edisi maret 2019 volume 1 (2) -...

22
Edisi Maret 2019 Volume 1 (2)

Upload: voxuyen

Post on 14-Jun-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Edisi Maret 2019 Volume 1 (2)

Daftar Isi: Arif Novianto - “Mempertanyakan Netralitas Birokrat dalam Pemilu: antara Sistem Sosial, Kekuasaan, & Budaya Patron-Client” ................................... [1] Mutia Rizal - “Siapa Itu ASN dan Bagaimana Nasibnya dalam Pemilu?” ... [16] Penyunting:Prof. Dr. Wahyudi KumorotomoYuyun Purbokusumo, Ph.D

Desain Sampul dan Tata Letak:Wahyu Budi Utomo

1Dapatkah Birokrasi Bersikap Netral dalam Pemilihan Umum?

Arif Novianto Peneliti di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA), MAP UGM

Bisakah birokrat bersikap netral dalam pemilu? Atau pertanyaan lebih mendalam apakah birokrasi sebagai bagian dari kekuasaan dapat bertindak netral? Sejak kapan gagasan netralitas birokrasi itu

muncul? Kondisi apa yang melatarbelakanginya? Dan apa konsekuensi dari diskursus dan praktik netralitas birokrasi?

Banyak perspektif dalam upaya menjelaskan diskurus dan praktik netralitas birokrasi. Di satu sisi, para birokrat dinilai harus bersikap netral, agar mereka dapat bertindak secara rasional. Dengan rasionalitas maka birokrasi akan berbadan sehat dan mampu melayani masyarakat dengan baik. Rasionalitas ini dianggap akan berada dalam marabahaya tatkala ada wabah kepentingan politik yang menyerang kehendak birokrat. Sehingga kepentingan politik harus disingkirkan, karena birokrasi dituntut menjadi ruang yang kedap kepentingan politik.

Di sisi yang lain, ada perspektif kritis yang menempatkan birokrasi adalah instrumen dari kekuasaan. Perspektif ini menilai bahwa tidak akan pernah ada birokrasi yang netral. Jika kita runut dari sejarah panjang terbentuknya birokrasi, sejak Kekaisaran Roma atau tahap terakhir kerajaan Persia, birokrasi memang dibentuk sebagai instrumen kekuasaan. Pendekatan marxis melihat birokrasi adalah alat kepentingan kelas penguasa untuk mendominasi, mendisiplinkan, hingga menghisap kelas yang tidak berkuasa (Marx, 1967; Lenin, 1871). Bahkan Max Weber sebagai pencetus konsep “birokrasi ideal” dan “rasionalitas birokrasi” mengakui ketidaknetralan birokrasi (lihat Max Weber, 1947; 1968).

2 Institute of Governance and Public Affairs

Weber walaupun mengaku tidak pernah membaca karya Karl Marx, dia dipengaruhi oleh pemikiran marxian dengan menyatakan bahwa birokrasi yang ideal itu jarang ada dan birokrasi adalah “instrumen yang kuat dari kekuasaan” oleh mereka yang mengendalikannya (1947). Betapapun diametral perbedaan posisi antara Karl Marx dan Max Weber, keduanya tidak melihat birokrasi sebagai sesuatu yang terpisah dengan bidang yang lain.

Asal-usul Netralitas BirokrasiPandangan tentang netralitas birokrasi pertama kali

dipromosikan oleh Woodrow Wilson dalam bukunya “The Study of Administration” (1887). Dalam buku tersebut Wilson berargument bahwa “gagasan negara adalah hati nurani ilmu administrasi, itu mengapa harus ada ilmu administrasi yang mampu meluruskan jalan pemerintahan – bahwa administrasi harus dipisahkan dari masalah politik dan kebijakan”. Woodrow Wilson mengajukan gagasan tentang dikotomi antara politik dan administrasi. Bidang administrasi dalam birokrasi baginya wajib dipisahkan dari perselisihan politik. Walaupun, yang politik tersebut seringkali menetapkan tugas bagi yang administrasi.

Literatur klasik lain yang memberi perhatian tentang pemisahan antara politik dengan administrasi adalah karya dari Frank J. Goodnow & Max Weber. Menurut Goodnow (1900) negara memiliki fungsi untuk mengekspresikan kehendak rakyat dan menjalankan kehendak itu. Fungsi pertama baginya dijalankan oleh “politik”, sementara yang kedua oleh “administrasi”. Hal senada diungkapkan oleh Max Weber

3Dapatkah Birokrasi Bersikap Netral dalam Pemilihan Umum?

dengan menggunakan istilah: tindakan (action) dan panggilan (vocation). “Tindakan” ini dilakukan oleh birokrat untuk menjalankan perintah atau respon terhadap suatu hal berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan, sedangkan “panggilan” dilakukan oleh politisi atas kehendak kekuasaan.

Bagan 01. Birokrasi Ideal dari Max Weber

Ada proses kenaikan pangkat secara tetap dengan prosedur

yang ditentukan

Orientasi Karir Hirarki Wewenang

Seleksi Formal

Birokrasi Ideal

Peraturan Formal & Prosedur

Pembagian Kerja

Impersonalitas

Penerapan peraturan dan pengendalian secara seragam,

bukan menurut kepribadian atau kepentingan politis

Tugas dan wewenang disusun berdasarkan hirarki dengan rantai komando yang jelas

Orang dipilih untuk pekerjaan berdasarkan kualifikasi teknis

Kerja dibagi secara rinci menjadi tugas-tugas rutin dari

birokrat

Sistem peraturan tertulis dan prosedur operasi standar

Pembedaan antara kehendak politik dengan kehendak administrasi menurut Wilson, Goodnow & Weber dapat tercapai jika ada “netralitas”. Ide tentang netralitas ini mengutamakan pendekatan moralistik bahwa birokrat tidak boleh berpihak dan harus membatasi diri dari justifikasi politik. Netralitas mengandaikan posisi yang tidak berada

4 Institute of Governance and Public Affairs

pada arus kehendak politik tertentu. Netral diartikan sebagai tindakan objektif yang jernih yang wajib dijalankan oleh birokrat. Dalam konteks pemilihan umum (pemilu) contohnya, netralitas mengejawantahkan sikap etis birokrat yang tidak memihak pada kepentingan politik tertentu.

Moralisme dari sikap netral ini berkembang di tengah ambisi positivisme yang berupaya menjadikan realitas sosial seperti realita alam yang ajeg dan pasti. Weber memformulasikan konsepsi tentang “birokrasi tipe ideal” dengan menyepadankan birokrasi layaknya mesin. Cara kerja birokrasi diandaikan mengikuti cara kerja mesin untuk menghasilkan kepastian output, efektifitas dan efisiensi. Agar seperti mesin, maka Weber mengembangkan rasionalisasi kegiatan administrasi dalam tiga hal: formalisasi, instrumentalisasi, dan otoritas legal-rasional. Dengan rasionalisasi maka kerja manusia berupaya mengikuti mesin dan itu dapat terjadi ketika mereka seperti mesin yaitu tidak memiliki kehendak dan kepentingan politik (apolitis). Weber mengakui bahwa manusia pasti memiliki hasrat dan kehendak, sehingga dia menekankan pada pembatasan hal itu dengan konsep “netralitas” untuk mencapai rasionalitas mekanik.

Bagan 02. Rasionalitas Birokrasi untuk Menciptakan Birokrat Layaknya Mesin

ManusiaRasionalitas

Birokrasi Mesin

Proses dan hasil kerja dipengaruhi oleh

hasrat, kehendak, dan kepentingan politik

Kepastian output, efektifitas dan efisiensi

dalam proses kerja

Formalisasi, instrumentalisasi dan otoritas legal-rasional

5Dapatkah Birokrasi Bersikap Netral dalam Pemilihan Umum?

Tak Ada Netralitas & Post-PositivismePerspektif tentang netralitas birokrasi, ditentang oleh

pendekatan post-positivisme. “Netralitas” yang dikatakan sebagai tindakan tidak memihak, pada dasarnya adalah sebuah keberpihakan untuk “tidak memihak”. Sebagaimana ilmu, cara manusia bersikap dan menentukan pilihan itu tidak pernah bebas nilai. Baik disadari atau tidak, pilihan-pilihan tersebut pasti memiliki keberpihakan. Menurut Kuhn (1962) netralitas ini cenderung berposisi untuk memihak status-quo.

Michael J. Perry (1989) memandang netralitas adalah bagian dari politik ideologi liberalisme untuk membentuk diskursus justifikasi terhadap tindakan politiknya. Netralitas diseparasikan dengan objektifitas yang dapat berfungsi untuk mengkonstruksi ruang yang anti kritik. Dalam polemik publik, birokrasi yang berdalih “netral” dan “rasional” menjadi menampakan sikapnya untuk menyembunyikan tangan ketika ada pelayanan yang tidak memanusiakan manusia atau kebijakan publik yang salah sasaran. Dengan dalih netralitas, maka kritik berupaya dibelokan menjadi sekedar permasalahan tata aturan atau prosedur yang berlaku. Diskursus yang dikembangkan bahwa “bagaimana dapat dikritik jika tidak ada yang dipihak atau netral?”. Sehingga adanya kekurangan atau kesalahan dalam diskursus itu justru mensyaratkan penambahan kekuasaan untuk melakukan perbaikan-perbaikan (Li, 2012). Itu karena klaim bahwa mereka adalah “netral”, “objektif”, “rasional”, dan “ahli” yang memiliki pengetahuan lebih tinggi. Liberalisme berlindung di balik jubah netralitas agar agenda-agenda politiknya yang cenderung merugikan kelas pekerja dapat terus berjalan (Perry, 1989).

6 Institute of Governance and Public Affairs

Kritik lain, bahwa moralisme netralitas mengandaikan moralisme itu bersifat personal dan tidak dibentuk oleh realita struktur kekuasaan yang tengah berjalan. Karena sifatnya yang dianggap personal, maka seperangkat sangsi biasanya digunakan sebagai mekanisme pendisiplinan terhadap individu-individu yang menyalahi aturan. Di satu sisi para birokrat dilarang terpapar hal-hal yang berbau politik namun di sisi yang lain, para penguasa politik memanfaatkan kuasanya untuk menggunakan birokrasi mencapai tujuan politik tertentu; atau para birokrat yang memanfaatkan akses kekuasaannya untuk mendapatkan kekuasaan politik yang lebih besar dengan tujuan memperbesar pula kekuatan ekonomi mereka. Ajang Pemilu (di tengah gerakan masyarakat sipil yang lemah seperti Indonesia) dijadikan ajang untuk melakukan transaksi politik untuk jabatan dan uang. Itu adalah hal yang kontradiktif yang jika kita kritis melihatnya, menunjukan secara gamblang bahwa netralitas birokrasi itu tidak ada. Hampir selalu ada campur tangan tindakan politis yang digerakan oleh struktur kekuasaan dalam cara kerja birokrasi. Selama mereka tetap apolitik (netral) dan tidak menimbulkan ancaman bagi sistem, mereka dapat terus berfungsi di bawah kendali kekuasaan.

Birokrasi, Pemilu, dan KekuasaanJika kita menelisik lebih dalam,

birokrasi di Indonesia sejak era kolonial sampai saat ini erat kaitannya dengan instrumen kepentingan politik penguasa. Setelah sebelumnya hanya digunakan untuk memastikan proses perdagangan berjalan, mulai awal abad ke 20 birokrasi dibentuk oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda sampai ke tingkat Desa (Li, 2012). Birokrasi digunakan untuk melakukan pendisiplinan sampai ke tingkat paling mikro dari relasi hubungan masyarakat.

7Dapatkah Birokrasi Bersikap Netral dalam Pemilihan Umum?

Pada saat awal kemerdekaan Indonesia, para birokrat yang sebelumnya menjadi kaki tangan pemerintahan kolonial, di beberapa daerah banyak yang diganti secara paksa. Anton Lucas (2004) menggambarkan peristiwa itu sebagai “revolusi sosial”, dimana para birokrat lama diganti dengan yang baru. Elit birokrasi lama yang menjadi agen dari pemerintahan kolonial dinilai memiliki karakter, perilaku, budaya dan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pola serupa terjadi saat Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1918 (Lenin, 1971) atau Revolusi Iran pada tahun 1978-1979: birokrat rezim lama diganti secara total (Farazmand, 1989). Tindakan tersebut adalah upaya untuk menghindari sabotase para birokrat (yang pro rezim lama) seperti yang pernah terjadi di Mesir pada 2012 sampai pertengahan 2013. Naiknya Mohammed Morsi menjadi Presiden Mesir pada tahun 2012, para birokrat melakukan sabotase dengan menahan berbagai layanan publik. Protes massa yang akhirnya menjatuhkan Morsi terjadi pada bulan Juli 2013 yang dimotivasi oleh ketidakpuasan dengan kinerja birokrasi secara luas (New York Times, 10/07/2013).

Pada saat masa Orde Baru, birokrasi sekali lagi menjadi instrumen kekuasaan penguasa. Dwight Y. King (1982) berpendapat bahwa birokrasi Indonesia di bawah rezim Soeharto disebut sebagai “rezim otoriter birokratis,” ditandai dengan penerimaan secara apatis untuk dimobilisasi mendukung rezim. Para birokrat hampir semuanya masuk dalam Golongan Karya (Golkar), sebuah partai politik (walaupun rezim Soeharto mengklaim Golkar bukan partai) pendukung rezim. Di setiap ajang pemilu, mereka sekeluarga dimobilisasi untuk memilih Golkar. Tidak mengherankan selama 32 tahun berkuasa dan selama enam kali pemilu, Golkar selalu mendominasi. Wajah birokrasi pada periode ini diliputi oleh praktik

8 Institute of Governance and Public Affairs

pemerintahan birokrasi (Emmerson, 1983; King, 1982), dan bentuk dominasi patrimonialisme tradisional yang korup (Anderson, 1983, Crouch, 1979; Robison, 1981).

Saat Reformasi bergulir, desakan untuk memisahkan birokrasi dari kehendak politik muncul begitu kuat. Netralitas birokrasi digadang-gadang menjadi solusi atas birokrasi yang bersifat korup, terjerat dalam kepentingan politik dan tidak mampu menjalankan kewajibannya menjadi pelayan publik. Dengan resep netralitas birokrasi yang bersifat weberian ini, ikatan para birokrat dengan Golkar diputus. Monoloyalitas birokrat kepada Golkar yang telah diakhiri memberi ruang bagi birokrat untuk menentukan wadah aspirasi politiknya.

Struktur & Kultur Penggerak Politisasi BirokrasiUpaya untuk membentuk karakter, perilaku, nilai sosial dan

budaya birokrasi yang mengabdi dan melayani masyarakat banyak dilakukan dengan pendekatan institusional. Pendekatan ini mengarahkan birokrasi untuk mencapai netralitas dan tidak terjerat kepentingan politik praktis. Ada beberapa Undang-Undang hingga Surat Edaran terkait upaya membentuk netralitas birokrat ini:

1. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang isinya bahwa PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik.

2. Surat Edaran MENPAN No. SE/08.A/M.PAN/5/2005 yang mengatur tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah. Dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, antara lain disebutkan PNS dilarang terlibat dalam kegiatan untuk mensukseskan salah seorang

9Dapatkah Birokrasi Bersikap Netral dalam Pemilihan Umum?

calon Kepala Daerah, seperti kampanye, menggunakanfasilitas jabatan untuk kepentingan salah seorang calon dan membuat keputusan yang menguntungkan salahseorang calon.

3. Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26-30/V.31-3/99 tanggal 12 Maret 2009 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pasal 2 huruf F bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

6. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 41/PUU-XIII/2014 tanggal 6 Juli 2015, PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali kota/Wakil Wali kota wajib menyatakan pengunduran diri secara

tertulis sebagai PNS sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali kota/Wakil Wali kota.

7. Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 yang salah satu isinya bahwa pasangan calon dilarang melibatkan ASN anggota Polri dan anggota TNI, dan Kepala Desa atau perangkat Desa lainnya. Di Pasal 71 ayat 2 menyebutkan bahwa: Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Wali kota atau Wakil Wali kota dilarang melakukan pergantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Tujuan itu agar incumbent tidak memanfaatkan jabatannya untuk menciptakan atau menguatkan patron-client agar menjadi mesin kampanye.

10 Institute of Governance and Public Affairs

8. Surat Edaran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) nomor B-2 900/KASN/11/2017 tentang Pengawasan Netralitas ASN pada Pilkada serentak tahun 2018.

9. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) nomor B/71/M.SM.00.00./2017 tentang pelaksanaan netralitas para profesional birokrasi terkait penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2018, Pemilu Legislatif 2019 dan Pilpres 2019.

Berbagai peraturan di atas menerapkan bermacam sanksi ketika ASN dinilai tidak netral dalam proses Pemilu. Sanksi tersebut antara lain penundaan kenaikan gaji, penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat, pemindahan dalam rangka penurunan pangkat, pemindahan jabatan, atau pemberhentian dengan tidak hormat. Akan tetapi, walaupun telah ada berbagai peraturan yang mendorong netralitas birokrat ini, masih banyak ASN yang terlibat dalam politik praktis. Data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menunjukan bahwa pada Pilakada serentak 2018 ada 700 kasus yang dilaporkan terkait ketidaknetralan ASN. Kemudian pada Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019 data Bawaslu

hingga bulan Maret 2019 terdapat 165 kasus yang diteruskan ke KASN untuk ditindaklanjuti.

Netralitas yang diterjemahkan dalam serangkaian kebijakan kepengaturan birokrasi pada kenyataannya bermasalah sejak dalam konsepnya. Netralitas tersebut berdiri di atas cita-cita menjadikan birokrasi layaknya mesin

11Dapatkah Birokrasi Bersikap Netral dalam Pemilihan Umum?

dan para birokrat adalah komponen-komponen dalam mesin itu. Netralitas yang dimaksud mengarah pada bentuk depolitisasi yang justru menggiring birokrat untuk tidak melek politik. Padahal yang diperlukan adalah pendidikan politik apalagi para birokrat tersebut memiliki hak pilih sebagai warga negara.

Selain itu, upaya menetralisir birokrasi dari kepentingan politik mengabaikan fakta bahwa mesin-mesin itu dalam banyak kasus digerakan oleh penguasa dengan segala pendisiplinan tertentu. Dalam setiap ajang Pemilu, para calon yang bertarung seringkali menggunakan para birokrat sebagai mesin-mesin pemenangan (terutama dilakukan oleh incumbent). Budaya patron-client1 yang masih begitu kuat di Indonesia, menjadi ladang subur politisasi birokrasi ini. Gerry van Klinken (2009) menunjukan bahwa patron-client merupakan hambatan utama bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Studi Klinken memperlihatkan bahwa para patron terutama di tingkat daerah memiliki client yang begitu banyak (salah satunya berposisi sebagai birokrat). Client karena berhutang budi, tergantung hidupnya atau berlindung terhadap patron, cenderung bersetia untuk menjadi mesin pemenangan ketika patron membutuhkan mereka. Kondisi ini menurut Berenschot (2018) menjadikan demokrasi mengalami distorsi, karena konstituen memilih tidak berdasarkan mana calon yang terbaik yang sesuai dengan aspirasi atau ideologinya, akan tetapi berdasarkan kedekatan patron-client. Artinya mereka cenderung tidak peduli apakah patronnya itu korup, tidak berpihak pada rakyat atau bebal sekalipun, mereka akan tetap menjadi mesin politik patron.

Para Patron yang saling bertarung dalam pemilu, akan menggerakan para client mereka. Mereka dapat menjadi patron ketika memiliki kekuasaan yang lebih besar, baik karena sumber daya ekonomi

1 James C. Scott dalam bukunya Patron-client Politics and Political Change in Southeast Asia mendefinisikan patron-client sebagai hubungan antara dua pihak secara instrumental di mana pihak yang memiliki kekuasaan lebih tinggi memberikan perlindungan dan keuntungan untuk pihak yang kekuasaannya lebih rendah yang sebelumnya telah memberikan pelayanan dan dukungan tertentu.

12 Institute of Governance and Public Affairs

atau sumber daya politik yang dimiliki. Edward Aspinall & Ward Berenschot (2019) menganalisis bahwa peran patron-client masih menjadi penggerak utama dalam pertarungan pemilu di Indonesia. Para politisi memenangkan kekuasaan dengan mendistribusikan proyek-proyek skala kecil, uang tunai atau barang-barang kepada masyarakat dan terlibat dalam pertarungan secara konstan satu sama lain antara kubu birokrat untuk berebut kendali atas sumber daya negara.

Politik “hadiah dan hukuman” biasanya digunakan untuk mendisiplinkan birokrat dalam setiap pemilu dan ini pasti akan menghasilan hubungan patron-client yang baru atau semakin menguat. Menurut Aspinall & Berenschot dalam bukunya Democracy for Sale, klientelisme di Indonesia berbeda ketika dibandingkan dengan negara lain: klientelisme biasanya berpusat pada partai politik, di Indonesia itu berpusat pada kandidat dan “tim suksesnya”. Di “tim sukses” yang merupakan mesin pemenangan ini, para birokrat memiliki peran penting dan aktor kunci dalam kampanye pemilu karena mereka mengendalikan sumber daya negara. Menjadi hal umum yang diketahui publik, dalam setiap pertarungan pemilu (terutama di tingkat daerah), para birokrat akan terbelah menjadi beberapa kubu berdasarkan patron yang mencalonkan diri atau mendukung calon tertentu. “Hadiah” (berupa jabatan yang lebih tinggi atau yang menjadi ladang “basah”) akan diberikan kepada para birokrat ketika patron yang didukung mereka menang. Sementara “hukuman” akan diberikan oleh lawan kandidat yang mereka dukung ketika lawan politiknya yang menang. Hukuman tersebut dapat berupa pemindahan kerja birokrat ke bidang atau dinas yang “kering” proyek-proyek yang potensial untuk menghasilkan keuntungan pribadi. Para birokrat yang memilih untuk “netral” juga rentan terterpa gelombang pertarungan politik ini, karena bisa dianggap tidak loyal kepada kandidat tertentu, sehingga jabatan mereka juga terancam.

13Dapatkah Birokrasi Bersikap Netral dalam Pemilihan Umum?

Kondisi struktural di atas, yang membuat para birokrat melibatkan diri atau terjerat dalam kepentingan mendukung kandidat tertentu dalam pemilu. Artinya pendekatan institusional pada kenyataannya tidak mampu membentuk budaya birokrasi yang mengabdi dan melayani masyarakat, dikarenakan permasalahan utamanya berada di ranah struktural. Alih-alih seperti yang dibayangkan oleh Weber bahwa birokrasi dapat ideal layaknya seperti mesin, mereka justru menjadi mesin-mesin pemenangan di setiap kampanye politik. Walaupun di tengah mulai menguatnya kesadaran rakyat, tindakan birokrat menjadi tim pemenangan kandidat tertentu tidak lagi dilakukan secara terang-terangan.

PenutupTanpa masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi atau

gerakan sosial yang kuat, para birokrat cenderung mencari peluang untuk mempengaruhi bahkan mendominasi proses politik dan kebijakan untuk

kepentingan mereka. Salah satu cara mereka adalah dengan politik transaksional patron-client. Budaya patron-client dan lemahnya gerakan sipil di Indonesia membuat politisasi birokrasi masih mekar berseri.

Tulisan ini menunjukan bahwa kebijakan “netralitas” dengan pendekatan institusional kurang mampu untuk memutus politisasi birokrasi. Netralitas yang bertujuan mencapai “birokrasi yang ideal” pada kenyataannya hanya akan mencitakan nalar birokrat yang apolitis dan tetap digerakan oleh struktur yang mempengaruhi mereka.

14 Institute of Governance and Public Affairs

Daftar Pustaka

Anderson, B. R. O. 1983. “Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”. The Journal of Asian Studies, 42(3), halaman 477–496.

Aspinall, Edward & Berenschot, Ward. 2019. Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. New York: Cornell University Press.

Berenschot, Ward. 2018. “The Political Economy of Clientelism: A Comparative Study of Indonesia’s Patronage Democracy”. Comparative Political Studies, Vol. 51(12), 1563 –1593.

Crouch, Harold. 1979. “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia”. World Politics, 31(4), 571–587.

Emmerson, K. 1983. “Understanding The New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia”. Asian Survey, 23(11), 1220–1241.

Farazmand, A. 1989. Bureaucracy, The State, and Revolution In Modern Iran: Agrarian Reform and Regime Politics. NY: Praeger.

Goodnow, Frank J. 1914. Politics and Administration: A Study in Government. New Jersey: Transaction Publishers.

James C. Scott. 1977. “Patron-client and Political Change in Southeast Asia”, dalam James C. Scott, et. al., (ed.). Friends, Followers and Faction: A Reader in Political Clientelism. Barkeley: University of California Press.

King, D. Y. (1982). “Indonesia’s New Order as a Bureaucraticpolity, a Neopatrimonial Regime or a Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?”, dalam B. Anderson & A. Kahin (Eds.). Interpreting Indonesian Politics. New York, NY: Ithaca Cornell University Press.

Klinken, Gerry van. 2009. “Patronage Democracy in Provincial Indonesia”, dalam Tornquist, Webstrer, & Stokke (Eds.), Rethinking Popular Representation. New York: Palgrave Macmillan.

Kuhn, T. 1962. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press.

Lenin, I. I. 1971. State and Revolution. New York: International Publishers.

Li, Tania. 2012. The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. Tangerang: Marjin Kiri.

Lucas, Anton. 2004. One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah dalam Revolusi Indonesia. Yogyakarta: Resist Books.

Marx, K. (1951, 1967). Selected Works. Moscow: Progress Books.

15Dapatkah Birokrasi Bersikap Netral dalam Pemilihan Umum?

New York Times. 10 Juli 2013. “Sudden Improvements in Egypt Suggest a Campaign to Undermine Morsi”.

Perry, Michael J. 1989. “Neutral Politics?”. The Review of Politics, Vol. 51(2), 479-509.

Robison, R. 1981. “Culture, Politics, and Economy in Thepolitical History of The New Order”. Indonesia, 31, 1–29

Weber, M. 1947) The Theory of Social and Economic Organizations. New York: Free Press.

Weber, M. 1968. Economy and Society. In 3 Volumes. NY: Bedminster Press.

Wilson, W. 1887. “The Study of Administration”. Political Science Quarterly, 2(2), 197–220.

16 Institute of Governance and Public Affairs

Syahdan, di suatu kota super modern sedang diselenggarakan turnamen olah raga yang cukup seru. Pertandingan itu diberi judul ‘Pemilu’. Pertandingan dihelat di sebuah stadion yang megah dengan

fasilitas mumpuni. Hadiahnya tidak tanggung-tanggung, peserta yang memenangkan pertandingan mendapatkan hadiah berupa hak untuk menguasai seisi kota termasuk stadion yang megah itu.

Peserta yang bertanding memiliki tim official, yang lebih dikenal dengan sebutan ‘timses’. Mereka selalu berembug untuk mengatur strategi demi memenangkan pertandingan, termasuk strategi menggalang ‘rakyat’ sebagai penonton untuk memberikan dukungan. Mau tidak mau itu dilakukan karena semakin banyak dukungan, energi peserta yang bertanding semakin membesar, dan kemenangan serasa di depan mata.

‘Rakyat’ sebagai penonton lama kelamaan semakin memadati kursi stadion yang disediakan. Mereka tidak segan, bahkan dengan bersuka cita, memberikan dukungan dengan menunjukkan berbagai macam atribut, mulai dari kostum, yel-yel, hingga menyempatkan diri berfoto bersama ‘timses’ atau peserta pertandingan.

Suasana stadion semakin meriah. Tentu saja kemeriahan itu tetap harus di-back up oleh tim kemanan, yang diberi nama“TNIPolri’, agar suasana

Mutia Rizal Mahasiswa S3 MAP UGM & Editor birokratmenulis.org

17Dapatkah Birokrasi Bersikap Netral dalam Pemilihan Umum?

stadion tetap kondusif dan pertandingan berjalan lancar. Tim keamaanan tentu saja tidak ikut larut mendukung salah satu peserta karena akan memengaruhi kewibawaan tim pengaman. Menjadi menyeramkan jika tim keamanan hanya mengamankan salah satu peserta dan hanya mengawasi keselamatan pendukung salah satu peserta.

Kelancaran jalannya pertandingan sangat ditentukan oleh panitia penyelenggara, yang namanya adalah ‘KPU’. Mereka bekerja keras menyiapkan segalanya, mulai dari mengatur jadwal pertandingan, menyusun kursi penonton, menyediakan kertas tiket, sampai pada urusan pemasangan sound system di stadion. Jangan dilupakan juga peran tim pengawas pertandingan, yang disebut dengan ‘Bawaslu’, yang bertugas sebagai tim wasit dan mengawasi jalannya pertandingan untuk memastikan tidak ada kecurangan yang dilakukan oleh para peserta dan ‘timses’-nya.

Lalu teka teki muncul, dimanakah sekelompok rakyat kota yang disebut dengan ‘ASN’, yang tidak boleh duduk di bangku penonton, apalagi bergabung dengan ‘timses’?

Ternyata mereka ada di sekitar stadion, bahkan mereka mengelilingi stadion. Kegiatan mereka bermacam-macam. Ada sebagian dari mereka yang berjualan makanan dan minuman, ojek payung, berjualan obat, sebagai tukang pijat, dan ada pula yang membersihkan sampah sekitar stadion. Satu hal yang tidak perlu dijual, yaitu atribut peserta pertandingan. Atribut telah disediakan oleh ‘timses’ masing-masing.

Pertanyaan berikutnya, mengapa dalam melakukan kegiatannya, haram bagi mereka untuk mengenakan kostum tim peserta, memanggil-manggil peserta, apalagi foto bareng peserta? Ternyata itu hanya diperbolehkan bagi rakyat yang berwujud

18 Institute of Governance and Public Affairs

manusia. Sedangkan para ASN tadi adalah manusia yang telah disuntik dengan cairan tertentu lalu berubah wujud menjadi robot. Para robot itu seperti telah kehilangan daya cipta, karsa, dan rasa, terlihat dari tatapan matanya yang dingin dan gerakan mereka yang kaku. Selidik punya selidik, para robot itu ternyata memang dipersiapkan untuk melayani segala keinginan peserta yang nantinya memenangkan pertandingan.

Sialnya, ada beberapa robot yang memiliki kekuatan tertentu yang bisa tetap berwujud setengah manusia. Dengan sebagian darahnya yang masih mengalir, melalui separuh daya cipta, karsa, dan rasa, mereka berkalung atribut peserta dan ikut meneriakkan yel yel. Sialnya lagi, ternyata ada ‘timses’ yang berkeliaran di sekitar stadion mengawasi robot setengah manusia tadi.

Beruntung bagi mereka yang kebetulan kostumnya sesuai dengan atribut peserta yang memenangkan pertandingan. Seusai pertandingan, di tubuhnya akan ditambah cairan dan mendapatkan kepercayaan penuh sebagai robot kesayangan. Namun, malang bagi yang teriakan yel-yelnya diperuntukkan bagi peserta yang kalah. Setelah pertandingan, darahnya disedot dan dibuang ke lokasi penampungan besi tua.

Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) adalah institusi yang didirikan dengan tujuan untuk melakukan penelitian serta melakukan diseminasi dan publikasi hasil penelitian di Magister Administrasi Publik (MAP) Universitas Gadjah Mada. IGPA merupakan upaya revitalisasi kegiatan penelitian yang telah dilaksanakan MAP UGM yang berdiri sejak 1994.

Persoalan mengenai studi maupun pengembangan sektor publik di Indonesia dalam era kontemporer menghadapi berbagai tantangan dan problem yang tidak sederhana. Rendahnya kualitas kebijakan publik, lemahnya kapasitas aparat publik, belum efektifnya kinerja organisasi publik, tantangan mewujudkan good governance, maupun kebutuhan untuk penguatan citizenship, jelas membutuhkan jawab dan solusi yang efektif sekaligus komprehensif. Oleh karena itu, IGPA didirikan dan dikembangkan dengan fokus melakukan analisis dinamika organisasi sektor public, citizenship dan governance di Indonesia. Dengan latar belakang pemikiran tersebut, IGPA diharapkan mampu menghasilkan berbagai penelitian yang berkualitas untuk dimanfaatkan oleh seluruh stakeholder kebijakan publik.

Institute of Governance and Public Affairs (IGPA)Magister Administrasi PublikFISIPOL UGM unit IIJl. Dr. Sardjito, SekipYogyakarta, 55223Magister Administrasi PublikFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Gadjah Mada

JKAP (Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik)http://journal.ugm.ac.id/jkap

J l . Prof. Dr. Sardjito, Sekip, Yogyakarta 55281Mobile : +62813 9135 5393Telepon : (0274) 512700 ext. 110 atau (0274) 563825; 588234Fax : (0274) 589655Instagram: @igpa.mapfisipolugm