ini merupakanhasil pemikiran dari abad ke-19, dimanakesalahan menurut hukum pidana selaludisyaratkan dengan sesungguhnya hanyakesalahan dari manusia sehingga erat kaitannyadengan individualisasi KUHP 76

Dalam perkembangannya, dua alasan diataslama kelamaan mulai melemah pengaruhnya. Halini dapat dibuktikan dengan adanya usaha untukmenjadikan korporasi sebagai subjek hukumdalam hukum pidana, yaitu adanya hak dankewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebutdilatarbelkangi oleh fakta bahwa tidak jarangkorporasi mendapat keuntungan yang banyak darihasil kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya.Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh

76Mahrus Ali, 2011,

Page 65: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.64

masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan pengurus korporasi. Oleh karena hal itudianggap tidak adil bila korporasi tidakdikenakan hak dan kewajiban seperti halnyamanusia.77

Berikut adalah tahap-tahap perkembangankorporasi sebagai subjek hukum dalam hukumpidana, yaitu:

(1) Tahap pertama ditandai dengan adanya

usaha-usaha agar sifat delik yang

dilakukan oleh korporasi dibatasi pada

perorangan. Sejak KUHP tahun 1886

dibentuk, pembuat undang-undang telah

mulai memasukkan larangan-larangan dan

perintah-perintah terhadap para pengurus

yang bertanggung jawab, berupa

kewajiban-kewajiban dalam beberapa

peraturan dan undang-undang khusus

tertentu, dengan maksud supaya mereka

bertanggung jawab atas pelaksanaan

77 Mahrus Ali.2013.Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi.Yogyakarta. UIIPress, halaman 66

Page 66: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.65

peraturan-peraturan tersebut terhadap

badan atau perusahaan yang dipimpinnya.

Pada tahap ini, pengurus yang tidak

memenuhi kewajiban-kewajiban yang

sebenarnya merupakan kewajiban

korporasi dapat dinyatakan

bertanggungjawab.

(2) Tahap kedua ditandai dengan pengakuan

yang timbul sesudah Perang Dunia I

dalam perumusan undang-undang, bahwa

suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh

korporasi. Namun, tanggung jawab untuk

itu menjadi beban dari pengurus

korporasi.

(3) Tahap ketiga merupakan permulaan

adanya tanggung jawab korporasi. Dalam

tahap ini dibuka kemungkinan untuk

menuntut korporasi dan meminta

LATIHANUntuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 67: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.66

pertanggungjawaban menurut hukum

pidana.78

1) Apa yang dimaksud dengan tindak pidana?2) Sebutkan jenis subjek hukum dalam ranah hukum

pidana?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Tindak pidana adalah kelakuan manusia yangdirumuskan dalam undang-undang, melawanhukum, yang patut dipidana dan dilakukandengan kesalahan.

2) Subjek hukum dalam ranah hukum pidana adalahyang pertama adalah person atau perseorangantanpa alasan pemaafdan yang kedua adalahkorporasi.

78 Mahrus Ali.2013.Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi.Yogyakarta. UIIPress, halaman 66-68

Page 68: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.67

1. Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenaipidana. Kata “Pidana” berarti hal yang“dipindahkan”, yaitu oleh instansi yang berkuasadilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yangtidak emak dirasakannya dan juga hal yang tidaksehari-hari dilimpahkan.

2. Istilah tindak pidana sebenarnya berasal dari istilahyang terdapat dalam hukum Belanda yaitu StrafbaarFeit. Istilah ini merupakan istilah resmi dalamWetboek van Strafrecht (WvS) Belanda dengandemikian berdasarkan asas konkordasi.

3. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yangdirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum,yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

4. Perbuatan dikategorikan tindak pidana atau bukanbisa dilihat dari unsur-unsur. Karena apabila tidakmemenuhi unsur-unsur tindak pidana, maka suatuperbuatan tidak bisa dikategorikan sebagai tindakpidana.

5. Jenis-jenis tindak pidana apabila ditinjau dari segiKUHP dapat terbagi yakni dalam Buku II dan IIIyakni Pelanggaran dan Kejahatan. Selain itu, dapatjuga terbagi dengan dolus dan culpa, tindak pidanaformil dan materil.

RANGKUMAN

Page 69: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.68

6. Melawan hukum merupakan unsur utama dalammenentukan apakah suatu perbuatan merupakantindak pidana atau bukan. Melawan hukum terbagiatas melawan hukum formil dan materil. Dalam jenismelawan hukum materil terbagi lagi menjadimelawan hukum materil dalam fungsi positif danmelawan hukum dalam fungsi negatif.

7. Unsur kesalahan dalam bahasa Belanda disebutdengan schuld juga merupakan unsur utama suatutindak pidana, yang berkaitan denganpertanggungjawaban pelaku terhadap perbuatannya,termasuk perbuatan pidana atau tindak pidana. Unsurkesalahan demikian pentingnya sehingga adaadagium terkenal, yaitu “tiada pidana tanpakesalahan” yang dalam bahasa Belanda adalah “geenstrarf zonder schuld”. Terdapat juga adagium “actusnon factim reum, nisi mens sit rea” yang artinyaperbuatan tidak membuat orang bersalah, kecuali jikaterdapat sikap batin yang salah, jadi batin yang salahatau quality mind atau mens rea inilah kesalahanyang merupakan sifat subjektif dari tindak pidana,karena berada dalam diri pelaku.

8. Subjek hukum dalam ranah hukum pidana adalahperson/individu dan korporasi.

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 70: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.69

1. Pembentuk Undang-Undang dalam berbagaiperundang-undangan menggunakan perkataan“tindak pidana” sebagai terjemahan dariA. Strafbaar FeitB. Weetbook Van KopelhandleC. Mean reaD. Reus Actus

2. Berikut ini merupakan unsur-unsur tindak pidanamenurut Andi Hamzah, Kecuali:A. Kelakuan dan akibat (perbuatan)B. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai

perbuatanC. Keadaan tambahan yang memberatkan pidanaD. Unsur melawan hukum yang subyektif

3. Suatu perbuatan melawan hukum apabilaperbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang. Hal tersebut merupakan pengertiandari…A. Melawan hukum materil dalam fungsi positifB. Melawan hukum formilC. Melawan hukum materil dalam fungsi negatifD. Melawan hukum formil

4. Apa arti dari adagium dari “actus non factimreum, nisi mens sit rea”?A. Tiada pidana tanpa undang-undangB. Hukum pidana tidak berlaku surutC. Tiada pidana tanpa kesalahanD. Terdapat pidana jika ada undang-undang

yang mengaturnya

Page 71: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.70

5. Buku III dalam KUHP Indonesia mengatur jenistindak pidana …A. PelanggaranB. DendaC. PercobaanD. Kejahatan

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yangbenar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkatpenguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapatmengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Bagus! Jika masih dibawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2,terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 72: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.71

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 21) A 1) A2) B 2) D3) D 3) B4) D 4) C5) C 5) D

Daftar Pustaka

Abdul Manan. 2014. Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi.Jakarta.Prenada Media Group

Page 73: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.72

Achmad Ali. 1996.Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian FilosofisDan Sosiologis, Jakarta. Chandra Pratama

Adami Chazawi, 2001,Pelajaran Hukum Pidana 1,Jakarta: Raja Grafindo Persada

Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji. 2009. Hukum EkonomiSebagai Panglima. Sidoarjo. Masmedia Buana Pustaka

Elsi Kartika Sari & Advendi Simanungsong. 2007. Hukum dalamEkonomi. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Fajar Sugianto. 2013. Economic Analysis of Law, Seri AnalisisKeekonomian tentang Huum, Seri I. Jakarta. Pranadamedia Group

Gatot Supramono. 1997. Tindak Pidana Korupsi di BidangPerkreditan. Bandung Alumni

Jonker Sihombing. 2004. Peran dan Aspek Hukum dalamPembangunan Ekonomi. Bandung. Alumni

Leden Marpaung, 2009, Asas Teori Praktek HukumPidana, cetakan ke enam, Jakarta Sinar Grafika

Leonard J. Theberge. 1980. Law and Economic Development,Journal of International Law and Policy. Vol 9. New York.American Publishing.

Mahrus Ali.2013.Asas, Teori, dan Praktek HukumPidana Korupsi.Yogyakarta. UII Press

Mochtar Kusumaatmadja. 2002. Konsep-konsep Hukum dalamPembangunan. Bandung. PT Alumni

P.A.F. Lamintang, 2013, Dasar-DasarHUKUMPIDANA INDONESIA, Bandung; Citra Aditya Bakti

Page 74: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 1 1.73

Satjipto Raharjo. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung.Angkasa

Sondang Siagian. 2005. Administrasi Pembangunan : Konsep,Dimensi, dan Strateginya. Cetakan ke-4. Jakarta. Bumi Aksara

Sudarga Gautama. 1975. Segi-segi Hukum Internasional pada MasaNasionalisasi di Indonesia. Bandung. PT Alumni

Sunaryati Hartono. 1988. Hukum Pembangunan EkonomiPembangunan Indonesia. Bandung. Bina Cipta

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana,Bandung : Penerbit Nusa Media

Utrecht & Muh. Saleh Djindang. 1983. Pengantar Dalam HukumIndonesia. Jakarta.IkhiarWirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana

di Indonesia, Bandung : Refika Aditama

Page 75: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.1

MODUL 2TINDAK PIDANA EKONOMI

Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.HumLushiana Primasari, SH, MH

Pada modul Kedua ini akan diperkenalkan materi secara

singkat yang terdapat dalam kegiatan belajar 1 yang membahas

tentang Tindak Pidana Ekonomi, sedangkanpada kegiatan

belajar 2 akan disajikan materi yang membahas Karakteristik

Tindak Pidana Ekonomi. Melalui kedua kegiatan belajar

tersebut, maka diharapkan mahasiswa memahami dasar-dasar

apa dan bagaimana Tindak Pidana Ekonomi itu. sehingga

mahasiswa dapat menjelaskan dan membedakan antara tindak

pidana umum dengan tindak pidana ekonomi.

Page 76: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.2

Kegiatan Belajar 1

PENGANTAR TINDAK PIDANA EKONOMI

1. Istilah, Pengertian serta Perkembangan dari TindakPidana Ekonomi dan Kejahatan Ekonomi

Tindak pidana ekonomi adalah bagian dari hukumpidana tetapi yang memiliki kekhususan. Di Indonesia,pengundangan tindak pidana ekonomi relatif baru karenabaru mulai dikenal sejak diundangnkan UU Darurat No. 7Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi1. Dalamperkembangannya, pidana perbankan juga menjadi bagiandari tindak pidana ekonomi (“TPE”) selain tindak pidanadibidang bea cukai (smuggling), kecurangan dibidangkebeacukaian (customs fraud), kejahatan dibidangpengangkutan laut (maritime), kejahatan dibidang perikanan(illegal fishing) dst. TPE itu sendiri adalah hukum pidanakhusus yang berkembang di luar kodifikasi (KUHP). TPEsebagai sistem hukum pidana khusus sudah dikenal sejakUU Darurat No. 7 Tahun 1955 dan agaknya akan terusberkembang seiring dengan perkembangan ekonomiutamanya international business dan international banking.Secara internasional untuk merujuk pada TPEkecenderungan dengan atau pada kejahatan perbankansehingga dikenal istilaah financial crimes atau business

1 Dr. A. Hamzah, SH., Hukum Pidana Ekonomi, Edisi Revisi (Selaras Inpres No. 4 Tahun 1985),penerbit Erlangga, Jakarta 1991

Page 77: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.3

crime. Sebagai tambahan, dewasa ini TPE bahkandimasukkan ke dalam transnational organized crimes.2 Padasaat yang sama, cara-cara penyelesaian TPE jugaberkembang seiring dengan pergeseran pandanganmasyarakat terhadap pidana dan perkembanganperekonomian itu.3

Pompe membuat pengertian tentang hukum pidanakhusus dengan menyebut dua kriteria. Yang menunjukkanhukum pidana khusus itu ialah orangnya yang khusus,maksudnya subjek atau pelaku yang khusus dan keduaadalah perbuatannya yang khusus. Disamping itu Pompemenunjuk pada patokan Pasal 103 KUHP yang secaraimplisit mengandung pengertian bahwa jika ketentuanundang-undang di luar KUHP banyak menyimpang dariketentuan-ketentuan umum hukum pidana umum, itumerupakan hukum pidana khusus.4Nolte menunjukkanbahwa ada dua macam pengecualian berlakunya Pasal 103KUHP yaitu:

a. Undang-Undang lain menentukan dengan tegas Pasal103 KUHP

b. Undang-Undang lain menentukan secara diam-diampengecualian atau sebagian dari Pasal 103 KUHP.

2 UU No 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against TransnationalOrganized Crimes.3 Luhut M.P. Pangaribuan. 2016. Hukum Pidana Khusus Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian

Uang, Korupsi dan Kerjasama Internasional serta Pengembalian Aset. Depok: PustakaKemang.halaman 31

4Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman31

Page 78: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.4

Kalau memakai patokan Pompe dan Nolte tersebut,dapat dikatakan bahwa hukum pidana ekonomi di Indonesiaadalah hukum pidana khusus. Untuk mengetahui termasukke dalam kategori mana kejahatan ekonomi, perludiperhatikan pendapat Paul Scholten yang member patokan“berlaku umum” dan “berlaku khusus”. Hukum pidana yangberlaku umum disebut hukum pidana umum, sedangkanhukum pidana khusus adalah perundang-undangan bukanpidana yang bersanksi pidana, disenut juga hukum pidanapemerintahan. Andi Hamzah lebih mempersempit pengertiandengan member istilah perundang-undangan pidana khususbagi semua perundang-undangan di luar KUHP yangmengandung ketentuan pidana, dan perundang-undanganpidana umum bagi ketentuan yang tercantum dalam KUHP.Dengan mengacu kepada asas lex specialis derogat legigeneralis, kejahatan ekonomi dapat dikategorikan ke dalamhukum pidana khusus. Hukum pidana ekonomi adalahbagian dari hukum pidana yang merupakan corak tersendiri,yaitu corak ekonomi.5Dengan demikian hukum pidanaekonomi hendaknya mengambil tempat di samping hukumpidana. Moch Anwar mengartikan hukum pidana ekonomisebagai sekumpulan peraturan bidang ekonomi yangmembuat ketentuan-ketentuan tentang keharusan/kewajibandan atau larangan, yang diancam degan hukuman.6

Peraturan payung dari hukum pidana ekonomi diIndonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomot 7 drt 1955

5Andi Hamzah dalam Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta :Graha Ilmu, halaman 326Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman32

Page 79: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.5

dan peraturan-peraturan lain yang mengatur bidang ekonomidi luar Undang-Undang No 7 drt Tahun 1955.Konsekuensinya adalah bahwa pengertian tindak pidanaekonomi dapat dibagi ke dalam arti sempit/terbatas dan artiluas. Pengertian tindak pidana ekonomi dalam arti sempitterbatas pada perbuatan-perbuatan yang dilarang dandiancam pidana oleh peraturan-peraturan yang berlakuseperti yang disebut secara limitative dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 drt Tahun 1955 atau dengan kata lainsecara sederhana dan dari sudut pandang sempit adalahsemata-mata dengan mengaitkan pada undang-undang tindakpidana ekonomi khususnya apa yang disebut dalam Pasal1.Sedangkan pengertian tindak pidana ekonomi dalam artiluas adalah tindak pidana yang selain dalam arti sempit,mencakup pula tindak pidana dalam peraturan-peraturanekonomi di luar yang memuat dalam Undang-UndangNomor 7 drt Tahun 1955. Secara akademis atau pengertiantindak pidana ekonomi dalam arti luas, bisa ditafsirkansebagai perbuatan seseorang yang melanggar peraturanpemerintah dalam lapangan ekonomi.7 Sedangkan BMardjono Reksodiputro memberikan pengertian kejahatanekonomi sebagai setiap perbuatan yang melanggar peraturanperundang-undangan dalm bidang ekonomi dan di bidangkeuangan serta mempunyai sanksi pidana.8 Perbuatan-perbuatan yang diuraikan sebagai perbuatan tindak pidana

7Vervloet dan M. Yusuf dalam Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi,Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman 338B. Mardjono Reksodiputro dalam Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi,Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman 33

Page 80: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.6

dalam arti sempit penentuannya tergantung dari arah politikekonomi pemerintah.9

Hal itu berarti bisa berubah-ubah sesuai denganperkembangan yang terjadi secara nasional, regional, daninternasional sehingga wajar apabila peraturan-peraturan dibidang ekonomi sering berubah-ubah dan sulit untukmengidentifikasikan peraturan-peraturan mana yang masihberlaku atau peraturan mana yang sudah tidak berlaku. Haldemikian, berimbas sulitnya menentukan perbuatan-perbuatan mana yang merupakan tindak pidana ekonomi danmana yang bukan.10

Seperti telah disebutkan pada bab terdahulu bahwaperaturan yang menyangkut hukum pidana ekonomi adalahUndang-Undang Nomor 7 drt Tahun 1955. Akan tetapiundang-undang ini ternyata tidak identik dengan peraturanperundang-undangan lain di bidang ekonomi. Masih banyakbidang lain yang tidak dirumuskan ke dalam Undang-Undang Nomor 7 drt Tahun 1955sehingga undang-undangini tidak meliputi seluruh hukum pidana ekonomi.11 Disamping peraturan-peraturan yang telah disebutkan dalamUndang-Undang No 7 drt Tahun 1955, masih banyakperaturan ekonomi yang tidak diberi sanksi pidana, artinyapelanggaran terhadap undang-undang ini bukan merupakantindak pidana ekonomi. Misalnya, pelanggaran terhadap

9Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman3310Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman3311

Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu,halaman 35

Page 81: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.7

Undang-Undang Pertambangan Tahun 1967, Undnag-Undang tentang Penanaman Modal Asing dan lain-lain.12

Tindak Pidana Ekonomi (“TPE”), yang dapat disebutjuga dengan tindak pidana di bidang perekonomian adalahtindak pidana khusus dalam hukum pidana yangmaterinyadiatur dalam suatu kesatuan undang-undang tersendiri.Konkritnya dikontraskan dengan KUHP, undang-undang inibersifat sektoral dan kaedahnya berada di luar kodifikasiKUHP.13 Menurut Dr. Andi Hamzah, “hukum pidanaekonomi itu adalah bagian dari hukum pidana, yangmerupakan corak-corak tersendiri, yaitu corak-corakekonomi.”14

Secara historis pengerian TPE adalah sebagaimana diaturoleh UU No. 7 Darurat Tahun 1955 tentang Pengusutan,Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Undang-undang Tindak Pidan Ekonomi ini adalah merupakansaduran dari Wet op de Economische Delicten Belandatahun 1950.15 UU ini secara khusus mengatur bagaimanaagar efektif perlindungan atas pelanggaran terhadap suatutindakan yang disebut secara tegas dalam UU itu yakni“ketentuan dalam atau berdasarkan (i)“gecontroleerdegoederen”, (ii) “prijsbehersing”, (iii)

12Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman3513 Menurut Prof. Andi Hamzah, “perbedaan antara KUHP dan Perundang-Undangan tersendiriitu ialah semua dlik bersifat abadi dimasukkan ke dalam KUHP dan semua yang bersifattemporet disusun perundang-undangan pidana tersendiri (Delik-delik Tersebar di Luar KUHP,buku II, Perundang-undangan Bersanksi Pidana, Jakarta, Penerbit Armawa, 2013)14 Dr. A. Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Edisi Revisi (selaras Inpres No. 4 Tahun 1985),Jakarta, Penerbit Erlangga, 1991:2315 Dr. Andi Hamzah, S.H., Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Cetakan Pertama, PenerbitRineka Cipta, Jakarta, Januari 1991:23

Page 82: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.8

“penimbunan barang-barang”, (iv) “rijsterdonnantie”, (v)“kewajiban penggilingan padi”, (vi) “devizen”. Keenambidang itu adalah yang dianggap sangat penting ketika itudalam bidang perekonomian di mana semuanya saat inisudah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, materi tindakpidana perekonomian atau ekonomi ini berhubungan denganpolitik hukum di bidang perekonomian pada suatu saattertentu. dengan UU Darurat No. 7 Tahun 1955 ini makamulailah istilah TPE masuk dalam khazanah hukum pidanadan peradilan Indonesia yang berkembang sampaisekarang.16

Tindak pidana ekonomi dalam arti luas juga disebuttindak pidana di bidang ekonomi (economic crime).Sunarjati Hartono 17 mengemukakan bahwa economic crimelebih luas dari bussines crime, karena kerugian yangditimbulkan bukan saja secara ekonomi tetapi juga secarasosial bahkan bisa berdampak politik. Istilah economic crimeberbeda dnegan istilah economic criminality. Istilaheconomic crime menunjuk kepada kejahatan-kejahatan yangdilakukan dalam kegiatan atau aktivitas ekonomi (dalam artiluas). Sedangkan istilah economic criminality menunjukkepada kejahatan-kejahatan konvensional yang mencari

16 Luhut M.P. Pangaribuan. 2016. Hukum Pidana Khusus Tindak Pidana Ekonomi, PencucianUang, Korupsi dan Kerjasama Internasional serta Pengembalian Aset. Depok: PustakaKemang.halaman 3317Sunarjati Hartono di Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta :Graha Ilmu, halaman 34

Page 83: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.9

keuntungan yang bersifat ekonomis misalnya pencurian,perampokan, pencopetan, pemalsuan, atau penipuan.18

Istilah tindak pidana ekonomi yang dikenal di Indonesiaapabila dilihat dari substansi Undang-Undang No 7 drtTahun 1955 tampak lebih dekat atau dapat dimasukkan kedalam istilah economic crime dalam arti sempit. Hal inidisebabkan undang-undang tersebut secara substansial hanyamemuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagian kecildari kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Dalamensiklopedia Crime and Justice ditegaskan bahwa tidak adakesepakatan pendapat mengenai istilah economic crime,bahkan ditulis selanjutnya no distinct body of literature onthe theory and practice of economic crime. Economic crimedidefinisikan sebagai criminal activity with significantsimiliarity to the economic activity of normal, non criminalbusiness (kegiatan kriminil yang memiliki kesamaan tertentudengan kegiatan ekonomi pada umumnya yaitu kegiatanusaha-usaha yang nampak non kriminal). SedangkanAmerican Bar Association memberikan batasan mengenaieconomic crime: any non violent, illegal activity whichprincipally involved deceit, misrepresentation, concealment,manipulation, breach of trust, subterfuge, or illegalcircumvention (setiap tindakan illegal tanpa kekerasan,terutama menyangkut penipuan, perwakilan tidak sah,penimbunan, manipulasi, pelanggaran kontrak, tindakancurang, atau tindakan menjebak secara ilegal). 19

18Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman3419Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman34

Page 84: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.10

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi jugamemunculkan pelaku usaha yang semula dilakukan secaraindividual berkembang dalam bentuk kelompok-kelompokusaha yang bergabung dalam bentuk korporasi baik yangberbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Korporasi-korporasi ini menguasai kegiatan ekonomi dalammasyarakat. Kegiatan ekonomi atau aktivitas di bidangekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi baikyang dilakukan secara individu maupun kelompok yangselalu mengejar keuntungan,sehingga kadang-kadang,bahkan sering dilakukan dengan cara-cara ilegal ataumelanggar hukum yang pada akhirnya memunculkan jeniskejahatan yang berdimensi ekonomi yang disebut kejahatanekonomi atau economic crime atau bisa juga disebut"Kejahatan di bidang bisnis" atau "Business Crime".20

Clarke mempergunakan istilah business crime. Istilah inisudah termasuk tindak pidana yang berkaitan dengan danterjadi di dalam kegiatan perdagangan, keuangan,perbankan, dan kegiatan perpajakan. Clarke telahmemperluas pengertian business crime yaitu suatu kegiatanyang (selalu) memiliki konotasi legitimate business dantidak identik dengan kegiatan suatu sindikat kriminal.Dengan demikian Clarke membedakan secara tegas kegiatantermasuk business crime di satu pihak dengan kegiatan yangdilakukan oleh sindikat kriminal yang juga bergerak didalam kegiatan perdagangan. Clarke telah mengungkapkandan menyebutkan dua wajah khas dari suatu business crime,yaitu pertama, suatu keadaan legimatif untuk melaksanakan

20 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang.Universitas Diponegoro Press, halaman 1

Page 85: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.11

kegiatannya yang bersifat eksploitasi, dan kedua, suatuakibat khas ialah sifat kontestabiliti dari kegiatannya dalamarti kegiatan yang dipandang legal menurut undang-undangmasih dapat diperdebatkan oleh para pelakunya.21

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, selain istilah "businesscrime", juga muncul istilah-istilah lain seperti istilah"economic crime" yaitu kejahatan ekonomi atau kejahatanterhadap ekonomi ("crime against economy"), atau istilah"financial abuse" yang memiliki pengertian yang sangat luastermasuk bukan saja aktivitas ilegal yang mungkinmerugikan system keuangan ("financial system"), tetapi jugaaktivitas lain yang bertujuan mengelak dari kewajibanpembayaran pajak ("tax evasion"), atau istilah "financialcrime" yang merupakan "subset" dari "financial abuse" yangdalam pengertiannya yang sempit dapat diartikan sebagaisetiap "non-violent crime" yang pada umumnyamengakibatkan kerugian keuangan ("financial loss") yangmenggunakan atau melalui lembaga keuangan termasuk puladi dalam kejahatan tersebut adalah aktivitas-aktivitas illegalseperti, "money laundering" dan "tax evasion", atau istilah"Corporate Crime" (Atmasasmita, 2003: xvii).22

Istilah umum dari kejahatan ekonomi atau kejahatanbisnis atau kejahatan korporasi adalah "white collar crime",di mana istilah ini sebenarnya sebagai lawan dari istilah"street crime". E.H. Sutherland dengan karyanya "WhiteCollar Crime" mematahkan tesis lama yang menyatakan

21Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman3522Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang.Universitas Diponegoro Press, halaman 2

Page 86: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.12

bahwa "crime to be a result of poverty or psychopathic andsociopathic conditions" (Podgor, 1993: 1). Sutherland jugamenggambarkan bahwa kejahatan-kejahatan dari individu-individu yang berada dalam posisi memegang kekuasaansebagai kriminal dan bukan merupakan pelanggaran perdatadan merupakan isu yang signifikan menjadi perhatianmasyarakat. 23

Tindak pidana ekonomi, adalah salah satu bentuk dandimensi perkembangan kejahatan yang saat ini sedangmenjadi pusat perhatian dan keprihatinan duniainternasional. Hal ini, terbukti dengan banyaknya resolusi-resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyangkutproblem ini, misalnya salah satu laporan KongresPerserikatan Bangsa-Bangsa ke VII dilaporkan bahwakejahatan sebagai masalah social timbulnya disebabkan olehfaktor ekonomi. Ciri penting dari economic crime ialahproses pemilikan harta benda dan kekayaan secara licik ataudengan penipuan dan beroperasi secara diam-diam(tersembunyi) dan sering dilakukan oleh perorangan yangmemiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi.24

Membicarakan suatu konsep kejahatan di bidangekonomi hanya dengan dasar kehidupan suatu negara hanyamenghasilkan sesuatu yang tidak memuaskan, sebabpersoalan ekonomi merupakan bagian antar bangsa dalamkerangka globalisasi ekonomi. Oleh karena itu, kejahatanekonomi sudah dibicarakan dalam Guilding Principles for

23Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang.Universitas Diponegoro Press, halaman 224Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman36

Page 87: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.13

Crime Prevention and Criminal Justice in the Context ofDevelopment and New Economic Order, yang diadopsi olehthe seventh Crime Congress, Milan, September 1985 dandisahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalamresolusinya nomor 40/32. Muladi mengatakan bahwamengenai definisi dan ruang lingkup kejahatan ekonomitelah banyak dikemukakan oleh para sarjana. Apabila kitamenggunakan pendekatan teknis, maka kejahatan ekonomilebih menampakkan dirinya sebagai kejahatan di lingkunganbisnis yakni bilamana pengetahuan khusus tentang bisnisdiperlukan untuk menilai kasus yang terjadi. Dalam hal inibatasan yang dapat dikemukakan adalah setiap perbuatanyang dilakukan oleh orang dan atau badan hukum, tanpamenggunakan kekerasan, bersifat melawan hukum, yanghakekatnya mengandung unsur penipuan, memberikangambaran salah, penggelapan, manipulasi, melanggarkepercayaan, akal-akan atau pengelakan peraturan.25

Selanjutnya Muladi mengatakan pendekatan social dapatdigunakan apabila kita bermaksud untuk menitikberatkankepada kepentingan-kepentingan negara dan masyarakatdalam artian bahwa perbuatan tersebut melanggarkepentingan negara dan masyarakat secara umum, tidakhanya kepentingan korban yang bersifat individual.Pendekatan seperti ini menghasilkan istilah tindak pidanasocial ekonomi.26

25 Muladi dalam Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : GrahaIlmu, halaman 3626Muladi dalam Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : GrahaIlmu, halaman 37

Page 88: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.14

Dengan demikian tindak pidana ekonomi paling tidakmengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Perbuatan dilakukan dalam kerangka kegiatanekonomi yang pada dasarnya bersifat normal dan sah

2. Perbuatan tersebut melanggar atau merugikankepentingan negara atau masyarakat secara umum,tidak hanya kepentingan individual.

3. Perbuatan itu mencakup pula perbuatan dilingkungan bisnis yang merugikan perusahaan lainatau individu lain.27

Berikut ini pendapat beberapa pakar mengenai arti istilah“business crime” yaitu:

- Braithwaite, 1982: “Business crime as conduct ofcorporation, or individuals acting on behalf of thecorporation, that is proscribed by law”.

- Clarke, Michael: “Business crime is misconduct thattake place in a business environment or in the courseog legitimate business”.

- Shrager & Short, 1978: “Corporate crime as theillegal acts of commission or commission of anindividual or group of individuals in a legitimateformal organization in accordance with theoperational goals of the organization”.

- Shapiro, 1976: “Corporate crime is committed byorganization or by collectivities of discreateindividuals”.

- Marshall B. Clinard and Peter C. Yeager: “Acorporate crime is any act committed bycorporations that is punished by the state, regardless

27Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman37

Page 89: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.15

of whether it is punished under administrative, civil,or criminal law”. Artinya kejahatan korporasiadalah setiap tindakan yang dilakukan olehkorporasi yang dapat dijatuhi hukuman apakah itumelalui hukum administrasi, hukum perdata, maupunhukum pidana.

- Andenaes, Johannes, 1983: memberikan pemahamanmengenai “Economic Crime” sebagai: “any nonviolent, illegal activity which principally involvesdeceit, misreprensentation, concealment,manipulation, breach of trust, subterfuge or illegalcircumvention”.28

Johannes Andenaes, 1983, juga mengemukakankarakteristik dari kejahatan ekonomi, yang mengandung tigaelemen ialah:

a) Economic offenses are offenses committed in the courseof an economic activity, which in itself is, or at leastpretens to be, a normal and legal business activity. Thisexcludes from the concept economic which is in itselfillegal, such as illegal gambling, trading in narcotics ororganized prostitution.

b) Economics offenses are offenses which violet the interestof the state or society in general, not only individualvictim. Economic crimes are business crime, but not allbusiness crime are economic crimes in this sence.Ordinary cases of fraud or embezzlement are exclude.

c) Economics crime including also offences committed inbusiness life against other business firms or aginstprivate individuals, or at least some types of suchoffences.

28 Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya. 2013. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,halaman 10-11

Page 90: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.16

Dalam tindak pidana ekonomi nampak aspek bidanghukum ialah aspek hukum perdata, aspek hukumadministrasi dan aspek hukum pidana. Untuk menentukanadanya aspek hukum pidana haruslah dilihat denganmenggunakan parameter yang mengandung nuansa hukumpidana seperti: kecurangan (“deceit”), manipulasi(“manipulation”), penyesatan (“misreprentation”),penyembunyian kenyataan (“concealment of facts”),pelanggaran kepercayaan (“breach of facts”), akal-akalan(“subterfuge”), atau pengelakan peraturan (“illegalcircumvention”).29

Edmund W. Kitch dalam artikelnya berjudul “EconomicCrime” yang dimuat dalam “Encyclopedia of Crime andJustice”, Editor Sanford H. Kadish (hal. 670-678)mengemukakan bahwa: “Economic crime...as crimeundertaken for economic motives” artinya kejahatanekonomi sebagai kejahatan yang dilakukan dengan motifatau tujuan-tujuan ekonomi. Beliau juga mendefinisikan“economic crime...as criminal activity with significantsimilarities to the economic activity of normal, non criminalbusiness”. Kejahatan ekonomi sebagai aktivitascriminaldengan kesamaan yang signifikan dengan aktivitasekonomi yang norma, non-criminal bisnis.30

Ada dua corak dari “economic crime”, ialah:

29Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang.Universitas Diponegoro Press, halaman 1130Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang.Universitas Diponegoro Press, halaman 12

Page 91: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.17

a. Consist of crime committed by businessman as an adjunk

to their regular business activities.

Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku

bisnis sebagai tambahan kegiatan bisnis mereka yang

tetap. Penguasa mempunyai tanggung jawab atas

pemberian kesempatan kepadanya untuk melakukan

penggelapan, pelanggaran peraturan-peraturan yang

berhubungan dengan kegiatan usahanya, atau mengelak

pembayaran pajak. Corak kejahatan ekonomi ini disebut

“White Collar Crime”.

b. The provision of illegal goods and services of provision

of goods and services in an illegal manner.

Penyediaan barang-barang dan jasa-jasa yang illegal ataupenyediaan barang-barang dan jasa-jasa dengan caraillegal. Penyediaan barang-barang dan jasa-jasa illegaldiselaraskan dengan tuntutan kegiatan ekonomi sepertiusaha yang normal, tetapi kesemuanya itu termasukdalam kejahatan. Kejahatan model ini disebut “organizedcrime”. Hal ini disebabkan...”the necessity of economiccoordination outside the law leads to the formation ofcriminal group with elaborate organizational customsand practices” (Kitch, 1983: 671). Disebut kejahatanterorganisasi karena kepentingan ekonomidikoordinasikan dengan pimpinan kelompok criminal diluar hukum dengan elaborasi kebiasaan-kebiasaan danpraktik-praktik organisasi.

Page 92: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.18

Kitch (1983) mengemukakan bahwa kejahatan ekonomiatau “economic crime” memiliki tiga ciri yangmenjadikannya sebagai “special interest” ialah:a. The economics crime adopts methods of operation

that are difficult to distinguish from normalcommercial behavior.

b. Economic crime may involve the participation ofeconomically successful individual of otherwiseupright community standing.

c. Many economic crimes present special challenges toprosecutors, to the criminal justice system, and tocivil liberties.

- (Kejahatan ekonomi pelaksanaan menggunakan metodeatau cara yang sulit membedakannya dengan perilakukomersial yang normal).

- (Kejahatan ekonomi bisa melibatkan partisipasi dariindividu-individu yang sukses di bidang ekonomi,partisipasi individu-individu yang mempunyai statusyang bagus dalam masyarakat).

- (Banyak kejahatan ekonomi menghadirkan tantangankhusus terhadap penuntut umum, terhadap sistimperadilan pidana, dan terhadap kebebasan perorangan).31

Di dalam literatur dijumpai istilah-istilah kejahatan yangberhubungan dengan korporasi, namun memiliki pengertianyang berbeda, yaitu (1) crimes for corporations, (2) crimeagainst corporations, dan (3) criminal corporation.

- Crime for corporation ini merupakan kejahatan

korporasi sehingga dapat dikatakan bahwa “corporate

crime are clearly committed for the corporate and not

31Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang.Universitas Diponegoro Press, halaman 12

Page 93: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.19

against” artinya kejahatan korporasi dilakukan untuk

kepentingan korporasi dan bukan sebaliknya.

- Crime against corporation atau kejahatan terhadap

korporasi sering juga diberi nama dengan sebutan

“employee crimes” ialah kejahatan yang dilakukan oleh

para karyawan terhadap korporasi, seperti penggelapan

dana perusahaan oleh pejabat atau karyawan perusahaan.

- Criminal corporation ialah korporasi yang sengaja

didirikan untuk melakukan kejahatan, di sini korporasi

hanyalah sebagai topeng untuk menyembunyikan wajah

asli dari pelaku kejahatan.32

Kitch (1983) membedakan 3 (tiga) tipe secara umumdari “economic crime” ialah property crimes, regulatorycrimes, and tax crimes.

- Property crimes adalah “acts that threaten property heldby private person or by stale”.

- Regulatory crimes are actions violate governmentregulations.

- Tax crimes are violations of the liability or reportingrequirement of tax laws.

Salah satu bentu dari “white collar crime” adalah“corporate crime” atau “kejahatan korporasi”. Bentuk-bentuk kejahatan korporasi beserta korbannya sangat

32Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang.Universitas Diponegoro Press, halaman 13

Page 94: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.20

beraneka ragam dimana pada dasarnya mempunyai nilaiekonomis, seperti kejahatan di bidang konsumen, kejahatandi bidang lingkungan hidup, kejahatan perpajakan, kejahatanpencucian uang dan korbannya juga sangat luas bisaindividu, kelompok, masyarakat dan Negara.33

Menurut Kitch yang sangat penting dalam kejahatanekonomi bahwa “...is the organized appropriation of goodsand property by stealth or fraud” Kejahatan ekonomi “...areoften committed by individuals of high social and economicstanding”. Keadaan ini merupakan hasil interaksi beberapafaktor:

1. Individuals with background in productive enterprisehave a large comparative advantage in the commissionof certain kinds of economic crime.

2. Government regulatory or tax regimes often createconditions that make their violations extraordinaryprofitable.

3. The criminal conduct may be difficult to distinguishmorally from legal activity.

Seperti telah dikemukakan bahwa menurut Edwin H.Sutherland “White Collar Crime” adalah kejahatan yangdilakukan oleh orang-orang terhormat dan status sosialtinggi dalam kaitannya dengan okupasinya. Dengandemikian dalam “white collar crime” terdapat dua hal yangpenting ialah (1) status si pelaku (“the status of theoffender”) dan (2) karakter okupasional dari kejahatan (“the

33Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang.Universitas Diponegoro Press, halaman 13

Page 95: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.21

character occupational of the offence”). Kejahatan ini padamulanya dikaitkan dengan para manager dan eksekutifperusahaan, untuk membuktikan bahwa di kalangan ataspun(“upper classes”) dapat terjadi kejahatan yang merugikanmasyarakat, sekalipun dengan cara yang berbeda dengankejahatan kelas bawah (“blue collar crime”). White collsrcrime ini meruntuhkan hipotesis yang menyatakan seolah-olah sebab musabab kejahatan adalah kemiskinan(“poverty”)34

2. Perluasan Dalam Tindak Pidana Ekonomi

Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasansebelumnya bahwa dari definisi dan pengertian tindakpidana ekonomi-pun tidak ada keseragaman. Di satu pihakada yang mengatakan bahwa hukum pidana ekonomi adalahbagian dari hukum pidana yang bercorak ekonomi yangmeliputi economic crime, business crime, white collar crime,dan socio economic crime, serta pihak lain ada yangmendefinisikan sebagai setiap perbuatan pelanggaran ataskebijakan negara di bidang ekonomi yang dituangkan dalmperaturan hukum ekonomi yang memuat ketentuan pidanaterhadap pelanggarnya.Definisi seperti ini, jelas melakukanpenyimpangan terhadap KUHP yang hanya mengenalperbedaan kejahatan dan pelanggran itu dari ukurankuantitatif/deduktif. Sedangkan dalam undang-undangtindak pidana ekonomi dikenal perbedaan kekras antara

34Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang.Universitas Diponegoro Press, halaman 14

Page 96: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.22

tindak pidana ekonomi berupa kejahatan dan tindak pidnaekonomi berupa pelanggaran.35

Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 2 Undang-UndangNomor 7 drt Tahun 1955

1. Tindak pidana ekonomi pada Pasal 1 sub1 c adalahkejahatan atau pelanggaran, sekedar tindak itumenurut ketentuan undang-undang yangbersangkutan adalah kejahatan atau pelanggaran.tindak pidana ekonomi yang lain yang tersebut dalamPasal 1 sub e adalah kejahatan apabila tindak itudilakukan dengan sengaja, jika tindak itu tidakdilakukan dengan sengaja tindak itu adalahpelanggaran.

2. Tindak pidana ekonomi tersebut dalam Pasal 1 sub 2e adalah kejahatan

3. Tindak pidana ekonomi tersebut dalam Pasal 1 sub 3c adalah kejahatan, apabila tindak mengandunganasir sengaja. Tindak itu adalah pelanggaran satudengan yang lainnya jika dengan undang-undnag ituditentukan lain.36

Dari Pasal-Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwakebijakan legislatif yang ditempuh dalammengklasifikasikan tindak pidana ekonomi itu kejahatanatau pelanggaran menggunakan ukuran sebagai berikut:

Pertama-tama diserahkan kepada undang-undangbersangkutan, artinya bahwa suatu jenis tindak pidana

35Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman3736Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman38

Page 97: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.23

ekonomi merupakan kejahatan atau pelanggaran diserahkansepenuhnya kepada undang-undang.Dalam hal ini undang-undang tidak menentukan yang dipakai ukuran adalah unsurkesengajaan, artinya apabila suatu tindak pidana dilakukandengan sengaja maka merupakan kejahatan, sedangkanapabila tidak dilakukan dengan sengaja maka tindak pidanaekonomi itu merupakan pelanggaran.37

A. Perluasan Subjek Hukum Pidana Ekonomi

Dalam KUHP ditentukan bahwa subjek hukum pidanaadalah orang. Hal ini terlihat dari bunyi Pasal-Pasal dalamKUHP selalu didahului dengan kata-kata ……barangsiapa,….seorang dokter yang…. seorang ibu yang….dipidana penjara (hanya orang yang dapat dipidanapenjara).Doktrin hukum pidana lama hanya mengenal subjekhukum pidana itu adalah orang, karena asas hukum pidanamengatakan Soceitas delenquere non protest artinyakumpulan/organisasi tidak merupakan subjek hukum.Dengan demikian KUHP Indonesia masih menganut bahwasuatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia sedangkanbadan hukum yang dipengaruhi oleh pemikiran Von Savignyyang terkenal dengan teori fiksi (Fiction Theory) tidakdiakui dalam hukum pidana.Dalam Undang-Undang Nomor7 drt Tahun 1955 subjek hukum pidana itu diperluas. Selainorang, juga meliputi badan hukum, perseroan, perserikatan,dan yayasan. Semuanya menunjukkan sebuah korporasi.Dan ini adalah undang-undang pertama yang menempatkan

37Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman38

Page 98: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.24

korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal serupa jugadikemukakan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.38

Rancangan KUHP tahun 2005 telah mencantumkansecara tegas bahwa korporasi bisa menjadi subjek hukumpidana. Rancangan KUHP menyatakan korporasi dapatdipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana.Kedua undang-undang tersebut dan RUU KUHPmenyiratkan bahwa yang bisa melakukan maupun yang bisadipertanggungjawabkan adalah orang dan/badan hukum itusendiri. Dengan demikian korporasi diakui sebagai subjekhukum pidana yang terbatas hanya pada peraturanperundang-undangan di luar KUHP sedangkan dalam KUHPkorporasi sebagai subjek hukum pidana sampai saat inibelum diakui sebagaimana telah dikatakan di atas.39

Perkembangan selanjutnya, korporasi mutlak harusmenjadi subjek hukum pidana mengingat perkembangankejahatan ekonomi semakin canggih. Dijadikannyakorporasi sebagai subjek hukum pidana dilakukan melaluitahap-tahap.Tahap pertama ditandai dengan usaha-usahaagar sifat delik dari korporasi dibatasi pada perseorangan.Apabila tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasitindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengelolakorporasi. Dalam tahap ini tekannya pada pembebanan tugaspengurus kepada pengurus. Tahap kedua muncul sesudah

38Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman3939

Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu,halaman 40

Page 99: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.25

berakhirnya perang dunia pertama yang memperkenalkandoktrin bahwa perbuatan pidana dapat dilakukan olehkorporasi dengan catatan tanggungjawab menjadi bebanpengurus. Tahap ketiga mulai dibuka kemungkinan untukmembuat korporasi dan meminya pertanggungjawabanmenurut hukum pidana.Dengan melihat ketentuan Pasal 15Undang-Undang tindak pidana ekonomi tersebut, sertaperundang-undangan lainnya sebagaimana disebutkan di atassuatu korporasi bisa merupakan subjek hukum pidanaapabila memenuhi persyaratan bahwa tindak pidanaekonomi tersebut dilakukan oleh orang-orang yang adahubungan kerja, dalam arti orang-orang itu bertindak dalamlingkungan badan hukum/korporasi.40

Yang dimaksud hubungan kerja dalam undang-undangtindak pidana ekonomi adalah hubungan hukum antaramajikan dan buruh, sedangkan hubungan lain bertindakdalam lingkungan badan hukum. Di sini harus diartikansebagai lingkungan aktivitas badan hukum tersebut. Jadi,dalam hal tindak pidana ekonomi dilakukan oleh korporasimaka yang bertanggungjawab secara hukum adalahkorporasi tersebut, orang yang member perintah ataubertindak sebagai pemimpin dalam perusahaan atau kedua-duanya.41

40Mahrus Ali dalam Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta :Graha Ilmu, halaman 4041Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman41

Page 100: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.26

B. Klasifikasi Kejahatan dan Pelanggaran

KUHP menetukan klasifikasi suatu perbuatan termasukkejahatan dan pelanggaran didasarkan atas pertimbangankualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan ukuran kualitatifkejahatan berasal dari delik hukum. Sedangkan pelanggaranberasal dari delik undnag-undang. Berdasarkan ukurankuantitatif kejahatan ancaman pidananya lebih berat danpelanggaran ancaman pidananya lebih ringan. SedangkanUndang-Undang Nomor 7 drf Tahun 1955 menentukanmenjadi tiga golongan, golongan kesatu sebagaimanatermuat dalam Pasal 2 ayat (1) kejahatan tindak pidanaekonomi berupa kejahatan dilakukan dengan sengaja,sedangkan tindak pidana ekonomi yang berupa pelanggarandilakukan dengan tidak sengaja.Golongan keduasebagaimana disebut dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 26, Pasal32, dan Pasal 33, semuanya kejahatan. Golongan ketigaadalah sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat (3) yangmenentukan bahwa suatu tindak pidana ekonomi merupakankkejahatan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengansengaja, dan apabila dilakukan tidak dengan sengajakualifikasinya adalah pelanggaran, kecuali ditentukan lain.42

C. Perluasan Berlakunya Hukum Pidana Ekonomi

Yang dimaksud perluasan berlaku di sini adalahperluasan UUTPE yang berlaku melewati batas-batasterritorial suatu negara sebagaimana ditentukan dalamKUHP. Dangan demikian, UUTPE melakukan

42Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman41

Page 101: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.27

penyimpangan terhadap asas territorial Pasal 2 KUHP yangmenyatakan: HUHP Indonesia berlaku bagi seriap orangyang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia.Pasal 3UUTPE mengatakan, barang siapa turut melakukan suatutindak pidana ekonomi yang dilakukan di dalam daerahhukum Republik Indonesia dapat dihukum, begitu pula jikaia turut melakukan tindak pidana itu di luar negeri.Dengandemikian UUTPE menetapkan perluasan berlaku, tidakhanya terbatas pada wilayah territorial Indonesia, melainkansampai ke luar negeri. Artinya bahwa UUTPE akanmenuntut dan mengadili orang-orang yang melakukan tindakpidana ekonomi di luar negeri dan mereka yang terlibat/ikutserta sapat diajukan ke pengadilan di Indonesia denganmenggunakan UUTPE, walaupun yang bersangkutan turutserta melakukan perbuatan tersebut di luar negeri.43

Ketentuan Pasal 3 UUTPE memperluas ketentuan Pasal2 KUHP. Berarti menganung konsekuensi:

a. UUTPE meninggalkan asas territorial menurut Pasal2 KUHP

b. Semua pelaku dianggap sama dengan pembuatc. Ancaman hukuman disamakan dengan pelaku tindak

pidanad. Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana

yang berdiri sendiri.44

43Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman4244Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman42

Page 102: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.28

D. Sanksi PidanaEkonomi

Berbeda dengan KUHP yang hanya mengenal sanksipidana sebagaimana tersebut dalan Pasal 10 KUHP yangberupa pidana pokok dan pidana tambahan, maka dalamUUTPE menentukan tiga jenis pidana yaitu: (1) pidanapokok (Pasal 6 UUTPE), (2) pidana tambahan (Pasal 7UUTPE) dan (3) pidana tata tertib (Pasal 8 UUTPE).Khususpidana tambahan, dalam UUTPE telah memperluasketentuan Pasal 10 KUHP berupa penutupanseluruh/sebagian perusahaan, pencabutan seluruh/sebagianhak-hak tertentu, penghapusan seluruh bagian keuntungantertentu.Pasal 7 UUTPE menentukan putusan pidanatambahan yang meliputi pidana tambahan seperti yangdinyatakan dalam Pasal 10 KUHP sub b jo Pasal 35 KUHPden pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu,dan pengumuman putusan hakim.45

Pasal 7 UUTPE menentukan pidana tambahan, yangmeliputi hukuman tambahan, adalah:

a) Pencabutan hak-hak tesebut dalam Pasal 35 KUHPuntuk waktu sekurang-kurangnya enam bulan danselama-lamanya enam tahun lebih lama dari hukumankawalan atau dalam hal dijatuhkan hukuman dendasekurang-kurangnya enam bulan dan selama-lamanyaenam tahun.

b) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan siterhukum, di mana tindak pidana ekonomi dilakukanuntuk waktu selama-lamanya satu tahun.

45Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman45

Page 103: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.29

c) Perampasan berang-barang tak tetap yang berwujud dantidak berwujud dengan mana atau mengenai mana tindakpidana ekonomi itu dilakukan atau yang seluruhnya atausebagian diperolehnya dengan tindak pidana ekonomiitu, begitu pula harga lawan barang-barang yangmenggantikan barang tersebut, tak peduli apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si tehukum ataubukan.

d) Perampasan barang-barang yang berwujud dan tidakberwujud. Yang termasuk perusahaan si terhukum, dimana tindak pidana ekonomi itu dilakukan, begitu pulaharga lawan barang-baramg itu yang menggantikanbarang-barang itu, tak peduli apakah barang-barangharga lawan itu kepunyaan terhukum atau bukan, akantetapi sekedar barang-barang itu sejenis dan mengenaitindak pidana bersangkutan dengan barang-barang yangdapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub c.

e) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu ataupenghapusan seluruh atau sebagian ketentuan tertentu,yang telah atau dapat diberikan si terhukum olehpemerintah berhubung dengan perusahaannya untukwaktu selama-lamanya dua tahun.

f) Pengumuman putusan hakimg) Perampasan barang-barang yang bukan kepunyaan si

terhukum tidak dijatuhkan, sekedar hak-hak pihak ketigadengan itikad baik tidak terganggu.

h) Dalam hal perampasan barang-barang, maka hakimdapat memerintahkan bahwa hasilnya seluruh atausebagian akan diberikan kepada si terhukum.

Perampasan barang-barang tertentu tersebut memperluasketentuan Pasal 39 KUHP yang hanya mengenal perampasanbarang-barang milik terhukum yang dijadikan alat untukmelakukan kejahatan (instrument delicti) dan barang milik

Page 104: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.30

terhukum yang merupak hasil kejahatan yang dilakukan olehterhukum (corpora delicti).46

Selain pidana pokok dan pidana tambahan, UU TPEmengenal juga jenis pidana baru yang disebut dengantindakan tata tertib (Pasal 9). Penjelasan Pasal 9 menetapkanbahwa pidana tindakan tata tertib tidak merupakan hukumanyang dimaksudkan untuk menakuti, akan tetapi tindakan itubermaksud untuk mencabut keuntungan yang diperolehdengan tanpa hak dan untuk memperbaiki perekonomiansecepat mungkin.Tindakan tata tertib sebagai salah satu jenispidana dalam tindak pidana ekonomi merupakanpenyimpangan dari sistem dua jalur (double track system)dalam hukum pidana Indonesia berupa jalur pidana dan jalurtindakan. Tindakan di sini bukan diartikan sebagai nestapa,melainkan bentuk perlindungan kepada masyarakat (socialprotection). Oleh karena itu, dibedakan dengan sistempidana.47

Bentuk-bentuk tindakan tata tertib dalam UUTPEmeliputi:

a. Penempatan perusahaan di bawah pengampunanb. Pembayaran uang jaminanc. Pembayaran uang sebagai pencabutan keuntungan

yang diperoleh dari tindak pidanad. Wajib bekerja yang dilalaikan tanpa hak atas biaya

terhukum.

46Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman45-4647Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman47

Page 105: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.31

Jenis pidana tata tertib ini pada dasarnya tidak dapatdijatuhkan secara tersendiri, bersifat accesoir yang berartibergantung ada tidaknya pidana pokok. Hal ini, dikecualikandalam hal apabila terpidana dianggap tidak/kurang mampudipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal demikiandimungkinkan tindakan tata tertib dijatuhkan tersendiri tanpapidana.48

Pengertian hukum pidana khusus telah dikemukakanoleh beberapa ahli, dua diantaranyaa oleh Sudarto sertaKanter dan Sianturi. Sudarto mengatakan bahwa hukumpidana khusus diartikan sebagai ‘ketentuan hukum pidanayang mengatur mengenai kekhususan subyeknya danperbuatannya yang khusus (bijzonderlijk feiten)’.49

Sedangkan Kanter dan Sianturi mengartikan hukum pidanakhusus sebagai ‘ketentuan hukum pidana yang mengaturketentuan khusus yang menyimpang dari ketentuan umumbaik mengenai subjeknya maupun perbuatannya’.50

Berdasarkan dua pengertian ini, hukum pidana khususadalah suatu aturan hukum pidana yang menyimpang darihukum pidana umum. Aspek penyimpangan ini pentingdalam hukum pidana khusus, karena apabila tidak adapenyimpangan, tidaklah disebut hukum pidana khusus.Hukum pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atauberlaku kepada orang tertentu. Dengan kata lain, hukum

48Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, halaman4749 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm 61 , dalam Mahrus Ali,Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 150 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1982, hlm 22 , dalam Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UIIPress, Yogyakarta, 2016, hlm 1

Page 106: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.32

pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlakukepada siapa hukum pidana khusus itu.51

Dalam hukum pidana khusus asas yang berlaku adalah‘lex specialis derogat lex generalis’, ketentuan (hukum)pidana khusus mengalahkan atau lebih diutamakan daripadahukum pidana umum. Dalam KUHP, asas ini terdapat dalamPasal 63 ayat (2) yaitu ‘jika suatu perbuatan, yang dalamsuatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturanpidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yaangdikenakan’. Pasal ini bermakna bahwa jika suatu perbuatantermasuk dalam suatu aturan pidana umum, diatur puladalam ketentuan hukum pidana khusus, yang khusus itulahyang diberlakukan.52

Diberlakukanya ketentuan hukum pidana yang bersifatkhusus dari yang umum disebabkan oleh aadanyapenyimpangan baik mengenai perbuatan dan pelakunya(hukum pidana materiil) ataupun prosedur penyelesaianperkara (hukum pidana formil). Dengan penyimpangan ini,hukum pidana khusus adalah hukum atau perundang-undangan pidana yang beraada di luar hukum pidana umum(KUHP).53 Penyimpangan suatu ketentuan hukum pidanayang terdapat dalam hukum pidana khusus merupakanindikator apakah suatu undang-undang pidana tertentumerupakan undang-undang pidana khusus atau bukan.

51 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 152 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 1-253 Konsep ini harus dibatasi dan dipahaami dalam kaitannya dengan hubungan antara KUHPdengan Undang-undang diluar KUHP. Umumnya, agar Undang-undang diluar KUHP disebutsebagai undang-undang pidana yang bersifat khusus, ia harus mengandung dua penyimpangansekaligus, yakni penyimpangan dari hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. DalamMahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 2

Page 107: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.33

Maksud menyimpang selain menyimpang dari ketentuanhukum pidana umum juga menentukan sendiri yangsebelumnya tidak ada dalam hukum pidana umum. Dalamhukum pidana materiiil penyimpangan dapat dilihat antaralain; hukum pidana bersifat elastis, percobaa danpembantuan melakukan tindak pidana diancam denganhukuman yang sama dengan delik selesai, pengakuanterhadap subjek delik korporasi, perluasan berlakunyaa asasteritorial (ekstra territorial), subjek hukum berhubunganberhubungan / ditentukan berdasarkan kerugian keuangandan perekonomian negara, pegawai negeri merupakan subjekhukum tersendiri , pidana denda ditambah sepertiga terhadapkorporasi, perampasan barang bergerak atau tidak bergerak,adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalamundang-undang itu, tindak pidana bersifat transnasional,adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindakpidana yang terjadi, dan dapat pula berlaku asas retroaktif.Sedangkan dalam hukum pidana formil, penyimpangandimaksud dapat berupa; penyelidikan ddilakukan olehKomisi Nasional Hak Asasi Manusia, Penyidikan dilakukanoleh Jaksa Agung atau Komisi Pemberantasan TindakPidana Korupsi, didahulukannya perkara pidanatertentu/khusus dari perkara pidana lain, addanya pengaturanmengenai gugatan perdata terhadap tersangka/ terdakwa,penuntutan kembali terhadap pidana bebas atas dasarkerugian Negara, diadilinya perkara pidana khusus diPengadilan khusus, dianutnya peradilan in absentia,diakuinya terobosan terhadap rahasia bank, dianutnyapembalikan beban pembuktian, dan adanya ketentuan

Page 108: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.34

mengenai larangan menyebutkan indentitas pelapor suatutindak pidana.54

Dasar hukum pidana khusus mengacu kepada Pasal 103KUHP, yaitu ‘ketentuan-ketentuan dalam Bab 1 sampai BabVIII buku ini jugaa berlaku bagi perbuatan-perbuatan yangoleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancamdengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukanlain’. Rumusan Pasal ini mengandung dua makna. Pertama,semua ketentuan yang ada dalam Bab I-VIII Buku 1 KUHPberlaku terhadap perundang-undangan pidana diluar KUHPsepanjang perundang-undangan itu tidak menentukaan lain.Kedua, adanya kemungkinan mengatur hal-hal baru danberbeda dalam perundang-undangan pidana diluar KUHP,karena KUHP tidak mengatur seluruh tinda pidana didalamnya, KUHP tidak lengkap dan tidak mungkinlengkap.55

E. Obyek Kajian dan Ruang Lingkup Hukum PidanaKhusus

Dengan memahami pengertian hukum pidana khusussebagai hukum pidana yang menyimpang dari ketentuanhukum pidana umum baik dari segi hukum pidana materiilmaupun hukum pidana formil, maka objek yang dikaji dalamhukum pidana khusus adalah semua perundang-undanganpidana diluar KUHP yang menyimpang baik dari hukumpidana materiil maupun hukum pidana formil disebut hukumpidana khusus. Sebaliknya, jika penyimpangan ini hanya

54 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 2-355 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 3

Page 109: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.35

dalam lapangan hukum pidana materiil saja, sebutan yangdisematkan kepada undang-undang itu adalah (undang-undang) hukum pidana administrasi (administrative penallaw).56

Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa undang-undang pidana khusus diluar KUHP memiliki dua corak,yaitu substansi yang diatur dalam suatu undang-undangmurni terkait hukum pidana dan terkait bidang hukumadministrasi. Yang pertama disebut intra aturan pidana,seperti undang-undang pemberantasan tindak pidanaterorisme, undang-undang pengadilan hak asasi manusia,dan undang-undang pemberantasan tindak pidana pencucianuang. Perbuatan-perbuatan yang dilarang didalam undang-undang tersebut merupakan perbuatan yang tercela (malumin se crimes) dilihat dari sifat dasar perbuatan itu. Meskipunundang-undang tidak melarangnya, tetap saja perbuatan ituterlarang. Sedangkan yang kedua disebut ekstra aturanpidana, seperti undang-undang narkotika, undang-undangperlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, undang-undang pertambangan mineral dan batu bara, dan undang-undang keimigrasian. Perbuatan-perbuatan yang dilarangdalam perbuatan itu pada dasarnya merupakan pelanggarandi bidang hukum administrasi (malum prohibitum crimes).Hanya saja, untuk lebih mengefektifkan daya provensi danpenjeraan, maka perbuatan ini diancam dengan sanksipidana.57

56 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 357 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 3-4

Page 110: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.36

Kembali kepada objek kajian hukum pidana khusus,paling tidak empat undang-undang pidana diluar KUHPyang sesuai dengan kriteria di atass, yakni Undang-undangNomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutandan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undangNomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang PeradilanHak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 15 Prp tahun2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, danUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentangPemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.58

Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentangPengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak PidanaEkonomi dimasukkan ke dalam undang-undang pidanakhusus adalah karena disamping memuat penyimpangan darisegi hukum pidana materiiil, misal mengatur tentang sanksitindakan berupa penuntutan seluruh atau sebagianperusahaan, juga karena aparat penegak hukum danpengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi.Jaksanya harus jaksa ekonomi, paniteranya harus paniteraekonomi dan hakimnya harus hakim ekonomi, demikianjuga pengadilannya harus pengadilan ekonomi. 59

Dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentangPengadilan Hak Asasi Manusia penyimpangan hukumpidana materiil adalah diaturnya ancaman pidana minimumkhusus, diaturnya pidana penjara melebihi maksimum umum

58 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 459 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 4

Page 111: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.37

pidana penjara , dan diakuinyaa asas retroaktif. Sedangkandalam hukum pidana formil penyimpangan tersebut tampakpada diakuinya prinsip tidak adanya kadaluarsa dalampenanganan perkarra pelanggaran hak asasi manusia berat,dan jaksa agung sebagai penyidik dan penuntut umumpelanggaran hak asasi manusia. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Prp Tahun 2003 tentang PemberantasanTindak Pidana Terorisme, penyimpangan antara lain ;korporasi diakui sebagai subjek delik yang bersifat khususseperti militer dan polisi, perumusan pidana secarakumulaatif antara pidana penjara dan pidana denda,60

kewenangan baagi penyidik untuk menahan tersangka palinglama 6 bulan, dan perluasan alat bukti.61

Ruang lingkup hukum pidana khusus adalah semuaperundang-undangan pidana diluar KUHP yang memuatpenyimpangan baik dari segi hukum pidana materiil maupundari segi hukum pidana formil. Ruang lingkup ini tidaklahbersifat tetap, akan tetapi dapat berubah bergantung kepadaapakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri

60 Perumusan ancaman pidana dalam Buku 1 KUHP bersifat tunggal atau bersifat alternatifantara pidana penjara aatau pidana denda. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalamPenanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Cetakan ketiga, Badan PenerbitUniversitas Diponegoro, Semarang, 2000, hlm 151 , dalam Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi,UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 561 Pasal 27 yaitu informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secaraelektronik alat optik atau serupa dengan itu , data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpaa bantuan suatu sarana ,baik yang tertuang diatass kertas, benda fisik apapun selain kertas , atau yaang terekam secaraelektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : (1) tulisan, suara, atau gambar; (2) peta,rancangan, foto, atau sejenisnya; (3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memilikimakna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Page 112: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.38

ketentuaan khusus dari perundang-undangan pidana yangmengatur substansi dan prosedur tertentu..62

1) Sebutkan unsur-unsur tindak pidana ekonomi?2) Bentuk-bentuk tindakan tata tertib dalam Undang-

Undang Tindak Pidana Ekonomi meliputi apa saja?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Suatu perbuatan atau kegiatan diklasifikasikan sebagaitindak pidana ekonomi apabila memenuhi unsur yakni:a. Perbuatan dilakukan dalam kerangka kegiatan

ekonomi yang pada dasarnya bersifat normal dan sahb. Perbuatan tersebut melanggar atau merugikan

kepentingan negara atau masyarakat secara umum,tidak hanya kepentingan individual.

c. Perbuatan itu mencakup pula perbuatan di lingkunganbisnis yang merugikan perusahaan lain atau individulain.

2) Bentuk-bentuk tindakan tata tertib yang diatur dalamUndang-undang Tindak Pidana Ekonomi adalaha. Penempatan perusahaan di bawah pengampunan;b. Pembayaran uang jaminan;c. Pembayaran uang sebagai pencabutan keuntungan

yang diperoleh dari tindak pidana;

62 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm 5

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 113: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.39

d. Wajib bekerja yang dilalaikan tanpa hak atas biayaterhukum.

1. Tindak pidana ekonomi adalah bagian dari hukumpidana tetapi yang memiliki kekhususan. Di Indonesia,pengundangan tindak pidana ekonomi relatif barukarena baru mulai dikenal sejak diundangnkan UUDarurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak PidanaEkonomi. Dalam perkembangannya, pidana perbankanjuga menjadi bagian dari tindak pidana ekonomi(“TPE”) selain tindak pidana dibidang bea cukai(smuggling), kecurangan dibidang kebeacukaian(customs fraud), kejahatan dibidang pengangkutan laut(maritime), kejahatan dibidang perikanan (illegalfishing) dst. TPE itu sendiri adalah hukum pidanakhusus yang berkembang di luar kodifikasi (KUHP).TPE sebagai sistem hukum pidana khusus sudahdikenal sejak UU Darurat No. 7 Tahun 1955 danagaknya akan terus berkembang seiring denganperkembangan ekonomi utamanya internationalbusiness dan international banking.

2. Perluasan yang diatur dalam UU Darurat No. 7 Tahun1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi meliputiperluasan subjek, klasifikasi pelanggaran dengankejahatan, sanksi, locus dan tempus berlakunya hukumpidana ekonomi. Tindak pidana ekonomi ini termasuktindak pidana khusus karena diatur tersendiri di luarketentuan KUHP.

RANGKUMAN

Page 114: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.40

1) TPE sebagai sistem hukum pidana khusus sudah dikenalsejak UU Darurat No. 7 Tahun 1955 dan agaknya akanterus berkembang seiring dengan perkembanganekonomi utamanya yakni …A. International business dan international bankingB. Perkembangan Teori PemidanaanC. Perkembangan kebijakan sosialD. Perkembangan hubungan politik dan hukum

2) TPE itu sendiri adalah hukum pidana khusus yangberkembang yang terdapat pada …A. Kodifikasi UU Tindak Pidana InternasionalB. Terdapat dalam setiap perundang-undangan

administrasiC. Di luar kodifikasi BWD. Luar kodifikasi (KUHP)

3) Dasar hukum pidana khusus mengacu kepada KUHPyang terdapat pada Pasal …..A. 130B. 103C. 102D. 104

4) Hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukumpidana yang bercorak ekonomi yang meliputi …A. economic crimeB. business crimeC. white collar crime,D. Semua jawaban benar

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 115: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.41

5) Salah satu bentuk ciri khas dari tindak pidana ekonomiyakni perbedaan hukumannya dengan hukum pidanayang terdapat dalam KUHP. Hukuman tambahan dalamUU Tindak Pidana Ekonomi diatur dalam ketentuanPasal ....A. 4B. 5C. 6D. 7

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban TesFormatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglahjawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untukmengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi KegiatanBelajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Andadapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jikamasih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi KegiatanBelajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 116: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.42

Kegiatan Belajar 2Karakteristik Tindak Pidana Ekonomi

1. Karakteristik Dan Tipe Tindak Pidana Ekonomi

Andenaes, Johannes, 1983 dalam Nyoman SerikatPutra Jaya, memberikan pemahamanmengenai“Economic Crime” sebagai: “any non violent,illegal activity which principally involves deceit,misreprensentation, concealment, manipulation, breachof trust, subterfuge or illegal circumvention”.

Johannes Andenaes, 1983, juga mengemukakankarakteristik dari kejahatan ekonomi, yang mengandungtiga elemen ialah:

a) Economic offenses are offenses committed in thecourse of an economic activity, which in itself is,or at least pretens to be, a normal and legal

Page 117: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.43

business activity. This excludes from the concepteconomic which is in itself illegal, such asillegal gambling, trading in narcotics ororganized prostitution.

b) Economics offenses are offenses which violet theinterest of the state or society in general, not onlyindividual victim. Economic crimes are businesscrime, but not all business crime are economiccrimes in this sence. Ordinary cases of fraud orembezzlement are exclude.

c) Economics crime including also offencescommitted in business life against other businessfirms or aginst private individuals, or at leastsome types of such offences.

Dalam tindak pidana ekonomi nampak aspek bidanghukum ialah aspek hukum perdata, aspek hukumadministrasi dan aspek hukum pidana. Untukmenentukan adanya aspek hukum pidana haruslah dilihatdengan menggunakan parameter yang mengandungnuansa hukum pidana seperti: kecurangan (“deceit”),manipulasi (“manipulation”), penyesatan(“misreprentation”), penyembunyian kenyataan(“concealment of facts”), pelanggaran kepercayaan(“breach of facts”), akal-akalan (“subterfuge”), ataupengelakan peraturan (“illegal circumvention”).63

Sampai sekarang tidak ada teori yang dapatmenjelaskan pengertian tindak pidana ekonomi denganmemuaskan. Termasuk pula menguraikan karakteristikmaupun tipe-tipe economic crime. Namun sebagai acuanEdmund Kitch telah mengemukakan ada tiga

63Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Semarang. Universitas Diponegoro Press, halaman 11

Page 118: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.44

karakteristik atau features of economic crime yaitusebagai berikut: Pertama, pelaku menggunakan modusoperandi kegiatan ekonomi pada umumnya; kedua tindakpidana ini biasanya melibatkan pengusaha-pengusahayang sukses dalam bidangnya dan ketiga, tindak pidanaini memerlukan penanganan atau pengendalian secarakhusus dari aparatur penegak hukum.64

Sedangkan tipe tindak pidana ekonomi menurutEnsiklopedi Crime and Justice dibedakan dalam tiga tipetindak pidana ekonomi yaitu property crimes, regulatorycrimes, dan tax crimes. Property Crimes memilikipengertian yang lebih luas dari pengertian pencuriandalam Pasal 362 KUHP. Property crime ini meliputiobjek yang dikuasai individu (perseorangan) dan jugayang dikuasai oleh negara. Misalnya di Amerika Serikatdikenal adanya integrated theft offense yang meliputitindakan-tindakan sebagai berikut:65

(1) Tindakan pemalsuan (forgery).(2) Tindakan penipuan yang merusak (the fraudulent

destruction).(3) Tindakan memindahkan atau menyembunyikan

instrument yang tercatat atau dokumentasi(removal or concealment of recordableinstrument).

(4) Tindakan mengeluarkan cek kosong (passing badchecks).

(5) Menggunakan kartu kredit yang diperoleh daripencurian dan kartu kredit yang ditanggungkan.

64Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : GrahaIlmu, halaman 4965Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : GrahaIlmu, halaman 50

Page 119: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.45

(6) Praktik usaha curang (deceptive businesspractices).

(7) Tindakan penyuapan dalam usaha (commercialbribery).

(8) Tindakan perolehan atau pemilikan sesuatu dengancara tidak jujur atau curang (the rigging ofcontent).

(9) Tindakan penipuan terhadap kreditur beritikadbaik.

(10) Pernyataan bangkrut dengan tujuan penipuan.(11) Perolehan deposito dari lembaga keuangan yang

sedang pailit.(12) Penyalahgunaan dari asset yang dikuasai.(13) Melindungi dokumen dengan cara curang dari

tindakan penyitaan.

Regulatory crimes adalah setiap tindakan yangmerupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintahyang berkaitan dengan usaha di bidang perdagangan ataupelanggran atas ketentuan-ketentuan mengenaistandarisasi dalam dunia usaha. Termasuk dalamregulatory crime ini pelanggaran atas laranganperdagangan marijuana illegal atau penyelenggaraanpelacuran atau peraturan tentang lisensi, pemalsuankewajiban pembuatan laporan dati aktivitas usaha dibidang perdagangan, dan melanggar ketentuan upahburuh dan larangan monopoli di dunia usaha sertakegiatan usaha yang berlatar belakang politik. 66

66Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : GrahaIlmu, halaman 50-51

Page 120: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.46

Edmund W. Kitch dalam artikelnya berjudul“Economic Crime” yang dimuat dalam “Encyclopedia ofCrime and Justice”, Editor Sanford H. Kadish (hal. 670-678) mengemukakan bahwa: “Economic crime...as crimeundertaken for economic motives” artinya kejahatanekonomi sebagai kejahatan yang dilakukan dengan motifatau tujuan-tujuan ekonomi. Beliau juga mendefinisikan“economic crime...as criminal activity with significantsimilarities to the economic activity of normal, noncriminal business”. Kejahatan ekonomi sebagai aktivitaskriminaldengan kesamaan yang signifikan denganaktivitas ekonomi yang norma, non criminalbusiness.

Ada dua corak dari “economic crime”, ialah:a. Consist of crime committed by businessman as an

adjunk to their regular business activities.Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh parapelaku bisnis sebagai tambahan kegiatan bisnismereka yang tetap. Penguasa mempunyai tanggungjawab atas pemberian kesempatan kepadanya untukmelakukan penggelapan, pelanggaran peraturan-peraturan yang berhubungan dengan kegiatanusahanya, atau mengelak pembayaran pajak. Corakkejahatan ekonomi ini disebut “White CollarCrime”.

b. The provision of illegal goods and services ofprovision of goods and services in an illegalmanner.Penyediaan barang-barang dan jasa-jasa yang illegalatau penyediaan barang-barang dan jasa-jasa dengancara illegal. Penyediaan barang-barang dan jasa-jasaillegal diselaraskan dengan tuntutan kegiatan

Page 121: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.47

ekonomi seperti usaha yang normal, tetapikesemuanya itu termasuk dalam kejahatan.Kejahatan model ini disebut “organized crime”. Halini disebabkan...”the necessity of economiccoordination outside the law leads to the formationof criminal group with elaborate organizationalcustoms and practices” (Kitch, 1983: 671). Disebutkejahatan terorganisasi karena kepentingan ekonomidikoordinasikan dengan pimpinan kelompokcriminal di luar hukum dengan elaborasi kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik organisasi.Kitch (1983) mengemukakan bahwa kejahatanekonomi atau “economic crime” memiliki tiga ciriyang menjadikannya sebagai “special interest”ialah:

a. The economics crime adopts methods of operationthat are difficult to distinguish from normalcommercial behavior.

b. Economic crime may involve the participation ofeconomically successful individual of otherwiseupright community standing.

c. Many economic crimes present special challenges toprosecutors, to the criminal justice system, and tocivil liberties.

- (Kejahatan ekonomi pelaksanaan menggunakanmetode atau cara yang sulit membedakannyadengan perilaku komersial yang normal).

- (Kejahatan ekonomi bisa melibatkan partisipasidari individu-individu yang sukses di bidangekonomi, partisipasi individu-individu yangmempunyai status yang bagus dalammasyarakat).

Page 122: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.48

- (Banyak kejahatan ekonomi menghadirkantantangan khusus terhadap penuntut umum,terhadap sistim peradilan pidana, dan terhadapkebebasan perorangan).67

Kitch (1983) membedakan tiga tipe secara umumdari “economic crime” ialah property crimes, regulatorycrimes, and tax crimes.- Property crimes adalah “acts that threaten property

held by private person or by stale”.- Regulatory crimes are actions violate government

regulations.- Tax crimes are violations of the liability or

reporting requirement of tax laws.68

2. Tata Cara dan Pengusutan Penuntutan TindakPidana Ekonomi

Tata cara pengusutan, penuntutan dan pemeriksaantindak pidana ekonomi diatur di dalam Undang-UndangNo 7 drt Tahun 1955, akan tetapi apabila Undang-Undang No 7 drt Tahun 1955 tidak mengatur tentanghukum acara, yang diberlakukan adalah Undang-UndangNomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Dalammelaksanakan pengusutan, penuntutan dan pemeriksaantindak pidana ekonomi terdapat berbagai kekhususan,yaitu:

67Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Semarang. Universitas Diponegoro Press, halaman 12-1368Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Semarang. Universitas Diponegoro Press, halaman 13-14

Page 123: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.49

1. Dapat dijatuhkan pidana kumulatif (gabungan duapidana pokok, yaitu hukuman badan denganhukuman denda) yang dalam tindak pidana biasatidak mungkin dilakukan.

2. Dapat diadakan peradilan in absentia, denganmaksud untuk menyelamatkan kerugian negara.

3. Dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa yangsudah meninggal dunia berupa perampasan barangbukti hasil kejahatan.

4. Subjek hukum terdiri dari orang dan badan hukum.5. Dalam tindak pidana ekonomi, percobaan

pelanggaran dapat dihukum.6. Dapat dijatuhkan tindakan tata tertib sebagai

hukuman tambahan.69

Yang mengusut tindak pidana ekonomi adalahmereka yang pada umumnya dibebani pengusutan tindakpidana, dan pegawai-pegawai yang ditunjuk olehPresiden. Pegawai pengusut setiap waktu berwenangmenyita, atau menuntut penyerahan untuk disita semuabarang yang dapat dipergunakan untuk mendapatketerangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkanmenurut undang-undang. Pegawai pengusut setiap waktuberhak memasuki tempat dalam menjalankan tugas, baikdengan sukarela maupun atas bantuan alat kekuasaanumum. Di tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkanseorang hakim atau lebih untuk mengadili perkara pidanaekonomi, dan dapat dipekerjakan pada pengadilan negerilain dengan tugas yang sama.70

69Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : GrahaIlmu, halaman 48-4970

Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : GrahaIlmu, halaman 49

Page 124: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.50

1. Dalam tindak pidana ekonomi nampak aspekbidang hukum apa sajakah?

2. Yang dimaksud dengan Regulatory crimesadalah?

Petunjuk Jawaban Latihan

1. Aspek hukum perdata, aspek hukum administrasidan aspek hukum pidana.

2. Regulatory crimes adalah setiap tindakan yangmerupakan pelanggaran terhadap peraturanpemerintah yang berkaitan dengan usaha dibidang perdagangan atau pelanggran atasketentuan-ketentuan mengenai standarisasi dalamdunia usaha.

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

RANGKUMAN

Page 125: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.51

1. “Economic Crime” sebagai: “any non violent,illegal activity which principally involves deceit,misreprensentation, concealment, manipulation,breach of trust, subterfuge or illegalcircumvention”.

2. Edmund Kitch mengemukakan ada tigakarakteristik atau features of economic crimeyaitu sebagai berikut: Pertama, pelakumenggunakan modus operandi kegiatan ekonomipada umumnya; kedua tindak pidana ini biasanyamelibatkan pengusaha-pengusaha yang suksesdalam bidangnya dan ketiga, tindak pidana inimemerlukan penanganan atau pengendaliansecara khusus dari aparatur penegak hukum.

3. Kitch (1983) membedakan tiga tipe secara umumdari “economic crime” ialah property crimes,regulatory crimes, and tax crimes.

4. Tata cara pengusutan, penuntutan danpemeriksaan tindak pidana ekonomi diatur didalam Undang-Undang No 7 drt Tahun 1955,akan tetapi apabila Undang-Undang No 7 drtTahun 1955 tidak mengatur tentang hukum acara,yang diberlakukan adalah Undang-UndangNomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

5. Pihak yang mengusut tindak pidana ekonomiadalah mereka yang pada umumnya dibebani

Page 126: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.52

pengusutan tindak pidana, dan pegawai-pegawaiyang ditunjuk oleh Presiden

1. Di bawah ini merupakan parameter untukmenentukan adanya aspek hukum pidanaharuslah dilihat dengan menggunakan parameteryang mengandung nuansa hukum pidana adalah…A. kecurangan (“deceit”)B. manipulasi (“manipulation”)C. penyesatan (“misreprentation”)D. Semua jawaban benar

2. Menurut Edmund Kitch telah mengemukakan adatiga karakteristik atau features of economic crimeyaitu sebagai berikut: Pertama, pelakumenggunakan modus operandi kegiatan ekonomipada umumnya; kedua tindak pidana ini biasanyamelibatkan pengusaha-pengusaha yang suksesdalam bidangnya dan ketiga adalahA. Memerlukan formulasi ketentuan nasional

dan nasional karena termasuk kejahatantranssnassional

B. Tindak pidana ini memerlukan penangananatau pengendalian secara khusus dari aparaturpenegak hukum

C. Memerlukan undang-undang yang sifatpemidanaannya premium remidium

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 127: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.53

D. Memerlukan undang-undang yang sifatpemidanaannya ultimum remidium

3. Ensiklopedi Crime and Justice dibedakan dalamtiga tipe tindak pidana ekonomi yaitu

A. property crimesB. regulatory crimesC. tax crimesD. Semua jawaban benar

4. Apabila dalam UUTPE tidak mengatur ketentuanpenyidikan atau pemeriksaan tindak pidanaekonomi maka yang digunakan adalah…

A. Penemuan hakimB. HIRC. RBgD. KUHAP

5. Berikut ini yang Bukan termasuk ciri khaskhusus dari melaksanakan pengusutan,penuntutan dan pemeriksaan tindak pidanaekonomi adalah …

A. Subjek hukum terdiri dari orang danbadan hukum

B. Tidak dapat dijatuhkan pidana kumulatifC. Dapat dijatuhkan pidana kumulatifD. Dalam tindak pidana ekonomi, percobaan

pelanggaran dapat dihukum

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang

Page 128: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.54

benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkatpenguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapatmengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Bagus! Jika masih dibawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2,terutama bagian yang belum dikuasai.

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 21) A 1) D2) D 2) B3) B 3) D4) D 4) D5) D 5) B

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 129: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.55

Daftar Pustaka

A. Hamzah. 1991. Hukum Pidana Ekonomi, Edisi Revisi(Selaras Inpres No. 4 Tahun 1985). Jakarta. PenerbitErlangga.

Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum PidanaEkonomi, Yogyakarta. Graha Ilmu

Luhut M.P. Pangaribuan. 2016. Hukum Pidana KhususTindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uang, Korupsi danKerjasama Internasional serta Pengembalian Aset.Depok. Pustaka Kemang.

Mahrus Ali. 2016.Hukum Pidana Korupsi. Yogyakarta.UII Press

Page 130: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 2 1.56

Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H. M.H. 2013, Hukumdan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang.Universitas Diponegoro Press

Sudarto. 1981. Kapita Selekta HukumPidana.Bandung.Alumni

UU No 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan UnitedNations Convention Against Transnational OrganizedCrimes.

Page 131: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

Modul 3TINDAK PIDANA KORPORASI

Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.HumLushiana Primasari, SH, MH

Setelah mempelajari modul 2 yang membahasdasar-dasar hukum pidana ekonomi mulai dari istilah,pengertian sampai dengan karakteristiknya. Maka diModul 3 ini kita akan membahas materi mengenaitindak pidana korporasi yang terdapat dalam kegiatanbelajar 1 dan yang selanjutnya akan dilanjutkandengan kegiatan belajaar 2 yang membahas tentangpertanggungjawaban pidana korporasi itu, padaModul 3 ini merupakan pengembangan lebih lanjutdari materi yang disajikan oleh Modul 2 khususnyamengenai karakerist ik hukum pidana ekonomi itusendiri.

Dengan mempelajari materi tindak pidanakorporasi ini diharapkan mahasiswa dapatmenjelaskan apa yang dimaksud dengan t indak pidanakorporasi dan bagaimana pertanggungjawabannyaterhadap suatu korporasi yang melakukan tindakpidana korporasi.

Page 132: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

Modul 3PENGANTAR TINDAK PIDANA KORPORASI

A. Korporasi Diakui Sebagai Subyek Delik Hukum Pidana

Dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang digunakansampai saat ini, Indonesia masih menganutbahwa suatu delikhanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksi badanhukum (rechts persoon) yang dipengaruhi oleh pemikiran VonSavigny yang terkenal dengan teori fiksi (fiction theory)1 tidakdiakui dalam hukum pidana. Karena pemerintah Belanda padasaat itu tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum perdatakedalam hukum pidana. Subjek delik (perbuatan pidana) yangdiakui oleh KUHP adalah manusia (naturlijk person).Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku perbuatan pidanahanyalah manusia. Hal ini dapat dilihat pada rumusan delikdalam KUHP yang dimulai dengan kata-kata “barang siapa ... “.Kata “barang siapa” jelas menunjukkan pada orang ataumanusia, bukan badan hukum.2

Dalam perkembangannya ada usaha untuk menjadikankorporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana, yaituasasnya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usahatersebut dilatar belakangi oleh fakta bahwa tidak jarangkorporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil

1 Teori Fiksi (Fiction Theory) menganggap bahwa kepribadian hukum merupakan kesatuan-kesatuan darimanusia adalah hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara,Korporasi-korporasi, lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek hak dan perseorangan, tetapidiperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia. Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban KorporasiDalam Hukum Pidana (Strick Liability dan Vicarious Liability), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm 30,dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 492 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 49

Page 133: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.3

kejahatan uang dilakukan oleh pengurusnya. Begitu juga dengankerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkan olehtindakan-tindakan pengurus-pengurus korporasi. Dianggap tidakadil bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban sepertihal nya manusia. Kenyataan inilah yang kemudianmemunculkan tahap-tahap perkembangan korporasi sebagaisubjek hukum dalam hukum pidana.3

Dimulai dari tahap pertama yang ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi padaperorangan (naturlijk persoon). Apabila suatu tindak pidanaterjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebutdianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalamtahap ini membebankan “tugas pengurus” kepada pengurus.4

Pada tahap ini pula pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasidapat dinyatakan bertanggungjawab. Namun demikian, kesulitanyang muncul adalah dalam hal pemilik atau pengusahanyaadalah suatu korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwapengurusnya bertanggung jawab, maka bagaimana memutuskantentang pembuat dan pertanggungjawabannya?. Kesulitan ini

3 Tidak semua ahli sepakat jia korporasi dijadikan sebagai subjek hukum dalam hukum pidana, dengan alasan; 1) menyangkut masalah kesengajaan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat pada personalamiah, 2) yang merupakan tingkah laku materiil,yang merupaan syarat dapat dipidananya beberapa macamtindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh person alamiah, tidak bisa oleh korporasi, 3) pidana dantindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi, 4) tuntutan danpemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah, 5) didalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang diputuskan, apakahpengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana. Setiyono, KejahatanKorporasi, Cetk. Ketiga, banyumedia Publishing, Malang , 2005, hlm 10, dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, danPraktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 504 Tahap pertama ini masih dipengaruhi oleh asas “universal delinguere non potest” yang berarti bahwabadan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Asas ini selalu disyaratkan dan sesungguhnyahanya kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan individualisasi KUHP. Dalam Mahrus Ali, Asas,Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 50.

Page 134: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.4

dapat diatasi dengan perkembangan tentang kedudukankorporasi sebagai subyek hukum pidana pada tahap kedua.

Tahap kedua ditandai dengan pengakuan yang timbulsesudah Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang,bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi.Namun pertanggungjawaban untuk itu menjadi beban daripengurus badan hukum tersebut. Perumusan yang khusus iniyaitu apabila suatu perbuatan pidana dilakukan oleh suatu ataukarena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan pidana harusdijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Secara perlahan-lahantanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepadamereka yang memerintahkan, atau kepada mereka yang secaranyata memimpin dan melakukan perbuatan yang dilarangtersebut.5 Dalam Tahap ini korporasi diakui dapat melakukantindak pidana, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkansecara pidana adalah pengurusnya yang secara nyata memimpinkorporasi tersebut. Pertanggungjawaban pidana korporasi padatahap ini secara langsung masih belum muncul.6

Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung dari korporasi. Dalam tahap ini dibukakemungkinan untuk menuntut korporasi dan memintapertanggungjawaban menurut hukum pidana. Alasan lain adalahkarena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal misalnya,keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yangdiderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak

5 Dwija Priyanto, Kebijakan Legislatif tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, CV. Utomo,Bandung, 2004, hlm 26 , dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press,Yogyakarta, 2013, hlm 516 dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 52.

Page 135: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.5

akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkankepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwadengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum adajaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut.Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yangsesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan korporasi dapatdipaksa untuk mentaati peraturan yang bersangkutan.7

Dalam undang-undang korupsi subjek delik yang dapatmelakukan tindak pidana korupsi tidak hanya manusiasebagaimana dalam KUHP, tetapi juga korporasi.8 Makna setiaporang tidak hanya menunjukkan pada orang perorangan tapitermasuk juga korporasi (Pasal 1 ayat (3)). Sedangkan korporasiadalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasibaik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum(Pasal 1 ayat (1)). Pengaturan yang demikian jelas merupakanpenyimpangan (lex specialis) terhadap subjek delik dalamKUHP.9

1. Kriteria Perbuatan Pidana oleh Korporasi

Selain mengakui korporasi sebagai subjek delik didamping manusia, undang-undang tindak pidana korupsijuga mengatur kriteria tindak pidana yang olehkorporasi. Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No 31Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001

7 Ibid, hlm 27-28, dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta,2013, hlm 518 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetk. Kedua, UMM Press, Malang, 2004, hlm 342-343, dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 529 dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 52

Page 136: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.6

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsimenyatakan bahwa “tindak pidana korupsi dilakukanoleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukanoleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerjamaupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalamlingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupunbersama-sama.

Maksud dari rumusan Pasal tersebut adalah bahwakorporasi dikatakan melakukan tindak pidana korupsijika (1) dilakukan orang-orang berdasarkan hubungankerja berdasarkan hubungan lain, dan (2) bertindakdalam lingkungan korporasi tersebut baik sendirimaupun bersama-sama. Dua kriteria itulah yang menjadipenanda bahwa korporasi melakukan tindakpidana.Penjelasan lebih terperinci tentang dua kriteriatersebut dirasa penting untuk memudahkan aparatpenegak hukum atau pihak lain yang berkepentinganuntuk memahami persoalan ini.

Paling tidak ada dua teori yang dapat digunakansebagai pijakan yuridis untuk menjelaskan persoalandiatas. Pertama, teori pelaku fungsional (functioneeldaadershap). Teori ini berpandangan bahwa dalamlingkungan sosial ekonomi pembuat (korporasi) tidakperlu selalu melakukan perbuatan itu secara fisik , tetapidapat saja perbuatan tersebut dilakukan olehpegawainya, asalkan saja perbuatan tersebut masihdalam ruang lingkup fungsi-fungsi dan kewenangan

Page 137: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.7

korporasi.10 Tetapi karena korporasi tidak bisamelakukan perbuatan itu sendiri, maka perbuatan itudialihkan kepada pegawai korporasi berdasarkanketentuan-ketentuan yang secara tegas tercantum dalamAnggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Jikapegawai tersebut melakukan suatu perbuatan yangdilarang oleh hukum (Perbuatan pidana), sesungguhnyaperbuatan itu merupakan perbuatan pidana yanghakikatnya dilakukan oleh korporasi.

Kedua, teori identifikasi. Teori ini pada intinyamenyatakan bahwa korporasi dapat melakukan perbuatanpidana secara langsung melalui orang- orang yang sangatberhubungan erat dengan korporasi dan dipandangsebagai korporasi itu sendiri. Perbuatan yang dilakukanoleh anggota-anggota tertentu dari korporasi, selamaperbuatan itu berkaitan dengan korporasi, dianggapsebagai perbuatan dari korporasi itu sendiri. Oleh karenaitu, bila perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinyakerugian, atau, jika anggota tertentu korporasimelakukan tindak pidana, maka sesungguhnya perbuatanpidana tersebut merupakan tindak pidana yangdilakukan korporasi, yang pada akhirnya korporasi jugabisa dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan pidanayang dilakukan. Korporasi dianggap melakukan suatutindak pidana jika orang diidentifikasi dengan korporasibertindak dalam ruang lingkup jabatannya. Namun, jika

10 Mardjono Reksodipuro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, cetakan pertama, PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia , Jakarta, 1994, hlm107-108 , dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm52

Page 138: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.8

orang tersebut melakukan tindak pidana dalam dalamkapasitasnya seagai pribadi, maka perbuatan tersebutbukan perbuatan korporasi.11

Berdasarkan dua teori tersebut konstruksi yuridisyang dapat dijadikan pijakan untuk menyatakan bahwakorporasi juga dapat melakukan tindak pidana korupsiadalah dengan melihat apakah tindak pidana korupsiyang dilakukan oleh pegawai atau anggota dari korporasitersebut masih dalam ruanglingkup atau kewenangankorporasi, ataukah semata-mata dilakukan atas kehendakpribadi. Apabila tindak pidana korupsi tersebutmerupakan tindak pidana yang sesungguhnya masihdaam ruang lingkup dan kewenangan dari korporasi,maka perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatankorporasi, sehingga ia dapat dipertanggung jawabkanatas perbuatan pidana yang dilakukan.12

Korporasi sebagai perkumpulan modal, baik yangberbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum,telah menjadi subjek hukum pidana sama dengan subjekhukum perorangan. Akan tetapi, usaha untuk mejadikankorporasi sebagai subjek hukum pidana melalui beberapatahapan sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhankorporasi dalam suatu negara. Perkembangan korporasisebagai subjek hukum pidana.

11 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 90, dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UIIPress, Yogyakarta, 2013, hlm 5312 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 53

Page 139: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.9

Menurut Mardjono Reksodiputro secara garis besar,tahapan perkembangan korporasi sebagi subjek hukumdapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu:

a. Tahapan pertamaTahapan ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifatdelik yang dilakukan korporasi dibatasi padaperorangan (nutuurlijk persoon). Sehingga apabilasuatu tindak pidana terjadi dalam lingkungankorporasi, maka tindak pidana itu dianggapdilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalamtahp ini, membebankan “tugas pengurus”(zorgplicht) kepada pengurus. Dengan demikian,tahap ini merupakan dasar bagi Pasal 51 W.v.SBelanda atau Pasal 59 KUHP yang isinya: Dalamhal-hal dimana pelanggaran ditentukan pidanaterhadap pengurus, anggota badan pengurus, ataukomisaris, maka pengurus, badan pengurus, ataukomisaris yang ternyata tidak ikut campurmelakukan pelanggaran tindak pidana.

b. Tahap keduaDalam tahap ini ditandai dengan pengakuan yangtimbul sesudah Perang Dunia I dalam perundang-undangan bahwa suatu tindak pidana, dapatdilakukan oleh perserikatan atau badan usaha(korporasi). Tanggung jawab untuk itu juga menjadibeban dari pengurus badan hukum tersebut.Perumusan khusus ini adalah apakah jika suatutindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan

Page 140: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.10

hukum, tuntutan pidana, dan hukuman pidana harusdijatuhkan terhadap pengurus. Secara perlahan-lahantanggung jawab pidana beralih dari anggota penguruskepada mereka yang memerintahkan, atau denganlarangan melakukan apabila melalaikan memimpinsecara sungguh-sungguh.. dalam tahap ini, korporasidapat menjadi pembuat delik, akan tetapi yangdipertanggungjawabkan adalah para anggotapengurus, asal saja dengan tegas dinyatakandemikian dalam peraturan itu.

c. Tahap KetigaTahap ketiga ini merupakan permulaan adanyatanggung jawab yang langsung dari korporasi yangdimulai pada waktu dan setelah Perang Dunia II.Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untukmenuntut korporasi dan memintapertanggungjawabannya menurut hukum pidana.Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-delikekonomi dan fisika keuntungan yang diperolehkorporasi atau kerugian yang diderits masyarakatdapat demikian besarnya, sehingga tidak akanmungkin seimbang bilamana pidana dijatuhkankepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasanbahwa dengan hanya memidana para pengurus tidakmau belum ada jaminan bahwa korporasi jaminanbahwa korporasi tidak akan mengulangi deliktersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenisdan beratnya sesuai dengan sifat korporasi itu,

Page 141: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.11

diharapkan dapat dipakai korporasi untuk menaatiperaturan perundang-undangan.13

Muladi dalam Nyoman Serikat Putra Jayamenyatakan bahwa proses globalisasi dan peningkataninterdependensi antar negara di semua aspek kehidupanterutama di bidang ekonomi semakin meningkatkanperan korporasi, baik nasional maupun multi nasionalsebagai pendorong dan penggerak globalisasi. Untuk itukerjasama internasional guna mengatur peran korporasiantar negara semakin dibutuhkan di berbagai bidanghukum bahkan di bidang kode etik. Globalisasi yangditandai oleh pergerakan yang cepat dari manusia,informasi, perdagangan dan modal, di sampingmenimbulkan manfaat bagi kehidupan manusia jugaharus diwaspadai efek sampingannya yang bersifatnegatif yaitu globalisasi kejahatan dan meningkatnyakuantitas serta kualitas kejahatan di berbagai negara danantar Negaraantara lain dalam bentuk kejahatanekonomi. Yang perlu mendapatkan perhatian seriusadalah bentuk-bentuk white collar crime termasuk didalamnya kejahatan korporasi (corporate crime),mengingat tingkat viktimisasinya yang bersifatmultidimensional (Muladi, 2004: 1).14

13Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H. 2016. Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-delik di Luar KUHP.

Jakarta: PT Kharisma Putra Utama

14 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H.Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013 halaman 4-5

Page 142: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.12

Di berbagai negara yang terjadi adalah bahwakorporasi yang bentuk dan ukurannya bervariasimendominasi kegiatan ekonomi, baik di bidang industri,komersial dan sektor sosial. Di berbagai negara majuterdapat kecenderungan untuk mewaspadai the whitecollar or business crime area, yang melibatkan korporasiseperti di bidang pelayanan kesehatan anti trust, kontrak-kontrak pertahanan, kejahatan lingkungan hidup dan dibidang lembaga keuangan dan surat-surat berharga(securities).15

Tidak dapat diingkari lagi bahwa korporasi memilikiidentitas hukum tersendiri, yang terpisah dari pemegangsaham, direktur dan para pejabat korporasi lainnya.Korporasi dapat menguasai kekayaan, mengadakankontrak, dapat menggugat dan dapat pula digugat.Pemilik atau pemegang saham dapat menikmatitanggung jawab terbatas (limited liability); mereka tidaksecara personal bertanggungjawab atas utang ataukewajiban korporasi. Dengan pendekatan teori organik(organic theory) maka tanggung jawab yang sebenarnyadari korporasi terletak pada struktur organisasionalnya,kebijakannya dan kultur yang diterapkan dalamkorporasi.16

Perkembangan teori dan konsep serta penerapanpertanggungjawaban pidana dari korporasi (corporate

15 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 516 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 5

Page 143: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.13

criminal liability) semakin urgen untuk dikaji dandikembangkan baik berdasarkan teori-teori dari negara-negara yang menganut sistem common law maupun civillaw. 17

Penjelasan umum Buku I angka 4 RUU KUHP yangdikeluarkan oleh DEPKUMAM Republik Indonesiamenerangkan: mengingat kemajuan yang terjadi dalambidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, lebih-lebihdi era globalisasi serta perkembangan tindak pidanaterorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasihanya pada manusia alamiah (natural person) tetapimencakup pula korporasi, yaitukumpulan terorganisasidari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badanhukum (legal person) maupun bukan badan hukum.Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untukmelakukan tindak pidana (corporate criminal) dan dapatpula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana(crimes for corporation). Dengan dianutnya pahambahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berartikorporasi baik sebagai badan hukum maupun non badanhukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dandapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana(corporate criminal responsibility). Disamping itu,masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban pidanadipikul bersama oleh korporasi dan pengurusnya yangmempunyai kedudukan fungsional dalam korporasi atau

17 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 5

Page 144: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.14

hanya pengurusnya saja yang dapatdipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dengandiaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Buku IKUHP, maka pertanggungjawaban pidana bagi korporasiyang semula hanya berlaku untuk tindak-tindak pidanatertentu di luar KUHP, berlaku juga secara umum untuktindak-tindak pidana lain baik di dalam maupun di luarKUHP. Sanksi terhadap korporasi dapat berupa pidana(straf), namun dapat pula berupa tindakan tata tertib(maatregel). Dalam hal ini kesalahan dari korporasidiidentifikasikan dari kesalahan pengurus yangmempunyai kedudukan fungsional (mempunyaikewenangan untuk mewakili korporasi mengambilkeputusan atas nama korporasi dan kewenanganmenerapkan pengawasan terhadap korporasi), yangmelakukan tindak pidana dengan menguntungkankorporasi, baik sebagai pelaku, sebagai orang yangmenyuruh lakukan, sebagai orang yang turut sertamelakukan, sebagai penganjur maupun sebagaipembantu tindak pidana yang dilakukan bawahannyadalam lingkup usaha atau pekerjaan korporasi tersebut.18

Kejahatan-kejahatan yang dilakukan dapat berupapenggelapan dan penghindaran pajak, penipuan kartukredit, penyuapan, kejahatan perbankan, pembayaranfiktif, penipuan dan kejahatan terhadap konsumen,korupsi, data palsu untuk memperoleh kredit bank,penipuan asuransi, polusi, manipulasi tanah, kejahatan

18 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 6

Page 145: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.15

komputer, kejahatan yang berkaitan dengan keamanankaryawan serta umum dan lain-lain. Kejahatan yangbersifat kolektif ini dapat berupa kejahatan yangterorganisasi (“organized crime”) maupun kejahatankorporasi (“corporate crime”). “White Collar Crime”ruang lingkupnya sangat luas sesuai denganperkembangan sosial sehingga bisa terjadi “corporateand business white collar crime, professional whitecollar crime, and political white collar crime”.19

Ada perbedaan antara kejahatan okupasional(“occupational crimes”) yang diartikan sebagaikejahatan yang dilakukan oleh individu untukkepentingannya sendiri dalam kaitannya denganjabatannya dan kejahatan lain oleh karyawan yangmerugikan majikannya (korporasi) yang disebut juga“crimes against corporation”. Kejahatan korporasi(“corporate crimes”) adalah perilaku korporasi yangtidak sah dalam bentuk pelanggaran hukum kolektifdengan tujuan untuk mencapai tujuan korporasi.20

Menurut Muladi dalam Nyoman Serikat Putra Jaya,kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat inibiasanya dilakukan tanpa kekerasan (“non-violent”)tetapi selalu disertai dengan kecurangan (“deceit”),penyesatan (“misreprentation”), penyembunyiankenyataan (“concealment of facts”), akal-akalan

19 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 1520Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 15

Page 146: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.16

(“subterfuge”), manipulasi (“manipulation”),. Ataupengelakan terhadap peraturan (“illegal circumvention”).Selanjutnya beliau mengatakan bahwa kejahatan inibiasanya dilakukan oleh orang-orang yang pandai(“intellectual criminal”), sehingga pengungkapannyasangat sulit. Karakteristik kejahatan “White CollarCrime” ini seperti di bawah ini:21

1. Kejahatan “White Collar Crime” (WCC) ini sangatsulit dilihat (“law visibility”) karena biasanyatertutup oleh kegiatan pekerjaan normal yang rutinmelibatkan keahlian profesional dan sistemorganisasi yang kompleks.

2. Kejahatan WCC sangat kompleks (“complexity”),karena selalu berkaitan dengan kebohongan,penipuan dan pencurian serta seringkali berkaitandengan sesuatu yang ilmiah, teknologis, financial,legal, terorganisasikan, melibatkan banyak orangserta berjalan bertahun-tahun.

3. Terjadinya penyebaran tanggung jawab (“diffusion ofresponsibility”) yang semakin luas akibatkompleksitas organisasi.

4. Penyebaran korban yang luas (“diffusion ofvictimization”) seperti polusi, penipuan konsumen,dan sebagainya.

5. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan(“detection and prosecution”) sebagai akibat

21Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 15

Page 147: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.17

profesionalisme yang tidak seimbang antara aparatpenegak hukum dan pelaku tindak pidana.

6. Peraturan yang tidak jelas (“ambiguous laws”) yangsering menimbulkan keraguan dalam penegakanhukum. Dalam bidang hukum ekonomi hal semacamini sangat dirasakan misalnya akibat deregulasi.

7. Ambiguitas (sikap mendua) terhadap status pelakutindak pidana. Dalam tindak pidana ekonomi secarajujur kita mengakui bahwa pelaku tindak pidanabukanlah orang yang secara moral salah (“mala perse”) tetapi karena melanggar peraturan yang dibuatpemerintah untuk melindungi kepentingan umum.

Akhirnya frekuensi untuk menemukan danpemidanaan terhadap kejahatan ekonomi adalah rendah.Sehubungan dengan perkembangan kejahatan yangmendunia dalam arti kejahatan tidak saja dilakukan disatu Negara tetapi bisa terjadi dilakukan di beberapaNegara atau lintas Negara dan sering juga dilakukansecara terorganisasi, Perserikatan Bangsa-bangsamengadakan pertemuan dalam rangka mengambillangkah-langkah guna memerangi kejahatan lintasNegara tersebut.22

Artikel 1 United Convention Against TransnationalOrganized Crime (UNCATOC) Tahun 2000,menentukan: “the purposes of this Convention is topromote cooperation to prevent and combat

22Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 16

Page 148: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.18

transnational organized crime more effectively”. Dilihatdari tujuan tersebut, terbukti adanya keprihatinanmasyarakat internasional mengenai kejahatan yangberkembang dewasa ini yang tidak sajamerupakanmasalah satu Negara, tetapi juga sudah merupakanmasalah global. Hal ini juga menunjukkan kemajuanilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanyamemberikan kenyamanan tetapi juga memberikanketidaknyamanan bagi bangsa-bangsa di dunia. Olehkarena itu masyarakat internasional melalui UNCATOCbermaksud meningkatkan kerja sama guna mencegahdan melawan kejahatan transnasional terorganisasi.23

Kejahatan dapat dipandang sebagai kejahatantransnasional ditentukan dalam Artikel 3 ayat (2)UNCATOC, yaitu:a. It is committed in more than one State;b. It is committed in one State but substantial part of its

preparation, planning, direction or control takesplace in another State;

c. It is committed in one State but involves anorganized criminal group that engaged in criminalactivities in more than one State; or

d. It is committed in one State but has substantialeffects in another State.

Dengan demikian, suatu kejahatan dapat dikatakansebagai kejahatan transnasional, jika kejahatan tersebut:

23Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 16

Page 149: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.19

a. Dilakukan dalam lebih dari satu negara;b. Hanya dilakukan dalam satu negara tetapi

mempersiapkan, merencanakan, mengatur,mengendalikan di negara lain;

c. Dilakukan dalam satu negara tetapi dilakukan olehsebuah kelompok pelaku kejahatan terorganisasiyang aktif dalam lebih dari satu negara; atau

d. Dilakukan dalam satu negara tetapi efeksubstansialnya dirasakan di negara-negara lain.24

Jenis-jenis kejahatan yang menjadi ruang lingkupdari UNCATOC ditentukan dalam Artikel 3 ayat (1)meliputi kejahatan spesifik, yaitu: participation inorganized criminal group (Art. 5), money laundering(Art. 6), corruption (Art. 8), dan obstructions of justice(Art. 23) serta “serious crime where the offence istransnational in nature and involves an organizedcriminal group” (kejahatan bersifat transnasional danmelibatkan sebuah kelompok pelaku kejahatanterorganisasi).Kriteria kejahatan terorganisasikan yangsering digunakan adalah:25

(1) The group is characterized by a more or lesshierarchies structure and a more or less constantcomposition;

(2) In the group a system of sanction is in force (threats,ill-treatment, executions);

24Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 1725Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 18

Page 150: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.20

(3) The gains and profits of the crime are to certainextend invested in “legal activities” (white washing);

(4) More than one type of criminal acts are committedby the group;

(5) The group bribes civil servant and/or staff of privateenterprises. (Nilson, 1992: 3).

2. Karakteristik Kejahatan Korporasi SebagaiKejahatan Teroganisir dan Pemidanaannya

Secara singkat dapat dikatakan bahwa karakteristikdari kejahatan terorganisasikan adalah:26

- Adanya kelompok dengan hierarki khusus dankomposisi tetap;

- Adanya sistem sanksi yang berlaku di dalamkelompok dan bersifat kekerasan;

- Keuntungan yang diperoleh dari kejahatan seringkalidiinvestasikan dalam kegiatan-kegiatan yang sah(“white washing”);

- Kelompok tersebut melakukan lebih dari satukejahatan;

- Terjadi penyuapan terhadap pejabat pemerintah danatau staf perusahaan swasta.

Muladi dalam Nyoman Serikat Putra Jayamenyatakan kejahatan transnasional terorganisasitersebut sangat meresahkan berbagai negara maju sepertiItalia, Amerika, Jepang, Jerman, dan sebagainya karena

26Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 18

Page 151: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.21

dimensi keorganisasiannya yang semakin canggihdengan segala dampaknya. Organisasi ini semakinberkembang pesat karena unsur-unsurnya yang sangatkondusif. Unsur pertama adalah adanya organisasikejahatan (“criminal group”) yang sangat solid baikkarena ikatan etnis, kepentingan politis, maupunkepentingan-kepentingan yang lain, dengan kode etikyang mantap. Unsur kedua adalah adanya kelompokpelindung (“protector”) yang antara lain terdiri atas paraoknum penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim,petugas-petugas penjara dan profesional seperti ahlikomputer, akuntan, notaris dan sebagainya. Unsur ketigatentu saja adalah kelompok-kelompok masyarakat yangmenikmati hasil kejahatan seperti pecandu obat bius dansebagainya.27

Muladi dalam Nyoman Serikat Putra Jayamenyatakan bahwa berdasarkan fenomena di atas,negara-negara semakin prihatin karena pengaruhkejahatan di atas sangat buruk dan akan menggangguprogram pembangunan baik nasional, regional, maupuninternasional. Hal-hal di atas menyadarkan semua negaradi dunia bahwa tidak mungkin menggunakan strategipenanggulangan yang tradisional dan domestic untukmengatasi kejahatan-kejahatan transnasional yang sudahmenggunakan strategi global. Oleh karena itu sangatberalasan UNCATOC tahun 2000 dan UNCAC (UnitedNations Convention Against Corruption) tahun 2003

27Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 19

Page 152: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.22

menghimbau negara-negara peserta untuk mengambiltindakan-tindakan pencegahan melalui hukumnasionalnya serta mewajibkan setiap negara pesertauntuk mengadopsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukumnasionalnya, tindakan-tindakan legislatif dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan guna mencegah kejahatantransnasional terorganisasi yang menjadi keprihatinanmasyarakat internasional. Salah satu langkah yang dapatdiambil adalah dengan mengadakan tindakan legislatifdengan memberikan sanksi hukum pidana kepada parapelaku termasuk korporasi. Salah satu perangkat tujuanpemidanaan yang dituju dalam hal ini adalah “effectivedeterrent”, yakni untuk menciptakan rasa takut terhadapsanksi pidana (terutama pidana kemerdekaan) demiperlindungan masyarakat. Mengingat bahwa sebagianbesar dari bentuk-bentuk kejahatan korporasi beradadalam ruang lingkup “administrative penal law”,sekalipun kadang-kadang pidananya cukup berat, makaada kecenderungan untuk lebih banyak menggunakanasas subsidiaritas, yakni hukum pidana ditempatkan padaposisi sebagai “Ultimum Remedium” dan sanksiadministratif dan perdata banyak diterapkan. Contohnyamasalah perpajakan, lingkungan hidup dan sebagainya.Sebagai “shock therapy”, dengan mengingat kepentinganhukum yang besar yang harus dilindungi oleh hukumpidana dalam hukum ekonomi, maka perludipertimbangkan untuk mendudukkan hukum pidanasebagai “Primum remedium”. “Effective deterrent”tersebut akan dapat dicapai, khususnya denganmenggunakan pidana kemerdekaan, mengingat sipelaku

Page 153: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.23

pada kejahatan korporasi adalah orang-orang terhormatyang sangat gigih akan mempertahankan reputasinya dimasyarakat. Namun harus diingat pula bahwapenggunaan hukum pidana sebagai “primum remedium”tersebut harus dilakukan secara selektif, denganmempertimbangkan kondisi-kondisi objektif yangberkaitan dengan perbuatannya, hal-hal subjektif yangberkaitan dengan si pelaku, kerugian yang ditimbulkanoleh perbuatannya, kesan masyarakat terhadap tindakpidana dan perangkat tujuan pemidanaan yang lain.28

Artikel 26 UNCAC tahun 2003, menegaskan bahwasetiap negara peserta konvensi agar mengatur “liabilityof legal persons” dalam peran sertanya pada berbagaikejahatan yang diatur dalam konvensi.Pertanggungjawaban korporasi atau badan hukumtersebut mencakup pertanggungjawaban baik dalamhukum pidana, hukum perdata, maupun hukumadministrasi. Pertanggungjawaban korporasi dilakukanterlepas dari tanggung jawab manusia alamiah yang telahmelakukan tindak pidana. Sanksi yang dijatuhkanterhadap korporasi bisa bersifat sanksi kriminal atausanksi non-kriminal termasuk sanksi moneter atas dasarprinsip-prinsip efektivitas, proporsionalitas dan“dissuasive”.

Muladi dengan mengutip pendapat Clinard andYeager mengemukakan bahwa dalam kerangka langkah-

28Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 19-20

Page 154: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.24

langkah yuridis, sekalipun pada umumnyapendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasimerupakan “primum remedium” dan hukum pidana“ultimum remedium”, namun diharapkan dalam hal-haltertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakandengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:1. The degree of loss to the public;2. The level of complicity by high corporate managers;3. The duration of the violation;4. The frequency of the violation by the corporations;5. Evidence on intent to violate;6. Evidence of extortion as in bribery cases;7. The degree of notoriety engendered by the media;8. Precedent in law;9. The history of serious violation by the corporation;10. Deterrence potential;11. The degree of cooperation evinced by the

corporation (Muladi, 2004: 27).29

Selama ini praktek perundang-undangan pidanakhususnya yang berhubungan dengan korporasi sebagaipelaku, hanya dapat dijatuhkan pidana pokok berupadenda (“fine”), sedangkan sanksi berupa penutupanusaha korporasi dan sanksi berupa segala pembatasanterhadap kegiatan korporasi merupakan sanksi tindakantata tertib (“treatment/maatregel”). Menurut Muladipada dasarnya sanksi “penutupan seluruh korporasi”merupakan “corporate death penalty” dan pembatasan

29Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 20

Page 155: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.25

pada aktivitas korporasi, sebenarnya mempunyai hakikatyang sama dengan pidana penjara atau kurungan,sehingga ada istilah “corporate imprisonment”.30

Sanksi pidana pokok berupa pidana denda hanyamempunyai efek preventif yang terbatas dan lebihbersifat reaktif daripada proaktif. Namun demikiansanksi moneter nampaknya tetap mendominasi sanksiterhadap korporasi. Sekalipun demikian pelbagai variasimulai diperkenalkan dalam berbagai peraturanperundang-undangan dari pidana denda sampai dengansanksi berupa perampasan kekayaan (“confiscation ofproperty”). Demikian pula bentuk-bentuk lain sepertipembayaran kompensasi, restitusi, perampasankeuntungan dan lain-lain.31

1) Jelaskan yang melatarbelakangi dapat dipidananyakorporasi!

2) Jelaskan apa yang dimaksud dengan KejahatanKorporasi?

30Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 2131Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, UniversitasDiponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 21

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 156: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.26

Petunjuk JawabanLatihan

1) Fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntunganyang banyak dari hasil kejahatan uang dilakukan olehpengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang dialamioleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakanpengurus-pengurus korporasi. Dianggap tidak adil bilakorporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya manusia. Kenyataan inilah yang kemudianmemunculkan tahap-taahap perkembangan korporasisebagai subjek hukum dalam hukum pidana.

2) Kejahatan korporasi (“corporate crimes”) adalah perilakukorporasi yang tidak sah dalam bentuk pelanggaranhukum kolektif dengan tujuan untuk mencapai tujuankorporasi.

1. Subjek delik (perbuatan pidana) yang diakui oleh KUHPadalah manusia (naturlijk person). Konsekuensinya,yang dapat menjadi pelaku perbuatan pidana hanyalahmanusia. Hal ini dapat dilihat pada rumusan delik dalamKUHP yang dimulai dengan kata-kata “barang siapa ... “.Kata “barang siapa” jelas menunjukkan pada orang ataumanusia, bukan badan hukum.

2. Usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjekhukum dalam hukum pidana, yaitu asasnya hak dan

RANGKUMAN

Page 157: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.27

kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbeakangi oleh fakta bahwa tidak jarang korporasimendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatanuang dilakukan oleh pengurusnya. Begitu juga dengankerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkanoleh tindakan-tindakan pengurus-pengurus korporasi.Dianggap tidak adil bila korporasi tidak dikenakan hakdan kewajiban seperti hal nya manusia. Kenyataan inilahyang kemudian memunculkan tahap-taahapperkembangan korporasi sebagai subjek hukum dalamhukum pidana

3. Perbedaan antara kejahatan okupasional (“occupationalcrimes”) yang diartikan sebagai kejahatan yangdilakukan oleh individu untuk kepentingannya sendiridalam kaitannya dengan jabatannya dan kejahatan lainoleh karyawan yang merugikan majikannya (korporasi)yang disebut juga “crimes against corporation”.Kejahatan korporasi (“corporate crimes”) adalahperilaku korporasi yang tidak sah dalam bentukpelanggaran hukum kolektif dengan tujuan untukmencapai tujuan korporasi.

4. Secara singkat dapat dikatakan bahwa karakteristik darikejahatan terorganisasikan adalah:

a) Adanya kelompok dengan hierarki khusus dankomposisi tetap;

b) Adanya system sanksi yang berlaku di dalamkelompok dan bersifat kekerasan;

Page 158: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.28

c) Keuntungan yang diperoleh dari kejahatanseringkali diinvestasikan dalam kegiatan-kegiatanyang sah (“white washing”);

d) Kelompok tersebut melakukan lebih dari satukejahatan;

e) Terjadi penyuapan terhadap pejabat pemerintahdan atau staf perusahaan swasta.

1. Badan hukum (rechts persoon) yang terkenal dengan teorifiksi (fiction theory) dikemukakan pertama kali oleh tokohhukum yang bernama …A. Von BuriB. Von SavigniyC. Van BemmelenD. Van Hatum

2. Teori ini berpandangan bahwa dalam lingkungan sosialekonomi pembuat (korporasi) tidak perlu selalu melakukanperbuatan itu secara fisik, tetapi dapat saja perbuatan tersebtdilakukan oleh pegawainya, asalkan saja perbuatan tersebutmasih dalam ruang lingkup fungsi-fungsi dan kewenangankorporasi. Hal tersebut merupakan penjelasan dari teori …

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 159: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.29

A. IdentifikasiB. AbsolutC. Teori pelaku fungsionalD. Teori Daderstrafrechten

3. Kejahatan Korporasi termasuk “White Collar Crime” hal inisangat sulit dilihat (“law visibility”) karena ….A. Biasanya terlihat jelas dilindungi oleh undang-undang

sehingga dalam pemerantasannya memerlukan suatukomisi khusus yang bersifat ad-hoc

B. Biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan normal yangrutin melibatkan keahlian professional dan systemorganisasi yang kompleks

C. Belum ada undang-undang yang mengaturnya secarajelas

D. Masih dalam perdebatan para ahli hukum pidana

4. Teori yang pada intinya menyatakan bahwa korporasi dapatmelakukan perbuatan pidana secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi dandipandang sebagai korporasi itu sendiri disebut teori…A. IdentifikasiB. AbsolutC. Teori pelaku fungsionalD. Teori Daderstrafrechten

5. Di bawah ini merupakan pertimbangan-pertimbanganbergesernya hukum pidana dari ultimum remidium menjadipremium remidium Menurut Clinard and Yeager adalahA. The degree of loss to the public;

Page 160: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.30

B. The level of complicity by high corporate managers;C. The duration of the violationD. Semua jawaban benar

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban TesFormatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglahjawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untukmengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi KegiatanBelajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Andadapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jikamasih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi KegiatanBelajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 161: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.31

Kegiatan Belajar 2Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

1. Perkembangan Pertanggungjawaban PidanaKorporasi

Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwadalam perkembangan hukum pidana di Indonesia,ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasisebagai subjek tindak pidana, yaitu :32

a) Pengurus Korporasi sebagai pembuat, makapenguruslah yang bertanggungjawab;

b) Korporasi sebagai pembuat, maka pegurusyang bertanggungjawab;

c) Korporasi sebagai pembuat dan yangbertanggungjawab.

Sistem pertanggung jawaban yang pertamaditandai dengan usaha agar sifat tindak pidana yangdilakukan korporasi dibatasi pada perorangan(naturlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindakpidana terjadi dalam lingkungan korporasi, makatindak pidana itu dianggap dilakukan peguruskorporasi itu. Pada sistem ini pula, penyusun KitabUndang-Undang Hukum Pidana masih menerimaasas “universitas delinguere non potest” (Badanhukum tidak dapat melakukan tindak pidana). Asasini sebetulnya berlaku pada abad lalu pada seluruh

32 Mardjono Reksodiputro, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Korporasi”,makalah disampaikan padda Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH UNDIP Semarang, 23-24November 1989, hlm 9, dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UIIPress, Yogyakarta, 2013, hlm 54

Page 162: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.32

negara Eropa Kontinental. Hal ini sejalan denganpendapat-pendapat hukum pidana individual darialiran klasik yang berlaku pada waktu itu dankemudian juga aliran modern dalam hukum pidana.Dalam memori penjelasan Kitab Undang-undnagHukum Pidana yang diberlakukan pada tanggal 1September 1886, dapat dibaca : “suatu perbuatanpidana haanya dapat dilakukan oleh perorangan(naturlijk persoon). Pemikiran fiksi (fictie) tentangsifat badan hukum (recht persoon) tidak berlaku padabidang hukum pidana.33 Pengurus-pengurus yangtidak memenuhi kewajiban yang sebenarnyamerupakan kewajiban korporasi dapat dinyataanbertanggungjawab.34

Sistem pertanggung jawaban kedua ditandaidengan pengakuan yang timbul dalam perumusanundang-undang bahwa suatu tindak pidana dapatdilakukan oleh perikatan atau badan usaha(korporasi), akan tetapi tanggung jawab untuk itumenjadi beban dari pengurus badna hukum(korporasi). Secara perlahan-lahan tanggung jawabpidana beralih dari anggota pengurus kepada yangmemerintahkan, atau dengan larangan melakukanapabila melalaikaan memimpin korporasi dapatmenjadi pembuat tindak pidana, akan tetapi yang

33 Dwijja Priyatno, op.cit., hlm 53, dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum PidanaKorupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 5434 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm54

Page 163: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.33

bertanggung jawab adalah para anggota pengurus,asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturanitu.35

Sistem pertanggung jawaban yang ketigamerupaan permulaan adanya tanggung jawablaangsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibukakemungkinan menuntut korporasi dan memintapertanggungjawabannya menurut hukum pidana.Hal-hal yang dapat dipakai sebagai dasar pembenardan alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dansekaligus yang brtanggung jawab adalah, dalamberbagai delik-delik ekonomi dan fiskal keuntunganyang diperoleh korporasi atau kerugian yang dideritamasyarakat akibat demikian besarnya, sehingga tidakakan mungkin seimbang bilamana pidana hanyadijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Jugadiajukan alasan bahwa dengan hanyaa memidanapara pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwakorporasi tidak akan mengulangi delik tersebut.Dengan memidana korporasi dengan jenis danberatnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu,diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk mentaatiperaturan yang bersangkutan.36

35 Setiyono, Kejahatan.... op.cit., hlm 13-14, dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek HukumPidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 5536 Perlu diketahui di Belanda , negara dimana KUHP yang saat ini di Indonesia masih diberlakukan berasal darinya, pada tahun 1976 telah menerima badan hukum (rechts persoon)sebagai subjek hukum pidana selain manusia (Naturlijk persoon). Dalam Mahrus Ali, Asas, Teori,dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 55

Page 164: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.34

Menurut Muladi dalam sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini telah terjadi pergeseranpandangan, bahwa korporasi dapatdipertanggungjawabkan sebagai pembuat, disampingmanusia alamiah (naturlijk persoon). Jadi penolakanpemidanaan korporasi berdasarkan doktrinuniversitas delinguere non potest sudah mengalamiperubahan dengan menerima konsep pelakufungsional (functioneel daaderschap).37

Dalam undang-undang korupsi korporasi jugadapat dimintai pertanggungjawaban pidana atastindak pidana korupsi yang dilakukan. Pasal 20 ayat(1) dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsimenyatakan bahwa “dalam hal tindak pidana korupsidilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, makatuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukanterhadap korporasi dan atau pengurusnya”. Dalamhal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatukorporasi, maka korporasi tersebut diwakili olehpengurus (Pasal 20 ayat (3). Pasal 20 ayat (4)mengatur tentang pihak yang mewakili korporasidalam sidang pengadilan. Dikatakan bahwa“pengurus yang mewakili korporasi sebagaimanadimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang

37 Muladi , “fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi”,makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH UNDIP Semarang, 23-24November 198, Hlm 5. Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi danKejahatan , Cetk. Pertama, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (LembagaKriminologi). Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm 107-108, dalam Mahrus Ali, Asas, Teori,dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 55

Page 165: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.35

lain. Hakim dapat memerintahkan supaya penguruskorporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapatpula memerintahkan supaya pengurus tersebutdibawa ke sidang pengadilan “ (Pasal 20 ayat 5).Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadapkorporasi, maka panggilan tersebut disampaikankepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor (Pasal 20 ayat 6).38

Jika korporasi melakukan tindak pidana korupsi,maka pertanggungjawaban pidana dibebankan hanyakepada pengurus atau kepada pengurus dankorporasi. Ketentuan yang demikian inilai kiranyayang menjadi salah satu penyebab mengapaeksistensi korporasi dalam tindak pidana korupsibelum pernah dijatuhi pidana. Sebaab apabila tindakpidana korupsi dilakukan oleh korporasi, umumnyayang dipertanggungjawabkan secara pidana adalahpengurus korporasi , bukan korporasi sendiri.39

Selain mengatur pertanggungjawaban pidanabagi korporasi, undang-undang tindak pidana korupsijuga mengatur bentuk-bentuk sanksi pidana yangdapat dijatuhkan kepada korporasi. Pasal 20 ayat (7)menyatakan, bahwa pidana pokok yang dapatdijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda,dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3(satu pertiga). Korporasi juga dapat dijatuhi pidana

38 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm5639Ibid

Page 166: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.36

tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagianperusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun(Pasal 18 ayat (1) huruf c).40

Berkaitan dengan ketentuan tentangpertanggungjawaban dan sanksi pidana bagikorporasi diatas, Edi Yunara mengatakan bahwaketentuan Pasal 20 ayat (4) bertentangan denganprinsip-prinsip hukum pidana dan acara pidana yangberlaku karena mengharuskan terpidana menghadapsendiri di depan persidangan pengadilan pidana.Selain itu, ayat (4) dengan ayat (5) saling kontradiktifkarena ayat (5) terkesan hakim memiliki upayapaksa,sedangkan ayat (4) hakim dapat bertoleransiterhadap terdakwa korporasi.41 Selanjutnya,ketentuan pasal 20 ayat (7) terkesan sangatbertentangan dengan ketentuan Pasal 18 yangmemungkinkan terhadap korporasi dapat dijatuhipidana tambahan berupa penutupan dan ataupencabutan seluruh atau sebagian perusahaan atauhak-hak tertentu. Sedangkan Pasal 20 ayat (7)menegaskan hanya pidana denda maksimum pidanaditambah 1/3 (satu pertiga).42

40 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm5641 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, Cetk.Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, Hlm 54, dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, danPraktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 5742 Ibid., Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013,hlm 57

Page 167: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.37

Pendapat Edi Yunara tersebut akan dirasa kurangtepat jika dilihat dari ide double track system, suatusistem dua jalur yang memposisikan sanksi pidanadan sanksi tindakan secara seimbang, sejajar danmandiri, karena keduanya memiliki ide dasar,landasan filosofis yang melatasbelakanginya, dantujuan yang berbeda antara satu dengan yang lain.43

Sanksi pidana merupakan suatu peengenaan suatuderita kepada seorang yang dinyatakan bersalahmelakukan suatu kejahatan (perbuatan pidana)melalui suatu rangkaian proses peradilan olehkekuasaan (hukum) yaang secara khusus diberikanuntuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidanatersebut diharapkan orang tidak melakukan tindakpidana lagi.44 Sedangkan sanksi tindakan adalahsuatu sanksi yang bersifat antisipatif bukan reaktifterhadap pelaku tindak pidana yang berbasis padafilsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksiyang dinamis (open system) dan spesifikasi non-penderitaan atau perampasan kemerdekaan, dengantujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagipelaku maupun korban baik perseorangan, badanhukum publik maupun perdata.45

43 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System danImplementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, danPraktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 5744 Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, St. Paul Minim, West Publishing CO, 1979, hlm1110 , dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta,2013, hlm 5745 M. Sholehuddin, op.cit, hlm 210, dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum PidanaKorupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 58

Page 168: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.38

Bentuk sanksi pidana salah satunya adalahpidana denda, sedangkan salah satu bentu sanksitindakan adalah penutupan seluruh atau sebagianperusahaan, sehingga dengan demikian ketentuanpasal 20 ayat (7) berbicara dalam konteks sanksipidana bukan sanksi tindakan. Sanksi pidana yangdapat dijatuhkan kepada korporasi yang melakukantindak pidana korporasi hanyalah pidana denda,sedangkan pidana mati, pidana penjara, pidanakurungan tidak diterapkan kepada korporasidisebabkan oleh karakter dan sifat korporasi yangberbeda dengan subjek hukum manusia. Adapunbentuk sanksi tindakan berupa penutupan seluruhatau sebagian perusahaan jika dianalogikan dengansanksi pidana sama halnya dengan pidana mati.Sebab Ketika korporasi ditutup, maka eksistensinyatidak ada alias mati.46

Pertumbuhan korporasi sebagai salah satujaringan perusahaan multinasional tidak dapatdihindarkan, antara lain di sektor perbankan,perusahaan ekspor-impor, asuransi, pelayaran danlain-lain. Refleksi kemajuan teknologi di berbagaibidang khususnya teknologi komunikasi, informatikaakan membawa suasana kondusif bagi perkembangankorporasi. Porsi perhatian terhadap hukum ekonomi

46 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm58

Page 169: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.39

semakin besar, karena penyimpangan dalam hukumekonomi yang berindikasi tindak pidana dilihatsebagai suatu yang istimewa. Tindak pidana ekonomidapat mengganggu program pemerintah dalambidang ekonomi, dan dapat mengganggu sistemekonomi nasional yang berlandaskan Pasal 33 UUDNegara Republik Indonesia Tahun 1945.47

D. Schaffmeister dalam Nyoman Serikat PutraJaya menyatakan bahwa A.L.J. van Strienmengemukakan tiga teori dasar dalam menentukanbadan hukum (korporasi) sebagai subjek hukumpidana, ialah: Ajaran yang bertendensi “psikologis” dari J.

Remmelink, yang berpendapat bahwa hukumpidana memandang manusia sebagai makhlukrasional dan bersusila (redelijk zedelijk wezen).

Pendekatan yang bertendensi “sosiologis” dariJ.Ter Heidi, dimana yang menjadi pokokperhatian bukanlah manusia tetapi tindakan(berkaitan dengan ini Ter Heidi menyebutnyasebagai hukum pidana yang dilepaskan darimanusia – ontmenseljik strafrecht).

Wawasan dari A.C.’t Hart, dimana pengertian“subjek hukum” dipandang sebagai pengertian

47Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 22

Page 170: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.40

yuridis yang Contrafaktisch (D. Schaffmeister,1994: 230).48

Contrafaktisch hukum berarti bahwa konsep-konsep yuridis tidak boleh dimengerti semata-matasebagai kenyataan empiris maupun sebagai gagasanideal yang secara apriori menetapkan suatu normayang berada di atas kenyataan histories sosiologis.Karena konsep yuridis ini menempati posisiperantara, maka ia tidak dapat dipandang sebagaibagian kedua pengertian tersebut, namun condongsebagai lawan dari keduanya. Bukan saja dalamposisi terisolasi, namun terlebih dalam salingketerkaitannya menurut struktur pengertian danlogikanya sendiri-konsep yuridis, dengan demikian,terhadap berbagai cara interpretasi lain. Dengan caraini, konsep yuridis memberikan pada individu ruanggerak untuk membela diri atau menentang tidak sajaindividu lain yang berada dalam wawasanhidup/kenyataan itu sendiri .49

Dari sudut pandang Remmelink, bahwa hukumpidana melulu merupakan soal kesalahan danhukuman (schuld en boete) dimana pidana yangdijatuhkan didasarkan pada tindak mempersalahkansecara etis yang harus dibebankan pada si tersangka.

48Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 2249Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 22-23

Page 171: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.41

Lebih jauh lagi, dalam penjatuhan pidana, peranankehendak manusi juga memainkan peranan penting(dalam hal ini, manusia menempatkan kehendaknyasecara sukarela terhadap kehendak negara).Berkaitan dengan tuntutan terakhir ini, yaitu bahwapemidanaan harus didasarkan pada unsur kehendakmanusia, menimbulkan masalah bila yang harusdipidana adalah badan hukum (D. Schaffmeister,1994: 232).50

Berkaitan dengan pemidanaan badan hukum ini,Remmelink menulis:“Harus saya akui bahwa saya mengalami kesulitandalam menghadapi soal penetapan dapatdipidananya badan hukum di dalam hukum pidanakomunal. Saya memandang hukum pidana,sebagaimanapun ia mampu melayani kepentinganmasyarakat, terlalu terjalin erat dengan hukum dankarena itu suatu makhluk yang tidak memiliki akaldan hati nurani (...), sehingga tidak dapat dinyatakanbersalah atau dikenakan penghukuman, tidakmungkin dapat memainkan peranan utama didalamnya” (D. Schaffmeister, 1994: 236).51

Pernyataan dari Remmelink ini harusdiperhatikan terbatas pada hukum pidana komunal,yang memang memerlukan unsur kesalahan dalam

50Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 2351Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 23

Page 172: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.42

pemidanaan dalam arti memang menuntut adanyaaspek kejiwaan asli yang ada pada diri manusiaalamiah.

Ter Heide memilih pendekatan hukum pidanayang lebih bernuansa “sosiologis”, dan menyatakanbahwa terdapat suatu kecenderungan dimana hukumpidana semakin dilepaskan dari konteks manusia.Jika dahulu karena pengaruh “psikologisme,biologisme, subjektivisme dan lain-lain isme”,manusia menempati sentral perhatian hukum pidana,maka saat ini menurut Ter Heide apa yang menjadipokok soal dari hukum pidana adalah tindakan.Pelepasan dari konteks manusia ini menurutnya,berkaitan erat dengan kenyataan bahwa semakinlama orang semakin condong pada pendekatanfungsional terhadap hukum pidana, dimana yangmenjadi pusat perhatian adalah makna sosial dannormatif dari suatu tindakan. Yang menjadi pokokpersoalan adalah apakah si tersangka telahmemainkan peranan sosialnya secara tepat atau tidak.Selanjutnya karena hukum pidana telah “terlepas darikonteks manusia”, maka Ter Heide kemudianmenyimpulkan pandangan bahwa hanya manusiayang pada prinsipnya dapat diperlakukan sebagaisubjek hukum dapat disimpangi (D. Schaffmeister,1994: 237).52

52Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 24

Page 173: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.43

Nina H.B. Jorgensen menjelaskan ada 2 teoriyang umum tentang Corporate Criminal Liabilityyaitu: identification and imputation. MenurutteoriIdentification, the basis for liability is that the acts ofcertain natural persons are actually the acts of thecorporation. These people are seen not as the agentsof company but as its very person, and their guilt isthe guilt of the company (Nina H.B. Jorgensen, 2000:75).53

Dengan demikian menurut teori Identifikasi,landasan dari pertanggungjawaban pidana darikorporasi adalah bahwa perbuatan manusia alamiahtertentu merupakan perbuatan nyata dari korporasi.Manusia alamiah tertentu ini tidak dipandang sebagaipengurus atau wakil dari korporasi tetapi sebagaimanusia istimewa, dan kesalahan mereka adalahkesalahan dari korporasi.54

Menurut teori Imputations, the corporation isliable for the acts and intent of its employees, actingon behalf of the corporation, which are imputed tothe entity (Nina H.B. Jorgensen, 2000: 75).Korporasi bertanggung jawab atas perbuatan dankesalahan dari pelayannya yang bertindak atas namakorporasi. Teori imputasi ini sebenarnya memakaidasar Vicarious liability atau the doctrine of

53Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 2554Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 25

Page 174: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.44

respondeat superior, yang menyatakan bahwa atasan(the master) baik dalam bentuk individual maupunkorporasi bertanggungjawab terhadap perbuatan dariseorang bawahan (subordinate, the servant) dalamkerangka pekerjaan bawahan tersebut. Doktrin inibersumber dari the law of tort yang berkembang diabad 17 dengan tujuan untuk mengatur kompensasiterhadap pihak ketiga yang dirugikan oleh seorangbawahan dari seorang atasan, sedangkan bawahantersebut sedang menjalankan pekerjaan yangditugaskan oleh atasan tersebut (Muladi, 2004: 4).55

Doktrin respondeat superior menentukan bahwaa master is liable in certain cases for the wrongfulacts of his servant, and a principal for those of hisagent. Pertanggungjawaban pidana pengganti inijuga didasarkan pada employment principle yangmenyatakan bahwa majikan (employer) adalahpenanggungjawab utama dari perbuatan paraburuh/karyawan, dengan demikian, perbuatankaryawan merupakan perbuatan dari pejabat/majikanatau servant’s acts is the master’s act in law.Pertanggungjawaban pidana secara vicarious ini jugadapat didasarkan pada the delegation principle, yangmenentukan bahwa kesalahan dari buruh/karyawandapat dihubungkan ke majikan apabila adapendelegasian kewenangan dan kewajiban yang

55Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 25

Page 175: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.45

relevan. Dengan demikian harus ada a relevantdelegation of power and duties, menurut undang-undang. Pertanggungjawaban secara vicarious inihanya terjadi dalam delik-delik yang mampudilakukan secara vicarious sedangkan berdasarkanemployment principle hanya terjadi pada delik-delikyang merupakan summary offences yangberhubungan dengan peraturan di bidangperdagangan. 56

Teori Identifikasi (Identification Theory) atau thealter Ego Theory hampir satu abad dipergunakandalam pengadilan Inggris. Atas dasar teori ini, makasemua tindakan atau tindak pidana yang dilakukanoleh orang-orang yang dapat diidentifikasikandengan organisasi atau mereka yang disebut whoconstitute its directing mind and will of thecorporation yaitu individu-individu seperti parapejabat atau pegawai yang mempunyai tindakanmanager, yang dalam tugasnya tidak di bawahperintah atau arahan dari kewenangan atasan yanglain dalam organisasi, dapat diidentifikasikan sebagaiperbuatan atau tindak pidana yang dilakukankorporasi. Dengan demikian, pertanggungjawabankorporasi tidak didasarkan atas konsep tanggung

56Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 25

Page 176: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.46

jawab pengganti (vicarious liability) (Muladi, 2004:6).57

Mengingat bahwa secara tradisionalpertanggungjawaban pidana tetap mempersoalkanpembuktian kesalahan (proof of criminal fault) dalamkaitannya dengan intended something or knewsomething dari korporasi, maka Viscount Haldanemenemukan “Theory of PrimaryCorporate CriminalLiability, yang kemudian terkenal sebagaiIdentification Theory atau Alter Ego Theory

Ferguson sebagaimana dikutip Muladi,menyatakan:"The identification doctrine, as median rule, statesthat the actions and mental state of the corporationswill be found in the actions and state of mind ofemployees or officers of the corporation who may beconsidered the directing mind and will of thecorporation in a given sphere of the corporation'sactivities" (Muladi, 2004: 6)58

Lacobucci memberikan beberapa kategoritentang parameter apa yang dinamakan kewenanganuntuk menentukan the nation of directing mindsebagai berikut: Kewenangan pengambilan keputusan dalam

aktivitas korporasi yang relevan, termasuk

57Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 2658Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 27

Page 177: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.47

kewenangan untuk mendesain dan mengawasiimplementasi kebijakan korporasi;

Korporasi untuk melakukan pengambilankeputusan dalam kerangka kebijakan korporasi,lebih dari sekedar memberikan efek kebijakansecara operasional, baik di kantor pusat maupundi pelbagai cabang;

Penentuannya harus didasarkan atas pendekatankasus per kasus (case by case analysis);

Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkanselama orang yang melakukan tindak pidanatidak memiliki kewenangan untukmengembangkan kebijakan korporasi yang harusdilaksanakannya;

Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan,bilamana orang yang memiliki directing mindtersebut terlibat dalam kecurangan (fraud)korporasi, sedangkan korporasi sama sekali tidakmemperoleh keuntungan dari perbuatan tersebut(Muladi, 2004: 8).59

Di Negara Belanda yang menganut Civil LawSystem memiliki nuansa yang berbeda, hakim akanselalu melakukan "lompatan pemikiran" danmempertimbangkan apakah tindakan yang dilakukanoleh perorangan dapat ia pertanggungjawabkan pada

59Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 27

Page 178: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.48

korporasi. Dengan kata lain, hakimmempertimbangkan apakah tindakan tertentu dapatdiatribusikan pada korporasi. Sekarang ini hakimsudah sering melakukan "lompatan" tersebut,khususnya bilamana ihwalnya adalahperilakuperorangan yang dilakukan dalam konteks duniausaha. Dalam hal ini patut diperhatikan delik-delikfungsional, satu bentuk usaha kriminal yang cocokuntuk diterapkan pada korporasi. Dengan demikiandapat diandaikan bahwa perilaku korporasi akanselalu merupakan tindakan fungsional. Dalam hal ini,para pelaku bertindak dalam konteks rangkaiankerjasama antar manusia, in casu melalui organisasitertentu. Karena itu, para pelaku tersebut padaprinsipnya bertanggungjawab atas akibat yangdianggap secara adekuat muncul dari perluasanactieradius mereka (Remmelink, 2003: 106-107).60

Asas legalitas dan asas kesalahan tidak hanyaberlaku terhadap subjek hukum manusia tetapi jugaturut memainkan peranan penting dalam pembatasanpenentuan (syarat) badan hukum sebagai pelakutindak pidana. Namun demikian bagaimana asas-asasini akan dikonkritkan akan berbeda dari satu delikdengan delik yang lain. Misalnya dalam delikfungsional cara bagaimana asas kesalahan

60Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2012, halaman 28

Page 179: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.49

dikonkritkan akan berbeda dengan konkritisasi asasyang sama dalam delik tidak fungsional. Berkaitandengan ini, yang dimaksud dengan delik fungsionaladalah delik-delik yang berasal dari lingkup atausuasana sosial ekonomi dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau ekonomitertentu harus dilaksanakan dan yangterarah/ditujukan pada kelompok-kelompokfungsionaris tertentu (D. Schaffmeister, 1994: 254).61

Di dalam delik "fungsional" secara umum akanlebih cepat diasumsikan bahwa terdakwa telahbertindak secara tercela adalah karena delikfungsional bila dibandingkan dengan delik-delik lainlebih bersifat administratif. Sanksi-sanksi yangdijatuhkan dalam rangka pemeriksaan delik-delikfungsional seringkali bersifat reparator. Tujuannyaterutama adalah pengembalian ke keadaan semulaatau perbaikan dari keadaan yang onrechtmatige ataumelawan hukum. Untuk penjatuhan pidana demikian,secara umum disyaratkan derajat kesalahan yanglebih ringan daripada pengenaan sanksi-sanksi yanglebih personal. (D. Schaffmeister, 1994: 255).62

Dalam kerangka ini, Schaffmeister berpendapatbahwa berbicara tentang kepelakuan (kepembuatan)fungsional, apakah seseorang yangbukan pembuat

61Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 2862Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 28

Page 180: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.50

fisik, berdasarkan fungsi sosialnya, umpamanyamajikan, ditinjau dari hukum pidanabertanggungjawab. Kepelakuan fungsional jugadisebut kepelakuan sosial, lebih-lebih terdapat dibidang sosial ekonomi. Atas dasar Arrest HR 23-2-1954 (Arrest kawat berduri/Ijzerdraad arrest), makaterdapat 2 hal yang menentukan yaitu (a)kewenangan untuk mengatur dapat tidaknyaperbuatan dilakukan dan, (b) perbuatan tersebuttergolong dalam perbuatan sedemikian rupa sehinggapelaksanaannya seperti ternyata dari perkembangankeadaan (selanjutnya) diterima atau lazim diterimaoleh tertuduh. Apabila yang bersangkutan (misalnyayang empunya atau majikan) tidak mengetahuiperbuatan yang berada di luar garis normal, makaorang itu tidak bertanggung jawab menurut hukumpidana (Schaffmeister, 1995: 380).63

Peraturan perundang-undangan yang menentukanyang melakukan tindak pidana orang dan/ataukorporasi dan yang dipertanggungjawabkan dalamhukum pidana juga orang dan/korporasi antara lain:- UU. No. 7 Drt. 1995 tentang Tindak Pidana

Ekonomi.- UU. No. 11 PNPS 1963 tentang Tindak Pidana

Subversi (sudah dicabut).- UU. No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

63Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 29

Page 181: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.51

- UU. No. 6 Tahun 1984 tentang Pos.- UU. No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (sudah

diganti).- UU. No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.- UU. No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.- UU. No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.- UU. No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan

Hidup.- UU. No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.- UU. No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.- UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi.

- UU. No. 15 Tahun 2002 jo UU. No. 25 Tahun2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Formulasi dari yang melakukan orang dan/ataukorporasi dan yang dipertanggungjawabkan dalamhukum pidana orang dan/atau korporasi dapat dilihatdalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU. No. 15 Tahun 2002 joUU. No. 25 Tahun 2003 yakni :

(1) Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurusdan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi,maka penjatuhan pidana dilakukan terhadappengurus dan/atau kuasa pengurus maupunterhadap korporasi.

Page 182: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.52

(2) Pertanggungjawaban pidana bagi penguruskorporasi dibatasi sepanjang pengurusmempunyai kedudukan fungsional dalam strukturkorporasi.

(3) Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkansecara pidana terhadap suatu tindak pidanapencucian uang yang dilakukan oleh pengurusyang mengatasnamakan korporasi, apabilaperbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatanyang tidak termasuk dalam lingkup usahanyasebagaimana ditentukan dalam anggaran dasaratau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasiyang bersangkutan.

(4) Hakim dapat memerintahkan supaya penguruskorporasi menghadap sendiri di sidangpengadilan.

(5) Dalam hal tindak pidana dilakukan olehkorporasi, maka panggilan untuk menghadap danpenyerahan surat panggilan tersebut disampaikankepada pengurus di tempat tinggal pengurus ataudi tempat pengurus berkantor.

- Pasal 5 UU. No. 15 Tahun 2002 jo UU. No. 25 Tahun2003 menyebutkan:(1) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap

korporasi adalah pidana denda dengan ketentuanmaksimum pidana denda ditambah 1/3 (satupertiga).

Page 183: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.53

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) terhadap korporasi juga dapatdijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutanijin usaha dan/atau pembubaran korporasi yangdiikuti dengan likuidasi.64

Dalam hukum, dikenal berbagai dasar atauprinsip dari tanggung jawab hukum, yaitu :65

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanyaunsur, kesalahan (fault liability, liability based onfault principle). Prinsip ini membebankan padakorban untuk membuktikan bahwa pelaku itutelah melakukan perbuatan melawan hukum yangtelah merugikan dirinya.

2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanyapraduga (rebuttable presumption of liabilityprinciple). Prinsip ini menegaskan bahwatanggung jawab si pelaku bisa hilang jika dapatmembuktikan tidak bersalah kepada korbanya.

3. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability,absolute atau strict liability principle), yaitutanggung jawab tanpa harus membuktikankesalahannya.

64Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi,Universitas Diponegoro Press, Semarang, 2013, halaman 33-3465 Lengkapnya lihat E. Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam HukumPengangkutan Udara Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 19-46.dalamHasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, PrenadaMedia Group, Jakarta, 2015, hlm. 8.

Page 184: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.54

Disamping unsur perbuatannya, maka unsur yangmutlak harus ada yang akan bisa mengakibatkandimintakannya pertanggungjawaban pidana dari sipelaku tindak pidana adalah unsur kesalahan. Untukbisa dimintakan pertanggungjawaban pidana, makaunsur kesalahan, yang mutlak ditemukan itu, sangatterkait dengan elemen mental dari pembuatnya, yangdalam dogma systemcommon law dinamakan mensrea, dimana unsur kesalahan ini harus ada bersamaandengan perbuatan seseorang dalam melakukan tindakpidananya, yang disebut dengan actus reus. 66

Pertanggungjawaban atas tindak pidana yangdilakukan oleh seseorang itu adalah untukmenentukan kesalahan dari tindak pidana yangdilakukannya. Pertanggungjawaban pidana ataucriminal liability artinya adalah bahwa orang yangtelah melakukan suatu tindak pidana itu, belumberarti ia harus dipidana, melainkan ia harusmempertanggungjwabkan atas perbuatannya yangtelah dilakukan, jika ditemukan unsur kesalahanpadanya,67 karena suatu tindak pidana itu terdiri atas

66 Zoltan Andras Nagy, Some Problems of the CriminalLiability of Legal Entinity in CriminalDogmatics, hlm. 2. Dalam Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi padaTindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 10.67 Suharto R. M., Hukum Pidana Materiel : Unsur-unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan, edisikedua (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hlm. 106. Dalam Hasbullah F. Sjawie, PertanggungjawabanPidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 10

Page 185: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.55

dua unsure, a criminal act (actus reus) dan acriminal intent ( mens rea).68

Actus reus atau guilty act dan mens rea atauguilty mind ini harus ada untuk bisa dimintakannyapertanggungjawaban pidana. Kedua unsur itu, actusreus dan mens rea, atau yang disebut juga conductelements dan fault elements tersebut, harus dipenuhiuntuk menuntut adanya tanggung jawab pidana.Pertggungjawaban pidana itu hanya dapat terjadisetelah sebelumnya seseorang melakukan suatutindak pidana. Tidak aka nada pertaggungjawabanpidana, jika tidak didahului dengan dilakukannyasuatu tindak pidana. Dengan demikian, tindak pidanaitu dipisahkan dari unsur kesalahan. Pengecualianprinsip actus reus dan mens rea ini adalah hanyapada delik-delik yang bersifat strict liability, dimanapada tindak pidana yang demikian itu adanya unsurkesalahan atau mens rea tidak perlu dibuktikan.69

2. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

A. Teori Pertanggungjawaban MutlakDi negara common law, penerapan teori

pertangungjawaban mutlak atau strict liability without

68 Lihat juga Robert W. Emerson, Business Law, 4th. Ed. (New York : Barron’s, 2004), hlm. 409.Dalam Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi,Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 1069 Lihat Roger Geary, Understanding Criminal Law, (Oregon, USA : Cavendish publishing Limited,2002), hlm. 7. Dalam Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada TindakPidana Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm 10

Page 186: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.56

fault ini adalahpada delik dalam undang-undang(statutory offences atau regulatory offences), yang padaumumnya merupakan tindak pidana terhadapkesejahteraan umum,70 keamanan/kesehatan makanan,71

termasuk consumer protection,72 disamping tindakpidana yang menyangkut ketertiban umum, fitnah ataupencemaran nama baik, dan contempt of court sertapelanggaran lalu lintas.73Strict liability dimaksudkanuntuk menanggulangi tindak pidana kesejahteraanmasyarakat (public welfare offences), bersifat tindakpidana ringan, yang diancam dengan pidana denda.74

Strict liability atau absolute liability atau liabilitywithout fault atau pertanggungjawaban mutlak ataupertanggungjawaban tanpa kesalahan ini diartikan olehBlack’s Law Dictionary sebagai :75

“liability that does not depend on actualnegligence or intent to harm, but that is based on

70 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994)hlm. 25. Dalam Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak PidanaKorupsi, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 24.71 Nicholas Bourne, Esential Company Law, 3rd. ed. (London : Cavendish publishing, 2000), hlm.14. Dalam Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak PidanaKorupsi, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 2472 Peter Cartwright, Consumer Protection and the Criminal Law: Law, Theory and Policy in UK,(Cambridge: Cambridge Unieversity Press, 2004), hlm. 91. Dalam Hasbullah F. Sjawie,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group,Jakarta, 2015, hlm. 24.73 Paul Dobson, Op.cit., hlm. 25. Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi padaTindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 2474 Lihat Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta:Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,1994), hlm. 110-111.Dalam Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi,Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 2475 Bryan A. Garner, Black’s Law …, Op.cit., hlm. 934. Dalam Hasbullah F. Sjawie,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group,Jakarta, 2015, hlm 25

Page 187: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.57

the breach of an absolute duty to make somethingsafe. Strick liability most often applies either toultra hazardous activities or in product liabilitycase.”

B. Teori Pertanggujawaban PenggantiTeori pertanggungjawaban Pengganti atau vicarious

liability ini pada dasarnya adalah untuk menjawabpertanyaan, apakah terhadap seseorang itu dapatdipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidanayang dilakukan oleh orang lain. Dengan perkataan lain,apakah perbuatan dan kesalahan seseorang itu bisadimintakan pertanggungjawabannya kepada orang lain.Pertanyaan ini muncul karena pada dasarnyapertanggungjawaban pidana itu merupakan hal pribadi.76

Vicarious liability diartikan oleh Black’s LawDictionary sebagai:77

”liability that a supervisory party (such as anemployer) bears for the actionable conduct of asubordinate or associate (such an employee) basedon the relationship between the two partie.”

76 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan PenyusunanKonsep KUHP Baru, Edisi 2 (Jakarta: Kencana, 2011), hlm 105. DalamHasbullah F. Sjawie,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group,Jakarta, 2015, hlm. 28.77 Nicola Padfield, Criminal Law, (Oxford University Press, 2010), hlm. 60. Dalam Hasbullah F.Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Prenada MediaGroup, Jakarta, 2015, hlm. 28

Page 188: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.58

Ajaran ini berpangkal tolak pada teori keagenanyang berkembang dalam lingkup hukum perdata dalamkaitannya dengan tort law, yang kemudian secaragradual diadopsi serta diimplementasikan bidang hukumpidanan. Menurut teori keagenan ini, korporasibertanggungjawab atas perbuatan dan kesalahankaryawannya.78

Secara umum tidak dimungkinkan adanyapermintaan pertanggungjawaban secar pidana kepadaseseorang atas tindak pidana yang dilakukan oleh oranglain, karena pertanggungjawaban pidana itu sifanyapribadi atau personal, dan seseorang itu dipidana akibatdari kesalahannya sendiri, dan bukan akibat darikesalahan orang lain.79

Sehubungan dengan doktrin pertanggungjawabanpengganti atau vicarious liability ini, dapat dikemukakan3 (tiga) hal yang berkaitan dengannya, yaitu, pertama,doktrin ini berpangkal tolak dari ajaran respondeatsuperior, yang adagiumnya bisa diartikan sebagai “amaster is liable in certain cases for the wrongful acts ofhis servant, and a principal for those of this agents”.Kedua, doktrin ini didasarkan pada “employmentprinciple”, dimana seorang majikan adalahpenanggungjawab utama dari perbuatan para karyawan;sehingga dikatakan bahwa “ the servant’s act is the78 Swomnya Suman : Corporate Lianility – an analysis, hlm. 2. Dalam Hasbullah F. Sjawie,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group,Jakarta, 2015, hlm. 29.79 Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi,Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 29.

Page 189: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.59

master’s act in law”. Dengan demikian, kesalahan atauguiltymind dari karyawan hanya dapat dihubungkan kemajikan, apabila ada pendelegasian kewenangan dankewajiban yang relevan. Jadi, harus ada “ a relevandelegation of powers and duities” menurut undang-undang.80

Ajaran pertanggungjawaban pengganti inimemberikan pengecualian atas prinsippertanggungjawaban suatu perbuatan, yang padanyaharus melekat unsure kesalahan. Pertanggungjawabanpidana yang umumnya hanya dapat terjadi jika pada diripembuatnya ada unsure kesalahan, maka dengan ajaranviciarious liability diberikan pengecualian,81 dimanaseseorang itu bertanggungjawab atas perbuatan yangdilakukan oleh orang lain.82 Contohnya adalah seorangmajikan dinyatakan bertanggungjawab secara pidana atastindak pidana yang dilakukan pegawainnya. Bahkanajaran ini telah berkembang lebih jauh, sehinggameskipun pengusaha itu tidak mengetahui, atau tidakmemberikan kewenangan, atau tidak berpartisipasidalam tindak pidana yang dilakukan bawahannya, tetapsaja seorang majikan bisa dinyatakan bertanggung jawab

80 Dwidja Priyatno, Reorientasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam KebijakanKriminal dan Kebijakan Pidana. Dalam Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban PidanaKorporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 2981 Chairul Huda,Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada PertanggungjawabanPidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm, 20. Hasbullah F. Sjawie,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group,Jakarta, 2015, hlm. 29.82 M. Arief Amrullah, Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. DalamHasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, PrenadaMedia Group, Jakarta, 2015, hlm. 29.

Page 190: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.60

secara pidana atas tindak pidana yang dilakukanpegawainya, sepanjang karyawan tersebut bertindakdalam lingkup kewenangannya. Ajaran ini juga timbulkarena hubungan delegasi, misalnya anara seorangpemegang izin usaha dengan orang yangmenyelenggarakan usahanya. Jadi, pendeknya,pertanggungjawaban dalam vicarious liability padahakikatnya bukan ditujukan atas kesalahan orang lain,tetapi terhadap ‘hubungannya’ dengan orang itu.

C. Teori IdentifikasiTerhadap korporasi, yang merupakan penamaan

atas berbagai bentuk badan hukum, maka dalamkaitannya dengan pengenaan pertanggungjawabanpidana, akan menimbulkan permasalahan hukum bilabertemu dengan bagian dari hukum yang berlakuterhadap orang alamiah, yang membutuhkan penilaianterhadap keadaan mental seseorang itu.

Dalam menghadapi hal yang demikian, pengadilandi Inggris telah mengambil jalan menerapkan teoriorgan, yang menyamakan badan hukum itu selayaknyamanusia dengan organ-organnya, yang salah satuorgannya adalah pusat pikiran atau otak. Denganmenggunakan teori organ, pengadilan bisa secarabijaksana menetapkan dan memperlakukan the state ofmind of the company. Karenanya ada yang berpendapatbahwa teori identifikasi ini, atau yang disebut juga

Page 191: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.61

directing mind theory tersebut seemsto represent amiddl-ground between strict liability and no liability.

Penerapan teori organ pada korporasi dalamkaitannya dengan hal ini menunjukkan bahwa badanhukum itu adalah sesuatu yang riil, yang mampumelakukan perbuatan melawan hukum, yang dilakukandengan kesalahannya, yang merugikan pihak lain dalampengertian pidana, dan terhadap korporasi yangbersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabanpidananya. Teori ini dinamakan identification theoryatau teori identifikasi, dimana menurut teori inikonspirasi bisa meleakukan tindak pidana secaralangsung melalui orang-orang yang sangat berhubuganerat dengan korporasi, atau yang disebut juga sebagaicontrolling officer dan dipandang sebagai korporasi itusendiri, sepanjang tindakan yang dilakukan itu berkaitandengan korporasi.

Teori ini pada dasarnya berkembang dalam rangkauntuk membuktikan bahwa suatu korporasi bisalangsung bertanggung jawab secar pidana, karena padadirinya terdapat kesalahan atau mens rea. Teori ini jugadianggap sebagai penyeimbang antara penerapan doktrinvicarious liability yang bisa terjadi secara ekstrem,denga tidak ada tanggung jawab korporasi sepanjangpengurusnya yang ada tidak melakukan tindak pidana.83

83 Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi,Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 29.

Page 192: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.62

1. Sebutkan 3 sistem pertanggungjawaban pidanakorporasi berdasarkan perkembangannya diIndonesia menurut Mardjono Reksodiputro!

2. Sebutkan teori-teori pemidanaan korporasi yanganda ketahui!

Petunjuk Jawaban Latihan

1. Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwadalam perkembangan hukum pidana di Indonesia,ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasisebagai subjek tindak pidana, yaitu :a) Pengurus Korporasi sebagai pembuat, maka

penguruslah yang bertanggungjawab;b) Korporasi sebagai pembuat, maka pegurus

yang bertanggungjawab;c) Korporasi sebagai pembuat dan yang

bertanggungjawab.

2. Teori-teori pemidanaan korporasi yakni teoripertanggungjawaban pidana mutlak, teoripertanggungjaawaban pidana pengganti, teoripertanggungjawaban pidana Identifikasi.

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 193: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.63

1. Sistem pertanggung jawaban yang pertamaditandai dengan usaha agar sifat tindak pidanayang dilakukan korporasi dibatasi padaperorangan (naturlijk persoon). Sehingga apabilasuatu tindak pidana terjadi dalam lingkungankorporasi , maka tindak pidana itu dianggapdilakukan pegurus korporasi itu. Pada sistem inipula, penyusun Kitab Undang-Undang HukumPidana masih menerima asas “universitasdelinguere non potest” (Badan hukum tidakdapat melakukan tindak pidana).Sistempertanggung jawaban kedua ditandai denganpengakuan yang timbul dalam perumusanundang-undang bahwa suatu tindak pidana dapatdilakukan oleh perikatan atau badan usaha(korporasi), akan tetapi tanggung jawab untuk itumenjadi beban dari pengurus badna hukum(korporasi).Sistem pertanggung jawaban yangketiga merupaan permulaan adanya tanggungjawab laangsung dari korporasi.

2. D. Schaffmeister dalam Nyoman Serikat PutraJaya menyatakan bahwa A.L.J. van Strienmengemukakan tiga teori dasar dalammenentukan badan hukum (korporasi) sebagaisubjek hukum pidana, ialah: Ajaran yang bertendensi “psikologis” dari J.

Remmelink, yang berpendapat bahwa hukum

RANGKUMAN

Page 194: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.64

pidana memandang manusia sebagai makhlukrasional dan bersusila (redelijk zedelijkwezen).

Pendekatan yang bertendensi “sosiologis”dari J.Ter Heidi, dimana yang menjadi pokokperhatian bukanlah manusia tetapi tindakan(berkaitan dengan ini Ter Heidi menyebutnyasebagai hukum pidana yang dilepaskan darimanusia – ontmenseljik strafrecht).

Wawasan dari A.C.’t Hart, dimana pengertian“subjek hukum” dipandang sebagaipengertian yuridis yang Contrafaktisch (D.Schaffmeister, 1994: 230).

3. Dalam ranah hukum pidana, terdapat teori-teoridalam yang dapat digunakan dalam kaitannyadengan pertanggungjawaban pidana terhadapkorporasi meliputi teori pertanggungjawabanmutlak, teori pertanggungjawaban pengganti,teori Identifikasi.

Page 195: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.65

1. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsijuga mengatur pemidanaan terhadap korporasi,hal ini diatur dalam Pasal …A. 20 ayat (1)B. 20 ayat (2)C. 20 ayat (3)D. 21 ayat (1)

2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanyaunsur, kesalahan (fault liability, liability based onfault principle). Hal ini dimaksudkan untukmembuktikan bahwa pelaku yang dituduhkan itutelah melakukan perbuatan melawan hukum.Maka dalam hal ini yang dibebakan pembuktianadalah…A. Jaksa Penuntut UmumB. HakimC. JuriD. Korban

3. Istilah dari teori pertanggungjawaban mutlakadalah…A. Strict liabilityB. Vicarious liabilityC. PossibilityD. Normatif Possibility

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 196: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.66

4. Istilah dari teori pertanggungjawaban Penggantiadalah…A. Strict liabilityB. Vicarious liabilityC. PossibilityD. Normatif Possibility

5. Teori ini pada dasarnya berkembang dalamrangka untuk membuktikan bahwa suatukorporasi bisa langsung bertanggung jawab secarpidana, karena pada dirinya terdapat kesalahanatau mens rea. Hal tersebut merupakan ciri khasteori pertanggungjawaban ….A. Strict liabilityB. IdentificationsC. PossibilityD. Normatif Possibility

Page 197: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.67

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yangbenar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkatpenguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapatmengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Bagus! Jika masih dibawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2,terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 198: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.68

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 21) B 1) A2) C 2) D3) B 3) A4) A 4) B5) D 5) B

Page 199: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 3 1.69

Daftar Pustaka

Barda Nawawi Arief. 2011. Bunga Rampai Kebijakan HukumPidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi 2.Jakarta: Kencana

Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H. 2016. Hukum Pidana KhususMemahami Delik-delik di Luar KUHP. Jakarta: PT Kharisma PutraUtama

Edi Yunara. 2005. Korupsi dan Pertanggungjawaban PidanaKorporasi Berikut Studi Kasus, Cetk. Pertama. Bandung. PT. CitraAditya Bakti

Hasbullah F. Sjawie. 2015. Pertanggungjawaban Pidana Korporasipada Tindak Pidana Korupsi, , Jakarta, Prenada Media Group

Henry Campbell Black. 1979. Black Law Dictionary, St. Paul Minim,West Publishing CO

M. Sholehuddin. 2003. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, IdeDasar Double Track System dan Implementasinya. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada

Mahrus Ali.2013.Asas, Teori, dan Praktek Hukum PidanaKorupsi.Yogyakarta. UII Press

Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. 2013. Hukum dan HukumPidana di Bidang Ekonomi. Semarang. UNDIP Press

Sidik Sunaryo. 2004. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetk.Kedua. Malang. UMM Press,

Page 200: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

Modul 4Tindak Pidana Pasar Modal

Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.HumLushiana Primasari, SH, MH

Setelah mempelajari modul 3 yangmembahastindak pidana korporasi. Maka di Modul 4ini kita akan membahas materi mengenai TindakPidana Pasar Modal yang terdapat dalam kegiatanbelajar 1 dan yang selanjutnya akan dilanjutkandengan kegiatan belajar 2 yang membahas tentangPengaturan Tindak Pidana Pasar Modal Di Indonesiaitu, pada Modul 4 ini merupakan pengembangan lebihlanjut dari materi yang disajikan oleh Modulsebelumnya yang merupakan termasuk dalamklasifikasi jenis tindak pidana dalam Hukum PidanaEkonomi di Indonesia.

Dengan mempelajari materi tindak pidanakorporasi ini diharapkan mahasiswa dapatmenjelaskan Kegiatan dan jenis tindak pidana pasarmodal pada umumnya dan pengaturan ketentuan-ketentuan hukum pidana di bidang kegiatan PasarModal di Indonesia.

Page 201: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.2

Kegiatan Belajar 1

Pengantar Tindak Pidana Pasar Modal

A. Pengertian Tindak Pidana Pasar Modal

Kejahatan di bidang Pasar modal adalah kejahatan yangdilakukan oleh pelaku pasar modal dalam kegiatan pasar modal.Kejahatan dibidang pasar modal dapat terjadi karena adanyakesalahan pelaku, kelemahan aparat yang mencakup integritasdan profesionalisme dan kelemahan peraturan. Lembaga PasarModal merupakan lembaga kepercayaan, yaitu sebagai lembagaperantara (intermediary) yang menghubungkan antarakepentingan pemakai dana (issuwer, ultimate borrower), danpara pemilik dana pemodal, (ultimate lender).

Undang-undang Pasar Modal mengatur pelanggaran undang-undang yang bersifat administratif dan perdata serta tindakpidana. Pelanggaran di bidang pasar modal merupakanpelanggaran yang sifatnya teknis administratif dapat dilihat daritiga pola, yaitu:Pelanggaran yang dilakukan secara individual;Pelanggaran yang dilakukan secara berkelompok; Pelanggaranyang dilakukan langsung atau berdasarkan perintah ataupengaruh pihak lain. Memperhatikan pola pelanggaran dibidangkegiatan pasar modal, pihak pelanggar adalah orang yangmempunyai pendidikan dan pengetahuan tentang pasar dankeuangan yang cukup tinggi. Apabila dilihat dari status sosial,pihak pelanggar adalah emiten atau perusahaan publik danpihak-pihak yang mempunyai posisi strategis di dalamprusahaan seperti direksi, komisaris dan para pemegang sahamutama. Pihak lain yang berpotensi se-perti penasihat investasi,manajer investasi, akuntan, konsultas hukum, penilai, dannotaris.

Page 202: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.3

Tindak Pidana Pasar Modal berupa penipuan, perdaganganorang dalam dan manipulasi pasar. Tindak pidana Pasar modalterutama tindak pidana penipuan tidaklah sama dengan penipuansebagaimana di dalam KUHP, akan tetapi unsurnya tetapmemenuhi unsur tindak pidana penipuan. Tindak pidanapenipuan pasar modal yang berhubungan dengan pencucianuang sehingga uang illegal dipergunakan dalam kegiatan bisnis.Tindak pidana pasar modal seiring dengan perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi, perkembangan penduduk berikutdengan kebutuhan masyarakat. Menurut M Irsan Nasarudin danIndra Surya, tindak pidana pasar modal mempunyai karakteristikyang khas. Karakteristik ini dipergunakan sebagai saranapencucian uang. Karakteristik itu pertama barang yangmenjadi objek dari tindak pidana adalah informasi. Keduapelaku tidak mengandalkan kemampuan fisik, akan tetapikemampuan membaca situasi pasar serta memanfaatkan secaramaksimal. Dampak tindak pidana berakibat fatal dan meluas.Pelanggaran yang signifikan dari jumlah dan kualitas akanmeruntuhkan kredibilitas pasar modal. Untuk mengantisipasimasalah ini pasar modal perlu dilengkapi perangkat hukum,fasilitas, infrastruktur dan SDM yang seimbang dengan kegiatanpasar modal. Pelanggaran yang terjadi dapat mengakibatkanhilangnya sejumlah uang yang besar yang ada dalam kegiatanperdagangan efek, jumlah korban cukup banyak dan beragam.1

Undang-undang Nomor No 8 tahun 1995 Tentang Pasar ModalBAB XI (selanjutnya disebut UUPM) mengatur secara tersendirimengenai tindak pidana penipuan, manipulasi pasar danperdagangan orang dalam. Memperhatikan unsur-unsur yangdisebutkan dapat dirumuskan bahwa tindak pidana penipuandengan cara membuat pernyataan tidak benar mengenai faktamaterial, atau tidak mengungkapkan fakta material agarpernyataan yang dibuat tidak menye-satkan mengenai keadaan

1M. Irsan Nasarudin dan Indera Surya. 2004. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta:Prenada Media. Halaman 260

Page 203: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.4

yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untukmenguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiriatau pihak lain, atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lainuntuk membeli atau menjual efek. Tindak pidana penipuan padakegiatan pasar modal beruhubungan dengan kegiatanperdagangan efek yang meliputi kegiatan penawaran,pembelian, dan atau penjualan efek yang terjadi dalam rangkapenawaran umum, atau terjadi di bursa efek maupun di luarbursa efek atas efek emiten atau perusahaan publik. Metodepenipuan ini dipergunakan sehingga uang illegal akan ikutdalam dunia bisnis dalam bentuk pembelian saham. Contoh:Kasus saham perusahaan pertambangan Kanada Bre-X MineralsLtd pada tahun 1997:Manager Eksplorasi Bre-X Michael deGusman melaporkan bahwa Bre-X menemukan cadangan emasdalam jumlah 712 juta ounce dengan nilai 20 miliar dollar AS diBursa – Kalimantan. Laporan itu mengakibatkan saham Bre-Xdi Bursa Efek Toronto mengalami kenaikan cukup tajam dari 10dollar Kanada menjadi 28,65 dollar Kanada. Beberapa harikemudian diketahui bahwa laporan Michael de Gusman ternyatatidak benar. Hal tersebut menyebabkan saham Bre-X turunsecara tajam menjadi 5,50 dollar Kanada. Perbuatan Michael deGusman tersebut mengakibatkan investor membeli saham-saham Bre-X pada harga tinggi mengalami kerugian, karenaharga saham tersebut jatuh ke tingkat harga sangat rendah.2

B. Teori dan Kegiatan Pasar Modal

1. Insider Trading

Insider trading merupakan istilah teknis yang hanyadikenal di pasar modal. Istilah tersebut mengacu lepadapraktik di mana orang dalam (corporate insider) melakukan

2M. Irsan Nasarudin dan Indera Surya. 2004. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta:Prenada Media. Halaman 262

Page 204: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.5

transaksi sekuritas dengan menggunakan informasi eksklusifyang mereka miliki yang belum tersedia bagi masyarakatatau investor. 3

Batasan pengertian insider trading pada mulanya hanyamengenai transaksi yang dilakukan oleh orang dalam.Batasan insider trading banyak sekali. Salah satunya hádalabatasan insider trading menurut Black’s Law Dictionaryadalah:” Buying and selling of corporate shares by officers,directors and stockholders who own more than 10 % of thestock of a corporation listed on a nacional Exchange. Duchtransactions must be reporeted monthly to Securities andExchange Comisión.”

Batasan insider trading tersebut di atas adalah merujukpada Securities Exchange Act 1934 yang berlaku diAmerika. (Securities Exchange Act of 1934 (Act. 1934)mengatur mengenai perdagangan sekuritas di pasar sekundertermasuk di dalamnya Insider Trading, sedangkan SecuritiesAct of 1933 (Act. 1933) mengatur mengenai perdagangansaham pada pasar perdana.

Insider trading adalah perdagangan efek yang dilakukanoleh mereka yang tergolong orang dalam perusahaan (dalamarti luas), perdagangan mana didasarkan atau dimotivasikarena adanya statu informasi orang dalam (incideinformation) yang penting dan belum dibuka untuk umum.Dengan perdagangan mana, pihak pedagang insider tersebutmengharapkan akan mendapatkan keuntungan ekonomisecara pribadi, langsung atau tidak langsung, ataumerupakan keuntungan jalan pintas.

3Yulfasmi. 2005. Hukum Pasar Modal. Jakarta : Badan Penerbit IBLAM. Halaman 107

Page 205: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.6

Dari pengertian di atas, maka secara yuridis ditemukanbeberapa eleven dari status pranata hukum insider trading,yaitu sebagai berikut :

1. Adanya perdagangan efek2. Dilakukan orang dalam perusahaan3. Adanya inside information4. Inside information tersebut belum terbuka untuk umum5. Perdagangan dimotivisir oleh adanya inside information

tersebut, dan6. Bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak

layak.4

Inside information merupakan istilah teknis yanghanya dikenal di pasar modal. Istilah tersebut mengacukepada praktik dimana orang dalam (corporate insider)melakukan transaksi sekuritas dengan menggunakaninformasi eksklusif yang mereka miliki yang belumtersedia bagi masyarakat atau investor.

Perdagangan efek dapat digolongkan sebagai praktikinsider trading apabila memenuhi minimal tiga unsur,yaitu :

1. Adanya orang dalam2. Informasi material yang belum tersedia bagi

masyarakat atau belum disclosure, dan3. Melakukan transaksi karena informasi material.

Orang dalam yang dimaksud dalam Pasal 95Undang-Undang Pasar Modal adalah:

4Yulfasmi. 2005. Hukum Pasar Modal. Jakarta : Badan Penerbit IBLAM. Halaman 109

Page 206: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.7

1. Komisaris, direktur, atau pegawai emiten;2. Pemegang saham utama emiten;3. Orang perorangan yang karena kedudukan atau

profesinya atau karena hubungan usahanyadengan emiten atau perusahaan publikmemungkinkan orang tersebut memeperolehinformasi; atau

4. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhirtidak lagi menjadi pihak sebagaimana dimaksuddalam huruf 1, huruf 2, atau huruf 3 di atas.

Informasi atau fakta material adalah informasi ataufakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian,atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek padabursa efek dan atau keputusan pemodal, calon pemodal,atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi ataudata tersebut.Contoh informasi atau data material adalahsebagai berikut:

1. Penggabungan usaha (merger), pengambilalihan(acquisition), peleburan usaha (consolidation)atau pembentukan usaha;

2. Pemecahan saham (share split) atau pembagiandeviden saham (stock dividen);

3. Pendapatan dan dividen yang luar biasa;4. Perolehan atau kehilangan kontrak penting;5. Produk atau penemuan baru yang berarti;6. Perubahan tahun buku perusahaan;7. Perubahan dalam pengendalian atau perubahan

penting dalam manajemen.

Menurut Yulfasmi, berdasarkan informasi materialtersebut, terdapat tiga teori yang dikenal dalam praktikperdagangan efek di pasar modal, yaitu:

Page 207: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.8

1. Disclose or Abstain Theory

Adalah orang yang memiliki hubungan pekerjaan(orang dalam) dengan emiten dilarang melakukanperdagangan terhadap sekuritas dari emitentersebut karena adanya informasi yang belumterbuka kepada masyarakat investor. Berdasarkaninformasi yang dimilikinya maka orang dalamterhadap masalah tersebut dapat menentukanpilihannya yaitu membuka informasi tersebut(disclose) kepada pedagang/investor lain atautidak membuka informasi material tetapi jugatidak boleh melakukan transaksi perdagangan(abstain) atau tidak merekomendasikan kepadapihak lain untuk melakukan transaksi di bursaterhadap sekuritas perusahaan. Bentuktersebutlah yang dinamakan dengan disclose orabstain theory.

2. Fiduciary Duty Theory

Fiduciary theory didasarkan kepada doktrinhukum common law yang menegaskan bahwasetiap orang mempunyai fiduciary duty atauhubungan lain yang berdasarkan kepercayaan(trust or confidence) dengan perusahaan.Berdasarkan teori tersebut siapa saja yangdibayar oleh perusahaan untuk melaksanakantugas yang diberikan, maka dia mempunyai dutykepada perusahaan untuk menjalankan haltersebut sebaik-baiknya (due diligence) denganukuran etis dan ekonomis yang tinggi. Dalammenjalankan tugasnya, yang bersangkutan tidakboleh mengambil manfaat bahkan harus

Page 208: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.9

mengorbankan kepentingan pribadi untukkepentingan perusahaan.

Orang dalam yang mempunyai informasi materialtetapi tidak membuka kepada publik denganalasan apabila informasi tersebut dibuka makadapat merugikan perusahaan dan berarti harusbertanggungjawab kepada perusahaan karenapelanggar breach of fiduciary duty maka itu harusmenahan atau tidak melakukan transaksi.

3. Misappropriation Theory

Misappropriation theory adalah teori mengenaitransaksi yang dilakukan oleh orang luarperusahaan secara tidak sengaja berdasarkaninforamsi yang belum tersedia bagi masyarakatmaka dianggap sama dengan telah melakukaninside trading. Teori ini sangat komprehensif,artinya teori tersebut mampu menjangkau praktiktransaksi efek yang dilakukan oleh seseorangberdasarkan informasi secara tidak langsung ataudengan kata lain teori tersebut dapat diterapkanterhadap orang yang mendapat tip dari orangdalam.

Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud denganinsider trading adalah perdagangan efek yangdilakukan oleh orang dalam maupun berdasarkaninformasi orang dalam baik secara langsungmaupun tidak langsung mengenai informasi yangbelum terbuka kepada masyarakat yang dariorang dalam patut diduga bahwa informasimaterial tersebut dapat mempengaruhi harga efekyang bersangkutan.

Page 209: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.10

Dapat diibaratkan jika suatu inside trading tidakdilarang maka berjalannya pasar sepertiberjalannya sebuah mobil tanpa minyak pelumas.Hal ini disebabkan karena :

1. Pembentukan harga pasar yang tidak fair(teori informed market);

2. Perlakuan yang tidak adil di antara parapelaku pasar (teori market egalitarism ataufair play);

3. Berbahaya bagi kelangsungan hidup pasarmodal. 5

Pasar modal di berbagai negara memang sangat rawanterhadap tindakan penipuan dan manipulasi. Denganberbagai cara pihak-pihak tertentu yang inginmendapatkan keuntungan melakukan penipuan danmanipulasi pasar dalam pasar modal. Pelaku tersebut adayang terdeteksi kemudian ada yang tidak terdeteksi,sehingga jika tidak hati-hati tidak tertutup kemungkinansanksi dapat dijatuhkan kepada pihak yang tidakmelakukan penipuan dan manipulasi pasar tersebut.

Selain dari tindak pidana insider trading, perbuatanlain yang dapat dikenakan ancaman pidana oleh UUPMadalah tindak pidana penipuan di pasar modal dan tindakpidana manipulasi pasar. Perbedaan antara tindakanpenipuan dan manipulasi pasar terletak pada akibat dariperbuatan tersebut. Pada manipulasi pasar, akibat dariperbuatan tersebut harga saham akan menjadi semu,sedangkan pada tindakan penipuan maka akibat dariinformasi atau keadaan yang tidak sebenarnya tersebut

5Yulfasmi. 2005. Hukum Pasar Modal. Jakarta : Badan Penerbit IBLAM. Halaman 110-113

Page 210: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.11

akan dapat merugikan pihak alin tanpa mesti mempunyaiakibat terhadap pasar yang termanipulasi.

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana Pasar Modal

1. Tindak Pidana Penipuan dan Pengelabuan di Pasar Modal

Menurut Munir Fuady, tindak pidana penipuan danpengelabuan di pasar modal merupakan salah satu tindakpidana khusus pasar modal, di samping tindakanmanipulasi pasar, insider trading, praktik tanpa izin, danlain-lain.

Yang tergolong ke dalam tindak pidana penipuan danpengelabuan adalah sebagai berikut :

a. Menipu atau mengelabui pihak lain denganmenggunakan sarana dan/atau cara apa pun (vide Pasal90 Ayat 1 Undang-Undang Pasar Modal no.8 Tahun1995).

b. Turut serta menipu atau mengelabui pihak lain, videPasal 90 Ayat (2) Undang-Undang Pasar Modal.Menurut Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun1995, baik terhadap pihak yang melakukan tindakpidana penipuan dan pengelabuan di pasar modal,maupun pihak yang turut serta dalam tindak pidanapenipuan dan pengelabuan, diancam dengan hukumanpenjara maksimum 10 tahun dan denda maksimum Rp15 Milyar.

Menurut M Irsan Nasarudin dan Indra Surya (2004 :261-262) yang dimaksud dengan melakukan penipuanmenurut UUPM Pasal 90 huruf c adalah membuatpernyataan tidak benar mengenai fakta material atau tidakmengungkapkan fakta material agar pernyataan yang dibuat

Page 211: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.12

tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saatpernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkanatau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihaklain atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lain untukmembeli atau menjual efek. Larangan ini ditujukan kepadasemua pihak yang terlibat dalam perdagangan efek, bahkanturut serta melakukan penipuan pun tak lepas dari jerat pasalini. Bagi kalangan tertentu yang mempunyai kemampuanfasilitas teknologi yang dengan itu semua mereka dapatmelakukan penipuan pun tidak dapat lepas dari pasal ini.6

Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)dalam Pasal 378, disebutkan penipuan yaitu tindakan untukmenguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara :

a. Melawan hukumb. Memakai nama palsu atau martabat palsuc. Tipu muslihatd. Rangkaian kebohongane. Membujuk orang lain untuk menyerahkan barang

sesuatu kepadanya, atau supaya memberi uang ataumenghapuskan piutang.

Pasal 90 UUPM menegaskan bahwa dalam kegiatanperdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsungatau tidak langsung menipu atau mengelabui pihak laindengan menggunakan dan atau cara apa pun, turut sertamenipu atau menipu pihak lain, dan membuat pernyataanyang tidak benar mengenai fakta material atau tidakmengungkapkan fakta yang material agar pernyataanyang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang

6M. Irsan Nasarudin dan Indera Surya. 2004. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta:Prenada Media. Halaman 261-262

Page 212: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.13

terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untukmenguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk dirisendiri atau pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhipihak lain untuk membeli atau menjual efek. (M. IrsanNasarudin, 2004 : 261-262)7

2. Tindak Pidana Manipulasi Pasar

Selain tindak pidana penipuan dan pengelabuan, Undang-Undang Pasar Modal juga mengintrodusir suatu tindakpidana yang disebut dengan istilah “manipulasi pasar”UUPM mensejajarkan kedua bentuk tindak pidana tersebutdengan memberikan ancaman pidana yang sama beratnya,yaitu ancaman pidana maksimum 10 tahun penjara dandenda maksimum Rp 15 Milyar. Beberapa macamtindakan yang dapat digolongkan tindak pidana manipulasipasar versi Undang-Undang Pasar Modal adalah sebagaiberikut :

a. Menciptakan gambaran pasar modal yang semu denganjalan :

1) Melakukan transaksi efek yang tidakmengakibatkan perubahan pemilikan, atau

2) Melakukan penawaran jual beli atau penawaranbeli efek pada harga tertentu, sedangkan pihaklain yang merupakan sekongkolnya jugamelakukan penawaran beli atau penawaran jualpada harga yang kurang lebih sama (lihat Pasal91 UUPM).

7M. Irsan Nasarudin dan Indera Surya. 2004. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta:Prenada Media. Halaman 261-262

Page 213: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.14

b. Melakukan dua atau lebih transaksi efek di bursa efeksehingga menyebabkan harga efek tetap naik atauturun, dengan tujuan agar pihak lain terpengaruhiuntuk untuk membeli, menjual atau menahan efektersebut. Akibatnya harga efek tersebut tidakberdasarkan pada permintaan jual atau beli yangsesungguhnya (Pasal 92 UUPM).

c. Membuat pernyataan atau memberi keterangan yangsecara material tidak benar yang dapat mempengaruhiharga atau dengan tujuan untuk mempengaruhi pihaklain untuk membeli atau menjual efek.8

Salah satu sikap preventif yang penting dalam haltindak pidana di bidang pasar modal adalah bahwapihak pialang harus terlebih dahulu mengenal baikpihak investornya, maupun saham yangdiperdagangkannya. Karena posisi pialangmenyebabkan seringkali merupakan pihak yangpertama sekali dimintakan tanggungjawabnya jikaterjadi transaksi saham-saham palsu.

Munir Fuady, dalam bukunya Pasar ModalModern (Tinjauan Hukum) menuliskan bahwa dalamperkembangan setiap pasar modal, banyak trik bisnisdilakukan yang paling banyak di antaranya potensialuntuk menjadikan penipuan dan manipulasi pasar. Diantaranya adalah :

1. Pigging, Fixing, dan Stabilizing

8Munir Fuady. 2001. Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum). Bandung: PT Citra Aditya Bakti.Halaman 148-151

Page 214: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.15

Tindakan seperti ini terjadi pada saat atau segerasetelah proses IPO. Dalam hal ini, pihak emitensecara semu menstabilkan harga suatu sekuritas.Di mana pihak-pihak tertentu seperti emiten,dealer, underwriter, mesti diwanti-wanti kalaumereka terlibat dalam perdagangan saham yangterajadi segera setelah IPO karena hal tersebutpotensial untuk terjadinya tindakan-tindakanpigging, fixing, dan stabilizing di atas.

2. Investment Syndicate

Dalam hal ini, pihak sindicat underwritermemborong semua atau sebagian besar saham dipasar perdana atau bahkan melakukan sesuatu“bid” di pasar sekunder, sehingga harga menjadifixed.

3. Workout Market

Ini merupakan perbuatan yang dilakukansedemikian rupa sehingga seolah-olah telahterjadi oversubscribed terhadap sekuritas tertentu,yang sering dilakukan oleh emiten atauunderwriter.

4. Special Allotsments

Jika pihak underwriter sengaja mengalokasikansuatu sekuritas pada IPO kepada para partner,officer, pekerja, atau sahabat dekatnya sehinggakelihatan seolah-olah saham tersebutoversubscribed, sehingga kemudian harga sahammenjadi mahal.

5. Menciptakan Trading Firms

Page 215: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.16

Dilakukan oleh underwriter suatu sekuritasdialokasikan ke perusahaan tertentu yang bukananggota selling group. Selanjutnya perusahaantersebut menciptakan pasar untuk sekuritas yangbersangkutan dengan menawarkan kembalisekuritas yang bersangkutan kepada publik dansetelah itu, akan diikuti oleh kegiatanperdagangan dengan harga jauh di atas hargawajar.

6. Free Riding

Pembeli IPO yang berharap dapat menjualnyakembali dengan harga tertentu yang mahal, danakan membatalkan pembeliannya begitu suasanamenjelang alokasi saham kelihatan kurangmenguntungkan

7. Chanelling

Bahwa suatu IPO, sekuritas tersebut dialokasikankepada kelompok tertentu. Biasanya hal tersebutdianggap bermasalah jika kelompok tertentumerupakan kelompok inder.

8. Margin

Suatu transaksi yang dilakukan sekuritas tertentuoleh pihak tertentu, di mana ada pihak yangmemberi kredit kepadanya untuk membeli sahamtersebut. Sementara saham yang bersangkutanmenjadi jaminan yang bersangkutan.

9. Put atau call option

Page 216: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.17

Dalam put option, pihak penjual sekuritasmempunyai kebebasan untuk menjualsekuritasnya itu pada suatu saat nanti denganharga yang telah ditentukan sekarang. Sementarapada Call option, pihak pembeli mempunyaikebebasan untuk membeli sekuritas nanti suatumasa tetapi dengan harga yang telah ditetapkansekarang.

10. Shortsale

Dengan shortsale ini, seseorang menjual suatusekuritas di mana penjual tersebut sebenarnyatidak memiliki sekuritas tersebut. Atau menjualsekuritas yang dipinjam dari piahk lain. Shortsaleini sangat riskan karena setiap kenaikan hargasaham merupakan kerugian bagi investor.

11. Sale against the Box

Dalam Sale against the box ini, pihak pembelisekuritas sudah terlebih dahulu berkedudukansebagai kreditur dimana debitur pemilik sekuritastersebut sebenarnya pada awalnya merupakanjaminan hutangnya yang lalu kemudian dijualnyakepada kreditur tersebut.

12. Exchange-based transaction

Ini merupakan transaksi yang beralaskan “tukarmenukar”. Hal ini seperti akan memberikankesan seolah-olah adanya pasar yang aktif, yangpadahal tidak benar sama sekali. Karena itu,sepantasnya dilarang transaksi yang demikian.Salah satu variant dari kodel tukar menukar iniadalah apa yang dikenal dengan matching orders.

Page 217: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.18

Yakni saling melakukan pembelian denganmenggunakan pialang yang saling berbeda, hanyauntuk memberi kesan aktifnya transaksi terhadapsaham yang bersangkutan.

13. Wash sale

Wash sale merupakan transaksi semu, yaknisuatu transaksi saham yang tidak mengakibatkanterjadinya peralihan saham yang secara riil. Halseperti ini juga dapat mengelabui pasar darikenyataan yang sebenarnya.

14. Aborted Seller

Ini adalah tindakan dari pihak pembeli efek, dimana dia melakukan kontrak untuk membelisesuatu efek, tetapi tidak punya niat untukmembayar harganya. Jadi hanya tindakan pura-pura.

15. pre-arranged Trade

pihak broker sebenarnya telah melakukantransaksi sebelumnya pada harga yang lebihmurah (di luar bursa) tetapi dilaporkan kepadaklien transaksinya dilakukan kemudian (di Bursa)pada saat harga lebih mahal, sehingga brokertersebut mendapat keuntungan selisih harga.

16. Churning

Dalam hal diberikan discretionary account dapatterjadi bahwa pihak broker melakukan transaksiyang secara berlebih-lebihan sehingga mendapatfee yang lebih banyak.

Page 218: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.19

17. Front trading

Pihak pialang terlebih dahulu membeli sahamdengan accountnya sendiri atau accountsekongkolnya, untuk kemudian menjualnyakepada kliennya dengan harga yang lebih mahal,sehingga pialang tersebut menerima selisih harga.

18. Cross trading

Dalam hal ini pihak broker menempatkan dirinyasendiri pada posisi lawan dan posisi investor(klien)nya sehingga harga dapat dipermainkan,yang akan memberikan keuntungan kepada pihakbroker tersebut.

19. Pump-pump manipulation

Dalam hal ini, suatu efek dikuasai dalam jumlahyang besar untuk kemudian menjualnya pada saatyang tepat sehingga harga dapat didiktenyakarena penguasaan tadi.

20. Cornering

Sebelum dikuasainya sampai terjadi shortage dipasar dan kemudian dia dapat mengontrol harga.Seringcornering dilakukan dengan cara terlebihdahulu melakukan penjualan dengan tidakmemiliki efek (short selling), dengan carameminjamkan efek dari cornering kepada pelakushortselling, tetapi kemudian menarik kembalisaham dalam pinjaman tersebut sehingga pihakpelaku short selling harus mencarinya di pasar.

Page 219: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.20

21. Pemberian kompensasi oleh pialang terhadapinvestor tertentu yang menderita rugi.

Memberi atau menjanjikan kompensasi olehpialang terhadap investor tertentu yang menderitarugi di pasar modal umumnya juga tidak dapatdibenarkan.9

Menurut UUPM Pasal 91 setiap pihak dilarangmelakukan baik secara langsung atau tidak langsungmenciptakan gambaran semu atau menyesatkanmengenai kegiatan perdagangan, kegiatan pasar atauharga efek di Bursa Efek. Rumusan Pasal 91 inimenjelaskan bahwa gambaran semu mengenai kegiatanperdagangan, keadaan pasar, atau harga efek, antara lain:

a. Melakukan transaksi efek yang tidakmengakibatkan perubahan pemilikan, atau

b. Melakukan penawaran jual atau penawaran beliefek pada harga tertentu, dimana pihak tersebutjuga telah bersekongkol dengan pihak lain yangmela-kukan penawaran beli atau penawaran jualefek yang sama pada harga yang kurang lebihsama.

… Manipulation is done to influence prices so theperson doing the manipu-lating can acvhieve amore advantageous market. Kesalahan semacamini mendorong pihak lain melakukan tindakanjual atau beli suatu efek pada tingkat harga yangdiinginkan manipulator.

9Munir Fuady. 2001. Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum). Bandung: PT Citra Aditya Bakti.Halaman 160-163

Page 220: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.21

Kegiatan manipulasi pasar dapat berupa pola :

a. False information yaitu denganmenyebarluaskan informasi palsu mengenaiemiten dengan tujuan untuk mempengaruhiharga efek perusahaan yang di-maksud diBursa Efek. ( menyebarkan rumor bahwaemiten A akan dilikui-dasi, pasar meresponyang menyebabkan harga efeknya jatuh tajamdi Bursa)

b. Misinformation dengan cara menyebarkaninformasi yang menyesatkan atau informasiyang tidak lengkap (menyebarkan rumorbahwa emiten A tidak termasuk perusahaanyang akan dilikuidasi oleh pemerintah,padahal emiten A termasuk yang diambil aliholeh pemerintah).10

Selanjutnya M.Irsan Nasarudin dan Indra Surya(2004 : 265) mengemukakan beberapa kegiatan sebagaimanipulasi pasar,11 yaitu :

1. Marking the close yaitu merekayasa hargapermintaan atau penawaran efek pada saat ataumendekati saat penutupan perdagangan dengantujuan mem-bentuk harga efek atau hargapembukaan yang lebih tinggi pada hari perda-gangan berikutnya.

2. Painting the tape, yaitu kegiatan perdaganganantara rekening efek satu de-ngan rekening efek

10M. Irsan Nasarudin dan Indera Surya. 2004. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta:Prenada Media. Halaman 263

11M. Irsan Nasarudin dan Indera Surya. 2004. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta:Prenada Media. Halaman 265

Page 221: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.22

yang lain yang masih berada dalam penguasaansatu pi-hak atau mempunyai keterkaitansedemikian rupa sehingga tercipta perda-gangansemu. Pada dasarnya kegiatan ini mempunyaikemiripan dengan making the close, namun dapatdilakukan setiap saat.

3. Pembentukan harga berkaitan dengan merger,konsolidasi, atau akuisisi.

4. Concerning the market, yaitu membeli efek dalamjumlah besar sehingga dapat menguasai pasar. Kegiatanseperti ini dapat dengan cara short selling, yaitu menjualefek dimana pihak penjual belum memiliki efeknya.Bursa efek mempunyai ketentuan bahwa jangka waktupenyelesaian transaksi penjual wajib menyerahkanefeknya pada hari ke tiga setelah transaksi. Jiask hal initidak terlaksana maka yang bersangkutan harus membeliefek di pasar tunai dengan harga yang lebih tinggi daripasasr regular. Tuan A dapat membeli dalam jumlahbesar efek tertentu dan menahannya sehingga akanbanyak penjual gagal serah efek dan terpaksa membelidi pasar tunai yang dikuasai oleh Tuan A.

5. Pools, merupakan penghimpunan dana dalam jumlahbesar oleh sekelompok investor dimana dana tersebutdikelola oleh broker atau seseorang yang me-mahamikondisi pasar. Manager dari pools tersebut membelisaham suatu perusahan dan menjualnya kepada anggotakelompok investor tersebut untuk mendorong frekuensijual beli efek sehingga dapat meningkatkan harga efektersebut. Contoh :

A.B.C dan D membentuk suatu kelompok investor danmengumpul-kan dana dalam jumlah besar dan

Page 222: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.23

menyerahkan pengelolaan dana itu pada broker X.Kemudian X menggunakannya untuk membeli sahamPT Y yang kurang aktif diperdagangkan dan hargarendah (missal: Rp. 1000) atau statis. Broker Xkemudian menjual saham PT Y kepada kelompok ABCdan D. Hal ini akan mengakibatkan frekuensiperdagangan saham PT Y yang mengakibatkanterbentuk-nya harga yang lebih tinggi (misal Rp. 1200)dan akan semakin tinggi. Setelah harga terbentukbarulah ke-lompok investor melalui broker X menjualsaham PT Y kepada pihak lain di luar kelompoktersebut.

6. Wash Sales.

Order beli dan order jual antara anggota asosiasidilakukan pada saat yang sama dimana tidak terjadiperubahan kepemilikan manfaat atas efek. Manipulasitersebut dilakukan dengan maksud bahwa merekamembuat gambaran dari aktivitas pasar dimana tidakterjadi penjualan atau pembe-lian yang sesungguhnya.

7. Perdagangan Orang Dalam (Insider Trading)

Insider Trading merupakan bentuk perdagangan orangdalam. Bentuk ini secara teknis terdiri dari : pertamapihak yang mengemban kepercayaan secara langsungmaupun tidak langsung dari emiten atau perusahaanpublik atau disebut juga sebagai pihak yang beradadalam fiduciary position dan kedua yang menerimainformasi orang dalam dari pihak pertama (fiduciaryposition) atau dikenal dengan Tippees.

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 223: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.24

1. Apakah yang dimaksud dengan kejahatan pasarmodal?

2. Pada umumnya perbuatan apasajakah yang dapat diklasifikasikan kejahatan pasar modal?

Petunjuk Jawaban Latihan

1. Kejahatan di bidang Pasar modal adalah kejahatanyang dilakukan oleh pelaku pasar modal dalamkegiatan pasar modal.

2. Tindak Pidana Pasar Modal berupa penipuan,perdagangan orang dalam dan manipulasi pasar.

1. Kejahatan dibidang pasar modal dapat terjadi karenaadanya kesalahan pelaku, kelemahan aparat yangmencakup integritas dan profesionalisme dan kelemahanperaturan. Lembaga Pasar Modal merupakan lembagakepercayaan, yaitu sebagai lembaga perantara(intermediary) yang menghubungkan antara kepentingan

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

RANGKUMAN

Page 224: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.25

pemakai dana (issuwer, ultimate borrower), dan parapemilik dana pemodal, (ultimate lender).

2. Tindak Pidana Pasar Modal berupa penipuan,perdagangan orang dalam dan manipulasi pasar. Tindakpidana Pasar modal terutama tindak pidana penipuantidaklah sama dengan penipuan sebagaimana di dalamKUHP, akan tetapi unsurnya tetap memenuhi unsurtindak pidana penipuan. Tindak pidana penipuan pasarmodal yang berhubungan dengan pencucian uangsehingga uang illegal dipergunakan dalam kegiatanbisnis.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana dalam Pasar Modal yakniberupa tindak pidana penipuan dan pengelabuan di pasarmodal dan tindak pidana manipulasi pasar.

1. Sebagai lembaga perantara (intermediary) yangmenghubungkan antara kepentingan pemakai dana(issuwer, ultimate borrower), dan para pemilik danapemodal, (ultimate lender). Merupakan pengertian dari …

A. BKPMB. Lembaga Pasar ModalC. Lembaga Simpan PinjamD. Lembaga Saham

2. Salah satu sikap preventif yang penting dalam hal tindakpidana di bidang pasar modal adalah bahwa pihak pialangharus terlebih dahulu mengenal baik pihak investornya,

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 225: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.26

maupun saham yang diperdagangkannya. Hal tersebutdikarenakanA. Posisi pialang menyebabkan seringkali merupakan

pihak yang pertama sekali dimintakantanggungjawabnya jika terjadi transaksi saham-saham palsu.

B. Posisi pialang menyebabkan seringkali merupakanpihak yang pertama kali dirugikan sehinggadibutuhkan perlindungan hukum

C. Posisi investor paling rentan menjadi penipuandipasar modal

D. Posisi investor paling berpeluang dalam menciptakankejahatan pasar modal

3. Perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa sehinggaseolah-olah telah terjadi oversubscribed terhadap sekuritastertentu, yang sering dilakukan oleh emiten atauunderwriter.merupakan pengertian dari …A. Workout MarketB. Insider TradingC. Manipulate tradingD. Inception traiding

4. Ketentuan hukum yang mengatur kegiatan danperlindungan hukum dalam ranah pasar modal diIndonesia diatur dalam ketentuan Undang-Undang ...

A. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992B. Undang-Undang No. 8 Tahun 1993C. Undang-Undang No. 8 Tahun 1994D. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995

5. Suatu kegiatan perdagangan efek yang dilakukan olehorang dalam maupun berdasarkan informasi orang dalam

Page 226: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.27

baik secara langsung maupun tidak langsung mengenaiinformasi yang belum terbuka kepada masyarakat yangdari orang dalam patut diduga bahwa informasi materialtersebut dapat mempengaruhi harga efek yangbersangkutan. Pengertian dari..

A. External TradingB. Insider TradingC. Manipulate tradingD. Workout Market

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban TesFormatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglahjawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untukmengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi KegiatanBelajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Andadapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jikamasih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi KegiatanBelajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 227: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.28

Kegiatan Belajar 2

Pengaturan Tindak Pidana Pasar Modal Di Indonesia

Pengaturan mengenai penyelenggaraan kegiatanPasar Modal Indonesia diatur dalam Undang-Undang No8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disingkat UUPM), Peraturan Pemerintah No.45 Tahun1995 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan di BidangPasar Modal, Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2004tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 45Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan diBidang Pasar Modal.

Di bawah ini adalah paparan mengenai pengaturandari masing-masing peraturan hukum baik dalam tingkatUndang-undang dan Peraturan Pemerintahnya yaknisebagai berikut:

A. Ketentuan Tindak Pidana Pasar Modal BerdasarkanUndang-Undang No 8 Tahun 1995

Dalam UUPM terdapat beberapa Pasal yang mengaturmengenai bentuk dan jenis tindak pidana dalam PasarModal, yaitu sebagai berikut :

1) Pasal 90 UUPM dalam kegiatan perdaganganEfek, setiap Pihak dilarang secara langsung atautidak langsung:

a) Menipu atau mengelabui Pihak lain denganmenggunakan sarana dan atau cara apapun;

b) Turut serta menipu atau mengelabui Pihaklain; dan

c) Membuat pernyataan tidak benar mengenaifakta yang material atau tidak

Page 228: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.29

mengungkapkan fakta yang material agarpernyataan yang dibuat tidak menyesatkanmengenai keadaan yang terjadi pada saatpernyataan dibuat dengan maksud untukmenguntungkan atau menghindarkankerugian untuk diri sendiri atau Pihak lainatau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lainuntuk membeli atau menjual Efek.

Penjelasan Pasal 90 UUPM tersebut yakni :

Yang dimaksud dengan “kegiatan perdaganganEfek” dalam Pasal ini adalah kegiatan yangmeliputi kegiatan penawaran, pembelian, danatau penjualan Efek yang terjadi dalam rangkaPenawaran Umum, atau terjadi di Bursa Efek,maupun kegiatan penawaran, pembelian dan ataupenjualan efek di luar Bursa efek atas EfekEmiten atau Perusahaan Publik.

2) Pasal 91 UUPM menyebutkan“setiap Pihakdilarang melakukan tindakan, baik langsungmaupun tidak langsung, dengan tujuan untukmenciptakan gambaran semu atau menyesatkanmengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar,atau harga Efek di Bursa Efek”.

Penjelasan Pasal 91 UUPM yakni sebagaiberikut:

Masyarakat pemodal sangat memerlukaninformasi mengenai kegiatan perdagangan,keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa Efek

Page 229: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.30

yang tercermin dari kekuatan penawaran jual danpenawaran beli Efek sebagai dasar untukmengambil keputusan investasi dalam Efek.Sehubungan dengan itu, ketentuan ini melarangadanya tindakan yang dapat menciptakangambaran semu mengenai kegiatan perdagangan,keadaan pasar, atau harga Efek, antara lain :

a. Melakukan transaksi Efek yang tidakmengakibatkan perubahan pemilikan; atau

b. Melakukan penawaran jual atau penawaranbeli Efek pada harga tertentu, dimana Pihaktersebut juga telah bersekongkol denganPihak lain yang melakukan penawaran beliatau penawaran jual Efek yang sama padaharga yang kurang lebih sama.

3) Pasal 92 Menyebutkan“setiap Pihak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain,dilarang melakukan 2 (dua) transaksi Efek ataulebih, baik langsung maupun tidak langsung,sehingga menyebabkan harga Efek di Bursa Efektetap, naik, atau turun dengan tujuanmempengaruhi Pihak lain untuk membeli,menjual, atau menahan Efek”.

Penjelasan Pasal 92 yakni sebagai berikut:

Ketentuan ini melarang dilakukannyaserangkaian transaksi Efek oleh satu Pihak ataubeberapa Pihak yang bersekongkol sehinggamenciptakan harga Efek yang semu di BursaEfek karena tidak didasarkan pada kekuatan

Page 230: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.31

permintaan jual atau beli Efek yang sebenarnyadengan maksud menguntungkan diri sendiri atauPihak lain.

4) Pasal 93 UUPM menyebutkan“setiap Pihakdilarang dengan cara apapun, membuatpernyataan atau memberikan keterangan yangsecara material tidak benar atau menyesatkansehingga mempengaruhi harga Efek di BursaEfek apabila pada saat pernyataan dibuat atauketerangan diberikan :

a. Pihak yang bersangkutan mengetahui atausepatutnya mengetahui bahwa pernyataanatau keterangan tersebut secara material tidakbenar atau menyesatkan; atau

b. Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran materialdari pernyataan atau keterangan tersebut”.

5) Pasal 94 meyebutkan bahwa “Bapepam dapatmenetapkan tindakan tertentu yang dapatdilakukan oleh Perusahaan Efek yang bukanmerupakan tindakan yang dilarang sebagaimanadimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92”.

Penjelasan Pasal 94 yakni sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu”dalam Pasal ini, antara lain menyangkut tindakansebagai berikut:

a. Stabilisasi harga Efek dalam rangkaPenawaran Umum sepanjang hal tersebutdicantumkan dalam Prospektus; dan

Page 231: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.32

b. Penjualan dan pembelian Efek olehPerusahaan efek selaku pembentuk pasaruntuk rekeningnya sendiri secara terusmenerus untuk menjaga likuiditasperdagangan efek.

6) Pasal 95 UUPM menyebutkan “Orang dalam dariEmiten atau Perusahaan Publik yang mempunyaiinformasi orang dalam dilarang melakukanpembelian atau perjanjian atas Efek :

a. Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud;atau

b. Perusahaan lain yang melakukan transaksidengan Emiten atau Perusahaan Publikyang bersangkutan.

Penjelasan Pasal 95 UUPM menyebutkanbahwa:Yang dimaksud dengan “orang dalam “dalam Pasal ini adalah sebagai berikut:

a. Komisaris, direktur, atau pegawai Emitenatau Perusahaan Publik;

b. Pemegang saham utama Emiten atauPerusahaan Publik;

c. Orang perseorangan yang karenakedudukannya atau profesinya atau karenahubungan usahanya dengan Emiten atauPerusahaan Publik memungkinkan orangtersebut memperoleh informasi orang dalam;atau

d. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulanterakhir tidak lagi menjadi Pihak

Page 232: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.33

sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hurufb, atau huruf c di atas.

Yang dimaksud dengan “kedudukan“ dalampenjelasan huruf c ini adalah jabatan padalembaga, institusi, atau badan pemerintah.

Yang dimaksud dengan “hubungan usaha” dalampenjelasan huruf c ini adalah hubungan kerja ataukemitraan dalam kegiatan usaha, antara lainhubungan nasabah, pemasok, kontraktor,pelanggan atau kreditur.

Yang dimaksud dengan “informasi orang dalam”dalam penjelasan huruf c dalah InformasiMaterial yang dimiliki oleh orang dalam yangbelum tersedia untuk umum.

Sebagai contoh penjelasan huruf d adalah Tuan Aberhenti sebagai direktur pada tanggal 1 Januari.Namun demikian Tuan A masih dianggapsebagai orang dalam sampai dengan tanggal 30Juni pada tahun yang bersangkutan.

Huruf a

Larangan bagi orang dalam untuk melakukanpembelian atau penjualan atas Efek Emiten atauPerusahaan Publik yang bersangkutan didasarkanatas pertimbangan bahwa kedudukan orangdalam seharusnya mendahulukan kepentinganEmiten, Perusahaan Publik, atau pemegangsaham secara keseluruhan termasuk di dalamnyauntuk tidak menggunakan informasi orang dalamuntuk kepentingan diri sendiri atau Pihak lain.

Page 233: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.34

Huruf b

Di samping larangan tersebut dalam huruf a,orang dalam dari suatu Emiten atau PerusahaanPublik yang melakukan transaksi denganperusahaan lain juga dikenakan larangan untukmelakukan transaksi atas Efek dari perusahaanlain tersebut, meskipun yang bersangkutan bukanorang dalam dari perusahaan lain tersebut. Hal inikarena informasi mengenai perusahaan laintersebut lazimnya diperoleh karenakedudukannya pada Emiten atau PerusahaanPublik yang melakukan transaksi denganperusahaan lain tersebut.

Yang dimaksud dengan “transaksi” dalam hurufini adalah semua bentuk transaksi yang terjadiantara Emiten atau Perusahaan Publik danperusahaan lain, termasuk transaksi atas Efekperusahaan lain tersebut yang dilakukan olehEmiten atau Perusahaan Publik yangbersangkutan.

7) Pada Pasal 96 UUPM menyebutkan “Orangdalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95dilarang untuk melakukan :

a. Mempengaruhi Pihak lain untukmelakukan pembelian atau penjualan atasEfek dimaksud; atau

b. Memberi informasi orang dalam kepadaPihak amnapun yang patut diduganyadapat menggunakan informasi dimaksuduntuk melakukan pembelian ataupenjualan atas Efek.

Page 234: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.35

Penjelasan Pasal 96 UUPM yakni sebagaiberikut:

Orang dalam sebagaimana dimaksud dalamPasal 96 dilarang mempengaruhi Pihak lainuntuk melakukan pembelian dan atau penjualanatas Efek dari Emiten atau Perusahaan Publikyang bersangkutan, walaupun orang dalamdimaksud tidak memberikan informasi orangdalam kepada Pihak lain, karena hal ini dapatmendorong Pihak lain untuk melakukanpembelian atau penjualan Efek berdasarkaninformasi orang dalam.

Selain itu, orang dalam dilarang memberikaninformasi orang dalam kepada Pihak lain yangdiduga akan menggunakan informasi tersebutuntuk melakukan pembelian dan atau penjualanEfek. Dengan demikian, orang dalammempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalammenyebarkan informasi agar informasi tersebuttidak disalahgunakan oleh Pihak yangmenerima informasi tersebut untuk melakukanpembelian atau penjualan atas Efek.

8) Pada Pasal 97 ayat (1) UUPM menyebutkan:

(1) Setiap Pihak yang berusaha untukemmperoleh informasi orang dalam dariorang dalam secara melawan hukum dankemudian memperolehnya dikenakanlarangan yang sama dengan larangan yang

Page 235: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.36

berlaku bagi orang dalam sebagaimanadimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.

Penjelasan Pasal 97 ayat (1) yakni sebagaiberikut:

Setiap Pihak yang dengan sengaja berusahasecara melawan hukum untuk memperoleh danpada akhirnya memperoleh informasi orangdalam mengenai Emiten atau Perusahaan Publik,juga dikenakan larangan yang sama seperti yangberlaku bagi orang dalam sebagaimana dimaksuddalam Pasal 95 dan Pasal 96. Artinya, merekadilarang untuk melakukan transaksi atas Efekyang bersangkutan, serta dilarang mempengaruhiPihak lain untuk melakukan pembelian dan ataupenjualan atas Efek tersebut atau memberikaninformasi orang dalam tersebut kepada Pihak lainyang patut diduga akan menggunakan informasitersebut untuk melakukan pembelian danpenjualan Efek.

Sebagai contoh perbuatan melawan hukum,antara lain :

a. Berusaha memperoleh informasi orang dalamdengan cara mencuri;

b. Berusaha memperoleh informasi orang dalamdengan cara membujuk orang dalam; dan

c. Berusaha memperoleh informasi orang dalamdengan cara kekerasan atau ancaman.

Page 236: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.37

9) Pada Pasal 97 ayat (2) UUPM menyebutkan:Setiap Pihak yang berusaha memperolehinformasi orang dalam dan kemudianmemperolehnya tanpa melawan hukum tidakdikenakan larangan yang berlaku bagi orangdalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95dan Pasal 96, sepanjang informasi tersebutdisediakan oleh Emiten atau Perusahaan Publiktanpa pembatasan.

Penjelasan pada Pasal 97 ayat (2) UUPM yaknisebagai berikut:

Ayat (2)

Sebagai contoh, apabila seseorang yang bukanorang dalam meminta informasi dari Emiten atauPerusahaan Publik dan kemudianmemperolehnya dengan mudah tanpapembatasan, orang tersebut tidak dikenakanlarangan yang berlaku bagi orang dalam.

Namun, apabila pemberian informasi orangdalam disertai dengan persyaratan untukmerahasiakannya atau persyaratan lain yangbersifat pembatasan, terhadap Pihak yangmemperoleh informasi orang dalam berlakularangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95dan Pasal 96.

10) Pada Pasal 98UUPM menyebutkan “PerusahaanEfek yang memiliki informasi orang dalammengenai Emiten atau Perusahaan Publikdilarang melakukan transaksi Efek Emiten atauPerusahaan Publik tersebut, kecuali apabila :

Page 237: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.38

a. Transaksi tersebut dilakukan bukan atastanggungannya sendiri, tetapi atas perintahnasabahnya; dan

b. Perusahaan efek tersebut tidak memberikanrekomendasi kepada nasabahnya mengenaiEfek yang bersangkutan.

Penjelasan Pasal 98 memberikan penjelasnyasebagai berikut:

Ketentuan Pasal ini memberikan kemungkinanPerusahaan Efek untuk melakukan transaksiEfek semata-mata untuk kepentingannasabahnya karena salah satu kegiataanPerusahaan Efek adalah sebagai PerantaraPedagang efek yang wajib melayani nasabahnyadengan sebaik-baiknya. Dalam melaksanakantransaksi Efek dimaksud, Perusahaan Efek tidakmemberikan rekomendasi apa pun kepadanasabahnya tersebut. Apabila larangan dalamPasal ini dilanggar, Perusahaan Efek melanggarketentuan orang dalam sebagaimana dimaksuddalam Pasal 95 dan Pasal 96.

11) Pada Pasal 99 UUPM menyebutkan :

“Bapepam dapat menetapkan transaksi Efekyang tidak termasuk transaksi Efek yangdilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95dan Pasal 96”

Penjelasan Pasal 99 UUPM yakni sebagaiberikut:

Page 238: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.39

Transaksi Efek tertentu yang tidak termasukdalam transaksi Efek sebagaimana dimaksuddalam Pasal 95 dan Pasal 96 ditetapkan denganperaturan Bapepam. Sebagai contoh, transaksiEfek tertentu sebagaimana dimaksud dalamPasal ini adalah transaksi Efek antar orangdalam.

UUPM dalam penjelasan umumnya menyatakan bahwadengan lahirnya Undang-Undang tentang Pasar Modaldapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalampembangunan sehingga sasaran pembangunan di bidangekonomi dapat tercapai.12

Ketentuan pidana baru baru ditemukan dalam Pasal 103sampai dengan Pasal 110 sebagai berikut:13

1) Pasal 103: Kegiatan Pasar Modal Tanpa Izin.(1) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan diPasar Modal tanpa izin, persetujuan, ataupendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal6, Pasal 13, Pasal 18, Pasal 30, Pasal 34, Pasal43, Pasal 48, Pasal 50, dan Pasal 64 diancamdengan pidana penjara paling lama 5 (lima)tahun dan denda paling banyakRp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2)Setiap Pihak yang melakukan kegiatan tanpamemperoleh izin sebagaimana dimaksud dalamPasal 32 diancam dengan pidana kurungan

12 Luhut M.P. Pangaribuan. 2016. Hukum Pidana Khusus tentang Tindak Pidana Ekonomi,Pencucian Uang, Korupsi dan Kerjasama Internasional serta Pengembalian Aset: Pengantar,Ketentuan, dan Pertanyaan-Pertanyaan . Jakarta :Kemang Studio Aksara. Halaman 6613Luhut M.P. Pangaribuan. 2016. Hukum Pidana Khusus tentang Tindak Pidana Ekonomi,Pencucian Uang, Korupsi dan Kerjasama Internasional serta Pengembalian Aset: Pengantar,Ketentuan, dan Pertanyaan-Pertanyaan . Jakarta :Kemang Studio Aksara. Halaman 66-68

Page 239: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.40

paling lama 1 (satu) tahun dan denda palingbanyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2) Pasal 104: Ancaman Pidana, Penjara danDenda.Setiap Pihak yang melanggar ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91,Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97ayat (1), dan Pasal 98 diancam dengan pidanapenjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dandenda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (limabelas miliar rupiah).

3) Pasal 105:Pidana Terhadap ManajerInvestasi dan atau Pihak Terafiliasi. ManajerInvestasi dan atau Pihak terafiliasinya yangmelanggar ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 42 diancam dengan pidanakurungan paling lama 1 (satu) tahun dan dendapaling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliarrupiah).

4) Pasal 106. (1) Setiap Pihak yang melakukanpelanggaran atas ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 70diancam dengan pidanapenjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dandenda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (limabelas miliar rupiah). (2) Setiap Pihak yangmelakukan pelanggaran atas ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diancamdengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahundan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00(lima miliar rupiah).

5) Pasal 107: Menipu atau Merugikan PihakLain atau Menyesatkan Bapepam. SetiapPihak yang dengan sengaja bertujuan menipuatau merugikan Pihak lain atau menyesatkanBapepam, menghilangkan, memusnahkan,menghapuskan, mengubah, mengaburkan,

Page 240: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.41

menyembunyikan, atau memalsukan catatan dariPihak yang memperoleh izin, persetujuan, ataupendaftaran termasuk Emiten dan PerusahaanPublik diancam dengan pidana penjara palinglama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyakRp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

6) Pasal 108: Ancaman Pidana Untuk Pihakyang Mempengaruhi. Ancaman pidana penjaraatau pidana kurungan dan denda sebagaimanadimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105,Pasal 106, dan Pasal 107 berlaku pula bagi Pihakyang, baik langsung maupun tidak langsung,mempengaruhi Pihak lain untuk melakukanpelanggaran Pasal-Pasal dimaksud.

7) Pasal 109: Ancaman Pidana, Penjara danDenda. Setiap Pihak yang tidak mematuhi ataumenghambat pelaksanaan ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 100diancam dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun dan denda paling banyakRp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

8) Pasal 110: Tindak Pidana ini adalahPelanggaran dan Kejahatan. (1) Tindak pidanasebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2),Pasal 105, dan Pasal 109 adalah pelanggaran. (2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalamPasal 103 ayat (1), Pasal 104, Pasal 106, danPasal 107 adalah kejahatan.

b) Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1995 TentangPenyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal

Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1995 TentangPenyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modalmerupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor

Page 241: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.42

8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Dalam peraturan inidiatur mengenai ketentuan sanksi administratif di bidangpasar modal.

Pihak yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkansanksi administratif terhadap pelanggaran hukum di bidangpasar modal adalah Badan Pengawas Pasar Modal(Bapepam), karena oleh Undang-Undang Pasar Modal No. 8Tahun 1995, vide Pasal 102 UUPM, telah diberikankewenangan tersebut. Pihak yang dapat dijatuhi sanksiadministratif tersebut adalah :

1. Pihak yang memperoleh izin dari Bapepam;2. Pihak yang memperoleh persetujuan dari Bapepam;3. Pihak yang melakukan pendaftaran kepada Bapepam.

Selanjutnya ke tiga pihak tersebut dapat diperinci secaralebih konkret menjadi 25 golongan sebagai berikut :

1. Emiten;2. Perusahaan Publik;3. Bursa Efek;4. Lembaga Kliring dan penjaminan;5. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;6. Reksa Dana;7. Perusahaan Efek;8. Penasihat Investasi;9. Wakil Penjamin Emisi Efek;10. Wakil Perantara Pedagang Efek;11. Wakil Manajer Investasi;12. Biro Administrasi Efek;13. Kustodian;14. Wali Amanat;15. Notaris;16. Konsultan Hukum;

Page 242: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.43

17. Akuntan Publik;18. Penilai;19. Pihak-pihak lain yang memperoleh

izin/persetujuan/pendaftaran dari Bapepam;20. Direktur dari Perusahaan Publik;21. Komisaris Perusahaan Publik;22. Pemegang Minimal 5% Saham Perusahaan Publik;23. Direktur dari Emiten;24. Pemegang Minimal 5% Saham dari Emiten.

Sementara itu, sanksi administratif yang dapat dijatuhkanoleh Bapepam adalah sebagai berikut:

(1) Peringatan tertulis;(2) Denda pembayaran sejumlah uang tertentu (bukan

denda pidana);(3) Pembatasan Kegiatan Usaha;(4) Pembekuan Kegiatan Usaha(5) Pencabutan Izin Usaha;(6) Pembatalan Persetujuan;(7) Pembatalan Pendaftaran.

Selanjutnya PP No. 45 Tahun 1995 tersebut lewat Pasal 63juncto Pasal 64 UUPM memperinci tentang hukuman dendaadministrasi, yaitu terdiri dari empat kategori sebagai berikut :

a) Denda Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per haridengan maksimum Rp. 500.000.000,00 (lima ratus jutarupiah);

b) Denda Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per haridengan maksimum Rp. 100.000.000,00 (seratus jutarupiah);

c) Denda maksimum Rp. 500.000.000,00 (lima ratus jutarupiah);

Page 243: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.44

d) Denda maksimum Rp. 100.000.000,00 (seratus jutarupiah).

Tentang masing-masing sanksi pidana, sanksi perdata dansanksi administratif berlaku prinsip hukum yang umumdipraktekkan yaitu ke tiga jenis sanksi tersebut dapat (tetapibukan harus) berlaku secara kumulatif sekaligus.

1) Sebutkan larangan-larangan perbuatan yang terdapatdalam Pasal 90 dalam Undang-Undang Pasar Modal diIndonesia?

2) Jenis sanksi apasajakah yang diatur dalam Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah yang mengaturPasar Modal di Indonesia

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Tindakan yang dilarang dalam Pasal 90 UUPM yaknisebagai berikut:

a) Menipu atau mengelabui Pihak lain denganmenggunakan sarana dan atau cara apapun;

b) Turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain;dan

c) Membuat pernyataan tidak benar mengenai faktayang material atau tidak mengungkapkan faktayang material agar pernyataan yang dibuat tidakmenyesatkan mengenai keadaan yang terjadi

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 244: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.45

pada saat pernytaan dibuat dengan maksud untukmenguntungkan atau menghindarkan kerugianuntuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengantujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeliatau menjual Efek.

2) Jenis Sanksi yang terdapat dalam Undang-Undangmaupun Peraturan Pemerintah Pasar Modal di Indonesiayakni sanksi administrasi dan denda dan juga sanksipidana.

1. Pengaturan mengenai penyelenggaraan kegiatan PasarModal Indonesia diatur dalam Undang-Undang No 8Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya di singkatUUPM), Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1995Tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang PasarModal, Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2004tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 45Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan diBidang Pasar Modal.

2. Dalam Undang-Undang Pasar Modal di Indonesiaterdapat Perbuatan-perbuatan yang dilarang untukdilakukan dalam kegiatan yang berhubungan denganpasar modal yakni mulai dari Pasal 90 sampai denganPasal 99.

3. Dalam PP No. 45 Tahun 1995 tersebut lewat Pasal 63juncto Pasal 64 UUPM memperinci tentang hukumandenda administrasi, yaitu terdiri dari empat kategorisebagai berikut :

RANGKUMAN

Page 245: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.46

a) Denda Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) perhari dengan maksimum Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah);

b) Denda Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per haridengan maksimum Rp. 100.000.000,00 (seratus jutarupiah);

c) Denda maksimum Rp. 500.000.000,00 (lima ratusjuta rupiah);

d) Denda maksimum Rp. 100.000.000,00 (seratus jutarupiah).

1) Di bawah ini yang merupakan peraturan pemerintahyang merupakan aturan di bawah Undang-Undang No 8Tahun 1995 adalah..A. PP No. 45 Tahun 1992B. PP No. 45 Tahun 1993C. PP No. 45 Tahun 1994D. PP No. 45 Tahun 1995

2) Dalam Penjelasan Undang-Undang Pasar Modal padaPasal 90 menyebutkan “kegiatan perdagangan Efek” haltersebut meliputi …A. Kegiatan penawaranB. PembelianC. Penjualan efekD. Semua jawaban benar

3) Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1995 tentangPenyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal diubah menjadi peraturan pemerintah …

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 246: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.47

A. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2004B. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2003C. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2002D. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001

4) Di Indonesia badan yang dapat memberikan sanksi yangberkaitan dalam kegiatan pasar modal adalah..A. Gubernur IndonesiaB. IkadinC. BapepamD. BAPEPOM

5) Berikut ini adalah yang bukan merupakan sanksiadminitrasi yang terdapat dalam ketentuan Pasar Modaldi Indonesia adalah…A. Pencabutan Izin UsahaB. Pembatalan PersetujuanC. Pembatalan PendaftaranD. Denda mulai 200 juta hingga 1 milyar Rupiah

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yangterdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaanAnda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapatmengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Bagus! Jika masih di bawah 80%,

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 247: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

4311 /MODUL 4 1.48

Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yangbelum dikuasai.

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 21) B 1) D2) A 2) D3) A 3) A4) D 4) C5) B 5) D

Page 248: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 4 1.49

Daftar Pustaka

Luhut M.P. Pangaribuan. 2016. Hukum Pidana Khusustentang Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uang,Korupsi dan Kerjasama Internasional sertaPengembalian Aset: Pengantar, Ketentuan, danPertanyaan-Pertanyaan. Jakarta :Kemang StudioAksara.

M. Irsan Nasarudin dan Indera Surya. 2004. AspekHukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: Prenada Media

Munir Fuady. 2001. Pasar Modal Modern (TinjauanHukum). Bandung: PT Citra Aditya Bakti

Yulfasmi. 2005. Hukum Pasar Modal. Jakarta : BadanPenerbit IBLAM

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang PasarModal

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 TentangPenyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal

Page 249: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

Modul 5TINDAK PIDANA LINGKUNGAN

Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.HumLushiana Primasari, SH, MH

Setelah mempelajari modul 4 yangmembahasTindak Pidana Pasar Modal. Maka diModul 5 ini kita akan membahas materi mengenaiTindak Pidana Lingkungan yang terdapat dalamkegiatan belajar 1 dan yang selanjutnya akandilanjutkan dengan kegiatan belajar 2 yang membahastentang Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan,pada Modul 5 ini merupakan pengembangan lebihlanjut dari materi yang disajikan oleh Modulsebelumnya yang merupakan termasuk dalamklasifikasi jenis tindak pidana dalam Hukum PidanaEkonomi di Indonesia.

Dengan mempelajari materi modul ini diharapkanmahasiswa dapat menjelaskan Tindak PidanaLingkungan dan Pertanggungjawaban PidanaLingkungan di Indonesia.

Page 250: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.2

Kegiatan Belajar 1

PENGANTAR TINDAK PIDANALINGKUNGAN

1. Permasalahan Penegakan Hukum LingkunganSecara makro kondisi penegakan hukum lingkungan

saat ini belum sesuai dengan yang diharapkan.Permasalahan lingkungan hidup cenderung makinmenumpuk, rumit bahkan mengarah jadi sumber ancamanketentraman. Penegakan hukum lingkungan masihmenjadi wacana birokrat/pemerintah, belum menuju padatindakan konkrit. Pendapat yang berkembang saat inikhususnya pendapat para investor, bahwa dalam memacupertumbuhan dan kemajuan ekonomi munculnya dampaksampingan berupa pencemaran dan perusakan lingkunganmerupakan hal yang tidak dapat dihindari dan merupakankonsekuensi yang harus diterima. Pendapat tersebut tentusaja bertentangan dengan asas-asas dan tujuan pengelolaanlingkungan hidup yang baik untuk mewujudkanpembangunan berkelanjutan yang berwawasanlingkungan, sebab penanganan lingkungan yang baik akanmemberi kontribusi ekonomi, sebaliknya terjadinyapelanggaran di bidang lingkungan hidup tanpa disadaritelah mengalihkan biaya ekonomi lingkungan kepadamasyarakat. Masyarakatlah yang harus menanggung biayadari setiap pelanggaran lingkungan.

Pemerintah juga belum menyinkronkan elemenekonomi, sosial dan ekologi dalam setiap kebijakanpembangunan, sehingga banyak dilihat kebijakan-

Page 251: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.3

kebijakan yang dikeluarkan pemerintah merugikankepentingan lingkungan seperti telah dikeluarkannyaPerpu No. 1 Tahun 2004 tentang kebijakan pemberiankonsesi pertambangan di hutan lindung, kepada 13perusahaan pertambangan, dimana ketentuan inibertentangan dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999tentang Kehutanan yang melarang dilakukannya kegiatanpertambangan di hutan lindung.

Terabaikannya masalah lingkungan ini disebabkanbelum sempurnanya penanganan lingkungan hidup olehberbagai departemen terkait seperti KementerianLingkungan Hidup, Departemen Perdagangan,Perindustrian, Kehutanan, Pertambangan. Masing-masingsektor diatur dengan undang-undang sektoral sendiri, danmasing-masing sektor mempunyai interpretasi yangberbeda dalam menangani permasalahan lingkungan.Contoh, jika disuatu kawasan pertambangan yang terdapatdi satu kawasan hutan terjadi konflik, maka ada tigaundang-undang yang mengatur yaitu Undang-UndangSumber Daya Air, Undang-Undang Kehutanan danUndang-Undang Pertambangan di samping itu ada tigadepartemen yang terlibat dan ada tiga instansi yangmengatur dan mengelola. Sementara masing-masingsektor/ departemen hanya menguasai dan memahamiperundangan di bidangnya tanpa mau melihat bahwaperaturan antar departemen tersebut saling terkait,sehingga apabila tidak dipahami akan terjadi perbenturankepentingan dan akibatnya lingkungan yang menjadipermasalahan utama yang harus diselamatkan malahterabaikan. Oleh karena itu harus ada persamaan visi, misi,orientasi dan penguasaaan peraturan di bidang lingkungansecara komprehensif oleh masing-masing departemen

Page 252: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.4

yang terkait agar permasalahan lingkungan dapatdiselaraskan tanpa harus mengorbankan kepentinganmasyarakat, pengusaha, pemerintah dan kepentinganlingkungan.

Kurang berhasilnya penegakan hukum lingkunganjuga disebabkan karena adanya penyimpangan pada prosespenegakan hukum lingkungan, hal ini dapat dilihat padaaplikasi Pasal 30 (2) Undang-Undang No. 23 tahun 1997tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yangmenyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luarpengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidakberlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidupsebagaimana diatur dalam undang-undang ini atau dengankata lain terhadap tindak pidana lingkungan hidup tidakdapat diselesaikan melalui ADR, tetapi pada prateknyaketentuan Pasal 30 (2) Undang-Undang No. 23 tahun 1997tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ini banyakdilanggar atau disimpangi.

Dilihat dari politik kriminal meningkatnya tindakkriminal di bidang lingkungan disebabkan antara lainproyek-proyek dan program pembangunan yangdirencanakan dan dilaksanakan baik pada tingkat lokal,regional, dan nasional mengabaikan/tidak memperhatikanfaktor lingkungan, tidak didasarkan pada penelitian yangakurat dan perkiraan akan perkembangan atau kecen-derungan kejahatan baik pada saat ini maupun saat yangakan datang. Di samping itu disebabkan tidak adanyapenelitian mengenai pengaruh dan akibat-akibat sosial dankeputusan-keputusan serta infestasi kebijakan, studi-studikelayakan yang meliputi faktor-faktor sosial sertakemungkinan timbulnya akibat kriminogen serta strategialternatif untuk menghindarinya tidak pernah dilakukan,

Page 253: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.5

oleh karena itu tidak mengherankan bila kasus-kasuslingkungan pada skala nasional tidak dapat diselesaikansecara tuntas. Padahal kejahatan di bidang lingkungan olehkongres PBB ke 5 tahun 1975 di Jenewa mengenai ThePrevention OfCrime and The Treatment of Ofenders,dikatagorikan sebagai “Crime asbusiness“ yaitu kejahatanyang bertujuan mendapatkan keuntungan materiil melaluikegiatan dalam bisnis atau industri, yang pada umumnyadilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh merekayang mempunyai kedudukan terpandang dalammasyarakat, yang biasa dikenal dengan“organizedCrimes” “White Collar Crime”.

Selanjutnya di dalam Kongres ke-7 tahun 1985,antara lain dimintakan perhatian terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang dipandang membahayakan seperti“economic crimes”, “Environmental offences”,“illegaltrafficking in drugs”, “terorism” dan “apartheid”.Sehubungan dengan peranan dari pertumbuhan industriserta kemajuan ilmu dan teknologi, Kongres ke-7 jugameminta perhatian khusus terhadap masalah “industrialcrimes”, khususnya yang berhubungan dengan masalah:

1. Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (publichealth)

2. Kondisi para pekerja/buruh/karyawan (labourconditions)

3. Eksploitasi sumber-sumber alam dan lingkungan(the exploittation ofnatural resources andenvironment)

4. Pelanggaran terhadap ketentuan/persyaratan barangdan jasa bagi para konsumen. (offences against theprovision of goods and services toconsumers).

Page 254: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.6

2. Dimensi Kriminalitas di Bidang LingkunganHidup

Di era globalisasi kualitas dan kuantitas kriminalitasdi bidang lingkungan hidup berkembang sangat dahsyat.Perkembangan masyarakat modern yang konsumtif yangmengutamakan kepentingan ekonomi ternyata diikutikejahatan lingkungan yang semakin canggih pula, sepertipencemaran lingkungan, baik pencemaran air yangdisebabkan karena limbah industri dan limbah domestik,pencemaran udara karena asap yang disebabkan pem-bakaran hutan, perusakan dan penggundulan hutan secaraliar dan penggalian tambang di hutan lindung. Pencemaranair yang disebabkan karena limbah industri dan limbahdomestik yang tidak terkendali telah menimbulkanpencemaran hampir seluruh sungai di Indonesia terutamadi Pulau Jawa.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan JICA,ternyata 73% sumur penduduk telah terkontaminasi olehzat kimia amoniak yang bersumber dari limbah industri.Tingkat konsentrasi pencemaran kimia juga terhitungtinggi di sebagian besar sumur penduduk, karena sekitar13% dari sumur-sumur penduduk yang diperiksa diwilayah Jakarta Selatan mengandung zat kimia jenismerkuri, yang berasal dari bakteri coli dan amoniak darilimbah tinja, organo chloride dan organo phospor yangberasal dari pupuk kimia, detergen, pestisida, limbahbahan beracun dan berbahaya (B3) dari industri. Kondisilingkungan seperti ini juga menyebabkan sebagian airsungai di Pulau Jawa menjadi tidak layak lagi diproses dandiproduksi menjadi air minum. Hasil pemantauan Bapedalterhadap air sungai memperlihatkan sebanyak 25-50% dari

Page 255: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.7

polutan yang mencemari air sungai ternyata berasal dariindusrti-industri yang membuang limbahnya ke Sungai.Setiap tahun diperkirakan lebih dari 2,2 juta ton limbah B3telah dibuang ke sungai-Sungai di wilayah Jakarta danJawa Barat.1

Lingkungan hidup yang merupakan harta warisanyang harus dijaga keutuhannya dari tangan-tangan yangtidak bertanggung jawab, tampaknya tidak dapatdipertahankan lagi keutuhannya, sebagai akibat kerakusanmanusia dalam memenuhi kebutuhan ekonominya.Pemenuhan kebutuhan ekonomi tampaknya adalahsegalanya meskipun harus mengorbankan kepentinganlingkungan yang nota bene adalah kepentingan seluruhbangsa didunia pada umumnya dan bangsa Indonesiakhususnya. Pemuasan dan pemenuhan kebutuhan ekonomipada masyarakat modern yang konsumtif, kerakusanmanusia, korupsi dan persekongkolan yang dilakukan elitpenguasa, kerjasama antara elit penguasa dengan pebisniskelas dunia, tampaknya yang menjadi penyebabmunculnya berbagai penyimpangan dalam pengelolaanlingkungan baik yang dilakukan oleh elit penguasa,pebisnis maupun masyarakat.

Dalam Undang-Undang Pengelolaan LingkunganHidup telah diatur perbuatan yang dianggap sebagai tindakpidana (kejahatan) antara lain:

1. Perbuatan pencemaran lingkungan hidup;2. Perbuatan perusakan lingkungan hidup.

1Draf Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Pengelolaan SumberDaya Alam 9-8-2002 Hal. 4

Page 256: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.8

1. Perbuatan Pencemaran Lingkungan Hidup

Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup telahmerumuskan secara tegas tentang difinisi pencemaranlingkungan sebagimana yang dirumuskan dalam Pasal 1angka 12.Pasal 1 angka 12 berbunyi: “pencemaran lingkunganhidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhlukhidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalamlingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasturun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkanlingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai denganperuntukkannya.”2

Dengan demikian Pasal 1 angka 12 ini memuat unsur-unsur dari perbuatan pencemaran lingkungan hidup ituadalah sebagai berikut:

a. masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,zat, energi, dan /atau komponen lainnya ke dalamlingkungan hidup

b. dilakukan oleh kegiatan manusiac. menimbulkan penurunan kualitas lingkungan,

sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkanlingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuaidengan peruntukannya.

2. Perbuatan Perusakan Lingkungan Hidup

Perusakan lingkungan hidup perumusannya terdapatdalam Pasal 1 angka 14 yaitu tindakan yang menimbulkan

2Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Page 257: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.9

perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifatfisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkunganhidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunanberkelanjutan.3

Pasal 1 angka 14 memuat unsur-unsur perbuatanperusakan lingkungan hidup yaitu:

a. adanya suatu tindakan manusiab. yang menimbulkan perubahan terhadap sifat fisik

dan/ atau hayati lingkunganc. mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi

lagi dalam menunjang pembangunanberkelanjutan.

Pencemaran dan perusakan dikatagorikan sebagaiperbuatan pidana karena perbuatan pencemaran danperusakan mengakibatkan rusaknya ekosistem bahkanbiosfir bumi, yang dapat menyebabkan terganggunyakelestarian lingkungan hidup baik untuk generasi masasekarang maupun yang akan datang. Sebagaimanadikatakan Abdurahman, bahaya yang senantiasamengancam lingkungan dari waktu ke waktu ialahpencemaran dan perusakan lingkungan. Ekosistem darisuatu lingkungan dapat terganggu kelestariannya karenapencemaran dan perusakan lingkungan.4

Sedangkan menurut Ketentuan PROPER (programperingkat kinerja perusahaan) bahwa perilaku perusahaanyang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidanalingkungan, adalah perusahaan berperingkat hitam dan

3Loc.Cit4Abdurahman, Pengantar Hukum Lingkungan, Bandung, Citra Aditya Bakti,

1990, hlm. 95

Page 258: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.10

merah yang tidak memiliki sarana prasarana sebagaiberikut :

Perusahaan berperingkat hitam1. Perusahaan tidak mempunyai IPAL2. Perusahaan tidak melakukan pengolahan air limbah3. Air limbah > 500% dari BMAL (izin)4. Perusahaan tidak mempunyai alat pengendalian

pencemaran udara5. Perusahaan tidak melakukan pengendalian udara6. Emisi udara > 500% dari BME (izin)7. Perusahaan tidak mengelola limbah B3 dan

mempunyai dampak terhadap lingkungan dankesehatan masyarakat

8. Perusahaan tidak mempunyai dokumen Amdal atauRKL/ RPL yang disetujui instansi yang berwenang.

Perusahaan yang berperingkat meraha. Pencemaran air

1. Perusahaan tidak mempunyai izin pembuangan airlimbah (apabila telah diwajibkan)

2. Perusahaan tidak melakukan pengambilan contohdan analisis air limbah kurang dari sekali perbulan.

3. Perusahaan belum melakukan pelaporan hasilpemantauan air limbah.

4. Perusahaan belum mempunyai alat ukur debit ataualat ukur debit tidak berfungsi dengan baik.

5. Tidak dilakukan pengukuran debit harian.6. Konsentrasi air limbah belum memenuhi BMAL

atau persyaratan yang ditetapkan di dalam izin.

Page 259: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.11

7. Kualitas air limbah berdasarkan beban air limbahbelum memenuhi BMAL yang ditetapkan di dalamizin

b. Pencemaran air laut1. Perusahaan belum mempunyai izin untuk

pembuangan limbah ke laut (dumping).

c. Pencemaran udara1. Stack yang mengeluarkan emisi belum dilengkapi

dengan tempat-tempat sample emisi udara danperalatan pendukung lainnya.

2. Stack yang ada belum dilengkapi dengan alatpemantauan udara sebagaimana yangdipersyaratkan (tergantung jenis industri)

3. Belum dilakukan pengukuran emisi udara untuksemua stack sebagaimana yang dipersyaratkandalam peraturan (harian atau setiap 6 bulan).

4. Perusahaan tidak melaporkan hasil pemantauanemisi udara kepada instansi terkait sebagaimanamestinya.

5. Emisi udara yang dihasilkan belum memenuhiBaku Mutu Emisi Udara sebagaimana yangdipersyaratkan.

d. Pengelolaan Limbah B31. Perusahaan tidak mempunyai semua izin

pengelolaan limbah B3 yang dilakukan untuksemua aspek sebagaimana yang dipersyaratkan.

2. Perusahaan belum melakukan pelaporanpengelolaan limbah B3 sesuai dengan yangdipersyaratkan.

Page 260: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.12

3. Penyimpanan limbah B3 belum dilakukansebagaimana yang dipersyaratkan dalam izin.

4. Pengelolaan limbah B3 di lokasi (on siteincinerator) belum dilakukan sesuai dengan yangdipersyaratkan.

5. Pengelolaan limbah B3 di lokasi (on site landfill)belum dikelola dengan baik dan sesuai dengansebagaimana yang dipersyaratkan dalam izin.

e. AMDAL/UKL/UPL1. Perusahaan belum melakukan persyaratan-

persyaratan di dalam AMDAL dan RKU/RPL.2. Perusahaan tidak melakukan pelaporan UKL atau

UPL kepada instansi terkait sebagaimana yangdipercayakan.

Selanjutnya untuk memperoleh penjelasan tentangpencemaran dan perusakan lingkungan hidup tidak dapatdilihat dari kacamata hukum saja, tetapi perlu ditentukanoleh ukuran ilmiah dari berbagai disiplin ilmu lain. Disamping itu perlu dibatasi bahwa lingkungan itu tercemardan rusak atau tidak, sehingga perlu adanya baku mutulingkungan. Baku mutu lingkungan adalah untuk menilaiambang batas yang menentukan bahwa lingkungan masihatau tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya, atauuntuk menentukan bahwa lingkungan belum atau telahterjadi perubahan sifat fisik dan atau hayati lingkunganhidup.

Menurut Andi Hamzah,5

5Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta, Penerbit Arikha MediaCipta, 1995. Hal.11

Page 261: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.13

Dalam ruang lingkup yang paling luas, hukumlingkungan menyangkut hukum internasional (publikdan privat) dan hukum nasional. Termasuk hukumlingkungan internasional ialah perjanjian-perjanjianbilateral antarnegara, perjanjian regional karenasemuanya ini adalah sumber hukum yangsupranasional. Dalam ruang nasional, hukumlingkungan menempati titik silang pelbagai bagianhukum klasik, yaitu hukum publik dan hukum privat.Termasuk hukum publik ialah hukum pidana, hukumpemerintahan (administrasif), hukum pajak, hukumtata negara, bahkan menurut Andi Hamzah agrariapun bersangkutan dengan hukum lingkungan.

Hukum lingkungan sangat komplek baik dilihat dariaspek pengertiannya, fungsinya, masalah yang dihadapi,kepentingan yang dilindungi, penegakan yang dilakukan,peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, sertamelibatkan berbagai kepentingan, institusi, dan bidanghukum. Dari aspek pengertiannya hukum lingkungan bisadipandang sebagai lingkungan fisik dan lingkungan sosialtermasuk di dalamnya adalah gejala sosial. Dari sudutpandang lingkungan fisik maka yang menjadi sorotan,kajian adalah pencemaran, perusakan, pengurasan, ter-hadap lingkungan dan sumber daya alam, sedangkan dariaspek lingkungan sosial dan gejala sosial maka yangmenjadi konsentrasinya adalah menurut Ray Darville6

“Masalah lingkungan tidak hanya berkonsentrasi danberkontribusi pada tingkat kesehatan fisik atau

6Ray Darville, The environment as A Social Issue dalam Analizing SocialProblem, New Jersey. Prentice Hall Inc.1997. Hal.1

Page 262: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.14

kematian seseorang saja, tetapi juga kesehatan mentaldan masalah-masalah emosional. Belum lagi karenabeban sejumlah pajak untuk menyelamatkanlingkungan dengan pemikiran bahwa anak cucu kitadi masa mendatang akan masih dapat mengecapkeindahan alam, minimal sama dengan yang ada dimasa kini.”

Dari aspek kepentingan yang dilindungi maka hukumlingkungan tidak hanya melindungi lingkungan alam sajaseperti bumi, air udara dan seisinya, termasuk di dalamnyaadalah makhluk hidup yang menghuninya, tetapi jugalingkungan sosial misalnya bagaimana upaya mencegahmasuknya pengaruh budaya asing ke Indonesia sebagaiakibat adanya globalisasi. Selanjutnya Andi hamzahmengemukakan,7 “bahwa masalah lingkungan berkaitanpula dengan gejala sosial seperti pertumbuhan penduduk,migrasi dan tingkah laku sosial dalam memproduksi,mengkonsumsi dan rekreasi”.

Dilihat dari fungsinya maka hukum lingkunganbertujuan untuk melindungi seluruh alam beserta isinyaseperti, bumi, air, dan udara serta makhluk hidup yang adadi dalamnya dari kepunahan, perusakan, pencemaran danpengurasan, dari tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab agar tercipta lingkungan hidup yang baik, sehat,aman, nyaman, dan indah. Untuk mendukung terciptanyatujuan tersebut maka diperlukan instrument hukum gunamelindungi, menyelesaikan permasalahan yang munculsehubungan adanya upaya untuk merusak tujuan tersebut.Instrument tersebut adalah hukum administrasi, hukum

7Op. Cit, Andi Hamzah, .hal.9

Page 263: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.15

pidana dan hukum perdata. Dilihat dari bentuk-bentukpelanggarannya juga sangat komplek dapat termasukpelanggaran terhadap hukum perdata, hukum administrasi,dan hukum pidana. Pelanggaran terhadap hukum perdataakan diselesaikan melalui sarana hukum perdata,pelanggaran terhadap hukum pidana akan diselesaikanmelalui sarana hukum pidana dan pelanggaran terhadaphukum administrasi akan diselesaikan melalui saranahukum administrasi. Oleh karena itu maka menurut AndiHamzah,8 “Hukum lingkungan merupakan hukumfungsional yang merupakan titik silang perlbagai bidanghukum klasik”.

Perbuatan pencemaran dan perusakan lingkunganhidup sebagaimana dijelaskan dalam Undang-UndangPengelolaan Lingkungan Hidup adalah merupakan tindakpidana lingkungan yang diatur dalam Bab IX Pasal 41 s.dPasal 48 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentangPengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu masih adaperbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan yangdiatur dalam tindak pidana khusus di luar KUHP dan diluar UU No. 23 Tahun 1997 yang menimbulkan dampaknegatif terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup danatau perlindungan kelestarian lingkungan hidup. Dengandemikian maka yang dimaksud dengan tindak pidanalingkungan hidup tidak hanya terbatas pada tindak pidanalingkungan hidup yang diatur dalam UU No. 23 tahun1997 tetapi juga termasuk beberapa tindak pidana yangmempunyai dampak terhadap lingkungan hidup yangdiatur dalam:

8Op.Cit, Andi Hamzah . hal. 11

Page 264: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.16

a. UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan Pasal 15ayat (1)(2)(3)

b. UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona EkonomiEkslusif Indonesia Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18

c. UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustriand. UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Pasal 25,

Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30e. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 40(1)(2)(3)(4)(5)

f. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanang. PP No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan air

Dilihat dari ruang lingkup tindak pidana sebagaimanadiatur oleh UU tersebut di atas maka dapat dilihatdemikian banyak jenis, macam kriminalitas yangbersangkut paut dengan upaya pelestarian lingkunganhidup dan atau perlindungan kelestarian lingkungan hidup,telah diatur secara rinci.

B. Beberapa Pandangan/Pemikiran UpayaPenanggulangan Tindak Pidana LingkunganHidup Dengan Hukum Pidana

Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup terjadihampir di seluruh wilayah Indonesia. Kondisi inimenempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara yangpaling tercemar di Asia. Bila ditelusuri penyebabterjadinya degradasi lingkungan di negeri ini maka akanterlihat dengan jelas bahwa penegakan hukum tidakberjalan. Mengapa demikian, karena sampai detik iniberbagai kasus besar di bidang pencemaran dan perusakan

Page 265: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.17

lingkungan belum dapat diselesaikan, menurut ICELpenyebabnya antara lain: 9

Pertama, Hukum belum dimuliakan sebagaipanglima dalam menyelesaikan kasus-kasus lingkungan hidup.

Kedua, Unsur-unsur yang terdapat dalampenegakan hukum pidana lingkungan yaituPolisi, Jaksa, Hakim, Pengacara belummemiliki visi dan misi yang seirama didalam menegakan hukum lingkungan.

Ketiga, Ketrampilan pengacara, masyarakat, polisi,aparatur lembaga pengelolaan lingkunganhidup, jaksa dan pengadilan sangatterbatas, koordinasi dan kesamaan persepsidiantara penegak hukum tidak memadai,tidak ada perencanaan yang sistematis danjangka panjang dalam melaksanakanpenegakkan hukum, dan kurangnyaintegritas dari penegak hukum yang dapatmempengaruhi proses penegakkan hukum.

Keempat, - Pengawasan dan penegakan hukumtidak terencana, reaktif danimprovisatoris.

- proses pengumpulan bahan keteranganpenyidikan dan penuntutuan dilakukanoleh instansi yang berbeda-beda dengankesenjangan pemahaman antarapenegak hukum yang berasal dari

9Mas Akhmad Santosa, Strategi Terintegrasi Penataan dan Penegakan HukumLingkungan. Jakarta ICEL Tahun 2003 Hal. 2 dan 7

Page 266: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.18

berbagai instansi, dan dengankoordinasi yang sangat lemah.

- Belum meratanya pengetahuan danpemahaman hakim dalam menaganikasus-kasus sumber daya alam danfungsi lingkungan hidup, terlebih pem-bangunan berkelanjutan secara lebihluas. Kesenjangan pengetahuan danpemahaman para hakim diperburukdengan tidak dikenalinya hakim ad hocuntuk mengatasi keawaman hakim dibidang lingkungan dan sumber dayaalam.

- Masih rendahnya integritas parapenegak hukum (aparat pemerintah,polisi, jaksa dan hakim) yangmengancam indepedensi danprofesionalisme mereka.

Menurut Barry Stuart 10Pelanggaran terhadap hukumlingkungan bervariasi mulai dari pelanggaran peraturanyang kecil dan bersifat teknis sampai ke kejahatan yangserius yang membahayakan masyarakat dan kesehatanmanusia. Untuk mengatasi kejahatan lingkungan yangsangat serius tersebut diperlukan penegakan hukum danpemberian pidana yang setimpal untuk mencapaiterciptanya upaya penangkalan yang bersifat umummaupun khusus. Pemberian pidana yang setimpal sehinggamemberikan efek mencegah adalah sangat penting bagai

10Barry Stuart. Penindakan Pelanggaran hukum Lingkungan Prosidinglokakarya, Kantor Menteri Negara kependudukan dan lingkungan Hidup Bekerjasamadengan Environmental Management Development In Indonesia, Februari 1991 Hal. 41

Page 267: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.19

keberhasilan dalam mengelola dan melindungi lingkunganhidup.

Selanjutnya menurut Barry Stuart, perlunyapembalasan dan pemidanaan dalam kasuspelanggaran/kejahatan lingkungan bersumber pada duaprinsip dasar: 11

a. pencemar harus membayar (the polluter payprinciple). Pidana yang dijatuhkan tidak bolehdianggap sebagai biaya dalam melakukan kegiatanusaha. Untuk memastikan pertanggung jawabansepenuhnya dalam kasus pelanggaran lingkungan,pidana yang diberikan harus memperhatikankepentingan korban langsung yang menderitakerugian sebagai akibat dari pelanggaran tersebutmaupun kepentingan orang banyak.

b. pendidikan masyarakat (Public Education).Pidana yang diberikan harus dengan jelasmengungkapkan bahwa pelanggaran/ kejahatanlingkungan adalah perbuatan yang tercela, dankarenanya pidana yang diberikan adalahpenegasan dari nilai yang ada dalam masyarakatyang berkenaan dengan perlindungan lingkunganhidup. Pemidanaan dapat meningkatkan kesadarandan pemahaman masyarakat akan pentingnyamemiliki lingkungan hidup yang sehat.

UU Kekuasaan Kehakiman telah memberikanpeluang kepada aparat penegak hukum untuk secara bebasmenggali hukum, menciptakan hukum, yang berdasarkanhukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat,tentu saja masyarakat moderen yang saat ini sedang

11Ibid. Hal. 42

Page 268: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.20

berkembang. Tetapi tampaknya hal itu tidak pernahdilakukan. Sebagai contoh penggunaan hukum pidanadalam penyelesaian kasus di bidang lingkungan terhambatoleh sejumlah asas dan doktrin yang sudah ketinggalanjaman. Sehubungan dengan penggunaan sanksi pidanadalam penyelesaian kasus lingkungan hidup, AmerikaSerikat sebagai negara termaju di dunia telahmemanfaatkan sanksi pidana dalam penyelesaian masalahlingkungan hidup secara maksimal, hal ini dapat dilihatdari upaya-upaya yang telah dilakukan oleh NegaraAdidaya tersebut sebagaimana dikemukakan olehHarkristuti Harkrisnowo12

1. The independent use the criminal sanctionPenggunaan sanksi pidana yang secara langsungmelarang kegiatan pencemaran lingkungan, yaknidengan merumuskan bahwa melakukan kegiatanyang terus menerus mencemarkan air, udara, dantanah merupakan suatu tindak pidana

2. The dependent-direct use of the criminal sanctionPemanfaatan sanksi pidana terbatas, yakni denganmenetapkan ambang batas zat polutan yang dapatdikeluarkan oleh suatu perusahaan dalammelaksanakan kegiatannya. Pelanggaran terhadapambang batas inilah yang dirumuskan sebagaitindak pidana.

3. The dependent – indirect approach of the criminalsanction

12Harkristuti Harkrisnowo, Beberapa Masalah Mendasar Dalam HukumLingkungan, Makalah Dalam Seminar Nasional Perlindungan Lingkungan HidupDalam Perspektif Yuridis dan sosiologis, Jakarta, Yayasan masumoto Jepang Tahun1996. Hal. 8

Page 269: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.21

Pendekatan ini mereservasi sanksi pidana bagiperusahaan yang tidak memenuhi standar yangtelah ditentukan

4. The preventive use of the criminal sanctionHukum yang digunakan dalam hal ini menentukanlangkah-langkah preventif apa saja yang harusdilakukan oleh suatu perusahaan untukmelindungi lingkungan (misalnya menyaringlimbah cair, menempatkan saringan udarasebelum asap dikeluarkan dan lain-lain) apabilalangkah ini tidak dilakukan maka akan sanksipidana akan dijatuhkan.

Menurut Barry Stuart pemberian pidana yang layakyang mencerminkan rasa keadilan masyarakat mempunyaiperan yang strategis dalam upaya penanggulanganlingkungan hidup yaitu sebagai berikut: 13

1. Mendidik masyarakat dan pelanggar tentangakibat pencemaran bagi lingkungan

2. Menguatkan nilai dalam masyarakat terhadapperlindungan lingkungan

3. Pencapaian pencegahan/penangkalan khusus danumum

4. Menguatkan kembali tujuan dari instansilingkungan

5. Memberikan ganti rugi kepada korbanpencemaran.

13Op.Cit, Barry Stuart, Hal. 65

Page 270: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.22

Penegakan hukum pidana lingkungan yaitu suatutindakan/ upaya yang dilakukan aparat penegak hukumdimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, danpenjatuhan sanksi pidana oleh hakim. Sedang yangdimaksud dengan tindak pidana lingkungan hidup adalahsemua tindak pidana yang diatur dalam Bab. XV (Pasal98sampai dengan Pasal 115) UU No. 32 Tahun 2009(Undang-Undang Perlindungan dan PengelolaanLingkungan Hidup) dan tindak pidana umum lainnya diluar KUHP dan di luar UU No. 32 Tahun 2009 yangmenimbulkan dampak negatif terhadap upaya pelestarianlingkungan hidup dan atau perlindungan lingkunganhidup.

Dengan demikian yang dimaksud dengan tindakpidana lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada tindakpidana lingkungan hidup yang diatur dalam UU No. 23Tahun 1997Jo UU No. 32 Tahun 2009 (Undang-UndangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) tetapijuga termasuk beberapa tindak pidana yang mempunyaidampak terhadap lingkungan hidup yang diatur dalam:

1. UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan2. UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi

Ekslusif Indonesia3. UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian4. UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan5. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Koservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.6. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.7. PP No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan

Air.8. PP No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai.

Page 271: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.23

Selama ini perhatian, pemahaman, dan pengetahuanaparat penyidik, penuntut dan hakim hanya terfokus padaUU No. 23 Tahun 1997JoUU No. 32 Tahun 2009(Undang-Undang Perlindungan dan PengelolaanLingkungan Hidup) saja, padahal permasalahanlingkungan bersifat kompleks, meliputi berbagai aspek,seperti air, udara, tanah, hutan, makhluk hidup, yangbersifat lintas batas dan lintas sektoral. Oleh karena itudalam menangani berkas penyidikan tindak pidanalingkungan hidup, perhatian aparat penegak hukum sepertipolisi yang bertugas menyidik, jaksa yang bertugas dalampra penuntutan dan jaksa penuntut umum jangan hanyaterfokus pada tindak pidana yang diatur dalam UU No. 23Tahun 1997JoUU No. 32 Tahun 2009 (Undang-UndangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) sajatetapi harus memperhatikan pula dengan seksama apakahperbuatan-perbuatan pidana yang diungkapkan dalamberkas perkara juga memenuhi unsur-unsur pasal-pasalpidana di dalam delapan ketentuan perundang-undangantersebut di atas yang juga mengatur tindak pidana umumlain yang dapat mengancam, mengganggu ataumenghambat upaya pelestarian atau perlindungankelestarian lingkungan hidup.14

Penegakan hukum lingkungan dengan menggunakansarana hukum pidana jarang sekali digunakan. Hal inidisebabkan antara lain, adanya asas subsidiaritassebagaimana dimuat dalam penjelasan umum UU No. 23Tahun 1997JoUU No. 32 Tahun 2009 (Undang-UndangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) sebagaiberikut: Sebagai penunjang hukum administrasi,

14Kejaksaan Agung RI dan KLH, Pedoman Teknis Yustisial Penanganan PerkaraTindak Pidana Lingkungan Hidup, 2003 Hal. 5

Page 272: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.24

berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikanasas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknyadidayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain sepertisanksi administrasi dan sanksi perdata dan alternatifpenyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektifdan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atauakibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannyamenimbulkan keresahan masyarakat (Penjelasan UU No.23 Tahun 1997UU No. 23 Tahun 1997JoUU No. 32Tahun 2009 (Undang-Undang Perlindungan danPengelolaan Lingkungan Hidup).

Atau dengan kata lain penggunaan instrumenpenegakan hukum pidana lingkungan hidup baru dapatdilakukan bila memenuhi minimal salah satu persyaratanberikut:

1. Sanksi hukum tata usaha negara, sanksi hukumperdata, penyelesaian sengketa secara alternatifmelalui negosiasi/ mediasi/musyawarah di luarpengadilan, setelah diupayakan tidak efektif ataudiperkirakan tidak akan efektif;

2. Tingkat kesalahan pelaku terlalu berat;3. Akibat perbuatan pelaku pelanggaran relatif besar;4. Perbuatan pelaku pelanggaran ketentuan

perundang-undangan lingkungan hidup tersebutmenimbulkan keresahan masyarakat.

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 273: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.25

1) Perbuatan-perbuatan apasajakah yangdiklasifikasikan sebagai tindak pidana lingkungan?

2) Apa yang menjadi tujuan di bentuknya hukumlingkungan?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Dalam Undang-Undang Pengelolaan LingkunganHidup telah diatur perbuatan yang dianggapsebagai tindak pidana (kejahatan) antara lainPerbuatan pencemaran lingkungan hidup danPerbuatan perusakan lingkungan hidup.

2) Hukum lingkungan bertujuan untuk melindungiseluruh alam beserta isinya seperti, bumi, air, danudara serta makhluk hidup yang ada di dalamnyadari kepunahan, perusakan, pencemaran danpengurasan, dari tangan-tangan yang tidakbertanggung jawab agar tercipta lingkungan hidupyang baik, sehat, aman, nyaman, dan indah.

1. Terabaikannya masalah lingkungan inidisebabkan belum sempurnanya penangananlingkungan hidup oleh berbagai departementerkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup,Departemen Perdagangan, Perindustrian,Kehutanan, Pertambangan. Masing-masingsektor diatur dengan undang-undang sektoral

RANGKUMAN

Page 274: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.26

sendiri, dan masing-masing sektor mempunyaiinterpretasi yang berbeda dalam menanganipermasalahan lingkungan.

2. Dalam Undang-Undang Pengelolaan LingkunganHidup telah diatur perbuatan yang dianggapsebagai tindak pidana (kejahatan) antara lainPerbuatan pencemaran lingkungan hidup danPerbuatan perusakan lingkungan hidup.

3. Tindak pidana lingkungan hidup tidak hanyaterbatas pada tindak pidana lingkungan hidupyang diatur dalam UU No. 23 tahun 1997 tetapijuga termasuk beberapa tindak pidana yangmempunyai dampak terhadap lingkungan hidupyang diatur dalam:a. UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan

Pasal 15 ayat (1)(2)(3)b. UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi

Ekslusif Indonesia Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18c. UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustriand. UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Pasal

25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal30

e. UU No. 5 Tahun 1990 tentang KonservasiSumber Daya Alam Hayati dan EkosistemnyaPasal 40 (1)(2)(3)(4)(5)

f. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanang. PP No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan

air.

Page 275: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.27

4. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh NegaraAdidaya sebagaimana dikemukakan olehHarkristuti Harkrisnowo yakni sebagai berikutThe independent use the criminal sanction; Thedependent-direct use of the criminal sanction;The dependent – indirect approach of thecriminal sanction; The preventive use of thecriminal sanction

1. Ketentuan Perundang-Undangan di Indonesia telahmemberikan perlindungan terhadap hutan lindungyakni di larangnya melakukan kegiatanpertambangan di hutan lindung. Hal tersebut diaturdalam ..A. UU No 41 Tahun 2002B. UU No 41 Tahun 2001C. UU No 41 Tahun 2000D. UU No 41 Tahun 1999

2. Hukum lingkungan merupakan hukum fungsionalyang merupakan titik silang perlbagai bidanghukum klasik. Hal tersebut dikemukakan oleh ahlipidana yang bernama …A. Lilik MulyadiB. Andi HamzahC. Barda Nawawi AriefD. Muladi

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 276: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.28

3. Berikut ini merupakan unsur-unsur yang perludipenuhi oleh perusahaan yang terkena Peringkathitam dan dapat di jatuhkan sanksi baik pidanamaupun sanksi administrasi. Kecuali ….A. Perusahaan tidak mempunyai IPALB. Perusahaan tidak melakukan pengolahan air

limbahC. Air limbah > 500% dari BMAL (izin)D. Memiliki AMDAL

4. Di bawah ini yang merupakan unsur-unsurperbuatan perusakan lingkungan hidup yaitu:A. Adanya suatu tindakan manusiaB. Kegiatan yang menimbulkan perubahan

terhadap sifat fisik dan/ atau hayati lingkunganC. Mengakibatkan lingkungan hidup tidak

berfungsi lagi dalam menunjang pembangunanberkelanjutan

D. Semua Jawaban Benar

5. Penegakan hukum pidana lingkungan yaitu suatu tindakan/upaya yang dilakukan aparat penegak hukum dimulai daripenyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penjatuhan sanksipidana oleh hakim. Hal tersebut merupakan pengertian dari ...A. Tindak Pidana Lingkungan HidupB. Tindak Pidana LingkunganC. Penegakan hukum pidana lingkunganD. Penegakan hukum lingkungan

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci JawabanTes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini.Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus

Page 277: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.29

berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Andaterhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baiksekali

80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih,Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2.Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangimateri Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belumdikuasai.

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 278: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.30

Kegiatan Belajar 2Pertanggungjawaban Tindak Pidana Lingkungan

1. Kebijakan Formulasi Pertanggung JawabanPidana Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun1997 JoUndang-Undang No. 32 Tahun 2009Tentang Perlindungan dan PengelolaanLingkungan Hidup.

Azas pertanggungjawaban dalam hukum pidanaadalah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen strafzonder schuld; actus non facitreum nisi mensit rea). Azasini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukumyang tidak tertulis, demikian juga yang berlaku diIndonesia.15 Bicara masalah pertanggungjawaban pidana,tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun didalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalahpertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanyamenunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan.16

Tindak pidana tidak berdiri sendiri, ia baru bermaknamanakala terdapat pertanggungjawaban pidana, ini berartisetiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengansendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus adapertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidanalahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yangobyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagaitindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku,dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi

15Op.Cit. Moelyatno,2000 hal. 153.16Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung, Penerbit CV Utomo Tahun 2004 Hal. 30

Page 279: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.31

persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatantersebut.17

Pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalahditeruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindakpidana dan secara subyektif kepada seseorang yangmemenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karenaperbuatan tersebut.18 Dasar adanya tindak pidana adalahadanya azas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananyapembuat adalah azas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuattindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyaikesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapanseseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan halyang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktumelakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatania dapat dicela oleh karena perbuatan tersebut.19

Hal yang sama dikatakan oleh Sudarto,

“dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orangitu telah melakukan perbuatan yang bertentangandengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadimeskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusandelik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan,namun hal tersebut belum memenuhi syarat untukpenjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perluadanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemi-danaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yangmelakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan ataubersalah. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus

17Penjelasan Pasal 31 RUU KUHP Tahun 1999-2000 Hal. 2118Ibid Hal. 1419Ibid.Hal. 22

Page 280: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.32

dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya ataujika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannyabaru dapat dipertanggungjawabkan kepada orangtersebut.20

Dari berbagai penjelasan mengenaipertanggungjawaban pidana, maka dapat diambilkesimpulan bahwa pertanggungjawaban pidana yangdianut hukum pidana Indonesia adalah berdasarkan azaskasalahan (azas cupabilitas). Karena KUHP adalah dasarbagi berlakunya hukum pidana di Indonesia, maka semuaasas/ketentuan yang berlaku dalam KUHP secara otomatisjuga berlaku bagi seluruh peraturan pidana yang ada diluar KUHP. Salah satu peraturan yang mengandung aspekpidana adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 JoUndang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sistempertanggungjawaban pidananya otomatis berdasarkan azaskesalahan (azas culpabilitas). Hal ini dapat dilihat padaperumusan tindak pidana, semua mencantumkan unsursengaja atau kealpaan/kalalaian. Dengan tercantumnyaunsur sengaja atau kealpaan, maka dapat dikatakan bahwapertanggungjawaban pidana dalam undang-undanglingkungan ini menganut prinsip liability based on fault(pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan). Jadi Padaprinsipnya menganut asas kesalahan atau asasculpabilitas.21

20Sudarto, Hukum Pidana I semarang Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FHUndip 1987/1988, Hal. 85

21Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan KebijakanPenanggulangan Kejahatan, Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Tahun 2001,Hal. 107-108

Page 281: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.33

Perumusan tindak pidana dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No 32 Tahun 2009tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidupselalu diawali dengan kata-kata “Barang siapa” yangmenunjuk pada pengertian “orang”. Namun dalam Pasal 1sub-24 ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan “orang”adalah “perseorangan, dan/atau kelompok orang dan/ataubadan hukum”. Demikian pula dalam Bab XV tentangketentuan pidana, ada pasal yang mengatur tentangpertanggungjawaban badan hukum, perseroan,perserikatan, yayasan atau oraganisasi lain (lihat Pasal 116sampai denganPasal 119). Dengan demikian, dapatdisimpulkan bahwa orang dan korporasi (badan hukumdan sebagainya) dapat menjadi subjek tindak pidanalingkungan hidup dan dapat dipertanggungjawabkansecara pidana atas perbuatannya.

Pasal 116 sampai dengan 117Undang-Undang No. 23Tahun 1997 Jo Undang-Undang No 32 Tahun 2009tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,menyebutkan bahwa:

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Babini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain,ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.

Mengingat korporasi tidak dapat dijatuhihukuman badan, tetapi mempunyai sumberdayamanusia dan sumberdaya keuangan yang luar biasamaka untuk penjatuhan ancaman pidana denda yanghanya diperberat dengan sepertiga terlalu ringan,kedepan seharusnya bagi korporasi yang melakukan

Page 282: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.34

tindak pidana lingkungan ancaman pidana dendadiperberat menjadi dua kali lipat.

Selanjutnya menurut Pasal 46 Undang-UndangNomor 23 Tahun 1997 pertanggungjawaban pidana(penuntutan dan pemidanaan) dapat dikenakan terhadap:

1. Badan hukum, Perseroan, Perserikatan,Yayasanatau organisasi lain tersebut;

2. Mereka yang memberi perintah untuk melakukantindak pidana atau yang bertindak sebagaipemimpin; atau

3. Kedua-duanya.22

Masalah pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 diatur dalam Pasal 45 danPasal 46 yang merupakan rumusan kejahatan korporasisebagaimana diatur dalam Pasal 51 KUHP Belanda.Korporasi sebagai legal person merupakan subyek hukumyang dapat dipidana berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997.Perkembangan ini merupakan suatu perubahan paradigmadalam hukum pidana yang pada awalnya menganut prinsipbahwa badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidanaoleh karenanya tidak dapat dihukum (societas delinnquerenon potest).

Namun demikian sejalan dengan perkembangankegiatan ekonomi di belahan dunia, gejala kriminalitasmerupakan suatu kelanjutan dari kegiatan danpertumbuhan ekonomi dimana korporasi banyak berperandalam mendukung atau memperlancar kejahatan tersebut.Karena perkembangan dan pertumbuhan korporasi

22Loc.Cit

Page 283: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.35

dampaknya dapat menimbulkan efek negatif, makakedudukan korporasi mulai bergeser dari subyek hukumperdata menjadi subyek hukum pidana.23

Subyek tindak pidana yang dapat dikatagorikansebagai korporasi terdiri :

1. Setiap orang yang diangkat sebagai pengurus yangmemiliki kewenangan mengambil keputusan atasnama korporasi atau mewakili korporasi untukmelakukan perbuatan hukum atau memilikikewenangan untuk mengendalikan dan/ataumengawasi korporasi.

2. Setiap orang yang bertindak atas nama korporasidan orang-orang baik berdasarkan hubungan kerjamaupun berdasar hubungan lain, yang bertindakdalam lingkungan korporasi.

3. Mereka yang bertindak sebagai pemimpin atauyang memberi perintah, tanpa harus melihat apakahdi antara mereka ada hubungan kerja atauhubungan lain.

4. Orang-orang yang berkepentingan terhadappengelolaan korporasi.

5. Orang-orang yang memberikan nasihat kepadaDirektur atau anggota, yang dalam perjalanankinerjanya memiliki kapasitas profesional.

6. Orang yang mempunyai peran nyata/sebenarnyadalam proses korporasi dan bukan hanya posisiyang diduduki orang tersebut di dalam strukturkorporasi.

23Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggung jawaban Korporasi Dalam HukumPidana, Bandung, STIH, 1991, Hal. 22-41)

Page 284: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.36

7. Orang-orang yang ada di luar korporasi yangmemiliki wewenang untuk mengendalikan masalahtertentu dalam korporasi.

8. Pengambil keputusan yang mempengaruhiperusahaan korporasi sebagai keseluruhan, merekayang bertanggungjawab bukan harus bagian daridewan direktur dan tak harus pejabat eksekutif.

9. Pimpinan senior, pimpinan menengah ataukaryawan bawahan yang sudah didelegasikandengan tanggungjawab sepenuhnya.

10. Mereka yang punya kewenangan mengendalikankorporasi dalam hubungannya dengan perilakukriminal, atau dengan perbuatan korporasi yangtidak sah.

11. Mereka inilah yang harus dapat dipertanggungjawabkan baik atas nama badan hukum/korporasimaupun atas nama pribadi/individu.

2. Pertanggungjawaban pidana korporasi/badanhukum Yang Melakukan Tindak PidanaLingkungan

Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dewasa inisudah tidak ada permasalahan lagi, sebab peraturanperundang-undangan yang ada di Indonesia sudahmengatur hal tersebut. Salah satunya dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 pada Pasal 45 dan Pasal 46 JoUndang-Undang No 32 Tahun 2009 pada Pasal 118,mengatur mengenai badan hukum dapat dimintaipertanggungjawaban pidana atas perbuatan yangdilakukan. Tetapi memang tidak semua undang-undang dibidang lingkungan mengatur mengenaipertanggungjawaban pidana oleh badan hukum, salah

Page 285: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.37

satunya dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun1983 tentang ZEEI, dimana dalam undang-undang initidak ditemui istilah badan hukum, organisasi, yayasanatau sejenisnya, baik dalam batang tubuh maupun dalampenjelasan, sehingga dapat disimpulkan bahwa UU No. 5Tahun 1983 Tentang ZEEI tidak mengenalpertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh badanhukum,dan hanya mengenal pertanggungjawaban terhadaporang. Padahal kejahatan yang dilakukan di kawasan ZEEImeskipun tidak semua tapi pada umumnya dilakukan olehsuatu organisasi yang berbadan hukum, jadi subyek pelakutindak pidana adalah badan hukum, oleh karena itu kedepan kata-kata “setiap orang“ harus dijelaskan termasukdi dalamnya adalah badan hukum atau korporasi. Lebihbaik lagi apabila korporasi/badan hukum diatur dalamrumusan pasal tersendiri, sehingga kejahatan yang terjadidi wilayah ZEEI yang pada umumnya dilakukan olehkorporasi dan menimbulkan kerugian negara yang besardapat diselesaikan.

Berikutnya di dalam Pasal 4 PP No. 18 Tahun 1999tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya danBeracun disebutkan bahwa subyek dari tindak pidanaselain orang juga disebutkan badan usaha yang dapatdilihat dari kata-kata ”setiap orang atau badan usaha yangmelakukan kegiatan penyimpanan”dan seterusnya, karenabadan usaha menjadi subyek tindak pidana otomatis PP inijuga mengenal pertanggungjawaban pidana korporasi,karena Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 sebagairujukannya mengenal pertanggungjawaban pidanakorporasi yang diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46 JoUndang-Undang No 32 Tahun 2009 Pada Pasal 118,

Page 286: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.38

dimana korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya dalam tindak pidana lingkungan hidup.

Selanjutnya mencermati rumusan norma dalam PPNo. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian PencemaranUdara, Pasal 21, Pasal 22 (1), Pasal 23, Pasal 24 (1), Pasal25, Pasal 30, Pasal 39, Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 50,mengenal adanya subyek tindak pidana orang dan badanusaha/korporasi. Hal ini antara lain dapat dilihat dalamkata-kata, “setiap orang atau penanggung jawab usahadan/atau kegiatan wajib” (Pasal 50 ayat 1). Kata-katasetiap orang dan/atau penanggungjawab usaha menunjukpada orang dan badan usaha/korporasi, berarti PP inimengenal pertanggungjawaban terhadap orang danterhadap badan usaha.

Untuk adanya pertanggungjawaban pidana terhadaporang dan badan hukum ini menurut, Barda Nawawi Arief,

Harus dipastikan terlebih dahulu siapa yangdinyatakan sebagai pembuat karena dalamkenyataannya untuk memastikan siapa si pembuatadalah tidak mudah setelah pembuat ditentukan,bagaimana selanjutnya mengenaipertanggungjawaban pidananya. Masalahpertanggungjawaban pidana ini merupakan segi laindari subjek tindak pidana yang dapat dibedakan darimasalah si pembuat (yang melakukan tindak pidana).Artinya pengertian subjek tindak pidana dapatmeliputi 2 hal yaitu siapa yang melakukan tindakpidana (si pembuat) dan siapa yang dapat dipertang-gungjawabkan. Pada umumnya yang dapatdipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah sipembuat, tapi tidaklah selalu demikian. Masalah ini

Page 287: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.39

tergantung juga pada cara atau sistem perumusanpertanggungjawaban yang ditempuh oleh pembuatundang-undang.24

Berdasarkan uraian di atas yang menyangkutpermasalahan pertanggungjawaban pidana, ternyatakonstruksi yuridis dari semua literatur, tentangpertanggungjawaban pidana berorientasi kepadamanusia/orang. Hal tersebut dapat dimengerti sebab idetentang konstruksi pertanggungjawaban pidanaberdasarkan ketentuan KUHP. KUHP yang sekarangberlaku berorientasi kepada subjek tindak pidana berupaorang dan bukan korporasi. Pertanyaan yang mendasaradalah apakah korporasi dapat dikatakan cacat jiwanyasehingga tidak mampu bertanggungjawab. MenurutDwidja Priyatno untuk menentukan kemampuan ber-tanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana,hal tersebut tidaklah mudah karena korporasi sebagaisubjek tindak pidana tidak memiliki sifat kejiwaan sepertihalnya manusia alamiah. Konstruksi tersebut berlaku pulabagaimanakah kalau yang melakukan suatu korporasi ataubadan hukum tanpa spesifikasi yang jelas atau identitasyang jelas, maka masalah kesulitan siapa pembuatnyaakan selalu timbul dan masalah ini membawa konsekuensitentang masalah pertanggungjawaban korporasi.25

Berkaitan dengan dapatnya korporasi sebagai subyekhukum pidana Mardjono Reksodiputro berpendapat,

24Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana,Bandung, Alumni, Tahun 1998 Hal. 140,141

25Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem PertanggungjawabanPidana Korporasi di Indonesia, Bandung, CV Utomo, Tahun 2004, Hal. 51

Page 288: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.40

Sehubungan dengan diterimanya korporasisebagai subjek tindak pidana, maka hal ini berartitelah terjadi perluasan dari pengertian siapa yangmerupakan pelaku tindak pidana. Pemasalahan yangsegera muncul adalah sehubungan denganpertanggungjawaban pidana asas utama dalampertanggungjawaban pidana adalah harus adanyakesalahan pada pelaku. Bagaimanakah harusdikonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi?Ajaran yang banyak dianut sekarang ini memisahkanantara perbuatan yang melawan hukum (menuruthukum pidana) dengan pertanggungjawabannyamenurut hukum pidana. Perbuatan melawan hukumini dilakukan oleh suatu korporasi. Ini sekarang telahdimungkinkan. Tetapi bagaiman mempertimbangkantentang pertanggungjawabannya? Dapatkahdibayangkan pada korporasi terdapat unsur kesalahan(baik kesengajaan maupun kelalaian). Dalam keadaanpelaku adalah manusia, maka kesalahan ini dikaitkandengan celaan dan karena itu berhubungan denganmentalitas atau psyche pelaku bagaimana halnyadengan pelaku yang bukan manusia yang dalam halini korporasi?

Dalam kenyataan diketahui bahwa korporasiberbuat atau bertindak melalui manusia (yang dapatpengurus maupun orang lain). Jadi pertanyaan yangpertama adalah, bagaimana konstruksi hukumnyabahwa perbuatan pengurus (orang lain) dapat dinyata-kan sebagai perbuatan korporasi yang melawanhukum (menurut hukum pidana). Dan pertanyaankedua adalah bagaiman kontruksi hukumnya bahwapelaku korporasi dapat dinyatakan mempuyai

Page 289: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.41

kesalahan dan karena itu dipertanggungjawabkanmenurut hukum pidana. Pertanyaan kedua menjadilebih sulit apabila dipahami bahwa hukum pidanaIndonesia mempunyai asas yang sangat mendasaryaitu bahwa“ tidak dapat diberikan pidana apabilatidak ada kesalahan”.26

Adapun model pertanggungjawaban korporasi dalamhukum pidana adalah sebagai berikut:

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat danpenguruslah yang beranggungjawab

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurusbertanggungjawab

c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yangbertanggungjawab.27

Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 31 Tahun2004 tentang Perikanan, ketentuan mengenaidimungkinkannya korporasi sebagai pelaku tindak pidanadan dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannyatercantum dalam Pasal 101 sebagai berikut:

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksuddalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87,Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal93, Pasal 94, Pasal 95 dan Pasal 96 dilakukan olehkorporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkanterhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

26Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan,Kumpulan Karangan Buku Ke Satu (Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan danPengabdian Hukum UI, Tahun 1994 Hal.101,102.

27Ibid Hal. 72

Page 290: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.42

Bila diamati Pasal 101 maka hanya terhadappengurus korporasi saja yang dapat dimintakanpertanggung jawaban pidana dan dijatuhi sanksi,sedangkan terhadap badan hukum, perseroan, per-serikatan, yayasan atau organisasi lain, mereka yangmemberi perintah untuk melakukan tidak pidana atauyang bertindak sebagai pemimpin atau kedua-duanyatidak dapat dimintakan pertanggung jawaban ataskesalahannya. Karena pengurus di sini belum tentusebagai orang yang memberi perintah untukmelakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagaipemimpin atau kedua-duanya bertindak sebagai yangmemberi perintah dan juga sebagai pemimpin. Hal inidapat dibenarkan kalau seandainya Undang-UndangNo. 23 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No 32 Tahun2009 tentang Perlindungan dan PengelolaanLingkungan Hidup berperan sebagai undang-undangpayung, karena di sini berarti penyebutanpengurussaja merupakan kekhususan dalam UUPerikanan, sedangkan secara umumnya sudah diaturdalam UU Pokoknya/payungnya yaitu UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan LingkunganHidup Pasal 46 Jo Undang-Undang No 32 Tahun2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaanlingkungan Hidup Pasal 188 yang menyatakan bahwapertanggung jawaban dapat dikenakan terhadap:1. Badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan

atau organisasi lain tersebut2. Mereka yang memberi perintah untuk melakukan

tindak pidana atau yang bertindak sebagaipemimpin, atau

3. Kedua-duanya.

Page 291: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.43

3. Kebijakan Formulasi Perumusan Sanksi PidanaDalam Undang- Undang No. 23 Tahun 1997 JoUndang-Undang No 32 Tahun 2009

a) Jenis sanksi

Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Undang-UndangNo. 23 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No 32 Tahun 2009tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidupmengenal 2 (dua) jenis sanksi, yang dapat dikenakanterhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup yaitu:(i) Sanksi pidana

Jenis sanksi pidana yang digunakan hanya pidanapokok berupa pidana penjara dan denda, tidakdicantumkannya pidana kurungan pembentuk undang-undang menganggap bahwa semua tindak pidanalingkungan hidup yang ada dalam Undang-Undang No. 23Tahun 1997 Jo Undang-Undang No 32 Tahun 2009tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidupdikualifikasikan sebagai kejahatan. Untuk masalah iniBarda Nawawi Arief mengingatkan bahwa menurut polayang dianut selama ini (di dalam/di luar KUHP) bisa sajasuatu kejahatan diancam dengan pidana kurungan.28

Penulis setuju dengan pendapat Barda Nawawi Arief,bahwa pidana kurungan patut dipertimbangkan untukdimasukkan dalam Undang-Undang ini, apalagi ke depandiharapkan bahwa pelanggaran administratif di bidanglingkungan patut dikriminalisasi, oleh karena itu untukmengantisipasi permasalahan ini pidana kurungan harusdipertimbangkan.

28Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggu-langan kejahatan, Bandung, Penerbit PT Citra Adytia Bakti, 2001, Hal.110

Page 292: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.44

(ii) Sanksi tindakan tata tertibPasal 47 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Jo Pasal 119Undang-Undang No 32 Tahun 2009 menyebutkan:

Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksuddalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkunganhidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:

a) perampasan keuntungan yang diperoleh daritindak pidana dan/atau

b) penutupan seluruhnya atau sebagianperusahaan;dan/atau

c) perbaikan akibat tindak pidana;dan/ataud) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan

tanpa hak; dan/ ataue) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak;

dan/atauf) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan

paling lama 3 (tiga) tahun.

Dari kedua jenis sanksi tesebut di atas yaitu sanksipidana dan tindakan tata tertib, terlihat bahwa Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No 32Tahun 2009 tentang Perlindungan dan PengelolaanLingkungan Hidup tidak menyebut adanya pidanatambahan.

Namun menurut Barda Nawawi Arief,

Bentuk tindakan berupa “perampasankeuntungan” dan “penutupan perusahaan” (Pasal 47sub a dan sub b di atas) pada hakikatnya dapatdikelompokkan ke dalam pidana tambahan.“Perampasan keuntungan” pada hakikatnya

Page 293: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.45

merupakan perluasan dan “perampasan barang” yangmerupakan salah satu pidana tambahan menurutKUHP. Demikian pula penutupan perusahaan padahakikatnya merupakan perluasan dari pidanatambahan berupa “pencabutan hak“ karena penutupanperusahaan dapat mengandung di dalamnyapencabutan hak/izin berusaha.29

Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief,

Satu hal lagi yang patut dicatat dari jenis-jenissanksi tersebut di atas ialah, bahwa di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan PengelolaanLingkungan Hidup tidak ada perumusan eksplisitmengenai jenis sanksi pidana/tindakan yang berupa“pemberian ganti rugi” langsung kepada korban.Namun bentuk-bentuk tindakan dalam Pasal 47 UUNo 23 Tahun 2007 Jo Pasal 199 UU No 32 Tahun2009 sub c, sub d dan sub e di atas dapat dikatakanmerupakan bentuk-bentuk pemberian “restitusi”.30

Menanggapi ketersediaan tindakan tata tertib yangada dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1997 Jo Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan danPengelolaan Lingkungan Hidup, menurut penulis perluadanya penambahan bentuk-bentuk tindakan, mengingatditetapkannya pidana diharapkan dapat menunjangtercapainya tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan dalamUndang-Undang No. 23 Tahun 1997 Jo Undang-UndangNo 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

29Ibid, Hal. 110-11130Loc.Cit

Page 294: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.46

Lingkungan Hidup antara lain agar pelaku jera,masyarakat sebagai korban terlindungi, lingkungan yangmenjadi korban tindak pidana dapat dipulihkan. Olehkarena itu perlu dipilih tindakan yang sesuai dengan sifathakiki dari suatu kejahatan yang akan diberantas, denganmenyusun strategi pidana yang tepat.

Selain tindakan yang sudah disebutkan dalam Pasal119Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan danPengelolaan Lingkungan Hidup di atas maka perluditambahkan jenis tindakan yang disesuaikan denganAturan Standar Minimum yang diterima oleh MajelisUmum PBB dalam Resolusi 45/110 tertanggal 4Desember 1990. Tindakan-tindakan non custodial yangdapat diberikan antara lain:

Sanksi lisan (verbal sanction) seperti admonition(teguran/ nasihat baik) reprimand (tegurankeras/pencercaan) dan warning (peringatan). Sanksi inisangat penting mengingat ke depan dalam undang-undanglingkungan yang baru pelanggaran administrasi harusdikriminalisasi, sebagaimana diketahui awal mula terjadi-nya tindak pidana berawal dari ketidak patuhan dalambidang administrasi.

b) Jumlah (lamanya) sanksi dan sistem ancamanpidananya

Tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkunganhidup dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 JoUndang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur dalam Pasal 98sampai dengan Pasal 118. Pasal 98 (kesengajaan) dan

Page 295: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.47

Pasal 99 ayat 1 (untuk delik culpa), adapun maksimumancaman pidananya dirumusan sebagai berikut:

1. untuk kesengajaan (Pasal 98)Minimum 3 tahun penjara maksimal 10 tahun

penjara dan denda mínimum sebesar Rp3.000.000.000,- (tiga miliyar rupiah) dan dendamaksimal Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliarrupiah) apabila mengakibatkan orang mati atauluka berat.

2. untuk kealpaan (Pasal 99 ayat 1)1 (satu) tahun penjara dan denda

Rp.1.000.000.000,-(satu miliar rupiah) yang dapatdiperberat menjadi 3 (tiga) tahun penjara dan dendaRp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) apabilamengakibatkan orang mati atau luka berat.

Dari rumusan ancaman pidana sebagaimana disebutdi atas, jelas terlihat bahwa Undang-Undang No. 23 Tahun1997 Jo Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidupmenganut sistem perumusan kumulatif.

4. Kebijakan Formulasi Perumusan Sanksi Pidana diluar Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 JoUndang-Undang No 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pembahasan terhadap kebijakan formulasiperumusan sanksi pidana yang terdapat di luarUndang-Undang No. 23 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan danPengelolaan Lingkungan Hidup, difokuskan pada

Page 296: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.48

jenis sanksi, jumlah (lamanya) sanksi dan sistemancaman sanksi(a) Jenis sanksi

Ketentuan perumusan sanksi Undang-UndangNo. 5 Tahun 1983 tentang Zona EkonomiEksklusif Indonesia menurut Andi Hamzahterdapat hal-hal yang unik, yang berbeda jauh dariketentuan dalam KUHP. 31 Dalam ketentuanpidana Pasal 16 dan Pasal 17 diatur hal-halsebagai berikut:

Pasal 16 (1)(2) berbunyi sebagai berikut:

(1) Barangsiapa melakukan tindakan-tindakanyang bertentangan dengan ketentuan Pasal 5ayat (1), Pasal 6, dan Pasal 7 dipidana denganpidana denda setinggi-tingginyaRp.225.000.000,- (dua ratus dua puluh limajuta rupiah).

(2) Hakim dalam keputusannya dapat menetapkanperampasan terhadap hasil kegiatan, kapaldan/atau alat perlengkapan lainnya yangdigunakan untuk melakukan tindak pidana ter-sebut dalam ayat (1).

(3) Barangsiapa dengan sengaja melakukantindakan-tindakan yang menyebabkanrusaknya lingkungan hidup dan/atautercemarnya lingkungan hidup dalam ZonaEkonomi Eksklusif Indonesia, diancam denganpidana sesuai dengan peraturan perundang-

31Ibid. Hal.66

Page 297: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.49

undangan yang berlaku di bidang lingkunganhidup.

Pasal 17Barangsiapa merusak atau memusnahkan

barang-barang bukti yang digunakan untukmelakukan tindak pidana sebagaimana dimaksuddalam Pasal 16 ayat (1), dengan maksud untukmenghindarkan tindakan-tindakan penyitaanterhadap barang-barang tersebut pada waktudilakukan pemeriksaan, dipidana dengan pidanadenda setinggi-tingginya Rp 75.000.000,- (tujuhpuluh lima juta rupiah).

Dalam Pasal 16 dan Pasal 17 tercantum sanksipidana denda masing-masing maksimumRp.225.000.000,-(dua ratus dua puluh lima jutarupiah) untuk perbuatan yang melanggar Pasal 5,Pasal 6, dan Pasal 7 (eksplorasi dan eksploitasi,membuat dan menggunakan pulau-pulau buatandan mengadakan penelitian ilmiah), maksimumRp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah)untuk perbuatan yang merusak dan memusnahkanbarang-barang bukti dalam melakukan tindakpidana yang pertama tersebut.

Keunikan ketentuan pidana tersebut ialahtidak adanya pidana penjara, kurungan, maupunkurungan pengganti jika denda tidak dibayar. Halini disebabkan karena dalam penjelasan Pasal 4Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 dijelaskanbahwa sanksi-sanksi dalam undang-undang iniberbeda dengan sanksi-sanksi dalam undang-undang yang berlaku di wilayah Republik

Page 298: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.50

Indonesia. Menurut Andi Hamzah32 tidak adanyasanksi pidana penjara dan pidana kurungan dalamundang-undang ini disebabkan karena adanyalarangan dalam Konferensi Hukum LautInternasional di Caracas untuk menjatuhkanpidana badan bagi yang melanggar di wilayah 200mil itu. Menurut penulis karena tidak ada pidanapenjara dan kurungan dalam Undang-UndangZEE ini maka sanksi pidana denda sebesarRp.225.00.00,- (dua ratus duapuluh lima jutarupiah) terlalu kecil bila dibandingkan dengankejahatan yang dilakukan dan kerugian yangdiderita oleh Negara. Ke depan seharusnya pidanadenda dilipat gandakan minimal sepuluh kali lipat.

Pidana tambahan dalam undang-undang iniialah perampasan terhadap hasil kegiatan, kapaldan atau alat perlengkapan lain yang digunakanuntuk melakukan tindak pidana (pasal 16 ayat 2).Sedangkan sanksi yang berupa tindakan, yaituganti kerugian karena perbuatan yang melanggarhukum Indonesia dan hukum Internasionalmengenai pulau-pulau buatan, instansi-instansidan bangunan-bangunan lain di zona ekonomieksklusif Indonesia dan mengakibatkan kerugian,wajib memikul tanggung jawab dan membayarganti kerugian kepada pemilik pulau-pulaubuatan, instansi-instansi dan bangunan-bangunanlain (Pasal 9).

Demikian pula membayar ganti kerugiankepada Pemerintah Indonesia oleh mereka yang

32Ibid Hal.66

Page 299: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.51

melanggar perundang-undangan RepublikIndonesia dan hukum Internasional yang berlakudi bidang penelitian ilmiah yang mengakibatkankerugian (Pasal 10). Selanjutnya dikenal pulakewajiban membayar biaya rehabilitasilingkungan laut atau sumber daya alam dengansegera dalam jumlah yang memadai akibatperbuatan yang menyebabkan terjadinyapencemaran lingkungan laut dan atau kerusakansumber daya alam. Tanggung jawab membayarbiaya tersebut bersifat mutlak (Pasal 11 ayat 1).

Perampasan hasil kegiatan, kapal dan/atau alatperlengkapan lain yang digunakan untuk melakukantindak pidana dalam Pasal 16 (1).

Satu hal lagi yang perlu mendapat bahasan adalahketentuan Pasal 16 tentang ketentuan pidana dimanadicantumkan bahwa tindakan-tindakan yang menyebabkanrusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkunganhidup dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, diancampidana sesuai peraturan yang berlaku di bidang lingkunganhidup, menurut Andi Hamzah Harus diselaraskan denganundang-undang ini yang tidak mengenal pidana badan.33

Menurut pendapat penulis selain memang harus diselaras-kan karena Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 mengenalpidana penjara/pidana badan sedang undang-undang ZEEItidak mengenal pidana badan, oleh karena itu sebaiknyaundang-undang mengenai Zona Ekonomi EksklusifIndonesia harus segera diganti, karena banyak hal-halyang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangankejahatan dan teknologi yang berkembang, seperti

33Ibid. Hal. 67

Page 300: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.52

besarnya sanksi pidana denda dan besarnya ganti kerugiansudah tidak sesuai lagi dengan tingkat kejahatan saat ini,demikian juga mengenai tindakan/perbuatan yangmengakibatkan terjadinya pencemaran dan perusakanyang terjadi di wilayah ZEE seharusnya tidak merujukkepada undang-undang lingkungan hidup, tetapi diatursecara mandiri dalam undang-undang ZEEI yang baru,sehingga proses penegakan hukum lingkungan dapatberjalan lancar.

Karena undang-undang ZEEI tidak mengenalhukuman badanmaka selain hukuman denda dan gantikerugian serta pemulihan lingkungan yang rusaksebagaimana yang sudah ditetapkan dalam undang-undangZEEI, maka ke depan sebaiknya juga dikenakan hukumantindakan baik yang dijatuhkan pada tahap sebelum prosesperadilan (pre trial stage), pada tahap peradilan danpemidanaan (trial and sentencing) dan pada tahap setelahpemidanaan (post sentencing stage). Menurut aturanstandar minimum yang diterima oleh Majelis Umum PBBdalam resolusi 45/110 tertanggal 14 Desember 1990,tindakan-tindakan non-custodial yang dapat diberikanantara lain:

Berikutnya akan dijelaskan kebijakan formulasiperumusan sanksi Undang-Undang No. 31 Tahun 2004Tentang Perikanan. Dalam undang-undang ini ketentuanmengenai kejahatan diatur dalam Pasal 84 sampai denganPasal 94 sedangkan pelanggaran diatur dalam Pasal 87sampai dengan Pasal 100, undang-undang ini menggantiUndang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.Ada hal baru dalam undang-undang yang baru ini, karenadi dalam Pasal 71 dinyatakan bahwa akan dibentukpengadilan khusus tindak pidana di bidang perikanan. Juga

Page 301: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.53

akan dibentuk forum komunikasi penyidikan oleh MenteriPerikanan. Penuntutan pun diatur secara khusus di dalamPasal 75 yang menyatakan bahwa Jaksa Agungmenentukan penuntut umum dengan syarat-syarat yangketat antara lain harus berpengalaman selama 5 (lima)tahun. Hakim yang akan mengadili pelanggaran di bidangperikanan juga khusus, yaitu hakim ad hoc yang terdiriatas dua hakim ad hoc dan satu hakim karier. Pemeriksaanpengadilan dapat dilakukan secara in absentia, begitu pulapenahanan diatur secara khusus.

Untuk kejahatan Pasal 86 (1) diancam dengan pidanapenjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda palingbanyak Rp.2.000.000.000,- (dua milyar rupiah),sedangkan untuk pelanggaran Pasal 87 (1) diancamdengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun danpidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satumilyar rupiah). Bila dibandingkan dengan undang-undangperikanan yang lama maka dilihat dari jenis pidananyasama. Karena kedua undang-undang perikanan ini sama-sama menerapkan pidana penjara, kurungan dan denda,dan tidak mengenal pidana tambahan dan tindakan tatatertib.

5. Jumlah (lamanya) sanksi dan sistem ancamansanksi

Untuk membahas jumlah (lamanya) sanksi dan sistemancaman sanksi pertama akan diuraikan kebijakanformulasi perumusan sanksi pidana dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI, dimana undang-undang ini menggunakan sistem kumulasi yang dapatdilihat pada kata-kata “dan”, perumusan sanksi yang

Page 302: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.54

bersifat kumulatif ini juga mengandung kelemahansebagaimana sudah diuraikan sebelumnya karena bersifatimperatif, di sini hakim tidak diberikan keleluasaan dalammemilih sanksi terutama yang ditujukan kepada korporasi.

Kemudian untuk jumlah (lamanya) sanksi undang-undang ini hanya mencantumkan sanksi pidana dendasebagaimana diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17, sanksipidana denda masing-masing maksimum Rp.225.000.000,-(dua ratus dua puluh lima juta rupiah) untuk perbuatanyang melanggar Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 (eksplorasidan eksploitasi, membuat dan menggunakan pulau-pulaubuatan dan mengadakan penelitian ilmiah), maksimumRp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) untukperbuatan yang merusak dan memusnahkan barang-barangbukti dalam melakukan tindak pidana yang pertamatersebut.

Karena undang-undang ini menurut ketentuankonferensi hukum laut Internasional di Caracas, melarangmenjatuhkan pidana badan bagi yang melanggar diwilayah 200 mil atau dengan kata lain undang-undang initidak mengenal pidana penjara/kurungan, menurut penuliskarena tidak ada pidana penjara dan kurungan dalamUndang-Undang ZEE ini maka sanksi pidana dendasebesar Rp 225.00.00,- (dua ratus duapuluh lima jutarupiah) terlalu kecil bila dibandingkan dengan kejahatanyang dilakukan dan kerugian yang diderita oleh negara.Ke depan seharusnya pidana denda dilipat gandakanminimal sepuluh kali lipat.

Selanjutnya jumlah dan sistem ancaman sanksi dalamUU No. 5 Tahun 1990 tentang KonservasiKeanekaragaman Hayati apabila dilihat dari jumlah

Page 303: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.55

(lamanya) sanksi dapat dilihat bahwa perumusan sanksiPasal 40 ayat (1)(2)(3)(4) dirumuskan:

Ayat 1 Untuk kesengajaan melanggar Pasal 19ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) diancam dengan pidanapenjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dendapaling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus jutarupiah), sedangkan kesengajaan yang melanggarPasal 21 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (3)diancam pidana paling lama 5 Tahun dan dendapaling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Ayat 2 Untuk kealpaan diancam pidana palinglama 1 (satu) tahun dan denda paling banyakRp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) melanggarPasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1), sedangkan,yang melanggar Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) sertaPasal 33 ayat (3) diancam pidana kurungan palinglama 1 (satu) tahun dan denda paling banyakRp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

Jumlah/lamanya sanksi pidana menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragamansumber Hayati, masih lebih ringan dibandingkandengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentangPengelolaan Lingkungan Hidup dimana kesengajaanpidana penjara 10 (sepuluh) tahun dapat diperberatmenjadi 15 (lima belas) tahun dan dendaRp.500.000.000,-(lima ratus juta rupian). Sedangkanuntuk culpa diancam pidana 3 (tiga) tahun dapatdiperberat menjadi 5 (lima) tahun, dengan dendaRp.150.000.000,-(seratus lima puluh juta rupiah).Dalam rangka ius constituendum sebaiknyaditetapkan pidana minimal khusus dari setiaprumusan tindak pidana untuk menghindari terjadinya

Page 304: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.56

disparitas pidana dan rasa ketidakadilan masyarakat.Sedangkan kebijakan sistem ancaman sanksi dariundang-undang ini memakai sistem kumulatif.

Berikutnya akan dibahas kebijakan formulasiperumusan sanksi pidana Peraturan Pemerintah No. 18Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah BahanBerbahaya dan Beracun, Pasal 63 berbunyi:

Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 3,Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal19, Pasal 20, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 34,Pasal 36, Pasal 37, pasal 39 dan Pasal 60 yangmengakibatkan dan/atau dapat menimbulkanpencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidupdiancam dengan pidana sebagaimana diatur padaPasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Karena PP No. 18 Tahun 1999 ini dalam halpenjatuhan pidana merujuk ke Undang–Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan LingkunganHidup, maka jenis sanksi pidananya hanya mengenaljenis sanksi pidana penjara, denda, dan tindakan tatatertib, dan tidak mengenal jenis sanksi pidanatambahan dan kurungan, hal ini dikarenakan seluruhrumusan tindak pidana yang ada di dalam UU No. 23Tahun 1997 semua dikatagorikan sebagai kejahatan.Demikian juga mengenai jumlah maksimumpidananya baik pidana penjara maupun dendamaupun sistem perumusan sanksinya sama denganUndang-Undang No. 23 tahun 1997.

Page 305: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.57

Selanjutnya bila dilihat jenis sanksi yang terdapatdalam PP No. 18 Tahun 1999 ini semuanya berjenissanksi negatif. Salah satunya dapat dilihat dalamPasal 3 yang berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan usaha dan/ataukegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarangmembuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secaralangsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpapengolahan terlebih dahulu.”

Rumusan sanksi dalam norma tersebut di atasberbentuk negatif yaitu melarang setiap orangmembuang limbah B3 secara langsung ke medialingkungan tanpa diolah terlebih dahulu. Atau dapatdikatakan setiap orang yang membuang limbah B3 kemedia lingkungan tanpa diolah lebih dahuludikenakan sanksi. Sanksi negatif ini bersifat represifdan mempunyai kelemahan, karena perlindunganterhadap lingkungan dilakukan setelah terjadinyakerusakan, akan lebih baik apabila dalam PP No. 18Tahun 1999 ini juga dicantumkan sanksi yang bersifatpositif.

Menurut Soerjono Soekanto34

Secara konvensional dapat diadakan pembedaanantara sanksi positif yang merupakan imbalan,dengan sanksi negatif yang berupa hukuman. Dasargagasan tersebut adalah, bahwa subyek hukum akanmemilih salah satu dan menghindari yang lain.Kalangan hukum lazimnya beranggapan bahwa

34 Soerjono Soekanto, Efektifitas Hukum Dan Peranan Sanksi, Bandung,Penerbit CV Remaja Karya Tahun 1988, Hal. 82

Page 306: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.58

hukuman merupakan penderitaan, sedangkan imbalanmerupakan suatu kenikmatan, sehingga akibat-akibatnya pada perilaku serta merta akanmengikutinya.

Sanksi-sanksi yang terdapat dalam PP No. 18Tahun 1999 pada umumnya berupa sanksi negatif.Padahal dalam kenyataannya, di samping sanksinegatif, juga terdapat sanksi positif, kalangan hukumlazimnya kurang memperhatikan masalah imbalanatau sanksi positif. Secara sepintas akan tampakbahwa sanksi negatif lebih banyak dipergunakan biladibandingkan dengan sanksi positif, oleh karenaadanya anggapan kuat bahwa hukuman lebih efektif.Ancaman hukuman mempunyai efek menakut-nakuti,sedangkan imbalan hanya merupakan suatu insentifbelaka. Namun ada pula anggapan bahwa ancamanhukum merupakan suatu dorongan untuk melakukankejahatan, oleh karena perbuatan-perbuatan yangmerupakan penyelewengan, merupakan penyalurpelbagai hasrat manusia yang mengalami pelbagaitekanan.

Selanjutnya akan dibahas jumlah dan sistem ancamansanksi yang terdapat dalam dalam Undang-Undang No. 31Tahun 2004 Tentang Perikanan. Bila dibandingkan antaraundang-undang perikanan yang baru dengan undang-undang perikanan yang lama yaitu Undang-Undang No. 9Tahun 1985, maka jumlah (lamanya) pidana penjara dankurungan yang diancamkan, banyak kemajuan sebabdalam undang-undang perikanan yang baru, untukkejahatan ancaman pidana 10 (sepuluh) tahun dan dendaRp.2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), untuk pelanggaran

Page 307: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.59

ancaman pidana kurungan 2 (dua) tahun dan dendaRp.1.000.000.000,-(satu milyar rupiah), sedang dalam UUperikanan yang lama ancaman sanksi terdapat dalam Pasal24 sampai dengan Pasal 28. Pasal 24 dan Pasal 25 (sub adan sub b) merupakan “kejahatan”, Pasal 26, Pasal 27 subc, d dan e merupakan “pelanggaran”. Untuk kejahatandipidana dengan pidana penjara maksimum 10 (sepuluh)tahun dan/atau denda maksimum Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah), sedangkan untuk pelanggarandiancam dengan pidana kurungan maksimum 6 (enam)bulan atau denda Rp. 50.000.000,- (lima puluh jutarupiah).

1. Apa yang dimaksud dengan asas Geen straf zonderschuld; actus non facitreum nisi mensit rea?

2. Sebutkan jenis sanksi yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang PengelolaanLingkungan Hidup!

Petunjuk Jawaban Latihan

1. Azas pertanggungjawaban dalam hukum pidanaadalah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 308: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.60

2. Jenis sanksi yang terdapat dalam Undang-UndangNo 23 tahun 1997 yakni sanksi pidana dan sanksitindakan tata tertib.

1. Azas pertanggungjawaban dalam hukum pidanaadalah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan(Geen straf zonder schuld; actus non facitreum nisimensit rea). Azas ini tidak tersebut dalam hukumtertulis tapi dalam hukum yang tidak tertulis,demikian juga yang berlaku di Indonesia.

2. Pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 diatur dalam Pasal 45dan Pasal 46 yang merupakan rumusan kejahatankorporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 51KUHP Belanda. Korporasi sebagai legal personmerupakan subyek hukum yang dapat dipidanaberdasarkan UU No. 23 Tahun 1997.Perkembangan ini merupakan suatu perubahanparadigma dalam hukum pidana yang padaawalnya menganut prinsip bahwa badan hukumtidak dapat melakukan tindak pidana olehkarenanya tidak dapat dihukum (societasdelinnquere non potest).

3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dewasa inisudah tidak ada permasalahan lagi, sebab peraturanperundang-undangan yang ada di Indonesia sudah

RANGKUMAN

Page 309: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.61

mengatur hal tersebut. Salah satunya dalamUndang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentangPengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 45 dan Pasal46, mengatur mengenai badanhukum dapat dimintaipertanggungjawaban pidana atas perbuatan yangdilakukan.

4. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentangPengelolaan Lingkungan Hidup mengenal 2 (dua)jenis sanksi, yang dapat dikenakan terhadap pelakutindak pidana lingkungan hidup yaitu sanksi pidanadan sanksi tindakan tata tertib

5. Tindak pidana pencemaran dan perusakanlingkungan hidup dalam Undang-Undang No. 23Tahun 1997 diatur dalam Pasal 41 sampai denganPasal 48. Pasal 41 (kesengajaan) dan Pasal 42(untuk delik culpa), adapun maksimum ancamanpidananya.

1. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentangPengelolaan Lingkungan Hidup. Sistempertanggungjawaban pidananya otomatisberdasarkan azas ..A. CulpabilitasB. LegalitasC. OportunitasD. Derogatif

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 310: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.62

2. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,menyebutkan bahwa “Jika tindak pidanasebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukanoleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan,perserikatan, yayasan atau organisasi lain,ancaman pidana denda diperberat dengansepertiga”. Hal tersebut diatur dalam Pasal ….A. 42B. 43C. 44D. 45

3. Pasal 45 dan Pasal 46 dalam Undang No. 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidupmengatur tentang ...A. Pertanggungjawaban pidanaB. Pertanggungjawaban terhadap perseoranganC. Pertanggungjawaban pidana korporasiD. Pertanggungjawaban perdata korporasi

4. Sanksi-sanksi yang terdapat dalam PP No. 18Tahun 1999 pada umumnya berupa ...A. Sanksi negatifB. Sanksi perdataC. Sanksi administrasiD. Sanksi pidana tambahan

Page 311: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.63

5. PP No. 18 Tahun 1999 dalam hal penjatuhanpidana merujuk ketentuan ..

A. Undang–Undang No. 23 tahun 1997B. Undang–Undang No. 22 tahun 1997C. Undang–Undang No. 21 tahun 1997D. Undang–Undang No. 20 tahun 1997

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yangbenar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkatpenguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih,Anda dapat mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS).Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangimateri Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belumdikuasai.

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 312: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.64

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 21) D 1) A2) B 2) D3) D 3) C4) D 4) A5) C 5) A

Page 313: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.65

Daftar Pustaka

Abdurrahman, 1987, Tebaran Pikiran Tentang StudiHukum Dan Masyarakat, PT Media Sarana Press,Jakarta.

-----------------, 1990, Pengantar Hukum LingkunganIndonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti,Bandung.

Darvile, Ray, 1997, The Environment As A Social IssueDalam Analizing Social Problem Prentice HallNew Jersey.

Draf Naskah Akademis Rancangan Undang-UndangPengelolaan Sumber Daya Alam, 9-8-2002.

Draf II Naskah Akademis Rancangan Undang-UndangRevisi UU No. 23 Tahun 1997 TentangPengelolaan Lingkungan Hidup, ICEL 2003.

Dwidja Priyatno.2004. Kebijakan Legislasi TentangSistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi DiIndonesia, Bandung, Penerbit CV Utomo

Hamzah, A., 1986, Sistem Pidana Dan PemidanaanIndonesia Dari Retribusi Ke Reformasi, PradnyaParamita, Jakarta.

-----------, 1995, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta,Penerbit Arikha Media Cipta.

-----------, 1998, Reformasi Penegakan Hukum, PidatoPengukuhan Diucapkan Pada Upacara Pengukuhan

Page 314: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.66

Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu HukumUniversitas Trisakti Jakarta.

Hartiwiningsih, 1996, Penegakan Hukum LingkunganUntuk Mengantisipasi Tindak Pidana LingkunganYang Dilakukan Korporasi, Tesis.

Harkrisnowo, Harkristuti, 1996, Beberapa MasalahMendasar Dalam Hukum Lingkungan MakalahDalam Seminar Nasional PerlindunganLingkungan Hidup Dalam Perspektif Yutidias DanSosiologis, Yayasan Masumoto Jepang, Jakarta.

ICEL, 2003, Strategi Terintegrasi Penataan DanPenegakan Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta.

Konsep Rancangan KUHP Nasional Revisi 2004.

Kejaksaan Agung RI Dan KLH, 2003, Pedoman TeknisYustisia Penanganan Perkara Tindak PidanaLingkungan Hidup.

Moelyatno, 1985, Azas-Azas Hukum Pidana , Jakarta,Penerbit PT Bina Aksara.

Muladi, Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga RampaiHukum Pidana, Alumni, Bandung.

-----------------------, 1998, Teori-Teori Dan KebijakanPidana, Penerbit Alumni, Bandung.

----------------------, 1992, Lembaga Pidana Bersyarat,Penerbit Alumni, Bandung.

Nawawi Arief, Barda, 1986, Penetapan Pidana penjaraDalam Perundang-Undangan Dalam Rangka Usaha

Page 315: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.67

Penanggulangan Kejahatan, Disertasi, UNPAD,Bandung.

---------------------------, 1991, Upaya Non-Penal dalamKebijakan Penanggulangan Kejahatan, Makalahpada Seminar Kriminologi, Semarang.

------------------------, 1994, Kebijakan Legislatif DalamPenanggulangan Kejahatan Dengan PidanaPenjara, Penerbit CV Ananta, Semarang

------------------------, 1994, International Meeting OfExperts On The Use Of Criminal Sanction In TheProtection Of Environment, Internationaly,Domestically And Regionally Portland, Oregon,USA 19-23 March 1994.

--------------------, 1996, Batas-batas Kemampuan HukumPidana dalam Penanggulangan Kejahatan,Makalah pada Seminar Nasional “PendekatanNonpenal dalam Penanggulangan Kejahatan”, FHUndip, Semarang, 2 September 1996.

------------------------, 1998, Beberapa Aspek KebijakanPenegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana,Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

------------------------, 2001, Masalah Penegakan Hukumdan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

----------------------, 2002, Kapita Selekta Hukum Pidana,Program Magister Ilmu Hukum, Nopember 2002.

Page 316: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.68

-----------------------, 2002, Bunga Rampai KebijakanHukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditia Bakti,Bandung.

-------------------------, 2002, Perbandingan Hukum Pidana,PT. Raja Grafindo, Jakarta.

------------------------, Kebijakan Kriminal (CriminalPolicy).

------------------------, Kebijakan Hukum Pidana (PenalPolicy).

Pedoman Teknis Yustisial Penanganan Perkara TindakPidana Lingkungan Hidup, Kejaksaan Agung RIDan Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2003.

Reksodiputro, Mardjono , 1994, Kemajuan PembangunanEkonomi Dan Kejahatan, Jakarta, Pusat PelayananKeadilan Dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta.

Santosa, Mas Achmad, 2003, Strategi TerintegrasiPenataan dan Penegakan Hukum Lingkungan. JakartaICEL

Sudarto, 1981. Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni,Bandung.

---------, 1983. Hukum Pidana Dan PerkembanganMasyarakat, Bandung Sinar Baru.

---------, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung.

Page 317: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 5 1.69

Soekanto, Soerjono, 1985, Efektifitas Hukum DanPeranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung.

Stuart, Bary, 1991, Penindakan Pelanggaran HukumLingkungan Prosiding Lokakarya, Kantor MenteriNegara Kependudukan Dan Lingkungan HidupBekerja Sama dengan Environmental ManagementDevelopment In Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982Tentang Pokok-Pokok Pengelolaan LingkunganHidup.

Undang-Undang No. 23 tahun 1997 Tentang PengelolaanLingkungan Hidup.

Page 318: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

Modul 6TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.HumLushiana Primasari, SH, MH

Setelah mempelajari modul 5 yangmembahasTindak Pidana Lingkungan. Maka di Modul6 ini kita akan membahas materi mengenai TindakPidana Perpajakan yang terdapat dalam kegiatanbelajar 1 dan yang selanjutnya akan dilanjutkandengan kegiatan belajar 2 yang membahas tentangKejahatan oleh Pegawai Pajak, Wajib Pajak, Pejabat Pajak danKejahatan oleh Pihak Lain, pada Modul 6 ini merupakanpengembangan lebih lanjut dari materi yang disajikanoleh Modul sebelumnya yang merupakan termasukdalam klasifikasi jenis tindak pidana dalam HukumPidana Ekonomi di Indonesia.

Dengan mempelajari materi modul ini diharapkanmahasiswa dapat menjelaskan Tindak PidanaPerpajakan dan Kejahatan oleh Pegawai Pajak, Wajib Pajak,Pejabat Pajak dan Kejahatan oleh Pihak Lain.

Page 319: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.2

Kegiatan Belajar 1

JENIS KEJAHATAN DI BIDANG PERPAJAKAN

1) Tentang Hukum Pajak, Arti, Tugas, dan Gunanya

Hukum pajak, yang juga disebut hukum fiskal, adalah

keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang

pemerintah untuk mengambil kekeayaan seseorang dan

menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui

kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum public,

yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan

orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban

membayar pajak (selanjutnya disebut wajib pajak).1

Tugasnya adalah menelaah keadaan-keadaan dalam

masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak,

merumuskan dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan

peraturan-peraturan hukum ini; dalam pada itu adalah penting

sekali bahwa tidak harus diabaikan begitu saja latar belakang

ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat tersebut.2

Hukum pajak memuat pula unsur-unsur hukum tata

negara dan hukum pidana dengan acara pidananya. Dalam

1 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 12 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 1

Page 320: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.3

lapangan lain hukum administratif, unsur-unsur tadi tidak begitu

Nampak seperti dalam hukum pajak ini; juga peradilan

administratifnya diatur dengan sangat rapinya. Justru inilah,

ditambah dengan luasnya lapangan karena eratya hubungannya

dengan ekonomi, maka dalam abad ini banyak sarjana hukum,

sarjana ekonomi, dan para cerdik pandai lainnya yang

mencurahkan perhatiannya yang cukup terhadap hukum pajak

ini, yang kini dalam beberapa negara telah merupakan ilmu yang

berdiri tersendiri.3

Yang terutama menarik perhatian para cendikiawan

adalah seringnya berubah peraturan-peraturannya, yaitu sebagai

akibat dari perubahan yang terdapat pada kehidupan ekonomi

dalam masyarakat di mana perubahan ini mengharuskan

pengubahan peraturan-peraturan pajaknya. Demikianlah halnya

dengan negara-negara yang telah maju (juga dalam caranya

mengatur pajaknya), yang telah menyesuaikan segala

aparaturnya dengan kebutuhan masyarakatnya untuk secepat-

cepatnya bereaksi terhadap segala perubahan, terutama yang

termasuk dalam lapangan perekonomian.4

3 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 14 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 2

Page 321: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.4

2) Pajak

Batasan atau definisi pajak berbagai macam; dalam

rangka buku ini tidaklah akan akan diselidiki batasaan manakah

di antara yang bermacam-macam ragam itu yang lebih tepat

daripada hasilnya. Akan lebih bermanfaatlah kiranya bilamana

diadakan peninjauan dari kupasanterhadal hal-ihwal yang

dirumuskan dalam beberapa di antaranya: salah satu di antara

batasan-batasan itu diajarkan oleh Prof. Dr. P.J.A Adriani

(pernah menjabat guru besar dalam hukum pajak pada

Universitas Amsterdam, kemudian Pemimpin International

Bureau of Fiscal Documentation, juga di Amsterdam) yang

berbunyi sebagai berikut.5

“Pajak adalah iuaran kepada negara (yang dapat

dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya

menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-

kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya

adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umu

berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan

pemerintahan”6

Kesimpulan yang ditarik dari definisi tersebut adalah

bahwa Prof Adriani memasukan pajak sebagai pengertian yang

5 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 26 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 2

Page 322: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.5

dianggapnya sebagai suatu species ke dalam genus pungutan

(jadi, pengutan adaah lebih luas). Dalam definisi ini titik berat

diletakkan pada fungsi budgetair dari pajak, sedangkan pajak

masih mempunyai fungsi lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu

fungsi mengatur. 7

Yang dimaksud dengan tidak medapat prestasi kembali

dari negara ialah pretasi khusus yang erat hubungannya dengan

pembayaran “iuran” itu. Prestasi dari negara, seperti hak untuk

menggunakan jalan-jalan umum, perlindungan dan penjagaan

dari pihak polisi dan tentara, sudah barang tentu diperoleh oleh

para pembayar pajak itu, tetapi diperolehnya itu tidak secara

individual dan tidak ada hubungannya langsung dengan

pembayaran itu. Buktinya: orang yang tidak membayar pajak

pun dapat pula mengenyam kenikmatan.8

3) Definisi Pajak

Sekadar untuk perbandingan, berikut ini disajikan defini dari

beberapa sarjana yang dimuat secara kronologis.

a. Definisi Prancis, termuat dalam buku Leory Beaulieu

yang berjudul Traite de la Science des Finances, 1906,

berbunyi:

7 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 28 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 3

Page 323: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.6

“L” impot et la contirbution, soit directo soit

dissimulee, que La Puissance Publique exige des

habitants ou des biens pur subvenir aux depenses du

Gouvernment”.9

“Pajak adalah bantuan, baik secara langsung

maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik

dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja

pemerintah.”

b. Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-

1919), berbunyi:

“Steuern sind einmalige oder laufende

Geldleistungen die nicht eine Gegenleistung fur eine

besondere Leistung darstellen, und von einem

offentlichrestlichen Gemeinwesen zur Erzielung von

Einkunften allen auferlegt werden, bei denen der

Tatbestand zutrifft den das Fesetz die Leistungsplicht

knupft.”

“Pajak adalah bantuan uang secara insidential

atau secara periodik (dengan tidak ada

kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang

bersifat umum (= negara), untuk memperoleh

pendapatan, dimana terjadi suatu tatbestand (=sasaran

9 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 3

Page 324: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.7

pemajakan), yang karena undang-undang telah

menimbulkan utang pajak.”10

c. Definisi Prof.Edwin R.A. Seligman dalam Essays in

Taxation, (new York, 1925), berbunyi:

“Tax is a compulsery contribution from the

person, to the government to defray the expenses

incurred in the common interest of all, without reference

to special benefit conferred.”11

Banyak terdengar keberatan atas kalimat,

“without reference” karena bagaimanapun juga uang-

uang pajak tersebut digunakan untuk produksi barang

dan jasa, jadi benefit diberikan kepada masyarakat,

hanya tidak mudah ditunjukkannya, apalagi secara

perorangan.12

d. Phillip E.Taylor dalam bukunya The Economics of

Public Finance, 1984, mengganti “without reference”

menjadi “with little reference”.13

10 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 311 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 412 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 413 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 4

Page 325: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.8

e. Definisi Mr.Dr.N.J. Feldmann dalam bukunya De

overheidsmiddelen van Indonesia, Leiden, 1949, adalah:

“Belastingen zijn aan de Overheid (volgens

algemene, door haar vastgestelde normen) verschuldigde

afdwingbare prestties, waar geen tegenprastatie

tegenover staat en uitsluitend dienen tot dekking van

publieke uitgaven.” 14

“Pajak adalah prestasi dipaksakan sepihak oleh

dan terutang kepada penguasa (menurut normao-norma

yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya

kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk

menutup pengeluaran-pengeluaran umum.”15

Feldmann (seperti juga halnya dengan Seligman)

berpendapat, bahwa terhadap pembayaran pajak, tidak

ada kontraprestasi dari negara. Dalam mengemukakan

kritik-kritiknya terhadap definisi dari sarjana-sarjana lain

seperti Taylor, Adriani, dan lain-lain ternyata, bahwa

Feldmann tidak berhasil pula dengan definisinya untuk

memberikan gambaran tentang pengertian pajak.16

14R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 415 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 416 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 4

Page 326: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.9

f. Definisi Prof. Dr.M.J.H. Smeets dalam bukunya De

Economische Betekenis der Belastingen, 1951, adalah:

Belastingen zijn aan de overheid (volgens

normen) verschuligde, afdwingbare pretties, zonder dat

hiertegenover, in het individuele geval, aanwijsbare

tegen-prestaties staan; zij strekken tot dekking van

publieke uitgaven.”17

“Pajak adalah prestasi kepada pemrintah yang

terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat

dipaksakan, tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat

ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya

adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.”18

Dalam bukunya ini, Smeets mengakui bahwa

definisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter saja;

baru kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada

definisinya.19

4) Hubungan dengan Hukum Pidana

Hukum Pidana, seperti yang telah tercantum dalam kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan yang terdapat di

luarnya, yaitu dalam ketentuan-ketentuan undang-undang yang

17 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 418 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 519 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 5

Page 327: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.10

khusus untuk mengadakan peraturan-peraturan dalam segala

lapangan, merupakan suatu keseluruhan yang sistematis, karena

ketentuan-ketentuan dalam Buku 1 dari KUHP (kecuali

ditentukan lain) juga berlaku untuk peristiwa-peristiwa pidana

(peristiwaa yang dapat dikenakan hukuman = strafbeer feit)

yang diuraikan di luar KUHP itu (lihat Pasal 103 KUHP).20

Adapun hak untuk menyimpang dari peraturan-peraturan

yang tercantum dalam KUHP Indonesia telah diperoleh pembuat

ordonansi semenjak Mei 1927, dan kesempatan ini banyak

dipergunakannya karena kenyataan, bahwa peraturan-peraturan

administratif pun sangat memerlukan sanksi-sanksinya yang

menjamin ditaatinya oleh khalayak ramai. Juga dalam peraturan-

peraturan pajak terdapat sanksi-sanksi yang bersifat khusus,

misalnya tentang dapatnya badan hukum dikenakan suatu

hukuman (sedangkan sebagai asas yag terpenting dari hukum

pidana umum hingga kini adalah bahwa badan hukum tidak

pernah dapat melakukan perbuatan yang dapat dihukum karena

hukum pidana ini smeata-mata ditujukan kepada individu,

demikian Prof Mr. J.E Jonkers dalam bukunya Handboek van

het Indonesisch Srafrecht) walaupun KUHP telah banyak

memuat ancaman bagi pelanggaran-pelanggaran terhadap

peraturan-peraturan pajak ini. Antara lain dimuatlah dalam pasal

20 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 22-23

Page 328: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.11

322 KUHP ancaman terhadap (bekas) pegawai yang dengan

sengaja telah membuka rahasia jabatan yang seharusnya

disimpan baik-baik. Dalam undang-undnag pajak pun prinsip ini

dengan nyata-nyata dimuat, antara lain dalam pasal 21 yo 25

Ordonansi Pajak Pendapatan (Peralihan) 1944 dan Ordonansi

Pajak Perseroan dalam pasal 47 jo 49.21

Penyimpangan lainnya dari prinsip utama hukum pidana

umum yang terdapat dalam Undang-Undang Pajak dan yang ang

timbul dari dasar pikiran, bahwa bagaimanapun uga Fiskusharus

diberi penggantian kerugian (sebagai hukuman terhadap wajib

pajak yang berbuat salah), dinyatakan dalam pasal 367 dan pasal

368 dari Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR=

Herzeiene Indonesisch Reglement). Peraturan tersebut

menetapkan bahwa antara lain untuk pajak, pasal 77 dari KUHP

tidak berlaku, sehingga yang bertanggungjawab atas benda-

benda, penyitaan-penyitaan, dan biaya-biaya (yang seharusnya

ditanggung oleh wajib pajak sendiri, tetapi karena ia meninggal

dunia setelah dijatuhi hukuman karena suatu pelanggaran

terhadap peraturan pajak), adalah ahli warisnya.22

Adapun batas-batas antara tugas aturan-aturan tentang

hukuman dalam Undang-Undang Pajak ini (ada yang

21 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 2322 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 23

Page 329: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.12

menamakannya: hukum pidana fiskal) dan hukum pidana umum

setelah dikurangi dengan hukum pidana militer) tidak pasti

letaknya, seakan-akan tidak diatur dengan ,menentu, misalnya

pemakaian (lagi) materai tempel yang telah terpakai, hingga

mulai saat berlakunya S-1941 No.491 merupakan kejahatan

fiskal dan diancam dalam pasal 122 ayat 1 dari aturan Bea

Materai 1921, tetapi kini, semenjak saat itu, diancam dalam

pasal 260 KUHP.23

Kebutuhan untuk memasukkan peraturan-peraturan yang

menyimpang dari ketentuan-ketentuan umum dalam hukum

pidana fiskal, telah ternyata makin lama makin berkurang.

Kecenderungan (tendensi) ini mungkin sekali disebabkan oleh

keinsafan, bahwa pengertian modern mengenai tata tertib hukum

ini meliputi segala lapangan, lagipula karena keyakinannya

bahwa diadakannya segala macam hukuman adalah terdorong

oleh keinginan dari pihak penguasa untuk menyelamatkan

kepentingan umum dalam segala lapangan, dengan sejitu-

jitunya.

Prof. Dr. Mr. J. van der Poel (Direktur Pajak Kerajaan

Belanda dan Direktur merangkap Guru Besar Akademi Pajak

Rotterdam) dalam bukunya Rondom Compositie en Compromis

mengutarakan bahwa hukum pidana fiskal sebanyak mungkin

23 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 23-24

Page 330: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.13

harus sesuai dengan hukum pidana umum. Sudah barang tentu

tetap ada ketinggalam perbedaannya yang khusus, karena

hukum pajak sangat membutuhkannya dalam detail-detailnya.

Lagipula, sekalipun dasar pikirannya sama, namun dalam

sejarah ternyata pertumbuhannya agak menyimpang. Menurut

pendapatnya, sebeluh setengah abad yang lalu, pelanggaran-

pelanggaran pajak terlalu dianggap simplistic (remeh) dan

terlalu formal, sedangkan teori dalam filsafat yang terbaru

mengenai hal itu tidak lagi membedakan antara “pencurian”

terhdap negara dan pencurian terhadap individu.24

Dalam soal pajak ini, negara berhadap-hadapan muka

dengan para wajib pajak sebagai penguasa dalam menunaikan

tugasnya untuk mengatur hubungannya dengan warganya. Inilah

sebabnya maka di muka dikatakan bahwa hukum pajak

merupakan bagian dari hukum administrative yaitu peraturan-

peraturan mengenai luasnya dan cara penunaian tugas

pemerintah dan aparatur-aparatur negara, pula peraturan-

peraturan penyelenggaraannya.25

Karena dalam penyelenggaraan hukum publik sangat

diperlukan control oleh pemerintah terhadap pelaksanaan hukum

itu, dan pengawasan tadi diperkuat dengan sanksi-sanksinya

24 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 2425R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 24

Page 331: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.14

secara pidana (seperti akan kita lihat bukan saja terhadap

pelanngar-pelanggar, melainkan jga terhadap pelaksannya),

maka khalayak ramai selalu harus berhubungan erat dengan

instansi-instansi yang berkewajiban melaksanakannya, yaitu

Direktorat Jenderal Pajak dengan kantor-kantor inspeksinya dan

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan kantor-kantor

cabangnya. Bagi hukum pajak, hubungan ini bercorak khusus,

dan diatur dengan panjang lebar dalam undang-undang masing-

masing.26

5) Tindak Pidana Perpajakan Sebagai Tindak Pidana

Ekonomi

Tindak pidana yang berkaitan dengan perekonomian

adalah tindak pidana perpajakan, karena perpajakan berkaitan

dengan pendapatan dan pengeluaran yang mempunyai dampak

pada kondisi perekonomian secara umum.

Secara yuridis, kejahatan dibidang perpajakan

menunjukkan bahwa kejahatan ini merupakan substansi hukum

pajak karena terlanggarnya kaidah hukum pajak. Secara

sosiologis, kejahatan dibidang perpajakan telah memperlihatkan

suatu keadaan nyata yang terjadi dalam masyarakat sebagai

bentuk aktivitas pegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak, atau

pihak lain. Sementara itu, secara filosofis tersirat makna bahwa

26 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:Refika Aditama.Halaman 24-25

Page 332: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.15

telah terjadi perubahan-perubahan nilai dalam masyarakat ketika

suatu aktivitas perpajakan dilaksanakan sebagai bentuk peran

serta dalam berbangsa dan bernegara.27

Kejahatan dibidang perpajakan dapat berupa melakukan

perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang memenuhi

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada

hakikatnya, ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan dikategorikan sebagai kaidah hukum pajak yang

menjadi koridor untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan

demikian, melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan

dibidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan dibidang

perpajakan ketika memenuhi rumusan kaidah hukum pajak. 28

Melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan

sebagai bentuk kejahatan dibidang perpajakan memerlukan

uraian analisis yang mendasar sehingga mudah dipahami secara

prinsipil. Pertama, melakukan perbuatan tapi bertentangan

dengan kaidah hukum pajak sehingga dikategorikan sebagai

kejahatan dibidang perpajakan. Misalnya, wajib pajak

melakukan perbuatan berupa menyampaikan surat

pemberitahuan tetapi substansinya tidak benar, tidak lengkap,

27Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di Bidang Perpajakan,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, halaman 228Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di Bidang Perpajakan,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, halaman 2

Page 333: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.16

tidak jelas, atau tidak ditandatangani. Kedua, tidak melakukan

perbuatan, tetapi memenuhi rumusan kaidah hukum pajak

sehingga dikategorikan sebagai melakukan kejahatan dibidang

perpajakan. Misalnya, wajib pajak tidak membayar pajak untuk

suatu saat atau masa pajak bagi tiap-tiap jenis pajak, paling lama

lima belas hari setelah terutangnya pajak atau berakhirnya masa

pajak tersebut. 29

Korban kejahatan dibidang perpajakan tidak selalu

tertuju pada negara, melainkan wajib pajak dapat pula menjadi

korban. Ketika korban dari kejahatan tertuju pada negara berarti

pihak yang melakukan kejahatan itu adalah pegawai pajak atau

wajib pajak. Contoh, pegawai pajak dengan maksud

menguntungkan diri sendiri melawan hukum dengan

menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk

memberikan sesuatu,untuk membayar atau menerima

pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya

sendiri dengan tindakan atau perbuatan itu dapat menimbulkan

kerugian pada pendapatan negara. Ataukah, wajib pajak

menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi substansinya tidak

benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian

pada pendapatan negara.30

29Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di Bidang Perpajakan,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, halaman 330 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 3

Page 334: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.17

Jika korban tertuju kepada wajib pajak berarti pihak yang

melakukannya adalah pegawai pajak atau pejabat pajak. Contoh,

pegawai pajak tidak memberikan pelayanan secara benar dan

baik kepada wajib pajak sebagai pelaksanaan “sistem self

assessment” yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 16 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang

Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (UUKUP). Ataukah,

pejabat pajak tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia

wajib pajak yang telah diketahui, baik dalam bentuk tertulis

maupun lisan. Kerahasiaan itu tertuju pada rahasia wajib pajak

yang terkait dengan perpajakan. 31

Ketika kejahatan dibidang perpajakan telah memenuhi

unsur-unsur delik pajak, berarti pelaku kejahatan wajib

dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditentukan dalam kaidah

hukum pajak. Apabila ditelusuri sanksi pidana sebagai suatu

ancaman hukuman yang ditujukan kepada pelaku kejahatan

yang memenuhi rumusan kaidah hukum pajak, hanya berupa

hukuman penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda.

Ketiga jenis hukuman ini berada pada tataran hukuman pokok.

Dalam arti, ketika ditelusuri ancaman hukuman yang boleh

31Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di Bidang Perpajakan,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 3-4

Page 335: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.18

dikenakan kepada pelaku kejahatan dibidang perpajakan,

ternyata tidak mengaitkan hukuman tambahan sebagaimana

dikenal dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP). Hal ini memerlukan pengkajian lebih mendalam,

mengapa hukuman tambahan tidak diancamkan sebagai bagian

dari penghukuman kepada pelaku kejahatan dibidang

perpajakan?32

6) Jenis-Jenis Kejahatan Perpajakan menurut Undang-

Undang Perpajakan

Hukum Pajak sebagai hukum positif merupakan bagian

tak terpisahkan dari hukum publik. Substansi hukum pajak

memuat kaidah hukum tertulis karena dalam kenyataannya

bahwa kelahirannya didasarkan pada undang-Undang Pajak

sebagai produk politik dari Dewan Perwakilan Rakyat

bersama dengan Presiden. Ketentuan ini tersebar dalam

berbagai Undang-Undang Pajak yang bersifat formal maupun

bersifat materiil. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan

kepada pihak-pihak yang terkait dengan hukum pajak agar

memahami kaidah hukum pajak dalam pelaksanaan dan

penegakannya, baik diluar maupun di dalam lembaga

32Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di Bidang Perpajakan,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 5

Page 336: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.19

peradilan pajak. Dengan demikian, hukum pajak tidak

mengenal keberadaan kaidah hukum pajak tidak tertulis

karena kelahirannya tidak dilandasi dengan praktik

perpajakan didalam masyarakat.33

Disamping itu, dikenal pula kaidah hukum pajak yang

bersifat umum maupun bersifat abstrak dan terarah kepada

pihak-pihak yang diharapkan menaati hukum pajak. Sehingga

menurut Jimly Asshiddiqie (2010;4) karena ditujukan kepada

semua subjek yang terikat tanpa menunjuk atau

mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak atau individu

tertentu. Kaidah hukum yang bersifat umum maupun bersifat

abstrak, inilah yang biasanya menjadi materi peraturan

hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang

dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam

peraturan perundang-undangan yang terkait. 34

Munculnya kejahatan di bidang perpajakan, didasarkan

pada kaidah hukum pajak yang berupaya membedakan dalam

bentuk seperti “karena kelalaian” atau “dengan kesengajaan”.

Adanya pembedaan itu tergantung pada niat dari pelaku

untuk mewujudkan perbuatannya yang terjaring dalam kaidah

hukum pajak. Sebenarnya kejahatan di bidang perpajakan

33Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di Bidang Perpajakan,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 734Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di Bidang Perpajakan,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 7

Page 337: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.20

muncul karena didasarkan pada niat pelakunya saat

melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing.35

Kejahatan yang terkait dengan pelaksanaan hukum pajak

memiliki keanekaragaman, karena didasarkan pada berbagai

kepentingan yang hendak dilindungi terutama kepentingan

terhadap pendapatan negara. Keanekaragaman kejahatan di

bidang perpajakan sangat terkait dengan kaidah hukum pajak

yang wajib dilaksanakan oleh pihak-pihak berdasarkan tugas

dan kewajiban di bidang perpajakan. Kaidah hukum pajak

yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas

merupakan tanggung jawab pegawai pajak maupun pejabat

pajak. Sementara itu, kaidah hukum pajak yang terkait

dengan pemenuhan kewajiban merupakan tanggung jawab

wajib pajak dan pihak lain. 36

Kejahatan dibidang perpajakan tidak boleh digolongkan

ke dalam kejahatan yang bersifat menimbulkan kerugian

pada keuangan negara atau perekonomian negara. Oleh

karena itu, unsur kerugian pada keuangan negara atau

perekonomian negara merupakan salah satu unsur delik

korupsi. Sebaliknya, kejahatan di bidang perpajakan memiliki

unsur “dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan

35 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 736 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 8

Page 338: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.21

negara”. Dalam arti, delik pajak memiliki unsur kerugian

yang berbeda dengan unsur kerugian pada delik korupsi.

Walaupun demikian, baik delik pajak maupun delik korupsi,

keduanya merupakan kejahatan yang berada diluar jangkauan

KUHP karena diatur secara tersendiri dalam undang-undang

yang berbeda. 37

KUHP mengatur secara global mengenai delik, baik

yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Delik yang

bersifat umum, misalnya kejahatan berupa perbuatan yang

menghilangkan nyawa orang lain. Kemudian delik yang

bersifat umum, misalnya kejahatan berupa perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain yang menimbulkan

kerugian pada negara. Berhubung delik khusus diatur dalam

peraturan tersendiri, maka ketentuan dalam KUHP tidak

diberlakukan lagi. Pertimbangannya adalah pada adanya asas

hukum “lex specialis derogat legi generali”. Misalnya, delik

pajak telah diatur dalam hukum pajak, khususnya dalam

UUKUP. Sementara itu, delik korupsi telah diatur pada

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).

Kedua jenis delik ini diatur dalam peraturan hukum yang

37 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 8

Page 339: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.22

berbeda sehingga tidak boleh disamakan antara delik pajak

dengan delik korupsi, walaupun dalah satu unsur delik

hampir sama, tetapi tetap memiliki perbedaan substantif. 38

Kata “dapat” dalam unsur delik pajak berupa dapat

menimbulkan kerugian pada pendapatan negara tidak selalu

harus terjelma atau terjadi. Oleh karena pendapatan negara

dari sektor pajak yang ditetapkan dalam Undang-Undang

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UUAPBN) hanya

bersifat perkiraan atau dugaan dalam jangka waktu satu

tahun. Perkiraan atau dugaan itu merupakan bagian dari kata

“dapat” menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Apalagi kalau terbukti menimbulkan kerugian pada

pendapatan negara sehingga tidak perlu diragukan

kebenarannya. 39

Kejahatan di bidang perpajakan merupakan awal dari

delik pajak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak boleh

disamakan dengan kejahatan sebagai awal dari delik korupsi

yang diatur dalam UUPTPK. Adapun jenis kejahatan di

bidang perpajakan, antara lain sebagai berikut:40

38 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 8-939 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 940 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 9-11

Page 340: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.23

1. Menghitung atau menetapkan pajak;

2. Bertindak di luar kewenangan;

3. Melakukan pemerasan dan pengancaman;

4. Penyalahgunaan kekuasaan;

5. Tidak mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya;

6. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan;

7. Pemalsuan surat pemberitahuan;

8. Menyalahgunakan nomor pokok wajib pajak;

9. Menggunakan tanpak hak nomor pokok wajib pajak;

10. Menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak;

11. Menggunakan tanpa hak nomor pokok wajib pajak;

12. Menolak untuk diperiksa;

13. Pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain;

14. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di

Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak

meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;

15. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang

menjadi dasar pembukuan atau pencatatan;

16. Tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut;

17. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti

pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau

bukti setoran pajak;

Page 341: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.24

18. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan

sebagai pengusaha kena pajak;

19. Tidak memberikan keterangan atau bukti;

20. Menghalangi atau mempersulit penyidikan delik pajak;

21. Tidak memenuhi kewajiban memberikan data atau

informasi;

22. Tidak terpenuhi kewajiban pejabat pajak dan pihak lain;

23. Tidak memberikan data dan informasi perpajakan;

24. Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan;

25. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib

pajak; dan

26. Tidak dipenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib

pajak.

1) Berikan 1 (satu) contoh Kejahatan Pajak yang dilakukanoleh Pegawai pajak!

2) Jelaskan mengapa kejahatan perpajakan disebutjugasebagai kejahatan dibidang perekonomian?

Petunjuk Jawaban Latihan

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 342: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.25

1) Pegawai pajak dengan maksud menguntungkan dirisendiri melawan hukum dengan menyalahgunakankekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikansesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran,atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiridengan tindakan atau perbuatan itu dapat menimbulkankerugian pada pendapatan negara.

2) Tindak pidana yang berkaitan dengan perekonomianadalah tindak pidana perpajakan, karena perpajakanberkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran yangmempunyai dampak pada kondisi perekonomian secaraumum.

1) Kejahatan dibidang perpajakan menunjukkanbahwa kejahatan ini merupakan substansi hukumpajak karena terlanggarnya kaidah hukum pajak.Secara sosiologis, kejahatan dibidang perpajakantelah memperlihatkan suatu keadaan nyata yangterjadi dalam masyarakat sebagai bentuk aktivitaspegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak, ataupihak lain. Sementara itu, secara filosofis tersiratmakna bahwa telah terjadi perubahan-perubahannilai dalam masyarakat ketika suatu aktivitasperpajakan dilaksanakan sebagai bentuk peran sertadalam berbangsa dan bernegara.

2) Kejahatan dibidang perpajakan dapat berupamelakukan perbuatan atau tidak melakukanperbuatan yang memenuhi ketentuan peraturanperundang-undangan perpajakan. Pada hakikatnya,

RANGKUMAN

Page 343: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.26

ketentuan peraturan perundang-undanganperpajakan dikategorikan sebagai kaidah hukumpajak yang menjadi koridor untuk berbuat atautidak berbuat. Dengan demikian, melakukanperbuatan atau tidak melakukan perbuatan dibidangperpajakan tergolong sebagai kejahatan dibidangperpajakan ketika memenuhi rumusan kaidahhukum pajak.

3) Adapun jenis kejahatan di bidang perpajakan,antara lain sebagai berikut Menghitung ataumenetapkan pajak; Bertindak di luar kewenangan;Melakukan pemerasan dan pengancaman;Penyalahgunaan kekuasaan; Tidak mendaftarkandiri atau melaporkan usahanya; Tidakmenyampaikan surat pemberitahuan; Pemalsuansurat pemberitahuan; Menyalahgunakan nomorpokok wajib pajak; Menggunakan tanpak haknomor pokok wajib pajak; Menyalahgunakanpengukuhan pengusaha kena pajak; Menggunakantanpa hak nomor pokok wajib pajak; Menolakuntuk diperiksa; Pemalsuan pembukuan,pencatatan, atau dokumen lain; Tidakmenyelenggarakan pembukuan atau pencatatan diIndonesia, tidak memperlihatkan atau tidakmeminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumenyang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan;Tidak menyetor pajak yang telah dipotong ataudipungut; Menerbitkan dan/atau menggunakanfaktur pajak, bukti pemungutan pajak, buktipemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak;Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkansebagai pengusaha kena pajak; Tidak memberikanketerangan atau bukti; Menghalangi ataumempersulit penyidikan delik pajak; Tidak

Page 344: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.27

memenuhi kewajiban memberikan data atauinformasi; Tidak terpenuhi kewajiban pejabat pajakdan pihak lain; Tidak memberikan data daninformasi perpajakan; Menyalahgunakan data daninformasi perpajakan; Tidak memenuhi kewajibanmerahasiakan rahasia wajib pajak; dan Tidakdipenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajibpajak.

1) Wajib pajak melakukan perbuatan berupamenyampaikan surat pemberitahuan tetapisubstansinya tidak benar, tidak lengkap, tidak jelas,atau tidak ditandatangani. Hal tersebut merupakankejahatan perpajakan pada jenis perbuatan …A. Melakukan perbuatan tapi bertentangan

dengan kaidah hukum pajak sehinggadikategorikan sebagai kejahatan dibidangperpajakan

B. Melakukan penipuan data palsuC. Melakukan Kejahatan Perpajakan yang

terdapat dalam KUHP yakni Pasal 362D. Tidak melakukan kewajibannya

2) Pegawai pajak tidak memberikan pelayanan secarabenar dan baik kepada wajib pajak sebagaipelaksanaan..A. Sistem self assessmentB. Sistem of self service

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 345: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.28

C. Sistem mono serviceD. Sistem first self service

3) Undang-Undang Perpajakan yang saat ini berlakudi Indonesia di atur dalam ...A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983B. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983C. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009D. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2008

4) Hukum Pajak sebagai hukum positif merupakanbagian tak terpisahkan dari hukum …A. Administrasi NegaraB. PrivatC. Tidak tertulisD. Publik

5) Substansi hukum pajak memuat kaidah hukumtertulis karena dalam kenyataannya bahwakelahirannya didasarkan pada undang-UndangPajak sebagai produk politik dari DewanPerwakilan Rakyat bersama dengan …A. Kementerian KeuanganB. PresidenC. DPDD. Kementerian Hukum dan HAM.

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban TesFormatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglahjawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untukmengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi KegiatanBelajar 1.

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 346: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.29

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Andadapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jikamasih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi KegiatanBelajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.

Kegiatan Belajar 2

Kejahatan oleh Pegawai Pajak, Wajib Pajak, Pejabat Pajakdan Kejahatan oleh Pihak Lain

Page 347: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.30

1. Kejahatan oleh Pegawai Pajak

Sebagai pegawai negeri sipil, pegawai pajak wajib

menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. Kewajiban ini merupakan konsekuensi dari

sumpah/janji yang diucapkan pada saat pelantikannya

dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu. Kadangkala

pejabat yang mengambil sumpah/janji pegawai negeri sipil

tersebut merupakan atasan langsungnya sehingga memiliki

tanggungjawab untuk melakukan pengawasan internal

terhadap pegawai pajak yang bersangkutan. 41

Salah satu tugas pegawai pajak yang terkait dengan

kementriannya, khususnya Direktorat Jenderal Pajak adalah

melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dalam pelaksanaan tugas itu, pegawai pajak tidak boleh

melakukan kejahatan yang mengarah kepada perbuatan

melanggar hukum pajak. UUKUP telah menentukan secara

tegas jenis kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan

oleh pegawai pajak dalam rangka memberikan pelayanan

41 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 18

Page 348: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.31

kepada wajib pajak. Diharapkan pegawai pajak dalam

memberikan pelayanan kepada wajib pajak tidak melakukan

kejahatan yang terdapat dalam UUKUP yaitu :42

1. Menghitung atau Menetapkan Pajak

Kejahatan menghitung atau menetapkan

pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan

merupakan salah satu bentuk kejahatan yang

dilakukan oleh pegawai pajak. Ketentuan yang

terkait dengan kejahatan ini diatur pada Pasal

36A ayat (1) UUKUP bahwa “pegawai pajak

yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja

menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai

dengan ketentuan undang-undang perpajakan

dikenai sanksi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan”. Untuk mengetahui bahwa

kejahatan itu termasuk delik pajak menurut Pasal

36A ayat (1) UUKUP, harus memenuhi unsur-

unsur sebagai berikut. 43

42 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 1843 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 19

Page 349: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.32

a. Dilakukan oleh pegawai pajak;

b. Karena kelalaian; atau

c. Dengan kesengajaan;

d. Menghitung pajak tidak sesuai dengan

ketentuan undang-undang perpajakan; atau

e. Menetapkan pajak tidak sesuai dengan

ketentuan undang-undang perpajakan.

Pegawai pajak merupakan aparatur negara

dan abdi negara yang bertugas di bidang

perpajakan. Secara profesional, pegawai pajak

seyogianya menghasilkan pekerjaan yang terbaik

untuk kepentingan negara. Konsekuensi dari itu,

pegawai pajak wajib memberikan pelayanan yang

berhubungan dengan wajib pajak dan

menghormati hak-hak wajib pajak sebagai

penjelmaan dari “sistem self assessment” yang

dianut dalam hukum pajak. Sebaliknya, pegawai

pajak wajib memperoleh penghasilan dari

pekerjaannya yang bersifat lebih dari pegawai

Page 350: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.33

negeri sipil lainnya yang berada pada

kementerian di luar kementerian keuangan. 44

Bentuk pelayanan yang diberikan oleh

pegawai pajak kepada wajib pajak adalah

menghitung atau menetapkan pajak secara benar

dan sah menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan. Menghitung atau

menetapkan pajak, pegawai pajak wajib

berpedoman atau berdasarkan pada surat

pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib

pajak. Untuk dijadikan pedoman atau dasar,

terlebih dahulu surat pemberitahuan diteliti

kebenarannya agar dalam menghitung atau

menetapkan pajak tidak terdapat kesalahan yang

mengarah kepada suatu kejahatan dibidang

perpajakan. Perhitungan atau penetapan pajak

secara benar menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan merupakan

dasar bagi wajib pajak untuk melunasi pajak yang

terutang. Sebaliknya, bila terdapat kelebihan

44 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 19

Page 351: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.34

pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib

pajak dapat dimohonkan pengembaliannya

(restitusi) berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan.45

Jika dicermati, Pasal 36A ayat (1) UUKUP

dapat dipahami bahwa terjadinya kejahatan

menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. Kejahatan itu dilakukan oleh

pegawai pajak karena kelalaian atau dengan

sengaja sehingga terjadi kesalahan menghitung

atau menetapkan pajak. Kejahatan itu dapat

berupa berkurangnya pajak yang dibayar atau

terdapat kelebihan pembayaran yang dilakukan

oleh wajib pajak. 46

Kemudian dalam penjelasan pada Pasal 36A

ayat (1) UUKUP ditentukan “dalam rangka

mengamankan penerimaan negara dan

meningkatkan profesionalisme pegawai pajak

45 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 2046 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 20

Page 352: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.35

dalam melaksanakan ketentuan undang-undang

perpajakan. Pegawai pajak yang dengan sengaja

menghitung atau menetapkan pajak yang tidak

sesuai dengan undang-undang sehingga

mengakibatkan kerugian pada pendapatan

negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan”. Berdasarkan

penjelasan ketentuan ini, terlihat bahwa kejahatan

yang dilakukan oleh pegawai pajak berupa

menghitung atau menetapkan pajak berakibat

terhadap kerugian pada pendapatan negara.

Ketika kerugian pada pendapatan negara yang

dijadikan pegangan, berarti kejahatan itu

tergolong ke dalam delik materiil. Namun, hal ini

terdapat dalam penjelasan, berarti yang menjadi

patokan adalah yang tercantum dalam kaidah

hukum pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal

36A ayat (1) UUKUP. 47

2. Bertindak di Luar Kewenangan

47 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 20-21

Page 353: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.36

Pelaksanaan tugas oleh pegawai pajak harus

didasarkan pada kewenangan yang dimilikinya.

Kewenangan ini dilaksanakan berdaarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan agar wajib pajak memperoleh

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum

untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Hal

ini merupakan pencerminan dari sistem self

assessment yang dianut dalam rangka

peningkatan pendapatan negara dari sektor

pajak.48

Sebenarnya, pegawai pajak dilarang

bertindak di luar kewenangan yang diberikan

oleh hukum pajak. Larangan ini bertujuan agar

pegawai pajak tidak melakukan kejahatan di

bidang perpajakan yang berakibat kepada

korbannya. Saatnya pegawai pajak bertindak

sesuai dengan kewenangannya sehingga wajib

pajak memiliki ketaatan agar tidak melakukan

kejahatan di bidang perpajakan. Dalam hal ini,

48 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 21

Page 354: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.37

pegawai pajak diharapkan mampu berperilaku

terbaik ketika bertindak berdasarkan kewenangan

kepada wajib pajak. 49

3. Melakukan Pemerasan dan Pengancaman

Jika dalam pemberian pelayanan, pegawai

pajak terbyata melakukan pemerasan dan

pengancaman kepada kepada wajib pajak berarti

pegawai pajak melakukan kejahatan di bidang

perpajakan dan korbannya adalah wajib pajak di

satu sisi. Sementara itu, di sisi lain, terdapat

kerugian yang dialami oleh negara yang terkait

dengan pendapatan dari sektor pajak sehingga

Negara merupakan korbannya. Pengecualian agar

tidak terjadi kejahatan berupa pemerasan dan

pengancaman terhadap wajibpajak dirumuskan

kaidah hokum pajak sebagaimana dimaksud pada

Pasal 36A ayat (3) UUKUP.50

Pegawai pajak yang dalam melakukan

tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan

49 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 2150 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 24

Page 355: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.38

pengancaman kepada wajib pajak untuk

menguntungkan diri sendiri secara melawan

hukum diancam dengan pidana sebagaimana

dimaksud dalam pasal 368 KUHP. Untuk

mengetahui bahwa kejahatan itu merupakan delik

pajak, harus memenuhi unsure-unsur sebagai

berikut51

a. dilakukan oleh pegawai pajak;

b. perbuatan itu berupa pemerasan dan

pengancaman;

c. ditujukan kepada wajib pajak;

d. untuk menguntungkan diri sendiri;

e. dilakukan secara melawan hukum.

4. Penyalahgunaan Kekuasaan

Penyalahgunaan kekuasaan oleh pegawai

pajak diatur pada Pasal 36A ayat (4) UUKUP.

Ketentuan ini menentukan “pegawai pajak yang

dengan maksud menguntungkan diri sendiri

secara melawan hokum dengan

menyalahgunakan kekuasaannya memaksa

51 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 24-25

Page 356: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.39

seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk

membayar atau menerima pembayaran, atau

untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,

diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dan perubahannya.” 52

Untuk mengetahui kejahatan ini merupakan

delik pajak, harus memenuhi unsure-unsur

sebagai berikut53

a. dilakukan pegawai pajak;

b. dengan maksud menguntungkan diri sendiri;

c. secara melawan hukum;

d. menyalahgunakan kekuasaannya;

e. memaksa seseorang untuk memberikan

sesuatu, untuk membayar; atau menerima

pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu

bagi dirinya sendiri.

52 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 2653 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 26

Page 357: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.40

2. Sanksi Pidana Dalam Ruang Lingkup Perpajakan

Keempat jenis kejahatan di bidang perpajakan

sebagaimana ditentukan pada Pasal 36A UUKUP

memiliki sanksi pidana yang berbeda-beda. Perbedaan

itu didasarkan pada substansi kejahatan terhadap

kerugian yang dialami oleh negara dan bahkan

kerugian wajib pajak yang memerlukan perlindungan

hukum dalam melaksanakan kewajibannya.

Sementara itu, sanksi pidana bagi pegawai pajak yang

melakukan kejahatan di bidang perpajakan

merupakan bentuk pembinaan secara langsung

melalui instrumen hukum terkait dengan perbuatan

yang dilakukannya.54

Sanksi terhadap kejahatan menghitung atau

menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan

undang-undang perpajakan berdasarkan Pasal 36A

ayat (1) UUKUP adalah sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan. Jika dijabarkan lebih lanjut

sanksi terhadap kejahatan ini, berarti pelakunya dapat

dikenakan sanksi pidana maupun sanksi disiplin

54 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 27

Page 358: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.41

pegawai negeri sipil merupakan wewenang dari

pejabat yang berwenang tanpa melalui putusan

lembaga peradilan. 55

Sementara itu, berdasarkan Pasal 36A ayat (2)

UUKUP bahwa kejahatan bertindak di luar

kewenangan pegawai pajak dikenakan sanksi sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan ketentuan ini, mengatur pelanggaran yang

dilakukan pegawai pajak, misalnya apabila pegawai

pajak melakukan pelanggaran di bidang kepegawaian,

pegawai pajak dapat diadukan karena telah melanggar

peraturan perundang-undangan di bidang

kepegawaian. Apabila pegawai pajak dianggap

melakukan tindak pidana, pegawai pajak dapat

diadukan karena telah melakukan tindak pidana.

Demikian pula, apabila pegawai pajak melakukan

delik korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena

melakukan delik korupsi. Dalam keadaan demikian,

wajib pajak dapat mengadukan pelanggaran yang

55 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 27

Page 359: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.42

dilakukan pegawai pajak tersebut kepada unit internal

kementerian negara.56

Pengaduan itu wajib disampaikan dalam bentuk

tertulis dengan membuat identitas pelapor maupun

terlapor. Selain itu, memuat pula substansi terjadinya

pelanggaran disiplin dan/atau kejahatan berupa

bertindak di luar kewenangan yang dilakukan oleh

pegawai pajak. Hal ini bertujuan agar pihak yang

berwenang melakukan penyidikan untuk memperoleh

gambaran tentang hal-hal yang diadukan sehingga

diputuskan secara berkeadilan melalui lembaga

peradilan yang berkompeten untuk itu. Surat

pengaduan itu harus ditandatangani oleh pihak

pelapor agar dapat dipertanggungjawabkan sehingga

tidak termasuk ke dalam pengaduan yang ilegal.

Penandatanganan surat pengaduan tersebut bertujuan

untuk memberi kepastian hukum akan keberadaan

pengaduan itu. 57

56 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 27-2857 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 28

Page 360: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.43

Apabila terkait dengan delik pajak (bernuansa

korupsi atau tidak) berarti pegawai pajak wajib

dilaporkan kepada pejabat penyidik pegawai negeri

sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagai

penyidik khusus. Berhubung karena, pegawai pajak

yang melakukan delik pajak tidak boleh dilakukan

penyidikan oleh pejabat penyidik di luar penyidik

pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal

Pajak. 58

Pengecualiaan itu didasarkan pada Pasal 44 ayat

(1) UUKUP bahwa penyidikan delik pajak hanya

dapat dilakukan oleh pejabat penyidik pegawai negeri

sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak

yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik delik

pajak. 59

Kemudian, sanksi pidana terhadap kejahatan

melakukan pemerasan dan pengancaman menurut

Pasal 36A ayat (3) UUKUP diancam dengan pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 KUHP.

58Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 2859 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 29

Page 361: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.44

Ketentuan ini (Pasal 36A ayat (3) UUKUP)

mengambil-alih sanksi pidana yang tercantum dalam

Pasal 368 KUHP untuk diterapkan pada kejahatan

melakukan pemerasan dan pengancaman kepada

wajib pajak dengan tujuan menguntungkan diri

sendiri secara melawan hukum. Sanksi pidana

tersebut berupa pidana penjara paling lama sembilan

tahun. Sanksi pidana ini tidak memberikan suatu

kepastian hukum karena tidak mutlak sembilan tahun.

Hal ini disebabkan adanya kata “paling lama”,

seyogianya tidak perlu ada demi kepastian hukum

serta membuat pegawai pajak tidak melakukan

kejahatan ini ke dapan. 60

Jika dicermati kejahatan menyalahgunakan

kekuasaan memaksa seseorang untuk memberikan

sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran,

atau untuk mengerjakan sesuatu bagi kepentingan

pegawai pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 36A

ayat (4) UUKUP dikenakan sanski pidana

sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UUPTPK. Sanksi

60 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 29

Page 362: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.45

pidana tersebut berupa pidan penjara seumur hidup

atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan

paling lama dua puluh tahun dan denda paling sedikit

dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar

rupiah. Pada hakikatnya, sanksi pidana bagi pegawai

pajak yang melakukan kejahatan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 36A ayat (4) UUKUP berada

pada tataran hukuman pokok dan tidak ada hukuman

tambahan. 61

3. Kejahatan oleh Wajib Pajak

A. Pengertian Wajib Pajak

Pelaku kejahatan dalam konteks pelaksanaan

hukum pajak tidak hanya terfokus pada pegawai

pajak, melainkan termasuk wajib pajak. Hal ini

didasarkan bahwa wajib pajak adalah subjek

hukum yang memiliki hak dan kewajiban dalam

perhubungan hukum di bidang perpajakan. Lain

perkataan, subjek pajak pada hakikatnya bukan

61 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 29

Page 363: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.46

merupakan wajib pajak, karena tidak mempunyai

kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum

pajak. Kapan saatnya subjek pajak merupakan

wajib pajak, yaitu ketika telah memenuhi syarat-

syarat objektif.62

Pasal 1 angka 2 UU KUP secara tegas

menentukan bahwa "wajib pajak adalah orang

pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,

pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang

mempunyai hak dan kewajiban perpajakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan". Pada hakikatnya, wajib

pajak tidak boleh terlepas dari konteks

perorangan agar tetap dalamkedudukannya

sebagai orang pribadi. Sementara itu, badan

sebagai wajib pajak, dapat berupa badan tidak

berstatus badan hukum dan badan yang berstatus

badan hukum, baik yang tunduk pada hukum

privat maupun yang tunduk pada hukum publik.63

62 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 3363 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 33-34

Page 364: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.47

Pengertian badan adalah sekumpulan orang

dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik

yang melakukan usaha maupun yang tidak

melakukan usaha yang meliputi perseroan

terbatas, perseroan komanditer, perseroan

lainnya, badan usaha milik negara atau daerah

dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,

kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,

perkumpulan, yayasan, organisasi massa,

organisasi politik, atau organisasi lainnya,

lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk

kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha

tetap.64

Wajib pajak pada hakikatnya adalah subjek

hukum yang wajib menaati hukum pajak. Wajib

pajak berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUKUP

terdiri dari:65

1. Pembayar pajak;

2. Pemotong pajak;

64 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 3465 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 34

Page 365: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.48

3. Pemungut pajak.

Wajib pajak berdasarkan Pasal 1 angka 2

UUKUP merupakan wajib pajak dalam arti

normatif. Akan tetapi, bila dikaji secara keilmuan

dalam bidang hukum pajak ternyata ketiganya

terdapat perbedaan secara prinsipil. Pembayar

pajak sebagai wajib pajak berada dalam tataran

kebenaran karena telah memenuhi syarat-syarat

subjektif dan syarat-syarat objektif. Sementara

itu, pemotong pajak dan pemungut pajak tidak

boleh dikategorikan sebagai wajib pajak karena

syarat-syarat objektif tidak terpenuhi. Pajak yang

dipotong atau dipungut tidak boleh dikategorikan

sebagai objek pajak yang dimiliki, melainkan

adalah pajak dari pihak-pihak yang dikenakan

pemotongan pajak atau pemungutan pajak.

Pemotong pajak atau pemungut pajak adalah

tepat kalau dimasukkan ke dalam kategori

Page 366: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.49

sebagai petugas pajak bukan merupakan wajib

pajak.66

Pemotong pajak adalah orang atau badan

yang wajib melakukan pemotongan pajak. Jenis

pajak yang dipotong adalah pajak penghasilan

berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

sebagaimana telah diubah keempat kalinya,

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UUPPh).

Sementara itu, pemungut pajak adalah orang atau

badan yang wajib memungut pajak terhadap

berbagai jenis pajak yang berlaku. Adapun jenis

pajak yang boleh dipungut, antara lain sebagai

berikut.67

1. Pajak penghasilan berdasarkan Pasal 23

dan Pasal 26 UUPPh;

2. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa;

3. Pajak penjualan atas barang mewah;

66 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 34-4567 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 35

Page 367: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.50

4. Pajak bumi dan bangunan;

5. Bea perolehan hak atas tanah dan

bangunan.

Wajib pajak mempunyai hak dan kewajiban

perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan. Akan tetapi,

bila ditelusuri kaidah hukum pajak dalam

UUKUP ternyata kejahatan berasal wajib pajak

hanya terkait dengan pemenuhan kewajiban

perpajakan. Dalam arti, tidak ada kejahatan bila

wajib pajak melaksanakan haknya di bidang

perpajakan. Hal ini perlu diantisipasi ke depan

karena banyak cara wajib pajak menggunakan

haknya, tetapi secara tersirat telah melakukan

kejahatan di bidang perpajakan yang dapat

dikategorikan sebagai delik pajak.68

Sebenarnya, hukum pajak berada dalam

kedudukan yang sama dengan hukum pidana

(KUHP), tetapi bukan merupakan bagian hukum

pidana yang selama ini diketahui dan dipahami.

68 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 35

Page 368: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.51

Hal ini didasarkan pada kejahatan di bidang

perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak tidak

terikat pada KUHP melainkan pada hukum pajak

karena memiliki landasan hukum untuk itu.69

Landasan hukum bagi kejahatan di bidang

perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak

tertuju pada Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal

41A, Pasal 41B, dan Pasal 41C UUKUP. Ketika

dicermati ketentuan tersebut, ternyata wajib pajak

melakukan kejahatan di bidang perpajakan

dilandasi pada unsur "karena kealpaan" atau

"dengan kesengajaan" dan bahkan posisi

terbanyak adalah dengan kesengajaan. Hal ini

terjadi karena wajib pajak berupaya untuk

mengelak atau menghindarkan diri dari

pemenuhan kewajiban tanpa menghiraukan

kepentingan negara sehingga dapat menimbulkan

kerugian pada pendapatan negara.70

69 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 3770 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 37

Page 369: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.52

B. Kejahatan Dilakukan oleh Wajib Pajak

Telah dikemukakan terdahulu, bahwa

kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan

oleh wajib pajak dilandasi pada unsur "karena

kealpaan" atau "dengan kesengajaan" dan bahkan

posisi terbanyak adalah dengan kesengajaan.

Tidak mengherankan bila demikian halnya,

karena hukum pajak menitikberatkan pada unsur

kesengajaan daripada karena kealpaan pada wajib

pajak. Berhubung karena substansi hukum yang

terkandung dalam tiap-tiap delik pajak tertuju

pada pemenuhan kewajiban yang harus

dilaksanakan dalam jangka waktu yang

ditentukan.71

Berbagai jenis kejahatan di bidang

perpajakan yang terkait dengan pemenuhan

kewajiban wajib pajak. Sebenarnya tidakperlu

terjadi kejahatan di bidang perpajakan bila wajib

pajak memiliki kesadaran hukum yang tinggi

untuk melaksanakan kewajibannya tepat pada

71 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 37

Page 370: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.53

waktu yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan perpajakan. Hal ini perlu

disadari oleh wajib pajak agar tidak berurusan

dengan pihak-pihak yang diwajibkan

menegakkan hukum pajak, baik di luar lembaga

peradilan pajak maupun di dalam lembaga

peradilan pajak.72

Kejahatan tidak mendaftarkan diri atau

melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai

pengusaha kena pajak merupakan bagian dari

kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan

oleh wajib pajak. Ketentuan yang mengatur

tentang kejahatan tidak mendaftarkan diri atau

tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan

sebagai pengusaha kena pajak diatur pada Pasal

39 ayat (1) huruf a UUKUP. Ketentuan ini secara

tegas menentukan bahwa "setiap orang yang

dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk

diberikan nomor pokok wajib pajak atau tidak

melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai

72 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 37-38

Page 371: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.54

pengusaha kena pajak".73

Secara hakikat, kejahatan yang diatur

pada Pasal 39 ayat (1) huruf a UUKUP terdiri

dari (1) kejahatan tidak mendaftarkan diri untuk

diberikan nomor pokok wajib pajak, dan (2)

kejahatan tidak melaporkan usahanya untuk

dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

Kedua jenis kejahatan ini memiliki unsur-unsur

yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan ini

bertujuan untuk memberikan pemahaman bagi

pihak-pihak yang terkait agar mampu

membedakannya berdasarkan substansi yang

dikandungnya.74

Pertama, kejahatan tidak mendaftarkan

diri untuk diberikan nomor pokok wajib pajak,

yang memuat unsur-unsur sebagai berikut.75

a. dilakukan oleh setiap orang;

b. dengan sengaja;

73 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 3874 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 3875 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 39

Page 372: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.55

c. tidak mendaftar diri untuk diberikan nomor

pokok wajib pajak;

d. dapat menimbulkan kerugian pada

pendapatan negara.

Keabsahan untuk melakukan

perhubungan hukum di bidang perpajakan, wajib

pajak terlebih dahulu wajib mendaftarkan diri.

Kewajiban ini tidak boleh diabaikan karena dapat

dikenakan hukuman, baik yang bersifat

administratif maupun kepidanaan. Kewajiban

mendaftarkan diri dimaksudkan untuk menjaring

sebanyak-banyaknya wajib pajak agar berperan

dalam pembiayaan pemerintahan negara melalui

pajak sebagai sumber pendapatan negara. Pada

hakikatnya, wajib pajak sebagai warga negara

merupakan pemilik negara yang memiliki

kedaulatan untuk membiayai negara dalam

rangka pelaksanaan tugas sebagaimana yang

ditentukan.76

Wajib pajak yang telah memenuhi

76 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 39

Page 373: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.56

persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan, wajib mendaftarkan diri untuk

diberikan nomor pokok wajib pajak. Persyaratan

subjektif adalah persyaratan yang telah

ditentukan sebagai subjek pajak berdasarkan

ketentuan dalam UUPPh atau UUPDRD.

Sementara itu, persyaratan objektif adalah

persyaratan bagi subjek pajak yang menerima

penghasilan atau memperoleh penghasilan.

Ataukah, diwajibkan untuk melakukan

pemotongan atau pemungutan pajak sesuai

dengan ketentuan UUPPh atau UUPDRD.77

Oleh karena itu, pendaftaran diri bagi

wajib pajak merupakan kewajiban yang harus

dilaksanakan dan tidak boleh dikesampingkan.

Kecuali wajib pajak memperoleh izin dari kantor

Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya

meliputi tempat tinggal atau tempat

77 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 39

Page 374: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.57

kedudukannya. Apabila wajib pajak tidak

mendaftarkan diri dengan sengaja sehingga dapat

menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,

berarti telah melakukan kejahatan.78

Kedua, Kejahatan tidak melaporkan

usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha

kena pajak yang memuat unsur-unsur sebagai

berikut.79

a. Dilakukan oleh setiap orang;

b. Dengan kesengajaan;

c. Tidak melaporkan usahanya untuk

dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak;

d. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan

negara.

Pengusaha adalah orang pribadi atau

badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan

usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang,

mengimpor barang, mengekspor barang,

melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan

78 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 40-4179 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 41

Page 375: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.58

barang tidak berwujud dari luar daerah pabean,

melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa

dari luar daerah pabean. Pengusaha orang pribadi

berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor

Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya

meliputi tempat tinggal pengusaha dan tempat

kegiatan usaha dilakukan. Sementara itu,

pengusaha badan wajib pula melaporkan

usahanya tersebut pada kantor Direktorat

Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi

tempat kedudukan pengusaha dan tempat

kegiatan usaha dilakukan. Oleh karena itu,

kewajiban melaporkan usaha bagi pengusaha

tidak hanya ditujukan kepada pengusaha orang

pribadi termasuk pula pengusaha badan.80

Tujuan untuk melaporkan usaha bagi

pengusaha agar kepadanya diberikan keputusan

pengukuhan pengusaha kena pajak.

4. Kejahatan oleh Pejabat Pajak

80 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 41

Page 376: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.59

A. Pengertian Pejabat Pajak

Pada hakikatnya, pejabat adalah petugas

pajak maupun mereka yang melakukan tugas di

bidang perpajakan. Petugas pajak berdasarkan

pembagian pajak negara dan pajak daerah

meliputi petugas pajak negara dan petugas pajak

daerah. Selain itu, kaidah hukum pajak

mempersamakan antara petugas pajak dengan

tenaga ahli yang ditunjuk oleh direktur jenderal

pajak atau yang ditunjuk oleh gubernur kepala

daerah dan bupati/ walikota kepala daerah untuk

membantu pelaksanaan hukum pajak. Tenaga

ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara

yang diperbantukam dalam rangka pelaksanaan

ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.81

Adapun pihak-pihak yang tergolong

sebagai pejabat pajak, adalah sebagai berikut.82

1. direktur jenderal pajak;

81 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajaka1n, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 11182 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 111-112

Page 377: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.60

2. direktur jenderal bea dan cukai;

3. gubernur kepala daerah

4. bupati/walikota kepala daerah; dan

5. pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan

perintah perundang-undangan perpajakan,

seperti kepala kantor pelayanan pajak atau

kepala dinas pendapatan daerah

6. tenaga ahli yang ditunjuk oleh direktur

jenderal pajak atau oleh kepala daerah.

Pejabat pajak yang berasal dari petugas

pajak dibebani wewenang, kewajiban, dan

larangan dalam rangka pelaksanaan peraturan

perundang-undangan perpajakan. Sementara ini

pejabat pajak yang berasal dari tenaga ahli hanya

memiliki kewajiban dan larangan. Perbedaan ini

disebabkan karena petugas pajak merupakan

pemangku jabatan di lingkungan Direktorat

Jenderal Pajak. Sebaliknya, tenaga ahli pada

hakikatnya bukan merupakan petugas pajak

dalam kapasitasnya sebagai pegawai negeri sipil.

Dengan demikian, tanggungjawab terhadap

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-

Page 378: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.61

undangan perpajakan terdapat perbedaan secara

prinsipil.83

Meskipun terdapat perbedaan secara

prinsipil antara petugas pajak dengan tenaga ahli

dalam kedudukan sebagai pejabat pajak, tetapi

keduanya merupakan pengawal terhadap

ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. Perbedaan itu bukan merupakan

faktor yang dapat memengaruhi terjadinya

kejahatan di bidang perpajakan. Hal ini

dimaksudkan agar keduanya tetap mencermati

kandungan dari sumpah atau janji yang diucap

pada saat pelantikannya. Oleh karena ini

substansi dari sumpah/janji itu bertujuan agar

berperilaku dengan tidak bertentangan peraturan

perundang-undangan perpajakan. 84

Substansi kejahatan yang dilakukan oleh

pejabat pajak berbeda dengan kejahatan yang

dilakukan oleh pegawai pajak. Walaupun

83 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 11284 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 112

Page 379: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.62

keduanya merupakan pihak-pihak yang tergolong

melakukan kejahatan dalam pelaksanaan hukum

pajak. Perbedaan itu didasarkan pada tanggung

jawab yang dibebankan kepadanya agar bertindak

dalam koridor hukum pajak.85

B. Landasan Hukum

Kejahatan di bidang perpajakan yang

dilakukan oleh pejabat pajak sangat terkait

dengan rahasia perpajakan dari wajib pajak.

Berhubung karena, pejabat pajak memiliki

kewajiban untuk merahasiakan rahasia

perpajakan dari wajib pajak yang telah diketahui

orangnya. Kewajiban ini terlanggar karena

kalpaan atau dengan kesengajaan dilakukannya

kejahatan untuk itu. Hal tersebut dilandasi pada

Pasal 41 ayat (1) dan (2) UUKUP. Namun

kejahatan ini dikategorikan ke dalam delik aduan,

karena menurut Pasal 41 ayat (3) UUKUP

85 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 113

Page 380: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.63

terlebih dahulu harus diadukan agar boleh

dilakukan penuntutan.86

C. Kejahatan Dilakukan oleh Pejabat Pajak

Telah diuraikan terdahulu, bahwa pejabat

pajak terdiri dari pejabat dan bukan pejabat,

tetapi diperbantukan oleh direktur jenderal pajak

dalam pelaksanaan peraturan perundang-

undangan perpajakan. Pejabat pajak terikat pada

kaidah hukum pajak yang terkait dengan

kerahasiaan wajib pajak dalam bentuk kewajiban

hukum yang tidak boleh dilanggar. Jika pejabat

pajak tidak memenuhi kewajiban itu, berarti telah

melakukan kejahatan di bidang perpajakan.87

1. Tidak Memenuhi Kewajiban

Merahasiakan Rahasia Wajib Pajak

Setelah disampaikan surat pemberitahuan

secara benar pada kantor Direktorat Jenderal

Pajak ang wilayah kerjanya meliputi tempat

86 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 11387 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 113

Page 381: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.64

tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak,

berarti pejabat pajak telah memperoleh

informasi mengenai rahasia perpajakan yang

dimiliki oleh wajib pajak. Ketika rahasia

perpajakan itu berada dalam penguasaannya

berarti pejabat pajak tidak boleh

memberitahukan kepada pihak lain.

Berhubung karena pejabat pajak memiliki

kewajiban untuk tidak memberitahukan

kepada pihak lain terhadap rahasia perpajakan

wajib pajak yang telah diungkapkan melalui

surat pemberitahuan yang disampaikan itu.88

Secara tegas pada Pasal 41 ayat (1)

UUKUP ditentukan bahwa “pejabat yang

karena kealpaannya tidak memenuhi

kewajiban merahasiakan hal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 34 ...dst ...”. Ketentuan

ini mengaitkan Pasal 34 UUKUP sebagai

bagian tak terpisah dengan kewajiban pejabat

pajak untuk tidak memberitahukan rahasia

88 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 114

Page 382: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.65

perpajakan wajib pajak. Hal ini dimaksudkan

agar wajib pajak dalam melaksanakan

kewajibannya tetap berada dalam

perlindungan hukum, khusus mengenai

rahasia perpajakan yang telah

diberitahukannya melalui surat

pemberitahuan.89

Bila dicermati secara saksama, ternyata

setiap pejabat baik petugas pajak maupun

mereka yang melakukan tugas di bidang

perpajakan dilarang mengungkapkan

kerahasiaan wajib pajak yang berkaitan

masalah perpajakan, antara lain:90

a. Surat pemberitahuan, laporan keuangan,

dan lain-lain yang dilaporkan oleh wajib

pajak;

b. Data yang diperoleh dalam rangka

pelaksanaan pemeriksaan;

89 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 114

90 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 114-115

Page 383: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.66

c. Dokumen dan/atau data yang diperoleh

dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;

dan

d. Dokumen dan/atau rahasia wajib pajak

sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan

untuk itu.

Lain halnya, bila pejabat pajak berada

pada posisi yang dibutuhkan untuk

mengungkapkan kebenaran yang terkait

dengan kerahasiaan wajib pajak tidak boleh

dikenakan hukuman. Misalnya, (1) bertindak

sebagai saksi atau saksi ahli dalam isdang

pengadilan, atau (2) ditunjuk atau ditetapkan

oleh menteri keuangan untuk memberikan

keterangan kepada pejabat lembaga negara

atau instansi pemerintah yang berwenang

melakukan pemeriksaan dalam bidang

keuangan negara. Demikian pula, untuk

kepentingan negara maka menteri keuangan

Page 384: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.67

berwenang memberi izin tertulis kepada

pejabat pajak agar memberikan keterangan

dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau

mengenai wajib oajak kepada pihak yang

ditunjuk91.

Keterangan yang boleh diberitahukan

adalah identitas wajib pajak dan informasi

yang bersifat umum tentang perpajakan.

Identitas wajib pajak meliputi:92

1) Nama wajib pajak;

2) Nomor pokok wajib pajak;

3) Alamat wajib pajak

4) Alamat kegiatan usaha;

5) Merek usaha; dan/atau

6) Kegiatan usaha wajib pajak.

Sementara itu, informasi yang boleh

diberitahukan adalah yang bersifat umum

tentang perpajakan yang meliputi;93

91 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 116

92 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 11693 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 116

Page 385: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.68

1) Penerimaan pajak secara nasional;

2) Penerimaan pajak perkantor wilayah

Direktorak Jenderal Pajak dan/atau per

kantor pelayanan pajak;

3) Penerimaan pajak per jenis pajak

4) Penerimaan pajak per klasifikasi

lapangan usaha

5) Jumlah wajib pajak dan/atau pengusaha

kena pajak terdaftar;

6) register permohonan wajib pajak;

7) tunggakan pajak secara nasional;

dan/atau

8) tunggakan pajak per kantor wilayah

Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per

kantor pelayanan pajak

Selain itu, untuk kepentingan

pemeriksaan di pengadilan dalam perkara

pidana, perdata atau sengketa pajak, atas

permintaan hakim sesuai dengan hukum acara

pidana, hukum acara perdata atau hukum

acara penyelesaian sengketa pajak, menteri

keuangan dapat memberi izin tertulis kepada

Page 386: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.69

pejabat pajak tersebut. Kata “dapat” diartikan

sebagai suatu ketergantungan pada

persetujuan menteri keuangan dengan

mempertimbangkan kepentingan negara.

Pemberian izin kepada pejabat pajak dengan

tujuan untuk memberikan dan

memperlihatkan bukti tertulis maupun

keterangan wajib pajak yang ada padanya.94

Pengungkapan kerahasiaan perpajakan

wajib pajak berdasarkan ketentuan ini,

dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai,

tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan

sehingga kewajiban untuk merahasiakan

keterangan atau bukti-bukti yang ada pada

wajib pajak. Walaupun pada kejahatan ini

hanya dititikberatkan pada kealpaan, tetapi

inisiatif untuk tidak merahasiakan perpajakan

wajib pajak tetap berada pada pejabat pajak

yang bersangkutan. Sebenarnya, tidak ada

ketergantungan pejabat pajak dari pihak lain

94 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 17

Page 387: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.70

untuk mengungkapkan kerahasiaan

perpajakan wajib pajak, kecuali dari menteri

keuangan.95

Kejahatan karena kealpaan bagi pejabat

pajak tidak memenuhi kewajiban

merahasiakan perpajakan wajib pajak

Termasuk delik pajak sebagaimana dimaksud

pada Pasal 41 ayat (1) UUKUP. Delik pajak

tersebut tergolong ke dalam delik aduan

(klacht delicten), yaitu delik yang didasarkan

dengan adanya pengaduan dari wajib pajak

yang kerahasiannya dilanggar. Konsekuensi

dari delik aduan adalah sebelum ada

pengaduan dari wajib pajak yang dirugikan

berarti penyidik maupun penuntut umum

tidak boleh melakukan penyidikan atau

penuntutan terhadap pelaku delik aduan

tersebut.96

95 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 11796 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 117-118

Page 388: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.71

2. Tidak Dipenuhi Kewajiban Merahasiakan

Rahasia Wajib Pajak

Pasal 41 ayat (2) UUKUP secara tegas

menentukan “pejabat yang dengan sengaja

tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang

yang menyebabkan tidak dipenuhinya

kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 34 ... dst ...”. Sementara itu,

kewajiban pejabat pajak berdasarkan Pasal 34

UUKUP adalah merahasiakan rahasia wajib

pajak yang terkait dengan perpajakan. Oleh

karena itu, ketentuan tersebut memuat dua

jenis kejahatan di bidang perpajakan dengan

modus operandinya yang berbeda-beda satu

dengan lainnya, yaitu:97

a. Kejahatan yang dengan sengaja dilakukan

oleh pejabat pajak tidak memenuhi

kewajiban merahasiakan rahasia wajib

pajak;

97 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 118

Page 389: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.72

b. Kejahatan yang dengan sengaja dilakukan

oleh seseorang yang menyebabkan tidak

dipenuhinya kewajiban pejabat pajak

merahasiakan rahasia wajib pajak.

Kewajiban bagi pejabat pajak adalah

merahasiakan rahasia wajib pajak yang telah

disampaikan melalui surat pemberitahuan,

pemeriksaan, diperoleh, dari pihak ketiga,

atau berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan

itu.98

5. Sanksi Pidana

Pada hakikatnya, kejahatan di bidang

perpajakan yang dilakukan oleh pejabat pajak

hanya dua jenis kejahatan, yaitu keng. Kedua

kejahatan tidak memenuhi kewajiban

merahasiakan rahasia wajib dan kejahatan tidak

dipenuhinya kewajiban merahasiakan rahasia

wajib pajak karena pengaruh seseorang. Kedua

98 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 118

Page 390: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.73

jenis kejahatan ini mempunyai sanksi pidana

yang berbeda, di satu pihak dilakukan karena

kealpaan dan di lain pihak dilakukan dengan

kesengajaan. Hal ini merupakan faktor Yang

menyebabkan berat atau ringannya sanksi pidana

yang dikenakan pada kejahatan di bidang

perpajakan tersebut.99

Sanksi pidana kejahatan tidak memenuhi

kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak

berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UUKUP adalah

pidana kurungan paling lama satu tahun dan

denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah.

Kedua jenis sanksi pidana ini merupakan pidana

pokok yang bersufat kumulatif. Artinya, tidak

boleh hanya satu jenis sanksi pidana yang

dikenakan kepada pejabat pajak ketika

melakukan kejahatan dan terbukti melakukan

delik pajak. Sebenarnya, sanksi pidana tersebut

harus dikenakan secara bersama-sama tanpa ada

99 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 120

Page 391: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.74

pilihan lagi karena bukan merupakan sanksi

pidana yang bersifat alternatif.100

Sementara itu, sanksi pidana bagi

kejahatan tidak dipenuhinya kewajiban

merahasiakan rahasia wajib pajak karena

pengaruh seseorang berdasarkan Pasal 41 ayat (2)

UUKUP adalah dipidana penjara paling lama dua

tahun dan denda paling banyak lima puluh juta

rupiah. Kedua jenis sanksi pidana ini merupakan

pidana pokok yang bersifat kumulatif. Artinya,

tidak boleh hanya satu jenis sanksi pidana yang

dikenakan kepada pejabat pajak ketika

melakukan kejahatan dan terbukti melakukan

delik pajak. Sebenarnya, sanksi pidana tersebut

harus dinekanakn secara bersama-sama tanpa ada

pilihan lagi karena bukan merupakan sanksi

pidana yang bersifat alternatif.101

Ketika dicermati kedua sanksi pidana

yang diatur pada Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2)

100 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 121101 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 121

Page 392: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.75

UUKUP, pada dasarnya merupakan sanksi

pidana yang sangat menguntungkan bagi pejabat

pajak yang terbukti melakukan kejahatan itu.

Mengingat, kerugian yang dialami oleh wajib

pajak terhadap kerahasiaannya telah diketahui

oleh masyarakat sangat berngaruh pada usahanya

dan bahkan dapat menimbulkan kepailitan.

Seoyjanya, sanksi pidana tersebut diubah dan

disesuaikan dengan perkembangan perekonomian

saat terkini dan ke depan.102

Menurut Luhut M.P. Pangaribuan, Tindak

pidana di Bidang Perpajakan diatur di dalam

Undnag-Undang No. 6 tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan

yang telah diubah dengan UU No. 28 Tahun

2007 tentang Perubahan Ketiga atau UU No.6

Tahun 1983 tentang ketentuan Umum

Perpajakan. Ketentuan Pidana ditemukan dalam

102 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di BidangPerpajakan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 121-122

Page 393: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.76

Pasal 38 sampai dengan Pasal 43, sebagai

berikut: 103

1. Pasal 38: Kealpaan Menyampaikan SPT

Isinya Tidak benar. Barang siapa karena

kealpaannya: a. tidak menyampaikan Surat

Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat

Pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar

atau tidak lengkap, atau melampirkan

keterangan yang tidak benar; sehingga dapat

menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana

dengan pidana kurungan selama-lamanya satu

tahun dan/atau denda setinggi-tingginya

sebesar dua kali jumlah pajak yang terhutang.

2. Pasal 39: Kesengajaan Menyampaikan

SPT isinya Tidak Benar. (1) Barang siapa

dengan sengaja: a. tidak mendaftarkan diri

atau menyalahgunakan atau menggunakan

tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau b.

103 Luhut M.P. Pangaribuan. 2016. Hukum Pidana Khusus tentang Tindak PidanaEkonomi, Pencucian Uang, Korupsi dan Kerjasama Internasional sertaPengembalian Aset: Pengantar, Ketentuan, dan Pertanyaan-Pertanyaan . Jakarta:Kemang Studio Aksara. Halaman 80-90

Page 394: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.77

tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

dan/atau c. menyampaikan Surat

Pemberitahuan dan/atau keterangan yang

isinya tidak benar atau tidak lengkap;

dan/atau d. memperlihatkan pembukuan,

pencatatan, atau dokumen lain yang palsu

atau dipalsukan seolah-olah benar; dan/atau e.

tidak memperlihatkan atau tidak

meminjamkan pembukuan, pencatatan, atau

dokumen lainnya;dan/atau f. tidak

menyetorkan pajak yang telah dipotong atau

dipungut; sehingga dapat menimbulkan

kerugian pada negara, dipidana dengan

pidana penjara selama-lamanya tiga tahun

dan/atau denda setinggi tingginya sebesar

empat kali jumlah pajak yang terhutang yang

kurang atau yang tidak dibayar. (2) Ancaman

pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilipatkan dua apabila seseorang melakukan

lagi tindak pidana di bidang perpajakan

sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak

Page 395: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.78

selesainya menjalani sebagian atau seluruh

pidana penjara yang dijatuhkan.

3. Pasal 40: Tindak Pidana Pajak Daluwarsa

10 Tahun. Tindak pidana di bidang

perpajakan tidak dapat dituntut setelah

lampau waktu sepuluh tahun sejak saat

terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak,

berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau

berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.

4. Pasal 41: Kewajiban Pejabat

Merahasiakan Masalah Perpajakan. (1)

Pejabat yang karena kealpaannya tidak

memenuhi kewajiban merahasiakan hal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34,

dipidana dengan pidana kurungan selama-

lamanya enam bulan dan/atau denda

setinggitingginya Rp 1.000.000,- (satu juta

rupiah). (2) Pejabat yang dengan sengaja

tidak memenuhi kewajiban atau seseorang

yang menyebabkan tidak dipenuhinya

kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana

Page 396: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.79

penjara selama-lamanya satu tahun dan/atau

denda setinggi-tingginya Rp 2.000.000,- (dua

juta rupiah). (3) Penuntutan terhadap tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan

orang yang kerahasiaannya dilanggar.

5. Pasal 42: Tindak Pidana Pajak Bisa

Pelanggaran atau Kejahatan. (1) Tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

38 dan Pasal 41 ayat (1) adalah pelanggaran.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 39 dan Pasal 41 ayat (2) adalah

kejahatan.

6. Pasal 43: Perluasan Tanggungjawab

terhadap Wakil, Kuasa atau Pegawai.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 38 dan Pasal 39, berlaku juga bagi

wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak.

Undang –Undang Nomor 9 Tahun 1994

Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Page 397: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.80

Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan

Umum Dan Tata Cara Perpajakan

1. Kealpaan Menyampaikan SPT Isinya

Tidak Benar. Ketentuan Pasal 38 diubah,

sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38

Barang siapa karena kealpaannya :

a. tidak menyampaikan Surat

Pemberitahuan; atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan,

tetapi isinya tidak benar atau tidak

lengkap, atau melampirkan keterangan

yang isinya tidak benar; Sehingga dapat

menimbulkan kerugian pada pendapatan

negara, diancam dengan pidana kurungan

selama-lamanya satu tahun dan denda

setinggitingginya dua kali jumlah pajak

terutang yang tidak atau kurang dibayar.

2. Kesengajaan Tidak Punya NPWP dan

Menyampaikan SPT Isinya Tidak Benar.

Ketentuan Pasal 39 ayat (1) diubah dan

Page 398: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.81

ditambah dengan ayat (3), sehingga Pasal 39

seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39

(1) Barang siapa dengan sengaja :

a. tidak mendaftarkan diri, atau

menyalahgunakan atau

menggunakan tanpa hak Nomor

Pokok Wajib Pajak atau Nomor

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2; atau

b. tidak menyampaikan Surat

Pemberitahuan; atau

c. menyampaikan Surat Pemberitahuan

dan/atau keterangan yang isinya

tidak benar atau tidak lengkap; atau

d. memperlihatkan pembukuan,

pencatatan, atau dokumen lain yang

palsu atau dipalsukan seolah-olah

benar; atau

e. tidak menyelenggarakan

pembukuan atau pencatatan, tidak

Page 399: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.82

memperlihatkan atau tidak

meminjamkan buku, catatan, atau

dokumen lainnya; atau

f. tidak menyetorkan pajak yang telah

dipotong atau dipungut, sehingga

dapat menimbulkan kerugian pada

pendapatan negara, diancam dengan

pidana penjara selama-lamanya

enam tahun dan dengan setinggi-

tingginya empat kali jumlah pajak

terutang yang tidak atau kurang

dibayar.

(2) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilipatkan dua apabila

seseorang melakukan lagi tindak pidana

di bidang perpajakan sebelum lewat satu

tahun, terhitung sejak selesainya

menjalani pidana penjara yang

dijatuhkan.

(3) Barang siapa melakukan percobaan untuk

melakukan tindak pidana

menyalahgunakan atau menggunaka

Page 400: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.83

tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak

atau Nomor Pengukuhan Pengusaha

Kena Pajak sebagaimana dimaksud ayat

(1) huruf a, atau menyampaikan Surat

Pemberitahuan dan atau keterangan yang

isinya tidak benar atau tidak lengkap

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c dalam rangka mengajukan

permohonan restitusi atau melakukan

kompensasi pajak, dipidana dengan

pidana penjara selama-lamanya dua

tahun dan denda setinggi-tingginya

empat kali jumlah restitusi yang dimohon

dan/atau kompensasi yang dilakukan oleh

Wajib Pajak.”

3. Ketentuan Pasal 41 ayat (1) diubah, sehingga

Pasal 41 seluruhnya menjadi berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 41: Pejabat Wajib Merahasiakan

Masalah Perpajakan

(1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak

memenuhi kewajiban merahasiakan hal

Page 401: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.84

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34,

diancam dengan pidana kurungan selama-

lamanya satu tahun dan denda setinggi-

tingginya Rp. 2.000.000,00 (dua juta

rupiah).

(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak

memenuhi kewajibannya atau seseorang

yang menyebabkan tidak dipenuhinya

kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 34, diancam dengan pidana

penjara selama-lamanya dua tahun dan

denda setinggi-tingginyaRp. 5.000.000,00

(lima juta rupiah).

(3) Penuntutan terhadap tindak pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan

orang yang kerahasiaannya dilanggar.”

4. Wajib Memberikan Keterangan atau

Bukti dan Menghalangi Penyidikan,

Tindaj Pidana. Menambah dua ketentuan

baru di antara Pasal 41 dan Pasal 42 yang

Page 402: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.85

dijadikan Pasal 41 A dan Pasal 41 B, yang

masing-masing berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41A

Barang siapa yang menurut Pasal 3 Undang-

undang ini wajib member keterangan atau

bukti yang diminta tetapi dengan sengaja

tidak member keterangan atau bukti, atau

memberi keterangan atau bukti yang tidak

benar diancam dengan pidana penjara selama

lamanya satu tahun dan denda setinggi-

tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pasal 41B

Barang siapa dengan sengaja menghalangi

atau mempersulit penyidikan tindak pidana di

bidang perpajakan, diancam dengan pidana

penjara selama-lamanya tiga tahun dan denda

setinggi-tingginya Rp.10.000.000,00 (sepuluh

juta rupiah).”

5. Ketentuan Pasal 43 diubah, sehingga

menjadi berbunyi sebagai berikut :

6. Pasal 43

Page 403: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.86

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 38 dan Pasal 39, berlaku juga bagi

wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib

Pajak, yang menyuruh melakukan, yang

turut serta melakukan, yang

menganjurkan, atau yang membantu

melakukan tidak pidana di bidang

perpajakan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga

bagi yang menyuruh melakukan, yang

menganjurkan, atau yang membantu

melakukan tindak pidana di bidang

perpajakan.”

Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undnag Nomor 6

Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan

1. Kealpaan Menyampaikan SPT Isinya Tidak

Benar. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga

Page 404: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.87

keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang karena kealpaannya:

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi

isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau

melampirkan keterangan yang isinya tidak

benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian

pada pendapatan negara, dipidana dengan

pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun

dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali

jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang

dibayar.

2. Kesengajaan Tidak Punya NPWP dan

Menyampaikan SPT Isinya Tidak Benar.

Ketentuan Pasal 39 diubah, sehingga keseluruhan

Pasal 39 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39: Mendaftarkan Diri atau

Menyalahgunakan NPWP, tidak

memberitahukan SPT atau Tidak Benar,

Tidak Menyelenggarakan Pembukuan, Tidak

Memperlihatkan Pembukuan

Page 405: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.88

(1) Setiap orang yang dengan sengaja:

a. tidak mendaftarkan diri, atau

menyalahgunakan atau menggunakan tanpa

hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau

b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

atau

c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan

atau keterangan yang isinya tidak benar atau

tidak lengkap; atau

d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau

e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan,

atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar; atau

f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau

pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak

meminjamkan buku, catatan, atau dokumen

lainnya; atau

g. tidak menyetorkan pajak yang telah

dipotong atau dipungut, sehingga dapat

Page 406: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.89

menimbulkan kerugian pada pendapatan

negara, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 6 (enam) tahun dan denda

paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak

terutang yang tidak atau kurang dibayar.

(2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilipatkan 2 (dua) apabila seseorang

melakukan lagi tindak pidana di bidang

perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun,

terhitung sejak selesainya menjalani pidana

penjara yang dijatuhkan.

(3) Setiap orang yang melakukan percobaan

untuk melakukan tindak pidana

menyalahgunakan atau menggunakan tanpa

hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf

a, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan

dan atau keterangan yang isinya tidak benar

atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) huruf c dalam rangka

mengajukan permohonan restitusi atau

Page 407: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.90

melakukan kompensasi pajak, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)

tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali

jumlah restitusi yang dimohon dan atau

kompensasi yang dilakukan oleh Wajib

Pajak."

3. Pejabat Alpa Tidak Merahasiakan Masalah

Perpajakan. Ketentuan Pasal 41 diubah, sehingga

keseluruhan Pasal 41 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41

(1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak

memenuhi kewajiban merahasiakan hal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34,

dipidana dengan pidana kurungan paling lama

1 (satu) tahun dan denda paling banyak

Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).

(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi

kewajibannya atau seseorang yang

menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban

pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal

34, dipidana dengan pidana penjara paling

Page 408: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.91

lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak

Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(3) Penuntutan terhadap tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan

ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan

orang yang kerahasiaannya dilanggar."

4. Tidak Memberikan Keterangan Atau Bukti

Dan Menghalangi Penyidikan. Ketentuan Pasal

41 A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41 A

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41 A

Setiap orang yang menurut Pasal 35 Undang-

undang ini wajib memberi keterangan atau bukti

yang diminta tetapi dengan sengaja tidak

memberi keterangan atau bukti, atau memberi

keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun

dan denda paling banyak Rp10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah).

Page 409: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.92

5. Ketentuan Pasal 41B diubah, sehingga

keseluruhan Pasal 41B berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41 B: Menghalangi Atau Mempersulit

Penyidikan

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi

atau mempersulit penyidikan tindak pidana di

bidang perpajakan, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda

paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta

rupiah).

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang

Perubahan Ketiga Atas Undnag-Undang Nomor 6

Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan

1. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 38: Karena Kealpaan tidak

menyampaikan SPT atau Isinya Tidak benar.

Setiap orang yang karena kealpaannya: a. tidak

menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b.

Page 410: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.93

menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi

isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau

melampirkan keterangan yang isinya tidak benar

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada

pendapatan negara dan perbuatan tersebut

merupakan perbuatan setelah perbuatan yang

pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah

pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar

dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak

terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau

dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan

atau paling lama 1 (satu) tahun.

2. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 39: Dengan Sengaja Tidak Punya NPWP,

Tidak Lapor Sebagai PKP,

Menyalahgunakannya, Menyampaikan SPT

Tidak Benar dan Menolak Diperiksa.

(1) Setiap orang yang dengan sengaja:

a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan

Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak

Page 411: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.94

melaporkan usahanya untuk dikukuhkan

sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b. menyalahgunakan atau menggunakan

tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

c. tidak menyampaikan Surat

Pemberitahuan;

d. menyampaikan Surat Pemberitahuan

dan/atau keterangan yang isinya tidak

benar atau tidak lengkap;

e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan,

atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak

menggambarkan keadaan yang

sebenarnya;

g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau

pencatatan di Indonesia, tidak

memperlihatkan atau tidak meminjamkan

buku, catatan, atau dokumen lain;

Page 412: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.95

h. tidak menyimpan buku, catatan, atau

dokumen yang menjadi dasar pembukuan

atau pencatatan dan dokumen lain

termasuk hasil pengolahan data dari

pembukuan yang dikelola secara

elektronikatau diselenggarakan secara

program aplikasi online di Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28

ayat (11); atau

i. tidak menyetorkan pajak yang telah

dipotong atau dipungut sehingga dapat

menimbulkan kerugian pada pendapatan

negara dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 6 (enam) bulan dan paling

lama 6 (enam) tahun dan denda paling

sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang

yang tidak atau kurang dibayar dan paling

banyak 4 (empat) kali jumlah pajak

terutang yang tidak atau kurang dibayar.

(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)

kali sanksi pidana apabila seseorang

Page 413: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.96

melakukan lagi tindak pidana di bidang

perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun,

terhitung sejak selesainya menjalani pidana

penjara yang dijatuhkan.

(3) Setiap orang yang melakukan percobaan

untuk melakukan tindak pidana

menyalahgunakan atau menggunakan tanpa

hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

atau menyampaikan Surat Pemberitahuan

dan/atau keterangan yang isinya tidak benar

atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf d, dalam rangka

mengajukan permohonan restitusi atau

melakukan kompensasi pajak atau

pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan

paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling

sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang

dimohonkan dan/atau kompensasi atau

pengkreditan yang dilakukan dan paling

Page 414: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.97

banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang

dimohonkan dan/atau kompensasi atau

pengkreditan yang dilakukan.

3. Diantara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu)

pasal, yakni Pasal 39 A yang berubunyi sebagai

berikut:

Pasal 39A: Menerbitkan, Menggunakan

Faktur Pajak yang Tidak Berdasarkan

Transaksi Sebenarnya. Setiap orang yang

dengan sengaja: a. menerbitkan dan/atau

menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan

pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti

setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi

yang sebenarnya; atau b. menerbitkan faktur

pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai

Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling

lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2

(dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti

pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak,

dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6

(enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak,

Page 415: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.98

bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan

pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

4. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 41: Pejabat Alpa Merahasiakan

Masalah Perpajakan. (1) Pejabat yang karena

kealpaanya tidak memenuhi kewajiban

merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling

lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak

Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi

kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan

tidak dipenuhinya kewajiban pejabat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun

dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima

puluh juta rupiah). (3) Penuntutan terhadap

tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan

orang yang kerahasiaannya dilanggar.

Page 416: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.99

5. Ketentuan Pasal 41A diubah sehingga berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 41A: Dengan Sengaja Tidak

Memberikan Keterangan atau Bukti.

Setiap orang yang wajib memberikan keterangan

atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak

memberi keterangan atau bukti, atau memberi

keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)

tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00

(dua puluh lima juta rupiah).

6. Ketentuan Pasal 41B diubah sehingga berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 41B. Setiap orang yang dengan sengaja

menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak

pidana di bidang perpajakan dipidana dengan

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan

denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh

puluh lima juta rupiah).

Page 417: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.100

7. Di antara Pasal 41B dan Pasal 42 disisipkan 1

(satu) pasal, yakni Pasal 41C yang berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 41 C

(1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak

memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan

pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun

atau denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja

menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban

pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan

pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh)

bulan atau denda paling banyak

Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak

memberikan data dan informasi yang diminta

oleh Direktur Jenderal ajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 10

Page 418: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.101

(sepuluh) bulan atau denda paling banyak

Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja

menyalahgunakan data dan informasi

perpajakan sehingga menimbulkan kerugian

kepada negara dipidana dengan pidana

kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau

denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima

ratus juta rupiah).

6. Hukuman Pidana

Hukuman pidana yang menjatuhkan

hakim, dan dapat berupa denda sejumlah uang

ataupun suatu hukuman penjara, tergantung dari

beratnya peristiwa yang dapat dikenakan

hukuman. Yang dapat diajukan di muka hakim

ialah perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan

sebagai kejahatan dan harus dengan nyata-nyata

dimuat dalam undang-undangnya yang

bersangkutan seperti halnya yang termaktub

Page 419: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.102

dalam perundangan pajak di Indonesia sebagai

berikut:104

1. Mengisi/memasukkan SPT yang tidak benar

atau tidak lengkap, diancam:

a. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan 1944

(Ord PPd) oleh Pasal 23 (1)

b. Dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925

(Ord. PPs) oleh Pasal 47 (1)

c. Dalam Undang-Undang Pajak Penjualan

1951 (PPn) oleh Pasal 39

d. Dalam UU No. 6 Tahun 1983 Pasal 38

dan Pasal 39

2. Menyerahkan/memperlihatkan buku/tulisan

palsu dan dipalsukan seolah-olah surat itu

benar dan tidak dipalsukan, diancam:

a. Dalam Ordonansi PPd Pasal 24

b. Dalam Ordonansi PPs oleh Pasal 28 (1)

c. Dalam Undang-undang PPn oleh Pasal

40 (1)

104 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 136

Page 420: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.103

3. Tidak/tidak selengkapnya memenuhi suatu

kewajiban (tertentu), diancam:

a. Dalam Ordonansi PPd Pasal 26

b. Dalam Ordonansi PPs oleh Pasal 49a (1)

c. Dalam Undang-undang PPn oleh Pasal

42

Selanjutnya sebagaimana telah diuraikan

di muka sewaktu membicarakan “asas yiridis”,

telah terlihat betapa pentingnya untuk

memberikan jaminan hukum kepada wajib

pajak.105

Keharusan merahasiakan (untuk jelasnya)

antara lain dimuat dalam UU No. 6 Tahun 1984

pasal 34 dan Ordonansi PPd pasal 21 yang

berbunyi:106

(1) Setiap orang dilarang untuk memberitahukan

lebih jauh, selain daripada yang diperlukan

105 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 136106 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 136-137

Page 421: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.104

untuk melakukan jabatan atau pekerjaan, apa

yang ternyata atau diberitahukan kepadanya

dalam jabatannya atau pekerjaannya dalam

melaksanakan ordonansi ini atau yang

berhubungan dengan itu.

Pelanggaran terhadap pasal itu diancam

dengan pasal 25 yang berbunyi sebagai

berikut:107

(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar

perahasiaan yang diwajibkan pada pasal 21,

dihukum dengan hukuman penjara paling

lama enam bulan atau hukuman denda paling

banyak enam ratus rupiah

(2) Barang siapa bersalah atas terjadinya

pelanggaran perahasiaan, dihukum dengan

hukuman kurungan paling lama tiga bulan

atau hukuman denda paling banyak tiga ratus

rupiah

107 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 137

Page 422: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.105

(3) Penuntutan tidak dilakukan selain atas

pengaduan orang terhadap siapa

perahasiaannya dilanggar

Juga dalam perundangan lain terdapat hal

yang sama, seperti dalam Ordonansi PPs pasal 47

dan pasal 49, dan dalam Undnag-Undang PPn

pasal 33 yaitu pasal 41. Padahal dengan secara

umum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), ancaman semacam itu sudah dimuat,

yaitu dalam pasal 322 yang berbunyi sebagai

berikut:108

“Barang siapa dengan sengaja membuka

sesuatu rahasia yang ia wajib menyimpannya

oleh karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang

sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya Sembilan

bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam

ratus rupiah”.

Dengan sepintas lalu dikatakan orang

bahwa ancaman secara berganda (yaitu dalam

108 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 137

Page 423: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.106

KUHP dan juga dalam perundang-undangan

pajak) dapat dianggap berlebih-lebihan.109

Tetapi perlu kiranya diingat, bahwa

misalnya yang diatur dalam bentuk rangkaian

pasal 322 KUHP itu sangat bersifat umum (yang

berlaku juga untuk pajak). Hal itu berdasarkan

justification, (bahwa setiap keharusan

merahasiakan untuk para pejabat harus ditaati).

Agak berlainan halnya dengan yang dikatakan di

dalam perundangan pajak, yang keharusan

merahasiakannya melekat kepada jabatan

kepercayaan (yakni kepercayaan dari masyarakat

pembayar pajak) sehingga diperlukan penandasan

secara khusus.110

Pula hal ini membuktikan, betapa

pentingnya “keharusan merahasiakan” tersebut

untuk ditaati aparatur Fiskus, dengan maksud

agar para wajib pajak tidak kehilangan

109 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 137110 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 137-138

Page 424: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.107

kepercayaan mereka kepada Fiskus (yaitu karena

telah merasa terjamin kepentingannya).111

Selanjutnya dalam hubungan ini

dikemukakan pasal 28 dari ordonansi itu juga

beserta pasal 50 dari Irdonansi Pajak Perseroan

yang menetapkan, bahwa peristiwa-peristiwa

yang dapat dituntut dalam ordonansi-ordonansi

ini dianggap sebagai kejahatan.112

Agar segera dapat mengetahui apakah

suatu peraturan dalam undang-undang (pajak) ini

mengandung ancaman administratif ataukah yang

bersifat strafrechtlijk, dapatlah kiranya kita

melihat kepada istilah-istilah “paling banyak”

atau “paling lama” didalamnya, yang biasanya

terdapat pada ancaman hukuman pidana.

Lagipula selalulah tercantum di dalamnya syarat

“dengan sengaja” yang memang dalam hukum

pidana umumnya selalu didengungkan sebagai

salah satu unsur penting dari suatu kejahatan.

111 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 138112 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 138

Page 425: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.108

Selain daripada di tangan hakim pidana maupun

sipil, dalam kebanyakan hal peradilan mengenai

hal pajak termasuk kompetensi hakim

administrasi yang juga disebut hakim pajak, dan

seterusnya dalam tingkat tertinggi dan terakhir,

termasuk kompetensi Majelis Pertimbangan

Pajak.113

Mengenai kompetensi ini sering terdengar

pertanyaan sebagai berikut: Apakah dengan

mengadakannya peraturan-peraturan tentang

pengajuan keberatan-keberatan dan tentang

permohonan banding itu pembuat undang-undang

bermaksud untuk mengecualikan hakim sipil.

Pertanyaan ini sukar dijawab. Dalam bukunya

tentang hukum pajak di Indonesia, Profesor Prins

tidak menyetujui pendapat orang-orang yang

membenarkannya. Bahwasanya telah dinyatakan

dalam suatu peraturan, pejabat ataupun instansi

mana yang berhak untuk memberi keputusan

terhadap suatu keberatan, menurut pendapatnya

113 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 138

Page 426: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.109

berjumlah cukup ditemukan alasan untuk

menentukan, bahwa dalam hal itu hakim sipil

dapat dikecualikan begitu saja, lebih-lebih jika

pejabat yang diebri hak untuk memberi

keputusan atas keberatan-keberatan itu (hakim

doleansi) adalah juga yang menetapkan dan

memungut pajak itu. Ia beranggapan bahwa

dengan cara demikian, pembuat undang-undang

tidak berkehendak menciptakan suatu cara

mengenai jalannya peradilan, melainkan hanya

berusaha agar supaya mendapatkan peraturan

yang ditemukan dalam undang-undang mengenai

suatu hubungan (kontak) antara kedua belah

pihak, yang memang sudah ternayata bermanfaat

sekali. Bagaimanapun juga kehendak pembuat

undang-undang, nyatalah sudah, bahwa dalam

praktek perselisihan-perselisihan mengenai sah

dan benarnya pajak-pajak berkohir, toh terluput

dari pengawasan hakim sipil. Hal ini adalah suatu

akibat dari kekuasaan administrasi Fiskus untuk

menagih pajak yang terutang dengan surat paksa

yang mempunyai kekuatan yang sama dengan

Page 427: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.110

keputusan (hakim) yang telah mendapat

kekuasaan tetap, dan demikian ini berlaku juga

bagi cukai tembakau dan gula.114

Segala ketetapan pajak berkohir selalu

dianggap terutang dengan sah (juga jika

seandainya keliru ditetapkannya) selama tidak

dihapuskan atau dikurangkan dengan cara-cara

yang telah ditemtukan dalam undang-undang

pajak masing-masing.115

1) Jenis kejahatan apa yang diatur dalam Pasal 36A

ayat (1) UUKUP?

114 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 138-139115 R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung:RefikaAditama. Halaman 139

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 428: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.111

2) Bentuk pelayanan yang diberikan oleh pegawai

pajak kepada wajib pajak adalah?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Kejahatan menghitung atau menetapkan pajak

tidak sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan diatur dalam

ketentuan.

2) Menghitung atau menetapkan pajak secara benar

dan sah menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan.

1. Salah satu tugas pegawai pajak yang terkaitdengan kementriannya, khususnya DirektoratJenderal Pajak adalah melaksanakan peraturanperundang-undangan perpajakan. Dalampelaksanaan tugas itu, pegawai pajak tidak bolehmelakukan kejahatan yang mengarah kepadaperbuatan melanggar hukum pajak.

2. Pasal 36A ayat (1) UUKUP dapat dipahamibahwa terjadinya kejahatan menghitung ataumenetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan perpajakan.

RANGKUMAN

Page 429: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.112

3. Pegawai pajak dilarang bertindak di luarkewenangan yang diberikan oleh hukum pajak.Larangan ini bertujuan agar pegawai pajak tidakmelakukan kejahatan di bidang perpajakan yangberakibat kepada korbannya.

4. Keempat jenis kejahatan di bidang perpajakansebagaimana ditentukan pada Pasal 36A UUKUPmemiliki sanksi pidana yang berbeda-beda.Perbedaan itu didasarkan pada substansikejahatan terhadap kerugian yang dialami olehnegara dan bahkan kerugian wajib pajak yangmemerlukan perlindungan hukum dalammelaksanakan kewajibannya.

5. Wajib pajak adalah subjek hukum yang memilikihak dan kewajiban dalam perhubungan hukum dibidang perpajakan. Lain perkataan, subjek pajakpada hakikatnya bukan merupakan wajib pajak,karena tidak mempunyai kemampuan untukmelakukan perbuatan hukum pajak.

6. Pasal 1 angka 2 UU KUP secara tegasmenentukan bahwa "wajib pajak adalah orangpribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,pemotong pajak, dan pemungut pajak, yangmempunyai hak dan kewajiban perpajakansesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan". Pada hakikatnya, wajibpajak tidak boleh terlepas dari konteksperorangan agar tetap dalamkedudukannyasebagai orang pribadi.

7. Badan sebagai wajib pajak, dapat berupa badantidak berstatus badan hukum dan badan yangberstatus badan hukum, baik yang tunduk pada

Page 430: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.113

hukum privat maupun yang tunduk pada hukumpublik.

8. Kejahatan tidak mendaftarkan diri ataumelaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagaipengusaha kena pajak merupakan bagian darikejahatan di bidang perpajakan yang dilakukanoleh wajib pajak.

1. Salah satu tugas pegawai pajak yang terkaitdengan kementriannya, khususnya Pada….A. Kementerian KeuanganB. Direktorat Jenderal PajakC. Kementerian BUMND. Kementerian BAPPENAS

2. "Setiap orang yang dengan sengaja tidakmendaftarkan diri untuk diberikan nomor pokokwajib pajak atau tidak melaporkan usahanya

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 431: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.114

untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kenapajak". Hal tersebut diatur dalam ketentuanUUPUP pada Pasal …

A. Pasal 39 ayat (1) huruf aB. Pasal 40 ayat (1) huruf bC. Pasal 39 ayat (1) huruf cD. Pasal 41 ayat (1) huruf d

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentangPajak Penghasilan sebagaimana telah diubahkeempat kalinya, terakhir dengan ketentuan …

A. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003B. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004C. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007D. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2008

4. Jenis sanksi pidana maupun sanksi disiplinpegawai negeri sipil merupakan wewenang daripejabat yang berwenang…

A. Melalui Keputusan PresidenB. Melalui Peradilan NiagaC. Melalui putusan lembaga peradilanD. Tanpa melalui putusan lembaga peradilan

5. Orang pribadi atau badan dalam bentuk apa punyang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannyamenghasilkan barang, mengimpor barang,mengekspor barang, melakukan usahaperdagangan, memanfaatkan barang tidakberwujud dari luar daerah pabean, melakukanusaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar

Page 432: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.115

daerah pabean. Hal tersebut merupakanpengertian dari …

A. Wajib PajakB. Pegawai PajakC. PengusahaD. Badan Hukum

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yangbenar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkatpenguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapatmengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Bagus! Jika masih dibawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2,terutama bagian yang belum dikuasai.

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 433: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.116

Tes Formatif 1 Tes Formatif 21) A 1) B2) A 2) A3) C 3) D4) D 4) D5) B 5) C

Page 434: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 6 1.117

Daftar Pustaka

Luhut M.P. Pangaribuan. 2016. Hukum Pidana Khusustentang Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uang,Korupsi dan Kerjasama Internasional sertaPengembalian Aset: Pengantar, Ketentuan, danPertanyaan-Pertanyaan. Jakarta :Kemang StudioAksara

Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar,2012, Kejahatan di Bidang Perpajakan. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

R.Santoso Brotodihardjo.2013.Pengantar Ilmu HukumPajak.Bandung:Refika Aditama.

Page 435: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.1

Modul 7

TINDAK PIDANA PERBANKAN

Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.HumLushiana Primasari, SH, MH

Setelah mempelajari modul 6 yangmembahasTindak Pidana Perpajakan. Maka di Modul7 ini kita akan membahas materi mengenai TindakPidana Perbankan yang terdapat dalam kegiatanbelajar 1 dan yang selanjutnya akan dilanjutkandengan kegiatan belajar 2 yang membahas tentangPengaturan Tindak Pidana Di Bidang Perbankan diIndonesia, pada Modul 7 ini merupakanpengembangan lebih lanjut dari materi yang disajikanoleh Modul sebelumnya yang merupakan termasukdalam klasifikasi jenis tindak pidana dalam HukumPidana Ekonomi di Indonesia.

Dengan mempelajari materi Modul ini diharapkan

mahasiswa dapat menjelaskan Tindak Pidana

Perbankan dan Pengaturan Tindak Pidana Di Bidang

Perbankan di Indonesia.

Page 436: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.2

Kegiatan Belajar 1Pengantar Tindak Pidana Perbankan;

1. Kedudukan dan Istilah Serta Pengertian Tindak PidanaPerbankan

Sehubungan dengan sifat peraturan perundang-undanganhukum pidana tersebut, Sudarto membedakan peraturanperundang-undangan hukum pidana menurut sifatnya yaitu,sebagai berikut.1

a) Undang-Undang Pidana “dalam arti sesungguhnya” ialahundang-undang yang menurut tujuannya bermaksudmengatur hak memberi pidana dari Negara, jaminan dariketertiban hukum, misalnya KUHP Ordonansi Lalu-Lintas Jalan raya Tahun 1993.

b) Peraturan-peraturan hukum pidana dalam undang-undang tersendiri, ialah peraturan-peraturan yang hanyadimaksudkan untuk member sanksi pidana terhadapaturan-aturan mengenai salah satu bidang yang terletakdi luar hukum pidana, misalnya Undang-Undang Nomor16 Drt Tahun 1951 (Undang-Undang tentangPenyelesaian Perselisihan Perburuhan), Undang-UndangPokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960).Berbagai peraturan perundang-undangan ini dimasukkandalam pengertian “Undang-Undang Pidana yang bersifatkhusus”.

Selanjutnya, Sudarto mengkualifikasikan undang-undangpidana khusus tersebut ke dalam tiga (tiga) kelompok besar,yaitu sebagai berikut.2

1 Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 12.2Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 13.

Page 437: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.3

a. Undang-Undang yang tidak dikodifikasikan, misalnyaUndang-Undang Lalu-Lintas Jalan Raya (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965), Undang-Undang TindakPidana Migrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt Tahun1955), Undang-Undang tentang Pemberantasan KegiatanSubversi (Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1963),Undang-Undang Kesehatan dan Undang-UndangPerbankan.

b. Peraturan-peraturan hukum administrative yang memuatsanksi pidana, misalnya Undang-Undang tentangPenyelesaian Perselisihan Perburuhan (Undang-UndangNomor 16 Drt Tahun 1951), Undang-Undang PokokAgraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960).

c. Undang-Undang yang memuat hukum pidana khusus(IusSingulare, Ius Speciale) yang memuat delik-delikuntuk kelompok orang tertentu atau berhubungan denganperbuatan-perbuatan tertentu, misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, Undang-Undangtentang Pajak Penjualan, Undang-Undang Tindak PidanaEkonomi, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,Undang-Undang Narkotika, Undang-UndangPencegahan dan Pemberantasan Tindak PidanaPencucian Uang, dan lain sebagainya.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, istilah “tindakpidana perbankan” harus dibedakan dengan istilah “tindakpidana di bidang perbankan”. Menurut hemat penulis, yangdimaksud dengan tindak pidana perbankan ialah pelanggaranterhadap ketentuan perbankan yang diatur dan diancam denganpidana berdasarkan Undang-Undang Perbankan (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah olehUndang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan) danUndang-Undang lainnya yang mengatur atau berhubungandengan perbankan (misalnya, Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 11 Tahun 1965 tentang Penetapan Undang-

Page 438: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.4

Undang Pokok Bank Indonesia, Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-UndangNomor 13 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008tentang Perbankan Syariah, dan lain sebagainya).

Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana di bidangperbankan menurut hemat penulis adalah perbuatan-perbuatanyang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usahapokok bank, perbuatan mana dapat dipidana berdasarkanketentuan pidana di luar Undang-Undang Perbankan atauUndang-Undang yang berkaitan dengan perbankan.3

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tindak pidanaperbankan merupakan salah satu bentuk dari tindak pidanaekonomi, yaitu tindak pidana pidana yang mempunyai motifekonomi dan lazimnya dilakukan oleh orang-orang yangmempunyai posisi penting di dalam masyarakat ataupekerjaannya.Sedangkan tindak pidana di bidang perbankanmerupakan salah satu bentuk dari tindak pidana di bidangekonomi, yaitu tindak pidana konvensional yang mencarikeuntungan dengan motif-motif ekonomi seperti: pencurian,penggelapan, perampokan, penipuan, dan lain sebagainya yangdalam hal ini ditunjukkan terhadap bank.4

Pada bagian ini, penulis akan mengutarakan bahwa istilah“tindak pidana perbankan” atau dalam beberapa literatur disebutdengan istilah “kejahatan perbankan” pada dasarnya diambildari perkataan “tindak pidana Korporasi” (mengingat bankmerupakan suatu Korporasi atau yang dalam hukum perdatadikenal dengan istilah badan hukum). Hal ini dikarenakan dalam

3Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 14.

4Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 15.

Page 439: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.5

Undang-Undang Perbankan yaitu Undang-Undang Nomor 10Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7Tahun 1992 tentang Perbankan tepatnya dalam Pasal 1 angka 2dikemukakan dengan tegas bahwa “bank adalah badan usaha”yang berbadan hukum.5

Terkait dua istilah di atas, penulis menekankan kembalibahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tindakpidana perbankan, harus dibedakan antara “tindak pidanaperbankan” dan “tindak pidana di bidang perbankan”. Perbedaandi sini menjadi penting terkait dengan perbuatan-perbuatanmelanggar hukum yang dilakukan oleh para pelaku tindakpidana yang bersangkutan. Untuk menjelaskan hal ini penulisberusaha merumuskan pengertian tindak pidana perbankandalam sebuah definisi berikut ini : Tindak pidana perbankanadalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan baik dengansengaja ataupun dengan tidak sengaja (lalai) yang dilakukanoleh Korporasi dan/atau anggota-anggota pengurusnya dlammenjalankan setiap bentuk usahanya (usaha bank) sehinggamenimbulkan kerugian materiil dan/ kerugian immaterial baikbagi masyarakat maupun bagi Negara, baik yang disadarimaupun yang tidak disadari yang terjadi dalam suatu wilayahnegara tertentu ataupun lintas batas negara (transnasional)dengan waktu yang seketika ataupun dengan adanya jangkawaktu. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana dibidang perbankan adalah setiap perbuatan melawan hukum yangmenjadikan bank sebagai sarana atau media (crimes through thebank) atau bank sebagai sasaran dari suatu tindak pidana (crimesagainst the bank).6

Demikian pula dengan H. Setiyono yang menuangkanpendapat Edwin Sutherlandn mengenai rumusan white collarcrimesebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang

5Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 15.

6Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 15-16.

Page 440: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.6

memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalampekerjaannya (crime commited by person of respectability andhigh social status in the course of their occupation).7

Selain itu, karakteristik dari tindak pidana atau kejahatankerah putih atau yang lebih dikenal dengan sebutan white collarcrime ini dapat dijabarkan sebagai berikut.8

a. Low VisibilityKejahatan kerah putih merupakan kejahatan atau tindakpidana yang sulit dilihat karena biasanya tertutup olehkegiatan pekerjaan yang normal dan pekerjaan yang rutinserta melibatkan keahliannya dan bersifat sangatkompleks.

b. ComplexcityKejahatan kerah putih bukanlah kejahatan atau tindakpidana yang sederhana melainkan kejahatan yang sangatkompleks sifatnya.Dikatakan demikian karena sangatberkaitan dengan kebohongan, penipuan, pengingkaran,serta berkaitamn dengan sesuatu yang ilmiah, teknologi,terorganisasi, melibatkan banyak orang, dan padaumunya telah berjalan bertahun-tahun.

c. Defussion of ResponsibilityDalam tindak pidana atau kejahatan kerah putih inibiasanya terjadi penyebaran tanggung jawab yangluas.Hal ini bukanlah hal yang mengherankan karenadalam kejahatan kerah putih, sangat dipengaruhi olehkekompleksan dari suatu organisasi atau Korporasi yangbersangkutan.Ini artinya, setiap kebijakan organisasi atauKorporasi yang bersangkutan merupakan bagian yangtidak terpisahkan dari kejahatan atau tindak pidana yangditimbulkan oleh Korporasi (yang dalam hal ini adalahtindak pidna perbankan).

d. Defusion of Victimization

7Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 17.8Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 17.

Page 441: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.7

Di dalam tindak pidana atau kejahatan kerah putihbiasanya terjadi penyebaran korban yang meluas dansulit untuk dideteksi secara pasti.

e. Detection and ProccutionHambatan dalam penuntutan dan pemberantasan tindakpidana atau kejahatan kerah putih (white collar crime) inisering kali terjadi akibat profesi dualism yang tidakseimbang antara penegak hukum dan para pelaku tindakpidana.Dalam hal ini, pelaku tindak pidanamenggunakan teknologi yang sangat canggih, pelakuadalah orang yang berpendidikan tinggi dan mempunyaikeahlian khusus di bidang itu, sedangkan aparaturpenegak hukum hanya kepolisian dan kejaksaan yangmasih terbatas kemampuannya.

f. Aturan hukum yang samar (ambigious criminal law).g. Sulit mendeteksi dan melakukan penuntutan (weak

detection and prosecution).

Lebih spesifik, menurut hemat penulis tindak pidanaperbankan dapat dikatakan sebagai white collar crime karenahal-hal berikut ini.9

a. Tindak pidana perbankan ataupun tindak pidana dibidang perbankan pada umumnya dilakukan dengansuatu proses, prosedur, dan cara yang sangat rumit,

b. Dilakukan dengan menggunakan sarana-sarana tertentu(teknologi-teknologi tertentu).

c. Dilakukan oleh kalangan profesi tertentu yang ahli dibidangnya atau dalam melakukan pekerjaannya.

d. Dilakukan tidak oleh satu orang melainkan olehbeberapa orang yang terstruktur dan tersistematisasi.

e. Dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya, sepertikorupsi, kolusi, dan nepotisme dan tindakan

9Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 18.

Page 442: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.8

penyalahgunaan kekuasaan lain sehingga akanmenimbulkan pelanggaran terhadap hak warga negara.

f. Merupakan atau dapat dikategorikan sebagai tindakpidana Korporasi.

2. Kategori Tindak Pidana Perbankan

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkanbahwa tindak pidana perbankan dapat dikategorikan sebagaitindak pidana kerah putih, tindak pidana ekonomi serta tindakpidana bisnis.Selain itu, menurut hemat penulis, tindak pidanaperbankan dapat pula dikategorikan sebagai tindak pidanatransnasional yang terorganisasi dan menggunakan peralatanyang sangat canggih.Dikatakan demikian karena kejahatan atautindak pidana tersebut melibatkan suatu system yang sitematisserta unsur-unsurnya yang sangat kondusif.Unsur pertamaadalah adanya organisasi kejahatan (criminal group) yangsangat solid baik karena ikatan etnis, karena kepentingan politismaupun kepentingan-kepentingan lain, dengan kode etik yangmantap. Unsure kedua yang selalu ada pada tindak pidana iniadalah adanya kelompok yang melindungi (protector) yangantara lain atas para oknum penegak hukum dan professional.Unsur ketiga, tentu saja adalah kelompok-kelompok masyarakatyang menikmati hasil kejahatan atau tindak pidana yangdilakukan secara sistematis tersebut.32Selain itu, kejahatan atautindak pidana ini sering kali mengandung elemen-elemenkecurangan (deceit), penyesatan (misrepresentation),penyembunyian kenyataan (concealment of facts), manipulasi(manipulation), pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge), atau pengelakan peraturan (ilegalcircumvention) sehingga sangat merugikan masyarakat secaraluas.10

10Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 19-20.

Page 443: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.9

Selanjutnya, mengenai ruang lingkup tindak pidanaperbankan ini, menurut,hemat penulis dapat dibagi setidaknyamenjadi 3 kelompok besar, yaitu sebagain berikut.11

a. Crimes for banking, yakni kejahatan atau pelanggaranhukum yang dilakukan oleh bank dalam rangkamencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperolehkeuntungan. Crimes for banking ini dapat ditemukanmisalnya dalam perbuatan memerintahkan,menghilangkan, menghapuskan, tidak melakukanpembukuan yang seharusnya dilakukan, tidakmemberikan laporan yang harus dilakukan, memaksabank atau pihak yang terfiliasi memberikan keteranganyang wajib dipenuhinya kepada Bank Indonesia maupunkepada penyidik negara, dan lain sebagainyasebagaimana akan diuraikan dalam buku ini.

b. Criminal Banking, yaitu bank yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan (dalam hal ini bankhanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan).Dalam kategori ini misalnya pendirian bank yangsemata-mata ditunjukkan untuk melakukan tindak pidanaatau kejahatan yakni dengan menghimpun dana darimasyarakat dan setelah dana masyarakat tersebutterkumpul, bank tersebut seolah-olah dilikuidasi.

c. Crimes against banking, yaitu kejahatan-kejahatan atautindak pidana- tindak pidana yang ditunjukkan terhadapbank (bank sebagai sasaran tindak pidana) sepertipencurian atau penggelapan barang milik bank,memperoleh kredit dari bank dengan cara menggunakandokumen atau jaminan palsu, nasabah fiktif,penyalahgunaan pemakaian kredit, mendapat kreditberulang kali dengan jaminan objek yang sama, dan lain

11Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 21.

Page 444: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.10

sebagainya. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa banksebagai korab dari suatu tindak pidana.

Perlu ditegaskan bahwa tindak pidana perbankan sebagaikejahatan kerah putih atau white collar crime yang bersifattransnasional dan terorganisasi sebagaimana telah dijelaskan diatas, dapat diartikan sebagai ruang lingkup dari tindak pidanaperbankan dalam arti luas.Namun demikian, ruang lingkuptindak pidana perbankan dalam arti luas ini sering pula denganberbagai istilah. Istilah-istilah yang menggambarkan ruanglingkup tindak pidana perbankan misalnya istilah “economiccrime”, “crime as business”, “business crime”, “abuses ofeconomic power”, atau “economic abuses”. Dari berbagai istilahtersebut, pada dasarnya tidak mengandung perbedaan yangprinsipil. Namun, dari berbagai istilah yang digunakan untukmenggambarkan ruang lingkup kejahatan atau tindak pidanayang berkaitan dengan bisnis dan ekonomi salah satu diantaranya adalah tindak pidana perbankan, dapat ditarik sebuahbenang merah yakni adanya unsur kejahatan atau tindak pidanakerah putih yang bersifat transnasional dan terorganisasi dengandimensi-dimensi yang baru dan selalu berkembang seiringdengan perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman.12

Dalam praktiknya, dapat dilihat bahwa proses kriminalisasiterhadap tindak pidana baru di bidang ekonomi, misalnyakriminalisasi tindak pidana pencucian uang yang diatur secarategas dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentangTindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah denganUndang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dimana saat ini telahdicabut oleh Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2010 tentangPencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,kriminalisasi tindak pidana korupsi yang diatur secara tegasdalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

12Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 23.

Page 445: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.11

telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kriminalisasi dibidang perpajakan dengan diaturnya perbuatan pidanasebagaimana diatur secara tegas dalamm Undang-UndangNomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.13

Namun demikian, berbeda dengan konsep kriminalisasidalam hal tindak pidana perbankan, kriminalisasi tindak pidanaperbankan tidak dilakukan dalam satu undang-undang tersendirimelainkan kriminalisasinya tersebar dalam berbagai peraturanperundang-undangan. Kriminalisasi tindak pidana perbankan inidapat ditemukan dalam Undang-Undang Perbankan yakniUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telahdiubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentangPerbankan dan undang-undang lainnya yang mengatur atausetidaknya berhubungan langsung dengan perbankan, misalnyaUndang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang BankIndonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentangOtoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan lainsebagainya.14

Terkait dengan masalah ini, timbul suatu permasalahan baruyaitu, apakah kriminalisasi tindak pidana perbankan ini cukupdirumuskan dalam berbagai undang-undang tersebut?Atau perludirumuskan dalam sebuah undang-undnag tersendiri layaknyaUndang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsidan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan PemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang?15

Menurut hemat penulis, pengaturan mengenai tindak pidanaperbankan perlu dilakukan pengaturan dalam undang-undang

13Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 32.

14Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 32.15Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 32.

Page 446: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.12

tersendiri sebagai hukum pidana khusus yang dapat melakukanpenyimpangan-penyimpangan terhadap Buku I KUHP sehinggapemberantasan dan pencegahan tindak pidana perbankan dapatdilakukan secara efektif dan efisien. Hal ini dirasakan mendesakkarena semakin maraknya tindak pidana perbankan dewasa inidan tindak pidana perbankan ini akan sangat mempengaruhisistem perbankan itu sendiri bahkan dalam jangka panjang akanmempengaruhi stabilitas perekonomian nasional. 16

Mengutip pendapat dari Moch Anwar dalam bukunya yangberjudul Tindak Pidana di Bidang Perbankan membedakanpengertian tindak pidana perbankan dengan tindak pidana dibidang perbankan.Perbedaan tersebut didasarkan pada perlakuanperaturan terhadap perbuatan-perbuatan yang telah melanggarhukum yang berhubungan dengan kegiatan bank dalammenjalankan usahanya. Selanjutnya, beliau mengatakan bahwatindak pidana perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatanmelawan hukum terhadap ketentuan-ketentuan yang diatursecara tegas dan jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan (saat ini telah diubah olehUndang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). 17

Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana di bidangperbankan menurut Moch. Anwarterdiri atas perbuatan-perbuatan melawan hukum yang berhubungan dengan kegiatandalam menjalankan usaha pokok bank dan perbuatan-perbuatantersebut diatur dalam berbagai peraturan-peraturan pidana diluar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan undang-undang hukum pidanakhusus lainnya, misalnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

16Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 32-33.

17Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 35-36.

Page 447: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.13

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan lainsebagainya.18

Sedangkan menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengantindak pidana perbankan adalah suatu jenis perbuatan yangsecara melawan hukum dilakukan baik dengan sengaja ataupundengan tidak sengaja yang ada hubungannya dengan lembaga,perangkat, dan produk perbankan, sehingga menimbulkankerugian materiil dan/atau kerugian immaterial bagi perbankanitu sendiri maupun bagi nasabah dan/atau bagi pihak ketigalainnya.19

Dari pengertian-pengertian tersebut, maka dapatdisimpulkan terdapat perbedaan pengertian antara pengertiantindak pidana di bidang perbankan dan pengertian tindak pidanaperbankan, yaitu sebagai berikut.20

1. Tindak pidana perbankan adalah setiap perbuatanmelawan hukum yang melanggar ketentuan sebagaimanadiatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan(sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor10 Tahun 1998 tentang Perbankan) baik yangberpengaruh bagi bank yang bersangkutan ataupun bagibank atau lembaga keuangan lainnya yang dapat terjadidalam satu wilayah teritorial tertentu dengan waktu yangseketika ataupun dengan adanya jangka waktu.

2. Tindak pidana di bidang perbankan adalah setiapperbuatan melawan hukum (tindak pidana) yangberhubungan dengan kegiatan menjalankan usaha bankatau suatu tindak pidana yang menjadikan bank sebagaisarana atau media dilakukannya suatu tindak pidana(crimes through the bank) atau sasaran dari suatu tindak

18Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 37.

19Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 37.20Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 37-38.

Page 448: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.14

pidana (crimes against the bank) dengan melanggarketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam KUHPdan peraturan hukum pidana khusus lainnya,sepertiUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimanatelah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentangPencegahan dan Pemberantasan Tindak PidanaPencucian Uang, dan peraturan perundang-undangankhusus lainnya.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, menurut hematpenulis, yang dimaksud dengan tindak pidana perbankan ialahpelanggaran terhadap ketentuan perbankan yang diatur dandiancam dengan pidana menurut Undang-Undang Perbankanyakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telahdiubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentangPerbankan dan undang-undang lainnya yang mengatur atausetidaknya berhubungan langsung dengan perbankan, misalnyaUndang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telahdiubah oleh Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2004 tentangBank Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang PerbankanSyariah, dan lain sebagainya. 21

Meskipun demikian, perlu dikemukakan di muka bahwadalam buku ini tidak akan dibahas keseluruhan jenis-jenis tindakpidana perbankan sebagaimana dikemukakan atau yang diaturdalam berbagai undang-undang di atas, pada buku ini hanyaakan diuraikan tindak pidana perbankan sebagaimana diaturdalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telahdiubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentangPerbankan. Namun demikian, pada buku ini tetap akan dibahas

21Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 38.

Page 449: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.15

mengenai hal-hal lain yang diatur dalam berbagai undang-undang yang berkaitan langsung atau bersentuhan langsung(berhubungan langsung) dengan Undang-Undang Nomor 7Tahun 1992 sebagaimana telah diubah oelh Undang-UndangNomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Mengenaipembahasan yang akan diuraikan dalam buku ini, dapatdigambarkan dengan skema sebagai berikut.22

Sebelum membahas setiap bentuk dan unsur tindak pidanaperbankan sebagaimana disebutkan di atas, perlu puladikemukakan bahwa dalam praktiknya, dalam rangkamenjalankan usaha pokok bank ini sering kali dilakukanpenyimpangan-penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangantersebut terdiri dari 3 bagian, yaitu tindak pidana, pelanggaran(pelanggaran pidana), dan pelanggaran kode etik.Mengenaipelanggaran kode etik ini sering kali disebut pula dengan istilahpelanggaran moralitas perbankan. Kode etik perbankan inisecara keseluruhan dapat ditemukan atau diatur secara tegasdalam kode etik banker Indonesia yang pada umumnya berisihal-hal berikut ini:23

a. Patuh dan taat kepada ketentuan perundang-undangandan peraturan-peraturan lain yang berlaku.

b. Melakukan pencatatan yang benar mengenai segalatransaksi yang bertalian dengan kegiatan bank.

c. Menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat.d. Tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk

kepentingan pribadi.e. Menghindarkan diri dari keterlibatan pengambilan

keputusan dalam hal terdapat pertentangan kepentingan.f. Menjaga rahasia nasabah dan banknya.g. Memperhatikan dampak yang merugikan dari setiap

kebijakan yang ditetapkan bank terhadap keadaanekonomi, social, dan lingkungannya.

22Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 39.23Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 40.

Page 450: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.16

h. Tidak menerima hadiah atau imbalan yang memperkayadiri pribadi atau keluarga.

i. Tidak melakukan perbuatan tercela yang dapatmerugikan citra profesinya.

Dalam praktiknya di lapangan, penyimpangan lain yangssering terjadi dalam dunia perbankan juga dapat ditemukandalam pendapat dari Riyanto yang menyatakan bahwapenyimpangan-penyimpangan yang sering terjadi dalam duniaperbankan dapat diokategorikan dalam pengertian criminalbehavior dalam konsep white collar crime yang meliputi dua halsebagai berikut: 24

a. Window DressingYang dimaksud dengan window dressing yaitupenyampaian laporan kepada Bank Indonesia (sebagaibank sentral) secara periodic dengan data yang tidakbenar.Hal ini dilakukan oleh bank pelapor dalam rangkauntuk memanipulasi data sehingga seolah-olah kondisikeuangan atau asset bank pelapor terlihat dalam keadaanbaik.Hal ini merupakan usaha bank agar menjelangperiode laporan, jumlah asetnya meningkat denganmaksud agar penampilan bank menjadi lebih baik danlebih dapat dipercaya oleh masyarakat. Setelahmandapatkan kepercayaan di mata masyarakat, bankakan menetapkan tingkat bunga yang berlebihan yangbertujuan untuk menarik dana masyarakat sebanyakmungkin, memberikan kredit yang tidak wajar,pembiaran tindak pidana yang dilakukan oleh organ-organ bank, dan lain sebagainya. Hal ini adalahpenyimpangan yang sudah tentu akan merugikanmasyarakat dan akan mengurangi tingkat kepercayaanmasyarakat kepada lembaga perbankan. Hal ini tentu

24Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 41-42.

Page 451: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.17

akansangat berbahaya karena sebagaimana telahdikemukakan di awal buku ini, lembaga perbankanadalah lembaga yang mengandalkan kepercayaanmasyarakat.

b. Memberikan kemudahan dalam pemberian kredit namuntidak disertai pertimbangan atau penilaian yang wajardalam dunia bisnis perbankan. Perbuatan tersebut di ataspada dasarnya dapat dikategorikan sebagai perbuatanpenyimpangan kepercayaan yang diberikan masyarakatkepada bank yang bersangkutan ataupun terhadap duniaperbankan.

Namun apabila dilihat dari segi yang kedua, yaitu dilihatdari segi kesempatan para oknum yang melakukan tindakpidana, maka segi ini melahirkan sebuah ruang yang cukupuntuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidanaperbankan. Singkatnya, dengan tidak ada kesempatan untukmelakukan suatu tindak pidana yang dalam hal ini tindak pidanaperbankan maka seseorang atau sekelompok orang tidak akanmungkin melakukan suatu tindak pidana perbankan. Jadi, dalamhal ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perbankandilakukan dengan pembenahan system fundamental dalamperbankan itu sendiri.Selain membenahi sistem perbankan, padabagian ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidanaperbankan dapat dilakukan dengan pengaturan dalam berbagaiperaturan perundang-undangan baik peraturan perbankanmaupun peraturan nonperbankan, penjatuhan sanksi hukumyang tegas (baik itu sanksi hukum perdata, sanksi hukumadministratif, maupun sanksi hukum pidana).25

Berkaitan dengan jenis-jenis atau bentuk-bentuk tindakpidana perbankan sebagaimana akan dibahas dalam bagian ini,

25Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 43.

Page 452: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.18

jenis-jenis atau bentuk-bentuk tindak pidana perbankan menuruthemat penulis adalah perbuatan-perbuatan yang diancam denganpidana sebagaimana diatur namun tidak terbatas pada:26

1. Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1992 sebagaimanatelah diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun1998 tentang Perbankan;

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimanatelah diubah oleh Undang-Undang Nomor 03 Tahun2004 tentang Bank Indonesia;

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OtoritasJasa Keuangan;

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun2008 tentang Perbankan Syariah;

5. Undang-undang lain yang mengatur atau berkaitanlangsung dengan perbankan.

RUANG LINGKUP KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANGPERBANKAN

26Kristian, Tindak Pidana Perbankan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, halaman. 44.

Page 453: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.19

Pada dasarnya, kejahatan ekonomi dapat dibagi menjadi dua,yaitu dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit,sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 7 Drt.1955 (LN. No. 27 Tahun 1955), pengertian kejahatan ekonomidipersamakan dengan tindak pidana ekonomi yang hanyamencangkup perbuatan yang melanggar sesuatu ketentuandalam atau berdasarkan peraturan-peraturan yang disebut dalamPasal 1 tersebut. Disini ada tiga kategori tindak pidana ekonomisebagai berikut.27

1. Jenis Pertama, berhubungan dengan peraturan-peraturanyang disebut dengan tegas dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 7 Drt. 1955.

2. Jenis Kedua, berhubungan dengan Pasal-Pasal: 26, 32,dan 33 Undang-Undang No. 7 Drt. 1955.

3. Jenis Ketiga, yang memberikan kewenangan kepadalembaga legislatif untuk menanamkan suatu perbuatanmenjadi suatu tindak pidana ekonomi.

Dalam arti luas, kejahatan ekonomi diatur di dalam maupun diluar Undang-Undang No. 7 Drt 1955. Kejahatan Ekonomi dibidang perbankan, sebagai suatu bentuk perbuatan yangmelanggar peraturan perundang-undangan dalam bidangperekonomian dan bidang keuangan, merupakan bagian darikejahatan ekonomi. 28

Dengan demikian, kejahatan yang berkaitan dengan perbankanmerupakan salah satu bentuk kejahatan ekonomi. Kejahatanekonomi yang terdiri atas kejahatan di bidang perdagangan,

27Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di BidangPerbankan Dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015,halaman. 29.28Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di BidangPerbankan Dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015,halaman. 30.

Page 454: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.20

investasi, perusahaan, lingkungan hidup, asuransi, pajak,maritim, pasar modal, dan kejahatan-kejahatan di bidangekonomi lainnya. Karena kejahatan dibidang perbankantermasuk dalam bidang kejahatan ekonomi, perlu dikemukakanapa yang dimaksud dengan kejahatan ekonomi tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, sebagai bahan acuan, dapatdikemukakan tulisan Mardjono Reksodiputro bahwa yangdimaksud dengan kejahatan ekonomi adalah setiap perbuatanyang melanggar peraturan perundang-undangan dalam bidangperekonomian dan bidang keuangan serta mempunyai sanksipidana. Selain itu, Muladi (Dalam Muladi dan Barda NawawiArief, 1992:19) menulis bahwa kejahatan ekonomi lebihmenampakkan dirinya sebagai kejahatan di lingkungan bisnis,yakni bilamana pengetahuan khusus tentang bisnis diperlukanuntuk menilai kasus yang terjadi. Atas dasar konstruksi yangdemikian, menurut Muladi, yang dimaksud dengan kejahatanekonomi adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang danatau badan hukum, tanpa menggunakan kekerasan, bersifatmelawan hukum, yang hakikatnya mengandung unsur-unsurpenipuan, memberikan gambaran salah, penggelapan,manipulasi, melanggar kepercayaan, akal-akalan, ataupengelakan peraturan.29

Selanjutnya Muladi (Dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief,1992:6-7) mengidentifikasikan beberapa tipe kejahatan ekonomisebagai berikut:30

1. Kejahatan yang dilakukan dalam rangka kepentinganindividu, contohnya adalah credit card frauds;

29Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di BidangPerbankan Dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015,halaman. 30.30Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di BidangPerbankan Dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015,halaman. 30-31.

Page 455: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.21

2. Kejahatan yang dilakukan dalam kerangka perdagangan,pemerintahan atau kelembagaan lain, dalam rangkamenjalankan pekerjaan, tetapi dengan cara melanggarkepercayaan, contohnya adalah banking violations bybank officers and employes (emblezzlement andmisapplication of founds);

3. Kejahatan sosio-ekonomi sebagai usaha bisnis atausebagai aktivitas utama, contohnya adalahpenyalahgunaan kredit bank;

4. Kejahatan sosio-ekonomi sebagai usaha bisnis atausebagai aktivitas utama, contohnya adalahpenyalahgunaan kredit bank.

DAMPAK KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANGPERBANKAN

Seperti yang dipaparkan oleh Center for Banking Crisis (BukuPutih, Jilid I, Jakarta, 1999:10-13), kejahatan ekonomi di bidangperbankan meliputi pula antara lain, penyalahgunaan danaBLBI, pelanggaran BMPK, dan manipulasi data laporan.Mengenai penyalahgunaan dana BLBI tersebut, Panja BLBIKomisi IX DPR-RI pada tanggal 6 Maret 2000 menyampaikanlaporannya bahwa sebelum krisis moneter pertengahan Juli1997, bahkan sejak tahun 1995 sudah terdapat beberapa bankyang mengalami saldo debet yang berkepanjangan dan terusmendapat fasilitas bantuan likuiditas dari Bank Indonesia tanpapernah mengalami scors kliring. Bank-bank tersebut antara lainBank Artha Prima, Bank Industri, South East Asia Bank Ltd,Bank Pinaesan. Sejalan dengan paparan dari Center for BankingCrisis tersebut, BPK-RI dalam siaran persnya tentang HasilAudit Investigasi atas Penyaluran dan Penggunaan BLBI antaralain mengemukakan bahwa kekeliruan BI dalam memberikanbantuan likuiditas adalah pada saat BI tidak melakukan sanksistop kliringkepada bank-bank yang rekening giro nya di BIbersaldo negatif. Oleh karena BI tidak tegas dalam menerapkan

Page 456: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.22

sanksi stop kliring, maka dimanfaatkan oleh bankir nakalsehingga mereka terus bersaldo debet.31

Kejahatan berikutnya yang dilakukan oleh bank adalah dalamhal pembuatan laporan-laporan berkala yang dijadikan dasarpenilaian kinerja dan kesehatan bank, ternyata tidakmenggambarkan kondisi sebenarnya. Bank-bank melakukanrekayasa laporan sehingga penilaian tingkat kesehatan banktidak dapat dilakukan secara objektif. Pengujian atas kebenaranlaporan tersebut baru dilakukan manakala BI melakukanpemeriksaan secara langsung yang frekuensinya relatif jarang.Bahkan menurut BPK, ada beberapa bank yang dalam beberapatahun tidak dilakukan pemeriksaan langsung. Akibatnya,berbagai pelanggaran dan rekayasa transaksi yang dilakukanoleh bank dalam kurun waktu lama. Pelanggaran yang palingumum adalah rekayasa transaksi untuk menghindari BMPKdengan berbagai cara yaitu seperti membuat perusahaan-perusahaan fiktif yang seolah olah perusahaan (bukan grupnya).Perusahaan perusahaan itu hanya paper company, bahkanalamatnya pun palsu (Center for Banking Crisis, Buku Putih,Jilid I, Jakarta, 1999:11).32

Pengalaman krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun1930-an, faktor penyebabnya bermula dari pengelolaan sistemperbankan yang kurang baik. Karena itu, menurut Tambunan,kondisi perbankan menjadi semakin buruk dengan munculnyakrisis rupiah pada pertengahan tahun 1997. Ini berarti terjadinyakrisis yang berkepanjangan di Indonesia, serta berkurangnyakepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan, yangmengakibatkan pula hancurnya lembaga perbankan, merupakan

31Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di BidangPerbankan Dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015,halaman. 52-53.32Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di BidangPerbankan Dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015,halaman. 53.

Page 457: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.23

dampak dari kejahatan ekonomi di bidang perbankan yangdilakukan oleh bank. Dampak berikutnya adalah timbulnyakorban yang jauh lebih besar dibandingkan korban kejahatanbiasa (konvensional).33

1) Sebutkan dan jelaskan pembedaan sifat penggolonganhukum pidana menurut Sudarto?

2) Apa yang dimaksud dengan tindak pidana perbankan?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Sudarto membedakan peraturan perundang-undanganhukum pidana menurut sifatnya yaitu, sebagai berikut.a) Undang-Undang Pidana “dalam arti sesungguhnya”

ialah undang-undang yang menurut tujuannyabermaksud mengatur hak memberi pidana dariNegara, jaminan dari ketertiban hukum, misalnyaKUHP Ordonansi Lalu-Lintas Jalan raya Tahun1993.

b) Peraturan-peraturan hukum pidana dalam undang-undang tersendiri, ialah peraturan-peraturan yanghanya dimaksudkan untuk member sanksi pidanaterhadap aturan-aturan mengenai salah satu bidangyang terletak di luar hukum pidana, misalnyaUndang-Undang Nomor 16 Drt Tahun 1951(Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan

33Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di BidangPerbankan Dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015,halaman. 55.

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 458: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.24

Perburuhan), Undang-Undang Pokok Agraria(Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960). Berbagaiperaturan perundang-undangan ini dimasukkandalam pengertian “Undang-Undang Pidana yangbersifat khusus”.

2) Tindak pidana perbankan adalah perbuatan melanggarhukum yang dilakukan baik dengan sengaja ataupundengan tidak sengaja (lalai) yang dilakukan olehKorporasi dan/atau anggota-anggota pengurusnya dlammenjalankan setiap bentuk usahanya (usaha bank)sehingga menimbulkan kerugian materiil dan/ kerugianimmaterial baik bagi masyarakat maupun bagi Negara,baik yang disadari maupun yang tidak disadari yangterjadi dalam suatu wilayah negara tertentu ataupunlintas batas negara (transnasional) dengan waktu yangseketika ataupun dengan adanya jangka waktu.

1. Istilah “tindak pidana perbankan” harus dibedakandengan istilah “tindak pidana di bidang perbankan”.

2. Tindak pidana perbankan merupakan salah satu bentukdari tindak pidana ekonomi, yaitu tindak pidana pidanayang mempunyai motif ekonomi dan lazimnyadilakukan oleh orang-orang yang mempunyai posisipenting di dalam masyarakat atau pekerjaannya.

3. Tindak pidana perbankan dapat dikategorikan sebagaitindak pidana kerah putih, tindak pidana ekonomi sertatindak pidana bisnis. Selain itu, menurut hematpenulis, tindak pidana perbankan dapat puladikategorikan sebagai tindak pidana transnasional yangterorganisasi dan menggunakan peralatan yang sangatcanggih.

RANGKUMAN

Page 459: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.25

4. Ruang lingkup tindak pidana perbankan dapat dibagisetidaknya menjadi 3 kelompok besar, yaitu: Crimesfor banking; Criminal Banking; Crimes againstbanking.

5. Jenis-jenis atau bentuk-bentuk tindak pidanaperbankan sebagaimana akan dibahas dalam bagian ini,jenis-jenis atau bentuk-bentuk tindak pidana perbankanmenurut hemat penulis adalah perbuatan-perbuatanyang diancam dengan pidana sebagaimana diaturnamun tidak terbatas pada: Undang-Undang Nomor 07Tahun 1992 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimanatelah diubah oleh Undang-Undang Nomor 03 Tahun2004 tentang Bank Indonesia; Undang-Undang Nomor21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun2008 tentang Perbankan Syariah; Undang-undang lainyang mengatur atau berkaitan langsung denganperbankan.

1. Berikut di bawah ini yang bukan merupakan Undang-Undang yang memuat hukum pidana khusus(IusSingulare, Ius Speciale) adalah..

A. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian UangB. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

KorupsiC. Undang-Undang NarkotikaD. KUHP

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 460: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.26

2. Tindak Pidana Perbankan termasuk dalam kategorikejahatan yang dilakukan oleh..

A. White Color CrimeB. Blue Color CrimeC. Red Color CrimeD. Pekerja Non Pemerintah

3. Undang-Undang No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankanmerupakan perubahan terhadap ketentuan perundang-undangan..

A. Undang-Undang No 5 Tahun 1992B. Undang-Undang No 7 Tahun 1992C. Undang-Undang No 2 Tahun 1992D. Undang-Undang No 1 Tahun 1981

4. Berikut ini yang bukan merupakan ruang lingkup tindakpidana perbankan adalah …

A. Money LaunderingB. Crimes for bankingC. Criminal BankingD. Crimes against banking

5. Tindak pidana pidana yang mempunyai motif ekonomidan lazimnya dilakukan oleh orang-orang yangmempunyai posisi penting di dalam masyarakat ataupekerjaannya. Hal tersebut merupakan pengertian dari …

A. Tindak Pidana Pegawai BankB. Tindak Pidana PerbankanC. Tindak Pidana Bidang PerbankanD. Tindak Pidana Keuangan

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yangterdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.

Page 461: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.27

Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaanAnda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapatmeneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yangbelum dikuasai.

Kegiatan Belajar 2Pengaturan Tindak Pidana Di Bidang Perbankan Di

Indonesia

1. Tindak Pidana Perbankan Di Tinjau DalamUndang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentangPerbankan.

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentangPerbankan dalam konsideransnya menyatakan:Dalambagian akhir UU ini yakni dalam Pasal 46 sd Pasal 53yang terdiri dari sanksi administrasi (Pasal 47-50A) dan

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 462: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.28

pidana (Pasal 52-Pasal 53). Secara lengkap ketentuan-ketentuan pidana itu dikutip sebagai berikut:34

Pasal 46: Menghimpun Dana Tanpa Izin. (1)Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalambentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan BankIndonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun sertadenda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00(sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal kegiatansebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan olehbadan hukum yang berbentuk perseroan terbatas,perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutanterhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadapmereka yang memberi perintah melakukan perbuatan ituatau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatanitu atau terhadap kedua-duanya.

Pasal 47: Memaksa Bank atau Pihak TerafiliasiMemberi Keterangan Keadaan Keuangan Nasabah.(1) Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atauizin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimanadimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42,dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasiuntuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjarasekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4(empat) tahun serta denda sekurang-kurangnyaRp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan palingbanyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

34 Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Pidana Khusus tentang Tindak Pidana EkonomiPencucian Uang, Korupsi, dan Kerjasama Internasional, serta Pengembalian Aset:Pengantar Ketentuan dan Pertanyaan-pertanyaan, Jakarta: Pustaka Kemang, 2016,halaman. 63-66.

Page 463: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.29

(2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bankatau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengansengajamemberikan keterangan yang wajib dirahasiaka menurutPasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat)tahun serta denda sekurang-kurangnyaRp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan palingbanyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Pasal 47 A: Tidak Memberikan Keterangan yangWajib Dipenuhi untuk Kepentingan Perpajakan.Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bankyang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yangwajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42Adan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjarasekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7(tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnyaRp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan palingbanyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)

Pasal 48: Tidak Memberikan Keterangan yangWajib Dipenuhi untuk Kepentingan Perpajakan.Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bankyang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yangwajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2),diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2(dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun sertadenda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (limamiliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00(seratus miliar rupiah). (2) Anggota Dewan Komisaris,Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan

Page 464: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.30

keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksuddalam Pasal 30 ayat (1) dan (2) dan Pasal 34 ayat (1) danayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahundan atau denda sekurang-kurangnya Rp1.000.000.000,00(satu miliar rupiah) dan paling banyakRp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 49: Pencatatan Laporan Transaksi atauRekening Menerima Sesuatu, Langkah-LangkahMemastikan Ketaatan Bank. (1) Anggota DewanKomisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengansengaja: a. Membuat atau menyebabkan adanyapencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan,maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha,laporan transaksi atau rekening suatu bank; b.Menghilangkan atau tidak memasukkan ataumenyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalampembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumenatau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi ataurekening suatu bank; c. Mengubah, mengaburkan,menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkanadanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalamlaporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatanusaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, ataudengan sengaja mengubah, mengaburkan,menghilangkan, Menyembunyikan atau merusak catatanpembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjarasekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15(lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnyaRp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan palingbanyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

Page 465: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.31

(2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawaibank yang sengaja: a. Meminta atau menerima,mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatuimbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang ataubarang berharga, untuk keuntungan pribadinya atauuntuk keuntungan keluarganya, dalam rangkamendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang laindalam memperolej iamh muka, bank garansi, ataifasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelianatau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel,surat promes, cek dan kertas dagang atau buktikewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikanpersetujuan bagi orang lain untuk melaksanakanpenarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;b. Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukanuntuk memastikan ketaan bank terhadap ketentuan dalamundang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancamdengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga)tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta dendasekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliarrupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00(seratus miliar rupiah).

Pasal 50: Pihak Terafiliasi Tidak MemastikanKetaatan Bank. Pihak Terafiliasi yang dengan sengajatidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukanuntuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuandalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancamdengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga)tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta dendasekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar

Page 466: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.32

rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00(seratus miliar rupiah).

Pasal 50A: Pemegang Saham Tidak MemastikanKetaatan Bank. Pemegang saham yang dengan sengajamenyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bankuntuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yangmengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatanbank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini danketentuan perundang-undangan lainnya yang berlakubagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (limabelas) tahun serta denda sekurang-kurangnyaRp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan palingbanyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

Pasal 51: TPE atau Perbankan ini adalahKejahatan. (1) Tindak pidana sebagaimana dimaksuddalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A,Pasal 48 ayat (1),Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A adalah kejahatan. (2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48ayat (2) adalah pelanggaran.

Pasal 52: Sanksi Administratif. (1) dengan tidakmengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksuddalam Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal50A, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksiadministratif kepada bank yang tidak memenuhikewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini, atau Pimpinan Bank Indonesia dapatmencabut izin usaha bank yang bersangkutan. (2) Sanksi

Page 467: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.33

administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),antara lain adalah: a. Denda uang, b. Teguran tertulis, c.Penurunan tingkat kesehatan bank, d. Larangan untukturut serta dalam kegiatan kliring; e. Pembekuankegiatan usaha tertentu baik untuk kantor cabang tertentumaupun untuk bank secara keseluruhan; f.Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjukdan mengangkat pengganti sementara sampai RapatUmum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasimengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuanBank Indonesia; g. Pencantuman anggota pengurus,pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orangtercela di bidang Perbankan. (3) pelaksanaan lebih lajutmengenai sanksi administratif ditetapkan oleh BankIndonesia.

Pasal 53: Sanksi Administratif Kepada PihakTerafiliasi. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidanasebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Bank Indonesiadapat menetapkan sanksi administratif kepada PihakTerafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannyasebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini ataumenyampaikan pertimbangan kepada instansi yangberwenang untuk mencabut izin yang bersangkutan.

2. Tindak Pidana di Bidang Pasar Modal.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang PasarModal, dalam penjelasan umumnya menyatakan

Page 468: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.34

ketentuan pidana baru ditemukan dalam Pasal 103sampai dengan 110 sebagai berikut:35

Pasal 103: Kegiatan Pasar Modal Tanpa Izin. (1)Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modaltanpa izin, persetujuan, atau pendaftaran sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6, Pasal 13, Pasal 18, Pasal 30,Pasal 34, Pasal 43, Pasal 48, Pasal 50, dan Pasal 64diancamdengan pidana penjara paling lama 5 (lima)tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00(lima miliar rupiah). (2) Setiap Pihak yang melakukankegiatan tanpa memperoleh izin sebagaimana dimaksuddalam Pasal 32 diancam dengan pidana kurungan palinglama 1 (satu) tahun dan denda paling banyakRp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 104: Ancaman Pidana, Penjara dan Denda.Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93,Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 ayat (1), dan Pasal 98diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00(lima belas miliar rupiah).

3.2.3. Pasal 105: Pidana Terhadap ManajerInvestasi dan atau Pihak Terafiliasi. Manajer Investasidan atau Pihak terafiliasi yang melanggar ketentuansebagaimana dmaksud dalam pasal 42 diancam dengan

35Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Pidana Khusus tentang Tindak Pidana EkonomiPencucian Uang, Korupsi, dan Kerjasama Internasional, serta Pengembalian Aset:Pengantar Ketentuan dan Pertanyaan-pertanyaan, Jakarta: Pustaka Kemang, 2016,halaman. 66-68.

Page 469: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.35

pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan dendapaling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 106.(1) Setiap pihak yang melakukanpelanggran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 70 diancam dengan pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun dan denda paling banyakRp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (2)Setiap pihak yang melakukan pelanggaran atas ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diancam denganpidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan dendapaling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milair rupiah).

Pasal 107: Menipu atau Merugikan Pihak Lainatau Menyesatkan Bapepam. Setiap pihak yangdengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihaklain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan,memusnahkan, menghapuskan, mengubah,mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukancatatandari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan,atau pendaftaran termasuk Emiten dan PerusahaanPublik diancam dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun dan denda paling banyakRp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 108: Ancaman Pidana untuk Pihak yangMempengaruhi. Ancaman pidana penjara atau pidanakurungan dan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, dan Pasal 107berlaku pula bagi Pihak yang, baik langsung maupuntidak langsung, mempengaruhi Pihak lain untukmelakukan pelanggaran pasal-pasal dimaksud.

Page 470: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.36

Pasal 109: Ancaman Pidana, Penjara dan Denda.Setiap pihak yang tidak mematuhi atau menghambatpelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 100 diancam dengan pidana kurungan palinglama1 (satu) tahun dan denda paling banyakRp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 110: Tindak Pidana ini adalah Pelanggarandan Kejahatan. (1) Tindak Pidana sebagaimanadimaksud dalam Pasal 103 ayat (2), Pasal 105, dan Pasal109 adalah pelanggaran. (2) Tindak Pidana sebagaimanadimaksud dalam 103 ayat (1), Pasal 104, Pasal 106, danPasal 107 adalah kejahatan.

3. Tindak Pidana Perbankan dalam KUHP Indonesia

Menjadi pertanyaan, mengapa KUHP dapatdipergunakan terhadap Tindak Pidana Perbankan?Ternyata pernah terjadi di mana oknum pihak bankterlibat tindak pidana yang kasusnya terkait denganperbankan. Begitu juga dapat terjadi dan pernahterjadi oknum yang bukan dari bank terlibatdengan tindak pidana yang ada hubungannyadengan perbankan. Oleh karena itu, KUH Pidanadapat digunakan atau diperlakukan dalam masalah-masalah tindak pidana perbankan, kecuali Undang-Undang Perbankan mengaturnya secaratersendiri.36

36 Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011,halaman. 34-35.

Page 471: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.37

Disamping itu terdapat asas-asas dalam Buku IKUHP dapat diberlakukan dalam tindak pidanaperbankan, juga tindak pidana lainnya kalauUndang-undang yang mengatur tentang haltersebut tidak mengaturnya secara khusus atautersendiri aspek pidana nya. Kalau terjadi sepertiini, maka Buku II maupun Buku III dan tentunyaBuku I yang merupakan peraturan-peraturanumum, dapat dipergunakan.

Atas dasar yang dikemukakan diatas, ternyata disamping UU No. 7 Tahun 1992, UU No. 10 Tahun 1998,dan UU NO. 23 Tahun 1999, maka berarti KUH Pidanadapat dipergunakan dalam masalah perbankan. Untukmelihat ketentuan-ketentuan mana yang diperk irakandapat digunakan dalam kasus-kasus perbankan antaralain:37

Pasal 263 KUH Pidana berbunyi:

(1) Barang siapa membuat surat palsu ataumemalsukan surat, yang dapat melibatkansesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atausesuatu pembebasan utang, atau yang bolehdipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatuperbuatan.

(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum,barang siapa dengan sengaja menggunakan surat

37Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.35-44.

Page 472: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.38

palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah suratitu asli dan tidak dipalsukan, kalau halmempergunakan dapat mendatangkan sesuatukerugian.

Pengertian “membuat surat palsu” yaitu membuat suratsedemikian rupa seakan-akan berasal dari sumber yangbenar atau berhak untuk membuat surat tersebut samasekali dari pihak yang tidak benar atau tidak berhak.Pengertian “memalsukan surat” yakni mengadakanperubahan dan isinya, sehingga sebab perubahan tersebutmengakibatkan materi atau substansi surat tersebut tidaksesuai lagi dengan isi yang sebenarnya atau dengan katalain sudah tidak sesuai lagi dengan redaksi atau bunyiaslinya.38

Unsur minimal yang harus dipenuhi supaya terkena pasalini, adalah:39

- Yang dipalsukan harus suatu surat dan bahannyatentu berupa kertas atau benda-benda yang dapatditulis;

- Surat tersebut dapat menimbulkan suatu hak,misalnya giro, cek, dan saham;

- Surat itu dapat juga menimbulkan suatu hak,misalnya perjanjian kontrak, perjanjian utangpiutang, atau perjanjian jual beli;

- Surat itu dapat menimbulkan pembebasan utang,misalnya kuitansi;

38Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.36.39Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.36-37.

Page 473: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.39

- Surat-surat yang dapat dipergunakan sebagaibukti diri, keterangan telah terjadi sesuatuperistiwa, misalnya akta kelahiran, tabanas, atausurat deposito;

- Penggunaan surat tersebut dapat menimbulkankerugian dan kerugian ini tidak perlu harusterealisir, kerugian-kerugian tersebut dapatberupa materiil maupun nonmateriil lainnya;

- Juga dapat dikenakan pada orang yangmenggunakan dengan sengaja surat palsutersebut, sedangkan ianya mengetahuimengetahui benar bahwa surat tersebut palsu.

Pasal 264 KUH Pidana berbunyi:

(1) Si terhukum dalam perkara memalsukan surat,dihukum penjara selama-lamanya delapan tahun,kalau perbuatan itu dilakukan:

1e. Mengenai surat autentik2e. Mengenai surat utang atau surat tanda utang

dari sesuatu surat negara atau sebagainyaatau dari sesuatu balai umum.

3e. Mengenai saham-saham atau surat utang atausertifikat tanda saham atau tanda utag darisuatu perserikatan, balai, atau perseron ataumaskapai.

4e. Mengenai talon atau surat tanda utang(devident) atau tanda bunga uang dari salahsatu surat yang diterangkan pada 2e dan 3e

Page 474: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.40

atau tentang surat keterangan yangdikeluarkan akan pengganti surat itu.

5e. Mengenai surat utang piutang atau suratperniagaan yang akan diedarkan.

(2) Dengan hukuman serupa itu juga, barang siapadengan sengaja menggunakan akta seolah-olahisinya cocok dengan hal yang sebenarnya, ayatpertama dipalsukan, jika pemakai surat itu dapatmendatangkan sesuatu kerugian.

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 264KUHP ini, berkaitan erat dengan pasal yang terdapatdalam pasal ini, harus terlebih dahulu memenuhi unsur-unsur minimal yang termuat dalam Pasal 263 tersebut.40

Walaupun Pasal 264 ayat (1) KUHP tidak menyebutkansecara tegas tentang unsur kesengajaan, namun dapatditafsirkan sudah ada unsur tersebut denganmempergunakan istilah memalsukan, karena ditinjau darisegi bahasa dengan kata lain, yakni memalsukan surat.Jadi berarti si pelaku sudah dengan sengaja secara aktifberbuat dengan suatu kesadaran yang disengaja.41

Selanjutnya letak perbedaan antara ayat (1) dengan ayat(2) dalam Pasal KUHP yang prinsipal adalah hanyaterletak pada ketentuan yang disebutkan di dalam ayat

40Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.38.41Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.38.

Page 475: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.41

(2) saja, yakni hanya penggunaan dan pemalsuan aktaautentik dan termasuk akta di bawah tangan.42

Unsur-unsur lain yang harus dipenuhi agar dapatdipergunakan sesuai dengan ketentuan ini, adalah:43

- Si pelaku harus mengetahui benar bahwa surat itupalsu

- Si pelaku sudah mempergunakannya, sekurang-kurangnya sudah menyerahkan pada orang lainuntuk mempergunakannya;

- Atau sudah menyerahkan surat tersebut kepadatempat di mana tempat itu merupakan titik awalmemproses penyelesaian surat itu.

Pasal 266 KUH Pidana berbunyi:

(1) Barang siapa menyuruh menempatkanketerangan palsu ke dalam sesuatu akta autentiktentang suatu kejadian yang sebenarnya harusdinyatakan oleh akta itu, dengan maksud akanmenggunakan atau menyuruh orang lainmenggunakan akta itu seolah-olah keterangannyaitu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalaudalam mempergunakannya itu dapatmendatangkan kerugian, dihukum penjaraselama-lamanya tujuh tahun.

42Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.38.43Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.39.

Page 476: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.42

(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukumbarangsiapa dengan sengaja menggunakan aktaitu seolah-olah isinya cocok dengan hal yangsebenarnya jika pemakaian surat itu dapatmendatangkan kerugian.

Sesuai dengan bunyi Pasal ini, unsur-unsur minimalyang harus dipenuhi, adalah:44

- Menyuruh menempatkan keterangan palsu(kepada orang lain) ke dalam suatu akta autentik;

- Akta autentik disini adalah suatu surat yangdibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yangtelah ditetapkan oleh undang-undang;

- Maksudnya akan menggunakan atau menyuruhorang lain menggunakan akta itu, seolah-olahketerangan yang dipalsukan tersebut sesuaidengan yang sebenarnya;

- Jika dipergunakan dapat mendatangkan kerugian.

Disamping itu, yang dapat dikenakan pasal ini adalahselain si pemberi keterangan palsu, tetapi juga orang lainyang mempergunakannya, dan dapat mendatangkankerugian.45

Pasal 416 KUH Pidana berbunyi:

Pegawai Negeri atau orang lain yang diwajibkan untukseterusnya atau untuk sementara waktu menjalankanpekerjaan umum, yang dengan sengaja dengan palsu

44Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.39-40.45Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.40.

Page 477: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.43

membuat atau memalsukan buku atau daftar yangsemata-mata untuk pemeriksaan administrasi, dihukumpenjara selama-selamanya empat tahun.

Ketentuan dalam Pasal ini hanya mengemukakan tentangpemalsuan terhadap “buku” atau daftar yang semata-mata untuk pemeriksaan administrasi. Buku tersebutmisalnya buku kas, juga jenis-jenis buku administrasi,terutama yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti.

Terdahulu telah dikemukakan tentang pasal-pasal yangberhubungan dengan pemalsuan, dan khusus di Pasal242 KUHP membut ketentuan tentang “sumpah palsudan keterangan palsu atau sumpah. Maksutnya semuaketerangan-keterangan yang dikemukakannya tersebutbaik lisan maupun tulisan berdasarkan suatu sumpah atauatas sumpah yang disahkan.46

Pasal 242 KUH Pidana, sebagai berikut:

(1) Barangsiapa dalam hal-hal yang menurutperaturan Undang-Undang menuntut sesuatuketerangan dengan sumpah atau jika keteranganitu membawa akibat bagi hukum dengan sengajamemberi keterangan palsu, yang ditanggungdengan sumpah, baik dengan lisan atau dengankuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu,dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

(2) Jika keterangan palsu yanh ditanggung dengansumpah itu diberikan dalam perkara pidana

46Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.40-41.

Page 478: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.44

dengan merugikan si terdakwa atau tersangka,maka si tersalah itu dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun

(3) Yang disamakan dengan sumpah, yaitu perjanjianatau pengakuan yang menurut undang-undangumum menjadi ganti sumpah.

(4) Dapat dijatuhkan hukuman mencabut hak yangtersebut dalam Pasal 35 angka 1-4.

Memperhatikan bunyi pasal ini, maka unsur-unsur yangharus dipenuhi sehingga terkena pasal ini adalah:47

- Baik keterangan lisan maupun tulisan harusdiatas sumpah;

- Keterangan tersebut diwajibkan kepada yangbersangkutan karena telah ditentukan olehundang-undang disebabkan keterangan tersebutmempunyai akibat hukum;

- Keterangan itu harus palsu atau tidak benar ini,diketahui oleh si pemberi keterangan itu sendiri.

Perlu dicatat di sini bahwa keterangan palsu yangberdasarkan sumpah palsu itu seharusnya dilaksanakandi depan sidang pengadilan di dalam suatu prosesperadilan, dan sumpah tersebut sesuai dengan cara-caraagama yang dianutnya. Pelaku yang melakukan sumpahpalsu ini boleh pegawai negeri maupun bukan pegawainegeri.48

47Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.41-42.48Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.42.

Page 479: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.45

Mengenai tindak pidana yang berhubungan denganpenjualan atau suap, termuat di dalam beberapa Pasal209, 428, dan 419 KUH Pidana.49

Pasal 209 KUH Pidana berbunyi:

(1) Dihukum penjara selama-lamanya dua tahundelapan bulan atau denda sebanyak-banyaknyaRp. 4.500,-:

1e. Barang siapa memberi hadiah atau perjanjiankepada seseorang pegawai negeri denganmaksud hendak membujuk dia, supaya dalampekerjaanya ia berbuat atau mengalpakansesuatu apa, yang bertentangan dengkewajibannya.

2e. Barang siapa memberi hadiah kepadaseseorang pegawai negeri oleh sebab atauberhubungan dengan pegawai negeri itusudah membuat atau mengalpakan sesuatuapa dalam menjalankan pekerjaan yangbertentangan dengan kewajibannya.

(2) Dapat dijatuhkan hukuman mencabut hak yangtersebut dalam Pasal 35 angka1-4.

Unsur yang terpenting diperhatikan di sini adalah yangmenerima suap haruslah pegawai negeri, jika bukan

49Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.42.

Page 480: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.46

pegawai negeri tidak dapat dikenakan pasal ini. Tujuanpenyuapan agar pegawai negeri tersebut berbuat ataumengalpakan sesuatu yang bertentangan dengankewajibannya.50

Yang mendapatkan ancaman hukuman di sini adalah sipemberi, walaupun pegawai negeri tersebut tidak berbuatatau menolak melakukannya. Berbeda dengan Pasal 209KUHP, maka Pasal 418 dan 419 KUHP yang diancamhukuman adalah si penerima suap.51

Pasal 418 KUH Pidana berbunyi:

Pegawai negeri yang menerima hadiah atauperjanjian, sedang ia tahu atau patut dapatmenyangka, bahwa apa yang dihadiahkan ataudijanjikan itu berhubungan dengan kekuasaan atauhak karena jabatannya, atau yang menurut pikiranorang yang menghadiahkan atau berjanji itu adahubungan dengan jabatan itu, dihukum denganhukuman penjara selama-lamanya enam bulan ataudenda sebanyak-banyaknya RP. 4500,-.

Jelaskan bahwa yang ditentukan dalam Pasal ini adalahyang menerima suap dan si penerima adalah pegawainegeri. Si penerima tahu atau patut mengetahui ataumenyangka bahwa hadiah itu karena ada hubungan

50Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.43.51Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.43.

Page 481: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.47

dengan jabatan atau tugasnya. Suap itu dapat berupauang, hadiah, maupun janji-janji lainnya.

Pasal 419 KUH Pidana berbunyi:

(1) Dengan hukuman penjara selama-lamanya limatahun dihukum pegawai negeri:

1e. Yang menerima pemberian atau perjanjian,sedang diketahuinya bahwa pemberian atauperjanjian itu diberikan kepadanya untukmembujuk supaya dalam jabatannyamelakukan atau mengalpakan sesuatu apayang berlawanan dengan kewajibannya.

2e. Yang menerima pemberian, sedangdiketahuinya, bahwa pemberian itu diberikankepadanya oleh karena atau berhubungandengan apa yang telah dilakukan ataudialpakan dalam jabatannya yang berlawanandengan kewajibannya.

Ketentuan dalam Pasal ini jelas mengatakan, bahwakarena adanya pemberian atau perjanjian, diamengalpakan tugasnya. Maksudnya seorang pegawainegeri, karena menerima pemberian atau perjanjianmaupun sejenisnya melakukan atau mengalpakan suatuyang harus diperbuatnya, namun tidak dilaksanakannyapadahal hal tersebut merupakan kewajibannya atautuganya karena jabatannya.52

52Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.44.

Page 482: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.48

Pemberian atau janji tersebut diterimanya, danmenyebabkan ia tidak berbuat atau mengalpakan sesuatuyang berlawanan atau bertentangan dengankewajibannya atau tuganya karena jabatannya.53

Disamping pasal-pasal yang telah dikemukakanterdahulu, sebenarnya masih terdapat pasal-pasal didalam KUHP yang dapat dikaitkan dengan tindak pidanaperbankan. Tetapi karena di dalam perundang-undanganperbankan itu sendiri telah mengaturnya, makaberlakulah peraturan-peraturan khusus tersebut.54

Sebagai contoh dari pasal-pasal yang mengatur tentangsesuatu yang berhubungan dengan perbankan yangterdapat dalam KUHP, tetapi sudah diatur tersendiridalam perundang-undangan perbankan itu sendiri, adalahseperti membuka rahasia yang diatur dalam Pasal 322KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:55

(1) Barangsiapa dengan sengaja membuka sesuaturahasia, yang menurut jabatannya ataupekerjaannya, baik yang sekarang, maupun yangdahulu, ia diwajibkan menyimpangnya, dihukumpenjara selama-lamanya sembilan bulan ataudenda sebanyak-banyaknya RP. 9000,-.

53Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.44.54Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.44.55Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.45.

Page 483: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.49

(2) Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorangyang ditentukan, maka perbuatan itu hanyadituntut atas pengaduan orang itu.

JugaPasal 415 yakni kejahatan yang dilakukan dalamjabatan, yang berbunyi, sebagai berikut.56

Pegawai negeri atau orang lain, yang diwajibkan untkseterusnya atau untuk sementara waktu menjalankansesuatu pekerjaan umum, yang dengan sengajamenggelapkan uang atas surat yang berharga itu diambilatau digelapkan oleh orang lain itu sebagai orang yangmembantu dalam hal itu dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

Kalau dikaitkan pasal-pasal yang ada hubungannya ataudapat dikenakan kepada tindak pidana perbankan sepertiyang telah dikemukakan, dengan Undang-UndangNomor 7 Tahun 1992, Undang-Undang Nomor 10 Tahun1998, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, dapatdikelompok-kelompokan dalam beberapa bagian. Dalampengelompokan ini, M. Sholehuddinmengelompokkannya ke dalam beberapa kelompok,yakni jenis tindak pidana perbankan di bidang kolusimanajemen perbankan yang berbentuk tindak pidanasuap; jenis tindak pidana perbankan dibidangpengawasan perbankan yang berbentuk tindak pidana

56Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.45.

Page 484: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.50

keterangan palsu; jenis tindak pidana perbankan dibidang jasa-jasa perbankan.57

Jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam beberapa Pasal KUHPyang telah disebutkan terdahulu adalah Pasal 416, 209,419 KUH Pidana. Juga Pasal 209 KUHP diperkuat lagidengan tindak pidana suap yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980.58

1. Pihak manakah yang dapat dijerat denganmenggunakan dasar hukum Pasal 46 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan?

2. Sebutkan sanksi administrasi yang terdapat PadaPasal 53 Undang-Undang No 10 tahun 1998Tentang Perbankan?

Petunjuk Jawaban Latihan

1. Badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas,perserikatan, yayasan atau koperasi, makapenuntutan terhadap badan-badan dimaksuddilakukan baik terhadap mereka yang memberiperintah melakukan perbuatan itu atau yang

57Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.46.58Chainur Arrasjid, Hukum Pidana Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, halaman.46.

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 485: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.51

bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan ituatau terhadap kedua-duanya.

2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksuddalam ayat (1), antara lain adalah: a. Denda uang,b. Teguran tertulis, c. Penurunan tingkatkesehatan bank, d. Larangan untuk turut sertadalam kegiatan kliring; e. Pembekuan kegiatanusaha tertentu baik untuk kantor cabang tertentumaupun untuk bank secara keseluruhan; f.Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnyamenunjuk dan mengangkat pengganti sementarasampai Rapat Umum Pemegang Saham atauRapat Anggota Koperasi mengangkat penggantiyang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; g.Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank,pemegang saham dalam daftar orang tercela dibidang Perbankan.

1. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentangPerbankan dalam konsideransnya menyatakan:Dalam bagian akhir UU ini yakni dalam Pasal 46sd Pasal 53 yang terdiri dari sanksi administrasi(Pasal 47-50A) dan pidana (Pasal 52-Pasal 53).

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang PasarModal, dalam penjelasan umumnya menyatakanketentuan pidana baru ditemukan dalam Pasal103 sampai dengan 110.

RANGKUMAN

Page 486: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.52

1. Jenis sanksi yang terdapat dalam UU Perbankanyakni Sanksi Pidana dan …

A. Sanksi sosialB. Sanksi tindak pidana pencucian uangC. MatraagelD. Sanksi administrasi.

2. Sanksi administrasi yang terdapat dalam UUPerbakkan di atur dalam Pasal…

A. Pasal 47-50AB. Pasal 41-52AC. Pasal 42-52AD. Pasal 41-52A

3. Yang berhak untuk mencabut izin usaha bankadalah…

A. Otoritas Jasa KeuanganB. Bank IndonesiaC. Kementerian KeuanganD. Kementerian Bapenas

4. Pidana Denda maksimal yang diatur dalamUndang-undang Pasar Modal sebesar …

A. Rp17.000.000.000,00B. Rp16.000.000.000,00C. Rp15.000.000.000,00D. Rp14.000.000.000,00

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 487: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.53

5. Manakah di bawah ini yang termasuk tindakpidana kejahatan dalam UU Pasar Modal …

A. Kegiatan Pasar Modal Tanpa izinB. Melakukan kegiatan perdagangan valuta

asingC. Melakukan Dumping keuanganD. Melakukan kartel

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yangbenar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkatpenguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapatmengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Bagus! Jika masih dibawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2,terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 488: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 7 1.54

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 21) D 1) D2) A 2) A3) B 3) B4) A 4) C5) B 5) A

Daftar Pustaka

Arief Amrullah. 2015. Politik Hukum PidanaPerlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di BidangPerbankan Dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku.Yogyakarta: Genta Publishing.

Chainur Arrasjid. 2011. Hukum Pidana Perbankan.Jakarta: Sinar Grafika.

Kristian. 2013. Tindak Pidana Perbankan. Bandung:Nuansa Aulia.

Luhut M.P. Pangaribuan. 2016. Hukum Pidana KhususTindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uang, Korupsi danKerjasama Internasional serta Pengembalian Aset.Depok: Pustaka Kemang

Page 489: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

Modul 8TINDAK PIDANA KORUPSI

Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.HumLushiana Primasari, SH, MH

Setelah mempelajari modul 7 yang membahasTindak Pidana Perbankan. Maka di Modul 8 ini kitaakan membahas materi mengenai Tindak PidanaKorupsi yang terdapat dalam kegiatan belajar 1 danyang selanjutnya akan dilanjutkan dengan kegiatanbelajar 2 yang membahas tentang PerkembanganKetentuan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, padaModul 8 ini merupakan pengembangan lebih lanjutdari materi yang disajikan oleh Modul sebelumnyayang merupakan termasuk dalam klasifikasi jenistindak pidana dalam Hukum Pidana Ekonomi diIndonesia.

Dengan mempelajari materi Modul ini diharapkanmahasiswa dapat menjelaskan Tindak Pidana Korupsidan Perkembangan Undang-Undang Tindak PidanaKorupsi Di Indonesia.

Page 490: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.2

Kegiatan Belajar 1

Pengantar Tindak Pidana Korupsi

1. Tindak Pidana Korupsi sebagai TindakPidana Khusus

Suatu perundang-undangan pidana diluar KUHPdapat dikategorikan sebagai hukum pidana khusussehingga berlaku asas "Lex specialis derogat legigenerali", ia harus memuat ketentuan-ketentuan hukumyang menyimpang dari aturan umum KUHP, baikpenyimpangan tersebut dari segi hukum pidana materiilmaupun hukum pidana formil. Dilihat dari segi hukumpidana materiil, makna penyimpangan adalah terkaitdengan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dansanksi pidana atau sanksi tindakan.1Sedangkan dari segihukum pidana formil, maksud penyimpangan adalahterkait dengan ketentuan beracara yang berbeda denganketentuan beracara yang terdapat di dalam KUHAP.2

Dalam konteks tindak pidana korupsi, dasarpemikiran tersebut sangat penting untuk di jadikansebagai acuan apakah Undang-undang No 31 Tahun1999 jo Undang-undang No 20 Tahun 2001 tentang

1 Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, California, Stanford UniversityPress, 1968 , dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi,UII Press, Yogyakarta, 2013, halaman. 16.2 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press,Yogyakarta, 2013, halaman. 16.

Page 491: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.3

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi layak disebutsebagai aturan hukum pidana khusus. Terdapat 4 (empat)alasan memasukkan undang-undang pemberantasantindak pidana korupsi ke dalam aturan hukum pidanakhusus.3

Pertama, terkait dengan pengaturan tindakpidana. Undang-undang tindak pidana korupsi dengantegas memandang bahwa pidana bagi tindak pidanapercobaan, pemufakatan jahat, dan pembantuan samadengan pidana bagi delik selesai. Bila dalam KUHPpidana bagi delik percobaan adalah dikurangi sepertigadari maksimum ancaman pidana, maka dalam undang-undang tindak korupsi ketentuan demikian disimpangiyakni pidana bagi delik percobaan sama dengan pidanabagi tindak pidana korupsi yang dilakukan denganselesai.4

Demikian halnya dengan delik pembantuan.Pasal 57 KUHP secara eksplisit menyatakan bahwamaksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangisepertiga, dan apabila kejahatan yang dilakukandiancamkan dengan pidana mati atau pidana penjaraseumur hidup, maka maksimum pidana pokok untukpembantu adalah lima belas tahun penjara.5Dalamundang-undang tindak pidana korupsi ketentuan

3 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press,Yogyakarta, 2013, halaman. 16.4 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press,Yogyakarta, 2013, halaman. 165 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan UmumHukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, halaman. 157, dalamMahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta,2013, halaman. 17.

Page 492: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.4

demikian tidak diikuti atau disimpangi, karena pidanabagi pelaku delik pembantuan disamakan dengan pidanabagi delik yang selesai, dalam arti tidak ada pengurangansepertiga dari maksimum pidana pokok.6

Kedua, terkait dengan pertanggungjawabanpidana. Undang-undang tidak pidana korupsi tidak hanyamenjadikan manusia sebagai subjek delik, tapi jugakorporasi. Sedangkan dalam KUHP korporasi tidakdiakui sebagai subjek delik, hanya manusia yang dapatmelakukan tindak pidana.7 Ketentuan demikiandisimpangi oleh undang-undang korupsi. Pasal 1 ayat (3)undang-undang korupsi secara eksplisit menyatakanbahwa makna "setiap orang" tidak hanya orangperorangan tapi termasuk juga di dalamnya adalahkorporasi. Sedangkan mengenai tuntutan dan penjatuhanpidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan ataupengurusnya. Dalam hal tuntutan pidana dilakukanterhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebutdiwakili oleh pengurus.8

Ketiga, terkait dengan sanksi pidana. Undang-undang tindak pidana korupsi mengatur perumusanancaman pidana secara kumulatif-alternatif, sertaancaman pidana minimum khusus. Ketentuan mengenaiperumusan ancaman pidana demikian tidak dikenaldalam KUHP, sebab KUHP sendiri hanya mengenai dua

6 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press,Yogyakarta, 2013, halaman. 16.7 Ketentuan Pasal 59 KUHP pada dasarnya tidak ditujukan kepada korporasi, tetapiditujukan kepada manusia, dalam Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek HukumPidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, halaman. 17.8 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press,Yogyakarta, 2013, halaman. 16.

Page 493: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.5

sistem perumusan ancaman pidana, yaitu sistemperumusan tunggal dan sistem perumusan alternatif.KUHP juga tidak mengenal ancaman pidana minimumkhusus, yang dikenal hanyalah ancaman pidanaminimum umum, maksimum umum, dan maksimumkhusus. Dalam undang-undang tindak pidana korupsiancaman pidana yang dirumuskan secara komulatif,komulatif -alternatif, dan dikhususkanya ancamanminimal tersebar dihampir semua rumusan pasal.Pengaturan yang demikian tentu saja merupakanpengaturan yang menyimpang dari ketentuan umumKUHP mengenai perumusan ancaman sanksi pidana.9

Keempat, terkait dengan hukum acara pidana.Undang-undang tindak pidana korupsi mengaturketentuan beracara yang berbeda atau menyimpang dariketentuan beracara dalam KUHAP, seperti diakuinyasistem pembalikan beban pembuktian, perampasan aset,pembayaran uang pengganti dan peradilan in absentia.Pengaturan demikian tidak dikenal dalam KUHAP.Mengenai pembuktian KUHAP mengatur bahwa yangberkewajiban membuktikan tindak pidana yangdilakukan terdakwa adalah Jaksa Penuntut Umum bukanterdakwa. KUHAP juga tidak mengenal peradilan inabsentia, yang ada hanya mengatur penundaan sampaibeberapa kali apabila terdakwa tidak hadir kepersidangan setelah dipanggil secara patut. Disampingitu, khusus untuk perkara korupsi diperiksa, diadili dandiputus berdasarkan undang-undang No 30 tahun 2002tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan undang-

9 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press,Yogyakarta, 2013, halaman. 16.

Page 494: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.6

undang No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan TindakPidana Korupsi.10

Keempat hal diatas paling tidak dapat dijadikansebagai alasan atau dasar bahwa bahwa undang-undangtindak pidana korupsi dikategorikan sebagai hukumpidana khusus atau aturan hukum pidana yang bersifatkhusus. Sebagai aturan hukum pidana yang bersifatkhusus, maka aturan yang bersifat umum tidak lagimemiliki keabsahan sebagai hukum pidana ketika telahada aturan yaang bersifat khusus. Dengan kata lain,aturan pidana yang bersifat khusus itulah sebagai hukumyang valid dan mempunyai kekuatan mengikat untukditerapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit, dalamhal ini adalah tindak pidana korupsi. Konsekuensinya,suatu aturan hukum (umum) termasuk ketika hal ituterdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, menjadi tidak mempunyai kekuatanmengikat. Aturan tersebut hanya menjadi “aturanperundang-undangan”, tetapi tidak merupakan suatu“aturan hukum”.11

2. Pengertian Dan Jenis Tindak Pidana Korupsi12

Kautilya, seorang filsuf dan pemikir besar dariIndia suatu hari pernah ditanya tentang berapabanyaknya uang rakyat yang dijarah oleh pamong raja.Kautilya menjawab, mustahil bisa

10 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press,Yogyakarta, 2013, halaman. 18.11 Mahrus Ali, Asas, Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press,Yogyakarta, 2013, halaman. 18.12 Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H. 2016. Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-delik di Luar KUHP. Jakarta: PT Kharisma Putra Utama. Halaman. 58

Page 495: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.7

menghitungnya.nmereka, kata Kautilya seperti ikanyang menyelam di lautan, tidak ketahuan apakahsedang minum air atau tidak. Apa yang dikatakan olehKautilya tiga ratus masehi itu, seolah bertahan hinggakini. Dalam lingkaungan yang korup sulit memilahmana yang dianggap korupsi, mana yang tidak, takmudah untuk menilai mana tanda terima kasih, manayang sogok.13

Reformasi yang digulirkan pada 1998mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi, dannepotisme (KKN) yang dinilai telah menjerumuskanbangsa dan negara Indonesia ke dalam krisismultinasional terutama keterpurukan ekonomi. Harapanbesar para reformis kala itu semakin terbuka setlahruntuhnya era Orde Baru dan munculnya era Reformasiyang diharapkan membawa perubahan besar dalamkehidupan berbangsa dan bernengara termasuk didalamnya agenda pemberantasan korupsi.

Harapan besar akan terwujudnya pencegahan danpemberantasan korupsi sebagaimana cita-cita luhurreformasi yang digelorakan oleh elemen bangsa saatitu, ternyata hanya tinggal harapan. Saat ini, tindakpidana krupsi bukannya hilang terkikis oleh “taring”penegak hukum, akan tetapi oleh banyak pengamat danpenggiat antikorupsi dinilai semakin menjadi-jadi.Apabila di era Orde Bru bahkan saat era Orde Lamakorupsi hanya dilakukan pada level atas saja, kinikorupsi telah merasuki pula kalangan legislatif danyudikatif, dengan modus yang bermacam-macam baik

13 Fransiskus Surdiasik, dkk., dalam buku Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H. 2016.Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-delik di Luar KUHP. Jakarta: PT KharismaPutra Utama. Halaman 58-59.

Page 496: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.8

yang dilakukan secara terbatas maupun yang dilakukansecara “berjamaah”.

Praktik korupsi tidak hanya melanda negara-negaraberkembang tetapi juga negara-negara maju sepertiAmerika Serikat. Hanya saja, korupsi di negara-negaramaju tidak separah dengan korupsi di negara-negaraberkembang seperti Indonesia. Instrumen dansupermasi hukum pada negara-negara maju dlammemberantas korupsi, betul-betul berjalan sebagaimanamestinyakarena adanya keseriusan aparat hukumnyayang didukung oleh kemauan politik (political will)kepala pemerintahan. Kenyataan sebaliknya diIndonesia, suburnya praktik korupsi terutama saat OrdeBaru yang dilanjutkan di era Reformasi, kurangmenyentuh perhatian pemerintah (eksekutif) dan wakilrakyat yang ada di parlemen (legislatif).14

Sejarah pemebrantasan korupsi yang cukuppanjang di Indonesia menunjukan bahwapemberantasan korupsi memang membutuhkanpenanganan yang ektrakeras dan membutuhkankemauan politik yang sangat besar dan serius danpemerintahan yang berkuasa. Politik pemberantasankorupsi itu sendiri tercermin dari peraturan perundang-undangan yang dilahirkan pada periode pemerintahantertentu. Lahirnya undang-undang yang secara khususmengatur mengenai tindak pidana korupsisesungguhnya tidaklah cukup untuk menunjukkankeseriusan atau komitmen pemerintah. Perlumenerpakan ketantuan yang diatur di dalam undang-undang dengan cara mendorong aparat penegak hukum

14 Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Ghalia Indonesia,2014, halaman. 8

Page 497: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.9

yang berwenang untuk memberantas korupsi degancara-cara yang tegas, berani, dan tidak pandang bulu.15

Kata korupsi berasal dari bahasa latincorruptionatau corroptus. Selanjutnya, disebutkancorruptionitu berasal pula dari kata asalcorrumpere,suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latinitulah turun kebanyakan bahasa Eropa, seperti bahasaInggris: corruption, corrupt, Perancis: corrupratio, danBelanda: corruption (korruptie), dapat kitamemberanikan diri bahwa bahasa Belanda inilah kataitu turun ke Indonesia “korupsi”.16 Di Malaysia dipakaikata resuah yang diambil dari Bahasa Arabrisywah(suap) yang secara terminologis berartipemberian yang diberikan seseorang kepada hakimatau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengancara tidak dibenarkan atau untuk memperolehkedudukan. Semua ulama sepakat megharamkanrisywah yang terkait dengan pemutusan hukum,perbuatan ini termasuk dosa.

Subekti dan Tjitrosoedibio menyatakan corruptiveadalah perbuatan curang, tindak pidana yangmerugikan keuangan negara. Adapaun BaharuddinLopa dengan mengutip pendapat David M. Chalmersmenguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang,yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yangberhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi,dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Halini diambil dari definisi “financial manipulations and

15 Ganjar Laksamana B., Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Jakarta,Kemendikbud, RI, 2011, halaman. 121

16 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional danInternasional, Jakarta, Rajawali Press, 2007, halaman. 7

Page 498: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.10

deliction injurious to the economy are often labeledcorrupt”.17

Jermy Pope menyatakan bahwa korupsi adalahmenyalahgunakan kepercayaan untuk kepentinganpribadi. Namun, korupsi dapat pula dilihat sebagaiperilaku yang tidak memenuhi prindip“mempertahankan jarak”, artinya dalam pengambilankeputusan di bidang ekonomi, apakah ini dilakukanoleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabatpublik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memaikanperanan. Sekali prinsip mempertahankan jarak inidilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan hubunganpribadi atau keluarga, korupsi akan tibmul. Contohnya,konflik kepentingan dan nepotisme. Prinsipmempertahankan jarak ini adalah landasan untukorganisasi apa pun untuk mencapai efisiensi.18

Adapun cara-cara yang digunakan dalammelakukan korupsi menurut Jeremy Pope, yaitu:

a. Kronisme (perkoncoan), koneksi, anggotakeluarga, dan sanak keluarga;

b. Korupsi politik melalui sumbangan dana untukkampanye politik dan sebagainya;

c. Uang komisi bagi kontrak pemerintah (dansubkontrak jasa konsultan);

d. Berbagai raga penggelapan.19

Di dalam Konvesi PBB Menetang Korupsi (UnitedNation Convention Againts Corruption, UNCAC) Tahun

17Ganjar Laksamana B.,Pendidikan Anti Korupsi, Jakarta, Kementrian Pendidikandan Kebudayaan RI, 2011, halaman. 1218 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional,

Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2003, halaman. 3019Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional,Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2003, halaman. 32.

Page 499: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.11

2003 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI denganUndang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, ada beberapaperbuatan yang dikategorikan korupsi, yaitu:

a. Penyuapan, janji, tawaran, atau pemberiankepada pejabat publik atau swasta, atauinternasional, secara langsung atau tidaklangsung, manfaat yang tidak semestinyauntuk pejabat itu sendiri atau orang atau badanlain yang ditujukan agar pejabat itu bertindakatau berhenti bertindak dalam pelaksanaantugas-tugas resmi mereka untuk memperolehkeuntungan dsri tindakan tersebut.

b. Penggelapan, penyalahgunaan, ataupenyimpangan lain oleh pejabat publik atauswasta atau internasional.

c. Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah.20

Berdasarkan pengertian korupsi yang telahdiuraikan tersebut, secara sosiologis dapat dipilah tigajenis korupsi, yaitu:

a. Korupsi karena tuduhan. Bagi karyawan danpegawai rendahan pada umumnya korupsi yangmereka lakukan karena kebutuhan. Mulai darimencuri peralatan kantor, memeras pelanggan,menerima suap sampai dengan mengorupsiwaktu kerja.

b. Korupsi untuk memperkara diri. Biasanyadilakukan oleh golongan pejabat eselon,didorong oleh sikap serakah, melakukan markup terhadap pengadaan barang kantor danmelakukan pelbagai pungli. Penyebabnya

20 Aziz Syamsuddin, Op.cit., halaman. 138

Page 500: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.12

karena gengsi, haus pujian dan kehormatan,serta tidak memiliki sense of crisis.

c. Korupsi karena peluang. Pejabat atausebagian anggota masyarakat ketika merekadiberi peluang akan memenafaatkan keadaantersebut, karena (a) penyelenggaraan negara,khususnya pelayanan publik yang terlalubirokratis; (b) manajemen yang amburadul; dan(c) pejabat atau petugas tidak bermoral.21

Tindak pidana korupsi sebagai perbuatan yangsangat tercela dan merusak tatanan kehidupanbermasyarakat dan bernegara, perlu dicegah dandiberantas di bumi Indonesia. Oleh karena itu, dalamusaha pencegahan dam pemberantasannya, perludiketahui hal-hal yang menjadi penyebab terjadinyakorupsi di Indonesia.

Menurut Marwan Mas, secara umum perilakukorupsi terjadi di Indonesi karena hal berikut:

a. Sistem yang keliru. Negara yang barumerdeka selalu mengalami keterbatasan SDM,modal, teknologi, dan manajemen. Oleh karenaitu, perlu perbaikan atas sistam administrasipemerintahan dan pelayanan masyarakat yangkondusif terhadap terjadinya korupsi.

b. Gaji yang rendah. Rendahnya gaji membukapeluang terjadinya korupsi.

c. Law enforcement tidak berjalan seringterdengar dalam masyarakat kalau pencuriayam dipenjarkan, pejabat korup lolos jeratanhukum. Ini karena pejabat yang berwenang,

21 Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Ghalia Indonesia,2014, halaman. 12

Page 501: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.13

khususnya penegak hukum mudah menerimasuap dari koruptor atau pejabat yang membuatkesalahn. Akhirnya, korupsi berjalan secaraberantai melahirkan apa yang disebut sebagaikorupsi sistematik.

d. Hukuman yang ringan. Memang UU Korupsimengancam penjatuhan pidana mati, tetapiharus memiliki syarat tertentu, ancaman pidanaseumur hidup, denda yang besar, sertaancaman mebayar pengganti sejumlah uangyang dikorupsi, tetapi kalau tidak mampumenatar diganti (subsidair) dengan hukumanpenjara ringan (Pasal 18 UU Korupsi). Haltersebut tidak memeberikan efek jera atau rasatakut bagi yang lain.

e. Tidak ada keteladanan pemimpin. Sebagaimasyarakat agraris rakyat Indonesia cenderungpaternalistik, yaitu mereka akan mengikuti apayang dipraktikan oleh pemimpin, senior atautokoh masyarkat. Tapi tidak adanya teladanyang baik dari pemimpindi Indonesiamenyebakan perekonomian di Indonesia masihdililit utang dan korupsi.

f. Masyarakat yang apatis. Pemerintahmengeluarkan PP 68/1999 yang menempatkanmasyarakat sebagai elemen penting dalampemberantasan korupsi. KPK membentukDeputi Bidang Pengawasan Internal danPengaduan Masyarakat, yang antara lain

Page 502: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.14

bertugas menerima dan memproses laporandari masyarakat.22

3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Sebagai salah satu jenis tindak pidana khusus,subjek hukum tindak pidana korupsi dapat berupa orangperseorangan atupun korporasi. Bahkan dalmperkembangan praktik penegakan hukum saat ini pelakutindak pidana korupsi dominan melibatkan direksi ataupegawai perusahaan, baik perusahaan negara (BUMNdan BUMD) maupun perusahaan swasta yang terkait.

Dalam Pasal 1 angka 1, 2, dan angka 3 UUNomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi diartikan sekaligus disebutkan subjekhukum tindak pidana korupsi, yakni:

a. Korporasi, yaitu kumpulan orang dan/ataukekayaan yang terorganisasi baik merupakanbadan hukum maupun bukan badan hukum.

b. Pegawai negeri yang meliputi:1) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang tentangKepegawaian;

2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksuddalam KUHP;

3) Orang yang menerima gaji atau upah darikeuangan negara atau daerah;

22 Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Ghalia Indonesia,2014, halaman. 13.

Page 503: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.15

4) Orang yang menerima gaji atau upah darisuatu korporasi yang menerima bantuandari keuangan negara atau daerah;

5) Orang yang menerima gaji atau upah darikorporasi lain yang menggunakan modalatau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 1, 2 danangka 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi danNepotisme, mementukan komponen penyelenggaraannegara, sebagai berikut:

a. Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara;b. Pejabat negara pada lembaga tinggi negara;c. Menteri;d. Gubernur;e. Hakim;f. Pejabat negara lain yang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundnag-undnagan yang berlaku,misalnya Kepala perwakilan RI di luar negeriyang berkedudukan sebagai Duta Besar luar biasadan berkuasa penuh, wakil gubernus, danbupati/walikota;

g. Pejabata lain yang memiliki fungsi strategisdalam kaitannya dengan penyelenggaraan negarasesuai dengan ketentuan perundang-undanganyang berlaku. Dalam penjelasan pasal demi pasalundang-undang ini, disebutkan bahwa yangdimaksud dengan pejabat lain meliputi:1) Direksi, komisaris, dan pejabat struktural

lainnya pada Badan Usahan Milik Negara danBadan Usaha Milik Daerah;

Page 504: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.16

2) Pimpinan Bank Indonesia dan PimpinanBdana Penyehatan Perbankan Nasional;

3) Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;4) Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang

disamakan di lingkungan Sipil, militer danKepolisisan Negara RI;

5) Jaksa;6) Penyidik;7) Panitera pengadilan;8) Pemimpin dan bedaharawan Proyek.

4. Delik-Delik Dalam Undang-Undang TindakPidanaKorupsi23

A. Korupsi yang Mensyaratkan Adanya KerugianNegara1. Pasal 2 ayat (1)

Tindak pidana Korupsi mensyaratkan adanyakerugian negara secara eksplisit diatur dalam Pasal 2ayat (1) san Pasal 3. Rumusan Pasal 2 ayat (1)berbunyi:

Setiap orang yang secara melawan hukummelakukan perbuatan memperkaya dirisendiriatau orang lain atau suatu korporasi yangdapat merugikan keuangan negaraatauperekonomian negara, dipidana penjara denganpenjara seumur hidup ataupidana penjara

23Mahrus Ali.Asas, Teori & Praktek Hukum Pidana Korupsi. Yogyakarta: UII Press.2013. Halaman.

Page 505: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.17

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama20 (dua puluh) tahundan denda paling sedikitRp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) danpaling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satumilyar rupiah).

Unsur-unsur delik Pasal di atas sebagai berikut:1) Setiap orang 2) melawan hukum 3) memperkayadiri sendiri atau orang lain 4) dapat merugikankeuangan negara atau perekonomian negara.Pertama, unsur “setiap orang”. Unsur ini merupakanpelaku atau subjek delik dalam Pasal 2 ayat (1), danunsur ini bukanlah delik inti (bestandeel delict)melainkan elemen delik (elemen delict). Iamerupakan subjek hukum yang diduga tau didakwamelakukan TPK yang pembuktiannya bergantungkepada pembuktian delik intinya. Subjek delikdalam Pasal ini tidak hanya terdiri dari manusia, tapijuga korporasi. Pasal 1 angka 3 secara eksplisitmengartikan setiap orang adalah orang perseoranganatau termasuk korporasi. Sedangkan yang dimaksudkorporasi adalah kumpulan orang-orang dan atauharta kekayaan yang terorganisasi baik merupakanbadan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1ayat(1)).

Sekalipun makna setiap orang pada Pasal 2 ayat(1) meliputi orang perseorangan atau korporasi, tapimakna orang perseorangan tersebut tidak meliputipegawai negeri atau pejabat. Jika pegawai negeriatau penyelenggara negara diajukan ke persidangankarena diduga melakuakn TPK, maka Pasal 2 ayat(1) UU korupsi tidak dapat digunakan sebagai dasaruntuk mendakwa pegawai negeri atau penyelenggara

Page 506: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.18

negara tersebut. Dengan demikian, subjek delikdalam Pasal 2 ayat (1) bermakna subjek delikmeliputi orang perorangan atau korporasi padaumumnya, selain pegawai negeri atau penyelenggaranegara.24

Secara teoritis makna “setiap orang” menunjukkepada siapa orangnya yang harusbertanggungjawab atas tindak pidana yangdidakwakan atau setidak-tidaknya mnegenai siapaorangnya yang harus dijadikan terdakwa. Kata“setiap orang” identik dengan terminologi katabarangsiapa (hij). Oleh karena itu, kata “setiapaorang” atau “barangsiapa” sebagai siapa saja yangharus dijadikan sebagai terdakwa atau setiap orangsebagai subjek hukum pendukung hak dankewajiban yang dapat dimintai pertanggungjawabanpidana atau TP yang dilakukan sehingga histories-kronologis manusia ebagai subjek hukum telahdengan sendirinya memiliki kemampuanbertanggungjawab kecuali secara tegas UUmenentukan lain.25

Kedua, unsur “memperkaya diri sendiri atauorang lain atau sauatu korporasi”. Secara etimologis,memeprkaya berasl dari suku kata “kaya”, yangberarti mempunyai harta yang banyak atau banyakharta. Oleh karena itu, memperkaya, secara harfiahdiartikan sebagai perbuatan menjadikanbertambahnya kekayaan. Memperkaya adalah

24 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsidalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Ctk Kedua, Laksbang MediatamaYogyakarta, 2009, halaman. 6125 MA RI, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas administrasi Buku II, Edisi Revisi,2006, halaman. 209

Page 507: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.19

menjadikan orang yang belum kaya jadi kaya atauorang yang sudah kaya bertambah kaya. Maksudmemperkaya diri sendiri dapat ditafsirkan suatuperbuatan, yakni pelaku bertambah kekyaannya ataumenjadi lebih kaya karena perbuatan tersebut.Modus operandi perbuatan memperkaya dapatdilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan,membeli, menjual, mengambil, memindahbukukanrekening, menandatangani kontrak serta perbuatanlainnya sehingga pelaku jadi bertambahkekayaannya.26

Kata memperkaya perlu dihubungkan dengankewajiban terdakwa untuk memberikan keterangantentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehinggakekayaan yang tidak seimbang denganpenghasilannya atau penambahan kekayaan tersebutdapat digunakan untuk memperkuat keterangansaksi lain bahwa telah melakukan TPK (Pasal 37ayat (4) UU PTPK 1999). Penafsiran istilahmemperkaya antara yang harfiah dengan yang daripembuat UU hampir sama, keduannya menunjukkanperubahan kekayaan seseorang atau bertambahkekayaannya, diukur dari penghasilan yang telahdiperolehnya.27 Makna memperkaya orang lainadalah akibat dari perbuatan melawan hukumpelaku, ada orang lain yang menikmatibertambahnya harta bendanya.28 Jadi, disini yang

26 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik danMasalhnya, Alumni, Bandung, 2007, halaman 8127 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional danInternasional, Jakarta, Rajawali Grafindo Persada, 2004, halaman. 174-175.28 Darwin Prints, Pemberrantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, 2002, halaman. 31.

Page 508: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.20

diuntungkan bukan pelaku langsung, atau mungkinjuga yang mendapat keuntungan dari perbuatanmelawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalahsuatu korporasi.

Berdasarkan uraian mengenai maknamemperkaya, dapat disimpulkan bahwa tidak adakeharusan pelaku saja yang bertambah kekayaannyaakibat melakukan TPK, tapi juga orang lain ataubahkan korporasi. Bertambahnya kekayaan pelaku,orang lain atau korporasi harus berkolerasi denganberkurangnya kekyaan negara. Dengan kata lain,bertambahnya kekyaan pelaku, orang lain suatukorporasi menjadi penyebab kerugian keuangannegara atau perekonomian negara.

Ketiga, unsur “melawan hukum”. Dalam bahasaBelanda melawan hukum merupakan kata“wederrehtelijk” yang menunjukkan sifat tidak sahsuatu tindakan atau suatu maksud. Penggunaan“wederrehtelijk” oleh pembentuk UU untukmenunjukkan sifat tidak sah suatu tindakan itudijumpai dalam rumusan-rumusan delik dalam PasalKUHP seperti (Pasal 167 ayat (1), 179, 180, danPasal 190. Sedangkan penggunaan kata“wederrehtelijk” untuk menunjukkan sifat tidak sahsuatu maksud dapat dijumpai antara lain dalamrumusan-rumusan delik dalam Pasal KUHP Pasal328, 339, 362, dan 389.29

Ahli hukum pidana memberikan pengertianmelawan hukum dalam makna beragam. Bemmelemmengertikan melawan hukum dengan 2 pengertian,

29 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar baru, Bandung, 1984,halaman. 332.

Page 509: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.21

yaitu “sebagai bertentanngan dengan ketelitian yangpantas dalam pergaulan masyarakat mengenai oranglain atau barang, dan bertentangan dengankewajiban yang ditetapkan oleh UU”.30 Hazewinkel-Suringa mengartikan melawan hukum dengan 3makna, yaitu “tanpa hak atau wewenang sendiri,bertentangan dengan hak orang lain, danbertentangan dengan hukum objektif.31

Van Hattum berpendapat bahwa kata“wederrehtelijk” haruslah dibatasi hanya padahukum tertulis atau bertentangan dengan hukumyang tertulis. Hal yang sama dikemukakan olehSimons yang mengartikan melawan hukum sebagai“unsur delik sepanjang disebutkan dengan tegasdalam perundang-undangan”.32 Vos memformulirperbuatan yang bersifat melawan hukum sebagaiperbuatan yang oleh masyarakat tidakdiperbolehkan.33 Pendapat ini dikuatkan olehEnschede yang menyatakan bahwa melawan hukumtermasuk juga di dalamnya adalah normamasyarakat.34

Dalam hukum pidana istilah ”sifat melawanhukum” adalah satu frase yang memiliki 4 makna,yaitu sifat melawan hukum umum, sifat melawanhukum materiil, sifat melawan hukum khusus, sifat

30 Van Bemmelem, Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta, Jakarta, 1984,halaman. 149-150.31Van Bemmelem, Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta, Jakarta,1984,halaman. 150.32 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar baru, Bandung,1984,halaman. 336.33 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Ctk. Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta,Jakarta, 2008, halaman. 141.34 Fathor, Implementasi Kewenangan MK dalam Menguji Peraturan Perundang-undangan, Skripsi, FH UII, Yogyakarta, 2006, halaman. 110

Page 510: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.22

melawan hukum formil. sifat melawan hukumumum diartikan sebagai syarat umum dapat dipidanasuatu perbuatan. Setiap perbuatan pidana pasti didalamnya mengandung unsur melawan hukum. sifatmelawan hukum khusus terkait dengan pencantumankata “melawan hukum” secara eksplisit dalamrumusan delik. sifat melawan hukum merupakansyarat tertulis untuk dapat dipidananya suatuperbuatan. sifat melawan hukum formil diartikansebagai bertentangan dengan UU. sifat melawanhukum materiil diartikan sebagai bertentangandengan nila dan norma-norma masyarakat.

Kedudukan sifat melawan hukum dalamhukumpidana sangat khas.umumnya telah terjadikesepahaman di kalangan ahli dalam melihat sifatmelawan hukum apabila dihubungkan denganperbuatan pidana. Bersifat melawan hukum mutlakuntuk setiap perbuatan pidana. Andi Zainal Abidinmengatakan, bahw “salah satu unsur esensial delikadalah sifat melawan hukum (wederrehttelijkheid)yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalamsuatu Pasal UU pidana, karena alangkah janggalnyakalau seseorang dipidana yang melakukan perbuatanyang tidak melawan hukum’.35Roeslan Salehmengatakan, “memidana sesuatu yang tidakmelawan hukum tidak ada artinya”.36 Berdasarkandua pendapat tersebut, untuk dapat dikatakanseseorang melakukan perbuatan pidana,perbuatannya tersebut bersifat melawan hukum.

35 Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetk. Kedua, Sinar grafika, Jakarta,2007, halaman. 4736 Roelan saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta,1987, halaman. 1

Page 511: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.23

Dalam KUHP adakalanya, perkataan “melawanhukum dirumuskan secara tegas dan eksplisit didalam rumusan delik dan adakalanya tidak. Bilaperkataan “melawan hukum” dirumuskan dandicantumkan secara tegas dalam rumusan delik, haldemikian memiliki arti penting untuk memberikanperlindungan atau jaminan tidak dipidanya orangyang berhak atau berwenag melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang.37 Menurut Schaffmeister, ditambahkannyaperkataan melawan hukum sebagai salah satu unsurdalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasiruang lingkup rumusan delik yang dibuat terlaluluas. Hanya jika suatu perilaku yang secara formaldapat dirumuskan dalam ruang lingkup rumusandelik, namun secara umum sebenarnya bukanmerupakan perbuatan pidana, maka syarat melawanhukum dijadikan stu bagian dari rumusan delik.38

Konsekuensinya adalah pencatuman “melawanhukum” dalam rumusan delik menyebabkan jaksapenuntut umum harus membuktikan unsur tersebut.Namun demikian, apabila kata “melawan hukum”tidak disebutkan atau dicantumkan secara tegas daneksplisit dalam rumusan delik, maka unsur melawanhukum tersebut tidak perlu dibuktikan. Unsurmelwan hukumnya perbuatan itu otomatis telahterbukti dengan telah terbuktinya perbuatan yang

37 Tongat, dasar-dasar Hukum Indonesia dalam Perspektif Hukum Pembaharuan,UMM Press, Malang, 2008, halaman. 21138 Chairul Huda, Dari Tindak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju TiadaPertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalah, Kencana, Jakarta, 2006, halaman. 50.

Page 512: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.24

dilarang.39 Sekalipun kata melawan hukum tidakdisebutkan dalam rumusan delik, maka secara diam-diam sifat melawan hukum tersebut telah ada dalamsuatu delik.

Dalam UU TPK, kata melwan hukum diartikansebagai melawan hukum formil dan materiil. Suatuperbuatan dikatakan bersifat melawan hukum formilapabila diancam pidana dan dirumuskan sebagaisuatu delik dalam UU.40 Menurut Moeljanto, suatuperbuatan dikatakan melawan hukum formil apabilaperbuatan tersebut telah mencocoki larangan UU.41

Suatu perbuatan bisa dianggap bersifat melawanhukum apabila perbuatan tersebut secara eksplisitdirumuskan dalam UU sebagai perbuatan pidana,sekalipun perbuatan tersebut sanagt merugikanmasyarakat. Jadi, ukuran untuk menentukan apakahsuatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atautidak adalah UU.

Terdapat 2 pemahaman yang terkandung dalamsifat melawan hukum formil. Pertama, suatuperbuatan dikatakan bersifat melawan hukum ketikaperbuatan tsb sudah dirumuskan dalam UU sebagaiperbuatan yang diancam pidana. Menurut ajaran iniperbuatan yang dianggap bersifat melawan hukumhanylah perbuatan-perbuatan yang secara formiltelah dirumuskan dalam UU sebagai perbuatanpidana. Kedua, hal yang dapat menghapus sifatmelawan hukumnya perbuatan hanyalah UU.

39 Tongat, dasar-dasar Hukum Indonesia dalam Perspektif Hukum Pembaharuan,UMM Press, Malang, 2008, halaman. 214.40 Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A & B, FH UNDIP, Semarang, 1975, halaman. 62.41 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Ctk. Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta,Jakarta, 2008, halaman. 140.

Page 513: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.25

Sekalipun suatu perbuatan secara materii; tidakdianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawanhukum, dalam arti perbuatan tersebut tidak dianggapsebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup di amsyarakat, tetapi bila secaraformiil tidak dirumuskan dalam UU sebagaiperbuatan pidana yang dilarang, maka perbuatantersebut secara formiil tetap dianggap bersifatmelawan hukum. Sifat melawan hukumnyaperbuatan yang telah dirumuskan dalam UU hanyadapat dihapuskan oleh UU.42

Sfat melawan hukum materiil bermakna bhawasifat melawan hukumnya perbuatan itu tidak hanyadidasrakn UU saja atau hukum tertulis saja, tetapiharus juga dilihat asas-asas hukum yang tidaktertulis. Menurut ajaran ini sifat melawan hukumnyaperbuatan yang nyata-nyata diatur dalam UU dapathapus baik karena ketentuan UU maupun aturanyang tidak tetulis. Melawan hukum berartibertentangan dengan UU maupun aturan tak tertulisatau nilai yang hidup dalam masyarakat yaitu tatasusila, nilai kepatutan, norma, dan nilai agama.Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukumbila perbuatan tsb bertantangan engan nilai-nilaiyang hidup dalm masyarakat.43

Dengan demikain, suatu perbuatan dikatakantelah memenuhi unsur melawan hukum materiil

42 Tongat, dasar-dasar Hukum Indonesia dalam Perspektif Hukum Pembaharuan,UMM Press, Malang, 2008, halaman. 196.43 Surbaki, “Sifat Melawan Hukum Materiil dan Implikasinya terhadap Ham kolektifatas Pembangunan di Indonesia”, dalam Muladi (Editor), HAM Hakikat, Konsep, danImplikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarat, Ctk, pertama, Refika Aditama,bandung, 2005, halaman. 16.

Page 514: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.26

apabila perbuatan iru merupakan pelanggaranterhadap norma kesopanan yang lazim ataukepatutan yang hidup di masyarakat. Setiapperbuatan yang dianggap atau dipandang tercel olehmasyarakat merupakan perbuatan melwan hukumsecara materiil. Sebab, bagi orang Indonesia belumpernah pada saat itu bahwa hukum dan UUdipandang sama.44

Dalam Pasal 2 (1) melawan hukum merupakandelik inti (bestanddeel delict) sehinggakonsekuensinya jika unsur itu tidak terbukti makaunsur lain tidak perlu dibuktikan dan terdakwadibebaskan. Hanya saja perlu diketahui bahwaeksistensi pasal itu hanya ditujukan kepada orangperorangan atau korporasi secara umum, tidakmencakup pegawai negeri atau pejabat. Perbuatanmelawan hukum hanya bisa dilakukan oleh orangperorangan atau korporasi, tapi tidak bisa dilakukanpegawai negeri atau pejabat.

Alasan penulis adalah sekalipun antara “melawanhukum” dalam Pasal 2 ayat (1) dengan“penyalahgunaan wewenang” dalam Pasal 3 tidakmemiliki perbedaan arti atau sama (in haeren),namun keduanya memiliki perbedaan yang khas.Unsur melawan hukum merupakan genusnyasedangkan, unsur penyalahgunaan wewenang adalah

44 Muladi (Ketua Tim), Pengkajian tentang asas-asas Pidana Indonesia dalamperkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan HukumNasional Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2003, halaman. 45.

Page 515: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.27

speciesnya.45 Sifat in haeren penyalahgunaaanwewenag dan melawan hukum tidaklah berarti unsurmelawan hukum terbukti, tidak secara mutatismutandis penyalahgunaan wewenag terbukti, tetapiuntuk sebaliknya unsur penyalahgunaan wewenagterbukti maka unsur melawan hukum tidak perludibuktikan karena dengan sendirinya unsur melawanhukum tidak perlu dibuktikan. Dalam hal unsurpenyalahgunaan wewenang tidak terbukti, makabelum tentu unsur hukum terbukti.

Parameter yang digunakan untuk menilai apakahseseorang melakukan perbuatan melawan hukumatau penyalahgunaan wewenang berbeda antarakeduanya. Dalam melawan hukum parameter yangdigunakan adalah peraturan perundang-undangan(asas legalitas/melawan hukum formil) dan nilaikepatutan dan keadilan masyarakat. Sedangkan,parameter dalam penyalahgunaan weweng adalahasas legalitas, asas spesialitas, dan AAUPB.46 Secaralebih jelas dan rinci identifikasi unsur melawanhukum dan penyalahgunaan wewenang dapat dilihatpada tabel ini:47

Identifikasi unsur melawan hukum danpenyalahgunaan wewenang

45 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsidalam Pengelolaan Keuangan Daerah, CTK. Kedua, Laksbang Mediatama,Yogyakarta, 2009. halaman. 58.46Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsidalam Pengelolaan Keuangan Daerah, CTK. Kedua, Laksbang Mediatama,Yogyakarta, 2009, halaman. 58.47Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsidalam Pengelolaan Keuangan Daerah, CTK. Kedua, Laksbang Mediatama,Yogyakarta, 2009. halaman. 177-192.

Page 516: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.28

NO Identifikasi MelawanHukum

Penyalahgunaan Wewenang

1 Ruanglingkup

Genus Species

2 SubjekDelik

Setiaporang/Korporasi

Pegawainegeri/Pejabat

3 Parameter AsasLegalitas(melawanhukumformil) dannilaikepatutandankeadilanmasyarakat.

asas legalitas,asasspesialitas, danAAUPB

4 BentukKesalahan

Dolus atauCulpa

Dolus

Keempat, unsur “dapat meruikan keuangannegara atau perekonomian negara”. Penjelasan UUKorupsi menyebutkan bahwa Keuangan negaraadalah seluruh kekayaan negara dalam bentukapapun,yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,termasuk di dalamnya segala bagiankekayaan negaradan segala hak dan kewajiban yang timbul karena(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, danpertanggungjawaban pejabat lembagaNegara, baikdi tingkat pusat maupun di daerah;(b) berada dalampenguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawabanBadan Usaha MilikNegara/Badan Usaha Milik

Page 517: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.29

Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaanyangmenyertakan modal negara, atau perusahaanyang menyertakan modal pihak ketigaberdasarkanperjanjian dengan Negara. Sedangkan yangdimaksud denganPerekonomian Negara adalahkehidupan perekonomian yang disusun sebagaiusahabersama berdasarkan asas kekeluargaanataupun usaha masyarakat secara mandiriyangdidasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerahsesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku yang bertujuanmemberikan manfaat,kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruhkehidupan masyarakat.

Pendekatan yang digunakan dalam perumusankeuangan negara adalah dilihat dari sisi objek,subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, kerugiannegara meliputi semua hak dan kewajiban negarayang dapat dinilai dengan uang termasuk kebijakandan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter danpengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, sertasegala sesuatu baik berupa uang, maupunberupabarang yang dijadikan milik. Dari sisi Subjek,keuangan negara meliputi seluruh objek bagaimanatersebut di atas yang dimiliki negara, dan/ataudikuasai Pemerintah pusat, Pemda, Perusahaannegara/Daerah, dan Badan lain yang ada kaitannyadengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangannegara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yangberkaiyan dengan pengelolaan objek sebagaimanatersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan danpengambilan keputusan sampai dengan

Page 518: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.30

pertanggungjawabannya. Dilihat dari tujauannya,keuangan negara meliputi seluruh kebijakan,kegiatan hubungan hukum yang berkaitan dengankepemilikan dan atau penguasaan objeksebagaimana tersebut di atas dalm rangkapenyelenggaraa pemerintahan negara.

Selain itu, konsep kerugian negara bukanlahkerugian dalam pengertian di duniaperusahaan/perniagaan, melainkan suatu kerugianyang terjadi sebab perbuatan (melawan hukum ataupenyelahgunaan wewenang)48. Terjadinya kerugiannegara disebabkan dilakukannya perbuatan yangdilarang oleh hukum pidana, baik dilakukan olehorang perorangan, korporasi, maupun oleh subjekhukum yang spesifik, yakni pegawai negeri ataupejabat.

Secara lebih rinci Yunus Husein menjelaskan,bahwa terdapat 3 kemungkinan terjandinya kerugiannegara, yaitu kerugian negara yang terkait denganbeberapa transaksi antara lain; transaksi barang danjasa, transaksi yang terkait dengan hutang piutang,dan transaksi yang terkait dengan biaya pendapatan.Tiga kemungkinan terjadinya kerugian negaratersebut menimbulkan beberapa kemungkinanpernbuatan atau peristiwa yang dapat merugikankeuangan negara, antara lain:49

1. Terdapat pengadaan barang-barang denganharga yang tidak wajar karena jauh di atas harga

48 A. Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsidalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Ctk. Pertama, PrestasiPustaka Publisher, Jakarta, 2009, halaman. 3949 Yunus Husein, Kerugian Negara dalam Tipikor, Koran Sindo, 28 Mei 2008,halaman. 7

Page 519: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.31

pasar; sehingga dapat merugikan keuangannegara sebesar selisih harga pembelian denganharga pasar atau harga sewajarnya;

2. Harga pengadaan barang dan jasa wajar; tapitidak sesuai dengan spesifikasi barang dan jasamurah yang dipersyaratkan. Kalau harga barangdan jasa murah tetapi kualitas barang dan jasakurang baik, maka dapat dikatakan jugamerugikan keuangan negara;

3. Terdapat transaksi yang memperbesar utangnegara secara tidak wajar; sehingga dapatdikatakan merugikan keuangan negara karenakewajiban negara untuk membayar utangsemakin besar;

4. Berkurangnya piutang negara secara tidak wajardapat juga dikatakan merugikan keuangannegara;

5. Kerugian negara ini dapat terjadi kalau asetnegara berkurang karena dijual dengan hargamurah atau dihibahkan kepada pihak lain atauditukar dengan pihak swasta atau perorangan;

6. Memperbesar biaya instansi atau perusahaan.Hal ini dapat terjadi baik karena pemborosanatau cara lain seperti membuat biaya fiktif.Dengan biaya yang diperbesar, keuntunganperusahaan yang menjadi objek pajak semakainkeci; dan

7. Hasil penjualan perusahaan dilaporkan lebihkecil dari penjualan yang sebenarnya, sehinggamengurangi penerimaan resmi perusahaantersebut.

Page 520: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.32

A.Djoko Sumaryanto mengatakan bahwakerugian keuangan negara dapat terjadi pada 2tahap, yaitu tahap dana akan masuk pada kas negaradan tahap dana kan keluar dari kas negara. Padatahap dana akan masuk pada kas negara kerugianbisa terjadi melalui; konspirasi pajak, konspirasidenda, konspirasi pengembalian kerugian negaradan penyelundupan. Sedangkan pada tahapan danaakan keluar pada kas negara kerugian terjadi akibat,mark up, korupsi, pelaksanaan kegiatan yang tidaksesuai dengan program dll.50

Terlepas dari kemungkina terjadinya kerugiannegra pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakahkerugian negara itu harus dalam bentuk nyata danpasti jumlahnya ataukah potensi terjadinya kerugiannegara (potential lose) sudah dianggap sebagaikerugian negara? Pertanyaan ini perlu dikemukakanmengingat hingga saat ini belum ada kesamaanpendapat mengeani masalah tersebut. Terkaitdengan pertanyaan tersebut, ahli hukum pidanaumumnya terbelah menjadi 2 kubu. Kubu pertamamengatakan bahwa potensi kerugian negara sudahdapat dikategorikan sebagai telah terjadi kerugiannegara. Sebab kata “dapat” sebelum frase“merugikan keuangan negara atau perekonomiannegara” menunjukkan, bahwa tindak pidana korupsiini merupakan delik formil, yaitu adanya TPK cukupdengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yangsudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

50A. Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsidalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Ctk. Pertama, PrestasiPustaka Publisher, Jakarta, 2009, halaman. 39

Page 521: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.33

Konsekuensinya, kerugian keuangan negara atauperekonomina negara bukan merupakan sesuatuyang harus sudah ada sebelumnya akan tetapi cukupdengan di penuhinya unsur-unsur dari perbuatanyang dirumuskan suatu delik telah selesai.

Adami Chazawi mengatakan, bahwa kerugianbagi keuangan atau perekonomian negara bukanlahmenjadi syarat untuk terjadinya TPK Pasal 2 ayat(1) secara sempurna, melainkan akibat kerugiannegara dapat timbul dari perbuatan memperkaya diridengan melawan hukum tersebut. Ukuran dapatmenimbulkan kerugian yang didasarkan padapengalaman dan logika/akal orang pada umumnyadengan memeprhatikan berbagai aspek sekitarperbuatan yang dikategorikan memperkaya diritersebut. Oleh karena kerugian ini tidak perlutimbul, maka cukup menurut akal orang padaumumnya bahwa dari suatu perbuatan dapatmenimbulkan kerugian negara tanpa merinci danmenyebut adanya bentuk dan jumlah kerugiannegara tertentu sebagaimana pada tindak pidanamateriil. Untuk membuktikan hal itu dapatmerugikan negara, semua tergantung padakemampuan hakim dalam menganaklisis dan menilai aspek-aspek yang menyertai atauada di sekitar perbuatan dalam rangkaian peristiwayang terjadi.51

Kubu kedua mengatakan bahwa kata “dapat”sebelum frase “merugikan keuangan negara atauperekonomian negara” memang menunjukkan

51 Adam Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Cetk.Kedua, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, halaman. 45

Page 522: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.34

bahwa delik ini merupakan delik formil, yaitu suatudelik yang hanya memfokuskan pada perbuatantertentu yang dilarang, bukan akibat dari perbuatanitu. Akan tetapi, jika delik ini dimaknai sebagaidelik formil, maka ketentaun Pasal 2 ayat (1) inijelas bertantangan dengan unsur lain dalam pasalyang sama, yaitu unsur “memperkaya diri sendiri,orang lain, atau korporasi”. Sebab, unsur inimensyaratkan bertambahnnya kekayaan dari yangtidak ada menjadi ada, atau dari yang sudah adabertambah ada atau kaya. Adanya penambahankekayaan pada mereka di satu sisi, di sisi lainkeuangan negara atau perekonomian negara telahmengalami kerugian sehingga dengan sendirinya,merugikan keuangan negara atau perekonomiannegara secara materil harus ada dan mutlak harusdibuktikan, tidak cukup dengan potential losesemata.52

Bab I ketentuan umum UU No 1/2004 tentangPerbendaharaan Negara secara jelas jugamenyebutkan bahwa yang dimaksud dengankerugian negara atau daerah adalah berkurangnyauang, surat berharga, dan barang yang nyata danpasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawanhukum baik sengaja ataupun lalai. Ini berarti,potensi saja tidak cukup untuk menyatakan bahwaterjadi kerugin negara, melainkan kerugian negaraharus nyata terjadu dan pasti jumlahnya.

52Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsidalam Pengelolaan Keuangan Daerah, CTK. Kedua, Laksbang Mediatama,Yogyakarta, 2009. Halaman. 50

Page 523: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.35

Apabila kata “dapat” diartikan sebagai potentiallose, hal ini sangat berbahaya bisa saja pimpinanBank BUMN tidak berani menyalurkan kredit,pejabat/pegawai negeri tidak berani ditunjuk sebagaipanitia pengadaaan barang atau jasa, karenatindakan mereka pasti ada potensi kerugianwalaupun sangat kecil kemungkinannya. Hal ituterjadi pada masa sekarang, yang kesemuanya itudapat menyebabkan roda pemerintahan akan terjadikemandekan. Jika kata dapat diartikan sebagaipotensi, maka setiap tindakan yang dipilih danselanjutnya dilakukan, sedikit atau banyak akanmenimbulkan suatu potensi kerugian.53

Selain uraian diatas mengenai unsur-unsur delikpada Pasal 2 ayat (1) perlu juga dijelaskan bahwa adkemungkinan penjatuhan pidana mati kepada pelakuyang melanggar pasa tersebut (pasal 2 ayat (2)).Pidana mati dapat dijatuhkan jika memenuhi syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang mengiringi TPKdilakukan. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) secaraeksplisit menjelaskan bahwa Yang dimaksud dengan“keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkansebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidanakorupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukanpada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuaidengan undang-undang yang berlaku, pada waktuterjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangantindak pidana korupsi, atau pada waktu negara

53Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsidalam Pengelolaan Keuangan Daerah, CTK. Kedua, Laksbang Mediatama,Yogyakarta, 2009. halaman.54

Page 524: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.36

dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, danpengulangan TPK.

Keempat syarat tersebut menjadi penentu dapattidaknya pidana mati dijatuhkan bakipelaku/terdakwa TPK. Keempat syarat tersebutsifatnya alternatif, bukan kumulatif, sehinggapenjatuhan pidana mati cukup dengan dipenuhinyasalah satu syarat saja. Syarat-syarat tersebutmemang sangat berat, terbukti dalam prsktikperadilan perkara korupsi belum ada stupunterdakwa TPK yang dijatuhi hukuman mati, yangada hanyalah tuntutan Jaksa yang menuntut pidanamati bagi terdakwa sebagaimana dalam perkarakorupsi Dicky Iskandardinata.

Dalam perkara ini terdakwa Dicky Iskandardinatadidakwa dengan dakwaan subsidaritas berupamelanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang PTPK jo Pasal55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, danmelanggar Pasal 3 ayat (1) syb a, b, dan, c UUnomor 1/2003 tentang TPPU. Dalam tuntutannyaJPU menambahkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999jo UU NO. 20/2001 tentang PTPK yang mengaturancaman pidana mati, padahal pasal tersebut tidakada dalam surat dakwaan. Ada 4 alasan JPUmemasukkan juga Pasal 2 ayat (2), yaitu; a)perbuatan terdakwa bertentngan dengan prgorampemerintah unruk bersih dan bebad dari KKN; b)terdakwa melakukan TP pada saat negara dalamkeadaan krisis ekonomi; c) terdakwa melakukan TPmengulang karan pada awal Tahun 1969 terbuktibersalah melakukan TPK ketika menjabat sebagai

Page 525: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.37

direktur Bank Duta dengan dijatuhi pidana penjara 8tahun; dan d) terdakwa sampai saat ini belummembayar pengganti sebesar Rp. 800.000.000.000.

Atas dasar 4 alsan itu, JPU kemudian menuntutterdakwa dengan pidana mati. Dalam putusannyamajelis tidak mengabulkan tentutan JPU itu denganalasan, bahwa sejak awal Pasl 2 ayat (2) mengenaiancaman pidana mati tidak dicntumkan dalam suratdakwaan JPU. Padahal Pasal 143 ayat (1) dan (2)KUHAP jelas menyetakan bahwa surat dakwaanmerupakan dasar bagi JPU untuk membuktikanbersalah tidaknya terdakwa. JPU juga tidakdiperbolehkan mengubah surat dakwaan, termasukmenambah eksistensi pasal dalam tuntutan pidanayang dijadikan dasar untukmengajukan terdakwakemuka persidangan. Pasal 144 ayat (1) dan (2)KUHAP melarang perubahan surat dakwaanmelebihi tujuh hari sebelum sidang pertama dimulai.Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepadaterdakwa Dicky Iskandardinata dengan pidanapenjara selama 20 tahun dan pidana denda.

2. Pasal 3

Pasal 3 UU korupsi juga mensyaratkan adanyakerugian negara, yang berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan tujuanmenguntungkan diri sendiri atau orang lainatau suatukorporasi, menyalahgunakankewenangan, kesempatan atau sarana yangada padanya karena jabatan atau kedudukan

Page 526: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.38

yang dapat merugikan keuangan negara atauperekonomian negara, dipidana denganpidana penjara seumur hidup atau pidanapenjara paling singkat 1 (satu) tahun danpaling lama 20 (dua puluh) tahun dan ataudenda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Unsur-unsur delik Pasal 3 adalah; a) Setiaporang; b) menguntungkan diri sendiri atau orang lainatau suatu korporasi; c) menyalahgunakankewenangan, kesempatan atau sarana yang adapadanya karena jabatan atau kedudukan; dan d)dapat merugikan keuangan negara atauperekonomian negara.

Pertama, unsur “setiap orang”. Makna “setiaporang” dalam 3 berbeda dengan Pasal 2 ayat (1).Apakah kata tersebut dalam Pasal 2 ayat (1)beramkna setiap orang selaku subjek hukum padaumumnya tanpa membedakan kualifikasi tertentu,maka kata “setiap orang” dalam Pasal 3 inibermakna setiap orang selaku subjek hukum dengankualifikasi tertentu, yakni penyelenggara negaraatau pegawai negeri.

Mengingat penyelenggara negara atau pegawainegeri hanya dapat dijabat oleh manusia subjekhukum, maka pengertian “setiap orang” dalam Pasal1 ayat (3) yang mencakup “orang perseorangan atautermasuk korporasi” dengan sendirinya tidak dapatditerapkan pada pengertian “setiap orang” dalamPasal 3. Sebab hanya manusia yang bisa mendudukijabatan sebagai pegawai negeri atau pejabat,

Page 527: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.39

sedangkan korporasi tidak dapat melakukantindakan itu. Korporasi tidak termasuk dalampengertian “setiap orang” dalam Pasal 3.

Pengertian pegawai negeri diatur dalam Pasal 1ayat (2) yang meliputi:a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam

UU tentang Kepegawaian (UU43/1999);

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalamKUHP (Pasal 92 KUHP);

c. orang-orang yang menerima gaji atau upah darikeuangan negara atau daerah;

d. orang-orang yang menerima gaji atau upah darisuatu korporasi yang menerima bantuan darikeuangan negara atau daerah;

e. orang-orang yang menerima gaji atau upah darisuatu korporasi lain yang mempergunakanmodal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Secara lebih rinci, lilik Mulyadi menguraikankualifikasi yang termasuk pegawai negeri sebagaiberikut:54

1. pegawai pada MA RI dan MK;2. pegawai pada Kementrian/Departemen dan

Lembaga Pemerintahan Non-departemen;3. pegawai Kejagung RI;4. Pimpinan dan pegawai Sekretariat MPR, DPR,

DPD, DPRD, Propinsi/Daerah tingkat II;5. Pegawai dari Perguruan Tinggi Negeri;

54Lilik Mulyadi, tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik, danMasalhanya, Alumni, Bandung, 2007, halaman. 93.

Page 528: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.40

6. Pegawai Pada Komisi atau Badan yangdibentuk berdasarkan UU, Kepres, sekretariskabinet dan sekretaris militer;

7. Pegawai pada BUMN dan BUMD;8. Pegawai pada badan peradilan (PU, PA, PM,

dan PTUN);9. Anggota TNI dan POLRI serta PNS di

lingkungan TNI dan POLRI;10. pegawai pada Kementrian/Departemen dan

Lembaga Pemerintahan Non-departemen;11. pegawai Kejagung RI;12. Pimpinan dan pegawai Sekretariat MPR, DPR,

DPD, DPRD, Propinsi/Daerah tingkat II;13. Pegawai dari Perguruan Tinggi Negeri;14. Pegawai Pada Komisi atau Badan yang

dibentuk berdasarkan UU, Kepres, sekretariskabinet dan sekretaris militer;

15. Pegawai pada BUMN dan BUMD;16. Pegawai pada badan peradilan (PU, PA, PM,

dan PTUN);17. Anggota TNI dan POLRI serta PNS di

lingkungan TNI dan POLRI;18. Pimpinan dan pegawai di lingkungan Pemda

Dati I dan II.Sedangkan, pejabat atau penyelenggara negara

adalah pejabat negara pada lembaga tertingginegara, lembaga tinggi negara, menteri, gubernur,hakim, pejabat negara lain sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lainyang mempunyai fungsi stratergis dalam kaitannya

Page 529: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.41

dengan penyelenggaraan negara sesuai peraturanperundang-undangan.55

Kedua, menguntungkan diri sendiri , atau oranglain, atau suatu korporasi. Unsur ini berartiseseorang tidak harus mendapatkan banyak uang,namun cukup apabila dengan mendapatkan sejumlahuang yang dari uang tersebut seseorang akanmemperoleh keuntungan daripadnya walaupunsedikit. Memperoleh suatu keuntungan ataumenguntungkan artinya memperoleh ataumenambah kekayaan yang sudah ada.56

Nur Bauki mengatakan, bahwa perumusan“memperkaya diri sendiri” Pada Pasal 2 UU TPKdengan “tujuan menguntungkan” Pada Pasal 3UUTPK mempunyai pengertian yang sama (identik)yakni kedua unsur delik tersebut dirumuskan secaramateriil.57 Bertambahnya keuntungan atau kekayaanharus benar-benar terjadi atau secara materiilkekayaan dari pejabat atau pegawai negeri, oranglain, atau korporasi itu menjadi bertambah denganadanya penyalahgunaan wewenang. Manakalapenyalahgunaan wewenang tidak terbukti, makadengan sendirinya unsur “dengan tujuanmenguntungkan diri sendiri” tidak perlu dibuktikan.

Ketiga, unsur “menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

55 Pasal 2 UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraaan negara yang besih dan bebasdari KKN56 P.AF. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-kejahatanJabatan tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir jaya, Bandung 1991,halaman. 27657 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsidalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Ctk Kedua, Laksbang MediatamaYogyakarta2009, halaman 32

Page 530: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.42

jabatan atau kedudukan”. Sebagaimana melawanhukum dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai bestanddeeldelict, penyalahgunaan pada Pasal 3 jugabestanddeel delict. Konsekuensinya, jika unsurteresebut tidak terbukti, mak terhadappenyelenggaraan negara pegawai negeri yang didugamelakukan TPK tidak dapat lagi dikategorikansebagai penyalahgunaan wewenang.

Makna penyalahgunaan wewenang sejakPeraturan Penguasa Militer Tahun 1957 hingga UUNO 20/2001 tentang PTPK, tidak pernah diberikanarti yang memadai. Untuk memecahkan persoalanini, tidak salah bila menggunakan teori otonomi darihukum pidana materiil (de autonomie van hetmateriaele straftecht) oleh H. A Demeersemen.Teori ini pada intinya mempertanyakan apakah adaharmoni dan disharmoni antara pengertian yang samantara hukum pidana, khususnya dengan hukumperdata dan HTN (administrasi negara), sebagaisuatu cabang lainnya. Di sini akan diupayakanketerkaitan pengertian yang sama bunyinya antaracabang ilmu hukum lainnya58

Maksud disharmoni adalah bahwa dalam hal-haldimana seseorang memberikan pengertian dalamUU hukum pidana dengan isi lain mengenaipengertian yang sama bunyinya dalam cabanghukum lain atau dikesampingkan teori, fiksi, dankonstruksi dalam penerapan hukum pidana padacabanghukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwamengenai perkataanyang sama, hukum pidana

58 Indriyanto Seno Aji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, CVDiadit Media, Jakarta, 2006, halaman. 426

Page 531: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.43

mempunyai otonomi untuk memberikan pengertianyang berbeda dengan pengertian yang terdapat padahukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidakmenentukan lain, maka dipergunakan pengertiandalam cabang hukum lainnya. Dalam konteks ini,apabila pengertian “menyelahgunakan kewenangan”tidak ditemukan eksplisitnya dalam hukum pidanamaka hukum pidana dapat mempergunakanpengertian dan kata yang sama yang terdapat atauberasal dari cabang hukum lainnya.59 Karenaselama ini hukum pidana tidak memberikanpengertian mengenai penyalahgunaan wewenang,dan pengertian tersebut hanya ditemukan dalamHAN, maka dengan sendirinya pengertian tersebutmengacu pada pengertian dalam ilmu HAN.

Dalam HAN wewenang adalah kemampuanuntuk melakukan suatu tindakan hukum publik ataukemampauan bertindak yang diberikan oleh UUuntuk melakukan hubungan-hubungan hukum.60

Secara yuridis pengertian kewenangan adalahkekuasaan yang diformalkan baik terhadapsegolongan orang tertentu maupun terhadap suatubidang pemerintahan tertentu secara bulat.Wewenag dalam bahasa hukum tidak sama dengankekuasaan (macht). Kekuaasaan hanyamenggambarkan hak untuk berbuat atau tidak

59Indriyanto Seno Aji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, CVDiadit Media, Jakarta, 2006, halaman. 42760 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cetakan. Kesatu, PT. Raja GrafindoPersada. Jakarta, 2006, halaman. 102

Page 532: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.44

berbuat. Dalam hukum wewenang sekaligus berartihak dan kewajiban (rechten en plichten).61

Secara lebih rinci kekuasaan adalah kemampuanmemoengaruhi phak lain agar mengikuti kehendakpemegang kekuasaan, baik denga sukarela maupundengan terpaksa.62 Kekuasaan pada dasarnyamemiliki sifat netral dan baik atau buruknyatergantung cara dan tujuan penggunanya. Sumberdari kekuasaan pun bermacam-macaam, dariperaturan (hukum), uang, senjata, kharisma,kejujuran, dsb. Sedangkan kewenangan adalahkemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukumpublik atau kemampuan bertindak yang diberikanoleh UU untuk melakukan Hubungan-hubunganhukum. Wewenang hanya berkaitan dengan pejabatpublik akan melahirkan hak dan kewajiban untukmencapai tujuan dan maksud yang telah ditentukandalam peraturan perundang-undangan.Penyimpangan terhadap maksud dan tujuan yangtelah ditentukan dikategorikan sebagaipenyalahgunaan wewenang. Mereka yangdikualifikasikan sebagai pelaku penyalahgunaanwewenang adalah ketika kedukdukan atau jabatanatau kapasitasnya berkaitan dengan tugas pelayananpublik atau masyarakat.

Dalam HAN pengertian penyalahgunaanwewenang diartikan dalam 3 bentu, yaitu:63

61Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cetakan. Kesatu, PT. Raja GrafindoPersada. Jakarta, 2006, halaman. 10262 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif diIndonesia, Cetak Kedua(revisi), UII Press, Yogyakarta, 2003, halaman 122-12363 Indriyanto Seno Aji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, CVDiadit Media, Jakarta, 2006, halaman 427-428

Page 533: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.45

1. Penyalahgunaan wewenang untuk melakukantindakan-tindakan yang bertentangan dengankepentingan umum atau untuk menguntungkankepentingan pribadi, kelompok, atau golongan;

2. Penyalahgunaan wewenang dalam arti bahwatindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukanuntuk kepentingan umum, tapi menyimpangdari tujuan apa kewenangan tersebut diberikanoleh UU atau Peraturan-peratuan lain;

3. Penyalahgunaan wewenang dalam artimenyalahgunakan prosedur yang seharusnyadipergunakan untuk mencpai tujuan tertentu,tetapi telah menggunakan prosedur lain agarterlaksana.

Oleh karena unsur yang ketiga Pasal 3 adalah“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atausarana yang ada padanya karena jabatan ataukedudukan”, hal ini menunjukkan bahwa subjekdelik pada Pasal 3 UU PTPK harus memenuhikualitas sebagai pejabat atau mempunyaikedudukan. R. Eiyono mendefinisikan“menyalahgunakan menyalahgunakan kewenangan,kesempatan, atau sarana yang ada padanya karenajabatan atau kedudukan” adalah menggunakankewenangan, kesempatan, atau sarana yang adapadanya karena jabatan atau kedudukan yang dijabatatau didududki si pelaku TPK untuk tujuan lain darimaksud diberikannya kewenangan, kesempatan,atau sarana tsb.64

64 R. Wiyanto, Pembahasan UU PTPK, cetakan, kesatu, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,halaman. 38

Page 534: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.46

Kesempatan adalah peluang atau tersedianyawaktu yang cukup dan sebaik-baiknya untukmelakukan perbuatan tertentu. Orang yang karenamemiliki jabatan atau kedudukan, yang karanajabatan atau kedudukannya itu mempunyai peluangatau waktu yang sebaik-baiknya untuk melakukanperbuatan-perbuatan tertentu berdasarkan jabatanatau kedudukannya. Apabila peluang yang ada inidigunakn untuk melakukan perbuatan lain yangtidak seharusnya dilakukan dan justru bertentangandengan tugas pekerjaanya dalam jabatan ataukedudukan yang dimilikinya, maka disini telahterdapat penyalahgunaan wewenang karena jabatanatau kedudukan. Sedangkan sarna diartikan sebagaiperlengkapan atau fasilitas sehinggamenyalahgunakan sarana adalah adanyapenyalahgunaan perlengkapan atau fasilitas yangada dan melekat pada pelaku karena jabatan ataukedudukan.

Makna kewenangan, kesempatan, atau saranatersebut tidak boleh dipisahkan satu dengan yanglain. Dalam arti, menyelahgunakan kewenangan,kesempatan, atau sarana yang ada padanya karenajabatan atau kedudukan menandakan bahwa antarakewenangan, kesempatan, atau sarana merupakansatu kesatuan yang utuh yang dimiliki oleh pejabat,sebab dengan memberikan jabatan/kedudukankepada seorang pejabat administrasi, makakewenangan, kesempatan, atau sarana dengansendirinya mengikuti. Pemberian jabatan/kedudukanakan melahirkan wewenang. Wewenangan,

Page 535: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.47

kesempatan, atau sarana merupakan asesori darisuatu jabatan/kedudukan.65

Berdasarkan uraian di atas, penyalahgunaankewenangan, kesempatan, atau sarana hanyaberkaitan dengan jabatan atau kedudukan yangmelekat pada diri seseorang, yakni pegawai negeriatau pejabat. penyalahgunaan kewenangan, hanyadiatribusikan kepada pegawai negeri atau pejabat.Selain, pegawai negeri atau pejabat tidak bisadikatakan demikian. Jika dalam praktik peradilankasus pidana korupsi ditemukan bahwa terdakwadidakwa dengan Pasal 3, padahal yang bersangkutanbukan pegawai negeri atau pejabat, jelas terdapatkonstruksi berpikir yang salah di dalam memahamiesensi penyalahgunaan wewenang dan melawanhukum. Jika terdakwa berstatus pegawai negeri ataupejabat, tidak sepatutnya didakwa dengan Pasal 2UU korupsi.

Dalam praktik peradilan perkara korupsi,ternyata kesalahan memahami Pasal 2 dan 3 UUkorupsi sedemikian rupa sehingga merusakbangunan teori mengenai penyalahgunaanwewenang dan melawan hukum sebagai bestanddeeldelict dalam Pasal 3 dan 2. Dua contoh putusan yangmenyalahartikan tersebut dapat ditemukan padaperkara perama, perma adalah perkara korupsimantan Bupati Sleman, Yogyakarta Ibu Subianto.Padahal terdakwa pada saat delik dilakukanberstatus sebagai pejabat Dating II, sehingga tidak

65 Nur Basuki Minarno,Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsidalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Ctk Kedua, LaksbangMediatama Yogyakarta,2009. halaman.45

Page 536: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.48

sepatutnya didakwa dan diputus bersalah berdasakanPasal 2. Dalam putusannya majelis hakammenyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalahmelakukan TP sebagaimana Pasal 2 UU korupsi.Yang kedua juga menimpa Cinde Laras Yulianto,Mantan Anggota DPRD Kota Yogyakarta. Dalamputusannya majelis hakam menyatakan bahwaterdakwa terbukti bersalah melakukan TPsebagaimana Pasal 2 UU korupsi. Padahal terdakwapada saat delik dilakukan berstatus sebagai anggotaDPRD, sehingga seharusnya terdakwa didakwa dandiputus berdasarkan Pasal 3 bukan didakwa dandiputus bersalah berdasakan Pasal 2 UU korupsi.

Menanggapi realitas tersebut, Indriyanto SenoAdji mengatakan:Seringkali badan yudikatif telah mencampuradukan, bahkan menganggap sama unsur“menyalahgunakan wewenang” dan“melawan hukum” , bahkan tanpa disadaribadan peradilan menerapkan asas perbuatanmelawan hukum materiil dengan fungsi positiftanpa memberikn kriteria yang jelas untukdapat menerapkan asas tersebut, yaitumelakuakn pemidanaan berdasarkan asaskepatutan dengan menyatakan telahmelanggar AAUPB , tanpa bisamembedakannya dengan persoalan “beleid”yang tunduk pada HAN.66

66 Indriyanto Seno Aji, Korupsi dan Hukum Penegakan Hukum, CV Diadit Media,Jakarta, 2009, halaman. 29

Page 537: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.49

Ditambahkan olehnya bahwa makna unsur“penyalahgunaan wewenang” itu tidaklah samadengan unsur “melawan hukum”, khususnyaterhadap pemahaman kajian dalam TPK. Implisitasmakna tersebut bahwa menyalahgunakan wewenangadalah tersirat melawan hukum, namun demikiantidaklah berarti memeunih unsur “penyalahgunaanwewenang” berarti pula memenuhi unsur “melawanhukum”. Kedua unsur itu jelas berbeda dari sisi“materiele feit” maupun “strafbarefeit”, karena itupenempatan kedua ketentuan ini merupakan pasal-pasal terpisah dalam UU TPK di Indonesia.Seringkali ditemukan pemehaman yang keliru ataubahkan tidak dipahami oleh aparatur penegakhukum termasuk badan peradilan sebagi pilar akhirdari hukum, yaitu unsur penyelahgunaan wewenang,dilakukan penilaian berdasarkan asas kepatutanmelalui perinsip materiale wederrechtelekjheid yangsecara prinsip merupakan kekeliruan yang sangatmemperihatinkan.67

Selain itu, perlu ditegaskan bahwa sebelum frase“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atausarana yang ada padanya karena jabatan ataukedudukan” terdapat frase “dengan tujuanmenguntungkan diri sendiri, atau orang lain ataukorporasi”. Ini artinya, makna dengantujuan...haruslah dilakukan denga sengaja, tidak bisadengan kelalaian. Kesengajaan disini, adalahkesengajaan sebagai kepastian dan

67 Indriyanto Seno Aji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana,CVDiadit Media, Jakarta, 2006, halaman. 426

Page 538: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.50

kemungkinan.68“dengan tujuan menguntungkan...”pastilah dilakukan dengan sengaja karena kalautidak demikian maka penyalahgunaan wewenag jugatidak terjadi. Ketika “dengan tujuanmenguntungkan...” dilakukan dengan sengaja, makakesengjaan ini mencakup unsur-unsur lain yaknimenyalahgunakan wewenang.69 Sedangkanmelawan hukum tidak harus dalam bentukkesengajaan tapi cukup sebagai kealpaan sajaseseorang sudah melakukan perbuatan melawanhukum. Pasal 59 (1) UU No. 1/2004 tentangPerbendaharaan Negara menyatakan sebagaiberikut:

Semua kerugian Negara/daerah disebabkanoleh tindakan melanggar hukum ataukelalaian seseorang harus segera diselesaikansesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rumusan pasal diatas secara jelas membedakanmelawan hukum dan kelalaian. Secara implisitpembentuk UU hendak menyatakan perbuatanmelawan hukum sebagai bentuk kesengajaan,sebagai lawan kata dari kelalaian sebagai bentukkealpaan.70 Dengan demikian, melawan hukum

68 Indriyanto Seno Aji, Korupsi dan Hukum Penegakan Hukum, CV Diadit Media,Jakarta, 2009. Halaman. 2969 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsidalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Ctk Kedua, LaksbangMediatama Yogyakarta,2009, halaman. 4370Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsidalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Ctk Kedua, LaksbangMediatama Yogyakarta,2009, halaman. 43

Page 539: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.51

dapat terjadi karena kesengajaan atau karenakelalaian/kealpaan.

Keempat, unsur “dapat merugikan keuangannegara dan perekonomian negara”. Sama halnyadengan ketantuan Pasal 2 ayat (1), di dalam Pasal 3juga adak kata “dapat” sebelum frase “merugikankeuangan negara dan perekonomian negara”. Secarateoritis kata dapat berarti kerugian negara dapatterjadi secara nyata atau trial dan dapat pula tidakatau hanya berbentuk potential lose. Potensiterjadinya kerugian negara akibat tindakan orangperorangan, korporasi, pegawai negeri, atau pejabatsudah dapat ikategotikan sebagai merugikankeuangan negara atau perekonomian negara, karena“dapat” fakultatif sifatnya bukan imperatif.

Namun, jika kerugian negara bisa dalam bentukpotential lose. Maka unsur dapat merugikankeuangan atau perekonomian negara bertentanganatau tidak konsisten dengan unsur dengan tujuanmenguntungkan diri sendiri, orang lain ataukorporasi. “sebab unsur ini mesyaratkanbertambahnya keuantungan atau kekayaan harusbenar-benar terjadi atau secara materiil kekyaan daripejabat atau pegawai negeri, orang lain, ataukorporasi bertambah dengan adanyapenyalahgunaan wewenang. Adanya penambahankekayaan pada mereka di satu sisi, di sisi lainkeuangan negara atau perekonomian negara telahmengalami kerugian sehingga dengan sendirinya,merugikan keuangan negara atau perekonomiannegara secara materil harus ada dan mutlak harus

Page 540: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.52

dibuktikan, tidak cukup dengan potential losesemata.

1) Mengapa Tindak Pidana Korupsi dikategorikansebagai tindak pidana khusus?

2) Ketentuan hukum manakah yang mengaturtentang tidank pidana korupsi yang mengandungunsur kerugian negara?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Tindak Pidana Korupsi merupakan tindak pidanakhusus. Hal tersebut karena Pertama terkaitdengan pengaturan tindak pidana. Undang-undang tindak pidana korupsi dengan tegasmemandang bahwa pidana bagi tindak pidanapercobaan, pemufakatan jahat, dan pembantuansama dengan pidana bagi delik selesai, Kedua,terkait dengan pertanggungjawaban pidana.Undang-undang tidak pidana korupsi tidak hanyamenjadikan manusia sebagai subjek delik, tapijuga korporasi. Ketiga, terkait dengan sanksipidana. Undang-undang tindak pidana korupsimengatur perumusan ancaman pidana secara

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 541: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.53

kumulatif-alternatif, serta ancaman pidanaminimum khusus.

2) Ketentuan yang mengatur adanya unsur kerugiannegara dalam Undang-Undang Tindak PidanaKorupsi adalah Pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal3.

1. Terdapat beberapa hal bahwa Tindak PidanaKorupsi merupakan tindak pidana khusus.Pertama terkait dengan pengaturan tindakpidana. Undang-undang tindak pidana korupsidengan tegas memandang bahwa pidana bagitindak pidana percobaan, pemufakatan jahat,dan pembantuan sama dengan pidana bagi delikselesai, Kedua, terkait denganpertanggungjawaban pidana. Undang-undangtidak pidana korupsi tidak hanya menjadikanmanusia sebagai subjek delik, tapi jugakorporasi. Ketiga, terkait dengan sanksi pidana.Undang-undang tindak pidana korupsimengatur perumusan ancaman pidana secarakumulatif-alternatif, serta ancaman pidanaminimum khusus.

2. Subjek Hukum dalam Undang-Undang TindakPidana Korupsi mencakup Individu dankorporasi baik kedudukannya sebagai pihakswasta maupun dalam pemerintahan.

3. Identifikasi unsur melawan hukum danpenyalahgunaan wewenang

RANGKUMAN

Page 542: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.54

No Identifikasi Melawan Hukum PenyalahgunaanWewenang

1 Ruang lingkup Genus Species2 Subjek Delik Setiap orang/Korporasi Pegawai

negeri/Pejabat3 Parameter Asas Legalitas

(melawan hukumformil) dan nilaikepatutan dan keadilanmasyarakat.

asas legalitas,asas spesialitas,dan AAUPB

4 BentukKesalahan

Dolus atau Culpa Dolus

1. Undang-undang No 31 Tahun 1999 TentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi telahdiubah menjadi …

A. Undang-Undang No 20 Tahun 2001B. Undang-Undang No 7 Tahun 2009C. Undang-Undang No 8 Tahun 2010D. Undang-Undang No 1 Tahun 1979

2. Berikut di bawah ini yang merupakanpenyimpangan dari Undang-Undang TindakPidana Korupsi di bidang acara. Kecuali …

A. sistem pembalikan beban pembuktianB. perampasan asetC. pembayaran uang penggantiD. Tunduk pada ketentuan Pasal 103 KUHP

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 543: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.55

3. Biasanya dilakukan oleh golongan pejabateselon, didorong oleh sikap serakah, melakukanmark up terhadap pengadaan barang kantor danmelakukan pelbagai pungli. Penyebabnya karenagengsi, haus pujian dan kehormatan, serta tidakmemiliki sense of crisis. Merupakan salah satupengertian korupsi ditinjau dari segi sosiologiyang termasuk jenis korupsi …

A. Karena peluangB. Memperkaya diriC. TuduhanD. Karena undang-undang

4. Sebelum ada putusan Judicial Review MahkamahKonstitusi RI, Pada Pasal 2 Undang-UndangTindak Pidana Korupsi menganut ajaran sifatmelawan hukum yang ….

A. Materil dalam fungsi positifB. Materil dalam fungsi negatifC. FormilD. umum

5. Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsidigunakan untuk menjerat korupsi dengan adanyaunsur...

A. NepotismeB. Melanggar ketentuan PerdataC. Menyalahgunakan wewenangD. Menggunakan diskresi

Page 544: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.56

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci JawabanTes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini.Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakanrumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaanAnda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baiksekali

80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% ataulebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harusmengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagianyang belum dikuasai.

Kegiatan Belajar 2

Perkembangan Undang-Undang TentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi

1. Pada Fase Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 545: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.57

Terdapat dua alasan mengapa Undang-Undang No 3tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi (PTPK) dibentuk:Pertama, perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikankeuangan, perekonomian negara, dan menghambatpembangunan Nasional. Kedua, UU Nomor 24 PrpTahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan danPemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubungandengan perkembangan masyarakat kurang mencukupiuntuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan olehkarenanya UU tersebut perlu diganti.71

Apabila dirinci subtansi UU PTPK teriri dari 7 babDn 37 Pasal. Terdapat 25 Pasal perumusan hukumpidana formil, yaitu Pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, danPasal 27, dan terdapat 11 Pasal hukum pidana materil,yaitu dalam Pasal 1, 2, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, dan36 dengan ketentuan Pasal 1 (1) huruf c UU ini menarikPasal-Pasal dalam KUHP sebanyak 13 Pasal dan Pasal32 menarik 6 Pasal dalam KUHP.72

Berdasarkan rincian baba Pasal tersebut, biladibandingkan dengan UU Nomor 24 Prp Tahun1960tentang Pengusutan, Penuntutan dan PemeriksaanTindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa perubahanmendasar atau perbedaan di dalamnya.

Pertama, dalam ketentuan Pasal 1 huruf UU Nomor24 Prp Tahun 1960 terdapat kata “kejahatan ataupelanggaran” sebelum frase memperkaya diri sendiri

71 Konsideran Huruf a dan B UU Nomor 3/1971 tentag PTPK72 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik,dan Masalhanya, Alumni, Bandung, 2007, halaman. 18-19

Page 546: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.58

atau orang lain....”. dalam Undang-Undang No 3 tahun1971 kata tersebut dihilangkan dan diganti dengan katamelawan hukum”. Pasal 1 ayat (1) huruf a berbunyi:

Barangsiapa dengan melawan hukum melakukanperbuatanmemperkaya diri sendiri atau oranglain, atau suatu Badan, yang secara langsung atautidak langsung merugikan keuangan negara danatau perekonomian negara, atau diketahui ataupatut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebutmerugikan keuangan negara atau perekonomiannegara;

Kedua, perluasan makna “pegawai negeri”sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-UndangNo 3 tahun 1971, yang meliputi juga orang-orang yangmenerima gaji atau upah dari keuangan negara ataudaerah atau menerima gaji atau upah dari suatu badanhukum/badan yang menerima bantuan dari keuangannegara atau daerah, atau badan hukum laian yangmempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggarandari negara atau masyarakat.

Ketiga, mengingat korupsi sangat merugikankeuangan/perekonomian negara dan menghambatpembangunan Nasional, maka Undang-Undang No 3tahun 1971 menanggap bahwa pidana bagi delikpercobaan atau pemufakatan jahat sebagai delik selesai.Pasal 1 ayat (2) menyatakan, bahwa “dihukum karenatindak pidana korupsi barangsiapa melakukan percobaanatau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal

Page 547: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.59

ini”. Dengan demikian, seklipun dalam pecobaan tindakpidana belum terjadi demikian juga akibatnya, namunhal itu dianggap sebagai delik selesai. Hal yang samaberlaku dalam pemufakatan jahat, walaupun masihdalam bentuk persiapan melakukan tindak pidana

Keempat, ketentuan Pasal 1 huruf c UU Nomor 24Prp Tahun 1960 menarik beberapa Pasal dalam KUHPseperti Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420,423, 425, dan Pasal 435 KUHP. Dalam Undang-UndangNo 3 tahun 1971 Pasal-Pasal itu ditambah dengan duaPasal yakni, Pasal 387 dan Pasal 388 KUHPsebagaimana tercantum dalam ketantuan Pasal 1 ayat (1)huruf c. Ini artinya, terdapat penambahan Pasal dalamKUHP yang ditarik dalam Undang-Undang No 3 tahun1971.

Kelima, ancaman pidana dalam UU Nomor 24 PrpTahun 1960 sangat ringan karena paling singkat 5 tahundan paling lama 12 tahun dan pidana denda Rp 500.000– Rp 1.000.000. dalam Undang-Undang No 3 tahun1971 ancaman sanksi pidananya diperberat paling lamapidana penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp30.000.000 (Pasal 28). Sedangkan untuk pidana penjarapaling singkat 3 tahun dan/atau denda setinggi-tingginyaRp 2.000.000 (Pasal 31). Dalam Undang-Undang No 3tahun 1971 juga dikenal pidana berupa perampasanbarang dan pembayaran uang pengganti. Pasal 34menyatakan bahwa:

Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksuddalam KUHP, maka sebagai hukuman tambahan adalah:

Page 548: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.60

a. perampasan barang-barang tetap maupun taktetap yang berujud danyang tak berujud, denganmana atau mengenai mana tindak pidanaitudilakukan atau yang seluruhnya atau sebagiandiperolehnya dengantindak pidana korupsi itu,begitu pula harga lawan barang-barangyangmenggantikan barang-barang itu, baikapakah barang-barang atauharga lawan itukepunyaan si terhukum ataupun bukan;

b. Perampasan barang-barang tetap maupun taktetap yang berujud dantak berujudyangtermaksud perusahaan si terhukum, dimanatindakpidana korupsi itu dilakukan begitu pulaharga lawan barang-barangyang menggantikanbarang-barang itu, baik apakah barang-barangatau harga lawan itu kepunyaan siterhukum ataupun bukan,akantetapi tindakpidananya bersangkutan dengan barang-barangyangdapat dirampas menurut ketentuan tersebutsub a pasal ini.

c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnyasebanyak-banyaknyasama dengan harta-bendayang diperoleh dari korupsi

Keenam, bila Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 24 PrpTahun 1960 ketentuan menegenai rahasia bank masihcukup ketat dengan dinyatakan bahwa “bank hanyamemberi keterangan tentang keadaan keuangan terdakwayang diminta oleh hakim, apabila permintaan itudilakukan menurut cara-cara yang ditentukan dalamperaturan tentang rahasia bank”, maka ketentuan tersebutdalam Undang-Undang No 3 tahun 1971 dirubah danlebih longgar sifatnya.

Page 549: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.61

Pasal 22 berbunyi:(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan

hukum yang berlakumengenai rahasia Bankseperti yang dimaksud Pasal 37 ayat (2)Undang-undang tentang Pokok-pokok Perbankan, makadalam perkarakorupsi atas permintaanMahkamah Agung, Menteri Keuangandapatmemberi ijin kepada Hakim untuk mintaketerangan kepada Banktentang keadaankeuangan dari terdakwa.

(2) Dengan ijin Menteri Keuangan seperti tersebutdalam ayat (1), Bankwajib memperlihatkan surat-surat Bank, dan memberikan keterangantentangkeadaan keuangan dari terdakwa.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai perijinan tersebutdalam kedua ayat (1) dan (2) diatas harusdiberikan dalam jangka waktu 14 (empatbelas)hari sejak tanggal penerimaan ijin ituolehMenteri Keuangan.

2. Pada Fase Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999

Dalam perkembangannya, walaupun keberadaanUndang-Undang No 3 tahun 1971 lebih maju danprogresif dibanding UU Nomor 24 Prp Tahun 1960,namun perkembangan masyarakat dan IPTEK yangmemicu munculnya kejahatan-kejahatan “korupsi baru”dengan modus operandi yang baru tidak mau harusterkover dalam perundang-undangan pidana korupsi.

Page 550: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.62

Konsideran Undang-undang No 31 Tahun 1999tentang PTPK menyatakan bahwa, “tindak pidanakorupsi sangat merugikan keuangan negara atauperekonomian negara dan menghambat pembangunannasional, sehingga harus diberantas dalam rangkamewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkanPancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Akibattindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selainmerugikan keuangan negara atau perekonomian negara,juga menghambat pertumbuhan dan kelangsunganpembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi”.Atas pertimbangan itulah, kehadiran Undang-undangNomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi denganperkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat,karena itu perlu diganti dengan Undang-undangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang barusehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah danmemberantas tindak pidana korupsi.

Jika diuraikan secara lebih rinci, Undang-undang No31 Tahun 1999 terdiri dari 7 bab dan 45 Pasal. Beberapadiantara 45 Pasal tersebut memuat hal baru yang tidakditemukan dalam Undang-Undang No 3 tahun 1971.Pertama, diakuinya korporasi sebagai subjek hukumatau subjek delik dalam tindak pidana korupsi.73 Pasal 1ayat (3) mengartikan “setiap orang” sebagai orangperseorangan atau termasuk korporasi. Sedangkan, yangdimaksud korporasi adalah kumpulan orang-orang danatau harta kekayaan yang terorganisasi baik merupakan

73 Sri Suhartati Astoto, “Anatomi Kejahatan Korporasi di Indonesia Relevansi StudiKejahatan, Korporasi”, Jurnal Hukum, No. 14 Vol.17 Tahun 2000, halaman 171-183

Page 551: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.63

badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 ayat1).

Kedua, pengertian pegawai negeri dalam Undang-undang No 31 Tahun 1999 diperluas maknanyadibandingkan dengan. Undang-Undang No 3 tahun 1971.Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa yang disebutpegawai negeri meliputi:

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalamUU tentang Kepegawaian ( UU 43/1999);

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalamKUHP(Pasal 92 KUHP);

c. orang-orang yang menerima gaji atau upah darikeuangan negara atau daerah;

d. orang-orang yang menerimagaji atau upah darisuatu korporasi yang menerimabantuan darikeuangan negara atau daerah;

e. orang-orang yang menerima gaji atau upah darisuatu korporasi lain yang mempergunakan modalatau fasilitas dari negara atau masyarakat;

Ketiga, sifat melawan hukum dalam Undang-undangNo 31 Tahun 1999 secara eksplisit diperluas maknanyatidak hanya melawan hukum formil tetapi juga materiil.Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa meskipunperbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturanperudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebutdianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasakeadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalammasyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.74

74Komariah Emong Sapardaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material dalam HukumPidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalamYurisprudensi, Cetakan. Kesatu, Alumni, Bandung 2002

Page 552: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.64

Oleh MK penjelasan Pasal 2 (1) tersebut dinyatakantidak memiliki kekuatan hukum mengikat.75

Keempat, terdapat Dalam penambahan kata “dapat”sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomiannegara” dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3,yang menunjukkan bahwa tindak pidana korupsimerupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidanakorupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsurperbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengantimbulnya akibat. Dalam ketentaun Pasal 1 ayat (1) hurufa dan b Undang-Undang No 3 tahun 1971 kata tersebuttidak ditemukan. Undang-undang No 31 Tahun 1999juga mengatur ketentuan tidak dihapusnya pidana bagipelaku TPK yang mengembalikan kerugian keuangannegara atau perekonomian Negara hal tersebut diaturdalam Pasal 4 Undang-Undang No 31 Tahun 1999.

Kelima, diperluasnya pengertian keuangan Negaraatau Perekonomian Negara. Keuangan negara adalahseluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yangdipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hakdan kewajiban yang timbul karena : (a) berada dalampenguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawabanpejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun didaerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, danpertanggungjawaban Badan Usaha MilikNegara/BadanUsaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, danperusahaan yang menyertakan modal negara, atauperusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga

75 Baca selengkapnya Putusan MK Nomor 003/PUU-VI/2006

Page 553: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.65

berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yangdimaksud dengan Perekonomian Negara adalahkehidupan perekonomian yang disusun sebagai usahabersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usahamasyarakat secara mandiriyang didasarkan padakebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikanmanfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruhkehidupan masyarakat.76

Keenam, diaturnya ketentuan mengenai ancamanpidana minimum khusus dalam Undang-undang No 31Tahun 1999. Hampir semua ketentuan pidana dalam UUtersebut mengatur ancaman pidana minimum khusus,kecuali Pasal 13 dan Pasal 24. Lamanya ancaman pidanaminimum khusus bervariasi; antara lain 4 tahun penjara(Pasal 2 ayat (2), Pasal 12, dan Pasal 12B ayat (2)); 3tahun penjara (Pasal 6, 8, 21, 22); 2 tahun penjara (Pasal7, dan 10); dan 1 tahun penjara (Pasal 3, 5, 9, 11, danPasal 23). Sedangkan, lamanya pidana denda minimumkhusus juga bervariasi antara lain; denda paling sedikitRP 200.000.000 (Pasal 2, 12, dan 12B ayat (2)); dendapaling sedikit Rp 150.000.000 (Pasal 6, 8, 21, 22); dendapaling sedikit Rp 100.000.000 penjara (Pasal 7, dan 10);denda paling sedikit Rp 50.000.000 (Pasal 3, 5, 9, 11,dan Pasal 23).

76 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Page 554: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.66

Ketujuh, dicantumkan pidana seumur hidup77 ataupidana mati atas pelanggaran ketentuan Pasal 2 (1). Pasal2 (2) menyetakan, bahwa Dalam hal tindak pidanakorupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukandalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) berbunyi sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”dalam ketentuan ini dimaksudkansebagaipemberatan bagi pelaku tindak pidanakorupsi apabila tindak pidana tersebutdilakukanpada waktu negara dalam keadaanbahaya sesuai dengan undang-undang yangberlaku,pada waktu terjadi bencana alamnasional, sebagai pengulangan tindak pidanakorupsi,atau pada waktu negara dalam keadaankrisis ekonomi dan moneter.

Kedelapan, Undang-undang No 31 Tahun 1999 jugamengatur perumusan ancaman pidana secara kumulatifyang terdapat dalam Pasal 2, 6, 8, 9, 10, 12, dan 12B (2)antara pidana penjara dan denda. Ketentuan mengenaipidana kumulatif tidak dikenal dalam Undang-UndangNo 3 tahun 1971 karena perumusan ancaman pidanaPasal 28, 29, 30, 31, dan 32 UU tersebut berbentukumulatif-alternatif.

Kesembilan, Undang-undang No 31 Tahun 1999 jugamengatur peradilan in absentiasebagaimana diatur dalamPasal 38 (1). UU tersebut juga memuat pembentukanKPK (Pasal 43), partisipasi masyarakatdalam bentuk hak

77Tongat, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, Ctkpertama. UMM Press, Malang, 2004

Page 555: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.67

mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanyadugaan TPK (Pasal 41), dan memberi peghargaankepada mereka yang berjasa membantu upayapencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan TPK.

3. Pada Fase Undang-Undang Nomor 20 Tahun2001

Pada dasarnya Undang-Undang No 20 Tahun 2001merupakan perubahan atau penambahan terhadapUndang-undang No 31 Tahun 1999 yang dianggapbelum lengkap. Terdapat 2 alasan mengapa Undang-undang No 31 Tahun 1999 perlu diadakan perubahan.Pertama, TPK yang selama ini terjadi secara meluastidak hanya merugikan Negara, tetapi juga merupakanpelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomimasyarakat secara luas, sehingga TPK perlu digolongkansebagai kejahatan yang pemberantasnya harus dilakukansecara luar biasa. Kedua, jaminan kepastian hukummenghindari keragaman penafsiran hukum danmemberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial danekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalampemberantasan TPK merupakan hal penting untukdiwujudkan.78

Beberapa perubahan penting yang mendasar yangtidak ditemukan dalam Undang-undang No 31 Tahun1999 sebagai berikut: Pertama, terjadi perubahan redakpenjelasan Pasal 2 ayat (2) sehingga menjadi:

78 Konsideran huruf a dan b UU Nomor 20/2001 tentang perubahan UU Nomor31/1999 tentang PTPK

Page 556: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.68

“Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalamketentuan ini adalahkeadaan yang dapat dijadikanalasan pemberatan pidana bagi pelakutindak pidanakorupsi yaitu apabila tindak pidana tersebutdilakukanterhadap dana-dana yang diperuntukkanbagi penanggulangan keadaanbahaya, bencana alamnasional, penanggulangan akibat kerusuhansosialyang meluas, penanggulangan krisis ekonomidan moneter, danpengulangan tindak pidanakorupsi”.

Kedua, Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 langsungdisebutkan unsur-unsurnya dalam ketentuan Pasal-Pasalbersangkutan, tidak lagi mengacu pada Pasal-Pasaldalam KUHP. Selain itu, disisipkan beberapa Pasaldalam Pasal 12 menjadi Pasal 12A, 12B, dan 12C yangpada dasarnya mengenai (a) pidana penjara dan pidanadenda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainyakurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah); (b) Bagipelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dariRp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidanapenjarapaling lama 3 (tiga) tahun dan pidana dendapaling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah); (c) sistem pembuktian murni khusus gratifikasiyang berkaitan dengan suap.

Ketiga, perluasan bukti petunjuk sebagaimanaketentuan Pasal 26A khusus untuk TPK yangmemperoleh dari (a) alat bukti lain yang berupa

Page 557: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.69

informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, ataudisimpan secara elektronik dengan alat optik atau yangserupa dengan itu; dan (b) dokumen, yakni setiaprekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atautanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di ataskertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yangterekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara,gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,angka, atauperforasi yang memiliki makna.

Keempat, subtansi Pasal 37 Undang-undang No 31Tahun 1999 dirubah pada frase “keterangan tersebutdipergunakan sebagai hal yang menguntungkan dirinya”menjadi “pembuktian tersebut digunakan olehpengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwaterdakwa tidak terbukti”. Kata “dapat” dalam Pasal 37(4) Undang-undang No 31 Tahun 1999 juga diubah.

Kelima, Pasal 43A mentukan bahwa TPK yang terjadisebelum Undang-undang No 31 Tahun 1999diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkanUndang-Undang No 3 tahun 1971 dengan ketentuanmaksimum pidana penjara yang menguntungkanterdakwa diberlakukan ketentuan Pasal5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13Undang-Undang No 31 Tahun 1999. Ketentuan pidanapenjara minimum tidak berlaku bagi TPK yang terjadisebelum diundangkannya Undang-Undang No 31 Tahun1999.

Page 558: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.70

Keenam, adanya ketentuan dalam Pasal 43B yangisinya menghapus dan menyatakan tidak berlaku Pasal209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal419, Pasal 420, Pasal423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-KUHPpada saat berlakunya Undang-Undang No 20 Tahun2001 tentang perubahan Undang-undang No 31 Tahun1999 tentang PTPK.79

4. Konvensi Internasional tentang PemberantasanKorupsi (WINA), 2003)80

Konvensi mengenai pemeberantasan korupsi dibawah pengawasan PBB telah diadopsi dalam sidangketujuh Panitia Ad-hoc negosiasi atas draft konvensipada tanggal 1 Oktober 2003 yang lampau. Adopsiatas konvensi tersebut merupakan bahan baru dalampemberantasan korupsi secara Internasional, dan jugamerupakan perkembangan yang signifikan dalampenembangan studi hukum memerangi korupsi; dansaat ini korupsi sudah merupakan kejahatantransnasional, bukan lagi semata masalah nasionalmsing-masing negara. Hal ini ditegaskan di dalammukadimah Konvensi Wina 2003 yang berbunyisebagai berikut: “Convinced also that theglobalization of the world’s economic has led to asituation where corruption is no longer a localmatter but a transnational phenomenom taht

79Mahrus Ali. 2013. Asas, Teori & Praktek Hukum Pidana Korupsi. Yogyakarta: UIIPress

80 Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. 2004. Sekitar Masalah Korupsi AspekNasional dan Aspek Internasioanal. Jakarta: Mandar Maju. Halaman. 72-74

Page 559: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.71

affects all societies and economies, makingintenational cooperation to prevent and control itessential”.

Salah satu tujuan utama Konvensi Wina 2003adalah memperkuat langkah-langkah pencegahan danpemberantasan korupsi dengan lebih efisien danefektif, sehingga memerlukan kerjasama antarNegara yang lebih erat karena dalam kenyataannyahasil korupsi dari negara ketiga sering ditempatkandan diinvestasikan di Negara lain kerahasiaan bankyang bersifat konvesional. Sedangkan hasil kejahatankorupsi tersebut sangat diperlukan oleh negara asalkorupsi tersebut guna membangun kesejahteraanbangsanya. Atas dasar tujuan tersebut, pemerintahIndonesia telah ikut aktif dalam sidang panitia adhoctersebut, dan telah memasukkan saran-saran positifyang dimasukkan sebagai dokumen Panitia Adhocnegosiasi. Secara subtansial konvensi ini sangatberarti bagi Indonesia karean tiga hal, yaitu, pertama,sudah diakui dalam Undang-Undang Nomor 31Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun2001 bahwa korupsi merupakan pelanggaran hakekonomi dan sosial rakyat Indonesia, oleh karena itujauh-jauh hari pemerintah Indonsia sudahmenantisipasi bahwa korupsi harus merupakankomitmen semua Negara, untuk bekerjasama secaraaktif dalam pencegahan dan pemberantasannya, danhal itu tidak dapat dilakukan sendiri oleh masing-masing negara. Hal ini sangat dirasakankeperluannya dalam rangka penyelidikan danpenyidikan sarta penyitaan aset-aset hasil korupsiyang dibawa ke negara lain dan diinvestasikan dalam

Page 560: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.72

bebragai proyek pembangunan di negara tersebutserta bagaimana mengembalikan aset-aset tersebutsehingga kerugian keuangan negara dapat diatas.

Hal kedua ialah, konvesni Wina 2003 telahmengkriminalisasi setiap perbuatan suap dalamtransaksi bisnis internasional seperti, “bribery ofnational public officials”; bribery of foreign publicofficials and ooficials of public internationalorganizations”; ”trading in influence”;“embezzlement, missappropriation or otherdiversiob of property by a public official’;“concealmen”; “abuse of function”; “illicitencrinchment”; “bribery in the private sector’; dan“laundering of procced of crime’, serta “obstructionof justice”. Bertitiktolak dari ketentuan tersebut yangmasih asing dalam sistem hukum Indonesia yangmenatur tentang pemeberantasan korupsi makakonsep tentang “kerugian keuangan Negara”sebagaisalah satu unsur tindak pidana korupsi dalamUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, menjadisangat penting untuk diteliti kembali denganmempertimbangkan dimasukkan undur baru yangberifat konstitutif, yaitu kerugian masyarakat ataspihak ketiga, disamping unsur kerugian keuanagannegara. Kriminaslisasi perbuatan yang bersifattercela dalam aktivitas bisnis internasional bertujuanuntuk mencegah timbulnya persaingan usaha yangtidak sehat termasuk suap dan korupsi. Di dalamKonvesi Wina 2003 juga telah dimasukkan ketentuanbaru menegai prosedur pengembalian aset-aset hasilkorupsi yang disembunyikan (diinvestigasikan) diluar negeri.

Page 561: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.73

Hal ketiga yang mendorong keikutsertaanIndonesia dalam Konvensi Wina 2003 tersebutadalah, bahwa hak setiap negara peserta Konvensiuntuk mengajukan klaim aset-aset hasil korupsi telahmemiliki dasar hukum internasional yang kuat dalamrangka kerja bilateral maupun multilateral, yangmemperkuat efektivitas pemberantasan korupsi didalam negeri.

1) Berikan 2 alasan di bentuk dan diberlakukannyaUndang-Undang Tindak Pidana Korupsi No 3Tahun 1971?

2) Sebutkan pertimbangan di bentuk dandiberlakukannya Undang-Undang Tindak PidanaKorupsi No 31 Tahun 1999?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Alasan di bentuk dan diberlakukannya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No 3 Tahun1971 yakni Pertama, perbuatan-perbuatan korupsisangat merugikan keuangan, perekonomiannegara, dan menghambat pembangunan Nasional.Kedua, UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentangPengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan TindakPidana Korupsi berhubungan dengan

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 562: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.74

perkembangan masyarakat kurang mencukupiuntuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, danoleh karenanya UU tersebut perlu diganti.

2) Pertimbangannya terdapat pada KonsideranUndang-undang No 31 Tahun 1999 tentangPTPK menyatakan bahwa, “tindak pidanakorupsi sangat merugikan keuangan negara atauperekonomian negara dan menghambatpembangunan nasional, sehingga harusdiberantas dalam rangka mewujudkanmasyarakat adil dan makmur berdasarkanPancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selamaini selain merugikan keuangan negara atauperekonomian negara, juga menghambatpertumbuhan dan kelangsungan pembangunannasional yang menuntut efisiensi tinggi”.

1. Terdapat 2 (dua) alasan mengapa Undang-Undang No 3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi (PTPK) dibentuk yakniPertama, perbuatan-perbuatan korupsi sangatmerugikan keuangan, perekonomian negara, danmenghambat pembangunan Nasional. Kedua,UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentangPengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan

RANGKUMAN

Page 563: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.75

Tindak Pidana Korupsi berhubungan denganperkembangan masyarakat kurang mencukupiuntuk dapat mencapai hasil yang diharapkan,dan oleh karenanya UU tersebut perlu diganti.

2. Secara lebih rinci, Undang-undang No 31 Tahun1999 terdiri dari 7 bab dan 45 Pasal. Beberapadiantara 45 Pasal tersebut memuat hal baru yangtidak ditemukan dalam Undang-Undang No 3tahun 1971.

3. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 merupakanperubahan atau penambahan terhadap Undang-undang No 31 Tahun 1999 yang dianggap belumlengkap. Terdapat 2 alasan mengapa Undang-undang No 31 Tahun 1999 perlu diadakanperubahan. Pertama, TPK yang selama initerjadi secara meluas tidak hanya merugikanNegara, tetapi juga merupakan pelanggaranterhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakatsecara luas, sehingga TPK perlu digolongkansebagai kejahatan yang pemberantasnya harusdilakukan secara luar biasa. Kedua, jaminankepastian hukum menghindari keragamanpenafsiran hukum dan memberikan perlindunganterhadap hak-hak sosial dan ekonomimasyarakat, serta perlakuan secara adil dalampemberantasan TPK merupakan hal pentinguntuk diwujudkan.

4. Konvensi mengenai pemeberantasan korupsi dibawah pengawasan PBB telah diadopsi dalam

Page 564: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.76

sidang ketujuh Panitia Ad-hoc negosiasi atasdraft konvensi pada tanggal 1 Oktober 2003yang lampau. Adopsi atas konvensi tersebutmerupakan bahan baru dalam pemberantasankorupsi secara Internasional, dan jugamerupakan perkembangan yang signifikan dalampenembangan studi hukum memnegani korupsi;dan saat ini korupsi sudah merupakan kejahatantransnasional, bukan lagi semata masalahnasional msing-masing negara.

5. Tujuan utama Konvensi Wina 2003 adalahmemperkuat langkah-langkah pencegahan danpemberantasan korupsi dengan lebih efisien danefektif, sehingga memerlukan kerjasama antarNegara yang lebih erat karena dalamkenyataannya hasil korupsi dari negara ketigasering ditempatkan dan diinvestasikan di Negaralain kerahasiaan bank yang bersifat konvesional.Sedangkan hasil kejahatan korupsi tersebutsangat diperlukan oleh negara asal korupsitersebut guna membangun kesejahteraanbangsanya.

1. Dalam Undang-Undang No 3 tahun 1971menanggap bahwa pidana bagi delik percobaanatau pemufakatan jahat sebagai delik..

A. Formal

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 565: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.77

B. MaterielC. CulpaD. Selesai

2. Ketentuan tidak dihapusnya pidana bagi pelakuTPK yang mengembalikan kerugian keuangannegara atau perekonomian Negara hal tersebutdiatur dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999pada Pasal..

A. 4B. 3C. 2D. 1

3. Frasa “keadaan tertentu” yang terdapat dalampasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun1999 Tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi, merupakan keadaan dimana pelakumendapat …

A. Hukuman matiB. Peringanan hukumanC. Hapusnya pemidanaanD. Kebijakan deponering.

4. Undang-Undang No 31 Tahun 1999 TentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi di revisiatau di ubah dengan..

A. Undang-Undang No 20 Tahun 2000B. Undang-Undang No 20 Tahun 2001C. Undang-Undang No 20 Tahun 2002D. Undang-Undang No 20 Tahun 2003

Page 566: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.78

5. Salah satu tujuan diadakannya konvensi PBB2003 Anti Korupsi adalah

A. Extradisi pelaku tindak pidana korupsiB. Perlindungan hukum pelaku tindak pidana

korupsiC. Pemberian bantuan hukum timbal balikD. Kerjasama penyitaan asset hasil tindak

pidana korupsi.

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yangbenar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkatpenguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapatmengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Bagus! Jika masih dibawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2,terutama bagian yang belum dikuasai.

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 567: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.79

Tes Formatif 1 Tes Formatif 21) A 1) D2) D 2) A3) B 3) A4) A 4) B5) C 5) D

Page 568: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.80

Daftar Pustaka

A. Djoko Sumaryanto, 2009, Pembalikan BebanPembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam RangkaPengembalian Kerugian Keuangan Negara, Ctk.Pertama, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta

Adam Chazawi, 2005,Hukum Pidana Materiil danFormil Korupsi di Indonesia, Cetk. Kedua, BayumediaPublishing, Malang

Andi Hamzah, 2007, Pemeberantasan Korupsi MelaluiHukum Pidana Nasional dan Internasional, RajawaliPress, Jakarta

Andi Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana I, Cetk.Kedua, Sinar grafika, Jakarta

Chairul Huda. 2006. Dari Tindak Pidana TanpaKesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban PidanaTanpa Kesalah, Kencana, Jakarta

Darwin Prints, 2002,Pemberrantasan Tindak PidanaKorupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Page 569: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.81

Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H. 2016. Hukum PidanaKhusus Memahami Delik-delik di Luar KUHP. Jakarta:PT Kharisma Putra Utama

Fathor, 2006Implementasi Kewenangan MK dalamMenguji Peraturan Perundang-undangan, Skripsi, FHUII, Yogyakarta

Fransiskus Surdiasik, dkk., 2008, 10 Tahun Reformasi:Bukti untuk Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,

Ganjar Laksamana B., 2011, Pendidikan Anti Korupsiuntuk Perguruan Tinggi, Jakarta, Kemendikbud, RI

Indriyanto Seno Aji, 2006, Korupsi Kebijakan AparaturNegara dan Hukum Pidana, CV Diadit Media, Jakarta

Jeremy Pope, 2003, Strategi Memberantas KorupsiElemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan OborIndonesia, Jakarta

Komariah Emong Sapardaja, 2002,Ajaran Sifat MelawanHukum Material dalam Hukum Pidana Indonesia StudiKasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalamYurisprudensi, Cetk. Kesatu, Allumni, Bandung

Lamintang. 1984. Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia, Sinar baru, Bandung

Page 570: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.82

Lilik Mulyadi, 2007,Tindak Pidana Korupsi di IndonesiaNormatif, Teoritis, Praktik dan Masalhnya, Alumni,Bandung

MA RI, 2006, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugasadministrasi Buku II, Edisi Revisi

Mahrus Ali, 2013,Asas, Teori, dan Praktek HukumPidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta

Marwan Mas, 2014, Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta, ,

Moeljatno, 2008.Asas-asas Hukum Pidana, Ctk.Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta,

Muladi (Editor), 2005,HAM Hakikat, Konsep, danImplikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarat,Ctk, pertama, Refika Aditama, Bandung

Muladi (Ketua Tim), 2003,Pengkajian tentang asas-asasPidana Indonesia dalam perkembangan MasyarakatMasa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan HukumNasional Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta

Nur Basuki Minarno. 2009. Penyalahgunaan Wewenangdan Tindak Pidana Korupsi dalam PengelolaanKeuangan Daerah, Ctk Kedua, Laksbang MediatamaYogyakarta.

Page 571: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.83

P.AF. Lamintang, 1991, Delik-delik Khusus KejahatanJabatan dan Kejahatan-kejahatan Jabatan tertentuSebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung

Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. 2004. SekitarMasalah Korupsi Aspek Nasional dan AspekInternasioanal. Mandar Maju. Jakarta

R. Wiyanto, 2009, Pembahasan UU PTPK, cetakan,kesatu, Sinar Grafika, Jakarta

Ridwan HR, 2006,Hukum Administrasi Negara,Cetakan. Kesatu, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Roelan saleh. 1987. Sifat Melawan Hukum dariPerbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta

S.F. Marbun, 2003,Peradilan Administrasi Negara danUpaya Administratif di Indonesia, Cetak Kedua(revisi),UII Press, Yogyakarta

Sri Suhartati Astoto, 2000, “Anatomi KejahatanKorporasi di Indonesia Relevansi Studi Kejahatan,Korporasi”, Jurnal Hukum, No. 14 Vol.17 Tahun 2000

Sudarto. 1975. Hukum Pidana Jilid I A & B, FH UNDIP,Semarang.

Tongat. 2008. Dasar-dasar Hukum Indonesia dalamPerspektif Hukum Pembaharuan, UMM Press, Malang

Page 572: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 8 1.84

Van Bemmelem. 1984. Hukum Pidana Material BagianUmum, Binacipta, Jakarta

Yunus Husein, Kerugian Negara dalam Tipikor, KoranSindo, 28 Mei 2008

Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentangPenyelenggaraaan negara yang besih dan bebas dariKKN

Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang perubahan UUNomor 31/1999 tentang PTPK

Page 573: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

Modul 9TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.HumLushiana Primasari, SH, MH

Setelah mempelajari modul 8 yang membahasTindakPidana Korupsi. Maka di Modul 9 ini kita akanmembahas materi mengenai Tindak Pidana PencucianUang yang terdapat dalam kegiatan belajar 1 danyang selanjutnya akan dilanjutkan dengan kegiatanbelajar 2 yang membahas tentang Dampak TindakPidana Pencucian Uang, pada Modul 8 ini merupakanpengembangan lebih lanjut dari materi yang disajikanoleh Modul sebelumnya yang merupakan termasukdalam klasifikasi jenis tindak pidana dalam HukumPidana Ekonomi di Indonesia.

Dengan mempelajari materi Modul ini diharapkanmahasiswa dapat menjelaskan Tindak PidanaPencucian Uang dan Dampaknya.

Page 574: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.2

Kegiatan Belajar 1Pengantar Tindak Pidana Pencucian Uang;

1. Istilah dan Pengertian Pada Pencucian Uang danTindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatanyang bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasiltindak pidana yang kemudian diubah menjadi hartakekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.Sesuai dengan Pasal 2 UU Nomor 15 Tahun 2002, tindakpidana yang menjadi pemicu pencucian uang meliputikorupsi, penyuapan, penyelundupan tenaga kerja,penyelundupan barang; penyelundupan migran; perbankan;narkotika; psikotropika; perdagangan budak; wanita, anak;perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan;pencurian; penggelapan; penipuan.

Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yangserius, baik terhadap stabilitas dan sistem keuangan maupunperekonomian secara keseluruahn. TPPU merupakan tindakpidana multidimensi dan bersifat transnasional yang seringkali melibatkan jumlah uang yang cukup besar.

Istilah pencucian uang berasal dari bahas Inggris,yakni “Money Laundering”. Apa artinya memang tidak adadefinisi yang universal karena, baik negara-negara majumaupun negara-negara dari dunia ketiga masing-masingmempunyai definisi sendiri-sendiri berdasarkan prioritasdan perspektif yang berbeda. Namun, para ahli hukum diIndonesia telah sepakat mengartikan moneyLaunderingdengan pencucian uang.

Page 575: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.3

Pengertian Pencucian uang (money laundering) telahbanyak dikemukakan oleh para ahli hokum. MenurutWelling, money Laundering adalah1:

“Money laundering is the process by which one concealsthe existence, illegal source, or illegal application ofincome, and then disguises that income to make it appearlegitimate.”

SedangkanFraser mengemukakan bahwa2:

“Money laundering is quite simply the process throughwhich “dirty” money as procceds of crime is washedthrough “clean” or legitimate sources and enterprises sothat the“bad guys” may more safely enjoy their ill-gottengains”.

Pamela H. Bucy dalam bukunya berjudul WhiteCollar Crime:Cases and Materials, definisi moneylaundering diberikan pengertian sebagai berikut3:

“Money laundering is the concealment of the eistence,nature of illegal source of illicit fund in such a mannerthat the funds will appear legitimate if discovered.”

Kemudian, menurut Chaikin juga memberikandefinisi money launderingsebagai berikut4:

1Sarah N. Welling, “Smurts, Money Laundering and the United States Criminal Federal Law”. Dalam Brent

Fisse, David Fraser & Graeme Coss, The Money Laundering Trail (Confiscation of Proceed of Crime. MoneyLaundering and Cash Transaction Reporting), Sydney: The Law Book Company limited, 1992, hlm. 2012David Fraser. Lawyer, Guns and Money. Economics and Ideology on the Money Trail, dalam ibid., Brent

Fisse, David Fraser and Graeme Coss. hlm 66.3Pamela H. Bucy, White Collar Crime, Case and Materials, St. Paul Minn: West Publishing Co, 1992, hlm.

1284Op. Cit. David Fraser Hlm. 258

Page 576: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.4

“The process by which on conceals or disguisses thattrue nature, source, disposition, movent, or, ownwershp,of money for whatever reason.”

Demikian juga dengan Department of Justice Kanadamengemukakan bahwa:

“Money laundering is the conversion of transfer ofproperty, knowing that such property is devided fromcriminal activity, for the purpose of concealling the illicitnature and origin of the property from govermentauthorities.”

Dalam Statement on Prevention of Criminal Use ofthe Banking System for the Purpose of Money Launderingyang dikeluarkan pada bulan Desember 1988, BasleCommitte tidak memberikan definisi mengenai apa yangdimaksudkan dengan money laundering, tetapi menjelaskanmengenai apa yang dimaksud dengan money laundering itudengan memberikan beberapa contoh kegiatan yangtergolong kegiatan-kegiatan yang dimaksud moneylaundering. Dalam statemennya telah disebutkan bahwa5:

“Criminal and their associates use the financial systemto make payment and transfer of funds from one accountto another; to hide the sources of beneficial ownership ofmoney; and to provide storage for bank-notes through asafe deposit facility. This activities of commonly refferedto as money laundering.”

5Robert C. Effros (Ed) Current Legal Issues Affecting Central Banks, Vol. 2, Washington: International

Monetary Fund, hlm. 327

Page 577: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.5

Demikian juga dengan yang dikemukakan dalamBlack’s Law Dictionary,money laundering diartikansebagai berikut6:

“Term used todescribe investment or other transfer ofmoney flowing from racketeering, drug transaction, andother illegal sources into legitim te channels so that itsoriginal source cannot be traced.”

Dari beberapa definisi penjelasan mengenai pencucianuang dapat disimpulkan bahwa pencucian uang adalahkegiatan-kegiatan yang merupakan prose yang dilakukanoleh seseorang atau organisai kejahatan terhadap uangharam, yaitu uang yang berasal dari tindak kejahatan,dengan maksud menyembunyikan asal-usul uang tersebutdari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukanpenindakan terhadap tindak kejahatan dengan caraterutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistemkeuangan (financial system) sehingga apabila uangtersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu,maka keuangan itu telah berubah menjadi uang yang sah.

Pengertian pencucian uang yang termuat dalam TheUnited Nation Convention Against Illicit Trafic InNarcotics, Drugs, and Psycotropic Subtances of 1988(Konvesi PBB) disahkan Pada tanggal 19 Desember 1988di Vienna, yang kemudian diratifikasi Indonesia denganUU Nomor 7/1997 pada tanggal 31 Desember 1997.Secara lengkap pengertian money laundering tersebutadalah:

6Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn: West Publishing Co, 1991,

hlm. 61

Page 578: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.6

“The convention or transfer of properly, knowing thatsuch properly is derived from any serious (indictable)offence or offences, or from act of parlicipation in suchoffence or offences, for the purpose of concealing ordisguising the illicit of the properly or of assisting anyperson who is involved in the commission of such anoffence or offences to evade the legal consequences ofhis action; or The concealment or disguise of the truenature, source, location, disposition, movement, rightswith respect to, or ownership of properly, knowing thatsuch properly is derived from a serious (indictable)offence or offences or from an act of parlicipation insuch an offence or offences.”

Secara umum, money laundering merupakan metodeuntuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakanhasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindakpidana, tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangannarkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakanaktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di atas, makamoney laundering atau pencucian uang pada intinyamelibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkansehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa asettersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Melalui moneylaundering pendapatan atau kekayaan yang berasal darikegiatan yang melawan hukum diubah menjadi asetkeuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yangsah/legal.

2. Objek Pencucian Uang

Page 579: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.7

Menurut Sarah N. Welling7, money launderingdimulai dengan adanya “uang haram” atau “uang kotor”(dirty money). Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara,pertama, melalui pengelakan pajak (tax evasion), yangdimaksud dengan pengelakan pajak ialah memperolehuang secara ilegal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepadapemerintah untuk keperluan penghitungan pajak lebihsedikit dari yang sebenarnya diperoleh. Kedua,memperoleh uang dari cara-cara yang melanggar hukum.Teknik-teknik yang biasa dilakukan untuk hal itu, antaralain penjualan obat-obatan terlarang atau perdagangannarkoba secara gelap (drug sales atau drug trafficking),penjualan gelap (illegal gambling), penyuapan (bribery),terorisme (terrorism), pelacuran (prostitution),perdagangan senjata (arms trafficking), penyelundupanminuman keras, tembakau dan pornografi (smuggling ofcontraband alcohol, tobacco, pornography),penyelundupan imigran gelap (illegal immigration racketsatau people smuggling), dan kejahatan kerah putih (whitecollar crime).8

Praktik-praktik money laundering memang mula-muladilakukan hanya terhadap uang yang diperoleh dari lalulintas perdagangan narkotik dan obat-obatan sejenis itu(narkoba) atau yang dikenal sebagai illegal drugtrafficking. Namun kemudian, money launderingdilakukan pula terhadap uang-uang yang diperoleh darisumber-sumber kejahatan lain seperti yang dikemukakandiatas.

Sebenarnya, sumber pengumpulan uang haram secarainternasional yang berasal dari drug trafficking bukanlahyang utama. Porsi utama dari uang haram itu berasal dari

7 Sarah N. welling. “Smurfs., Money Laundering and the United States Criminal Federal Law”, dalam BrentFisse, David Fraser & Graeme Coss. Economics and Ideology on the Money Trail (Confiscation of Proceedsof Crime. Money laundering and Cash Transaction Reporting).hlm 2018 Vincenzo Ruggiero, Organized and Corporate Crime in Europe, Aldershot: Darmouth. Hlm. 146,Department Of Justice Kanada, Solicitor General Canda. Hlm 4

Page 580: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.8

tax evasion, flight capital, termasuk flight capital atasuang yang disediakan oleh negara maju (developedcontries) bagi negara berkembang (developing countries)dalam bentuk keuangan (financial aid), yang tidakdibelanjakan atau diinvestasikan di negara yangbersangkutan, tetapi kemudian kembali pada negara-negara tersebut sebagai illegal exported capital. Uanginilah yang sering ditempatkan di bank luar negri yangjustru telah memberikan kredit tersebut.9

3. Tujuan Pencucian Uang

Mengapa uang yang berasal dari organisasi kejahatanyang melakukan kegiatan usahanya dalm perdagangannarkotik perlu dicuci? Kongres Amerika Serikat padawaktu membicarakan UU money launderingmengemukakan sebagai berikut:

“In typical drug organization, the proceed generated bythe drug traffickers are almost entirely in the form ofcash. The typical denomination of currency in streetcirculation is a twenty dollar bill

As the profits for street sales move up the ladder of thetrafficking orgaization from the street seller towholesaler to the importer-these twenty-dollars bills, socrumpled and covered with dirt and drug residue tahtthey will often jam the counting machines, are bundledtogether and collected in warehouse. Regulary, thevolume becomes so large that it is count it. Handling thisvolume of cash is often a more serious logistical problemfor the trafficker than handling of the drugs themselves

9Ibid, hlm. 146

Page 581: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.9

(one hundred billion dollars in twenty-dollar billsweights about 26 million pound).10

Untuk mengetahui mengapa penjahat atau organisasikejahatan perlu melakukan pencucian uang, maka John C.Keeney, deputy Assistant Attorney General, Criminaldivision, United States departement of justice ,menjelaskan sebagai berikut:11

“If the money can be gotten into the bank or otherfinancial institusion, it can be wired to any place in theworld in a matter of seconds, coverted to any othercurrency, and used to pay expenses and recapitalize thecorrupt bussines. The problem for the drug trafficker,aims merchant or tax evader then, is how to get hismonet into a form in which it can be moved and usedmost efficiently without creating a paper trail that willlead law enforcement authorities to the illegal bussines.The process of doing that is what we call moneylaundering. There are many ways in which it is done.”

Pencucian uang hanya diperlukan dalam hal uang yangtersangkut tersebut jumlahnya besar, karena bilajumlahnya kecil, uang itu dapat diserap kedalam peredaransecara tidak kentara. Uang itu harus dikonversi menjadiuang sah sebelum uang itu dapat diinvestasikan ataudibelanjakan, yaitu dengan cara yang disebut “pencucian”(laundering).

4. Tahap-Tahap dan Proses Pencucian Uang

10 Pamela H. Bucy, White Collar Crime, Case and Materials, St. Paul Minn: West Publishing Co, 1992, hlm.12811Loc. Cit., Pamela H. Bucy, hlm 128

Page 582: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.10

Secara umum terdapat beberapa tahap dalammelakukan usaha pencucian uang, yaitu:12

1. PlacementTahap ini merupakan tahap pertama, yaitu pemilik

uang tersebut mendepositokan uang haram tersebutkedalam sistem keuangan (financial system). Karena uangitu sudah masuk kedalam sistem keuangan negara yangbersangkutan. Oleh karena uang yang telah ditempatkandisuatu bank itu selanjutnya dapat lagi dipindahkan kebank lain, baik di negara tersebut maupun di negara lain,maka uang tersebut bukan saja telah masuk ke sistemkeuangan negara yang bersangkutan, tetapi juga telahmasuk ke dalam sistem keuangan global atau internasional.

Jadi, Placement adalah upaya menempatkan dana yangdihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalamsistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain sebagaiberikut:

a) Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadangkegiatan ini diikuti dengan pengajuankredit/pembiayaan.

b) Menyetor uang pada bank atau perusahaan jasakeuangan lain sebagai pembayaran kredit untukmengaburkan audit trail.

c) Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara kenegara lain.

d) Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atauterkait dengan usaha yang sah berupakredit/pembiayaan sehingga mengubah kas menjadikredit/pembiayaan.

e) Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggiuntuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yangnilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada

12 Munir Fuady, hukum Perbankan di Indonesia, Seri buku ketiga, Bandung, PT Citra Aditya, Bakti, 1999, hlm80

Page 583: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.11

pihak lain yang pembayarannya dilakukan melaluibank atau perusahaan jasa keuangan lain.

Dengan “placement” dimaksudkan the physicaldisposal of cash proceeds derived from illegal activity.Dengan perkataan lain, fase pertama dari proses pencucianuang haram ini ialah memindahkan uang haram darisumber asal uang itu diperoleh untuk menghindarkanjejaknya. Atau secara lebih sederhana agar sumber uangtersebut tidak diketahui oleh pihak penegak hukum.Metode yang paling penting dari placement ini adalah apayang disebut sebagai smurfing. Melalui smurfing ini,keharusan untuk melaporkan transaksi uang tunai sesuaiperaturan perundang-undangan yang berlaku dapatdihindari.

2. LayeringLayering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari

sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapatahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan ataumenyamarkan asal usul dana. Dalam kegiatan initerdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekeningatau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempatlain melalui serangkaian transaksi yang kompleksandidesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejaksumber dana tersebut.

Bentuk kegiatan ini antara lain:a) Transfer dana dari satu bank ke bank lain

dan/atau antarwilayah/Negara.b) Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan

untuk mendukung transaksi yang sah.c) Memindahkan uang tunai lintas batas negara

melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupunshell company.

Page 584: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.12

Jadi, dalam layering, pekerjaan dari pihak pencuciuang (launderer) belum berakhir dengan ditempatkannyauang tersebut ke dalam sistem keuangan denganmelakukan placement seperti diterangkan diatas. Jumlahuang haram yang sangat besar, yang ditempatkan disuatubank, tetapi tidak dapat dijelaskan asal-usulnya itu, akansangat menarik perhatian otoritas moneter Negara yangbersangkutan, yang pada gilirannya akan menarikperhatian para penegak hukum. Oleh karena itu, setelahdilakukan placement, uang tersebut perlu dipindahkandari suatu bank ke bank yang lain, dan dari negara yangsatu ke negara yang lain sampai beberapa kali, yangsering kali pelaksanaannya dilakukan dengan caramemecah-mecahkan jumlahnya sehingga denganpemecahan dan pemindahan beberapa kali itu asal-usuluang tersebut tidak mungkin lagi dapat dilacak olehotoritas moneter atau oleh para penegak hukum.

Sering kali, nasabah penyimpan dana yangtercatat dibank justru bukan pemilik yang sesungguhnya dari uangtersebut. Nasabah penyimpan dana tersebut mungkinsudah merupakan lapis yang kesekian apabila diurut darisejak pangkalnya, yaitu pemilik sesungguhnya dari uangyang ditempatkan itu. Dari urutan mereka yang dilaluioleh pemilik yang sesungguhnya dari uang itu sampaikepada lapis yang terakhir yaitu nasabah penyimpandana yang secara resmi tercatat di bank tersebut, makapemakaian lapisan-lapisan yang demikian itu dapat puladisebut layering.

Dengan layering dimaksudkan “separating illicitproceeds from their source by creating complex layers offinancial transactions designed to disguise the audit trailand provide anonymity”. Hubungan antara placementdan layering adalah jelas. Setiap prosedurplacementyang berarti merubah lokasi fisik atau sifat haram uan itu

Page 585: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.13

adalah juga salah satu bentuk layering. Strategi layeringpada umumnya meliputi antara lain; dengan mengubahuang tunai menjadi aset fisik, seperti kendaraanbermotor, barang-barang perhiasan dari emas atau batu-batuan permata yang mahal atau real estateatauinstrumen keuangan seperti money orders, cashierscheques or securities and multiple electronic transfers offunds to so called bank secretary havens; such asSwitzerland or the Cayman Island.”

3. IntegrationIntegration adalah upaya menggunakan harta

kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmatilangsung, diinvestasikan kedalam berbagai bentukkekayaan material maupun keuangan, dipergunakanuntuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupununtuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalammelakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalumempertimbangkan hasil yang akan diperoleh danbesarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuanutamanya adalah untuk menyamarkan ataumenghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnyadapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketigakegiatan diatas dapat terjadi secara terpisah atausimultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang-tindih. Modus operandi pencucian uang dari waktukewaktu semakin kompleks dengan menggunakanteknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Halitu terjadi baik tahap placement, layering, maupunintegration, sehingga penanganannya pun menjadisemakin sulit dan membutuhkan penigkatan kemampuan(capacity building) secara sistematis danberkesinambungan. Pemilihan modus operandipencucian uang tergantung dari kebutuhan pelaku tindakpidana.

Page 586: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.14

Jadi dalam integration, begitu uang tersebut telahberhasil diupayakan proses pencuciannya melalui caralayering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakanuang yang telah menjadi “uang halal” (clean money)untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatandari penjahat atau organisasi kejahatan yangmengendalikan uang tersebut.

Dengan integration dimaksudkan “the provision ofapparent legitimacy to criminality derived wealth. If thelayering process has succeeded, integration schemesplace the laundered proceeds back into the economy insuch a way taht the re-enter the financial systemappearing to be a normal business funds.” Denganperkataan lain si penjahat harus mengintegrasikan danadengan cara legitimasi ke dalam proses ekonomi yangnormal. Hal ini dapat dilakukan dengan caramenyampaikan laporan palsu yang menyangkutpinjaman uang, juga melalui “invoices and income ofshell corporations, or more simply through an electronictransfer of the funds from a bank secrecy haven back tothe money’s country of origin.”

Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uangharam ini memungkinkan para raja uang haram inimenggunakan dana yang begitu besar itu dalam rangkamempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atauterus menerus berproses dalam dunia kejahatan yangterutama menyangkut narkotik. Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan parapembantu mereka melalui berbagai transaksi yang tidakjelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalamjumlah besar, maka ada 3 (tiga) permasalahan yang harusditangani jika ingin menggagalkan praktik kotorpencucian uang haram. Yang pertama ialah kerahasiaan

Page 587: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.15

bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efisiensitransaksi.

Beberapa instrumen international yang erat kaitannyadengan pengaturan mengenai money laundering13:1. United Nations Convention Against Illicit Trafic In

Narcotics, Drugs, and Psycotropic (Desember 20,1988);

2. Council of Europe Convention on Laundring ,Search, Seizure, and Confiscation of the Proceedsfrom Crime (No.8, 1990); dan

3. European Communities Directive on Prevention ofthe Use Financial System for the Purpose of MoneyLaundering (June 10, 1991).

Sedangkan proses pencucian uang menurut AnwarNasution ada 4(empat) faktor dalam proses pencucianuang. Pertama, baik Merahasiakan pemilik dan sumberuang hasil kejahatan itu. Kedua, Mengubah bentuknyasehingga mudah dibawa kemana-mana.Ketiga,Merahasiakan proses pencucian uang itu sehinggamenyulitkan pelacakanya oleh petugas hukum. Keempat,Memudahkan pengawasan uang tersebut oleh pemilikkekayaan yang sebenarnya.14

Proses pencucian uang dilakukan melalui 4 (empat)proses. Pertama, disebut immersion atau membenamkanuang haram sehingga tidak tampak dari permukaan.Dalam proses ini uang hasil kejahatan ditempatkan dandikonsolidasikan dalam bentuk dan tempat yang sulitoleh sistem pengawasan hukum. Karena menggunakansistem pembayaran yang sah, proses pembenaman uang

13J.E Sahetapy, “Business Uang Haram’, www.khn.go.id

14Anwar Nasution, “Sistem Keuangan dan Proses Money Laundering”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol.3,

Tahun 1998, hlm 12-13.

Page 588: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.16

yang sah dilakukan melalui rekening koran, wesel pos,surat berharga atas unjuk, ataupun instrumen keuanganlainnya yang mudah dikonversi ke dalam bentuk uangtunai dan tabungan pada sistem perbankan.

Instrumen lain yang sering digunakan menutupipemilik atau sumber uang haram adalah penggunaaantransaksi kegiatan yang memang sulit dilacak dandipajaki. Kesukaran itu mengkin bersumber dari sifattransaksidaripada kegiatan tersebut yang tidakmemerlukan identitas, baik pembeli maupun penjualkomuditi yang diperjualbelikan. Berapa besarnya volumeataupun nilai transaksi sulit ditaksir karena transaksibersifat cash and carry ataupun karena tidak ada standarharga yang baku. Pelacakan semakin sulit dilakukan jikatransaksi lebih banyak menggunakan uang tunai.Kegiatan transaksi uang secara tunai tersebut, antara lain,seperti, perdagangan ecera. Termasuk di dalamnyaseperti restoran, bar, dan klub malam, persewaan alat-alat hiburan ataupun perjudian, serta pelacuran yangdilegalisasi. Perdagangan batu mulia serta permata,barang antik, uang, ataupun prangko tua, yang tidakmemilik standar harga yang baku juga termasukkelompok ini.

Jika sistem perbankan tidak dapat dipercaya,masyarakat kembali pada sistem tradisional. Erosikepercayaan masyarakat pada sistem perbankan terjadikarena kegoncangan sistem politik sosial ataupun karenaadanya sistem devisa yang dikontrol keta olehpemerintah. Dalam sistem tradisional itu, baik uangmaupun barang berharga dijual ataupun diagunkan olehpemiliknya kepada pedagang emas ataupun valuta asingdi suatu tempat ataupun negara. Pada gilirannyapedagang tersebut memberikan surat bukti penyimpanan,baik uang maupun barang berharga itu. Surat buktitersebut dapat diuangkan kembali oleh pemegangnya

Page 589: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.17

pada jaringan yang dimiliki oleh pedagang emas danvaluta asing. Biaya transkasi yang dipungut oleh jaringanpedagang seperti itu lebih mahal daripada biaya yangdipungut oleh sistem perbankn. Sistem seperti ini disebutuang terbang.

Pada tahap kedua, uang haram yang telahdibenamkan dibawah permukaan air tersebut diberisabun dan diacak. Proses penyebunan dan pengacakandilakukan, baik dengan memanfaatkan Undang-UndangKerahasiaan Bank maupun celah peluang hukum, sistempolitik yang busuk, kelemahan administrasi serta sistempembayaraan ataupin sistem perbankan yang ada diberbagai neara. Dengan demikian, peranan para ahlihukum serta pengacara, konsultan, dan akuntan sangatmenonjol dalam proses tersebut.

Disamping itu, uang haram dipindah-pindahkan darisatu rekening ke rekening lain, baik di dalam negerimaupun melalui transaksi antarnegara. Tujuan transaksitersebut adalah untuk semakin menutup identitas pemilikyang sebenarnya ataupun sumber uang haram tersebut.Untuk melayani transaksi semacam itu, pemilik uangharam membentuk prasarana jaringan transaksiinternasional yang sangat kompleks. Prasarananyaberupa perusahaan gadungan yang sengaja dibentuk danberoperasi di mancanegara, apakah dimiliki oleh pemilikuang haram ataupun cukup dapat dikontrol olehnya.Prasarana tersebut termasuk jaringan pedagang emas danvaluta asing pada sistem uang terbang. Transaksi jugadapat dilakukan melalui rekening perwalian, baik milikpengacara, akuntan, maupun klien pemilik uang haram.

Tahap ketiga, proses pencucian uang haram sebagaiproses pengeringan atau repatriasi dan integrasi. Padatahap ini uang haram telah dicuci bersih dimasukkankembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk yang menurut

Page 590: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.18

aturan hukum, telah berubah menjadi legal dan sudahmembayar kewajiban pajak.

Kompleksitas tiap tahap proses pencucian uang danbesar kecilnya jarngan prasarana yang diperlukan untukmendukung bergantung pada volume uang haram yangakan diputihkan. Sebagai contoh, uang haram jumlahbesar hasil kejahatan kelompok gangster Al Capone,diputihkan oleh Mayer Lansky, baik melalui perjudianlegal maupun offshore banking. Untuk keperluantersebut, kelompok Al Capone mengembangkan pusatperjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan di Las Vegasdan Navada, dua negara bagian yang melegalisasi bisnisseperti itu. Dalam sekejab mata Mayaer Lanskymembuat Havana (Pada masa Pemerintahan PresidenFugencio Batista) menjadi pusat perjudian, hiburan, danoffshore banking. Tujuan utama offshore banking adalahuntuk jadi pelabuhan tempat transit uang haram. SetelahCuba jatuh ke tangan rezim komunis di bawah PresidenFidel Castro, Meyer Lansky pindah ke Bahama yangdikembangkan sebagai pusat perjudian dan hiburan sertaoffshore banking baru.

Dewasa ini pusat-pusat offshore banking telahmenjalar luas ke berbagai negara miskin lainnya. Padaawalnya negara tempat penyimpanan uang haramadalahSwiss, Luxembourg, Lictenstein, Hongkong, danSingapura. Daftar ini semakin bertambah denganmasuknya Panama, Attile Belanda, dan Cayman Islandsyang sekarang nyatanya paling disukai oleh bank-bank,baik swasta maupun BUMN. Selain menawarkan bebaspajak, negara miskin tidak memilik infrastruktur yangmemadai untuk mengawasi bank ataupun transkasikeuangan masyarakat sehingga merupakan tempat yangsangat idel bagi kegiatan pemutihan uang.

5. Beberapa Modus Operandi Pencucian Uang

Page 591: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.19

Dalam melaksanakan pencucian uang, modusoperandi yang biasa dilakukan dengan beberapa carayakni15:1. Melalui kerja sama modal

Uang hasil kejahatan secara tunai dibawa ke luarnegeri. Uang tersebut masuk kembali dalam bentukkerjasama modal (Joint Venture Project).Keuntungan inventasi tersebut harus diinvestasikanlagi dalam berbagai usaha lain. Keuntungan usahalain ini dinikmati sebagai uang yang sudah bersihkarena tampaknya diolah secara legal, bahkandikenakan pajak.

2. Melalui agunan kreditUang tunai diselundupkan ke luar negeri, laludisimpan di bank negara tertentu yang prosedurperbankannya termasuk lunak. Dari bank tersebutditransfer ke Bank Swiss dalam bentuk deposito.Kemudian dilakukanpeminjaman ke suatu bank diEropa dengan jaminan deposito tersebut. Uang hasilkredit ditanamkan kembali ke asal uang haram tadi.

3. Melalui perjalanan luar negeriUang tunai ditransfer ke luar negeri melalui bankasing yang berada di negaranya. Lalu uang tersebutdicairkan kembali dan dibawa kembali ke negaraasalnya oleh orang tertentu. Seolah–olah uangtersebut berasal dari luar negeri.

4. Melalui penyamaran usaha dalam negeriDengan usaha tersebut maka didirikanlah perusahaansamaran, tidak dipermasalahkan apakah uang

15 A.S Mamoedin, Analisis Kejahatan Perbankan, Cetakan Pertama, Jakarta, Rafflesia, 1997, hlm 295-297

Page 592: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.20

tersebut berhasil atau tidak, tetapi kesannya uangtersebut telah menghasilkan uang bersih.

5. Melalui penyamaran perjudianDengan uang tersebut didirikan usaha perjudian.Tidak menjadi masalah apakah menang atau kalah.Akan tetapi akan dibuat kesan menang, sehingga adaalasan asal usul uang tersebut. Seandainya diIndonesia masih ada lottre atau sejenisnya yang lain,kepada pemilik uang haram dapat ditawarkan nomormenang dengan harga yang lebih mahal. Dengandemikian uang tersebut memberikan kesan kepadayang bersangkutan sebagai hasil kemenangankegiatan perjudian tersebut.

6. Melalui penyamaran dokumenUang tersebut secara fisik tidak kemana-mana, tetapikeberadaannya didukung oleh berbagai dokumenpalsu atau yang diadakan, seperti membuat doubleinvoice dalam jual beli dan ekspor impor, agar adakesan uang tersebut sebagai hasil kegiatan luarnegeri.

7. Melalui pinjaman luar negeriUang tunai dibawa ke luar negeri dengan berbagaicara, lalu uang tersebut dimasukkan kembali sebagaipinjaman luar negeri. Hal ini seakan-akan memberikesan bahwa pelaku memperoleh bantuan kredit luarnegeri.

8. Melalui rekayasa pinjaman luar negeriUang secara fisik tidak kemana-mana, tetapikemudian dibuat suatu dokumen seakan-akan adabantuan atau pinjaman luar negeri. Jadi pada kasusini sama sekali tidak ada pihak pemberian pinjaman,

Page 593: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.21

yang ada hanya dokumen pinjaman yangkemungkinan besar adalah dokumen palsu.16

Berdasarkan UU No. 15 tahun 2002 tentang TindakPidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UUNo. 25 Tahun 2003, kegiatan pencucian uang adalahsuatu proses atau perbuatan yang bertujuan untukmenyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atauharta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidanayang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yangseolah-olah berasal dari kegiataan yang sah. Secaraumum, proses pencucian uang terdiri dari tiga tahap,yaitu:

1) Tahap Placementyaitu upaya penempatan dana yang dihasilkan darisuatu kegiatan tindak pidana ke dalam suatu sistemkeuangan.

2) Tahap Layeringyaitu memisahkan hasil tindakan pidana darisumbernya melalui beberapa tahap transaksikeuangan dengan tujuan untuk menyembunyikanataupun menyamarkan asal-usul dana.

3) Tahap Integrationyaitu upaya menggunakan harta kekayaan yang telahtampak sah, baik untuk dinikmati langsung,diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaaanmaterial maupun keuangan, dipergunakan untukmembiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untukmembiayai kembali kegiatan tindak pidana.

Penjelasan umum UU. No. 8 tahun 2010 antara lainmenerangkan bahwa penanganan tindak pidana

16 ADRIAN SUTEDI, S.H., M.H.2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,halaman 12-28

Page 594: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.22

Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejakdisahkannya UU No. 15 tahun 2002 tentang TindakPidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubahdengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telahmenunjukkan arah yang positif. Hal itu tercermin darimeningkatnya kesadaran dari pelaksanaan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sepertipenyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajibanpelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalampembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan AnalisisTransaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisishingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau administratif.17

Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belumoptimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruangtimbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celahhukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belumdimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian,keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupanPelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugasdan wewenang dari para pelaksana Undang-Undangini.18

Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucianuang semakin kompleks, melintasi batas-batasyurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakinvariatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan,bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untukmengantisipasi halitu, Financial Action Task Porce(FATF) onMoney Laundering telah mengeluarkanstandar internasional yang menjadi ukuran bagi setiapnegara dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak

17 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 9918 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 99

Page 595: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.23

Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana PendanaanTerorisme yang dikenal dengan ‘Revised 40Recommendations dan 9 Special Recommendations(Revised 40 + 9) FATF, antara lain mengenai perluasanPihak Pelapor (reportingparties) yang mencakuppedagang permata dan perhiasan/logam mulia danpedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah danmemberantas Tindak Pidana Pencucian Uang perludilakukan kerjasama regional dan internasional melaluiforum bilateral atau multilateral agar intensitas tindakpidana yang menghasilkan atau melibatkan hartakekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi.19

Untuk memenuhi kepentingan nasional danmenyesuaikan standar internasional, perlu disusunundang-undang sebagai pengganti Undang-UndangNomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana PencucianUang sebagaimana telah diubah dengan Undang-UndangNomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak PidanaPencucian Uang.20

Materi muatan yang terdapat dalam undang-undangini (UU-PPTPU), antara lain:21

1. Redifinisi pengertian hal yang terkait dengan tindakpidana Pencucian Uang.

2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidanaPencucian Uang.

3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dansanksi administratif.

4. Pengukuhan penerapan prinsip mengenai penggunajasa.

5. Perluasan Pihak Pelapor.

19 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 10020 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 10021Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 101

Page 596: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.24

6. Penetapan mengenai jenis Pelaporan oleh penyediabarang danatau jasa lainnya.

7. Penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan.8. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk

menunda Transaksi.9. Perluasan kewenangan Direktorat Jendral Bea dan

Cukai terhadap pembawaan uang tunai daninstrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luardaerah pabean.

10. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindakpidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidanaPencucian Uang.

11. Perluasan instansi yang berhak menerima hasilanalisis atau pemeriksaan PPATK.

12. Penataan kembali kelembagaan PPATK.13. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk

kewenangan untuk menghentikan sementaraTransaksi.

14. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindakpidana Pencucian Uang, dan

15. Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaanyang berasal dari tindak pidana.

Tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 8Tahun 2010 tentang Pencegahan dan PemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang (disingkat UU-PPTPA)terdiri dari dua jenis yaitu :22

1. Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dalam BAB IIdari Pasal 3 sampai dengan Pasal 10, dan

2. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan TindakPidana Pencucian Uang diatur dalam BAB III dariPasal 11 sampai dengan Pasal 16.

22 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 101

Page 597: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.25

A. Ketentuan Tindak Pidana Pencucian UangSeperti telah dikemukakan di atas, bahwa tindak pidana

pencucian uang dalam UU-PPTPU diatur dalam Pasal 3sampai dengan Pasal 10.23

A.1.Pasal 3 UU-PPTPU- Subjeknya: setiap orang.- Perbuatan yang dilarang : menempatkan,

mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,membayarkan, menghibahkan, menitipkan,

- Membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,menukarkan dengan mata uang atau suratberharga atau perbuatanlain atas harta kekayaanyang diketahuinya atau patut diduganyamerupakan hasil tindak pidana sebagaimanadimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuanmenyembunyikan atau menyamarkan asal usulharta kekayaan.

- Ancaman pidananya berupa pidana penjarapaling lama 20 tahun dan denda

- Paling banyak 10 milyar rupiah.

A.2.Pasal 4 UU-PPTPU- Subjeknya : setiap orang.- Perbuatan yang dilarang :menyembunyikan,

menyamarkan – asal usul, sumber, lokasi,peruntukan, pengalihan hak-hak, ataukepemilikan yang sebenarnya atas HartaKekayaan – yang diketahuinya atau patutdiduganya merupakan hasil tindak pidanasebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

23 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 101-106

Page 598: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.26

- Ancaman pidana berupa, pidana penjara palinglama 20 tahun dan denda paling banyak 5milyar rupiah.

A.2.Pasal 4 UU-PPTPU1) Subjeknya : setiap orang

- Perbuatan yang dilarang : menerima ataumenguasai penempatan, pentransferan,pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan– yang diketahuinya atau patut diduganyamerupakan hasil tindak pidana sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

- Ancaman pidana berupa pidana penjara palinglama 5 tahun dan denda paling banyak 1 milyarrupiah.

2) Merupakan alasan penghapusan penuntutan bagiPihak Pelapor yang melaksanakan kewajibanpelaporan sesuai dengan yang diatur dalamundang-undang ini.Dari perumusan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU-PPTPU dapat diketahui subjeknya adalah “setiaporang”, dimana menurut ketentuan Pasal 1 angka 9UU-PPTPU: “Setiap orang adalah orangperseorangan atau Korporasi”. Dengan demikiansubjek UU-PPTPUselain orang perorangan adalahKorporasi. Sedangkan Korporasi menurut Pasal 1angka 10 adalah kumpulan orang dan/ataukekayaan yang terorganisasi, baik merupakanbadan hukum maupun bukan badan hukum. HartaKekayaan menurut Pasal 1 angka 13 adalah semuabenda bergerak atau benda tidak bergerak, baikyang berwujud maupun tidak berwujud, yangdiperoleh baik secara langsung maupun tidaklangsung.

Page 599: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.27

Di samping itu Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU-PPTPUjuga merujuk pada hasil tindak pidana dalam Pasal 2 ayat(1) yang meliputi : a) korupsi, b) penyuapan, c) narkotika,d) psikotropika, e) penyelundupan tenaga kerja, f)penyelundupan migran, g) di bidang perbankan, h) dibidang pasar modal, i) di bidang perasuransian, j)kepabeanan, k) cukai, l) perdagangan orang, m)perdagangan senjata gelap, n) terorisme, o) penculikan, p)pencurian, q) penggelapan, r) penipuan, s) pemalsuan uang,t) perjudian, u) prostitusi, v) di bidang perpajakan, w) dibidang kehutanan, x) di bidang lingkungan hidup, y) dibidang kelautan dan perikanan, atau z) tindak pidana lainyang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun ataulebih, yang dilakukan di wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia atau di luar wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia dan tindak pidana tersebut jugamerupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

A.6.Pasal UU-PPTPU(1) Memuat ketentuan bahwa apabila Tindak Pidana Pencucian

Uang dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukanKorporasi, maka pidana dijatuhkan terhadap Korporasidan/atau personil pengendali korporasi.

(2) Memuat kriteria / parameter suatu korporasi dijatuhi pidana,yaitu apabila Tindak Pidana Pencucian Uang itu:a) Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali

korporasi;b) Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan

korporasi;c) Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau

pemberi perintah; dand) Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi

korporasi.

Page 600: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.28

A.7.Pasal 7 UU-PPTPU(1) Memuat ketentuan pidana pokok yang dapat dijatuhkan

terhadap Korporasi hanyalah pidana denda paling banyak100 milyar rupiah.

(2) Memuat ketentuan selain pidana pokok berupa benda,terhadap Korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahanberupa:

a) Pengumuman putusan hakimb) Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha

korporasic) Pencabutan izin usahad) Pemberian dan/atau pelarangan korporasie) Perampasan asset korporasi untuk negara; dan/atauf) Pengambilan korporasi oleh negara

Dari ketentuan dalam Pasal 6 dapat diketahui bahwa yangdipertanggungjawabkan dalam hal tindak pidana PencucianUang dilakukan oleh Korporasi adalah Korporasi dan/atauPersonil Pengendali Korporasi. Personil Pengendali Korporasimenurut Pasal 1 angka 14 adalah setiap orang yang memilikikewenangan atau wewenang sebagai penentu kebijakankorporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukankebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dariatasannya.

A.8.Pasal 8 UU-PPTPUMenentukan bahwa pidana denda yang tidak cukup dibayar

dengan harta terpidana, maka diganti dengan kurunganpengganti paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

A.9.Pasal 9 UU-PPTPU(1) Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda,

maka harta kekayaan korporasi atau personil pengendalikorporasidirampas untuk mengganti pidana denda yang

Page 601: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.29

nilainya sama dengan pidana denda yang dijatuhkan sesuaidengan putusan.

(2) Dalam hal penjualan harta kekayaan korporasi yangdirampas tidak mencukupi, maka pidana kurunganpengganti dijatuhkan kepada personil pengendali korporasidengan memperhitungkan pidana denda yang telah dibayar.

A.10.Pasal 10 UU-PPTPUPasal ini mengancam pidana yang sama sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 terhadap setiap orangyang di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia turut serta melakukan percobaan, pembantuan ataupemufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana PencucianUang.- Mengingat percobaan tidak diatur secara tersendiri dalam

UU-PPTPU, maka harus dirujuk Pasal 53 KUHP yangmensyaratkan adanya unsur-unsur yang selengkapnyaberbunyi: “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jikaniat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaanpelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukansemata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Didalam Bab II tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tidakada pasal atau ayat yang menyebutkan kualifikasi TPPUsebagai kejahatan, sehingga perujukan pada Pasal 53 KUHPtersebut dapat diperdebatkan. Secara normatif menurutpendapat penulis tidak dapat diterapkan karenamensyaratkan adanya kejahatan.

- Pembantuan melakukan Tindak Pidana Pencucian Uangjuga tidak diatur secara khusus dalam UU-PPTPPU,sehingga merujuk pada Pasal 56 KUHP, yang menetukan :Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatukejahatan: ke – 1 mereka yang sengaja memberi bantuan pada

waktu kejahatan dilakukan/

Page 602: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.30

ke – 2 mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

- Khusus untuk permufakatanjahat untuk melakukan TindakPidanaPencucian Uang, Pasal 1 angka 15 menentukan:“Pemufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebihyang bersepakat untuk melakukan tindak pidana PencucianUang.”

B. Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Tindak PidanaPencucian Uang

Dalam Bab III UU-PPTPPU diatur mengenai tindakpidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana PencucianUang yang dirumuskan dalam Pasal 11 sampai denganPasal 16, yang untuk jelasnya seperti pada uraian berikut:24

B.1 Pasal 11 UU-PPTPPU(1) Subjeknya: Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik,

penuntut umum, hakim, dan setiap orang.- Perbuatan yang dilarang: yang memperoleh

dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaantugasnya menurut UU ini, wajib merahasiakandokumen atau keterangan tersebut – kecuali untukmemenuhi kewajiban menurut UU ini.

(2) Memuat ancaman pidana bagi yang melanggarkewajiban pada ayat (1) berupa pidana penjara 4(empat) tahun.

(3) Kewajiban untuk merahasiakan dokumen atauketerangan dalam rangka memenuhi kewajiban tidakberlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, Penyidik,Penuntut Umum dan Hakim jika dilakukan dalamrangka memenuhi kewajiban menurut UU-PPTPPU.

24 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 106-111

Page 603: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.31

B.2 Pasal 12 UU-PPTPPU(1) Subjeknya Direksi, Komisaris, pengurus atau pegawai

Pihak Pelapor- Perbuatan yang dilarang : memberitahukan kepada

pengguna jasa atau pihak lain – baik secara langsungmaupun tidak langsung – dengan cara apapun –mengenai transaksi keuangan mencurigakan – yangsedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.

(2) Pengecualian larangan pada ayat (1) untuk pemberianinformasi ke lembaga pengawas dan pengatur.

(3) - Subjeknya : pejabat atau pegawai PPATK atau lembagapengawas dan pengatur.

- Perbuatan yang dilarang : memberitahukan laporantransaksi keuangan mencurigakan – yang akan atau telahdilaporkan kepada PPATK – secara langsung atau tidaklangsung dengan cara apapun kepada pengguna jasa ataupihak lain.

(4) Merupakan pengecualian atas larangan pada ayat (3) jikapemberitahuan itu dalam rangka memenuhi kewajibanmenurut UU-PPTPPU ini.

(5) Ancaman pidana terhadap pelanggaran ketentuan pada ayat(1) dan ayat (3) berupa pidana penjara paling lama 5 (lima)tahun dan pidana denda paling banyak 1 milyar rupiah.

B.3 Pasal 13 UU-PPTPPUMemuat ketentuan pidana kurungan pengganti denda dalam

Pasal 12 ayat (5) apabila terpidana tidak mampu membayardenda paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

B.4 Pasal 14 UU-PPTPPU- Subjeknya: setiap orang.- Perbuatan yang dilarang: melakukan campur tangan

terhadap pelaksanaan tugas PPATK.- Ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 2(dua)

dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah.

Page 604: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.32

B.5 Pasal 15 UU-PPTPPU- Subjeknya : pejabat atau pegawai PPATK.- Perbuatan yang dilarang : melanggar kewajiban dalam Pasal

37 ayat (4) menyatakan bahwa PPATK wajib menolakdan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan daripihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas dankewenangannya.

- Ancaman pidana berupa, pidana penjara paling lama 2tahun dan denda paling banyak 5ratus juta rupiah.

B.6 Pasal 16 UU-PPTPPU- Subjeknya : pejabat atau pegawai PPATK, Penyidik,

Penuntut Umum, atau Hakim– yang menangani perkaraTPPU yang sedang diperiksa.

- Perbuatan yang dilarang : melanggar ketentuan Pasal 83ayat (1) wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan pelapordan/atau melanggar ketentuan Pasal 85 ayat (1) dilarangmenyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal lain yangmemungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.

- Ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun.Dari paparan pasal-pasal dalam UU-PPTPPU baik yang

merupakan Tindak Pidana Pencucian Uang maupun TindakPidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana PencucianUang, terdapat beberapa istilah yang memerlukan penjelasanseperti yang diuraikan di bawah ini :- Menurut Pasal 1 angka 9, setiap orang adalah orang

perseorangan atau korporasi- Menurut Pasal 1 angka 10, Korporasi adalah kumpulan

orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baikmerupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

- Pasal 2 UU-PPTPPU mengatur mengenai Harta Kekayaanyang diperoleh dari tindak pidana : a. korupsi, b.penyuapan, c. narkotika, d. psikotropika, e. penyelundupan,

Page 605: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.33

f. penyelundupan migrant, g. di bidang perbankan, h. dibidang pasar modal, i. di bidang perasuransian, j.kepabeanan, k. cukai, l. perdagangan orang, m. perdagangansenjata gelap, n. terorisme, o. penculikan, p. pencurian, q.penggelapan, r. penipuan, s. pemalsuan uang, t. perjudian,u. prostitusi, v. di bidang perpajakan, w. di bidangkehutanan, x. di bidang lingkungan hidup, y. di bidangkelautan dan perikanan, atau z. tindak pidana lain yangdiancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih, yangdilakukan di dalam atau di luar wilayah Indonesia dantindak pidana tersebut merupakan tindak pidana menuruthukum pidana Indonesia. Pada ayat (2) memberikan maknayang sama dengan Harta Kekayaan sebagai hasil tindakpidana terorisme (Pasal 2 ayat (1), huruf n) jika HartaKekayaan diketahui atau patut di duga akan digunakandan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsunguntuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau terorisperseorangan.

- Harta Kekayaan menurut Pasal 1 angka 13 adalah semuabenda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yangberwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh baiksecara langsung maupun tidak langsung.

UU PPTPPU juga memperluas Pihak Pelapor sebagaimanaditentukan dalam Pasal 17 yang meliputi:a. Penyedia Jasa Keuangan :

1. Bank;2. Perusahaan pembiayaan;3. Perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;4. Dana pensiun lembaga keuangan;5. Perusahaan efek;6. Manajemen investasi;7. Custodian;8. Wali amanat;9. Perposan sebagai penyedia jasa giro;

Page 606: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.34

10. Pedagang valuta asing;11. Penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu;12. Koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;13. Penyelenggara e-money dan/atau e-wallet;14. Pegadaian;15. Perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan

berjangka komoditi; atau16. Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

b. Penyedia barang dan/atau jasa lain:1. Perusahaan property / agen property2. Pedagang kendaraan bermotor3. Pedagang permata dan perhiasan / logam mulia4. Pedagang barang seni dan antic, atau5. Balai lelang

Penyedia Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 17a mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada PPATKtentang :a. Transaksi Keuangan Mencurigakanb. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp.

500.000.00,- (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uangasing yang nilainya setara, yang dilakukan dalam satu kalitransaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu)hari kerja, dan/atau

c. Transaksi Keuangan transfer dari dan ke luar negeri.Besarnya jumlah Transaksi Keuangan tunai dan TransaksiKeuangan transfer dana dari dan ke luar negeri dapatmengalami perubahan yang dilakukan dengan keputusanKepala PPATK untuk Transaksi Keuangan Tunai danPeraturan Kepala PPATK untuk Transaksi Keuangantransfer dana dari dan ke luar negeri.

Kewajiban pelaporan atas Transaksi Keuangan Tunaidikecualikan terhadap :

Page 607: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.35

a. Transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangandengan pemerintah dan bank sentral.

b. Transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun; danc. Transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau

atas permintaan penyedia jasa keuangan yang disetujui olehPPATK.Transaksi Keuangan yang mencurigakan menurut Pasal 1

angka 5 UU-PPTPPU adalah :a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil,

karakteristik, atau kebiasaan, pola transaksi dari penggunajasa yang bersangkutan

b. Transaksi Keuangan oleh pengguna jasa yang patut didugadilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporantransaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan olehPihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini

c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukandengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasaldari hasil tindak pidana, atau

d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untukdilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan HartaKekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Transaksi Keuangan tunai menurut Pasal 1 angka 6 adalahTransaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakankertas dan/atau uang logam.

Penjelasan Pasal 23 ayat (1) huruf a menerangkan: padadasarnya, Transaksi Keuangan mencurigakan diawali daritransaksi antara lain :1) Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas2) menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relative besar

dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran,atau

3) aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaranApabila transaksi-transaksi yang tidak lazim tersebut

memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka

Page 608: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.36

5, transaksi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai TransaksiKeuangan mencurigakan yang wajib dilaporkan. Sedangkanterhadap transaksi atau aktifitas di luar kebiasaan dan kewajaransebagaimana tersebut diatas, penyedia jasa keuangan dimintamemberikan perhatian khusus atas semua transaksi yangkompleks, tidak biasa dalam jumlah besar, dan semua polatransaksi tidak biasa, yang tidak memiliki alasan ekonomis yangjelas dan tidak ada tujuan yang sah. Latar belakang dan tujuantransaksi tersebut harus, sejauh mungkin diperiksa, temuan-temuan yang didapat dibuat tertulis, dan tersedia untukmembantu pihak berwenang dan auditor.25

Penyedia barang dan/atau jasa lain sebagaimana dimaksuddalam Pasal 17 ayat (1) huruf b mempunyai kewajiban untukmenyampaikan laporan transaksi yang dilakukan oleh penggunajasa dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yangnilainya paling sedikit atau setara dengan 500 juta rupiah kepadaPPATK, yang disampaikan paling lambat 14 hari kerja terhitungsejak transaksi dilakukan. Apabila tidak menyampaikan laporankepada PPATK sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan,maka penyedia barang dan/atau jasa lain dikenai sanksiadministratif.26

UU-PPTPPU juga mewajibkan kepada Pihak Pelapor untukmenerapkan prinsip mengenali pengguna jasa yang ditetapkanoleh Lembaga Pengawas dan Pengatur, yang oleh Undang-Undang ini diberikan kewenangan pengawasan, pengaturandan/atau pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor. Prinsipmengenali Pengguna Jasa dilakukan pada saat: (1) melakukanhubungan usaha dengan Pengguna Jasa, (2) terdapat TransaksiKeuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asingyang nilainya paling sedikit atau setara dengan 100 juta rupiah;(3) terdapat Transaksi Keuangan mencurigakan yang terkaitdengan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidanapendanaan terorisme; atau (4) Pihak Pelapor meragukan

25Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 11126 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 111

Page 609: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.37

kebenaran informasi yang dilaporkan pengguna jasa. Prinsipmengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat: (a)identifikasi pengguna jasa, (b) verifikasi pengguna jasa; danpemantauan transaksi pengguna jasa.27

Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU-PPTPPU, menerangkan :yang dimaksud dengan "menerapkan prinsip mengenaliPengguna Jasa" adalah "Customer Due Delligence" (CDD) dan"Enchaced Due Delligence" (EDD) sebagaimana dimaksuddalam Rekomendasi 5 "Financial Action Task Force (PATF) onMoney Laundering", "Customer Due Delligence" (CDD) adalahkegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yangdilakukan oleh Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebutsesuai dengan profil nasabah. Sedangkan "Enchanced DueDelligence" (EDD) adalah tindakan CDD lebih mendalam yangdilakukan Bank pada saat berhubungan dengan nasabah yangtergolong beresiko tinggi termasuk "politically exposed person"terhadap kemungkinan Pencucian Uang dan pendanaanterorisme.28

Politically Exposed Person yang selanjutnya disebutsebagai PEP adalah orang yang mendapatkan kepercayaan untukmemiliki kewenangan publik diantaranya adalah PenyelenggaraNegara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelenggaraan Negaradan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yangmemiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partaipolitik, baik berkewarganegaraan Indonesia maupun yangberkewarganegaraan asing. Apabila Pengguna Jasa menolakuntuk mematuhi prinsip mengenali pengguna jasa atau penyediajasa keuangan meragukan kebenaran informasi yangdisampaikan pengguna jasa, maka penyedia jasa keuangan wajibmemutuskan hubungan usaha dengan pihak Pengguna Jasa danpemutusan hubungan usaha tersebut dilaporkan kepada PPATKsebagai Transaksi Keuangan mencurigakan.Pelaksanaan

27 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 11228 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 112

Page 610: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.38

kewajiban yang dilaksanakan sesuai dengan UU-PPTPPUmembebaskan Pihak Pelapor, pejabat dan pegawainya darituntutan secara perdata maupun pidana sepanjang tidak terjadiatau terdapat unsur penyalahgunaan wewenang.29

UU-PPTPPU juga memberikan peran kepada Dirjen Beadan Cukai yang berkaitan dengan pembawaan uang tunai daninstrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah PabeanIndonesia, sebagaimana diatur dalam Bab V, Pasal 34 sampaidengan Pasal 36. Bagi siapa saja yang membawa uang tunaidalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atauinstrument pembayaran lain dalam bentuk cek, cek perjalanan,surat sanggup bayar, atau bilyet giro paling sedikit 100 jutarupiah atau yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luardaerah pabean Indonesia wajib memberitahukannya kepadaDirjen Bea dan Cukai. Dirjen Bea dan Cukai wajib melaporkankepada PPATK paling lama 5 hari kerja sejak diterimanyapemberitahuan. Apabila tidak memberitahukan ataumemberitahukan tetapi yang dibawanya lebih besar dari jumlahyang diberitahukan, maka dikenakan sanksi administratifsebesar 10% dengan jumlah paling banyak 300 juta rupiah.Dirjen Bea dan Cukai mengambil langsung denda administratiftersebut dari uang tunai yang dibawa dan disetorkan ke kasnegara, dimana dalam jangka waktu paling lama 5 hari kerjaDirjen Bea dan Cukai menyampaikan laporan pengenaan sanksiadministratif tersebut kepada PPATK, sejak sanksi administratifditetapkan.

29 Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, halaman 113

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 611: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.39

1) Apa yang dimaksud dengan pencucian uang?

2) Sebutkan langkah-langkah pencucian uang!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yangbertujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usuluang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasiltindak pidana yang kemudian diubah menjadi hartakekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yangsah.

2) Langkah atau tahapan pencucian uang yakni Placement,Layering dan Integrations.

1. Pencucian uang adalah kegiatan-kegiatan yangmerupakan prose yang dilakukan oleh seseorang atauorganisai kejahatan terhadap uang haram, yaitu uangyang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksudmenyembunyikan asal-usul uang tersebut daripemerintah atau otoritas yang berwenang melakukanpenindakan terhadap tindak kejahatan dengan caraterutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistemkeuangan (financial system) sehingga apabila uangtersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuanganitu, maka keuangan itu telah berubah menjadi uangyang sah.

2. Secara umum, money laundering merupakan metodeuntuk menyembunyikan, memindahkan, danmenggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatanorganisasi tindak pidana, tindak pidana ekonomi,

RANGKUMAN

Page 612: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.40

korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatanlainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana.

3. Langkah atau tahapan pencucian uang yakniPlacement, Layering dan Integrations

4. Modus operandi pencucian uang yakni sebagai berikut:Melalui kerja sama modal, agunan kredit, perjalanankeluar negeri, penyamaran usaha dalam negeri,pinjaman luar negeri, penyamaran judi, pemalsuan judidan sebagainya.

5. Subjek hukum dalam tindak pidana pencucian uangyakni perseorangan maupun korporasi

6. Pasal 2 UU tindak pidana yang menjadi pemicupencucian uang meliputi korupsi, penyuapan,penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan barang;penyelundupan migran; perbankan; narkotika;psikotropika; perdagangan budak; wanita, anak;perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan;pencurian; penggelapan; penipuan.

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 613: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.41

1) Undang-Undnag Pencucian Uang di Indonesia diaturdalam …

A. Undang-Undang No. 15 tahun 2000B. Undang-Undang No. 15 tahun 2001C. Undang-Undang No. 15 tahun 2002D. Undang-Undang No. 15 tahun 2003

2) Kegiatan memisahkan hasil tindak pidana darisumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapatahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan ataumenyamarkan asal usul dana. Hal tersebut merupakantahapan pencucian uang yang dinamakan …

A. LayeringB. PlacementC. IntegrationsD. Saving

3) Pelaku pencucian uang tersebut mendepositokan uangharam tersebut kedalam sistem keuangan (financialsystem). Hal tersebut merupakan tahap yang dinamakan..

A. LayeringB. PlacementC. IntegrationsD. Saving

4) UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana PencucianUang sebagaimana diubah dengan ketentuan…

A. UU No. 25 Tahun 2001B. UU No. 25 Tahun 2002C. UU No. 25 Tahun 2003D. UU No. 25 Tahun 2004

5) Dalam menanggulangi tindak pencucian uang, Indonesiamembentuk lembaga analisis keuangan yangdinamakan..

Page 614: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.42

A. Pusat Pelaporan dan Analisis TransaksiKeuangan (PPATK)

B. Bank IndonesiaC. Kementerian KeuanganD. Bareskrim

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yangterdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaanAnda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapatmeneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yangbelum dikuasai.

Kegiatan Belajar 2

Dampak Kejahatan Pencucian Uang

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 615: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.43

1. Pelaku dan Dampak Kejahatan Pencucian Uang PadaUmumnya

Kegiatan pencucian uang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan oleh para penjahat individualsangat merugikan masyarakat. Karena itu, banyak negaraberupaya untuk memerangi kejahatan ini. Beberapa dampakkejahatan pencucian uang terhadap masyarakat, yakni:a) Pencucian uang memungkinkan para penjual dan

pengedar narkoba, para penyelundup, dan para penjahatlainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya.Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukumuntuk memberantasnya dan biaya perawatan sertapengobatan kesehatan bagi para korban atau pecandunarkoti;

b) Kegiatan pencucian uang mempunyai potensi untukmerongrong keuangan masyarakat sebagai akibatsedemikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalamkegiatan itu. Potensi untuk melakukan korupsimeningkat bersamaan dengan peredaran jumlah uangharam yang sangat besar;

c) Pelaku Pencucian Uang (selanjutnya disebut denganPPU) mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dansecara tidak langsung merugikan para pembayar pajakyang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.

Selain itu, makro ekonomis30 yang ditimmbulkan olehPPU adalah distribusi pendapatan. Kegiatan kejahatanmengalihkan pendapatan dari para penyimpan dana besar(high saver) kepada penyimpan dana rendah (low saver),dari investasi yang sehat pada investasi yang beresiko dan

30 Peter J. Muddying the macroecono, dalam op. Cit, Peter J, hlm 8-9

Page 616: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.44

berkualitas rendah. Hal ini membuat pertumbuhan ekonomiterpengaruh. Misalnya, terdapat bukti bahwa dana yangberasal dari tax evasions di AS cenderung disalurkan padainvestasi yang berisiko tinggi, tetapi memberikan hasil yangtinggi di sektor bisnis kecil. Beberapa tax evasions yangterjadi di sektor ini terutama pada kecurangan (fraud),penggelapan (embezzelment), dan perdaganagan sahammemlalui orang dalam (insider trading) berlangsung secaracepat dan merupakan bisnis yang menguntungkan di sektorbisnis kecil ini.

PPU juga mempunyai dampak makro ekonomi yangtidak langsung (indirect macroeconomic effects). Transaksiyang ilegal dapat mencegah orang melakukan transaksi-transaksi yang melibatkan pihak-pihk luar negeri meskipunsepenuhnya legal telah menjadi kurang diminati akibat PPU.Pada umumnya kepercayaan pada pasar dan pernananefisiensi terhadap keuntungan telah terkikis oleh meluasnyapedagangan melalui orang dalam (insider trading),kecurangan (fraud), penggelapan (embezzelment).

Akumulasi dari dana yang dicuci kemungkinan besarlebih besar daripada aliran uang per tahunnya, menambahpotensi bagi distabilisasi yang secara ekonomis merupakankegiatan-kegiatan yang tidak efisien, baik terjadi secara lintsbatas maupun di dalam negeri. Dana tersebut dapatdigunakan untuk menyudutkan pasar. Oleh karena uangtelah memberikan dampak pada makroekonomi yang tidakmenguntungkan dan sangat luas, maka kebijkan-kebijakanmakro harus memainkan peranan dalam upaya-upaya antiPPU. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud adalah dalambidang pengawasan lalu lintas devisa (exchange cotrol),pengawasan bank terhadap rambu-rambu kesehatan bank(prudential supervisor), pengalihan pajak (tax colection),

Page 617: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.45

pelaporan statistik (statistical reporting), dan perundang-undangan (legislation).

2. Pemeriksaan Kejahatan Pencucian Uang berdasarkanUndang-Undang Pemberantasan Tindak PencucianUang di Indonesia

Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orangperseorangan maupun korporasi dalam batas wilayah suatunegara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayahnegara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut, antara lainberupa tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupantenaga kerja, penyelundupan barang; penyelundupanmigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdaganganbudak; wanita, anak; perdagangan senjata gelap; terorisme;penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan dan berbagaikejahatan kerah putih lainnya.

Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatanatau tindak pidana tersebut, pada umumnya tidak langsungdibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatankarena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak olehpenegak hukum mengenai sumber diperolehnya hartakekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebihdahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperolehdari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan(financial system) terutama dalam sistem perbankan(banking system). Dengan cara demikian, asal usul hartakekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh parapenegak hukum. Ini dikenal dengan pencucian uang (moneylaundering).

Page 618: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.46

Dengan UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak PidanaPencucian Uang ini, TPPU dapat dicegah atau diberantas,antara lain, kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiaptahap proses pencucian uang yang terdiri atas:31

1) Penempatan (placement)yaitu upaya penempatan dana yang dihasilkan dari suatukegiatan tindak pidana ke dalam suatu sistem keuangan.

2) Transfer (layering)yaitu memisahkan hasil tindakan pidana dari sumbernyamelalui beberapa tahap transaksi keuangan dengantujuan untuk menyembunyikan ataupun menyamarkanasal-usul dana.

3) Menggunakan Harta Kekayaan (integration)yaitu upaya menggunakan harta kekayaan yang telahtampak sah, baik untuk dinikmati langsung,diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaaanmaterial maupun keuangan, dipergunakan untukmembiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untukmembiayai kembali kegiatan tindak pidana.

Penyedia jasa keuangan di atas diartikan sebagaipenyedia jasa di bidang keuangan termasuk, tetapi tidakterbatas pada bank, lembaga pembiayaan, peusahaan efek,pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga

31Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 19-21

Page 619: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.47

penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, danapensiun, dan perusahaan asuransi.32

Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan TPPUdalam UU ini dibentuk pula Pusat Pelaporan dan AnalisisTransaksi Keuangan (PPATK) yang bertugas:33

a) Mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis, sertamengevaluasi informasi yang diperolehnya. OlehPPATKsesuai dengan uu ini.

b) Memantauan catatan dalam buku daftar pengecualianyang dibuat oleh penyedia jasa keuangan.

c) Membuat pedoman mengenai tata cara pelaporantransaksi keuangan mencurigakan.

d) Memberikan nasehat dan bantuan kepada instansi yangberwenang tentang informasi yang diperoleh ppatksesuai dengan uu ini.

e) Mengeluarkan pedoman dan publikasi kepadapenyedia jasa keuangan tentang kewajibannya yangditentukan dalam undang-undang atau denganperaturan perundang-undangan lain, dan membantudalam mendeteksi perilaku nasabah yangmencurigakan,

f) Memberikan rekomendasi kepada pemerintahmengenai upaya-upaya pencegahan danpemberantasan tindak pidana pencucian uang.

32 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 134.33 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 134-135.

Page 620: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.48

g) Melaporkan dan menganalisa transaksi keuangan,terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindakpidana pencucian uang dilaporkan kepada penegakhukum yaitu kepolisian dan kejaksaan.

h) Membuat dan memberikan laporan mengenai hasilanalisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnyasecara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada presiden,Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yangberwenang melakukan pengawasan terhadap penyediajasa keuangan.

Disampingitu, untuk memperlancar proses peradilanTPPU, UU ini mengatur kewenangan Penyidik, PenuntutUmum atau Hakim sesuai dengan tingkat penangananperkara untuk dapat meminta pemblokiran harta kekayaankepada penyedia jasa keuangan. UU ini juga mengaturmengenai Pinyidik, Penuntut Umum atau Hakim untukmeminta keterangan dari penyedia jasa keuangan mengenaiharta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan olehPPATK, tersangka dan terdakwa. Selain kekhususan di atas,UU ini juga mengatur mengenai persidangan tanpakehadiran terdakwa, dalam hal terdakwa yang telahdipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan tidak hadir, maka MajelisHakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaandengan tanpa kehadiran terdakwa.34

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut perlusegera dibentu UU TPPU. Perkembangan IPTEK khususnyabidang komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya

34 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 135.

Page 621: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.49

sistem keuangn termasuk perbankan yang menawarkanmekanisme lalu lintas dana antarnegara yang dapatdilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Keadaan inidisamping mempunyai dampak positif juga mambawadampak negatif bagi kehidupan masyarakat, yaitu semakinmeningkatnya tindak pidana baik yang berskala nasionalmaupun internasional, dengan memanfaatkan sistemkeuangan termasuk perbankan untuk menyembunyikan ataumengaburkan asal usul dana hasil TPPU.35

Berkenaan dengan itu, dalam rangka pencegahan danpemberantasan TPPU, Indonesia telah memiliki UU TPPU(UU Nomor 15 Tahun 2002). Namun, ketentuan dalam UUtersebut dirasa belum memenuhi standar internasional sertaperkembangan peradilan TPPU, sehingga perlu diubah. Olehkarena itu, disempurnakan melalui UU Nomor 25 Tahun2003 tentang perubahan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentangTPPU.36

Perubahan dalam UU Nomor 25 Tahun 2003 antaralain:37

1. Cakupan pengertian Penyedia Jasa Keuangandiperluas tidak hanya bagi setiap orang yangmenyediakan jasa di bidang keuangan tetapi jugameliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan.

35 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 135.36 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 135-136.37 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 136-137.

Page 622: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.50

Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelakutindak pidana pencucian uang yang memanfaatkanbentuk Penyedia Jasa Keuangan yang ada dimasyarakat namun belum diwajibkan menyampaikanlaporan transaksi keuangan dan sekaligusmengantisipasi munculnya bentuk Penyedia JasaKeuangan baru yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002.

2. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakandiperluas dengan mencantumkan transaksi keuanganyang dilakukan atau batal dilakukan denganmenggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasaldari hasil tindak pidana.

3. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesarRp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih,atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindakpidana dihapus, karena tidak sesuai dengan prinsipyang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatuperbuatan dapat dipidana tidak tergantung pada besaratau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh.

4. Cakupan tindak pidana asal (predicate crime)diperluas untuk mencegah berkembangnya tindakpidana yang menghasilkan harta kekayaan dimanapelaku tindak pidana berupaya menyembunyikanatau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidananamun perbuatan tersebut tidak dipidana.Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkaityang mempidana tindak pidana asal antara lain:a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika;b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika;

Page 623: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.51

c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsisebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi;

d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentangKomisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Jangka waktu penyampaian laporan transaksikeuangan mencurigakan dipersingkat, yang semula14 (empat belas) hari kerja menjadi tidak lebih dari 3(tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuanganmengetahui adanya unsur transaksi keuanganmencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar HartaKekayaan yang diduga berasal dari hasil tindakpidana dan pelaku tindak pidana pencucian uangdapat segera dilacak.

6. Penambahan ketentuan baru yang menjaminkerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporantransaksi keuangan mencurigakan yang disampaikankepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off). Halini dimaksudkan antara lain untuk mencegahberpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnyapelaku tindak pidana pencucian uang sehinggamengurangi efektifitas pencegahan danpemberantasan tindak pidana pencucian uang.

7. Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidanghukum (mutual legal assistance) dipertegas agarmenjadi dasar bagi penegak hukum Indonesiamenerima dan memberikan bantuan dalam rangka

Page 624: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.52

penegakan hukum pidana pencucian uang. Denganadanya ketentuan kerja sama bantuan timbal balikmerupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesiamemberikan komitmennya bagi komunitasinternasional untuk bersama-sama mencegah danmemberantas tindak pidana pencucian uang. Kerjasama internasional telah dilakukan dalam forumyang tidak hanya bilateral namun regional danmultilateral sebagai strategi untuk memberantaskekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yangtergabung dalam kejahatan yang terorganisir.Namundemikian pelaksanaan kerja sama bantuan timbalbalik harus tetap memperhatikan hukum nasionalmasing-masing negara serta kepentingan nasionaldan terutama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

Apabila menengok kebelakang lahirnya UU ini atasdesakan IMF kepada Indonesia agar memilik UUpemberantasan TPPU dan upaya IMF yang selam ini cukupmemilik pernana dalam pemberantasan TPPU danmenyetujui The Fourty Recommendation dan FATF sebagaistandar Internasional dalam memerangi praktik pencucianuang. 38

Indonesia, membentuk UU PTPPU. Di dalam UU inisebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 UU Nomor 25

38 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 138.

Page 625: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.53

Tahun 2003 tentang TPPU diklarifikasikan tindak pidanayang uangnya didapat dari hasil (Pasal 2):39

1. Korupsi;2. Penyuapan;3. Penyelundupan4. Tindak pidana yang berkaitan dengan perbankan;5. Tindak pidana yang berkaitan dengan narkotik;6. Tindak pidana yang berkaitan dnegan psikotropika;7. Perdagangan budak, wanita, atau anak;8. Perjudian; atau9. Terorisme

Beberapa hal yang merupakan ketentauan lainnya dalamUU ini adalah mengenai unsur-unsur Tindak PidanaPencucianUang, yakni:40

Pasal 1Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan,mentransfer,membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,menyumbang- kan,menitipkan, membawa ke luar negeri,menukarkan, atau perbuatanlainnya atas Harta Kekayaan yangdiketahuinya atau patut didugamerupakan hasil tindak pidanadengan maksud untuk menyembunyikan,atau menyamarkanasal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olahmenjadi HartaKekayaan yang sah.

Pasal 2

39 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 139.40 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 139.

Page 626: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.54

Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperolehdari tindak pidana:41

a. korupsi;b. penyuapan;c. penyelundupan barang;d. penyelundupan tenaga kerja;e. penyelundupan imigran;f. di bidang perbankan;g. di bidang pasar modal;h. di bidang asuransi;i. narkotika;j. psikotropika;k. perdagangan manusia;l. perdagangan senjata gelap;m. penculikan;n. terorisme;o. pencurian;p. penggelapan;q. penipuan;r. pemalsuan uang;s. perjudian;t. prostitusi;u. di bidang perpajakan;v. di bidang kehutanan;w. di bidang lingkungan hidup;x. di bidang kelautan; atauy. tindak pidana lainnya yang diancam dengan

pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih,

41 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 140.

Page 627: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.55

yang dilakukan di wilayah Negara RepublikIndonesiaatau di luar wilayah NegaraRepublik Indonesia dan tindak pidanatersebutjuga merupakan tindak pidana menuruthukum Indonesia.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan sengaja:42

a. Menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinyaatau patutdiduganya merupakan hasil tindak pidanake dalam Penyedia JasaKeuangan, baik atas namasendiri atau atas nama pihak lain

b. Mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya ataupatut diduganyamerupakan hasil tindak pidana darisuatu Penyedia Jasa Keuangan kePenyedia JasaKeuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupunatasnama pihak lain;

c. Membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaanyangdiketahuinya atau patut diduganya merupakanhasil tindak pidana, baikperbuatan itu atas namanyasendiri maupun atas nama pihak lain;

d. Menghibahkan atau menyumbangkan HartaKekayaan yangdiketahuinya atau patut diduganyamerupakan hasil tindak pidana, baikatas namanyasendiri maupun atas nama pihak lain;

e. Menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya ataupatut diduganyamerupakan hasil tindak pidana, baikatas namanya sendiri maupun atasnama pihak lain;

42 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 141-142.

Page 628: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.56

f. Membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yangdiketahuinya ataupatut diduganya merupakan hasiltindak pidana; atau

g. Menukarkan atau perbuatan lainnya atas HartaKekayaan yangdiketahuinya atau patut diduganyamerupakan hasil tindak pidanadengan mata uangatau surat berharga lainnya, denganmaksudmenyembunyikan atau menyamarkan asalusul Harta Kekayaan yangdiketahuinya atau patutdiduganya merupakan hasil tindak pidana,dipidanakarena tindak pidana pencucian uang dengan pidanapenjarapaling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama15 (lima belas) tahun dandenda paling sedikitRp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) danpalingbanyak Rp15.000.000.000,00 (lima belasmilyar rupiah).

Pasal 4

Setiap orang yang menerima atau menguasai:43

a. penempatan;b. pentransferan;c. pembayaran;d. hibah;e. sumbangan;f. penitipan; ataug. penukaran,

“Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganyamerupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana

43 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 142.

Page 629: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.57

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15(lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah)."

Pasal 5

Setiap warga negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesiayang berada diluar wilayah negara Republik Indonesia yangmemberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keteranganuntuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana denganpidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uangdipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidanapencucian uang. 44

Ketentuan lain terhadap hal-hal yang dapat digolongkandalam TP yang berkaitan dengan PPU adalah:45

1) Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidakmenyampaikan laporan kepadaPPATK sebagaimanadimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana denganpidana dendapaling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratuslima puluh juta rupiah) dan paling banyakRp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

2) Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai beruparupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)atau lebih yang dibawa ke dalam atau ke luarwilayahNegara Republik Indonesia dipidana dengan pidanadenda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta

44 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 142.45 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 143.

Page 630: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.58

rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratusjutarupiah).

Hal-hal lain yang wajib dilaporkan oleh Penyedia JasaKeuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK,sebagai berikut:46

1. Transaksi Keuangan Mencurigakan;2. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai

dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500.000.000,00 (limaratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yangnilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksimaupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) harikerja. Perubahan besarnya jumlah transaksi keuangandilakukan secara tunai ditetapkan dengan keputusankepala PPATK.

3. Penyampaian laporan Transaksi KeuanganMencurigakan sebagaimana dimaksud dilakukan palinglambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia JasaKeuangan mengetahui adanya unsur TransaksiKeuangan Mencurigakan.

4. Penyampaian laporan Transaksi Keuangan yangDilakukan Secara Tunai dilakukan paling lambat 14(empat belas) hari kerja terhitung ejak tanggal transaksidilakukan.

5. Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) huruf b tidak berlaku untuk transaksi yangdikecualikan.Transaksi yang dikecualikanmeliputi

46 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 144.

Page 631: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.59

transaksi antarbank, transaksi dengan Pemerintah,transaksi dengan bank sentral,pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya yangditetapkan oleh Kepala PPATK atas permintaanPenyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.

Mengenai alat bukti dan adanya TPPU akan digunakanPasal 184 KUHAP:47

1. Alat bukti lain berupa informasi secara elektronikdengan alat optik atau alat lain yang serupa dengan itu;

2. Dokumen yang meliputi data, rekaman, atau informasiyang dapat dilihat, dibaca dan/atau di dengar yang dapatdikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarna, baikyang tertuang atas kertas, benda fisik, apapun selainkertas, maupun yang terekam secar elektronik, termasuktetapi tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar,peta, rancangan, foto, atau sejenissnya huruf, tanda,angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna ataudapatdipahami oleh orang yang mampu membaca ataumemahaminya.

Agar pemberantasan TPPU dapat dilakukan secaraefektif, dalam UU ini daitur kerjasama antar negara.Misalnya, dengan perjanjian ekstradisi atau kerja samabantuan di bidang hukum, baik dalam bentuk bilateralmaupun multilateral,. Oleh karena itu, pemerintah Indonesiaharus lebih meningkatkan kerja sama internasional dalampengawasan kejahatan transnasional dan organisassi

47 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 145.

Page 632: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.60

kejahatan serta memacu pengambangan sistem informasipenanggulangan kejahatan internasional. 48

Perkembangan di bidang iptek telah mendorongperkaembangan ragam kejahatan yang dilakukan oleh pihakyang tidak bertanggung jawab. Kejahatan dalam suatuwilayah negara maupun lintas negara juga semakinberkembang, diantaranya korupsi, penyuapan,penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan barang;penyelundupan migran; perbankan; narkotika; psikotropika;perdagangan budak; wanita, anak; perdagangan senjatagelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan;penipuan. Dan kejahatan kerah putih lainnya yangmenghasilkan uang dalam jumlah besar.49

Penyidik kasus pencucian uang tidak hanya polisi saja.Tetapi instansi lain seperti Kejaksaan, KPK, Badan NasionalNarkotika, Pajak dan Bea Cukai bisa menindaklanjutilaporan limpahan dari PPATK.Penyelidikan dan penyidikankasus pencucian uang akan dipeluas. Selain lembagapenyidik yang akan ditambah, jumlah isntansi yangdiwajibkan melaporkan transsaksi mencurigakan pundiperbanyak.kewenangan penyidikan tidak hanya polisi sajatetapi seluruh instansi yang mempunyai kewenanganmenyidik. Penambahan penyidik akan diajukan oleh PPATKdalam amandemen UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang tPPU.Selain kepolisian dan kejaksaan, lembaga yang akandiberikan kewenangan menyidik TPPU adalah KPK dan

48 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 145.49 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 145.

Page 633: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.61

KOMNASHAM. Ini memperkuat pemberantasan pencucianuang.50

Terbatasnya lembaga penyidikan TPPU menurut Yunus,menyebabkan sulitnya kasus-kasus PPU masuk kepengadilan. Karena itu dari ribuan transaksi yangmencurigakan. Hanya beberapa gelintir yang masuk ke mejahakim. Setidak-tidaknya dengan banyaknya lembaga yangberwenang menyidik kasus PPU, proses penyidikan bisacepat. Dengan demikian kasus tidak menumpuk.51

Hal itu juga dilakukan agar ada persaingan kualitasdiantara lembaga penyidikan. Selain, perluasan lembagapenyidikan, dalam amandemen UU tersebut PPATK jugamengusulkan penambahan lembaga pelapor transaksimencurigakan. Selama ini baru lembaga-lembaga keuangansaja yang diwajibkan melaporkan transaksinya kepadaPPATK. Dengan adanya amandemen itu, kata Yunusnantinya notaris, agen penjual mobil, dan rumah pun akandiwajibkan melaporkan transaksinya. Karena hasil korupsibiasanya dibelikan properti.52

Selain ini ketiadaan laporan dari lembaga-lembaga itumembuat penyidik kesulitan melacak kemana sja uang hasilkorupsi digunakan. Pembelian properti merupakan cara yanglazim dipakai untuk menghilangkan jejak dana hasilkejahatan. Perluasan-perluasn itu juga makin dikuatkan oleh

50 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 146.51 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 146.52 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 146-147.

Page 634: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.62

kewenangan PPATK membekukan rekening tersangkaPPU.53

PENCEGAHAN PENCUCIAN UANG

Apabila transaksi keuangan mencurigakantelah dilaporkan kePPATK, dalam penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut harusdipastikan bahwa pihak-pihak yang dilaporkan tidak menaruhkecurigaan akibat dari penyelidikan dan penyidikan tersebut.Untuk mencegah tindak pidana pencucian uang, maka bank danlembaga keuangan jasa lainnya, wajib mengidentifikasitransaksi keuangan yang dianggap mencurigakan.54

Pertama, hal yang dilakukan adalah melakukan suatu judgementatas dasar fakta-fakta yang kuat dan bukan sekedar tidak adanyasuatu informasi nasabah dan transaksi yang dilakukannya sertapelatihan dan pengalaman dari kayawan/pejabat bank danperusahaan jasa lain.

Kedua, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002jo Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003, transaksi keuanganyang dianggap mencurigakan adalah transaksi yangmenyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola

53Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: PT. Citra AdityaBakti, 2008, halaman 147.54 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 163.

Page 635: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.63

transaksi dari nasabah, termasuk transaksi keuangan olehnasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untukmenghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajibdilakukan oleh bank dan perusahaan jasa keuangan lainnya.

Ketiga, menganalisis suatu transaksi, misalnya:1. Apakah jumlah nominal dan frekuensi transaksi konsisten

dengan kegiatan normal yang selama ini dilakukan olehnasabah.

2. Apakah transaksi yang dilakukan wajar dan sesuai dengankegiatan usaha, aktivitas, dan kebutuhan nasabah.

3. Apakah pola transaksi yang dilakukan oleh naabah tidakmenyimpang dari pola transaksi untuk nasabah sejenis.

Dalam kaitannya dengan pencegahan pencucian uang, makapertanyaan yang kemudian muncul dalah bagaimana efekvitaspemberantasan pencucian uang? Berbagai modus operandipencucian uang, antara lain dibelikan properti, tanah, dantransfer uang antar bank di satu negara dengan negara lain.Yang sangat menentukan keberhasilan pemberantasanpencucian uang adalah peraturan perundang-undangan dantingkat partisipasi masyarakat/pengelola lembaga jasakeuangan, baik bank maupun non bank. Jika kedua faktor inilemah, perkembangan pencucian uang akan semakin meningkat.Sekalipun kedua faktor tersebut semakin sia-sia dan berdampakburuk terhadap tingkat keberhasilan pemberantasan pencucianuang.55

DAMPAK KEJAHATAN PENCUCIAN UANG

55Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 167.

Page 636: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.64

Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan oleh para penjahat individual sangatmerugikan masyarakat. Karena itu, banyak negara berupayauntuk memerangi kejahatan ini. Beberapa dampak kejahatanpencucian uang terhadap masyarakat, yakni:56

1. Pencucian uang memungkinkan para penjual danpengedar narkoba,para penyelundup, dan para penjahatlainnya untuk memperluas kegiatan operasinya. Hal iniakan meningkatkan biaya penegakan hukum untukmemberantasnya dan biaya perawatan serta pengobatankesehatan bagi para korban atau pecandu narkotik.

2. Kegiatan pencucian uang mempunyai potensi untukmerongrong keuangan masyarakat sebagai akibatsedemikian besarnya jumlah uangyang terlibat dalamkegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsimeningkat bersamaan dengan peredaran jumlah uangharam yang sangat besar.

3. Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah daripajak secara tidak langsung merugikan para pembayarpajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yangsah.

Selain itu, beberapa dampak makro ekonomis yangditimbulkan oleh pencucian uang adalah distribusipendapatan. Kegiatan kejahatan mengalihkan pendapatandari para penyimpan dana terbesar (high saver) kepadapenyimpanan dana terendah (low saver), dari investasi yang

56 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 129-130.

Page 637: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.65

sehat pada investasi yang beresiko dan berkualitas rendah.Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi terpengaruh.Pencucian uang juga mempunyai dampak-dampak makro-ekonomi yang tidak langsung (indirect macroeconomiceffects). Transaksi yang ilegal dapat mencegah orangmelakukan transaksi-transaksi yang melibatkan pihak-pihakluar negeri meskipun sepenuhnya legal telah menjadi kurangdiminati akibat pengaruh pencucian uang.57

1. Sebutkan 2 (dua) dampak dari kejahatan pencucianuang!

2. Sebutkan 2 (dua) tugas dari PPATK!

Petunjuk Jawaban Latihan

1. Pertama, pencucian uang memungkinkan para penjualdan pengedar narkoba, para penyelundup, dan parapenjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatanoperasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakanhukum untuk memberantasnya dan biaya perawatanserta pengobatan kesehatan bagi para korban atau

57Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra AdityaAbadi, 2008, halaman. 130

LATIHAN/tugas

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 638: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.66

pecandu narkotika. Kedua, kegiatan pencucian uangmempunyai potensi untuk merongrong keuanganmasyarakat sebagai akibat sedemikian besarnya jumlahuang yang terlibat dalam kegiatan itu. Potensi untukmelakukan korupsi meningkat bersamaan denganperedaran jumlah uang haram yang sangat besar.

2. Tugas PPATK yakni Pertama, mengumpulkan,menyimpan, dan menganalisis, serta mengevaluasiinformasi yang diperolehnya. Oleh PPATK sesuaidengan Undang-Undang. Kedua. Memantauan catatandalam buku daftar pengecualian yang dibuat olehpenyedia jasa keuangan.

1. Kegiatan pencucian uang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan oleh para penjahat individualsangat merugikan masyarakat. Karena itu, banyak negaraberupaya untuk memerangi kejahatan ini. Beberapa dampakkejahatan pencucian uang terhadap masyarakat, yakni:a) Pencucian uang memungkinkan para penjual dan

pengedar narkoba, para penyelundup, dan para penjahatlainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya.Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukumuntuk memberantasnya dan biaya perawatan sertapengobatan kesehatan bagi para korban atau pecandunarkoti;

b) Kegiatan pencucian uang mempunyai potensi untukmerongrong keuangan masyarakat sebagai akibat

RANGKUMAN

Page 639: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.67

sedemikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalamkegiatan itu. Potensi untuk melakukan korupsimeningkat bersamaan dengan peredaran jumlah uangharam yang sangat besar;

c) Pelaku Pencucian Uang (selanjutnya disebut denganPPU) mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dansecara tidak langsung merugikan para pembayar pajakyang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.

2. Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang bertugas.a) Mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis, serta

mengevaluasi informasi yang diperolehnya. OlehPPATK sesuai dengan undang-undang.

b) Memantauan catatan dalam buku daftar pengecualianyang dibuat oleh penyedia jasa keuangan.

c) Membuat pedoman mengenai tata cara pelaporantransaksi keuangan mencurigakan.

d) Memberikan nasehat dan bantuan kepada instansi yangberwenang tentang informasi yang diperoleh ppatksesuai dengan uu ini.

e) Mengeluarkan pedoman dan publikasi kepadapenyedia jasa keuangan tentang kewajibannya yangditentukan dalam undang-undang atau denganperaturan perundang-undangan lain, dan membantudalam mendeteksi perilaku nasabah yangmencurigakan,

f) Memberikan rekomendasi kepada pemerintahmengenai upaya-upaya pencegahan danpemberantasan tindak pidana pencucian uang.

g) Melaporkan dan menganalisa transaksi keuangan,terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak

Page 640: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.68

pidana pencucian uang dilaporkan kepada penegakhukum yaitu kepolisian dan kejaksaan.

h) Membuat dan memberikan laporan mengenai hasilanalisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnyasecara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada presiden,dewan perwakilan rakyat, dan lembaga yangberwenang melakukan pengawasan terhadap penyediajasa keuangan.

3. Guna memperlancar proses peradilan TPPU, UU inimengatur kewenangan pinyidik, penuntut umum atau hakimsesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapatmeminta pemblokiran harta kekayaan kepada penyedia jasakeuangan UU juga mengatur mengenai pinyidik, penuntutumum atau hakim untuk meminta keterangan dari penyediajasa keuangn mengenai harta kekayaan setiap orang yangtelah dilaporkan oleh PPATK, tersangka dan terdakwa.

4. Penyidik kasus pencucian uang tidak hanya polisi saja.Tetapi instansi lain seperti Kejaksaan, KPK, Badan NasionalNarkotika, Pajak dan Bea Cukai bisa menindaklanjutilaporan limpahan dari PPATK.

1. Di bawah ini yang bukan merupakan kebijakan makrountuk menanggulangi tindak pidana pencucian uangyakni…

A. Exchange cotrolB. Prudential supervisor

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 641: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.69

C. Tax collectionD. Improvement criminal justice system

2. PPATK melaporkan hasil analisa laporan setiap 6(enam) bulan kepada …

A. Menteri keuanganB. KapolriC. Ketua KPKD. Presiden

3. Nilai Nominal yang wajib dilaporkan jasa keuangankepada PPATK apabila nilai transaksi minimumnyaadalah …

A. Rp 500.000.000,00B. Rp 400.000.000,00C. Rp 300.000.000,00D. Rp 200.000.000,00

4. Alat bukti dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uangmenggunakan ketentuan KUHAP pada Pasal…

A. 182B. 183C. 184D. 185

5. IMF memberikan kebijakan kepada Indonesia yangdikenal dengan ….

A. The Fourty RecommendationB. Letter of IntentC. Resolution Council IMFD. Statuta IMF

Page 642: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.70

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yangterdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaanAnda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali80 - 89% = baik70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat mengikutiUjian Akhir Semester (UAS). Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harusmengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan =Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 643: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.71

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 21) C 1) D2) A 2) D3) B 3) A4) C 4) C5) A 5) A

Page 644: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.72

Daftar Pustaka

A.S Mamoedin. 1997.Analisis Kejahatan Perbankan,CetakanPertama. Jakarta: Rafflesia.

Adrian Sutedi.2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta:PT Citra Aditya Bakti.

Anwar Nasution. “Sistem Keuangan dan Proses MoneyLaundering” dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol.3, Tahun 1998.

Brent Fisse, David Fraser & Graeme Coss. 1992. The MoneyLaundering Trail (Confiscation of Proceed of Crime. MoneyLaundering and Cash Transaction Reporting).Sydney: The LawBook Company limited.

Henry Campbell Black. 1991. Black’s Law Dictionary, SixthEdition. St. Paul Minn: West Publishing Co.

J.E Sahetapy, “Business Uang Haram’, www.khn.go.id.

Munir Fuady.1999.Hukum Perbankan di Indonesia, Seri BukuKetiga. Bandung: PT Citra Aditya, Bakti.

Page 645: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

HKUM 4311 /MODUL 9 1.73

Nyoman Serikat Putra Jaya. 2013. Hukum dan Hukum Pidanadi Bidang Ekonomi.Semarang: UNDIP Press.

Pamela H. Bucy. 1992. White Collar Crime, Case andMaterials.St. Paul Minn: West Publishing Co.

Robert C. Effros (Ed).“Current Legal Issues Affecting CentralBanks”, Vol. 2. Washington: International Monetary Fund.

Vincenzo Ruggiero.Organized and Corporate Crime in Europe,Aldershot: Darmouth. Department Of Justice Kanada, SolicitorGeneral Canada.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan atasUndang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak PidanaPencucian Uang

Page 646: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

iii

Tinjauan Mata Kuliah

ata kuliah yang akan kita pelajari diberi nama “Hukum PidanaEkonomi”. Ruang lingkup mata kuliah Hukum Pidana Ekonomi ini

meliputi pokok-pokok pembahasan yang akan dikaji secara lebih terperincidalam modul 1 sampai dengan modul 9, yakni sebagai berikut:

1. Fungsi Dan Peran Hukum Serta Arah KebijakanPembangunan Ekonomi Di Indonesiaa. Tinjauan Dasar Fungsi dan Peran Hukum dalam Pembangunan

Ekonomi di Indonesia dan Arah Kebijakan Pembangunan EkonomiIndonesia.

b. Hukum Pidana dan Subjek Hukum Pidana.

2. Tindak Pidana Ekono mia. Pengantar T indak Pidana Ekonomi .b. Karakteristik Tindak Pidana Ekonomi.

3. Tindak Pidana Korporas ia. Pengantar Tindak Pidana Korporas i .b. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.

4. Tindak Pidana Pasar Modala. Pengantar Tindak Pidana Pasar Modal.b. Pengaturan Tindak Pidana Pasar Modal Di Indonesia.

5. Tindak Pidana Lingkungana. Pengantar Tindak Pidana Lingkungan.b. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Lingkungan.

6. Tindak Pidana Di Bidang Perpajakana. Jenis Kejahatan Di Bidang Perpajakanb. Kejahatan oleh Pegawai Pajak, Wajib Pajak, Pejabat Pajak dan

Kejahatan oleh Pihak Lain.

M

Page 647: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

iv

7. Tindak Pidana Perbankana. Pengantar Tindak Pidana Perbankan.b. Pengaturan Tindak Pidana Di Bidang Perbankan Di Indonesia.

8. Tindak Pidana Korupsia. Pengantar Tindak Pidana Korupsi.b. Perkembangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

9. Tindak Pidana Pencucian Uanga. Pengantar Tindak Pidana Pencucian Uang.b. Dampak Kejahatan Pencucian Uang.

Petunjuk cara mempelajari BPM

Agar mendapatkan hasil yang baik, maka Anda harus mempelajari BMPini dengan tahapan sebagai berikut:1. Pelajari modul secara berurutan atau hierarki;2. Pelajari setiap tujuan pada instruksi dari setiap pokok bahasan yang

terdapat di setiap modulnya;3. Pelajari materi yang ada pada setiap modul;4. Kerjakan latihan yang terdapat di setiap modulnya;5. Jika terdapat ada bahan materi yang kurang jelas diskusikan kepada

tutor.

Page 648: Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum Lushiana Primasari, SH, MH

v

PETA KOMPETENSIHukum Pidana Ekonomi/MK HKUM4311

M a ha s i s w a M a mp u M e n j e l a s k a nF u n g s i D a n P e r a n H u k u m S e r t a A r a h K e b i j a k a n

P e mb a n g u n a n E k o n o mi D i I n d o n e s ia

M a ha s i s w a M a mp u M e n j e l a s k a nT i n d a k P i d a n a E k o n o mi

Mahasiswa Mampu MenjelaskanTindak Pidana Pasar Modal

Mahasiswa Mampu MenjelaskanT i n d a k P i d a n a K o r p o r a s i

Mahasiswa Mampu MenjelaskanTindak Pidana Lingkungan

Mahasiswa Mampu MenjelaskanT i n d a k P i d a n a D i B i d a n g P e r p a j a k a n

Mahasiswa Mampu MenjelaskanT i n d a k P i d a n a P e r b a n k a n

Mahasiswa Mampu MenjelaskanTindak Pidana Korupsi

Mahasiswa Mampu MenjelaskanTindak Pidana Pencucian Uang

TIUMahasiswa Mampu Menjelaskan

Seluk beluk dan karakteristik bidang-bidang hukum pidana ekonomi di Indonesia

TIK