tinjauan hukum internasional terhadap kasus kilang …

70
TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG MINYAK MONTARA DI LAUT TIMOR. (Studi Kasus Kilang Minyak Montara Di Laut Timor) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: FATHURRAHMAN AHMAD FAUZI NIM : 11130480000020 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H / 2018 M

Upload: others

Post on 28-Oct-2021

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP

KASUS KILANG MINYAK MONTARA DI LAUT TIMOR.

(Studi Kasus Kilang Minyak Montara Di Laut Timor)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

FATHURRAHMAN AHMAD FAUZI

NIM :

11130480000020

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2018 M

Page 2: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

i

Page 3: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

ii

Page 4: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

iii

Page 5: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

iv

Page 6: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah

SWT karena hanya berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis berhasil

menyelesaikan skripsi dengan judul “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL

TERHADAP KASUS KILANG MINYAK MONTARA”. Ucapan terima kasih ini

saya tujukan kepada berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung

telah membantu penyelesaian penulisan karya tulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, serta Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi

Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Muhammad Maksum, S.H., M.AC. Dosen Pembimbing saya, atas

ketulusan hati dan kesabarannya dalam membimbing, mendukung dan

mengarahkan peneliti dalam penyusunan skripsi ini.

4. Berbagai Lembaga atau Institusi yang telah membuat Jurnal, Laporan,

ataupun sebuah penelitian terdahulu sehingga penulis bisa melakukan

penelitian dan memahami masalah yang terjadi dari berbagai perspektif.

Antara lain, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian

Perhubungan, International Maritime Organization, Montara Commission of

Inquiry o the Australian Government, Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi di

Laut Timor.

5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi

kepustakaan. Pimpinan perpustakaan yang telah memberi fasilitas untuk

mengadakan studi kepustakaan.

Page 7: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

vi

6. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam

penyelesaian karya tulisnya.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,

saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk penelitian lanjutan di

masa mendatang.

Akhir kata, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan.

Jakarta, 14 Februari 2018

Penulis

Page 8: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ……….i

LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. ………ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ………iii

ABSTRAK……………… ........................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................... v

DAFTAR ISI ............................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................................ 7

1. Identifikasi Masalah .......................................................................... 7

2. Pembatasan Masalah ........................................................................... 7

3. Perumusan Masalah ............................................................................ 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 7

1. Tujuan Penelitian ............................................................................... 7

2. Manfaat Penelitian ............................................................................. 8

D. Metode Penelitian ................................................................................... .8

1. Tipe Penelitian……………………………………… ....................... .8

2. Pendekatan Masalah .......................................................................... .8

3. Bahan Hukum ..................................................................................... 9

4. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 10

5. Analisis Data ..................................................................................... 10

6. Teknik Penulisan ............................................................................... 10

Page 9: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

E. Sistematika Penelitian ............................................................................ 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................. 12

A. Kerangka Konseptual ............................................................................ 12

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Laut Internasional ...................... 12

2. Tinjauan Umum Tentang Hukum Lingkungan Internasional ......... 16

3. Tinjauan Umum Mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional .. 17

4. Teori Tanggung Jawab Negara ........................................................ 21

5. Teori Tanggung Jawab Mutlak ........................................................ 21

6. Teori Kerjasama Internasional ......................................................... 22

7. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Fiqih Biah .......................... 23

8. Tinjauan Umum Mengenai Pencemaran Laut ................................. 25

B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................... 27

BAB III PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERKAIT

PENCEMARAN LINGKUNGAN LINTAS BATAS MARITIM DI

LAUT TIMOR .......................................................................................... 29

A.Gambaran Umum tentang Pencemaran Lingkungan Lintas Batas

Maritim Yang Terjadi di Laut Timor. .................................................... 29

B.Pengaturan Hukum Internasional Terkait Dengan Pencemaran

Lingkungan Lintas Batas Maritim Yang Terjadi di Laut Timor. ........... 36

BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PENCEMARAN

LINGKUNGAN LINTAS BATAS MARITIM DI LAUT TIMOR ..... 39

A. Tindakan Preventif Yang Telah Dilakukan Oleh Pihak-Pihak Terkait . 39

1. Penanganan dari Pemerintah Australia ............................................. 39

2. Penanganan dari Pemerintah Indonesia ............................................ 42

3. Penanganan dari pihak PIT Exploration&Production Australasia... 44

B. Perjanjian Bilateral Antara Indonesia dan Australia Terkait

Pencemaran Laut .................................................................................. 45

C. Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran Laut Timor ............... 46

Page 10: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

D. Analisis Sistematika Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Hukum

Internasional ......................................................................................... 48

BAB V PENUTUP ................................................................................................. 55

A. Kesimpulan ........................................................................................... 55

B. Rekomendasi ......................................................................................... 56

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 57

Page 11: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh makhluk hidup

bersama dengan benda–benda tak-hidup lainnya.1 Lingkungan hidup merupakan

salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Selain menjadi tempat tinggal

bagi manusia, lingkungan hidup juga menjadi penyedia sumber daya untuk

memenuhi kebutuhan hidup manusia.2 Salah satu bagian dari lingkungan hidup

guna memenuhi kebutuhan manusia adalah laut. Dimana saat ini laut merupakan

salah satu penentu dari kesejahteraan manusia. Hal ini disebabkan karena pada

wilayah laut tersebut telah ditemukan sumber kekayaan alami, antara lain berupa

minyak, timah, gas bumi, dan sumber hayati dan nabati berupa ikan dan

sebagainya. Laut memiliki peran yang besar dalam penyediaan sumber daya alam

yang tidak terbatas bagi manusia dan dapat dikelola untuk memberikan manfaat

yang besar bagi manusia. Namun selalu ada akibat yang ditimbulkan dari

pengelolaan lingkungan laut tersebut yang mungkin dapat ditimbulkan untuk

membahayakan kelestarian laut itu sendiri.

Hukum lingkungan internasional adalah keseluruhan kaedah, azas–azas,

lembaga–lembaga, dan proses–proses yang mewujudkan kaedah tersebut dalam

kenyataan.3 Hukum atau keseluruhan kaedah dan azas yang dimaksud adalah

keseluruhan kaedah dan azas yang terkandung dalam perjanjian-perjanjian

1 Otto Soemarwoto, Ekologi: Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Djambatan,

1991), h.48.

2 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.4.

3 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional: Buku I, (Bandung: Binacipta,

1982), h.vii.

Page 12: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

2

internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan

hidup, yang oleh masyarakat internasional, yaitu masyarakat negara-negara

termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam

kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan

internasional.4 Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Perserikatan

Bangsa–Bangsa (United Nation Convention on the Law of the Sea) tahun 1982

yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undanng-Undang Nomor 17 Tahun

1985 Tentang Pengesahan United Nation Convention on the Law Of the Sea

(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Maka Indonesia

mendapatkan wewenang untuk memanfaatkan, melindungi dan memelihara

sumber–sumber kekayaan yang berada di laut.5

Salah satu masalah terbesar dalam pelestarian lingkungan laut adalah

adanya pencemaran. Masalah pencemaran lingkungan laut saat ini telah menjadi

masalah global yang mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Hal tersebut

terjadi karena dampak yang diakibatkan oleh aktifitas suatu negara dalam

melakukan pengelolaan laut mulai mengganggu ketersediaan sumber daya alam

tersebut baik negara pantai itu sendiri ataupun bagi negara–negara lain. Tidak

dapat dipungkiri bahwa kerusakan yang terjadi terhadap lingkungan laut tidak lain

disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat

dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi baik di penambangan minyak atau sektor

mineral lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya pencegahan dan

penanggulangan dalam rangka menjamin kelestarian lingkungan dan manfaat laut

demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.6

4 Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional: Perspektif Bisnis Internasional,

(Bandung: Rafika Aditama, 2003), h.1.

5 Andi Iqbal Burhanuddin, The Sleeping Giant, Potensi dan Permasalahan Kelautan,

(Surabaya: Brillian internasional, 2011), h. vii.

6 Achmad Santosa, Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan, (Jakarta: Asa Prima Pustaka,

2016), h.4.

Page 13: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

3

Dalam bukunya, Churchill dan Lowe menjabarkan penyebab pencemaran

laut menjadi pencemaran yang berasal dari kapal, pencemaran akibat dumping,

pencemaran akibat aktivitas eksplorasi dan eksploitasi dasar laut serta pencemaran

yang bersumber dari darat dan udara.7 Salah satu contohnya adalah masalah

pencemaran yang disebabkan oleh minyak bumi, yang mana permasalahan ini

merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Mengingat posisi geografis dari

negara Indonesia yang terletak dekat dengan jalan terdekat penghubung urat nadi

angkutan minyak bumi terbesar di Timur Tengah dengan industri besar

konsumennya antara lain negara Jepang, Amerika Serikat dan sebagainya.8 Tidak

dapat dipungkiri bahwa laut sangat riskan dari aktifitas manusia, yang seringkali

dieksploitasi oleh tangan–tangan yang tidak bertanggung jawab.

Dalam pasal 193 United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982

terkandung prinsip penting yang menyatakan setiap negara mempunyai hak untuk

mengeksplorasi dan mengeksploitasi laut sesuai dengan kebijakan lingkungan

mereka dan dengan kewajiban negara untuk melindungi dan melestarikan laut.

Telah dijelaskan pula didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang

Kelautan pada pasal 1 ayat 10 bahwa perlindungan lingkungan laut merupakan

suatu upaya yang dilakukan untuk melestraikan sumber daya laut dan mencegah

terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan laut yang meliputi

konservasi laut, pengendalian pencemaran laut, penanggulangan bencana kelautan,

pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta kerusakan bencana.

Tercantum pada pasal 192 United Nation Convention on the Law Of the

Sea 1982 yang mengatur mengenai penemaran pada laut lepas bahwa:

7 R. R. Churchill dan A. V. Lowe, The Law of the Sea Third Edition, (United Kingdom:

Manchester University Press, 1999), h. 329-330.

8 Mochtar Kusumaatmaja, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumannya, (Bandung: Orasi,

1977), h. 177.

Page 14: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

4

“negara–negara diwajibkan untuk melindungi dan memelihara

lingkungan kelautan sesuai dengan aturan–aturan internasional dan

perundang–undangan nasional.”

Selain pasal 192 United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982,

perlindungan lingkungan laut terutama dalam hal ini pencemaran karena tumpahan

minyak juga diatur dalam instrumen hukum internasional lainnya. Diantaranya

pasal 24 “Geneve Convention on the High Seas 1958” mengenai rezim laut lepas

yang berbunyi :

“every state shall draw up regulations to prevent pollution of the seas

by the discharge oil from ships of pipelines or resulting from the

exploitation and exploration of the seabed and its subsoil taking

account to the existing treaty provisions on the subject”

(setiap negara wajib mengadakan peraturan–peraturan untuk mencegah

pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau pipa

laut atau yang disebabkan oleh eksplorasi dan eksploitasi dasar laut dan tanah

dibawahnya dengan memperhatikan ketentuan–ketentuan perjanjian internasional

yang ada mengenai masalah ini).

Penjelasan yang tertuang pada asas ke-7 “Stockholm Declaration

(Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment) 1972”

juga mengatur tentang kewajiban negara untuk mencegah pencemaran laut, yang

berbunyi:

“state shall take all possible steps to prevent pollution of the seas by

substance that are liable to create hazard to human health, to harm

living resources and marine live,, to damage amenities or to interfere

with other legitimate uses of the sea.”

(negara berkewajiban untuk mengambil tindakan–tindakan guna menccegah

penemaran laut yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia,

sumber kekayaan hayati laut terhadap penggunaan lingkungan laut).

Page 15: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

5

Salah satu kasus yang paling umum terjadi dalam hal kerusakan dan

pencemaran lingkungan adalah pencemaran laut akibat eksploitasi minyak dan gas

bumi (MIGAS) dalam tahap transportasi laut ke darat atau darat ke laut seperti

yang terjadi pada tahun 1967, kapal tanker pembawa minyak Torrey Canyon

menabrak Seven Stones Reef antara Isles of Scilly dan Land’s End, sehingga

mengakibatkan kerugian yang besar. Namun, tidak sedikit juga kasus terjadinya

blowout dianjungan MIGAS pada tahap eksploitasi di tengah laut maupun lepas

pantai. Terjadinya blowout dari anjungan pengeboran Ixtoc One di Teluk Mexico

pada tahun 1979 yang disebut-sebut sebagai salah satu pencemaran laut terparah

yang pernah terjadi. Minyak yang tak berhenti mengalir selama kurang lebih

sembilan bulan sebelum akhirnya sumur bisa ditutup. Dampak dari hal tersebut

meluas pada lingkungan perairan, industri perikanan, dan pariwisata Amerika

Serikat. Sebelas tahun kemudian pada tahun 1989, terjadi pencemaran laut dari

Exxon Valdez daerah Selatan Alaska yang disebabkan oleh tumpahnya 240.000

barel (11 juta gallon) minyak ke daerah Prince William Sound. Dengan terjadinya

ini, ekosistem sekitarnya rusak sehingga keanekaragama hayati di laut seperti

anjing laut, ikan-ikan, bahkan burung-burung terkena imbasnya. Proses

pembersihan minyak dari laut dapat terselesaikan dengan lancar namun tidak sama

halnya dengan penyelesaian kasus ini dari segi hukum, lebih dari 100 Lawfirm

berpartisipasi dalam lebih dari 200 gugatan di pengadilan dengan lebih dari 30.000

kalim.9 Sebagai respon dari pencemaran laut yang besar ini, Amerika Serikat

memberikan denda kepada Exxon Shipping Company, pemilik dari Exxon Valdez,

serta perusahaan induknya Exxon Corporation dengan masing-masing lima

tuntutan pidana. Lalu, pada tanggal 20 April 2010 juga terjadi kasus pencemaran

dan kerusakan lingkungan laut oleh minyak (oil spill) yang disebut sebagai tragedi

Deepwater Horizon yang cukup menyita perhatian. Terjadi sebuah ledakan di

9 Martha Williams, “Mess of Lawsuits is Proving Stickier than Valdez Oil Spill”, (Seattle

Times, Juli 26, 1991), h. A1.

Page 16: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

6

Deepwater Horizon, sebuah anjungan pengeboran minyak yang terletak di 66

kilometer lepas pantai Louisiana, Amerika Serikat. Ledakan pada sumur yang

dioperasikan oleh British Petroleum (BP), sebuah perusahaan minyak dari Inggris,

yang akhirnya menewaskan 11 orang pekerja. Titik ledakan tepat pada kepala

sumur di kedalaman 1.500 meter di bawah permukaan laut.

Kasus-kasus tersebut merupakan permasalahan yang cukup menyita

perhatian dunia. Kemudian, pada tanggal 21 Agustus 2009 juga terjadi kasus

serupa kebocoran akibat meledaknya kilang minyak dan gas lepas pantai

Perusahaan PIT Exploration and Production Australasia yang merupakan

perusahaan Thailand dan bagian dari grup perusaahan PIT Expliration and

Production Public Company Limited serta selaku pemilik dan operator ladang

minyak dan gas Montara Sea Drill Norway Pty Ltd yang terletak di Blok Atlas

Barat Laut Timor. Diperkirakan, sebanyak 500 ribu berel minyak tumpah setiap

harinya selama 74 hari. Selain tumpahanya minyak, disertai pula dengan adanya

zat timah hitam bercampur bubuk kimia dipersant jenis Corexit yang beracun

untuk menenggelamkan tumpahan miyak ke dasar Laut Timor.

Saat ini ratusan ribu masyarakat NTT berdomisili di sepanjang garis pantai

selatan dan utara Pulau Timor, Rote Ndao, Sabu Raija, Alor, Sumba dan Flores

serta Lembata sudah tidak dapat membudidayakan rumput laut yang biasa disebut

“emas hijau” karena wilayah perairan budidaya mereka sudah terkontaminasi

dengan minyak mentah, zat timah hitam dan bubuk kimia, serta rusaknya terumbu

karang yang diperkirakan seluas 65.000 hektare, yang menyebabkan sekitar 18.000

nelayan laut kehilangan mata pencahariaannya serta petaka bagi lingkungan global

dan perubaan iklim. Masyarakat Timor bekerjasama dengan Yayasan Peduli Timor

Barat, terus melakukan upaya untuk mendapatkan apa yang menjadi hak mereka,

agar Pemerintah Australia dan Indonesia dapat mengambil langkah–langkah

pertanggungjawaban. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui secara

mendalam mengenai pelaksanaan penanggulangan pencemaran lingkungan laut

Page 17: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

7

dari aspek penegakan hukum lingkungan international. Sehingga penulis

mengambil judul.

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS

KILANG MINYAK MONTARA DI LAUT TIMOR

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi Masalah dalam Skripsi ini meliputi:

a. Hukum internasional tentang pencemaran lingkungan,

b. Kasus kilang minyak montara yang terjadi di laut timor,

c. Penyelesaian sengketa kasus kilang minyak montara.

2. Pembatasan Masalah

Agar penelitian peneliti menjadi efektif, tepat sasaran dan tidak

melebar maka peneliti hanya membatasi penelitian ini hanya pada tinjauan

hukum internasional terkait penanggulangan dan penyelesaian sengketa kasus

Kilang Minyak Montara di Laut Timor.

3. Perumusan Masalah

Bagaimana penyelesaian sengketa yang dapat digunakan untuk

menyelesaikan sengketa kasus pencemaran kilang minyak montara di Laut

Timor berdasarkan Hukum Internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sistematika

penyelesaian sengketa kasus kebocoran kilang minyak montara di Laut Timor

berdasarkan Hukum Internasional.

Page 18: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

8

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan untuk

pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum lingkungan dan hukum

internasional.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dalam praktik penyelesaian sengketa yang saat ini masih terus berlangsung di

Laut Timor bagi masyarakat maupun pemerintah.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yuridis

normatif yang bersumber dari studi kepustakaan.

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan sifat penelitian deskriptif analitis dengan

judul Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus Kilang Minyak Montara

Di Laut Timor. Dalam kaitannya, peneliti mengacu kepada peraturan

perundang–undangan, norma–norma serta gejala hukum yang ada di

masyarakat dan juga menggambarkan peraturan perundang–undangan yang

berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum

positif yang diangkat sebagai penelitian.10

2. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan yuridis

normatif berupa penafsiran hukum, kontruksi hukum, filsafat hukum

(kepastian hukum). Yang mana dalam suatu penelitian hukum normatif tentu

10

Ronny Haditjo Soemitro, Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cetakan ke-4,

(Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1990), h. 97-98.

Page 19: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

9

harus menggunakan pendekatan perundang–undangan karena yang akan

diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema

sentral suatu penelitian.

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer

meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan atau putusan-putusan hukum.11

Bahan

hukum yang terdapat pada penelitian ini antara lain Convention on the

Highseas 1958, International Convention on Civil Liability for Oil

Pollution Damage 1969, International Convention on Establishment of an

International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971,

Stockholm Declaration 1972, United Nation Convention on the Law of the

Sea 1982, Rio Declaration 1992, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996

tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-

Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian

Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Peraturan Presiden Nomor 106

Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak

di Laut.

b. Bahan Hukum Sekunder

11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana 2010) h. 141

Page 20: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

10

Bahan hukum sekunder yang peneliti gunakan dalam penelitian ini

terdiri dari buku buku yang berkaitan dengan Hukum Lingkungan, Hukum

Internasional, dan Konvensi Persatuan Bangsa Bangsa khususnya yang

berkaitan dengan bidang kelautan, Jurnal-jurnal hukum yang terdapat pada

situs internet dan juga skripsi dan tesis tentang hukum lingkungan.

c. Bahan non Hukum

Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti

kamus hukum, ensiklopedia, berita hukum dan lain-lain.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi

kepustakaan. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan

melakukan penelitian data sekunder berupa buku, jurnal, artikel ataupun

literatur lainnya.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini baik penelitian kepustakaan

maupun penelitian lapangan dianalisis secara Normatif Kualitatif. Normatif

karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai

hukum positif. Kualitatif, karena merupakan analisis data yang berasal dari

berbagai literatur. Dengan demikian merupakan analisis data tanpa

mempergunakan rumus dan angka.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi

ini disesuaikan kaidah-kaidah penelitian karya ilmiah dan buku “Pedoman

Penelitian Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.

Page 21: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

11

E. Sistematika Penelitian

Dalam memaparkan isi penelitian ini secara menyeluruh maka peneliti

menggunakan sistematika penelitian skripsi sebagai berikut:

BAB 1, Pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menjelaskan terkait latar

belakang masalah, perumusan masalah dan pembatasan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II, KAJIAN PUSTAKA. Dalam bab ini peneliti menjelaskan

tinjauan umum tentang hukum laut dan hukum lingkungan internasional,

tinjauan mengenai penyelesaian sengketa internasional, teori tanggung jawab

negara dan tanggung jawab mutlak, teori kerjasama internasional, hukum

lingkungan dalam perspektif fiqh bi’ah, tinjauan mengenai pencemaran laut, dan

tinjauan (review) kajian terdahulu.

BAB III, Pengaturan Hukum Internasional Terkait Pencemaran

Lingkungan Lintas Batas Maritim di Laut Timor. Dalam bab ini peneliti

menjelaskan tentang gambaran umum tentang pencemaran lingkungan lintas batas

maritim yang terjadi di Laut Timor dan pengaturan hukum internasional terkait

dengan pencemaran lingkungan lintas batas maritim yang terjadi di Laut Timor.

BAB IV Analisis Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan

Lintas Batas Maritim di Laut Timor. Dalam bab ini peneliti menjelaskan

tentang sistematika dan mekanisme mengenai penyelesaian sengketa pencemaran

lingkungan lintas batas maritim di Laut Timor berdasarakan Hukum Lingkungan

Internasional.

BAB V Penutup. Dalam bab ini peneliti memaparkan kesimpulan dan

rekomendasi penelitian berdasarkan penelitian yang telah peneliti lakukan.

Page 22: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Laut Internasional

Laut terutama lautan samudera, mempunyai sifat istimewa bagi

manusia. Begitu pula hukum laut, karena hukum pada umumnya adalah

rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai

anggota masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-

anggota masyarakat itu. Laut adalah suatu keluasan air yang meluas diantara

berbagai benua dan pulau-pulau di dunia.1 Melalui laut, masyarakat

internasional dan subjek-subjek hukum internasional lainnya yang memiliki

kepentingan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum dalam hal

pelayaran, perdagangan sampai penelitian ilmu pengetahuan Dengan

demikian pada hakekatnya, segala peraturan hukum yang berlaku dalam tiap-

tiap negara, selayaknya terhenti berlaku apabila melewati batas menginjak

pada laut. Tetapi bagi manusia yang berdiam di tepi laut, sejak dahulu kala

dirasakan dapat dan berhak menguasai sebagian kecil dari laut yang terbatas

pada pesisir itu. Ini justru karena didasarkan tidak ada orang lain yang berhak

atas laut selaku suatu keluasan air. Maka ada kecenderungan untuk

memperluas lingkaran berlakunya peraturan-peraturan hukum di tanah pesisir

itu sampai meliputi sebagian dari laut yang berada di sekitarnya. Sampai

berapa jauh kearah laut peraturan-peraturan hukum dari tanah pesisir ini

berlaku, adalah hal yang mungkin menjadi soal, terutama apabila tidak jauh

dari tanah pesisir itu ada tanah pesisir dibawah kekuasaan negara lain. Maka

dengan ini sudah mulai tergambar suatu persoalan internasional, apabila orang

1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, 1984), h 8.

Page 23: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

13

menaruh perhatian pada hukum mengenai laut. Maka dapat dimaknai bahwa

hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan

kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi

nasionalnya (national jurisdiction). Pentingnya laut dalam hubungan antar

bangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum laut internasional. Tujuan

hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut yaitu sebagai

jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sumber tenaga. Di samping itu

hukum laut juga mengatur kompetisi antara negara-negara dalam mencari dan

menggunakan kekayaan yang diberikan laut, terutama sekali antara negara-

negara maju dan berkembang.2

Hukum laut internasional terdiri dari hukum laut internasional publik

(international law of the sea) dan hukum laut internasional perdata (maritime

law). Hukum Laut Internasional yang bersifat publik atau yang biasa disebut

United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) menghasilkan peraturan

tentang laut teritorial, zona tambahan, selat-selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional, perairan negara kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif,

landas kontinen, laut lepas, perbudakan, pembajakan, perdagangan narkotika

dan psikotropika, penyiaran gelap dari laut lepas, pengejaran seketika, kabel-

kabel dan pipa-pipa bawah laut, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan

hayati, pulau-pulau, laut tertutup atau setengah tertutup, hak negara daratan

untuk akses ke dan dari laut serta kebebasan transit, kawasan dasar laut dan

dasar samudera dan tanah di bawahnya, pelestarian dan perlindungan

lingkungan hidup, riset ilmu kelautan, pengembangan dan alih teknologi, dan

penyelesaian sengketa-sengketa Sedangkan dalam Guide Line for Maritime

Legislation sebagai hasil dari The Legal Expert Meeting on a Model Maritime

2 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika

Global,(Bandung: Alumni, 2011), h 307.

Page 24: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

14

Code for the ESCAP Region, menyebutkan bahwa ruang lingkup hukum laut

internasional perdata atau hukum maritim sedemikian luas yaitu:

a. Regulasi Ekonomi,

b. Kebangsaan Kapal,

c. Pendaftaran Kapal dan Hak Atas Kapal,

d. Keamanan,

e. Navigasi,

f. Pengawakan,

g. Manajer Kapal,

h. Agen,

i. Buruh Pelabuhan,

j. Penerus Muatan,

k. Kontrak Mengenai Kapal,

l. Hipotek Kapal dan Piutang Maritim,

m. Tanggung Jawab dan Batasan Tanggung Jawab Maritim,

n. Angkutan dan Kontrak lainnya,

o. Asuransi Laut,

p. Kecelakaan di Laut,

q. Polusi,

r. Pengangkutan Barang Berbahaya,

s. Penipuan di Bidang Maritim,

t. Pemeriksaan di Laut, dan

u. Penyelesaian Sengketa Maritim.3

Sementara hukum laut intrnasional perdata merupakan serangkaian

aturan-aturan hukum yang digunakan untuk mengatur hubungan keperdaraan

antara pihak-pihak yang berada di dalam dua yuridiksi negara yang berbeda

dalam bidang maritim. (Tatley, 2000; 780).

3 Syafinaldi, "Hukum laut internasional", (Pekanbaru: URI Press, 2009), h. 12.

Page 25: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

15

Kemudian terkait hukum dan lingkungan merupakan dua hal yang

tidak dapat dipisahkan, bahkan dalam kajian yang lebih jauh lagi, hukum

lingkungan telah masuk kedalam sendi-sendi internasional, hal ini terjadi

ketika pembangunan mengarah kepada kerusakan lingkungan dan dibarengi

dengan kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya menjaga lingkungan

tersebut. Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, hukum lingkungan internasional

adalah keseluruhan kaedah, azas-azas, lembaga-lembaga, dan proses-proses

yang mewujudkan kaedah tersebut dalam kenyataan.4 Hukum atau

keseluruhan kaedah dan azas yang dimaksud adalah keseluruhan kaedah dan

azas yang terkadung dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum

kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan hidup, yang oleh

masyarakat internasional, yaitu masyarakat negara-negara termasuk subjek-

subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam kehidupan

bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan

internasional.

Perkembangan hubungan internasional dan hukum internasional

selama beberapa dekade terakhir ini telah mendefinisikan langkah maju dari

hukum yang hanya saling hidup berdampingan dan aturan hukum yang abstain

menuju kerja sama hukum yang positif, yaitu dengan negara-negara menjadi

lebih bergantung satu sama lain dalam dunia yang semakin kompleks dengan

masalah lingkungan dan sosialnya. Peningkatan jumlah isu-isu internasional

membutuhkan peraturan internasional dan kerjasama untuk dapat

mengaturnya, dan bidang hukum lingkungan internasional adalah salah satu

isu kunci dari perkembangan isu saat ini.5

4 Mochtar Kusuma Atmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I, (Bandung : Binacipta,

1982), h. vii.

5 Jurgen Friedrich, International Environmental “soft law”,( New York, Springer, 2013), h. 1.

Page 26: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

16

2. Tinjauan Umum Tentang Hukum Lingkungan Internasional

Hukum lingkungan internasional adalah salah satu cabang ilmu yang

mulai berkembang sejak tahun 60-an, United Nations Conference on the

Human Environment yang lebih dikenal dengan Konferensi Stockholm yang

diadakan di Stockholm pada tahun 1972 merupakan konferensi dengan isu

lingkungan hidup internasional yang pertama kali dilaksanakan. Konferensi

Stockholm merupakan titik balik dalam perkembangan politik lingkungan

hidup internasional.6 Yang pada akhirnya Konferensi Stockholm melahirkan

konsep “Hanya Ada Satu Bumi” (Only One Earth).

Penting untuk menyadari bahwa hukum lingkungan internasional

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum publik internasional.

Prinsip-prinsip hukum publik internasional seperti kewajiban untuk

bernegosiasi dengan itikad baik, prinsip bertetangga baik dan pemberitahuan

(notification), dan tugas untuk menyelesaikan sengketa secara damai juga

berlaku pada hukum lingkungan internasional. Pada saat yang sama,

pengembangan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional dan

konsepnya dapat mempengaruhi perkembangan prinsip-prinsip di bidang

hukum internasional. Dalam penerapan dan, dimana relevansi, konsolidasi dan

pengembangan lebih lanjut dari prinsip-prinsip dan konsep-konsep hukum

lingkungan internasional yang tercantum pada bab 3 Training Manual on

International Environmental Law, dan juga dari prinsip-prinsip hukum

internasional lainnya, akan berperan dalam mengejar tujuan pembangunan

berkelanjutan.7

6 John Baylis, Steve Smith, The Globalization of World Politics (3rd ed), (Oxford University

Press, 2005), h. 454-455.

7 Lal Kurukulasiruya, Nicholas A Robinson, United Nation Environment Programme,

Training Manual on International Environmental Law, (Kenya: Division of Environmental Policy &

Law, 2006), h. 24.

Page 27: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

17

3. Tinjauan Umum Mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala

sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau perbantahan.8

Kata sengketa, perselisihan, pertentangan di dalam Bahasa Inggris sama

dengan “conflict” atau “dispute”.9 Keduanya mengandung pengertian tentang

adanya perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak atau lebih, tetapi

keduanya dapat dibedakan. Kosa kata “conflict” dalam Bahasa Indonesia

diserap menjadi konflik, sedangkan kosa kata “dispute” diterjemahkan dengan

kata sengketa.

Konflik atau sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan

pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih perkara dalam

pengadilan.10

Konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya perbedaan

persepsi yang merupakan penggambaran tentang lingkungan yang dilakukan

secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang, lingkungan

yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun sosial.11

Sebuah konflik

berkembang menjadi sengketa bila pihak yang merasa dirugikan telah

menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung

kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.

Pertikaian atau sengketa, keduanya adalah yang dipergunakan secara

bergantian dan merupakan terjemahan dari “dispute”. John G. Merrils12

8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1990), h. 643.

9 John.M. Echlos dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia dan Indonesia Inggris,

(Jakarta: Gramedia, 1996), h. 138.

10 Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 433.

11 Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1982), h.

103.

12 Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung: Refika

Aditama, 2006), h. 224.

Page 28: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

18

memahami persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan

suatu keadaan atau obyek yang diikuti oleh pengklaim oleh satu pihak dan

penolakan di pihak lain. Karena itu, sengketa internasional adalah perselisihan

yang tidak secara eksklusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi

pada lingkup internasional. Dan di dalam bukunya Huala Adolf menyebutkan

bahwa sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua negara

mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau

tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.13

Hukum internasional pada umumnya membedakan sengketa

internasional atas sengketa yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat

hukum. Sengketa politik ialah sengketa dimana suatu negara mendasarkan

tuntutannya atas pertimbangan non yuridik, misalnya atas dasar politik atau

kepentingan nasional lainnya. Atas sengketa yang tidak bersifat hukum ini,

penyelesaiannya adalah secara politik. Sedangkan sengketa hukum ialah

sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah

diakui oleh hukum internasional.14

Diakui bahwa tidaklah selalu mudah untuk membedakan apakah suatu

sengketa bersifat politik atau bersifat hukum. Tiap-tiap sengketa internasional

sekaligus mempunyai aspek politik maupun yuridik, hanya saja penonjolan

aspeknya berbeda dari suatu sengketa ke sengketa yang lain. Pembedaan jenis

sengketa ini dianggap perlu untuk mendapatkan cara penyelesaian yang lebih

sesuai. Jadi untuk sengketa yang bersifat politik maka penyelesaiannya

melalui prosedur politik, sedangkan untuk sengketa yang bersifat hukum

13

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),

h. 2.

14 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika

Global, (Bandung: Alumni, 2011), h. 195.

Page 29: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

19

penyelesaiannya juga melalui prosedur hukum. Perbedaan kedua cara

penyelesaian sengketa ini terletak pada tingkat kekuatan mengikat dari

keputusan yang diambil.

Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa secara politik

hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat negara yang bersengketa.

Usul-usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan negara-negara yang

bersengketa dan tidak harus didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum.

Konsiderasi-konsiderasi politik dan kepentingan-kepentingan lainnya dapat

juga menjadi dasar pertimbangan dalam penyelesaian sengketa secara hukum

mempunyai sifat mengikat dan membatasi kedaulatan negara-negara yang

bersengketa. Ini disebabkan karena keputusan yang diambil hanya didasarkan

atas prinsip-prinsip hukum internasional.15

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Charter of the United

Nation) 1945 mengatur 2 bentuk penyelesaian sengketa internasional, yaitu

penyelesaian sengketa secara damai dan penggunaan kekerasan. Dalam pasal

33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan antara lan:

a. Perundingan (Negotiation) yaitu perundingan antara pihak-pihak yang

bersengketa untuk memperoleh penyelesaian secara damai.

b. Penyelidikan (Enquiry) yaitu upaya lanjutan yang dilakukan apabila

tidak tercapainya kesepakatan danatara pihak-pihak yang bersengketa

pada tahap negosiasi, upaya ini memerlukan pihak ketiga agar dapat

melihat permasalahan sengketa dari sudut yang berbeda guna

memberikan penjelasan mengenai kedudukan kepada masing-masing

pihak.

15

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika

Global,.. h. 196.

Page 30: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

20

c. Mediasi (Mediation) yaitu suatu upaya menyelesaikan sengketa

malalui pihak ketiga yang dapat merupakan Negara, individu, ataupun

organisasi-organisasi internasional.

d. Konsiliasi (Conciliation) yaitu upaya yang tidak jauh berbeda dengan

mediasi namun sifatnya lebih formal dibandingkan dengan mediasi

karena konsiliasi adalah suatu cara penyelesaiaan seengketa oleh pihak

ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak yang

bersengketa.

e. Arbitrase (Arbitration) yaitu suatu upaya penyelesaian sengketa secara

sukarela diserahkan kepada pihak ketiga yang bersifat netral dan

putusan yang dikeluarkan oleh pihak ketiga bersifat mengikat.

f. Pengadilan Internasional (International Court of Justice) yaitu metode

terakhir yang dapat digunakan apabila upaya-upaya yang telah

ditempuh sebelumnya tidaklah mencapai suatu kesepakatan.

g. Organisasi Internasional yaitu organisasi yang dibentuk berdasarkan

persetujuan antar pemerintah atau antar negara atau organisasi

internasional yang dibebani tugas khusus dan hendak mencapai tujuan

khusus. Dalam kasus ini ITLOS (International Tribunal for The Law

of the Sea) merupakan organisasi yang tepat dalam menyelesaikan

kasus ini.

Dari metode penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Charter of

the United Nation art.33 di atas, kemudian dikelompokkan kembali menjadi 2

(dua) bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara Diplomatik dan penyelesaian

sengketa secara Hukum. Penyelesaian sengketa secara diplomatik berupa,

negosiasi, penyelidikan, mediasi, dan konsiliasi. Sedangkan penyelesaian

sengketa secara hukum berupa, arbitrase dan penyelesaian sengketa melalui

pengadilan. Selain itu, di dalam hukum internasional publik juga dikenal

penyelesaian sengketa menggunakan jasa baik atau good offices yang dapat

pula dikategorikan dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik

Page 31: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

21

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan

mekanisme penyelesaian sengketa damai yang di terapkan dalam penyelesaian

sengketa antara Australia dan Indonesia.

4. Teori Tanggung Jawab Negara

Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan didasarkan pada

adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada

di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang

membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas

negara. Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap orang berhak

atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan

dirinya.16

Teori tanggung jawab negara menyatakan bahwa suatu negara

bertanggung jawab kepada negara lain bilamana tindakan yang terjadi di

negaranya menyebabkan kerugian bagi negara lain tersebut. Dapat pula

diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan pemulihan terhadap setiap

kerugian yang timbul dari akibat setiap kegiatan, baik yang timbul dari

kegiatan yang dilarang maupun yang tidak dilarang oleh hukum internasional,

termasuk kewajiban untuk mencegah timbulnya kerugian dalam hal dimana

kerugian tersebut tidak dapat diselesaikan melalui pembayaran ganti rugi.17

5. Teori Tanggung Jawab Mutlak

Tanggung jawab mutlak atau strict liability diartikan sebagai

kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah

satu ciri utamanya tidak adanya persyaratan perlu adanya kesalahan. Hal yang

senada dikemukakan pula oleh James E. Krier dalam tulisannya 'Environment

Litigation and the Burden of Proff", bahwa strict liability dapat merupakan

bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan,

16

Hendriati Trianita, Deklarasi Universal Hak Asasi, (Jakarta: KOMNAS HAM, 2000), h. 36.

17 Ida Bagus Wyasa Putra, Tanggung Jawab Negara terhadap Dampak Komersialisasi Ruang

Angkasa, (Bandung: Rafika Aditama, 2001), h. 61.

Page 32: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

22

karena banyak kegiatan-kegiatan yang menurut pengalaman menimbulkan

kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang berbahaya,

untuk mana dapat diberlakukan ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan.18

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan

bentuk tanggung jawab Perusahaan PIT Exploration and Production

Australasia dan Pemerintah Australia kepada Indonesia atas meledaknya

kilang minyak Montara dimana Pemerintah Australia merupakan regulator

dan Perusahaan PIT Exploration and Production Australasia sebagai operator

dalam pengeboran minyak mentah di Anjungan Montara, yang mana

tumpahan minyaknya hingga ke perairan Indonesia serta berdampak buruk

dan dapat merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati bawah laut di Laut

Timor.

6. Teori Kerjasama Internasional

Teori kerjasama internasional muncul karena keadaan, kebutuhan,

kemampuan serta potensi dari suatu negara yang berbeda-beda. Hal ini

menyebabkan suatu negara bekerjasama dengan negara lainnya agar dapat

memenuhi kepentingan nasionalnya di luar negeri.19

Menurut Michael Haas,

Kerjasama adalah upaya saling membantu, bekerjasama, dan bersatu padu

dalam melaksanakan suatu kegiatan/aktivitas/event tertentu. Kerjasama

internasional dapat dilakukan jika suatu negara sekurang-kurangnya memiliki

dua syarat utama, yaitu adanya keharusan menghargai kepentingan masing-

masing negara yang terlibat bekerjasama serta adanya keputusan bersama

18

Hendrik Salmon, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam Penegakan Hukum

Lingkungan, (Ambon: Fakultas Hukum Univ. Pattimura, 2013), h. 5.

19 Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang, Perkembangan, dan

Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), h. 15.

Page 33: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

23

negara-negara yang melakukan kerjasama dalam mengatasi setiap persoalan

yang timbul dalam perjanjian tersebut.20

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan

kerjasama yang dilakukan antara negara Indonesia dan negara Australia,

dalam menangani pencemaran laut lintas batas negara.

7. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Fiqih Biah

Sejauh yang kita fahami fiqih adalah tatanan ilmu yang dominan

dalam mengatur hidup manusia dimuka bumi, secara garis besar pembahasan

dalam ilmu fiqih yang terkait dalam penataan kehidupan manusia yaitu:

a. Rub’u al ibadat, yaitu bagian yang menata antara manusia selaku

makhluk dengan Allah SWT sang khaliknya,

b. Rub’u al Mu’amalat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia

dengan sesamanya,

c. Rub’u al munakahat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia

dalam lingkungan keluarga,

d. Rub’u al Jinayat, yaitu bagian yang menata tertib dalam kegiatan

manusia yang menjamin keselamatan dan ketentraman dalam

kehidupan.

Empat garis besar ini dalam kebutuhannya menata bidang - bidang

pokok dari kehidupan manusia dalam rangka mewujudkan suatu lingkungan

kehidupan bersih, sehat, sejahtera, aman, dan bahagia lahir batin serata di

dunia dan di akhirat, yang dalam istilah agama lazim disebut sa’adat at darayn

(kebahagiaan dunia akhirat).21

20

Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang, Perkembangan, dan

Masa Depan,... h. 16.

21 Alie Yafie, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, (Jakarta:Tama Printing 2006), h. 40.

Page 34: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

24

Secara normatif, sebagai pewaris nabi dalam tugas membimbing umat,

ulama dalam struktur sosial berfungsi sebagai elit keagamaan dan ikut

berperan strategis dalam menentukan arah kehidupan masyarakatnya. Fiqih

Biah (Fiqih Lingkungan) membahas tentang norma–norma berlingkungan

hidup secara islam yang dapat mempegaruhi latar berfikir manusia.22

Kerangka dasar pemahaman fiqih lingkungan tidak dijelaskan secara

terperinci dalam bab tersendiri melainkan masih tersebar dalam kajian

beberapa ilmu fiqih. Hal ini terlihat jelas dimana fiqih mengajarkan kepada

kita tentang pola tahapan yang diawali dari kebersihan dan diakhiri dengan

tertib dalam menjalankan. Didukung dengan kebebasan dari rasa takut akan

kekhawatiran dan didasarkan pada prinsip kemaslahatan, keadilan,

kerahmatan, dan kearifan dari kehidupan manusia. Melihat hal tersebut

persoalan fiqih lingkungan bukan hanya mengkaji masalah sampah dan

pengrusakan alam semesta, namun lebih cenderung kepada sebuah kriktik

dimana kita melihat akan adanya perbedaan yang mendalam dalam

menafsirkan antara kebutuhan dan melestarikan. Kecenderungan manusia

dalam memuja ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan mereka lupa

akan tugas mereka dimuka bumi sebagai khalifah yang mana tidak hanya

memanfaatkan sumber daya alam yang ada, tetapi juga harus melestarikan

agar dapat digunakan secara terus menerus.

Secara umum kita pahami bahwa kebutuhan manusia tidak akan ada

habisnya. Eksplorasi besar-besaran ditunjukkan dengan pemanfaatan

teknologi yang membantu manusia dalam merusak alam. Dimulai dari

revolusi dunia barat yang telah mampu menemukan teknologi yang dapat

digunakan sebagai alat untuk pengolahan alam, namun manusia

mengesampingan teknologi yang bermanfaat untuk melestarikan alam. Alasan

22

Sukarni, Fiqih Lingkungan Hidup Perspektif Ulama Kalimantan Selatan, (Kementerian

Agama RI, 2011), h. 1

Page 35: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

25

pemenuhan kebutuhan menjadi ukuran utama dalam perkembangan teknologi

pengolahan hasil sumber daya alam.

Berangkat dari hal itu, fiqih yang memiliki norma-norma yang

menjabarkan nilai-nilai Alqur’an dan Al Sunnah harus dapat memberikan

sumbangan yang bersifat riil dalam membentuk pola pikir manusia yang

mampu mengatur tatanan kehidupan manusia yang mampu mengatur tatanan

kehidupannya dalam hal pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.

Hal ini akan mengangkat tatanan hidup manusia kearah yang lebih baik dan

tidak hanya memenntingkan ego manusia dalam eksplorasi alam, namun lebih

kepada pemanfaatan yang disertai dengan pelestarian sumber daya alam.

Dari pemikiran ini maka fiqih lingkungan cenderung pada tatanan

yang mengatur kehidupan manusia dengan alam semesta, baik dalam hal

pemanfaatan dan juga pelestariannya. Hal ini yang akan menunjukkan

eksistensi manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang berdasarkan Al Qur’an

dan Al Sunnah. Sebab islam berbicara tentang alam mulai dari

pembentukannya yang tidak memiliki kekurangan apapun dalam

pemanfaatannya sampai pada hari akhir sebagai bentuk kerusakan bagi umat

manusia.

8. Tinjauan Umum Mengenai Pencemaran Laut

Pencemaran dapat diartikan sebagai bentuk Environmental

impairment, yakni adanya gangguan, perubahan, atau perusakan.23

Pencemaran Laut merupakan masalah yang dihadapi bersama oleh masyarakat

internasional. Pengaruhnya bukan saja menjangkau seluruh kegiatan yang

berlangsung di laut, melainkan juga menyangkut kegiatan-kegiatan yang

berlangsung di wilayah pantai, termasuk muara-muara sungai yang

berhubungan dengan laut. Pada dasarnya laut itu mempunyai kemampuan

23

M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam penegakan hukum lingkungan Indonesia,

(Bandung: Alumni , 2001), h. 154.

Page 36: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

26

alamiah untuk menetralisir zat-zat pencemar yang masuk ke dalamnya.24

Akan

tetapi apabila zat-zat pencemar tersebut melebihi batas kemampuan air laut

untuk menetralisirnya, maka kondisi itu dikategorikan sebagai pencemaran.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan pencemaran adalah masuknya atau

dimasukkannya mahluk hidup, zat, energy dan/atau komponen lain kedalam

lingkungan dan/atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat

tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat

berfungsi lagi sesuai peruntukkannya.

Selain itu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999

Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Pengrusakan Lingkungan Laut,

pencemaran merupakan masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat,

energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan

manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang

menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau

fungsinya.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja Pencemaran Laut adalah perubahan

pada lingkungan laut yang terjadi akibat dimasukkannya oleh manusia secara

langsung maupun tidak bahan-bahan enerji ke dalam lingkungan laut

(termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat yang demikian buruknya

sehingga merupakan kerugian terhadap kekayaan hayati, bahaya terhadap

kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan

24

Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Aspek hukum Kerjasama Regional dan

Internasional dalam Pencegahan Pencemaran Laut, (Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional,

1998), h.15.

Page 37: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

27

dan lain-lain penggunaan laut yang wajar, pemburukan dari kualitas air laut

dan menurunnya tempat-tempat permukiman dan rekreasi.25

Sedangkan menurut UNCLOS 1982 (United Nation Convention On

The Law Of The Sea) Pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan

laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk

sehingga dapat merusak sumber daya hayati laut (marine living resources),

bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut

termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, menurunkan kualitas

air laut dan mutu kegunaan serta manfaatnya.

Sejalan dengan itu juga maka pencemaran laut intinya adalah

menurunnya kualitas air laut karena aktivititas manusia baik disengaja

maupun tidak disengaja memasukkan zat-zat pencemar dalam jumlah tertentu

ke dalam lingkungan laut (termasuk muara sungai) sehingga menimbulkan

akibat yang negatif bagi sumber daya hayati dan nabati di laut, kesehatan

manusia, aktivitas di laut, dan bagi kelangsungan hidup dari sumber daya

hidup di laut.26

B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

1. Luspina Dwi Aryani, Analisis Penerapan Prinsip Good Corporate Govvernance

Dalam Praktik Corporate Social Responsibility, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2009 dalam skripsi ini membahas tentang penerapan

prinsip Good Corporate Governance dan pelaksanaan Corporate Social

Responsibility oleh Bank Mandiri dan BNI. Dalam penelitian ini, peneliti

mencari apakah prinsip God Corporate Governance telah diimplementasikan

25

Mochtar Kusumaatmadja, Bunga rampai Hukum Laut, (Bandung: Bina Cipta, 1978), h.

177.

26 Juajir Sumardi,. Hukum Pencemaran Laut Transnasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti ,

1996), h. 29.

Page 38: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

28

dengan baik dalam praktik Corporate Social Responsibility Bank Mandiri dan

Bank BNI. Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian yang peneliti

lakukan adalah fokus pada bagaimana kedua negara menanggulangi

pencemaran yang terjadi dan seperti apa penyelesaian sengketa berdasarkan

tinjauan hukum internasional.

2. Siti Kemala Nuraida, Tindakan Preventif dan Tanggung Jawab Negara dalam

Pencemaran Laut Lintas Batas Akibat Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi

(MIGAS) Lepas Pantai, Universitas Indonesia, 2012 dalam skripsi ini peneliti

menemukan bahwa untuk dapat mengatasi pencemaran laut di wilayanya, setiap

negara peserta United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982

diwajibkan untuk memiliki pengaturan nasionalnya masing-masing dan untuk

dapat melihat praktik prinsip tindakan preventif dan prinsip

pertanggungjawaban negara dalam pencemaran lintas batas maritim. Perbedaan

dengan penelitain peneliti adalah peneliti tidak hanya berfokus kepada satu

peraturan saja tetapi peraturan-peraturan terkait penanggulangan pencemaran

lintas batas maritim dan cara menyelesaikan sengketa.

3. Buku berjudul Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan Mineral dan

Batubara ditulis oleh Ahmad Redi diterbitkan oleh Sinar Grafika Jakarta 2017

menjabarkan berbagai konflik dan upaya penyelesaian konflik yang terjadi

dalam pengusahaan pertambangan mineral dan batubara.

4. Jurnal Hukum Dampak Pencemaran Lingkungan Laut Terhadap Indonesia

Akibat Tumpahan Minyak Montara Di Laut Timor, Vol.2, No.2, Agustus 2016

yang ditulis oleh Ni Putu Suci Meinarni mahasiswi STIKI INDONESIA

menemukan telah terjadi pencemaran di Laut Timor yang mengandung minyak

mentah (crude oil) yang memiliki karakteristik yang sama dengan contoh

minyak yang berasal dari Montara Welhead Platform berdasarkan hasil

Chromatogram pada hasil GC. Ditemukannya korelasi antara minyak yang ada

I Montara dengan minyak ya g ditemukan di perairan Indonesia, menyebabkan

terganggunya ekosistem dan perairan laut Timor yang berdampak pada wilayah

Page 39: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

29

Pengelolaan Perikanan (WPP) seluas 70.841,76 km², Taman Nasional Laut

Sawu seluas 34.089,87 km², pengembangan daerah perikanan seluas 135.799,93

km², wilayah distribusi dugong (duyung) seluas 15.712,11 km², wilayah

distribusi kura-kura laut seluas 4.096,0 km², dan wilayah terumbu karang seluas

944,90 km². Hal ini disebabkan oleh meledaknya lading minyak Montara milik

PITEP AA yang menyebabkan dampak langsung maupun tak langsung dan

penyelesaian sengketa yang ditempuh sampai saat ini antara pihak yang terlibat

dalam sengketa yaitu, Indonesia dan PITEP AA ialah jalur diplomasi.

Perbedaan dengan penelitian peneliti ini adalah jurnal hukum ini menjelaskan

apa yan menjadi dampak akibat pencemaran lintas batas maritim yang terjadi

sedangkan peneliti membahas tentang bagaimana penanggulangan dan

penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan berdasarkan tinjauan hukum

internasional.

Page 40: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

30

BAB III

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERKAIT PENCEMARAN

LINGKUNGAN LINTAS BATAS MARITIM DI LAUT TIMOR

A. Gambaran Umum tentang Pencemaran Lingkungan Lintas Batas Maritim

Yang Terjadi di Laut Timor.

Laut adalah kumpulan air asin yang sangat luas yang memisahkan benua

yang satu dengan benua yang lainnya, dan juga memisahkan pulau yang satu

dengan yang lainnya.27

Laut Timor adalah perpanjangan Samudera Hindia yang

terletak antara pulau Timor, kini terbagi antara Indonesia dan Timtim, dan Northen

Territory Australia. Di timur berbatasan dengan Laut Arafuru, secara teknis

perpanjangan Samudera Pasifik. Laut Timor Sea memiliki 2 teluk kecil di pesisir

Australia Utara, Teluk Joseph Bonaparte dan Teluk Van Diemen. Kota Australia

Darwin ialah satu-satunya kota besar yang terletak di tepi laut adjoin.28

Laut ini

memiliki luas 480 km (300 mil), meliputi daerah sekitar 610.000 km persegi

(235.000 mil persegi). Titik terdalamnya ialah Palung Timor di utara laut ini, yang

mencapai kedalaman 3.300 m (10.800 kaki). Bagian lainnya lebih dangkal, dengan

rata-rata kedalaman yang kurang dari 200 m (650 kaki). Merupakan tempat utama

untuk badai tropis dan topan. Sejumlah pulau terletak di laut ini, termasuk Pulau

Melville di laut lepas pantai Australia dan Kepulauan Ashmore dan Cartier yang

diperintah Australia. Diperkirakan penduduk asli Australia mencapai Australia

dengan “loncatan pulau” menyeberangi Laut Timor. Di dasar Laut Timor terdapat

cadangan minyak dan gas dalam jumlah besar. Australia dan Timor Timur telah

mengalami pertentangan panjang atas hak eksploitasi di daerah yang terkenal

27

A. Muthalib Tahar, Hukum Laut Internasional menurut KHL PBB 1982 dan perkembangan

Hukum Laut di Indonesia, (Lampung: Fakultas Hukum Internasional UNILA Bagian Hukum

Internasional, 2007), h. 1.

28 Wikipedia, “Laut Timor”, sebagaimana dimuat dalam,

http://id.wikipedia.org/wiki/LautTimor, diakses pada tanggal 15 Oktober 2017.

Page 41: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

31

sebagai Celah Timor. Klaim wilayah Australia meluas ke sumbu batimetrik (garis

kedalaman punggung laut terbesar) di Palung Timor. Ini melengkapi klaim

territorial Timor Timur, yang mengikuti bekas koloninya Portugal dalam

mengklaim bahwa garis yang membagi itu harus ditengah-tengah kedua negara.

Kilang minyak montara terletak di Kimberley Coast, 690 km sebelah barat

dari Darwin. Rig dan 250 km sebelah utara dari Trusscott Airbase yang digunakan

untuk pengeboran West Atlas yang dikelola oleh PIT Exploration and Production

Australasia, yang merupakan anak perusahaan dari PTT Exploration and

Production yang juga merupakan anak perusahaan dari PTT, perusahaan MIGAS

negara milik Thailand.

Sumber: BRKP 2010, Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut, Deputi

Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Page 42: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

32

Sejalan dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, kemudahan yang

diperoleh manusia untuk mencapai suatu tujuan dengan melalui lautan dapat juga

menimbulkan akibat-akibat yang merugikan lingkungan hidup di laut. Kenyataan

itu bukan hanya disebabkan karena pelayaran oleh kapal-kapal yang semakin

banyak tetapi juga kapal-kapal yang berlayar tersebut kurang memperhatikan

aspek pencemaran yang diakibatkannya. Selain itu, kenyataan tersebut juga

disebabkan karena pencemaran yang terjadi akibat eksplorasi dan eksploitasi

minyak di lautan.

Pada hari Jumat tanggal 21 Agustus 2009, sumur dari kilang minyak

montara meledak dan menumpahkan minyak mentah dan gas bumi yang sudah

tidak dapat dibendung di dalam sumur. Diperkirakan tumpahan ini akan berlanjut

selama 7 sampai 8 minggu kedepan terhitung dari terjadinya tumpahan minyak

mentah dan gas bumi ke laut. Tumpahan yang bersumber dari Ladang Montara

(The Montara Well Head Platform) di Blok “West Atlas Laut Timor” perairan

Australia bocor dan menumpahkan minyak jenis light crude oil, dengan

kandungan sulfur 0,5% hydrogen sulfide dan carbon dioxide, lebih rendah dari

kandungan sulfur dalam sour crude oil.

Pada tanggal 30 Agustus 2009, dilihat dari gambar hasil penangkapan

melalui satelit, oil slick dan oil sheen telah meluas sebesar 2.500 mi dari laut,

tercemar sampai ke wilayah “marine life superhighway” yang merupakan jalur

migrasi fauna laut seperti paus dan kura-kura. Pada tanggal 3 September 2009, oil

slick dan oil sheen sudah meluas hingga 5.800 mi dan memasuki perairan

Indonesia.

Pada tanggal 1 September 2009, dimulai upaya penanggulangan berupa

pengeboran untuk sumur baru dengan tujuan menghentikan luapan minyak. Dua

bulan setelah terjadinya tumpahan minyak, yaitu sekitar tanggal 21 Oktober 2009,

upaya penanggulangan yang dilakukan untuk menghentikan bocornya minyak

Page 43: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

33

tersebut gagal. Beberapa hari setelahnya dilakukan upaya untuk memindahkan oil

slick ke arah selatan dari kilang minyak.

Pada awal bulan November 2009, upaya yang dilakukan untuk mencegat

sumur membuahkan hasil. Dengan menggunakan rig West Triton, sumur akhirnya

berhasil ditutup dengan semen setebal 1.400 meter. Setelah proses ini selesai, rig

West Trioton dikembalikan kepada Singapura. Namun, terjadi kebakaran saat

dilakukannya pengeboran yang berasal dari sumur H1 dari kepala sumur di kilang

minyak. Dua hari setelah insiden tersebut yaitu tanggal 3 November 2009,

kebakaran berhasil dipadamkan dengan penumpukan 3.400 barel lumur padat dan

tumpahan minyak akhirnya dapat dihentikan.

Namun tumpahan minyak ini telah mengakibatkan kerugian ekonomi,

sosial, dan lingkungan yang berdampak turunan. Bencana ini merugikan ribuan

nelayan dan pembudidaya rumput laut NTT, menurunkan fungsi kelautan,

mematikan biota laut dan menurrunkan keanekaragaman hayati.

Tumpahan minyak dari kilang minyak montara yang mencemari perairan

laut Indonesia sebagaimana yang telah dipaparkan diatas telah bertentangan

dengan ketentuan untuk memelihara lingkungan hidup manusia termasuk juga

lingkungan laut yang telah ditetapkan dalam prinsip pertama Konerensi Stokholm

pada tahun 1972 yang menyatakan:

“Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate

conditions of life, in an environment of a quality that permits a life of

dignity and well-being and he bears a solemn responsibility to protect

and improve the environment for present and future generations. In

this respect, policies promoting or perpetuating apartheid, racial

segregation, discrimination, colonial and other forms of oppressions

and foreign domination stand condemned and must be eliminated.”

Prinsip tersebut mengakui bahwa adanya hak asasi manusia atau setiap

orang untuk hidup di suatu lingkungan yang baik sertta sehat juga mewajibkan

Page 44: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

34

untuk memelihara lingkungan hidup manusia tersebut sedemikian rupa hingga

dapat dinikmati oleh generasi-generasi yang akan datang.

Dampak tumpahan minyak dari kilang minyak montara yang mencemari

perairan laut Indonesia juga mengganggu kedaulatan wilayah laut Indonesia

sebagai negara pantai yang diatur di dalam pasal 2 United Nation Convention on

the Law Of the Sea 1982 dimana hak dan kedaulatan suatu negara pantai tidak

hanya terbatas pada wilayah daratan maupun perairan pedalaman saja, melainkan

juga hak dan kedaulatan meliputi wilayah laut territorial.

Dengan terjadinya tumpahan minyak di laut maka menimbulkan akibat

langsung atau seketika maupun tidak langsung. Sebagai akibat langsung dari

pencemaran itu yakni:

1. Kerusakan Ekosistem Laut yang ada di Perairan Laut Indonesia.

2. Di bidang perikanan, hilangnya kesempatan nelayan untuk menangkap

ikan.

3. Rusaknya pertanian dan peternakan laut, seperti pengambilan rumput

laut dan ganggang laut, peternakan kerang, ikan, udang dan lain

sebagainya.

4. Dampak terhadap kesehatan warga NTT yang semakin menurun.

Terdapat tiga sektor yang terdampak kerusakan lingkungan yang terjadi.

Ketiganya adalah kerusakan hutan mangrove seluas 1.200 hektare, kerusakan

padang lamun seluas 1.400 hektare, dan kerusakan terumbu karang seluas 700

hektare.29

Berdasarkan pengamatan Pusat Komando dan Pengendali Nasional

Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut Timor pada

Bulan Mei 2010 ditemukan data sebagai berikut:

1. Bahwa kadar total PAH (Polisiklik Aromatik Hidrokarbon) air laut

berkisar antara 54,6 – 213.7 µg/1, dimana sudah menunjukkan nilai di

29

Kata Data, “Sidang Perdana Kasus Tumpahan Minyak Montara Digelar Bulan Ini”,

sebagaimana dimuat dalam, www.katadata.co.id, diakses pada tanggal 17 Oktober 2017.

Page 45: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

35

atas ambang batas baku mutu perairan. PAH, yang merupakan

komponen minyak mentah sangat beracun, yang PAH bias memberi

dampak kronik yang menahun, hingga dapat menyebabkan kanker

(karsinogenik).

2. Efek PAH terhadap ikan, secara langsung PAH dapat langsung

mematikan insang atau paru-paru tersumbat sehingga ikan muda lebih

muda terpapar. Pada kondisi kronis bias terjadi iritasi kulit dan mata.

PAH juga menyebabkan kerusakan saluran pernafasan, hati, ginjal dan

sistem reproduksi, serta kualitas hidup dan generasi berikutnya.

3. PAH pada konsentrasi 10 210 ppm dapat menyebabkan bio-akumulasi

dan perubahan perilaku, sementara pada konsentrasi >1000 ppm dapat

menyebabkan kematian biota laut. Karena PAH bersifat bio-akumulasi

maka patut diwaspadai apabila PAH ini terakumulasi di tubuh manusia

yang mengkonsumsi ikan.

4. Gas Hydrocarbon dalam volume yang besar, dapat mengakibatkan

kerusakan ekosistem perairan di Laut Timor. Berbagai perubahan yang

terjadi mengindikasikan telah terjadi gangguan lingkungan perairan

sebagai habitat ikan, alga dan rumput laut. Ribuan sampai jutaan ikan

diduga akan berimigrasi akibat perubahan yang terjadi di lingkungan

sekitarnya, dapopulasi rumput laut menurun sebagai dampak

pencemaran.

Menurut Ferdi Tanoni Kerusakan lingkungan yang diakibatkan sangat luar

biasa, baik dilihat dari sisi biofisik, dampak psikologis dan sosial ekonomi. Tidak

hanya banyak biota laut terancam, ribuan warga, terutama nelayan yang tinggal di

sekitar pesisir Pulau Timor dan Pulau Rote pun terpukul, demikian tambahnya.

Ferdi juga menekankan bahwa hasil tangkapan ikan mereka turun drastis dan

banyak diantara mereka tidak bisa lagi melaut karena lahan garapan di laut mereka

tercemar berat. Yang paling berbahaya dan sangat dikhawatirkan adalah ancaman

serius bagi kesehatan masyarakat yang mendiami Timor Barat dan kepulauan

Page 46: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

36

sekitarnya bila mengkonsumsi ikan yang tercemar, demikian ditekankan oleh

Ferdi.30

B. Pengaturan Hukum Internasional Terkait Dengan Pencemaran Lingkungan

Lintas Batas Maritim Yang Terjadi di Laut Timor.

Berikut beberapa pengaturan di dalam Hukum Internasional terhadap

pencemaran minyak di kawasan laut suatu negara terkait kasus meledaknya kilang

minyak Montara milik PIT Exploration and Production Australasia yang terjadi di

Laut Timor yang akan dijabarkan sebagai berikut.

1. Pengaturan menurut Convention on the High Seas 1958

Pasal 24 Konvensi Laut Lepas tahun 1958 menyatakan sebagai

berikut:

“Every State shall draw up regulations to prevent pollution of the seas

by the discharge of oil from shops or pipelines or resulting from the

exploitation and exploration of the seabed and its subsoil, taking

account of existing treaty provisions on the subject.”

Ketentuan di atas menyatakan bahwa setiap negara wajib membuat

peraturan-peraturan untuk mencegah terjadinya pencemaran laut yang

disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau pipa laut atau yang

disebabkan oleh eksploitasi dan eksplorasi dasar laut dan tanah di bawahnya,

dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan terkait yang ada di dalam

perjanjian internasional tersebut.

2. Pengaturan menurut Declaration of the United Nations Conference on the

Human Environment (Stockholm Declaration) 1972

Konferensi Stockholm pada tahun 1972 menyepakati beberapa dasar

atau prinsip terkait keberlangsungan lingkungan hidup untuk mencegah dan

30

KKP, “P3SDLP akan analisa ulang tumpahan minyak Montara di Pulau Rote” sebagaimana

dimuat dalam, www.kkp.go.id , diakses pada tanggal 27 Oktober 2017.

Page 47: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

37

mengatasi pencemaran lingkungan seperti yang tertera di dalam prinsip ke 7

yang berbunyi sebagai berikut:

“States shall take all possible steps to prevent pollution o the sea by

substances that are liable to create hazards to human health, to harm

living resources and marine life, to damage amenities or to interfere

with other legitimate uses o the sea.”

Prinsip tersebut mewajibkan kepada semua negara yang meratifikasi

konferensi tersebut untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah

pencemaran laut yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia,

sumber kekayaan hayati terhadap penggunaan lingkungan laut. Prinsip ke 13

juga menyebuttkan:

“in order to achieve a more rational management of resources and

thus to improve the environment, states should adopt an integrated and

coordinated approach to their development planning so as to ensure

that development is compatible with the need to protect and improve

environment for the benefit of their population.”

Prinsip tersebut menyatakan bahwa untuk mencapai pengelolaan yang

lebih rasional dan dengan demikian dapat memperbaiki lingkungan, negara

harus mengadopsi pendekatan terpadu dan terkoordinasi untuk penyusunan

perencanaan pembangunan nasional yang kompatibel dengan kebutuhan untuk

melindungi dan memperbaiki lingkungan demi kepentingan nasional. Terkait

tanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pencemaran laut dapat di

lihat di dalam prinsip ke 22 konferensi stokholm yang berbunyi sebagai

berikut:

“States shall cooperate to develop further the international law

regarding liability and compensation for the victims of pollution and

other environmental damage caused by activities within the

jurisdiction or control of such states to areas beyond their

jurisdiction.”

Page 48: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

38

Prinsip tersebut jelas menyatakan bahwa agar dapat dilaksanakan

secara efektif maka, haruslah ada kerja sama antara negara-negara untuk

mengembangkan hukum internasional yang mengatur ganti rugi yang

disebabkan oleh pencemaran yang terjadi di laut.

3. Pengaturan menurut United Convention on The Law of The Sea 1982

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut atau

yang biasa disebut United Nation Convention on the Law Of the Sea

merupakan suatu perjanjian atau konvensi yang melatarbelakangi hak dan

obligasi dari suatu negara dan organisasi internasional lainnya pada bidang

kemaritiman. Pencemaran laut dijelaskan pada Pasal 1 ayat (4) United Nation

Convention on the Law Of the Sea sebagai berikut:

”Pollution of the marine environment means the introduction by man,

directly or indirectly, of substance or energy into the marine

environment including estuaries, which results or is likely to result in

such deleterious effects as harm to living resources and marine life,

hazards to human health, hindrance to marine activities including

fishing and other legitimate uses of the sea, impairment of quality or

use of sea water and of armenities.”

Dapat disimpulkan bahwa, pencemaran laut adalah dimasukkannya

secara langsung atau tidak langsung oleh manusia kedalam lingkungan laut

yang akhirnya menyebabkan kualitas lingkungan laut menurun, sehingga

membahayakan sumber hayati yang ada di laut, kesehatan manusia, serta

mengganggu dan mengurangi pemanfaatan dalam penggunaan lingkungan

laut. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut diatur di bagian XII

United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 secara singkat

menyatakan negara peserta berkewajiban untuk melindungi dan memelihara

lingkungan laut.

Page 49: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

39

BAB IV

ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PENCEMARAN LINGKUNGAN

LINTAS BATAS MARITIM DI LAUT TIMOR

A. Tindakan Preventif Yang Telah Dilakukan Oleh Pihak-Pihak Terkait

1. Penanganan dari Pemerintah Australia

Pada 5 November 2009 atau 2 hari setelah kebocoran dapat diatasi,

Menteri Sumber Daya dan Energi Australia, the Hon Martin Ferguson AM

MP, membuat komisi Montara dan menyetujui Mr David Borthwick AO PSM

sebagai Commissioner atau ketua untuk menyelidiki kasus ini. Di waktu yang

sama, komisi ini juga bertugas membuat amandemen (perubahan) di Undang

Undang Perminyakan di lepas pantai Australia: Offshore Petroleum and

Greenhouse Gas Storage Act 2006 (OPGGS Act) yang akan diperkenalkan

dan telah mendapat dukungan dari seluruh anggota parlemen pada September

2009.1

Dari segi operasional, penanganan dari pemerintah Australia dilakukan

melalui AMSA (Australian Maritime Safety Authority). Australian Maritime

Safety Authority ini sendiri adalah merupakan badan nasional Australia yang

bertanggung jawab atas keselamatan maritime, perlindugan lingkungan laut,

pencarian dan penyelamatan penerbangan maritim. Tindakan yang diambil

Australian Maritime Safety Authority dalam meminimalisir akibat dari

tumpahan minyak pada tahap awal berupa melemparkan dispersan untuk

meningkatkan evaporasi secara alamidan pelapukan minyak. Metode ini juga

digunakan dalam penanganan kasus Teluk Meksiko pada tahun 2010 karena

merupakan metode yang efektif untuk menghilangkan tumpahan minyak dan

1 Majalah PSM HSE ALERT, “Montara Kasus Yang Hampir Terlupakan”, sebagaimana

dimuat dalam, psm-hse-alert.com , diakses pada tanggal 24 Desember 2017.

Page 50: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

40

meminimalisir akibatnya. Menurut data yang dihimpun dari Montara

Commission Inquiry Report, dalam tindakan untuk menetralisir dampak

pencemaran minyak montara pihak Australian Maritime Safety Authority

menggunakan 7 (tujuh) zat dispersan seperti Slickgone LS, Slickgone LTSW,

Tergo-R40, Shell VDC, Corexit EC9500, Corexit EC9527A, dan Ardrox 6120

yang dalam penggunannya berjumlah sebagai berikut.

Tabel

Dispersan Jumlah yang digunakan

(Liter)

Slickgone LS 63.415

Slickgone LTSW 38.000

Tergo-R40 1.000

Shell VDC 5.000

Corexit EC9500 17.000

Corexit EC9527A 27.720

Ardrox 6120 32.000

Sumber : West Timor Care Foundation.

Dispersan ini sendiri adalah cairan kimiawi yang dapat mempercepat

proses emulsifikasi minyak dalam air dengan cara disemprotkan agar minyak

yang telah tercampur dengan air dapat dihilangkan. Dispersan dianggap

sebagai sarana yang cukup aman bagi lingkungan dibandingkan minyak

mentah dan juga sesuai dengan ketentuan international best practice for oil

spill response. Dispersan yang digunakan dipilih sesuai dengan kecocokan

akan tipe minyak yang bocor dari sumur Montara dan dengan tujuan

perlindungan lingkungan. Hal ini merupakan hasil uji protokol ketat yang

Page 51: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

41

dilakukan Australian Maritime Safety Authority untuk memenuhi standar

prosedur.

Namun, penggunaan dispersan ini sebenarnya dilarang oleh Kerajaan

Inggris sejak tahun 1998 sehingga Australia sebagai Negara Persemakmuran

Inggris seharusnya taat pada aturan ini. Dan hal ini telah bertentangan dengan

pasal 195 United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982 yang

mengatur bahwa dalam menanggulangi pencemaran lingkungan laut negara

harus bertindak sedemikian rupa agar tidak memindahkan baik seccarra

langsung maupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari suatu daerah

lain atau merubah bentuk pencemaran ke dalam pencemaran yang lain dan

penggunaan zat-zat yang berbahaya lainnya.

Dari tahap teknis, Pemerintah Australia melalui Geoscience Australia

menyediakan sarana pemberian saran teknis yang bersifat independen terkait

pengeboran, tipe-tipe dan ketersediaan rig, serta kajian untuk mencari

kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh untuk menghentikan

blowout dan akibat lain yang berpotensi merusak lingkungan laut.

Pada tanggal 24 November 2010, Komisi Penyelidikan Montara atau

Montara Commission of Inquiry yang dibentuk oleh Menteri Sumber Daya

dan Energi Australia YM Dr. Darwin Saleh pada tanggal 5 November 2009

mengeluarkan laporan yang berisi 100 penemuan dan 105 rekomendasi.

Disebutkan juga bahwa akar dari penyebab terjadinya blowout berupa;

a. Failure to maintain two well barriers,

(kegagalan untuk menjaga posisi kedua pembatas)

b. Failure to verify barriers,

(kegagalan mengecek pembatas)

c. Poor management of change control,

(buruknya manajemen untuk mengatur peubahan)

d. Lack of personnel competence, which led to deficient decision making.

Page 52: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

42

(kurangnya kompetensi dari tenaga kerja, sehingga menyebabkan

keputusan tidak berjalan dengan baik).

Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Australia dalam melakukan

penanganan di atas sudah sejalan dengan prinsip ke 17 dan prinsip ke 21

Konferensi Stockholm serta Rio Delaration pada tahun 1992 yang pada

intinya menyatakan bahwa setiap negara wajib membentuk suatu badan

nasional yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perencanaan,

pengelolaan atau pemnatauan dari pemanfaatan atau penggunaan sumber

kekayaan alam dengan cara yang berorientasi pada ekologi agar tidak

menimbulkan kerugian terhadap negara atau pihak lain.

Komisi yang dibentuk oleh Pemerintah Australia mengadakan sidang

terbuka (public hearing) di Canberra pada tanggal 15 Maret sampai dengan 16

April 2010.Terkait dengan perizinan, pada bulan Februari 2011 Pemerintah

Australia menyatakan bahwa izin beroperasi untuk PIT Exploration and

Production Australasia tidak dicabut namun PIT Exploration and Production

Australasia hanya diperbolehkan untuk beroperasi di bawah pengawasan

ketat.

2. Penanganan dari Pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia telah melakukan implementasi perlindungan

lingkungan laut dari pencemaran melalui peraturan yang terdapat dalam,

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, Undang-

Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999

Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Perpres Nomor

109 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan

Minyak di Laut (PKDTML).

Page 53: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

43

Berdasarkan Nota Diplomatik Kedutaan Besar Australia pada tanggal 3

September 2009, jejak tumpahan minyak memasuki wilayah ZEE Indonesia

pada tanggal 30 Agustus 2009. Berkenaan dengan hal itu, berdasarkan

Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan

Darurat Tumpahan Minyak di Laut, Menteri Perhubungan Freddy Numberi

selaku Ketua Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan

Minyak di Laut pada saat itu telah melakukan beberapa upaya dalam

menangani tumpahan minyak di Laut Timor. Upaya-upaya tersebut berupa2;

a. Membentuk Posko Daerah Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut

serta mengaktifkan Pusat Komando dan Pengendali Nasional Operas

Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut (Puskodalnas),

b. Melakukan observasi dan pengambilan sumber air laut, biota (ikan), dan

sedimen serta gumpalan minyak (tarball) di Laut Timor dan melakukan

uji ccoba laboraturium dan analisis sampel, dan

c. Melakukan survei dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan akibat

tumpahan minyak di Laut Timor.

Kemudian langkah yang diambil oleh Tim Nasional adalah menghitung

dan menyusun klaim seluruh biaya operasional penanggulangan tumpahan

minyak dan penanggulangan dampak lingkungan serta biaya kerugian sosial,

ekonomi, dan lingkungan akibat tumpahan minyak di Laut Timor kepada

pihak yang dianggap bertanggung jawab.

Dengan total luas tumpahan minyak yang tersebar di Laut Timor

wilayah Republik Indonesia seluas 16.420 km, kerugian sosial, ekonomi, dan

lingkungan diperkirakan sejumlah Rp 42.167.198.497,00- untuk kerugian

yang dialami secara langsung (direct loss value) dan potensi kerugian total

(total value loss) sejumlah Rp 27.004.104.423,00-. Sedangkan biaya

2 Sesuai dengan Laporan Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut Timor Perairan

Indonesia Akibat Kebocoran Montara Welhead Patorm Australia (UM.07/2/6a-Phb-2010) dari Menteri

Perhubungan Indonesia Kepada Presiden Republik Indonesia pada tanggal 5 Maret 2010.

Page 54: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

44

operasional penanggulangan yang telah dilaksanakan oleh Tim Nasional

sejumlah Rp 897.052.545,00-. Berikut opsi mekanisme pengajuan klaim yang

dibuat dan disepakati oleh Tim Nasional yang dapat dilakukan oleh Pemeritah

Indonesia, antara lain:

a. Pengajuan klaim akan diajukan oleh Tim Nasional kepada pihak

pencemar yaitu PIT Exploration and Production Australasia,

b. Pengajuan klaim akan diajukan oleh Tim Nasional melalui kuasa hukum

yang ditunjuk kepada pihak pencemar yaitu PIT Exploration and

Production Australasia,

c. Pengajuan klaim akan diajukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi NTT

melalui kuasa hukum yang ditunjuk kepada pihak pencemar yaitu PIT

Exploration and Production Australasia.

3. Penanganan dari pihak PIT Exploration and Production Australasia

Seperti yang sudah di jelaskan di dalam bab sebelumnya perusahaan

PTT Exploration and Production Australasia merupakan perusahaan Thailand

dan bagian dari grup perusahaan PIT Exploration and Production Public

Company Limited serta selaku pemilik dan operator ladang minyak dan gas

Montara Sea Drill Norway Pty Ltd di Blok Atlas Barat Laut Timor.

Pada tanggal 21 Agustus 2009, PIT Exploration and Production

Australasia menyetujui pelaksanaan tanggung jawab secara penuh terhadap

biaya yang ditanggung untuk tindakan penanganan dan penanggulangan.

Namun, dalam insiden ini PIT Exploration and Production Australasia

beranggapan bahwa penyebab dari kebocoran yang terjadi atas meledaknya

kilang minyak montara adalah hilangnya kendali akan sumur yang disebabkan

oleh actor integritas dari sumur, termasuk ukuran pembatas sumur yang tidak

sesuai dan jumlah kill luid atau air laut yang tidak sesuai untuk mengatur

tekanan dari penampung.

Page 55: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

45

Setelah beberapa saat tertutupnya sumur pada bulan November 2009,

PIT Exploration and Production Australasia mulai mengembangkan Rencana

Aksi Montara (Montara Action Plan) untuk mengetahui akar permasalahan

dari insiden ini. Montara Action Plan berfokus kepada jangka pendek,

menengah, dan panjang untuk belajar dari empat area kunci yaitu,

pemerintahan, organisasi, system teknis, dan manajemen keselamatan,

keamanan, kesehatan, dan lingkungan.

PIT Exploration and Production Australasia juga menyepakati untuk

mengembangkan sebuah program monitoring untuk segala akibat jangka

panjang yang diakibatkan oleh tumpahan minyak. Program ini merupakan

program kerjasama antara PIT Exploration and Production Australasia

dengan Departemen Pelestarian, Lingkungan, Perairan, Populasi, dan

Masyarakat (DSEWPaC). Segala penemuan secara independen dikaji oleh

panel DSEWPaC sebelum akhirnya dipublikasikan melalui situs resmi

DSEWPaC. PIT Exploration and Production Australasia juga sepakat untuk

membiayai penelitian-penelitian indipenden selama paling tidak dua tahun.

B. Perjanjian Bilateral Antara Indonesia dan Australia Terkait Pencemaran

Laut

Pada tahun 1997, Indonesia dan Australia membuat nota kesepahaman

terkait dengan pencemaran laut akibat tumpahan minyak (Memorandum of

Understanding between Governments of Australia and Indonesia on Oil Pollution

Preparedness and Response). Memorandum of Understanding ini didasarkan atas

ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konvensi OPRC pada tahun 1990 yang

bertujuan untuk tetap mempertahakan kerjasama yang telah terjalin antara

Indonesia dengan Australia termasuk dalam menangani pencemaran laut yang

terjadi di antara wilayah kedua negara tersebut.

Page 56: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

46

Dengan adanya Memorandum of Understanding tersebut maka dibentuklah

sebuah Action Plan yang disebut dengan Australia/Indonesia Oil Spill Response

Action Plan. Didalam Action Plan tersebut diatur beberapa hal yang bersifat teknis

dalam menanggulaingi pencemaran laut yang terjadi. Antara lain, memberikan

bantuan apabila terjadi pencemaran yang tidak dapat ditangani sendiri berupa

personel dari negara tersebut dan peralatan yang memadai kepada negara yang

membutuhkan bantuan, penggantian biaya penanganan atas permintaan pihak lain,

dan pengaturan mengenai perpindahan minyak yang sudah berhasil dikumpulkan.

C. Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran Laut Timor

Sebagai tindak lanjut penyelesaian ganti rugi Pencemaran Laut Timor oleh

PIT Exploration and Production Thailand sebagai pemegang saham PIT

Exploration and Production Australasia, telah dilakukan serangkaian perundingan

antara Pemerintah Indonesia dengan PIT Exploration and Production Australasia

yang telah menghasilkan Draft Memorandum of Understanding penyelesaian

kompensasi atas pencemaran di Laut Timor. Pada pertemuan yang dimulai pada 27

Juli 2010, 26 Agustus 2010, 19 November 2010, baru pada pertemuan tanggal 17-

18 Desember 2010. Dari hasil rangkaian pertemuan tersebut PIT Exploration and

Production Australasia mengakui bahwa minyak masuk ke Perairan Indonesia dan

mencemari perairan laut lepas, akan tetapi tetap menyangkal minyak sampai ke

garis pantai (coastline). Selanjutnya kedua belah pihak setuju bahwa untuk

membuktikan bahwa minyak sampai ke garis pantai dengan pembuktian simulasi

oil spill modeling dimana hasil dari Tim Nasional menunjukan minyak sampai ke

garis pantai. Pada Pertemuan tanggal 4 Maret 2011, ada terobosan baru kearah

penyelesaian sengketa yaitu dengan proposal PIT Exploration and Production

Australasia yang dikenal dengan Dual Track. Pada Tanggal 28 Juni 2011 kedua

belah pihak sepakat untuk mengimplementasikan dual track dalam suatu

Memorandum of Understanding. Namun rencana penandatanganan Memorandum

Page 57: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

47

of Understanding tersebut di atas tertunda karena alasan pergantian kabinet yang

mengakibatkan pergantian menteri energi yang berimplikasi pergantian CEO PIT

Exploration and Production Australasia. Namun demikian, pada perundingan yang

dilanjutkan pada taggal 14 Juli 2011 di Singapura masih terdapat beberapa

Pending Issues, yaitu mmengenai pembentukan Neutral Committee, Governing

Law dan penentuan besaran Corporate Social Responsibility.3

Setelah terjadi kevakuman hampir 1 tahun karena alasan seperti tersebut di

atas, ada perkembangan yang menggembirakan di mana Pemerintah Indonesia

melalui Pak Hassan Wirajuda dan PIT Exploration and Production Australasia

melalui mantan Dubesnya Mr. Vasin melakukan perundingan guna mencari

resolusi bagi penyelesaian kasus ini. Pertemuan ini menghasilkan kesepekatan

guna melanjutkan pertemuan antara Pemerintah Indonesia dengan PIT Exploration

and Production Australasia pada tanggal 11 Juli 2012 di Bangkok. Dari hasil

pertemuan tersebut, terjadi deadlock antara Pemerintah Indonesia dengan PIT

Exploration and Production Australasia. PIT Exploration and Production

Australasia tidak punya itikad baik dalam perundingan dengan Pemerintah

Indonesia guna menyelesaikan permasalahan pencemaran di Laut Timor, sehingga

dalam perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan PIT Exploration and

Production Australasia tanggal 11 Juli 2012 di Bangkok tidak menghasilkan

kesepakatan yang substansi. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya

yang selalu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan konstruktif, pertemuan kali ini

merupakan titik puncak yang lebih meyakinkan delegasi Pemeritah Indonesia

bahwa PIT Exploration and Production Australasia telah mengingkari

kesepakatan-kesepakatan sebelumnya, dan PIT Exploration and Production

3 Sesuai dengan Memorandum Akhir Tugas Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian

Internasional, Periode September 2010-Januari 2014.

Page 58: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

48

Australasia tidak punya itikad baik terhadap rakyat Indonesia (terutama rakyat di

pesisir NTT) yang menderita akibat pencemaran minyak di Laut Timor.4

Kemudian pada tanggal 11 Januari 2013 Tim Advokasi dan Menteri

Perhubungan RI mengadakan rapat khusus. Dari hasil rapat tersebut ditentukan

bahwa agar Pemerintah Indonesia segera menyelesaiakan tuntutan ganti rugi atas

pencemaran Laut Timor ke tingkat hukum (litigasi) melalui pengadilan di

Indonesia. Kemudian penetapan Kementerian Lingkungan Hidup (sekarang

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sebagai Focal Point, penetapan

Jaksa Pengacara Negara, dan penyiapan Anggaran Litigasi.

D. Analisis Sistematika Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Hukum

Internasional

Dalam kasus meledaknya kilang minyak montara pada tanggal 21 Agustus

2009, terdapat dua gugatan yang diajukan kepada PIT Exploration and Production

Australasia yaitu, pertama gugatan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan

yang kedua gugatan class action yang berasal dari Yayasan Peduli Timor Barat.

Dalam gugatan yang di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat pada tanggal 3 Mei 2017 dibawah Register Perkara Nomor

241/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst Pemerintah Indonesia melalui Jaksa Pengacara Negara

(JPN) atas nama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di bawah

Komando Kementerian Koordinator Kemaritiman (Kemenko Maritim), kejaksaan

dan kementerian serta lembaga terkait mendaftarkan gugatan tersebut ke

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatannya pemerintah mengajukan

permohonan ganti rugi materiil secara tunai melalui Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan senilai Rp 23,1 trilliun, juga meminta pihak PIT Exploration

and Production Australasia membayar biaya pemulihan lingkungan hidup ats

4 Sesuai dengan Laporan Perkembangan Penyelesaiaan Kasus umpahan Minyak di Laut

Timor oleh Tim Advokasi Tuntutn Ganti Rugi di Laut Timor pada bulan Agustus 2012.

Page 59: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

49

pencemaran yang disebabkan meledakya kilang minyak montara senilai Rp 4,4

trilliun. Sebagai dasar gugatan JPN menggunakan UU Nomor 32 tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. menggugat tiga

perusahaan minyak Thailand yaitu The Petroleum Authority of Thailand

Exploration and Production Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEP AA)

sebagai tergugat I, The Petroleum Authority of Thailand Exploration and

Production Public Company Limited (PTTEP) selaku tergugat II, dan The

Petroleum Authority of Thailand Public Company Limited (PTT) sebagai tergugat

III. Pemerintah menuntut para tergugat untuk bertanggung jawab atas kerusakan

lingkungan yang disebabkan oleh tumpahnya minyak mentah. Adapun tergugat I

adalah operator kilang minyak. Sementara itu, tergugat II adalah head office atau

induk usahanya dan tergugat III merupakan pemilik atau owner.

Sidang perdana dlaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2017, namun

tergugat 1 tidak menghadiri persidangan dikarenakan tidak sampainya surat

panggilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Meski satu tergugat tidak datang,

sidang tetap berjalan.5 Sidang kedua dilaksanakan pada tanggal 23 November

2017 tanpa dihadiri kembali oleh tergugat. Dan tergugat berjanji menghadiri

persidangan dengan agenda mediasi tahap kedua yang akan dilaksanakan pada

tanggal 16 Januari 2018.6 Kemudian dalam persidangan yang diadakan pada

tanggal 6 Februari 2018, Kuasa Hukum dalam hal ini Jaksa Pengacara Negara

mencabut gugatan yang disampaikan secara lisan dalam peersidangan dengan

alasan akan memperbaiki Gugatannya terlebih dahulu.7

5 Kata Data, “Sidang Tumpahan Minyak Montara Mulai Berjalan”, sebagaimana dimuat

dalam, katadata.co.id , diakses pada tanggal 25 Desember 2017.

6 Metro TV News, “Tergugat Kasus Montara Berjanji Hadiri Proses Mediasi”, sebagaimana

dimuat dalam, news.metrotvnews.com , diakses pada tanggal 25 Desember 2017.

7 Sesuai dengan Penetapan Cabut Gugatan yang dikabulkan pada tanggal 6 Februari 2018.

Page 60: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

50

Langkah gugatan yang dilakukan para petani rumput laut yang diadvokasi

Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) pimpinan Ferdi Tanoni ini, dilakukan karena

upaya damai yang dilakukan kedua belah pihak selalu tidak membuahkan hasil,

sehingga gugatan secara class action dinilai paling memadai untuk menjawab

keluh kesah para petani rumput laut di NTT. Gugatan secara class action itu

diwakili oleh Daniel Sanda, seorang petani rumput laut asal Pulau Rote di wilayah

Kabupaten Rote Ndao yang letaknya paling selatan Indonesia, dan berbatasan

langsung dengan Benua Australia. Daniel Sanda didampingi Ketua Tim Advokasi

dari YPTB Ferdi Tanoni dan Ben Slade dari Kantor Pengacara Maurice Blackburn

Lawyers, sebuah kantor pengacara tertua dan terbesar di Australia yang didirikan

pada 1919 serta Greg Phelps dari Ward Keller, sebuah kantor pengacara terbesar

di Australia Utara, saat mendaftar gugatan class action di Pengadilan Federal

Australia di Kota Sydney.8

Pengadilan Federal Australia di Sydney sidang gugatan class action para

petani rumput laut Indonesia asal Nusa Tenggara Timur pada tanggal 22 Agustus

2016) setelah menerima daftar gugatan tersebut pada 3 Agustus 2016. Pada

tanggal 20 Oktober 2016 diadakan sidang pemeriksaan yang dipimpin oleh Hakim

Griffiths. Sidang pemeriksaan tersebut membahas pertanyaan prosedural apakah

anggota kelompok dalam gugatan telah "memulai" suatu proses hukum untuk

tujuan bagian 44 dari Undang-Undang Batasan (NT) dan oleh karena itu meminta

perpanjangan periode pembatasan sesuai dengan Undang-Undang tersebut.9 Pada

tanggal 24 Januari 2017, Hakim Griffiths memutuskan untuk memenangkan petani

rumput laut asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di Pengadilan Federal

Australia soal keabsahan penggugat mengajukan class action dalam perkara

8.Hukum Online, “Pengadilan Australia Terima Gugatan Petani Rumput Laut Indonesia”,

sebagaimana dimuat dalam, www.hukumonline.com , diakses pada tanggal 20 Desember 2017.

9.Maurice Blackburn, “Current Class Action: Montara Oil Spill Class Action”, sebagaimana

dimuat dalam, www.mauriceblackburn.com.au , diakses pada tanggal 22 Desember 2017.

Page 61: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

51

pencemaran kilang minyak Montara di NTT. Dalam sidang di Sydney, hakim

tunggal Griffiths J dalam putusannya memenangkan warga NTT, Daniel

Aristabulus Sanda, untuk berhak mewakili seluruh petani rumput melawan PIT

Exploration and Production (PTTEP) Australasia dalam gugatan class action di

pengadilan Australia.

Dalam amar putusannya setebal 22 halaman di bawah file nomor 1245 of

2016, hakim Griffiths J yang mempertimbangkan keberatan yang diajukan oleh

PIT Exploration and Production Australasia serta memperhatikan berbagai bukti

yang diajukan pengacara Daniel Astabulus Sanda, maka Hakim Griffiths J

memutuskan menolak seluruh keberatan yang diajukan oleh PIT Exploration and

Production Australasia.10

Terkait dalam hal penyelesaian sengketa seperti ini, Piagam PBB

sebenarnya sudah mengatur mengenai penelesaiaan sengketa dalam pasal 33 yang

menyatakan:

“the parties to any dispute, the continuance o which is likely to endanger

the maintenance of international peace and security, shall, first of all seek

a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration,

judicial settlement, resort to regional agencies or arrangement or other

peaceful means of their own choice.”

Yang kemudian juga diperkuat adanya Resolusi Majelis Umum (MU)

Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2625 2 Oktober 1970 mengenai General

Assembly Declaration on Principles of International law concerning Friendly

Relations and Corporation among States in accordance with the Charter of the

United Nation.

Selanjutnya dengan disahkannya UNCLOS 1982 sistematika penyelesaian

sengketa di laut sudah diatur sedemikian rupa melalui Undang-Undang No 17

10

Kompas, “Gugatan Petani Rumput Laut NTT Dikabulkan Pengadilan Australia”,

sebagaimana dimuat dalam, regional.kompas.com , diakses pada tanggal 22 Desember 2017.

Page 62: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

52

Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Conention on the Law of the Sea.

Negara-negara pihak Konvensi dapat membiarkan suatu sengketa tidak

terselesaikan hanya jika pihak lainnya setuju untuk itu. Jika pihak lain tidak setuju

maka mekanisme prosedur memaksa konvensi akan diberlakukan.11

Dalam

penyelesaian sengketa hukum laut UNCLOS 1982 membuat aturan yang sangat

fleksibel dimana negara yang berselisih diberi kebebasan yang besar untuk

memilih cara penyelesaian sengketa mereka. Diantaranya ada proses penyelesaian

yang tidak mengikat para pihak dan penyelesaian perselisihan yang mengikat para

pihak. Selain itu juga terdapat beberapa batasan dan pengecualian bagi negara

peserta Konvensi atas pilihan penyelesaian mengikat.

Dalam UNCLOS 1982 Bab XV Bagian 1, mengenai Penyelesaian

Sengketa (Settlement Disputes) mengharuskan negara-negara peserta untuk

menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara damai sesuai dengan Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penyelesaian melalui cara-cara damai ini menurut

pasal 33 ayat 1 adalah dengan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi,

konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau

pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih

sendiri oleh pihak bersengketa. Namun, apabila pihak-pihak yang bersengketa

tidak bisa menyelesaikannya melalui cara-cara yang sudah ditetapkan pada Bagian

1, penyelesaian sengketa bisa ditempuh melalui prosedur wajib yang menghasilkan

keputusan mengikat yang diatur dalam UNCLOS Bab XV Bagian 2. Pihak-pihak

bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya dengan menunjuk pihak ketiga

untuk interpretasi dan penerapan Konvensi melalui Mahkamah Internasional

Hukum Laut, Mahkamah Internasional dan Mahkamah arbitrase khusus.

Dalam analisis peneliti menemukan bahwa berdasarkan teori tanggung

jawab negara atau yang biasa disebut state sovereignty merupakan prinsip

11

Boer Mauna, Hukum Internasional, Penyelesaian Secara Hukum , Pengertian, Peranan,

Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni 2000), h. 227.

Page 63: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

53

fundamental dalam hukum internasional, sehingga apabila terjadi pelanggaran

kewajiban internasional akan timbul tanggung jawab negara dan dalam kasus ini

berdasarkan teori tersebut maka yang wajib bertanggungjawab atas terjadinya

pencemaran lintas batas maritim adalah Pemerintah Australia. Karena dalam hal

ini yang memberikan izin usaha atas kegiatan usaha yang dilakukan oleh PIT

Exploration and Production Australasia adalah Pemerintah Australia, namun tidak

menggugurkan kewajiban ganti rugi yang harus dilakukan oleh PIT Exploration

and Production Australasia terhadap kelalaiannya. Dalam hal ini sesuai dengan

pasal 60 ayat (4) dan (5) United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982

pihak PIT Exploration and Production Australasia telah lalai dalam menerapkan

safety zone terhadap pencemaran yang terjadi di kilang minyak montara.

Kemudian pelanggaran terhadap pasal 195 United Nation Convention on the Law

Of the Sea 1982 atas tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Australia atas

kewenangan Australian Maritime Safety Authority dengan menggunakan dispersan

dalam menanggulangi tumpahan minyak montara di laut timor. Hal ini menurut

J.G Starke, setiap pelanggaran atas perjanjian menimbulkan suatu kewajiban untuk

memberikan ganti rugi. Kemudian sesuai dengan teori tanggung jawab mutlak

maka Pemerintah Indonesia wajib melakukan penanggulangan atas terjadinya

pencemaran lintas batas maritim walaupun kesalahan tidak terjadi karena kelalaian

Pemerintah Indonesia.

Dalam kasus ini, pemerintah bisa menempuh jalur hukum internasional, di

bidang lingkungan misalnya Rio Declaration on Environment 1992 dan Stockholm

Declaration on Human Environment 1972. Pilihan berikutnya, pemerintah

Indonesia bisa menuntut PIT Exploration and Production Australasia ke jalur

perdata. Pemerintah Indonesia bisa menggugat PIT Exploration and Production

Australasia di Pengadilan Perth atau di Jakarta. Di negara Australia, pihak

Indonesia bisa menggunakan United Nation Convention on the Law Of the Sea

1982, Yurisprudensi Mahkamah Internasional, dan Undang Undang Lingkungan

Hidup Australia.

Page 64: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

54

Berkaitan dengan kasus ini, pemerintah Indonesia dapat memilih jalur

hukum melalui International Tribunal for The Law of the Sea. Bila semua jalur

penyelesaian sengketa secara diplomatik telah tertutup, jalur hukum internasional dibawah

payung International Tribunal for The Law of the Sea terbuka untuk penyelesaian

sengketa kasus kilang minyak montara di Laut Timor.

Kendala yang dihadapi dalam penerapan ketentuan yang diatur dalam

United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982 terkait kasus penyelesaian

pencemaran lintas batas antara negara Indonesia dan negara Australia antara lain

adalah United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982 lebih mengatur

mengenai “Tanggung jawab setiap Negara” tetapi tidak diatur di dalamnya perihal

nilai ganti rugi yang harus diberikan oleh negara yang melakukan pencemaran

menanggulangi masalah ini. Namun di dalam United Nation Convention on the

Law Of the Sea 1982 masih memberikan pilihan peradilan yang fleksibel yaitu

arbitrase.

Page 65: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

55

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sesuai dengan perumusan masalah dan pembahasan penelitian, maka

peneliti menyimpulkan bahwa sudah ada beberapa konvensi internasional telah

dibentuk dengan beberapa tujuan yaitu untuk menghindari terjadinya hal terkait

pencemaran laut, untuk memberikan pedoman penanganan apabila terjadi

pencemaran laut lintas batas, serta untuk mengatur pertanggungjawaban pihak-

pihak yang bersangkutan. Konvensi-konvensi tersebut adalah antara lain Piagam

PBB, Konvensi OPRC 1990, Konvensi Espoo beserta protokolnya, United Nation

Convntion on the Law Of the Sea 1982 yang mengatur terkait pencegahan,

perlindungan dan pelestarian laut. Dalam konvensi-konvensi tersebut terdapat

penerapan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional seperti prinsip untuk

bekerja sama, prinsip kehati-hatian, prinsip siapa yang mencemar ia yang

membayar, serta prinsip-prinsip lainnya.

Selain ketentuan internasional, terdapat juga ketentuan-ketentuan regional

yang antara lain berupa perjanjian-perjanjian multilateral atau bilateral antar

negara-negara yang memiliki kedekatan geografis ataupun kesamaan, dalam kasus

ini berupa Memorandum of Understanding between Governments of Australia and

Indonesia on Oil Pollution Preparedness and Response. Lalu walaupun terdapat

pengaturan-pengaturan dalam hukum internasional maupun regional, hukum

nasional tetap menjadi acuan utama bagi suatu negara dalam menentukan

kebijakan-kebijakan perairan di wilayahnya.

Dalam praktik penyelesaian sengketa terkait kasus ini sebenarnya sudah

dilakukan secara sistematis berdasarkan ketentuan-ketentuan internasional. Namun

Page 66: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

56

masih amat disayangkan karena masih belum ada yang secara baku menjelaskan

bagaimana sistematika yang seharusnya berlaku. Akan tetapi untuk pencemaran

laut sebagaimana diatur dalam pasal 204 Jo Psl 215 UNCLOS (kasus Montara)

baru merupakan tahap awal yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan

Pemerintah Australia guna menuju penyelesaian secara damai, dan masih

memerlukan tahapan–tahapan penyelesaian berikutnya, karena Pemerintah

Australia dan PIT Exploration and Production Australasia tidak mengindahkan

langkah negosiasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, termasuk negosiasi

kompensasi ganti rugi terhadap dampak yang ditimbulkannya. Sehingga kasus

tersebut belum dapat diselesaikan hingga kini.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan diatas, disarankan bagi instansi yang berwenang

untuk mengatur lebih lanjut mekanisme mengenai tanggung jawab dan

kompensasi dari pencemaran minyak dilaut yang berasal dari anjungan migas

lepas pantai serta mengefektifkan dan mengeefisiensikan konvensi internasional

dengan sanksi yang tegas dan batas waktu penyelesaiaan secara jelas. Untuk

Pemerintah Indonesia sendiri dalam megngadopsi ketentuan-ketentuan

internasional, Pemerintah Indonesia harus melengkapi dengan ketentuan-ketentuan

yang dapat menekan pihak lain agar kepentingan nasional terlindungi. Berkaitan

dengan kasus ini, pemerintah Indonesia dapat memilih jalur hukum melalui

International Tribunal for The Law of the Sea. Bila semua jalur penyelesaian sengketa

secara diplomatik telah tertutup, jalur hukum internasional dibawah payung International

Tribunal for The Law of the Sea terbuka untuk penyelesaian sengketa kasus kilang minyak

montara di Laut Timor. Namun di dalam United Nation Convention on the Law Of

the Sea 1982 masih memungkinkan adanya pilihan peradilan yang fleksibel yaitu

arbitrase.

Page 67: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

57

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adolf, Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar

Grafika, 2006.

Baylis, John dan Steve Smith, The Globalization of World Politics (3rd ed),

Oxford University Press, 2005.

Burhanuddin, Andi Iqbal, The Sleeping Giant, Potensi dan Permasalahan

Kelautan, Surabaya: Brillian internasional, 2011.

Churchill, R.R. dan A.V. Lowe, The Law of the Sea Third Edition, United

Kingdom: Manchester Uniersity Press, 1999.

Dam, Sjamsumar dan Riswandi, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang,

Perkembangan, dan Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.

Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Aspek hukum Kerjasama

Regional dan Internasional dalam Pencegahan Pencemaran Laut,

Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1998.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Echlos, John. M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia dan Indonesia

Inggris, Jakarta: Gramedia, 1996.

Friedrich, Jurgen, International Environmental “soft law”, New York,

Springer, 2013.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, Jakarta:

Gramedia, 1982.

Kurukulasiruya, Lal dan Nicholas A Robinson, United Nation Environment

Programme, Training Manual on International Environmental Law,

Kenya: Division of Environmental Policy & Law, 2006.

Kusumaatmadja, Mochtar Bunga rampai Hukum Laut, Bandung: Bina Cipta,

1978.

--------------, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumannya, Bandung:

Orasi, 1977.

--------------, Pengantar Hukum Internasional, Buku I, Bandung: Binacipta,

1982.

Page 68: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

58

Mauna, Boer, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam

Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2011.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana 2010.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Laut Bagi Indonesia, Jakarta: Sumur

Bandung, 1984.

Putra, Ida Bagus Wyasa, Hukum Lingkungan Internasional: Perspektif Bisnis

Internasional, Bandung: Rafika Aditama, 2003.

--------------, Tanggung Jawab Negara terhadap Dampak Komersialisasi

Ruang Angkasa, Bandung: Rafika Aditama, 2001.

Salmon, Hendrik, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam

Penegakan Hukum Lingkungan, Universitas Pattimura: Fakultas

Hukum, 2013.

Santosa, Achmad, Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan, Jakarta: Asa Prima

Pustaka, 2016.

Silalahi, M. Daud, Hukum Lingkungan dalam penegakan hukum lingkungan

Indonesia, Bandung: Alumni , 2001.

Soemarwoto, Otto, Ekologi: Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta:

Djambatan, 1991.

Soemitro, Ronny Haditjo, Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

cetakan ke-4, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1990.

Starke, J. G., Pengantar Hukum Internasional 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Sukarni, Fiqih Lingkungan Hidup Perspektif Ulama Kalimantan Selatan,

Kementerian Agama RI, 2011.

Sumardi, Juajir, Hukum Pencemaran Laut Transnasional, Bandung: Citra

Aditya Bakti , 1996.

Syafinaldi, "Hukum laut internasional", Pekanbaru: URI Press, 2009.

Tahar, Abdul Muthalib, Hukum Laut Internasional menurut KHL PBB 1982

dan perkembangan Hukum Laut di Indonesia, Lampung: Fakultas

Hukum Internasional UNILA Bagian Hukum Internasional, 2007.

Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,

Bandung: RefikaAditama, 2006.

Trianita, Hendriati, Deklarasi Universal Hak Asasi, Jakarta: KOMNAS HAM,

2000.v

Williams, Martha, “Mess of Lawsuits is Proving Stickier than Valdez Oil

Spill”, Seattle: Seattle Times, Juli 26, 1991.

Yafie, Alie, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, Jakarta: Tama Printing 2006.

Page 69: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

59

B. INTERNET

Alfiansyah, Alvin, “Montara Kasus Yang Hampir Terlupakan”, Juni 2016.

Artikel diakses pada 24 Desember 2017 dari https://psm-hse-

alert.com/wp-content/uploads/2017/06/Montara-Kasus-Yang-Hampir-

terlupakan-.pdf.

Amelia, Anggita Rezki dan Arnold Sirait, “Sidang Tumpahan Minyak

Montara Mulai Berjalan”, 24 Agustus 2017. Artikel diakses pada 25

Desember 2017 dari https://katadata.co.id/berita/2017/08/24/sidang-

tumpahan-minyak-montara-mulai-berjalan.

Bere, Sigiranus Marutho, “Gugatan Petani Rumput Laut NTT Dikabulkan

Pengadilan Australia”, 26 Januari 2017. Artikl diakses pada 22

Desember 2017 dari

http://regional.kompas.com/read/2017/01/26/06114521/gugatan.petani.

rumput.laut.ntt.dikabulkan.pengadilan.australia.

Maurice Blackburn Lawyers, “Current Class Action: Montara Oil Spill Class

Action”. Artikel diakses pada 22 Desember 2017 dari

https://www.mauriceblackburn.com.au/current-class-actions/montara-

oil-spill-class-action/.

Metro TV News, “Tergugat Kasus Montara Berjanji Hadiri Proses Mediasi”,

21 Desember 2017. Artikel diakses pada 25 Desember 2017 dari

http://news.metrotvnews.com/peristiwa/xkEGowrN-tergugat-kasus-

montara-berjanji-hadiri-proses-mediasi.

Novita, Sari, “P3SDLP akan analisa ulang tumpahan minyak Montara di

Pulau Rote”, 10 Agustus 2016. Artikel diakses pada 27 Oktober 2017

dari http://pusriskel.litbang.kkp.go.id/index.php/en/home/1260-p3sdlp-

akan-analisa-ulang-tumpahan-minyak-montara-di-pulau-rote.

Wikipedia, “Laut Timor”. Artikel diakses pada 15 Oktober 2017 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/LautTimor.

Yozami, Mohamad Agus, “Pengadilan Australia Terima Gugatan Petani

Rumput Laut Indonesia”, 3 Agustus 2016. Artikel diakses pada 20

Desember 2017 dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57a1da111792f/pengadilan

-australia-terima-gugatan-petani-rumput-laut-indonesia.

Page 70: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS KILANG …

60

C. LAPORAN

Menteri Perhubungan Indonesia, Laporan Penanggulangan Tumpahan Minyak di

Laut Timor Perairan Indonesia Akibat Kebocoran Montara Welhead Patorm

Australia, 2010.

Tim Advokasi Tuntutn Ganti Rugi di Laut Timor, Laporan Perkembangan

Penyelesaiaan Kasus umpahan Minyak di Laut Timor, 2012.

Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional, Memorandum Akhir Tugas Direktur

Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Periode September 2010 –

Januari 2014, 2014.