metodologi & teori agama durkheim dan karl marx

21
1 Keteraturan dan Perubahan: Perbandingan Metodologi dan Teori Agama Emile Durkheim dan Karl Marx Oleh: Okky Madasari Pendahuluan Emile Durkheim (1858-1917) dan Karl Marx (1818-1883) merupakan peletak dasar- dasar teori strukturalisme dalam Sosiologi. Keduanya memfokuskan unit analisis pada struktur masyarakat dan tidak berbicara dalam konteks individu. Durkheim dan Marx sama- sama melihat struktur masyarakat yang membentuk dan mempengaruhi individu, bukan sebaliknya. Di luar kesamaan ini, Durkheim dan Marx memiliki pemikiran-pemikiran yang bertolak belakang. Makalah ini akan mengulas pemikiran Durkheim dan Marx serta membandingkan pemikiran keduanya khususnya dalam dua hal. Pertama dalam hal metodologi, kedua dalam pemikiran tentang agama. I. METODOLOGI Emile Durkheim dan Positivisme Emile Durkheim sejak awal melihat penelitian dalam ilmu sosiologi seharusnya memiliki disiplin yang serupa dengan penelitian ilmu alam. Penelitian sosiologi harus berdasarkan fakta-fakta obyektif dan bukan sekedar asumsi, opini, atau spekulasi. Pemikiran- pemikiran Durkheim tentang metodologi dituangkan dalam bukunya The Rules of

Upload: omadasari

Post on 04-Aug-2015

1.957 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Antara Keteraturan dan Perubahan, Antara Kesadaran Kolektif dan Kesadaran Palsu: Perbandingan Metodologi dan Teori Agama Emile Durkheim dan Karl Marx

TRANSCRIPT

Page 1: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

1

Keteraturan dan Perubahan:

Perbandingan Metodologi dan Teori Agama Emile Durkheim dan Karl Marx

Oleh: Okky Madasari

Pendahuluan

Emile Durkheim (1858-1917) dan Karl Marx (1818-1883) merupakan peletak dasar-

dasar teori strukturalisme dalam Sosiologi. Keduanya memfokuskan unit analisis pada

struktur masyarakat dan tidak berbicara dalam konteks individu. Durkheim dan Marx sama-

sama melihat struktur masyarakat yang membentuk dan mempengaruhi individu, bukan

sebaliknya.

Di luar kesamaan ini, Durkheim dan Marx memiliki pemikiran-pemikiran yang

bertolak belakang. Makalah ini akan mengulas pemikiran Durkheim dan Marx serta

membandingkan pemikiran keduanya khususnya dalam dua hal. Pertama dalam hal

metodologi, kedua dalam pemikiran tentang agama.

I. METODOLOGI

Emile Durkheim dan Positivisme

Emile Durkheim sejak awal melihat penelitian dalam ilmu sosiologi seharusnya

memiliki disiplin yang serupa dengan penelitian ilmu alam. Penelitian sosiologi harus

berdasarkan fakta-fakta obyektif dan bukan sekedar asumsi, opini, atau spekulasi. Pemikiran-

pemikiran Durkheim tentang metodologi dituangkan dalam bukunya The Rules of

Page 2: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

2

Sociological Method (1895/1966). Buku ini merupakan buku kunci untuk penelitian sosial

yang menggunakan pendekatan positivisme (Neuman, 2003: 71).1

Menurut Durkheim, untuk bisa menghasilkan penelitian sosial yang serupa ilmu alam,

terlebih dulu harus dibuat rumusan apa saja obyek yang bisa diteliti dalam penelitian sosial.

Untuk ini, Durkheim membuat definisinya tentang fakta sosial (social fact). Pertama-tama,

fakta sosial haruslah diperlakukan sebagai benda mati.

“The first and most fundamental rule is: Consider social facts as things”

(Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method, 1895/1966: 14)

Dengan memperlakukan sebagai benda mati, fakta sosial akan menjadi obyek yang

bisa diamati, diukur, dan dibandingkan. Meski demikian, tidak setiap gejala sosial adalah

fakta sosial yang bisa dijadikan obyek dalam penelitian sosiologi. Suatu gejala sosial bisa

menjadi fakta sosial dan menjadi obyek penelitian sosiologi jika memenuhi syarat-syarat

tertentu.

Syarat pertama adalah terjadi di luar individu (Durkheim, 1966: 3). Durkheim

menyebut fakta sosial bisa berupa aturan, norma, gejala, atau perilaku yang berada di luar

individu. Artinya, fakta sosial bukanlah sesuatu yang berupa pikiran atau kondisi kejiwaan

dari individu. Meski demikian, tidak serta merta setiap fenomena sosial yang terjadi di luar

individu adalah fakta sosial. Durkheim merumuskan syarat kedua fakta sosial yakni harus

bersifat umum (Durkheim, 1966: 7). Bersifat umum di sini artinya, fenomena tersebut tidak

1 Emile Durkheim bukanlah orang pertama yang memperkenalkan positivisme dalam penelitian sosiologi.

Sebelum Durkheim, Auguste Comte yang juga dikenal sebagai Bapak Sosiologi sudah lebih dulu

memperkenalkan pendekatakn positivisme melalui karyanya The Course of Positive Philosophy (Neuman, 2003:

71). Meski demikian, Durkheim yang meletakkan dasar-dasar penelitian empiris dalam metodologinya. Melalui

empirisme, Durkheim mengoreksi Comte dan Hebert Spencer yang hanya mendasarkan pemikiran mereka dari

perenungan filsafat (Ritzer, 1996: 77).

Page 3: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

3

hanya terjadi pada satu atau dua individu saja. Gejala sosial baru bisa disebut fakta sosial jika

telah menjadi fenomena umum yang terjadi dalam masyarakat tertentu.

Pemikir Sosiologi yang menulis buku Emile Durkheim: His Life and Work, Steven

Lukes, memilah fakta sosial yang terjadi di luar individu dalam dua kelompok, material dan

non material (Ritzer, 1996: 79). Fakta sosial yang sifatnya material antara lain masyarakat,

komponen dari struktur masyarakat seperti agama dan negara, komponen morfologi dalam

masyarakat, seperti penyebaran populasi, dan perjanjian rumah tangga. Sementara fakta

sosial yag sifatnya non material adalah moral, kesadaran kolektif, perwakilan kolektif, dan

arus sosial (social currents).

Dalam satu penelitiannya yang terkemuka tentang bunuh diri (Suicide, 1897/1951),

Durkheim melihat bunuh diri sebagai fakta sosial yang terjadi pada umat Katolik dan

Protestan karena terjadi tidak hanya pada satu atau dua individu tapi pada banyak individu.

Bunuh diri merupakan gejala sosial yang bersifat umum baik di kalangan Katolik maupun

Protestan. Melalui penelitiannya, Durkheim terlebih dahulu mengukur lebih tinggi mana

tingkat bunuh diri antara umat Katolik dan Protestan. Setelah mengetahui bahwa tingkat

bunuh diri di kalangan Protestan lebih tinggi daripada Katolik, penelitian dilanjutkan dengan

mencari tahu mengapa bunuh diri di kalangan Protestan lebih tinggi daripada kalangan

Katolik. Jelaslah di sini, Durkheim tidak mengamati pelaku bunuh diri sebagai individu,

melainkan sebagai bagian dari sistem sosial dalam hal ini agama. Individu hanyalah akibat

dari struktur dan sistem masyarakat. Melalui penelitian Durkheim tentang bunuh diri

diketahui bahwa tingkat bunuh diri dalam umat Protestan lebih tinggi daripada umat Katolik

karena rendahnya solidaritas sosial dalam masyarakat Protestan.

Dari sini terlihat bagaimana fakta sosial memiliki sifat membatasi atau memaksa

individu (Durkheim, 1966: 4). Individu tidak memiliki kemampuan untuk melawan gejala

Page 4: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

4

sosial yang bersifat umum ini. Bahkan, kebanyakan individu tidak merasa hal ini adalah

batasan atau sesuatu yang memaksa karena mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar.

Individu baru merasakannya ketika ia mencoba melawan batasan ini.

Dari teorinya tentang fakta sosial dan bagaimana ia meneliti tingkat bunuh diri,

jelaslah Durkheim seorang empiris. Ini sejalan dengan keinginan Durkheim agar sosiologi

menggunakan dasar-dasar penelitian seketat ilmu alam dengan meneliti obyek konkret yang

bisa dilihat, diukur, dan dibandingkan. Prinsip empirisme yang membedakan Durkheim

dengan Auguste Comte dan Herbert Spencer yang lebih dulu mengenalkan positivisme

(Neuman, 2003: 71). Dengan empirisme, Durkheim telah menarik garis tegas yang

memisahkan sosiologi dan filsafat. Batasannya tentang fakta sosial juga telah memisahkan

sosiologi dari psikologi yang menjadikan hal-hal internal di dalam individu sebagai obyek

penelitiannya.

“By defining a social fact as a thing that is external to, and coercive of,the actor,

Durkheim seems to have done a reasonably good job (at least for that historical era)

of attaining his objective of separating sociology from both philosophy and

psychology.”

(George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 77)

Sebagai penganut positivisme, Durkheim menggunakan prinsip nomothetic dalam

menjelaskan suatu gejala sosial. Nomothetic bisa diartikan sebagai upaya menjelaskan gejala

sosial dengan hukum sebab akibat yang sifatnya umum (Neuman, 2003: 73). Itu artinya,

setiap penelitian sosiologi yang menggunakan pendekatan positivisme merupakan penelitian

deduksi yang menggunakan dasar teori pada awal penelitian, lalu membuktikan secara

empiris, dan menghasilkan kesimpulan yang sifatnya generalisasi. Meski sifatnya

generalisasi, Durkheim tetap percaya sebuah penelitian sosiologi yang ketat mengikuti

Page 5: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

5

rumusan-rumusan fakta sosial dan berdasarkan penelitian empiris tetap memiliki validitas

tinggi, sebagaimana ilmu alam. Dan validitas tersebut hanya bisa dihasilkan jika peneliti

bersikap obyektif, berjarak, dan bebas nilai.

Karl Marx dan Materalisme Dialektika

Berbeda dengan Emile Durkheim yang membuat pondasi metodologi positivisme

dalam sosiologi, metodologi Karl Marx menjadi dasar lahirnya metodologi alternatif yakni

pendekatan kritis (critical). Pendekatan kritis berorientasi pada aksi yang bertujuan untuk

mengubah tatanan masyarakat (Neuman, 2003: 81).

“The critical approach uses praxis to separate good from bad theory. It puts the

theory into practice and uses the outcome of applications to reformulate theory.

Praxis means that explanations are valued when they help people really understand

the world and to take action that changes it”

(W. Lawrence Neuman, Social Research Methods, 2003: 85)

Metodologi Marx berangkat dari kritiknya pada konsep dialektika Hegel. Jika Hegel

mendasarkan dialektikanya pada gagasan, Marx menggunakan konsep dialektika pada hal-hal

yang sifatnya material atau nyata (Ritzer, 1996: 44).

Konsep Materialisme Marx melawan aliran pemikiran idealisme yang dominan dalam

pemikiran filsafat saat itu. Aliran idealisme melihat kesadaran dan gagasan sebagai pangkal

yang mempengaruhi dan menyebabkan tindakan individu sekaligus membentuk realita sosial.

Sementara bagi Marx, dunia dan realita sosial tidak berawal dari gagasan yang ada dalam

kepala individu, melainkan dari hal-hal nyata, dari sesuatu yang sifatnya material (bisa

dilihat, bisa diamati, bisa dialami). Kesadaran dan tindakan individu tidak lahir dari apa yang

ada dalam pikirannya, melainkan lahir dari apa yang dialami langsung setiap hari.

Page 6: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

6

“It is not the consciousness of men that determines their being, but, on the contrary,

their social being that determines their consciousness”

(Karl Marx, On Society and Social Change, 1973: 5)

Hal nyata yang bersifat materi dan dialami langsung setiap hari itu tidak lain adalah

upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Dalam upaya pemenuhan

kebutuhan, kemampuan produksi merupakan hal dasar yang harus dikuasai. Penguasaan

faktor produksi menjadi masalah dasar dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut.

Kenyataannya faktor produksi hanya dikuasai oleh kelas borjuis atau kelas kapitalis.

“The social history of men is never anything but the history of their individual

development, whether they are conscious of it or not.”

(Karl Marx, On Society and Social Change, 1973: 4)

“The bourgeois relations of production are the last antagonistic form of the social

process of production… at the same time the productive forces developing in the

womb of bourgeois society create the material conditions for the solution of the

antagonism.”

(Karl Marx, On Society and Social Change, 1973: 6)

Dialektika diartikan sebagai kondisi penuh paradoks atau kontradiksi yang membawa

pada perubahan (Neuman, 2003: 82). Mengacu pada konsep Hegel, dialektika adalah

perjalanan sejarah manusia yang terbangun atas tiga bagian yang disebut sebagai tesis

(thesis), antitesis (antithesis), dan sintesis (synthesis). Tesis merupakan persoalan yang ada.

Antitesis adalah tanggapan kritis dari persoalan tersebut. Tesis dan antitesis adalah kondisi

yang saling berlawanan, yang kemudian menghasilkan perubahan berupa sintesis. Sementara

Page 7: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

7

sintesis merupakan kondisi baru yang tercapai setelah tesis mengoreksi antitesis. Dialektika

melihat keberadaan masyarakat sebagai proses yang terus bergerak dan penuh perubahan.

Konsep dialektika sangat berbeda dengan metodologi sosiologi lainnya, terutama

positivisme yang dibangun Durkheim. Pertama, dialektika tidak melihat realita sosial sebagai

gejala satu arah atau hubungan sebab akibat. Kedua, dialektika tidak bisa dilepaskan dari

nilai-nilai ideologi Marx. Sementara, sebagian sebagian besar sosiolog terlebih penganut

positivisme berpendapat bahwa nilai-nilai ideologi dari peneliti harus dipisahkan dari sebuah

penelitian (Ritzer, 1996: 44).

“The dialectical thinker believes that it is not only impossible to keep values out of the

study of the social world but also undesirable because is produces a dispassionate,

inhuman sociology that has little to offer to people in search of answers to the

problems they confront.”

(George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 44-45)

Metodologi materialisme dialektika tidak bisa dilepaskan dari nilai dan ideologi yang

dianut Marx. Dari penjelasan sebelumnya tentang konsep materialisme, jelas bahwa realita

yang ada dalam masyarakat saat ini adalah dikuasainya faktor produksi di tangan borjuis.

Maka dialektika bagi Marx adalah perjalanan untuk mengubah realita sosial tersebut.

Dalam karyanya Capital (1867), Marx memaparkan bagaimana kelas borjuis

melakukan eksploitasi pada kelas pekerja (proletar). Marx melahirkan beberapa teori, salah

satunya mengenai surplus value yang menjelaskan bahwa seharusnya pekerja mendapatkan

nilai melebihi dari upah yang mereka dapatkan (Marx, Capital vol I, 1976: 320-321). Teori-

teori Marx merupakan kritik pada sistem kapitalisme yang ditandai keberadaan kelas borjuis

sebagai penguasa faktor produksi. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Perubahan harus

Page 8: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

8

dilakukan. Terbentuknya masyarakat tanpa kelas atau masyarakat komunis adalah tujuan

perubahan itu.

Metodologi Durkheim dan Marx: Antara Obyektivitas dan Nilai Ideologi

Pada bagian pendahuluan makalah ini telah disebutkan bahwa Durkheim dan Marx

memiliki unit analisis yang sama, yakni struktur dan sistem sosial (makro level). Keduanya

tidak menjadikan individu (mikro level) sebagai unit analisis dan memandang bahwa apa

yang terjadi pada individu merupakan akibat dari struktur sosial dalam masyarakat. Durkheim

dan Marx adalah pemikir strukturalis yang menjadi dasar teori-teori strukturalisme dalam

ilmu sosiologi. Dalam hal ini, pendekatan Durkheim dan Marx sangat berbeda dengan

metodologi Max Weber yang melalui interaksionis simbolis menjadikan individu dan

interaksi antar individu sebagai unit analisis.

Di luar persamaan tersebut, dalam masing-masing uraian metodologi Durkheim dan

Marx pada makalah ini, terlihat jelas bagaimana kedua metodologi memiliki perbedaan yang

sangat besar, bahkan cenderung bertolak belakang. Masing-masing menawarkan kelebihan

yang tidak dimiliki oleh metodologi lainnya.

Positivisme Durkheim merupakan metodologi utama dalam penelitian sosiologi saat

ini. Keunggulan metodologi Durkheim ada pada empirismenya dan obyektivitas dalam

melakukan penelitian. Dengan demikian, hasil penellitian yang dihasilkan akan memiliki

validitas tinggi yang tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi peneliti.

“Positivists argue for a value-free science that is objective.”

(W. Lawrence Neuman, Social Researchs Methods, 2003: 74)

Page 9: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

9

Keunggulan lainnya adalah kemampuan menjelaskan gejala sosial secara generalisasi

untuk kemudian menjadi sebuah kesimpulan atau teori yang berlaku umum. Metodologi ini

berpandangan apa yang ada dalam realita sosial memiliki hubungan sebab akibat.

“Positivism assumes that the laws operate according to strict, logical reasoning…The

laws of human behaviour should be universally valid, holding in all historical eras

and all cultures. ”

(W. Lawrence Neuman, Social Research Methods 2003: 73)

Kepercayaan pada hubungan sebab akibat yang berlaku umum ini jugalah yang

kemudian menjadi kelemahan terbesar metodologi ini. Durkheim melihat struktur masyarakat

sebagai sebuah keteraturan (order) dan tetap harus dipertahankan keseimbangannya. Ia

mengesampingkan kenyataan bahwa perubahan dalam masyarakat diperlukan, akan terus ada,

sekuat apapun upaya untuk mencegahnya. Upaya untuk menghasilkan hukum sebab akibat

yang berlaku universal juga mengabaikan faktor sejarah dan budaya yang berlaku pada satu

masyarakat dan secara spesifik membentuk konteks sosial yang berbeda dengan masyarakat

lainnya.

Kelemahan berikutnya dari metodologi ini adalah memandang manusia dan fakta

sosial sebagai benda mati. Bagi positivis, manusia tidak ubahnya seperti robot atau wayang

yang akan memberi reaksi sama atas apa yang ada di luar dirinya (Neuman, 2003: 72).

Kenyataannya, manusia tetaplah manusia yang tidak bisa disamakan dengan benda.

Durkheim juga melihat individu sebagai makhluk yang hanya mementingkan kesenangan

individu, oleh karenanya harus diatur dengan sistem yang ada di luar dirinya (Neuman, 2003:

72). Ini juga yang menjadi ketidaksetujuan metodologi Marx pada positivisme yang dibangun

Durkheim.

Page 10: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

10

Bagi Marx, manusia sebenarnya memiliki potensi besar yang tidak disadari. Manusia

adalah makhluk-makhluk yang kreatif dan memiliki kemampuan beradaptasi. Sistem

masyarakat kapitalis lah yang membuat manusia terkungkung, dieksploitasi, kehilangan

kemerdekaan dan kebebasan, serta tak lagi bisa mengontrol dirinya sendiri (Neuman, 2003:

83).

Kelebihan utama metodologi Marx ada pada upayanya mengkritik dan mengubah

struktur masyarakat untuk membebaskan manusia dari dominasi kelas borjuis. Metodologi ini

berangkat dengan asumsi ada yang salah dalam struktur masyarakat dan perubahan adalah

sebuah keharusan. Bandingkan dengan metodologi Durkheim yang cenderung anti-perubahan

demi melindungi keteraturan dan keseimbangan.

“The critical researcher asks embrassing questions, exposes hypocrisy, and

investigates conditions in order to encourage dramatic grass-roots action.”

(W. Lawrence Neuman, Social Research Methods 2003: 82)

Asumsi dan tujuan yang dipegang sejak awal inilah yang menjadi kelemahan terbesar

metodologi Marx. Pada bagian sebelumnya juga telah dipaparkan bagaimana penganut

metodologi Marx melihat nilai dan ideologi sebagai hal yang tidak terpisahkan dari penelitian

sosial. Bagi peneliti kritis, penelitian yang bebas nilai hanya akan membuat sosiologi

menjadi tidak manusiawi dan tidak mampu memberi solusi atas permasalahan yang ada

(Ritzer, 1996: 44-45).

Metodologi yang bias nilai dan ideologi ini membuat Marx tidak bisa diterima

sepenuhnya sebagai pemikir sosiologi (Ritzer, 1996: 43). Akan tetapi adakah pemikir yang

bisa benar-benar bebas dari nilai dan ideologi? Durkheim yang mengagungkan obyektivitas

pun sudah mendasarkan metodologi yang dibangunnya dari nilai yang ia anut: keyakinan

Page 11: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

11

bahwa manusia cenderung mencari kesenangan individu dan karenanya dibutuhkan kekuatan

di luar manusia untuk mengendalikan dan mengatur manusia tersebut (Neuman, 2003: 72).

Bahkan bisa dikatakan tak ada satupun pemikir sosiologi yang bebas nilai.

“There is no such thing as a “value-free” sociological theory. In theorizing about

social phenomena, sociologist find it impossible to be completely neutral, and this

remains true whether or not they are willing to recognize it or to admit it.”

(George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 43)

Ideologi yang dibawa Marx penuh dengan nilai pembebasan manusia, perlawanan

atas eksploitasi dan ketidakadilan. Metodologi dan teori-teori Marx memberi sumbangan

besar bagi ilmu sosiologi, sehingga tidak perlu diragukan bahwa dia jugalah seorang pemikir

sosiologi. Marx telah menempatkan metodologi sebagai upaya memperjuangkan

kemanusiaan. Perubahan adalah sebuah keniscayaan jika kondisi saat ini hanya

menghadirkan penindasan dan ketidakadilan. Sangat berbeda dengan metodologi Durkheim

yang melihat tatanan masyarakat sebagai hal yang harus dipertahankan dan dijaga

keseimbangannya demi menghindari kekacauan dan ketidak-teraturan.

II. TEORI AGAMA

Emile Durkheim dan Karl Marx menggunakan metodologi yang mereka bangun

dalam melihat realita sosial. Agama adalah salah satu realita sosial yang menjadi fokus

pengamatan mereka.

Page 12: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

12

Emile Durkheim: Agama dan Kesadaran Kolektif

Pemikiran Durkheim tentang agama lahir setelah ia meneliti secara empiris kehidupan

beragama suku Aborigin di Australia yang menganut Totemism. Penelitian Durkheim

berpusat pada fakta sosial, yakni aktivitas religius kelompok tersebut. Hasil penelitian ditulis

dalam buku The Elementary Forms of Religious Life (1912). Dalam buku tersebut, Durkheim

Durkheim mendefinisikan agama adalah sebuah kesatuan kepercayaan dan tindakan-tindakan

yang menyatukan individu dalam satu kesatuan kelompok moral. Jelaslah bagi Durkheim

agama dihasilkan oleh masyarakat.

“A religion is a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that

is to say, things set apart and forbidden-beliefs and practices which unite into one

single moral community”

(Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, 1912/1965: 62)

Dari definisi tersebut terlihat bahwa agama bagi Durkheim adalah satu keyakinan

kolektif atau berkelompok dalam masyarakat. Agama bukan sebuah keyakinan individu yang

lepas dari individu lainnya.

Keyakinan dalam agama membuat individu tunduk untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu. Inilah menurut Durkheim fungsi yang sebenarnya dari agama. Agama

tidak berfungsi untuk membuat individu berpikir atau menambah pengetahuan individu.

Fungsi agama adalah menjadi tuntunan bagaimana manusia bertindak dalam hidup.

“The real function of religion is not to make us think, to enrich our knowledge…, it is

to make us act, to aid us to live”

(Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, 1912/1965 : 463-464)

Page 13: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

13

Karena bisa membuat individu melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka agama

memiliki kekuatan untuk memaksa (forces). Bahkan Durkheim menyebut kekuatan untuk

memaksa inilah yang menjadi asal usul agama (Durkheim, 1965: 234).

Kekuatan agama untuk memaksa individu ini mewujud dalam kekuatan moral (moral

forces) yang dipegang dan dijadikan pedoman bersama oleh individu-individu dalam

kelompok agama tersebut. Kesadaran akan adanya moral bersama melahirkan rasa sebagai

satu kesatuan dalam satu kelompok individu (collective sentiments). Perasaan sebagai satu

kesatuan itu kemudian mendorong kelompok individu tersebut untuk bertindak bersama-sama

sesuai tuntunan moral yang ada (collective effervescence). Dari sinilah terwujud kesadaran

bersama bahwa masing-masing individu adalah bagian dari satu kelompok individu tersebut,

yang bergerak bersama atas dasar moral yang sama (collective consciousness) (Durkheim,

1965: 473-474).

Dalam penelitiannya tentang bunuh diri, Durkheim menemukan fakta bagaimana

solidaritas yang ada dalam satu agama mempengaruhi keputusan seseorang untuk bunuh diri.

Solidaritas terbentuk melalui pertemuan-pertemuan yang dilakukan bersama. Solidaritas dan

moral merupakan komponen agama yang menjadikan agama sebagai kekuatan dahsyat untuk

mengatur masyarakat (Durkheim, Suicide, 1951: 216).

Karl Marx: Agama dan Kesadaran Palsu

Berbeda dengan Durkheim yang melakukan penelitian tentang agama, Marx tidak

pernah mempelajari agama secara detail. Pemikiran tentang agama banyak dipengaruhi

filsuf dan teolog awal abad 19, terutama Ludwig Feuerbach (Giddens, 2009: 679). Ini tidak

bisa dilepaskan dari pemikiran Marx tentang materialisme yang melihat pemenuhan

kebutuhan ekonomi adalah dasar dari struktur masyarakat. Agama, sebagai salah satu bentuk

Page 14: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

14

budaya hanyalah imbas dari dasar materialisme yang oleh Marx disebut sebagai super-

struktur (Ritzer, 1996: 68).

Serupa dengan Feuerbach yang melihat agama sebagai produk manusia (Giddens,

2009: 679), Marx kembali menegaskan hal tersebut dalam bukunya On Religion (1955) dan

tulisannya The Basis of Religion yang dimuat dalam buku On Society and Social Change

(1973).

“Man makes religion; religion does not make man.”

(Karl Marx, On Society and Social Change, 1973:13)

Feuerbach juga mengungkapkan bagaimana agama hanyalah membuat manusia

teralienasi dari keberadaannya sebagai manusia demi keberadaan Tuhan (Giddens, 2009:

679). Menguatkan pendapat Feuerbach tersebut, Marx menyatakan bahwa agama hanyalah

fantasi manusia dan pelarian atas realita yang dihadapi (Marx, 1973: 13). Agama hanyalah

penghibur di dunia yang kejam, yang disebut Marx sebagai “heart of a heartless world”, dan

karena itulah agama tak lebih dari sekedar candu bagi manusia (Marx, 1973: 14).

Agama menjanjikan balasan dan kebahagiaan setelah mati. Segala ketidakadilan yang

dialami selama hidup di dunia akan mendapat gantinya pada kehidupan selanjutnya. Dengan

demikian, agama hanya membiarkan dan menjadi pembenar segala ketidakadilan yang terjadi

di dunia (Giddens, 2009: 680). Bahkan, agama kerap menjadi pencipta dari penindasan dan

ketidakadilan tersebut. Misalnya bagaimana agama Hindu memilki sistem kasta yang

membeda-bedakan manusia berdasarkan tingkat sosial ekonominya. Hal yang sama juga

terjadi di Islam, di mana terdapat konsep sedekah untuk membantu orang miskin. Itu artinya

orang miskin akan terus dibiarkan ada dan hanya menjadi sasaran sedekah bagi orang yang

tingkat ekonominya di atasnya.

Page 15: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

15

Buaian agama dengan keyakinan akan kehidupan setelah mati dan doktrin yang

menjadikan ketidakadilan sebagai “takdir” membuat manusia terus tunduk dan menerima

penindasan kelas borjuis dalam sistem kapitalis. Inilah yang disebut Marx sebagai bentuk

kesadaran palsu (false consciousness).

“False consciousness describes the situation throughout the capitalist epoch, whereas

class consciousness is the condition that awaits the proletariat and that can help

bring about the change from capitalist to communist society.”

(George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 70)

Fundamentalisme Agama: Perspektif Durkheim dan Marx

Fundamentalisme agama khususnya fundamentalisme Islam menjadi fenomena global

semenjak peristiwa pengeboman di Amerika Serikat 11 September 2001. Indonesia sebagai

negara dengan penduduk Islam terbanyak di dunia juga menjadi ladang subur tumbuhnya

terorisme. Dimulai dari peristiwa bom Bali tahun 2002 lalu disusul oleh berbagai bom di

berbagai wilayah bahkan hingga saat ini.

Fundamentalisme bisa diartikan sebagai keyakinan bahwa hanya pendapat mereka

dan kelompok mereka yang benar, dan pendapat lain diluar itu merupakan hal yang salah dan

harus diluruskan atau dimusnahkan (Giddens, 2009: 710).

Tumbuhnya kelompok fundamentalis ini memunculkan pertanyaan besar tentang

fungsi agama. Kenapa fundamentalisme bisa muncul dan berkembang? Bagaimana cara

menghentikan fundamentalisme dalam masyarakat? Teori agama dari Emile Durkheim dan

Karl Marx bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Page 16: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

16

Disfungsi Agama

Dilihat dari perspektif Durkheim, tumbuhnya fundamentalisme adalah akibat dari

tidak berjalannya fungsi agama. Fenomena ini disebut Durkheim disebut sebagai patologi.

Sebagaimana disebut pada bagian sebelumnya, fungsi agama menurut Durkheim adalah

memberikan panduan bagaimana manusia harus bertindak. Agama harus menjadi sumber

moral yang bisa memaksa manusia untuk melakukan hal-hal baik dalam masyarakat.

Bagi Durkheim, agama bukanlah keyakinan individu yang hanya berwujud relasi

manusia dengan keyakinannya atau tuhannya. Agama merupakan kumpulan dari ritual yang

dijalankan bersama, nilai yang dianut bersama, yang akhirnya membawa penganutnya dalam

sebuah kebersamaan dan solidaritas. Dasar kolektivitas sehingga membentuk kesadaran

moral bersama (collective consciousness) inilah esensi dari agama.

Ketika agama tak lagi bisa mengarahkan umatnya untuk berbuat baik, maka agama

sudah gagal menjalankan fungsinya. Kegagalan tersebut bisa karena pemuka-pemuka agama

sudah tidak bisa lagi menjadi pemimpin umat. Bisa juga karena pemuka agama salah dalam

menjelaskan atau mengintepretasikan maksud dari ajaran agama. Sebagai sebuah keyakinan

kolektif dan sistem sosial, pemuka atau pemimpin agama punya peran besar dalam menjaga

fungsi agama. Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian sebelumnya, Durkheim melihat

individu tak ubahnya seperti wayang atau robot. Individu harus diatur dan dibentuk oleh

struktur yang ada di luarnya. Dalam konteks agama, struktur di luar individu itu adalah ajaran

moral dari agama, pemuka agama, dan ritual-ritual yang dijalankan bersama.

Salah satu bentuk fundamentalisme adalah fenomena bom bunuh diri. Kesediaan

seseorang untuk mati karena meyakini itu sesuatu yang baik dalam nilai yang mereka anut

dikategorikan Durkheim sebagai bunuh diri altruistric. Bunuh diri Altruistic terjadi ketika

individu terikat kuat dalam solidaritas dan moral. Bunuh diri dilakukan karena individu

Page 17: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

17

merasa itu merupakan kewajibannya, berdasarkan nilai moral yang mereka pegang bersama,

Dalam bunuh diri altruistic, sesorang tidak melakukannya karena merasa berhak secara

individu, melainkan karena ini adalah tugas, kehormatan, dan juga hukuman karena telah

melanggar hukum dan moral (Durkheim, Suicide, 1951: 177). Meski demikian, tidak setiap

bunuh diri yang dilakukan karena dorongan nilai dan keyakinan adalah sesuatu yang sifatnya

kewajiban dalam masyarakat. Durkheim membedakan bunuh diri artruistic dalam dua

kelompok. Yang pertama karena diwajibkan oleh sistem masyarakat, yang kedua adalah

semata karena keyakinan dari individu tersebut (Durkheim, 1951: 180). Contoh bunuh diri

altruistic yang diwajibkan adalah kebudayaan di India kuno yang mewajibkan istri membakar

diri ketika suami meninggal. Bom bunuh diri bukanlah sebuah kewajiban atau tugas yang

diperintahkan agama Islam. Faktanya, pelaku bom bunuh diri hanyalah segelintir orang di

antara penganut agama Islam di seluruh dunia. Pelaku bom bunuh diri melakukannya semata

karena keyakinan mereka atau setidaknya keyakinan yang dibentuk dalam kelompok

fundamentalis tersebut.

Pertanyaannya kini, kenapa kelompok yang jumlahnya minoritas seperti itu bisa

terus berkembang? Selain karena kegagalan pemuka agama sebagaimana dikemukakan

sebelumnya, juga karena kurangnya ikatan solidaritas di antara seluruh umat beragama,

khususnya antara kelompok mayoritas yang moderat dengan kelompok minoritas garis keras

yang berfungsi menjadi fundamentalis. Durkheim melihat aspek kunci dari agama adalah

ritual yang dilakukan bersama-sama. Kebersamaan ritual inilah yang berfungsi membangun

ikatan solidaritas antar individu dalam satu agama (Giddens, 2009: 682).

Maka dari perspektif Durkheim, cara untuk menghentikan fundamentalisme adalah

meningkatkan peran pemuka agama dan memperbaiki solidaritas yang menyatukan kelompok

moderat dengan kelompok radikal. Pemuka agama harus lebih aktif memberikan ceramah

dan meluruskan intepretasi yang salah. Pemuka agama juga harus melakukan pendekatan

Page 18: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

18

persuasif dan menularkan semangat pluralisme dan perdamaian sebagai manifestasi dari

ajaran tertinggi agama. Sementara solidaritas bisa dibentuk dengan mengaktifkan pengajian-

pengajian yang membawa misi perdamaian hingga ke level terkecil dalam masyarakat..

Masjid harus difungsikan sebagai ruang publik yang bisa menarik seluruh umat beragama

untuk bertemu dan saling berhubungan satu sama lain. Dengan ikatan yang kuat seperti itu,

kecil kemungkinan seseorang akan terlibat dalam fundamentalisme, lebih-lebih

mengorbankan diri melalui bom bunuh diri.

Ketidakadilan Ekonomi

Dari kacamata Marx, fundamentalisme tidak ada kaitannya dengan moral, ritual, atau

solidaritas. Bahkan Marx sama sekali tidak melihat fundamentalisme sebagai fenomena yang

terkait agama. Bagi Marx, fundamendalisme terjadi akibat ketimpangan penguasaan sumber

daya ekonomi dan faktor produksi. Fundamentalisme tumbuh seiring dengan suburnya

ketidakadilan dalam masyarakat.

Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa orang-orang yang terjebak dalam

kelompok fundamentalis mayoritas berasal dari kelompok masyarakat miskin. Dalam film

yang mengangkat kisah nyata kelompok fundamentalis di Indonesia, Mata Tertutup (2011),

diceritakan bagaimana pelaku bom bunuh diri adalah anak muda pengangguran yang berasal

dari keluarga miskin. Dalam kebingungan dan keputusasaan, pemuda tersebut tergoda ajakan

seorang fundamentalis. Awalnya sekedar mengaji rutin. Tapi lama-lama pengajian berubah

menjadi doktrinasi. Si pemuda tergoda oleh janji kehidupan setelah ia bunuh diri. Sebuah

kehidupan yang jauh dari penderitaan dan kemiskinan yang dia alami di dunia.

Page 19: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

19

Pelaku bom bunuh diri sebagian besar juga orang-orang berpendidikan rendah. Jika

seseorang berpendidikan rendah, ia akan lebih mudah dipengaruhi, tidak mampu berpikir

kritis, dan menerima dogma sebagai sebuah kebenaran tunggal. Lagi-lagi ini adalah akibat

ketimpangan dan ketidakadilan dalam penguasaan sumber daya ekonomi dan faktor produksi.

Maka bagi Marx, satu-satunya jalan menghentikan fundamentalisme adalah dengan

mewujudkan keadilan ekonomi. Itu artinya mewujudkan sistem masyarakat tanpa kelas di

mana sumber daya ekonomi dan faktor produksi dimiliki bersama oleh anggota masyarakat.

Dan untuk mencapai hal tersebut, agama haruslah terlebih dulu ditinggalkan. Sebab agama

hanya akan membuai orang dengan kesadaran palsu yang menghalangi terbentuknya

kesadaran kelas untuk melakukan revolusi.

KESIMPULAN

Meski sama-sama memfokuskan analisis pada struktur masyarakat, Emile Durkheim

dan Karl Marx memiliki metodologi yang berbeda dalam melahirkan teori-teori Sosiologi.

Durkheim adalah seorang positivis yang mendasarkan penelitian pada fakta empiris dengan

berlaku obyektif pada hal yang diteliti. Sementara Marx mengusung materialisme dialektika

sebagai metodologi. Dengan metodologi tersebut, Marx sejak awal telah berangkat dengan

nilai ideologi dan mengarahkan semmua kegiatan berpikirnya untuk menumbuhkan

kesadaran kelas demi terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Metodologi Marx menjadi dasar

lahirnya metodologi kritis (critical).

Pemikiran Durkheim selalu berangkat dari pandangan filosofisnya bahwa individu

pada dasarnya hanyalah pencari kesenangan pribadi, karena itu haruslah diatur oleh struktur

dan sistem masyarakat. Seluruh teori Durkheim tidak lepas dari upaya untuk menjaga tatanan

Page 20: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

20

masyarakat dan menjaga keseimbangan equilibrium. Untuk itu, sistem dalam masyarakat

haruslah berfungsi dengan baik. Jika tidak, akan terjadi fenomena akibat disfungsi sistem

yang ia sebut patologi serta situasi di mana tak ada lagi aturan yang mengikat individu, yang

disebutnya sebagai anomie. Pemikiran Durkheim menjadi dasar perspektif struktural

fungsional dalam sosiologi.

Sementara Marx, melihat penguasaan sumber daya ekonomi dan faktor produksi di

tangan kelompok borjuis sebagai sumber ketidakadilan dalam masyarakat. Itulah hal yang

paling dasar dalam realita masyarakat. Marx mencurahkan seluruh pemikirannya untuk

menunjukkan bagaimana kapitalisme hanya akan mengakibatkan penindasan pada sesama

manusia. Bagi Marx, pertentangan kelas adalah alat analisis utama untuk melihat realita

sosial. Marx menjadi dasar lahirnya perspektif konflik dalam sosiologi.

Perbedaan landasan berpikir membuat Durkheim dan Marx akan melihat setiap hal

secara berbeda. Dalam hal agama, Durkheim melihat agama sebagai sistem sosial yang

berperan meningkatkan solidaritas dan menjaga keteraturan dalam masyarakat melalui nilai-

nilai yang dianut bersama. Dari agama lah bisa lahir kesadaran kolektif sebagai anggota

masyarakat. Sementara bagi Marx, agama hanyalah produk buatan kelas borjuis yang

digunakan untuk terus melanggengkan sistem kapitalisme. Agama adalah sumber kesadaran

palsu yang terus menghalangi tumbuhnya kesadaran kelas untuk melakukan revolusi demi

terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Karena itu, agama haruslah ditinggalkan.

Bagi Durkheim, tatanan masyarakat yang telah ada ini harus terus dijaga keteraturan

dan keseimbangannya. Bagi Marx, hanya ada satu kata: perubahan.

***

Page 21: Metodologi & Teori Agama Durkheim Dan Karl Marx

21

Daftar Pustaka

Durkheim, Emile. The Rules of Sociological Method. New York: The Free Press, 1966

____________ The Elementary Forms of The Religious Life. New York: The Free Press,

1965

______________ On Morality and Society. Chicago: The University of Chicago Press, 1973

______________ Suicide . New York: The Free Press, 1951

Giddens, Anthony. Sociology. Cambridge: Polity Press, 2009

Marx, Karl. On Society and Social Change. Chicago: The University of Chicago Press.1973

__________ Capital Volume 1. London: Penguin.1976

___________ On Religion. Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1955

Neuman, W.Lawrence. Social Research Methods. Boston: Pearson Education, 2003

Ritzer, George. Sociological Theory. New York: Yhe McGraw-Hill Companies, 1996