the world bank office jakartasiteresources.worldbank.org/intindonesia/resources/226271... · bank...

239

Upload: vuque

Post on 24-Feb-2018

270 views

Category:

Documents


24 download

TRANSCRIPT

THE WORLD BANK OFFICE JAKARTA

Jakarta Stock Exchange Building Tower II/12th Fl.Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53Jakarta 12910Tel: (6221) 5299-3000Fax: (6221) 5299-3111Website: www.worldbank.or.id

THE WORLD BANK

1818 H Street N.W.Washington, D.C. 20433, U.S.A.Tel: (202) 458-1876Fax: (202) 522-1557/1560Email: [email protected]: www.worldbank.org

Dicetak pada bulan Maret 2007.

Foto-foto dihalaman sampul: Copyright © Kristin Thompson, kecuali foto sebelah kanan atas dan kanan bawah, copyright © Bank Dunia

Laporan yang berjudul Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru merupakan hasil kerja staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan ini tidak mencerminkan pandangan Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia atau pemerintah yang mereka wakili.

Bank Dunia tidak menjamin kecermatan data yang terdapat pada penelitian ini. Batasan, warna, angka, dan informasi lain yang tertera pada setiap peta dalam penelitian ini tidak mencerminkan penilaian Bank Dunia tentang status hukum sebuah wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut.

Untuk pertanyaan lebih lanjut mengenai laporan ini, silakan hubungi Wolfgang Fengler ([email protected]).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia:

Memaksimalkan Peluang Baru

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Prakata

Saat ini merupakan peluang besar bagi Indonesia. Pada dasawarsa terakhir, negara ini telah mengalami transformasi besar-besaran dibidang tata laksana keuangan publik. Kebijakan penting yang diambil baru-baru ini untuk melakukan alokasi ulang terhadap berbagai sumber daya, mengurangi beban utang, dan meningkatkan pendapatan negara mengimplikasikan bahwa kini Indonesia memiliki sumber daya yang cukup besar untuk dimanfaatkan. Pergeseran menuju desentralisasi yang dimulai sejak 2001 juga memberikan implikasi bahwa tambahan sumber daya yang diperoleh tersebut tidak akan digunakan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh pemerintah daerah dan provinsi.

Kajian Pengeluaran Publik (Publik Expenditure Review atau PER) 2007 menelaah dan menjelaskan sejumlah kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengelola dan mengalokasikan sumber daya. Tinjauan ini juga memberikan rekomendasi bagi peningkatan kondisi pada enam bidang yang sangat penting: ruang gerak fiskal (fiscal space), pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan keuangan publik, dan desentralisasi. Walaupun Indonesia telah berhasil mencapai kemajuan yang sangat berarti untuk melakukan reformasi keuangan publik dan mampu meningkatkan transparansi, Kajian Pengeluaran Publik ini masih menggarisbawahi bahwa agenda reformasi belum rampung, masih banyak yang harus dikerjakan. Kesetaraan dan efisiensi pengeluaran tetap merupakan isu penting, misalnya, menemukan alokasi optimal terhadap berbagai sumber daya yang mencerminkan prioritas pembangunan, dan pencapaian pola pengeluaran tahunan yang tidak lagi berorientasi pada berakhirnya akhir tahun anggaran.

Kajian Pengeluaran Publik merupakan hasil dari kerja sama yang sangat erat antara Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia. Kajian ini merupakan produk dari Inisiatif Analisis Pengeluaran Publik (Initiative for Publik Expenditure Analysis atau IPEA) yang merupakan sebuah konsorsium sejumlah kementerian utama dalam pemerintah termasuk Departemen Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kantor Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, sejumlah universitas di Indonesia, Bank Dunia, dan para pemangku kepentingan utama lainnya di Indonesia. Pemerintah Belanda juga turut andil dengan menyediakan dukungan keuangan yang sangat berarti.

Kami berharap agar kajian ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan bermanfaat sehingga pemerintah Indonesia dengan seluruh mitra kerjanya, termasuk Bank Dunia, dapat menemukan cara-cara efektif untuk merancang dan melaksanakan berbagai kebijakan dan program mereka. Untuk melaksanakan hal itu, kami berharap mampu melaksanakan upaya maksimal terhadap peluang yang sangat unik yang dimiliki Indonesia saat ini melalui alokasi dan pemanfaatan yang lebih baik atas sumber-sumber keuangan yang dimiliki Indonesia, yang pada akhirnya ditujukan bagi tercapainya tujuan-tujuan pembangunan yang sangat besar yang hendak diraih oleh negara ini.

Andrew D. SteerCountry Director, Indonesia

The World Bank

Achmad RochjadiDirektur Jenderal Anggaran

Departemen Keuangan

Lukita Dinarsyah TuwoDeputi Mentri Negara

Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Pendanaan Pembangunan

Bappenas

Ucapan terima kasih

Laporan ini disusun oleh tim inti di bawah pimpinan Wolfgang Fengler, bersama dengan Yoichiro Ishihara, dan Javier Arze Del Granado. Anggota tim inti adalah Bambang Suharnoko, Elif Yavuz, Andrew Ragatz, Bastian Zaini, Blane Lewis, Chairani Triasdewi, Claudia Rokx, Guenther Schulze, Ioana Kruse, Imad Saleh, Jens Kromann Kristensen, Jessica Ludwig, Katarina Gassner, Maulina Cahyaningrum, Michael Warlters, Peter Milne, Rajiv Sondhi, Sebastian Eckardt, Soekarno Wirokartono, Soren Davidsen, Steen Sonne Andersen, Stefan Nachuk, Sukmawah Yuningsih, Vincent Da Cruz, dan Yudha Permana.

Dari pihak pemerintah, tim inti telah memperoleh banyak masukan yang sangat bermanfaat dan kerja sama yang begitu erat dari: Mulia Nasution, Achmad Rochjadi, Herry Purnomo, Askolani, Boediarso, Bambang Jasminto, Bambang Koesoemanto, Heru Subiantoro, Parluhutan Hutahaean, Paruli Lubis (Departemen Keuangan), Dedi M. M. Riyadi, Lukita Dinarsyah Tuwo, Luky Eko Wuryanto, Nina Sardjunani, Taufik Hanafi, Wismana A. Suryabrata, Leonard Tampubolon (Bappenas), Komara Djaja, Bobby Rafinus, (Kantor Menteri Koordinator Perekonomian), serta staf dari jajaran berbagai departemen.

Sejumlah pihak dari Bank Dunia telah memberikan kontribusi mereka yang sangat berarti untuk menyelesaikan laporan ini. Untuk itu, tim inti hendak menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Abbas Ghozali, Ahmad Zaki Fahmi, Ahya Ihsan, Alicia J. Hetzner, Cut Dian Rahmi Dwi Augustina, Eleonora Suk Mei Tan, Indermit Gill, Joel Hellman, Juliana Wilson, Lloyd Kenward, Lars Jessen, Mae Chu Chang, Melanie Juwono. Meltem Aran, Menno Pradhan, Neil McCulloch, Pandu Harimurti, Peter Heywood, Sally Burningham, Sylvia Njotomihardjo, dan Vicente Paqueo, serta Armando Morales dari IMF.

Terima kasih juga kami sampaikan kepada para peninjau: Mohammad Ikhsan (Kantor Menteri Koordinator Perekonomian), Jesko Hentschel (Bank Dunia), dan Amine Mati (IMF).

Bimbingan secara keseluruhan diberikan pula oleh Andrew Steer (Direktur Bank Dunia untuk Indonesia), Homi Kharas (Pimpinan Sektor dan Chief Economist Bank Dunia untuk Wilayah Asia Timur), dan William Wallace (Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia).

Daftar Isi

Ikhtisar i

Peluang yang Unik i

Mengapa Laporan ini Diperlukan? ii

Tren dalam Pengeluaran Sektoral dan Investasi iii

Pendidikan v

Kesehatan vi

Infrastruktur vii

Pengelolaan Keuangan Publik viii

Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Regional ix

Agenda untuk Implementasi x

Bab 1 Ruang Gerak dan Manajemen Fiskal 1

Tren Pengeluaran Publik 3

Investasi PUblik dan Ruang Gerak Fiskal 7

Utang 10

Subsidi 13

Reformasi Pelayanan Sipil dan Belanja Pegawai 17

Kerangka Fiskal Jangka Menengah 19

Rekomendasi Kebijakan 21

Bab 2 Kecenderungan Lintas Sektor 23

Pelayanan Ekonomi 25

Pelayanan Sosial 27

Pelayanan Masyarakat Umum 27

DIstribusi Pengeluaran Sektoral Antar-Pemerintah 28

Bab 3 Sektor Pendidikan 29

Pendidikan in Indonesia: Kemajuan dan Tantangan 31

Pengeluaran Publik 33

Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan dan Pemerataan 42

Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan: Efisiensi dan Hasil 45

Rekomendasi Kebijakan 51

Bab 4 Sektor Kesehatan 55

Kemajuan dan Tantangn pada Sektor Kesehatan 57

Pengeluaran untuk Sektor Kesehatan di Indonesia 60

Pemerataan: Kesenjangan dalam Pengeluaran Publik, Manfaat dan Penggunaan Layanan Kesehatan 69

Kualitas Layanan Kesehatan dan Tenaga Kerja Kesehatan 75

Rekomendasi Kebijakan 77

Bab 5 Infrastruktur 79

Kinerja Sektor Infrastruktur 81

Pengeluaran Publik untuk Infrastruktur: Komposisi dan Tren 85

Keseimbangan Spasial dan Pemerataan Akses 93

Inisiatif Terkini dari Pemerintah 98

Rekomendasi Kebijakan 99

Bab 6 Manajemen Keuangan Publik 103

Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan 105

Penyiapan dan Persetujuan Anggaran 107

Pelaksanaan Anggaran 110

Pengadaan 112

Audit 114

Rekomendasi Kebijakan 118

Bab 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Regional 121

Desentralisasi dan Kesenjangan 123

Pengeluaran 126

Penerimaan 129

Manajemen Keuangan Publik di Daerah 137

Dampak Desentralisasi FIskal Terhadap Kesenjangan 141

Rekomendasi Kebijakan 147

Daftar Rujukan 148

Lampiran 153

Daftar Diagram

Diagram 1.1 Pendapatan dan belanja pemerintah pusat, 1994-2007

Diagram 1.2 Komposisi belanja pemerintah pusat

Diagram 1.3 Komposisi belanja pemerintah daerah (Provinsi + Kabupaten/Kota)

Diagram 1.4 Komposisi ekonomi belanja publik berdasarkan tingkat pemerintahan, 2004

Diagram 1.5 Pulihnya pengeluaran ke tingkat sebelum krisis

Diagram 1.6 Investasi publik pulih kembali ke tingkat sebelum krisis, namun tidak demikin halnya untuk investasi swasta

Diagram 1.7 Ruang gerak fiskal terus meningkat

Diagram 1.8 Ruang gerak fiskal yangtidak dimanfaatkan: Pemerintah pusat

Diagram 1.9 Ruang gerak fiskal yangtidak dimanfaatkan: Pemerintah daerah

Diagram 1.10 Penurunan beban utang (1)

Diagram 1.11 Penurunan defisit anggaran

Diagram 1.12 Pembiayaan non-utang tinggi pada tahun 2000-03

Diagram 1.13 Penurunan defisit anggaran (2)

Diagram 1.14 Subsidi dan harga BBM

Diagram 1.15 Subsidi bahan bakar minyak dan listrik dominan

Diagram 1.16 Harga bahan bakar minyak dalam negeri vs internasional

Diagram 1.17 Penghematan yang diperoleh dari penyesuaian subsidi BBM

Diagram 1.18 Harga dan produksi minyak

Diagram 1.19 Subsidi listrik yang regresif

Diagram 2.1 DIstribusi pengeluaran publik secara nasional pada sektor-sektor kunci, 2001-07

Diagram 2.2 Komposisi ekonomi atas belanja aparatur pemerintah

Diagram 2.3 Distribusi sektoral atas pengeluaran publik, 2005

Diagram 3.1 Angka partisipasi sekolah siswa SD dan SMP berdasarkan tingkat pendapatan

Diagram 3.2 pebandingan secara internasional terhadap pengeluaran untuk pendidikan

Diagram 3.3 Pengeluaran untuk pendidikan berdasarkan program dan tingkat pemerintah

Diagram 3.4 Alokasi anggaran pusat dan daerah untuk sektor pendidikan

Diagram 3.5 Time tren angka partisipasi sekolah

Diagram 3.6 Pendidikan SD: angka partisipasi sekolah antar kabupaten/kota pada satu provinsi

Diagram 3.7 RMG untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pada negara-negara terpilih

Diagram 3.8 Persentase sekolah dasar yang kelebihan dan kekurangan tenaga guru berdasarkan formula penggajian yang baru

Diagram 3.9 Perkiraan biaya untuk gaji guru dan tunjangan baru

Diagram 3.10 Tren nilai ujian membaca dan matematika menurut tes standar internasional PISA

Diagram 4.1 Perbandingan regional antara angka kematian bayi dan kematian balita

Diagram 4.2 Angka kematian bayi dan kematian balita berdasarkan provinsi, 2002-03

Diagram 4.3 Tren dalam pengeluaran di sektor kesehatandi tahun, 1997-2007

Diagram 4.4 Perbandingan antar negara untuk pengeluaran kesehatan, 2004 (anggaran 2006) dan IMR

Diagram 4.5 Tren pengeluaran sektor kesehatan berdasarkan tingkat pemerintahan

Diagram 4.6 Pengeluaran untuk sektor kesehatan dan penerimaan kabupaten/kota, 2004

Diagram 4.7 Komposisi total pengeluaran sektor kesehatan

Diagram 4.8 Tren pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan

Diagram 4.9 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan

Diagram 4.10 Persentase partisipasi dalam asuransi kesehatan

Diagram 4.11 Partisipasi asuransi menurut kuintil, 2005

Diagram 4.12 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan publik dan swasta

Diagram 4.13 Jumlah rumah sakit berdasarkan jenis/pemilik

Diagram 4.14 Layanan spesialisasi vs umum di rumah sakit pemerintah dan swasta

Diagram 4.15 Puskesmas dengan sistem praktik ganda

Diagram 4.16 Pengeluaran publik per kapita untuk kesehatan berdasarkan provinsi, jumlah maksimum, minimum, dan rata-rata

Diagram 4.17 Pemanfaatan layanan kesehatan swasta/publik

Diagram 4.18 Jenis layanan kesehatan

Diagram 4.19 Pemanfaatan layanan rawat jalan, 2005

Diagram 4.20 Rasio bidan dan wilayah layanan dalam km2

Diagram 4.21 Distribusi dokter dan bidan

Diagram 4.22 Jumlah penduduk untuk setiap Puskesmas

Diagram 4.23 Jumlah Dokter untuk setiap Puskesmas

Diagram 4.24 Puskesmas - Sumber layanan pengobatan

Diagram 5.1 Investasi infrastruktur, 1994-2004

Diagram 5.2 Proporsi jalan raya yang diaspal, 2003

Diagram 5.3 Komposisi pengeluaran infrastruktur, 2004

Diagram 5.4 Dampak pelaksanaan sistem desentralisasi terhadap investasi pemerintah untuk infrastruktur

Diagram 5.5 Distribusi pengeluaran unit pengeluaran

Diagram 5.6 Pengeluaran PLN

Diagram 5.7 Investasi dalam jalan raya per tingkat pemerintah dan sektor swasta

Diagram 5.8 Jumlah pinjaman kepada PDAM yang disetujui oleh Departemen Keuangan, 1993-2005

Diagram 5.9 Variasi persentase keluarga yang memiliki sambungan listrik

Diagram 5.10 Variasi persentase desa yang memiliki jalan aspal sebagai akses jalan utama

Diagram 5.11 Distribusi rumah tangga berdasarkan penggunaan air dan kuantif konsumsi

Diagram 5.12 Variasi proposi rumah tangga pada sampel desa yang memiliki akses terhadap air pipa

Diagram 6.1 Kesenjangan antara anggaran dan realisasinya

Diagram 6.2Pencairan pengeluaran non-rutin

Diagram 6.3 Siapa yang bertanggung jawab? Tanggung jawab dalam siklus manajemen pengeluaran publik

Diagram 6.4 Profil skema pencairan proyek

Diagram 7.1 Disparitas daerah yang mencolok

Diagram 7.2 Penerimaan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi

Diagram 7.3 Komposisi DAU secara keseluruhan

Diagram 7.4 Distribusi bagi hasil sumber daya per kapita, dan bagi hasil pajak per kapita

Diagram 7.5 Hasil kerangka penilaian kinerja PFM

Diagram 7.6 Penerimaan fiskal pemerintah daerah menggunakan alokasi DAU yang berbeda

Daftar Tabel

Tabel 1.1 Total pengeluaran publik di tingkat nasional (pusat + Provinsi + Kabupaten/kota)

Tabel 1.2 Komposisi ekonomi dari anggaran belanja negara

Tabel 1.3 Komposisi belanja pemerintah pusat

Tabel 1.4 Kuantifikasi perluasan ruang gerak fiskal

Tabel 1.5 Elastisitas penerimaan daerah terhadap perubahan harga minyak

Tabel 1.6 Perbandingan internasional utang pemerintah

Tabel 1.7 Utang pemerintah pusat dan daerah tahun 2005

Tabel 1.8 Harga minyak dalam negeri vs harga minyak internasional

Tabel 1.9 Distribusi pelayanan sipil antar pemerintah menurut senoritas dan total belanja pegawai

Tabel 1.10 Kerangka fiskal jangka menengah

Tabel 2.1 Distribusi sektoral dari pengeluaran publik secara nasional.

Tabel 2.2 Tren pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah

Tabel 3.1 Angka partisipasi kasar dan sekolah pada berbagai jenjang pendidikan

Tabel 3.2 Pengeluaran publik secara nasional (pusat + Provinsi + Kabupaten/kota)

Tabel 3.3 Pengeluaran publik sektor pendidikan di negara tetangga Indonesia

Tabel 3.4 Pengeluaran nominal sektor pendidikan berdasarkan tingkat pemerintahan

Tabel 3.5 Pembagian pengeluaran pembangunan dan rutin padatingkat pemerintahan

Tabel 3.6 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan daerah

Tabel 3.7 Hasil pengembalian sosial berdasarkan tingkat pendidikan

Tabel 3.8 Pengeluaran pendidikan sebagai persentase pengeluaran pemerintah pusat dan daerah

Tabel 3.9 Pengeluaran pendidikan kabupaten/kota untuk pendidikan berdasarkan kuintil kemiskinan

Tabel 3.10 Perkiraan biaya untuk program “Pendidikan untuk Semua” (PUS)

Tabel 3.11 Perbandingan gaji guru di beberapa negara terpilih dalam Indikator Pendidikan Dunia (IPD)

Tabel 4.1 Perbandingan regional mengenai hasil pelayanan sektor kesehatan

Tabel 4.2 Tren dalam pengeluaran di sektor kesehatan

Tabel 4.3 Tingkat dan proporsi pengeluaran sektor kesehatan per tingkat pemerintahan

Tabel 4.4 Pengeluaran sektor kesehatan-pengeluaran pembangunan vs pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan

Tabel 4.5 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan

Table 4.6 Alokasi fungsional dari anggaran pemerintah pusat untuk kesehatan

Tabel 4.7 Perbandingan internasional tentang angkatan kerja tenaga kesehatan

Tabel 5.1 Peringkat regional dari akses terhadap layanan infrastruktur

Tabel 5.2 Kapasitas sistem kelistrikan PLN vs permintaan puncak (peak time)

Tabel 5.3 Indikator terpilih untuk listrik

Tabel 5.4 Peningkatan kemacetan jalan raya

Tabel 5.5 Mutu jalan raya

Tabel 5.6 Akses terhadap air pipa

Tabel 5.7 Sekilas tentang pengeluaran infrastruktur

Tabel 5.8 Tren investasi

Tabel 5.9 Tren investasi sektor swasta

Tabel 5.10 Pengeluaran publik untuk investasi dan biaya operasional dan pemeliharaan

Tabel 5.11 Biaya operasional dan pemeliharann BUMN

Tabel 5.12 Biaya operasional dan pemeliharaan jalan raya

Tabel 5.13 Akses terhadap infrastruktur: persentase desa dengan akses infrastruktur terpilih

Tabel 5.14 Sumber pendanaan untuk jalan raya di wilayah pedesaan di kabupaten/kota

Tabel 6.1 Kerangka hukum yang sedang berjalan

Tabel 6. 2 Peta Audit

Tabel 7.1 Tingkat disparitas yang signifikan terhadap kondisi sosial dan ekonomi Indonesia

Tabel 7.2 Pengeluaran pemerintah daerah berdasarkan sektor

Tabel 7.3 Pendapatan pemerintah daerah

Tabel 7.4 PBB per sektor

Tabel 7.5 Sumber pendapatan asli pemerintah kabupaten/kota dan provinsi

Tabel 7.6 Sumber pendapatan asli pemerintah pusat dan daerah

Tabel 7.7 Pendapatan asli pemerintah daerah, pengeluaran, dan surplus

Tabel 7.8 Pinjaman dan utang yang telah lewat jatuh tempo berdasarkan peminjam

Tabel 7.9 Kesenjangan fiskal sebelum dan setelah pelaksanaan desentralisasi

Tabel 7.10 HUbungan antara kemiskinan, pendapatan daerah, dan pendapatan fiskal

Tabel 7.11 pengelompokan Kabupaten/kota

Daftar Kotak

Kotak 1.1 Apa yang dimaksud dengan ruang gerak fiskal?

Kotak 1.2 Reformasi pelayanan sipil mulai terjadi

Kotak 3.1 Landasan hukum Indonesia untuk “ketentuan20 persen”

Kotak 4.1 Target pemerintah terhadap peningkatan hasil pelayanan sektor kesehatan

Kotak 4.2 Kembalinya kasus polio di Indonesia pada tahun 2005

Kotak 4.3 Program kesehatan PKPS-BBM 2005

Kotak 6.1 Estimasi yang terlalu rendah terhadap harga minyak

Kotak 6.2 Keterlibatan DPR dalam proses penganggaran

Kotak 6.3 Sistem Indikator Baseline (BIS) Internasional untuk pengadaan

Kotak 7.1 Undang-undang utama tentang desentralisasi, 1999-2006

Kotak 7.2 Penngkatan pengeluaran “lain-lain” di Papua

Kotak 7.3 Tumpang tindih pengeluaran pemerintah pusat dan daerah: Studi kasus di Jawa Timur

Kotak 7.4 Formula DAU

Kotak 7.5 Inovasi dalam alokasi DAU

Kotak 7.6 Distribusi dan pengelolaan dana otonomi khusus

Daftar istilah

ABT Anggaran Belanja Tambahan

ADB (Asian Development Bank) Bank Pembangunan Asia

Amdal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

APBN Anggaran Pendapatan Belanja Negara

APBN-P Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara

Askes Asuransi Kesehatan Indonesia

Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Bawasda Badan Pengawas Daerah

BI Bank Indonesia

BKM Bantuan Khusus Murid

BKN Badan Kepegawaian Negara

BOS Bantuan Operasional Sekolah

BPK Badan Pemeriksa Keuangan

BPKP Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

BPM Badan Pemberdayaan Masyarakat

BPN Badan Pertanahan Nasional

BPS Biro Pusat Statistik

BUMN Badan Usaha Millik Negara

CY Calendar Year (Tahun Kalender)

DAK Dana Alokasi Khusus

DAU Dana Alokasi Umum

DepKes Departemen Kesehatan

Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional

DepKeu Departemen Keuangan

Departemen PU Departemen Pekerjaan Umum

DGDM Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara

DIP Daftar Isian Proyek

DIPA Daftar Isian Proyek Anggaran

Dispenda Dinas Pendapatan Daerah

Disnakertrans Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

DPPHLN Direktorat Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri

DPR Dewan Perwakilan Rakyat

FC Fiscal Capacity (Kapasitas Fiskal)

FG Fiscal Gap (Kesenjangan Fiskal)

FY Fiscal Year (Tahun Fiskal)

GDS Governance and Decentralization Survey

IPM Indikator Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI)

IDHS Indonesia Demographic and Kesehatan Survey (Survei Kesehatan dan Demografi Indonesia)

IHK Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/ CPI)

IMF Internasional Monetary Fund (Dana Moneter Internasional)

IMR Infant Mortality Rate (Tingkat Kematian Bayi)

Inpres Presidential Instruction (Instruksi Presiden)

IPD Indikator Pendidikan Dunia (World Education Indocator/WEI)

IPP Independent Power Producer (Produsen Listrik Independen)

Jamsostek Jaminan Sosial Tenaga Kerja

JPKM Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat

Kanwil Kantor Wilayah

KAR Kantor Keuangan Daerah

Kasipa Kantor Verifikasi dan Pelaksanaan Anggaran

Keppres Keputusan Presiden

KPK Komite Pemberantasan Korupsi

KKPPI Komite Kebijakan Percepatan Pengadaan Infrastruktur

KPPN Kantor Perbendaharaan Negara

KPPOD Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

LAN Lembaga Administrasi Negara

LPEM FEUI Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

LPPN Laporan Penilaian Pengadaan Negara (Country Procurement Assessment Report/ CPAR)

Makuda Manual akuntansi dan Keuangan Daerah

MDG (Millenium Pembangunan Goal) Tujuan Pembangunan Milenium

Menpan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara

MMR (Maternal Mortality Rate) Tingkat Kematian Ibu

MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat

MTEF Medium-term Pengeluaran Framework (Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah)

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

PIN Pekan Imunisasi Nasional

LKPN Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional

OHDA Orang Hidup Dengan HIV/AIDS

OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan

PK Per kapita (Per kepala)

PDAM Perusahaan Daerah Air Minum

PDB Pendapatan Domestik Bruto

PDRB Produk Domestik Regional Bruto

Perda Peraturan Daerah

Perpu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Pertamina Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional

PGRI Persatuan Guru Republik Indonesia

PISA (Program for Internasional Student Association) Program untuk Persatuan Pelajar Internasional

PKPS-BBM Program Kompensasi Pengganti Subsidi BBM

PLN Perusahaan Listrik Negara

PNBP Pendapatan Negara Bukan Pajak

Podes Potensi Desa

Posko Pos Koordinasi

PP Peraturan Pemerintah

PTT Pegawai Tidak Tetap

PUS Pendidikan untuk Semua (Education for all/EFA)

Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat

Pustu Puskesmas Pembantu

RAPBN Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara

RBD Regional Pembangunan Daerah

RDI Rekening Dana Investasi

Renja KL Rencana Kerja Tahunan Kementerian/Lembaga

Renstra KL Rencana Strategis Kementerian/Lembaga

Repanas Rencana Pembangunan Nasional

RMG Rasio Murid-Guru (Student-Teacher Ratio/STR)

RKA-KL Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga

RKP Rencana Kerja Pemerintah

RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Sakernas Survei Tenaga Kerja Nasional

SDA Sumber Daya Alam

SDO Subsidi Daerah Otonom

SIKD Sistem Informasi Keuangan Daerah

SLA (Subsidiary Loan Agreements ) Perjanjian Pinjaman Pemberian Subsidi

STX (Shared Tax Revenue) (Penerimaan Bagi Hasil Pajak)

Susenas Survei Sosial Ekonomi Nasional

TIMMS (Third Internasional Mathematics and Science Study) Lomba Matematika dan IPA Internasional

TSA Treasury Single Account (Rekening Dana Tunggal)

Unicef (United Nations Children Funds)

UNDP United Nations Development Program

Unesco United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisations

WDI World Pembangunan Indicators (Indikator Pembangunan Dunia)

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru i

RANGKUMAN EKSEKUTIF

Ikhtisar

Peluang yang Unik

Indonesia telah melampaui periode pasca krisis: kini Indonesia telah memiliki sumber daya keuangan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pembangunan. Kebijakan makroekonomi yang hati-hati, terutama kebijakan untuk menekan defisit anggaran, merupakan hal yang sangat penting dalam pemulihan ekonomi. Kinilah saatnya untuk mengambil langkah-langkah peningkatan sesuai dengan apa yang telah dicapai beberapa tahun belakangan ini serta menggunakan sumber-sumber keuangan negara secara efektif dan efisien untuk memperbaiki mutu pendidikan, perluasan layanan kesehatan, menutup kesenjangan infrastruktur yang sangat penting, semuanya untuk menanggulangi kemiskinan dan membangun ekonomi yang kompetitif.

Selama lebih dari 10 tahun terakhir telah terjadi transformasi yang luar biasa pada pengelolaan dan pengalokasian bebagai sumber daya publik. Terdapat tiga momen penting yang perlu diperhatikan:

• 1997-98 – Masa krisis ekonomi. Ekonomi lesu, pengeluaran publik turun. Hutang dan subsidi meningkat, sementara itu pengeluaran pembangunan menurun tajam.

• 2001 – Desentralisasi. Sepertiga pengeluaran pemerintah pusat dialihkan ke daerah. • 2006 – Dana sebesar US$15 milyar untuk dialokasikan kembali. Pengurangan subdisi bahan bakar minyak

(BBM) memberikan peluang untuk dialokasikan kembali. Jumlah hutang menurun sampai di bawah 40 persen dari PDB, pengeluaran agregat meningkat sampai dengan by 20 persen, dan transfer dana ke pemerintah daerah meningkat menjadi sebesar 32 persen.

Diagram 1 Tahun-tahun yang menentukan dalam alokasi pengeluaran publik untuk Indonesia

-

20

40

60

80

100

120

140

160

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

Har

ga k

onst

an d

i tah

un 2

000;

Rp

trili

un

Pembayaran Bunga Hutang SubsidiTransfer ke Daerah Belanja Pembangunan Pemerintah Pusat

Krisis DesentralisasiEkstra AS$15 miliar untuk dibelanjakan

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.

Indonesia dapat berharap untuk memiliki sumber daya fiskal tambahan yang dapat dialokasikan kembali, dalam jumlah yang signifikan, atau yang disebut “ruang fiskal” (fiscal space) yang besarnya hampir sama dengan tambahan pendapatan yang diperoleh dari sektor migas selama booming minyak di pertengahan tahun 1970-an. Sejak pengurangan subsidi BBM tahun 2005, Indonesia berhasil menyisihkan dana yang dapat dialokasikan kembali sebesar US$10 milyar untuk membiayai berbagai program pembangunan. Kemudian ada tambahan anggaran sebesar US$5 juta yang diperoleh dari peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan penurunan kewajiban pembayaran hutang. Jumlah yang sama akan juga tersedia untuk 2007 dan akan berlanjut

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru ii

RANGKUMAN EKSEKUTIF

sampai ke tahun-tahun berikutnya. Posisi fiskal Indonesia dapat terus mengalami peningkatan dengan menghapus subsidi yang masih membebani anggaran. Jumlah subsidi saat ini masih berjumlah US$10 milyar (15 persen dari total pengeluaran 2006).

Ruang gerak fiskal akan tetap signifikan walaupun terjadi penurunan harga minyak dunia secara tajam. Kombinasi antara peningkatan pendapatan dan pengurangan subsidi memberikan jaminan terjadinya tambahan sumber daya fiskal di masa-masa yang akan datang. Harga minyak dunia dan ruang fiskal Indonesia tidak lagi berkaitan akibat terjadinya penurunan produksi minyak secara drastis sampai hampir mencapai 40 persen sejak 1996. Saat ini konsumsi minyak Indonesia hampir sama dengan jumlah minyak yang diproduksi, sehingga perubahan harga minyak dunia relatif tidak terlalu penting terhadap anggaran belanja Indonesia.

Sebagian besar tambahan sumber daya ini akan digunakan oleh pemerintah daerah dan provinsi. Dalam hal pengeluaran, Indonesia telah menjadi salah satu negara yang paling ter-desentralisir di dunia. Sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang ada saat ini memberikan jaminan akan kelangsungan hal tersebut. Peningkatan transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada tahun 2006 sama besarnya dengan peningkatan di awal penerapan desentralisasi tahun 2001. Saat ini pemerintah daerah dan provinsi di Indonesia memiliki anggaran sebesar 36 persen dari total anggaran publik (Kotak 1). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat desentralisasi fiskal lebih tinggi daripada rata-rata negara OECD, juga lebih tinggi daripada negara-negara Asia Timur lainnya kecuali Cina.

Kotak 1 Keuangan publik di Indonesia – fakta kunci

• Pemerintah provinsi dan daerah kini mengelola sebanyak 36 persen dari total pengeluaran publik dan mereka juga melaksanakan lebih dari 50 persen investasi publik.

Total hutang pemerintah menurun sampai dengan di bawah 40 persen dari PDB pada akhir 2006. Pengeluaran untuk subsidi dan administrasi pemerintahan berjumlah sepertiga dari total pengeluaran.

Besarnya subsidi masih berkisar sebesar 15 persen dari total anggaran dan pada tingkat yang sama dengan 2004.

Investasi publik telah pulih dan kembali pada tingkat sebelum krisis yaitu sebesar 7 persen; saat ini setengah dari investasi publik dikelola oleh pemerintah daerah.

Pengeluaran untuk sektor pendidikan kini mencapai 17.2 persen dari total pengeluaran, yang merupakan alokasi terbesar jika dibandingkan dengan sektor lainnya dan sebanding dengan banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah lainnya. Pengeluaran sektor pendidikan mencapai 3.9 persen dari PDB tahun 2006, naik 2 persen dibandingkan dengan pengeluaran untuk 2001.

Total pengeluaran publik untuk sektor kesehatan masih di bawah 1 persen dari PDB, walaupun sudah terjadi kenaikan yang sangat mencolok sejak 2002.

Investasi publik untuk infrastruktur belum pulih dari posisinya yang tetap rendah pasca krisis dan hanya berjumlah 3.4 persen PDB.

Mengapa Laporan ini Diperlukan?

Analisis pengeluaran publik dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat. Memang, sebaiknya analisis dan pemantauan terhadap pengeluaran publik merupakan sebuah proses yang terjadi secara alami dan dilakukan secara rutin. Banyak pemerintah di seluruh dunia, seringkali dengan dukungan Bank Dunia, melaksanakan Kajian Pengeluaran Publik (Publik Expenditure Reviews atau PERs) yang dilakukan setiap dua tahun sekali. Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia telah melaksanakan PER nasional yang terakhir pada 2003 dan setelah itu dilaksanakan juga sejumlah analisis yang lebih dalam lagi tentang pengeluaran sektoral dan pengeluaran publik pada tingkat daerah.1

Laporan ini mencoba mengemukakan berbagai fakta tentang pengeluaran publik di Indonesia, menampilkan berbagai kecenderungan selama kurun waktu tertentu, dan melakukan analisis terhadap komposisi pengeluaran lintas sektoral serta pengeluaran di setiap tingkat pemerintahan. Laporan ini menyampaikan

1 Misalnya: Desentralisasi Indonesia (2003); Analisis Pengeluaran Publik untuk Papua – Keuangan Daerah dan Pemberian Layanan di Wilayah Paling Terpencil di Indonesia (2005), Pengeluaran untuk Rekonstruksi dan Pembangunan – Analisis Pengeluaran Publik untuk Aceh (2006), Investasi untuk Pendidikan di Indonesia (2007).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru iii

RANGKUMAN EKSEKUTIF

informasi yang komprehensif tentang sektor-sektor kunci, termasuk pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam berbagai sektor infrastruktur kunci. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, ada sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam laporan ini: Siapa yang memperoleh manfaat dari berbagai sumber daya publik yang jumlahnya cukup besar ini? Di mana letak kesenjangannya? Daerah-daerah mana yang memiliki sumber daya yang cukup besar? Daerah mana yang kelihatannya masih tertinggal? Selain menyorot pertanyaan itu, laporan ini juga mencoba untuk memberikan respon terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak kebanyakan masyarakat Indonesia serta sahabat-sahabat Indonesia, seperti:

• Apakah Indonesia mampu membiayai pengeluaran lebih besar lagi? • Apakah tingkat pengeluaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan saat ini sudah memadai? • Bagaimana cara untuk melakukan revitalisasi terhadap investasi infrastruktur, dan sektor-sektor mana saja

yang mendapatkan prioritas? • Mengapa proses pencairan dana melalui sistem anggaran pemerintah begitu sulit? • Bagaimana tingkat kesenjangan daerah di Indonesia dan bagaimana sistim perimbangan keuangan pusat

dan daerah dapat diatur untuk mengurangi kesenjangan yang ada?

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu prioritas penting dari pemerintah dan tindak korupsi yang melibatkan penggunaan dana publik masih merupakan satu masalah besar. Korupsi merusak pengambilan keputusan mengenai pengeluaran dan pada saat yang sama korupsi juga menghambat pelaksanaan anggaran. Sementara laporan ini memberikan argumentasi bahwa Indonesia perlu meningkatkan investasi publiknya, tingkat korupsi akan menentukan apakah investasi tersebut mampu memberikan hasil yang langgeng bagi rakyat Indonesia. Dengan pengalihan sumber-sumber daya yang begitu besar ke pemerintah daerah, upaya pemberantasan korupsi di tingkat daerah sama pentingnya dengan upaya yang dilakukan di tingkat pusat.

Laporan ini menitikberatkan dimensi teknis dari tindak korupsi: proses anggaran, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem audit (pemeriksaan). Sistem fidusiari ini pada dasarnya menentukan tingkat korupsi dalam pengeluaran dan mutu pengeluaran itu sendiri. Berdasarkan analisis lingkungan fidusiari di tingkat pusat dan daerah, laporan ini juga menyoroti bidang-bidang yang rentan terhadap praktik korupsi , terutama dalam sistem pengelolaan keuangan publik.

Laporan ini membahas tujuh bidang pengeluaran yang sangat kritis. Dua bab pertama (Bab 1 tentang ruang fiskal dan Bab 2 tentang alokasi anggaran lintas sektoral) membahas tentang berapa jumlah dana yang tersedia bagi pemerintah dan bagaimana dana itu dialokasikan antar sektor dan di setiap tingkat pemerintahan. Tiga bab berikutnya, yang membahas isu pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, menyampaikan analisis tentang bagaimana berbagai sumber daya yang ada kini dialokasikan dalam sektor-sektor yang sangat penting ini dan seberapa efektif pemanfaatannya. Dua bab terakhir (Bab 6 tentang pengelolaan keuangan publik dan Bab 7 tentang desentralisasi) menyoroti isu-isu kelembagaan dan isu-isu yang saling terkait dalam pengelolaan pengeluaran publik.

Tren dalam Pengeluaran Sektoral dan Investasi Publik

Sementara tingkat kemiskinan semakin menurun secara signifikan setelah 1999—meskipun sempat meningkat di tahun 2005—indikator pelayanan publik masih menunjukkan gambaran yang tidak sama. Beberapa indikator telah mengalami peningkatan, seperti angka partisipasi sekolah siswa sekolah dasar. Akan tetapi, masih banyak indikator lain yang hanya menunjukkan peningkatan yang sangat kecil dan beberapa bahkan tidak menunjukkan peningkatan sama sekali sejak 1999. Indonesia masih berada pada posisi yang sangat rendah dalam hal angka kematian ibu, gizi, dan angka partisipasi sekolah siswa sekolah menengah, terutama bagi kelompok masyarakat paling miskin. Selain itu, Indonesia juga menghadapi tantangan baru seperti peningkatan penyakit kardiovaskuler dan sejumlah epidemi seperti HIV/AIDS dan flu burung.

Pemerintah kini memiliki peluang unik untuk memperbaiki dan meningkatkan layanan publik di Indonesia. Selama masa booming minyak pada pertengahan 1970s, pemerintah memusatkan perhatian pada pemenuhan kebutuhan pokok, terutama pendidikan dasar dan kesehatan. Upaya ini memberikan kontribusi luar biasa terhadap peningkatan kedua sektor ini walaupun sejumlah daerah terpencil, terutama yang terletak di kawasan Indonesia timur, masih jauh tertinggal. Saat ini, tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah melanjutkan gerak reformasi

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru iv

RANGKUMAN EKSEKUTIF

ke langkah berikutnya dengan fokus pada kualitas pelayanan publik dan penyediaan sarana infrastruktur yang ditargetkan. Untuk mempertahankan kondisi ekonomi Indonesia yang siap bersaing dalam jangka panjang, sistem pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta perbaikan sistem pelayanan kesehatan dan infrastruktur yang lebih baik menduduki posisi yang sama pentingnya. Akan tetapi, alokasi pengeluaran yang ada sekarang masih kurang optimal untuk menghadapi tantangan pembangunan Indonesia. Indonesia telah berhasil mencapai kemajuan yang sangat pesat selama dua tahun terakhir dalam melakukan realokasi pengeluaran (dari kebijakan subsidi yang tidak efisien) untuk mendanai program-program yang berpihak pada masyarakat miskin. Tetapi pengeluaran Indonesia untuk infrastruktur dan sektor-sektor sosial penting lainnya masih sangat rendah dan kurang. Indonesia berhasil mencapai prestasi sangat mengesankan dalam melakukan alokasi terhadap dana tambahan untuk sektor pendidikan. Pada 2005, anggaran pendidikan sudah mencapai hampir Rp 80 triliun, namun pengeluaran untuk administrasi pemerintahan inti (di luar gaji guru, dokter, dan perawat) sangat tinggi yaitu Rp 67 triliun—yang merupakan pengeluaran sektoral terbesar kedua (Diagram 2). Berdasarkan perkiraan untuk tahun 2006, walaupun secara ranking masih sama, pemerintah diproyeksikan masih membelanjakan sekitar 15 persen dari anggaran untuk subsidi dan administrasi pemerintahan (jika dijumlah hasilnya lebih dari 30 persen). Anggaran untuk pendidikan diperkirakan sekitar Rp 120 triliun, sementara belanja untuk administrasi pemerintahan inti adalah Rp 107 triliun dan subsidi sebesar Rp 108 triliun. Tingkat yang lebih normal bagi belanja administrasi pemerintah di negara yang sebanding adalah sekitar 5 sampai 10 persen.

Diagram 2 Pengeluaran sektoral: didominasi oleh sektor pendidikan dan aparatur pemerintah

28

1123

32

9

4

15

9

4

47

40

9

9

52

5

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Pendidikan Aparat Pe-merintah &Pengawasan

Infrastruktuur Pertahanan &Keamanan

Kesehatan Pertanian

Rp tr

iliun

Kabupaten/kotaProvinsiPusat

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia, 2004.

Setelah terjadi krisis ekonomi, pemerintah Indonesia belum berhasil melakukan investasi yang memadai untuk meningkatkan ekonomi dan tingkat investasi publik menjadi salah satu yang terendah dibandingkan dengan negara-negara berpenghasilan menengah lainnya. Total investasi, baik untuk sektor publik maupun swasta, mengalami penurunan dari 27 persen dari PDB pada 1996 menjadi kurang dari 20 persen pada 2000. Tetapi pengeluaran publik untuk pembangunan—sebagai salah satu alat ukur (proxy) investasi publik—bahkan mengalami penurunan yang lebih tajam, dari 6,5 persen dari PDB pada 1996 menjadi kurang dari 4 persen pada 2000.

Investasi publik kini sedang mengalami pemulihan dari tingkat penurunan pasca krisis dan hal ini menunjukkan peluang untuk menanggulangi berbagai kelemahan yang terdapat dalam penyediaan pelayanan publik. Setelah 2002, investasi publik mulai pulih. Pada 2003, investasi publik mencapai titik yang sama dengan sebelum krisis. Pada 2004 dan 2005, tingkat ini menurun kembali ketika subdisi BBM menggelembung. Setelah dilakukan realokasi subsidi BBM pada 2005, investasi publik kembali mencapai tingkat yang sama seperti tingkat sebelum krisis sebesar 6,5 persen PDB. Akan tetapi, tingkat investasi publik di Indonesia masih merupakan yang terendah di antara negara-negara berpenghasilan menengah. Dengan realokasi sumber daya yang sedemikian berani, kini Indonesia berada pada titik di mana tingkat investasi dapat dan harus meningkat menjadi lebih tinggi daripada tingkat sebelum krisis sebagai kompensasi terhadap tingkat investasi yang rendah dari 1999 sampai 2002 (Diagram 3 dan 4). (Seperti yang tampak pada Diagram 3, investasi sektor swasta masih tertinggal dan masih lebih rendah dari tingkat sebelum krisis).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru v

RANGKUMAN EKSEKUTIF

Komposisi investasi publik telah berubah secara substansial sejak pelaksanaan desentralisasi. Ketika Indonesia mulai menerapkan desentralisasi, sumber daya pemerintah daerah mengalami peningkatan. Pemerintah daerah kini mengelola setengah dari total investasi publik (Diagram 4). Pada saat yang sama, komposisi pengeluaran sektoral juga mengalami perubahan. Pengalokasian secara rata-rata untuk sektor pendidikan dan administrasi telah mengalami peningkatan cukup signifikan, sementara pengeluaran infrastruktur mengalami penurunan terutama sejak 2003.

Diagram 3 Investasi publik pulih secara perlahan Diagram 4 Pasang surut investasi publik

6.43.8

6.54.4

6.5

20.7 22.1

12.7 17.616.8

0

5

10

15

20

25

30

1996 2000 2003 2005 2006(*)

Swasta

Publik

(%)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005(E)

2006(P)

2007(P)

(%)

Pemerintah Pusat

Provinsi Kabupaten/Kota

Sumber: BPS, Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Angka-angka di atas merupakan persentase PDB.

Sumber: BPS, Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia.

Komposisi investasi publik telah berubah secara substansial sejak pelaksanaan desentralisasi. Ketika Indonesia mulai menerapkan desentralisasi, sumber daya pemerintah daerah mengalami peningkatan. Pemerintah daerah kini mengelola setengah dari total investasi publik (Diagram 4). Pada saat yang sama, komposisi pengeluaran sektoral juga mengalami perubahan. Pengalokasian secara rata-rata untuk sektor pendidikan dan administrasi telah mengalami peningkatan cukup signifikan, sementara pengeluaran infrastruktur mengalami penurunan terutama sejak 2003.

Pendidikan

ndonesia telah berhasil mencapai angka partisipasi sekolah yang sangat tinggi untuk jenjang pendidikan dasar. Dengan demikian, mengirim anak ke sekolah dasar tidak lagi menjadi tantangan pembangunan yang berarti. Walaupun demikian, berbagai upaya lebih lanjut masih akan diperlukan untuk menjangkau 8 persen anak usia sekolah yang belum terdaftar sebagai siswa sekolah dasar. Pemerintah saat ini tengah menanggulangi kesenjangan investasi pada jenjang pendidikan dasar, tetapi penekanan lebih besar harus diberikan pada peningkatan mutu di seluruh sistem pendidikan dan meningkatkan angka partisipasi sekolah di jenjang pendidikan menengah pertama.

Saat ini Indonesia mengalokasikan sebanyak 17,2 persen dari total pengeluaran publik untuk pendidikan (2006). Tingkat ini hampir sama dengan negara berkembang lainnya, dan bahkan sama pula dengan negara-negara OECD. Akan tetapi, beberapa negara tetangga Indonesia terdekat (Malaysia, Thailand, dan Filipina) mengalokasikan dana lebih banyak untuk sektor pendidikan mereka—sampai dengan 28 persen dari anggaran nasional mereka. Di samping itu, masih diperlukan lagi anggaran untuk investasi tambahan mengingat gedung-gedung sekolah dan aset pendidikan lainnya telah mengalami kerusakan yang sangat parah selama beberapa tahun belakangan ini.

Masih terdapat inkonsistensi struktural dalam komposisi pengeluaran di tingkat pusat dan daerah. Pemerintah daerah menghabiskan sebagian besar anggaran pemerintah (70 persen), namun anggaran ini hampir seluruhnya diperuntukkan bagi gaji guru, yang masih ditentukan oleh pemerintah tingkat pusat. Sebaliknya, pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan sebagian besar diperuntukkan bagi investasi pendidikan, sementara pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pengelolaan, pembangunan, dan rehabilitasi sekolah. Dominasi pemerintah pusat pada investasi pendidikan bisa bertentangan dengan tujuan dari desentralisasi fungsi-fungsi pendidikan kepada pemerintah daerah.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru vi

RANGKUMAN EKSEKUTIF

Jika mandat undang-undang yang menentukan anggaran sejumlah 20 persen untuk sektor pendidikan tidak termasuk gaji guru, hal ini akan menjadi tidak realistis dan menimbulkan masalah besar. Tidak akan mungkin dapat mencapai persyaratan untuk mengeluarkan sebanyak 20 persen dari total anggaran untuk pendidikan jika tidak memasukkan gaji guru sebagai salah satu komponennya. Pemerintah daerah perlu meningkatkan pengeluaran untuk sektor pendidikan sampai dengan sekitar 17 sampai dengan 45 persen untuk bisa mencapai angka 20 persen sesuai dengan definisi ini. Pemerintah pusat juga perlu untuk melipatgandakan tingkat pengeluaran mereka yang sekarang dan mengalokasikan peningkatan pengeluaran non-gaji. Akan tetapi, peningkatan sumber-sumber daya di tingkat pusat sampai dengan tingkat 20 persen tidak sesuai dengan logika yang melandasi desentralisasi; Jelaslah bahwa sebagian besar tambahan pengeluaran untuk pemerintah pusat diperuntukkan bagi pelaksanaan fungsi-fungsi yang didesentralisir. Definisi yang berlaku saat ini mengklasifikasikan pendapatan guru diluar gaji bukan sebagai pengeluaran operasional juga menambah fragmentasi gaji guru.

Distribusi guru sangat tidak merata di seluruh Indonesia. Jumlah guru untuk Indonesia sudah memadai untuk memperoleh rasio murid-guru 20:1 tetapi banyak guru hanya bekerja paruh waktu dan terkonsentrasi di daerah-daerah yang lebih makmur. Akibatnya, sekitar 55 persen sekolah mengalami kelebihan guru, sementara 34 persen kekurangan tenaga guru. Kebanyakan sekolah di perkotaan dan sejumlah sekolah di pedesaan memiliki jumlah guru yang terlalu banyak, sementara sebanyak 66 persen sekolah di daerah terpencil mengalami kekurangan tenaga guru yang sangat serius. Kebijakan baru pemerintah untuk memberikan insentif finansial yang lebih banyak bagi guru yang bekerja di daerah terpencil merupakan langkah awal untuk menuju arah yang benar, tetapi hal ini hanya akan mampu meningkatkan mutu layanan pendidikan jika diberlakukan sistem pemantauan berbasis masyarakat yang kuat.

Struktur gaji yang ada sekarang tidak memberikan insentif kepada guru untuk bertugas di sekolah-sekolah jenjang menengah dan sekolah-sekolah yang terletak di daerah terpencil. Program sertifikasi guru yang baru berusaha menanggulangi beberapa dari masalah ini dengan cara meningkatkan kualifikasi para guru dan menyediakan insentif keuangan untuk tujuan penempatan ulang para guru secara lebih merata. Tetapi gaji guru baru bisa dipertahankan jika secara terus-menerus dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi tingkat ketidakhadiran guru yang begitu tinggi. Dan hal ini dapat digunakan sebagai titik awal untuk melakukan modernisasi di sektor ini. Implikasi keuangan dari peningkatan pembayaran tunjangan sesuai dengan UU No. 14/2005 tentang guru hanya dapat dikurangi jika jumlah guru penerima gaji (baik yang berstatus guru tetap maupun paruh waktu) juga dikurangi.

Kesehatan Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia masih tertinggal dalam hal berbagai indikator utama terhadap pencapaian di sektor kesehatan seperti tingkat kematian bayi, kematian balita, dan kematian ibu. Ada tiga alasan utama yang dapat menjelaskan hal ini: mutu layanan kesehatan dasar yang buruk, tingkat pemanfaatan layanan kesehatan sekunder yang rendah oleh rakyat miskin, dan tingkat layanan pencegahan yang rendah.

• Layanan kesehatan dasar yang buruk. Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) mengalami kekurangan infrastruktur yang memadai, seperti air bersih dan akses jaringan listrik yang teratur, serta kurangnya persediaan obat-obatan dasar. Efisiensi pengeluaran dapat ditingkatkan dengan melakukan realokasi terhadap anggaran layanan Puskesmas bagi masyarakat miskin dan berfokus pada intervensi untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan dasar.

• Tingkat pemanfaatan layanan kesehatan sekunder oleh masyarakat miskin yang masih rendah. Tingkat penggunaan layanan kesehatan sekunder (rumah sakit) oleh masyarakat miskin masih sangat rendah. Dengan demikian, ada potensi yang cukup signifikan untuk melakukan investasi di sisi permintaan yang dapat meningkatkan masyarakat miskin terhadap layanan gawat darurat atau rawat inap. Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan rumah sakit dapat dilaksanakan melalui sistem kupon (kartu sehat) yang memungkinkan pemiliknya memperoleh layanan gratis. Pemasukan yang diterima rumah sakit sesuai dengan jumlah pemegang kartu yang dilayani.

• Tingkat layanan pencegahan yang rendah. Indikator kesehatan Indonesia yang masih mengecewakan dapat pula ditingkatkan dengan memperkuat layanan pencegahan, intensifikasi program kesehatan, dan kampanye nasional untuk kesehatan untuk menanggulangi penyakit menular, terutama di daerah-daerah terpencil dan di wilayah-wilayah yang masih terbelakang.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru vii

RANGKUMAN EKSEKUTIF

Walaupun pengeluaran untuk sektor kesehatan telah mengalami peningkatan cukup signifikan sejak 2000, pengeluaran agregat masih berada di bawah 1 persen dari PDB. Meskipun tingkat pengeluaran agregat untuk kesehatan masih rendah, Indonesia masih dapat mencapai perbaikan yang signifikan dengan tingkat pengeluaran yang ada sekarang dengan catatan bahwa berbagai sumber daya yang ada didistribusikan secara lebih merata bagi setiap kelompok masyarakat sesuai dengan tingkat penghasilan mereka. Sumber daya ini juga harus dibagikan secara lebih merata ke seluruh kabupaten. Kebijakan pemerintah di sektor ini belum tercermin dengan baik dalam alokasi anggaran mereka, di mana sebagian besar sumber daya digunakan untuk memberikan layanan yang dimanfaatkan oleh penduduk yang tergolong kaya (layanan kesehatan sekunder). Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan alokasi yang lebih baik terhadap sumber daya yang ada sebelum meningkatkan anggaran kesehatan secara substansial. Misalnya, semua subsidi untuk fasilitas layanan kesehatan sekunder harus dialokasikan kembali ke layanan kesehatan primer. Mungkin juga ada manfaat khusus dengan memberikan subsidi bagi layanan ambulan, terutama untuk daerah-daerah terpencil. Program PKPS-BBM yang ada saat ini berharap dapat meningkatkan akses layanan kesehatan rawat inap primer dan sekunder bagi masyarakat miskin.

Ada disparitas regional yang signifikan dalam pengeluaran per kapita untuk kesehatan publik, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam penyediaan layanan di tingkat daerah. Pengeluaran untuk layanan kesehatan publik di tingkat daerah (digabungkan dengan alokasi untuk pemerintah daerah dan alokasi anggaran dekonsentrasi pemerintah pusat) cenderung lebih banyak menguntungkan kabupaten/kota yang lebih kaya. Kesenjangan ini pada dasarnya didorong oleh dampak regresif dari pengeluaran yang didesentralisir.

Sementara Indonesia memiliki jumlah bidan yang memadai, jumlah dokter, apoteker, dan perawat masih terlalu sedikit. Indonesia memiliki bidan yang cukup yang disebar dengan sangat baik ke seluruh negeri. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka melayani pasien dalam jumlah kecil dan memiliki peluang sangat kecil untuk meningkatkan keterampilan mereka. Bagi praktisi kesehatan yang lain, tantangan itu malah sebaliknya. Misalnya, di Puskesmas masih terjadi kekurangan tenaga dokter yang sangat serius, terutama di daerah-daerah terpencil. Tingkat ketidakhadiran petugas kesehatan juga sangat tinggi, sampai 40 persen karena sebagian dokter juga membuka praktik swasta.

Infrastruktur

Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan sekitar, Indonesia berada pada urutan paling bawah dalam pelayananan terhadap akses air bersih, listrik, dan sanitasi. Hanya 40 persen dari penduduk Indonesia memiliki akses terhadap air keran (PDAM) dan sepertiga penduduk Indonesia (lebih dari 70 juta) tidak memiliki akses jaringan listrik. Keadaan ini tidak mengalami peningkatan cukup berarti selama beberapa tahun terakhir ini.

Investasi Indonesia untuk infrastruktur masih terlalu kecil. Investasi infrastruktur publik mengalami penurunan secara dramatis setelah krisis, sampai sekitar 1 persen dari PDB pada 2000. Saat ini, total investasi infrastruktur publik—dari keseluruhan sektor publik, BUMN dan swasta—berjumlah 3.4 persen dari PDB, yang masih sangat jauh dibawah tingkat investasi sebelum krisis antara 5 - 6 persen dari PDB.

Terdapat tiga alasan penyebab kinerja tersebut: • Intensitas modal. Sektor infrastruktur cenderung memiliki alokasi modal yang lebih besar dari pada sektor

sosial (terutama pendidikan). Setelah krisis ekonomi, Indonesia, seperti halnya kebanyakan negara pasca krisis, memotong anggaran modal mereka, yang berpengaruh buruk terhadap investasi infrastruktur, secara tidak proporsional.

• Kehati-hatian sektor swasta. Kevakuman yang disebabkan oleh penurunan investasi infrastruktur publik yang begitu tajam tidak pernah diisi kembali oleh investasi infrastruktur swasta. Ini masih merupakan permasalahan sampai saat ini: yang diperlukan bukan saja peningkatan investasi infrastruktur publik, tetapi juga kemajuan dalam mendorong investasi swasta melalui perbaikan dan peningkatan Iklim investasi, sejalan dengan kerangka kerja yang lebih jelas untuk melakukan proyek-proyek kerja sama yang melibatkan sektor publik dan swasta.

• Desentralisasi. Pemerintah daerah mengalokasikan sebagian besar pengeluaran mereka untuk kebutuhan sektor sosial dan administrasi kepemerintahan. Disisi lain, pemerintah pusat secara terus-menerus melakukan pengeluaran dalam jumlah besar untuk fungsi-fungsi daerah terutama sektor kesehatan dan pendidikan, yang mengakibakan alokasi anggaran yang lebih sedikit untuk proyek-proyek infrastruktur berskala besar. Di

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru viii

RANGKUMAN EKSEKUTIF

samping itu, perusahaan publik yang telah dialihkan ke pemerintah daerah, terutama PDAM yang menangani pasokan air bersih telah terlilit hutang.

• Proses anggaran. Sebagian besar modal anggaran cenderung digunakan pada periode pertengahan kedua tahun anggaran, sehingga tidak ada banyak waktu untuk menyelesaikan proyek investasi berskala besar. Proses anggaran saat ini masih memuat terlalu banyak ketidakpastian dan interupsi untuk meluncurkan proyek-proyek infrastruktur besar yang memerlukan waktu penyelesaian beberapa tahun.

Peningkatan investasi infrastruktur akan memerlukan paling sedikit 2 persen dari PDB, atau AS$6 milyar per tahun. Jumlah ini akan mampu mengembalikan tingkat investasi pada masa sebelum krisis, tetapi tetap saja tidak akan mampu menggantikan ‘dekade yang hilang’ dalam investasi infrastruktur semenjak krisis. Perkembangan pemerintah dan strategi penurunan kemiskinan telah membuat infrastruktur sebagai salah satu prioritas pemerintah, tetapi perubahan kebijakan yang dilakukan baru-baru ini belum diterjemahkan ke dalam bentuk nyata dan sektor publik akan mendapatkan tekanan berat untuk memenuhi kesenjangan pembiayaan yang ada. Alokasi yang lebih tinggi di masa depan untuk meningkatkan investasi perlu datang dari sektor swasta.

Pengelolaan Keuangan Publik

Indonesia berhasil membuat kemajuan dalam melakukan reformasi terhadap keuangan publik dan meningkatkan transparansi, tetapi agenda reformasi masih banyak. Hampir di setiap bidang utama dari pengelolaan keuangan publik (Public Financial Management atau PFM)—formulasi anggaran, pelaksanaan anggaran, pengadaan dan pemeriksaan—Indonesia telah memiliki landasan hukum yang kuat. Tantangan di masa depan meliputi: Pertama, pelaksanaan hukum dan peraturan yang tepat di segala bidang mencakup anggaran berbasis kinerja, menyusun Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah, memulai proses pengadaan secara elektronik, dan penguatan terhadap lembaga audit eksternal. Kedua, sistem anggaran yang ada sekarang kurang fleksibel, sehingga memperlambat implementasinya.

Mengedepankan agenda reformasi PFM merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin bahwa sumber-sumber fiskal yang baru dialokasikan dan digunakan secara efisien. Masalah implementasi yang paling besar terletak pada pencairan anggaran untuk investasi publik. Pencairan anggaran sering berjalan lambat, akibatnya sebagian besar anggaran yang telah dicanangkan baru bisa dikeluarkan menjelang akhir tahun anggaran. Juga, terdapat pengeluaran yang lebih kecil terhadap pengeluaran modal dibandingkan anggaran awal—hal ini diluar kenyataan dimana anggaran secara keseluruhan direvisi dan dinaikkan dalam jumlah yang cukup besar pada pertengahan tahun. Di samping berbagai isu implementasi, masih ada lagi isu korupsi terhadap pengeluaran publik. Tambahan sumber daya keuangan yang cukup besar kini mengalir ke pemerintah daerah, sehingga penanganan masalah korupsi di tingkat daerah kini sangat mendesak dilakukan.

Sistem anggaran Indonesia tidak fleksibel. Dokumen anggaran Indonesia terlalu rinci, butuh waktu yang sangat lama untuk menyiapkannya, dan juga menimbulkan banyak komplikasi dalam implementasinya. Pembahasan dan diskusi parlemen terlalu memfokuskan pada hal-hal yang sangat rinci, tidak melihat pada hubungan antara kebijakan dan alokasi anggaran secara lebih luas, dan memakan waktu yang lama. Pada 2006, walaupun pemerintah pusat telah menyetujui otorisasi dokumen anggaran pada awal tahun, pengeluaran tetap berjalan lamban akibat terdapatnya hambatan pada saat implementasi. Karena informasi rinci yang begitu banyak, anggaran untuk setiap proyek sering harus menjalani proses revisi yang panjang.

Kerangka hukum dan peraturan untuk pengadaan publik telah mengalami peningkatan, tetapi kapasitas untuk melaksanakan pengadaan yang tepat waktu dan transparan belum memuaskan. Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan yang berada di bawah Bappenas tengah menyusun prosedur standar pengadaan yang akan berlaku di seluruh Indonesia, termasuk dokumen tender yang standar. Akan tetapi, kemampuan untuk melaksanakan hal ini di setiap tingkat pemerintahan masih sangat terbatas. Inisiatif percobaan untuk melakukan pengadaan lewat jaringan elektronik (e-procurement) sedang dikerjakan, tetapi peningkatan strategi dalam mendorong penggunaan e-procurement untuk meningkatkan transparansi pasar pada seluruh sistem pengadaan pemerintah belum dilaksanakan. Pengenalan terhadap pelatihan tingkat dasar dan program sertifikasi bagi para pelaku pengadaan merupakan inisiatif

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru ix

RANGKUMAN EKSEKUTIF

yang penting, tetapi kebanyakan pejabat publik tidak memiliki jalur karir atau insentif yang memadai untuk mampu memikul tanggung jawab pengadaan ini. Seluruh insentif ini merupakan hal yang sangat penting apabila rakyat Indonesia ingin memperoleh manfaat dari realokasi sumber daya dari pusat. Gagal melakukan hal ini, tidak saja akan membuat praktik-praktik kolusi berkelanjutan, tetapi juga akan menimbulkan dampak relatif yang tidak baik.

Undang-undang pemeriksaan negara telah memperkuat peran lembaga pemeriksa eksternal, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan kini ada peluang untuk melakukan fleksibilitas anggaran yang lebih besar yang mana pada saat bersamaan pemerintah bisa menjamin penerapan standar fidusiari yang tinggi. Kini BPK memiliki mandat yang jelas sebagai lembaga pemeriksa eksternal terhadap seluruh lembaga pemerintah. Sementara Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bersama-sama dengan Inspektur Jenderal di setiap departemen, melakukan koordinasi untuk melakukan pemeriksaan internal terhadap pemerintah pusat, dan Kantor Bawasda melakukan pemeriksaan internal di tingkat daerah. Akan tetapi walaupun pelaksanaan Undang-Undang tentang Pemeriksaan terhadap Pemerintah kini dipandang sangat perlu, staf dan sumber daya yang ada di BPK dan BPKP tidak sesuai dengan redefinisi peran mereka masing-masing saat ini. BPK, dengan mandat yang lebih luas, memiliki jumlah tenaga pemeriksa (auditor) bersertifikat kurang dari setengah jumlah auditor BPKP, padahal peran lembaga ini kini semakin terbatas. Selanjutnya, tanpa dorongan yang kuat terhadap temuan-temuan BPK, yang sampai saat ini belum banyak yang bisa dilakukan, maka peningkatan kapasitas dan kinerja BPK sepertinya tidak akan mampu diterjemahkan ke dalam peningkatan standar fidusiari yang lebih baik.

Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Regional

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat keragaman paling tinggi di dunia, dengan standar hidup yang berkisar mulai dari standar negara maju sampai dengan tingkat kehidupan masyarakat paling miskin. Tingkat kepadatan penduduk juga sangat bervariasi: Pulau Jawa merupakan salah satu pulau berpenduduk paling padat di dunia, sementara Papua merupakan pulau yang berpenduduk paling jarang. Tingkat kemiskinan berkisar dari di bawah 3 persen di beberapa kota (Denpasar, Bali; Bekasi, Jawa Barat) sampai dengan di atas 50 persen di Irian Jaya Barat dan Papua (Manokwari dan Puncak Jaya).

Ketika Indonesia mulai menerapkan desentralisasi pada 2001, pemerintah mengalokasikan sumber daya dalam jumlah besar pada daerah-daerah yang lebih miskin sebagai upaya untuk menyeimbangkan disparitas di negeri ini. Walaupun perimbangan keuangan antar-pemerintah dapat lebih seimbang lagi, daerah yang paling miskin dan terpencil di Indonesia telah menerima pengalihan sumber daya cukup besar sejak 2001. Dana Alokasi Umum ( DAU) merupakan perangkat penting dalam sistem transfer ini, yang mampu mendanai sekitar 70 persen dari seluruh pengeluaran daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dan lebih dari 80 persen pengeluaran kabupaten/kota.

Pada 2006, jumlah anggaran yang telah ditransfer ke pemerintah daerah mengalami peningkatan secara nominal sebanyak 47 persen terutama yang menguntungkan bagi daerah-daerah paling miskin di Indonesia, yang mengalami kenaikan pendapatan yang melonjak. Alokasi DAU bahkan mengalami peningkatan sebesar 64 persen, dengan implikasi yang signifikan atas struktur perimbangan serta dampak pemerataan. Daerah provinsi terpencil dengan angka kemiskinan yang tinggi termasuk Provinsi Aceh, Papua, dan Maluku telah menerima peningkatan alokasi anggaran sampai lebih dari 100 persen, dibandingkan dengan 2005. Dana transfer ini akan terus mendominasi sumber keuangan daerah, terutama pemerintah kabupaten/kota, karena dasar dari pendapatan asli daerah mereka kecil sementara transfer dari pusat sudah mencapai lebih dari 80 persen pendapatan daerah, dan bahkan akan semakin bertambah. DAU sendiri sepertinya akan semakin dominan karena pendapatan dari minyak dan gas diperkirakan akan mengalami penurunan disebabkan menurunnya produksi minyak dan gas, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan.

Saat ini, tantangan utama dalam pembangunan Indonesia bukanlah mentransfer sumber daya dalam jumlah yang signifikan ke daerah-daerah yang miskin, tetapi bagaimana menjamin bahwa sumber daya yang sudah ada digunakan secara efektif. Banyak pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membelanjakan tambahan sumberdayanya. Cadangan anggaran mereka yang tidak dibelanjakan meningkat semakin besar dan telah mencapai rekor 3,1 persen dari PDB pada November 2006. Sebagian besar pemerintah daerah memiliki sumber keuangan yang memadai untuk memberikan perubahan pada kehidupan masyarakatnya. Bahkan daerah miskin dengan sumber

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru x

RANGKUMAN EKSEKUTIF

fiskal yang relatif rendah (terutama Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur) telah mengalami kenaikan DAU secara rata-rata 75 persen pada 2006. Diluar surplus yang cukup besar, sumber yang ada sering disalurkan pada tempat yang salah. Misalnya, sementara terdapat anggaran pemerintah daerah yang belum digunakan, banyak PDAM bangkrut dan tidak mampu memberikan layanan air bersih kepada masyarakat.

Agenda untuk Implementasi

Ini merupakan momen dengan peluang besar. Dengan kondisi makroekonomi yang stabil dan sumber-sumber fiskal yang memadai, pemerintah Indonesia dapat menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan mutu dan akses terhadap layanan dasar. Pengalokasian dan pengelolaan sumber daya setidaknya kini sama pentingnya dengan upaya untuk memobilisasinya. Membelanjakan uang dengan baik merupakan keterampilan khusus—keterampilan yang telah hilang sebagian sejak terjadinya krisis, ketika pemerintah lebih banyak berfokus pada upaya untuk menstabilkan makroekonomi dan mengetatkan pengeluaran.

Agenda reformasi yang tersisa masih banyak. Masih banyak perubahan yang diperlukan akan melibatkan proses yang sulit dan panjang. Pemerintah telah mulai menerapkan agenda yang sangat ambisius. Dimana yang paling penting adalah untuk tetap berada pada jalur yang benar dan menunjukkan kemajuan yang konsisten dalam reformasi yang sulit dan panjang ini.

Ada enam bidang pengeluaran yang sangat penting: ruang fiskal, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan keuangan publik, dan desentralisasi. Langkah kunci untuk mencapai pengelolaan, alokasi, dan dampak yang lebih baik terhadap pengeluaran publik untuk meningkatkan pemberian layanan dan menurunkan angka kemiskinan dapat dilihat pada uraian berikut.2

1. Perbesar ruang fiskal dan pertahankan stabilitas makroekonomi dengan cara mengurangi dan mere-alokasi subsidi serta menurunkan hutang keseluruhan. Subsidi BBM dan listrik masih menduduki porsi cukup signifikan dalam anggaran dan sebagian besar hanya menguntungkan masyarakat kaya (Kotak 2). Negara-negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia masih rentan terhadap guncangan dan tingkat hutang diatas 30 persen merupakan posisi yang tidak aman.• Walaupun terjadi pengurangan sangat drastis terhadap subsidi BBM pada 2005, total subsidi masih sangat

tinggi, hampir AS$10 milyar. Pengurangan terhadap subsidi ini akan memberikan tambahan sumber pendapatan. Semakin rendah harga minyak internasional, akan semakin mudah bagi Indonesia untuk melakukan liberalisasi terhadap harga bahan bakar. Akan tetapi, jika penyesuaian harga menjadi cukup signifikan, maka sekali lagi perlu didesain program kompensasi untuk menjamin bahwa pengurangan subsidi tidak berdampak negatif terhadap masyarakat miskin.

• Tingkatkan terus manajemen hutang dibawah unit hutang yang baru dibentuk, kedepankan implementasi Rekening Tunggal (Treasury Single Account) dan secara proaktif mengelola kewajiban hutang. Tingkat hutang melonjak saat terjadi krisis bukan karena jumlah pinjaman yang berlebihan, tetapi karena kewajiban-kewajiban kontingen (contingent liabilities) di sektor perbankan.

2. Maksimalkan manfaat peningkatan pengeluaran untuk sektor pendidikan dengan meningkatkan investasi di jenjang pendidikan menengah pertama, redefinisikan sasaran belanja pendidikan sebesar 20 persen dan alokasi kembali tenaga pengajaran pada sekolah-sekolah yang mengalami kekurangan guru. Tingkat transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama masih rendah, pengeluaran 20 persen sesuai undang-undang, dengan definisi yang berlaku sekarang, menempatkan permintaan yang tidak realistis terhadap anggaran pendidikan dan penempatan guru di sekolah yang tidak seimbang.

• Kedepankan tingkat transisi dan tingkat retensi yang lebih tinggi pada sekolah menengah pertama dengan menargetkan alokasi transfer bagi siswa dari keluarga miskin untuk menjamin bahwa siswa tersebut mampu bersekolah, dan juga untuk pembangunan gedung sekolah baru yang ditargetkan bagi daerah-daerah yang belum mendapatkan layanan sebagaimana mestinya.

• Lakukan penyesuaian terhadap ketentuan sasaran pengeluaran sebesar 20 persen untuk juga

2 Lihat Lampiran A pada laporan utama untuk mengetahui rekomendasi lengkap dalam laporan ini.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru xi

RANGKUMAN EKSEKUTIF

meliputi gaji guru dan kombinasi pengeluaran pemerintah daerah dan pusat. Tanpa penyesuaian seperti ini, pengeluaran untuk sektor pendidikan akan meningkat sedemikian rupa sehingga bisa mengurangi pengeluaran untuk layanan dasar lainnya seperti kesehatan dan air bersih.

• Lakukan penempatan ulang para guru untuk memenuhi kebutuhan sekolah-sekolah yang masih kekurangan tenaga pendidik. Walaupun tidak terjadi kekurangan guru secara agregat, daerah-daerah terpencil dan sekolah tertentu masih kekurangan guru. Dengan insentif keuangan yang lebih menarik bagi para guru untuk mau ditempatkan di sekolah-sekolah yang terletak di daerah terpencil, dan dengan melakukan penempatan guru sesuai dengan jumlah siswa (dan bukan pada jumlah kelas) akan mendorong distribusi guru yang lebih seimbang dan efisien di seluruh Indonesia.

3. Atasi ketidakmerataan dalam layanan kesehatan dengan menargetkan secara lebih baik ke daerah-daerah yang layanannya belum baik. Tingkatkan mutu layanan kesehatan dengan melakukan regulasi terhadap penyedia layanan kesehatan swasta dan dengan memperluas wilayah layanan para bidan dan meningkatkan pelatihan yang mereka perlukan. Prioritas awal bukan untuk meningkatkan pengeluaran kesehatan, tetapi menggunakan anggaran yang sudah ada secara lebih efisien dan efektif. • Untuk menanggulangi kesenjangan dalam penyediaan layanan kesehatan, Dana Alokasi Khusus

(DAK) dapat digunakan untuk meningkatkan layanan kesehatan di wilayah-wilayah yang kurang mendapatkan pelayanan, dan intervensi berdasarkan permintaan seperti penerapan sistem kupon dapat pula digunakan untuk meningkatkan permintaan layanan dari masyarakat miskin. Tantangan yang paling mendesak terletak pada penyaluran pengeluaran saat ini agar dapat menguntungkan rakyat miskin—dalam layanan kesehatan primer di daerah pedesaan dan/atau daerah-daerah yang kurang mendapatkan layanan.

• Menyatukan semua potensi sektor swasta, regulasi yang lebih baik terhadap penyedia layanan kesehatan swasta juga perlu dilakukan. Hampir sebanyak 40 persen rakyat miskin merasa puas dengan layanan kesehatan yang mereka peroleh lewat penyedia layanan swasta, tetapi tidak ada informasi yang komprehensif mengenai jenis dan mutu layanan yang mereka berikan. Upaya yang sistematis untuk melakukan regulasi, lisensi, dan akreditasi bagi penyedia layanan swasta bidang kesehatan akan mendorong terjadinya peningkatan mutu layanan kesehatan bagi rakyat miskin.

• Saat ini para bidan bekerja pada wilayah yang relatif kecil dan oleh karena itu mereka hanya mampu memberikan layanan persalinan yang lebih sedikit per tahun. Akan lebih efisien apabila wilayah layanan para bidan diperbesar dan mutu program pelatihan bagi bidan ditingkatkan, dengan fokus yang lebih besar pada aspek praktis keterampilan pemberian layanan.

4. Lakukan investasi di bidang infrastruktur dengan meningkatkan pasokan listrik dan mengurangi subsidi yang menguntungkan pengguna layanan yang tergolong mampu, memberikan insentif fiskal untuk mendorong pemerintah daerah agar melakukan pemeliharaan jalan yang lebih baik dan menciptakan kerangka kerja bagi PDAM agar bisa berfungsi lebih baik. Saat ini, subsidi listrik berjumlah 28 persen dari seluruh biaya subsidi dan sebagian besar dari subsidi ini hanya menguntungkan masyarakat mampu. Pemeliharaan jalan daerah masih sering buruk dan sebagian besar rakyat Indonesia tidak memperoleh manfaat dari layanan air bersih yang bermutu tinggi. • Kurangi subsidi listrik untuk voltase di atas 450VA. Tingkat voltase yang lebih tinggi digunakan secara

tidak proporsional oleh orang kaya, sehingga penghematan subsidi akan bermanfaat bagi rakyat miskin.

• Pemerintah daerah memiliki insentif yang sedikit untuk melakukan pemeliharaan yang benar terhadap jalan, walaupun pada jangka panjang biaya pemeliharaan akan lebih murah dari pada melakukan rekonstruksi. Pemerintah pusat dapat menawarkan insentif langsung kepada pemerintah daerah berdasarkan mutu pemeliharaan jalan dari tahun ke tahun yang sudah dilakukan.

• Hambatan saat ini untuk melakukan pinjaman jangka panjang oleh PDAM dapat dihilangkan dan insentif disediakan untuk pemerintah daerah yang mampu meningkatkan layanan PDAM. Di bawah sistem yang ada sekarang, kebanyakan PDAM tidak melakukan pinjaman lewat pasar kredit. Proses restrukturisasi hutang harus dilakukan untuk memberikan insentif terhadap PDAM yang layak atas kredit agar meningkatkan tarif dan menurunkan biaya, sehingga meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pinjaman secara komersial. Selain itu, pemerintah pusat dapat menghimpun

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru xii

RANGKUMAN EKSEKUTIF

dana yang digunakan untuk memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah yang mampu memperoleh kemajuan paling besar dalam meningkatkan posisi keuangan dan kinerja operasional PDAM mereka.

5. Buat arus pengeluaran publik yang lebih mudah diprediksi dan transparan dengan menciptakan sistem anggaran berbasis kinerja, yang menghubungkan anggaran dengan proses perencanaan serta penguatan sistem pengadaan dan fungsi-fungsi pemeriksaan. Sementara ada kaitan formal antara tujuan kebijakan, anggaran, pencairan dan pemeriksaan, pada kenyataannya proses tersebut sering kali tidak berjalan secara efektif.• Anggaran berbasis kinerja mengukur pencapaian berdasarkan output yang diperoleh dan bukan

pada input keuangan. Saat ini, kontrol input merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mengukur mutu pengeluaran publik, namun pergeseran menuju kontrol ex post yang lebih besar, termasuk pemeriksaan atas pengeluaran, serta penilaian terhadap output yang dihasilkan, akan memberikan hasil yang lebih efektif dalam upaya pengeluaran.

• Mengkaitkan anggaran secara lebih efektif dengan proses perencanaan merupakan prioritas. Sementara rencana pembangunan nasional lima tahun (Repanas) menguraikan tujuan jangka menengah, siklus anggaran ditentukan setiap tahun. Implementasi Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah (Medium-Term Expenditure Framework atau MTEF) akan memungkinkan untuk melakukan penentuan anggaran untuk beberapa tahun dan membawa sisa anggaran ke tahun berikutnya, serta memungkinkan para pembuat kebijakan untuk menganggarkan sumber-sumber daya jangka menengah dengan tingkat kepastian yang lebih tinggi.

• Perkuat sistem pengadaan dan pemeriksaan dengan fokus pada aspek efisiensi. Sementara undang-undang tentang pengadaan semakin diperketat, hal ini telah memperlambat proses pengadaan barang dan jasa. Peningkatan pelatihan bagi tenaga profesional pengadaan sangat diperlukan untuk menghadapi hambatan-hambatan ini. Di samping itu, keuntungan efisiensi akan diperoleh dengan menggabungkan ketiga lembaga pemeriksaan internal menjadi satu lembaga, serta memperkerjakan tenaga yang terlatih untuk BPK. Sejalan dengan hal itu, keuntungan efisiensi yang signifikan akan pula diperoleh dengan tingkat korupsi yang lebih rendah yang akan diperoleh dari pengetatan terhadap sistem ini.

6. Bantu pemerintah daerah untuk menggunakan sumber-sumber daya mereka secara lebih baik dengan menghapus pencakupan penuh gaji pegawai negeri sipil dari DAU, mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan administrasi dan pengembangan kapasitas. Pemerintah daerah kini memiliki wewenang yang signifikan atas perencanaan dan anggaran, tetapi mereka belum memiliki insentif yang jelas agar menggunakan dana tersebut untuk memaksimalkan pembangunan ekonomi dan pemberian layanan kepada masyarakat daerah. • Undang-undang yang berlaku sekarang tentang transfer memberikan insentif bagi pemerintah

daerah untuk meningkatkan jumlah pegawai sipil dan menciptakan dis-insentif bagi mereka untuk mengalokasikan pengeluaran secara lebih strategis demi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Penghapusan penggunaan DAU secara otomatis untuk membayar seluruh gaji PNS akan memberikan insentif kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran secara lebih efisien.

• Penghematan secara signifikan akan juga dapat dicapai dengan mengurangi pengeluaran pada layanan administrasi inti, yang merupakan komponen pengeluaran terbesar dari pemerintah daerah. Pengeluaran yang tidak proporsional hanya untuk layanan administrasi telah mengurangi investasi modal dan pengeluaran bagi penyedia layanan garis depan, keduanya akan memberikan hasil yang lebih besar untuk setiap rupiah yang dikeluarkan.

• Dengan sumber daya yang lebih besar kini mengalir ke pemerintah daerah, administrasi pemerintah daerah yang lebih efektif akan sangat diperlukan. Oleh karena itu, akan menjadi semakin penting untuk melakukan investasi dalam peningkatan kapasitas yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengembangan proyek dan keterampilan melakukan implementasi. Hal ini terutama penting diperhatikan jika pemerintah daerah hendak melakukan pengelolaan secara efektif terhadap dana tambahan yang diperlukan untuk menanggulangi investasi infrastruktur publik yang masih rendah.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru xiii

RANGKUMAN EKSEKUTIF

Sejumlah kecil perubahan berdampak tinggi dapat memberikan hasil yang cepat. Agenda reformasi di atas memang merupakan tantangan dan diperinci menjadi sebuah matriks rangkuman yang memuat 62 butir rekomendasi spesifik di dalam laporan utama. Akan tetapi, secara spesifik ada tujuh perubahan yang akan memberikan hasil yang berdampak tinggi dalam kurun waktu 12-18 bulan. Perubahan ini semuanya penting dan memiliki dampak signifikan, dan perubahan itu bisa menyangkut pemberian layanan, posisi fiskal Indonesia atau proses anggaran (Kotak 2).

Kotak 2 Tujuh tindakan yang memberikan hasil cepat dan dampak besar

Dampak terhadap pemberian layanan dan manajemen SDM (Sumber Daya Manusia)1.Hapus pencakupan penuh atas pembayaran gaji PNS. DAU saat ini mecakup 100 persen pembayaran gaji PNS, yang

menyulitkan pemerintah yang reformis untuk melakukan reformasi terhadap PNS dan melakukan realokasi dana ke berbagai sektor.

2. Sesuaikan definisi tentang ketentuan pengeluaran sebesar ”20 persen” di sektor pendidikan sehingga meliputi gaji guru dan gabungkan pengeluaran pemerintah pusat dan daerah. Hal ini akan memungkinkan untuk berfokus pada tingkat pengeluaran agregat dan kinerja dari sektor. Definisi agregat semacam itu selanjutnya akan dapat mengurangi distorsi dalam struktur gaji guru dan dalam kerangka desentralisasi.

3. Alokasikan guru ke sekolah-sekolah berdasarkan jumlah siswa, dan bukan pada jumlah kelas, dengan memberikan bobot khusus pada sekolah-sekolah kecil. Ini akan menghasilkan alokasi guru yang lebih rasional di dalam dan antarsekolah di tingkat kabupaten/kota serta akan menghasilkan distribusi guru yang lebih seimbang bagi siswa.

Dampak fiskal 4. Kurangi pemberian subsidi BBM (AS$5 milyar) yang tidak efesien dan lebih berpihak pada orang kaya. Meskipun harga

BBM pada 2005 telah meningkat, subsidi BBM masih tetap merupakan pengeluaran paling besar dalam anggaran pemerintah.

5. Lakukan realokasi subsidi listrik (AS$3 milyar) yang tidak efisien dan lebih berpihak pada orang kaya. Subsidi dapat direalokasikan dari konsumsi (semua diluar 450VA) terhadap sambungan untuk mendukung perluasan jaringan listrik.

Dampak terhadap proses anggaran6. Susun Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah dan berikan ruang untuk melakukan otorisasi terhadap anggaran

multi tahun. Ini akan sangat bermanfaat terutama untuk proyek-proyek infrastruktur berskala besar untuk meningkatkan prediktibilitas dan efisiensi dari prioritas fiskal jangka menengah.

7.Lakukan penguatan lebih lanjut baik terhadap kapasitas maupun kehadiran BPK di daerah. Definisikan kembali peran BPKP dan lakukan konsolidasi terhadap fungsi-fungsi berbagai lembaga pemeriksaan internal.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru xiv

RANGKUMAN EKSEKUTIF

BAB 1 Ruang Gerak dan

Manajemen FiskalKajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 2

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Temuan Pokok

Investasi publik sebagai proporsi dari PDB telah kembali ke tingkat sebelum krisis dan pemerintah daerah muncul sebagai pendorong utama investasi. Peningkatan dalam investasi publik didukung dari perluasan ‘ruang gerak fiskal’, terutama di tingkat daerah. Akan tetapi, sebagian besar dari perluasan ruang gerak fiskal ini belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Di tingkat pusat ruang fiskal yang tidak dimanfaatkan diperkirakan berkisar antara 1-1,5 persen dari PDB untuk periode 2001-05, walaupun data semacam itu bagi pemerintah daerah tidak tersedia.

Situasi utang pemerintah pusat telah membaik secara signifikan, seperti yang tercermin dalam indikator stok dan arus utang. Utang pemerintah daerah jumlahnya relatif kecil. Stabilitas makroekonomi dan konsolidasi fiskal merupakan faktor utama dibalik perbaikan ini. Perbaikan pengelolaan utang yang dilakukan oleh pemerintah pusat juga merupakan kontribusi yang penting.

Walaupun penyesuaian harga BBM (bahan bakar minyak) dalam negeri yang dilakukan tahun 2005 telah menghemat anggaran negara sebesar AS$10 milyar, Indonesia masih mengeluarkan sebanyak AS$9 milyar untuk berbagai subsidi, terutama untuk subsidi minyak dan listrik. Sejumlah faktor telah menghambat pemerintah untuk mengambil manfaat penuh dari harga BBM yang lebih tinggi. Volume produksi telah mengalami penurunan selama 10 tahun terakhir (sekitar 40 persen). Kapasitas pengeluaran ternyata lebih kecil dari yang diharapkan. Di samping itu, transaksi keuangan dengan Pertamina telah mengakibatkan berbagai masalah pada keuangan negara. Akhirnya, subsidi listrik — yang merupakan transfer regresif —telah mengakibatkan peningkatan beban keuangan pada anggaran..

Rekomendasi Utama

Pengurangan dan realokasi subsidi yang tidak efisien dan yang berpihak pada orang kaya akan mampu memberikan tambahan ruang gerak fiskal dalam jumlah sampai dengan AS$9 milyar. Dengan tingkat harga minyak internasional yang tinggi, subsidi BBM dan listrik akan tetap menjadi beban yang tidak perlu pada anggaran pemerintah. Sumber daya ini akan dapat digunakan dengan lebih baik untuk meningkatkan pengeluaran pada sektor-sektor prioritas terutama pada sektor infrastruktur.

Peningkatan yang besar dari investasi publik diperlukan untuk menggantikan investasi publik yang sangat rendah selama kurun waktu lima tahun terakhir dan untuk merangsang investasi sektor swasta. Salah satu kunci untuk mencapai peningkatan investasi adalah dengan meningkatkan pengelolaan keuangan publik (lihat Bab 6). Secara khusus, operasionalisasi kerangka pengeluaran jangka menengah (MTEF) harus mampu memperkuat formulasi anggaran dan pada akhirnya memperkuat implementasi anggaran itu sendiri.

Peningkatan pengelolaan utang merupakan hal yang sangat penting untuk terus menurunkan risiko yang terkait dengan utang pemerintah karena beban utang bukan merupakan isu pengelolaan utang, melainkan merupakan isu yang terkait dengan kebijakan fiskal. Untuk dapat mempertahankan kemajuan pengelolaan hutang pemerintah seperti yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir ini, fokus yang lebih kuat terhadap pengembangan kapasitas dan pelatihan bagi pegawai di Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang merupakan hal yang sangat penting. Di samping itu, kerangka yang kokoh perlu disusun dan dilaksanakan untuk mendukung pengembangan strategi pengelolaan utang. Sejalan dengan hal itu, mempercepat pelaksanaan RPT (Rekening Perbendaharaan Tunggal) dan mengikutsertakan rekening pengalihan (seperti Rekening Dana Investasi/RDI, atau Rekening Pembangunan Daerah/RPD), akan membantu mengurangi risiko yang terkait dengan kewajiban-kewajiban kontinjen.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 3

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Tren Pengeluaran Publik

Total pengeluaran publik meningkat sebesar 9 persen dalam angka riil antara 2001 dan 2005 dan masih relatif stabil dilihat dari persentase PDB selama periode tersebut dengan rata-rata 20 persen. Peningkatan pengeluaran pemerintah ini sebagian besar didanai oleh peningkatan proporsional dari pendapatan pajak di luar migas (minyak dan gas). Pengeluaran tersebut ditandai oleh:

• Peningkatan tajam secara riil dalam transfer kepada daerah, yang sekarang berjumlah sebesar sepertiga dari pengeluaran pemerintah pusat. Saat ini transfer dana ke daerah merupakan pengeluaran paling besar pada pemerintah pusat.

• Fluktuasi yang begitu besar antara belanja rutin dan belanja pembangunan antara tahun 1994 dan 2003 serta terjadi sedikit penurunan dalam pengeluaran rutin setelah pelaksanaan sistem desentralisasi.

• Peningkatan yang signifikan dalam subsidi antara 2003-05, setelah terjadi peningkatan yang tinggi atas harga minyak internasional dan walaupun terdapat penurunan subsidi minyak yang signifikan.

• Penurunan yang terus-menerus dalam pembayaran utang, yang disebabkan oleh stabilitas atas sisa utang baik untuk utang dalam negeri maupun luar negeri serta terjadi penurunan tingkat suku bunga.

• Persentase belanja untuk pegawai dan barang yang relatif stabil, dengan tingkat rata-rata masing-masing sebesar 25 persen dan 7 persen.

Pengeluaran publik di tingkat nasional secara riil menunjukkan peningkatan yang mantap sejak 1999 namun masih tetap stabil terhadap keadaan ekonomi secara keseluruhan.

3 Selama periode 1999-2006, pengeluaran

publik berjumlah sebesar rata-rata 20 persen dari PDB. Secara nominal, pengeluaran publik meningkat dari Rp 198 triliun pada tahun 1999 menjadi Rp 536 trilliun pada tahun 2005 dan diperkirakan meningkat lebih jauh menjadi Rp 698 triliun dan Rp 794 triliun masing-masing untuk tahun 2006 dan tahun 2007, (APBN-P/APBN) (Tabel 1.1). Secara riil (harga konstan tahun 2000), pengeluaran di tingkat nasional meningkat sebesar 93 persen dari Rp 206 triliun (1999) menjadi Rp 397 triliun (2006).

Tabel 1.1 Total pengeluaran publik di tingkat nasional (Pusat + Provinsi + Kabupaten/kota)

(Rp triliun) 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

Nominal 198 234 353 336 405 445 536 698 794Harga konstan th. 2000 (disesuaikan oleh IHK) 206 234 316 270 305 315 343 397 425- Tingkat pertumbuhan tahunan (%) 7 14 35 -15 13 3 9 16 7Harga konstan th. 2000 (disesuaikan oleh Deflator PDB) 239 234 309 278 314 325 343 416 453Persentase PDB (%) 16.3 16.8 20.9 18.1 19.8 19.6 19.6 21.1 22.5

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.

Catatan: *2006 hasil awal, **2007 anggaran (APBN).

3 Pengeluaran nasional dalam laporan ini didefinisikan sebagai pengeluaran agregat dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, tidak termasuk transfer antar pemerintah.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 4

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Diagram 1.1 Pendapatan dan belanja pemerintah pusat, 1994-2007

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007*

uilirt pR ;0 00 2 n uha t id n at snok agr aH

n

Belanja Pemerintah Pusat & Transfer ke DaerahPendapatan Pemerintah PusatPenerimaan Non-migas Pemerintah PusatPenerimaan Migas Pemerintah Pusat

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.Catatan:* berdasarkan anggaran pemerintah pusat dan perkiraan alokasi pemerintah daerah. Pengeluaran di tingkat nasional yang dinyatakan dalam laporan ini termasuk pengeluaran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Penerimaan non-migas semakin mendorong peningkatan pengeluaran. Pada tahun 2006, belanja pemerintah pusat diperkirakan meningkat sebesar 17 persen , yang hampir sama dengan peningkatan pendapatan sebesar 14 persen. Pada tahun 2007, baik pendapatan maupun belanja diperkirakan meningkat sebesar 7 persen. Peningkatan pendapatan sebagian besar berasal dari pendapatan non-migas (Diagram 1.1).

4 Sebaliknya, penerimaan dari migas

diperkirakan menurun sebesar 14 persen di tahun 2007, mengikuti penurunan produksi migas yang terus-menerus dan revisi penurunan asumsi harga minyak dari AS$64/barel ( revisi anggaran 2006) menjadi AS$63/barel (anggaran 2007).

Sementara total belanja di tingkat nasional mengalami peningkatan sebesar 25 persen sejak tahun 2001, pembayaran bunga menurun tajam. Akibatnya, pembayaran bunga sebagai proporsi dari total belanja turun dari 25 persen pada tahun 2001 menjadi 11 persen di tahun 2006 (Tabel 1.2). Penurunan yang tajam ini semata-mata diakibatkan oleh (i) tingkat suku bunga yang lebih rendah; (ii) jumlah utang yang stabil (sehingga memiliki persentase yang lebih rendah); dan (iii) apresiasi dalam nilai tukar mata uang. Sebaliknya, terjadi peningkatan pada persentase belanja barang, pengeluaran rutin yang lain, dan pembangunan.

5

Tabel 1.2 Komposisi ekonomi dari anggaran belanja negara, tahun 2001-07

A. Harga konstan 2000

(Rp triliun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**Belanja Pegawai 72.3 68.4 78.1 81.5 83.3 101.0 116.9Belanja Barang 16.1 19.1 19.4 18.4 28.5 37.9 50.4Pembayaran Bunga dan cicilan 78.2 65.0 49.1 44.2 37.1 44.8 45.5Subsidi 69.5 35.0 33.0 64.9 77.6 61.1 55.1Bantuan Sosial 0.0 0.0 0.0 0.0 17.3 24.6 27.1Belanja Rutin yang lain 15.4 15.7 25.0 21.1 33.4 37.5 28.9Pembangunan 65.0 66.6 100.1 85.2 44.5 56.0 59.8Modal 0.0 0.0 0.0 0.0 21.7 33.9 41.1Total Nasional 316.4 269.7 304.9 315.3 343.4 396.7 424.7

4 Penerimaan non-migas merepresentasikan 68 persen dan 75 persen dari total penerimaan pada tahun 2006 dan 2007. Peningkatan penerimaan non-migas yang tertimbang berjumlah 6 persen (dari 14 persen poin peningkatan total penerimaan pada 2006); dan 12 persen (dari 7 persen poin peningkatan total penerimaan di tahun 2007; dengan nilai negatif 5 persen dalam penerimaan dari sektor). 5 Sejak tahun 2005 sistem anggaran dibuat terpadu dan klasifikasinya dirubah. Sehingga kategori Belanja Pembangunan tidak lagi ada. Pengelompokan anggaran yang baru meliputi: belanja pegawai, belanja barang, belanja bantuan Sosial dan belanja modal. Demi menjaga konsistensi, laporan ini tetap memperhitungkan belanja pembangunan untuk tahun 2005-07.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 5

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

B. Persentase dari total

(%) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**Belanja Pegawai 23 25 26 26 24 25 28Belanja Barang 5 7 6 6 8 10 12Pembayaran Bunga dan Cicilan 25 24 16 14 11 11 11Subsidi 22 13 11 21 23 15 13Bantuan Sosial 0 0 0 0 5 6 6Belanja Rutin yang lain 5 6 8 7 10 9 7Pembangunan 21 25 33 27 13 14 14Modal 0 0 0 0 6 9 10Total Nasional 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD. Catatan: Belanja Pembangunan untuk tahun 2005-2007 hanya memasukkan anggaran pemerintah daerah, sementara belanja modal pada tahun yang sama hanya memasukkan anggaran pemerintah pusat. * berdasarkan anggaran pemerintah pusat dan perkiraan alokasi pemerintah daerah. Pengeluaran di tingkat nasional didefinisikan sebagai pengeluaran oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Total pengeluaran dalam proyek pembangunan sedikit meningkat setelah pelaksanaan desentralisasi. Transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah meningkat tajam setelah tahun 2001. Pertama, selama “gebrakan besar desentralisasi” di tahun 2001, transfer meningkat dari 19 persen menjadi 24 persen (dan selanjutnya menjadi 31 persen pada tahun 2002). Kedua, peningkatan persentase transfer terjadi lagi di tahun 2006 dari 30 persen menjadi 33 persen (Tabel 1.3). Peningkatan yang kedua dari belanja riil ini sama signifikannya dengan peningkatan tahun 2001 di mana pengeluaran agregat jauh lebih tinggi (lihat Bab 7 berikut ini).

Tabel 1.3 Komposisi belanja pemerintah pusat

(%) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

Rutin 56 64 57 50 55 56 51 50

Pembangunan 25 12 12 18 14 15 15 16

Transfer ke Daerah 19 24 31 32 31 30 34 34Total 100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.Catatan: *2006 Hasil awal, **2007 anggaran (APBN).

Selama terjadinya peningkatan transfer yang tajam, anggaran pembangunan pemerintah pusat menurun dalam jumlah yang hampir sama besarnya, tetapi pengeluaran rutin tetap stabil. Kurang dari 14 persen anggaran pemerintah pusat dibelanjakan untuk pembangunan, sementara pengeluaran rutin masih tetap stabil dengan sedikit di atas 50 persen (kecuali tahun 2001). Seperti yang diperkirakan, pada pemerintah daerah terjadi peningkatan pengeluaran rutin dan pembangunan dalam jumlah yang hampir sama. Akan tetapi, peningkatan itu lebih terlihat pada pengeluaran rutin daripada untuk pembangunan. Saat ini pemerintah daerah diperkirakan menggunakan sekitar 60 persen dari anggaran mereka untuk pengeluaran rutin dan 40 persen untuk proyek-proyek pembangunan (Diagram 1.2, Diagram 1.3).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 6

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Diagram 1.2 Komposisi belanja pemerintah pusat Diagram 1.3 Komposisi belanja pemerintah daerah (provinsi + kabupaten/kota)

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

Har

ga k

onst

an d

itahu

n 20

00; R

p tr

iliu n

Pengeluaran RutinTransfer ke Daerah

Belanja Pembangunan0

20

40

60

80

100

120

2000 2001 2002 2003 2004

Belanja PembangunanPengeluaran Rutin

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.Catatan: *2006 Hasil awal, **2007 anggaran (APBN).

Transfer anggaran yang paling besar ke pemerintah daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), besarnya mencapai rata-rata 19 persen dari total pengeluaran pada 2001-05, dan bukan sebesar 25 persen sebagaimana tercantum dalam undang-undang. Secara konsisten DAU teranggarkan lebih rendah karena asumsi konservatif yang dipakai atas harga minyak internasional dalam anggaran (lihat Bab 6). Pada 2006, DAU meningkat sebesar Rp 26 triliun (45 persen pada harga konstan tahun 2000), atau hampir sama besarnya dengan saat terjadi “gebrakan besar desentralisasi.” Peningkatan ini didukung oleh perkiraan peningkatan pendapatan sebesar 12 persen, di mana 7 persen dari jumlah ini diperoleh dari penerimaan non-migas dan 5 persen dari penaerimaan migas (sebagian karena terjadi peningkatan dalam asumsi anggaran untuk harga minyak sebesar AS$52/barel pada 2005 menjadi AS$64/barel pada 2006). Selanjutnya, dampak dari peningkatan jumlah transfer pada anggaran secara keseluruhan akan diimbangi dengan penurunan yang tajam dari subsidi yang diproyeksikan pada tahun itu.

Diagram 1.4 Komposisi ekonomi dari belanja publik berdasarkan tingkat pemerintahan, 20046

6 14 9

9 2

6 2

1 6

2 0

2

4 0

1 4

2

9

5 7

81 4

0

2 0

4 0

6 0

8 0

10 0

12 0

14 0

Belanja Pembangunan

Belanja Pegawai

Subsidi* Pembayaran Bunga Hutang*

Belanja RutinLainnya

B elanja Barang

Har

ga y

ang

berla

ku; R

p tr

iliun

Kabupaten/Kota

P rovinsi

Pusat

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu mengenai anggaran yang berjalan.Catatan: Dalam nominal Rp triliun.

Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, prosentase pengeluaran pemerintah daerah untuk belanja pegawai dan barang, untuk masing-masing berjumlah sekitar 58 persen dan 38 persen terhadap total pengeluaran (Diagram 1.4). sementara itu, pembayaran subsidi dan pembayaran bunga pinjaman, menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

6 Pembayaran bunga oleh pemerintah daerah tidak diikutsertakan karena laporan data SIKD mengagregasikan kategori ini dengan pembayaran amortisasi. Subsidi pemerintah daerah diagregasikan di bawah pengeluaran rutin yang lain karena pengeluaran ini tidak dapat diagregasikan dengan dana pensiun yang lain dan pengeluaran bantuan yang lain. Pada tingkat 0,3 persen, pembayaran utang dapat diabaikan (lihat Tabel 1.6).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 7

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Pemerintah pusat melaksanakan sekitar setengah dari proyek pembangunan secara langsung, sementara setengahnya lagi disalurkan melalui dekonsentrasi. Pemerintah pusat menggunakan sekitar 51 persen dari total pengeluaran pembangunan di tingkat nasional, diantaranya lebih dari setengah (sekitar 53 persen) digunakan untuk mendanai proyek-proyek pemerintah daerah.7 Pemerintah daerah menggunakan sisanya sebesar 49 persen untuk mendanai pengeluaran pembangunan, diantara sebagian dari jumlah ini dialokasikan oleh pemerintah pusat melalui DAK. Hal ini berarti sekitar tiga perempat dari investasi publik Indonesia dilaksanakan di tingkat daerah.

Investasi Publik dan Ruang Gerak Fiskal

Pengeluaran pembangunan, yang merupakan proksi kasar dari investasi publik, telah pulih. Total pengeluaran pembangunan sebagai persentase dari PDB telah mencapai 6,5 persen pada tahun 2003 sebelum menurun menjadi 5,3 persen pada tahun 2004, hampir kembali ke tingkat pada periode 1995-96 (Diagram 1.5). Kini kontribusi pemerintah daerah mencapai setengah dari total investasi publik dan telah menjadi pendorong utama peningkatan pengeluaran pembangunan selama beberapa tahun belakangan ini. Antara tahun 2000 dan 2003, total pengeluaran pembangunan meningkat sebesar 2,7 persen poin dari PDB (lihat Bab 7). Sementara pengeluaran pembangunan pemerintah pusat meningkat sebesar 1,0 persen poin, pengeluaran pemerintah daerah meningkat sebesar 1,7 persen poin (provinsi 0,6 persen poin dan kabupaten/kota 1,1 persen poin). Jika pengeluaran pembangunan pemerintah daerah mengalami peningkatan pada kecepatan yang sama dengan pemerintah pusat, total pengeluaran pembangunan akan melebihi jumlah 7 persen dari PDB pada 2007.

Tingkat investasi secara keseluruhan belum pulih ke tingkat sebelum krisis. Pada tahun 2005, total investasi publik dan swasta hanya mencapai 22 persen dari PDB. Sementara investasi publik kini telah pulih sampai pada titik sebelum krisis, investasi swasta belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Pemulihan investasi publik mencapai titik 6,5 persen akan meningkatkan total investasi menjadi 23 persen dari PDB pada tahun 2006 (Diagram 1.6). Akan tetapi, investasi publik telah melemah selama bertahun-tahun dan perlu berusaha mengejar ketertinggalan tersebut. Selain itu, investasi sektor swasta masih tetap berkisar pada tingkat 5 persen di bawah tingkat sebelum krisis, sebagian karena kurangnya pengeluaran publik sebgai pelengkap pengeluaran swasta.

Diagram 1.5 Pulihnya pengeluaran pembangunan ke tingkat sebelum krisis

Diagram 1.6 Investasi publik kembali ke tingkat sebelum krisis, namun tidak demikian halnya untuk investasi swasta

0

1

2

3

4

5

6

7

8

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005(E)

2006(P)

2007(P)

(%)

Pemerintah Pusat

Provinsi Kabupaten/Kota

6.43.8

6.54.4

6.5

20.7 22.1

12.7 17.616.8

0

5

10

15

20

25

30

1996 2000 2003 2005 2006(*)

Swasta

Publik

(%)

Sumber: DepKeu, perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Diagram dalam persen dari PDB.

Sumber: DepKeu, perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Diagram dalam persen dari PDB.

7 Perkiraan ini didasarkan pada bagian pengeluaran pembangunan dalam bentuk dana “dekonsentrasi” untuk 2004, bagi seluruh kabupaten/kota kecuali Jakarta.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 8

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Kotak 1.1 Apa yang dimaksud dengan ruang gerak fiskal?

Istilah ‘ruang gerak fiskal’ sering digunakan dalam perdebatan kebijakan. Akan tetapi, definisi dan pengggunaannya secara nyata masih kontroversial. Laporan Bank Dunia tentang “Fiscal Policy Growth and Development” (World Bank, 2006b) menyatakan bahwa “ruang gerak fiskal” ada ketika pemerintah dapat meningkatkan pengeluaran tanpa menyebabkan pengaruh buruk terhadap solvabilitas fiskal.

Sebagai konsep yang melihat ke depan, ruang gerak fiskal dapat bermanfaat. Akan tetapi, hal ini bukan berarti harus selalu melihat besarnya ruang gerak fiskal di waktu lampau. Selanjutnya, penting agar dilakukan pemisahan antara pengeluaran diskrisioner dengan pengeluaran non-diskrisioner, karena peningkatan dalam pengeluaran non-diskresioner (seperti pengeluaran untuk pegawai) tidak berarti harus sama dengan peningkatan pengeluaran untuk pembangunan.

Kajian Pengeluaran Publik ini mendefinisikan ruang gerak fiskal sebagai pengeluaran diskresioner yang dapat dilakukan oleh Indonesia tanpa mengganggu solvabilitasnya. Ruang gerak fiskal didefiniskan sebagai total pengeluaran dikurangi pengeluaran untuk pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan transfer ke daerah.

Definisi ini menyiratkan bahwa pemerintah harus memperhitungkan “solvensi” ketika merumuskan anggaran negara. Sebagai hasilnya, kesenjangan antara proyeksi pengeluaran diskrisioner dan pengeluaran sebenarnya dapat didefinisikan sebagai ‘ruang gerak fiskal yang tidak digunakan’.

Diagram 1.7 Ruang gerak fiskal terus meningkat

0

2

4

6

8

10

12

FY97 FY98 FY99 FY00 FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07

Kabupaten/KotaProvinsiPusat

APBN

%

Sumber: Perkiraan staf BPS, Depkeu, Bank Dunia.Catatan: Diagram menunjukkan persentase dari PDB.

Ruang gerak fiskal Indonesia telah mengalami peningkatan secara substansial. Pemulihan dalam investasi publik telah terjadi sejalan dengan terjadinya peningkatan ruang gerak fiskal. Ruang gerak fiskal (termasuk pemerintah pusat dan daerah) meningkat dari 6,3 persen dari PDB pada 2001 menjadi 8,3 persen pada 2005.8 Ruang fiskal diperkirakan akan mencapai angka di atas 10 persen pada 2006 dan 2007 (Diagram 1.7).

Peningkatan penerimaan dan penurunan subsidi BBM mendorong terjadinya peningkatan ruang gerak fiskal. Ruang gerak fiskal pemerintah pusat meningkat dari 2.9 persen yang sangat rendah di tahun 2002 menjadi 4,5 dan 6,2 persen masing-masing di tahun 2005 dan 2006. Peningkatan pendapatan merupakan penyumbang terbesar dalam perubahan terhadap ruang gerak fiskal (Tabel 1.4). Antara tahun 2005 dan 2006, peningkatan

penerimaan berkontribusi sebesar 2,6 persen dari PDB diikuti oleh peningkatan defisit anggaran sebesar 0,5 persen. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa kenaikan harga minyak berpengaruh baik terhadap penerimaan (dari pajak dan non-pajak) maupun pengeluaran (subsidi BBM dan dana bagi hasil).

Tabel 1.4 Kuantifikasi perluasan ruang gerak fiskal

(%) 1996-2002 2002-05 2005-06

Peneriman 0.2 0.7 2.6- Migas 0.1 0.3 1.4- Non-Migas 0.0 0.4 1.2

Surplus/defisit anggaran 0.4 -0.1 0.5Pengeluaran non-diskresioner 1.3 0.0 -1.4- Subsidi 0.3 0.7 1.4

Ruang gerak fiskal -0.8 0.5 1.8

Sumber: Perkiraan staf DepKeu dan staf Bank Dunia.Catatan: (Perubahan antarperiode, persentase dari PDB, rata-rata tahunan); + menunjukkan kontribusi positif terhadap ruang fiskal dan sebaliknya. Misalnya, defisit anggaran yang lebih tinggi berkontribusi positif terhadap ruang fiskal.

Akan tetapi, perluasan ruang gerak fiskal ini belum dimanfaatkan secara penuh baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Walaupun investasi publik telah meningkat secara cukup signifikan pada tahun-tahun belakangan ini, masih ada ruang gerak yang cukup besar untuk melakukan berbagai perbaikan di seluruh tingkat pemerintahan. Kesenjangan antara anggaran pemerintah pusat (APBN-P) dan realisasi anggaran tersebut merupakan indikator proksi terhadap ruang gerak fiskal yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Kesenjangan ini melebar dari 1,0 persen pada tahun 2001 menjadi 2,0 persen di tahun 2005 (Diagram 1.8). Dalam hal

pemerintah daerah, peningkatan tajam pada sisa anggaran merupakan bukti bahwa daerah juga belum memanfaatkan ruang gerak fiskal mereka secara optimal (Diagram 1.9). Pada bulan November 2006, total sisa anggaran mencapai Rp 95 triliun, atau 3,1 dari PDB (lihat Bab 7).

8 Data pemerintah daerah merupakan perkiraan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 9

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Diagram 1.8 Ruang gerak fiskal yang tidak dimanfaatkan: pemerintah pusat

Diagram 1.9 Ruang gerak fiskal yang tidak di manfaatkan: pemerintah daerah

2

3

4

5

6

7

FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07

Realisasi

Proyeksi Terkini (APBN-P)

APBN

%

Provinsi

Kabupaten/Kota

0

20

40

60

80

100

Jan-03

MarMei

Jul

SepNov

Jan-04

MarMei

Jul

SepNov

Jan-05

MarMei

Jul

Sep

NovJan

-06Mar

MeiJu

lSep

Nov

Sumber: Staf Depkeu dan Bank Dunia.Catatan: Perbandingan antara revisi anggaran dan realisasinya oleh pemerintah pusat, persen PDB.

Sumber: Bank Indonesia,Catatan: Sisa anggaran pemerintah daerah dalam Rp triliun.

Harga minyak yang tinggi masih berdampak negatif terhadap anggaran karena subsidi masih tetap tinggi sedangkan produksi minyak dan gas mengalami penurunan. Peningkatan harga minyak sebesar US$1/barel pada tahun 2007 akan berdampak negatif terhadap keseimbangan anggaran sebesar Rp 0,6 triliun (0,02 persen dari PDB). Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di tahun 2006 dimana peningkatan harga sebesar US$1/barel memberikan dampak positif sampai dengan Rp 0,2 triliun. Pada tahun 2007, peningkatan harga sebesar US$1/barel pada harga minyak akan menimbulkan peningkatan pada pendapatan dan pengeluaran sebagai berikut:

1. Penerimaan, meningkat sebesar Rp 3,8 triliun (penerimaan dari pajak migas sebesar Rp 0,7 triliun; pendapatan pajak non-migas dan lainnya sebesar Rp 3,1 triliun).

2. Pengeluaran, meningkat sebesar Rp 4,4 triliun (subsidi BBM sebesar Rp 2,6 triliun, subsidi listrik sebesar Rp 0,4 triliun, dana bagi hasil sebesar by Rp 0,6 triliun dan alokasi DAU sebesar Rp 0,8 triliun).

Dampak dari fluktuasi harga minyak internasional diperkirakan tidak akan menyebabkan gangguan berarti untuk anggaran pemerintah daerah (sebelum persetujuan anggaran tiap tahun).9 Bahkan jika harga minyak menurun, dampak negatif terhadap anggaran pemerintah daerah tidak akan terlalu besar. Ada tiga alasan untuk hal ini. (lihat Tabel 1.5). Pertama, penerimaan dari pajak dan non-pajak minyak hanya mewakili 20 persen dari penerimaan domestik. Sehingga, persentase peningkatan atas harga minyak tidak akan menghasilkan peningkatan yang sama terhadap persentase total pendapatan domestik bersih setelah dikurangi dana bagi hasil (yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya transfer). Kedua, hanya 10 persen dari pemerintah daerah yang menerima bagi hasil dari migas. Ketiga, pemerintah daerah yang menerima penerimaan migas telah mengakumulasikan keuntungan dari sumber keuangannya selama beberapa tahun terakhir dan masih memiliki penerimaan yang belum dimanfaatkan yang tersimpan dalam rekening bank mereka. (lihat Diagram 1.9 dan Bab 7).

Tabel 1.5 Elastisitas penerimaan daerah terhadap perubahan harga minyak

Jenis Transfer Skenario

Rendah (AS$ 40/barel)

Skenario Dasar (AS$ 50/barel)

Skenario Tinggi (aS$ 60/barel)

Elastisitas harga minyak terhadap

pendapatan daerah1. Dana Alokasi Umum (DAU) 175,937 182,704 189,470 0.192. Dana Bagi Hasil 59,423 64,186 68,950 0.373. Otonomi Khusus & Dana Penyeimbang 7,331 7,613 7,895 0.19Total Transfer untuk Pemerintah Daerah (1+2+3+lain-lain)

270,845 282,657 294,468 0.21

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.Catatan: Perkiraan untuk tahun 2008 dalam Rp miliar.

9 Perkiraan tersebut mensimulasikan dampak perubahan harga minyak pada transfer anggaran 2008, karena anggaran 2007 sudah disetujui pada bulan Oktober 2006, sehingga perubahan harga minyak sudah kembali netral untuk alokasi tahun 2007.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 10

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Utang

Utang pemerintah pusat

Diagram 1.10 Penurunan beban hutang (1)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006Sep

Domestik

Eksternal

%

Sumber: Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia.

Catatan: Rasio persentase hutang pemerintah terhadap PDB.

Rasio utang pemerintah terhadap PDB telah turun menjadi setengahnya sejak enam tahun terakhir. Rasio stok utang pemerintah pusat terhadap PDB telah mengalami penurunan dari sekitar 100 persen pada 1999 menjadi 47 persen pada 2005, dan terus mengalami perbaikan menjadi 41 persen pada bulan September 2006 (Diagram 1.10). Penurunan ini jauh lebih cepat dari yang diproyeksikan Bank Dunia dan pengamat lain pada 2000.10 Jumlah yang stabil atas stok utang, apresiasi nilai rupiah, dan peningkatan PDB telah berkontribusi dalam menurunkan beban utang.11 Rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB pada akhir tahun 2005 (47 persen) setara dengan negara tetangga seperti Thailand (46 persen), Malaysia (46 persen), dan jauh lebih rendah daripada Filipina (72 persen) (lihat Tabel 1.6).

Tabel 1.6 Perbandingan internasional utang pemerintah

% dari PDB 2000 2001 2002 2003 2004 2005

China 16.4 17.7 18.9 19.2 18.5 17.9

Indonesia 80.0 76.4 70.8 61.1 54.6 46.8

Korea Selatan 31.8 35.3 33.4 32.6 33.5 36.4

Malaysia 36.6 43.6 45.6 47.8 48.1 46.2

Filipina 64.6 65.7 71.0 77.7 78.5 71.8

Thailand 57.0 56.5 53.8 48.7 48.0 46.4Sumber: Data dan perkiraan staf Bank Dunia, (a) Pemerintah pusat, (b) Termasuk dana jaminan sosial.

Konsolidasi fiskal dan pendapatan non-reguler, terutama dari divestasi bank, berkontribusi terhadap penurunan tingkat utang. Defisit anggaran pemerintah pusat mengalami perbaikan dari 4,9 persen terhadap PDB pada tahun 1998 menjadi 1,0 persen pada 2006 (hasil awal). Realisasi defisit anggaran sebagian besar jauh lebih rendah dari yang dianggarkan (Diagram 1.11). Juga, rasio dari pembiayaan non-utang (seperti, penarikan cadangan, penerimaan privatisasi, dan penjualan aset dari badan divestasi aset negara BPPN/PPA) melebihi 50 persen dari total pembiayaan pada 2000-03 (Diagram 1.12). Setelah krisis, pemerintah mengeluarkan obligasi dalam negeri dan menaruhnya dalam neraca bank-bank komersial untuk menyelamatkan sistem perbankan. Aset dari bank-bank yang dilikuidasi/ditutup diambil alih oleh pemerintah. Pada 1999-2006, penjualan aset BPPN/PPA berkontribusi sebesar 26 persen dari kebutuhan pembiayaan bruto.

10 Misalnya, Bank Dunia memproyeksikan rasio utang akan bisa menurun mencapai sekitar 45 persen pada tahun 2010 (lihat “Indonesia: Managing Government Debt and Its Risks”, May 2000).11 Misalnya, rasio utang pemerintah terhadap PDB mengalami perbaikan dari 80,0 persen pada 2000 menjadi 46,8 persen pada 2005. Selama masa itu, utang pemerintah yang masih tersisa mengalami sedikit penurunan dari AS$132 milyar menjadi AS$131,6 miliar. PDB nominal meningkat menjadi 70.5 persen dari AS$165 miliar menjadi AS$281,3 miliar. Peningkatan pada PDB nominal berkontribusi terhadap perbaikan utang.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 11

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Diagram 1.11 Penurunan defisit anggaran Diagram 1.12 Pembiayaan non-utang tinggi pada tahun 2000-03

-8

-7

-6

-5

-4

-3

-2

-1

0

FY98 FY99 FY00(9m)

FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07

Dianggarkan

Realisasi

%

-20

0

20

40

60

80

100

120

FY96 FY97 FY98 FY99 FY00(9m)

FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06

%

Pembiayaan non-hutang

Pembiayaan hutang

SSumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: angka dalam diagram ada;ah persentase terhadap PDB.

Sumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: angka pada diagram adalah persentase terhadap pembiayaan bruto.

Diagram 1.13 Penurunan beban hutang

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

FY96 FY97 FY98 FY99 FY00 FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07

Pembayaran Kembali Pokok

Pembayaran Bunga Hutang

APBN

%

Sumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia .Catatan: Pembayaran hutang dalam total pengeluaran.

Sebagai persentase dari total pengeluaran pembayaran utang pemerintah kini lebih rendah daripada tingkat sebelum krisis. Pembayaran bunga menurun dari Rp 78 triliun pada 2001 menjadi Rp 37 triliun pada 2005 (nilai rupiah konstan pada 2000). Selama periode 2004-06, pembayaran utang secara rata-rata adalah sebesar 25 persen dari total pengeluaran dibandingkan dengan 38 persen sebelum krisis (1994-96).12 Akan tetapi, pembayaran utang sepertinya akan meningkat perlahan pada tahun-tahun yang akan datang ketika pemerintah harus membayar kembali utang yang ditangguhkan (Diagram 1.13).

Tiga faktor yang telah berkontribusi terhadap penurunan tajam dari tingkat utang Indonesia sejak terjadinya krisis ekonomi:

• Pasca-krisis, penjadwalan kembali pembayaran pokok dan bunga pinjaman di bawah kesepakatan Paris Club.

• Apresiasi nilai tukar rupiah dari Rp 10.014 /AS$1 (1998) menjadi Rp 9.141/AS$1 (2006).• Peningkatan penerimaan pajak non-migas dari 9,0 persen terhadap PDB pada tahun 2001 menjadi 11,5

persen pada tahun 2006. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 12,8 persen dalam anggaran (APBN) 2007.

Utang pemerintah masih tetap sensitif terhadap gangguan makroekonomi, walaupun terjadi peningkatan yang luar biasa atas indikator utang pemerintah. Peningkatan sebesar 1 persen poin dari tingkat suku bunga domestik menyebabkan tambahan sebesar Rp 2 triliun (atau 0,07 persen dari PDB) atas pembayaran bunga utang domestik. Sejalan dengan hal itu, peningkatan sebesar 1 persen dalam suku bunga global AS dolar menyebabkan tambahan sebesar AS$0,2 milyar (atau 0,07 persen dari PDB) atas pembayaran bunga utang luar negeri. Depresiasi sebesar 10 persen pada mata uang di 2005 telah meningkatkan rasio utang terhadap PDB sebesar 4-5 persen, hal-hal lainnya tetap sama.

12 Pada 1994-95, pembayaran di muka atas utang pemerintah telah meningkatkan kemampuan fiskal yang berkesinambungan untuk pembayaran utang tetapi tingkat utang saat ini berada di bawah tahun 1996 ketika tidak ada pembayaran utang di muka.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 12

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Tabel 1.7 Utang pemerintah pusat dan daerah tahun 2005

Level of governments Hutang % total % PDB

Pemerintah pusat 1,277.5 99.7 46.8Pemerintah daerah 4.2 0.3 0.2

- Kabupaten/kota 0.7 0.1 0.0- Provinsi 0.3 0.0 0.0- PDAM 3.1 0.2 0.1

Total 1,281.7 100.0 47.0Sumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Pemerintah daerah per 2004; figur dalam Rp triliun.

Utang pemerintah daerah tidak signifikan (Tabel 1.7). Utang pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan PDAM hanya 0,2 persen dari PDB pada 2004, yang hanya merupakan 0,3 persen dari konsolidasi utang pemerintah (lihat Bab 7). Utang pemerintah daerah semata-mata terdiri dari pinjaman kepada pemerintah pusat (melalui RPD/RDI) dan kepada donor melalui pemerintah pusat (Perjanjian Penerusan Pinjaman ).

Pengelolaan utang

Dua inisiatif utama dalam pengelolaan utang telah diluncurkan pemerintah. Walaupun ada perbaikan dalam indikator utang akhir-akhir ini, resiko terhadap anggaran pemerintah masih cukup besar, dan peningkatan pengelolaan utang masih perlu dilakukan untuk menghindari kesulitan pembayaran utang di masa datang. Departemen Keuangan telah mencapai kemajuan yang cukup besar dalam hal ini. Dua contoh spesifik adalah pengembangan dan penerbitan strategi pengelolaan utang yang komprehensif pada September 2005 dan pembentukan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara.

Strategi pengelolaan utang akan didasarkan pada analisis biaya/risiko. Strategi pengelolaan utang ini disusun dalam kerangka yang masih bersifat terlalu umum, tetapi merupakan langkah awal yang penting yang dapat menjadi landasan kuat untuk menyusun strategi berdasarkan analisis biaya/risiko. Pengambilan pinjaman adalah untuk memaksimalkan konsesi, pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam mata uang rupiah, pada margin, mengeluarkan obligasi global dalam denominasi AS$. Terkait dengan komposisi utang, unsur-unsur utama adalah preferensi untuk meningkatkan rasio utang dengan denominasi rupiah, mengurangi rasio utang dalam mata uang Yen dalam portfolio utang luar negeri serta meningkatkan rasio utang dengan bunga tetap.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara (DJPHN) akan membantu menurunkan risiko operasional. Pembentukan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara memfasilitasi lebih lanjut pengembangan strategi pengelolaan utang dan menyiratkan pengurangan risiko operasional yang cukup besar. Selanjutnya, organisasi pengelolaan utang yang terpadu akan memfasilitasi implementasi strategi pengelolaan utang melalui pinjaman langsung, pembelian kembali, dan penggunaan derivatif keuangan, dengan tujuan untuk menggunakan seluruh instrumen pengelolaan utang yang ada. Awalnya, DJPHN akan bertanggung jawab untuk memastikan pembiayaan yang tepat waktu dan efektif serta mengelola risiko keuangan atas utang langsung pemerintah.

DJPHN menggunakan sumber-sumber daya organisasi (misalnya, staf) dari DPSUN (Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara) ) dan DPPHLN (Direktorat Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri). Di masa yang lalu, pinjaman dan surat utang negara dikelola secara terpisah di bawah dua direktorat ini, dengan koordinasi kegiatan yang sangat sedikit. DJPHN akan diorganisasikan sejalan dengan garis fungsional depan, tengah, dan belakang. Fungsi depan akan bertanggung jawab untuk merancang dan melakukan implementasi terhadap program pinjaman sesuai dengan strategi pengelolaan utang. Fungsi tengah akan bertanggung jawab terhadap pengembangan strategi dan pengelolaan risiko. Akhirnya, fungsi belakang bertugas untuk menjaga mutu dan memuktakhirkan database yang akan memungkinkan untuk melakukan registrasi utang tepat waktu, pencairan, dan fungsi-fungsi akuntansi.

Perbaikan yang sedang berjalan atas pengelolaan utang. Untuk menjamin bahwa kemajuan selama kurun waktu belakangan ini dalam pengelolaan utang negara dapat dipertahankan, fokus yang kuat dalam upaya untuk meningkatkan kapasitas dan pelatihan untuk pegawai baru pada DJPHN akan sangat penting. Untuk meningkatkan pengelolaan utang lebih lanjut, kegiatan di bawah ini dapat dilaksanakan atau direncanakan:

Peningkatan strategi pengelolaan utang yang ada: Strategi yang ada didasarkan pada pedoman yang agak terlalu luas dan prinsip umum sementara kerangka kerja yang kokoh belum tersedia. Masih diperlukan kerja keras untuk mengembangkan lebih jauh manajemen risiko keuangan dengan cara mengembangkan

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 13

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

perangkat yang dapat membantu mengidentifikasi preferensi konsekuensi biaya/risiko, misalnya analisis skenario dan model risiko stokastik. Menjamin akses yang lebih baik terhadap data utang yang komprehensif: Saat ini terdapat aktifitas yang sedang berjalan dalam hal menghubungkan database utang yang ada untuk memfasilitasi kompilasi total data utang, sementara situs web untuk DJPHN yang baru juga sedang dikerjakan. Hal ini akan membuat akses yang jauh lebih mudah terhadap informasi utang pemerintah.Menyediakan laporan berkala mengenai stok utang dan risikonya: Laporan berkala diperlukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Laporan itu harus meliputi utang luar negeri dan dalam negeri dan diperluas untuk melingkupi penerusan pinjaman dan kewajiban kontinjensi pada tahapan berikutnya. Kerangka hukum: Untuk mendukung strategi pengelolaan utang yang komprehensif, pinjaman pemerintah harus dinaungi oleh satu undang-undang. Pada kenyataannya, hal ini menyiratkan atas penggabungan UU tentang Surat Utang Negara dan UU tentang Pinjaman Pemerintah (saat ini sedang direvisi).

Subsidi

Diagram 1.14 Subsidi dan harga BBM

0

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

2001 2002 2003 2004 2005 2006

H

arga

Jual

(Rp/

liter

) Seb

elum

ken

a Pa

jak

0

5

10

15

20

25

30

Pe

rsen

tase

Bel

anja

Pem

erin

tah

Pusa

t (%

)

Bensin di Pasar InternasionalBensin

Total SubsidiSubsidi BBM

Subsidi Non-BBM

Sumber: Departemen Keuangan dan perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Figur merupakan persentase dari PDB.

Subsidi merupakan bagian yang besar dalam pengeluaran pemerintah pusat. Subsidi mencapai puncaknya sebesar Rp 121 triliun pada tahun 2005 dan jumlah ini merupakan 18,2 persen dari total pengeluaran pada 2001-06. Setelah terjadi penurunan pada 2002-03, besarnya subsidi kembali meningkat tajam pada 2004-05 terutama diakibatkan oleh subsidi BBM yang semakin tinggi akibat meningkatnya harga minyak internasional dan menurun lagi setelah dilakukan pengurangan subsidi BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 (Diagram 1.14). Bagian atas subsidi non BBM juga meningkat karena terjadi peningkatan subsidi terhadap Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Pada 2005, pemerintah membelanjakan 24 persen dari total pengeluaran dan 2,5 kali

dari total belanja modal untuk subsidi. Subsidi BBM berjumlah Rp 96 triliun (termasuk subsidi implisit kepada PLN sebesar Rp 21 triliun) dan subsidi non BBM berjumlah Rp 25 triliun (termasuk Rp 13 triliun untuk subsidi PLN). Subsidi BBM dan listrik berjumlah lebih dari 90 persen dari total subsidi (Diagram 1.15).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 14

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Diagram 1.15 Subsidi bahan bakar minyak dan listrik dominan

Belanja Pegawai, 56

11%Belanja Barang, 33 6%

Belanja Modal, 377%

Pembayaran Bunga Hutang, 58

11%

Transfer ke Daerah, 15130%

Subsidi BBM, 7515%

Subsidi Non-BBM,122%

Subsidi BBM di Sektor Listrik, 21

4%Subsidi Non-BBM

di Sektor Listrik,133%

Subsidi, 120.7 24%

Dana Sosial, 24.25%

Lain-lain, 30.86%

Sumber: Departemen Keuangan, perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Angka non-persen menunjukkan pengeluaran dalam Rp triliun.

Subsidi BBMDiagram 1.16 Harga bahan bakar minyak dalam negeri vs. internasional

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2001Jan

Jul 2002Jan

Jul 2003Jan

Jul 2004Jan

Jul 2005Jan

Jul 2006Jan

Jul

Minyak Tanah

Bensin

%

Sumber: Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Angka merupakan persentase harga domestik dari harga internasional.

Subsidi BBM merupakan beban utama dalam pengeluaran pemerintah pusat. Sejak awal 2003, pemerintah tetap mempertahankan harga BBM dalam negeri, walaupun terjadi peningkatan tajam harga minyak internasional (harga minyak mentah Indonesia) dari AS$30/barel pada 2003 menjadi di atas AS$50/barel pada 2005. Pada bulan September 2005, harga BBM dalam negeri sebagai proporsi dari harga minyak internasional (sebelum dikurangi pajak) jatuh hingga sekitar 40 persen untuk bensin dan solar, dan 14 persen untuk minyak tanah (Diagram 1.16). Dengan demikian, subsidi BBM sebagai beban dari PDB meningkat tajam dari 1,5 persen pada 2003 menjadi 3,0 persen pada 2004 dan 3,5 persen pada 2005.

Pemerintah menerapkan penyesuaian harga BBM yang cukup besar pada tahun 2005.

Kekhawatiran atas peningkatan beban keuangan karena subsidi dan keinginan untuk menggunakan sumber-sumber daya publik secara efisien mendorong pemerintah pusat untuk menerapkan tiga penyesuaian subsidi BBM pada 2005: peningkatan sebesar 29 persen pada bulan Maret, pengenaan harga pasar untuk industri, dan kenaikan harga sebesar 114 persen pada bulan Oktober (Tabel 1.8). Berdasarkan Keppres (Keputusan Presiden) No. 55/2005, subsidi BBM yang masih tersisa akan dihapuskan walaupun waktu untuk itu belum ditentukan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 15

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Tabel 1.8 Harga minyak dalam negeri vs. harga minyak internasional

Kenaikan harga BBM sebelum Oktober (Sep 05)

Kenaiikan harga BBM setelah Oktober (Oct 05) Terbaru (Sep 06)

A. Harga BBM dalam negeri (Rp)

Bensin 2,400 4,500 4,500

Minyak tanah (rumah tangga) 700 2,000 2,000

Solar 2,100 4,300 4,300

B. Harga BBM internasional 1/ (Rp)

Bensin 6,570 5,876 4,509

Minyak tanah (rumah tangga) 6,493 6,218 5,808

Solar 6,470 6,225 5,545

C. Persentase harga BBM dalam negeri dari harga internasional (A/B)

Bensin (%) 37 77 87

Minyak tanah (rumah tangga) (%) 11 32 31

Solar (%) 32 69 67

D. Variabel Ekonomi

Harga minyak mentah (IHK, AS$/barel) 62 58 63

Nilai tukar mata uang (Rp/AS$) 10,310 10,090 9,235

Sumber : Depkeu, Bank Dunia.Catatan: 1/ MOP plus 15 persen penyesuaian oleh nilai tukar dan pajak.

Diagram 1.17 Penghematan yang diperoleh dari penyesuaian subsidi BBM

Diagram 1.18 Harga dan produksi minyak

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06(APBN-P)

FY07(APBN)

AS$ miliar

Dana tabungan dari kenaikan harga Mar 05

Dana tabungan dari kenaikan harga Okt 05

Dana tabungan dari penerapan harga pasar untuk sektor industri

Subsidi aktual (terencana)

800

900

1,000

1,100

1,200

1,300

1,400

1,500

1,600

1,700

FY94 FY95 FY96 FY97 FY98 FY99 FY00 FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07(APBN)

-

10

20

30

40

50

60

70

Harga Minyak (RHS)

Produksi Minyak (LHS)

Ribu barel perhari AS$/bbl

Sumber: Depkeu, Bank Dunia. Sumber: Depkeu, Bank Dunia.Catatan: Harga minyak mentah per barel dan juta barel per hari.

Dampak pengurangan subsidi BBM terhadap anggaran sangat luar biasa. Pada tahun 2005 penyesuaian harga BBM telah menurunkan defisit anggaran sebesar AS$4,5 milyar pada tahun tersebut. Kenaikan pada Oktober 2005 saja telah memberikan dampak positif terhadap anggaran 2006 sebesar AS$10 milyar (Diagram 1.17). 13

Keseimbangan antara penerimaan migas dengan subsidi masih tetap surplus, tetapi kinerja penerimaan belakangan ini mengecewakan. Keseimbangan migas didefenisikan sebagai penerimaan (baik penerimaan pajak maupun non-pajak) dikurangi dengan pengeluaran, misalnya subsidi BBM. Dampak harga minyak internasional yang lebih tinggi terhadap harga anggaran tidak dapat diukur hanya melalui dampaknya terhadap subsidi BBM; penerimaan (pajak dan non-pajak) juga mengalami peningkatan ketika terjadi peningkatan harga minyak internasional. Selisih antara

13 Perkiraan tersebut didasarkan pada asumsi harga minyak pada anggaran. Makin tinggi kenaikan harga minyak aktual, makin besar penghematan yang diperoleh. Jumlah penghematan yang signifikan diarahkan untuk melakukan program kompensasi bagi masyarakat miskin. Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini dapat ditemukan pada laporan Bank Dunia, 2006h.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 16

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

penerimaan dan subsidi untuk minyak dan gas telah mengalami surplus selama lebih dari 10 tahun, sementara dari non-migas telah mengalami defisit. Pada 2001-06, neraca migas menunjukkan angka surplus rata-rata setara dengan 2,5 persen dari PDB, sementara neraca negatif dari pendapatan non-migas berjumlah 3,8 persen dari PDB. Tetapi, walaupun dengan harga minyak mentah yang tinggi sejak 2004, pendapatan sektor migas tetap mengecewakan. Antara 2001 dan 2006, sementara harga minyak mentah melonjak mencapai 160 persen, pendapatan dari sektor migas meningkat hanya sebesar 93,3 persen. Apresiasi nilai tukar mata uang (5 persen) dan penurunan produksi minyak dalam negeri (sebesar 28 persen) telah menetralisir sebagian besar keuntungan yang diperoleh dari harga minyak yang lebih tinggi. Produksi minyak menurun sebesar 40 persen selama 10 tahun terakhir (Diagram 1.18).

Transfer penerimaan oleh Pertamina sangat mengkhawatirkan. Antara 2001 dan 2005, pendapatan dari sektor migas sebenarnya meningkat sampai sekitar 120 persen (peningkatan harga minyak mentah dikurangi penurunan produksi dan apresiasi nilai tukar mata uang). Namun demikian, pendapatan sebenarnya dari sektor migas meningkat sebesar 93 persen. Harga gas tidak terkait sempurna dengan harga minyak dan produksi gas telah mengalami penurunan lebih tajam dibandingkan dengan produksi minyak. Akan tetapi, peningkatan pendapatan sebenarnya sebesar 93 persen masih terlalu kecil dibandingkan dengan perkiraan peningkatan sebesar 120 persen. Salah satu penjelasan atas kesenjangan adalah masalah yang terjadi pada arus kas di tubuh Pertamina. Masalah arus kas ini telah menghambat Pertamina untuk mengirim dana mereka ke dalam anggaran, termasuk tunggakan utang, dividen, dan transfer dari penjualan minyak dan gas.

Pembayaran subsidi BBM sering tertunda. Berdasarkan peraturan yang berlaku, pemerintah pusat harus mentransfer subsidi BBM kepada Pertamina setiap bulan. Hal ini dimaksudkan untuk menetralisir masalah arus kas di tubuh Pertamina. Berdasarkan kerangka kerja sebelumnya, setiap triwulan Pertamina menerima hanya 70 persen dari subsidi yang dianggarkan. Akan tetapi, sejak bulan Agustus 2006, hanya sebesar Rp 4,7 triliun (9 persen dari jumlah yang dianggarkan) dalam subsidi BBM yang ditransfer ke Pertamina. Alasan berikut ini dapat memberikan penjelasan tentang pencairan subsidi yang lamban tersebut:

Tunggakan utang Pertamina kepada pemerintah: Pertamina berhutang sebesar Rp 17 triliun kepada Pemerintah Indonesia per akhir 2005, termasuk belum disetornya dividen dan penerimaan non-pajak dari sektor migas (IMF, 2006). Hal ini menjelaskan keengganan pemerintah untuk membayar subsidi BBM tepat waktu.Sistem pembayaran yang rumit antara pemerintah, Pertamina, dan PLN: Pemerintah harus membayar subsidi listrik kepada PLN, sementara PLN memiliki kewajiban kepada Pertamina. Hubungan di antara ketiga pihak yang berkepentingan menyebabkan penyelesaian pembayaran subsidi menjadi rumit (lihat Lampiran Bagian C.15).Surat keputusan yang tertunda: Surat keputusan dari Departermen Energi dan Sumber Daya Mineral tentang ‘patokan harga atas jenis BBM tertentu untuk anggaran 2006’ baru dikeluarkan pada 18 Juli 2006.14 Penundaan penerbitan keputusan ini telah menyebabkan Departemen Keuangan tidak bisa melakukan perhitungan besarnya subsidi dan melakukan pembayaran untuk itu.

Subsidi Listrik

Biaya produksi yang lebih tinggi telah mendorong kenaikan subsidi listrik. Subsidi untuk sektor listrik berjumlah 28 persen dari total subsidi. Hal ini terdiri dari subsidi langsung kepada PLN (11 persen) untuk subsidi tidak langsung, plus subsidi tidak langsung melalui penyediaan bahan derifative minyak dengan harga subsidi (17 persen). Kombinasi antara tarif listrik yang tetap dan biaya produksi yang lebih tinggi sebagai akibat dari harga minyak yang lebih tinggi yang menyebabkan beban PLN naik sebesar Rp 15 triliun.15 Dalam hal ini, pemerintah pusat sebenarnya mengeluarkan sebesar Rp 30 triliun untuk subsidi listrik pada 2006.

14 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.2308 K/22/MEM/2006, tertinggal 18 Juli 2006.15 Pada APBN 2006 pemerintah pusat awalnya berencana untuk meingkatkan tarif listrik sebesar 20-30 persen . Akan tetapi, gagasan itu akhirnya dibatalkan akibat penolakan publik yang semakin gencar, yang mengakibatkan pemerintah harus mengeluarkan dana tambahan sebesar Rp 15 triliun untuk subsidi.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 17

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Diagram 1.19 Subsidi listrik yang regresif

-

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1Termiskin

2 3 4 5 6 7 8 9 10Terkaya

6600VA2200VA1300VA900VA450VA

Rp triliun

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.

Subsidi listrik bersifat regresif, walaupun lebih kecil dari subsidi BBM sebelum terjadi kenaikan harga BBM. Pada tahun 2005, subsidi listrik untuk rumahtangga sebesar Rp 11 triliun didistribusikan sebagai berikut: kelompok masyarakat 10 persen termiskin dari seluruh penduduk Indonesia menerima sebesar Rp 900 milyar, sementara kelompok masyarakat 10 persen terkaya menerima Rp 1,3 triliun, 44 persen lebih besar atas total subsidi rakyat miskin. Manfaat bagi kelompok masyarakat yang lain berkisar antara Rp 980 milyar dan Rp 1,3 triliun (Diagram 1.19). Indonesia memiliki lima jenis subsidi listrik, masing-masing didistribusikan dengan cara yang berbeda, dimana yang diutamakan untuk 450VA, kapasitas voltase yang

memungkinkan bagi intensitas penggunaan listrik yang rendah (seperti untuk penggunaan lampu pijar). Kelompok rumah tangga termiskin termasuk dalam kelompok dengan kapasitas 450VA dan subsidi ini, yang berjumlah lebih dari setengah subsidi listrik untuk keseluruhan, bersifat progresif. Dengan kategori 450VA, kelompok penduduk 10 persen termiskin menerima Rp 850 milyar, hampir tiga kali lipat banyaknya dari subsidi untuk kelompok penduduk 10 persen terkaya (Rp 300 milyar). Oleh karena itu, sifat regresif dari subsidi listrik berasal dari jenis subsidi yang lain (900VA sampai dengan 6,600VA).

Reformasi Pelayanan Sipil dan Belanja Pegawai Insentif yang terdistorsi pada birokrasi pemerintah telah menghambat pelaksanaan kebijakan, maupun penyediaan layanan publik. Tantangan ini telah diketahui selama bertahun-tahun, tetap saja kemajuan yang telah dicapai sampai saat ini masih sangat lamban. Akan tetapi, ada tanda-tanda yang sangat positif bahwa pemerintah sudah siap untuk melakukan program reformasi yang komprehensif di bidang ini (Kotak 1.1). Tantangan-tantangan utama dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Struktur Organisasi, Banyak lembaga dengan wewenang yang saling tumpang tindih memiliki tanggung jawab untuk mengelola dan mengawasi berbagai aspek dari pelayanan sipil. Lembaga-lembaga ini termasuk Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan). Departemen Dalam Negeri, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Departemen Keuangan, Departemen sektoral, dan pemerintah daerah. Yang membuat situasi semakin rumit, tidak satu pun lembaga tersebut yang bertindak proaktif dalam mengelola struktur dan bentuk pelayanan sipil, dan tidak satu lembaga pun yang memiliki wewenang yang diakui untuk melakukan reformasi pelayanan sipil yang komprehensif. Penerimaan pegawai dan promosi. Terdapat permintaan yang berlebih untuk menjadi pegawai negeri. Hal ini menyebabkan sistem penerimaan pegawai baru yang bermasalah yang sering melibatkan pungutan tidak formal baik saat penerimaan maupun promosi. Kriteria kinerja untuk memperoleh promosi sangat lemah dan hanya ada sedikit sanksi atas kinerja yang buruk dan keterlibatan dalam korupsi. Sejalan dengan hal itu, hanya terdapat beberapa insentif dalam sistem yang memberikan penghargaan atas kinerja yang bagus, karena sebagian besar kenaikan pangkat didasarkan pada senioritas. Kompensasi, Walaupun gaji pokok pegawai negeri sipil masih relatif rendah dibandingkan dengan sektor swasta dan standar internasional, paket kompensasi secara keseluruhan ditandai oleh berbagai jenis tunjangan dan honorarium, banyak dari jumlah ini tidak transparan, diskresionari, dan rentan terhadap penyalahgunaan. Jika paket kompensasi itu telah diperhitungkan, penelitian menunjukkan bahwa banyak segmen pelayanan sipil di Indonesia tidak dibayar lebih rendah dibandingkan pegawai sektor swasta (Nunberg dkk., 2000; dan Steedman dan Kenward, 2006). Oleh karena itu, kunci untuk mendorong kinerja berkualitas tidak terbatas pada besarnya upah yang dibayarkan. Hal itu perlu mempertimbangkan semua bentuk kompensasi (upah dan non-upah) serta memperhatikan hubungan yang lemah terkait dengan kinerja individu atau kelompok.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 18

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Kotak 1.2 Reformasi pelayanan sipil mulai terjadi

Baru-baru ini, Pemerintah mengambil inisiatif yang menuju pada salah satu kesempatan paling menjanjikan sejak bertahun-tahun untuk mereformasi pelayanan sipil. Langkah kunci pertama merupakan upaya untuk merancang kebijakan renumerasi yang baru bagi pejabat tinggi negara (seperti Menteri, anggota Parlemen, hakim, dan Ketua Komisi dan badan). Menteri Keuangan telah membentuk kelompok kerja antarlembaga untuk meneliti keseluruhan paket kompensasi yang bertujuan untuk menciptakan kerangka pembayaran dan tunjangan yang lebih transparan, sistematis, dan koheren, serta dikaitkan dengan Tinjauan secara komprehensif terhadap klasifikasi dan kategori pekerjaan. Hal ini mengarah pada pembentukan komisi independen penyusunan renumerasi untuk memberikan rekomendasi baik mengenai tingkat maupun struktur paket kompensasi untuk penjabat politik tertinggi. Pekerjaan komisi didasarkan pada teknik modern atas analisis fungsional, penyusunan deskripsi tugas, dan tingkat pembayaran gaji. Pendekatan semacam itu akan diikuti oleh kajian komprehensif yang serupa terhadap berbagai isu pembayaran untuk pelayanan sipil yang lebih besar.

Setiap departemen mempertimbangkan inisiatif yang penting yang dapat dijadikan sebagai model untuk reformasi pelayanan sipil yang lebih komprehensif. UU Guru No. 14/2005 memberikan peningkatan secara dramatis atas total gaji guru berdasarkan sistem merit dan kualifikasi melalui pemberian “tunjangan profesi” bagi mereka yang lulus melalui proses sertifikasi. Sementara itu, Departemen Keuangan sedang mempertimbangkan suatu reformasi yang komprehensif atas pelayanan sipilnya yang akan dipadukan dengan restrukturisasi baru-baru ini dalam departemen-departemen inti Kementerian yaitu perbendaharaan, perpajakan, dan bea cukai.

Akhirnya, kerangka hukum bagi pelayanan sipil sedang dikaji dan direvisi, termasuk diantaranya UU tentang Pelayanan Sipil dasar tahun 1999, UU mengenai Organisasi Pemerintahan dan UU tentang Pensiun. Yang juga ditinjau dalam kajian ini adalah sejumlah peraturan pemerintah meliputi desentralisasi pelayanan sipil, penilaian kinerja, pemisahan, dan disiplin pelayanan sipil.

Ada juga beberapa inisiatif yang kuat untuk reformasi pelayanan sipil di sejumlah pemerintah daerah, termasuk diantaranya bidang-bidang seperti kinerja anggaran, pelayanan satu atap untuk berbagai layanan publik, penilaian peningkatan produktivitas, dan pengangkatan yang transparan untuk posisi-posisi kunci. Inisiatif yang menjanjikan telah diluncurkan di Yogyakarta, Jembrana (Bali). dan Solok (Sumatera Barat).

Seluruh aparatur negara, dengan 3,6 juta pegawai negeri sipil, tidak terlalu berlebihan untuk negara sebesar Indonesia. Namun tetap terdapat banyak masalah. Ketidakhadiran merupakan hal yang biasa dan pekerjaan sambilan sering dijumpai. Memang, pekerjaan sembilan sering dilakukan secara formal (misalnya, menjadi dosen) atau mendapat penghargaan karena loyalitas (sebagai Komisaris BUMN).

Sebanyak 830.000 pegawai yang tercantum dalam daftar pembayaran pemerintah merupakan tenaga kontrak, dan hampir setengah dari mereka adalah guru.16 Para pegawai kontrak ini sedang dalam proses untuk menjadi pegawai negeri sipil dengan status permanen dengan jumlah 200.000 per tahun sampai 2009. Tampaknya masuk akal untuk meningkatkan status tenaga kesehatan dan pendidikan dari pegawai kontrak menjadi PNS, karena sebagian besar dari mereka bekerja pada jabatan fungsional dengan uraian tugas yang relatif lebih jelas. Bagi guru , pengangkatan harus dikaitkan dengan kebutuhan fungsional seperti yang tercantum pada UU Guru No. 14/2005 dan berdasarkan penugasan yang rasional (lihat Bab 3). Transfer untuk pegawai administrasi temporer mungkin akan lebih rumit: penambahan pegawai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan lembaga jika uraian tugas sudah jelas.

Indonesia membelanjakan 25 persen dari keseluruhan pengeluaran untuk pegawai. Belanja pegawai meliputi dua rezim kepegawaian (tenaga tetap dan kontrak). Begitu juga tunjangan dan honorarium. Di samping itu, ada juga beberapa tunjangan di luar anggaran (seperti, imbalan untuk Komisaris pada BUMN). Belanja pegawai meningkat sebesar 15 persen secara riil dari 2001 sampai dengan 2005 tetapi jumlah ini tetap stabil dibandingkan dengan kategori pengeluaran yang lain. Sampai dengan Desember 2004, kabupaten/kota memiliki 69 persen dari jumlah total PNS, tetapi hanya 50 persen dari total pengeluaran nasional untuk pegawai (Tabel 1.9). Gaji rata-rata setiap bulan untuk PNS di tingkat kabupaten/kota kurang dari 40 persen dari rata-rata gaji PNS di tingkat pusat. Sepintas memang membingungkan, dimana sebagian besar PNS berada pada Golongan III dan IV—yang merupakan pangkat tertinggi untuk jabatan

16 Sebagian besar tenaga kesehatan dan pendidikan ini ditugaskan pada zaman penerapan kebijakan pertumbuhan-nol antara tahun 1993 dan 1997. Lihat Barber dkk., 2005.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 19

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

fungsional—banyak dijumpai di tingkat kabupaten/kota. Penjelasannya terletak pada kenyataan bahwa pemerintah pusat memiliki pejabat yang menduduki posisi Eselon I (eselon yang paling tinggi dari empat eselon yang ada), yang menerima gaji lebih tinggi (karena tunjangan dan honorarium). Pemerintah pusat memiliki 653 staf Eselon I dibandingkan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing hanya memiliki 35 dan 58 staf Eselon I.17

Secara umum, rata-rata gaji bulanan PNS lebih tinggi dari gaji rata-rata pegawai yang hanya berpendidikan sekolah menengah atau perguruan tinggi. Gaji bulanan rata-rata PNS adalah as Rp 1,03 juta menurut Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) 2004.18 Selain itu, ada tiga sumber pendapatan yang membedakan gaji bersih: honorarium, tunjangan struktural/fungsional, dan tunjangan lain-lain. Ruang gerak fiskal yang ada di tingkat pusat lebih besar, sehingga di tingkat ini dapat menyisihkan dana untuk honorarium yang lebih besar per orang. Anggaran juga disisihkan untuk membayar tunjangan bagi pejabat dengan posisi struktural juga fungsional. Karena jumlah jabatan relatif lebih banyak di tingkat pusat daripada di tingkat kabupaten/kota, tingkat gaji rata-rata juga lebih tinggi di tingkat pusat.

Tabel 1.9 Distribusi pelayanan sipil antar pemerintah menurut senioritas dan total belanja pegawai

Tingkat Pemerintahan

Pangkat (Golongan)Total % Belanja

Pegawai %Rata-rata

Gaji Bulanan (Rp)I % II % III % IV %

Pusat 21,836 2.6 276,337 33.5 450,460 54.6 76,011 9.2 824,644 23 34.9 43 3,525,540

Provinsi 6,434 2.1 85,124 28.1 184,338 60.8 27,387 9.0 303,283 8 6.2 7 1,708,711Kabupaten/kota 54,175 2.2 562,143 22.9 1,466,102 59.6 376,990 15.3 2,459,410 69 40.4 50 1,369,874

Total 82,445 2.3 923,604 25.7 2,100,900 58.6 480,388 13.4 3,587,337 100 81.5 1,894,057

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan statistik pegawai negeri sipil dan data dalam pelaksanaan anggaran dari Depkeu.Catatan: Figur sampai dengan Desember 2004, Figur belanja pegawai dalam Rp triliun.

Kerangka Fiskal Jangka Menengah (MTEF) Beban utang pemerintah sepertinya akan terus mengalami penurunan. Rasio hutang pemerintah pusat terhadap PDB diproyeksikan akan turun dari perkiraan angka 37 persen pada 2006 menjadi di bawah 30 persen pada 2009.19 Hutang pemerintah diperkirakan akan sedikit mengalami peningkatan (sekitar 8 persen menjadi AS$145 milyar) pada 2010, sementara pertambahan jumlah nominal PDB harus melewati peningkatan dengan margin yang cukup besar. Perlu diperhatikan bahwa peningkatan yang baik dalam rasio hutang pemerintah terhadap PDP memakai asumsi stabilitas makroekonomi, termasuk stabilitas nilai tukar dan tingkat inflasi yang rendah.

Laju perbaikan dalam tingkat utang Indonesia akan berkurang. Hal ini terjadi karena Indonesia telah mencapai tingkat yang rendah di bawah 40 persen dan akan jauh lebih sulit untuk menurunkan tingkat utang secara tajam dari tingkat yang begitu rendah. Ada tiga faktor tambahan yang berkontribusi terhadap proyeksi yang konservatif ini. Pertama, tingkat inflasi diharapkan akan semakin menurun, yang akan menyebabkan nilai nominal PDB yang lebih rendah. Kedua, nilai tukar riil tetap stabil, dibandingkan dengan apresiasi nilai tukar riil selama beberapa tahun yang telah lalu. Ketiga, pembayaran akibat penjadwalan kembali berdasarkan kesepakatan Paris Club setelah bencana tsunami pada Desember 2004 akan jatuh tempo pada tahun-tahun mendatang.

17 Ada dua jenis jabatan dalam pelayanan sipil di Indonesia: struktural dan fungsional. Jabatan struktural merupakan jabatan manajemen, sama dengan PNS administrasi pada sistem pelayanan sipil yang lain. Jabatan ini terdiri dari empat eselon, di mana eselon IV adalah yang paling rendah. Jabatan fungsional merupakan jabatan non-manajemen yang diperlukan untuk kebutuhan operasional pada lembaga tertentu. Jabatan ini harus diisi oleh staf dengan keahlian tertentu. Jabatan fungsional ini dibagi menjadi empat tingkat: pertama, muda, madya, dan utama, di mana pertama merupakan golongan terendah. Semua pegawai negeri sipil, baik yang menduduki jabatan struktural maupun fungsional, dapat dibagi menjadi empat golongan kepangkatan, di mana yang paling rendah adalah Golongan I dan yang tertinggi adalah Golongan IV tertinggi. Pangkat tersebut merupakan fungsi dari jenjang pendidikan dan masa kerja. Pangkat tersebut selanjutnya akan menentukan golongan gaji dan potensi jabatan baik dalam jabatan struktural maupun jabatan fungsional.18 Berdasarkan analisis dalam survei yang sama, pendapatan bulanan PNS dan pendapatan mereka per jam adalah masing-masing 24 persen dan 47 persen lebih tinggi dari pekerja bayaran lainnya, dengan kontrol pada jenjang pendidikan mereka (lihat Bab 3). 19 Tahapan perbaikan diproyeksikan akan melambat untuk tahun 2007 karena dua hal: (i) menurunnya tingkat inflasi yang diproyeksikan untuk tahun 2007 akan berpengaruh terhadap PDB nominal, dan (ii) proyeksi tersebut mengasumsikan tingkat nilai tukar riil yang konstan, padahal kenyataannya, nilai tukar riil telahmengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 20

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Penerimaan domestik dari pajak non-migas diperkirakan akan meningkatkan sampai 2010. Peningkatan yang berlanjut dari pendapatan pajak ini akan menjadi faktor kunci terhadap keberlanjutan fiskal jangka menengah. Proyeksi dasar (Tabel 1.10) mengasumsikan bahwa pendapatan domestik dari pajak non-migas sebagai bagian dalam PDB akan meningkat dari 10,9 persen pada 2005 menjadi 12,8 persen pada 2010 (0,4 persen poin setiap tahun). Angka ini sangat mendekati kemajuan yang dipantau antara 2000 dan 2005, ketika rasio meningkat mencapai by 0,5 persen poin per tahun. Dua faktor diperkirakan berkontribusi terhadap kinerja ini, yaitu: (i) administrasi pajak yang terus mengalami perbaikan; dan (ii) tingkat pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi secara keseluruhan. Investasi pemerintah diperkirakan naik sampai 7,7 persen di tahun 2010. Dengan proyeksi pendapatan yang tinggi dan pembiayaan yang aman, pemerintah pusat dapat meningkatkan pengeluaran pembangunan (jumlah pengeluaran modal dan bantuan sosial) dari 3,1 persen terhadap PDB pada tahun 2006 menjadi 3,9 persen di tahun 2010 tanpa membahayakan keberlangsungan fiskal. Dengan skenario dasar ini, surplus primer akan berkisar antara 1,7 dan 2,0 persen dari PDB dan defisit anggaran akan menjadi lebih rendah dari 1,0 persen dari PDB. Dengan dasar yang sudah terkonsolidasi, total investasi pemerintah diproyeksikan akan meningkat dari 4,8 persen pada tahun 2005 menjadi 7,7 persen di tahun 2010.

Tabel 1.10 Kerangka Fiskal Jangka Menengah (MTEF)

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Act. Act. Pre Act. <------Proyeksi Bank Dunia ----->

1. Pemerintah pusat

(1) Penerimaan 17.6 18.1 19.4 18.5 18.6 18.4 18.3

Hanya dengan Non-Migas 12.8 13.0 13.2 13.8 14.0 14.3 14.5

Hanya dengan Minyak dan gas 4.8 5.1 6.1 4.6 4.6 4.1 3.8

Hanya dengan Hibah 0.0 0.0 0.1 0.1 0.0 0.0 0.0

(2) Pengeluaran 18.7 18.6 20.3 19.6 19.1 18.6 18.6

Hanya dengan Belanja Modal - 1.2 1.8 1.8 2.2 2.1 2.2

Hanya dengan Bantuan Sosial - 1.0 1.3 1.2 1.7 1.6 1.7

Hanya dengan Subsidi BBM 3.0 3.5 1.9 1.7 1.8 1.5 1.2

(3) Saldo primer 1.7 1.6 1.4 1.2 1.8 1.8 1.7

(4) Neraca anggaran -1.0 -0.5 -1.0 -1.1 -0.5 -0.3 -0.3

(5) Pembiayaan 0.9 0.4 1.0 1.2 0.3 0.2 0.0

Kebutuhan pembiayan kasar (AS$ miliar) 10.7 7.9 12.0 13.5 12.0 10.7 9.5

Rasio utang pemerintah terhadap PDB (%) 54.6 46.8 37.0 33.3 31.6 29.6 27.6

2. Pemerintah (pusat+Provinsi+kabupaten/kota)

(1) Penerimaan 19.7 20.7 21.9 20.9 21.0 20.8 20.7

(2) pengeluaran 19.7 20.6 21.9 21.6 21.1 20.6 20.5

Hanya dengan investasi - 4.8 6.7 6.5 7.2 7.4 7.7

(3) Neraca anggaran 0.0 0.1 0.1 -0.7 -0.1 0.2 0.1Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Angka di tabel semuanya dalam (%).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 21

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Rekomendasi Kebijakan

Utang

Mempertahankan stabilitas makroekonomi: Peningkatan indikator utang pemerintah telah memungkinkan terjadinya perbaikan makroekonomi yang mantap selama beberapa tahun terakhir ini. Akan tetapi, memburuknya keadaan makroekonomi kemungkinan besar akan membalik tren positif utang pemerintah yang sekarang.

Mengelola kewajiban kontinjensi: Kewajiban kontinjensi masih merupakan risiko serius terhadap keberlanjutan hutang. Kondisi kesehatan keuangan BUMN akan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi anggaran melalui: (i) partisipasi modal pemerintah, (ii) pengurangan kontribusi terhadap pendapatan pemerintah non-pajak dalam bentuk transfer keuntungan dari BUMN, dan (iii) ketidakmampuan untuk mengalihkan aset negara menjadi penerimaan (mis., pendapatan non-pajak dari sektor migas dari Pertamina). Apabila terjadi kelemahan pada salah satu dari bidang ini akan diperlukan pembiayaan hutang tambahan atau mereka harus melakukan antisipasi terhadap pendapatan dari sumber-sumber lain. Kewajiban kontinjensi harus secepat mungkin dimasukkan ke dalam kerangka kerja pengelolaan hutang.

Pelaksanaan Rekening Perbendaharaan Tunggal: Pemerintah pusat belum melakukan integrasi terhadap RPD/RDI dan rekening transitori minyak ke dalam rekening anggaran. Selain itu, ada begitu banyak rekening independent, di luar anggaran. Walaupun rekening di luar anggaran memiliki riwayat dan fungsi yang spesifik, keberadaan mereka mempersulit pengelolaan kas dan menimbulkan ketidakefisienan dalam pengelolaan utang.

Tantangan terhadap pengelolaan utang pemerintahUntuk memastikan bahwa kemajuan dalam pengelolaan utang pemerintah yang sudah dicapai dalam beberapa tahun terakhir dapat dipertahankan, fokus yang mantap terhadap pengembangan kapasitas dan pelatihan staf yang baru pada DJPHN akan menjadi sangat penting.

Meningkatkan strategi pengelolaan utang yang ada: Strategi yang ada saat ini berdasarkan pada pedoman secara garis besar dan prinsip yang sangat umum, dan kerangka kerja yang kokoh belum tersedia. Kerja yang lebih keras diperlukan untuk terus mengembangkan manajemen resiko keuangan dengan membuat berbagai perangkat yang dapat membantu mengidentifikasi preferensi atas konsekuensi biaya/risiko, misalnya dengan analisis skenario dan model risiko stokastik. Menjamin adanya akses yang lebih baik terhadap data utang yang komprehensif: Saat ini terdapat kegiatan yang sedang berjalan untuk menghubungkan database utang yang ada untuk memfasilitasi kompilasi total data utang, sementara situs web untuk DJPHN yang baru sedang dalam pengerjaan, sehingga akses di masa depan terhadap informasi mengenai utang pemerintah akan menjadi jauh lebih mudah.Membuat laporan berkala tentang stok utang dan risiko yang dihadapi: Penyusunan laporan secara berkala diperlukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Laporan itu harus mencakup hutang dalam negeri dan luar negeri dan dapat diperluas lagi dengan mencakup penerusan pinjaman dan kewajiban kontinjensi pada tahap selanjutnya. Kerangka hukum: untuk mendukung adanya strategi pengelolaan hutang yang komprehensif, pinjaman oleh pemerintah harus diatur dalam satu undang-undang, dalam praktiknya hal ini akan mengisyaratkan perlu dilakukan penyatuan antara UU tentang Surat Utang Negara dengan UU mengenai Pinjaman Pemerintah (yang saat ini sedang direvisi).

Subsidi

Penyesuaian harga BBM: Harga BBM dalam negeri masih di bawah harga internasional, (dengan harga bensin dan solar 30-35 persen lebih rendah dan minyak tanah 70 persen lebih rendah). Implementasi penyesuaian lebih jauh perlu mempertimbangkan hal-hal sbb: (i) dampaknya terhadap masyarakat miskin; dan (ii) dampaknya terhadap keadaan makroekonomi (fiskal, pertumbuhan, inflasi, dan neraca pembayaran).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 22

BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal

Pengelolaan yang komprehensif terhadap subsidi: Subsidi BBM dan listrik berjumlah sekitar 60 persen dari total subsidi. Alasan untuk pemberian subsidi ini perlu dipertimbangkan lagi dengan menerapkan kerangka kerja pengelolaan subsidi yang komprehensif. Kerangka kerja tersebut harus melakukan penilaian terhadap:

Biaya/manfaatMekanisme pengawasan untuk pencairanPenerima subsidi Konsisten dengan tujuan pembangunan nasional

Penyelesaian transfer subsidi antara Pemerintah dan BUMN: Kerangka peraturan yang lemah (seperti penundaan penerbitan surat keputusan menteri tentang patokan harga) harus ditingkatkan dan keterlambatan pelaksanaan dalam transfer aktual harus dikurangi . Saat ini, yang ada hanyalah mekanisme secara ad hoc untuk menangani hal ini. Para pihak yang terkait (termasuk Departemen Keuangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kantor Menteri Negara BUMN, Pertamina, dan PLN) perlu menyepakati sebuah mekanisme transfer subsidi yang lebih koheren.

••••

BAB 2Kecenderungan Lintas

Sektoral Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 24

BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral

Temuan Pokok

Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan. Pengeluaran untuk infrastruktur masih belum kembali pada tingkat sebelum krisis dan masih berkisar 3 persen dari PDB sejak tahun 2001. Angka ini hanya sedikit lebih tinggi daripada pengeluaran untuk infrastruktur yang rendah saat pascakrisis tahun 2000. Sebaliknya, pengeluaran untuk sektor sosial meningkat secara substansial. Terutama, pengeluaran untuk sektor pendidikan meningkat hampir dua kali lipat dari 2,5 persen (2000) menjadi sekitar 4 persen (2007).

Tingkat pengeluaran saat ini untuk administrasi sangat tinggi (15 persen, terutama disebabkan oleh pengeluaran yang tinggi di daerah) dan menunjukkan adanya pemborosan yang signifikan atas sumber daya publik. Terdapat cukup ruang untuk perbaikan dan pemerintah harus berusaha mengurangi pengeluaran ini menjadi hanya 5 sampai 10 persen.

Rekomendasi Utama

Ruang gerak fiskal yang lebih besar di masa mendatang harus dialokasikan untuk infrastruktur, baik di tingkat nasional maupun daerah. Tambahan investasi diperlukan untuk mengatasi hambatan yang ada sekarang sebagai akibat dari kurangnya investasi serta melaksanakan proyek-proyek penting yang baru untuk memenuhi permintaan yang meningkat dan mendorong pertumbuhan di masa datang.

Untuk mengurangi pengeluaran pada administrasi dan birokrasi, direkomendasikan agar pengeluaran diarahkan kembali dari administrasi menjadi tambahan pembiayaan untuk pemberian pelayanan dasar dengan cara:

Meminimalisasi pengeluaran yang tidak memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Misalnya, mengurangi pengeluaran administrasi pemerintah dan mengalokasikan pengeluaran lebih besar untuk pelayanan publik seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Menyesuaikan pengeluaran rutin kearah belanja modal yang memberikan pelayanan publik.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 25

BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral

Indonesia memiliki distribusi pengeluaran yang sangat tidak merata. Kategori multi-sektor (sektor perdagangan, pengembangan usaha, keuangan dan koperasi) merupakan kategori pengeluaran yang dominan karena meliputi juga subsidi dan pembayaran bunga. Kategori pengeluaran ini umumnya mengambil sekitar 40 persen atau lebih dari agregat pengeluaran pemerintah. Jika pengeluaran untuk “aparatur pemerintah dan pengawasan” diikutsertakan, maka lebih dari setengah dari keseluruhan pengeluaran pemerintah dipakai tanpa alokasi untuk sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan atau infrastruktur.

Akan tetapi, kategori pengeluaran perdagangan-usaha-keuangan telah menurun rasionya dari total pengeluaran, terutama sejak pengurangan subsidi BBM pada 2005. Hal Ini telah membuka ruang tambahan untuk meningkatkan pengeluaran pada sektor sosial dan pertahanan. Memang, dengan perkecualian untuk sektor pertambangan dan infrastruktur, seluruh sektor utama, seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan pertanian setidaknya naik menjadi dua kali lipat sejak 2001 (lihat Tabel 2,1).20

Tabel 2,1 Distribusi sektoral dari pengeluaran publik secara nasional

Rp triliun 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

Pertanian 5.6 6.1 8.0 7.8 7.6 10.3 11.3 Pendidikan 36.3 38.6 48.7 44.7 51.1 68.3 72.0 Kesehatan 8.3 8.8 12.0 11.8 14.0 17.7 19.0 Pertambangan 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.7 0.9

Perdagangan, Pengembangan Dunia Usaha Nasional, Keuangan & koperasi (termasuk utang dan subsidi)

172.2 118.3 113.2 135.6 150.6 157.9 157.9

Aparatur pemerintah & Pengawasan 28.4 28.1 39.6 39.4 42.6 60.7 57.6 Ketenagakerjaan 0.5 0.8 1.1 1.0 0.9 1.4 1.3 Pertahanan & keamanan 14.8 17.2 20.3 20.9 20.8 25.6 29.4 Lingkungan dan Perencanaan Spasial 1.8 2.1 2.5 2.2 2.1 4.1 4.5 Infrastruktur 29.1 28.3 38.9 31.8 35.0 44.2 45.3 Lain-lain 18.8 20.9 19.7 19.6 18.3 20.9 20.7

Total Nasional 316.4 269.7 304.9 315.3 343.4 396.7 420.0

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Departemen Keuangan dan SIKD. Catatan: *2006 Revisi Anggaran (APBN-P); **2007 Rancangan anggaran yang disampaikan ke DPR (RAPBN) dan perkiraan alokasi daerah. Harga pada konstan 2000. Angka dalam Rp triliun.

Pelayanan Ekonomi

Struktur pengeluaran Indonesia telah mengalami perubahan secara dramatis sejak tahun 2001. Dengan menurunnya pembayaran utang, pengeluaran sektoral telah mengalami peningkatan. Akan tetapi, pengeluaran sektoral dapat lebih ditingkatkan lagi jika pembayaran subsidi tidak meningkat begitu tajam pada 2004 dan 2005, yang mengakibatkan pengalihan sumber daya terhadap pengeluaran tambahan pada sektor-sektor kunci. Tren dan beberapa hal berikut ini penting diperhatikan:21

Sektor pendidikan kini merupakan pengeluaran nomor satu di Indonesia. Sektor Ini diikuti oleh pengeluaran aparatur pemerintah dan subsidi. Pembayaran bunga telah mengalami penurunan secara terus-menerus. Pengeluaran ini pernah menjadi pengeluaran utama pada tahun2001 dengan hampir 25 persen, di 2006 pembayaran bunga diperkirakan hanya sebesar 11 persen. Pengeluaran subsidi selama ini selalu signifikan tetapi pengeluaran ini mengalami fluktuasi yang cukup besar. Pada tahun 2004 dan 2005, saat terjadi kenaikan harga minyak yang tajam, subsidi menjadi pengeluaran pemerintah terbesar sehingga mengalihkan pengeluaran atas sektor lain, terutama pengeluaran pembangunan.

20 Angka-angka yang disampaikan dalam Bab ini mencerminkan pengeluaran yang sebenarnya (yang dilaksanakan) pada seluruh tingkat pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). Angka untuk tahun 2006 dan 2007 (data untuk daerah pada 2005) didasarkan apda data anggaran (APBN dan APBD) dan perkiraan anggaran daerah didasarkan apda pengeluaran sebelumnya dan alokasi jumlah anggaran yang dialihkan oleh pemerintah pusat. Lihat Lampiran Lampiran D-3 untuk keterangan lebih rinci mengenai tren pengeluaran setiap sektor. 21 Penentu utama dan pola pembayaran bunga dan subsidi dibahas lebih rinci lagi dalam distribusi ekonomi anggaran.

••

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 26

BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral

Pengeluaran atas pelayanan inti pemerintah meningkat secara terus menerus mencapai jumlah sekitar 15 persen dari total pengeluaran pemerintah pada 2006. Sejak tahun 2003, pengeluaran untuk pelayanan inti pemerintah melebihi pengeluaran untuk infrastruktur dan, sejak tahun 2006, pengeluaran ini diproyeksikan menjadi pengeluaran terbesar kedua dari seluruh sektor (setelah sektor pendidikan).Infrastruktur memiliki proporsi yang lebih kecil dibandingkan sektor lain, terutama sejak 2003. Walaupun terjadi penurunan yang cukup besar pada pengeluaran non-sektoral (untuk hutang dan subsidi) pengeluaran infrastruktur telah mengalami penurunan sejak 2003.Proporsi pengeluaran untuk sektor pertahanan, kesehatan, dan pertanian telah meningkat secara perlahan. Pengeluaran untuk pertahanan saat ini berjumlah 7 persen dari anggaran, naik dari sebelumnya yang berada di bawah 5 persen pada tahun 2001. Pengeluaran untuk sektor kesehatan dan pertanian masih berada di bawah angka 5 persen.

Diagram 2.1 Distribusi pengeluaran publik secara nasional pada sektor-sektor kunci, 2001-07

0

5

10

15

20

25

30%

2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

% d

ari T

otal

Pen

gelu

aran

Pertanian Pendidikan KesehatanKeamanan & Pertahanan Nasional Infrastruktur Aparatur Pemerintah dan Biaya Pengawasan Subsidi Pembayaran Bunga Hutang

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Departemen Keuangan dan SIKD. Catatan: * Realisasi anggaran pusat dan perkiraan alokasi daerah, ** Anggaran pusat (APBN) dan perkiraan alokasi daerah.

Pengeluaran publik secara nasional untuk sektor infrastruktur dibandingkan sektor lain masih cukup konstan sejak tahun 2001 sampai 2005, dengan nilai rata-rata sebesar 10,5 persen dari total pengeluaran nasional, setara dengan sekitar 2 persen dari PDB. Pengeluaran publik untuk infrastruktur22 dalam angka riil meningkat sebesar 20 persen dalam periode 2001 sampai 2005 dan diproyeksikan meningkat lebih lanjut sebesar 28 persen dalam periode 2005 sampai 2007. Walaupun peningkatan tersebut cukup besar, jumlah ini relatif masih kecil dibandingkan dengan kesenjangan akumulasi pembiayaan yang demikian besar pada sektor infrastruktur setelah investasi yang relatif rendah selama bertahun-tahun untuk sektor ini. Laporan ini memandang infrastruktur sebagai salah satu dari tiga sektor strategis untuk dianalisis secara lebih rinci dalam bab-bab berikut.

Pengeluaran publik secara nasional dalam angka riil untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mengalami peningkatan sejak tahun 2001 sampai dengan 2005, rata-rata 2,4 persen dari total pengeluaran pada periode yang sama. Sangat menarik untuk diamati bahwa mulai tahun 2004 pengeluaran pemerintah daerah telah mengambil alih pengeluaran pemerintah pusat. Pada tahun 2004, pengeluaran pemerintah pusat berjumlah 45 persen dari total pengeluaran, dibandingkan dengan 55 persen pengeluaran dari pemerintah daerah (pengeluaran pemerintah provinsi hanya berjumlah 17 persen dan kabupaten/kota 38 persen). Akan tetapi, pemerintah pusat masih berperan besar dalam pengeluaran pembangunan di sektor tersebut.

22 Dalam bagian ini infrastruktur tidak meliputi pengeluaran untuk BUMN, yang dibahas dalam sub-seksi infrastruktur pada laporan ini.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 27

BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral

Pelayanan Sosial

Pengeluaran publik untuk sektor pendidikan meningkat cukup besar dalam kurun waktu 2001 sampai 2005. Anggaran untuk tahun 2006 dan perkiraan untuk tahun 2007 menunjukkan peningkatan alokasi yang cukup besar pada sektor ini—setiap tahun hampir mencapai pertumbuhan 30 persen—yang menunjukkan komitmen pemerintah yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan layanan pendidikan. Peningkatan anggaran sektor pendidikan antara tahun 2006 dan 2007 sebagian besar akan disalurkan untuk membiayai sertifikasi guru , proses peningkatan mutu, dan untuk hibah dalam bentuk BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Perkiraan pencairan untuk 2006 adalah sekitar Rp 11,12 triliun. Analisis yang lebih rinci mengenai pengeluaran untuk sektor pendidikan dapat dilihat pada bab berikut.

Walaupun tampak tren peningkatan yang kuat dalam proyeksi pengeluaran kesehatan, pendanaan untuk sektor ini terlihat masih kurang dibandingkan dengan pengeluaran untuk sektor lain di Indonesia. Pengeluaran untuk sektor kesehatan publik meningkat secara riil dari Rp, 8,3 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp. 14,1 triliun pada tahun 2005 (peningkatan sebesar 69 persen ). Pengeluaran untuk sektor kesehatan dibandingkan dengan sektor lain juga telah mengalami peningkatan, dengan proporsi terhadap total pengeluaran nasional meningkat dari 2,6 menjadi 4,1 persen pada periode yang sama. Selanjutnya, anggaran untuk sektor kesehatan mencerminkan peningkatan lebih lanjut sebesar 60 persen sejak tahun 2005 sampai 2007. Walaupun terdapat peningkatan tren yang besar atas pengeluaran kesehatan, peningkatan ini dimulai dari dasar yang sangat rendah. Pengeluaran untuk sektor kesehatan di Indonesia masih di bawah 1 persen dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan sekitar. Bab yang membahas sektor kesehatan akan memberikan analisis yang lebih cermat mengenai tingkat, efisiensi, dan kemerataan pengeluaran dalam sektor kesehatan.

Pelayanan Masyarakat Umum

Pengeluaran publik untuk aparatur negara dan pengawasan meningkat sebesar 50 persen pada periode 2001-05 (Tabel 2.2). Pada tahun 2001, pengeluaran untuk sektor ini berjumlah 9 persen dari total anggaran nasional, meningkat menjadi dan 12,4 persen dari total pengeluaran nasional pada tahun 2005. Pemerintah daerah sendiri mempunyai porsi sebesar lebih dari 75 persen dalam peningkatan pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah.23 Pertumbuhan yang mengesankan untuk pengeluaran administrasi di tingkat daerah ini setidaknya dapat dijelaskan melalui pembentukan lebih dari seratus pemerintahan kabupaten/kota baru pada periode ini, sebuah peningkatan sebesar 30 persen dari 336 kabupaten/kota pada tahun 2001 menjadi 437 kabupaten/kota pada tahun 2005.

Tabel 2.2 Tren pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah

2001 2002

Pertum-buhan

Tahunan(%)

2003

Pertum-buhan

Tahunan(%)

2004

Pertum-buhan

Tahunan(%)

2005

Pertum-buhan

Tahunan(%)

Tingkat Pertum-buhan rata-rata

2001-05(%)

Tingkat Pertum-buhan

Yang Tertimbang 2001-05

(%)Pusat 3.6 3.4 -5 5.6 63 5.5 -2 7.2 32 99 13Provinsi 7.0 6.8 -2 10.1 49 8.7 -14 9.5 9 37 9Kabupaten/kota 17.8 17.9 0 23.9 34 25.2 5 25.9 3 45 28Total 28.4 28.1 -1 39.6 41 39.4 -1 42.6 8 50 50

Total sebagai % dari Pengeluaran Nasional, (%)

9.0 10.4 --- 13.0 --- 12.6 --- 12.4 --- --- ---

Rupiah Per kapita 137 133 -3 184 38 180 -2 193 7 41 ---Jumlah Kabupaten/kota 336 348 4 370 6 410 11 437 7 30 ---

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan SIKD.Catatan: Dalam harga konstan 2000, dalam Rp triliun.

Pengeluaran untuk belanja pegawai mencapai 60 persen dari pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah. Kabupaten/kota bertanggung jawab atas lebih dari dua pertiga dari keseluruhan belanja pegawai, atau 41 persen dari total pengeluaran aparatur pemerintah, sementara proporsi untuk pemerintah provinsi dan pemerintah pusat jauh

23 Yaitu, jika komponen tertimbang atas tingkat pertumbuhan (mis., 9 dan 28 persen, masing-masing untuk provinsi dan kabupaten/kota) dapat dinyatakan sebagai persentase dari total (50 persen).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 28

BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral

lebih rendah.24 Struktur desentralisasi pada pemerintah berarti bahwa kabupaten/kota menyerap sampai 69 persen dari total belanja pelayanan sipil.25

Diagram 2.2 Komposisi ekonomi atas belanja aparatur pemerintah

Barang21%

Pemeliharaan5%

Perjalanan5%

Investasi5%

Lain-lain4%

Pusat3%

Provinsi16%

Kabupaten/Kota41%

Kepegawaian60%

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu dan SIKD.

Pengeluaran untuk sektor pertahanan dan keamanan meningkat dari Rp 14,8 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 20,8 triliun di tahun 2005, dengan proporsi rata-rata sebesar 6 persen dari total pengeluaran nasional. Tren ini sebagian mencerminkan komitmen pemerintah untuk mendanai sektor keamanan melalui anggaran walaupun hal ini masih merupakan proses yang panjang dan bertahap. Saat ini sektor keamanan memperoleh sebagian besar dananya dari luar anggaran, menciptakan pendapatan dengan mengendalikan sejumlah kepentingan dalam berbagai kegiatan bisnis.

Distribusi Pengeluaran Sektoral Antar-Pemerintah

Diagram 2,3 Distribusi sektoral atas pengeluaran publik berdasarkan tingkat pemerintah , 2005

28

1123

32

9

4

15

9

4

47

40

9

9

52

5

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Pendidikan Aparatur Pemerintah & Pengawasan

Infrastruktur Pertahanan & Keamanan

Kesehatan Pertanian

pR tr

iliun

Kabupaten/KotaProvinsiPusat

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan SIKD.Catatan: Harga berlaku dalam Rp triliun.

Sejalan dengan desentralisasi pengeluaran sejak 2001, pemerintah daerah saat ini memiliki proporsi yang cukup besar atas pengeluaran pada hampir seluruh sektor publik, terutama untuk layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah. Proporsi pengeluaran kabupaten/kota paling besar terdapat pada sektor aparatur pemerintah dan sektor pendidikan (masing-masing 61 dan 59 persen dari total secara keseluruhan), sementara pengeluaran kabupaten/kota sama dengan pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor kesehatan dan pertanian (masing-masing 9 dan 5 persen). Walaupun terjadi peningkatan peran pemerintah kabupaten/kota pada sektor ini, wewenang untuk mengambil keputusan masih sangat terbatas dengan adanya kenyataan bahwa kebanyakan pengeluaran pemerintah kabupaten/

kota bersifat non-diskresionari (mis., pengeluaran rutin untuk pembayaran gaji).26 Berbeda dengan pengeluaran yang sangat terdesentralisir dalam sektor sosial, pengeluaran dalam infrastruktur dan pertahanan nasional masih didominasi oleh pengeluaran pemerintah pusat. Tiga bab berikut ini diperuntukkan untuk mengkaji pengeluaran secara rinci dan analisis efisiensi mengenai tiga sektor kunci: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

24 Perhatikan bahwa Diagram 2.2 hanya mencerminkan belanja gaji yang tidak diperhitungkan pada sektor lain, misalnya tidak termasuk gaji untuk sektor pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur.25 Lihat bagian tentang pelayanan sipil dalam Bab 1 untuk keterangan lebih rinci tentang distribusi antar-pemerintahan atas pelayanan sipil.26 Lihat bab tentang pendidikan dan Bab kesehatan untuk pembahasan lebih rinci mengenai pengeluaran sektor sosial di kawasan ini.

BAB 3Sektor Pendidikan

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 30

BAB 3 Sektor Pendidikan

Temuan Pokok

Anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 17,2 persen telah menempatkan Indonesia sejajar dengan negara berkembang lainnya, juga dengan negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Co-operation and Development - OECD). Akan tetapi, tingkat pengeluaran di Indonesia tersebut relatif masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya di kawasan Asia Timur.

Penafsiran saat ini tentang ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan “20 persen ” untuk anggaran pendidikan, khususnya dengan mengeluarkan gaji guru sebagai komponen 20 persen dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, merupakan sesuatu yang tidak realistis dan pada saat yang sama akan menimbulkan masalah. Jika ingin mencapai angka 20 persen untuk anggaran pendidikan, dengan definisi saat ini, pemerintah pusat perlu menaikkan tingkat pengeluaran yang ada sekarang menjadi lebih dari dua kali lipat dan menggunakan kenaikan anggaran itu untuk pengeluaran bukan gaji, sementara itu pengeluaran daerah secara keseluruhan untuk sektor pendidikan (termasuk gaji) perlu ditingkatkan setidaknya menjadi 45 persen dari total pengeluaran.

Ada perbedaan yang cukup besar di bidang akses pendidikan dan mutu pendidikan di berbagai wilayah Indonesia. Penentuan target sumber-sumber daya tambahan yang efektif diperlukan untuk menyediakan dana yang memadai di kabupaten/kota dan provinsi yang masih tertinggal agar dapat setara dengan daerah lain.

Indonesia kini memiliki kelebihan jumlah guru di tingkat sekolah dasar dan di wilayah perkotaan, sementara untuk daerah-daerah terpencil masih terjadi kekurangan jumlah guru yang cukup besar.

Rekomendasi Utama

Dengan tingginya angka partisipasi pada tingkat Sekolah Dasar, diperlukan pengeluaran dana yang lebih banyak untuk peningkatan angka partisipasi sekolah pada jenjang SMP, dan pada saat yang sama meningkatkan mutu pengajaran, dan memperbaiki infrastruktur pendidikan yang ada.

Definisi yang lebih tepat mengenai ketentuan anggaran sebesar 20 persen adalah dengan memasukkan gaji guru dan menggabungkan pengeluaran dari seluruh tingkat pemerintahan. Dengan definisi tersebut, Indonesia mengeluarkan sekitar 17,2 persen untuk sektor pendidikan pada tahun 2006.

Untuk memastikan bahwa ketentuan dalam Undang-undang No. 14/2005 tentang Guru dapat mencapai hasil belajar yang lebih tinggi, diperlukan mekanisme pengendalian kinerja dan akuntabilitas yang harus diterapkan secara bersamaan. Penentuan akuntabilitas kelembagaan yang tinggi baik dalam sektor maupun dalam masyarakat madani merupakan prasyarat untuk melakukan kontrol yang efektif terhadap kinerja.

Program dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat menjadi alat yang tepat dan baik untuk meningkatkan pemerataan pendidikan jika mekanisme alokasi bantuan ini direvisi dengan mempertimbangkan calon siswa (dan tidak hanya memperhitungkan siswa yang telah terdaftar) serta penentuan indikator terhadap kinerja yang baik, dan pelaksanaan anggaran yang transparan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 31

BAB 3 Sektor Pendidikan

Pendidikan di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan27

Pada tahun akademis 2004/2005, sekolah negeri dan swasta di semua jenjang pendidikan menerima sebanyak 50,6 juta siswa di lebih dari 270.000 sekolah. Berdasarkan UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan formal di Indonesia dimulai dengan dua tahun belajar di taman kanak-kanak (TK) dilanjutkan dengan pendidikan sekolah dasar (SD) yang lamanya enam tahun. Lulusan dari sekolah dasar dapat meneruskan pendidikan mereka ke pendidikan menengah, yang dibagi menjadi sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Baik pendidikan SMP maupun SMA masing-masing memerlukan waktu selama tiga tahun. Lulusan pendidikan sekolah menengah atas dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi (akademi atau perguruan tinggi). Lama studi untuk pendidikan tinggi tergantung pada jenis program. Dalam tahun akademis 2004/2005, distribusi siswa di berbagai jenjang pendidikan adalah: 5 persen untuk taman kanak-kanak, 59 persen untuk sekolah dasar, 17 persen untuk sekolah menengah pertama, 13 persen untuk sekolah menengah atas, dan 6 persen untuk pendidikan tinggi.

Indonesia menargetkan 100 persen angka partisipasi kasar (gross enrollment rates) di tingkat sekolah dasar dan 96 persen di sekolah menengah pertama pada tahun 2009. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap anak yang berumur 7 sampai 15 tahun harus mengenyam pendidikan dasar. UU ini memberikan implikasi bahwa pemerintah harus menyediakan layanan pendidikan gratis bagi seluruh siswa usia pendidikan dasar. Pencapaian target angka partisipasi ini dalam pendidikan Indonesia, ditambah dengan investasi untuk meningkatkan mutu pendidikan, merupakan faktor penting untuk mempertahankan pertumbuhan Indonesia agar mampu bersaing di kawasan regional di tahun-tahun yang akan datang. Oleh karena itu, pengeluaran pendidikan yang efisien dan efektif merupakan unsur penting dalam strategi penurunan angka kemiskinan di Indonesia.

Sejak tahun 1970-an, angka partisipasi sekolah telah meningkat cukup besar sebagai akibat dari upaya pemerintah untuk terus membangun gedung sekolah di seluruh Indonesia. Hasilnya sangat mengesankan: angka partisipasi murni sekolah dasar meningkat dari 72 persen pada 1975 menjadi hampir seluruhnya pada 1995 dan tetap berada pada tingkat yang tinggi selama masa krisis ekonomi pada akhir 1990-an. Pada tahun 2005, angka partisipasi murni sekolah dasar mencapai 93.2 persen (dan angka partisipasi kasar bahkan di atas 100 persen).28 Angka partisipasi murni pada tingkat sekolah menengah pertama bahkan menunjukkan peningkatan yang mengejutkan, yaitu naik dari 17 persen pada 1970-an menjadi sekitar 65.2 persen pada 2005 (dengan angka partisipasi kasar sebesar 81.7 persen). Angka partisipasi sekolah pada tingkat sekolah menengah atas juga mengalami peningkatan walaupun pada tingkat yang lebih rendah (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Angka partisipasi kasar dan sekolah pada berbagai jenjang pendidikan, 1995–2005

1970 1980 1995 1998 2000 2002 2004 2005Angka partisipasi sekolah Tingkat SD 72 (a) 88 91.5 92.3 92.4 92.7 93.0 93.2Tingkat SMP 17 (a) -- 51.0 58.4 61.7 60.9 65.2 65.2Tingkat SMA 17 (a) -- 32.6 36.9 39.5 36.8 42.9 41.7Angka partisipasi kasarTingkat SD 80 107 107.0 109.3 110.1 106.1 107.0 107.1Tingkat SMP 16 29 65.7 70.3 76.0 79.5 82.2 81.7Tingkat SMA 16 -- 42.4 46.4 51.5 50.4 54.4 52.9

Sumber: Tinjauan World Bank terhadap Sektor Pendidikan 2005; Susenas dari berbagai tahun.Catatan: (a) Data berkaitan dengan data pada 1975.

27 Bab ini menampilkan rangkuman atas laporan yang terpisah tentang pengeluaran pendidikan. Jika ingin mengenai lebih lengkap tentang studi tersebut, lihat laporan Bank Dunia, 2007a.28 Angka partisipasi kasar (gross enrollment rates) merupakan total partisipasi siswa pada jenjang pendidikan tersebut, tanpa memperhitungkan umur, sebagai persentase dari populasi usia sekolah untuk jenjang tersebut. Rasio yang ideal adalah 100 persen, tetapi rasio itu lebih besar daripada 100 persen dapat terjadi ketika terdapat jumlah siswa yang banyak dalam satu jenjang yang tidak terkait dengan tingkat pendidikan untuk kelompok usia sekolah tersebut. Rasio angka partisipasi kasar yang tinggi (lebih besar dari 100 persen) dapat menjadi indikator sistem pendidikan yang tidak efisien. Rasio angka partisipasi sekolah memberikan informasi tentang jumlah siswa pada kelompok usia sekolah yang ditentukan dan yang sudah terdaftar di sekolah tertentu lalu dibagi dengan jumlah siswa pada kelompok usia sekolah tersebut.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 32

BAB 3 Sektor Pendidikan

Akan tetapi, layanan pendidikan masih belum sesuai dengan tingkat yang diharapkan. Tantangan berat masih harus dihadapi untuk mencapai tujuan “Pendidikan untuk Semua.” Tantangan ini meliputi pengurangan kesenjangan dalam angka partisipasi sekolah (kesenjangan pendapatan dan geografis) dan peningkatan mutu pendidikan.29 Sub-bagian di bawah ini memberikan analisis mendalam mengenai tantangan tersebut.

Mengurangi kesenjangan angka partisipasi sekolah

Peningkatan angka partisipasi sekolah yang sangat besar di masa lalu dapat menutup kesenjangan angka partisipasi pada tingkat pendidikan dasar untuk kelompok masyarakat dengan berbagai tingkat penghasilan, walaupun kesenjangan yang cukup besar masih terjadi pada jenjang pendidikan SMP dan SMA (Diagram 31). Pada tahun 2005 angka partisipasi kasar pada tingkat sekolah dasar siswa 107.1 persen dan angka partisipasi murni sebesar 93.2 persen. Masalah akses pendidikan menjadi lebih signifikan untuk tingkat pendidikan SMP. Pada jenjang ini masih terdapat perbedaan jumlah partisipasi yang sangat besar di antara kelompok masyarakat dengan jumlah pendapatan yang berbeda (Diagram 31). Seorang anak yang berasal dari keluarga miskinmempunyai kemungkinan 20 persen lebih rendah untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan sekolah menengah pertama dibandingkan anak yang tidak berasal dari keluarga miskin (World Bank, 2006). Secara resmi, pendidikan dasar (kelas 1 sampai 9) adalah wajib bagi anak yang berumur antara 7 sampai 15 tahun, namun permasalahan yang utama adalah kurangnya akses untuk menjangkau layanan pendidikan sekolah menengah pertama.30

Diagram 3.1 Angka partisipasi sekolah siswa SD dan SMP berdasarkan tingkat pendapatan

Angka Partisipasi Murni untuk Jenjang Pendidikan Dasar

0.7

0.75

0.8

0.85

0.9

0.95

1

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Angk

a Pa

rtisi

pasi

Seko

lah

1 (miskin) 2 3 4 5

Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan Menengah Pertama

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Angk

a Pa

rtisi

pasi

Seko

lah

1 (Miskin) 2 3 4 5

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan data dasar dari Susenas 2005.

Walaupun terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah yang mengesankan di tingkat nasional, perbedaan angka partisipasi sekolah antardaerah masih cukup besar. Untuk negara dengan keanekaragaman seperti Indonesia, perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain memang dapat diprediksi dengan mudah. Walaupun lebih dari 90 persen anak-anak Indonesia telah memiliki akses terhadap pendidikan sekolah dasar, namun beberapa daerah masih tertinggal jauh di belakang dan memerlukan perhatian dan bantuan lebih. Pada tahun 2004, angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar berkisar antara 80 persen di Provinsi Papua sampai 95 persen di Kalimantan Tengah. Pada tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni bervariasi antara sekitar 41 persen di Papua sampai 77 persen di Yogyakarta, dan untuk pendidikan sekolah menengah atas angka partisipasi murni berkisar sekitar 20 persen di Sulawesi sampai 62 persen di Yogyakarta.

29 Program “Pendidikan untuk Semua” bertujuan untuk mencapai: (i) seluruh siswa dapat ditampung sampai tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, (ii) menjamin bahwa anak-anak dari keluarga miskin memiliki akses yang sama dan penuh terhadap sekolah yang menyediakan lingkungan belajar yang menarik dan pengajaran yang efektif, dan (iii) menyediakan pendidikan dengan mutu yang dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia.30 Pendidikan tinggi tidak dimasukkan dalam lingkup laporan ini. Angka partisipasi kasar (APK) di tingkat pendidikan tinggi sangat rendah, hanya 16 persen. Kelompok yang paling miskin hanya memiliki angka partisipasi sebesar 1 persen, sementara kelompok masyarakat kaya mendekati angka 50 persen.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 33

BAB 3 Sektor Pendidikan

Meningkatkan mutu pendidikan

Mutu pendidikan di Indonesia masih sangat rendah sementara kondisi infrastruktur pendidikan pun telah rusak berat. Beberapa indikator penentu dalam mutu pendidikan yang perlu diperhatikan meliputi kualifikasi para guru, struktur gaji guru , mutu ruang kelas, tingkat kehadiran guru , dan jumlah siswa dalam satu kelas. Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan prestasi guru di Indonesia. Untuk tingkat pendidikan dasar dan sekolah menengah pertama, masing-masing hanya 55 persen dan 73 persen dari guru yang memenuhi kualifikasi minimal yang dipersyaratkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2005a). Pemerintah sedang berusaha menangani masalah tersebut dengan memberlakukan UU tentang Sertifikasi guru sejak Desember 2005 melalui penyediaan dana tunjangan kepada para guru agar mendapatkan sertifikat. Tunjangan tambahan ini akan dapat meningkatkan pendapatan guru dalam jumlah yang cukup besar. Peningkatan ini dapat berdampak terhadap hasil pembelajaran yang lebih tinggi jika kontrol terhadap mekanisme dan kinerja kelembagaan (yaitu, tingkat kehadiran guru dan mutu pengajaran) benar-benar dapat dilaksanakan. Selanjutnya, akuntabilitas yang kuat merupakan prasyarat untuk melakukan kontrol efektif terhadap kinerja para guru. Mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap akuntabilitas di negara-negara lain adalah dengan menggabungkan akuntabilitas top-down (dari sekolah sampai ke tingkat kabupaten/kota/provinsi) dengan pendekatan akuntabilitas bottom-up (dari sekolah sampai ke konstituen dan Komite orang tua siswa).31 Mutu ruang kelas yang semakin rusak merupakan masalah serius dalam sistem pendidikan Indonesia, terutama di tingkat sekolah dasar, dimana hanya 44 persen dari ruang kelas yang ada yang memenuhi standar minimum yang ditentukan oleh Depdiknas (Depdiknas, 2005b). Sehingga, walaupun perbandingan murid-guru yang masih rendah, fakta dengan masih banyaknya guru paruh waktu dan tidak hadirnya guru mengakibatkan rasio murid-kelas yang tinggi. Sistem pendidikan Indonesia tidak cukup menghasilkan jumlah lulusan yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk bekerja di sektor ekonomi yang memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi. Berbagai koran Indonesia sering melaporkan adanya kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat sipil untuk dapat berpartisipasi dalam sistem elektorat, serta kebutuhan sektor industri terhadap karyawan dan wirausahawan dengan daya nalar dan keahlian memecahkan masalah. Hasil ujian nasional 2002 menunjukkan bahwa dari nilai tertinggi 10 untuk setiap mata pelajaran, lebih dari 2.2 juta siswa dari hampir 20.000 sekolah yang mengikuti ujian tersebut hanya mampu mencapai nilai rata-rata sebesar 5.79 untuk matematika, 5.11 untuk Bahasa Indonesia dan 5.29 untuk Bahasa Inggris. Data untuk tahun akademis 2005/2006 menunjukkan terjadinya peningkatan nilai ujian yang cukup besar, dengan nilai rata-rata sebesar 7.13 untuk matematika, 7.46 untuk Bahasa Indonesia dan 6.62 untuk Bahasa Inggris.32 Namun, tingkat reliabilitas hasil ujian tersebut memang masih dapat dipertanyakan, dan validitas atas perbandingan nilai tes dari satu tahun ke tahun sebelumnya baru dapat dikatakan valid jika semua tes yang digunakan tidak mengalami perubahan secara substantial.

Pengeluaran Publik

Sejak pertengahan tahun 1990-an, Indonesia telah mengalami kenaikan pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan.33 Dua perkecualian telah terjadi, yaitu penurunan yang sifatnya sementara pada masa krisis ekonomi dan sedikit penurunan pada tahun 2004. Penurunan pengeluaran pada tahun 2004 disebabkan oleh pelaksanaan anggaran yang rendah dan tergesernya anggaran di semua sektor sosial akibat kenaikan subsidi BBM. Pengeluaran untuk sektor pendidikan di tingkat nasional mencapai puncaknya pada 2003, ketika pengeluaran pendidikan mencapai sekitar 16 persen dari seluruh pengeluaran di tingkat nasional (Tabel 3.2). Pada tahun 2004, total pengeluaran nasional meningkat sekitar 4 persen. Akan tetapi, proporsi pengeluaran untuk sektor pendidikan menurun menjadi sekitar 14 persen. Pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi dari PDB juga menurun pada tahun 2004 jika dibandingkan dengan pengeluaran pada tahun 2003, dari sekitar 3.2 persen menjadi sekitar 2.8 persen, sebagaimana proporsi pengeluaran secara keseluruhan di tingkat nasional terhadap PDB yang telah turun dari 19.8 persen menjadi 19.6 persen

31 Contoh peran serta masyarakat yang banyak dipuji dari akuntabilitas dengan pendekatan bottom-up adalah EDUCO yang dilakukan di El Salvador.32 Depdiknas, data dari Pusat Penilaian. 33 Dalam bab ini pengeluaran pendidikan oleh pemerintah pusat mengikuti klasifikasi anggaran sektoral, juga dari Sektor 11: Pendidikan, Budaya Nasional, Ketuhanan Yang Maha Esa, Sektor Kepemudaan dan Olahraga, Sub-sektor 11.1 Pendidikan dan Sub-sektor 11.2 dan Pendidikan Formal dan non-formal dimasukkan ke dalam analisis ini, secara bersama-sama berjumlah 98 persen dari total pengeluaran untuk sektor ini..

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 34

BAB 3 Sektor Pendidikan

Tabel 3.2 Pengeluaran publik secara nasional (pusat + provinsi + kab/kota) untuk sektor pendidikan

(Rp triliun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

Nominal pengeluaran nasional untuk sektor pendidikan 40.5 48.2 64.8 63.1 79.7 120.2 137.8Pengeluaran nasional untuk sektor pendidikan ( harga untuk 2001)

40.5 43.1 54.3 49.8 56.9 76.2 82.2

Pertumbuhan riil pengeluaran nasional untuk sektor pendidikan

40.3 6.4 26.2 -8.4 14.4 33.8 7.8

Pengeluaran pendidikan (%Total pengeluaran nasional) 11.4 14.3 16.0 14.2 14.9 17.2 17.5Pengeluaran nasional untuk pendidikan (% PDB) 2.4 2.6 3.2 2.8 2.9 3.6 3.9Total nominal pengeluaran di tingkat nasional 353.6 337.6 405.4 445.3 535.8 698.2 785.4Total riil pengeluaran di tingkat nasional 353.6 301.8 339.9 351.6 382.9 442.4 468.3Ukuran pemerintah (Total pengeluaran, % dari PDB) 21.0 18.1 19.8 19.6 19.6 21.1 22.2

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD.Catatan: * = Realisasi awal dari APBN dan perkiraan untuk pengeluaran daerah, ** = APBN dan perkiraan untuk pemerintah daerah. Lihat Lam-piran F.9 untuk keterangan lebih rinci.

Pengeluaran untuk sektor pendidikan meningkat sebesar 14.4 persen pada tahun 2005 dan bahkan anggaran untuk tahun 2006 menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi yaitu hampir mencapai 34 persen. Walaupun masih ada perbedaan antara alokasi secara keseluruhan berdasarkan anggaran dan realisasi sebenarnya, perbedaan ini cenderung sangat kecil. Perkiraan untuk pengeluaran sektor pendidikan pada tahun 2007 meningkat sebesar 8 persen. Penurunan pengeluaran sektor pendidikan yang terjadi pada 2004 lebih dikarenakan oleh penurunan pengeluaran pembangunanutamanya di tingkat pusat, walaupun dengan penurunan ini juga terjadi di tingkat daerah. Penurunan dalam agregat pengeluaran pembangunan, pengeluaran rutin di tingkat daerah dan di tingkat pusat yang stabil/berkelanjutan pada tahun 2001–04.34

Sebagai akibat dari terjadinya peningkatan pengeluaran akhir-akhir ini, pengeluaran untuk sektor pendidikan di Indonesia hampir sama dengan yang dimiliki oleh negara-negara berkembang lainnya. Indonesia memiliki proporsi tingkat pengeluaran sektor pendidikan terhadap PDB yang rendah, tetapi saat ini pengeluaran pendidikan Indonesia hampir sama dengan negara lain yang memilki kemiripan pendapatan per kapita maupun hambatan geografis dan logistik (Diagram 3.2).

Diagram 3.2 Perbandingan secara internasional terhadap pengeluaran untuk pendidikan, 2004

0

5

10

15

20

25

30

augurU

y idnIa auga raPy R

DP oaL

aibmo loK

oitaredeF naissuRn nonab eL

4 002 aisenodn I

nit neg rAa h sedalgn aB

Re

publ

ik K

orea 60 02 ai senodnI

Filli

pina

amer

unK

ai vi loB

zileBe

kra

Sela

tan

ifA

ak iR atsoK

li ihC

aji abrezAn yneKa ni hC ,gnoK g no

Ha dn ali ahT

isyalaM

aPengeluaran untuk Sektor Pendidikan sebagai % dari Belanja Pemerintah Pengeluaran untuk Sektor Pendidikan sebagai % dari PDB

Sumber: Data Depdiknas dan Perhitungan staf Bank Dunia,Catatan: Pengeluaran untuk sektor pendidikan ditentukan sebagai rasio pengeluaran nasional (pusat dan daerah) untuk sektor pendidikan terha-dap pengeluaran nasional secara keseluruhan. Data untuk Indonesia merupakan perkiraan yang terkait dengan Tahun Fiskal 2004 (berdasarkan perhitungan Bank Dunia menggunakan data SIKD). di mana untuk negara lain perkiraan tersebut adalah untuk Tahun Fiskal 2003 (berdasarkan perhitungan Bank Dunia menggunakan data SIKD, GFS dan Edstats).

34 Tabel 3.4 menunjukkan pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin yang lebih rinci berdasarkan tingkat pemerintahan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 35

BAB 3 Sektor Pendidikan

Akan tetapi, pengeluaran Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara tetangga Asia Timur Jauh, terutama Malaysia dan Thailand (Tabel 3.3). Malaysia menganggarkan jumlah yang lebih besar sebagai proporsi dari total angggaran dan dari PDB dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini. Sebaliknya, Indonesia menduduki peringkat paling bawah untuk pengalokasian anggaran pendidikan sebagai proporsi dari PDB. Akan tetapi, anggaran yang rendah ini terjadi hampir di setiap sektor karena sektor pemerintah memang rendah dan alokasi untuk pengeluaran rutin terutama subsidi yang sangat besar.

Tabel 3.3 Pengeluaran publik sektor pendidikan di negara tetangga Indonesia

Tertinggi Terendah

% Pengeluaran untuk sektor publik pendidikan dari total pengeluaran

Malaysia27 =

Thailand27 >

Philippines16 >

Indonesia14.2

% Pengeluaran untuk sektor publik pendidikan dari PDB

Malaysia8.1 >

Thailand4.6 >

Philippines3.1 >

Indonesia2.8

% Total pengeluaran publik dari PDB (Ukuran sektor pemerintahan)

Malaysia29.7 >

Indonesia19.6 =

Philippines19.6 >

Thailand16.8

Per kapita PDB (harga US$ pada konstan 2000)Malaysia

4,290 >Thailand

2,356 >Philippines

1,085 >Indonesia

906

Jumlah penduduk (juta)Indonesia

217.6 >Philippines

81.6 >Thailand

63.7 >Malaysia

24.4

Persentase jumlah penduduk berumur 0-14Thailand

4.1 >Indonesia

3.5 >Malaysia

3.0 >Philippines

2.8Sumber: Indikator pembangunan Bank Dunia.

Komposisi ekonomi berdasarkan tingkat pemerintahan

Pada tahun 2004, sebagian besar pengeluaran untuk sektor pendidikan—sekitar 70 persen—digunakan di tingkat daerah. Pemerintah kabupaten/kota adalah yang paling banyak menyedot anggaran, sebesar 64 persen dari total pengeluaran, sementara pemerintah tingkat provinsi hanya 6 persen. Total pengeluaran untuk sektor pendidikan ini tetap stabil sejak 2001 (Tabel 3.4).

Tabel 3.4 Pengeluaran nominal sektor pendidikan berdasarkan tingkat pemerintahan, 2001–04

(Rp Triliun) 2001 % 2002 % 2003 % 2004 %Pusat 14.1 33 14.7 29 22.5 35 19.4 31Pembangunan 8.5 60 9.2 62 15.6 69 12.3 63Rutin 5.6 40 5.6 38 6.9 31 7.1 37Provinsi 1.9 4.6 4.0 7.8 3.9 6.1 3.8 6Pembangunan 1.4 70 2.6 66 3.1 80 3.0 79Rutin 0.6 30 1.4 34 0.8 20 0.8 21Kabupaten/kota 26.2 62 32.6 63 38.3 59 39.8 63Pembangunan 3.0 11 4.6 14 5.3 14 4.6 12Rutin 23.2 89 28.0 86 33.0 86 35.2 88Total Pengeluaran 42.3 100.0 51.3 100.0 64.8 100.0 63.1 100.0

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu.

Walaupun kabupaten/kota membelanjakan sebagian besar dari total anggaran untuk pendidikan, pengeluaran ini sebagian besar merupakan pengeluaran rutin non-diskresioner. Selanjutnya, meskipun dalam pelaksanaan sistem desentralisasi secara formal, tanggung jawab sektor pendidikan beralih dari pusat ke tingkat kabupaten/kota, sebagian besar anggaran pembangunan masih dijalankan oleh pemerintah pusat. Sejak 2001, besarnya pengeluaran pembangunan pemerintah pusat secara konsisten lebih dari 55 persen dari total pengeluaran pembangunan (dan bahkan lebih dari 60 persen), sementara pemerintah kabupaten/kota hanya mengelola sekitar seperempat (Tabel 3.5). Jadi, pemerintah daerah hanya mempunyai sedikit kebebasan dalam mengelola dana dan mengambil keputusan kunci untuk sektor pendidikan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 36

BAB 3 Sektor Pendidikan

Tabel 3.5 Pembagian pengeluaran pembangunan dan rutin pada tingkat pemerintahan,2001–04

Komposisi Pengeluaran 2001 2002 2003 2004Total Pengeluaran pembangunan (Rp triliun) 12.9 16.5 24.4 20.1Total % pembangunan pusat 66 56 65 61Total % pembangunan provinsi 11 16 13 15Total % pembangunan Kabupaten/kota 23 28 22 24Total pengeluaran rutin (Rp triliun) 27.9 33.9 39.2 42.3Total % pengeluaran rutin untuk pusat 14 13 14 15Total % pengeluaran rutin untuk provinsi 4 4 3 2Total % pengeluaran rutin untuk Kabupaten/kota 82 82 83 83

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depdiknas.

Sebagian besar pengeluaran rutin di daerah dialokasikan untuk gaji pegawai dan diikuti oleh pengadaan barang. Selanjutnya, walaupun pemerintah daerah memiliki tingkat pengeluaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan, namun ruang gerak untuk pengeluaran pembangunan mereka sangat sempit. Pada tahun 2004, pengeluaran pembangunan berjumlah sekitar 32 persen dari konsolidasi pengeluaran nasional untuk pendidikan, sementara pada tahun 2003 jumlah ini sedikit lebih besar yaitu sekitar 38 persen. Penurunan pengeluaran untuk sektor pendidikan pada tahun 2004 terutama disebabkan oleh penurunan pengeluaran pembangunan di tingkat pusat (Tabel 3.5). Pengeluaran rutin untuk pengadaan barang dan jasa di tingkat daerah masih rendah dibandingkan dengan pengeluaran untuk gaji (Tabel 3.6).

Tabel 3.6 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan daerah 2002–04

(%) Kabupaten/kota Provinsi

Komposisi pengeluaran rutin 2002 2003 2004 2002 2003 2004Pengeluaran untuk kepegawaian 94 95 96 69 62 71Pengeluaran untuk pengadaan barang 4 3 3 22 25 21Pengeluaran untuk O&P 0 0 0 6 9 5Pengeluaran untuk perjalanan dinas 0 0 0 1 2 3Pengeluaran lain-lain 2 1 0 2 3 0Pengeluaran lain 0 0 0 0 0 0Total pengeluaran rutin 100 100 100 100 100 100

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.Catatan: Pengeluaran pembangunan meliputi pengeluaran untuk sub-sektor pendidikan non-formal dan kejuruan untuk 2001–02. Untuk 2003–04 klasifikasi ulang pengeluaran modal dan operasional & pemeliharaan (O&P). Angka persentase mengalamim pembulatan sehingga ada kemungkinan jumlahnya tidak genap seratus.

Pengeluaran dan efisiensi berdasarkan sub-sektor pendidikan

Pada tahun 2004, jumlah pengeluaran nasional untuk pendidikan dasar sebesar 56 persen dari total pengeluaran pendidikan, untuk pendidikan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas masing-masing sebesar 15 persen, dan untuk pendidikan tinggi sebesar 12 persen. Dengan melakukan analisis terhadap klasifikasi fungsional atas pengeluaran pendidikan, pada tahun 2004 pemerintah pusat menggunakan sebesar Rp 19.4 triliun untuk sektor pendidikan. Sebagian besar dari pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan, Rp 15.8 triliun atau sekitar 81 persen disalurkan melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Sisanya sebesar Rp 3.7 triliun disalurkan melalui Departemen Agama. Pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan dasar berjumlah Rp 7.4 triliun, sebagian besar terdiri dari balanja pembangunan (sekitar 91 persen ). Sementara pengeluaran untuk sub-sektor pendidikan tinggi yang jumlahnya Rp 7.0 triliun terutama terdiri atas pengeluaran rutin (sekitar-kira74 persen ).

Pendidikan menengah, terutama pendidikan sekolah menengah pertama, merupakan prioritas untuk Indonesia. Dalam kaitannya dengan peningkatan anggaran untuk sektor pendidikan, pemerintah diharapkan mengalokasikan jumlah anggaran yang lebih besar untuk pendidikan sekolah menengah pertama. Depdiknas mengakui adanya kebutuhan untuk meningkatkan anggaran pada tingkat pendidikan menengah dan dalam

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 37

BAB 3 Sektor Pendidikan

rencana strategisnya (Renstra) dinyatakan bahwa untuk rencana pembangunan jangka menengah diupayakan untuk meningkatkan anggaran menjadi Rp 8.9 triliun pada tahun 2009. Ini akan digunakan untuk mendanai program-program strategis termasuk pengembangan tema perluasan jangkauan dan pemerataan pendidikan, serta peningkatan mutu dan kesesuaian (Renstra dan Depdiknas, 2005a). Dalam sistem desentralisasi, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menyediakan layanan pendidikan menengah yang memadai. Sementara pengeluaran untuk pendidikan sekolah menengah pertama untuk setiap kabupaten/kota secara signifikan lebih rendah dari pengeluaran untuk pendidikan dasar, alokasi pengeluaran pemerintah pusat yang lebih tinggi untuk pendidikan sekolah menengah pertama setidaknya akan memberikan kompensasi terhadap perbedaan ini.35 Jumlah terbesar dari pengeluaran rutin pemerintah pusat dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Pengeluaran gaji untuk pendidikan dasar dan menengah merupakan komponen pengeluaran rutin terbesar dari pemerintah kabupaten/kota, yang didanai melalui DAU dan ini merupakan pos pengeluaran di tingkat daerah.

Tabel 3.7 Hasil pengembalian sosial berdasarkan tingkat pendidikan, 2004

Tingkat Pendidikan Tingkat Pengembalian (%)

Sekolah dasar 4

Sekolah menengah pertama 25

Sekolah menengah atas 28Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia

Penentuan alokasi optimal terhadap berbagai sumber dalam sektor pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan jika pemerintah hendak meningkatkan anggaran untuk sektor pendidikan, seperti yang dinyatakan di dalam UUD. Angka partisipasi sekolah yang masih rendah pada tingkat sekolah menengah

pertama merupakan indikator yang jelas bahwa upaya yang lebih kuat sangat diperlukan untuk meningkatkan akses pada jenjang pendidikan ini. Selain itu, tingkat pengembalian sosial (social rates of return) pada pendidikan menengah lebih tinggi daripada tingkat pengembalian untuk pendidikan dasar. Analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) memberikan pandangan yang sangat bermanfaat dengan membuat perbandingan program pendidikan berdasarkan tingkat pengembalian sosial. Perkiraan tingkat pengembalian investasi pendidikan didefinisikan sebagai tingkat diskon yang menyeimbangkan arus manfaat yang diperoleh dari tingkat pendidikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan layanan pendidikan pada jenjang yang berbeda dan pada kurun waktu yang berbeda pula. Pendidikan sekolah menengah atas menerima tingkat pengembalian tertinggi sebesar 28 persen, sedikit di atas pendidikan sekolah menengah pertama yang besarnya 25 persen. Sebaliknya, tingkat pengembalian untuk pendidikan dasar sangat rendah, diperkirakan sekitar 4 persen (Tabel 3.7).36

35 Sementara pengeluaran per siswa sebenarnya lebih tinggi untuk pendidikan sekolah menengah pertama. Hal ini tidak menunjukkan tingkat pengeluaran yang memadai untuk tingkat tersebut. Hal ini mencerminkan adanya fakta bahwa biaya untuk menyediakan pendidikan menengah lebih tinggi dan bahwa jumlah partisipasi siswa untuk sekolah menengah pertama masih rendah. 36 Manfaat program pendidikan dihitung berdasarkan perbedaan upah (tambahan penghasilan rata-rata dibandingkan dengan mereka yang memiliki kualifikasi jenjang pendidikan yang sama pada jenjang pendidikan sebelumnya). Dari survei tenaga kerja nasional (Sakernas) 2006 dan survei biaya pendidikan dari perkiraan satuan biaya yang disampaikan oleh Depdiknas (2005a). Lihat Lampiran F.2 untuk pembahasan lebih rinci mengenai metodologi yang digunakan untuk menghitung tingkat balikan sosial terhadap pendidikan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 38

BAB 3 Sektor Pendidikan

Diagram 3.3 Pengeluaran untuk pendidikan berdasarkan program dan tingkat pemerintah, 2004

latoT

Pr

e-sc

hool

&Pe

ndid

ikan

Das

arPe

ndid

ikan

Ting

gi

latot-buSPe

nggu

na A

ngga

ran

itnU

Pend

idik

an

Men

enga

h Aw

al

Pend

idik

anM

enen

gah

Lanj

utan

Pe

ndid

ikan

Info

rmal

Ting

kat

Pem

erin

taha

nPemerintah Pusat

APBNPemerintah Daerah

APBD

Departemen Pendidikan Nasional

Depdiknas

6 .5

6 . 5

0 . 01

0. 1

0 . 2

0.3

2 .0

7 .0

17 . 1

0.8

0.020 . 6

0 . 4

0 . 4

0 . 4

0 . 5

0.9

0 . 02

3. 7

1 . 8

0 . 02

5 . 2

0 . 05

1 . 8

0 . 57

T otal Nasional

0.4 8.4

P rovinsi Kabupaten/

Kota

0 . 2 0 . 4

0 . 2 8 . 0

0 . 1 6 . 4

0 . 1 0 . 1

0. .5

15 .6

7 . 2

8 . 4

9. 5

7. 8

0. 6

64 .4

2 . 5

2 . 1

0 . 57

21 . 3

7 . 0

5 . 7

0 . 07

43 . 1

11 . 7 2 . 0

5 . 4 1 . 7

1 .04

Pembangunan

PembangunanPembangunan

Pembangunan Pembangunan PembangunanPembangunanPermbangunan

Pembangunan

Pembangunan

Pembangunan

PembangunanPembangunan

Pembangunan

Pembangunan

Pembangunan Pembangunan Pembangunan

1 . 0

Rutin

Rutin

Rutin

RutinRutinRutin

Rutin Rutin

RutinRutinRutinRutin

RutinRutinRutinRutin

0 . 01

1 .8

1 . 1

0 . 6

24 . 93. 2

2 . 7

0 . 5

4 . 1

20 . 8

30 .9

8 . 9

21 . 9

43 . 1

43 .6

21 . 336 . 011 . 7 5 . 48 . 0

64 .420 . 8

3.0 4.. 6

0.8 35.2

3. 8 39.8

Pembangunan Pembangunan Pembangunan Pembangunan

Rutin Rutin Rutin Rutin

Pembangunan

PembangunanPembangunan

Pembangunan PembangunanPembangunan

Pembangunan

RutinRutinRutinRutinRutin

RutinRutin Rutin

Departemen AgamaDepag

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD,Catatan: Sub-komponen tidak perlu ditambahkan pada total karena sudah dilakukan pembulatan. Klasifikasi fungsional meliputi sub-sektor pendidikan (11.1) dan pendidikan non-formal (11.2). Sementara dua sub-sektor yang lain (11.3 dan 11.4) diagregatkan di bawah fungsi Departemen Pariwisata dan Kebudayaan (08). Fungsi pendidikan juga meliputi sub-sektor pendidikan agama (15.2).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 39

BAB 3 Sektor Pendidikan

Alokasi anggaran ke tingkat sekolah

Berbagai sumber dana berkontribusi terhadap anggaran sekolah dengan pendanaan utama yang berasal dari pemerintah kabupaten/kota sebelum 2005. Menurut survei GDS 1+ tentang data anggaran untuk 2002–03, 92 persen dari anggaran sekolah dasar didanai oleh pemerintah kabupaten/kota. Angka tersebut mengalami penurunan besar pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan atas, masing-masing menjadi 82 persen dan 77 persen. Hal ini disebabkan meningkatnya kontribusi orang tua dari 4 persen pada pendidikan dasar menjadi 13 persen pada pendidikan sekolah menengah pertama, dan 17 persen pada pendidikan sekolah menengah atas.

Mekanisme pendanaan yang baru dengan mengalokasi biaya operasional langsung ke sekolah. Sejak tahun 2001 sampai Juni 2005, pemerintah telah mengalokasikan sebagian dari penghematan subsidi BBM sebagai dana bantuan khusus murid (BKM) bagi keluarga miskin. Untuk periode Juli–Desember 2005, pemerintah menegaskan untuk melakukan perubahan penerima langsung dana tersebut,dari keluarga ke sekolah berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program BOS ini didasarkan pada jumlah siswa yang terdaftar dalam satu sekolah. Sejak Juli 2005, pemerintah telah menyerahkan dana BOS ke seluruh sekolah SD dan SMP, dan secara terbatas masih melanjutkan program BKM.37 Mekanisme alokasi bantuan yang baru ini telah banyak mengubah anggaran pendidikan dasar dan pendidikan menengah pertama. Perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat kini medanai bagian yang cukup besar untuk biaya operasional sekolah.

Program BOS mencakup sekitar 41 juta siswa dengan rincian 62 persen berada pada jenjang sekolah dasar dan 38 persen pada pendidikan sekolah menengah pertama. Program BOS telah menyalurkan sebanyak Rp 5.3 triliun antara Juni–Desember 2005 dan selanjutnya Rp 11.12 triliun di tahun 2006, atau sekitar 25 persen dari keseluruhan anggaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan. Besarnya anggaran untuk setiap sekolah ditentukan oleh jumlah siswa, untuk sekolah dasar menerima Rp 235.000 (sekitar AS$25) per siswa per semester, dan siswa sekolah menengah pertama menerima Rp 324.500 (kira-kira AS$35). Dana BOS tersebut digunakan untuk menanggulangi biaya operasional sekolah dan sekolah pun diharapkan dapat menurunkan atau bahkan menghapuskan uang SPP (sumbangan pembinaan pendidikan). Dana BOS disalurkan secara langsung ke sekolah. Sekolah harus memiliki nomor rekening bank yang akan digunakan untuk menyimpan dana tersebut untuk mencegah terjadinya kebocoran, serta untuk meningkatkan transparansi.

Evaluasi yang dilakukan baru-baru ini terhadap program BOS menunjukkan bahwa program ini berdampak positif dan berhasil di sejumlah daerah. Namun demikian, masih banyak permasalahan yang harus dipecahkan.38 Dari sudut pandang pendanaan, metode alokasi yang digunakan dalam program ini memiliki dampak positif maupun negatif, yaitu:

Pengiriman dana secara langsung memungkinkan terjadinya sedikit kebocoran, karena hampir seluruh sekolah menerima dana secara penuh (walaupun kadang-kadang terjadi penundaan). Uang SPP yang lebih rendah memungkinkan untuk meningkatkan daya tarik minat siswa dari keluarga miskin untuk bersekolah. (Hal ini merupakan dampak tidak langsung dari program BOS, karena program ini tidak secara khusus ditarget untuk keluarga miskin, sekolah, atau kabupaten/kota tertentu). Mekanisme penyaluran bantuan secara langsung dapat menyebabkan distorsi karena menimbulkan insentif bagi pihak sekolah untuk mengggelembungkan jumlah siswa yang terdaftar di sekolahnya. Karena pemberian dana tidak melalui pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, maka pengeluaran pembangunan ini tersentralisir kembali, yang bertentangan dengan pelaksanaan sistem desentralisasi yang berlaku saat ini. Program ini tidak mempersyaratkan kinerja yang baik atau transparansi anggaran dari pihak sekolah, sehingga menyulitkan penilaian terhadap dampak aktual serta kecukupan dana.

Pemerintah sedang berdebat mengenai kemungkinan peningkatan dana bantuan ini, karena Depdiknas meminta peningkatan bantuan per siswa SD (sekolah dasar) menjadi Rp 300.000, dan untuk pendidikan SMP (sekolah menengah pertama) menjadi Rp 420.000. Dengan kenyataan bahwa angka yang disebutkan selama ini

37 Sekolah yang memilih untuk ikut dalam program harus menandatangani Surat Perjanjian tentang Penyediaan Bantuan. Jika sekolah sepakat untuk mengambil bantuan dana operastional dari pemerintah, mereka harus mentaati ketentuan mengenai uang SPP, pendaftaran, buku ajar, dan bahan penunjang lainnya, perpustakaan, biaya pelatihan untuk guru, uang ujian, dan kegiatan sekolah. Lihat juga (World Bank, 2006g) tentang dampak program BOS terhadap rakyat miskin.38 Dilakukan oleh SMERU bekerja sama dengan Bank Dunia.

••

••

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 40

BAB 3 Sektor Pendidikan

didasarkan pada perhitungan unit biaya nominal harga tetap pada tahun 2003, maka peningkatan bantuan per siswa memang diperlukan.39 Sehingga yang menjadi persoalan adalah bahwa penentuan bantuan siswa itu ditentukan secara nasional dan tidak memperhitungkan fluktuasi harga di tingkat daerah. Walaupun ini hanya merupakan masalah untuk beberapa daerah saja, hal ini dapat mengurangi daya beli dana yang transfer secara signifikan. Misalnya, di Aceh, inflasi berfluktuasi pada kisaran 20 persen, dana bantuan BOS untuk provinsi akan mempengaruhi 20 persen lebih rendah (dalam hal ini untuk pengadaan barang-barang dan jasa-jasa operasional) jika dibandingkan dengan daerah lain.

Meningkatkan penyediaan sumber dana (resource envelope): mandat 20 persen anggaran untuk sektor pendidikan

Besarnya dana untuk pengeluaran pada sektor pendidikan tahun anggaran 2006 telah menjadi topik perdebatan yang sengit, setelah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta Mahkamah Konstitusi untuk meninjau kembali tingkat pengeluaran dan menilai kesesuaian anggaran tersebut dengan undang-undang atau tidak. Ketentuan asli di dalam UUD 1945 berisi pernyataan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan. Pada tahun 2002, dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah harus mengalokasikan anggaran setidaknya 20 persen dari anggaran pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya, sejak 2003, gaji guru tidak lagi dimasukkan di dalam ketentuan 20 persen tersebut, sehingga mendorong pemerintah untuk meningkatkan pengeluaran diskresioner pada sektor pendidikan.

Kotak 3.1 Landasan belakang hukum Indonesia - “ketentuan 20 persen”

1945: Undang-undang Dasar Indonesia Pasal 31 menyatakan bahwa: (1) “Setiap warganegara berhak untuk mendapatkan pendidikan” dan; (2) “Pemerintah harus menyelenggarakan dan menjalankan sistem pendidikan nasional yang diatur di dalam undang-undang,”

2002: Hampir 60 tahun kemudian yaitu pada tahun 2002, pasal di dalam UU Dasar ini diamandemen yang secara khusus menyatakan: “Negara memberikan prioritas anggaran untuk pendidikan setidaknya 20 persen dari anggaran nasional dan anggaran pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan nasional.” Amandemen tahun 2002 tersebut disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

2003: Selanjutnya, UU Pendidikan Nasional No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bab 4, pasal, 49) sekali lagi menyatakan ketentuan anggaran pada amandemen 2002 tersebut. Undang-undang tahun 2003 mempersempit rentang pos-pos pengeluaran yang dapat diperhitungkan dalam ketentuan sasaran anggaran 20 persen tersebut yaitu tidak termasuk gaji guru. Seperti yang dinyatakan di dalamnya: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”

Tiga dimensi pokok yang diperlukan untuk memperjelas perdebatan ini, adalah:

• Meninjau secara cermat ketentuan anggaran 20 persen tersebut dan sasaran yang hendak dicapai (sebagai kebalikan dari rumusan pengeluaran berdasarkan kebutuhan pendidikan).

• Mengklarifikasi berbagai penafsiran yang telah dilakukan atas UU Pendidikan dan melakukan penelaahan apakah pengeluaran di tingkat nasional dan daerah sesuai dengan ketentuan baku.

• Menentukan cara melakukan alokasi tambahan terhadap program yang berbeda dan masukan lainnya, jika dana tambahan dalam pendidikan memang diperlukan.

Pada tahun 2006, pemerintah pusat mengalokasikan sekitar Rp 44.1 triliun, atau sekitar 9.4 persen dari total anggaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan (Diagram 3.4).40 Dengan tidak memasukkan pengeluaran untuk gaji guru, seperti yang dinyatakan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, total pengeluaran pemerintah pusat untuk pendidikan berjumlah hanya sekitar 7.4 persen dari APBN 2006 (lihat Tabel 3.7). Melalui metode perhitungan tersebut, maka tingkat pengeluaran itu tidak cukup untuk menjangkau ketentuan 20 persen dalam anggaran pemerintah pusat (APBN). Dengan demikian, tambahan sejumlah Rp 59.2 triliun, atau 12.6 persen

39 Biaya per unit ini hanya mampu menutup pengeluaran operasional. Komponen gaji yang merupakan unit biaya tradisional (sekitar 80 persen) tidak dimasukkan di dalamnya. 40 Sektor pendidikan termasuk pendidikan TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan non-formal dan informal, pendidikan untuk PNS, pendidikan tinggi, pendidikan agama, penelitian dan pengembangan untuk sektor pendidikan, layanan penunjang pendidikan, dan pengeluaran lain untuk pendidikan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 41

BAB 3 Sektor Pendidikan

dari anggaran perlu dialokasikan lagi untuk sektor pendidikan agar ketentuan anggaran sebesar 20 persen dapat tercapai.

Diagram 3.4 Alokasi anggaran pusat dan daerah untuk sektor pendidikan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10%

Anggaran Pemerintah Pusat tahun 2006

%da

ri To

tal P

enge

luar

an P

emer

inta

h Pu

sat

BelanjaPegawai

Pendidikan:preschool, dasar,menengah,tinggi & pendidikanagama

Layanan Pedukung &Lain-lain

Pendidikan bagiPegawai Negeri

PendidikanNon Formal &Informal

5

10

15

20

25

30

35%

2001 2002 2003 2004 Keseluruhan Belanja Pegawai Rutin Pemerintah Daerah Keseluruhan Belanja Rutin Pemerintah DaerahKeseluruhan Belanja Non-Pegawai Rutin Pemerintah Daerah

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Perkiraan untuk pemerintah pusat termasuk seluruh komponen dari klasifikasi fungsional, yaitu sub-fungsi 10.01-10.90, pengeluaran untuk kepegawaian yang merupakan bagian dari diagram balok di atas merupakan agregat dari pengeluaran untuk kepegawaian dari masing-masing sub-fungsi pendidikan.

Pelaksanaan ketentuan anggaran 20 persen pada pengertian atau definisi yang ada sekarang tidak realistis dan juga bermasalah. Walaupun ketentuan anggaran pendidikan sebesar “20 persen” tersebut masih terbuka untuk berbagai penafsiran, namun berbagai perhitungan besarnya rasio telah dikaji. Kebanyakan dari hasil pengkajian itu menunjukkan bahwa alokasi 20 persen di pemerintah pusat atau tingkat daerah tanpa memasukkan pengeluaran untuk gaji tampaknya sulit tercapai (lihat Lampiran F.9 untuk simulasi rasio pengeluaran untuk sektor pendidikan berdasarkan pengertian atau definisi yang berbeda).

Di tingkat pusat, anggaran tahun 2006 mengalokasikan sekitar 9.4 persen untuk sektor pendidikan (Rp 44.1 triliun). Di luar pengeluaran untuk kepegawaian, jumlah ini mengalami penurunan menjadi sekitar 7.4 persen (Tabel 3.8).Di tingkat daerah, pada tahun 2004, pengeluaran untuk sektor pendidikan berjumlah 29.9 persen dari total pengeluaran daerah (Rp 44 triliun dari total pengeluaran daerah— yaitu, APBD Tk I + APBD Tk II— total sebesar Rp 151 triliun). Namun demikian, sebanyak 79 persen dari jumlah ini diserap untuk gaji. Tanpa memasukkan pengeluaran untuk gaji, maka pengeluaran pendidikan di daerah hanya berjumlah 6.1 persen dari total pengeluaran di tingkat daerah (Tabel 3.8).Jika program pendidikan dari seluruh tingkat pemerintahan, jajaran departemen, dan lembaga pemerintah yang lain, sebagaimana pula pengeluaran untuk gaji dihitung sebagai pengeluaran untuk sektor pendidikan, maka jumlah anggaran untuk pendidikan nasional (APBN + APBD Tk I + APBD Tk II) akan mencapai 17.2 persen (Tabel 3.8).

Di luar pengeluaran untuk gaji, pengeluaran pemerintah pusat dan daerah untuk sektor pendidikan jauh lebih rendah daripada sasaran yang ditentukan oleh UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa sejak pelaksanaan sistem desentralisasi dalam layanan pendidikan, yang mulai diberlakukan sejak 2001, maka gaji guru merupakan pengeluaran terbesar di tingkat daerah untuk sektor pendidikan. Jika pemerintah daerah ingin mengalokasikan tambahan anggaran sebesar Rp 21 triliun untuk mencapai target anggaran sebesar 20 persen tersebut, di luar gaji guru, keseluruhan pengeluaran untuk sektor pendidikan di daerah akan berjumlah sebesar 45 persen dari total APBD. Untuk meningkatkan jumlah pengeluaran sektor pendidikan dalam APBD di luar gaji, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi perlu melakukan pengurangan anggaran yang signifikan pada sektor lain. Sudah barang tentu hal ini tidak dapat dilaksanakan jika dilihat dari kacamata politik, dan bahkan sangat tidak diinginkan dengan berbagai alasan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 42

BAB 3 Sektor Pendidikan

Tabel 3.8 Pengeluaran pendidikan sebagai persentase pengeluaran pemerintah pusat dan daerah 41

(%)Pengeluaran pendidikan

(definisi resmi)Pengeluaran pendidikan

(termasuk gaji)Total pengeluaran pemerintah pusat

Pemerintah pusat 7.4 9.4 65Pemerintah daerah 6.1 29.9 35

Total pengeluaran nasional 6.9 17.2 100Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Untuk definisi dan perhitungan yang berbeda dari ketentuan anggaran 20 persen.

Penganggaran sebesar 20 persen akan memberikan tekanan kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan pengeluaran pendidikan di tingkat kabupaten/kota, yang tidak sesuai dengan pelaksanaan sistem desentralisasi. Sasaran yang ditentukan di kedua tingkat pemerintahan tidak didasarkan pada perhitungan kebutuhan pendanaan yang muncul dari distribusi fungsi pendidikan antar-tingkat pemerintah atau distribusi vertikal terhadap sumber-sumber daya fiskal yang ada. Pada saat Depdiknas diharapkan menyerahkan sebagian besar dari tugas dan fungsi pendidikan kepada pemerintah daerah, alokasi anggaran sebesar 20 persen dari APBN memang bermaksd baik tetapi tidak akan menguntungkan APBN. Alokasi anggaran sebesar itu mendorong Depdiknas untuk menyusun rencana pengeluaran untuk daerah. Dinamika ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari investasi modal pada sektor pendidikan akan terpusat dan berada di luar kontrol pemerintah kabupaten/kota.

Pengeluaran Sektor Publik untuk Pendidikan dan Pemerataan

Pemerataan angka partisipasi di seluruh jenjang dan daerah

Pengeluaran untuk sektor pendidikan di Indonesia sebagian besar diarahkan untuk pendidikan dasar, yang cenderung berpihak pada masyarakat miskin. Lebih dari setengah pengeluaran untuk sektor pendidikan gabungan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dialokasikan untuk tingkat sekolah dasar. Alokasi dana cenderung ditujukan kepada masyarakat miskin, mengingat sebagian besar anak-anak dari keluarga miskin bersekolah di tingkat sekolah dasar. Sebaliknya, di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, dari seperlima rakyat paling miskin hanya tercatat sekitar 6 persen, sementara di tingkat pendidikan sekolah menengah atas, proporsi mereka hanya 3 persen.

Diagram 3.5 Time trend angka partisipasi sekolah

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

1

1998 1999 2000 2001 2002 2004 2005

Dasar Menengah awal Menengah lanjutan

Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia, berdasarkan data dari Susenas 1998–2005.

Kemajuan yang telah dicapai dalam meningkatkan angka partisipasi sekolah telah mampu mengurangi kesenjangan angka partisipasi di tingkat pendidikan sekolah dasar diantara berbagai kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Akan tetapi, kesenjangan yang besar masih tampak di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama dan pendidikan sekolah menengah atas. Pada tahun 2005, angka partisipasi kasar pada tingkat sekolah dasar mencapai 107.1 persen dan angka partisipasi murni 91 persen. Masalah yang berkaitan dengan akses menjadi lebih besar di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, dengan angka partisipasi kasar 81.7 persen, sementara angka partisipasi murni hanya 65.2 persen. Secara resmi, pendidikan dasar (kelas 1–9) adalah wajib untuk anak-anak yang berumur antara 7–15 tahun. Akan tetapi, ketentuan hukum ini tidak diterapkan secara ketat. Sementara itu, akses untuk pendidikan sekolah dasar mungkin masih menjadi suatu masalah di wilayah-wilayah terpencil. Untuk sebagian besar rakyat miskin di Indonesia masalah utama dalam akses pendidikan adalah untuk

melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah awal.

41 Pada saat penyusunan laporan ini, pengeluaran pemerintah daerah untuk 2004 baru tersedia akhir-kahir ini. Total pengeluaran daerah untuk 2006 diperkirakan berdasarkan pengeluaran DAU pada anggaran daerah dan pengeluaran pendidikan pada 2004.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 43

BAB 3 Sektor Pendidikan

Diagram 3.6 Pendidikan SD: angka partisipasi sekolah antar kabupaten/kota pada satu provinsi

0.5

0.55

0.6

0.65

0.7

0.75

0.8

0.85

0.9

0.95

1

aupa

P

lat n

o ro

Go

a ra t

U ise

w alu

S

g nu ti

leB

akgn

aBna

u al u

p eK

arag

gneT

i se

wal u

S

nata

leS i

sew a

luS

u kul

aM

umi

T a r

aggn

e T a

s uN

r

agn e

T ise

w alu

Sh

a tr a

kay g

oY I

D

a tra

kaJ I

KD

a tra

kaJ I

KD

tara

B au

paP

tara

B a r

aggn

eT a

suN

tara

Bnat

namil

aK

ara t

Uuku

laM

gnup

maL

t ar a

B a

w aJ

t ar a

B a r

eta

muS

a gne

T a

waJ

h

ilaB

n at a

l eSn

atna

milaK

umi

T na t

namil

aKr

i bma

J

umi

T a

w aJ

r

uaiR

nau a

l up e

K

a ra t

U ar

eta

muS

uaiR

netn

aB

l ukg

n eB

u

mala

ssu r

aDh

e cAe

o rgg

naN

agn e

T na t

nami l

aKh

Sumber: Susenas 2004.

Akan tetapi, angka partisipasi sekolah di Indonesia masih sangat berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, dan bahkan kesenjangan ini lebih besar daripada masalah kesenjangan angka partisipasi sekolah berdasarkan perbedaan tingkat pendapatan. Kecenderungan angka partisipasi sekolah untuk rakyat miskin sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, bahkan dalam kuintil pendapatan yang sama. Rakyat miskin di Papua memiliki angka partisipasi murni yang rendah bahkan pada tingkat sekolah dasar (80 persen). Bahkan, perbedaan daerah memang mendominasi kesenjangan tersebut, seperti terlihat dari kuintil untuk penduduk kaya di Papua pun masih memiliki angka partisipasi sekolah yang lebih rendah (92 persen) daripada kuintil rakyat miskin di Sumatera (World Bank, 2006). Di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, tingkat akses pendidikan sangat bervariasi di setiap provinsi. Indonesia memiliki angka partisipasi sekolah yang hampir sama untuk jenjang sekolah dasar di setiap provinsi. Akan tetapi, perbedaan utama dalam angka partisipasi sekolah tampak pada anak-anak usia 13-15 tahun. Sementara Jakarta dan Yogyakarta berhasil mencapai angka partisipasi sekolah di atas 90 persen, sebagian besar provinsi yang tercantum pada analisis ini memiliki angka partisipasi sekolah yang masih di bawah 80 persen. Provinsi Sulawesi Selatan bahkan hanya mencapai tingkat di bawah 70 persen.

Pemerataan pengeluaran di seluruh kabupaten/kota

Perbedaan dalam angka partisipasi sekolah di antara kabupaten/kota setidaknya terkait dengan tingkat pengeluaran pemerintah kabupaten/kota untuk pendidikan.42 Analisis regresi menunjukkan bahwa angka partisipasi murni berhubungan positif dengan pengeluaran pendidikan per siswa dan juga terhadap persentase pengeluaran pendidikan secara keseluruhan di tingkat kabupaten/kota. Walaupun potensi dampak pengeluaran tambahan terhadap angka partisipasi masih kecil, peningkatan pengeluaran per siswa merupakan sebagian dari solusi untuk meningkatkan angka partisipasi untuk jenjang menengah pertama. Terutama untuk meningkatkan atau re-alokasi pengeluaran untuk gaji menjadi pengeluaran non-gaji (pengeluaran untuk pengadaan barang dan material) berkorelasi positif terhadap angka partisipasi sekolah .43

Pola pengeluaran untuk sektor pendidikan di tingkat kabupaten/kota menunjukkan bahwa kabupaten/kota yang kaya tidak hanya memiliki tingkat pengeluaran per-kapita yang lebih tinggi untuk pendidikan, tetapi juga memiliki tingkat pengeluaran per-siswa yang lebih tinggi. Kondisi yang kedua ini sebagian dapat dijelaskan dengan adanya fakta bahwa kabupaten/kota yang lebih kaya memiliki jumlah siswa lebih banyak untuk

42 Angka partisipasi sekolah sebagian ditentukan oleh tingkat pengeluaran per kabupaten/kota untuk sektor pendidikan, sebab pemerintah kabupaten/kota menggunakan sebagian besar dari anggaran mereka untuk biaya kepegawaian, yang tidak berkorelasi positif terhadap angka partisipasi sekolah. Analisis selanjutnya, termasuk pengeluaran DAK dan pengeluaran lain dari pemerintah pusat untuk pendidikan di tingkat kabupaten/kota, sedang dilakukan karena pengeluaran ini merupakan jumlah terbesar pengeluaran untuk infrastruktur pendidikan —yang dianggap borelasi sangat kuat dengan angka partisipasi.43 Lihat Lampiran E.3 untuk hasil analisis regresi yang lebih rinci.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 44

BAB 3 Sektor Pendidikan

tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga biaya per unit mereka juga cenderung menjadi lebih tinggi. Tabel 3.9 memberikan gambaran mengenai pengeluaran berdasarkan kuintil kemiskinan di tingkat kabupaten/kota. Kabupaten/kota yang kaya (terutama kuintil 4 dan 5) cenderung mengeluarkan anggaran dana lebih besar untuk sektor pendidikan per siswa, namun di kabupaten/kota paling miskin pun tidak terlalu besar perbedaannya.

Kabupaten/kota yang lebih miskin cenderung menggunakan upaya fiskal yang lebih besar karena mereka mengalokasi anggaran yang lebih tinggi untuk sektor pendidikan (34 persen di kabupaten/kota termiskin vs. 31 persen di kabupaten/kota terkaya). Sebanyak 40 persen kabupaten/kota termiskin menggunakan rata-rata sebesar 35.4 persen dari anggaran mereka untuk pendidikan, sementara kabupaten/kota yang terkaya menggunakan 31.5 persen (Tabel 3.9).

Tabel 3.9 Pengeluaran kabupaten/kota untuk pendidikan berdasarkan kuintil kemiskinan

Kuintil Kabupaten/

kota

Total Pengeluaran per kapita

Kabupaten/kota

Pengeluaran untuk sektor pendidikan

per siswa sekolah negeri

Pengeluaran pendidikan secara keseluruhan (%)

Total pengeluaran pendidikan Non-gaji (%)

2001 2004 2001 2004 2001 2004 2001 2004Termiskin 558,116 725,459 165,486 215,523 35.7 34.4 5.5 5.32 364,804 724,234 148,595 228,492 40.1 36.3 4.4 4.73 393,305 690,836 144,850 209,021 43.0 35.0 4.3 4.64 493,893 899,841 184,214 245,510 40.0 32.0 4.9 5.6Terkaya 619,163 950,714 182,893 272,704 32.9 31.1 5.2 3.9Total 484,758 798,819 165,168 234,718 38.2 33.7 4.8 4.8

Sumber: Data Bank Dunia untuk pengeluaran tingkat kabupaten/kota, 2001-04.Catatan: Berdasarkan data dari 350 kabupaten/kota; kabupaten/kota yang baru cenderung tidak memiliki data. Kuintil berdasarkan kuintil BPS tahun 2004 untuk tingkat kemiskinan.

Oleh karena itu, kabupaten/kota yang lebih miskin tidak selalu harus tertinggal karena tidak memadainya proporsi anggaran pendidikan terhadap total anggaran mereka tidak memadai. Akan tetapi, perbedaan ini diakibatkan oleh alokasi anggaran yang memang lebih rendah untuk sektor. Sehingga peningkatan untuk keseluruhan anggaran mungkin dapat dipertimbangkan. Peningkatan ini dapat dikombinasikan dengan upaya berkelanjutan untuk menggunakan anggaran yang memadai pada sektor pendidikan.

Peningkatan akses: implikasi biaya adalah pendidikan yang bermutu untuk semua

Untuk memastikan pemerataan angka partisipasi sekolah yang lebih luas melalui program “Pendidikan untuk Semua” (PUS) diperlukan peningkatan total pengeluaran, serta peningkatan pengeluaran per siswa. Tujuan PUS adalah untuk meningkatkan angka partisipasi murni baik untuk tingkat pendidikan dasar maupun sekolah menengah pertama dengan menjangkau masyarakat miskin dan tertinggal serta untuk meningkatkan mutu pendidikan yang ada. Implikasi biaya dari tujuan ini dihitung oleh McMahon pada tahun 2003.44 A Konsep kunci perhitungannya adalah kecukupan, atau “apakah cukup tersedia buku pelajaran, materi ajar, kemampuan dan kualifikasi guru, perpustakaan sekolah, dan sebagainya untuk menghasilkan tingkat pendidikan yang memadai bagi setiap anak” (McMahon, 2003).45

44 Perhitungan biaya berdasarkan target PUS dengan tujuan mencapai 100 persen angka partisipasi sekolah pada 2008 untuk pendidikan dasar dan 95 persen untuk pendidikan sekolah menengah pertama, berdasarkan hasil Tinjauan Sektor Pendidikan oleh Bank Dunia pada 2005. Walaupun target ini—terutama untuk pendidikan sekolah menengah pertama—lebih tinggi, Ini menunjukkan bahwa perkiraan biaya jauh lebih tinggi daripada apa yang mereka perhitungkan.45 Lihat Lampiran E.9 untuk perhitungan yang lebih lengkap.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 45

BAB 3 Sektor Pendidikan

Tabel 3.10 Perkiraan biaya untuk program “Pendidikan untuk Semua” (PUS)

Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah

2004–05 2008–09 2004–05 2008–09Biaya per-siswa (Rp ’000)Kenaikan biaya PUS 179 209 509 834Biaya sekarang 966 966 1,449 1,449Total 1,145 1,175 1,958 2,283Total Biaya ( = Biaya per-siswa X jl. siswa yang terdaftar) (Rp triliun)Kenaikan biaya PUS 5.1 5.7 5.3 10.2Biaya sekarang 27.3 26.4 15.5 18.0Total 32.3 32.1 20.8 28.4

Sumber: McMahon 2003.

Kenaikan biaya yang terkait dengan program PUS per siswa untuk 2004–05 adalah sebesar 18 persen dari biaya per-siswa untuk sekolah dasar tahun 2004 dan 35 persen untuk sekolah menengah pertama. Biaya ini jauh lebih tinggi daripada jumlah sebenarnya yang dikeluarkan di tingkat daerah untuk setiap siswa. Biaya pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama seharusnya berjumlah Rp 53 triliun pada 2004 (Tabel 3.4). Akan tetapi, pengeluaran di daerah hanya Rp 43.6 triliun. Untuk 2008–09, total perkiraan pengeluaran yang diperlukan akan mencapai hampir Rp 60 triliun untuk sistem pendidikan Indonesia agar tercapai target angka partisipasi sekolah.

Dengan perhatian pemerintah untuk meningkatkan pengeluaran di sektor pendidikan, hal ini mungkin akan dapat menutup kesenjangan pendanaan dan mencapai tingkat pengeluaran yang diperlukan untuk setiap siswa. Namun demikian, peningkatan pengeluaran saja tidak akan dapat menjamin pencapaian tujuan PUS. Pembiayaan PUS merupakan langkah yang penting untuk memahami apa yang dibutuhkan untuk memenuhi cita-cita nasional, tetapi penyediaan sumber dana saja belum cukup. Untuk memperbaiki tingkat partisipasi siswa sekolah secara memadai, perubahan manajemen sekolah dan sistem pendidikan secara keseluruhan perlu dilakukan.

Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan: Efisiensi dan Hasil

Efisiensi dalam manajemen sumber daya manusia: distribusi guru

Walaupun anggaran pendidikan mengalami peningkatan, rasio murid dan guru (RMG) di Indonesia sangat rendah, yang menunjukkan tidak efisiensinya pengeluaran untuk sektor pendidikan. Sementara tingkat RMG yang rendah memberikan peluang yang lebih besar untuk meningkatkan interaksi antara guru dan siswa, konsensus umum menunjukkan bahwa RMG 30:1 adalah yang paling tinggi, sementara perbandingan rasio yang lebih kecil dari ini akan memberikan pengembalian marginal yang sangat rendah. Karena gaji guru merupakan komponen biaya yang cukup signifikan, RMG yang rendah cenderung akan menyebabkan beban keuangan yang berat. Perbandingan jumlah guru-murid di Indonesia merupakan salah satu dari yang terendah di kawasan Asia/Pasifik, seperti yang tampak pada Diagram 3.7. Perbandingan rata-rata RMG untuk negara-negara kawasan Asia/Pasifik sekitar 31:1 untuk pendidikan dasar dan 25:1 untuk pendidikan sekolah menengah pertama.46 Indonesia masih jauh lebih rendah, sekitar 20 untuk pendidikan dasar dan sekitar 14 untuk pendidikan sekolah menengah pertama (Diagram 3.7). Rasio untuk Indonesia akan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Amerika dan dengan beberapa negara Eropa. Angka ini juga jauh di bawah angka yang ditentukan secara nasional, yaitu 40:1 untuk pendidikan dasar dan 28:1 untuk pendidikan sekolah menengah pertama (World Bank, 2006h).

46 Sumber: Database EdStats. Rasio untuk SD sudah ditentukan jelas, tetapi untuk rasio tingkat SMP ditentukan oleh penulis karena ketidaktersediaan data.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 46

BAB 3 Sektor Pendidikan

Diagram 3.7 RMG untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pada negera-negara terpilih, 2003

Sekolah dasar

14.81

17.1

18.92

19.56

20.29

20.68

21.05

24.65

30.64

30.77

31.26

34.93

41.33

56.24

0 10 20 30 40 50 60

Amerika Serikat

Inggris

Malaysia

J epang

Indonesia

Thailand

China

Vietnam

Lao PDR

Mongolia

Korea, Rep.

Filliphina

India

Kamboja

Sekolah Menengah

13.22

14.23

14.92

17.72

18.24

18.61

19.05

21.52

23.59

24.86

25.59

25.66

32.32

37.09

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Jepang

Indonesia

Amerika Serikat

Malaysia

Korea, Rep.

China

Inggris

Mongolia

Kamboja

Thailand

Vietnam

Lao PDR

India

Filliphina

Sumber: Edstats 2003.

Isu yang berkaitan dengan ketersediaan guru berhubungan dengan pendistibusian guru yang tidak efisien. Berdasarkan standar yang ditentukan saat ini yaitu dengan formula penempatan guru untuk sekolah dasar (minimal 9 guru dengan tingkat RMG 40:1), ternyata sekitar 55 persen sekolah mengalami kelebihan guru, sementara 34 persen mengalami kekurangan guru (Diagram 3.8).47 Ketidaksetaraan distribusi tersebut sangat jelas terutama ketika melihat ketersediaan guru di wilayah perkotaan, pedesaan, dan sekolah terpencil. Sekolah di wilayah perkotaan dan pedesaan mengalami kelebihan guru yang cukup besar (dengan 68 persen dan 52 persen sekolah mengalami kelebihan guru untuk masing-masing kedua wilayah tersebut), sementara sekolah di wilayah terpencil mengalami defisit guru yang serius, yaitu 66 persen sekolah mengalami kekurangan guru. Kebijakan pemerintah yang baru dengan melipatgandakan gaji pokok untuk guru yang bekerja di wilayah terpencil diharapkan mampu mendorong lebih banyak guru untuk mau bekerja di sekolah di wilayah tersebut.

Diagram 3.8 Persentase sekolah dasar yang kelebihan dan kekurangan tenaga guru berdasarkan formula penggajian yang baru

5 5 6 85 2

17

-3 4 -3 7- 6 6

- 8 0

- 6 0

- 4 0

- 2 0

0

2 0

4 0

6 0

8 0

T o t a l U r b a n Perdesaan T e r p e n c i l

Persentasi Sekolah-sekolah yangMengalami Kelebihan Tenaga Guru

Persentasi Sekolah-sekolah yang Mengalami Kekurangan Tenaga Guru

-21

(%)

Sumber: Survei pengangkatan dan penugasan guru, 2005.Catatan: Berdasarkan formula penugasan yang berlaku.

47 Total kelebihan dan kekurangan guru dihitung berdasarkan hasil survei Pengangkatan dan Penugasan Guru tahun 2005 untuk sekolah di wilayah perkotaan dan wilayah terpencil. Total dihitung berdasarkan data Susenas 2004 terhadap persentase anak-anak yang berumur 7-15 tahun yang tinggal di kota dan desa, dan dengan asumsi 10 persen sekolah berada di wilayah terpencil. Guru paruh waktu diperhitungkan sebagai guru tetap.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 47

BAB 3 Sektor Pendidikan

Metode yang digunakan sekarang untuk menentukan persyaratan penyediaan guru menyebabkan terjadinya kelebihan guru. Berdasarkan sistem yang kini berlaku, pihak sekolah menyampaikan kebutuhan guru kepada kantor pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota lalu meminta penambahan guru kepada kantor Departemen Pendidikan Nasional di tingkat pusat. Pemerintah pusat lalu mengalokasikan guru untuk kabupaten/kota tersebut sekaligus menyediakan tambahan pembayaran gaji guru melalui DAU. Berdasarkan sistem ini, pihak sekolah dan kabupaten/kota—yang sebenarnya tidak membayar gaji—memiliki alasan yang kuat untuk menyampaikan bahwa mereka kekurangan guru dan meminta tambahan sumber dana (yang pada dasarnya gratis), dan hampir tidak ada insentif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya guru. Hal ini terlihat pada kenyataan di lapangan, dimana sekolah hampir mengeluh bahwa mereka kekurangan guru, walaupun sebenarnya mereka sudah kelebihan guru. Survei yang dilakukan pada tahun 2005 (Survei Tenaga Kerja dan Pembangunan 2005, Depdiknas dan Bank Dunia) menunjukkan bahwa dari 276 sekolah dasar, 65 persen menyatakan mereka kekurangan guru sementara hanya 8 persen yang menyatakan kelebihan guru. Akan tetapi, berdasarkan formula perhitungan, tercatat 55 persen sekolah mengalami kelebihan guru dan 34 persen mengalami kekurangan guru. Dari seluruh sekolah yang menyatakan kekurangan guru, 41 persen sebenarnya sudah mengalami kelebihan guru.

Ketika memperhitungkan kelebihan guru, perlu dipertimbangkan besarnya jumlah guru bantu honorer yang begitu banyak di Indonesia. Sekitar 6 persen dari guru sekolah dasar di Indonesia dan 25 persen dari guru sekolah menengah negeri bekerja sebagai guru bantu.48 Ini merupakan tambahan atas keluhan kekurangan guru di beberapa daerah tertentu. Penggunaan guru bantu hanya sedikit mengurangi beban biaya kepegawaian untuk sementara, sebab gaji guru bantu tidak lebih rendah secara signifikan daripada gaji guru tetap. Gaji guru bantu untuk sekolah dasar (termasuk kabupaten/kota dan tunjangan sekolah) anehnya hanya sedikit perbedaannya dengan guru tetap jika berdasarkan jumlah jam kerja. Hal ini pun berlaku juga untuk guru sekolah menengah pertama. Kenyataan bahwa gaji guru bantu tidak lebih kecil secara signifikan daripada guru tetap artinya guru bantu lebih mahal jika dihitung berdasarkan honor per jam. Di tingkat sekolah menengah pertama, guru-guru untuk bidang keahlian tertentu dibayar per jam. Untuk meningkatkan efektivitas biaya, bagaimanapun juga, guru-guru ini harus didorong untuk meningkatkan sertifikasi mereka agar mereka tetap dapat dipekerjakan secara penuh. Di tingkat sekolah dasar, hanya terdapat sedikit guru bantu (6 persen secara nasional), walaupun guru sekolah dasar sering mempunyai tanggung jawab lain selain mengajar di ruang kelas dan mempunyai jam kerja yang cenderung lebih pendek dari pada rata-rata guru yang mengajar di dalam kelas.49

Pertimbangan dasar dari perspektif pendanaan adalah bahwa kelebihan guru menimbulkan beban biaya yang signifikan. Dengan menggunakan realisasi nilai RMG50 apabila mengikuti standar internasional dan nilai rata-rata kawasan regional, Indonesia menunjukkan tingkat kelebihan guru sekitar 21 persen (Lampiran E.6). Bahkan ketika menggunakan perkiraan yang konservatif dan dengan memperhatikan tingginya jumlah guru bantu, biaya untuk pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama saja telah mencapai lebih dari Rp 5 triliun, atau sekitar 8 persen dari total anggaran pendidikan. Biaya tinggi ini akan semakin memburuk ketika gaji guru naik cukup besar sebagai konsekuensi adanya tunjangan baru yang dinyatakan dalam UU No.14/2005 tentang guru.

Gaji guru, tunjangan dan mutu pendidikan

Dengan pemberlakuan UU No. 14/2005 tentang guru pada Desember 2005, pemerintah ,memberlakukan persyaratan baru mengenai sertifikat pendidik yang meningkatkan kompensasi sekaligus memperbaiki kualitas guru. Merancang struktur gaji dan tunjangan guru untuk mendapatkan kandidat guru terbaik dalam profesi keguruan merupakan tugas yang sangat rumit. Kenyataan ini benar terutama untuk Indonesia, dimana gaji para guru dianggap masih relatif rendah. Gaji yang rendah sepertinya merupakan salah satu alasan penting atas kinerja guru yang buruk, semangat yang rendah, dan cenderung memiliki kualifikasi yang rendah. Tingkat gaji guru di Indonesia, yang disesuaikan untuk daya beli, secara signifikan lebih rendah daripada gaji guru di negara lain (Unesco-UIS/OECD, 2005).

48 Jika sekolah swasta diperhitungkan, persentase guru sekolah menengah pertama adalah 39 persen.49 Misalnya, di tingkat sekolah dasar, 20 persen dari guru mengajar olahraga dan agama dan 11 persen adalah kepala sekolah, yang masih sering bertanggung jawab mengajar pada taraf sekolah kecil, tetapi mempunyai peran manajemen yang lebih besar pada taraf sekolah yang lebih besar (lihat Lampiran E.7).50 Yang diusulkan saat ini adalah minimal ada empat guru untuk setiap sekolah dasar dengan target RMG 32:1, dan minimal tujuh guru untuk setiap pendidikan sekolah menengah pertama dengan target RMG 28:1, sehingga hasil RMG sebenarnya masing-masing adalah 26:1 dan 22:1.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 48

BAB 3 Sektor Pendidikan

Gaji guru di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara setara lainnya. Sebuah survei terhadap sampel negara-negara yang tergabung dalam Indikator Pendidikan Dunia (IPD) menunjukkan bahwa tingkat gaji guru di Indonesian paling rendah dari negara-negara yang tergabung dalam IPD untuk seluruh jenjang dan tingkat pendidikan. Tetapi, perbandingan antarnegara dapat juga bermasalah, karena beberapa negara mungkin memberikan tunjangan tambahan yang tidak diperhitungkan dalam perbandingan. Namun demikian, hasilnya tetap menunjukkan bahwa guru di Indonesia menerima gaji yang relatif rendah. Bahkan kalau saja pendapatan guru dilipatgandakan melalui struktur tunjangan, gaji guru Indonesia masih tetap lebih rendah dari sampel negara-negara IPD kecuali Mesir.

Tabel 3.11 Perbandingan gaji guru di beberapa negara terpilih dalam Indikator Pendidikan Dunia (IPD)

Pendidikan dasar Pendidikan menengah awal

Pendidikan menengah lanjutan

Tahun Gaji Awal Gaji paling tinggi Gaji Awal Gaji paling

tinggi Gaji Awal Gaji paling tinggi

Cili 2003 11,709 18,437 11,709 18,473 11,709 19,302

Mesir 2002/03 1,046 -- 1,046 --- --- --

Indonesia 2002/03 1,002 3,022 1,002 3,022 1,042 3,022

Malaysia 2002 9,230 17,470 13,480 29,151 13,480 29,151

Paraguay 2002 7,950 7,950 12,400 12,400 12,400 12,400

Filipina 2002/03 9,890 11,756 9,890 11,756 9,890 11,765

Sri Lanka 2002 3,100 3,945 3,100 4,509 3,945 5,073

Thailand 2003/04 6,048 28,345 6,048 28,345 6,048 28,345

Uruguay 2002 4,850 7,017 4,850 7,017 5,278 7,444

Rata-rata OECD 2003 24,287 40,539 26,241 43,477 27,455 45,948

Sumber: Unesco-UIS/OECD 2005 Tren Pendidikan dalam Perspektif: Analisa Indikator Pendidikan Dunia (IPD).Note: Angka dalam tabel dalam AS$ PPP.

Akan tetapi, secara nasional ketika membandingkan tingkat gaji untuk guru terhadap upah untuk pekerja lain dengan tingkat pendidikan yang sama, ternyata besarnya perubahan gaji bervariasi berdasarkan tingkat pendidikan. Besarnya gaji guru kontradiktif menurun secara aktual dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Analisis tentang Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2004 menunjukkan gaji pokok per bulan guru sekolah dasar dengan kualifikasi lebih rendah dari lulusan diploma (kira-kira 40 persen dari seluruh guru), yaitu 16 persen lebih tinggi daripada upah pekerja lain. Perbedaan turun menjadi sebesar 6 persen dibandingkan upah pekerja lainnya untuk guru yang memiliki ijazah D-I dan D-II (kira-kira 32 persen dari seluruh guru), bahkan perbedaan ini menjadi negatif untuk guru sekolah dasar yang memiliki ijazah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, terutama guru yang memiliki ijazah Diploma III (kira-kira 8 persen) atau ijazah sarjana S1 (kira-kira 19 persen) masing-masing dengan tingkat pendapatan 21 persen dan 35 persen lebih kecil daripada pekerja di sektor lain. Hasil survei ini menunjukkan bahwa guru dengan tingkat pendidikan yang rendah relative menerima pembayaran lebih tinggi, sementara guru dengan tingkat pendidikan lebih tinggi relatif dibayar terlalu rendah. Akan tetapi, gaji guru per jam masih cukup baik jika dibandingkan dengan pekerja lain, sebab jam kerja guru cenderung lebih pendek sehingga jam pembayaran per jam menjadi lebih tinggi. Menurut data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) 2004, guru bekerja sekitar 34 jam per minggu, sementara pekerja lain dengan tingkat pendidikan yang sama bekerja antara 43–46 jam per minggu (lihat Lampiran E..8).

UU No.14/2005 tentang Guru akan secara signifikan menambah tingkat pengeluaran rutin untuk upah guru (gaji dan tunjangan ) selama 10 tahun ke depan ini. Undang-undang Desember 2005, menyatakan bahwa semua guru wajib memiliki sertifikat pendidik paling lambat 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya UU dan guru yang bersertifikat mendapatkan tunjangan profesi setara dengan satu kali gaji pokok guru ditambah dengan tunjangan fungsional sebesar 50 persen dari gaji pokok.51 UU ini menyatakan adanya tunjangan khusus, yang akan diberikan kepada guru yang bertugas di wilayah konflik, terkena bencana alam, wilayah terpencil, dan wilayah-wilayah yang mengalami permasalahan khusus lainnya.

51 Spesisfikasi tunjangan fungsional sebesar 50 persen dari gaji pokok untuk gutu yang sudah mendapatkan sertifikasi guru merupakan bagian dari draft undang-undang yang diharapkan untuk disahkan sebelum akhir 2006.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 49

BAB 3 Sektor Pendidikan

Diagram 3.9 Perkiraan biaya untuk gaji guru dan tunjangan baru

20

40

60

80

100

120

0206

0207

0280 02

0902

01 0211

0221 02

130214

0215

0261

p tr

iliun

R

Pengeluaran untuk Bidang Pendidikan tahun 2005

Tunjangan Profesional

Tunjangan Daerah Khusus

Tunjangan Fungsional

Pengeluaran untuk Gaji Guru

Pengeluaran Sektor Pendidikan Nasional tahun 2005

Sumber: Perhitungan Bank Dunia menggunakan data guru dari Depdiknas 2004–05

Total pengeluaran untuk gaji guru akan menjadi dua kali lipat dalam waktu delapan tahun dan akan melebihi total pengeluaran untuk sektor pendidikan pada 2005. Pengeluaran untuk tunjangan profesional akan meningkat secara perlahan setiap tahun karena semakin banyak guru yang akan memperoleh sertifikat pendidik (Diagram 3.9). Pada 2016, perkiraan pengeluaran sebesar Rp 102.7 triliun akan dialokasikan untuk gaji dan tunjangan (130 persen dari seluruh pengeluaran nasional 2005 untuk sektor pendidikan).52 Depdiknas mungkin akan menggunakan tunjangan profesi untuk menentukan alokasi yang lebih besar dari keseluruhan anggaran untuk sektor pendidikan. Tindakan ini didasarkan atas ketentuan anggaran sebesar “20 persen” di dalam UU Pendidikan, terutama semenjak semua tunjangan-tunjangan ini tidak dimasukkan sebagai “pengeluaran untuk gaji.”

Hasil pendidikan: kinerja siswa dan nilai ujian

Indonesia menduduki peringkat yang rendah dalam tes standar internasional—yang sesuai dugaan karena Indonesia merupakan satu-satu negara dengan tingkat

pendapatan rendah-menengah yang ikut berpartisipasi dalam tes ini. Pada tahun 2003, Indonesia menduduki peringkat 34 dari 45 negara dalam Olimpiade Studi Ilmu Matematika Internasional Ketiga (TIMMS). Khususnya, siswa kelas 8 dari Indonesia memiliki hasil yang buruk untuk bidang kognitif seperti pemecahan masalah (Mullis dkk., 2006). Pada program ujian internasional penilaian siswa (PISA) tahun 2003, Indonesia menduduki peringkat terakhir dari 40 negara baik dalam pelajaran matematika maupun bahasa. Selanjutnya, pada skala kemahiran dari 0 - 6 untuk matematika, lebih dari 50 persen siswa tidak mampu mencapai tingkat 1. Untuk membaca, hanya 31 persen yang mampu menyelesaikan sebagian besar dari tugas-tugas pokok membaca. Para siswa dari Indonesia memiliki kemampuan yang lebih rendah daripada negara lain bahkan setelah memperhitungkan status sosioekonomi keluarga. Temuan ini menunjukkan bahwa sistem persekolahan mengalami defisiensi, dan bukan karena siswa berasal dari latar belakang keluarga miskin (EFA Global Monitoring Laporan 2005). Akan tetapi, pada saat yang sama, perlu dicatat bahwa pada dasarnya ujian PISA diperuntukkan bagi negara maju dan negara berpenghasilan menengah, dan Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki penghasilan dengan kategori rendah-menengah pada kelompok tersebut.

Diagram 3.10 Tren nilai ujian membaca dan matematika menurut Tes Standar Internasional PISA

250300

350

400450

500

550

600Brazil

Indonesia

Mexico

Thailand

Yunani

Portugal

Federasi Rusia

Spanyol

Polandia

Korea

Jepang

Hong Kong- Chin a

Membaca thn 2000Membaca thn 2003

Matematika thn 2000Matematika thn 2003

Sumber: OECD, 2003.

Kecenderungan skor Indonesia pada ujian internasional menunjukkan sedikit peningkatan. Indonesia berpartisipasi pada PISA selama dua ronde berturut-turut pada 2000 dan 2003. Sementara siswa Indonesia masih tetap ketinggalan dibandingkan dengan negara lain, namun mereka telah menunjukkan peningkatan kinerja dalam keterampilan membaca dan matematika selama kurun waktu tersebut (Diagram 3.10). Mutu pendidikan yang begitu rendah mengundang pertanyaan tentang kesesuaian sistem pendidikan di tingkat sekolah menengah dalam kaitannya dengan tingkat pengembalian sosial, kesiapan bekerja serta prospek pendapatan. Rendahnya mutu pendidikan merupakan masalah besar terutama bagi siswa yang migrasi dari daerah pedesaan yang miskin ke wilayah perkotaan.

52 Perkiraan ini tidak termasuk tunjangan kabupaten/kota dan sekolah yang kadang-kadang juga diberikan untuk guru.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 50

BAB 3 Sektor Pendidikan

Walaupun, terdapat (trade off) dalam hal alokasi sumber dana untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, tapi investasi dalam mutu pengajaran untuk menaikkan tingkat pengembalian sosial dalam sektor pendidikan. Kinerja yang rendah dari sistem pendidikan Indonesia berdasarkan peringkat internasional memberikan kesan bahwa sistem pendidikan yang ada sekarang tidak mampu memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan belum memberikan tingkat pengembalian sosial yang maksimal atas investasi yang dilakukan pada sektor ini.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 51

BAB 3 Sektor Pendidikan

Rekomendasi Kebijakan

Menentukan tingkat pengeluaran pendidikan yang “memadai”

Dengan membandingkan pengeluaran untuk sektor pendidikan secara internasional, pengeluaran Indonesia relatif lebih kecil daripada pengeluaran pendidikan negara tetangga di Asia Timur, akan tetapi mendekati pengeluaran negara-negara berkembang lainnya. Dengan meningkatnya ruang gerak fiskal, pengeluaran untuk sektor pendidikan di Indonesia akan mengalami peningkatan sekurang-kurangnya 17 persen dari keseluruhan anggaran. Indikator yang dianalisis di dalam laporan ini adalah pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi produk domestik bruto (PDB) dan pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi dari total pengeluaran dan pengeluaran yang disesuaikan dengan daya beli di berbagai tingkat pendidikan. Menurut indikator ini, kecenderungan pengeluaran Indonesia hanya sedikit lebih rendah daripada negara berkembang, bahkan di antara negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Tingkat pengeluaran Indonesia untuk sektor pendidikan bagaimanapun juga meningkat. Kecenderungan pengeluaran dan proyeksi anggaran menunjukkan peningkatan, artinya pemerintah sudah memenuhi komitmen untuk memperbaiki layanan masyarakat.Berdasarkan perkiraan yang sudah memperhitungkan beberapa faktor penentu dalam alokasi pengeluaran sektor pendidikan,53 tingkat pengeluaran pendidikan Indonesia (pada 2000) diharapkan menjadi setidaknya 17 persen dari keseluruhan anggaran. Dengan ruang gerak fiskal yang semakin membaik, tingkat pengeluaran saat ini diharapkan setidaknya mencapai angka 17 persen.

Penafsiran yang berkembang sekarang mengenai ketentuan anggaran sebesar “20 persen” di luar gaji guru menurut UU Pendidikan adalah hal yang tidak realistis baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan mengikuti ketentuan 20 persen tersebut sesuai ketentuan UU pendidikan akan memberikan arti bahwa:

Di daerah: Peningkatan pengeluaran pendidikan sebesar Rp 21 triliun. Dengan melakukan hal tersebut akan meningkatkan pengeluaran sektor pendidikan menjadi sekitar 45 persen dari total anggaran daerah (APBD). Hal ini secara politik akan menimbulkan masalah dan secara ekonomi hal itu tidak mungkin dapat dilaksanakan karena akan mengurangi pengeluaran untuk sektor lain (kesehatan, infrastruktur) di tingkat kabupaten/kota. Di tingkat pusat: Dengan anggaran pendidikan sekitar Rp 46 triliun (2006), atau 9,4 persen dari anggaran pemerintah pusat (APBN), penentuan alokasi tambahan anggaran sebesar Rp 59 triliun akan diperlukan untuk memenuhi ketentuan dalam UU tersebut. Perhitungan ini hanya satu dari begitu banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja sektor pendidikan dengan menafsirkan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang. Akan tetapi, kebanyakan dari perhitungan ini disampaikan pada suatu kesimpulan, yang mana bahwa di tingkat pusat, pengeluaran untuk sektor pendidikan perlu dilipatduakan. Peningkatan sumber dana yang begitu besar di tingkat pusat bertentangan dengan pelaksanaan sistem desentralisasi karena yang terjadi adalah peningkatan peran pusat di daerah dalam hal pengambilan keputusan kebijakan, sementara itu mengurangi ruang gerak fiskal dan wewenang pengambilan keputusan pemerintah daerah.Dengan adanya implikasi-implikasi seperti yang disebutkan diatas dan fakta bahwa hanya klausul diluar gaji ditambahkan dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sedangkan hal ini tidak ditentukan di dalam UUD, pemerintah semestinya bertindak bijaksana untuk kembali mempertimbangkan atas definisinya. Penafsiran atas ketentuan 20 persen termasuk pengeluaran untuk gaji kelihatannya akan lebih realistis.

Memperbaiki struktur pengeluaran

Karena angka partisipasi sekolah di tingkat sekolah dasar telah mendekati angka 100 persen, fokus di tingkat ini harus diarahkan pada investasi untuk infrastruktur pendidikan dan mutu masukan lainnya seperti ruang kelas, mutu pendidikan guru yang masih jauh dari kategori memuaskan. Indonesia hampir mencapai angka partisipasi sekolah penuh untuk pendidikan dasar. Jadi, di tingkat sekolah dasar, kebutuhan terhadap akses pendidikan perlu ditingkatkan di beberapa wilayah terpencil. Namun demikian, angka partisipasi sekolah sebesar 100 persen mungkin tidak akan berkontribusi terhadap pengurangan pertumbuhan angka kemiskinan dan pertumbuhan apabila mutu pendidikan dasar rendah. Banyak sekolah dasar tidak memiliki infrastruktur yang memadai dan guru-guru yang tidak memenuhi persyaratan minimal untuk menjadi guru. Struktur pengeluaran dari berbagai program perlu diubah untuk menjaring berbagai masukan (inputs) yang berkualitas.

53 Termasuk seluruh penduduk, kepadatan penduduk, PDB per kapita, tingkat desentralisasi fiskal dan keseimbangan anggaran.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 52

BAB 3 Sektor Pendidikan

Penentuan alokasi tambahan terhadap sumber daya pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan lanjutan akan memberikan nilai pengembalian sosial yang tinggi. Sementara mutu pendidikan dasar masih merupakan permasalahan yang memerlukan tingkat investasi yang serius, pemerintah harus mempertimbangkan pendidikan menengah sebagai prioritas lanjutan. Menurut analisis komposisi pengeluaran untuk sektor pendidikan dan estimasi tingkat pengembalian sosial terhadap pendidikan, tambahan sumber dana paling baik jika dialokasikan pada tingkat pendidikan menengah pertama dan lanjutan, karena memiliki dampak pengembalian sosial yang tertinggi. Di samping itu, analisis komposisi fungsional terhadap anggaran menunjukkan bahwa pemerintah pusat saat ini sedang mengalokasikan sebagian besar sumber dana untuk program pendidikan dasar dan tinggi. Pemerintah mungkin perlu mempertimbangkan kembali distribusi pengeluaran tersebut. Selanjutnya, berdasarkan angka partisipasi sekolah di seluruh jenjang pendidikan menunjukkan bahwa pemerintah harus meningkatkan akses dan menurunkan angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan menengah pertama dan atas. Walaupun kedua masalah pendidikan tersebut merupakan masalah umum di Indonesia, tetapi masyarakat miskinlah yang paling mungkin mengalami.

Membuat pengeluaran untuk sektor pendidikan lebih merata

Perbedaan daerah dalam akses dan kualitas antar daerah harus dikurangi dengan menentukan sasaran lokal. Analisis mengenai angka partisipasi sekolah memberikan indikasi perbedaan akses dan mutu yang begitu luas terhadap pendidikan di Indonesia. Pemerintah seharusnya mengalokasikan dana pendidikan yang memadai bagi kabupaten/kota dan provinsi yang tertinggal agar mereka dapat “mengejar ketertinggalannya”. Pemerintah daerah yang lebih miskin cenderung menggunakan anggaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan. Akan tetapi, tingkat pengeluaran absolut mereka masih rendah. Transfer dana dari pemerintah pusat akan dapat menjamin pemerataan yang lebih besar terhadap akses layanan pendidikan. Transfer Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat lebih ditingkatkan atau disesuaikan dengan kemiskinan yang misalnya melalui akses terhadap pendidikan.

Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan perkembangan yang penting dalam pendanaan sektor pendidikan dan juga merupakan instrumen yang penting untuk meningkatkan keterjangkauan walaupun sebenarnya masih banyak hal yang perlu ditingkatkan. Jika pemerintah terus mengalokasikan dana bantuan BOS (yang saat ini berjumlah sekitar 12 persen dari total konsolidasi anggaran pendidikan ) untuk sekolah, maka kita perlu mempertimbangkan hal-hal berikut :

Walaupun pengiriman dana secara langsung kepada sekolah dapat mengurangi tingkat kebocoran anggaran, masih diperlukan pemantauan dan penelusuran arus keuangan untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan dan alokasi yang tidak pada tempatnya dari dana ini. Mekanisme alokasi yang tidak melalui pemerintah provinsi dan kabupaten/kota akan mengakibatkan terjadinya re-sentralisasi pengeluaran dengan.Karena besarnya dana bantuan BOS ditentukan berdasarkan jumlah siswa, sekolah memiliki intensif untuk menggelembungkan jumlah siswa jika tidak ada mekanisme kontrol yang memadai.Program tersebut tidak memberikan petunjuk untuk mengukur kinerja atau transparansi anggaran kepada sekolah. Dengan demikian, sulit untuk mengukur dampak yang sebenarnya dari program tersebut terhadap besarnya uang sekolah dan mutu pengajaran.

Upaya untuk menjamin pemerataan akses kepada pendidikan merupakan isu utama di tingkat sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Upaya untuk menangani hal ini seharusnya ditingkatkan. Pemerintah seharusnya berfokus pada peningkatan penerimaan siswa yang berasal dari keluarga miskin terutama di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, yang memiliki angka putus sekolah yang tinggi dan angka partisipasi sekolah yang rendah. Program dengan target yang lebih jelas seharusnya bertujuan untuk menanggulangi isu-isu tersebut dari dua sisi:

Sisi permintaan, dengan mengurangi tingkat pengeluaran dari pihak keluarga atau meminjamkan pendapatan yang hilang melalui mekanisme tertentu seperti transfer tunai. Sisi penawaran, dengan menanggulangi potensi kurangnya investasi infrastruktur pendidikan, yang berfokus pada sekolah menengah, melalui pembangunan gedung baru dan peningkatan input untuk perbaikan mutu.

•••

••

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 53

BAB 3 Sektor Pendidikan

Meningkatkan efisiensi pengeluaran untuk sektor pendidikan

Untuk menanggulangi distribusi guru yang tidak merata, perlu dilakukan re-evaluasi terhadap kebijakan penerimaan pegawai, terutama yang berkaitan dengan formula penempatan saat ini, serta kebijakan yang terkait dengan perpindahan staf atau guru dan penempatan guru di wilayah-wilayah terpencil. Potensi pilihan yang ada untuk penentuan tenaga sekolah di masa yang akan datang adalah menentukan jumlah guru setiap sekolah berdasarkan jumlah siswa dan bukan pada jumlah kelas. Dengan mempertimbangkan sekolah-sekolah yang lebih kecil, kebijakan ini seharusnya diikuti oleh fleksibilitas yang lebih luas mengenai mata pelajaran yang harus diajarkan guru. Selanjutnya, layanan pengajaran merupakan bagian dari layanan masyarakat secara nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk menyediakan tidak hanya perpindahan guru antarsekolah dalam satu kabupaten/kota tetapi juga antara satu kabupaten/kota atau provinsi dengan yang lain. Pada akhirnya nanti, perlu juga untuk melakukan peninjauan sistem pengadaan guru yang ada sekarang untuk memastikan fleksibilitas dukungan kebijakan yang dapat meningkatkan akses, pemerataan, dan mutu. Akhirnya, Indonesia telah memiliki kebijakan atas layanan kebutuhan guru di wilayah-wilayah terpencil. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi sekarang adalah menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyediakan layanan tersebut. UU guru yang baru sebagian menimbulkan masalah karena UU menjamin penyediaan tambahan tunjangan pendanaan untuk guru yang bekerja di wilayah-wilayah terpencil.

Kelebihan guru secara keseluruhan berdampak besar dan berkelanjutan terhadap efektivitas biaya dalam sistem pendidikan Indonesia. Pengurangan jumlah guru akan menambah penyediaan dana yang dapat digunakan untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan sekarang ini. Akan tetapi, kelebihan guru seperti itu merupakan masalah lokal dan dapat diatasi sebagian dengan menyediakan tunjangan lokal dengan mencantumkannya di dalam UU guru yang baru. Di samping itu, kelebihan guru dalam beberapa hal merupakan konsekuensi dari adanya kenyataan bahwa banyak guru bantu yang bekerja di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Namun demikian, total kelebihan guru menunjukkan adanya beban biaya sekitar 10 persen dari total anggaran. Beban ini akan bertambah buruk sebagai akibat dari ketentuan UU yang melipatduakan gaji pokok guru. Pilihannya adalah mengurangi jumlah guru dengan tujuan memperbaiki mutu pendidikan. Tergantung pada skala pengurangan tersebut, sejumlah dana dapat digunakan untuk mendukung peningkatan gaji dan tunjangan. Sementara pelaksanaan kebijakan pemindahan guru akan lebih meratakan distribusi guru, upaya untuk mengurangi dampak akibat kelebihan guru mungkin akan menjadi tantangan terbesar sistem pendidikan Indonesia saat ini. Dengan adanya fakta bahwa para guru berada pada jajaran layanan masyarakat, ada sedikit opsi selain memperlambat atau “membayar” akibat dampak pengurangan tersebut. Pilihan yang kedua ini memiliki implikasi jangka pendek terhadap anggaran. Strategi tambahan penting lainnya yang mungkin dilakukan adalah mengurangi jumlah penerimaan mahasiswa keguruan di lembaga pendidikan.

Untuk menjamin bahwa guru terdorong untuk memperoleh kualifikasi yang benar dan memadai, maka gaji guru perlu disesuaikan dengan kualifikasi mereka. Gaji guru biasanya masih dianggap lebih rendah dibandingkan dengan pekerja lain dan PNS lainnya dengan tingkat pendidikan yang sama. Analisis berdasarkan pendapatan per jam, ternyata pendapatan guru memang lebih kecil dibandingkan dengan PNS yang bertugas pada bidang non-keguruan. Selanjutnya, masih terdapat disparitas wilayah yang begitu luas dalam hal tingkat upah untuk guru yang akan mempersulit pelaksanaan re-distribusi tenaga kependidikan. UU keguruan yang baru memperkenalkan kebijakan untuk menanggulangi isu-isu semacam ini dengan menghubungkan peningkatan gaji pokok untuk guru sesuai dengan kualifikasi dan kinerja yang baik. Di samping itu, penyediaan tunjangan untuk guru yang bertugas di wilayah terpencil akan memberikan kompensasi terhadap perbedaan upah lokal dan peningkatan distribusi guru.

Peningkatan gaji guru setelah proses sertifikasi tampaknya dapat dimengerti. Akan tetapi, jika peningkatan ini menyebabkan pengurangan anggaran inti lainnya untuk sektor pendidikan, hal ini dapat berdampak negatif terhadap keluaran pendidikan. UU keguruan yang baru secara substansial mempengaruhi anggaran pendidikan. Dengan adanya berbagai jenis tunjangan baru untuk kurun waktu lima tahun ke depan, hal ini akan berpengaruh terhadap anggaran pendidikan nasional yang ada sekarang. Besarnya dampak keuangan terhadap peningkatan pembayaran tunjangan dapat dikurangi jika mampu secara bersamaan menurunkan tingkat kelebihan guru di Indonesia dan mengurangi jumlah guru bantu.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 54

BAB 3 Sektor Pendidikan

BAB 4 Sektor Kesehatan

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 56

BAB 4 Sektor Kesehatan

Temuan Pokok

Secara umum, pengeluaran sektor kesehatan di Indonesia masih rendah namun analisis pengeluaran publik menunjukkan bahwa masalah utama dalam sektor kesehatan adalah alokasi sumber daya yang tidak merata dan tidak efisien.

Saat ini, pengeluaran sektor publik melalui subsidi regresif layanan kesehatan sekunder pada dasarnya lebih banyak menguntungkan masyarakat kaya daripada masyarakat miskin. Hal ini dikarenakan penduduk miskin memiliki akses yang sangat rendah terhadap layanan rumah sakit umum, sehingga mereka tidak mampu memanfaatkan anggaran yang telah disalurkan untuk layanan kesehatan yang bersifat sekunder.

Peranan sektor swasta dalam sistem layanan kesehatan Indonesia telah tumbuh secara dramatis selama satu dasawarsa belakangan ini. Saat ini, sebagian besar petugas layanan kesehatan sudah terlibat dalam pemberian layanan kesehatan baik untuk publik maupun swasta. Meskipun sudah terdapat kemajuan dalam perluasan sistem layanan kesehatan publik, akses terhadap layanan dan kualitas layanan masih rendah, dan masyarakat miskin masih sangat bergantung pada penyediaan layanan kesehatan dari sektor swasta.

Jumlah relatif dokter dan perawat sebagai proporsi dari jumlah penduduk di Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Rata-rata jumlah dokter dan perawat di tingkat nasional mencakup angka disparitas yang cukup besar terkaitan dengan penyediaan tenaga kesehatan di daerah, meskipun belum tentu didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah.

Rekomendasi Utama

Pemerintah sebaiknya sudah mulai memikirkan untuk mengalokasikan sumber daya yang lebih besar kepada sektor kesehatan, karena total pengeluaran nasional jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pengeluaran di negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Saat ini Indonesia masih menggunakan kurang dari sepertiga anggaran sektor kesehatan yang telah digunakan Filipina, negara yang berada di urutan kedua terendah dalam pengeluaran kesehatan untuk kawasan Asia Tenggara. Namun demikian, fokus pertama sebaiknya diarahkan pada efisiensi alokasi anggaran dan kualitas layanan kesehatan sebelum melakukan peningkatan keseluruhan pengeluaran untuk sektor kesehatan.

Kesenjangan harus dikurangi dengan meningkatkan akses terhadap layanan dan memperbaiki kualitas layanan kesehatan untuk masyarakat miskin. Hal ini dapat ditempuh dengan meningkatkan alokasi DAK dengan sasaran kabupaten/kota yang miskin dan kurang mendapatkan layanan, dan investasi pada sisi permintaan, misalnya dengan memperkenalkan program kupon kesehatan, yang dapat meningkatkan akses penduduk miskin terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.

Prioritas sebaiknya diarahkan untuk melakukan identifikasi terhadap berbagai komnbinasi investasi yang sesuai untuk meningkatkan efektivitas sektor kesehatan dalam mengatasi beban ganda penyakit (penyakit menular dan yang tidak menular), serta munculnya berbagai berbagai penyakit baru (seperti HIV/AIDS dan flu burung).

Sektor publik harus memainkan peran yang lebih besar dalam mengarahkan sistem kesehatan secara keseluruhan melalui penerapan peraturan, perizinan, dan akreditasi bagi penyedia kesehatan sektor swasta. Hal ini akan membantu dalam menjamin kualitas layanan kesehatan swasta.

Pemerintah perlu melakukan identifikasi untuk menentukan kombinasi yang benar dalam pelaksanaan koordinasi dan penerapan ketentuan yang menjamin pemerataan distribusi layanan kesehatan beserta sumbr daya manusianya terutama dokter, sehingga efisiensi investasi untuk tenaga kesehatan dapat ditingkatkan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 57

BAB 4 Sektor Kesehatan

Kemajuan dan Tantangan pada Sektor Kesehatan

Meningkatkan kesehatan publik merupakan tantangan bagi pemerintah pusat dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Tingkat kesehatan yang lebih baik bukan saja merupakan dimensi kunci keberhasilan penurunan angka kemiskinan, namun juga merupakan faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Berjangkitnya suatu penyakit dan tingkat kesehatan yang buruk sebagian besar terjadi pada penduduk miskin, hal ini disebabkan oleh faktor kemiskinan yang mengakibatkan mereka tidak mampu mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, walaupun sebenarnya penyembuhan terhadap masalah kesehatan mereka sudah tersedia. Sebagai contoh, penyebab utama dari kematian bayi adalah penyakit gangguan pernafasan, tifus, dan diare. Penyakit-penyakit seperti ini dapat disembuhkan dengan mudah, oleh karena itu akses terhadap layanan kesehatan ini sebaiknya tersedia luas. Peningkatan kinerja layanan kesehatan merupakan faktor terpenting untuk mendorong perbaikan kualitas kesehatan publik khususnya bagi penduduk miskin.

Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi masalah kesalingterkaitan (nexus) antara kesehatan dan kemiskinan dengan memfokuskan agenda mereka pada sejumlah isu utama. Hal ini meliputi (i) peningkatan akses terhadap layanan kesehatan bagi kelompok penduduk yang kurang beruntung, (ii) pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, (iii) penanggulangan masalah gizi buruk dengan fokus pada anak balita dan wanita hamil, dan (iv) perbaikan pengadaan stok obat-obatan generik (RPJM RKP, 2006). Perkembangan dalam rangka pencapaian tujuan ini dipantau melalui 12 target spesifik yang harus tercapai pada tahun 2007 (Kotak 4.1).

Kotak 4.1 Target pemerintah terhadap peningkatan hasil pelayanan sektor kesehatan, 2007

• Layanan kesehatan gratis di Puskesmas dan layanan Kelas 3 di rumah sakit 100 persen untuk keluarga miskin.• Imunisasi Anak Universal (UCI) menjangkau 92 persen lebih tinggi di desa.• Angka persentase deteksi kasus TBC di atas 70 persen.• 100 persen penderita demam berdarah (DBD) menerima perawatan.• 100 persen pasien malaria menerima perawatan.• Angka persentase fatalitas kasus diare selama KLB (peristiwa luar biasa) menurun sampai 1,3 persen.• 100 persen orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) menerima perawatan ARV.• 85 persen wanita hamil mengkonsumsi tablet Fe.• 60 persen bayi menerima ASI eksklusif.• Peningkatan persentase anak balita yang mengkonsumsi Vitamin A mencapai 80 persen.• Peningkatan persentase distribusi produk makanan yang memenuhi persyaratan keselamatan mencapai 70 persen.• Perluasan lingkup pemeriksaan fasilitas produksi dalam konteks produksi obat-obatan (CPOB) mencapai 45 persen

Sumber: Pemerintah Indonesia, RKP 2006,

Selama bertahun-tahun, tekad pemerintah untuk sektor kesehatan telah memberikan kemajuan yang cukup besar dalam mengurangi angka kematian bayi dan anak. Misalnya, angka kematian bayi (IMR) turun dari 46 per 1.000 bayi pada tahun 1997 (IDHS 1997) menjadi 35 per 1.000 bayi pada tahun 2003 (IDHS 2002-03) dan Indonesia sudah hampir mencapai target “Tujuan Pembangunan Milenium” (MDG)54 untuk IMR (33 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran sampai tahun 2015).

Penempatan bidan di berbagai daerah mendorong terjadinya perbaikan gizi anak pada akhir tahun 1990-an, tetapi akhir-akhir ini angka persentase gizi buruk kembali meningkat. Pada tahun 1990-an, sebanyak 50.000 bidan ditugaskan di seluruh Indonesia untuk meningkatkan akses terhadap layanan kebidanan. Para bidan ini memiliki dampak positif yang cukup besar terhadap status gizi anak-anak. Anak-anak yang lahir di desa dengan bantuan bidan rata-rata mengalami masalah gizi buruk lebih ringan daripada anak-anak desa yang lahir tanpa bantuan bidan.55 Walaupun prestasi ini sudah dicapai, namun masalah gizi buruk muncul kembali antara tahun 2002 dan 2003 karena alasan yang belum diketahui.56

54 Target MDG untuk menurunkan angka kematian anak diukur dengan tiga indikator, yaitu: (i) angka kematian balita; (ii) persentase anak-anak di bawah satu tahun yang memperoleh imunisasi campak, dan, (iii) angka kematian bayi. Pada angka persentase kematian bayi, angka ini perlu diturunkan sebesar dua per tiga antara tahun 1990 dan 2015 (Bappenas-Unicef, Indonesia Laporan tentang MDG, 2004).55 Frankenberg, 2004.56 Abreu, 2005.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 58

BAB 4 Sektor Kesehatan

Dengan tren yang ada saat ini dan lemahnya peran pemerintah di bidang kesehatan ibu hamil (maternal health), Indonesia sepertinya tidak akan berhasil mencapai standar MDG untuk penurunan angka kematian ibu di masa persalinan atau sesudahnya (maternal mortality).57 Angka kematian ibu hamil ini belum mengalami perubahan sejak dulu. Risiko kematian selama masa persalinan atau pasca persalinan masih cukup tinggi untuk Indonesia dengan rasio angka kematian (mortality rate) sebesar 307 per 100.000 kelahiran.58 Ini menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki empat anak akan memiliki nilai probabilitas persentase angka kematian sebesar 1,23 persen sebagai akibat dari kehamilan mereka. Indonesia bahkan merupakan negara yang cukup memprihatinkan jika ingin membandingkan angka kematian ibu hamil karena angka kematian ibu hamil di Indonesia enam kali lebih tinggi daripada di Cina (50) dan 10 dan 15 kali lebih tinggi masing-masing dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia (36 dan 20). (Tabel 4.1).

Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia memiliki kondisi yang buruk berdasarkan atas angka pengukuran tingkat kesehatan yang paling mendasar sekali pun. Misalnya, dalam hal angka kematian dan usia harapan hidup, peringkat Indonesia berada di bawah rata-rata negara Asia Timur dan masih berada di peringkat yang lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga (terutama Malaysia) dengan angka perbedaan yang cukup besar. Indonesia juga terus-menerus menduduki peringkat paling bawah untuk pemberian vaksinasi campak di kawasan Asia Tenggara, yang menunjukkan adanya kelemahan dalam tindakan pencegahan. Situasi ini semakin memburuk terutama akibat krisis ekonomi dengan angka persentase vaksinasi yang menurun dari 80 persen menjadi 70 persen pada tahun 2001. Angka persentase ini sekarang sudah stabil pada angka sekitar 73 persen, sebuah angka yang sangat rendah dibandingkan dengan Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Perbedaan dalam hasil pelayanan ini akan stabil meski telah diperhitungkan dengan angka PDB per kapita. Vietnam, walaupun memiliki PDB yang lebih rendah, memiliki nilai yang lebih baik pada hasil pelayanan lain, sementara Filipina, dengan PDB sedikit lebih tinggi memiliki peringkat yang lebih baik untuk segala bentuk pelayanan (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Perbandingan regional mengenai hasil pelayanan sektor kesehatan, 2004

PDB per kapita(AS$)

Usia harapan hidup

(tahun)

Angka kematian

kasar

Angka Kematian

Bayi

Angka Kematian

BalitaAngka DPT Campak

Angka Kema-

tian Ibu Hamil

Persalinan dgn. Bantuan petugas

kesehatan terlatih

Indonesia 906 67.4 7.3 34.7* 45.7* 70 72 307* 72Kamboja 350 56.6 11 95* 124.4* 85 80 437* 31.8*Malaysia 4,290 73.5 4.7 10.2 12.4 99 95 20** 97Vietnam 502 70.3 6.1 23.6* 66.7* 96 97 95 90Thailand 2,356 70.5 7.2 18.2 21.2 98 96 36 NaFilipina 1,085 70.8 5 28.7* 39.9* 79 80 172** 60India 538 63.5 8.3 61.6 85.2 64 56 540 NaChina 1,323 71.4 6.4 26 31 91 84 50 96Asia Timur 1,254 70.3 6.6 29.2 36.8 86.6 82.5 Na 86.1

Sumber: WDI, UNDP dan DHS.Catatan: IMR: Angka Kematian Bayi; U5MR: Angka Kematian Balita; MMR: Angka Kematian Ibu Hamil. Untuk Perkiraan dengan * sumber untuk perkiraan dengan ** sumber data data adalah DHS adalah UNDP. Data mengenai Nagka Kematian Ibu yang terbaru yang tersedia adalah data untuk 2003 (World Bank 2006g). Data mengenai jumlah persalina yang dibatu tenaga kesehatan terlatih tersedia untuk tahun 2003-2004.

57 Tujuan Pembangunan Milenium untuk Kesehatan Ibu menunjukkan bahwa negara seharusnya mampu mengurangi rasio angka kematian ibu hamil sampai tiga perempat. Lihat: http://www.un.org/millenniumgoals/. Walaupun MMR tampaknya menurun, perkiraan tidak cukup dapat dipercaya untuk mengatakan hal ini secara pasti. Perkiraan data MMR pada periode tahun 1990-94 adalah 390/100.000, untuk periode tahun 1994-98 adalah 334/100.000, dan untuk periode tahun1998-2002 adalah 307/100.000. Tetapi akibat kesalahan sampel yang tinggi sekitar 95 persen, interval keyakinan ketiga perkiraan itu menjadi tumpang tindih. Masih terdapat tingkap tumpang tindih sebesar 67 persen interval. Hal ini mungkin akan menunjukkan penurunan dramatis, peningkatan atau tidak ada perubahan sama sekali.Akan tetapi, penurunan ini sepertinya tidak menunjukkan peningkatan mengingat peningkatan proksi MMR – peningkatan jumlah bidan terlatih, penurunan anemia pada ibu, dan peningkatan lembaga persalinan. Penurunan yang tajam sepertinya tidak akan terjadi mengingat mengingat tingginya angka persalinan yang dilakukan di rumah.

58 Perkiraan ini berasal dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2002 (IDHS) dan berdasarkan laporan kematian selama periode tahun 1998 - 2002.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 59

BAB 4 Sektor Kesehatan

Angka kematian balita di Indonesia telah menurun, tetapi angka itu masih tinggi dibandingkan dengan sebagian negara di Asia, di rasio angka 46 per 1.000. Selanjutnya, angka kematian balita pada penduduk miskin hampir empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian balita pada penduduk kaya.

Diagram 4.1 Perbandingan regional antara angka kematian bayi dan kematian balita, 2004

12 18,226 28,7 34,7

23,6

61,6

95

39,9

66,7

124,4

85,2

45,7

14,1

3121,2

0

20

40

60

80

100

120

140

Sri Lanka Thailand China Filiphina Indonesia Vietnam India Kamboja

Angka kematian, bayi (per 1,000 kelahiran hidup) Angka Kematian, Balita (per 1,000)

Source: WDI, DHS and UNDP.

Kotak 4.2 Kembalinya kasus polio di Indonesia pada 2005

Pada bulan Maret 2005, seorang bayi berumur 20 bulan dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tiba-tiba lumpuh sebagai akibat dari infeksi virus polio. Sejak Maret 2005, sejumlah 303 anak-anak telah lumpuh akibat penyebaran virus polio di Indonesia. Berdasarkan data statistik, daerah cakupan imunisasi untuk bayi masih tetap tinggi, tetapi hal ini telah menutup kantong-kantong yang memiliki daerah cakupan yang rendah. Akan tetapi, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa angka persentase imunisasi jauh lebih rendah daripada yang dilaporkan dalam data statistik Dinas Kesehatan. Penurunan secara umum dari daerah cakupan imunisasi (termasuk polio) sebagai akibat dari pelaksanaan sistem desentralisasi merupakan penyebab utama dari kembalinya kasus polio di Indonesia.

Tanggapan: Dua kampanye vaksinasi dan tiga putaran Hari Imunisasi Nasional (NID) telah dimulai pada bulan Mei 2005. Putaran terakhir dilaksanakan pada November 2005. Karena juga terdeteksi virus ganas yang baru pada waktu itu, program imunisasi khusus dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 2006 di 57 kabupaten/kota, dengan target sebanyak 4,5 juta anak balita, program imunisasi keempat dan lima dilaksanakan pada bulan Februari dan April 2006.

Tantangan bagi Pemerintah:1. Meningkatkan dan mempertahankan daerah cakupan imunisasi secara umum dan melakukan observasi mengenai

indikator utama penyebab polio.2. Meningkatkan kecermatan data statistik untuk mencerminkan daerah cakupan yang sebenarnya sehingga daerah-

daerah yang memerlukan upaya lebih keras dapat diidentifikasi.

Source: Unicef, 2005.

Data nasional menutupi keragaman rasio angka hasil pelayanan kesehatan yang tersebar di setiap daerah. Misalnya, penduduk miskin di Provinsi Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat memiliki angka kematian pasca persalinan (post-neonatal) yang besarnya lima kali lebih tinggi daripada provinsi-provinsi yang paling berhasil di Indonesia. Ketidakseimbangan rasio angka kematian balita serupa juga terjadi di beberapa wilayah. Sebagian besar provinsi menunjukkan angka yang lebih rendah, atau hanya sedikit lebih tinggi dari 40 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran, hanya sembilan provinsi yang memiliki tingkat di atas 60. Bahkan tingginya angka kematian balita untuk Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo mencapai sekitar 90 sampai 100 (Diagram 4.2).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 60

BAB 4 Sektor Kesehatan

Diagram 4.2 Angka kematian bayi dan kematian balita berdasarkan provinsi, 2002-03

0

20

40

60

80

100

120

ilaBygoY

kar a

a t

aluS

swe

i Utar

a

KDaI J

aktr a

Jawa T

engah

kgnaB

a

tileB

gnu

milaK

tnan Te

ngah

a

uSm

tera S

elatan

a Jawa B

arat

aJm

ib

milaK

tnan Ti

mur

a Jawa T

imur

tnaB

ne

milaK

tnn Se

latan

aa

umS

tera U

tara

aSu

mate

ra Bara

tiR

ua

Kmila

tnan Bara

t

a ma

g

L

nup kgneB

lu u

aluSw

sei T

engah

aluS

swe

i Utar

a

raggneT asuN

a Tim

ur

aluSw

si Te

nggara

e

tnoroG

la o

raggneT asuN

a Bara

t

Kematian Bayi Kematian Balita

Sumber: 2002-03, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia.

Selama lebih dari satu dasawarsa, kasus-kasus penyakit yang memberatkan masyarakat telah bergeser, yang menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami masa transisi epidemiologis. Sebagian besar penyakit menular adalah penyakit-penyakit seperti tuberkulosis, infeksi akut saluran pernafasan, malaria, dan diare. Namun demikian, penyakit tidak menular, terutama penyakit jantung kardiovaskuler, secara perlahan menggantikan posisi penyakit menular ‘tradisional’ sebagai penyebab kematian terbesar saat ini. Antara tahun 1992 dan 2001, total kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung kardiovaskuler telah meningkat sebesar 10 persen dari 16 menjadi 26,4 persen. Infeksi akut saluran pernafasan dan TBC merupakan penyebab kematian terbesar berikutnya (masing-masing 15 dan 11 persen) (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional dan Survei Kesehatan Nasional, 1992, 1995, 2001). Indonesia sedang menghadapi kasus-kasus penyakit berat yang telah meningkat dua kali lipat, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan usia tua, sehingga akan berpengaruh terhadap kuantitas dan jenis layanan kesehatan yang diperlukan di masa depan. Di samping itu, Indonesia juga sedang menghadapi munculnya epidemi ‘baru’ dengan munculnya kasus-kasus penyakit seperti flu burung dan HIV/AIDS. Epidemi HIV/AIDS kini sedang berada di persimpangan jalan seiring dengan meningkatnya pemerataan berjangkitnya epidemi ini di antara kelompok berisiko tinggi (mis., pekerja seks dan pengguna narkoba suntik) dan populasi di Papua, sementara upaya untuk mencegah penularan penyakit ini masih sangat terbatas. Sehubungan dengan kasus flu burung, data yang ada menunjukkan peningkatan jumlah kasus dan korban. Oleh karena itu, upaya penanganan dan pencegahan sebaiknya ditingkatkan secara terpadu dan terkoordinir. Secara keseluruhan, epidemi baru ini merupakan tantangan baru pada sektor kesehatan terkait dengan kegiatan observasi penyakit, kontrol, dan imunisasi.

Pengeluaran untuk Sektor Kesehatan di Indonesia

Pengeluaran publik pada sektor kesehatan telah meningkat cukuo besar sejak tahun 2001,62 dari Rp 9,3 triliun menjadi Rp 16,7 triliun pada tahun 2004, yang merupakan peningkatan nyata sebesar 44 persen (Tabel 4.2). Selanjutnya, alokasi anggaran untuk tahun 2006 menunjukkan kenaikan sebesar 25 persen dibandingkan pengeluaran pada tahun 2005, ketika pengeluaran saat itu sekitar Rp 22 triliun. Dibandingkan dengan jumlah total pengeluaran secara nasional, maka pengeluaran untuk sektor kesehatan juga meningkat dari 2,6 persen pada tahun 2001 menjadi 3,8 persen pada tahun 2004. Akan tetapi, jika dilihat dari angka persentase dari PDB maka pengeluaran di sektor kesehatan masih rendah karena hanya meningkat dari 0,55 persen menjadi 0,73 persen pada periode yang sama.

62 Sebelum krisis, pengeluaran untuk sektor kesehatan tidak mengalami peningkatan yang serupa dan dari tahun 1994 sampai tahun 2001 sektor ini hanya tumbuh rata-rata 5 persen per tahun. Tren pengeluaran yang kita lihat sejak 2001 masih merupakan fenomena baru.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 61

BAB 4 Sektor Kesehatan

Tabel 4.2 Tren dalam pengeluaran di sektor kesehatan di, 2001-07

(Rp triliun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

Pengeluaran nominal tingkat nasional sektor kesehatan 9.3 10.6 16.0 16.7 22.0 31.5 38.6Pengeluaran riil tingkat nasional sektor kesehatan (2001=100) 9.3 9.8 13.4 13.2 15.6 19.8 22.8 Tingkat pertumbuhan tahunan pengeluaran riil nasional sektor kesehatan (%) 28.1 2.7 41.4 -1.8 19.4 26.7 15.4% pengeluaran sektor kesehatan dari Total Pengeluaran Nasional 2.6 3.1 4.0 3.8 4.1 4.5 4.9% PDB pengeluaran nasional sektor kesehatan 0.55 0.57 0.78 0.73 0.81 0.95 1.09Nominal pengeluaran keseluruhan secara nasional 353.6 337.6 405.4 445.3 535.8 698.2 785.4Keseluruhan pengeluaran riil tingkat nasional (2001=100) 353.6 301.8 339.9 351.6 382.9 442.4 468.3Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD.Catatan: * Angka-angka anggaran untuk 2006 dan ** perkiraan untuk 2007.

Diagram 4.3 Tren pengeluaran sektor kesehatan, 1997-2007

-

5

10

15

20

25

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

p tr

iliun

; har

ga k

onst

an d

i tah

un 2

001

R

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

% d

ari P

DB

Pengeluaran Kesehatan Nasional Riil (100=2001) Pengeluaran Kesehatan Nasional sebagai % dari PDB

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan data dari DepKeu,

Perbandingan wilayah negara untuk tingkat pengeluaran di sektor kesehatan menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran Indonesia masih jauh di bawah tingkat pengeluaran negara-negara tetangga di Asia Timur, dengan tingkat kurang dari 1 persen dari PDB dan hanya 4,5 persen dari jumlah total pengeluaran untuk sektor kesehatan. Negara lain, bahkan negara dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah seperti Filipina mengeluarkan sekitar 3 persen dari PDB mereka untuk kesehatan publik. Terkait dengan pengeluaran untuk sektor ini sebagai bagian dari total pengeluaran, sekali lagi Indonesia tertinggal di belakang Filipina, di mana hampir sebanyak 6 persen dari total sumber daya pemerintah dikeluarkan untuk sektor kesehatan. Angka-angka ini akan lebih mengejutkan lagi ketika memperhitungkan angka kematian bayi. Indonesia memiliki angka kematian bayi yang lebih tinggi untuk per 1.000 kelahiran, namun pengeluaran sangat kecil dibandingkan dengan negara yang memiliki angka kematian lebih rendah.63 Tingkat pengeluaran untuk kesehatan dan indikator kesehatan menunjukkan bahwa Indonesia belum memberikan prioritas pengeluaran untuk sektor ini, atau belum memperoleh hasil yang dibutuhkan untuk mencapai target MDG.

63 Banyak buku maupun jurnal belakangan ini, meskipun masih sangat terbatas, yang menunjukkan bukti-bukti adanya korelasi positif antara pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan dan hasil pelayanan kesehatan seperti IMR dan MMR (lihat Gottret, Gai dan Bokhari, 2006). Akan tetapi, sampai dengan saat ini hubungan itu tidak terbukti dan hilangnya hubungan itu dapat dijelaskan oleh adanya tiga faktor: (i) peningkatan pengeluaran publik untuk sektor kesehatan mungkin akan menyebabkan penurunan tingkat pengeluaran swasta untuk sektor ini (sebuah keluarga mungkin akan mengalihkan dana mereka untuk pengeluaran lain daripada untuk kesehatan jika pemerintah telah menyediakan layanan kesehatan dasar yang bagus); (ii) peningkatan pengeluaran pemerintah dapat ditujukan pada upaya margin intensif daripada margin ekstensif; dan (iii) bahkan jika dana tambahan digunakan untuk layanan kesehatan (penyediaan layanan, staf, dan barang keperluan yang lebih banyak), jika layanan pelengkap (seperti jalan raya) tidak disediakan maka dampak yang timbul mungkin akan sangat kecil bahkan tidak ada sama sekali). (lihat Musgrove 1996 untuk tinjauan sejumlah bukti; Wagstaff, 2002, untuk dampak dari layanan pelengkap; Jalal dan Ravallion, 2003, untuk penggunaan peningkatan pengeluaran dalam sektor kesehatan; dan Anand dan Ravallion, 1993; Bidani dan Ravallion, 1997, Filmer dan Pritchett, 1999; dan Wagstaff, 2004.)

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 62

BAB 4 Sektor Kesehatan

Diagram 4.4 Perbandingan antar negara untuk pengeluaran kesehatan, 2004 (anggaran 2006) dan IMR

0 .7 3 0 .9 5

3 .23 .8 4 .5

5 .9

3 .83 .3

6 .9

13 .634 .6

28 .7

10 .2

18 .2

0

2

4

6

8

1 0

1 2

1 4

1 6

I ndon es i a 2004 I ndones i a 2006(anggaran)

Filliphina Thailan d M al a y s i a0

5

1 0

1 5

2 0

2 5

3 0

3 5

4 0

Pengeluaran Kesehatan Nasional sebagai persen dari PDBP e n g e l u a r a n K e s e h a t a n S e c a r a U m u m s e b a g a i % d a r i T o t a l P e n g e l u a r a n P e m e r i n t a h

% d

ari P

enge

luar

an N

asio

nal

Angk

a Ke

mat

ian

Bayi

Sumber: Indikator Pembangunan Dunia 2006 dan Perhitungan staf Bank Dunia.

Komposisi ekonomi dan tingkat pemerintahan

Peningkatan pengeluaran publik secara keseluruhan untuk sektor kesehatan yang terjadi akhir-akhir ini didorong secara ekslusif oleh pengeluaran pembangunan. Pengeluaran di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota tumbuh masing-masing sebesar 42, 36, dan 46 persen. Pengeluaran pembangunan meningkat tajam setelah tahun 2001, sementara pengeluaran rutin secara absolut tetap sama; penurunan dalam jumlah kecil di tingkat pemerintah pusat dan provinsi diimbangi dengan kenaikan di tingkat kabupaten/kota dan pengeluaran rutin bahkan menurun dari total pengeluaran untuk setiap tingkat pemerintahan (Tabel 4.3). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kenaikan pengeluaran untuk sektor kesehatan semata-mata disebabkan oleh kenaikan dalam pengeluaran pembangunan.

Tabel 4.3 Tingkat dan proporsi pengeluaran sektor kesehatan per tingkat pemerintahan

(Rp triliun) 2001 % 2002 % 2003 % 2004 % 2005* % 2006* %

Pemerintah Pusat 2.8 34 2.3 27 4.3 36 4.0 33 5.7 41 7.3 41Pembangunan 2.1 74 2.0 84 4.0 92 3.5 89 -- -- -- --Rutin 0.7 26 0.4 16 0.3 8 0.4 11 -- -- -- -- Provinsi 1.6 19 1.9 22 2.1 18 2.1 18 2.3 16 2.8 16Pembangunan 0.5 33 0.7 39 1.1 52 1.2 58 -- -- -- --Rutin 1.1 67 1.2 61 1.0 48 0.9 42 -- -- -- -- Kabupaten/kota 3.9 47 4.3 50 5.6 47 5.7 49 6.1 43 7.6 43Pembangunan 1.1 28 1.1 25 2.2 39 2.2 39 -- -- -- --Rutin 2.8 72 3.2 75 3.4 61 3.5 61 -- -- -- -- Total Pengeluaran di tingkat nasional 8.3 100 8.5 100 12.0 100 11.8 100 14.1 100 17.7 100Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.Catatan: * Pengeluaran provinsi dan Kabupaten/kota berdasarkan transfer dana pendapatan, juga diprediksi berdasarkan pengeluaran tahun sebelumnya. Harga konstan tahun 2004.

Pada tahun 2004, sebagian besar sekitar 70 persen pengeluaran untuk sektor kesehatan dilakukan di daerah dan kebanyakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Di tingkat kabupaten/kota pengeluaran berjumlah 73 persen dari total pengeluaran, sementara pengeluaran untuk tingkat provinsi hanya berjumlah 27 persen. Pengeluaran di setiap tingkat pemerintahan yang berbeda pada dasarnya tidak mengalami perubahan sejak pelaksanaan sistem desentralisasi. Pemerintah kabupaten/kota menggunakan sekitar setengah dari seluruh pengeluaran untuk sektor publik, sementara sepertiga digunakan oleh pemerintah pusat dan sisanya oleh pemerintah provinsi (lihat Tabel 4.3dan Diagram 4.5).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 63

BAB 4 Sektor Kesehatan

Diagram 4.5 Tren pengeluaran sektor kesehatan berdasarkan tingkat pemerintahan

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007*

pRm

iliar

Pengeluaran KesehatanPemerintah Pusat

Pengeluaran KesehatanPemerintah Daerah

Pengeluaran Kesehatan Pemerintah Provinsi

Meskipun pemerintah kabupaten/kota mengelola sekitar setengah dari total anggaran, pengeluaran ini merupakan pengeluaran rutin yang tidak dapat digunakan sesukanya (non-discretionary). Selanjutnya, walaupun pelaksanaan sistem desentralisasi secara formal memindahkan tanggung jawab kesehatan dari pemerintah pusat ke daerah, namun sebagian besar anggaran pembangunan masih secara langsung digunakan oleh pemerintah pusat. Sementara itu, sejak tahun 2001, pemerintah kabupaten/kota hanya memperoleh sekitar sepertiganya (Tabel 4.3). Hal ini tampaknya cukup mengejutkan karena pemerintah daerah hanya memiliki hak yang sangat kecil untuk mengelola dana kesehatan warganya.

Tabel 4.4 Pengeluaran sektor kesehatan – pengeluaran pembangunan vs. pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan

2001 (%) 2002 (%) 2003 (%) 2004 (%)

Total Pengeluaran pembangunan (Rp triliun) 3.7 3.8 7.2 7.0

Pemerintah pusat 56 52 55 50

Provinsi 14 20 15 18

Kabupaten/kota 30 29 30 32

Total Pengeluaran rutin (Rp triliun) 4.6 4.7 4.8 4.8

Pusat 16 8 7 9

Provinsi 23 24 21 18

Kabupaten/kota 61 68 72 73

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.

Diagram 4.6 Pengeluaran untuk sektor kesehatan dan penerimaan kabupaten/kota, tahun 2004

12

13

14

15

16

12 13 14 15 16

Peng

elua

ran

Kese

hata

n(o l

,gcp

)

Pendapatan Daerah(l og, pc)

Pengeluaran pemerintah kabupaten/kota di sektor kesehatan tampaknya akan ditentukan oleh total penerimaan, dan bukan oleh kebutuhan di sektor kesehatan. Pelaksanaan sistem desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pengalokasian pengeluaran untuk sektor kesehatan, karena pemerintah kabupaten/kota memiliki peluang untuk menyesuaikan layanan dan pengeluaran agar lebih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan penduduk setempat. Akan tetapi, analisis pola pengeluaran kesehatan antar pemerintah kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan hubungan yang positif antara tingkat penerimaan dan pengeluaran; makin tinggi pendapatan pemerintah kabupaten/kota, makin tinggi pula tingkat pengeluarannya. Hampir tidak ada perbedaan pada tingkat pengeluaran kabupaten/kota di sektor

kesehatan, walaupun terdapat perbedaan yang cukup besar di tingkat provinsi untuk hasil pelayanan kesehatan. Secara teoritis, kabupaten/kota memiliki wewenang untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian pengeluaran di sektor kesehatan. Akan tetapi, kenyataannya lembaga kesehatan dan pemerintah daerah sering menunggu petunjuk dari pemerintah pusat tentang bagaimana mereka semestinya menggunakan berbagai sumber daya yang mereka miliki tersebut.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 64

BAB 4 Sektor Kesehatan

Pengeluaran memang dapat meningkatkan hasil pelayanan kesehatan akan tetapi sama pentingnya adalah untuk memperbaiki kualitas pengambilan kebijakan kesehatan dan lembaga kesehatan. Dalam suatu penelitian yang melibatkan 57 negara, Wagstaff dkk., menyimpulkan bahwa kualitas kebijakan dan lembaga kesehatan yang diukur berdasarkan Indeks Kebijakan Negara dan Penilaian Kelembagaan (Country Policy and Institutional Assessment/CPIA) sangat berpengaruh terhadap dampak peningkatan pengeluaran terhadap hasil pelayanan kesehatan. Untuk negara yang memiliki skor rendah antara 1 atau 2, peningkatan hasil pelayanan kesehatan tidaklah besar. Untuk negara seperti Indonesia dengan skor 3,6, peningkatan anggaran kesehatan sebesar 10 persen dari PDB dapat mengurangi MMR sampai 7 persen, sementara perubahan angka kematian balita, TBC, dan imunisasi tidak akan besar. Dukungan lebih mendalam untuk melakukan perbaikan pada: (1) alokasi pengeluaran; (2) target geografis, proyek, populasi, dan penargetan secara “bottleneck”, dan; (3) akuntabilitas penyedia layanan kesehatan, akan membantu meningkatkan efisiensi pengeluaran, yang merupakan langkah awal bagi pengeluaran kesehatan untuk dapat berdampak positif terhadap hasil pelayanan kesehatan.

Alokasi Ekonomi untuk pengeluaran sektor kesehatan

Sebagian besar pengeluaran rutin di tingkat daerah, terutama pengeluaran untuk gaji pegawai, makin lama akan makin menggeser (crowded out) pengeluaran untuk pengadaan barang, pengeluaran operasional, dan pemeliharaan (Tabel 1.5). Pemerintah kabupaten/kota dan provinsi menggunakan pengeluaran rutin dalam jumlah yang cukup besar untuk gaji pegawai yaitu masing-masing sekitar 82 dan 66 persen, dan sebagian besar dari sisa anggaran dialokasikan untuk pengeluaran pengadaan barang. Akan tetapi, pengeluaran untuk pengadaan barang telah menurun baik secara riil maupun secara nominal. Pengeluaran pemerintah kabupaten/kota untuk pengadaan barang menurun sampai 12 persen, sementara di tingkat provinsi pengeluaran untuk pengadaan barang menurun hampir sepertiganya. Dengan melakukan analisis pengeluaran rutin berdasarkan klasifikasi ekonomi menunjukkan bahwa baik pemerintah kabupaten/kota maupun pemerintah provinsi tidak mengalokasikan jumlah dana yang cukup untuk pengeluaran operasional dan pemeliharaan. Hal ini menggambarkan rendahnya tingkat pemeliharaan dan adanya permasalahan di bidang pengawasan yang memadai, terutama di tingkat masyarakat, tempat dilaksanakannya kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat pencegahan. Walaupun tingkat pengeluaran pemerintah daerah cukup besar untuk sektor kesehatan, sebenarnya ruang gerak fiskalnya sangat sempit dan sebagian besar pengeluaran rutin mereka, yaitu sebesar 82 persen digunakan untuk pengeluaran gaji.

Tabel 4.5 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan

Kabupaten/kota Provinsi

2002 % 2003 % 2004 % 2002 % 2003 % 2004 %

Gaji 3,182 70 3,850 79 4,081 82 847 52 887 61 818 66Barang 779 17 640 13 683 14 515 31 334 23 353 28Kegiatan Operasional dan Pemeliharaan

119 3 116 2 115 2 62 4 64 4 59 5

Perjalanan dinas 28 1 47 1 49 1 8 1 12 1 14 1

Lain-lain 421 9 215 4 56 1 207 13 147 10 5 0

Total Pengeluaran Rutin 4,528 100 4,869 100 4,984 100 1,639 100 1,444 100 1,248 100

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.Catatan: Angka dalam tabel selain persen, dalam Rp miliar. Harga konstan tahun 2004.

Alokasi fungsional terhadap pengeluaran

Berkaitan dengan alokasi fungsional pengeluaran sektor kesehatan, program yang memerlukan bagian terbesar dari anggaran adalah program ‘kesehatan publik’ dan program ‘kesehatan perorangan atau pribadi’. Kedua program ini merupakan program kesehatan utama pemerintah pusat meskipun tidak banyak yang dapat diketahui mengenai program tersebut. Biasanya, program ‘kesehatan publik’ berfokus pada penyediaan pusat kesehatan masyarakat dan klinik yang terkait lainnya, pembangunan gedung Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Puskesmas keliling, dan bidan desa, sementara ‘program kesehatan perorangan’ berfokus pada penyediaan layanan di rumah sakit. Kedua program ini secara bersama-sama mencapai sekitar 50 persen dari program kesehatan pemerintah

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 65

BAB 4 Sektor Kesehatan

pusat. Program penting lainnya terkait dengan manajemen dan administrasi. Program yang sifatnya upaya pencegahan hanya berjumlah sekitar 12 persen dan program kebersihan dan sanitasi hanya sekitar 3,2 persen dari seluruh anggaran. Program gizi dan pasokan obat-obatan hanya mencapai 4 persen dari anggaran kesehatan pemerintah pusat. Sebagian besar dari berbagai program tersebut di atas diklasifikasikan sebagai intervensi kesehatan yang bersifat preventif. Anggaran untuk peran pemerintah ini dibedakan dalam tiga kategori utama, yakni: penyembuhan, pencegahan, dan operasional. Sebagian besar peran tersebut merupakan upaya pencegahan, walaupun di dalamnya masih mengandung upaya penyembuhan, mengingat bahwa 20 persen anggaran peran pemerintah yang bersifat upaya penyembuhan sepertinya masih dianggap rendah. Kedua peran pemerintah yang tergolong paling besar ini yang ditujukan pada puskesmas dan rumah sakit tampaknya juga memiliki upaya penyembuhan: seperti yang diuraikan dalam Strategi Pembangunan Pemerintah Jangka Menengah (RPJM 2004-09). Strategi ini memiliki komponen sub-kunci yang terkait dengan pembangunan fasilitas untuk puskesmas, pemeliharaan fasilitas, serta pengadaan instrumen dan kebutuhan sehari-hari kesehatan termasuk obat-obat generik.64

Tabel 4.6 Alokasi fungsional dari anggaran pemerintah pusat untuk kesehatan, 2006

Program (Rp miliar) Curative Pencegahan Operasional Total %

Promosi Kesehatan & Pemberdayaan penduduk -- 132 -- 132 1Kebersihan & Sanitasi -- 433 -- 433 3Kesehatan publik -- 2,465 -- 2,465 18Kesehatan perorangan 2,649 1,697 -- 4,346 32Pencegahan & Pengendalian Penyakit -- 1,620 -- 1,620 12Gizi -- 582 -- 582 4Sumber Daya Kesehatan -- -- 906 906 7Obat-obatan & Suplai Obat -- -- 628 628 5Manajemen & Kebijakan Kesehatan -- -- 1,126 1,126 8Penelitian & Pengembangan -- -- 1,74 174 1Meningkatkan dan Memantau Akuntabilitas -- -- 43 43 0Manajemen Sumber Daya Manusia -- -- 27 27 0Administrasi -- -- 1,026 1,026 8Pelatihan -- -- 15 15 0Total 2,649 6,928 3,946 13,524 100% 20 51 29 100

Sumber: Bappenas, 2006.

Ketidakjelasan dalam penganggaran kesehatan pemerintah pusat menunjukkan perlunya merevisi ulang penganggaran program kesehatan. Agar pemerintah mampu mengalokasikan pengeluaran yang bertujuan kepada pelayanan dan hasil, maka sistem informasi kesehatan sebaiknya direvisi untuk menjamin pelaksanaan pemantauan dan evaluasi yang memadai. Namun demikian, anggaran juga memerlukan informasi yang lebih lengkap untuk melakukan analisis tentang perlunya program kesehatan tersebut di atas. Saat ini program-program tersebut di atas dijelaskan hanya secara umum saja, dengan memberikan sedikit peluang untuk melakukan re-alokasi pengeluaran atau untuk melakukan perubahan terhadap kategori peran pemerintah agar menjadi lebih efisien lagi.

64 Lihat Lampiran Bagian F1 mengenai uraian program kesehatan Pemerintah Pusat untuk ‘Kesehatan Masyarakat’ dan ‘Layanan Kesehatan Pribadi’.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 66

BAB 4 Sektor Kesehatan

Pengeluaran rumah tangga untuk layanan kesehatan dan asuransi

Diagram 4.7 Komposisi total pengeluaran sektor kesehatan

15%

8%

22%55%

Pusat Provinsi Daerah Rumah Tangga

Sumber: Data dari DepKeu dan Susenas 2004,

Pengeluaran rumah tangga merupakan komponen terbesar dari total pengeluaran kesehatan. Pada tahun 2004, rumah tangga Indonesia mengeluarkan sekitar Rp 20 triliun untuk kesehatan, yang memberikan kontribusi sebesar 55 persen dari total pengeluaran kesehatan (Diagram 4.7). Jumlah ini masih sebanding dengan angka persentase rata-rata di negara-negara berpendapatan menengah-rendah (50 persen) (World Bank, 2005). Antara tahun 2003 dan 2005, biaya kesehatan rumah tangga meningkat menjadi 12 persen, sedikit lebih besar dari peningkatan pengeluaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (8 persen) selama periode yang sama.

Di Indonesia, saat ini 3,5 persen dari total pengeluaran rumah tangga digunakan untuk kesehatan, meskipun demikian telah terjadi kecenderungan yang menurun (Diagram 4.8). Selama empat tahun belakangan ini, pengeluaran rumah tangga mengalami penurunan secara signifikan sekitar 6 persen dari total pengeluaran rumah tangga yang saat ini berjumlah 3,5 persen. Penurunan ini terjadi akibat adanya penurunan absolut dalam pengeluaran kesehatan per kapita seiring dengan peningkatan total pengeluaran rumah tangga per kapita, dan bukan disebabkan oleh peningkatan pengeluaran pemerintah.

Diagram 4.8 Tren pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan

10,164 8,186 6,299 9,045

186,930 191,212206,267

257,967

7,724

173,147

5.9%

4.4%

3.3%3.7% 3.5%

0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

2001 2002 2003 2004 20050.0%

1.0%

2.0%

3.0%

4.0%

5.0%

6.0%

7.0%

Pengeluaran untuk Kesehatan SwastaTotal Pengeluaran SwastaPengeluaran Kesehatan sebagai bagian dari Keseluruhan Pengeluaran

Sumber: WHO: Harimurti, Aguilar-Rivera, Xu – Susenas 2005.

Penurunan pengeluaran sektor kesehatan sebagian disebabkan karena menurunnya penggunaan layanan tenaga kesehatan profesional. Antara tahun 1997 dan 2005, penggunaan layanan tenaga kesehatan professional menurun dari sekitar 53 persen menjadi sekitar 34 persen, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang melakukan pengobatan sendiri. Walaupun pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan meningkat, nilai persentase penggunaan layanan kesehatan masih di bawah nilai persentase sebelum krisis (Diagram 4.9).

Diagram 4.9 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan

52,7 50,634,2 34,4

26,7 32,149,9 50,9

20,6 17,3 15,9 14,7

0

20

40

60

80

100

1993 1997 2001 2005

Fasilitas kunjungan, apapun self treatment only Tanpa Perawatan

%

Sumber: Susenas 2003, 2004, 2005.

Meskipun sekitar 75 persen pendanaan dari sektor swasta/perusahaan dikeluarkan oleh para karyawannya (yang merupakan sektor rumah tangga), sektor swasta/perusahaan ini merupakan sumber pengeluaran terbesar kedua. Pengeluaran dari sektor swasta/perusahaan hampir berjumlah 20 persen bersumber dari pengeluaran kesehatan sektor rumah tangga melalui pembayaran kembali biaya kesehatan karyawan maupun pembayaran langsung untuk penyediaan layanan kesehatan bagi karyawan mereka. Pembayaran di muka oleh sektor rumah tangga mencapai 5 persen (Dana Kesehatan untuk Masyarakat Miskin, 2002). Pengeluaran tunai langsung ini dapat meningkatkan kerentanan

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 67

BAB 4 Sektor Kesehatan

ekonomi sektor rumah tangga dan individu yang akhirnya dapat menyebabkan mereka terdorong ke bawah garis kemiskinan, terutama ketika mereka mendapat musibah yang memerlukan pengeluaran kesehatan yang besar. Pembayaran tunai langsung ini meningkat dua kali lipat antara tahun 1999 dan 2001 untuk antar kelompok berdasarkan pendapatan dengan perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan yang cukup lebar pun terjadi di tingkat provinsi. Persentase sektor rumah tangga yang menghadapi lonjakan pengeluaran kesehatan telah meningkat dua kali lipat; dari 1,5 pada tahun 1999 menjadi 3,6 persen pada tahun 2001 (Data Susenas). Individu atau karyawan (sektor rumah tangga) yang serumah dengan anak-anak dan manula memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap lonjakan pengeluaran apalagi jika mereka tidak memiliki kartu sehat (penduduk miskin) atau tidak ada program asuransi swasta yang menawarkan mereka perlindungan kesehatan semacam itu (Harimurti, Aguilar-Rivera, Xu).

Partisipasi masyarakat untuk mengkituti asuransi kesehatan masih rendah di Indonesia. Antara tahun 2003 dan 2005, partisipasi masyarakat dalam program asuransi kesehatan sedikit menurun dari 21,3 persen menjadi 19,8 persen dari total jumlah penduduk, sehingga sekitar 80 persen penduduk tidak memiliki asuransi (Diagram 4.10). Di kedua tahun tersebut, program Kartu Sehat mendapat porsi terbesar dalam pemberian jaminan bagi seluruh peserta asuransi kesehatan. Asuransi Kesehatan (ASKES) sedikit menurun pada tahun 2005, seperti hal-nya juga terjadi penurunan pada asuransi pribadi. Untuk akses kepemilikan asuransi kesehatan hanya terdapat sedikit ketidakmerataan (Diagram 4.11). Penyebabnya adalah kepemilikan Kartu Sehat yang berpihak pada penduduk miskin sehingga mampu menurunkan ketidakmerataan pada akses kepemilikan asuransi yang lain, seperti asuransi swasta, Jamsostek, dan Askes. Diagram 4.10 Persentase partisipasi dalam asuransi kesehatan

Diagram 4.11 Partisipasi asuransi menurut kuintil, 2005

8.6 8.55.1

2.5

3.5 3.9

3.0

2.7 2.7

6.0 5.7

8.5

0.5 0.8

0.7

0

5

10

15

20

25

2003 2004 2005

ASKES Jamsostek Asuransi pribadi, dll JPKM Kartu Sehat

%

4.3 5.4 5.1 5.2 5.3

1.32.3 2.9 3.2 2.91.8

2.8 3.3 3.7 3.4

0.7

0.60.7

0.6 0.7

11.58.3

8.1 7.1 7.7

0

5

10

15

20

25

Termiskin 2 3 4 Terkaya

ASKES Jamsostek Pribadi, dll JPKM Kartu Sehat

%

Sumber: Susenas 2003, 2004, 2005. Sumber: Susenas 2005.

Dengan adanya berbagai mekanisme asuransi kesehatan maka risiko atas adanya lonjakan pengeluaran kesehatan (catastrophic expenditure) dapat dikurangi, tetapi hal ini bukan berarti akan memberikan perlindungan yang memadai. Rumah tangga yang memiliki satu atau dua jenis asuransi kesehatan sosial (Askes dan Jamsostek) dan bagi mereka yang mendapat perlindungan asuransi dari perusahaan tempat mereka bekerja serta bagi mereka yang memperoleh manfaat tertentu (dari asuransi pribadi) akan menghadapi risiko yang lebih kecil. Meskipun demikian, baik program Kartu Sehat maupun dana kesehatan, demikian juga dengan Jaminan Perlindungan Kesehatan Masyarakat (JPKM) masih belum mampu mengurangi risiko atas adanya lonjakan pengeluaran kesehatan akibat datangnya musibah. Hal ini sebagian dapat dijelaskan karena adanya keterbatasan manfaat yang ditawarkan oleh program perlindungan kesehatan semacam ini dan oleh adanya kenyataan bahwa rata-rata orang yang memiliki asuransi JPKM hanyalah sebesar 21 persen dan sekitar 27 persen dari mereka yang dilindungi oleh program Kartu Sehat tersebut merupakan penduduk miskin (Susenas 2005).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 68

BAB 4 Sektor Kesehatan

Penyediaan layanan kesehatan oleh sektor swasta

Meskipun berhasil dicapai kemajuan dalam perluasan sistem layanan kesehatan publik, namun akses dan kualitas layanan kesehatan masih tetap rendah dan penduduk miskin pada khususnya masih sangat bergantung pada penyediaan layanan kesehatan dari sektor swasta. Penggunaan fasilitas layanan kesehatan publik masih rendah; ketika orang berusaha mendapatkan layanan kesehatan, kurang dari setengah dari penduduk Indonesia menerima perawatan pada fasilitas kesehatan masyarakat. Alasan-alasan untuk tidak menggunakan fasilitas kesehatan publik karena masih rendahnya akses ke tempat layanan kesehatan, kualitas layanan yang buruk, dan jam kerja yang pendek. Tingkat pengeluaran pemerintah yang rendah untuk pemberian layanan kesehatan merupakan akar semua permasalahan ini. Pada tahun 1990-an dan terutama setelah krisis ekonomi, pemanfaatan layanan kesehatan sektor swasta, walaupun layanan kesehatan publik tersedia luas. Sementara kecenderungan kini telah menunjukkan sebaliknya, terjadi peningkatan dalam pemanfaatan layanan publik, tingkat ini masih rendah dibandingkan dengan tingkat sebelum krisis (World Bank 2006, makalah yang akan diterbitkan mendatang tentang layanan kesehatan oleh swasta, Susenas data). Bahkan penduduk termiskin sekalipun lebih suka menggunakan jasa dari sektor swasta dibandingkan dengan layanan puskesmas yang disubsidi pemerintah. Pada saat ini, hanya sekitar 45 persen penduduk yang ingin mendapatkan layanan kesehatan publik, yang paling sering digunakan adalah layanan kesehatan dasar, dan hanya kadangkala memanfaatkan rumah sakit pemerintah (World Bank, 2006h).

Diagram 4.12 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan publik dan swasta

Diagram 4.13 Jumlah rumah sakit berdasarkan jenis/pemilik

62,1 73,7 64,5

11,711,9 14,7

98,9 99,1 93,6

8,3 3,5 4,7

0

20

40

60

80

100

2003 2004 2005

)001

rep(

Pem

anfa

atan

Tah

unan

Dasar Publik Rumah Sakit Umum Swasta Tradisional

%

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Jum

lah

Rum

ah S

akit

Departemen Kesehatan Provinsi/Kabupaten/KotaTentara/Polisi BUMN/Departemen la innyaSwasta

Sumber: Susenas 2003, 2004, 2005.Catatan: Tingkat penggunaan layanan per tahun per 100 dan total pengeluaran yang dilaporkan.

Sumber: DepKes, 2004

Diagram 4.14 Layanan spesialisi vs. umum di

Rumah sakit pemerintah dan swasta, 2003

534432

83185

0

100

200

300

400

500

600

700

Rumah Sakit Pemerintah Rumah Sakit Swasta

Jum

lah

Rum

ah S

akit

Pelayanan Umum yang Tersedia Pelayanan Khusus yang Tersedia

Sumber: MoH, 2004.

Lebih dari setengah dari jumlah rumah sakit di Indonesia adalah milik swasta dan kepemilikan ini tidak berubah secara signifikan selama ini. Sekitar 51 persen dari seluruh rumah sakit di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai rumah sakit umum, bahkan semenjak pelaksanaan sistem desentralisasi, sebagian dari rumah sakit itu menjadi milik pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dan ada juga yang menjadi milik TNI dan Polri, BUMN, dan Departemen (Diagram 4.13). Dari sekian rumah sakit ‘pemerintah’ tersebut, sebagian besar menyediakan layanan kesehatan umum dan hanya sekitar 30 persen dari seluruh layanan kesehatan spesialis dapat dilakukan di rumah sakit umum seperti ini. Untuk pelayanan kesehatan yang khusus, masyarakat perlu menggunakan jasa penyedia layanan kesehatan sektor swasta (Diagram 4.14).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 69

BAB 4 Sektor Kesehatan

Saat ini, sebagian besar petugas layanan kesehatan di Indonesia terlibat dalam pemberian layanan di sektor publik dan swasta. Pada tahun 1980-an, ketika gaji yang diberikan pemerintah kepada tenaga kesehatan masih relatif rendah ternyata mempersulit mereka untuk menjalankan profesinya dengan baik. Sementara itu, pemerintah bukannya membatasi pengangkatan pegawai baru dan menaikkan gaji, melainkan membiarkan tenaga kesehatan (dokter) untuk membuka tempat praktik di luar jam kerja biasa. Posisi ganda dalam lembaga penyedia layanan kesehatan publik menciptakan insentif yang rendah dan menyebabkan rendahnya kualitas layanan dalam sistem kesehatan publik (semata-mata akibat dari berkurangnya jam kerja para dokter di rumah sakit pemerintah). Hal ini juga menyebabkan berkembangnya penyediaan layanan kesehatan oleh sektor swasta dengan peningkatan jam kerja dan pelayanan oleh tenaga dokter dan paramedis yang terlatih (Diagram 4.15). Dapat kita katakan bahwa kesenjangan layanan di mana layanan publik yang diberikan pemerintah tidak memadai baik kuantitas maupun kualitas untuk tingkat tertentu telah diisi oleh sektor swasta. Dalam situasi ini, pihak penyedia dari sektor swasta benar-benar merupakan bagian dari sistem pemberian layanan kesehatan di Indonesia dan pelatihan, kontrak, dan layanan pemantauan mereka perlu dijadikan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan pemerintah di sektor kesehatan (World Bank, 2006f ).

Diagram 4.15 Puskesmas dengan sistem praktik ganda

Kepala Puskesmas yang Membuka Praktik Swasta diluar Puskesmas

Tidak19%

Data tidak Tersedia6%

Ya75%

0

12

3

4

56

7

8

Mean # Jam/haribekerja di Puskesmas

Mean # Jam/haribekerja di Luar Puskesmas

Ya

Tidak

Sumber: GDS 1+ survei Puskesmas.

Pemerataan: Kesenjangan dalam Pengeluaran Publik, Manfaat dan Penggunaan Layanan Kesehatan

Kesenjangan dalam pengeluaran untuk sektor publik

Perbedaan dalam pengeluaran per kapita untuk sektor publik di daerah sangat tinggi, yang mencerminkan disparitas dan ketidaksetaraan di tingkat daerah. Rata-rata tingkat pengeluaran publik per kapita untuk sektor kesehatan hampir sama di setiap provinsi, kecuali untuk Provinsi Papua, Gorontalo, Kalimantan Timur. Akan tetapi, disparitas antar kabupaten/kota dalam satu provinsi bahkan lebih biasa lagi, karena terjadi banyak variasi dalam nilai rata-rata.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 70

BAB 4 Sektor Kesehatan

Diagram 4.16 Pengeluaran publik per kapita untuk kesehatan berdasarkan provinsi, jumlah maksimum, minimum, dan rata-rata

0

50

100

150

200

250

300

350

rat

U uk

ula

Ma

net n

a B

g nu p

m aL

arag

gne T

ise

w alu

S

t ara

B a

waJ

a ra t

U ise

walu

S

rataB

ara

ggne

T a s

uN

umi

T a

w aJ

r

nat a

l eS

a rta

muS

agne

T a

waJ

h

t ar a

B n a

tna

m i la K

luk g

neB

u

atra

kay g

o Y

g nuti

l eB

akg n

a B

n ata

leS i

s ew a

luS

mala

s sur

aD

h ec A

eor

ggna

N

rat

U ar

t amu

Sa

i bm a

J

tanal

eS n

atn a

mi la K

u aiR

uku l

aM

r umi

T ar

agg n

e T a

suN

i la B

a gne

T is e

w alu

Sh

a ra B

art

amu

St

agne

T na

tna

mila K

h

a up a

P

lat n

oro

Go

rumi

T na

tna

m ilaK

ribu

pR

Maksimum Minimum Mean

Sumber: Susenas, 2004.

Di tingkat kabupaten/kota ditemui kesenjangan yang sangat besar dalam pengeluaran publik, yang terutama didorong oleh pengeluaran pemerintah pusat yang ditargetkan secara regresif dan tidak terkonsentrasi.65 Pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor ini dalam bentuk pengeluaran yang tidak terpusat tidaklah efektif dalam rangka pencapaian target untuk kabupaten/kota yang lebih miskin. Hal ini penting untuk diperhatikan terutama karena besarnya pengalihan dana publik hampir mencapai setengah dari pengeluaran pemerintah pusat untuk pembangunan dan oleh karena itu pengeluaran tersebut merupakan sumber daya sangat penting untuk intervensi kebijakan. Selain itu, pada tahun 2004, pengeluaran yang tidak terpusat untuk sektor kesehatan mencapai sekitar 29 persen dari total pengeluaran nasional. Pengeluaran untuk sektor publik melalui anggaran daerah (APDB) tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga lebih tinggi bagi pemerintah daerah yang lebih kaya daripada yang lebih miskin. Hal ini sebagian dapat dijelaskan oleh fakta bahwa pengeluaran ini tidak saja ditentukan oleh alokasi DAU, tetapi juga oleh pendapatan asli daerah, yang jumlahnya cenderung lebih tinggi pada kabupaten/kota yang memiliki tingkat pengeluaran per kapita lebih tinggi. Saat ini kontribusi DAK di tingkat kabupaten/kota tidak digunakan sebagai sarana peningkatan pemberian layanan kesehatan yang berpihak pada masyarakat miskin di kabupaten/kota yang masih tertinggal, seperti yang ditunjukkan oleh respon yang lemah terhadap tingkat pengeluaran per kapita dari DAK atau akses terhadap fasilitas kesehatan (USAID Democratic Reform Support Program, Agustus 2006).

Manfaat pengeluaran untuk sektor publik dan penggunaan layanan

Saat ini, pengeluaran untuk sektor publik secara umum lebih banyak memberikan manfaat bagi kelompok penduduk kaya daripada penduduk miskin melalui subdisi regresif untuk layanan kesehatan sekunder. Manfaat pengeluaran publik untuk layanan kesehatan dasar tidak berpihak pada penduduk miskin tetapi secara netral didistribusikan di antara kuintil pengeluaran. Akan tetapi, pengeluaran untuk layanan kesehatan sekunder sudah tentu tidak berpihak pada penduduk miskin, dan sebagian besar manfaatnya dinikmati oleh kuintil yang lebih kaya. Sementara layanan kesehatan publik yang paling banyak digunakan oleh penduduk miskin adalah fasilitas layanan kesehatan dasar, ternyata Indonesia menggunakan sekitar 40 persen dari sumber daya untuk layanan kesehatan publik mereka untuk pemberian subsidi regresif yang ditargetkan bagi rumah sakit pemerintah (World Bank, 2006g).

65 Lihat Lampiran Gambar F2 pada hubungan antara (1a) Pengeluaran daerah untuk sektor kesehatan, (1b) DAK dan (1c) Pengeluaran yang tidak terpusat untuk sektor kesehatan dan (2) Rata-rata per kapita (mean per kapita) pengeluaran keluarga .

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 71

BAB 4 Sektor Kesehatan

Penduduk miskin memiliki akses yang sangat rendah terhadap rumah sakit pemerintah, sehingga mereka tidak memanfaatkan sebagian besar pengeluaran pemerintah yang disalurkan ke dalam layanan kesehatan sekunder. Dari dana yang digunakan untuk layanan rumah sakit, manfaat yang dinikmati oleh kuintil penduduk paling miskin dari seluruh jumlah penduduk berjumlah sekitar 10 persen, sementara manfaat yang diperoleh oleh kuintil paling kaya sekitar 38 persen. Pengeluaran untuk layanan kesehatan sekunder memiliki tingkat regresif yang tinggi dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas dalam layanan kesehatan ketika Indonesia masih berjuang keras untuk memenuhi sasaran pembangunan jangka menengah dalam sektor kesehatan.

Diagram 4.17 Pemanfaatan layanan kesehatan swasta/publik

Diagram 4.18 Jenis layanan kesehatan

31.0%39.7%

46.2%

53.5%

71.7%

55.5%

0

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

350.000

400.000

1 (Miskin)

2 3 4 5 TOTAL

Peng

elua

ran

Per C

apita

unt

uk S

ekto

r Kes

ehat

an

H

arga

tahu

n 20

03; R

p(

)

Belanja Sektor Swasta Belanja Publik untuk Perawatan di Rumah SakitBelanja Publik untukPerawatan Dasar

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Puskesmas RumahSakit

LayananKesehatan

Dasar

RumahSakit

RumahSakit

1987 1998 2005

Kuintil Termiskin Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil Terkaya

LayananKesehatan

Dasar

Sumber: World Bank, 2006g. Sumber: World Bank, 2006f.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan penggunaan layanan kesehatan oleh penduduk miskin dan pengeluaran mereka untuk sektor kesehatan memiliki dampak yang kecil sejak tahun 1998. Program kesehatan pengganti subsidi BBM (PKPS-BBM) bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap baik layanan kesehatan dasar maupun sekunder bagi penduduk miskin dengan sistem target. Program ini, jika ditargetkan dan dilaksanakan secara efektif, dapat merupakan kunci utama dalam perluasan layanan kesehatan untuk penduduk miskin (lihat Kotak 4.3 di bawah ini tentang PKPS-BBM). Namun demikian, bagi penduduk miskin agar dapat menggunakan fasilitas layanan kesehatan swasta melalui program ini, perlu disediakan insentif bagi penyedia layanan ini untuk memungkinkan berpartisipasi.

Diagram 4.19 Pemanfaatan layanan rawat jalan, 2005

0

0,5

1

1,5

2

2,5

Termiskin 2 3 4 Tidak Miskin

Ting

kat P

engg

unaa

n Pe

laya

nan

Raw

at Ja

lan

Tahu

nan

Perawatan Kesehatan Tradisional Swasta

Petugas Kesehatan Swasta

Dokter Swasta

Rumah Sakit Swasta

Rumah Sakit Umum

Puskesmas Publik

Sumber: Susenas, 2005.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 72

BAB 4 Sektor Kesehatan

Ketika penduduk miskin berusaha mendapatkan layanan perawatan kesehatan, sekitar 57 persen dari mereka lebih memilih penyedia layanan swasta. Dari penyedia layanan swasta tersebut, penduduk miskin paling banyak memanfaatkan tenaga paramedis swasta (perawat, bidan, dsb.) dan dokter. Dengan peningkatan pendapatan terjadi pergeseran dari tenaga paramedis ke dokter. Rata-rata rasio ganjil dari partisipasi ini tampak paling tinggi pada penduduk miskin pada pusat layanan kesehatan swasta, dokter swasta, dan tenaga paramedis swasta (perawat, bidan, dsb.). Ini berarti bahwa investasi pada bidang ini, jika tingkat partisipasi tetap pada tingkat kuintil yang sama, akan lebih menguntungkan penduduk miskin daripada kuintil mereka yang lebih kaya.66 Sebaliknya, investasi untuk rumah sakit pemerintah dan swasta merupakan bentuk investasi yang paling berpihak pada penduduk kaya di Indonesia mengingat tingkat penggunaan untuk layanan kesehatan ini (World Bank 2006f ). Investasi ini akan tetap sama kecuali jika investasi ini ditargetkan untuk membuat layanan ini lebih mudah diakses oleh penduduk miskin. Tingkat penggunaan yang tinggi dari penyedia layanan swasta oleh penduduk miskin juga menuntut peningkatan dalam penanganan (regulasi, akreditasi, maupun perizinan) untuk sektor kesehatan publik yang bertujuan untuk mengontrol kualitas dan meningkatkan pemerataan.

Kotak 4.3 Program kesehatan PKPS-BBM 2005

Pada tahun 2005, pemerintah memperkenalkan program yang sangat besar untuk mengatasi dampak negatif dari pengurangan subsidi BBM terhadap penduduk miskin. Hal ini termasuk penyediaan anggaran sebesar Rp 3,875 triliun untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan untuk penduduk miskin. Program ini menyediakan akses cuma-cuma untuk layanan di puskesmas lokal, rawat jalan di rumah sakit, dan rawat inap kelas 3 ward di rumah sakit pada rumah sakit pemerintah dan swasta yang ditentukan sebelumnya. Intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan permintaan terhadap layanan kesehatan dengan menyediakan asuransi kesehatan bagi 60 juta penduduk miskin, dan pada saat yang sama memberikan jaminan adanya layanan kesehatan yang memadai dengan memberikan dukungan kepada Puskesmas, puskesmas keliling, dan layanan posyandu. Sebuah penilaianyang baru-baru ini dilaksanakan menunjukkan beberapa temuan penting sbb:

1. Intervensi dari sisi permintaan terbukti merupakan cara sangat efektif dan efisien untuk meningkatkan penggunaan layanan kesehatan bagi penduduk miskin, dibandingkan dengan intervensi klasik berupa intervensi dari sisi penyediaan.

2. Karena biaya resmi hanya merupakan sebagian dari total yang harus dikeluarkan oleh mereka yang ingin mendapatkan layanan, dengan menghapus biaya resmi ini masih belum dapat menjangkau penduduk miskin yang mungkin tidak mampu untuk menanggung biaya transportasi dan pemeliharaan selanjutnya.

3. Intervensi dari sisi penawaran (terutama penyediaan obat-obatan, fasilitas fisik, dan peralatan medis) berdampak terhadap kualitas layanan yang disediakan oleh Puskesmas.

4. Peningkatan dalam layanan rawat-inap (Sal Kelas 3) menyebabkan peningkatan pendapatan bagi rumah sakit.5. Penentuan targeting bagi penduduk miskin terbukti lebih sulit dari yang diperkirakan, terutama karena mereka yang

tergolong tidak miskin sulit untuk dicegah ikut menikmati manfaat program ini.Bidang-bidang yang perlu ditingkatkan disoroti dalam laporan tersebut termasuk penentuan sasaran, informasi publik sekitar program ini, alokasi dana, sistem penanganan keluhan, pemantauan, dan evaluasi.

Sumber: Rapid Assessment untuk PKPS-BBM 2005 Kesehatan Program, 2006.

Kualitas Layanan Kesehatan dan Tenaga Kerja Kesehatan

Rasio jumlah dokter dan perawat dengan jumlah penduduk di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini. Sementara distribusi tenaga kesehatan di Kamboja per 1.000 orang juga masih rendah, negara seperti Filipina, yang memiliki pendapatan per kapita yang mirip dengan Indonesia, kinerjanya jauh lebih baik dalam indikator ini. Sebagian provinsi hanya memiliki sekitar 13 dokter untuk per 100.000 penduduk, yang menunjukkan bahwa secara rata-rata seorang dokter pemerintah akan memberikan layanan kesehatan kepada sekitar 7.600 orang yang ingin mendapat layanan kesehatan publik.

66 Rata-rata rasio ganjil untuk partisipasi, yang dinyatakan oleh rasio tingkat partisipasi rata-rata kuintil-spesifik, merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk memahami penggunaan layanan kesehatan saat ini dan dengan menyoroti kuintil tersebut maka layanan yang diberikan sepertinya akan memberikan manfaat optimal.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 73

BAB 4 Sektor Kesehatan

Tabel 4.7 Perbandingan internasional tentang angkatan kerja tenaga kesehatan

Dokter Perawat Bidan

Negara JumlahKepadatan

per 1000 penduduk

Tahun Jumlahkepadatan

per 1000 penduduk

Tahun JumlahKepadatan

per 1000 penduduk

Tahun

Indonesia 29,499 130 2003 135,705 620 2003 44,254 200 2003Kamboja 2,047 160 2000 8,085 610 2000 3,040 230 2000Thailand 22,435 370 2000 171,605 282 2000 872 10 2000Viet Nam 42,327 530 2001 44,539 560 2001 14,662 190 2001Filipina 44,287 580 2000 127,595 1,690 2000 33,963 450 2000India 645,825 600 2005 865,135 800 2004 506,924 470 2004Malaysia 16,146 700 2000 31,129 1,350 2000 7,711 340 2000

Sumber: WHR, 2006, Lampiran Tabel 4 ‘Distribusi Global terhadap Tenaga Kerja Kesehatan pada Negara-negara Anggota WHO’

Data rata-rata nasional sangat mengaburkan keragaman dalam kesenjangan antar daerah secara signifikan dalam hal tingkat ketersediaan tenaga kesehatan yang sering tidak didasarkan pada kebutuhan. Penyedia layanan kesehatan untuk tiap tingkat populasi sangat beragam di tiap daerah, hanya enam dokter pemerintah per 100.000 penduduk di Provinsi Lampung dan Jawa Timur, dibandingkan dengan rasio yang tinggi sekitar 30 dan 40 per 100.000 penduduk masing-masing untuk Sulawesi Utara dan Bali. Di banyak provinsi rasio ini meningkat ketika jumlah dokter swasta dimasukkan di dalamnya, namun demikian cakupan wilayah yang harus dilayani masih amat luas, misalnya di Kalimantan Barat, rata-rata seorang dokter harus melayani area seluas lebih kurang 300 km² dan wilayah layanan ini menjadi dua kali lipat bagi penduduk yang hanya mampu memperoleh layanan dari dokter pemerintah. Secara rata-rata terdapat sekitar 36 pekerja kesehatan untuk setiap 100.000 penduduk di Indonesia.

Diagram 4.20 Rasio bidan dan wilayah layanan dalam km2

0

2

4

6

8

10

12

Nan

groe

Ace

h D

arus

sala

m a up aP

lu k gneu

Bukula

M

Nus

a Te

ngga

ra T

imur b

mai

J

la tnor oo

G

laBi ak gn aB

gn upm aL

uJ

m iTa

wr

au aiR

Nus

a Te

ngga

ra B

arat tara B

aw aJ

net na B0

50

100

150

200

250

Rasio bidan Wilayah pelayanan

Mal

uku

Uta

raSu

lawe

si T

engg

ara

Sula

wesi

Ten

gah

Sum

ater

a Ba

rat

Kalim

anta

n Te

ngah

Sula

wesi

Uta

raSu

mat

era

Utar

aKa

liman

tan

Sela

tan

Sum

ater

a Se

lata

n

Kalim

anta

n Ti

mur

Sula

wesi

Sel

atan

Kalim

anta

n Ba

rat

Jawa

Ten

gah

DI Y

ogya

karta

Sumber: Podes, 2005.

Rasio jumlah perawat dan bidan per 100.000 penduduk jauh lebih tinggi daripada rasio jumlah dokter, tetapi sekali lagi masih terdapat isu-isu yang berkaitan dengan distribusi di tingkat daerah. Wilayah layanan kebidanan bagi bidan pemerintah secara umum lebih kecil daripada wilayah kerja dokter (tergantung jumlah tenaga kesehatan swasta di tiap provinsi). Aceh memiliki angka yang tinggi, sekitar 111 bidan untuk setiap 100.000 penduduk, sementara Banten hanya memiliki 20 bidan untuk setiap 100.000 penduduk. Rasio untuk perawat per 100.000 jumlah penduduk masih tinggi, yang menunjukkan bahwa dengan jumlah dokter yang masih rendah, sebagian besar penduduk (terutama penduduk miskin) akan dilayani oleh perawat dan tenaga kesehatan pembantu lainnya dan bukan oleh dokter. Ketika kita melakukan analisis terhadap jumlah tenaga kesehatan yang lebih terlatih dan tenaga spesialisi, seperti dokter gigi pemerintah (angka rata-rata nasional 2,9), apoteker (angka rata-rata nasional 0,6), dan ahli gizi (angka rata-rata nasional 3,2), tingkat kepadatan pada wilayah provinsi terpencil hampir nol.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 74

BAB 4 Sektor Kesehatan

Diagram 4.21 Distribusi dokter dan bidan

3.14.1

3.6

0.60

1

2

3

4

5

bidan urban bidan rural dokterurban

dokter rural

Perbedaan dalam satu wilayah provinsi terutama dapat dilihat dari penyediaan layanan kesehatan yang lebih menguntungkan yaitu daerah perkotaan dibandingkan dengan dan daerah pedesaan dan daerah terpencil, walaupun lebih banyak bidan kini dapat dijumpai di wilayah pedesaan. Insentif sebaiknya ditingkatkan, terutama untuk tenaga kesehatan terlatih untuk mendorong mereka bertugas di wilayah pedesaan dan wilayah terpencil.

Jumlah dokter untuk setiap puskesmas pada dasarnya belum memadai, terutama mengingat rata-rata setiap puskesmas melayani sekitar 23.000 orang (Diagram 4.22). Penduduk miskin, yang sebagian besar bergantung pada Puskesmas seperti ini,

harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk menjangkau fasilitas ini (rata-rata setiap Puskesmas melayani mereka yang menempati wilayah sekitar 242km²). Di Provinsi NAD, misalnya, jarak rata-rata ke satu Puskesmas adalah sekitar 10 km, tetapi di beberapa kabupaten/kota jarak ini mendekati 26 km. Ketersediaan seorang dokter di setiap Puskesmas juga tidak dapat dijamin; secara keseluruhan, 18 dari 33 provinsi Indonesia, secara rata-rata memiliki kurang dari satu dokter untuk setiap Puskesmas. Dengan demikian, masyarakat menjadi tergantung pada fasilitas layanan kesehatan yang tidak lengkap dan pada pos layanan kesehatan terpadu (Posyandu) atau mungkin pada perawat, bidan swasta dan bahkan tenaga kesehatan tradisional.

Diagram 4.22 Jumlah penduduk untuk setiap Puskesmas

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

netnaB

taraB awa J

r um iT a

waJ

hagneT awaJ

g nupmaL

usa

Teng

gara

Bar

atN

il aB

uai R

tumu S

ais enodnI Yogy

akar

taI

D

le smuS

uaiR naual upeK

rabmuS

natale S isewa luS

ola tno roG

taraB na tn amilaK

ibma J

Nus

a Te

ngga

ra T

imur

taraB isewa luS

na taleS natnamilaK

ar atU ukula

M

ar atU i sa

wl u S

Nan

groe

Ace

h D

arus

sala

m

Kgnutil eB B naualu pe

hagn eT isewa luS

hagne T n at nam ilaK

rum iT na tna

mil aK

ulu kgne B

ara ggne T isewalu S

u kulaM

taraB a yaJ nai rI

au paP

Populasi per Puskesmas

Sumber: Profil Kesehatan 2004, Departemen Kesehatan.

Kementerian Kesehatan sedang berupaya untuk memperbaiki distribusi tenaga kesehatan dengan sistem kontrak kerja sementara bagi para dokter (PTT) untuk melayani wilayah-wilayah terpencil dengan memberikan tambahan insentif keuangan dan memperpendek masa tugas mereka di wilayah-wilayah tersebut. Ada berbagai kategori upah dokter seperti ini berdasarkan Lokasi penempatan mereka. Gaji di wilayah yang biasa adalah sekitar Rp 1 juta per bulan selama tiga tahun. Mereka yang bertugas di wilayah yang diklasifikasikan sebagai sangat terpencil, akan menerima gaji sekitar Rp 5 juta per bulan dan diminta untuk bertugas di sana selama enam bulan. Gaji yang lebih tinggi bagi dokter yang bekerja di wilayah terpencil merupakan bagian dari peraturan baru yang mulai berlaku sejak bulan Juni 2006 dan hal ini memberikan indikasi komitmen pemerintah untuk meningkatkan distribusi tenaga kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, peraturan ini hanya melingkupi dokter kontrak dan pemerintah mungkin akan mempertimbangkan untuk mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk menyediakan

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 75

BAB 4 Sektor Kesehatan

insentif serupa bagi tenaga kesehatan kontrak di tingkat lokal. Hal ini akan memerlukan suatu tinjauan terhadap Undang-undang kepegawaian dan peraturan yang mungkin menghambat pelaksanaan perubahan kebijakan.

Diagram 4.23 Jumlah dokter untuk setiap Puskesmas

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

1,4

1,6

1,8

uaiR naualu pe K Sum

ater

a U

tara laBi

DI Y

ogya

kart

a gnupma L

hagn eT awaJ

um iT nat n a

mi l aKr hagneT natna

milaK

la tnoroG

o lukgn eBu netnaB

umi T a

waJr ib

maJ

ar atU uku la

M

is enodnIa

Nus

a Te

ngga

ra B

arat nata le S nat na

mi laK

uaiR

nat al eS i sewa luS

hagn eT isewa luS

taraB isewaluS

Sum

ater

a Se

lata

n taraB awaJ

Kgnutil eB B naua lupe

ar agg neT isewa luS

aratU isa

w luS

Sum

ater

a Ba

rat taraB natna

mi laK

Nan

groe

Ace

h D

arus

sala

m

Nus

a Te

ngga

ra T

imur uku la

M

t araB ayaJ nairI

aupaP

Dokter per Puskesmas

Sumber: Profil Kesehatan 2004, Departemen Kesehatan.

Diagram 4.24 Puskesmas – sumber layanan pengobatan

Sebagian besar Puskesmas tidak mendapat Persediaan Obat selain dari yang disediakan Dinas Kesehatan

Ya, darisumber lainnya

9%

Tidak58%

Ya, darianggaran sendiri

33%

Sumber: GDS1+ Survey.

Gaji bulanan dan harian dokter, bidan, dan perawat pemerintah tampaknya lebih baik dibandingkan dengan gaji tenaga kerja lain dengan tingkat pendidikan yang setara,67 tetapi insentif bagi mereka memang tetap diperlukan untuk menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas bagi penduduk miskin. Mengingat bahwa dokter pemerintah dapat menambah penghasilan gaji mereka cukup besar dengan membuka praktik swasta, sangat sulit untuk menentukan apakah tingkat gaji yang diberikan pemerintah saat ini sudah memadai. Tinjauan terhadap angkatan kerja sektor kesehatan tahun 1994 memperkirakan praktik swasta oleh para dokter memberikan tambahan penghasilan sekitar 79 persen dari total penghasilan dokter spesialis di wilayah

perkotaan dan jumlah ini bervariasi antara 25 dan 70 persen untuk dokter umum yang bertugas di luar Pulau Jawa dan Bali. Mengingat bahwa penduduk miskin juga menggunakan layanan kesehatan dari sektor swasta, walaupun jumlahnya lebih kecil dari penduduk tidak miskin, para dokter (swasta dan pemerintah) memerlukan insentif agar mereka dapat menyediakan layanan yang berkualitas bagi penduduk miskin.

Secara keseluruhan, kualitas layanan kesehatan di Indonesia masih rendah, dengan tingkat ketersediaan pengobatan yang juga rendah, infrastruktur yang tidak memadai, dan sering diikuti dengan penyediaan tenaga layanan kesehatan yang tidak cukup. Pemberian layanan kesehatan selanjutnya menurun akibat tingkat ketidakhadiran yang tinggi dari tenaga kesehatan. Sebuah penelitian yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa tenaga kerja kesehatan Indonesia memiliki tingkat absensi sebanyak 40 persen dari waktu mereka.68 kualitas fasilitas kesehatan yang rendah, ketidaktersediaan air bersih, dan rendahnya standar hidup tampaknya bukan insentif

67 Berdasarkan analisis ekonometrik bersamaan dengan Sakernas2004 (Survei Tenaga Kerja Nasional) , dari BPS Indonesia. Lihat Lampiran Tabel F3 untuk hasil regresi. 68 Penyedia layanan dianggap tidak ada jika mereka tidak dapat ditemukan memiliki fasilitas karena sebab apa pun pada saat dilakukan kunjungan mendadak. Sumber: Chaudhury, dkk. (2006).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 76

BAB 4 Sektor Kesehatan

yang baik bagi tenaga kesehatan untuk bertahan di tempat tugas mereka. Indikator Puskesmas dari survei GDS 1+ selanjutnya menunjukkan bahwa rata-rata Puskesmas hanya memiliki antara 75 dan 80 persen dari kebutuhan obat-obatan dan pengobatan dasar yang harus dimiliki oleh sebuah pusat layanan kesehatan,69 dan, masih ada masalah kekurangan vaksin penting (sekitar 7 sampai 9 persen). Sebagian besar Puskesmas hanya menerima obat-obatan dari Dinas Kesehatan setempat. Jika pemerintah daerah tidak menyediakan obat-obatan yang memadai untuk mereka, anggaran yang mereka miliki tidak akan cukup untuk menanggulangi kekurangan tersebut.

69 Dihitung dengan memperhitungkan nilai rata-rata obat-obatan yang tidak ada di setiap Puskesmas dan membaginya dengan jumlah obat-obatan pokok yang harus dimiliki oleh Puskesmas (12 jenis obat pokok). Dataset: Puskesmas GDS33. Keduabelas obat-obatan pokok itu dan tingkat ketersediaan : amoxiixilin 500mg (73 persen), sirup amoxiixilin (75 persen), antalgin 500mg (89 persen)., CTM (84 persen), paracetamol 500mg (90 persen),sirup Paracetamol (77 persen), OBH (77 persen), oralit (84 persen), Cotrimoxaxol 480 (78 persen), tablet Antacid (87 persen ), obat anti TBC (71 persen ), dan OAT untuk anak-anak (67 persen ).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 77

BAB 4 Sektor Kesehatan

Rekomendasi Kebijakan

Untuk jangka panjang, pemerintah sebaiknya sudah mulai memikirkan untuk mengalokasikan sumber daya yang lebih besar kepada sektor kesehatan, karena saat ini Indonesia menyediakan kurang dari sepertiga dana kesehatan yang disediakan di negara lain di kawasan Asia Tenggara yang memiliki tingkat paling rendah dalam pengeluaran untuk sektor kesehatan. Namun demikian, fokus utama sebaiknya diarahkan pada efisiensi alokasi anggaran dan kualitas layanan kesehatan sebelum melakukan peningkatan keseluruhan pengeluaran untuk sektor kesehatan. Secara umum, pengeluaran untuk sektor kesehatan di Indonesia masih rendah, tetapi seperti yang diuraikan dalam PER ini, masalah utamanya adalah alokasi sumber daya yang tidak efisien dan tidak merata. Mengingat tantangan yang dihadapi oleh sektor kesehatan saat ini, dan dengan mempertimbangkan peningkatan ruang gerak fiskal bagi pemerintah, serta tingkat pengeluaran yang rendah dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini, rekomendasi yang logis adalah meningkatkan tingkat pengeluaran untuk sektor publik menjadi sekitar 3 persen dari PDB. Dengan tingkat pengeluaran sebesar ini, pemerintah akan mampu mencapai tingkat yang sama dengan yang dicapai oleh negara dengan tingkat pencapaian terendah kedua di kawasan ini, yaitu Filipina. Akan tetapi, tinjauan ini juga menunjukkan dengan jelas adanya alokasi anggaran yang tidak efisien dan tidak merata di tingkat kabupaten/kota. Kebijakan pemerintah dalam sektor ini belum tercermin dalam alokasi anggaran, dengan sumber daya yang lebih banyak dialokasikan semata-mata oleh penduduk dengan kuintil pendapatan penduduk yang lebih kaya. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk pertama-tama berfokus pada pemerataan dan alokasi dana yang efisiensi sebelum mempertimbangkan peningkatan keseluruhan pengeluaran untuk sektor.

Kesenjangan sebaiknya dapat dikurangi dengan meningkatkan akses terhadap layanan dan memperbaiki kualitas layanan kesehatan untuk penduduk miskin. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan target DAK yang lebih baik bagi penduduk miskin dan bagi kabupaten/kota yang mengalami kekurangan layanan dengan melakukan investasi berdasarkan permintaan yang dapat meningkatkan akses penduduk miskin terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.

Target alokasi DAK sebaiknya ditingkatkan untuk menjamin bahwa dana ini dapat digunakan untuk meningkatkan akses layanan kesehatan terutama di kabupaten/kota yang lebih miskin yang rendah pelayanannya. Saat ini, pengeluaran untuk sektor publik pada umumnya lebih menguntungkan kelompok yang berpendapatan lebih tinggi daripada penduduk miskin melalui subdisi regresif untuk layanan kesehatan sekunder. Dana alokasi khusus (DAK) untuk sektor kesehatan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah memiliki target yang buruk, karena pengalihan dana tidak terkait dengan tingkat pengeluaran per kapita rata-rata di tingkat kabupaten/kota. DAK sebaiknya lebih baik digunakan sebagai alat pemerintah pusat untuk menargetkan kabupaten/kota kota yang memiliki kekurangan dalam rangka akses terhadap pemberian layanan kesehatan, terutama karena dana ini digunakan untuk infrastruktur kesehatan. Kegiatan investasi di sisi permintaan yang dapat meningkatkan akses penduduk miskin untuk layanan kesehatan yang berkualitas. Pendanaan yang berpihak pada masyarakat miskin bagi layanan rumah sakit yang kini sedang dilaksanakan sistem kupon (Kartu Sehat) sebaiknya diperluas. Sistem ini menyediakan layanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin dan ditujukan untuk meningkatkan kualitas akses layanan bagi penduduk miskin. Untuk meningkatkan dampak penurunan angka kemiskinan terhadap pendanaan kesehatan, seluruh subsidi yang lain untuk fasilitas layanan kesehatan sekunder sebaiknya disalurkan ke dalam layanan dasar. Mungkin ada manfaat khusus dalam pemberian subsidi layanan ambulans, terutama di wilayah-wilayah terpencil. Pemberikan kesempatan kepada penduduk miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan melalui kartu sehat hal ini akan memberikan keuntungan kepada mereka ketika penyedia layanan kesehatan swasta dapat ditambahkan sebagai tambahan opsi kebijakan pemerintah. Investasi dalam peningkatan kualitas penyedia layanan sektor swasta yang memberikan layanan kesehatan kepada penduduk miskin akan memperbaiki situasi yang ada sekarang.

Prioritas sebaiknya diarahkan pada identifikasi berbagai investasi yang sesuai untuk meningkatkan efektivitas sektor kesehatan dalam mengatasi beban yang besarnya dua kali lipat dari penyakit yang diderita (penyakit menular dan yang tidak menular), serta munculnya berbagai penyakit baru (HIV/AIDS dan flu burung) .

Keberadaan penyakit menular serta kinerja yang rendah dari beberapa indikator utama dari MDG menegaskan betapa pentingnya kelanjutan investasi dalam bidang pencegahan. Pada indikator MDG seperti tingkat kematian bayi dan balita, serta angka kematian ibu, kinerja Indonesia masih jauh tertinggal.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 78

BAB 4 Sektor Kesehatan

Angka ini dapat ditingkatkan dengan memperkuat langkah-langkah pencegahan dan intensifikasi program untuk menangani penyakit menular, terutama di wilayah terpencil dan wilayah yang kurang berkembang di Indonesia. Untuk menangani kembalinya kasus polio, tambahan putaran kampanye pemberantasan polio dan pendanaan yang memadai sangat diperlukan dengan segera. Karena intervensi untuk penyakit tidak menular menjadi semakin penting, maka sektor kesehatan publik perlu dilengkapi dengan untuk menghadapi tantangan ini. Walaupun Indonesia memiliki layanan kesehatan sektor swasta yang kuat, yang menyediakan sebagian besar dari layanan spesialis, penanganan terhadap peningkatan penyakit tidak menular, terutama pada segmen penduduk yang lebih miskin, akan memerlukan jasa rumah sakit umum untuk menyediakan yang serupa untuk menampung permintaan layanan kesehatan yang semakin tinggi (serta peningkatan permintaan layanan khusus). Untuk menghadapi munculnya penyakit-penyakit seperti HIV/AIDS dan flu burung, informasi kesehatan dan sistem observasi perlu lebih ditingkatkan lagi. Pengembangan basis data, penguatan sistem observasi yang masih lemah, dan program pencegahan penularan merupakan bidang-bidang prioritas. Perbaikan data mengenai pengeluaran dan realisasi untuk sektor ini dan pembayaran untuk tingkat kabupaten/kota dan tingkat penyedia kesehatan juga diperlukan untuk menjamin bahwa kebijakan didasari oleh prinsip efisiensi dan pemerataan penggunaan layanan. Terutama sejak pelaksanaan sistem desentralisasi, telah terjadi kurangnya transparansi penyaluran dan pengeluaran anggaran. Di tingkat kabupaten/kota, informasi sangat terbatas yang berhubungan dengan perencanaan dan pengeluaran anggaran pembangunan. Informasi yang lebih luas tentang alokasi fungsional pengeluaran akan lebih memungkinkan lagi untuk melakukan unit-biaya yang dapat memberikan pandangan untuk menentukan tingkat pengeluaran yang mendasar bagi sektor kesehatan.

Sektor publik sebaiknya mampu memainkan peran yang lebih besar dalam sistem kesehatan secara keseluruhan melalui penerapan peraturan, perizinan, dan akreditasi bagi penyedia layanan kesehatan sektor swasta untuk menjamin kualitas layanan kesehatan swasta. Sektor swasta dalam sistem kesehatan di Indonesia telah tumbuh secara dramatis selama satu dekade yang lalu. Terlepas dari pentingnya keberadaan mereka, tidak banyak yang bisa diketahui mengenai siapa mereka, di mana mereka, dan layanan apa yang mereka sediakan. Hampir 40 persen dari penduduk miskin yang berusaha mendapatkan layanan kesehatan pergi ke penyedia layanan swasta. Selanjutnya, penentuan tingkat pengeluaran yang ‘tepat’ untuk sektor publik memerlukan pemahaman yang lebih dalam tentang tingkat dan lingkup penyediaan layanan kesehatan sektor swasta.

Perlu identifikasi kombinasi yang tepat dari langkah-langkah yang terkoordinir dan saling menunjang untuk menjamin pemerataan layanan kesehatan yang diberikan oleh penyedia layanan, terutama para dokter dan untuk meningkatkan efektivitas investasi. Mengingat kondisi yang masih tetap tidak efisien dan kesenjangan dalam distribusi tenaga kerja sektor kesehatan dan dengan pertimbangan bahwa sebagian besar dari pengeluaran rutin di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota dialokasikan untuk pembayaran gaji penyedia layanan kesehatan, maka sangat perlu untuk mencermati bagaimana dana ini digunakan secara lebih efisien dan merata. Sejumlah kebijakan dan struktur insentif telah diujicobakan di Indonesia tetapi tidak terbukti mampu bertahan. Untuk membantu melakukan identifikasi kombinasi yang tepat dari langkah-langkah yang terkoordinir dan saling menunjang tersebut, ada dua pertanyaan yang perlu dijawab: (i) berapa jumlah tenaga kesehatan, baik penyedia layanan kesehatan sektor publik maupun swasta, dan apakah hal ini cukup untuk mencapai hasil pelayanan prioritas saat ini yang terkait dengan kuantitas dan kualitas; dan (ii) apa yang membuat para dokter dan penyedia layanan kesehatan lainnya mampu bertahan, baik dokter pemerintah maupun swasta, di wilayah -wilayah terpencil untuk kurun waktu yang cukup lama untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan di wilayah-wilayah seperti itu?

BAB 5 Infrastruktur

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 80

BAB 5 Infrastruktur

Temuan PokokInvestasi Indonesia untuk infrastruktur sangat tidak memadai. Investasi infrastruktur menurun dari 5-6 persen dari PDB sebelum tahun 1997 menjadi kurang dari 1-2 persen dari PDB pada 2000, dan saat ini berada dalam kondisi stabil pada tingkat 3,4 persen dari PDB. Untuk menanggulangi kemunduran investasi masa lalu, sementara pada saat yang sama juga melakukan proyek-proyek besar yang baru untuk memenuhi permintaan yang semakin besar, dan untuk terus mendorong pertumbuhan, akan memerlukan tambahan investasi yang cukup besar (diperkirakan tambahan sekitar 2 persen dari PDB, atau US$6 milyar per tahun), hanya untuk mencapai tingkat pertumbuhan sebelum krisis.

Sektor air bersih dan listrik mengalami krisis.Tingkat investasi yang rendah selama satu dekade telah menyebabkan kurangnya kapasitas dan daya listrik serta memburuknya layanan air pipa. Tingkat tarif listrik yang berada di bawah biaya menghambat perluasan jaringan, serta pemeliharaan jaringan yang memadai dan operasi yang lebih efisien terhadap aset yang ada. Tarif listrik yang seragam bersifat regresif dan tidak memberikan insentif untuk menyediakan sambungan kepada konsumen di wilayah Indonesia bagian Timur yang memerlukan biaya lebih tinggi. Layanan air pipa di wilayah perkotaan sangat memerlukan pengaturan tarif baru dan akses terhadap pendanaan, serta menegakkan regulasi yang mencegah pemerintah kabupaten/kota menarik keuntungan saat penyedia air pipa (PDAM) mengalami kerugian.

Investasi sektor swasta telah mengalami penurunan tajam sejak 1997, terutama di sektor air bersih, energi, dan transportasi . Sebelum krisis ekonomi, komitmen investasi sektor swasta pada tahun tertentu menunjukkan angka rata-rata sebesar 30 - 40 persen dari pengeluaran pembangunan untuk sektor infrastruktur. Pada 2003 dan 2004, pengeluaran tersebut lebih kecil dari seperempat pengeluaran pemerintah, disamping rendahnya tingkat investasi publik. Sejak tahun 2000, sebagian besar komitmen investasi sektor swasta diserap oleh telekomunikasi (90 persen ). Sangat sulit menarik investor swasta pada sektor yang biasanya didominasi oleh pemerintah atau BUMN. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian hukum, kurangnya strategi pemerintah untuk menjamin investasi dan kewajiban bersyarat, dan isu-isu fundamental dibalik rendahnya harga layanan sosial serta sejumlah alasan politik.

Rekomendasi UtamaPemerintah pusat perlu lebih berprakarsa dalam penanganan krisis PDAM. Prioritas yang mendesak adalah menghilangkan hambatan yang ada sekarang terhadap pinjaman jangka panjang PDAM. Langkah pertama dalam proses ini adalah melakukan restrukturisasi pinjaman PDAM. Proses restrukturisasi hutang harus diutamakan untuk PDAM yang paling layak diberi kredit, memberikan insentif kepada PDAM yang lain untuk meningkatkan kelayakan kredit mereka dan memberikan peluang kepada mereka untuk meningkatkan tarif dan memotong biaya dengan menangani kerugian komersial dan kerugian fisik.

Strategi nasional untuk meningkatkan akses terhadap kebutuhan sanitasi dan pelistirikan wilayah pedesaan harus dikembangkan. Peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu diklarifikasi dan dikoordinasikan untuk pelaksanaan strategi tersebut. Mekanisme pendanaan public yang memadai, seperti akses pendanaan untuk wilayah pedesaan, seharusnya dipertimbangkan karena dampaknya yang begitu besar dari kurangnya layanan infrastruktur dasar terhadap kesehatan publik secara luas dan keluaran pendidikan.

Subsidi listrik dan struktur tarif harus ditinjau lagi. Subsidi listrik mendorong terjadinya konsumsi listrik yang berlebihan dan sangat membantu konsumen tidak miskin ketika akses yang terbatas menguntungkan kelompok menengah keatas. Dalam jangka panjang, tarif harus direvisi dengan kecenderungan meningkat dan struktur tarif harus ditinjau kembali agar mencerminkan biaya sebenarnya untuk menyediakan layanan tersebut. Tingkat tarif yang mencakup 900VA keatas dapat menjadi langkah awal dalam revisi tarif, karena secara ekslusif hanya menguntungkan kelompok menengah keatas. Akan tetapi, rencana jangka panjang yang koheren perlu disusun untuk menyesuaikan harga dengan biaya ekonomi dan memberikan bantuan dengan sasaran rumah tangga pendapatan rendah dan wilayah-wilayah yang miskin. Subsidi harus dialihkan dari konsumsi sambungan, untuk dapat menerapkan pendekatan sektor pelistrikan yang berbeda pada setiap daerah.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 81

BAB 5 Infrastruktur

Insentif fiskal harus diberikan kepada pemerintah daerah untuk menjamin pemeliharaan jalan yang memadai. Pemerintah daerah, terutama di wilayah-wilayah pedesaan, hanya menggunakan sebagian kecil dari anggaran mereka untuk pemeliharaan jalan. Misalnya, pendanaan bersama antara pemerintah pusat dan daerah untuk investasi jalan dapat dilakukan dengan syarat menjamin pemeliharaan jalan secara memadai dalam wilayah masing-masing daerah.

Kinerja Sektor Infrastruktur

Investasi infrastruktur per tahun di Indonesia (terdiri dari investasi pemerintah, BUMN maupun sektor swasta) mencapai angka 5 - 6 persen dari PDB sebelum krisis ekonomi tahun 1997. Sejak itu, investasi infrastruktur turun secara dramatis di bawah 2 persen dari PDB pada 2000, dan pada 2004 angka itu masih hanya 3 persen dari PDB (Diagram 5.1). Sementara kelambatan investasi infrastruktur memang diperkirakan akan terjadi segera setelah krisis, ternyata investasi tidak dapat mengikuti kebangkitan ekonomi, apalagi menangani kebutuhan rakyat yang tidak pernah memiliki akses terhadap layanan infrastruktur dasar, seperti air pipa, listrik, jalan. Indonesia kini memiliki beberapa indikator infrastruktur paling buruk di tingkat regional.

Diagram 5.1 Investasi infrastruktur , 1994-2004 (% dari PDB) 1/

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

6.0

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004Swasta a/ Pemerintah b/ BUMN c/Publik dan Swasta. Total 99-04

Sumber: DepKeu diproses; laporan tahunan BUMN; Database PPI Bank Dunia.Catatan: Rujukan 1/PDB adalah untuk Tahun Fiskal (FY) atau Tahun Kalender (CY) tergantung pada periode database; a/pengeluaran pembangunan terkait Infrastruktur, seluruh tingkat pemerintahan; b/ Investasi sektor swasta diukur sebagai komitmen investasi pada saat kesepakatan penutupan keuangan; c/ Investasi atau pengeluaran modal (Capex). Seri BUMN yang tidak lengkap; Angka untuk 1999-2001 memiliki perkiraan lebih rendah dari kontribusi BUMN.

Banyak indikator infrastruktur telah mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir dan posisi Indonesia tertinggal dari negara tetangga. Beban listrik yang besar terjadi di Pulau Java dan Bali, sementara di pulau-pulau besar lainnya mengalami kekurangan listrik yang sangat parah. Jalan raya perkotaan jalan raya sudah terlalu padat dan jalan bebas hambatan yang baru yang diharapkan akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi masih dalam tahap persiapan. Proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap air pipa sebenarnya sudah mengalami penurunan akibat penutupan sejumlah fasilitas dan karena pertumbuhan penduduk. Indonesia pernah mengungguli Thailand, Taiwan, China, dan Sri Lanka dalam Global Competitiveness Report’s 1996 tentang indeks ‘mutu infrastruktur secara keseluruhan.’ Pada 2002, negara-negara ini telah mampu melampaui Indonesia (Tabel 5.1).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 82

BAB 5 Infrastruktur

Tabel 5.1 Peringkat regional dari akses terhadap layanan infrastruktur

Infrastruktur Indonesia Peringkat RegionalRasio pelistirikan (%) 53 11 of 12Akses terhadap fasilitas sanitasi (%) 55 7 of 11Akses terhadap air bersih (%) 14 7 of 11Jaringan jalan raya (km per 1.000 orang) 1.7 8 of 12

Sumber: Bank Dunia, 2004b.

Listrik70

Permintaan akan listrik telah mengalami pertumbuhan sekitar 6 persen per tahun sejak 2000, tetapi tidak ada pertumbuhan yang sejalan dari kapasitas sistem yang ada.71 Puncak permintaan listrik telah mendekati kapasitas yang ada secara progresif dan penambahan persediaan kini sudah tidak memadai (Tabel 5.2). Beban berat dam pemadaman banyak terjadi, terutama di pulau-pulau luar sistem Jawa-Bali. Pertumbuhan permintaan per tahun diperkirakan 7-9 persen pada dekade yang akan datang.

Tabel 5.2 Kapasitas sistem kelistrikan PLN vs. permintaan puncak (pada jam sibuk)

2000 2001 2002 2003 2004Kapasitas Terpasang (MW) 23,949 24,246 24,359 24,475 24,920 PLN (MW) 20,762 21,059 21,112 21,206 21,470 IPP (MW) 3,187 3,187 3,247 3,269 3,450Kapasitas yang Tersedia (MW) 21,853 22,077 20,841 22,048 21,494Agregat Puncak Permintaan (MW)72 15,320 16,313 17,160 17,949 18,896Margin Cadangan berdasarkan total kapasitas (%) 56.3 48.6 42.0 36.4 31.9Margin Cadangan berdasarkan kapasitas yang tersedia (%) 42.6 35.3 21.5 22.8 13.7

Sumber: Laporan keuangan tahunan PLN.

Pengurangan subsidi BBM telah menyebabkan perubahan cukup besar terhadap kombinasi BBM biaya rendah oleh PLN. Sekitar 27 persen dari produksi listrik PLN menggunakan bahan bakar minyak. Harga minyak dalam negeri meningkat menjadi rata-rata sebesar 29 persen pada Maret 2005 dan 114 persen pada Oktober 2005 (lihat Bab 1). Biaya penggunaan BBM ini cukup tinggi dimana kini sedang dipertimbangkan untuk membiarkan mesin pembangkit tenaga diesel (solar) untuk tidak beroperasi dan menggantinya dengan pembangkit dengan bahan bakar batu bara, karena biaya tambahan modal akan menjadi lebih besar dengan menghemat pemakaian BBM. Sekitar 3,400 MW dari pembangkit yang dirancang untuk menggunakan bahan bakar gas, tetapi dioperasikan dengan bahan bakar solar akibat kesulitan mengamankan pasokan gas. Tingginya biaya pemakaian solar merupakan pendorong utama untuk menangani kesulitan suplai bahan bakar gas.

Pengurangan subsidi BBM juga mendorong produsen ‘captive power’ untuk membeli listrik dari PLN, yang akan menyebabkan pertumbuhan permintaan listrik PLN. Para produsen ‘Captive power’ adalah para industri besar dan konsumen usaha yang memiliki generator swasta dengan kapasitas sekitar 14.600 MW, dan menyediakan hampir 30 persen dari listrik yang digunakan. Lebih dari 60 persen dari kapasitas ini menggunakan solar, yang telah menjadi semakin mahal jika dioperasikan setelah pengurangan subsidi BBM.

70 Pengeluaran untuk sub-sektor listrik menunjukkan hampir 90 persen dari total pengeluaran dalam sektor energi. 71 Harus diingat bahwa pada 2006, tambahan kapasitas sebanyak 2.500 MW dilakukan oleh PLN. Akan tetapi, jumlah ini masih belum cukup untuk memenuhi permintaan yang terus tumbuh dan belum cukup pula untuk mengatasi kapasitas kekurangan listrik dalam jangka panjang.72 Karena data yang rinci mengenai beban puncak tidak tersedia, maka digunakan agregat permintaan puncak. Walaupun hal ini tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya dari berbagai sistem yang ada yang tidak saling berhubungan, cara ini telah mampu memberikan indikasi yang rasional mengenai situasi permintaan dan suplai listrik di Indonesia.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 83

BAB 5 Infrastruktur

Tabel 5.3 Indikator terpilih untuk listrik

Rumah tangga dengan sambungan listrik (%) Kerugian transmisi dan distribusi (%) Rata-rata tarif listrik residensial

(nominal US$/kWh)

1998 2003 1998 2003 2003Kamboja 13 17 20.6 12.7 0.09-0.15China 97 99 8.1 7.7 0.05-0.08Indonesia -- 55 12.2 11.7 0.02-0.07Laos 30 41 22.6 21.2 0.04Mongolia 67 90 -- 22.0 0.05Filipina 72 79 14.1 12.4 0.11Thailand 82 84 8.7 7.3 0.06Vietnam 63 81 15.6 13.4 0.05

Sumber: Bank Dunia, 2005.

Tingkat akses rumah tangga terhadap listrik masih rendah dan perluasan jaringan terhambat oleh kebijakan harga yang berlaku saat ini (Tabel 5.3). Tarif rata-rata untuk penggunaan rumah tangga lebih rendah daripada biaya produksi, sehingga PLN tidak memiliki insentif bisnis untuk meningkatkan sambungan keluarga—setiap sambungan baru meningkatkan jumlah kerugian PLN dan kapasitas yang ada sudah penuh. Karena biaya menjadi lebih tinggi untuk wilayah pedesaan dan wilayah-wilayah terpencil, pengenaan tarif yang seragam dan rendah telah berdampak khusus terhadap tingkat akses listrik di daerah-daerah tersebut.

Jalan73

Efisiensi kota-kota di Indonesia menurun akibat kemacetan lalu lintas. Saat ini, 43 persen dari jaringan jalan raya di Pulau Java, dan sebagian besar di Jakarta, mengalami kemacetan yang menyebabkan waktu perjalanan menjadi lebih lama dan memerlukan biaya lebih tinggi. Kemacetan diperkirakan meningkat menjadi 55 persen pada 2010. Total jaringan jalan raya tumbuh sebesar 12 persen antara tahun 2000 dan 2004. Proporsi jalan aspal mengalami peningkatan sebesar 28 persen sejak 1998. Pada periode yang sama, jumlah kendaraan bermotor untuk per 1.000 orang telah meningkat menjadi 80 persen (Tabel 5.4).

Tabel 5.4 Peningkatan kemacetan jalan raya

Indikator 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 % perubahan 1998-2005

Jalan Aspal (% dari total) 47.3 57.1 57.1 58.9 57.6 58.3 -- 60.5 28

Sepeda Motor (per 1.000 orang) 87.8 89.5 92 100.1 108.5 118.7 133.2 158.2 80

Sumber: CGI Juni 2006, Indonesia: Tinjauan terhadap Sektor Transportasi (Januari 2006): Tinjauan terhadap Temuan Sektor Jalan Raya.

Jalan bebas hambatan, termasuk jalan lingkar untuk wilayah pusat perkotaan, akan membantu mengurangi kemacetan dan, dengan memperlancar hubungan antarkota akan mempercepat pertumbuhan. Akan tetapi, sebagian besar jalan bebas hambatan ini baru berada pada tahap perencanaan. Persiapannya sedang berlangsung bagi investasi sektor swasta untuk jalan lingkar luar kota Jakarta, tetapi masalah keuangan untuk investasi ini akan memerlukan pemecahan atas berbagai permasalahan, termasuk proses pembebasan tanah dan kondisi dan tingkat dukungan pemerintah. Rencana untuk membangun jalan raya lintas Pulau Jawa yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya perlu juga memperhatikan isu-isu yang sama. Rencana ini selanjutnya akan menjadi sangat sulit karena perusahaan swasta menerima kontrak sebelum 1998, tetapi saat ini perusahaan tersebut tidak mampu menyediakan dana.

Solusi peningkatan transportasi umum diperlukan untuk mengurangi kemacetan di pusat-pusat perkotaan. Di Jakarta, sebuah jalur dibuat khusus untuk busway telah beroperasi pada Januari 2004 dan, sampai Maret 2006, jumlah penumpang tiap hari mencapai 120.000 orang. Masalah kemacetan masih merupakan pemandangan sehari-hari di tengah kota, sementara pembangunan sistem transportasi cepat massal monorail juga dalam pelaksanaan di Jakarta.

73 Pengeluaran untuk sub-sektor jalan raya sebesar 80 persen dari total anggaran yang digunakan dalam sektor transportasi .

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 84

BAB 5 Infrastruktur

Diagram 5.2 Proporsi jalan raya yang diaspal, 2003

4

91

58

148

22

9782

69

15

4857

16

0

20

40

60

80

100

120

Kma

obja

Cn

hia

nIdo

enai s

Loa

s

Mno

ga

oil

Fpilli

nia

aT

ah

lidn

Erop

a Ti

mur

&As

ia Te

ngah

Asia

Sela

tan

Kaw

asan

Tim

ur Te

ngah

&Af

rika

Uta

ra

Sbu

Sa

ahar

kA

irfa

Amer

ika

Latin

&Ka

ribiaPe

rsen

tasi

dari

kese

luru

han

Ruas

Jala

n

Sumber: World Bank, 2005.

Mutu jalan nasional Indonesia relatif tinggi, tetapi terlalu banyak jalan daerah pemeliharaannya sangat buruk. Dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini, sebagian besar jalan raya di Indonesia (sekitar 60 persen) sudah diaspal (Diagram 5.2). Sementara proporsi jalan nasional yang dalam keadaan baik mengalami penurunan sejak 2000, masih lebih dari 80 persen. Sebaliknya, mutu rata-rata jalan daerah tidak mengalami perubahan sejak 2002, dan juga tidak memadai dengan perkiraan hanya setengah masih dalam keadaan cukup baik (Tabel 5.5). Beberapa daerah paling miskin di kawasan Indonesian timur, di mana jumlah penduduk dan permintaan terhadap kendaraan masih rendah, masih tidak memiliki akses terhadap jalan.

Tabel 5.5 Mutu jalan raya , 2000-06

Panjang

(km)Kondisi

(% Sangat baik-baik)Mutu Permukaan

(% diaspal)2000 2006

Jalan Tol 649 100Jalan raya Nasional 34,628 87 81 90Jalan raya Provinsi 37,164 81 63 89Jalan raya Kabupaten/kota 240,946 49* 49 52Total Km Jalan raya 339,005 60.5

Sumber: Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum, Maret 2005, Statistik Departemen Pekerjaan Umum, CGI Juni 2006, Indonesia: Tinjauan Sektor Transportasi (Januari 2006): Tinjauan Temuan Sektor Jalan Raya. Catatan: * Data untuk kabupaten/kota tahun 2002 karena nilai untuk tahun 2000 tidak konsisten.

Air dan Sanitasi

Akses terhadap air pipa sangat terbatas dan penyedia air pipa (PDAM) sedang mengalami krisis. Air pipa yang disediakan oleh PDAM merupakan sumber yang paling dapat diandalkan, paling aman dan, dalam jangka panjang merupakan solusi paling murah untuk penyediaan air di wilayah pusat perkotaan, tetapi hanya 31 persen dari penduduk di wilayah perkotaan dan 17 persen dari seluruh jumlah penduduk yang memiliki akses terhadap air pipa. Angka ini sangat rendah berdasarkan standar regional (Tabel 5.6). Kualitas air dan keteraturan persediaannya menurun, dan ketersediaan fasilitas penampungan air sangat terbatas. Kerugian air, baik secara fisik maupun administrasi, berkisar sekitar 50 persen dan terkadang sampai dengan 60 persen dari produksi PDAM. Kecuali ada perubahan kebijakan, dan mengingat kinerja operasional yang buruk serta tidak adanya akses terhadap pendanaan, sebanyak 316 PDAM Indonesia secara perlahan akan merugi dan menghentikan layanannya, sehingga akan semakin mengurangi tingkat akses terhadap air pipa.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 85

BAB 5 Infrastruktur

Tabel 5.6 Akses terhadap air pipa, 2003

Nasional Modal

Country Wilayah perkotaan (%)

Wilayah pedesaan (%) Total (%) Ibukota saja (%)

Malaysia 95 64 84 100Philippines 60 22 44 58Thailand 80 12 34 83Vietnam 51 1 14 84Indonesia 31 5 17 51Cambodia 31 1 6 84

Sumber: UN (2004). ADB (2004).

Tekanan politik untuk melakukan perubahan masih sangat lemah karena masyarakat telah mampu mengembangkan strategi penyelesaian. Strategi ini tercermin dalam data resmi bahwa laporan akses terhadap “air yang semakin baik” sebesar 69 persen dari penduduk wilayah pedesaan dan 89 persen dari penduduk wilayah perkotaan. Tetapi strategi penyelesaian masalah air ini melibatkan sektor swasta, dan sering tidak terdaftar, pembuatan sumur yang tidak bisa diandalkan akibat pencemaran air tanah. Di sejumlah daerah, penggalian sumur oleh pihak swasta telah mencapai tingkat yang menyebabkan terjadinya perembesan air laut dan penurunan permukaan tanah.

Indonesia mengalami kekurangan fasilitas sanitasi dan sistem pengolahan air limbah. Data resmi menunjukkan bahwa 71 persen dari penduduk wilayah perkotaan dan 38 persen dari penduduk wilayah pedesaan memiliki akses terhadap “sanitasi yang semakin baik”, tetapi data ini termasuk sambungan tangki septik bawah tanah yang cukup banyak yang pada kenyataannya tidak pernah dikuras dan mengalami kebocoran yang akhirnya mencemari lingkungan dan air tanah. Hanya 1,3 persen dari seluruh penduduk tersambung dengan sistem pembuangan limbah —sebuah sistem kecil beroperasi di Jakarta. Kegagalan untuk mengolah air limbah menyebabkan munculnya pencemaran sumber-sumber air, yang selanjutnya meningkatkan biaya untuk memproduksi air bersih dan berkontribusi terhadap prevalensi yang cukup tinggi dari sejumlah penyakit seperti tipus dan penyakit menular lainnya di Indonesia.

Pengeluaran Publik untuk Infrastruktur: Komposisi dan Tren

Agregat (pemerintah dan swasta ) pengeluaran infrastruktur Indonesia berjumlah sekitar 8,4 persen dari PDB. Investasi infrastruktur per tahun berjumlah sekitar 3,4 persen dari PDB, ditambah pengeluaran operasional dan pemeliharaan menunjukkan angka sebesar 5,0 persen dari PDB (Tabel 5.7). Pengeluaran publik untuk infrastruktur berjumlah 10,1 persen dari pengeluaran nasional pada tahun 2004, persentase yang lebih rendah dari dua tahun sebelumnya (10,4 persen). Pengeluaran untuk infrastruktur mengalami penurunan terutama karena terjadi penurunan terus-menerus pada investasi sektor swasta. Penurunan investasi infrastruktur sejak akhir tahun 1990-an merupakan isu utama yang harus diperhatikan dalam kebijakan infrastruktur. Tingkat investasi infrastruktur masih rendah menurut standar, terutama jika dibandingkan dengan negara seperti China dan Vietnam, yang melakukan investasi sekitar 10 persen dari PDB untuk infrastruktur, atau negara masih berkembang lainnya seperti Laos dan Mongolia, masing-masing yang melakukan investasi sebesar 4 sampai 7 persen dari PDB.74

74 World Bank, 2005. Connecting East Asia: A new framework for infrastruktuce, lampiran data.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 86

BAB 5 Infrastruktur

Tabel 5.7 Sekilas tentang pengeluaran infrastruktur

Rp triliun (harga konstan 2004) % dari PDB

2002 2003 2004 2002 2003 2004 Avg. 02-04

1. Pengeluaran publik untuk infrastruktur (2 + 3) 174.74 179.48 177.26 8.2 8.3 7.7 8.4

Investasi 69.59 64.51 62.18 3.3 3.0 2.7 3.4

Operasional &Pemeliharaan 105.15 114.97 115.08 4.9 5.3 5.0 5.0

2. Anggaran pada seluruh tingkat pemerintahan a/ 36.23 47.33

39.88 1.7 2.2 1.8 2.1

Pemerintah pusat 16.61 22.74 17.40 0.8 1.0 0.8 1.2

Investasi b/ 7.88 13.83 9.70 0.4 0.6 0.4 0.8

Operasional &Pemeliharaan 8.73 8.91 7.70 0.4 0.4 0.3 0.4

Pemerintah daerah 19.61 24.59 22.48 0.9 1.1 1.0 0.9

Investasi 12.43 16.64 14.97 0.6 0.8 0.7 0.7

Operasional &Pemeliharaan 7.19 7.95 7.51 0.3 0.4 0.3 0.2

3. BUMN 110.44 123.65 128.24 5.2 5.7 5.6 5.5

Investasi c/ 21.21 25.54 28.37 1.0 1.2 1.2 1.2

Operasional &Pemeliharaan 89.23 98.11 99.87 4.2 4.5 4.4 4.4

4. Sektor swasta 28.45 8.93 9.58 1.3 0.4 0.4 0.7

Investasi komitmen d/ 28.07 8.50 9.14 1.3 0.4 0.4 0.7

Total pengeluaran infrastruktur (2 + 3 + 4) 174.73 179.48 177.26 8.3 8.3 7.8 8.3

Total investasi 69.58 64.51 62.18 3.3 3.0 2.7 3.3

Total Operasional &Pemeliharaan 105.15 114.96 115.08 5.0 5.3 5.1 5.0

Sumber: Data DepKeu yang sudah diolah; laporan tahunan perusahaan dan neraca; database PPI Bank Dunia.Catatan: a/ Pengolahan data anggaran pemerintah, seluruh tingkat pemerintahan, b/ Sedikit variasi sehubungan data investasi publik sebelum-nya dijelaskan berdasarkan akses terhadap data yang dis-agregat untuk periode 2002-04, yang memungkinkan penentuan kategorisasi lebih rinci dari total pengeluaran untuk investasi dan Operasional &Pemeliharaan, c/ Investasi atau Angka Capex. Jika tidak ada informasi lain yang bisa ditemukan, perbedaan dari tahun ke tahun dalam persediaan modal dianggap sebagai perkiraan Capex, d/ Investasi sektor swasta yang diukur sebagai komitmen investasi pada saat dilakukan persetujuan dan penutupan finansial.

Diagram 5.3 Komposisi pengeluaran infrastruktur

Pemerintah Pusat14%

Sektor Swasta5%

Investasi16%

Operasional &Pemeliharaan 5%

Pemerintah Daerah(Provinsi &

Kabupaten/Kota)10% Badan Usaha

milik Negara70%

Sumber: Data dari DepKeu yang sudah diolah; laporan tahunan BUMN; database PPI Bank Dunia.

Pengeluaran BUMN berjumlah lebih dari 70 persen dari total pengeluaran infrastruktur. Akan tetapi, pengeluaran BUMN sebagian besar didorong oleh kegiatan operasional dan pemeliharaan, dan lebih rendah untuk investasi (Diagram 5.3). Pengeluaran anggaran publik pemerintah pusat berjumlah sedikit lebih besar daripada pengeluaran pemerintah daerah. Peranan pengeluaran sektor swasta masih sangat terbatas, dengan jumlah hanya 5 persen dari total pengeluaran.

Baik investasi sektor publik maupun sektor swasta untuk infrastruktur telah mengalami penurunan relatif terhadap besaran ekonomi (Tabel 5.8). Komitmen investasi sektor swasta di atas 2 persen dari PDB pada pertengahan 1990-an, tetapi turun di bawah 0,5 persen pada 2003 dan 2004. Investasi pemerintah (pusat dan

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 87

BAB 5 Infrastruktur

daerah) berjumlah hampir 3 persen dari PDB pada pertengahan tahun 1990-an, sementara sejak krisis angka-angka tersebut telah menurun antara 1,1 sampai 1,8 persen. Dari 2002 sampai 2005, investasi yang dilakukan oleh BUMN telah meningkat secara perlahan dari 1,0 persen dari PDB menjadi 1,3 persen, tetapi jumlah ini tidak memadai untuk mengatasi penurunan investasi yang dilakukan oleh pemerintah dan sektor swasta. Walaupun investasi pemerintah terus mengalami peningkatan secara absolut sejak 2002, peningkatan ini tidak setara dengan pertumbuhan ekonomi. Selama 2002-04, satu-satunya periode tersedianya data lengkap, total investasi meningkat secara absolut tetapi menurun jika dilihat dari proporsi terhadap PDB dari sekitar 3,5 persen menjadi 2,9 persen.

Tabel 5.8 Tren investasi

Rp triliun harga konstan(2001) % dari PDB

Swasta a/ Pemerintah b/ BUMN c/ Total Swasta a/ Pemerintah b/ BUMN c/ Total

1994 8.56 32.59 NA -- 0.8 2.9 -- --1995 26.91 32.84 NA -- 2.4 2.7 -- --1996 28.12 29.75 NA -- 2.3 2.2 -- --1997 25.52 31.41 NA -- 1.8 1.9 -- --1998 6.79 27.94 NA -- 0.5 1.8 -- --1999 14.78 20.13 12.61 47.52 1.2 1.4 1.0 3.62000 1.46 16.49 11.45 29.40 0.1 1.1 0.7 1.92001 9.38 21.52 10.09 41.00 0.6 1.3 0.6 2.42002 22.16 18.98 16.75 57.88 1.3 1.1 1.0 3.52003 6.71 28.67 20.17 55.55 0.4 1.7 1.2 3.22004 7.21 23.09 22.40 52.71 0.4 1.3 1.2 2.92005 -- -- 24.84 1.3

Sumber: Data DepKeu yang telah diolah; laporan tahunan BUMN; Database PPI Bank Dunia.

Catatan: 1/ Termasuk listrik , gas, telekomunikasi, jalan raya, pelabuhan, bandara, jalur kereta, air pipa, dan sanitasi, pengelolaan sumber air, dan irigasi; a/ Investasi sektor swasta diukur sebagai komitmen investasi pada saat kesepakatan penutupan finansial; b/ Pengeluaran pembangunan terkait infrastruktur, seluruh tingkat pemerintahan; c/ Investasi atau pengeluaran modal (Capex). d/ Data BUMN yang tidak lengkap; data tersedia untuk investasi , infrastruktur BUMN 1999-2001, tetapi tidak semuanya.

Sebelum krisis, investasi sektor swasta tersebar di seluruh sektor infrastruktur; dan sejak krisis investasi terkonsentrasi di sektor telekomunikasi (Tabel 5.9). Pada pertengahan sampai dengan akhir tahun 1990-an, investasi sektor swasta mencapai tingkat 2,3 persen dari PDB. Pada tahun 2003 dan 2004 investasi hanya mencapai 0,4 persen dari PDB.

Tabel 5.9 Tren investasi sektor swasta*

Energi Air dan sanitasi Transportasi Telekomunikasi Total1994 466 0 236 2,417 3,1191995 5,531 448 607 4,143 10,7291996 7,851 0 0 4,142 11,9931997 7,600 364 2,067 1,522 11,5531998 1,530 2,931 0 410 4,8711999 976 0 8,028 3,780 12,7842000 0 0 0 1,312 1,3122001 0 377 0 9,006 9,3832002 1,933 0 6,045 16,814 24,7922003 0 0 0 7,998 7,9982004 1,084 0 31 8,021 9,1372005Total 26,971 4,119 17,015 59,566 107,671

% of total 25.0 3.8 15.8 55.3 100.0Sumber: Database PPI Bank Dunia, Angka-angka tidak termasuk proyek yang dibatalkan.Catatan: Angka saat ini dalam miliar Rupiah, nilai tukar yang digunakan adalah untuk Tahun Kalender (CY) yang bersangkutan, bersumber dari Pemerintah Indonesia , * Investasi sektor swasta yang diukur sebagai komitmen investasi pada saat dilakukan persetujuan dan penutupan finan-sial.

Sejak 2001, pemerintah daerah telah mengambil bagian yang semakin besar dalam pengeluaran pembangunan di sektor infrastruktur, sebagai bagian dari desentralisasi tanggung jawab pemerintah secara

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 88

BAB 5 Infrastruktur

umum. Proporsi pengeluaran pemerintah daerah untuk infrastruktur meningkat dari 35 persen pada 2000 menjadi 55 persen pada 2004, dimana pengeluaran pemerintah provinsi berjumlah 20 persen dan pengeluaran pemerintah kabupaten/kota 35 persen (Diagram 5.4).

Diagram 5.4 Dampak pelaksanaan sistem desentralisasi terhadap investasi pemerintah untuk infrastruktur

0

10

20

30

40

50

60

70

2000 2001 2002 2003 2004

% p

enge

luar

an In

frast

rukt

ur

dari

tota

l pen

gelu

aran

pem

bang

unan

Pemerintah Pusat Provinsi Kabupaten/Kota Provinsi & Kabupaten/Kota

%

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD.

Dalam total anggaran pembangunan, proporsi desentralisasi investasi bervariasi cukup besar menurut sub-sektor (Diagram 5.4). Komponen terbesar dari total anggaran pembangunan adalah transportasi, di mana jumlah ini didominasi oleh investasi jalan. Antara 2000 dan 2004, besarnya anggaran pembangunan untuk transportasi meningkat dari 62 persen menjadi 75 persen, dan pengeluaran daerah untuk sektor transportasi ini meningkat dari 56 persen pada 2001 menjadi 64 persen pada 2004. Secara nominal, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah untuk transportasi meningkat dari Rp 4,498 miliar menjadi Rp 14,460 miliar selama empat tahun yang sama. Pemerintah pusat memiliki jumlah terbesar dari anggaran pembangunan untuk sumber daya air dan irigasi. Anggaran pembangunan berperan kecil dalam sektor energi dan telekomunikasi, di mana BUMN dan perusahaan swasta merupakan pemain yang lebih penting, tetapi peran yang ada untuk pemerintah dalam kedua sektor ini didominasi oleh pemerintah pusat.

Diagram 5.5 Distribusi pengeluaran investasi berdasarkan unit pengeluaran

0

5

10

15

20

25

Pengelolaan Sumber Air

Irigasi Tr ansportasi Energi Te lekomunikasi

Rp tr

iliun

; Har

ga y

ang

berla

ku

SwastaBUMNKabupaten/KotaProvinsiPusat

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKDCatatan: Pengeluaran BUMD (PDAM) untuk sumber air hanya dapat diperkirakan secara umum. Ahli-ahli industri memperkirakan bahwa angka 0 adalah perkiraan yang valid untuk investasi di sektor ini.

Pengeluaran pembangunan pemerintah daerah untuk sektor infrastruktur tidak sepadan dengan tingkat pertumbuhan pendapatan riil mereka. Hal ini sebagian dapat mencerminkan prioritas daerah, dengan sektor pendidikan dan kesehatan yang menempati proporsi peningkatan cukup tinggi untuk pengeluaran pembangunan di

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 89

BAB 5 Infrastruktur

daerah, tetapi mungkin juga kemampuan pemerintah daerah terkendala untuk meningkatkan investasi infrastruktur. Tingkat pengeluaran yang rendah untuk sektor infrastruktur dapat juga mencerminkan penundaan perencanaan, dalam hal ini keseimbangan antara pengeluaran infrastruktur dan pengeluaran untuk kategori lain terus mengalami kemunduran. Akan tetapi, dapat juga terjadi bahwa karena kapasitas atau alasan lain, pemerintah daerah tidak mampu untuk meningkatkan investasi infrastruktur yang diinginkan. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa simpanan anggaran pemerintah daerah di bank telah mengalami akumulasi cukup cepat tidak kurang dari Rp 10 triliun pada Januari 2001 sampai lebih dari Rp 70 triliun (2,6 persen dari PDB) pada April 2006, yang menunjukkan ketidakmampuan atau keengganan pemerintah daerah untuk menggunakan alokasi anggaran mereka secara penuh. Telaah yang lebih rinci diperlukan untuk menentukan mengapa investasi pemerintah daerah di sektor infrastruktur tidak mengikuti percepatan pertambahan penerimaan pemerintah daerah, terutama mengingat mutu dan indikator yang rendah dari investasi yang ada di Indonesia.

Tabel 5.10 Pengeluaran publik untuk investasi dan biaya operasional dan pemeliharaan a/Rata-rata 2002-04

Investasi(Rp milyar)

Operasional & Pemeliharaan(Rp milyar)

Rasio O&M terhadap Investasi

Air & Sanitasi 1/ 1,131 9,278 8.21Transportasi (Di luar jalan raya) 10,716 6,539 0.61Jalan raya 2/ 15,159 3,328 0.22Gas alam 3/ 2,641 1,046 0.40Listrik 4/ 9,551 61,025 6.39Telekom 5/ 13,156 21,772 1.66TOTAL 54,817 102,989 1.88

Sumber: Angka asli dari laporan tahunan BUMN dan rekening perusahaan.Catatan: a/ Termasuk seluruh tingkat pemerintahan dan BUMN; 1/ dikeluarkan dari pengolahan sumber air untuk dalam anggaran pengeluaran; PDAM untuk pengeluaran di luar; 2/ Jalan tol untuk pengeluaran di luar (BUMN); 3/ PGN; 4/ PLN; angka-angka untuk Operasi & Pemeliharaan ter-masuk pembayaran subsidi secara eksplisit yang diterima PLN untuk mensubsidi tarif. Subsidi ini merupakan jumlah quasi-jumlah biaya Operasi & Pemeliharaan yang dikeluarkan melalui anggaran pemerintah untuk sektor listrik ; 5/ Indosat dan Telkom.

Rasio pengeluaran operasional terhadap investasi di Indonesia menunjukkan bahwa pemeliharaan jalan tidak memadai serta kurangnya investasi untuk sektor air bersih dan listrik (Tabel 5.10). Sektor listrik juga memiliki tingkat rasio yang tinggi untuk biaya operasional investasi, yang menunjukkan investasi yang tidak memadai, tetapi hal ini sebagian besar disebabkan oleh adanya subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam rangka menutup rendahnya pendapatan PLN yang diperlihatkan sebagai biaya operasional. Keseimbangan yang sesuai antara biaya investasi dan operasional sangat bervariasi pada lintas sektoral sesuai dengan intensitas modal dan tingkat pertumbuhan permintaan. Kajian sektor yang lebih rinci dengan standar teknis disarankan untuk menentukan tingkat pengeluaran yang memadai dengan mengingat aset infrastruktur Indonesia dan targets pembangunan.

Biaya operasional dan pemeliharaan untuk telekomunikasi dan listrik yang dikeluarkan oleh BUMN sebagai proporsi dari PDB telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Pertumbuhan dalam sektor telekomunikasi merupakan cerminan dari perkembangan pentingnya sektor ini dalam pembangunan ekonomi. Pertumbuhan biaya operasional dan pemeliharaan PLN mungkin juga sebagian mencerminkan tingkat pertumbuhan permintaan sektor ekonomi, tetapi penjelasan kunci terletak pada kenaikan harga BBM pada beberapa tahun terakhir ini, dan subsidi biaya operasional yang diperlukan akibat penurunan pendapatan yang disebabkan oleh pengenaan tarif di bawah biaya produksi. Biaya operasional dan pemeliharaan untuk BUMN yang menyediakan layanan jalan tol, pelabuhan, bandara, dan gas seluruh memiliki proporsi PDB yang stabil dalam beberapa tahun terakhir ini.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 90

BAB 5 Infrastruktur

Tabel 5.11 Biaya Operasional dan pemeliharaan BUMN

% PDB 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Jalan tol (BUMN) 0.04 0.05 0.05 0.05Bandara (Angkasa Pura) 0.05 0.05 0.08 0.08 0.08 0.07Pelabuhan laut (Pelindo I-IV) 0.09 0.10 0.10 0.10Gas alam (PGN) 0.03 0.03 0.03 0.04 0.05 0.05Listrik (PLN) 1.96 1.96 1.94 2.81 2.88 2.63 2.79PT Telkom 0.53 0.63 0.74 0.85 0.90PT Indosat 0.12 0.11 0.20 0.26 0.29 0.32 0.29

Sumber: Angka asli dari laporan tahunan BUMN dan rekening perusahaan.

Listrik

PLN melakukan investasi sebesar Rp 8,620 milyar pada tahun 2005, sementara biaya operasional dan pemeliharaannya berjumlah Rp 76,024 milyar (Diagram 5.6). Anggaran pemerintah juga telah memberikan berkontribusi terhadap investasi melalui program kelistrikan, dengan rata-rata jumlah Rp 1,903 milyar per tahun selama 2002-04. Total pengeluaran untuk sektor listrik menjadi sekitar 3,2 persen dari PDB.

Biaya eksplisit dan implisit dari subsidi pemerintah untuk biaya operasional PLN berkisar sekitar Rp 38 triliun (1,4 persen dari PDB) pada tahun 2005. Pemerintah menyediakan subsidi eksplisit kepada PLN untuk menutupi perbedaan antara tarif yang ditentukan dan biaya sebenarnya untuk memberikan layanan yang berbeda, termasuk pelanggan rumah tangga, industri, dan perdagangan. Pembayaran subsidi eksplisit berjumlah Rp 16.890 miliar (0,6 persen dari PDB) pada 2005, dan subsidi ini bisa mencapai Rp 24,000 miliar pada 2006. Karena subsidi BBM belum seluruhnya dihapuskan, PLN juga memperoleh manfaat dari subsidi implisit terhadap BBM. Subsidi implisit ini diperkirakan berjumlah Rp 20,6 milyar pada tahun 2005. Akhirnya, pemerintah menyediakan subsidi sambungan untuk meningkatkan pelistrikan di wilayah pedesaan. Biaya subsidi ini berjumlah sekitar Rp 500 milyar pada tahun 2005 (Lihat Bab 1 untuk informasi lebih rinci tentang subsidi listrik).

Diagram 5.6 Pengeluaran PLN

0

20,000

40,000

60,000

80,000

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Operasional Investasi Pemeliharaan

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Operasional Investasi Pemeliharaan

Sumber: Laporan keuangan tahunan PLN.

Dalam upaya penciptaan sumber tenaga listrik, beberapa distorsi dan kendala untuk memperluas akses merupakan akibat dari kebijakan harga dan subsidi. Subsidi BBM menyebabkan PLN menggunakan BBM untuk memproduksi listrik, termasuk pembangkit yang dirancang untuk menggunakan bahan bakar gas. Karena kenaikan BBM pada tahun-tahun terakhir ini dan penghapusan subsidi BBM, biaya sebenarnya yang dikeluarkan PLN untuk memberikan layanan telah meningkat dengan cepat. Namun demikian, tarif PLN masih tetap sama dan kini PLN menderita kerugian ekonomi yang cukup besar—kerugian yang ditanggung oleh pemerintah. Untuk masa mendatang, memang dibutuhkan harga eceran listrik untuk mencerminkan biaya untuk mengontrol konsumsi listrik dan untuk meningkatkan tambahan investasi. Tingkat dan struktur harga yang ada sekarang merupakan akibat dari pemberian alokasi subdisi sumber daya yang tidak efisien dan sasaran subsidi yang tidak baik. Sementara itu, tarif seragam yang berlaku saat ini tidak memberikan insentif untuk memperluas sambungan di kawasan Indonesia Timur yang memerlukan biaya tinggi.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 91

BAB 5 Infrastruktur

Langkah besar untuk menangani kesenjangan investasi dan mengurangi biaya produksi kini sedang ditangani melalui rencana untuk mendorong peningkatan kapasitas pengadaan listrik PLN sampai dengan 10.000MW menggunakan mesin pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2006, PLN menaikkan tambahan kapasitas sebesar 2.500 MW pada jaringannya. Di samping itu, rencana perluasan PLN sedang ditinjau untuk menjamin tambahan kapasitas benar-benar dilaksanakan dengan penentuan tahapan secara berhati-hati serta penentuan posisi pembangkit tenaga listrik, bersama dengan transmisi yang bersangkutan dan fasilitas distribusi, harus sesuai dengan kebutuhan pusat-pusat pertumbuhan permintaan. Di samping adanya pembangkit tenaga listrik seperti ini, pemerintah akan berusaha untuk mengurangi beban hutang PLN dengan mengundang investor swasta untuk membangun pembangkit independen agar mereka menjual listrik mereka kepada PLN.

Jalan

Pada 2004, pengeluaran untuk jalan berjumlah sekitar 1 persen dari PDB, dengan investasi jalan mendekati tingkat sebelum krisis. Investasi yang berjumlah Rp 18,2 triliun (0,8 persen dari PDB), biaya operasional jalan raya sebesar Rp 1,4 triliun (0,06 persen dari PDB) dan biaya pemeliharaan sebesar Rp 2,5 triliun (0,11 persen dari PDB) (Diagram 5.6, Tabel 5.4).

Biaya pemeliharaan jalan raya mencerminkan kondisi relatif dari jalan raya nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah pusat menggunakan sebesar Rp 32 juta per kilometer untuk biaya pemeliharaan rutin dan reguler, pemerintah provinsi menggunakan sekitar Rp 18 juta per kilometer, dan pemerintah kabupaten/kota menggunakan sebanyak Rp 2,5 juta per kilometer.75 Pemeliharaan jalan raya dengan tingkat yang lebih tinggi akan lebih mahal untuk dilaksanakan dan mungkin akan memerlukan pemeliharaan yang lebih sering akibat penggunaan yang lebih luas. Kondisi yang lebih buruk dari jalan raya di daerah menunjukkan bahwa pengeluaran untuk pemeliharaan jalan raya di daerah seharusnya ditingkatkan. Mengingat buruknya kondisi jalan raya daerah yang ada sekarang, sepertinya tambahan biaya pemeliharaan akan menghasilkan manfaat pengembalian sosial yang tinggi.

Diagram 5.7 Investasi dalam jalan raya per tingkat pemerintah dan sektor swasta

0

2

4

6

8

10

12

14

16

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

H

arga

Kon

stan

tahu

n 20

00; R

p tr

iliun

Pusat Provinsi Kabupaten/kota Nasional

Sumber: Angka-angka mengenai anggaran; laporan tahunan BUMN; database PPI Bank Dunia.

Pembangunan jalan bebas hambatan antarkota dan jalan lingkar yang baru untuk kota-kota besar akan membutuhkan peningkatan investasi untuk jalan raya. Konstruksi jalan bebas hambatan trans-Jawa yang menghubungkan Jakarta dengan Surabaya dengan panjang sekitar 870km jalan bebas hambatan yang baru diperkirakan akan menelan biaya sebesar Rp 49 triliun, dimana untuk pembebasan tanah akan memerlukan biaya sebesar Rp 5 triliun. Sebuah sistem jalan bebas hambatan akan diperlukan untuk pulau Sumatera. Pemerintah sedang mengajak sektor swasta untuk bersama-sama memikul beban pendanaan, dan pihak swasta juga selanjutnya akan dapat mengembalikan biaya yang dikeluarkan melalui pengenaan tol. Mengingat besarnya risiko finansial terlibat dalam proyek jalan raya, maka diperlukan persiapan proyek yang sangat hati-hati untuk memaksimalkan dukungan pemerintah terhadap proyek-proyek tersebut.

75 Dihitung menggunakan angka-angka biaya pemeliharaan untuk 2004 dari Tabel 5.12 dan panjang jaringan jalan raya pada 2006 dari Tabel 5.5.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 92

BAB 5 Infrastruktur

Tabel 5.12 Biaya operasional dan pemeliharaan jalan raya, 2004

Rp milyar % dari PDB

Operasional Pemeliharaan Pemeliharaan Pemeliharaan Pemerintah pusat 450 1,105 0.020 0.049Provinsi -- 609 -- 0.027Kabupaten/kota 590 0.026BUMN 910 204 0.040 0.009Total 1,360 2,508 0.060 0.110

Sumber: Angka-angka mengenai anggaran; laporan tahunan BUMN.

Konstruksi jalan raya yang dioperasikan sektor swasta untuk jalan lingkar wilayah perkotaan dan jalan bebas hambatan antarkota dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap tingkat pertumbuhan di tahun-tahun yang akan datang, tetapi kesulitan untuk menarik investasi sektor swasta sepertinya akan memperlambat proyek-proyek ini. Pemerintah telah mengembangkan kerangka kerja yang baru untuk investasi sektor swasta dalam infrastruktur untuk menjamin alokasi yang tepat terhadap risiko bagi pemerintah untuk memberikan dukungan terhadap untuk proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan oleh sektor swasta. Pengaturan kelembagaan telah juga dikembangkan untuk mendukung persiapan proyek yang dilakukan secara hati-hati. Namun demikian, pengalaman dan kapasitas yang tidak memadai di pihak pemerintah untuk menyiapkan transaksi sementara pada saat yang bersamaan melakukan perubahan kebijakan dapat semakin menunda proses ini.

Air dan Sanitasi

Data pengeluaran untuk sektor air bersih dan sanitasi sangat jarang dan tidak dapat diandalkan. Namun demikian, pada dasarnya tidak ada investasi PDAM, dan biaya operasional dan pemeliharaan tidak konsisten dengan mutu layanan. Dengan tarif yang lebih rendah dari biaya sebenarnya, PDAM tidak mampu mendanai investasi yang baru melalui pendapatan mereka sendiri. Dan kebanyakan PDAM tidak cukup memenuhi syarat untuk melakukan pinjaman untuk investasi baru. Pengeluaran pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum secara historis merupakan sumber utama investasi baru tetapi, sejak pelaksanaan sistem desentralisasi pada 2001, pemerintah daerah diharapkan untuk memikul tanggung jawab untuk investasi penyediaan air bersih. Pinjaman jangka panjang yang disediakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB juga merupakan sumber investasi yang penting. Akan tetapi, tidak satu pun dari pinjaman semacam itu disetujui oleh Departemen Keuangan sejak 2000 (Diagram 5.8), yang pada dasarnya telah mengakibatkan tidak adanya investasi PDAM selama kurun waktu enam tahun kebelakang.

Diagram 5.8 Jumlah pinjaman kepada PDAM yang disetujui oleh Departemen Keuangan, 1993-2005

36 38

18

4659

32

11 4(nil) (nil) (nil) (nil) (nil)

‘93 ‘94 ‘95 ‘96 ‘97 ‘98 ‘99 ‘00 ‘01 ‘02 ‘03 ‘04 ‘05

Sumber: DepKeu.

Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam penyediaan layanan tingkat dasar untuk air bersih melalui proyek-proyek pengembangan berbasis masyarakat, terutama di wilayah-wilayah pedesaan, namun solusi ini tidak akan murah atau bahkan tidak efektif untuk wilayah perkotaan. Ada juga sejumlah PDAM daerah terpencil di mana para walikota yang inovatif telah melakukan manajemen yang pro-aktif, dan kemajuan telah dibuat untuk mengurangi kerugian dan meningkatkan layanan.

Situasi menyedihkan dari sebagian besar PDAM ini merupakan akibat dari kombinasi berbagai kebijakan yang tidak sesuai. Banyak negara menentukan tarif air di bawah biaya sebenarnya, tetapi rata-rata tarif air untuk keluarga berpendapatan rendah di Indonesia kurang dari setengah tariff air dari penduduk berpendapatan paling rendah di Vietnam (negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia), dan jauh berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 93

BAB 5 Infrastruktur

Hampir setengah dari seluruh PDAM dilaporkan menentukan tarif di bawah biaya operasional dan pemeliharaan. Situasi ini bertambah buruk di Indonesia akibat pengaturan tata kelola perusahaan yang lemah. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM untuk mengumumkan adanya “dividen” bahkan saat mereka sedang menderita kerugian, yang memungkinkan terjadinya pengalihan aliran uang PDAM untuk kepentingan-kepentingan politik lainnya. Kinerja operasional yang buruk di Indonesia semakin diperparah akibat terjadinya fragmentasi yang berlebihan. Banyak PDAM yang bekerja di bawah titik optimal, yang mengakibatkan timbulnya biaya operasional yang berlebihan. Dengan demikian, kemungkinan untuk melakukan mergers (penggabungan) sangat perlu untuk dipertimbangkan.

Jalan buntu yang dihadapi PDAM untuk mendapatkan bantuan pinjaman dari donor memerlukan perhatian yang mendesak. Di antara berbagai kriteria yang diperlukan untuk melakukan pinjaman baru bagi PDAM adalah bahwa baik PDAM maupun pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM tidak memiliki tunggakan utang dari pinjaman sebelumnya. Sekitar 60 persen dari penduduk di wilayah perkotaan tinggal dalam wilayah di mana pemerintah daerah atau PDAM memiliki utang yang masih tertunggak dan masyarakat ini, pada saat ini, secara efektif terhalang untuk menikmati peningkatan layanan PDAM. Jumlah utang PDAM yang masih tertunggak sangat bervariasi, tetapi sebagian dari hutang ini bisa direstrukturisasi dan dibayar dengan bantuan pinjaman baru. Dengan rencana saat ini untuk melakukan restrukturisasi hutang terbatas kemungkinan akan diperlukan beberapa tahun sebelum investasi baru dapat dimulai. Untuk itu diperlukan adanya rasa kebutuhan yang mendesak untuk melakukan hal ini.

Keseimbangan Spasial dan Pemerataan Akses Terdapat kesenjangan yang sangat besar antar provinsi dalam akses infrastruktur. Daerah diluar Jawa dan Bali tertinggal (Tabel 5.13). Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku memiliki peringkat paling rendah dalam hal akses terhadap infrastruktur dalam sektor listrik, air pipa, dan jalan raya. Peningkatan akses terhadap air pipa seharusnya menjadi prioritas, karena akses penduduk desa terhadap air pipa benar-benar sangat rendah. Di Papua hanya tiga persen dari seluruh desa yang memiliki akses terhadap air, sementara data yang sama di Nusa Tenggara, Maluku, dan Sumatera masih berada di bawah 10 persen.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 94

BAB 5 Infrastruktur

Tabel 5.13 Akses terhadap infrastruktur: persentase desa dengan akses infrastruktur terpilih

Pulau/Provinsi

Suplai Listrik Suplai Air Jalan raya

Desa dengan Listrik PLN Village dengan Air pipa Desa dengan jalan aspal

% Peringkat* % Peringkat* % Peringkat*

SUMATRA 66 3 9 4 51 3Sumatera Utara 83 3 12 11 49 20Nanggroe Aceh Darussalam 73 10 6 25 44 22Sumatera Barat 70 15 29 3 78 5Riau 60 17 1 33 39 27Jambi 56 23 18 6 61 13Sumatera Selatan 56 22 8 22 55 17Bengkulu 57 20 10 17 68 10Lampung 51 28 4 29 45 21Kepulauan Bangka Belitung 78 6 2 32 89 3Kepulauan Riau 76 7 16 7 49 19JAWA/BALI 73 1 12 3 71 1DKI Jakarta 99 1 47 2 100 1West Java 76 8 9 19 73 8Banten 79 5 6 23 57 15Jawa Tengah 65 16 11 15 74 7D I Yogyakarta 83 2 10 18 79 4Jawa Timur 71 12 12 12 67 12Bali 75 9 50 1 98 2NUSA TENGGARA 32 7 9 5 49 4Nusa Tenggara Barat 34 31 12 10 77 6Nusa Tenggara Timur 30 33 8 21 40 25KALIMANTAN 67 2 12 2 36 6Kalimantan Barat 60 18 6 27 33 28Kalimantan Tengah 57 19 6 28 18 33Kalimantan Selatan 71 13 20 5 57 14Kalimantan Timur 80 4 15 8 28 30SULAWESI 63 4 14 1 54 2Sulawesi Utara 72 11 23 4 71 9Sulawesi Tengah 52 27 11 14 57 16Sulawesi Selatan 70 14 15 9 55 18Sulawesi Tenggara 49 29 10 16 43 23Sulawesi Barat 53 25 6 26 29 29Gorontalo 46 30 8 20 67 11MALUKU 55 5 9 6 40 5Maluku 56 21 6 24 39 26Maluku Utara 53 24 12 13 42 24PAPUA 38 6 3 7 19 7Papua 34 32 3 30 18 32Irian Jaya Barat 52 26 3 31 21 31

Sumber: Podes 2005.Catatan:* Peringkat yang dilaporkan untuk pulau dan provinsi berkaitan dengan posisi relative mereka baik dalam gugus kepulauan maupun provinsi.

Listrik

Subsidi konsumsi listrik yang diberikan dengan menetapkan tarif di bawah biaya menimbulkan dampak regresif, memberikan manfaat paling besar kepada konsumen paling kaya dan memberikan manfaat paling sedikit kepada konsumen paling miskin. Konsumen rumah tangga menyerap sebagian besar subsidi listrik (66 persen dari total subsidi pada 2006), diikuti oleh konsumen industri (29 persen), dan perusahaan (5 persen). Walaupun tarif paling rendah untuk sambungan voltase rendah, yang biasanya digunakan oleh konsumen miskin, konsumen

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 95

BAB 5 Infrastruktur

miskin juga membeli listrik dalam jumlah kecil. Dampak gabungannya adalah konsumen miskin menerima jumlah yang relative kecil dari total subsidi yang diberikan oleh pemerintah dibandingkan dengan konsumen kaya, yang memiliki tingkat konsumsi listrik jauh lebih besar. Pemerintah dapat merancang ulang tarif yang ada sekarang agar dapat memberikan subsidi yang lebih luas kepada konsumen miskin, dan pada saat yang sama memotong total subsidi biaya konsumsi listrik.

Dampak regresif dari pemberian subsidi konsumsi listrik semakin meningkat jika mempertimbangkan bahwa setengah penduduk wilayah pedesaan bahkan tidak memiliki akses terhadap listrik, sehingga mereka sama sekali tidak mendapatkan manfaat dari seluruh subsidi yang diberikan. Disparitas yang lebar atas akes terhadap listrik antar dan dalam provinsi (Diagram 5.9) didorong oleh perbedaan biaya di wilayah yang berbeda, tarif yang seragam secara nasional yang tidak memberikan insentif kepada PLN untuk membuat sambungan kepada konsumen di wilayah-wilayah biaya tinggi, dan biaya sambungan yang tinggi yang menghambat keinginan konsumen untuk mendapatkan layanan. Dalam sebuah survey rumah tangga yang tidak memiliki sambungan listrik, 87 persen menyebutkan mahalnya biasa sambungan merupakan alasan utama, dan hanya 4 persen yang menyebutkan biaya bulanan yang mahal. Realokasi sumber daya pemerintah antara konsumsi dan subsidi pemasangan sambungan secara substansial dapat meningkatkan sasaran pengurangan kemiskinan.

Diagram 5.9 Variasi persentase keluarga yang memiliki sambungan listrik

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Prov

.Pap

ua

Prov

.Pap

uaBa

rat

Prov

.Mal

uku

Prov

.Mal

uku

Uta

ra

Prov

.Gor

onta

lo

Prov

.Su

law

esiT

engg

ara

Prov

.Su

law

esiT

enga

h

Prov

.Su

law

esiB

ara

t

Prov

.Su

law

esiS

elat

an

Prov

.Su

l aw

esiU

tara

Prov

.Kal

iman

tan

Ten

gah

Prov

.Kal

iman

tan

B ara

t

Prov

.Kal

iman

tan

Tim

ur

Prov

.Kal

iman

tan

Sela

tan

Prov

.Nus

aT

engg

ara

Tim

ur

Prov

.Nus

aT

engg

ara

Bara

t

Prov

.Ja

wa

Ten

gah

Prov

.Ja

wa

Tim

ur

Prov

.Ba

nten

Prov

.Ja

wa

Bara

t

Prov

.Ba

li

Prov

.DI

Yog

yaka

rta

Prov

.Lam

pung

Prov

.Su

mat

era

Sela

tan

Prov

.Jam

bi

Prov

.Ben

gku

lu

Prov

.Ria

u

Prov

.Su

mat

raBa

rat

Prov

.Kep

ulau

anR

iau

Prov

.Kep

ulau

anBa

ngka

B.

Prov

.Su

mat

raU

tara

Prov

.Nan

ggro

eA

ceh

D.

Papua Maluku Sulawesi Kalimantan NT Java/Bali Sumatra Aceh

67.7 Mean Nasiona l

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan Podes 2005.Catatan: Sampel data untuk wilayah pedesaan kabupaten/kota dari setiap provinsi. Grafik di atas merupakan pemetaan terhadap proporsi keluarga di wilayah pedesaan di tingkat kabupaten/kota yang memiliki sambungan listrik. Setiap garis vertical berwarna merah menunjukkan rentangan data statistic di seluruh kabupaten/kota dalam pada satu provinsi yang sama. Titik-titik yang berwarna kuning pada setiap balok menunjukkan nilai rata-rata provinsi untuk data statistic ini.

Jalan

Masih terdapat ketidaksetaraan yang begitu besar antar-kabupaten/kota terhadap tingkat dan kualitas akses jalan raya. Indikasi ketidaksetaraan ini dapat dilihat dalam variasinya antar- dan dalam provinsi dalam proporsi desa yang memiliki akses jalan utama (Diagram 5.10). Penyediaan terhadap akses jalan raya sepanjang musim menunjukkan dampak besar terhadap kemiskinan. Investasi di tingkat kabupaten/kota diperlukan untuk memenuhi kebutuhan desa yang tidak memiliki akses terhadap jalan seperti ini.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 96

BAB 5 Infrastruktur

Diagram 5.10 Variasi persentase desa yang memiliki jalan aspal sebagai akses jalan utama

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Prov

. Pap

ua

Prov

. Kal

iman

tan

Teng

ah

Prov

. Pap

ua B

arat

Prov

. Kal

iman

tan

Tim

ur

Prov

. Kal

iman

tan

Bara

t

Prov

. Mal

uku

Prov

. Sul

awes

i Bar

at

Prov

. Ria

u

Prov

. Nus

a Te

ngga

ra T

imur

Prov

. Mal

uku

Uta

ra

Prov

. Lam

pung

Prov

. Sul

awes

i Ten

ggar

a

Prov

. Kep

ulau

an R

iau

Prov

. Sum

atra

Uta

ra

Prov

. Sum

ater

a Se

lata

n

Prov

. Ban

ten

Prov

. Jam

bi

Prov

. Sul

awes

i Sel

atan

Prov

. Sul

awes

i Ten

gah

Prov

. Kal

iman

tan

Sela

tan

Prov

. Sum

atra

Bar

at

Prov

. Jaw

a Ti

mur

Prov

. Gor

onta

lo

Prov

. Sul

awes

i Uta

ra

Prov

. Ben

gkul

u

Prov

. Jaw

a Ba

rat

Prov

. Jaw

a Te

ngah

Prov

. Nus

a Te

ngga

ra B

arat

Prov

. D I

Yogy

akar

ta

Prov

. Kep

ulau

an B

angk

a Be

litun

g

Prov

. Bal

i

53% Mean Nasional

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan Podes 2005.

Catatan: Sample wilayah pedesaan pada kabupaten/kota untuk setiap provinsi.

Kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap 51 persen dari pengeluaran untuk jalan raya, tetapi akses mereka ke penerimaan hanya memiliki hubungan yang kecil dengan tingkat kebutuhan pengeluaran mereka. Sumber penerimaan paling besar sebagian besar pemerintah kabupaten/kota berasal dari dana alokasi umum (DAU), yang didistribusikan berdasarkan pembayaran gaji pegawai negeri, yang menyebabkan daerah yang lebih miskin tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk pembiayaan jalan raya. Dana dekonsentrasi ditargetkan untuk memberikan jaminan alokasi lebih besar kepada kabupaten/kota yang memiliki akses jalan raya yang masih buruk, tetapi transfer bersyarat kepada pemerintah kabupaten/kota (DAK) belum ditargetkan dengan baik Tabel 5.14).

Tabel 5.14 Sumber pendanaan untuk jalan raya di wilayah pedesaan di kabupaten/kota

Peringkat wilayah pedesaan kabupaten/kota berdasarkan

proporsi desa dengan akses jalan raya

Pengeluaran Kabupaten/kota

(di luar DAK) %DAK Jalan

raya % Dekonsentrasi(Transportasi ) % Total

1 (Akses paling rendah thd. Jalan) 1.74 21 0.11 17 0.56 33 2.412 2.22 27 0.16 25 0.49 29 2.873 1.80 22 0.18 28 0.24 14 2.224 1.70 21 0.14 22 0.33 20 2.17

5 (Akses paling tinggi thd. Jalan) 0.67 8 0.05 8 0.07 4 0.79Semuanya 8.1 100 0.7 100 1.7 100 10.5

Sebagai % total pengeluaran untuk Pengeluaran 77.6 6.3 16.1 100Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari realisasi APBD, data SIKD, DepKeu, dan Podes 2005.Catatan: Angka-angka dalam Rp triliun.

Air

Akses terhadap air pipa sangat terbatas di seluruh provinsi di Indonesia, tetapi kelompok masyarakat miskin memiliki tingkat yang paling rendah atas akses terhadap air (Diagram 5.11). Lebih dari 80 persen dari rumah tangga dalam kuantil rakyat paling miskin dari total jumlah penduduk sangat bergantung pada air sumur dan dari sumber air alami seperti air hujan, mata air, dan sungai, sementara tingkat keluarga yang menggunakan sumber-sumber air ini menurun sampai di bawah 35 persen untuk kuintil kelompok paling kaya.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 97

BAB 5 Infrastruktur

Diagram 5.11 Distribusi rumah tangga berdasarkan penggunaan air dan kuantil konsumsi

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1 (Termiskin) 2 3 4 (Terkaya)

Lain-lain

Mata air & Sungai

Sumur Tadah Hujan

Pompa

Air Kemasan

Air Pipa

%

5

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2005.

Kurangnya akses terhadap air pipa relatif sama di setiap provinsi—dan juga merupakan karakteristik kemiskinan (Diagram 5.12). Hanya Bali yang telah mencapai banyak kemajuan dalam penyediaan air pipa, dan bahkan kurang dari setengah jumlah seluruh keluarga telah memiliki akses terhadap air pipa. Secara umum, semua provinsi setidaknya memiliki satu kabupaten/kota yang memiliki kurang dari 10 persen penduduk yang memiliki akses terhadap air pipa. PDAM pada dasarnya tidak memiliki sumber daya untuk meningkatkan sambungan pipa kepada rumah tangga miskin akibat rendahnya pendapatan dari penjualan air. Alasan untuk mempertahankan harga air yang begitu rendah sangatlah lemah mengingat sebagian besar rakyat miskin bahkan tidak memiliki akses terhadap layanan air pipa, dan sebagai akibat tarif yang rendah dimana penyedia layanan (PDAM) yang tidak mapan dari segi finansial tidak mampu memperluas layanan untuk rakyat miskin.

Diagram 5.12 Variasi proporsi rumah tangga pada sampel desa yang memiliki akses terhadap air pipa

0

10

20

30

40

50

60

70

Prov

. Lam

pung

Prov

. Kep

ulau

an B

angk

a Be

litun

g

Prov

. Ria

u

Prov

. Pap

ua

Prov

. Sum

ater

a Se

lata

n

Prov

. D I

Yogy

akar

ta

Prov

. Kal

iman

tan

Bara

t

Prov

. Ban

ten

Prov

. Jam

b i

Prov

. Jaw

a Ba

rat

Prov

. Gor

onta

lo

Prov

. Jaw

a Ti

mur

Prov

. Ben

gkul

u

Prov

. Mal

uku

Uta

ra

Prov

. Jaw

a Te

ngah

Prov

. Sum

atra

Uta

ra

Prov

. Sul

awes

i Bar

at

Prov

. Kal

iman

tan

Teng

ah

Prov

. Nus

a Te

ngga

ra B

arat

Prov

. Sul

awes

i Sel

atan

Prov

. Sum

atra

Bar

at

Prov

. Mal

uku

Prov

. Kep

ulau

an R

iau

Prov

. Nus

a Te

ngga

ra T

imur

Prov

. Sul

awes

i Ten

ggar

a

Prov

. Sul

awes

i Uta

ra

Prov

. Sul

awes

i Ten

gah

Prov

. Kal

iman

tan

Tim

ur

Prov

. Kal

iman

tan

Sela

tan

Prov

. Pap

ua B

arat

Prov

. Bal

i

18% Rata-rata Nasional

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2005.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 98

BAB 5 Infrastruktur

Inisiatif Terkini dari PemerintahPemerintahan baru, yang terpilih pada November 2004, segera menyadari bahwa kurangnya infrastruktur merupakan salah satu hambatan utama bagi pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan. Perhatian telah banyak dicurahkan untuk menarik investasi sektor swasta dan mendorong investasi swasta setelah terjadi penurunan tajam sejak krisis. Pada bulan Januari 2005, sebuah pertemuan tingkat tinggi Infrastructure Summit diselenggaran, dengan mengundang potensi investasi sektor swasta sebesar US$22,5 milyar dalam 91 proyek . Pemerintah menyampaikan komitmen untuk memfokuskan sumber dayanya untuk menangani proyek-proyek investasi infrastruktur yang tidak memberikan keuntungan secara ekonomi, sambil menciptakan “kemitraan yang baru” dengan sektor swasta untuk mengembangkan proyek-proyek yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Reaksi terhadap komitmen itu sangat mengecewakan: kepercayaan investor masih sangat dipengaruhi oleh negosiasi ulang terhadap proyek-proyek infrastruktur sebelum krisis; kebijakan yang masih berlaku menghambat persiapan proyek dengan pendanaan perbankan; dan proyek-proyek yang ditawarkan tidak disiapkan dengan baik. Akibatnya, tidak satu pun dari ke 91 proyek itu mampu mencapai kesepakatan finansial sampai dengan akhir 2006.

Menyadari kendala-kendala tersebut, pemerintah telah berupaya keras untuk mencabut berbagai kebijakan yang menghambat investasi dan mengembangkan kapasitas kelembagaan untuk menyiapkan investasi sektor swasta dan menciptakan iklim investasi yang baik. Pada bulan Februari 2006, pemerintah mengeluarkan “Paket Kebijakan Infrastruktur,” dengan melaporkan 50 keluaran (output) kebijakan (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan, peninjauan) dicapai selama 2005, dan sebanyak 156 kebijakan yang harus dicapai selama 2006. Tujuan besar dari program ini adalah untuk mendorong persaingan sehat, memberantas praktik-praktik yang diskriminatif yang menghambat partisipasi sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur, serta melakukan definisi ulang terhadap peran pemerintah, termasuk pemisahan pembuatan kebijakan dan tanggung jawab operasional.

Kerangka kerja kelambagaan yang baru menunjukkan peningkatan kepemerintahan, tetapi memerlukan waktu untuk mendapatkan hasil. Sebelum krisis, investasi infrastruktur sektor swasta memberikan keuntungan investasi yang tidak proporsional kepada politisi tertentu dan menyebabkan anggaran publik menanggung risiko yang cukup besar dan tidak imbang. Pendekatan yang baru adalah pendekatan yang terbuka dan pelaksanaan tender yang transparan dan kompetitif, dengan persiapan proyek yang lebih berhati-hati, alokasi risiko yang sesuai dan secara keseluruhan membatasi risiko yang harus ditanggung oleh pemerintah. Akan tetapi, setidaknya akan diperlukan sekitar 18 bulan sampai dua tahun sebelum transaksi yang disiapkan dengan baik dapat ditawarkan ke pasaran dan kesepakatan financial tertutup, dan bahkan mungkin lebih lama sebelum proyek-proyek pipa jaringan sektor swasta mulai memberikan kontribusi yang signifikan terhadap investasi infrastruktur sebagai proporsi PDB. Di samping investasi infrastruktur oleh sektor swasta, juga diperlukan untuk mendorong investasi Sektor publik. Sementara prioritas pemerintah pusat telah mendorong peningkatan anggaran nasional yang sedang dialokasikan untuk sektor pendidikan dan kesehatan, lebih banyak lagi yang dapat dilakukan untuk mendukung pengeluaran pemerintah daerah untuk sektor infrastruktur, termasuk pendanaan bersama, target insentif, dan pelatihan untuk mengatasi kurangnya kapasitas

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 99

BAB 5 Infrastruktur

Rekomendasi Kebijakan

Rekomendasi Umum

Mobilisasi investasi swasta akan berjalan lambat yang menunjukkan akan perlunya perhatian yang lebih besar terhadap peningkatan investasi sektor publik untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak terhadap infrastruktur di Indonesia. Mengingat besarnya kebutuhan investasi infrastruktur pada tahun-tahun mendatang, maka diharapkan bahwa beban pendanaan seharusnya dipikul bersama dengan sektor swasta. Namun, menarik investasi sektor swasta dalam jumlah besar akan memerlukan persiapan proyek yang lebih baik daripada apa yang telah ditunjukkan oleh pemerintah selama ini. Meyakini bahwa sektor swasta mampu menyiapkan proyek-proyek tersebut, termasuk melaksanakan analisis permintaan, studi kelayakan, studi tentang dampak lingkungan dan sosial bagi pemerintah, merupakan kekeliruan .

Mengingat tingkat kesulitan dalam merancang transaksi infrastruktur sektor swasta, sangat masuk akal bagi pemerintah untuk memfokuskan upaya pada persiapan beberapa “model” transaksi di sektor infrastruktur yang berbeda. Sehubungan dengan terbatasnya pengalaman di dalam pemerintah sendiri untuk menyiapkan dan merancang transaksi ini, pemerintah perlu mencari nasihat dari penasihat yang berpengalaman dalam hal pelaksanaan transaksi dan juga perlu menyusun jadwal yang realistis untuk menyiapkan seluruh dokumen penting yang diperlukan. Pengalaman yang diperoleh dari model transaksi ini dapat ditingkatkan untuk mendorong sektor kontribusi sektor swasta dalam investasi infrastruktur.

Bahkan di mana mobilisasi investasi sektor swasta dapat dilakukan, dukungan publik yang cukup besar akan diperlukan. Kebanyakan investasi swasta untuk infrastruktur akan memerlukan sejumlah elemen dukungan pemerintah, dalam hal pembebasan tanah, subsidi operasional atau modal, atau jaminan bersyarat. Ketika ada jaminan dari pemerintah, maka akan diperlukan untuk memberikan jaminan penggunaan berbagai sumber daya secara efektif, dan alokasi risiko yang sesuai antara pemerintah dan pengembang swasta. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan pengembang swasta saja untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pemerintah, atau bukanlah peran sektor untuk menentukan target atas dampak sosial yang diharapkan atas perluasan layanan. Proses yang kompetitif dapat dirancang untuk menggali sejumlah informasi dari para pengembang, tetapi hal ini memerlukan rancangan transaksi yang canggih. Mekanisme pendanaan publik yang dirancang secara berhati-hati bagi pemberian layanan yang tidak memiliki daya tarik komersial akan sangat diperlukan.

Di samping peningkatan volume investasi infrastruktur, peningkatan efektivitas pengeluaran merupakan isu kunci. Pemerintah memegang peran sangat penting dalam pengembangan dan pengelolaan infrastruktur di Indonesia dan manajemen publik yang lebih baik untuk infrastruktur telah diidentifikasikan sebagai bidang yang memiliki potensi yang begitu besar peningkatan efisiensi secara keseluruhan. Sebuah komite yang beranggotakan sejumlah menteri, Komisi Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) dibentuk pada 2005 dan menjadi pelopor dalam meningkatkan kerangka kerja kebijakan bagi peningkatan investasi dalam sektor ini.

Upaya yang lebih besar seharusnya dibuat untuk mengatasi korupsi dalam pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur publik. Kemajuan akan dicapai dalam upaya ekonomi secara luas untuk memperkuat penyelidikan dan penuntutan, melalui lembaga-lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kesepakatan baru tentang kepemerintahan yang telah diterapkan untuk investasi infrastruktur oleh sektor swasta akan membantu menghindarkan beberapa transaksi yang bermasalah yang dilakukan sebelum 1998. Yang masih tersisa adalah kebutuhan untuk mengatasi beberapa risiko spesifik terhadap korupsi yang terlibat dalam investasi publik untuk infrastruktur. Banyak potensi perbaikan dapat dilakukan, termasuk peningkatan fokus risiko terhadap pemeriksaan fisik, transparansi yang lebih besar terhadap proses pengadaan barang dan jasa, pemberian sanksi yang lebih tegas terhadap perusahaan dan oknum yang terbukti bersalah melakukan tindak kejahatan korupsi, serta melakukan revisi terhadap insentif untuk pegawai.76

76 Untuk recent relevant research dan evidence on corruption dalam the Indonesia infrastruktur sektor, Lihat untuk example Ben Olken: Corruption dan the biaya of re-distribusi: Micro-evidence dari Indonesia, Journal of Public Ekonomis 90 (4-5). pp. 853-870, May 2006.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 100

BAB 5 Infrastruktur

Listrik

Investasi dalam jumlah besar akan diperlukan untuk memenuhi peningkatan permintaan terhadap listrik pada tahun-tahun yang akan datang, dan sepertinya bebannya akan dipikul oleh sektor publik. Perlu diperhatikan bahwa investasi sektor publik ini mengikuti prinsip-prinsip dasar tentang biaya minimal untuk melakukan ekspansi. Keputusan mengenai subsidi BBM mengalami distorsi akibat perbedaan harga BBM untuk kebutuhan ekspor dan kebutuhan dalam negeri. Distorsi ini seharusnya diatasi untuk menentukan harga BBM berdasarkan biaya ekonomi yang sebenarnya.

Subsidi listrik yang ada sekarang sangat tidak efisien, yang mendorong konsumsi listrik yang berlebihan dan lebih banyak menguntungkan konsumen kaya daripada rakyat miskin. Ke depan, tarif harus direvisi untuk dinaikkan dan strukturnya harus direvisi untuk mencerminkan biaya sebenarnya untuk menyediakan layanan ini; bantuan pemerintah yang sekarang untuk melakukan kompensasi atas kesenjangan yang terjadi antara kenaikan harga BBM dan tariff listrik PLN yang tidak berubah perlu segera dintinjau. Rencana yang disusun dengan baik untuk melakukan transisi yang lancar diperlukan, karena implikasi politik atas kenaikan harga yang dramatis akan sangat besar dan kenaikan tarif listrik yang begitu cepat sesuai dengan biaya sebenarnya dapat juga mengganggu stabilitas seluruh sendi perekonomian. Subsidi seharusnya lebih diarahkan untuk menurunkan konsumsi yang berlebihan menuju peningkatan jumlah sambungan. Akibat perbedaan biaya yang diderita PLN antara satu daerah dengan daerah lain, pertimbangan juga perlu dilakukan untuk melaksanakan pendekatan kelistrikan yang berbeda berdasarkan kondisi daerah.

Jalan

Re-evaluasi yang mendasar terhadap pendekatan yang dilakukan sekarang oleh pemerintah terhadap rancangan transaksi jalan tol sangat diperlukan. Perselisihan mengenai bentuk dan tingkat dukungan yang diberikan pemerintah merupakan isu penting yang menghambat pembangunan jalan bebas hambatan yang dilakukan oleh sektor swasta. Pendekatan langsung terhadap isu ini adalah menentukan seluruh parameter proyek—termasuk ketentuan prosedur untuk melakukan pembebasan tanah, kenaikan biaya tol, dan pemberian jaminan terhadap risiko proyek khusus—dengan pengecualian tingkat dukungan pemerintah. Selanjutnya, pemerintah harus memberikan hak konsesi secara kompetitif kepada perusahaan yang memerlukan dukungan yang paling rendah dari pemerintah.

Insentif fiskal seharusnya diberikan kepada pemerintah daerah untuk menjamin pemeliharaan yang memadai. Misalnya, pemerintah pusat bisa melakukan pendanaan bersama terhadap investasi jalan raya daerah dengan syarat melakukan pemeliharaan jalan yang memadai untuk jalan di daerah tersebut.

Air dan sanitasi

Pemerintah pusat perlu menjadi pelopor dalam menangani krisis yang dihadapi oleh PDAM, mengalokasikan sumber daya fiscal yang diperlukan, dan menyediakan insentif fiscal kepada pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan ini. Prioritas yang mendesak adalah menghilangkan hambatan yang menyebabkan PDAM tidak bisa melakukan pinjaman jangka panjang. Langkah pertama dalam process ini adalah melakukan restrukturisasi terhadap tunggakan pinjaman PDAM. Proses restrukturisasi hutang seharusnya memberikan prioritas kepada PDAM yang paling layak menerima kredit dan memberikan insentif kepada PDAM yang lain untuk meningkatkan kemampuan mereka mendapatkan kredit (yaitu dengan menaikkan tarif dan memotong biaya dengan mengatasi kerugian fisik dan kerugian komersial). Tujuan itu seharusnya menghapuskan hambatan untuk mendapatkan pinjaman bagi PDAM dengan predikat kinerja terbaik dalam satu tahun. Langkah berikutnya adalah pemberian persetujuan terhadap pinjaman jangka panjang untuk PDAM. Ke depan, pertimbangan seharusnya diberikan untuk menghapuskan kaitan antara persetujuan pinjaman PDAM dengan isu yang berkaitan dengan penunggakan hutang dari pemerintah daerah selaku pemilik PDAM. Akan tetapi, hasil ini harus dikaitkan dalam rangka peningkatan kinerja perusahaan dengan memisahkan isu keuangan PDAM dengan pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM. Saran yang dapat diberikan adalah membentuk sebuah komite yang bertugas untuk membantu Departemen Keuangan untuk melakukan penyelidikan terhadap portfolio PDAM dan negosiasi untuk melakukan restrukturisasi dengan pemerintah daerah yang tertarik untuk itu.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 101

BAB 5 Infrastruktur

Saat ini pemerintah daerah memikul tanggung jawab yang besar tentang kinerja layanan air bersih dan sanitasi dan kapasitas mereka perlu dibangun untuk mencerminkan hal ini. Pemerintah daerah adalah pemilik PDAM dan bertanggung jawab terhadap rakyat di daerah untuk mendapatkan layanan PDAM yang bermutu. Sejak pelaksanaan desentralisasi, pemerintah daerah memiliki akses terhadap tambahan sumber keuangan untuk infrastruktur, yang seharusnya mampu menyediakan peluang untuk melakukan intervensi mengenai kebijakan tarif yang tidak optimal yang sudah diberlakukan sejak dulu, biaya pemeliharaan dan investasi yang tidak memadai, dan layanan yang semakin buruk. Akan tetapi, berbagai isu yang behubungan dengan perencanaan yang tidak efektif, penyusunan program, dan peningkatan dan pelaksanaan kapasitas perlu ditangani, dan pemerintah pusat dapat memainkan peran penting untuk melakukan koordinasi strategi nasional serta menyediakan insentif bagi pejabat lokal.

Pemerintah pusat perlu memberikan sinyal yang lebih kuat mengenai pentingnya layanan penyediaan air dan sanitasi, dan seharusnya mengembangkan sistem insentif fiskal yang memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah untuk kemajuan mereformasi PDAM. Sejumlah persediaan dana tingkat pusat yang dihitung berdasarkan kebutuhan PDAM seharusnya disediakan untuk pemerintah daerah dengan syarat mereka harus mampu mencapai kemajuan untuk melakukan perubahan progress. Fokus awal dari rencana insentif ini harus bertujuan untuk meningkatkan posisi keuangan dan kinerja PDAM. Jika kinerja PDAM sudah mengalami peningkatan, fokus pemberian insentif dapat digeser untuk memperluas sambungan untuk rumah tangga. Fokus yang jelas dari skema semacam itu adalah DAK—sistem bersyarat yang telah ada untuk memberikan bantuan tunai kepada pemerintah daerah. Keterkaitan dan hubungan antara pembayaran DAK dan dana dekonsentrasi, yang saat ini merupakan sumber dana yang penting bagi PDAM, perlu untuk diklarifikasi untuk menghindari terjadinya konflik insentif yang disediakan karena pembayaran dari sumber daya yang berbeda yang berasal dari pemerintah pusat.

Pada tahun 2005, pemerintah pusat telah memulai alokasi anggaran sebesar Rp 203 miliar untuk penyediaan air bersih, dan jumlah anggaran sebesar Rp 608 miliar untuk tahun 2006. Sumber daya ini hanya diberikan kepada kabupaten/kota yang memenuhi beberapa syarat untuk mendapatkan hak tersebut dan mengalokasikan anggaran tersebut melalui anggaran reguler dari daerah. Proyek DAK ini harus selesai dalam waktu satu tahun, dimana alokasi sektoral tidak dijamin untuk kegiatan lebih dari satu tahun.

Untuk mendukung skema ini, pemerintah pusat seharusnya mendorong pengumpulan data PDAM yang benar-benar andal. Pemeriksaan rekening PDAM dan indikator fisik harus disediakan untuk publik di internet untuk menyediakan informasi bagi analisis kebijakan dan meningkatkan tekanan publik untuk memperbaiki kinerja PDAM. Ketepatan waktu untuk menyediakan data ini oleh pemerintah daerah seharusnya merupakan kriteria minimal untuk berpartisipasi dalam skema insentif nasional yang difokuskan pada penyediaan akses terhadap pinjaman jangka panjang dan skema bantuan tunai bersyarat.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 102

BAB 5 Infrastruktur

6. BAB 6 Manajemen Keuangan

PublikKajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 104

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Temuan Pokok1. Penyusunan dan pelaksanaan anggaran

Indonesia telah melaksanakan inisiatif penting untuk meningkatkan transparansi dan kejelasan dalam proses anggaran. Tetapi sistem anggaran baru masih terus bergantung pada dokumen anggaran yang terlalu rinci dan berfokus pada sisi input yang memerlukan banyak waktu untuk mempersiapkan dan membahasnya.Sekarang DPR memiliki wewenang yang begitu besar dalam penentuan anggaran, tetapi interaksi antara pihak eksekutif dan legislatif terlalu berfokus pada hal-hal yang detail sehingga cenderung mengorbankan diskusi mengenai kebijakan.. Hal ini menyita waktu secara tidak proporsional. Pelaksanaan anggaran, terutama untuk proyek-proyek pembangunan, umumnya berjalan lamban dan sering baru bisa direalisasi menjelang akhir tahun anggaran. Lambatnya pencairan anggaran ini menunjukkan adanya gejala hambatan struktural dalam siklus anggaran, termasuk ketentuan dokumentasi yang terlalu rinci, prosedur revisi anggaran yang sangat panjang dan rumit, revisi anggaran besar-besaran pada pertengahan tahun, dan proses pengadaan barang dan jasa yang lamban.

2. Pengadaan barang dan jasaWalaupun kerangka kerja regulasi untuk pengadaan publik telah mengalami perbaikan, kapasitas untuk memenuhi persyaratan proses pengadaan tidak memadai, sehingga memperlambat pelaksanaan proyek.

3. AuditJumlah pegawai dan sebaran geografis staf lembaga audit eksternal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) tidak sejalan dengan mandat mereka masing-masing. Pejabat BPK bertanggung jawab terhadap pemeriksaan eksternal dari seluruh aparatur pemerintah, tetapi hanya memiliki setengah dari auditor bersertifikat yang dimiliki BPKP, yang saat ini perannya lebih kecil dan terbatas. Sebagai akibat dari redefinisi peran BPK dan BPKP, semakin sering terjadi tumpang tindih dan ketidakjelasan mengenai fungsi tiga lembaga pemeriksaan internal, yang terdiri dari BPKP, Inspektur Jenderal (Irjen) pada setiap Departemen, dan badan pengawas daerah (Bawasda).

Rekomendasi Utama Penyusunan dan pelaksanaan anggaran

Hanya setelah pengawasan purnawaktu (ex-post)menjadi semakin kuat, maka secara perlahan gantikan pengawasan berdasarkan line-item di anggaran, kurangi tingkat ke-detail-an dokumen anggaran, dan di saat yang sama sederhanakan proses pengeluaran dokumen anggaran.Pembahasan dan persetujuan DPR terhadap anggaran seharusnya disesuaikan untuk lebih berfokus pada kebijakan dan prioritas.Susun kerangka pengeluaran jangka menengah, berikan peluang untuk pengajuan anggaran multi tahun untuk kategori belanja modal, dan sederhanakan ketentuan mengenai luncuran anggaran pada tahun berikutnya. Langkah pertama bisa berupa otorisasi pengajuan anggaran untuk beberapa tahun, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur yang besar.

Pengadaan barang dan jasaLembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan seharusnya diberikan kemandirian yang lebih luas. Indonesia membutuhkan strategi yang lebih komprehensif untuk melaksanakan sistem e-procurement. Kerangka Peraturan yang ada saat ini seharusnya diperkuat melalui pembentukan UU pengadaan barang dan jasa dan peningkatan kapasitas para pelaksana pengadaan.

AuditPengaturan kelembagaan untuk melakukan pemeriksaan internal dapat disederhanakan. Berbagai lembaga pemeriksa internal dapat dokonsolidasikan ke dalam satu lembaga pemeriksaan internal dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas untuk bekerja sama dengan BPK, Staff dan infrastruktur di tingkat propinsi harus diseimbangkan lagi antara pemeriksaan internal dan eksternal untuk mencerminkan wewenang BPK yang baru.Peran DPR harus diperjelas dalam rangka meminta pertanggungjawaban lembaga eksekutif berdasarkan temuan-temuan BPK.

••

••

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 105

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan77

Dengan meningkatnya sumber-sumber keuangan negara, sistem pengelolaan keuangan publik yang baik menjadi jauh lebih penting dalam rangka menjamin mutu pengeluaran anggaran serta mengurangi risiko tindak korupsi. Dengan semakin besarnya jumlah sumber daya keuangan publik yang akan dibelanjakan pemerintah, tuntutan perencanaan, penganggaran, dan tata cara pelaksanaan anggaran juga akan semakin besar. Modernisasi sistem, proses, dan institusi dalam siklus anggaran diperlukan agar peningkatan pengeluaran tersebut mencapai sasaran prioritas program pembangunan pemerintah, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pengelolaan keuangan publik yang bermutu dan yang berorientasi pada hasil diperlukan untuk mempertahankan dukungan publik terhadap peningkatan pengeluaran dan penerimaan pemerintah.

Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam membangun kerangka kerja perundangan mengenai pengelolaan keuangan publik dan meningkatkan transparansi. Penetapan UU tentang Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU tentang Audit Keuangan Negara dan UU tentang Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan langkah-langkah penting yang membawa Indonesia menuju praktik-praktik keuangan berstandar internasional. Departemen Keuangan telah melaksanakan re-organisasi besar-besaran untuk memperbaiki dan meningkatkan fungsi-fungsi mereka. Semua UU tersebut sekarang sudah diterapkan, dan yang paling jelas adalah dalam membuat anggaran pemerintah pusat yang sesuai dengan standar klasifikasi keuangan internasional (GFS), pembentukanRekening Perbendaharaan Tunggal (Treasury Single Account/TSA), serta penyatuan pos anggaran pembangunan dan rutin yang sebelumnya terpisah. Walaupun akhir-akhir ini reformasi pengelolaan keuangan publik sudah menunjukkan kemajuan, kelemahan dalam kerangka kerja pengelolaan keuangan publik masih terjadi terutama dalam hal perencanaan dan anggaran, pelaksanaan anggaran, akuntansi dan pelaporan, dan akuntabilitas eksternal. Walaupun, kerangka umum hukum kini sudah tersedia, masih menghadapi berbagai tantangan yang berat dalam memantapkan reformasi tersebut melalui pelaksanaan yang benar dan dengan mengatur kembali proses yang mendasarinya.

Tabel 6.1 Kerangka hukum yang sedang berjalan

Bidang Reform Status Pelaksanaan

• Perencanaan Anggaran dan Keuangan Negara

• Peraturan pemerintah mengenai rencana kerja tahunan, rencana kerja departemen, rencana tahunan anggaran telah dikeluarkan, dengan memperkenalkan (i) anggaran berbasis kinerja dan output, (ii) klasifikasi GFS-, (iii) unifikasi anggaran dengan re-klasifikasi terhadap kategori anggaran.

• Peraturan pelaksanaan mengenai akuntansi berbasis akrual belum terlaksana.

• Sistem Perbendaharaan

• Kantor Akuntansi Regional (KAR) dan kantor verifikasi kabupaten/kota (Kasipa) kini sudah disatukan ke dalam Kanwil dan KPPN.

• Kantor pembayaran daerah (KPPN) akan memegang fungsi verifikasi internal.• Rekening dengan Saldo Nihil (zero balance account) sedang diujicobakan pada 50 kantor perbendaharaan

daerah (KPPN), tetapi sebagian besar pengeluaran masih dilaksanakan melalui berbagai rekening pemerintah.

• Regulasi mengenai manajemen kas belum tersedia.

• Audit

• Kehadiran dan kondisi staf BPK di daerah telah mengalami perkembangan yang bagus. Kini BPK telah memiliki kantor di 16 provinsi dengan pegawai berjumlah 3.500 orang.

• UU mengenai Audit Keuangan Negara memerlukan tujuh peraturan pelaksanaan, dan tidak satu pun dari peraturan ini yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.

• UU No. 15/2006 tentang BPK yang dikeluarkan pada November 2006, tetapi peraturan pelaksanaannya masih tertunda.

Sumber: Bappenas.

77 Bab ini berfokus pada Pengelolaan Keuangan Publik pemerintah pusat. Untuk PKP di daerah, lihat Bab 7.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 106

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Diagram 6.1 Kesenjangan antara anggaran dan realisasinya

-15.0

-10.0

-5.0

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

FY 01 FY 02 FY 03 FY 04 FY 05

Total Pengeluaran Pengeluaran Pemerintah Pusat Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal SubsidiBelanja Pembangunan Transfer ke daerah

%

Sumber: DepKeu, Bank Dunia.Catatan: Angka-angka dalam persen dari total pengeluaran sebelum revisi pertengahan tahun.,

Diagram 6.2 Pencairan Pengeluaran Non-Rutin

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Bulanan 06 Bulanan 05 Bulanan 01-04Kumulatif 06 Kumulatif 05 Kumulatif 01-04

%

Sumber: DepKeu, Staff Bank Dunia.Catatan:Angka-angka dalam bentuk persen dari total anggaran tahunan. TA 01 -04 mengacu pada pengeluaran pembangunan, TA 2005 dan 2006 mengacu pada pengeluaran modal dan pengeluaran barang dan jasa

Sejauh ini, beberapa indikator utama tentang kinerja anggaran pemerintah belum mengalami perbaikan, terutama mengenai indikator realisasi anggaran. Realisasi pengeluaran pemerintah pusat selalu menyimpang dari rencana awal. Subsidi dan transfer anggaran kepada pemerintah daerah cenderung diperkirakan terlalu rendah, yang mengakibatkan terjadinya kelebihan pengeluaran secara keseluruhan. Pada saat yang sama, beberapa bagian dari anggaran tersebut—terutama realisasi pengeluaran modal/pengeluaran pembangunan—sering lebih rendah daripada penentuan anggaran awal (Diagram 6.1). Di samping itu, sekitar 50 persen dari total pengeluaran modal baru bisa terealisir pada kuartal terakhir tahun yang bersangkutan. Selama kurun waktu lima tahun yang telah

lewat, pengeluaran dimulai secara perlahan dan semakin gencar menjelang akhir tahun anggaran (Diagram 6.2). Pola pengeluaran seperti ini menimbulkan keperihatinan sebab hal ini menghambat pelaksanaan proyek. Akibat lain dari hal ini adalah pelaksanaan proyek dimulai agak terlambat, dan untuk proyek-proyek yang memerlukan penyelesaian selama beberapa tahun, pelaksanaan proyek selalu terhenti di awal tahun.

Pencairan yang lamban dan cenderung menumpuk dibelakang, merupakan gejala dari tantangan yang lebih berat yang harus dihadapi pada setiap tahapan siklus manajemen keuangan publik. Ada tiga alasan pokok yang dapat menjelaskan kesulitan dalam pelaksanaan anggaran yang efisien: (i) lemahnya penyiapan anggaran; (ii) pelaksanaan anggaran yang kaku; dan (iii) hambatan implementasi.

Pertama, lemahnya penyiapan anggaran, terutama taksiran yang jauh lebih rendah dari harga minyak, telah menyebabkan revisi anggaran besar-besaran pada pertengahan tahun (dikeluarkan pada bulan Agustus). Sejak tahun 2001, revisi pertengahan tahun mencapai rata-rata sebanyak 13 persen dari total anggaran. Revisi yang

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 107

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

begitu besar telah mengurangi kredibilitas anggaran yang telah disetujui dan mempersulit pelaksanaannya, karena hanya ada sisa waktu selama empat bulan untuk melaksanakan hasil revisi yang begitu besar dan seringkali berupa peningkatan anggaran yang cukup besar (lihat Kotak 6.1). Hal ini membaik secara substansial di tahun 2006 dalam arti revisi pertengahan tahun hanya sedikit saja karena asumí harga minyak telah disesuaikan pada waktu penyiapan anggaran.

Kotak 6.1 Estimasi yangterlalu rendah terhadap harga minyak

Dari tahun 2003 sampai 2005, Indonesia mencantumkan anggaran penerimaan agregat dan pengeluaran subsidi BBM secara lebih rendah karena menentukan asumsi harga minyak yang lebih rendah. Harga minyak merupakan parameter yang sangat penting dalam penentuan anggaran sebab 28 persen dari pendapatan langsung berasal dari minyak dan gas (Pertamina) atau secara tidak langsung melalui pajak atas produk-produk migas. Pada tahun-tahun belakangan ini rata-rata harga minyak 50 persen lebih tinggi daripada yang diproyeksikan pada awal penentuan anggaran (lihat Tabel di bawah ini). Asumsi harga minyak memiliki dampak langsung terhadap tingkat alokasi anggaran kepada pemerintah daerah sebab dana DAU ditentukan sebesar 26 persen dari penerimaan pemerintah. Dengan adanya revisi kenaikan anggaran pada tahun 2005, DAU sebenarnya hanya berjumlah 19 persen dari total anggaran. Pada 2006, anggaran menggunakan asumsi harga minyak yang lebih tinggi—dan lebih realistis, yang menyebabkan kenaikan transfer dana DAU sebesar 65 persen.79

Anggaran vs. realisasinya

Harga Minyak Total Pengeluaran

Anggaran(AS$/barel)

Realisasi(AS$/barel)

Selisih (%) Anggaran (Rp triliun)

Realisasi (Rp triliun)

Selisih (%)

2001 24 24.6 2.5 341,562.6 295,113.5 15.74

2002 22 23.5 6.8 315,529.2 344,008.9 -8.28

2003 22 28.8 30.9 376,505.2 370,591.6 1.60

2004 22 37.2 69.1 423,974.9 374,351.2 13.26

2005 24 51.8 115.8 508,938.0 397,769.5 27.95Sumber: DepKeu

Kedua, pemerintah masih menerapkan proses pelaksanaan anggaran yang cenderung kaku. Kontrol yang rinci terhadap input bertujuan untuk menjamin komposisi anggaran agar sesuai dengan prioritas politik dan anggaran tersebut tidak akan diubah selama pelaksanaannya. Dokumen pengeluaran (DIPA), walaupun sekarang ini telah dikeluarkan pada permulaan tahun anggaran didasarkan pada anggaran per pos (line item) sehingga kurang fleksibel untuk melakukan penyesuaian dalam komposisi input yang diperlukan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Re-alokasi anggaran antar DIPA dari program-program yang tertunda kepada program yang berjalan lebih baik yang dapat mendorong pelaksanaan anggaran yang memuaskan secara keseluruhan memerlukan proses revisi yang panjang yang melibatkan anggota DPR. Dengan memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam proses pelaksanaan anggaran untuk mempercepat realisasi pengeluaran anggaran akan memerlukan dicantumkannya tujuan dan target kinerja yang kredibel dan menerapkan langkah-langkah pengamanan, termasuk kemampuan untuk melakukan pemantauan dan pelaporan yang cukup dengan tujuan untuk mengurangi risiko ketidakkonsistenan dengan tujuan awal program dan pemanfaatan dana yang tidak sebagaimana mestinya.

Ketiga, pencairan anggaran yang berjalan lamban sangat terkait dengan isu-isu lanjutan yang berhubungan dengan kapasitas kelembagaan. khususnya, kapasitas untuk menyelesaikan proses pengadaan tepat waktu dengan prosedur sesuai dengan ketentuan pengadaan yang semakin ketat

Penyiapan dan Persetujuan AnggaranMengingat masalah yang ada dalam melakukan estimasi penerimaan dan dalam menentukan target anggaran yang realistis, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan keseluruhan mutu penyiapan anggaran. Peningkatan mutu anggaran dapat dilaksanakan dengan memperbaiki mutu perkiraan makro-ekonomi dan penyusunan model, dan meningkatkan kemampuan estimasi penerimaan. Di samping itu, mutu penyusunan

78 Lihat Bab 7 untuk analisis lebih rinci mengenai pengalihan dana ke daerah pada 2006.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 108

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

anggaran pengeluaran perlu diperhatikan secara terpisah. Inisiatif ini berkaitan baik dengan upaya untuk melakukan peningkatan kapasitas kelembagaan dan perubahan dalam proses penyiapan anggaran.

Tanggung jawab untuk membuat perencanaan dan menyusun anggaran dibagi antara Bappenas, Departemen Keuangan dan departemen teknis. Pembagian tugas antara Bappenas, Departemen Keuangan (Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan) dan jajaran departemen yang lain dirancang untuk mencapai (i) Penyiapan anggaran berbasis kebijakan, dan (ii) penerapan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) (Diagram 6.3). Setiap departemen dan lembaga menyiapkan rencana kerja masing-masing (Renja-KL) dengan merujuk rencana kerja pemerintah secara keseluruhan (RKP) dan pagu anggaran indikatif. Setelah melalui pembahasan dengan DPR, departemen teknis selanjutnya menyiapkan rencana kerja dan rencana anggaran mereka (RKA-KL) berdasarkan revisi pagu dari Ditjen Anggaran, Dokumen pengeluaran (DIPA) disiapkan oleh departemen dan selanjutnya diserahkan kepada Ditjen Perbendaharaan untuk memperoleh persetujuan. Pada saat yang sama, Ditjen Anggaran akan memeriksa kesesuaian antara DIPA dan RKA-KL. Hal ini lalu diikuti oleh pelaksanaan anggaran, yang melibatkan departemen dan Ditjen Perbendaharaan.

Diagram 6.3 Siapa yang bertanggung jawab? Tanggung jawab dalam siklus manajemen pengeluaran publik

BappenasJajaran

KementerianDepKeu,

Ditjen AnggaranDepKeu, Ditjen

Perbendaharaan Kabinet/Presiden DPR

Annual Work Planswith indicative Budget

Ceilings(RenjaKL Ministerial

Regulation)

Ensure Consistencywith Government

Work Plan

EnsureConsistency withBudget Priorities

Temporary BudgetCeilings

Draft PresidentialDecree on Budget

EnactmentPresidential

Decree on BudgetEnactment

Draf tSpending Warrants

(DIPA)

IssuanceSpending Warrants

(DIPA)

Review andAdjusment of

SpendingWarrants

Fiscal Policy StatementDeliberation ofGovernment

Workplan and FiscalPolicy Framework

Deliberation ofWorkplan and

Budget

Deliberation and Approval of Budget

Law

Budget Law(UU APBN)

General Policy andBudget Priorities

Annualworkplan and

Budget(RKA-KL)

Annual Workplansand Budgets (Annex

to Budget Law)

Draft Budget Law)(RAPBN)

Annual GovernmentWork Plan

(RKP Government Regulation)

lirpA-yraun aJgninn alP

<reb

mevoN-ya

MnoitaraperPtegduB

<reb

me ceD

no itucexEtegduB

Sumber: Bappenas, staf Bank Dunia, PP No. 21 tentang RKA-KL.

Integrasi perencanaan dan penganggaran lebih lanjut dapat merupakan bagian dari langkah menuju penganggaran berbasis kinerja. Anggaran diharapkan didasarkan pada kebijakan yang ada dan disusun dengan prinsip dari bawah ke atas. Sejauh ini, proses ini baru diatas kertas dengan dampak yang terbatas terhadap keputusan mengenai alokasi anggaran.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 109

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Indonesia bergerak dengan lambat menuju penentuan anggaran berbasis kinerja. Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) yang ada sekarang memuat 32 bidang prioritas, sekitar 250 program, dan 1.300 kegiatan untuk menangani prioritas-prioritas ini. Baik UU No. 17/2003 maupun UU No. 25/2004 telah secara formal memperkuat hubungan antara perencanaan dan penentuan anggaran. Program yang diuraikan di dalam RPJM, rencana kerja tahunan pemerintah (RKP), dan rencana kerja departemen (Renja-KL) secara formal dijadikan pedoman oleh jajaran departemen dalam menyusun rencana anggaran.

Akan tetapi, pada kenyataannya proses pengambilan keputusan pada jajaran departemen, Ditjen Anggaran, Bappenas, dan DPR masih lebih didorong oleh fokus terhadap komposisi input anggaran daripada kesesuaian program pengeluaran dengan prioritas dan tujuan politik. Alokasi dan pelaksanaan anggaran masih didasarkan pada input (line item) yang terperinci yang membatasi fleksibilitas pengeluaran dalam satu program dan melemahkan manfaat dari penyusunan anggaran berbasis kinerja. Sejalan dengan hal itu, hanya ada sedikit kemajuan yang telah diperoleh dalam rangka mengembangkan anggaran yang berorientasi pada kinerja, apalagi pengembangan budaya kerja yang berorientasi pada kinerja. Proses pelaksanaan akan memakan waktu yang cukup lama dan belum ada strategi yang jelas untuk merealisasikannya. Apalagi, pada tahun anggaran sebelum-sebelumnya, bagian anggaran yang berjumlah besar seperti subsidi tidak dimasukkan dalam proses perencanaan dan penganggaran. Pada proses penyusunan anggaran untuk tahun anggaran 2008 pemerintah telah bergerak ke arah cakupan proses anggaran yang lebih komprehensif.

Siklus penyusunan anggaran sekarang yang secara ketat bersifat tahunan tidak mampu memenuhi kebutuhan investasi publik jangka menengah. Untuk mengatasi tantangan ini, pada tahun 2008 Indonesia merencanakan melaksanakan Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah (MTEF). Regulasi dalam UU tentang Keuangan Negara menyediakan pagu indikatif anggaran yang dikeluarkan untuk waktu dua tahun mendatang. Akan tetapi, pada anggaran 2006 dan 2007 pagu anggaran sementara telah dikeluarkan hanya untuk satu tahun anggaran kedepan.

DPR memiliki wewenang yang sangat kuat dalam proses pembahasan besaran yang dirancang dalam persetujuan anggaran tahunan. Anggaran yang sekarang berbasis input, rinci dan memiliki peran yang penting dalam focus yang kuat terhadap pengawasan dimuka (ex-ante). Sejalan dengan hal itu, pembahasan di tubuh DPR cenderung berfokus pada pos-pos anggaran (line item) dan diskusi mengenai hal-hal yang sangat rinci dan bukan pada alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas politik, dan pencapaian hasil. Kenyataannya, setiap pos dalam anggaran harus disetujui atau ditolak oleh DPR. Di samping itu, DPR juga memiliki wewenang untuk mengubah perkiraan pendapatan dan asumsi makroekonomi yang dijadikan dasar penyusunan anggaran.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 110

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Kotak 6.2 Keterlibatan DPR dalam proses penganggaran

DPR berperan aktif pada keseluruhan siklus anggaran. UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 25 dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12 menyatakan bahwa penyiapan anggaran seharusnya berdasarkan rencana kerja pemerintah (RKP). RKP bersama-sama dengan pernyataan kebijakan fiskal dan kerangka kerja makroekonomi diserahkan kepada DPR pada bulan Mei tahun sebelumnya untuk dilakukan pembahasan (UU No. 17/2003 Pasal 13). Kesepakatan pembahasan yang berhasil dicapai akan menjadi rujukan bagi Departemen dan lembaga pemerintah untuk menyiapkan usulan anggaran (RKA-KL). Kementerian dana lembaga lalu mengirimkan RKA-KL kepada Komisi di DPR yang menjadi rekan kerja pada pertengahan bulan Juni untuk pembahasan awal. Hasil pembahasan awal ini lalu dikirimkan kepada DepKeu pada pertengahan bulan Juli sebagai Rujukan untuk menyusun anggaran tahun berikutnya (UU No. 17/2003 Pasal 14). Pemerintah lalu menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya untuk dibahas (UU No. 17/2003 Pasal 15). Pembahasan dilakukan sebagai berikut:

Sidang Pleno: DPR menyampaikan pandangan umum terhadap usulan pemerintah dan pemerintah menyampaikan Tanggapan atas pandangan umum tersebut.Dengar pendapat dengan Komisi Anggaran: Pembahasan berfokus pada asumsi makroekonomi, pendapatan pemerintah, prioritas pengeluaran, dan pendanaan atas defisit anggaran. Pembahasan dengan Komisi-Komisi Sektoral: Pembahasan berfokus pada RKA-KL.

Keputusan mengenai UU Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) harus diambil paling sedikit dua bulan sebelum dimulainya periode anggaran, yaitu bulan Oktober tahun sebelumnya (UU No. 17 Pasal 15). DPR lalu memberikan persetujuan rincian anggaran berdasarkan unit organisasi, jenis pengeluaran, fungsi pengeluaran, program dan kegiatan (UU No. 17 Pasal 15). Sebagai tindak lanjut dari penetapan anggaran, Presiden lalu mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang rincian anggaran pada bulan November. Berdasarkan keputusan ini, kementerian dan lembaga lalu melakukan revisi terhadap RKA-KL dan menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) pada bulan Desember.

•••

Sistem anggaran Indonesia menghadapi kesulitan jika diperlukan adanya fleksibilitas. Akhir-akhir ini Indonesia menghadapi berbagai bencana alam berskala besar. Peristiwa itu menimbulkan tuntutan yang tinggi terhadap sistem pengelolaan keuangan publik: bencana alam menuntut pemerintah untuk memberikan tanggapan cepat, dan biasanya memerlukan realokasi dan mobilisasi sumber daya dalam skala besar untuk tahun yang bersangkutan. Secara umum, Indonesia memiliki sistem penganggaran yang tidak fleksibe berkaitan dengan realokasi anggaran untuk tahun yang sedang berjalan. Lembaga pemerintah menerima anggaran terpisah untuk pembayaran gaji dan pengeluaran operasional lainnya. Hanya dengan persetujuan DPR dana tersebut dapat disalurkan untuk maksud yang berbeda atau antar pengeluaran operasional, investasi, dan program. Seperti yang terjadi di sebagian besar negara lain, Indonesia hanya memiliki dana cadangan yang sangat kecil di tingkat pusat untuk memenuhi pengeluaran umum yang tidak terduga (Untuk kajian tentang kinerja pengeluaran publik Indonesia setelah bencana tsunami pada bulan Desember 2004 dibandingkan dengan negara lain, lihat makalah yang akan datang Fengler et.al, 2007 ).

Pelaksanaan Anggaran

Pada tahun 2005, pola pencairan anggaran yang menumpuk pada akhir tahun lebih terlihat daripada biasanya dan kemajuan yang diperoleh pada tahun 2006 mengenai hal ini masih mengecewakan. Pada akhir tahun 2005, pemerintah hanya menggunakan 68 persen dari belanja modal dan 72 persen dari belanja barang dibandingkan dengan jumlah anggaran yang telah disetujui. Lima puluh empat persen dari total belanja modal baru bisa dikeluarkan pada bulan Desember. Walaupun sedikit mengalami perbaikan daripada 2005, catatan realisasi anggaran pada tahun anggaran 2006 masih memperihatinkan. Sementara agregat realisasi belanja pemerintah untuk bulan September 2006 telah mencapai 62 persen dari anggaran yang terutama disebabkan oleh realisasi anggaran rutin yang tepat waktu seperti gaji pegawai, komponen pengeluaran pemerintah pusat yang bersifat variabel masih sangat dipengaruhi oleh penundaan pengeluaran. Sampai September 2006 hanya 41 persen dari target belanja modal dan 40 persen dari anggaran untuk pengadaan barang dan jasa yang bisa direalisasikan.

Kakunya kerangka kerja pelaksanaan anggaran yang ada sekarang merupakan salah satu faktor penyebab menumpuknya anggaran pada akhir tahun. Sebagai akibat dari upaya pemerintah untuk melakukan akselerasi pengeluaran dalam kuartal pertama pada tahun anggaran yang sedang berjalan, dokumen pengeluaran anggaran (DIPA) untuk 2006 dikeluarkan pada awal tahun anggaran. DIPA harus mencantumkan Pimpinan Proyek, Bendahara, dan Staf Bagian Pengadaan yang bertanggung jawab terhadap proyek tersebut. Walaupun sebagian besar DIPA

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 111

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

dikeluarkan pada bulan Januari 2006, sebagian besar staf proyek belum ditunjuk oleh instansi pelaksana proyek.79 Seleksi staf terjadi pada kuartal pertama dari tahun anggaran, yang mungkin menyebabkan penundaan pelaksanaan proyek. Dilaporkan, sejumlah DIPA dikeluarkan walaupun tidak lengkap, tetapi pencairan dananya diblokir.

Masalah ini diperbesar oleh fakta bahwa alokasi dan DIPA hanya dilakukan untuk satu tahun. Kerangka peraturan mengenai penganggaran memungkinkan adanya luncuran anggaran pada tahun berikutnya, tetapi hal itu hanya berkaitan dengan alokasi anggaran dalam satu tahun. Dengan demikian, anggaran untuk pelaksanaan proyek yang memerlukan waktu beberapa tahun mengalami banyak kendala. Anggaran dalam satu tahun telah menumpuk di akhir tahun, pelaksanaan proyek tertunda pada setiap tahun anggaran dan, dalam beberapa kasus, pendanaan untuk proyek terhenti sama sekali untuk beberapa tahun walaupun kemudian muncul lagi untuk dilanjutkan(Diagram 6.4).80

Diagram 6.4 Profil skema pencairan proyek

Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Waktu

Pencairan Dana

Sumber: Staf Bank Dunia.

Pendekatan tunda lalu jalan (stop-and-go) tentang penentuan anggaran ini telah menyebabkan timbulnya inefisiensi yang sangat besar dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Fasilitas penganggaran untuk beberapa tahun perlu dirancang dengan memperhitungkan berbagai isu kepemerintahan dalam konteks kelembagaan di Indonesia. Pendekatan yang dapat dilakukan dengan hati-hati adalah dengan menganggarkan biaya proyek multi tahun di satu tahun anggaran dengan uang dialokasikan pada rekening khusus dengan hak pencairan yang hanya dimiliki oleh organisasi pelaksana proyek.

Alokasi anggaran seharusnya disesuaikan dengan kapasitas penyerapan. Pada tahun-tahun terakhir ini, anggaran untuk hampir seluruh lembaga pelaksana anggaran telah meningkat cukup besar. Akan tetapi, daya serap lembaga tersebut kini mendapat tekanan. Hubungan yang lemah antara perencanaan dan penentuan anggaran sebagian merupakan penyebab dari hal tersebut. Baik rencana kerja pemerintah (RKP) maupun rencana anggaran kementerian dan lembaga (RKA-KL) tidak memperhitungkan perencanaan proyek dan pengadaan. Akibatnya, jumlah anggaran untuk belanja modal dari program tersebut cenderung menjadi lebih tinggi daripada kapasitas penyerapan dari lembaga yang akan menggunakan anggaran tersebut. Penganggaran yang melebihi kapasitas penyerapan akan menimbulkan tekanan kuat untuk menggunakan anggaran melebihi kapasitas, terutama dalam sistem anggaran tahunan yang ketat dengan mengorbankan mutu pengeluaran tersebut. Perencanaan dan penganggaran harus bersifat pragmatis dan mempertimbangkan secara matang kapasitas penyerapan lembaga yang akan menggunakan anggaran tersebut.

Pengembangan kapasitas penyerapan lembaga dan keterampilan staf sangat diperlukan. Mengingat bahwa hampir 30 persen dari anggaran dialokasikan untuk proyek (belanja modal dan barang), seharusnya lebih banyak yang harus dikerjakan untuk mengembangkan kapasitas penyerapan kementerian dan lembaga. Keterampilan perencanaan dan pengadaan perlu didorong dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) dapat ditugaskan untuk memberikan layanan tersebut. LAN dapat merekrut para pelatih tambahan yang berasal dari jajaran kementerian. Jika dipandang perlu, departemen pengguna anggaran seharusnya juga diizinkan untuk merekrut dan melatih staf demi kepentingan pelaksanaan proyek-proyek tersebut.

79 Format DIPA baru diperkenalkan pada 2005. Pada tahun sebelumnya, pemerintah mengeluarkan DIP hanya untuk pengeluaran pembangunan. Secara historis, dokumen anggaran baru bisa dikeluarkan pada kuartal pertama atau kedua pada tahun anggaran, dalam beberapa hal, bahkan bisa pada kuartal berikutnya. Format DIP yang digunakan sebelumnya juga mencantumkan tim pelaksanaan proyek. 80 Dapat dikatakan bahwa masalah ini merupakan masalah besar karena kegiatan ekonomi, seperti pembangunan jalan atau gedung sekolah, akan dapat didistribusikan lebih merata lagi pada setiap tahun anggaran. Sehingga, pembayaran untuk setiap kontrak sering dilaksanakan setelah pekerjaan selesai yang didasarkan pada tingkat penyelesaian pekerjaan. Sehingga,pelaksanaan proyek bermasalah dan kegiatan ekonomi menjadi tidak seimbang.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 112

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Sistem manajemen kas yang terpecah-pecah merusak transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan anggaran. Pelaksanaan rekening perbendaharaan tunggal (TSA) dari sudut pandang UU No. 1/2004 tentang perbendaharaan negara masih terus berjalan. Pengaturan saldo nihil dengan bank-bank komersil telah berhasil diujicobakan pada 50 kantor perbendaharaan daerah terpilih (KPPN) dan pelaksanaan lebih lanjut sedang diuji pada 178 kantor KPPN akan mampu melakukan konsolidasi terhadap lebih dari 1.000 jenis rekening perbendaharaan pada satu TSA. Sementara itu, sebagian besar anggaran masih dilaksanakan melalui rekening bank pada bank komersial yang dipegang oleh unit pengeluaran dan pejabat pemerintah. Menurut laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tahun 2005, ini termasuk Rp 8,5 triliun yang disimpan dalam sekitar 1.300 rekening giro dan deposito yang tidak tercatat dalam sistem perbendaharaan negara. Dana yang tersimpan di luar buku (off books) ini tidak saja menyebabkan distorsi terhadap neraca konsolidasi kas pemerintah, tetapi juga sangat rentan terhadap penggelapan dan tindakan korupsi. Pelaksanaan peraturan pemerintah mengenai pengelolaan kas akan memperluas kewenangan Menteri Keuangan untuk menutup rekening bank tidak terotorisasi semacam itu dan akan menyediakan perangkat hukum untuk melaksanakan sensus terhadap seluruh rekening pemerintah pada tahun 2007.

Pengadaan Kerangka hukum dan perundang-undangan tentang pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan publik telah mengalami kemajuan cukup pesat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003. Keppres ini mendorong penerapan prinsip-prinsip dasar dalam proses pengadaan barang dan jasa yang transparan, terbuka, adil, kompetitif, ekonomis, dan efisien. Dengan kata lain, hal ini memenuhi sebagian besar kelaziman yang berlaku secara internasional, dan mengatasi berbagai kekurangan yang sangat serius yang terjadi pada sistem yang diberlakukan sebelumnya.

Akan tetapi, pengadaan publik masih membingungkan akibat instrumen hukum yang berlapis-lapis di setiap tingkat pemerintahan. Pelaksanaan sistem desentralisasi memungkinkan pemerintah daerah untuk melakukan pengaturan tersendiri untuk melakukan pengadaan publik. Departemen dan BUMN dapat juga mengeluarkan peraturan mengenai pengadaan publik. Dampak dari instrumen yang berbeda-beda terhadap pengadaan publik belum terdokumentasikan. Akan tetapi, mungkin terjadi hal-hal yang tidak konsisten dalam aplikasinya akibat terjadi kesalahpahaman dan/atau perbedaan penafsiran terhadap berbagai peraturan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 113

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Kotak 6.3 Sistem Indikator Baseline (BIS) Internasional untuk pengadaan

Sistem Indikator Baseline Internasional (BIS) untuk pengadaan merupakan metodologi, yang dikembangkan bersama antara OECD dan Bank Dunia, untuk melakukan analisis kuantitatif dan kualitatif atas sistem pengadaan publik. Penilaian itu berdasarkan 12 indikator dasar, yang dibagi menjadi empat kelompok yang disebut pilar: (i) peraturan dan perundang-undangan, (ii) kelembagaan dan kapasitas pengelolaan, (iii) operasional pengadaan dan praktik pasar, dan (iv) integritas sistem pengadaan publik. Dengan menggunakan BIS, penilaian terhadap sistem pengadaan publik di Indonesia telah dilaksanakan pada tahun 2001. Hasil analisis ini tampak seperti diagram di bawah ini. Penilaian ini akan disempurnakan lagi pada Laporan Penilaian Pengadaan (CPAR) tahun anggaran 2007 dengan menggunakan versi 4 dari indikator ini, sebagai tambahan dari indicator kepatuhan/kinerja yang mengukur kinerja sesungguhnya dari sistem ini.

Tingkat pencapaian menggunakan pilar BIS

0

25

50

75

100Kerangka kerja Legislatif

Kerangka kerja Institusional

Operasional Proc danKinerja Pasar

Integritas danTransparansi

Indonesia Tingkat Kepuasan

Skor menunjukkan persentasi terhadap elemen baseline yang menunjukan “standar praktek yang baik” yang diinginkan yang mampu dipenuhi oleh negara tertentu. Tingkat baseline untuk kinerja yang memuaskan berada pada angka 50 persen pada setiap indikator. Walaupun umunya memiliki nilai dibawah tingkat baseline, Indonesia memiliki skor lebih baik dalam hal indikator peraturan dan perundang-undangan serta integritas tetapi kurang baik untuk kinerja pasar dan kerangka kelembagaan.

Sumber: Metodologi OECD 2006 untuk melakukan penilaian terhadap sistem pengadaan nasional.

Regulasi pengadaan publik melalui keputusan Presiden tidak berada pada tingkat hukum yang cukup tinggi. Masalah utamanya adalah bahwa dalam lingkungan desentralisasi, regulasi pengadaan publik melalui keputusan presiden tidak menetapkan prinsip-prinsip dasar dan kebijakan yang mengatur pengadaan publik pada tingkat perundang-perundangan yang cukup tinggi. Inilah yang menyebabkan mengapa ada kebutuhan terhadap UU pengadaan yang memperhatikan baik kelaziman yang berlaku secara internasional maupun kepentingan spesifik Indonesia. Bappenas, melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional (LKPN) sedang dalam proses penyiapan rancangan UU tentang pengadaan. Pengesahan UU yang baru tentang pengadaan ini akan memperkuat kerangka perundang-undangan dan mampu menyiapkan instrumen hukum dengan jangkauan yang cukup panjang.

Secara historis, tidak ada satu lembaga atau pejabat pemerintah pusat yang berwenang untuk meletakkan kebijakan yang sama dan konsisten mengenai hal ini, serta memastikan adanya sanksi dan mekanisme penegakan yang harus jelas. Keppres No. 80/2003 membutuhkan pembentukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional (LKPN). Tugas persiapan LKPN telah rampung dan pengaturan interim sudah dilaksanakan untuk pembentukan LKPN di dalam Bappenas yang bertujuan untuk memperkuat lembaga baru ini dan secara perlahan akan menjadi badan yang mandiri.

Ada kebutuhan untuk membentuk LKPN sebagai lembaga independen dan berdayaguna dengan kelengkapan sumber daya yang memadai. Sementara LKPN yang ada dalam Bappenas memegang tanggung jawab utama dalam hal kebijakan pengadaan, situasi kelembagaan yang ada sekarang tidak menyediakan fungsi untuk memberikan nasihat kepada lembaga yang melakukan pengadaan, mengumpulkan data kinerja pengadaan, membina komunitas pengadaan di antara pejabat publik, atau menentukan sistem layanan terhadap keluhan dan, yang paling penting, pengembangan secara berkelanjutan tentang sistem pengadaan publik.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 114

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Pelaksanaan pelatihan tingkat dasar dan ujian untuk mendapatkan sertifikat bagi praktisi pengadaan merupakan insiatif yang penting. Keahlian pengadaan hanya terbatas pada sekelompok kecil individu dalam jajaran departemen tertentu. Tidak ada kader praktisi pengadaan, dan tidak ada jalur karir atau sistem insentif yang jelas baik untuk manajemen proyek maupun manajemen pengadaan, Pimpro dan panitia tender kembali menduduki posisi mereka sebelumnya setelah proyek selesai dilaksanakan. Hal ini telah menimbulkan fragmentasi dalam menghimpun pengalaman pengadaan di kalangan PNS. Keppres No. 80/2003 telah menentukan bahwa bulan Januari 2005 sebagai tenggat waktu untuk melakukan sertifikasi anggota panitia tender dalam hal pengadaan untuk keperluan pokok. Tanggal ini telah diubah dua kali dan kini menjadi Januari 2008.

Sertifikasi praktisi pengadaan tingkat menengah dan tinggi akan diperkenalkan di masa yang akan datang tetapi tanggal spesifik masih belum ada. Persentase PNS yang telah lulus ujian sertifikasi tingkat dasar pada akhir tahun 2006 jumlahnya kurang dari 12 persen dari 168.000 orang PNS yang telah mengikuti ujian. Usulan sertifikasi bagi praktisi pengadaan merupakan langkah awal untuk menuju ke arah yang benar tetapi ada begitu banyak permintaan yang masih harus dipenuhi. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan tambahan imbalan setelah mereka berhasil memperoleh sertifikat atas tanggung jawab yang lebih besar serta mendorong para praktisi untuk meniti karir lewat kemampuan mereka.

Regulasi sebelumnya memiliki dampak membatasi persaingan dan membagi pasar dalam negeri, dengan memberi jaminan bahwa UKM dapat diberikan kontrak kerja pada yurisdiksi pemerintah daerah tempat mereka berdomilisi. Keberhasilan membuka pasar berdasarkan Keppres No. 80/2003 masih harus diteliti mengingat adanya lingkungan desentralisasi yang masih baru dan kemungkinan praktik-praktik yang dilakukan di tingkat provinsi dan instrumen hukum yang berdampak terhadap partisipasi di tingkat daerah. Akan tetapi, ketidakhadiran UU pengadaan dengan jangkauan yang luas pada dasarnya mengurangi efektifitas penghentian praktik-praktik semacam itu. Penyusunan dokumen standard lelang merupakan langkah maju yang cukup besar untuk menjamin konsistensi instrumen ini di setiap lembaga dan pemerintah tingkat daerah. Penyusunan dokumen semacam ini sedang dalam proses dan diharapkan dapat diujicobakan pada tahun 2007. Isu pokok yang dihadapi dalam pengadaan publik dalam rangka pelaksanaan reformasi pengadaan di Indonesia adalah transparansi dan korupsi. Salah satu inisiatif penting untuk memperluas transparansi dan akses terhadap peluang mengikuti tender adalah melalui e-procurement. Draft UU yang sedang disiapkan menyediakan kerangka hukum secara keseluruhan mengenai otorisasi dan pemanfaatan tanda tangan elektronik. Langkah penting berikutnya untuk pembentukan LKPN adalah mengembangkan sebuah rencana induk untuk melaksanakan sistem pengadaan elektronik yang akan menentukan protokol umum yang harus dilaksanakan di seluruh Indonesia, mengembangkan sistem pengadaan elektronik yang kokoh, dan melaksanakan draft keputusan presiden.

Dirasakan ada kebutuhan untuk memperkuat pengawasan internal terutama kapasitas penegakan aturan dalam lembaga pemerintahan, termasuk pelaksanaan sanksi yang ketat dan tegas jika terjadi penyalahgunaan dan kinerja yang tidak baik. Sementara Keppres No. 80/2003 memungkinkan untuk mengikuti prosedur penyampaian keluhan, hal itu diarahkan melalui lembaga pemakai (pembeli) dan tidak bersifat independen. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) memegang peran penting terkait dengan penanganan keluhan terhadap isu korupsi yang menjadi tugas KPK dan persaingan yang tidak adil yang menjadi wewenang KPPU. Pengaturan ini menimbulkan isu mengenai reliabilitas dan efisiensi sistem penyampaian keluhan. Dalam hal mekanisme sanksi, ada ketentuan mengenai anti-korupsi di dalam Keppres No. 80/2003. Akan tetapi, sepanjang kapasitas itu terus-menerus pada posisi yang lemah, gaji yang rendah dan tidak ada jalur karir yang memuaskan bagi praktisi pengadaan publik, tidak ada mekanisme penanganan keluhan yang baik, dan tidak ada sanksi tegas untuk tindak korupsi, maka perbuatan korupsi akan tetap tumbuh subur.

AuditPenguatan fungsi audit internal dan eksternal menjadi semakin penting sewaktu Indonesia melakukan modernisasi pada sektor publiknya. Dengan pelaksanaan sistem desentralisasi pengeluaran publik yang komprehensif dan kebutuhan untuk meningkatkan fleksibilitas anggaran lembaga pemerintah, ditambah dengan kebutuhan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengeluaran publik sesuai dengan kelaziman umum yang dapat diterima, maka reformasi di bidang pemeriksaan/audit menjadi sesuatu yang sangat penting.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 115

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Tabel 6.2 Peta Audit

Lembaga Akuntabel Kepada Cakupan Kapasitas Kehadiran di

Daerah Jenis audit

Audit Eksternal

BPK Badan PemeriksaSeluruh pemerintah

3,500staff

16 provinsi

Umumnya audit tentang kepatuhan, kadang-kadang audit kinerja

Audit Internal

BPKP

Presiden melalui Menteri Pemberdayaan Paratur Negara

Kementerian termasuk anggaran dekonsentrasi

6,800 staff 25 Provinsi Umumnya untuk audit kinerja

Inspektur Jenderal Menteri

Kementeri termasuk anggaran dekonsentrasi

2,300 staff Tidak Ada Umumnya audit kinerja

Auditor pemerintah daerah (Bawasda)

Gubernur/BupatiPemerintah daerah

16,000 staff

Semua staf bekerja di 440 kabupaten/ kota

Baik audit kepatuhan maupun kinerja

Sumber: Penilaian staf Bank Dunia berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dan wawancara dengan pejabat pemerintah, Profil BPK 2006.

Penentuan kelembagaan yang rumit dan kerangka peraturan yang bersifat terfragmentasi tidak mendorong terjadinya transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi di antara lembaga pemeriksa. Selanjutnya, tampaknya tidak ada mekanisme informal yang berlaku untuk mengatasi hambatan struktural bagi tercapainya audit yang efisien dan efektif . Oleh karena itu, auditor terlatih dan bersertifikat yang jumlhanya sangat terbatas di Indonesia tidak dimanfaatkan secara efektif dan efisien sebagaimana mestinya. Di samping itu, hanya laporan dari BPK yang diteliti oleh pejabat-pejabat yang dipilih dan tersedia untuk umum.

Laporan yang disampaikan oleh BPK kepada umum dan kepada DPR sangat bersifat umum dan tidak memiliki karakteristik dari suatu laporan audit. Penyimpangan yang ditemukan dalam audit disampaikan dengan secara sangat umum menggunakan klasifikasi secara garis besar, seperti (i) tidak sesuai, yang meliputi penyimpangan yang tidak sesuai dengan ketentuan, (ii) praktik-praktik yang tidak ekonomis dan tidak efisien, dan (iii). ketidakefektifan, yang meliputi pengeluaran yang tidak sesuai dengan tujuan semula. Kebanyakan dari penyimpangan yang dilaporkan kepada DPR termasuk dalam kategori tidak sesuai. Tidak ada uraian lebih rinci yang dicantumkan dalam laporan itu, walaupun laporan itu mestinya meliputi penyimpangan yang berskala luas mulai dari yang sangat serius sampai dengan pelanggaran kecil.

BPK adalah lembaga independen tetapi dapat memperoleh manfaat dari peran DPR yang kuat untuk meminta akuntabilitasnya jika hal ini dilakukan dengan hati-hati. Sesuai dengan UUD 1945, UU tentang Pemeriksaan Keuangan Negara tidak mengatur tentang akuntabilitas eksternal bagi BPK. BPK hanya bertanggung jawab terhadap anggota badan pemeriksanya, yang diangkat oleh DPR melalui keputusan presiden. Badan ini memutuskan sendiri apakah anggota mereka harus mengundurkan diri atau tidak.

Ada sejumlah manfaat dari pemberian peran yang lebih kuat kepada DPR untuk meminta akuntabilitas BPK: (i) keterlibatan DPR akan menciptakan tekanan yang lebih kuat untuk membuat tindakan audit menjadi relevan dan responsif, (ii) keterlibatan DPR dapat memperkuat kesadaran publik terhadap BPK dan laporan yang dibuatnya, (iii) penguatan peran DPR akan menjadi tekanan untuk memacu efisiensi dan efektivitas BPK.

Perhatian seharusnya diberikan untuk mendefinisikan peran DPR secara jelas sehubungan dengan keberadaan lembaga pemeriksaan dan laporan mereka sehingga seluruh stakeholders mengetahui dan sepakat terhadap peran mereka. Mekanisme yang baik perlu diberlakukan—baik melalui komisi yang baru atau terpisah (Komisi Rekening Publik dan Audit), komisi yang sudah ada, sub-komisi dari komisi yang sudah ada, atau

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 116

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

organisasi khusus atau baru, Di samping itu, anggota DPR dan sekretariat mereka perlu membangun kapasitas yang diperlukan untuk menangani laporan pemeriksaan dan informasi secara konstruktif.

Kini BPK memiliki mandat yang lebih luas tetapi masih memiliki keterbatasan terhadap perannya yang semakin luas tersebut. UU No. 5/1973 telah menentukan BPK sebagai lembaga pemeriksa “tertinggi” di Indonesia. UU tentang pemeriksaan negara baru ditetapkan pada tahun 2004 dan memberikan mandat kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan kepada seluruh lembaga pemerintah di setiap tingkat. BPK juga melakukan pemeriksaan terhadap BUMN, kecuali BUMN yang memperoleh modal melalui pasar modal Indonesia, dan dalam hal itu ketentuan yang ada mengharuskan perusahaan-perusahaan yang sudah terdaftar diaudit oleh perusahaan auditor yang terdaftar. Lembaga militer sekarang ini tidak harus diperiksa. Menurut UU tentang Audit Negara, BPK melaksanakan audit keuangan, audit kinerja, dan audit forensik. BPK menyampaikan laporan tahunan dan laporan semester kepada DPR atas pemeriksaan yang dilakukan dan menyampaikan laporan pemeriksaan pemerintah daerah. Laporan ini memberikan penilaian terhadap laporan keuangan instansi yang diaudit dan serta memberikan komentar terhadap penyimpangan-penyimpangan yang ditemui di dalam pelaksanaan anggaran yang mungkin ditemukan. Di samping itu, BPK juga berwenang untuk menentukan standar pemeriksaan untuk lembaga pemerintah, walaupun mereka masih belum mengeluarkan standar tersebut untuk penggunaan internal

Tingkat staf BPK tidak sesuai dengan mandat barunya. Lembaga pemeriksaan eksternal yang hanya memiliki sekitar 3.500 pegawai diharapkan mampu menjamin mutu pemeriksaan internal dari hampir 25.000 staf. Sebelum penetapan UU tentang audit negara, pemeriksaan keuangan merupakan tugas BPK dan BPKP sebagai lembaga pemeriksa internal dari pemerintah. Kini BPKP memiliki mandat yang jelas yaitu untuk melakukan pemeriksaan internal bersama-sama dengan lembaga pemeriksa lain (seperti, Inspektur Jenderal pada setiap Departemen). Perubahan dalam tanggung jawab ini tidak seluruhnya tercermin dalam realokasi staf dan sumber daya antara kedua lembaga pemeriksa ini. Akibatnya adalah bahwa BPKP memiliki sumber daya yang sangat bagus dibandingkan dengan BPK. Misalnya, BPKP kini memiliki kantor di 26 provinsi di seluruh Indonesia, sementara BPK hanya memiliki kantor di 16 provinsi pada akhir tahun 2006.

Mandat BPK relatif jelas tetapi strateginya tidak sesuai dengan kemampuan dan jumlah staf yang ada saat ini. UU No. 15/2004 tentang audit negara telah memberikan kejelasan atas peran yang berbeda dari lembaga pemeriksa dengan cara menyatakan BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal yang independen pada seluruh tingkat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Pada tahun 2001 BPK menyiapkan rencana pengembangan institusional dan telah melaksanakan langkah praktis untuk menyiapkan diri sehubungan dengan perluasan mandat yang dimilikinya. Strategi internal BPK untuk periode 2006-10 telah disiapkan dan rencana pelaksanaan taktisnya sedang dalam penyelesaian tahap akhir. Mengingat tantangan yang dihadapi BPK dalam memberikan layanan pemeriksaan eksternal dasar dalam bidang pengelolaan keuangan, dan mengingat kapasitas yang dimilikinya saat ini, maka fokus pekerjaannya sekarang lebih baik diarahkan pada pemberian layanan audit keuangan tradisional yang bermutu tinggi, tepat waktu, daripada menyampaikan agenda pemeriksaan yang rumit dan canggih.

Sementara UU tentang audit negara memberikan mandat yang semakin kuat kepada BPK, namun masih belum jelas dalam hal tata pemerintahan internalnya dan struktur manajemen. UU yang terpisah mengenai aspek-aspek semacam ini kini sedang disusun dan dipandang penting untuk mengukuhkan dasar lembaga ini sehingga akan diakui sebagai lembaga yang kredibel dan independen.

Mandat dan pembagian tugas antara ketiga lembaga pemeriksaan yang ada sekarang tidak jelas. Audit Internal berada dalam ruang lingkup kerja BPKP, Inspektorat Jenderal (Itjen) yang bertugas pada setiap Departemen, dan fungsi pemeriksaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan oleh Bawasda. BPKP didirikan berdasarkan keputusan presiden pada tahun 1983. Selanjutnya, mandat BPKP telah berubah melalui berbagai keputusan presiden. Pada saat ini, mandat BPKP menjadi tidak jelas, dapat membantu Itjen, pemerintah provinsi atau kabupaten/kota atas undangan pemerintah daerah, dan mereka dapat menyediakan pelatihan bagi lembaga-lembaga ini. Walaupun mandatnya telahberkurang secara signifikan, BPKP masih memiliki kantor-kantor dengan staf lengkap yang terdesentralisasi di 26 provinsi dan stafnya yang penuh berjumlah 6.800 orang tidak digunakan secara optimal. Jumlah staf BPKP yang masih begitu besar belum mencerminkan pengurangan terhadap mandat yang dimiliki saat ini, terutama jika dibandingkan dengan BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal. Selain itu, laporan dari BPKP tidak disampaikan kepada umum atau DPR.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 117

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Itjen memiliki peran yang berbeda pada setiap Departemen. Mandat Itjen yang sebenarnya, staf, dan kegiatannya ditentukan oleh kemeterian yang bersangkutan. Oleh karena itu, Itjen bertindak sebagai lembaga tersendiri sesuai dengan jumlah menteri dan kegiatan pemeriksaan biasanya terfokus pada masalah-masalah rutin teknis dan kinerja, termasuk ketaatan kepada standar teknis yang berlaku. Oleh karena itu, latar belakang profesi staf Itjen, biasanya meliputi kualifikasi teknis dan bukannya akunting atau pemeriksaan keuangan. Audit mereka dilakukan secara acak atau sesuai dengan rencana pemeriksaan tahunan yang sudah disetujui, tetapi tidak berdasarkan pada metodologi berbasis risiko.

Bawasda melakukan pemeriksaan umum terhadap pengeluaran anggaran daerah, tetapi mereka tidak memiliki kapasitas yang memadai. Audit terhadap transaksi keuangan masing-masing dari ke 33 pemerintah provinsi dan lebih dari 440 pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan berdasarkan ketentuan kelembagaan yang sangat rumit. Bawasda terdapat di setiap kabupaten/kota, tetapi staf Bawasda biasanya tidak memiliki keterampilan untuk melaksanakan tanggung jawab pemeriksaan. Di samping itu, setiap sumber pendanaan yang berbeda pada pemerintah daerah diperiksa oleh lembaga pemeriksa yang berbeda pula. Dengan demikian, Bawasda mendapat dukungan dari BPKP, Itjen, BPK dan Bawasda pada kabupaten/kota lain dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan terhadap pemerintah daerah masing-masing. BPK merupakan lembaga pemeriksa eksternal dari seluruh pemerintah daerah. Itjen pada Departemen Dalam Negeri mengkoordinasikan seluruh kegiatan dari lembaga pemeriksaan internal dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan mereka untuk setiap kabupaten/kota. Bawasda menyampaikan laporan tahunan mereka kepada masing-masing daerah dan mengirimkan salinan laporan mereka kepada Itjen Departemen Dalam Negeri, Bawasda Provinsi, dan pihak yang diperiksa. Laporan mereka tidak disampaikan kepada publik atau DPR. Akan tetapi, BPK menyampaikan rangkuman dan konsolidasi hasil laporan kepada DPR dan rangkuman itu mencakup seluruh Bawasda.

Pengawasan terhadap pengeluaran dan sistem pembayaran sedang ditingkatkan, tetapi pelaksanaannya masih belum memuaskan. Untuk meningkatkan tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap anggaran pada jajaran departemen, tugas pemberian perintah pembayaran telah dialihkan kepada departemen. Hal ini telah menimbulkan pemisahan yang lebih baik antara fungsi verifikasi transaksi dan pelaksanaan pembayaran. Sementara pemisahan tugas-tugas ini sudah dirancang dengan baik, pelaksanaan di lapangan tidak seluruhnya memuaskan karena tidak adanya standar yang jelas mengenai bukti-bukti akuntansi, prosedur verifikasi, dan unit pemeriksa pra bayar di instansi pembelanja. Salah satu kelemahan endemis yang perlu diperhatikan bahwa dalam praktik akuntansi berkaitan dengan mutu bukti-bukti akuntansi yang dapat diterima oleh Ditjen Perbendaharaan

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 118

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Rekomendasi Kebijakan

Reformasi yang sedang berjalan dalam penyiapan, pelaksanaan, dan pemeriksaan anggaran dapat mengambil manfaat dari adanya evaluasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan terhadap sistem anggaran di Indonesia. Biasanya, kajian terhadap pengeluaran lebih berfokus pada pengeluaran sektoral dan semakin sering menganalisis aspek-aspek kelembagaan dari pelaksanaan anggaran. Laporan pada bab ini merupakan upaya pertama yang cukup komprehensif dalam melakukan analisis dimensi kuantitatif kinerja anggaran di Indonesia. Beberapa kegiatan tindak lanjut masih sedang disiapkan atau dapat digali lebih jauh untuk terus memperkuat dasar analisis dari keputusan anggaran dan membudayakan evaluasi anggaran. Kegiatan tindak lanjut ini termasuk: (i) survei penelusuran pengeluaran publik untuk mengidentifikasi kebocoran; (ii) World Bank Country Procurement Assessment Report (CPAR) untuk menilai kemajuan modernisasi pengadaan; dan (iii) analisis tentang peran DPR mengenai pengawasan pra-laksana purna-laksana (ex ante dan ex post) terhadap anggaran.

Penyiapan dan pelaksanaan anggaran

Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBB) dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengan (MTEF). Mengingat sifat dari perubahan itu sendiri, maka diperlukan visi jangka panjang. Perlu disusun suatu peta perjalanan yang realistik, operasional, dan komprehensif untuk melakukan reformasi penganggaran dengan mempertimbangkan kondisi tata pemerintahan Indonesian yang unik, lingkungan pengawasan yang lemah, dan masalah korupsi yang sudah dikenal luas. Pada saat yang sama, perubahan yang mampu dicapai, dapat terlihat jelas bentuknya, dan didefinisikan dengan jelas harus dilaksanakan dalam jangka waktu pendek untuk menjawab tekanan politik untuk melakukan perubahan secara cepat dan menjaga momentum reformasi. Perubahan jangka pendek semacam itu dapat meliputi peninjauan dan penyederhanan terhadap dokumen anggaran, pembuatan laporan tentang hasil yang dicapai tiap tahun bagi program-program yang dilaksanakan di setiap departemen, serta otorisasi penganggaran multi tahun bagi proyek-proyek investasi berskala besar yang memerlukan waktu penyelesaian selama beberapa tahun.

Untuk jangka menengah, pengawasan terhadap output seharusnya secara perlahan menggantikan pengawasan terhadap input dan pos-pos anggaran (line item). Reformasi proses anggaran, berikut isi dan struktur dokumen anggaran, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam memperkenalkan penganggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja (PBB) sering dipahami sebagai alat untuk menunjukkan bahwa pengawasan terhadap input digantikan oleh pengawasan terhadap output dan bahwa tanggung jawab keuangan dan manajemen dari unit pelaksana anggaran mengalami peningkatan. Manajer diberikan kebebasan untuk mengelola, tetapi pada saat yang sama mereka harus akuntabel atas hasil yang mereka capai terhadap penggunaan dana milik publik. Mengingat bahwa isu tentang tata pemerintahan sangat rentan di Indonesia dan mengingat adanya pengawasan ex post yang lemah saat ini, upaya untuk melakukan perubahan dalam bidang ini seharusnya diawali dengan kehati-hatian dan pengawasan ex post yang perlu diperkuat sebelum pengawasan terhadap input diperlunak.

Pembahasan dan persetujuan anggaran oleh DPR seharusnya disesuaikan untuk berfokus pada kebijakan dan prioritas pengeluaran. DPR memiliki wewenang yang kuat dalam pembahasan ex ante dan persetujuan terhadap penentuan anggaran tahunan. Anggaran berbasis input, rinci, dan memiliki peranan penting atas fokus yang kuat terhadap pengawasan ex ante. Sehingga, pembahasan DPR cenderung berfokus pada diskusi mengenai pos-pos pengeluaran secara rinci dan bukan alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas politik, dan hasil yang hendak dicapai. Cara-cara untuk melakukan peningkatan kapasitas, serta upaya untuk melakukan reformasi kelembagaan, seharusnya menjadi fokus untuk memperjelas peran DPR dalam penyiapan anggaran dengan tujuan untuk memfokuskan pada pembahasan mengenai hasil dan prioritas penggunaan anggaran.

Proses untuk mobilisasi anggaran tahun berjalan dan realokasi sumber daya keuangan pada masa bencana harus disederhanakan. Harus ada upaya untuk mengembangkan proses anggaran jalur cepat untuk digunakan pada waktu terjadi kebutuhan yang luar biasa untuk pengeluaran publik sementara tetap memelihara kerangka pengamanan untuk memastikan dana publik digunakan secara efektif dan efisien.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 119

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

Pengadaan

Pembentukan lembaga baru pengadaan merupakan kontribusi sistemik yang penting untuk memberantas korupsi, yang pada gilirannya akan membuat harga input menjadi lebih rendah dan meningkatkan tata kelola pengadaan. Di samping itu, diperlukan pelaksanaan strategi e-procurement secara komprehensif agar mampu berkontribusi untuk meningkat transparansi dan kompetisi pasar.

Audit

Banyaknya peraturan terpisah yang mengatur pemeriksaan eksternal dan internal tidak memberikan ruang koordinasi dan kejelasan. Konsolidasi terhadap peraturan di bawah satu undang-undang dan menyederhanakan pemberian wewenang untuk mengeluarkan keputusan dan peraturan sekunder akan memberikan transparansi yang lebih luas dan mendorong tercapainya peraturan-peraturan yang konsisten.

Ada potensi sinergi dan manfaat lain untuk melakukan konsolidasi mengenai ketiga lembaga pemeriksa internal menjadi satu lembaga. Konsolidasi lembaga pemeriksa internal memiliki kelebihan di bawah ini:

Koordinasi yang lebih baik terhadap pemeriksaan internal tanpa terjadi duplikasi. Akan tersedia sumber daya yang lebih banyak untuk mengembangkan produk-produk audit baru dan akan ada potensi untuk menghemat biaya untuk mendukung layanan pendukung seperti manajemen SDM, dan manajemen keuangan. Koordinasi dan kerja sama yang lebih baik antara lembaga pemeriksa internal dan eksternal karena hanya ada dua pihak yang perlu berkoordinasi. Memperkuat kemandirian pemeriksaan internal. Hal ini sangat penting di daerah.

Pelaksanaan akuntansi berbasis akrual memiliki implikasi yang sangat luas terhadap keterampilan para pejabat anggaran, auditor , dan pemakai anggaran dan rekening nasional, termasuk anggota DPR. Menurut UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, anggaran untuk 2006 harus sudah disampaikan berdasarkan sistem akrual dan laporan keuangan pada tahun itu harus pula disampaikan dan diaudit dengan basis akrual. Pelaksanaan yang dilakukan secara bertahap untuk melaksanakan reformasi tersebut harus direncanakan dengan memperhatikan tingkat keterampilan saat ini dan harus pula meliputi kegiatan pelatihan antar lain bagi auditor internal dan eksternal.

••

••

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 120

BAB 6 Manajemen Keuangan Publik

BAB 7 Desentralisasi Fiskal &

Kesenjangan DaerahKajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 122

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Temuan Pokok

Tantangan utama bagi pembangunan Indonesia bukan lagi untuk memberikan dana kepada daerah-daerah yang lebih miskin tetapi bagaimana memastikan agar daerah-daerah tersebut menggunakan dana yang disalurkan dengan sebaik-baiknya. Sumber dana yang terpenting untuk daerah—Dana Alokasi Umum (Dana DAU)—mengalami peningkatan nominal hingga 64 persen pada 2006. Sebagian besar daerah sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan berbagai perbaikan taraf hidup warganya. Bahkan daerah-daerah yang dulunya dianggap miskin, kini memiliki DAU per kapita rata-rata sebesar AS$425 setiap tahun, jumlah alokasi DAU ini telah mengalami peningkatan sebesar 75 persen pada tahun 2006.

Lebih dari setengah kenaikan alokasi DAU yang seharusnya digunakan untuk peningkatan penyediaan layanan kepada masyarakat digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan pembayaran gaji pegawai daerah secara penuh melalui DAU ini tidak mendorong pemerintah daerah mengarahkan dana itu untuk peningkatan pelayanan masyarakat.

Banyak pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membelanjakan anggaran tambahan mereka. Mereka lalu menyimpan dana itu dalam rekening bank setempat, jumlah simpanan itu semakin banyak dan telah mencapai angka 3,1 persen dari PDB pada bulan November 2006.

Pos pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk penyelenggaraan administrasi pemerintahan, yang menyerap sebanyak 32 persen dari seluruh pengeluaran pemerintah daerah. Pengeluaran administrasi yang sangat besar ini mengakibatkan berkurangnya pengeluaran untuk sektor-sektor penting lainnya, terutama sektor kesehatan, pertanian, dan infrastruktur.

Rekomendasi Utama

Lakukan pemantauan terhadap kinerja pemerintah daerah, berikan insentif bagi kinerja yang bagus dan sediakan bantuan teknis untuk mereka yang tertinggal. Tantangan utama bagi pelaksanaan desentralisasi di Indonesia adalah menjamin efektivitas alokasi sumber daya yang ada untuk meningkatkan penyediaan layanan masyarakat dan mendorong pelaksanaan kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat miskin. Sistem kinerja yang kredibel dapat membantu membangun sistem alokasi sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan dan bisa meningkatkan kinerja.

Hapuskan pencakupan penuh pembayaran gaji PNS dengan menggunakan anggaran yang seharusnya digunakan untuk peningkatan layanan masyarakat. Hal ini tidak saja akan memperkuat dampak pemberian DAU kepada masyarakat, lebih penting lagi, tindakan ini akan menyediakan insentif untuk meningkatkan layanan masyarakat di daerah. Cara seperti itu akan semakin memberdayakan pemerintah daerah dalam menemukan kombinasi optimal dari sumber daya yang tersedia (jumlah tenaga kerja, modal, input setengah jadi, dan outsourcing) untuk penyediaan layanan masyarakat.

Mengurangi pengeluaran daerah yang berlebihan untuk membiayai administrasi pemerintah. Pemerintah daerah seharusnya memprioritaskan pengeluaran mereka pada bidang-bidang yang akan berdampak langsung terhadap penyediaan layanan masyarakat.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 123

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Desentralisasi dan Kesenjangan Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman dan persebaran yang sangat luas. Terdiri lebih dari 17.000 pulau (dimana 6.000 di antaranya tidak berpenghuni), terentang di tiga zona waktu, dan memiliki segalanya mulai dari hutan tropis, dataran rendah yang subur, sampai dengan pegunungan dataran tinggi. Perjalanan dari ujung paling barat Indonesia (Sabang yang terletak di Aceh) sampai ke ujung paling timur (Merauke di Papua) akan memakan waktu selama lebih dari 10 jam dengan pesawat terbang, dan kareana keterbatasan infrastruktur disebagian wilayah, sangat tidak mungkin perjalanan tersebut ditempuh dalam waktu satu hari. Indonesia memiliki lebih dari 300 suku yang menggunakan lebih kurang 250 bahasa yang berbeda di seluruh negara kepulauan ini.

Pulau Jawa yang merupakan salah satu pulau berpenduduk terpadat di dunia dan Irian yang merupakan salah satu pulau berpenduduk terjarang di dunia, keduanya berada di Indonesia. Jika seluruh wilayah Indonesia memiliki penduduk yang padat seperti Pulau Jawa, jumlah penduduk Indonesia akan berjumlah dua milyar orang dan akan menjadi negara terbesar di dunia. Sebaliknya, jika seluruh pulau Indonesia berpenduduk jarang seperti Papua, maka seluruh penduduk Indonesia hanya akan berjumlah 11 juta (hampir sama dengan Belgia).

Keanekaragamaan dan perbedaan geografis ini tercermin dalam perbedaan kondisi sosial ekonomi yang cukup signifikan. Sementara beberapa bagian wilayah Indonesia memiliki pendapatan seperti negara sangat maju, di bagian lain masih menunjukkan adanya kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah (Tabel 7.1). Fasilitas pendidikan di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia sama dengan fasilitas di negara-negara berkembang lainnya, sementara tingkat pendidikan dan kesehatan, terutama di kawasan Indonesia Timur, setara dengan kondisi di sebagian besar negara Afrika:

PDB per kapita daerah sangat bervariasi. Misalnya, PDB per kapita Riau dan Kalimantan Timur, yang merupakan daerah penghasil minyak dan gas, adalah hampir 20 kali lebih tinggi daripada PDB Maluku atau Nusa Tenggara Timur (NTT). Tingkat PDB per kapita kabupaten/kota dalam satu provinsi juga menunjukkan disparitas yang luas seperti yang ditunjukkan oleh panjangnya kotak horizontal pada Diagram 7.1.Angka kemiskinan di tingkat kabupaten/kota sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya (Diagram 7.1). Sejumlah kota memiliki tingkat kemiskinan dibawah 3 persen, tapi Kabupaten Manokwari di Irian Jaya Barat dan Kabupaten Puncak Jaya di Papua memiliki tingkat kemiskinan diatas 50 persen. Indikator Pembangunan Manusia (IPM) rata-rata untuk Indonesia pada 2002 adalah 0,66. Di tingkat kabupaten/kota, rentang angka IPM bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,47 di Kabupaten Jayawijaya sampai dengan to 0,76 untuk Jakarta Timur.

Perbedaan yang sangat ekstrim ini telah berpengaruh pada penerapan desentralisasi pada tahun 2001, terutama terkait dengan kerangka fiskal. “Dana perimbangan” merupakan unsur utama dari rancang bangun desentralisasi. Hal ini terdiri dari beberapa dana transfer yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara kebutuhan pengeluaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah. Tujuannya adalah agar pemerintah kabupaten/kota mampu menyediakan layanan masyarakat yang sudah didesentralisasikan, dalam hal kualitas maupun kuantitas, dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Daerah-daerah penghasil minyak dan gas juga menerima manfaat yang sangat besar, karena sekarang mereka menerima 15,5 persen dari penerimaan migas tersebut.

Pelaksanaan sistem desentralisasi telah memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam bentuk wewenang daripada fungsi pemerintah. Sesuai dengan UU No. 22/1999 tentang pelaksanaan sistem desentralisasi, sektor-sektor yang wajib ada di tingkat daerah mencakup dinas kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, lingkungan, perhubungan, transportasi, pertanian, industri, dan perdagangan, investasi modal, pertanahan, koperasi, tenaga kerja, dan infrastruktur. Pemerintah provinsi melakukan koordinasi terhadap kinerja pemerintah kabupaten/kota dan menjalankan sejumlah fungsi yang berpengaruh terhadap lebih dari satu pemerintah kabupaten/kota. Dalam waktu satu tahun, sebagian besar tanggung jawab layanan masyarakat sudah didesentralisasikan. Proporsi anggaran daerah yang tercakup di belanja pemerintah naik menjadi hampir dua kali lipat, sementara dua pertiga dari pegawai negeri yang ada ditugaskan di daerah dan lebih dari 16.000 fasilitas layanan masyarakat dialihkan ke pemerintah daerah.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 124

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Diagram 7.1 Disparitas daerah yang menyolok

0

0 20 40 60

10 20 30 40 50

RiauKalimantan Timur

Riau KepulauanKalimantan TengahBangka Belitung

Sumatera UtaraSumatera Barat

Kalimantan SelatanIrian Jaya Barat

BaliSumatera Selatan

NADJawa Barat

Sulawesi UtaraJambi

Sulawesi TengahBantenPapua

Kalimantan BaratDI Yogyakarta

LampungSulawesi Tenggara

BengkuluSulawesi Selatan

Jawa TimurNusa Tenggara Barat

Jawa TengahGorontalo

Nusa Tenggara TimurMaluku Utara

Maluku

PapuaMaluku

Irian Jaya BaratGorontalo

NADNusa Tenggara TimurNusa Tenggara Barat

BengkuluSulawesi Tengah

Sulawesi TenggaraLampung

Jawa TengahSumatera Selatan

Sumatera UtaraDI Yogyakarta

Jawa TimurSulawesi Selatan

Kalimantan TimurRiau

Kalimantan BaratMaluku Utara

JambiJawa Barat

Kalimantan TengahSumatera BaratSulawesi Utara

Bangka BelitungBanten

Kalimantan SelatanBali

Sumber: Data Dasar DAU 2006, DepKeu-BPS

Sumber: BPS

Perhitungan Penduduk Miskin perkepala 2004 (%)

PC PDRB 2004, dalam miliar Rp

Riau Kepulauan

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Plot dalam diagram ini merupakan distribusi PDB per kapita daerah dan penghitungan angka kemiskinan di tingkat kabupaten/kota yang dikelompokkan berdasarkan provinsi. Panjangnya Kotak menunjukkan distribusi dari 25 persentil sekitar median. Panjangnya whisker adalah 1,5 kali jarak antara median dan kuartil pertama atau ketiga. Titik-titik di luar whiskers merupakan outliers. Pada diagram pertama, daerah dengan PDB per kapita lebih besar dari Rp 50 juta tidak dimasukkan untuk tujuan penentuan presentasional.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 125

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Tabel 7.1 Tingkat disparitas yang signifikan terhadap kondisi sosial dan ekonomi Indonesia

Indikator Kabupaten/kota terkuat

Kabupaten/kota

terlemah

Kabupaten/kota rata-

rata

Standar deviasi

Mexico(menengah-

tinggi)

Zambia(rendah)

PDB per kapita (AS$) 33,75982 208 1,055 2,104 6,500 491Tingkat Kemiskinan (%) 3 51 18 10 20 73Tingkat kemampuan baca-tulis orang dewasa (%)

99 21 91 9 90 68

Angka Partisipasi Kasar jenjang pendidikan menengah (%)

125 9 82 15 109 26

Usia harapan hidup (tahun) 73.7 57.5 66.3* 3.1* 75 38

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan BPS 2004, Laporan Pembangunan Kemanusiaan (Bappenas dan UNDP, 2004). Little Data Book (World Bank, 2006). Catatan: * Berdasarkan data tingkat provinsi.

Setelah enam tahun dilaksanakannya desentralisasi, fungsi dan kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten/kota belum juga jelas akibat lemahnya UU desentralisasi itu sendiri. Kejelasan mengenai kewenangan memang sangat diperlukan untuk memberikan jaminan akuntabilitas di tingkat daerah. UU No. 32/2004 disahkan dengan tujuan untuk menentukan kembali secara signifikan hubungan administrasi antar-pemerintahan. Sistem ini memperkenalkan adanya pemilihan umum secara langsung di tingkat daerah dan memberikan kejelasan yang lebih besar dalam hal kewenangan wajib daripada UU No. 22/1999. Akan tetapi, peraturan pelaksanaan dari pemerintah pusat, yang hendak mengatur fungsi-fungsi ini, belum disahkan oleh DPR. Selain itu, pemerintah pusat juga perlu menjamin bahwa undang-undang sektoral yang ditetapkan kementerian teknis tidak memuat penafsiran yang bertentangan mengenai tanggung jawab pemberian layanan di tiap tingkat pemerintahan. Di samping itu, UU No. 32/2004 juga memberikan penegasan mengenai peran baru yang cukup signifikan dari pemerintah provinsi sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah. Hal ini muncul sejalan dengan pandangan baru dan fungsi operasional pemerintah provinsi vis-à-vis kabupaten/kota, serta kontrol pemerintah pusat yang lebih kuat melalui Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Kotak 7.1 Undang-undang utama tentang desentralisasi, 1999-2006

Mei 1999: Kerangka UU untuk pelaksanaan sistem desentralisasi dikeluarkan. UU No. 22/1999 tentang Otonomi daerah dan UU No. 25/1999 mengatur perimbangan fiskal dan daerah. Pelaksanaannya baru bulan Januari 2001.Desember 2000: UU No. 34/2000 tentang perpajakan pemerintah daerah telah disahkan oleh DPR. Agustus 2001: UU Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua. Kedua Undang-undang tersebut memberikan jaminan kepada kedua provinsi ini tambahan pendapatan dari sektor migas untuk memperkuat kapasitas fiskal mereka dan memacu pembangunan. Papua juga diberikan dana Otonomi Khusus (2 persen dari dana DAU nasional).Berlaku 2004: Amendemen terhadap UU No. 22 dan 25/1999 tentang pelaksanaan sistem desentralisasi; UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah, UU No. 33/2004 tentang Keuangan Daerah .Mei 2006: UU No. 11/2006 tentang status pemerintahan Aceh dengan re-definisi tentang Otonomi Khusus dan memperkenalkan dana tambahan untuk Otonomi khusus (2 persen jumlah dana DAU pusat) yang akan dialokasikan untuk Aceh mulai 2008.

Sumber: Staf Bank Dunia.

Sejak pelaksanaan sistem desentralisasi, tingkat pendapatan telah mengalami peningkatan di seluruh Indonesia, tetapi daerah yang relatif kaya berkembang lebih cepat daripada daerah yang relatif miskin.82 Tingkat penurunan kemiskinan nasional dari 24 persen (1999) menjadi 18 persen (2005). Walaupun seluruh kabupaten/kota di Indonesia mengalami penurunan angka kemiskinan, kabupaten/kota yang relatif kaya menerima manfaat yang lebih besar dari program pemulihan ekonomi. Kabupaten/kota yang relatif lebih kaya dapat menurunkan angka kemiskinan sampai dengan setengah dari tingkat sebelumnya, namun kabupaten/kota yang relatif lebih miskin tingkat

81 Kota Bontang di Kalimantan Timur memiliki tingkat PDB per kapita paling tinggi di Indonesia. Kota ini berpenduduk 117.000 orang dan kegiatan ekonomi utama adalah sektor minyak dan gas, terutama gas alam cair (LNG). Yang berkontribusi sebesar 87 persen dari PDB pada 2004. Kabupaten/kota dengan PDB per kapita tertinggi kedua adalah Kabupaten Mimika di Papua dengan PDB per kapita sebesar AS$13.052. Kabupaten/kota ini berpenduduk 126.000 jiwa dan kegiatan ekonomi utamanya adalah pertambangan.82 Kabupaten/kota yang dikategorikan relatif kaya adalah 20 persen kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan terendah; kabupaten/kota yang dikategorikan relatif miskin adalah 20 persen kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Lihat lampiran G.1 dan G.2 untuk indokator kemiskinan dan ekonomi lebih lengkap.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 126

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

kemiskinan hanya turun sekitar seperempatnya. Dengan demikian, kesenjangan pendapatan antara kabupaten/kota yang relatif kaya dengan yang relatif lebih miskin menjadi semakin besar. Secara rata-rata, kabupaten/kota yang relatif kaya tumbuh di atas angka rata-rata nasional, sementara tingkat pertumbuhan di kabupaten/kota yang relatif miskin berada di bawah angka rata-rata nasional.

Kemiskinan paling banyak terdapat pada wilayah-wilayah yang bergantung pada sektor pertanian (lihat Annex G.2). Kemiskinan berkaitan positif dengan proporsi PDB yang berasal dari sektor pertanian dan berkorelasi negatif dengan proporsi pendapatan dari sektor manufaktur. Sektor jasa yang lebih besar juga terkait dengan perhitungan angka kemiskinan yang lebih rendah. Karena sektor manufaktur dan jasa tumbuh melampaui sektor pertanian, kesenjangan antara daerah kaya dan miskin semakin lebar.

Mengenai mutu penyediaan layanan, tidak tampak tren yang jelas. Pertama, bukti-bukti di tingkat kabupaten/kota menunjukkan desentralisasi layanan pemerintah di sektor kesehatan, pendidikan, dan administrasi telah mengalami peningkatan (Kaiser, Pattinasarany dan Schulze, 2006), sementara mutu layanan kepolisian yang tidak mengalami desentralisasi malah semakin buruk. Akan tetapi, studi sektoral telah menggarisbawahi penurunan pada sejumlah layanan pokok, terutama air bersih dan listrik (lihat Bab 5). Penelitian terhadap iklim investasi lokal juga menunjukkan banyak kelemahan pada pemerintah daerah.83

Upaya pemerintah pusat untuk mengembangkan pelaksanaan standar pelayanan minimum mungkin akan membantu untuk memperjelas tanggung jawab di setiap tingkat pemerintahan. Pemerintah pusat telah mengeluarkan PP No. 64/2005 untuk mendorong pelaksanaan standar minimum layanan di seluruh pemerintah daerah. Pada akhir 2006, standar minimum pemberian layanan mengalami berbagai tahapan kemajuan di seluruh sektor di mana sektor itu sedang mengalami perkembangan. Layanan di sektor pendidikan dan kesehatan sudah berada pada tingkat yang paling siap menurut Departemen Dalam Negeri. Jika hal ini berjalan terus dan dilaksanakan secara penuh, hal ini mungkin akan membantu memperjelas tanggung jawab pemberian layanan, mengingat bahwa secara prinsip tanggung jawab pemberian layanan harus jelas sebelum penentuan standar itu dilakukan .84

Pengeluaran

Pengeluaran daerah

Pemerintah daerah memiliki wewenang yang “hampir” penuh atas penggunaan sumber-sumber fiskal mereka. Pemerintah daerah dan DPRD melakukan kontrol terhadap pengeluaran dari seluruh sumber penerimaan. Hal ini meliputi penerimaan daerah dari pajak dan retribusi, pendapatan dari sumber-sumber daya alam, dan dana hibah (kecuali Dana Alokasi Khusus). Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota saat ini mengelola sekitar 36 persen dari total pengeluaran publik, dibandingkan dengan kondisi pada pertengahan 1990-an yang hanya berjumlah sekitar 24 persen.

Pos pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk penyelenggaraan administrasi pemerintahan lalu diikuti oleh sektor pendidikan. Pengeluaran untuk administrasi pemerintahan terutama paling banyak terjadi di tingkat provinsi (38 persen dari total pengeluaran) dan tingkat kabupaten/kota (30 persen ). Ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dijumpai dalam ekonomi yang lebih modern, yang biasanya mengalokasikan 5 persen atau lebih kecil dari anggaran mereka untuk pengeluaran-pengeluaran serupa. Pos-pos terbesar dalam administrasi pemerintahan meliputi pengeluaran untuk pembayaran gaji dan tunjangan untuk pegawai bagi kepala daerah beserta staf, anggota DPRD, dan rehabilitasi dan pembangunan gedung-gedung pemerintah (lihat Bab 3 untuk analisis lengkap mengenai pengeluaran untuk administrasi pemerintahan).

83 Lihat Lampiran G.3 mengenai bukti-bukti yang berhubungan dengan desentralisasi pemberian layanan. 84 Lihat Bank Dunia 2006, Making the new Indonesia Work for the Poor, hal. 236-238 untuk analisis lebih rinci dan kejelasan fungsi antara tingkat pemerintahan dan pengalihan fungsi yang direkomendasikan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 127

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Tabel 7.2 Pengeluaran pemerintah daerah berdasarkan sektor, 2004

Provinsi Kabupaten/kotaTotal (Provinsi + Kabupaten/kota)

Pemerintah pusat /

DesentralisasiTotal

(%) (%) (%) (%) (%) (Rp bn) (Rp bn) (Rp bn) (Rp bn) (Rp bn)Pertanian 1,823 6 4,201 4 6,024 4 2,679 8 8,703 5Pendidikan 3,815 12 39,805 33 43,620 29 7,345 23 50,965 28Kesehatan 3,000 9 8,108 7 11,108 7 2,395 7 13,503 7Pertambangan 195 1 74 0 269 0 230 1 499 0Perdagangan, NBD, FCS 479 1 681 1 1,160 1 185 1 1,345 1

Aparatur pemerintah dan Sektor Pengawasan

12,327 38 35,529 30 47,856 32 613 2 48,469 26

Sektor Tenaga Kerja 426 1 452 0 878 1 177 1 1,055 1

Pertahanan Nasional dan Sektor Keamanan

0 0 0 0 0 0 400 1 400 0

Lingkungan dan Rencana Tata Ruang

619 2 1,233 1 1,852 1 148 0 2,000 1

Infrastruktur 8,321 26 17,147 14 25,468 17 14,099 43 39,566 22Lain-lain 1,399 4 11,728 10 13,127 9 4,168 13 17,294 9Total 32,404 100 118,959 100 151,363 100 32,437 100 183,801 100

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD dan Ditjen Perbendaharaan (DepKeu). Catatan: NBD = Pembangunan Dunia Usaha Nasional, FCS = Sektor Keuangan dan Koperasi, Kategori untuk Lain-lain termasuk dana pensiun, subsidi ke pemerintah daerah, dan kategori lainnya. Untuk menghindari terjadinya Pembukuan ganda subsidi kepada pemerintah daerah tidak dimasukkan, * = Angka-angka awal dari Dirjen Keuangan, DepKeu.

Alokasi sektoral dari anggaran daerah masih kurang optimal. Karena besarnya pengeluaran administrasi, sektor-sektor lain tidak menerima cukup alokasi anggaran (Tabel 7.2), hal ini terutama untuk sektor kesehatan dan pertanian.85 Bank Dunia (2004b) memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sekitar 5 persen dari PDB setiap tahun dalam sektor infrastruktur publik, yang sebagian besar di tingkat lokal, untuk mempertahankan sasaran pertumbuhan ekonomi jangka menengah sebesar 6 persen. Di samping itu, pengeluaran dalam jumlah sangat besar untuk administrasi sangat rentan terhadap tindak korupsi dan berbagai bentuk penyalahgunaan jika tidak diikuti prosedur akuntansi dan laporan yang jelas dan memadai (Kotak 7.2).

Kotak 7.2 Peningkatan pengeluaran “lain-lain” di Papua

Papua merupakan salah satu daerah yang banyak mendapat manfaat dari pelaksanaan desentralisasi. Provinsi yang terletak di ujung paling timur Indonesia ini tidak hanya menerima alokasi anggaran per kapita paling besar, tetapi mulai tahun 2002, Papua juga menerima dana otonomi khusus. Tambahan dana ini tidak hanya menambah pengeluaran pembangunannya tetapi juga pengeluaran rutinnya, terutama gaji. Sementara Papua menerima peningkatan anggaran dalam jumlah besar, pengeluaran mereka dengan kategori yang berjudul “lain-lain” meningkat dengan sangat tajam, dua kali lipat jika dibandingkan antara tahun 1999 dan 2001. Pos-pos yang diklasifikasikan sebagai pengeluaran “lain-lain” termasuk pengeluaran yang tidak tersangka, pensiun, dan bantuan, dan pengeluaran lain yang tidak termasuk dalam klasifikasi sebelumnya. Dana taktis untuk dinas atau kantor merupakan contoh pengeluaran yang dilaporkan sebagai “lain-lain”. Dana Taktis tidak melanggar hukum tetapi sulit untuk melacak pengeluarannya dan sangat rentan terhadap penyalahgunaan.

Sumber: World Bank 2005, Papua Public Expenditure Analysis; Regional Finance and Service Delivery in Indonesia’s most Remote Region.

85 Bab 2 dan Bab 4 membahas lebih rinci tentang pengeluaran untuk sektor pertanian dan sektor kesehatan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 128

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Pengeluaran dekonsentrasi

Pengeluaran pemerintah pusat di daerah (dekonsentrasi) terus mengalami peningkatan. Pada 2004, jajaran kementerian pusat menggunakan 50 persen lebih dari anggaran pembangunan mereka didaerah, terutama dalam sektor sosial. Pengeluaran ini telah mengalami peningkatan sejak 2003. Pengeluaran pemerintah pusat untuk bidang ini menambah total pengeluaran daerah menjadi sekitar 21 persen (Lewis & Chakeri, 2004). Pengeluaran dekonsentrasi untuk pembangunan sektor pendidikan dan sosial merupakan yang tertinggi. Pada 2004, kedua sektor ini masing-masing mencapai 17 persen dan 63 persen dari pengeluaran daerah. Pengeluaran dekonsentrasi untuk pembangunan sektor transportasi dan industri menunjukkan angka yang signifikan sebab pengeluaran daerah tahun 2004 untuk kedua sektor ini hampir mencapai kenaikan dua kali lipat. Kecuali untuk administrasi kepemerintahan, lebih dari setengah pengeluaran pemerintah pusat digunakan untuk bidang ini. Pengeluaran pemerintah pusat untuk aparatur negara dapat dipastikan akan terkonsentrasi di Jakarta.

Pengeluaran dekonsentrasi pembangunan cenderung menguntungkan daerah yang memiliki kondisi fiskal yang relatif lebih baik. Selama tiga tahun pertama pelaksanaan sistem desentralisasi, provinsi terkaya di Indonesia, Kalimantan Timur, menerima anggaran pengeluaran untuk pemerintah pusat yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi lain, dan menduduki peringkat kedua setelah Maluku dalam bentuk per kapita. Kabupaten/kota yang berada di Kalimantan Timur, Riau, Aceh, dan Papua—yang kaya secara fiskal—menerima lebih dari dua kali rata-rata pengeluaran pemerintah pusat dibandingkan dengan yang diterima oleh daerah lain antara 2003 dan 2004. Pada 2004, pengeluaran dekonsentrasi per kapita berkorelasi positif dengan total pendapatan fiskal sehingga tidak berkontribusi pada pemerataan fiskal.

Kotak 7.3 Tumpang tindih pengeluaran pemerintah pusat dan daerah: Studi kasus di Jawa Timur

Sebagian besar dana dekonsentrasi yang disalurkan ke daerah dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pelayanan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sebuah kajian mengenai belanja pembangunan pemerintah pusat yang baru-baru in dilaksanakan di Jawa Timur memperkirakan bahwa 90-95 persen dari belanja pemerintah pusat untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum (pemukiman) di provinsi digunakan untuk membiayai kegiatan ditingkat daerah seperti yang dijelaskan di undang-undang desentralisasi. Lebih jauh lagi, penelitian ini juga mencatat adanya pengeluaran ‘dekonsentrasi’ baru yang semakin dibutuhkan, yaitu anggaran belanja tambahan (ABT). ABT tersebut terdiri dari transfer dana departemen untuk APBD dan pengganti pelaksanaan proyek langsung dari pemerintah pusat. Transfer-transfer ini seringkali terjadi sesaat sebelum revisi tengah periode anggaran . Transfer-transfer serupa dari jajaran instansi pusat untuk anggaran sub-nasional bertentangan dengan hukum desentralisasi yang berlaku dan mungkin sebaiknya di konversi kedalam DAK.

Sumber: Oosterman dan Samiadji, 2005.

Kebijakan pejabat pemerintah, seperti yang tercantum dalam UU No. 33/2004, adalah untuk menyalurkan pengeluaran pemerintah pusat disektor-sektor yang didesentralisasikan melalui DAK. Akan tetapi, berbagai kementerian pusat sejauh ini telah menunda pelaksanaan kebijakan ini. Mereka telah berhasil melakukannya akibat adanya ambiguitas kerangka hukum yang berhubungan dengan fungsi layanan di setiap tingkat pemerintahan (Smoke, 2003). peraturan yang bertujuan untuk mengatasi masalah fungsi dan kewewenangan, berdasarkan UU No.32/2004, belum dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri. Peraturan ini menguraikan wewenang pengeluaran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam 30 sektor. Akan tetapi, pada sebagian besar sektor pembagian wewenang semacam itu masih kabur sementara rancangan peraturannya masih harus ditinjau agar memuat ketentuan bahwa berbagai keputusan menteri dari pemerintah pusat akan menetapkan rincian lebih lanjut lagi tentang wewenang setiap tingkat pemerintahan dalam penyediaan layanan umum yang bersangkutan.

Wewenang pengeluaran perlu diperjelas dan harus diserahkan secara transparan pada setiap tingkat pemerintahan. Rencana kerja pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) memuat kemungkinan solusi walaupun lebih birokatis menyangkut masalah tidak jelasnya dan saling bertentangannya pembagian wewenang tersebut. Selama perencanaan dan siklus penentuan anggaran, departemen yang ada menyampaikan program kerja secara rinci dan rencana pengeluaran kepada Bappenas dan Departemen Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. Teorinya, Bappenas dan Departemen Keuangan dapat menentukan pengeluaran

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 129

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

pemerintah pusat untuk mendanai fungsi-fungsi daerah dan melakukan evaluasi terhadap program kerja departemen beserta rencana pengeluaran dengan tujuan untuk menentukan dan menghapuskan pengeluaran di sektor-sektor yang sudah didesentralisasikan. Pendekatan ini diharapkan dapat dilaksanakan dalam waktu dekat, tetap sepertinya hal itu masih memungkinkan diskusi lebih lanjut. Salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh Bappenas dan Departemen Keuangan adalah mencapai kesepakatan mengenai definisi operasional tentang pengeluaran pemerintah pusat sehubungan dengan fungsi dan kewajiban pemerintah daerah.

Penerimaan

Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah daerah di Indonesia menjadi relatif kuat diibanding negara-negara berkembang lainnya . Sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah pusat menyalurkan dana ke daerah dalam bentuk dana hibah yang penggunaannya telah ditentukan. Dana yang paling besar adalah subsidi daerah otonom (SDO). Pengeluaran pembangunan didanai melalui sistem Inpres (Instruksi Presiden), yang merupakan dana Instruksi presiden untuk mendanai berbagai tujuan pembangunan secara spesifik, mulai dari perencanaan sampai dengan pembangunan gedung sekolah dan pasar. Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi pada 2001, pemerintah pusat mengalihkan dana untuk mengurangi kesenjangan fiskal baik secara vertikal maupun horizontal seperti yang ditentukan dalam undang-undang desentralisasi. Oleh karena itu, pengalihan dana semacam ini disebut “dana perimbangan.”

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 130

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Diagram 7.2 Penerimaan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi

Provinsi

-

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

49915991

69917991

89919991

00021002

20023002

40025002* 6002

* **7002

Rp

mili

ar

Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Pajak

Pendapatan SDA Subsidi Daerah Otonom/SDO

(Pembangunan) INPRES DAU

DAK Pendapatan Lainnya

Kabupaten/Kota

-

100.00

200.00

300.00

400.00

500.00

600.00

700.00

19941995

19961997

19981999

20002001

20022003

20042005*

2006*

2007**

Rp m

iliar

Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan SDA

(Pembangunan) INPRES

DAK

Pendapatan Pajak

Subsidi Daerah Otonom/SDO

DAU

Pendapatan Lainnya

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS dan SIKD DepKeu.Catatan: Data dalam real terms (tingkat harga pada 1994 = 100). * = Rencana anggaran, ** = Perkiraan anggaran.

Pemerintah daerah pada dasarnya didanai oleh perimbangan fiskal pusat dan daerah. Dana perimbangan ini terdiri dari tiga elemen: penerimaan bagi hasil (pajak dan non-pajak), Dana hibah yang penggunaannya tidak ditetapkan (Dana Alokasi Umum /DAU), dan Dana hibah yang penggunaanya ditetapkan (Dana Alokasi Khusus /DAK). Penerimaan dari pajak berasal dari pajak bumi dan bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan disalurkan kembali kepada daerah. Penerimaan non-pajak pada dasarnya pendapatan yang berasal dari sumber daya alam yang didistribusikan kembali kepada daerah berdasarkan sistem derivasi.86 DAU merupakan dana alokasi umum yang bertujuan sebagai perimbangann dan DAK dialokasikan untuk mendanai sektor-sektor tertentu yang menjadi prioritas nasional (Diagram 7.2). Di samping itu, pemerintah daerah juga memiliki penerimaan asli daerah dari pajak dan retribusi.

86 Pelaksanaan distribusi diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 55/2005

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 131

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Perimbangan fiskal antara pusat dan daerah

Komponen terbesar dari dana perimbangan adalah DAU, yang merupakan sekitar 50 persen dari pendapatan daerah. DAU merupakan 62 persen dari pendapatan kabupaten/kota dan hanya 18 persen dari pendapatan provinsi. Sumber pendapatan paling besar bagi provinsi adalah pendapatan asli daerah, yang sebagian besar berasal dari penerimaan pajak.

Tabel 7.3 Pendapatan pemerintah daerah, 2004

Provinsi Kabupaten/Kota

Jumlah (Rp miliar)

Proporsi (%)

Jumlah (Rp miliar)

Proporsi (%)

Pendapatan asli daerah 22,696 49.3 10,131 8.3

Penerimaan bagi hasil pajak 8,759 19.0 13,706 11.2

Penerimaan bagi hasil sumber daya alam 2,833 6.2 8,773 7.2

DAU 8,217 17.9 75,794 62.1

DAK 13 0.0 3,661 3.0

Pendapatan lain-lain 3,482 7.6 10,055 8.2

Total Penerimaan 46,001 122,121Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD, DepKeu.

Alokasi dana DAU menggunakan mekanisme berbasis formula. Keseluruhan dana DAU ditingkat pusat dihitung sebagai proporsi (saat ini 26 persen) dari pendapatan bersih nasional setelah dikurangi dana bagi hasil. Formula DAU memiliki dua komponen, komponen alokasi dasar (BA) dan komponen kesenjangan fiskal (FG). Sampai dengan 2005, komponen alokasi dasar tediri dari lump sum dan komponen proporsional untuk gaji. Mulai 2006, DAU mencakup anggaran untuk pembayaran gaji setiap pemerintah daerah secara penuh sebelum menggunakan formula. Kesenjangan fiskal dihitung sebagai selisih antara kapasitas fiskal (FC) dan kebutuhan pengeluaran (EN), yang sebagian akan ditutup melalui DAU. Komponen kesenjangan fiskal dialokasikan kepada kabupaten/kota secara pro rata berdasarkan kesenjangan tersebut. Dana ini merupakan pendorong utama untuk menuju pemerataan dan perimbangan fiskal daerah. Walaupun proporsi kesenjangan fiskal telah mengalami peningkatan, pentingnya formula kesenjangan fiskal dalam mekanisme distribusi hanya bersifat parsial karena hanya 50 persen total DAU yang didistribusikan menggunakan formula kesenjangan fiskal (Diagram 7.3).87

Diagram 7.3 Komposisi DAU secara keseluruhan

0

20

40

60

80

100

120

140Rp triliun

2005 2006

Hold Harmless

Fiscal Gap

Wage Bill

Lump Sum

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD-DepKeu dan BPS.

Catatan: Data untuk DAU kabupaten/kota secara keseluruhan hanya dalam harga konstan ( tingkat harga = 100)

87 Untuk an analisa tentang alokasi DAU beberapa tahun ini Lihat Lampiran G.5.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 132

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Kotak 7.4 Formula DAU

DAU 2006 dialokasikan berdasarkan formula berikut:

DAUi = BAi + FGi (1)

Dimana “i “ menunjukkan kabupaten/kota masing-masing.

FGi = ENi – FCi (2)

ENi = [0,3*Indeks jumlah penduduk +0,1* 1/HDIi + 0,15*Indeks Wilayah + 0,3*Indeks Biaya + 0,15* Indeks PDB per kapita Daerah] * Rata-rata Pengeluaran Pemerintah Daerah

(3)

FCi = PADi + STXi + SDAi (4)

Di mana STX = Pendapatan dari Pajak, SDA = Pendapatan dari Sumber Daya Alam, HDI = Indikator Pembangunan Manusia, PAD = Pendapatan Asli Daerah.89

Sumber: UU No. 33/2004.

Kebijakan ‘hold harmless’ membatasi kemampuan DAU untuk meningkatkan perimbanagn fiskal. Kebijakan ini menetapkan bahwa daerah tidak akan menerima alokasi lebih rendah dari alokasi tahun sebelumnya. Hal ini dinyatakan pada tahun pertama pelaksanaan desentralisasi ketika saat itu komponen FC berjumlah hanya 18,5 persen dari DAU dan tidak termasuk pendapatan dari sumber daya alam sebagai bagian dari komponen kapasitas fiskal. Saat ini, mekanisme ini sangat menguntungkan kabupaten/kota yang kaya akan sumber daya alam, tetapi berdasarkan UU maka kebijakan “hold harmless” tidak berlaku pada tahun anggaran 2008.

Kotak 7.5 Inovasi dalam alokasi DAU

Mulai 2006, alokasi DAU memuat perubahan cukup signifikan pada mekanismenya secara keseluruhan dan pada formula kesenjangan fiskal sbb :

1. Total DAU keseluruhan adalah 26 persen dari penerimaan bersih nasional.2. Alokasi dasar penyaluran DAU adalah meliputi total gaji di setiap pemerintah daerah. 3. Komponen kapasitas fiskal—pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pendapatan pajak, bagi hasil pendapatan sumber

daya alam—yang kini diberi tambahan secara penuh.4. Indikator kesenjangan kemiskinan (poverty gap) dalam formula kebutuhan pengeluaran diganti dengan kebalikan dari

Indikator Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita,5. Kebijakan ‘hold harmless’ akan dihapuskan mulai tahun anggaran 2008.

Sumber: UU No. 33/2004.

Pembayaran penuh gaji pemerintah daerah melalui DAU tidak memberikan insentif untuk merampingkan struktur kepegawaian daerah. Variabel penting yang menentukan alokasi dasar DAU adalah gaji pegawai daerah. Jika satu kabupaten/kota mengurangi gaji pegawainya (tanpa adanya pengurangan oleh kabupaten/kota yang lain) maka hal tersebut akan mengurangi alokasi dasar DAU daerah tersebut (untuk tahun berikutnya). Seperti yang sudah dijelaskan, alokasi dasar merupakan sekitar setengah dari total DAU, dengan demikian, komponen gaji ini mengurangi insentif daerah untuk melakukan perampingan jumlah pegawainya karena akan mengurangi jumlah DAU yang diterima daerah yang bersangkutan.89

88 Indeks area memberitahukan ukuran relatif kabupaten/kota atau provinsi, indeks biaya mengacu kepada biaya relatif konstruksi, indeks PDB daerah per kapita menrupakan PDB per kapita relatif dengan rata-rata seluruh kabupaten/kota atau provinsi. Indeks-indeks yang tertimbang kemudian dikalikan dengan rata-rata pengeluaran provinsi (kabupaten/kota) untuk mendapatkan alokasi DAU bagi provinsi (kabupaten/kota).89 Akan tetapi, perlu diingat bahwa jika satu kabupaten/kota memutuskan menurunkan gaji mereka, mereka akan menerima dana diskresionari yang lebih besar melalui komponen peningkatan kesenjangan fiskal (FG), tetapi perolehan dana itu masih jauh lebih kecil daripada pengurangan jumlah gaji. Sementara hal ini tidak akan memberikan penalti kepada kabupaten/kota yang melakukan pemotongan gaji, hal ini mungkin bisa atau tidak bisa menjadi insentif yang cukup bagi kabupaten/kota. Sementara itu, seluruh kabupaten/kota yang tidak melakukan pengurangan terhadap anggaran gaji mereka akan menerima dana yang lebih besar. Sebaliknya, jika seluruh kabupaten/kota melakukan pemotongan terhadap pembayaran gaji, maka perolehan merekabukan hanya akan lebih signifikan, semua kabupaten/kota yang memiliki kesenjangan fiskal positif (sekitar 95 persen dari seluruh kabupaten/kota pada 2006) tetapi akan memiliki jumlah dana diskresionari yang lebih besar. Insentif fiskal ini hanya berlaku jika kabupaten/kota memiliki kapasitas untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya untuk untuk melakukan identifikasi terhadap jumlah efektif dari PNS yang dibutuhkan untuk menyediakan layanan dasar kepada masyarakat.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 133

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Revisi UU desentralisasi yang baru memiliki dampak yang beragam. Dampak yang dapat langsung dirasakan adalah penghapusan ‘hold harmless’ dan diberlakukannya pembayaran gaji secara penuh lewat DAU akan memberikan hasil yang beragam sehubungan dengan cara-cara untuk mencapai keseimbangan. Dalam hal pendapatan per kapita alokasi demikian akan meningkatkan pemerataan, namun dari sudut rasio penerimaan pemerintah daerah terhadap kebutuhan pengeluarannya, maka alokasi demikian akan berdampak pada distribusi fiskal yang kurang merata (Arze, 2005).

Komponen perimbangan fiskal yang terbesar kedua adalah yang berasal dari penerimaan bagi hasil pajak dan penerimaan bagi hasil SDA. Pada 2004, alokasi anggaran dari pendapatan ini berjumlah 20 persen dari anggaran daerah. Sementara pendapatan pajak hanya dua pertiga pendapatan ini, pendapatan dari sumber daya alam terkonsentrasi pada daerah-daerah penghasil minyak, yang telah membuat mereka menjadi daerah yang paling diuntungkan oleh pelaksanaan sistem desentralisasi. Pada 2006, hanya 62 dari 440 kabupaten/kota dan hanya lima dari 33 provinsi yang menghasilkan minyak, dan menerima sumber pendapatan dari sektor ini. Sebagian besar dari kabupaten/kota ini terletak di Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. 90

Diagram 7.4 Distribusi bagi hasil sumber daya alam per kapita, dan bagi hasil pajak per kapita, 2006

ribu

pR

Pendapatan SDA per capita Pendapatan Pajak per capita

0200400600800

100012001400160018002000

Jaw

aTe

ngah

Jaw

aTi

mur

D I

Yogy

akar

taN

usa

Teng

gara

Tim

ur

Jaw

aBa

rat

Sula

wes

iUta

raBa

liLa

mp

ung

Sula

wes

iTen

gah

Gor

ont

alo

Kalim

anta

nBa

rat

Ben

gkul

uSu

mat

era

Uta

raBa

nte

nSu

mat

era

Bara

tSu

law

esiT

engg

ara

Sula

wes

iSe

lata

nN

usa

Teng

gara

Bara

tM

aluk

uKa

liman

tan

Sela

tan

Kep

ulau

anBa

ngka

Belit

ung

Jam

biKa

liman

tan

Teng

ahM

aluk

uU

tara

Sum

ater

aSe

lata

nPa

pua

Nan

ggro

eA

ceh

Dar

ussa

lam

Kep

ulau

anRi

auIr

ian

Jaya

Bara

tRi

auKa

liman

tan

Tim

ur

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data alokasi DepKeu.

Pada tahun 2009, daerah-daerah tersebut bahkan akan menerima dana bagi hasil yang lebih besar dari pendapatan sektor migas. Suatu ketentuan didalam UU No. 33/2004 menyatakan bahwa daerah akan menerima dana tambahan 0,5 persen dari pendapatan dari sektor migas. Peningkatan ini akan digunakan sebagai penambahan anggaran untuk pendidikan dasar. Akan tetapi, masih belum jelas bagaimana hal ini akan dilaksanakan.

90 Seperti yang dinyatakan dalam Koefisi Variasi (CoV) dan Kpoefisi Gini. CoV dan dan Keofisi Gini untuk pendapatana per kapita yang berasal dari sumber daya alam adalah 2,7 dan 0,84. CoV dan Gini untuk pendapatan dari pajak adalah 2,48 dan 0,73.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 134

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Tabel 7,4 PBB per sektor, 2005

Sektor Rp bn %

Perkotaan 3,121.7 19.3

Pedesaan 555.5 3.4

Perkebunan 359.3 2.2

Kehutanan 151.6 0.9

Pertambangan 12,018.0 74.2

Total 16,206.0 100.0Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu

Sentralisasi seluruh pajak bumi dan bangunan meniadakan potensi pemerintah daerah untuk menggunakannya sebagai instrumen kebijakan penenerimaan. Sementara pajak bumi dan bangunan dilakukan dan dikumpulkan secara lokal disebagian besar negara di dunia, di Indonesia hal ini masih dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat menentukan dasar, tingkat (besarnya pajak di seluruh sektor ini), melakukan pemungutan pajak, dan menyimpan sebanyak 9 persen dari total pajak sebagai biaya administrasi. Pada 2005, total PBB yang diterima adalah Rp 16 triliun, jumlah yang sama dengan 120 persen dari total PAD. Dalam total ini, PBB belum termasuk sektor industri (sebagian besar sektor migas) yang jumlahnya paling besar (hampir tiga perempat 2005) dan telah meningkat secara substansial akibat kenaikan harga minyak. Pendapatan pajak penting lainnya adalah pajak bangunan di wilayah

perkotaan yang berjumlah 20 persen dari the total PBB pada 2005 (Tabel 7.4). Desentralisasi PBB akan memberikan instrumen pendapatan bagi daerah yang dapat mereka sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing dan untuk bersaing dengan pemerintah daerah lainnya.91

PBB memiliki potensi untuk ditingkatkan secara substansial. Desentralisasi PBB wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara internasional dalam pengalihan pemungutan pajak kepada pemerintah daerah. PBB untuk kedua sektor ini saat ini sama dengan seperempat dari PAD kabupaten/kota. Potensi untuk memperoleh peningkatan lebih lanjut masih sangat tinggi. Tingkat pajak statuter adalah antara 0,1 dan 0,2 persen, tergantung pada sektor dan perkiraan nilai bangunan dan, jumlah ini termasuk angka paling kecil di dunia. Di samping itu, (sentralisasi administrasi) pemungutan pajak ini sangat lemah. Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa hanya sekitar 40 persen dari total PBB yang bisa direalisasikan, berdasarkan dasar penentuan tarif pajak saat ini (Lewis, 2003a). Penentuan nilai bangunan atau tanah merupakan aspek administrasi yang paling rumit, tetapi cakupan dan pengumpulannya juga tidak dilaksanakan secara efisien.

DAK telah tumbuh dengan cepat tetapi masih tetap rendah dibandingkan dengan dana transfer yang lain. Pada tahun 2001 dan 2002, DAK berjumlah kurang dari Rp 1 triliun. Pada tahun 2005, DAK mencapai Rp 3,9 triliun (naik dari Rp 3,6 triliun di tahun 2004). Diharapkan bahwa DAK bakan akan menjadi lebih penting pada tahun-tahun yang akan datang, terutama jika Departemen Keuangan berhasil dalam menyalurkan kembali pengeluaran dekonsentrasi pemerintah pusat pada fungsi-fungsi desentralisasi melalui DAK sesuai dengan yang ditentukan pada UU No. 33/2004.

Tidak ada pola yang konsisten dalam penggunaan DAK. Cakupan sektoral dari DAK pada tahun-tahun awal masih terbatas pada pendidikan, kesehatan, infrastruktur daerah (jalan raya dan irigasi), pembangunan gedung pemerintah (untuk pemerintah daerah yang baru terbentuk). Pada 2006, DAK diperuntukkan bagi peningkatan infrastruktur layanan dasar dan cakupan meluas sampai pada infrastrukturs daerah yang baru (layanan air keliling), perikanan, pertanian, dan lingkungan. Beberapa tujuan DAK yang pernah disebutkan dalam beberapa kesempatan yang berbeda-beda antara lain untuk perbaikan sektor-sektor kunci sampai dengan kemiskinan, koreksi ‘spillover’, atau pencapaian standar pelayanan minimum. Pada saat terjadi kevakuman kebijakan terdapat risiko dana itu akan terfragmentasi pada banyak sektor dan berbagai tujuan.

Provinsi yang lebih miskin dan secara politik kurang stabil, terutama Aceh dan Papua, merupakan provinsi yang paling diuntungkan dengan adanya perimbangan fiskal. Kedua provinsi ini juga menerima status “otonomi khusus” berdasarkan UU No. 18/2001 untuk Aceh dan UU No. 21/2001 untuk Papua. Dengan otonomi khusus ini keduanya menerima anggaran tambahan. Mulai 2002, Aceh dan Papua menerima penerimaan yang lebih tinggi dari sektor migas. Di samping itu, Papua menerima dana cukup besar dari Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) yang jumlahnya mencapai 2 persen dari total DAU pusat. Setelah penetapan pemerintah Aceh yang baru berdasarkan UU No. 11/2006, Aceh juga akan menerima Dana Otonomi Khusus mulai 2008 selama 15 tahun. Alokasi dana ini selanjutnya akan dikurangi sampai menjadi 1 persen mulai 2023 sampai 2028 (Kotak 7.6).

91 Untuk analisis rinci tentang tren dan potensinya, Lihat Lampiran G.5.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 135

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Kotak 7.6 Distribusi dan pengelolaan Dana Otonomi Khusus

Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) meningkatkan anggaran Papua sampai dengan 20 persen dari dana yang sudah ada yang merupakan tambahan dana yang cukup besar. Di Aceh, Dana Otsus akan berjumlah sekitar 30 persen dari anggaran daerah 2008. Di Papua, Dana Otsus sebagian akan dialokasikan untuk program-program strategis, dan sisanya akan didistribusikan kepada kabupaten/kota berdasarkan formula yangsama dengan formula penentuan DAU. Pemerintah Provinsi Aceh masih perlu harus menentukan formula alokasi untuk Dana Otsus yang akan diberikan tahun 2008.

Akan tetapi, transparansi dan akuntabilitas tetap merupakan tantangan dalam mengelola Dana Otsus di kedua provinsi ini. Keterlambatan penyaluran Dana Otsus dan Alokasi Khusus dari sektor migas sering terjadi, yang menghambat proses perencanaan, manajemen, dan pengaturan arus dana tunai (cash flow) di tingkat daerah. Pemerintah daerah tidak memiliki akses terhadap informasi rinci mengenai produksi dan biaya sektor migas. Prosedur laporan yang bertele-tele juga menyebabkan terjadinya penundaan tersebut.

Kajian mengenai Dana Otsus menunjukkan bahwa mekanisme distribusi dan pengelolaan dana ini dapat ditingkatkan dengan cara:

• Identikasi tujuan utama dari Dana Otsus. Jika memang ditujukan untuk melakukan pemerataan, formula alokasinya seharusnya ditingkatkan. Jika dana itu ditujukan untuk memacu laju pembangunan sektor tertentu, maka alokasi anggaran yang telah ditetapkan selalu harus dilaksanakan.

• Menyederhanakan prosedur penyusunan laporan di tingkat pusat dan kabupaten/kota, meningkatkan akuntabilitas, akses terhadap arus informasi , dan manajemen serta sistem evaluasi.

• Klarifikasi definisi yang ambigu (dwi makna) dalam regulasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi alokasi dana.

Sumber: Papua Public Expenditure Analysis: Regional Finance and Service Delivery in Indonesia’s most remote regions (World Bank, 2005); Aceh Public Expenditure Analysis, Spending for reconstruction and Poverty Reduction (World Bank/DSF, 2006).

Pendapatan Asli Daerah

Walaupun akhir-akhir ini terjadi peningkatan, total pendapatan asli daerah (PAD) masih rendah, hanya 8,5 persen dari total pendapatan. PAD masih disentralisir. Pada 2001, PAD meningkat menjadi 5 persen dari total penerimaan dalam negeri, naik dari 3,5 persen pada 2000. Antara 2001 dan 2005, pendapatan daerah naik tetapi lamban dan mencapai 8,5 persen dari total penerimaan publik. Tujuh puluh persen dari PAD dikumpulkan oleh pemerintah provinsi (Tabel 7.5).

Tabel 7.5 Sumber pendapatan asli pemerintah pusat dan daerah

2001 2002 2003 2004* 2005**

Rp miliar % Rp miliar % Rp miliar % Rp miliar % Rp miliar %

Kabupaten/Kota 5,267 1.7 6,650 2.3 7,302 2.4 8,020 2.3 9,764 2.5

Provinsi 10,005 3.2 12,720 4.4 14,925 4.8 17,920 5.2 23,028 6.0

Total Daerah 15,272 4.9 19,370 6.8 22,227 7.2 25,940 7.6 32,793 8.5

Pemerintah pusat 299,183 95.1 266,831 93.2 285,901 92.8 316,083 92.4 352,288 91.5

Total Publik 314,455 100.0 286,201 100.0 308,128 100.0 342,023 100.0 385,081 100.0

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu dan Bank Indonesia.Catatan: * Angka-angka untuk daerah merupakan perkiraan awal berdasarkan pelaksanaan anggaran; angka-angka untuk pemerintah pusat merupakan akhir pelaksanaan anggaran, ** Angka-angka untuk daerah diproyeksikan berdasarkan anggaran daerah dan pusat; angka-angka untuk pemerintah pusat merupakan data awal dari pelaksanaan anggaran. Tingkat harga konstan tahun 2001.

PAD termasuk pendapatan pajak daerah retribusi dan biaya pemakaian jasa. Pajak listrik, dan hotel dan restoran mencapai 75 persen dari total PAD tingkat kabupaten/kota dari pajak. Biaya layanan kesehatan yang disediakan oleh Puskesmas, izin mendirikan bangunan (IMB) mencapai sekitar 50 persen dari total pendapatan dari biaya atau ongkos. Sumber PAD yang lain termasuk pendapatan dari perusahaan daerah (seperti PDAM) dan pendapatan bunga atas anggaran yang belum dipakai. Masing-masing dari ketiga jenis sumber pendapatan utama di atas untuk daerah—pajak, biaya, dan lain-lain—berkontribusi sekitar sepertiga dari seluruh PAD, sebagai perbandingan dari PAD provinsi yang merupakan sumber pendapatan lebih besar dari kabupaten/kota. Pendapatan dari pajak di tingkat provinsi yang jumlahnya cukup signifikan berasal dari pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama, dan pendaftaran

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 136

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

kendaraan bermotor. Perolehan pendapatan dari PKB mencapai hampir 80 persen dari total provinsi dari pendapatan pajak. Retribusi yang paling besar berasal dari sektor kesehatan, izin bangunan, dan biaya pemanfaatan aset publik. Ketiga jenis biaya ini berjumlah sebesar sepertiga dari total pendapatan dan retribusi. Pendapatan bunga atas saldo anggaran yang tersimpan di bank merupakan pendapatan lainyang patut dicermati. Pendapatan dari pajak mencapai jumlah yang cukup signifikan (90 persen) dari total PAD tingkat provinsi (Tabel 7.6).

Administrasi pajak daerah cenderung sangat tidak efisien. Biaya administasi pajak daerah menghabiskan lebih dari 50 persen penerimaan pajak.92 Akan tetapi, ada perbedaan yang cukup signifikan dalam hal efisiensi di berbagai pemerintah daerah (lihat Lampiran G.8). Pada awal tahun 1990-an, Departemen Dalam Negeri menerapkan komputerisasi administrasi perpajakan pada sebagian besar pemerintah daerah. Akan tetapi, sistem ini tidak lagi berjalan. Dengan demikian, apakah komputerisasi ini akan membantu atau tidak untuk mengurangi masalah efisiensi yang sangat besar masih belum bisa dipastikan.

Tabel 7.6 Sumber pendapatan asli pemerintah Kabupaten/kota dan provinsi, 2004

Pendapatan Kabupaten/Kota % Pendapatan ProvinsiJumlah

%Rp milyar Rp milyar

Pajak Daerah 4,034 3 Pajak Daerah 20,084 43

Listrik 2,037 50 Bea balik nama kendaraan 9,058 45

Hotel dan restoran 1,009 25 Pendaftaran kendaraan bermotor 6,608 33

Lain-lain 988 24 Lain-lain 4,419 22

Retribusi 3,423 3 Retribusi 1,165 3

Kesehatan 1,266 37 Kesehatan 523 45

IMB 370 11 IMB 157 14

Lain-lain 1,787 52 Lain-lain 485 42

Sumber PAD yang lain 2,702 2 Sumber PAD yang lain 1,447 3

Transfer dana 112,080 92 Transfer dana 23,903 51

Total 122,239 100 Total 46,599 100

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD dan DepKeu .

Sebagian besar bentuk pajak baru yang diperkenalkan oleh pemerintah daerah terbukti berdampak negatif untuk pertumbuhan ekonomi (Barnes dkk., 2005). Dengan pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah kabupaten/kota diberikan wewenang untuk menciptakan sumber pendapatan mereka dari pajak, dan pemerintah provinsi memiliki wewenang untuk menciptakan pajak konsumen yang baru. Sejak 2001, pemerintah daerah telah memperkenalkan begitu banyak jenis pajak baru sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan mereka.93 Survei mengenai Daya Tarik Daerah yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, atau KPPOD) pada 2004 menerima pendapat yang disampaikan oleh kalangan bisnis, mereka berpendapat bahwa pajak daerah merupakan hambatan sangat besar dalam pengembangan usaha. Walaupun beban pajak lokal masih ringan, terutama biaya yang berhubungan dengan perizinan tingkat lokal, hal ini bisa berdampak negatif terhadap iklim usaha, setidaknya untuk sektor-sektor tertentu (Lewis dan Suharnoko, 2006). Ada juga masalah yang berhubungan dengan korupsi pada administrasi perpajakan lokal, yang ternyata tidak bisa diatasi melalui pelaksanaan sistem desentralisasi (Kuncoro, 2004; von Luebke, 2005).

Draft revisi UU No. 34/00 tentang Pajak Daerah membatasi pemerintah daerah untuk mengenakan pajak dan pungutan pada daftar yang sebelumnya sudah ditentukan. Pemerintah berharap bahwa kebijakan baru ini akan mengurangi prolifikasi pajak daerah. Kemampuan pemerintah untuk memonitor ketaatan pemerintah daerah akan menjadi kunci utama dalam keberhasilan atau kegagalan reformasi di sektor ini.

92 Lihat Lewis dan Suharnoko, 2006. Dengan perbandingan, cost-to-yield estimasi dari AS memiliki range mulai dari kurang dari 1 persen untuk sebagian besar pajak daerah menjadi sekitar 1.5 persen untuk PBB (Mikesell, 1982). Cost-to-yield rasio dari AS merupakan biaya administratif namun dibagi oleh pendapatan bersih. Dengan menggunakan definisi ini, keseluruhan cost-to-yield rasio untuk pemerintah daerah di Indonesia menjadi sebesar 110.5 persen .93 Temuan terkini menunjukkan bahwa pemerintah daerah bisa jadi menerbitkan sebanyak 6.000 pajak baru dan dimuat dalam undang-undang Peraturan Daerah—Perda yang dikeluarkan selama tahun 2000 sampai pertengahan 2005, banyak yang memperkenalkan pajak dan tagihan baru, sisanya mengganti bea dan/atau berdasarkan pada pajak yang sudah ada, hal tersebut dimungkinkan oleh UU No. 34/2000 (LPEM-FEUI, 2005a).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 137

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Manajemen Keuangan Publik di Daerah

Kinerja sistem anggaran

Kerangka peraturan untuk melakukan reformasi pada pengelolaan keuangan publik di daerah umumnya sudah ada. Sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah daerah mengikuti pedoman administrasi keuangan daerah yang disebut Makuda, yang tidak pernah direvisi atau disempurnakan selama hampir 20 tahun. Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah pusat mengeluarkan peraturan yang sangat komprehensif mengenai manajemen keuangan publik, sebagai baian dari pengelolaan keuangan publik di tingkat daerah.94 Komponen utama yang perlu diperhatikan untuk reformasi meliputi unifikasi anggaran, kinerja anggaran, kerangka kerja pengeluaran jangka menengah, dan restrukturisasi sejumlah lembaga keuangan pada unit-unit pemerintah daerah. Salah satu prestasi besar adalah bahwa sebagian besar anggaran yang sudah disalurkan ke daerah akan segera dimasukkan kedalam anggaran daerah (misalnya, transformasi dana dekonsentrasi ke dalam DAK).

Akan tetapi, tidak ada mekanisme untuk mengatasi masalah yang terkait dengan kesulitan fiskal dan insolvensi di tingkat daerah. Kerangka peraturan yang baru tidak memberi peluang untuk melakukan intervensi terhadap anggaran jika terjadi kesalahan atau kebangkrutan pada pemerintah daerah. Pemerintah menunjukkan minat mereka untuk mengembangkan mekanisme semacam itu, tetapi belum ada hasil berarti yang sudah dicapai.

Sebagian besar daerah perlu meningkatkan kapasitas teknis mereka dan meningkatkan SDM untuk menjalankan reformasi di daerah mereka, sementara pemerintah pusat perlu menyediakan bimbingan yang memadai untuk mendukung pelaksanaan hal itu. Pembagian tugas dan tanggung jawab yang tidak jelas antara Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri telah menyebabkan timbulnya ketentuan yang tidak konsisten dan saling bertentangan terkait dengan masalah manajemen keuangan dearah, yang menimbulkan kebingungan di antara sebagian besar pemerintah daerah. Konsep yang baru diperkenalkan, seperti anggaran berbasis kinerja, pelaksanaannya sangat buruk dan pengelolaan anggaran daerah masih jauh dari efisien. Sementara pemerintah daerah diwajibkan oleh UU untuk melaporkan beberapa informasi keuangan dan fiskal tertentu kepada pemerintah pusat, banyak di antara mereka tidak melakukan hal itu (datanya hilang atau sengaja tidak diberikan). Pemerintah daerah tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan kepada publik tentang hal-hal yang berkaitan dengan informasi fiskal dan keuangan. Selain itu, sebagian besar dari mereka tidak melakukan hal tersebut sehingga informasi semacam itu tidak bisa diakses oleh publik. Kurangnya keterbukaan, sistem pembukuan yang buruk, dan misalokasi dana, menyebabkan proses pengelolaan anggaran sangat rentan terhadap korupsi.

Secara keseluruhan, sistem pengelolaan keuangan publik di daerah masih lemah dan berisiko tinggi terhadap tindak korupsi. Temuan dari penilaian yang mendalam (dan penentuan peringkat dari skala 100 persen) atas kinerja keuangan sebanyak 15 pemerintah daerah yang terpilih menunjukkan bahwa kapasitas kelembagaan dan SDM untuk mengelola anggaran daerah masih sangat rendah dan bahwa proses manajemen kauangan masih lemah, tidak transparan dan tidak akuntabel. Nilai rata-rata kinerja pemerintah daerah, yang diukur berdasarkan ketentuan peraturan nasional mengenai pengelolaan keuangan daerah baru mampu mencapai angka 44 persen.95 Sebagai kontras dengan hal ini adalah kinerja dari beberapa pemerintah daerah yang sangat reformis. Misalnya, Kabupaten Sleman di Provinsi Yogyakarta telah mampu mencapai skor kinerja 100 persen di bidang pengelolaan keuangan dan laporan akunting mereka. Akan tetapi, kinerja seperti itu masih sangat jarang. Pemberian insentif daerah mungkin merupakan langkah penting untuk mendorong agar gerakan antikorupsi merekadapat terus mencapai kemajuan.

94 Payung hukum utama untuk pengelolaan keuangan daerah adalah UU Otonomi daerah (No. 32/2004). Keseimbangan Fiskal (No. 33/2004). Sistem Perencanaan Nasional (No. 25/2004). Keuangan Negara UU (No. 17/2003) dan Perbendaharaan Negara UU (No. 1/2004). Pelaksanaan peraturan utama adalah No. 58/2005 tentang pengelolaan keuangan daerah dan pelaksanaan panduan KepMen No. 13/2006, pengganti KepMen No. 29/2002.95 Indonesia: Local Government Financial Management – A Measurement Framework (World Bank Office Jakarta, Ministry of Home Affairs, 2005). Kerangka ini menilai kinerja pemerintah daerah dalam sembilan wilayah pengelolaan keuangan daerah, diukur dengan menggunakan indokator akumulasi nilai yang ada di masing-masing sembilan wilayah tersebut. Keseluruhan nilai yang bisa diraih untuk tiap wilayah adalah 100 persen. Hasilnya, dirumuskan dari pelaksanaan kerangka pengukuran pengelolaan keuangan, mencerminkan rata-rata kinerja 15 pemerintah daerah (tiga di Sulawesi, dua di Jawa dan delapan di Aceh dan dua di Sumatera Utara) pada sembilann wilayah pengelolaan keuangan, diprakarsai pada tahun2005 dan 2006, sebagian berkolaborasi dengan USAID-LGSP.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 138

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Diagram 7.5 Hasil kerangka penilaian kinerja PFM

0% 25% 50% 75% 100%

Kab. SlemanKota Banda Aceh

Kab. Aceh BesarKab. Aceh Timur

Kota BlitarKab. Parigi Moutong

Kab. Sidenreng RappangKota PaluKab. Pidie

Kab. BireuenKab. Aceh Barat

Kab. NiasKab. Nagan Raya

Kab. Aceh JayaKab. Nias Selatan

Perencanaan dan PenganggaranPengadaanAudit InternalPengelolaan Aset

Kerangka KerjaPengelolaan kasAkuntansi dan PelaporanHutang dan InvestasiAudit Eksternal dan Pemantauan

Kinerja pemerintah daerah dibidang penanganan utang, investasi, dan audit eksternal masih buruk.Hal ini mencerminkan tidak adanya kerangka peraturan nasional yang baik dan kurangnya sumber daya di tingkat nasional:

Audit eksternal (kinerja rata-rata 35 persen ). UU No. 15/2004 tentang pemeriksaan keuangan negara memberikan mandat untuk melakukan pemeriksaan eksternal oleh BPK. Namun sampai saat ini, menurut pejabat BPK, hanya sekitar 60 persen dari pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang diperiksa secara teratur oleh BPK. Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah bahwa pemerintah pusat tidak menyediakan pendanaan yang memadai kepada BPK untuk melakukan hal itu. Pemeriksaan eksternal yang lemah juga berarti bahwa catatan tentang pembukuan juga masih lemah dan tindak lanjut atas temuan selama pemeriksaan lebih banyak berupa pengecualian daripada ketentuan aturan itu sendiri. Walaupun pemeriksaan eksternal dari pemerintah daerah diserahkan kepada DPRD, laporan itu tidak dapat diakses untuk publik. Praktik seperti itu akan meningkatkan timbulnya bahaya tindak korupsi. Informasi keuangan atas kinerja dan alokasi anggaran, dan dorongan untuk mengikuti standar akuntansi yang benar akan meningkatkan mekanisme akuntabilitas di dalam pemerintah daerah dan seluruh jajaran pemerintahan.

Utang dan investasi (kinerja rata-rata 29 persen). Sebagian pemerintah daerah yang diteliti belum mengembangkan kebijakan yang baik untuk iklim investasi di masa datang atau mengembangkan strategi peminjaman. Investasi biasanya dilakukan berdasarkan kondisi ad hoc dan tidak terkait dengan rencana atau proyeksi jangka menengah.

Surplus anggaran dan tunggakan utang

Surplus

Pemerintah daerah akhir-akhir telah memperoleh manfaat dari adanya dana cadangan yang sangat besar. Pada pertengahan 2006, dana cadangan ini mencapai Rp 95 triliun atau 3,1 persen dari PDB. Ini sangat jauh berbeda dengan kondisi sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, di mana pada saat itu tidak pernah ada surplus. Antara 2001 dan 2005, provinsi dan kabupaten/kota mampu memiliki akumulasi anggaran sebanyak lebih dari Rp 35 triliun dalam cadangan mereka—kira-kira 18 persen dari pengeluaran daerah (2005) di tingkat pusat, dan 1,4 persen dari PDB (2005) (Tabel 7.7). Dana cadangan mulai melonjak tinggi pada pertengahan tahun pertama 2006.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 139

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Tabel 7.7 Pendapatan asli pemerintah daerah, pengeluaran, dan surplus

2001 2002 2003 2004* 2005**

(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)

Kabupaten/kota Pendapatan 78,699 -- 83,466 -- 96,637 -- 96,420 -- 105,690 --Pengeluaran 71,624 91.0 80,344 96.3 96,673 100.0 93,924 97.4 97,574 92.3Defisit/Surplus 7,075 9.0 3,122 3.7 -36 0.0 2,497 2.6 8,116 7.7ProvinsiPendapatan 25,484 -- 29,471 -- 33,295 -- 36,320 -- 45,480 --Pengeluaran 23,109 90.7 28,828 97.8 33,335 100.1 34,214 94.2 41,255 90.7Defisit/Surplus 2,375 9.3 643 2.2 -40 -0.1 2,106 5.8 4,224 9.3Total DaerahPendapatan 104,183 112,937 129,931 132,741 151,170Pengeluaran 94,733 90.9 109,171 96.7 130,008 100.1 128,138 96.5 138,829 91.8Defisit/Surplus 9,450 9.1 3,766 3.3 -76 -0.1 4,602 3.5 12,341 8.2

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Angka-angka untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota masih perkiraan awal berdasarkan pelaksanaan anggaran, ** Angka-angka untuk pendapatan dan pengeluaran provinsi dan kabupaten/kota merupakan proyeksi berdasarkan anggaran daerah dan pusat nasional (SIKD DepKeu); Angka mengenai surplus merupakan perkiraan berdasarkan data dari Bank Indonesia, pada tingkat harga konstan 2001.

Jumlah akumulasi dana cadangan sangat bervariasi di antara setiap pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Akumulasi dana cadangan cenderung menjadi lebih tinggi di daerah-daerah kaya dengan sumber daya alam, seperti Kalimantan Timur, Riau, Aceh, dan Papua. Pemerintah daerah di Pulau Jawa dan kawasan Indonesia Timur memiliki dana cadangan yang lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan yang mereka peroleh sejak pelaksanaan sistem desentralisasi. Pemerintah daerah memang berhak dan perlu untuk memiliki dana cadangan, karena hal ini dapat membantu mereka untuk mengatasi beberapa masalah arus dana tunai (cash flow) ketika terjadi kondisi darurat yang memerlukan pencairan dana dalam waktu cepat. Aturan umum yang biasa digunakan adalah bahwa dana cadangan pemerintah daerah seharusnya berjumlah antara 5 dan 10 persen pengeluaran umum (Wolkoff, 1987). Akan tetapi, batas ambang tersebut kini sudah terlampaui oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia.

Ada empat faktor yang berkontribusi terhadap investasi dan pengeluaran yang rendah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pertama, anggaran pemerintah daerah cenderung baru bisa disetujui pencairanya setelah melalui penundaan berkali-kali, kadang-kadang sampai menjelang berakhirnya tahun fiskal. Ini masih diperburuk lagi oleh pengenalan otorisasi proses anggaran yang baru (UU No. 32/2004), di mana Departemen Dalam Negeri berhak untuk memberikan persetujuan terhadap anggaran pemerintah provinsi, dan pejabat provinsi memberikan persetujuan terhadap anggaran pemerintah kabupaten/kota. Kedua, pemerintah pusat melakukan penyaluran pembagian dana terutama yang berasal dari sumber daya alam yang cenderung baru diberikan menjelang akhir tahun fiskal. Ketiga, pengeluaran pemerintah pusat didaerah mengurangi pengeluaran daerah (crowding out) dan memaksa pemerintah daerah untuk meninjau rencana pengeluaran mereka—proses yang rumit dan sangat lamban. Keempat, pemerintah daerah mungkin tidak memiliki kapasitas untuk menggunakan sumber daya yang diberikan, terutama ketika sumber daya seperti itu tiba-tiba meningkat secara signifikan. Ini memang benar terutama ketika peningkatan dana DAU meningkat sebanyak 64 persen dari 2005 sampai 2006, yang telah menyebabkan terjadinya peningkatan tiba-tiba dalam jumlah yang cukup signifikan dari dana cadangan mereka (lihat Bab 1).

Adanya jumlah dana cadangan yang besar menunjukkan proses penentuan dan persetujuan anggaran yang tidak efisien yang mungkin tidak mudah untuk dihilangkan. Pertama, proses persetujuan anggaran harus disederhanakan, yang akan memerlukan perubahan terhadap UU No. 32/2004. Kedua, pemerintah daerah perlu mengembangkan kapasitas untuk memperbaiki anggaran dan menggunakan sumber daya lebih efektif. Ketiga, UU No. 33/2004 menetapkan bahwa penyaluran penerimaan bagi hasil harus dilakukan secara triwulan, yang memerlukan perkiraan produksi yang tepat waktu dari setiap sektor di Departemen.96

96 Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman jangka untuk mendukung pengeluaran pendapatan yang akan datang. Akan tetapi, hanya beberapa pemerintah daerah yang mulai melakukan pinjaman untuk tujuan ini.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 140

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Peminjaman

Dari perspektif makroekonomi, jumlah utang pemerintah daerah tidak signifikan. Utang pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (termasuk hutang perusahaan daerah air minum atau PDAM ) mencapai jumlah sebesar 0,18 persen dari PDB atau 0,33 persen dari total hutang sektor publik pada 2005. Tujuh puluh lima persen dari hutang daerah ini berada pada PDAM, dan 17 persen dan 8 persen dari PDAM masing-masing dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Banyaknya hutang pemerintah daerah berasal dari pemerintah pusat (dari rekening RDA/RDI) dan lembaga donor donors melalui pemerintah pusat (lewat Perjanjian Subsidi Pinjaman, atau SLA).

Jumlah pinjaman yang telah diteruskan kepada pemerintah daerah dan PDAM mereka sangat bervariasi secara signifikan selama ini. Utang PDAM mulai mengalami peningkatan pada tahun1986 dengan kenaikan dan penurunan yang sangat drastis, lalu memuncak pada pertengahan tahun 1990-an, dan setelah itu mengalami penurunan. Sejak pelaksanaan sistem desentralisasi pinjaman hampir mendekati titik nol. Pembayaran kembali atas pinjaman sangat buruk. Pada akhir tahun 2004, total pembayaran yang sudah jatuh tempo adalah Rp 7.104 milyar, hampir setengah dari jumlah ini telah dilunasi.

Tabel 7.8 Pinjaman dan hutang yang telah lewat jatuh tempo berdasarkan peminjam

Jumlah pinjaman

Nilai Bagian Tunggakan

Peminjam (Rp miliar) (%) (%)

Provinsi 81 931 16.2 9.9

Kabupaten 204 379 6.6 29.2

Kota 116 702 12.2 41.8

PDAM 437 3,735 65.0 61.9

Total 838 5,747 100.0 48.0Sumber: Lewis (2007).

Kerangka aturan yang baru bagi daerah untuk membuat pinjaman menetapkan ketentuan dan aturan baru mengenai pinjaman. Tetapi masih ada sejumlah masalah yang harus dipecahkan. Pertama, mekanisme yang baru untuk menyerahkan tinjauan usulan proyek dan pemberian persetujuan terhadap pinjaman (disebut sistem “buku biru”) yang terlalu berbelit-belit dan panjang. Kedua, kesepakatan baru menyatakan bahwa pinjaman jangka panjang kepada daerah hanya dapat digunakan untuk mendanai infrastruktur publik yang secara langsung akan meningkatkan

pendapatan bagi pemerintah daerah. Akibatnya, banyak proyek infrastruktur daerah akan memerlukan pendanaan sendiri, yang mungkin mempengaruhi tingkat efisiensi dan pemerataan. Ketiga, pemerintah dan para donor akan diizinkan untuk meminjamkan dana kepada pemerintah daerah yang tidak memiliki tunggakan pembayaran atas utang mereka di waktu lampau dari pemerintah pusat. Di samping itu, pihak yang memberi pinjaman hanya boleh memberi pinjaman kepada PDAM sepanjang baik PDAM maupun pemerintah daerah yang bersangkutan tidak memiliki tunggakan utang sebelum diberikan pinjaman SLA atau RDA. Secara efektif ini berarti bahwa 107 dari 384 pemerintah daerah, 16 dari of 32 provinsi, dan 189 dari 320 PDAM yang memiliki tunggakan pembayaran utang tidak boleh membuat pinjaman baru (Tabel 7.8).97

Dana cadangan setiap pemerintah daerah sudah cukup untuk menutupi tunggakan utang yang di masa yang lalu. Sekitar 85 persen dari pemerintah daerah yang memiliki tunggakan utang dapat melunasi hutang mereka dengan mengambil dana cadangan mereka. Namun demikian, mereka masih enggan untuk melakukan hal ini. Peningkatan jumlah para peminjam selanjutnya memerlukan bahwa pemerintah daerah dan PDAM yang masih memiliki tunggakan pembayaran segera melunasi utang itu, dengan menggunakan dana cadangan atau melalui restrukturisasi utang.

Kerangka aturan yang baru mengenai on-lending sepertinya tidak akan banyak memperbaiki keadaan. Alternatif pasar terhadap pemerintah atau pinjaman dari donor mungkin merupakan pilihan yang lebih baik. Kemampuan pemerintah daerah untuk mengeluarkan obligasi masih perlu ditingkatkan. Akan tetapi, ada hambatan cukup besar bagi pemerintah daerah yang hendak meminjam dari pasar swasta , terutama sedikitnya pemerintah daerah yang memiliki kepercayaan kredit yang cukup tinggi.

97 Berdasarkan data Depkeu 2004.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 141

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap KesenjanganKesenjangan fiskal secara signifikan di seluruh daerah telah terjadi sebelum dan setelah pelaksanaan sistem desentralisasi. Pada 1999, kabupaten/kota paling kaya memiliki pendapatan fiskal per kapita sebesar 30 kali daripada daerah paling miskin. Angka ini masih tetap sama pada 2004, empat tahun setelah pelaksanaan sistem desentralisasi. Akan tetapi, disparitas fiskal lebih rendah di tingkat provinsi daripada kabupaten/kota. Sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, provinsi paling kaya memiliki tingkat pendapatan 13 kali lebih besar daripada provinsi paling miskin. Data ini semakin memburuk pada 2004, ketika tingkat koefisiennya mencapai 15. Koefisien Gini dan koefisien variasi juga menunjukkan adanya peningkatan kesenjangan fiskal bahkan setelah pelaksanaan sistem desentralisasi (Tabel 7.9).

Tabel 7.9 Kesenjangan fiskal sebelum dan setelah pelaksanaan sistem desentralisasi

1999 2002 2004

Provinsi: CoV Gini CoV Gini CoV Gini

PC OSR 1.55 0.48 1.42 0.45 1.24 0.42

PC (OSR+SDA) 1.24 0.51 1.41 0.53 1.13 0.45

Setelah transfer …

PC (OSR+SDA+PAJAK) 1.35 0.52 1.53 0.55 1.39 0.52

PC (OSR+SDA+PAJAK+DAU+DAK) 0.83 0.38 1.07 0.44 0.97 0.39

PC Total Pendapatan 0.83 0.38 1.05 0.43 1.05 0.44

PC (Total Pendapatan-SDA) 0.82 0.35 1.09 0.41 1.04 0.42

PC (Total Pendapatan-PAJAK) 0.75 0.36 0.97 0.42 0.85 0.38

Kabupaten/Kota:

PC OSR 3.20 0.55 1.40 0.49 1.36 0.47

PC (OSR+SDA) 2.60 0.55 2.53 0.73 2.50 0.66

Setelah transfer …

PC (OSR+SDA+PAJAK) 1.56 0.47 2.08 0.65 1.78 0.57

PC (OSR+SDA+PAJAK+DAU+DAK) 0.79 0.31 0.95 0.39 0.83 0.37

PC Total Pendapatan 0.78 0.31 0.95 0.39 0.83 0.36

PC (Total Pendapatan-SDA) 0.78 0.30 0.66 0.32 0.65 0.32

PC (Total Pendapatan-PAJAK) 0.77 0.31 0.96 0.40 0.84 0.35Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD-DepKeu dan BPS,

Catatan: OSR=Own-source pendapatan, SDA=Natural Resource Shared Pendapatan, PAJAK=Shared Pajak Pendapatan

Kesenjangan dalam perimbangan sistem fiskal sangat dipengaruhi oleh alokasi pendapatan dari sumber daya alam. Walaupun pendapatan dari sumber daya alam hanya berkontribusi sebesar 7 persen dari total pendapatan daerah, alokasi pendapatan dari sumber ini sangat tidak seimbang.98 Kurang dari 10 persen pemerintah daerah di Indonesia memiliki sumber pendapatan yang signifikan dari sektor migas, dan mereka menguasai 90 persen sektor ini. Seperti halnya di negara lain, PAD juga didistribusikan secara sangat tidak merata. Kabupaten/kota yang lebih kaya, terutama kota-kota besar, memiliki proporsi pendapatan yang jauh lebih besar.

DAU berusaha menyeimbangkan distribusi PAD dan pendapatan yang berasal dari sumber daya alam, tetapi efek ini tentu bisa ditingkatkan lebih baik lagi. Akan tetapi, dua faktor yang bisa mengurangi peran ini: kebijakan ‘hold harmless’ dan keterbatasan manfaat formula kesenjangan fiskal. DAU meningkat secara signifikan

98 Koefisien Gini meningkat secara substansial ketika memasukkan pendapatan dari sektor SDA ke dalam simulasi kesenjangan. Dampaknya terutama sangat kuat untuk kabupaten/kota. Perubahan dalam Gini koefisien justru semakin mengecil seiring dengan bertambahnya pendapatan. Misalnya SDA yang berjumlah sekitar 7 persen dari total pendapatan kabupaten/kota ditambahkan ke pendapatan asli daerah (8 persen dari anggaran total kabupaten/kota). Maka efeknya jauh lebih besar daripada jika ditambahkan ke sumber pendapatan yang lain (lihat Tabel 4).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 142

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

pada 2006 dan menjadi lebih signifikan dalam rangka melakukan pengimbangan fiskal. Asumsi yang realistis tentang peningkatan harga minyak internasional dalam anggaran pemerintah pusat telah menyebabkan peningkatan angka nominal sebesar 64 persen total dana DAU yang tersedia di tingkat pusat,99 tetapi 57 persen dari peningkatan ini telah diserap oleh pembayaran gaji secara penuh pemerintah kabupaten/kota, yang menyisakan hanya 43 persen untuk didistribusikan menggunakan formula kesenjangan fiskal (lihat Diagram 7.3).

Distribusi peningkatan anggaran pada 2006 sangat beragam di setiap daerah. Lebih dari setengah provinsi dan kabupaten/kota telah menerima lebih dari 60 persen dan 40 kabupaten/kota mengalami peningkatan anggaran sebesar lebih dari 160 persen. Sebagian besar kabupaten/kota di kawasan Indonesia Timur (kecuali NTB, NTT, dan beberapa daerah di Sulawesi) dan Kalimantan memperoleh manfaat sangat besar dari peningkatan DAU ini. Di Papua lebih dari setengah pemerintah daerah menerima peningkatan sebesar 100 persen atau bahkan lebih. Terdapat perbedaan yang sangat jauh di Sumatera dan Aceh, dimana kabupaten yang merupakan produsen minyak tidak mengalami kenaikan DAU sedangkan beberapa pemerintah daerah menikmati peningkatan DAU sampai lebih dari 160 persen. Kabupaten/kota di Java, Bali, NTB dan, NTT sebagian besar mengalami peningkatan di bawah rata-rata, tetapi masih cukup signifikan yaitu sekitar 50 persen (lihat peta di bawah ini).

Distribusi Daerah terhadap Peningkatan DAU

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS dan DepKeu.

Kabupaten/kota yang tidak kaya dengan sumber daya alam menerima DAU lebih besar jika DAU itu didistribusikan murni berdasarkan formula kesenjangan fiskal. Kami melakukan simulasi alokasi DAU pada 2006 dengan hanya menggunakan formula kesenjangan fiskal, tanpa memperhatikan komponen pembayaran gaji pegawai, cadangan pengaman, dan memungkinkan untuk melakukan alokasi nol di kabupaten/kota yang memiliki tingkat kesenjangan fiskal negatif. Diagram 7.6 memberikan rangkuman mengenai pendapatan fiskal per kapita pemerintah daerah berdasarkan provinsi. Diagram yang di atas menggunakan alokasi dana DAU riil pada 2006 dan diagram di bawah menggunakan formula kesenjangan fiskal murni untuk alokasi DAU 2006 pada simulasi tersebut. Akibatnya, beberapa kabupaten/kota yang kaya minyak seperti Aceh Utara, Bengkalis di Riau dan Kutai di Kalimantan Timur menerima alokasi nol. Total pendapatan fiskal mereka mengalami penurunan.100 Kami dapat melihat terjadi pergeseran ke kiri untuk Riau dan Kalimantan Timur. Namun demikian, kami masih belum bisa melihat gerakan fiskal secara signifikan di wilayah-wilayah terbelakang seperti NTT dan NTB.

99 Lihat Bab 6 mengenai dampak asumsi harga minyak terhadap anggaran.100 Ada 12 kabupaten/kota yang menerima alokasi nol dalam simulasi itu. Empat kabupaten/kota di Riau, empat di KalimantanTimur, masing-masing berada di, Sumatera Selatan, dan Bali.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 143

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Diagram 7.6 Penerimaan fiskal pemerintah daerah menggunakan alokasi DAU yang berbeda

Alokasi Riil DAU 2006

0500

100015002000250030003500400045005000

Bant

enJa

wa

B ar

atJa

wa

T mi

urJa

wa

T en

gah

Lam

pung

DY I

ogya

kart

aSu

mat

raU

tara

Nus

aT

engg

ara

B ar

atSu

mat

era

S e

alta

nBa

ilSu

alw

esS i

eal

tan

Nus

aT

engg

ara

T mi

urKa

milan

tan

B ar

atKa

milan

tan

S e

alta

nSu

mat

raB

arat

Jam

biSu

alw

esU i

tara

Gor

onta

olBe

ngku

ulKe

pual

uan

R ai

uSu

alw

esT i

enga

hSu

alw

esT i

engg

ara

Kepu

alua

nB

angk

aB

etilun

gR

aiu

Nan

ggro

eA

ceh

D ar

ussa

alm

Ma

ulku

Ma

ulku

U ta

raKa

milan

tan

T en

gah

Kamil

anta

nT

miur

Papu

arI

ain

J aya

B ar

at

- 0 . 5

0

0 . 5

1

1 . 5

2

2 . 5

Pa

pua

Ka

li man

tan

Ten

gah

Ma l

uku

Uta

r a

Ke

pula

ua

nB

ang

kaB

eli t

ung

Mal

uku

Ka

liman

tan

Bar

at

Su

law

esi T

enga

h

Gor

ont

alo

Be

ngk u

lu

Su

law

e siT

engg

ara

Nan

gg

roe

Ace

hD

a ru

ssa l

am

Ka

liman

tan

Se l

atan

Nus

aT

engg

ara

Tim

ur

Su

mat

era

Bar

at

J am

bi

Su

law

esi U

tara

Ke

pula

ua

nR

iau

Su

law

esiS

ela

tan

Su

mat

era

Uta

ra

Ba

nte n

Su

mat

e ra

Se l

ata n

Lam

pun

g

Nus

aT

engg

ar a

Ba

rat

Jaw

aT

imur

Jaw

aB

arat

Jaw

aT

enga

h

Ba

li

D I

Yog

yaka

rta

Kalim

ant a

nTi

mur

Ri a

u

Rp ri

buPendapatan Asli Daerah per Capita Pendapatan SDA per Capita

Pendapatan Pajak per Capita DAU 2006 per Capita

Perbedaan antara Formula Fiscal-gap Murni DAU 2006 dengan Alokasi Riil DAU 2006 (per capita)

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dasar DAU 2006 dari DepKeu.

Jika dana DAU seluruhnya dialokasikan berdasarkan formula kesenjangan fiskal, kabupaten/yang miskin akan menerima sumber daya yang lebih besar. Alokasi DAU berkorelasi positif dengan perhitungan angka kemiskinan kabupaten/kota, karena formula DAU mengandung variabel seperti PDRB dan (kebalikan dari) IPM yang sangat berkorelasi dengan kemiskinan (Diagram 7.7).101 Koefisien korelasi formula kesenjangan fiskal yang murni untuk alokasi DAU 2006 dengan angka kemiskinan adalah 0,29 dan angka ini signifikan pada tingkat 5 persen. Jika kita berasumsi bahwa kemiskinan mencerminkan tingkat kemajuan pembangunan, maka formula yang murni itu akan memberikan dampak lebih menyetarakan melalui distribusi pendapatan fiskal yang lebih seimbang.102

101 Penggantian indikator kemiskinan dengan (inverse of ) HDI dan PDRB per kapita tidak banyak mempengaruhi penyetaraan.102 Hofman, dkk., (2006) memperkirakan hilangnya potensi efisiensi dari misalokasi dana DAU yang sekarang ditunjukkan secara horizontal pada alternatif murni sebesar AS$3.9 milyar, dengan asumsi bahwa formula kesenjangan fiskaln yang ada sekarang cukup untuk mengatasi kebutuhan pengeluaran.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 144

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Diagram 7.7 Menggunakan formula kesenjangan fiskal, DAU dapat lebih bermanfaat bagi rakyat miskin

01

23

45

6

0 20 40 60

01

23

45

6

0 20 40 60

01

23

45

6

0 20 40 60

Penghitungan angka Kemiskinan per kepala 200495% CI Fitted values

D A U per capita 2005 (Alokasi)

95% CI Fitted values

95% CI Fitted values

(Simulasi Fiscal Gap murni)

Penghitungan angka Kemiskinan per kepala 2004

D A U per capita 2006 (Alokasi)

D AU per capita 2006

Penghitungan angka Kemiskinan per kepala 2004

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dasar DAU 2006 dari DepKeu.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 145

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Tabel 7.10 Hubungan antara kemiskinan, pendapatan daerah, dan pendapatan fiskal

Perhitungan Angka

Kemiskinan

PDB PK Total Pendapatan

PK

PDB -0.16**

Total Pendapatan PC

0.10 0.25*

PAD PC -0.21** 0.15** 0.37**Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan 2004 data SIKD-DepKeu dan data dasar DAU dari DepKeu dan BPS. Catatan: * dan ** menunjukkan korelasi statistik signifikan pada tingkat 0,05 dan 0,01.

Kabupaten/kota yang lebih kaya memiliki sumber daya fiskal per kapita termasuk PAD yang lebih besar juga. Perhitungan angka kemiskinan mereka juga lebih rendah, walaupun korelasinya sangat tidak kuat (Tabel 7.10). Kabupaten/kota yang memiliki angka kemiskinan lebih tinggi memiliki sumber PAD yang lebih kecil, tetapi cenderung memiliki sumber daya yang lebih banyak. Ini menunjukkan bahwa alokasi DAU memiliki dampak penyeimbang.

Akan tetapi, hubungan antara kemiskinan, pendapatan daerah, dan tingkat pendapatan fiskal jauh lebih lemah dari yang diperkirakan. Karakteristik pemerintah daerah sangat heterogen. DKI Jakarta, satu-

satunya daerah yang tidak kaya dengan sumber daya alam, memiliki angka kemiskinan yang relatif rendah dengan tingkat pendapatan fiskal yang tidak terlalu besar. Kalimantan Timur yang relatif memiliki pendapatan fiskal yang tinggi, tetapi tingkat kemiskinan mereka hanya sedikit lebih baik daripada tingkat rata-rata nasional. Papua yang merupakan provinsi paling miskin (berdasarkan perhitungan tingkat kemiskinan), merupakan daerah dengan tingkat pendapatan fiskal paling kaya. Semua pengecualian (outliers) ini memiliki PDRB per kapita yang relatif tinggi dengan karakteristik pendapatan fiskal dan kemiskinan yang berbeda.

Hampir setengah kabupaten/kota di Indonesia berada pada titik ekstrim. Kabupaten/kota dapat dipisahkan menjadi 8 kelompok menurut tingkat kemiskinan, pendapatan fiskal, dan PDB per kapita mereka (Tabel 7.11):

Seperempat dari jumlah kabupaten/kota dapat dikelompokkan sebagai kategori miskin karena mereka memiliki tingkat kemiskinan yang relatif tinggi dan PDRB yang rendah. Akan tetapi, mereka memiliki sumber daya yang terbatas untuk melawan kemiskinan itu. Rata-rata, pemerintah pusat menyalurkan dana sebesar 87 persen pendapatan fiskal mereka, sebagian besar disalurkan dalam bentuk DAU. Pembagian pendapatan dari sektor pajak dan sumber daya alam merupakan yang paling rendah di seluruh kelompok; sumber PAD juga rendah. Daerah yang masuk ke dalam kategori ini adalah seluruh kabupaten, tidak termasuk pemerintah kota. Kabupaten/kota yang kaya memiliki angka kemiskinan yang relatif rendah; tingkat PDRB dan pendapatan fiskal yang tinggi, yang jumlahnya lebih dari seperlima dari seluruh kabupaten/kota. Secara rata-rata, besarnya penyaluran dana dari pemerintah pusat adalah 81 persen dari total pendapatan mereka dengan pembagian pendapatan bagi hasil mencapai 22 persen dari jumlah ini. Daerah-daerah yang berada dalam kelompok ini didominasi oleh kotamadya atau kota. Separuh lainnya dari kabupaten/kota merupakan kombinasi dari indikator ini. Rata-rata ketiga terbesar adalah kelompok daerah dengan tingkat kemiskinan yang rendah, PDRB yang tinggi, tetapi pendapatan fiskalnya rendah. Secara rata-rata daerah ini menerima PAD yang relatif lebih tinggi, dan memiliki pendapatan pajak bagi hasil lebih tinggi daripada daerah dalam kelompok lain. Kelompok yang memiliki alokasi DAU tertinggi kedua adalah daerah yang memiliki angka kemiskinan yang tinggi, PDRB yang rendah, dan pendapatan fiskal yang tinggi. Kelompok ini didominasi oleh kabupaten/kota di kawasan Indonesia Timur.

Strategi pembangunan yang efektif perlu mempertimbangkan keragaman wilayah. Daerah yang memiliki tingkat PDRB yang rendah memperoleh manfaat relatif lebih tinggi dari alokasi dana DAU terlepas dari kemiskinan dan pendapatan fiskal mereka. Di sisi lain, daerah yang mempunyai PDRB yang tinggi dan pendapatan fiskal yang juga tinggi menerima pendapatan bagi hasil yang relatif lebih tinggidari pemerintah pusat dan DAU pemerintah pusat yang relatif lebih rendah (Tabel 7.11). Analisis pengelompokan kabupaten/kota seperti ini menunjukkan keragaman situasi yang akan diketahui sendiri oleh kabupaten/kota terutama mengenai hal-hal seperti angka kemiskinan, kondisi ekonomi, dan kapasitas fiskal mereka. Keragaman ini sudah seharusnya diperhitungkan dalam penyusunan strategi pembangunan daerah.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 146

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Tabel 7.11 Pengelompokan kabupaten/kota

Kemiskinan PDRB Penerimaan Fiskal

Jumlah Kabupaten/

kota

Jlh. Kota

PAD (%)

Pen. Pajak

(%)

Pend. dari SDA(%)

DAU(%)

DAK (%)

Lain-lain(%)

RendahRendah Rendah (23) 20 3 7 8 1 72 3 10

Tinggi (37) 16 11 8 9 3 69 5 6

Tinggi Rendah (44) 23 21 13 14 2 60 2 9Tinggi (71) 31 40 8 12 10 59 4 6

TinggiRendah Rendah (83) 83 0 6 7 1 75 4 7

Tinggi (32) 31 1 4 7 2 74 6 6

Tinggi Rendah (25) 15 0 6 10 4 69 2 9Tinggi (35) 31 4 4 15 14 55 4 8

Nasional (330) 250 80 7 10 5 66 4 7Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data realisasi SIKD 2004 dari DepKeu dan data BPS 2004, Total observasi adalah 330 sama den-gan jumlah kabupaten/kota yang melengkapi data mereka.Catatan: Angka di dalam kurung merupakan jumlah kabupaten/kota pada setiap kelompok.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 147

BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah

Rekomendasi KebijakanMekanisme alokasi DAU seharusnya diubah dengan menghilangkan cakupan pembayaran gaji pemerintah daerah secara penuh. Penyaluran dana yang penggunaannya telah ditetapkan akan menurunkan insentif untuk mengurangi kelebihan pegawai dan mencari kombinasi masukan secara optimal (tenaga kerja, modal, bahan baku, dan outsourcing) untuk pemberian layanan masyarakat yang bermutu. Menghilangkan cakupan pembayaran gaji secara penuh ini akan berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi pada pengeluaran pemerintah daerah.

Untuk mendorong fungsi perimbangan dari perimbangan fiskal pusat-daerah, sebagian besar dari dana DAU harus dialokasikan berdasarkan formula kesenjangan fiskal. Penghapusan cakupan pembayaran gaji dari alokasi dana DAU akan berkontribusi pada tujuan ini.

Pemerintah seharusnya mengurangi fluktuasi jumlah dana DAU untuk menghindari dampak fluktuasi ini terhadap anggaran daerah. Fluktuasi besar jangka pendek akan membutuhkan penyesuaian besar-besaran dalam penentuan anggaran atau strategi pengeluaran jangka panjang yang lebih lancar. Akan tetapi, hal-hal ini tidak mudah untuk dirumuskan dan dilaksanakan di tingkat daerah mengingat keterbatasan kapasitas manajerial. Ada sejumlah cara yang dapat digunakan untuk memperlancar alokasi dana DAU, di antaranya pemanfaatan asumsi harga minyak jangka panjang, penciptaan stabilisasi dana cadangan nasional atau di daerah, dan peningkatan secara riil alokasi DAU setiap tahun.

Oleh karena tingkat pendapatan pemerintah daerah saat ini sudah relatif besar, seharusnya berfokus pada pergeseran ke arah pemanfaatan sumber daya yang efisien dan bukan pada mobilisasi sumber daya tambahan. Satu elemen kunci untuk menjamin efisiensi pengeluaran adalah alat ukur kinerja pemerintah daerah untuk melakukan perbandingan di seluruh kabupaten/kota. Insentif yang menarik harus disediakan untuk pemanfaatan anggaran yang cermat dan efektif. Insentif ini dapat dimasukkan ke dalam sistem penyaluran anggaran antar-pemerintahan.

Pemerintah daerah perlu melakukan pergeseran dari alokasi anggaran administrasi yang terlalu besar menuju penerapan kebijakan pemberian layanan masyarakat dan berpihak pada masyarakat miskin. Jumlah pengeluaran saat ini untuk kebutuhan administrasi pemerintahan terlalu tinggi dan ini menunjukkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Ada ruang yang begitu besar untuk melakukan perbaikan dalam pemanfaatan sumber-sumber daya publik. Penggunaan anggaran sebesar 5 sampai 10 persen untuk kepentingan administrasi seharusnya merupakan target pemerintah daerah.

Kapasitas untuk membuat perencanaan dan menentukan anggaran di daerah perlu ditingkatkan. Proses persetujuan anggaran perlu dirampingkan dan pengeluaran di luar anggaran perlu direvisi. Hanya dengan demikian perencanaan anggaran dapat mencerminkan rencana pengeluaran yang efisien dan dapat mencegah terjadinya surplus anggaran yang terlalu besar.

Pemungutan dan pengumpulan pendapatan pajak di daerah perlu ditingkatkan. Hal ini memerlukan desentralisasi PBB untuk wilayah perkotaan dan pedesaan dan memberi ruang kepada daerah untuk bersaing dengan daerah lain (ini merupakan kelaziman yang sudah berlaku secara internasional). Hal ini juga termasuk peningkatan pengumpulan pajak itu sendiri, yang rata-rata menghabiskan setengah dari pajak yang terkumpul—angka yang terlalu tinggi dilihat dari standar mana pun. Akhirnya, penggunaan retribusi dan pajak daerah lainnya seharusnya diatur dengan jelas untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap iklim investasi.

Kerangka aturan bagi pengelolaan keuangan pemerintah daerah, terutama yang berkaitan dengan kapasitas melakukan pinjaman dan pengelolaan terhadap surplus anggaran yang jumlahnya semakin besar harus diperkuat. Kapasitas dan daya tarik daerah untuk mendapatkan kredit akan dapat didorong dengan menyelesaikan dan melaksanakan kerangka aturan agar PDAM dan Pemda dapat mengatasi permasalahannya. Departemen Keuangan dapat mengembangkan pedoman mengenai akumulasi dan pemanfaatan dana cadangan yang rasional. Jika jumlah dana cadangan yang semakin tinggi sebagai ciri dari kinerja anggaran pemerintah daerah terus berlangsung, maka setidaknya dana cadangan itu harus digunakan untuk meningkatkan investasi dalam infrastruktur publik dan membayar hutang yang masih tertunggak.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 148

RUJUKAN

Daftar Rujukan

Arze del Granado, F. Javier. 2005. “Fiscal Equalization Impact of Changes to the DAU Allocation Mechanism.” Policy note. World Bank, Jakarta Office.

Barnes, Nicole, Lisbon Sirait and Anwar Syadat. 2005. Study on Regional Taxes and Charges.Research Triangle Institute. Jakarta, Indonesia.

BPK. 2006. BPK Profile 2006. Jakarta, Indonesia

BPS, Bappenas, and UNDP. 2004. Indonesia Laporan Pembangunan Manusia 2004. Jakarta, BPS.

Fengler, Wolfgang, Ihsan, Ahya, Kaiser, Kai. Forthcoming, “Managing Reconstruction Finance; International Experiences with Public Financial Management and Accountability.”

Ferrazzi, Gabriele. 2005. “Obligatory Functions and Minimum Service Standards for Indonesian Regional Government: Searching for a Model.” Public Administration and Development. 25 (2): 227–238.

Federman, M. and D. Levine, “Industrialization and Infant Mortality.” Center for International and Development Economics Research, University of California, Berkeley, Working Paper No. C05-140.

Filmer, Deon and L. Pritchett. 1999. “The Effect of Household Wealth on Educational Attainment: Evidence from 35 Countries.” Population and Development Review 25(1): 85-120.

Filmer, Deon. 2004. “Teacher Pay in Indonesia” Unpublished paper, World Bank, September.

Filmer, Deon and David Landauer. 2000. “Does Indonesia have a ‘Low Pay’ Civil Service?” Unpublished paper, World Bank.

Frankenberg, E., Thomas D. and W. Suriastini. 2004, “Can Expanding Access to Basic Health Care Improve Children’s Health Status? Lessons from Indonesia’s ‘Midwife in the Village’ Program.” California Center for Population Research.

Ghozali, Abbas. 2005. “Analisis Biaya Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.” Ministry of National Education, Jakarta.

Ghozali, Abbas. 2005. “Educational Cost and Finance in Indonesia”. Jakarta.

Gottret, Gai and Bokhari 2006. Improving Health Outcomes In Health Financing Revisited: A Practitioner’s Guide. Washington, D.C.: World Bank

Government of Indonesia. 2006. RPK 2006 – Annual Plan 2006. Jakarta.

Government of Indonesia. 2004. RPJM – Medium-Term Strategic Plan 2004-2009. Jakarta.

Harimurti, Aguilar-Rivera, Xu. 2002. “Catastrophic Health Payments and Service Utilization in Indonesia 1999-2001.” Jakarta: WHO.

Hofman, Bert, Kai Kaiser, Kadjatmiko and Bambang Suharnoko Sjahrir. 2006. “Evaluating Fiscal Equalization in Indonesia.” The World Bank Policy Research Working Paper. Washington DC: World Bank.

International Monetary Fund. 2006 Indonesia: “Report on Observance of Standards and Codes-Fiscal Transparency Module.” IMF, Washington DC.

KPPOD. 2005. “Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2004.” Asia Foundation and USAID, Jakarta, Indonesia.

KPPOD. 2006. “Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2005.” Asia Foundation and USAID, Jakarta, Indonesia.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 149

RUJUKAN

Kaiser, Kai and Suharnoko, Bambang. 2005. “Design and Political Trade Offs in Financing Indonesia’s Regions: The Case of Indonesia’s General Allocation Grant (DAU).” November 15, 2005.

KPPOD. 2004. “Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2004.” Asia Foundation and USAID. Jakarta, Indonesia.

Kehew, Robert, Tomoko Matsukawa and John Petersen. 2005. “Local Financing for Sub-Sovereign Infrastructure in Developing Countries: Case Studies of Innovative Domestic Credit Enhancement Entities and Techniques.” Washington DC: World Bank.

Kuncoro, Ari. 2004. “Bribery in Indonesia: Some Evidence from Micro-Level Data.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 40(3): pp. 329-354.

Lewis, Blane. 2003a. “Property Taxation in Indonesia: Measuring and Explaining Administrative (Under)-Performance.” Public Administration and Development 23(3): pp. 227-239.

Lewis, Blane. 2003b. “Local Government Borrowing and Repayment in Indonesia: Does Fiscal Capacity Matter?” World Development, vol. 31, no. 6.

Lewis, Blane. 2005a. “Indonesian Local Government Spending, Taxing and Saving: An Explanation of Pre- and Post-Decentralization Fiscal Outcomes.” Asian Economic Journal 19(3): pp. 291-317.

Lewis, Blane. 2005b. “Indonesian Sub-National Debt Market Update: Overview, Structure and Regulatory Environment.” Jakarta: World Bank. Technical note, October.

Lewis, Blane and Jasmin Chakeri. 2004. “Central Development Spending in the Regions Post-Decentralization.” Bulletin of Indonesian Economic Studies, vol. 40, no. 3.

LPEM-FEUI. 2005a. The Impediments to Doing Business in Indonesia. Jakarta, Indonesia.

LPEM-FEUI. 2005b. Monitoring the Investment Climate in Indonesia. Jakarta, Indonesia.

Luebke, Christian von. 2005. “Political Economy of Local Business Regulations: Findings on Local Taxation and Licensing Practices from Four District Cases in Central Java and West Sumatra.” Canberra, Australian National University.

McMahon, Walter W. and Boediono. 1992. “Universal Basic Education: an Overall Strategy of Investment Priorities for Economic Growth.” Economics of Education Review, Vol 11, No.2, pp 137-151.

McMahon, Walter. 2001.” Improving Education Finance in Indonesia.” Policy Research Center, Institute for Research and Development, Ministry of National Education, Unicef and Unesco.

McMahon, Walter. 2003. “Financing and Achieving Education for All Goals.” Ministry of National Education, Bappenas, World Bank. Working paper.

Mikesell, John. 1982. “Fiscal Administration: Analysis and Applications for the Public Sector.” Dorsey Press, Homewood, Illinois.

Ministry of Finance. 2005. “Warta Anggaran: Media Informasi dan Komunikasi Pemerintah Pusat dan Daerah” 2nd Edition. Jakarta: Ministry of Finance.

Wolkoff, Michael. 1987. “An Evaluation of Municipal Rainy Day Funds.”’ Public Budgeting & Finance, Summer: 52-63.

Ministry of Health. 2004. “Indonesia Health Profile 2003.” Jakarta.

Ministry of Health. 2005. “Indonesia Health Profile 2004.” Jakarta.

Ministry of Health. 2005. ‘”Implementation Manual Health Services Program at Puskesmas and Inpatients Treatment at

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 150

RUJUKAN

Third Class of Hospitals with Government Guarantee.” Jakarta.

Ministry of National Education. 2005a. “Indonesia Educational Statistics in Brief.” 2004/2005. Jakarta.

Ministry of National Education. 2005b. “2005, BOS Program Guidelines.” Jakarta.

Mullis, Ina V.S., Michael O. Martin, Pierre Foy, IEA’s. 2005. “TIMSS 2003 International Report on Achievement in the Mathematics Cognitive Domains. International Association for the Evaluation of Educational Achievement, Boston College.

Nunberg, Barbara et al. 2000. “Priorities for Civil Service Reform in Indonesia”, World Bank, EASPR.

OECD. 2000. “Financing Education – Investments and Returns.”

OECD. 2004. “Learning for Tomorrow’s World: First Results from PISA 2003.” Program for International Student Assessment.

OECD. 2006. “Methodology for Assessment of National Procurement Systems.” http://www.oecd.org/dataoecd/1/36/37390076.pdf.

Olkan, B. 2006. “Corruption and the Costs of Re-distribution: Micro-evidence from Indonesia.” Journal of Public Economics 90 (4-5), pp. 853-870. May 2005.

Oosterman, Andre. 2004. “Improving Local Tax and Service Charge Administration in Indonesia.” Jakarta: World Bank.

Oosterman, Andre and Bambang Samiadji. 2005. “An Assessment of Central Government Spending in the Regions” Jakarta: World Bank.

Paqueo, Vincente and Robert Sparrow. 2005. “Free Basic Education in Indonesia: Policy Scenarios and Implications for School Enrollment.” Working Paper.

Parker, E. and A. Roestam. 2002. “The Bidan di Desa Program: A Literature and Policy Review.” JHPIEGO Corporation, CEDPA, JHU/CCP and PATH.

Pradhan, Menno, Fadia Saadah and Robert Sparrow. 2003. “Did the Health-card Program Ensure Access to Medical Care for the Poor during Indonesia’s Economic Crisis?” Jakarta: World Bank.

Research Triangle Institute. 1999. “Regional Development Account Institutional Strengthening Project Final Report: Vol. 1. Findings and Conclusions.” Manila: Asian Development Bank.

Smoke, Paul. 2001. Fiscal Decentralization in Developing Countries: A Review of Current Concepts and Practice. United Nations Research Institute for Social Development, Geneva.

Smoke, Paul. 2003. “Expenditure Assignment under Indonesia’s Emerging Decentralization:A Review of Progress and Issues for the Future,.” in J. Martinez and J. Alm (eds), Reforming Intergovernmental Fiscal Relations and the Rebuilding of Indonesia Cheltenham, UK and Northampton, MA: Edward Elgar.

Steedman, David and Kenward, Lloyd. 2006. Civil Service Reforms at the Regional Level - Opportunities and Constraints. World Bank Jakarta Office.

Tyer, Charlie B. 1993. “Local Government Reserve Funds: Policy Alternatives and Political Strategies.” Public Budgeting & Finance, Summer: 75-84.

Unesco-UIS/OECD. 2005. Education Trends in Perspective—Analysis of the World Education Indicators.

Unicef. 2004. Indonesia Report on MDGs, 2015 (Bappenas-Unicef, Indonesia Report on MDGs), Jakarta.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 151

RUJUKAN

UNDP. 2005. Human Development Report 2005. New York: UNDP.

UNDP. 2004. Indonesia Human Development Report: The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. Jakarta.

USAID Democratic Reform Support Program, Stock-taking on Indonesia’s Recent Decentralization Reforms, August 2006.

Wallace, William, Wolfgang Fengler and Bastian Zaini. 2006. “Increasing Sub-National Government Resource: Magnitude and Implications.” World Bank, Jakarta Office. Technical note.

Woodward, David. 2005. “Status of RDA Loan Portfolio—December 31, 2004.”Jakarta: World Bank.

World Bank. 1994. “Indonesia’s Health Work Force: Issues and Options” Report No: 12834-IND Population and Human Resources Division, Washington DC.

World Bank. 2003a “Achievement Indonesia Maternal and Neonatal Health Program.” Maternal and Neonatal Health Technical Review. Jakarta: World Bank.

World Bank. 2003b. “Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure Review Overview Report.” Jakarta: World Bank.

World Bank. 2003c. Health Financing in Indonesia. Jakarta: World Bank.

World Bank. 2003d. “Indonesia Education Sector Review.” Human Development Network. Jakarta: World Bank.

World Bank. 2004a. “Decentralization, Service Delivery and Governance in Indonesia: Findings from the Governance and Decentralization (GDS) 1+/2004.” Jakarta: World Bank. Indonesia, mimeo.

World Bank. 2004b. Averting and Infrastructure Crisis in Indonesia: A Framework for Policy and Action. Washington DC: World Bank.

World Bank. 2005a. “Connecting East Asia: A New framework for Infrastructure.” Asia Development Bank, Manila.

World Bank. 2005b. “Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization”. Human Development Sector Reports East Asia and the Pacific Region. Washington DC: World Bank.

World Bank. 2005c. Papua Public Expenditure Analysis: Regional Finance and Service Delivery in Indonesia’s Most Remote Region. Jakarta: World Bank.

World Bank. 2005d. “Briefing Book for President Wolfowitz.” Internal document, Jakarta: World Bank.

World Bank. 2006a. Aceh Public Expenditure Analysis, Spending for Reconstruction and Poverty Reduction. Jakarta: World Bank and Decentralization Support Facility (DSF).

World Bank. 2006b. “Fiscal Policy for Growth and Development: An Interim Note.” Background note for the Development Committee Meeting in April 2006. Jakarta: World Bank.

World Bank. 2006c. “Indonesia: And Assessment of Public Spending in Infrastructure Sectors.” Jakarta: World Bank. Mimeo.

World Bank. 2006d. “Infrastructure and the Climate for Rural Investment in Indonesia: A Question of Resource Allocation.” Prepared for the Infrastructure Rural Investment Climate Assessment. Jakarta: World Bank.

World Bank. 2006e. “Investing for Growth and Recovery.” CGI Brief Paper. Jakarta: World Bank.

World Bank. 2006f. Making Services Work for the Poor. Jakarta: World Bank.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 152

RUJUKAN

World Bank. 2006g. Making the New Indonesia Work for the Poor. Jakarta: World Bank.

World Bank 2006h. Potential for Significant Equity, Efficiency and Quality Improvement: Teacher Employment and Deployment in Indonesia. World Bank, Jakarta Office.

World Bank. 2006i. The Little Data Book 2006. Washington DC: World Bank.

World Bank 2007a. Investing in Indonesia’s Education: Allocation, Equity and Efficiency of Public Expenditures. January 2007. World Bank, Jakarta Office.

Zaini, Bastian. 2004. ”Dana Alokasi Khusus.” Techical note. World Bank, Jakarta Office.

Zhuravskaya, E.V. 2000. “Incentives to Provide Local Public Goods: Fiscal Federalism, Russian Style.” Journal of Public Economics, Vol. 76

LAmpirAn

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 154

LAMPIRAN

Daftar Lampiran

Lampiran A. Rekomendasi Kebijakan dan Sumber Data 156

Seksi A.1. Rangkuman Rekomendasi Kebijakan 156

Seksi A.2. Sumber Data, Metodologi dan Definisi 161

Lampiran B Apa yang disebut dengan “Inisiatif untuk Analisis terhadap Pengeluaran Publik”? 163

Lampiran C Ruang Gerak Fiskal dan Stabilitas Ekonomi 165

Tabel C.1.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik Nasional 165

Tabel C. 2.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik Nasional 165

Tabel C.3. Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik NAsional 165

Tabel C.4. Komposisi Pengeluaran Ekonomi Berdasarkan Tingkat Pemerintahan 166

Tabel C.5.Komposisi Ekonomi of Pengeluaran Pemerintah Pusat di Indonesia 166

Tabel C.6. Anggaran Pemerintah Pusat 167

Tabel C.7. Realisasi Anggaran Pemerintah Pusat 169

Tabel C.8. Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota 171

Tabel C.9. Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota 172

Tabel C.10.Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota sebagai Presentase dari GDP 173

Tabel C.11. Jumlah Pemerintah Daerah yang Dilaporkan dalam Anggaran Mereka 174

Tabel C.12. Anggaran Pemerintah Provinsi 175

Tabel C.13. Anggaran Pemerintah kabupaten/kota 177

Tabel C.14. Pemetaan Sektoral PER untuk Pengeluaran Pembangunan dan Rutin 179

Seksi C.15. Mengelola Rekening ‘off budget’ dan Pengaturan Anggaran 180

Diagram C.15.1. Transaksi Keuangan antara Pemerintah, Pertamina, dan PLN 180

Lampiran D. Lintas Sektoral 181

Tabel D.1. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor 181

Tabel D.2. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor 181

Tabel D.3. Distribusi Pengeluaran Nasional (Tingkat Pertumbuhan Tahunan) Berdasarkan Sektor 182

Tabel D.4. Distribusi Persentase Perubahan Tahunan Berdasarkan Sektor 182

Tabel D.5. Pembagian Antar-Pemerintah dalam Belanja Nasional-Sektoral 183

Lampiran E Sektor Pendidikan 184

Seksi E.1. Estimasi Pengeluaran Sektor Pendidikan 184

Seksi E.2. Perhitungan Tingkat Pengembalian Sosial terhadap Investasi dalam Pendidikan 185

Tabel E.2.1 Rata-rata Pendapatan Tahunan pada Berbagai Tingkat Umur 185

Tabel E.2.2 Biaya-Biaya Investasi: Biaya Langsung dan Tidak Langsung untuk Pendidikan 185

Tabel E.2.3 Biaya per Unit Pendidikan Berdasarkan Jenjang Pendidikan dan Tingkat Pemerintahan 186

Seksi E.3. Faktor-Faktor Penentu Angka Partisipasi Murni di Indonesia 187

Tabel E.3.1 Faktor-faktor Penenetu Angka Partisipasi 188

Seksi E.4. Estimasi Implikasi Keuangan dari UU Guru yang Baru 189

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 155

LAMPIRAN

Diagram E.4.1. Pendapatan Guru Sekolah Menengah vs. Jam Kerja 190

Seksi E.5. Catatan Metodologis tentang Penghitungan Biaya Satuan Pendidikan 190

Seksi E.6. Estimasi Implikasi Keuangan akibat Kelebihan Guru 191

Tabel E.6.1 Biaya Komparatif Berdasarkan Situasi Masa Sekarang dan Opsi yang Diajukan 192

Seksi E.7. Karakteristik Tenaga Pengajar 192

Tabel E.7.1 Jumlah dan Persentase Guru Honor dan Tetap pada Jenjang Pendidikan Menengah 192

Tabel F.7.2 Jumlah dan Persentase Guru SD Menurut Wilayah Tanggung Jawab 192

Seksi E.8. Pendapatan Guru: Analisis Ekonometri 193

Tabel E.8.1. Rata-rata Penghasilan per Bulan dan Jumlah Jam Kerja antara Guru dan Non-Guru Berdasarkan Tingkat Pendidikan

193

Tabel E.8.2. Perbedaan Penghasilan: Sampel Tenaga Kerja dengan Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah atau Lebih Tinggi

194

Tabel E.8.3. Faktor-faktor Penentu Penghasilan per Jam 195

Tabel E.8.4. Perbedaan dalam Pendapatan Bulanan: Setelah Mengontrol Karakteristik Individu 196

Seksi E.9. Penafsiran “Ketentuan 20 persen” 197

Tabel E.9.1 Alternatif Penafsiran tentang Perhitungan Pengeluaran untuk Rasio Pendidikan 197

Lampiran F Kesehatan 198

Seksi F.1. Program Pemerintah Pusat—Anggaran 2006 198

Diagram F.2. Pemerataan Alokasi Pengeluaran Publik untuk Kesehatan—Agregat, Dekonsentrasi Anggaran, Daerah dan DAK

199

Tabel F.3. Perbedaan Penghasilan per Bulan dan per Jam—Setelah Mengontrol Karakteristik Individu 200

Lampiran G Desentralisasi 201

Tabel G.1. PDB per kapita Regional dan Angka Kemiskinan setelah Desentralisasi 201

Tabel G.2. Korelasi antara Kemiskinan dan Struktur Ekonomi, 2000-04 201

Seksi G.3. Desentralisasi dan Penyediaan layanan 202

Tabel G.3.1 Apakah Desentralisasi Meningkatkan Penyediaan Layanan? Hasil dari Survei yang Baru Dilaksanakan Menunjukkan

202

Tabel G.4. Formula DAU, 2001-06 203

Tabel G.5. Skema Bagi Hasil 204

Diagram G.6. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Berdasarkan Sektor, 1991-2005 205

Seksi G.7. Biaya Pengumpulan Pajak Daerah 206

Diagram G.7.1 Biaya Administrasi Pengumpulan Pajak Pemerintah Kabupaten/kota terhadap Pendapatan Pajak (Rasio Biaya-Hasil), 2003

206

Diagram G.8. Dana Cadangan per kapita Pemerintah Daerah berdasarkan Provinsi 207

Tabel G.9. Pengelompokkan Kabupaten/kota berdasarkan Tingkat Kemiskinan, PDRB, dan Pendapatan Fiskal

208

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 156

LAMPIRAN

Lam

pira

n A

. Re

kom

enda

si K

ebija

kan

dan

Sum

ber D

ata

Seks

i A.1

. Ran

gkum

an R

ekom

enda

si K

ebija

kan

Bida

ng R

efor

mas

iTa

ntan

gan

Solu

si s

pesi

fikKe

rang

ka

wak

tuD

ampa

k-de

raja

t Kep

entin

gan

BAB

1. R

UA

NG

GER

AK

DA

N M

AN

AJE

MEN

FIS

KAL

Mem

perb

aiki

man

ajem

en h

utan

g.•

Kura

ngny

a tr

ansp

aran

si da

n ak

unta

bilit

as

dala

m m

anaj

emen

hut

ang.

• Pi

njam

an p

emer

inta

h di

atur

den

gan

pera

tura

n ya

ng b

erbe

da-b

eda.

1)

Peny

usun

an in

stru

men

bar

u (a

nalis

is sk

enar

io, d

an m

odel

ris

iko)

.2)

M

enyi

apka

n la

pora

n be

rkal

a te

ntan

g hu

tang

yan

g te

rtun

ggak

.3)

Sa

tuka

n U

U te

ntan

g su

rat h

utan

g ne

gara

den

gan

UU

tent

ang

pinj

aman

pem

erin

tah.

JPD

K/JM

M

emba

ntu

mel

akuk

an k

uant

ifika

si ris

iko

pasa

r dan

men

duku

ng a

nalis

is bi

aya/

risik

o da

n m

enin

gkat

kan

tran

spar

ansi.

Mem

astik

an K

emam

puan

Mem

baya

r H

utan

g Ya

ng B

erke

lanj

utan

(Deb

t Su

stai

nabi

lity)

.

• Ke

waj

iban

Kon

tinje

n tid

ak te

rmas

uk d

i dal

am

kera

ngka

man

ajem

en.

• Re

keni

ng y

ang

berb

eda-

beda

yan

g tid

ak

terin

tegr

asi d

an tr

ansa

ksi d

i lua

r ang

gara

n ya

ng ti

dak

dibu

kuka

n.

4)

Kew

ajib

an K

ontin

jen

har

us te

rcan

tum

di k

eran

gka

kerja

m

anaj

emen

hut

ang

.5)

Pe

mbu

atan

Tre

asur

y Si

ngle

Acc

ount

(TSA

).

JPD

K/JM

In

stab

ilita

s mak

roek

onom

i aki

bat

ketid

akm

ampu

an b

ayar

hut

ang

akan

be

rdam

pak

pada

ang

gara

n d

an ru

ang

fiska

l.

Real

okas

i su

bsid

i list

rik y

ang

tidak

efis

ien

dan

yang

ber

piha

k pa

da o

rang

kay

a

(AS$

3 m

iliar

).

• Su

bsid

i list

rik y

ang

tidak

efis

ien,

men

doro

ng

kons

umsi

berle

biha

n , d

an h

anya

m

engu

ntun

gkan

kon

sum

en k

aya

6)

Real

okas

i sub

sidi d

ari u

ntuk

kon

sum

si (d

i ata

s 450

VA) m

enja

di

untu

k sa

mbu

ngan

, unt

uk m

empe

rluas

jarin

gan

listr

ik..

JPD

K/JM

Pe

ning

kata

n su

plai

list

rik d

enga

n bi

aya

lebi

h m

urah

. Men

ingk

atka

n efi

siens

i dan

pe

mer

ataa

n. P

enin

gkat

an ru

ang

fiska

l un

tuk

peng

elua

ran

sosia

l.

Men

gura

ngi

subs

idi y

ang

tidak

efis

ien

da

n ya

ng b

erpi

hak

pada

ora

ng k

aya

(A

S$5

mili

ar ).

• H

arga

BBM

dal

am n

eger

i m

asih

di b

awah

ha

rga

inte

rnas

iona

l, da

n tid

ak e

fisie

n, se

rta

lebi

h be

rpih

ak p

ada

oran

g ka

ya .

Subs

idi i

tu

mas

ih m

erup

akan

pos

pen

gelu

aran

pal

ing

besa

r di

dal

am a

ngga

ran

.

7)

Men

gura

ngi

subs

idi B

BM

(US$

5 m

ilyar

) ya

ng t

idak

efis

ien

da

n be

rpih

ak p

ada

oran

g ka

ya. W

alau

pun

terja

di k

enai

kan

harg

a BB

M p

ada

2005

, sub

sidi B

BM m

asih

mer

upak

an

sala

h sa

tu p

os p

enge

luar

an p

alin

g be

sar

dala

m a

ngga

ran

pem

erin

tah.

JPD

K/JM

Pe

ning

kata

n efi

siens

i da

n pe

mer

ataa

n.

Peni

ngka

tan

ruan

g fis

kal

untu

k pe

ngel

uara

n so

sial .

Men

cipt

akan

ker

angk

a m

anaj

emen

su

bsid

i da

n pe

mba

yara

n tr

ansf

er y

ang

kom

preh

ensif

dan

lebi

h ce

pat

• Su

bsid

i tid

ak d

inila

i sec

ara

kom

preh

ensif

ak

ibat

kur

angn

ya k

eran

gka

pera

tura

n, d

an h

al

ini m

enga

kiba

tkan

pen

unda

an p

enya

lura

n tr

ansf

er.

8)

Man

ajem

en s

ubsid

i yan

g ko

mpr

ehen

sif m

anag

emen

t per

lu

dipa

stik

an.

9)

Stak

ehol

ders

har

us se

paka

t men

gena

i mek

anism

e pe

nyal

uran

su

bsid

i (Pe

mer

inta

h da

n BU

MN

).

JPD

K

Mem

perb

aiki

pen

entu

an w

aktu

pe

nyal

uran

dan

a da

n pe

rbai

kan

tran

spar

ansi.

BAB

2. K

ECEN

DER

UN

GA

N L

INTA

S SE

KTO

RAL

Bagi

an le

bih

besa

r dar

i rua

ng fi

skal

m

asa

depa

n h

arus

dia

loka

sikan

unt

uk

infra

stru

ktur

di p

usat

dan

dae

rah.

• Pe

rban

ding

an p

enge

luar

an p

ublik

lint

as

sekt

oral

mem

perli

hatk

an b

ahw

a an

ggar

an

untu

k in

frast

rukt

ur m

asih

sang

at k

uran

g.

Sekt

or in

i tam

pak

belu

m p

ulih

sete

lah

terja

di

penu

runa

n pe

ngel

uara

n se

suda

h kr

isis.

10)

Bagi

an y

ang

lebi

h be

sar d

ari r

uang

fisk

al d

i mas

a da

tang

har

us

dial

okas

ikan

unt

uk in

frast

rukt

ur, b

aik

di ti

ngka

t pus

at m

aupu

n da

erah

.

JM

Pend

anaa

n ya

ng le

bih

besa

r unt

uk

infra

stru

ktur

.

Peng

alih

an p

enge

luar

an d

ari k

ebut

uhan

ad

min

istra

si m

enja

di p

enda

naan

ta

mba

han

pem

beria

n la

yana

n da

sar.

• Ti

ngka

t pen

gelu

aran

unt

uk k

ebut

uhan

ad

min

istra

si sa

ngat

ting

gi (

30pe

rsen

di

dae

rah)

dan

men

unju

kkan

ada

nya

pem

boro

san

cuku

p sig

nifik

an te

rhad

ap

sum

ber d

aya

untu

k pu

blik

.

11)

Kura

ngi p

enge

luar

an y

ang

tidak

mem

beri

man

faat

la

ngsu

ng k

epad

a pu

blik

. Misa

lnya

, pen

gura

ngan

ang

gara

n un

tuk

kepe

ntin

gan

adm

inist

rasi

pem

erin

taha

n da

n te

ntuk

an

angg

aran

yan

g le

bih

tingg

i unt

uk la

yana

n pu

blik

sepe

rti

kese

hata

n d

an p

endi

dika

n.12

) Se

suai

kan

peng

elua

ran

rutin

den

gan

inve

stas

i mod

al d

alam

pe

mbe

rian

laya

nan

publ

ik..

JM

Perb

aika

n efi

siens

i un

tuk

peng

elua

ran

publ

ik .

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 157

LAMPIRAN

Bida

ng R

efor

mas

iTa

ntan

gan

Solu

si s

pesi

fikKe

rang

ka

wak

tuD

ampa

k-de

raja

t Kep

entin

gan

BAB

3. S

EKTO

R PE

ND

IDIK

AN

Ti

ngka

tkan

pen

gelu

aran

unt

uk

mem

perb

esar

aks

es te

rhad

ap

pend

idik

an se

kola

h m

enen

gah

pert

ama,

se

men

tara

foku

s pad

a pe

ndid

ikan

das

ar

haru

s pad

a m

enin

gkat

kan

infra

stru

ktur

da

n m

utu

peng

ajar

an.

• Ti

ngka

t par

tisip

asi s

iswa,

khu

susn

ya b

agi

kuin

til p

enda

pata

n ya

ng le

bih

rend

ah, m

asih

re

ndah

teru

tam

a di

ting

kat S

MP,

dan

bany

ak

sisw

a tid

ak m

elan

jutk

an k

e SM

P se

tela

h lu

lus

SD.

• Pe

ndaf

tara

n di

ting

kat S

D h

ampi

r men

capa

i 10

0 pe

rsen

, nam

un m

utu

dan

infra

stru

ktur

ja

uh d

ari m

emua

skan

.

13)

Ting

katk

an p

enge

luar

an u

ntuk

pen

didi

kan

seko

lah

men

enga

h pe

rtam

a —

teru

tam

a u

ntuk

mem

astik

an

pem

bang

unan

ged

ung

seko

lah

yang

bar

u da

n pe

mbu

atan

pr

ogra

m y

ang

men

ghila

ngka

n an

gka

drop

out

dan

m

enin

gkat

kan

lulu

san

SD m

elan

jutk

an k

e je

njan

g in

i.14

) Ko

mbi

nasi

peng

elua

ran

untu

k se

kola

h da

sar h

arus

dia

rahk

an

kepa

da m

utu

peng

ajar

an d

an in

frast

rukt

ur

ST /M

T

Peng

elua

ran

yang

lebi

h te

pat s

asar

an,

pada

pro

gram

yan

g m

emili

ki ti

ngka

t pe

ngem

balia

n ya

ng le

bih

besa

r dal

am

hal m

utu

dan

efek

tivita

s.

Peni

ngka

tan

tingk

at p

artis

ipas

i da

n pe

ning

kata

n pe

ndud

uk y

ang

men

geny

am p

endi

dika

n, y

ang

bisa

ber

dam

pak

terja

diny

a tin

gkat

pe

rtum

buha

n ya

ng le

bih

tingg

i dan

pe

nuru

nan

angk

a ke

misk

inan

jika

ke

tera

mpi

lan

sesu

ai d

enga

n ke

butu

han

para

pem

beri

kerja

Pert

ahan

kan

targ

et p

enge

luar

an 2

0 pe

rsen

unt

uk se

ktor

pen

didi

kan

teta

pi

laku

kan

peny

esua

ian

terh

adap

defi

nisi

untu

k m

elip

uti g

aji g

uru

dan

gab

ungk

an

peng

elua

ran

pem

erin

tah

pusa

t dan

da

erah

.

• U

U y

ang

ada

seka

rang

mem

pers

yara

tkan

aga

r pe

ngel

uara

n un

tuk

pend

idik

an d

i tin

gkat

pu

sat d

an d

aera

h ha

rus m

enca

pai 2

0 pe

rsen

da

ri se

luru

h pe

ngel

uara

n di

luar

gaj

i gur

u.

Hal

ini s

anga

t tid

ak m

ungk

in b

isa d

icap

ai d

an

bert

enta

ngan

den

gan

prin

sip d

esen

tral

isasi

dan

refo

rmas

i kep

egaw

aian

• Ju

ga, d

iluar

gaj

i m

embe

rikan

disi

nsen

tif b

agi

man

ajem

en k

epeg

awai

an y

ang

baik

.

15)

Defi

nisi

yang

lebi

h te

pat m

enge

nai k

eten

tuan

ang

gara

n 20

per

sen

adal

ah: (

i) te

rmas

uk g

aji g

uru

; dan

(ii)

gabu

ngka

n pe

ngel

uara

n di

selu

ruh

tingk

at p

emer

inta

han

(pus

at d

an

regi

onal

dae

rah)

.

JPD

K

Alok

asi y

ang

lebi

h ra

siona

l unt

uk

Peng

elua

ran

Sekt

or P

endi

dika

n .

Ke

seim

bang

an a

ntar

-pem

erin

tah

yang

le

bih

baik

.

Men

gura

ngi k

esen

jang

an a

kses

dan

m

utu

pend

idik

an.

• An

ak-a

nak

dari

kelu

arga

misk

in d

an m

erek

a ya

ng ti

ngga

l di d

aera

h te

rpen

cil m

emili

ki

akse

s yan

g le

bih

keci

l dan

mut

u pe

ngaj

aran

ya

ng le

bih

rend

ah d

i Sek

olah

Men

enga

h di

band

ingk

an d

enga

n an

ak-a

nak

lain

.

16)

Alok

asik

an d

ana

tam

baha

n ba

gi P

ropi

nsi d

an k

abup

aten

/ko

ta y

ang

tert

ingg

al. G

unak

an D

AK u

ntuk

men

ingk

atka

n ju

mla

h se

kola

h se

hing

ga k

ita b

isa m

enga

tasi

kend

ala

dari

sisi

supl

ai.

17)

Men

gura

ngi

peng

elua

ran

dari

kant

ong

oran

g tu

a se

cara

la

ngsu

ng m

elal

ui b

antu

an tu

nai d

ana

dan

men

urun

kan

SPP

lew

at p

embe

rian

BOS.

JPD

K/JM

Pe

mba

ngun

an y

ang

lebi

h m

erat

a (p

enin

gkat

an p

elua

ng b

agi r

akya

t m

iskin

) dan

akh

irnya

men

ingk

atka

n ta

raf

hidu

p da

n pe

rtum

buha

n pa

da d

aera

h te

rtin

ggal

.

Ting

katk

an p

emer

ataa

n di

strib

usi g

uru

dan

mut

u gu

ru d

enga

n m

enye

diak

an

inse

ntif

keua

ngan

jika

ber

tuga

s di

tem

pat-

tem

pat y

ang

keku

rang

an g

uru,

in

sent

if da

n pe

ning

kata

n k

eter

ampi

lan

guru

.

• Ad

a ke

timpa

ngan

dist

ribus

i gur

u, se

hing

ga

terja

di k

ekur

anga

n gu

ru d

i dae

rah

terp

enci

l da

n ke

lebi

han

guru

di w

ilaya

h pe

rkot

aan

dan

bebe

rapa

wila

yah

pede

saan

. •

Gur

u ya

ng m

emili

ki k

ualifi

kasi

yang

ting

gi

mas

ih m

ener

ima

gaji

terla

lu re

ndah

.•

UU

Gur

u ya

ng b

erak

ibat

ang

gara

n pe

ndid

ikan

pe

rlu d

iting

katk

an se

cara

dra

stis—

hany

a de

ngan

tam

baha

n in

sent

if, sa

ja se

hing

ga

men

deka

ti ju

mla

h an

ggar

an p

endi

dika

n na

siona

l saa

t ini

.

Dist

ribus

i: 18

) U

bah

form

ula

pene

rimaa

n da

ri be

rdas

arka

n ju

mla

h sis

wa,

m

enja

di b

erda

sark

an ju

mla

h se

kola

h.

19)

Pem

erin

tah

Indo

nesia

har

us m

ampu

men

yalu

rkan

tena

ga

guru

ant

ar k

abup

aten

/kot

a da

n m

enin

gkat

kan

penu

gasa

n di

w

ilaya

h te

rpen

cil d

enga

n m

embe

rikan

inse

ntif

keua

ngan

yan

g le

bih

baik

.20

) M

engu

rang

i ke

lebi

han

guru

yan

g te

rjadi

di p

erko

taan

dan

gu

naka

n da

na u

ntuk

inpu

t un

tuk

perb

aika

n m

utu

(gur

u ya

ng

mem

enuh

i per

syar

atan

). G

unak

an o

psi p

ay-o

ut o

ptio

n un

tuk

men

doro

ng p

ensio

n di

ni.

Juga

, kur

angi

jum

lah

mah

asisw

a ya

ng d

iterim

a di

lem

baga

LPT

K.M

utu:

21

) La

ksan

akan

UU

Gur

u da

n se

cara

ber

sam

aan

turu

nkan

ang

ka

kele

biha

n gu

ru u

ntuk

men

urun

kan

dam

pak

keua

ngan

aki

bat

UU

Gur

u ya

ng b

aru

pada

ang

gara

n pe

ndid

ikan

.

JPD

K/JM

Pe

mer

ataa

n di

strib

usi g

uru

yang

lebi

h ba

ik d

enga

n de

mik

ian

peni

ngka

tan

m

utu

pend

idik

an.

Ju

mla

h gu

ru y

ang

lebi

h ke

cil–

lebi

h ba

nyaj

dan

a un

tuk

inpu

t ku

alita

s.

Lebi

h ba

nyak

gur

u ya

ng m

emen

uhi

syar

at, m

utu

dan

tingk

at p

endi

dika

n ak

an

sem

akin

ting

gi.

M

engu

rang

i dam

pak

pad

a a

ngga

ran

pe

ndid

ikan

.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 158

LAMPIRAN

Bida

ng R

efor

mas

iTa

ntan

gan

Solu

si s

pesi

fikKe

rang

ka

wak

tuD

ampa

k-de

raja

t Kep

entin

gan

BAB

4. S

EKTO

R KE

SEH

ATA

NTi

ngka

tkan

inve

stas

i pub

lik u

ntuk

ke

seha

tan.

• In

vest

asi k

eseh

atan

saat

ini d

an k

elua

ran

dari

sekt

or in

i mas

ih le

bih

rend

ah d

ari p

ada

tingk

at

yang

tela

h di

capa

i ole

h ne

gara

-neg

ara

Asia

Ti

mur

lain

nya.

22)

Seca

ra p

erla

han

men

ingk

atka

n pe

ngel

uara

n sa

mpa

i sek

itar

2 pe

rsen

dar

i PD

B.23

) G

unak

an su

mbe

r day

a ya

ng a

da le

bih

seca

ra e

fisie

n da

n m

erat

a.

JPJ

Su

mbe

r day

a ya

ng le

bih

bany

ak u

ntuk

se

ktor

kes

ehat

an .

Pe

ning

kata

n ke

luar

an k

eseh

atan

.

Ting

katk

an a

kses

terh

adap

lay

anan

ke

seha

tan

bag

i rak

yat m

iskin

den

gan

men

ingk

atka

n su

plai

dan

men

doro

ng

perm

inta

an.

• Ak

ses y

ang

sang

at re

ndah

pad

a da

erah

misk

in

dan

terp

enci

l.•

Raky

at m

iskin

mem

iliki

ting

kat p

emak

aian

la

yana

n ke

seha

tan

seku

nder

yan

g re

ndah

.

24)

Sisi

perm

inta

an: l

akuk

an in

vest

asi d

alam

keg

iata

n ya

ng d

apat

m

enin

gkat

kan

peng

guna

an d

an m

utu

laya

nan

kese

hata

n

bagi

raky

at m

iskin

. Sist

em k

upon

yan

g m

emun

gkin

kan

raky

at m

iskin

men

dapa

tkan

aks

es te

rhad

ap la

yana

n be

rmut

u se

cara

gra

tis.

25)

Sisi

supl

ai: g

unak

an D

AK u

ntuk

men

jam

in b

ahw

a da

na

ters

ebut

men

ingk

atka

n ak

ses k

epad

a ra

kyat

misk

in.

JM

Peni

ngka

tan

akse

s, pe

nggu

naan

laya

nan,

da

n ku

alita

s lay

anan

bag

i rak

yat m

iskin

.

Laku

kan

Iden

tifika

si te

rhad

ap

kom

posis

i inv

esta

si ya

ng b

enar

unt

uk

men

ingk

atka

n e

fekt

ivita

s se

ktor

ke

seha

tan

dal

am m

enga

tasi

beb

an

gand

a ak

ibat

mun

culn

ya p

enya

kit b

aru.

• Ki

nerja

yan

g re

ndah

di s

ekto

r kes

ehat

an

tam

pak

dala

m in

dika

tor I

MR

dan

MM

R ya

ng

rend

ah.

• Pe

ning

kata

n m

asal

ah d

alam

pen

yaki

t yan

g tid

ak m

enul

ar.

• M

uncu

lnya

kas

us H

IV/A

IDS

dan

flu b

urun

g.

26)

Inte

nsifi

kasi

prog

ram

unt

uk m

enan

gani

pen

yaki

t men

ular

.27

) Pe

ngua

tan

siste

m su

rvei

lans

dan

pro

gram

unt

uk m

ence

gah

mun

culn

ya p

enya

kit b

aru

MT

JM

PPen

cega

han

terh

adap

pen

yaki

t m

enul

ar d

an y

ang

tidak

men

ular

.

Peni

ngka

tan

kapa

sitas

unt

uk m

ence

gah

timbu

lnya

pen

yaki

t bar

u.

Sekt

or p

ublik

har

us le

bih

aktif

unt

uk

men

entu

kan

atur

an, p

eriz

inan

, dan

ak

redi

tasi

bagi

pen

yedi

a se

ktor

swas

ta.

• Ko

ntro

l yan

g te

rbat

as te

rhad

ap p

enye

dia

laya

nan

kese

hata

n ol

eh se

ktor

swas

ta.

28)

Pene

ntua

n at

uran

, per

izin

an, d

an a

kred

itasi

sekt

or sw

asta

, un

tuk

men

jam

in m

utu

dan

kont

rol y

ang

mem

adai

.JP

DK/

JM

IPen

ingk

atan

mut

u la

yana

n ke

seha

tan

sekt

or sw

asta

.

Iden

tifika

si ko

mbi

nasi

yang

ben

ar

men

gena

i ket

entu

an u

ntuk

men

jam

in

pem

erat

aan

dist

ribus

i dan

inve

stas

i yan

g le

bih

efisie

n un

tuk

tena

ga k

eseh

atan

.

• M

engu

rang

i kes

enja

ngan

dan

inefi

siens

i yan

g

bisa

men

urun

kan

mut

u da

n tin

gkat

laya

nan.

29)

Iden

tifika

si te

naga

kes

ehat

an y

ang

ada

seka

rang

dan

apa

kah

suda

h m

emad

ai u

ntuk

men

capa

i tar

get p

riorit

as sa

at in

i...3

0)

dent

ifika

si ca

ra-c

ara

untu

k m

emot

ivas

i pen

yedi

a la

yana

n ke

seha

tan

di d

aera

h te

rpen

cil.

JPD

K/JM

Pe

ning

kata

n m

utu

tena

ga d

an la

yana

n ke

seha

tan.

Pe

ning

kata

n ak

ses d

i ped

esaa

n da

n da

erah

yan

g ke

kura

ngan

laya

nan.

BAB

5. IN

FRA

STRU

KTU

RPe

rluas

supl

ai li

strik

unt

uk m

emen

uhi

peni

ngka

tan

perm

inta

an.

• In

vest

asi b

esar

dip

erlu

kan

untu

k m

emen

uhi

perm

inta

an li

strik

yan

g se

mak

in m

enin

gkat

. •

Kepu

tusa

n m

enge

nai k

ompo

sisi b

ahan

bak

ar

mas

ih m

enga

lam

i dist

orsi

akib

at p

embe

rian

subs

idi B

BM y

ang

mas

ih b

erja

lan

dan

kese

njan

gan

anta

ra h

arga

BBM

unt

uk e

kspo

r da

n do

mes

tik.

31)

Gun

akan

pen

deka

tan

“eks

pans

i bia

ya p

alin

g m

urah

”. Su

bsid

i har

us d

ialo

kasik

an d

ari k

onsu

msi

(yan

g ha

nya

men

gunt

ungk

an k

onsu

men

den

gan

kapa

sitas

di a

tas 4

50VA

) m

enuj

u su

bsid

i sam

bung

an, u

ntuk

mem

perlu

as ja

ringa

n lis

trik

.

JPD

K/JM

In

crea

sed

acce

ss to

ele

ctric

ity a

nd a

mor

e effi

cien

t tar

getin

g of

Sub

sidi b

enefi

ts

tow

ards

the

poor

.

Peny

edia

an in

sent

if fis

kal

kepa

da

pem

erin

tah

daer

ah

untu

k m

enin

gkat

kan

pem

elih

araa

n ja

lan

raya

.

• Se

bagi

an b

esar

jala

n ra

ya ti

dak

dipe

lihar

a de

ngan

mem

adai

dan

aks

es te

rhad

ap j

alan

ra

ya m

asih

sang

at re

ndah

.•

Pen

yalu

ran

dana

dar

i pus

at u

ntuk

jala

n ra

ya

tidak

dita

rget

kan

seca

ra e

fisie

n ke

Lok

asi y

ang

mem

iliki

aks

es y

ang

rend

ah.

32)

Pem

erin

tah

pusa

t har

us m

elak

ukan

pen

dana

an b

ersa

ma

deng

an

Pem

kab/

pem

kot

untu

k pe

mel

ihar

aan

jala

n da

erah

se

suai

den

gan

wila

yah

yuris

diks

i Pem

kab/

pem

kot

yang

be

rsan

gkut

an.

33)

Pen

ilaia

n ya

ng c

erm

at h

arus

dila

kuka

n un

tuk

men

capa

i tin

gkat

efis

iens

i tar

getin

g da

ri D

AK u

ntuk

mel

akuk

an

peru

baha

n m

enge

nai m

ekan

isme

alok

asi D

AK.

JPD

K

Incr

ease

d ro

ad a

cces

s.

Impr

oved

road

qua

lity

and

redu

ced

tran

spor

t cos

ts.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 159

LAMPIRAN

Bida

ng R

efor

mas

iTa

ntan

gan

Solu

si s

pesi

fikKe

rang

ka

wak

tuD

ampa

k-de

raja

t Kep

entin

gan

Penc

abut

an se

mua

ham

bata

n te

rhad

ap

pinj

aman

jang

ka p

anja

ng b

agi P

DAM

.•

PDAM

men

gala

mi k

esul

itan

untu

k m

enda

patk

an a

kses

pin

jam

an ja

ngka

pan

jang

se

men

tara

kab

upat

en/k

ota

teta

p m

emin

ta

bagi

an d

ivid

en w

alau

pun

PDAM

seda

ng

men

gala

mi k

erug

ian.

34)

est

rukt

urisa

si pi

njam

an y

ang

tert

ungg

ak d

an se

diak

an

inse

ntif

unt

uk m

enin

gkat

kan

kem

ampu

an b

ayar

hut

ang

PDAM

(men

aikk

an ta

rif d

an m

emot

ong

biay

a).

35)

Kem

ampu

an m

enin

gkat

kan

kapa

sitas

pin

jam

an d

enga

n m

emisa

hkan

keu

anga

n PD

AM d

enga

n ki

nerja

keu

anga

n pe

mka

b.36

) M

endo

rong

regu

lasi

untu

k m

ence

gah

kabu

pate

n un

tuk

mel

akuk

an k

laim

div

iden

pad

ahal

laya

nan

PDAM

seda

ng

men

derit

a ke

rugi

an.

JPD

K

JPJ

In

crea

sed

acce

ss to

pip

ed w

ater

thro

ugh

mor

e tr

ansp

aren

t and

eas

ier l

ong

term

bo

rrow

ing.

Enha

nced

cor

pora

te in

depe

nden

ce o

f PD

AMs.

Peng

emba

ngan

inse

ntif

fiska

l bag

i pe

mer

inta

h da

erah

yan

g m

ampu

m

enin

gkat

kan

kin

erja

PD

AM.

• M

enin

gkat

kan

kin

erja

Pem

kab/

pem

kot

untu

k m

elak

ukan

refo

rmas

i PD

AM d

an a

khirn

ya

men

ingk

atka

n sa

mbu

ngan

rum

ah ta

ngga

.

37)

Dan

a pu

blik

har

us d

isedi

akan

kep

ada

Pem

kab/

pem

kot

berd

asar

kan

kine

rja, i

deal

nya

mel

alui

DAK

, dih

itung

se

hubu

ngan

den

gan

kebu

tuha

n in

vest

asi P

DAM

.38

) B

iark

an a

gar l

apor

an p

embu

kuan

yan

g te

lah

diau

dit d

an

indi

kato

r fisik

PD

AM b

isa te

rsed

ia u

ntuk

um

um

JPD

K/JM

Im

prov

ed p

erfo

rman

ce.

In

crea

sed

conn

ectio

ns.

B

ette

r inf

orm

atio

n th

roug

h au

dits

and

in

dica

tors

will

impr

ove

targ

etin

g.

BAB

6. P

ENG

ELO

LAA

N K

EUA

NG

AN

PU

BLIK

Seca

ra p

erla

han

berg

erak

dar

i ang

gara

n be

rbas

is in

put m

enuj

u an

ggar

an b

erba

sis

kine

rja (P

BB).

• Pr

oses

ang

gara

n b

ertu

mpu

pad

a k

ontr

ol

inpu

t ya

ng sa

ngat

ket

at y

ang

mem

bata

si fle

ksib

ilita

s yan

g di

perlu

kan

untu

k m

enca

pai

hasil

yan

g le

bih

baik

.

39)

Peng

uata

n ko

ntro

l ex-

post

, aud

it ki

nerja

, da

n ka

pabi

litas

pe

lapo

ran.

40

) M

engu

rang

i pe

ngan

ggar

an li

ne it

em d

an m

elak

ukan

in

tegr

asi p

rose

s per

enca

naan

dan

pen

gang

gara

n

JM

Refo

rmas

i ini

sang

at p

entin

g un

tuk

men

ingk

atka

n efi

siens

i da

n ef

ektiv

itas

peng

elua

ran

publ

ik u

ntuk

men

capa

i ke

luar

an y

ang

lebi

h ba

ik.

Men

gaitk

an p

rose

s ang

gara

n de

ngan

tu

juan

keb

ijaka

n ja

ngka

men

enga

h (K

aita

n an

tara

RKP

–RKK

L–RK

AKL)

.

• Pr

oses

Pen

gelo

laan

Keu

anga

n Pu

blik

(PKP

) di

laku

kan

seca

ra k

etat

setia

p ta

hun

dan

men

gham

bat v

isi ja

ngka

pan

jang

dan

ke

berla

njut

an k

ebija

kan

peng

elua

ran

publ

ik.

Renc

ana

Pem

bang

unan

Lim

a Ta

hun

(RKP

) be

risi t

ujua

n na

siona

l dan

sekt

oral

, keb

ijaka

n,

dan

proy

ek sp

esifi

k, te

tapi

tida

k cu

kup

terk

ait

deng

an a

loka

si su

mbe

r day

a.

41)

Berik

an k

emun

gkin

an u

ntuk

mem

pero

leh

fasil

itas a

ngga

ran

mul

ti ta

hun

dan

men

yede

rhan

akan

fasil

itas u

ntuk

mel

anju

tkan

an

ggar

an se

belu

mny

a ya

ng te

rsisa

(lun

cura

n).

42)

Laks

anak

an K

eran

gka

Kerja

Pen

gelu

aran

Jang

ka M

enen

gah.

JM

Kem

ampu

an u

ntuk

men

erje

mah

kan

tuju

an p

oliti

k ja

ngka

pan

jang

ke

dala

m

alok

asi a

ngga

ran

dan

inve

stas

i pub

lik

yang

ber

kela

njut

an.

Mel

akuk

an re

form

asi p

erbe

ndah

araa

n m

elal

ui re

kaya

sa u

lang

pro

ses b

isnis

dala

m p

elak

sana

an a

ngga

ran.

• Pe

laks

anaa

n an

ggar

an, t

erut

ama

unt

uk p

roye

k pe

mba

ngun

an sa

ngat

lam

bat d

an c

ende

rung

m

enum

puk

di a

khir

tahu

n an

ggar

an. D

ana

pem

erin

tah

dic

airk

an m

elal

ui

seju

mla

h be

sar r

eken

ing

yan

g be

rbed

a se

hing

ga

rent

an te

rhad

ap m

anaj

emen

kas

yan

g tid

ak

tran

spar

an d

an ti

dak

efisie

n.

43)

Mel

akuk

an re

form

asi t

erha

dap

fung

si pe

rben

daha

raan

dan

pe

laks

anaa

n an

ggar

an m

elal

ui p

elak

sana

an T

SA.

44)

Ting

kat u

raia

n rin

ci d

alam

dok

umen

pen

gelu

aran

(DIP

A) h

arus

di

kura

ngi d

an p

rose

s pen

gelu

aran

nya

haru

s dise

derh

anak

an

seba

gai b

agia

n da

ri re

form

asi u

ntuk

men

uju

PBB.

JM

Peni

ngka

tan

efisie

nsi o

pera

siona

l, tr

ansp

aran

si da

n pe

mba

yara

n ya

ng le

bih

cepa

t.

Men

yesu

aika

n pe

ran

DPR

dal

am p

rose

s an

ggar

an.

• Pe

ngaw

asan

ole

h D

PR d

alam

sikl

us a

ngga

ran

be

lum

ber

fung

si ef

ektif

. DPR

kin

i leb

ih

berfo

kus p

ada

hal-h

al ri

nci d

an b

ukan

pad

a ou

tcom

e da

n pr

iorit

as p

oliti

k.

45)

Men

gem

bang

kan

kapa

sitas

kel

emba

gaan

di D

PR d

an p

ada

sem

ua ta

hapa

n fo

rmul

asi a

ngga

ran

dan

audi

t.46

) M

engg

eser

per

an D

PR d

ari f

okus

pad

a po

s-po

s ang

gara

n se

cara

rinc

i kep

ada

alok

asi s

ecar

a um

um d

an p

riorit

as p

oliti

k.

JPD

K/JM

Pe

rbai

kan

tata

kel

ola,

sal

ing

uji,

akun

tabi

litas

, dan

men

jam

in b

ahw

a an

ggar

an a

kan

resp

onsif

kep

ada

kebu

tuha

n ra

kyat

.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 160

LAMPIRAN

Bida

ng R

efor

mas

iTa

ntan

gan

Solu

si s

pesi

fikKe

rang

ka

wak

tuD

ampa

k-de

raja

t Kep

entin

gan

Teru

s men

doro

ng re

form

asi s

istem

pe

ngad

aan.

• Ka

pasit

as y

ang

terb

atas

unt

uk m

enye

lesa

ikan

pe

ngad

aan

seca

ra te

pat w

aktu

sesu

ai d

enga

n at

uran

yan

g di

perk

etat

tela

h m

engh

amba

t ja

lann

ya p

roye

k da

n pe

mba

yara

n an

ggar

an.

47)

Mel

akuk

an p

elat

ihan

ting

kat d

asar

dan

ujia

n un

tuk

sert

ifika

si ba

gi p

ara

prak

tisi p

enga

daan

.48

) M

engu

atka

n ke

man

diria

n K

anto

r Pen

gada

an N

asio

nal.

49)

Men

gem

bang

kan

dan

mel

aksa

naka

n st

rate

gi y

ang

berla

ku

di se

luru

h In

done

sia u

ntuk

mel

aksa

naka

n pr

osed

ur e

-pr

ocur

emen

t.

JM

Har

ga in

put y

ang

lebi

h re

ndah

dan

m

engu

rang

i tin

dak

koru

psi.

Men

guat

kan

fung

si pe

mer

iksa

an in

tern

al

dan

ekst

erna

l.•

Kapa

sitas

, sta

f, da

n su

mbe

r day

a BP

K da

n BP

KP

tidak

sesu

ai d

enga

n pe

ran

mer

eka.

• Le

mba

ga p

emer

iksa

inte

rnal

yan

g be

rsifa

t te

rfrag

men

tasi

dan

tidak

ada

nya

stan

dar

pem

erik

saan

yan

g ko

nsist

en d

i set

iap

tingk

at

pem

erin

taha

n.

50)

BPK

haru

s ter

us m

enin

gkat

kan

kapa

sitas

mer

eka

dan

men

ingk

atka

n ke

hadi

ran

mer

eka

untu

k m

emen

uhi m

anda

t ya

ng d

iber

ikan

, sem

enta

ra le

mba

ga p

emer

iksa

inte

rnal

har

us

diga

bung

.51

) BP

K ha

rus l

ebih

ber

tang

gung

jaw

ab k

epad

a D

PR.

52)

Lem

baga

pem

erik

saan

inte

rnal

yan

g ut

amad

apat

di

kons

olid

asik

an k

e da

lam

sebu

ah le

mba

ga p

emer

iksa

inte

rnal

de

ngan

kew

ajib

an y

ang

jela

s unt

uk b

eker

ja d

enga

n BP

K.

JM

Pem

erik

saan

yan

g ef

ektif

sang

at p

entin

g un

tuk

men

cega

h pe

nyal

ahgu

naan

an

ggar

an p

ublik

dan

men

gura

ngi r

isiko

pe

nyal

ahgu

naan

dan

men

ingk

atny

a fle

ksib

ilita

s yan

g te

rjadi

kar

ena

refo

rmas

i PB

B.

BAB

7. D

ESEN

TRA

LISA

SI F

ISK

AL

DA

N K

ESEN

JAN

GA

N D

AER

AH

Mem

buat

tran

sfer

DAU

setia

p ta

hunn

ya

lebi

h bi

sa d

iper

kira

kan

, men

ggun

akan

D

AU se

cara

pen

uh, d

an m

enci

ptak

an

inse

ntif

untu

k Pe

mka

b/pe

mko

t un

tuk

mel

akuk

an re

form

asi k

epeg

awai

an.

• Ti

dak

ada

inse

ntif

unt

uk m

engu

rang

i ke

lebi

han

jum

lah

PNS

sepa

njan

g D

AU

men

utup

sem

ua k

ebut

uhan

gaj

i peg

awai

. D

AU ti

dak

mam

pu m

elak

ukan

men

gata

si ke

senj

anga

n fis

kal d

i ant

ara

Pem

kab/

pem

kot

seca

ra e

fekt

if. S

trat

egi p

enge

luar

an ja

ngka

pa

njan

g ki

ni su

lit u

ntuk

diru

mus

kan

dan

dila

ksan

akan

kar

ena

jum

lah

yang

disa

lurk

an

sulit

dip

erki

raka

n.

53)

Hap

uska

n ca

kupa

n pe

nuh

atas

pem

baya

ran

gaji

deng

an

DAU

.54

) Al

okas

ikan

DAU

ber

dasa

rkan

alo

kasi

tahu

n se

belu

mny

a un

tuk

men

ghin

dari

flukt

uasi

angg

aran

.55

) D

oron

g ag

ar te

rjadi

pem

erat

aan

deng

an m

enda

sark

an

peny

alur

an d

ana

pada

form

ula

kese

njan

gan

fiska

l.

JPD

K/JM

Pe

ning

kata

n efi

siens

i pe

ngel

uara

n pe

mer

inta

h da

erah

.

Peni

ngka

tan

pem

erat

aan.

Pe

ning

kata

n e

fisie

nsi

peng

elua

ran

Fung

si be

rbag

ai ti

ngka

t pem

erin

taha

n pe

rlu d

iper

jela

s.•

Ada

ketid

akpa

stia

n m

enge

nai t

angg

ung

jaw

ab

terh

adap

pen

gang

gara

n da

n pe

laks

anaa

nnya

. 56

) 56

) Pi

sahk

an fu

ngsi-

fung

si da

ri be

rbag

ai ti

ngka

t pe

mer

inta

han;

pus

at, P

ropi

nsi,

kabu

pate

n, p

enye

dia

laya

nan

, dan

mas

yara

kat.

JPJ

Pe

laks

anaa

n pr

oses

per

enca

naan

yan

g ra

siona

l di s

elur

uh ti

ngka

t pem

erin

taha

n.

Men

gura

ngi f

akto

r ket

idak

past

ian

dan

men

ingk

atka

n pr

oses

pel

aksa

naan

an

ggar

an.

Men

cipt

akan

inse

ntif

dan

mem

bang

un

kapa

sitas

unt

uk m

enin

gkat

kan

pere

ncan

aan

dan

peng

angg

aran

di

tingk

at k

abup

aten

/kot

a.

• An

ggar

an ti

dak

men

cerm

inka

n pe

renc

anaa

n da

n pe

ngel

uara

n ya

ng e

fisie

n. S

urpl

us y

ang

besa

r ter

jadi

di t

ingk

at p

emer

inta

h da

erah

.

57)

Buat

sist

em p

enila

ian

berb

asis

kine

rja d

enga

n se

jum

lah

indi

kato

r ter

pilih

yan

g da

pat d

ipan

tau

deng

an m

udah

. Ka

itkan

kin

erja

kab

upat

en/k

ota

terh

adap

alo

kasi

sum

ber

daya

.58

) Se

derh

anak

an la

ngka

h un

tuk

mel

akuk

an p

erse

tuju

an

angg

aran

pem

erin

tah

daer

ah.

59)

Laku

kan

inte

gras

i pen

gelu

aran

di l

uar a

ngga

ran

(off

budg

et)

ke d

alam

ang

gara

n ka

bupa

ten/

kota

JM

Perb

aika

n an

ggar

an—

men

gura

ngi

surp

lus,

kete

pata

n w

aktu

Men

ingk

atka

n e

fisie

nsi ,

pem

erat

aan,

da

n ef

ektiv

itas p

engu

mpu

lan

paja

k pe

mer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

.

• Sa

at in

i, tid

ak a

da P

ajak

Pro

pert

i dae

rah,

yan

g tid

ak m

eran

gsan

g te

rjadi

nya

pers

aing

an d

i da

erah

. Jug

a, ju

mla

h pe

ngum

pula

n pa

jak

sang

at k

ecil.

Mas

ih a

da b

eber

apa

paja

k da

erah

te

rten

tu y

ang

men

imbu

lkan

iklim

inve

stas

i ya

ng b

uruk

.

60)

Laku

kan

dese

ntra

lisas

i te

rhad

ap p

ajak

bum

i dan

ban

guna

n,

sehi

ngga

dae

rah

bisa

men

entu

kan

tingk

at p

ajak

mer

eka

send

iri d

an b

ersa

ing

deng

an d

aera

h la

in.

61)

Men

ingk

atka

n pe

role

han

paja

k—se

hing

ga se

cara

rata

-rat

a m

enca

pai s

eten

gah

dari

jum

lah

pene

rimaa

n da

erah

.62

) Pe

ngen

aan

retr

ibus

i dan

paj

ak p

erlu

dia

tur u

ntuk

m

emba

tasi

dam

pak

nega

tifny

a te

rhad

ap ik

lim in

vest

asi.

JPD

K/JM

IP

enin

gkat

an p

enda

pata

n da

erah

dan

ik

lim in

vest

asi.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 161

LAMPIRAN

Section A.2. Sumber Data, Metodologi, dan Definisi

Dataset statistik dan anggaran utama yang digunakan untuk memproses laporan ini diambil dari sumber-sumber berikut ini:

Pengeluaran Pemerintah Propinsi dan Kab/Kota: data untuk tahun 2000-04 diproses dari Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Departemen Keuangan. Staf Bank Dunia menghitung perkiraan untuk pengeluaran 2005-2007 berdasarkan pangsa historis setiap sektor, dan transfer agregat dari pemerintah pusat. Rincian lebih lanjut mengenai karakteristik dataset ini dan jumlah kab/kota yang tercakup tersedia dalam Tabel Lampiran C.11 Survey Sosial Ekonomi Rumah Tangga Nasional (SUSENAS) BPS adalah sumber dari informasi mengenai ekonomi dan demografis rumah tangga 2000-05Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dari 2004 sampai dengan Februari 2006 adalah sumber dari statistik tenaga kerja.Data Statistik Potensi Desa (PODES) 2004-2005 menjadi sumber dari informasi mengenai karakteristik infrastruktur desa. Survey ini dilaksanakan dalam konteks sensus periodic (pertanian, ekonomi dan pedesaaan)Survey Governance and Decentralization (GDS) 1+ memberikan data mengenai indikator tata pemerintahan dan desentralisasi dari rumah tangga dan non rumah tangga pada tingkat kab/kota dan desa, maupun informasi yang diperoleh dari titik penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan (Puskesmas dan Sekolah).World Development Indicators (WDI) Bank Dunia digunakan untuk serangkaian indikator ekonomi dan anggaran internasional untuk periode 1994-2005.

Beberapa dataset primer lainnya diambil dari publikasi statistik, studi oleh lembaga penelitian dan akademis, dan laporan dari organisasi internasional.

Komposisi Ekonomi dari Pengeluaran: Dalam hal jenis, atau karakteristik ekonomi dari transaksi-transaksi pengeluaran sumberdaya, pengeluaran publik diklasifikasikan sebagai:

Pengeluaran Rutin termasuk: (i) Belanja Pegawai; (ii) Belanja Bunga (DN & LN); (iii) Subsidi, (iv) Belanja Bahan Barang dan Jasa; (v) Belanja Rutin LainnyaPengeluaran Pembangunan didefinisikan sebagai “belanja Negara yang ditujukan untuk membiayai proyek pembangunan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional baik yang bersifat materiil maupun non materiil (UU 2/2000 mengenai APBN). Jumlah yang dilaporkan sebagai belanja pembangunan juga mencakup beberapa belanja gaji dan bahan yang secara teknis seharusnya masuk kedalam pengeluaran rutin. Pos Pengeluaran Pembangunan dihapuskan pada tahun 2004 dengan diperkenalkannya anggaran terpadu (unified budget) dan diperkenalkannya pos belanja modal.Pengeluaran Modal efektif sejak tahun 2005, mengikuti UU 17/2003 mengenai Keuangan Negara. Kategori ini didefinisikan sebagai pengeluaran untuk membayar penyediaan barang tahan lama dengan masa hidup lebih dari satu tahun yang baru maupun yang sudah ada, untuk digunakan bagi maksud-maksud produktif seperti, jembatan, jalan, sekolah, klinik, dll. Pemetaan anggaran 2004 dari sistem anggaran terdahulu ke anggaran terpadu memperlihatkan bahwa belanja modal mencakup 56 % dari belanja yang dulunya dilaporkan sebagai pengeluaran pembangunan, sementara sisanya diklasifikasikan dalam berbagai pos anggaran rutin dan bantuan sosial.Transfer ke Daerah terdiri dari Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian.

Catatan Teknis untuk Analisis Lintas Sektor. Angka yang disajikan dalam bab 2 diagregasikan berdasarkan data anggaran pusat dan daerah sebagaimana diuraikan diatas. Tabel Lampiran C. 14 menyajikan pemetaan sektoral dari berbagai sub-sektor yang diagregasikan kedalam suatu sektor dan sub komponen dari pengeluaran rutin dan pembangunan. Perlu dicatat bahwa terdapat sedikit perbedaan antara angka yang terdapat dalam Lampiran D dan yang terdapat dalam bab Kesehatan dan Pendidikan. Hal ini disebabkan angka agregat pada bab-bab tersebut dimutakhirkan pada bulan Januari 2007 berdasarkan rincian APBN sektoral terbaru. Tabel yang terdapat dalam lampiran lintas sektoral belum dimutakhirkan untuk memelihara konsistensi dengan sektor-sektor lain yang dilaporkan dalam tren lintas sektoral.

•••

••

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 162

LAMPIRAN

Catatan Teknis untuk Bab Pendidikan dan Kesehatan. Laporan latar belakang untuk sektor pendidikan dari laporan ini menyajikan estimasi pengeluaran pendidikan untuk tahun 2007 berdasarkan agregat belanja pemerintah pusat dari Rancangan APBN. Pengeluaran Pendidikan yang dilaporkan dalam kajian ini berasal dari APBN 2007 yang tersedia pada Desember 2006. Untuk melaksanakan UU 17/2003 mengenai Keuangan Negara, format pelaporan pengeluaran pemerintah diubah mulai tahun anggaran 2004. Salah satu bentuk reformasi dari UU ini adalah mengubah klasifikasi belanja dari berdasarkan sektor menjadi berdasarkan fungsi. Tabel ikhtisar belanja dari Bab Pendidikan dan Kesehatan (Tabel 3.2. dan 4.3.) didasarkan pada klasifikasi sektoral. Klasifikasi fungsional tidak digunakan dalam tabel ini untuk memelihara konsistensi dengan tahun sebelum 2004, dimana beberapa pos anggaran seperti pelatihan PNS tidak tersedia. Namun, rincian sepenuhnya dari pengeluaran pendidikan berdasarkan klasifikasi fungsional disajikan dalam Diagram 3.3.Pada lampiran, data pada tabel lintas sektoral berbeda sedikit dari agregat sektoral karena tidak mungkin untuk memperbaharui tren lintas sektoral berdasarkan data realisasi sementara yang paling baru dari Depkeu (per 8 Januari 2007). Rincian pengeluaran berdasarkan sektor belum tersedia pada saat penulisan laporan ini. Konsekuensinya lampiran sektoral didasarkan pada data yang tersedia sebelumnya.Catatan Teknis untuk Bab Infrastruktur. Definisi infrastruktur yang digunakan dalam laporan ini meliputi sektor dan kegiatan berikut ini: Energi (listrik dan gas alam); perhubungan (jalan: tol, nasional, propinsi, Kabupaten; pelabuhan;Bandara; dan Kereta Api); layanan air bersih dan sanitasi (anggaran untuk pengelolaan sumber daya air dimasukan untuk aktifitas yang dapat diasumsikan relevan dengan air bersih dan sanitasi); irigasi; dan telekomunikasi (tetap dan bergerak)

Aktor Ekonomi yang dicakup: seluruh tingkat pemerintahan, dan juga BUMN. Tingkat Pemerintahan: Pusat, Propinsi,Kabupaten/Kota. BUMN pada tingkat pemerintah pusat: PT. PLN (Listrik), PGN (Gas Alam); transportasi: Jasa Marga (Jalan Tol), Angkasa Pura (Bandara), KAI (Kereta Api); Telekomunikasi: PT. Telkom, Indosat. BUMD dengan cakupan terbatas karena data yang tidak cukup tersedia: Air Bersih dan Sanitasi: PDAM (air bersih dan sanitasi perkotaan). Kategori Pengeluaran yang Tercakup adalah: Belanja Operasional (Opex), belanja pemeliharaan (opex dan belanja pemeliharaan jika dikombinasikan menjadi O&P), rehabilitasi (relevan untuk jalan) cakupan terbatas (hanya satu tahun) karena ketaktersediaan data, dan belanja modal (capex). Untuk sektor swasta, hanya komitmen investasi yang dicakup, karena kategori pengeluaran lain tidak tersedia dan dilaporkan.Keseluruhan pelaporan data beragam tergantung dari jangka waktu, karena sebagian tren pengeluaran dilacak selama masa 1994-2004. Tetapi pola pengeluaran rinci (kategori belanja dan pengeluaran BUMN) hanya dapat diperoleh untuk periode 2002-2004.

Perbedaan dengan kajian terdahulu: mengenai angka investasi publik, didekati dengan angka belanja pembangunan dari pos anggaran infrastruktur yang relevan. Angka invetasi yang “lebih bersih” mungkin didapatkan untuk tahun 2002-2004 dengan mengeluarkan belanja O&P yang seringkali tercakup dalam belanja pembangunan. Pada saat yang sama, angka investasi yang berkaitan dengan sektor infrastruktur tapi tidak mesti dilaporkan dalam pos anggaran infrastruktur juga ikut dilacak. (contoh invetasi air bersih dan sanitasi yang dilaporkan dalam sektor pemukiman) dan dimasukkan jika dianggap tepat. Perbedaan antara angka investasi publik “bersih” dan estimasi kotor adalah sekitar 0,2 s.d 0,4 persen dari PDB per tahun.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 163

LAMPIRAN

Lampiran B Apa yang disebut dengan “Inisiatif untuk Analisis terhadap Pengeluaran Publik”?

1. Latar belakang IPEA

Pada Juni 2004, pemerintah Indonesia, lembaga penelitian setempat, dan komunitas internasional (termasuk Bank Dunia dan Kedutaan Belanda) meluncurkan apa yang dikenal dengan Initiative for Publik Analisis pengeluaran (IPEA,) atau Analisis terhadap Pengeluaran Publik yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan analisis dan pengembangan kapasitas.

Dengan stabilitas makroekonomi yang telah kembali diperoleh Indonesia, desentralisasi yang berjalan dengan lebih lancer dari yang diperkirakan, dan peningkatan fleksibilitas anggaran yang akan terjadi pada tahun-tahun mendatang, peluang ini merupakan saat untuk menggali berbagai opsi terbaik agar penggunaan sumber daya publik Indonesia bisa berjalan dengan baik. Kebutuhan untuk melakukan analisis terhadap pengeluaran publik akan semakin meningkat mengingat (i) peningkatan peran kebijakan fiskal untuk mendukung pertumbuhan, dan (ii) desentralisasi telah menjadi kenyataan sehingga analisis pengeluaran publik akan semakin lebih menantang.

IPEA bertujuan untuk melakukan formalisasi terhadap praktik yang sudah ada dan menyediakan paying, serta menyebarkan informasi tentang kegiatan yang ada., dalam bidang pengeluaran , dan manajemen keuangan publik. IPEA memandang (i) penciptaan produk yang dikaitkan dengan tujuan dan keperluan dan bersifat fleksibel untuk memberikan tanggapan terhadap kebutuhan klien; (ii) proses pelaksanaan yang diterima dari para pembuat kebijakan, dan (iii) peningkatan kapasitas yang efektif sementara tetap menjaga fokus yang jelas terhadap hasil dan dampak.

2. Tujuan IPEA

Dua tujuan utama IPEA adalah:(i) Dari analisis sampai kebijakan yang baik. IPEA berusaha memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap

pengeluaran pemerintah yang baik lintas pemerintahan dan sektoral, dan memasukkan analisis ini ke dalam dialog kebijakan untuk mendukung gerakan menuju penyediaan layanan publik yang akuntabel.

(ii) Pengembangan kapasitas bagi klien kami. IPEA bertujuan untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan di Indonesia untuk melaksanakan analisis pengeluaran secara berkala. Audience merupakan hal yang paling penting demikian juga dengan para pembuat kebijakan di tingkat pemerintah dan DPR, serta pusat-pusat penelitian maupun para stakeholders kunci.

Selanjutnya, IPEA bertujuan untuk memberikan dukungan pengembangan kapasitas berikut untuk klien kami:(i) Pelatihan yang bertarget dan bantuan teknis bagi staf administrasi dan lembaga penelitian. (ii) Pembuatan pasangan kembar dari lembaga penelitian lokal dengan lembaga yang sudah memiliki reputasi di

bidang analisis pengeluaran publik. (iii) Penugasan staf dari Departemen dan/atau ahli dari Bank Dunia selama beberapa bulan untuk mengerjakan

analisis PER.

3. Struktur Manajemen IPEA

Keluaran penting dalam bidang administrasi adalah terbetuknya panitia pengaruh yang sangat kuat, yang, berhasil melakukan pertemuan mereka pada 6 April 2005 dan telah melakukan pertemuan reguler bulanan sejak itu. Panitia pengaruh terdiri dari kelompok inti yang merupakan Perwakilan dari Kantor Meko Ekuin, Departemen Keuangan, Bappenas, LPEM (Universitas Indonesia) dan Bank Dunia. Sebanyak 10 pertemuan panitia pengaruh termasuk partisipasi luas dari para pejabat pemerintah telah dilaksanakan dari April 2005 sampai Oktober 2006.

4. Keluaran dan Prestasi IPEA

Sejak pembentukannya, IPEA telah berhasil mencapai kemajuan signifikan melalui pemberian keluaran diagnostic sera pengembangan kapasitas. Prestasinya yang paling penting berikutnya setelah publikasi Tinjauan Pengeluaran Publik untuk Pemerintah Pusat, dapat dirangkum sbb:

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 164

LAMPIRAN

A. Penyusunan nasihat kebijakan jangka panjang dan diagnostik

IPEA telah memberikan beberapa dari keluaran mereka bersama-sama dengan lembaga mitra Indonesia, yang merupakan aspek tambahan terhadap dimensi pengembangan kapasitas dari program ini. Nasihat kebijakan dan diagnostik jangka panjang dari IPEA telah menimbulkan debat umum berkelanjutan dan mendukung pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah. IPEA menyediakan produk analisis dan nasihat kebijakan dalam 5 bidang utama:

Investasi publik, ruang fiskal, dan alokasi pengeluaran Tinjauan terhadap pengeluaran sektoral Desentralisasi dan hubungan fiskal antar-pemerintah Tinjauan pengeluaran daerah Manajemen keuangan publik

B. Pengembangan kapasitas klien kami

IPEA telah melakukan sejumlah kegiatan dengan target staf teknis (biasanya Eselon 3) dengan tujuan sbb: (i) meningkatkan keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh lembaga mitra kami dalam pekerjaan mereka; dan (ii) mengurangi hambatan antara unit dan departemen yang berbeda. Keluarannya meliputi:

Kursus Penyusunan Program Keuangan: Kursus ini dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan teknis untuk melakukan perencanaan yang lebih efektif dan merumuskan rencana kerja pemerintah, dan menyusun rencana anggaran nasional untuk 2007, dan menciptakan target keluaran mengenai analisis manajemen keuangan yang kelak akan digunakan untuk mendukung proses persiapan anggaran. Penyampaian kursus dan kegiatan tindak lanjut:

3-11 Desember 2005. Kursus Penyusunan Program Keuangan bagi pejabat pemerintah. 14 Desember 2005, kursus tentang penilaian laporan back-to-office disampaikan kepada panitia pengaruh IPEA. 2 Februari 2006. Kerja lanjutan dengan peserta mengenai kursus yang bertujuan untuk melakukan koordinasi kegiatan di masa datang untuk memperkuat kerangka kerja makroekonomi bagi pemerintah pusat untuk anggaran 2007. 16 April 2006. Diskusi teknis bagi penyiapan kerangka kerja makroekonomi 2007.Juni–Juli 2006. Penugasan staf Bappenas di Bank Dunia.

Kursus dalam Analisis Pengeluaran Publik & Penentuan Anggaran Berbasis Kinerja (PBB): yang bertujuan untuk memperkenalkan para peserta dengan penyusunan anggaran berbasis kinerja dan manajemen anggaran untuk mendukung pelaksanaan rencana PBB seperti yang dimandatkan oleh UU No. 17/2003. Penyampaian dan kegiatan tindak lanjut:

4-9 Mei 2006. Penyampaian Kursus tentang Analisis Pengeluaran Publik & Penentuan Anggaran Berbasis Kinerja (PBB), ‘Mengelola Sumber Daya untuk Mencapai Hasil’. 31 Mei 2006. Kembali ke kantor untuk menyusun laporan, dan laporan fasilitator lalu dibahas bersama panitia pengaruh.12 Mei 2006. Diskusi dengan peserta kursus. 20 Juli 2006. Konferensi video dan diskusi ‘Pelajaran dari Pengalaman Internasional dalam Penentuan Anggaran Berbasis Kinerja: Kasus di Afrika Selatan’ bersama Mr. Mathew Andrews.

Tinjauan Pengeluaran Pemerintah Daerah dan manajemen anggaran daerah. IPEA mendukung persiapan dan pelaksanaan anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. IPEA telah berfokus pada darah-daerah berikut ini:

Papua. Melakukan Analisis Pengeluaran Publik untuk Papua (2005). Sejak itu dilakukan pengembangan kapasitas bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, bersama dengan universitas di daerah. Aceh. Melakukan Analisis Pengeluaran Publik untuk Aceh (2006). Bantuan teknis kepada BRR, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi Gorontalo. Mendukung penyusunan anggaran 2007; produksi analisis pengeluaran dan laporan MDG dijadwalkan untuk 2007.

•••••

•••

••

••••

•••

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 165

LAMPIRAN

Lampiran C Ruang Gerak Fiskal dan Stabilitas Ekonomi

Tabel C.1.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik untuk Pusat

(Dalam Rp triliun ) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**Belanja Pegawai 80.6 85.3 103.9 115.1 130.0 177.7 218.6Belanja Barang 17.9 23.8 25.8 25.9 44.4 66.6 94.3Pembayaran Bunga 87.1 81.1 65.4 62.5 57.9 78.9 85.1Subsidi 77.4 43.6 43.9 91.6 121.1 107.5 103.0Bantuan Sosial 0.0 0.0 0.0 0.0 27.0 43.3 50.7Belanja Rutin yang lain 17.2 19.5 33.3 29.8 52.2 66.1 54.0Pembangunan 72.5 83.1 133.1 120.4 69.4 98.6 111.7Modal 0.0 0.0 0.0 0.0 33.9 59.6 76.8Total Nasional 352.8 336.4 405.4 445.3 535.8 698.2 794.2

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan dengan meliputi pengeluaran menurut pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.** berdasarkan rencana anggaran pusat.

Tabel C. 2.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik untuk Pusat

(Persentase of total pengeluaran pusat)

2001(%)

2002(%)

2003(%)

2004(%)

2005(%)

2006*(%)

2007**(%)

2001-05(%)

Belanja Pegawai 23 25 26 26 24 25 28 25 Pembayaran Bunga 25 24 16 14 11 11 11 18 Subsidi 22 13 11 21 23 15 13 18 Belanja Barang 5 7 6 6 8 10 12 7 Belanja Rutin yang lain 5 6 8 7 10 9 7 7 Bantuan Sosial - - - - 5 6 6 1 Pembangunan 21 25 33 27 13 14 14 24 Modal - - - - 6 9 10 1 Total Nasional 100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.Catatan:* berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan dengan meliputi pengeluaran menurut pemer-intah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.** berdasarkan draft of anggaran pusat.

Tabel C.3. Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik untuk Pusat

(%) of GDP 2001(%)

2002(%)

2003(%)

2004(%)

2005(%)

2006*(%)

2007**(%)

Belanja Pegawai 4.8 4.6 5.1 5.1 4.8 5.4 6.2 Belanja Barang 1.1 1.3 1.3 1.1 1.6 2.0 2.7 Pembayaran Bunga 5.2 4.4 3.2 2.7 2.1 2.4 2.4 Subsidi 4.6 2.3 2.1 4.0 4.4 3.2 2.9 Bantuan Sosial - - - - 1.0 1.3 1.4 Belanja Rutin yang lain 1.0 1.0 1.6 1.3 1.9 2.0 1.5 Pembangunan 4.3 4.5 6.5 5.3 2.5 3.0 3.2 Modal - - - - 1.2 1.8 2.2 Total 20.9 18.1 19.8 19.6 19.6 21.1 22.5

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.Catatan:* berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan dengan meliputi pengeluaran menurut pemer-intah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.** berdasarkan draft of anggaran pusat.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 166

LAMPIRAN

Tabel C.4. Komposisi Pengeluaran Ekonomi Berdasarkan Tingkat Pemerintahan

(Rp triliun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

Total Central 260,508 217,325 256,191 293,930 356,970 443,509 504,776Belanja Pegawai 38,713 39,480 47,662 49,270 56,136 72,238 98,473Belanja Barang 9,931 12,777 14,992 15,977 30,555 46,944 71,926Pembayaran Bunga 87,142 81,122 65,351 62,485 57,881 78,910 85,087Subsidi 77,443 43,628 43,899 91,617 121,076 107,463 102,954Belanja Rutin yang lain 5,694 3,099 15,042 13,602 30,412 35,095 18,838Bantuan Sosial 27,003 43,254 50,657Pembangunan 41,585 37,220 69,247 60,979 0 0 0Modal 33,908 59,605 76,842

Total Provinsi 20,651 29,222 33,897 32,404 38,218 53,240 59,065Belanja Pegawai 5,805 5,826 6,659 8,782 8,906 12,407 13,764Belanja Barang 2,611 3,419 2,753 2,414 3,683 5,131 5,693Belanja Rutin yang lain 3,792 5,285 3,748 1,677 4,771 6,646 7,373Pembangunan 8,443 14,693 20,738 19,531 20,858 29,056 32,236

Total Kabupaten/kota 71,625 89,888 115,279 118,959 140,566 201,487 230,356Belanja Pegawai 36,091 39,986 49,585 57,095 64,913 93,047 106,378Belanja Barang 5,402 7,600 8,059 7,547 10,161 14,565 16,652Belanja Rutin yang lain 7,678 11,151 14,485 14,472 16,973 24,329 27,815Pembangunan 22,454 31,150 43,151 39,844 48,518 69,546 79,511

Total Nasional 352,784 336,435 405,368 445,293 535,754 698,237 794,198Sumber: Perkiraan Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD.Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. ** berdasarkan RAPBD.

Tabel C.5.Komposisi Ekonomi of Pengeluaran Pemerintah Pusat in Indonesia

(% of GDP) 2000(%)

2001(%)

2002(%)

2003(%)

2004(%)

I. Pemerintah pusat Expenditure 15.9 15.5 11.7 12.5 12.9

Current Pengeluaran 12.9 13.0 9.7 9.1 10.3

1. Belanja Pegawai 2.1 2.3 2.1 2.3 2.2

2. Belanja Barang 0.7 0.6 0.7 0.7 0.7

3. Pembayaran Bunga (dalam & luar negeri) 3.6 5.2 4.4 3.2 2.8

4. Subsidi 4.5 4.6 2.3 2.2 4.0

5. Lain-lain 0.8 0.3 0.2 0.7 0.6

6. Penyaluran Dana ke Daerah 1.2 0.0 0.0 0.0 0.0

Pengeluaran Pembangunan 3.1 2.5 2.0 3.4 2.7

II. Penyaluran Dana ke Daerah 4.8 5.3 5.9 5.7

1. Dana Perimbangan 4.8 5.1 5.4 5.4

a. Pembagian Pendapatan 1.2 1.3 1.5 1.6

b. Dana Alokasi Umum (DAU) 3.6 3.7 3.8 3.6

c. Dana Alokasi Khusus (DAK) 0.0 0.0 0.1 0.2

2. Dana Otonomi & Dana Penyesuaian 0.2 0.5 0.3

Total Pengeluaran Pemerintah Pusat 15.9 20.3 16.9 18.4 18.7Sumber: Perkiraan Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu dan SIKD.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 167

LAMPIRAN

Tabe

l C.

6. A

ngga

ran

Pem

erin

tah

Pusa

t

(Rp

mili

ar)

FY01

FY02

FY03

FY04

(LKP

P)FY

05 (L

KPP)

FY06

(P

relim

inar

y)FY

07

(APB

N)

A. P

END

APA

TAN

NEG

ARA

DA

N H

IBA

H29

9,66

129

8,52

834

1,39

640

3,36

749

4,55

263

7,79

972

3,05

8I.

Pend

apat

an D

alam

Neg

eri

299,

183

298,

528

340,

928

403,

105

493,

247

635,

927

720,

389

1.Pe

ndap

atan

paj

ak18

4,12

421

0,08

824

2,04

828

0,55

934

7,03

140

9,02

150

9,46

2a.

Paj

ak D

alam

Neg

eri

174,

557

199,

512

230,

934

267,

817

331,

792

395,

785

494,

592

i. Pa

jak

Peng

hasil

an

94,5

7610

1,87

311

5,01

611

9,51

517

5,54

120

8,83

426

1,69

8- N

on-M

inya

k &

gas

71,4

7484

,404

96,0

5396

,568

140,

398

165,

644

220,

457

- Min

yak

& ga

s 23

,102

17,4

6918

,963

22,9

4735

,143

43,1

9041

,242

ii. P

ajak

Pen

jual

an (V

AT)

55,9

5765

,153

77,0

8110

2,57

310

1,29

612

3,02

816

1,04

4iii

. Paj

ak B

umi d

an B

angu

nan

5,24

66,

228

8,76

211

,767

16,2

1720

,684

21,2

67iv

. Bea

Bal

ik N

ama

Tana

h da

n Ba

ngun

an1,

600

2,14

42,

918

3,43

23,

179

5,39

0v.

Cuka

i 17

,394

23,1

8926

,277

29,1

7233

,256

37,7

7242

,035

vi.

Paja

k la

in-la

in1,

384

1,46

91,

654

1,87

22,

050

2,28

73,

158

b. P

ajak

Per

daga

ngan

Inte

rnas

iona

l 9,

567

10,5

7511

,114

12,7

4215

,239

13,2

3614

,870

i. Pa

jak

Impo

r9,

026

10,3

4410

,885

12,4

4414

,921

12,1

4214

,418

ii. Pa

jak

Eksp

or

541

231

230

298

318

1,09

445

32.

Pen

erim

aan

Non

-Paj

ak

115,

059

88,4

4098

,880

122,

546

146,

216

226,

906

210,

927

a. P

enda

pata

n da

ri Su

mbe

r Day

a Al

am85

,672

64,7

5567

,510

91,5

4311

0,46

916

4,80

414

6,25

7- M

igas

81

,041

60,0

1161

,502

85,2

5910

3,75

615

8,08

713

9,89

3i.

Min

yak

58,9

5047

,686

42,9

6963

,060

72,8

1712

5,14

610

5,36

1ii.

Gas

22,0

9112

,325

18,5

3322

,199

30,9

3932

,941

34,5

31- N

on-m

igas

4,

631

4,74

46,

008

6,28

46,

713

6,71

76,

364

iii. P

erta

mba

ngan

Um

um2,

320

1,45

71,

982

2,54

93,

192

4,11

13,

523

iv. K

ehut

anan

2,

243

3,13

03,

715

3,41

23,

249

2,40

92,

354

v. P

erik

anan

68

157

312

324

272

198

487

b. L

aba

BUM

N8,

837

9,76

012

,617

9,81

812

,962

22,9

7319

,100

c. P

enda

pata

n no

n-pa

jak

lain

-lain

(PN

BP)

20,5

5013

,925

18,7

5421

,185

22,7

8639

,129

45,5

70II.

Hib

ah47

80

468

262

1,30

51,

873

2,66

9B.

PEN

GEL

UA

RAN

34

1,56

331

5,63

437

6,50

542

6,71

550

8,93

966

9,88

176

3,57

1I.

Peng

elua

ran

pem

erin

tah

pusa

t 26

0,50

821

7,43

025

6,19

129

6,99

235

6,97

144

3,51

050

4,77

61.

Bel

anja

Peg

awai

38

,713

39,4

8047

,662

52,7

4356

,136

72,2

3810

1,20

22.

Bel

anja

Bar

ang

9,93

112

,777

14,9

9215

,518

30,5

5546

,944

72,1

863.

Mod

al P

enge

luar

an33

,908

59,6

0573

,130

4. P

emba

yara

n Bu

nga

87,1

4281

,122

65,3

5162

,485

57,8

8178

,910

85,0

87 a

. Dal

am n

eger

i58

,197

62,2

6146

,356

39,5

5443

,496

54,7

7858

,422

b. L

uar N

eger

i28

,945

18,8

6118

,995

22,9

3114

,155

24,1

3226

,665

5. S

ubsid

i77

,443

43,6

2843

,899

91,5

2912

1,07

610

7,46

310

2,92

4a.

BBM

68,3

8131

,162

30,0

3869

,025

95,6

6164

,212

61,8

38b.

Non

-BBM

9,06

312

,466

13,8

6122

,592

25,0

4743

,251

41,0

86

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 168

LAMPIRAN

(Rp

mili

ar)

FY01

FY02

FY03

FY04

(LKP

P)FY

05 (L

KPP)

FY06

(P

relim

inar

y)FY

07

(APB

N)

6. H

Ibah

00

7. B

antu

an S

osia

l27

,003

43,2

5451

,409

8. L

ain-

lain

5,69

43,

099

15,0

4213

,738

30,4

1235

,095

18,8

389.

Tra

nsfe

r ke

Dae

rah

010

. Pem

bang

unan

Pen

gelu

aran

41,5

8537

,325

69,2

4760

,979

00

a. P

embi

ayaa

n Ru

piah

21

,371

25,6

0850

,345

47,9

870

0Tr

ansf

er M

odal

ke

Dae

rah

0An

ggar

an p

emer

inta

h pu

sat

21,3

7125

,608

50,3

4547

,987

0b.

Pem

biay

aan

Proy

ek d

enga

n Pi

njam

an A

sing

20,2

1411

,717

18,9

0212

,992

0II.

TTr

ansf

er k

e D

aera

h81

,054

98,2

0412

0,31

412

9,72

315

1,96

822

6,37

125

8,79

51.

Dan

a pe

rimba

ngan

81

,054

94,6

5711

1,07

012

2,86

814

4,72

622

2,32

225

0,34

3a.

Bag

i Has

il Pe

ndap

atan

20,0

0824

,884

31,3

7036

,700

51,1

9765

,107

68,4

61b.

Dan

a Al

okas

i U

mum

60,3

4669

,159

76,9

7882

,131

88,7

6514

5,64

916

4,78

7c.

Dan

a Al

okas

i Khu

sus

701

613

2,72

34,

036

4,76

411

,566

17,0

942.

Dan

a ot

onom

i khu

sus &

pen

yesu

aian

3,54

89,

244

6,85

57,

243

4,04

98,

452

C. S

ALD

O P

RIM

ER45

,241

64,0

1530

,241

39,1

3643

,494

46,8

2844

,574

D. S

URP

LUS

/ DEF

ISIT

-4

1,90

2-1

7,10

7-3

5,10

9-2

3,34

9-1

4,38

6-3

2,08

1-4

0,51

3E.

PEM

BIAY

AA

N B

ERSI

H41

,902

25,2

4732

,662

20,3

6310

,082

32,9

1440

,513

I. Pe

mbi

ayaa

n D

alam

Neg

eri ,

net

to31

,445

25,1

6432

,115

48,8

5319

,145

52,2

4455

,068

1. P

erba

nkan

Dal

am N

eger

i 0

08,

258

22,7

13-2

,550

15,2

9412

,962

2. N

on-p

erba

nkan

31

,445

25,1

6423

,857

26,1

4121

,695

36,9

5042

,106

a. P

rivat

isasi

3,46

57,

665

7,30

13,

519

040

02,

000

b. R

estr

uktu

risas

i Per

bank

an &

pen

jual

an a

set

27,9

8019

,439

19,6

6115

,751

6,56

42,

684

1,50

0c.

Pen

jual

an o

blig

asi

0-1

,939

-3,1

056,

870

22,5

7535

,867

40,6

06i.

Sura

t Uta

ng P

emer

inta

h (te

rmas

uk O

blig

asi I

nt’l)

01,

991

11,3

1932

,327

47,3

7369

,104

ii. Am

ortis

asi h

utan

g da

lam

neg

eri

0-3

,931

-6,1

66-2

4,45

7-1

9,69

2-2

8,49

8iii

. Bel

i kem

bali

-8,2

58-1

,000

-5,6

730

d. F

asili

tas M

ortg

age

/par

tisip

asi m

odal

-7

,444

-2,0

00-2

,000

II. P

embi

ayaa

n Lu

ar N

eger

i, ne

tto

10,4

5783

548

-28,

490

-9,0

62-1

9,33

0-1

4,55

51.

Pin

jam

an L

uar N

eger

i26

,342

18,8

8720

,360

18,0

0128

,050

33,3

9240

,275

a. P

inja

man

Pro

gram

6,41

67,

170

1,79

25,

059

12,2

6513

,580

16,2

75b.

Pin

jam

an P

roye

k19

,926

11,7

1718

,568

12,9

4215

,785

19,8

1324

,000

2. A

mor

tisas

i-1

5,88

5-1

8,80

4-1

9,81

2-4

6,49

1-3

7,11

2-5

2,72

2-5

4,83

0F.

PEM

BIAY

AA

N K

OTO

R57

,786

39,8

4169

,345

95,2

9676

,864

84,8

0312

3,84

1Su

mbe

r: pe

rkira

an st

af B

ank

Dun

ia b

erda

sark

an d

ata

SIKD

dan

dat

a da

ri D

epKe

u.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 169

LAMPIRAN

Tabe

l C.

7. R

ealis

asi A

ngga

ran

Pem

erin

tah

Pusa

t

(% G

DP)

FY01 (%

)FY

02 (%)

FY03 (%

)FY

04 (L

KPP) (%

)FY

05 (L

KPP) (%

)FY

06 (P

relim

inar

y)(%

)FY

07

(APB

N)

(%)

A. P

END

APA

TAN

NEG

ARA

& H

IBA

H17

.816

.016

.717

.718

.120

.720

.5I.

Pend

apat

an D

alam

Neg

eri

17.8

16.0

16.7

17.7

18.1

20.7

20.4

1.Pe

ndap

atan

paj

ak10

.911

.311

.812

.312

.713

.314

.4a.

Paj

ak D

alam

Neg

eri

10.4

10.7

11.3

11.8

12.2

12.9

14.0

i. Pa

jak

Peng

hasil

an

5.6

5.5

5.6

5.3

6.4

6.8

7.4

- Non

-Min

yak

& ga

s 4.

24.

54.

74.

25.

15.

46.

2- M

inya

k &

gas

1.4

0.9

0.9

1.0

1.3

1.4

1.2

ii. P

ajak

Pen

jual

an (V

AT)

3.3

3.5

3.8

4.5

3.7

4.0

4.6

iii. P

ajak

Bum

i dan

Ban

guna

n 0.

30.

30.

40.

50.

60.

70.

6iv

. Bea

Bal

ik N

ama

Tana

h da

n Ba

ngun

an0.

10.

10.

10.

10.

10.

2v.

Cuka

i 1.

01.

21.

31.

31.

21.

21.

2vi

. Pa

jak

lain

-lain

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

0.1

b. P

ajak

Per

daga

ngan

Inte

rnas

iona

l 0.

60.

60.

50.

60.

60.

40.

4i.

Paja

k Im

por

0.5

0.6

0.5

0.5

0.5

0.4

0.4

ii. Pa

jak

Eksp

or

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

2. P

ener

imaa

n N

on-P

ajak

6.

84.

74.

85.

45.

47.

46.

0a.

Pen

dapa

tan

dari

Sum

ber D

aya

Alam

5.1

3.5

3.3

4.0

4.0

5.4

4.1

- Mig

as

4.8

3.2

3.0

3.8

3.8

5.1

4.0

i. M

inya

k3.

52.

62.

12.

82.

74.

13.

0ii.

Gas

1.3

0.7

0.9

1.0

1.1

1.1

1.0

- Non

-mig

as

0.3

0.3

0.3

0.3

0.2

0.2

0.2

iii. P

erta

mba

ngan

Um

um0.

10.

10.

10.

10.

10.

10.

1iv

. Keh

utan

an

0.1

0.2

0.2

0.2

0.1

0.1

0.1

v. P

erik

anan

0.

00.

00.

00.

00.

00.

00.

0b.

Lab

a BU

MN

0.5

0.5

0.6

0.4

0.5

0.7

0.5

c. P

enda

pata

n no

n-pa

jak

lain

-lain

(PN

BP)

1.2

0.7

0.9

0.9

0.8

1.3

1.3

II. H

ibah

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.1

0.1

B. P

ENG

ELU

ARA

N20

.316

.918

.418

.818

.621

.821

.6I.

Peng

elua

ran

pem

erin

tah

pusa

t 15

.511

.712

.513

.113

.114

.414

.31.

Bel

anja

Peg

awai

2.

32.

12.

32.

32.

12.

32.

92.

Bel

anja

Bar

ang

0.6

0.7

0.7

0.7

1.1

1.5

2.0

3. M

odal

Pen

gelu

aran

1.2

1.9

2.1

4. P

emba

yara

n Bu

nga

5.2

4.4

3.2

2.7

2.1

2.6

2.4

a. D

alam

neg

eri

3.5

3.3

2.3

1.7

1.6

1.8

1.7

b. L

uar N

eger

i1.

71.

00.

91.

00.

50.

80.

85.

Sub

sidi

4.6

2.3

2.1

4.0

4.4

3.5

2.9

a. B

BM4.

11.

71.

53.

03.

52.

11.

8b.

Non

-BBM

0.5

0.7

0.7

1.0

0.9

1.4

1.2

6. H

Ibah

0.0

0.0

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 170

LAMPIRAN

(% G

DP)

FY01 (%

)FY

02 (%)

FY03 (%

)FY

04 (L

KPP) (%

)FY

05 (L

KPP) (%

)FY

06 (P

relim

inar

y)(%

)FY

07

(APB

N)

(%)

7. B

antu

an S

osia

l1.

01.

41.

58.

Lai

n-la

in0.

30.

20.

70.

61.

11.

10.

59.

Tra

nsfe

r ke

Dae

rah

10. P

emba

ngun

an P

enge

luar

an2.

52.

03.

42.

70.

00.

0a.

Pem

biay

aan

Rupi

ah

1.3

1.4

2.5

2.1

0.0

0.0

Tran

sfer

Mod

al k

e D

aera

h0.

0An

ggar

an p

emer

inta

h pu

sat

1.3

1.4

2.5

2.1

0.0

b. P

embi

ayaa

n Pr

oyek

dng

Pin

jam

an A

sing

1.2

0.6

0.9

0.6

0.0

II. T

Tran

sfer

ke

Dae

rah

4.8

5.3

5.9

5.7

5.6

7.4

7.3

1. D

ana

perim

bang

an

4.8

5.1

5.4

5.4

5.3

7.2

7.1

a. B

agi H

asil

Pend

apat

an1.

21.

31.

51.

61.

92.

11.

9b.

Dan

a Al

okas

i U

mum

3.6

3.7

3.8

3.6

3.3

4.7

4.7

c. D

ana

Alok

asi K

husu

s0.

00.

00.

10.

20.

20.

40.

52.

Dan

a ot

onom

i khu

sus &

pen

yesu

aian

0.2

0.5

0.3

0.3

0.1

0.2

C. S

ALD

O P

RIM

ER2.

73.

41.

51.

71.

61.

51.

3D

. SU

RPLU

S / D

EFIS

IT

-2.5

-0.9

-1.7

-1.0

-0.5

-1.0

-1.1

E. P

EMBI

AYA

AN

BER

SIH

2.5

1.4

1.6

0.9

0.4

1.1

1.1

I. Pe

mbi

ayaa

n D

alam

Neg

eri ,

net

to1.

91.

41.

62.

10.

71.

71.

61.

Per

bank

an D

alam

Neg

eri

0.0

0.0

0.4

1.0

-0.1

0.5

0.4

2. N

on-p

erba

nkan

1.

91.

41.

21.

10.

81.

21.

2a.

Priv

atisa

si0.

20.

40.

40.

20.

00.

00.

1b.

Re

stru

ktur

isasi

Perb

anka

n &

penj

uala

n as

et1.

71.

01.

00.

70.

20.

10.

0

c. P

enju

alan

obl

igas

i 0.

0-0

.1-0

.20.

30.

81.

21.

1i. S

urat

Uta

ng P

emer

inta

h (te

rmas

uk O

blig

asi

Int’l

)0.

00.

10.

61.

41.

72.

0

ii. Am

ortis

asi h

utan

g da

lam

neg

eri

0.0

-0.2

-0.3

-1.1

-0.7

-0.8

iii. B

eli k

emba

li-0

.40.

0-0

.20.

0d.

Fas

ilita

s Mor

tgag

e /p

artis

ipas

i mod

al

-0.3

-0.1

-0.1

II. P

embi

ayaa

n Lu

ar N

eger

i, ne

tto

0.6

0.0

0.0

-1.3

-0.3

-0.6

-0.4

1. P

inja

man

Lua

r Neg

eri

1.6

1.0

1.0

0.8

1.0

1.1

1.1

a. P

inja

man

Pro

gram

0.4

0.4

0.1

0.2

0.4

0.4

0.5

b. P

inja

man

Pro

yek

1.2

0.6

0.9

0.6

0.6

0.6

0.7

2. A

mor

tisas

i-0

.9-1

.0-1

.0-2

.0-1

.4-1

.7-1

.6F.

PEM

BIAY

AA

N K

OTO

R3.

42.

13.

44.

22.

82.

83.

5Su

mbe

r: pe

rkira

an st

af B

ank

Dun

ia b

erda

sark

an d

ata

SIKD

dan

dat

a da

ri D

epKe

u.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 171

LAMPIRAN

Tabe

l C.

8. A

ngga

ran

Pem

erin

tah

Pusa

t, Pr

ovin

si, d

an K

abup

aten

/Kot

a

(Rp

mily

ar)

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

(E)

2006

(P)

2007

(P)

I. PE

MER

INTA

H P

USA

T

Pene

rim

aan

164

,412

70,8

5287

,630

112,

275

146,

872

204,

422

205,

335

299,

661

298,

528

341,

396

400,

589

495,

446

63

7,79

9

723,

058

Peng

elua

ran

262

,501

65,3

4182

,220

109,

301

172,

670

201,

943

188,

391

341,

563

315,

529

376,

505

423,

975

508,

938

66

9,88

0

763,

571

T

rans

fer k

e D

aera

h3

20,2

9520

,926

24,6

9828

,436

40,2

2542

,387

50,1

3981

,054

98,2

0412

0,31

413

0,04

515

1,96

8

226,

371

25

8,79

5

Pen

gelu

aran

Sen

diri

442

,206

44,4

1557

,522

80,8

6613

2,44

515

9,55

613

8,25

326

0,50

821

7,32

525

6,19

129

3,93

035

6,97

0

443,

509

50

4,77

6 - P

enge

luar

an R

utin

519

,683

22,9

8930

,625

53,0

7990

,878

114,

369

112,

438

218,

923

180,

106

186,

944

232,

951

296,

059

34

0,65

0

377,

277

- Pen

gelu

aran

Pem

bang

unan

622

,523

21,4

2626

,897

27,7

8741

,567

45,1

8725

,815

41,5

8537

,220

69,2

4760

,979

60,9

11

102,

860

12

7,49

9

Sald

o7

1,91

15,

511

5,41

02,

974

-25,

798

2,47

916

,944

-41,

902

-17,

001

-35,

109

-23,

386

-13,

492

(32,

081)

(4

0,51

3)

II.

PRO

VIN

SI

Pend

apat

an8

9,00

510

,258

11,3

5412

,093

8,58

611

,693

8,83

025

,485

32,9

7239

,703

46,0

01

54,

254

7

5,57

8

83,

848

T

rans

fers

dar

i pus

at9

6,00

06,

409

7,04

37,

445

5,49

27,

324

5,86

314

,447

16,6

0718

,843

19,8

2323

,165

3

4,50

6

39,

448

P

enda

pata

n As

li10

3,00

53,

849

4,31

14,

648

3,09

44,

369

2,96

711

,038

16,3

6520

,861

26,1

7831

,089

4

1,07

2

44,

400

Peng

elua

ran

118,

986

10,6

0012

,384

12,8

958,

003

11,5

627,

739

23,1

0932

,252

39,7

5143

,335

51,1

09

71,

198

7

8,98

9

Tran

sfer

ke

pe

mer

inta

h ba

wah

an12

00

00

00

02,

458

3,02

95,

854

10,9

300

-

-

P

enge

luar

an se

ndiri

138,

986

10,6

0012

,384

12,8

958,

003

11,5

627,

739

20,6

5129

,222

33,8

9732

,404

38,2

18

53,

240

5

9,06

5 - P

enge

luar

an R

utin

145,

938

6,76

07,

581

8,04

44,

779

6,73

93,

748

12,2

0814

,530

13,1

6012

,873

15,1

83

21,

151

2

3,46

5 - P

enge

luar

an e

mba

ngun

an

153,

048

3,84

04,

803

4,85

13,

224

4,82

33,

991

8,44

314

,693

20,7

3819

,531

23,0

35

32,

089

3

5,60

0 Sa

ldo

1619

-342

-1,0

30-8

0258

313

01,

091

2,37

572

0-4

82,

666

III. K

abu

PaTe

n/K

oTa

Pe

ndap

atan

179,

669

11,3

0713

,136

15,4

7120

,828

27,1

5327

,102

78,6

9993

,381

115,

236

122,

121

144

,302

206,

843

23

6,47

9

Tra

nsfe

rs d

ari p

usat

188,

388

9,71

811

,260

13,3

7418

,404

24,0

8224

,118

70,6

0981

,217

97,1

5310

1,93

511

9,11

9

177,

440

20

2,85

5

Pen

dapa

tan

Asli

191,

280

1,58

91,

876

2,09

72,

423

3,07

12,

984

8,08

912

,164

18,0

8320

,186

25,1

83

29,

404

3

3,62

5 Pe

ngel

uara

n20

9,70

111

,432

13,2

9515

,649

20,2

3327

,203

29,5

8171

,625

89,8

8811

5,27

911

8,95

914

0,56

6

201,

487

23

0,35

6 - P

enge

luar

an R

utin

215,

027

6,17

97,

289

8,73

213

,690

18,6

9518

,777

49,1

7058

,738

72,1

2879

,115

93,4

85

134,

002

15

3,20

1 - P

enge

luar

an e

mba

ngun

an

224,

674

5,25

26,

007

6,91

76,

543

8,50

810

,804

22,4

5431

,150

43,1

5139

,844

47,0

81

67,

486

7

7,15

5 Sa

ldo

23-3

2-1

24-1

59-1

7859

5-5

0-2

,479

7,07

43,

493

-44

3,16

23,

737

5,3

56

6,1

23

18,6

8622

,031

25,6

8028

,544

28,2

3638

,766

37,3

2094

,734

122,

139

155,

031

162,

293

191,

675

27

2,68

5

309,

345

IV. A

GRE

GAT

AN

GG

ARA

N

Pe

ndap

atan

Pe

mer

inta

h pu

sat

168

,697

76,2

9093

,818

119,

020

152,

389

211,

862

211,

285

318,

788

327,

057

380,

339

446,

953

551,

719

70

8,27

5

801,

083

Prov

insi

1064

,412

70,8

5287

,630

112,

275

146,

872

204,

422

205,

335

299,

661

298,

528

341,

396

400,

589

495,

446

63

7,79

9

723,

058

Kabu

pate

n/ko

ta19

3,00

53,

849

4,31

14,

648

3,09

44,

369

2,96

711

,038

16,3

6520

,861

26,1

7831

,089

4

1,07

2

44,

400

Peng

elua

ran

1,28

01,

589

1,87

62,

097

2,42

33,

071

2,98

48,

089

12,1

6418

,083

20,1

8625

,183

2

9,40

4

33,

625

Peng

elua

ran

Rutin

60,8

9366

,446

83,2

0110

9,40

916

0,68

119

8,32

217

5,57

235

2,78

433

6,43

540

5,36

844

5,29

353

5,75

4

698,

237

79

4,19

8 Pe

ngel

uara

n Pe

mba

ngun

an30

,647

35,9

2845

,494

69,8

5410

9,34

713

9,80

413

4,96

228

0,30

225

3,37

327

2,23

232

4,93

940

4,72

7

495,

802

55

3,94

4 Pe

mer

inta

h pu

sat

430

,245

30,5

1837

,707

39,5

5551

,333

58,5

1840

,610

72,4

8283

,062

133,

136

120,

354

131,

027

20

2,43

4

240,

254

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 172

LAMPIRAN

(Rp

mily

ar)

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

(E)

2006

(P)

2007

(P)

- Pen

gelu

aran

Rut

in5

42,2

0644

,415

57,5

2280

,866

132,

445

159,

556

138,

253

260,

508

217,

325

256,

191

293,

930

356,

970

44

3,50

9

504,

776

- Pen

gelu

aran

em

bang

unan

6

19,6

8322

,989

30,6

2553

,079

90,8

7811

4,36

911

2,43

821

8,92

318

0,10

618

6,94

423

2,95

129

6,05

9

340,

650

37

7,27

7 Pr

ovin

si13

22,5

2321

,426

26,8

9727

,787

41,5

6745

,187

25,8

1541

,585

37,2

2069

,247

60,9

7960

,911

10

2,86

0

127,

499

- Pen

gelu

aran

Rut

in14

8,98

610

,600

12,3

8412

,895

8,00

311

,562

7,73

920

,651

29,2

2233

,897

32,4

0438

,218

5

3,24

0

59,

065

- Pen

gelu

aran

em

bang

unan

15

5,93

86,

760

7,58

18,

044

4,77

96,

739

3,74

812

,208

14,5

3013

,160

12,8

7315

,183

2

1,15

1

23,

465

Kabu

pate

n20

3,04

83,

840

4,80

34,

851

3,22

44,

823

3,99

18,

443

14,6

9320

,738

19,5

3123

,035

3

2,08

9

35,

600

- Pen

gelu

aran

Rut

in21

9,70

111

,432

13,2

9515

,649

20,2

3327

,203

29,5

8171

,625

89,8

8811

5,27

911

8,95

914

0,56

6

201,

487

23

0,35

6 - P

enge

luar

an e

mba

ngun

an

225,

027

6,17

97,

289

8,73

213

,690

18,6

9518

,777

49,1

7058

,738

72,1

2879

,115

93,4

85

134,

002

15

3,20

1 Sa

ldo

4,67

45,

252

6,00

76,

917

6,54

38,

508

10,8

0422

,454

31,1

5043

,151

39,8

4447

,081

6

7,48

6

77,

155

Pem

erin

tah

pusa

t7,

805

9,84

410

,616

9,61

1-8

,292

13,5

4035

,713

-33,

996

-9,3

78-2

5,02

83,

162

3,73

7

5

,356

6

,123

Pr

ovin

si22

,206

26,4

3830

,109

31,4

1014

,427

44,8

6667

,082

39,1

5381

,203

85,2

0510

6,65

913

8,47

6

194,

290

21

8,28

2 Ka

bupa

ten

-5,9

81-6

,751

-8,0

73-8

,247

-4,9

09-7

,194

-4,7

72-9

,613

-12,

858

-13,

037

-6,2

26-7

,129

(1

2,16

7)

(14,

665)

Sum

ber:

perk

iraan

staf

Ban

k D

unia

ber

dasa

rkan

dat

a da

ri D

epKe

u.

Tabe

l C.

9. A

ngga

ran

Pem

erin

tah

Pusa

t, Pr

ovin

si, d

an K

abup

aten

/Kot

a

Pem

bagi

an19

94 (%)

1995 (%

)19

96 (%)

1997 (%

)19

98 (%)

1999 (%

)20

00

(%)

2001 (%

)20

02 (%)

2003 (%

)20

04 (%)

2005

(E)

(%)

2006

(P)

(%)

2007

(P)

(%)

Pend

apat

an10

010

010

010

010

010

010

010

010

010

010

010

010

010

0- P

emer

inta

h pu

sat

9493

9394

9696

9794

9190

9090

9090

- Pro

vins

i4

55

42

21

35

56

66

6- K

abup

aten

22

22

21

13

45

55

44

Peng

elua

ran

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

- Rut

in P

enge

luar

an50

5455

6468

7077

7975

6773

7671

70- P

emba

ngun

an P

enge

luar

an50

4645

3632

3023

2125

3327

2429

30Pe

mer

inta

h pu

sat

6967

6974

8280

7974

6563

6667

6464

- Pen

gelu

aran

Rut

in32

3537

4957

5864

6254

4652

5549

48- P

enge

luar

an P

emba

ngun

an37

3232

2526

2315

1211

1714

1115

16Pr

ovin

si15

1615

125

64

69

87

78

7- P

enge

luar

an R

utin

1010

97

33

23

43

33

33

- Pen

gelu

aran

Pem

bang

unan

56

64

22

22

45

44

54

Kabu

pate

n16

1716

1413

1417

2027

2827

2629

29- P

enge

luar

an R

utin

89

98

99

1114

1718

1817

1919

- Pen

gelu

aran

Pem

bang

unan

88

76

44

66

911

99

1010

Sald

o, %

dar

i bel

anji

nasi

oanl

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

- Pem

erin

tah

pusa

t36

4036

299

2338

1124

2124

2628

27- P

rovi

nsi

-10

-10

-10

-8-3

-4-3

-3-4

-3-1

-1-2

-2- K

abup

aten

-14

-15

-14

-12

-11

-12

-15

-18

-23

-24

-22

-22

-25

-25

Sum

ber:

Perk

iraan

staf

Ban

k D

unia

ber

dasa

rkan

dat

a D

epKe

u.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 173

LAMPIRAN

Tabe

l C.

10.A

ngga

ran

Pem

erin

tah

Pusa

t, Pr

ovin

si, d

an K

abup

aten

/Kot

a se

baga

i Per

sent

asi d

ari G

DP

Pem

bagi

an d

alam

PD

B19

94 (%)

1995 (%

)19

96 (%)

1997 (%

)19

98 (%)

1999 (%

)20

00 (%)

2001 (%

)20

02 (%)

2003 (%

)20

04 (%)

2005

(E)

(%)

2006

(P)

(%)

2007

(P)

(%)

Pend

apat

an17

1616

1614

1720

2319

2022

2426

24- P

emer

inta

h pu

sat

1615

1515

1317

1922

1818

2022

2322

- Pro

vins

i1

11

10

00

11

11

12

1- K

abup

aten

00

00

00

01

11

11

11

Peng

elua

ran

1514

1415

1516

1625

2022

2224

2624

- Rut

in P

enge

luar

an8

78

1010

1113

2015

1516

1818

17- P

emba

ngun

an P

enge

luar

an7

66

55

54

55

76

67

7Pe

mer

inta

h pu

sat

109

1011

1213

1319

1314

1416

1615

- Pen

gelu

aran

Rut

in5

55

78

911

1611

1011

1312

11- P

enge

luar

an P

emba

ngun

an6

45

44

42

32

43

34

4Pr

ovin

si2

22

21

11

12

22

22

2- P

enge

luar

an R

utin

11

11

01

01

11

11

11

- Pen

gelu

aran

Pem

bang

unan

11

11

00

01

11

11

11

Kabu

pate

n2

22

22

23

55

66

67

7- P

enge

luar

an R

utin

11

11

12

24

34

44

55

- Pen

gelu

aran

Pem

bang

unan

11

11

11

12

22

22

22

Sald

o2

22

1-1

13

-2-1

-10

00

0- P

emer

inta

h pu

sat

55

54

14

63

55

56

77

- Pro

vins

i-1

-1-1

-10

-10

-1-1

-10

00

0- K

abup

aten

-2-2

-2-2

-2-2

-2-5

-5-5

-5-5

-6-6

PDB

Nom

inal

(Rp

trili

un)

407

485

581

735

1096

1219

1066

1390

1684

1863

2046

2273

2730

3316

Sum

ber:

Perk

iraan

staf

Ban

k D

unia

ber

dasa

rkan

dat

a D

epKe

u.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 174

LAMPIRAN

Tabe

l C.

11. J

umla

h Pe

mer

inta

h D

aera

h ya

ng M

elap

orka

n A

ngga

ran

Mer

eka

1994

/95

1995

/96

1996

/97

1997

/98

1998

/99

1999

- 20

0020

0020

0120

0220

0320

04

Jum

lah

Prop

insi*

2626

2626

2626

3030

3030

32Ju

mla

h ka

bupa

ten/

kota

**29

229

229

229

229

229

233

233

634

837

041

0

Jum

lah

Prop

insi

yan

g m

enye

rahk

an A

PBD

m

erek

a26

2626

2626

2625

2930

2828

Form

at L

ama

Pend

apat

an

2930

141

Rutin

2930

141

Peng

elua

ran

2830

141

Form

at B

aru

Pend

apat

an

29-

1427

Peng

elua

ran

29-

1427

Pend

anaa

n28

-13

27

Jum

lah

kab

upat

en/k

ota

yang

men

yera

hkan

A

PBD

mer

eka

284

285

285

290

291

298

313

330

327

332

346

Form

at L

ama

Pend

apat

an

330

327

137

32Ru

tin32

832

613

732

Peng

elua

ran

327

320

134

32Fo

rmat

Bar

uPe

ndap

atan

-

-19

831

4Pe

ngel

uara

n-

-19

731

4Pe

ndan

aan

--

190

302

Sum

ber:

Perk

iraan

staf

Ban

k D

unia

ber

dasa

rkan

dat

a D

epKe

u da

n SI

KD.

Cata

tan:

:* Ti

dak

term

asuk

Tim

or T

imur

(199

4-97

) *

*Tot

al ti

dak

term

asuk

13

kabu

pate

n/ko

ta d

i Tim

or T

imur

(199

4-97

) dan

DKI

Jaka

rta,

ber

dasa

rkan

dat

abas

e W

orld

Ban

k Ja

kart

a te

ntan

g de

sent

ralis

asi,

jum

lah

resm

i kab

upat

en/k

ota

sebe

lum

des

entr

alisa

si

(199

4-99

) ses

uai d

enga

n U

U a

dala

h 29

2. Te

tapi

, kab

upat

en/k

ota

yang

mun

cul d

alam

dat

a an

ggar

an (

dari

BPS)

ber

beda

dar

i tah

un k

e ta

hun.

Pad

a 20

00, j

umla

h ka

bupa

ten/

kota

tida

k je

las k

aren

a ad

a se

jum

lah

kabu

pate

n/ko

ta b

aru

yang

ber

diri

sela

ma

perio

de in

i. Ju

mla

h ka

bupa

ten/

sete

lah

dese

ntra

lisas

i ber

asal

dar

i jum

lah

kabu

pate

n/ko

ta y

ang

men

erim

a D

AU ti

ap ta

hun.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 175

LAMPIRAN

Tabe

l C.

12. A

ngga

ran

Pem

erin

tah

Prov

insi

(Rp

trili

un)

1994

/95

1995

/96

1996

/97

1997

/98

1998

/99

1999

- 2

000

2000

2001

2002

2003

2004

Pend

apat

an- P

enda

pata

n As

li D

aera

h2,

977

3,80

84,

280

4,60

63,

074

4,36

42,

965

10,0

0514

,232

17,7

9822

,696

- Dan

a Pe

rimba

ngan

6,00

06,

409

7,04

37,

445

5,49

27,

324

5,86

314

,447

16,6

0718

,843

19,8

23- B

agi H

asil

Paja

k 47

557

273

177

31,

071

1,27

753

04,

348

5,11

96,

546

8,75

9- B

agi H

asil

Pene

rimaa

n Su

mbe

r Day

a A

lam

275

412

454

501

811

896

747

3,36

63,

972

3,60

82,

833

- Sub

sidi D

aera

h O

tono

m /S

DO

4,00

34,

128

4,43

64,

555

1,79

12,

218

1,57

80

00

0- D

ana

Inpr

es1,

246

1,29

81,

421

1,61

61,

819

2,93

33,

008

00

00

- DAU

00

00

00

06,

575

7,35

48,

345

8,21

7- D

AK0

00

00

00

158

162

344

13- P

enda

pata

n La

in-la

in28

4131

4220

52

1,03

32,

133

3,06

23,

482

Tota

l Pen

dapa

tan

9,00

510

,258

11,3

5412

,093

8,58

611

,693

8,83

025

,485

32,9

7239

,703

46,0

01

Peng

elua

ran

Rutin

- Bag

ian

Adm

inist

rasi

Pem

erin

taha

n U

mum

--

--

--

-6,

759

6,97

46,

506

7,34

2- B

agia

n Pe

kerja

an U

mum

--

--

--

-98

41,

071

643

787

- Bag

ian

Perh

ubun

gan

--

--

--

-21

829

128

927

0- B

agia

n Ke

seha

tan

Um

um-

--

--

--

1,17

71,

448

1,35

91,

248

- Bag

ian

Pend

idik

an d

an K

ebud

ayaa

n-

--

--

--

580

1,35

378

579

7- B

agia

n Pe

rum

ahan

, Ten

aga

Kerja

, da

n So

sial

--

--

--

-38

854

477

672

1- B

agia

n Pe

rtan

ian,

Keh

utan

an, P

erke

buna

n, P

eter

naka

n, P

erik

anan

, dan

Ko

pera

si-

--

--

--

677

802

914

968

- Bag

ian

Indu

stri,

Per

daga

ngan

, dan

Per

tam

bang

an

--

--

--

-15

527

133

626

6- P

ensiu

n da

n Ba

ntua

n -

--

--

--

8227

229

0- S

ubsid

i pad

a D

aera

h Ba

wah

an-

--

--

--

2,45

83,

029

5,85

410

,930

- Pen

gelu

aran

Rut

in L

ain

--

--

--

-1,

188

1,74

81,

322

475

Tota

l Pen

gelu

aran

Rut

in-

--

--

--

14,6

6717

,559

19,0

1423

,804

Peng

elua

ran

Rutin

(Kl

asifi

kasi

Eko

nom

i)- B

elan

ja P

egaw

ai

3,98

54,

216

4,53

74,

711

1,93

12,

395

1,53

25,

805

5,82

66,

659

8,78

2- P

enge

luar

an B

aran

g63

370

283

991

589

71,

284

791

2,61

13,

419

2,75

32,

414

- Pen

gelu

aran

Ope

rasio

nal &

Pem

elih

araa

n 34

946

549

950

133

249

515

51,

110

1,35

278

161

5- P

enge

luar

an P

erja

lana

n D

inas

73

9010

311

311

314

412

919

728

741

353

9- P

enge

luar

an L

ain-

Lain

413

561

668

747

540

642

517

1,21

61,

871

1,00

249

- Pen

gelu

aran

Tid

ak Te

rmas

uk B

agia

n La

in

191

259

363

411

414

1,08

762

31,

188

1,74

81,

322

475

- Pen

siun,

Ban

tuan

dan

subs

idi

292

467

573

646

552

693

082

00

0- P

ensiu

n, d

an B

antu

an

00

00

00

00

2722

90

- Sub

sidi K

epad

a D

aera

h Ba

wah

an0

00

00

00

2,45

83,

029

5,85

410

,930

Tota

l5,

938

6,76

07,

581

8,04

44,

779

6,73

93,

748

14,6

6717

,559

19,0

1423

,804

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 176

LAMPIRAN

(Rp

trili

un)

1994

/95

1995

/96

1996

/97

1997

/98

1998

/99

1999

- 2

000

2000

2001

2002

2003

2004

Peng

elua

ran

Pem

bang

unan

(12

Sek

tor)

- Sek

tor A

para

tur N

egar

a 1,

003

1,41

11,

833

1,83

01,

154

1,09

573

31,

587

3,58

56,

980

5,03

9- S

ekto

r Per

tani

an d

an K

ehut

anan

10

912

415

415

116

125

829

355

168

679

985

5- S

ekto

r Per

tam

bang

an d

an E

nerg

i21

2624

2110

2219

3698

241

176

- Se

ktor

Ind

ustr

i, Pe

rdag

anga

n, P

emba

ngun

an

Usa

ha D

aera

h, d

an

Keua

ngan

217

169

211

263

130

386

290

787

1,19

067

045

3

- Sek

tor T

enag

a Ke

rja14

1722

2419

2519

6291

113

173

- Se

ktor

Kes

ehat

an, K

esej

ahte

raan

Sos

ial,

Pem

berd

ayaa

n Pe

rem

puan

, An

ak-a

nak,

dan

Pem

uda

108

141

178

152

111

367

519

767

1,16

61,

717

1,98

7

- Sek

tor P

endi

dika

n, K

ebud

ayaa

n, d

an A

gam

a 27

736

753

644

621

556

149

91,

363

2,64

63,

137

3,01

8- S

ekto

r Lin

gkun

gan

dan

Tata

Rua

ng50

6275

102

8113

313

428

641

169

856

6- S

ekto

r Pem

bang

unan

Wila

yah,

Per

umah

an, d

an P

emuk

iman

38

042

555

955

726

550

629

171

81,

135

1,30

61,

117

- Sek

tor S

umbe

r Day

a Ai

r, Iri

gasi,

dan

Per

hubu

ngan

821

1,03

71,

150

1,24

51,

045

1,42

41,

156

2,18

43,

469

4,84

15,

893

- Sek

tor K

epen

dudu

kan

dan

Kelu

arga

Ber

enca

na5

45

65

45

1952

6083

- Par

iwisa

ta d

an Te

leko

mun

ikas

i44

5758

5328

4232

8316

317

517

1To

tal P

enge

luar

an P

emba

ngun

an3,

048

3,84

04,

803

4,85

13,

224

4,82

33,

991

8,44

314

,693

20,7

3819

,531

Peng

elua

ran

Pem

bang

unan

(8

Sekt

or)

- Adm

inist

rasi

Um

um K

epem

erin

taha

n1,

096

1,53

01,

965

1,98

61,

263

1,27

00

1,95

54,

160

7,93

95,

957

- Bag

ian

Peke

rjaan

Um

um

129

197

236

241

278

387

040

864

02,

387

5,10

4- B

agia

n Pe

rhub

unga

n69

284

091

41,

005

767

1,03

70

1,77

62,

830

2,45

478

9- B

agia

n Ke

seha

tan

Um

um71

9711

610

466

298

056

892

41,

462

1,75

2- B

agia

n Pe

ndid

ikan

dan

Keb

uday

aan

277

367

536

446

215

561

01,

363

2,64

63,

137

3,01

8- B

agia

n Pe

rum

ahan

, Per

buru

han,

dan

Sos

ial

435

491

648

635

334

604

099

81,

520

1,68

31,

525

- Bag

ian

Pert

ania

n, K

ehut

anan

, Per

kebu

nan,

Pet

erna

kan,

Per

ikan

an, d

an

Kope

rasi

140

140

172

175

172

280

066

282

394

494

9

- Bag

ian

Indu

stri,

Per

daga

ngan

, dan

Per

tam

bang

an20

817

921

726

012

938

70

713

1,15

173

143

6To

tal

3,04

83,

840

4,80

34,

851

3,22

44,

823

08,

443

14,6

9320

,738

19,5

31

Surp

lus

19-3

42-1

,030

-802

583

130

1,09

12,

375

720

-48

2,66

6Su

mbe

r: Pe

rkira

an st

af B

ank

Dun

ia b

erda

sark

an d

ata

dari

Dep

Keu.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 177

LAMPIRAN

Tabe

l C.

13. P

emer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

Ang

gara

n

(Rp

trili

un)

1994

/95

1995

/96

1996

/97

1997

/98

1998

/99

1999

- 20

0020

0020

0120

0220

0320

04

Pend

apat

an- P

enda

pata

n As

li D

aera

h1,

219

1,51

31,

757

1,96

22,

362

2,79

12,

640

5,26

77,

439

8,70

710

,131

- Dan

a Pe

rimba

ngan

8,38

89,

718

11,2

6013

,374

18,4

0424

,082

24,1

1870

,609

81,2

1797

,153

101,

935

- Bag

i Has

il Pa

jak

1,34

91,

541

1,94

02,

123

2,45

92,

874

2,73

15,

849

7,55

110

,228

13,7

06- B

agi H

asil

Pene

rimaa

n Su

mbe

r Day

a A

lam

176

267

305

330

389

534

535

8,57

59,

566

11,0

608,

773

- Sub

sidi D

aera

h O

tono

m /S

DO

3,37

24,

197

4,88

85,

987

10,5

1914

,118

13,6

480

00

0- D

ana

Inpr

es3,

490

3,71

34,

127

4,93

55,

037

6,55

57,

138

00

00

- DAU

00

00

00

055

,301

63,3

7772

,416

75,7

94- D

AK0

00

00

00

885

723

3,44

93,

661

- Pen

dapa

tan

Lain

-lain

6176

119

134

6228

034

42,

822

4,72

59,

376

10,0

55To

tal P

enda

pata

n9,

669

11,3

0713

,136

15,4

7120

,828

27,1

5327

,102

78,6

9993

,381

115,

236

122,

121

Peng

elua

ran

Rutin

- B

agia

n Ad

min

istra

si Pe

mer

inta

han

Um

um-

--

--

--

16,4

3417

,615

21,1

7623

,170

- Bag

ian

Peke

rjaan

Um

um-

--

--

--

1,42

42,

015

1,58

61,

357

- Bag

ian

Perh

ubun

gan

--

--

--

-30

244

955

558

3- B

agia

n Ke

seha

tan

Um

um-

--

--

--

3,15

04,

238

4,58

44,

976

- Bag

ian

Pend

idik

an d

an K

ebud

ayaa

n-

--

--

--

23,2

2527

,977

33,0

1735

,204

- Bag

ian

Peru

mah

an, T

enag

a Ke

rja ,

dan

Sosia

l-

--

--

--

398

607

825

871

- Ba

gian

Pe

rtan

ian,

Ke

huta

nan,

Pe

rkeb

unan

, Pe

tern

akan

, Pe

rikan

an, d

an K

oper

asi

--

--

--

-1,

095

1,75

92,

114

2,26

3

- Bag

ian

Indu

stri,

Per

daga

ngan

, dan

Per

tam

bang

an

--

--

--

-25

839

155

553

3- P

ensiu

n da

n Ba

ntua

n -

--

--

--

8771

166

0- S

ubsid

i pad

a D

aera

h Ba

wah

an-

--

--

--

827

952

4,94

38,

476

- Pen

gelu

aran

Rut

in L

ain

--

--

--

-1,

970

2,66

22,

607

1,68

2To

tal P

enge

luar

an R

utin

5,02

76,

179

7,28

98,

732

13,6

9018

,695

18,7

7749

,170

58,7

3872

,128

79,1

15

Peng

elua

ran

Rutin

(Kl

asifi

kasi

Eko

nom

i)- B

elan

ja P

egaw

ai

3,33

74,

019

4,67

75,

748

10,1

6114

,091

13,7

6236

,091

39,9

8649

,585

57,0

95- P

enge

luar

an B

aran

g55

875

192

81,

056

1,32

81,

727

1,82

35,

402

7,60

08,

059

7,54

7- P

enge

luar

an O

pera

siona

l & P

emel

ihar

aan

158

190

226

249

287

358

341

1,08

11,

596

1,80

51,

780

- Pen

gelu

aran

Per

jala

nan

Din

as

9512

113

514

415

820

387

955

391

21,

387

1,58

5- P

enge

luar

an L

ain-

Lain

530

685

796

895

984

1,18

185

03,

160

4,95

93,

576

950

- Pen

gelu

aran

Tid

ak Te

rmas

uk B

agia

n La

in

255

300

377

427

519

775

657

1,97

02,

662

2,60

71,

682

- Pen

siun,

Ban

tuan

dan

subs

idi

9311

414

921

325

236

146

50

00

0- P

ensiu

n, d

an B

antu

an

00

00

00

087

7116

60

- Sub

sidi K

epad

a D

aera

h Ba

wah

an0

00

00

00

827

952

4,94

38,

476

Tota

l5,

027

6,17

97,

289

8,73

213

,690

18,6

9518

,777

49,1

7058

,738

72,1

2879

,115

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 178

LAMPIRAN

(Rp

trili

un)

1994

/95

1995

/96

1996

/97

1997

/98

1998

/99

1999

- 20

0020

0020

0120

0220

0320

04

Peng

elua

ran

Pem

bang

unan

(12

Sek

tor)

- Sek

tor A

para

tur N

egar

a 65

377

198

91,

059

831

1,23

41,

250

3,85

55,

148

10,7

2412

,461

- Sek

tor P

erta

nian

dan

Keh

utan

an

106

122

170

205

250

398

406

1,14

51,

489

1,81

51,

938

- Sek

tor P

erta

mba

ngan

dan

Ene

rgi

2025

2430

2833

4518

831

252

421

2- S

ekto

r Ind

ustr

i, Pe

rdag

anga

n, P

emba

ngun

an U

saha

Dae

rah,

da

n Ke

uang

an20

521

224

324

227

347

11,

995

1,42

12,

158

1,71

067

6

- Sek

tor T

enag

a Ke

rja8

88

936

2819

6415

921

815

0-

Sekt

or

Kese

hata

n,

Kese

jaht

eraa

n So

sial,

Pem

berd

ayaa

n Pe

rem

puan

, Ana

k-an

ak, d

an P

emud

a23

726

231

439

337

742

445

11,

454

1,86

93,

291

3,45

3

- Sek

tor P

endi

dika

n, K

ebud

ayaa

n, d

an A

gam

a 72

777

083

91,

014

1,04

21,

166

1,06

03,

017

4,60

05,

328

4,60

1- S

ekto

r Lin

gkun

gan

dan

Tata

Rua

ng18

720

522

325

722

846

440

867

21,

266

1,25

31,

131

- Sek

tor P

emba

ngun

an W

ilaya

h, P

erum

ahan

, dan

Pem

ukim

an

683

787

869

1,26

01,

461

1,74

02,

306

3,42

44,

546

4,38

62,

435

- Sek

tor S

umbe

r Day

a Ai

r, Iri

gasi,

dan

Per

hubu

ngan

1,74

32,

030

2,25

52,

354

1,92

42,

354

2,69

46,

810

9,09

413

,315

12,2

70- S

ekto

r Kep

endu

duka

n da

n Ke

luar

ga B

eren

cana

1315

1631

3644

3061

122

186

258

- Par

iwisa

ta d

an Te

leko

mun

ikas

i91

4556

6258

152

141

344

388

401

258

Tota

l Pen

gelu

aran

Pem

bang

unan

4,67

45,

252

6,00

76,

917

6,54

38,

508

10,8

0422

,454

31,1

5043

,151

39,8

44

Peng

elua

ran

Pem

bang

unan

(8 S

ecto

r)- A

dmin

istra

si U

mum

Kep

emer

inta

han

932

1,02

11,

268

1,37

81,

117

1,85

00

4,87

16,

801

12,5

1914

,148

- Bag

ian

Peke

rjaan

Um

um

4666

7689

7613

60

755

1,11

57,

488

10,6

69- B

agia

n Pe

rhub

unga

n1,

697

1,96

42,

179

2,26

51,

848

2,21

80

6,05

67,

979

5,82

71,

601

- Bag

ian

Kese

hata

n U

mum

206

229

271

323

278

272

01,

237

1,48

72,

889

3,13

2- B

agia

n Pe

ndid

ikan

dan

Keb

uday

aan

727

770

839

1,01

41,

042

1,16

60

3,01

74,

600

5,32

84,

601

- Bag

ian

Peru

mah

an, P

erbu

ruha

n, d

an S

osia

l73

584

393

61,

370

1,63

21,

964

03,

765

5,20

95,

071

2,92

4

- Ba

gian

Pe

rtan

ian,

Ke

huta

nan,

Pe

rkeb

unan

, Pe

tern

akan

, Pe

rikan

an, d

an K

oper

asi

141

134

179

216

265

423

01,

259

1,76

52,

022

2,07

8

- Bag

ian

Indu

stri,

Per

daga

ngan

, dan

Per

tam

bang

an19

122

525

826

128

547

90

1,49

42,

194

2,00

869

0To

tal

932

1,02

11,

268

1,37

81,

117

1,85

00

4,87

16,

801

12,5

1914

,148

Surp

lus

00

00

00

07,

074

3,49

3-4

43,

162

Sum

ber:

Perk

iraan

staf

Ban

k D

unia

ber

dasa

rkan

dat

a da

ri D

epKe

u.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 179

LAMPIRAN

Tabel C.14. Pemetaan Sektoral PER untuk Pengeluaran Pembangunan dan Rutin

Kategori Sektor Dalam Laporan Ini

Sektor dalam APBN/sub-sektor dan kode nomor untuk belanja

pembangunan dan rutin

Sektor dalam Database Anggaran Pembangunan

Daerah (Berdasarkan Klasifikasi 12 Sektor, kecuali

dinyatakan lain)

Sektor dalam Database Anggaran Rutin Daerah

(Berdasarkan Klasifikasi 8 Sektor kecuali dinyatakan

lain) Pertanian Sektor Pertanian dan Kehutanan

(kode sektor 2).Sektor Pertanian dan Kehutanan (kode sektor 02).

Bagian Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan , dan Koperasi (Kode Bagian 208).

Pendidikan Sektor Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama, pemuda & olahraga (diluar 11.3 dan 11.4) (kode sektor 11), Pendidikan Agama (kode sektor 15.2)

Sektor Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama (kode sektor 07).

Bagian Pendidikan dan Kebudayaan (Kode Bagian 206).

Kesehatan Sub sektor kesehatan (kode sektor 13.2)

Bagian Kesehatan Umum (Berdasarkan Klasifikasi 8 Sektor) (kode sektor 205).

Bagian Kesehatan Umum (Kode Bagian 205).

Pertambangan Sub-sektor pertambangan (kode sektor 7.1)

Sub-sektor Pertambangan dan Energi (kode sektor 03), Angka untuk 2004 diperkirakan menggunakan data pada 2003.

Sub-Bagian Pertambangan (Kode Bagian 20903), angka untuk 2004 diperkirakan menggunakan data untuk pertambangan dalam Sektor industri, perdagangan dan pertambangan pada2002 (Kode Bagian 209)

Sektor Perdagangan, Pembangunan Usaha, Keuangan, dan Koperasi

Sektor Perdagangan, Pembangunan Usaha, Keuangan, dan Koperasi (kode sektor 5)

Sektor Industri, Perdagangan, Pembangunan Usaha Daerah, dan Keuangan (kode sektor 04).

ndustri (Kode Bagian 20901); Perdagangan (Kode Bagian 20902). Angka untuk 2004 diperkirakan menggunakan data pada sub-sektor ini untuk 2002.

Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan

Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan (kode sektor 18)

Sektor Aparatur Negara (kode sektor 01).

Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Pemerintah (Kode Bagian 202) (dikurangi komponen Lingkungan sesuai pembagiannya pada 2002)..

Sektor Tenaga Kerja Sektor Tenaga Kerja (kode sektor 4) Sektor Tenaga Kerja (kode sektor 05).

Sub-sektor Tenaga Kerja (Kode Bagian 20703).

Sektor Pertahanan & Keamanan

Sektor Pertahanan & Keamanan (kode sektor 20)

Tidak ada. Tidak ada.

Lingkungan dan Tata Ruang Lingkungan dan Tata Ruang (kode sektor 10)

Sektor Lingkungan dan Perencanaan Tata Ruang (kode sektor 08).

Bagian Lingkungan (Kode Bagian 20211), Angka untuk 2004 diperkirakan menggunakan data anggaran sub-Bagian pada 2002.

Infrastruktur Sektor Irirgasi(kode: 3) sub-sektor infrastruktur jalan(kode: 6.1), sub-sektor transportasi darat (kode: 6.2), sub-sektor transportasi laut (kode: 6.3), sub-sektor transportasi udara (kode: 6.4), sub-sektor energi (7.2), sub-sektor energi (8.2), sektor perumahan & pemukiman (kode: 14), seb-sektor pembangunan daerah (kode: 9.1)

Sektor Pengembangan Wilayah, Perumahan, dan Pemukiman (kode sektor 09); Sektor Air Bersih, Irigasi, dan Transportasi (kode sektor 10); Sub-sektor Telekomunikasi (kode sektor 082); Sektor Pertambangan dan Energi (data untuk 2004 diperkirakan menggunakan data tahun 2003).

Bagian Pekerjaan Umum (Kode Bagian 203), Bagian Perhubungan (Kode Bagian 204), Pemukiman Penduduk (Kode Bagian 20704).

Lain-lain Industrial (1), sub-sektor kesejahteraan sosial (kode: 13.1), sub-sektor peranan perempuan, anak dan Pemuda (kode: 13.3), Sektor kependudukan dan keluarga berencana (kode: 12), sub-sektor pelayanan agama (kode: 15.1), sektor Iptek (kode: 16), Sektor hukum (kode: 17), politik, luar negeri, informasi & komunikasi (kode: 19), sub-sektor pariwisata (kode: 8.1), sub-sektor meteorologi, geofisika, dan SAR (kode: 6.5), sub-sektor transmigrasi (kode: 9.2)

Residu Sektor Kesehatan (kode sektor 06 dikurangi kode 205); Sub-sektor Pariwisata (kode sektor 11).

Urusan Sosial (Bagian code 20701), Subsidi kepada Daerah (Kode Bagian 309), Pengeluaran rutin yang lain (Kode Bagian 399), Pensiun dan Bantuan (Kode Bagian 308).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 180

LAMPIRAN

Seksi C.15. Mengelola Rekening ‘off budget’ dan Pengaturan Anggaran

Penyaluran dana antara, Pertamina, dan PLN tidak berjalan dengan efisien dalam pelaksanaan anggaran. Berdasarkan peraturan pemerintah, pemerintah pusat harus menyalurkan dana subsidi BBM kepada Pertamina setiap bulan. Sistem yang berlaku sekarang diharapkan mampu meningkatkan situasi arus keuangan Pertamina, karena Pertamina menerima 70 persen subsidi anggaran setiap kwartal berdasarkan sistem yang lama. Akan tetapi, sejak akhir Agustus 2006, hanya Rp 4.7 triliun (9 persen dari subsidi anggaran BBM) dari subsidi BBM yang disalurkan ke Pertamina. Berikut adalah alasan atas terjadinya kelambatan penyaluran dana:- Pertamina masih berhutang kepada pemerintah: Hutang Pertamina mencapai jumlah yang snagat besar

sampai akhir 2005 termasuk dividen yang belum dibayarkan, pendapatan pajak non-migas. Oleh karena itu, pemerintah enggan untuk membayar subsidi BBM tepat waktu;

- Sistem penyelesaian hutan yang rumit antara pemerintah, Pertamina, dan PLN (Diagram G.1): Pemerintah harus membayar subsidi listrik kepada PLN, sementara PLN berhutang kepada Pertamina. Hubungan antara ke 3 stakeholders ini menyebabkan pembayaran subsidi menjadi rumit.

- Penundaan penerbitan Keputusan: Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang patokan harga minyak untuk anggaran 2006 dikeluarkan pada 18 Juli. Karena Keputusan ini diperlukan oleh DepKeu untuk menghitung besarnya subsidi BBM, penundaan penerbitan SK itu menyebabkan penundaan pembayaran.

Diagram C.15.1. Transaksi Keuangan antara Pemerintah, Pertamina, dan PLN

Pemerintah

Pertamina PLN

SubsidiListrik

SubsidiBBM

Pendapatan

dividends

dividends

Pasokan Listrik

Pembayaran Listrik

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 181

LAMPIRAN

Lampiran D. Lintas Sektoral

Tabel D.1. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor

(Current price, Rp milyar) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

Pertanian 6,276 7,613 10,701 10,992 11,883 18,170 21,215Pendidikan 40,451 48,167 64,788 63,064 79,672 120,243 134,629Kesehatan 9,252 11,004 16,014 16,704 21,850 31,222 35,615Pertambangan 618 708 878 985 1,066 1,208 1,690Perdagangan, NBD, FCS (termasuk pembayaran bunga utang & subsidi)

192,773 148,813 150,580 191,435 234,922 277,910 295,266

Aparatur Negara & Pengawasan 31,678 35,064 52,703 55,591 66,510 106,777 107,675

Sektor Tenaga Kerja 606 957 1,499 1,481 1,379 2,383 2,523

Pertahanan & Keamanan 16,521 21,419 26,975 29,466 32,399 45,084 54,910

Lingkungan dan Rencana Tata Ruang 2,043 2,567 3,331 3,073 3,352 7,279 8,385

Infrastruktur 32,412 35,258 51,678 44,888 54,617 77,835 84,769

Lain-lain 20,932 26,055 26,221 27,617 28,597 36,776 38,739Total Nasional 352.8 336.4 405.4 445.3 535.8 719.3 778.2

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah . Pengeluaran pusat are defined herein as termasuk pengeluaran by pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .

Tabel D.2. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor

(% of Nasional expenditure) 2001(%)

2002(%)

2003(%)

2004(%)

2005(%)

2006*(%)

2007**(%)

Pertanian 1.8 2.3 2.6 2.5 2.2 2.6 2.7

Pendidikan 11.4 14.3 16.0 14.2 14.9 17.2 17.1

Kesehatan 2.6 3.3 4.0 3.8 4.1 4.5 4.5

Pertambangan 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2Perdagangan, NBD, FCS (termasuk pembayaran bunga utang & subsidi)

54.5 44.1 37.1 43.0 43.8 39.8 37.6

Aparatur Negara & Pengawasan 9.0 10.4 13.0 12.5 12.4 15.3 13.7

Sektor Tenaga Kerja 0.2 0.3 0.4 0.3 0.3 0.3 0.3

Pertahanan & Keamanan 4.7 6.3 6.7 6.6 6.0 6.5 7.0

Lingkungan dan Rencana Tata Ruang 0.6 0.8 0.8 0.7 0.6 1.0 1.1

Infrastruktur 9.2 10.4 12.7 10.1 10.2 11.1 10.8

Lain-lain 5.9 7.7 6.5 6.2 5.3 5.3 4.9

Total Nasional 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah . Pengeluaran pusat ditentukan di sini dengan meliputi pengeluaran pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 182

LAMPIRAN

Tabel D.3. Distribusi Pengeluaran Nasional (tingkat pertumbuhan tahunan) Berdasarkan Sektor

2002(%)

2003(%)

2004(%)

2005(%)

2006*(%)

2007**(%)

2002-05(%)

2005-07(%)

Pertanian 8 32 -3 -2 36 10 35 49

Pendidikan 6 26 -8 14 34 5 41 41

Kesehatan 6 37 -2 18 27 7 69 36

Pertambangan 2 16 6 -2 0 32 23 32Perdagangan, NBD, FCS (termasuk pembayaran bunga utang & subsidi )

-31 -5 20 11 5 0 -13 5

Aparatur Negara & Pengawasan -1 41 -1 8 42 -5 50 35

Sektor Tenaga Kerja 41 47 -7 -16 53 0 63 53

Pertahanan & Keamanan 16 18 3 0 23 15 40 41

Lingkungan dan Rencana Tata Ruang 12 22 -13 -1 92 8 17 109

Infrastruktur -3 38 -18 10 26 3 20 29

Lain-lain 11 -6 -1 -6 14 -1 -2 13

Total Nasional -15 13 3 9 15.52 6 8 22Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan di sini dengan meliputi pengeluaran pemer-intah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .

Tabel D.4. Distribusi Persentase Perubahan Tahunan Berdasarkan Sektor

2001-02(%)

2002-03(%)

2003-04(%)

2004-05(%)

2005-06*(%)

2006-07**(%)

Pertanian 0.1 0.7 -0.1 -0.1 0.8 0.3

Pendidikan 0.7 3.7 -1.3 2.0 5.0 0.9

Kesehatan 0.2 1.2 -0.1 0.7 1.1 0.3

Pertambangan 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1Perdagangan, NBD, FCS (termasuk pembayaran bunga utang & subsidi )

-16.9 -2.2 7.3 4.8 2.1 0.0

Aparatur Negara & Pengawasan -0.1 4.3 -0.1 1.0 5.3 -0.8

Sektor Tenaga Kerja 0.1 0.1 0.0 -0.1 0.1 0.0

Pertahanan & Keamanan 0.7 1.2 0.2 0.0 1.4 0.9

Lingkungan dan Rencana Tata Ruang 0.1 0.2 -0.1 0.0 0.6 0.1

Infrastruktur -0.3 3.9 -2.3 1.0 2.7 0.3

Lain-lain 0.7 -0.4 -0.1 -0.4 0.7 0.0

Total Nasional -14.6 12.6 3.4 9.0 19.8 2.1Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .Catatan: Perubahan tahunan ditimbang berdasarkan anggaran sektoral keseluruhan pada tahun sebelumnya.* Berdasarkan penentuan anggaran pusat dan estimasi alokasi anggaran daerah . Pengeluaran pusat ditentukan di sini dengan meliputi pengeluaran pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 183

LAMPIRAN

Tabel D.5. Pengeluaran Antar-Pemerintah dalam Pembiayaan Sektoral di Pusat

Sektor2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**

(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)

Pusat 3.0 3.1 5.1 5.0 5.0 8.3 10.1

Provinsi 1.2 1.4 1.7 1.8 2.0 2.8 3.1

Kabupaten/kota 2.1 3.1 3.9 4.2 4.9 7.0 8.0

Pendidikan 40.5 48.2 64.8 63.1 79.7 120.2 134.6

Pusat 14.1 14.7 22.5 19.4 28.3 46.8 50.9

Provinsi 1.3 2.7 3.9 3.8 4.4 6.2 6.9

Kabupaten/kota 25.1 30.7 38.3 39.8 46.9 67.2 76.9

Kesehatan 9.3 11.0 16.0 16.7 21.9 31.2 35.6

Pusat 3.1 2.9 5.7 5.6 8.9 12.8 14.8

Provinsi 1.7 2.4 2.8 3.0 3.6 5.0 5.5

Kabupaten/kota 4.4 5.7 7.5 8.1 9.3 13.4 15.3

Pertambangan 0.6 0.7 0.9 1.0 1.1 1.2 1.7

Pusat 0.4 0.4 0.5 0.7 0.7 0.7 1.1

Provinsi 0.1 0.1 0.3 0.2 0.3 0.4 0.4

Kabupaten/kota 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2

Sektor, Pengembangan Pusat Bisnis, Keuangan, dan Koperasi 192.8 148.8 150.6 191.4 234.9 277.9 295.3

Pusat 192.0 147.6 148.2 190.3 232.8 274.9 291.9

Provinsi 0.8 1.2 0.7 0.5 0.7 0.9 1.1

Kabupaten/kota 0.0 0.0 1.7 0.7 1.4 2.1 2.4

Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan 31.7 35.1 52.7 55.6 66.5 106.8 107.7

Pusat 4.0 4.3 7.5 7.7 11.2 28.2 18.5

Provinsi 7.8 8.5 13.4 12.3 14.9 20.7 23.0

Kabupaten/kota 19.9 22.3 31.8 35.5 40.4 57.9 66.2

Sektor Tenaga Kerja 0.6 1.0 1.5 1.5 1.4 2.4 2.5

Pusat 0.2 0.3 0.8 0.6 0.5 1.1 1.1

Provinsi 0.2 0.3 0.3 0.4 0.4 0.6 0.6

Kabupaten/kota 0.2 0.3 0.4 0.5 0.5 0.7 0.8

Sektor Pertahanan dan Keamanan 15.8 19.4 27.0 29.5 32.4 45.1 54.9

Pusat 15.8 19.4 27.0 29.5 32.4 45.1 54.9

Provinsi . . . . . . .

Kabupaten/kota . . . . . . .

Lingkungan dan Rencana Tata Ruang 2.0 2.6 3.3 3.1 3.4 7.3 8.4

Pusat 1.0 0.8 1.2 1.2 1.0 4.0 4.6

Provinsi 0.3 0.5 0.7 0.6 0.8 1.1 1.2

Kabupaten/kota 0.7 1.3 1.3 1.2 1.5 2.2 2.5

Infrastruktur 32.4 35.3 51.7 44.9 54.6 77.8 84.8

Pusat 17.4 14.5 23.8 19.4 23.0 32.9 33.8

Provinsi 3.7 5.5 7.4 8.3 9.0 12.6 14.0

Kabupaten/kota 11.3 15.2 20.5 17.1 22.6 32.4 37.0

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 184

LAMPIRAN

Lampiran E Pendidikan

Seksi E.1. Estimasi Pengeluaran Sektor Pendidikan

Perkiraan pengeluaran yang dilaporkan didasarkan pada panel data yang berasal dari 46 negara berkembang mulai 1972–2000. Data anggaran berasal dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Statistik Keuangan Negara. Karakteristik negara yang tidak terobservasi tidak dikontrol karena, tujuan latihan ini adalah untuk menghitung nilai pengeluaran pendidikan dengan mempertimbangkan sejumlah karakteristik ekonomi dan geografis. Kontrol untuk terhadap hal-hal spesifik dari suatu negara akan memberikan suatu pengharapan dengan mempertimbangkan riwayat (dan dimensi yang tidak teramati lainnya) tingkat pengeluaran suatu negara untuk sektor pendidikan. Spesifikasi dampak pasti yang mengontrol karakteristik yang takteramati dari suatu negara menimbulkan tingkat prediksi yang lebih rendah (perkiraan pengeluaran pendidikan sekitar 12 persen dari anggaran yang terkonsolidasi).

Spesifikasi yang digunakan adalah: )Re( ,43,2,10, tiiitititi ugiondevXDecGComp +++++= ααααα

)Re( 43,2,10, iitititi giondevXDecGompC ααααα ++++=

Di mana: G(.): menunjukkan fungsi transformasi yang diterapkan pada modul mengingat karakteristik dari empat variabel tak bebas (G(x) = log(x/1-x)).

Comp: adalah rasio Pengeluaran Sektor Pendidikan terhadap total pengeluaran publik.

X: adalah sejumlah variabel pengontrol, yang meliputi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, GDP per kapita, tata cara desentralisasi fiskal (anggaran pengeluaran daerah ), dan keseimbangan anggaran.

Dev: Slope dummy yang merupakan (DEC * Industrialized Dummy) yang diperkenalkan pada model untuk memperhitungkan dampak yang berbeda dari desentralisasi tergantung pada tingkat pembangunan ekonomi. Region: Regional dummies (LAC, MENA, NA, EASA, Sub-Saharan, relative to ECA)

Catatan: Metodologi ini juga merujuk Arze, Martinez-Vazquez, dan McNab 2005.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 185

LAMPIRAN

Seksi E.2. Perhitungan Tingkat Pengembalian Sosial terhadap Investasi dalam Pendidikan

Tabel E.2.1 Rata-rata Pendapatan Tahunan pada Kelompok Umur yang Berbeda (Rp ‘000)

Age Groups

Tingkat Pendidikan <14(1)

15-20(2)

21-30(3)

31-40(4)

41-50(5)

51-60(6)

61-70(7)

Jumlah Sekolah 2,665 4,328 4,655 4,983 4,892 4,406 3,545

SD 4,211 4,790 5,978 6,750 7,182 7,955 5,985

SMP 4,346 5,474 7,292 8,387 10,216 10,562 8,068

SMA Umum --- 7,408 8,374 12,088 16,193 18,983 12,114 Sumber: Survei Nasional Tenaga kerja (Sakernas) 2006.

Data mengenai upah untuk tiap jenjang pendidikan dan kelompok umur dihitung berdasarkan Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) yang dikeluarkan pada Februari 2006. Data ini meliputi 178.228 individu yang menerima gaji dan upah uang. Perbedaan upah bersih untuk setiap kelompok ditentukan sebagai perbedaan upah karena tingkat pendidikan, dan upah rata-rata pada jenjang pendidikan yang lebih rendah. Misalnya, diferensial bersih untuk lulusan SD, sama dengan perbedaan antara upah rata-rata seseorang yang berpendidikan dengan yang tidak berpendidikan (atau Rp 4.211 – Rp 2.665 = Rp 1.546). Perhitungan upah bersih dari diferensial upah bersih untuk dengan masa kerja selama 50 tahun (mulai umur 15 tahun sampai 65 tahun). Angka ini menunjukkan adanya manfaat sosial dalam analisis manfaat atas pengeluaran untuk pendidikan.103 Kehilangan upah dan gaji sama dengan 75 persen dari pendapatan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Angka 75 persen itu digunakan untuk melakukan penyesuaian persentase waktu yang digunakan anak-anak untuk bersekolah setiap (secara teknis siswa dapat bekerja penuh waktu dari sisa waktu 25 persen untuk tahun tersebut).

Tabel E.2.2 Biaya Investasi : Boaya Langsung dan Tidak Langsung untuk Pendidikan

Kehilangan Pendapatan

(1)

Biaya Langsung

(2)

Total Biaya Tahunan (3)

Total Biaya selama Waktu Penuh (4)

SD 3,246 2,880 6,126 36,754SMP umum - 3,593 4,301 7,894 22,682SMA umum 4,106 5.143 9,250 27,749

Sumber:estimasi staf Bank Dunia.

Biaya langsung untuk menyediakan layanan pendidikan di setiap jenjang merupakan biaya agregat dari unit biaya yang disebabkan di setiap jenjang sekolah dan biaya yang dikeluarkan di setiap tingkat pemerintahan untuk mengurus seluruh keperluan administrasi pendidikan. Satuan biaya yang digunakan dalam perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel A2.3. Angka-angka ini diambil dari survei untuk 2.016 sekolah mulai dari Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Atas , Madrasah Aliyah (Islamic Sekolah Menengah Atas), dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di 56 kabupaten/kota dan 15 provinsi di Indonesia.104 Unit biaya di setiap jenjang meliputi gaji guru; pembelian peralatan ruang kelas; membangun gedung sekolah serta biaya dikeluarkan untuk mendanai kegiatan yang tidak secara langsung terkait dengan proses belajar, tetapi mendukung kegiatan operasional sekolah, seperti: gaji kepala sekolah dan staf administrasi; pembelian peralatan sekolah dan keperluan kecil untuk kepala sekolah dan staf administrasi; dan pengembangan dan pemeliharaan gedung untuk kepala sekolah dan staf administrasi.

103 Diakui ini memang definisi yang sempat mengenai manfaat. Metodologi yang lain meliputi definisi manfaat dengan mencakup manfaat non-pasar dari pendidikan; seperti manfaat bagi kelembagaan negara; kesehatan swasta dan publik, dan terhadap tingkat fertilitas dan /atau balikan terhadap penerimaan tidak langsung di sektor ekonomi; misalnya, karena perusahaan tertarik selalu mencari tenaga kerja terampil dan lingkungan yang baik yang berdampak pada pertumbuhan (untuk diskusi lebih lanjut mengenai jenis perkiraan ini, silakan lihat McMahon dan Appiah, 2001).104 Survei ini dilaksanakan untuk Departemen Pendidikan Nasional, didanai oleh UNESCO, di bawah pimpinan Abbas Ghozali. Lihat Ghozali 2005.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 186

LAMPIRAN

Biaya per tahun untuk setiap siswa untuk menyediakan layanan pendidikan sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan (Kolom 1 pada Tabel A2.2) dan biaya langsung (Kolom 2 pada Tabel A2.2). Untuk menemukan seluruh biaya investasi untuk setiap jenjang pendidikan untuk mendidik setiap individu, total biaya kali jumlah tahun yang diperlukan untuk setiap jenjang; yaitu, SD (6 tahun), SMP (3 tahun ), dan SMA (3 tahun ).

Tabel E.2.3 Unit Biaya Pendidikan Berdasarkan Jenjang Pendidikan dan Unit Pengeluaran (Rp ‘000)

Primary Junior High Senior HighSekolah 1,864 2,771 3,612

Kecamatan 57 0 0

Kabupaten/kota 170 153 125

Provinsi 159 141 117

Pemerintah pusat 54 376 261

Total 2,304 3,441 4,115Sumber: Ghozali 2005 Bab 5 Hasil dan Pembahasan, p. 83. Tingkat Inflasi 2005=10.5 persen 2006= 12.8persen .

Keterbatasan dan Penelitian di Masa Depan

Perlu diperhatikan bahwa beberapa studi tentang dampak pendidikan terhadap tingkat balikan sosial menunjukkan angka signifikan yang berbeda. Sebuah studi yang baru-baru ini dilaksanakan UNESCO (2007), misalnya, melaporkan bahwa nilai balikan untuk pendidikan dasar sebesar 27 persen di wilayah pedesaan, dan 5 persen di wilayah perkotaan. Beberapa studi mengenai tingkat balikan ini meliputi balikan sektor swasta dari tingkat pendidikan dalam bentuk “kenaikan pendapatan”. Estimasi ini sesuai dengan perhitungan regresi menggunakan logaritma alami untuk pendapatan sebagai variabel tidak bebasnya, dan tahun sekolah dan potensi masa kerja di pasaran sebagai variabel bebas. Para penulis untuk bidang ini sering memberinya label koefisi “balikan terhadap pendidikan,” di mana hal ini merupakan “dampak upah marjinal”, dan bukan sebagai balikan terhadap investasi dalam pendidikan. Nosi mengenai istilah “balikan” perlu mempertimbangkan biaya pendidikan, baik untuk sektor swasta maupun publik, dan menghubungkan biaya ini terhadap dampak upah. (Psacharopoulos 1994, p. 1326).

Data yang dilaporkan dalam estimasi itu tidak mencakup manfaat non-pasar (dampak terhadap kesehatan, usia harapan hidup, pertumbuhan penduduk, dsb.) atau dampak balikan externalities (manfaat ekonomi dari keluaran pendidikan sebelumnya, seperti dampak pendidikan terhadap ekonomi melalui demokratisasi, stabilitas politik, dsb.). Jelas bahwa kedua hal ini merupakan bagian dari manfaat sosial dari pendidikan. Seperti yang disampaikan oleh McMahon (2006) “nilai tambah manfaat non-pasar diperkirakan oleh Wolfe dan Zuvekas (1997) yang hampir sama dengan nilai balikan pasar berdasarkan biaya untuk menghasilkan keluaran yang sama dengan cara yang lain.” Ini berarti bahwa estimasi tingkat balikan dalam laporan ini mungkin jauh lebih rendah daripada yang total nilai balikan pembangunan ekonomi sebenarnya dari investasi di sektor pendidikan. Poin tambahan yang perlu diperhatikan adalah bahwa, Survei Tenaga Kerja Nasional melaporkan pendapatan dari pasar tenaga kerja yang terorganisir. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kebutuhan untuk menggunakan keluaran riil (jumlah padi yang dihasilkan) untuk mengukur pendapatan riil petani, sebagai perbandingan dengan upah pekerja di wilayah perkotaan. Jamison, misalnya, menyimpulkan bahwa pertanian meliputi peningkatan produktivitas rata-rata sebesar 7.4 persen sebagai akibat dari petani yang mampu menyelesaikan jenjang sekolah dasar yang juga dengan sendirinya meningkatkan nilai balikan dari pendidikan.

Dengan memperhatikan beberapa pertimbangan yang dibahas di atas, kita dapat meningkatkan nilai balikan pendidikan seperti yang dilaporkan dalam bentuk persentase sesuai dengan banyak dampak yang terkait di dalamnya, metodologi yang digunakan, dan asumsi yang dibuat. Estimasi yang disampaikan di sini merupakan hasil dari sebuah metodologi yang meliputi biaya pendidikan oleh sektor swasta dan publik. Biaya pendidikan, dengan mengikuti “penjelasan” metodologi dalam Psacharopoulos (1994), dan dengan menerapkan teori yang dikembangkan oleh McMahon dan Boediono (1992). Tim yang menyusun laporan ini tidak memperluas lagi lingkup metodologi dasarnya, tetapi telah mendanai latihan itu sebagai bagian dari agenda untuk penelitian di masa yang akan datang.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 187

LAMPIRAN

Seksi E.3. Faktor-faktor Penentu dari Angka Partisipasi Murni di Indonesia

Spesifikasi di bawah ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor permintaan dan suplai yang menentukan keluaran pendidikan.

ii uLKDScARPoGRDPSEER +++++++++++++= 111098765432211 βββββββββββα

Di mana: i = Kabupaten/kota i = 1…N, N=409R = Tingkat penerimaan bersih untuk siswa E1 = Log biaya pendidikan untuk populasi pada umur sekolah (total pengeluaran pendidikan per jumlah anak usia sekolah antara 7 sampai dan 18 tahun ).105 E2 = Log rata-rata pengeluaran kabupaten/kota untuk pendidikan (per populasi dalam kelompok usia sekolah) dari 2001 to 2003S= Pengeluaran untuk tenaga pendidik sebagai bagian dari total pengeluaran pendidikan (rasio pengeluaran personalia terhadap total pengeluaran untuk pendidikan) GRDP= Log untuk PDRB per kapitaPo = Angka kemiskinan R = Daerah terpencil (Rata-rata geometris tentang jarak dari desa ke wilayah kabupaten/kota terdekat)A = Akses terhadap jalan raya (% desa yang memiliki akses jalan aspal)Sc = Jumlah SD dan SMP per km2 D = Variabel bencana alam (0-1) yang menunjukkan apakah kabupaten/kota pernah terkena bencana alam di waktu yang lampau. K = Dummy untuk wilayah perkotaan/pedesaan dari kabupaten/kota (=1 untuk perkotaan)L= Persen dari populasi sekolah berdasarkan kelompok umur

SumberPendaftaran bersih dan persen populasi dalam kelompok usia sekolah yang bekerja dihitung berdasarkan the Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005. Pengeluaran untuk pendidikan dan pembayaran gaji dari total biaya pendidikan diambil dari SIKD (dataset anggaran daerah), dan data distribusi pengeluaran pemerintah pusat untuk DAK dan dekonsentrasi anggaran seperti yang dilaporkan oleh DepKeu. PDB untuk setiap kabupaten/kota diambil dari data yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik (BPS). Variabel yang lain dihitung berdasarkan Podes 2005.

Model Ekonometrik Models 1, 2 dan 3 memberikan estimasi mengenai spesifikasi linier berdasarkan kuadrat terkecil; di mana model 4 memberikan estimasi mengenai logit model. Model yang belakangan ini digunakan karena adanya sifat fraksional pada variabel takbebas. Model 3 dan 4 mengontrol tingkat dampak yang tidak terkontrol di provinsi dengan memasukkan dummy provinsi (dampak tetap). Koefisien tingkat provinsi tidak dilaporkan dengan alasan penyederhanaan uraian.

Hasil regresi menandaskan peran pengeluaran publik sebagai determinan tingkat pendapatan siswa. Koefisien pengeluaran publik untuk pendidikan menunjukkan angka positif dan signifikan secara statistik pada semua estimasi model dan spesifikasi. Mengingat bentuk log-linier fungsional yang digunakan dalam estimasi tersebut, peningkatan pengeluaran pendidikan sebesar 1 persen akan meningkatkan pendaftaran bersih sampai 0.02 persen, dengan titik Elastisitas 0,02 * (1/Pendaftaran bersih untuk kabupaten/kota). Elastisitas pengeluaran sektor pendidikan yang diperoleh dari Logit model (Kolom 4) barada pada rentangan yang sama dengan model linier (sekitar 0,03). Ada juga kemunduran dalam seluruh model itu dengan pengeluaran pendidikan (per calon student) mendahului dampak pendaftaran selama 1 tahun dan pengeluaran kabupaten/kota rata-rata untuk waktu selama 2 - 4 tahun (2001-03). Namun demikian, rata-rata pengeluaran kabupaten/kota (per populasi sekolah) untuk 2001-03 tidak menunjukkan angka signifikan secara statistik pada setiap model estimasi yang digunakan.

Hasil tersebut tidak memberikan bukti mengenai keberadaan perbedaan kabupaten/kota yang berada di daerah terpencil dan yang bukan di daerah terpencil, tetapi hasil itu memang memberikan bukti perbedaan mengenai perkotaan dan pedesaan di wilayah kabupaten/kota. Model 1 dan 2 hanya berbeda dalam hal variabel dummy untuk mengontrol Perbedaan antara wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan di tingkat kabupaten/kota. Variabel ini signifikan secara statistik dalam model 1 dan diperkirakan memberikan tanda positif. Namun demikian, ketika variabel tenaga kerja dan jumlah sekolah dimasukkan, tanda wilayah perkotaan dummy kembali menunjukkan angka negatif dan tidak signifikan secara statistik . Hal ini sepertinya disebabkan oleh alasan mendasar dari perbedaan antara wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan pada tingkat kabupaten/kota

105 Populasi dalam satu kelompok usia sekolah dihitungan berdasarkan alternatif untuk pengeluaran per kapita (dibandingkan dengan jumlah siswa sbenarnya) untuk menghindari endogenitas (mis.,peningkatan pendaftaran bersih, yang mencerminkan jumlah siswa sebenarnya lebih banyak, juga akan meningkatkan denominator variabel pengeluaran “per siswa”).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 188

LAMPIRAN

yang semata-mata didorong oleh adanya jumlah sekolah yang besar dan adanya tenaga kerja siswa yang lebih rendah untuk wilayah perkotaan. Ketika jumlah sekolah dan tenaga kerja dikontrol secara independen, di samping adanya dummy wilayah perkotaan, dummy wilayah perkotaan menunjukkan angka negatif, mungkin karena adanya beberapa jenis dampak yang tidak murni. Selanjutnya, model 2 menggantikan variabel dummy wilayah perkotaan untuk variabel tenaga kerja dan jumlah sekolah per km2 dan menunjukkan angka r2 yang lebih tinggi. Variabel untuk wilayah terpencil tidak signifikan secara statistik dalam setiap in any of the spesifikasi .

Tabel E.3.1 Faktor-faktor Penentu Angka Partisipasi Murni

Variabel tidak bebas : Tingkat partisipasi murni untuk siswa

Variabel OLS (1) OLS (2)Fixed

effects (3)Logit-fixed effects (4)

Log pengeluaran untuk pendidikan (per penduduk usia sekolah )0.02**(2.67)

0.02**(2.61)

0.02**(3.11)

0.14**[.028](4.03)

Log rata-rata pengeluaran kabupaten/kota untuk pendidikan (per penduduk usia sekolah ) dari 2001 ke 2003

6.9 e-3(0.8)

0.01(1.32)

3.2 e-3(0.43)

0.018[0.003]

(0.43)

Log PDRB1.1 e-2**

(2.86)7.3 e-3*

(1.76)2.4 e-3

(.64)

0.02[.003](1.01)

Belanja pegawai sektor pendidikan dari total pengeluaran untuk pendidikan

-0.015(-.92)

-0.01(-0.8)

-3.2 e-4(-0.20)

-2.2 e-2[-7.3 e-4]

(-.03)

Angka kemiskinan-0.08

(-2.03)-0.06*(-1.46)

-0.11*(-2.32)

-0.62*[-.11]

(-2.39)

Daerah terpencil -9.91 e-5

(-.71)-2.3 e-5

(-.16)

-2.0 e-5(-.14)

1.8 e-4[-3.34 e-5]

(-0.26)

Akses terhadap jalan raya 1.5 e-4**

(2.75)1.3 e-4**

(2.56)4.01 e-5

(0.8)

2.0 e-4[3.72 e-5]

(.74)

Bencana alam-3.02 e-4**

(-3.65)-3.0 e-4**

(-3.68)-1.1 e-4

(-1.55)

5.9 e-4[1.1 e-4]

(-1.62)

Dummy untuk Kabupaten/Kota perkotaan/ pedesaan 0.02*(2.21)

Tenaga kerja -0.30**(-5.59)

-0.31**(-6.24)

-1.6**[-.30]

(-4.79)

Jumlah SD dan SMP per km24.5 e-3

(1.72)1.9 e-3

(.76)

1.7 e-2[3.1 e-2]

(1.22)

Konstanta0.04(.27)

0.15(1.0)

0.30(1.97)

-0.73(-0.92)

R2 yang disesuaikan .29 .36 .56 ---

303 299 299 299Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: t-statistik di dalam kurung kurawal; **,*,+ masing-masing menunjukkan tingkat signifikansi 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Kolom 4 menunjukkan elastisitas nilai mean variabel di dalam kurung biasa.

Produk regional bruto, akses terhadap jalan raya , dan variabel bencana alam tampak signifikan pada model pertama dan kedua tetapi menjadi tidak signifikan ketika dilakukan kontrol terhadap karakteristik provinsi yang tidak terobservasi. Hal ini mungkin mencerminkan fakta bahwa semua kabupaten/kota memiliki karakteristik yang sama provinsi yang ditentukan yang dapat ditangkap oleh dummy provinsi.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 189

LAMPIRAN

Faktor sisi permintaan seperti kemiskinan dan persentase populasi usia sekolah yang bekerja, berdampak terhadap penerimaan siswa bersih. Koefisi untuk angka kemiskinan dan siswa yang bekerja tenaga kerja memiliki angka negatif dan signifikan secara statistik pada semua model dan spesifikasi, yang mencerminkan pentingnya faktor sisi permintaan sebagai determinan keluaran pendidikan. Dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi memang lebih mahal bukan saja karena faktor the sekolah tetapi juga karena faktor rumah tangga, dan oleh karena itu, karakteristik sosial ekonomi dari suatu populasi merupakan faktor penentu penting dalam tingkat pendaftaran. Rumah tangga yang berada pada kabupaten/kota yang lebih miskin mungkin tidak bisa menyekolahkan anak-anak mereka, walaupun mereka sudah mendapatkan akses terhadap sekolah. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan yang bertujuan tidak saja menurunkan besarnya uang sekolah tetapi juga menurunkan angka kemiskinan. Keluarga yang memiliki pendapatan lebih rendah memerlukan mekanisme pendukung yang memungkinkan mereka mampu mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah, seperti pemberian kompensasi atas pendapatan yang hilang karena anak dikirim ke sekolah (kerugian kontribusi keuangan).

Seksi E.4. Estimasi Implikasi Keuangan dari UU Keguruan yang Baru

UU Keguruan tahun 2005 yang baru menyatakan bahwa guru akan menerima tunjangan fungsional, khusus, dan profesi. Seksi E.8. Pendapatan Guru: Analisis Ekonometri Seksi ini berusaha untuk menunjukkan dampak dari berbagai jenis insentif ini terhadap anggaran pendidikan. Perhitungan pada Diagram itu didasarkan pada asumsi berikut:

• Tunjangan untuk penugasan di daerah khusus akan sama dengan gaji pokok guru (UU Keguruan No. 14/2005). Diperkirakan bahwa the gaji rata-rata seorang guru adalah Rp 18 juta per tahun dan bahwa, untuk dua tahun pertama, 5 persen dari seluruh guru akan menerima tunjangan ini. Sepuluh persen dari jumlah guru akan menerima insentif pada 2009, dan persentase ini akan berlaku sampai 2016. (Beberapa pejabat Depdiknas menyatakan bahwa jumlah itu seharusnya berjumlah 15 persen). Alasan kenaikan itu adalah bahwa pemerintah akan menugaskan guru untuk bekerja pada sekolah-sekolah dengan bidang khusus.

• Tunjangan profesi akan diberikan kepada guru yang lulus ujian sertifikasi dan akan jumlahnya akan sama dengan gaji pokok guru (UU Keguruan No.14/2005). Penghitungan tunjangan profesi sangat rumit dan memerlukan banyak asumsi (termasuk jumlah guru yang akan lulus ujian sertifikasi, rata-rata gaji pokok guru yang menerima sertifkasi, dan tingkat peningkakan jumlah tenaga kerja guru). Estimasi guru yang menerima insentif tersebut untuk tiga tahun pertama didasarkan pada target Dekdiknas: 5 persen guru akan menerima tunjangan pada 2007, 12 persen pada 2008, dan 20 persen pada 2009. Insentif itu diperkirakan akan meningkat sebesar 10 persen pada 2016, sehingga sebanyak 90 persen guru akan menerima insentif tersebut. Target ini sangat optimistik. Perkiraan yang lebih konservatif adalah 70 persen, yang akan mengurangi pengeluaran secara keseluruhan untuk tunjangan profesi.

• Tunjangan fungsional ditentukan dalam rancangan UU yang dibuat pada Oktober 2006 sebesar 50 persen dari gaji pokok guru yang sudah memiliki sertifikasi. Ketentuan ini sudah diubah lagi pada draft UU versi November 2006 untuk tidak mencantumkan besaran, tetapi tetap diberikan kepada guru yang sudah menyelesaikan proses sertifikasi. Tetapi, masih ada perdebatan mengenai apakah tunjangan itu harus diberikan kepada semua guru atau kemungkinan digunakan sebagai insentif tambahan bagi guru. Jika insentif tersebut diberikan kepada semua guru, ini akan memiliki dampak signifikan terhadap anggaran pendidikan. Jika diberikan kepada guru yang sudah memiliki sertifikasi saja, mereka yang sudah memenuhi persyaratan kinerja, maka hal ini akan berdampak buruk (karena tidak satu pun guru yang sudah melakukan sertifikasi), dan dampak ini bisa lebih serius dalam jangka panjang.

• Jumlah guru diperkirakan tetap konstan. Walaupun tenaga pendidik di Indonesia mengalami peningkatan dengan cepat di masa yang lalu, kini telah terjadi kelebihan guru. Insentif yang baru akan mendorong Dekdiknas untuk bertindak lebih efisien dalam penyediaan dan pendistribusian guru. Pada 2006 peraturan Keguruan (RPP Guru) menunjukkan bahwa Depdiknas sangat serius berupaya untuk mengendalikan suplai tenaga guru. Saat ini juga terdapat cukup banyak guru yang berumur antara 50 – 60 tahun. Jika guru-guru ini guru, hal ini akan membantu mengurangi jumlah guru. Jika tren peningkatan jumlah guru terus berlanjut, ini akan menambah beban anggaran yang akan digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan bagi guru.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 190

LAMPIRAN

• Perkiraan perhitungan dilakukan dalam tingkat sebenarnya (daripada angka nominal). Gaji dan insentif diperkirakan akan meningkat sejalan dengan peningkatan laju inflasi.

Diagram E.4.1. Pendapatan Guru Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah vs. Jumlah Jam Kerja 106

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

4,500

5,000

0 10 20 30 40 50 60 70

-

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

7,000

8,000

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Guru Sekolah Dasar Guru Sekolah Lanjutan Pertama

Jumlah Jam Kerja per Minggu Jumlah Jam Kerja per Minggu

Sumber: Employment dan Deployment Survey 2005. Catatan: Skala pendapatan guru SD dan SMP berbeda pada Grafik di atas. Guru rata-rata menerima gaji lebih besar.

Seksi E.5. Catatan Metodologis tentang Penghitungan Unit Biaya Pendidikan

Perkiraan McMahon, yang dikembangkan berdasarkan penentuan biaya per siswa, mengikuti asumsi berikut ini:

• Survei yang baru-baru ini dilakukan memberikan data tentang pengeluaran sekolah yang sebenarnya. Data ini memberikan informasi mengenai biaya pokok penyelenggaraan sekolah.

• Prinsip “Best practice” di sekolah diartikan sebagai cara-cara untuk meningkatkan nilai ujian siswa. Sekolah semacam ini memiliki beberapa buku pelajaran untuk setiap siswa, dan gaji tambahan untuk guru pada sekolah tersebut juga lebih tinggi. Misalnya, dalam hal pengeluaran, rata-rata sekolah diperkirakan mengeluarkan sekitar Rp 15.000 per siswa untuk bahan pelajaran sementara sekolah yang menerapkan prinsip “best practice” ini menghabiskan rata-rata sebesar Rp 21.745 per siswa.

• Perkiraan biaya pendidikan untuk tingkat SMP adalah 1,5 kali biaya penyelenggaraan sekolah tingkat SD.

• Untuk meningkatkan jumlah pendaftaran siswa dari keluarga miskin dan mereka yang kurang beruntung diperlukan tambahan sumber daya, yang bertujuan terutama untuk membebaskan mereka dari SPP. Saat ini, SPP atau uang sekolah dibebankan pada uang pendaftaran, ujian, pengadaan buku ajar, buku catatan, tas sekolah; dan transportasi. Di tingkat SD, pembebasan SPP berarti hilangnya pendapatan sekolah rata-rata sebesar of Rp 13.000 per siswa pada 2004 (tingkat harga tahun 2003), meningkat menjadi Rp 38.000 per siswa pada 2008. Di tingkat SMP, jumlah itu menjadi sekitar Rp 57.000 per siswa.

• Di samping itu, beasiswa sebesar Rp. 290.000 per siswa per tahun bagi 18.2 persen siswa SD, yang berarti melipatduakan hibah yang diberikan saat ini oleh pemerintah, Ini menutupi akan Biaya peluang (opportunity cost) yang ditanggung pemerintah dan suplemen bagi guru. Sementara itu hibah yang dialokasikan pada sekolah adalah Rp 93,000 per siswa per tahun . Program BOS telah menutupi sebagian dari biaya ini pada tahun 2005.

106 Kepala sekolah juga masuk did alam Grafik itu karena mereka dianggap bagian dari tenaga kerja guru, tetapi perlu dingat bahwa mereka hanya mengajar 6 jam per minggu, terutama di sekolah-sekolah yang lebih besar. Guru olaha aga dan guru agama cenderung bekerja 12 jam per minggu.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 191

LAMPIRAN

Seksi E.6. Estimasi Implikasi Keuangan akibat Kelebihan Guru

Isu mengenai kelebihan guru di Indonesia menunjukkan adanya sistem pendidikan yang tidak efisien dan untuk mengatasi isu kelebihan guru dengan baik merupakan potensi untuk melakukan penghematan anggaran yang cukup signifikan . Tabel di bawah ini memperlihatkan estimasi potensi penghematan tersebut. Perhitungannya didasarkan pada metode dan asumsi berikut:

Hanya guru sekolah negeri yang diperhitungkan, karena ini merupakan bidang pendanaan pemerintah yang harus mereka kontrol. Data siswa yang digunakan dalam perhitungan ini juga hanya untuk siswa sekolah negeri.

Karena 22 persen guru SMP negeri adalah guru tetap dan 25 persen guru honor, perlu dibuat penyesuaian sehingga dua guru honor sama dengan satu guru tetap negeri. (Jumlah guru honor di sekolah swasta jauh lebih tinggi, 55 persen dan 63 persen masing-masing untuk sekolah SD dan SMP).

Diasumsikan bahwa gaji guru adalah Rp 17 juta per tahun untuk guru SD dan Rp 18 juta untuk guru SMP.

Usulan kebijakan adalah melakukan survei per sekolah untuk mendapatkan perkiraan realistis mengenai jumlah guru yang diperlukan dan menentukan tingkat kelebihan guru per sekolah juga ditentukan. Angka yang diperoleh lalu diterapkan secara nasional, dengan mempertimbangkan banyakanya siswa di tiap sekolah.

Formula RMG (rasio murid-guru) efektif digunakan dalam penghitungan itu. Ada perbedaan antara RMG yang diusulkan dan RMG efektif. Misalnya, tingkat RMG untuk SD ditentukan 30:1, tetapi ketika formula ini diterapkan di setiap sekolah, setiap sekolah mendapatkan paling sedikit 4 guru, dan target RMG untuk 30:1, RMG yang efektif sebenarnya adalah 26:1. Hal ini disebabkan karena (1) sebuah sekolah, misalnya, memiliki 40 orang siswa, tetap akan mendapatkan 4 guru dan akan memiliki tingkat RMG 10:1, dan (2) tambahan alokasi guru dibulatkan ke atas, sehingga sekolah dengan160 siswa misalnya mendapatkan guru sebanyak 6 orang, untuk RMG 27:1.

Formula untuk guru SMP dan SMA jauh lebih rumit karena saat di tingkat ini setiap guru hanya mengajar satu bidang studi tertentu. Untuk tujuan melakukan analisis kita, tingkat RMG digunakan agar sesuai dengan apa yang terjadi d negara lain daripada apa yang kini sedang berlaku di Indonesia dengan tingkat RMG yang rendah yaitu 17:1 untuk SMP dan 14:1 untuk SMA.

Kolom A menunjukkan apa yang sebenarnya disebut suplai. Kolom B menunjukkan tingkat RMG jika penetapan formula baru diikuti. Dengan skenario ini B, 22,8 persen yang berarti bahwa hanya jumlah yang diperlukan lebih kecil (atau 19,4 persen guru honor). Dengan jumlah ini kita akan bisa melakukan penghematan sebesar sekitar Rp 6,7 triliun. Dengan mempertimbangkan guru honor dalam perhitungan kita (dengan asumsi 2 guru honor = 1 tetap), jumlah akan berkurang menjadi Rp 5,6 triliun, jumlah yang mencerminkan sekitar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Hal ini menunjukkan potensi penghematan yang signifikan dan bahkan akan menjadi lebih signifikan lagi mengingat dampak keuangan dari pemberlakuan UU Keguruan yang baru, di mana guru yang sudah lulus sertifikasi akan menerima tunjangan yang besarnya sama dengan gaji pokok mereka. (Lihat Seksi tentang Gaji Guru, Insentif , dan Mutu Pendidikan pada Bab 3).

••

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 192

LAMPIRAN

Tabel E.6.1 Biaya Komparatif berdasarkan Situasi Masa Sekarang dan Opsi yang Diajukan

A: RMG – Aktual B: RMG – Yang diusulkanRMG untuk SD 20:1 30:1 (effective 26:1)Guru yang diperlukan 1,177,929 937,332Total biaya gaji (Rp ’000) 20,024,793 15,934,644Penghematan Posisi (B Ke A) 240,597

RMG untuk SMP 17:1 24:1 (effective 22:1)Guru yang diperlukan 364,098 274,354Biaya gaji (Rp ’000) 6,553,764 4,938,372Penghematan Posisi (B Ke A) 89,744Dengan Memperhitungkan guru paruh waktu (B Ke A) 49,693

RMG untuk SMA 14:1 24:1 (effective 22:1)Guru yang diperlukan 144,604 90,088Biaya gaji (Rp ’000) 2,602,872 1,621,584Penghematan Posisi (B Ke A) 54,516Dengan memperhitungkan guru paruh waktu (B Ke A) 36,441

TotalTotal guru 1,686,631 1,301,774Total biaya gaji (Rp ’000) 29,181,429 22,494,600Total Penghematan Posisi (B to A) 330,340Penghematan gaji (Rp juta ) (B to A) 6,686,829Total Penghematan Posisi dengan memperhitungkan guru paruh waktu (B Ke A)

326,731Penghematan gaji dengan memperhitungkan guru paruh waktu(Rp juta ) (B to A)

5,640,556

Sumber: Studi tentang pengangkatan dan penugasan guru 2005, berdasarkan data Depdiknas 2003/2004 tentang guru dan salary.

Seksi E.7. Karakteristik Tenaga Pengajar

Tabel E.7.1 Jumlah dan Persentase Guru Honor dan Tetap pada Jenjang Pendidikan Menengah

Kepala Sekolah % Guru Tetap % Guru Honor % Total

Sekolah Menengah Pertama 22,240 4 343,575 63 176,776 33 542,591 Negeri/Umum 12,037 3 274,668 75 78,925 22 365,630 Swasta 10,203 6 68,907 39 97,851 55 176,961

Sekolah Menengah Lanjutan 14,366 3 220,133 51 200,967 46 435,466 Negeri/Umum 4,673 2 140,582 73 47,269 25 192,524 Swasta 9,693 4 79,551 33 153,698 63 242,942

Sumber: Depdiknas 2005.

Tabel E.7.2 Jumlah dan persentase Guru SD Menurut Wilayah Tanggung Jawab

Wilayah Tanggung Jawab GuruTingkat Pendidikan Dasar Kepala Sekolah Guru Kelas Guru Agama Guru Olah Raga Total

Jumlah Guru 146,045 934,479 167,449 87,113 1,335,086Persentase dari keseluruhan 11 70 13 7 100

Sumber: Depdiknas 2005.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 193

LAMPIRAN

Seksi E.8. Pendapatan Guru: Analisis Ekonometri

Tabel E.8.1. Rata-rata Penghasilan Per Bulan dan Jumlah Jam Kerja antara Guru dan Non-Guru Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan guru

Rata-rata penghasilan per bulan (Rp ’000) Rata-rata jam kerja per minggu

Bukan Guru

Guru bukan

SD

Guru SD

Total pekerja

yang dibayar

Bukan Guru

Guru bukan

SD

Guru SD

Total pekerja

yang dibayar

DI bawah SD445.5

(294.4)445.5(294)

46(16)

46(16)

SD528.4(381)

528.4(381)

48(14)

48(14)

SMP643.4(401)

643.4(401.1)

48(12)

48(12)

SMA920.0(671)

621.6(519)

1,062.7(778)

917.4(675.3)

46 (10)

30(12)

34(8.5)

45(11)

Diploma I dan II1,147.7(1,250)

1,070.1(1,206)

1,220.4(410)

1,168(933.9)

43(12)

32(9)

34(7)

36(10)

Akademi/Dipl III1,441.7(1,131)

1,298.1(1,867)

1,143.4(434)

1,392.2(1,227)

44(9)

35(10)

36(7)

42(10)

Universitas/ Dipl IV 1,772.1(1,856)

1,1432.7(645.2)

1,160.1(502)

1,536(1,540.9)

43(9)

34(10)

34(8)

39(11)

Total816.5

(796.7)1,033.2(953.8)

1,139.3(605)

841.9(801)

47(12)

33(11)

34(8)

46(13)

Observasi 35,252 1,804 1,615 38,671 35,252 1,804 1,615 38,671

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Sakernas 2004.Catatan: Standar deviasi dalam kurung kurawal. Bagian yang kosong menunjukkan bahwa tidak ada guru yang berpendidikan kurang dari sekolah menengah atas.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 194

LAMPIRAN

Tabel E.8.2. Perbedaan Penghasilan: Sampel Tenaga Kerja dengan Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah atau Lebih Tinggi (%)Log variabel tidak bebas upah bulanan

2000 (Filmer 2002) 2004 (World Bank 2006)

Sampel: Semua tenaga kerja yang dibayar

(sektor publik & swasta)

Sampel: Semua tenaga kerja yang dibayar

(sektor publik & swasta)

Sampel: guru dan PNS yang lain

Guru -0.18

(9.25)**-0.21

(-20.79)**-26.09(-0.30)

Guru SD-0.025(1.14)

-0.06(9.09)**

-17.96(-4.29)

Guru bukan SD-0.34

(13.19)**-0.33

(-16.16)**-32.22(-8.52)

PNS (diluar guru)24.33

(5.89)**

Usia.06

(15.49)**0.061

(15.47)**0.07

(33.24)**0.07

(32.73)**18.33

(23.43)17.25

(22.09)

Usia kuadrat-0.00

(7.98)**-0.00

(8.11)**-0.00

(-21.04)**-0.001

(-20.71)**-0.16

(-18.14)-0.15

(-17.40)

Laki-laki0.14

(12.32)**0.15

(13.03)**0.18

(21.84)**0.18

(22.37)**12.36(5.41)

12.73(5.62)

Daerah Perkotaan0.12

(7.10)**0.14

(7.88)**0.14

(17.55)**0.15

(18.51)**4.71

(2.12)6.74

(3.02)

Pend. Diploma I & II0.32

(15.26)**0.27

(12.86)**0.49

(22.51)**0.42

(19.74)**29.27

(8.8)27.48(8.39)

Pend. Academy Diploma III0.33

(15.92)**0.36

(16.96)**0.59

(30.81)**0.61

(31.64)**30.91(7.04)

36.67(8.16)

Pend. University Diploma IV0.37

(18.71)**0.42

(20.58)**0.65

(46.93)**0.70

(49.43)**32.52

(11.06)41.27

(13.09)

Konstanta11.67

(164.24)11.67

(165.46)11.76

(344.00)**11.78

(346.11)**9.67

(63.37)9.83

(64.47)

Observasi 18,612 18,612 30,130 30,130 3,655 3,655R kuadrat 0.30 0.31 .27 .28 .37 .39

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Nilai t-statistik dalam kurung kurawal. ** menunjukkan tingkat signifikansi 1 persen. Penghasilan ditentukan asbagai gaji dalam bentuk tunai dan bentuk lain.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 195

LAMPIRAN

Tabel E.8.3. Faktor-faktor Penentu Penghasilan per Jam

Variabel Dependen: log penghasilan per jam

Sampel: Semua tenaga kerja yang dibayar(sektor publik dan swasta)

Sampel: guru dan PNS yang lain (sektor publik )

Guru 23.42

(16.66)**-18.70

(-4.64)**

Guru SD46.94

(23.13)**-12.58

(-2.91)**

Bukan Guru SD4.98

(3.01)**-23.47

(-5.86)**

PNS (di luar guru )46.72

(9.34)**

Umur7.43

(44.43)**7.33

(43.95)**7.59

(45.31)**14.26

(18.6)**13.53

(17.58)**

Umur kwadrat-0.08

(-36.05)**-0.08

(-35.7)**-0.08

(-36.58)**-0.12

(-13.91)**-0.11

(-13.07)**

Laki-laki34.18

(41.84)**34.40

(42.2)**31.82

(39.57)**6.52

(2.94)**6.76

(3.06)**

Wilayah perkotaan20.46

(27.27)**20.91

(27.89)**18.99

(25.56)**3.02

(1.38)4.39

(1.98)

Pend. Diploma I & II80.73

(30.01)**71.92

(27.23)**104.22

(39.08)**29.27

(8.82)**28.02

(8.51)**

Pend. Akademi Diploma III93.56

(39.04)**95.36

(40.06)**101.04

(42.02)**23.90

(5.6)**27.65

(6.35)**

Pend. Universitas Diploma IV101.09

(59.18)**107.40

(61.19)**113.19

(68.03)**31.30

(10.7)**37.26

(11.95)**

Konstanta6.30

(221.31)**0.03

(222.45)**6.30

(220.57)**5.52

(36.26)**5.63

(36.84)**

Observasi 38,431 38,431 38,431 3,616 3,616

R kuadrat .31 .32 .32 .30 .31Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: Nilai t-statistik dalam kurung kurawal. ** menunjukkan tingkat signifikansi 1 persen. Penghasilan ditentukan sebagai gaji dalam bentuk tunai dan bentuk lain.Penghasilan per jam dihitung berdasarkan rata-rata penghasilan bulanan, dibagi dengan jumlah jam kerja selama 4 minggu terakhir.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 196

LAMPIRAN

Tabel E.8.4. Perbedaan dalam Pendapatan Bulanan: Setelah Mengontrol Karakteristik Individu (Relatif terhadap terhadap Jawa Barat) (%)

Provinsi Guru Tenaga Kerja Lain SelisihNangroe Aceh Darussalam 3.3 -8.3** -11.6

Sumatera Utara 10.2+ -7.0** -17.2

Sumatera Barat 8.7 -6.7** -15.4

Riau 5.2 20.9** 15.7

Jambi 4.2 -8.6** -12.8

Sumatera Selatan 17.3* -3.7** -21.1

Bengkulu -1.6 -23.3** -21.7

Lampung -2.8 -17.6** -14.8

Bangka Belitung -13.8 -0.2** 13.6

DKI Jakarta 11.9+ 21.6** 9.6

Jawa Tengah -14.7** -22.8** -8.1

DI Yogyakarta -4.0 -29.1** -25.0

Jawa Timur -23.0** -16.5 6.5

Banten -10.9+ 16.0** 26.8

Bali 2.3 -6.3** -8.6

Nusa Tenggara Barat -14.1* -29.8 -15.7

Nusa Tenggara Timur 13.3+ -20.3** -33.6

Kalimantan Timur 25.0 17.3** -17.2

Kalimantan Tengah -9.4 1.5** -7.7

Kalimantan Selatan 16.1+ 23.5** 10.9

Kalimantan Timur 30.0** 4.5** 7.4

Sulawesi Utara 8.0 -9.6** -25.6

Sulawesi Tengah -5.7 -5.7** -17.6

Sulawesi Selatan -0.8 -13.4 0.0

Sulawesi Tenggara 7.8 -22.4** -12.7

Gorontalo 34.6** -0.3 -30.2

Maluku Utara 21.3 22.7** -35.0

Papua 88.1** 53.2 1.4Sumber: Analisis Sakernas 2004. Catatan: Diferensial kondisional berasal dari koefisi variabel dummy for provinsi dalam regresi multivariat untuk pendapatan (yaitu, 100*(exp(b)-1), di mana b adalah koefisi dummy untuk provinsi-spesifik. Sampel tenaga kerja dengan jenjang pendidikan sekolah menengah atau lebih tinggi. +, *, ** menunjukkan tingkat signifikansi 10 persen , 5 persen, dan 1 persen.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 197

LAMPIRAN

Seksi E.9. Penafsiran “Ketentuan 20 persen”

Tabel E.9.1 Alternatif Penafsiran tentang Perhitungan Pengeluaran untuk Rasio Pendidikan

Numerator Denominator Ratio

Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk gaji

(1) Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer ke Daerah)

(1) 9.4

Pemerintah pusat spending on Pendidikan programs tidak termasuk gaji

(2) Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer dana ke daerah)

(1) 7.4

Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan tidak termasuk gaji

(2) Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer dana ke daerah dan gaji dari semua sektor lain)

(2) 10.1

Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan dari departemen dan lembaga lain* termasuk gaji

(3) Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer dana ke daerah)

(1) 11.8

Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan excluding salaries

(4) Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer dana ke daerah)

(1) 9.6

Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan dari departemen dan lembaga lain diluar gaji

(4) Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer dana ke daerah dan gaji untuk sektor lain)

(2) 11.75

Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan dari departemen dan perkiraan transfer dana ke daerah yang dialokasikan untuk Pendidikan

(5) Total belanja pemerintah pusat (termasuk transfer dana ke daerah)

(3) 19.3 *

Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan dari departemen dan perkiraan jumlah transfer ke daerah yang dialokasikan untuk pendidikan diluar gaji

(6) Total belanja pemerintah pusat (termasuk transfer dana ke daerah)

(3) 7.6

Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan dari departemen dan perkiraan jumlah transfer ke daerah yang dialokasikan untuk pendidikan diluar gaji

(6) Total belanja pemerintah pusat (termasuk transfer dana ke daerah, diluar gaji untuk seluruh sektor lain)

(4) 8.65

Total belanja Pendidikan dari Pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/kota (termasuk gaji)

(7) Total belanja nasional: Pusat (APBN minus transfer) + Provinsi (APBD I) + Kabupaten/kota (APBD II)

(5) 16.5

Sumber: Dihitung oleh staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD .Catatan: Angka di dalam kurung kurawal menunjukkan perbedaan angka dalam penyebut dan pembilang.. Perubahan definisi terkait dengan definisi sebelumnya Dicetak dengan huruf miring. *Misalnya, pengeluaran lain yang terkait pendidikan oleh Departemen merupakan kapasitas upaya pembangunan bagi masyarakat untuk bergabung dengan TNI dan Polri, atau SPDN yang kelak akan menjadi Camat. * Perkiraan yang disampaikan di sini tentang Mahkamah Konstitusi pada 7 Februari 7 2006, oleh DepKeu dan Depdiknas. Ini meliputi pendidikan dan pelatihan pendukung bagi 16 Departemen di samping Depdiknas, serta perkiraan Pengeluaran Sektor Pendidikan oleh pemerintah daerah dari (DAU) dan (DAK)

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 198

LAMPIRAN

Lampiran F Kesehatan

Seksi F.1. Program Pemerintah Pusat —Anggaran 2006

Pemerintah menjelaskan isi pokok tentang program pembangunan programs dalam Strategi Pembangunan Jangka Menengah, RPJM, 2004-09. Dua program paling besar adalah ‘Kesehatan Masyarakat ’ dan ‘Kesehatan Pribadi’ dapat diuraikan sbb:

Program Penyediaan Kesehatan Masyarakat: Program ini bertujuan untuk meningkatkan kuantitas, pemerataan, dan mutu layanan kesehatan melalui pusat kesehatan masyarakat dan jaringannya, ditambah dengan kegiatan Pendukung lainnya seperti puskesmas keliling dan bidan desa. Kegiatan utama yang dapat dilakukan melalui program ini meliputi hal-hal berikut:

1. Menyediakan layanan kesehatan kepada penduduk miskin melalui pusat kesehatan masyarakat dan jaringan mereka.

2. Membangun, meningkatkan, dan merehabilitas fasilitas pusat kesehatan masyarakat dan jaringannya. 3. Menyediakan instrumen dan kelengkapan medis, termasuk obat generic yang dibutuhkan.4. Meningkatkan layanan kesehatan primer, dengan memberikan setidaknya upaya promosi kesehatan,

kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, peningkatan gizi, perbaikan lingkungan, layanan kesehatan primer, dan pemberantasan penyakit menular; dan

5. Menyediakan dana operasional dan pemeliharaan.

Program Penyediaan Layanan Kesehatan Pribadi Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses, daya beli, mutu layanan kesehatan pribadi. Kegiatan utama yang dapat dilakukan dalam program ini meliputi:

1. Menyediakan layanan kesehatan kepada penduduk miskin pada rumah sakit kelas tiga. 2. Membangun fasilitas dan infrastruktur rumah sakit pada wilayah marjinal yang ditentukan; 3. Memperbaiki fasilitas dan infrastruktur rumah sakit; 4. Menyediakan obat-obatan dan keperluan untuk rumah sakit; 5. Meningkatkan sistem rujukan layanan kesehatan ;6. Promosi layanan dokter keluarga; 7. Menyediakan dana operasional dan pemeliharaan; dan8. Meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam upaya meningkatkan kesehatan pribadi.

Sumber: Pemerintah RI, RPJM, 2004-09.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 199

LAMPIRAN

Diagram F.2. Pemerataan Alokasi Pengeluaran Publik untuk Kesehatan —Agregat, Dekonsentrasi Anggaran, Daerah dan DAK

y = 0,3957x + 1710,3R2 = 0,1349

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000 500000 550000 600000

y = 0,2142x - 27318R 2 = 0,1231

0

50000

100000

150000

200000

250000

300000

350000

400000

100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000 500000 550000 600000

y = 0,1629x + 27513R 2 = 0,0501

0

50000

100000

150000

200000

250000

300000

350000

400000

450000

500000

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000

y = 0,0216x + 3050R 2 = 0,0232

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

70000

80000

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000 500000

Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota

Peng

elua

ran

Kese

hata

n Pe

r Cap

ita d

iKa

bupa

ten/

Kota

( PA

1DB

2 +e

D , ko

n da

n)K

AD

Peng

elua

ran

Kese

hata

n Pe

r Cap

ita d

iKa

bupa

ten/

Kota

(han

ya u

ntuk

Dan

a D

ekon

sent

rasi

)

Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota

Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota

Peng

elua

ran

Kese

hata

n Pe

r Cap

ita d

iKa

bupa

ten/

Kota

P(A

1DB

2) +Pe

ngel

uara

n Ke

seha

tan

Per C

apita

di

Kabu

pate

n/Ko

ta(h

anya

DA

K)

Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu, 2006.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 200

LAMPIRAN

Tabel F.3. Perbedaan Penghasilan per Bulan dan per Jam—Setelah Mengontrol Karakteristik Individu

Variabel Dependen Log dari Pendapatan per Bulan

Variabel Dependen Log Pendapatan per Jam 108

Persentase Perbedaan Persentase Perbedaan

Dokter64

(6.2)50

(5.0)

Perawat23

(3.9)25

(4.1)

Bidan38

(4.2)36

(4.0)

Petugas kesehatan lainnya19

4.5)29

(6.2)

Usia7

(42.2)8

(45.2)

Usia Kuadrat0

(-35.4)0

(-36.4)

Laki-laki40

(49.5))33

(40.5)

Wilayah Pedesaan-21

(-36.3)-16

(-25.5)

Pend Diploma I & II65

(28.0)103

(38.7)

Pend. Akademi Diploma III79

(35.1)97

(40.2)

Pend. University Diploma IV82

(55.2)114

(68.5)

Konstanta12

(55.2)6

(227)

Observasi 38,671 38,431

R Kuadrat 0.27 0.31

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS, 2006.Catatan: Diferensial kondisional berasal dari koefisi variabel dummy untuk provinsi dalam regresi multivariat untuk pendapatan (yaitu, 100*(exp(b)-1), di mana b adalah koefisi dummy untuk provinsi-spesifik. Nilai t-statistik dalam kurung kurawal. ** menunjukkan tingkat signifikan-

si 1 persen. Penghasilan ditentukan sebagai gaji dalam bentuk tunai dan bentuk lain.

107 Pendapatan per jam dihitung berdasarkan penghasilan per bulan, dibagi jumlah jam kerja yang dilaporkan selama seminggu, lalu dikalikan empat.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 201

LAMPIRAN

Lampiran G Desentralisasi

Tabel G.1. GDP per kapita Regional dan Angka Kemiskinan setelah Desentralisasi

Kuintil 2000 2001 2002 2003 20041 – Paling Tidak Miskin PDRB 9.0 9.1 9.2 9.4 9.8

Pertumbuhan 4.4 4.1 5.0 5.5 Kemiskinan 12.6 9.5 6.6 6.7 6.1

2 PDRB 7.3 7.4 7.5 7.6 7.8 Pertumbuhan 3.4 3.5 3.8 4.4 Kemiskinan 17.2 14.8 12.5 12.0 11.3

3 PDRB 4.2 4.3 4.4 4.4 4.6 Pertumbuhan 3.0 4.5 3.4 4.8 Kemiskinan 26.7 22.4 18.3 17.3 16.3

4 PDRB 3.6 3.7 3.9 4.1 4.2 Pertumbuhan 4.3 5.3 5.8 4.6 Kemiskinan 27.8 26.2 24.6 23.3 22.7

5 – Paling Miskin PDRB 3.9 3.8 4.1 4.1 4.2 Pertumbuhan (0.4) 7.8 4.0 2.0 Kemiskinan 37.7 35.6 33.6 31.7 31.3

Nasional PDRB 5.5 5.5 5.7 5.8 6.0 Pertumbuhan 3.3 4.6 4.4 4.5 Kemiskinan 24.4 21.6 18.8 17.9 17.2

PDRB CoV 2.70 2.70 2.50 2.20 2.10 Gini 0.54 0.53 0.52 0.49 0.48

Kemiskinan CoV 0.62 0.54 0.58 0.52 0.55 Gini 0.33 0.29 0.30 0.29 0.31

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS. Data dihitung untuk tingkat kabupaten/kota di luar DKI Jakarta.Catatan: Pertumbuhan PDRB: PDRB Riil per kapita (Rp juta ); pertumbuhan PDRB riil (%); Angka kemiskinan: Angka Kemiskinan (%).

Tabel G.2. Korelasi antara Kemiskinan dan Struktur Ekonomi, 2000-04

POVHC 2000 2001 2002 2003 2004Total Anggaran (%)

Kaya Miskin Kaya MIskin Kaya Miskin Kaya Miskin Kaya Miskin Kaya Miskin

Pertanian 0.2678** 0.2051** 22 46 15 46 15 47 15 47 15 45

Minyak dan gas 0.0233 - 0.1087 3 3 4 2 5 3 5 3 3 4

Manufaktur - 0.0353 -0.1576** 19 7 20 6 20 6 20 6 19 6

Jasa -0.1923** - 0.1195 55 41 59 42 58 41 58 41 60 41

Non Migas -0.0233 0.1087 97 97 96 98 95 97 95 97 97 96

KOTA -0.2842** - 0.0203 - - - - - - - - - -Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS. Catatan: Data dihitung untuk tingkat kabupaten/kota di luar DKI Jakarta. Kaya (Miskin) mengacu pada kuintil tertinggi (terendah) dalam hal angka kemiskinan per populasi.* dan ** menunjukkan signifikansi secara statistik pada tingkat 0,05 dan 0,01 level.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 202

LAMPIRAN

Seksi G.3. Desentralisasi dan Penyediaan Layanan

Indonesia sedang mengalami peningkatan pemberian layanan kepada masyarakat. Di sektor pendidikan, pemerintah pusat mendorong untuk membangun sekolah di setiap daerah, dan telah menghasilkan peningkatan pendaftaran siswa cukup signifikan sejak 1970s. Saat ini, tingkat pendaftaran di tingkat SD secara universal mencapai angka 72 persen sama dengan tingkat pada tahun 1975. Pada 2004, tingkat pendaftaran bersih untuk SD adalah 94 persen dan tingkat pendaftaran kotor di atas 100 persen. Tingkat Junior pendaftaran bersih di SMP juga mengalami kenaikan secara signifikan dari 18 persen pada 1970-an menjadi 65 persen pada 2004.

Di sektor kesehatan, ada berbagai indikator yang menuinjukkan peningkatan selama beberapa tahun terakhir ini. Pengeluaran publik dari 2001 sampai 2004 telah mengalami kenaikan lebih dari setengah dalam termin yang sesungguhnya. Akan tetapi, distribusi dan cakupannya perlu ditingkatkan lagi. Disparitas antara wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan masih cukup jelas.

Akan tetapi, apakah mutu sudah pula sejalan dengan peningkatan layanan masih perlu dipertanyakan. Bukti-bukti mengenai mutu pemberian layanan publik di daerah juga masih bersifat ambigu. Persepsi masyarakat menunjukkan bahwa sepertinya mutu layanan publik di daerah telah mengalami peningkatan secara marjinal sejak pelaksanaan desentralisasi. Survei yang dilakukan belakangan ini (World Bank, 2004a) menunjukkan bahwa sekitar 60 persen rumah tangga yang diwawancarai memandang bahwa layanan pemerintah kabupaten/kota untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan administrasi telah meningkat walau hanya sedikit sejak 2001.108 Pada saat yang sama, banyak perusahaan swasta mengeluh tentang mutu layanan publik di daerah (von Luebke, 2005). Di antara layanan publik paling penting di daerah menurut kalangan usaha adalah air bersih, dan jalan raya (daerah) (KPPOD, 2004; LPEM-UI, 2005b). LPEM-UI (2005b). Menurut mereka layanan air bersih mengalami kemunduran selama dua tahun terakhir. Sementara isu yang terkait dengan jalan raya tidak secara resmi dimasukkan ke dalam survei LPEM, penelitian menemukan bahwa mayoritas kalangan usaha yang diwawancarai menyatakan bahwa mutu jalan sangat bermasalah.

Tabel G.3.1 Apakah desentralisasi meningkatkan penyediaan layanan? Hasil dari survei yang baru dilaksanakan menunjukkan:

Penelitian Rangkuman metodologi Temuan (terkait pemberian layanan )

GDS (2004)Kaiser, Pattinasarany dan Schulze (2006)

Fokus pada kesehatan, pendidikan, administration, dan kepolisian. Sampel kecil 32 kabupaten/kota di 8 provinsi.

Kesehatan, pendidikan dan layanan administrasi dipandang telah mengalami peningkatan.

Analisis pengeluaran publik Papua dan Kapasitas Harmonisasi (2005)

Pendekatan partisipatif terhadap PER Pemberian layanan tetap berada di bawah standar yang ditentukan pusat untuk daerah terpencil Papua. Akan tetapi, telah terjadi perbaikan dengan peningkatan anggaran pembangunan lewat Dana Otsus.

RICA (2006) Penelitian kualitatif di 5 kabupaten yang berfokus pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Iklim investasi di wilayah pedesaan.

Usaha kecil menengah di kabupaten masih mengeluh tentang hambatan permintaan, akses terhadap kredit, kondisi infrastruktur jalan dan listrik i yang buruk.

MSWP (2006) Penilaian lintas sektoral terhadap pemberian layanan di Indonesia menggunakan sumber data sekunder.

Pemberian layanan mengalami kemunduran setelah desentralisasi pada 2001; Isunya adalah pengeluaran publik yang tidak efisien, mutu yang rendah, dan kesenjangan terhadap dam keluaran.

Analisis pengeluaran publik Aceh dan Nias (2006)

Pendekatan partisipatif terhadap PER dengan kontribusi dari survei GDS dan Kerangka Pengukuran Manajemen Keuangan Publik.

Peningkatan sumber fiskal akan memberi dampak positif Aceh. pengeluaran pemerintah untuk sektor-sektor kunci masih rendah dan perlu diperbaiki.

108 Hasil-hasil ini harus diperlakukan dengan hati-hati jika ingin digunakan untuk generalisasi mengenai Indoneis secara keseluruhan.Sampel rumah tangga yang diwawancarai sangat sedikit dan hanya mencakup8 provinsi.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 203

LAMPIRAN

Tabe

l G

.4. F

orm

ula

DAU

, 200

1-06

20

0120

0220

0320

0420

0520

06Ba

sic A

lloca

tion

(%)a

- S

DO

/Inpr

es

80

- Pro

port

iona

l Wag

e Bi

ll50

4540

40

- 100

% W

age

Bill

50

- Lum

p Su

m1.

5010

55

5Fo

rmul

a-Ba

sed

Allo

catio

na

- F

iscal

Gap

For

mul

a18

.50

4050

5555

50

Fisc

al C

apac

ity F

orm

ula

Ave

(OSR

t + P

BBt +

BP

HTB

t) *

Ave

(IGRD

P_SD

+ IG

RDP_

nonS

DA

+

IWor

king

_Age

)

OSR

i* +

STX

i +

0.75

*SD

AiO

SRi*

+ S

TXi +

0.

75*S

DAi

0.5*

OSR

i* +

STX

i +

SDAi

0.5*

OSR

i* +

STX

i +

SDAi

OSR

i + S

TX +

SD

A

Expe

nditu

re N

eeds

For

mul

ab

(0.2

5*IP

OPi

+0.

25*I

POV

GAP

i+0.

25*I

AREA

i+0.

25*

ICO

STRE

Li) *

Ave_

Exp

(0.4

*IPO

Pi +

0.1*

IPO

VGAP

i+0.

1*IA

REAi

+0.

4*IC

OST

RELi

)*A

ve_E

xp

(0.4

*IPO

Pi +

0.1*

IPO

VG

APi+

0.1*

IARE

Ai+

0.4

*ICO

STRE

Li)*

Ave_

Exp

(0.4

*IPO

Pi +

0.1*

IPO

VG

APi+

0.1*

IARE

Ai+

0.4

*ICO

STRE

Li)*

Ave_

Exp

(0.4

*IPO

Pi +

0.1*

IPO

VGAP

i+0.

1*IA

REAi

+0.

4*IC

OST

RELi

)*A

ve_E

xp

(0.3

*IPO

Pi +

0.1*

1/H

DIi+

0.15

*IAR

EAi+

0.3*

ICO

STRE

LiCo

st+

0.15

*IG

RDPP

Ci)*

Ave

_Exp

N

ote:

a: B

agia

n da

ri To

tal D

AU (P

ropi

nsi &

Kab

upat

en/k

ota)

IPO

P: I

ndek

s Pop

ulas

i

b: P

AD/O

SR d

iper

kira

kan

anal

isis

regr

esi d

ari P

DRB

seb

enar

nya

terh

adap

pe

ndap

atan

regi

onal

yan

g di

ukur

den

gan

GRD

PIP

OVG

AP: I

ndek

s Kem

iskin

an

PBB

: Paj

ak b

umi d

an b

angu

nan

IARE

A: I

ndek

s Wila

yah

BPH

TB: P

enda

pata

n da

ri be

a ba

lik n

ama

atas

tana

h da

n ba

ngun

anIC

OST

REL

: Ind

eks B

iaya

STX

: Pen

dapa

tan

paja

k H

DI

: Ind

eks P

emba

ngun

an M

anus

iaSD

A: P

enda

pata

n da

ri Su

mbe

r Day

a Al

amIG

RDPP

C: I

ndek

s PD

RB P

er k

apita

Subs

crip

t “t”

men

unju

kkan

tota

l dan

subs

crip

t “i“

men

unju

kkan

mas

ing-

mas

ing

kabu

pate

n/ko

ta.

Sum

ber:

Dat

a D

epKe

u.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 204

LAMPIRAN

Tabel G.5. Skema Penerimaan Bagi Hasil

Pembagian (%)

Provinsi penghasil

(%)

Kabupaten/Kota Penghasil (%)

Lain-lain (%) Catatan Tambahan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

- Pusat 10 6.50Didistribusikan merata ke seluruh kabupaten/kota

3.50Didistribusikan berdasarkan insentif

- Daerah 90 16.20 64.80 9 Biaya Pengumpulan

BPHTB

- Pusat 20 20Didistribusikan merata ke seluruh kabupaten/kota

- Daerah 80 16 64

Pajak Penghasilan

- Pusat 80

- daerah 20 8 8.4 3.60Didistribusikan secara merata ke seluruh kabupaten/kota di Provinsi

Sumber Daya Alam Pusat(%)

Daerah(%)

Provinsi(%)

Kabupaten/kota penghasil

(%)

Kabupaten/ kota lainnya di

Provinsi(%)

Kabupaten/kota lainnya

(%)

Kehutanan Iuran pemakaian (IIUPH) 20 80 16 64Provisi sumber daya hutan 20 80 16 32 32Dana Reboisasi 60 40 40Pertambangan UmumSewa tanah dari kabupaten/kota

20 80 16 64

Royalty dari kabupaten/kota 20 80 16 32 32Sewa tanah dari Propinsi 20 80 80Royalty dari Propinsi 20 80 26 54PerikananPendapatan usaha perikanan 20 80 80

Pendapatan dari produk perikanan

20 80 80

MinyakDari kabupaten/kota 85 15.5 3.1 6.2 6.2Dari Propinsi 85 15.5 5.17 10.33GasDari kabupaten/kota 69.5 30.5 6.1 12.2 12.2Dari Propinsi 69.5 30.5 10,17 20,33GeothermalBagian untuk Pemerintah 20 80 16 32 32Iuran Tetap dan Iuran Produksi 20 80 16 32 32

Sumber : UU No. 33/2004 dan PP No. 55/2005.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 205

LAMPIRAN

Diagram G.6. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Berdasarkan Sektor, 1991-2005

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05

Rp miliar (harga yang berlaku)

Urban Rural Estate Kehutanan Pertambangan

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data Dirjen Pajak – DepKeu.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 206

LAMPIRAN

Seksi G.7. Biaya Pengumpulan Pajak Daerah

Rasio biaya-hasil memiliki rentangan antara hanya 15 persen (rendah) sampai dengan 264 persen(tinggi)! Biaya administrasi pajak yang sebenarnya melebihi pendapatan pajak itu sendiri sekitar 10 persen dari seluruh pemerintah kabupaten/kota. Studi empiris menunjukkan bahwa biaya administrasi yang tidak efisien meningkat karena setoran dari pusat mengalami kenaikan (Lewis, 2006a).

Diagram G.7.1 Biaya Administrasi Pengumpulan Pajak Pemerintah Kabupaten/kota terhadap Pendapatan Pajak (Rasio Biaya-Hasil), 2003

0

10

20

30

40

50

60

70

30 64 97 131 164 198 231 264Cost-to-Yield Ratio (x 100)

Frekuensi

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Ditjen Pajak–data DepKeu.

Kegiatan administrasi untuk mengumpulkan pajak bagi pemerintah kabupaten/kota memerlukan tenaga kerja yang intensif. Jumlah staf Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah) sangat beragam antara satu pemerintah kabupaten/kota dengan yang lain. Sementara pemerintah kabupaten/kota yang kecil mungkin memperkerjakan sekitar 50 civil PNS, untuk kola besar seperti Medan dan Surabaya, mungkin memperkerjakan ratusan pegawai tetap. Hanya beberapa Dispenda yang menggunakan teknologi informatika dalam administrasi pajak. Sistem administrasi perhitungan ditentukan oleh Departemen Dalam Negeri pada sejumlah pemerintah kabupaten/kota yang besar pada awal tahun 1990-an, tetapi hal ini sudah tidak digunakan lagi, 2004).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 207

LAMPIRAN

Diagram G.8. Dana Cadangan Per kapita Pemerintah Daerah berdasarkan Provinsi , Oktober 2006

- 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000

Kalimantan Timur

Papua

Nangroe Aceh Darussalam

Riau

Bangka Belitung

Kalimantan Tengah

DKI Jakarta

Kalimantan Selatan

Bengkulu

Sumatera Barat

Nusa Tenggara Timur

Sumatera Selatan

Kalimantan Barat

Sulawesi Tengah

Jambi

Maluku

Bali

Sumatera Utara

Gorontalo

D.I. Yogyakarta

Sulawesi Tenggara

Sulawesi Selatan

Jawa Timur

Lampung

Sulawesi Utara

Nusa Tenggara Barat

Jawa Tengah

Jawa Barat

Banten

Ribu

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data Bank Indonesia.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 208

LAMPIRAN

Tabel G.9. Pengelompokkan Kabupaten/kota berdasarkan Tingkat Kemiskinan, PDRB, & Pendapatan Fiskal

Tingkat Kemiskinan yang Rendah

Pendapatan Fiskal per kapita yang rendah Pendapatan Fiskal per kapita yang tinggi

Low GRDP Per kapita High GRDP Per kapita Low GRDP Per kapita High GRDP Per kapitaKab. Banjar Kab. Agam Kab. Badung Kab. Bangka Kota BitungKab. Buleleng Kab. Asahan Kab. Bangli Kab. Barito Selatan Kota BontangKab. Bulukumba Kab. Bandung Kab. Bantaeng Kab. Barito Timur Kota BukittinggiKab. Ciamis Kab. Barito Kuala Kab. Barru Kab. Barito Utara Kota CilegonKab. Garut Kab. Bekasi Kab. Bengkayang Kab. Belitung Kota CirebonKab. Jepara Kab. Bogor Kab. Bungo Kab. Bengkalis Kota DumaiKab. Karangasem Kab. Deli Serdang Kab. Hulu Sungai Selatan Kab. Gunung Mas Kota KediriKab. Lebak Kab. Gianyar Kab. Hulu Sungai Tengah Kab. Hulu Sungai Utara Kota KendariKab. Pandeglang Kab. Karawang Kab. Maluku Utara Kab. Jembrana Kota KupangKab. Pesisir Selatan Kab. Kudus Kab. Muaro Jambi Kab. Kampar Kota LangsaKab. Sambas Kab. Labuhan Batu Kab. Sangihe Talaud Kab. Kapuas Kota LhokseumaweKab. Sanggau Kab. Limapuluh Kota Kab. Sidenreng Rappang Kab. Karimun Kota MadiunKab. Semarang Kab. Luwu Utara Kab. Sinjai Kab. Katingan Kota MagelangKab. Serang Kab. Minahasa Kab. Soppeng Kab. Kepulauan Riau Kota MojokertoKab. Solok Kab. Padang Pariaman Kab. Takalar Kab. Klungkung Kota Padang PanjangKab. Sukabumi Kab. Pasaman Kab. Tebo Kab. Kota Baru Kota PalangkarayaKab. Sukoharjo Kab. Pontianak Kota Banjar Baru Kab. Kotawaringin Barat Kota PalopoKab. Sumedang Kab. Purwakarta Kota Batu Kab. Kotawaringin Timur Kota PaluKab. Temanggung Kab. Sawahlunto Sijunjung Kota Bima Kab. Kutai Barat Kota Pangkal PinangKab. Wajo Kab. Sidoarjo Kota Blitar Kab. Lamandau Kota PariamanKota Bogor Kab. Subang Kota Gorontalo Kab. Murung Raya Kota PasuruanKota Depok Kab. Tanah Datar Kota Metro Kab. Natuna Kota PayakumbuhKota Mataram Kab. Tangerang Kota Pagar Alam Kab. Pulang Pisau Kota Pekanbaru

Kota Bandar Lampung Kota Pare-pare Kab. Rokan Hilir Kota PrabumulihKota Bandung Kota Salatiga Kab. Seruyan Kota SamarindaKota Banjarmasin Kota Tegal Kab. Sukamara Kota SawahluntoKota Batam Kota Ternate Kab. Tabalong Kota SibolgaKota Bekasi Kab. Tabanan Kota SingkawangKota Cimahi Kab. Tanah Laut Kota SolokKota Denpasar Kab. Tanjung Jabung Timur Kota SukabumiKota Jambi Kab. Tapin Kota Tanjung BalaiKota Makassar Kota Ambon Kota Tanjung PinangKota Malang Kota Balikpapan Kota TarakanKota Manado Kota Banda Aceh Kota Tebing TinggiKota Medan Kota Bengkulu Kota YogyakartaKota Padang Kota Binjai Kota Palembang Kota Pekalongan Kota Pontianak Kota Semarang Kota Surabaya Kota Surakarta Kota Tangerang

Kota Tasikmalaya

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 209

LAMPIRAN

Tingkat Kemiskinan yang Tinggi

Pendapatan Fiskal Per kapita yang Rendah Pendapatan Fiskal Per kapita yang Tinggi

PDRB per kapita rendah PDRB per kapita PDRB per kapita rendah PDRB per kapita tinggiKab. Bangkalan Kab. Lumajang Kab. Banyuasin Kab. Aceh Tenggara Kab. Aceh Barat DayaKab. Banjarnegara Kab. Luwu Kab. Cilacap Kab. Alor Kab. Aceh BesarKab. Bantul Kab. Madiun Kab. Donggala Kab. Banggai Kab. Aceh SelatanKab. Banyumas Kab. Magelang Kab. Gresik Kab. Banggai Kepulauan Kab. Aceh TamiangKab. Banyuwangi Kab. Magetan Kab. Indramayu Kab. Bengkulu Selatan Kab. Aceh UtaraKab. Batang Kab. Majalengka Kab. Kendal Kab. Boalemo Kab. BatanghariKab. Belu Kab. Malang Kab. Muara Enim Kab. Dompu Kab. BireuenKab. Bengkulu Utara Kab. Manggarai Kab. Parigi Moutong Kab. Ende Kab. DairiKab. Bima Kab. Mojokerto Kab. Rejang Lebong Kab. Enrekang Kab. Fak FakKab. Blitar Kab. Nganjuk Kab. Simalungun Kab. Gorontalo Kab. Indragiri HilirKab. Blora Kab. Ngawi Kab. Sleman Kab. Halmahera Tengah Kab. Indragiri HuluKab. Bojonegoro Kab. Ogan Komering Ilir Kab. Sumbawa Kab. Kapuas Hulu Kab. KolakaKab. Bondowoso Kab. Pacitan Kab. Tapanuli Utara Kab. Kulon Progo Kab. Kuantan SingingiKab. Bone Kab. Pamekasan Kab. Tulang Bawang Kab. Kupang Kab. MalinauKab. Boyolali Kab. Pasuruan Kab. Tulungagung Kab. Majene Kab. ManokwariKab. Brebes Kab. Pati Kab. Maluku Tengah Kab. MeraukeKab. Buton Kab. Pekalongan Kab. Maluku Tenggara Kab. MorowaliKab. Cianjur Kab. Pemalang Kab. Maluku Tenggara Barat Kab. Musi BanyuasinKab. Cirebon Kab. Polewali Mamasa Kab. Mamuju Kab. Musi RawasKab. Demak Kab. Ponorogo Kab. Maros Kab. Nagan Raya

Kab. G. Kidul Kab. Probolinggo Kab. NabireKab. Pangkajene Kepulauan

Kab. Gowa Kab. Purbalingga Kab. Ngada Kab. PasirKab. Grobogan Kab. Purworejo Kab. Paniai Kab. PelalawanKab. Jember Kab. Rembang Kab. Poso Kab. Penajam Paser UtaraKab. Jeneponto Kab. Sampang Kab. Pulau Buru Kab. Rokan HuluKab. Jombang Kab. Sikka Kab. Puncak Jaya Kab. SarolangunKab. Karanganyar Kab. Sintang Kab. Rote Ndao Kab. SorongKab. Kebumen Kab. Situbondo Kab. Selayar Kab. Tanah Karo

Kab. Kediri Kab. Sragen Kab. Sumba TimurKab. Tanjung Jabung Barat

Kab. Kendari Kab. Sumba Barat Kab. Timor Tengah Utara Kab. Toba SamosirKab. Ketapang Kab. Tana Toraja Kab. Yapen Waropen Kab. Toli ToliKab. Klaten Kab. Tanggamus Kota Lubuk Linggau Kota Bau-bauKab. Lahat Kab. Tapanuli Selatan Kota JayapuraKab. Lamongan Kab. Tapanuli Tengah Kota ProbolinggoKab. Lampung Barat Kab. Tasikmalaya Kota SorongKab. Lampung Selatan Kab. Tegal Kab. Lampung Tengah Kab. Timor Tengah Selatan Kab. Lampung Utara Kab. Trenggalek Kab. Landak Kab. Tuban Kab. Lombok Barat Kab. Wonogiri Kab. Lombok Tengah Kab. Wonosobo Kab. Lombok Timur

Sumber: Perkiraan stf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan data BPS.