thomas aria cipta - makalah cdm

14
CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM (CDM) / MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (MPB) DI INDONESIA Tugas Mata Kuliah Kualitas & Pengelolaan Pencemaran Lingkungan Oleh THOMAS ARIA CIPTA NPM 1420011011 MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMPUNG 2015

Upload: thomasariacipta

Post on 17-Dec-2015

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Clean Development Mechanism atau Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia

TRANSCRIPT

  • CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM (CDM) /

    MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (MPB) DI INDONESIA

    Tugas Mata Kuliah

    Kualitas & Pengelolaan Pencemaran Lingkungan

    Oleh

    THOMAS ARIA CIPTA

    NPM 1420011011

    MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS LAMPUNG

    2015

  • I. PENDAHULUAN

    Bumi kini berbeban berat karena pemanasan global menyebabkan perubahan

    iklim. Karena itu berbagai negara berupaya membuat kerangka kerja tentang

    perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change).

    Indonesia telah meratifikasi UNFCC 1994. Secara umum konvensi berupaya

    menstabilkan temperatur global untuk menghindari dampak buruk. Kemudian,

    1997, Protokol Kyoto disetujui bersama sebagai mekanisme mereduksi emisi gas

    rumah kaca. Protokol Kyoto akan berlaku apabila telah diratifikasi 55 negara

    dan mewakili 55 persen emisi negara Annex I tahun 1990. Hingga April 2004,

    122 dari 134 negara telah meratifikasi, yang mewakili 44,2% emisi dunia. DPR

    baru-baru ini juga telah menyetujui ratifikasi Protokol Kyoto yang kini tinggal

    menunggu tanda tangan presiden. Protokol Kyoto hanya mewajibkan negara

    maju (negara Annex I) untuk mengurangi tingkat emisinya.

    Protokol Kyoto yang ditandatangani tahun 1997 akhirnya mulai berlaku sejak

    16 Februari 2005. Sejak penandatanganan Persetujuan Marrakesh tahun 2001,

    yang menetapkan aturan- aturan dasar bagi mekanisme Kyoto Clean

    Development Mechanism (CDM) / Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB), Joint

    Implementation (JI) / Implementasi Bersama, dan Emission Trading (ET) /

    Perdagangan emisi CDM telah menjadi pelopor.

    Peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat pertumbuhan ekonomi dan

    penduduk selama dua abad telah memperburuk dampak dari pemanasan global,

    yang dapat mengarah pada perubahan iklim yang tidak dapat dipulihkan.

    Meningkatnya kepedulian masayarakat global telah dibuktikan dengan

    diadopsinya Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) oleh sebagian besar negara di

    dunia pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992. Sejak saat itu diskusi

    tentang isu perubahan iklim telah mencapai batu loncatan yang penting. Salah

    satunya adalah diadopsinya Protokol Kyoto pada tahun 1997, dimana negara

    industri/yang termasuk dalam Annex B memberikan komitmennya untuk

    mengurangi emisi GRK dengan tujuan untuk mencapai stabilisasi konsentrasi

    GRK di atmosfir.

  • CDM adalah salah satu dari tiga mekanisme fleksibel dalam Protokol Kyoto yang

    dirancang untuk membantu negara industri/Annex B untuk memenuhi

    komitmennya mengurangi emisi GRK dan membantu negara berkembang dalam

    mencapai pembangunan berkelanjutan. CDM adalah satu-satunya mekanisme

    fleksibel yang melibatkan negara berkembang. Berdasarkan Protokol Kyoto,

    negara berkembang tidak memiliki kewajiban membatasi emisi GRKnya, akan

    tetapi dapat secara sukarela berkontribusi dalam pengurangan emisi global dengan

    menjadi tempat pelaksanaan proyek CDM.

    Protokol Kyoto hanya dapat mengikat secara hukum jika sedikitnya 55 negara

    pihak (Parties) Konvensi Perubahan Iklim meratifikasi dan jika total emisinya

    mencapai 55% dari emisi negara Annex I Konvensi Perubahan Iklim pada

    tahun 1990. Persyaratan ini dimasukkan untuk memastikan bahwa tidak ada

    satupun Negara Pihak yang dapat mengagalkan Protokol Kyoto menjadi mengikat

    secara hukum. Dengan telah disampaikannya dokumen dan instrumen ratifikasi

    oleh Rusia kepada Sekretariat Konvensi pada bulan November 2004, Protokol

    Kyoto telah mengikat secara hukum pada 16 Februari 2005. Dengan demikian

    mekanisme fleksibel dalam rangka mencegah atau mengurangi emisi yang terdiri

    dari Joint Implementation (JI), Clean Development Mechanism (CDM) dan

    Emission Trading (ET) akan dapat menyerap aliran dana yang diperuntukkan bagi

    mekanisme tersebut dan akan menarik lebih banyak negara untuk berpartisipasi.

    Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UU No. 6 tahun 1994.

    RatifikasiProtokol Kyoto disetujui oleh DPR tanggal 28 Juni 2004 dan melalui

    UU No. 17 tahun 2004. Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto, dan disampaikan

    ke Sekretariat Konvensi Perubahan Iklim tanggal 3 Desember 2004 melalui

    Departemen Luar Negeri. Dengan meratifikasi Protokol Kyoto berarti membuka

    peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi untuk

    mengembangkan proyek CDM, yang akan bermanfaat dalam upaya menuju

    pembangunan berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, akan memerlukan

    persiapan di berbagai aspek mulai dari kebijakan dan regulasi, keuangan dan

    aspek teknis dalam implementasi CDM.

  • Meskipun modaliti dan aspek-aspek teknis untuk implementasi CDM sudah cukup

    jelas, namun bagi Indonesia masih terdapat beberapa isu dominan yang harus

    ditangani. National Strategy Study (NSS) - CDM baik di sektor energi (tahun

    2001) maupun sektor kehutanan (tahun 2003) menunjukkan adanya beberapa

    tantangan/kendala yang perlu ditangani untuk implementasi CDM di Indonesia.

    Hasil dari NSS mengindikasikan bahwa potensi CDM sektor energi sekitar 2,1 %

    dari total1200 juta ton CO2 emisi Indonesia per tahun. Dengan demikian potensi

    CDM sektor energi sebesar 25,2 juta ton CO2 per tahun dengan harga US $ 1,83

    per ton. Pilihan kegiatan mitigasi yang paling memungkinkan antara lain : energi

    panas bumi (geothermal energy), gas flaring, integrated combined cycle,

    penggantian bahan bakar (fuel switching), cogeneration dan sistem pemanas

    (heating systems). Di sektor kehutanan, hasil NSS menunjukkan bahwa sekitar 5,5

    giga ton CO2 dapat diserap melalui kegiatan aforestasi dan reforestasi pada lahan

    sekitar 32,5 juta ha. Diperkirakan 50 % dari luasan tersebut memenuhi syarat

    untuk dijadikan proyek CDM, dengan demikian areal yang dapat dijadikan

    proyek CDM sekitar 16 juta ha, setara dengan2,75 giga ton CO2 carbon sink

    dengan potensi sekitar 184 juta ton CO2 per tahun.

    CDM yang merupakan mekanisme internasional untuk mengurangi emisi GRK

    tidak cukup sederhana untuk dengan mudah diikuti oleh para pihak yang

    berminat. Ketentuan yang diatur di tingkat internasional baik teknis maupun non-

    teknis cukup banyak dan harus diterjemahkan serta disesuaikan dengan peraturan-

    perundangan di tingkat nasional. Proyek CDM juga harus mematuhi prinsip-

    prinsip pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Banyaknya isu teknis dan non-

    teknis dalam implementasi CDM merupakan salah satu pertimbangan dibuatnya

    buku petunjuk ini. Buku ini dimaksudkan untuk memberikan petunjuk praktis

    tentang potensi proyek CDM dan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam

    implementasi CDM energi dan non-energi di Indonesia.

    II. PENGEMBANGAN DAN PELAKSANAAN CDM / MPB

    Negara berkembang (non-Annex I termasuk Indonesia), tidak diwajibkan. Protokol

    Kyoto menetapkan tiga mekanisme utama dalam implementasinya, yaitu (a)

    Implementasi Bersama (Joint Implementation) yang merupakan kerja sama antar

  • negara-negara Annex I; (b) CDM (Clean Development Mechanism atau Mekanisme

    Pembangunan Bersih / MPB), di mana negara Annex I berinvestasi di negara non-

    Annex I untuk proyek- proyek yang menghasilkan Pengurangan Emisi yang

    Tersertifikasi (Certified Emission Reduction / CER); serta (c) Perdagangan Emisi

    di mana negara maju menjual gas rumah kaca yang tidak diemisikan ke negara

    maju lain yang tidak dapat memenuhi kewajiban. Dari paragraf di atas tampak

    bahwa peluang Indonesia untuk mendapatkan dana dalam pengurangan emisi

    adalah melalui proyek- proyek MPB.

    2.1 Klasifikasi Kegiatan Proyek CDM / MPB

    Proyek CDM dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian utama: (1) Reduksi emisi

    GRK dan (2) Sekuestrasi (sink, penyerapan karbon). Di bawah 2 kategori

    utama tersebut terdapat beberapa sub kategori yang digolongkan berdasarkan

    dari besar/kecilnya proyek tersebut.

    Gambar 1. Klasifikasi kegiatan proyek CDM

    Tabel 1. Daftar kategori proyek yang memenuhi syarat CDM

    Ruang Lingkup

    Sektoral Contoh Proyek

    1

    Em

    issi

    on

    red

    uct

    ion

    s

    act

    ivit

    ies

    Industri penghasil

    energi

    (terbarukan/ tak

    terbarukan)

    Energi

    Terbarukan

    Tenaga angin, matahari, air

    dan panas bumi Energi Tak

    Terbarukan

    Pembangkit termal yang

    menggunakan batubara dan

    bahan bakar fosil

    2 Distribusi Energi Listrik Jalur transmisi dan

    distribusi

    3 Pemakaian Energi Efisiensi Energi Peralatan yang pemakaian

    energinya sangat efisien

    dan fasilitas penerangan

    CDM

    Reduksi Emisi GRK

    Proyek Skala Besar

    Proyek Skala Kecil

    Sekuestrasi (Penyerapan

    Karbon)

    Proyek Skala Biasa

    Proyek Skala Kecil

  • Ruang Lingkup

    Sektoral Contoh Proyek

    4

    Industri

    Manufaktur

    Efisiensi Energi Peralatan yang pemakaian

    energinya sangat efisien

    Penggantian

    jenis bahan

    bakar

    Batubara diganti gas alam,

    pemakaian batubara

    berteknologi bersih

    5 Industri Kimia Perubahan

    proses produksi

    Penghilangan emisi

    nitrogen oksida

    6 Konstruksi Penggantian

    material

    Penggantian material

    konstruksi yang

    menghasilkan emisi GRK

    lebih sedikit ; jarak

    transport yang lebih

    singkat dari truk-truk 7 Transportasi Efisiensi Energi Perbaikan kendaraan yang

    lebih efisien, penambahan

    transit Penggantian

    Bahan bakar

    Penggunaan bahan bakar

    biologis, gas alam

    8 Produksi

    Pertambangan/Mi

    neral

    Penggantian

    bahan bakar

    Pemulihan gas metan dari

    tambang batubara

    9 Produksi Logam Efisiensi Energi Perbaikan efisiensi proses

    Perubahan

    proses

    Kuens (pendinginan)

    batubara kering (dry coke) 1

    0

    Emisi buangan

    bahan bakar

    (padat, minyak

    dan gas)

    Penggantian

    bahan bakar

    Pemulihan dan pemakaian

    kembali gas sampingan

    dari pengeboran minyak

    1

    1

    Emisi akibat

    produksi dan

    konsumsi

    halokarbon dan

    sulfur

    heksaflorida

    HFC Insinerasi (pembakaran)

    HFC-23 yang dihasilkan

    oleh sampah

    1

    2

    Pemakaian zat

    pelarut

    Penggantian

    material pelarut

    Penggantian dengan zat

    yang memiliki emisi GRK

    lebih rendah

    1

    3

    Penanganan dan

    Pembuangan

    Sampah

    Penggantian

    Bahan bakar

    Pemulihan gas hasil

    landfill, pengolahan limbah

    cair, pengolahan limbah

    ternak 1

    4

    Sequestration

    Afforestation and

    reforestation

    Afforestation

    Reforestation

    1

    5

    Pertanian Pencegahan pembentukan

    gas metan akibat

    pembusukan biomasa

    Sumber: UNFCC 2001;

    2.2 Status dan peranan CDM di Indonesia

    Di Indonesia, proyek-proyek yang berpotensi dapat menurunkan emisi

    greenhouse gases dapat didaftarkan menjadi proyek CDM melalui Komisi

    Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) untuk diteruskan ke

    CDM Executive Board. Komnas MPB bertanggung jawab untuk menerbitkan

  • surat persetujuan atas usulan proyek CDM dan melakukan monitoring terhadap

    kemajuan proyek CDM. Anggota Komnas MPB terdiri dari 14 instansi

    kementerian, BAPPENAS, BPPT, Badan Pertanahan Nasional, dan Dewan

    Nasional Perubahan Iklim. Struktur Komnas MPB diperkuat oleh tim ahli, tim

    teknis dari 14 instansi, dan forum pemangku kepentingan. Keputusan persetujuan

    atas usulan proyek CDM selalu mempertimbangkan empat bidang kriteria yang

    berlaku di seluruh negara, yang kemudian diadopsi menjadi indikator

    pembangunan berkelanjutan pada negara tersebut, yaitu: indikator lingkungan,

    ekonomi, sosial, dan teknologi.

    Sejak program CDM dibuka pada tahun 2008, hingga 1 Juli 2010 terdapat 48

    proyek CDM dari Indonesia yang telah teregistrasi di CDM Executive Board.

    Disamping itu, terdapat 122 proyek yang telah mendapat persetujuan Komnas

    MPB untuk diteruskan ke tingkat CDM Executive Board. Sementara itu, sebanyak

    134 proyek sedang dalam proses validasi untuk mendapatkan persetujuan

    Komnas MPB [1]. Secara keseluruhan, terdapat 11 klasifikasi proyek pada

    48 proyek yang telah teregistrasi di CDM Executive Board, dimana dapat

    diketahui informasi mengenai rata-rata reduksi emisi tahunan, total reduksi emisi

    pada tahun 2012, dan jumlah CERs yang telah diterbitkan.

    2.3 Potensi MPB

    Meski pada praktiknya proyek MPB prosesnya sangat sulit dan panjang untuk

    didapatkan, potensi pasar MPB di Indonesia sebenarnya sangat besar

    dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Simulasi Jotzo dan Michaelowa (2003)

    menyatakan Indonesia memiliki potensi pasar CDM 3% dari potensi pasar dunia

    atau setara dengan 125 juta ton karbon. Beberapa pakar lain bahkan memprediksi

    potensi pasar Indonesia dapat mencapai 5% pasar, setara dengan 125-300 juta ton

    CO2 atau 81,5-1.260 juta dollar AS dalam periode komitmen pertama dari Protokol

    Kyoto. Berdasarkan National Strategy Study (NSS), emisi CO2 tertinggi berada

    pada sektor yang berhubungan dengan energi (terdiri dari industri energi,

    industri pengolahan, transportasi dan penggunaan rumah tangga/komersial) yaitu

    55-77% total emisi domestik, kemudian Penggunaan Lahan, Perubahan Tata Guna

    Lahan serta Kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry/LULUCF) 11-

    13%, dan terakhir sektor pertanian 13%.

  • 2.3.1 Sektor Energi

    Besarnya emisi di sektor energi menggambarkan besarnya potensi sektor energi

    sebagai penerima proyek MPB. Masalah ratifikasi dari sisi energi terletak

    pada dampaknya terhadap perekonomian makro domestik, karena pemanfaatan

    energi perkapita rendah dan konsumsi energi dari bahan bakar fosil per rupiah

    masih tinggi. Hasil simulasi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat

    Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) 2003 menggunakan Tabel

    Input-Output tahun 2000 dan diskusi penulis dengan Widjono Soetjipto dari LPEM

    FEUI menunjukkan bahwa ratifikasi Protokol Kyoto berpengaruh kecil terhadap

    perekonomian nasional. Penyebabnya terutama Indonesia sebagai negara

    berkembang tidak diwajibkan mengurangi emisi CO2 setidak-tidaknya pada periode

    komitmen pertama dalam implementasi Protokol Kyoto. Maka pilihan untuk

    meratifikasi Protokol Kyoto bukan- lah sesuatu yang merugikan. Indonesia bahkan

    dimungkinkan untuk memanfaatkan dana dari proyek MPB untuk mengurangi

    tingkat emisinya.

    Namun demikian, terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan.

    Pertama, Indonesia tidak secara otomatis berhak (eligible) memperoleh dana

    MPB. Kelayakan proyek tetap menjadi acuan dalam mengalokasikan dana MPB.

    Kedua, harga untuk CER saat ini, 3-7 dollar AS, jauh lebih kecil dari perkiraan

    harga semula yang layak, yaitu 10-25 dollar AS, bahkan jika dibandingkan dengan

    harga di negara Annex I yang 100 dollar AS. Harga yang rendah itu hanya

    berpengaruh kecil terhadap kelayakan (peningkatan IRR) proyek energi sehingga

    tidak menarik para investor. Ketiga, kesiapan kelembagaan yang berhubungan

    dengan prosedur aplikasi dan persetujuan bagi proyek-proyek berbasis MPB di

    Indonesia relatif tertinggal dibandingkan negara- negara Asia lainnya yang lebih

    dahulu meratifikasi. Keempat, pengalaman awal pelaksanaan proyek berbasis

    MPB menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk konsultansi yang

    umumnya dilakukan oleh pihak asing sangat besar. Sehingga penting sekali

    membangun kapasitas (capacity building) lokal agar domestik yang memanfaatkan.

    Kelima, ketegasan pemerintah diperlukan dalam menetapkan siapa penerima

    manfaat dari proyek MPB. Pengusaha ingin agar manfaat tersebut diterima

  • pengembang (developer) sebagai insentif untuk mengembangkan proyek-proyek

    energi terbarukan. Pihak lainnya menginginkan agar manfaat tersebut dapat

    diterima oleh penduduk lokal. Hal utama yang dapat dilakukan adalah

    mempersiapkan aspek kelembagaan seperti Designated National Authority (DNA)

    yang bersifat lintas sektoral; Domestik Operational Entity (DO) agar manfaat MPB

    dapat lebih dinikmati; mengembangkan prosedur aplikasi dan persetujuan proyek-

    proyek MPB untuk mengurangi biaya transaksi; mengembangkan kriteria

    pembangunan berkelanjutan; serta menyatakan siapa penerima manfaat proyek

    MPB. Untuk mengantisipasi kegagalan, pemerintah harus mempersiapkan

    perencanaan pengembangan sektor energi jangka panjang dengan peningkatan

    efisiensi energi, peningkatan pemanfaatan bahan bakar fosil yang relatif bersih

    (clean fossil fuel), dan peningkatan kontribusi energi terbarukan.

    2.3.2 Sisi Politis

    Perlu dicatat pula bahwa pada akhirnya keputusan untuk meratifikasi Protokol

    Kyoto tidak hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi semata. Dari sisi

    politis, kebersamaan dengan negara-negara berkembang untuk memperjuangkan

    kepentingan bersama dalam mengatasi pemanasan global perlu memperoleh

    perhatian. Dengan segala pertimbangan itu, tampaknya presiden tak perlu ragu-ragu

    lagi menandatangani ratifikasi. Selain tidak diwajibkan menurunkan emisi,

    Pemerintah Indonesia juga berhak untuk keluar dari ratifikasi jika pada periode

    komitmen kedua Indonesia wajib menurunkan emisinya. Secara makro-ekonomi,

    dampak ratifikasi ini cenderung dapat diabaikan. Ratifikasi ini juga akan dapat

    berdampak positif terhadap Indonesia dengan adanya insentif penggunaan energi

    yang lebih ramah lingkungan, terjadinya efisiensi penggunaan energi serta

    mendorong lebih jauh energi mix di Indonesia dengan memperbesar penggunaan

    energi yang terbarukan yang relatif ramah lingkungan.

    Sebagai bagian dari perjanjian internasional, CDM memiliki perspektif global yang

    menyangkut banyak kepentingan berbagai Pihak, baik secara kolektif maupun

    secara individu. Disamping itu CDM juga memiliki perspektif nasional dari segi

    kepentingan setiap Pihak yang akan berpartisipasi dalam mekanisme ini. Negara-

    negara maju memiliki tanggungjawab atau target penurunan emisi adalah aspek

  • penting dari Protokol Kyoto. Sebagai bagian dari tanggungjawab tersebut negara-

    negara industri memiliki jatah emisi (assigned amount), artinya mereka memiliki

    kesempatan mengurangi atau menambah emisi dalam jumlah tertentu agar

    target pengurangan emisi global tetap tercapai. Keberhasilan CDM terletak pada

    sumbangan proyek tersebut dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

    Kesetaraan antara negara maju dan berkembang menjadi konsep penting dalam

    pembangunan berkelanjutan, kesetaraan juga berorientasi pada masalah sosial,

    ekonomi, dan lingkungan. Untuk mengimplementasikan CDM dan mekanisme

    Kyoto lainnya diperlukan kelembagaan yang jelas dan transparan. Sebagai lembaga

    tertinggi Protokol Kyoto, tugas utama Cop/mop seperti tercantum dalam Pasal 13.4

    adalah mengupayakan terjadinya implementasi Protokol secara efektif dengan cara:

    Menilai implementasi Protokol, menilai kewajiban Para Pihak, mendorong

    terjadinya pertukaran informasi, memobilisasi dana, memanfaatkan jasa dan kerja

    sama. Pengembangan proyek CDM dapat dilakukan oleh berbagai pihak, misalnya

    lembaga pemerintah, lembaga nonpemerintah atau sektor swasta. Langkah-

    langkah yang harus dilakukan dalam mengembangkan proyek CDM adalah

    identifikasi proyek, penyusunan dokumen desain proyek, pengesahan, validasi,

    pendaftaran, implementasi dan pemantauan, verifikasi dan sertifikasi dan penerbitan

    CERs.

    Pembiayaan proyek harus dipikirkan oleh pengembang proyek dan disepakati

    antara investor dan tuan rumah dalam hal pembagian bebannya. Biaya tersebut

    meliputi: biaya transaksi, pungutan pajak dan biaya administrasi. Untuk

    menjembatani kepentingan para peserta (investor dan tuan rumah) Bank Dunia

    telah mengembangkan dana yang bernama Prototype Carbon Fund (PCF) yang

    merupakan kontribusi para investor. Selain PCF Bank Dunia juga membentuk

    Dana Karbon untuk Pengembangan Masyarakat (Community Development Carbon

    Fund, CDCF). Di awal tahun 2003 Bank Dunia juga meluncurkan dana

    karbon baru yang dikenal dengan nama BioCarbon Fund (BCF). Sedangkan

    aspek teknis meliputi penentuan garis awal (baseline), perolehan (additionality),

    kebocoran (leakage), dan cadangan tetap (permanence). Implementasi proyek

    CDM di sektor energi perlu dipandang sebagai kesempatan untuk

    mengembangkan sumber-sumber energi yang berkelanjutan. Pembangkit tenaga

  • energi meliputi: energi nuklir dan energi terbarukan. Energi terbarukan meliputi:

    energi biomassa (biomass energy), tenaga air (hydro power), tenaga angin (wind

    power), tenaga surya (solar heat and photovoltaic, PV), dan tenaga panas bumi

    (geothermal). Dalam sektor kehutanan kegiatan yang diizinkan untuk dijadikan

    proyek CDM adalah kegiatan aforestasi dan reforestasi. Aforestasi adalah

    penanaman hutan kembali pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 50 tahun

    yang lalu. Sedangkan reforestasi adalah penanaman hutan kembali pada lahan yang

    tidak berupa hutan sebelum tahun 1990. Suatu negara atau Pihak Konvensi

    Perubahan Iklim yang hendak mengimplementasikan kegiatan CDM harus menjadi

    Pihak Protokol Kyoto. Oleh karena itu, negara atau Pihak tersebut harus

    mengesahkan Protokol Kyoto melalui ratifikasi. Jika negara tersebut bukan Pihak

    Konvensi Perubahan Iklim, maka langkah yang harus diambil adalah melakukan

    penerimaan (acceptance), pengesahan (approval), atau aksesi (accession) atas

    Protokol. Protokol Kyoto terbuka untuk diratifikasi beberapa saat setelah diadopsi

    pada tanggal 11 Desember 1997. Setelah meratifikasi Protokol Kyoto, agar dapat

    berpartisipasi di dalam CDM suatu Pihak disyaratkan memiliki lembaga yang

    ditunjuk untuk melakukan implementasi CDM. Dengan lembaga inilah Pihak

    investor dan tuan rumah berurusan. Persiapan lain yang diperlukan untuk

    memperlancar implementasi CDM adalah peningkatan kemampuan sumberdaya

    manusia yang berurusan langsung dengan implementasi CDM, dan peningkatan

    kesadaran publik agar memahami masalah ini dan berpartisipasi dalam proses

    implementasinya.

    Menurut Protokol Kyoto Pasal 12, selain untuk mencapai tujuan utama

    Konvensi Perubahan Iklim, CDM juga dirancang untuk membantu negara

    berkembang dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Tiga komponen

    utama yang harus diperhatikan dalam menunjang pencapaian tujuan

    pembangunan berkelanjutan adalah kegiatan proyek harus menunjang

    terjadinya pertumbuhan ekonomi (economic growth), kegiatan tersebut juga

    harus meningkatkan kesejahteraan sosial (social welfare), dan memperhatikan

    kelestarian lingkungan (environmental integrity). Ada tiga topik penting yang

    menjadi catatan terakhir penulis buku ini untuk mengatasi masalah perubahan iklim

    di luar CDM (beyond CDM) yang normal. Tiga topik yang dipilih masing-

  • masing untuk mewakili aspek ekologis, teknis dan politis yang akan berkembang di

    waktu yang akan datang, berturut-turut adalah pasar non-Kyoto, CDM unilateral,

    dan isu supplementarity.

    2.4 Potensi Proyek CDM di Indonesia pada Sektor Kehutanan

    Untuk sektor kehutanan pada periode komitmen pertama hanya aforestasi dan

    reforestasi yang dapat dijadikan kegiatan proyek CDM. Sesuai ketentuan

    yang berlaku untuk CDM, aforestasi dan reforestasi didefinisikan sebagai

    berikut :

    Aforestasi adalah kegiatan penanaman hutan pada lahan yang tidak

    berhutan sedikitnya 50 tahun sebelum proyek dilaksanakan.

    Reforestasi adalah kegiatan penanaman hutan pada lahan yang sudah

    tidak berhutan sejak 31 Desember 1989.

    Kegiatan kehutanan yang dapat dijadikan proyek CDM pada periode

    komitmen I (2008-2012) terbatas pada aforestasi dan reforestasi (A/R CDM).

    Aforestasi adalah kegiatan penanaman hutan pada lahan yang sedikitnya sejak 50

    tahun yang lalu sudah tidak berhutan. Reforestasi adalah kegiatan penanaman

    hutan pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 31 Desember tahun 1989.

    Kegiatan kehutanan lain yang potensial yang dapat meningkatkan Sinks tetapi

    tidak layak untuk dijadikan CDM pada periode komitmen I adalah konservasi atau

    mencegah deforestasi dan penebangan ramah lingkungan (RIL). Menjaga

    hutan dari eksploitasi akan menekan emisi GRK dan mempertahankan stok

    carbon, sedangkan perbaikan teknik silvikultur untuk mengurangi kerusakan

    akibat tebangan akan mengurangi laju emisi GRK dibanding teknik tebangan

    konvensional. Di Indonesia, RIL diterapkan pada tebang pilih tanam Indonesia

    (TPTI) dan tebang pilih tanam jalur (TPTJ). Saat ini jenis proyek ini hanya

    diperbolehkan untuk joint implementation (JI).

    III. KESIMPULAN

    Indonesia sebagai salah satu negara dengan status Non-Annex I Kyoto Protocol

    tidak dikenai target penurunan emisi, namun tetap berkewajiban melaporkan

  • tindakan-tindakan dalam rangka mendukung mitigasi perubahan iklim global dan

    dapat berpartisipasi melalui mekanisme CDM sebagai sarana pelaksanaan

    pembangunan yang berkesinambungan.

    REFERENSI

    Hellen, Greg. 2010. Panduan Kegiatan MPB di Indonesia. Diakses dari

    http://pub.iges.or.jp/modules/

    envirolib/upload/255/attach/panduanmpb.pdf. tanggal 18 April 2015.

    ISBN: 4-88788-025-1 (Printed version); 4-88788-034-0 (Electronic

    version)

    Institute for Global Environmental Strategies (IGES), 2011. Lembar Fakta CDM:

    Indonesia. Kanagawa-Japan. Didownload dari:

    http://enviroscope.iges.or.jp/modules/envirolib/upload/984/attach/indone

    sia_bahasa_fin al.pdf. Tanggal 18 April 2015

    Murdiyarso, Daniel., CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Jakarta: Kompas,

    2003.

    Tanoto, Yusak. Clean Development Mechanism (CDM) dan Kaitannya Bagi

    Pengelolaan Energi dan Lingkungan Hidup Dalam Konteks Perubahan

    Iklim di Indonesia. Diakses dari

    http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=

    6&cad=rja&uact=8&ved=0CEUQFjAF&url=http%3A%2F%2Freposito

    ry.petra.ac.id%2F16681%2F1%2FPaper_Seminar_Nasional_Energi_Yu

    sak_Tanoto_UK_Petra_1_.pdf&ei=ohpkVenTIdCguQT2uIGgBg&usg=

    AFQjCNEaEAy2-

    DQZ_tM7ixc9kSl2woZxww&sig2=YDlB2hYoR4Tq0jz454UP6A&bvm

    =bv.93990622,d.c2E. Tanggal 18 April 2015

    Zuhdi, Muslim. 2011. Ringkasan Buku CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih.

    Diakses dari https://muslimzuhdi.wordpress.com/2011/08/18/ringkasan-

    buku-cdm-mekanisme-pembangunan-bersih/. Tanggal 18 April 2015

  • Lampiran 1. Daftar Negara - Negara Anggota Annex I dan Annex B

    Negara - Negara Eropa (15 anggota) Negara - Negara ekonomi dalam

    transisi****

    Negara Target** Emisi tahun 1990 (juta

    tCO2e) Negara Target**

    Emisi tahun 1990 (juta

    tCO2e)

    Portugis 27.0% 61.4 Federasi Rusia 0% 3,040.1 Yunani 25.0% 104.9 Ukraina 0% 919.2 Spanyol 15.0% 287.6 Polandia 6.0% 564.4 Irlandia 13.0% 53.2 Rumania 8.0% 264.3 Swedia 4.0% 72.8 Republik Ceko 8.0% 192.0 Finlandia 0.0% 77.2 Bulgaria 8.0% 157.1 Perancis 0.0% 568.2 Hungaria 6.0% 101.6 Belanda 6.0% 210.0 Slovakia 8.0% 72.2 Italia 6.5% 508.6 Lithuania 8.0% 51.0 Belgia 7.5% 144.4 Estonia 8.0% 43.5 Inggris 12.5% 744.1 Latvia 8.0% 29.0 Austria 13.0% 78.1 Slovenia 8.0% 20.2 Denmark 21.0% 69.2 Kroasia*** 5.0% 32.0 Jerman 21.0% 1,213.5 Belarusia*** 133.6 Luxembourg 28.0% 13.4 EU (Uni Eropa) 8.0% 4,225.1

    Negara - Negara lainnya Islandia 10.0% 2.8 Jepang 6.0% 1,187.1 Australia*** 8.0% 425.2 Amerika

    Serikat*** 7.0% 6,139.6

    Norwegia 1.0% 52.0 Swiss 8.0% 53.1 Selandia Baru 0% 61.8 Liechtenstein 8.0% 0.2 Kanada 6.0% 607.6 Monaco*** 8.0% 0.1

    Turki*** Sumber: MoE, Japan, dan IGES 2005.

    Catatan:

    * : Kroasia, Slovenia, Liechtenstein, and Monaco memiliki target pengurangan emisi

    GRK, tapi mereka bukan negara Annex I menurut UNFCCC.

    ** : Target adalah persentase jumlah emisi GRK yang harus dikurangi berdasarkan

    emisi tahun 1990.

    *** : Negara-negara yang belum meratifikasi Protokol Kyoto per Maret 2005.

    **** : Beberapa negara Uni Eropa yang ekonominya dalam transisi tidak menetapkan

    emisi GRK mereka berdasarkan tahun 1990, misalnya Bulgaria (tahun dasar

    1988), Hungaria (198587 rata-rata), Polandia (1988), Rumania (1987), dan

    Slovenia (1986).