the elementary forms of religious life · 2016-06-09 · emile durkheim introduction 1 ......

66
BOOK REVIEW: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE Author: EMILE DURKHEIM Introduction 1 Buku ini dipersiapkan untuk mempelajari pemahaman yang paling primitf dari agama-agama yang dikenal saat ini. Hal ini dilakukan untuk menemukan prinsip- prinsip agama itu dan usaha untuk menjelaskannya. Sebuah sistem beragama dikatakan sangat primitif bila memenuhi observasi ketika dia berjumpa dengan dua kondisi, yaitu: Pertama, sistem beragama itu harus ditemukan dalam masyarakat sederhana yang mana organisasinya tidak ada di beberapa tempat. Kedua, sistem beragama itu dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. Buku ini akan membuat upaya untuk menjelaskan sistem organisasi agama itu dengan semua perhatian dan ketelitian sebagaimana seorang ahli budaya atau seorang sejarawan yang akan membuat sebuah penelitian. Buku ini meneliti agama yang sangat kuno sebagai subjek penelitian karena agama kuno tersebut lebih konprehensif menjelaskan dasar agama tentang kemanusiaan. Agama kuno lebih jelas mengungkapkan aspek kemanusiaan yang mendasar dan permanen. 2 Melalui buku ini ditemukan penjelasan hakekat religious manusia, sebab agama- agama kuno mampu memperlihatkan aspek kemanusiaa yang paling fundamendal dan mendasar. Pada dasarnya tidak ada agama yang salah. Semua agama itu benar menurut bentuknya masing-masing. Semua agama memenuhi syarat-syarat eksistensi kemanusiaan meskipun itu dengan cara yang berbeda. Namun, agama- agama yang berbeda itu dapat diurutkan secara hierarki, dimana beberapa aspek beragama itu dinyatakan lebih unggul atau kaya daripada yang lain dalam hal ide kemanusiaan, serta kecapakan yang lebih baik memerankan ide-ide kemanusiaan itu. 3 Mengapa agama primitif dijadikan sebagai ojek penelitian dalam buku ini ? Pertama, kita tidak akan tiba pada sebuah pemahama tentang agama-agama modern tanpa menelusuri cara beragama masa lalu yang mana agama tersebut secara bertahap mengambil bentuk. Kedua, Dengan menampakkan agama itu pada situasi

Upload: trinhkhuong

Post on 07-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

BOOK REVIEW:

THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE

Author:

EMILE DURKHEIM

Introduction

1 Buku ini dipersiapkan untuk mempelajari pemahaman yang paling primitf dari

agama-agama yang dikenal saat ini. Hal ini dilakukan untuk menemukan prinsip-

prinsip agama itu dan usaha untuk menjelaskannya. Sebuah sistem beragama

dikatakan sangat primitif bila memenuhi observasi ketika dia berjumpa dengan dua

kondisi, yaitu:

Pertama, sistem beragama itu harus ditemukan dalam masyarakat sederhana

yang mana organisasinya tidak ada di beberapa tempat. Kedua, sistem beragama itu

dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut.

Buku ini akan membuat upaya untuk menjelaskan sistem organisasi agama itu

dengan semua perhatian dan ketelitian sebagaimana seorang ahli budaya atau

seorang sejarawan yang akan membuat sebuah penelitian. Buku ini meneliti agama

yang sangat kuno sebagai subjek penelitian karena agama kuno tersebut lebih

konprehensif menjelaskan dasar agama tentang kemanusiaan. Agama kuno lebih

jelas mengungkapkan aspek kemanusiaan yang mendasar dan permanen.

2 Melalui buku ini ditemukan penjelasan hakekat religious manusia, sebab agama-

agama kuno mampu memperlihatkan aspek kemanusiaa yang paling fundamendal

dan mendasar. Pada dasarnya tidak ada agama yang salah. Semua agama itu benar

menurut bentuknya masing-masing. Semua agama memenuhi syarat-syarat

eksistensi kemanusiaan meskipun itu dengan cara yang berbeda. Namun, agama-

agama yang berbeda itu dapat diurutkan secara hierarki, dimana beberapa aspek

beragama itu dinyatakan lebih unggul atau kaya daripada yang lain dalam hal ide

kemanusiaan, serta kecapakan yang lebih baik memerankan ide-ide kemanusiaan itu.

3 Mengapa agama primitif dijadikan sebagai ojek penelitian dalam buku ini ?

Pertama, kita tidak akan tiba pada sebuah pemahama tentang agama-agama modern

tanpa menelusuri cara beragama masa lalu yang mana agama tersebut secara

bertahap mengambil bentuk. Kedua, Dengan menampakkan agama itu pada situasi

Page 2: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

dimana dia dilahirkan, maka kita dapat mengidentifikasi penyebab agama itu

menjadi ada.

Book One

The Elementary Question

21 Observasi dan identifikasi agama-agama primitif dapat memberikan pemahaman

bagi kita tentang apa agama itu. Namun, agama itu mesti didefinisikan terlebih

dahulu. Jika hal itu tidak dilakukan, maka resiko yang terjadi adalah pemahaman

atas ide dan praktek beragama tidak sesuai dengan cara berpikir dari agama itu

sendiri, atau fenomena beragama akan terlewatkan tanpa menyadari bahwa itu

adalah fenomena beragama.

Hal yang wajib dilakukan adalah menentukan beberapa aspek kasat mata yang

memungkinkan kita memiliki pemahaman atas fenomena religius dimana saja.

Dengan demikian, kita dapat menghindarkan diri dari pencampuradukan dengan

fenomena yang bukan religius.

22 Karakteristik yang dianggap melekat menjadi sesuatu yang religius adalah konsep

supernatural. Supernatural adalah dunia misteri, yang tidak dapat diketahui atau

yang tidak dapat dipahami. Menurut Spencer, agama yang ajaran-ajarannya

kadangkala berlawanan, diam-diam sepakat bahwa dunia beserta isinya adalah

sebuah misteri yang membutuhkan penjelasan. Mempertajam ini, Max Muller juga

berakata bahwa agama merupakan usaha untuk memahami segala hal yang belum

dapat dipahami dan mengungkapkan hal yang belum dapat diungkapkan.

23 Tentu peran yang dimainkan oleh perasaan misteri atau supernatural belum penting

dalam agama-agama tertentu, termasuk Kristen. Meski begitu, pentingnya peran

misteri ini telah menunjukkan variasi yang berbeda dalam sejarah Kristen. Ada

periode sejarah kekristenan ketika gagasan misteri menjadi yang sekunder dan

bahkan pudar sama sekali. Abad ketujuh belas, misalnya, dogma Kristen

mengandung pemikiran yang sudah matang, tentu dengan argumen-argumen yang

rasional. Dengan demikian, iman mudah mendamaikan dirinya dengan ilmu

pengetahuan dan filsafat.

Tentunya ketika kita melihat manusia menghubungkan atau menganggap alam

lahir dari prinsip-prinsip mahatingging yang terbuat dari unsur-unssur dari alam itu

Page 3: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

sendiri, maka dengan mudah kita dapat mencium bau misteri disana. Dalam nalar

modern, kita akan menemui kesulitan memahami mengapa orang bisa melekatkan

diri mereka pada ide-ide supranatural hanya karena mereka tidak mampu

menemukan cara-cara yang lebih rasional.

24 Ide supernatural dalam agama menurut buku ini baru muncul akhir-akhir ini. Ide ini

berangkat dari pemahaman bahwa yang supernatural itu merupakan lawan dari apa

yang ada sekarang

45 Agama yang paling sederhana yang diperkenalkan dalam sejarah kepada kita

merupakan sesuatu yang kompleks sehingga tidak cocok dikaitkan dengan

masyarakat sehinga tidak cocok dikaitkan dengan masyarakat yang memiliki

mentalitas primitif. Agama-agama primitif kini merupakan hasil akhir dari proses

evaluasi yang panjang. Agar kita dapat mengetahui bentuk asal kehidupan religius,

maka penting untuk mengidentifikasi elemen-elemen dasar dan mencari tahu apakah

satu elemen berasal dari elemen lainnya.

Ada dua teori yang digunakan orang untuk menjelaskan awal mula pemikiran

religius. Pertama, Naturisme, yaitu pemahaman yang ditujukan pada fenomena di

alam, kekuatan-kekuatan kosmis seperti angin, sungai, bintang langit, atau segala

jenis yang ada di permukaan bumi, seperti tanaman, batu dan sebagainya.

Kedua, Animisme, yaitu pemahaman yang ditujukan pada hal-hal spritual,

seperti: roh, jiwa, setan, dewa-dewi. Makhluk-makhluk ini adalah pelaku-pelaku ang

hidup dan berkesadaran, tetapi berbeda dengan manusia dalam hal kekuatan-

kekuatan yang dimilikinya. Beberapa kalangan mengatakan bahwa animisme

merupakan agama yang paling mendasar, dan naturisme hanya bentuk sekunder dari

agama.

47 Tiga syarat harus dijumpai jika praktek dan keyakinan anisme dikatakan sebagai

bentuk asli dari kehidupan beragama. Pertama, harus perlihatkan bahwa ide tentang

jiwa tidak diambil dari agama-agama sebelumnya. Kedua, menunjukkan pemujaan

jiwa-jiwa berubah menjadi pemujaan roh. Ketiga, menjelaskan pemujaan roh

memunculkan pemujaan agama.

Teori animisme menjelaskan tentang kehidupan ganda manusia, yaitu

kehidupan saat terjaga dan kehidupan saat tidur. Menurut orang-orang primitif,

gambaran-gambaran dalam pikiran sama pentingnya dalam kondisi terjaga atau

bermimpi. Artinya, gambaran-gambaran itu merupakan citra dari objek eksternal.

Misalnya, bila seseorang bermimipi mengunjungi sebuh negera yang jauh, dia

Page 4: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

percaya bahwa dia benar-benar pergi ke sana. Situasi ini hanya dapat terjadi bila ada

dua tubuh dalam dirinya. Tubuh yang satu terlelap di atas ranjang yang akan didapati

pada posisi yang sama ketika bangun, dan tubuh yang lain adalah yang melintasi

ruang pada waktu bersamaan. Dari pengalaman seperti ini, sedikit demi sedikit,

muncul ide tentang diri yang lain, yang dapat nyata pada masing-masing orang. Pada

kondisi tertentu, diri yang lain ini memiliki kekuatan untuk meninggalkan tubuh

dimana di tinggal dan pergi jauh.

Tentu saja, kehidupan ganda ini melandasi seluruh makhluk yang kasat mata.

Tubuh yang tidak kelihatan itu lebih bebas bergerak dari tubuh yang kelihatan

karena dia dapat melintasi jarak yang sangat jauh dengan waktu yang sangat singkat.

Tubuh yang tidak kelihatan lebih lemah dan lentur, karena untuk meninggalkan

tubuh yang kelihatan, tubuh yang tidak kelihatan itu dapat melewati rongga tubuh,

seperti mulut dan hidung. Tubuh yang tidak kelihatan ini jauh lebih ringan serta

halus dari benda yang kita lihat selama ini. Di berbagai suku-suku, seperti di

Australia, memotong jari jempol kanan musuhnya setelah mereka dibunuh bertujuan

agar jiwa lepas dari tubuh sehingga tidak bisa lagi melemparkan tombak dan

melakukan balas dendam kepada yang lain.

48-49 Jiwa harus dipisahkan dari badan sebab jiwa merupakan bagian badan yang tidak

punya substansi sama sekali, seperti cahaya dan udara. Ia tidak memiliki daging,

tulang, ataupun urat syaraf. Tetapi jiwa dengan roh harus dipisahkan sebab dua

unsur itu memiliki perbedaan. Jiwa jarang terikat dengan satu tubuh; dan saat jiwa

itu tidak ada, maka dia tidak dapat dipergunakan sebagai objek pemujaan.

Sebaliknya, roh dapat menjadikan tempat-tempat tertentu sebagai tempat

berdiamnya, tetapi sewaktu-waktu roh itu dapat meninggalkannya. Agar manusia

dapat berhubungan dengan roh itu, maka manusia dapat melakukan ritual-ritual

penyembahan.

Titik persinggungan antara jiwa dan roh ialah saat jiwa dapat mermetamorfosa

menjadi roh. Metamorfosa ini terjadi melalui realitas kematian. Kematian dianggap

sebagai peristiwa terpisahkan jiwa dan tubuh, sama seperti keterpisahan yang terjadi

setiap malam. Namun, keterpisahan itu bersifat final manakal tubuh menghadapi

proses penghancuran dalam kubur.

Pada situasi ini, roh terpisah dari tubuh dan melayang bebas, dimana populasi

jiwa-jiwa terbentuk di sekitar mereka yang hidup dengan jumlah yang terus

bertambah. Jiwa-jiwa itu memiliki keinginan dan nafsu seperti manusia biasa. Itu

Page 5: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

sebabnya mereka berusaha untuk terlibat lagi dalam kehidupan manusia. Keadaan

kehidupan jiwa-jiwa ini membuat mereka menjadi sekutu yang baik dan jahat bagi

manusia. Maka setiap orang yang masih terbiasa hidup menggunakan cara berpikir

pemisahan tubuh dan jiwa menganggap kehidupan yang tidak bisa dijelaskan adalah

yang berkaitan dengan jiwa-jiwa itu. Akibatnya, segala sesuatu akan dijelaskan

dalam kerangka sebab-akibat roh-roh yang baik dan yang jahat itu.

Misalnya, apakah seseorang itu sah dalam berbicara ?, maka roh kebaikan ada di

dalamnya. Apakah seseorang itu dirasuki roh jahat dan kegilaan ?, maka roh jahat

yang merasuki tubuhnya. Hingga pada satu pemahaman, bahwa tidak ada penyakit

yang tidak dihubungkan dengan kekuatan jahat ini.

Dengan cara berpikir demikian, maka manusia terperangkap dalam dunia

imajiner, walaupun pencipta dan pelaku pencipta dunia ini adalah dia sendiri.

Manusia menjadi pengikut kekuatan-kekuatan spritual yang dia ciptakan sendiri

karena jiwa-jiwa ini terlalu banyak campur tangan dalam mengurus kesehatan dan

penyakit atau baik buruknya sesuatu. Akibatnya, akan muncul keinginan untuk

menyenangkan hatinya atau membujuk roh-roh itu. Dari kondisi inilah muncul

sesembahan, kurban, doa, dan seluruh bagian-bagian dalam peribadatan religius.

Pemujaan yang pertama dilakukan oleh masyarakat primitif ditujukan kepada

orang mati. Sehingga, ritus yang pertama dilakukan oleh manusia ialah ritus

kematian.

50 Di kemudian hari, masyarakat primitif melakukan perluasan pemahaman terhadap

jiwa-jiwa, terutama untuk memahami fenomena alam. Jiwa benda yang tidak

bernyawa tetap tinggal dalam benda-benda itu dan dipandang sebagai penyebab

segala kejadian menyangkut benda tersebut. Kesehatan atau penyakit, ketangkasan

dan kelemahan, dan lain sebagainya dapat dijelaskan dengan jiwa-jiwa manusia.

Sedangkan fenomena alam fisik, seperti aliran air, gerakan binatang-binatang,

berseminya tanaman, perkembangbiakan binatang dan lain sebagainya, dijelaskan

dengan jiwa benda-benda. Maka filsafat tentang manusia pada akhirnya berubah

menjadi filsafat tentang dunia (kosmis).

Ketergantungan manusia dengan jiwa nenek moyang, sebenarnya hendak

menjelaskan ketergantungan manusia itu pada benda-benda. Manusia percaya bahwa

dia juga membutuhkan roh-roh yang dianggap menghidupkan benda-benda dan

mengawasi wujudnya. Maka untuk mendapatkan pertolongannya, manusia

Page 6: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

memberikan sesembahan dan doa-doa. Maka, sentuhan akhir agama manusia adalah

agama alam.

51 Menurut Herbert Spencer, sebagian besar masyarakat terbelakang memiliki

kebiasaan umum menamakan seseorang dengan nama binatang, taman, bintang, atau

lainnya pada waktu kelahirannya. Sehubungan dengan keterbatasan masyarakat itu

untuk membedakan metafora dan realita, maka lambat laun masyarakat primitif

kehilangan pandang yang jernih dengan memaknai nama itu secara harafiah.

Akhirnya, mereka memahami bahwa nenek moyang yang dinamakan singa atau

haramau itu adalah singa atau harimau yang sebenarnya. Maka pemujaan yang

menjadikan nenek moyang sebagai obyeknya berubah menjadi pemujaan terhadap

binatang, karena nenek moyang dan binatang telah menjadi satu dan sama. Agama

alam menggantikan agama sebelumnya yang memuja nenek moyang.

52-56 Masih ada teori Tylor lain yang juga sangat kuat. Karena hipotesa-hipotesanya

tentang mimpi dan bagaimana munculnya ide tentang jiwa dan roh masih kuat, maka

hal ini tentu perlu dikaji lebih jauh.

Pertama, walaupun jiwa dalam hal tertentu tergantung pada tubuh tempat ia

hidup, namun ia tergabung dengan tubuh, dan sudah barang tentu tidak bisa

dipisahkan darinya. Organ-organ tertentu tidak hanya merupakan tempat khusus bagi

jiwa, tetapi juga merupakan bentuk perwujudan fisik dari jiwa tersebut. Antara tubuh

dan jiwa adalah dua hakekat yang sama sekali berbeda meskipun masyarakat primitf

tidak bisa menjelaskan pemahaman dualitas bahwa tubuh dan jiwa saling terkait,

sebuah kesatuan dan interpenetrasi yang intim satu sama lain.

Kedua. Untuk memahami ide yang kedua ini, kita mesti berangkat dari titik

awal tentang mimpi. Telah disebutkan sebelumnya bahwa untuk memahami kenapa

seseorang bisa melihat tempat-tempat yang jauh, padahal tubuhnya waktu itu

terbaring di ranjang, dapat dijelaskan melalui dua pribadi dalam manusia itu. Pribadi

pertama ialah tubuhnya sendiri dan pribadi kedua ialah yang bisa meninggalkan

tubuh dan bergerak melintasi ruang. Namun, ada hipotesa baru tentang mimpi-

mimpi itu. Misalnya, mengapa orang tidur tidak bisa bermimpi tentang

kemampuannya unntuk pergi ke tempat yang jauh sewaktu tidur ?

Seringkali mimpi-mimpi kita merujuk pada kejadian-kejadian masa lalu. Kita

melihat lagi apa telah dilihat atau lakukan waktu terjaga kemarin, kemarin lusa,

masa muda kita dan lain-lain; mimpi seperti itu sangat lumrah yang barangkali

memenuhi sebagian besar malam-malam kita seumur hidup. Meskipun demikian,

Page 7: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

fenomena itu belum cukup menjelaskan tentang ide kegandaan manusia itu sendiri.

Sekalipun pribadi yang kedua itu bisa memindahkan dirinya dari satu tempat ke

tempat lain, namun tetap tidak akan bisa dipahami bagaimana tubuh yang lain itu

bisa kembali dalam aliran waktu.

Hal yang tidak bisa dijelaskan ketika orang-orang lain yang ikut serta bersama

kita mempunyai peran yang tidak berbeda dari kita. Kita mengira telah melihat dan

mendengarnya sama dengan dia melihat dan mendengar kita. Menurut paham

animisme, bahwa dirinya yang kedua itu telah dikunjungi atau dijumpai oleh diri

kedua orang lain. Tetapi apa yang mereka alami tidak sama dengan apa yang akan

ditanyankannya pada mereka setelah bangun, meskipun di saat yang bersamaan

mereka juga mengalami mimpi-mimpin namun mimpi itu berlainan satu sama lain.

Mereka tidak menganggap terlibat dalam adegan yang sama.

Fenomena ini merupakan kontradiksi-kontradiksi yang mengarahkan manusia

pada satu kesalahan, yaitu imajinasi dan ilusi. Mereka belum bisa mengetahui bahwa

kadangkala indera bisa mengecoh, bahkan ketika mereka tidak tidur sekalipun.

Alasan-alasan yang mereka gunakan untuk menarik mimpi-mimpi ke alam nyata

terlalu sederhana dan buru-buru menafsirkannya sebagai diri yang lain dari

tubuhnya.

Bagi masyarakat primitif, keturunan merupakan satu fenomena yang sudah

dikenal lama sekali tetapi baru saat ini orang berusaha membangun teorinya.

Masyarakat primitif Australia sebagai contoh, bahwa mereka memahami keturunan

tidak dianggap sebagai hasil biologis orang tuanya. Tidak bisa diingkari bahwa

kelambanan intelektual merupakan problem terbesar dalam masyarakat primitif.

Masyarakat primitif itu berjuang keras untuk kehidupannya melawan kekuatan yang

mengancamnya, kekurangan kesempatan untuk menggunakan spekulasi. Barangkali

itu menyebabkan mereka kekurangan waktu untuk berefleksi sehingga sulit

menjadikan mimpi sebagai bahan renungan.

Dari dua eksistensi yang berbeda, yaitu eksistensi siang hari dan eksistensi

malam hari, tentu eksistensi sianglah yang paling menarik perhatian mereka. Tetapi

yang aneh ialah justru eksistensi malam hari yang malah menyedot perhatiannya

sehingga dia dijadikan sebagai landasan bagi segenap ide yang dianggap sangat

berpengaruh pada pemikiran dan tingkah lakunya. Nampaknya, semua ini cenderung

memperlihatkan bahwa teori animisme tentang jiwa harus dikaji ulang, terlepas

pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Mereka belum tiba pada pada anggapan

Page 8: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

bahwa semua mimpi itu bersifat intuisi mistik. Malahan mereka beranggapan bahwa

mimpi itu merupakan bagian dari yang profan. Dengan demikian, barangkali kita

harus mengartikan mimpi-mimpi itu sebagai kepercayaan masyarakat primitif bahwa

dia pada waktu tidur bersentuhan dengan hal-hal yang religius, jin-jin yang baik dan

jahat, dan arwah leluhur.

Fakta yang ditunjukkan Howitt tentang masyarakat Australia yang

menganggap kemampuan meninggalkan tubuh muncul dari campur tangan jiwa

yang juga memiliki karakter mistis. Orang tidur percaya bahwa dirinya telah pindah

ke tanah orang-orang yang telah mati, atau meyakini bahwa dia sedang berbicara

dengan teman-temannya yang telah meninggal. Pemahaman tentang mimpi seperti

ini adalah hal yang lumrah di kalangan orang-orang primitif. Barangkali, hal ini

berhubungan dengan fakta-fakta yang membentuk teori mereka tentang pribadi

manusia.

Pemahaman tentang mimpi seperti di atas hanya mungkin dapat dimengerti

kalau orang memiliki ide tentang roh, jiwa, dan alam baka tempat orang mati berada.

Cara seperti itu menunjukkan ide fundamental tempat agama dibentuk dan

merupakan hasil dari sistem agama yang telah jadi.

III

57-61 Bagian ini merupakan inti persoalan tentang agama yang diuraikan penulis dalam

bukunya. Pemujaan merupakan tipe awal dari semua agama. Agar diri kedua dari

manusia itu menjadi objek pemujaan, maka jiwa itu tidak lagi dipahami sebagai

replika dari individu (diri pertama). Ia mesti memiliki karakteristik entitas tertentu

yang menjadi syarat agar bisa disejajarkan dengan hal yang sakral. Mencapai hal itu,

maka kematian dipandang sebagai tempat transformasi dari replika diri pertama

menjadi entitas tertentu yang terpisah dari pribadi pertama tersebut.

Pada masa manusia itu hidup, jiwa merupakan sesuatu yang profan. Lalu,

setelah kematian jiwa itu berubah menjadi hal yang sakral dan obyek perasaan

religius. Dengan tidak menempati obyek tertentu setelah kematian, maka jiwa bisa

berbuat sesuatu dan kapan saja, bukan hanya saat pada waktu malam. Pertanyaan,

kenapa diri kedua yang telah memisahkan diri dan pergi dari tubuh manusia tidak

dianggap sebagai sesuatu yang masih sama atau katakan menjadi kawan bagi

manusia ? Jiwa barangkali menjadi teman yang kedekatannya mungkin tidak

diharapkan, tetapi ia bukan sesuatu yang patut disembah.

Page 9: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Satu pemahaman dalam masyarakat primitif, bahwa jiwa campur tangan dalam

tubuh-tubuh yang hidup. Jika tubuh terluka, maka jiwa tersebut juga terluka, bahkan

persis di tempat yang sama. Oleh karena itu, jiwa dapat dikatakan seumur dengan

tubuh. Di antara masyarakat primitif tertentu, orang yang meninggal pada usia

sangat tua tidak dikuburkan sebagaimana biasanya sebab jiwa mereka dianggap juga

sudah tua. Bahkan ada kasus-kasus tertentu dimana individu-individu yang memiliki

kesitimewaan tertentu “disuruh mati” sebelum mereka mencapai usia tua. Hal ini

dapat dikenakan kepada raja atau pendeta yang dianggap menjadi tempat roh maha

kuat yang menjadi tumpuan keselamatan masyarakat.

Tujuan dari cara seperti itu ialah menjaga agar roh tersebut tidak rusak seiring

dengan semakin tuanya dan rusaknya tubuh temporal yang ditempati oleh roh

tersebut. Oleh sebab itu, roh itu dipindahkan sebelum tubuh melemah karena usia.

Agar roh itu tidak boleh kehilangan kekuatannya, maka dia dipindahkan ke dalam

tubuh orang yang lebih mudah agar kekuatan dan vitalitasnya tetap terjaga.

Jika jiwa dipahami sebagai tubuh yang kedua, maka tidak jelas bagaimana ia

terus hidup ketika tubuh akhirnya mati dan hancur. Dari sudut pandang ini,

pemikiran bahwa jiwa dapat bertahan sangat tidak masuk akal. Bahkan yang muncul

adalah kontradiksi, antara ide tentang diri yang kedua ketika mendapat kebebasan

dari tubuh dan ide tentang roh yang menjadi obyek penyembahan.

Kontradiksi ini semakin kentara saat kita mengetahui betapa luasnya jarak

yang memisahkan dunia sakral dengan dunia profan. Sesuatu hal dikatakan sakral

berbeda dengan yang profan tidak cukup bila semata-mata didasarkan pada

bentuknya yang tetap atau asing, bahkan berdasarkan kedahsyatan kekuatan yang

dimilikinya. Alam jiwa tidak bisa dikatakan akan lebih baik atau lebih buruk apabila

keluar dari tubuh yang pertama. Semuanya itu tergantung dari seseorang dalam

menyikapi baik atau buruk alam jiwa tersebut. Dalam hal inilah respon orang akan

terlihat dari munculnya rasa takut. Namun, hal ini belum dapat dikatakan sebagai

alasan yang tepat untuk membedakan alam jiwa dengan orang-orang yang merasa

terancam ketenteramannya.

Sudah pasti bahwa ketakutan dan rasa kurang selalu menghantui perasaan para

penganut terhadap hal-hal yang mereka hormati. Namun perasaan ini tidak lebih dari

rasa kagum ketimbang rasa takut, sebab dalam diri manusia melekat suasan emosi

yang khusus, yakni “keagungan”. Ide tentang keagungan ini dapat berubah menjadi

sesuatu yang benar-benar religius. Untuk itu, kita tidak akan pernah bisa

Page 10: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

mendefinisikan agama sepanjang asal mula keagungan itu tidak ditemukan, serta

bagian kesadaran yang mana telah menimbulkannya.

Kehidupan masyarakat Melanesia dapat menjelaskan hal ini. Orang Melanesia

percaya bahwa manusia memiiki jiwa yang meninggalkan badan ketika mati dan

berubah nama menjadi tindalo, natmat. Pada saat yang sama, mereka juga memuja

orang-orang yang telah meninggal: jiwa-jiwa ini dipuja, bahkan dibangkitkan

melalui cara sesembahan yang dipersembahkan untuk jiwa-jiwa tersebut. Tetapi

tidak semua tindalo yang dapat dijadikan sebagai objek ritual. Pemujaan itu hanya

ditujukan bagi jiwa yang keluar dari tubuh orang yang semasa hidupnya dipercaya

masyarakat memiliki kelebihan yang sangat khusus, yang kemudian mereka sebut

dengan mana. Mana adalah sesuatu yang menjadi penyebab yang berada di luar

kekuatan manusia biasa dan di luar proses-proses alam.

Tindalo kategori sakral adalah pemilik yang ketika masa hidupnya sudah

memperoleh kehormatan religius. Jiwa manusia biasa yang berasal dari ranah profan

tidak akan menjadi apa-apa setelah mereka mati, sama seperti waktu hidup. Tetapi

bila manusia itu telah melepaskan diri secara total dari yang profan selama

hidupnya, maka jiwanya sudah memiliki kualitas kesakralan. Tetapi perlu

diperhatikan, bukan kematian yang membentuk itu menjadi sakral, tetapi semasa

hidup pemilik jiwa tersebut telah melepaskan diri secara total dari yang profan.

Banyak orang membuat kesimpulan tentang orang primitif, bila hal yang

sakral pada awalnya adalah jiwa orang mati dan pemujaan pada awalnya adalah

pemujaan nenek moyang, maka pemujaan religius makin dominan dalam kehidupan

mereka. Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya benar sebab karakter pemujaan

religius terdapat juga di tengah masyarakat yang lebih maju seperti: Cina, Mesir,

Yunani, Roma. Sebaliknya hal tersebut kurang berkembang dalam masyarakat

Australia yang merupakan representasi masyarakat yang paling rendah dan

terbelakang pada saat itu.

Memang, bagi masyarakat Australia, upacara berkabung dan pemakaman

masih dapat dijumpai. Meskipun upacara itu kerap disebut dengan „pemujaan‟, tetapi

itu belum cukup untuk disebut sebagai pemujaan. Pemujaan tidak terletak pada

kumpulan ritual pencegahan yang dilakukan oleh manusia pada keadaan-keadaan

tertentu. Pemujaan adalah sistem ritus dengan karakteristik yang selalu diulang-

ulang secara periodik. Pemujaan itu dilakukan oleh penganutnya secara periodik

untuk mempererat dan memperkuat ikatan antar mereka dengan hal yang sakral.

Page 11: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Melalui pemahaman ini, orang bicara tentang upacara perkawinan, bukan pemujaan

perkawinan; upacara menyambut kelahiran, bukan pemujaan kelahiran – karena

ritual itu tidak dilakukan secara periodik.

Dengan cara yang sama, ada beberapa cara pemujaan nenek moyang yang

diadakan jika pengurbanan dilakukan di atas kuburan dari waktu ke waktu; demikian

juga bila minyak suci dipercikkan ke atasnya secara periodik. Atau jika pesta

persembahan dilaksanakan dalam rangka menghormati orang yang telah meninggal.

Tetapi bagi masyarakat Australia, hal ini tidak ditemukan. Memang mereka

memiliki kebiasaan dengan meratapi kematian selama beberapa waktu tertentu

sembari menyebutkan jasa-jasa yang meninggal tersebut. Namun hal tersebut

dilakukan hanya sebatas masa perkabungan semata. Setelah itu, tradisi seperti itu

akan berakhir, dan mereka yang hidup tidak lagi memiliki kewajiban-kewajiban

yang harus dibayarkan kepada yang mati tersebut.

Memang ada kalanya kejadian dimana si mati tetap bertahan di tempat tertentu

di tengah kehidupan mereka yang masih hidup, bahkan setelah masa berkabung usai.

Kadangkala hal itu dapat melalui bagian tubuh, seperti rambut atau tulang yang

dijaga karena kelebihan khusus yang melekat padanya. Tetapi hal itu tidak dapat

disebut sebagai pemujaan melainkan jimat yang anonim. Dengan demikian, benda-

benda tersebut tidak lagi menjadi objek pemujaan, melainkan tujuan satu-satunya

adalah magis semata.

Secara periodik beberapa suku di Australia merayakan ritus tertentu untuk

menghormati neneka moyang dalam dongeng, yang konon menurut tradiri, terletak

pada awal waktu. Upacara-upacara ini berisikan penampilan dramatis yang meniru

pahlawan-pahlawan legendaris yang diceritakan dalam mitos. Jadi tokoh yang

dilakonkan disini bukanlah manusia yang menjalani kehidupan sebagaimana

layaknya manusia biasa, tetapi tokoh yang berubah menjadi dewa setelah kematian.

Bahkan tokoh ini dianggap pada masa hidupnya memiliki kekuatan supra-manusia.

Tokoh yang dihormati ini diyakini memiliki hubungan dengan seluruh

peristiwa besar dalam sejarah suku mereka, bahkan sejarah dunia. Secara umum,

mereka ini dipercayai sebagai pencipta dunia dan manusia. Aura yang mengelilingi

tokoh tersebut tidak hanya karena mereka nenek moyang, atau dengan kata lain

karena mereka sudah mati. Tetapi sifat ketuhanan telah dilekatkan kepada mereka

dan itu sudah berlangsung sangat lama.

Page 12: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Mengulang contoh bagi masyarakat Melanesia, tokoh tersebut telah diberkati

dengan mana oleh alam. Oleh sebab itu, tidak mungkin melalui kematian mereka

menjadi dewa atau tuhan. Jika pemujaan terhadap orang mati memang ada bagi

masyarakat Australia, maka nenek moyang atau keluarga yang meninggal setiap

harinya, pasti juga menjadi objek pemujaan setelah kematian tersebut. Hal tersebut

tidak meninggalkan bekas dan bukti pemuajaan pada masyarakat Australia.

Masyarakat Australia hanya konsern dengan kematian pada saat kematian itu sendiri

dan apa-apa yang terjadi sesaat setelah itu. Dengan demikian, bukankah jiwa

manusia dari semula dianggap sebgai emanasi (pancaran) dari tuhan ? bukan

sebaliknya, menjadi model tempat dimana imajinasi tentang dewa-dewi berasal.

IV

61-65 Kecendurungan untuk mengenali segala sesuatu dalam citra kita sendiri merupakan

faktor yang mengakibatkan perluasan dari pemujaan orang mati menjadi pemujaan

terhadap alam. Pemujaan terhadap alam berangkat dari pandangan bahwa alam ini

merupakan makhluk yang berpikir dan hidup. Secara khusus, simbol-simbol agama

animisme sering menjadikan binatang sebagai objek pemujaan. Menurut Spencer,

hal itu berangkat dari keyakinan bahwa kemampuan, insting, dan kecakapan

binatang telah diwarisi kepada manusia secara keseluruhan. Artinya, alam manusia

merupakan hasil penyusunan kembali alam binatang. Uraian-uraian disini hendak

menjelaskan tentang pertanyaan, apakah ide tentang roh berasal dari ide tentang

jiwa.

Terhadap pandangan di atas, buku ini menjelaskan bahwa usaha untuk

memasuki susunan mental manusia primitif dengan jalur susunan mental binatang

adalah usaha yang sia-sia. Buku ini membuat sebuah analogi tentang seseorang yang

menempatkan objek yang telah menyakitinya sebagai makhluk sadar seperti dirinya.

Analogi itu ditemukan pada diri anak kecil. Rasa marah yang muncul pada diri

seorang anak akibat rasa sakit, ia akan mencari suatu objek yang dijadikan sebagai

kambing hitam. Namun, ketika emosi anak itu sudah reda, maka dia pasti

mengetahui perbedaan antara objek yang membuat rasa sakit itu dengan manusia

seperti dirinya. Artinya, ketika rasa marah belum reda, maka objek itu akan

disamakan seperti manusia. Namun, saat rasa marah sudah reda, maka dia dapat

membedakan objek itu dengan dirinya sebagai manusia.

Durkheim dalam buku ini justru berpendapat bahwa analogi seperti itu sedikit

membingungkan. Durkheim lebih tertarik melihat keyakinan dalam kepercayaan

Page 13: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

primitif tersebut. Jika roh dan dewa-dewi alam dikonstruksi dalam citraan jiwa

manusia, maka mereka ini pasti masih ada kaitannya dengan asal mula dan esensi

keyakinan itu sendiri. Jiwa merupakan sesuatu yang menggerakkan tubuh dan

membuat tubuh itu menjadi hidup. Hidup itu sendiri akan berakhir bila jiwa itu pergi

dari tubuh manusia. Dengan kata lain, tubuh merupakan tempat alami bagi jiwa

sepanjang tubuh itu masih ada.

Pandangan Durkheim itu jelas berbeda dengan dengan fenomena alam yang

hendak dijelaskan oleh Spencer. Sebagai contoh, belum tentu dewa matahari itu

berada di matahari, atau roh dari betu berada di dalam batu yang dipandang sebagai

tempat persemayaman dari roh tersebut. Durkheim berpendapat bahwa roh pasti

memiliki hubungan dekat dengan tubuh tempat dia berada, tetapi dengan

menyebutkan roh sebagai jiwa tubuh tersebut merupakan pandangan yang salah

kaprah. Masyarakat Melanesia dapat menjelaskan hal itu.

Bagi masyarakat Melanesia, tidak ada kepercayaan yang mengatakan adanya

roh-roh yang menghidupkan objek-objek alam seperti pohon, air terjun, badai atau

batu, persis seperti roh-roh yang diyakini telah menghidupkan manusia. Masyaraat

primitif berpendapat bahwa roh sering mengunjungi hutan atau laut dan ia memiliki

kekuatan untuk menimbulkan badai dan membuat pengembara-pengembara menjadi

sakit. Sebaliknya, jiwa merupakan bagian yang ada dalam tubuh manusia, sementara

itu roh berusaha untuk mewujudkan eksistensi yang lebih besar di luar objek atau

tubuh manusia. Perbedaan ini tidak dapat membuktikan bahwa ide tentang roh

berasal dari ide tentang jiwa.

Untuk mempertajam pendapat di atas, Durkheim juga membuat penjelasan

dari sudut padang lain. Bila manusia didorong untuk memproyeksikan citraannya

kepada benda-benda, tentu manusia itu pertama-tama akan berusaha mengenali yang

sakral. Pada mulanya, hal-hal yang sakral dibayangkan dalam bentuk binatang atau

tanaman tempat dimana manusia itu diyakini pertama-tama muncul. Seperti bagi

masyarakat Australia yang berpendapat bahwa binatang dan tanaman menduduki

tempat tertinggi dalam hal-hal yang sakral.

Masyarakat Indian Amerika Utara lebih melihatnya lebih jelas. Tuhan-tuhan

kosmis yang mulai dijadikan sebagai objek pemujaan sering dibayangkan dalam

bentuk binatang. Dalam buku ini, Durkehim mengutip pernyataan Reville, bahwa

bentuk binatang merupakan bentuk yang paling fundamental.

Page 14: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Pada buku ini, Durkheim hendak mempertajam relasi atau hubungan antara

pembentukan ide tentang tuhan dengan sifat manusia itu sendiri. Durkheim

berpendapat bahwa dalam kekristenan Tuhan adalah manusia, tidak hanya dalam

aspek fisik tempat Tuhan itu mewujudkan diri secara temporal. Bukan hanya aspek

fisik yang sama dengan manusia, tetapi meliputi aspek ide dan perasaan. Dengan

menggunakan ide tentang tuhan dalam kekristenan, Durkheim hendak menjelaskan

bahwa tuhan itu diwakili dalam sifat-sifat manusia.

Tetapi hal ini jelas bertentangan dengan tradisi dewa-dewi Romawi dan

Yunani. Beberapa tokoh mistis dalam tradisi Romawi dan Yunani justru tidak

dipandang berasal dari binatang. Dewa Dionysus misalnya, yang dikenal dalam rupa

sapi atau setidaknya yang dalam bentuk tanduk sapi; dewa Demeter yang

digambarkan dengan bulu tengkuk kuda. Dengan demikian, manusia sering

membayangkan dirinya menjadi bagian dari alam binatang. Hal ini didukung oleh

keyakinan masyarakat primitf Austraila dan Indian Amerika Utara yang percaya

bahwa nenek-moyang manusia adalah binatang atau tanaman. Maka manusia tidak

melihat makhluk sebagaimana dirinya. Dia mulai berpikir tentang dirinya di dalam

citraan-citraan yang berbeda dengan dirinya.

V

65-67 Selanjutnya, teori animisme melahirkan kosekuensi yang justru paling ingin

dihindarinya. Ada asumsi dalam teori animisme yang berkata bahwa semua

kepercayaan berasal dari ide tentang jiwa, karena roh dan dewa-dewi dipandang

tidak lebih dari sekedar jiwa-jiwa yang telah disucikan. Tetapi Durkheim mengutip

pandang Tylor yang berbeda dengan pandang jiwa yang telah disucikan itu.

Tylor berpendapat bahwa jiwa itu sendiri tercipta dari citraan-citraan kabur

dan berbagai macam hal yang ada dalam pikiran sewaktu tidur. Jiwa merupakan diri

kedua, dan diri kedua itu tidak lain adalah manusia sebagaimana yang hadir bagi

dirinya sewaktu tidur. Pandangan ini melahirkan ide bahwa hal-hal yang sakral

hanya menjadi citraan-citraan imajiner yang diciptakan manusia dalam alam tidur.

Tentu tidak ada korelasi citraan imajiner itu dengan dunia realitas.

Berangkat dari pandangan Tylor tersebut, agama hanyalah sebuah mimpi,

yang disistematisasi dan dihidupkan, namun tidak memiliki landasan pada dunia

Page 15: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

nyata.1 Melalui pandang Tylor tersebut, segala simbol dan ritus-ritus religi,

pengklasifikasian antara yang sakral dan profan, sama sekali berbeda dengan alam

nyata. Merespon pandangan itu, Durkheim berpendapat bahwa sistem ide roh dan

dewa-dewi dalam agama merupakan ilusi belaka. Namun, hukum dan moral yang

telah lama lahir dan berbaur dalam agama ternyata adalah sesuatu yang nyata serta

telah memberikan pengaruh dalam semangat ilmiah.

Durkheim berpendapat bahwa yang menjadi dasar sains tentang agama bila

agama itu tidak mengekspresikan sesuatu yang buka berasal dari alam. Ilmu dan

sains tentang agama sebenarnya sains tentang fenomena alam belaka. Memperkuat

hal ini, Dukrheim mengutip pendapat para filsuf abad ke-18 yang mengemukakan

kesalahan besar yang dilakukan oleh pendeta-pendeta. Para filsuf abad ke-18

memiliki pendapat bahwa para pendeta telah menjelaskan agama dengan orientasi

pada kepentingan kasta pendeta untuk mempengaruhi masyarakat.

Memang menggunakan „sains tentang agama‟ dalam konteks asal-usul agama

masih dapat dipersoalkan. Sains merupakan disiplin ilmu yang kebenaran-

kebenarannya harus dibuktikan melalui sains. Ada sains yang bersifat psikologis

sebab kesadaran merupakan sesuatu yang riil. Tetapi, agama tidak bisa

mempertahankan teori animis bila manusia itu sendiri tidak bisa membebaskan diri

dari kekeliruan pemahaman terhadap asal usul dan hakikat agama itu sendiri.

Chapter Three

The Leading Conceptions Of The Elementary Religion (Continuation)

II. Naturisme

68-70 Mazhab naturalis memiliki sisi pandang yang berbeda dengan penganut aliran

animisme. Teoritikus animisme biasanya memiliki latar belakang yang berbeda

dengan naturalis, dimana mereka lebih cenderung berasal dari etnografer atau

antropolog. Biasanya teoritikus animisme mempelajari agama-agama paling

sederhana yang pernah dijalankan oleh manusia. Akibatnya, perhatian mereka lebih

cenderung pada roh-roh orang mati, jiwa, dan setan, serta tidak memperhatikan

makhluk yang tinggi dari itu. Dalam hal inilah, Durkheim memberikan perhatian

1 Spencer memiliki pandangan lain untuk hal ini. Spencer berpendapat bahwa kekuatan yang

terwujud dalam kesadaran merupakan bentuk lain kekuatan yang terwujud di luar kesadaran.

Dengan pandangan ini, Spencer mengatakan bahwa konsep tentang kekuatan merupakan

perasaan terhadap kekuatan yang kita meiliki dan kekuatan yang menyebar pada seluruh alam.

Page 16: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

pada karya sarjana-sarjana yang menaruh perhatian pada peradaban-peradaban besar

Eropa dan Asia.

Durkheim berpendapat dalam buku ini bahwa perbandingan ragam mitologi

masyarakat Indo-Eropa rupanya melahirkan persamaan-persamaan dalam mitologi.

Memang ada nama-nama yang berlainan antara figur mistis antara di antara dua

masyarakat itu, tetapi pada hakekatnya antara figus mistis itu memiliki fungsi-fungsi

yang sama. Nama figur-figur mistis itu diperbandingkan untuk meniliti apakah ada

keterkaitan antara mitologi masyarakat Asia dan Eropa. Hal ini menjadi sangat

penting untuk melacak apakah sistem ide dalam agama primitif memiliki pengaruh

terhadap agama-agama yang berkembang pada masa selanjutnya.

Max Muller melalui esay berjudul Coperative Mytology2 melahirkan konsep-

konsep agama yang digali berdasarkan sains oleh aliran yang umum saat itu di dua

negeri yang berbeda pada saat yang sama. Sumber penelitiannya ialah teks paling

kuno pada masyarakat Asia dengan agama yang lebih primitif dari agama Jerman

kuno. Durkheim mengaku bahwa untuk menggali pemikiran naturisme ini, dia

banyak menggunakan kerangka berpikir Max Mueller.

I

70-76 Penganut animisme menyatakan bahwa agama pertama-tama tidak mengungkapkan

realitas eksperimental. Sementara itu, Max Muller berpendapat bahwa agama harus

mulai dari pengalaman inderawi, seperti halnya seluruh pengetahuan manusia.3 Hal

itu diungkapkan dalam pernyataan nihil est intelectu quod non ante fuerit in sensu,

tidak ada sesuatu pun yang dalam pikiran tanpa terlebih dahulu ada dalam ide. Dari

pandangan ini, agama seharusnya tampil bukan sebagai bentuk mimpi tetapi sebagai

sistem ide dan praktek-praktek yang benar-benar didasarkan pada realitas. Yang

menjadi pertanyaan adalah, pengalaman-pengalaman inderawi mana yang dapat

2 Dalam sebuah esai berjudul Comperative Mytologi [New York, Arno Press, 1977), hlm. 47.

[Yang diterjemahkan dari bahasa Perancis yang berjudul Essai de mythologie Comparee, Paris-

London, 1859] 3 Muller, Natural Religion, hal. 114

Page 17: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

melahirkan pemikiran religius ?. Buku ini hendak menjawab pertanyaan itu melalui

kajian terhadap teks Veda.

Biasanya nama dewa-dewi Veda adalah kata benda umum yang masih tetap

dipakai atau kata kerja arkhais, sesuai yang sangat kuno dan sudah jarang

ditemukan. Namun demikian, makna asalnya masih dapat ditelusuri. Sebagai contoh

penggunaan nama dalam masyarakat India yang bernama Agni. Pada awalnya, Agni

berarti api sebagai fenomena alam yang dapat diserap dan dirasakan oleh indera

manusia. Penggunaan nama Agni ternyata digunakan juga dalam bahasa Indo-Eropa

lainnya, seperti: kata Ignis dalam bahasa Latin, Ugnis dalam bahasa Lituania, dan

Ongi dalam bahasa Slavogny, yang seluruh maknanya dekat dengan Agni.

Hal yang sama juga terdapat melalui nama dewa Dyaus dalam bahasa

Sansekerta. Nama dewa ini memiliki kedekatan dengan Zeus dalam bahasa Yunani,

Jovis dalam bahasa Latin dan Zio dalam bahasa Jerman. Hubungan ini menjelaskan

dan membuktikan bahwa kata-kata yang berbeda merujuk pada satu dewa yang

sama-sama diakui oleh orang-orang Indo-Eropa.

Diaus sendiri memiliki arti: “langit yang cerah”. Ini menjadi dasar untuk

memahami bahwa di tengah masyarakat itu, tubuh dan kekuatan alam merupakan

objek pertama yang dituju oleh perasaan religius. Objek-objek inilah menjadi benda-

benda pertama yang dituju oleh perasaan religius. Berdasarkan hal inilah, maka Max

Muller berpendapat bahwa evolusi religius manusia berangkat dari titik yang sama.

Bagi Max Muller, fenomena yang diperlihatkan alam kepada manusia

merupakan syarat atas munculnya ide religius dalam pemikiran manusia. Manusia

menganggap bahwa alam merupakan sesuatu yang benar-benar mengejutkan dan

menakutkan. Alam diyakini memiliki kekuatan ajaib dan gaib yang abadi. Menurut

Max Muller, inilah pemicu pertama lahirnya pemikiran dan bahasa religius bagi

manusia.4 Untuk melengkapi penjelasannya ini, Max Muller menerapkan

penggunaan fenomena alam yang menempati posisi penting dalam teks Veda, yaitu

api. Durkheim mengutip pendapat Max Muller untuk hal ini: “Cobalah anda menarik

pemikiran ke belakang ke dalam kehidupan primitif di mana setiap orang pasti

menempatkan segenap asalh mula dan bahkan fase pertama agama alam; dengan

mudah anda bisa membayangkan impresi apa yang hadir dalam pikiran manusia

ketika api muncul untuk kali yang pertama”.

4 Muller, Physical Religion, hlm. 119-120

Page 18: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Alam justru menjelaskan ketidakterbatasannya di hadapan manusia, seperti

aliran sungai yang menggambarkan kekuatan tidak terbatas. Dengan demikian, tidak

ada aspek alam yang tidak menciptakan rasa lemah dalam diri manusia sebab

ketidakterbatasan alam itu rupannya telah mengurung dan menguasai manusia. Bagi

Muller, dari kesadaran seperti inilah agama berasal.

Bagaimanapun juga, hanya benih-benih saja yang hadir dalam indera. Agama

akan terbentuk saat kekuatan-kekuatan alam tidak lagi dipandang sebagai sesuatu

yang abstrak dengan cara merubah alam menjadi kekuatan-kekuatan spritual, dewa-

dewi, sebab pemujaan biasanya dihubungkan dengan hal seperti itu. Namun,

Durkheim menyebutkan bahwa Max Muller menolak logika seperti ini untuk

melahirkan ide tentang agama.

Menurut Max Muller, bahasa memiliki pengaruh yang besar untuk

mempengaruhi alam pikiran manusia. Merespon dahsyatnya kekuatan-kekuatan

alam, manusia bertanya di dalam diri sendiri apakah kekuatan tersebut dan

bagaimana mengganti kesadaran yang tidak jelas atas kekuatan itu menjadi ide dan

konsep yang lebih jelas. Namun, ide dan kosep itu tidak akan mungkin ada tanpa

kata-kata atau bahasa.

Bahasa bukan hanya sebatas baju luar pikiran, tetapi merupakan rangkaian

internal pikiran manusia. Bahasa tidak semata-mata berdiri di luar pikiran manusia

untuk menerjemahkan yang sudah terbentuk dan jadi. Pada kenyataannya, bahasa

juga berfungsi membentuk pikiran manusia. Karena bahasa dapat membantu

manusia menyusun pikirannya, maka adakalanya bahasa itu sedikit jahat terhadap

pikiran; sekaligus bahasa dapat juga mendistorsi ide atau konsep. Distorsi inilah

yang kemungkinan dapat melahirkan kekhasan representasi religius manusia.

Pada dasarnya, berpikir adalah menata dan mengelompokkan ide-ide manusia.

Sebagai contoh, bila manusia berpikir mengenai api, maka ide manusia akan

terbentuk dengan benda kategori tertentu. Pada saat yang sama, mengklasifikasi

berarti memberi nama, sebab sebuah gagasan tidak mempunyai eksistensi dan

realitas bila tidak melekat sebuah nama. Dengan demikian, bahasa selalu

mempengaruhi cara pengklasifikasian hal-hal baru yang diketahui manusia dalam

pikiran mereka. Dengan alasan ini, ketika manusia hendak membuat representasi

yang komprehensif tentang alam semesta, maka bahasa yang akan dipakai dipastikan

mempengaruhi sistem ide yang kemudian lahir.

Page 19: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Bahasa dalam Indo-Eropa masih berisi relik-relik yang memungkinkan kita

mampu mengimajinasikan apa yang seharusnya ada. Relik itu berupa akar-akar kata

(kata dasar). Max Muller berpendapat bahwa kata-kata yang menjadi asal dari kata-

kata lain yang digunakan pada saat ini merupakan dasar dari seluhur dialek Indo-

Eropa, yaitu sebagai bentuk bahasa yang dipakai masyarakat yang dahulu dipakai

pada saat agama pertama sekali terbentuk. Untuk memahami bagaimana hubungan

linguistik bahasa dapat mempengaruhi bahasa dalam membentuk ide dan konsep

agama, maka perlu diperhatikan dua hal berikut ini:

Pertama, akar-akar ditipifikasi. Artinya, kata itu tidak mengekspresikan hal atau

individu-individu tertentu, melainkan pada tipe dan makna kata itu. Oleh sebab itu

cakupan dari kata ditipifikasi lebih luas.

Kedua, tipe kata yang berkorespondensi dengan tindakan. Apa yang diekspresikan

melalui kata, merupakan cara-cara bertindak yang bisa diamati di antara makhluk

hidup, terutama manusia, seperti: memukul, mendorong, menggorok, mengikat, dan

sebagainya. Dengan kata lain, manusia menamai bentuk tindakan paling mendasar

sebelum menamai fenomena alam.

Ketika manusia mengarahkan perhatian pada satu hal dan mulai menamai dan

berpikir tentangnya, maka dia menerapkan kata-kata itu pada sesuatu hal yang

barangkali tidak dapat dipahaminya. Pada awalnya, kata-kata itu bisa menunjukkan

ragam kekuatan alam dengan manifestasi-manifestasi yang menyerupai tindakan

manusia, seperti: guntur dinamakan dengan sesuatu yang menyambar tanah,

matahari dinamakan dengan sesuatu yang menghantar panas, sungai dinamakan

dengan sesuatu yang mengalir, dan lain sebagainya.

Karena fenomena-fenomena alam ini menyerupai tindakan-tindakan manusia,

maka fenomena itu dipersonifikasikan pada manusia. Cara ini merupakan metode

metafora yang diterima sebagai sesuatu yang harafiah. Durkheim mengatakan bahwa

cara ini merupakan cara yang keliru karena sains saat itu belum ada untuk

menghilangkan sesuatu ilusi. Kita tidak bisa berbicara tentang suatu objek tanpa

terlebih dahulu mengkhususkannya dengan sebuah kata pelengkap. Demikian juga

halnya dengan subjek kalimat yang mesti selalu hadir dalam bentuk sesuatu yang

bertindak. Artinya, setiap ide atau konsep mesti menjelaskan sebuah tindakan serta

durasi tindakan, baik bersifat permanen maupun sementara, yang dibatasi oleh jenis

kalimat tempat dan waktu kata kerja itu diletakkan. Budaya ilmiah seperti ini

dibutuhkan untuk memudahkan kita mengoreksi kekeliruan yang diperlihatkan oleh

Page 20: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

bahasa. Terhadap dunia fisik yang diserap oleh indera kita, bahasa dapat melekatkan

satu dunia baru yang berisikan hal spritual yang tercipta dari ketiadaan dan mulai

saat itu dipandang sebagai penyebab dan penentu fenomena. Dengan begitu bisa

diandaikan bahwa konsep ketuhanan telah terbentuk.

Berdasarkan teori di atas, gagasan tentang jiwa hampir sama antara Tylor

dengan Max Muller. Namun, tujuan dari teori yang telah dipaparkan di atas adalah

untuk menjelaskan kematian, bukan mimpi. Karena berbagai macam pengaruh

lingkungan, roh-roh manusia ketika telah berpisah dengan tubuh, perlahan-lahan

dianggap bergerak mendekati lingkaran ketuhanan, dan dianggap bergerak

mendekati ketuhanan, hingga akhirnya dituhankan.

II

76-81 Para ilmuwan lingusitik masih memperdebatkan keabsahan nama-nama dewa yang

menurut Max Muller telah dia temukan dalam berbagai bahasa Eropa. Mereka

terutama meragukan tafsiran Muller terhadap nama-nama tersebut. Nama-nama yang

berbeda itu bukanlah sebagai tanda dari agama primitif, melainkan hasil akhir dari

proses pertukaran atau asimilasi antar masyarakat.

Akar kata yang menyebut nama dewa-dewi diandaikan bisa membantu kita

merekonstruksi bahasa primitif masyarakat Indo-Eropa. Studi-studi terakhir

cenderung membuktikan bahwa tidak semua dewa-dewi Veda secara eksklusif

mempunyai kualitas alam seperti yang dilekatkan Max Muller dan para pengikutnya.

Setiap manusia memiliki keinginan untuk mengetahui dunia di sekelilingnya,

sekaligus dia akan merefleksikan dunia yang ada di sekelilingnya itu. Metode ini

akan melahirkan refleksi-refleksi yang partikular. Tetapi, bila pemikiran religius

lahir dari refleksi yang partikular ini, maka kesimpulan yang tidak dapat dihindari

adalah bahwa pemikiran religius mesti bertahan pada hasil dari refleksi tersebut.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa gambaran agama yang diberikan kepada

manusia belum cukup melahirkan praktek-praktek yang sifatnya sekuler. Jika tujuan

agama adalah memberi gambaran bagi manusia untuk hidup di dalam agama itu,

maka dapat dipastikan agama itu tidak akan berfungsi apa-apa. Artinya, agama itu

akan menghasilkan kegagalan lebih dominan ketimbang keberhasilan. Pemikiran

religius yang mengarahkan pengikutnya untuk hidup semata-mata di dalam agama,

maka agama itu telah berjalan pada arah yang salah. Sifat yang demikian bila

melekat pada agama, maka agama itu tidak akan dapat bertahan lama.

Page 21: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Naturisme, menurut Durkheim, dapat mereduksi agama, sebab agama

ditempatkan sekedar citraan-citraan halusinasi. Tentu saja, naturisme menentukan

titik tolak dari respon inderawai atas fenomena alam. Kemudian, respon iderawi itu

diramu dalam bahasa magis yang kemudian berubah menjadi ide-ide yang aneh.

Menurut Durkheim, Max Muller sadar akan hal ini. Max Muller mengakui bahwa

mitos-mitos tumbuh dari penyakit bahasa. Bahasa dan pikiran merupakan sesuatu

yang tidak bisa dipisahkan, maka apa yang benar menurut sebagian orang setelah

diramu dalam bahasa, maka itu menjadi benar bagi yang lain.

Menjelaskan hal itu, Max Muller memberi contoh dari sistem religius

masyarakat Yunani. Orang-orang Yunani percaya bahwa Zeus adalah dewa paling

berkuasa, bapak manusia, pelindung hukum, pembasmi kejahatan, dan lain-lain.

Tetapi segala hal yang menyangkut dewa Zeus, meliputi kehidupannya,

perkawinannya, dan petualangannya hanya mitos belaka.

Mitologi merupakan bagian yang sangat esensial dari kehidupan religius. Jika

mitos dihilangkan dari agama, maka ritual dalam agama itu menjadi tidak berarti.

Ritus-ritus dalam kehidupan religius biasanya dihubungkan dengan pribadi-pribai

yang memiliki nama, karakter, sifat, dan sejarah tertentu. Dengan demikian, bentuk

pemujaan yang dilakukan terhadap dewa atau tuhan sangat tergantung pada bentuk

yang diberikan terhadap dewa atau tuhan tersebut.

Durkheim dalam buku ini memberikan sebuah contoh tentang Perjamuan

Kudus dalam agama Kristen. Perjamuan itu tidak bisa dipisahkan dari mitos Paska

tempat seluruh makna perjamuan itu diambil. Karena pemujaan berkaitan dengan

mitos, maka eksistensi dan aturan-aturan pemujaan itu tetap saja tidak bisa

dijelaskan. Menjadi pertanyaan, apakah masuk akal bila manusia tetap melakuka

satu hal selama berabad-abad kalau yang dilakukannya itu tidak punya makna ?.

Lalu, apa kemudian yang tersisa dari agama bila konsep dewa-dewi dihilangkan dari

agama ? Apakah yang tersisa kemudian dari Tuhan hanya ide tentang kekuatan

transenden tempat manusia bergantung dan menyandarkan nasibnya ? Hal inilah

yang merupakan konsepsi abstrak dan filosofis yang tidak pernah disadari dalam

agama historis.

Bila kita mengandaikan agama tidak lahir untuk menempatkan manusia dalam

keharmonisan dengan alam, maka agama dapat bertarung dengan alam yang

akhirnya tidak membawa agama itu pada sumber agama itu sendiri. Agama bisa saja

dijadikan manusia sebagai benteng untuk melindungi dirinya dari kelemahan-

Page 22: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

kelemahan. Bila ini yang terjadi, maka itu telah menciptakan ketidaknyamanan

dalam agama. Hal ini dapat membimbing agama itu pada sifat defensif yang

menolak pengakuan kesalahan dalam agama itu sendiri. Yang terjadi di kemudian

hari adalah perasaan religius yang semakin kuat untuk mencari penjelasan-

penjelasan yang memperkokoh agama itu sendiri.

III

81-83 Fenomena-fenomena alam tidak dapat dijadikan sebagai dasar dari sistem-sistem ide

dan praktek yang permanen dalam membentuk agama. Tentu, perasaan dan kesan

setiap orang atas fenomena alam itu memiliki bentuk yang berbeda-beda. Disamping

itu, memori-memori atas berbagai fenomena alam dapat hilang begitu saja ditelan

waktu. Namun, bagi agama-agama primitif, berbagai fenomena alam ini mereka

jadikan sebagai sesuatu yang sakral dan membentuk sistem ide dan praktek agama

sebab fenomena itu sendiri dilihat dapat mempertemukan antara yang profan dan

yang sakral sekaligus. Durkheim berpendapat dalam buku ini, kita akan salah kaprah

bila perasaan religius dibangun di atas setiap kesan yang muncul dari rasa kagum,

termasuk rasa kagum pada fenomena alam. Manusia tidak dapat berhubungan

dengan alam tanpa menyadari kedahsyatan alam yang memukau dirinya. Rasa

kagum atas kedahsyatan fenomena alam ini, ketidakterbatasan alam yang memukai

dirinya, dan kekuatan tidak terbatas merupakan ragam ide menjadi elemen paling

dasari dari konsepsi ketuhanan.

Berangkat dari rasa kagum atas fenomena alam itu, maka agama seringkali

lahir dari keinginan untuk mencari sebab-sebab fenomena fisikal alam itu sendiri.

Bila ini yang menjadi dasar dari suatu agama, maka agama itu sendiri tidak lebih

sakral dibandingkan dengan hasil penelitian ilmuwan ketika dapat menjelaskan

fenomena alam itu pada saat ini. Akibatnya, tidak ada lagi yang dapat disebut sakral,

atau seluruhnya adalah hal yang profan. Dengan demikian, tidak ada lagi agama.

Mengapa kekuatan dan fenomena alam bagi masyarakat primitif menjadi

elemen paling dasar dari sistem ide dan praktek agama ? Hal itu diakibatkan oleh

ilmu pengetahuan yang belum datang untuk mengajarkan kepada mereka, mengapa

fenomena alam itu terjadi. Kurangnya ilmu pengentahuan yang menjadi sumber

penjelasan atas fenomena alam itu, maka masyarakat primitif memiliki khalayan

bahwa kekuatan alam lebih tinggi dibandingkan dengan kekuatan mereka. Pada

posisi seperti ini, agama dapat melahirkan rasa aman bagi mereka sebab agama

ditempatkan untuk menghubungkan dia dengan kekuatan lain yang mengatasi alam.

Page 23: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Ritus-ritus pun pada akhirnya dijadikan bertujuan agar seseorang itu mampu

mendapatkan apa yang diinginkannya dari alam. Dampak dari konsepsi tentang

agama ini bagi masyarakat primitif adalah memacu semangat untuk bertempur

berhadapan melawan alam. Ada keyakinan, dengan berbekal keimanan mereka dapat

memindahkan gunung, artinya menguasai alam berikut dengan fenomena-fenomena

alam yang terjadi. Pertanyaannya adalah, bagaimana masyarakat primitif memiliki

kepercayaan yang bertempur melawan alam padahal bangunan kepercayaan itu

sendiri berdiri di atas rasa kagum atas fenomen alam ini ?

BAB IV

TOTEMISM AS ELEMENTARY RELIGION

(Review of The Question – Method of Treating It)

84-85 Dari dua penjelasan konsep tentang tuhan yang telah dijelaskan sebelumnya,

masing-masing memiliki cara berpikir yang sama, yaitu cerapan inderawi atas

fenomena tertentu, baik fisik maupun biologis. Menurut penganut teori animisme,

mimpi-mimpi adalah titik awal evolusi agama; sedangkan bagi penganut teroi

naturisme, gejala-gejala alam merupakan titik awal evolusi agama. Namun,

keduanya memiliki kesimpulan yang sama, bahwa alam merupakan titik perjumpaan

antara yang profan dengan yang sakral.

Tidak bisa disangkal bahwa manusia yang tampak dalam mimpi seseorang

hanyalah manusia biasa. Kekuatan alam yang dicerap oleh iderawi manusia adalah

kekuatan alam biasa, bagaimanapun dahsyatnya alam itu. Kesimpulan yang dapat

diambil dari pengamatan ini adalah: Karena manusia maupun alam tidaklah sakral di

dalam dirinya, maka keduanya memperoleh kesakralan dari luar. Oleh karena itu, di

luar manusia individual dan dunia alamiah, ada realitas lain yang ada hubungannya

dengan makhluk khayali, yang sangat penting artinya bagi agama. Dengan kata lain,

di luar apa yang disebut naturisme dan amimisme, pasti ada pemujaan yang lebih

primitif dan fundamental yang merupakan asal animisme dan naturisme, atau bahwa

keduanya merupakan aspek darinya. Pemujaan itu disebut dengan “Tottemisme”

I

85-90 Kata “Totem” baru muncul pada abad ke-18 yang diperkenalkan oleh seorang

penafsir Indian, J. Long. Karyanya yang berjudul Voyages and Travels of an Indian

Interpreter and Trades, diterbitkan pertama sekali tahun 1791. Hampir setengah

abad lamanya, totemisme dikenal secara eksklusif sebagai institusi Amerika. Pada

Page 24: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

tahun 1842 George Grey tertarik dengan praktek-praktek yang sama dengan

Amerika. Dengan demikian, para ahli menyadari bahwa mereka berhadapan dengan

satu sistem yang memiliki keumuman tertentu.

Saat itu, para ahli melihat totemisme sekedar institusi agama purbakala yang

sudah ada sejak dahulu. Mereka tertarik untuk menyelidiki hubungan antara

totemisme dengan persoalan sejarah. Seorang ahli, McLennan untuk pertama sekali

tertarik menghubungkan antara totemisme dengan sejarah umat manusia. Dia

berpendapat bahwa totemisme bukan sekedar agama, tetapi buah dari kemajemukan

kepercayaan dan praktek yang muncul bahkan dalam sistem religius yang maju

sekalipun berasal dari totemisme. Bahkan McLennan juga menjelaskan perluasan

totemisme meliputi bentuk pemujaan dan penyembahan binatang yang lazim

ditemukan pada masyarakat primitif.

Ahli-ahli tentang Amerika juga memiliki pendapat tentang totemisme itu.

Totemisme berkaitan dengan organisasi sosial yang defenitif, dimana terdapat

pembagian masyarakat berdasarkan marga-marga. Bahkan berdasarkan sebuah riset

menghasilkan sebuah kajian bahwa totemisme merupakan sebuah agama dan

institusi legal. Namun, hasil dari studi ini belum masuk pada elaborasi yang lebih

detail tentang ide-ide mendasar dari totemisme tersebut.

Robertson merupakan orang yang pertama sekali mencoba mengelaborasi

totemisme itu lebih mendalam. Robertson mengutarakan betapa kaya dan

berharganya agama primitif, tetapi sekaligus membingungkan pada masa akan

datang. Totemisme tidak dapat direduksi sebatas penyembahan binatang atau

tumbuhan belaka sebab itu justru mereduksi makna totemisme itu sendiri.

Totemisme mengandaikan adanya penyatuan hakikat manusia dengan binatang atau

tumbuhan, apakah itu berlangsung secara alamiah atau rekayasa.

Durkheim lebih tertarik untuk meneliti konsep totemisme pada masyarakat

Australia. Menurut Durkheim, penilitian tentang totemisme lebih baik bila

ditargetkan pada masyarakat yang memiliki agama yang paling primitif dan paling

sederhana. Agama yang paling primitif mengarahkan diri masyarakat sedekat

mungkin pada titik awal evolusi agama tersebut. Tidak ada karakteristik yang lebih

sempurna dalam meneliti totemisme selain suku-suku di Australia sebab organisasi

mereka merupakan paling primitif dan sederhanya yang pernah ditemukan.

Meskipun Durkheim menjadikan masyarakat Australia sebagai objek penelitian,

tetapi dia juga mencatat agar memberi pertimbangan pada masyarakat-masyarakat

Page 25: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

lain tempat totemisme ditemukan pertama sekali, yaitu suku-suku Indian di Amerika

Utara.

BOOK TWO

THE ELEMENTARY BELIEFS

Chapter One

The Principal Totemic Beliefs

The Totem as Name and as Emblem – Totem sebagai lambang dan simbol

99-100 Study tentang totem yang hendak dielaborasi oleh Durkheim mencakup dua hal,

yaitu kepercayaan dan ritus dalam agama totemik. Pembahasan itu akan dilakukan

secara berurutan. Dua elemen dalam agama totemik tersebut sangat rentan pada

pemisahan radikal. Ada beberapa bagian yang akan memiliki hubungan saling

terkait dengan perecayaan dan ritus. Sebut saja antara pemujaan dan kepercayaan.

Meskipun pada prinsipnya, pemujaan lahir dari kepercayaan, tetapi pemujaan itu

bukanlah dampak dari kepercayaan itu sendiri. Selain itu, dapat juga ditemukan

posisi mitos dengan ritus, sebab mitos dibentuk berdasarkan ritus, terutama untuk

menjelaskan ritus yang belum kelihatan jelas. Tujuan dari Durkheim disini ialah

untuk mendapatkan ide-ide agama yang paling elementer, tetapi bukan mengamini

pemikiran yang sifatnya spekulatif.

I

100-110 Pada masyarakat Australia, kita dapat menemukan satu kelompok yang memiliki

kehidupan kolektif. Kelompok itu disebut dengan marga. Ada dua ciri utama yang

menjadi karakter marga ini pada masyarakat Australia.

Individu-individu yang menjadi anggota kelompok itu merasa terikat oleh

hubungan kekeluargaan dengan ikatan yang sangat khas. Hubungan ikatan tersebut

dinyatakan melalui pemakaian nama yang sama, jadi tidak lahir dari hubungan darah

yang jelas dan baku. Jadi marga pada konteks masyarakat Australia tidak

menjelaskan hubungan bapak, ibu, putera, paman, seperti pemikiran masyarakat

modern. Mereka menjadi satu kelompok marga disebabkan penggunaan kata (nama)

yang sama antara yang satu dengan yang lain. Konsekuensi dari kelompok marga ini

adalah hubungan timbal balik dalam tanggung jawab untuk menolong, balas

dendam, dan tidak mengawini antara yang satu dengan yang lain.

Page 26: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Ciri yang hampir sama dalam masyarakat Australia dapat juga ditemukan pada

masyarakat Romawi dengan nama gens atau masyarakat Yunani dengan nama

Yevos. Meskipun memiliki konsep yang hampir sama, tetapi kelompok marga dalam

masyarakat Australia memiliki ciri khas sendiri, yaitu dengan menggunakan nama

marga sesuai dengan nama-nama benda yang memiliki hubungan yang khusus

dengan anggota kelompok marga tersebut. Spesies benda-benda yang dipakai

sebagai nama marga secara kolektif dalam kelompok itulah yang kemudian disebut

dengan totem marga. Totem marga itu menjadi totem setiap anggotanya.

Bagi masyarakat Australia, kesatuan marga tidak mesti dibatasi oleh kesatuan

wilayah geografis. Adalah hal yang sangat biasa bagi satu marga untuk tidak

menempati wilayah yang sama, tetapi anggota-anggotanya tersebar di wilayah yang

berbeda-beda. Meskipun mereka berada pada wilayah geografis yang berbeda-beda,

tanggung jawab masing-masing individu yang memiliki kesamaan kelompok marga

adalah sama. Tanggung jawab ini tidak dibatasi oleh luasnya sebaran kelompok

marga tersebut.

Dari antara 500 nama-nama totemik dari suku-suku Australia Selatan, hanya

ada 40 nama yang bukan berasal dari nama binatang dan tumbuhan. 40 marga itu

memakai nama awan, hujan, hujan salju, embun, bulan, petir, matahari, angin,

musim gugur, musim panas, api, asap, air, akar merah, dan laut. Itu menandakan

bahwa kecenderungan marga totem bagi masyarakat Australia dengan menggunakan

nama makhuk yang hidup.

Nama totem yang lazim dipergunakan bukan spesies bersifat parsial, tetapi

spesies bersifat universal. Contohnya: Tidak ada totem kangguru dan gagak „yang

ini‟ atau „yang itu‟, tetapi keseluruhan kangguru dan burung gagak. Tetapi kadang-

kadang, ada totem yang berbentuk objek tertentu yang menggunakan matahari,

bulan, konstelasi bintang-bintang. Biasanya mereka menggunakan objek tersebut

sebagai totem marga dikaitkan dengan tekanan yang mereka hadapi dalam

mengelola lahan pertanian.

Disamping menggunaka spesies binatang, kalangan suku Warramunga dan

Tjingilli menggunakan totem marga dengan nama seorang leluhur. Mereka

menggunakan totem marga dengan seorang leluhur yang disebut dengan Thaballa.

Penggunaan totem marga dengan nama seorang leluhur erat kaitannya dengan

hubungan yang bersifat mitis.

Page 27: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Berdasarkan suku-suku yang ada di Australia, ada tiga aturan yang berbeda

dalam penggunaan totem marga. Pertama, seorang anak memiliki totem yang sama

dengan ibunya. Beberapa suku di Australia selatan dan tengah seperti: Dieri dan

Urabunna, di Victoria, seperti: Wotjobaluk dan Gournditch-Mara, dan beberapa suku

di Australia bagian lainnya. Totem seorang ibu harus berbeda dengan suaminya

(aturan eksogami). Berhubung seorang isteri harus tinggal di tempat suaminya, maka

anggota dari suatu totem tentu saja terpencar-pencar di berbagai wilayah, tergantung

tempat perkawinannya. Hasilnya tentu kelompok marga totem tidak memiliki basis

teritorial.

Kedua, totem marga yang terbawa lewat garis paternal. Dalam kasus ini, anak-

anak tetap tinggal bersama bapak dan kelompok lokalnya. Dengan kata lain, setiap

marga totem memiliki basis tempat tinggal sebagai daerah teritorinya.

Ketiga, kombinasi antara yang pertama dengan kedua. Model totem marga

yang ketiga ini menjelaskan totem anak yang tidak harus sama dengan bapak dan

ibunya. Totem anak ditentukan oleh totem leluhur mitis yang secara mistis telah

“menghamili” si ibu pada proses pembuahan rahim. Sehingga, totem anak seringkali

ditentukan berdasarkan persoalan kebetulan belaka.

Individu-individu yang menjadi anggota kelompok marga tertentu memiliki

aturan yang tidak boleh memakan jenis binatang tertentu. Namun kelompok marga

lain boleh memakan binatang yang dilarang oleh kelompok lainnya. Ini berarti,

bahwa binatang-binatang yang tidak boleh dimakan itu menjadi totem bagi

kelompok yang melarangnya.

II

111-117 Disamping sebagai nama, totem juga memiliki makna sebagai lambang, mirip

dengan lencana pengenal. George Grey mengatakan, “Orang Australia selalu

memakai nama seekor binatang atau tanaman sebagai simbol atau tanda” 5 Hal yang

sama juga dikatakan oleh Fison dan Howwit, “Organisasi masyarakat Australia

memperlihatkan bahwa totem pertama-tama merupakan tanda pengenal sebuah

kelompok”6. Membandingkan dengan Amerika Utara, kita dapat menggunakan

pandangan Schoolcraft yang mengatakan: “Totem pada dasarnya adalah sebuah

desain yang berhubungan dengan lambang yang menjadi panji-panji sebuah bangsa

5 George Grey, Journals of Two Espeditions in Northwestern and Western Australia, London, T

and W. Boone, 1841, hlm. 228 6 Fison and Howitt, Kita Laroi and Kurnai, hlm. 165

Page 28: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

beradab, dan setiap orang berhak memakainya sebagai identitas keluarganya. Hal ini

ditunjukkan oleh etimologi kata tersebut yang berasal dari kata dodaim, yang berarti

kampung atau tempat tinggal kelompok keluarga”

Para bangsawan pada zaman feodal memahatkan, melukiskan, dan dalam

setiap kesempatan, menggambarkan lencana-lencana mereka di dinding-dinding

istana, senjata dan segala macam benda lain yang mereka miliki. Ini merupakan

kebiasaan yang sama antara masyarakat Australia dan orang India Amerika Utara.

Orang Indian yang diteliti oleh Samuel Hearne menggambarkan totem mereka di

atas perisai-perisai mereka sebelum pergi ke medan tempur. Dalam keadaan perang,

beberapa suku Indian memiliki panji-panji yang terbuat dari potongan kulit kayu

yang diikatkan pada lubang dimana totem dianggap menampakkan diri.

Setelah peradaban masyarakat mengalami perkembangan, dimana rumah telah

menggantikan tenda, maka totem pun mulai dibuat dalam bentuk patung atau

dipahatkan pada dinding rumah. Biasanya, totem yang dipahatkan adalah wujud

binatang yang dalam beberapa kasus dikombinasikan dengan wujud manusia dan

dipatungka di sisi pintu masuk rumah setinggi hampir lima belas meter. Biasanya,

patung-patung ini dilukis dengan warna-warna yang cerah.

Namun di perkampungan Tlingit, gambar totemik ini tidak merata di semua

rumah dalam satu perkampungan itu. Disini, hanya ada beberapa rumah yang

memahatkan totemik itu pada dinding rumah, yakni kepala suku dan orang-orang

kaya. Berbeda dengan perkampungan Tlingit, pada suku Haida ditemukan hampir

semua rumah memahatkan totemik di dinding rumah. Perkampungan suku Haida

seakan-akan menjadi kota suci akibat dari banyaknya patung yang diletakkan di

berbagai tempat di setiap sudut dengan ukuran-ukuran yang besar. Sementara pada

suku Salish, totem seringkali menjadi bagian dari interior rumah.

Contoh-contoh di atas ditemukan pada suku-suku Indian di Amerika Utara.

Gambar-gambar totemik yang dipahat atau dalam bentuk patung hanya dapat

dikerjakan bila teknik-teknik seni telah dikuasai oleh masyarakat. Hal yang berbeda

dengan suku-suku di Australia. Pada masyarakat Warramunga di Australia, di akhir

upacara pemakaman, tulang-tulang orang yang meninggal dikuburkan setelah

dibakar terlebih dahulu. Sebuah patung yang menggambarkan totem ikut dikuburkan

disamping abu jenazah tadi. Hal yang berbeda terdapat pada masyarakat Mara dan

Anula, jenazah yang meninggal itu diletakkan di dalam cabang pohon yang telah

dilubangi dan dihias sesuai dengan totem yang mati tersebut.

Page 29: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Bukti-bukti di atas mengindikasikan betapa pentingnya posisi totem dalam

kehidupan sosial masyarakat primitif. Totem tidak hanya merepresentasikan sesuatu

yang material; yakni terpisah dari manusia. Dari berbagai contoh-contoh di atas,

totem tersebut tidak hanya diletakkan sebagai bagian dari ornamen rumah, senjata,

perabotan, dan makan. Tetapi, totem juga sering dilukiskan pada tubuh manusia dan

menjadi bagian dari dirinya. Sebenarnya, inilah representasi yang paling penting dari

totem tersebut.

Seluruh masyarakat pada dasarnya memiliki kewajiban untuk memperlihatkan

totem masing-masing. Bagi masyarakat Tlingit, setiap orang yang memimpin

upacara keagamaan harus memakai kostum yang secara keseluruhan atau sebagian

dari kostum itu menggambarkan tubuh binatang yang menjadi nama marganya.

Praktek-praktek yang sama juga ditemukan pada masyarakat di Amerika Barat Laut.

Jika sebuah suku memiliki totem burung, maka anggota suku ini memakai bulu-bulu

burung sebagai totem di kepala mereka.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa totem itu sering dijadikan menjadi

bagian tidak terpisah dari tubuh, seperti melalui penggunaan tato. Disamping itu,

ritus yang mencabut gigi seorang remaja saat menginjak usia puber sebagaimana

tradisi suku Arunta, selalu dikaitkan dengan harapan agar hujan cepat turun. Juga di

dalam suku Arunta, selama ritus sunatan dilaksanakan, luka yang mirip juga

ditorehkan kepada saudara perempuan atau calon isterinya di masa datang. Bekas

luka seperti itu digambarkan pada benda-benda sakral yang disebut Churinga.

III

118-126 Dekorasi-dekorasi totemik tidak hanya bermakna nama dan simbol. Simbol-simbo

totemik itu sendiri memiliki makna religius sebab kerap dipergunakan dalam

upacara-upacara religius. Suatu kelompok marga menggunakan totem sebagai label

kolektif atas kelompok mereka, maka totem itu sendiri sekaligus memiliki karakter

religius terhadap kelompok tersebut. Klasifikasi antara yang sakral dan profan dapat

dikerjakan bila merujuk pada totem.

Beberapa suku di Australia, khususnya: Arunta, Loritja, Kaitish,

mempergunakan alat-alat tertentu dalam melaksanakan ritus yang disebut dengan

Churinga. Alat-alat tersebut terdiri dari beberapa keping kayu atau serpihan batu

kecil dalam berbagai bentuk meskipun bentuk oval dan persegi menjadi bentuk yang

dominan. Tiap benda itu diukir dengan desain yang menggambarkan totem

Page 30: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

kelompok tersebut. Churinga ini dibutuhkan dalam ritus-ritus yang mengakibatkan

perasaan religius bagi kelompok marga tersebut.

Churinga memiliki dua sisi jenis kata yang saling melekat. Di satu sisi, kata

ini adalah kata benda. Namun pada saat yang sama, kata ini merujuk pada sesuatu

yang sakral, sebab arti kata Churinga sendiri adalah „sakral‟. Tingkat kesakralan

kata ini dapat dilihat melalui cara suku Arunta yang tidak boleh mengucapkan kata

itu di hadapan orang asing. Sehingga kata ini sangat jarang diucapkan. Meskipun

harus diucapkan mesti dilakukan dengan suara rendah, semacam gumaman yang

misterius. Hal ini berarti, bila kata Churinga dipakai sebagai kata kerja, maka kata

itu memiliki ciri hakiki sebagai yang sakral. Dengan demikian, yang profan – wanita

dan pria yang belum diinisiasi ke dalam kehidupan religius – tidak diperbolehkan

melihat Churinga dari dekat, melainkan dari jauh dan itupun sangat jarang

dilakukan.

Kesakralan Churinga dinyatakan dengan cara pemisahannya dengan segala hal

yang sifatnya profan. Dia diisolasi pada sebuah tempat, biasanya sebuah goa di

tempat terpencil, yang disebut dengan ertnatulunga. Ertnatulunga adalah lambang

tempat yang damai sebagaimana juga dikenal oleh masyarakat Jermanik sebagai

tempat berlindungnya kelompok-kelompok totemik, yang disebut dengan asylum.

Kesakralan Ertnatulunga dipraktekkan dengan cara menjaga kedamaian di dalam

goa, bahkan di sekitar goa tersebut. Sebagai contoh: bilamana seorang pelarian telah

mencapai ertnatulunga, maka dia tidak boleh ditangkap di tempat itu. Bahkan

binatang buruan yang kebetulan tersesat disekitar ertantulunga itu, juga harus

dihormati.

Churinga memiliki nilai religius yang sangat tinggi bagi masyarakat Arunta.

Dapang dibayangkan bila nilai itu hilang, maka nasib individu dan kelompok itu

berada dalam bahaya. Kesakralan Churinga itu juga meliputi pada kemampuannya

untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Oleh karena kesakralan yang melekat pada

Churinga itu, maka tidak ada perlengkapan ritus yang memiliki arti penting melebihi

Churinga. Pada saat upacara ritus dilaksanakan, kesakralan Churinga ini dapat

dipindahkan kepada setiap individu dengan cara memercikkan minyak suci tempat

Churinga itu direndam. Atau, Churinga itu dibungkus pada sebuah bungkus kulit

lalu diputar ke segala arah dengan maksud untuk menebarkan kekuatan dan

kebaikan yang ada dalam Churinga tersebut.

Page 31: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Churinga memang berwujud benda-benda yang terbuat dari kayu atau batu

seperti benda-benda lainnya. Namun, benda ini tidak bisa disamakan dengan benda

profan lainnya. Benda ini menjadi pusaka kolektif bagi suatu kelompok. Sebagai

pusaka kolektif, maka tidak ada satu orangpun individu yang memiliki hak privat

sebab masa depan kelompok itu ditentukan oleh Churinga tersebut. Dengan

demikian, pengawasan atas Churinga dilaksanakan oleh kepala kelompok. Churinga

ini mesti dijaga, diminyaki, dilap, dan dibersihkan. Ketika Churinga harus

dipindahkan ke suatu tempat, maka harus melalui suatu upacara khusus.

Menurut Spencer dan Gillen, Churinga ini semata-mata memiliki nilai

kesakralan. Churinga diyakini berfungsi sebagai tempat bersemayam arwah para

leluhur dan kehendak arwah inilah yang memberikan keistimewaan pada benda itu.

Churinga dianggap sebagai pencitraan leluhur yang kemudian berubah menjadi

objek penyembahan. Namun, Churinga tidak serta merta dapat diterima sebagai

mitos, sebab sama sekali tidak ada tanda-tanda dalam pembuatan kayu atau batu itu,

dan dalam bentuk jadinya setelah itu, yang memperlihatkan bahwa benda-benda itu

nantinya menjadi tempat bersemayam arwah para leluhur atau sebagai citra tubuh

mereka. Jadi, keseluruhan ritus-ritus itu hanya ditujukan pada citra yang ada pada

Churinga tersebut.

Di beberapa suku-suku lain di Australia, pemahaman terhadap citra arwah

leluhur yang melekat pada suatu benda juga berkembang. Dengan pemahaman yang

sama, suku-suku yang lain itu memberikan nama berbeda, seperti: Churinga,

nurtunja, dan warniga. Namun keseluruhannya itu tetap dikatakan sebagai lambang

totemik. Apa yang sakral disini bukanlah benda totemik itu, melainkan gambar dan

lambang yang dilukiskan pada benda tersebut.

Chapter Two

The Principal Totemic Beliefs (Continued)

The Totemic Animal and Man

I

127-133 Ada beberapa hal yang riil yang dijadikan sebagai objek ritus karena hubungannya

dengan totem. Hal yang dimaksud adalah adalah ciptaan-ciptaan yang menyerupai

spesies totemik, dalam bentuk tumbuhan dan binatang. Keprofanan tumbuhan dan

binatang terletak pada fungsinya sebagai bahan makanan. Tetapi kesakralannya

terletak pada larangan untuk memakannya. Bila ada ada individu yang melanggar

Page 32: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

kesakralan tumbuhan dan binatang itu bukan berarti kelompok tersebut akann

melaksanakan penghukuman secara langsung, melainkan ada keyakinan bahwa

individu yang melanggar itu telah menjerumsukan diri pada kematian.

Meskipun larangan ini bersifat absolut, namun lambat laun kelonggaran atas

larangan tersebut sering terjadi meskipun hanya segelintir orang yang menerimanya

di antara jumlah suku-suku yang masih menolaknya. Menurut Spencer dan Gillen,

pelarangan ini sebenarnya merupakan tahap awal dari bentuk larangan lain yang

mulai meneguhkan diri. Menurut mereka, kebebasan untuk mengkonsumsi binatang

dan tumbuhan apa saja mendahului larangan memakan jenis tertentu. Sehingga ada

dua tesis yang lazim ditemukan. Pertama, saat anggota suku atau pemimpin mereka

bukan hanya boleh, tetapi harus memakan binatang atau tumbuhan totemik. Kedua,

leluhur marga tersebut yang selalu memakan binatang totem mereka.

Perubahan status binatang dan tumbuhan dari yang sakral menjadi yang profan

justru kerap berawal dari ritus-ritus yang dilaksanakan. Untuk keperluan ritual

kadang ada semacam izin khusus untuk mengkonsumsi totem selama

berlangsungnya upacara religius tersebut. Izin khusus ini berakibatkan pada

perubahan sifat makanan tersebut menjadi hal yang profan. Namun, kesakralan

sebuah makanan dapat dipertahankan atau dibentengi dari hal yang profan bila

makanan itu dianggap sebagai yang sakral oleh sebab itu dimakan pada saat

perjamuan. Aturan kesakralan makanan ini kadangkal tidak berlaku terhadap orang

dewasa dan anggota lain dalam kelompok itu yang sudah memiliki status religius

yang tinggi. Mereka tidak lagi terikat dengan aturan larangan makanan tersebut.

Absolotisme larangan memakan tumbuhan dan binatang totem bukanlah

sesuatu yang penting, sebab yang menentukan adalah kebutuhan. Sebagai bagi

masyarakat Kaitish dan Warramunga yang memakai air sebagai benda totem bagi

mereka. Mustahil bila masyarakat tersebut tidak boleh meminum air. Mereka tetap

diperbolehkan untuk menggunakan air dengan beberapa syarat, seperti: mereka tidak

boleh mengambil air itu secara langsung melainkan harus melalui pihak lain yang

memiliki totem berbeda dengan mereka. Hal ini dilakukan sebagai bentuk

penghormatan mereka terhadap benda totem tersebut sehingga akses terhadap yang

sakral itu tidak sembarangan.

Prinsip yang sama juga terdapat pada larangan untuk membunuh binatang

totem. Bila kebetulan benda totem suatu kelompok adalah binatang buas, atau saat

tidak ada lagi makanan, maka kasus ini dianggap sebagai status darurat. Meskipun,

Page 33: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

masih ada aturan-aturan yang melarang membunuh binatang totem tersebut, namun

ada hal-hal yang kemudian memperbolehkan mereka untuk membunuhnya, yakni

dengan kata “permisi”. Hal ini menunjukkan sikap yang membunuh benda totem itu

dengan nada sedih dan memelas, dan dalam keadaan terjepit.

Binatang dan tumbuhan yang menjadi benda totemik ini jelas berbeda dengan

churinga. Churinga ditempatkan pada suatu tempat yang khusus jauh dari kebisingan

profan. Sementara itu binatang dan tumbuhan totemik berada di alam liar yang tidak

bisa dibatasi oleh tempat khusus dan justru melekat pada hal yang profan. Namun,

yang menjadi pokok persoalan ialah bahwa citraan-citraan ada benda totem itu jauh

lebih penting dari benda totem itu sendiri.

II

133-140 Hal yang lebih akan dibahas pada bagian ini adalah posisi manusia dalam benda

totem itu. Bagi masyarakat primitif, nama seseorang justru menjelaskan hakikat

dirinya. Nama merupakan being, hakekat keberadaan seseorang. Jadi, bila

masyarakat primitif menyebut dirinya dengan totem binatang, maka hakekat

keberadaannya adalah binatang. Sebagai contoh: bila salah satu suku di Australia

menyebut totemnya sebagai kanguru, maka hakekat keberadaannya adalah kanguru.

Dengan demikian, setiap individu memiliki hakekat ganda, yakni: manusia dan

binatang.

Ini merupakan dualitas keberadaan manusia, dan posisi mitos dalam

masyarakat primitif adalah merekonstruksi dualitas ini. Tugas dari mitos adalah

menetapkan relasi genealogis antara manusia dan binatang totemik yang telah

menciptakan manusia itu sebagai bagian dari binatang totemik. Sehingga suku-suku

di Australia menganggap bahwa binatang-binatang aneh merupakan bapak moyang

manusia, dimana binatang yang telah melahirkan manusia melalui cara-cara tertentu.

Mereka percaya bahwa binatang menjadi benda totemik sekaligus bapak moyang

manusia sudah yang tidak bisa lagi ditemukan hingga saat ini.

Di dalam diri leluhur, ada dua unsur anggota badan yang dipandang memiliki

nilai kesakralan, yaitu darah dan rambut. Bagi masyarakat Arunta misalnya,

khususnya laki-laki dari marga Emu menempatkan darah manusia merupakan

sesuatu yang suci. Seluruh upacara religius menempatkan darah memegang peranan

penting. Salah satu contoh saat proses inisiasi seorang pria muda dinisiasi menjadi

pria dewasa. Pria dewasa yang akan melaksanakan upacara inisiasi melukai satu

pembuluh darah kecilnya dan memercikkannya pada pria muda yang diinisiasi.

Page 34: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Fungsi religius rambut juga memiliki kesamaan dengan darah. Penduduk asli

Australia Tengah memakai selempang yang terbuat dari rambut manusia. Selempang

yang terbuat dari rambut manusia itu dililitkan pada objek-objek pemujaan dalam

upacara ritus. Bila suatu ketika, satu kelompok marga meminjam churinga dari

kelompok lain, maka kelompok yang meminjam itu akan memberikan rambutnya

sebagai bentuk dan ucapan terima kasihnya. Bukan hanya itu saja, pemotongan

rambut harus dilakukan melalui upacara ritual tersebut. Orang yang rambutnya akan

dipotong harus berjongkok di tanah serta menghadap ke arah makan leluhur ibunya.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat menemukan hubungan

yang tidak bisa dipisahkan antara manusia dengan binatang totemnya. Bahkan,

binatang totemnya itu dianggap memiliki hubungan kerabat sedarah dengan mereka.

Dia akan meminta perlindungan kepada binatang totem itu, sekaligus menjadikannya

sebagai penuntun dalam berburu dan menghadapi bahaya yang mungkin

menghadang.

Beberapa kelompok marga totemik juga memiliki cara yang berbeda

memperlakukan totemnya. Ada kelompok marga yang memiliki larangan untuk

tidak memakan suatu jenis binatang bila totem mereka adalah binatang; atau tidak

boleh menebang pohon tertentu bila totemnya adalah tumbuhan. Namun, ada

kelompok lain marga yang memahami bahwa binatang dan tumbuhan totemnya itu

merupakan milik eksklusif mereka. Dengan demikian, mereka memiliki hak

istimewa untuk membunuh jenis binatang totemiknya atau menebang jenis

tumbuhan totemiknya.

Chapter Three

THE PRINCIPAL TOTEMIC BELIEFS (CONTINUED)

The Cosmolical System of Totemism and the Notion of Kind

Sebuah totemisme baru bisa dikategorikan sebagai suatu agama bila dapat

memberikan konsepsi tentang alam semesta. Seluruh agama yang dikenal oleh

manusia merupakan suatu sistem ide yang mencakup universalitas segala sesuatu

dan memberi konsep tentang dunia sebagai satu kesatuan yang padu.

I

141-145 Suatu suku dapat terdiri dari beberap phratri. Phratri itu akan dibagi dalam beberapa

klasifikasi marga, dimana masing-masing marga memiliki totem. Masing-masing

Page 35: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

marga dapat memiliki beberapa totem yang menunjukkan hubungan unsur-unsur

kosmis yang ada di alam semesta.

II

Chapter Four

THE PRINCIPAL TOTEMIC BELIEFS (END)

The Individual Totem and the Sexual Totem

Sejauh ini, Durkheim masih membahas totemisme sebatas institusi marga. Meskipun

individu-individu terlibat dalam totem tersebut, itu akibat keberadaannya sebagai

bagian dari kelompok marga totemik tersebut. Padahal, tidak ada agama yang tidak

mengakomodir sisi-sisi individual. Terlepas dari totem yang personal dan individual,

ada juga totem milik pribadi dimana individu yang bersangkutan mengekspresikan

kepribadiannya pada totem tersebut.

I

158-166 Beberapa suku di Australia dan sebagian besar di Amerika Utara, tiap-tiap individu

memiliki hubungan personal dengan objek-objek tertentu. Objek itu menjadi totem

individu bagi dirinya, yang biasanya memiliki kesamaan jenis dengan totem

kelompok. Biasanya, objek yang dijadikan sebagai totem individu adalah binatang.

Jenis binatang yang menjadi totem individu dijadikan menjadi nama bagi

individu tersebut. Biasanya, individu yang memiliki totem individu akan menghias

dirinya dengan organ yang dimiliki oleh binatang itu. Misalnya, bila seseorang

memiliki totem burung, maka dia akan menghiasi dirinya dengan bulu-bulu burung

tersebut. Namun, di beberapa suku, individu-individu yang memiliki totem pribadi

melukis atau mengukir binatang totemik tersebut pada perkakas-perkakas yang

dimilikinya. Lukisan atau ukiran itu berfungsi juga sebagai tanda kepemilikiannya

atas perkakas atau barang itu.

Ada ikatan yang sangat kuat antara individu tersebut dengan binatang totemik

itu. Alam binatang tetap menjadi alam manusia. Termasuk bila binatang totemik itu

memiliki kelemahan atau kelebihan, itu menjadi bagian dari kelemahan dan

kelebihan individu tersebut. Bila binatang totemik itu memiliki status yang

dipandang rendah, maka perlakuan sama akan diberikan kepada individu pemiliki

nama totem tersebut. Hal itulah yang menjadikan sehingga binatang dianggap

sebagai pribadi kedua dari manusia, alter ego. Sehingga larangan untuk memakan

binatang totemik tertentu lebih mengikat bila binatang totemik tersebut dijadikan

Page 36: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

sebagai nama atau totem terhadap satu individu. Hal ini tentu berbeda dengan totem

kelompok, dimana larangan memakan binatang totemik kelompok itu kadang

memperoleh pengecualian.

Binatang totemik itu dianggap sebagai penjaga dan pelindung bagi seseorang.

Sebagai sahabat, atau pribadi kedua dari satu individu, maka kekuatan ajaib dan gaib

yang dimiliki oleh binatang itu dapat berpindah kepada individu pemilik totem

tersebut. Dengan demikian, si individu tadi akan memiliki kekuatan untuk

menghindar dari berbagai ancaman terhadap dirinya.

Hubungan yang spesial antara seseorang dengan binatang totem hanya berlaku

untuk satu jenis binatang, bukan spesies. Tidak ada individu yang menjadi spesies

sebagai totem pribadinya. Namun, hubungan yang erat antara seseorang dengan

totem personalnya, tetap saja ada sisi yang berbeda dengan konsep dan ide totem

kelompok. Kelompok marga dipandang sebagai tempat munculnya binatang atau

tumbuhan totemik. Ini yang membedakannya dengan totem personal, yang

menganggap bahwa binatang totem itu tidak lahir dari dalam dirinya, melainkan

sebatas teman bagi dirinya.

Di samping perbedaan di atas, totem personal juga memiliki keunikan. Totem

personal itu bukan hasil dari sebuah pilihan, melainkan pemberian. Namun, kita

tidak mengentahui secara pasti, bagaimana cara memperoleh totem tersebut. Karena

totem personal sebagai pemberian, maka sifatnya hanya pelengkap bagi seseorang

bukan sebagai kewajiwab. Artinya, tidak ada aturan bagi masyarakat primitif bahwa

setiap individu harus memiliki totem personal. Akan tetapi, walau totem personal

hanya sebagai pelengkap, dia memiliki kekuatan yang tidak dimiliki totem marga.

Hal ini masih ditemukan pada masyarakat yang sudah maju, seperti Eropa.

Meskipun bagi masyarakat yang sudah maju konsep totem kelompok sudah tidak

ada lagi, namun kebiasaan untuk mengaitkan seseorang dengan objek-objek

eksternal masih kerap terjadi.7

II

166-167 Disamping totem individual dan kolektif, pada masyarakat suku Australia terdapat

totem seksual. Totem seksual merupakan perantara antara totem individu dan

7 Maka pada saat kelahiran seorang anak, orang-orang menanam sebuah pohon di tempat mereka

mengadakan perjamuan, karena mereka yakin bahwa takdir si anak dan pohon akann seiring.

Masih banyak lagi kebiasaan masyarakat maju yang mengaiktan takdir personal dengan objek-

objek eksternal.

Page 37: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

kolektif. Suku Kurnai contohnya, seluruh pria menganggap diri mereka sebagai

saudara burung emu-wren, dan setiap wanita adalah saudara burung linnet. Setiap

pria adalah emu-wren dan setiap wanita adalah linnet. Masing-masing jenis kelamin

memandang binatang totemnya satu darah dengan dirinya, sekaligus berperan

sebagai pelindung terhadap dirinya. Oleh karena itu membunuh dan memakan

dagingnya adalah hal terlarang. Peranan binatang totem itu dalam melindungi jenis

kelamin tertentu sama dengan peranan binatang terhadap individu dan kelompok.

Disamping itu, binatang totem dianggap sebagai keturunan dari jenis totem

binatang tertentu. Bagi masyarakat Kurnai misalnya, Tilmun, sejenis burung kecil

sebangsa pelatuk. Dianggap sebagai wanita pertama. Oleh karena itu, seluruh wanita

sangat menghormati burung ini, dan tidak bisa memakannnya. Satu jenis totem

binatang dianggap sebagai asal dari satu jenis kelamin tertentu.

Chapter Five

ORIGINS OF THESE BELIEFS

Critical Examination of the Theories

Keberadaan organisasi sosial dalam bentuk kesatuan marga tidak bisa dipisahkan

dari fenomena religius beserta ritus-ritusnya. Dengan demikian totemisme dapat

dilihat sebagai bentuk agama yang didefinisikan berdasarkan eksistensi dan

keberadaan organisasi sosial. Artinya, totemisme hanya bisa didefinisikan

berdasarkan organisasi sosial dalam bentuk marga.

Marga yang begitu banyak di Australia tidak ada tanpa adanya totem. Setiap

anggota marga terikat antara yang satu dengan yang lain tidak berdasarkan pertalian

darah atau kesamaan tempat tinggal. Keterikatan antara yang satu dengan yang lain

hanya diakibatkan oleh kesamaan totem. Kesatuan individu di dalam satu marga

tertentu muncul dari penggunaan nama dan lambang marga yang sama, sekaligus di

dalamnya kesamaan ritus-ritus yang dipraktekkan secara bersama-sama. Inilah

organisasi masyarakat yang paling sederhana.

I

170-174 Pada bagian ini, Durkheim mencoba untuk memisahkan pemujaan binatang yang

dijadikan totem dengan ritus upacara yang dilaksanakan terhadap citraan binatang

pada benda totem. Durkheim membandingkan, sekaligus mengkritisi pemikiran

Page 38: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Tylor8 dan Wilken

9. Tylor dan Wilken berpendapat bahwa totemisme merupakan

bentuk khusus dari pemujaan terhadap leluhur. Pemikiran mereka adalah, jiwa tidak

selamanya terpisah dari badan setelah seseorang meninggal. Jiwa itu akan kembali

memasuki jasad yang masih hidup. Biasanya jiwa itu akan bergabung dengan

binatang sehingga bintang itu dianggap sebagai penjelmaan dari leluhur. Dengan

demikian, totem marga merupakan bentuk penjelmaan dari para leluhur.

Namun, bagi Durkheim bukan itulah yang menjadi hakekat dari pemujaan

terhadap totemik. Meskipun tidak ada landasan yang dapat dipakai untuk memahami

bagaimana totemisme itu terbentuk, namun bagi masyarakat suku di Australia tidak

ada ditemukan ritus penyembahan terhadap leluhur. Dengan demikian, totemisme

bukanlah doktrin perpindahan jiwa.

Penyembahan terhadap benda totemik bukanlah penyembahan terhadap arwah

leluhu yang beresemayam dalam binatang tersebut. Memang ada kalanya, leluhur

pertama digambarkan dalam wujud binatang. Namun, totemisme ini harus dibedakan

dengan zoolatri yang melakukan penyembahan binatang disebabkan arwah atau jiwa

nenek moyang masuk dalam binatang tersebut. Sesungguhnya, pemujaan dalam

bentuk ritus-ritus yang dilakukan pada benda totemik bukanlah penyembahan

terhadap binatang. Pemujaan itu adalah pada citra yang ada pada benda totemik

tersebut. Dalam hal inilah, Durkheim dipengaruhi oleh pemikiran Jevons, sekaligus

mengkritik pemikiran Tylor. Durkheim melihat bahwa pemikiran Tylor telah

mereduksi totemisme menjadi sebatas pemujaan terhadap leluhur. Sementara Jevons

mengkaitkan totemisme dengan pemujaan terhadap alam10

.

Benda totemik berangkat dari kebingungan masyarakat kolektif terhadap

ketidakteraturan fenomena alam. Menghadapi hal itu, manusia lalu mengisi dunia ini

dengan makhluk-makhluk supernatural. Oleh karena itu, manusia perlu melakukan

perdamaian dengan kekuatan-kekuatan dahsyat yang di sekelilingnya. Cara terbaik

untuk selamat dari fenomena alam tersebut adalah bersukutu dengan salah satu

makhluk spritual guna memdapat bantuan dari mereka.

8 Edward Brunnet Tulor, Primitive Culture, Vol. 1, New York, Hendry Holt, 1874, Vol. I, hal.

402, Vol. II, hal. 237, dan “Remarks on Totemism, With Special Reference to Some Modern

Theories (Respecting) It” dalam JAI, Vol. XXVIII, 1899, hal. 133-148. 9 Albertus Christian Kruijt Wilken, Het Animisme bij den Volken van den indischen Archipel,

Cravenhage, M. Nijhoff, 1906, hal. 69-75. 10

Frank Byron Jevons, Introduction to the History Religion, London, Methuen, 1902, hal. 96.

Page 39: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Pada masa primitif bentuk persekutuan yang paling dekat adalah persekutuan

sedarah. Setiap anggota akan saling tolong-menolong sebab mereka adalah anggota

sebuah marga. Sementara itu, marga yang berbeda dengan mereka merupakan

musuh yang harus dihadapi secara bersama-sama. Jalan satu-satunya jalan

mendapatkan dukungan dari makhluk supernatural adalah menerima mereka sebagai

saudara sedarah atau menyerahkan diri sebagai saudara sedarah dari makhluk

tersebut. Makhluk yang dianggap supernatural inilah yang menjadi totem bagi marga

tersebut. Oleh karena itu, totem merupakan penyatuan marga melalui simbol atau

citraan makhluk supernatural.

II

173-182 Dari uraian Durkheim sebelumnya telah dijelaskan bahwa ada dua jenis totem, yaitu:

totem individu dan totem kolektif. Masalahnya adalah, totem mana yang terlebih

dahulu ada, totem individu atau totekm kolektif ? Bila totem individu yang

mendahului totem kolektif, maka agama lahir dari kesadaran individu. Dalam

perspektif ini, totem kolektif merupakan totem individu yang diterima secara

menyeluruh. Seseorang yang telah menerima manfaat totem ini, akan diteruskan dan

diwariskan kepada generasi berikutnya. Kemudian keluarga besar yang telah

menerima warisan totem individu itu akan menjadikannya menjadi totem kolektif.

Yang perlu mendapat penjelasan berikutnya ialah asa usul totemisme

individual itu. Durkheim mengutip pendapat Hill Tout yang menganggap totem

individual merupakan bentuk yang lebih spesifik dari fetisisme (suatu transformasi

budaya). Seseorang yang menerima dirinya diancam oleh roh-roh jahat memiliki

perasaan untuk mempertahankan diri dengan mencari perlindungan dari unsur di luar

dirinya. Dengan demikian, lahirlah totem individual. Jadi, proses lahirnya totem

individual memiliki kesamaan dengan proses kelahiran totem kolektif sebagaimana

pendapat Jevons.

III

182-186 Kelahiran totemisme dengan ciri-ciri yang fundamental dapat dilihat dalam konsepsi

totem bagi suku Arunta. Durkheim mengacu pada pendapat Fraser untuk

menjelaskan hal ini. Suku Arunta belum memahami kaitan antara hubungan seksual

dengan proses kelahiran. Dengan demikian, mereka memahami setiap kehamilan

merupakan „kehamilan mistis‟

Menurut suku Arunta, kehamilan mistis merupakan proses masuknya jiwa

leluhur ke dalam tubuh seorang wanita, yang kemudian menjadi inti kehidupan

Page 40: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

(manusia) baru. Jadi, saat seorang wanita mulai merasa gerakan janin dalam

kandungannya, dia berimajinasi telah kemasukan salah satu jiwa yang menjadi

penunggu tempat dimana dia pertama kali merasakan gerakan janin itu. Itulah

sebabnya, totem bagi masyarakat Arunta selalu dikaitkan dengan tempat. Konsep

hubungan antara tempat dan totem juga yang menjadi dasar bagi masyarakat Arunta

untuk menempatkan Churinga pada tempat khusus. Di tempat itu, mereka akan

melakukan upacara-upacara ritual.

Ketika seorang wanita merasa dirinya telah hamil, dia harus berpikir bahwa

roh-roh yang dia yakini sebagai miliknya telah mendatanginya melalui objek-objek

yang ada di sekitarnya. Objek yang menjadi perantara roh atau leluhur mendatangi

seorang perempuan adalah tumbuhan atau melihat yang sedang dia lihat atau yang

menarik perhatiannya. Melalui cara berpikir demikian, pada suatu saat nanti, bayi

yang lahir itu dianggap sebagai bagian dari tumbuhan atau binatang tadi. Oleh

Frazer, model totemisme seperti disebut dengan totemisme “konsepsional”

Chapter Six

ORIGINS OF THESE BELIEFS

(CONTINUED)

The Nature Of Totemic Principle, Or Mana, and the idea of Force

I

190-192 Totemisme bukanlah agama yang menyembah binatang, orang-orang tertentu atau

citraan-citraan lain. Totemisme merupakan agama yang menyembah kekuatan

anonim dan impersonal yang bisa dikenali dalam bentuk spesies binatang tetapi

tidak identik dengan spesies tadi. Disamping memiliki alam kekuatan fisik,

totemisme juga memiliki alam kekuatan moral.

Ketika seorang penduduk primitif ditanya, mengapa mereka menjalankan

ritus-ritus tertentu, maka mereka akan menjawab karena leluhur mereka telah

berbuat demikian pada waktu sebelumnya. Dengan demikian, mereka pun wajib

mengikuti teladan nenek moyang itu. Totem adalah sumber kehidupan moral sebuah

marga. Segala sesuatu yang bernaung di bawah prinsip totemik itu terikat pada

kewajiban moral yang sama, dengan demikian mereka dituntut untuk hidup saling

tolong menolong. Oleh karena itu, prinsip totemik tidak sekedar kekuatan fisikal

semata, tetapi mencakup daya moral sekaligus.

II

Page 41: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

193-200 Perubahan konsep totem menjadi agama perlu juga untuk ditelaah. Durkheim dalam

buku ini melihat benang merah keterkaitan antara agama dan totem. Agama

masyarakat asli Samoa misalnya, yang menurut Durkheim telah melewati fase

totemik. Namun, warisan totem itu belum dapat dihilangkan dari agama masyarakat

Samoa.

Agama masyarakat Samoa menjelaskan bahwa dewa-dewi mereka masih

menguasa satu kelompok terotorial atau kekeluargaan, seperti halnya totemisme

marga. Tuhan tidak bersemayam pada obyek yang partikular sebagaimana

pemahaman totem, tetapi Tuhan itu imanen yang mengejewantah pada satu spesies

binatang tertentu. Buku ini menjelaskan titik peralihan dari totem pada agama adalah

pengejewantahan Tuhan yang imanen pada salah satu spesies binatang tertentu. Titik

perbedaannya, persemayaman Tuhan bagi agama tidak dibatasi pada satu obyek

partikular, berbeda dengan totem yang meyakini persemayaman Tuhan pada satu

obyek partikular. Pada tahap ini pergeseran Tuhan sebagai objek impersonal sudah

terjadi.

Bagi masyarakat Amerika terdapat keyakinan terhadap kekuatan dewa-dewi

yang menjadi sesembahan mereka, disebut dengan wakan. Wakan merupakan

sumber dari segala sesuatu yang oleh para peneliti menerjemahkannya dengan „roh

agung‟ (great spirit). Wakan bukanlah sesuatu yang personal dan dapat

didefinisikan. Seorang peneliti mengatakan bahwa wakan merupakan Tuhan yang

dapat mengubah sifat dan fungsinya sesuai dengan keadaan dan lingkungan.

Konsep Wakan dalam masyarakat Amerika juga terdapat pada masyarakat

Melanesia. Meskipun terdapat pemahaman yang berbeda, namun paham itu

dibangun pada cara berpikir yang sama. Orang Melanesia percaya dengan

keberadaan sebuah daya asbolut yang berbeda dari kekuatan fisik, yang bekerja

dalam setiap hal, untuk tujuan yang baik atau jahat. Manusia memiliki kepentingan

yang sama untuk menguasai dan mengontrol daya tersebut. Daya tersebut disebut

dengan Mana. Mana adalah sebuah daya, yang memiliki pengaruh non material dan

supernatural, akan tetapi dia mengejewantahkan dirinya dalam bentuk kekuata fisik

atau dengan bentuk kekuatan dan superioritas lain yang dimiliki manusia. Mana

terdapat dalam objek-objek tertentu, dia bisa dibawa-bawa bila ditaruh pada suatu

tempat. Seluruh masyarakat Melanesia memiliki benda yang berisi mana ini untuk

tujuan dirinya sendiri maupun orang lain.

III

Page 42: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

201-205 Pemujaan totemik tidak ditujukan pada binatang atau tumbuhan tertentu, tetapi

terhadap daya-daya yang mengalami difusi dalam berbagai bentuk, baik itu binatang

maupun tumbuhan. Ide seperti ini mendominasi seluruh sistem religius, terutama

agama yang lahir dari sistem pemujaan totem. Ide pemujaan dalam totem itu

merupakan dasar yang dijadikan agama sebagai objek penyembahan dan penyerahan

diri terhadap daya-daya tersebut. Hal itu telah berlaku sepanjang sejarah.

Hal itulah yang membentuk sistem keyakinan pada agama masyarakat

Amerika sebagaimana telah dijelaskan di atas, yang disebut dengan Wakan. Wakan

merupakan daya yang muncu dan hadir di dunia serta menjadikan hal yang sakral

sebagai tempatnya bersemayam. Konsepsi tentang Wakan berbeda dengan animisme

dan naturisme. Jika masyarakat Amerika menyembah matahari, bulan, dan bintang,

bukan berarti itu pemujaan pada objek tersebut. Benda-benda dalam konsep Wakan

hanya objek ritus, dimana objek itu menjadi sakral disebabkan daya supranatural

yang bersemayam di dalamnya. Artinya, daya supranatural telah menyatu pada

substansi-substansi material.

Penyatuan daya supranatural pada substansi material terikut juga pada sistem

kata dan gerak. Suara yang diucapkan atau gerak yang dilakukan hanya akan

menimbulkan dampat melalui kata atau gerak tanpa sedikit pun akibat bantuan dari

dewa atau roh. Kekuatan sebuah daya supranatural terletak dalam sebuah ritus, dan

melalui ritus tersebut akan menciptakan dewa-dewi atau tuhan. Dengan demikian,

cara inilah yang seringkali dipakai untuk mempersonalkan tuhan secara mistis.

Durkheim pada tahun 1899 mengusulkan agar konsep personalitas mistis itu tidak

dibawa dalam mendefinisikan agama.

Page 43: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Chapter Seven

ORIGINS OF THESE BELIEFS

(CONCLUSION)

Origins of the Notion of Totemic Principle, of Mana

I

207-208 Totem merupakan simbol yaitu ungkapan dan ekspresi yang kasat mata dari sesuatu

yang lain. Sehingga kesan yang ditangkap manusia tentang kadal, ulat, tikus, katak,

kalkun, serta simbol-simbol totem lainnya tidak memiliki kemiripan dengan emosi

religius yang kuat dan agung yang mengharuskan kesakralan dilekatkan pada

binatang atau tumbuhan totem. Dengan demikian, lambang dan simbol yang ada

pada objek totemik merupakan sumber religius yang harus ditemukan. Artinya,

objek totem yang direpresentasikan oleh lambang atau simbol hanya menerima

refleksi dari sesuatu yang religius.

II

208-216 Dalam akar pikiran manusia, masyarakat secara umum memiliki segala hal yang

diperlukan untuk merangsang kepekaan terhadap ketuhanan. Tuhan pada awalnya

adalah sesuatu yang dipandang manusia lebih superior daripada dirinya, sehingga

Dia menjadi tempat untuk menggantungkan kepercayaan. Masyarakat memiliki

peranan dalam perkembangan agama di kemudian hari, dimana masyarakat

menimbulkan semacam ketergantungan kepadanya. Masyarakat menuntut kita agar

menjadi pelayan serta menyuruh kita melupakan segala kepentingan pribadi. Agama

mengikat kita dengan segala macam bentuk kekangan, privasi, dan pengorbanan.

Apabila hal ini tidak ada, Durkheim berkata kehidupan sosial mustahil ada. Oleh

karena itu, kita harus mematuhi aturan-aturan tingkah laku dan pikiran yang

sebenarnya tidak kita buat maupun butuhkan dan kadangkala malah bertentangan

dengan keinginan atau instring dasariah kita.

Seorang individu menunjukkan kepatuhan terhadap agama merupakan hasil

dari konsesi masyarakat yang memaksa pengorbanan dengan tekanan-tekananan

fisik. Yang timbul dalam pikiran manusia tentang agama itu adalah kekuatan fisik,

bukan kekuasaan moral yang melekat pada agama tersebut. Masyarakat pada

akhirnya merupakan objek rasa hormat manusia. Tata laku demikian tidak dapat

dicapai oleh keadaan kesadaran individual. Dengan demikian, manusia tidak lagi

menjumpai kekuatan di dalam dirinya.

Page 44: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Akibat dari konsep agama yang dilahirkan oleh masyarakat, maka Tuhan merupakan

pihak yang menekan kekuatan kita. Manusia menaati Tuhannya, dengan demikian

manusia itu merasa bahwa tuhan telah bersama dengan dia. Situasi ini menimbulkan

rasa bagi manusia itu bahwa dia telah cukup memiliki kekuatan. Tata laku seperti ini

menjadi rasa kolektif bagi masyarakat sebab masyarakat itu sendiri dibentuk masing-

masing individu. Metode seperti inilah yang akhirnya membentuk agama sebagai

realitas sosial di tengah-tengah masyarakat. Kesadaran kolektif inilah yang

menundukkan masing-masing individu untuk patuh pada nilai kesakralan agama.

III

216-225 Durkheim menjelaskan dua fase kehidupan masyarakat Australia. Pertama, populasi

masyarakat tersebar dalam kelompok-kelompok kecil yang mendiami wilayah

masing-masing secara permanen. Kedua, hidup bersama pada satu tempat selama

beberapa hari atau bulan. Pemusatan ini terjadi saat sebuah marga atau sebagian

anggota suku diundang untuk berkumpul bersama mengadakan upacaya religius,

atau yang lazim disebut dengan corroboree (ritus seperti ini berbeda dengan ritus

lain karena boleh diikuti oleh wanita dan anak-anak yang belum diinisiasi).

Banyak hal yang akhirnya terjadi saat corroboree diadakan. Itu terjadi akibat

potensi emosional dan hasrat orang primitif belum sepenuhnya ditaklukkan rasio dan

kehendaknya. Karena hasrat dan keinginan begitu kuat dan bebas dari segala bentuk

kontrol yang tidak dapat dibentung, maka dari segala penjuru yang ada hanyalah

gerakan-gerakan liar dan kasar, teriakan, lolongan, dan suara-suara yang

memekakkan telinga yang bertujuan untuk mempertajam intensitas ekspresi tadi.

Suara-suara itu akhirnya membentuk bentuk harmoni yang ritmis dan teratur, dan

kemudian berubah menjadi nyanyian dan tari-tarian.

Akhirnya, sistem sosial yang terbentuk pada masyarakat Australia ini terbagi

dalam dua, yakni: pertama, dunia profan waktu menjalani ritme kehidupan; kedua,

dunia sakral dimana kekuatan emosionalnya mengangkat dirinya memasuki ekstasi

rohani. Dua fase kehidupan ini menciptakan garis penghubung. Penghubung ini

terletak saat mereka memaknai totem dari simbol-simbol yang akrab dijumpai pada

fase kehidupan pertama, yaitu: binatang, tumbuhan, bahkan berbagai jenis warna-

warni. Simbol itu berubah menjadi totem saat mereka menjalani corroboree. Lambat

laun, proses asimilasi simbol kehidupan pada fase pertama menjadi totem setelah

menjalani kehidupan fase kedua akan melahirkan totem-totem kelompok. Totem

kelompok ini secara otomatis mengikat totem individual. Akibatnya, mereka

Page 45: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

memahami bahwa kehadiran lambang-lambang totemik bersifat imanen sebab

simbol pada lambang totemik akrab dijumpai pada fase kehidupan pertama.

Situasi ini mengakibatkkan munculnya daya dorong moral dalam kehidupan

kolektif masyarakat. Daya dorong moral ini dilatarbelakangi oleh penjelasan di atas,

yaitu simbol totem yang akrab dijumpai pada kehidupan fase pertama. Perwujudan

simbol totem dalam bentuk material yang sering dijumpai pada kehidupan fase

pertama menimbulkan moral kolektif tentang apa yang dapat dilakukan dan yang

tidak dapat dilakukan. Daya dorong moral inilah yang menghidupkan dan

mendisiplinkan kesadaran, yang menyebabkan tumbuhan dan binatang bisa

berkembang biak. Karena itu, titik persinggungan antara kehidupan fase pertama dan

kedua ini menjadikan agama mampu menjadi rahim tempat benih prinsip peradaban

manusia dapat bertumbuh dan berkembang. Agama telah menyatakan dirinya

realitas sebagai kesatuan yang utuh antara dunia material dengan dunia moral.

Sehingga kekuatan yang menggerakkan tubuh dan pikiran akhirnya dipandang

sebagai wujud religius. Durkheim berpendapat, perumusan antara teori dan praktek,

sadar atau tidak sadar pertama sekali lahir dari agama.

IV

225-231 Biasanya, ide-ide religius sering dikaitkan dengan perasaan-perasaan lemah dan

tertindas atau rasa takut dan was-was. Manusia mengimajinasikan dirinya dikelilingi

oleh daya-daya yang jahat dan menakutkan. Tujuan utama setiap ritus sering

diperuntukkan untuk membujuk daya-daya tersebut agar tidak marah kepada

manusia. Durkheim berpendapat, pandangan seperti ini tidak dapat dipergunakan

untuk memahami proses lahirnya agama.

Durkheim berpendapat bahwa proses kelahiran agama berawal dari kesadaran

bahwa dewa-dewi adalah kawan, sahabat karib, dan pelindung. Agama bukan

halusinasi yang tidak bisa diterangkan dan yang tidak bisa dilihat akarnya di dalam

realitas. Setiap orang mengikuti ritus dalam agama akibat dari keyakinan bahwa di

dalamnya terdapat daya-daya moral yang harus diikuti dan tempat mereka menerima

petunjuk tentang apa yang terbaik untuk mereka. Daya moral itu adalah masyarakat.

Hal ini menjelaskan hubungan antara agama dan masyarakat, bahwa masyarakat

yang membentuk agama sekaligus di dalam masyarakat muncul daya dorong moral

yang didasarkan pada agama tersebut. Daya dorong ini serta merta mengikat setiap

individu dalam masyarakat tersebut.

Page 46: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Karena itu, agama bukanlah representasi natural alam semesta. Tugas utama

yang terutama adalah menjadi satu sistem ide yang digunakan oleh setiap individu

untuk mengimajinasikan masyarkat tempat mereka menjadi anggotanya. Dengan

demikian, agama berperan juga sebagai pengikat yang kabur, namun cenderung

insting, sesama individu di dalam masyarakat.

V

231-236 Mengapa ide tentang totem dan lambang marga bisa terbentuk ?. (1) Apa yang

menyebabkan sebuah marga memilih satu lambang marga tertentu ? (2) Kenapa

lambang-lambang ini mengambil wujud binatang atau tumbuhan, khususnya, dunia

binatang ?.

Marga adalah sebuah masyarakat yang tidak bisa berjalan bila tidak ada

lambang atau simbol. Sebuah kumpulan marga tidak bisa didefinisikan dengan

wilayah teritorial yang dikuasai karena saat itu pola hidup masyarakat bersifat

nomadik. Sistem nomadik mengakibatkan penguasaan teritori sebuah marga tidak

terikat dengan sama sekali dengan tempat dan wilayah. Untuk itu, masyarakat

primitif perlu membuat nama kolektif sebagai tanda kesatuan bersama dengan

sesama anggota marga itu. Biasanya, tanda itu diwujudkan melalui gambar atau

lukisan pada tubuh individu-individu anggota masyarakat itu. Melalui tanda-tanda

tersebut, maka setiap individu dalam kelompok marga yang sama akan merasakan

kesatuan antara yang satu dengan yang lainnya.

Biasanya, tanda kolektif yang berlaku pada sekelompok marga lebih banyak

menggunakan simbol binatang. Mengapa demikian ? Di atas telah dijelaskan bahwa

pola hidup masyarakat primitif saat itu masih bersifat nomaden. Ciri khusus sistem

ekonomi masyarakat nomaden ialah berburu dan mencari ikan. Oleh sebab itu,

segala sesuatu akan dijadikan lambang harus berasal dari hal-hal yang sangat dekat

dengan keseharian manusia, dan binatanglah yang paling memenuhi persyaratan ini.

Jenis tumbuh menempati urutan kedua sebagai tanda totemik sebab saat itu budidaya

pertanian belum lazim pada masyarakat primitif.

Menurut penelitian Strehlow yang dikutip oleh Dukrheim menjelaskan bahwa

pusat totemik biasanya di dekat sebuah gunung, mata air atau ngarai yang menjadi

habitat binatang-binatang yang dijadikan totem kelompok. Oleh karena itu masing-

masing kelompok memilih lambang binatang atau tetumbuhannya sesuai dengan

binatang atau tetumbuhan yang sangat banyak mendiami daerah tempat marga

tersebut melakukan ritual mereka.

Page 47: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

VI

236-241 Pada bagian ini, Durkheim hendak menjelaskan bagaimana logika riligius

masyarakat primitf dapat menjelaskan asimilasi antara alam dengan manusia.

Masyarakat primitif sangat menekankan insting antropomorfik. Ada dua pencitraan

yang dilakukan sekaligus dalam insting antropomorfik ini. Manusia

mengimajinasikan dunia dalam dirinya, sekaligus mengimajinasikan dirinya pada

dunia. Dua insting ini berjalan sekaligus.

Bagaimana dua hal dapat berjalan sekaligus ? Agama memiliki peran dalam

proses asimilasi tersebut. Pemahaman fundamental totemisme ialah bahwa seluruh

anggota marga direpresentasikan dalam tanda totemik. Dengan demikian, marga

tidak akan pernah ada tanda sebuah nama dan lambang. Oleh sebab itu, perasaan

yang muncul dalam masyarakat selalu diarahkan pada lambang dan objek yang

menjadi citraannya. Dengan demikian kehidupan sosial telah memprakarsai insting

religius dalam masyarakat.

Agama memiliki peran untuk mengkonstruksi representasi hubungan keluarga

pada sebuah simbol totemik. Agama bersifat sosial dalam memainkan peranan untuk

mengatur dan mengontrol kesan-kesan yang ditangkap oleh indera manusia. Kesan

yang ditangkap itu ditukar untuk mencitrakan realitas. Hasil dari pencitraan itu

menjadi pikiran baru, yaitu pikiran kolektif. Cara berpikir seperti ini berlaku secara

khusus untuk menjelaskan hubungan manusia dengan realitas di luar dirinya, secara

khusus dunia binatang dan tumbuhan. Kesan yang muncul terhadap realitas di luar

dirinya itu melahirkan pencitraan yang membentuk kesadaran kolektif sehingga

menjadikan realitas itu menjadi simbol totemik bagi mereka. Disinilah peranan

agama, yakni membentuk citra atas realitas di luar diri tersebut. Dengan demikian,

pemikiran agama tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial masyarakat.

Chapter Eight

THE NOTION OF SOUL

I

242-248 Setiap agama memiliki representasi-representasi kolektif yang berkaitan dengan

jiwa, asal dan tujuannya. Durkehim mencatat bahwa seluruh masyarakat Australia

meyakini bahwa setiap tubuh manusia mengandung sesuatu yang inferior sifatnya,

yakni prinsip kehidupan yang menggerakkan dan menghidupkan tubuh tersebut, dan

Page 48: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

itulah yang dinamakan jiwa. Namun, tidak mudah menentukan seperti apa ide orang

Australia menyangkut jiwa, sebab ide mereka tentang jiwa sangat kabur dan

bermacam-macam.

Dalam beberapa kasus, masyarakat Australia berpendapat bahwa jiwa

merupakan penampakan eksternal (external appearance) dari tubuh. Sementara pada

kasus lain, jiwa diimajinasikan sebagai sesuatu yang ukurannya sangat kecil sebesar

biji arah sehingga bisa melewati celah yang sangat kecil. Dalam konteks ini, Dawson

mengatakan bahwa anak-anak di bawah umur 4 atau 5 tahun tidak memiliki roh

ataupun kehidupan setelah mati. Sementara pada sisi lain, jiwa juga dianggap dalam

wujud binatang. Dengan kata lain, wujud jiwa sama sekali tidak tetap dan tidak jelas.

Jiwa dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu untuk menyesuaikan diri

dengan keadaan mitos dan ritus. Dia tercipta dari substansi yang tidak bisa

didefenisikan. Dengan wujud yang tidak jelas ini, kita belum bisa menentukan

bahwa jiwa itu sesuatu yang immaterial. Pada kenyataannya, ide tentang jiwa bagi

masyarakat Australia menjelaskan bahwa dia sesungguhnya memerlukan sesuatu

yang bersifat fisik, seperti: makan, tetapi hal yang sebaliknya juga bisa terjadi, dia

bisa dimakan. Artinya, jiwa dapat menjalani hidup yang lazim dijalani oleh manusia.

Ketika jiwa itu berada di dahan-dahan pohon, dia bisa membuat pohon itu bergerak

dan bersuara sehingga makhluk profan dapat mendengarnya.

Sementara pada sisi lain, ahli-ahli magis dan orang tua memiliki kemampuan

untuk melihat jiwa, meskipun jiwa itu tidak bisa tercerap pada tubuh inderawi.

Kemampuan untuk melihat jiwa itu merupakan kemampuan khusus. Bila jiwa itu

mendatangi orang biasa, maka keistimewaan itu hanya dinikmati sekali seumur

hidup dan tidak akan terulang lagi. Kesempatan itu terjadi saat seseorang menjelang

ajalnya. Kemampuan ini kemudian dikatakan sebagai tanda ke-arwah-an

(spritualness). Oleh karena itulah, suku-suku di wilayah Tully River berpendapat

bahwa jiwa merupakan sesuatu yang immaterial karena jiwa itu tidak dapat dicerap

oleh panca indera tubuh manusia.

Meskipun penjelasan di atas mencerminkan pemisahan antara tubuh dan jiwa,

tetapi bentuk pemisahan itu tidak bersifat absolut. Jiwa tetap dipahami memiliki

keterkaitan dengan kehidupan tubuh. Keterkaitan itu juga mencakup pada tingkatan

asimilasi parsial. Artinya, bagian-bagian tubuh fisik bukan hanya sekedar tempat

bersemayam jiwa, melainkan tampakan luar dari jiwa itu sendiri. Sebagai contoh:

saat darah mengalir, jiwa juga mengalir bersama dengan darah itu. Inilah latar

Page 49: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

belakang pemikiran yang mengatakan bahwa masing-masing bagian tubuh memiliki

jiwa masing-masing.

Pemikiran asmilasi parsial tersebut di atas menegaskan bahwa dalam satu

tubuh manusia bisa saja terdapat banyak jiwa. Jiwa hati tidak bisa disamakan dengan

jiwa nafas, atau jiwa dari beberapa organ manusia lainnya. Namun, masing-masing

jiwa itu saling berkaitan tetapi harus tetap dibedakan.

Pemahaman ini sangat kental terlihat pada proses kematian seseorang. Jiwa

yang terdapat pada nafas seseorang itu akan meninggalkan tubuhnya ketika dia

mengalami kematian. Namun, jiwa nafas itu tetap berada pada sisi orang mati itu

sebab organ tubuh masih utuh dan memiliki jiwa. Dari sinilah awal dari ritus

pemakaman atau pembakaran orang mati yang bertujuan untuk melepaskan jiwa dari

seluruh organ tubuh sebab dengan hancurnya seluruh organ tubuh maka hal yang

sakral itu terlepas dari tubuh manusia. Hal yang sakral itulah yang disebut dengan

jiwa.

Tetapi masih ada kemungkinan salah satu tubuh organ manusia itu masih

tersisa meskipun sudah dimakamkan atau dibakar. Organ tubuh yang tinggal

biasanya masih diyakini memiliki jiwa atau yang sakral. Untuk itu, masyarakat

primitif biasanya mengambil sisa dari organ tubuh, seperti tulang belulang, untuk

dijadikan sebagai benda-benda sakral atau peralatan magis. Hal itu tetap dilakukan

sekalipun organ tubuh seperti tulang belulang itu sudah gosong. Namun, jiwa itu

akan terlepas dari manusia yang mati itu bila organ tubuh itu hancur secara total.

Kala manusia telah mati dan jiwa meninggalkan tubuh yang hancur itu, maka

jiwa itu akan berangkat ke “negeri jiwa-jiwa”. Pemahaman tentang „negeri jiwa-

jiwa‟ ini berbeda antara suku yang satu dengan suku lainnya. Alam negeri jiwa-jiwa

ini memiliki kesamaan dengan geografis dunia orang hidup. Disana masih terdapat

matahari; sungai yang mengalir, dan sebagainya. Konsep ini dibangun dalam sistem

masyarakat Arunta serta suku lainnya di Australia. Di wilayah lain Australia, seluruh

orang yang mati, apapun totemnya, dianggap hidup bersama di sebuah tempat yang

tidak dijelaskan dengan pasti. Ada suku yang mengatakan pada sebuah pulau di

tengah samudera luas. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa jiwa itu akan naik

ke langit, melampaui awan-awan. Menjelaskan ini, Dawson mengutip pendapat

Durkheim, “Di sana terdapat negeri yang begitu indah dipenuhi kangguru dan

berbagai macam permainan. Singkatnya seluruh kehidupan yang menyenangkan ada

disana. Jiwa-jiwa saling bertemu disana dan antara yang satu dengan yang lain

Page 50: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

saling mengenal”. Konsep ini sepertinya memiliki kemiripan dengan pengajaran

para missionaris Kristen. Dengan demikian, ide tentang setiap jiwa yang naik ke

langit setelah kematian memiliki kemiripan di antara beberapa agama yang ada di

benua lain.

II

249-259 Bentuk elementer dari sebuah kepercayaan adalah pemahaman tentang jiwa, dan

kemana tujuan dari jiwa tersebut. Menemukan pemahaman ini tentu harus terlebih

dahulu diusahakan sumber prinsip roh dan bagaimana roh itu dirasakan oleh

masyarakat primitif itu. Jika permasalahan ini dianalisa dengan tepat, maka

pemahaman terhadap jiwa itu akan dapat ditemukan.

Durkehim mencoba menjelaskan ide tentang jiwa dan kemana tujuan jiwa itu.

Mengacu pada pendapat Spencer dan Gellen, bahwa jiwa itu datang kepada setiap

generasi melalui bayi-bayi yang lahir. Suku-suku di Australia tengah memiliki ide

bahwa jumlah jiwa-jiwa itu terbatas. Kuantitas jiwa itu tidak akan mungkin

bertambah. Ketika seseorang meninggal dunia, maka jiwanya akan meninggalkan

raga kemudian pergi ke negeri jiwa-jiwa. Selang beberapa waktu, jiwa itu akan

berinkarnasi dan menyebabkan terjadinya kelahiran.

Di balik proses inkarnasi jiwa ini sehingga mengambil bentuk pada bayi yang

lahir di generasi berikutnya, tentu harus ada penjelasan ide tentang jiwa yang

pertama melahirkan manusia pertama pada salah satu suku. Jiwa demikian disebut

sebagai jiwa utama dimana jiwa itulah yang menghidupkan para pendiri marga saat

permulaan waktu. Pada suku Arunta, jiwa yang menghidupkan pendiri marga itu

disebut Altjirangamitjina, yaitu sesuatu yang tidak diciptakan atau sesuatu yang

menjadi sumber segala keabadian. Alcharinga adalah nama yang diberikan orang

Arunta untuk suatu masa dimana segala makhluk dan segala sesuatu yang mistis

hidup. Makhluk mistis ini diorganisir berdasarkan marga-marga totemik seperti

manusia yang hidup saat ini.

Pada suatu waktu, makhluk mistis tersebut berakhir sehingga secara terpisah

menurut kelompok, makhluk-makhluk itu lenyap masuk ke dalam perut bumi.

Tubuh dari makhluk mistis berubah menjadi pohon atau bebatuan yang berada persis

pada tempat makhluk itu lenyap ke dalam perut bumi. Masyarakat primitif akan

terus mengunjungi tempat dimana tubuh atau wujud makhluk itu lenyap di telan

bumi. Karena mereka selalu lekat dalam ingatan, maka tempat-tempat ini pun

Page 51: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

memiliki kualitas kesakralan sehingga masyarakat primitif akan meletakkan

churinga pada tempat ini. Saat jiwa yang ada pada tempat itu masuk ke dalam tubuh

seorang perempuan, berarti proses pembuahan yang menyebabkan kelahiran akan

terjadi. Dengan demikian, setiap individu dianggap sebagai avatar (inkarnasi) dari

leluhur. Dengan kata lain, seorang individu merupakan leluhur itu sendiri yang

dilahirkan kembali ke dalam tubuh dan ciri-ciri yang baru. Namun, selalu ada

pertanyaan yang harus dijawab, siapakah leluhur itu ?

Pertama, leluhur itu merupakan pribadi yang memiliki kemampuan melebihi

kemampuan manusia biasa. Kelebihan itu bisa dilihat pada kemampuan berjalan di

atas tanah, di dalam tanah dan di udara. Merekalah yang menciptakan dan

memberikan wujud kepada daratan sebagaimana terlihat sekarang; menciptakan

makhluk hidup, baik manusia maupun binatang. Bisa dikatakan, mereka inilah

semacam dewa-dewi. Karena jiwa manusia adalah jiwa leluhur yang berinkarnasi ke

dalam tubuh manusia, maka jiwa ini bersifat sakral.

Kedua, para leluhur itu tidak bisa dikatakan sebagai manusia dalam arti

sesungguhnya. Di dalam diri leluhur, terdapat juga unsur binatang atau tumbuhan.

Menurut Spencer dan Gillen, hal ini terjadi sebab ide tentang leluhur dibangun

dalam konteks masa legenda. Misalnya sosok Alcheringa, yang dibayangkan sebagai

makhluk setengah manusia, setengah kanguru. Personalitas leluhur sebagai manusia

berada dalam bayangan hakikat binatang maupun tumbuhan. Unsur manusia dan

binatang menyatu dalam diri leluhur tersebut. Jadi substansi jiwa-jiwa sama dengan

prinsip totemik.

Strehlow memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat Spencer dan

Gillen mengenai ide inkarnasi. Menurut Strehlow, jiwa tidak berinkarnasi. Ketika

seorang individu meninggal, maka jiwanya akan pergi ke pulai orang-orang mati

untuk menghabiskan waktu dengan tidur di siang hari dan menari di malam hari,

sampai suatu hari dia turun ke bumi. Jiwa itu akan kembali ke lingkungan orang-

orang yang hidup dan akan berperan sebagai jin pelindung bagi cucu laki-laki yang

ditinggalkannya. Memang, jiwa itu dapat masuk ke dalam tubuh keturunannya tetapi

sebatas untuk memberi pertumbuhan. Jadi, jiwa itu tidak berintegrasi pada individu

yang lain, tetapi jiwa itu tetap berada di lingkungan keluarga yang ditinggalkannya.

Jadi, jiwa tidak dapat berinkarnasi pada individu yang lain. Sementara itu, proses

kelahiran tidak ada kaitannya dengan reinkarnasi jiwa ke dalam tubuh individu yang

baru.

Page 52: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

III

259-265 Doktrin reinkarnasi yang telah dikaji sebelumnya merupakan doktrin yang terdapa

dalam suku Australia tengah. Pada suku Australia Tengah terdapat kata yang dikenal

mura-mura, yang dapat diterjemahkan dengan Roh yang Baik. Menurut Gason

sebagaimana dikutip oleh Durkheim, di dalam kata mura-mura terkandung

keyakinan akan adanya satu tuhan pencipta.11

Kata ini merupakan nama kolektif

yang merujuk pada kumpulan leluhur yang hidup pada masa awal pembentukan

suku. Jiwa-jiwa itu diyakini masih hidup persis seperti kehidupan masa lalu yang

diyakini mendiami pepohonan, yang mengakibatkannya menjad objek sakral.

Bagian-bagian tertentu dari batu, pohon, atau mata air tadi ada yang diidentifikasi

sebagai mura-mura.

Bila sedikit bergeser ke arah Australia Utara, terdapat suku Niol-Niol.

Pemahaman tentang jiwa menurut suku Niol-Niol hampir sama dengan suku Arunta.

Setiap kelahiran selalu dikaitkan dengan inkarnasi jiwa yang telah ada sebelumnya

telah masuk ke dalam tubuh perempuan. Hal itu berarti ada semacam kontinuitas

jiwa yang terjadi antar generasi. Jiwa yang sama berpindah dari leluhur kepada

keturunan berikutnya. Jiwa yang berpindah ini merupakan jiwa yang menghidupkan

leluhur pertama, pada saat permulaan segala sesuatu.

Ide tentang jiwa merupakan prinsip totemik yang diindividualisasi. Oleh

karena itu, jiwa harus memiliki hubungan yang erat dengan spesies binatang atau

tumbuhan. Spesies binatang dan tumbuhan inilah yang menjadi rujukan wujud dari

totem. Ide ini membentuk prinsip bahwa jiwa sering digambarkan dengan seekor

binatang.

IV

265-270 Jiwa dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Dia adalah lawan dari tubuh, sekaligus

bagian dalam dari hal yang profan. Jiwa dapat membangkitan perasaan-perasaan

yang merujuk pada sesuatu yang sifatnya ke-Ilahi-an. Memang di dalam diri

manusia terdapat dualitas, yaitu yang profan dan sakral. Segala sesuatu yang sakral

di dalam diri manusia tidak digerakkan oleh sesuatu dari luar, tetapi juga diatur dan

diorganisir oleh sesuatu dari dalam diri manusia itu.

11

Gason, “The Manners and Customs of the Dieyerie Tribe of Australian Aborigines” in [Edward

M.] Curr {The Australian Race, Its Origin, Languanges, Customs, Place of Landing in

Australia, and the Routes by Which It Spread Itself over That Continent, Melbourne, J. Ferres,

1886-1887}, vol. II, hlm. 47

Page 53: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Di dalam diri manusia ada unsur yang bersifat keilahian. Hal itu terjadi karena

di dalam diri manusia itu terdapat jiwa yang dipengaruhi oleh jiwa kolektifitas.

Artinya, jiwa individu merupakan bagian dari jiwa kolektifitas kelompok. Pada

umumnya jiwa individu terbentuk akibat dari akar psikologis. Sesuatu itu menjadi

sakral dan terbentuk dalam jiwa individu dibangkitkan oleh perasaan respek secara

kolektif yang menjauhkannya dari kontak terhadap hal-hal yang bersifat profan. Hal

seperti ini seringkali dikatikan dengan hal-hal spritual.

Sebagai contoh dapat dilihat pada churinga dan binatang totemik pada

masyarakat Australia. Churinga menjadi hal yang sakral disebabkan oleh lambang-

lambang totemik yang dilukis padanya mampu membangkitkan rasa respek kolektif.

Rasa respek kolektif ini akan terinkarnasi pada masing-masing individu.

V

270-272 Mengapa manusia percaya bahwa jiwa dapat membuat tubuh dapat bertahan hidup ?

Jiwa pada hakekatnya tidak dapat membuat tubuh bertahan hidup sebab kepercayaan

terhadap keabadian tidak terbentuk karean pengaruh ide tentang moralitas.

Eksistensi sesudah kematian tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai moral yang

dianut oleh masing-masing individu.

Ada dua pandangan yang berbicara tentang jiwa dan keabadian tubuh.

Pertama, orang primitif menerima kematian secara acuh. Di dalam kematian, tidak

banyak hal yang patut dipermasalahkan sebab sepanjang hidup mereka telah biasa

bersanding dengan bahaya. Dengan demikian, masyarakat primitif dengan mudah

menerima kematian. Kedua, keabadian jiwa tidak terikat pada satu personal tertentu

saja sebab jiwa itu harus melanjutkan misinya untuk menghidupkan tubuh-tubuh lain

sehingga menjadi kehidupan bagi personalitas yang baru.

Bagi masyarakat primitif, tidak ada pemahaman yang mengatakan bahwa

tuhan yang maha kuasa telah menciptakan jiwa dari ketiadakadaan. Bagi mereka

jiwa berasal dari jiwa lain, yaitu jiwa yang sudah ada sebelumnya. Pemahaman ini

tentu menguatkan konsep totemik pada suatu masyarakat marga kolektif. Konsep

jiwa yang berasal dari jiwa yang sudah ada sebelumnya telah menciptakan kesatuan

spritual marga tertentu sepanjang waktu, dari generasi yang lebih tua terhadap

generasi yang lebih muda. Oleh karena itu, jiwa-jiwa dikatakan abadi hanya sejauh

keabadian ini berguna untuk kelanggengan kehidupan kolektif suatu marga.

VI

Page 54: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

272-275 Hakikat jiwa pada dasarnya hanyalah ekspresi simbolik dari personalitas seorang

manusia. Walaupun jiwa bersatu dengan tubuh, namun jiwa jelas-jelas berbeda dan

independen dari tubuh. Jiwa meminjam tubuh sebagai bentuk pisiknya dan akibat

dari bentuk pisik tersebut, jiwa menjadi terindividualisasi. Namun, bukan berarti

jiwa dapat dikatakan berhutang kepada tubuh.

Elemen yang membentuk ide tentang jiwa ini muncul dari dua pandangan.

Pertama, jiwa terdiri dari kesan dan citraan yang datang dari seluruh bagian tubuh.

Kedua, jiwa berasal dari ide dan perasaan-perasaan yang datang dari masyarakat dan

jiwa itu justru mengekspresikan masyarakat itu sendiri.

CHAPTER NINE

THE NOTION OF SPIRITS AND GODS

Pada bagian ini akan Emile Durkheim menggali tiga bentuk kategori spritual

menurut masyarakat Australia, dan bagaimana kategori-kategori tersebut cocok

dengan sistem religius secara keseluruhan tanpa harus masuk ke dalam mitologi

secara mendetail

I

276-284 Jiwa bukanlah roh sebab jiwa merupakan sesuatu yang terkurung dalam tubuh. Jiwa

hanya bisa pergi meninggalkan tubuh ketika kematian menjemput. Sementara itu,

roh terkait dengan objek khusus seperti mata air, batu-batuan, pohon, binatang-

binatang. Dengan demikian, jangkauan pengaruh roh lebih luas daripada jiwa.

Meskipun demikian, adakalanya jiwa memiliki kebebasan yang sama seperti roh.

Selama jiwa tidak kembali kepada tubuh, maka jiwa memiliki kebebasan bergerak

yang sama seperti roh.

Namun adakalanya roh mengalami kondisi dualitas, dimana roh itu merupakan

jiwa yang sebenarnya, yaitu jiwa-jiwa dari tokoh-tokoh terkemuka pada suatu

kelompok masyarkat kolektif. Disebutkan roh akibat dari kekuatannya yang pernah

menghidupkan tubuh-tubuh pada waktu lalu. Roh tersebut diyakini mempunyai

kekuatan yang luar biasa. Roh yang menghidupkan tubuh pada waktu lalu itulah

diyakini sebagai leluhur pada masyarakat primitif.

Leluhur itu menemani anak-anak yang sedang tumbuh dewasa dalam berburu,

bermain, sekaligus mengingatkannya tentang mimpi buruk serta melindunginya dari

musuh dan sebagainya. Dia memelihara jiwa anak-anak dari luar karena roh leluhur

itu tidak berinkarnasi seutuhnya pada tubuh anak-anak tersebut. Konsep ini memiliki

Page 55: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

kemiripan dengan dengan konsep roh-roh para leluhur yang dikenal oleh orang Latin

dengan istilah genius, atau orang Yunani dengan daimon.

Genius merepresentasikan sebuah kekuasaan yang melindungi dan

membimbing individu-individu yang telah ia pilih. Dengan cara pandang yang sama,

orang Arunta di Australia memahami bahwa roh-roh leluhur berkedudukan sebagai

genius bagi anggota atau individu-inidivud masyarakat. Leluhur memiliki posisi

yang jelas dan berhubungan dengan seseorang. Menurut keyakinan masyarakat

Arunta, roh-roh leluhur itu mencari tempat di pepohonan atau bebatuan atau mata

air.

Roh yang berdiam pada objek-objek tertentu itu menimbulkan perasaan atau

respek religius bagi anggota masyarakat. Respek religius ini menghasilkan norma-

norma yang menjadi anutan bagi masyarkat primitif. Norma-norma itu dapat

berbentuk larangan, seperti: bila seseorang mematahkan cabang pohon, maka ia akan

jatuh sakit, atau bila seseorang menembang atau merusak pohon maka dapat

menyebabkan kematian. Bahkan, menangkap dan membunuh segala jenis binatang

yang hinggap pada pohon tersebut merupakan suatu larangan yang harus dipatuhi.

Kekeramatan ini menunjukkan betapa pentingnya ide-ide tentang roh leluhur bagi

masyarakat primitif.

Figur roh leluhur itu kadang-kadang bisa berubah menjadi dewa. Objek yang

dijadikan sebagai tempat berdiamnya roh leluhur tersebut akan dikeramatkan

sekaligus dijadikan sebagai objek pemujaan. Pemujaan itu dilaksanakan secara

kolektif oleh masyarakat yang lambat laun, objek pemujaan tersebut berubah

menjadi ide tentang tempat dan sosok mistif yang diturunkan secara turun-temurun

kepada generasi berikutnya. Berangkat dari ide ini, lambat laun lahirnlah ide tentang

jin pelindung yang dimiliki oleh setiap individu dalam suatu masyarakat kolektif.

Konsep ini memiliki kemiripan dengan benda totemik yang dikenal oleh masyarakat

Arunta di Australia, yaitu Churinga.

II

284-286 Pada dasarnya, roh-roh leluhur itu terkadang akan menghukum dan mengganggu

manusia bila mereka tidak diperlakukan dengan baik. Meskipun demikian, tabiat

roh-roh leluhur tersebut sebenarnya bukanla tabiat yang jahat. Memang, roh-roh ini

bisa digunakan untuk tujuan yang jahat, seperti halnya juga bisa digunakan untuk

kebaikan

III-IV

Page 56: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

286-298 Beberapa suku pada masyarakat Australia telah berhasil mencapai konsepsi tentang

dewa atau Tuhan. Meskipun pemahaman mereka tentang tuhan atau dewa belum

bersifat tunggal, namun setidaknya mereka sudah menerima bahwa ada satu di

antara dewa tau tuhan-tuhan tersebut yang paling tinggi, yang menempati posisi

paling mulia di antara semua entitas religius lain. Di berbagai tempat di Australia,

masyarakat-masyarakat kolektif telah mempercayai dewa-dewa suku yang

mempunyai nama yang berbeda-bedan antara suku dan tempat yang satu dengan

yang lainnya.

Meskipun memiliki nama yang berbeda antara tempat yang satu dengan

lainnya, namun dewa atau tuhan itu sebenarnya memiliki karakter yang sama di

setiap tempat. Dewa atau tuhan itu merupakan mahkluk kekal dan abadi karena ia

tidak berasal dari apa pun. Dewa-dewa atau tuhan itu memiliki kekuatan untuk

menguasai bintang-bintang. Dia juga yang mengatur perputaran matahari dan bulan;

juga menyebabkan cahaya mampu menembus awan dan menciptakan halilintar.

Karena tuhan atau dewa manusia mengalami kekurangan atau kelebihan air, mereka

akan mengadu pada dewa atau tuhan tersebut.

Tuhan atau dewa tersebut juga disebut juga sebagai pencipta. Dia dipanggil

sebagai bapak manusia sebab dia telah menciptakan mereka. Ada banyak legenda

dan mitos yang berkembang di masyarakat Australia menurut Emile Durkheim

menjelaskan hakekat tuhan atau dewa itu sebagai pencipta. Penciptaan itu tidak

hanya dilakukan pada objek-objek, melainkan dewa tersebut juga menentukan

kematian, membedakan antara yang baik dan yang buruk dan tidak

mencampuradukkan antara yang baik dan yang buruk tersebut.

Oleh karena itu, segala ritus-ritus dipersembahkan kepada dewa tertinggi ini

dan dialah yang menjadi pusat semua ritus. Dalam upacara-upacara yang berkaitan

dengan ritus tersebut, dewa atau tuhan tersebut sering direpresentasikan melalui

citraan yang dilukis di atas kulit kayu atau digambar di atas permukaan tanah.

Orang-orang akan menari mengelilinginya, bernyanyi sebagai bentuk penghormatan

terhadapnya dan tentu juga mereka juga berdoa kepada dewa tertinggi tersebut.

BOOK THREE

THE PRINCIPAL MODES OF RITUAL CONDUCT

I

Page 57: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

303-313 Yang sakral adalah sesuatu yang dipisahkan. Pemisahan inilah yang membedakan

sesuatu yang sakral dengan yang profan. Disinilah peran ritus, yaitu untuk

menegaskan pemisahan yang sakral tersebut, dan pemisahan ini bersifat esensial.

Ritus tersebut bertujuan untuk menghalangi terjadinya percampuran antara yang

sakral dan yang profan. Oleh sebab itu, ritus-ritus sangat erat kaitannya pada

pantangan dan larangan; bahkan ritus lebih menekankan pantangan dan larangan

dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemeluk

suatu agama.

Ada dua bentuk larangan-larangan yang dikenal oleh masyarakat primitif,

yaitu larangan riligius dan larangan magis. Dua bentuk larangan ini memiliki garis

persamaan. Larangan-larangan dalam dua bentuk itu sama-sama menekankan

pemisahan yang sakral dengan yang profan. Namun, di antara kedua bentuk larangan

tersebut ada dua perbedaan yang mendasar.

Pertama, terletak pada aspek hukuman. Hukuman akibat pelanggaran terhadap

larangan merupakan perbedaan yang mendasar. Larangan religius menekankan dua

hal sebagai hukuman atas pelanggaran sebuah perintah. Pelanggaran terhadap

larangan religius kerapkali dianggap secara otomatis berakibat langsung pada

gangguan fisik. Seseorang yang melanggar larangan tersebut akan menderita dan

menerima ganjanran atas tindakan pelanggaran yang telah dilakukannya. Akan

tetapi, ganjaran yang diterima oleh orang yang melanggar larangan tersebut tidak

berhenti pada gangguan fisik semata. Dia akan menerima sanksi sosial dari

masyarakat yang dapat berbentuk cercaan dan celaan publik. Bahkan ketika yang

melanggar tersebut sudah mati sekalipun, namun pelanggarannya masih terus

disuarakan di tengah masyarakat. Larangan religius erat kaitannya dengan ide yang

sakral, sebab larangan itu muncul sebagai sikap respek yang dituntut oleh objek-

objek yang sakral itu. Larangan dalam religius bertujuan untuk mencegah lahirnya

rasa tidak respek terhadap objek yang sakral tersebut. Dengan demikian, dalam

larangan religius melekat makna dosa. Setiap orang yang melanggar larangan

religius dikategorikan sebagai orang yang berdosa.

Inilah yang membedakannya dengan larangan magis. Larangan magis erat

kaitannya dengan hal-hal yang sekular. Patokan yang muncul pada larangan magis

ialah patokan sekular. Emile Durkheim menyebutkan bahwa laragan magis inilah

yang menjadi awal dari larangan-larangan yang menyangkut kebersihan dan

kesehatan, serta hal-hal lainnya yang bersangkutpaut dengan penataan terhadap

Page 58: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

objek-objek yang sifatnya sekular. Dengan demikian, di dalam larangan magis tidak

melekat aspek dosa.

Di samping hal di atas, masih ada lagi sistem larangan religius yang lebih luas

dan penting, yaitu yang memisahkan segala hal yang sakral dari segala hal yang

profan. Sistem larangan ini diturunkan secara langsung dari arti kesakralan yang

diekspresikan dan dimunculkan oleh larangan itu sendiri. Sistem larangan seperti

inilah yang membentuk dasar pemujaan dimana seluruh sistem religius berada di

atasnya. Emile Durkheim menyebut ini sebagai pemujaan negatif, dan bentuk

larangan ini dapat disebut sebagai larangan religius. Pada masyarakat Australia

bentuk-bentuk larangan ini dapat ditemukan dalam berbagai bentuk.

Bentuk larangan yang paling mendasar ialah larangan-larangan kontak. Prinsip

dari larangan ini didasarkann pada prinsip bahwa yang profan sekali-kali tidak boleh

bersentuhan dengan yang sakral. Sebagai contoh, Churinga bagi masyarakat Arunta

tidak boleh disentuh oleh orang yang belum dinisiasi sebagai orang dewasa. Pada

intinya, larangan kontak ialah pemisahan secara total antara yang sakral dan profan;

dimana yang sakral tidak boleh bercampur dengan yang profan.

Masalah makanan juga melahirkan masalah keintiman kontak. Larangan untuk

memakan binatang atau tumbuhan sakral merupakan bagian yang tidak bisah

dipisahkan dari kedudukannya sebagai totem pada suatu masyarakat kolektif. Hanya

orang-orang yang telah mencapai tingkatan religius tertentu yang tidak terikat

dengan larangan ini.

Larangan untuk memakan suatu binatang dan tumbuhan totemik erat

kaitannya dengan hubungan darah mistis yang menyatukan manusia dengan

binatang atau tumbuhan yang menjadi namanya. Binatang dan tumbuhan totemik itu

dilindungi oleh rasa hormat karena itu telah dipandang sebagai saudaranya. Asal

usul larangan ini tidak hanya lahir dari rasa segan akibat solidaritas kekeluargaan.

Larangan memakan tersebut terjadi karena bila dilanggar akan menyebabkan sakit

atau mendatangkan kematian.

Larangan kontak bukan hanya berarti bersentuhan. Seseorang bisa dikatakan

melakukan kontak dengan sesuatu kalau dia memandangnya. Pandangan atau

tatapan merupakan salah satu pengertian kontak. Itulah sebabnya dalam berbagai

kasus, memandang benda-benda yang sakral adalah terlarang bagi manusia yang

profan.

Page 59: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Kedua, kehidupan religius dan kehidupan profan tidak bisa berada pada waktu

yang bersamaan. Akibatnya, kehidupan religius mesti diberi hari atau saat-saat yang

hanya khusus diperuntukkan bagianya dan sama sekali tidak berbaur dengan remeh

temeh kehidupan profan. Dengan demikian, muncullah apa yang disebut dengan

hari-hari suci.

II

313-321 Manusia dapat berhubungan erat dengan hal-hal yang sakral jika dia mampu

menyingkirkan segala sesuatu yang profan dalam dirinya. Seseorang tidak dapat

menjalani kehidupan religius kecuali bila dia dapat memisahkan diri dari kehidupan

sekular. Pemujaan negatif – seperti telah diutarakan oleh Emile Durkheim di atas –

merupakan satu cara untuk mencapai sebuah tujuan. Di samping itu pemujaan

negatif merupakan pra kondisi untuk bisa berhubungan dengan pemujaan positif.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pemujaan negatif berfungsi untuk

melindungi hal-hal yang sakral dari kontak dengan hal-hal yang profan. Sementara

itu, pemujaan positif lebih pada daya dorong pada diri si pemuja untuk merubah

kesadarannya secara positif. Artinya, dia tidak hidup lagi berdasarkan larangan-

larangan melainkan berdasarkan kesadaran religius untuk hidup dalam wilayah yang

sakral. Bila si pemuja itu telah memasuki kesadaran religius yang dimaksud, maka

dia duduk sama rendah dan sama tinggi dengan kekuatan-kekuatan religius tersebut,

karena dia telah mendekati hal-hal yang sakral dengan cara menjarakkan dirinya dari

hal-hal yang profan.

Untuk memasuki proses pemujaan positif, seseorang itu biasanya memasuki

tahap inisiasi. Orang yang harus diinisiasi harus mengucilkan diri dari masyarakat

dimana dia selama ini menjalani hidup. Dia disuruh untuk sementara waktu hidup di

tempat pengucilan, yang jauh dari sanak familinya dan diawasi oleh beberapa orang

tetua yang berkedudukan sebagai bapak angkat bagi dirinya. Biasanya, orang yang

akan diinisiasi itu akan hidup sementara waktu di hutan sehingga mereka sering

disebut sebagai „orang yang ada di hutan‟. Ada banyak larangan-larangan yang harus

dijalani oleh orang tersebut. Tujuan dari larangan ini adalah untuk melahirkan

perubahan secara radikal status orang yang diinisiasi. Perubahan ini seringkali

disebut sebagai kelahiran kedua.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kita dapat memahami asketisme, serta

apa posisinya dalam kehidupan religius. Metode yang dijalankan oleh model

asketisme ini ialah pengekangan diri yang berubah menjadi kebutuhan. Larangan-

Page 60: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

larangan yang dijalankan itu berubah menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini menjadi

kebutuhan. Oleh karena itu, asketisme merupakan bagian kehidupan religius yang

paling esensial. Semua agama pasti memiliki benih-benih asketisme sebab tidak ada

agama yang tidak memiliki larangan.

Pantangan dan larangan bukanlah sesuatu yang harus dijalani tanpa beban atau

kesulitan sebab seseorang itu mengucilkan diri dari hal yang sifatnya profan. Dunia

profan bukanlah sekedar panggung tempat kehidupan bagi kita, melainkan dunia

profan itu telah berubah menjadi insting kehidupan manusia. Agar dapat melepaskan

diri dari dunia profan itu, maka manusia harus berbenturan dengan insting kehidupan

itu sendiri. Inilah yang menjadi bagian penderitaan bagi manusia, sekaligus menjadi

bagian dari ritus yang harus dijalani agar kehidupannya semakin mendekati hal-hal

yang sakral. Mereka akan memandang penderitaan sebagai satu kebahagiaan yang

tertunda.

Penderitaan merupakan tanda bahwa ikatan-ikatan tertentu yang mengikatnya

dengan dunia profan telah berhasil diputuskan. Penderitaan merupakan ujian

terhadap kemampuan seseorang melepaskan diri dari dunia profan. Atau bisa

dikatakan, penderitaan merupakan alat untuk melepaskan diri dari dunia profan.

Dengan mengorbankan sesuatu (menderita), ia berhasil mengatasi segala sesuatu.

Metode inilah yang dapat dipergunakan dalam melayani dewa-dewinya.

Untuk melayani dewa-dewi, seseorang itu harus melupakan dirinya sendiri.

Melupakan diri dapat dilaksanakan dalam bentuk mengorbankan segala

kepentingan-kepentingan profannya. Maka pemujaan positif dapat terjadi bila

seorang pria dilatih untuk berkobran, melakukan penolakan dan tidak

memperdulikan dirinya sendiri. Dengan kata lain, dia harus menderita. Dia tidak

boleh lari dari penderitaan, karena dia hanya akan bisa melaksanakan tugasnya

denga ikhlas kalau dia memiliki rasa cinta terhadap tugas tersebut. Maka kalau inilah

yang akan dilakukannya, dia harus melatih diri untuk menderita, dan di sinilah

praktek-praktek asketis berperan.

CHAPTER TWO

THE POSITIVE CULT

The Elements Of The Sacrifice

330-354 Pemujaan negatif merupakan pintu gerbang ke arah kehidupan religius. Dalam

pemujaan negatif, kehidupan religius belum dibentuk. Jikwa pemujaan negatif

Page 61: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

memerintahkan penganut beriman untuk menjauhi dunia profan, itu bertujuan agar

mereka bisa lebih dekat dengan dunia sakral.

Ritus yang dijalankan oleh masyarakat primitif Australia tidak bisa dilepaskan

dari ingatan mereka bahwa leluhur-leluhur mistis yang dianggap sebagai nenek

moyang pernah hidup di bumi ini dan meninggalkan jejak-jejak mereka. Jejak-jejak

itu termasuk dalam bebatuan atau karang yang dianggap telah diletakkan persis pada

lokasi leluhur mereka itu masuk ke dalam perut bumi. Kepala marta (yang disebut

dengan istilah „Alatunja‟) akan menentukan hari yang tepat bagi suatu marga

totemik untuk melaksanakan ritus. Biasanya ritus ini dilaksanakan pada saat musim

hujan mulai tiba.

Upacara ritus yang dilaksanakan oleh Alatunja ialah dengan cara memukul

batu sakral dengan tujuan menyingkirkan debu dari batu tersebut. Debu itu diyakini

sebagai debu suci, dimana debu tersebut mengawali kehidupan baru apabila masuk

ke dalam suatu organisme dari spesies binatang totemik mereka. Dahan-dahan

pohon yang digunakan para peserta upacara ritus itu dimaksudkan untuk

menyebarkan debu tersebut ke segala penjuru sehingga mendatangkan proses

reproduksi binatang yang ditunggu-tunggu marga, yakni yang menjadi binatang

totemik bagi marga tersebut. Dengan demikian, berkembangnya suatu tanaman atau

binatang totemik suatu marga dipercayai akibat dari upacara ritus tersebut.

Upacara ritus ttersebut merupakan bentuk ritus suci yang pertama. Setelah ini,

tidak ada lagi upacara-upacara regular yang dilakukan. Melalui upacara ritus seperti

ini, kesakralan totem semakin diperkuat; sekaligus pengorbanan diri untuk

menjauhkan diri dari hal yang profan. Bentuk upacara ritus seperti ini merupakan

elemen yang paling mendasar dari institusi religiuas yang akan menjadi pemujaan

positif. Elemen tersebut adalah institusi pengorbanan.

Emile Durkheim mengutip pendapat Robertson Smith yang memberikan

perhatian pada upacara ritus yang menjadi elemen mendasar dari kehidupan

beragama masyarakat tradisional. Smith menjelaskan bahwa ada dua sifat utama dari

ritus pengorbanan. Pertama, adanya daging, dengan demikian substansi utama dari

kurban adalah makanan. Kedua, penganut beragama yang mempersembahkan

daging tersebut juga ikut memakannya. Ada bagian-bagian tertentu dari binatang

kurban yang khusus diperuntukkan untuk tuhan atau dewa-dewi, sementara bagian-

bagian lain dibagi kepada peserta upacara. Menurut Smith, tujuan dari daging

Page 62: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

kurban adalah menyatukan penganut beriman dengan tuhannya dalam satu ikatan

darah.

Biasanya, perjamuan pengorbanan menggunakan binatang totemik suatu

marga. Saat binatang totemik itu disembelaih, maka Alatunja dan para tetua

kelompok marga tersebut dengan khidmat akan memakannya. Dengan demikian

mereka telah bersatu dengan prinsip sakral yang terdapa di dalam binatang tersebut

dan memindahkannya ke dalam diri mereka. Kesakralan binatang tersebut akan

masuk ke dalam tubuh manusia si pemuja itu bersamaan ketika binatang itu dimakan

secara bersama-sama oleh anggota kelompok marga totemik tersebut.

Si pemuja akan menjadi seorang pribadi (person) akibat adanya substansi yang

sakral di dalam tubuhnya. Kekuatan binatang totemik itu dipindahkan ke dalam

dirinya sendiri ketika dia memakan binatang totemik itu. Dalam rangka

mempertahankan dan meneguhkan kualitas tersebut dari waktu ke waktu, dia harus

memakan daging binatang tersebut agar kekuatannya indah ke dalam dirinya. Hanya

satu bagian saja dari binatang itu yang dimakan, itu sudah cukup sebab ada

pandangan yang mengatakan bahwa bagian sama baiknya dan bagusnya dengan

keseluruhan. Inilah bentuk komuni yang muncul pada awalnya di tengah masyarakat

Australia primitif.

Pemikiran Smith yang harus dievaluasi menurut Emile Durkheim ialah

padangan tentang fungsi utama dewa-dewi atau tuhan. Fungsi utama dewa-dewi atau

tuhan adalah mengamati kebutuhan manusia itu. Dengan demikian, sangat mustahil

bila pengurbanan bertujuan untuk mempersembahkan makanan kepada dewa-dewi

atau tuhan tersebut. Terlihat sangat konyol bila tuhan atau dewa-dewi berharap

makanan dari manusia, padahal manusia bergantung kepada tuhan atau dewa-dewi

tersebut. Sehingga konsep pengorbanan yang dilakukan oleh manusia hanya sebatas

untuk mengharap balasan dari dewa-dewi atau tuhan semata.

Menjelaskan hal ini, Emile Durkheim mengacu pada upacara ritus masyarakat

Arunta yang dilaksanakan untuk mendapatkan kesuburan binatang atau tanaman

yang dijadikan totem marga. Spesies binatang atau tumbuhan tersebut merupakan

hal-hal yang sakral. Kita melihat melalui upacara ritus masyarakat Arunta bahwa

tuhan-tuhan totemik ini memerlukan campur tangan manusia agar dapat bertahan.

Upacara ritus tersebut merupakan wujud campur tangan manusia agar binatang atau

tanaman totemik tersebut dapat bertahan. Seandainya manusia berhenti

Page 63: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

melaksanakan upacara ritus tersebut, maka makhluk-makhluk sakral itu akan lenyap

dari bumi.

Dari pendapat Emile Durkheim ini dapat dikatakan bahwa manusia justru yang

menciptakan dewa-dewinya. Agar dewa-dewi manusia itu dapat bertahan maka

sangat dibutuhkan campur tangan manusia itu agar dewa-dewi tersebut dapat

bertahan. Tetapi pada saat yang sama, justru melalui dewa-dewi ini jugalah manusia

dapat mempertahankan hidupnya. Butir-butir debu dari batu sakral itu memiliki

prinsip kehidupan yang diterbarkan ke segala arah akan menambah kekuatan spesies

totemik dan menyebabkannya berkembang biak. Upacara ritus inilah yang menjadi

awal dari sistem sakrfisial dalam kehidupan beragama.

CHAPTER THREE

THE POSITIVE CULT

(CONTINUED)

Mimetic Rites and the Principle of Causality

335-391 Emile Durkheim memperkenalkan penyebutan terhadap suatu ritus yang berbentuk

gerekan dan teriakan yang dimaksudkan meniru gerakan atau suara binatang totemik

yang diharapkan akan bereprodusi setelah upacara dilaksanakan. Ritus ini disebut

dengan ritus mimetik.

Pada masyarakat Arunta, ritus-ritus yang dijalankan tidak hanya berhubungan

dengan batu sakral seperti telah dijelaskan sebelumnya. Setelah upacara batu sakral

dilaksanakan, para peserta upacara kembali ke perkemahan. Salah seorang tetua

akan mengumumkan di tengah perjalanan, bahwa upacara penting akan segera

dilaksanakan. Dalam prosesi ritus ini himne-himne dinyanyikan terus menerus.

Himne itu mengisahkan fase-fase perkembangan hidup binatang dan mitos-mitos

batus sakral. Di akhir himne, Alatunja keluar sebari terus berteriak-teriak merangkak

pelan-pelan ke tanah. Gerakan ini diikuti oleh para peserta lain yang menirukan

gerak yang dilakukannya. Mereka sepertinya menggambarkan proses keluarnya

serangga dari kepompong. Nyanyian akan terus menerus terdengar sepanjang proses

ini berlangsung.

Model-model ritus seperti ini juga terdapat pada suku-suku lain pada

masyarakat Australia. Upacara sakral ini hampir memiliki kesamaan antara suku

yang satu dengan suku yang lain, yakni sebuah gerakan yang diikuti oleh nyanyian.

Page 64: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

Gerakan dan nyanyian itu menirukan gerakan binatang atau tumbuhan totemik yang

ada pada marga kolektif mereka.

Untuk memahami hal ini, Emile Durkheim menawarkan sebuah pernyataan:

Apa saja yang menyentuh sebuah objek berarti juga telah menyentuh segala sesuatu

yang ada kaitannya dengan objek tersebut. Disamping itu, sesuatu yang mirip juga

akan memunculkan hasil-hasil yang mirip. Meniru sesuatu atau satu keadaan akan

menghasilkan sesuatu atau keadaan tersebut. Jadi ritus mimetik ini tidak sekedar

ritus yang mengandaikan perpindahan suatu keadaan atau kualitas dari satu objek

kepada objek yang lain. Ritus tersebut merupakan upaya menghasilkan sesuatu yang

baru. Melalui imitasi gerakan atau suara binatang totemik akan menciptakan dan

melahirkan generasi binatang totemik berikutnya. Sebagai contoh: ketika yang ditiru

adalah suara angin atau air, orang yakin telah menciptakan awan dan merubahnya

menjadi hujan, dan lain sebagainya.

Ritus mimetik tidak sekedar menggambarkan pertalian darah antara si pemuja

dengan binatang totemiknya. Ritus ini merupakan upaya menghasilkan dan

menciptakan binatang totemik itu kembali, sebab pertalian darah hanya eksis selama

dia masih diyakini masih ada. Hasil yang diharapkan dari pertunjukan kolektif ini

adalah agar kepercayaan yang menjadi landasannya tetap hidup. Jadi, walaupun

lompatan, teriakan, dan gerakan-gerakan yang dilakukan ini terlihat sangat aneh dan

konyol, namun sesungguhnya dia memiliki makna yang sangat jelas. Dengan

menggunakan metode seperti ini, reproduksi spesies totemik dapat dicapai. Mereka

percaya dengan keampuhan metode ini.

CHAPTER FOUR

THE POSITIVE CULT

(CONTINUED)

Reprsentative of Commerative Rites

374-391 Selain model upacara ritus yang dipraktekkan oleh suku Arunta sebagai upaya untuk

melanjutkan reproduksi binatang totemik mereka, suku Warramunga

Page 65: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

mempraktekkan upacara ritus untuk menghadirkan ingatan terhadap leluhur mereka.

Bagi suku Waramunga, setiap marga berasal dari leluhur yang sama. Meskipun

leluhur itu lahir di sebuah tempat, tetapi telah menghabiskan hidupnya dengan

melakukan perjalanan ke seluruh penjuru bumi. Leluhur itulah yang telah

menciptakan daratan di setiap ruang yang disinggahi selama perjalanan. Leluhur itu

pula yang menciptakan gunungdan tumbuh-tumbuhan. Bahkan dia juga menaburkan

benih-benih kehidupan yang muncul dari tubuhnya, yang sampai saat ini menjadi

anggota setiap marga melalui reinkarnasi yang silih berganti.

Disinilah letak perbedaan ritus bagi suku Arunta dibanding dengan suku

Warramunga. Bagi suku Warramunga, upacara tidak berisi korban melainkan usaha

mengingat masa lalu dan kenghadirkannya kembali melalui peragaan-peragaan.

Mereka melakonkan sejara mitis para leluhur yang bernama Thalualla, mulai dari

saat dia muncul dari tanah sampai pada saat dia kemblai lenyap masuk perut bumi.

Seluruh perjalanan leluhur itu direpresentasikan melalui gerek.

Gerak-gerak yang dilakukan berulang-ulang adalah semacam tarian tak

berbentuk dengan ritme tertentu. Mereka melakukan pola ini berdasarkan keyakinan

bahwa pada zaman mistis dulu, leluhur menggerak-gerakkan tubuhnya dengan cara

seperti ini agar benih-benih kehidupan keluar dari tubuhnya. Tubuh para penari ini

ditutupi dengan bulu-bulu halus yang akan berjatuhan dan bertebaran ke setiap

penjuru akibat gerakan yang dilakukannya. Ini menggambarkan benih kehidupan

yang bertebaran di udara.

Jadi, gerakan yang mereka lakukan itu merupakan upaya menghadirkan mistis

masa lalu pada situasi kehidupan masyarakat sukut Warramunga. Itulah yang

mengakibatkan mereka tidak menggunakan suatu tempat yang khusus seperti suku

Arunta dalam menjalankan upacara ritus ini. Tempat pelaksanaan upacara ritus ini

bersifat kesepakatan. Artinya, tidak ada tempat yang khusus disakralkan untuk

pelaksanaan upacara ritus ini.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, ada dua tujuan upacara ritus yang

dilaksanakan pada masyarakat Australia. Dua tujuan itu diwakili oleh ritus suku

Arunta dan Warramunga. Pertama, ritus itu dilaksanakan untuk mencapai tujuan

reproduksi spesies totemik. Kedua, ritus dilaksanakan dengan maksud dan

kepentingan untuk merepresentasikan masa lalu, yaitu leluhur mereka. Namun, ritus-

ritus itu dijalankan untuk mencapai tujuan hakiki yang sama yaitu membangkitkan

ide dan perasaan. Menggabungkan ide dan perasaan pada masa lalu kepada masa

Page 66: THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE · 2016-06-09 · EMILE DURKHEIM Introduction 1 ... dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut. ... satu elemen

sekarang, itulah landasan hakiki dari ritus dan upacara yang dilaksanakan oleh

masyarakat primitif tersebut. Landasan hakiki ini merupakan basis yang solid dan

mapan bagi suatu kelompok marga totemik.

Berbagai ritus yang terdapat di berbagai suku-suku yang berbeda-beda dapat

dikataka sebagai alat yang digunakan kelompok sosial untuk mengafirmasikan

dirinya. Melalui ritus-ritus tersebut, masing-masing orang dalam suatu kelompok

sosial disatukan, digabungkan berdama dan memiliki kesadaran yang sama tentang

kesatuan moral mereka. Ritus itu berarti juga sebagai alat untuk menyadari kesatuan

sebagai suatu substansi yang dimiliki secara bersama-sama. Sebagai contoh: mereka

menganggap dirinya secara bersama-sama tergabung dalam hakikat satu jenis

binatang. Dengan kondisi seperti ini, mereka hanya punya satu cara untuk

mengafirmasikan eksistensi kolektif mereka. Mereka mengafirmasikan diri mereka

sebagai satu kesatuan kolektif sebagai keturunan dari leluhur mereka, yatiu binatang

dengan spesies tertentu. Pada akhirnya, seluruh praktek ini hanyalah variasi dari

tema yang sama. Dimanapun kita akan menjumpai keadaan jiwa sama meskipun

digerakkan oleh ritus yang sepertinya berbeda-beda. Ritus itu menjadi berbeda

akibat dari penafsiran yang berbeda sesuai dengan lingkungan dimana dia terdapat,

peristiwa historis yang melatarbelakanginya, kecenderungan, dan keinginan para

penganut beriman yang memegangnya.