definisi agama menurut durkheim

23
. Definisi Agama Menurut Durkheim Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek- praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis. B. Sifat Kudus Dari Agama Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan

Upload: raden-ari

Post on 28-Jun-2015

603 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Definisi Agama Menurut Durkheim

. Definisi Agama Menurut Durkheim

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

B. Sifat Kudus Dari Agama

Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.

Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai mana.

Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan

Page 2: Definisi Agama Menurut Durkheim

perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus" seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.

C. Ritual Agama

Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya.

Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.

D. Hubungan Antara Agama Dengan Kondisi Masyarakat

Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim

Page 3: Definisi Agama Menurut Durkheim

adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.

Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.

Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep "kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan individu-individu.

Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada,

Page 4: Definisi Agama Menurut Durkheim

di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.

Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.

E. Moralitas Individual Modern

Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern --yang melibatkan pembagian kerja yang semakin kompleks-- seperti yang telah disebutkan di atas melibatkan adanya perubahan otoritas moral dari agama ke moralitas individual yang rasional. Walaupun begitu, moralitas individual itu, seperti yang juga telah disebutkan di atas, menyimpan satu ciri khas dari agama yaitu "kekudusan". Moralitas individual itu memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa hidup apabila orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu tidak bisa diganggu-gugat. Dan ini merupakan suatu bentuk "kekudusan" yang dinisbahkan oleh masyarakat kepada moralitas individual tersebut.

Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan "kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme. Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki,

Page 5: Definisi Agama Menurut Durkheim

suatu penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar menukar informasi.

Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak ada masyarakat yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral. Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.

Sumber Acuan: Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986.

Page 6: Definisi Agama Menurut Durkheim

SOSIOLOGI AGAMA Spiritualtas baru

Pemahaman mengenai spritualitasNilai-nilai dan/atau makna tertentu serta cara hidup yang dipakai individu ataukelompok untuk mencapai kepuasan dan ketenangan batin

- Spiritualitas dalam arti sempit, bermakna sebagai suatu cara hidup yangdiorientasikan ke hal-hal yang bukan kekuasaan, nafsu atau pemilikan.- Beberapa pemikir Postmodern memakai istilah spiritualitas menunjuk pada nilaidan makna dasar yang melandasi hidup manusia, baik duniawi maupun yang tidakduniawi, serta komitmen dasariah manusia, apapun isinya (Griffin, 2005, dalam ErnaKarim)

Esensi utama dari spiritualitas 1. Spirit sesuatu yang mendorong atau mendasari untuk melakukan sesuatu 2. Nilai (seperti kebenaran, kedamaian, cinta kasih, kesucian, kebahagiaan) 3. Ikatan/ kohesi

Keterkaitan agama dengan spiritualitasAda keterkaitan agama dengan spritualitas. Karena ada bagian yang saling

Page 7: Definisi Agama Menurut Durkheim

beririsandan memperkuat.

Indikator keterkaitan 1.

Persamaan nilai (seperti cinta kasih, kedamaian, saling menolong, persamaan,persaudaraan, antikekerasan)2.

Persamaan latar belakang atau pengalaman hidup (agama, etnik) 3. Tujuan (ketenangan, penyembuhan, kesehatan) 4. Ada kekuatan lain di luar manusia (supranatural)

Komunitas spiritualKelompok individu yang membuat ikatan berdasarkan nilai-nilai dan spritualitastertentu yang mempunyai•

institusi • kegiatan spiritual (upacara, meditasi, bertapa, praktik penyembuhan, dll) • tata organisasi (pemimpin, angota/pengikut, kegiatan, aturan, dll) • tempat beserta fasilitas • etika & ajaran • masa atau periode keberakhiran Tanya jawab 1.

Apakah dalam mengikuti suatu komunitas spiritualitas ada kepuasan batin? Adakepuasan batin.2. Mengapa Muncul komunitas spiritual, jika agama bisa menjawab masalah

Page 8: Definisi Agama Menurut Durkheim

ketenangantersebut?Terdapat beberapa hal yang menyebabkan munculnya komunitas spiritual dimasyarakat. Faktor-faktor tersebut antara lain,-

karena keinginan untuk memperbaiki diri untuk menjadi manusia yang lebihbaik, atau untuk meningkatkan keimanan kepad Tuhan,-

karena dinamika hidup sehingga berdampak pada dimanmika keimanan manusiayang naik turun sehingga ketika manusia dihadapkan pada suatu masalah dalamkehidupan maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan ikut sutaukomunitas spiritual,-

karena keinginan untuk mengembangkan diri, kerjasama, kekerabatan, kebaikan, penghargaan dalam suatu lingkungan komunitas yang baru.

Page 9: Definisi Agama Menurut Durkheim

Sosiologi agama mempelajari peran agama di dalam masyarakat; praktik, latar sejarah, perkembangan dan tema universal suatu agama di dalam masyarakat.[1] Ada penekanan tertentu di dalam peran agama di seluruh masyarakat dan sepanjang sejarah. Sosiologi agama berbeda dari filsafat agama karena tidak menilai kebenaran kepercayaan agama, meski proses membandingkan dogma yang saling bertentangan membutuhkan apa yang disebut Peter L. Berger sebagai "ateisme metodologis" yang melekat.[2] Sementara sosiologi agama berbeda dengan teologi dalam mengasumsikan ketidakabsahan supernatural, para teoris cenderung mengakui reifikasi sosial budaya dalam praktik keagamaan.

Sosiologi akademik modern dimulau dengan analisis agama dalam studi tingkat bunuh diri Durkheim tahun 1897 di antara penduduk Katolik dna Protestan, sebuah karya mendasar dari penelitian sosial yang ditujukan untuk membedakan sosiologi dari ilmu disiplin lain seperti psikologi. Karya Karl Marx dan Max Weber menekankan hubungan antara agama dan ekonomi atau struktur sosial masyarakat. Perdebatan kontemporer lebih memusat pada masalah seperti sekularisasi, agama sipil, dan kepaduan agama dalam konteks globalisasi dan multikulturalisme. Sosiologi agama kontemporer juga dapat mencakup sosiologi ketiadaan agama (contohnya dalam analisis sistem kepercayaan Humanis Sekuler).

Page 10: Definisi Agama Menurut Durkheim

Agama ternyata menjadi masalah besar yang dihadapi oleh umat manusia. Apa pasal? "Karena agama adalah tema paling penting 7ang sanggup membangkitkan perhatian serius dan paling intens," ujar Prof Dr Dadang Kahmad MSi, guru besar sosiologi agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, yang juga ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Barat.

Menurutnya, kenyataan ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah keagamaan berimplikasi pada proses perkembangan kehidupan manusia terutama dalam persoalan kemanusiaan, moral, dan estetika. Dorongan untuk beragama telah menjadi tuntutan jiwa yang tidak dapat dihindari.Berikut petikan wawancara wartawan Republika, Heri Ruslan, dengan Direktur Program Pascasarjana UIN Bandung ini tentang dialektika agama dan modernitas.

Seringkali agama dianggap bertolak belakang dengan modernitas, bagaimana pandangan Anda?Agama memang kerap diasumsikan bertolak belakang dengan modernitas. Perbedaan pandangan itu dapat dilihat dari dua faktor. Pertama, dikotomi ini ibarat pemisahan antara alam langit dan alam bumi. Realitas bumi secara prinsip dalam khazanah masyarakat modern dianggap sebagai realitas objektif. Sedangkan realitas langit dianggap sebagai realitas subjektif.

Page 11: Definisi Agama Menurut Durkheim

Bagi masyarakat agama, justru sebaliknya. Realitas langitlah yang merupakan realitas objektif dan realitas bumi sebagai realitas subjektif. Karena itu, dalam tingkatan ilmu, maka ilmu keagamaan bagi masyarakat agamis, merupakan ilmu tertinggi (paling objektif). Sementara ilmu teknologi adalah ilmu rendah. Tetapi, dalam masyarakat modern, teknologi dengan logic oftechnic justru merupakan ilmu tertinggi, sementara agama merupakan ilmu yang rendah.

Kedua, dari segi asal-usul. Menurut masyarakat agama dalam pengertian orisinal tadi, Tuhan adalah dasar atau asas dari segalanya. Tapi, bagi masyarakat modern, manusia adalah dasar dari realitas ini dan Tuhan merupakan penafsiran manusia. Sedangkan bagi kaum agamawan, pada awalnyrf manusia adalah tafsiran Tuhan.Maksudnya, Tuhanlah yang merancang atau merencanakan kelahiran manusia dan alamnya. Sedangkan pada zaman modern ini, Tuhan dianggap sebagai rencana manusia atau penafsiran manusia. Manusialah yang menafsirkan keberadaan Tuhan.

Mengapa agama menjadi tema paling penting bagi manusia di era modern ini?Ya, di antara masalah besar yang sering dihadapi oleh umakmanusia adalah yang berkaitan dengan agama. Mengapa? Karena agama adalah tema paling penting yang sanggup membangkitkan perhatian serius dan paling intens. Kenyataan ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah keagamaan berimplikasi pada proses perkembangan kehidupan manusia terutama dalam persoalan kemanusiaan, moral, dan estetika.

Begitu juga dengan apa yang diungkapkan Erich Fromm, bahwa kebutuhan manusia akan agama, berakar dalam kondisi dasar eksistensi species manusia itu sendiri. Manusia memerlukan objek pengabdian semacam agama agar dapat mengatasi eksistensinya yang terisolasi dengan semua keraguan dan ketidakmam-puannya menjawab arti hidup.Mengapa manusia membutuhkan agama?Apabila manusia sadar akan kebutuhan hidupnya, maka ia tidak hanya memprioritaskan aspek duniawi saja, tapi juga akan mencari alternatif lain di luar dirinya, yaitu beragama. Sebab, ia sadar bahwa agama juga memberikan beberapa fungsi yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi duniawi. Bagi Whitehead, agama merupakan sumber visi dan motor perjuangan.

Ia mengatakan, "Agama merupakan suatu visi tentang sesuatu di balik kenyataan yang menunggu untuk diungkap. Suatu kemungkinan yang jauh, sekaligus merupakana sebuah kenyataan yang terwujud sekarang ini.

Page 12: Definisi Agama Menurut Durkheim

Sesuatu yang memberi makna bagi yang telah lalu. Sesuatu yang apabila dimiliki merupakan ideal tertinggi yang pantas dicita-citakan, tetapi sekaligus juga merupakan sesuatu yang mengatasi segala dambaan....."Whitehead menambahkan bahwa agama memberi rasa damai yang diperlukan berani berpetualang di dunia yang bersifat sementara. Karena itu, agama menyadarkan akan sebuah dimensi nilai yang abadi. Sifat yang khas dari kebenaran agama adalah kebenaran tersebut secara eksplisit berkaitan dengan nilai-nilai.

Kebenaran itu menyadarkan manusia akan aspek yang tetap dari alam semesta dan dapat dipandang bernilai. Oleh karenanya, kebenaran tersebut memberi suatu makna, dalam arti nilai pada eksistensi manusia suatu yangmengalir dari hakikat kenyataan diri.Jadi, agama itu bisa dianggap sebagai pokok persoalan kehidupan manusia?Ya, kenyataannya agama memang telah menjadi persoalan pokok kehidupan manusia. Tampak secara jelas dan bersesuaian dengan isyarat yang ditunjukkan oleh Alquran. Karenanya, agama memberikan semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia dan yang memberikan penjelasan yang paling komprehensif tentang realitas seperti kematian, penderitaan, tragedi, dan ketidakadilan. Bahkan, menurut Sastraperadja, agama merupakan Sacred Canopy (kanopi sakral) yang melindungi manusia dari chaos, situasi tanpa arti.

Kalaupun Freud beranggapan bahwa agama hanyalah sebuah ilusi bagi manusia dan gangguan jiwa yang mengakibatkan kemunduran kembali pada hidup dalam kelezatan dan kenikmatan seksual, namun hingga saat ini agama tetap dijadikan sebagai kebutuhan yang tidak Hapat ditinggalkan oleh manusia.Apa yang menyebabkan manusia tak bisa lepas dari agama?Begini, dorongan beragama itu merupakan tuntutan jiwa yang tidak dapat dihindari. Dorongan psikis manusia membentuk interpretasi baru bagi dirinya untuk mengenal Tuhan. Sehingga, mereka dengan sendirinyamenciptakan suasana batin dengan mewujudkan sebuah peribadatan.

Dengan demikian, ia akan merasa tenang. Sesungguhnya keadaan seperti itu dapat kita lihat pada tingkah laku dalam kehidupan manusia. Hanya saja konsepsi manusia dalam mengekspresikan keberagamaannya tersebut berbeda-beda, namun yang terpenting bukanlah konsep keberagamaannya, tapi dorongan jiwanya untuk beragama.Lalu apa fungsi agama bagi manusia?Thomas F ODea menyebutkan ada enam fungsi agama. Pertama, agama mendasarkan diri manusia pada segala sesuatu yang di luar dirinya. Ia

Page 13: Definisi Agama Menurut Durkheim

memberikan dukungan moral dari ketidakpastian hidup manusia. Ia juga memberi berbagai alternatif penyelamatan dari kekecewaan dan kesedihan serta kegelisahan manusia.

Dengan demikian, agama menyediakan sarana emosional bagi manusia, serta menopang nilai-nilai serta tujuan yang telah terbentuk, memperkuat moral, dan membantu mengurangi kebencian.Kedua, agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan periba-datan. Itu memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dalam hidupnya serta dalam menghadapi perubahan sejarah dirinya.Ketiga, agama menyucikan niali-nilai dan norma-norma masyarakat yang telah dan akan terbentuk. Agama juga mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu. Menempatkan disiplin kelompok di atas kepentingan dan dorongan individu.

Keempat, agama dapat memberikan standar nilai berupa norma-norma yang telah terlem-baga yang dapat dikaji kembali secara kritis.Kelima, agama memberikan fungsi identitas yang sangat penting. Agama memberikan kesempatan bagi individu untuk mengenal identitas dirinya, baik pada masa lampau maupun masa mendatang yang tak terbatas. Agama memperluas ego manusia dengan memberikan spirit bagi alam semesta. Demikian juga alam semesta menjadi berarti bagi dirinya.

Keenam, agama berkaitan dengan evolusi hidup manusia. Perkembangan usia seseorang memengaruhi karakterisktik tingkat keberagamaan manusia. Dengan demikian, agama sebagai pandangan dunia (weltanchaung) sesungguhnya tidak dipisahkan dari manusia.Dengan bahasa ilmiah, dapat dikatakan bahwa kecenderungan asli atau kecenderungan dasar manusia itu adalah menyembah Tuhan. Tampaknya, posisi agama dalam konteks personalitas demikian tidak banyak mempertentangkannya.

Apakah agama juga memiliki signifikansi secara sosial?Benar. Di samping memiliki signifikansi personal, agama diakui memiliki signifikansi sosial. Hal ini dapat dilihat dari fungsi-fungsi sosiologis yang dapat dilakukan agama. Agama di samping sebagai fenomena individual, juga adalah fenomen sosial. Agama tumbuh dan berkembang bersamaan dengan perkembangan kehidupan masyarakat.

Agama dalam hipotesis para teolog modern bukanlah suatu hypostase. Dia tidak berada di langit Plato yang sempurna dan suci murni serta mengatasi

Page 14: Definisi Agama Menurut Durkheim

manusia dan Tuhan. Tapi, dia merupakan agama manusia biasa dengan daging dan darah.Dengan gambaran ini, hakikat agama selalu merupakan hakikat yang historis. Agama berada dalam irama perubahan dan kefanaan dan bukan hakikat metafisik yang tertutup, selesai, tidak mengandung gerak dalam dirinya dan mantap dalam keabadian.Sejauh manakah agama bisa menjadi solusi bagi manusia?

Milenium ketiga sebagaimana yang dilansir Alvin Toffler adalah milenium kebangkitan. Tofler menunjukkan bahwa krisis manusia modern hanya bisa diselesaikan oleh agama. Itu artinya, agama bisa menjadi solusi bagi kehidupan masyarakat modern.Apakah semua agama bisa menjadi solusi?Sejarah merupakan pelajaran berharga bagi keberadaan agama. Agama yang hanya mementingkan keutuhan dan kemapanan ortodoksi teologis dan tidak memberikan peluang proporsional pemberdayaan akal untuk menerjemahkan pesan-pesan teologis Tuhan, lambat laun akan ditinggalkan manusia.

Seperti diungkapkan Soedjatmoko, agama yang tidak bicara kepada masalah moral pokok zamannya akan menghadapi bahaya. Dia secara berangsur-angsur akan menjadi tidak relevan. Tapi, agama juga perlu menghindari dogmatisme, karena jalan untuk menerjemahkan penilaian moral menjadi kebijaksanaan, biasanya bukan satu, melainkan banyak.

Dengan kata lain, agama yang membebaskan adalah agama yang berpusat pada manusia dan kekuatannya. Manusia harus menemukan ruang dalam agama untuk mengembangkan akalnya dan membangun potensi-potensi dirinya.Keberagamaan yang membebaskan adalah keberagamaan yang memberikan tempat pada usaha menumbuhkan kemampuan terbesar manusia dan meraih pertumbuhan rohaninya yang paling tinggi.

Entitas terkait7ang | Agama | Apabila | Apakah | Berikut | Dea | Dorongan | Erich | Hapat | Heri | Kebenaran | Keberagamaan | Kenyataan | Manusia | Manusialah | Menempatkan | Milenium | Perbedaan | Perkembangan | Plato | Realitas | Sejarah | Sejauh | Seringkali | Sesungguhnya | Sifat | Suatu | Tampak | Tofler | Tuhan | Tuhanlah | Whitehead | Alvin Toffler | Kalaupun Freud | Muhammadiyah Jawa | Pimpinan Wilayah | Sacred Canopy | Thomas F | Beragama Tuntutan Jiwa | Sunan Gunung Djati | Universitas Islam Negeri | Prof Dr Dadang Kahmad | Direktur Program Pascasarjana UIN Bandung | Ringkasan Artikel Ini

Page 15: Definisi Agama Menurut Durkheim

"Karena agama adalah tema paling penting 7ang sanggup membangkitkan perhatian serius dan paling intens," ujar Prof Dr Dadang Kahmad MSi, guru besar sosiologi agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, yang juga ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Barat. Ya, di antara masalah besar yang sering dihadapi oleh umakmanusia adalah yang berkaitan dengan agama. Begitu juga dengan apa yang diungkapkan Erich Fromm, bahwa kebutuhan manusia akan agama, berakar dalam kondisi dasar eksistensi species manusia itu sendiri. Manusia memerlukan objek pengabdian semacam agama agar dapat mengatasi eksistensinya yang terisolasi dengan semua keraguan dan ketidakmam-puannya menjawab arti hidup. Karenanya, agama memberikan semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia dan yang memberikan penjelasan yang paling komprehensif tentang realitas seperti kematian, penderitaan, tragedi, dan ketidakadilan. Kalaupun Freud beranggapan bahwa agama hanyalah sebuah ilusi bagi manusia dan gangguan jiwa yang mengakibatkan kemunduran kembali pada hidup dalam kelezatan dan kenikmatan seksual, namun hingga saat ini agama tetap dijadikan sebagai kebutuhan yang tidak Hapat ditinggalkan oleh manusia. Dengan demikian, agama menyediakan sarana emosional bagi manusia, serta menopang nilai-nilai serta tujuan yang telah terbentuk, memperkuat moral, dan membantu mengurangi kebencian. Agama berada dalam irama perubahan dan kefanaan dan bukan hakikat metafisik yang tertutup, selesai, tidak mengandung gerak dalam dirinya dan mantap dalam keabadian. Agama yang hanya mementingkan keutuhan dan kemapanan ortodoksi teologis dan tidak memberikan peluang proporsional pemberdayaan akal untuk menerjemahkan pesan-pesan teologis Tuhan, lambat laun akan ditinggalkan manusia. Dengan kata lain, agama yang membebaskan adalah agama yang berpusat pada manusia dan kekuatannya. Keberagamaan yang membebaskan adalah keberagamaan yang memberikan tempat pada usaha menumbuhkan kemampuan terbesar manusia dan meraih pertumbuhan rohaninya yang paling tinggi.