bab ii pendekatan teoritis · 2013. 5. 13. · tujuh teori sosial (yogyakarta: kanisius, 1994),...

24
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Pengantar Integrasi merupakan salah satu topik menarik sosiologi, yang menjelaskan bagaimana berbagai elemen masyarakat menjaga kesatuan dan terintegrasi satu dengan yang lain. 15 Hakikat integrasi dalam lingkungan komunitas terjadi melalui cara membangun solidaritas sosial dalam kelompok dan dapat menjalani kehidupan dalam kebersamaan. Dan Integrasi sosial mengacu pada suatu keadaan dalam masyarakat di mana orang-orang saling berhubungan. 16 Masyarakat sebagai suatu tatanan sistem yang kompleks dalam berbagai kebutuhan memberi ruang bagi terciptanya integrasi sosial bagi kelangsungan hidup anggota masyarakat itu sendiri. Integrasi sosial tercipta dalam masyarakat karena rasa Solidaritas sosial. Rasa solidaritas sosial diperlukan dalam masyarakat pluralitas agama. Masyarakat merupakan basis bagi integrasi sosial dalam pluralitas agama. Dengan demikian, Teori Emile Durkheim mengenai masyarakat yang di dalamnya terdapat salah satu unsur, yaitu agama dalam hubungannya dengan integrasi sosial akan menjadi pembahasan bab ini. 2.2 Riwayat Hidup Emile Durkheim Emile Durkheim dilahirkan di kota Epinal (Perancis Timur Laut) tanggal 15 April 1858. Durkheim berasal dari latar belakang keluarga Yahudi. Ayahnya adalah seorang Rabbi Yahudi. Sejak awal dia telah dipersiapkan ayahnya untuk meneruskan tradisi keluarga mereka. Namun, Durkheim yang sangat dipengaruhi oleh gurunya seorang penganut Katolik malah mengalihkan perhatiannya ke agama Katolik. Pengaruh inilah yang menambah ketertarikannya terhadap masalah-masalah agama, meskipun gurunya tidak dapat menjadikannya seorang yang beragama, 15 Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 284. 16 Abercrombie, Kamus Sosiologi,510.

Upload: others

Post on 19-Dec-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Pengantar

Integrasi merupakan salah satu topik menarik sosiologi, yang menjelaskan bagaimana

berbagai elemen masyarakat menjaga kesatuan dan terintegrasi satu dengan yang lain.15

Hakikat

integrasi dalam lingkungan komunitas terjadi melalui cara membangun solidaritas sosial dalam

kelompok dan dapat menjalani kehidupan dalam kebersamaan. Dan Integrasi sosial mengacu

pada suatu keadaan dalam masyarakat di mana orang-orang saling berhubungan.16

Masyarakat sebagai suatu tatanan sistem yang kompleks dalam berbagai kebutuhan

memberi ruang bagi terciptanya integrasi sosial bagi kelangsungan hidup anggota masyarakat itu

sendiri. Integrasi sosial tercipta dalam masyarakat karena rasa Solidaritas sosial. Rasa solidaritas

sosial diperlukan dalam masyarakat pluralitas agama. Masyarakat merupakan basis bagi integrasi

sosial dalam pluralitas agama. Dengan demikian, Teori Emile Durkheim mengenai masyarakat

yang di dalamnya terdapat salah satu unsur, yaitu agama dalam hubungannya dengan integrasi

sosial akan menjadi pembahasan bab ini.

2.2 Riwayat Hidup Emile Durkheim

Emile Durkheim dilahirkan di kota Epinal (Perancis Timur Laut) tanggal 15 April 1858.

Durkheim berasal dari latar belakang keluarga Yahudi. Ayahnya adalah seorang Rabbi Yahudi.

Sejak awal dia telah dipersiapkan ayahnya untuk meneruskan tradisi keluarga mereka. Namun,

Durkheim yang sangat dipengaruhi oleh gurunya seorang penganut Katolik malah mengalihkan

perhatiannya ke agama Katolik. Pengaruh inilah yang menambah ketertarikannya terhadap

masalah-masalah agama, meskipun gurunya tidak dapat menjadikannya seorang yang beragama,

15

Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 284. 16

Abercrombie, Kamus Sosiologi,510.

sebab sejak muda Durkheim telah menyatakan dirinya sebagai seorang agnostis.17

Kemudian

Durkheim menempuh pendidikan di sekolah menengah dan pada usia 21 tahun ia diterima di

Ecole Normale Superiure, di sekolah ini ia diterima setelah tiga kali mengikuti ujian masuk.

Pengalamannya selama belajar di sekolah tersebut tidak selalu menyenangkan karena pada

dasarnya ia tidak suka program pendidikan yang kaku. Durkheim merasa tidak puas dengan

sistem pengajaran di Ecole Normale yang terlalu fokus pada kesusateraan klasik. Harapannya

ialah pengajaran tentang doktrin-doktrin moral dan ajaran-ajaran yang bersifat ilmiah. Hal ini

menurutnya lebih relevan untuk Perancis pada masa itu.18

Setelah menyelesaikan studi di Ecole Normale, Durkheim kemudian mengajar di

beberapa sekolah menengah yang ada di sekitar Paris. Dia juga pernah belajar ke Jerman selama

satu tahun untuk mendalami psikologi kepada Wilhem Wundt. Pada Tahun 1887, Durkheim

menikahi Louise Dreyfus, seorang wanita yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk karir

Durkheim. Mereka dikaruniai dua orang anak Marie dan Andre.19

Setelah kunjungan Durkheim

ke Jerman, ia menerbitkan beberapa karya yang melukiskan pengalamannya di Jerman. Publikasi

tersebut membantunya memperoleh posisi di departemen filsafat di Universitas Bordeaux, di

tahun yang sama ia diangkat sebagai profesor.20

Tahun-tahun berikutnya, sambil bekerja di Bordeaux, Durkheim melakukan riset sosial

dan menerbitkan buku The Division of Labor in Society (1893) yang merupakan tesisnya. Buku

yang terbit berikutnya The Rules of Sociological Method (1895), disusul oleh penerapan metode-

metode tersebut dalam studi empiris dalam buku Sucide. Tahun 1896, Durkheim menjadi guru

besar penuh di Bordeaux dalam ilmu sosial. inilah pengangkatan guru besar ilmu sosial pertama

dalam sejarah Perancis. Jabatan tersebut dijabat Durkheim sampai ia pindah ke Sarbonne di

17

Daniel Pals, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003),131. 18

Hanneman Samuel, Emile Durkheim: Riwayat Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern (Jakarta:

Kepik Ungu, 2010),11. 19

Samuel, Emile Durkheim, 5. 20

Pals, Dekonstruksi Kebenaran, 132, bnd. George Ritzer dan Douglas Goodman, Teori Sosiologi

(Yogyakarta: Kreasi Wacana,2008), 90.

tahun 1902. Dalam waktu singkat yakni 4 tahun, pada tahun 1906 ia menjadi guru besar resmi

untuk ilmu pendidikan, yang pada tahun 1913 diubah menjadi guru besar ilmu pendidikan dan

sosiologi. Tahun 1912 karya Durkheim The Elementary Forms of Religious Life diterbitkan.21

Durkheim aktif dalam berbagai kegiatan di luar kampus. Ia menjadi salah satu pembela utama

Alfred Dreyfus, seorang kapten muda keturunan Yahudi yang dijebloskan ke penjara yang

dituduh membocorkan rahasia militer Perancis kepada Jerman. Sedangkan dalam bidang

pendidikan, Durkheim merupakan tokoh penting dalam penataan kembali sistem pendidikan

tinggi. ia menadi penasehat Kementrian Pendidikan dan memperkenalkan sosiologi untuk

menjadi kurikulum sekolah. Dan mengusahakan sosiologi menjadi salah satu landasan

pendidikan kewarganegaraan. Setelah pecah perang antara Perancis dan Jerman, Durkheim aktif

menjadi sekretaris Komite Penerbitan Hasil Penelitian dan Dokumentasi Perang.22

Diakhir hidupnya karir Durkheim memudar, keika menjelang Natal tahun 1915 ia

dikabari bahwa puteranya Andre meninggal karena luka perang di sebuah rumah sakit di

Bulgaria. Kematian puteranya membuat luka yang dalam bagi diri Durkheim. Sebab puteranya

yang memiliki potensi untuk menjadi ilmuwan besar dalam bidang sosiologi bahasa,

dipersiapkan meneruskan jejak ayahnya. Dan akhirnya Durkheim meninggal pada 15 November

1917 dalam usia 59 tahun.23

2.2.1 Konsep Durkheim mengenai Masyarakat

Pemikiran Durkheim mengenai masyarakat merupakan pengembangan dari pemikir-

pemikir sebelumnya seperti Montesqueieu (filosof Perancis abad ke-18), Saint Simon (seorang

pemikir sosialis abad ke-18), Auguste Comte (1798-1857). Dari pemikiran Comte, Durkheim

21

George Ritzer dan Douglas Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan

Teori Sosial Postmoderm (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2008), 90. 22

Samuel, Emile Durkheim,15. 23

Samuel, Emile Durkheim,16.

menyadari bahwa kebutuhan utama manusia akan selalu terikat kepada satu komunitas.24

Durkheim membangun kerangka berpikirnya berdasarkan ide-ide para pemikir sebelumnya itu.

Namun, situasi dan kondisi Perancis modern juga sangat berpengaruh baginya. Pada akhir tahun

1800-an, terjadi revolusi besar di Perancis dan Eropa. Awalnya revolusi industri (ekonomi), dan

kemudian revolusi politik di Perancis. Bagi Durkheim, peradaban Barat telah dirubah oleh dua

peristiwa ini. Dapat dipahami bahwa stabilitas Eropa masa lalu dibentuk dari kehidupan

masyarakat petani, sistem pembagian kelas sosial yang mapan, kepemilikan berdasarkan

aristokrasi dan monarki, serta ikatan antar masyarakat kota dan desa yang kuat. Juga didukung

oleh lingkungan kepercayaan, tradisi dan struktur gereja Kristen. Perubahan yang terjadi dengan

adanya revolusi tersebut tidak akan pernah lagi sama dengan sebelumnya.25

Pengaruh perubahan-

perubahan tersebut menyebabkan terjadinya perpindahan masyarakat ke daerah pabrik dan kota-

kota, berpindahnya kekayaan dari tangan para bangsawan ke tangan para pedagang dan

penguasa. Kekuasaan beralih dari hak istimewa kelas-kelas lama kepada gerakan radikal atau

peristiwa-peristiwa mendadak. Hal ini pula yang mempengaruhi sehingga agama masyarakat

menjadi kacau.26

Kondisi tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat Eropa, sehingga untuk

memahaminya dalam pandangan Durkheim, ia membagi kondisi saat itu dalam empat pola:

Pertama, tatanan sosial masyarakat Eropa tradisional yang dulu terikat dengan sistem

kekeluargaan, komunitas dan agama, sekarang tergantikan dengan munculnya “kontrak sosial”

baru, yang kelihatan lebih berkuasa dengan individualisme dan kepentingan uang. Kedua,

mengenai perilaku dan moral, nilai-nilai sakral dan keyakinan keagamaan yang disetujui gereja,

sekarang ditantang dengan kepercayaan baru dengan menentang rasionalitas. Manusia memiliki

hasrat untuk hidup bahagia di dunia lebih tinggi dari pada keinginan masuk sorga. Ketiga,

24

Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 134. Bnd. Samuel, Emile Durkheim, 15-16. 25

Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 135. 26

Pals, Dekonstruksi Kebenaran, 135.

mengenai bidang politik, munculnya masa demokratis dalam masyarakat bawah dan pusat

kekuasaan yang kuat pada masyarakat atas telah mengubah kontrol sosial alami masyarakat.

Situasi ini menyebabkan hubungan individu telah terputus dengan tuntunan moral lama yaitu

keluarga, kampung halaman dan gereja sehingga masyarakat dibiarkan memilih partai politik,

pergerakan masa dan negara sebagai tuntunan yang baru. Keempat, mengenai urusan pribadi,

kebebasan individual yang terlepas dari paradigma lama telah menjanjikan kesempatan besar

dengan resiko yang tidak ringan untuk mewujudkan kemakmuran dan aktualisasi diri. Berbagai

perubahan yang terjadi pada masyarakat Eropa sehingga menurut Durkheim, ada satu cara untuk

mendekatinya secara ilmiah yaitu dengan pendekatan sosiologi dapat membantu memahami

gejolak masyarakat yang mereka alami.27

Masyarakat dilihat Durkheim sebagai sebuah tatanan moral yang berupa kenyataan ideal

dari tuntutan normatif yang terdapat dalam kesadaran individu, dan dalam cara tertentu berada di

luar individu.28

Durkheim memandang masyarakat juga sebagai tempat yang paling sempurna

dan memiliki potensi untuk terhimpunnya kehidupan bersama antara manusia seiring dengan

perkembangan masyarakat. Hal-hal yang paling dalam pada jiwa manusia berada di luar diri

manusia sebagai individu, seperti kepercayaan keagamaan, kehendak, alam berpikir, bahkan

hasrat untuk bunuh diri. Hal-hal ini bersifat sosial dan terdapat dalam masyarakat,29

sehingga

Durkheim sampai pada esensi yang paling penting dari pandangannya mengenai masyarakat

yaitu memahami suatu masyarakat harus didasarkan pada realitas objektif dan fakta sosial.

Dalam The Rules of Sociological Method: objek Sosiologi adalah fakta sosial, dan semua fakta

sosial termasuk masyarakat harus diperlakukan sebagai benda (thing).30

27

Pals, Dekonstruksi Kebenaran,136. 28

Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 178. 29

Djuretna Imam Muhni, Moral dan Religi: Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson (Yogyakarta:

Kanisius, 1994), 28-29. 30

Samuel, Durkheim, 19.

Dua konsep penting yang berhubungan untuk menjelaskan fakta sosial yaitu conscience

collective (kesadaran kolektif) dan representation collective (gambaran kolektif). Kesadaran

kolektif merupakan sebuah konsensus normatif yang mencakup kepercayaan keagamaan atau

kepercayaan lain yang mendukungnya. Gambaran kolektif merupakan simbol-simbol yang

mempunyai makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka

untuk sama dengan yang lain sebagai anggota-anggota kelompok. Gambaran kolektif juga

memperlihatkan cara anggota-anggota kelompok melihat diri mereka dalam hubungan dengan

objek yang mempengaruhi mereka seperti totem suku, buku-buku suci. Karena itu, dapat

dipahami bahwa gambaran kolektif adalah bagian dari isi kesadaran kolektif. Durkheim

menyatakan bahwa keseluruhan kepercayaan normatif yang dianut bersama dengan implikasinya

untuk hubungan-hubungan sosial membentuk sebuah sistem yang mengatur kehidupan dalam

masyarakat.31

Masyarakat merupakan pikiran dan perasaan yang kompleks, yang terdiri dari

intelektual dan kerangka moral khusus dalam kelompok. Karena itu, yang paling terpenting

dalam masyarakat ialah kesadaran kolektif.32

2.2.2 Bentuk Integrasi Sosial

Dalam buku The Division of Labour in Society Durkheim menegaskan tentang kesadaran

kolektif, di mana kehidupan sosial telah membentuk corak-corak paling mendasar dalam

kebudayaan manusia.33

Eksistensi masyarakat tidak tergantung pada anggota-anggota, tetapi

terdiri dari suatu struktur adat istiadat, kepercayaan, sebagai suatu lingkungan yang terorganisasi.

Setiap individu lahir dan hidup dalam satu lingkungan, berbicara satu bahasa, memiliki satu

lembaga.34

Masyarakat bukan sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata dan konkrit

yang mengikat misalnya bahasa, susunan kelembagaan dan simbol-simbol. Durkheim

31

Campbell, Tujuh Teori Sosial, 128-129. 32

Pickering, Durkheim’s Sociology of Religion (London:Routledge & Kegan Paul,1975),248. 33

Pals, Dekonstruksi Kebenaran, 136. 34

Muhni, Moral dan Religi, 32.

mengelompokkan masyarakat menjadi dua macam yaitu masyarakat sederhana dan masyarakat

kompleks. Masyarakat sederhana bersifat solidaritas mekanik sedangkan masyarakat kompleks

bersifat solidaritas organik.35

Menurut Durkheim, studi solidaritas merupakan dasar yang kuat

bagi sosiologi. Hal ini merupakan fakta sosial yang penting dalam pengaruh sosial.36

Solidaritas Mekanik

Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik menjadi kesatuan karena seluruh

orang adalah generalis. Pada dasarnya, ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka

terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Solidaritas mekanik

lahir dari kesadaran kolektif masyarakat, dengan adanya kesamaan-kesamaan pada anggota

masyarakat.37

Ciri-ciri masyarakat mekanik ialah bersifat primitif, masyarakat dibentuk oleh

hukum represif,38

tingkat individual rendah dan kesadaran kolektif kuat pada masyarakat ini.

Komunitas sosial berperan dalam menghukum orang yang menyimpang dalam masyarakat. Hal

ini karena masyarakat mekanik bersifat kesadaran kolektif yang kuat sehingga pada kesadaran

ini, masyarakat membuat kesepakatan mengenai yang benar dan salah dalam seluruh aspek

kehidupan mereka.39

35

Muhni, Moral dan Religi, 33. 36

Emile Durkheim, The Devision of Labor In Society, (New York: The Free Press,1933),67. 37

Muhni, Moral Dan Religi, 33 38

Hukum represif pada masyarakat sederhana yang bersifat solidaritas mekanik yaitu anggota masyarakat

memiliki kesamaan satu dengan yang lain, mereka sangat percaya pada moralitas bersama sehingga apabila ada

anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran, maka pelanggar tersebut harus dihukum berdasarkan pelanggaran

terhadap sistem moral kolektif. Misalnya: pencurian akan mengakibatkan hukum yang berat, seperti potong tangan;

penghinaan akan dihukum dengan potong lidah (Ritzer, 2008:93). 39

Ritzer, Teori,93 bnd Pals, Dekonstruksi,138.

Solidaritas Organik

Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organik dapat bertahan karena perbedaan yang

ada untuk saling melengkapi.40

Solidaritas organik terdapat dalam masyarakat modern dengan

tingkat kemajuan yang lebih dari masyarakat sederhana. Masyarakat dengan ciri solidaritas

organik ialah masyarakat bersifat industrial, masyarakat dibentuk oleh hukum restitutif, 41

tingkat

individual tinggi dengan kesadaran kolektif yang rendah. Pada masyarakat ini, lembaga-lembaga

sosial sangat berperan dalam menghukum orang yang menyimpang, berbeda dengan masyarakat

mekanik yang berperan ialah komunitas sosial atau masyarakat itu sendiri.42

2.2.3 Pandangan Durkheim mengenai Agama

Integrasi dapat terjadi karena nilai-nilai bersama sesuai teori fungsionalisme, hal tersebut

menitikberatkan pada fungsi di dalam suatu masyarakat. Menurut Durkheim, praktik keagamaan

dapat dipahami sebagai peran bagi integrasi dan stabilitas masyarakat.43

Solidaritas sosial dan

integrasi merupakan permasalahan substantif yang diperhatikan Durkheim dalam karya

utamanya.44

Karakteristik yang paling mendasar ditemukan Durkheim dari setiap kepercayaan agama

yaitu tidak terletak pada yang supranatural, tetapi pada konsep tentang “yang sakral”. Pada

hakikatnya dalam kehidupan beragama manapun, orang-orang religius selalu membagi dunia

menjadi dua bagian yang terpisah; “dunia yang sakral” dan “dunia yang profan”. Hal-hal yang

sakral diidentikkan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, selalu dihormati, tidak tersentuh.

40

Ritzer, Teori Sosiologi, 90-91. 41

Hukum restitutif, pada masyarakat kompleks yang bersifat solidaritas organik yaitu kurangnya moral

bersama dalam masyarakat sehingga pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu dari

masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. ketika pelanggar hukum dijatuhkan hukuman, maka dia

dapat membuat restitusi untuk siapa saja yang telah diganggu oleh perbuatan mereka. (Ritzer,2008:94). Bnd Emile

Durkheim, The Devision, 69. 42

Ritzer, Teori Sosiologi,93. 43

Nicholas Abercrombie, Kamus Sosiologi (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010), 284& 222. 44

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern 1 (Jakarta: Gramedia,1988), 166.

Sebaliknya, hal-hal yang profan diidentikkan dengan keseharian hidup dan bersifat biasa-biasa

saja. Konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral.45

Durkheim bertolak dari fakta sosial yaitu kesatuan masyarakat dari pada fakta agama.

Agama dapat dipahami sebagai ekspresi dari suatu masyarakat yang terintegrasi dari pada

sebagai sumber integrasi masyarakat sehingga individu-individu yang merasa dirinya satu,

sebagian disebabkan oleh ikatan darah, tetapi juga terikat karena merupakan satu komunitas

dengan kepentingan dan tradisi yang sama, kemudian menyatu menjadi collective consciousness.

Durkheim menghubungkan agama dan integrasi bukan berarti agama menghasilkan masyarakat

yang kohesif tetapi lebih kepada fenomena kohesi yang memiliki kualitas keagamaan.46

Agama menurut Durkheim adalah suatu sistem kepercayaan yang berkaitan dengan yang

sakral. Yang sakral memiliki pengaruh yang besar sedangkan yang profan tidak memiliki

pengaruh yang besar, hanya refleksi dari kehidupan keseharian individu.47

Agama yang dimiliki

oleh masyarakat dengan sistem sosial paling sederhana dianggap sebagai “bentuk agama paling

dasar”. Oleh karena itu, Durkheim tertarik untuk melakukan riset terhadap agama masyarakat

suku Arunta di Australia dengan meneliti mengenai totemisme. Kehidupan sosial masyarakat

Arunta dilandaskan pada sistem klan yang bersifat homegen. Sistem klan berkaitan erat dengan

totemisme sehingga penting memahami ciri-ciri dari sistem klan. Pada dasarnya sebuah klan

terdiri dari individu-individu yang saling terikat dalam hubungan kekerabatan. Maksud dari

hubungan kekerabatan ini, bukan pada hubungan darah tetapi setiap individu terikat karena

memiliki kesamaan nama, merasa memiliki kewajiban yang sama dan sebagainya.48

Totemisme sebagai kepercayaan adalah hal paling penting bagi masyarakat yang paling

sederhana dan merupakan bentuk agama yang paling dasar dan asli. Seluruh aspek kehidupan

45

Pals, Dekonstruksi,145. 46

Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, Varietes of Civil Religion (Yogyakarta: IRCiSoD) terj oleh

Imam Khoiri,dkk dari buku Varietes of Civil Religion (San Fransisco: Harper & Row Publishers,1980),208-209. 47

Pals, Dekonstruksi Kebenaran,145 48

Samuel, Emile Durkheim,77-78.

masyarakat Arunta dipengaruhi oleh totem-totem tersebut. Pentingnya totem49

bagi masyarakat

tersebut, sehingga konsep totem sendiri telah membentuk persepsi dasar mereka tentang alam,

hal ini tidak hanya berlaku bagi kelompok-kelompok manusia yang dibagi berdasarkan totem

yang dimiliki klan, seluruh alam semesta pun dibagi menurut pembagian tersebut. Seperti,

matahari ditempatkan pada klan Kakak Tua Putih, sedangkan bulan dan bintang ditempatkan

pada klan Kakak Tua Hitam.50

Totemisme menjadi sumber segala jenis keyakinan keagamaan baik agama yang

meyakini roh, dewa-dewa, binatang, planet atau bintang-bintang.51

Totemisme sering dipahami

sebagai bentuk pemujaan terhadap binatang atau tumbuhan tertentu. Namun, hal ini berbeda dari

anggapan tersebut. Para penganut kepercayaan totem sebenarnya tidak memuja seekor anjing,

katak, kakak tua putih tetapi yang disembah mereka adalah kekuatan yang anonim dan

impersonal yang dapat ditemukan melalui binatang-binatang tersebut. Dalam kepercayaan totem,

terdapat Tuhan yang disembah, Tuhan berbentuk impersonal, Tuhan yang tanpa nama dan

terjewantah ke berbagai benda yang ada di alam ini. masyarakat harus menghormatinya dan

merasa bertanggung jawab secara moral untuk melaksanakan upacara-upacara penyembahan.

Dengan upacara tersebut, masyarakat merasa semakin mempunyai ikatan yang kuat antara satu

dengan yang lain.52

Sehingga totemisme merupakan fenomena keagamaan yang menunjuk

kepada hubungan kesatuan antara satu suku bangsa atau klan dengan satu spesies tertentu dalam

wilayah binatang atau tumbuhan. Hal tersebut dilukiskan sebagai sistem kepercayaan dan praktik

keagamaan yang mewujudkan gagasan tertentu dari suatu hubungan “sakral” dalam ritual antara

49

Kata “totem” baru muncul dalam etnografi menjelang akhir abd ke-18. Pertama kali istilah ini muncul

dalam buku penafsir Indian, J.Long yang diterbitkan di London tahun 1791. Selama stengah abad totemisme dikenal

eksklusif sebagai institusi Amerika. (Emile Durkheim, Sejarah Agama. Yogyakarta: IRCiSoD,2003), 136-137

diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir dari buku The Elementary Forms of the Religious Life. New York:Free

Press,1992. 50

Pals, Dekonstruksi,149. 51

Pals, Dekonstruksi Kebenaran,150. 52

Pals, Dekonstruksi,150.

anggota-anggota kelompok sosial dalam dalam suatu jenis binatang atau tumbuhan.53

Sebelum

masyarakat memutuskan untuk meyakini Tuhan, terdapat sesuatu yang mendasar yaitu perasaan

akan adanya sesuatu yang impersonal, maha kuasa.54

Dalam buku The Elementary Forms of the Religious Life, Durkheim memaparkan

mengenai penyelenggaran ritual-ritual dari agama bagi masyarakat suku Arunta. Pengamatan

Durkheim yang paling awal ialah perasaan keagamaan pertama kali muncul bukan dari situasi

pribadi individu, tetapi dari upacara-upacara klan yang bersifat kolektif. Pemujaan berkaitan

dengan perasaan dari peserta klan yang timbul pada waktu upacara dilakukan. Perasaan yang

muncul dan perilaku anggota klan saat melakukan upacara adalah hal yang paling penting yang

mereka alami. Perasaan yang satu antar anggota kelompok inilah yang disebut Yang Sakral.55

Pemujaan terbagi menjadi dua bentuk dalam praktek-praktek totemisme yaitu negatif dan

positif disamping itu terdapat bentuk ketiga ialah piacular (bahasa Latin, piaculum yang artinya

penebusan dosa/kesalahan). Hal utama ritual yang tergabung dalam pemujaan negatif ialah

menjaga Yang Sakral agar selalu terpisah dari Yang Profan. Pemujaan negatif terdiri dari

larangan-larangan atau taboo (tabu-tabu). Maksud dari tabu ialah suatu tempat yang tabu akan

menjaga kesakralan dari tempat tersebut, biasanya batu atau gua-gua. Konsep mengenai tempat

yang tabu, terdapat dalam agama-agama yang lebih maju adalah sumber keyakinan bahwa kuil

atau gereja harus didirikan di tempat yang suci (sakral). Pemujaan negatif menentukan hari-hari

tertentu yang disiapkan bagi upacara yang sakral. Bentuk umum dari tabu yang sering terjadi

dalam kehidupan masyarakat ialah larangan pada waktu-waktu tertentu misalnya waktu diadakan

upacara ritual, maka pekerjaan sehari-hari dan permainan dilarang. Kegiatan yang bersifat sakral

saja yang diperbolehkan fungsi dari aturan–aturan tersebut agar supaya individu dapat merasakan

penderitaan demi kepentingan klan. Tujuan dari pemujaan negatif adalah menjaga agar larangan

53

Mariasussai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995),74. 54

Pals, Dekonstruksi Kebenaran,151. 55

Pals, Dekonstruksi Kebenaran,156.

tidak dilanggar dan juga memisahkan Yang Sakral dari Yang Profan sehingga dengan batasan

tersebut individu dapat berhubungan erat dengan yang sakral. Pemujaan positif yang

digambarkan Durkheim ialah ketika suatu kelompok klan yang akan melakukan ritual sudah ada

pada tempat dan waktu yang tepat serta seluruh anggota klan bergerak menuju kepada Yang

Sakral, kemudian mereka melakukan ritual-ritual. Hal inilah yang disebut pemujaan positif. 56

Perbedaan antara kedua hal tersebut ialah pemujaan negatif merupakan suatu cara untuk

mencapai tujuan. Pemujaan negatif dapat berupa pra kondisi untuk dapat berhubungan dengan

pemujaan positif. Pemujaan positif tidak berfungsi untuk melindungi hal-hal yang sakral dari

kontak dengan hal-hal yang profan, tetapi hal ini berpengaruh bagi anggota kelompok yang

melakukan ritual dan merubah kesadarannya secara positif.

Dengan demikian, Totem melambangkan kesatuan dari klan mereka, sehingga

pengelompokan masyarakat dalam klan dianggap suci sehingga totem mereka pun dianggap

suci.57

Menurut Durkheim, pemujaan terhadap totem bagi masyarakat suku Arunta di Australia

memberi arti bahwa pemujaan terhadap masyarakat itu sendiri sehingga yang dimaksud dengan

sakral ialah masyarakat sendiri.58

2.3 Pluralitas Agama: Suatu Realitas Sosial

2.3.1 Realitas Keberagamaan Orang Maluku

Dalam Buku Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri59

menjelaskan

bahwa hidup keberagamaan orang Maluku, dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang

memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku. Interaksi-interaksi keagamaan pada

masyarakat Maluku telah terjadi pada zaman agama-agama asli (agama suku yang adaptis

56

Pals, Dekonstruksi Kebenaran,157-158. 57

Dhavamony, Fenomenologi Agama,74. 58

Pals, Dekonstruksi Kebenaran,153. 59

Aholiab Watloly, Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri (Yogyakarta: Kanisius,2005).

dengan pemisahan negeri, pulau, adat dan keturunan) yang beragam maupun zaman penyebaran

agama-agama modern (Islam-Kristen) yang bersifat “ekspansif”, dan menujukan kemajuan yang

terus bergerak sampai tahap-tahap internalisasi dan kontekstualisasi agama (Islam-Kristen) pada

dasar-dasar realitas genealogis (kekerabatan atau keturunan) serta geokultural (keutuhan wilayah

budaya/adat), yang menampilkan pola keberagamaan Salam-Sarane dalam bingkai “hidup

beragama” yang khas dari masyarakat Maluku.60

Pilihan-pilihan hidup beragama masyarakat Maluku di era globalisasi masih tetap ada dan

bertahan walaupun gelombang-gelombang kehidupan masih terus mendera. Masyarakat Maluku

dalam realitas pasca konflik tetap berusaha mengembalikan kehidupan keberagamaannya sebagai

agama orang basudara.61

Menurut Aholiab Watloly, hal ini dilakukan dengan cara menjadikan

dalih atau paham kolektivisme (collective consciousness) keagamaan yang trans-suku, solidaritas

yang universal untuk meng-adudomba serta membawa masyarakat Maluku dalam konflik orang

basudara.

Keberagamaan masyarakat Maluku sebagai agama orang basudara, dikenal dengan

sebutan Salam-Sarane (Islam-Kristen) Yang telah menghadirkan dunia keberagamaan yang lebih

menyatu di tengah konteks hidup yang plural, serba dikotomi, dan berwarna-warni, baik dari sisi

perbedaan kepercayaan, adat istiadat, bahasa, negeri, pulau, maupun warna kulit.62

Pandangan ini

Watloly dasarkan pada nenek-moyang atau para leluhur Maluku (founders Salam-Sarane) telah

memiliki genuisitasnya sendiri yang memadukan perbedaan-perbedaan pilihan agama (agama

suku, Islam dan Kristen) di dalam sebuah titik harmoni-dialektis. Menurutnya, leluhur Maluku

ternyata mampu membuktikan bagi dunia keberagamaan secara global bahwa agama bukan

sekedar pewahyuan yang hampa tanpa wujud, tetapi lebih dari pada itu, ia dapat terinternalisasi

60

Watloly, Maluku Baru,168. 61

Pelafalan kata basudara oleh orang Maluku, untuk menyebut kata bersaudara. 62

Watloly, Maluku Baru,170.

dalam realitas konteks sosial (socio-religi) yang khas, dan Salam-Sarane merupakan salah satu

yang khas dari padanya.

Watloly menegaskan bahwa bagi leluhur Maluku, Salam-Sarane bukanlah agama, tetapi

cara hidup orang beragama dalam konteks agama-agama orang basudara. Struktur dasar Salam-

Sarane ialah pada nilai-nilai dasar ke-Islaman dan ke-Kristenan sebagai pembawa salam damai

sejahtera dan karenanya mereka terpanggil untuk memaknakan tugas dan panggilan ke-Islaman

atau ke-Kristenannya dalam tatanan kearifan lokal (local wisdom) untuk menyapa sejarah

kebersamaannya sebagai agama-agama orang basudara di bumi Maluku yang satu.

Dalam kerangka pikir semacam itu, menjadi hal menarik yang disampaikan Watloly

mengenai eksistensi Salam-Sarane perlu dipahami dalam sebuah tatanan filsafat yang dialektika,

bukan filsafat “dualisme” atau “monisme”. Filsafat dialektika menunjukan bahwa Islam dan

Kristen di Maluku adalah khas karena keduanya menemui eksistensinya yang kokoh di dalam

konteks ke-Maluku-an, yang secara de facto memiliki perbedaan, tetapi sekaligus berada dalam

ikatan kekeluargaan yang kuat. Hal ini berwujud baik di dalam ikatan-ikatan genealogi (garis

keturunan) dan geokultural (kesatuan wilayah dan budaya maupun adat) maupun geohistoris

(kesatuan sejarah) yang khas. Kekuatan pemikiran itulah yang telah mengangkat bagi budaya,

peradaban, dan keberagamaan masyarakat Maluku sebuah martabat yang khas dan

mengantarkannya ke dalam sebuah tata peradaban dunia yang memiliki bobot kesejajaran

dengan agama, budaya maupun sistem peradaban lain di dunia.63

Bahkan sejarah menyaksikan

bahwa perkembangan budaya dan keberagamaan Maluku tersebut telah menemukan titik

maknanya yang mendalam pada titik konsentris-dialektis (harmoni-dialektis) yang khas.

Kekhasan tersebut dapat dijumpai dalam budaya Maluku, seperti Pela, Masohi, Lavurngabal,

budaya sarumah64

, dsb. Yang mempertemukan sisi hidup yang berbeda dalam sebuah titik

63

Watloly, Maluku Baru,171. 64

Pelafalan orang Maluku untuk menyebut kata satu rumah.

harmoni yang dinamis. Falsafah hidup ini pula yang tergambar di dalam Patasiwa-Patalima,

Ursiwa-Urlima, Upu ama-Upu Ina, dan Salam-Sarane yang selalu bersifat “saling

bergandengan.”

Beberapa prinsip dasar yang Watloly kemukakan dan penting diperhatikan di dalam

konstruksi falsafah keberagamaan Salam-Sarane, yaitu:

1. Keterbukaan terhadap perbedaan dan kemajemukan.

Salam-Sarane merupakan dua realitas (bukan satu) “agama” yang bersifat terbuka

terhadap perbedaan, kemajemukan hidup yang dimiliki bersama sebagai orang basudara.

Keduanya memiliki sifat saling „menyapa‟ sebagai saudara bukan saling „memangsa‟ sebagai

musuh atau lawan. Oleh karena itu, Salam-Sarane terpanggil untuk saling membangun

kehidupan secara bersama dengan sapaan-sapaan yang kritis, jujur, dan saling terbuka sebagai

saudara.

2. Kemajemukan dalam kebersamaan hidup.

Falsafah hidup Salam-Sarane tidak hanya menegaskan sikap keterbukaan terhadap

pluralitas hidup, tetapi lebih dari itu, menatanya dalam sebuah manajemen kebersamaan. Tidak

hanya sebatas menghargai, mengakui, dan menjejerkan pluralitas atau perbedaan-perbedaan itu,

tetapi membangun, mengolah, dan menatanya secara utuh, fungsional, sinergis, dan mendalam.

Sehingga, Salam-Sarane benar-benar memiliki tanggung jawab sosio-teologis yang strategis

untuk membangun kehidupan yang nyata. Salam-Sarane memiliki dasar-dasar pemahaman

(kognitif) dan kesadaran kritis (reflektif) untuk mengolah pengetahuan, keyakinan, dan realita

dalam sebuah proses dialektis guna menjalankan kehidupan keberagamaan secara praksis

(afektif).

Salam-Sarane memilki cenceptional frame work dalam mencari dan mengolah

kandungan-kandungan kebenaran keagamaan yang bersifat rasional universal, yang juga secara

kontekstual menggerakkan aksi praksis (operasionalitas agama) untuk membangun bumi

Maluku, masyarakat Indonesia maupun dunia secara luas. Semangat keberagamaan itulah yang

oleh para pemimpin bangsa dicetuskan dalam berbagai falsafah kehidupan umat beragama yang

berpancasila, yaitu toleransi hidup beragama atau dialog hidup antarumat beragama.

3. Brothership atau bersaudara

Prinsip yang ketiga mengatakan bahwa falsafah keberagamaan Salam-Sarane menujukan

ke-Kristenan dan ke-Islaman Maluku adalah khas. Hal ini mengajarkan dan mewajibkan

masyarakat Maluku berkembang dalam tradisi hidup ke-Kristenan dan ke-Islaman yang memiliki

saudara, yang biasanya disebut gandong, kaka, atau bongso. Dengan demikian terlihat bahwa

Kristen Maluku adalah Kristen yang memiliki saudaranya dengan Muslim, begitu juga

sebaliknya Islam Maluku adalah khas karena memiliki hubungan tradisi kekeluargaan dengan

saudaranya yang Kristen.

Dalam realitas kehidupan masyarakat di Maluku, ikatan-ikatan kekeluargaan tersebut

dapat terlihat jelas antara lain; Islam di pulau Seram memiliki satu pancaran mata air atau satu

keturunan dengan saudaranya yang Kristen, hal yang sama juga terlihat di kepulauan Kei

Maluku Tenggara, di mana Islam dan Kristen memiliki hubungan persaudaraan atau garis

keturunan (geneologis) yang mendalam. Penghayatan tersebut oleh masyarakat Kei dimaknai

melalui ikatan Ain ni ain (satu dalam satu dalam kebersamaan yang menyatu). Selanjutnya

terlihat dalam kehidupan ke-Kristenan di Maluku Utara yang khas karena Kristen memiliki

sultan yang beragama Islam. Nilai kebatinan ini dimaknai dalam falsafah hidup masyarakat

Maluku Utara yaitu ”Marimoi ngone fo turu, marimoi ua ngone fo ruru, ma otu tara ngone fo

jaha” (bersatu kita kuat, tidak bersatu kita hanyut, pada akhirnya kita tenggelam). Kenyataan itu

bagi masyarakat Maluku adalah sebuah fakta ynag merupakan warisan kehidupan yang telah

terukir oleh sejarah yang panjang dan bukan sebuah wacana atau opini. Kenyataan tersebut,

kemudian dihargai sebagai prinsip hidup beragama yang hendak dijalani sebagai hak istimewa

bagi Islam dan Kristen di Maluku.

4. Membangun otonomi dan kesetiaan pada misi keagamaannya masing-masing.

Salam-Sarane bukanlah pengarifan atau “sinkritisme” agama. Hal ini dengan alasan

Salam-Sarane bukan hanya agama konvensional, dan bukan hanya sekedar berbicara tentang apa

itu agama dan apa arti agama tetapi lebih dari itu Salam-Sarane merupakan dua agama sejati dan

merupakan cara hidup beragama Islam-Kristen yang menyadari panggilan keagamaannya untuk

membangun salam damai sejahtera di Maluku.

5. Pro life atau memihak pada hidup

Salam-Sarane menujukan sebuah kekuatan keberagamaan yang pro life untuk

membangun hidup. Lebih dari itu, Salam-Sarane menunjukan inti keberagamaan Islam maupun

Kristen yang membawa dan menawarkan salam kehidupan di tengah ancaman kekacauan,

menegakkan kebersamaan dan persaudaraan di tengah ancaman egoisme dan keangkuhan hidup.

Prinsipnya, Islam maupun Kristen harus menjadi kekuatan dalam membangun, mempertahankan

dan membaharui hidup generasi Maluku (Islam-Kristen) dari godaan arogansi dan keangkuhan

kemanusiaan yang menggiringnya ke dalam jurang konflik dan kehancuran.

6. Pro eksistensi atau memihak pada fakta keberadaan sebagai basudara.

Sebagai kekuatan pro eksistensi, hendak menegaskan bahwa Salam-Sarane dalam

struktur eksistensi kekeluargaan yang kokoh mendasar dalam menjalani pilihan-pilihan

keagamaan yang bebas, berbeda, mandiri dan dewasa. Masyarakat Maluku harus bebas dan

otonom dalam membangun pilihannya masing-masing, namun tidak pernah dapat melepaskan

diri satu dengan yang lain. Pada prinsipnya, hidup bersaudara adalah hal yang kodrati (kodrat

eksistensi) yang bernilai sakral, abadi, dan mutlak dalam keluhuran sejarahnya. Praktisnya, yang

Salam harus menjadi Islam yang baik dan taat kepada agama dan Tuhannya, untuk hidup

berdampingan dengan saudaranya yang Kristen. Sebaliknya, Sarane harus menjadi Kristen yang

baik, yang harus taat kepada Tuhannya dan menjadi Kristen yang baik bagi saudaranya yang

Islam. Kekuatan pro eksistensi nyata dalam falsafah orang Maluku; “potong di kuku rasa di

daging atau sagu salempeng dipatah dua”. 65

7. Manajemen pola kontras

Prinsip ini menunjukan bahwa falsafah keberagamaan Salam-Sarane terbangun dari

sebuah fondasi manajemen pola kontras dengan hidup beragama yang mendalam bagi

pergumulan dunia keberagamaan secara luas. Manajemen ini memberikan dasar konstruktif bagi

setiap generasinya dalam membangun interaksi dan tanggung jawab hidup beragama secara kritis

dan terbuka. Hal ini menjadi sumbangan besar yang berharga bagi manajemen kehidupan

beragama secara global.

Inti dari manajemen pola kontras ini adalah pada kejeniusan dan kemampuan dalam

mengolah dan menata prinsip-prinsip kepercayaan, ajaran, tradisi ibadah, dan aneka pilihan

hidup yang berbeda itu dalam sebuah sistem kekeluargaan (Salam-Sarane basudara). Dengan

ini, agama yang cenderung bersifat tertutup (esoteric) dan bersembunyi di balik klaim-klaim

kebenaran serta kemutlakan diri sendiri secara eksklusif (exsoteric) berubah menjadi agama yang

mampu hidup berdampingan (living together) secara damai, terbuka, kritis dan konstruktif.

8. Menunjukan esensi agama anak-anak Abraham (Abraham religion)

Fakta menunjukan bahwa agama Islam maupun Krsiten adalah agama dengan dasar

keturunan yang khas. Manajemen keberagamaan dalam Salam-Sarane adalah manajemen hidup

agama orang basudara.

9. Menegaskan kepercayaan yang otentik atas kesaksian kitab suci-nya masing-masing.

Salam-Sarane ingin menyuarakan isi penghayatan dan kepercayaan yang otentik atas

nilai-nilai kitab suci di tengah arus kehidupan yang cenderung mengabaikan substansial itu.

10. Memaknakan dimensi ketuhanan yang imanen.

65

Ungkapan bahasa tersebut bukan sekadar permainan kata, tetapi merupakan penyataan hidup mengenai arti

kehidupan beragama dan bermasyarakat yang sesungguhnya.

Keberagamaan masyarakat Maluku, dalam tataran local religion hendak menegaskan

dimensi ketuhanan yang bersifat imanen. Di mana Tuhan bukanlah Tuhan yang jauh untuk

dijangkau tetapi Tuhan sebagai gambaran seorang kakek (tete) yang setia, penyayang terhadap

cucu-cucunya. Ketuhanan itulah yang disebut Tete Manis, Uplera, Opolastala.

2.3.2 Realitas Sosial “Dialog” dalam Pluralitas Keberagamaan

Hubungan antarumat beragama dalam era baru ditandai oleh apa yang disebut dialog.

Dialog berarti percakapan tentang hal-hal yang esensial dan eksistensial.66

Membangun dialog

antar agama menjadi usaha bersama para teolog, para pemimpin agama, maupun siapa saja yang

merasa penting melakukan dialog antar agama bagi kehidupan bersama. Dialog tidak hanya

untuk meningkatkan rasa toleransi, melainkan juga pengalaman transformatif bagi pihak-pihak

yang terlibat. Tujuan dialog bukan hanya terbatas pada kehadiran individu, tetapi ikut secara

aktif menghidupkan dan mengembangkannya.67

Menurut Simatupang, dialog sebagai

pengungkapan rasa tanggung jawab mengenai masa depan dalam keberadaan hidup bersama

dengan tetap setia pada keyakinan dan identitas agama sendiri dan tetap terbuka terhadap

pandangan agama lain sehingga proses dilaog menjadi lebih bermakna.68

Menurut Hans Küng, sasaran dialog yang dilakukan bukan sekedar pada ko-eksistensi

secara damai, tetapi lebih dari itu ialah pro-eksistensi. Küng mengusulkan sasaran dialog yang

lebih terlibat, pragmatis dengan melibatkan semua perbedaan autentik. Küng hendak mengakhiri

fase ko-eksistensi dimana toleransi masih menjadi tujuan utama dari dialog dan mencoba

melangkah lebih jauh tanpa meremehkan pentingnya toleransi (sarana minimal untuk hidup

bersama) dalam Christianity and the world Religions, dia mengawali suatu eksperimen ilmiah di

bidang dialog yang berorientasi ke pro-eksistensi. Hal ini dilakukan bukan sekedar pengumpulan

unsur-unsur persamaan doktrin, tradisi, dsb. Ungkapan Küng merupakan tantangan bagi setiap

66

Olaf Schumann, Dialog Antarumat Beragama: Membuka Babak Baru dalam Hubungan Antarumat

Beragama, Pendahuluan Bagian II oleh Peter Latuihamallo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 291.

67

Elga Joan Sarapung, “Pengantar: Menegaskan tentang Pluralisme Agama,” dalam Herry Mety & Khairul

Anwar (editor) Prospek Pluralisme Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2009), xxiv. 68

Schumann, Dialog Antarumat Beragama,5

orang untuk mengenal agama-agama lain tanpa prasangka, tetapi juga kesempatan untuk

mengenal agamanya sendiri secara kritis melalui agama-agama lain.69

Dialog antarumat beragama di Indonesia tidak dapat dilakukan secara nyata tanpa

memahami Pancasila. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sebagai tanda dimulainya

sejarah baru, Pancasila mengiringi setiap langkah agama-agama serta aliran-aliran

kepercayaan.70

Dialog yang terjadi antar agama menjadi hal penting dalam hubungan dan kerja

sama antar agama. Dialog bisa dilakukan dalam berbagai bentuk dengan berbagai sikap. Dikenal

empat macam dialog yaitu dialog hidup, dialog aksi, dialog teologis dan dialog pengalaman

keagamaan. Melalui dialog hidup, individu dapat membuka hidup terhadap kegembiraan,

kesusahan, keprihatinan dan kegelisahan hidup sesama. Dialog aksi, individu dapat bekerjasama

mengatasi pembatasan-pembatasan yang menghalangi untuk hidup secara bebas dan manusiawi.

Dalam dialog teologis, lapisan “elit” dari suatu agama membicarakan warisan-warisan

keagamaan dengan nilai-nilainya agar dapat memahami dan menghargai. Dalam dialog,

pengalaman keagamaan memberi kesempatan pada para partisipan untuk membagikan

pengalaman-pengalaman keagamaan yang berakar pada tradisi-tradisi agama masing-masing.71

Dialog yang spontan berkembang di dalam praktek kehidupan sehari-hari melalui lingkungan

keluarga, maupun lingkungan sekitar. Di mana orang-orang dari berbagai kepercayaan dan

ideologi bersama menjalani kehidupan sehari-hari sehingga dialog dapat dihubungkan dengan

kehidupan dan menjadi gaya hidup dalam pergaulan.72

Salah satu kasus dialog yang bertanggung jawab secara global menurut Knitter yaitu di

India dan Sri Lanka, „dialog aksi‟ atau dialog kehidupan yang merupakan bagian dari kehidupan

mereka. Dalam kehidupan di desa, ditandai dan dibentuk oleh beberapa kenyataan dominan; a)

69

Sunardi, “Dialog: Cara Baru Beragama”, dalam Abdurrahman Wahid, Dialog: Kritik dan Identitas Agama

(Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994),74-75. 70

Schumann, Dialog,291. 71

Th Sumartana, Pengantar:Menuju Dialog Antar Iman, dalam Abdurrahman Wahid, Dialog: Kritik dan

Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), xvi-xvii. 72

Schumann, Dialog,91.

upaya sesehari untuk makan, tidur, dan menjaga agar keluarga tetap sehat merupakan suatu

pergumulan memiluhkan; kehidupan sangat sulit, masalah bertumpuk, struktur sosial yang

menindas, b) orang kebanyakan memeluk agama berbeda-beda yang merupakan bagian dari

komunitas desa. Hal ini menunjukan bahwa kehidupan nyata bagi kebanyakan orang India

merupakan pergumulan sehari-hari dengan kemiskinan dan pluralitas agama. Dalam menghadapi

pergumulan hidup, mereka bekerja, dan pola kerja sama kuat dalam kehidupan mereka. Mereka

melakukan sebagai umat beragama yang patuh. Kegiatan memberi-menerima dalam kehidupan

desa di India dan Sri Langka pada umumnya merupakan kegiatan memberi-menerima secara

religius. Dalam kehidupan bersama, ada sejarah merayakan hari raya agama bersama-sama atau

paling tidak umat Hindu dan Muslim dan Kristen saling membantu dan bersama-sama

merayakan Divali atau Natal atau Idul Fitri. Contoh kasus di India dan Sri Langka merupakan

bagian dari dialog liberatif dan transformatif yang terjadi di antara berbagai komunitas majemuk

keagamaan. Suatu dialog yang bertanggung jawab secara global dan menjadi model bagi

kehidupan bersama umat beragama.73

Dialog tidak hanya meningkatkan rasa toleransi tetapi juga pengalaman transformatif dari

pihak-pihak yang terlibat.74

Karena itu, penting menuntut sikap terbuka satu agama dengan

agama yang lain. Dialog sebagai fungsi kritis beragama bukan sebagai wahana untuk

menentukan agama mana yang paling benar. Jika kata „agama‟ dipahami secara konkret dan

bukan secara metafis, maka dialog antar agama berarti dialog antar orang-orang yang beragama.

Dalam dialog, dapat dijadikan cerminan antar pihak-pihak yang terlibat sebagai cara untuk

membuka diri bagi komunitas lain. Proses tersebut sebagai respons yang baik untuk memahami

tradisi komunitas lain dalam berdialog.75

Hal ini berarti manusia mendapat tempat yang sentral

73

Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 256-258. 74

Surnadi, Dialog,75. 75

Leonard Swidler, Death Or Dialogue?: From the Age of Monologue to the Age of Dialogue (London: SCM

Press,1990),62-63.

dalam dialog. Dan sebaliknya manusia tidak dipahami secara metafisis, tetapi sebagai manusia

yang konkret. Manusia kongkrit menunjuk orang-orang yang beriman dalam agama, budaya

tertentu. Dalam kongkrit inilah dialog mendapat tempat sebagai fungsi kritis.76

2.4 Kesimpulan

Masyarakat merupakan basis bagi integrasi sosial dalam pluralitas agama. Teori

Durkheim mengenai masyarakat berdasarkan penelitiannya pada masyarakat suku Arunta di

Australia dengan memahami masyarakat dalam dua tipe yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas

organik. Masyarakat sebagai fakta sosial dan harus diperlakukan sebagai benda (thing). Fakta

sosial berhubungan dengan dua hal penting yaitu conscience collective (kesadaran kolektif) dan

representation collective (gambaran kolektif). Gambaran kolektif merupakan bagian dari isi

kesadaran kolektif. Menurut Durkheim, keseluruhan kepercayaan yang dianut bersama menjadi

kekuatan untuk membentuk sistem yang mengatur kehidupan dalam masyarakat sehingga

masyarakat.

Pandangan Durkheim mengenai agama berdasar dari yang sakral. Baginya, bentuk agama

yang paling dasar ialah totemisme. Hal ini ditemukannya pada masyarakat suku Arunta di

Australia. kehidupan yang dilandaskan pada sistem klan yang berkaitan dengan totemisme.

Sistem klan yang terkait dengan hubungan kekerabatan antar individu. Hal ini bukan terjadi

karena hubungan darah tetapi lebih pada perasaan bersama (collective) yang dimiliki oleh

anggota dalam kelompok. Karena itu, Durkheim menegaskan bahwa yang sakral adalah

masyarakat itu sendiri.

Dalam kehidupan masyarakat modern, dengan realitas sosial yang kompleks seperti

pluralitas agama yang terdapat dalam masyarakat memberi ruang gerak bagi integrasi sosial. Hal

ini lahir dari dalam masyarakat sendiri dengan berbagai sistem kehidupan masyarakat tersebut.

76

Sunardi, Dialog,77.

Nilai-nilai budaya yang telah berakar dalam masyarakat mempengaruhi realitas sosial untuk

membentuk integrasi sosial. Realitas keberagamaan orang Maluku, yaitu Salam dan Sarane

menjadi nilai budaya juga sejarah bagi perkembangan keagamaan orang Maluku sendiri. Dan

untuk memelihara kehidupan keagamaan yang plural dibutuhkan tindakan yang konkrit dari

masyarakat sendiri. Hal ini terdapat dalam „dialog aksi‟ sebagai bentuk realitas sosial dari

pluralitas keberagamaan.