genjring bonyok dan tardug - · pdf filebapak prof. dr. dr. syahril pasaribu, dtm&h,...

350
i GENJRING BONYOK DAN TARDUG DI SUBANG JAWA BARAT: KAJIAN KONTINUITAS, PERUBAHAN, DAN STRUKTUR PERTUNJUKAN TESIS Oleh ADE HERDIJAT NIM : 107037002 PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012

Upload: hoangthuan

Post on 05-Feb-2018

395 views

Category:

Documents


41 download

TRANSCRIPT

i

GENJRING BONYOK DAN TARDUG DI SUBANG JAWA BARAT:

KAJIAN KONTINUITAS, PERUBAHAN, DAN STRUKTUR PERTUNJUKAN

TESIS

Oleh

ADE HERDIJAT NIM : 107037002

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012

ii

GENJRING BONYOK DAN TARDUG DI SUBANG JAWA BARAT:

KAJIAN KONTINUITAS, PERUBAHAN, DAN STRUKTUR PERTUNJUKAN

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh

ADE HERDIJAT NIM : 107037002

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012

iii

Judul Tesis : GENJRING BONYOK DAN TARDUG DI SUBANG JAWA BARAT: KAJIAN KONTINUITAS, PERUBAHAN DAN STRUKTUR PERTUNJUKAN Nama : Ade Herdijat Nomor Pokok : 107037002 Program studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. Dr. Budi Agustono, S.U. NIP. 196512211991031001 NIP. 196008051987031001 __________________________ ______________________________ Ketua, Anggota, Program Studi Magister ( S2 ) Fakultas Ilmu Budaya Penciptaan Dan Pengkajian Seni Dekan, Ketua,

Drs. Irwansyah, M.A. Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 196212211997031001 NIP. 195110131976031001

Tanggal Lulus :

Telah diuji pada : Tanggal :

iv

PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS

Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. (..............................................)

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. (..............................................)

Anggota I : Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. (..............................................)

Anggota II : Dr. Budi Agustono, S.U. (.............................................)

Anggota III : Dra. Rithaony, M.A. (..............................................)

Telah diuji pada Tanggal... . . . . . . .. . . . . . . . .. . . . . .

v

ABSTRACT

This research aim to analyze of genjring bonyok and tardug continuities, changes, and

performing structure, in Sundanese ethnis cultural in West Java. To analyze of these two art genres I use continuities and changes theory. In the other hand, to analyze the performing art structure I use semiotic and weighted scale theories. Then, I use qualitative research in this study, based on field work method.

The tardug (genjring bonyok) art, exist in 2000-s. Before this art developing in the Subang society, they have some arts, which parts of continuities and changes of them. This arts genre are: genjring sholawat, rudat, adem ayem, and genjring bonyok.

When viewed from the aspects of development that include forms of presentation, art materials, tools, community support, and future growth, arts that seems to have a relationship historically. Art genjring gederan known since 1960, have similarities in terms of the use of instruments and techniques of the art rudat wasps. Both types of art does not have pitched instrument that plays the melody. Then after entering instrument tarompet, around 1969 as a carrier melodic songs, this art is known as genjring bruised. Not long after kawih elements come around 1987. In line with the wishes of the market, the next development, the songs in the arts genjring bruised dominated by songs dangdut style. But still limited to traditional dangdutan songs, which can be accompanied by musical instruments that exist as well as the technical ability kawih vocal interpreter. With the increasing demand of modern dangdut songs were applying diatonic scales, to accompany the songs needed musical instruments and singers in diatonic scales that can chant. Then in 2000 the guitar's entry into the art tardug. The structure of the show is to do with the opening stages, content, and closing. The structure of the melody based on the pentatonic Sundanese system and then developing into diatonic. Key words: continuity, change, genjring bonyok, tardug, dangdut.

vi

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kontinuitas, perubahan, dan struktur pertunjukan

genjring bonyok dan tardug, yang terdapat di dalam kebudayaan etnik Sunda di Subang Jawa Barat. Untuk mengkaji kontinuitas dan perubahan seni ini, penulis menggunakan teori kontinuitas dan perubahan. Di sisi lain, untuk mengkaji struktur pertunjukan (yang di dalmnya mencakup struktur musik) digunakan teori semiotik dan bobot tangga nada (weighted scale). Metode penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan kualitatif dengan fokus pada penelitian lapangan.

Kesenian tardug (genjring dangdut), muncul sekitar tahun 2000-an. Selain kesenian ini, masyarakat Subang sebelumnya telah mengenal beberapa kesenian yang merupakan bahagian dari kontinuitas dan perubahan dengan kesenian tardug seperti genjring sholawat, rudat, adem ayem, dan genjring bonyok. Apabila dilihat dari aspek perkembangannya yang meliputi-bentuk penyajian, materi seni, alat, masyarakat pendukung, dan masa pertumbuhannya, kesenian-kesenian itu nampaknya memiliki hubungan secara historis. Kesenian genjring gederan yang sudah dikenal sejak tahun 1960, memiliki persamaan dalam hal penggunaan alat musik serta teknik tabuhan dengan kesenian rudat. Kedua jenis kesenian ini tidak memiliki alat musik bernada yang memainkan melodi lagu. Kemudian setelah masuk alat musik tarompet, sekitar tahun 1969 sebagai pembawa melodi lagu, kesenian ini dikenal dengan nama genjring bonyok. Tidak lama kemudian masuklah unsur kawih sekitar tahun 1987. Sejalan dengan keinginan pasar, pada perkembangan selanjutnya, lagu-lagu dalam kesenian genjring bonyok didominasi oleh lagu-lagu yang bergaya dangdut. Namun masih terbatas pada lagu-lagu dangdutan tradisional, yang bisa diiringi oleh alat-alat musik yang ada serta kemampuan teknik vokal juru kawihnya. Dengan meningkatnya permintaan lagu dangdut modern yang bersistem tangga nada diatonis, maka untuk mengiringi lagu-lagunya diperlukan alat musik yang bertangga nada diatonis dan penyanyi yang mampu melantunkannya. Maka pada tahun 2000-an masuk instrumen gitar ke dalam kesenian tardug. Struktur pertunjukan dilakukan dengan melalui tahapan pembukaan, isi, dan penutup. Struktur melodinya berdasar kepada sistem pentatonik Sunda dan kemudian berkembang ke diatonik. Kata-kata kunci: kontinuitas, perubahan, genjring bonyok, tardug, dangdut.

vii

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan baik. Shalawat dan

salam penulis haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. yang telah membimbing kita ke jalan

yang di Ridhoi Allah SWT.

Pada kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. sebagai Dekan Fakultas

Ilmu Budaya yang telah memfasilitasi dan memberi sarana pembelajaran sehingga penulis

dapat menuntut ilmu di kampus Universitas Sumatera Utara dalam kondisi yang nyaman.

2. Bapak Drs. Irwansyah, M.A., selaku Ketua Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan

Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs.Torang Naiborhu, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister (S2)

Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs.Muhammad Takari., M.Hum., Ph.D., selaku pembimbing Ketua yang telah

memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan hingga selesainya tesis ini serta

membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan.

5. Bapak Dr. Budi Agustono. S.U., selaku pembimbing anggota yang telah memberikan

koreksi dan kontribusinya terhadap hasil penelitian ini.

viii

6. Bapak Drs. Ponisan selaku pegawai administrasi Program Studi Magister (S2) Penciptaan

dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah

membantu dan mendukung kelancaran administrasi.

7. Seluruh Dosen yang telah menyumbangkan pengetahuannya saat perkuliahan di Program

Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya universitas

Sumatera Utara.

8. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan

Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara angkatan ke 2 tahun

2010 yang telah memberi dorongan dan motivasi untuk menyelesaikan Tesis ini.

9. Bapak Sutarja, Bapak Edih AS, Bapak Ogut, Bapak Asep Nur Budi, Bapak Odo Wikanda

Warman, Bapak Ida Hidayat, Bapak Nandang Kusnandar selaku informan dan narasumber

yang telah banyak memberi informasi tentang sejarah dan perkembangan tardug di

Kabupaten Subang.

10. Ayahanda Bapak Odo Wikanda Warman, Ibunda E. Fatmawati, abangda Asep Ida Hidayat

S.Sn., serta adinda Iyar Rosliyah S.Psi., yang telah memberikan dukungan moril maupun

materil kepada penulis.

11. Istri Siti Wahyuni S.Sn., dan anak-anak tercinta Laras Nauna Izzati Daminiyart serta Dinda

Kania Artadinata yang telah memberikan doa dan motivasinya mulai dari awal sampai

terselesaikannya tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, untuk itu

penulis mengharapkan saran dan kritiknya guna perbaikan selanjutnya.

ix

Semoga karya tulis ini dapat berguna bagi yang lainnya. Amin.

Medan, 2012

Penulis

x

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS DIRI

1. N a m a : Ade Herdijat

2. Tempat / Tanggal Lahir : Subang, 2 September 1970

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. A g a m a : Islam

5. Kewarganegaraan : Indonesia

6. Nomor Telepon : 081265579600 / 085361043900

7. A l a m a t : Jln Dermawan No 7 Teladan Barat Medan

8. P e k e r j a a n : Dosen Luar Biasa Jurusan Etnomusikologi Fakultas Imu Budaya Universitas Sumatera Utara PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar Negeri Salep Subang Lulus Tahun 1983 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Subang Lulus Tahun 1986 3. Sekolah Menegah Atas Negeri 2 Subang Lulus Tahun 1989 4. Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung

Jurusan Karawitan Lulus Tahun 1991 5. Sarjana Seni Jurusan Etnomusikologi

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Lulus Tahun 1997 6. Pasca Sarjana dan Pengkajian Seni

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Lulus 2012

xi

PENGALAMAN KERJA Tahun 1993 – sekarang

Dosen Luar Biasa Musik Sunda Jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Tahun 1997 s/d 1998

Aerowisata Catering Service

Tahun 1998 s/d 2002 Yayasan Amanah Bangsa Rumah Singgah Amanah Putra

Tahun 2002 s/d 2005

CV Serasi, Bandara Polonia Medan.

Tahun 2005 s/d 2007 Departemen Sosial Republik Indonesia Tsunami aceh – Banda Aceh Bekerja sama dengan Save The Children dan Unicef Proyek Children Centre dan pendataan anak korban DOM dan Tsunami

Tahun 2007 s/d saat ini

Perguruan Al Fakhri Yabsu – Sumut Allianz insurance

Tahun 2011 s/d saat ini

Yayasan Khairul Imam – mengajar bidang studi Seni Budaya & Keterampilan

xii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang

pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang

lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Medan, Ade Herdijat NIM 107037002

xiii

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ ii ABSTRACT ............................................................................................ iv INTISARI ............................................................................................... v PRAKATA ............................................................................................... vi DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................. ix HALAMAN PERNYATAAN ................................................................ xi DAFTAR ISI............................................................................................ xii DAFTAR TABEL........................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR........................................................................... xvii DAFTAR BAGAN........................................................................... xviii BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 24 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 25

1.3.1 Tujuan .................. ........................................................ 25 1.3.2 Manfaat ......................................................................... 25 1.4 Tinjauan Pustaka .................................................................... 26 1.5 Konsep .................................................................................... 29 1.5.1 Genjring Bonyok ........................................................... 29 1.5.2 Tardug ........................................................................... 31 1.5.3 Kajian musik, manusia,teks dan konteks ................. 31 1.5.4 Kajian ........................................................................... 35 1.5.5 Kontinuitas ..................................................................... 35 1.5.6 Perubahan ...................................................................... 36 1.5.7 Struktur .......................................................................... 36 1.5.8 Pertunjukan dan seni pertunjukan tradisi .................... 37 1.5.9 Kajian musik tradisi .................................................... 40 1.5.10 Seni ............................................................................... 48 1.6 Landasan Teori ...................................................................... 54 1.6.1 Teori kontinuitas dan perubahan ................................. 54 1.6.2 Teori semiotik seni pertunjukan .................................. 60 1.6.3 Teori Weighted Scale .................................................... 66 1.7 Metode Penelitian .................................................................. 66 1.8 Sistematika Penulisan ............................................................ 70

xiv

BAB II. DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN .......................... 72 2.1 Masyarakat Sunda Dan Kebudayaannya ................................ 73 2.2 Kabupaten Subang .................................................................. 86 2.2.1 Letak geografis kabupaten Subang ............................... 89 2.2.2 Demografi dan pemerintahan ........................................ 92 2.2.3 Sejarah singkat Kabupaten Subang .............................. 94 2.2.4 Pengaruh budaya Hindu, Budha, dan Peradaban Islam.. 96 2.2.4.1 Pengaruh budaya Hindu dan Budha .................. 96 2.2.4.2 Islam di daerah Subang .................................. .103

2.3 Masa Kolonialisme Belanda dan Inggris ............................ . 108 2.4 Kesenian Rakyat di Kabupaten Subang ................................ 115 2.5 Budaya Hajatan Pada Masyarakat Subang ........................... 117 2.6 Masyarakat Sunda di Desa Cidadap ..................................... 125

BAB III KONTINUITAS DAN PERUBAHAN GENJRING BONYOK DAN TARDUG ........................................................................ 135 3.1 Latar Belakang Kontinuitas dan Perubahan .. ...................... 135 3.2 Wali Songo di Tanah Jawa dan Tatar Sunda ....................... 136 3.3 Islam di Tatar Sunda ............................................................ 141 3.4 Sejarah Genjring Bonyok di Desa Cidadap ......................... 144 3.4.1 Perkembangan Genjring Sholawat menjadi Genjring Bonyok .............................................................. 148 3.4.2 Peranan Kelompok Sinar Pusaka dalam membentuk dan mengembangkan kesenian ........................................... .... 153 3.4.3 Ensambel ...................................................................... 162 3.4.3.1 Genjring .............................................................. 163 3.4.3.2 Bedug ................................................................. 165 3.4.3.3 Tarompet ............................................................. 168 3.4.3.4 Goong .................................................................. 169 3.4.3.5 Kecrek ................................................................. 172 3.5 Deskripsi Peranan Instrumen Musik Genjring Bonyok ......... 173 3.6 Seni Tardug ........................................................................... 175 3.6.1 Asal usul kesenian Tardug.......................................... 176 3.6.2 Pendukung kesenian Tardug ................................. 185 3.6.3 Perkembangan kesenian Tardug ................................. 186 3.6.4 Penyebaran kesenian Tardug ...................................... 195 3.6.5 Masyarakat pendukung ................................................ 197 3.7 Analisis Kontinuitas dan Perubahan yang Terjadi ................ 198 3.7.1 Kontinuitas ................................................................... 200 3.7.2 Perubahan ..................................................................... 201

xv

3.8 Guna dan Fungsi Genjring Bonyok dan Tardug..................... 205 3.8.1 Pengertian guna dan fungsi dalam disiplin Etnomusikologi ............................................................ 206 3.8.2 Penggunaan Genjring Bonyok dan Tardug ................... 210 3.8.2.1 Upacara pesta kawin......................................... 210 3.8.2.2 Upacara pesta khitan ....................................... 215 3.8.2.3 Ruwatan ........................................................... 216 3.8.2.4 Menyambut tetamu ................................ ......... 217 3.8.2.5 Peresmian ................................................ ......... 217 3.8.3 Fungsi .................................................................. ......... 218 3.8.3.1 Integrasi sosiobudaya ............................. ......... 218 3.8.3.2 Kelestarian budaya .......................................... 219 3.8.3.3 Hiburan ............................................................ 221 BAB IV STRUKTUR PERTUNJUKAN GENJRING BONYOK DAN TARDUG ..................................................................... 224 4.1 Organisasi Genjring Bonyok ........ ........................................ 224 4.1.1 Tugas kelompok pengurus .......................................... 224 4.1.2 Tugas anggota ............................................................. 233 4.1.3 Aktivitas pertunjukan ................................................... 234 4.2 Tempat pertunjukan, Waktu Pertunjukan, dan Teknik Pertunjukan ..................................................................... 235 4.2.1 Tempat pertunjukan ..................................................... 235 4.2.2 Waktu pertunjukan ............................................. ......... 236 4.2.3 Teknik pertunjukan....................................................... 237 4.3 Struktur Lagu Dalam Penyajian Genjring Bonyok dan Tardug............................................................................. 239 4.4 Deskripsi Pelaksanaan Pertunjukan ...................................... 243 4.4.1 Proses persiapan pertunjukan ...................................... 246 4.4.2 Proses pelaksanaan pertunjukan dudukan ......... ........ 248 4.4.3 Proses pelaksanaan pertunjukan arak-arakan .... ........ 250 4.5 Pertunjukan Tardug .............................................................. 252 4.5.1 Pertunjukan Helaran .................................................... 253 4.5.5 Pertunjukan panggung .................................................. 255 BAB V TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIK GENJRING BONYOK DAN TARDUG .......................................................................... 259 5.1 Transkripsi dan Analisis ....................................................... 260 5.2 Metode Transkripsi ............................................................... 261 5.3 Proses Transkripsi ................................................................ 267 5.4 Analisis Sampel Lagu Gederan dan Siuh ............................. 268

xvi

5.4.1 Meter dan Tempo .......................................................... 273 5.4.2 Tangga Nada, Wilayah Nada dan Nada Dasar............... 276 5.4.3 Pola Kadensa ................................................................. 279 5.4.4 Pola ritme instrumen musik dan non-melodis .......... 280 5.4.5 Formula melodi ............................................................ 282 5.4.6 Kontur ........................................................................... 288 5.5 Analisis Teks Lagu Pemuda Idaman ...................................... 293 BAB VI PENUTUP .............................................................................. 300 6.1 Kesimpulan ........................................................................... 300 6.2 Saran ...................................................................................... 305 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 307 LAMPIRAN 1 : DAFTAR INFORMAN ................................................. 314 LAMPIRAN 2 : LAGU GEDERAN, SIUH DAN PEMUDA IDAMAN ....................................................................... 318

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pesta Kesenian Rakyat kabupaten Subang ............................................116

Tabel 2.2 Jenis Penggunaan Tanah Desa Cidadap .................................................125

Tabel 2.3 Mata Pencaharian Pokok Masyarakat Desa Cidadap ............................130

Tabel 3.1 Perbedaan Struktur Pertunjukan Genjring .............................................152

Tabel 3.2 Perbandingan jenis kesenian ..................................................................183

Tabel 3.3 Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden ...............185

Tabel 3.4 Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden ...............197

Tabel 4.5 Daftar Beberapa Judul Lagu Genjring Bonyok ....................................242

Tabel 4.6 Perbandingan Struktur Lagu Genjring Bonyok Dalam Dudukan dan

Arak-arakan ............................................................................................245

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Lukisan Sunan Gunung Jati ..............................................................144

Gambar 3.2 Alat Musik Genjring (Rebana) ......................................................146

Gambar 3.3 Instrumen Genjring dan Posisi Memainkannya ..............................106

Gambar 3.4 Instrumen Bedug ................................................................................167

Gambar 3.5 Instrumen Bedug dan Posisi Memainkannya ...................................167

Gambar 3.6 Instrumen Tarompet dan Pemainnya ...............................................169

Gambar 3.7 Pemain Goong dalam Posisi dudukan ..............................................171

Gambar 3.8 Pemain Goong dalam Posisi arak-arakan .......................................171

Gambar 3.9 Pemain Kecrek dalam Posisi dudukan .............................................172

Gambar 3.10 Gitar Melodi dan Ritme pada Seni Tardug.....................................187

Gambar 3.11 Gitar Bas pada Seni Tardug .............................................................187

Gambar 3.12 Genjring ............................................................................................189

Gambar 3.13 Kendang ............................................................................................190

Gambar 3.14 Goong ................................................................................................191

Gambar 3.15 Simbal dan Kecrek ...........................................................................192

Gambar 3.16 Snare dan Drum ................................................................................193

Gambar 3.17 Bedug ................................................................................................194

Gambar 3.18 Bangsing ...........................................................................................195

Gambar 4.1 Sutarja, Pimpinan Genjring Bonyok Sinar Pusaka di

Desa Cidadap Subang Jawa Barat .....................................................225

Gambar 4.2 Struktur Organisasi Genjring Bonyok Sinar Pusaka ........................226

Gambar 4.3 Genjring Bonyok dalam Pertunjukan Arak-arakan ..........................239

Gambar 4.4 Genjring Bonyok dalam Pertunjukan Dudukan ................................239

Gambar 4.5 Pertunjukan Kesenian Tardug ...........................................................253

Gambar 4.6 Alat-alat Musik Tardug ......................................................................258

Gambar 4.7 Penyanyi Wanita pada Seni Pertunjukan Tardug .............................258

xix

DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1 Kontinuitas dan Perubahan Genjring Bonyok ke Tardug dalam Budaya Sunda .............................................................................223 Bagan 4.1 Struktur Organisasi Genjring Bonyok Sinar Pusaka ............................229

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari berbagai kelompok etnik,

yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Di negara ini terdapat berbagai suku

seperti Aceh, Alas, Gayo, Melayu, Mandailing, Batak Toba, Simalungun,

Minangkabau, Ambon, Papua, Jawa, Sunda, dan lain-lainnya. Setiap kebudayaan

etnik ini biasanya memiliki bahasa dan keseniannya sendiri.

Kesenian etnik yang ada di Indonesia biasanya mengalami perubahan dan

kontinuitas sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sosial budaya yang terjadi di dalam

kebudayaan etnik bersangkutan. Misalnya dalam kebudayaan Batak terdapat tradisi

musik tiup, yang merupakan perubahan dan kontinuitas dari tradisi musik

tradisional gondang dan mengalami akulturasi dengan musik brass Eropa. Begitu

juga dengan genre musik campur sari dalam kebudayaan Jawa, yang meneruskan

tradisi musik gamelan yang dipadu dengan musik dangdut, populer, dan Eropa.

Dalam kebudayaan Sunda dikenal genre seni pertunjukan tardug (gitar bedug) yang

merupakan hasil dari perubahan dan kontinuitas dari genjring bonyok.

Perubahannya disebabkan oleh faktor fungsi seni pertunjukan yang berkembang di

dalam masyarakat Sunda. Seni ini berkembang di daerah Subang dan sekitarnya.

Genre ini menjadi fokus kajian penulis di dalam tesis ini.

Seni pertunjukan genjring bonyok dan tardug, sangat menarik untuk dikaji

berdasarkan perspektif sejarah. Secara umum, sejarah kesenian di Indonesia

2

memiliki periodisasi atau pembabakan yang hampir sama. Masyarakat di Nusantara

ini menapaki masa animisme dan dinamisme sampai abad pertama Masehi.

Kemudian mereka menjalani pengaruh kebudayaan Hindu dan Buddha dari abad

pertama sampai ke-13. Selanjutnya sejak abad ke-13 datanglah pengaruh Islam.

Kemudian sejak awal dekade abad ke-16 datanglah pengaruh budaya Barat melalui

Portugis, Belanda, dan Inggris. Kemudian di abad ke-20 pertengahan masuklah

masa kemerdekaan (lihat bandingannya dengan Holt, 1987). Dalam konteks ini

genjring bonyok dan tardug sangat kuat mengekspresikan peradaban Islam dalam

kebudayaan Sunda. Hal ini tercermin dari penggunaan teks yang temanya adalah

agama Islam, penggunaan genjring itu sendiri yaitu gendang rebana yang khas

peradaban musik Islam, serta konteks fungsionalnya untuk upacara yang berkaitan

dengan agama Islam, seperti khitanan, perkawinan, menyambut hari besar Islam,

dan kemudian berkembang sebagai hiburan.

Secara wilayah budaya, suku Sunda sebahagian besar bermukim di Jawa

Barat. Pada masa kini, Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang memiliki

beraneka-ragam jenis kesenian. Jenis-jenis kesenian tersebut awalnya tumbuh dan

berkembang di dalam lingkungan masyarakat yang terdiri dari tripartit strata sosial,

yang disebut sebagai menak, somah, dan buruh.1 Ketiga strata sosial pada

1 Golongan elit bangsawan atau menak adalah golongan yang terdiri dari orang-orang

pribumi (orang Sunda) yang bekerja pada pemerintahan Belanda. Biasanya mereka adalah warga masyarakat yang mempunyai kedudukan sebagai bangsawan. Somah adalah rakyat biasa yang tidak bekerja untuk Belanda. Sedangkan buruh atau budak adalah warga masyarakat yang bekerja untuk pemerintah Belanda, dengan spesifikasi kerjanya pada pekerjaan kasar atau buruh kasar (lihat Edi S. Ekadjati, dalam bukunya yang bertajuk Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, yang diterbitkan di Bandung oleh Girimukti Pasaka, tahun 1984). Sementara di dalam kebudayaan Jawa dikenal juga tripartit strata sosial yang disebut dengan: (a) santri atau kaum alim-ulama yang menguasai dan menghayati ajaran-ajaran Islam secara kaffah, (b) priyayi, yaitu orang Jawa yang merupakan golongan bangsawan atau para kaum ekonomi tingkat atas, dan (c) abangan, yaitu kelas bawahan yang tidak begitu kuat dalam menjalankan ajaran agama.

3

masyarakat Sunda inilah yang pada akhirnya memberikan sumbangan kesenian

yang beraneka ragam di Provinsi Jawa Barat, karena setiap strata sosial tersebut

mengembangkan jenis keseniannya masing-masing. Walaupun pada saat ini ketiga

strata sosial tersebut tidak sepenuhnya lagi dipergunakan dalam kehidupan

masyarakat Sunda, tetapi pengaruhnya masih dapat dilihat dalam berbagai genre

kesenian yang ada di Jawa Barat, termasuk genjring bonyok yang kemudian

berkembang menjadi tardug.

Kondisi kesenian di Jawa Barat pada saat ini semakin pesat berkembang

seiring dengan kebutuhan dan kreativitas masyarakat terhadap kesenian. Jika

dilihat secara kuantitatif, kondisi kesenian yang mengalami pertumbuhan dan

perkembangan yang pesat secara kuatitatif adalah jenis kesenian yang pada

awalnya berkembang dari kalangan rakyat biasa. Sementara itu pada kesenian yang

berasal dari kalangan somah perkembangan tersebut lebih bersifat kualitatif. Hal

ini antara lain disebabkan adanya kelompok masyarakat, yang masih

mempertahankan nilai-nilai tradisi kesenian yang berasal dari golongan tersebut.

Secara etimologi nama genjring bonyok berasal dari dua kata, yaitu

genjring dan bonyok. Genjring berarti sebuah alat musik frame drum

(rebana), baik yang memakai asesoris kecrek (lempengan logam) maupun tidak,

alat musik ini merupakan salah satu instrumen pendukung yang menjadi ciri khas

kesenian genjring bonyok.

Adapun istilah bonyok dalam bahasa Sunda tidak memiliki arti harfiah,

namun menurut informan (Sutarja), kata bonyok berasal dari nama sebuah dusun,

yaitu Dusun Bonyok yang berdampingan dengan Desa Cidadap, di Subang, Jawa

4

Barat. Asal-usul digunakan nama genjring bonyok muncul kira-kira pada tahun

1969, tepatnya setelah Sutarja mengajarkan kesenian genjring di dusun tersebut.

Walaupun begitu jika ditelusuri lebih dalam, istilah yang dekat dengan bonyok

dalam bahasa Sunda ronyok artinya adalah berkumpul. Menurutnya pula nama

ini berkonotasi bahwa Jika kesenian genjring ini dimainkan, maka banyak orang

berkumpul untuk menyaksikannya.

Meskipun pada mulanya kedua nama ini (genjring ronyok dan genjring

bonyok) digunakan untuk menamakan satu bentuk kesenian genjring, namun dalam

perkembangannya kesenian ini lebih populer dengan nama genjring bonyok. Seni

pertunjukan ini berlanjut terus hingga sekarang. Bagi masyarakat Sunda di

Kabupaten Subang, memaknai genre seni genjring bonyok sebagai suatu bentuk

kesenian musik genjring yang dipergunakan dalam konteks khitanan, perkawinan,

atau hari-hari nasional dengan tujuan untuk meramaikan dan menghibur.

Sebagai suatu bentuk kesenian, genjring bonyok dapat digolongkan sebagai

seni pertunjukkan yang berakar dari rakyat, dan memiliki arti suatu pengalaman

bersama dalam pertunjukkan musik karena penonton dan pemain langsung

berinteraksi, yang berlaku dalam waktu dan secara teknis mengikuti pola-pola yang

berulang. Namun dalam segi-segi tertentu mengalami perubahan (Sedyawati,

1981:60).

Pertunjukan genjring bonyok biasanya dilaksanakan dengan melibatkan

ekspresi penonton yang mereka hibur. Dalam arti penonton melibatkan diri dalam

pertunjukan dengan langsung meminta agar dimasukan lagu-lagu yang mereka

inginkan dan juga melakukan tarian secara bersama-sama. Tidak jarang pula

5

pertunjukan ini dapat membuat mereka mengalami trance. Oleh karena itu,

dalam pendekatan seni pertunjukan, genjring bonyok merupakan bentuk seni

pertunjukan yang melibatkan pengalaman bersama antara pemusik dan penonton.

Unsur-unsur musik, seperti komposisi lagu biasanya juga dimainkan dalam

bentuk kesenian lain seperti Kliningan, Ketuk Tilu, Sisingaan,

Gembyung, dan lain-lain. Dengan demikian tema-tema lagu yang disajikan

berangkat dari tema-tema yang telah dikenal luas oleh masyarakat Sunda.

Keberadaan unsur-unsur musik ini akan dijelaskan dengan pendekatan

musik rakyat (folk music), dimana secara alamiah genjring bonyok adalah

kesenian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sunda, oleh karenanya

kondisi masyarakat sangatlah besar artinya bagi perkembangan dan kelanjutan

kesenian ini. Fenomena ini pula yang menjadikan genjring bonyok setiap waktu

yang diinginkan masyarakat dapat mengalami perubahan baik dari segi konteks

penyajian, alat-alat musik maupun materi lagu-lagunya.

Jika dilihat dari proses perkembangannya, genjring bonyok merupakan

kesenian yang mengadopsi instrumen musik genjring dan bedug, yang telah

dipergunakan dalam kesenian genjring yang ada sebelumnya, seperti genre

genjring sholawat, genjring rudat, dan adem ayem.2 Ketiga jenis kesenian ini telah

2Yang dimaksud (1) genjring sholawat atau genjring umbul-umbul, adalah jenis kesenian

genjring yang digunakan untuk mengiringi arak-arakan pengantin atau anak yang akan disunat. Dalam penyajian musiknya, kesenian ini menggunakan instrumen musik genjring dan bedug dengan lagu-lagu yang bernafaskan agama Islam (pupujian). Istilah umbul-umbul dipergunakan karena selain menggunakan ensambel musik, arak-arakan tersebut juga diiringi dengan penggunaan umbul-umbul. (2) Rudat adalah jenis kesenian genjring yang dipagelarkan untuk mempertontonkan atraksi pencak silat, dengan iringan instrumen musik genjring dan bedug, serta lagu-lagu yang bernafaskan agama Islam {pupujian). (3) Adem Ayem adalah jenis kesenian yang mempagelarkan adegan-adegan akrobatik, dengan iringan genjring dan bedug, serta lagu-lagu yang bernafaskan agama Islam {pupujian).

6

lama dikenal masyarakat sebagai kesenian yang umumnya menggunakan instrumen

musik genjring dan bedug. Dan pada umumnya pula ketiga kesenian ini sama-sama

menyajikan materi-materi lagu pupujian (lagu-lagu yang bernafaskan agama

Islam).

Diawali dari proses pengadopsian instrumen genjring dan bedug, kesenian

genjring bonyok pun berkembang ditandai dengan penambahan sejumlah instrumen

musik lainnya. Seiring dengan itu kesenian ini pun tidak saja mengalami

perkembangan dalam penggunaan instrumen musiknya, tetapi juga dalam segi

teknik permainan, komposisi lagu, konteks penggunaan, dan teknik penyajiannnya.

Karakteristik kesenian genjring bonyok nampak pada penambahan

instrumennya, yang terdiri dari: empat buah genjring (frame drum), sebuah

bedug (conical single head drum), sebuah tarompet (double reed

aerophone), sebuah kecrek (stemped-idiophone), dan dua buah goong

(suspended gong). Penyajian dari seluruh ensambel ini hanya memainkan

jenis musik instrumental, dan ini sangat jelas berbeda dari jenis kesenian genjring

yang telah ada sebelumnya.

Dalam segi teknik permainan instrumen musik, genjring bonyok

mempunyai teknik dan gaya permainan yang berbeda dari jenis kesenian genjring

yang lain. Ciri khas ini terutama menonjol pada permainan bedug dan salah satu

genjringnya yang berfungsi mengisi pola-pola ritmis yang bervariasi.

Adapun dari segi komposisi musik, genjring bonyok menyajikan musik

instrumental yang komposisinya diadopsi dari lagu-lagu rakyat tradisional Sunda,

7

seperti yang terdapat pada kesenian adem ayem, kliningan, ketuk iilu, pencak silat,

dan sebagainya. 3 Keadaan ini sangat jelas meperlihatkan perbedaan karakter

genjring bonyok dengan kesenian genjring yang lain. Karena kesenian genjring

yang lain hanya memainkan lagu-lagu yang bertemakan ajaran Islam.

Dari segi konteks penggunaan dalam masyarakat, genjring bonyok juga

mengalami perkembangan yang berbeda dengan konteks penggunaan jenis

kesenian genjring yang telah disebutkan di atas. Genjring sholawat misalnya,

hanya khusus digunakan pada upacara khitanan, perkawinan, dan khataman Al-

Qur’an. Sedangkan genjring rudat dan adem ayem khusus digunakan dalam

hiburan massa yang bersifat tontonan, dan tidak berkaitan dengan konteks suatu

upacara keagamaan seperti fungsi genjring sholawat.

Adapun genjring bonyok tidak saja dipergunakan dalam konteks yang

berkaitan dengan suatu upacara, melainkan juga dalam konteks hiburan massa yang

bersifat tontonan. Oleh sebab itu di dalam masyarakat genjring bonyok tidak saja

dipergunakan pada acara nyunatan (khitanan) dan ngawinkeun

(pernikahan), dan ruwatan (upacara selamatan bumi), tetapi juga sebagai

hiburan dalam acara hari-hari nasional dan perayaan desa.

Fenomena perkembangan kesenian tradisi rakyat yang pesat ini dapat

dilihat di daerah Kabupaten Subang, Jawa Barat. Subang sangat kaya dengan

keanekaragaman jenis kesenian. Berdasarkan data pada peta kesenian Kabupaten

Subang, daerah ini tercatat memiliki lebih-kurang 54 jenis kesenian. Di antara 54

3Ketuk Tilu adalah jenia tari yang diiringi tiga buah Ketuk, Rebab, Kendang, Saron,

dan Gong. Kliningan adalah penyajian sekaran (vokal grup) yang diiringi Gamelan. Adapun Pencak Silat merupakan seni bela diri yang diiringi dengan genjring dan tarompet (pupujian).

8

jenis kesenian tersebut beberapa kesenian yang mengalami perkembangan pesat,

diantaranya adalah genjring bonyok.

Secara umum kesenian ini dikenal luas sebagai kesenian genjring yang

berasal dari wilayah Kabupaten Subang. Pada umumnya bagi masyarakat Subang,

genjring bonyok adalah suatu bentuk kesenian musik genjring yang sering

dipergunakan sebagai hiburan dalam acara khitanan, perkawinan, ruwatan

(selamatan), atau pada hari-hari nasional.

Pertunjukan genjring bonyok adalah satu genre musik Islam dalam

kebudayaan Sunda yang biasanya digunakan dan menyatu dengan budaya Sunda

yang didasari oleh peradaban Islam. Kesenian ini lazim digunakan dalam berbagai

kegiatan yang bercorak kebudayaan Islam, seperti untuk upacara maulid Nabi

Muhammad, upacara perkawinan, khitanan, tahun baru Islam, dan lainnya. Dalam

perkembangannya musik ini kemudian mendapat sentuhan budaya populer dan

melahirkan genre yang disebut tardug (kependekkan dari gitar dan bedug) sejak

tahun 2006 hingga sekarang ini, 2012. Sebagai pusat persebaran kesenian ini adalah

di kawasan Subang Jawa Barat.

Kemudian dalam perkembangan berikutnya genre musik ini berkembang

pula menjadi tardug (akronim dari gitar dan bedug). Genre ini menggunakan vokal

dan yang utama adalah gitar, dan tetap menggunakan instrumen gitar bas, kendang,

genjring, bedug, terompet, kercek, dan goong.

Perkembangan genjring bonyok ke tardug ini terjadi karena perubahan

keperluan estetis masyarakat Sunda di Subang. Perubahan yang terjadi adalah

memperluas peralatan musik juga memperluas cakupan lagu-lagu dan mengadopsi

berbagai genre seni lainnya. Bahkan di tahun 2012 ini, tardug ini lazim pula

9

digabungkan dengan jaipongan yang disebut dengan tardug jaipongan. Seperti

diketahui bahwa jaipongan adalah satu genre seni pertunjukan tradisional Sunda

lainnya yang muncul berabad-abad waktu yang lalu. Seni ini melibatkan penari

yang dibayar melalui saweran oleh penonton yang ikut menari bersama.

Genre tardug jaipongan juga melibatkan pemusik dan penari dalam jumlah

yang relatif besar yaitu sekitar 30 orang yang honorariumnya tergantung dari si

pengundang dan hasil saweran penonton. Honorarium mereka sekali manggung

menurut keterangan para informan rata-rata per orang adalah Rp 100.000 (seratus

ribu rupiah) lain dengan sawerannya. Jadi sekali pertunjukan mereka rata-rata

dibayar sekitar Rp 3.000.000 juta dalam satu grup dan lain dengan hasil pemberian

para penonton.

Perubahan yang terjadi dari genjring bonyok ke tardug adalah dari segi

fungsional. Kalau genjring bonyok awalnya lebih mengutamakan fungsi religius

yaitu keagamaan Islam, maka pada tardug ini yang terjadi adalah “desakralisasi”

genjring bonyok ke arah yang lebih profan dan lebih berfungsi hiburan dibanding

fungsi awalnya yang lebih menekankan religi. Inilah yang menarik dari proses

perubahan yang terjadi.

Selain perubahan, maka aspek yang tidak bisa dipungkiri adalah

kesinambungan atau kontinuitas dari genjring bonyok ke tardug. Di antara yang

terus berlanjut adalah lagu-lagu yang ada di genjring bonyok terus dilakukan di

tardug. Selain itu gaya penyajian dengan melibatkan penyanyi, pemusik, dan

penari. Alat-alat musik tetap digunakan namun diperluas lagi dengan tambahan-

tambahan alat-alat musik lain.

10

Adapun struktur pertunjukan mengalami kontinuitas dan perubahan juga.

Dalam tradisi genjring bonyok, struktur pertunjukan biasanya dimulai dengan

instrumentalia yang disebut Gederan. Selanjutnya dipertunjukkan lagu yang disebut

Kembang Gadung, sebagai lagu pembuka yang ditujukan kepada Tuhan Yang

Maha Kuasa agar pertunjukan mendapat ridha-Nya. Kemudian pada pertunjukan

berikutnya adalah pertunjukan ketuk tilu yang dinyanyikan oleh penyanyi (sindhen)

dan juga penonton, yang juga melibatkan aspek tarian. Kemudian lagu-lagu

permintaan dari penonton. Biasanya adalah lagu tradisional Sunda. Setelah para

seniman, tuan rumah, dan penonton merasa cukup maka pertunjukan diberhentikan.

Demikian pola pertunjukan genjring bonyok dari tahun 1969 sampai sekarang.

Namun fungsi genjring bonyok ini sejak 2006 digantikan oleh tardug.

Sama dengan pertunjukan genjring bonyok, pola pertunjukan tardug juga

dimulai dari permaian pembukaan dengan pertunjukan Gederan yang disajikan

secara instrumentalia. Kemudian pertunjukan lagu Kembang Gadung yang

melibatkan pemusik dan penyanyi saja, belum melibatkan tarian, yang

dipersembahkan untuk Tuhan Yang Maha Kuasa, agar pertunjukan ini direstui dan

diridhai-Nya. Selepas itu adalh pertunjukan lagu-lagu dan tarian secara bebas sesuai

dengan permintaan penonton, bisa lagu tradisi Sunda, lagu dangdut, lagu populer

Sunda, lagu populer Indonesia, atau lagu etnik di luar Sunda seperti Jawa,

Minangkabau, Karo, dan lainnya. Barulah setelah mereka semuanya merasa puas,

pertunjukan pun ditutup.

Yang menarik dari proses perubahan dan kontinuitas genre-genre seni

tersebut adalah aspek mengikuti selera pasar (masyarakat) dan perkembangan

zaman atau globalisasi. Masyarakat Sunda khususnya di Subang menyadari

11

perlunya pengembangan-pengembangan seni supaya fungsional dalam kebudayaan.

Demikian juga terhadap seni di atas. Selain itu, masyarakat Sunda di Subang

menyadari perlunya mengadaptasuikan kebudayaan secara kewilayahan, nasional,

dan internasional. Perubahan-perubahan yang terjadi juga tidak meninggalkan

kontinuitasnya. Dalam konteks di atas, unsur budaya Islam, Sunda, dan Dunia

muncul sekali gus dalam genre ini. Yang menarik adalah bagaimana orang-orang

Sunda mengolah semua kebudayaan ini dalam genre tardug. Lihat proses

kontinuitas dan perubahan yang terjadi dalam kesenian ini pada uraian berikut ini.

(a) Masa animisme dan dinamisme, sejak adanya orang Sunda sampai abad

pertama Masehi; pada masa ini diperkirakan telah muncul tangga-tangga nada

pelog dan salendro, ritual ditujukan untuk menghormati roh-roh nenek moyang

dan roh-roh penghuni di berbagai tempat di alam ini;

(b) Masa Hindu dan Buddha dari abad pertama sampai ketiga belas; masa ini

meneruskan apa yang terjadi pada masa animisme dan dinamisme namun

kemudian diselaraskan dengan ajaran Hindu yang mengenal Tuhan dalam

bentuk Trimurti, yaitu Wisnu, Brahma, dan Syiwa. Pengaruh Buddha juga

wujud dalam ajaran sinkretik Tantraisme. Pada masa ini wujud tarian-tarian

yang bersifat dan berfungsi untuk pemujaan di rumah-rumah ibadah.

(c) Masa Islam dari abad ketiga belas. Pada masa inilah dimulainya seni-seni Islam

seperti sholawatan, adem ayam, rudat, dan lainnya. Ciri utama seni Islam ini

adalah pada penggunaan alat musik rebana (dalam bahasa Sunda genjring).

Begitu juga dengan alat musik bedug. Fungsi utama seni Islam adalah untuk

dakwah dan komunikasi ajaran Islam, juga untuk memperkuat nilai-nilai

keislaman di tengah-tengah masyarakat Sunda.

12

(d) Kemudian sejak abad ketujuh belas masuklah pengaruh Eropa melalui penjajah

Belanda dan Inggris. Di masa ini masyarakat Sunda sudah mulai mengenal

musik diatonis, gaya pakaian Eropa, dan lainnya, seperti yang dapat dilihat

pengaruhnya pada seni sisingaan.

(e) Berikutnya adalaha masa Indonesia merdeka yaitu sejak tahun 1945 sampai

sekarang. Masa ini terus terjadi kontinuitas adem ayem, rudatan, genjring

bonyok, sholawatan, kemudian terus berkembang menjadi tardug, tardug

dangdut, dan lain-lainnya. Istilah-istilah ini muncul sesuai dengan selera

masyarakat Sunda yang menapaki budayanta dari waktu ke waktu.

Semua proses perubahan dan kontinuitas (kesinambungan) seni-seni

pertunjukan yang terdapat di Indonesia ini tidak terlepas dari proses globalisasi,

yang menekankan kepada ekonomi dan mekanisme pasar. Era globalisasi adalah

era persaingan secara internasional. Di masa ini diperlukan juga jati diri selain

proses akulturasi dalam seni.

Era globalisasi, dengan penyebaran ideologi kapitalisme yang sedemikian

masif, telah menyebabkan terjadinya komodifikasi atas berbagai hal dalam

kehidupan manusia. Sebuah proses ketika setiap obyek, tanda-tanda, diubah

menjadi komoditas. Dalam kondisi demikian, benda-benda dalam masyarakat tidak

lagi dibeli untuk mendapatkan nilai guna, tetapi lebih sebagai tanda komoditas. Di

sini tidak ada benda yang punya nilai esensial. Nilai guna itu sendiri ditentukan

melalui proses pertukaran, yang menyebabkan makna kultural sesuatu lebih

berpengaruh daripada nilai kerja dan utilitasnya (Barker, 2005:145-146).

Dalam dunia seni pertunjukan, termasuk pertunjukan seni tradisi, bentuk-

bentuk komodifikasi secara nyata dapat ditemukan. Seni pertunjukan telah menjadi

13

komoditas layaknya benda yang nilai jualnya juga dinegosiasikan. Seorang pemilik

hajat khitanan atau perkawinan misalnya, menyewa sebuah grup pertunjukan tidak

semata-mata ingin memeriahkan atau menghibur pengunjung yang mendatangi

pestanya. Lebih dari itu, ada makna kultural dan sosial yang lebih penting, yakni

naiknya prestise dan status sosial. Sebagaimana Sutrisno (2007:42) yang

menyatakan bahwa karya-karya seni rupa tradisional banyak mengalami

komodifikasi, yakni suatu proses yang biasanya dikaitkan dengan kapitalisme di

mana objek-objek, kualitas-kualitas dan tanda-tanda dimanipulasi dan diubah

menjadi komoditas dengan tujuan untuk diperjualbelikan.

Saat ini, hampir tidak ada satu pun kesenian tradisi yang mampu

melepaskan diri dari kepentingan komoditas dan ekonomi, termasuk upacara-

upacara ritual yang berkembang menjadi obyek pariwisata, menjadi sebuah pseudo-

ritual (Endang Caturwati, 2004:57). Kesenian tradisional tumbuh dan berkembang

pada masyarakat pendukungnya. Akan tetapi pada perkembangannya saat ini,

sebagian besar masyarakat kurang peduli lagi terhadap kelangsungan hidupnya,

sehingga kesenian tradisional sebahagian besar mendekati ambang kepunahannya,

kecuali yang fungsional dalam masyarakatnya..

Sungguh tidak mudah untuk menjadi kesenian tradisi yang murni, ketika

ideologi kapitalisme telah memasuki desa-desa yang terpencil sekalipun. Ia harus

berhadapan, berlomba bahkan berjuang sedemikian keras melawan industri budaya,

yang secara dominan direpresentasikan oleh budaya populer. Sebagaimana

diungkap oleh Fiske, “… dalam masyarakat kapitalis tidak ada apa yang disebut

sebagai budaya rakyat yang otentik, yang bisa dipakai untuk menakar

14

“ketidakotentikan” budaya massa, sehingga meratapi hilangnya otentisitas adalah

nostalgia romantik yang tak ada gunanya” (Barker, 2005:87).

Seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu keadaaan di mana ia

tumbuh dalam lingkungan etnik yang berbeda satu sama lain. Dalam lingkungan

etnik ini, adat atau kesepakatan bersama yang turun temurun mengenai perilaku,

mempunyai pengaruh yang amat besar untuk menentukan bangkitnya seni

pertunjukan. Peristiwa keadatan merupakan landasan eksistensi yang utama bagi

pergelaran-pergelaran atau pelaksanaan-pelaksanaan seni pertunjukan. Seni

pertunjukan terutama yang berupa tari-tarian dengan iringan bunyi-bunyian sering

merupakan pengembangan dari kekuatan-kekuatan magis yang diharapkan hadir,

tetapi juga tidak jarang merupakan semata-mata tanda syukur pada terjadinya

peristiwa-peristiwa tertentu (Sedyawati, 1981:52-53).

Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat, dan menjadi salah satu

bagian yang penting dari kebudayaan. Kesenian adalah ungkapan kreativitas dari

kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan dengan

demikian juga kesenian, mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara,

menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi

(Umar Kayam, 1981:38-39)

Lebih lanjut Edi Sedyawati, mengemukakan tentang arti pengembangan

sebagai berikut ini.

Adapun yang dimaksud dengan pengembangan sebenarnya mempunyai dua arti yaitu pertama, pengembangan dalam arti pengolahan dan kedua pengembangan dalam arti penyebarluasan: (a) Pengembangan dalam arti pengolahan itu berdasarkan unsur-unsur tradisi yang diberi nafas baru sesuai dengan tingkat perkembangan masa, tanpa mengurangi atau menghilangkan nilai-nilai tradisi. (b) Pengembangan dalam arti penyebarluasan untuk dapat dinikmati

15

diresapi oleh lingkungan mengangkat yang lebih luas (Sedyawati, 1981:39).

Apa yang disebut “seni rakyat”, “lagu rakyat”, atau “tarian rakyat” yang

tidak pernah lagi dikenal penciptanya itu pada mulanya dimulai dari seorang

pencipta anggota masyarakat. Begitu musik atau tarian diciptakan, masyarakat

segera “mengklaim” sebagai miliknya. Termasuk bentuk-bentuk ritual yang telah

disakralkan oleh masyarakat, sebagai adat istiadat milik setempat.

Terkait dengan penciptaan karya seni, Saini (2001:49) menyatakan bahwa

karya seni adalah hasil pendekatan seniman terhadap realitas. Ia adalah hasil

persinggungan bahkan pergulatan kesadaran seniman berupa pemikiran, perasaan

dan khayalan seniman dengan realitas yang menjadi sasaran obsesinya. Terciptanya

sebuah karya seni tidak begitu saja terbentuk, melainkan membutuhkan pemikiran-

pemikiran, perasaan, dan imajinasi yang tinggi dan diproses menjadi sebuah karya.

Mengenai defenisi dan konsep tentang seni tradisional, Rohidi (2000:209)

mengungkapkan sebagai berikut.

Kesenian tradisional adalah kesenian yang bersifat lokal. Kesenian lokal adalah jenis kesenian yang hidup dominan dikalangan suku bangsa tertentu. Kesenian jenis ini sering kali menjadi bagian dari kehidupan secara menyeluruh (dalam upacara-upacara ritual kehidupan). Di antara sesama warga masyarakat yang terisolasi (atau mengisolasikan diri). Kesenian mereka sering kali juga disebut kesenian “primitif”. Kesenian lokal yang juga hidup pada masyarakat tertentu yang telah mengalami kontak dengan masyarakat dan kebudayaan lainnya (asing/tetangga), juga karena kemampuan masyarakat yang bersangkutan, mereka bisa menyerap nilai-nilai kebudayaan lain. Melalui perjalanan sejarah yang panjang dan nilai-nilai perpaduan itu terwujud dalam corak ekspresi kesenian yang khas, telah dialihwariskan dari generasi satu kegenerasi berikutnya, sehingga menjadi bagian dari kehidupan berkeseniannya. Kesenian lokal semacam ini secara umum dikenal sebagai kesenian tradisional.

16

Seperti apa yang dikemukakan dari kutipan di atas, bahwa kesenian

tradisional merupakan hasil buah cipta kebudayaan masyarakat sebagai ungkapan

kehidupan sosial di suatu daerah tertentu yang membutuhkan waktu cukup lama

baik dalam penciptaannya sampai penyebarannya hingga mengalami pewarisan

secara turun-temurun dari generasi ke generasi di bawahnya, sehingga kesenian

tersebut dapat dikatakan kesenian primitif. Demikian pula halnya dengan seni

genjring bonyok dan tardug yang berkembang di dalam masyarakat tradisional

Jawa Barat. Kesenian ini termasuk ke dalam seni tradisi seperti yang digambarkan

oleh Rohidi di atas.

Subang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang kaya

dengan seni pertunjukan, antara lain tayub, doger kontrak, sisingaan, ajeng,

gembyung, belentuk ngapung, bajidor, beluk, toleat, genjring bonyok, dan topeng

jati merupakan contoh dari sekian banyak karya seni tradisional yang diciptakan

dan telah mengalami proses pewarisan secara turun temurun dalam suatu periode

tertentu oleh para leluhur di Kabupaten Subang.

Keberadaan tardug yang merupakan kontinuitas dari genjring bonyok,

sangatlah relevan dikaji dari disiplin etnomusikologi. Etnomusikologi sebagai

sebuah disiplin ilmu, merupakan fusi atau gabungan dari dua induk ilmu yaitu

etnologi (antropologi) dan musikologi. Penggabungan ini sendiri telah

menimbulkan dampak yang kompleks dalam perkembangan etnomusikologi. Jika

kemudian ia berfusi lagi dengan ilmu lain, katakanlah arkeologi, maka akan terjadi

sesuatu perkembangan yang menarik. Dalam konteks etnomusikologi, bidang

musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang

mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri--sedangkan etnologi memandang

17

musik sebagai bagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bagian

yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh

Merriam sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterizeGerman and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4). Dari kutipan paragraf di atas, menurut Merriam para pakar

etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian

ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah,

yaitu musikologi dan etnologi. Kemudian menimbulkan kemungkinan-

kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan

cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap

mengandung kedua disiplin tersebut.

18

Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur

yang dihasilkannya--seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara

musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk

memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia,

dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Pada saat yang

sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi

Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu aura reaksi

terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai

dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini,

penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan

kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik

dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan

manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Nettl yaitu terdapat

kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan

Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi

etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode,

pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan

oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan

hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana

Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di

atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin

dasar yaitu etnologi dan musikologi, walau terdapat variasi penekanan bidang

19

yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa

mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.

Berbagai definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis

oleh para pakar etnomusikologi. Dalam edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian

dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi

Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi

etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, 1995,

yang disunting oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan

Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam

mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi

sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.4

Dari 42 (empat puluh dua) definisi tentang etnomusikologi dapat diketahui

bahwa etnomusikologi adalah fusi dari dua disiplin utama yaitu musikologi dan

atropologi, pendekatannya cenderung multi disiplin dan interdisiplin.

Etnomusikologi masuk ke dalam bidang ilmu humaniora dan sosial sekali gus,

merupakan kajian musik dalam kebudayaan, dan tujuan akhirnya mengkaji manusia

4 R. Supanggah (ed.), 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan bentang Budaya,

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.

20

yang melakukan musik sedemikian rupa itu. Walau awalnya mengkaji budaya

musik non-Barat, namun sekarang ini semua jenis musik menjadi kajiannya namun

jangan lepas dari konteks budaya. Dengan demikian, masalah definisi dan lingkup

kajian etnomusikologi sendiri akan terus berkembang dan terus diwacanakan tanpa

berhenti.

Jaap Kunst menambahkan suatu dimensi lanjutan, yaitu kualifikasi terhadap

tipe-tipe musik yang dapat distudi dalam etnomusikologi, seperti yang ditulisnya

seperti berikut [terjemahan penulis].

Studi etnomusikologi, atau, yang pada awalnya disebut: musikologi komparatif, adalah musik dan alat musik tradisional dalam semua strata kebudayaan umat manusia, dari yang disebut masyarakat primitif sampai kepada bangsa yang berperadaban. Sains kita ini, selanjutnya, menyelidiki semua musik tribal dan folk dan setiap jenis musik seni non-Barat. Di samping itu, studinya juga mencakup aspek sosiologi musik, seperti fenomena akulturasi musik, mis. Pengaruh hibridasi dengan elemen-elemen musik asing. Musik seni dan musik populer (hiburan) Barat tidak termasuk ke dalam lapangan etnomusikologi (Kunst, 1969:1).

Mantle Hood mengajukan definisinya dari usul Masyarakat Musikologi

Amerika, tetapi dengan menyisipkan (memasukkan ke dalam tanda kurung) prefiks

“etno,” yang dalam usulannya menyatakan bahwa “[Etno]musikologi adalah suatu

lapangan ilmu pengetahuan, yang mempunyai objek penyelidikan terhadap seni

musik, sebagaimana pula fisika, psikologi, estetika, dan fenomena kebudayaan.

[Etno]musikolog adalah seorang ilmuwan-peneliti, dan dia mengarahkan dirinya

terutama untuk mencapai pengetahuan tentang musik (Hood, 1957:89). Akhirnya,

Gilbert Chase menunjukkan bahwa “penekanan pada masa kini adalah studi musik

kontemporer manusia, untuk masyarakat apa pun, ia dapat memasukkannya, apakah

masyarakat primitif atau kompleks, Timur atau Barat.” (Chase, 1958:7).

21

Untuk definisi yang bervariasi ini, mempunyai suatu yang perlu ditambahkan,

dalam menyatakan etnomusikologi, beliau mendefinisikannya sebagai “studi musik

di dalam kebudayaan” (Merriam, 1964:5) adalah suatu yang penting bahwa definisi

ini sesungguhnya dapat diterangkan jika ia benar-benar dipahami. Makna implisit

yang terkandung dalam asumsi bahwa etnomusikologi adalah dibentuk dari

musikologi dan etnologi, dan suara musik merupakan hasil dari proses tata tingkah

laku manusia, yang dibentuk oleh berbagai nilai, sikap, dan kepercayaan

masyarakatnya yang turut mengisi suatu kebudayaan. Suara musik tidak akan

tercipta, kecuali dari satu orang ke orang lainnya, dan meskipun kita tidak dapat

memisahkan dua aspek tersebut secara konseptual, tidak akan diperoleh kenyataan

yang lengkap tanpa mau mempelajarinya. Tata tingkah laku manusia menghasilkan

musik, tetapi prosesnya adalah suatu yang kontinu; tata tingkah laku itu sendiri

membentuk hasil suara musik, dan dengan demikian studi terhadap aspek yang satu

tentunya akan melibatkan aliran studi lainnya.

Khusus tentang kontinuitas dan perubahan di dalam etnomusikologi, maka

Merriam (1964:7) menyatakan pentingnya kajian ini sebagai berikut. Musik dalam

suatu masyarakat kadang-kadang memperlihatkan hal yang samar-samar, misalnya

pengenalan terhadap arah dalam “sejarah musik” dan yang lebih utama lagi satu

contoh pertanyaan apakah musik “primitif” itu, sesuaikah ia dengan skema deduktif

yang diorganisasikan berdasar konsep yang tak benar dalam evolusi kebudayaan.

Istilah itu juga kadang-kadang dipergunakan oleh para musikolog Barat yang

mendukung teori tentang asal-usul musik, dan dalam kesempatan itu mereka

menentukan dasarnya dari berbagai materi melodi atau ritme yang dipergunakan

22

dalam komposisi. Bahwa musik dalam kebudayaan manusia itu sebenarnya

mengalami kontinuitas dan perubahan dalam waktu dan ruang yang dilaluinya.

Untuk mengkaji genjring bonyok dan tardug sebagai sebuah seni

pertunjukan masyarakat Sunda di Jawa Barat, maka selain etnomusikologi, penulis

juga menggunakan disiplin seni pertunjukan atau lazim disebut pertunjukan

budaya. Kajian pertunjukan (performance study) adalah sebuah disiplin (ilmu)

yang relatif baru, yang dalam pendekatan saintifiknya berdasar kepada interdisiplin

atau multidisiplin ilmu, yaitu mempertemukan antara lain antropologi, kajian teater,

antropologi tari atau etnologi tari, etnomusikologi, folklor, semiotika, sejarah,

linguistik, koreografi, kritik sastra, dan lainnya. Dua orang tokoh terkernuka pada

disiplin ini adalah Victor Turner (antropolog) dan Richard Schechner (aktor,

sutradara teater, pakar pertunjukan, dan editor majalah The Drama Review).

Sasaran kajian pertunjukan tidak terbatas kepada pertunjukan yang

dilakukan di atas panggung saja, tetapi juga yang terjadi di luar panggung, seperti

olah raga, permainan, sirkus, karnaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan upacara. Dia

menulis buku yang terkenal From Ritual to Theater On the Edge of the Bush:

Anthropology as Experience, The Anthropology of Performance, dan The

Anthropology of Experience. Buku yang terakhir ini, disuntingnya bersarna Victor

Turner dan Edward M. Bruner tahun 1982 setahun sebelum ia meninggal dunia.

Pada karya-karyanya tersebut secara saintifik Schechner dan Turner tampaknya

menawarkan pentingnya pendekatan pengalaman, pragmatik, praktik, dan

pertunjukan dalarn mengkaji kesenian. Tentunya pendekatan ini diperlukan

berdasarkan asumsi dasar bahwa pengalarnan yang kita alami tidak hanya dalam

bentuk verbal tetapi juga dalam bentuk imajinasi dan impresi (kesan). Keseluruhan

23

disiplin pertunjukan budaya di atas umumnya mendasarkan kajianya pada

pendekatan ilmiah dengan menggunakan teori-teori.

Melihat keberadaan genjring bonyok dan tardug dalam realitas budaya dan

sosial masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat, maka kajian secara ilmiah akan

dilakukan pada penelitian ini dalam konteks multi disiplin ilmu, baik seperti yang

dilakukan melalui disiplin etnomusikologi atau disiplin seni pertunjukan. Hal ini

relevan juga didekati oleh penelitian kualitatif dalam rangka mengejar makna-

makna budaya dan sosial di sebalik pertunjukan genjring bonyok dan tardug.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneiliti tertarik untuk meneliti

kesenian tardug di Kabupaten Subang dengan judul: Genjring Bonyok dan Tardug

di Subang Jawa Barat: Kajian Kontinuitas, Perubahan, dan Struktur Pertunjukan.

Dari judul ini penulis ingin memfokuskan kajian pada aspek sejarah seni dan

struktural pertunjukan. Dengan demikian, dua hal ini akan menjadi tumpuan kajian

ini.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah penelitian ini adalah seni pertunjukkan tradisi, khususnya

pertunjukkan tardug di tengah masyarakat yang mengalami perubahan dari waktu

ke waktu dan masih bertahan di masyarakat. Agar bahasan terfokus, maka

permasalahannya akan dirumuskan dalam bentuk dua pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kontinuitas dan perubahan yang terjadi pada seni

pertunjukkan tradisi genjring bonyok yang kemudian menjadi tardug

dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Kabupaten Subang?

24

2. Bagaimanakah struktur pertunjukan genjring bonyok dan tardug dalam

kebudayaan masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Sesuai dengan penentuan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian

yang penulis lakukan ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui kontinuitas dan perubahan yang terjadi dari genre seni

pertunjukan genjring bonyok ke tardug di dalam kebudayaan masyarakat

Sunda di Subang Jawa Barat.

2. Untuk mengetahui struktur pertnujukan genre seni pertunjukan genjring

bonyok dan tardug, yang mencakup aspek musik dan tarinya.

1.3.2 Manfaat penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai:

1. Menambah wawasan tentang kator-faktor sosial dan budaya yang

menyebabkan kontinuitas dan perubahan seni pertunjukkan tradisional

genjring bonyok dan tardug dalam perubahan peradaban masyarakat

Sunda di Subang Jawa Barat dalam rangka menempatkan dan

mengokohkan identitas diri.

2. Sebagai bahan referensi kajian sosiokultural dan sejarah tentang genjring

bonyok yang berubah menjadi tardug, untuk para seniman dan pemerhati

seni

25

3. Memberikan kontribusi terhadap pelaku seni dalam mengembangkan seni

tradisional tardug.

4. Bagi pemerintah sebagai bahan masukkan agar pemerintah lebih

memperhatikan keberadaan dan pertumbuhan yang fungsional grup-grup

kesenian di Kabupaten Subang khususnya musik tardug.

5. Pengembangan ilmu-ilmu seni seperti etnomusikologi, etnokoreologi,

dan pengkajian budaya, yang bertitik tolak dari hasil-hasil penelitian

lapangan sesuai dengan perkembangan zaman yang dilalui oleh ilmu-

ilmu pengetahuan seni ini.

6. Percontohan pendekatan multidisiplin dan interdisiplin ilmu di bidang

seni pertunjukan.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam studi ini peneliti mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis

dengan tujuan untuk mencari kesesuaian antara teori yang akan digunakan dengan

permasalahan yang akan diteliti, serta untuk menjaga keorisinalitasan hasil

penelitian. Artinya bahwa kajian yang dilakukan peneliti bukanlah

plagiarisme/plagiat dari penelitian lain. Oleh sebab itu, peneliti mencantumkan

semua sumber yang digunakan sebagai bahan referensi dalam studi ini. Studi

literatur yang peneliti lakukan di antaranya mengkaji sumber data yang berupa

tulisan hasil karya ilmiah, hasil seminar, jurnal penelitian, laporan penelitian,

artikel.

26

Beberapa sumber bacaan terdahulu yang dikaji oleh peneliti, yang temanya

tentang genjring bonyok ataupun tardug di Jawa barat, antara lain adalah sebagai

berikut.

(1) Atik Supandi dkk., menulis buku yang bertajuk Ragam Cipta:

Mengenal Seni Pertunjukan Daerah Jawa Barat, diterbitkan di Bandung oleh

Sampurna. Di dalam buku yang berhalaman sebanyak 126 ini, dikaji tentang empat

kelompok seni dalam budaya Sunda, yaitu: musik, tari, teater, dan helaran.

Musiknya terdiri dari tembang Sunda Cianjuran, degung, kliningan, janaka Sunda,

tarling, calung, rampak kendang, dan bedug lojor. Kemudian seni tarinya terdiri

dari jaipongan, tari kreasi baru, tayub, pencak silat, dan topeng Cirebon.

Selanjutnya seni teaternya terdiri dari banyet, topeng Cisalak, longser, santren, dan

sandiwara. Buku ini menambah wawasan penulis tentang apa-apa saja seni

pertunjukan yang terdapat dalam kebudayaan Sunda.

(2) H. Hasan Mustapa, tang menulis buku yang berjudul Adat Istiadat

Sunda, yang diterbitkan oleh M. Maryati Sastrawijaya Bandung tahun 1985. Buku

ini berisikan deskripsi tentang upacara-upacara adat Sunda seperti adat orang

ngidam, adat menjaga orang hamil, adat khitanan, adat perkawinan, adat kematian,

dan lain-lainnya. Buku ini memberikan wawasan kepada penulis tentang upacara-

upacara adat Sunda, yang dilakukan oleh masyarakatnya dari waktu ke waktu.

Dalam konteks penelitian ini, tardug dan genjring bonyok umumnya dilakukan

untuk upacara yang berkaitan dengan ajaran agama Islam, seperti adat khitanan,

perkawinan, dan lainnya.

(3) Ade Herdiyat yaitu saya sendiri, menulis skripsi sarjana di Jurusan

Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara Medan, tahun 1997

27

yang bertajuk: Genjring Bonyok: Qseni Pertunjukan Musik Rakyat Sunda di Desa

Cidapdap, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi ini

diajukan dalam rangka sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di Jurusan

Etnomusikologi FS USU. Skripsi yang penulis tulis ini, secara umum adalah

mendeskripsikan genjring bonyok sebagai seni pertunjukan masyarakat Sunda di

Subang. Skripsi ini ditulis dengan pendekatan fungsional dan struktural melalui

disiplin etnomusikologi. Bagaimana pun skripsi ini menjadi bahan utama dalam

melihat perkembangan genjring bonyok yang kini menjadi gitar bedug (tardug)

dalam kebudayaan masyarakat Sunda.

(4) Tim Departemen Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Subang

Jawa Barat menulis buku yang bertajuk Data Organisasi Kesenian dan jenis

Kesenian di Kabupaten Subang, yang ditulis tahun 2010. Buku ini berisi laporan

data kelompok kesenian yang ada di Kabupaten Subang sampai pada tahun 2010.

Data ini disajikan dalam bentuk tabel yang terdiri dari kolom nama grup, jenis

kesenian, nama pimpinan, alamat, dan nomor SIUK. Yang dapat digeneralisasi dari

data yang dipaparkan adalah bahwa di Kabupaten Subang memiliki jumlah 800

lebih kelompok kesenian. Di antara genre keseniannya adalah calung, sisingaan,

gembyung, jaipongan, jaipongan kombinasi, kacapi suling, dangdut, rock dangdut,

nasyid, degung, kacapi, tembang, organ, kacapi bola, genjring bonyok (tardug), dan

masih banyak yang lainnya. Buku data kelompok kesenian di Subang ini

memberikan wawasan kepada penulis bagaimana peta terkini kelompok kesenian di

Subang Jawa barat.

28

1.5 Konsep

1.5.1 Genjring Bonyok

Secara etimologi nama Genjring Bonyok berasal dari dua kata, yaitu genjring

dan bonyok. Genjring berarti sebuah alat musik frame drum (rebana) baik yang

memakai asesoris kecrek (lempengan logam) maupun tidak, alat musik ini merupakan

salah satu instrumen pendukung yang menjadi ciri khas kesenian genjring bonyok.

Adapun nama bonyok dalam bahasa Sunda tidak memiliki arti harfiah, namun

menurut informan (Sutarja), kata bonyok berasal dari nama sebuah dusun yang

berdampingan dengan desa Cidadap. Asal-usul digunakan nama bonyok muncul kira-kira

pada tahun 1977, tepatnya setelah Sutarja mengajarkan kesenian genjring di dusun

tersebut.

Namun demikian, Sutarja mengatakan bahwa sebelum nama itu populer di

masyarakat, kesenian ini memiliki nama lain yang pemakaiannya diakui lebih dulu muncul

dari nama genjring bonyok, yaitu genjring bonyok. Menurutnya nama ini berkonotasi

bahwa Jika kesenian genjring ini dimainkan, maka banyak orang berkumpul untuk

menyaksikannya.

Meskipun pada mulanya kedua nama ini (genjring ronyok dan genjring bonyok)

digunakan untuk menamakan satu bentuk kesenian genjring, namun pada masa sekarang

kesenian ini lebih populer dengan nama genjring bonyok. Selain itu, mengingat nama

genjring bonyok telah dikenal luas dalam masyarakat, maka penelitian terhadap kesenian

ini menggunakan nama genjring bonyok.

Bagi masyarakat Sunda di kabupaten Subang, genjring bonyok umumnya berarti

suatu bentuk kesenian musik genjring (rebana dengan atau tanpa asesoris kecrek) yang

dipergunakan dalam konteks khitanan, perkawinan atau hari-hari nasional dengan tujuan

untuk meramaikan dan menghibur.

29

Sebagai suatu bentuk kesenian, genjring bonyok dapat digolongkan sebagai seni

pertunjukkan musik yang berakar dari rakyat, dan memiliki arti suatu pengalaman bersama

dalam pertunjukkan musik karena penonton dan pemain langsung berinteraksi, yang

berlaku dalam waktu dan secara teknis mengikuti pola-pola yang berulang, namun dalam

segi-segi tertentu mengalami perubahan (Sedyawati, 1981:60).

Pertunjukan genjring bonyok biasanya dilaksanakan dengan melibatkan ekspresi

penonton yang mereka hibur. Dalam arti penonton melibatkan diri dalam pertunjukan

dengan langsung meminta agar dimasukan lagu-lagu yang mereka inginkan dan juga

melakukan tarian secara bersama-sama, dan tidak jarang pertunjukan ini dapat membuat

mereka mengalami trance. Oleh karena itu dalam pendekatan seni pertunjukan,

genjring bonyok merupakan bentuk seni pertunjukan yang melibatkan pengalaman

bersama antara pemusik dan penonton.

Unsur-unsur musik, seperti komposisi lagu biasanya juga dimainkan dalam bentuk

kesenian lain seperti kliningan, ketuk tilu, sisingaan,

gembyung, dan lain-lain. Dengan demikian tema-tema lagu yang disajikan berangkat

dari tema-tema yang telah dikenal luas oleh masyarakat Sunda.

Keberadaan unsur-unsur musik ini akan dijelaskan dengan pendekatan musik

rakyat (folk music), dimana secara alamiah genjring bonyok adalah kesenian yang

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sunda, oleh karenanya kondisi masyarakat

sangatlah besar artinya bagi perkembangan dan kelanjutan kesenian ini. Fenomena ini pula

yang menjadikan genjring bonyok setiap waktu yang diinginkan masyarakat dapat

mengalami perubahan baik dari segi konteks penyajian, instrumen maupun materi lagu-

lagunya.

30

1.5.2 Tardug

Berdasarkan konsep masyarakatnya atau etnosains, tardug adalah salah satu

genre seni perttunjukan dalam kebudayaan masyarakat Sunda, yang berkembang

dari tradisi genjring bonyok. Penyebutan genre seni ini adalah masyarakat umum

yang merupakan akronim dari gabungan kata gitar dan bedug, karena di antara

sejumlah alat musik dalam kesenian ini terdapat instrumen gitar dan bedug, sebagai

instrumen pokok. Dengan demikian berarti bahwa tardug adalah nama sebuah jenis

kesenian yang menggunakan alat musik gitar dan alat musik bedug sebagai alat

musik utama, serta.lagu-lagu yang disajikan adalah lagu-lagu dangdutan yang

terdiri atas lagu dangdut modern dan lagu dangdutan tradisional. Kesenian tersebut

dalam pengajiannya bisa berbentuk helaran dan bisa pula berbentuk seni

pertunjukan yang dipentaskan di atas panggung.

1.5.3 Kajian musik: manusia, teks, dan konteks

Elliot (1995:87) mengemukakan bahwa secara esensial, musik merupakan

hasil dari aktivitas manusia yang dilakukan berdasarkan pada tujuan tertentu, yaitu

untuk didengarkan oleh pendengarnya. Oleh karena itu, musik akan selalu berkaitan

dengan aspek pelaku dan pendengar. Elliot menyatakan bahwa pada masing-masing

aspek melibatkan empat dimensi, yaitu:

a. Manusia, sebagai pelaku,

b. Aktivitas tertentu (memainkan, mengubah, menciptakan, mengembang-

kan musik).

c. Hasil aktivitas (musik tradisional maupun modern).

31

d. Konteks utuh yang mempengaruhi pengetahuan manusia, aktivitas yang

dilakukan manusia, dan musik yang dihasilkan.

Pada prosesnya, para pelaku musik dipengaruhi oleh konsekuensi-

konsekwensi musikal dari apa yang mereka lakukan dan mainkan, serta oleh

penilaian ahli musik dan rekan-rekan mereka tentang aktivitas para pelaku. Oleh

karena itu aktivitas musik selalu melibatkan aktivitas lain, yaitu mendengarkan

musik. Hal memperlihatkan bahwa setiap penciptaan musik berkaitan dengan

sekelompok orang yang berperan khusus sebagai pendengar. Contohnya, pada

pertunjukan paduan suara Barok, pasti ada pendengar panduan suara barok; pada

pertunjukan jazz, pasti ada penggemar jazz; dan pada pertunjukan musik tradisi,

pasti ada komunitas penggemar musik tradisi.

Berdasarkan konteks itu, pembuat musik dipengaruhi oleh mengapa dan

bagaimana pendengarnya (termasuk musisi sendiri) mendengarkan musik yang

mereka mainkan. Hal ini dapat kita lihat dalam pertunjukan musik, misalnya

tindakan pemain musik berkomunikasi dengan pendengarnya. Sebaliknya,

pendengar dipengaruhi oleh mengapa, apa, dan bagaimana musisi melakukan apa

yang mereka lakukan. Oleh karena itu, ditinjau dari konteks pendengar, terdapat

aktivitas manusia yang bertujuan yang membentuk hubungan empat dimensi,

seperti halnya pada konteks musisi.

Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan maka dapat disimpulkan

bahwa musik merupakan suatu aktivitas manusia. Kesimpulan lain adalah bahwa

musik merupakan suatu fenomena manusia yang bersifat multidimensional, yang

melibatkan hubungan yang erat antara dua bentuk aktivitas manusia yang bertujuan,

yaitu: membuat musik (menciptakan, memainkan, dan seterusnya) dan mendengar

32

musik. Kenyataan pada manusia yang dibentuk oleh keterkaitan erat antara

membuat musik dan mendengar musik ini kita sebut sebagai aktivitas musik.

Kajian tentang musik tidak dapat terlepas dari sistem sosiokultural yang

ada. Sistem sosiokultural seringkali disebut dengan masyarakat oleh para sosiolog,

dan kebudayaan oleh para antropolog. Kebudayaan, dalam ilmu sosial, memiliki

makna yang luas, yaitu melibatkan seluruh teknik, nilai, dan simbol yang dipelajari

manusia dari masyarakatnya dan menggunakan apek-aspek tersebut untuk

beradaptasi dengan lingkungan yang dihadapi sebagai upaya yang memenuhi

kebutuhan hidupnya. Kebudayaan juga mengacu pada sekumpulan fenomena atau

gejala yang saling berkaitan. Sebagai sekumpulan fenomena atau gejala yang saling

berkaitan, apabila terjadi perubahan pada satu gejala maka akan terjadi perubahan

pula pada gejala yang lain.

Sistem sosiokultural umumnya merupakan suatu unit yang sangat

terintegrasi dan dipandang terdiri dari beberapa komponen, yaitu sebagai berikut:

a. Material, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan biologis

manusia, misalnya makanan, tempat tinggal, dan peralatan penunjang.

b. Sosial, yaitu berkaitan dengan kebutuhan manusia dalam kehidupan

sosialnya. Komponen ini terdiri dari hubungan sosial dan institusi sosial.

Hubungan sosial adalah cara-cara manusia berinteraksi dengan manusia

yang lain, misalnya konflik, kecemburuan, dan lain-lain. Institusi sosial

merupakan cara-cara yang tersetandar yang dilakukan manusia untuk

berhubungan manusia lain, misalnya institusi pendidikan, kelompok

kekerabatan, dan lain-lain.

33

c. Ekspresif, yaitu berkaitan dengan kebutuhan kognitif dan emosional atau

perasaan manusia, misalnya seni musik. Secara lebih khusus komponen ini

mengacu pada kebutuhan seseorang untuk mengekspresikan diri dan

memperoleh reaksi positif dari orang lain.

Dapat dikatakan bahwa musik tradisional merupakan hasil dari praktik

manusia. Sebagai hasil praktik, setiap musik tradisional yang dimiliki oleh setiap

suku bangsa di Indonesia akan selalu memperlihatkan karakter-karakter tertentu

sesuai dengan nilai, keyakinan, dan pengetahuan yang dimiliki para musisi yang

memainkan atau menciptakannya. Karakter-karakter yang terdapat dalam suatu

jenis musik tradisional secara jelas memperlihatkan perbedaan dengan jenis

tradisional dari kelompok masyarakat yang lain.

Secara umum sudut pandang kajian musik akan meliputi : manusia, teks,

dan konteks musik di masyarakat. Mengetahui apa dan bagaimana bentuk musik,

perilaku apa yang ditunjukan dengan musik, dan bagaimana manusia

memperlakukan musik dalam komunitasnya.

1.5.4 Kajian

Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan kajian adalah sama dengan

pengertian analisis. Konsep tentang analisis yang dimaksud dalam tulisan ini

adalah: (1) penyelidikan terhadap suatu peristiwa karangan, perbuatan dan lain

sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk

perkaranya, dan lain sebagainya), (2) penguraian suatu pokok atas berbagai

bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk

memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, (3)

34

penyelidikan kimia dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat-zat

bagiannya dan sebagainya, (4) penjabaran sesuadah dikaji sebaik-baiknya, (5)

proses pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya, (6)

penguaraian karya sastra atas unsur-unsurnya untuk memahami pertalian antara

unsur-unsur tersebut, (7) proses akal yang memecahkan masalah ke dalam bagian-

bagiannya menurut metode yang konsisten untuk mencapai pengertian tentang

prinsip-prinsip dasarnya (Poerwadarminta, 1990:32).

1.5.5 Kontinuitas

Kontinuitas merupakan perwujudan dari pelestarian dan regenerasi terhadap

masalah yang digarap untuk mencapai pengembangan yang diharapkan. Pada ranah

sosiologis, kontinuitas diwujudkan dalam bentuk kesepahaman komunitas untuk

melakukan pemberdayaan atas masalah yang diangkat ke dalam penetapan yang

diinginkan secara representatif menghasilkan perilaku budaya, respons internalisasi

pengembangan yang diharapkan dalam mencapai tujuan yang menjadi

komitmennya.

1.5.6 Perubahan

Perubahan dalam tulisan inrujuk kepada kebudayaan, bahwa erubahan

kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama

oleh sejumlah warga masyarakat yang terdapat dalam aturan-aturan atau nomra-

norma, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa.

Perubahan kebudayaan bisa mencakup salah satu unsurnya dan mempengaruhi

35

unsur-unsur kebudayaan lainnya, atau juga dapat merubah seluruh unsur-unsur

kebudayaan tersebut. (Suparlan, 2004:24).

1.5.7 Struktur

Struktur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebagaimana yang

dikemukakan oleh Porwadarminta (1980) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,

adalah suatu bentuk yang disusun oleh bahagian-bahagiannya. Dalam konteks

penelitian ini kata struktur merujuk kepada struktur pertunjukan genjring bonyok

dan tardug, sebagai satu bangunan pertunjukan. Struktur pertunjukan ini paling

tidak terdiri dari bahagian pembuka, isi, dan penutup. Struktur seni genjring bonyok

dan tardug juga terdiri dari aspek musikal dan tarian. Untuk musik terdiri dari

aspek melodi yang didukung oleh unsur-unsurnya seperti tangga nada, wilayah

nada, nada dasar, interval, formula melodi, pola-pola kadensa, dan kontur.

Sedangkan aspek tarian didukung oleh unsur gerak, motif gerak, pola lantai, tenaga,

komposisi tari, dan lainnya.

1.5.8 Pertunjukan dan seni pertunjukan tradisi

Yang dimaksud dengan pertunjukan dalam tulisan ini adalah kegiatan

budaya yang melibatkan seniman dan penonton, serta transmisi makna-makna

melalui pesan pertunjukan. Seni pertunjukan biasanya terdiri dari seni musik, tari,

dan teater, juga kajian pertunjukan tidak terbatas kepada pertunjukan yang

dilakukan di atas panggung saja, tetapi juga yang terjadi di luar panggung, seperti

olah raga, permainan, sirkus, karnaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan upacara (lihat

Sal Murgiyanto, 1995).

36

Tradisi adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat

berdasarkan nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Tradisi

memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam

kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau

keagamaan.

Di dalam tradisi diatur adanya hubungan, bagaimana manusia berhubungan

dengan manusia lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang

lain. Bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya, dan bagaimana

manusia berlaku dengan alam lain secara komunikatif dapat oleh masyarakat

tradisi. la berkembang menjadi suatu sistem dengan pola-pola tertentu dan norma-

norma untuk mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan

penyimpangan.

Sebagai sistem budaya, tradisi menyediakan seperangkat model untuk

bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan utama. Sistem nilai

dan gagasan utama ini dapat tertuang dalam sistem ideologi, sistem sosial, dan

sistem teknologi (Soebadio, 1983, Mursal Esten, 1993:11).

Sistem ideologi meliputi etika, norma, dan adat istiadat yang berfungsi

memberikan dasar dan petunjuk terhadap sistem sosial yang meliputi hubungan dan

kegiatan sosial masyarakat yang bersangkutan (Esten, 1993: 11). Selaras dengan hal

di atas, Harsya Bachtiar mengemukakan bahwa tradisi sebagai sistem budaya

merupakan suatu sistem yang menyeluruh. Terdiri dari cara-cara dan aspek-aspek

pemberian arti terhadap laku ajaran, laku ritual, dan berbagai jenis laku lainnya dari

manusia atau sejumlah manusia yang mengadakan tindakan antara satu dengan

yang lain.

37

Unsur terkecil dari sistem itu adalah simbol. Simbol meliputi simbol-simbol

konstitutif (yang terbentuk sebagai kepercayaan-kepercayaan), simbol kognitif

(yang terbentuk sebagai ilmu pengetahuan), simbol-simbol penilaian moral, dan

simbol-simbol ekspresif atau simbol-simbol yang menyangkut pengungkapan

perasaan (Esten 1992 :15).

Kelangsungan sebuah tradisi sangat bergantung dari adanya inovasi yang

terus menerus dari para pendukungnya. Pengembangan keunikan terdiri dari unsur

perorangan, detail, kebiasaan, persepsi intern dan ekstern (Murgiyanto, 2004:3).

Tradisi berubah karena tidak pernah dapat memuaskan seluruh pendukungnya

(Shite, 1981:4). Sebuah tradisi bisa saja mengalami perubahan yang besar tetapi

pewarisnya menganggap tidak ada perubahan, karena ada kesinambungan yang

kuat antara bentuk inovasi yang baru dan bentuk tradisi sebelumnya (Murgiyanto,

2004:3).

Menurut Murgianto, kata seni pertunjukan (sepadan dengan

performing art) secara umum memiliki arti “tontonan” yang bernilai seni,

seperti drama, tari, dam musik, yang disajikan sebagai pertunjukan di depan

penonton (1996:153). Lebih lanjut Murgianto memberikan pengertian yang

mendasar sehubungan dengan kajian seni pertunjukan, yaitu:

Sebuah komunikasi dimana satu orang atau lebih pengirim pesan merasa bertanggung jawab kepada seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi seperti yang mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas (a subset of behavior)" (Murgiyanto, 1996:156).

Adapun seperangkat tingkah-laku yang khas tersebut menurutnya dapat

disampaikan melalui medium auditif, visual, atau gabungan keduanya, seperti

gerak laku, suara, rupa, multi media, dan sebagainya.

38

Berkaitan dengan konsep yang sama, Sedyawati (1980:60) juga

memberikan pengertian seni pertunjukan. Yaitu pengalaman bersama dimana

penonton dan penyaji saling berhubungan, yang berlaku dalam waktu dan secara

teknis mengikuti pola-pola yang berulang. Menurutnya pada segi-segi tertentu

pola-pola yang berulang tersebut mengalami perubahan.

Dari kedua pengertian seni pertunjukan di atas dapat diambil garis besar

persamaan konsep antara Murgianto dan Sedyawati, yaitu suatu hubungan antara

dua pihak (penyaji dan penonton) yang berinteraksi dengan seperangkat pola

tingkah-laku tradisi yang telah mereka pahami bersama.

Sebagai suatu pola tingkah-laku, seni pertunjukan menurut Sedyawati

(1980:60-61) dan Murgianto (1996:156-157) memiliki beberapa unsur yang

menjadi karakteristiknya. Di bawah ini unsur-unsur tersebut saya rangkum sebagai

berikut:

(1) Adanya kerja kelompok (komunikasi), antara penyaji yang mempunyai

maksud (intention) dan penonton yang memiliki perhatian

(attention).

(2) Adanya suatu proses imajinasi yang memerlukan waktu dan ruang.

(3) Adanya tema sajian yang dimainkan dalam kerangka (frame) yang

dikenal, dan memberikan kebebasan bagi penyajinya untuk menafsirkan

kerangka tersebut. (4) Adanya transformasi (pengalihan peran sementara) dari penyaji. Untuk itu ia

membutuhkan suatu kemampuan merangkum massa, rasa dan ketrampilan

teknis.

Adapun istilah seni pertunjukan rakyat menurut Murgianto merupakan

salah satu saja dari katagori kajian pertunjukan yang ada di masyarakat. Konsep

39

pertunjukan rakyat sebagai seni pertunjukan dimana perorangan dan kelompok

masyarakat dalam hidupnya sehari-hari memberikan bentuk terhadap nilai-nilai

yang dihayati menjadi bentuk- bentuk yang artistik dan bermakna (1996:155).

Contohnya pada tradisi pertunjukan lisan, percakapan jenaka, mendongeng,

pertunjukan spontan, permainan tradisional, pertandingan tari jalanan, perayaan

kampung, dan festival.

1.5.9 Kajian musik tradisi

Secara keilmuan, musik tradisi termasuk pada cabang ilmu humaniora, sifat

penelitiannya bisa kualitatif maupun kuantitatif, tergantung pada tujuan penelitian

yang hendak diungkap. Secara kualitatif, penelitiannya musik tradisi dapat

mengungkap antara lain: estetika seni, kesejarahan seni, biografi seniman, fungsi

seni, makna seni, atau tafsir tentang seni. Akibat kondisi seni tergantung pada

selera masyarakat, hasil penelitiannya tidak mengharuskan adanya standar atau

ketentuan yang mengikat melainkan sesuai dengan keadaan di lapangan.

Sebagaimana dengan sifat dasar dari keilmuan humaniora yakni sulit untuk

digeneralisasikan.

Kajian musik tradisi tidak dapat lepas dari konteks musik di masyarakat.

Oleh karena itu untuk mengungkapnya maka kita dapat melihat dari dua unsur

yakni: dimensi teks dan konteks. Dalam hal pengkajian seni Marco DeMarinis,

dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Performance, menyimpulkan bahwa

seni itu bersifat entetis yang multi lapis. Untuk mengkajinya diperlukan

pemahaman mengenai lapis teks seninya (dalam hal ini musik) sendiri dan lapis

bagaimana konteksnya di masyakarat. Karena sifatnya teks dan konteks, maka

40

sangat dimungkinkan sebuah penelitian musik tradisi dilakukan pendekatan secara

multidisiplin. Dikaji dari disiplin etnomusikologi untuk teks musiknya dan juga dari

berbagai sudut pandang dengan meminjam disiplin ilmu lain untuk membedah

permasalahan yang terdapat dalam lapis konteks.

Beberapa disiplin ilmu yang dapat digunakan untuk analisis konteks antara

lain: (1) antropologi untuk menelaah stratifikasi sosial, proses enkulturasi dalam

masyarakat, serta guna dan fungsi musik dalam suatu kelompok masyarakat; (2)

sosiologi untuk menganalisis masyarakat pengguna musik tersebut (elit culture, folk

culture, mass culture); (3) sejarah untuk menganalisis bagaimana perkembangan

musik tersebut awalnya, kini, serta memprediksi masa depannya; (4) manajemen,

untuk menganalisis bagaimana manajemen kegiatan bermusik yang melibatkan

banyak orang dikelola; (5) psikologis untuk menganalisis bagaimana pengaruh

musik terhadap tingkah laku dan kepribadian manusia, dan lain-lain.

Keberadaan musik tradisi yang beraneka dapat dikaji dari berbagai aspek

antara lain berkaitan dengan budaya material musik, teks (gending dan lagu),

pelaku musik (seniman/musisi), dan konteks musik di masyarakat. Pengkajian

musik Tradisi akan sangat beragam akibat dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial

budaya yang mempengaruhi perkembangannya. Perkembangan musik tradisi juga

dapat diakibatkan oleh akulturasi budaya dan adanya perubahan-perubahan pada

pranata-pranata dalam kebudayaan, seperti agama, sosial-budaya, politik, ekonomi,

dan teknologi. Bentuk musik tradisi mengalami perubahan dari masa kemasa sesuai

dengan dinamika perubahan sosial budaya yang melingkupnya. Aspek-aspek

tersebut merupakan bagian kajian sosial budaya pada musik tradisi.

41

Musik tradisi dapat diamati berdasarkan bentuk material musiknya.

Pengelompokan jenis alat musik lazim disebut sistem klasifikasi. Banyak cara

mengelompokan jenis alat musik, di Cina pengklasifikasian dilakukan berdasarkan:

cara memainkan, cara menghasilkan bunyi. Pengklasifikasian musik tradisi

dilakukan atas dasar ensambelnya, peniruan bunyi, cara memainkan, bahan, dsb.

Fenomena ini menunjukan, bahwa cara mengelompokkan alat musik tidak hanya

satu cara, melainkan bermacam-macam. Salah satu kajian yang ditulis Supanggah

(2002) terdapat dalam Bothekan Karawitan 1 membahas masalah karawitan dari

sisi klasifikasi musik berdasarkan aspek instrument. Supanggah mengungkapkan

bahwa klasifikasi musik dapat ditinjau berdasarkan sudut bahan pembuatan

instrumen, perangkat instrument gamelan, penempatannyadalam sebuah ensambel,

laras, irama, dan gaya.

Pengklasifikasian alat musik pada dasarnya adalah untuk memperlihatkan

persamaan dan perbedaan masing-masing alat musik, struktur bangunan fisik alat

musik, serta karakteristik bunyi alat musik yang berhubungan dengan cara

memainkannya, bentuk instrumennya, dan lain-lain.

Musik tradisi pada akhir-akhir ini telah menjadi salah satu materi

pengamatan dalam penelitian ilmiah. Bentuk kajian musik tradisi dapat dilakukan

dengan mengambil fokus-fokus tertentu, misalnya: bagaimana musik dibuat,

bagaimana musik didokumentasikan, bagaimana musik difungsikan, bagaimana

musik dikembangkan, bagaimana peran dan sikap tokoh penting, bagaimana musik

ditranmisikan, bagaimana struktur dan teksnya. Kajian musik tradisi pada dasarnya

menyangkut tiga elemen penting yakni; seniman, karya, dan masyarakatnya.

42

Menurut Waridi dalam Karwati (2007:17) ruang lingkup kajian musik

Tradisi meliputi: kajian tekstual akan membahas masalah: struktur musik, cara

bermain dan mengolah musik, organisasi musikal, organologi, perubahan musik,

proses penciptaan musik, instrumentasi, hubungan musik dengan seni lainnya,

unsur-unsur musikal, linguistik dalam musik Tradisi, dan kasus kehidupan musisi.

Kajian konstektual akan membahas masalah: kajian konteks musik Tradisi

di masyarakat, fungsi musik Tradisi dalam kehidupan masyarakat, makna musik

Tradisi di tengah kehidupan masyarakat pendukungnya, musik Tradisi dan ritual

sosial, hubungan struktur musik Tradisi dengan struktur sosial masyarakat

pendukungnya, hubungan musik Tradisi dengan industri, hubungan musik tradisi

dengan pendidikan multikultural.

Kajian lain yakni mengenai seniman musik tradisi, sebagai fokus kajiannya

antara lain: latar belakang kehidupan keluarga dan lingkungan seniman, pendidikan

formal-nonformal serta informal seniman, pandangan seniman tentang musik tradisi

yang ditekuni, kreativitas individu seniman dan karya cipta yang dihasilkan,

konstribusi seniman dalam kehidupan musik Tardug, cara belajar seniman musik

Tradisi dan cara mewariskan kemampuan kepada generasi beikutnya. Aspek lain

dari kajian musik tradisi adalah ciri khas seniman dalam berkarya musik Tardug,

dibahas mengenai; spesialisasi dan gaya pribadi, tingkat popularitas dalam

komunitas musik tardug, penghargaan yang pernah diperoleh, persoalan spesifik

lain yang berkait dengan munculnya karakter karya musik yang khas. Sebagai

sebuah kajian teks musik, kajian terhadap Tardug, di dalamnya merupakan

perpaduan antara berbagai aspek penting yang saling menunjang.

43

Mengkaji musik tradisi Tardug menerapkan paradigma etnomusikologis,

menggunakan beberapa teori seperti: musikologi, akustika dan organologi. Secara

kontekstual dapat dibantu dengan menggunakan teori: sosiologi, anthropologi, atau

teori sosial lainnya. Penggunaan teori dalam analisisnya dapat dilakukan secara

silang antara teks dan konteks, menggunakan pendekatan berbagai disiplin ilmu

atau disebut pendekatan multidisiplin. Kendati demikian beragam aspek kajian

namun secara garis besar, paradigma penelitian seni baik kualitatif maupun

kuantitatif hal tersebut berada pada payung keilmuan etnomusikologi.

Paradigma yang dapat diaplikasikan dalam kajian musik tradisi dapat

berbentuk kualitatif maupun kuantitatif dengan pendekatan deskritif, atau

eksperimen. Pendekatan kualitatif dalam penelitian, dapat menjawab bentuk

pentanyaan yang sangat sederhana misalnya sekitar berapa jumlah atau prosentase

tertentu terkait dengan objek yang diteliti, sedangkan mengenai bentuk pertanyaan

mengapa atau bagaimana mengenai objek yang diteliti maka jawabannya tidak

cukup diperolah melalui penelitian kuantitatif, melainkan ditempuh dengan cara-

cara penelitian kualitatif (Soedarsono: 1999).

Pendekatan antropologis dalam musik tradisi, dapat mengkaji antara lain

terkait dengan masalah nilai dan kebermaknaan, fungsi musik tradisi pada suatu

komunitas masyarakat tertentu. Pendekatan sosiologis antara lain menggali

persoalan musik Tradisi dalam konteks perubahan sosial masyarakat. Pendekatan

lain yakni menguangkap liku-liku sejarah pertunjukan musik dari satu waktu ke

waktu tertentu. Pendekatan pedagogis musik tradisi misalnya mengkaji masalah

hakekat dan kebermaknaan musik tradisi dalam pendidikan, metode pembelajaran

musik tradisi.

44

Karena data-data masa lalu umumnya informatif maka dalam kajian musik

tradisi dapat dilakukan melaui rekonstruksi. Rekonstruksi data, menjadi salah satu

cara guna melengkapi data penelitian, disamping itu untuk mengungkap data-data

masa lalu musik Tradisi, maka data dapat diambil dari bentuk lain seperti

manuskrip atau artefak, dan informasi melalui informan yang dipandang

berkompeten. Penelitian musikologis dapat berbentuk kajian tekstual, sementara

penelitian musik terkait dengan budaya masyarakat, kajiannya disebut konstektual.

Kehidupan musik tradisi bukan entitas tunggal yang homogen melainkan

bervariasi/beragam, berubah dari waktu ke waktu bergulat dengan lapis sosial-

budaya yang hidup dalam konteks kebudayaan. Perubahan musik tradisi disebabkan

berbagai factor seperti: politik, sosial-budaya, ekonomi, seniman, bahkan sifat

perubahannya bisa secara eksternal atau internal. Perwujudan teks dan konteks

musik tradisi merupakan dua sisi yang saling kait mengkait.

Asumsinya adalah, ketika pandangan masyarakatnya terhadap kebiasaan-

kebiasaan yang telah lama berlaku kemudian berubah, maka secara kuat

berpengaruh pula terhadap perubahan pertunjukan karawitan, pendekatan

hermeneutic: pendekatan ini dimanfaatkan untuk mengungkap dan

menginterprestasi makna teks (linguistik) yang terdapat dalam karya-karya musik

kaitannya dengan ruang dan waktu. Konsep interpretatif Geertz tentang mencari

makna juga dapat digunakan untuk mengungkap permasalahan tersebut.

Mengenai perubahan dalam bentuk seni dinyatakan oleh Sedyawati (1981:2)

bahwa perubahan bentuk seni semata-mata tidak lahir sebagai cetusan yang benar-

benar baru, melainkan kalau dilihat dalam rentangan waktu yang panjang, hal yang

baru senantiasa bertolak dari yang sudah ada sebelumnya. Tiga hal metode sejarah

45

yang dapat diaplikasikan dalam penelitian musik tradisi yakni Heuristik:

menghimpun materi sebagai sumber informasi/bukti sejarah, kritik: menguji

sumber/bukti sejarah, pengujian secara heuristic yakni membandingkan data

tertulis, menguraikan pernyataan formal dan kritik. Garraghan (1957:34)

Model penelitian sejarah yang dapat diaplikasikan yakni: model sinkronis:

untuk mengetahui gambaran lingkungan sosial, historis, fungsi dan latar belakang

dan model diakronis: untuk menggambarkan bagaimana pertumbuhan tersebut dari

waktu-kewaktu, bagaimana ia tumbuh dari awal sebagai suatu gejala yang unik

mengingat detail yang berbeda (Kuntowijoyo, 1994:38). Sebagai karya penelitian

musik maka fakta kesejahteraannya diambil dengan cara pendeskripsian;

vokal/gaya vokal; gending, instrumen, garap, teknik, pendekatan karya (tradisi,

reinterprestasi). Pada kajian musik tradisi maka pengklasifikasian dilakukan

terhadap lagu-lagu, instrumen musik, dan data informatif, interpretatif data

didasarkan pada pengalaman dan pemahaman peneliti.

Bentuk lain dari konteks kajian seni yakni aspek psikologis musik, seperti

pernyataan Leonard B. Meyer dalam bukunya Emotion and Meaning in Music

(1956), sebagaimana dikutip oleh Elliot (1995), bahwa bunyi musik berpengaruh

pada pendengar-pendengarnya. Kebalikan dari Meyer, Susanne K. Langer

mengemukakan teorinya dalam philosophy in a New (1976), sebagaimana dikutip

oleh Elliot (1995), bahwa bunyi musik tidak memiliki pengaruh pada perasaan

manusia. Teori Langer tersebut banyak didkukung oleh para filsuf musik, seperti

Charles Leonhard dan Bennett Reimer serta pengikut-pengikut mereka. Bentuk lain

dari definisi definisi musik yakni menurut Allan P. Merriam (1964) menuliskan

bahwa terdapat perbedaan besar antara musik sebagai alat komunikasi dan musik

46

sebagai “bahasa yang universal”. Untuk itu, kita perlu memiliki pemahaman

tentang apa yang dimaksud dengan “komunikasi”. Pada tahap yang paling mudah,

musik mengkomunikasikan sesuatu dalam suatu komunikasi yang terjadi dalam

musik tertentu. Kemungkinan yang paling sering terjadi adalah bahwa komunikasi

dihasilkan melalui penerimaan musik dengan makna-makna simbolik yang telah

dipahami dengan baik oleh anggota komunitas.

Namun, sedikit sekali yang diketahui pendengar tentang makna-makna

simbolik yang dimiliki oleh masyarakat pendukung musik tradisional tersebut maka

akan sulit untuk menganggap musik sebagai alat komunikasi. Bentuk kajian secara

teks musik Tradisi dapat dikembangkan misalnya: mengkaji musik dari sudut ilmu

analisis musikal atau dikenal secara spesifik dengan istilah “garap” musik, antara

lain melihat: beberapa bagian secara umum lagu/gending dimainkan, bentuk vokal

yang disajikan, instrumen yang berperan dalam musik, garap gending,

jalannyalagu, perubahan-perubahan musik, fungsi dan garap instrument dalam

mewujudkan musik, akhir bagian gending, garap gending (rasa selesai, setengah

selesai, frasa, periode, kalimat, dll), teknis penyajian instrumen (unisono, ritmis,

bayangan nada, nada selesai, kesan selesai, nada kempyung, interloking, struktur

kenong, struktur gong), gambaran penyajian vokal, syair, tema syair, teknik

sajian/garap vokal dalam gending, perubahan syair, tempo vokal, selingan garap

dan vokal, peranan instrument terhadap vokal, dan lain-lain.

1.5.10 Seni

Definisi seni telah dimulai sejak Plato (427-347 SM) mengetengahkan teori

Mimesis(imitasi) yaitu segala kenyataan yang ada di dunia ini (termasuk seni)

47

merupakan tiruan dari yang asli (alam). Menurut Jakob Sumardjo (2000:51),

keberagaman pendapat tentang batasan pengertian seni disebabkan adanya

perbedaan dasar pandangan titik tolak pemikiran. Batasan pengertian seni yang

bertolak dari seniman, akan memunculkan masalah ekspresi, kreasi, intuisi dan

sebagainya. Batasan pengertian seni yang bertolak dari benda seni menekankan

pada pentingnya aspek bentuk, material, struktur, simbol. Sedangkan batasan

pengertian seni yang bertolak dari publik seni menekankan kepada masalah

apresiasi, interpretasi, evaluasi dan konteks dan sebagainya.

Salah satu teori yang dianut dalam tulisan ini adalah yang dikemukakan

oleh Tolstoi yaitu Emotionalist Theory. Teori ini juga menjadi pokok pikiran

Veron, Tolstoy dan Ducasse. Tolstoi memandang seni sebagai ungkapan perasaan

seniman yang disampaikan kepada orang lain agar mereka dapat merasakan apa

yang dirasakannya. Seni merupakan ekspresi dari emosi dengan medium indrawi.

Menurut Tolstoi, jenis perasaan yang diekspresikan itu beragam. Ada tiga syarat

utama ekspresi perasaan seniman atas pengalamannya. Pertama, nilai ekspresi

bergantung pada besar kecilnya kepribadian seniman (individualitas), makin

menonjol individualitasnya, makin kuatlah daya pengaruh pada penerimanya.

Kedua, nilai ekspresi bergantung pada besar kecilnya kejelasan, kejernihan

perasaan yang diungkapkannya. Seniman mendasarkan diri pada perasaan universal

manusia, sehingga penerima seni dapat menemukan kembali perasaan yang telah

dikenal, tetapi jarang dirasakan. Ketiga, nilai seni bergantung pada besar kecilnya

kejujuran seniman. Tolstoi memaparkan pula bahwa seni yang baik itu selalu

universal, karena mampu menyatukan perasaan seluruh umat manusia dan

mendekatkan manusia pada Tuhan (Weitz, 1967 dalam Soedarsono, 1977 : 17,

48

Dickie, 1971: 40, Pranjoto Setjoatmodjo, 1988 : 48 - 53, The Liang Gie,1996 : 15,

Sumardjo, 2000 : 62 - 65).

Secara filosofis untuk menguraikan apakah seni itu, ada enam pokok bahasan yaitu:

(1) Penghasil Seni (pencipta seni/seniman) . Adalah orang yang menghasilkan

karya seni. Persoalan seniman dalam seni menyangkut masalah kreativitas dan

ekspresi. Ekspresi dalam seni adalah mencurahkan perasaan tertentu dalam suasana

perasaan gembira (Sumardjo, 2004:74). Kualitas perasaan yang diekspresikan

dalam karya seni bukan perasaan individual, tetapi perasaan universal, yakni

perasaan yang dapat dihayati oleh manusia lain sekalipun jenis perasaan itu belum

pernah dialaminya. Sedangkan kreativitas dalam seni adalah menemukan sesuatu

yang baru atau hubungan-hubungan baru dari sesuatu yang telah ada (Sumardjo,

2004 : 84). Manusia menciptakan sesuatu dari sesuatu yang telah ada sebelumnya.

Setiap seniman menjadi kreatif dan besar karena bertolak dari bahan yang telah

tercipta sebelumnya. Persoalannya adalah apakah seniman mampu menciptakan

karya seni baru atau yang tidak serupa (tidak mirip) dengan karya seni yang telah

ada sebelumnya. Tingkat orisinalitas karya seni tergantung pada tingkat totalitas

pembaruan yang dilaksanakan.

(2) Karya Seni (benda seni). Karya Seni berwujud kongkret, terindera, dan

teralami oleh manusia. Seni (visual maupun audio) terwujud berdasarkan medium

tertentu. Setiap medium memiliki ciri khas, keterbatasan dan kelebihan rnasing-

masing. Karya seni merupakan perwujudan nilai yang terkandung dalam benda seni

tersebut dan juga titik pertemuan komunikasi antara seniman dan publiknya.

(3) Publik Seni. Publik Seni merupakan suatu masyarakat yang dapat

mengakui suatu ciptaan sebagai sebuah karya seni. Persoalan komunikasi nilai-nilai

49

seni oleh seniman kepada publik seni berkaitan dengan empati, jarak estetik,

apresiasi dan institust penentu nilai seni dalam masyarakat. Sedangkan persoalan

karakteristik masyarakat yang dapat menerima suatu produk seni. kajian dari

perspektif sosiologi, psikologi, dan antropologi seni sangat berperan.

(4) Nilai seni. Nilai adalah ukuran tinggi rendah atau kadar yang dapat

diperhatikan, diteliti atau dihayati dalam berbagai obyek yang bersifat ftsik

(kongkrit) maupun abstrak. Nilai seni merupakan suatu cita yang berkaitan dengan

bentuk visual dan auditif dari manusia, fauna, flora, dan alam, disamping bentuk

yang abstrak seperti gerak hati, ekspresi rasa dan citra (Dharsono, 2004 : 20).

Menurut Dharsono ada tiga nilai seni yaitu : Nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik,

nilai musikal, dan nilai makna. (a) Nilai Intrinsik dan Nilai Ekstrinsik. Nilai

intrinsik adalah nilai yang hakiki dalam karya seni secara implisit. Sifatnya mutlak

dan hakiki. Macam dan fungsinya dalam berbagai cabang seni dan jenis seni

berlainan. Sedangkan nilai ekstrinsik adalah nilai yang tidak hakiki. Nilai ini tidak

langsung menentukan suatu karya seni, melainkan berfungsi mendukung,

memperkuat kehadiran atau penyelenggaraan karya seni dan bersifat melengkapi

kehadiran karya seni. Nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik sama penting bagi

kehadiran karya seni, sebab pada umumnya keberhasilan penampilan dan

penyelenggaraan suatu karya seni akan banyak ditentukan oleh terpadunya kedua

nilai ini secara berimbang menurut kaidah dan norma tertentu.

(a) Nilai Musikal. Nilai musikan merupakan suatu kualitas 'musik'

murni yang tersamar dan sukar ditangkap oleh proses penghayatan karya seni,

memuaskan pencipta seni dengan perasaan senang yang disadari secara spontan.

Schopenhauer (1788-1860) menyatakan bahwa semua seni mengandung suasana

50

musik. Nilai musikal adalah suatu nilai yang murni dalam seni musik (dan seni-seni

lainnya).

(b) Nilai Makna. Ada dua makna pada penampilan seni, yaitu makna

yang terdapat pada bentuk luar atau 'kulit'dan makna isinya atau 'dalam'nya. Makna

'kuiit adalah makna sebenamya dan melambangkan makna yang terkandung dibalik

makna itu. Sedangkan makna 'dalam' adalah makna yang universal, yang

merupakan pelipat gandaan makna yang sebenarnya, atau suatu makna ibarat yang

dilambangi oleh makna yang sebenamya (Dharsono, 2000 : 21- 22).

(c) Pengalaman Seni adalah pengalaman manusia dengan benda seni,

pengalaman yang dialami oleh penikmat seni/penanggap seni/publik seni,

berlangsung dalam suatu proses yang berkaitan dengan waktu, ada waktu 'sebelum

seni', 'mengalami seni', dan 'sesudah seni'. Seni mengandung komunikasi yang tidak

biasa seperti penyampaian informasi. Komunikasi seni adalah komunikasi

pengalaman yang melibatkan kegiatan penginderaan, nalar, emosi, dan intuisi.

Pengalaman seni menyangkut hubungan antara karya seni, publik seni dan

pengalaman seni sang pencipta seni. Dalam pengalaman seni unsur perasaan

merupakan kekuatan utama yang menggerakan dan mendasari unsur-unsur potensi

manusia yang lain. Seorang penikmat seni/penanggap seni lebur dalam nilai-nilai

yang ditawarkan oleh benda seni. Penikmat seni/penanggap seni berempati atau

memproyeksikan perasaan ke dalam benda seni. Proyeksi parasaan itu bersifat

subyektif sekaligus obyektif. Bersifat subyektif karena penanggap menemukan

kesenangan pada bentuk karya seni dan bersifat obyektif karena proyeksi itu

berdasarkan nilai-nilai benda seni itu sendiri. Pengalaman seni selalu memiliki

suatu pola. Suatu pengalaman seni terdlri atas berbagai unsur pengalaman (visual,

51

audio, rabaan) yang satu sama lain tersusun dan terhubung sendiri. Hubungan antar

unsur inilah yang memberikan makna pada pengalaman seni. Pola hubungan antar

unsur pengalaman menunjukan adanya hubungan antara apa yang sekarang dialami

dengan apa yang diketahui sebelum pengalaman itu. Cara pandang orang-orang

terhadap sebuah karya seni berbeda kualitas dan maknanya tergantung pada

pengalaman seni dan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya

(Sumardjo,2000:162).

(d) Konteks seni berkaitan dengan nilai-nilai seni. Seni menyangkut

nilai-nilai setempat dan sezaman. Analisis kontekstual sebuah seni pertunjukkan

lebih menempatkan seni pertunjukkan dalam konteks budaya masyarakat

pemiliknya (Sudarsono, 1999:65). Pendekatan kontekstual terhadap seni sering

digunakan oleh antropolog, hal ini selaras dengan salah satu ciri penting

antropologi yang bersifat holistik, yakni dalam memahami fenomena sosial budaya,

seorang antropolog akan berusaha untuk melihat keterkaitan fenomena tersebut

dengan fenomena-fenomena yang lain dalam kebudayaan yang bersangkutan. Cara

pandang seperti ini membuat pemahaman tentang seni menjadi lebih komprehensif

dan lebih utuh (Ahimsa-Putra, 2000 :413-414).

1.6 Landasan Teori

Untuk mengkaji dua pokok masalah di atas yaitu: yang pertama adalah

bagaimana kontinuitas dan perubahan yang terjadi dari genjring bonyok ke tardug

karena perubahan sosiokultural masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat, penulis

menggunakan teori kontinuitas dan perubahan, yang lazim digunakan dalam

disiplin ilmu sejarah dan sosial budaya.

52

Di sisi lain, untuk mengkaji struktur pertunjukan genjring bonyok dan tardug,

penulsi menggunakan teori seni pertunjukan dan weighted scale (“bobot tangga

nada”). Adapun ulasannya secara rinci adalah sebagai berikut.

1.6.1 Teori kontinuitas dan perubahan

Kontinuitas merupakan perwujudan dari pelestarian dan regenerasi terhadap

masalah yang digarap untuk mencapai pengembangan yang diharapkan. Pada ranah

sosiologis, kontinuitas diwujudkan dalam bentuk kesepahaman komunitas untuk

melakukan pemberdayaan atas masalah yang diangkat ke dalam penetapan yang

diinginkan secara representatif menghasilkan perilaku budaya, respons internalisasi

pengembangan yang diharapkan dalam mencapai tujuan yang menjadi

komitmennya.

Secara teoretik kontinuitas memerlukan perilaku budaya dan internalisasi

pengembangan, dalam hal musik tardug kajian aspek kontinuitas tentang

bagaimana cara mewujudkannya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kesungguhan

tentang perilaku budaya dan internalisasi pengembangan.

Kontinuitas mengandung makna pelestarian dan regenerasi. Dalam

perwujudannya, dampak pengembangan yang harus dilakukan membawa

perubahan psikologis atas yang terjadi. Dengan demikian, konsep kontinuitas dan

pengembangan dalam masalah di sini diinginkan dapat membawa perubahan

terhadap struktur dan fungsi yang mengikutinya (Widya, 2000 dan Dudung K.

2000).

Secara kronologis orkes tardug direpresentasikan untuk secara kontinu

membutuhkan konsep kesatuan atas bagaimana perilaku pendukung budaya dalam

53

menetapkan inspirasi heuristik melakukan pencarian dan penyusunan bahan secara

sosiologis terhadap aksi peran masyarakat khususnya dalam pelestarian dan

regenerasikan. Oleh sebab itu, di sini dibutuhkan peran yang langsung dalam

menginternalisasikan perilaku ke dalam penghayatan sosial yang dilakukan.

Dengan demikian kontinuitas dan perkembangan jadi terwujud (Dudung, 2000: 25-

27).

Kontinuitas dalam menopang terwujudnya eksistensi pelestarian seperti apa

adanya sulit digapai, dalam konteksnya langkah tersebut membutuhkan

kesepahaman komunitas. Kesepahaman komunitas sangat rentan terhadap

konsekuensi perkembangan yang dilakukan. Oleh sebab itu, masalah pelestarian

yang diharapkan di sini akan banyak mengalami perubahan, selanjutnya dibutuhkan

adanya komitmen dalam merepresentasikan niatan untuk mewujudkan cita-cita

yang ingin diwujudkan.

Berdasarkan hal tersebut di atas dalam mengamati seni tardug dengan

pendekatan teori yang ada, diharapkan mampu mengungkap kontinuitas yang

terjadi dalam seni musik tardug serta bagaimana perkembangan yang terjadi pada

seni tersebut.

Merriam (1964:303) mengatakan bahwa perubahan bisa berdasar dari dalam

lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan bisa juga berasal dari luar

kebudayaan atau eksternal. Perubahan secar ainternal merupakan perubahan yang

timbul dari dalam dan dilakukan oleh para pelaku kebudayaan itu sendiri yang juga

disebut inovasi. Di sisi lain perubahan eksternal merupakan perubahan yang timbul

akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup suatu

kebudayaan.

54

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kebudayaan luar dapat

mempengaruhi kebudayaan lain, hal ini dikemukakan oleh Dyson dalam Sujarwa

(1987:39) yang mengatakan bahwa sikap menerima dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu faktor kebutuhan, keuntungan langsung yang dapat

dinikmati, senang pada satu hal yang baru (novelty) dan sifat inovatif yang ingin

selalu berkreasi. Ada juga sikap menolak yang disebabkan oleh anggapan bahwa

hal-hal yang baru itu merugikan, atau bertentangan dengan tata nilai yang sudah

dianut sebelumnya. Selain itu ada pula yang menolak tanpa alasan.

Masyarakat Sunda hadirnya genjring bonyok sudah menjadi salah satu

kebutuhan yang memberi keuntungan dalam hal ekonomis dalam pelaksanaan

upacara adat atau hiburan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya upacara adat Sunda

yang diiringi oleh genre seni genjring bonyok.

Genjring bonyok merupakan seni musik rakyat (folk music) yang dipelajari

secara lisan oleh seniman Sunda dapat mengalami kesinambungan dan perubahan

dalam musiknya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Nettl dan Behague

(1991:4) yang menyatakan sebagai berikut.

... in a folk or nonliterate culture... a song must be sung, remembered, and thought by one generation to the next. If this does not happen, it dies and is lost forever. There is another alternative: if it is not accepted by it’s audience, it may be change to fit the needs and desires of the people who perform and hear it. Nettl dan Behague mengatakan bahwa sebuah kebudayaan rakyat atau

kebudayaan tidak tertulis, sebuah musik vokal harus dinyanyikan, diingat, dan

diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika hal ini tidak terjadi, maka

musik itu akan hilang atau musnah. Namun demikian, ada alternatif lain, jika musik

itu tidak diterima oleh para penonton, hal ini mungkin dapat diubah untuk

55

disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan dari orang-orang yang

mempertunjukkan dan mendengarkannya. Berdasarkan pernyataan dari Bruno Nettl

dan dan Behague tersebut dapat penulis jadikan sebagai acuan bahwa perubahan

yang terjadi dalam seni genjring bonyok wajar terjadi dan perubahan tersebut

merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan musik tradisi Sunda agar tidak

musnah.

Pada suatu kebudayaan musik tradisi lisan sebuah perubahan dapat terjadi,

karena proses transmisi atau pengajarannya yang dilakukan secara lisan. Nettl

(1983:193) terdapat empat tipe sejarah perubahan yang terjadi di dalam transmisi

budaya musik: (1) menyatakan bahwa musik atau nyanyian yang diwariskan tidak

mengalami perubahan sama sekali. Dengan kata lain lagu tersebut dinyanyikan

saam persis, baik sebelum maupun setelah diwariskan; (2) menyatakan bahwa

musik atau nyanyian yang diwariskan, mengalami perubahan, tetapi hanya dalam

versi tunggal atau satu petunjuk, sehingga dari warisan itu berbeda dari aslinya

tanpa proliferasi dari unsur-unsurnya; (3) menyatakan bahwa musik yang

diwariskan menghasilkan banyak variasi atau perubahan, bahkan beberapa dari

musi itu difungsikan dan dilupakan dengan kata lain sebagai ide tetap stabil,

sedangkan selebihnya mengalami perubahan; dan (4) menyatakan perubahan benar-

benar total dari musik yang awal, sebahagian besar ide musik itu dirubah sama

sekali, bahkan ada yang cenderung menyimpang dari pengembangan ide aslinya.

(a) Perubahan kebudayaan, kebudayaan berada dalam kondisi yang

selalu berubah (Beals,1953:600). Menurut Suparlan, perubahan kebudayaan adalah

perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh sejumlah

warga masyarakat yang terdapat dalam aturan-aturan atau nomra-norma, nilai-nilai,

56

teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa. Perubahan

kebudayaan bisa mencakup salah satu unsurnya dan mempengaruhi unsur-unsur

kebudayaan lainnya, atau juga dapat merubah seluruh unsur-unsur kebudayaan

tersebut. (Suparlan, 2004:24).

Sehubungan dengan persoalan tersebut Edi Sedyawati dalam Karwati

(2007:30) berpendapat bahwa “perubahan bentuk seni semata-mata tidak lahir

sebagai cetusan yang benar-benar baru, melainkan kalau dilihat dalam rentangan

waktu yang panjang, hal yang baru senantiasa bertolak dari yang sudah ada

sebelumnya.” Tardug sebagai hasil dari budaya masyarakat juga mengalami

perubahan. Gejala perobahan pada tardug dapat dimulai dari ide masyarakat

pendukungnya (seniman dan apresiator). Secara musikal perubahan itu dapat

diamati berdasarkan beberapa aspek, baik tekstual maupun kontekstual dan

perubahan tersebut dipengaruhi bebrapa kepentingan yang dapat diamati

berdasarkan norma-norma, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau

kesenian dan bahasa seni pertunjukkan tradisi Tardug, merupakan memiliki faktor

yang menyebabkan terjadinya kebudayaan. Faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya perubahan kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua kelompok

berdasarkan sumbernya yakni yang terletak di dalam dan diluar masyarakat itu

sendiri. Faktor yang bersumber dari dalam masyarakat antara lain: (1) bertambah

atau berkurangnya penduduk, (2) penemuan-penemuan baru, (3) konflik

masyarakat, (4) terjadinya pemberontakan atau revolusi. Adapun faktor dari luar

masyarakat antara lain: (1) sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik

yang ada di sekitar manusia, (2) peperangan dengan negara lain, 3) Pengaruh

kebudayaan masyarakat lain (Soekanto, 1992:352-360).

57

1.6.2 Teori semiotik seni pertunjukan

Untuk mengkaji struktur pertujukan genjring bonyok dan tardug, penulis

mempergunakan teori semiotik khas untuk seni pertunjukan. Pendekatan untuk

mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotika dalam rangka usaha untuk

memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem

simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika

adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders

Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai

sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound

image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa

mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi

terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat

(interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus

memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari

lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses

penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon,

indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti

foto, maka disebut ikon. Jika larnbang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti

tirnbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai

yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik

Indonesia, maka disebut dengan simbol.

58

Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan

budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya

dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistern lambang dari sebuah

pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya.

Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mirnik, gestur, gerak,

make-up, gaya rarnbut, kosturn, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara.

Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil untuk mengkaji

sebuah pertunjukan. Pertanyaan-pertanyaannya menekankan perlunya dijelaskan

bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian. Pertanyaan ini menekankan

pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun pertanyaan- pertanyaan itu adalah

yang mencakup: (1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi: (a)

unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan, (b) hubungan antara sistem-sistem

pertunjukan, (c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e)

kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat,

lemah, atau membosankan; (2) skenografi, yang meliputi: (a) bentuk ruang

pertanjukan--mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b)

hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan, (c) sistem

pewarnaan dan konotasinya., (d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi

hubungan antara on-stage dan off-stage dan keterkaitan antara ruang yang

diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama; (3) sistern tata cahaya; (4)

properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain.

Dilanjutkan (5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta

bagaimana hubungan kostum antar pernain; (6) pertunjukan: (a) gaya. individu atau

konvensional, (b) hubungan antara pernain dan kelompok, (c) hubungan antara.

59

teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan peran, (d) kualitas

gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog dikembangkan; (7) fungsi musik dan efek

suara; (8) tahapan pertunjukan: (a) tahap keseluruhan, (b) tahap-tahap tertentu

sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain-lain, tahap

pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba; (9) interpretasi cerita dalam

pertunjukan: (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang

dipilih, (c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang

dijelaskan, (d) bagaimana struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh

para pemain dan bagaimana pementasannya, (f) termasuk genre apakah teks

dramanya.

Seterusnya (10) teks dalam pertunjukan: (a) terjemahan skenario, (b) peran

yang diberikan. teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks dan imaji;

(11) penonton: (a) di mana pertunjukan dilaksanakan, (b) prakiraan penonton

tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton,

dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna; (12)

bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis, (b) imaji apa yang menjadi

fokus; (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan: (a) apa

yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat

direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada

masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai komentar dan saran

lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi

pertunjukan.

Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian dari semiotika itu adalah

seperti yang dijabarkan berikut ini.

60

Semiotic also called Semiology, the study of sign and sign- using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce.

Peirce's seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which resembles its referent (such as a road sign for falling rocks); (2) an index, which is associated with its referent (as smoke is a sign of fire); and (3) a symbol, which is related to its referent only by convention (as with words or traffic signals). Peirce also demonstrated that a sign can never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified.

Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic concept is Saussure's distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians.

This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structulalism (q.v.), which seeks to analyze these relations. Saussure's theories are thus also considered fundamental to structuralism (especially structural linguistics) and to poststructuralism.

Modern semioticians have applied Peirce and Saussure's principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoana-lysis, communications, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi- Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva.

Semiotika atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta

tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula

dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari

61

Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai

“kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.”

Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu

John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan

berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru

muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika

munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat,

Charles Sanders Peirce.

Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotika ini, ia menumpukan

perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu

yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya

yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke

dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan

raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan

referennya (asap adalah tanda adanya api); dan (c) simbol, yang berkaitan dengan

referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik).

Secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semeion.

Panuti Sudjiman dan van Zoest (1992) menyatakan bahwa semiotika berarti tanda

atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Manakala bidang

pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses komunikasi.

Dengan menggunakan pendekatan semiotika, seseorang boleh menganalisis makna

yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia

sehari-hari. Semiotika dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan

lambang, termasuk: penggunaan lambang, isi pesan, dan cara penyampaiannya

62

(Berlo 1960:54). Dalam semiotika terdapat hubungan tiga segi antara lambang,

objek, dan makna (Eco 1979: 15; Littlejohn 1992:64; Manning 1987:26; Barthes

1967:79). Lambang itu mewakili objek yang dilambangkan. Penerima yang

menghubungkan lambang dengan objek dan makna, disebut interpretan, yang

berfungsi sebagai perantara antara lambang dengan objek yang dilambangkan.

Oleh karena itu, makna lambang hanya terwujud dalam pikiran interpretan, selepas

saja interpretan menghubungkaitkan lambang dengan objek.

Dalam konteks kajian musik, terdapat beberapa makna musik. Salah satu

yang fundamental adalah bahwa tanda dan objek menghadirkan sebuah

keterhubungan identitas. Bahwa tanda musikal adalah murni sebagai sebuah ikon.

Bagaimanapun, musik memiliki kapasistas tanda. Beberapa ahli estetika musik,

seperti Eduard Hanslick (1989:61) dan para komposer seperti Pierre Boulez

(1986:32), John Cage (1961:96), dan Kostelanetz 1988:200), mengemukakan

bahwa estetika musik itu sangat bergantung kepada modus signifikasi. Sehingga

ide musik murni atau musik absolut tak mungkin terwujud dalam membicarakan

musik dalam kebudayaan. Setiap tradisi musik di dunia ini memiliki asas dan

konsepsi estetika yang berlainan.

Pentingnya mengkaji berbagai tanda ikonik dalam musik juga penting.

Peirce membagi tanda-tanda ikonik dalam pelbagai imaji, diagram, dan metafora.

Imaji adalah ikon yang menghadirkan karakter objek. Contoh musikal ikonik

adalah mulai dari suara burung sampai kepada musik sesungguhnya. Dalam

analisis semiotika ini, purlu pula bagi para pengkajinya memperhatikan pada aspek

metafora. Musik adalah bidang semiotika yang kompleks, yang dapat dikaji

melalui berbagai titik pandang.

63

1.6.3 Teori Weighted Scale

Kemudian untuk mengkaji struktur musik yang digunakan dalam

pertunjukan genjring bonyok dan tardug ini, penulis menggunakan teori weighted

scale (bobot tangga nada), seperti yang ditawarkan oleh Wiliam P. Malm (1977).

Teori weighted scale adalah teori yang lazim digunakkan untuk menganalisis atau

mendeskripsikan melodi berdasarkan delapan unsur melodis yang terdiri dari

delapan unsur, yaitu sebagai berikut: (1) tangga nada; (2) wilayah nada (ambitus);

(3) nada dasar (tone center); (4) jumlah nada-nada, (5) distribusi interval, (6)

formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian yang berjudul Genjring Bonyok dan Tardug di Subang Jawa

Barat: Kajian Kontinuitas, Perubahan, dan Struktur Pertunjukan ini adalah sebagai

upaya mengkaji musik tradisi menerapkan payung penelitian etnomusikologi

dengan pendekatan metode sejarah. Secara kontekstual dapat dibantu dengan

menggunakan teori: sosiologi, anthropologi, atau teori sosial lainnya. Penggunaan

teori dalam analisisnya dapat dilakukan secara silang antara teks dan konteks.

menggunakan pendekatan berbagai disiplin ilmu atau disebut pendekatan

multidisiplin. Namun secara garis besar, metode penelitian musik tardug ini berada

di bawah payung keilmuan etnomusikologi.

Metode penelitian harus disiapkan untuk mencapai tujuan penelitian

(Alwasilah, 2006:85). Maka untuk mecapai tujuan penelitian ini, menggunakan

penelitian kualitatif. Dengan metode kualitatif ini peneliti menghasilkan data

64

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang

diamati. (Bogdan dan Taylor, 1975:5) Oleh karena itu dalam penelitian ini

pendeskripsian seni tardug dilakukan dengan cara antara lain: pemilihan dan

pengklasiflkasian lagu-lagu dan instrumen musik, dan terhadap informasi atau data-

data dari narasumber. Selanjutnya pencarian data dilakukan dengan meminjam cara

interpretatif yakni melalui pengalaman dan pemahaman.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah

data yang sifatnya deskriptif seperti transkrip wawancara, catatan lapangan,

gambar, foto, rekaman video. Selanjutnya lebih dijelaskan lagi bahwasanya, metode

penelitian, cara kerja, alat bantu dan pendekatan akan disesuaikan dengan tujuan

yang ingin dicapai. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitis. yaitu data yang

dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, bukan angka-angka. (Moleong, 2006:3).

Metode yang dipergunakan dalam penelitian genjring bonyok dan tardug

adalah metode deskriptif kualitatif yang berarti, penelitian yang berdasarkan atas

tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang ada. Misalnya

tentang situasi yang dialami, hubungan, kegiatan, pandangan, sikap, atau proses

yang sedang berlangsung, dan lain-lain yang berlangsung pada masa sekarang, dan

pada masalah-masalah yang bersifat aktual (Surakhmad, 1990:189-190).

Hal ini didukung dengan pendapat dari Bogdan bahwa penelitian kualitatif

secara sistematis dilakukan melalui metode kualitatif, yaitu suatu prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau kata-kata lisan

dan tertulis dari orang-orang dan prilaku yang diamati, sehingga pendekatannya

diarahkan pada latar sosial dan budaya individu atau masyarakatnya (Bogdan,

65

1972:5). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik: (a) studi kepustakaan, (b)

observasi, (c) wawancara, dan (d) perekaman.

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data melalui sumber-

sumber sekunder. Yaitu sumber tertulis, berupa buku, laporan, atau dokumen yang

memuat informasi kesenian genjring bonyok dan tardug, masyarakat

pendukungnya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pembentukan kerangka

pemikiran.

Kerja lapangan (field work) adalah suatu teknik memperoleh data primer.

Teknik ini bertujuan untuk memperoleh sejumlah data tentang keberadaan

kesenian genjring bonyok dan tardug, latar belakang prilaku sosial masyarakat

yang mendukung keseniannya, dan materi rekaman audio dan visual dari genjring

bonyok dan tardug.

Dalam melakukan kerja lapangan, untuk memperoleh data tersebut di atas,

dipergunakan kerangka kerja (lihat Nettl (1964:29-30) meliputi:

(1) Wawancara mendalam, dengan tujuan agar informan dapat memberikan

pandangan-pandangan tentang kebudayaan secara luas dan ^terbuka.

(2) Observasi budaya, meliputi proses dokumentasi audio dan visual, data

statistik, dan sumber-sumber tertulis lainnya.

(3) pengamatan berperan-serta, yaitu pengamatan dimana peneliti berperan-serta

dalam aktifitas masyarakat.

Pelaksanaan kerja laboratorium disebut juga kerja analisis (desk work).

Pelaksanaan kerja analisis ini merupakan pengolahan data yang diperoleh dari kerja

lapangan dan dilengkapi dengan data yang berasal dari studi kepustakaan. Data

66

yang diperoleh dari hasil kerja lapangan diawali dengan analisis induktif, yaitu

dengan mengklasifikasikan data dari lapangan dalam tema atau ide-ide. Kemudian

ide-ide tersebut dimodifikasi dalam suatu bangunan pemikiran Selanjutnya pada

tahap ini kesimpulan atau hipotesa dari data mulai dibentuk. Dilengkapi dengan

data sekunder dari kepustakaan, dilakukanlah analisis induktif. Yaitu kerja

laboratorium yang mencari atau menemukan apakah teori-teori yang digunakan

dalam konsep penelitian didukung oleh kesimpulan-kesimpulan dari analisis

induktif. Pada tahap ini teori tersebut kemungkinan dapat dimodifikasi untuk

menjelaskan, meramalkan dan menafsirkan fenomena dalam kesenian genjring

bonyok dan tardug.

Adapun data audio (musik) secara khusus dianalisis secara etnomusikologis.

Untuk dapat mempelajari aspek-aspek dari gaya musik genjring bonyok dan

tardug, dilakukan transkripsi. Yaitu suatu usaha untuk memindahkan bunyi aural

ke dalam suatu notasi.

Dalam menganalisis data audio yang bersifat musikal, William P. Malm

(1977:7-8) mendeskripsikan penelitian terhadap aspek musikal ini dengan tiga

tahapan, yaitu:

(1) Pengamatan terhadap praktek pertunjukan yang ditulis sebagai deskripsi

praktik pertunjukan.

(2) Aspek waktu, yang terdiri dari tempo atau meter, dan ritme.

(3) Aspek melodi, yaitu tangga nada, nada dasar, jumlah, interval, pola kadensa,

bentuk, dan kontur.

Unsur-unsur penganalisis yang dikemukakan oleh Malm ini akan

dipergunakan dalam menganalisis data musikal. Dan untuk memperoleh analisis

67

yang lebih lengkap, akan dikombinasikan dengan prosedur analisis musik yang

dikemukakan oleh Nettl (1964).

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab dengan rincian sebagai berikut. Bab I ini

merupakan Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pokok masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, konsep yang digunakan, teori yang

digunakan, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Dilanjutkan kepada Bab II yang merupakan deskripsi budaya masyarakat

Sunda di Subang Jawa Barat. Bab ini akan menguraikan tentang sistem religi,

bahasa, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, pendidikan, dan kesenian masyarakat

Sunda di Subang Jawa Barat.

Selanjutnya Bab III berisikan kajian tentang perubahan dan kontinuitas

genjring bonyok dan tardug. Bab III ini akan didukung oleh masa pertumbuhan

genjring bonyok, tokoh pendiri dan pengembang genjring bonyok, fungsi dan guna

genjring bonyok, zaman keemasan genjring bonyok. Kemudian dialnjutkan dengan

perubahan genjring bonyok menjadi tardug, yang diisi pula dengan bahagian-

bahagiannya seperti perkembangan awal tardug, munculnya istilah tardug, fungsi

dan guna tardug, tokoh pengembang tardug, kontinuitas genjring bonyok ke tardug,

dan seterusnya.

Bab IV adalah bab yang membahas tentang struktur pertunjukan genjring

bonyok dan tardug. Struktur pertunjukan ini dibagi menjadi bahagian pembuka, isi,

dan penutup. Bab ini juga akan berisikan perbandingan antara struktur pertunjukan

68

genjring bonyok dan tardug, kemudian melihat perubahan dan perubahannya di

dalam tardug.

Kemudian Bab V akan mengkaji struktur musik yang terdapat di dalam

tardug dan genjring bonyok. Bab ini akan membahas hal-hal seperti instrumentasi,

melodi yang terdiri dari tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval, distribusi

nada, formula melodi, kontur dan lainnya. Untuk tari akan dideskripsikan pola

lantai, gerak, motif gerak, komposisi, gaya, pakaian, dan lain-lainnya.

Tulisan penelitian ini akan ditutup oleh Bab IV yang isinya memuat

kesimpulan dan saran dari penelitian ini. Keimpulan yang diuraikan adalah

menjawab dua pokok masalah yang telah dikemukakan di dalam Bab I. Sedangkan

saran-saran akan diarahkan bagaimana pendekatan saintifik dan bagaimana yang

harus dilakukan oleh insan-insan terkait dalam konteks meneruskan eksistensi

kesenian sebagai bahagian dari jatidiri atau identitas masyarakat Sunda.

69

BAB II

DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN

Genre seni pertunjukan tardug dalam kebudayaan Sunda muncul dan

berkembang di daerah Subang, Provinsi Jawa Barat. Kesenian ini dikembangkan

dari tradisi genjring bonyok. Kemudian, sebelum itu di dalam kebudayaan Sunda

ada pula genre kesenian yang disebut genjring sholawat, genjring rudat, dan adem

ayem. Ketiga genre yang disebutkan terakhir ini juga dipercayai masyarakatnya

sebagai asal-usul genjring bonyok. Baik genjring sholawat, genjring rudat, adem

ayem, genjring bonyok, dan tardug, sebenarnya adalah ekspresi seni Islam di dalam

kebudayaan Sunda. Namun yang menarik perubahan-perubahan genre seni ini

adalah karena perubahan fungsional dan orientasi masyarakat pendukungnya. Yang

penting untuk dicermati perubahan fungsional tersebut tidak dapat dilepaskan dari

perubahan sosial, peran media masa, orientasi ekonomi dan hidup, dan lain-

lainnya, yang semuanya didasari oleh perubahan dan kontinuitas budaya Sunda.

Berdasarkan perkembangan dan keberadaan tardug yang sekarang ini,

maka penulis pada Bab II ini akan menguraikan aspek etnografi daerah penelitian

dalam konteks kebudayaan Sunda yang lebih luas. Tujuannya adalah untuk melihat

faktor-faktor etnografis yang menyebabkan berubahnya fungsi dan struktur seni

tardug ini dari masa ke masa.

Proses pembentukan suatu kesenian tidak akan terlepas dari keadaan

lingkungan masyarakat pendukungnya. Semakin meningkat kehidupan masyarakat,

pengalaman estetis masyarakat, dan semakin bermunculannya pemahaman-

pemahaman baru tentang suatu kesenian, akan berpengaruh besar terhadap

70

kehidupan kesenian itu. Oleh sebab itu, untuk memahami kesenian tardug sebagai

hasil kontinuitas dari seni genjring bonyok, harus memahami pula keadaan

masyarakat pendukung kesenian tardug itu sendiri.

Berkaitan dengan itu, maka sebelum menguraikan lebih jauh mengenai

proses pembentukan kesenian tardug, pada bagian ini akan diuraikan terlebih

dahulu keadaan masyarakat Subang sebagai masyarakat pendukung kesenian

tardug dan tempat di mana kesenian ini terbentuk. Adapun pembahasannya

mencakup etnografi masyarakat Sunda, lebih kecil lagi masyarakat Subang sebagai

pemilik kesenian tardug yang dikaji ini. Lebih khusus lagi penulis akan

menguraikan aspek etnografi masyarakat Sunda di Desa Cidapdap, sebagai pusat

tumbuh dan berkembangnya kesenian-kesenian genjring bonyok, genjring

sholawatan, genjring rudat, dan adem ayem. Bagaimanapun kesemua wilayah di

dalam budaya Sunda inilah yang menghasilkan suatu kontinuitas dan perubahan

yang tercermin di dalam genre tardug.

2.1 Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya

Menurut Harsojo (1971:307) berdasarkan pendekatan antropologi budaya,

yang dimaksud suku bangsa Sunda adalah orang yang secara turun temurun

menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Mereka

ini berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa barat, daerah yang sering juga

disebut dengan Tanah Pasundan ataupun Tatar Sunda. Mereka ini menggunakan

kebudayaan Sunda. Wilayah budayanya meliputi sebahagian besar Jawa Barat, dan

beberapa daerah sekitarnya.

71

Berdasarkan kajian geomorfologi, daerah Sunda pada masa kini mencakup

sebagaian besar Provinsi Jawa Barat dan sekitarnya, yang secara budaya dibagi ke

dalam empat wilayah: (1) Jakarta, (2) Bogor, (3) Bandung, dan (4) Pegunungan.

Daerah Bandung merupakan bentangan gunung berapi yang diapit oleh daerah

Bogor dan Pegunungan. Daerah Bandung sebahagian dilapisi oleh endapan aluvial

dan vulkanik muda (kuarter), tetapi di beberapa tempat adalah campuran daripada

endapan tertier dan kuarter (Ekajati, 1984:11).

Secara geografis, Jawa Barat tempat kebudayaan Sunda lahir, tumbuh, dan

berkembang, terletak pada posisi antara 5 50’ dengan 7 50’ Lintang Selatan dan

antara 104 48’ dengan 108 48’ Bujur Timur, luas wilayahnya 46.890 km. Wilayah

Jawa Barat merupakan salah satu wilayah Indonesia yang secara geografis

umumnya berbentuk kepulauan. Kepulauan ini biasa disebut dengan Kepulauan

Nusantara, yang dipakai sejak abad ke-14 Masehi, zaman Majapahit.

Secara antropologi budaya dapat dikatakan sebagai suku bangsa Sunda

adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Sunda serta

dialek dalam kehidupan sehari-sehari, berasal serta bertempat tinggal di daerah

Jawa Barat. Di luar Jawa Barat terdapat pula kampung-kampung yang

menggunakan bahasa Sunda seperti di kabupaten Brebes, Tegal, dan Banyumas di

Jawa Tengah dan di daerah transmigrasi di Lampung dan Sumatera Selatan. Jika

diteliti di jawa Barat sendiri tidak seluruh masyarakat menggunakan bahasa Sunda,

misalnya di Pantai Utara dan daerah Banten digunakan bahasa Jawa di samping

bahasa Sunda. Di Cirebon bahasa Sunda lebih banyak dipergunakan orang.

Secara umum orang Sunda menggunakan bahasa Sunda dengan berbagai

dialek menurut wilayahnya. Namun demikian, pada daerah-daerah percampuran,

72

digunakan sekali gus bahasa Sunda dan bahasa jawa, ada kecenderungan pada

beberapa keluarga yang menggunakan bahasa Sunda untuk tidak menyebut dirinya

orang Sunda, akan tetapi menyebut dirinya misalnya orang Cirebon atau orang

Banten, dan menggunakan istilah orang Sunda bagi orang Sunda Priangan. Salah

satu keterangan yang didapat mengenai hal ini adalah dari sudut bahasa, yaitu

bahasa di Priangan dianggap “lebih halus” dibandingkan daerah lainnya. Akan

tetapi sebaliknya, bahwa orang Cirebon dan Banten mengkaitkannya dengan agama

Islam yang lebih “kaffah” mereka anut dan mereka lebih dahulu memeluk Islam.

Unsur Islam ini pun sangat kuat diekspresikan di dalam seni tardug dan genjring

bonyok yang menjadi perhatian penulis dalam tesis ini.

Orang Sunda memiliki sistem kekerabatan yang dipengaruhi oleh adat yang

diteruskan secara turun-temurun, dan masuknya ajaran Islam dalam adat. Karena

agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda, maka sulit memisahkan adat

dengan agama Islam, keduanya terjalin dengan erat. Perkawinan di Tatar Sunda

misalnya dilakukan baik secara adat maupun agama.

Istilah Sunda dan Jawa Barat dewasa ini telah memasuki kehidupan

masyarakat Indonesia yang menunjuk kepada pengertian kebudayaan, etnik,

geografis, wilayah administratif pemerintahan, dan sosial. Di samping itu, dua

istilah telah memasuki pula dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial dan

humaniora yang membahas tentang Indonesia.

Dalam perkembangan lain, istilah Sunda digunakan pula dalam konotasi

manusia atau kelompok manusia, yaitu dengan sebutan Urang Sunda. Orang Sunda

adalah orang yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai orang

Sunda. Di dalam definisi itu tercakup pula kriteria berdasarkan keturunan atau

73

hubungan darah dan berdasarkan sosial budaya sekali gus. Menurut kriteria

pertama, seorang atau sekelompok orang bisa disebut orang Sunda jika kedua orang

tuanya, baik dari pihak ayah atau ibu atau keduanya orang Sunda, di mana pun ia

dilahirkan dan dibesarkan. Berdasarkan kriteria kedua, orang Sunda adalah orang

atau sekelompok orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan

dalam hidupnya menggunakan dan menghayati kebudayaan Sunda. Bisa saja

seseorang atau sekelompok orang yangorang tua atau leluhurnya orang Sunda

menjadi bukan Sunda,karena ia tidak mengenal dan tidak menggunakan nilai-nilai

Sunda daalm kehidupan. Sebaliknya jika seseorang menggunakan nilai-nilai dan

norma-norma Sunda sedangkan ia bukan keturunan Sunda, ia dapat dikatakan

sebagai orang Sunda.

Menurut R.W. van Bemmelen, Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan

untuk menamai sebuah dataran tinggi bagian barat laut India Timur, sedangkan

dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh rangakian

Gunung Sunda yang melingkar (circum Sunda Mountain System) yang panjangnya

sekitar 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian

utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan

Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat mulai

Maluku bagian selatan hingga embah Brahmaputra di Assam, India.

Menurut data sejarah, istilah Sunda menunjukkan pengertian wilayah di

bagian barat Pulau Jawa dengan segala aktivitas kehidupan manusia di dalamnya.

Istilah ini muncul pertama kali abad ke-11 Masehi. Istilah tersebut tercatat dalam

prasasti yang ditemukan di Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Istilah Sunda

sebagainama kerajaan atau paling tidak sebagai nama wilayah atau tempat, tercatat

74

pula dalam prasasti lain dan dalam empat buah naskah berbahasa Sunda kuno yang

dibuat akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Prasasti itu disebut Prasasti

Kabatentenan yang ditemukan di Bekasi. Di dalam prasasti itu dikemukakan bahwa

adanya tempat (dayeuhan) yang bernama Sunda Sembawa, di samping tempat lain

yang bernama Jayagiri. Kedua tempat ini berada di Kerajaan Sunda (Ekajati,

1984:34).

Agama yang dianut sebahagian besar orang Sunda adalah Islam. Selain

penganut agama Islam, terdapat juga penganut agama Hindu, Buddha, dan Kristen.

Walaupun semua orang Sunda sudah beraama, tetapi masih banyak dari mereka

yang pergi ke makam-makam suci, sebagai tanda kaul untuk menyampaikan

permohonan dan minta doa restu sebelum mengadakan usaha, pesta, atau

perhalatan. Penduduk di pedesaan, selain taat menjalankan ajaran agama Islam,

juga melakukan berbagai upacara yang tidak terdapat dalam ajaran Islam.

Dalam kebudayaan masyarakat Sunda, tahap kehidupan seseorang ditandai

dengan berbagai selamatan dan upacara. Selamatan diadakan mulai dari acara

melamar, perkawinan, memasuki rumah baru, masa kelahiran, turun tanah,

memotong rambut, tumbuh gigi pertama, sunatan, waktu sakit, sampai pada waktu

meninggal dunia. Dilihat dari sudut pelaksanaan kehidupan beragama, upacara

selamatan merupakan acara yang terpenting.

Berkenaan dengan upacara itu, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan.

Pertama aspek waktu. Di Priangan biasanya dilakukan pada hari Kamis sore,

malam Jumat. Kedua, aspek orang yang diundang. Biasanya yang diundang adalah

kaum tetangga. Mereka diundang secara lisan. Anggota keluarga kerabat laki-laki si

pengundang mendatangi rumah tetangga yang diundang. Si pengundang memakai

75

sarung dan kopiah. Selamatan biasanya berlangsung kalau ada orang yang dapat

menyampaikan doa. Untuk keperluan ini biasanya diapanggil seorang modin desa

atau seorang guru ngaji yang dianggap mengetahui tata cara menyampaikan doa.

Upacara dimulai dengan mengucap Al-Fatihah dan diakhiri dengan Al-Fatihah

juga. Isi doa menurut maksud diadakannya selamatan itu. Hidangan selamatan tak

jauh berbeda dengan upacara yang sama. Biasanya berupa tumpengan, yaitu

gundukan nasi seperti bentuk gunung yang diletakkan di atas baki yang terbuat dari

bambu dan kayu. Dalam selamatan orang tidak banyak bicara dan waktu makannya

tidak lama. Selesai makan, para undangan segera pulang.

Dalam sistem tatapolitis pada sebuah desa, orang Sunda mengenal unsur-

unsur sebagai berikut: (1) satu orang juru tulis yang bertuga mengurus administrasi

pemerintahan berupa pemeliharaan berbagai arsip, daftar hak milik rakyat,

pengurusan pajak, dan lainna; (2) tiga orang kokolot, yang merupakan penghubung

rakyat dan pamong desa, ia bertugas menyampaikan berbagai perintah atau

pemberitahuan pamong desa kepada warga dan menyampaikan pengaduan rakyat

kepada pamong desa; (3) satu orang kulisi yaitu petugas yang bertanggung jawab di

bidang keamanan desa, ia bekerjasama dengan hansip; (4) satu orang ulu-ulu yaitu

petugas yang mengatur pembagian air dan pemeliharaan selokan; (5) satu orang

amil yaitu orang yang bertugas mengurus masalah kematian, nikah, talak, rujuk,

pembacaan doa dalam selamatan, dan yang berkaitan dengan ritual agama Islam

lainnya; (6) tiga orang pembina desa, yang terdiri atas satu orang dari kepolisian

dan dua orang tentara angkatan darat.

Masyarakat Sunda memiliki sistem kekerabatan yang sampai kini masih

dapat dikaji keberadaannya. Pasangan suami-isteri membentuk keluarga kecil yang

76

disebut rumah tangga. Pada mulanya hanya terdiri atas sepasang suami-isteri.

Kemudian, dengan lahirnya anak-anak dari sepasang suami-isteri, maka anggota

keluarga menjadi lebih lengkap. Ayah berperan sebagai kepala rumah tangga, ibu

berperan sebagai pengurus rumah tangga.

Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Sunda berdasar kepada silsilah

keturunan, sampai tujuh generasi: (1) anak, (2) incu, (3) buyut, (4) bao, (5)

janggawareng, (6) udeg-udeg, dan (7) gantung siwur. Umumnya, keturunan hanya

eksi sampai peringkat buyut.

Dalam kebudayaan masyarakat Sunda, isteri disebut oleh suaminya

pamajikan, dan sebaliknya suami disebut isterinya dengan salaki. Orang tua isteri

ataupun suami disebut mitoha (mertua) oleh pasangan suami isteri tersebut. Orang

tua isteri dan suami terhadap pasangan suami isteri, yang bukan anak kandungnya

disebut minantu. Orang tua isteri dan rang tua suami saling menyebut besan.

Seorang ayah oleh anak-anaknya biasa dipanggil abah. Ibu dipanggil ema oleh

anak-anaknya. Adik-adik ayah dan ibu yang laki-laki biasa disebut dengan emang

oleh anak-anak dari pasangan suami isteri. Sedangkan adik-adik perempuan

daripada ibu atau abah biasanya disebut bibi. Kakak-kakak ayah dan ibu, baik

lelaki maupun perempuan biasa dipanggil ua oleh anak-anak dari pasangan suami

isteri. Itulah sekilas keberadaan sistem kekerabatan masyarakat Sunda. Begitu juga

masyarakat Sunda di perantauan seperti di Sumatera Utara.5

5Masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara, merupakan masyarakat pendatang yang

migrasu bersama dengan masyarakat Jawa, sejak abad kesembilan belas. Awalnya mereka adalah menjadi buruh-buruh di perkebunan-perkebunan Belanda. Sebahagian daripada mereka selepas habis masa kontraknya ada yang membentuk pemukiman baru di Sumatera Utara, dan hidup secara segregatif, dalam kebudayaan masyarakat Sumatera Utara yang heterogen.

77

Sistem kekerabatan sudah dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara

turun-temurun dan juga berlandas pada agama Islam. Karena agama Islam telah

lama dipeluk oleh orang Sunda, maka sulit kiranya memisahkan mana adat dan

mana agama, dan biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan

kebudayaan orang Sunda. Perkawinan di Tanah Sunda misalnya dilakukan secara

adat ataupun secara agama Islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab kabul

dilakukan, tampak sekali bahwa di dalarn upacara-upacara terpenting ini terdapat

unsur agama dan adat. Dalam menentukan jodoh, masyarakat Sunda tidak terikat

oleh sistem tertentu, tetapi perkawinan dalam keluarga batih dilarang. Di dalam,

masyarakat Sunda ada kecenderungan untuk memilih menantu berasal dari

kalangan keluarga sendiri. Untuk menentukan seorang yang akan di ambil sebagai

calon menantu, terlebih dahulu diadakan penyelidikan dari kedua belah pihak

Penyelidikan itu biasanya dilakukan secara rapi, bahkan sering secara tertutup, hal

ini dimaksudkan untuk memperoleh menantu yang baik. Ukuran dan kriteria

menantu yang baik sangat relatif.

Adapun mencari menantu dapat dilakukan oleh pihak kelaurga laki-laki

ataupun oleh keluarga perempuan. Cara mencarinya mula-mula tidak serius, tetapi

sambil bergurau antara orang tua kedua belah pihak. Tempat pernbicaraannya pun

tidak menentu, tergantung di mana mereka dapat sering bertemu, di pasar, di ladang

di dalmn perjalanan dan lain sebagainya.

Apabila anak gadis itu belum bertunangan dan orang tuanya setuju atas

usulan pihak orang tua pemuda, maka pembicaraan itu dinamakan neundeun

ornong, artinya menyepakati perkataan. Antara neundeun omong sampai

nyeureuhan atau melarnar terjadilah amat-mengamati, selidik-menyelidiki secara

78

baik. Setelah dilakukan pelamaran, maka dilakukan persiapan-persiapan untuk

melakukan upacara pernikahan. Setelah tersida keperluan itu, maka orang tua

laki-laki mengirirnkan kabar pada orang tua si gadis hari dan jam yang sudah

ditetapkan untuk diadakan seserahan anak laki-laki yang akan menjadi mempelai

itu. Perihal waktu perkawinan sudah mereka bicarakan. Biasanya penyerahan anak

laki-laki dilakukan tiga hari sebelum dilakukan upacara pernikahan. Setelah anak

laki-laki di serahkan pada prinsipnya segala sesuatu telah manjadi tanggung jawab

orng tua perernpuan. Upacara pernikahan dilakukan secara sederhana menurut

agama, tetapi upacara nyawer dan buka pintu adalah yang paling menarik sernua

orang gembira dan mengikuti dialog yang dilakukan dengan bahasa puisi dan lagu.

Pada masyarakat Sunda, bentuk keluarga yang terpenting adalah keluarga

batih. Keluarga. batih terdiri dari suarni, istri dan anak yang didapat dari

perkawinan atau adopsi. Adat sesudah nikah di Jawa Barat pada prinsipnya adalah

neolokal. Hubungan sosial diantara keluarga batih arnat erat keluarga batih

merupakan tempat yang paling aman bagi anggota masyarakat. Di dalam rumah

tangga keluarga batih sering juga terdapat keluarga lain seperti ibu mertua atau

kemenakan pihak laki-laki atau perempuan. Adakalanya bentuk keluarga menjadi

lebih besar karena, pihak laki-laki kawin lagi dan melakukan poligami.

Dalam hubungannya dengan kehalusan bahasa sering dikernukakan, bahwa

bahasa Sunda yang murni dan halus di daerah Priangan, seperti di Kabupaten

Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi, dan Cianjur. Sampai

sekarang dialek Cianjur masih dipandang sebagai bahasa Sunda yang terhalus.

Bahasa Sunda yang dianggap agak kurang halus adalah bahasa Sunda di dekat

pantai utara, misalnya terdapat di Banten selatan adalah bahasa Sunda kuno.

79

Bentuk sastra Sunda yang tertua adalah cerita-cerita pantun, yaitu cerita

pahlawan nenek moyang Sunda dalam bentuk puisi diselang-selingi oleh prosa

berirama seperti bentuk pelipur lara. Tukang-tukang pantun ini mendongengkan

cerita-cerita pantunnya dengan iringan bunyi kacapi Sunda. Cerita-cerita itu

mengetengahkan pahlawan-pahlawan dan raja-raja pada zaman Sunda kuno,

misalnya zaman Galuh dan Pajajaran, dan selalu menyebut nama raja Sunda yang

terkenal ialah Prabu Siliwangi. Bagi orang Sunda cerita-cerita pantun itu

menduduki tempat yang khas dalam hatinya. Permainan pantun dapat menggugah

perasaan kebesaran orang Sunda, yang melihat cerita sejarah di masa lampau

semakin jauh semakin terang, semakin lama semakin terkenang.

Seni bangunan dapat dilihat dari bangunan rumah adat Sunda, contohnya

bangunan Kekeratonan Kasepuhan Cirebon, yang memiliki empat ruangan: (a)

jinem atau pendopo, tempat duduk para punggawa atau penjaga keselamatan sultan;

(b) pringgondani, tempat sultan memberi perintah kepada para adipati; (c)

prabayasa, yaitu tempat sultan menerima tetamu istimewa; (d) panembahan, yaitu

ruang kerja dan istirahat sultan. Untuk rumah penduduk, bangunan disesuaikan

dengan keadaan tanah yang biasanya tidak rata. Banyak rumah dibangun di atas

tiang-tiang yang tidak begitu tinggi. Di bawah rumah seringkali dibuat kolam ikan.

Ini disebabkan karena tanah di Jawa Barat relatif banyak mengandung air.

Seni tari yang sangat populer dalam kebudayaan masyarakat Sunda adalah

jaipongan. Jaipongan adalah paduan antara tari ketuk tilu dengan tari gendang

pencak. Para penonton diajak menari bersama-sama dengan ronggeng. Tari

jaipongan mulai populer di paruh kedua bada ke-20 dan merupakan sebuah daya

tarik untuk para wisatawan yang datang ke daerah Parahiangan. Tari-tari Sunda

80

lainnya adalah: Tari Topeng Kuncaran, yaitu tari yang mengisahkan dendam

kesumat seorang raja karena cintanya ditolak. Berikutnya adalah Tari Kupu-kupu

yang merupakan imitasi alam yaitu kupu-kupu yang serba indah, menarik, dan

memukau yang melihatnya. Seterusnya adalah Tari Rumlang yaitu tari topeng khas

dari Cirebon, dan lain-lain.

Alat musik dari kawasan Sunda ini di antaranya adalah angklung, calung,

kacapi, suling, dan degung. Angklung dan calung terbuat dari bambu. Angklung

dimainkan dengan cara digoyangkan. Calung memainkannya dengan cara dipukul.

Alat-alat musik Sunda digunakan untuk mengiringi lagu-lagu vokal daerah Sunda

seperti tembang dan kawih. Tembang adalah lagu yang berbentuk bebas dan diiringi

angklung dan calung. Seni suara Sunda lainnya adalah sintren dan cincang keling.

Wayang dan wawacan. Wayang dalarn masyarakat Sunda adalah wayang

golek bukan wayang kulit. Wawacan adalah cerita yang berbentuk puisi biasanya

dinyanyikan ketika membacanya seperti wawacan Rengganis dan Purnama Alam.

Wayang dan Wawacan dalam kesusastraan Sunda terdapat bermacam-macam cerita

rakyat, seperti Sangkuriang yaitu cerita tentang terjadinya gunung Tangkuban

Perahu dan Danau Purba di dataran tinggi Bandung. Satu macam cerita rakyat di

Sunda adalah cerita Si Kabayan, suatu contoh sastra yang dilukiskan sebagai

seorang yang malas dan bodoh, akan tetapi tampak pula kecerdikannya.

Musik tradisional Sunda yang paling dikenal adalah gamelan seperti halnya

di Jawa Tengah. Gamelan ini terdiri dari alat-alat musik seperti saron, gender,

bonang, goong, rebab, kacapi, dan lainnya. Dalam satu set biasanya terdiri dari

dua ensambel, yang berlaras slendro dan pelog. Selain itu di Sunda juga dijumpai

81

ensambel gamelan degung yang merupakan percampuran antara gamelan laras

slendro dan pelog.

Gamelan degung termasuk ke dalam rumpun gamelan, yang dimainkan

secara ensambel. Terdiri dari empat sampai tujuh instrumen, sebelum seni degung

mengalami perkembangan, instrumen yang digunakan hanya berjumlah empat buah

yaitu bonang, saron, jengglong, dan goong. Kemudian sekitar tahun 1950-an,

gamelan degung mengalami perkembangan dengan salah satunya adalah dengan

menambah jumlah instrumennya dengan kendang, suling, dan saron peking.

Menurut bentuknya, selain jenis kendang dan suling, instrumen-instrumen dalam

gamelan degung dapat digolongkan ke dalam dua jenis yaitu bentuk pencu dan

bilahan. Instrumen yang berbentuk pencu adalah bonang, jengglong, dan goong.

Sedangkan yang berbentuk bilahan adalah saron dan saron panerus. Jumlah pencu

pada bonang terdiri dari 14 sampai 16 pencu yang tersusun dari nada paling rendah

(da) sejauh tiga gembyang (oktaf). Deretan pencu tersebut disusun di atas

penyangga yang disebut rancak yang terbagi menjadi dua bagian, rancak sebelah

kanan diisi dengan deretan pencu bernada tinggi yang dimulai dari nada tertinggi da

sampai nada na gembyang tengah dan rancak sebelah kiri diisi dengan deretan

pencu yang bernada rendah dimulai dari nada ti gembyang tengah sampai nada la

gembyang bawah.

Genre kesenian lain yang ada di kebudayaan Sunda adalah dungkol, satu

kesenian rakyat yang berkembang sejak dasawarsa 1940-an. Seni ini berupa

permainan untuk hiburan rakyat pedesaan di Sunda saat bulan purnama, yang

dilakukan di halaman rumah. Alat musik yang digunakan adalah bedug dan kohkol

(kentongan), ditambah dengan kendang batangan (kendang besar), dua kulanter

82

(gendang ketipung), satu kempul, satu gong besar, ditambah alat kosrek (tabung

bambu yang memainkannya digaruk). Adapula genre lainnya yaitu musik calung,

yang merupakan ensambel alat musik yang terbuat dari bambu. Calung ini terdiri

dari calung rantay, calung gamelan, dan calung jinjing. Demikian sekilas seni

musik atau karawitan Sunda. Demikian sekilas masyarakat Sunda dan

kebudayaannya.

2.2 Kabupaten Subang

Berdasarkan asal-usulnya, istilah Subang memiliki berbagai versi. Asal-usul

nama Subang dapat dicari melalui cerita rakyat atau folklor dan histografi

tradisional yang ada di dalam masyarakat Subang. Asal nama Subang ini

mempunyai bermacam-macam persepsi, sehingga harus ada pendekatan akurat

terhadap asal-usul kata Subang. Akan tetapi sampai saat ini belum menjadi suatu

kesimpulan untuk menjadi toponimi Subang sekarang.

Dari cerita rakyat berdasarkan historiografi tradisional, kata Subang berasal

dari nama seorang wanita, sebagaimana terdapat dalam Babad Siliwangi, yaitu

Subanglarang atau Subangkarancang. Hal itu dikuatkan pula oleh cerita yang

terdapat pada Babad Pajajaran. Dalam babad tersebut dikisahkan bahwa di daerah

Karawang ada sebuah Pesantren yang dipimpin oleh Syeh Datuk Quro, yang juga

menjadi tempat belajar dua wanita. Kedua wanita tersebut bernama Subanglarang

atau Subangkarancang yang merupakan putri dari Ki Jamajan Jati. Pada waktu itu

Subanglarang sedang belajar di pesantren Syeh Datuk Quro, hingga suatu saat

kelak dinikahi oleh Raden Pamanahrasa yang bergelar Prabu Siliwangi sebagai

83

Raja Pajajaran, dan mempunyai dua orang anak yaitu Raden Walangsungsang dan

Ratu Rarasantang.

Kata Subang juga berasal dari kata Subang yang merupakan suatu tempat di

daerah kuningan. Pada masa perusahaan P & T Land waktu itu dipimpin oleh PW.

Hofland. PW. Hofland merupakan orang Belanda yang menguasai perkebunan

karet, kopi, teh, tebu. yang sangat luas. Sehingga untuk pengelolaan perkebun-

annya itu memerlukan karyawan yang banyak. Karena kekurangan karyawan,

kemudian P.W. Hofland mendatangkan orang-orang untuk menjadi karyawannya.

Para pekerja itu didatangkan dari daerah Subang Kuningan. Penduduk Subang pada

waktu itu belum banyak seperti sekarang. Para pendatang tersebut kemudian

membuat perkampungan di sekitar pabrik yang disebutnya Kampung Babakan atau

Kampung Subang, sesuai dengan asal tempat tinggal mereka.

Dari cerita rakyat versi lain, ada yang mengatakan bahwa penamaan Kota

Subang berasal dari kata suweng. Dalam bahasa Sunda, kata suweng memiliki

makna perhiasan yang dipasang di telinga atau disebut juga anting. Subang juga

berasal dari kata kubang. Menurut folklor (cerita rakyat)6 bahwa di daerah Subang

tepatnya di Rawabadak terdapat kubangan atau rawa tempat mandi badak.

6 Pembentukan nama-nama daerah atau tempat dalam suatu kebudayaan masyarakat,

seringkali dihubungkan dengan sejarah, mitos, atau legenda. Di kawasan Sumatera misalnya istilah kata Sibolga berasal dari kata boga-boga (sejenis pohon), kata Kesultanan Deli berasal dari nama kata Delhi di India, asal-usul kata Medan ada yang mengaitkannya dengan mejan (patung) dalam bahasa Batak, atau arena dalam bahasa Melayu, istilah Danau Toba juga ada yang menghubungkannya dengan Surah Attaubah yang diambil dari Al-Qur’an. Pembuatan nama seperti ini adalah bahagian dari folklor (cerita rakyat). Dari bentuk atau genre folklor, yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Menurut William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, iaitu: (1) mite (myth), (2) legenda (legend) dan (3) dongeng (folktale). Mitos adalah cerita prosa rakyat yag dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci—namun legenda ditokohi oleh

84

Kalaupun benar di Subang terdapat hewan badak mungkin hewan ini hidup

pada masa Subang Purba. Asumsi dari kedua kata suweng dan kubang merupakan

perbedaan lafal kata. Lafal kata tersebut bisa diakibatkan karena kurang jelasnya

dalam mendengar kata suweng dan kubang atau tidak biasa mengucapkan kedua

kata tersebut. Subang sebagai nama tempat atau daerah dan gunung baru dikenal

pada abad ke-17 dan ke-18 sebagaimana yang ditulis oleh De Haan (1912:296).

Berikut ini kutipannya: "Pada tanggal 6 Oktober 1692, Couper (Komandan Tentara

Kompeni) dapat memukul pasukan Surapati. Sebanyak 160 orang prajurit Surapati

melarikan diri ke Madura, 50 orang melarikan diri ke Banyumas dan Bagelen.

Sedangkan pasukan Van Happel dari Imbanegara menuju Dayeuhluhur melintasi

Cijolang terus melewati Subang kembali ke Cheirebon.”

Pada bagian lain halaman 336 De Haan pun menulis: “Pada perjanjian

tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram dengan Kompeni Belanda. Sunan

Kartasura menyerahkan kepada Gubernur Jenderal De Jonge daerah-daerah pesisir

pulau Jawa dari barat ke timur pegunungan Dayiloer (Dayeuhluhur) sampai

Gunung Sumana atau Subang."

2.2.1 Letak geografis Kabupaten Subang

Pembentukan Kabupaten Subang serta batas-batas daerahnya didasarkan

kepada Undang-undang Nomor 4 tahun 1968, yaitu Undang-undang tentang

pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan mengubah

Undang-undang Nomor 14 tahun 1950 tentang pembentukan daerah kabupaten manusia, meski kadangkala memiliki sifat-sifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal sekarang, waktu terjadinya belu begitu lama. Dogeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya ceritera, tidak terikat oleh waktu dan ruang (lihat Bascom, 1965:3-20). Parafrase pengertian tiga bentuk ceritera rakyat ini lihat James Danandjaja (1984:50-51).

85

dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat. Undang-undang Nomor 4 tahun 1968

diundangkan tanggal 29 Juni 1968 dan dimasukan ke dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia tahun 1968.

Kabupaten Subang secara geografis terletak di bagian utara Propinsi Jawa

Barat yaitu antara 103°1' - 107° 54' Bujur Timur dan 6° 11'- 6° 49' Lintang Selatan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1968 daerah Kabupaten Subang

mempunyai batas-batas sebagai berikut: (i) sebelah utara berbatasan dengan Laut

Jawa; (ii) sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten

Sumedang; (iii) sebelah selatan: berbatasan dengan Kabupten Bandung; dan (iv)

sebelah barat: berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta.dan Kabupaten Karawang.

Luas Daerah Kabupaten Subang mencapai 205 166.95 ha atau 1.888.79

km2, memiliki luas wilayah 4.64 % dan luas Propinsi Jawa Barat. Secara alamiah

dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian wilayah antara lain:

1. Daerah pantai di bagian utara meliputi Kecamatan Pamanukan dengan luas

wilayah 81.71 km², Kecamatan Pusakanagara luas wilayah 103.52 km²,

Kecamatan Ciasem luas wilayah 117,19 km², Kecamatan Blanakan luas wilayah

97.15 km² , dan Kecamatan Legonkulon luas wilayah 85,22 km².

2. Daerah pedataran di bagian tengah meliputi Kecamatan Subang luas wilayah

54.67 km², Kecamatan Kalijati luas wilayah 129.14 km², Kecamatan Cikaum

luas wilayah 92.80 km², Kecamatan Cipeundeuy luas wilayah 111.14 km²,

Kecamatan Purwadadi luas wilayah 87.89 km², Kecamatan Pabuaran luas

wilayah 99,51 km², Kecamatan Patokbeusi luas wilayah 80,62 km², Kecamatan

Pagaden luas wilayah 82.94 km², Kecamatan Cipunagara luas wilayah 100.73

86

km², Kecamatan Compreng luas wilayah 68,66 km², Kecamatan Binong luas

wilayah 105,56 km², dan Kecamatan Cibogo luas wilayah 54.27 km².

3 Daerah pegunungan di bagian selatan meliputi Kecamatan Cijambe luas wilayah

108,25 km², Kecamatan Jalancagak luas wilayah 103.05 km², Kecamatan

Sagalaherang luas wilayah 102.24 km², Kecamatan Cisalak luas wilayah 102.81

km², dan Kecamatan Tanjungsiang luas wilayah 82.69 km².

Ketinggian daerah Kabupaten Subang dari permukaan laut terletak antara 0 sampai

1785 m dpi. dengan perincian sebagai berikut.

(a) Daerah pantai dengan ketinggian antara 0-50 m dpi dengan luas wilayah

92.939,7 hektar atau 45.15% dan seluruh luas wiilayah Kabupaten Subang.

(b) Daerah pedataran dengan ketinggian antara 50 - 500 m dpi dengan luas wilayah

71.502.16 hektar atau 38,85% dan seluruh luas wilayah Kabupaten Subang

(c) Daerah Pegunungan dengan ketinggian antara 500-1500 m dpi dengan luas

wilayah 41.035,09 hektar atau 20% dan selunih luas wilayah Kabupaten

Subang.

Dilihat dan keminngan tanah, maka tercatat 80,80% wilayah Kabupaten Subang

memiliki kemiringan 0° - 17°, sedangkan sisanya memiliki kemiringan 18°. Secara

umum wilayah Kabupaten Subang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata per

tahun 1.593 mm dengan rata-rata hujan 91 hari. Iklim yang demikian ditunjang

dengan lahan yang subur dan banyaknya aliran sungai menjadikan sebagian besar

luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian.

Wilayah Kabupaten Subang dibatasi oleh dua sungai, sebelah barat dibatasi

oleh Sungai Cilamaya sedangkan sebelah timur dibatasi oleh Sungai Cipunagara.

Kedua sungai tersebut langsung bermuara ke Laut Jawa. Laut Jawa yang terletak

87

disebelah utara Laut di wilayah Kabupaten Subang menyimpan potensi alam yang

dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Subang.

Jarak teijauh antar ibukota kecamatan adalah 106 kilometer yaitu yang

menghubungkan antara ibu kota Kecamatan Patokbeusi di sebelah utara Kabupaten

Subang. Demikian juga jika Kecamatan Subang yang menjadi titik pusat untuk

menghitung jarak keseluruh kecamatan, maka Kecamatan Patokbeusi juga

merupakan kecamatan yang terjauh dari ibukota Kabupaten Subang yaitu berjarak

68 kilometer.

Kota Subang sebagai ibukota Kabupaten terletak di daerah pedataran. Jarak

dan ibukota kabupaten ke ibukota negara sekitar 150 km ke sebelah timur.

Sedangkan jarak dari ibukota Propinsi Jawa Barat berjarak 57 km ke sebelah utara.

2.2.2 Demografi dan pemerintahan

Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Kabupaten Subang mengalami

peningkatan. Usaha untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dilakukan

melalui program Keluarga Berencana dan Transmigrasi melalui kedua program

tersebut tingkat laju pertumbuhan penduduk dapat diturunkan dari 1.91%, laju

pertumbuhan rata-rata per tahun menjadi 1.25%. Hal yang demikian itu dapat

dilihat dari perbandingan jumlah penduduk per 10 tahun berikut ini: pada tahun

1970 jumlah penduduk mencapai 898.448 jiwa, tahun 1980 berjumlah 1.065.251

jiwa dan pada tahun 1990 menjadi 1.206.664 jiwa.

Dari jumlah penduduik itu, sebagian besar berdomisili di Kecamatan

Subang dengan kepadatan 1.780 jiwa per kilometer persegi dan yang terkecil

berdomisili di Kecamatan Cipeundeuy dengan kepadatan 320 jiwa per kilometer

88

persegi. Hal ini menandakan bahwa penyebaran penduduk di Kabupaten Subang

tidak merata.

Penyelenggaraan pemerintahan dan pengembangan pembangunan

Kabupaten Subang membagi wilayah daerahnya ke dalam 20 kecamatan, 2

perwakilan kecamatan, 242 desa, dan 8 kelurahan; yang termasuk ke dalam 4

wilayah kerja pembantu bupati.

Dalam rangka pembinaan wilayah dan rakyatnya, pada masa Orde Baru

atau sebelum masa Reformasi, pemerintah Kabupaten Subang mengelompokan

kesebelas kecamatan dalam lingkungan Kabupaten Subang ke dalam empat

Wilayah Pembantu Penghubung Bupati yaitu, sebagai berikut.

(1) Wilayah 1 Subang, yang membawahi Kecamatan Subang, Kecamatan

Pagaden, dan Kecamatan Kalijati.

(2) Wilayah II Pamanukan, yang membawahi Kecamatan Pamanukan,

Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara,

(3) Wilayah III Ciasem, yang membawahi Kecamatan Ciasem, Kecamatan

Pabuaran, dan Kecamatan Purwadadi.

(4) Wilayah IV Sagalaherang, yang membawahi Kecamatan Sagalaherang dan

Kecamatan Cisalak.

Untuk mensukseskan usaha-usaha pembangunan dan pembaruan,

Kabupaten Subang dibagi ke dalam tiga daerah pembangunan yang masing-masing

mempunyai corak dan sifat pengarahan tersendiri yaitu sebagai berikut.

(a) Daerah Pembangunan A, yang mencakup Kecamatan Cisalak,

Sagalaherang. Subang, dan Kalijati. Persiapan serta pengarahan daerah ini

ditujukan pada usaha-usaha perkebunan dan perikanan darat yang akhirnya

89

harus mengarah pada perkembangan industri yang menunjang pada usaha-

usaha perkebunan dan perikanan di daerah tersebut.

(b) Daerah Pembangunan B, yang mencakup Kecamatan Puwadadi, Pagaden,

Binong, dan Pabuaran. Pengarahannya dititikberatkan pada usaha-usaha

peningkatan produksi pangan, khususnya beras, palawija, dan hasil-hasil

ternak melalui intensifikasi areal pertanian.

(c) Daerah Pembangunan C, mencakup daerah-daerah Kecamatan

Pusakanagara. Pamanukan, dan Ciasem. Persiapan dan pengarahannya

dititikberatkan pada kegiatan-kegiatan industri, perdagangan, dan perikanan

(laut) dengan pusat kegiatannya di Pamanukan.

2.2.3 Sejarah singkat Kabupaten Subang

Keberadaan Subang yang kini menjadi salah satu kabupaten di keresidenan

Purwakarta pada dasarnya tidak terlepas dari pertumbuhan Kabupaten Karawang

dan Purwakarta. Secara historis ketiga kabupaten tadi mulanya merupakan satu

kesatuan kabupaten, yaitu kabupaten Karawang (lama), yang kemudian terpecah

menjadi tiga wilayah Daerah Tingkat II yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten

Purwakarta, dan Kabupaten Subang.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1954, Kota Subang menjadi

pusat Pemerintahan Sipil Karawang Timur yang berada di bawah pimpinan Patih.

Lalu berdasarkan surat Keputusan Presiden No. 12 tanggal 29 Januari 1949,

Kabupaten Karawang dibagi menjadi dua kabupaten yakni kabupaten Karawang

yang beribukota Karawang, dan kabupaten Purwakarta ibukotanya di Subang. Pada

tahun 1950 berdasarkan pasal 2 ayat 2 UU No. 14/1950 Subang ditetapkan sebagai

90

ibukota Kabupaten Purwakarta. Selanjutnya berdasarkan UU No. 4/1968 terjadi

perubahan status Kabupaten Purwakarta dibagi menjadi dua yaitu Kabupaten

Subang dengan ibukota di Subang dan Kabupaten Purwakarta dengan ibukota di

Purawakarta. Bupati pertama di Subang, ketika wilayah Subang masih termasuk ke

dalam kabupaten Purwakarta, adalah Danta Ganda Wikarma (1948-1949), dan

dilanjutkan berturut-turut oleh: R.S. Sunarya Ronggowaluyo, Rd. R. S.

Hadipranoto (1950-1957), R. Ganda Wijaya (1957-1959), Tb. Mh. Hasan

Sutawinangun (1959-1966), dan R.H. Atju Syamsudin (1967-1978).

Pada masa pemerintahan Rd. H. Atju Syamsuddin, status wilayah Subang

berkembang menjadi wilayah kabupaten, dengan demikian beliaulah bupati

pertama Kabupaten DT II Subang setelah berpisah dengan Kabupaten Purwakarta.

Kemudian diteruskan oleh Ir. Sukanda Kartasasmita (1978-1988), Drs. Oman

Sachroni (1988-1993), Drs. H Abdul Wachyan (1993-1998), Drs. Rohimat (1998-

2003), dan Drs. Eep Hidayat, M.Si (2003-sekarang).

Kabupaten Subang terletak di bagian utara Propinsi Jawa Barat, sebelah

selatan berbatasan dengan kabupaten Bandung, sebelah barat dengan kabupaten

Purwakarta dan Karawang, sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa, dan sebelah

timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu. Secara Geografis terletak di antara

107°31 - 107°54 Bujur Timur dan 6°11 - 6°49 Lintang Selatan.

Luas wilayah Kabupaten Subang ialah 205.176,95 hektar atau sejumlah

4,46% dari luas Jawa Barat, terbagi menjadi 4 wilayah pembangunan yaitu wilayah

I Subang, wilayah II Pamanukan, wilayah III Purwadadi, dan wilayah IV

Jalancagak. Secara administrasi Pemerintahan Kabupaten Subang mencakup 4

wilayah Pembantu Bupati yaitu Wilayah I Subang terdiri atas 4 kecamatan, dan 53

91

desa/kelurahan; Wilayah II Pamanukan terdiri atas 4 kecamatan, dan 94

desa/kelurahan; Wilayah III Purwadadi terdiri atas 8 kecamatan, dan 49

desa/kelurahan; dan Wilayah IV Jalancagak terdiri atas 4 kecamatan, dan 54

desa/kelurahan. Dari keempat wilayah tersebut daerah yang potensial adalah daerah

perkebunan (Bapeda Subang, 2010:5).

Secara fisik, wilayah kabupaten Subang memiliki tiga zone daerah dengan

ketinggian antara 0 - 1.500 meter di atas permukaan laut. Dengan demikian wilayah

Subang terdiri atas daerah pantai, pedataran, dan pegunungan. Yang termasuk ke

dalam daerah pantai, yaitu Kecamatan Pamanukan, Blanakan, Pusakanagara,

Compreng, dan Ciasem. Yang termasuk ke dalam daerah pedataran, yaitu

kecamatan Pabuaran, Patokbeusi, Purwadadi, Kalijati, Cipeundeuy, Subang,

Cijambe, Cibogo, Pagaden Cipunagara, dan Binong, sedangkan yang termasuk

daerah pegunungan, yaitu Jalancagak, Sagalaherang, Cisalak, dan Tanjungsiang

(Bapeda Subang, 2010:7). Secara umum daerah Subang beriklim tropis sejuk,

dengan Curah hujan daerah yang selatan paling tinggi (3000-4000 mm/tahun), di

daerah pedataran curah hujannya 2500 mm/tahun, sementara curah hujan paling

rendah adalah daerah utara.

Penduduk Kabupaten Subang pada tahun 2012 berjumlah 3.241.330 jiwa,

dengan penyebarannya daerah utara sebanyak 36%, daerah pedataran sebanyak

52%, dan daerah selatan sebanyak 12%. Mata pencaharian penduduk pada

umumnya petani, buruh tani, dagang/industri, pegawai negeri, perikanan darat/air

tawar, nelayan, dan lain-lain. Penduduk kabupaten Subang umumnya beragama

Islam, serta sebagian kecil beragama Kristen, Hindu, dan Buddha.

92

2.2.4 Pengaruh budaya Hindu, Buddha, dan Peradaban Islam

2.2.4.1 Pengaruh budaya Hindu dan Buddha

Perkembangan agama Hindu di Kabupaten Subang ditandai dengan

beberapa temuan benda arkeologi, antara lain dua buah patung nandi (sapi jantan),

mangkuk perunggu, cawan, batu pipisan, manik- manik, patung maitreya, dan

bokor. Benda-benda tersebut ditemukan di Sagalaherang dan dibeberapa tempat di

Kabupaten Subang. Dengan demikian wilayah Sagalaherang diduga sebagai pusat

penyebaran agama Hindu.

Dua buah patung nandi yang menjadi koleksi Museum Daerah Kabupaten

Subang merupakan replika patung nandi yang telah menjadi koleksi Museum

Negeri Sri Baduga Bandung. Dua buah patung tersebut terbuat dari batu andesit

atau batu kali. Sedangkan pembuatan patung tersebut masih sangat sederhana.

Nandi merupakan hewan yang sangat disakralkan dalam agama Hindu. Menurut

keyakinan penganut agama Hindu, nandi merupakan tunggangan Dewa Siwa, dari

dunia menuju nirwana. Patung nandi biasanya disimpan di depan candi. Dengan

demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa agama Hindu yang berkembang di

Sagalaherang atau di wilayah Subang berliran Sivaistik.

Di daerah Kasomalang ada temuan lukisan telapak kaki kanan pada sebuah

batu. Melihat kebiasaan yang terjadi pada Hinduisme, yang biasa digambarkan

adalah telapak kaki Dewa Wisnu. Di daerah Gunung Burangrang yaitu perbatasan

daerah Subang, Bandung, Purwakarta, pernah ditemukan peninggalan berupa

patung Ganesha dan Yoni yang terdapat pada Sivaisme dalam ajaran Hindu.

Peninggalan berbentuk sebuah patung Budhistis atau patung Maitreya

ditemukan di Batu Kapur Kecamatan Sagalaherang. Patung Maitreya dikenal

93

karena pada mahkotanya terdapat patung Amitabha. Baik Maitreya maupun

Amitabha adalah tokoh penting dalam kepercayaan Buddha Mahayana. Maitreya

dianggap sebagai manusia Buddha untuk dunia yang akan datang sebagai pengganti

dari manusia Buddha Cakyamuni.

Dari teori yang dikemukakan oleh para sarjana Belanda dan Indonesia

tentang masuknya pengaruh India ke Indonesia, ada satu persamaan pendapat

bahwa pengaruh India masuk melalui jalan pantai. Dalam hal ini pelabuhan

memegang peranan penting. Kemungkinan besar pengaruh Hinduisme dan

Budhisme yang masuk ke daerah Subang berasal dari pelabuhan, terutama

pelabuhan yang berada di bagian utara (Bapeda Subang, 2010:7).

Di Jawa Barat kita mengenal adanya tiga kerajaan besar yang telah

mendapat pengaruh Hindu. Kerajaan pertama ialah Kerajaan Tarumanegara. dari

prasasti yang ditinggalkan dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Tarumanegara

merupakan kerajaan yang sangat teratur. Artinya raja yang menguasai kerajaan

Tarumanegara berhasil menciptakan ketenteraman dan kedamaian dalam

kerajaannya. Kemudian abad ke-8 M muncul suatu kerajaan di daerah Kawali,

yaitu kerajaan Galuh. Pada masa itu kerajaan Tarumanegara sudah tidak ada lagi.

Besar kemungkinan wilayah Subang pada masa itu masuk daerah kekuasaan Galuh

(Bapeda Subang, 2010:8).

Dari data-data yang didapatkan tentang kerajaan Tarumanegara yang

berpusat di Bekasi dan kerajaan Galuh berpusat di Kawali, maka daerah Subang

terletak di antara kedua pusat kerajaan tersebut. Dengan demikian daerah Subang

Sudah dikenal pada waktu itu. Hal itu didasarkan pada bukti adanya jalan raya yang

menghubungkan Galuh-Pajajaran yang dikenal dengan highway. Highway pada

94

saat itu dari mulai Kawali Ciamis sampai ke Bogor, sedangkan jalan Sagalaherang

sampai ke Tanjungsiang dikenal dengan jalan padati.

Sagalaherang sebagai daerah yang telah mempunyai sejarah yang sudah tua,

terletak ditepi jalan raya dari ibukota Pakuan ke Kawali sebelah timur kerajaan

Highway dapat disamakan dengan jalan desa sekarang. Keadaannya cukup baik

untuk dilalui oleh pejalan kaki dan penunggang kuda. Kendaraan padati sudah

dipakai tetapi belum merupakan kendaraan untuk umum. Orang yang bepergian

belum bisa menggunakan kendaraan roda dua atau empat. Jembatan penyeberangan

yang melintasi sungai-sungai besar belum ada, maka penyebe- rangan dilakukan

dengan menggunakan rakit atau perahu.

Ke arah barat dari ibukota Pakuan, terbentang jalan sampai ke kota

pelabuhan Banten dengan melalui Jasinga dan Lebak Ke arah timur melalui

Cibarusa, Tanjungrasa, Karawang, Kosambi, Cikao, Purwakarta, Wanayasa.

Sagalaherang, Cisalak, Conggeang, Ujungjaya, Karangsembung, Sindangkasih,

Majalengka, Talaga, Panjalu, dan Kawali.

Pada masa pemerintahan Pajajaran, daerah Subang bagian selatan

mempunyai peranan penting dibandingkan dengan daerah Subang bagian utara

yang masih berawa-rawa. Jalan raya yang melalui Sagalaherang dan Cisalak itu

merupakan urat nadi lalu lintas antara daerah bagian barat dengan bagian timur

Pajajaran. Para padagang. pelancong, peziarah, dan petugas negara semuanya

melalui highway. sehingga penduduk di daerah pegunungan Subang bagian selatan

lebih banyak berhubungan dengan orang-orang dari luar daerah itu juga lebih

banyak dikunjungi oleh pendatang yang kemudian menetap, karena ia tertarik oleh

95

keadaan daerah itu yang berudara nyaman, pemandangan alam yang indah dan air

jernih yang selalu mengalir.

Situs Talun secara administratif termasuk wilayah Kampung Talun, Desa

Talagasari, Kecamatan Sagalaherang. Situs Talun berada di ujung selatan Dusun

Talun. Dengan mengamati lokasi situs mendapat gambaran bahwa situs Talun

merupakan lahan tanah datar di puncak bukit kecil. Kondisi lokasi situs berupa

lahan kering yang ditumbuhi rumput. Sehari-hari lahan itu dimanfaatkan untuk

menggembalakan ternak. Sedangkan sekeliling bukit berupa cekungan dan kolam

untuk memelihara ikan.

Menurut folklor lisan masyarakat setempat, lokasi tersebut merupakan

bekas alun-alun. Fakta arkeologis yang terdapat di situs tersebut berupa struktur

bata kuna dengan ukuran panjang 31 cm, lebar 22 cm, tebal 8 cm, dan fragmen bata

kuna yang ditemukan dalam keadaan berserakan. Tinggalan ini sudah diketahui

masyarakat sejak lama. Penggalian yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pada

awal tahun 2006 telah menampakan struktur bangunan sisi barat, meliputi pula

sudut barat daya dan barat laut serta bagian sisi utara dan sisi selatan. Panjang

struktur sisi barat 7,80 meter terdiri dari dua bata.

Berdasarkan fakta tersebut dilakukan ekskavasi yang bertujuan untuk

penyelamatan data yang juga mencari gambaran tentang denah bangunan, jenis

bangunan, dan masa berdirinya bangunan. Salah satu kotak ekskavasi menemukan

konsentrasi bata yang sudah tidak tersetruktur, dan di sisi lain juga ditemukan

beberapa bata dalam keadaan tertata secara mendatar.

Temuan struktur bata yang paling utuh ditemukan di kotak ekskavasi yang

lain. Posisi bata dalam keadaan berdiri (rolak). Di kotak ekskavasi yang lainnya

96

ditemukan posisi bata dalam keadaan mendatar (lantai). Jejak struktur lantai

tersebut masih ditemukan di kotak yang lain tapi sudah tidak utuh.

Temuan penting lainnya berupa dua keping fragmen keramik asing.

Temuan pertama merupakan keramik Cina masa dinasti Ming (abad XIV - XVII)

berasal dari bentuk mangkuk. Keramik kedua ditemukan di kotak ekskavasi yang

lain, fragmen keramik ini berasal dari Cina masa dinasti Tang (abad VII-X) dari

bentuk buli-buli.

Berdasarkan data yang telah terkumpul melalui pengamatan permukaan dan

ekskavasi dapat disimpulkan bahwa bata yang telah tersingkap merupakan sisi

barat suatu bangunan. Bangunan tersebut berdenah bujur sangkar berukuran 7 m x

7 m, berbentuk semacam batur (pendapa). Sudut bangunan yang sudah tidak utuh

lagi hanya dibagian timur laut.

Di sebelah timur bangunan ini terdapat unit bangunan lagi. Bagian yang

telah berhasil ditemukan hanya sebagian pondasi sisi barat. Bentuk dan ukuran

denah bangunan belum dapat diketahui karena belum terlihat bagian-bagian

penting lainnya. Tata letak bangunan bila dikaitkan dengan batur (pendapa) yang

sudah tampak, agak bergeser ke selatan.

Artefak keramik yang telah ditemukan menunjukan bahwa bangunan

tersebut berasal dari kurun waktu antara abad VIII dan abad XVII. Di Jawa Barat

pada kurun waktu tersebut merupakan masa kerajaan Sunda. Apabila dikaitkan

dengan beberapa data arkeologis masa kerajaan Sunda, situs Talun merupakan

bekas pusat pemerintahan di bawah raja.

Situs Patenggeng secara administratif berada di Desa Margasari, Kecamatan

Kalijati, benda tinggalan dari situs Patenggeng banyak ditemukan berupa pecahan-

97

pecahan keramik Cina yang secara garis besar dapat digolongkan pada dua jenis

yaitu: (a) Keramik dari Dinasti Han (206 Sebelum Masehi - 220 Masehi), (b)

Keramik dari abad XIII sampai abad XVI. Di antara keramik Cina yang ditemukan

banyak sekali yang harganya mahal. Keramik-keramik jenis ini tidak bisa dimiliki

oleh rakyat biasa, tetapi merupakan barang kebanggaan para penguasa pada masa

itu.

Di bagian barat daerah ini terdapat sebuah makam yang dianggap keramat

oleh penduduk. Dalam laporan peneliti tim arkeologi dikatakan bahwa makam itu

adalah Makam Brajadikeling atau Raden Kalangsungging. Raden Kalangsungging

adalah penguasa wilayah Patenggeng.

Menurut penelitian tim Balai Arkeologi Bandung tahun 2004 kuat dugaan

situs Patenggeng telah berkembang sebagai sebuah situs pemukiman yang telah

dihuni sejak zaman prasejarah dan terus berlanjut sampai abad XVI. Secara

keseluruhan masing-masing temuan yang berhasil didapatkan selama kegiatan

penelitian pada bulan Nopember 2004.

Abad XV Masehi di dalam sejarah Indonesia merupakan zaman Kerajaan

Majapahit. Sedangkan kerajaan Sriwijaya sudah tidak berkuasa lagi. Hubungan

dagang pada waktu itu terjadi antara kerajaan Majapahit dengan kerajaan Cina.

Pada abad itu pula hubungan Majapahit dengan kerajaan Sunda terjadi keretakan

sebagai akibat Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357. Pada peristiwa tersebut

raja Sunda, Sri Maharaja dan pasukannya gugur, tentu saja kejadian tersebut akan

melemahkan kerajaan Sunda.

Kalau kita kaji peristiwa tersebut mungkin pada zaman dahulu Patenggeng

merupakan daerah kekuasaan kerajaan Galuh. Setelah Sri Maharaja meninggal,

98

kerajaan dipegang oleh Bunisora. Dalam keadaan lemah maka kerajaan tidak dapat

berhubungan dengan kerajaan Cina. Bersamaan dengan kejadian itu maka barang-

barang kerajaan Cina pun menjadi hilang dari peredaran di daerah kerajaan.

Setelah pusat kekuasaan politik dan kerajaan pindah dari Galuh ke Pakuan,

maka Patenggeng pun berada di bawah kekeuasaan Pakuan Pajajaran. Setelah

kerajaan Pajajaran berkembang lalu mengadakan hubungan dengan kerajaan Cina

pada abad XV. Seperti kerajaan lainya di Indonesia, Patenggeng juga diperkirakan

runtuh setelah agama Islam masuk. Islam mulai masuk pada akhir abad XVI

melalui daerah Subang selatan yang berpusat di Sagalaherang (Bapeda Subang,

2005:20).

2.2.4.2 Islam di daerah Subang

Pada umumnya penyebaran agama Islam di Indonesia berlangsung secara

damai (penetrasion pasifique). Jika proses masuknya Islam ke Jawa Barat

berlangsung damai, maka timbul pertanyaan "Mengapa agama Islam mudah

diterima oleh rakyat?" Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu mengetahui

secara singkat mengenai kepercayaan masyarakat pada waktu itu, terutama pada

masa menjelang berakhirnya kekuasaan Pajajaran. Gambaran mengenai hal ini

dapat kita lihat pada kepercayaan masyarakat Baduy sekarang, yang bisa dianggap

sebagai sisa masyarakat Pajajaran 400 tahun yang lalu.

Demikianlah keadaan kepercayaan rakyat Pajajaran dengan bercermin

kepada masyarakat Baduy sekarang pada masa mereka mulai berkenalan dengan

Islam. Dengan kepercayaan yang bersifat monotheistis, maka agama yang

99

diperkenalkan kepada mereka oleh para mubaligh Islam tidak dipandang lagi

sebagai suatu ajaran yang asing.

Pada pertengahan abad XVI ke Sagalaherang datang seorang pengelana

yang masih muda bersama beberapa orang pengikutnya, mereka berasal dari

Talaga. Pemuda itu memastikan untuk menetap di Sagalaherang di tengah-tengah

masyarakat yang berlainan kepercayaan. Mereka beragama Islam sedangkan

masyarakat setempat beragama Hindu yang merupakan warisan dari nenek

moyangnya. Kemudian mereka menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat di

tempat kediamannya yang baru itu.

Pemuda itu bernama Aria Wangsa Goparana yang merupakan putera dari

Sunan Wanapen. raja di Talaga. Menurut silsilah ia merupakan putera Sunan

Ciburuang putera Sunan Wana Wangsaperi (Ciburuang), Ciburangrang dari

Limbangan. Bagaimanapun juga Goparana adalah putera Talaga keturunan Ratu

Galuh dan Siliwangi (raja Pajajaran). Sebagai seorang pemuda yang suka

memikirkan soal hidup dan mati, ia tidak merasa puas terhadap agama yang

diwariskan oleh leluhurnya. Ia hidup semasa dengan Sunan Gunung Jati di

Cirebon.

Atas kegiatan Sunan Gunung Jati dan para pembantunya, agama Islam

menyebar di kalangan rakyat Jawa Barat bagian timur yaitu Kuningan, Talaga.

Majalengka, Sumedang, Garut, Galuh, di Talaga Ana. Wangsa Goparana

merupakan orang yang pertama kali memeluk Agama Islam. la melihat masa

depan kehidupannya penuh dengan kegiatan sesuai dengan semangat pengorbanan

untuk menyebarkan Agama Islam di tempat-tempat yang belum dikenalnya, la

ingin menyumbangkan tenaganya untuk membantu pekerjaan Sunan Gunung Jati,

100

menarik rakyat Jawa Barat ke dalam lingkungan masyarakat Islam. Ia mengetahui

bahwa bagian timur Jawa Barat dari Indramayu sampai Galuh sudah berangsur-

angsur menerima agama baru tersebut. Dengan demikian ia memutuskan untuk

memasuki daerah yang rakyatnya belum mengenal agama Islam. Ia menempuh

jalan raya dari Talaga menuju ke daerah pegunungan di sebelah utara Gunung

Tangkuban Parahu. Aria Wangsa Goparana mendekati daerah pusat kerajaan

Pajajaran. Perpindahannya ke Segalaherang itu dilakukannya sesudah tahun 1530

(Bapeda Subang, 2010:20).

Aria Wangsa Goparana memasuki tempat yang belum terisi antara

Karawang dan Sindangkasih (Majalengka), yang di kedua tempat tersebut telah ada

mubaligh Islam. Pemilihan tempat itu telah dilakukan dengan perhitungan yang

tepat sekali. Hal itu dibuktikan oleh kenyataan berhasilnya pelaksanaan penyebaran

Islam di daerah Subang, Pagaden. Purwakarta. Cianjur. Sukabumi, dan Limbangan.

Aria Wangsa menerima ajaran Islam dan Sunan Gunung Jati yang mulai dalang ke

Cirebon pada tahun 1470 (Bapeda Subang, 2010:20).

Sebagai pengikut ajaran Sunan Gunung Jati, Aria Wangsa Goparana

mempunyai bahan pengetahuan yang cukup luas mengenai Islam untuk bertindak

sebagai pelopor penyebar agama baru itu di Jawa Barat. Pada waktu itu daerah

Subang jumlah penduduknya belum banyak. Penduduk yang terbanyak terdapat di

bagian selatan, daerah pegunungan dengan jalan raya Pajajaran di sekitar

Segalaherang dan Cisalak.

Puluhan tahun lamanya Aria Wangsa Goparana memberikan bimbingan

dalam soal keagamaan kepada orang-orang yang datang untuk meminta

penerangan. Ia mengetahui isi kepercayaan iama sehingga ia dapat

101

membandingkannya dengan isi ajaran Islam. Ia selalu berusaha untuk mencari titik-

titik temu agar lebih dapat memberikan pengertian tentang suatu persoalan.

Pendidikan keagamaan putera-puteranya mendapat perhatian khusus dari Aria

Wangsa Goparana. Mereka akan dapat membantu pekeijaan ayah mereka dalam

melaksanakan dakwah Islam di berbagai tempat baik yang dekat maupun yang

jauh. Aria Wangsa Goparana memandang pekerjaannya sebagai suatu tugas suci

yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Dalam menyebarkan agama Islam ia hanya

berdasarkan pada keimanan.

Kepercayaan kepada Sang Hyang Widi yang sudah dikenal masyarakat

setempat, oleh Aria Wangsa Goparana disalurkan kepada keimanan kepada Allah

dengan mengajarkan shalat yang lima waktu dalam sehari semalam. Kemudian

secara bertahap diajarkan pula rukun Islam lainnya. Setelah rasa keimanan mulai

menyinari kalbu para muslim baru di Segalaherang. ajaran-ajaran Islam lanjutan

dengan mudah dapat diterima dan dilaksanakan.

Aria Wangsa Goparana berputera lima orang, yaitu: Entol Wangsa

Goparana, Wiratanudatar, Yudanegara, Cakradiparana, dan Yudamanggala. Salah

seorang puteranya pindah ke Limbangan, menetap di sana menjadi cikal-bakal

keluarga Limbangan. Wiratanudatar juga meninggalkan Segalaherang. Bersama

keluarganya, seorang saudara dan tiga puluh orang kepala keluarga lainnya, ia

mencari tempat kediaman baru di seberang Sungai Citarum. Untuk sementara

waktu mereka tinggal di Cibalagung, tetapi kemudian mereka menetap di Cijegang

(Majalaya. Cikalongkulon) di sebelah selatan Sungai Cikundul. Kepindahan itu

merupakan tindakan lanjutan yang telah dirintis oleh ayahnya dengan

meninggalkan kota Talaga.

102

Daerah antara Sungai Citanim dan Gunung Gede pada waktu itu rnasih

kosong, hampir tidak berpenduduk, berhutan lebat yang belum terjamah tangan

manusia. Kepindahan itu dijiwai oleh semangat mengembara, semangat perintisan,

membuka daerah bani untuk selanjutnya membentuk masyarakat vang hidup atas

dasar keimanan.

Sagalaherang menjadi pangkalan titik tolak penyebaran tenaga

pembangunan masyarakat Jawa Barat sejak abad ke-XVI. Putera-putera Aria

Wangsa Goparana baik yang menetap di Sagalaherang maupun yang pindah ke

Limbangan dan Cikundul (Cianjur), melahirkan keturunan yang banyak menduduki

posisi-posisi penting dalam urusan kemasyarakatan di Jawa Barat, misalnya pada

bidang pemerintahan dan kerohanian. Sesudah Indonesia merdeka juga pada bidang

perusahaan dan pertahanan. Sagalaherang pada masa lalu pernah memegang

peranan dengan bukti historis terdapat di Segalaherang, yaitu adanya makam Aria

Wangsa Goparana di Nangkabeurit.

2.3 Masa Kolonialisme Belanda dan Inggris

Pada masa kebesaran kerajaan Pajajaran, daerah Subang termasuk wilayah

kerajaan tersebut. Sarana komunikasi di daerah Subang bagian utara yang penting

diantaranya berupa jalan yang melalui Pamanukan dan Ciasem yang akhirnya juga

bersambung dengan jalan raya Pajajaran di sebelah selatan di Karawang. Baik jalan

yang melalui Pamanukan ke Ciasem maupun jalan yang dikenal dengan nama jalan

raya Pajajaran, sebagai sarana perhubungan mempunyai arti penting bagi

perkembangan bidang politik, sosial, dan ekonomi daerah Subang yang terletak di

antara daerah Sumedang dan Karawang.

103

Peristiwa-peristiwa yang terjadi baik di Sumedang maupun di Karawang

mempunyai pengaruh besar terhadap proses perkembangan sejarah daerah Subang.

Karena itu dalam menelusuri sejarah Subang, kita tidak bisa terlepas dari tinjauan

terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah tersebut, khususnya Sumedang

sebagai suatu pusat kekuasaan.

Seperti telah kita ketahui, kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579/1580

karena serangan tentara Banten. Waktu itu yang memerintah di Banten ialah

Maulana Yusuf. Setelah kerajaan Pajajaran runtuh, munculah kerajaan baru yaitu

Sumedang Larang. Kerajaan tersebut dianggap sebagai penerus Kerajaan Pajajaran.

Wilayah Sumedang Larang terbentang antara Sungai Cisadane di sebelah barat

sampai ke Cipamali di sebelah timur. Tetapi tidak termasuk dalam wilayah tersebut

ialah bekas ibukota Pakuan Pajajaran dan sekitarnya yang telah jatuh di bawah

kekuasaan Banten. Cirebon berada di bawah pemerintahan Panembahan Ratu

daerah Galuh. Dari keterangan tersebut, jelaslah bahwa daerah Subang, setelah

runtuhnya kerajaan Pajajaran merupakan salah satu daerah termasuk wilayah

Sumedang Larang. Yang memerintah Sumedang Larang antara kira-kira tahun

1580-1608 ialah Geusan Ulun.

Menurut Asikin Widjajakoesoema dan R.. Moehamad Saleh, salah seorang

putera Geusan Ulun dengan ratu Harisbaya yaitu Raden Rangga Nitinagara,

merupakan tokoh yang menurunkan keluarga Wangsatanu yang memerintah

sebagai bupati-bupati di Pagaden. Sedangkan menurut P. De Haan, pada tahun

1663 tersebutlah seorang tokoh namanya Kentol Wasentaka putera Kyai

Anggawangsa yang memerintah Pamanukan. Dalam Babon Sejarah Loeloehoer

Sumedang, Raden Anggawangsa tercatat sebagai putera Santoaan Wirakusuma dan

104

Santosaan Wirakusuma ini tiada lain adalah salah seorang adik dan Geusan Ulun.

Baik Geusan Ulun maupun Santosan Wirakusuma adalah putera Pangeran Santri

(1530-1579). Dengan demikian Anggawangsa dengan Nitingara saudara sepupu

(misan). Dari keterangan ini dapat diketahui bahwa bupati-bupati yang memerintah

di Pagaden dan Pamanukan mempunyai hubungan kekeluaigaan dengan para

bupati Sumedang Larang.

Pada tahun 1620 Sumedang Larang ada di bawah pengaruh Mataram. Pada

tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung mengerahkan pasukan (angkatan) perangnya

untuk mengusir VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) dari Batavia.

Penyerangan terhadap Batavia ini melibatkan penduduk Priangan dalam

peperangan. Penduduk yang masih kuat memanggul senjata di bawah pimpinan

umbul (senapati) masing-masing, dikerahkan untuk memperkuat pasukan Mataram

Yang memimpin para umbul dari Priangan menyerang kedudukan VOC di Batavia

ialah Dipati Ukur. Mereka mula-mula berkumpul di Karawang dan dari sana

melanjutkan perjalanannya menuju Batavia untuk merebut kota tersebut dari tangan

VOC.

Pasukan Mataram yang hendak menyerang Batavia bertolak dengan kapal

dari pelabuhan Tegal, mereka menyusur pantai utara Pulau Jawa. Setelah sampai di

muara Sungai Cipunagara. sebagian dari pasukan Mataram mendarat di sana.

Mereka menempuh jalan darat melalui Pamanukan-Ciasem-Karawang menuju

Batavia.

Pada waktu itu persenjataan VOC lebih kuat. maka penyerangan pasukan

Mataram itu berakhir dengan kegagalan. Faktor lain yang menyebabkan lemahnya

pasukan Mataram yaitu karena kekurangan bahan makanan. Sehingga mereka

105

mengalami kelaparan. Lalu mereka terpaksa mengundurkan diri. tetapi kebanyakan

dari mereka itu tidak berani kembali ke Mataram karena kuatir dimurkai atau

mendapat hukuman dari Sultan Mataram. Mereka membubarkan diri dan terus

menetap di daerah Subang. Sungai tempat mereka menyeberang diberinya nama

Kali Sewu. Untuk menghilangkan identitas mereka sebagai pasukan Mataram,

pusaka mereka yang mungkin berupa panji kebesaran pasukan, dikuburkan di suatu

tempat yang diberi nama Pusakaratu.

Setelah penyerangan terhadap Batavia tahun 1629 mengalami kegagalan,

Sultan Agung menyadari akan pentingnya suatu daerah sebagai sumber bahan

makanan atau daerah penunjang untuk memperkuat perjuangan tentaranya dalam

menyerang Belanda di Batavia. Daerah yang terpilih untuk keperluan ini ialah

Karawang dan Subang. Tetapi daerah tersebut terutama Karawang harus

dibersihkan dahulu dan pengaruh Banten.

Yang diberi tugas oleh Sultan Agung untuk membersihkan daerah

Karawang dari pengaruh Banten ialah Aria Surenggono dari Wirasaba karena itu ia

dikenal sebagai Ana Wirasaba. Ia bertolak dengan kapal dari Tegal melalui Brebes,

Cirebon, Indramayu, dan sampailah di muara Sungai Cipunagara. Di tempat itu

bersama anak buahnya berlabuh, kemudian ia menempuh jalan darat menuju daerah

Karawang.

Dalam perjalanan itu ia sampai di suatu tempat yang banyak pohon

asemnya Tempat ini diberi nama Ciasem. Di Ciasem mereka beristirahat untuk

beberapa waktu. Di sini ditinggalkannya sebanyak 40 orang tentara Mataram.

Penempatan tentara di Ciasem ini dimaksudkan, untuk menjaga serangan musuh

dari belakang dan juga untuk cadangan jika sewaktu-waktu kedudukan mereka di

106

daerah Karawang membutuhkan bala bantuan. Pusat kekuasaan Ana Wirasaba di

Karawang ialah Waringinpitu Aria Wirasaba ini kemudian diangkat menjadi

Bupati. Yang ditugaskan oleh Sultan Agung untuk menobatkannya ialah Rangga

Gede. Penobatan tersebut terjadi pada tahun 1633.

Dengan demikian di daerah Subang sebelah utara khususnya Ciasem

terdapat tentara Mataram, yaitu sebagian dari anak buah Aria Wirasaba. Sedangkan

daerah Pagaden dan Pamanukan ada di bawah pemerintahan bupati-bupati

keturunan Sumedang menobatkannya ialah Rangga Gede. Penobatan tersebut

teijadi pada tahun 1633 Dengan demikian di daerah Subang sebelah utara

khususnya Ciasem terdapat tentara Mataram, yaitu sebagian dan anak buah Ana

Wirasaba. Sedangkan daerah Pagaden dan Pamanukan ada di bawah pemerintahan

bupati-bupati keturunan Sumedang.

Daerah Subang yang meliputi Pamanukan, Ciasem dan ke selatan antara

lain Segalaherang dan sekitarnya, termasuk ke dalam prefektur Karawang.

Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pertahanan yang dilakukan oleh

H.W. Daendels sudah tentu memerlukan biaya, padahal hubungan dengan negeri

Belanda terputus karena blokade Inggris. Hal ini mengakibatkan H.W. Daendels

tidak mungkin mengharapkan bantuan keuangan dan pemerintah di Negeri

Belanda. Karena itu H.W. Daendels dengan berbagai cara berusaha untuk

mendapatkan uang di antaranya dengan jalan menjual tanah kepada pihak swasta.

Di antara tanah yang telah dijual oleh H.W. Daendels ialah Jasinga, Basuki,

Panarukan, dan Probolinggo. Dengan demikian mulailah sejarah tanah-tanah

swasta di Jawa. Penduduk yang menempati daerah tersebut juga turut terjual. Nasib

mereka tergantung kepada para pemilik tanah. Kehidupan penduduk di sana

107

umumnya sangat menyedihkan, mereka diperlakukan secara sewenang-wenang

oleh pemilik tanah. Nasib buruk yang dialami oleh orang-orang yang menetap di

tanah swasta itu kemudian menimpa pula penduduk daerah Subang, pada masa

pemerintahan Thomas Stamford Raffles (1811-1816).

Gubernur Jenderal Jansens (1811), pengganti dari H.W. Daendels (1808-

1811), akhirnya pada Agustus 1811 terpaksa menandatangani kapitulasi tentang

sebagai akibat dari kekalahan-kekalahan yang diderita tentara Belanda melawan

Inggris. Dengan kapitulasi ini. Belanda menyerahkan kekuasaannya atas Jawa

(Indonesia) kepada Inggris.

Tanggal 29 Agustus 1811 Inggris mengeluarkan proklamasi pertama

tentang berdirinya kekuasaan Inggris di Indonesia. Kemudian tanggal 11

September dikeluarkan pernyataan bahwa Jawa dan semua daerah taklukannya

(Jawa en onderhoorightien) menjadi milik The East India Company (EIC), suatu

kongsi dagang Inggris.

Kongsi dagang EIC ini berpusat di Kalkuta dengan ptmpinannva yang

berpangkat Gubernur Jenderal Ketika itu yang menjadi Gubernur Jenderal ialah

Lord Mrnto. Untuk memerintah Indonesia diangkat Sir Thomas Stamford Raffles

dengan pangkat Letnan Gubernur. Pengangkatannya itu terjadi pada tanggal 11

September 1811.

Untuk mengatur kembali pemerintahan, maka pada tanggal 18 Oktober

1811 The Order of the 18th October 1811 mengenai konstitusi pemerintahan di

Jawa. Jawa dibagi atas 16 keresidenan dengan maksud untuk lebih

menyederhanakan dan memudahkan jalannya pemerintahan. Daerah Subang ketika

itu termasuk ke dalam administrasi Batavia dan Karawang (The Batavia Regencies

108

and Karawang). Batas daerah Karawang ketika itu antara Sungai Citarum dan

Sungai Cimanuk. Dalam Daerah Karawang ini. daerah Subang terdiri dari distrik-

distrik Pamanukan dan Ciasem. Kemudian distrik-distrik ini termasuk bukan saja

kota Pamanukan dan Ciasem sendiri, tetapi juga Subang, Pagaden, Segalaherang,

dan Batusirap. Semuanya ditempatkan di bawah Asissten Residen yang

berkedudukan di Indramayu. Pada instansi terakhir Asisten Residen ini

bertanggung jawab lagi kepada Residen William Ofifers di Karawang.

Pemerintahan Inggris mengalami banyak kesulitan, terutama dalam segi

keuangan. Raffles mempunyai bermacam-macam cara untuk mendapatkan sumber-

sumber pemasukan keuangan bagi cara untuk mendapatkan sumber-sumber

pemasukan keuangan bagi pemerintah. Di antaranya dengan monopoli penjualan

garam dan bermacam-macam pajak. Dari tanah-tanah saja Raffles mengadakan

landrente dan penjualan tanah-tanah. Khusus yang terakhir ini menyangkut antara

lain nasib daerah Subang.

Selama awal tahun 1812, krisis keuangan meningkat. Untuk mengatasi

krisis keuangan yang dihadapi perbendaharaan kolonial, Raffles memutuskan

melakukan usaha drastis yang dianggap tepat dengan menjual tanah-tanah.

Keputusan pemerintah untuk menjual tanah-tanah itu diadvertensikan dalam Java

Government Gazette berturut-turut tanggal 5, 7. 14. 21 dan 28 November tahun

1812. Dalam advertensi itu disebut bahwa penjualan itu rencananya dengan cara

lelang umum di Standhouse Batavia (Balai Kota yang sekarang menjadi Museum

Jakarta) tanggal 1 Januan tahun 1813. Khusus untuk tanah- tanah yang termasuk

daerah Karawang dibagi-bagi menjadi enam persil, di mana distrik Ciasem dan

Pamanukan masuk persil 3 dan 4.

109

Ternyata lelang tersebut baru dapat dilaksanakan pada tanggal 25 Januari

1813 dengan persil 3 dibeli oleh J. Sharpnell seharga 35.000 sp. drs (dollar

Spanyol) dan persil 4 dibeli oleh Muntinghe seharga 30.000 sp. drs. Akan tetapi

kemudian Muntinghe menjual persil 4 ini kepada J. Sharpnell dan Ph. Skelton

(kawan Sharpnell). Dengan demikian kedua orang inilah yang menjadi tuan tanah

pertama, yang kemudian dikenal dengan Pamanoekan en Tjiasem Landen. Setelah

J Shrapnell meninggal tahun 1815. pemilik tunggal tanah-tanah Pamanukan dan

Ciasem (daerah Subang) ialah Ph. Skelton. yang meninggal tahun 1821. Kemudian

pemilik tanah tersebut dipegang oleh orang-orang Inggris sampai tahun 1839, lalu

dibeli oleh orang-orang Belanda swasta.

2.4 Kesenian Rakyat di Kabupaten Subang

Penduduk asli Kabupaten Subang berasal dari suku Sunda dengan bahasa

ibu ialah bahasa Sunda begitu pula adat kebiasaan sehari-hari mencerminkan

kebudayaan Sunda. Namun apabila melihat kembali pada sejarah, daerah Subang

pernah dipengaruhi dan termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Mataram (Islam),

maka tidaklah heran bila pada kenyataannya kehidupan masyarakat Subang,

terutama daerah Pantai Utaranya, terasa ada pengaruh "Jawanya" terutama dalam

bahasanya.

Daerah Subang memiliki berbagai ragam kesenian rakyat, antara lain:

wayang golek, wayang kulit, beluk, pantun, tarawangsa, kliningan, genjring

bonyok, sisingaan, tayuban, doger, belentuk ngapung, ketuk tilu, gembyung, tari

topeng (jati), pencaksilat, goong renteng, celempungan, rudat, tarling, sintren,

calung renteng, adem-ayem, banjet, ronggeng ketuk, kuda renggong, sampyong,

110

tanjidor, dan tardug. Kesenian tersebut tersebar di beberapa daerah kecamatan agar

lebih jelas dapat dilihat tabel di bawah ini.

Tabel 2.1. Peta Kesenian Rakyat Kabupaten Subang

Kecamatan Jenis Kesenian

Subang doger, belentuk ngapung, genjring bonyok, tayuban, sisingaan, wayang golek, ketuk tilu, pencaksilat, kliningan, pantun, gembyung, dan beluk

Cibogo gembyung, beluk, pencaksilat, reog, wayang golek, ketuk tilu, sisingaan, dan kliningan.

Pagaden genjring bonyok, tardug, ketuk tilu, gembyung, topeng sinar, beluk reog, calung rentang, sisingaan, wayang kulit, wayang golek, kliningan, dan pantun.

Cipunagara topeng jati, sintren, gemyung, beluk, ketuk tilu, kliningan, dan sisingaan.

Binong banjet, wayang golek, kliningan, sisingaan, tardug, dan genjring bonyok

Pamanukan sintren, tardug, tarling, dombret, sisingaan, wayang golek, adem ayem, dan wayang kulit.

Compreng sintren, adem ayem, tarling, tardug, dan sisingaan. Pusakanagara sintren, rudat, tardug, adem ayem, sandiwara, ronggeng,

pencaksilat, kliningan, dan wayang kulit. Blanakan dombret, sintren, tarling, dan adem ayem Ciasem sampyong, banjet, tarling, sintren, tayuban, adem ayem,

tanjidor, tardug, sisingaan, dan kliningan. Patokbeusi banjet, sintren, tardug, adem ayem, pencaksilat, dan sisingaan. Pabuaran banjet, tayuban, tardug, kliningan, ketuk tilu, dan sisingaan. Purwadadi ketuk tilu, doger, tayuban, tardug, tanjidor, pencaksilat,

kliningan, wayang golek, dan sisingaan. Cipeundeuy kliningan dan sisingaan Kalijati pencaksilat, wayang cepak, tardug, ketuk tilu, sisingaan,

kliningan, genjring bonyok, dan wayang golek. Cijambe tarawangsa, sisingaan, kliningan, dan wayang golek. Sagalaherang

celempungan, reog, sisingaan, beluk, wayang golek, tardug, dan genjring bonyok.

111

Jalancagak gembyung, rudat, pencaksilat, reog, sisingaan, kliningan, beluk, dan wayang golek.

Cisalak goong renteng, reog, wayang golek. sisingaan, kliningan, rengkong, dan pencaksilat.

Tanjungsiang wayang golek, tarawangsa, kuda renggong, beluk, rengkong, sisingaan, pencaksilat, gembyung, reog, dan kliningan.

Sumber: Data Kesenian Kasi Kebudayaan Depdiknas Kabupaten Subang Tahun 2010.

Dari data di atas dapat kita lihat bahwa secara kuantitatif daerah pedataran

memiliki angka lebih tinggi dibanding daerah pantai dalam hal keragaman kesenian

rakyat. Kemudian di antaranya memiliki kemiripan dengan jenis-jenis kesenian

yang ada di daerah Cirebon, Indramayu, dan Karawang. Selain dipengaruhi oleh

ketiga daerah itu, dipengaruhi pula oleh budaya Priangan Berdasarkan tabel di atas,

ternyata kesenian Tardug tersebar hampir di seluruh wilayah kecamatan.

2.5 Budaya Hajatan Pada Masyarakat Subang

Hajatan adalah ikatan sosial masyarakat desa yang didasarkan atas

kepercayaan akan adanya kekuatan gaib yang datang dari mahluk halus (setan)

yang dapat mengganggu kehidupan manusia (Ekajati, 1995:246). Menurut Kamus

Umum Basa Sunda hajatan ialah "Niat atawa kaperluan sideicah, salametan

(barangbere), minangka bayar denda, nebus dosa " Artinya: Niat atau keperluan

seseorang untuk mengadakan sedekah atau derma berdasarkan cinta kasih

kepada sesama manusia, dan merupakan wujud rasa syukur atas segala nikmat

dan rahmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa (1994: 159).

112

Hajatan itu sendiri merupakan upacara tradisional yang diikuti oleh

seluruh penduduk desa secara bersama-sama (seluruh desa/kampung) dan secara

berkelompok. Hajatan dimaksud untuk memohon berkah dan menjalin hubungan

baik dengan yang gaib sehingga tidak mengganggu manusia. Kegiatan hajat telah

menjadi tradisi, setiap anggota masyarakat merasa terikat untuk melaksanakannya,

seolah-oleh merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.

Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada yang menjalankan

kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu secara sungguh-sungguh, tetapi

tidak sedikit yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Seperti yang

diungkapakan oleh Koentjaraningrat berikut ini:

... Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena mereka manganggap melakukan upacara itu sebagai suatu kewajiban sosial..." (Koentjaraningrat, 1085:24) .

Dewasa ini, hajatan bagi masyarakat Subang tidak semata-mata berkaitan

dengan kepercayaan atau religi saja. Hajatan kadang-kadang juga digunakan untuk

mencapai tujuan tertentu di luar konteks kepercayaan dan religi. Sehingga

kewajiban seseorang untuk melaksanakan hajatan di sisi lain telah menjadi "hak"

orang itu untuk melaksanakan hajatan dan masyrakat berkewajiban membantu

penyelenggaraan hajatan itu. Fungsi sosial hajatan dalam konteks kedua kadang-

kadang tidak jelas untuk peristiwa apa hajatan itu diselenggarakan. Berkaitan

dengan hal tersebut di bawah ini akan dibagi dua macam hajatan yaitu hajatan

dalam konteks kepercayaan dan religi, dan hajatan dalam konteks lain.

Dalam konteks kepercayaan masyarakat Subang, pada dasarnya ada dua

jenis hajatan yaitu hajat untuk siklus alam dan hajat untuk siklus daur hidup. Hajat

113

unutuk siklus alam diselenggarakan oleh seluruh anggota masyarakat. Hajat ini

dikelola oleh desa, dan sebagai pelaksananya adalah pemangku adat atau dukun

(pawang), sedangkan hajat untuk siklus daur hidup dilaksanakan oleh perorangan

yang dibantu oleh anggota masyarakat yang ada di sekelilingnya.

(A) Hajat Untuk Siklus Alam. Di daerah Subang ada beberapa jenis hajat

siklus alam yaitu hajat laut pada masyarakat nelayan dan hajat bumi pada

masyarakat agraris yang terdiri dari Ngabengkat, ngalokat tanah nyalin, dan hajat

desa.

(1) Ngabengkat adalah upacara mapag cai kahuripan. Upacara ini

dilaksanakan saat musim penghujan tiba. Upacara ini dilakukan di hulu sungai,

yang pelaksanaannya dipimpin oleh para pemangku hajat, dukun (pawang) dan

disaksikan oleh beberapa tokoh masyarakat serta aparat desa. Kegiatan upacara

didahului dengan pembakaran kemenyan, pembacaan mantera, dan doa selamat

yang dilengkapi dengan hidangan sesajen (sesaji) dan penanaman kepala kerbau

atau kambing. Kegiatan upacara itu dialanjutkan dengan arak-arakan (mengarak

benda-benda yang digunakan untuk menggarap tanah seperti cangkul, bajak, garu

lalandak, dan sejenisnya). Kegiatan arak- arakan ini mengelilingi kampung dan

berakhir di halaman balai desa, yang dilanjutkan dengan syukuran. Dalam kegiatan

ini seluruh warga yang hadir dapat menikmati hidangan (memotong tumpeng).

Pada malam harinya dapat menyaksikan pertunjukan kesenian.

(2) Ngalokat tanah, ngalokat artinya membersihkan dari segala sifat jelek

yang dapat membawa malapetaka. Dengan ngalokat diharapkan dijauhkan dari

marabahaya. Pada hakekatnya adalah ngalokat tanah pertanian dari segala jenis

tanaman lir seperti rumput, gulma, dan sejenisnya. Ngalokat tanah juga meruoakan

114

upaya agar terhindar dari berbagai jenis hama dan bencana alam seperti kemarau

yang panjang. Upacara ini menandai dimulainya kegiatan bercocok tanam. Acara

syukuran atau selamatan ini pada pelaksanaannya tidak berbeda jauh dengan

ngabeungkat, termasuk pertunjukan keseniannya. Yang berbeda adalah isi mantera

dan tempat pelaksanaan. Kegiatan upacara ngalokat tanah biasanya dilaksanakan di

area pertanian yang sudah ditentukan oleh para pemangku adat atau aparat desa.

(3) Nyalin/Mitembeyan, upacara nyalin atau mitembeyan adalah upacara

panen perdana yang dilakukan sebelum dimulainya kegiatan menuai padi secara

umum. Yang melakukan nyalin ialah kuncen atau dukun atau juga ajengan.

Upacara ini didahului oleh doa selamat. Pemilik atau penggarap huma atau sawah

membuat ancak (sanggar) yang di dalamnya berisi berbagai macam sesajen, antara

lain: nasi tumpeng, telur, lauk pauk, sekapur sirih, tujuh macam ramuan rujak,

minyak kelapa, kaca, sisir kerep, sisir jarang, kembang rampe, dan param. Sanggar

tersebut diletakkan di sudut petak sawah di antara padi yang akan dituai pertama

kali. Padi yang dipotong pertama kali itu dijadikan Indung Pare (Dewi Sri).

Sanggar tersebut ditutupi dengan boeh rarang (kain putih) dan di dekatnya dipasang

pula bendera warna kuning dan putih dengan tiang bambu melengkung (umbul-

umbul), sapu lidi ditancapkan dengan api dan diberi kemenyan (Soeganda, 1982:5).

Setelah selesai doa selamat mulailah menyalin dengan memotong 10 atau

20 potong padi. Padi tersebut dibungkus dengan kain putih yang kemudian

diletakkan di atas sanggar. Setelah upacara nyalin kemudian panen dimulai.

Berkenaan dengan panen ini biasanya, di daerah Subang, dilanjutkan

dengan hajat bumi (ngaruat bumi) atau hajat desa. Kegiatan ini lebih meriah dari

upacara ngabeungkat.

115

(B) Hajat untuk siklus daur hidup. Hajat ini diselenggarakan oleh

perorangan dengan dibantu oleh organisasi kepanitiaan yang dibentuk sebelum hari

hajatan dilaksanakan, biasanya pada malam mamarung (semalam sebelum hajatan).

Hajatan dalam upacara adat masyarakat Sunda khususnya daerah Subang

dilukiskan pada tahap-tahap kehidupan seperti kelahiran, khitanan, perkawinan, dan

kematian.

(1) Upacara kelahiran secara umum memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai

berikut: tingkeban, mandi kembang, pemeliharaan bayi, peringatan-peringatan

untuk sang suami, mudun lemah, dan mencukur bayi. Upacara tingkeban

dilaksanakan pada waktu bayi dalam kandungan berusia tujuh bulan (Soeganda,

1982:16). Sidekah tingkeb biasanya harus jatuh pada bulah Hijriah pada tanggal-

tanggal yang memiliki angtka 7 (tanggal 7,17,dan 27). Waktu pelaksanaannya

dilaksanakan pada jam tujuh pagi atau petang. Hal lain yang terkait dengan

kebutuhan upacara adalah rnrujakan yang dibuat dari tujuh macam buah-buahan,

samping kebat tujuh buah, elekan (ruas bambu kecil kira-kira berukuran sejengkal)

tujuh buah, ayakan bambu tujuh buah, dan ikan belut tujuh ekor.

Selamatan menurunkan dan mencukur bayi biasanya disaturagakan dengan

selamatan empat puluh hari. Bagi orang-orang yang mampu pada selamatan empat

puluh hari bayi mengadakan keramaian pertunjukan kesenian.

(2) Khitanan, telah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk disunat atau

dikhitan. Sunatan atau khitanan dilakukan ketika anak laki-laki cukup kuat untuk

disunat, dan di beberapa daerah biasanya anak yang disunat itu telah khatam (tamat

mengaji Al-Qur'an). Disunat hukumnya wajib baik bagi anak laki-laki atau

perempuan.

116

Di daerah Subang sebelum anak disunat terlebih dahulu diadakan upacara

ngarak beas (ngarak Dewi Sri). Upacara ini didahului oleh tutunggulan (memukul

lesung). Anak diarak mengelilingi rumah tinggalnya yang dipandu oleh dukun dan

pembawa kelapa muda (kelapa muda diseret), kemudian disawer.

(3) Hajat pernikahan, hajat pada pernikahan dilakukan setelah ijab

kabul. Biasanya yang menyelenggarakan hajat adalah pihak pengantin wanita,

dengan biaya sendiri atau dibantu oleh pihak pengantin pria. Di Subang

penyelenggaraan hajat yakni pada saat pengantin perempuan menyelenggarakan

selamatan, atau pada saat pengantin pria nginngkeun (melepas anaknya untuk

berumahtangga). Pelaksanaan hajatan ini tak ubahnya hajat khitanan

(4) Kematian, hajat pada kematian disebut hajat papait atau kesusahan.

Pada hajat papait ini dikenal dengan sidekah nyususr tanah, yaitu sedekah orang

mati waktu ia dikubur. Pada acara kematian ini dilaksanakan ngamandikeun mayit

(memandikan mayat), nyolatkeun mayit (menshalatkan mayat), ngolongpasaran,

ngurebkeun, yang diakhiri oleh telekin.

Di daerah Subang apabila seseorang akan mengadakan hajatan tidak perlu

dalam konteks upacara ritus, seperti pada bahasan di atas saja, tetapi juga kadang-

kadang mengadakan hajatan dalam untuk tujuan komersial yaitu yang dikenal

dengan istilah arisan hajat, hajat syukuran karena telah mencapai kedudukan

tertentu, dan lain-lain. Sehingga dikenal istilah gintingan/gantangan. Apabila

seseorang yang menyelenggarakan hajat disumbang dengan sejumlah uang, beras,

bahan dan makanan dalam jumlah tertentu, maka ia harus mengembalikan

sumbangan tersebut dalam jumlah yang sama (minimal) apabila si penyumbang

mengadakan hajatan kelak Dalam susunan kepanitiaan hajatan seperti ini, harus ada

117

juru tulis dan juru tagih, yang akan mencatat sumbangan dan menagih utang

gintingannya.

Hajatan lain yang suka dilaksanakan orang Subang di luar konteks religi

adalah hajatan buka panggung. Hajatan ini diselenggarakan sebagai peresmian

berdirinya sebuah perkumpulan kesenian dalam bentuk pergelaran pertama

perkumpulan kesenian tersebut. Tempat hajatan dilaksanakan di rumah pimpinan

rombongan kesenian itu, dengan biaya ditanggung oleh pimpinan rombongan dan

sponsor.7

Pada hampir setiap peristiwa hajatan, terutama hajatan pernikahan dan

khitanan, selalu disertakan pertunjukan kesenian. Baik pertunjukan yang

berhubungan langsung dengan konteks upacara hajatan maupun pertunjukan

sebagai sarana hiburan. Jenis kesenian yang seringkah dipertunjukan dalam

konteks upacara tertentu, khususnya di daerah Subang ialah: pantun, wayang kulit,

wayang golek, gembyung, dan tarawangsa. Sementara itu hampir semua jenis

kesenian dapat ditampilkan dalam upacara hajatan sebagai acara pelengkap di awal

atau di akhir upacara. Misalnya pada upacara hajat bumi pertunjukan yang

dijadikan acara pokok adalah wayang golek atau wayang kulit, biasanya dengan

lakon Batara Kala. Sementara pada acara tambahannya, yaitu arak-arakan

mengambil buah sawen8 dipertunjukan kesenian helaran seperti kesenian genjring

bonyok atau tardug.

7 Sponsor ini terdiri dari donatur, simpatisan, dan sumbangan hajat dari tokoh dan

masyarakat yang diundang. Tujuan utama dari sponsor ini adalah mendanai pergelaran kesenian dengan uang yang sepenuhnya ia tanggung. Tujuan utamanya biasanya adalah untuk melestarikan seni dan budaya.

8 Buah sawen itu berupa bahan-bahan makanan dari hasil bumi yang diikat pada daun kelapa muda (janur). Buah sawen ini diletakkan di pintu masuk ha laman rumah.

118

Pada acara hajatan yang menyangkut siklus daur hidup semua kesenian di

atas bisa dijadikan media upacara. Penduduk Subang dikenal sebagai masyarakat

yang gemar melaksanakan hajatan. Pendapat ini berdasarkan pernyataan bahwa

untuk melaksanakan hajatan orang Subang kadang-kadang meminjam anak orang

lain (saudara, cucu, keponakan) untuk dijadikan pengantin dalam khitanan atau

pernikahan (Edih A.S., wawancara, Subang, 11 Juli 2012). Jenis hajatan inilah

yang paling sering dilaksanakan oleh masyarakat Subang. Sehingga jenis kesenian

yang tumbuh pesat di wilayah Subang adalah jenis kesenian yang tertuju untuk

sarana hajatan khitanan dan kesenian untuk sarana pernikahan serta jenis kesenian

hiburan. Seperti yang terlihat pada Tabel di atas bahwa hampir semua kecamatan di

wilayah kabupaten Subang memiliki perkumpulan-perkumpulan kesenian

sisingaan, kliningan, dan tardug.

2.6 Masyarakat Sunda di Desa Cidapdap

Genjring bonyok merupakan suatu bentuk kesenian musik rakyat yang

tumbuh, berkembang, dan tersebar di wilayah Kabupaten Subang Jawa Barat. Dari

sekian banyak tempat persebaran kesenian genjring bonyok di daerah Subang, yang

menjadi fokus utama dalam tulisan ini adalah Desa Cidadap kecamatan Pagaden.

Untuk kepentingan penulisan ini, maka tinjauan umum desa Cidadap diperlukan

sebagai gambaran daerah penelitian dimana kesenian genjring bonyok ini tumbuh

dan berkembang.

Wilayah desa Cidadap yang merupakan salah satu desa tertua di wilayah

kecamatan Pagaden Kabupaten Subang, luasnya 576.493 ha yang terdiri dari

119

sebagian besar tanah pesawahan (448.903 ha), tanah perumahan serta tanah

pekarangan (110.899 ha), kolam (3 ha) dan tanah desa.

Berdasarkan data yang tertulis di Kantor Balai Desa Cidadap, menurijukan

bahwa desa Cidadap telah berdiri sejak tahun 1895, dengan kepala desanya yang

pertama bernama Irtem. Keterangan ini didukung pula oleh catatan yang dimiliki

Sadurahman, salah seorang sesepuh desa Cidadap.

Tabel 2.2: Jenis Penggunaan Tanah Desa Cidadap

No Jenis Penggunaan Tanah Jumlah dalam Hektar 1 2 3 4

Perumahan dan Pekarangan Sawah Teknis Empang/ Kolam/ Tebu Tanah Desa

110.899 448.903 30 13.899

Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Cidadap (2010:1).

Batas-batas wilayah desa Cidadap adalah sebagai berikut:

(1) Sebelah utara berbatasan dengan Desa Bendungan dan sebagian Desa

Margahayu.

(2) Sebelah barat berbatasan dengan Desa Balimbing.

(3) Sebelah timur berbatasan dengan Desa Pangsor.

(4) Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sumur Gintung.

Hasil sensus tahun 2010 menunjukan bahwa penduduk desa Cidadap berjumlah

8.625 jiwa dengan 3.551 kepala keluarga.

Jarak desa Cidadap dari ibu kota kecamatan sekitar 7 kilometer dapat

ditempuh 1/2 jam dengan kendaraan bermotor. Sedangkan jarak dari ibu kota

120

kabupaten ke desa Cidadap kurang lebih 12 kilometer dan dapat ditempuh 1 jam

dengan menggunakan sarana angkutan darat yaitu berupa mobil angkutan pedesaan

atau sepeda motor yang disewakan (ojeg), menuju desa tersebut merupakan jalan

hasil swadaya masyarakat.

Sepanjang jalan menuju lokasi penelitian desa Cidadap nampak

pesawahan-pesawahan yang sebagian masih digarap dengan cara-cara tradisional

dan ladang-ladang yang ditanami buah-buahan dan sebagian sayur-sayuran.

Keadaan alam (tanah) desa Cidadap, sama seperti daerah lainnya yang terdapat di

wilayah kabupaten Subang pada umumnya, yaitu cukup subur. Air cukup banyak

dari sungai- sungai di daerah ini pada umumnya merupakan sungai hujan, yang

artinya volume air tersebut ditentukan oleh ada atau tidaknya hujan. Air sungai

biasanya keruh, alirannya deras, serta banyak mengangkut pasir dan lumpur.

Sungai-sungai ini biasanya digunakan untuk mengairi persawahan dan kolam-

kolam yang terdapat disekitar desa Cidadap.

Untuk mencari informasi tentang sejarah desa Cidadap, penulis

melakukannya dengan dua bentuk pendekatan yaitu dengan melihat buku hasil

laporan Penilik Kebudayaan Kecamatan Pagaden mengenai sejarah desa-desa yang

ada di wilayah Kecamatan Pagaden (Sasmita, 2012:1), dan menggunakan teknik

wawancara dengan tokoh-tokoh atau pemuka desa yang mengerti tentang sejarah

Desa Cidadap.

Dari beberapa wawancara yang dilakukan saya meyimpulkan, bahwa

keterangan dari Sadurahman (mantan lurah Desa Cidadap periode 1963-1970)

merupakan keterangan yang cukup lengkap. Hal tersebut dimungkinkan karena

Sadurahman memiliki keterangan tertulis yang didapat secara langsung dari

121

orangtunya yaitu Sarkiyem yang merupakan mantan Kepala Cidadap periode 1920-

an.

Menurut yang tertulis dalam catatan Sarkiyem, sejarah Cidadap dimulai

dengan hadirnya Aki Mendung dan Nini Mendung. Mereka adalah orang pertama

yang membuka hutan, Kemudian dijadikan perkampungan yang sekarang disebut

Desa Cidadap.

Kehidupan Aki Mendung dan Mini Mendung sangat bahagia. Karena

ditempatnya yang baru ini tanahnya sangat subur dengan banyak aliran sungai

mengitari perkampungan mereka, hingga mereka dapat, menanam berbagai macam

sayuran, palawija, dan padi.

Setelah sekian lama Aki Mendung sekeluarga menetap di perkampungan

tersebut, maka datanglah beberapa orang yang mengaku dari Kerajaan Cirebon.

Kedatangan mereka disambut baik oleh Aki mendung sekeluarga, karena suatu

kehormatan tersendiri apalagi pada masa itu kawasan Subang termasuk dalam

kekuasaan kerajaan Cirebon (Ekadjati,1980:90). Di antara yang datang pada waktu

itu adalah Aki Gede, Nini Gede, Aki Bagus Taluk, Aki Wira Sandi, Aki Bagus

Rangin dan dengan beberapa orang pengawal kerajaan. Sebenarnya maksud

kedatangan mereka adalah untuk menghindari dari kejaran tentara Belanda yang

saat itu sudah menguasai sebagian wilayah Kabupaten Subang. Tetapi tujuan

mereka yang paling penting adalah menyebarkan dan memeperkenalkan agama

Islam kepada masyarakat Subang yang berada di pelosok-pelosok ataupun di

perkampungan-perkampungan, karena pada masa itu pada umumnya masyarakat

Subang masih menganut agama tradisional yang diturunkan dari orang tua mereka

terdahulu. Sebagai rasa hormat Aki Mendung sekeluarga terhadap kedatangan tamu

122

dari kerajaan Cirebon tersebut, mereka diperkenankan mengambil sebagian tanah

mereka untuk dijadikan areal perumahan, perladangan dan persawahan.

Sejak kedatangan mereka ke kampung itu suasana mulai berubah.

Perubahan tersebut antara lain dibentuknya pemerintahan desa sebagai wadah

pemerintahan terkecil, dan sebagai kepala desanya terpilih Aki Gede yang

merupakan salah seorang pendatang di kampung tersebut.

Selanjutnya desa tersebut diberi nama Cidadap. Nama ini diambil dari

nama pohon (dadap) yang banyak tumbuh di sekitarar desa tersebut,yang sebagian

berfungsi sebagai pembatas antara persawahan dengan perladangan dan antara ke

desa dan hutan. Alasan lain digunakannya nama pohon dadap sebagai nama desa

tersebut, disebabkan daun dari pohon persebut digunakan masyarakat Cidadap

sebagai campuran untuk makanan dan obat-obatan tradisional.

Selama Aki Gede menjadi kepala desa Cidadap, beliau tidak saja

memimpin dibidang pemerintahan desa namun juga beliau membimbing

masyarakat di desa tersebut dalam bidang agama Islam. Setelah beberapa lama di

desa Cidadap Aki Gede merasa bahwa masyarakat desa tersebut sudah mulai dapat

mandiri dalam hal kepemimpinan dan keagamaan. Oleh karena itu Aki Gede

menyerahkan pimpinan pemerintahan desa Cidadap kepada Aki Mendung yang

merupakan warga asli desa Cidadap.

Setelah pemindahan kepempinan desa, Aki Gede dan rombongan dari

keraton Cirebon meninggalkan desa tersebut, dan sejak saat itu pula masyarakat

merasakan kehilangan. lalu atas inisiatif Aki Mendung segala barang peninggalan

Aki Gede dikumpulkan dan disimpan di rumah kediaman Aki Gede yang telah

ditinggalkannya. Sejak saat itu pula masyarakat mulai mengkeramatkan barang-

123

barang peninggalan Aki Gede yang kini telah menjadi gundukan sarang rayap

(hunyuy), dan sumur yang pernah dimilikinya.

Sampai sekarang masyarakat desa Cidadap dalam mengkeramatkan barang-

barang tersebut masih berlangsung, warga masyarakat sering menyajikan sesajen di

sekitar sarang rayap tersebut, dan air sumur peninggalan Aki Gede digunakan

untuk memandikan anak yang akan disunat.

Umumnya masyarakat pedesaan di Kabupaten Subang mempunyai corak

budaya petani. Sebagian penduduknya hidup dari hasil pertanian yang dikerjakan

secara tradisional. Keberadaan tersebut menempatkan Kabupaten Subang sebagai

daerah lumbung padi ketiga terbesar di Jawa Barat.

Desa Cidadap yang luas tanahnya 576.493 hektar, 3/4 luas tanahnya

merupakan lahan pertanian. Pada umumnya, bertani yang mereka lakukan adalah

dengan bercocok tanam padi di sawah dan ladang yang dalam bahasa sunda disebut

huma. Penanaman padi di sawah menggunakan irigasi, dan padi huma tergantung

kepada air hujan. Lahan pada umumnya terdapat di bukit atau tempat dimana tidak

terdapat aliran air secara teratur.

Desa Cidadap merupakan daerah yang dilalui beberapa sungai besar,

sehingga padi sawah lebih banyak dibanding dengan padi huma. Rincian mata

pencaharian pokok masyarakat Desa Cidadap dapat dilihat pada tabel berikut ini.

124

Tabel 2.3:

Mata pencaharian Pokok Masyarakat Desa Cidadap

No Mata Pencaharian Pokok Jumlah Jiwa

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Petani penggarap Buruh Tani Dokter Bidan Mantri Kesehatan Guru Pegawai negeri Buruh Dukun Bayi/Paraji Tukang Cukur

3505 3045

5 20 20 81 85 50 2 8

Sumber: Daftar isian potensi desa Cidadap (2012:6)

Penduduk desa Cidadap yang berjumlah 8.625 orang seluruhnya menganut

agama Islam. Ada beberapa sarana peribadatan umat Islam yang terdapat di desa

Cidadap, yaitu: 5 Mesjid, 24 langgar, dan satu pesantren (Daftar Isian Potensi

Desa, 2012:24).

Dalam kehidupan sehari-hari sifat keislaman penduduk tercermin dari

prilaku, seperti: rajin bersembahyang, membaca Al Qur'an, melakukan puasa pada

bulan Ramadhan, merayakan hari-hari besar Islam, dan beberapa diantaranya telah

melaksanakan ibadah Haji.

Meskipun penduduk di desa Cidadap seluruhnya menganut agama Islam,

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat masih menganut unsur kepercayaan di

luar Islam, berupa kepercayaan kepada makhlus halus dan kekuatan magis.

Kepercayaan ini ternyata masih menyatu dalam kehidupan penduduk Desa

Cidadap. Misalnya upacara-upacara yang mengandung unsur kepercayaan yang

125

bukan Islam, dilakukan berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup.

Seperti kelahiran, atau yang berhubungan dengan hal-hal lain seperti, mendirikan

rumah, menempati rumah baru, dan menanam padi.

Tampaknya agak sukar memisahkan praktek agama Islam dengan unsur

kepercayaan yang bukan Islam. Sebab baik agama Maupun sistim kepercayaan

tersebut masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Desa Cidadap berfungsi

mengatur sikap dan sistim nilai.

Masyarakat desa Cidadap memiliki beberapa jenis kesenian yaitu genjring

bonyok, kliningan, sisingaan, dan gembyung. Di antara keempat jenis kesenian di

atas, kelompok kesenian genjring bonyok merupakan yang paling banyak

jumlahnya, yaitu terdiri lima kelompok yang tersebar dalam tiga dusun.

Kelima kelompok tersebut masing-masing ialah seperti yang diuraikan

berikut ini:

1. Kelompok Sinar Pusaka bertempat di dusun Suka Sari, yang dipimpin oleh

Sutarja, merupakan kelompok kesenian genjring yang pertama dan tertua di desa

Cidadap. Menurut Sutarja bahwa hampir sebagian grup kesenian yang ada di

wilayah kecamatan Subang dibimbing oleh bapak Sutarja. Oleh sebab itu

kelompok Sinar Pusaka menjadi barometer bagi kelompok Genjring Bonyok

yang lainnya, beberapa kelompok di bawah ini adalah binaan dari Sutarja.9

9Yang dimaksud: (a) kliningan adalah salah satu jenis seni pertunjukkan, dimana ensambel

pendukungnya terdiri atas beberapa perangkat instrumen antara lain: Saron, Rincik, Demung, Kenong, Gong, Kendhang, dan Rebab, perangkat yang disebut dengan gamelan ini dilengkapi pula dengan musik vokal yang disajikan oleh seorang sinden. (b) Sisingaan adalah salah satu jenis kesenian yang khas dari Kabupaten . Kesenian ini dikhususkan untuk mengarak anak yang akan disunat, dengan mempergunakan seperangkat patung singa yang diusung oleh empat, orang penari dan diiringi dengan alat musik. (c) Gembyung adalah jenis kesenian yang mempergunakan seperangkat alat frame drum untuk mengiringi lagu-lagu yang bernafaskan Islam, ya kesenian ini dipertunjukan dalam konteks khitanan dan ruwatan.

126

(2) Kelompok Alin bertempat di dusun Suka Sari, dipimpin oleh Alin.

(3) Kelompok Juhadi bertempat di dusun Suka Rahayu, dipimpin oleh

Juhadi.

(4) Kelompok Rasun bertempat di dusun Suka Rahayu, dipimpin oleh

Rasun.

(5) Kelompok Karno bertempat di dusun Tanjung, dipimpin oleh Karno.

Kesenian Kliningan yang terdapat di desa Cidadap terdiri atas tiga

kelompok, dua kelompok terdapat di dusun Suka Desa, dipimpin oleh Anyay dan

Apin (Mandala Grup). Satu kelompok terdapat di dusun Sukajaya dipimpin oleh

Durga.

Kelompok kesenian Sisingaan di desa Cidadap terdapat di dua dusun, yaitu

di dusun Suka Sari yang dipimpin oleh Sutarja dan dusun Suka Jaya yang dipimpin

oleh Dari.

Kelompok kesenian Gembyung yang ada di desa Cidadap merupakan

kelompok kesenian yang sudah cukup tua. Menurut pak Dulhatim dan pak Sumin,

kelompok kesenian ini telah hadir sejak tahun 1930 yang dipimpin oleh almarhum

Ki Jaski. Namun diantara lima jenis kesenian di desa ini, kesenian Gembyung

adalah kesenian yang mulai mengalami penurunan dalam frekwensi

pertunjukkannya. Saat ini di desa Cidadap hanya terdapat satu kelompok

Gembyung yang bernama Pusaka Wangi dibawah pimpinan Dulhatim.

Dari uraian-uraian etnografis di atas, maka tergambar dengan jelas kepada

kita, bahwa seni tardug yang berkembang dari genjring bonyok, adalah beradasr

kepada eksistensi kebudayaan Sunda secara umum. Kesenian ini adalah ekspresi

127

peradaban masyarakat Sunda. Seni tardug tumbuh dan berkembang di kawasan

Subang Jawa Barat. Sedangkan seni genjring bonyok, kawasan asalnya adalah Desa

Cidadap.

Baik seni genjring bonyok maupun tardug adalah mengekspresikan seni

Islam. Masyarakat Sunda menyatukan ajaran Islam dengan kebudayaannya.

Dengan demikian mengkaji seni tardug tidak dapat dipisahkan dengan mengkaji

Islam dan sejarah bertapaknya Islam di Tatar Sunda. Seni tardug berkembang pula

dengan mengambil berbagai alat musik Barat, terutam alat musik gitar. Dengan

demikian selain Islam, unsur budaya Barat pun diadopsi dalam instrumen seni

pertunjukan tardug ini. Jadi memahami seni tardug mestilah dilihat dalam konteks

kebudayaan atau etnografi masyarakat Sunda.

Peta 2.1

Subang dalam Provinsi Jawa Barat

128

Peta 2.1

Provinsi Jawa Barat

129

BAB III

KONTINUITAS DAN PERUBAHAN

GENJRING BONYOK DAN TARDUG

3.1 Latar Belakang Kontinuitas dan Perubahan

Seni genjring bonyok, yang kemudian berubah secara lambat laun menjadi

seni gitar bedug di dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat,

adalah mengekspresikan dan dilatarbelakangi oleh peradaban Islam di Tatar Sunda.

Islam yang datang ini bahkan disebarkan melalui media seni. Sebagai contoh Sunan

Bonang menyiarkan Islam melalui gamelan Jawa, dan istilah bonang itu yang

kemudian menjadi gelaran namanya adalah satu alat musik gong kecil berpencu

yang terdapat dalam ensambel gamelan. Selain itu, Sunan Kalijaga juga

menciptakan lagu-lagu yang khas seperti Tombo Ati yang terus kontinu hingga ke

hari ini. Lagu ini dijadikan media dakwah Islam di Tanah Jawa.

Tidak ketinggalan juga di Tanah Pasundan atau Tatar Sunda, pendekatan

seni budaya dalam menarik minat warganya untuk masuk Islam juga dilakukan

oleh penyebar agama Islam. Khususnya melalui Sunan Gunung Jati dan para

muridnya, termasuk di Subang Jawa Barat. Dengan demikian dalam melihat

perkembangan genjring bonyok menjadi tardug tidak dapat dipisahkan dari sejarah

masuknya Islam ke Tatar Sunda. Berikut ini akan diuraikan tentang Walisongo

yang ada di Tanah Jawa, yang menyebarkan agama Islam.

130

3.2 Wali Songo di Tanah Jawa dan Tatar10 Sunda

Ketika Mehmed I Celeby memerintah Kesultanan Turki, beliau menanyakan

perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka

Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu

Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tetapi hanya

terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk

pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan. Sang Sultan kemudian mengirim surat

kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para

ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah

sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah.11 Pada tahun 808 Hijrah

atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa.

Mereka adalah: (1) Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, berasal dari

Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada

tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen

Gresik sekarang. (2) Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara

(Uzbekistan) Rusia. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai

Maulana Ishak pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana. (3) Syekh Jumadil

Qubro, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo

Trowulan, Mojokerto Jawa Timur. (4) Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal

10 Tatar ialah penamaan untuk daerah yang keadaan tanahnya berbukit-bukit.

11Karomah adalah kelebihan-kelebihan manusia yang dikasihi oleh Allah yang bertaraf aulia (wali). Karomah ini umumnya ditujukan untuk menjaga dan mengembangkan ajaran-ajaran Allah. Para aulia yang memperoleh karomah ini adalah manusia-manusia pilihan Allah yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan juga senantiasa mengabdi untuk kepentingan agama Allah. Di peringkat Rasul dan Nabi Allah, Tuhan memberikan wahyu, kepada mereka ini diberikan karomah.

131

dari Maroko, beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di

Jatinom Klaten, Jawa Tengah. (5) Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli

mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri. (6) Maulana

Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli pengobatan. Wafat 1435 M.

Makamnya di Gunung Santri. (7) Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina,

berdakwah keliling, wafat pada tahun 1462 M. Makamnya di samping masjid

Banten Lama. (8) Maulana Alayuddin berasal dari Palestina, berdakwah keliling,

wafat pada tahun 1462 M. Makamnya di samping masjid Banten Lama. (9) Syekh

Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang

dihuni jin-jin jahat yang menyesatkan manusia. Setelah para jin tadi menyingkir

lalu tanah yang telah dibersihkan dari jin jahat tersebut dijadikan pesantren. Setelah

banyak tempat yang ditumbali (dengan rajah asma suci). Maka Syekh Subakir

kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut

atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa

Timur. Di sana terdapat peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat

dari batu kuno (Mohamad Dahlan, 1979:84).

Kemudian masuklah periode wali songo kedua. Pada periode kedua ini

masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah: (1)

Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan

Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Rahmat atau Sunan Ampel

berasal dari Muangthai Selatan (Thailand Selatan). (2) Sayyid Ja’far Shodiq berasal

dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat

pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan

Kudus. (3) Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, berasal dari Palestina.

132

Datang di Jawa pada tahun 1436 M, menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat

tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.

Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq, dan

Maulana Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan

Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana

Hasanuddin, dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian

tugas ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-

sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.

Kemudian masuk periodesasi walisongo periode ketiga, Pada tahun 1463

M, masuklah menjadi anggota walisongo yaitu: (1) Sunan Giri kelahiran

Blambangan Jawa Timur, putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan

Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini

menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai. Karena

Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri.

Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur. (2) Raden Said, atau Sunan Kalijaga,

kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilatikta yang

berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang

kembali ke Persia. (3) Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel

Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan

kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo

yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.

Kemudian masuk lagi walisongo periode ;keempat, Pada tahun 1466

diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad

Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang

133

menggantikannya ialah: (1) Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah

putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada

tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan

dinobatkan sebagai Sultan Demak pada tahun 1468. (2) Setelah itu Fathullah Khan,

putra Sunan Gunungjati, beliau dipilih sebagai anggota walisongo menggantikan

ayahnya yang telah berusia lanjut.

Walisongo periode kelima, dalam periode ini masuk Sunan Muria atau

Raden Umar Said, putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat. Konon

Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota walisongo,

namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan

keresahan umat dan mengabaikan syariat agama, maka Siti Jenar dihukum mati.

Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat, bekas Adipati

Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga.

Walisongo atau walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah

Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau

Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di

Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Buddha dalam

budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah

simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain

yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan

Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara

luas serta dakwah secara langsung, membuat para walisongo ini lebih banyak

disebut dibanding yang lain.

134

Ada beberapa pendapat mengenai arti walisongo. Pertama adalah wali yang

sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam

bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata

tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata

sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa walisongo adalah sebuah majelis

dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah walisongo

beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali

Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad

Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra'il (dari Champa), Maulana

Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyuddin, dan Syekh

Subakir.

Dari nama para walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama

yang dikenal sebagai anggota walisongo yang paling terkenal, yaitu: (1) Sunan

Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, (2) Sunan Ampel atau Raden Rahmat, (3)

Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim, (4) Sunan Drajat atau Raden Qasim,

(5) Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq, (6) Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul

Yaqin, (7) Sunan Kalijaga atau Raden Said, (8) Sunan Muria atau Raden Umar

Said, dan (9) Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.

3.3 Islam di Tatar Sunda

Seperti sudah diuraikan pada Bab II, bahwa agama Islam masuk ke dalam

kehidupan orang-orang Sunda dengan damai dan masif sejak pertengahan abad

135

XVI. Dimulai dari dari kaawasan Sagalaherang, yaitu datangnya seorang pengelana

Islam yang berusia muda bersama beberapa orang pengikutnya. Mereka berasal

dari Talaga. Pada saat itu di Sagalaherang ini masyarakatnya masih beragama

Hindu. Kemudian mereka menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat di

tempat kediamannya yang baru itu.

Pemuda itu adalah Aria Wangsa Goparana yang merupakan putera dari

Sunan Wanapen, yaitu seorang raja yang beragama Islam di daerah Talaga.

Menurut silsilahnya Sunan Wanapen ini merupakan putera Sunan Ciburuang putera

Sunan Wana Wangsaperi (Ciburuang), Ciburangrang dari Limbangan. Selain itu,

dari pihak ibunya Goparana adalah putera Talaga keturunan Ratu Galuh dan

Siliwangi (raja Pajajaran). Ia adalah seorang pemuda yang selalu memiliki

keinginan untuk mendalami dan menghayati ilmu agama Islam. Beliau ini hidup

pada waktu yang sama dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon. Seperti diketahui

bahwa Sunan Gunung Jati adalah salah seorang Sunan dalam Wali Songo

(Sembilan Aulia) yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa, termasuk ke Sunda.

Atas kegiatan Sunan Gunung Jati dan para pembantunya, agama Islam

menyebar di kalangan rakyat Jawa Barat bagian timur yaitu Kuningan, Talaga.

Majalengka, Sumedang, Garut, Galuh, di Talaga Ana. Wangsa Goparana

merupakan orang yang pertama kali memeluk Agama Islam. la melihat masa

depan kehidupannya penuh dengan kegiatan sesuai dengan semangat pengorbanan

untuk menyebarkan Agama Islam di tempat-tempat yang belum dikenalnya, la

ingin menyumbangkan tenaganya untuk membantu pekerjaan Sunan Gunung Jati,

menarik rakyat Jawa Barat ke dalam lingkungan masyarakat Islam. Ia mengetahui

bahwa bagian timur Jawa Barat dari Indramayu sampai Galuh sudah berangsur-

136

angsur menerima agama baru tersebut. Dengan demikian ia memutuskan untuk

memasuki daerah yang rakyatnya belum mengenal agama Islam. Ia menempuh

jalan raya dari Talaga menuju ke daerah pegunungan di sebelah utara Gunung

Tangkuban Parahu. Aria Wangsa Goparana mendekati daerah pusat kerajaan

Pajajaran. Proses hijrah beliau ke Segalaherang itu dilakukannya sesudah tahun

1530 (Bapeda Subang, 2010:20).

Sejak saat itu proses pengislaman masyarakat Sunda di Jawa Barat kian

meluas. Islam diterima dengan damai dan tanpa paksaan. Proses penyebaran Islam

ke Tatar Sunda ini adalah melalui para bangsawan atau penguasa kerajaan-kerajaan

di Tanah Sunda. Hingga di abad ke-21 ini mayoritas suku Sunda adalah beragama

Islam. Mengkaji budaya Sunda sekali gus mengkaji Islam yang telah “dibumikan”

di Tanah Sunda.

Menurut penjelasan Ahwi (wawancara 3 November 2011), para mubaligh

Islam dalam mengembangkan ajaran Islam selain ceramah secara verbal, mereka

ini juga menggunakan seni-seni pertunjukan Islam. Ini terjadi sejak awal

perkembangan Islam di Tanah Sunda yaitu pertengahan abad ke-16. Yang paling

menonjol adalah kesenian yang menggunakan alat musik rebana yang disebut

dengan genjring. Namun demikian unsur musikal Sunda disertakan dalam seni-

seni Islam ini. Para pengembang agama Islam tidak menggunakan media maqamat

(tangga-tangga nada) yang berasal dari Timur Tengah. Mereka menggunakan

sistem tangga nada modus salendro dan pelog di dalam menggarap komposisi seni

musik Islam ini. Hal yang sama terjadi juga di dalam kebudayaan Jawa. Bagaimana

pun sesama sunan yang sembilan itu di Tanah Jawa selalu berkomunikasi dalam

rangka melakukan strategi pengembangan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya.

137

Seni genjring bonyok dan tardug adalah hasil dari kebudayaan Sunda yang

berdasar kepada peradaban Islam. Seni ini mengalami perkembangan dan

kontinuitas sesuai dengan perkembangan zaman yang dilaluinya. Pada prinsipnya

selain seni Islam, di Tanah Sunda juga berkembang seni-seni yang telah ada

sebelumnya seperti ketuk tilu dan tayub, namun disesuaikan juga dengan peradaban

Sunda Islam. Berikut diuraikan sejarah (kontinuitas dan perubahan) genjring

bonyok khususnya yang terdapat di Desa Cidadap sebagai pusat kesenian ini yang

tumbuh dan berkembang di seputar dekade 1950-an.

Gambar 3.1: Lukisan Sunan Gunung Jati Membawa

Kesenian Islam di Tanah Sunda (sumber: http://id.wikipedia.org).

3.4 Sejarah Genjring Bonyok di Desa Cidadap

Dalam kebudayaan Sunda terutama di kawasan Subang, kesenian Islam

yang umum dijumpai umumnya adalah memakai istilah genjring. Dalam bahasa

138

Indonesia genjring ini adalah alat musik rebana, yaitu alat musik frame drum satu

sisi, yang dimainkan dengan salah satu telapak tangan pemainnya.

Adapun seni pertunjukan Islam yang mengguanakan nama genjring adalah

genjring sholawatan12 (genjring umbul-umbul), genjring rudat, genjring adem

ayem, genjring bonyok (genjring ronyok), dan lain-lainya. Dengan demikian alat

musik genjringini mendapat peran penting dalam seni Islam di Subang Jawa

Barat.13

Munculnya genjring bonyok sebagai suatu kesenian di dalam masyarakat

Sunda, agaknya tidak terlepas dari keberadaan kesenian rakyat Sunda lainnya yang

telah lebih dahulu dikenal masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari pertunjukannya

yang menggunakan instrumen musik genjring dan bedug, seperti yang juga

dipergunakan oleh kesenian genjring sholawat, rudat, dan adem ayem. Beberapa

pendapat warga masyarakat di desa Cidadap maupun di Kecamatan Pagaden,

mengindikasikan bahwa munculnya genjring bonyok memiliki hubungan erat

khususnya dengan keberadaan genjring sholawat atau genjring umbul-umbul di

daerah mereka.

12Sholawat, selawat, atau shalawat (bahasa Arab: لوات adalah bentuk jamak dari kata (صsalat yang berarti doa atau seruan kepada Allah. Membaca selawat untuk Nabi, memiliki maksud mendoakan atau memohonkan berkah kepada Allah SWT untuk Nabi Muhammad dengan ucapan, pernyataan, serta pengharapan, semoga beliau (Nabi Muhammad) sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apapun, keadaannya tetap baik dan sehat). Salam berarti damai, sejahtera, aman sentosa dan selamat. Jadi saat seorang muslim membaca selawat untuk Nabi, dimaksudkan mendoakan beliau semoga tetap damai, sejahtera, aman sentosa, dan selalu mendapatkan keselamatan.

13Dalam konteks Nusantara, munculnya nama seni berdasarkan alat musik ini juga terjadi di dalam beberapa seni etnik di Indonesia. Dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan seni terbangan, dengan berbagai versinya seperti tebangan kuntulan, terbangan hadrah, terbang Jawan, terbangan rodat, dan lain-lainnya. Di dalam kebudayaan masyarakat Aceh rebana ini lazim disebut dengan alat musik rapa’i, yang berakasal dari penyebutan Tarekat Rifaiyah. Genre musik yang berdasar kepada rebana rapa’i ini terdiri dari berbagai jenis menurut pengembangannya di dalam masyarakat. Adapun jenis-jenis rapa’i itu adalah: rapa’i geuleung, rapa’i pulot, rapa’i laghee, rapa’i geurimpeng, rapa’i Passe, dan lain-lain. Di dalam budaya Melayu ada juga jenis-jenis rebana yaitu: rebana ubi, rebana joget (ronggeng), rebana zapin, rebana Medan, rebana kompang yang merujuk kepada jenis dan ukuran gendang rebana dalam kebudayaan Melayu.

139

Gambar 3.2: Alat Musik Genjring (Rebana)

Menurut pengakuan Dulhatim dan Ahwi, 14 sejak tahun 1930-an, yaitu

masih dalam masa penjajahan Belanda, masyarakat di Desa Cidadap telah

mengenal kesenian genjring sholawat atau genjring umbul-umbul. Kemudian di

tahubn 1940-an muncul satu lagi genre yang mirip yaitu genjring bonyok.

Pada masa dekade 1930-an itu kesenian genjring sholawat ini dikenal

masyarakat sebagai "kesenian untuk ngarak," khususnya untuk pengantin (dari

rumah ke Kantor Urusan Agama/ KUA dan sebaliknya). Begitu juga untuk anak

yang akan disunat (dari rumah ke mesjid dan sebaliknya), atau seorang anak yang

telah menyelasaikan seluruh pengajian kitab Al-Qur’an yang lazim disebut upacara

14Dulhatim dan Ahwi adalah warga masyarakat Desa Cidadap. Dulhatim dikenal sebagai

salah seorang seniman gembyung di Desa Cidadap, sedangkan Ahwi adalah salah seorang tokoh yang dituakan di Desa Cidadap. Kedua orang ini dalam penelitian yang penulis lakukan adalah berkapasitas sebagai informan pangkal.

140

khataman. Keterangan ini dipertegas lagi oleh Dede15 yang menyebutkan bahwa

genjring sholawat pada masa itu telah dikenal luas oleh masyarakat, sebagai salah

satu kesenian vang dipergunakan dalam konteks perkawinan, khitanan atau

khataman.

Selama beberapa tahun kesenian ini berkembang, menjelang tahun 1950-an

masyarakat pun mulai jarang menggunakannya. Hal tersebut dikarenakan mereka

lebih menggemari kesenian-kesenian tradisi, seperti: ketuk tilu, sisingaan, pencak

silat, jaipongan, dan lain-lain.

Kemudian pada tahun 1969 warga masyarakat di desa Cidadap dan

sekitarnya, kembali menyaksikan pertunjukan genjring. Tepatnya di desa Sumur

Gintung (sebelah selatan Cidadap), dalam suatu arak-arakan khitanan. Sejak saat

itu. pula. masyarakat diperkenalkan dengan bentuk kesenian genjring yang relatif

baru. Meskipun secara musikal kesenian ini berbeda dengan kesenian genjring

sholawat sebelumnya, namun masyarakat menyambut baik kehadiran kesenian

yang kemudian disebut genjring bonyok ini. Sambutan dan dukungan yang baik ini

diperlihatkan dengan seringnya masyarakat mengundangnya dalam acara khitanan,

perkawinan, maupun ruwatan.

15Deden atau Raden Deden Komassasmita, adalah seorang pengamat seni yang saat ini

aktif sebagai penilik kebudayaan di Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang -Jawa Barat. Beliau juga selalu memberikan ceramah-ceramah dan penyuluhan tentang kebudayaan Sunda pada umumnya, juga kesenian Islam seperti genjring bonyok, genjring rudat, genjring sholawat, dan juga tardug, kepada masyarakat Sunda yang memerlukannya.

141

3.4.1 Perkembangan Genjring Sholawat menjadi Genjring Bonyok

Dari pendapat yang dikemukakan oleh beberapa warga masyarakat Cidadap

tersebut, memperlihatkan adanya hubungan antara genjring sholawat dengan

Genjring Bonyok. Dan hubungan di antara kedua kesenian ini, juga terlihat dari

persamaan unsur instrumen musik (genjring dan bedug) dan konteks

pengunaannya.

Dari tulisan-tulisan yang telah membicarakan keberadaan genjring bonyok

di kecamatan Pagaden, secara khusus tidak terdapat pendapat yang membicarakan

hubungan antara genjring sholawat dengan genjring bonyok. Namun di bawah ini

saya akan memaparkan dua versi pendapat yang membicarakan asal-usul

perkembangan genjring sholawat menjadi genjring bonyok, yaitu oleh Sutarja dan

Edih, A.S. Sebagai seorang seniman benjring bonyok, Sutarja berpendapat bahwa

berkembangnya genjring sholawat menjadi genjring bonyok sebelumnya diawali

dengan beberapa perubahan bentuk kesenian.

Pada mulanya istilah genjring dikenal sebagai istilah kesenian yang

bernafaskan Islam, yaitu genjring sholawat atau genjring umbul-umbul. Pemakaian

istilah genjring ini mungkin didasarkan atas penggunaan instrumen genjring serta

bedug untuk mengiringi lagu-lagu sholawatan (pupujian), atau lagu-lagu yang

berasal dari kitab Barzanji. Di samping itu penggunaan kesenian ini pun tidak

terlepas dari konteks dimana agama Islam turut berperan, yaitu ketika

melaksanakan akad-nikah, khitanan, atau khataman Al-Qur’an.

Setelah kelompok-kelompok kesenian ini tidak lagi mengadakan

pertunjukkan, muncullah kesenian rudatan yang mengadopsi instrumen genjring

sholawat dan komposisi lagunya yang bernafaskan Islam. Kemudian setelah

142

rudatan tidak lagi memperlihatkan kelanjutannya, kesenian genjring kembali

berkembang dalam bentuk kesenian adem ayem. Dari segi instrumen musik dan

jenis komposisi lagu, kesenian adem ayem tidak berbeda dengan kesenian rudatan.

Akhirnya setelah kelompok-kelompok adem ayem tidak lagi mengadakan

pertunjukan, muncullah kesenian genjring bonyok namun dengari penambahan-

instrumen musik, konteks penggunaannya, dan perubahan pada komposisi lagunya.

Berbeda dengan pendapat Sutarja, Edih A.S. mengemukakan bahwa

perkembangan genjring sholawat menjadi genjring bonyok tanpa didahului dengan

bentuk kesenian lain. Genjring bonyok langsung saja dikembangkan dari genjring

sholawat.

Menurut beliau adalah terlalu dini apabila melihat munculnya genjring

bonyok berasal dari kesenian rudat atau adem ayem. Hal tersebut dikarenakan

dalam segi teknik dan konteks penggunaan, kesenian rudat maupun adem ayem

sangat berbeda dengan genjring sholawat maupun genjring bonyok. Adapun bila

ada unsur lagu genjring bonyok yang berasal dari rudatan atau adem ayem,

menurutnya merupakan hal yang wajar. Keadaan tersebut dapat terjadi karena

genjring bonyok tumbuh dan dibentuk di dalam lingkungan yang memiliki beragam

jenis kesenian, maka pengaruh dari kesenian lain (seperti rudatan atau adem

ayem) dapat saja terjadi.

Beranjak dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Sutarja

memandang perubahan genjring sholawat menjadi genjring bonyok tidak terjadi

secara langsung. Melainkan didahului dengan terjadinya perubahan bentuk

kesenian lain. Namun berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam penelitian,

143

pendapatnya ini tidak dapat sepenuhnya menjelaskan hubungan diantara kesenian-

kesenian tersebut.

Hal ini dikarenakan hubungan antara rudatan dan adem ayem dengan

genjring sholawat hanya terlihat dari persamaan unsur instrumen musik dan

komposisi lagunya. Sedangkan dari unsur teknik pertunjukan dan konteks

penggunaan, rudatan maupun adem ayem tidak berkaitan dengan proses

pengarakan dalam konteks perkawinan, khitanan, atau khataman. Melainkan

keduanya merupakan pertunjukan tontonan massa yang dipergunakan untuk

mengiringi atraksi pencak silat (rudatan) atau adegan akrobatik (adem ayem), yang

disajikan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dengan demikian keadaan kedua

kesenian ini juga berbeda dengan teknik dan konteks penyajian genjring bonyok

yang berkembang saat ini.

Meskipun Sutarja merupakan seniman genjring bonyok yang memiliki

peranan dalam pembentukan kesenian ini, namun pemahamannya mengenai proses

perubahan genjring sholawat menjadi genjring bonyok, agaknya dipengaruhi oleh

dua hal. Pertama, oleh karena latar belakang Sutarja sebagai seorang seniman.

maka ia melihat perubahan kesenian genjring dari satu bentuk ke bentuk lainnya

didasarkan atas keterlibatannya dalam kesenian-kesenian yang telah disebutkannya

di atas.

Kedua, karena Ia melihat perubahan tersebut dari periodisasi waktu

berkembangnya jenis-jenis kesenian yang berbeda, namun menggunakan beberapa

unsur yang sama. Dan hubungan diantara kesenian-kesenian tersebut hanya

terbatas pada penggunaan instrumen musik dan kompisisi lagu yang sama.

144

Berbeda dengan Sutarja, Edih A.S. berpendapat bahwa genjring sholawat

mengalami perubahan bentuk menjadi genjring bonyok tanpa didahului dengan

bentuk kesenian lain. Hal ini diperlihatkan dengan teknik pertunjukan dan konteks

penggunaan genjring bonyok, yang tidak jauh berbeda dengan genjring sholawat.

Pada lain segi, keadaan tersebut diperkuat lagi oleh adanya pola permainan

instrumen musik genjring bonyok yang mengadopsi pola permainan genjring

sholawat. Yaitu pengadopsian pola pukulan tabeuhan genjring sholawat yang

sangat sederhana, kedalam pola pukulan genjring bonyok (seperti Gederan). Pola

pukulan yang sederhana ini tidak terdapat dalam pola pukulan genjring pada

kesenian rudat maupun adem ayem yang sangat bervariasi.

Untuk melihat perbandingan yang jelas dari kedua Pendapat tersebut di

atas. dapat dilihat pada tabel berikut ini.

145

Tabel 3.1 Perbedaan Struktur Pertunjukan dan Konteks genjring Sholawatan,

Rudatan, Adem Ayem, dan Genjring Bonyok.

No

Unsur Pertunjukan

Genjring Sholawat

Rudatan Adem Ayem Genjring Bonyok

Tardug

1.

Jenis Penyajian

Vokal dan instrumental

Pencak silat dengan iringan vokal dan instrumental

Akrobatik dengan iringan vokal dan instrumental

Instrumental Vokal dan Instrumental

2.

Instrumentasi (musik/peralatan pendukung)

a. Genjring 4 buah

b. Bedug sebuah

a. Genjring 4 buah b. Bedug

sebuah c. Tongkat d. Parang

(golok)

a.Genjring 4 buah b. Bedug

sebuah c.Tali tambang d. Tangga e.Bambu f. Sepeda

a. Genjring 4 buah

b. Bedug sebuah

c. Tarompet sebuah

d. Kecrek sebuah

e. Goong sebuah

a. Genjring 4 buah

b. Bedug sebuah

c. Gitar d. Keyboar

d

3.

Perbendaharaan lagu-lagu

Lagu-lagu sholawatan (pupujian)

Lagu-lagu sholawatan (pupujian)

Lagu-lagu sholawatan (pupujian)

Lagu-lagu tradisi dari: kliningan, ketuk tilu, jaipongan, pencak silat, geiribyung, adem ayem, dsb.

Lagu-lagu tradisi dan dangdutan, pop Sunda dan Indonesia

4.

Teknik pertunjukan

Arak-arakan Arak-arakan atau di atas panggung

Pagelaran diadakan di tempat yang luas

Arak-arakan dan dudukan

Arak-arakan dan pentas

5.

Konteks penggunaan

a. Khitanan b. Per

kawinan c. Khataman

Berdasarkan undangan dari masyarakat (tidak terikat pada konteks tertentu)

Berdasarkan undangan dari masyarakat (tidak terikat pada konteks tertentu)

a. Khitanan b. Perkawinan c. Selamatan d. Acara-acara

nasional e. Perayaan

Desa

a. Khitanan

b. Perkawinan

c. Selamatan

d. Acara-acara nasional

e. Perayaan Desa

146

3.4.2 Peranan kelompok Sinar Pusaka dalam membentuk dan

mengembangkan kesenian

Hubungan yang terjadi antara genjring bonyok dan genjring sholawat di

Desa Cidadap sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pendapat di atas,

diperjelas dengan sejarah berdirinya kelompok kesenian genjring bonyok yang

pertama sekali di desa Cidadap. Dalam hal ini pendapat yang dikemukakan oleh

Edih A.S. merupakan asumsi yang mendekati penjelasan tentang terjadinya proses

perubahan kesenian genjring menjadi genjring bonyok. Untuk melihat proses

terbentuknya kesenian genjring bonyok, di bawah ini saya akan memaparkan

proses pembaharuan kesenian yang dilakukan Kelompok Sinar Pusaka.

Sinar Pusaka pada awalnya adalah sebuah kelompok kesenian genjring

sholawat yang bernama Sinar Harapan. Kelompok ini awalnya berada di Dusun

Bunut, Desa Pangsor (berbatasan dengan sebelah timur Cidadap). Pada awal

kelompok kesenian ini berdiri, pertama sekalinya dipimpin oleh Sajem (1960-

1968). Setelah beliau memimpin selama delapan tahun, mulai tahun 1968-1975

kepemimpinan Sinar Harapan diserahkan kepada Talam.

Pada masa kepemimpinan Talam, yaitu sekitar tahun 1969, kelompok

kesenian genjring ini mulai sangat jarang digunakan dalam hajatan-hajatan yang

diadakan warga masyarakat. Berlangsungnya keadaan tersebut semakin lama

menjadikan kelompok ini tidak pernah lagi mengadakan pertunjukan .

Bergerak dari kondisi yang dialami kelompok Sinar Harapan, Sutarja

sebagai salah satu anggotanya membuat inisiatif untuk menggunakan instrumen

genjring dan bedug dalam suatu bentuk kesenian yang berbeda dari bentuk

kesenian sebelumnya (genjring sholawat). Berbekal dengan instrumen musik yang

147

dimiliki Sinar Harapan, Sutarja yang memperoleh dukungan dari Sajem dan Talam,

mulai menciptakan bentuk kesenian genjring yang relatif baru.

Menurut Sutarja, proses pembentukan genjring bonyok tersebut dimulai

dengan pengadopsian instrumen musik tarompet yang telah umum dipergunakan

dalam kesenian tradisi Sunda di Kabupaten Subang. Hal ini ditandai dengan

bergabungnya Taslim (mantan seniman Sisingaan) ke dalam kelompok Sinar

Harapan.

Pengadopsi instrumen musik tarompet ini bertujuan untuk mendapatkan

komposisi lagu yang lebih beragam, dan telah dikenal masyarakat dari kesenian

tradisi Sunda yang lain. Dengan demikian dalam penyajiannya, ia dapat mengikuti

perkembangan lagu-lagu yang dimiliki oleh kesenian-kesenian tradisi Sunda yang

sedangkan berkembang pada masa itu.

Dengan masuknya instrumen tarompet ini secara langsung menandai pula

berubahnya dua unsur pertunjukannya. Yaitu berubahnya peranan pembawa melodi

yang semula dibawakan oleh suara vokal manusia, dan berubahnya komposisi

lagu-lagunya menjadi komposisi lagu-lagu kesenian tradisi Sunda yang berasal dari

jenis keseruan lain.

Untuk menyesuaikan pola permainan instrumen musik dengan komposisi

lagu yang baru pula, secara bidak langsung terjadi perubahan dalam pola

permainan instrumen musiknya. Khususnya pada instrumen musik genjring dan

bedug, yang mengadopsi pola pukulan (tebeuhan) dari instrumen musik kendang

(conical drum-doblehead).

Pertunjukan pertama kelompok Sinar Harapan dengan bentuk kesenian

genjring yang relatif baru ini, dilakukan pada acara khitanan keluarga Rusmin, di

148

Desa Sumur Gintung (sebelah Selatan Cidadap) pada tahun 1969. Sesuai dengan

pola berkesenian masyarakat setempat pada masa itu, pertunjukan kesenian

Genjring Sinar Harapan tersebut ditampilkan bersama-sama dengan kesenian

gembyung, pencak silat, sisingaan, dan reog.

Pada tahun 1973, kelompok kesenian Sinar Harapan pindah ke Desa

Cidadap. Hal ini disebabkan pindahnya Sutarja setelah ia menikahi gadis dari desa

tersebut. Sejak kepindahannya itu pula kelompok Sinar Harapan yang semula

dipimpin oleh Talam diserahkan kepada Sutarja. Pada saat pergantian

kepemimpinan kelompok Sinar Harapan pun secara resmi menjadi kelompok

kesenian Genjring Bonyok dengan nama Sinar Pusaka.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah instrumen musik tarompet

menjadi bagian dari pertunjukan genjring bonyok. Tahun 1975 kelompok ini

kembali mengadopsi instrumen musik goong dan kecrek. Menurut Sutarja

penambahan kedua instrumen musik ini disebabkan agar dalam penyajian

musiknya terasa lebih enak didengar).

Sejak masuknya kedua instrumen ini ditandai pula dengan terjadinya

penambahan dari unsur teknik pertunjukan, yaitu mulai dilakukannya pertunjukan

dudukan dan terjadinya pemisahan pertunjukan arak-arakan antara sisingaan

dengan genjring bonyok. Menurut Sutarja, munculnya teknik pertunjukan dudukan

dan pemisahan pertunjukan dengan sisingaan, dipengaruhi oleh kebutuhan

masyarakat untuk melihatnya dalam suatu tempat atau panggung tertentu. Keadaan

ini dilakukan sejak genjring bonyok digunakan dalam konteks perkawinan. Namun

sejak tahun 1985 genjring bonyok dan sisingaan kembali bergabung dalam

pertunjukan arak-arakan.

149

Pada tahun 1980-an, konteks penggunaan genjring bonyok mulai

bertambah. Yaitu adanya permintaan masyarakat agar kesenian ini menghibur pada

acara ruwatan (syukuran). Kemudian pada tahun 1983, ia mulai digunakan untuk

mengisi hiburan dalam menyambut hari-hari Nasional, perayaan desa, maupun

dalam rangka menyambut tamu di Desa Cidadap dan Kecamatan Pagaden.

Pada awal genjring bonyok muncul dengan bentuk kesenian genjring yang

relatif baru, minat masyarakat Cidadap terhadap kesenian ini sangat besar. Menurut

Sutarja fenomena tersebut dikarenakan bentuk pertunjukan genjring baru ini dapat

menyesuaikan keinginan masyarakat terhadap materi-materi lagu yang terdapat

dalam kesenian tradisi yang lain, tanpa meninggalkan karakteristik permainan

genjring dan bedugnya. Dengan kondisi yang demikian menyebabkan masyarakat

tidak sungkan untuk menggunakan kesenian ini dalam konteks-konteks tradisi

maupun nasional.

Dikenalnya kesenian genjring bonyok secara luas di Desa Cidadap maupun

desa-desa sekitarnya, menyebabkan kelompok Sinar Harapan sejak tahun 1977-

1990 sering diundang untuk mengadakan pertunjukan-pertunjukan ke luar daerah

Subang, seperti: Bogor, Cirebon, Bandung, Bekasi, Purwakarta, Sumedang,

Jakarta, dan lain-lain. Bahkan dalam peristiwa- peristiwa yang bersifat nasional,

seperti: festival kesenian seluruh Kabupaten Jawa Barat (1985), mengsisi acara di

Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI)

(1985), pada Hari Jadi Kota Bandung, dan dalam menyambut tamu negara dari

Nepal.

Dikarenakan minat dan permintaan masyarakat yang cukup besar pada

kesenian genjring bonyok, maka Sutarja pun mulai mengajarkan kesenian ini dari

150

desa Cidadap. Usaha mengembangkan kesenian ini diawali dengan menyarankan

kepada para anggota Sinar Pusaka untuk membentuk kelompok genjring yang baru

di dusun-dusun mereka. Usaha tersebut ditambah lagi dengan peranan Sutarja

dalam melatih sepuluh orang seniman yang berasal dari berbagai dusun dan desa di

Kabupaten Subang.

Dari sepuluh orang seniman yang dilatih Sutarja, adalah seniman yang

berasal dari dusun Bonyok, Desa Pangsor (Rasita), yang memper1ihatkan

kemampuan dalam mempertunjukan kesenian genjring bonyok ini. Me1a1ui

ke1ompok genjring bonyok yang dipimpin oleh Rasita dari Dusun Bonyok,

kesenian ini pun mulai berkembang pesat dan dikenai masyarakat di luar dari

Kecamatan Pagaden. Dengan demikian selain dari kelompok Sinar Pusaka,

masyarakat pun mulai mengakui kemampuan kelompok genjring bonyok yang

dipimpin Rasita.

Seiring dengan dikenalnya bentuk kesenian genjring ini, istilah-isti1ah

yang ditujukan kepadanya pun mu1ai berkembang di masyarakat. Pada awalnya

kesenian ini disebut dengan nama genjring ronyok. Menurut Sutarja istilah ini

diberikan karena jika kesenian genjring tersebut disajikan, hampir seluruh arena

penyajiannya dipenuhi oleh penonton yang menari dan mengikutinya. Sehingga

fenomena kesenian tersebut memberi kesan meriah, yang dalam bahasa Sunda

disebut dengan ronyok (ngaronyok).

Kemudian mu1ai tahun 1977, istilah genjring ronyok mengalami perubahan

menjadi genjring bonyok. Menurut Sutarja istilah ini muncul disebabkan kelompok

genjring pimpinan Rasita dari Dusun Bonyok, lebih .sering melakukan pertunjukan

di dalam maupun di luar Kecamatan Pagaden. Sehingga melalui kelompok Rasita

151

dari Desa Bonyok inilah, masyarakat luas lebih mengenal kesenian ini dengan

sebutan genjring bonyok.

Fenomena perkembangan yang pesat dari kesenian genjring bonyok dapat

dilihat dari data statistik kesenian Kabupaten Subang tahun 1996-1997, yang

menunjukkan adanya 1ebih dari 50 kelompok kesenian genjring bonyok yang

tersebar di berbagai tempat di Kabupaten Subang.

Dari data-data yang telah di paparkan di depan, dapat simpulkan bahwa

terbentuknya kesenian genjring bonyok merupakan kelanjutan dari proses

perubahan kesenian yang telah ada sebelumnya. Proses perubahan kesenian ini

berupa pembaharuan unsur-unsur kesenian menjadi suatu bentuk kesenian yang

relatif berbeda dengan kesenian yang telah ada sebelumnya. Fenomena ini menurut

Sedyawati (1980) merupakan Proses yang sering ditemukan pada suatu bentuk

kesenian yang baru, dimana unsur-unsur kesenian yang baru tersebut selalu

bertolak dari kesenian-kesenian yang telah ada sebelumnya.

Dilihat dari konsep rakyat: dalam konteks seni pertunjukan, maka genjring

bonyok dapat dikatagorikan sebagai seni pertunjukan musik rakyat. Yaitu suatu

seni pertunjukan yang awalnya tumbuh dan berkembang dalam rangka memenuhi

tuntutan kebutuhan masyarakat pedesaan, dalam mengekspresikan rasa syukur dan

gembira sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang mereka hadapi dalam

kehidupan.

Oleh karena ia tumbuh dan berkembang dalam rangka memenuhi

kebutuhan semua golongan masyarakat, maka di dalam perkembangannya genjring

sholawat maupun genjring bonyok tidak mengenal dominasi golongan tertentu.

Oleh karena karena ia merupakan bagian dari ekspresi masyarakat, maka proses

152

perubahan genjring sholawat menjadi bentuk genjring bonyok banyak ditentukan

oleh perubahan kebutuhan masyarakatnya.

Dalam studi etnomusikologi perubahan musik dari suatu bentuk menjadi

bentuk lainnya, merupakan salah satu fenomena yang umumnya terjadi pada

kebudayaan musik yang dikatagorikan sebagai musik rakyat (folk music) (Nettl,

1973). Dalam mengindentifikasikan faktor-faktor yang melatarbelakangi

terbentuknya kesenian genjring bonyok. Penelitian ini mengacu kepada asumsi

Nettl (1973) terhadap perubahan yang terjadi dalam musik rakyat, serta kreteria-

kreteria yang ia gunakan dalam mengkatagorikan musik tersebut.

Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, terbentuknya kesenian

genjring bonyok dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yang berperan dalam

merubah kesenian genjring sholawat, yaitu:

Pertama, dalam tradisi musik rakyat sebagaimana halnya genjring sholawat,

dikembangkan dan dipraktekkan da1am masyarakat melalui tradisi oral. Kenyataan

ini menyebabkan dalam proses perkembangan dan regenerasinya, gaya, komposisi,

dan repertoar musiknya dapat berkembang ataupun mengalami perubahan.

Menurut Nettl dalam tradisi seperti ini, perubahan musik rakyat diijinkan dan

bahkan diharapkan terjadi oleh masyarakatnya. Dari kenyataan inilah Nettl

(1971:177) berpendapat, bahwa dalam tradisi musik rakyat perubahan merupakan

bagian dari sistim musiknya.

Dengan memahami sifat musik yang disebutkan di atas, dapat diperkirakan

bahwa kesenian genjring sholawat yang berkembang di sekitar desa Cidadap sejak

tahun 1930-an, telah mengalami perubahan seiring dengan perubahan kebutuhan

masyarakatnya. Sehingga apabila terjadi suatu kondisi dimana masyarakat tidak

153

lagi membutuhkan kesenian genjring sholawat, kelangsungan hidup kesenian

tersebut akan sangat tergantung kepada faktor-faktor lain dalam masyarakat.

Kedua, adanya faktor kondisi yang merangsang munculnya gagasan-

gagasan baru (kreativitas). Pada kasus perubahan genjring sholawat menjadi

genjring bonyok kondisi yang melatarbelakangi perubahan tersebut adalah

keadaan, di mana pandangan sosial-budaya masyarakat mengalami perubahan.

Perubahan tersebut agaknya memberi pengaruh kepada masyarakat untuk

mengekspresikan rasa musikal mereka dalam kesenian. Hal ini jelas terlihat dari

kurangnya minat masyarakat terhadap kesenian genjring sholawat. Sebaliknya

memberikan perhatian (minat) yang besar terhadap kesenian-kesenian seperti:

jaipongan, ketuk tilu, gembyung, sisingaan, dan lain-lain.

Kondisi ini pada satu pihak menekan keberadaan para seniman genjring

sholawat untuk ikut berpartisipasi da1am berkesenian. Namun di lain pihak hal ini

menawarkan kepada para seniman genjring sholawat untuk melakukan perubahan.

Fenomena perubahan pandangan sosial-budaya masyarakat, sebagaimana

dikemukakan oleh Nettl (1973:5-6) merupakan salah satu faktor yang ikut

menentukan perubahan musik rakyat. Menurutnya, meskipun suatu bentuk musik

rakyat telah cukup lama hidup dalam masyarakat dan memiliki akar dalam

kehidupan mereka, terdapat suatu kemungkinan mengalami perubahan yang besar.

Perubahan tersebut dapat terjadi apabila masyarakat telah lupa atau tidak

lagi meminatinya. Dalam hal ini adalah para seniman musiknya yang memiliki

peran untuk menciptakan suatu bentuk musik yang baru, yang dapat memenuhi

perubahan ekspresi musikal masyarakat.

154

Oleh karena itu sebagai faktor ketiga dalam menentukan perubahan

kesenian genjring sholawat, adalah kemampuan para seniman dalam melahirkan

gagasan-gagasan baru (kreativitas), yang relatif berbeda dengan kesenian yang ada

sebelumnya (inovasi). Kemampuan berkreativitas ini diperlihatkan dari usaha

Sutarja memperbaharui kesenian genjring sholawat yang mulai di1upakan

masyarakat.

Seperti yang telah dikemukakan di depan, perubahan yang dilakukan

Sutarja adalah memperbaharui jenis komposisi lagu, dengan mengadopsi

instrumen-instrumen musik lainnya kedalam ensambel genjring sholawat. Hal

tersebut merupakan suatu usaha yang menjadikan bentuk genjring sholawat

mengalami perubahan besar. Yaitu perubahan dari suatu bentuk kesenian genjring

yang bertema agama Islam, menjadi bentuk kesenian genjring yang menyajikan

komposisi-komposisi lagu kesenian tradisional Sunda.

Hasil dari kreatifitas Sutarja ini pun tidak akan dapat berjalan, tanpa adanya

dukungan dan kerjasama dari sesama anggota Sinar Harapan. Oleh karenanya

kemampuan berkreativitas ini berkaitan erat pula dengan upaya kerjasama dan

dukungan dari sesama seniman genjring sholawat.

Faktor keempat, adalah adanya sambutan dan dukungan yang baik dari

masyarakat atas perubahan yang dilakukan pada genjring sholawat. Faktor ini

merupakan hak sosial masyarakat dalam menentukan berlanjut atau tidaknya

kesenian tersebut. Karena apabi1a genjring bonyok (sebagai kelanjutan bentuk dari

genjring sholawat) dapat menjadi sarana ekspresi musikal masyarakat, maka berarti

kesenian tersebut telah menjadi bagian yang bermakna dalam kehidupan mereka.

155

Dan hal ini berarti pula bahwa kesenian tersebut diakui dan dipergunakan didalam

konteks kehidupan sosial-budaya mereka (1ihat Nettl, 197 3:15) .

3.4.3 Ensambel

Sejak Sutarja dan para anggota Sinar Harapan melakukan pembaharuan

terhadap Genjring Sholawat, usaha pertama yang dilakukan adalah mengadopsi

instrumen musik lain ke dalam ensambel genjring sholawat. Dari sejumlah

penambahan instrumen musik yang dilakukan sejak tahun 1969 hingga saat ini,

ensambel genjring bonyok terdiri dari lima jenis instrumen musik. Kelima jenis

instrumen tersebut adalah: empat buah genjring, sebuah bedug, sebuah tarompet,

sepasang goong, dan sebuah kecrek.

Berikut ini akan dijelaskan instrumen-instrumen musik yang digunakan

dalam ensambel genjring bonyok, beserta klasifikasi dan sub divisinya masing-

masing (berdasarkan Sachs dan Hornbostel, terjemahan Takari dan Fadlin)

3.4.3.1 Genjring

Genjring pada ensambel genjring bonyok ada1ah instrumen musik jenis

drum berbentuk lingkaran yang pada satu sisinya ditutup dengan kulit (membran).

Dalam tradisi musik Sunda instrumen musik ini juga disebut dengan rebana (lihat

Soepandi.1985) atau genjring rudat. Berdasarkan sistem klasifikasi Sachs dan

Hornbostel, genjring merupakan kelas membranofon dalam subdivisi framedrum

satu permukaan kulit (membran).

Instrumen genjring terbuat dari kayu mangga atau kayu sawo, dengan

membran yang berasal dari kulit kerbau (munding). Jumlah genjring yang

156

digunakan dalam ensambel genjring bonyok ada empat buah, dengan ukuran yang

berbeda-beda. Genjring yang paling besar disebut dengan kendang (genjring

nomor satu). Ukuran diameternya 38 cm dengan tinggi 10 cm.16

Peranan genjring kendang dalam penyajian ensambel musik adalah

membawakan pola-pola pukulan yang bervariasi, yang dimainkan berdasarkan pola

permainan instrumen musik kendang. Disebabkan pola permainannya yang

menirukan permainan instrumen musik kendang, genjring nomor satu ini disebut

kendang.17

Genjring yang lebih kecil dari kendang disebut kempring atau genjring

nomor dua, ukuran diameternya 36 cm dan tinggi badan 9 cm. Penyebutan

kempring pada genjring nomor dua ini didasarkan suara dominan yang

dihasilkannya, yaitu bunyi "pring".

Genjring nomor tiga disebut kemprang oleh karena suara dominan yang

dihasilkannya berbunyi "prang". Ukuran dimaternya 34 cm dan tinggi badan 7 cm.

Genjring nomor empat adalah genjring yang paling kecil dari seluruh genjring

pada ensambel genjring bonyok. Genjring ini disebut dengan pan empasan (saling

16Dalam pertunjukan kesenian-kesenian genjring di Kabupaten Subang dikenal dua jenis instrumen genjring, yaitu genjring tagoni dan genjring rudat. Genjring tagoni adalah jenis genjring yang dipergunakan dalam pertunjukan Kasidahan dilingkungan pesantren, madrasah, mesjid-mesjid, atau dalam konteks memperingati hari-hari besar Islam di masyarakat. Jenis genjring tagoni ini ukuran dan keratnya relatif kecil dari genjring rudat. Selain perbedaan dari segi ukuran dan berat genjring tagoni dibedakan dengan genjring rudat atas penggunaan lempengan-lempengan logam (barlen) yang disisipkan di tiga tempat pada badan genjringnya. Sedangkan genjring rudat, dari segi ukuran dan kerat relatif lebih besar dari genjring tagoni, tanpa menggunakan lempengan-lempengan logam (barlen). Dalam ensambel genjring bonyok, jenis genjring yang dipergunakan adalah jenis genjring rudat. Namun dalam beberapa kasus pertunjukan genjring bonyok di Kabupaten Subang, adakalanya jenis genjring yang digunakan adalah genjring tagoni dengan lempengan-lempengan logam yang telah dilepaskan.

17Kendang adalah jenis instrumen musik terbentuk barrel, yang diklasifikasikan sebagai baneldnm-douhlehead. Pada musik Sunda instrumen musik ini dapat ditemukan dalam suatu perangkat kendang dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Biasanya kendang digunakan dalam kesenian-kesenian jaipongan, ketuk tilu, degung, pencak silat, dan lain- lain.

157

bersantan), dikarenakan fungsinya mengisi suara yang dihasilkan oleh kempring.

Ukuran diameternya 32 cm dengan tinggi badan 6 cm.

Dalam penyajian musik genjring bonyok, suara alat musik ini dihasilkan

dengan memukulkan jari-jari tangan ke permukaan membrannya. Secara umum

pemukulan genjring dilakukan pada tiga posisi. Untuk menghasilkan bunyi "pak"

(bagian tengah dengan jari-jari tangan merapat), "pang" (bagian tengah dengan jari-

jari tangan yang langsung dilepas), dan “ping" (bagian pinggir membran dengan

jari- jari tangan langsung dilepas). Lihat gambar berikut ini

Gambar 3.3: Intrumen Genjring dan posisi memainkannya

158

2.4.3.2 Bedug

Bedug 18 yang digunakan dalam ensambel genjring bonyok adalah

instrumen musik yang terbuat dari kayu kelapa berbentuk conis (konikal). Sisi

permukaan bedug dengan lingkaran yang luas, dan terbuka ditutup oleh kulit

(tangkis) kerbau. Sedangkan sisi permukaannya dengan lingkaran yang kecil,

merupakan bagian bawah bedug yang dibiarkan terbuka. Berdasarkan sistem

klasifikasi Sachs dan Hornbostel, bedug merupakan kelas membranofon dengan

subdivisi conls drum dengan satu membran (conical single-headed drum).

Dalam penyajian ensambel genjring bonyok, bedug merupakan instrumen

musik yang banyak memberikan warna bunyi, yang berperan sebagai instrumen

pengatur irama atau tempo lagu. Dengan ukuran diameter membran 57 cm dan

tinggi badan 72 cm, instrumen ini menghasilkan suara yang besar.

Bedug dimainkan dengan cara memukulkan membran dan badannya

dengan dua kayu pemukul. Salah satu ujung dari kayu pemukul tersebut dibalut

dengan kain, Alat pemukul dengan balutan kain ini dipegang oleh tangan kanan

atau kiri, untuk memukul bagian membran bedug. Sedangkan alat pemukul kayu

lainnya dipegang oleh salah satu tangan, untuk memukul bagian kerangka badan

bedug. Dalam permainan bedug, pemukulan bagian tengah kerangka badan ini

disebut dengan kethuk.

Secara umum bunyi yang dihasilkan instrumen bedug terdiri atas empat

jenis, yaitu "dut" (pemukulan membran bagian tengah tanpa langsung dilepas),

18Dalam tradisi musik Sunda, bedug dikenal dalam dua jenis. Yaitu bedug yang berbentuk

barrel dengan dua sisi membran, dan bedug berbentuk conls dengan satu sisi membran.

159

"dung" (pemukulan membran tengah langsung dilepas), "ding" (pemukulan bagian

pinggir membran langsung dilepas), dan "tak" (dihasilkan dari memukul bagian

tengah kerangka badan) dimainkan oleh tangan kiri. Lihat gambar berikut ini.

Gambar 3.4: Instrumen Bedug

160

Gambar 3.5: Instrumen Bedug dan posisi memainkannya

3.4.3.3 Tarompet

Tarompet19 yang digunakan dalam ensambel genjring bonyok, adalah jenis

tarompet sisingaan yang terbuat dari sebatang kayu memanjang, yang bagian

tengahnya terdiri dari lubang-lubang udara (liang sora) yang kecil. Bagian pangkal

atas (berdasarkan sudut pemain) adalah lubang tempat meniupkan udara yang

mempergunakan reed (empet) dan terbuat dari batang ayam yang dijepit dengan

potongan daun kelapa. Lubang tempat meniupkan udara ini diberi alat penyanggah

atau penahan mulut dari kayu berbentuk lingkaran, yang disebut kaluwung.

19 Dalam tradisi musik Sunda instrumen tarompet terdiri dari dua jenis, yaitu tarompet

bulan sapasi dan tarompet sisingaan. Kedua tarompet ini dibedakan atas bentuk alat penyanggah mulut (kaluwung) pemain yang terdapat pada bagian alat peniupnya.

161

Bagian bawah tarompet berupa lubang tempat udara dikeluarkan yang

berbentuk lingkaran yang membesar bagian bawahnya. Berdasarkan sistim

klasifikasi Sachs dan Hornbostel, tarompet termasuk dalam kelas aerofon dengan

subdivisi pipa-pipa berreed (an aerophone double reed) .

Tarompet dimainkan dalam posisi vertikal, dengan mempergunakan jari-

jari kedua telapak tangan untuk menutup lubang-lubang udara yang berjumlah

tujuh buah. Teknik tiupan dan letak-jari-jari tangan pada liang sora sangat

menentukan hasil bunyi yang diharapkan.

Dalam ensambel genjring bonyok, tarompet berperan sebagai pembawa

melodi yang menghasilkan tiga laras (susunan nada), yaitu salendro, pelog, dan

madenda. Salendro, pelog, dan madenda adalah tiga dari empat jenis tangga nada

(laras, sunipan) yang umum dipergunakan dalam tradisi musik Sunda. Dalam

praktiknya, empat jenis laras ini, yaitu: salendro, pelog, madenda, dan degung

terdiri dari jenis-jenis yang berbeda.

Salendro terdiri dari dua jenis, yaitu padantara dan bedantara. Pelog

terdiri dari jenis pancanada, saptanada, nawanada, dan dasanada. Madenda dan

degung merupakan laras yang berasal dari penurunan nada-nada laras salendro

(lihat Soepandi dkk., 1976, dan Soepandi, 1986).

162

Gambar 3.6:.

Instrumen Tarompet dan pemainnya

3.4.3.4 Goong

Dalam ensambel genjring bonyok, goong20 yang digunakan merupakan dua

buah instrumen musik logam berbentuk bulat, dan memiliki pencu (penclon) di

tengahnya. Bahan instrumen goong terbuat dari campuran perunggu dan besi.

Berdasarkan sistim klasifikasi Sachs dan Hornbostel, goong merupakan kelas

xilofon dengan subdivisi vesel perkusi yang digantung.

Sepasang goong yang digunakan ini dibedakan atas ukuran, berat dan

sebutannya. goong yang paling besar disebut goong, dan yang paling kecil disebut

kempul. Namun dalam permainannya kedua instrumen ini disebut goong.

20Di dalam kebudayaan Sunda, penyebutan alat musik gong memang dengan menggunakan

dua vokal o yaitu menjadi goong. Di dalam kebudayaan masyarakat Nusantara pun, penyebutan gong dan sejenisnya ini juga bermacam-macam. Di dalam kebudayaan Batak Toba disebut dengan ogung (oloan, ihutan, panggora, dan doal), di dalam kebudayaan Mandailing disebut ogung dada boru dan ogung jantan. Kemudian di dalam kebudayaan Melayu selain digunakan istilah gong juga digunakan istilah tetawak atau tawak-tawak. Alat gong yang lebih kecil disebut dengan mongmongan di Mandailing, talempong di Minangkabau, atau bonang di dalam gamelan Jawa. Di dalam kebudayaan masyarakat Nusantara gong adalah alat yang banyak digunakan untuk membawa fungtuasi ritme atau siklius dimensi waktu.

163

Pada pertunjukan genjring bonyok yang bersifat arak-arakan goong ini

diusung oleh dua orang pemain, dimana salah satunya berperan sebagai

pemukulnya. Sedangkan pada pertunjukan dudukan, instrumen musik ini digantung

pada sebatang kayu horisontal yang kedua ujungnya diberi penyangga.

Bunyi goong dihasilkan dengan memukul bagian pencu dengan alat

pemukul kayu. Bagian ujung alat pemukulnya dibalut dengan kain atau kulit,

sehingga berbentuk bandul. Dalam penyajian musik genjring bonyok, goong

berfungsi sebagai pengatur periode struktural (wiletan)21 dalam komposisi musik.

Gambar 3.7:

21 Wiletan atau bar mempunyai pengertian periode struktural yang berdasarkan pada

aksentuasi melodi yang diletakkan dalam bagian-bagian garapan melodi. Biasa ditandai dengan nada pancer (nada transisi).nada kenong (nada akhir kalimat lagu), atau hanya ditandai penempatan nada pancer dan nada gong.

164

Pemain Goong dalam posisi dudukan

Gambar 3.8: Pemain Goong dalam posisi arak-arakan

3.4.3.5 Kecrek

Kecrek dalam ensambel genjring bonyok adalah instrumen musik yang

terdiri atas bilahan-bilahan logam, disusun bertumpuk pada suatu badan yang

terbuat dari kayu. Berdasarkan sistem klasifikasi Sachs dan Hornbostel, kecrek

merupakan kelas idiofon dengan subdivisi perkusi.

Bahan logam dari instrumen kecrek ini biasanya terbuat dari kuningan,

perunggu, atau besi. Untuk menghasilkan bunyi "crek", alat musik ini dipukul

dengan pemukul kayu. Dalam pertunjukan arak-arakan, pemukul kayu ini

berjumlah satu buah yang dimainkan dengan tangan kanan, sedangkan tangan

165

kirinya memegang badan kecrek. Pada pertunjukkan dudukan instrumen kecrek

dimainkan dengan dua buah pemukul

Gambar 3.9:

Pemain kecrek dalam posisi dudukan

3.5 Deskripsi Peranan Instrumen Musik Genjring Bonyok

Masing-masing instrumen musik yang tergabung ke dalam ensambel

genjring bonyok memainkan pola permainan musik yang berbeda. Secara musikal

seluruh instrumen musik yang berjenis perkusi membentuk organisasi musik yang

saling mengisi. Sedangkan instrumen tarompet merupakan satu-satunya instrumen

musik yang membangun seluruh organisasi melodi yang dimainkan dengan tangan

kanan dan kiri.

Secara umum semua permainan alat musik non-melodi yaitu, genjring.

bedug, goong, dan kecrek mengikuti pola permainan tarompet yang dimainkan oleh

seorang pemain. Pola permainan tarompet yang diikuti tersebut meliputi karakter

166

lagu (watak), ataupun bagian-bagian tertentu dari pola permainan tarompet yang

harus direspon secara serentak oleh instrumen lain. Hal ini tidak lain karena

tarornpet adalah satu-satunya instrumen musik pembawa melodi utama, sehingga

seluruh komposisi lagu ditentukan oleh permainannya. Dalam pertunjukan

dudukan dan arak-arakan, pemain tarornpet biasanya ditempatkan di tengah-tengah

para pemain lainnya. Menurut Sutarja, hal tersebut dilakukan agar seluruh pemain

musik mendengar secara jelas permainan tarompet.

Adapun instrumen musik yang lainnya memainkan pola-pola ritmik yang

berbeda-beda. Secara umum seluruhnya memainkan pola repetitif, yang

disesuaikan dengan tempo, karakter, dan pola permainan yang ditentukan oleh

permainan tarompet.

Instrumen musik genjring dimainkan oleh empat orang pemain. Pola

permainan instrumen genjring pertama dengan genjring kedua, ketiga dan keempat

saling mengisi (patembalan), sehingga keempatnya membangun pola ritmik

interloking.

Dalam pertunjukan keempat pemain genjring selalu berdekatan. Pada

pertunjukan dudukan para pemain instrumen genjring ditempatkan di sebelah

kanan panggung (berdasarkan sudut pemain). Sedangkan pada pertunjukan arak-

arakan mereka ditempatkan di depan sel;uruh para pemain musik. Posisi pemain

yang saling berdekatan ini bertujuan untuk mempermudah komunikasi di antara

sesama pemain genjring, mengingat keempat intrumen saling memainkan pola

rirntik yang saling mengisi (Komasasmita, 1990)

Pemain bedug terdiri dari satu orang. Instrumen bedug merupakan salah

satu instrumen pembawa pola ritmik utama dalam dalam pertunjukan genjring

167

bonyok. Hal ini disebabkan instrumen bedug memainkan warna-warna bunyi yang

bervariasi, dan yang menentukan dinamika seluruh penyajian musiknya. Karena

peranannya inilah maka seorang pemain bedug harus mampu mengiringi pola-pola

tari, mengetahui jenis-jenis dan karakter lagu. terutama untuk membawa suasana

pemain musik dan penonton bersemangat.

Pemain goong terdiri dari satu orang. Instrumen goong berperan membawa

tempo (embat) lagu dari keseluruhan permainan instrumen musik. Instrumen goong

terdiri dua buah ini, secara kuantitas goong yang kecil lebih banyak dimainkan

daripada goong besar. Sedangkan gong yang besar dimainkan atau dipukul pada

waktu akhir wiletan.

Pada pertunjukan dudukan pemain gong ditempatkan di belakang para

pemain musik, sejajar dengan garis tengah pemain tarompet. Sedangkan pada

pertunjukan arak-arakan, pemain goong di tempatkan dibelakang pemain lainnya

tanpa harus sejajar dengan pemain tarompet.

Pemain kecrek terdiri dari satu orang. Secara musikal instrumen kecrek

mengisi kekosongan permainan ritmik musik secara keseluruhan. Namun pada

bagian-bagian tertentu, pola permainan kecrek sama dengan pola dasar permainan

bedug. Menurut Sutarja, hal ini disebabkan kecrek juga berperan memberikan

tekanan pada pola permainan bedug, sehingga menambah kedinamisan permainan

musik secara keseluruhan.

3.6 Seni Tardug

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, seni tardug bertasal dari seni genjring

bonyok. Sejak paruh kedua dekade 1990-an, muncul seni tardug di Kabupaten

168

Subang. Istilah seni ini pun berasal dari usulan para penonton bukan dari seniman

di kawasan Kabupaten Subang. Untuk mengetahui proses terbentuknya kesenian

tardug di Kabupaten Subang, serta sejauh mana peranan lingkungan sosial di dalam

proses pembentukan ini, maka perlu diketahui bagaimanakah asal-usul kesenian

tardug.

Apakah kesenian ini muncul sebagai suatu kretivitas baru dari seseorang

atau sekelompok masyarakat, ataukah kesenian ini berupa penjelmaan dari satu

jenis kesenian lain yang sudah ada lalu kemudian berubah atau berkembang karena

pengaruh kesenian lain, seiring perubahan masyarakatnya? Selain itu dalam bagian

ini, juga akan dibahas aspek-aspek pertunjukannya. Adapun pembahasannya

disusun meliputi: asal usul kesenian tardug yang terdiri dari pembahasan tentang

sekelumit mengenai kesenian genjring bonyok, perkembangan kesenian tardug,

penyebaran kesenian tardug; masyarakat pendukung; teknik dan bentuk

pertunjukan yang terdiri dari pertunjukan helaran, dan pertunjukan di atas

panggung.

3.6.1 Asal-usul kesenian Tardug

Ketika penulis pertama kali menyaksikan pertunjukan kesenian tardug

(sekitar tahun 1995), sekilas penulis beranggapan bahwa kesenian ini merupakan

bentuk pengembangan dari kesenian genjring bonyok, yang ditambah instrumen

gitar. Memang apabila ditinjau dari fungsi pertunjukan serta alat musik yang

digunakan saat itu, terdapat banyak kesamaan Kecuali fungsi tarompet yang

digantikan oleh gitar.

169

Pendapat ini tidak disangkal oleh umumnya masyarakat Subang di

antaranya adalah pendapat seorang tokoh seni pertunjukan di Subang yakni Edih

AS, yang mengemukakan bahwa kesenian ini muncul ketika seniman genjring

bonyok ingin meraih masyarakat kalangan tertentu melalui lagu-lagu dangdut,

maka kemudian dikenal dengan genjring dangdut. Sementara itu salah seorang

penggarap kesenian genjring bonyok yang juga pimpinan rombongan seni genjring

Darman Group, yaitu Darman, mengatakan sebagai berikut/

...bapa mah teu langkung anu nyebat bae. Bade disebat seni genjring bonyok atawa ronyok, bade tardug, atawa genjring dangdut oge, nu penting keur bapa mah bisa 'ngaladangan ' kahayang anu ngarigel...

Artinya: ...bapak itu terserah yang menyebut saja. Mau disebut seni genjring bonyok atau ronyok, mau tardug, atau genjring dangdut juga, yang penting bagi bapak bisa 'melayani' kemauan yang menari... Berkaitan dengan hal itu maka sangat penting untuk membahas secara

ringkas mengenai perkembangan kesenian genjring bonyok. Kesenian genjring

bonyok mulai tumbuh di kampung Bonyok desa Pangsor, Kecamatan Pagaden

Kabupaten Subang. Lahirnya kesenian genjring bonyok erat kaitannya dengan

perjalanan hidup Sutarja dalam berkesenian.

Menurut Sutarja, kesenian genjring bonyok berasal dari genjring tagoni atau

rudat dari Indramayu. Pada waktu itu belum menggunakan waditra tarompet, gong,

kecrek, dan kenong, tetapi masih menggunakan waditra yang terdiri dari sebuah

bedug dan 4 buah genjring atau rebana. Berikut ini kutipan dari tulisan Sutarja

mengenai genjring bonyok, yang menyatakan sebagai berikut.

Pada tahun 1963 kami (Sutarja) mulai (me)pegang genjring (yang) disebut

genjring gedera' asal dari kesenian adem ayem. Asal muasal dari Bapak Sajem

170

tahun 1960. Tahun 1963 dipegang oleh Bapak Talam, tempat lahirnya dari

Compreng, sampai tahun 1968. Tahun 1969 kami punya rencana (me)pakai

(instrumen/waditra) tarompet. Kami terus (me)ngadakan latihan. Dapat 3 bulan

tahun 1970-1971 seru kami beredar ke tiap-tiap desa. Dikarenakan anehnya

genjring pakai tarompet. Pada waktu harita (itu) kami punya panggilan (pentas)

hanya cuma Rp 1.500, untuk menghibur anak sunat. Pada (waktu) harita seni kami

disebut genjring ronyok. Apa sebabnya? Karena si pengibing banyak, 50 orang ke

atas. Maka genjring kami, karena si pengibin ngaronyok (bergerombol), disebut

genjring ronyok. Pada tahun 1975 berebutan (tentang penggunaan istilah) ronyok

dengan bonyok. Terus menerus berebutan sampai tahun 1978. Ronyok kalah oleh

bonyok, apa sebabnya, karena dari desa kami (desa Pangsor) ada kampung (yang

bernama) Bonyok, karena kami lahir dari kampung Bunut desa Pangsor (Sutarja,

1980).

Dari uraian dalam tulisan Sutarja di atas, berikut ini penulis mencoba

mengurutkan tahapan-tahapan perkembangan kesenian genjring bonyok. Pada

tahun 1963, Sutarja mulai memainkan genjring pada grup kesenian genjring yang

dipimpin oleh pamannya yaitu Sajem. Sutarja sendiri lahir pada tahun 1952, yang

berarti usianya pada waktu itu ialah 11 tahun. Dalam grup kesenian itu, kemudian

Sutarja menjadi pemain inti karena memegang genjring nomor satu yang

berkedudukan sebagai pemberi komando bagi alat musik lainnya. Kesenian

genjring yang dipimpin Sajem ini telah ada sejak tahun 1960, pada waktu itu belum

bernama genjring bonyok tetapi masih disebut genjring gederan karena suka

memainkan lagu gederan. Pada kurun waktu dari tahun 1963 sampai 1968,

kesenian genjring ini dipimpin oleh Talam yang berasal dari kecamatan Compreng.

171

Nama jenis kesenian ini masih genjring gederan dengan nayaga berjumlah 5 orang

terdiri dari:

(1) Sutarja sebagai pemain genjring I,

(2) Talam sebagai pemain genjring II,

(3) Nurkalim sebagai pemain genjring III,

(4) Warsan sebagai pemain genjring IV, dan

(5) Karnawi sebagai pemain bedug.

Pada tahun 1968 motif-motif tepak genjring dikembangkan lagi. Dalam hal

ini Sutarja mencoba menyusun motif-motif tabuhan yang mirip dengan tabuhan

genjring adem ayem. Lagu-lagu yang tadinya berupa lagu gederan dikembangkan

dengan memakai lagi-lagu adem ayem dan lagu-lagu ketuk tilu sepertu lagu gotrok,

awi nyarambat, siuh, dan kangsreng. Dengan masuknya lagu-lagu ketuk tilu, maka

dibutuhkan suatu alat musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi. Karena

alasan tersebut, kemudian alat musik ditambah dengan tarompet yang dipegang

oleh seorang pemain tarompet yaitu Nesram. Dengan ditambahkannya waditra

tarompet ke dalam kesenian genjring gederan, kesenian genjring ini mulai

digemari oleh banyak penggemar atau penonton serta banyaknya undangan untuk

pentas dari yang akan melaksanakan kenduri.

Tidak lama setelah masuknya alat musik tarompet dan disajikannya lagu-

lagu ketuk tiluan, kemudian muncul istilah genjring ronyok pada tahun 1969

Karena banyaknya penonton yang ikut menari, dan apabila dilihat dari jauh mereka

seperti orang yang sedang bergerombol (Sunda: ngaronyok). Di samping itu pada

tepakan genjringnya ada istilah tepakan ronyok sebagai tepakan khas kesenian

172

genjring ini. Istilah tepakan ronyok diambil dari nama keseniannya yaitu genjring

ronyok.

Polemik sekitar penggunaan kata bonyok atau ronyok pada kesenian

genjring ini terjadi dalam rentang waktu 1975-1978. Namun bagi masyarakat

Subang itu bukan suatu persoalan yang menjadi hambatan bagi keberadaan

kesenian genjring ini. Kedua nama tersebut terus dipergunakan oleh masyarakat,

sampai akhirnya ada penetapan nama yang resmi dari kalangan pemerintahan,

dalam hal ini Kasi Kebudayaan Depdikbud Kabupaten Subang pada tahun 1978,

yaitu genjring bonyok. Penetapan nama genjring bonyok tersebut disertai beberapa

alasan, di antaranya karena di Desa Pangsor ada Kampung Bonyok. Walaupun

hubungan Kampung Bonyok dengan istilah bonyok yang digunakan sebagai nama

kesenian genjring ini tidak begitu jelas. Akhirnya secara resmi kesenian tersebut

dinamakan genjring bonyok, meskipun masih ada masyarakat yang menyebutnya

kesenian genjring ronyok.

Memang di Jawa Barat banyak nama kesenian tradisional yang memakai

nama daerah di mana kesenian tersebut lahir dan berkembang di belakang nama

jenis keseniannya. Seperti dalam kesenian topeng terdapat istilah Topeng Cirebon,

Topeng Jati, dan Topeng Cisalak, Topeng Cirebon berarti kesenian topeng yang

lahir dan berkembang di daerah Cirebon, Topeng Jati berarti kesenian topeng yang

lahir dan berkembang di daerah Jati (Pagaden, Subang), dan Topeng Cisalak berarti

kesenian topeng yang lahir dan berkembang di daerah Cisalak (Bogor). Begitu pula

dengan genjring bonyok yang hidup dan berkembang di daerah Bonyok. Namun

demikian, kalau pemberian nama seni tersebut konsisten terhadap nama daerah

tempat kesenian itu diciptakan, seharusnya bernama genjring bunut. Sebab

173

kesenian tersebut diciptakan oleh orang di Kampung Bunut, meskipun masih satu

desa dengan Kampung Bonyok yaitu Desa Pangsor.

Pada tahun 1982 terjadi lagi penambahan waditra yaitu ketuk, kecrek,

kendang, kempul, dan gong. Pada Tahun 1987 kesenian genjring bonyok

melengkapi pemain dengan kehadiran juru kawih atau pesinden, dengan tetap

membawakan lagu-lagu ketuk tilu.

Kesenian genjring bonyok pada setiap tampil, baik di panggung maupun

dalam pergelaran arak-arakan, selalu membawakan lagu-lagu ketuk tiluan. Lagu-

lagu ketuk tiluan inilah yang menjadi ciri khas kesenian genjring bonyok. Dengan

lagu ketuk tiluan ini penonton atau undangan diperbolehkan ikut serta- menari

tanda turut bersuka cita kepada yang sedang melaksanakan hajatan. Adapun lagu

yang khas kesenian genjring bonyok ada 5 lagu pokok, ditambah satu lagu tataluan.

Lagu-lagu tersebut antara lain:

(a) Gederan, merupakan lagu instrumental untuk tatalu.

(b) Gotrok, lagu ini menggambarkan gejolak kehidupan awal.

(c) Awi Ngarambat, lagu ini menggambarkan kehidupan masyarakat yang

tidak lepas dari gotong royong.

(d) Buah Kawung, mengisahkan gejolak dan sikap para pemuda dalam

membela negara.

(e) Kangsreng, melukiskan pergaulan bermasyarakat dengan tidak lepas

dari pengaruh luar, sehingga timbul gerak tari pergaulan atau pasangan.

(f) Torondol, yang menggambarkan manusia kembali kepada kiprah-

Nya/llahi.

174

Selain lagu pokok di atas masih banyak lagu-lagu ketuk tilu yang sering

ditampilkan di dalam kesenian genjring bonyok di antaranya, Gondang, Gaplek,

Rayak- rayak, Polostomo, Geboy, Jisamsu/Japlin, Siuh, Bardin, Catrik, Engkang

Gaya, Mojang Priangan, Manuk Dadali, dan lain-lain. Dilihat dari waditranya,

Sutarja membedakan kesenian genjring menjadi dua yaitu: kesenian genjring

bonyok yang memakai alat/waditra genjring (4 buah), sebuah bedug, dan sebuah

tarompet. Di sisi lain, kesenian genjring gederan hanya mengunakan waditra

genjring (4 buah), dan sebuah bedug. Dalam perkembangannya kemudian kesenian

genjring bonyok terdiri dari 4 buah genjring, kecrek, bedug, kentung (kulanter),

kendang, dan goong, serta dilengkapi oleh seorang atau lebih juru kawih

(pesinden).

Sebelum kesenian tardug dikenal masyarakat, yang lebih dahulu muncul

adalah istilah genjring dangdut pada sekitar tahun 1990. Suatu istilah yang

diberikan masyarakat terhadap kesenian genjring bonyok yang suka menyajikan

lagu-lagu dangdutan seperti: Manuk Dadali, Pemuda Idaman, Mojang Priangan,

Jisamsu, dan masih banyak lagi.

Munculnya lagu-lagu dangdut dalam kesenian genjring bonyok sangat erat

kaitannya dengan kegandrungan masyarakat pendukungnya terhadap lagu-lagu

dangdut. Seperti yang diungkapkan Sutarja: ...apa sebabnya? Karena melihat si

pengibing (penari) hobi dangdut dan meminta dimainkan irama dangdut, maka

kami memainkan lagu dangdut..." (wawancara, Subang, 5 Agustus 2000).

Alasan lainnya dekemukakan oleh Edih AS bahwa para pemuda lebih

menyukai lagu-lagu dangdutan ialah karena ketika mereka menari dalam irama

dangdutan ternyata menari dangdutan relatif lebih gampang dibanding menari pada

175

irama ketuk tiluan pada kesenian Genjring Bonyok (Wawancara, Subang, 11

Oktober 2010).

Apabila dilihat dari aspek pemain, alat musik yang dipakai, dan cara

penyajiannya, genjring dangdut tidak jauh berbeda dengan kesenian genjring

bonyok. Alat musik yang digunakan pada penyajian genjring dangdut adalah alat

musik genjring bonyok yang terdiri dari: empat buah genjring, bedug, kecrek,

tarompet, kentung (kulanter), dan seorang juru kawih (penyanyi). Begitu pula

dengan para pemain (nayaga) genjring bonyok yang dituntut untuk mampu

memainkan irama dangdutan serta juru kawih yang juga berperan sebagai penyanyi

pada lagu-lagu dangdutan.

Perbedaan utama di antara keduanya terletak pada garapan musikalnya saja.

Oleh karena itu istilah genjring dangdut bukan merupakan nama bagi sebuah jenis

kesenian, tetapi hanya satu bagian garapan dalam konteks pertunjukan kesenian

genjring bonyok dengan maksud untuk meraih selera konsumennya. Untuk lebih

jelasnya lihat tabel perbandingan alat musik/waditra dan jenis lagu kesenian

genjring di bawah ini.

Tabel 3.2: Perbandingan Jenis Kesenian dari Segi Waditra/Instrumen

Dan Jenis Lagu yang Ditampilkan

No Jenis Kesenian Jenis Lagu Instrumen (Waditra)

1. Genjring Gederan Gederan 4 buah genjring dan sebuah bedug

2. Genjring bonyok Ketuk tiluan 4 buah genjring, bedug, tarompet, kecrek, kentung (kulanter), kempul, goong, seorang juru kawih, dan kadang- adang dilengkapi oleh seperangkat kendang.

3. Genjring dangdut dangdutan 4 buah genjring, bedug, tarompet, kecrek, kentung (kulanter), kempul, goong, seorang juru kawih/penyanyi, dan kadang-kadang dilengkapi oleh seperangkat kendang.

176

4. Genjring tardug dangdutan genjring, bedug , gitar, kentung/kuianter, kecrek, kempul, gong, dan dua orang atau lebih penyanyi.

Dengan ditampilkannya lagu-lagu dangdutan, kesenian genjring dangdut

memiliki dua sistem tangga nada, yaitu tangga nada diatonis dan tangga nada

pentatonis. Sementara itu satu-satunya alat musik yang bernada dalam kesenian

genjring dangdut yaitu tarompet, dituntut untuk mampu mengiringi lagu-lagu yang

terdiri dari dua sistem nada tersebut. Kemampuan tarompet dalam mengiringi dan

memainkan lagu-lagu dangdutan amat terbatas, terutama pada lagu-lagu yang

bertangga nada diatonis. Hal ini telah mendorong para penggarap kesenian genjring

dangdut memasukan instrumen baru ke dalam kesenian ini, yaitu instrumen gitar

elektrik.

Tidak jelas siapakah yang pertama kali menghadirkan gitar ke dalam

kesenian Genjring Dangdut. Namun menurut Sutarja, instrumen gitar digunakan

dalam kesenian ini tidak lama sejak munculnya lagu-lagu dangdut dalam kesenian

genjring bonyok, yaitu sekitar tahun 1990 Pemain gitar yang pertama kali

bergabung dengan kesenian genjring Sinar Pusaka pimpinan Sutarja, adalah Yasin

yang berasal dari Kananga, Desa Pangsor. Sutarja sendiri sebelum bertempat

tinggal di Cidadap berasal dari Desa Pangsor yang berjarak sekitar 6 kilometer dari

Desa Cidadap. Kemudian setelah berkeluarga ia pindah karena ia menikah dengan

Kerti yang berasal dari Kampung Sukasari, Desa Cidadap, Kecamatan Pagaden.

Menurut data dari Kepala Seksi Kebudayaan Depdiknas Subang sekarang ini Desa

Cidadap memiliki perkumpulan kesenian tardug terbanyak dibanding desa-desa

177

lain di kecamatan Pagaden, yaitu sebanyak 5 grup. Untuk lebih jelas dapat dilihat

pada tabel di bawah.

Tabel 3.3: Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden

No Nama Grup Pimpinan Grup Tempat

1 Karisma Jaya Saji Suryadi Kp Sakola, Ds. Cidadap

2 Mekar Arum Rastim Gendut Kp Sukarahayu, Ds. Cidadap

3 Radia A. Rasun Kp Sukarahayu, Ds. Cidadap

4 Sinar Pusaka Sutarja Kp Sukasari, Ds Cidadap

5 Primadona Sukelim Kp Cidadap, Ds. Cidadap

6 Gentra Panineungan Rohan Kp. Cerelek, Ds. Gunung Sembung

7 Ajum Group Ajum Kp Gunung Sembung, Ds Gunung Sembung

8.

Mutiara Group Sukmane Kp. Bendungan, Ds. Bendungan

9 Mekar Rahayu Muda

A Odo S. Kp Pangsor, Ds Pangsor

10 Mangkat Mekar A. Nana Gala Kp Gala. Ds. Gunun« San

3.6.2 Pendukung kesenian Tardug

Setelah masuknya gitar ke dalam kesenian genjring dangdut, kemudian

masyarakat Subang menamakan kesenian ini dengan sebutan genjring tardug

(akronim dari gitar dan bedug) karena di antara sejumlah alat musik dalam

kesenian ini terdapat instrumen gitar dan bedug, sebagai instrumen pokok. Dengan

demikian berarti bahwa tardug adalah nama sebuah jenis kesenian yang

menggunakan alat musik gitar dan alat musik bedug sebagai alat musik utama,

178

serta.lagu-lagu yang disajikan adalah lagu-lagu dangdutan yang terdiri atas lagu

dangdut modern dan lagu dangdutan tradisional. Kesenian tersebut dalam

pengajiannya bisa berbentuk helaran dan bisa pula berbentuk seni pertunjukan

yang dipentaskan di atas panggung.

3.6.3 Perkembangan kesenian Tardug

Seiring dengan proses perubahan masyarakat pendukungnya, kesenian

tardug mau tidak mau harus mengikuti arus perubahan itu demi kelangsungan

hidupnya Salah satu upaya ke arah tersebut umpamanya dengan merubah atau

menambah alat musik serta lagu-lagunya. Banyak hal yang menjadi penyebab

perubahan dan pergeseran kesenian tardug seperti yang dialami pula oleh kesenian

tradisional lainnya. Salah satu di antaranya adalah faktor lingkungan, seperti yang

dikemukakan oleh van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, bahwa musik sebagai

hasil budaya dapat mengalami pergeseran-pergeseran dan perubahan-perubahan

secara alami dan dinamis. Sementara hasil budaya juga dapat diupayakan bagi

tujuan atau kepentingan tertentu sesuai perkembangan masyarakatnya (1988:54).

Di awal pertumbuhannya kesenian tardug masih mempertahankan unsur-

unsur tradisional. Baik dari segi alat musik (lihat Tabel 3.2) maupun dalam teknik

tabuhan iringannya. Misalnya instrumen gitar membawakan lagu-lagu seperti pada

kesenian tarling. Namun dalam rentang waktu yang cukup singkat bagi

perkembangan sebuah jenis kesenian, yakni dari tahun 1990-2000, kesenian tardug

telah mengalami banyak perubahan terutama berupa penambahan dan

pengurangan beberapa instumen. Penambahan dan pengurangan instrumen yang

terjadi pada kesenian tardug meliputi alat-alat musik berikut ini.

179

Gambar 3.10: Gitar Melodi dan Ritme pada Seni Tardug

Gambar 3.11: Gitar Bas pada Seni Tardug

(a) Gitar adalah alat musik petik dengan enam dawai. Gitar yang

dipakai dalam kesenian Tardug adalah jenis gitar elektrik yang berfungsi sebagai

pembawa melodi sekaligus membawakan ritme kemprangan dalam mengiringi

180

lagu-lagu dangdutan. Seiring kebutuhan untuk pemenuhan rasa musikal dalam

mengiringi lagu-lagu dangdut, kemudian dihadirkan gitar bas. Gitar bas ialah gitar

bernada rendah (bass) dengan empat dawai yang berfungsi sebagai pengarah

gendang dan juga berfungsi sebagai panganteb wiletan. Yaitu mengikuti rangka

melodi (kontur) lagu pada nada rendah. Dengan hadirnya gitar bas ini, maka

kempul dan goong yang berfungsi sebagai anggeran wiletan dan panganteb wiletan

tergeser. Dalam perkembangan selanjutnya masuklah instrumen gitar ritme. Secara

bentuk fisik gitar ini sama dengan gitar melodi namun secara fungsi musikal

berbeda. Gitar ritme berfungsi sebagai kemprangan. Namun untuk menghemat

biaya pengeluaran, gitar ritme jarang ditampilkan.

(b) Genjring adalah waditra berkulit yang memakai semacam anting-

anting yang terbuat dari besi atau perunggu sebagai penghias irama, sejenis rebana.

Pada saat kesenian tardug muncul, jumlah genjring sebanyak tiga buah. Jumlah

genjring yang dipakai pada kesenian genjring bonyok tadinya 4 buah kemudian

berkurang satu menjadi tiga buah. Pengurangan ini terjadi sekitar tahun 1972.

Kemudian setelah itu masuknya waditra kendang kesenian ini hanya

mempergunakan dua buah genjring.

Sampai akhirnya sekarang waditra genjring sudah jarang ditabuh lagi dalam

pertunjukan kesenian tardug. Karena fungsinya sebagai penghias irama sudah

tergantikan oleh waditra kendang dan snare drum.

181

Gambar 3.12: Genjring

(c) Kendang yang dipergunakan dalam kesenian tardug ada dua

macam, disesuaikan dengan bentuk pertunjukannya. Pada bentuk

pertunjukan helaran kendang yang digunakan adalah jenis kendang yang

disandang seperti kendang pada pertunjukan kesenian sisingaan. Sedangkan

pada pertunjukan di atas panggung kendang yang digunakan adalah jenis

kendang duduk lengkap dengan kulanter. Waditra kendang dan kulanter

ditambahkan sekitar tahun 1993, yang pertama kali memasukkan kendang

dalam kesenian tardug adalah Kelompok Saan Group dari Kelurahan Soklat,

Kecamatan Subang. Peranan kendang dalam pergelaran kesenian tardug tidak

begitu dominan sebagaimana pada pertunjukan genjring bonyok, kliningan, atau

wayang. Mengingat fungsi pengatur irama pada lagu-lagu dangdutan dipegang oleh

waditra bedug dan drum.

182

Gambar 3.13: Kendang

(c) Goong adalah waditra berpenclon yang besar, mempunyai garis

tengah antara 59 cm sampai dengan 105 cm, dibuat dari perunggu atau besi.

Dipukul dengan alat pemukul yang empuk, bunyinya sangat rendah dan

bergelombang suara, digantung dengan mempergunakan tali (digayor). Goong

merupakan salah satu waditra yang biasanya terdapat dalam perangkat gamelan

yang berfungsi sebagai anggeran (pengatur wiletan) lagu.

183

Gambar 3.14: Goong

Setelah dimasukkannya gitar bas, maka fungsi goong sebagai pegatur

wiletan tergeser. Namun apabila disimak lebih teliti, sebenarnya gitar bas tidak

menggantikan fungsi pengatur wiletan pada goong, sebab pada dasarnya fungsi di

antara keduanya tidak sama, tetapi karena ada kemiripan warna suara (timbre)

sehingga waditra goong jarang ditampilkan lagi. Sebab dalam lagu-lagu dangdut

sistem wiletannya berlainan dengan sistem wiletan lagu-lagu tradisional. Namun

goong ini acapkali dipakai apabila pertunjukan Tardug tidak dilengkapi dengan

gitar bas.

(e) Simbal dan kecrek, masuknya alat musik simbal dimaksudkan oleh

para penggarap kesenian Tardug untuk mengganti fungsi kecrek, yang menuri

mereka sudah kurang cocok untuk mengiringi lagu-lagu dangdutan. Sedangkan

simbal dianggap lebih fleksibel, selain bisa j digunakan untuk mengiringi lagu-

lagu dangdutan, juga bisa dipakai untuk menghiasi irama ketuk tilu atau kliningan.

Terutama jenis simbal yang ditempeli paku payung yang dilonggarkan sehingga

184

bila mukanya dipukul, paku payung tersebut akan bergetar dan menimbulkan

bunyi.

Gambar 3.15: Simbal dan Kecrek

(f) Drum yang dipakai dalam kesenian tardug tidak dalam jumlah satu

set drum, tetapi hanya diambil bagian snar drumnya saja. Yaitu sebuah drum kecil

yang berupa bagian dari seperangkat drum, yang pada membran bagian bawah

terdapat beberapa I dawai dari kawat yang melintang pada membrannya. Sehingga

apabila dipukul muka atasnya, maka membran bagian bawahnya akan bergetar dan

membentur dawai di bawahnya hingga berbenturan satu sama lain yang kemudian

menghasilkan bunyi.

185

Gambar 3.16: Snare Drum

(g) Bedug yang digunakan dalam kesenian tardug berbeda dengan jenis

bedug yang dipasang di mesjid yang dibunyikan sebagai tanda waktu untuk

menunaikan shalat. Perbedaannya terdapat pada ukuran, bentuk, dan bahan. Ukuran

bedug pada kesenian tardug berkisar antara 60 cm - 65 cm untuk diameter

lingkaran bagian mukanya, panjang sekitar 70 cm, ketebalan kuluwung (tabung)

kayunya setebal 4 - 5 cm, dan diameter lingkar belakangnya sekitar 30 cm. Bahan

yang sering dipakai untuk tabungnya (kuluwung) diambil dari bodogol pohon

kelapa, yaitu pangkal pohon kelapa bagian bawah yang terletak di atas akarnya.

Bentuk bedug tardug mirip dengan dogdog besar yang biasa dipakai pada kesenian

reog.

Bunyi yang dihasilkan bedug pada dasarnya ada tiga macam, yaitu bunyi

dong, dung, dan bunyi dut. Bunyi dung dihasilkan dengan cara memukul bagian

pinggir bedug dengan menggunakan alat pemukul. Bunyi dong dihasilkan dengan

cara memukul bagian tengan bedug dengan menggunakan pemukul, dan

memukulnya dilepas. Sedangkan bunyi dut dihasilkan dengan cara memukul

bagian tengah bedug dengan menggunakan pangkal telapak tangan yang

186

dikepalkan. Jumlah bedug yang dipakai dalam kesenian tardug sejak awal

pertumbuhannya yaitu sebanyak 1 buah.

Gambar 3.17: Bedug

(h) Bangsing ialah alat tiup yang terbuat dari bambu dengan enam lubang

nada dan sebuah lubang untuk meniupnya. Bangsing ini biasa dipakai sebagai

penghias melodi dan pada lagu-lagu dangdut Alat musik bangsing terbuat dan

bahan bambu lamang.

187

Gambar 3.18: Bangsing

Pada kesenian tarduk, alat musik bangsing berfungsi sebagai penghias

melodi yang memberi varasi-variasi pada kekosongan saat tidak ada vokal. Selain

itu juga berfungsi sebagai pembawa melodi lagu pada sajian musik instrumental

yaitu pada tataluan. Sejenis bambu kecil vang tumbuh di semak-semak dan hutan

dengan ruas yang panjang dan tipis. Selain dibuat bangsing tainiang juga dibuat

sumpit dan suling.

3.6.4 Penyebaran kesenian Tardug

Setelah satu dasawarsa sejak terbentuknya kesenian tardug di Desa Cidadap

Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang. Kesenian ini telah mengalami

perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan yang dimaksud artinya perluasan

penyebaran kesenian tardug ke daerah lain terutama dalam wilayah kabupaten

Subang. Hampir seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Subang memiliki

perkumpulan kesenian tardug seperti kecamatan Subang memiliki 8 grup, Pagaden

10 grup, Binong 7 grup, Pamanukan 3 grup, Compreng 2 grup, Sagalaherang 3

188

grup, Jalancagak 5 grup, Cibogo 5 grup, Tanjungsiang 1 grup, Patokbeusi 2 grup,

Cijambe 9 grup, Kalijati 3 grup, Purwadadi 4 grup, Pabuaran 2 grup, Ciasem 1

grup, dan Pusakanagara 2 grup (Sumber: Data Organisasi Kesenian Kandepdiknas

Kabupaten Subang 1999/2000).

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa penyebaran kesenian tardug

telah meluas ke pelosok kabupaten. Yaitu mulai dari Kecamatan Pamanukan di

ujung utara sampai Kecamatan Sagalaherang di ujung selatan Kabupaten Subang.

Secara kuantitas dapat dilihat bahwa penyebaran kesenian terkonsentrasi pada

empat kecamatan yang cukup berdekatan yaitu Kecamatan Cijambe, Subang,

Pagaden, dan Binong. Secara geografis keempat kecamatan ini terletak membujur

dari utara ke selatan. Di mana keempatnya memiliki kesamaan yaitu sama-sama

terbelah oleh salah satu jalan utama di Subang, yakni Jalan Bandung ke

Pamanukan.

Sementara itu Kecamatan Pagaden sebagai lokasi tempat terbentuknya

kesenian Tardug, penyebarannya terkonsentrasi di daerah Cidadap, Gunung

Sembung. Pangsor, dan Gunung Sari. Keempat daerah ini secara geografis terletak

di bagian baratdaya Kecamatan Pagaden. Untuk lebih jelasnya, lihatlah Peta

Wilayah Kecamatan Pagaden pada lampiran tulisan ini.

Desa Cidadap memiliki sedikitnya lima perkumpulan kesenian tardug yaitu

setengah dari jumlah kesenian tardug di Pagaden Hal ini erat kaitannya dengan

pendapat yang menyatakan bahwa kesenian Tardug lahir di Desa Cidadap.

189

Tabel 3.4: Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden

3.6.5 Masyarakat pendukung

Masyarakat pendukung kesenian tardug adalah masyarakat Subang dan

sekitarnya yang berkepentingan terhadap keberadaan kesenian tardug. Sebagai

kesenian yang terbentuk akibat selera massa, kesenian tardug memiliki cukup

banyak pendukungnya terutama di kalangan tertentu dengan latar belakang yang

beragam pula Salah satunya adalah seperti yang diungkapkan oleh tokoh kesenian

yang berdomisili di Subang yaitu Edih AS.

Kesenian genjring dangdut atau tardug diciptakan, salah satu tujuannya adalah untuk melayani kebutuhan akan kesenian bagi masyarakat kalangan bawah Memang apabila dilihat dari segi tarif, kesenian tardug relatif lebih murah dibandingkan kesenian lainnya yang berkisar di atas satu juta untuk sekali pentas (siang malam). Harga satu kali panggilan pentas kesenian tardug berkisar antara Rp 400.000,- sampai Rp. 600.000,- untuk pentas arak-arakan dan Rp. 750.000,- sampai Rp. 1 200.000,- untuk pentas arak-arakan dan pentas siang malam (Sutaija, wawancara, Subang, 5 Austus 2010).

No.

Nama Grup Pimpinan Grup Tempat

1. Karisma Jaya Saji Suryadi Kampung Sakola, Desa Cidadap 2. Mekar Arum Rastim Gendut Kampung Sukarahayu, Desa Cidadap 3. Radia A. Rasun Kampung Sukarahayu, Desa Cidadap 4. Sinar Pusaka Sutarja Kampung Sukasari, Desa Cidadap 5.: Primadona Sukelim Kampung Cidadap, Desa Cidadap 6. Gentra Panineungan Rohan Kampung Cerelek, Desa Gunung

Sembung 7. Ajum Group Ajum Kampung Gunung Sembung, Desa

Gunung Sembung

8. Mutiara Group Sukman E Kampung Bendungan, Desa Bendungan 9 Mekar Rahayu Muda A Odo S Kampung Pangsor, Desa Pangsor 10. Mangkat Mekar A. Nana Gala Kampung Gala. Desa Gunung San

Sumber: Kandepdiknas Kecamatan Pagaden

190

Sementara itu sistem pembagian honor para pemain terdiri dari dua macam,

sesuai dengan statusnya di dalam perkumpulan itu. Bagi pemain tetap biasanya

dibayar dengan sistem prosentase, dengan prioritas bayaran terbesar yaitu

pimpinan rombungan, pemain bedug, penyanyi, dan pemain gitar melodi.

Sedangkan bagi pemain dengan status pemain tidak tetap (pemain sewaan/bonan)

dibayar berdasarkan tarif tertentu Sebagai pemain bayaran seorang penvanyi biasa

dibayar dengan jumlah Rp. 20.000,-, sama dengan tarif pemain gitar melodi, dan

pemain bedug* untuk acara arak-arakan. Untuk pentas panggung siang malam

bayarannya bisa lebih besar lagi. Sementara sistem pembagian uang jabati, adalah

40 % untuk penyanyi, dan sisanya dibagi rata untuk para pemain musik (nayaga).

Tentu saja pendukung kesenian ini tidak terbatas pada masyarakat kalangan

bawah saja. Sebuah perkumpulan selain memiliki pimpinan rombongan, juga

memiliki pelindung dalam perkumpulannya. Pelindung kesenian ini biasanya

dipilih dari kalangan masyarakat yang berpengaruh seperti lurah, camat, perwira

polisi, tentara, dan lain-lain. Jelas golongan ini tidak termasuk kalangan bawah

Namun demikian mereka bukanlah pendukung kesenian tardug yang aktif dan

potensial. Dilihat dari keterlibatannya dengan kesenian tardug, pendukung

potensial kesenian tardug justru adalah pemuda dan remaja.

3.7 Analisis Kontinuitas dan Perubahan yang Terjadi

Seperti sudah diuraikan pada sub-sub bab di bahagian Bab III ini, maka

jelas tergambar terjadinya kontinuitas dan perubahan dari genjring bonyok ke

tardug. Kontinuitas dan perubahan ini juga mengembang dan berasal dari berbagai

ragam seni pertunjukan sejenis seperti genjring sholawatan, genjring rudatan, adem

191

ayem, genjring gederan, menjadi genjring bonyok. Kemudian menjadi tardug, yang

juga disertai dengan genre-genre baru lainnya seperti genring dangdutan.

Ada faktor-faktor yang kontinu atau sinambung dari awal munculnya

genjring, yang selaras dengan peneyebaran Islam di Tatar Sunda. Ini tercermin di

dalam penggunaan instrumen yang khas yaitu genjring. Di samping itu,

kesinambungan terjadi pula pada lagu-lagu yang digunakan, terutama yang

bertemakan ajaran Islam. Yang terpenting semua genre yang melibatkan genjring

ini adalah mengekspresikan peradaban Islam yang dibumikan dalam konteks bumi

Sunda.

Setiap genre yang hampir sama bentuknya ini saling mempengarhui, namun

yang kuat adalah dua genre saja yaitu genjring bonyok dan tardug. Dalam realitas

sosial, perubahan terjadi karena perubahan fungsi sosial di dalam masyarakat,

terutama perubahan fungsi kebutuhan hiburan pada masanya. Perubahan yang

terjadi berasal dari dalam kebudayaan Sunda di Subang sendiri maupun

dipengaruhi oleh perubahan-perubahan eksternal, baik dari lingkungan di luar

budaya Sunda, budaya asing, maupun yang terutama adalah budaya yang disajikan

emlalui media masa.

3.7.1 Kontinuitas

Dilihat dari aspek sejarah, bahwa agama Islam masuk ke Tatar Sunda sejak

tahun 1530, yaitu di paruh pertama abad ke-16, yang dibawa oleh Sunan Gunung

Jati, serta Aria Wangsa Goparna. Dalam masa ini penyebaran Islam menggunakan

media kebudayaan, termasuk di antaranya melalui lagu-lagu yang bertema Islam

dan berbahas Sunda serta alat musik khas Islam yaitu rebana, yang dalam

192

penyebutan orang Sunda disebut genjring. Seni genjring ini memang khas

bersuasana dan mengekspresikan peradaban Islam. Dari abad ke-16 sampai abad

ke-20, seni genjring ini diperkirakan tumbuh dan berkembang di dalam kebudayaan

masyarakat Sunda, khususnya di kawasan Subang Jawa Barat.

Kemudian dari data yang merupakan keterangan para informan di kawasan

penelitian, tahun 1930-an mereka selalu menyaksikan perttunjukan genjring

sholawat, atau juga genjring rudat, dan adem ayem. Kesemuanya menggunakan

genjring sebagai instrumen utama dalam pertunjukannya. Kemudian pada

dasawarsa 1940-an di Desa Cidadap muncul genre yang “baru” yang merupakan

hasil olahan kreativitas seni pertunjukan dari genjring sholawatan tersebut. Dari

tahun 1940 sampai 1990-an genjring bonyok ini mengalami masa-masa

perkembangan baik secara fungsional maupun struktural. Sama seperti seni-seni

lainnya di Tatar Sunda, maka selepas era 1990-an genjring bonyok mengalami

perubahan, dan perlahan-lahan menjadi seni tardug atau genjring tardug.

Pada era-1990-an sampai sekarang genre tardug ini begitu fungsioanl dalam

kebudayaan masyarakat Sunda di Subang khususnya. Kesenian ini memasukkan

unsur-unsur budaya kontemporer nusantara dan dunia di dalam pertunjukannya.

Yang paling ketara adalah seni dangdut dan musik populer Indonesia. Ini terjadi

karena arus media massa yang ditonton masyarakat dan para seniman di kawasan

ini.

Kontinuitas yang terjadi adalah semua genre seni pertunjukan tersebut di

atas, khususnya genjring bonyok ke tardug ada hal-hal yang sinambung. Yang

paling menonjol adalah identitas Islam di Tatar Sunda dan budaya kontemporer

saat ia hidup. Yang menonjol dari segi alat musik adalah penggunaan genjring dan

193

bedug. Kedua alat ini dipandang sebagai simbol atau lambang peradaban Islam.

Alat-alat musik lain yang diadopsi dari seni-seni tradisi Sunda dan Eropa berubah-

ubah dari masa ke masa dan dari satu genre ke genre lain. Alat-alat musik yang

berubah-ubah penggunaannya adalah tarompet, gitar, goong, kecrek, bahkan

sampai keyboard dan drum.

Dalam melakukan kontinuitas ini, para seniman dan masyarakat Sunda

memahami bahwa simbol-simbol dan ikon keislaman harus terus dipelihara dalam

merubah satu genre seni ke genre seni lainnya. Terutama genre seni yang sifatnya

adalah turunan (derivat). Selian itu tentu saja terjadi perubahan-perubahan.

3.7.2 Perubahan

Pada prinsipnya manusia dan kebudayaan secara umum pastilah berubah

dari waktu ke waktu. Perubahan yang terjadi ada yang lambat laun ada pula yang

cepat. Perubahan yang lambat ini disebut dengan perubahan evolusi, yang cepat

adalah revolusi. Perubahan-perubahan yangh terjadi di dalam sebuah kebudayaan

manusia ada yang berasal dari dorongan perubahan dan pembaharuan dari manusia

atau kelompok manusia itu sendiri. Namun tidak jarang pula perubahan-perubahan

kebudayaan diakibatkan oleh berbagai pengaruh yang datangnya dari luar

kelompok manusia yang melaksanakan kebudayaannya. Perubahan yang berasal

dari dalam disebut dengan inovasi, sedangkan perubahan yang berasal dari luar

disebut dengan akulturasi.

Melihat keberadaan seni genjring bonyok yang berubah ke tardug ini,

kedua-dua faktor tersebut menjadi dasar dari perubahan. Perubahan yang terjadi

umumnya adalah untuk memenuhi sistem estetika yang berlaku di dalam

194

masyarakat Sunda. Artinya perubahan didorong oleh keinginan untuk terus

berkreativitas dan melakukan penemuan-penemuan baru di dalam seni pertunjukan.

Setiap ada unsut yang baru atau mendaur ulang unsur seni lama menjadi baru,

maka masyarakatnya memberikan respons balik yang baik terhadap para seniman,

Selain itu, perubahan-perubahan yang terjadi dari berbagai genre seni Islam

di Tanah Sunda ini, adalah diakibatkan oleh perubahan budaya dari masa ke masa.

Perubahan dari genjring bonyok ke tardug, tidak bisa dilepaskan dari perubahan

sosial masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat ini. Masyarakat Sunda adalah

bahagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang juga apa yang terjadi

secara nasional akan berakibat secara kedaerahan.

Sebagai bukti adanya hubungan perubahan sosial dan seni dalam

masyarakat Sunda ini dapat dilihat dari perubahan genre-genre seni yang

menggunakan genjring dan bedug sebagai intrumen (waditra) utamanya. Genjring

itu sendiri ekspresi peradaban Islam di abad 16 sampai awal abad ke-20. Dalam

periode ini masyarakat Sunda masih dalam suasana kerajaan yang baru berubah

dari peradaban Hindu menuju budaya Islam, jadi ekspresi kesenian genjring pun

pastilah memperlihatkan proses perubahan dan kemantapan dalam keimanan dan

berkesenian. Kemudian disusul munculnya genjring sholawat atau umbul-umbul di

tahun 1930-an di masa Nusantara ini menyiapkan diri menuju Indonesia merdeka,

maka ekspresi kemerdekaan juga dilakukan di dalam genjring sholawat. Kemudian

mendekati Indonesia merdeka muncullah genjring bonyok dari Desa Cidadap, yang

juga kuat mengekspresikan ajaran-ajaran Islam dan seni ini sangat fungsional

dalam tradisi upacara keislaman, bahkan bentuk perarakan menjadi begitu

195

menonjol. Bentuk pertunjukan ini adalah simbol dari kekuatan Islam dalam

menghadapi peperangan melawan Belanda.

Genjring bonyok ini begitu berkembang dari masa kemerdekaan sampai

dasawarsa 1990-an di mana masyarakat Indonesia merdeka dan mengisi

pembangunannya. Saat ini kontinuitas genjring bonyok sebagai seni Islamnya

masyarakat Sunda terus dipelihara.

Namun sesuai dengan perkembangan zaman, maka sejak 1998 Indonesia

berubah dari zaman Orde Lama ke Era Reformasi yang lebih demokratis dan

terbuka dalam mengelola kebudayaan. Saat ini pun kritik kepada siapa saja lebih

terbuka, kesenian-kesenian yang ditampilakan juga lebih “merdeka” tema dan

topiknya. Seniman lebih merdeka dibanding zaman Orde Baru. Maka kemerdekaan

berekspresi dan kebebasan yang lebih luas dalam berkreativitas ini turut

mempengaruhi perkembangan seni di Indonesia, termasuk juga di dalam seni-seni

Islam di Tatar Sunda. Tardug atau genjring tardug dan juga tardug dangdutan

adalah sebagai bukti terjadinya perubahan sosial kemasyarakatan dan juga

terjadinya perubahan pada genre-genre seni.

Di dalam genre tardug, maka unsur budaya pun selain menggunakan unsur

budaya Islam (diwakili genjring dan bedug) juga menggunakan unsur-unsur Sunda

pra-Islam seperti: tarompet, kecrek, goong, dan lainnya. Juga menggunakan alat-

alat musik Eropa seperti: keyboard, dan seperangkat drum. Lagu-lagu yang

digunakan, selain lagu-lagu khas tradisi Sunda, dan juga lagu Islam dalam konteks

budaya Sunda, juga menggunakan lagu-lagu dangdut, dan juga lagu-lagu populer

Indoensia, dan kalau diminta lagu pop dunia juga mereka bisa memainkannya.

196

Bagi masyarakat Sunda, musik dangdut juga dipandang sebagai milik

mereka yang dikembangkan dari Orkes Melayu (O.M.). Orang Sunda juga sadar

bahwa orkes dangdut ini dipelopori perkembangnnya oleh para seniman Sunda

seperti Raden Haji Oma Irama (Rhoma Irama). Begitu juga dengan tokoh-tokoh

dangdut yang lain yang berlatar belakang budaya Sunda seperti Elvi Sukaesih, Evi

Tamala, Cici Paramida, dan lain-lainnya. Dengan demikian, perubahan yang terjadi

di dalam masyarakat Sunda diekspresikan juga dalam perubahan-perubahan

kesenian. Termasuk perubahan di dalam seni-seni Sunda yang melibatkan genjring

dan tardug sebagai simbol keislaman mereka. Bagaimanapun perubahan mestilah

terjadi dan tidak dapat dihempang, tetapi perubahan yang mengakar pada kebijakan

tradisilah yang kuat pengaruh dan perkembangannya di dalam masyarakat. Untuk

itu diperlukan juga para pemikir dan penganalis kebudayaan.

3.8 Guna dan Fungsi Genjring Bonyok dan Tardug

Kontinuitas dan perubahan yang terjadi dari genjring bonyok ke tardug

tidak dapat pula dipisahkan dari guna dan fungsi genre kesenian ini di dalam

kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berada di Subang Jawa Barat.

Kontinuitas dan perubahan yang terjadi sejalan juga dengan guna dan fungsi

kesenian ini di dalam masyarakat. Sebagai seni yang sarat dengan ajaran Islam

maka kesenian ini juga memiliki guna dan fungsinya secara tersendiri. Guna dan

fungsi genjring bonyok dan tardug ada persamaan dan ada pula perbedaannya.

Fungsi tardug menurut penulis lebih bersifat profan dan sekuler, sedangkan

genjring bonyok lebih bersifat ritual dan religius.

197

Sebelum menguraikan bagaimana guna dan fungsi genjring bonyok dan

genjring tardug di dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Subang Jawa barat ini,

terlebih dahulu diuraikan pengertian guna dan fungsi yang dirujuk dalam tulisan

ini. Adapun yang dimaksud guna (uses) dan fungsi (functions) di dalam tesis ini

adalah merujuk pengertian yang dikemukakan oleh seorang etnomusikolog ternama

yang beraliran fungsionalisme, Merriam (1964) seperti kutipan parafrase berikut

ini.

3.8.1 Pengertian Guna dan Fungsi dalam Disiplin Etnomusikologi

Menurut ilmuwan antropologi Bronislaw Malinowski, yang dimaksud

fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya

bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk

manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh

darip salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin

memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul

karana keinginan naluri manusia untuk tahu. Teknologi muncul dalam kehidupan

manusia untuk mempermudah manusia dalam menggunakan perangkat atau

peralatan hidupnya. Bahasa muncul dalam kehidupan sebagai anugerah Tuhan,

dalam rangka manusia berkomunikasi secara verbal antar sesamanya. Namun

demikian, banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari

berbagai macam human need itu. Dengan paham ini seorang peneliti budaya bisa

198

menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan

kebudayaan manusia.22

Selaras dengan pendapat Malinowski, genre seni genjring bonyok dan

tardug timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu

rangkaian keinginan naluri masyarakat Sunda di Jawa Barat pada umumnya.

Genjring bonyok dan tardug timbul, karena masyarakat pengamalnya ingin

memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu,

fungsi estetika ini akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi

masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya, dan lainnya.

Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan

struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan

individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown

yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat,

mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada

keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah

untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang

dijabarkannya berikut ini.

By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define

22Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang

fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).

199

it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Selaras dengan pandangan Radcliffe-Brown, genjring bonyok dan tardug

boleh dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Sunda. Seni

pertunjukan ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada

keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan

kehidupan budaya masyarakat pengamalnya. Fungsinya lebih jauh adalah untuk

mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu,

dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Sunda,

jati diri, perubahan sosial, sistem akulturasi, kumpulan etnik Sunda, dan masalah-

masalah lainnya.

Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan

integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk kepentingan

sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur

diri, dan (3) sebagai penyajian estetik (1995). Selaras dengan pendapat Soedarsono seni

genjring bonyok dan tardug dalam kebudayaan Sunda mempunyai fungsi sosial, ungkapan

perasaan pribadi yang dapat menghibur diri, dan penyajian estetika.

Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya

dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi

ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian

penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa

lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan

musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam

masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada

200

pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan

aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian

antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut.

Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210).

Dari kutipan langsung paragraf di atas, terlihat bahwa Merriam

membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap

dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi

tertentu dan menjadi bahagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi

yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian

yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis

sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—

[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan

pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang

menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme

tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa,

mengorganisasikan ritual, dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan”

menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan

201

“fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama

tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan

demikian, selaras dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan

dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan

konsistensi internal budaya.

Berkaitan dengan guna dan fungsi genjring bonyok dan tardug dalam kehidupan

sosial masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat, memiliki berbagai guna dan fungsi. Guna

langsung bisa dirasakan dari pengamatan awal dan situasi di mana ia digunakan,

sedangkan fungsinya lebih bersifat abstrak dan hanya dapat dipahami melalui pendekatan

kebudayaan dan mencari makna-makna di sebalik kegiatan sosial dan budaya

penggunaanya. Lihat uraikan berikut ini.

3.8.2 Penggunaan Genjring Bonyok dan Tardug

Penggunaan genjring bonyok dan tardug dalam kebudayaan Sunda mencakup

berbagai aktivitas, seperti: memeriahkan suasana pesta perkawinan, memeriahkan suasana

pesta khitanan, meruwat bumi (memohon agar Tuhan menghindarkan bahaya suatu

daerah), menyambut tetamu, untuk festival-festival budaya, untuk mengiringi acara-acara

peresmian, untuk kepentingan pariwisata, dan lain-lain.

3.8.2.1 Upacara pesta kawin

Dalam kebudayaan Sunda pada umumnya, pernikahan merupakan kegiatan

yang bersifat keagamaan dan adat sekaligus. Pernikahan secara konseptual, adalah

penyatuan jasmani dan rohani antara laki-laki dan perempuan yang diabsahkan baik

oleh agama maupun norma-norma sosial. Dalam kebudayaan masyarakat Sunda di

Jawa Barat, upacara perkawinan ini terdapat beberapa tahapan.

202

Di beberapa tempat di Banten jodoh seseorang sudah ditentukan oleh orang

tuanya sejak masih anak-anak. Di daerah pedesaan lainnya masih berlaku pula

jodoh ditentukan oleh orang tua ketika anak sudah dianggap dewasa (baleg). Pada

keluarga petani yang kaya, seriang kali jodoh ditentukan oleh orang tua yaitu sama-

sama orang yang kaya juga. Kalau perlu dengan kerabat besarnya. Hal ini

dimaksudkan untuk memelihara kekayaan. Perkawinan seperti ini, menurut istilah

Buah Batu Bandung, yaitu ngadu galeng (mengadu pematang). Akan tetapi pada

umumnya dewasa ini para pemuda dan pemudi bebas memilih jodohnya masing-

masing. Berikut adalah adat perkawinan yang masih dipegang oleh sebilangan

orang Sunda.

Jika seorang pemuda sudah menentukan pilihannya, maka kedua orang

tuanya melakukan neundeun omong (menaruh kata) kepada orang tua si gadis.

Setelah itu terjadilah proses amat-mengamati, penelitian, atau pengkajian atas dasar

prinsip: babat, bibit, dan bobot. Periode ini disebut dengan bene beureuh (kekasih

laki-laki dan kekasih perempuan). Babad artinya apakah calon itu sebanding apa

tidak. Jika tidak sebanding strata sosialnya mungkin bisa diurungkan. Namun ini

tergantung dari pihak keluarga masing-masing. Yang dimaksud bibit adalah faktor

keturunan, apakah orang baik-baik atau tidak. Sedangkan bobot berkaitan dengan

pribadi dan tingkat sosial ekonomi si calon pendamping hidup. Jika pengkajian tiga

hal di atas tidak sesuai maka ini digambarkan seperti pada pantun Sunda berikut ini.

Lain pandan lain pancing,

Lain cempaka kuduna,

Lain babad lain tanding,

Lain ka dina kuduna.

203

(Bukan pandan bukan pancing,

Bukan cempaka mestinya,

Bukan babad bukan tanding,

Bukan kepada dia mestinya).

Di samping prinsip di atas juga ada prinsip lainnya. Kepada seorang pemuda

yang telah berkeinginan untuk berkeluarga, para sanak dan sahabatnya selalu

menasihatkan agar memeiliki terlebih dahulu sarat, sirit, sorot. Sarat artinya si

pemuda sudah memiliki penghasilan dan hal-hal materi lain untuk keluarganya.

Sirit pula adalah kemampuan berhubungan seksual. Selanjutnya sorot adalah

berupa kedudukan, jabatan, dan pangkat yang secara sosial memang diperlukan.

Jika dalam periode bene beureuh tadi ternyata menemukan kecocokan,

maka periode selanjutnya adalah dilanjutkan lamaran oleh keluarga si pernuda.

Biasanya untuk melamar itu diserahkan kepada orang yang binekas pinter nyarita,

yaitu orang yang pandai mengungkapkan maksud hati dengan kata-kata berirama,

bersajak, indah, dan halus. Tentu saja pihak pemuda membawa barang-barang dan

uang sebagai ciri asih tanda cinta, meneuhkeun tineung ka jungjunan pupunden

hate (ciri kasih, tanda cinta, mengokohkan rindu dendam kepada pujaan hati).

Biasanya pada waktu melamar ini ditentukan pula hari baik bulan baik bagi

pernikahan. Setelah itu sering terjadi hubungan antara kedua keluarga tersebut.

Sehari sebelum pernikahan diadakan upacara seserahan (serah terima) yang

kalau dahulu lalu dilanjutkan dengan ngeuyeuk seueuh (mengolah sirih). Bila

pernikahan itu bukan besok harinya, seserahan dilakukan sore hari atau malam hari

sebelumnya. Atau bila si pemuda tempat tinggalnya jauh, sering terjadi seserahan

dilakukan sebelum saat walimah (pernikahan). Bagi keluarga marnpu penghuru

204

atau petugas jawatan agama setempat diundang datang, tetapi bagi yang tidak

mampu mempelai dan keluarganya datang ke Kantor Urusan Agama.

Selesai pernikahan diadakan upacara adat yaitu nyawer, nincak endog,

(menginiak terur), buka pintu, dan huap ringkung (suap lingkung). Nyawer

berupa nasihat-nasihat kepada mempelai yang dibawakan dengan tembang atau

puisi. Nyawer merupakan acara paling meriah dimana hadirin berebutan uang, gula-

gula, yang dicampur dengan beras kuning, beras putih dan kuning (turmeric), yang

semuanya itu disemburkan oleh penyawer kepada hadirin pada akhir setiap bait

tembangnya.

Uang dan beras melambangkan dunya barana (harta benda) yang pokok

dalam kehidupan. Beras kuning dan kuning (kunyit), turmeric melarnbangkan

keagungan, itu bisa berupa wibawa yang merupakan pengaruh dari pangkat atau

jabatan. Warna kuning dan putih (beras putih) mengisyaratkan kepada emas dan

perak. Sedangkan gula-guti adalah unsur baru yang mulai masuk cada dekade

enampuluhan.

Upacara nyawer ini lebih berintikan nasihat dan doa dari si Denyawer yang

bertindak atas nama orang tua dan kedua mernpelai. Juga ajakan kepada hadirin

untuk ikut mendoakan. Makna yang dikandung benda-benda simbolis tu biasanya

secara vokal disenandungkan si penyawer (biasanya wanita cantik): "luhur kuta

gede dunya, luhur oangkai gede darajat, dan seterusnya."

Upacara nyawer ini biasanya dilakukan di halaman repan rumah mempelai

wanita, sebab biasanya pernikahan itu selalu dilakukan di rumah pengantin wanita.

Selama nyawer itu kedua mempelai dipayungi payung kebesaran. Seusai nyawer

kedua mempetai berjalan berdampingan ke depan pintu. Pengantin pria bertugas

205

menginjak telur dan elekan (salah satu alat tenun tradisional) hingga kedua benda

itu pecah. Hal ini melambangkan pria yang kotor karena telui pecah itu dibasuh

oleh mempelai wanita dengan mernpergunakan air dari sebuah kendi tanah.

Setelah itu harupat (semacam duri dari pohon enau) dinyalakan dan harus

ditiup hingga padam oleh mempelai wanita. Hal ini melambangkan jika suami

sedang marah, si istri harus dapat meredakan kemarahannya itu dengan cara yang

tepat. Kernudran kendi yang masih berisi air itu dijatuhkan oleh mempelai wanita

hingga pecah dan airnya bercipratan. Keadaan ini mengisyaratkan suasana rumah

tangga mereka harus tiis dingin paripurna, tata tentrem kertaraharja, tenang dan

tenteram. Upacara ini disebut upacara nincak endog (memijak telur).

Berikutnya adalah upacara buka pintu. Mempelai wanita masuk ke dalam

rumah dan berdiri di balik atau di samping pintu. Mempelai pria yang berdiri di luar

mengetuk pintu, sehingga terjadilah dialog dalam tembang, yang tentu saja

disenandungkan penembang pria dan wanita. Dalam dialog itu biasanya mempelai

wanita mengajukan permintaan sebagai syarat untuk mempelai pria bisa masuk

rumah. Permintaan itu bisa macam-macam, tetapi biasanya berupa pembacaan

syahadat oleh mempelai pria. Setelah selesai membaca syahadat, pintu dibuka oleh

mempelai wanita. Keduanya bersalaman menurut tata cara adat Sunda.

Kedua mempelai ini lalu berjalan berdampingan diiringi oleh sanak

keluarga menuju kamar pengantin. Di sini sudah disiapkan hidangan lengkap.

Hidangan utama dalam upacara huap lingkung (suap lingkung) ini adalah bakakak

hayam (ayam panggang) dan nasinya. Kedua mempelai saling menarik bakakak itu

hingga terbagi dua. Mempelai yang memperoleh bahagian terbesar dianggp bakal

memperoleh rezeki yang besar.

206

Setelah selesai upacara huap lingkung ini, kedua mempelai lalu duduk di

kursi kebesaran, kursi gading gelang kencana. Keduanya menerima ucapan selamat

dari handai taulan ataupun undangan lainnya. Pada saat inilah genjring bonyok atau

tardug dipertunjukkan kepada semua yang hadir dalam pesta perkawinan adat

Sunda tersebut.

3.8.2.2 Upacara Pesta Khitan

Acara berkhitan (sunat Rasul atau sirkumsisi) merupakan salah satu

aktivitas dalam peradaban Islam. Berdasarkan hukum Islam, berkhitan adalah wajib

‘ain—wajib dilakukan oleh setiap individu muslim, sesuai ajaran Nabi Muhammad

SAW. Usia untuk berkhatan tidak ada ketentuannya, tetapi biasanya untuk anak

perempuan dilakukan setelah berusia lebih setahun, anak laki-laki lebih dari tujuh

tahun menjelang akil baligh (usia remaja).

Biasanya pada saat anak dikhitan, disertai acara yang berhubungan dengan

adat-istiadat, yaitu kenduri sebagai rasa syukur dan mohon keselamatan kepada

Allah. Dalam budaya Sunda, acara khitan ini dilaksanakan menurut hari baik dan

bulan baik, biasanya Sya’ban, Syawal, Zulhijjah, atau Zulkaidah. Sesuai dengan

penanggalan Islam, berdasarkan pada siklus tahun qamariah (siklus bulan

mengedari bumi),23 dimulai dari tahun awal kali Nabi Muhammad dan pengikutnya

hijrah (migrasi sementara) dari Mekah ke Medinah.

23Di dunia ini ada pelbagai sistem kalender yang digunakan oleh manusia. Ada yang

mengikut sistem bumi mengedari matahari seeperti kalender Masihi. Ada pula yang mengikut bulan mengelilingi bumi seperti kalender Islam dan Jawa. Ada juga kalender-kalender lain seperti China, Thailand, Batak Toba, Karo, Simalungun dan lainnya.

207

Pada hari yang ditentukan, anak tersebut dikhatan. Setelah selesai dikhatan

ditidurkan di sebuh ranjang. Beberapa masa kemudian, didudukkan di pelaminan.

Di depan pelaminan disediakan tumpengan (nasi dan lauk pauk). Saat anak

didudukkan di pelaminan inilah biasanya dipertunjukkan genjring bonyok, atau

tardug, keyboard tunggal, atau seni Sunda yang lainnya.

3.8.2.3 Ruwatan

Ruwatan adalah salah satu upacara yang lazim dilakukan oleh masyarakat

Sunda. Ruwatan adalah upacara yang bertujuan untuk menolak bala atau

menghindarkan malapetaka yang akan dilakukan oleh Tuhan Yang maha Kuasa

karena murka kepada manusia atau segelintir manusia yang berakibat kepada

manusia lainnya. Malapetaka itu adalah seperti datangnya penyakit, panen yang

tidak berhasil, bencana alam,. Kemarau, gempa bumi, dan lain-lainnya.

Ruwatan ini dilakukan dengan cara musyawarah para pemuka adat Sunda

dan juga tokoh agama, serta tokoh-tokoh pemerintahan. Waktu dan tempat

pelaksanaan ditentukan berdasarkan musyawarah tersebut. Setelah disepakati

bersama maka pesta ruwatan ini dilakukan menurut tempatnya. Tetapi pesta

ruwatan bisa juga dilakukan oleh keluarga tertentu yang ingin terbebas dari

malapetaka tersebut.

Seni genjring bonyok dan tardug biasanya diselenggarakan setelah upacara

secara agama di suatu perhelatan ruwatan. Seni genjring bonyok atau tardug ini

bisa dilakukan di lapangan, atau juga pentas, atau juga secara berkeliling memakai

mobil pick up. Dahulu kala dilakukan dengan menggunakan sepeda dan berjalan

208

berarak. Dengan demikian, guna kesenian ini masih berkait dengan upacara yang

berdasar kepada ajaran Islam dan meneruskan nilai-nilai budaya Sunda.

3.8.2.4 Menyambut Tetamu

Selain itu, sesuai dengan perkembangan zaman, musik genjring bonyok dan

tardug pada masa-masa akhir ini digunakan untuk menyambut tetamu-tetamu

kehormatan dari kepala desa, camat, atau bupati Kabupaten Subang. Biasanya

tamu-tamu diundang untuk mengikuti upacara-upacar resmi yang dilakukan oleh

pihak eksekutif. Adapun upacara itu di antaranya adalah emrsmikan digunakannya

gedung-gedung pemerintah, meresmikan dibukanya acara festival budaya,

meresmikan pasar malam, meresmikan pameran, dan lain-lainnya.

3.8.2.5 Peresmian

Seni genjring bonyok dan tardug juga digunakan dalam upacara-upcara

peresmian yang biasanya dilakukan juga oleh pihak pemerintahan di Kabupaten

Subang, baik dari tingkat bupati, camat, kepala desa, dan yang lainnya. Adapun

peresmian-peresmian yang lazim dilakukan oleh pihak eksekutif ini adalah seperti

persemian penggunaan gedung baru, peresmian pameran hasil pertanian, peresmian

festival dan lomba budaya, peresmian upacara ulang tahun kemerdekaan Republik

Indonesia di bulan Agustus, peresmian perlombaan olah raga, dan persemian-

persemian lainnya. Kesenian ini digunakan untuk memeriahkan suasana upacara

tersebut, yang dinikmati oleh masyarakat umum. Juga menjadi sarana komunikasi

sosial antara pemerintah dengan rakyatnya.

209

3.8.3 Fungsi

3.8.3.1 Integrasi Sosiobudaya

Fungsi seni genjring bonyok dan tardug lainnya dalam kebudayaan Sunda

adalah untuk integrasi masyarakat Sunda di Subang atau yang lebih luas

masyarakat Jawa Barat yang majemuk, Indonesia yang mendasarkan konsep biar

berbeda tetap satu juga. Berkenaan dengan fungsi seni sebagai sumbangan untuk

integrasi masyarakat, Merriam menjelaskannya seperti uraian berikut ini.

Music, then, provides a rallying point around which the members of society gather to engage in activities which require the cooperation and coordination of the group. Not all music is thus performed, of course, but every society has occasions signalled by music which draw its members together and reminds them of their unity (Merriam, 1964:227).

Menurut Merriam, salah satu fungsi musik adalah sebagai wahana untuk

berkumpul para anggota masyarakatnya. Musik yang seperti ini biasanya mengajak

para warga masyarakatnya untuk turut serta beraktivitas. Dalam konteks itu,

mereka saling memerlukan kerjasama dan koordinasi kelompok. Walaupun

demikian, Merriam juga tidak menyatakan bahwa semua musik berfungsi sebagai

kontribusi untuk integrasi sosial, tetapi setiap kelompok masyarakat, termasuk

masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat, mempunyai musik seperti yang

digambarkannya itu. Melalui musik ini para anggota masyarakatnya diajak untuk

beraktivitas bersama, dan mengingatkan akan pentingnya mereka sebagai satu

kesatuan kelompok.

Konsep yang dikemukakan Merriam tersebut sangat tepat dalam

menggambarkan salah satu fungsi yang terjadi dalam genre genjring bonyok dan

tardug di Subang. Dari serangkaian fungsi kesenian ini dalam masyarakat Sunda,

210

menurut penulis, fungsinya yang utama adalah memberi sumbangan kepada

integrasi masyarakat. Masyarakat di Subang Jawa Barat, terdiri dari berbagai

kelompok golongan sosial, yang bisa mengakibatkan friksi. Mereka juga

menyadari akan bahaya yang diakibatkan apabila konflik-konflik sosial tersebut

tidak diselesaikan hingga pada tahapan harmoni sosial. Oleh itu, mereka perlu

berintegrasi, yang dilandasi oleh semangat sosial, berbeda-beda dalam satu

kesatuan, yang didasari oleh persamaan budaya yaitu budaya Sunda. Perlunya

integrasi itu didukung pula dengan kondisi mereka yang berada dalam satu negara

bangsa, provinsi, yang menginginkan kerjasama sosial dalam berbagai kegiatan,

termasuk kesenian Sunda, seperti pada genjring bonyok dan tardug.

3.8.3.2 Kelestarian Budaya

Berkenaan dengan fungsi sumbangan musik untuk kelestarian dan stabilitas

kebudayaan, Merriam menjelaskan bahwa tidak semua unsur kebudayaan

memberikan tempat untuk meluahkan emosi, hiburan, komunikasi, dan seterusnya.

Musik adalah perwujudan kegiatan untuk mengekspresikan nilai-nilai. Dengan

demikian fungsi musik ini menjadi bahagian daripada berbagai ragam pengetahuan

manusia lainnya, seperti sejarah, mite dan legenda. Berfungsi menyumbang

kesinambungan kebudayaan, yang diperoleh melalui pendidikan, pengawasan

terhadap perilaku yang salah, menekankan kepada kebenaran, dan akhirnya

menyumbangkan stabilitas kebudayaan (Merriam, 1964:225).

Genre seni pertunjukan genjring bonyok dan tardug di Sumatera Utara

berfungsi pula memberikan sumbangan untuk kelestarian dan stabilitas kebudayaan

Sunda di daerah Subang. Di dalam genre seni inu terkandung unsur-unsur sejarah,

211

mite, dan legenda, yang pada saatnya mampu memberikan sumbangan untuk

kelestarian kebudayaan. Melalui genre seni p0ertunjukan ini boleh dipelajari

perilaku-perilaku yang dipandang benar dan salah oleh masyarakat pendukungnya.

Di dalamnya terkandung nilai-nilai moral. Usaha untuk mewujudkan kelestarian

dan stabilitas kebudayaan Sunda melalui seni pertunjukan ini.

Fungsi seni pertunjukan ini lainnya adalah sebagai sarana untuk kelestarian

budaya. Bahwa seperti dicontohkan di dalam ajaran agama, kebudayaan manusia

itu boleh saja mati, dan ada juga yang lestari. Contoh berbagai kebudayaan yang

musnah itu adalah: Ad, Tsamud, Madyan, Ur, dan lainnya—dan yang lestari adalah

beberapa umat Nabi Nuh, dan tentu saja umat Islam, sejak Nabi Adam Alaihissalam

hingga kini. Melalui seni budaya genjring bonyok dan tardug ini, ajaran-ajaran

Islam akan terus lestari mengikuti rentak dimensi ruang dan waktu. Bahwa

kebudayaan Islam itu harus diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya agar

tidak pupus ditelan zaman. Seni budaya Islam ini diajarkan melalui berbagai

institusi sosial, misalnya pesantren, sekolah umum, kumpulan remaja mesjid, dan

lain-lainnya. Generasi muda haruslah dikawal dan dipandu agar mereka

meneruskan dan melestarikan kebudayaan Islam ini ke generasi-generasi

mendatang.

3.8.3.3 Hiburan

Berkaitan dengan fungsi seni untuk hiburan, Merriam membicangkannya

seperti yang diturunkan berikut ini.

Music provides an entertainment function in all societies. It needs only to be pointed out that a distinction must be probably be drawn between “pure” entertainment, which seems to be a particular

212

feature of music in Western society, and entertainment combined with other functions. The latter may well be a more prevalent feature of nonliterate societies (Merriam, 1964:223).

Genjring bonyok dan tardug salah satu fungsinya adalah untuk hiburan. Di

Jawa Barat genre seni ini hidup karena salah satunya adalah berfungsi untuk

hiburan. Kumpulan-kumpulan pertunjukan biasanya melakukan kegiatannya di

pentas atau berarak. Fungsi utamanya dalam konteks ini adalah menghibur

pengunjung. Bentuk hiburan ini di antaranya adalah pengunjung ikut menanyi atau

menari secara bersama. Biasanya pihak penyelenggara mengemukakan bahwa

tujuan diselenggarakannya pertunjukan seni Sunda ini bukan untuk bisnis tetapi

adalah untuk melestarikan salah satu warisan tradisi Sunda. Namun demikian,

menurut penulis, faktor ekonomi juga menjadi hidup dan berkembangnya kesenian

ini di dalam kebudayaan Sunda.

Fungsi genre seni budaya Sunda genjring bonyok dan tardug lainnya adalah

sebagai sebagai hiburan. Istilah hiburan di sini, bukanlah bermakna hiburan yang

terlepas dari ajaran Islam. Justeru hiburan di sini adalah untuk memenuhi keinginan

asas manusia akan rasa keindahan menerusi berbagai dimensinya. Bahwa manusia

secara alamiah, menyukai keindahan. Sesudah menikmati keindahan ia akan

terhibur, dan jiwanya terisi oleh aspek-aspek ruhiyah dan pencerahan (aufklärung).

Berbagai contoh keinginan manusia akan hiburan, dapat kita lihat pada kebudayaan

masyarakat modern. Dengan demikian seni budaya Islam di Tatar Sunda ini juga

mengandung fungsi sebagai hiburan, yang berdasar kepada fitrahnya dan sebagai

salah satu anugerah dan nikmat yang diberikan oleh Allah.

213

Bagan 3.1

Kontinuitas dan Perubahan Genjring Bonyok ke Tardug dalam Budaya Sunda

214

BAB IV

STRUKTUR PERTUNJUKAN GENJRING

BONYOK DAN TARDUG

Pada Bab IV ini, penulis akan mengkaji s truktur pertujukan

genjr ing bonyok dan tardug yang terjadi di dalam kebudayaan

masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat . Adapun sebagai kelompok

genjring Bonyok yang akan dikaji s truktur pertunjukannya adalah

Sinar Pusaka yang ada d i Desa Cidadap, Subang, Jawa Barat. Di l ain s is i, seperti sudah diuraikan sebe lumnya, seni genjr ing

bonyok in i kemudian berkembang menjadi satu genre lagu yang

disebut tardug atau genjr ing tardug , kadangkala disebut juga tardug

dangdutan , atau tardug jaipongan . Untuk mengkaji struktur

pertunjukan tardug in i penulis memilih kelompok tardug Karisma

Jaya di Kampung Cidadap juga. Namun sebelum mengurai struktur

pertunjukan te rlebih dahulu dideskrips ikan s truktur o rganisasi , dan

manajemen seni yang terjadi di dalam kelompok seni pertunjukan

genjring bonyok Sinar Pusaka pimpinan Bapak Sutarja.

4.1 Organisasi Genjring Bonyok

Kelompok genjr ing bonyok pada umumnya seperti juga Sinar

Pusaka, pada mulanya merupakan sebuah kelompok kesenian

215

genjring sholawat yang bernama Sinar Harapan. Namun sejak tahun

1973 ke tika ke lompok in i berubah menjadi kelompok genjr ing

bonyok , Sinar Harapan berubah nama menjadi Sinar Pusaka. Pada

saat yang sama pu la, kepemimpinan kelompok in i diserahkan kepada

Sutarja, berlokasi d i Desa Cidadap , Kecamatan Pagaden , Kabupaten

Subang, Provinsi Jawa Barat .

Gambar 4.1 : Sutarja, Pimpinan Genjring Bonyok Sinar Pusaka

Di Desa Cidadap Subang Jawa Barat

216

Gambar 4.2 : Struktu r Organisasi Genjr ing Bonyok Sinar Pusaka

Kelompok gen jr ing bonyok Sinar Pusaka, adalah salah satu

dari sekian banyak perkumpulan genjring bonyok yang pada saat ini

terdapat d i Kabupaten Subang. Umumnya setiap ke lompok genjr ing

bonyok di Kabupaten Subang berada dalam suatu organ isasi sen i.

217

Setiap keorganisas ian seni umumnya pula memiliki ketua sebagai

pimpinan kelompok, dan dua orang pembantu umum yang masing-

masing berperan mengawasi anggotanya, yaitu terd iri dari para

pemain musik (nayaga) dan pe tugas sound sys tem.

Kelompok genjring bonyok Sinar Pusaka te rdaftar sebagai

salah satu kelompok kesenian Sunda, pada Dinas Pend idikan dan

Kebudayaan Kabupaten Subang. Sampai saat ini (2012), kelompok

Sinar Pusaka masih akti f dalam berbagai pertun jukan gen jr ing

bonyok , dan mempertahankan eksistensinya sebagai salah satu seni

pertunjukan genjr ing bonyok .

Sebagai salah satu organ isasi sen i pertunjukan d i daerah

Kabupaten Subang, ke lompok genjring bonyok Sinar Pusaka adalah

salah satu kelompok yang diakui kemampuannya oleh masyarakat.

Hal ini d ilatarbelakangi oleh ketrampilan para pemainnya dalam

memainkan alat musik, dan kemampuannya dalam memuaskan

kebutuhan pemangku hajat (nuboga hajat). Yaitu kemampuannya

menghibur para tamu undangan , dalam acara yang d ise lenggarakan

oleh salah seorang warga masyarakat.

Kedua faktor in i merupakan hal yang penting dimiliki oleh

setiap kelompok genjr ing bonyok . Karena selain kemampuan teknis

yang harus d ikuasai o leh para senimannya, setiap kelompok harus

pu la dapat memenuhi permintaan (lagu) penonton, yang adakalanya

dilakukan dengan memberikan mereka uang beberapa rupiah.

Dengan demikian setiap seniman genjr ing bonyok harus dapat

218

menguasai perbendaharaan lagu-lagu yang menjadi minat

penontonnya (tamu undangan dan pemangku hajat).

Untuk mempertahankan keberadaannya sebagai ke lompok

kesen ian , secara organ isasi , kelompok genjr ing bonyok Sinar Pusaka

melakukan regenerasi . Hal ini ter lihat dari keberadaan sebagian

pemainnya yang berusia relati f muda (20 -30 tahun). Biasanya

pemain genjring yang berusia muda bertindak sebagai "pemain

magang," yang bermain pada waktu -waktu yang telah ditentukan,

dan memainkan lagu -lagu yang sudah mereka pelajari pada masa-

masa sebe lumnya.

Dalam kelompok genjring bonyok Sinar Pusaka, biaya untuk

keperluan pertunjukan dan anggotanya, diperoleh dari pembayaran

yang diberikan pemesan pertunjukan genjring bonyok . Adapun

penghasilan tambahan mereka peroleh, dari para penonton yang

meminta lagu ketika pertunjukan dudukan maupun dalam arak -

arakan.

Hasil dari pembayaran yang mereka peroleh, b iasanya

sebagian disimpan di kas ke lompok. Uang tersebut d ipergunakan

un tuk membeli keperluan alat -a lat pertunjukan apabila alat te rsebut

harus digan ti ; membeli pakaian seragam anggota (te rdiri dari kaos

dan pakaian pertunjukan pangsi); dan un tuk kese jah teraan bagi

pemainnya yang sakit atau mendapat musibah.

Menurut Sutarja, keorganisas ian kelompok genjring bonyok Sinar Pusaka , d idukung oleh dua ke lompok yang te rdiri dari : (1 ) Kelompok pengurus terdiri dari : sa tu o rang Ketua atau pemimpin

219

kelompok, satu orang Pembantu Umum I (PU I) dan satu oran g Pembantu Umum II (PU II). (2) Kelompok anggota te rdiri dari : pemain musik (nayaga) dan pe tugas sound system (SS).

Untuk lebih jelasnya struktur organ isasi genjr ing bonyok Sinar

Pusaka dapat d il ihat pada bagan 4.1 di bawah ini :

Bagan 4.1: Struktu r Organisasi Genjr ing Bonyok Sinar Pusaka

4 .1.1 Tugas Kelompok Pengurus

Kelompok pengurus berfungsi sebagai penanggung jawab

langsung pelaksanaan pertunjukan. Di samping i tu, mereka juga

bertugas dalam mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan

administras i dan keuangan. Kelompok pengurus terdiri dar i seorang

ke tua dan dua orang pembantu umum (PU 1 dan PU 2), di mana

ke tiga jabatan tersebu t mempunyai tugas dan tanggung jawab

masing-masing.

Ketua ke lompok genjring bonyok Sinar Pusaka dipegang oleh

Sutarja. Ia adalah seorang penduduk dari Desa Cidadap, yang sehar i-

hari bekerja sebagai petani. Di dalam organisasi genjr ing bonyok

Sinar Pusaka, Sutarja sebagai ketua mempunyai tugas

mengkoordinasi se tiap pesanan pertunjukan, mulai dari

memutuskan masalah biaya pertunjukan, memberi in formasi pada

nayaga ten tang pertunjukan yang akan dilaksanakan, sampai

mengkoordinasi jalannya pertun jukan.

220

Pada umumnya, dalam ke lompok genjring bonyok ke tua

d isebut juga pemimpin, dalam arti selain sebagai orang yang

mengatur kendali organisas i. Dia juga merangkap sebagai oran g yang

memiliki selu ruh alat musik dan perlengkapannya.

Sebelum menjadi ketua kelompok genjring bonyok Sinar

Pusaka, Sutarja sudah dapat memainkan setiap alat musik genjr ing

bonyok . Ia juga dianggap ahli dalam memainkan alat musik tersebu t.

Dikarenakan keahliannya inilah, Sutarja dipercaya masyarakat untuk

mengajarkan cara memainkan alat musik gen jr ing bonyok .

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai ketua, Sutarja dibantu

dua orang pembantu umum, yang keduanya me rupakan kalangan

keluarga Sutarja sendiri. Pe ranan pembantu umum sangat

berpengaruh d idalam membantu kelancaran pertunjukan genjr ing

bonyok Sinar Pusaka. Di bawah ini akan dije laskan mengenai peran

dari t iap-tiap pembantu umum.

Pembantu Umum I d ipegang oleh Ibu Sutarja (is teri beliau),

tugas dari Pembantu Umum I adalah sebagai berikut :

(1) Mengkoordinas i nayaga yang akan mendukung

pelaksanaan pertunjukan genjring bonyok Sinar Pusaka.

(2) Memberitahukan anggo ta tentang pelaksanaan latihan.

(3) Mempers iapkan kostum yang akan digunakan , dan

(4 ) Memberikan honor kepada pemain (nayaga) .

Tugas lain dari pembantu umum I adalah sebagai wakil ketua,

apabila Sutarja tidak ada di tempat, maka Pembantu Umum I dapat

221

menentukan biaya untuk pertunjukan dan t idak terlepas dari b iaya

umum yang sudah d isepakati bersama.

Pada pertun jukan yang d ilaksanakan oleh warga masyarakat

Desa Cidadap, Kelompok Sina Pusaka t idak meminta bayaran kepada

pihak pemangku hajat . Karena dalam kehidupan masyarakat seperti

di Desa Cidadap, pertunjukan yang dilaksanakan Sinar Pusaka

merupakan suatu ben tuk partisipas i (go tong-royong) sebagai sesama

warga masyarakat . Pihak pemangku hajat akan mengeluarkan biaya,

apabila Sinar Pusaka menggunakan seniman yang bukan anggota

genjr ing bonyok . Secara umum honor yang dite rima setiap anggota

pemain genjr ing bonyok di desa Cidadap dan sekitarnya, sebesar Rp

15 .000,- (apabila genjring bonyok disajikan dalam salah satu teknik

pertunjukan saja) sampai Rp 25 .000,- (apabila genjring bonyok

disajikan dalam dua teknik pertunjukan).

Standar honorarium untuk pementasan genjring bonyok Sinar

Pusaka, terbagi atas t iga bagian : (1) Standar honorarium untuk

masyarakat di sekitar Desa Cidadap. Biasanya honorarium yang

dikeluarkan ini cukup ringan ( Rp 35.000), karena pemangku hajat

hanya membayar untuk anggota nayaga yang bukan anggota te tap

genjr ing bonyok Sinar Pusaka (pemain cabutan) .

(2) Standar honorarium untuk pertunjukan diluar Desa Cidadap

tetapi masih d i lingkungan kabupaten Suban g. Pembiayaan seluruh

pertunjukan d ibebankan kepada pemangku hajat, berupa uang

honorarium semua nayaga, transportas i dan sound system (bisa juga

222

disediakan oleh ke lompok genjr ing bonyok Sinar Pusaka). Jumlah

honorarium untuk arak-arakan biasanya antara Rp 300.000,- dan

un tuk dudukan Rp 1.000 .000.

(3) Biaya untuk pertunjukan di luar Kabupaten Subang,

d iperkirakan Rp 400.000 ,- untuk arak-arakan, dan Rp 500 .000,-

untuk dudukan. Sedangkan beban yang harus disediakan oleh

pemangku hajat adalah : transportas i, dan sound system. Apabila tempat

tujuan tersebut jauh, b iasanya dised iakan penginapan un tuk para

nayaga berist irahat.

Pembantu Umum II membidangi masalah penyed iaan sound

system dan hal yang menunjang kelancaran pementasan , baik dari segi

keamanan alat , nayaga , maupun pengaturan seting perlengkapan

pementasan. Pada ke lompok genjring bonyok Sinar Pusaka, jabatan

ini dipegang oleh Carmin (ad ik kandung

Ibu Sutarja ).

Pembantu Umum II juga mengerjakan hal -hal yang bersi fat

ekstern (d i luar dari aktivitas pertun jukan). Artinya ia bertindak

juga sebagai humas (hubungan masyarakat), yang si fatnya

memerlukan pemain dari luar, atau meminjam peralatan dari

ke lompok lain.

4.1.2 Tugas anggota

Kelompok anggota terdiri dari para pemain musik (nayaga)

dan petugas sound eystem. Tugas yang paling penting dari ke lompok

223

anggota adalah bermain sebaik mungkin dan melaksanakan

tugasnya sesuai yang d iperintahkan ke tua.

Dalam kelompok genjring bonyok Sinar Pusaka, syarat u tama

menjad i pemain musik adalah trampil dan mampu bermain - alat

musik (t idak terbatas pada satu alat saja) . Selu ruh pemain musik

dalam kelompok genjring bonyok Sinar Pusaka, berjen is kelamin

laki-laki . Semuanya berasal dari daerah Cidadap dan sekitarnya serta

mempunyai ikatan keluarga dengan Sutarja. Pada saat penelit ian ini

dilakukan, anggota kelompok Sinar Pusaka berjumlah delapan orang

yang seluruhnya berlatar belakang etnik Sunda.

Dalam keanggotaan Sinar Pusaka, syarat yang harus dimiliki

setiap anggotanya adalah ketrampilan memainkan satu alat musik

pada waktu pertunjukan. Namun demikian bukan berart i mereka tidak

dapat memainkan alat musik ensambel genjring bonyok yang lain.

Menurut pengakuan mereka, se tiap anggota harus mempunyai

spesialisasi dalam memainkan alat musik tertentu , hal in i bertujuan

agar mereka menjadi ahli dalam memainkannya.

Se lain sebagai seniman Genjring bonyok, selu ruh pemain

musik memiliki pekerjaan pokoknya masing-masing. Antara lain

sebagai panyawah (pe tan i), dan tukang ojeg (pengantar orang dengan

mempergunakan sepeda motor dan mendapat imbalan dari

penumpangnya). Biasanya pemain yang berusia relati f leb ih muda,

mempunyai pekerjaan sebagai tukang ojeg .

224

4.1.3 Aktivitas pertunjukan

Pada awal Sinar Pusaka berdiri menjadi ke lompok genjr ing

bonyok , pertun jukan yang mereka lakukan hanya berlokasi di Desa

Cidadap dan sekitarnya. Setelah Sinar Pusaka dikenal luas sebagai

ke lompok genjring bonyok , dan banyak menarik perhatian

masyarakat karena mampu menampung aspirasi penonton, ke lompok

ini mulai se ring dipanggil ke tempat-tempat lain di lingkungan

Kabupaten Subang, maupun d i luar Kabupaten Subang. Adapun

daerah di luar kabupaten Subang yang pernah menjad i tempat

berlangsungnya pertunjukan genjr ing bonyok Sinar Pusaka di

antaranya adalah daerah : Bogor, Cirebon, Karawang, Bekasi,

Bandung, Purwakarta , Cikampek, Sumedang, dan Jakarta.

Dalam hal pengalaman pementasan , kelompok Sinar Pusaka

pernah mengikuti berbagai fes tival maupun acara memperingati hari-

hari besar (hari jad i kabupaten maupun ko ta), antara lain : di Taman

Min i Indonesia Indah (TMII) Jakarta dalam rangka mengisi acara di

anjungan Jawa Barat (HUT TMII); mengiku ti Festival Kesenian

Rakyat se -Propinsi Jawa Barat di Bandung, tahun 2005: mengisi

acara di TVRI Statsiun Pusat Jakarta dalam paket kesenian

tradis ional, tahun 2008; mengis i acara di Pendopo Kabupaten

Subang dalam rangka menyambut tamu dari Nepal, t ahun 1990; dan

dari tahun 1991 sampai tahun 1996 kelompok Sinar Pusaka sebagai

pengisi acara te tap di Anjungan Depertemen Pendidikan dan

225

Kebudayaan, dalam rangka memperingati hari j adi Kabupaten

Subang dan Pameran Produksi Kabupaten Subang.24

4 .2 Tempat Pertunjukan, Waktu Pertunjukan, dan Teknik

Pertunjukan

4 .2.1 Tempat pertunjukan

Secara umum tempat pertunjukan genjr ing bonyok terbagi

kedalam dua bagian, yaitu di jalan raya dan di atas panggung.

Pertunjukan di jalan raya, dilakukan apab ila genjr ing bonyok

disajikan dalam suatu arak-arakan. Dalam pertunjukan ini para

pemain musiknya berjalan kaki mengikuti ru te perjalanan yang

telah ditentukan. Biasanya rute perjalanannya tidak jauh dari

tempat pemangku hajat.

Pertunjukan dudukan dilakukan di atas panggung. Panggung

ini bisanya dibuat d i depan rumah, di lapangan ataupun tempat

tertentu yang sudah disediakan.

4.2.2 Waktu pertunjukan

24 Wawancar a d eng an Bapak S utar ja, 2 N ovember 2006 . Wawancar a

d ilakukan d i rumah Bapak Sutarja Di kampung Sukasar i desa Cidadap , Kecamatan Pagaden , Kabupaten Subang. P ada k esempa tan p ementasan ters ebut, p ihak dar i kelomp ok Genjr ing bonyok Sinar P usaka diperca yakan mewaki li Kabupaten S ubang dalam misi kesenian ter sebut .

226

Waktu pertun jukan disesuaikan dengan konteks penggunaan

pertunjukan genjr ing bonyok . Yang terd iri dari :

2. Pada pesta khitanan, waktu pertunjukan sekitar puku l 15.00 s/d

17.00 WIB.

3. Pada pes ta perkawinan , waktu pertunjukan sekitar pukul 11 .00 s/d

15.00 WIB, ataupun d ilanjutkan pada malam hari sekitar pukul

20.00 s/d 24 .00 WIB, dan t idak jarang d ilakukan sampai dengan

menje lang waktu shubuh .

4. Pada acara ruwatan (pesta panen padi), waktu pertunjukan sekitar

pukul 11.00 s/d 15.00 WIB.

5. Pada acara hari-hari besar, waktu pertunjukan hampir sama

dengan waktu pe laksanaan pada acara pes ta perkawinan.

6. Pada acara menyambut tamu, waktu pertunjukan genjring relatif

s ingkat, sekitar 5-10 menit saja.

4.2.3 Teknik pertunjukan Genjr ing Bonyok

Pertunjukan Genjring bonyok dapat, dilakukan dalam dua

bentuk penyajian, yaitu penyajian dengan arak-arakan (helaran) dan

dudukan. Pertun jukan yang berben tuk helaran, merupakan pertunjukan

dimana para pemain musik gen jring bonyok bermain musik dengan

berjalan kaki keli ling kampung, mengikuti rute yang te lah

ditentukan. Biasanya arak-arakan kesenian ini t idak d ilakukan oleh

genjr ing bonyok sendiri , melainkan bersama-sama dengan kesenian

Sisingaan yang disajikan dalam suatu iring-i ringan .

227

Tujuannya pertun jukan arak-arakan in i adalah untuk

memperlihatkan suatu keramaian pesta kh itanan , ruwatan, atau

perayaan hari-hari Nasional. Oleh karenanya pada bentuk

pertunjukan helaran kesenian ini d isajikan sebagaimana halnya

sebuah pawai kesenian, maka para partisipannya te rdiri dari o rang-

orang muda yang ikut menyatu dalam arakan -arakan tersebu t.

Biasanya rute perjalanan dilakukan di sekitar pemangku hajat.

Teknik pertun jukan ini d ilakukan hanya dalam konteks upacara

kh itanan, ruwatan dan pada acara menyambut hari -hari besar. Dalam

konteks ruwatan, arak-arakan dilakukan dengan mengeli lingi lahan

persawahan di desa yang bersangkutan. Penempatan sound eystem

di le takkan di depan para pemain musik (te ru tama toa-nya) dan di

sekitar para pemain musik (kotak-kotak suara yang lainnya) dengan

mempergunakan sepeda atau beca.

Pertunjukan dudukan d ilakukan oleh para pemain musik

genjr ing bonyok dengan duduk di panggung di hadapan para

penonton. Penempatan sound system d iletakkan di sekitar pan ggung

dengan teknis i berada di dekat pemain musik. Pada bentuk ini

genjr ing bonyok dikhususkan sebagai hiburan musik, yang

mengundang spontanitas masyarakat untuk menari bersama-sama.

Dalam konteks ini pertunjukan kesenian memiliki fo rmalitas yang

lebih t inggi. Dalam arti segala sesuatu yang berhubungan dengan

jalannya pertunjukan memiliki aturan -atu ran yang harus dituruti o leh

penontonnya. Misalnya, permintaan lagu akan dikabulkan penyaji

228

(sen iman) apabila penon ton menuliskan lagu tersebu t dalam selembar

kertas, atau dalam melakukan tarian para penon ton secara khusus

memiliki gili ran yang diatu r oleh o rang yang dituakan di dalam pesta

tersebu t. Partisipan pertunjukan dudukan ini terd iri dari o rang-orang

tua, sampai kepada kalangan anak-anak muda.

Gambar 4.3 : Genjring Bonyok Dalam Pertunjukan Arak-arakan

229

Gambar 4.4 : Genjring Bonyok Dalam Pertunjukan Dudukan

4 .3 Struktur Lagu dalam Penyajian Musik Genjr ing Bonyok

Secara musikal genjr ing bonyok adalah suatu bentuk penyajian

musik instrumental , yang berasal dari paduan permainan Tarompet

(doublereed aerophone), empat buah Genjring ( frame drum), Bedug

(conlsdrum-single head), Kecrek {perkusi), dan Goong (vesel). Bentuk

penyajian musik instrumental yang dihasilkan dari organisasi bunyi

kelima jen is instrumen ini, merupakan salah satu karakteristik musik

genjring bonyok , yang dapat disaksikan dalam pertunjukan yang

berbentuk helaran maupun dudukan.

Terbentuknya kesenian ini d ilatarbelakangi t idak saja oleh

proses pengadopsian ins trumen musik. Tetapi juga secara t idak

langsung oleh p roses pengadopsian lagu -lagu tradisi dari kesenian

lain. Dengan demikian perbendaharaan lagu -lagu yang disajikan,

merupakan suatu komposis i yang secara luas juga ditemukan dalam

genre kesen ian lainnya di Jawa Barat.

230

Menurut Sutarja, pengadosian lagu-lagu genjr ing bonyok ,

secara tidak langsung diawali dari p roses pengadopsian instrumen

musik tarompet . Instrumen musik ini merupakan ins trumen pembawa

melodi yang umumnya d ipergunakan dalam kesenian-kesenian rakyat

Sunda lainnya. Dengan masuknya tarompet dalam ensambel

genjring, memberikan pengaruh besar terhadap perubahan maupun

penambahan komposis i-komposis i lagunya . Hal ini tepatnya

berlangsung ketika Pak Taslim (mantan seniman Sisingaan) menjadi

anggota Sinar Harapan pada tahun 1969.

Dengan bergantinya peranan pembawa melodi dalam kesenian

genjring tersebut, dapat diidentifikasikan bahwa se iring dengan itu

pula kesen ian ini mengalami dua fenomena perubahan. Pertama, yaitu

terjadinya perubahan peranan pembawa melod i. yang awalnya

d ibawakan oleh suara vokal manusia, digantikan oleh permainan

ins trumen tarompet . Kedua, te rjadinya perubahan dalam jenis

komposisi lagu, yaitu dari jenis lagu yang bernafaskan Is lam,

menjadi lagu- lagu tradisi musik rakyat Sunda.

Sejak masuknya ta rompet dalam ensambel gen jring ,

perkembangan yang pesat dari kesenian ini pun mulai te rl ihat. Hal

ini mungkin dilatarbelakangi oleh kemampuan gen jr ing bonyok

dalam menyajikan materi lagu-lagu tradisi rakyat yang disajikan

genre kesenian Sunda lainnya, tanpa meninggalkan karakteris tik

permainan genjringnya.

231

Pada dasarnya perbendaharaan lagu -lagu yang disajikan

Genjring bonyok dapat, dibedakan atas dua katagori , yaitu lagu buhun

dan lagu baru. Yang dimaksud dengan lagu buhun adalah materi lagu-

lagu rakyat Sunda yang telah berkembang pada tahun 1950 -an.

Materi l agu ini berasal dari berbagai jenis kesen ian tradisional

Sunda yang telah ada sebelumnya. Sedangkan lagu baru adalah materi

lagu-lagu yang muncul pada tahun 1970-an. Biasanya materi lagu ini

berasal dari lagu- lagu pop musik Sunda atau jenis kesenian sunda

lainnya.

Untuk lebih jelasnya, daftar lagu-lagu yang umumnya

disajikan ensambel Genjring bonyok Sinar Pusaka, dapat d il ihat pada

tabe l beriku t ini:

232

Tabel 4.5:

Daftar beberapa Judul Lagu Genjr ing Bonyok

Mo. Judul Lagu Kesenian asal lagu :

Katagori

1. Gederan Genjring Sholawat buhun 2. Kangsreng Ketuk Tilu buhun 3 . Bardin Ketuk Tilu buhun 4 . Awi Ngarambat Ketuk Tilu buhun 5. Torondol Ketuk Tilu buhun 6 . Polos Ketuk Tilu buhun 7 . Bendrong Ketuk Tilu buhun 8. Gotrok Ketuk Tilu buhun 9. Kidung Kliningan baru

10. Kembang Gadung Kliningan buhun 11. Daun Pu lue Jaipongan buhun 12. Keeer Bojong Jaipongan buhun 13 . Banda Orang Jaipongan buhun 14. Senggot Kaleran Jaipongan buhun 15. Sinden Beken Jaipongan buhun 16. Aduh Manis Jaipongan buhun 17 . Buah Kawung Pencak Silat buhun 18 . Kembang Beureum Pencak Silat buhun 19. 20.

Siuh Adem Ayem

Gembyung Adem Ayem

buhun buhun

21. Dj i Sam Soe Pop Sunda baru 22. Tong Tolang Nangka Pop Sunda baru 23. Mojang Priangan Pop Sunda baru 24 . Rindu Pop Sunda baru 25. Manuk Dadali, dan

lainnya Pop Sunda baru

Penyajian lagu-lagu yang dapat dimainkan gen jring bonyok in i,

t idak terbatas pada lagu-lagu yang te rdapat dalam tabel di atas.

Karena dalam pertun jukannya sen iman kesenian ini tidak saja

menyajikan lagu-lagu te rsebut, melainkan mereka juga harus mampu

menyajikan lagu-lagu lainnya yang diinginkan oleh penontonnya.

233

Dalam penyajian komposis i musik, kesenian genjr ing bonyok

memiliki stuktu r. Kemudian dalam bentuk pertun jukan arak-arakan

(helaran) dan dudukan struktur penyajian lagunya memiliki perbedaan.

Adapun perbedaan tersebut disebabkan berbedanya teknik, tujuan ,

dan konteks penyan jiannya.

Meskipun struktur penyajian lagu dalam kedua bentuk

pertunjukan berbeda, secara umum keduanya memiliki persamaan,

yaitu adanya bagian lagu yang disebut pembuka, is i, dan penutup.

Tabel tersebu t in i akan memperlihatkan perbedaan sekaligus

persamaan yang dimaksud.

4 .4 Deskripsi Pe laksanaan Pertunjukan

Deskrips i pe laksanaan pertun jukan genjr ing bonyok dalam

tulisan ini , diambil dari pertunjukan Genjring bonyok Sinar Pusaka

yang diselenggarakan d i Desa Belendung, Kecamatan Subang,

Kabupaten Subang. Pertunjukan kesenian ini dilaksanakan pada

tanggal 27 November 2006, di rumah keluarga Suhadi, dalam

rangka upacara perkawinan anak perempuannya yang bernama Eti ,

dan khitanan anak laki - lakinya yang bernama Cardi.

Sehari setelah lamaran tersebut d ilakukan, Sutarja meminta

kesed iaan pembantu umum 1 dan pembantu umum 2 untuk

melaksanakan tugasnya masing-masing. Yaitu memberitahukan

selu ruh anggota gen jring bonyok Sinar Pusaka mengenai: tanggal

pertunjukan , waktu pertunjukan, tempat pertunjukan, teknik

234

pertunjukan , jadwal lat ihan, se rta menginformasikan iden ti tas

pemangku hajat.

Persiapan yang paling awal dilakukan adalah menentukan

jadwal latihan. Biasanya latihan dilaksanakan 3 hari menjelang

waktu pertun jukan, tujuan diadakannya l atihan adalah agar

pe laksanaan pertunjukan genjr ing bonyok pada harinya lancar dan

sukses. Selain itu lat ihan diperlukan untuk mempelajari lagu -lagu

baru yang belum mereka kuasai, dan membicarakan hal -hal yang

dianggap pen ting.

Tanggal 20 November 2006 adalah tanggal dimulainya latihan

genjr ing bonyok , tempat latihan seperti biasa diadakan di bale-bale25

rumah Sutarja. Latihan dilaksanakan pada malam hari (puku l 20.00

wib sampai dengan pukul 22.00 wib). Hal in i d ilakukan mengingat

pada siang harinya banyak d i antara pemain genjring bonyok Sinar

Pusaka bekerja di sawah dan ladang.

25 Bale-bale adalah bagian rumah yang memiliki ruang yang luas. Biasanya bale-bale

digunakan untuk tempat pertemuan diantara penduduk desa Cidadap. Dalam kesempatan lain bisa juga digunakan untuk latihan genjring bonyok.

235

Tabel 4.6:

Perbandingan Struktur Lagu Genjring Bonyok Dalam Dudukan dan Arak -arakan

No. Penggolongan Helaran Dudukan Keterangan

1 . Lokasi Keliling kampung Panggung

2. Tingkat usia anak-anak dan muda- Seluruh tingkat partisipan Mudi usia

3. Struktur lagu i. Sederan (pembuka) 1. TataJuaistt) 1. Yang dimaksud dengan lagu- 2. Lagu-lagu bebasi ) 2. Lagu pembuka: bebas, adalah lagu-lagu pili J. Gederan (penutup) a. Kembang han dari penonton, maupun Gadung penyajinya. b. Kidung c. Sala* Sono 2. TafaJuar; adalah suatu bentuk 3. Lagu-lagu bebas penyajian musik dengan meng 4. lagu penutup: gabungkan beberapa bagian Gederan perbendaharaan lagu-lagu

yang disajikan secara medley. Biasanya didahului dengan Gederan. Adapun tujuan dari penyajian tataluan ini, untuk memberi tahukan kepada masyarakat bahwa pertunjukan Genjring Bonyok akan dimulai.

Dalam latihan tersebut, lagu-lagu baru yang mereka pelajari

adalah lagu-lagu Jaipongan atau lagu-lagu lainnya yang sedang

populer di masyarakat. Dalam menerapkan lagu - lagu baru ini ,

terlebih dahulu para anggota Genjring bonyok memperdengarkan lagu

tersebut melalui radio tape. Se lan jutnya mempelajari apa-apa yang

terdapat dalam lagu i tu tersebut. Proses lat ihan dan mempelajari lagu

baru hanya membutuhkan waktu 2 sampai 3 jam.

236

4 .4.1 Proses persiapan pertunjukan

Dua minggu sebelum pelaksanaan upacara perkawinan dan

kh itanan dilaksanakan, Suhadi dan is tri melakukan lamaran

pertunjukan kepada Su tarja. Dalam hal ini Suhadi sebagai pemangku

hajat meminta kesediaan Sutarja dan rombongan untuk mengadakan

pertunjukan dirumahnya. Sete lah dicapai kesepakatan harga

pertunjukan dan waktu pe laksanaan pertunjukan, Suhadi memberikan

biaya panjar atau biaya ngajadkeun yang diberikan kepada Sutarja.

Biaya pan jar tersebut dimaksudkan sebagai tanda persetujuan atau

kesepakatan an tara kedua belah pihak.

Se telah latihan se lesai , Sutarja dan anggotanya membicarakan

mengenai pers iapan pertunjukan di rumahnya Suhadi. Pertunjukan

yang akan dilaksanakan adalah dudukan dan arak -arakan. Dalam hal

ini tugas Sutarja adalah membagi ke lompok dalam dua bagian, yaitu

ke lompok dudukan dan kelompok arak -arakan. Walaupun demikian

ada juga anggo ta yang merangkap kedalam kedua ke lompok tersebut,

dengan tujuan untuk kelancaran pertunjukan. Biasanya pemain yang

dianggap ahli lah yang merangkap kedua pertunjukan terseb ut.

Se telah pembagian kelompok, selanjutnya d ibicarakan

mengenai perlengkapan properti pertunjukan yang akan dibawa pada

pe laksanaan pertunjukan . Adapun peralatan yang dipersiapkan

adalah sebagai berikut :

237

a. Alat musik berupa 4 buah genj ring,sebuah bedug, sebuah

tarompet , dua buah goong dan sebuah kecrek.

b. Pakaian nayaga (pemusik), te rdiri atas dua macam pakaian, yang

pertama adalah kaos dan yang kedua adalah pakaian pangsi

(pakaian khas trad is ional Sunda, yang digunakan oleh para

petani). Untuk acara di dalam lingkungan Kecamatan Pagaden

digunakan kaos . Sedangkan pangsi d ipergunakan un tuk acara di

luar l ingkungan Kecamatan Pagaden . Khusus dalam hajatan

Suhadi jen is kedua pakaian tersebut digunakan dalam

pertun jukan. Yaitu kaos un tuk pertunjukan arak -arakan , dan

pansi untuk pertunjukan dudukan.

c. Sound system yang dipergunakan untuk pertunjukan arak - arakan

adalah milik pribadi Sutarja, dan pertunjukan dudukan

mempergunakan milik Suhadi (pemangku hajat), untuk arak -

arakan dan sound syetem Siamet untuk dudukan.

d. Panggung yang dipergunakan pada acara ini , berukuran 5x6

meter persegi dengan t inggi 1 meter. Bagian atas panggung

ditutupi te rpal, alas panggung mempergunakan tikar. Di depan

panggung dipangpang spanduk kelompok genjr ing bonyok Sinar

Fusaka.

Tepat tanggal 27 November 2006, pukul 8.10 wib upacara

perkawinan dan khitanan di rumah Suhadi dimulai . Upacara pertama

yang d ilaksanakn adalah upacara perkawinan. Pada konteks ini

upacara diawal i dengan akad nikah (perjanjian pernikahan) antara

238

pasangan Suheti dengari Hursid. Se telah itu dilan jutkan dengan serah

terima (seret, sumeren) antara pihak laki -laki dengan pihak perempuan.

Pada acara terakh ir adalah sungkeman (permintaan ij in /maaf) antara

pasangan pengan tin dengan orang tua mereka.

4.4.2 Proses pelaksanaan pertunjukan dudukan

Pada puku l 10.15 wib, sete lah acara i jab kabul sampai dengan

sungkeman selesai, pertun jukan genjring bonyok pun dimulai.

Biasanya 30 menit sebelum pertunjukan genjring bonyok dimulai,

Su tarja mengadakan acara pembakaran kemenyan yang dilakukan di

sebelah depan panggung pertunjukan .

Kemenyan dan sesajen tersebut disediakan oleh pemangku

hajat. Isi dari sesajen tersebu t antara lain berupa makanan ringan,

minuman berupa kopi pahit dan ai r putih, bunga-bunga 7 warna,

kelapa muda, te lor ayam kampung, dan dupa (ruhay) tempat

pembakaran kemenyan. Sambil membakar kemenyan Sutarja

membaca doa-doa yang tujuannya adalah meminta perlindungan

kepada Allah SWT, agar selama pertunjukan t idak terdapat gangguan

apa pun.

Pertunjukan dudukan dimulai dengan lagu pembuka pertun jukan,

yaitu sebuah penyajian suatu bentuk tataluan.26 Penyajian komposisi

lagu ini menggunakan tempo cepat, dimaksudkan untuk menarik

26Tataluan adalah suatu bentuk penyajian musik meddley (beberapa lagu disajikan secara berterusan tanpa istirahat atau jeda), yaitu gabungan beberapa bagian lagu. Biasanya dalam tataluan bagian lagu Gederan adalah judul lagu pertama yang dimainkan.

239

perhatian penonton, sekaligus menandakan bahwa pertunjukan

genjring bonyok akan segera dimulai .

Penyajian tataluan dianggap selesai apabila t amu undangan dan

penon ton yang menyaksikan pertunjukan genjring bonyok sudah

banyak dan memenuhi kursi -kurs i yang disediakan pemangku hajat .

Sebelum memasuki pertunjukan se lanjutnya, Sutarja sebagai

p impinan gen jring bonyok memperkenalkan satu persatu pendukung

pertunjukan, sekaligus mengucapkan kata sambutan berkenaan

dengan acara tersebut. Selanjutnya genjring bonyok memainkan lagu-

lagu persembahan kepada Allah SWT, yaitu lagu Kembang Gadung dan

Kidung, serta Salam Sono sebagai lagu persembahan untuk para tamu

undangan dan penonton. Lalu dilanju tkan dengan memainkan lagu -

lagu atas permintaan para undangan dan penonton, maupun lagu -lagu

yang sudah dipersiapkan oleh para nayaga (pemusik) gen jring bonyok .

Untuk pertun jukan dudukan, lagu-lagu yang banyak diminati

adalah lagu-lagu Ketuk Tllu, mengingat pada pertunjukan dudukan para

orang tua merupakan penon ton yang paling dominan . Sering pula

dalam suatu acara dudukan genjring bonyok , para orang tua yang

spontanitas menari mengalami trance (kesurupan atau kasarumahan).

Dalam pertunjukan dudukan d i rumah Suhadi, lagu -lagu yang

disajikan seringkali diulang. Hal ini terjadi un tuk memenuhi

permintaan dari tamu undangan atau penonton yang menyaksikan

pertunjukan genjr ing bonyok tersebut.

240

Di akhir pertunjukan gen jr ing bonyok , Sutarja kembali

menyampaikan kata-kata yang merupakan kalimat permintaan maaf

kepada pemangku hajat berkenaan dengan pertun jukan yang sudah

berlangsung. Sebagai lagu penu tup , dan me rupakan lagu perpisahan

d iperdengarkan kembali lagu Gederan. Setelah pertunjukan dudukan

selesai pada puku l 15.00 WIB, pertunjukan arak-arakan pun mulai

d ipers iapkan. Biasanya sambil menunggu pelaksanaan arak -arak yang

akan dimulai puku l 16 .30 wib, sebagian dari nayaga melakukan

ist irahat atau sebagian lagi mempersiapkan pertunjukan arak -arakan

4.4.3 Proses Pelaksanaan Pertunjukan Arak-arakan

Dalam pertunjukan arak -arakan di rumahnya Suhadi, genjring

bonyok Sinar Pusaka tampil bersama-sama dengan pertunjukan

Sieingaan. Pertunjukan genjr ing bonyok dan Sisingaan ditujukan

un tuk menghibur partis ipan (penonton yang mengiringi

pertunjukan). Partisipan pertunjukan ini adalah orang-orang yang

secara spontan ikut dalam iring-iringan pertunjukan. Biasanya

mereka adalah kalangan keluarga pemangku hajat , ataupun para

tetangga dekatnya. Aktifitas yang me reka lakukan adalah menari

sambil berjalan mengikuti pertunjukan genjr ing bonyok dan

Sisingaan.

Pertunjukan arak -arakan dimulai dengan memainkan

komposisi lagu Gederan dan selanjutnya lagu-lagu dari permin taan

peserta arak-arakan. Lagu-lagu yang d imainkan dalam pertunjukan

241

arak-arakan lebih sedikit dibanding dengari pertunjukan dudukan,

mengingat waktu yang tersedia un tuk acara arak -arakan tersebut

hanya 2 sampai 3 jam saja.

Lagu-lagu yang sering d iminta partisipan dalam arak -arakan

adalah lagu -lagu Jaipongan yang memiliki tempo dinamis, seperti

lagu-lagu Daun Fulus, Keser Bojong , Banda Urang , dari sebagainya.

Peserta arak-arakan paling banyak adalah anak-anak muda. Pada

bagian penutup, komposisi yang dimainkan adalah sama dengan

komposisi yang dimainkan pada bagian pembuka. Penyajian lagu

Gederan pada akhir pertunjukan digunakan untuk memberitahukan

penonton bahwa pertun jukan te lah usai , dan t idak menerima

permintaan lagu lagi.

Se telah selesai melakukan pertunjukan dengan berkeli ling.

maka peserta pertunjukan kembali ke tempat (rumah) pemangku

hajat. Di depan rumah (halaman) pemangku hajat diadakan

pertunjukan kesenian yang terakhir, yaitu kesenian Sisingaan.

Sedangkan kelompok genjr ing bonyok , setelah sampai di rumah

pemangku hajat kembali memainkan komposisi Gederan un tuk

menutup pertunjukan.

Se telah berakhirnya pertunjukan te rsebut, Sutarja d ibantu

dengan anggota lainnya membereskan alat-alat musik yang te lah

digunakan . Setelah semuanya selesai dibereskan bersama-sama

dengan yang lainnya memberikan ucapan se lamat kepada yang

dikhitan sekaligus makan bersama. Sebagai tanda rasa berterima

242

kasih pemangku hajat, para anggota genjr ing bonyok diberi kak aren.

Pada p roses terakhir, ke tua rombongan (Bapak Sutarja) mengatur

pembagian uang honor bagi keseluruhan pendukung pertun jukan.

Pada tahap akhir, pemangku hajat memberikan imbalan dan

makanan secukupnya sebagai bayaran te rhadap peserta pertunjukan

secara kese luruhan. Orang yang menerima imbalan te rsebut adalah

ke tua masing-masing ke lompok pertunjukan . Setelah d icapai

kesepakatan dan t idak ada lagi sangkut pau t antara pemangku hajat

dengan peserta pertunjukan, mereka (peserta pertun jukan) pu lang ke

tempatnya masing-masing.

4.5 Pertunjukan Tardug

Bentuk pertunjukan kesenian tardug terdiri dari dua macam yaitu:

pertunjukan di atas panggung dan pertunjukan helaran. Pertunjukan di atas

panggung meliputi pertunjukan untuk hiburan pada hajat khitananan, hajat

pernikahan, dan perayaan pada peringatan Hari Kemerdekaan. Sedangkan

pertunjukan helaran meliputi pertunjukan arak-arakan dalam pawai hajat bumi,

khitanan, dan helaran untuk penyambutan tamu kehormatan.

4.5.1 Pertunjukan Helaran

Pada pertunjukan helaran kesenian tardug biasanya ditampilkan bersama

kesenian lain seperti kesenian sisingaan, genjring bonyok, kuda renggong, dan

jenis kesenian helaran lainnya. Selain pada helaran untuk arak-arakan khitanan,

243

kesenian tardug dipertunjukkan pada acara arak-arakan hajat bumi, arak-arakan

perayaan hari besar nasional, dan helaran dalam penyambutan tamu khusus.

Gambar 4.5 : Pertunjukan Kesenian Tardug

Di antara beberapa jenis helaran di atas, yang paling sering melibatkan

kesenian tardug adalah acara arak-arakan untuk khitanan. Pada musim hajatan,

yaitu bulan Rayagung dan Syawal, dalam satu bulan pernah mencapai lebih dari 20

kali panggilan pentas Dalam sehari kadang-kadang menerima tiga panggilan untuk

pentas. Waktu pentasnya diatur berdasarkan kesepakatan dengan yang akan

melaksanakan hajatan yaitu pagi pada pukul 9.00 - 11.00, siang pukul 13.00 -

15.00, dan sore mulai pukul 15.30 - 17.30. Dengan catatan lokasi dari ketiganya

tidak terlalu berjauhan. Di daerah tertentu, seperti di Desa Ciruluk, Kecamatan

Purwadadi, kesenian Tardug bersama kesenian Sisingaan, kerap kali dipentaskan

pada arak-arakan khitanan di malam hari dengan penerangan lampu neon.

244

Waktu pementasan sore hari adalah waktu yang ideal buat pementasan

kesenian helaran terutama arak-arakan di jalanan. Karena selain cuacanya tidak

terlalu terik, juga pada waktu sore hari adalah saat di mana orang-orang sedang

santai melepaskan lelah sepulang dari tempat bekerja atau petani pulang dari

sawahnya.

Pada arakan khitanan di waktu sore hari, arak-arakan dimulai pukul 15.00

diawali oleh atraksi pembukaan oleh kesenian Sisingaan. Setelah selesai lalu

dimulailah arak-arakan sambil berjalan beriringan mengikuti arah yang ditentukan

oleh orang yang ditunjuk sebagai pimpinan arak-arakan. Adapun urutan iring-

iringan tersebut yaitu: didahului oleh pembawa tiang yang di atasnya pengeras

suara dan vandel yang bertuliskan nama rombongan Sisingaan yang sedang

mentas. Diikuti berturut-turut oleh pangrawit sisingaan, penari pada Sisingaan

yang terdiri dari anak-anak dan orang sua, usungan sisingaan, penar pada kesenian

tardug yang terdiri dari pemuda dan emaja baik laki-laki atau perempuan yang

merupakan anggota keluarga, sanak saudara, handai taulan, dan keluarga, serta

yang terakhir dari iring-iringan tersebut dalah rombongan pemain kesenian tardug.

4.5.2 Pertunjukan panggung

Pada bentuk pertunjukan panggung, kesenian tardug dalam satu kali

panggilan dipentaskan dalam dua kali (siang dan malam hari), tetapi ada pula yang

dipentaskannya dalam satu kali pertunjukan (siang atau malam hari saja).

Tergantung pada kesepakatan antara pimpinan rombongan kesenian dengan pihak

yang melaksanakan. Hajatan pertunjukan siang hari biasanya dilaksanakan dari

245

pukul 09.00 - 15.00 waktu setempat. Sedangkan malam hari dari pukul 20.00 -

02.00 dini hari waktu setempat.

Ukuran panggung untuk pementasan kesenian tardug berkisar antara 3 X 4

meter sampai 4X5 meter dengan tinggi antara 0,75 - 1 meter. Ukuran panggung ini

lebih kecil apabila dibandingkan dengan ukuran panggung untuk pertunjukan

kesenian

Sesuai dengan peraturan Seksi Kebudayaan Depdiknas Kabupaten Subang,

bahwa ijin ngadakan keramaian (pementasan kesenian) pada siang hari tidak boleh

melewati waktu sembahyang Ashar. Waktu akhir pertunjukan pada malam hari

biasanya sangat tergantung kepada situasi penonton. “Kalau penonton dan

pengibingnya rame dan situasinya aman (tidak terjadi keributan), sampai subuh

pun akan saya layani, yang penting bagi saya uang jabannya saja. Tapi kalau

tontonnya sepi atau teijadi perkelahian atau keributan, jam sebelas (malam) pun

akan saya tutup" (wawancara dengan pihak keamanan Subang, 3 Oktober 2007).

Wayang atau kliningan yang mencapai ukuran rata-rata 6x8 meter dengan

tinggi di atas 1 meter. Bentuknya adalah panggung terbuka yang terletak di buruan

(halaman depan) atau di jalan umum di depan rumah orang yang melaksanakan

hajatan Biasanya jalan ini ditutup untuk sementara dengan seijin aparat desa

setempat Khusus untuk panggung di halaman rumah, letak panggung tidak boleh

berposisi nenjrag bumi (posisi menendang ke arah rumah tinggal yang

melaksanakan hajatan), di mana letak rumah berada tepat di sebelah kiri panggung.

Susunan acara pada pergelaran kesenian tardug, baik pertunjukan siang hari

atau malam hari, pada dasarnya sama saja. Pada tahap persiapan pertunjukan baik

siang maupun malam hari biasanya didahului oleh pengecekan alat-alat dan sarana

246

pendukung pergelaran seperti mempersiapkan sound system (sistem penyuaraan),

penye teman alat musik, sistem lampu, penataan posisi alat musik di atas panggung,

dan sebagainya. Kemudian tahap selanjutnya adalah memasuki pertunjukan awal.

Kecuali penyanyi, seluruh nayaga (pemain musik) harus berada di panggung

dengan perlengkapannya masing-masing untuk selanjutnya menyajikan lagu-lagu

tataluan. Tataluan ini terdiri dari dua tahap. Pada tataluan pertama lagu yang

disajikan adalah lagu-lagu tarlingan dengan instrumen bangsing sebagai pembawa

melodinya. Sementara pada tataluan tahap kedua lagu yang dibawakan adalah

lagu-lagu rancagan (Darrnan, wawancara, Subang, 12 Oktober 2000).

Pada pertunjukan malam hari, setelah tatalu acara dilanjutkan dengan

sambutan penerimaan tamu dari pihak yang melaksanakan hajatan dan sambutan

dari aparat setempat. Selesai sambutan-sambutan barulah dimulai acara hiburan

kesenian. Pada awal pertumbuhannya kesenian tardug biasanya dibuka dengan

lagu Kembang Gadung, sebagai lagu khusus untuk persembahan kepada Tuhan dan

karuhun (leluhur) Kemudian setelah itu barulah dilantunkan lagu-lagu dangdutan.

Pertunjukan kesenian Tardug sekarang tidak lagi terpaku kepada lagu Kembang

Gadung saja sebagai lagu bubuka. Sebagaimana lazimnya pertunjukan kesenian

dangdut, kesenian Tardug tidak memiliki lagu khusus sebagai lagu bubuka

Posisi alat musik dan pemain di panggung kesenian tardug tak

ubahnya seperti pertunjukan musik dangdut. Semua pemain dalam

keadaan berdiri kecuali pemain bedug duduk di sebuah kursi di atas

panggung serta pemain kendang yang duduk bersila. Namun apabila

ukuran panggung kec il , kadang-kadang ada pemain yang bermain di

luar area panggung, dibelakang atau dipinggir panggung. Kecuali

247

bedug dan kendang yang harus selalu duduk di atas panggung. Pos isi

bedug di panggung harus selalu menghadap ke arah depan, yaitu

muka bedug yang berkulit berada d i bibir depan panggung. Biasanya

d iletakkan di sis i kiri bagian depan panggung, berseberangan dengan

pemain kendang.

Gambar 4.6: Alat-alat Musik Tardug

248

Gambar 4.7: Penyanyi Wanita pada Seni Pertunjukan Tardug

249

BAB V

TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIK

GENJRING BONYOK DAN TARDUG

Sebagai sebuah seni pertunjukan atau pertunjukan budaya, genjring bonyok

dan tardug didukung peranannya oleh dimensi estetika musik yang mencakup

melodi, ritme, dan lirik lagi atau teks. Struktur musik genjring bonyok dan tardug ini

mendukung struktur pertunjukan secara umum. Artinya melalui pertunjukan musik

inilah terjadi komunikasi budaya antara seniman dengan penonton yang sama-sama

merasa memiliki kesenian ini.

Musik adalah salah satu cabang kesenian, sementara kesenian sendiri adalah

sebagai salah satu unsur dan ekspresi kebudayaan secara umum. Dengan demikian,

membahas tentang aspek struktur pertunjukan musik dan tari tidak bisa dilepaskan

dari aspek struktur musik dan tari tersebut. Lebih jauh lagi, untuk mengetahui seperti

apa struktur musik itu, diperlukan pula transkripsi dan analisis musik baik yang

mencakup dimensi waktu atau ruang (nada dan turunannya).

Dalam rangka penelitian ini, untuk dapat mengetahui struktur musik genjring

bonyok dan tardug penulis memilih tiga lagu. Yang pertama adalah transkripsi dan

analisis dua lagu yaitu Gederan dan Siuh, yang digunakan dalam kedua genre seni

pertunjukan ini yaitu genjring bonyok dan tardug. Kemudian untuk mengetahui

struktur musik tardug, khusus dipilih satu lagu dangdutan yang menjadi ciri

utamanya yaitu lagu Pemuda Idaman. Ketiga lagu ini dalam tahapan awal adalah

ditranskripsi baik dengan notasi balok mapun notasi Sunda. Kemudian ketiga lagu

250

ini dianalisis dengan menggunakan teori weighted scale (bobot tangga nada). Selain

itu, khusus untuk lagu Pemuda Idaman pada genre tardug dianalisis juga teks atau

liriknya dengan menggunakan teori semiotika. Dengan cara kerja ilmiah yang

sedemikian rupa, diharapkan dalam penelitian ini akan didapatkan hukum-hukum

internal musik yang terjadi di dalam pertunjukan genjring bonyok dan tardug.

5.1 Transkripsi dan Analis is

Transkripsi adalah suatu proses memvisualisasikan bunyi

musikal ke dalam suatu notas i (Netll , 1964:98). Kerja analisis

merupakan rangkaian kerja yang lebih lanjut dalam mengolah has il

transkrips i, yaitu suatu kerja memilah atau menguraikan bagian -

bagian dari hasil transkrips i, yang kemudian mendeskrips ikan

hubungan d ian tara ti ap-tiap bagiannya (Nettl, 1964 :131).

Dalam studi etnomusiko logi, transkripsi dan analis is

dipergunakan sebagai media untuk mengkomunikasikan pengetahuan

musik kepada orang lain, yaitu dengan menggambarkan ke d alam

suatu pola visual (Nettl , 1964 :103). Berdasarkan tujuan transkripsi

dan analisa te rsebut, maka bab in i bertujuan mendeskrips ikan

karakteris tik bunyi musikal gen jring bonyok dan tardug , sekaligus

pula mendeskrips ikan struktur komposisi lagu -lagunya.

5.2 Metode Transkripsi

Sampai saat ini be lum ada suatu metode yang d ianggap ideal

untuk dijadikan acuan dalam pentranskrips ian musik, dan ini masih

251

menjadi masalah di bidang Etnomusiko logi (l ihat Nett l, 1964: 31 dan

Hood , 1971 :61-63). Menurut Nettl (1964 :132-134) masalah ini terjadi

an tara lain dikarenakan pada umumnya para ahli t idak menjad ikan

metodenya untuk menuntun kepada prins ip -prinsip dan prosedur yang

dipergunakan dalam t ranskripsi. Persoalan lain pun muncul

disebabkan oleh ke tiadaan usaha dari para ahli untuk menyusun

metode yang ideal. Ditambah pula oleh adanya keterbatasan parame ter

au ral , kurang berkembangnya s is tim penotasian musik (Seeger,

1977:168); terbatasnya daya pendengaran terhadap segmen -segmen

musikal yang persis sama (May, 1981); dan be rbedanya karakter

bunyi dari setiap instrumen; serta berbedanya se tiap ind ividu dalam

tujuan dan kepen tingan mentranskrips i, adalah kendala-kendala lain

yang agaknya tu rut menen tukan suli tnya ditemukan metode yang

ideal.

Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa transkripsi

mempunyai kemampuan terbatas dalam menyampaikan pendeskrips ian

musik. Selain itu, notasi yang digunakan untuk transkrips i suatu

musik belum ten tu dapat digunakan un tuk musik yang lain.

Sehubungan dengan persoalan di atas , maka dalam me tode

mentranskripsikan Tardug sesuai dengan karakter musikal tardug .

Peno tasian musik yang dibuat bersifa t deskriptif (Seeger,

1977:168-181) 27 yang berart i s ifat notasi yang dibuat merupakan

27Is t i lah notasi deskrip t if d an preskr ip t i f te lah d ikemuk akan o leh Seeger

se jak tahun 1958, yai tu dalam da la m art ik eln ya " Pr escr ip tive and Descr lp tlv e

252

bentuk laporan ten tang bagaimana suatu pertun jukan musik

berlangsung. Dengari kata lain, si fatnya memberikan tuntunan kepada

para pembaca yang sebelumnya t idak mengetahui tentang karakterist ik

dan deti l dari komposisi yang dimaksudkan.

Dalam menotas ikan lagu-lagu yang dijadikan materi sampel

pada skripsi ini, saya berorientasi pada dua bentuk sist irn no tas i,

yaitu sist im notasi balok yang te rdapat pada musik Barat (Western

standard no tation), dan no tasi yang dikenal dalam karawitan Sunda

yaitu t it i laras Damina. 28 Kedua bentuk no tas i ini dipadukan pula

dengan simbol-s imbol ritem yang dibuat dalam suatu garis horisontal,

yang d igunakan untuk menotasikan bunyi non-melodis dari instrumen

musik lainnya.

Pemilihan notas i Barat (not Balok) d idasari oleh s ifatnya yang

sangat umum dipergunakan dalam dis iplin etnomusikologi. Se lain i tu,

melalui penggunaan no tas i barat diharapkan pembaca dapat melihat

langsung pergeseran nada- nada yang terdapat dalam suatu komposisi

Music Wr it ing" da lam Musica l Ouater ly , 44 :1984-195 . Keduan ya d ibedakan a tas tujuan dar i no tas i terseha t d ibuat. Notasi p reskr ip tif d itu jukan bagi para pen ya j i un tuk memb er ikan pedoman b aga iman seharusnya suatu ko mposis i musik disa jikan. S edangkan notasi deskr ip ti f d itu jukan untuk lap oran ten tan g bagaimana su atu per tun jukan musik berlangsung. 28Tit i laras a tau d is ebut jug a sera t kanayagan adalah jen is no tasi musik yang berkembang pemakaiann ya d alam seni ka ra witan Sunda. Di ka langan pendidikan musik tr ad is ional S unda d ik enal t iga jen is t it i lara s , yaitu t i t i la ras buhun , t i t i laras a nca k, dan ti t i laras da mina . Adapun t i t i l ar as damina sangat populer penggun aann ya di seko lah-sekolah konservator i ka ra witan . T iti la ras Dam ina diperkena lk an o leh Raden Ah yar Ang ga Kusumad ir ia ta pada sek itar tahun 1925 (lih at At ik S oep and i, dkk . , 1 976 ).

253

musik. Sedangkan pemilihan no tas i damina didasari o leh pentingnya

memandang konsep-konsep etnosains dari kebudayaan musik Sunda.

Walaupun penulisan musik dengan notasi Barat dapat mewakili

sebagian besar bunyi musik yang dihasilkan, namun t idak semua

aspek bunyi musik gen jr ing bonyok dan tardug dapat d igambarkan

oleh s imbol-s imbol yang terdapat pada bentuk no tas i tersebut. Oleh

karenanya dalam pengaplikasian notasi in i, saya memakai beberapa

simbol visual tambahan , yaitu sebagai beriku t:

1. Kunci (clef) yang dipergunakan dalam notas i Balok adalah kunci

G ( ) karena wilayah nada (ambitus) yang disajikan Gitar dan

Bangsing adalah berkisar pada tanda kunci ini. Pemakaian kunci G

dalam penulisannya diberi tanda kurung. Hal ini berkaitan dengan

penulisan not maupun simbol- simbol lainnya yang t idak

mengikuti aturan yang konvensional. Di samping i tu mengandung

arti bahwa nada- nada yang tercantum dalam kunci tersebut

merupakan suatu perbandingan atau pendekatan , yang mana nilai

kebenarannya tidaklah mutlak.

2. Untuk mengefekti fkan penulisan tanda mula (# ) dan memudahkan

pembacaaan notasi , di lakukan transposis i interval sekuride minor

ke bawah dengan lambang 2 m ( ). Contohnya sebagai berikut.

254

Menjadi

3. Bunyi ins trumen musik yang tidak membawakan melodi, yaitu

genjir ing , bedug, dan kecrek , t idak ditulis dalam garis paranada,

melainkan garis horizontal . Penulisarmnya diletakkan d i bawah

notasi melod i, dengari tujuan untuk mense jajarkan hubungan

antara melodi dan pola ri tem dari instrumen musik tersebut d i

atas.

4. Transkrips i yang ditulis berdasarkan tentatif waktu pengulangan

ri tme pada instrumen pembawa ritem, ditulis :

255

5. Untuk penotasian laras Damina mempergunakan simbol angka 1 –

5. Nilai set iap no t d itandai dengan penambahan tanda ti t ik d i

belakang not, atau tanda garis di atas not. Fungsi dan penggunaan

tanda-tanda tersebut, sama dengan yang terdapat pada no tas i angka

konvensional. Perbedaan notasi Damina dengan notasi

konvensional terle tak pada penu lisan tanda t inggi rendahnya nada.

Contoh:

6. Simbol not maupun ritem setiap ins trumen dilambangkan sebagai

berikut:

a. Gitar mempergunakan notasi balok dalam garis paranada.

b. Bedug d ibedakan atas dua warna bunyi, yaitu suara bedug

menggunakan notasi balok dengan tiang ke atas ( ), dan

256

suara ke thuk yang menggunakan notasi balok dengan t iang

ke bawah ( ).

c. Seluruh permainan genjr ing (nomor 1-4 ) dan kecrek,

menggunakan notasi balok dengan t iang ke atas ( ) .

d. Suara goong yang terd iri atas dua buah ins trumen musik

ditulis dalam satu garis horizon tal . Goong besar di tu lis

dengan simbol

= 1/4, kempul (goong kecil) ditulis dengan simbol:

= 1/4 dan

= 1/8.

7. Penomoran bar diletakkan pada bahagian bawah notasi , dengan

simbol (1) dan sete rusnya.

8. Penulisan notasi yang lengkap dapat dilihat seperti contoh

cuplikan notas i beriku t ini .

9 .Pendeskrips ian kan tur melodi, disajikan pada dua bidang tegak

lurus. Garis tegak/vertikal mewakili nada-nada yang digunakan

257

dan jaraknya, sedangkan garis lurus/horizontal mewakili pulsa

setiap bar (4 pulsa= 1 bar), contoh:

5.3 Proses Transkripsi

Untuk merekam tiga sampel lagu genjr ing bonyok dan ta rdug ,

saya menggunakan Sony Recorder model HS-JX609. Hasil rekaman

te rsebut saya rekam kembali ke dalam hard disc exte rnal. Tujuannya

adalah untuk menjaga agar maste r rekaman tetap baik kuali tasnya,

sebagai sumber utama yang berharga . Apabila terjadi kerusakan pada

rekaman yang digunakan , dapat dilakukan perekaman u lang dari hard

disc external tersebut.

Dalam pelaksanan perekaman musik, saya menggabungkan

secara keseluruhan permainan alat musik dalam ensambel genjring

bonyok dan tardug . Namun sebelumnya, saya meminta kepada

258

beberapa pemain genjr ing dan Bedug untuk memainkan bentuk po la-

pola permainan gen jr ing dan bedug , untuk mempermudah

pentranskripsian se lan jutnya.

Untuk menentukan tempo lagu, saya menggunakan perangkat

penghitung tempo yang terdapat pada keyboard dan s iklus goong

yang terdapat dalam musik. Untuk menentukan nada dasar se tiap lagu

saya menggunakan keyboard merek KN 2600 dan garpu tala yang

berfrekwensi nada A. Se telah saya benar - benar memahami bunyi

yang d ihasilkan, maka pada tahap akhir, bunyi te rsebut ditu liskan ke

dalam notasi balok.

Dalam mengerjakan transkripsi ini, saya dibantu oleh

Sitiwahyuni dan Saidul Irfan Hutabarat . Bantuan ini bertu juan untuk

menghasilkan transkripsi yang lebih akurat, j ika d ibandingkan dengan

hasil transkripsi yang dilakukan oleh seorang saja.

5.4 Analisis Sampel Lagu Gederan, Siuh dan Pemuda Idaman

Sampel lagu yang dipergunakan dalam analisis ini adalah lagu

Gederan , Siuh, dan lagu Pemuda Idaman. Dua lagu pertama ini

dimainkan dalam ensambel genjring bonyok dan juga tardug .

Pemilihan dua lagu ini didasarkan atas beberapa pertimbangan.

Lagu Gederan dipilih menjadi sampel karena lagu ini berasal

dari kesenian genjr ing sholawat , yang merupakan cikal -bakal

terbentuknya kesen ian genjr ing bonyok dan tardug . Gederan

merupakan jenis lagu buhun, yang dalam setiap pertunjukan

259

dipergunakan sebagai lagu bagian pe mbuka dan penutup pertunjukan

genjr ing bonyok dan tardug.

Adapun Siuh dipilih karena lagu ini merupakan salah satu jenis

lagu yang diadopsi oleh genjr ing bonyok dan tardug dari kesenian

gembyung . Siuh merupakan jen is lagu buhun yang dikenal luas

masyarakat sebagai lagu klasik dari musik t radis ional rakyat Sunda di

Kabupaten Subang. Dalam penyajian genjring bonyok dan tardug ,

Siuh merupakan lagu yang sering ditemukan pada bagian isi

pertunjukan.

Penyajian komposisi lagu Siuh ini tidak te rbatas pu la hanya

pada kesenian gembyung dan genjr ing bonyok , melainkan juga

ditemukan pada kesenian-kesenian rakyat Sunda lainnya. Hal yang

paling menarik dari komposisi lagu Siuh ini , adalah bahwa dalam

penyajiannya di genjr ing bonyok dan tardug para partis ipannya

(umumnya orang tua) yang menari sering mengalami trance

(kasarumahan). Dalam kesenian gembyung , keadaan trance in i juga

sering terjadi.

Sesuai dengan judul tulisan ini, tu juan dari analis is musik

genjr ing bonyok (tardug ) adalah untuk melihat karakter -karakter

musiknya. Untuk keperluan tersebu t maka aspek musikal yang akan

diuraikan meliputi : meter, tempo, nada dasar, tangga nada, wilayah

nada, pola kadensa, pola ri tem ins trumen musik non -melodi, dan

fo rmula melod i serta kontu r melodi

260

Untuk lebih je lasnya terminologi dan acuan yang dipergunakan

tersebut, akan diu raikan sebagai berikut:

(1) Meter adalah skema waktu dalam musik yang menentukan

pulsa dasar. Pulsa dasar ini diorganisas ikan dalam un it -un it

untuk memberikan kesan ke tukan pertama atau ketukan

beraksen lainnya (Malm, 1987 :3).

(2) Tempo adalah cepat lambatnya suatu lagu disajikan. Tempo

dihitung dengan satuan waktu, yang d iberi tanda M.M.

(Metronom Metsel). Dengan indikas i satu jen is not mewakili

satu ketukan dasar (pulsa) lagu tersebu t. Contoh M.M. ׀ =

50, artinya setiap satu menit terdapat 50 kali not yang

bernilai 1/4. Tanda tempo dituliskan disamping kiri pada

awal lagu.

(3) Nada dasar atau tonali tas adalah suatu ist ilah yang berakar

dari kata 'tonal ', yaitu pendeskrips ian suatu musik dimana

semua nada berhubungan erat dengan satu nada sentral yang

dinamakan nada dasar atau tonalitas . Dalam menentukan

nada dasar pada analisis ini, d ipergunakan teori nada dasar

yang dikemukakan oleh Nettl (1964 :147) yaitu : (a) nada

yang pal ing sering muncul dan nada yang paling jarang

digunakan; (b) nada yang memiliki nilai ritmis yang besar;

(c ) nada yang dipakai pada awal dan akhir lagu, atau pada

bagian „ tengah lagu yang mempunyai fungsi dalam

komposisi tersebut; (d) nada yang menduduki posis i yang

261

paling rendah; (e) in terval -interval yang te rdapat diantara

nada. Misalnya adanya nada dalam suatu komposisi yang

dipergunakan dengan oktafnya; (f) nada yang memperoleh

tekanan ritmis te rtentu; dan (g ) s is tem tonali tas yang tidak

dapat dideskripsikan dengan kriteria di atas . Untuk

mendeskripsikan nada dasar pada sis tim ini dapat dilakukan

dengan pengenalan akrab terhadap gaya musiknya.

(4) Tangga nada adalah susunan nada-nada yang diu rut dari

nada yang te rendah sampai kepada nada yang tertinggi.

Dalam pendeskripsi -annya, tangga nada disertai dengan

frekuensi pemakaian nada-nada yang dimaksud (weighted

scale ).

(5) Wi layan nada diperoleh dengan cara melihat rentang jarak

antara nada terendah sampai nada tert inggi dalam suatu

komposisi.

(6) Formula melodi meliputi tiga unsur, yaitu : bentuk, frase,

dan motif. Bentuk adalah suatu aspek musik yang

menguraikan organisas i musikal (Manoff, 1991 :49).

Selanjutnya Jones menjelaskan bahwa bentuk merupakan dua

atau lebih frase yang saling berhubungan, dan biasanya

diakhiri oleh suatu kadensa (1974:102). Frase adalah suatu

pernyataan musikal yang menunjukkan pada suatu saat yang

disebut kadensa. Frase merupakan suatau ide musikal yang

komplit , dan umumnya te rdiri atas dua atau empat birama

262

(ibid , 102). Sedangkan motif adalah bahagian terkecil dari

melodi, yang dibentuk oleh beberapa nada dan ritme (ib id.)

(7 ) Kontur melod i, merupakan pendeskrips ian garis alur melodi

yang disajikan dalam dua bidang tegak lurus . Secara umum

kontur melodi dapat d ibagi atas delapan bentuk (Hood,

1982:302), yaitu :

1 . busur atau elips

2 . kebalikan busur

3. naik (ascending )

4 . turun (discend ing )

5 . gerigi (sawtooth)

6 . diagonal

7 . gelombang (pendulations )

8 . Gabungan dari bentuk-bentik di atas

5 .4.1 Meter dan Tempo

Keseluruhan lagu Gederan yang berdurasi waktu 48 de tik,

memiliki meter yang bersi fat iso ri tem, yaitu empat. Dari awal sampai

akh ir lagu tempo lagu Gederan bers ifat cepat dan konstan, yaitu

M.M. = 120 .

Berbeda dengan Gederan lagu Siuh diawali dengan suatu

bagian in troduksi yang memiliki meter bebas. Dalam konsep musik

Sunda, bagian in troduksi ini disebut dengan Bawa Sekar atau

pangkat , yaitu bagian lagu yang menyajikan pola- pola melod i yang

263

akan digarap pada lagu tersebu t. Lagu Siuh berdurasi waktu 2 menit

19 de tik, dengan meter yang juga bers ifat isori tem, yaitu empat. Lagu

Siuh juga dimainkan dalam tempo yang cepat, yaitu M.M.

= 110, namun tidak bers ifat konstan karena mulai bar ke -59 tempo

lagu semakin lambat.

Dalam teori musik karawitan Sunda, meter dan tempo suatu

sajian musik dapat d lihat dalam konsep wiletan yang digunakan .

Wiletan mempunyai pengertian periode s truktural melodi yang

berdasarkan pada aksen tuasi bunyi ins trumen musik goong. Menuru t

Cook (1992:108), wiletan merupakan tingkatan ritmik dari suatu

siklus goong .

Dalam musik Sunda wiletan dipergunakan dalam berbagai jenis,

yang prinsip-p rinsip perh itungannya diantara kesenian -kesenian

Sunda t idaklah baku (berbeda) (bandingkan Seopandi:1978 dengan

Cook:1992). Adapun jenis-jen is tersebut meliputi: sawile t (tempo

lagu cepat), dua wile t (tempo lagu sedang), dan opa wilet ( tempo lagu

lambat).

Misalnya, menurut Soepandi (1978) sawilet secara kese luruhan

merupakan suatu siklus permainan musik terdiri dari 16 ketukan yang

diakhiri dengan satu pukulan goong besar, dimana dalam se tiap empat

ke tukannya dibatasi oleh garis birama. Sedangkan menuru t Cook

(1992) sawilet memiliki pengertian yang sama, namun terdiri atas 8

ke tukan yang diakhiri dengan satu pukulan goong besar . Se lanjutnya

264

dua wilet , dan opat wilet merupakan ke lipatan-kelipatan ketukan

sawilet yang diakhiri dengan satu pukulan goong besar . Contoh:

sa wilet versi Soepand i: | . p . . | . p . . | . p . p | . p . G |

sa wilet versi Cook: | p . | p . | p p | p G |

Di luar dari konsep wiletan dalam teori karawitan Sunda

tersebut, dalam masyarakat Sunda juga dikenal ist ilah kering , yaitu

suatu wiletan yang pengertiannya mendekati prinsip-prinsip

perhitungan yang dikemukakan Cook tentang sawile t.

Jika lagu Gederan dianalisis berdasarkan konsep wiletan ,

maka siklus goong besar te rletak pada ketukan instrumen goong

yang ke delapan . Hal in i berart i lagu Gederan menggunakan sawilet

atau k e r ing , yang dimainkan dalam tempo cepat.

Namun perlu ditambahkan, bahwa dalam penyajian sebagian

lagu-lagu genjr ing bonyok te rdapat pu la pola tabuhan goong yang

dikenal masyarakat Subang, dengari is ti lah wiletan dangdutan.

Konsep perh itungan wiletan dangdutan ini membagi satu siklus

permainan goong dc ilam empat ketukan, d itandai dengan

penempatan dua pukulan goong kecil dan satu pukulan goong besar.

Konsep wile ten ini dapat d il ihat dari analisis lagu Siuh ,

konsep wiletan dangdutan ini juga mengind ikasikan bahwa lagu

Siuh dimainkan dalam tempo yang cepat.

265

5.4.2 Tangga Nada, Wilayah Nada , dan Nada Dasar

Tangga nada sebagai susunan nada-nada yang digunakan dalam

komposis i Gederan dan Siuh diklasifikas ikan sebagai tangga nada

pen tatonis (l ima nada). Pada lagu Gederan nada-nada yang digunakan

meliputi nada d, f, g, dan c, dengan pengulangan oktaf yang lebih

tinggi pada nada d dan f. Sedangkan pada lagu Siuh nada yang

digunakan meliputi nada: c, d, f, dan g dengan pengulangan oktaf yang

lebih t inggi pada nada c, d , dan f.

Susunan tangga nada dari kedua lagu tersebut, dapat dil ihat pada

analisis weighted scale berikut ini .

Pengertian tangga nada dalam konsep musik Sunda disebut

surupan atau laras , yaitu susunan nada yang dipergunakan suatu

komposis i dari yang terendah sampai yang te rtinggi (Soepandi, 1988).

Dalam praktiknya surupan-surupan yang berkembang terdiri dari

266

beberapa jen is, yaitu salendro, pelog, sorog , laras degung , dan laras

madenda .

Dari keempat jen is surupan tersebut , salendro te rbagi lagi atas

jenis padantara dan bedantara . Sedangkan pelog terdiri dari jenis

pancanada, saptanada, dan dasanada (lihat Soepandi, 1988 dan 1978).

Berdasarkan pendekatan cent, surupan yang dipergunakan pada

lagu Gederan dan Siuh adalah jen is surupan salendro bedantara .

Prins ip surupan bedantara adalah apabila d i antara interval -in terval

nadanya terdapat dua jarak interval nada yang lebih besar dari j arak

in terval nada yang lainnya. Berdasarkan pendekatan Soepandi (1988)

prins ip sa lendro bedantara adalah sebagai berikut.

267

Perlu pula ditegaskan bahwa secara teoretis prins ip salendro

bedantara tersebut dapat ditentukan dengan pengukuran yang akurat

melalui n ilai cen t. Namun dalam kenyataannya di masyarakat Sunda,

jenis surupan ini relati f dapat d iap likasikan . Dengan demikian

pendekatan salendro bedantara yang dapat dikemukakan pada lagu

Gederan dan Siuh adalah seperti pada konsep berikut ini.

Wilayah nada pada lagu Gederan adalah ten th minor (d – f’) .

Sedangkan lagu adalah eleventh minor (c – f’) . Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada keterangan notasi berikut in i.

Dalam mengaplikasikan penentuan nada dasar yang dikemukakan Nettl

(1964), dapat d is impulkan bahwa lagu Gederan danm Siuh

menggunakan nada dasar fis . Namun dalam peno tas ian, nada t ersebut

diturunkan sekunde minor menjad i f. Untuk lebih jelasnya lihat tabel

berikut ini .

268

Tabel 5.1: Tu juh Krite ria Tonalitas pada Lagu Gederan dan Siuh

Keterangan:

K1: Nada yang paling sering digunakan

K2: Nada dengan harga ritmis besar

K3: Nada awal, tengah, dan akhir

K4: nada dalam posisi terendah

K5: Nada dengan duplikasi oktaf

K6: Nada yang mendapat tekanan ri tmis

K7: Nada berdasarkan pengalaman terhadap gaya musik

H: Hipotesis atau hasil akh ir

5 .4.3 Pola Kadensa

Pada analisis lagu Gederan dan Siuh , po la kadensa yang

dimaksud hanya berhubungan dengan gerakan melodi, bukan akord,

sebagaimana dalam pengertian musikologi Barat . Pola penyelesaian

269

atau akhir untaian nada pada lagu Gederan dan Siuh, secara umum

diperhatikan pada se tiap akh ir bentuk melodinya.

Contoh kadensa pada ben tuk melodi A dan B pada lagu

Gederan :

Contoh kadensa pada ben tuk melodi A, B, dan C pada lagu Siuh .

5.4.4 Po la Ritme Instrumen Musik dan Non-melodis

Empat dari lima ins trumen musik yang tergabung ke dalam

ensambel genjring bonyok memiliki peranan sebagai pembawa aksen

ri tme musiknya, yai tu : bedug , 4 gen jring, kecrek , dan goong . Dalam

permainannya, keempat ins trumen ini ada yang menghasilkan lebih

dari satu warna bunyi, yaitu bedug gen jring , dan goong . Namun dalam

analisis gaya musik genjring bonyok ini , warna bunyi dari instrumen-

instrumen tersebut tidak menjadi fokus pembahasan .

270

Satu catatan yang dapat dil ihat pada kedua sampel lagu tersebut,

adalah bahwa suara bunyi ins trumen bedug (bedug dan ketuk) dan

goong (goong kecil dan goong besar ) dip isahkan penotasiannya. Hal

ini d isebabkan bedug merupakan instrumen musik yang menjadi

karakteristik, dalam permainan ensambel genjring bonyok. Sedangkan

goong dalam hal in i sangat berperan dalam mendeskripsikan pola

wile tannya.

Secara umum pola ri tme yang disajikan o leh se lu ruh instrumen

non-melodis dalam lagu Gederan dan Siuh memiliki persamaan,

khususnya pada instrumen genjring 1, genjring 4 , dan kecrek.

Perbedaan po la ri tme dari kedua lagu tersebu t terlihat pada instrumen

bedug, genjr ing 2 , genjr ing 3 , dan goong . Namun dalam permainan

setiap lagu , instrumen genjring 1 sampai 4, kecrek, dan goong

membawakan pole ritme yang konstan. Sedangkan bedug berperan

dalam menghasilkan pola ri tme yang bervariasi .

Jenis no t yang dipergunakan pada lagu Gederan dan Siuh ini

umumnya dupel dan kuadrupel. Untuk lebih je lasnya dapat dilihat pada

beberapa con toh dari kedua lagu te rsebut. Pola permainan instrumen

non melod is lagu Gederan bar 3 sampai 5 .

271

5 .4.5 Formula Melodi

Bentuk, frase, dan motif adalah t iga unsur yang dipergunakan

dalam menganalis is formula melod i lagu Gederan dan Siuh.

(1 ) Lagu Gederan

Struktur komposisi lagu Gederan d ibagi ke dalam 28 bar . Secara

umum bentuk lagu Gederan dapat dibedakan atas dua jenis . Jen is

pertama diidentifikasikan dengan bentuk A yang terletak pada

272

bagian awal lagu. Jenis kedua diidentifikasikan dengan bentuk B

yang mendominasi seluruh komposisi melod i lagu Gederan . Ben tuk

B terulang sebanyak enam kali dengan pengembangan bentuk yang

diidentifikasikan dengan bentuk B1 dan B2. Lihat tabe l di bawah

ini.

Tabel 5.2 : Bentuk Lagu Gederan Berdasarkan Pembagian Bar dan Ketukan

No Bar Awal

(Ketukan)

Bar Akhir

(Ketukan)

Keterangan Ben tuk

1.

2

3

4

5

6

7

1 ke tukan 4

5 ke tukan 3

9 ke tukan 2

13 ketukan 2

17 ketukan 2

21 ketukan 2

25 ketukan 2

5 ketukan 2

9 ketukan 1

13 ke tukan 1

17 ke tukan 1

21 ke tukan 1

25 ke tukan 1

28 ke tukan 4

A

B

B1

B1

B1

B1

B2

Secara umum penen tuan frase dibagi berdasarkan pola kadensa

atau perpanjangan nada. F rase yang te rdapat pada lagu Gederan

di identifikasikan sebanyak 3 jenis , yaitu frasse A, B (dengan

pengembangannya) , dan C (dengan pengembangannya) . Contohnya

adalah sebagai berikut.

273

Pembentukan motif secara umum didasarkan atas gerakan nada,

keadaan ri tmis, dan jumlah relati f nada yang d igunakan . Motif-moti f

melodi yang terdapat pada lagu Gederan sebanyak delapan jenis, yaitu

sebagai berikut.

274

(2) Lagu Siuh

Struktur komposisi lagu Siuh dibagi ke dalam 64 bar. Berbeda

dengan Gederan, analisis ben tuk, frase, dan moti f Siuh dimulai

dengan bahagian melodi yang memiliki meter tetap. Dengan

demikian penyajian bentuk introduksi (bawa Sekar atau Pangkat)

tidak dianalis is . Hal in i dikarenakan penyajian melod i pada bagian

introduksi, t idak jauh berbeda dengan bentuk melodi yang

memiliki meter tetap.

Ben tuk lagu Siuh dapat dibedakan atas tiga jenis. Pertama,

diiden tifikasikan dengan bentuk A, dengan empat kali

pengulangan . Kedua diidentifikasikan dengan bentuk B dengan

delapan kali pengulangan, ben tuk B ini merupakan bentuk melodi

lagu Siuh yang paling panjang. Ketiga, disebut bentuk C dengan

empat kali pengulangan. Untuk lebih jelasnya, ben tuk A, B, C , dan

C lagu Siuh dapat dil ihat pada tabel berikut ini .

275

Tabel 5.3 : Bentuk Lagu Siuh berdasarkan Pembagian Bar dan ketukan

No Bar Awal

(Ketukan) Bar Akhir (Ketukan)

Keterangan Bentuk

1.

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

1 ke tukan 3

5 ke tukan 3

13 ketukan 3

17 ketukan 3

21 ketukan 3

29 ketukan 3

33 ketukan 3

37 ketukan 3

45 ketukan 3

49 ketukan 3

53 ketukan 3

61 ketukan 3

5 ketukan 2

13 ke tukan 2

17 ke tukan 2

21 ke tukan 2

29 ke tukan 2

33 ke tukan 2

37 ke tukan 2

45 ke tukan 2

49 ke tukan 2

53 ke tukan 2

61 ke tukan 2

64 ke tukan 4

A

B

C

A

B

C

A

B

C

A

B

C

Pengulangan bentuk-bentuk melodi pada lagu Siuh cenderung

sama. Persamaan in i juga te rlihat dalam frase dan motif t iap -tiap

bentuknya.

Frase yang terdapat pada lagu Siuh diidentifikas ikan sebanyak

de lapan jenis. Bentuk A terdiri dari dua frase, bentuk B te rdiri atas

empat frase , dan bentuk C te rdiri atas dua frase , sebagai berikut.

276

Penentuan motif secara umum didasarkan atas gerakan nada,

keadaan ri tmis, dan jumlah relati f nada yang d igunakan . Motif-moti f

melodi yang terdapat pada lagu Siuh sebanyak enam jenis yaitu

sebagai berikut.

277

5.4.6 Kontur

Dalam menganalisis kantur melodi lagu Gederan dan Siuh, saya

hanya mendeskripsikan satu sampel saja pada setiap bentuk melod i

dari kedua lagu te rsebut. Hal ini disebabkan secara umum gerakan

kan tur dari t iap-t iap pengulangan bentuk melodi memiliki persamaan.

Pada lagu Gederan , kontur melod i d isajikan masing- masing

mewakili bentuk melod i A, B, BI, dan B2. Pada bentuk melodi A lagu

Gederan, kantur melodi umumnya merupakan gabungan an tara

gerakan melodi yang melengkung ke bawah dan gerakan melod i

gerigi. Sedangkan pada bentuk B, BI, dan B2 merupakan gerakan

melodi gerigi dengan garis ascending maupun descending yang

bergerak secara d ras tis maupun bertahap .

278

Dari deskripsi kantur melodi Gederan ada beberapa hal hal

yang dapat menjadi catatan . Kontur melod i pada lagu Gederan

memperlihatkan gerakan- gerakan nada yang rapat dengan nilai nada

yang dominan antara 1/4, 1 /3, dan 1/16. Nada -nada pada setiap bentuk

melodi Gederan umunya bergerak ke atas mulai dari nada f, g, dan a.

Sering muncul jarak interval yang luas (meskipun bertahap) baik yang

bergerak turun maupun bergerak naik, yaitu interval prima sampai

oktaf murni. Kecendrungan nada yang berdurasi rapat terletak pada

akhir nada yang membentuk pola kadensa. pada ben tuk A dari B, pola

kadensa tersebu t bergerak lurus pada nada g. Sedangkan bentuk BI

dan B2 pola kadensa tersebut memperlihatkan gerakan variatif yang

akhirnya berhenti pada nada

Pada lagu Siuh, kantur melodi disajikan dalam tiga jen is bentuk

melodi, masing-masing mewakili ben tuk melodi A, D, dan C. Secara

umum gerakan melodi lagu Siuh membentuk pola gerigi , dengan garis

lurus , ascend ing, dan descending.

Pada bentuk melod i A kecendrungan nada yang bergerak lurus

adalah pada awal dan akhir melod i yang membentuk pola kadensa

(nada c) . Demikian pula pada bentuk C, awal melod i (f) dan akhir

melodi (d) membentuk gerakan garis lurus .

Inte rval nada yang luas baik naik maupun turun secara bertahap

atau drastis , dapat d il ihat pada kantur melodi bentuk A dan C, yaitu

dari inte rval prima sampai 10 mayor. Sedangkan Ben tuk B merupakan

kantu r melodi yang paling panjang dengan variasi bentuk gerigi dan

279

garis lurus. Kantur melod i bentuk C memperlihatkan wilayah nada

yang d isajikan berkisar antara nada c dan d '. Inte rval nada yang naik

maupun turun pada bentuk C adalah antara p rima sampai kuart murni.

280

281

282

5.5 Analisis Teks Lagu Pemuda Idaman

Dalam pertunjukan tardug, ciri khas yang membedakannya dengan genjring

bonyok adalah masuknya lagu-lagu populer Sunda, pop Indonesia, dan juga lagu-lagu

dangdut atau dangdutan. Lagu-lagu ini masuk ke dalam genre tardug karena tuntutan

masyarakat, yang kemudian direspons oleh para seniman tardug. Dengan demikian,

lagu-lagu dangdut mendapat peran penting di dalam pertunjukan seni tardug.

Berikut ini adalah salah satu contoh lagu dangdut yang sangat populer di

dalam penyajian tardug, yaitu Pemuda Idaman. Selengkapnya lirik atau teks lagu

Pemuda Idaman ini adalah sebagai berikut.

Pemuda Idaman

(1) Pemuda pujaan dadi impian

(2) Pemuda pujaan dadi bayangan

(3) Duh kelingan ning matane

(4) Duh kelingan ning meseme

(5) Pemuda pujaan dadi bayangan

(6) Pemuda pujaan semanis madu

(7) Pemuda pujaan manis gemuyu

(8) Duh kelingan ning matane

(9) Duh kelingan ning meseme

(10) Pemuda pujaan dadi rebutan

Reffrein:

(11) Yen bli ketemu seminggu hatiku rindu

(12) Perasaan gemeter seluruh tubuh

283

(13) Yen bli ketemu seminggu hatiku rindu

(14) Perasaan gemeter seluruh tubuh

(15) Haha..., Yaya..., Haha..., Yaya..

Teks lagu tersebut di atas terdiri dari lima belas baris. Selanjutnya kelima

belas baris ini dikelompokkan ke dalam tiga bait. Bait pertama dan kedua

menggunakan bentuk melodi yang sama (strofik). Bait pertama terdiri dari lima

larik yaitu 1 – 5, dan bait kedua juga lima larik yaitu baris 6 – 10. Bait ketiga

merupakan reffrein lagu ini yang diisi oleh baris 11 sampai 15. Melihat struktur teks

lagu ini, maka setiap barisnya umum menggunakan empat kata, yang didukung oleh

delapan sampai sebelas suku kata. Ini adalah unsur pantun yang umum terdapat

dalam sastra Sunda atau juga Indonesia.

Dalam pertnjukan tardug ini, agak berbeda dengan lirik sebenarnya di dalam

bahasa Indonesia, maka dalam kenyataannya para seniman Sunda ini merubahnya

dengan menggunakan bahasa Sunda. Tujuannya adalah agar lebih dapat diterima

penonton yang memang umumnya berkebudayaan Sunda. Ini bertujuan untuk

merekatkan komunikasi yang terjadi selama berjalannya pertunjukan tardug di

Subang dan sekitarnya.

Dilihat dari kata-kata yang disampaikan, maka lagu ini sebenarnya ekspresi

dari seorang gadis atau wanita yang merindukan hadirnya jodoh seorang pemuda

(lelaki) di dalam kehidupannya. Bagaimanapun gadis tersebut membayangkan

seorang pemuda yang menjadi impian dan bayangan di dalam kehidupannya.

Teks lagu ini juga bercerita tentang hubungan sosial antara dirinya dengan

pemuda yang diidamkannya tersebut melalui komunikasi sosial asamara. Keadaan ini

284

digambarkan dengan jelas melalui kerlingan mata pemuda itu kepada dirinya.

Seterusnya ditambah lagi dengan sunggingan senyumnya (meseme) yang membuat si

wanita tersebut jatuh cinta melalui pandangan fisik. Bagaimanapun pemuda yang

diidamkannya tersebut selalu mengisi ilusinya yang terus membayangi setiap detak

nadi dan nafasnya. Hal ini tercermin di dalam teks lagu sebagai berikut.

Pemuda pujaan dadi impian

Pemuda pujaan dadi bayangan

Duh kelingan ning matane

Duh kelingan ning meseme

Pemuda pujaan dadi bayangan

Artinya:

Pemuda idaman menjadi impian

Pemuda pujaan menjadi bayangan

Aduhai kerlingan di matanya

Aduhai sunggingan di senyumnya

Pemuda pujaan menjadi bayangan

Dalam bait selanjutnya, terjadi pengulangan beberapa kata yang berasal dari

bait pertama, tepatnya baris 3 dan 4 bait pertama diulangi secara sama pada baris 8

dan 9 pada bait kedua. Bait kedua ini maknanya menguatkan bait pertama, tentang

berbagai kelebihan pemuda yang diidamkan wanita tersebut. Dalam budaya Sunda,

pemuda ganteng itu diibaratkan sebagai semanis madu. Bahwa seorang pemuda

idaman bagi seorang wanita adalah seorang pemuda yang manis baik dalam fisik

mapun perilakunya, bak manisnya madu. Begitu pula pemuda tersebut selalu ramah

285

tamah, mudah tersenyum kepada siapa pun, terutama kepada seorang pujaan hati.

Senyum adalah salah satu bentuk sedekah dalam pergaulan sosial.

Di dalam bait kedua ini, yang sedikit membedakannya dengan bait pertama

adalah bahwa pemuda tersebut menjadi rebutan bagi para gadis atau wanita. Dengan

demikian, pemuda tersebut pastilah memiliki berbagai kelebihan-kelebihan sosial

dan budaya, seperti yang digambarkan oleh lagu ini. Pemuda tersebut pastilah

ganteng secara fisik. Kemudian pemuda tersebut adalah mudah senyum dan

peramah, pemuda tersebut juga kemungkinan besar mapan ekonominya. Begitu juga

dengan moralitas dan peringkat penghayatan agamanya pastilah melebihi emuda-

pemuda lain di sekitarnya, sehingga ia menjadi rebutan di antara wanita-wanita yang

mengenalnya. Biasanya secara universal yang menjadi daya unggulan laki-laki atau

perempuan dalam konteks mencari jodoh adalah faktor: agama, ekonomi, dan fisik.

Namun dalam ajaran Islam, yang dianut oleh mayoritas warga Sunda yang

diutamakan adalah faktor agamanya. Keadaan ini diekspresikan melalui bait kedua

lagu Pemuda Idaman ini.

Pemuda pujaan semanis madu

Pemuda pujaan manis gemuyu

Duh kelingan ning matane

Duh kelingan ning meseme

Pemuda pujaan dadi rebutan

Artinya:

Pemuda pujaan semanis madu

Pemuda idaman manis tertawanya

286

Aduahai kerlingan di matanya

Aduahai sunggingan di senyumnya

Pemuda pujaan jadi rebutan

Se lan jutnya bait ke tiga sebagai bait re ffrein yang biasanya

adalah menuju klimaks dalam pertunjukan nyanyian, maka bait ini

memberikan makna tersurat bahwa s i wanita te rsebut telah jatuh cinta

kepada pemuda idamannya. Rasa cinta yang mendalam ini

mengakibatkan perasaan lebih jauh yaitu dalam kata kun ci rindu

menerpa dirinya. Karena cinta maka muncul kerinduan . Bahkan waktu

yang relati f singkat yaitu seminggu saja t idak bertemu muka maka

terjad inlah rindu yang kian membara. Karena rasa cinta tersebut pula

maka kerinduan selalu menyeruak dalam kehidupan wanita yang lagi

jatuh c inta kepada pemuda idaman te rsebut. Kerinduan ini

terekspres ikan dalam kata -kata sebagai beriku t ini .

en bli ketemu seminggu hatiku rindu

Perasaan gemeter seluruh tubuh

Yen bli ketemu seminggu hatiku rindu

Perasaan gemeter seluruh tubuh

Haha..., Yaya..., Haha..., Yaya..

Artinya:

J ika t idak bertemu seminggu hatiku rindu

Perasaan gemetar seluruh tubuh

J ika t idak bertemu seminggu hatiku rindu

287

Perasaan gemetar seluruh tubuh

Haha... , Yaya.. ., Haha... , Yaya.. .

Pada bait di atas tergambar dengan jelas adanya dampak-dampak

berun tun , yaitu d imulai dari pandangan, kemudian jatuh cinta, dan

sete rusnya rindu. Dalam kerinduan ini s i wanita merasa gemetar

selu ruh tubuhnya ingin berjumpa segera dengan pemuda idaman.

Kesemua faktor-faktor te rsebut yaitu : pandangan, jatuh cin ta, rindu,

dan gemetaran adalah indeks -indeks dari rasa mencintai seorang

wanita kepada lelaki pujaan hatinya. Bagaimanapun cinta adalah tema

utama dari teks lagu in i.

Dilihat dari makna-makna yang disampaikan, lagu ini

menggunakan diksi yang mudah dicerna o leh komunikan (penikmat

lagu). Kata-kata yang digunakan langsung mengarah kepada apa yang

hendak disampaikan . Tidak banyak menggunakan kata-kata yang

memiliki makna rahasia, s imbolis, atau ambiguitas. Jadi lagu ini

memang relati f mudah diapresiasi oleh para penikmatnya. Demikian

kira -ki ra analisis semiotik terhadap lagu Pemuda Idaman ini yang

sangat populer dalam pertunjukan tardug (dangdutan ) di daerah

Subang Jawa Barat dalam konteks kebudayaan Sunda.

288

BAB VI

PENUTUP

6 . 1 Kesimpulan

Beranjak dari dua pokok permasalahan yang telah dikemukakan pada Bab I,

yaitu: (a) bagaimana proses kontinuitas dan perubahan yang terjadi dalam seni

pertunjukan genjring bonyok dan tardug, serta (b) bagaiman struktur

pertunjukannya, maka dalam Bab VI ini penulis akan menyimpulkan hasil penelitian

ini.

(A) Mengenai kontinuitas dan perubahan di dalam seni genjring bonyok

dan tardug, adalah menjadi bahagian dari tumbuh dan berkembangnya Islam di

dalam kebudayaan Sunda, yang dibawa oleh para wali songo di Tanah Jawa dan

Tatar Sunda, khusus di Tanah Sunda dibawa oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif

Hidayatullah. Kemudian Islam juga disebarkan oleh para tokoh Islam di Tanah

Sunda, dan yang tercatat dalam sejarah adalah Aria Wangsa Goparana yang

melakukan syiar Islam di Segalaherang tahun 1530 dan sesudahnya.

Dalam proses pengislaman orang Sunda ini, para wali dan tokoh Islam di

Tanah Sunda menggunakan sarana media dakwah seni pertunjukan. Dalam

kebudayaan Sunda dimasukkan seni yang menggunakan genjring (rebana) dan juga

bedug. Alat musik ini menjadi simbol dari peradaban Islam, termasuk yang masuk

ke Tanah Sunda. Namun demikian, melodi dan sistem tangga nada yang diterapkan

dalam seni Islam di Tanah Sunda adalah menggunakan sistem laras yang ada di

tanah Sunda seperti salendro, pelog, madenda, dan degung. Para penyebar Islam ini

289

tidak memaksakan sistem tangga nada Timur Tengah kepada masyarakat Sunda.

Akhirnya sejak abad ke-16 ini muncullah seni genjring dan derivat-derivatnya, yang

memunculkan alat musik genjring dan bedug ditambah secara situasional dengan

alat-alat musik tradisi Sunda lainnya. Genre seni yang menggunakan genjring dan

bedug terus kontinu di dlaam kebudayaan Sunda. Di awal abad ke-20 sebagaimana

disaksikan oleh para seniman Sunda terdapat genre seni pertunjukan genjring

sholawatan, yang menurut namanya jelas mengutamakan lagu-lagu yang merupakan

selawat dan salam untuk Nabi Muhammad SAW. Begitu juga genjring ini kemudian

berkembang menjadi genjring bonyok di era 1970-an. Selanjutnya di era 1990-an

dikenal genre seni tardug. Kedua genre ini hidup sampai sekarang. Namun genre

tardug lebih berkembang karena lebih mengakomodasikan selera pasar seni kekinian

(kontemporer). Tokoh utama dalam mengadakan perubahan dari genjring bonyok ke

tardug adalah Sutarja, seniman ternama dari Desa Cidadap.

Kontinuitas yang terjadi adalah bahwa genre-genre seni yang menggunakan

alat musik genjring dan bedug, adalah mengabsahkan bahwa seni ini adalah seni

Sunda yang mengandung nilai-nilai Islam. Namun dalam perkembangannya selalu

melihat selera seni semasa di masa perkembangan itu terjadi. Menurut penulis

perkembangan dan kontinuitas ini melihat aspek-aspek akar seni budaya, agama, dan

ekonomi.

Lebih khusus lagi di Subang Jawa Barat, faktor-faktor yang melatarbelakangi

terbentuknya tardug khususnya di Desa Cidadap, dan di Kabupaten Subang pada

umumnya, adalah: (a) adanya suatu kategori musik (musik rakyat), dimana proses

perubahan yang dialami musik tersebut, merupakan bagian dari sistim musiknya

(lihat Nettl 1983:177). Dalam hal ini kesenian yang mengalami proses perubahan

290

tersebut, adalah genjring bonyok menjadi tardug. (b) Perubahan kondisi sosial-

budaya masyarakat yang merangsang tumbuhnya kreatifitas musikal warga

masyarakatnya (seniman). (c) Kemampuan dari seniman-seniman genjring bonyok

dalam menciptakan gagasan-gagasan baru (kreativitas), yang relatif berbeda dengan

kesenian sebelumnya. Kreativitas tersebut dapat dijalankan pula dengan adanya

dukungan dan kerjasama diantara sesama seniman genjring bonyok. (d) Sambutan

dan dukungan sosial dari masyarakat Kabupaten Subang terhadap keberadaan

kesenian tardug yang relatif baru dari kesenian yang ada sebelumnya.

Dari fenomena terbentuknya kesenian genjring bonyok dan tardug yang

telah dipaparkan di atas, dapat simpulkan pula bahwa terbentuknya kesenian tardug

merupakan kelanjutan dari proses perubahan kesenian yang telah ada sebelumnya.

Proses perubahan kesenian ini berupa pembaharuan unsur-unsur kesenian menjadi

suatu bentuk kesenian yang relatif berbeda dengan kesenian yang telah ada

sebelumnya. Fenomena ini menurut Sedyawati (1980:34) merupakan proses yang

sering ditemukan pada suatu bentuk kesenian yang baru, dimana unsur-unsur

kesenian yang baru tersebut selalu bertolak dari kesenian-kesenian yang telah ada

sebelumnya.

Dilihat dari konsep rakyat dalam konteks seni pertunjukan, maka genjring

bonyok dan tardug dapat dikatagorikan sebagai seni pertunjukan musik rakyat.

Yaitu suatu seni pertunjukkan yang awalnya tumbuh dan berkembang dalam rangka

memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat pedesaan, dalam mengekspresikan rasa

syukur dan gembira sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang mereka hadapi

dalam kehidupan.

291

Oleh karena seni pertunjukan ini tumbuh dan berkembang dalam rangka

memenuhi kebutuhan semua golongan masyarakat, maka di dalam

perkembangannya genjring bonyok maupun tardug tidak mengenal dominasi

golongan tertentu. Karena seni ini merupakan bagian dari ekspresi masyarakat,

maka proses perubahan genjring bonyok berkembang menjadi bentuk kesenian

tardug banyak ditentukan oleh perubahan kebutuhan masyarakatnya.

(B) Struktur pertunjukan genjring bonyok dan tardug adalah hampir sama

yaitu adanya organisasi yang terstruktur seperti ketua, bendahara, sekretaris,

seniman, yang juga tetap melibatkan faktor keluarga dan kekeluargaan. Bentuk

pertunjukan ada yang dilakukan secara arak-arakan (prosesi) dan juga di atas pentas

atau lazim disebut dudukan. Adapun waktu pertunjukan dilakukan siang sampai

sore hari. Lagu-lagu yang dipergunakan ada yang berasal dari sholawatan, ketuk tilu,

jaipongan, pencak silat, sampai dangdut, dan lainnya. Struktur pertunjukan genjring

bonyok dan tardug biasanya mengikuti apa yang diminta oleh pengundang dan

penonton yang meminta lagu dan pertunjukan. Struktru pertunjukan ini didukung

pula oleh unsur-unsur musikal seperti struktur melodi lagu, dengan contoh dua lagu

yang telah dianalisis pada Bab V, dengan simpulan sebagai berikut.

Secara struktural lagu-lagu yang disajikan pada genjring bonyok dan tardug

juga mengandung unsur musik Sunda dan populer. Dari dua sampel lagu yang

dipergunakan dalam analisis musik, dapat disimpulkan beberapa karakter musik

genjring bonyok dan tardug, yaitu:

(2) Kedua sampel lagu, yaitu Gederan dan Siuh disajikan dalam meter

empat (isoritem). Kadaan ini mencerminkan sifat umum dari meter

lagu-lagu yang dibawakan ensambel genjring bonyok dan tardug.

292

(2) Tempo kedua lagu dimainkan cepat, mengindikasikan sifat dari

sampel lagunya. Pada lagu Gederan (M.M. = 120) tempo

dimainkan rata-rata cepat dari lagu-lagu tardug lainnya, karena lagu

Gederan diperuntukkan sebagai tanda pembuka dan penutup

pertunjukan.

(2) Tangga nada yang digunakan dalam kedua sampel lagu adalah tangga

nada pentatonis, yang dalam konsep musik Sunda berjenis salendro

bedantara.

(2) Wilayah nada yang luas serta kantur melodi yang berbentuk gerigi

pada kedua lagu ini, mengindikasikan bahwa lagu- lagu tersebut

menggunakan interval-interval yang berjarak antara sekunde mayor

sampai pada oktaf murni. Dengan demikian perpindahan nada yang

diperlihatkan pada kantur

pun mencerminkan lompatan interval nada yang luas baik terjadi secara

langsung maupun bertahap.

(2) Salah satu karakter musik genjring bonyok dan tardug yang menonjol

adalah permainan instrumen-instrumen non-melodis, yang berperan

memberikan nuansa ritmis yang variatif. Pola-pola ritem yang

dihasilkan dari gabungan instrumen tersebut saling mengisi dan

menguatkan sehingga membentuk pola interlocking.

(2) Deskripsi formula melodi pada kedua sampel lagu, memperlihatkan

bahwa bentuk-bentuk melodi lagu genjring bonyok dan tardug

umumnya sedikit dan pendek, namun dalam seluruh garapan

melodinya bentuk-bentuk tersebut terus diulang. Menurut Malm gaya

293

lagu seperti ini memiliki kecendrungan reverting. Fenomena dari

formula melodi ini pula sangat lajim ditemukan pada budaya musik

rakyat yang bersifat oral. Sebagaimana dikemukakan Sedyawati

(1980:60), bahwa seni tradisi adalah sesuatu yang berlaku dalam

waktu, secara teknik mengikuti pola-pola yang berulang, namun dari

segi-segi tertentu mengalami perubahan.

6.2 Saran

Selama proses penelitian dan penulisan Tardug dikerjakan, menurut hemat

saya perlu disampaikan beberapa saran. Bahwa penelitian terhadap Tardug ini

masih perlu dilanjutkan, mengingat tulisan ini relatif masih belum sempurna untuk

menginformasikan keberadaan tardug di Kabupaten Subang. Disamping itu

perkembangannya yang pesat saat ini adalah bahan kajian yang menarik serta

merupakan mata rantai penelitian dan tulisan ini.

Perlu pula menjadi perhatian dari kalangan pemerintah dan tokoh-tokoh

seniman Kabupaten Subang, untuk memperluas apresiasi dan aspirasi masyarakat

terhadap kesenian tradisi yang mereka miliki. Di lain pihak pemerintah dan

seniman, maupun tokoh-tokoh masyarakat harus pula dapat mencermati pengaruh

positif dan negatif dari perkembangan teknologi dari sosial-budaya, terhadap

keberadaan kesenian-keseniari tradisi, seperti halnya Tardug.

Pembinaan terhadap kesenian tradisional ini, juga bukan hanya terbatas pada

lingkungan seniman dan aparat-aparat pemerintahan yang berkaitan terhadapnya.

Tetapi juga kepada kalangan intelektual untuk mengkajinya sebagai bahan

penelitian ilmiah.

294

Sebagai saran terakhir, saya sangat mengharapkan khususnya kepada

masyarakat Subang dan secara umum kepada masyarakat luas, untuk memperluas

wawasan dan apresiasi terhadap kekayaan-kekayaan tradisional yang menjadi

identitas nilai-nilai sosial dan budaya kita bersama.

314

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Sri, 2000. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya

Sastra. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Alwasilah, A. Chaedar, 2007. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Asdi, A.H.S. Armiri, 1980. Hari Jadi Kabupaten Subang - 5 Aprii 1948.

Pemerintah Daerah Tingkat II: Subang.

Barker, 2005. Cultutal Change. Chicago: North Western University Press.

Berlo, D.K. 1960. The process of Communication. San Francisco: Rinenart Press.

Bogdan, Bobert, 1975. Participant Observation in Organlzational Settings. New

York: Synraeuse University.

Cage, John, 1961. Silence. Middletown: Wesleyan University Press.

Cassier, Ernest, 1944. An Essay on Man, New Heaven.

Caturwati, Endang, 2004. History and Development of Sundanese Traditional

Dance in Indonesia. Bandung: Sunan Ambu Press.

Cook, Simon, 1992. Guide to Sundanese Music: A Practical Introductlon to

Gamelan Sa1endro/Pelog, Gamelan Degung, Penambih Tembang

Sunda. Bandung: Simon Cook.

Danandjaja, James, 1994. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative

Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.

Dharsono, Sony Kartika, 2004. Memahami Seni dan Estetika. Bandung:

Rekayasa Sains.

315

Ekadjati, Edi S., 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Giri

Mukti Pasaka.

Elliot, 1995. Read Music Matter: A New Philosophy of Music Education. New

York.

Encyclopedia Britaanica (versi elektronik), 2007.

Esten, Mursal, 1993. Struktur Sastra Lisan Kerinci. Pandang Panjang.

Garraghan, Gilbert J., S.J. 1957. A Guide to Historical Method. East Fordham

Road, New York: Fordham University Press.

Hanna, Judith Lynne, 1992. "Dance," Ethnomusicologv: An Introduction, Helen

Myers (ed.), W.W. Norton and Company, New York dan London."

Hanslick, Eduard. 1957. The Beautiful in Music. Edited and translated by Gustave

Cohen. New York: Liberal Arts.

Harsojo, 1971. Pengantar Antropologi. Jakarta: Bina Cipta.

Hendarsyah, M. Khadar, 2008. Ragam Budaya Kabupaten Subang:

Pendokumentasian Seni dan Budaya. Subang: Dinas Kebudayaan

Pariwisata,Pemuda, dan Olah Raga.

Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities and Changes. New York:

Cornell University Press.

Hood, Mantle, 1971.The Ethnomusicologist. New York: McGraw-Hill.

Kantor Pembangunan Desa, 1993-1994. Daftar Isian Potensi Desa. Pemerintah

Daerah Tingkat II Kabupaten Subang, Subang: Kantor Pembanguna

Desa.

316

Komasasmita, Deden, 1990. Kesenian Genjring Bonyok. Subang: Depdikbud

Kabupaten Subang, Kantor Kecamatan Pagaden.

Kubarsah, Ubun, 1995. Waditra. Bandung: CV Beringin Sakti.

Littlejohn, Stephen W., 2002. Theories of Human Communication. USA:

Wadsworth Group

___________________., 1989. Theories of Human Communication. Third

Edition. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.

Manoff, Tom, 1994. Music Kit. Terjemahan Mauly Purba. Medan: Jurusan

Etnomusikologi USU.

Murgiyanto, Sal, 1996. “Mengkaji Batas Kajian Seni Pertunjukan.” dalam

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Surakarta: Yayasan Bentang.

Hood, Mantle, 1957. “Training and Research Method in Ethnomusicology,”

dalam Ethnomusicology Newsletter Nomor 11.

Irawan, Endah, 1992. Analisis Tabeuhan Kendang pada Fenyajian Kesenian

Sisingaan di Kabupaten Subang Jawa Barat. Skrpsi Kesarjanaan Strata

1. Medan: Jurusan Etnomusikologi FS. USU.

Kayam, Umar, 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antroplogi. Jakarta: Balai Pustaka.

Kostelanetz, Richard, 1988. Conversing with John Cage. New York: Limelight.

Kuntowijoyo, 1994. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: UGM

Press.

Lerner, Daniel, 1978. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada Press.

317

Malrn, Williari P.,1977. Music Culture of the Pacific, the Near East and Asia.

New Jersey: Prentice Ha.ll Inc. Englewood Cliffs.

______________., 1993. Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia.

Terjemahan M. Takari. Medan: Jurusan Etnomuskologi USU.

Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi

ing Tahun 1647. S'Gravenhage.

Moleong, Lexy J., 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung Rosdakarya.

Murgianto, Sal, 1996. "Cakrawala Pertunjukan Budaya:Mengkaji Batas dan Arti

Pertunjukan." dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia th. VII.

Yogyakarta: MSPI dan Yayasan Benteng Budaya.

Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western

Universit.y Press.

Muljana, Slamet, 2005. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-

negara Islam di Nusantara. Jakarta: LKIS

Mustapa, Hasan, 2010. Adat Istiadat Sunda. Bandung: Alumni.

Nettl, Bruno, 1964. Theory and Methode ln Ethnomuslkology. New York:

McMillan Publishing, Co.Inc.

___________., 1973. Folk and Tradltional Music of Western Continent. New

Jersey: Prentice Hall.

___________., 1979. The Study of Ethnomuslcology: Twenty nlne Issues and

Concepts. Urbana and Chicago: Universit.y of Illionis Press.

Nuraeni, Neni, 1996. Pertumbuhan dan Perkembangan Kesenian Genjring

Bonvok di Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang. Bandung: STSI.

318

Peirce, Charles S., 1982. Writings of Charles Peirce: A Chronological Edition.

M.H. Fisch, E.C. More, C.J.W. Kloesel (eds.). Bloomington: Indiana

University Press.

_____________.,1956. The Collected Papers, 8 vols., Charles Hartshorne, Paul

Weiss, and Arthur W. Burks (eds.). Cambridge: Harvard University

Press.

Pelto, Pretti J.,1984, Anthropology Research: The Structure of Inquiry. New

York: Cambridge University Press.

Poerwadarminta, W.J.S. (ed.), 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

Rohidi, Tjetjep Rohendi, 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan.

Bandung: STSI.

Sachs, Curth dan Eric von Hornbostel, 1993. Klasifikasi Alat-Alat Musik.

Terjemahan Muhammad Takari dan Fadlin. Medan: Etno¬musikologi

USU.

Saini, K.M., 2001. Sastrawan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sedyawati, Edi, 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukkan. Jakarta: Sinar Harapan.

____________, 1980. Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka Jaya.

____________, 1984. “Aspek-aspek Komunikasi Budaya yang Diekspresikan

dalam Tari.” Analisis Kebudayaan. (Tahun II) Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

319

____________,. 1993. Ke-Islaman dalam tari Indonesia. dalam Wan Abdul Kadir

& Zainal Abidin Borhan (pngr.) Fenomena 2. 60-80. Universiti Malaya:

Jabatan Pengajian Melayu.

Soedarsono, 1999. “Pendidikan Seni dalam Kaitannya dengan

Kepariwisataan."" Makalah Seminar dalam Rangka Penringatan Hari

Jadi Jurusan pendidikan Sendratasik ke-10 FPBS IKIP Yogyakarta, 12

Pebruari 1995)."

____________, 1972. Jawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Drama Tari

Tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

____________, 1974. Dances in Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

_____________, 1986. “Notasi Laban: Suatu Kemungkinan Sistem Notasi Tari

bagi Indonesia.” Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah

Tari. F.X. Sutopo Cokrohamijoyo (ed.). Jakarta: Direktorat Kesenian

Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Soepandi, Atik, dkk., 1993. Ragam Cipta: Mengenal Seni Pertunjukan Daerah

Jawa Barat. Bandung: Sempurna.

________________, 1976. Teori Dasar Karawitan. Bandung: PT Pelita Mas.

Soepandi, Atik, 1988. Kamus Karawitan Sunda. Bandung: Pustaka Buana.

Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik.

Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Sulendraningrat, P.S., 1981. Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon. Cirebon: t.

penerbit

320

Sumarjo, Jacob, 2000. Estetitka Paradoks. Bandung: ITB Press.

Supanggah, R. (ed.), 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan Bentang Budaya,

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Suparlan, Parsudi, 2004. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.

Jakarta: UI Press.

Surakhmad, Winarno, 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah. Jakarta: Tarsito.

Surjadi, 2010. Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Alumni.

Sutrisno, 2007. Manajemen Keuangan: Teori, Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta:

Penerbit ekonisia.

Tim Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Subang, 2010. Data

Organisasi Kesenian dan Jenis Kesenian di Kabupaten Subang. Subang

Jawa Barat.

Wahyudi, Asnan dan Abu Khalid M.A. tt. Kisah Wali Songo. Surabaya: Karya

Ilmu.

Waridi, 2001. Martopangrawit Empu Karawitan Gaya Surakarta. Surakarta:

Penerbit Mahavhira.

van den Berg, Lodewijk Willem Christiaan, 1886. Le Hadhramout et les colonies

arabes dans l'archipel Indien. Batavia: Impr. du Gouvernement.

321

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Asep Nur Budi Umur : 42 Pekerjaan : Staff Disbudparpora Kab Subang Alamat : Komplek RSS Sidodadi Blok A no 76 Subang

2. Nama : Sutarja Umur : 66 Pekerjaan : Tani dan Seniman Alamat : Dusun Suka Sari Desa Cidadap-Subang

3. Nama : O. Wikanda Warman

Umur : 82 Pekerjaan : Pensiunan Penilik Kebudayaan Kab Subang Alamat : Jln Oto Iskandar Dinata Gg Rasidi No 25 Subang

4. Nama : Ogut

Umur : 42 Pekerjaan : Seniman Alamat : Desa Belendung kec cibogo kab Subang

5. Nama : Edih A.S

Umur : 80 Pekerjaan : Pensiunan Penilik Kabupaten Subang Alamat : Jl Panji No 56 Subang

6. Nama : Asep Ida Hidayat

Umur : 43 Pekerjaan : Staff Pengajar SMP IV Subang Alamat : Jln Otista Gg Rasidi No 25 Subang

7. Nama : Dulhatim

Umur : 72 Pekerjaan : Tani Alamat : Dusun Wajuh Desa Cidadap – Subang

8. Nama : Ahwi

Umur : 68

322

Pekerjaan : Tani dan Seniman Alamat : Desa Suka Sari desa Cidadap – Subang

9. Nama : Raden Deden Koma Sasmita Umur : 60 Pekerjaan : Penilik Kebudayaan Kec Pagaden kab. Subang Alamat : Pagaden

10. Nama : Robert

Umur : 25 tahun Pekerjaan : Seniman Alamat : Dusun Suka Sari Desa Cidadap - Subang

323

Bagan 4.2 Struktur Pertunjukan Genjring Bonyok

324

Bagan 4 .3 Struktur Pertunjukan Tardug

325

PEMUDA IDAMAN

Kelompok Tardug Ogut Transkripsi; Ade Herdiyat Saidul Irfan Hutabarat

326

327

328

329

330

331

332

333

334

335

336

337

338

339

340

341

342

343

344

345

346

347

348

349

350